Cdk 055 Malaria (II)

of 61 /61

Embed Size (px)

Transcript of Cdk 055 Malaria (II)

No. 55, 1989International Standard Serial Number: 0125 913X Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi :2. Editorial Artikel: 3. Status Malaria di Indonesia 8. Situasi Kepekaan Plasmodium Falciparum terhadap Obat dan Mobilitas Penduduk di Nunukan, Kalimantan Timur 12. Uji Coba Bacillus Thuringiensis H14 untuk Pengendalian Anopheles sundaicus 15. Efikasi Sabun Repelen Mengandung Deet dan Permethrin untuk Perlindungan Gangguan Nyamuk 19. Hubungan Beratnya Penyakit Malaria Falciparum dengan Kepadatan Parasit pada Penderita Dewasa 24. Keracunan Pestisida pada Petani di Berbagai Daerah di Indonesia 27. Efek Karsinogenik beberapa Pestisida dan Zat Warna Tertentu 32. Peningkatan Daya Tahan Tubuh oleh Kenaikan Suhu Tubuh pada Mencit Terinfeksi dengan Plasm- odium berghei ANKA 38. Sebelum atau Sesudah Makan? Interaksi Obat dengan Makanan 44. Zat Kebal Bawaan Campak dan Pengaruhnya terhadap Imunisasi Campak di Daerah Endemik Campak 49. Etika: Teknologi Kedokteran untuk Apa dan untuk Siapa? 54. Pengalaman Praktek: Berobat dart Pintu ke Pintu Malaria 56. Humor Ilmu Kedokteran 58. Abstrak-Abstrak 60. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Karya Sriwidodo

Alamat redaksi: Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808 Penanggung jawab/Pimpinan umum: Dr. Oen L.H. Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani, Dr. Budi Riyanto W. Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bambang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR. Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. Victor Siringoringo. Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR. B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. Sadrach. No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976, tgl.3 Juli 1976. Pencetak : PT. Temprint.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis

Masih berkaitan dengan edisi terdahulu, kali ini Cermin Dunia Kedokteran melengkapi pembahasan tentang malaria dengan beberapa artikel mengenai aspek klinis dan hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penggunaan insektisida. Dan ternyata demam yang timbul pada serangan malaria mungkin tidak sepenuhnya merugikan, seperti ditunjukkan oleh percobaan rekan Mohammad Sadikin dari bagian Biokimia FKUI. Dilengkapi dengan sebuah Pengalaman Praktek dan Abstrak mengenai Patogenesis Demam, mudah-mudahan dapat memuaskan para sejawat. Selain itu, edisi ini diisi pula dengan beberapa artikel lain, diantaranya mengenai pengaruh saat makan obat terhadap ketersediaan hayatinya, sesuatu yang mungkin selama ini tidak terlalu diperhatikan, mungkin karena kekurang-fahaman para dokter akan mekanisme interaksinya. Ruang Etika akan membahas Teknologi Kedokteran sesuatu yang banyak mendorong kemajuan, sekaligus membuka kemungkinan pen yalahgunaan. Akhir kata, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1409 H, segenap redaksi memohon maaf lahir dan batin, semoga untuk selanjutnya kami dapat lebih memuaskan para sejawat sekalian. Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

Artikel Status Malaria di IndonesiaCyrus H. Simanjuntak, P.R. Arbani** * Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta **Dijen Pemberantasan Penyakit Menu/at- dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan RI Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit malaria hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara tropis yang biasanya merupakan negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia1. Akibatnya, negara yang bersangkutan harus menyediakan dana yang cukup besar untuk memberantasnya apabila negara tersebut ingin membebaskan diri dari akibat yang sangat merugi kan dari penyakit ini. Dalam kaftan ini perlu diingat bahwa sejak tahun 1959 yaitu sejak dicanangkannya dan dilaksanakannya usaha pembasmian malaria oleh WHO, insidensi penyakit malaria telah banyak turun. Tapi akhir-akhir ini tanpa mengenyampingkan usaha yang disebut di atas, kenyataan memperlihatkan bahwa penularan malaria di daerah tropis mulai meningkat dan hampir kembali kepada keadaan saat sebelum usaha eradikasi malaria. Ternyata usaha eradikasi telah berhasil menurunkan atau menghilangkan malaria hanya di daerah dingin dan daerah sub tropis saja. Timbulnya resistensi vektor malaria terhadap insektisida menyebabkan usaha eradikasi malaria gagal total, sehingga kegiatan eradikasi yang banyak menyedot biaya dan tenaga tak mampu lagi dipertahankan. Sebagai gantinya diusahakan kegiatan pemberantasan malaria (malaria kontrol) yang biayanya lebih ringan dengan masa kegiatan yang tidak terbatas. Indonesia merupakan pelopor yang menggantikan usaha eradikasi menjadi usaha pemberantasan, yang dimulai sejak tahun 1970. Harus kita sadari bahwa timbulnya resistensi vektor malaria terhadap berbagai insektisida yang dianggap cukup aman dan timbulnya resistensi parasit P. fa/ciparum terhadap obat-obatan anti malaria seperti klorokuin dan Fansidar(R), menyebabkan pemberantasan malaria saat ini menjadi lebih remit. Kemajuan besar di bidang perhubungan dan komunikasi yang mempermudah ruang gerak penduduk jelas memberi peluang besar bagi penyebaran penyakit ini dari satu daerah ke daerah yang lain, sehingga penularan akan meluas secara mudah. Dengan

demikian hampir seluruh tanah air merupakan daerah endemis terhadap malaria. Endemisitas malaria bervariasi dari satu daerah ke daerah lain tergantung dari jenis vektor, keadaan alam (pegunungan, pantai, dataran dan lain-lain) dan faktor lainnya. Endemisitas tersebut berkisar antara hipo-, meso- dan hiper-endemi. Hingga saat ini, di Indonesia belum pemah diketemukan malaria dengan endemisitas holo-endemi seperti banyak diketemukan di Afrika. Selain itu, kecuali Jayapura, belum pernah diketemukan urban malaria di kota-kota besar di Indonesia. SEJARAH SINGKAT PEMBERANTASAN MALARIA DI INDONESIA Kegiatan pemberantasan malaria di Indonesia hingga saat ini dapat dibagi dalam 4 periode, yaitu : 1) Periode Sebelum Perang. Usaha pemberantasan dilakukan sangat terbatas dan tidak menyeluruh karena merupakan usaha setempat'. Usaha pemberantasan ditujukan pada vektor penyebab dan pengobatan terhadap penderita, seperti : Metode mekanis, yaitu pengeringan atau penimbunan genangan air yang merupakan sarang jentik nyamuk vektor. Metode biologis, yaitu menanam ikan predator Haplodilus panchax di sarang jentik nyamuk, yaitu di air payau untuk memakan jentik A. sundaicus dan di daerah persawahan untuk menghabiskan jentik A. aconitus. Pengobatan, yaitu mengobati penderita malaria dengan obat anti malaria dan memberikan obat pencegahan pada orang yang mempunyai risiko besar akan mendapat malaria. 2) Periode Sesudah Perang Periode ini disebut periode pemberantasan malaria (MCP Malaria Control Programme). Pada saat inilah ditemukan DDT (Dichloro-diphenyl-trichloretan) yang kemudian dianggap sebagai insektisida penyelamat karena, murah, poten, dan stabil, suatu sifat yang ideal sebagai insektisida untuk dipergunakan

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

3

secara massal. Penemuan insektisida ini bersama-sama dengan penemuan obat malaria yang sangat ampuh yaitu 4-aminoquino/ine (misalnya klorokuin) dan 8-aminoquinoline (misalnya primakuin), memberi harapan besar. 3) Periode Pembasmian Malaria (MEP : Malaria Eradication Programme) 1959 - 1968 Timbulnya resistensi vektor malaria terhadap DDT dan dieldrin, menimbulkan kekhawatiran akan gagalnya program pemberantasan malaria. Pemakaian insektisida dalam jangka lama, menyebabkan semua populasi vektor akan menjadi resisten terhadap insektisida yang dipakai dalam jangka lama, walaupun disadari bahwa resistensi ini bersifat resesif. Oleh karena itu dipikirkan suatu program yang menyeluruh dan dilaksanakan secara serentak dan yang dapat dilaksanakan dalam waktu singkat. Oleh WHO, cara penanggulangan malaria diubah dari MCP(Malaria Control Programme) menjadi MEP(Malaria Eradication Programme). Pada tahun 1959 ditandatanganilah suatu persetujuan segitiga antara WHO, USAID dan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan program MEP sesuai dengan penggarisan yang disusun oleh WHO. Tiga fase pertama dari 4 fase yakni : fase Persiapan, Penyemprotan, Konsolidasi dan Maintenance, akan dilaksanakan oleh KOPEM (Komando Operasi Pembasmian Malaria), suatu organisasi otonom yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden2. Secara simbolis penyemprotan rumah dengan DDT yang pertama dilaksanakan pada tanggal 12 November 1959 di Kalasan, Yogyakarta oleh Presiden Sukarno sendiri; sejak itulah 12 November diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional. Secara berangsur-angsur operasi penyemprotan dengan insektisida, DDT dan Dieldrin diperluas hingga 42 zona, yang meliputi Lampung, Jawa, Madura dan Bali. Pada mulanya, insidensi malaria turun dengan tajam dan mencapai titik terendah pada tahun 1965 dengan API(Annual Parasite Incidence) sebesar 0,12. Akan tetapi kemudian dengan keluarnya Indonesia dari WHO dan dihentikannya bantuan USAID, operasi pembasmian menjadi tertunda akibatnya API naik dan menjadi 0,15 pada tahun 1966; 0,21 pada tahun 1967; dan 0,27 pada tahun 1968. 4) Periode Pemberantasan Penyakit Malaria 1968sekarang Kekhawatiran akan timbulnya resistensi insektisida terutama DDT terhadap vektor malaria menjadi kenyataan. Akibatnya penanggulangan malaria tidak lagi tergantung pada satu-satunya senjata -DDT- tapi haruslah dibantu dengan usaha-usaha lainnya. Selain itu keterbatasan dana menyebabkan usaha MEP yang menyedot terlalu banyak dana dan tenaga dalam waktu sangat singkat perlu segera diakhiri dan diganti dengan cara lain yang budget oriented. Maka pada akhir tahun 1968 organisasi KOPEM yang otonom, diintegrasikan . ke dalam Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2M&PLP) yang pada saat itu disebut Ditjen P4M (Pengawasan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular) dan menjadi Dinas Malaria. Integrasi ini terjadi di semua tingkatan yakni dari tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten, Kkcamatan, dan seterusnya. TUJUAN PEMBERANTASAN MALARIA Pemberantasan malaria saat ini dibagi dalam 2 tujuan, yakni 4 Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

Tujuan Jangka Pendek dan Tujuan Jangka Panjang3. Tujuan Jangka Pendek ialah usaha untuk menurunkan jumlah kecamatan yang insidensi malarianya tinggi (API di atas 0,75) dari 63 menjadi 37 kecamatan pada akhir Repelita IV dan mempertahankan API menjadi kurang dari 0,1 untuk Jawa dan Bali. Bagi luar Jawa dan Bali Tujuan Jangka Pendek ialah menurunkan prevalensi malaria menjadi kurang dari 5% di daerah prioritas dan menjadi 15 - 20% di daerah lain (bukan prioritas) pada akhir Repelita IV. Tujuan Jangka Panjang pemberantasan penyakit malaria untuk Jawa dan Bali ialah untuk mengurangi jumlah kecamatan yang mempunyai insidensi tinggi menjadi hanya 20 kecamatan saja pada Repelita VI (1994/95 - 1998/99) dan mempertahankan API kurang dari 0,1. Untuk luar Jawa dan Bali, Tujuan Jangka Panjang ialah menurunkan prevalensi malaria hingga kurang dari 2% di daerah prioritas dan antara 5100/o di daerah lainnya (non-prioritas) pada akhir Repelita VI. STRATEGI PEMBERANTASAN Seperti disebutkan di atas, kegiatan pemberantasan malaria telah diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam Ditjen P2M&PLP di semua tingkatan.Hal ini dilakukan dengan maksud agar kegiatan ini merupakan pendekatan pemeliharaan kesehatan dengan melibatkan lebih banyak peran-serta masyarakat. Secara strategi pemberantasan malaria di Jawa dan Bali sedikit berbeda dengan luar Jawa dan Bali (Tabel 1). Di Jawa dan Bali pemberantasan malaria meliputi seluruh propinsi dengan Desa merupakan unit terkecil, sedangkan di luar Jawa dan Bali kegiatan pemberantasan diprioritaskan di daerah proyek transmigrasi, daerah perbatasan (Malaysia dan Brunei Darussalam) dan daerah di mana ditemukan peningkatan sosioekonomi yang potensial. SITUASI MALARIA SAAT INI Insidensi Malaria Di Jawa dan Bali, pengamatan penyakit malaria dilakukan dengan dua cara yakni ACD (Active Case Detection) dan PCD (Passive Case Detection). ACD dilakukan dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah oleh petugas malaria desa (dulu PMD - Pembantu Malaria Desa), setiap 1 atau 2 bulan sebuah rumah harus dapat dikunjungi dan dari setiap penderita demam yang dikunjungi diambil darah tepi untuk pemeriksaan malaria secara mikroskopis. Sedangkan pada PCD, pengambilan darah dilakukan di Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Poliklinik. Tabel 2 memperlihatkan insidensi malaria di Jawa dan Bali pada dan tahun 1974 1985. Data ini cukup akurat karena ABER (Annual Blood Examination Rare) cukup konsisten antara 8 9%. Tampak penurunan insidensi malaria dari tahun ke tahun walaupun terlihat adanya fluktuasi API dan SPR (Slide Positivity Rate). Hal yang menarik ialah adanya peningkatan ratio P. falciparum dari 34,33 pada tahun 1974 menjadi 54,30 pada tahun 1982 dan sedikit menurun menjadi 38,39 pada tahun 1985. Ini merupakan suatu petunjuk akan adanya peningkatan resistensi P. falciparum terhadap obat anti malaria. Dari insidensi penyakit malaria yang disajikan per propinsi (Tabel 3), tampak terus menerus tinggi di Jawa Tengah. Pada tahun 1985, 79% dari kasus malaria di.Jawa dan Bali, terdapat

Tabel 1.

