Cdk 061 Demam Berdarah (II)

61

Transcript of Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Page 1: Cdk 061 Demam Berdarah (II)
Page 2: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi : 2. Editorial

Artikel:

3. Demam Berdarah Dengue di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Sumber Waras.

9. Isolasi Virus Dengue dari Penderita Demam Berdarah Dengue yang Meninggal di Jakarta, Indonesia 1986.

12. A Molecular Perspective on the Pathogenesis of Dengue Haemor-rhagic Fever.

15. Hubungan Titer Antibodi H.I. Akut dan Konvalesen pada Penderita Demam Berdarah (DHF) di Jakarta 1988.

19. Pengembangan Penggunaan Biakan Jaringan Ginjal Monyet untuk Pemeriksaan Tanggap Kebal terhadap Virus Chikungunya.

24. Masalah Penyakit Japanese Encephalitis di Indonesia. 28. Uji Netralisasi secara in vivo Serum Babi terhadap Japanese

International Standard Serial Number: 0125 – 913X No. 61, 1990

Karya Sriwidodo Encephalitis di Kalimantan.

31. Identifikasi Kista Toxoplasma gondii pada Kambing/Domba di RPH Surabaya dan Malang.

34. Toxoplasmosis di Indonesia. 37. Studi Kasus Pelayanan Kefarmasian : Pelaksanaan Peracikan,

Pencampuran, dan Pengubahan Bentuk Obat atau Bahan Obat di Apotek "X".

40. Observasi Penulisan Resep DOPB oleh Dokter Gigi dari Beberapa Apotek di Jakarta.

43. Efek Infus Daun Sembung (Blumea balsamifera L) terhadap Perkembangan Janin pada Tikus Putih.

46. Herbs dalam Pengobatan Tradisional Cina. 49. Pengetahuan para Dokter yang berpraktek di DKI Jakarta tentang

Program Bersama dan Pengaruhnya pada Penggunaan Obat DOPB.

54. Kegiatan Ilmiah

57. Humor Ilmu Kedokteran. 58. Abstrak-Abstrak. 60. RPPIK

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandang-an/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis

Alamat redaksi: Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808 Penanggung jawab/Pimpinan umum: Dr. Oen L.H. Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani, Dr. Budi Riyanto W. Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bam-bang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR. Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. Victor Siringoringo. Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR. B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. Sadrach. No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976, tgl.3 Juli 1976. Pencetak : PT. Temprint.

Page 3: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Mungkin ada di antara teman sejawat yang memperhatikan bahwa secara berturut-turut beberapa kali Cermin Dunia Kedokteran menampilkan edisi berseri; dimulai dari edisi Malaria sampai edisi Dengue kali ini, dan mungkin masih akan berlanjut lagi. Sebenarnya hal ini adalah merupakan 'efek samping' yang meng-gembirakan dari meningkatnya kontribusi artikel yang masuk ke meja redaksi.

Akhir-akhir ini – meskipun sering masih dirasakan 'Jakarta-sentris' –sumbang-an artikel yang sating berkaitan claim saw topik tertentu makin luas sehingga dapat mengisi seluruh halaman dalam satu edisi; hal ini tentu tidak menguntungkan bagi artikel-artikel lepas yang juga tidak kalah bermutu, karena artikel-artikel demikian akan tertangguhkan penerbitannya. Oleh karena itu, untuk mempertahankan ciri khas majalah kita ini – yaitu adanya topik utama – kami menempuh cara yang dilakukan selama ini, sehingga tetap memberi tempat bagi artikelartikel lepas. Kami berharap bahwa cara ini dapat memuaskan semua pihak, termasuk para sejawat pembaca setia yang tersebar di seluruh tanah air; seandainya ada sumbangan saran untuk perbaikan, kami akan sangat bergembira untuk mendengarnya.

Selain itu, nomor ini mencatat pula perubahan tata-letak lembar Abstrak, hal ini dilakukan untuk dapat memuat lebih banyak artikel, sekaligus menawarkan pengiriman naskah lengkapnya – dalam jumlah terbatas – kepada yang berminat; semoga pelayanan ini dapat menyumbangkan sesuatu yang dapat memperluas pengetahuan sejawat di seluruh pelosok tanah air.

Selamat membaca.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 2

Page 4: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Artikel

Demam Berdarah Dengue di Bagian. Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Sumber Waras

Tatang Kustiman Samsi, Indra Susanto Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara,

Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

RINGKASAN

Telah dikemukakan beberapa aspek DBD di BIKA R.S. Sumber Waras/Fakultas Kedokteran Untar. Diagnosis klinis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria WHO dan diagnosis pasti dengan pemeriksaan serologik dan atau isolasi virus. 1) Dalam dekade terakhir ini terlihat adanya pergeseran umur penderita ke golongan umur di atas 5 tahun. 2) Angka kematian DBD dalam dekade terakhir menurun di bawah 2%. 3) Virus D3 merupakan virus yang paling banyak diisolasi selama epidemi DBD tahun 1987 – 1988. 4) Manifestasi klinik oleh virus D3 tidak berbeda dari virus Dengue lainnya kecuali untuk trombositopeni dan renjatan. 5) Keluhan nyeri abdomen berkaitan dengan derajat yang lebih berat terutama pada anak-anak berumur 5 tahun atau lebih. 6) Pemeriksaan titer IgM bermanfaat dalam konfirmasi DBD terutama pada penderita DSS fatal. 7) Pengamatan sementara menunjukkan bahwa titer HI < 640 konfirmatif bagi reaksi primer dan HI ≥ 1280 bagi reaksi sekunder.

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) dewasa ini bersifat ende-mik dan merupakan salah satu masalah kesehatan utama serta penyakit yang ditakuti masyarakat.

DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Jakarta1 dan di Surabaya2 dan sejak saat itu laporan angka kejadian DBD terus meningkat serta cakupan daerah yang terkena dengan cepat meluas ke seluruh Indonesia kecuali Timor Timur3.

Di DKI Jakarta sejak tahun 1968 angka kejadian DBD ber-tambah dengan cepat akan tetapi di lain pihak angka kematian menurun terutama sejak tahun 80-an (Gb. 1).

Nampaknya pola letupan epidemi menjadi tidak teratur dan terdapat kecenderungan jarak antar letupan epidemi DBD semakin pendek. Keadaan ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan DBD masih belum berhasil dengan baik, di lain pihak meskipun masih banyak .yang belum jelas dalam patogenesis DBD, para klinisi telah berhasil menurunkan angka kematian DBD berkat kewaspada-an masyarakat dan tenaga medik di Pusat Pelayanan Kesehatan

Gambar 1. Angka Kejadian dan Kematian DBD di Jakarta tahun 1969 – 1988.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 3

Page 5: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Primer. Walaupun demikian harus selalu diingat bahwa angka kematian DBD berat/DSS masih cukup tinggi dan kita masih tetap harus waspada terhadap penyakit ini.

Tulisan ini bertujuan mengemukakan pengamatan klinik, virologik, serologik dan pengelolaan DBD serta penatalaksana-an penderita tersangka DBD di RS Sumber Waras. PENGAMATAN VIROLOGIK

Terdapat 4 serotipe virus Dengue sebagai penyebab DBD yaitu Dl, D2, D3 dan D4. Penyelidikan virologik di Jakarta dalam kurun waktu 1975 – 1985 menunjukkan bahwa virus D3 merupakan virus yang paling banyak diisolasi4,5. Dalam tahun 1985 – 1986 nampaknya terjadi pergeseran pola distribusi virus di Bagian Anak RSCM di mama virus D2 merupakan virus Dengue yang paling banyak diisolasi5.

Selama letupan epidemi DBD tahun 1987 – 1988 di Bagian Anak RS Sumber Waras dapat diisolasi 151 virus Dengue dengan 69.5% di antaranya virus D36. Tabel 1. Distribusi virus Dengue di Jakarta.

Dengue serotipe Tahun

D1 D2 D3 D4 Total

1975 – 1977 23 38 59 9 129

(45.7%) 1980 – 198, 17 25 31 3 74

(41.9%) 1984 – 1985 7 14 16 – 37

(43.2%) 1985 – 1986 4 18 12 2 36

(50.0%) 1987 – 1988 25 20 105 1 151

(69.5%) Terlihat bahwa persentase virus D3 selama letupan

epidemi 1987 – 1988 melebihi 60% sama seperti hasil yang didapat pada epidemi di Bantul (Jawa Tengah) tahun 1976.

Selama kurun waktu 1982 – 1985 angka kejadian DBD di kelurahan DKI Jakarta berkisar antara 23 – 45/100.000 pen-duduk dan hanya beberapa daerah saja dengan kejadian ≥ 80/100.000 penduduk.

Selama letupan epidemi tahun 1987 – 1988 angka kejadian DBD berkisar antara 0 – 650/100.000 penduduk, rata-rata 155/100.000 penduduk. Tabel 2 memperlihatkan distribusi virus Dengue menurut angka kejadian DBD di daerah tempat tinggal penderita.

Tabel 2. Distribusi virus Dengue berdasarkan angka kejadian DBD di daerah tempat tinggal penderita (RSSW, 1987–1988).

Tipe Dengue Angka kejadian (per 100.000 penduduk) D3 D 1,2,4

Jumlah

< 100 100 – 199

> 200

3 (2.8%) 49 (46.7%) 53 (50.5%)

6 (13.0%) 18 (39.1%) 22 (47.8%)

9 (5.9%) 67 (44.4%) 75 (49.7%)

Jumlah 105 46 151

X2 = 6.2187 0.01 <p <0.05

Tampaknya virus D3 lebih banyak diisolasi dari penderita yang tinggal di daerah dengan angka kejadian DBD lebih tinggi. Telah pula dilaporkan bahwa virus D3 berkaitan dengan derajat penyakit yang lebih berat6,8

MANIFESTASI KLINIK DAN DIAGNOSIS lnfeksi oleh virus Dengue dapat bersifat asimtomatik atau

simtomatik berbentuk undifferentiated fever, Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue (DBD).

Gambaran klinik Demam Dengue seringkali tergantung dan umur penderita. Pada bayi dan anak biasanya didapatkan demam dengan ruam makulopapular saja. Pada anak besar dan dewasa mungkin hanya didapatkan demam ringan, atau gambaran klinis lengkap dengan panas tinggi mendadak, sakit kepala hebat, sakit bagian belakang kepala, nyeri otot dan sendi serta ruam. Tidak jarang ditemukan perdarahan kulit, biasanya didapatkan lekopeni dan kadang-kadang trombositopeni. Pada waktu wabah tidak jarang Demam Dengue dapat disertai perdarahan hebat. Yang membedakan Demam Dengue disertai perdarahan dan DBD adalah kebocoran plasma yang terdapat pada DBD dan tidak pada Demam Dengue.

Gejala klinik utama pada DBD ialah demam dan manifestasi perdarahan baik yang timbal secara spontan maupun setelah uji turniket.

Untuk menegakkan diagnosis klinik DBD, WHO (1986) menentukan beberapa patokan gejala klinik dan laboratorium7: Gejala klinik; 1) Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2–7 hari. 2) Manifestasi perdarahan. 2.1. Uji tumiket positip. 2.2. Perdarahan spontan berbentuk petekie, purpura, eki- mosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena. 3) Hepatomegali. 4) Renjatan; nadi, cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<

20 mmHg) atau nadi tak teraba, kulit dingin dan anak gelisah.

Laboratorium: 1) Trombositopeni (-< 100.000 sel/ml). 2) Hemokonsentrasi (kenaikan Ht > 20% dibandingkan fase

konvalesen). Pembagian derajat DBD menurut WHO (1986) : Derajat 1 : Demam dan uji turniket positip. Derajat 2 : Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya di

kulit dan atau perdarahan lain. Derajat 3 : Kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi yang cepat

dan lemah, tekanan nadi menurun ( 20 mmHg) atau hipotensi disertai ekstremitas dingin dan anak gelisah.

Derajat 4 Renjatan hebat (nadi tak teraba dan tekanan darah tak terukur). Dalam pelaksanaan sehari-hari diagnosis klinik DBD dapat

ditegakkan kalau didapatkan : 1) Demam. 2) Manifestasi perdarahan. 3) Trombositopeni. 4) Hemokonsentrasi atau tanda-tanda kebocoran plasma lain-

nya seperti efusi pleura, asites dan hipoalbuminemi. Adanya renjatan disertai Ht yang tinggi dan trombositopeni

menyokong diagnosa DSS.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 4

Page 6: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Walaupun dalam dekade terakhir ini8,9 terlihat adanya per-geseran umur penderita ke golongan yang lebih tua (5 – 9 tahun), akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam frekuensi keluhan dan gejala penyakit kecuali pada nyeri abdomen, perdarahan dan renjatan (tabel 3). Tabel 3. Gejala klinik penderita DBD konfirmatif saat di rawat di BIKA

RS Sumber Waras 1968 - 1987.

Gejala Periode

1976-1977 (236)

Periode 1978-1987

(1046) Keterangan

1. Muntah-muntah 135 (57.3%) 650 (37.3%)

2. Hepatomegali 109 (46.2%) 482 (46.0%)

3. Nyeri abdomen 90 (38.1%) 535 (51.0%) p <0.01

4. Tes Turniket + 88 (37.3%) 635 (60.7%)

5. Petekie 77 (32.6%) 275 (26.3%) p <0.05

6. Melena 61 (25.5%) 126 (12.0%) p <0.01

7. Epistaksis 51 (21.6%) 263 (25.1%)

8. Hematemesis 50 (21.2%) 168 (16.0%) p <0.05

9. Renjatan 104 (44.1%) 281 (26.9%) p <0.01

Hasil pengamatan gejala klinik DBD di RS Sumber Waras

selama ini menunjukkan : 1) Demam

Lamanya demam sebelum dirawat berkisar antara 1 - 8 hari dan terbanyak antara 3 - 5 hari. Tabel 4. Lamanya demam sebelum dirawat pada penderita DBD di

BIKA RSSW (Juli 1985 - Juli 1986).

Golongan Umur (Tahun) Lama Demam ≤ 4 5–9 10–14

Jumlah

1 hari 1 6 2 9

2 hari 6 6 5 17

3 hari 8 14 14 36

4 hari 15 26 9 50

Shari 11 24 10 45

6 had 6 7 1 14

7 hari 3 8 3 14

≥ 8 hari 1 3 - 4

Jumlah 51 94 44 189

p < 0.01

Tidak terdapat perbedaan bermakna menurut golongan umur10

2) Manifestasi perdarahan Perdarahan pada DBD dapat bersifat spontan atau setelah

uji turniket. Uji turniket menurut metode standar yang di-anjurkan WHO menggunakan manset tensimeter dengan tekan-an antara tekanan sistole dan diastole dan dikatakan positip bisa didapatkan petekie > 20 dalam 1 inci (2,5 cm) persegi.

Manifestasi perdarahan spontan pada 72 penderita dari 189 penderita DBD yang dirawat tampak pada tabel 5.

Tabel 5. Jenis perdarahan spontan saat dirawat pada 72 penderita DBD di BIKA R.S. Sumber Waras (Juli 1985-Juli 1988).

Jenis Perdarahan Jumlah (%)

1. Petekie 30 (41.6) 2. Epistaksis 26 (36.1) 3. Hematemesis 14 (19.4) 4. Melena 11 (15.2) 5. Ekimosis 6 ( 8.3) 6. Perdarahan gusi 5 ( 6.9)

* terdapat kombinasi jenis perdarahan

Hepatomegali Hepatomegali ditemukan pada 46% - 53% penderita DBD8,9

Laporan dari Thailand dilmana virus D2 merupakan virus yang paling banyak diisolasi, hepatomegali ditemukan pada 80% - 90% penderita. 4) Renjatan

Nampaknya dalam dekade terakhir ini persentase timbul-nya renjatan lebih rendah dari dekade sebelumnya8,9. Dalam pengamatan selama epidemi tahun 1987 - 1988 penderita DSS berjumlah 9.7% dari seluruh penderita DBD dengan konfirmasi serologik (HI dan IgM) dan virologik atau 15% dari penderita DBD dengan konfirmasi virologik6.

Renjatan biasanya timbul antara hari ke 1 - 8 dan paling sering antara hari ke 2 - 5. 5) Nyeri abdomen

Walaupun keluhan nyeri abdomen tidak termasuk dalam salah satu kriteria gejala klinik menurut WHO, akan tetapi keluhan ini perlu diperhatikan terutama pada anak berumur 5 tahun ke atas10 karena biasanya berhubungan dengan derajat yang lebih berat. Laboratorium 1) Trombositopeni

Pada pengamatan 189 penderita DBD tahun 1985-198610 terlihat bahwa beratnya trombositopeni berhubungan dengan beratnya derajat penyakit. Tabel 6 dan Tabel 7 memperlihat-kan nilai rata-rata jumlah trombosit menurut derajat penyakit. Tabel 6. Distribusi penderita dengan trombositopeni menurut derajat

penyakit dan umur pada DBD yang dirawat di BIKA R.S. Sumber Waras (Juli 1985 - Juli 1986).

Umur

1 - 5 6 - 10 11 - 15 Jumlah (%) Derajat N

51 94 44 189

I 63 2 2 3 7 (11,1) II 54 4 12 7 23 (42,6) P < 0.01

III 40 13 16 4 33 (82,5) IV 32 13 11 4 28 (87,5)

Jumlah (%) 189 32 (62.7) 41 (46.9) 18 (40.9) 91 (48.2) 2) Hemokonsentrasi

Pada pengamatan 1989 penderita DBD10 didapatkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 5

Page 7: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Tabel 7. Perbandingan nilai rata-rata trombosit menurut derajat penyakit pada penderita DBD yang dirawat di BIKA LS. Sumber Waras (Juli 1985 - Juli 1986)

Derajat N Mean SD Keterangan

Sero- neg. 35 215.000 75.000 F = 50.28

I 63 210.000 85.000 V1 = 3

II 54 127.000 85.000 V2 = 211

III - IV 63 80.000 80.000 α < 0.01

bahwa makin berat derajat penyakit makin besar kemungkinan terjadinya hemokonsentrasi sedangkan untuk usia penderita hal tersebut tidak terlihat (Tabel 8). Tabel 8. Distribusi kenaikan hematokrit > 20% menurut golongan umur

dan derajat penyakit.

Umur I - 5 6 - 10 11 - 15 Jumlah (%) Derajat N

51 94 44 189

I 63 2 7 4 13 (20.6)

II 54 3 13 5 21 (38.8) p (0.01

HI 40 15 13 4 29 (82.5)

IV 32 12 13 4 29 (90.6)

Jumlah (%) 189 32 (62.7) 46 (48.9) 18 (40.9) 96 (50.7)

p > 0.05 Nilai rata-rata hematokrit pada penderita DBD tersebut

terlihat pada tabel 9.

Tabel 9. Perbandingan nitai rata-rata hematokrit menurut derajat penyakit pada penderita DBD yang dirawat di R.S. Sumber Waras (Juli 1987 - Juni 1986).

Denrajat N Mean SD Keterangan

Sero-neg * 35 36.5 2.61 F = 28.4 I 63 38.2 3.49 V1 = 3 II 54 40.6 3.99 V2 = 211

III/IV ** 63 42.3 3.90 α < 0.1

Catatan: * sero-neg (Der. I dan Der. II) ** perdarahan hebat dikeluarkan dari penilaian.

Meskipun virus D3 merupakan virus yang paling banyak diisolasi dan berhubungan dengan derajat penyakit yang lebih berat akan tetapi gejala klinik virus D3 dan virus Dengue lainnya secara statistik tidak bermakna kecuali trombositopeni. dan renjatan6. PENGAMATAN SEROLOGIK

Konfirmasi diagnosis klinjk DBD ditegakkan dengan pe-meriksaan isolasi virus dan atau pemeriksaan serologik. Pe-meriksaan serologik yang dianjurkan oleh WHO ialah pe-metiksaan hemagglutination inhibition (HI) menurut Clark dan Cassal. Untuk pemeriksaan HI diperlukan serum ganda (akut dan konvalesen) dengan jarak pengambilan 2 minggu.

Tabel 10. Gejala klinik berdasarkan serotipe virus Dengue pada pen- derita DBD dengan konfirmasi virologik (RSSW, 1987-1988)

Tipe Virus Keluhan dan Gejala

D3 D1,2,4 Total

(N=105) (N=46) (N=151)

1. Riwayat perdarahan 30 12 42 2. Nyeri abdomen 42 18 84 3. Panas tinggi 39°C) 70 28 98 4. Tes Turniiket (+) 59 28 87 5. Perdarahan spontan 30 14 44 6. Hepatomegali 60 20 80 7. Hemokonsentrasi 45 21 66 8. Trombositopeni 48 10 58 p < 0.05 9. Renjatan 20 3 23 p < 0.05 10. Kejang 6 0 6

11. Ensepalopati 4 1 5

Pada tiap infeksi baik primer maupun sekunder tubuh

mengadakan reaksi fase akut dengan membuat antibodi spesifik IgM. Pada infeksi primer IgG baru timbul kemudian dan titernya lebih rendah dari IgM sedangkan pada infeksi sekunder IgG timbul lebih cepat dengan titer yang lebih tinggi dari IgM disebabkan reaksi anamnestik.

Dalam pengamatan pada 151 penderita DBD dengan konfirmasi virologik13 ternyata titer IgM dapat dipakai sebagai parameter untuk konfirmasi DBD, dengan keuntungan tidak diperlukan serum ganda sehingga berguna bagi konfirmasi penderita fatal di mana hanya didapatkan serum tunggal. Pemeriksaan titer IgM pada serum tunggal saat masih dirawat menunjukkan hasil positip pada 19.8% penderita.

Di samping itu tampak pula bahwa titer IgG pada kadar HI ≥ 1280 timbul lebih cepat dan dengan titer yang lebih tinggi dari IgM sedangkan kurve titer IgG pada kadar HI < 640 timbul lebih lambat,dan dengan titer yang lebih rendah dari IgM.

Hal ini menunjukkan bahwa kadar HI < 640 sebanding untuk reaksi primer sedangkan titer HI > 1280 dengan reaksi sekunder (Gb. 2).

Gambar 2. Titer rata-rata IgM dan IgG pada penderita DBD dengan virus positip.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 6

Page 8: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Pengamatan tersebut sejalan dengan hasl survai sero.epide-cmologik pada anak sekolah di Jakarta12 yang mendapatkan bahwa titer rata-rata HI + 2 SD lebih rendah dari 640. Dengan demikian kadar HI = 640 pada anak dengan gejala klinik DBD sudah bersifat konfirmatif. Technical Advisory Group on DHF dari WHO7 menganjurkan untuk interpretasi titer HI, tiap negara mempunyai nilai baku masing-masing dengan kriteria titer HI > dari mean + 2 SD sebagai konfirmasi DBD. PENGELOLAAN

Pengelolaan DBD bersifat suportif dan simtomatik dengan tujuan utama untuk memperbaiki sirkulasi/mengatasi hipo-volemi serta mencegah terjadinya DIC dan renjatan.

Sejak ditemukan DBD tahun 1968, pengelolaan DBD di RS Sumber Waras mengalami beberapa kali perbaikan sehingga angka kematian DBD menurun dari 33.2% – 9.3% (1969–1978) menjadi 0.9% – 1.4% dalam dasawarsa terakhir ini.

Pengobatan DBD di Bagian Anak RS Sumber Waras me-liputi: Derajat I:

Pengobatan simtomatik, minum cukup dan makanan se-imbang serta pemantauan yang teratur dan ketat. Derajat II: 1) Hipovolemi

Untuk mengatasi hipovolemi diberikan cairan kristaloid (Dextrose 5% – NaCl 0,45%) sesuai dengah kebutuhan. Pada umumnya berkisar antara 100 ml – 200 ml/kgbb/hari sesuai dengan umur penderita. 2) Pencegahan DIC13

Sejak tahun 1977 diberikan kombinasi asetosal dan dipiri-damol (10 mg/kgbb/hari) untuk mencegah timbulnya DIC. Kombinasi ini diberikan pula pada penderita DBD derajat I.

Dipiridamol (DPM) mempunyai khasiat anti agregasi trombosit dan asetosal (ASA) dalam dosis rendah berpengaruh secara selektif pada siklooksigenase di trombosit dengan akibat mencegah pembentukan pro agregating tromboxane A2 sehingga memperkuat khasiat dipiridamol dalam pencegahan pembentukan trombus.

Meskipun belum dilakukan studi perbandingan akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan pengaruh yang buruk, se-hingga kombinasi tersebut masih diberikan pada penderita DBD. 3) Pengobatan DIC14

Karena DIC merupakan penyulit pada DBD maka pada tahun 1973 heparin diberikan dalam pengobatan DBD dengan DIC14. Dosis heparin ½ – 1 mg/kgbb/4 jam I.V. selama 24 – 48 jam. (Sejak tahun 1984 praktis heparin jarang lagi dipergunakan dalam pengobatan standar). 4) Komponen Darah

Pemberian suspensi trombosit dan atau darah lengkap sesuai dengan kebutuhan.

DSS (DBD III/IV) 1) Tindakan utama bertujuan untuk mengatasi renjatan dengan pemberian kristaloid (dextrose 5% – NaCl 0.45%) berjumlah 20 – 40 ml/kgbb/1 jam. Bila renjatan belum dapat diatasi diberikan plasma darah (fresh frozen plasma) atau plasma expander. (Lihat bagan).

2) Memperbaiki gangguan keseimbangan asam basa dan elek-trolit. 3) Pemberian komponen darah atau darah lengkap atas indi-kasi. 4) Pengobatan terhadap DIC. 5) Pemberian obat inotropik bila renjataan belum teratasi. 6) Pengawasan terhadap pemberian cairan, untuk mencegah overload yang disebabkan reabsorpsi cairan yang telah ke luar dari sistim vaskuler. 7) Pemberian albumin bila terdapat hipoalbuminemia disertai efusi cairan di ringga tubuh (pleura dan abdomen). 8) Antibiotik atas indikasi. 9) Menghindarkan perawatan/tindakan invasif yang berlebih-an. SIKAP DAN TINDAKAN PADA RAWAT JALAN

Dalam menentukan sikap dan tindakan terhadap penderita tersangka DBD diperhatikan beberapa patokan yaitu : 1) Kriteria diagnosis klinis dan diagnosis penyakit menurut

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 7

Page 9: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

WHO. 2) Anak berumur < 5 tahun cenderung menderita penyakit yang lebih berat. 3) Keluhan nyeri abdomen pada penderita ≥ 5 tahun berkait- an dengan derajat penyakit lebih berat. 4) Nilai Ht pada pemeriksaan pertama ≥ 40% dipertimbangkan untuk observasi lebih ketat. 5) Letupan penyakit/insiden DBD di daerah tempat tinggal. 6) Pengertian dan kerjasama dari orang tua penderita. Bagan di bawah ini menggambarkan sikap dan tindakan terhadap penderita tersangka DBD. Bagan tindakan pada penderita tersangka DBD :

KEPUSTAKAAN

1. LK Kho, H Wulur, A Karsono, Suprapti Thaib. Dengue hemorrhagic fever in Jakarta, MKI, 1989; 19 – 12.

2. L Partana, JS Partana, S Thahir. Hemorrhagic fever shock syndrome in Surabaya. Kobe J. Med. Sci. 1970; 26.

3. Suroso T, Bang YH. Control and prevention of dengue haemorrhagic fever in Indonesia: Strategy and thrust. Dengue Newsletters 11– 7, 1985.

4. Suharyono W. Sepuluh tahun pengamatan virus Dengue di Indonesia 1975 – 1985. Simposium Demam Berdarah. RSAB Harapan Kita, Jakarta, Juli 1986.

5. Muslim AN, Sri Rezeki Harun, Sumarmo. Dengue Hemorrhagic Fever and Japanese B Encephalitis in Indonesia. Southeast Asia J Trop Med Publ Hith 1988; 19 : 3.

6. TK Samsi. H Wulur, Sugianto D, CR Bartz. Some clinical and epidemiologic observation of virologically confirmed Dengue Haemorrhagic Fever. Diajukan pada 19th International Congress of Pediatrics, Paris, Juli 989.

7. World Health Organization: Dengue Haemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment and control, Geneva, 1986.

8. Sumarmo, Indra Rumadja, Sri Rezeki Harun, Muslim A. Nathin. Pengamatan klinis penderita demam berdarah dengue yang dirawat di Unit Kesehatan Anak R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (1975 – 1986). Diajukan pada Simposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW, Jakarta, 11 – 12 Desember 1987.

9. H Sidharta, H Wulur, Melani Setiawan, Jani Simkoputra, J Kartina dan Tatang KS. Kasus demam berdarah dengue selama 20 tahun di R.S. Sumber Waras. Diajukan pada Simposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW, Jakarta, 11 – 12 Desember 1987.

10. Tatang KS, Indra Susanto. Pengenalan dini dan penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue. Diajukan pada Simposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW, Jakarta, 11 – 12 Desember 1987.

11. TK Samsi, H Wulur, Sugianto D, CR Bartz. Serum IgM in virologically confirmed Dengue Haemorrhagic Fever. Diajukan pada 19th International Congress of Pediatrics, Paris, Juli 1989.

12. Sri Rezeki Harun, Paleologo, MS Muluk. Titer serologi darah HI virus Dengue pada anak sekolah di Jakarta. Diajukan pada KONIKA VII, Jakarta, 1987.

13. LK Kho, H Wulur, T Himawan. Dipyridamole in the treatment of Dengue Haemorrhagic Fever. Southeast Asian J. Trop Med. Pub. Hlth. 1979; 10 – 3.

14. LK Kho, Melani Setiawan, T Himawan, H Wulur. Management of Dengue Haemorrhagic Fever. Medika 1984; 8 – 10.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 8

Page 10: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Isolasi Virus Dengue dari Penderita Demam Berdarah Dengue

yang meninggal di Jakarta,lndonesia1986

Suharyono Wuryadi Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan •R.I., Jakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang hubungan serotipe virus Dengue dengan berat- nya penyakit yang ditimbulkan dalam hal ini kematian. Spesimen darah diambil dari penderita klinis Demam Berdarah Dengue yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta periode 1986. Kriteria klinis Demam Berdarah Dengue dari WHO 1975 dipakai untuk menentukan diagnosis. Karena pen-derita meninggal maka hanya didapatkan satu spesimen darah saja yaitu darah akut.

Selama periode 1986 ditemukan 51 kasus Demam Berdarah Dengue (Minis) yang meninggal. Dari jumlah tersebut hanya 37 penderita dapat diambil spesimen darahnya. Semua dilakukan usaha isolasi virus Dengue dengan cara inokulasi pada nyamuk Toxorhynchites dan penanaman pada biakan jaringan nyamuk Toxorhynchites TRA 284. Identifikasi dilakukan dengan,Fluorescence Antibody Techniques dengan menggunakan antibodi monoklonal. Secara klinis dari ke 51 penderita yang meninggal tersebut 22 adalah Grade IV, 27 Grade III, dan 2 Grade II. Kebanyakan kasus adalah Dengue Shock Syndrome dengan ensefalopati yaitu 39%.

Sebanyak 19 virus Dengue dapat diisolasi; 12 Dengue 3,5 Dengue 2 dan 2 Denguell. Tidak terisolasi Dengue 4.

Dengue 1, Dengue 2 dan Dengue 3 dapat menyebabkan kasus yang berat atau meninggal. Dengue 3 merupakan serotipe yang paling dominan dalam menyebabkan kasus yang berat/meninggal.

PENDAHULUAN

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih tetap merupakan masalah kesehatan yang besar di Indo-nesia. Kejadian wabah masih saja terjadi dan jumlah kasus makin meningkat dari tahun ke tahun. Kalau pada permulaan yaitu tahun 1968 hanya dilaporkan 58 kasus dengan 24 kematian maka pada tahun 1986 dilaporkan 16.421 kasus dengan 600 kematian (3,6%). Jumlah kasus ini merupakan angka tertinggi yang pernah dilaporkan di Indonsia selama ini. Yang menggembirakan adalah angka kematian yang jauh menurun yaitu pada tahun 1968 sebesar 41% dan pada tahun 1986 adalah sebesar 3,6% saja. Banyak hal yang masih belum diketahui dengan jelas tentang penyakit ini, sifat virus, virulensi virus, vektor, patofisiologi path penderita, terjadinya wabah, endemisitas dan lain-lain. Khusus tentang virus Dengue, dari penelitian sebelumnya di-

Disampaikan pada Kongres Nasional V, Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Jogyakarta 4–6 Desember 1989.

dapatkan bahwa di Indonsia ke-4 serotipe bersirkulasi dari tahun ke tahun. Serotipe Dengue 3 merupakan serotipe yang dominan dan paling sering berhubungan dengan kasus-kasus yang berat dan meninggal. Bahkan pada salah satu wabah yang terjadi di Bantul, Jogyakarta pada tahun 1975, sebagian besai{ virus yang dapat diisolasi adalah Dengue 3 (75%) demikian juga kasus yang meninggal.

Di sin akan diteliti tentang serotipe virus Dengue dalam hubungannya dengan kasus Demam Berdarah Dengue yang meninggal saja, yaitu dengan mengisolasi virus Dengue dari penderita Demam Berdarah Dengue, yang masuk dan dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo.

CARA KERJA Penderita yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Ciptomangunkusumo diambil spesimen darahnya. Hanya

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 9

Page 11: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

penderita yang meninggal yang dipakai pada penelitian ini. Darah diambil dari vena lengan dengan menggunakan semprit. Darah langsung (atau disimpan dalam almari es dulu apabila han libur atau maaam hari) dikirim ke Puslit Penyakit Menular. Pengiriman dalam thermos berisi es. Form klinis diisi oleh dokter yang bertanggung jawab. Biasanya form yang telah berisi data penderita secara lengkap akan dikirim setelah penderita sembuh. Di laboratorium darah dipisahkan serumnya dengan sentrifu-ge. Serum disimpan sampai saat dilakukan tes serologi; Hemagglutinasi Inhibisi dan kemudian isolasi virus. Tes Hemagglutinasi Inhibisi dilakukan dengan menggunakan 2 antigen. Biasanya Dengue 2 dan Dengue 3. Pada tes tersebut dipakai 4–8 unit antigen. Sebelum tes serum diabsorpsi dengan larutan Kaolin 25% untuk menghilangkan inhibitor non spesifik dan juga di-'absorpsi dengan butir darah merah angsa untuk menghilangkan aglutinin. Karena hanya dipakai satu spesimen darah saja maka dengan tes Hemagglutinasi Inhibisi tersebut tidak dapat atau sulit sekali ditentukan positif negatifnya.

Pada semua spesimen akut dilakukan usaha isolasi dengan cara penyuntikanpada~nyamuk Toxorhynchites splendon dari koloni laboratorium Inokulasi dilakukan secara intrathorax dengan menggunakan jarum gelas kapiler. Nyamuk diinkubasi-kan pada suhu 32° C selama 10 – 14 hart Identifikasi dilakukan dengan Fluorescence Antibody Technique dengan mengguna-kan antibodi monoklonal. Biasanya untuk identifikasi ini dipakai preparat kepala nyamuk. Juga dilakukan penanaman pada biakan jaringan nyamuk Toxor TRA 284. Setelah inkubasi pada 37% selama 6 hari, identifikasi dilakukan serupa pada inokulasi nyamuk.

Hasil isolasi virus dalam serotipe dianalisa, dihubungkan dengan gejala klinis yang ada dari tiap penderita. Dengan kriteria diagnosa klinis WHO penderita dapat dikategorikan dalam Grade tertentu. HASIL

Selama periode ini yaitu tahun 1986 sebanyak 1100 kasus Demam Berdarah Dengue dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo. Dan sebanyak itu 51 anak meninggal. Dan anak yang meninggal tersebut 37 pen-derita dapat diambil spesimen daranhnya. (Tabel 1) Tabel 1. Jumlah penderita, jumlab spesimen dan hasil tes H.I. dari

penderita yang meninggal

Jumlah penderita Jumlah spesimen Hasil tes H.I. 51 37 – 32 spesimen tunggal - tidak dapat

ditentukan – 3 spesimen paired - positif se-

kunder. – 2 spesimen tunggal - positif se-

kunder. – 2 spesimen tunggal - titer < 10 – 6 spesimen tunggal - titer 640.

Secara klinis dari ke 51 penderita yang meninggal, 22 pen-derita adalah Grade IV, 27 penderita Grade III dan 2 penderita Grade II. Kebanyakan yaitu 39% adalah Dengue Shock Syndrome

dengan ensefalopati. (Tabel 2) Dan ke 37 spesimen yang dapat diambil, hanya 22 yang dapat dilakukan tes Hemagglutinasi Inhibisi karena volume spesimen yang terlalu sedikit sehingga hanya cukup untuk isolasi virus saja. Dan 22 spesimen tersebut ada tiga penderita yang sempat diambil spesimen darah kedua yaitu 4–5 hari setelah spesimen darah pertama diambil.

Hasil tes Hemagglutinasi Inhibisi menunjukkan dari ke 3 spesimen yang sempat diambil darahnya dua Iran, ketiganya menunjukkan reaksi positif infeksi sekunder, sedang dari spesimen akut yang tunggal saja dua menunjukkan reaksi H.I. positif infeksi sekunder juga('> 1280). Lainnya tidak dapat ditentukan. Ada dua spesimen dengan titer HI sebesar 10. Titer H.I. sebesar 640 dijumpai pada sebanyak 6 penderita.

Umur penderita semua di bawah 15 tahun. Rata-rata antara 5–9 tahun. Jumlah kasus laki-laki dan perempuan hampir sama 25 dan 26).

Sebanyak 12 Dengue virus serotipe 3 dapat diisolasi, 5 Dengue serotipe 2 dan 2 Dengue serotipe I. Dan sebanyak 12 Dengue serotipe 3,8 penderita menunjukkan gejala Dengue Shock Syndrome, saturdengan ensefalopati dan satu tidak. Dua menunjukkan Grade III dan satu Grade II. Untuk Dengue 1, keduanya dari Grade II.(Tabel 3). Tabel 2. Jumlah penderita, jumlah spesimen darah dan hasil isolasi

virus dari penderita Demam Berdarah Dengue yang meninggal.

Jumlah penderita Jumlah spesimen Hasil isolasi virus

D1 D2 D3 D4 Jmlh

51 37 2 5 12 – 19

Tabel 3. Gejala klinis dari ke 51 penderita yang meninggal.

Jumlah penderita Gejala/Grade

51

– 20 penderita DSS dengan ensefalo- pati, terdiri dari 9 Grade IV & 11 Grade III. – 13 Grade IV & 16 Grade III. – 2 Grade IL

Tabel 4. Serotipe virus Dengue yang dapat diisolasi dihubungkan dengan

gejala klinis dari penderita.

Serotipe Jumlah Gejala klinis

Dengue.1 Dengue 2

Dengue 3

2 5

12

Semua dari Grade II Dua Grade III, tiga Grade IV, satu dengan ensefalopati. Delapan Grade III/IV dengan ensefalopati.

PEMBAHASAN Dengue 3 merupakan serotipe yang paling dominan. Diikuti Dengue 2 dan kemudian Dengue 1. Tidak ada Dengue 4 yang dapat diisolasi dari penderita yang meninggal ini. Dari berat ringannya penyakit yang ditimbulkannya terlihat bahwa Dengue 3 sangat berhubungan dengan kasus yang berat. Dari 12 virus Dengue yang dapat diisolasi ke-12 nya merupakan Grade III/IV,

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 10

Page 12: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

delapan dengan ensefalopati sedang untuk Dengue 2, dua dari 5 penderita adalah Grade III/IV dengan satu ensefalopati. Untuk Dengue 1, semua penderita yang virusnya dapat diisolasi hanya Grade II saja. Dengue 4 rupa-rupanya tidak berhubungan dengan kasus yang berat seperti terlihat tidak adanya isolasi virus.

Dari hasil pengamatan virus Dengue selama 10 tahun ter-akhir dari 1975 s/d 1985, terlihat bahwa Dengue 3 selalu atau hampir selalu merupakan serotipe yang dominan dan ber-hubungan dengan kasus yang berat/meninggal.,Hal ini tidak hanya berlaku untuk Jakarta tetapi juga untuk beberapa tempat di Indonesia. Secara keseluruhan selama 10 tahun itu Dengue 3 mewakili 48,3% diikuti oleh Dengue 2 sebesar 31,3%, kemudian Dengue I sebesar 14,3% dan yang terakhir Dengue 4 sebesar 6,0%.

Kalau kita lihat hubungan antara serotipe virus Dengue dengan berat ringannya penyakit terlihat bahwa Dengue 3 juga paling banyak berhubungan dengan kasus-kasus yang berat dan meninggal. Bahkan path waktu wabah di Kabupaten Bantul, Jogya pada tahun 1975 dari semua kasus yang meninggal semuanya disebabkan oleh Dengue 3. Hasil isolasi virus Dengue pada waktu wabah di Bantul tersebut selain Dengue 3, diisolasi juga Dengue 1 dan Dengue 4. Yang agak aneh adalah bahwa Dengue 2 tidak terisolasi selama wabah tersebut. Pada kejadian lain yaitu tahun 1978 di Jakarta, Dengue 2 di atas Dengue 3 disusul Dengue 1 dan Dengue 4. Pada tahun-tahun 1979, 1982, 1984 Dengue 2 hampir sama dengan Dengue 3. Hal ini menunjukkan bahwa Dengue 2 dan Dengue 3 merupakan serotipe yang dominan di mana Dengue 3 lebih suing dan lebih banyak berhubungan dengan kasus yang berat. Serotipe yang lain juga dapat menyebabkan Demam Berdarah Dengue yang berat tetapi dalam frekuensi yang rendah.

Sekarang yang menjadi pertanyaan mengapa tidak semua serotipe Dengue 3 menyebabkan penyakit dengan gejala yang berat. Mengapa dapat juga mengakibatkan penyakit dengan gejala yang ringan. Adakah perbedaan dalam virulensi dari sesama serotipe atau mungkin malah perbedaan virulensi dari serotipe yang sama dari waktu yang berbeda. Sampai sekarang pertanyaan tersebut belum dapat dijawab. Hewan percobaan yang dapat menunjukkan penyakit dengan gejala yang sama pada manusia sampai sekarang belum ada. Teknologi yang bisa mem-bedakan perbedaan tersebut juga belum diketemukan. Kalau perbedaan virulensi sesama serotipe dan juga sesama serotipe dari waktu yang berlainan memang ada, maka kita mesti berhati-hati dalam menentukan kandidat serotipe virus untuk vaksin.

Gejala Demam Berdarah Dengue dengan ensefalopati akhir-akhir ini merupakan gejala yang menonjol. Beberapa tahun yang lalu adanya gejala ensefalopati masih sangat jarang bahkan sama sekali tidak dimasukkan dalam kriteria diagnosa klinik dari WHO. Rupa-rupanya penyakit Demam Berdarah Dengue ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Hal mana terlihat juga dari kasus DemamB.erdarah Dengue pada dewasa. Mula-mula kasus jni jarang sekali dilaporkan atau diketemukan tetapi akhirakhir ini kasus Demam Berdarah Dengue pada dewasa sudah biasa dan banyak.

Kebanyakan kasus Demam Berdarah Dengue adalah kasus sekunder. Hal itu terlihat bahwa darii 37 kasus yang diteliti ini hanya dua spesimen yang spesimen darah akutnya mempunyai titer sama atau di bawah 10. Meskipun demikian belum berarti

atau belum jugai pasti bahwa kasus tersebut adalah infeksi primer, sebab untuk mengetahui infeksi primer masih hams di-ketahui spesimen darah konvalesen. Spesimen konvalesen hams menunjukkan angka di bawah 1280. Titer spesimen darah akut yang s 10 ada kemungkinan infeksi primer. Jadi kemungkinan adanya infeksi primer dari ke 37 penderita tersebut hanya pada 2 penderita. Hal ini menunjukkan betapa tingginya endemisitas virus Dengue di daerah tersebut.

Dalam penelitian ini diketemukan 6 kasus Demam Berdarah Dengue dengan titer akut sebesar 640, dari 3 di antaranya dapat diisolasi virusnya. Titer untuk spesimen tunggal sebesar 640 menurut kriteria WHO adalah negatif. Dari pengalaman waktu yang lampau banyak dijumpai atau diketemukan kasus kasus yang positif klinis Demam Berdarah Dengue tetapi titer H.I. untuk spesimen tunggalnya hanya menunjukkan 640. Sehingga interpretasinya negatif. Kalau kita lihat titer RI. bagi anak-anak Indonesia memang agak rendah dibandingkan dengan titer I-I.I. dari anak-anak di Thailand. Berhubung kriteria interpretasi tes H.I. tersebut ditegakkan berdasarkan penelitian di Thailand, mungkin untuk Indonesia kriteria tersebut dapat diubah, disesuaikan dengan keadaan di Indonsia. Penelitian untuk hal tersebut perlu dilakukan. KESIMPULAN 1) Dengue 3 masih merupakan serotipe yang dominan dan paling berhubungan dengan kasus yang berat/meninggal. 2) Dengue 2 dan Dengue 1 menyusul di belakangnnya. 3) Dengue 4 rupa-rupanya tidak menyebabkan kasus Demam Berdarah Dengue yang berat. 4) Gejala ensefalopati banyak diketemukan.

KEPUSTAKAAN

1. Anon. Technical guides for diagnosis, treatment, surveillance, prevention and control of Dengue Hemorrhagic Fever WHOI Geneva. 1975.

2. Clarke D H, Casals J. Techniques for hemagglutination and hemagglutination inhibition with Arthropod-borne viruses. Am J Trop Med Hyg. 1958; 561.

3. Gubler D J, Suharyono W, Sumarmo, Wulur H, Jahya E, Sulianti Suroto J. Virological surveillance for Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia using mosquito inoculation technique. Bull WHO 57 : 931 - 936.

4. Kho LK, Wulur H, Karsono A, Thaib S. Majalah Kedokteran Indonesia 1969; 19 : 417.

5. Kuberski IT, Rosen L. A simple technique for the detection of Dengue antigen in mosquitoes by inununoflourescence. Am J Trop Med Hyg 1977; 26 : 533 - 7.

6. Rosen L, Gubler DJ. The use of mosquitoes to detect and propagate Dengue viruses. Am J Trop Med Hyg 1974; 23 : 1153 - 60.

7. Suharyono, W. Gubler, DJ. Lubis, I. Tan, it Abidin, M. Sie, A. Sulianti Suroso J. Dengue virus isolation in Indonesia. 1975 - 1978. Asian J Infect 1979; 3 : 27 - 32.

8. Suharyono W. Sepuluh tahun pengamatan virus Dengue di Indonesia 1975 - 1985. Prosiding Simposium Demam Berdarah Dengue. Jakarta 1986.

Ucapan terima kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada DR Sumarmo, Kepala Sub. Bagian Penyakit Tropis dan Infeksi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak R.S. Ciptomangunkusumo, Jakarta yang telah memberikan bantuannya dalam memberikan diagnosis klinik dari penderita yang meninggal dan juga pengambilan spesimen darah dari penderita tersebut. Tanpa bantuannya tidaklah mungkin penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 11

Page 13: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

A Molecular Perspective on the Pathogenesis of

Dengue Hāemorrhagic Fever

Dr. Tikki Pang Institute of Advanced Studies University of Malaya,

59100 Kuala Lumpur, Malaysia.

SUMMARY

Recent developments in molecular immunology are discussed in terms of its relevance to the pathogenesis of dengue haemorrhagic fever (DHF). Molecular details of interactions between cytotoxic T lymphocytes (CTL) and infected target cells seem especially important. It is hypothesized that the 'strength' of antigen presentation, as influenced by interactions between class I HLA molecules and viral peptide antigens, is a crucial factor in the pathogenesis of DHF with direct implications for disease severity.

CURRENT CONCEPTS OF DHF PATHOGENESIS

The dengue viruses cause a spectrum of disease syndromes with the severe end represented by dengue haemorrhagic fever (DHF). These syndromes remain as important public health problems) in many parts of the tropical world.

The current concepts relating to DHF pathogenesis have been discussed previously.1 The immune enhancement hypothesis proposes that subneutralizing levels of 'enhancing' antibodies promote virus entry and replication within monocytes and macrophages.2 These infected cells then become the targets of an immune elimination response (most probably mediated by CTL) and release various chemical mediators which cause the major symptoms of DHF, shock and haemorrhage. The existence of CTL in human dengue infections has been shown recently.1 The pathological features of DHF, ie. lack of gross tissue damage, are indicative of the involvement of short-lived chemical mediators. An alternative hypothesis proposes that DHF is not related to the host immune response and is caused by variant forms of dengue viruses which possess increased pathogenic potential.

Accepting that mediator release is a key event, what factors may influence it? Level of virus growth within monocytes/ macrophages is important. This may be influenced by the amount of enhancing antibodies and individual, variant virus strains with increased growth potential. Another important event is the immune attack of infected cells by CM which may be affected by the numbers of CTL generated and also the amount and class of MHC antigens present on target cells.

Infected monocytes/macrophages are unlikely to escape CTL attack as they display viral antigens on the surface. MOLECULAR ORGANIZATION OF DENGUE VIRUS GENOMES

Much new information has been generated with regards to the structure and organization of dengue virus genomes.5 Extensive sequence information on a large variety of dengue strains has also been obtained. However, it is not yet clear how such differences at the molecular level relate to biological properties of the virus and hence to the virulence/pathogenicity of individual virus strains. More information is also needed on strategies for replication and assembly and the nature of en-hancing epitopes on dengue virions. MOLECULAR ADVANCES IN UNDERSTANDING CTL-TARGET CELL INTERACTION. The CTL phenomenon is well-established as a central compo-nent of the cell-mediated immune response to viral infections. In relation to CM action it is known that CTL recognize viral antigen (on the surfaces of infected cells) in association primarily with class I MHC structures (HLA-A, HLA -B and HLA-C regions in man). In view of the potentially important role of CTL, a detailed picture of CTL-target cell interaction at the molecular level may be crucial for a full understanding of DHF pathogenesis. Important advances have been made recently specifically in relation to the nature of the T cell receptor (TCR) for antigen, molecular structure of HLA class I molecules,

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 12

Page 14: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

molecular details of the interaction between MHC (HLA) proteins and viral antigen, and mechanisms of antigen pro-cessing and presentation.

The nature .of the T cell receptor for antigen is now well known, as is the three-dimensional molecular structure of HLA class I proteins. 6 The nature of the interaction between antigen and class I HLA molecules has also been partially elucidated, including definition of the peptide binding cleft/groove on the HLA-A2 molecule 6 capable of binding peptides of 8 - 20 amino acids. That this is indeed the antigen binding site is suggested by the fact that most amino acid residues in class I molecules known to influence antigen recognition by CTL are clustered in the walls or floor of the groove. Also relevant is the important finding that CTL recognizes relatively short peptide sequences resulting from antigen processing as opposed to B cells which recognize native proteins. The ability of CTL to recognize internal viral proteins not normally present on the cell membrane has also been recognized. In fact, it has been estimated that 90% of CTL recognize internal rather than surface viral proteins.' Antigen processing refers to a cellular event that results in changes in the native structure of a soluble protein antigen; it may involve denaturation and unfolding, and proteolysis. By definition, these changes either promote or inhibit an interaction between the antigen (or antigenic peptide) and a major MHC molecule on the surface membrane of an antigen-presenting cell and consequent antigen-specific recognition by CTL. The question of whether an antigen is presented by class I or class II MHC molecules appear to be closely related to its source, whether exo- or endogenous.8

It is important to discuss this new information and relate it to the pathogenesis of DHF as it finally gives us a handle on the possible structural and molecular basis of pathogenicity and which provide an explanation for the spectrum of syndromes seen in dengue virus infections. Until this time, we have spoken of concepts of enhanced growth promoted by enhancing anti-bodies and of virulent strains with increased pathogenic potential without knowing how it may operate at the molecular level. The current notion on this question simply says that the more the number of infected cells, the more severe the disease. Although this may be so, in light of the new information it may turn out to be a little simplistic.

ROLE OF HLA AND ANTIGEN PROCESSING IN CTL ACTION AND ITS IMPLICATIONS FOR DHF PATHO-GENESIS

In view of the above, five important aspects of CTL action can be identified with important implications for DHF patho-genesis : 1) The HLA type could influence the magnitude of antiviral CM responses. This has been shown to occur with influenza virus, alpha viruses and also dengue virus. 9 In relation to DHF pathogenesis it would imply that the HLA type of an individual is important in determining susceptibility, ie., the variability observed in the clinical spectrum of dengue infections may in part be influenced by HLA type. Also, it may mean that disease severity may not necessarily be related to the number of infected cells. 2) The nature of the MHC-peptide interaction is crucial – HLA

type may influence which virus proteins are recognized. This would imply that a ,'weak' host component (ie. type of HLA class I molecule with low immunogenicity) can be 'strengthened' by a virulent virus producing a highly immunogenic peptide and vice versa. Because of this possibility, predictions based on HLA type alone may not be sufficient. The recent observation that interferon gamma increases the expression of MHC antigens during dengue infection3 is also relevant. 3) CTL recognizes short, processed viral peptides. This has been shown using synthetic peptides in the influenza CTLI model. 10 Truncation of theseshort(peptides (e.g., form 17 to 11 amino acids) can result in significant reduction of'lysis. 10 4) CIL recognizes internal virus proteins on infected cells. Because these internal proteins could not be detected intact on the surface of infected cells, it suggests that CTL recognizes processed virus antigens. This has been demonstrated in the influenza system where CTL were able to recognize nucleoprotein and matrix protein. These observations may point to a rational therapeutic approach for DHF based on interference with effective antigen presentation. 5) Finally, what are the implications for vaccines? It may mean that a suitable T cell epitope that would preferentially stimulate T helper/inducer cells rather than CTL. HLA AND ANTIGEN PROCESSING IN DHF/DSS

With regards to DHF, HLA associations has been reported. There appears to be a positive association with HLA–A2 and HLA–B blank and a negative association withjHLA–B13." Additionally, DHF has also been found in members of the same family. The role of genetic factors is apparent during the 1981 DHF outbreak in Cuba where black children were spared. Consistent with this observation, dengue virus appears to grow better in macrophages from white persons in the presence of enhancing antibodies.12 There is also an absence of DHF in certain population groups/regions where dengue viruses are endemic e.g. Africa, India, Sri Lanka. In relation to antigen processing, recent reports suggest that several different forms of the non-structural protein NS1 are found in dengue-infected cells.13

STRENGTH OF ANTIGEN PRESENTATION – A CRUCIAL FACTOR?

How could all this new knowledge relate to disease severity?. It is argued that the 'strength' of antigen presentation (by infected cells to CM) could be a crucial aspect of DHF pathogenesis. That is, strong/effective presentation leads to vigorous attack, more mediators released, more severe disease. Two factors can have an important influence on 'strength'. The HLA type of the affected individual and the nature of the processed viral peptide. This, in turn, infers that 'strength' of presentation is under both host and viral control. PRESCRIPTIONS FOR DHF RESEARCH

In light of the above, certain research priorities can perhaps be identified : 1) An attempt should be made to extend HLA association studies in areas where DHF is endemic. This should also include

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 13

Page 15: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

linkage disequilibrium data in the different population. Gross differences in type may not predict susceptibility, however, as minute changes in HLA can strongly affect the magnitude of the CTL response. 2) Studies should be carried out to identify. antigenic deter-minants recognized by CM; emphasis should be on using synthetic peptides derived from available sequence information on structural as well as nonstructural regions of the genome. Also, details of antigen processing and presentation need to be fully elaborated. Most importantly, there is a requirement for more immunological research in collaboration with molecular biologists. 3) The true identity of mediators which cause shock and haemorrhage needs to be determined. CONCLUSIONS

In conclusion, it is proposed that there is a major role for HLA in presentation of processed viral antigens to CTL and that the 'strength' of antigen presentation (influenced by HLA, viral peptides) may be more important in determining disease

severity than the presence of enhancing antibodies or infection by more virulent virus strains. It is once again emphasized that DHF pathogenesis is influenced by both virus and host factors.

REFERENCES

1. Pang T. Bioessays 1986; 6 : 141 - 144. 2. Halstead SB. Am J Epidemiol 1981; 114 : 632 - 48. 3. Ennis FA, Kurane I. et al. unpublished. 4. Rosen L Am J Trop Med Hyg. 1977; 26 : 337 - 343. 5. Blok J, Samuel S, Gibbs AJ, Vitarana UT. Arch Virol. 1989; 105 : 39 - 53. 6. Bjorkman PJ, Saper MA, Samraoui B, Bennett WS, Strominger JL, Wiley

DC. Nature 1987; 329 : 506 - 12. 7. Rouse BT, Norley S, Martin S. Revs. Inf. Dis. 1988; 10 : 16 - 33. 8. Long EO. Immunol. Today 1989; 10 : 232 - 4. 9. Pang T, Devi S, Blanden RV, Lam SK. Microbiol. Immunol. 1988; 32 :

511 - 8. 10. Gotch F, Rothbard J, Howland K, Townsend A, McMichael A. Nature

1987; 326 : 881 - 2. 11. Chiewsilp P, McNair-Scott R, Bhamarapravati N. Am. J. Trop. Med. Hyg.

1981; 30 : 1100 - 5. 12. Monet L, Koure G, Guzman G, Soler M. Lancet 1987; 1 : 1028 - 9. 13. Brandt WE. J. Inf. Dis. 1988; 157 : 1105 - 11.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 14

Page 16: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Hubungan Titer Antibodi H.I.Akut dan Konvalesen pada Penderita

Demam Berdarah (DHF) di Jakarta 1988

Dr Imran Lubis Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRACT

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is a major public health problem in Indonesia. There are 10.000 cases annually with CFR 4%. Surveillance of cases is an important tool to understand the recent epidemiological pattern.

Prognosis of DHF after first consultation is almost impossible to be made. The clinical symptom of DHF is capable to change from mild to severe in a very short time.