Strategi Kegiatan Pemberantasan Malaria. Jawa dan Bali IRS Terbatas Presumptif, Radikal ACD, PCD Luar Prioritas Jawa dan Bali Bukan Prioritas Supresif PCD

Jenis Kegiatan Kontrol Vektor KegiatanAnti Larva Pengobatan Pengamatan

seperti halnya di Jawa dan Bali. Dari SMM dan PCD penderita malaria tahun 1974 sd. 1985 terlihat inssidensi malaria di luar Jawa dan Bali terus menurun dengan sedikit fluktuasi (Tabel 4 dan 5).Tabel 4. Hasil Survai Malariometrik dad Luar Jawa dan Bali tahun 1974-1985. Tahun 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 SD Jumlah S.D. diperiksa 159.182 148.058 100.914 65.655 193.004 155.892 466.355 559.657 594.926 450.619 698.316 405.374 Positif 14.907 10.946 6.808 3.585 8.353 6.558 19.283 20.303 30.689 13.310 31.618 17.697 Parasite Rate 9,9 7,4 6,7 5,5 4,3 4,2 4,1 3,6 5,2 3,0 4,8 4,4

IRS Terbatas Supresif PCD, SM

IRS = Indoor Residua/ House Spraying ACD = Active Case Detection PCD = Passive Case Detection SMM = Survai Malariometrik Tabel 2. Tahun 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 ABER API SPR Pf Situasi Malaria di Jawa dan Bali, tahun 1974 - 1985. ABER 8,93 9,63 8,96 9,03 8,91 8,61 9,52 9,54 9,42 9,24 8,44 8,18 Kasus 229.711 125.166 96.999 110.553 127.590 78.854 176.733 124.656 84.266 133.607 86.088 47.673 API 2,73 1,45 1,11 1,23 1,39 0,84 1,85 1,33 0,86 1,34 0,85 0,46 SPR 3,05 1,51 1,23 1,37 1,56 1,98 1,95 1,37 0,92 1,45 1,00 0,56 Pf% 34,33 35,28 40,94 39,60 34,39 46,95 46,60 45,23 54,30 47,78 42,76 38,39

: Sediaan Darah

Tabel 5. Klinis Malaria dan SPR dari Luar Jawa dan Bali tahun 1974 - 1985. Tahun 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 Klinis Malaria 740.177 774.602 747.555 635.676 579.756 1.075.658 1.241.403 756.771 1.214.496 831.824 1.395.389 1.036.528 Jumlah S.D. diperiksa 240.498 318.641 358.093 217.858 236.203 358.427 488.616 353.788 '410.946 421.631 456.290 228.088 Positil 90.478 78.234 73.486 52.805 51.962 87.105 130.279 90.730 104.814 84.268 105.416 44.057 , SPR 24,5 20,5 24,2 22,0 24,3 26,7 25,6 25,5 19,9 23,1 16,3

Annual Blood Examination Rate (%) Annual Parasite Incidence (1/100) Slide Positivity Rate Plasmodium falciparum ratio 1983 Kasus API 0,34 4,08 0,44 0,01 0,41 0,14 1,34 Klaus 3.336 67.258 14.407 69 731 287 86.088 1984 API 0,11 2,48 0,47 0,02 0,25 0,11 0,85 1985 Kasus 1.982 37.788 7.085 181 575 62 47.673 API 0,06 1,37 0,23 0,07 0,20 0,01 0,46

Propinsi

SPR : Slide Positivity Rate SD : Sediaan Darah Tabel 6. Penyebaran Vektor Malaria di Indonesia. Tempat/Pulau Jawa and Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara Irian Jaya/Maluku Vektor Malaria A. aconitus, A. sundaicus, A. subpictus, A. balabacensis. A. sundaicus, A. hyrcanus group, A. maculatus, A. letifer, A. aconitus.* A. balabacencts, A. umbrosus, A. hyrcanus group, A. letfer, A. sundaicus. A. barbirostris, A. sundaicus, A. subpictus, A. ludlowe, A. hyrcanus group, A. flavirostris, A. minimus; A. nigerimus*. A. subpictus, A. sundaicus, A. barbirostris, A. aconitus* A: farauti, A. holiensis, A. punctulatus, A. bancrofti, A. karwari.

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Bali Jogyakarta DKI Jakarta Jumlah

10.035 108.626 13.375 71 1.166 353 133.636

API : Annual Parasite Incidence

di Jawa Tengah. Walaupun di DKI masih ditemukan adanya kasus malaria (API a 0,01 pada tahun 1985), kasus-kasus tersebut merupakan kasus pendatang, karena penularan malaria di Jakarta tidak mungkin terjadi. Sejak tahun 1970 tidak pernah lagi diketemukan vektor malaria di Jakarta, kecuali di Pulau Seribu. Dari 27 propinsi di Indonesia, 21 propinsi termasuk propinsi Luar Jawa dan Bali.Di luar Jawa dan Bali,SMM(Survai Malariometrik) dilakukan di daerah prioritas guna menilai hasil dari operasi penyemprotan dan di daerah lain (non prioritas) untuk menentukan endemisitas malaria di daerah tersebut. Kegiatan PCD juga dilakukan di Rumah Sakit, Puskesmas dan Poliklinik

* dicurigai sebagai vektor.

Insidensi malaria per propinsi dapat dilihat pada gambar I, insidensi malaria yang tinggi terdapat di Bengkulu, Kalbar, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Timor Timur dan Irian Jaya. Semua daerah yang disebut ini kebetulan adalah propinsi di luar Jawa dan Bali dengan SPR lebih dari 30%. SPR yang kurang dari 1% hanya terdapat di Sumatra Barat, Riau, DKI, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali.

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

5

Gambar I. Situasi Penyakit Malaria per Propinsi, tahun 1984.

Mortalitas Malaria Pada saat ini, sangat sulit menentukan secara tepat jumlah penduduk yang meninggal karena malaria di Indonesia. SKRT (Survai Kesehatan Rumah Tangga) yang dilakukan pada 7 propinsi pada tahun 1986 menunjukkan bahwa CFR (Case Fatality Rate) malaria adalah 23,9 per 105 penduduk. Sebagian besar kematian ini terdapat pada anak umur 1 4 tahun. Vektor Malaria Secara keseluruhan, telah ditemukan lebih dari 80 spesies Anopheles di Indonesia, 18 species di antaranya telah terbukti dan dipastikan sebagai vektor malaria6. Tabel memperlihatkan distribusi vektor malaria yang disajikan per pulau. Vektor paling utama di Jawa dan Bali, yaitu daerah yang ditempati oleh lebih dari 70% penduduk Indonesia, adalah A. sundaicus dan A. aconitus. Vektor lain yang tidak kurang pentingnya oalah A. maculatus, A. subpictus, A. sinensis dan A. balabacensis. Masalah resistensi vektor malaria Seperti diketahui, A. aconitus merupakan vektor utama di daerah persawahan di Jawa dan Bali. Pada tahun 1965, di Jawa Tengah telah dilaporkan adanya resistensi A. aconitus terhadap DDT, Dieldrin dan DDT bersama-sama7,8. Kemudian pada tahun 1982 tingkat resistensi ini mulai bertambah9. Belakangan ini dilaporkan pula timbulnya resistensi vektor ini terhadap DDT di Jawa Timur dan Yogyakarta6 A. sundaicus merupakan vektor utama malaria di daerah pantai di Jawa dan Bali. Baru-baru ini telah dilaporkan adanya resistensi A. sundaicus terhadap DDT di Jawa Timur, Lampung dan Cilacap10.A. subpictus (juga vektor malaria di daerah pantai), yang resisten terhadap DDT diduga telah mulai timbul di Jawa Timur, tapi hal ini belum ada konfirmasi yang pasti. Selain itu, juga telah dicurigai timbulnya resistensi A. farauti dan A. holiensi terhadap DDT. Masalah resistensi P. falciparum terhadap obat-obatan anti malaria. Kasus pertama resistensi P. falciparum terhadap klorokuin di

Indonesia telah dilaporkan oleh Verdrager di Samarinda, Kalimantan TimurlI. Kemudian menyusul laporan resistensi di daerah lainnya di Jayapura12 dan Kalimantan Timur13. Kasus pertama P.falciparum yang rsisten terhadap klorokuin pada penduduk endogen Jawa ditemukan di Jepara tahun 198114. Dan pada tahun 1981 dilaporkan pula adanya resistensi P. falciparum terhadap klorokuin di Sumatera Selatan dan Lampung. Pada saat ini, resistensi P. falciparum terhadap klorokuin telah menyebar dan tercatat pada 25 propinsi (gambar II).

KEPUSTAKAAN Kondarshin AV. Malaria in South East Asia. SEA J Trop Med Pub Hlth 1986; 17 (4), 642-54. 2. Gandahusada S,Sumarlan. Malaria in Indonesia: A review of Literature. Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta, 24-27 April 1978. 3. Kumara Rai N, Arbani P R. Current status of Malaria in Indonesia. Problem of Malaria in the SEAMIC Countries. Proc 12th SEAMIC Work-shop pp 11-7. Eds. Chamlong Harinasuta and Denise C. Reynolds. SEAMIC, Tokyo. 1985. 4. Arbani PR, Jung RK Epidemiological Consideration for Planning Malaria Control in Indonesia. Official Report, 1986. 5. Budiarso RL. Pola Kematian. Presented at Seminar on Household Survey 1986. Jakarta 14-15 December 1987. 6. Santiyo Kirnowardoyo. Anopheles malaria vector in Indonesia. Problem of Malaria in the SEAMIC Countries. Proc 12th SEAMIC Workshop pp. 66-9. Eds. C Harinasuta and DC. Reynolds. SEAMIC Tokyo, 1985. 7. Surono M, Davidson G, Muir DA. The Development and Trend of Insecticide Resistance in An. aconitus Donitz and An. sundaicus Rodenwalt. Bull WHO'1965; 32, 161-8. 8. Surono M. Badawi AS, Muir DA, Soedono A dan Siran M. Observations on Doubly-Resistant An. aconitus Donitz in Java, Indonesia, and on its Amenability to Treatment with Malathion. Bull WHO 1965; 33, 453-9. 9. Bang YH, Arwati S, Gandahusada S. A Review of Insecticide Use for Malaria Control in Central Java, Indonesia. Malays Appl Bio 1982; 11(2), 85 - 96. 10. Kirnowardoyo S, Yoga GP. Entomological Investigation of an Outbreak of Malaria in Cilacap on South Eastern Central Java, Indonesia during 1985. J Corn Dis 1987; 19 (2), 121-7. 1.

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

Gambar II. Penyebaran P. Falciparum yang resisten terhadap klorokuin di Indonesia.

11. Verdrager J Alvah. Resistant Plasmodium falciparum infection from Samarinda, Kalimantan. Bull Hlth Stud Indon II, 1974; 43-50. 12. Verdrager J, Arwati, Simanjuntak CH dan Suroso IS. Response of falciparum malaria to a standard regimen of chloroquin in Jayapura, Irian Jaya. Bull Hlth Stud Indon IV 1976; 1&2, 19-25. 13. Verdrager J, Arwati, Simanjuntak CH dan Suroso JS. Chloroquine resistant falciparum malaria in East Kalimantan, Indonesia, J Trop Mid Hyg, 1976;

79, 58-60. 14. Simanjuntak CH, Arbani PR, Kumara Rai N. P. falciparum Resisten terhadap choroquine di Kabupaten Jepara, Jaws Tengah. Bull H1th Stud Indon 1981; IX (2), 1-8. 15. Pribadi W, Dakung LS, Gandahusada S, Dalyono. Chloroquine Resistant P. falciparum infection from Lampung and South Sumatra, Indonesia. SEA J Trop Med Hlth 12 (1), 69-73.