A study on the correlation of Hemaglutination Inhibition (H.I.) antibody titer among Dengue Haemorrhagic Fever cases had been done. From January 1988 to December 1988, a total of 1756 suspected cases of DHF from hospitals in Jakarta were tested using 8 IU of Dengue 2 antigen according to Clark & Cassal microtechnique method.

There were 866 DHF cases confirmed with positive H.I. test according to WHO Diagnostic Criteria. From those cases 426 were children and 440 were adults. It shows that DHF was not only affecting children as previously but also adult.

Correlation on the H.I. titers in acute phase and convalescence phase for total cases, children as well as adults had shown similar pattern. They were correlated on the left side and no linear correlation could be drawn so far. Meaning that the individual variables is still numerous.

In order to make prediction of DHF cases on first consultation more accurate, further studies should be performed based on more specific group, such as age, sex, clinical symptoms, environment back ground etc, to find a significant correlation or regression line between H.I. titer during acute phase with those variables.

PENDAHULUAN

Penyakit Demam Berdarah (DHF) merupakan salah satu penyakit penting di masyarakat yang perlu ditanggulangi. Di Asia Tenggara, terbanyak dilaporkan di Thailand kemudian Indonesia. Di. Indonesia, jumlah penderita penyakit ini rata-rata 10.000 setiap tahunnya, berasal dari laporan rumah sakit dan wabah. Angka kematian kasus dapat ditekan sekitar 4%. Pengamatan perlu dilakukan secara terus menerus supaya setiap perubahan gambaran epidemiologik penyakit dapat segera diketahui.

Jakarta termasuk salah satu daerah endemis demam ber-darah. Biasanya penderita mulai meningkat pada waktu permula-an musim hujan. Pernah terjadi wabah pada anak dan orang dewasa di daerah Lenteng Agung (1987). Sering peningkatan jumlah penderita tidak sama dengan peningkatan kepadatan

vektor demam berdarah (nyamuk Aedes), bahkan terjadi lebih dulu dari yang diperkirakan. Faktor-faktor penyebab keadaan ini masih belum diketahui secara pasti.

Sampai sekarang prognosis penyakit demam berdarah masih sulit ditentukan secara dini. Penderita Grade I dan Grade II (disebut sebagai Dengue Fever) tidak dirawat di RS, dengan catatan apabila gejala berat mulai timbul segera dibawa ke RS. Penderita Grade III dan IV (golongan yang mendapat renjatan/ shock dan sudah moribund) hams dirawat di RS. Dalam per-jalanan penyakit dapat saja penderita yang semula adalah Grade I atau II kemudian secara mendadak jatuh menjadi Grade III atau IV dan meninggal bila terlambat sampai di RS. Hal ini dapat dihindari bila ada suatia cara untuk menentukan prognosis penyakit secara dini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 15

Page 17: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

BAHAN DAN CARA Bahan penelitian adalah spesimen penderita tersangka

demam berdarah yang diperiksa di Laboratorium Virologi, Puslit Penyakit Menular dari Januari 1988 s/d Desember 1988. Penderita berasal RS Ciptomangunkusumo, RS Mintohardjo, RS Persahabatan, RS Gatot Subroto dst. terdiri dari golongan umur anak maupun dewasa dan orang tua.

Data penderita diperoleh dari formulir yang dipergunakan oleh Dit.Jen P2M & PLP untuk pemantauan kasus demam ber-darah.

Setiap penderita yang diteliti dilengkapi dengan spesimen fase akut (disebut akut saja, fase permulaan penyakit yaitu se-belum hari ke 5 sakit) dan spesimen konvalesen (disebut konvalesen saja, fase penyembuhan yaitu pada hari ke 10 sakit atau selebihnya).

Pemeriksaan titer antibodi dilakukan dengan metode Clark & Cassal modifikasi mikroteknik dengan menggunakan 8 IU antigen D2 dan sebelumnya dilakukan Kaolin Treatment untuk menghilangkan antibodi lain yang non spesifik. Antigen D2 didapatkan dari PN Biofarma, Bandung.

Analisa data tahap pertama ialah konfirmasi serologik pen-derita klinis tersangka demam berdarah dengan memakai kriteria WHO (1985) untuk diagnosis serologik HI penyakit demam ber-darah. Bila titer HI pada serum konvalesen naik empat kali atau lebih dibandingkan titer HI serum akut, atau kedua serum ter-sebut sudah mempunyai titer tinggi (yaitu 1240 atau lebih) walaupun tanpa kenaikan 4 kali maka disebut positip. Bila tidak memenuhi salah satu syarat tersebut maka disebut negatip. Tahap ke dua adalah melakukan analisis statistik memakai Program Minitab dan Turbo Pascal dalam menghitung korelasi dan frekuensi distribusi penderita menurut umur dan titer HI akut dan konvalesen. Koefisien korelasi dihitung secara Pearson.

HASIL

Selama periode Januari 1988 std Desember 1988 telah di-kumpulkan 1756 spesimen penderita tersangka demam berdarah dari RSCM/FKUI, RS Persahabatan, RS Islam, RS Mintoharjo, dan RS St. Carolus, yang semuanya terdiri dari spesimen filter paper. Di antaranya terdapat 48 (2,7%) spesimen tunggal yaitu hanya spesimen akut atau konvalesen saja dan sisanya berupa spesimen ganda. Interpretasi hasil pemeriksaan, seperti yang diharuskan dalam kriteria WHO di atas, hanya dapat dilakukan pada spesimen ganda saja.

Dari seluruh spesimen penderita tersangka demam berdarah didapatkan 49,3% serologi HI negatip (bukan demam berdarah) dan 50,7% positip (seterusnya disebut sebagai penderita demam berdarah). Penderita demam berdarah dengan hasil serologik HI positip menurut bulan dan golongan umur tampak pada Tabel 1.

Jumlah penderita demam berdarah menurut golongan umur dari Januari s/d Desember 1988 adalah 426 anak dan 440 dewasa. Perbedaan golongan umur ini secara jelas tampak pada bulan Februari, Maret, Nopember dan Desember 1988, golongan dewasa lebih banyak 2-5 kali daripada anak. Hal ini tidak seperti biasanya, yaitu golongan anak lebih banyak.

Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya maka selama periode Januari 1988 - Desember 1988, jelas terjadi per-

Tabel 1. Jumlah penderita demam berdarah anak dan dewasa dengan hasil serologik HI positip, di Jakarta 1988.

Bulan Anak Dewasa Jumah Januari 37 38 75 Februari 11 82 93 Maret 12 35 47 April 200 107 307 M e i 99 90 189 Juni 41 51 92 Juli 12 13 25 Agustus 3 5 8 September 5 4 9 Oktober 2 3 5 Nopember 2 6 8 Desember 2 6 8

Jumlah 426 440 866

geseran umur penderita meleber ke kanan, meliputi tidak saja golongan umur anak tapi telah mencakup remaja, dewasa dan orang tua.

Frekuensi distribusi dari 866 penderita demam berdarah pada titer akut dan konvalesen tampak pada Grafik 1. Grafik 1. Perbedaan Titer HI Akut dan Konvalesen, DHF, Jakarta 1988.

Tampak bahwa jumlah penderita demam berdarah dengan

titer HI pada fase akut antara < 10-80 dan 640 antara 80-100 orang. Titer HI tinggi lainnya (1280, 2560 dst) antara 40-80 orang.

Pada fase konvalesen jumlah penderita mulai banyak pada titer 320, tertinggi pada titer 640 dan 10240 yaitu antara 100-150 orang. Untuk titer < 10 tidak ada, pada titer 20-40-80 mulai terjadi peningkatan dari 20 ke 46 orang.

Korelasi dari 866 penderita demam berdarah titer HI akut dengan konvalesen tampak pada Gambar 1. Tampak bahwa kore-lasi terdapat pada sisi paling kiri. Koefisien korelasi adalah : 0.587. Titik-titik korelasi belum dapat dihubungkan dengan satu garis lurus. Ini berarti bahwa penderita dalam data korelasi masih sangat bervariasi.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, perbedaan jumlah penderita

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 16

Page 18: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Gambar 1. Korelasi antibodi Akut dan Konvalesen, DHF di Jakarta 1988. Gambar 2. Korelasi antibodi Akut dan Konvalesen, anak dengan DHF.

emam berdarah anak dengan dewasa secara umum tidak

an antara titer antibodi H.I. akut dan konvalesen pada

ungan antara titerantibodi H.I. akut dan konvalesen pada

rafik 2. Perbandingan titer H.I. Akut dan Konvalesen, anak DHF,

dbermakna. Hubung Berdasarkan Tabel 1 di atas, perbedaan jumlah penderita demam berdarah anak dengan dewasa secara umum tidak ber-makna.

Hub golongan anak saja tampak pada Grafik 2. Tampak pada

Grafik 2 bahwa penderita terbanyak adalah pada titer akut 20 (60 anak), rata-rata 40 anak pada titer akut > 10–20–80 dan 640, dan rendah (rata-rata 20 anak) pada titer akut lainnya. G

Jakarta 1988.

iter konvalesen < 10 tidak ada seorangpun, mulai me-ning

n korelasi titer H.I. akut dan konvalesen pada anak adal

Perbedaan jumlah penderita demam berdarah pada golongan

rafik 3. Perbandingan Titer H.I. Akut dan Konvalesen, DHF Dewasa,

Tkat pada titer 10–20–40–80 yaitu dari 12 ke 20 anak dan

terbanyak pada titer 640 dan 10240 dengan jumlah 70 anak. Korelasi titer H.I. akut dan konvalesen pada anak tampak pada Gambar 2.

Koefisieah 0,578. Tampak pada Gambar 2 bahwa korelasi terletak

pada bagian kiri dan belum dapat dibuat suatu hubungan garis (linear correlation)

dewasa saja menurut titer H.I. akut dan konvalesen tampak pada Grafik 3. G

Jakarta 1988.

Jumlah penderita dewasa titer akut H.I. terbanyak adalah 20

HI

efisien korelasi titer H.I. akut dan konvalesen pada dew

mbar 3 bahwa korelasi terletak pada bagi

ISKUSI antibodi dalam serum akut lebih tinggi pada orang

dew

dengan 65 orang, untuk titer < 10–10-40–80 rata-rata 45 orang.

Pada fase konvalesen jumlah penderita terbanyak pada titer 640 dan 10240 yaitu 70 orang, titer < 10 tidak ada

seorangpun dan mulai meningkat pada titer 10–20–40–80 yaitu dari 15 ke 25 orang, sedangkan titer yang lain rata-rata 25 orang.

Koasa adalah 0,576. Tampak pada Gaan kin dan belum dapat dibuat suatu hubungan garis (linear

correlation). D

Responasa. Spektrum titer antibodi Dengue pada anak terbanyak

adalah dari < 10–1280, jarang mencapai 10240, sedangkan pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 17

Page 19: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Gambar 3. Korelasi Antibodi H.I. Malt dan Konvalesen DHF Dewasa. ambar 3. Korelasi Antibodi H.I. Malt dan Konvalesen DHF Dewasa.

rang dewasa cukup banyak jumlah penderita bertiter 10240.

esia telah dilaporkan empat tipe virus Den

spes

ian ini, tampak bahwa korelasi titer HI. akut

aik adalah bagan korelasi anak dan dewasa

umur, jenis kelamin, gizi, gejala klinik (grade), past infection

konvalesen atau prognosis penyakit dapat dibuat bila merupakan suatu hubungan garis lurus (linear correlation). Berdasarkan korelasi ini dapat dicari lagi koefisien korelasi yang menggambarkan berapa besar pengaruh dari prediksi mendatang tersebut. Dengan demikian prediksi prognosis penyakit demam berdarah dapat dibuat berdasarkan kategori kelompok penderita dan nilai ketepatan yang diizinkan.

Penelitian lanjutan mengenai hal tersebut di atas perlu di-lakukan agar supaya prognosis penderita demam berdarah secara dini dapat ditegakkan sehingga.dapat menekan angka kematian penderita.

KEPUSTAKAAN

1. Suharyono. Aspek virologi dari penyakit Dengue Haemorrhagic Fever. Dalam buku : Syarif A. Djairas Z, Umar AI, Herawaty B eds. Makalah seminar Demam Berdarah dan penanggulangannya di masyarakat, 1983, IDI Jak Tim : 25-33.

2. Sumarmo. Perkembangan mutakhir Demam Berdarah Dengue. Dalam buku : Simposium Demam Berdarah Dengue di Jakarta 26 Juli 1986; 1-17.

3. Gubler DJ, Suharyono, Lubis I et al. Epidemic Dengue 3 in Central Java, associated with lowviremia in man. Am.J.Trop.Med.Hyg. 1981; 30 : 1094-9.

4. Lubis I. Ensefalitis karena virus Dengue. Dalam buku : Simposium Demam Berdarah Dengue Jakarta 26 Juli 1986 : 56-65, 1986

5. Sumarmo. Demam Berdarah Dengue pada anak di Jakarta. Tesis 1983. 6. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever : Diagnostic,

treatment and control. WHO, Geneve, 1986. 7. Wuryadi S. Sepuluh tahun pengamatan virus Dengue di Indonesia. Dalam

buku : Simposium Demam Berdarah Dengue Jakarta 26 Juli 1986; 66-82.

Ucapan terima kasih Penulis menyampailcan ucapan terima kasih atas bimbingan dan izin

yang telah diberikan oleh Dr. Suriadi Gunawan DPH, Kepala Puslit Penyakit Menular sehingga dapat terwujudnya makalah ini.

oJumlah penderita dewasa yang bertiter 10240 sebesar 2–4 kali jumlah penderita anak.

Mengingat di Indongue, dengan virus tipe D3 yang dominan1 dan masih banyak

daerah yang dianggap high endemic, maka pada umur 10 tahun semua anak dianggap pemah mengalami infeksi dengan ke empat tipe virus Dengue (D1, D2, D3, D4). Dan seperti ke-kebalan yang terjadi akibat infeksi Arbovirus lainnya (Yellow Fever Chikungunya), kekebalan terhadap Dengue ini dianggap tahan lama (long lasting). Oleh karena itu, kita selalu meng-anggap bahwa penyakit demam berdarah sangat jarang diderita oleh rang dewasa. Padahal pada penelitian ini temyata jumlah penderita demam berdarah anak (426 anak) sama dengan jumlah pada orang dewasa (440 prang). Hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Masalah lain penyakit demam berdarah adalah kemungkinan

p

timbulnya gejala berat (shock, perdarahan) yang belum dapat di-ramalkan teriebih dahlu. Perubahan dari gejala ringan menjadi lebih berat biasanya terjadi pada hari ke 5 sakit2. Sehingga pada masa itu perlu dilakukan pemeriksaan trombosit dan/atau hematokrit berulang kali. Bila gejala memburuk segera dilaku-kan upaya mengatasinya. Hal ini tidak selalu mudah dilakukan.

Infeksi virus Dengue tertentu akan menimbulkan antibodi ifik terhadap tipe Dengue tersebut sebagai mekanisme

tubuh untuk menangkal perkembangan virus lebih lanjut. Produksi antibodi makin bertambah banyak agar mampu menetralisir semua virus. Pada reaksi netralisasi ini terjadi hasil sampingan komplemen C3a, yang berfungsi sebagai salah satu faktor dalam mekanisme renjatan anafilaktik. Komplemen tersebut mengakibatkan kebocoran plasma (plasma leakage) dan DIC (Disseminated Intravascular Coagulation). Tingginya kadar komplemen inilah yang dianggap sebagai penyebab shock atau perdarahan.

Dari analisis penelit konvalesen mengelompok di bagian kiri bagan. Belum

tampak hubungan titer antara titik-titik korelasi tersebut. Hal ini karena sifat penderita demam berdarah masih terlalu umum, baik secara total maupun setelah dipisah untuk anak atau dewasa saja. Suatu hal yang btidak berbeda jauh. Sehingga dengan membuat pengelompokan penderita demam berdarah lebih spesifik, misalnya menurut :

(endemisitas daerah) maka korelasi titer akut dengan titer

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 18

Page 20: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 19

Pengembangan Penggunaan Biakan Jaringan Ginjal Monyet

untuk Pemeriksaan Tanggap Kebal terhadap Virus Chikungunya

Eko Rahardjo

Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengernbangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

RAK

us chikungunya biasanya dilakukan dengan mplement fixation (CF) dan akhir-akhir ini ssay (ELISA). Pada penelitian ini diterapkan

uji netralisasi (Nt) diwarnai dengan menggunakan peroksidase anti peroksidase (PAP). untuk uji tanggap kebal ini. Biakan sel

m uji netralisasi. Plate biakan jaringan dengan mbuh biakan jaringan.

n ini ialah bahwa uji netralisasi dengan pewamaan PAP bisa dipakai kungunya. Diantara sampel serum yang di-

litian ini juga dapat disimpulkan bahwa anak laki-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan sama untuk terinfeksi virus chiku-ngunya. Titer kadar zat anti yang dijumpai relatif rendah. Hubungan umur dengan tanggap kebal juga dibicarakan, baik dalam segi kuan- titatif maupun kualitatif.

PENDAHULUAN

Virus chikungunya adalah virus yang penyebarannya me-liputi wilayah Afrika, Asia Tenggara dan India1 . Infeksi virus ini bisa menyebabkan demam tinggi, rasa nyeri yang sangat pada persendian, timbulnya bercak-bercak merah pada per-mukaan kulit (maculopapular rash). Di Asia Tenggara infeksi virus chikungunya kadang-kadang mengakibatkan manifestasi perdarahan yang tidak berbeda dari pengamatan pada infeksi virus dengue1.

Virus chikungunya pertama diisolasi dari manusia dan nyamuk pada tahun 1952 di Tanganyika (sekarang Tanzania), Afrika (Ross, 1956). Sedangkan di Asia Tenggara virus chiku-ngunya diisolasi pertama kali pada tahun 19583.

Penggunaan biakan jaringan untuk isolasi virus sudah di-lakukan sejak pertengahan abad ini dan biakan jaringan juga dapat untuk memperbanyak jumlah virus dengan menggunakan biakan jaringan primer ginjal monyet4. Virus chikungunya ternyata dapat juga dibiakkan pada biakan jaringan yang

Dibacakan pada Kongres Biologi Nasional VIII, Porwokerto 8 – 10 Oktober 1987.

bersifat lestari (established cell line) dad sel ginjal monyet hijau Afrika (African green monkey kidney cells), dikenal sebagai sel vero5. Perhitungan jumlah virus chikungunya dengan cara menghitung bercak (plaque) yang timbul pada biakan jaringan atau lebih dikenal sebagai titrasi plak (plaque titration) juga dikembangkan oleh Igarashi dan Tuchinda pada tahun yang sama. Pada tahun 1985 telah diuji efektifitas virus chikungunya dalam tiga macam biakan sel lestari dengan metoda netralisasi yang diwarnai dengan peroksidase anti peroksidase (PAP), serta diuji tanggal kebal terhadap virus pada serum kelinci yang telah diinfeksi virus chikungunya menggunakan metoda yang sama pula6.

Penelitian ini bertujuan mengetahui tanggap kebal ter-hadap virus chikungunya path serum manusia dengan metoda uji netralisasi staining PAP, karena menurut penelitian se-beluninya uji netralisasi dengan cara ini bisa mendeteksi tanggap kebal pada serum kelinci. Serum yang dipakai untuk uji tanggap kebal adalah serum anak-anak. Hasil dari uji tanggap kebal ini akan dikaitkan dengan umur, tinggi rendah-

ABST

Pemeriksaan tanggap kebal terhadap viruji haemaglutination inhibition (HI), uji cojuga dipakai enzyme-linked immunosorbent a

Sampel serum sebanyak 91 buah dipakailestari VERO dipakai sebagai media dala96 sumuran beralas datar dipakai tempat penu Hasil penelitiauntuk mendeteksi tanggap kebal virus chiperiksa, 23 di antaranya positif. Dari pene

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 19

Page 21: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

nya tanggap kebal juga hubungannya dengan jenis kelamin.

ARA KERJA Sel vero dien

(minimum essentiakan ke dalam 96 smuran berbentkemudian dieraberisi Cselapis tiga har

Serum untuk umur 0–14 tahundemam yang tidak diketahui asal usulnya (fever of unknown origin = FUO) dari rumah sakit Cipto MangunkusumCM) Jakarta. Serum-penyangga fosfat (phosphate buffered erum ini diencerkan lagi dengan kelipatan 4 menjadi 40 X, 60 X dan 640 X.

Virus chikungunya yang ada merupakan simpananMicrobial DiseaseOsaka, Jepang. VirB2H306) yang sud(suckling mouse balbopictus (C6/36)(focus forming unisebelumnya telah di

Serum yang tplate 96 sumuran, pengenceran dimas25 ul/sumuran. Virke dalam sumuradimasukkan juga 2dalau plate itu kem

m, 37°C, agar te um dengan virus. etelah waktu pengeraman selesai campuran serum dan virus

dalam biakan jaringan, masing-masing uran, kemudian dieramkan lagi dalam

peng

dot ke luar dari sumuran, kemudian sumuran dicu

rkan 1 : 1000) 25

ga dibiarkan selama 40 enit kemudian dicuci dengan

H202 dan 0,3 mg/ml 3–3 diamino benzidine tetrahydro chloride dalam PBS kurang lebih selama 5 menit,

bila fokus sudah agak nampak, cepat-cepat dicuci dalam air mengalir, kemudian dikeringkan. Pengamatan timbulnya fokus bisa dilakukan dengan mata telanjang, namun agar

h baik, sebaik-

t dilihāt dari dari kontrol

lebih hiku-

ata bisa diterap-adap manusia, haI ini terbukti dengan dapat diketahui-

erhadap virus chiku-ni tidak hanya dapat

inci saja. Hasil uji netralisasi serum anak-anak penderita FUO, dari mpel serum yang diperiksa temyata 23 sampel (25,28%) f terhadap virus chikungunya (Tabel 1). Uji HI dengan

nya telah memberi-ji netralisasi dengan

l uji netralisasi l terhadap virus chiku-

anak usia 3–4 tahun an untuk anakanak

n didapati pada 9 sampel (9,89%), ,20%), 7–8 tahun

9–11 tahun pada 1

a MO terhadap virus ikungunya dengan uji netralisasi pada berbagai kelompok

Jumlah positif dalam %

Ccerkan dengan medium esensiil minimum l medium=MF.M), suspensi sel vero dibagi-umuran plate biakan jaringan, alas dari su-

uk datar. Tiap sumuran diisi 100.000 sel vero, mkan (diinkubasi) dalam pengeram (inkubator)

O2 pada suhu 37°C sampai sel-sel tersebut membentuk biakan jaringan, biasanya memerlukan waktu sekitar i.

penelitian ini berasal dari serum anak-anak , berjumlah 91 sampel serum penderita

menghasilkan ketepatan pengamatan yang lebinya dilakukan dengan dissecting microscope,

Titer netralisasi antibodi terhadap virus dapaada tidaknya fokus, jumlah fokus kurang dari 50%(± 100 FFU) dianggap positif (punya kekebalan), sedangdari 50% dianggap tidak punya antibodi terhadap virus cngunya. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji netralisasi dengan staining PAP terny

o (RS- kan terh

serum itu diencerkan 10 X dengan garam nya tanggap kebal pada serum anak-anak tsi staining PAP isaline = PBS) kemudian ngunya. Jadi uji netralisa

diberlakukan pada serum kels1

dari 91 sapositis Research Institute, Osaka University,

us ini berasal dari isolasi di Bangkok (strain ah dikembangbiakan pada otak anak mencit rain=SMB) dan sel nyamuk lestari Aedes

Vi u

menggunakan sampel yang sama, sebelumkan hasil 15 sampel (16,48%) positif, jadi ustaining PAP lebih peka dibanding uji HI. Hasijuga menunjukkan bahwa tanggap keba. r s ini diencerkan mencapai 100 FFU

ts) sesuai dengan hasil titrasi virus yang lakukan.

h

ngunya paling banyak dijumpai pada anak-yaitu pada 10 sampel (10,9%), sedangkkelompok 0–2 tahuela diencerkan didistribusikan ke dalam

dasar sumuran berbentuk huruf "U". Setiap ukkan ke dalam 8 sumuran dengan volume us yang telah diencerkan juga dimasukkan n tersebut, volume suspensi virus yang

kelompok' umur 5-6 tahun pada 2 sampel (2pada 1 sampel (1,10%) dan kelompok umursampel (1,10%).

Tabel 1. Hasil tanggap kebal anak-anak penderitch5 ul/sumuran. Campuran serum dan virus

udian dieramkan dalam pengeram selama 2 rjadi netralisasi antara ser

umur, di Jakarta tahun 1982.

Kelompok umur

Jumlah sampel

Jumlah sampel

jaSitu dimasukkan kesebanyak 25 uI/sum

eram selama 2 jam 37°C, agar virus yang tidak ternetralisir oleh serum bisa menyusup (penetrasi) ke dalam sel-sel. Setelah waktu pengeraman selesai campuran serum virus ini disedot ke luar, kemudian tiap sumuran yang berisi biakan jaringan ini diberi 0,1 ml MEM yang berisi 2% serum anak sapi (fetal calf serum). Lalu dieramkan lagi dalam pengeram selama 15 jam suhu 37°C agar virus dapat berbiak di dalam sel.

MEM diseci dengan PBS (pH 7,4). Selanjutnya biakan jaringan

difiksasi dengan etanol absolut. pada suhu kamar selama 10 menit. Staining tahap pertama dilakukan dengan cara me-nuangkan anti chikungunya rabbit serum (dience

ul/sumuran dibiarkan selama 40 menit, kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 X.

Tahap berikutnya adalah tahap staining PAP, diawali dengan proses staining tahap kedua, yaitu pemberian goat anti rabbit IgG serum (diencerkan 1 : 100) 25 ul/sumuran,

mjuPBS .3 X. Tahap staining ke tiga adalah pemberian PAP di-tam bah 0,01%

positif 1 2 3

0– 2 tahun 50 9 9,89 18 39,13 3– 4 tahun 19 10 10,99 52,63 43,47 5– 6 tahun 11 2 2,20 18,18 8,70 7– 8 tahun 5 1 1,10 20 4,35 9–11 tahun 6 1 1,10 16,67 4,35

Jumlah 91 23 25,28 – 100

Keterangan: 1 : persentase dari seluruh sampel. 2 : persentase dari kelompok umur. 3: persentase dari seluruh sampel positif.

Khusus untuk kelompok umur 0–2 tahun dan 3–4 tahun bila dilihat jumlah sampel positif dibagi seluruh sampel nam-pak tidak begitu berbeda (0–2 tahun ada 9 sampel, 3–4 tahun ada 10 sampel), namun bila dilihat per kelompok umur maka hasil persentasenya akan jauh berbeda karena jumlah sampel untuk kelompok umur 0–2 tahun sebanyak 50 buah sedangkan kelompok umur 3–4 tahun hanya 19 sampel saja. Jadi persentase positif untuk kelompok umur 0–2 tahun hanya 18% sedangkan untuk kelompok umur 3–4 tahun adalah 52,63%. Pada kelompok umur 5–6 tahun, 7–8 tahun, 9–11 tahun bila dilihat jumlah sampel positif dibagi kelompok umurnya akan didapat hasil dalam persentase tidak jauh bar-

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 20

Page 22: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

beda dengan kelompok umur 0–2 tahun, yaitu sebagai be (5–6 tahun), 20% (7–8 tahun) dan 16,67%

gga%,

1

ml

–uy

iaawa 3

askiodi

rta

asngn

50 y ya

aki

ata 39 ap an

prosentase positdad %

an inatu

i Thailand juga menunjukkan bahwbebe ra

-

i i

rapa jenis nyamuk Culex bisa menjadi vektor bagi penyebavirus chikungunya seperti Culex fatigans, Culex tritaeniorynchuCulex gelidus dan Culex quinquefasciatus.

rikut ini, 18,18%(9–11 tahun).

Hasil sampel positif pada berbagai kelompok umur bila dibajumlah seluruh sampel positif akan didapatkan hasil sebaberikut: untuk kelompok umur 0–2 tahun didapat hasil 39,13kelompok umur 3–4 tahun 43,48%, kelompok umur 5–6 tahu8,70%, kelompok umur 7–8 tahun 4,35% dan kelompok umur 9–tahun juga 4,35%.