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

7

Situasi Kepekaan Plasmodium Falciparum terhadap Obat dan Mobilitas Penduduk di Nunukan, Kalimantan TimurSahat Ompusunggu, Sekar Tuti Sulaksono, Harijani A. Marwoto, dan Rita Marleta Dewi Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. , Jakarta

ABSTRAK Suatu tes resistensi Plasmodium falciparum secara in vivo terhadap meflokuin dan secara in vitro terhadap klorokuin, kombinasi pirimetamin/sulfadoksin dan meflokuin telah dilakukan di Keeamatan Nunukan, Kabiipaten Bulungan, Kalimantan Timur pada tahun 1987. Tes in vivo terhadap meflokuin dan in vitro terhadap klorokuin dan meflokuin dilakukan sesuai dengan standar WHO sedangkan tes in vitro terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin merupakan modifikasi Eastham and Rieckmann dan Nguyen Dinh and Payne. Hasil tes resistensi ini dihubungkan dengan data sekunder tentang mobilitas penduduk di daerah tersebut. Diperoleh basil bahwa dari 12 penderita yang berhasil dites belum ditemukan P: falciparum yang resisten terhadap meflokuin secara in vivo, sedangkan secara in vitro belum diketahui keadaan resistensi yang sebenarnya dari ketiga jenis obat. Selama tahun 1984 dan pertengahan pertama tahun 1985, sebagian besar (82%) pelintas batas pencari kerja yang resmi/terdaftar dari Indonesia ke Sabah (Malaysia) berasal dari Sulawesi Selatan dan hanya sebagian kecil (10% dan 8%) yang berasal masing-masing dari Nusa Tenggara Timur dan daerah-daerah lainnya. Di samping itu ditemukan juga pelintas batas pencari kerja yang tidak resmi/tidak terdaftar yang diperkirakan jumlahnya lebih besar dan dengan komposisi asal yang kurang lebih sama, serta pelintas batas tradisional yang jumlahnya diperkirakan jauh lebih besar lagi.

PENDAHULUAN Kecamatan Nunukan, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur adalah daerah perbatasan antara Indonesia (Kalimantan Timur) dengan Malaysia (Sabah). Kedua suku bangsa yang mendiami daerah itu pada dasarnya berasal dari suku bangsa yang sama, sehingga banyak persamaan kebudayaan di antara keduanya. Sudah sejak dahulu kala terjadi perdagangan yang baik di kedua pihak dan saling kunjung mengunjungi merupakan hal yang biasa terjadi. Di samping itu juga perkembangan ekonomi yang tidak sama di kedua negara menyebabkan terjadinya kebutuhan akin tenaga kerja dari pihak Malaysia terhadap Indonesi. Keadaan ini menyebabkan banyak tenaga kerja dari Indonesia yang memasuki Malaysia baik secara resmi maupun tidak dan kelihatannya semakin meningkat akhir-akhir ini.

Malaria adalah salah satu penyakit menular endemis yang terdapat di daerah perbatasan tersebut, baik di Nunukan maupqn di Sabah. Adanya lalu lintas penduduk di kedua pihak menyebabkan masalah baru dalam pemberantasannya sebab strain-strain yang telah resisten terhadap obat-obat antimalaria di salah satu pihak akan dengan cepat menular ke pihak lainnya bila tidak diawasi dengan baik. Di Kalimantan Tirnur telah ditemukan P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin pada tahun 1979(1). Beberapa obat alternatif yang dipertimbangkan untuk penanggulangan strain yang resisten terhadap klorokuin ini antara lain adalah kombinasi pirimetamin/sulfadoksin, meflokuin, kina dan sebagainya. Namur. terhadap obat-obatan alternatif inipun sudah mulai ada strain yang resisten di beberapa tempat di Indonsia. Secara

8

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

in vitro telah ditemukan P. falciparum yang resisten terhadap meflokuin di Irian Jaya dan Jawa Tengah2.,. Secara in vivo juga telah ditemukan P. falciparum yang resisten terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin di Irian Jaya3. Timor Timur;, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatans. Sedangkan di negara tetangga kita yang agak jauh (Thailand), P. falciparum telah resisten terhadap obat-obatan antimalaria bans pertama (klorokuin) dan bans kedua (kombinasi pirimetamin/sulfadoksin dan meflokuin) dan menunjukkan penurunan resistensi terhadap quinine). Dikhawatirkan strain-strain yang multiresisten ini dapat masuk ke Indonesia (Nunukan) baik melalui Malaysia (Sabah), maupun dan daerah lain di Indonesia sendiri. Untuk mengetahui besarnya masalah resistensi P falciparum di Nunukan, Kalimantan Timur, pada tahun 1987 telah dilakukan suatu tes resistensi secara in vivo terhadap meflokuin dan secara in vitro terhadap klorokuin, kombinasi pirimetamin/ sulfadoksin dan meflokuin. Makalah ini melaporkan hasil tes resistensi tersebut dan dikaitkan dengan situasi mobilitas penduduk di daerah yang bersangkutan. BAHAN DAN CARA Lokasi penelitian adalah di beberapa desa di Kecamatan Nunukan, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur (gambar 1).

field test). Data-data mobilitas penduduk di sekitar perbatasan merupakan data sekunder yang diperoleh dari laporan Kanwil/Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur7. HASIL DAN PEMBAHASAN Dan 792 orang penduduk yang diperiksa darah tepinya, diperoleh hasil bahwa besarnya PR (Parasite Rate) adalah 12.4%. Dan penderita yang positif ini, 69,4% merupakan P. falciparum (termasuk campuran P. falciparutfi dan P vivax) dan 29,6% merupakan P. vivax. Angka ini menyerupai keadaan di daerah Luar Jawa - Bali pada umumnya. Nunukan memang termasuk daerah endemis malaria dan kelihatannya angka Parasite Ratenya tidak berbeda jauh dengan angka rata-rata Parasite Rate malaria di daerah lainnya. Hasil tes resistensi dapat dilihat pada tabel 1. Dari 22 penderita yang dites secara in vivo terhadap meflokuin, hanya 12 penderita yang berhasil dievaluasi dan semuanya masih sensitif. Dal= tes in vitro, dari24 penderita yang dites terhadap masingmasing obat, hanya 3 penderita yang berhasil dievaluasi terhadap klorokuin dan 2 penderita di antaranya sudah resisten, sedangkan terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin hanya 2 penderita yang berhasil dievaluasi dan semuanya masih sensitif dan terhadap meflokuin hanya 3 penderita yang berhasil dievaluasi dan semuanya masih sensitif. Meflokuin merupakan obat baru yang dikembangkan untuk menanggulangi P. falciparum yang resisten baik terhadap klorokuin maupun terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin. Secara eksperimental telah diketahui bahwa timbulnya resistensi terhadap meflokuin lebih mudahterjadi pada strain yang sudah resisten terhadap klorokuin daripada yang masih sensitif, dan resistensi terhadap meflokuin ini akan dipercepat bila strain yang bersangkutan sudah nlultiresisten8.. Dalam penelitian ini, secara in vitro belum ditemukan strain P. falciparum yang multiresisten (terhadap klorokuin dan kombinasi pirimetamin/sulfadoksin sekaligus). Karena jumlah sampel yang berhasil dievaluasi sangat sedikit, maka basil tes secara in vitro ini belum dapat meng-

Tabel 1. Sensitivitas P. falciparum terhadap 3 macam obat di Nunukan, Kalimantan Timur. Obat Meflokuin P/S Klorokuin Jumlah yang dites 22 Jlh yang berhasil dievaluasi 12 Sensitivitas semua S Jumlah yang dites 24 24 24 Jlh yang berhasil dievaluasi 3 2 3 Sensitivitas semua S semua S 2 R, 1 S

R = Resisten; S = Sensitif; P/S = kombinasi pirimetamin/sulfadoksin.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 1987. Penderita yang memenuhi syarat untuk tes,diperoleh dengan cara screening dengan melakukan pemeriksaan darah tepi/jari pada penduduk. Syarat-syarat penderita dan cara tes in vivo terhadap meflokuin din tes in vitro terhadapklorokuin dan meflokuin sesuai dengan ketentuan WHO&, sedangkan cara tes in vitro terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin merupakan modifikasi Eastham and Rieckmann dan Nguyen Dinh and Payne. Tes in vivo terhadap meflokuin yang dipakai adalah tes 7 hari (standard

gambarkan keadaan yang sebenarnya di daerah itu. Namun berdasarkan hasil penelitian terdahulu di propinsi Kalimantan Timur yang menemukan P. fakiparum yang resisten terhadap meflokuin, ini bukan berarti bahwa kehadiran strain yang resisten terhadap klorokuin belum berpengaruh terhadap pembentukan strain yang resisten terhadap meflokuin. Hal itu mungkin disebabkan karena jumlah sampel yang berhasil diamati dalam penelitian ini kurang banyak. Walaupun strain yang resisten terhadap kombinasi pin-

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

9

metamin/sulfadoksin secara in vitro belum ditemukan karena terlalu sedikitnya sampel yang berhasil dievaluasi, bahaya masuknya strain yang resisten terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin ini masih tetap ada, misalnya dari Sulawesi Selatan. Dari laporan Kanwil/Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur diketahui bahwa Nunukan merupakan tempat transit sementara para pelintas batas, baik yang akan pergi maupun yang datang dari Tawau (kota terbesar di Sabah yang paling dekat dengan perbatasan). Pelintas batas ini dapat berupa pelintas batas tradisional (penduduk setempat yang berdagang atau kunjungan kekerabatan) maupun pelintas batas pencari kerja. Data menunjukkan bahwa selama tahun 1984 sampai dengan pertengahan 1985, jumlah pelintas batas pencari kerja yang resmi (terdaftar pada pemerintah setempat) 943 orang, sebagian besar (82%) berasal dari Sulawesi Selatan dan sisanya (masing-masing 10% dan 8%) berasal dari Nusa Tenggara Timur dan daerah lainnya1. Penelitian pada tahun 19841985 telah menemukan satu kasus penderita. malaria falciparum yang sudah resisten terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin di Sulawesi Selatan5. Besarnya masalah resistensi P. falciparum terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin di Sulawesi Selatan saat ini belum diketahui secara tuntas, namun adanya kasus malaria falciparum yang sudah resisten terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin tersebut, perlu mendapat perhatian dari Dinas Kesehatan Kalimantan Timur sebab sewaktu-waktu dapat masuk ke daerah itu melalui para pelintas batas yang berasal dari Sulawesi Selatan atau dengan cara lain. Di samping pelintas batas pencari kerja yang resmi/terdaftar ini, juga terdapat pelintas batas pencari kerja tidak resmi/tidak terdaftar yang jumlahnya diperkirakan jauh lebih besar, dan komposisi asalnyapun tidak berbeda jauh dengan pencari kerja yang resini/terdaftar. Dalam hal ini, perlu dilakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelintas batas yang berasal dari Sulawesi Selatan, agar kemungkinan penyebaran strainstrain yang resisten terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin itu dapat dicegah. Tindakan pencegahan memang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Pelabuhan Nunukan, berupa pengobatan terhadap pelintas batas yang resmi sebelum dikirim ke agenagen pemakai tenaga kerja tersebut di Malaysia. Namun sebelum mereka mendaftarkan diri secara resmi, mereka tinggal beberapa lama di Nunukan dan selama masa penantian ini, mereka sewaktu-waktu bisa menjadi sumber penularan ke penduduk di sekitarnya. Di samping itu, penularan yang lebih besar diperkirakan bersumber dari pencari kerja tidak resmi yang jumlahnya lebih besar. Sabah adalah daerah yang endemis malaria dan termasuk daerah malaria falciparum yang sudah resisten terhadap klorokuin. Dalam program pemberantasannya, pemerintah Malaysia telah menggunakan FansidarR (kombinasi pirimetamin/sulfadoksin) dalam pengobatan P. fcalciparum9. Seperti diketahui, penggunaan pirimetamin yang berlangsung lama di suatu daerah dengan cepat akan menyebabkan timbulnya resistensi6. Berdasarkan hal ini maka tidak tertutup kemungkinan di Sabah juga sudah terdapat strain P. falciparum yang resisten terhadap kombinasi pirimetamin/sulfadoksin. Dikhawatirkan strain-strain yang resisten ini dapat terbawa oleh para pelintas batas tradisional, sebab jenis pelintas batas ini tidak diawasi dengan ketat, baik oleh pihak pemerintah Malaysia maupun Indonesia. Jenis pelintas batas tradisional ini biasanya adalah penduduk 10 Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