Penelitian tanggap kebal terhadap arbovirus saat sebeluepid

n 1

emi di Khon-kaen (Thailand Timur Laut) dari Songkh

(Thailand Selatan) pada tahun 1973 menggunakan uji hemaglutina(HI) menunjukkan bahwa 40/101 (40%) anak-anak sekolah usia 1014 tahun di Kho-kaen punya tanggap kebal terhadap virchikungunya, sedangkan di Songkhla tanggap kebal chikungundijumpai pada 17 anak dari 128 anak atau 13%

asi

s a n n

7. Hasil penelittanggap kebal virus chikungunya di Jakarta bila dibandingkdengan hasil di Khon-kaen dan Songkhla akan nampak bahprosentase tanggap kebal tertinggi terdapat pada kelompok umur 4 tahun (52,63%) sedangkan di Khon-kaen pada kelompok umur 79 tahun (48%) dan di Songkhla pada kelompok umur 10–14 tahuada 13% (Gambar 1). Pada gambar 1 nampak bahwa prosentantibodi di Jakarta menurun pada kelompok umur 5–6 tahun, sedinaik pada kelompok umur 7–8 tahun dan turun lagi pada kelompumur 9–11 tahun; sedangkan di Khon-kaen mulai menurun pakelompok umur 10–14 tahun di Songkhla tanggap kebal terus napros

––n e t k a k a k e -

entase sesuai dengan bertambahnya umur. Penelitian di Jakaini kurang lengkap karena hanya meneliti anakanak saja, jadi tiddiketahui secara pasti batas tertinggi usia yang punya prosenttanggap kebal tertinggi, padahal menurut hasil penelitian di Khokaen dan Songkhla justru pada usia dewasa yang paling tingprosentase tanggap kebalnya terhadap virus chikungunya. Penelitiadi Khon-kaen menunjukkan bahwa pada orangorang usia 40–tahun, 80% punya tanggap kebal terhadap virus chikungunsedangkan di Songkhla pada kelompok umur yang sama 60% puntanggap kebal.

Janis Kelamin Tanggal kebal terhadap virus chikungunya pada anak laki-l

maupun perempuan ternyata tidak banyak berbeda (tabel 2). Serumanak laki-laki sebanyak 52 buah tabung setelah diperiksa temy12 sampel serum (23,08%) punya tanggap kebal sedangkan dari sampel serum anak perempuan 11 sampel (28,20%) punya tanggkebal. Perbedaan prosentase tanggap kebal antara anak laki-laki dperempuan akan semakin mengecil bila kita lihat

i

a

if seluruh jumlah sampel karena akan didapati 12/91 (13,19

pada anak laki-laki dan 11/91 (12,09%) pada anak perempuan. Penelitian pengaruh jenis kelamin yang berhubungan deng

timbulnya tanggap kebal terhadap virus chikungunya sejauhbelum ada namun virus chikungunya ini ditularkan dari smanusia ke manusia lainnya oleh nyamuk, terutama oleh nyamAedes aegypti. Penelitian d

)

i u k a n s,

Gambar 1. Persentase tanggap kebal anti chikungunya di Khon-

kaen dan Songkhia (Thailand) menggunakau uji HI dibandingkan dengan persentase tanggapkebal anti chikuagunya di Jakarta menggunakan uji Nt dengan staining PAP, berdasarkan kelompok amok.

Tabea, tahun 1982.

sampel positif dalam %

l 2. Tanggap kebal terhadap chikungunya pads anak laki-laki

dan perempuan di Jakart

Jumlah Janis kela m el Jum

positi1 2

min Ju lah samp lah sampelf

Laki-laki puan 3

11

23,28,

13,19 12,09 Perem

52 9

2 1

08 20

J u m l a h 91 23 – 25,28

Keterangan: Persent posit laki/p mpuan d ampel laki-laki/perempuan.

perempuan dari seluruh

1. ase if laki- ere ari s

2. Prosentase positif laki-laki/ sampel.

Hasil titer tanggap kebal. Tanggap kebal terhadap virus temyata relatip rendah (Tabel 3), nilai tanggap kebal 10 ternyata paling banyak didapat yaitu pada 11 anak (12,09%), sedangkan nilai tanggap kebal 40 pada 10 anak (10,99%) dan nilai tanggap kebal 160 pada 2 anak (2,2%). Nilai tanggap kebal 10 ternyata paling banyak dijumpai pada anak-anak usia 0–2 tahun (6,59%, 12%, 26,09%, 54,54%), nilai tanggap kebal 40 paling banyak dijumpai pada anak-anak usia 3–4 tahun (5,49%, 26,32%, 21,74%, 50%), sedangkan nilai tanggap kebal 160 dijumpai hanya pada 2 anak, masing-masing satu untuk kelompok umur 0–2 tahun dan 3–4 tahun,

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 21

Page 23: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Tabel 3. Titer tanggap kebal anti chikungunya berdasarkan kelompok umur 100 pada anak-anak penderita FUO di Jakarta, tahun 1982.

Titer tanggap kebal anti chikungunya

<10 10 40 160 Umur

1 2

3 4 1

2 3 4 1

2 3 4

0–2 th 41 6 6,59 26.09 2 2,20 8,70 1 1,10 4,35 12 54,54 4 20 2 50

3–4 th 9 4 4,40 17,39 5 5,49 21,74 1 1,10 4,35 21,05 36,36 26,32 50 5,26 50

5–6 th 9 1 1,10 4,35 1 1,10 4,35 9,09 9,09. 9,09 10

7–8 th 4 – 1 1,10 4,35 20 10

9–11 th 5 – 1 1,10 4,35 16,67 10 68 11 (12,09%) 10 (10,99%) 12 (2,2%)

Keterangan : 1. Prosentase titer sampel positif dari seluruh sampel. 2. Prosentase titer sampel positif dari kelompok umur. 3. Prosentase titertaaepel positif dari seluruh sampel positif. 4. Prosentae titer sampel positif dari kelompok titer yang sama.

if pada umur muda (3–4 tahun) di Jakarta lebih prosentase positif umur anak-anak yang lebih

tua

1. U

a tanggap kebal. 4. Anak laki-laki dan perempuan punya kemungkinan sama

terkena infeksi virus chikungunya, hal ini bisa dilihat dari prosentase zat anti yang ditemukan pada anak laki-laki

Nilai tanggap kebal 40 dijumpai pada semua kelompok umur, sedangkan tanggap kebal 10 dan 160 dijumpai pada kelompok umur anak-anak yang berusia lebih muda. Sedikitnya jumlah sampel pada kelompok umur anak-anak yang lebih tua mehjadikan penelitian ini kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

Prosentase titer sampel positif dari kelompok umur pada penelitian di Jakarta bila dibandingkan dengan hasil penelitian di Khoen-kaen dan Songkhla nampak ada persamaan .pada tinggi tanggap kebal yang relatif rendah yaitu tidak ada yang punya titer lebih dari 160 (Gambits 2). Pola grafik di Jakarta dan Khoen-kaen menunjukkan pola yang hampir sama, namun

rosentase positptinggi sedangkan

di Khoen-kaen (5–6 tahun, 7–9 tahun, 10–14 tahun) adalah lebih tinggi, prosentase titer positif di Songkhla relatif lebih rendah dibandingkan dengan di Jakarta dan Khoen-kaen. Prosentase positif paling tinggi di Jakarta dijumpai pada kelompok umur 3–4 tahun (26,62%) dengan nilai tanggap kebal 40. Nilai tanggap kebal 80 paling banyak dijumpai pada kelompok umur 10–14 tahun (48%) di Khoenkaen. KESIMPULAN

ji netralisasi dengan staining PAP bisa diterapkan untuk menguji tanggap kebal anak-anak terhadap virus chikungu-nya.

2. Hasil uji netralisasi pada anak-anak penderita FUO di Jakarta dari 96 sampel, didapati 23 sampel (25,28%) positif.

3. Anak-anak usia muda (0–2 tahun dan 3–4 tahun) sudah punya tanggap kebal terhadap virus chikungunya. Kelom-pok umur 3–4 tahun paling banyak puny

5.

SA

d uh berbeda. Kdd3

R

mendapachik

an perempuan tidak begitu jaadar zat anti chikungunya terendah (10) paling banyak ijumpai pada anak-anak usia 0–2 tahun. Kadar zat anti engan nilai 40 paling banyak didapati pada anak-anak usia –4 tahun. Kadar zat anti 160 paling sedikit dijumpai.

AN Perlu dilakukan penelitian yang sifatnya lebih menyeluruh, cakup kelompok umur dari bayi sampai orang tua sehingga t ditemukan kelompok yang paling rentan terhadap virus ungunya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 22

Page 24: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

KEPUSTAKAAN

2. I.

1. Chamberlain RW. Epidemiology of arthropod borne togavirales: The role of arthropods as hosts and vectors and of vertebrate hosts in natural transmission cycles. In: The Schlesinger RW. Togaviruses. Academic Press, New York, 1980. pp. 75–227. Nimmannitya S, Halstead SB, Cohen SN, Margiotta MR. Dengue and Chilcungunya virus infection in man in Thailand, 1962–1964 Observations on hospitalized patients with haemorhagic fever. Am J Trop Med Hyg. 1969; 18 : 954–71.

Gambar 2. Kurva distribusi tanggap kebal anti chikungunya di Khon-

kaen dan Songkhla menggunakan uji HI dibandingkan dengan uji Nt staining PAP di Jakarta, berdasarkan ke-lompok umur.

3. Hammon W McD, Rudnick A, Sather GE. Viruses associated with

epidemic hemorrhagic fevers of the Philippines and Thailand. Science 1960; 131 : 1102–3.

4. Henderson JR, Taylor RM. Propagation of certain arthropod borne viruses in avian and primate cell cultures. J Immunol 1960; 84 : 590-8.

5. Igarashi A, Tuchinda P. Studies on chilcungunya virus. I. Plaque titration on established cell line. Biken J 1967; 10 : 37–9.

6. Eko R, Tadono M, Okamoto Y, Okuno Y. Development of a micro neutralization test for chikungunya virus. Biken J 1986; 29 : 27–30.

7. Fukunagā T, Rojanosuphot S. Pishuthipornkul S, Wungkorbiat S, Thammanichanon A, Chantrpenkul P, Tuchinda P, Jatanasen S, Fukai K.

the North East and

ERIMA KASIH kasih saya ucapkan kepada Dr Iskak Koffman dan Drh Suharyono

Wury

Sero epidemiologic study of arboviruses infections inSouth of Thailand. Biken J. 1974; 17 : 169-82.

8. Ross RW. Medical significance of Togaviruses: An Overview of diseases caused by Togaviruses in man and in domestic and wild vertebrate animals. In: Togaviruses. Schlesinger RW (ed) New York, Academic Press, 1980. p. 55.

UCAPAN T Terima

adi MPH yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk melakukan penelitian ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 23

Page 25: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Masalah Penyakit Japanese Encephalitis di Indonesia

Dr. Imran Lubis CPH.

Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. , Jakarta

ABSTRACT

Surveys of Japanese Encephalitis (JE) were conducted in 5 areas during the period of years (1978–1985) to investigate the clinical diagnosis, endemicity andits reservoir animals. These surveys included : JE cases (Jakarta), children 6 y.o. and pigs (Solo, Ponti-anak and Denpasar), the whole population and animals in Lombok. Serological test employed were HI (Hemaglutination Inhibition) IAHA (Immune Adherence Hema-glutination) and Neutralization. From 118 children in Jakarta diagnosed as JE according to WHO Criteria for Clinical Diagnosis of JE, 25% were confirmed single positive against JE by IAHA test. Pontianak is endemic JE, the infection rate of JE among children were 44.4%, in pigs were 100.0%. Solo, Denpasar and Lombok is not endemic JE and showed small focal infection between "desa". The infection rate in children were 6.8%, 19.0% and 30.0% consecutively. Infection rate of JE among pigs were high i.e.: in Solo (90.7%) and Denpasar (73.6%). Other animal reservoirs found in Lombok beside pigs were horse (57.0%) cattle (22.0%). Solo, Denpasar and Pontianak had sevethe infection rate of JE were differed.

PENDAHULUAN

Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit yang di-tularkan oleh vektor nyamuk dan disebabkan oleh virus JE. Virus tersebut masuk dalam genus Flavivirus dan famili Toba-viridae. Partikel virus berbentuk sferis dengan envelope dari banyak lipid, garis tengah 45 – 50 nm, multiplikasi lebih baik pada suhu rendah dan ditemukan perbedaan di antara ke 53 strain virus JE (Do Quang Ha, 1979).

Penderita penyakit JE pertama ditemukan di Jepang tahun 71. Virus penyebab hun 1934 dari biopsi

penderita yang meninggal, di rea Selatan diisolasi tahun 4

meMa

(L.

Ind ketahui. Keadaan apa yang akan terjadi di kemudian hari masih sulit diduga. Pengalaman di

Jep

p5

unt n ini

berma

padme

da m nusia merupakan suatu jalan akhir dai end). Viremia pada penderita hanya

siklus penularan binatang terutama babi ternak itunjang dengan populasi nyamuk golongan Culex.

Di negara lain telah terbukti bahwa vektor penyakit JE

ral species of Culex mosquitoes although

18 nya diisolasi ta Ko

19 6, di Vietnam diisolasi tahun 1951. Sejak itu, penyakit JE nyebar ke beberapa negara: RRT, Thailand, Burma, India, laysia, Indonesia, Hongkong dan Guam. Sedangkan di

Jepang dan Vietnam sendiri, penyakit itu sudah mulai mereda Rosen, 1979).

Situasi epidemiologi penyakit JE di negara Asean termasuk onesia masih belum di

ang menunjukkan bahwa dengan kenaikan populasi nyamuk Culex karena perkembangan di bidang pertanian dan kenaikan

ulasi babi ternak karena kenaikan kebutuhan pangpo an tahun 18 3. mengakibatkan letusan penyakit JE1. Di Indonesia, kita belum mengetahui daerah mana yang sudah endemis JE bails

uk siklus binatang maupun siklus manusia. Kesulitakarena penyakit JE secara klinis sulit diketahui, dapat hanya

upa demam ringan saja sampai ke gejala berat yang juga sih sulit dibedakan dengan penyakit ensefalitis lain. Siklus

binatang Iebih sulit diketahui karena tidak menimbulkan sakit a binatang, pada babi hamil muda mungkin akan nyebabkan abortus.

Penyakit JE pa asiklus penularan (dead-beberapa jam saja sehingga sulit ditularkan ke orang lain. Siklus penularan yang penting untuk suatu tingkat endemisitas

aerah adalah dd

Page 26: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

terpenting adalah nyamuk Culex.

TUJUAN Berdasarkan alasan tersebut, m

di bebeJE, deendempengamatan penyakit dapat mulai dijalankan.

BAHAN DAN CARASurvai dilakukan tidak sekaligus, tetapi

elama empat tahun, di lima daerah, dengan cara sebagai erikut: 978. Melakukan survai di Lombok, desa Dasan Geres Lom-k Barat dan desa Kelayu Lombok Timur, pada masyarakat

semua umur dan melakukan penangkapan binatanglaboratorium dipakai uji HI (Hemaglutination Inhibition)Netralisasi oleh Nam1981. Mengumpulkadi Jakarta: RS CiptoUji laboratorium meHemaglutination) yspesifisitas lebih baimungkin sama baipenderita penyakit JE ber1. Demam lebih da2. Gejala rangsang 3. Gejala rangsang4. Gangguan kesad5. Gangguan saraf 6. Gejala piramidal7. Cairan otak jern

mg%. Pada tiga dae kan

pada dua lokasi y u daerah endemis JE dan daerah belum ernah melaporkan JE, yaitu pada: 983. Melakukan survai di Denpasar, desa Bangli dan desa

sehat umur 6 tahun dan babi ternak dan gan menggunakan light trap CDC. Uji

Penderita dengan gejala berat disertai dengan gangguan ke-gal. Makin banyak gejala klinis ilai positif makin tinggi. Dengan lebih maka ketepatan diagnosa

ahun me-

basil uji HI pada babi ternak di sekitar rumah pen-

ak sehat umur 6 tahun dengan antibodi IAHA dan babi ternak dengan antibodi HI di Denpasar, 1981.

Jumlah positif/seluruh sampel

aka telah dilakukan survai rapa daerah di Indonesia yang diduga terdapat penyakit

ngan tujuan untuk melihat gambaran diagnosis klinis, isitas dan reservoirnya. Pada daerah endemis JE tindakan

sadaran (koma) dan meningWHO yang ditemukan makanmenemukan tiga gejala ataumencapai 73,3%.

Hasil pemeriksaan IAHA pada anal( sehat umur 6 tdan 2 desa di Denpasar tampak pada Tabel 1. Tabel 1 juga

diambil darahnya.

secara bertahap Tabel 1. Jumlah an

sb1bo

. Uji dan

ru-2. b penderita JE pada anak di 2 rumah sakit mangunkusumo dan RS Sumber Waras.

nggunakan uji IAHA (Immune Adherence ang menurut Kiatzek mempunyai nilai k dari uji CF (Complement Fixation) dan knya dengan uji Netralisasi3. Seleksi

dasarkan kriteria WHO (1979)2 yaitu : n 37°C meningeal

korteks aran otak dan extra piramidal ih, globulin (+), glukosa kurang dari 100

h lain, masing-masing survai dilakuraait

p1Badung, pada anaknyamuk Culex denlaboratorium adaah uji HI untuk babi ternak, uji IAHA untuk masyarakat anak dengan memakai antigen JE dari Inouye. 1985. Melakukan survai di Solo (Kecamatan Jebres dan Banjarsari) dan Pontianak (Sei Jawi Luar dan Sei Jawi Dalam), pada anak sehat umur 6 tahun memakai uji IAHA, pada babi ternak memakai uji HI danmenangkap nyamuk Culex dengan light trap CDC.

HASIL Selama Maret 1981 sampai April 1982 dan 2 rumah sakit

di Jakarta telah dikumpulkan 118 penderita anak dengan gejala klinis penyakit JE menurut kriteria WHO (1979)2. Tiga puluh dari penderita tersebut menunjukkan kenaikan liter,, single antibody IAHA antara serum akut dan serum konvalesens sebesar 4 kali atau lebih. Umur terbanyak pen-derita adalah 5 tahun dan tidak berbeda bermakna menurut jenis kelamin. Gejala klinis terbanyak adalah: demam meng-gigil, kejang, kaku kuduk, nyeri kepala dan opistotonus.

nunjukkan duduk yang

Kecamatan Anak Babi

Badung 100/363 (30%) 106/13256/88

(80%) (64%) Bangli 5/229 ( 2%)

Keterangan: antibodi HI positifapabrla ≥ 20 antibodi IAHA positif apabila ≥ 20

an babi positif ter-(Badung) daripada ane). nak sehat umur 6

pada Tabel 2.

n antibodi IAHA dark dan Pontianak, 1983.

ruh sampel

Tampak di sini bahwa jumlah anak d

hadap JE lebih besar di daerah endemis daerah yang belum pernah melaporkan JE (B

Survai di Solo dan Pontianak pada atahun dan babi temak di dua daerah tampak Tabel 2. Jumlah anak sehat umur 6 tahun denga

babi ternak dengan antibodi HI, di Solo

Jumlah positif/selu

Daerah Anak Babi

Solo Pontianak

34/482185/416

(6,8%) (44,4%)

187/206210/210

(90,7%) (100,0%)

Keterangan: seperti pada Tabel 1.

Survai di Lombok pada masyarakat semua umur menunjuk-kan jumlah penduduk dengan antibodi netralisasi adalah 135/ 446 (30%). Sedangkan jumlah binatang dengan antibodi HI yang ditangkap tampak pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah binatang dengan antibodi HI, Lombok, 1978.

Jenis Jumlah positif/seluruh sampel

Kuda Sapi Kerbau Kambing Ayam Bebek

7/15 (47%) 9/41 (22%) 1/13 (8%)

10/35 (29%) 0/78 (0)

Kelelawar Tikus Burung liar

5/71 (7%) 0/25 (0) 0/17 (0)

4/52 (8%)

Keterangan: antibodi HI positif apabila ≥ 20 Setelah dilakukan uji ulang pada beberapa sampel binatang

dengan menggunakan uji Netralisasi, ternyata yang masih positif adalah Kuda 1/6 (17%), Sapi 1/8 (12%).

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 25

Page 27: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Spesies nyamuk dari basil penangkapan dengan light trap a tiga daerah, tampak pada

anak terdapat nyamuk Culex ak meliputi jenis C. gelidus, C. quenquefasciatus

n light trap CDC di n Denpasar.

CDC masing-masing 5 malam padabel 4. Tampak bahwa di PontiT

paling banydan Culex lain. Di Solo paling sedikit,hanya terdapat jenis C. quenquefasciatus. Sedangkan di Denpasar terdapat jenis Culex yang panting adalah C. tritaeniorhynchus, C. fuscocephala dan C. gelidus.

Tabel 4. Jumlah dan jenis nyamuk ditangkap dengaSolo, Pontinak da

Jumlah

Jenis Solo Pontianak Denpasar

C. tritaeniorhynchus – – 86 C. fuscocephala – – 210 C. gelidus – 111 3 C. quenquefasciatus 300 254 – C. lain – 452 – Bukan Culex 70 – 136

DISKUSI

Akibat infeksi virus JE, pada minggu pertama fase sakit tubuh akan membentuk antibodi spesies IgM. Antibodi ini dapat dideteksi oleh uji HI dan Netralisasi. Antibodi CF baru mulai positif pada minggu ke dua atau ke tiga, karena pada saat itu antibodi telah didominasi oleh spesies IgM4.

Interpretasi uji HI harus havirus hasilnya kurang spesifik te

ti-hati mengingat untuk Flavi-rutama pada fase setelah IgG

e banyak dipakai sekarang karena i sangatt lama, antigen mudah dibuat

sanaan cepat, mudah

spes

nosa klinis JE pada fase akut penderita yang mpunyai titer HI dan Netralisasi tinggi, karena

JE1.

nosis klinis JE menurut WHO

maka ni nilai ke-patan diagnosis klinis berdasarkan uji HI sebesar 25–82,9%

(Do 79). Da dari 22 pende RS Sumber Waras ditemukan pe an ke-sada /22: 50%, kejan % ran hati : 50%7. Pada su itemuk nan

0%), dan pembesaran Pontianak ternyata

mem ai prevalensi antibodi JE paling tinggi (44,4%) diba

akit

perbedaa h up besar. Sedangkan di P ra kedua

jenis lokasi survai tidak lokasi endem n 22,3% pada i belum pernah porkan pen

k terletak diba on n engan negara Filipina, Thailand. Endemisitas penyakit JE di

ebabkan letak geografis mi. Virus E dapat dibawa oleh burung liar yang sedang imigrasi dari

daer

i pada babi ternak sudah 00,0%.

manusia asih rendah. Angka infeksi pada babi ternak di dua kota itu

cukup t yaitu antara nis dan juml amuk Culex keduanya m dah walaupun Den ebih besar. Ini menu iklus penularan bina bih besar daripada siklus ungkin karena pop amuk Culex dan po ternak masih "sei " maka masih jarang manu erkena infeksi JE.

E adalah penyakit zo n nyamuk Culex lebi enggigit binatang dari nusia (zoophylic). Kea imbangan ini dapat b pada saat terjadi

n kenaikan populasi babi

da daerah

dib ntuk tubuh. Uji HI tetapant bodi HI dapat bertahan(dari otak mencit/biakan jaringan), pelakdan murahs . Reaksi silang (cross reaction) pada uji HI dapat dicegah apabila dilakukan pembuangan zat inhibitor non-

ifik dalam serum dengan memakai kaolin/aseton, heterologous crossing antibody dari flavivirus lain atau dengan memisahkan antibodi IgM dari serum'.

Uji Netralisasi pada mencit putih/biakan jaringan dapat memberi basil lebih spesifik. Kesulitannya ialah karena pe-laksanaan uji Netralisasi hanya dapat dikerjakan oleh labora-torium tertentu, sulit, mahal dan lama.

Uji CF kurang berguna mengingat tidak semua orang ter-kena infeksi virus JE akan membentuk antibodi CF (Buescher, 1959). Dan sebagian besar antibodi CF akan menghilang pada bulan ke lima atau sebelumnya (Southam, 1956). Dari semua penderita JE hanya 24% masih mengandung antibodi CF se-telah 5 tahun sejak sembuh (Buescher, 1959). Uji CF berguna menyokong diagtelah meantibodi CF dibentuk belakangan.

Pada survai ini dipakai beberapa macam uji serologik yaitu HI, IAHA, Netralisasi. Hasil setiap uji serologik tidak dapat distandardisasi untuk diperbandingkan. Yang penting dilihat adalah tingkat endemisitas virus JE di setiap daerah survai. Sebab penyakit JE yang sudah endemis di suatu daerah, suatu saat akan menjadi lebih parah apabila terjadi kenaikan populasi nyamuk Culex atau babi ternak. Penyebaran penyakit JE pada daerah baru biasanya sangat jarang, misalnya pada daerah Pasifik yang sampai sekarang masih bebas penyakit

Pemeriksaan serum pada penderita JE di Jakarta dilakukan uji IAHA memakai antigen JE dan Dengue 2. Hasilnya me-nunjukkan bahwa single positive serum terhadap JE adalah 30/118 = 25%. Sama dengan laporan Suprapti Thaeb yang menemukan angka konfirmasi 24% dari penderita JE di Bandung. Van Peenen dkk juga berhasil mengisolasi virus JE dari nyamuk Culex di Kapuk. Jadi sangat mungkin bahwa penderita JE di Jakarta tersebut karena virus JE walaupun dari manusia belum pernai berhasil diisolasi virus JE.

Penggunaan kriteria diagmenunjukkan bahwa dengan ditemukan tiga gejala atau lebih

lai ketepatan mencapai 73,3%. Di Vietnamte

Quang Ha, 19rita JE di

ta dari LK. Kho (1971), nurun

ran 11 g 12/22: 64 dan pembesa 11/22 rvai ini d an penuru

kesadaran 12/30 (40%), kejang: 18/30 (6hati tidak termasuk kriteria WHO.

punyndingkan Solo (6,8%), Denpasar (114/592: 19%) dan

Lombok (30%). Perbedaan infeksi JE di setiap lokasi survai yaitu daerah

endemis dan daerah belum pemah melaporkan JE ditemukan cukup besar di Solo (33% dengan 0%), di Denpasar (30%

engan 2%). Ini berarti bahwa di Solo dan Denpasar penydJE masih merupakan suatu infeksi fokal yang kecil. Karena

n infeksi antar kecamatan/desa yang berdekatan sudacuk ontianak perbedaan antā

banyak yaitu 67,3% padais JE da lokas mela

yakit JE. Pontiana gian Utara Ind esia, berdekata

dPontianak tersebut dapat disJ

ah dingin di Utara ke daerah panas di Selatan. Ke-mungkinan cara penyebaran ini menerangkan Pontianak endemis JE. Apalagi melihat populasi dari nyamuk Culex yang cukup tinggi. Ditunjang dengan infeks1

Di Solo dan Denpasar angka infeksi virus JE pada m

inggi 64%-90%. Sedangkan jeah ny

r lasih ren

pasa njukkan stang le manusia. Mulasi ny pulasi babimbang sia ikut tPenyakit J

ng monosis, da

h sena pada madaan kese erubah

kenaikan populasi nyamuk Culex daternak, dengan akibat virus JE mulai menyebar dan menjadi masalah pada manusia.

Keadaan di Solo dan Denpasar mungkin juga karena kedua-nya merupakan daerah endemis virus Dengue. Pa

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 26

Page 28: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

endemis Dengue perkembangan virus JE dapat dihambat8 Hasil survai masyarakat Lombok menunjukkan infeksi virus JE 30%. M. Kanamitsu pada tahun 1979 menemukan angka 16%8. Perbedaan ini mungkin disebabkan dari perbedaan lokasi survai. Kedua angka tersebut masih diakui belum menunjukkan daerah Lombok endemis JE.

Prevalensi antibodi pada binatang, tertinggi pada kuda

amplifyi rus JE. Viremia pada kuda an sapi le h pendek, titer virus le ah, turn over juga

lebih rend bandingkan da ba Penul rus JE pada pen Lombo ung kare garuhi ke bep ian ke li pada upacara agama Hi infe i di sana

an di negara lain unjukkan bahwa babi ter per pali panting u uk siklus bi Di ketiga daer urvai ya, infeks ada babi:

e , Solo 90 dan P tianak 10 . Di sini babi ternak adalah reservoir panting bagi penyakit

iagnosis and Clinical laboratory e

5. C

) : 351-63. 9. K

pemeriksaan, sehingga terlaksananya survai ini

(47%) dan sapi (22%). Kedua binatang ini bukan merupakan ng host yang baik bagi vi

d bi bih rend.ah di

dudukpa

k mbi ternak

kin juga aran vi

na dipenbiasaan penduduk erg Bandu dan men dapat ks .

Pengalam mennak memegang anan ng nt

natang. ah s lainn i pDje

npasar 73% ,7% on 0,0%las bahwa

JE. M. Kanamitsu dkk, menemukan antibodi HI untuk JE di Surabaya, 1968, pada orang utan 7/10 (70%), sapi 10/11 (90,9%), babi 15/15 (100%), kambing 7/10 (70%)8. Binatang reservoir lain seperti misalnya pada burung belum banyak diketahui. KESIMPULAN

Telah dilakukan lima kali survai secara bertahap dengan menggunakan uji HI, IAHA, dan Netralisasi. Di Jakarta dapat dikonfirmasi 25% penderita JE positif berdasarkan uji IAHA. Daerah endemis JE adalah Pontianak, dengan infeksi pada manusia 44,4%, pada babi ternak 100%. Daerah tidak endemis tetapi baru fokal infeksi kecil JE adalah Solo (infeksi manusia 6,8% dan babi 90,7%), Denpasar (infeksi manusia 19% dan babi 73,6%) dan Lombok (infeksi manusia 30%, babi tidak ada). Ke lima daerah tadi mempunyai nyamuk jenis Culex dan infeksi JE yang berbeda. Secara keseluruhan angka infeksi pada babi ternak lebih tinggi daripada pada manusia. Binatang reservoir terpenting adalah babi ternak.

Di masa mendatang perlu diteliti kemungkinan uji ELISA digunakan untuk penelitian penyakit JE, karena pelaksanaan lebih mudah, cukup spesifik dan cepat, sehingga hasilnya dapat diperban dingkan .

KEPUSTAKAAN

1. Rosen L. Relevance of Arbovirus to human health in South-east Asia and Western Pacific, Proceedings 3 rd Symposium Arbovirus Research in Australia, February, 1982, p. 226-9.

2. WHO. Surveillance on Clinical Dxamination. Inter-Regional Meeting on Japanese. Encephalitis, New

Delhi, March, 1979. 3. Inouye S, Matsumo S, Kono R. Difference m antibody reactivity between

Complement Fixation and Immune Adherence Hemaglutination tests with virus antigens, J. Clin. Microbiol. 1981; 241-6.

4. Edelman R, Schneider RJ, Cheowanich P et al. The effect of Dengue virus infection on the clinical sequelae of Japanese Enc phalitis, A one year follow-up study in Thailand, SEA J Trop Med Pub Hlth 1975; 6 (Sept): 308-15.

larke, Cassalas. Techniques for hemaglutination and hemaglutination inhibition with arthropod-borne virus, Am J Trop Med Hyg 1958; 7 : 561-73.

6. Robert ES. Virus laboratory methods for surveillance of Japanese Encephalitis virus, present constraints and possible new methods including necessary research, WHO Report, New Delhi, March, 1979.

7. Kho LK, Wulur H, Rumalean L. Japanese B Encephalitis di Djakarta, MKI, 1971; 9 : 435-48.

8. Kanamitsu M, Tanaguchi K, Urasawa S et al. Geographic distribution of Arbovirus antibodies in indigenous human population in the Indo-Australian Archipelago, Am J Trop Med Hyg 1979; 28, (2

iatzek TG. Protocol for Immune Adherence Hemaglutination (IAHA), US Namru-2, 1980.

10. Oya A. Japanese Encephalitis Vaccine, Japanese Expert Committee Report, 1979, p. 68-82.

11. Van Peenen PFD, Joseph SW et al. Japanese Encephalitis virus from pigs and mosquitoes in Jakarta, Indonesia. Trans Roy Sod Trop Med Hyg 1975;69 (5) : 477-9.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada para dokter anak dan staf di RS Ciptomangunkusumo dan RS Sumber Waras, pada Dokter dan staf di Pontianak, Solo, Denpasar dan Lombok yang telah membantu pengumpulan spesimen dan pada para staf laboratorium virologi Puslit Penyakit Menular yang telah melakukan

Page 29: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Uji Netralisasi secara in vivo Serum Babi terhadap Japanese Encephalitis

di Kalimantan

Muljono Adi*, Suharyono Wuryadi*, Masasutgu K** *Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan RI, Jakarta **Konsultan JICA.

ABST

A preliminary study on Japanese EncPontianak, Sintang, Banjarmasin, Balikpapa

A total number of 314 blood specimens pigs and tested by serum neutralization test virus in suckling mice. Serological examinatseropositive against Japanese Encephalitis v

R

enwa

on the pig population revealed 46.5% ir s.

There was linear correlation between age groups and proportion of Japanese Encephalitis virus infection, but not for ag roups and geometric mean titers. The

tion. ed in nature by extra human host, man is

n prepetuating the virus, although he may

ay presume that pigs may play a role in the s in Kalimantan, but the transmission of discussed.

ia, Cina, Korea, Taiwan, Malaysia, Singa-ura, Thailand, India, S 12

Munculnya penyaki a ,elah dilaporkan pada

nel

Jap is secara serologik pada masyarakat telah e

Sam

madug

er ari babi, dengan nyamuk sebagai perantaranya.

Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui keadaan infeksi pada babi, berapa besarnya angka infeksi, hubungannya dengan umur, titer antibodi dan besarnya insidensi. Sehingga dapat diperkirakan kemungkinan penularannya kepada manusia di sekitarnya, yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagaimana cara penanggulangannya. BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini dilakukan di peternakan babi dari Pontianak, Sintang, Banjarmasin, Balikpapan, dan Samarinda. Babi dipilih langsung secara acak sederhana di peternakan; umur dan asal babi dicatat. Umur babi yang dipilih sebagai sampel berkisar antara 6 bulan sampai 12 bulan lebih, dengan pertimbangan bahwa pada umur tersebut sudah tidak memiliki antibodi maternal.

Darah diambil sebanyak 3 ml dari setiap ekor babi yang dipilih melalui vena auricularis externa atau vena tarese recur-rentis untuk diperiksa dengan uji serum netralisasi secara in vivo (menggunakan suckling mice berumur satu hari). Jumlah ampel yang diperiksa adalah 314 sampel dengan pengambilanarah hanya satu kali.

ACT

phalitis virus infection was conducted in and Samarinda, Kalimantan in 1985. ere collected aseptically from slaughtered

gainst 500 LD50 of Japanese Encephalitis ion u

e gyoung pigs are potential as a source of infec

Japanese Encephalitis virus is maintainincidental host and plays no direct role iinfluence it by activities.

Based on the results in this study we mepidemiology of Japanese Encephalitis viruJapanese Encephalitis virus in man must be

PENDAHULUAN

Penyakit ensefalitis adalah penyakit radang otak yang banyak menyerang anak-anak di bawah usia 10 tahun, di duga salah satu penyebabnya adalah virus. Di Indonesia diperkirakan salah satu jenis virus penyebabnya adalah Japanese Encephalitis. Virus ini adalah anggota dari Arbovirus grup B1 atau genus Flavivirus. Penyakit ini telah menyebar di banyak

egara, mulai Sibernp ri Lanka dan Nepa

t ini di donesi Intahun 19713, yaitu di Kalimantan bagian utara. Dalam pe-

itian selanjutnya virus Japanese Encephalitis berhasil di 4isolasi di Jakarta dari nyamuk Culex tritaeniorhynchus, Culex

gelidus, Culex fuscocephalus' dan Culex vishnui° . Infeksi virus anese Encephalit

dit mukan di Pontianak (26.6%), Balikpapan (21.5%) dan arinda (25.6%)7. Japanese Encephalitis adalah merupakan

penyakit hewan, yang secara insidentil bisa terjadi pada nusia dengan babi sebagai reservoir utama8 , maka ada aan bahwa penyebaran virus Japanese Encephalitis umber db

sd

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 28

Page 30: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

HASIL Distribusi babi yang diperiksa menurut kelompok umur

dan

TabKaliman

Kelompok umur (bulan)

Distribusi babi yang positif JE menurut titer antibodi di-lihat pada tabel 3, dan dapat diperjelas dengan gambar 2.

er 8

itis menurut titer n uji serum netralisasi di Kalimantan.

Frekuensi Persen (%)

asalnya dapat dilihat pada tabel 1.

el 1. Distribusi sampel babi menurut kelompok umur asalnya di tan.

Asal 6–7 8–9 10–11 12

Jumlah (%)

1. Pontiank 14 18 20 10 62 (19.8) 2. Sintang 8 20 16 16 60 (19.3) 3. Banjarmasin 16 20 16 12 64 (20.3) 4. Balikpapan 10 20 20 14 64 (20.3) 5. Samarinda 12 24 20 8 64 (20.3)

60 102 92 60 314 (100 ) (19.2%) (32.4%) (29.2%) (19.2%)

Besarnya angka

adalah (146/314) ataterhadap Japanese Epada tabel 2. Tabel 2. Hubungan an

phalitis di Kalim

Kelompok umur (bulan)

Ju

infeksi Japanese Encephalitis pada babi u 46.5% dan distribusi babi yang positif ncephalitis menurut umur dapat dilihat

tara umur dan proporsi infeksi Japanese Ence-antan.

mlah yang di peri

Proporsi lnfeksi JE ksa jumlah persen (%)

1. 6 – 7 60 4 (6.7)

2. 8 – 9 102 36 (35.2)

3. 10 – 11 92 58 (63.1)

4. 12 – lebih 60 48 (80.0)

Jumlah 314 146 (46.5)

Dengan analisa korelasi dan regresi linier ternyata ada

Enckorelasi linier antara umur dengan proporsi infeksi Japanese

ephalitis (r = 0.99; tr = 14.14; df = 2 dan p < 0.05). Per-samaari garis regresi liniernya adalah Y = 12.38X–65.17, gambar diagram tebar dan garis regresi liniernya dapat dilihat pada gambar 1.

Umur dalam bulan Gambar 1. Diagram tebar dan garis regresi liniernya, antara umur

dengan proporsi babi yang positif JE.

Jumlah yang paling tinggi adalah pada babi yang bertit8 (31.5%) dan jumlah yang paling rendah pada titer 12(10.9%). Tabel 3. Frekuensi babi yang positif Japanese Encephal

antibodi denga

Titer Antibodi

8 46 31.5

16 36 24.7

32 18 12.4

64 30 20.5

128 16 10.9

Jumlah 146 100.0

Gambar 2. Distribusi babi yang positif JE menurut titer antibodi dengan

uji serum netralisasi di Kalimantan.

Distribusi babi yang positif Japanese Encephalitis menurut at pada tabel 4.

an ini mungkin disebabkan karena pe-

umur dan titer antibodi dapat dilihHasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara

umur babi dengan titer antibodi. Namun bila umur babi ter-sebut dihubungkan dengan rata-rata titer geometrik antibodi netralisasi pada tabel 5, dengan analisa korelasi linier me-nunjukkan bahwa tidak ada korelasi linier antara keduanya (r = 0.86; tr = 3.39; d.f. = 2 dan p>0.05). PEMBAHASAN

Besarnya infeksi Japanese Encephalitis pada babi dalam penelitian ini adalah 46.5% (tabel 2). Dibandingkan dengan penelitian di Burma pada tahun 1970 di mana besarnya infeksi pada babi berkisar antara 70 – 90%9 dan di Vietnam mencapai 100%'0, angka infeksi dalam penelitian ini relatif lebih rendah. Perbeda

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 29

Page 31: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Tabel 4. Distribusi babi yang positif Japanese Encephalitis menurut

ulan) Jumlah

umur dan titer antibodi dengan uji netralisasi dl Kalimantan.

Titer antibodi Kelompok umur (b

NT

6–7 8–9 10–11 12

8 4 32 10 0 46

16 0 0 4 32 36

32 0 18 0 8 10

64 0 0 8 22 30

128 0 0 0 16 16

Jumlah 4 36 58 48 146

Ta rata r Ge rik bodi ralisa ap

Japanese E halit rut mpok r di .

Kelompok umur Jumlah yang positif Ra Geome rik

bel 5. Rata- tite omet anti net si terhadncep is menu kelo umu Kalimantan

(bulan) antibodi NT. ta-rata t

6 – 7 8 – 9

10 – 11

4 36

8.00 8.54

12 – lebih 58 48

18.90 69.70

n a i pada jadi

ngkan pe ini dilakuk ka tu terj ah di Kaliman .

rena nyamuk di sebagai or dalam baran ni, maka fakto padatan, k nangan m it dan

te merupakan faktor yang mempeng angka infek hospes v ratanya. Namun dem untuk mengetahui berapa besar pengaruh faktor nyamuk tersebut mas

n meningkat dengan bertambahnya umur babi

Dari 146 ekor babi yang positif tehadap Japanese Ence-phalitis, 31.5% di antaranya adalah mempunyai titer 8 (tabel 3 dan gambar 2). Babi yang memiliki titer antibodi rendah menunjukkan bahwa infeksi baru terjadi atau dengan kata lain babi tersebut potensial sebagai penular atau sumber infeksi.

Temyata titer antibodi tersebut dipengaruhi oleh faktor umur babi, ini terlihat karena adanya hubungan antara umur dengan titer antibodi (tabel 4), walaupun hubungan tersebut bukan merupakan korelasi linier bila umur babi itu dihubung-kan dengan rata-rata titer geometrik antibodi (tabel 5). Ini me-nunjukkan bahwa babi yang berumur muda lebih potensial

aripada yang berumur lebih t a.

Hubi se-

baga

tpai dengan umur 11 bulan, dan pada umur di atas 11 ulan titer antibodi itu dengan perlahan akan turun.

erlebih tor. Baru setel ktor m padatan y terjadi perpindahan vektor ke p uduk. Ditemuk infeksi Japanese Encephalitis pada babi diipetemakan terse ut di atas, merupaka bukti bahwa ebaran vir Japanese Encephal di antara babi–v r–babi telah terj

Masa selanjutnya ada apakah vektor t ut senang menggigi anusia di sekit ya; hal ini yang sih perlu diteliti njut sehingga at dicari cara p rantasan-nya ata egah terjadi penularan pada sia, ter-utama pada anak-anak di bawah usia sepuluh tahun. KESIMPULAN

Besamya infeksi Japanese Encephalitis pada babi di Kali-mantan masih relatif rendah (46.5%).

Ada korelasi antara umur dengan proporsi infeksi pada babi. Babi berumur muda lebih potensial sebagai sumber infeksi dan di lokasi tersebut terdapat proses penularan yang aktif.

KEPUSTAKAAN

1. Clarke DH, Casals J. Arbovirus grup B. Dalam: Viral and Ricketsial Infection of Man. Frank L. Horsfall, (Eds) Fourth ed. Philadelphia JB Lippincott Co, 1965, bal. 626.

2. WHO. Technical Information of Japanese Encephalitis and guide-lines for treatment. New Delhi, September 1979, bal. 2.

3. Thaib S, Aman P. Special Japanese Encephalitis serological study in pigs slaughtered in Bandung compared with monkey and chickens. Bull. Biofarma 1971; 8 (2) : 32.

4. Van Peenen PFD dkk. First isolation of Japanese Encephalitis virus from Java.'Military Med J 1974, 821.

5. Van Peenen PFD dkk, Japanese Encephalitis virus from pigs and

Atmoso rrhagic Fever, Japanese E

ew Delhi, 19 – 24 March 1979.

nese Encephalitis in Vietnam. Paper on

elitia urmn di Ba

dan am d Vietnne n

la kukanan bu

waktu tern wakwabah, sed litia pada

adi wabKa

tanduga vekt penye

penyakit i r ke ese enggiginfectipn ra aruhi

si pada erteb ikian

ih diperlukan penelitian lebih lanjut. Dalam penelitian ini terlihat bahwa umur babi mempe-

ngaruhi besarnya angka infeksi (tabel 2 dan gambar 1), hubungan tersebut merupakan korelasi linier, sedangkan basil penelitian di Serawak menunjukkan angka infeksi Japanese Encephalitis aka

11

sebagasi sumber infeksi d u

ungan tersebut bukan merupakan korelasi linier karena besarnya sampel tidak sama, atau mungkin dapat dipaka

i petunjuk pola perjalanan infeksi di daerah ini. Artinya, titer antibodi akan meningkat sesuai dengan peningkatan umur hanya sanb

Sebelum virus Japanese Encephalitis menyerang manusia, dahulu terjadi penyebaran virus pada babi–vekt

ah populasi ve encapai ke ang cukup, end annya

bus n peny

itis ekto adi. lah lah ersebt m arn ma

lebih lau menc

dapnya

embe manu

mosquitoes in Jakarta, Indonesia. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1875; 69 : 477.

edjono S. Vector of Dengue Hemo6.ncephalitis, Malaria and Filariasis. Unpublished paper, Jakarta: U.S.

Namru–2. 7. Masasutgu K. Geographic distribution of Arbovirus antibodies in

indigenous human population in the Indo–Australian Archipelago Amer J Med Hyg. 28, 2 : 351.

8. Oya Akira. Surveillance on clinical diagnosis and clinical laboratory examination. Paper on WHO Inter Regional Meeting on Japanese Encephalitis. New Delhi, 19 – 24 March 1979.

9. Oya Akira. Japanese Encephalitis in Burma. Paper on WHO Inter–Regional Meeting on Japanese Encephalitis. N

10. Do Quang Ha. Studies on JapaWHO Inter–Regional Meeting on Japanese Encephalitis New Delhi, 19 – 24 March 1979.

11. Pant CP. Vector of Japanese Encephalitis and their bionomic in countries other than India. Paper on WHO Inter–Regional Meeting, New Delhi, 19 – 24 March 1979.

Page 32: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 31

nti Kis Tada Ka b

d R H S ra aya

Ide fikasi ta oxoplasma gondii ing/Domba p m

i P u b dan Malang

Thomas Ha eneli dan Pen

Departemen Kesehatan

artono gembangan Kesehatan, Bad n P tian

RI., Jakarta

ABSTR

s, a pr nosis, is further research is essential. This report is the encysted Toxoplasma gondii fro 50 samples of go eep taken Spe en preparation was conducted by by impre method. The result was that 15 oToxoplasm gondii.

laran toxoplasmosis pada

ara kongenital pada wanita hamil yang mengalami infe

, di anta

karyawan R S. Enarotali; Abano Irian Jaya menghasilkan 36,6%

Dilaporkan di Lembaga Kesehatan Nasional Surabaya (Sekarang :dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Surabaya) pada tanggal 30 Maret 1972.

positif toxoplasmosis.9 Selai adap 102

tox

ber

n

ma

mterj nya pada pesta pora suatu pasca panen di suatu

kand

me

RP an Malang, dengan perincian masing-masing

ACT

ot yet widely understood in Indonesia and Toxoplasmosi otozoan zoo n result of a study on fromm at and sh abattoirs of Surabaya and Malang. digestion using 0.5% trypsin and examined ut of

cimssed

a 50 samples (30%) positive containing

PENDAHULUAN

Pada tahun 1967 Abbas1 melaporkan bahwa apabila infeksi toxoplasmosis semakin biasa terjadi maka diagnosis secara serologis semakin kurang memuaskan, sehingga diagnosis dengan cara isolasi parasit pada seseorang tersangka toxoplasmosis merupakan suatu cara yang sangat berharga.

Sampai saat ini diketahui bahwa penu manusia dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu :

1) Dan hasil potong hewan untuk konsumsi manusia yang me-ngandung kista atau pseudokista yang tidak dimasak dengan sempurna. Cara penularan ini diduga merupakan sumber pe-nularan terbesar pada manusia.2,3

2) Secksi akut primer pada trimester pertama kehamilan dengan

akibat keguguran, lahir hidup kemudian mati atau lahir cacat.2,3

3) Toxoplamosis juga terjadi oleh penularan ookista yang di-keluarkan bersama tinja kucing.4,5,6

Penelitian toxoplasmosis di Indonesia dirintis sejak 1965ranya dengan skin test menggunakan toxoplasmin terhadap

862 orang berasal dari beberapa kelompok penduduk dan tenaga kerja di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar dengan hasil 27,4% positif (tertinggi dari Jakarta sebesar 37,4% positif).7 Srisasi Gandahusada melaporkan hasil IHA test (1978) terhadap 280 orang dari lingkungan kedokteran di Jakarta sebesar 12,5% positif toxoplasmosis.8 Selanjutnya, hasil MA test terhadap 188

n itu hasil IHA test terhibu-ibu hamil di RS Dr. Saiful Anwar, Malang, 18,6% positif

oplasmosis dengan titer antara 1 : 64 sampai dengan 101 : 4096.

Kasus-kasus toxoplasmosis pada manusia dapat berupa mialgia, pnemonia, chorioretinitis,fensefalomielitis, keguguran

ulang-ulang;" karena luasnya akibat toxoplasmosis pada manusia, kiranya perlu mendapat prioritas utama di samping pe yakit zoonosis lainnya, lebih-lebih mengingat kegemaran sebagian masyarakat Indonesia makan sate kambing setengah

tang. Tidak mustahil apabila sewaktu-waktu terjadi semacam wabah toxoplasmosis pada bayi-bayi dari ibu-ibu ha il muda yang ikut pesta sate kambing. Hal ini bisa saja

adi misaldaerah transmigrasi yang basil panennya melimpah.

Metoda penelitian yang dipakai yaitu identifikasi Toxo-plasma gondii dengan metoda tekan, cara ini mungkin merupa-

satu-satunya penelitian yang pernah dilakukan di onesia, selebihnya dengan diagnosa sIn ecara serologis yang

mungkin kurang konfirmatif. Tujuan penelitian ini ialah untuk ndapat persentase kista Toxoplasma gondii dari sampel

kambing/domba diambil dari RP-H Surabaya dan Malang.

BAHAN DAN CARA Lima puluh sampel kambing/domba dikumpulkan dari

H Surabaya d

Pusat Penelitian

Page 33: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

25 sampel. Setiap sampel terdiri dari sepotong kecil jaringan obel

tot, hati, limpa, paru-paru, kelenjar limfe, sumsum tulang ak

P100 jaringan ikat, diletakkan padadengan larutan g(penisilin 1000 U/kemudian dicacahetelah itu dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer berisi 200 l larutan 0,5% tripsin dalam larutan garam fisiologis dengan

ntibiotik dan pH 7,2 kemudian diaduk selama satu jam. Larutan cernaan jaringan ini kemudian disaring denlapis kasa steril, setelah itu di sentriselama 10 meta Supernatan dibuang dan resid

icuci dengan larutan garam fisiologis dengan antibiotik serta isentrifugasi kembali padaCi0Ō06rpm selamal0 menit.

dapan yang diperoleh dilarutkan dengan sedikit gfisiologis dengan an b oekor mencit putih memperoleh 0,5 ml

Pengamatan deadanya kista, pseuddari pseudokista yaang dipakai. Pen n setelah lebih dari 6 inggu mencit diinokulasi. Mencit yang akan diperiksa dimati-

an dengan kloroform, setelah itu tengkoraknya dibuka dengan unting, kemudian preparat disiapkan.

jaringan hemisfer otak diambil dengan gun-di atas ide dan kemudian ditutup dengan

dari

u dari 6 domba (16,6%)

O bagi tersangka toxoplasmosis adalah dengan pemberian

Tabel I. Hasil temuan kista Toxoplasma gondii di RPH. Surabaya

asilang dan jantung seberat ± 100 gram tiap sampel. rosedur laboratorium dilaksanakan sebagai berikut : Dari

gram sampel dipilih 20 gram yang bebas lemak dan cawan petri untuk dicuci dua kali

aram fisiologis yang mengandung antibiotik ml, streptomisin 1 gram/ml). Jaringan sampel sampai halus dengan sebuah gunting bedah,

No. Urut

Tanggal Sampling

No. KodeSampel

Kambing/ Domba

Kelamin J/B.BB (kg)

Tanggal Diketahui(+) H

sma

gan dua fugasi path 3000 rpm

unya sekali lagi ddEn aram

ti i tik cukup untuk sediaan inokulasi 5 secara intraperitoneal yang masing-masing inokulan. ngan mikroskop dilakukan untuk identifikasi okista, atau toxoplasma bebas yang keluar

ng pecah oleh penekanan pada metode tekan gamatan ini dilakukay

mkg

Sepotong kecil ting dan diletakkan slcover glass. Zat pewarna yang dipakai adalah biru metilen. Selanjutnya cover glass ditekan perlahan-lahan sehingga ter-bentuk lapisan tipis jaringan otak sesuai untuk pengamatan di bawah mikroskop. Hasil dinyatakan positif apabila tampak ada-nya kista, pseudokista ataupn toxoplasma bebas yang keluar

pseudokista yang pecah oleh penekanan preparat.

HASIL DAN DISKUSI Pemeriksa mikroskopis dilaksanakan dari tanggal 18 Okto-

ber 1971 sampai dengan tanggal 29 Februari 1972 dengan basil 15 dari 50 sampel positif. Hal ini berarti 30% dari jumlah sampel tersebut positif mengandung kista Toxoplasma gondii (Tabel 1,2,3).

Lima di antara 1 15 sampel positif berasal dari kambing/domba betina sedangkan 10 lainnya (66,6%) adalah jantan. Dilihat dari jenis hewan, maka satpositif mengandung kista toxoplasma, sedangkan untuk jenis kambing, 14 dari 44 (31,8%) positif mengandung kista toxo-plasma.

Pengamatan kista toxoplasma dengan mengambil spesimen jaringan otak setelah lebih dari 6 minggu diinokulasikan adalah metoda paling baik untuk mengamati parasit ini secara mikros-kopis, sebab diperkirakan jaringan otak mencif adalah jaringan paling sering terinfeksi.1 2 3 12

Penanggulangan toxoplasmosis seperti disarankan oleh WHpirimetamin dikombinasikan dengan sulfadiazine.2 3 Selain itu

1. 2. 3. 4. 5. 6.

09 –07–7109–07–71 09–07–71 16–07–71 16–07–71 16–07–71

1 2 3 20 21 22

K

7. 8. 9.

15. 16.

25.

24–09–71 24–09–71 24–09–71

0–71

08–10–71 15–10–71 15–10–71 15–10–71

22–10–71

128 129 130 155

159 160 176 177 178

192

K K K K K K K K K K K K

K

B;10

J;20 J;17 J;15 J;16 J;17 B;21 J;15 J;14 J;12 J;17 J;12 J;17

J;12

18–10–71 18–10–71 18–10–71 18–10–71 18–10–71 29–01–72 29–01–72 29–01–72 24–02–72 24–02–72 24–02–72 24–02–72 24–02–72 24–02–72 29–02–72 29–02–72 02–03–72 29–02–72 29–02–72 02–03–72 02–03–72 29–02–72 29–02–72 29–02–72

– – – – – – – – – + – – + – + – – – – – – – – + –

10. 11.

08–108–1

12. 0–71

08–10–71 156 157 158 13.

14. 08–10–71 08–10–71

17. 18. 19. 20. 21. 22.

17–10–71 15–10–71 22–10–71 22–10–71

179 180 188 189

K K K K

J;15 B;40 J;14 J;12

23. 24.

22–10–71 22–10–71

190 191

K K

J;15 J;12

.

K K K K K

J;18

J;12 J;12 J; 7 B; 8

18–10–71

Tabel 2. Hasil temuan kista Toxoplasma gondii di RPH. Malang

No. Urut

Tanggal Sampling

No. KodeSampel

Kambing/ Domba

Kelamin J/B.BB (kg)

Tanggal Diketahui(+) Hasil

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15.

12-07-71 19-07-71 09-08-71 30-08-71 06-09-71 20-09-71 27-09-71 27-09-71 27-09-71 27-09-71 27-09-71 04-10-71 04-10-71 04-10-71

19 36 48 79 93

113 139 140 141 142 143 146 151 152

K K K K K K K K D K D K K K

J;10 J;20 B;20 B;25 J;15 J;25 B;18 B;13 J;15 B;12 J;15 J;25 B;15 B;11

18-10-71 01-10-71 16-11-71 29-12-71 31-12-71 28-01-72 31-01-72 31-01-72 31-01-72 31-01-72 31-01-72 24-02-72 24-02-72 24-02

- - - - - + + + - + + - +

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.

04-10-71 04-10-71 13-10-71 13-10-71 13-10-71 13-10-71 13-10-71. 13-10-71 13-10-71

153 154 167 168 169 170 171 172 173

K D K K D K K D K

B;12 B;17 J;13 B;10 J;18 J;12 J;20 J;25 J;18

24-02-72 24-02-72 02-03-72 02-03-72 02-03-72 29-02-72 02-03-72 02-03-72 29-02-72

+ - + - - - - -

24. 13-10-71 174 D K

B;25 J;13

-72

29-02-72 29-02-72

+

+ - + 25. 13-10-71 175

spiramisin juga memberi basil baik dan banyak dipakai di Eropa.1 3

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 32

Page 34: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Tabel 3. Hasil keseluruhan temuan kista Toxoplasma gondii pada kambing/ domba benar matang dimasak.

No. Unit

Tanggal Sampling

No. Kode Sampel

Kambing/ Domba

Kelamin JIB.BB. kg

Tanggal Diketahui (+)

1. 2. 3. 4. 5.

6.7. 8,9.

10. 11. 12. 13. 14. 15.

20-09-71 27-09-71 27-09-71 27-09-71 27-09-71 04-10-71 04-10-71 04-10-71 08-10-71 08-10-71 08-10-71 13-10-71 13-10-71 13-10-71 22-10-71

113 139 140 142 143 151 152 153 155 158 160 167 173 175 190

K K K K D K K K K K K K K K K

B;25 J;18 J;13 B;12 B;15 7;15 B;11 J;11 J;16 J;15 J;12 J;13 7;18 B;13 J;15

28-01-72 31-01-72 31-01-72 31-01-72 31-01-72 24-02-72 24-02-72 24-02-72 24-02-72 24-02-72 24-02-72 02-03-72 29-02-72 29-02-72 29-02-72

Sebagai perbandingan perlu diketahui bahwa demi penang-

gulangan toxoplasmosis pada manusia maim Undang-Undang Pemotongan Hewan di Jepang saat ini mengharuskan hewan potong dengan diagnosa Toxoplasmosis dimusnahkan. 1 4

RINGKASAN Manifestasi Minis toxoplasmosis secara singkat telah

diperkenalkan. Yang penting dalam kesehatan masyarakat adalah mencegah konsumsi hasil pemotongan kambing/domba dalam keadaan kurang sempurna dimasak (mentah atau setengah matang).