setempat yang pergi pada pagi hari dan pulang pada sore harinya dan kebanyakan mengadakan perjalanan dengan alasan untuk berdagang. Dalam hal inilah dibutuhkan perhatian yang lebih besar dari pihak dinas kesehatan setempat, agar pengawasan terhadap mereka dapat lebih ditingkatkan pada masa-masa yang akan datang. Di samping itu juga diharapkan agar kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam pengawasan para pelintas batas tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi di masamasa yang akan datang, sebab keuntungan yang diperoleh tidak hanya bermanfaat bagi Indonesia narnun juga bagi Malaysia. KESIMPULAN 1) P. falciparum yang resisten terhadap meflokuin secara in vivo belum ditemukan, secara in vitro belum diketahui keadaan resistensi yang sebenarnya terhadap obat-obat lainnya. Betdasarkan basil penelitian terdahulu, dapat dikatakan daerah itu termasuk daerah malaria falciparum yang juga sudah resisten terhadap klorokuin. 2) Sebagian besar (82%) pelintas batas pencari kerja yang resmi/ terdaftar berasal dari Sulawesi Selatan dan hanya sebagian kecil (10% dan 8%) yang berasal masing-masing dari Nusa Tenggara Timur dan daerah-daerah lainnya. Masih ada pelintas batas pencari kerja yang tidak resmi/tidak terdaftar yang jumlahnya diperkirakan lebih besar dan dengan komposisi asal yang kurang lebih sama dengan pelintas batas yang resmi, serta pelintas batas tradisional yang jumlahnya jauh lebih besar lagi. 3) Para pelintas batas ini dikhawatirkan mempermudah pemasukan dan penyebaran strain-strain P. falciparum yang sudah resisten ke daerah tersebut, baik yang bersumber dari daerah lainnya di Indonesia maupun dari Sabah (Malaysia). SARAN Pengawasan terhadap para pelintas batas di sekitar daerah perbatasan di Nunukan,.Kalimantan Timur agar lebih ditingkatkan, baik oleh dnas kesehatan setempat maupun dengan kerja sama dengan pemerintah Malaysia.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Rai NK Masalah P. falciparum yang resisten klorokuin di Indonesia. Kumpulan Naskah Lengkap Simposium dan Diskusi Panel Malaria, 9 Mei 1985, Semarang: 10110. Hoffman SL, Sjahrial Harun, Anthony J, H A. Marwoto. In Vitro Studies of Plasmodium falciparum to Mefloquine in Indonesia. Seminar Parasitologi Nasional Ke-III dan Kongres P4I Ke-II, Agustus 1983, Bandung. Rumans LW. Dennis DT, S. Atmosoedjono. Fansidarresistant falciparum malaria in Indonesia. Lancet 1980; 15 : 580. Adjung, Sumami A, Legia S. Dakung, Wita Pribadi, Pramudya. Plasmodium falciparum dari Timor Timur yang in vivo resisten terhadap klorokuin dan Fansidar. Pertemuan teknis mengenai Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin di Indonesia. Ditjen P3M, Depkes RI., Jakarta, 12 April 1982. HA, Marwoto, Sakai Tuti E, S Ompusunggu, Susetyono dan Suwarni. Penelitian Resistensi P. falciparum terhadap Fansidar di Indonesia. Seminar-' Parasitologi Nasional Ke-IV dan Kongres P4I Ke-III, Yogyakarta, 1214 Desember 1985. Bruce-Chwatt, U. (Ed). Chemotherapy of Malaria. Second Ed., WHO Monograph Seri No. 27, WHO, Geneva. 1981.

7. 8. 9.

Kanwil/Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur Malariacontrol activities in East Kalimantan and Border Areas. Kanwil/Dinar Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda 1985. UNDP/World Bank/WHO Update. Development of mefloquine as an antimalaria drug. Bull WHO 1983; 61 (2) : 16978. Singh J. The Anti malaria Programme in Sabah, Malaysia. Dalam : Problems of Malaria in SEAMIC Countries. C. Harinasuta and D. Reynolds (eds.), SEAMIC, Tokyo 1985: 38-42.

5.

6.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih banyak disampaikan kepada Bapak Dr. Iskak Koiman, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbangkes Jakarta atas kesempatan yang diberikan sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Juga kepada seluruh staf Puskesmas Nunukan dan staf Subdit Malaria Ditjen P2M & PLP Jakarta yang ikut membantu pelaksanaan penelitian ini, kami ucapkan banyak terima kasih.

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989 11

Uji Coba Bacillus Thuringiensis H-14 untuk Pengendalban Anopheles SundaicusSantiyo Kirnowardoyo*, BambangPraswanto*,*Joharti Johor**, Yuwono***, I Made Rukta*** *Medical Entomologist, Pusat Penelitian Ekologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta **Medical Entomologist, Dit. Jen. PPM dan PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta ***Assisten Entomologist, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur dan Bali.

ABSTRACT Evaluation of three kinds of formulation containing Bacillus thuringiensis H14 against Anopheles sundaicus larvae was carried out at Banyuwangi/East Java and Jembrana/Bali. The application of granula formulation at 500 gr/10.000 m2 to the brackish water lagoon had no apparent effect on the target An. sundaicus population. A liquid formulation (Teknar) containing B. thuringiensis H14 toxin, by weekly application at 100 ml/200 m2 gave good larval control of Anopheles sundaicus. A briquet formulation at 1 piece/9 m2 could reduce the number of larvae significantly, with very satisfactory effect of at least three weeks, but the operational aspect was not practical.

PENDAHULUAN Anopheles sundaicus (Rodenwaldt), adalah vektor malaria utama daerah pantai Indonesia1. Nyamuk ini dikonfirmasi ulang sebagai vektor malaria di; Jawa Timur (1979). Nusa Tenggara Timur (1979), Sulawesi Selatan (1979), Lampung (1982), Riau (1982) dan Jawa Tengah (1985)2. A sulic/aicus berkembang biak di genangan air payau, yaitu campuran antara air tawar dengan air asin dengan kadar garam optimum antara 1218 g. per liter. Genangan yang baik untuk perkembangan An sundaicus adalah genangan air payau terbuka sehingga langsung menerima sinar matahari dan per mukaanr tertutup tanaman air (ganggang) yang terapung. Jarak terbang nyamuk mi hanya kira-kira tiga kilometer dan tempat berkembang biak3. Meskipun pengendalian nyamuk mi telah dilakukan sejak tahun 50-an oleh pemerintah, tetapi letupan atau wabah malaria yang disebabkan An.sundaicus masih sering terjadi. Di antaranya terjadi di Kp. Laut/Ci1a yang termasuk wilayah Jawa Tengah selatan pada tahun 1984. Penyemprotan rumah penduduk dengan DDT sebagai upaya penanggulangan tidak dapat me mutuskan. penularan yang berlangsung Hal mi disebabkan karena An. sundaicus yang menjadi sasaran, kecuali telah kebal DDT, nyamuk tersebut tidak pemah hinggap di dinding rumah yang disemprot . Cara pengendalian lain dengan larvasida untak nyamuk mi, yang ditujukan kepada stadium jentik mem-. punyai banyak kelemahan, di antaranya resistensi vektor, pen cemaran lingkungan dan biaya yang besar Oleh karena itu di-

perlukan pengembangan alternatif cara pengendalian yang lebih baik. Lebih dan sepuluh tahun yang lalu WHO telah mengembangkan beberapa cara pengendalian dengan menggunakan jasad hidup, di antaranya yang mendapat perhatian paling besar ialah penggunaan Bacillus thuringie 1114. B. thuringie H14 bekerja sebagai racun perut dan hanya efektip untuk stadium jentik Cara ini aman untuk serangga-bukan-sasaran termasuk ulat sutera dan serangga bermanfaat lain, serta aman pula untuk manusia dan binatang bertulang belakang . Meskipun ke mampuan membunuh jentik hanya antara dua atau tiga hari, tetapi aplikasinya cukup sekali per minggu, atau tiap dua minggu sekali tergantung dan kondisi tempat berkembang biak nyamuk sasaran6. Di Indonesia, B. tliuri H-14 formulasi cair kental (Teknar) dengan dosis 1.12.3kg/ha dengan aplikasi mingguan, berhasil baik untuk mengendalikan An. sundaicus. Karena uji coba yang dilakukan oleh Schaeer dan kawan-kawan masih terbatas, baik ditinjau dari besarnya contoh maupun metodologinya, maka uji coba B. r/:uringiensis H-14 untuk pengendalian An, sundaicus masih penlu dilanjutkan. Uji coba kali mi dilakukan di pantai Banyuwangi/Jawa T,mur dan Jembrana/Bali, dengan berbagai formulasi bahan mengandung B. tl,uri H-14 dengan metodologi berbeda-beda. Tujuan uji coba adalah untuk mengetahui efikasi yang diukr dan besamya reduksi rata-rata jumlah jentik stadium tiga dan empat per ciduk antara sebelum dan sesudab perlakuan. Kecuali fikasinya, dalam uji coba ini

diamati pula banyaknya hari setelah perlakuan, di mana kepadatan jentik dapat ditekan tetap rendah (batas tergolong rendah adalah rata-rata jumlah jentik kurang dari lima ekor per 10 ciduk). BAHAN DAN CARA KERJA Bahan mengandung B. thuringiensis H14 yang diuji terdiri dari tiga macam formulasi, yaitu : cair kental Teknar, Bactimos padat butiran kasar dan Bactimos padat bentuk gelang atau briket. Aplikasinya dapat dijelaskan sebagai beriktut : Teknar TM Uji coba bahan ini dilakukan di pantai Banyuwangi. Di lapangan Teknar dicairkan dengan air, kemudian dengan alat semprot Hand Compression Sprayer larutan disemprotkan di permukaan tempat berkembang biak nyamuk. Bahan Teknar sebanyak 100 ml dicairkan menjadi 8 liter, kemudian disemprotkan di permukaan air dengan merata mencakup Was 200 m2. Perlakuan dilakukan mingguan selama 12 bulan. Penilaian efikasi diperhitungkan dengan menghitung besarnya reduksi rata-rata jumlah jentik stadium tiga dan empat per ciduk antara sebelum perlakuan dengan satu hari sesudahnya. Bactimos formulasi butiran kasar Uji coba dilakukan di pantai Jembrana. Di lapangan butiran mengandung B. thuringiensis H-I4 langsung ditaburkan di permukaan tempat berkembang biak nyamuk. Bahan yang mengandung 500 g. bahan aktif ditaburkan untuk 10.000 m2 luas permukaan. Pengawasan kepadatan jentik untuk evaluasi dilakukan tiap tiga hari sekali, dengan dua kali survai sebelum perlakuan untuk mengumpulkan data dasar, dan dihentikati setelah kepadatan jentik menjadi tinggi kembali (rata-rata jumlah jentik lima ekor per 10 ciduk). Bactimos briquettes Uji coba B. thuringiensis H-14 formulasi padat briquettes juga dilakukan di pantai Jembrana/Bali. Di tempat berkembang biak nyamuk ditancapkantonggak-tonggak bambu untuk mengikat bahan (briquettes) agar tetap terapung dan tidak dibawa arus. Jarak antara tonggak yang satu dengan lainnya kira-kira tiga meter, sehingga satu briquette, akan mempengaruhi kirakira 9 m2 luas permukaan. Pengamatan kepadatan jentik untuk evaluasi dilakukan seperti evaluasi bahan Bactimos formulasi butiran kasar seperti tersebut di atas. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Tabel 1. terlihat bahwa Teknar 100 ml/8 liter air yang disemprotkan seluas 200 m2 permukaan, dengan aplikasi mingguan dapat memberikan penurunan rata-rata jumlah jentik per ciduk dengan bermakna. Pada tabel tersebut terlihat bahwa redulcsi paling kecil 76% hanya terjadi dua kali dari 50 kali survai, dengan reduksi rata-rata 92,52%. label 2. menerangkan bahwa Bactimos formulasi butiran kasar ternyata tidak efektif. Reduksi bermakna hanyaterlihat pada satu hari setelah perlakuan. Enam hari setelah perlakuan kepadatan jentik telah kembali tinggi, yaitu rata-rata jumlah jentik per' 10 ciduk 5,40. Selanjutnya, hingga 24 hari setelah perlakuan kepadatannya selalu tinggi (di atas 29,30). Sedangkan dengan Bactimos briquettes kejadiannya sangat berbeda. Pada Tabel 2. terlihat bahwa Bactimos briquettes ternyata efektif untuk pengendalian An. sundaicus. Sebelum per-

Tabel 1. Hasil Penangkapan Jentik Anopheles sundaicus di Tempat Berkembang Biak Disemprot dengan Teknar dengan Dosis 100 ml/200m2 Permukaan Jumlah join stadium HI & IV (per ciduk) Enam jam sebelum perlakuan 2,725 0,953 0,956 2,297 1,872 1,825 1,379 2,244 2,105 0,165 0,950 0,100 0 573 0,113 0,825 1,125 3,037 0,450 0,255 0,098 1,128 0,093 0,363 0,611 0,359 0,815 0,765 0,544 0,208 0,600 0,247 0,054 0,247 0,021 0,264 1,194 3,921 1;211 0,183 0,960 1,387 0,350 0,388 0,008 0,004 0,053 1,980 0,510 0,530 1,810 Sate hari sesudah perlakuan Reduksi I (%)

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50.