Hasil temuan kista toxoplasma pada 30% dari sejumlah 50 sampel kambing/domba perlu mendapat perhatian cukup besar, baik pada kesehatan kambing/domba yang umumnya asimto-matis sehingga cenderung membentuk kista setelah infeksi,

u e a r

KEPUSTAKAAN

1. Co arative study of me sed f tion ndii. HO 1967; 36 (2) : 34

2. asm WHO Techn Rep. S 9; 4313. Zoonoses. WHO chn Rep 979; 64. oxoplas dii in l sta

sts Science 1970; 893 - 6. 5. u ller NI, Frenkel. The Toxop gond om

a ; 132 : 636 - 62. nke Dubey infection with a c

n mmals and bird. J. P l. 1972; 58 : 928 - 37.int kmono. rasitologi : Penyelldikan toxoplasmo .

a rch donesia 4 - 196 idang Depar-em Res Nasion epublik sia 19 5. r log est for a odies of plasm Jakarta, n . As Trop. M Pub. He 978;

tjah Toxop a antibodies in Aba ya, . s Me . Healt 80; 11 :e Pemeri n penda n Tox den e pad -ibu ha di RSU aif

iah Regional Par ologi Ke an II. Jan 9

de ansm n of toxoplasmosis T . e 4) : 327 30. u erl ibution of Toxoplasma gondii in the tissue of

a ath al surve rop Geo d, 1967; 19 : 206 - 113. Soebijanto N, Suharto. Toxoplasmosis. Medika 1984; 8. 4. Tokutomi et al. Recovery of Toxoplasma gondii from pork obtained from

retail meat shops in Tokyo Bull. Inst. Publ.iHealth of Japan 1980; 29 (2).

UCAPAN TERI A KAen k .r m tas n

tulisnya. Prof. Dr. J. Holz, Bandung atas kesempatan konsultasi singkatnya; Drh. Soedjasmiran dan Drh. Soewadji, Surabaya, untuk melakukan sampling; p na laksa ari Lem a Keseh Nasio ya, atas b an a prosedur labora ; Dr. oetopo, DPH, at isain naskah ini; Salikin Reksodimed Kep B an m L aga Kesehatan Nasional Surabay itu; t h. T. n Budia PhD, atas uan ke ah in

maup n cara p ngolahan hasil potongan yang h rus bena

Abbas AM.AL. mp thods u or the isola ofToxoplasma go W 4 - 6.

WHO. Toxopl osis. er 196

. WHO Parasitic Te Ser 1 37. Frenkel JK, Dubey JP, Miller NI. T ma gon cats : faeca ges

identified as coccidian oocy D bey JP, Mi lasma ii oocyst fr cat

f eces. J Exp Med 19706. Miller NI, Fre l JK, JP. Oral Toxoplasm ysts

a d in felines, other ma arasito 7. Sri Oemijati, B ari Ru Pa sis

D lam : Resea di In 195 5, I. B Kesehatan,t en Urusan earch al R Indone 65: 124 - 12

8. S isasi G. Sero.

ical t ntib Toxo a gondii in I donesia. S E ian J. ed. alth, 1 9 : 3.

9. Srisasi G., Su yo E. lasm no, Irian Ja SEA ian J. Trop. d. Pub h, 19 2.

10. T guh Wahyu S. et al. ksaa hulua oplasmosis ganm tode IHA s ibu mil D Dr. S

d rul Anwar Malang.

Pertemuan Ilm asit okte Denpasar 2 uari1 88.

11. Waaij, D. van r. The tr issio before birth. ropG org, Med., 1964; 16 ( - 3

12. Dc

bey JP, Bevts, II. Histop

y JKA. Distrologic y. T gr. Me .

11

Myusun nas

SIH ah ini meng P ucapkan banyak terima kasih r

beberapa kopi kar kepada D H. de

ya Roeve -Bonnet beserta staf, A sterdam, a pengirima

erso lia tim pe na d bag atan nal Surabaantu kerjasamany dalam torium M.H.W. S

as saran d Dr. jo, sebagai alaagi Laboratoriu emb a pads saat dan

erakhir kepada Dr Iwa rso. tinja mbali nask i.

Page 35: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 34

x m is

To oplas os di Indonesia

Salma M ot Pen tian Ek Kese dan Pen

Depa eseha

ar ef elitian dan Pengembangan Kesehatan. Pusa eli ologi hatan, Ba

rtemen K tan R.I., Jakarta

STRAC

A review of Toxoplasmosis prevalence stue high

water

as examined

males and in females 13.0% out of 64 femagoats and pigs. The highest prevalence was fou

.0% in South Kalima tan; and in pigs it

i

cooking of meals and avoidance of cat feces s

Toxoplasmosis adalah suatu penyakit protozoa yang di-sebabkan oleh Toxoplasma gondii. Penyebaran penyakit ter-utama pada hewan berdarah panas seperti burung dan mammalia termasuk juga manusia. 1 2 3 Penyakit ini adalah pe-nyakit Zoonosis. Mengingat tersebar luasnya induk semangnya maka perlu diketahui sejauh mana penyebaran Toxoplasmosis di Indonsia.

Makalah ini akan menyajikan tinjauan hasil-hasil kepustakaan tentang penelitian Toxoplasmosis pada manusia dan hewan yang telah dilakukan sejak tahun 1970. PARASIT

Parasit Toxoplasma gondii terdiri dari tiga bentuk : 1) Bentuk tachyzoit atau bentuk trofozoit berukuran 2 - 4 mikron. Bentuknya seperti buah pisang yang salah satu ujungnya tumpul dan yang lain runcing.

Terdapat pada cairan tubuh seperti darah, cairan intraperi-tonial, sekret tubuh dan ekskresi tubuh. 2) Bentuk kista atau bradizoit adalah bentuk resisten, ber-ukuran 30 - 150 mikron dan ditemukan pada jaringan tubuh seperti otak, mata, jantung, dan otot.

enghasilkan sporozoit; terutama ditemukan pada tinja kucing.

Bentuk ini ada, temperatur 37o C dapat hidup selama 20 hari,2 4 dan mati pada temperatur di atas 50° C - 60°C dan di bawah 200C.

Siklus hidup T. gondii terdiri dari dua fase : 1) Siklus entero-epitel (fase reproduktif) terjadi di dalam usus kucing. 2) Siklus extra intestinal (fase proliferatif), terjadi di dalam induk-semang-antara seperti burung, mammalia dan manusia.

Penularannya secara kongenital atau didapat melalui makan daging setengah matang yang mengandung kista; memakan sayuran, buah-buahan yang terkontaminasi tinja, urine atau sputum; susu dan telur yang telah tercemar trofozoit;3 melalui vektor tikus, kecoak dan lalat; dan di dalam laboratorium petnah dilaporkan bahwa caplak juga bisa sebagai vektor T. gondii.1 KELAINAN YANG TERLIHAT

Pada manusia menyebabkan abortus pada masa kehamilan 3 - 4 bulan, atau mengakibatkan ja n mengalami hidrosefalus, ensefalitis, serta gangguan mental; korioretinitis, miokarditis,

AB T

dies in Indonesia was done. Toxoplas-est prevalence was found in Irian Jaya mosis has spread throughout Indonesia; th

(34.6%) with a positive titre 1 : 256 follo18.0% Palu 16.0%, Surabaya and North Sum The antibody's prevalence in males wfemales 31.6% out of 117 female

ed by South Kalimantan 31.0%, Jakarta a 9.0%.

s 39.4% out of 71 males examined and in in Irian Jaya. In Palu 18.0% out of 119 les examined. The hosts were dogs, cats,

nd in Jakarta in dogs (75.6%), and in cats (72.7%). The prevalence in goats was 6was 51.0% in West Java, 50.0% in Irian Jaya Toxoplasma in animal and man is wtoxoplasmosis in man is needed and measu

1 n and 28.0% in Jakarta. despread in Indonesia. Further research of res to prevent transmission, e.g. thorough hould be initiated.

3) Bentuk ookista adalah bentuk resisten, berada di dunia luar

PENDAHULUAN

m p

ni

Page 36: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

miositis, limfadenopati dan gangguan syaraf. Pada temak terjadi keguguran, gangguan pernafasan,

atukbatuk, demamPada ayam nafsu pucat, diare deng

eseimbangan, gemkoliosis, opistotonus dan tortikolis. Secara patologis terlihat embesaran limpa dan hati, radang nekrotik hati dan ginjal, erikarditis, miokarditis, enteritis ulseratif, bendungan paru-

u dan radang otak.5

PREVALENSI DI INGambaran basil survai pada manusia den

ndirect haemagg/utination test) antibodi toxoplasma di Indo-esia dapat dilihat pada tabel 1.

Prevalensi tertinggi ditemukan pada 188 orang Irian Jaya rdiri dari 71 laki-laki dan 117 wanita, yakni 34,6%. (3

pada laki-laki dan 31,6% pada wanita) dengan positip tit256.6 Dan prevalenpenduduk Palu tela(16,0%) terdiri dari (13,0%) wanita deng Tabel 1. Gambaran serol

b tinggi (41° C – 42° C), lemah dan mencret. makan-minum menghilang, buta, kurus,

an tinja berwarna keputihan, kehilangan etar, tulang belakang membengkok, k

spppar

DONESIA gan metode IHA

(in

te 9,4% er 1 :

si sedang ditemukan di Palu; dari 1166 h ditemukan antibodi pada 183 orang 119 (18%) orang laki-laki dan 64 orang an positip titer 1 : 256.7

ogis Toxoplasma gondii pada manusia di Indonesia.

Penelitian No. Daerah penelitian Ju

(ormlah ang) Penelitian Tahun

Positif Titer

Hasil(%) Ref.

1. 2. 3. 4. 5.

Surabaya Keresek Jawa Barat Jakarta Li n d u P a 1 u Sumatera Utara Kalimantan Barat Boyolali

41969

– – –

Clarke et at Clarke et at. Clarke et at. Durfee et at.

1975 1976 1975 1976

1 : 256 1 : 256 1 : 256 1 : 256

9,0 3,0 2,0

31,0

– –

12 16

6.7.8.9.

10. 11.

Kalimantan Sal. S

12. ulawesi Utara

Obuno (Irian Jaya) –

188 Cross et at. Srisasi G et at.

1976 1980

1 : 256 1 : 256

8,9 34,6

17 6

– –

Yamamato et at. Clarke et at.

1970 1973

1 : 256 1 : 32

9,0 20,0

10 11

– 90 84

166

Clarke et al. Partono Clarke et at. Cross et at.

1973 1975 1975 1975

1 : 32 1 :256 1 : 256 1 : 256

51,0 18,0 8,0

16,0

12 13 14 7

Gambaran serologis Toxoplasmosis pada hewan dengan memakai metode IHA antibodi dapat dilihat pada tabel 2.

Prevalensi serologis daerah yang sangat tinggi telah ditemu-kan di Jakarta, ditemukan antibodi pada 75,6% anjing dan 72,7% kucing yang diperiksa dengan positip antibodi 1 : 128. Dan

SAN terlihat

idup umumnya secara beba

aki-laki yang lebih tinggi

Tabel 2. Gambaran serologis Toxoplasma gondii pada hewan.

Penelitian

dari 38 orang pemilik anjing dan kucing ditemukan antibodi path 17 orang (44,7%) dengan positip titer 1 : 256.8 PEMBAHA

Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilaporkan bahwa anjing (75,6%) dan kucing (72,7%), merupakan hospes yang potensial karena menunjukkan prevalensi tertinggi. Hal ini disebabkan karena hewan-hewan ini h

s di luar dan suka memakan sampah atau daging mentah.

Mengingat negara Indonesia adalah negara tropis, per- kembangan dan penyebaran penyakit parasiter seperti Toxoplas-mosis lebih mudah.9 Prevalensi pada l

No. Hewan (ekor) Daerah Peneliti Jumlah

TahunHasil(%) Ref

1. Anjing 38 Jakarta Srisasi et at. 1980 75,6 8 2. Kucing 33 Jakarta Srisasi et at. 1980 72,7 8 Kalimantan Sal. Durfee et at. 1976 41,0 16 Kalimantan Sel. Durfee et at. 1976 61,0 16 Timor Tengah Cross et at. 1976 14,8 17 Yogyakarta Cross et at. 1976 14,7 17

3. Kambing 465 Donggala Cross et at. 1976 13,7 17 Ac e h Cross et al. 1976 7,3 17 Bengkulu Cross et al. 1976 3,0 17 Jawa Barat Cross et al. 1976 51,0 17

4. B a b i 166 Irian Crossetat. 1976 50,0 17 Jakarta Koesharjono et al. 1974 28,0 18

umpamanya di Irian Jaya 39,4% dan Palu 18,0%, dibandingkan

akan mempermudah aum laki-laki lebih

ebih dekat n dengan ternak. Dan tambahan lagi kebiasaan

ak melakukan h matang.

da pemilik anjing kesayangan adalah n ada hubungannya

tase antibodi anjing dan kucing, akibat yang mencemari

asil penelitian yang telah dilakukan ternyata Toxoplasmosis pada manusia telah menyebar di seluruh Indonesia (Peta). Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya induk semang yang asimtomatik. Juga faktor

penyebaran Tox ni mungkin

seluruh Indonesia, dengan demikian kemungkinan

t

penyuluhan tentang kebersihan dan engolahan makanan khususnya daging.

wanita (Irian Jaya 31,6% dan Palu 13,0%) penularan; keadaan ini disebabkan karena kbanyak hidup di luar seperti berburu dan lberhubungamasyarakat terutama Irian Jaya yang masih banypesta adat dengan memakan daging setenga

Angka persentase antibodi T. gondii padan kucing dari 38 keluarga pemilik hewansebesar 44,7% (17 orang). Hal ini mungkidengan tingginya persenpencemaran kista dari kotoran hewanlingkungan.

Melihat hasil-h

hubungan antara manusia dengan hewan peliharaannya yang sangat akrab dan erat antara lain seperti anjing dan kucing.

KESIMPULAN

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkanoplasmosis yang luas di Indonesia. Hal i

disebabkan karena induk semang T. gondii terdapat di mana-mana dimanusia untuk terinfeksi akan menjadi lebih besar. Keadaan ini akan menjadi parah apabila kebiasaan dan adat istiadamasyarakat masih tetap makan daging setengah matang. Untuk mencegah penularan toxoplasmosis perlu diadakan : 1) Penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi reservoar dan penyebarannya serta aspek-aspek klinik pada manusia. 2) Peningkatan kebersihan lingkungan khususnya pengurangan kontak dengan faeces kucing dan reservoar lainnya. 3) Peningkatan p

KEPUSTAKAAN

1. Abram, S. Benerson. Control of communicable diseases in man. Ed. 12, 1975 : p. 325 - 7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 35

Page 37: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Peta : Penyebaran Toxoplasmosis di Indonesia sejak tahun 1970

UCAPAN TERIMA KASIH.

2. Livine ND. Veterenary Parasitology. Burgess. Pub. Co. Minneapolis,

Minnesota 1977 : 33 - 6. 3. Merck Veterenar Ed. I Co Rah . U 973

rotozoa of d ateondon : EL ,

S, Sutijono P 19ndahusad o anti in , I a South Ea s ed. 1th 11 7

H et.al. Pa the al ranes u n J. Hl 97

ono, re ti T m pa carta 80

ijaks a n it i I eh -

of anti Toxoplasm

dan Chinese Medical Students in Jakarta. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. H1th. 1975; 6 : 472 - 476.

Serological study amebiasis and toxoplasmosis in the

15.

talc, Sri Kusuma. Toxoplasma gondii haemagglutinating antibody titers in

Py Manual V, Merck & way N.J

omestic

SA. 1: p. 456 - 459. Soulby EJL. Helm4. inth, anthropods and p d animals. 7th. Ed. L

oBS 1982.

ads5. Suprapt P. arasit-parasit p ayam. Gramedia 86. 6. Srisasi Ga

sia.a. T xoplasmosis

p. Mbodies Abano rian J ya,

Indone st A ian J. Tro Pub. H . 1980; (2) : 2 6 -9.

J7. Gross rasitology survey in Palu V ley, Cent l Sulawesi (Celebes), Indo ia. So th East Asia Trop. Med. Pub. th., 1 5; 6:366.

j8. Srisasi, Koeshar P valensi zat an oxoplas a gondii ds ku ing dan anjing di Jak

b 19 .

9. Adhyatma, Ke ana n Pemberantasa penyak parasit d ndon sia. Cermin Dunia KedYamamato M, Tokuchi M

okteran 1980; Nomor k, Hotta S. A sur

usus : 1vey

4. 10. a

haemagglutinating antibodies in sera from residents and certain species of animals in Surabaya, Indonesia. Kobe J. Med. Sci 1970; 16 : 273.

11. Clarke MD. et.al. Human malaria and intestinal parasites in Kresek, WestJaya, Indonesia with a cursory serological survey for toxoplasmosis and amebiasis. Southeast Asia J. Trop. Med. Pub H1th 1973; 4 : 32.

12. Clarke MD. et.ai. A parasitological survey in the Jogyakarta area of Central Java, Indonesia. Southeast Asia J. Trop Med. Pub. Hlth., 1973; 6 : 366.

13. Partono F, Cross JH. Toxoplasmosis antibodies in Indonesian

14. Clarke MD et.al. Lindu Valley, Central Sulawesi, Indonesia 1975. Cross JH. et.al. Parasitology survey in North Sumatra, Indonesia. J. Trop. Med. Hyg. 1975.

16. Durfee PT, Cross JH, Rustam Susanto. Toxoplamosis in man and animals in South Kalimantan (Borneo), Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1976; 25:42-7.

17. Cross JH. PFD Van Peenen, HM. Nora, SO. Koesharjono, CM Simanjun-

Indonesia goats. Trop. Geogr. Med., 1976; 28 : 355 - 8. 18. Koesharjono C, PFD, Van Peenen, SW. Joseph, J. Sulianti Saroso, GS.

Irving, PT. Durfee. Serological survey of pigs from a slaughterhouse in Jakarta Indonesia. Bull. H1th. Studies in Indonesia 1973; 1 : 3.

enulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Suriadi Gunawan DPH, Kepala Ptisat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan atas bimbingan dan pe-tunjuknya sehingga penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 36

Page 38: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Studi Kasus Pelayanan Kefarmasian : Pelaksanaan Peracikan, Pencampuran,

dan Pengubahan Bentuk Obat atau Bahan Obat di Apotek "X"

Ondri Dwi Sampurno dan Umi Kadarwati Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan R.L, Jakarta PENDAHULUAN

Berdasarkan data obat terdaftar di DitJen POM., diketahui wg

satu potek seperti tersebut dalarn PP s

dipe i

se l

keg

doktg

d

di A September tersebut

dbiaya sekolah anak, Hari Raya, Hari Natal, dan sebagainya.

yang

• J

• Jumlah lembar resep yang mengandung Reracikan • Jumlah R/ total dan jumlah R/ yang merupakan racikan dari lembar resep yang me dung R/ racikan

lian dokter yang menulis R/ racikan

asil observasi pada bulan Maret Jumlah lembar resep yang masuk adalah sebanyak 1642

lembar. Dari jumlah tersebut terdapat 541 le bar tersep yang mengandung R/ racikan atau 32,9%; 364 lembar atau 67,3% di antaranyaditujukan untuk anak dan 177 lembar atau 32,7% untuk dewasa. Lembar resep yang merupakan pengulangan dari lembar resep pada hari sebelumnya, dihitung tersendiri dan dijumlahkan seperti lembar resep yang lain; terdapat 36 lembar yang diulang dua kali dan 3 lembar yang diulang tiga kali. Dari lembar resep yang mengandung R/ racikan tersebut, terdapat sebanyak 1036 R/ dan 607 merupakan racikan atau 58,7%. Jumlah dan jenis keahlian dokter yang menulis R/ racikan, tertera pada tabel 1.

Tabel 1. Jumlah dan jenis keahlian dokter yang menulis R/ racikan.

No. Jenis keahlian N (orang) %

bah a obat dengan komposisi dalam berbagai bentuk sediaan an berbagai nama pden aten/produsen yang berada di pasaran

adalah sebanyak 92461. Dengan keadaan demikian, 'apabila dikaitkan dengan salah fungsi dan tugas pokok a

25 19802, yaitu Apotek sebagai sarana farmasi yang me-lak anakan peracikan, pencampuran dan pengubahan bentuk,

rkirakan menjadi kurang tepat. Apotek seolah-olah hanya.terl hat sebagai pelaksana penyerahan obat atau bahan obat.

Namun apabila dikaji lebih lanjut, keseluruhan obat paten ter but, ternyata hanya berisikan 1270 bahan aktif . Seperti di tahui, komposisi dan bentuk sediaan harus disesuaikan den an hasil diagnosis dan kondisi pasien.. Sehingga penam-

n bahan aktif dan perubahan bentuk yang sbaha esuai dengan kondisi pasien masih sangat diperlukan berdasarkan permintaan

er. Hal demikian hanya dapat dilakukan di apotek di bawah pen awasan apoteker.

Untuk mengetahui kenyataan sebenarnya, maka pada tahap pen ahuluan ini akan dicoba dilakukan studi kasus di salah satu apotek di Jakarta.

BAHAN DAN METODA Studi kasus dilakukan dengan cara observasi terhadap se-

luruh resep yang masuk pada bulan Maret dan September 1988 potek "X". Pemilihan bulan Maret dan

adalah atas dasar bahwa kondisi ekonomi seseorang pada saat itu adalah stabil. Dalam arti tidak banyak dipengaruhi oleh kea aan yang menuntut banyak mengeluarkan uang, misalnya

Dari kumpulan lembar resep tersebut dipilih lembar resep mengandung R/ racikan untuk diambil datanya. Data yang

dicatat dari resep-resep yang masuk adalah : umlah seluruh lembar resep

ngan• Jumlah dan jenis keah• Bentuk akhir racikan HASIL H

m

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14.

Umum Ahli kesehatan anak Ahli penyakit kulit Ahli penyakit saraf Ahli penyakit dalam Ahli kesehatan jiwa Ahli penyakit THT Ahli gizi Ahli penyakit paru Ahli penyakit jantung Hewan Ahli penyakit mata Ahli Bedah Ahli penyakit asma dan alergi

60 36 11 6 5 3 3 2 2 2 2 1 1 1

44,4 26,7 8,1 4,4 3,7 2,3 2,3 1,5 1,5 1,5 1,5 0,7 0,7 0,7

Jumlah 135 100

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 37

Page 39: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan yang dp

itulis oleh dokter dengan berbagai keahlian di atas, tertera ad

T

No.

a tabel 2.

abel 2. Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan yang ditulis oleh dokter berbagai keahlian.

Jenis keahlian N (lembar) %

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14.

UAhli kesehatan anak Ahli penyakit kulit Ahli gizi Ahli penyakit saraf Ahli penyakit THT Ahli penyakit paru Ahli penyakit dalaAhli penyakiAhli penyakit jantung Hewan Ahli bedah Ahli penyakit mata Ahli penyakit asma dan alergi

12 12

1 1 1

2,2 2,2

0,2 0,2 0,2

mum 244 186 40 16

45,1 34;4 7,3 2,9

m t jiwa 7 1,3

8 7

1,5 1,3

3 3

0,6 0,6

Jumlah 541 100

Bentuk sediaan yang dikehendaki dari seluruh R/ racikan,

tertera pada tabel 3. Tabel 3. Bentuk sediaan dari seluruh R/ racikan.

No. Bentuk sediaan N (R/) %

1. 2. 3. 4.

Serbuk Kapsul Salep Cairan

379 153 41 34

62,3 25,2 6,9 5,6

Jumlah 607 100

Hasil observasi pada bulan September

Jumlah lembar resep yang masuk adalah sebanyak 1545 lembar. Dari jumlah tersebut, terdapat 473 lembar resep yang mengandung R/ racikan atau 30,6%, 301 lembar atau 63,% diantaranya ditujukan untuk anak dan 172 lembar atau 36,4% untuk dewasa. Lembar resep yang merupakan pengulangan dari lembar resep pada hari sebelumnya, dihitung tersendiri dan

sep yang mengandung R/ racikan tersebut, an 494 merupakan racikan atau

Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan adalah

Tabel 4. Jumlah dan jenis keahlian dokter yang menulis R/ racikan.

dijumlahkan seperti lembar resep yang lain, terdapat 23 lembar yang diulang dua kali dan 1 lembar yang diulang tiga kali.

Dad lembar reterdapat sebanyak 886 R/ d55,7%.

Jumlah dan jenis keahlian dokter yang menulis R/ racikan, tertera pada tabel 4.

Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan yang dituils oleh dokter dengan berbagai keahlian di atas, tertera pada tabel 5.

Bentuk sediaan yang dikehendaki dari seluruh R/ racikan, tertera pada tabel 6.

Perbandingan hasil observasi pada bulan Maret dan Sep-tember, tertera pada tabel 7.

PEMBAHASAN

No. Jens keahlian N (orang) %

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11.

Umum Ahli kesehatan anak Ahli penyakit kulit Ahli penyakit dalam Ahli penyakit paru Ahli kesehatan jiwa Ahli penyakit THT Ahli penyakit saraf Ahli bedah Ahli gizi Hewan

61 36 9 7 5 4 4 3

44,3 26,2 6,5 4,9 3,5

12. Ahli penyakit asma dan alergi

3 3 3 1

2,8 2,8 2,1 2,1 2,1 2,1 0,6

Jumlah 139 100

Tabel 5. Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan yang ditulis

oleh dokter berbagai keahlian.

No. Janis keahlian N (orang) %

1. 2. 34

789

Umum Ahli kesehatan anak

Ahli penyakit dalam Hewan

215 157

10

7 6 3 1

45,5 33,3 6,5

2,1

1,5 1,3 0,6 0,2

. Ahli penyakit kulit 31

. 5. 6.

Ahli penyakit THT Ahli gizi Ahli penyakit saraf

13 12

2,7 2,5

. Ahli penyakit paru 10 8

2,1 1,7 .

. Ahli kesehatan jiwa Ahli bedah

10. 11. 12. Ahli penyakit asma dan alergi

Jumlah 473 100

Tabel 6. Bentuk sediaan dan seluruh R/ racikan.

No. Bentuk sediaan N (R/) %

1. 2. 3. 4.

Serbuk Kapsul Salep Cairan

276 160 36 22

55,9 32,4 7,3 4,4

Jumlah 494 100

sebesar ,6% (Maret) dan 32,9% (September), dari jumlah keseluruhan lembar resep yang masuk (tabel 7) dan jumlah

30 R/

racikan adalah seb aret) dan 55 tem ) da jum yang terdapat pada keseluruhan bar ya m acikan (tabel 7). Den dem te at masih dilaksanakan p ikan, -ca n bentuk. Jadi bukan a ter s pada pe bahan obat. Di masa lu, seb ob berbagai bentuk sediaan dengan ber-bagai n n yang berada di pasaran seba k sekarang bentuk satuan baha aktif, a peracika dan pengubahan bentuk merup n p jaa .

um engandung R/ cikan g di ka sar 67,3% (Mar (Se tem ri jumlah keseluruhan lembar r yang -

esar 58,7% (M ,7% (Sep berri lah R/ lem resepng engandung R/ r gan ikianrlih bahwa di apotek erac penmpuran, dan pengubaha hany bata

nyerahan obat atau la elumat dengan komposisi

ama paten/produse,

nya dan masih dalam

campuran, n mak

n, pen akaeker n pokok di apotek

J lah lembar resep yang mn untuk anak adalah sebe

ra yantuju et) dan 63,3%

p ber) da esep me

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 38

Page 40: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Tabel 7. Perbandingan basil observasi pads bulan Maret dan S eptember.

No. Bentuk sediaan Maret % Sept. %

1. Jumlah lembar resep 1642 1545 2. Ju mlah lembar resep yang me- ngandung R/ r 541 9 acikan 30,6 473 32, a. Untuk ana 364 ,6 k 67,3 301 63 b. Untuk dewasa 177 172 4 32,7 36, c. Jumlah R/ 1036 886 d. Jumlah R/ racikan 607 5 494 ,7 8,7 55

3. Jumlah dokter menulis yang R/ racikan (orang) 135 137 a. Jenis keahlian 14 12 – Umum (orang) 60 44 61 ,3 ,4 44 – Ahli kesehatan anak (orang) 36 2 36 ,2 6,7 26 – Lain-lain (orang) 39 2 40 ,5 8,9 29 b. Jumlah lembar resep yang 244 45 215 ,5 ,1 45 – Ahli kesehatan anak 186 3 157 ,3 4,4 33 – Lain-lain 111 2 101 ,2 0,5 21

4. Bentuk sediaan a. Serbuk 379 62, 276 9 3 55, b. Kapsul 153 160 ,3 25,2 32 c. Salep 41 6,9 36 7,3 d. Cairan 34 5,6 22 4,4

ngandung R/ racikan. Dengan demikian terlihat bahwa keba-n R/ ra n untuk an l itu terl pula pada tabel 1, 2, an 7, dokter ah sehatan me-n pati urutan elah dokte um, yait ,7% (M ret) dan 26,2 tember) dari jum dan jenis hlian d er yang men racikan dan 34,4 aret) da 3,3% (S tember) da lah keseluruhan lembar res yang

engandung R/ racikan yang ditulis oleh dokter dengan k biotransformasi dan

fung

i R/ raci

buk. Hal ini di samping alasan tersebut di atas juga kare

ntuk anak adalah dalam bentuk cairan, tetap

tuk sediaan R/ racikan. Hal ini mungkin karena

k osisi dalam b dengan berb a p produsen yang berada di pasaran telah cukup menunjang. Pe ubah tuk sediaan menjadi pil tampakn udah pe di otik. Pil secara tidak l sung te k am bentuk tablpe rjaa ianggap tidak praktis lag

asa bul dengan semakin ba aknya ko s bentuk sediaan dan b gai a pa pro1) bot yang dihasilkan menjadi leb berat n ap entuk sediaan kapsul, terkad g suli -sesuaikan psul. 2) kemungkinan u atau bebera ahan f

komposisi obat paten tidak diperlukan karrena tidak sesuai jenia

Harga al. 4) an hal-hal la sih perlu di de an pe litian

l asih terbatas pad tu a . N i ungkinan bahwa hasi tida be da n di apotek lainn Me k, m amp h bentuk memang m pakan ni pe jaan KESIMP N SARAN

ari rhadap seluruh lemb resep g m pa ptember di A tek " di Jakarta, m -hal sebagai berikut : 1) asih terlihat dil an peracikan, pen puran n

engubahan bentuk (30,6% pada bulan Maret dan 32,9% pada han obat atau bahan

obat. / racikan te kan pada an 3% ada

b n an 63,6% pada bulan September)3 e ediaan yang dikehendaki untuk racik r-banya m bentuk sediaan serbiuk (62,3% p bulan ret d 5 da bulan September).

Berdasarkan ke atas, maka l an enelitian lebih lanjut untuk melihat dampak obat jadi yang

yakan cikan ditujuka ak. Ha ihat 4, 5 d li ke anak

em ke dua set r um u 26a % (Sep lah kea

okt ulus R/ % (M n 3ep ri jum ep

mberbagai keahlian. Pada anak, enzim untu

si gin4jal belum sempurna3, sehingga bagi anak perlu diberikan dosis yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan R/ racan yang bentuk akhirnya dapat dibagi menjadi beberapa bagian.

Pada tabel 3, 6 dan 7 terlihat bahwa bentuk sediaan serbuk merupakan bentuk sediaan yang paling banyak dikehendaki, yaitu sebesar 62,3% (Maret) dan 55,9% (September) dari jumlah keseluruhan bentuk sediaan yang dikehendaki dar

kan. Telah disebutkan bahwa R/ racikan kebanyakan ditujukan untuk anak dan umumnya diberikan dalam bentuk sediaan ser

na anak sulit diberi bentuk sediaan lain. Sebenarnya bentuk sediaan yang ideal u

i seperti terlihat pada tabel 3,6 dan 7 bentuk sediaan cairan hanya 5,6% (Maret) dan 4,4% (September) dari ke-seluruhan ben

omp entuk cairan agai nam aten/

ng an ben ya s tidakrnah lakukan lagi di ap ang s h udardesa oleh obat jadi dal et dan cara nge nnya mungkin d i.

M lah lain yang tim ny obatmposi i dengan berbagai

lah : erba nam

ten/ dusen ada Bo serbuk ih daabila diubah b an t di

dengan ukuran standar kaAda bahwa sat pa b akti

daridengan s penyakit yang diderita pasien. Hal ini sebenarnya dapat di tasi dengan penulisan obat dengan nama generik.

relatif menjadi lebih mah3) D in yang ma buktikan ngne .

Hasi studi kasus ini m a sa potekamun t dak menutup kem lnya k jauhrbe dengan keadaa ya. racienc ur, dan menguba eru seker di apotek.

ULAN DAD basil observasi te ar yan

asuk da bulan Maret dan Seaka dapat disimpulkan hal

po X"

M aksanak cam , dapbulan September), di samping juga penyera

2) R rbanyak dituju ak (67, pula Maret d . ) B ntuk s R/ an te

k dala ada Maan 5 ;9% pa

simpulan di perlu di akukpsemakin banyak terhadap fungsi dan tugas pokok apotek, khususnya peracikan, pencampuran, pengubahan bentuk, dan penyerahan obat atau bahan obat.

KEPUSTAKAAN

1. Direktorat Jenderal POM DepKes. RI. Data obat yang terdaftar. 2. Direktorat Jenderal POM. DepKes. RI., Kumpulan peraturan perundang-

undangan tentang Apotek. 3. Sulistia Gan dkk., Farmakologi dan Terapi ed. 3, Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1985.

Page 41: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 40

rva Pe u isl k

i beb , p

Obse si n l an Resep DOPB ter Gigi o eh Do

dar erapa A otek di Jakarta

Hertia A On D , Man dan nge ga r Ba

ep e seh

na yati, dri wi S . Nurhadi, Nani Sukasediati dan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan atan RI, Jakarta

Pusat Peneliti Pe mban n Fa masi,D artem n Ke

IRTelah dilaku ur nt e kan g

yang ditulis oleh okt gi eku i pberhubungan denga a naan rog termenganalisis resep-resep DOPB dari dokter gJakarta, sejak bulan Oktober 1986 sampai den Wawancara dilakukan

ntu an berdasarkan kemudahan mendapatkan

97 lemn

ig

nulis DOPB, 75% di antaranya me-

r

resep yang hams ditebus oleh penderita seringkali menyebabkan terjadinya pembelian setengah resep oleh penderita ku

*) Berdasarkan survei resep DOPB dari beberapa Apotik di Jakarta yang dilaksakan oleh Badan Litbangkes Dep. Kes. RI dengan biaya WHO 1987.Disajikan pada Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedolaeran Gigi VIII diJakarta, 7 - 10 September 1988.

enjadi perhatian pemerintah. yak faktor yang men ya harga obat di apotik,

dan hal ini tidak mudah n apalagi secara cepat. e farmasi g

o a kebutuhan bat di masyarakat terutama mereka yang kurang mampu.

Setelah dilaksanakan beberapa bulan maka perlu diketahui sejauh mana pemanfaatan obat program bersama tersebut

ABS AK kan s vei u uk m ndapat ambaran banyaknya resep-resep DOPB

enulisan obat DOPB dan lain-lain yang sebut. Survei retrospektif dilakukan dengan igi yang diterima oleh 24 apotik terpilih di gan bulan Juli 1987.

dn pel

er giksa

, fr p

ensram

terhadap 41 dokter gigi sukarela yang ditedokter gigi tersebut.

Dari 5041 lembar resep DOPB terdapat 4lembar resep tersebut, 92,2% resep menganduantipiretika dan obat-obat lain sebanyak 16,1%

Dan basil wawancara, 70,7% dokter gantaranya bekerja pada unit pelayanan kesehpemerintah dan 7,3% bekerja pada unit pelayan

Dan 29,3% dokter gigi yang belum pernnyatakan tidak mempunyai persediaan blankopasiennya tidak menghendaki resep DOPB.

Hasil observasi ini hanya merupakan infoObat Program Bersama (DOPB) di kalangan

k

bar resep dokter gigi (9,8%). Dar. 497 g antibiotika, 68,8% mengandung analgetik-. i pernah menulis resep DOPB, 29,3% di atan pemerintah, 34,1% bekerja di kantor an kesehatan swasta. ah meresep DOPB, dan 16,7% menyatakan bahwa

masi tentang gambaran pemanfaatan Daftar dokter gigi yang mungkin dapat digunakan

lebih lanjut dalam studi yang lebih luas. PENDAHULUAN

Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan beberapa ikatan/organisasi profesi serta asosiasi (IDI-ISFI-GP Farmasi) telah mengadakan kesepakatan bersama untuk membuat pro-gram obat terpadu yang dicetuskan pada tanggal 27 September 1986 dan telah mulai dilaksanakan di wilayah DKI sejak tanggal 1 Oktober 1986. Program obat terpadu ini merupakan crash program untuk menanggulangi keluhan-keluhan di masyarakat bahwa harga obat di apotik terlalu tinggi. Tingginya harga

rang

mampu yang dapat menimbulkan masalah baru. Masalah harga obat sudah m

Ban yebabkan tingginuntuk dipecahka

Ol h karena itu beberapa organisasi profesi dan asosiasiter erak untuk mencetuskan program obat murah dengan mutu baik. Program ini dimaksudkan untuk menyediakan pilihan

b t lain yang dapat segera membantu mengatasio

Page 42: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

(DOPB) di kalangan dokter gigi di Daerah Khusus Ibukota. ntuk m

terhadap ldan secarorang dokt BAHAN D

Surveiwawancaraeluruh lembar resep DOPB dari 24 apotik yang meliputi lima ilayah Jakarta. Resep-resep tersebut berasal dari praktek ribadi yang masuk ke apotik dari bulan Oktober 1986 sampai

dengan bulan Juli 1987. Dadipilih lagi resep

Data yang dicatat dari resep-resep terpilih a) Jumlah seluruh lembar resep DOPB. ) Jumlah lembar resep DOPB yang ditulis oleh dokter gigi an jumlah R/ setiap resep.

3) Jenis obat DOPB yang ditulis oleh dokter gigi mengolongan farmakologi. 4) Jumlah resep ya5) Jenis antibiotika6) Jenis analgetika

Untuk mendukgambaran seberapakesehatan khususn ra terpisah dilakukan wawancara terhadap keterbatasan dana kemudahan mendadicatat dalam wawancar1) Institusi tempat d2) Pemah tidaknya 3) Alasan pernah tidakn

HASIL

Dari observasi imemenuhi kriteria tDari jumlah terseb igi

,8%) dan berisi 862 Rx's. Dari resep-resep dokter gigi yang dianalisis tersebut, 458

mbar (92,2%) mengandung antibiotika (tabel 1).

Tabe

U encari informasi tersebut, dilakukan observasi embar resep-resep dokter gigi dengan logo DOPB; a terpisah dilakukan wawancara terhadap beberapa er gigi.

AN METODA ini meliputi dua kegiatan yaitu observasi resep dan . Observasi dilakukan secara retrospektif terhadap

swp

ri resep-resep DOPB tersebut, -resep yang ditulis oleh dokter gigi.

dalah : 12d

urut

ng mengandung antibiotika. yang ditulis. yang ditulis. ung observasi ini dan untuk memperoleh

jauh program tersebut disadari oleh petugas ya dokter gigi, seca

41 dokter gigi sukarela. Karena dan waktu, maka pemilihan berdasarkan patkan dokter gigi tersebut. Data yang

a ini : okter gigi tersebut bekerja pada pagi hari.

dokter gigi menulis resep DOPB. ya menulis resep DOPB.

ni didapatkan jumlah resep yang ersebut sebanyak 5041 lembar resep DOPB.

ut, 497 lembar resep ditulis oleh dokter g(9

le

l 1. Jenis obat DOPB yang ditulis oleh dokter gigi menurut golong-an famakologi.

Janis obat DOPB yang ditulis menurut gol. farmakologi.

Jumlah lembar resep (%)

Antibiotika 458 (92,2)

Analgetika-antipiretika 342 (68,8)

Lain-lain 80 (16,1)

Untuk melihat jenis antibiotika dan analgetika yang ditulis

ada tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Frekuensi jenis antibiotika yang ditulis

oleh dokter gigi dapat dilihat pAmpisilin masih tetap merupakan antibiotika terbanyak ditulis oleh dokter gigi (82,1%).

Jenis antibiotika Jumlah (%)

Ampisilin 376 (82,1)

Kloramfenikol 2 (0,4)

Eritromisin 14 (3,1)

Tetrasiklin 66 (14,4)

Jumlah 458 (100)

Tabel 3. Frekuensi jenis analgetika dan antipiretika yang ditulis

Jenis analgetika Jumlah (%)

Asetosal 13 ( 3,8)

Antalgin 260 (76,1)

Parasetamol 69 (20,2)

Jumlah 342 (100 )

etika yang terbanyak ditulis adalah antalgin (76,1%)

).

resep DOPB

%

Analgdisusul kemudian dengan parasetamol (20,2% Tabel 4. Jenis obat dalam kelompok lain-lain dalam

Obat-obat lain Jumlah lembar

Antasida 3 3,75 CTM 4 5,00 Diazepam 3 3,75 Efedrin 2 2,50 Besi II sulfat 2 2,50 Prednison 40 50,00 Fenobarbital 2 2,50 Metronidazol 2 2,50 HCr 1 1,25 Vitamin B kompleks 3 3,75 Seratiopeptidase (Danzena) 18 22,50

Dari kelompok lain-lain yang banyak d

nison (50%) dan Danen ® (22,5%). Dari wawancabasil sebagai berikut :

itulis adalah pred ra diperoleh

Tabel 5. Jenis pekerjaan dan penulisan resep DOPB

Jenis pekerjaan 5 Jumlah Menulis DOPB 1 2 3 4

Pemah 12 3 14 - - 29 29,3% 7,3% 34,1% - - 70,7%

Tidak pemah 1 2 7 2 - 12 2,4% 4,9% 17,1% 4,9% - 29,3%

Jumlah 13 5 21 2 - 41 31,7% 12,2% 51,2% 4,9% 100%

Keterangan : 1 - unit pelayanan kesehatan Pemerintah. 2 - unit pelayanan kesehatan swasta. 3 - /cantor pemerintah. 4 - swasta non medik 5 - lain-lain. 70,7% Dokter gigi pernah menulis resep DOPB dan 34,1% di antaranya bekerja di unit pelayanan kesehatan Pemerintah.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 41

Page 43: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Sedangkan 29,3% tidak pernah menulis resep DOPB. Dari 29,3% dokter gigi yang tidak pernah menulis resep DOPB memberi alasan sebagai berikut (Tabel 6) :

Tabel 6. Pengakuan dokter gigi yang tidak menulis resep DOPB.

Alasan Jumlah(%) Pasien tidak menghendaki Tidak yakin akan mutunya Tidak mempunyai persediaan blangko resep DOPB

idak tabu 9 (75%)

1 ( 8,3%) . T

2 (16,7%) –

Jumlah 12(100%)

DISKUSI

Dari seluruh sampel (5041 lembar resep DOPB) ternyata hanya 497 lembar (9,8%) yang ditulis oleh dokter gigi. Meskipun demikian pada survei yang lebih luas (mencapai 40

an dqkter gigi isebabkan oleh

-gigi yang

elompokan jenis obat yang ditulis, adalah berdasarkan (2)

ah kunjung-n

litnya asus abses dento alveolar pada pene-mba ksi gigi yang

engobatan de tibiotika sistemik dig a kasus-kasus infeks ain itu, juga lazim dib pasca penc gi/manipulasi lain yang luka dan cedera jaringan eperti odontektomi, eks ultipel dan lain-lain te pasien degan higi 4)

n lain-lain. Kedua hal di atas tidak dapat dikemukakan di sini karena tidak didukung oleh data diagnosis dari tempat praktek dokter gigi yang bersangkutan.

Banyaknya penggunaan analgetika mengikuti pola antibio-si yang memerlukan

antibiotik uti rasa n algetika pun sering dipreskr gatasi ekstrasi. Jenis anal-getika ya k ditulis adala . Pada observasi yang lalu,(2) a mat merup nalgetika yang paling banyak d m mefenamat asuk dalam DOPB.

Pada obat lain sel getika dan antibiotika yang ba lis adalah p dan seratiopeptidase. Kedua bat tersebut dimaksudkan untuk

engatasi peradangan yang menyertai infeksi. Seratiopeptidase secara

klinis masih ngka n prednison untuk infeksi gigi ti onal karena resi ebih besar daripada manfaat yang .(5)

Keadaan tidak mengg ran serta dokter gigi dalam p akan tetap ertaannya telah ter-bukti meskip ih sedikit. Dar an beberapa dokter

igi ternyata ada juga yang belum pernah menulis resep DOPB

program ini. dalah

e dapat d cara l beri ta khusus DO resep umum seperti y dilakukan ol eberapa do Beberapa doktei mengata n bahwa pasi enolak ob . Hal ini mungkin terja rena panda negatif pa p obat DOPB. K N DAN SARAN 1) penulisan resep oleh dokte gigi tidak me mi per-ub gkan dengan vasi yang l erbeda-an lgetika yang ditulis, asam amat diga tikan oleh antalgin sebagai analgetika yang paling banyak dipr

KEP TAKA

1. Nani Sukasediati dk rvey on physi es iption ntain rugs

belonging to DOP c n sential drug at acies in DKI Jakarta. Laporan Penelitian Badan Litbang Kes. 1988.

2. Hertiana Ayati dkk rva d l p- sep igi di 2 apotik di Ja Ko Bm VI atan Sarjana Farmasi Indonesia. Novem .

Hertiana Ayati dk li a s n epto DKI Jaya. Laporan 987.

ral dan Maxillo Facial Saunders Co., hal : 410 - 8. tropin, Adrenokortikosteroid, Analog

rtical steroids. Dalam : The Pharmacological Basis of Theraneutics ed 6, Goodman & Gilman (ed) USA : Macmillan Publ; hal 1487 - 92.

apotik) ternyata resep dari dokter gigi meSejumlah 497 lembar resep DOPB

ncapai 11,3%.(1)

yang terdiri dari 438 lembar resep untuk dewasa dan 59 lembar resep untuk anak ternyata ditulis oleh 120 dokter gigi dalam waktu 10 bulan. Ini berarti satu dokter gigi menulis rata-rata 4 lembar resep DOPB selama 10 bulan atau setiap dua setengah bul

al ini dapat dmenulis 1 lembar resep DOPB. Hbeberapa kemungkinan : 1) Banyak kasus perawatan gigi merupakan tindakan konservasi dan tidak memerlukan pemberian obat dengan resep. 2) Dokter gigi banyak menulis resep biasa tapi jarang menulis resep DOPB. Hal ini mungkin karena pasien yang datang ke praktek swasta dokter gigi adalah pasien golongan mampu sehingga dokter gigi tidakmenulis resep denganblankoDOPB; atau banyak dokter gigi yang belum mengenal DOPB. Ke-

dak memmungkinan lain adalah banyak dokter gigi yang tipunyai blanko resep DOPB (dari pengakuan dokter bers dia diwawancarai terdapat sebanyak 75%). e

Pengbasil observasi serupa pada tahun 1984, dengan jenis terbanyak adalah golongan antibiotika dan analgetika (Tabel 1). Pola pe-nulisan jenis antibiotika pada tabel 2 pun tidak berbeda dengan observasi yang lalu.2 Ampisilin masih dirasa memadai untuk mengatasi infeksi gigi. Tingginya penulisan jenis antibiotika belum tentu menggambarkan tingginya infeksi gigi. Besarnya nsidensi infeksi ini harus dibandingkan dengan jumli

an pasie kepada dokter gigi. Sebab seperti yang telah dikemuka-kan di atas, tidak setiap kunjungan pasien memerlukan obat.

memperoleh kSulitian resistensi,(3) mengga rkan insidensi inferendah. Seyogyanya p ngan an

unakan pad i gigi; selerikan pada terapi abutan gi

disertaitraksi m

luas srutama pada

ene mulut yang burukS Bila ditinjau dari segi kerasionalan penggunaan obat, masih belum diketahui apakah antibiotika tersebut memang diberikan sesuai diagnosis ataukah terjadi penggunaan yang kurang diperlukan misalnya pada kasus pulpitis, ekstraksi rutin da

tika, hal ini dapat dimengerti karena infeka biasanya diik

ipsi untuk menyeri. An

nyeri pascang banya h antalginsam mefena akan aitulis. Asa tidal( m kelompoknyak ditu

ain analrednison

jenis o agaknya mmemang dikatakan dapat mengatasi peradangan, namun

diragukan. Seda n pemakaiadak rasi didapat

konya l

di atas ambarkan perogram ini, i keikutsun mas i pengaku

g(tabel). Program ini mendapat dukungan penuh dari peme-rintah, akan tetapi ada juga dokter gigi yang bekerja di kantor

emerintah belum pernah memanfaatkan pBeberapa alasan yang dikemukakan yang terbanyak atidak m mpunyai blanko resep DOPB. Hal ini sebenarnya

iatasi dengan ain yaitu mem ndaPB path ang eh b

kter. ka en mat DOPB di ka ngansien terhada

ESIMPULA Pola r ngalaahan bila dibandin obser alu, p terjadi pada jenis ana mefen

neskripsi.

2) Keikutsertaan dokter gigi dalam program ini telah terlihat meskipun belum besar.

US AN

k. Su cian's pr cr co ing dB (a list ontaini g affordable es names)

several pharmKesehatan Dep. 1987 -

. Obse

si terha ap penu isan rese re dokter gkarta. ngres iah Ik

ber 1986k. Pene3. tian pol resisten i kuma str kokus dari

abses gigi terhadap tiga jenis antibiotika di wilayah- 1Penelitian Badan Litbang Kesehatan DepKes 1986

er (ed) : O4. Archer. Antibiotic Therapy. Dalam ArchBSurgery vol 1. Ed 5. Philadelphia W

nokortiko5. Suharti K Suherman. Adresintetik danAntagonisnya. Dalam : Farmakologi dan Terapi edisi 3. Bagian Farmakologi FKUI 1987; hal 433 - 51.

6. Haynes Robert C, Murad Farid. Therapeutic uses of adrenoco

Page 44: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Efek Inf Daa mife

rkembanga ani

us un Sembung ( Blumea b l as ra L) terhadap

n pada Tikus Putih Pe n J

Yun Astuti N; AdjirPusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi B

Departemen Keseha

ni; Budi Nuratmi dan a

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tan R.I., Jakarta

ABST

Infus serbuk daun sembung ekivalen kan efek oksitosik sama dengan oksitosin.

R

de O

i

y

. Kemudian dibuat infus sesuai dengan armakope Indonesia ed. III. ewan percobaan :

Tikus putih (rat) di t Gizi, J1. Diponegoro Jakarta. Tikus putih be dengan berat 140–175

180Ca

jant . Pagi hari sesudah dikawinkan di-

yan

ham ri ke-7

AK

ngan 140 mg/50 ml Tyrode memperlihat-leh karena itu infus daun sembung diuji

tikus putih. Bahan diberikan secara oral mg/100 gbb. Pemberian bahan percobaan lan. an bahan mengurangi jumlah janin, tapi a kelainan organ tubuh janin.

pengaruhnya terhadap perkembangan janin dengan dosis ekivalen 200 mg, 100 mg, 50 pada hari ke-9 sampai hari ke-12 dari keham Hasil percobaan menunjukkan pemberisecara makroskopis tidak menunjukkan adan

PENDAHULUAN Tanaman Blumea balsamifera I (Sembung) termasuk familia Compositae, merupakan tanaman perdu. Kandungan kimia dari daun Blumea balsamifera L antara lain tanin, minyak terbang, zat samak, damar, glikosidal 1-3. Secara empirik tanaman ini syring dipakai sebagai astringens, datang bulan tidak teratur, ekspektoran2,3 .

Dalam jamu pengatur haid daun sembung merupakan salah satu komponennya, dan suatu penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa daun sembung merangsang terjadinya kontraksi uterus4. Sifat ini merupakan indikasi bahwa daun sembung bersfiat oksitosiks. Zat yang bersifat oksitosik apabila diberikan pada ibu yang sedang hamil bisa menyebabkan keguguran, sedangkan pengaruh pada janin yang masih muda dapat diatasi dengan mengganti bagian yang rusak oleh bagian lain karena semua sel masih homogen. Tapi bahan yang bersifat oksitosik dapat menyebabkan keadaan yang kurang menguntungkan apabila janin sudah berada pada stadium morfogenesiss 4. Bahan memang tidak menyebabkan keguguran tapi dapat mempengaruhi perkembangan organ-organ janin yang berakibat cacatnya bayi.

Percobaan ini dilakukan untuk melihat apakah infus daun Blumea balsamifera L dapat menyebabkan resorpsi/cacat

Disajikan pada Simposium Tumbuhan Obat VI Depok, 15–19 Novem-ber 1988.

pada janin atau dapat mengakibatkan keguguran pada induktikus putih. BAHAN DAN CARA Bahan :

Daun Blumea balsamifera L diperoleh dari pasaran, di-keringkan pada suhu tidak lebih dari 50°C, diserbuk dan diayak dengan ayakan Mesh 48FH

peroleh dari Unitina siap kawin

gram, sedangkan tikus jantan dewasa dengan berat badan 150– gram.

ra : Tiga puluh enam ekor tikus betina siap kawin, dikawinkan

dengan perbandingan 3 ekor tikus betina dan 1 ekor tikus an dalam satu kandang

lakukan pemeriksaan usap vagina tikus betina, semua tikus g pada usap vagina ditemukan sperma dianggap sudah

kawin dan pada hari itu ditentukan sebagai hari pertama ke-ilan. Jumlah janin dilihat dengan laparotomi pada ha

kehamilan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 43

Page 45: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Tikus yang dapat digunakan dibagi dalam 4 kelompok, asing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor. Setiap kelompok endapat bahan secara oral dengan dosis sebagai berikut: elompok I : Diberi bahan dengan dosis 200 mg/ 100 g.bb.

ompok II : Diberi Kelompok III Diberi Kelompok

Pemb12juda

Dengan menghitung selisih jumlah janin pada waktu paratomi dan jumlah janin yang masih tinggal pada hari ke-l7

maka dapat diketahui prosentase janin mengalami resorbyang diperoleh

asing-masing dosis dengan kelompok akuade

ASIL Hasil percobaan terlihat pada tabel 1 dan 2. Tabel 1 mem-ihatkan pengaruh bahan dan akuades terhadap janin,

tabel 2 pengaruh baha Tabel 1. Pengaruh infu

No. Bahan dan Do

mmKKel bahan dengan doss 100 mg/100 g.bb.

bahan dengan dosis 50 mg/ 100 g.bb. IV : Diberi akuades 1 ml/100 g.bb. erian bahan dilakukan pada hari ke-9 sampai hari ke-

kehamilan. Pada hari ke-17 tikus dimatikan dan dilihat mlahjanin yang masih ada serta ada tidaknya kelainan yang pat dilihat secara makroskopis.

layang hilang atau

si dengan jumlah janin mula-mula. Angka dibandingkan antara kelompok bahan dari

m

s.

H

perl dan n dan akuades terhadap induknya.

s Blumea balsamifera L terhadap janin.

sis Jumlah janin Jumlah janin yang diresorbsi

% Resorbsi

I. InfusB. balsami-

fera L 200 mg/100g.bb.

38 (n=5) 4 10,52

11. lnfusB. balsami-

III. fera L 100 mg/100 g.bb. 43 (n=5) 4 9,30 InfusB. balsami-

IV. fera L 50 mg/100 g. bb. Akuades 1 ml/

41 (n=5) 4 9,75

100 g.bb. 43 (n=5) 1 2,32

Tabel 2. Pengaruh infusBlumea balsamifera L terhadap induk.

No. Bahan dan Dosis Jumlah induk (n=5)

Jumlah induk yang kegugur-

an

% keguguran

I. InfusB. balsamifera L

II. 200 mg/100 g.bb. InfusB. balsamifera L 5 2 40

III. 100 mg/100 g. bb. Infus B. balsamifera L 5 2 40

50 mg/100 g.bb. 5 3 60 IV. Akuades 1 ml/100 g.bb. 5 1 20

PEMBAHASAN

Pada percobaan pengaruh infus daun Blumea balsamifera L terhadap uterus terisolasi marmot diketahui bahwa bahan ini bers

menyebabkan keguguran4,7. Ter-

ra L dapat menyebabkan resorbsi janin dan kegugur

an pada tikus putih. Dari data pengaruh infus daun Blumea balsamifera L ter-

hadap perkembangan janin, ternyata ketiga macam dosis mempunyai indikasi meresorbsi janin apabila dibandingkan

ketiga macam dosis s dan efek, dosis 100

lihatkan uh infus

mg/100 g.bb : 40%; dosis 50 mg/100 g.bb : 60% dan akuades : 20%. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa infus daun Blumea

punyai sifat abortif apabila dibandingkan erlihat adanya

feknya sama mg/ 100 g.bb, yaitu 40%, dan pada dosis 50

mg/ 100g.bb efeknya lebih besar yaitu 60%. Pemeriksaan makroskopis dengan menggunakan loupe tidak melihat adanya kelainan pada organ janin.

rti diketahui kandungan kimia daun Sembung adalah ikosida2,3,B. Tapi

pa yang dapat me-n keguguran. Untuk

ahwa daun Blumea ramuan jamu pe-

janin dan me-kus putih. Bila suatu bahan atau

obat menyebabkan resorbsi dapat dipastikan bahwa bahan atau obat itu dapat mengganggu pertumbuhan embrio. Sifat

ila dosis yang dipakai tidak tepat9. ini belum bisa dikatakan bahwa

mempunyai efek yang sama apabila

apat dipakai sebagai peringatan

aun Blumea balsamifera L yang diteliti mempunyai meresorbsi janin dan bersifat abortif pada tikus putih;

oleh

, Fainstat TD. Known and suspected teratogenic hazards in range

plants. Clin Toxicol 1972; 529. 2. Mardisiswojo, Rajakmangunsudarso. Cabe puyang warisan nenek moyang

II. Jakarta : PT. Karya Wreda 1975; 161-2.

ifat oksitosik. Bahan yang bersifat oksitosik apabila diberi-kan pada periode kritis dari kehamilan dapat menyebabkan carat bawaan ataupun dapat nyata data penelitian membuktikan bahwa infils daun Blumea balsamife

dengan akuades. Meskipun demikian daribahan tidak terlihat adanya hubungan dosimg/ 100 g.bb. dan dosis 50 mg/ 100 g.bb. memperangka prosentase yang hampir sama. Sedangkan pengardaun Blumea balsamifera L terhadap induk memperlihatkanangka prosentase yang cukup tinggi apabila dibandingkandengan akuades. Pada dosis 200 mg/ 100 g.bb : 40%; dosis 100

balsamifera L memdengan akuades. Tetapi di sini juga tidak thubungan dosis dan efek; dosis 200 mg/ l00 g.bb edengan dosis 100

Sepetanin, minyak terbang, zat samak, damar, glmasih belum diketahui kandungan kimia anyebabkan resorbsi dan yang mengakibatkaitu diperlukan penelitian lebih lanjut.