Tanggal perlakuan 17-10-84 24-10-84 31-10-84 7-11-84 14-11-84 21-11-84 28-11-84 5-12-84 12-12-84 19-12-84 26-12-85 2- 1-85 9- 1-85 16- 1-85 23- 1-85 30- 1-85 6- 2-85 13- 2-85 20- 2-85 27- 2-85 6- 3-85 13- 3-85 20-3-85 27- 3-85 3-_ 4-85 10- 4-85 17- 4-85 24- 4-85 1- 5-85 8- 5-85 15- 5-85 22- 5-85 29-5-85 . 5- 6-85 42- 6-85 18- 6-85 26- 6-85 3- 7-85 10- 7-85 17- 7-85 24- 7-85 31- 7-85 7- 8-85 14- 8-85 21- 8-85 28- 8-85 4- 9-85 11- 9-85 18- 9-85 25- 9-85

0,353 87,05 0,004 99,58 0,0r0 98,96 0,036 98,45 0,033 98,54 0,019 98,96 0,041 97,10 0,026 98,85 0,021 99,01 0,000 100,00 0,000 100,00 0,000 100,00' 0,000 100,00 0,000 100,00 0,000 100,00 0,000 100,00 0,042 98,63 0,024 94,94 0,061 80,69 0,030 76,56 0,000 100,00 0,004 95,87 0,000 100,00 0,092 86,91 0,071 83,58 0,000 i 100,00 0,080 90,53 0,109 83,30 0,065 76,21 0,000 100,00 0,008 96,86 0,000 100,00 0,007 97,24 0,000 100,00 0,000 100,00 0,000 100,00 0,004 98,94 0,020 98,31 .0,000 100,00 0,000 100,00 0,000 100,00 0,000 100,00 0,000 100,00 0,000 100,00 0,000 100,00 0,005 91,38 0,011 99,45 0,021 96,08 0,000 100,00 0,000 100,00

lakuan rata-rata jumlah jentik stadium tiga dan empat per 10 ciduk adalah 13,10. Kepadatan jentik ini hingga 21 hari setelah perlakuan dapat ditekan tetap rendah. Baru pada hari ke 24 setelah perlakuan, kepadatannya kembali tinggi, yaitu rata-rata 5 ekor per 10 ciduk. Hasil seperti tersebut di atas mungkin dapat diterangkan sebagai berikut : jentik An. sundaicus hidupnya di permukaan air. Jentik tersebut makan jasad apa saja_termasuk spora/kristal

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989 13

Tabel 2. Hasil Penangkapan Jentik Anopheles sundaicus di Tempat Berkembang Biak Ditaburi Bactimos Butiran Kasar dan di Tempat Berkembang Biak Diberi Bactimos briquettes. No. Tanggal Han sebelum/ Bactimos butiran Bactimos sesudah perlakuan lunar 500 gr/ briquettes. Satu 10.000 m2 1. 2. 23-10-84 26-10-84 -6 -3 Perlakuan +1 +3 +6 +9 +12 +16 +19 +22 +25 14,30 38,00 Perlakuan 0,20 5,40 59,50 29,30 53,30 42,00 50,30 56,00 44,60 briquette /9 m2 6,50 19,70 Perlakuan 4,20 1,80 0,10 0,40 0,30 1,40 1,90 1,10 5,00

3. 30-10-84 4. 1-11-84 5. 5-11-84 6. 7-11-84 7. 10-11-84 8. 16-11-84 9. 19-11-84 10. 22-11-84 11. 24-11-84 Keterangan : Jumlah jentik yang dihitung hanya stadium III dan IV awal. Jumlah jentik dinyatakan dengan rata-rata jumlah jentik per 10 ciduk.

putih telur B. thuringiensis. Di dalam lambung jentik kristal putih telur tersebut akan dilarutkan menjadi molekul yang lebih kecil dan akan meracuni atau merusak jaringan lambung jentik. Medium Bactimos formulasi butiran kasar, karena berat, akan cepat membawa spora/kristal putih telur B. thuringiensis H-14 turun ke dasar tempat berkembang biak nyamuk, hingga tak termakan oleh jentik. Lain halnya dengan formulasi cair kental dari Teknar. Bahan Teknar yang dicairkan dengan air, bila disemprotkan di tempat berkembang biak nyamuk, akan berada di permukaan selama dua hingga tiga hari. Jadi dalam waktu dua/tiga hari spora/kristal putih telur B. thuringiensis H-14 akan melayang-layang di permukaan air, sehingga ada kemungkinan besar termakan oleh jentik An. sundaicus. Meskipun daya bunuhnya hanya dua/tiga hari, tetapi karena waktu diperlukan untuk perkembangan jentik kira-kira 8 hingga 10 hari, aplikasinya cukup dilakukan mingguan atau sekali dalam seminggu, karena dengan aplikasi yang berikut, jentik stadium tiga dan empat awal akan terbunuh (jentik stadium empat akhir akan tetap hidup). Meskipun cara penggunaannya tergolong sederhana, tetapi untuk mendapatkan dosis yang ditentukan ada kendalanya, yaitu kesulitan dalam penyemprotan. Penyemprot dapat berjalan cepat dengan mudah di tempat dangkal, tetapi agak sulit di tempat dalam dan sangat menyulitkan apabila dasar tempat perindukan (tempat berkembang biak) tanahnya letnbek atau berlumpur. Dalam operasi penyemprotan akan lebih baik apabila tersedia alat transport, sehingga kecuali memudahkan, penyemprotan dapat menyeluruh hingga di tempat yang dalam. Dari segi lamanya daya bunuh, Bactimos briquettes adalah paling baik, karena cara ini dapat menekan kepadatan jentik tetap rendah selama 21 hari. Tetapi operasinya kurang praktis, karena kita harus memasang tonggak dan mengikat briquettes tersebut. Hal ini kecuali tidak praktis juga menarik perhatian angk-anak untuk merusaknya.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil uji coba di atas dapat disimpulkan bahwa: bahan mengandung Bacillus thuringiensis H-14 yang sekarang telah diproduksi dan beredar di pasaran dengan berbagai formulasi (cair kental, padat butiran kasar dan padat briquettes), untuk pengendalian jenti k An. sundaicus yang tempat berkembang biaknya di genangan air payau, masih mempunyai banyak kelemahan yang perlu'diperbaiki. Perbaikan yang diharapkan untuk pengendalian jentik An. sundaicus ialah agar bahan yang mengandung B. thuringiensis H-14 mempunyai daya bunuh cukup lama dan dengan cara operasi yang sederhana. Dari tiga formulasi bahan yang diuji hasilnya sebagaj berikut : 1) B. thuringiensis H-14 formulasi padat butiran kasar (granula) tidak efektif untuk pengendalian jentik Anopheles sundaicus. 2) B. thuringiensis H-14 formulasi cair kental (liquid) dapat digunakan dengan hasil baik, apabila aplikasinya mingguan (masih perlu diperbaiki, karena efisien balk biaya maupun tenaga). 3) B. thuringiensis H-14 formulasi padat briquettes cukup baik, tetapi tidak praktis.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Sundararaman S, RM Soeroto, M Siran. Vectors of Malaria in 'Mid Java. Indian Journal of Malariology. 1957, 11, 4. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan, Vektor Malaria di Indonesia. 1985. Soemarto, Santiyo, Zubaedah, Bambang Ristianto and Kadarusman. Penelitian Bionomik Anopheles sundaicus (Rodenwaldt) betina di Desa Cibalong (Mekarsari dan karyawamukti), Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Propinsi .jawa Barat kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional ke II, 24-27 Juni 1981, Jakarta. Kirnowardoyo S, Gambiro PY. Entomological Investigation of an Outbreak of Malaria in Cilacap on South Coast of Central Java, Indonesia During 1985. J Communic. Dis. 1987, 19 (2): 121-7. Rishikesh N, Planning and evaluation of large-scale field trials with microbial control agents. International Colloquium on Intertebrate Pathology, XVth Annual Meeting of the Society for Invertebrate Pathology, 6-10 September 1982, University of Sussex, Brighton, United Kingdom. WHO. Data sheet on the biological control agent Bacillus thuringiensis serotype H-14 (de Barjac 1978). WHO/VBC/79.750.VBC/BCDS/79.01. 1979. Rishikesh N, Burgas HD, Vandekar M. Operational Use of Bacillus thuringiensis Serotype H-14 and Environmental Safety. WHO/VBC/83.871. Schaefer CH, S. Kimowardoyo. An Operational Evaluation of Bacillus thuringiensis Serotype H-14 Against Anopheles sundaicus in West Java, Indonesia. WHO/VBC/84.896. 1984.

4. 5.

6. 7. 8.

UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Jawt Timur dan Bali atas perkenannya sehingga uji coba ini dapat berlangsung. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Bidang P3M beserta stiff dari kedua propinsi tersebut di atas, atas segala bantuannya untuk kelancaran jalannya uji coba. Tidak lupa kami ucapkan terima kaSih pula kepada semua staf dari Dinas Kesehatan kabupaten Banyuwangi dan Jembrana yang telah membantu kegiatan pelaksanaan uji coba hingga selesai.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

Efikasi Sabun Repelen Mengandung Deet dan Permethrin untuk Perlindungan Gangguan NyamukSantiyo Kirnowardoyo*, Pranoto Supardi**, Bambang Praswanto** *Medical Entomologist, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta **Medical Entomologist,Dit. Jen. PPM dan PLP, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

Abstract Field trial was conducted to test the efficacy of a repellent soap containing deet and permethrin. The soap's ability to repel Anopheles hyrcanus, Mansonia uniformis and Mansonia annulifera was evaluated. The field test, was done at Marunda/Cilincing, coastal area of Jakarta. The trial indicated that the repellent soap could reduce the occurence of mosquitoes landing and biting with an average of more than 90%, and with very satisfactory residual effect of a least eight hours.

PENDAHULUAN Indonesia, yang terletak di daerah tropis sangat kaya dengan berbagai jenis serangga, baik yang bermanfaat atau yang merugikan manusia. Nyamuk adalah golongan serangga yang merugikan kehidupan manusia, baik karena peranannya dalam penularan beberapa penyakit maupun sebagai pengganggu kenyamanan. Di Indonsia, penyakit ditularkan nyamuk seperti malaria, demam berdarah dengue dan demam kaki gajah masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, yang pemberantasannya masih diprioritaskan oleh pemerintah. Meskipun telah banyak dilakukan upaya pemberantasan untuk melindungi masyarakat dari malaria; tetapi bagi masyarakat tertentu seperti anggota ABRI yang sedang tugas operasional, penebang kayu di hutan, penyadap pohon karet serta orangorang yang karena tugasnya mempunyai risiko tertular malaria, uji coba perlindungan perorangan bagi mereka masih diperlukan. Sejak akhir tahun 70-an, penelitian pengembangan cara perlindungan perorangan terhadap nyamuk dan serangga penghisap darah lain telah dimulai. Bahan kimia yang mungkin digunakan oleh sebagian besar masyarakat di masa depan adalah piretroidi . Kelambu yang dipoles (impregnated bed-net) dengan permethrin memberikan perlindungan yang lebih baik untuk pengendalian Anopheles daripada kelambu biasa2. Pakaian yang disemprot dengan permethrin dikombinasi dengan deet yang langsung disemprotkan di kulit, sangat efektif untuk melindungi pemakai terhadap gangguan Aedes

taeniorhynchs Wiedemann3. Sedangkan sabun yang mengandung , deet dan permethrin, bila digosokkan di kulit, sangat efektif untuk melindungi pemakai dari gangguan berbagai nyamuk untuk paling tidak selama empat jam4. Pada akhir tahun 1986, dilakukan uji efikasi sabun repelen yang mengandung deet dan permethrin di Jakarta. Uji efikasi di lapangan dapat berlangsung atas bantuan PADA (Program for Appropriate Technology in Health), suatu badan yang bergerak dalam uji bahan dan, alat yang berkaitan, dengan kesehatan. Penilaian efikasi selain ditinjau dari penurunan jumlah nyamuk yang hinggap atau menggigit subyek studi; dilihat pula dari lamanya perlindungan dari gangguan nyamuk setelah pemakaian sabun repelen. BAHAN DAN CARA KERJA Uji coba lapangan dilakukan di Ds. Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Seperti daerah pantai Laut Jawa yang lain, Marunda adalah daerah datar dengan ketinggian kurang satu meter dari permukaan laut. Sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk tambak, sedang sebagian lainnya adalah sawah berawa. Perumahan terkumpul padat dalam kelompok dengan keadaan sanitasi yang belum dapat dikatakan baik. Bahan yang diuji efikasinya adalah sabun repelen (bentuk seperti sabun mandi biasa) yang mengandung 20% deet (Diethyl toluamide) dan 0,5% permethrin (Simmons Nominees Pty. Ltd. Victoria, Australia). Sebagai nyamuk sasaran adalah Anopheles dan Mansonia, yaitu genera yang dapat menularkan malaria dan demam kaki

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989 15

gajah. Uji efikasi ini dilakukan untuk menjajaki kemungkinan penggunaannya oleh masyarakat. Jumlah subyek studi 24 orang, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pemakai sabun (P) dan kelompok kontrol (K). Subyek studi bertindak sebagai penangkap nyamuk sekaligus sebagai umpan untuk menarik nyamuk. Ini berarti bahwa hanya nyamuk yang hinggap pada dirinya yang harus ditangkap. Penangkapan nyamuk hanya dilakukan di alam -luar (di luar rumah). Jarak antara subyek studi yang satu dengan lainnya kira-kira lima meter, kedudukannya berselang seling antara subyek pemakai sabun (P) dengan kontrol (K). Kedudukan subyek studi pada waktu melakukan penangkapan nyamuk dapat dilihat pada bagan di bawah : P1 K1 P2 K2 P3 K3 K6 P6 K5 P5 K4 P4 P7 K7 P8 K8 K12 P12 K11 P11 Pada waktu melakukan penangkapan nyamuk, subyek studi mengenakan baju lengan pendek dan menggulung celananya hingga lutut. Kelompok kontrol hanya membasahi tangan dan kakinya dengan air dan dibiarkan kering secara alami, sedang kelompok pemakai sabun setelah tangan dan kakinya dibasahi, dengan air, kemudian digosok dengan sabun hingga rata dan dibiarkan kering secara alami pula. Untuk menghindari bias yang disebabkan perbedaan daya tarik subyek terhadap nyamuk, maka tiap subyek pernah sebagai subyek pemakai sabun dan pernah pula sebagai kontrol. Besarnya penurunan rata-rata jumlah nyamuk hinggap atau menggigit (dalam persen) diperhitungkan dari perbandingan antara data data ratarata basil penangkapan dengan data setelah subyek memakai sabun. Perbedaan hari penangkapan dikoreksi dengan hasil penangkapan subyek kontrol. Pada waktu penangkapan untuk mengumpulkan data dasar, semua subyek studi hanya membasahi tangan dan kakinya dengan air, tanpa menggosbknya dengan sabun. Survai (penangkapan nyamuk) untuk evaluasi dilakukan sebagai berikut :Blok Subyek kontrol Data dasar A B Hari I 12/X Hari III 12/Y Perlakuan kontrol Hari II 12/X Hari IV 12/Y Subyek pemakai sabun Data dasar Hari I 12/Y Hari III 12/X Perlakuan memakai sabun Hari II 12/Y Hari IV 12/X

P9 K10

K9 P10

95,54%. Mansonia uniformis dari rata-rata per subyek 13,23 (291/22) turun menjadi 0,41 (9/22) dengan penurunan 96,90%, sedang untuk Mansonia annulifera dari rata-rata 14,27 (314/22) menjadi 0,95 (21/22) berarti ada penurunan 93,34%. Bila ditinjau dari data perlakuan memakai sabun dengan perlakuan kontrol, pada Tabel 1 juga terlihat adanya perbedaan yang menyolok. Pada tabel ini terlihat bahwa untuk Anopheles hyrcanus rata-rata jumlah nyamuk per subyek perlakuan memakai sabun 0,14 (3/22), sedang perlakuan kontrol 6,68 (147/22) dengan perbedaan 97,70%. Untuk Mansonia uniformis ada perbedaan sebesar 99,74%, sedang Mansonia annulifera perbedaannya 99,64%. Dilihat dari lamanya perlindungan akibat memakai sabun, pada Tabel 2 terlihat, bahwa paling tidak pemakai sabun selama 8 jam dilindungi dari gangguan nyamuk. Untuk Anopheles hyrcanus, delapan jam setelah subyek memakai sabun, bila dibandingkan dengan kontrol ada perbedaan sebesar 95,24% (1/21), untuk Mansonia uniformis 50% (2/4), sedang Mansonia annulifera sebesar 68,43% (6/19). Dari segi efikasi, sabun repelen yang mengandung deet dan permethrin sangat efektif untuk melindungi pemakai dari gangguan nyamuk. Cara perlindungan dengan menggunakan sabun repelen ini sangat praktis, karena mudah dibawa dan mudah digunakan di lapangan. Cara ini memberikan perlindungan lebih lama bila dibandingkan dengan cara yang telah biasa dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan minyak kayu putih, minyak sereh, balsem dan lain sebagainya yang hanya memberikan perlindungan selama beberapa jam. Berdasarkan pengamatan selama uji coba dilakukan, tidak ada subyek studi yang menunjukkan tanda-tanda keracunan. Tetapi meskipun demikian, karena sabun ini mengandung jnsektisida (meskipun hanya permethrin dosis rendah) dan langsung digosokkan pada kulit, maka pemakaian-

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada label 1 terlihat bahwa rata-rata jumlah nyamuk hinggap atau menggigit per orang antara data dasar dengan perlakuan kontrol dari subyek kontrol tidak ada beda nyata, sehingga data perlakuan memakai sabun dapat dibandingkan dengan data dasar subyek pemakai sabun (beda hari tak mempengaruhi hasil survai). Pada tabel ini terlihat bahwa ada penurunan sangat bermakna antara data dasar dengan data perlakuan dari subyek pemakai sabun. Untuk Spesies Anopheles hyrcanus dari rata-rata jumlah nyamuk .per subyek 3,14 (69/22) menjadi 0,14 (3/22), berarti ada penurtnan sebesar

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

Tabel 1.

Jumlah Nyamuk Ditangkap Dalam Survai Penilaian Efikasi Sabun Repelen Mengandung Deet dan Permethrin di Marunda - Cilincing - Jakarta Tahun 1986.

Keterangan.

A.h. = M.u. = M.a. =

Anopheles hyrcanus Mansonia uniformis Mansonia annulifera

nya masih perlu dibatasi. Sabun repelen ini bukan untuk konsumsi masyarakat umum, tetapi dapat digunakan oleh masyarakat khusus, seperti anggota ABRI yang sedang menjalankan tugas operasional serta orang-orang yang berkaitan dengan tugasnya mengandung risiko mendapat gangguan nyamuk. KESIMPULAN Sabun repelen yang mengandung 20% deet dan 0,5% permethrin sangat efektif ntuk melindungi pemakai dari gangguan atau gigitan nyamuk. Setelah orang menggosok tangan dan kakinya dengan sabun rata-rata jumlah nyamuk hinggap/menggigit per orang turun sebesar lebih dari 90%. Lamanya perlindungan dari gangguan nyamuk paling tidak selama 8 jam, sehingga bagi mereka yang karena pekerjaannya mempunyai risiko digigit nyamuk selama satu malam

(satu hari), cukup satu kali menggosok tangarr dan kakirtya dengan sabun repelen. Sabun ini baik dan praktis digunakan oleh anggota1 ABRI yang sedang menjalankan tugas operasional, penebang kayu di hutan, penyadap getah karet dan orangorang yang dalam pekerjaannya mengandung risiko digigit nyamuk.KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Elliot M, Janes NF, Patter. The future of pyrethroids in insect control. Ann. Rev. Entomol. 1979; 23 : 443-69. Darriet F, Robert V, Vien NT, Garnevale P. Evaluation of the efficacy of permethrin impregnated intact and perforated mosquito nets against vectors of malaria WHO/VBC/84.899. 1984. Schreck CE, Halle DG, Kline DI. The efectiveness of the permethrin and deet, alone or in combination for protection against Aedes taeniorhynchua Am J Trop Med Hyg. 1984; 33 : 725-30. Yap HH. Efectiveness of soap formulation containing deet and permethrin as personal protection against outdoor mosquitoes in Malaysia. J Am Mosq Control Assoc 1986; 2 (1) : 63-7

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989 17

Tabel 2.

Jumlah Nyamuk Ditangkap Dipisahkan Jam Per Jam dalam Survai Penilaian Efikasi Sabun Repelen Mengandung Deet dan Permethrin di Marunda Jakarta Tahun 1986.

Keterangan:

A.h. = M.u. = Ma. =

Anopheles hyrcanus. Mansonia uniformis Mansoniaannulifera.

UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih disampaikan kepada Sdr. Camat Cilincing serta para Pamong Desa Marunda atas perkenannya, sehingga uji coba lapangan ini dapat dilakasanakan. Terima kasih juga disampaikan kepada masya-

rakat dan aparat keamanan desa yang telah membantu kelancaran pelakasanaan uji coba ini. Akhirnya tidak lupa kami ucapkan pula terima kasih kepada PATH yang telah mengusahakan contoh sabun dan membiayai uji coba lapangan.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

Hubungan Beratnya Penyakit Malaria Falciparum dengan Kepadatan Parasit pada Penderita DewasaDr. Emiliana Tjitra MSc. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Baden Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I. Jakarta

ABSTRAK Penelitian prospektif dari 49 penderita dewasa malaria falciparum telah dilakukan untuk mengetahui manifestasi klinis malaria dan mencari variabel-variabel yang berhubungan dengan beratnya penyakit berdasarkan kepadatan parasit aseksual. Dua di antara 8 penderita parasitemia tinggi (> 5%) manifestasi klinisnya ringan dan 9 dari 41 penderita parasitemia rendah (< 5%) bermanifestasi berat : 2 anemia berat, 1 jaundice nyata, 1 perdarahan, 1 shock, dan 4 malaria otak. SGOT pada kelompok parasitemia tinggi lebih besar dibandingkan kelompok parasitemia rendah ( p < 0,05 ). Variabel-variabel yang berhubungan langsung'atau tidak langsung terhadap beratnya penyakit dan kepadatan parasit adalah pemeriksaan SGOT (berkorelasi positif dengan jumlah parasit, SGPT, dan bilirubin), SGPT (berkorerasi positif dengan bilirubin), bilirubin (berkorelasi positif dengan kreatinin), kreatinin, dan bebas panas (berkorelasi positif dengan bebas parasit). Waktu yang dibutuhkan untuk bebas panas dan bebas parasit oleh penderita parasitemia tinggi lebih lama dibandingkan penderita dengan parasitemia rendah. PENDAHULUAN Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh plasmodium. Di antara ke empat spesies plasmodium, Plasmodium falciparum mempunyai siklus hidup terpendek di dalam sel hati dan menyerang semua bentuk eritrosit sehingga multiplikasi di dalam darah cepat terjadi. Dalam darah tepi tampak bentuk ring (trofozoit muda) dan gametosit. Sedanglcan bentuk lain umumnya terlihat di pembuluh kapiler alat-alat dalam. Infeksi ganda pada eritrosit dan infeksi berat sering terjadi, bahkan eritrosit yang terinfeksi dapat mencapai 50%1. Hampir semua penderita malaria falciparum berat mempunyai parasit dalam darah yang tinggi.l z, 4. Komplikasi malaria (malaria perniciosa) dapat terjadi jika > 5% eritrosit terinfeksi, 10% dari sel yang terinfeksi mengandung > 1 parasit, atau jika banyak bentuk sison di pembuluh darah parifers. Komplikasi daoat terjadi walaupun eritrosit yang terinfeksi kelihatannya ringan karena terdapatnya variasi biologi, sebagian penderita dengan kepadatan parasit darah rendah dapat menderita sakit berat seperti malaria otak3 . Karena adanya variasi biologi tersebut maka dilakukan penelitian prospektif untuk mengetihui manifestasi klinis malaria dan mencari variabel-variabel yang berhubungan* Dibacakan pada Pertemuan llmiah Penyakit Menular, Jakarta 2124 Maret 1988.

dengan beratnya penyakit berdasarkan kepadatan parasit dalam darah. BAHAN DAN CARA Penelitian prospektif pada penderita malaria falciparum dewasa telah dilakukan pada bulan November sampai dengan Desember 1984, di R.S. Chonburi, Thailand. Subyek Kasus yang diteliti adalah penderita dewasa yang berumur lebih dari 12 tahun dan mempunyai bentuk .parasit aseksual dalam darah, diperiksa oleh dokter yang bertugas di 'poliklinik rawat jalan atau di ruang gawat darurat .dan dirawat. Pemeriksaan Dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut: 1) Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.. 2) Pemeriksaan parasitologik dengan sediaan hapus darah tipis dan tebal untuk mengetahui adanya parasit bentuk aseksual. Sediaan darah tebal diwarnai dengan cara Field dan sediaan darah tipis dengan cara Wright. Dihitung jumlah parasit aseksual per 1000 eritrosit dari sediaan darah tipis atau per 200 lekosit dari sediaan darah tebal. Jumlah parasit per mm3 di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989 19

perkirakan dengan rumus (lihat annex). Pemeriksaan parasitologik dilakukan setiap 12 jam yaitu pukul 7 pagi dan pukul 7 malam, sampai bentuk parasit aseksual tidak diketemukan, kemudian setiap hari pukul 7 pagi selama masa perawatan. 3) Pemeriksaan laboratorium rutin untuk hematokrit, jumlah lekosit, pemeriksaan urin dan faeces. 4) Kimia darah untuk fungsi hati dan fungsi ginjal: ,SGOT, SGPT, bilirubin, kreatinin, BUN, elektrolit, dan gula darah. 5) Pemeriksaan lain-lain pada keadaan penderita sebagai berikut : a) Kesadaran menurun, dilakukan pungsi lumbal untuk pengukuran tekanan dan pemeriksaan cairan otak (jumlah sel, konsentrasi gula dan protein serta mikroorganismenya). b) diare, dilakukan pemeriksaan faeces secara mikroskopis. c) perdarahan, dilakukan pemeriksaan darah untuk trombosit dan koagulogram. d) anemia nyata (Ht < 20%), dilakukan pemeriksaan darah lengkap trmasuk morfologi sel darah. e) jaundice nyata bilirubin > 8mg%), dilakukan pemeriksaan serologik untuk mengetahui adanya infeksi hepatitis virus. 6) Pemeriksaan suhu tubuh setiap empat jam (pukul 2, 6, 10, 14, 18 dan 22). 7) Semua penderita diobservasi secara klinis dan parasitologis untuk mengetahui waktu bebas panas dan bebas parasit aseksual. Pengelompokan Penderita dikelompokkan berdasarkan kepadatan parasit aseksual dalam darah tepi pada waktu masuk rumah sakit. 1) Kelompok parasitemia < 5%. 2) Kelompok parasitemia > 5%. Beratnya penyakit dilihat dari manifestasi klinis yang ada, dapat sebagai : 1) malaria ringan, dengan gejala klinis ringan. 2) muntah-muntah berat, dengan muntah-muntah berulang sehingga sulit untuk makan dan minunl. 3) malaria otak, dengan penurunan kesadaran tanpa adanya penyakit susunan saraf lain. 4) anemia berat, dengan nilai Ht 20% tanpa riwayat penyakit darah, tukak lambung atau infeksi cacing tambang. 5) jaundice nyata, dengan kadar bilirubin darah > 8 mg% tanpa penyakit hati lain. 6) shock, dengan tanda-tanda kulit tubuh dingin, berkeringat, denyut nadi lemah, cepat atau perbedaan tekanan sistole dan diastole < 20 mmHg. 7) perdarahan, inisalnya: epistaksis. Pengobatan 1) Diberikan kina sulfat 600 mg, peroral, setiap 8 jam, selama 7 hari, pada penderita parasitemia < 5% dengan manifestasi klinis ringan. 2) Diberikan kina dihidroklorida 600 mg. yang diencerkan dalam 100 ml dekstrosa 5%, secara intravena, selama 2 jam, setiap 8 jam sampai pengobatan peroral memungkinkan, yaitu dengan kina sulfat 600 mg, setiap 8 jam sampai total berjumlah 21 dosis. Pengobatan ini untuk kelompok parasitemia > 5% dan penderita dengan manifestasi klinis berat walaupun parasitemia 5%. Sedangkan karakteristik antara kedua kelompok tersebut tidak berbeda bermakna (tabel 1).

Tabel 1.

Karakteristik dari 49 penderita malaria falciparum dewasa. Kelompok parasitemia 5% 8 5 : 3 * 26;1 5,3 5 (63%) 2 (25%) 3,9 1,0

Karakteristik Jumlah penderita Sex L:P Umur (tahun) Riwayat pernah menderita malaria Penduduk daerah endemis Lama demam sebelum masuk R.S. (hari) Keterangan : * mean

Demam, nyeri kepala dan mual merupakan gejala klinis yang paling sering dijumpai pada kedua kelompok tersebut ( > 75%) gejala klinis di antara kedua kelompok tersebut tidak berbeda bermakna (tabel 2). Walaupun demikian, muntah, dehidrasi, pucat, jaundice dan splenomegali lebih sering dijumpai pada penderita kelompok parasitemia > 5%, juga suhu tubuh kelompok parasitemia > 5% lebih panas dibandingkan kelompok parasitemia < 5%. Pada tabel 3 dapat dilihat hasil pemeriksaan laboratorium kedua kelompok tersebut, hanya jumlah parasit serta SGOT yang berbeda bermakna (p < 0,05). Tiga penderita dari ke-. lompok parasitemia < 5% mempunyai nilai Ht < 21%, satu di antaranya menderita malaria otak (Ht = 19%) dan yang lainnya (dua penderita) dengan Ht = 16%. Dari hasil pemeriksaan bilirubin, dua penderita mempunyai nilai > 8 mg%, satu pada kelompok parasitemia < 5% (bilirubin = 16,8 mg%), dan yang. lainnya pada kelompok parasitemia > 5% dengan bilirubin 14,4 mg% (tabel 4). Cukup 'banyak penderita datang dengan muntah-muntah berat (13 pada kelompok parasitemia < 5%, 5 pada kelompok parasitemia > 5%). Penderita-penderita tersebut dikelompokkan tersendiri karena memerlukan penanganan khusus dengan pengobatan dan cairan intravena untuk mencegah terjadinya shock karena telah didapat 1 kasus shock walaupun parasitemia < 5%. Perdarahan yang terjadi pada penderita parasitemia < 5% berupa epistakis, bukan disebabkan karena kelainan darah. Sedangkan penurunan kesadaran dari ke empat kasus malaria otak berupa somnolen sampai stupor.

Tabel 2.

Gejala klinis dari 49 penderita malaria falciparum dewasa pada waktu masuk R.S. Gejala Kelompok parasitemia 5% 8 (100) 7 ( 88) 6 ( 75) 6 ( 75) 1 ( 13) 0 38,7 0,5 5 ( 63) 5 (63) 5 ( 63) 3 ( 38) 3 ( 38)

walaupun tidak berbeda bermakna (tabel 5).Tabel 5. Hasil pengobatan dengan ldna sulfat atau kina dihidroklorida dari 49 penderita malaria falciparum dewasa. Variabel Bebas panas (jam) Bebas parasit (jam) Keterangan: * mean SE Kelompok parasitemia 5% 71,1 14,9 77,1 6,9

Panas Sakit kepala Mual Muntah Diare Penurunan kesadaran Suhu tubuh Dehidrasi Pucat Jaundice Hepatomegali Splenomegali Keterangan: * persen Tabel 3.

Dari tabel 6 ternyata jumlah parasit berkorelasi positif dengan SGOT (p < 0,05) dan bebas parasit (p 5%) dengan manifestasi klinis rngan, ini mungkin disebabkan karena mempunyai toleransi klinis parasit yang tinggi. Seperti dtketahui, kekebalan malaria berhubungan dengan 2 komponen: toleransi klinis dan aktivitas parasitidal. Toleransi klinis terhadap parasitemia dapat sangat menakjubkan, sediaan hapus darah dapat menunjukkan densitas parasit yang tinggi tetapi penderita tersebut masih dapat bekerja biasa. Pada kasus-kasus tersebut komponen klinis dari kekebalan telah jauh berkembang sedangkan komponen parasitisidal tidak berkembang6. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering ditemui dan kadang-kadang merupakan petunjuk beratnya keadaan klinis dari penyakit malaria falciparum akut. Tetapi muntahmuntah tersebut tidak dapat dihubungkan dengan beratnya atau lamanya sake. Dalam penelitian ini kasus muntah-

Manifestasi Minis dari 49 penderita malaria, falciparum dewasa pada waktu masuk R.S. Kelompok parasitemia 5% 2 (25%) 5 (63%) 0 1 (12%) 0 0 0 8 (100%)

Manifestasi klinis Ringan Muntah-muntah berat Anemia berat Jaundice nyata Perdarahan Shock Malaria otak Total

Waktu yang dibutuhkan untuk 'bebas panas dan bebas parasit dengan pengobatan kina lebih lama pada kelompok parasitemia > 5% dibandingkan kelompok parasitemia < 5%

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989 21

Diagram 1. Distribusi Bari 49 penderita dewas malaria falciparum berdasarkan jumlah parasit dan nilai SCOT.

Kepadatan parasit (log jumlah parasit / mm3) r = 0.298

(p 0,05), (Tabel 5). Oleh karena itu imunisasi campak di daerah endemik campak, di mana sebagian besar anak (74,1%) telah memiliki zat-kebal-campak ternyata secara serologik tidak cukup efektif, sehingga dapat dikatakan bahwa imunisasi.campak di darah endemik campak tidak efektif pada anak-anak di bawah usia 9 bulan, berdasarkan hasil pemeriksaan serologik. Hasil penelitian serupa inilah yang menggugah para ahli u'ntuk mengembangkan vaksln campak jenis baru yang lebih poten dengan memilih galur virus campak yang telah dimodifikasi, seperti penelitian Dr. Sabin di Meksiko yang menggunakan vaksin campak aerosol, galur Schwarz-Edmonston, yang dapat memberikan titer zat kebal 27 kali lipat, yaitu mencapai 1300 dan 3800 pada anak-anak berusia 4-6 bulan dan 12-24 bulan4,10. KESIMPULAN DAN SARAN Berpedoman pada hasil serologi dapat diketahui bahwa tampaknya pemberian imunisasi campak sedini mungkin di daerah endemik campak dengan maksud memberikan kekebalan terhadap serangan virus campak di alam ternyata kurang efektif. Pemberian imunisasi campak pada anak-anak yang tidak memiliki zat-kebal-campak ternyata dapat memberikan zat-

Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989 47

kebal yang cukup tinggi yaitu sebesar 5,3 (log 2) dan rasio serokonversi mencapai 100%, apabila diberikan pada usia 914 bulan. Infeksi virus campak secara alami di daerah endemik campak ternyata dapat memberikan zat-kebal-campak yang cukup tinggi.KEPUSTAKAAN 1. 2. Krugman S. Present Status of Measles and Rubella Immunization in the United States. A Medical Progress Report. I J Pediatr. 1977; 90 (1). Weibel RE, Buynak EB., McLean AA., Hillmen MR. Persistence of Antibody After Administering of Monovalent and Combined Live Attenuated Measles, Mumps and Rubella Virus Vaccines. Pediatrics, 1978; 61 : 511. Ministry of Kenya and World Health Organization. Measles Immunity in the First Year after Birth and the Optimum Age for Vaccination in Kenyan Children. Bull WHO, 1977; 55 : 2130. Sabin AB., Albrecht P. Takeda AK. Ribeiro BM. Veronesi R. High Effectiveness of Aerosolized Chick Embryo Fibroblast Measles Vaccine in Seven-months-old and Older Infants. J Inf ect. Dis 1985; 152 (6) : 12317.

3. 4.

King B. Measles Vaccination in a Rural Tanzanian Community. East African Med J 1978; 55 : 2525. 6. Wu Shaoyuan, Xue Xinqing, Zang Yihan et al. An Investigation of the Causes of Failures in Measles Vaccination in Early Infancy. J Biol Standard, 1982; 10 : 197203. 7. B Heriyanto, D Yuwono. Status Kekebalan Anak terhadap Virus Morbilli pada Beberapa Daerah Pedesaan di Indonesia. Maj Kesehatan Masyarakat, 1985; XIV : 34, 1821. 8. Voorhoeve AM, Muller AS, Sculpen TWJ, Germet W, Valkemburg HA, Ensering HE. Agents Affecting Health of Mother and Child in a Rural Area of Kenya. III. The Epidemiology of Measles. Trop. Geogr. Med, 1977; 29 : 42840. 9. Cukasah U, Rahman O. Kekebalan Bawaan Campak 012 bulan dan Serokonversi setelah Imunisasi Campak dari Pengunjung Klink Bayi Sehat RS. Hasan Sadikin. Bandung: Maj Kedokt. 1984; XVII : 14. 10. Sabin AB., Arechiga AF., de Castro JF et al. Successful. Immunization of Children With and Without Maternal Antibody by Aerosolized Measles Vaccine. I. Different 'Result With Undiluted Human Diploid Cell and Chick Embryo Fibroblast Vaccines. JAMA 1983; 249 : 265162. 11. La Forece FM., Henderson RH., Keja J. The Expanded Programme in Immunization. World Health Forum, 1987; 8 : 2, 20814. 12. Makino S. Development and Characteristics of Live AIKC Measles Virus Vaccine, A Brief Report. Rev. Infect. Dis, 1983; 5 (3) : 5045

5.

ETIKADr. Drs. Rahmatsjah Said S.S. DAJ

ETIKA: Teknologi Kedokteran, untuk Apa dan untuk Siapa ?

Psikiater di Rumah Saki/ Jiwa Bogor, Bogor

Setiap dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi pasal 2 KODEKI 1981.

"Bila perlu, nanti kita scanning kepalanya, kalau dengan obat yang saya berikan ini keluhan bapak belum hilang", demikian kta seorang doker kepada pasiennya yang datang dengan keluhan nyeri kepala dan nyeri tengkuk yang sudah beberapa bulan terakhir dideritanya. "Mungkin ada kelainan di otak, yang dapat kita periksa dengan CT-Scan", sambung dokter itu menjelaskan kepada pasiennya, seorang pegawai perusahaan asing. Setelah melakukan pemeriksaan rutin dan tidak menemukan kelainan, langsung , saja dokter tersebut menganjurkan pemeriksaan scanning dengan komputer, salah satu teknologi kedokteran mutakhir, apabila obat-obat penenang yang diberikannya tidak memberikan reaksi penyembuhan. Sejawat itu tidak berusaha menelusuri lebih lanjut riwayat penyakit pasiennya. Ternyata pasien tersebut mengeluh sakit kepala yang makin berat sejak beberapa bulan terakhir, yang makin terasa jika ia pulang ke rumah. Sekitar waktu itu ia mendapat jabatan yang lebih tinggi di perusahaannya, ini berarti beban kerja yang lebih banyak dan menuntut tanggung jawab yang lebil4 tinggi. Pada saat yang hampir bersamaan ada masalah di rumah yang dihadapinya. Istrinya merasa "tersisih" karena suami sibuk dengan pekerjaan kantor, padahal sang nyonya ini seharihari sibuk mengasuh tiga orang anaknya, yang salah satu di antaranya mempunyai kelainan bawaan. Sementara itu, ia menerima berita dari kampung bahwa orang tuanya terpaksa dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit yang cukup berat. Menghadapi semua masalah ini, ia tidak mempunyai teman untuk bertukar pikiran atau untuk mencurahkan keluhankeluhannya. Jika ia sampaikan kepada atasan di kantor, ia khawatir jabatan yang baru didudukinya itu akan ditarik kembali karena bisa saja ia dianggap tidak mampu oleh atasannya. Sedangkan di rumah, istrinya pun sudah membuat posisi yang menyudutkannya ke posisi yang tidak mengenakkan. Ditambah masalah orangtuanya nun jauh di kampung halaman. Semua masalah-masalah tersebut dicobanya untuk ditahan sendiri. Ternyata kemudian timbul keluhan-celuhan nyeri kepala dan nyeri tengkuk, yang mendorongnya untuk ber-

obat ke seorarig dokter. Sayangnya sejawat tersebut hanya terpaku kepada keluhan yang disampaikannya saja, tanpa berusaha untuk mencari atau menelusuri riwayat penyakitnya lebih lanjut. Jika kita lihat, setelah dokter tersebut melakukan pemeriksaan rutin dengan alat-alat yang sederhana, seperti stetoskop dan tensimeter, dan tidak menemukan kelainan, langsung ia memberikan obat penenang ditambah dengan sebuah anjuran untuk melakukan pemeriksaan dengan alat mutakhir dan canggih, tanpa berusaha untuk mencoba menelusuri masalah yang melatarbelakangi keluhannya itu. Terkesan adanya suatu kelalaian atau kelemahan dalam anjuran pemeriksaan dengan CT-Scan itu. Padahal, setiap tindakan dalam dunia kedokteran harus ada dasarnya; setiap intervensi medis harus mempunyai indikasi yang kuat, untuk apa tindakan itu dilakukan dan siapa yang mendapatkan tindakan itu. "Untuk apa" pertanyaan yang menunjukkan perlunya pengetahuan klinis yang cukup untuk menentukan tindakan itu, dan "untuk siapa" pertanyaan yang menunjukkan perlunya sikap etis yang tepat untuk pengambilan keputusan dalam intervensi medis itu. TEKNOLOGI Tekne adalah peralatan yang dipergunakan sebagai perpanjangan tangan manusia untuk mengerjakan dunianya. Oleh karena itu kemajuan teknik sebagai cara kerja yang diilmiahkan, merupakan pencerminan perkembangari kebudayaan manusia. Manusia disebut juga sebagai a tool-making animal, karena manusia akan menunjukkan martabatnya sebagai manusia, seja'uh ia mampu menciptakan alat untuk dipergunakan dalam mengkaryakan dunianya. Biologi modern pun mendukung pendapat, bahwa teknik hendaklah dipandang sebagai suatu lanjutan dari badan manusia. Dalam alam binatang, alat-alat merupakan sebagian dari badannya sendiri. Organ-organ badannya sendiri sebagai senjata (cakar, taring, tanduk rusa), slat penggerak (sayap, telapak kuku), perisai' (duri-duri, kulit kerang), mantel untuk menahan Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989 49

udara dingin (kulit berbulu), dan seterusnya. Jarang sekali binatang memakai alat-alat selain yang ada pada tubuhnya, mereka tidak menghasilkan alat-alat secara sistematis, apalagi usaha-usaha untuk penyempurnaan alat-alat itu. Dari banyak segi, organ-organ manusia lebih lemah daripada organ-organ binatang; indra pendengaran, penglihatan dan penciumannya, kekuatan fisik dan kecepatan bergerak, giginya dan pengamanan kulitnya dalam semua bidang ini manusia lebih terbelakang daripada binatang. Tetapi manusia mempunyai suatu perlengkapan sehingga badannya mempunyai siiatu lingkup gerak yang amat jauh, yaitu alat-alat yang dipergunakannya beserta teknik. Organ-organ badannya dapat dilengkapi alat-alat, jarak spasial dan jarak waktu dapat dijembatani dengan alat-alat observasi dan alat-alat ukur, bahkan sambil beristirahat alat-alat itu dapat disuruhnya bekerja. Apalagi, alatalat itu dapat digantikan, diperbaiki dan dijajarkan, sehingga menjadi mesin-mesin raksasa. Dengan demikian, lingkup gerak badannya dapat diperluas sampai hampir tidak ada batasnya. Dengan menyebut teknik atau teknologi sering kita membayangkan adanya mesin. Dunia manusia adalah dunia-mesin. Gambaran seperti itu terbayang karena mesin adalah bentuk teknik. yang paling jelas, masif dan mengesankan manusia. Dalam sejarah kemajuan bangsa-bangsa, teknik bermula dengan mesin. Tetapi dewasa ini teknik bukan lagi tampil sebagai alat, melainkan sebagai "sikap". Martin Heidegger telah mempertanyakan fenomen teknologi sebagai masalah filsafat. Ia mengartikan teknologi sebagai suatu bentuk keberadaan di dunia, yang mencerminkan manusia tercelcam dalam keinginannya untuk selalu memperbesar kelengkapan serta kemudahan baginya terhadap alam, dalam rangka menjamin eksistensinya. Dengan demikian teknologi menimbulkan suatu relasi yang ditandai dengan hasrat meng-eksploitasi alam sejauh dan seefisien mungkin. Ini berarti perubahan hubungan antara manusia dengan alamnya yang semula ditentukan oleh nilai kualitatif, menjadi hubungan produksi dan komoditi yang dikuantifikasikan. Dengan penyorotan ini maka tampaklah bahwa teknologi tidak netral lagi, tidak lagi begitu saja tergantung kepada siapa yang memakainya, karena dalam dirinya sudah menentukan sikap serta kecenderungankecenderungannya sendiri. Ilmu dan teknologi telah menunjukkan peranan dan jasanya dalam kehidupan manusia. Berkat teknologi, banyak aspek realitas telah diperdekat untuk penyelidikan akal budi manusia dan pengelolaan tangkas manusia. Kedekatan ini memperlihatkan kemungkinan akses yang lebih besar terhadap realitas dan proses realitas. Bahkan melalui teknologi, kepandaian manusia seakan-akan menyatu dengan realitas itu sendiri, seperti terlihat dalam penguasaan manusia dalam mengendalikan proses-proses alamiah. Namun patut diingat, bahwa ' kedekatan yang disebabkan oleh .teknologi adalah kedekatan spasial dan kuantitatif. Kedekatan semacam ini tidak dapat menggantikan kadar kedekatan makna manusiawi sebagai tetangga, keluarga dan bangsa. Teknologi adalah efisien dan membawa efisiensi dalam segala sesuatu, termasuk kehidupan manusia. Tetapi, teknologi juga dapat menimbulkan dampak lain, seperti manipulasi, fragmentasi dan individuasi. KEMAMPUAN ATAU "KEKUASAAN" MEDIK Berdasarkan kekuasaan atau kemampuan medik, J.H. van 50 Cermin Dunia Kedokteran No. 55, 1989

den Berg membagi sejarah kedokteran dalam tiga masa. Masa pertama, masa tanpa kekuatan medik, ini berlangsung sampai 1870. Masa ke dua, masa transisi dari tanpa kekuatan teknikmedik menuju adanya kekuatan atau kemampuan teknik. Ini berlangsung sejak 1870 sampai beberapa tahun yang lalu. Masa ke tiga, masa kekuasaan teknik-medik. Ini baru berlangsung beberapa tahun terakhir, yang sekarang makin berkembang. Untuk menunjukkan secara lebih terinci, pada masa ke dua ada sejumlah penemuan dan inovasi yang dapat dikelompokkan dalam berbagai kategori. Perjuangan melawan infeksi. Beberapa waktu setelah Pasteur menemukan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi, maka kemudian berbagai organisme . penyebab bermacam penyakit infeksi dapat ditemukan. Seperti, pada 1882 Robert Koch menemukan bacillus tuberculosis. Sudah jelas bahwa penemuan-penemuan tersebut adalah sangat penting; ditemukannya organisme penyebab penyakit infeksi merupakan langkah pertama dalam usaha berjuang melawan penyakit. Tujuannya adalah untuk menghancurkan organisme tersebut. Pada dasarnya, para dokter berusaha agar dapat membunuh: organisme yang dapat membahayakan pasien. Pada 1907, Ehrlich menemukan salvarsan yang dapat meracuni kuman trypanosoma syphilis, yang pertama-tama diidentifikasi pada 1905. Pada 1935 sulfonamid dapat disintesis, dan ini menimbullcan suatu perubahan dalam hal melawan infeksiinfeksi yang "biasa" dan gonorrhoe. Setelah 1940 mulailah pemakaian penicillin secara luas, yang sebelumnya ditemukan oleh Fleming pada 1928. Para pasien sekarang mungkin tidak pernah membayangkan bagaimana sengsaranya mereka sebelum ditemukannya hal-hal tersebut; mungkin para dokter pada masa yang akan datang juga sedikit yang menyadari hal tersebut. Pencegahan infeksi. Setelah publikasi karya Pasteur tentang proses fermentasi, maka Lister, seorang dokter Inggris, pada 1865, mulai mensucihamakan udara ruangan untuk tindakan operasi. Meskipun, sebenarnya profilaksis terhadap infeksi operasi bukan berdasarkan metode Lister, tetapi berdasarkan teknik aseptik Pasteur. Yaitu, bahwa usaha atau tindakan yang dilakukan sebelum melakukan operasi adalah dengan menyingkirkan organisme yang menyebabkan penyakit dari alat-alat yang akan dipergunakan, dan juga dari tangan ahli bedah serta pada bagian badan pasien yang akan dioperasi. Pada saat ini orang sudah terbiasa dengan pikiran bahwa sebelum tindakan operasi maka alat-alatnya harus disterilkan dulu dan ahli bedahnya juga harus memakai pakaian yang steril serta sarung tangan steril pada tangan , yang sudah dicuci dengan baik. Perlu kita ingat bahwa tindakan-tindakan tersebut baru dimulai sekitar satu abad yang lalu. Perkembangan ilmu bedah. Untuk itu harus kita tambahkan dua hal yang berkaitan dengan darah. Yaitu masalah mencegah trombosis dan cara transfusi darah, hal ini dapat dikembangkan setelah Landsteiner menemukan sistem golongan darah pada 1900. Melawan infek'si, mencegah infeksi, dan cara pemberian darah adalah sangat penting untuk suatu tindakan operasi, yang

sekarang berkembang dengan pesat. Di samping bahwa kemampuan melakukan operasi akan menimbulkan kebanggaan tertentu, m