Dari penelitian ini dapat dinyatakan bbalsamifera L yang sexing dipakai dalamngatur haid mempunyai indikasi meresorbsinyebabkan keguguran pada ti

meresorbsi janin merupakan salah satu indikasi dari sifat abortif, sedangkan sifat abortif erat hubungannya dengan efek

ratogenik, apabteAkan tetapi dari penelitian

alsamifera L Blumea bdicobakan pada spesies lain misalnya marmot. Karena suatu bahan efek teratogeniknya bisa tidak sama antara spesies yang satu dengan spesies yang lain7, juga untuk meneliti efek tera-togenik banyak sekali faktor yang menentukan. Namun

tian ini ddemikian basil peneliagar lebih berhati-hati dalam menggunakan daun Blumea balsamifera L.

KESIMPULAN DAN SARAN Infus d

indikasi karena itu pemakaian daun Blumea balsamifera L (Sam-

bung) dalam jamu pengatur haid harus berhati-hati untuk men-cegah efek teratogenik.

Perlunya penelitian dengan menggunakan spesies lain karena adanya perbedaan metabolisme, transpor dan hubungan antara ibu dan fetus.

KEPUSTAKAAN

1. Frazer FC

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 44

Page 46: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

3. Departemen Kesehatan RI. Pemanfaatan Tanaman Obat ed II. 1981; 72. 4. Nurendah PS et al. Pengaruh buah Merica (Piper nigrum L) dan buah Cabe

Jawa (Piper retrofractum VAHL) terhadap kehamilan mencit. Indonesian Pharmacol Therapeut 1987; 4 (1–2) : 4–6.

5. Turner RA. Screening methods in pharmacology. New York, London: Academic Press 1965; hal. 282–3.

6. Goldstein A, Aronow L, Laman SM. Principles of Drug Action. The Basis of Pharmacology. Second edition. New York London Sydney Toronto:ohn Wiley & Sons. 1974; hal. 703–23.

7. Avery GS. Drug Treatment. Principles of Clinical Pharmacology and Therapeutics. Sydney: Adis Press, 1976; hal. 356–9.

8. Perry LM. Medicinal plants of East and Southeast Asia. Cam-bridge, Massachusetts, London: MIT Press. 19

J

88; haL 87; 88; 297; 352.

9. Departemen Kesehatan R.I. Farmakope Indonesia ed. III. 1979; hal. 12. 10. Tuchman Duplessis H. Drug effects on the fetus. New York, London :

Adis Press, 1975.

Ucapan Terima Kasih. Terima kasih kami tujukan kepada : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi yang telah memberikan fasilitas untuk penelitian. Seluruh staf laboratorium Farmakologi Experimental yang telah membantu pelaksanaan penelitian.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 45

Page 47: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Herbs dalam batan nal Cina

PengoTradisio

Dharma Unit Akupunktur Ruma

Kh Sakit Dr. C a

. Widya ipto Mangunkusumo, Jakart

ENDAHULUAN1-3

Pengetahuan tentang herbs dalam pencegahan dan peng-batan penyakit telah dikenal sejak jaman purbakala. Suatu tudi sistematis tentang kehidupan tanaman dimulai di kalang-n pendudukMesirdan Yunani kuno. Hippocrates merupakan

orang pertama yang mseni. Dalam tulisannya, iTanaman digunakan se1500 ketika Hohenheiuntuk mengobati penyaki

Penggunaan. herbs sejak periode sangat awwaktu yang panjang banySalah satu yang tertuaEmperor (Shen-ung) menyertakan petunjukpada tahun 2697 sebeluEmperor (Huang Ti) dengan 2595 sebelumyaitu The Yellow EmperTi Nei Ching). Dalammenarik dengan panpencegahan. Dinyatakaterlindung terhadap pperubahan lingkungan.timbul dengan diet yamenjaga ketenanganpenyakit setelah timbulperang mulai atau bagaihaus. Dalam buku tedarah di seluruh tupsikosomatis yang telribuan tahun yang lalu.

Li Shih-chen, seorang dokter dan farmakologis yang ter-kenal, telah menyusun sebuah farmakopōeia (Pen-ts ao Kang Mu) yang berisikan bahan-bahan dad masa sebelumnya dan karyanya sendiri. Buku ini disusun selama tiga puluh tahun dan diterbitkan pada tahun 1596 sebelum Masehi setelah kematiannya. Dalam buku ini ia menganalisa 758 karya, ter-

diri dari 41 buku kuno tentang pengobatan, 277 karya peng-obatan dan buku resep, dan 440 jilid buku sejarah. Ia sendiri mengumpulkan 413 macam obat dad pengalamannya sendiri dan dari informasi yang dikumpulkan dari masyarakat. Buku tersebut berisikan 1892 obat dan indikasinya, terdiri dari

n subbagian. Terdapat natang (ikan, burung,

ng berasal dari tanaman, ineral, dan 31 jenis

ni buku tersebut me-am pengobatan tradisi-

disonal Cina dibagi atas dari tanaman, binatang,

dari tanaman merupakan

naman ()bat berubahubah naman. Kandungan isi

n dalam keadaan segar, lama dalam keadaan nsekuensinya umumnya

daun, biji dan buah ke-Dikenal cara preparasi

pi, air, atau gabungan meliputi pengeringan, akaran, dan dalam hal

kukan peleburan. Cara āman dan pelembaban. usan, penguapan dan

embedakan antara bahan obat yang bersifat "dingin" dan "panas". Penyakit dengan sifat "panas" seharusnya diobati denganobat "dingin", dan `sebaliknya. Sebagai tambahan, bahan obat dibagi pula me-nurut rasa – pahit, asam, manis, asin, pedas. Dinyatakan bahwa rasa pahit mempengaruhi jantung, rasa asam dan mempe-ngaruhi hati, rasa manis mempengaruhi limpa, rasa asin

P

osa

elaksanakan pengobatan sebagai suatu a menerangkan tanaman sebagai obat.

bagai obat secara meluas sampai tahun n. memulai penggunaan zat kimiawi

t. untuk pengobatan telah tercatat pula

al dalam sejarah Cina, dan dalam kurun ak farmakopoeia ditulis dan direvisi.

adalah Pen Ts 'ao Ching, di mana Red menjelaskan berbagai obatobatan dan penggunaannya. Red Emperor wafat

m Masehi dan digantikan oleh Yellow yang memerintah sejak 2697 sampai

Masehi. Ia menyusun buku yang terkenal or's Book of Internal Medicine (Huang

buku tersebut terdapat kesamaan yang dangan modern tentang pengobatan

n bahwa tubuh manusia dapat enyakit dengan adaptasi terhadap

Penyakit haruslah diobati sebelum ng cocok, istirahat, bekerja, serta dengan pikiran dan hati. Mengobati suatu

bagaikan menempa senjata setelah kan menggali sumur setelah merasa

rsebut dijelaskan pula tentang sirkulasi buh, juga tentang konsep penyakit ah dikenal oleh para pengobat Cina

52 bab yang terbagi atas 16 bagian da492 jenis ()bat yang berasal dari bimammalia dan lain-lain), 1094 jenis ya275 jenis yang didapat dari logam dan mdari benda sehari-hari. Sampai saat irupakan karya yang sangat penting dalonanl Cina. KLASIFIKASI3

Ramuan obat dalam pengobatan tratiga kelompok besar yaitu yang berasal dan mineral. Kelompok yang berasalkelompok yang terbesar.

Sifat kandungan zat aktif suatu tasesuai dengan tahap pertumbuhan tatertinggi dicapai pada waktu tanamatetapi tanaman tidak dapat disimpandemikian. Oleh karena itu sebagai kotanaman dikeringkan. Akar, bunga, seluruhannya dapat dipergunakan. ramuan obat dengan mempergunakan akeduanya. Cara preparasi dengan apipencoklatan, pemanggangan dan pembbahan yang berasal dari logam, dilapreparasi dengan air meliputi perendDan cara gabungan meliputi perebpengeringan.

Seni pengobatan tradisional juga m

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 4 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 46

Page 48: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

mempengaruhi ginjal dan kandung kemih, rasa pedas mem-pengaruhi paru-paru. Herbs dapat pula digolongkan berdasar-

an nilai pengobatannydan sirkulasi, diuretikadan sistem percernaan d

Bahan obat yang berbagai jenis binatang seperti isi lamb

asturi) yang umum dipakai untuk nntuk pemulihan kesehatan. Tanduk rhinoceros Asia dijadikan ubuk untuk dipakai sebagai antidot racun atau untuk sedativa alam kasus ensefalitis. Tanduk antelop, kalajengk

berbagai jenis racun ular samalam farmasi Cina. Pada masakan efek penyembuhan dari plasenta, kuku jari, urine, faeces, iput, binatang laut, kerang dan sebagainya. Terdapat pula apa ang disebut "gigi naga" yang sebenarnya merupakan tulang ari binatang prasejarah yang ditemukan oleh para petani di dang mereka. Banyaknya ketahayulan yang dihubungkan

ang berasal dari binatang menyebabkan

sumbatan dan hambatan serta untuk menghilangkan dingin

dan angin dari tubuh. Bubuk diberikan untuk kelainan lam-bung dan usus. Penyakit yang disebabkan oleh dingin pada

dangkan pengobatan sebabkan oleh panas.

as dada diberikan ng terletak di bawah

rikan sebelum makan. Obat untuk iberikan pada pagi hari saat perut

kosong. Untuk penyakit tulang dan sumsum tulang diberikan pada malam hari sesudah makan.

brew, dan pengobatan dengan cairan terbaik untuk tan dalam bentuk pil terbaik ang secara bertahap, dan pe-

ngobatan dalam bentuk bubuk digunakan untuk penyakit yang meletus dengan tiba-tiba. Herbs tidak boleh dimasak dalam alat-alat yang terbuat dari logam, yang paling memuaskan adalah alat yang terbuat dui tanah liat. Untuk memotong herbs jangan digunakan pisau logam, sebaiknya digunakan alat dari

n patogen dalam lambung dan usus dikeluarkan.

darahan; obat yang mengeringkan lembab untuk pengobatan

k a, seperti herbs untuk kelainan jantung , pengobatan batuk, kelainan lambung an sebagainya.

asal dari binatang didapat dari ber-ung dari musk-ox (sapi eurastenia, anemia, atau

tubuh diredakan dengan obat panas, sedingin diberikan untuk penyakit yang diObat untuk penyakit yang terletak di atsesudah makan. Obat untuk penyakit yajantung dan lambung dibepenyakit anggota gerak dk

ubd ing, dan Sop,

p.ai saat ini masih ditemukan lampau para pengobat percaya

penyakit yang parah, pengobauntuk penyakit yang berkembd

asydladengan bahan obat yjarangnya bahan ini id pergunakan pada masa kini.

Bahan mineral sudah diketahui sejak lama di Cina, demikian pula bahan kimia yang ditemukan oleh para ahli kimia. Sebagai contoh, merkuri tidak hanya digunakan dalam laboratorium ahli kimia, tetapi juga digunakan dalam pengobatan sifilis. Belerang dalam bentuk salep dipakai untuk pengobatan kudis di kulit; arsenikum (Hung-p'i) digunakan untuk eksim, tuberkulosis dan sifilis; seng sulfat (Liu-suan-h sin) untuk kelainan kandung kemih; potasium nitrat (P'o-shih) digunakan untuk diuretika (sebagaimana juga ka dilaku n di Mesir, Srilanka, India, Iran dan Meksiko); dan aluminium (Pai-fan) untuk radang, terutama di mulut dan gusi. Sebagai tambahan, terdapat pula obat yang dibuat gips, kalomel, cinnabar dan sebagainya. Emas, perak, beberapa batu pertama digunakan pula dalam pengobatan, dan beberapa bahananorganik sampai saat ini masih ditemukan dalam toko-toko obat tradisional.

Selain pemakaian oral, herbs digunakan pula untuk peng-obatan luar. Salah satu cara yang seeing digunakan adalah inhalasi, pasien menginhalasi uap dari sari herbs atau kadang-kadang asap dad herbs yang dibakar. Cara ini umumnya di-gunakan untuk kelainan pernapasan, kelainan kulit dan pe-nyakit pada wanita. Pada metode Fu yen, madu dan anggur diaduk ke dalam obat bubuk dan dibubuhkan di atas bagian tubuh yang terkena dalam bentuk plester. Bawang putih, yang terkenal sebagai stimulan untuk kulit, dapat dipergunakan dengan cara ini. Masih terdapat beberapa cara lain dalam hubungan pemakaian herbs ini. PREPARASI RESEP4,5

Terdapat beberapa jenis resep : – resep besar dengan banyak bahan – resep kecil dengan sedikit bahan – resep lambat untuk penguatan – resep dengan jumlah bahan ganjil – resep dengan jumlah bahan genap

Penyakit yang berbeda memerlukan pengobatan yang ber-beda. Pengobatan dengan cairan berfungsi untuk membersih- kan usus, merangsang sirkulasi darah dan memulihkan ke-seimbangan Yin dan Yang. H. digunakan untuk mengurangi

bambu atau bahan yang sejenis. Demikian pula, mortar untukherbs jangan terbuat dari logam.

Umumnya terdapat delapan pendekatan penggunaan herbs dalam pengobatan tradisional Cina : 1) Metode perspirasi.

Metode ini cocok untuk penyakit luar/superfisial. Terbagi atas perangsangan perspirasi hangat untuk kelainan angin dingin dan perangsangan perspirasi dingin untuk kelainan angin panas. 2) Metode emetik/perangsangan muntah.

Metode ini cocok untuk penyakit akut dan "ekses" yang mempengaruhi bagian atas tubuh. Dengan menimbulkan muntah, baha3) Metode purgatif.

Metode ini akan melancarkan usus besar dan merangsang pengeluaran faeces yang encer dan "panas" sehingga dapat membuang panas yang terkumpul dalam tubuh. Obat untuk ini terbagi dua macam : purgatif yang memberikan efek kuat untuk pasien yang masih dalam keadaan kesehatan baik, dan laksatif dengan daya lebih lemah untuk pasien tua, lemah atau dengan penyakit kronis. 4) Metode netralisasi.

Metode ini menggunakan obat dengan daya netralisasi atau melunakkan untuk mencapai tujuannya. Umumnya sesuai untuk penyakit yang bersifat kombinasi "setengah dalam" dan "setengah luar" seperti stagnasi enersi hati yang menyebabkan menstruasi tidak teratur atau yang menimbulkan gangguan pada limpa-lambung. 5) Metode stimulasi.

Metode ini menghangatkan pada pusat untuk menghilang-kan dingin, menguatkan Yang dan merangsang sirkulasi dengan obat hangat dan panas untuk merangsang fungsi tubuh dan menghilangkan dingin. 6) Metode pembersihan panas (demam).

Metode ini menggunakan obat dingin untuk membersih-kan panas, menurunkan suhu, memelihara aliran ludah, dan detoksifikasi. Jenis obat ini terbagi atas empat macam : obat yang membuang panas untuk panas yang menetap dan gejala haus, stupor, delirium yang menyertai;obat yang mendingin-kan darah untuk pengobatan campak dan berbagai jenis per-

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 47

Page 49: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

disentri dan ikterus karena dominasi panas lembab dari organ dalam; dan obat untuk detoksiflkasi untuk kasus abses, kar-bunkel dan sebagainya. 7) Metode defleksi.

Metode ini menggunakan obat untuk menghilangkan stagnasi meridian, memperbaiki sirkulasi enersi dan darah, dan untuk melonggarkan kelembaban sputum dan sebagainya. Kelompok ()bat ini cocok untuk pengobatan stagnasi, aku-mulasi, kongesti dan lain-lain, dan dibagi menjadi lima macam: • Obat untuk pemulihan energi yang merangsang sifkulasi enersi, memperbaiki nafsu makan dan menghilangkan nyeri, cocok untuk kasus distensi abdominal, hiccup, nausea, regur-gitasi atau menstruasi tidak teratur. • Obat untuk pemulihan darah untuk kasus menstruasi tidak teratur, nyeri abdominal sesudah melahirkan, memar, artritis rematoid, abses dan sebagainya. • Obat peningkatan digesti cocok untuk indigesti dan nyeri lambung, regurgitasi asam lambung, nausea dan vomitus, diare dan sebagainya yang timbul karena makan sembkare

arangan dan

am karena kerusakan Yin atau

berbagai penyakit, juga me-untuk mengembangkan enersi

kan penglihatan, memperbaiki pen-g k, memulihkan virilitas, mbuh liar dalam hutan u menghindari sinar mata- unnya terbentuk unik untuk n pabila tanaman lain n akar, daun, bunga dan

ng; namun efek samping t

u

na kelembahan limpa-lambung. • Obat pengenceran sputum untuk melonggarkan mukus dan mengubah lembab cocok untuk batuk produktif, asma, epilepsi, konvulsi, skrofula dan sebagainya. • Obat pengubahan lembab yang juga diuretika, cocok untuk kasus edema, miksi yang sukar atau nyeri, poliuria dan sebagai-nya yang disebabkan oleh retensi air/kelembaban dalam tubuh. 8) Metode penguatan.

Obat-obat yang dapat mensuplemen ketidak-seimbangan Yin–Yang dari enersi dan darah dalam tubuh dan mengobati penyakit tertentu oleh kelemahan (defisiensi) disebut tonik suplementer. Dibagi atas empat macam • suplemen Yang : untuk kasus degenerasi enersi Yang dan penyaldt defisiensi dingin. • suplemen Yin : untuk kasus dem

defisiensi Yin dalam masa konvalesen. • suplemen enersi : cocok untuk kelemahan dalam masa konvalesen, kelemahan lainnya karena kelelahan. • suplemen darah untuk anemia, hemoragi pasca persalinan dan sebagainya. GINSENG2,6

Salah satu jenis herbs yang barangkali paling terkenal ada-lah ginseng. Sejak ribuan tahun yang lalu telah diketahui bahwa akar tanaman ini merupakan obat par excellence untuk pencegahan dan pengobatan ngandung kekuatan luar biasa dan semangat, menajamden tadan memperpanjang umur. Ginseng tu

aran, meningkatkan efisiensi o

peg nungan yang lebat. Tanaman inihad yang langsung dan kuat, dan dame erima hanya sedikit sinar. Ame gumpulkan zat makanannya dari tunas, zat makanan ginseng terutama dikumpulkan dari akar. Pada waktu lampau dianggap ginseng tidak dapat dibudidaya-kan, tetapi kini ternyata dapat dikembangbiakkan di banyak tempat. Dikenal adanya ginseng Cina, ginseng Korea, ginseng Jepang, dan ginseng Barat.

Banyak sinonim diberikan kepada ginseng yang menunjukkan penggunaan tradisional dari herbs ini, seperti : Long Life Root; Man's Health, Queen of the Orient, Root of Life, Promise of Immortality, Divine Herb, Wonder Root, Flower of Life, Wonder of the World, dan Man-Plant. Istilah terakhir ini berhubungan dengan bentuk akar ginseng yang menyerupai manusia (kata ginseng berarti man plant).

Ginseng merupakan tanaman yang termasuk keluarga Araliaceae, nama ilmiahnya adalah Panax schinseng dan nama lengkapnya adalah Panax Schinseng Nees (Panax Ginseng C.A. Meyer). Dalam resep, ginseng ditulis sebagai Radix Ginseng karena akar ginsenglah yang digunakan sebagai herbs. Daun ginseng pun mempunyai kegunaan namun kurang efektif dibanding akarnya. Akar ginseng efektif- untuk mengobati kelainan paru-paru, limpa, lambung dan sebagainya, khususnya organ dalam keadaan "defisien"/kelemahan (dan tidak digunakan untuk keadaan "ekses"). Ginseng berisikan zat-zat Panaquilon, Panaxin, Ginsenin, Panacene dan lain-lain dan dapat dipakai untuk mengobati neurastenia, anemia, indigesti,impotensi, kolaps dan sebagainya. Terdapat beberapa efek samping pemakaian ginseng untuk jangka panjang seperti

e gguan lambuhip remia serebral, ganini idak terjadi pada semua kasus. Dari aspek positif, dipecaya bahwa pemakaian ginseng dalam jangka panjang akan menghasilkan panjang umur dan kebahagiaan. PENUTUP

Herbs telah digunakan dalam pengobatan tradisional Cina sejak ribuan tahun yang lalu dan banyak buku farmakopoeia telah disusun tentang herbs tersebut. Penggunaan herbs dalam

g epas dari teori dasar kedokteran Cina pen obatan tidak terlseh bungan dengan pengertian akan organ, meridian, teori penyakit dan sebagainya yang dalam beberapa hal berbeda dengan teori kedokteran Barat. Sampai saat ini herbs tetap merupakan salah satu pengobatan yang masih dimanfaatkan oleh masyarakat Timur pada khususnya dan masyarakat Barat yang sedikit demi sedikit telah mulai mengenal cara pengobatan ini.

LAMPIRAN :

KEPUSTAKAAN

1. Bethel M. The Healing Power of Herbs. California : Wilshire Book CL

ompany, 1977. 2. ucas R. Secrets of the Chinese Herbalists. New York : Parker Publishing

Company Inc., 1977. 3. Palos S. The Chinese Art of Healing. New York : Bantam Books Inc.

1972. 4. Wallnofer H & Anna _von Rottauscher. Chinese Folk Medicine. New

York : Crown Publishers Inc. 1965. 5. N.N. A Barefoot Doctor's Manual. 6. Henry Lu. Use and Abuse of Ginseng. Vancouver : The Academy of

Oriental Heritage, 1977.

Page 50: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Pengetahuan pa

ra Dokter yang Jakarta tentang berpraktek di DKI

Program Bersama dan Pengaruhnya an Obat DOPB pada Pengguna

SarjainPusat Penelitian dan Pengembangan Farm

i a

K

Jamal si, Badan Penelitian dan Pengembangan esehatan R.L, Jakarta Kesehatan, Departemen

ABSTR

aa

bat)

. sebut disediakan di apotek-aoS

. Sebanyak 65,4% dokteD

tingkat pengetahuan dokter berpengar

as faktor-faktor yang

rakan untuk peni

N Obat esensial dibuat mengikuti persyaratan standar Cara

at Yang Baik (CPOB). Kualitasnya yang tinggi telah

ama bukan paten. Program ini merup p tanggap dan positif

ar

ban aktor, baik yang berasal dari diri dokter itu sendiri

as tentang pengetahuan dokter/

AK

tasi keluhan masyarakat tentang mahalnya IDI, ISFI, PDGI dan GP Farmasi untuk anyak digunakan bagi masyarakat kurang yang disusun dalam suatu daftar yang di-

engan kualitas yang terjamin dan harga

Sebagai salah satu alternatif dalam mengharga obat, telah diadakan program bersammenyediakan sejumlah obat esensial yang mampu di perkotaan. Terdapat 50 items obsebut daftar obat program bersama (DOPByang terjangkau oleh masyarakat banyak

dObat-obat terkan rapotek dan dapat dibeli bebas atau menggun

Setelah berjalan beberapa lama temyata para dokter yang menuliskan dalam resep. Jakarta pernah menggunakan obat DOPB, barn mencapai 3%

esep dokter bagi obat-obat keras. bat-obat itu kurang laku dan sedikit sekali ebanyak 58,9% dokter/dokter gigi di DKI sedangkan yang sering menggunakannya r/dokter gigi di DKI Jakarta mempunyai OPB. Melalui uji statistik dapat dibuktikan uh kuat pada penggunaan obat DOPB oleh

menyebabkan kurang suksesnya program

ngkatan penggunaan obat DOPB.

pengetahuan yang kurang tentang program bahwa dokter/ dokter gigi di DKI Jakarta. Tulisan ini membahDOPB ini di DKT Jakarta. Beberapa usul telah diuta

PENDAHULUA

Pembuatan Ob diakui oleh WHO.0) Obat ini banyak digunakan di Pusat-

Pusat Pelayanan Kesehatan Pemerintah (RS dan Puskesmas). Untuk masyarakat yang ingin berobat pada sore hari atau karena suatu sebab menggunakan pelayanan swasta, telah disediakan obat-obat dari jenis yang sama di apotek. Obat-obat tersebut tercantum dalam suatu daftar yang disebut Daftar Obat Program Bersama (DOPB) sebagai basil kerjasama antara Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Per-satuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi). Daftar ini berisi 50 obat dari berbagai jenis antara lain : Antibiotika, Analgesik-antipiretika, Antituberkulosa, Antihistamin, Antidiare, dan Vitamin. Kualitas-nya terjaniin dan harga jualnya lebih murah 24 - 67% dibanding-kan obat paten. Dengan kata kunci : obat yang terjamin kualitas-nya, harga lebih murah dan pengobatan yang bertanggung jawab, para dokter telah dihimbau agar menuliskan obat-obat tersebut

dalam resep bila dibutuhkan oleh pasien. Untuk itu kepada para dokter praktek di DKI Jakarta telah

dibagikan blanko resep dengan kepala "Program Bersama". Apotek diwajibkan melayani resep DOPB sama seperti resep-resep biasa dan sekali sebulan diwajibkan melaporkan peng-gunaan obat tersebut ke Suku Dinas Kesehatan di Wilayah Kota masing-masing. Program ini sudah dimulai sejak 1 Oktober 1986. Obat DOPB dapat juga digunakan bila diminta pasien, untuk obat-obat yang ditulis dokter dalam resep dengan n

akan suatu sikaserta bertanggung jawab dari organisasi profesi nonpemerintah

bidang kesehadi tan dalam upaya penyediaan obat yang ber-ku litas dan harga yang terjangkau oleh masyarakat yang ku ang mampu. Keberhasilan program ini tergantung pada

yak fmaupun dari luar (seperti : pasien, apotek dan lain-lain).

hDalam tulisan ini akan dibadokter gigi tentang program bersama tersebut serta pengaruhnya

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 49

Page 51: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

pada penggunaan obat DOPB. Data yang digunakan berasal ari Penelitian Penggunaan Obat Program Bersama IDI, ISFT,

GI dan GPawal 1989 yan

Peneobat DOketeranmelipuapotek

TUJUAN

) Diketahuinyaokter praktek di DKI Jakarta. ) Diketahuinya tingkat pengetahuan dokter tentang p

DOPB di DKI Jakarta. 3) Diketahuinya pengprogram bersama pada penggunaan obat

ETODOLOGI

Penelitian dilakukan secara cross sectional survey, diperoleh dengan meyang berpraktek di dari sejumlah popjumlahnya (dokter uorang dan dokter Pengolahan Data Dinproporsi populasi penyimpangan yang Instrumen yang digucoba. Pengolahan dakomputer Dbase Idilakukan dengan uKruskal G).

Jumlah respond120 orang dokter uorang dokter gigi. Disecara proporsional

nis dokter. kter tentang program bersama diartikan se-

4) Menawarkan obat DOPB pada pasien. Nilai : 2. sering

a dokter

Tingkat penggunaan obat DOPB oleh para dokter, barn sampai pada taraf kadang-kadang (55,8% dari seluruh respon-

dangkan yang sering menggunakan obat DOPB barn pemah menggunakan

um, 27,9% adalah a (13,2%) adalah dokter spesialis. Dui

kelompok sering menggunakan obat DOPB kebanyakan juga umum (57,1%), kemudian dokter spesialis dan dokter

Di samping itu dari analisa persentase menurut bans dapat , 44,8% dokter gigi menggunakan obat

kalangan dokter

dPD Farmasi oleh para dokter di DKI Jakarta ī pada

g lalu. litian ini dilakukan mengingat kurangnya penggunaan PB di DKI Jakarta. Dugaan ini diperkuat oleh

gan ketua PB IDI bahwa penggunaan obat DOPB barn ti kurang dari 3% dari jumlah resep yang masuk ke apotek yang ada di DKI Jakarta (2)

tingkat penggunaan obat DOPB oleh para

1. kadang-kadang 0. tidak pernah Rangking : – Cukup bila jumlah nilai 4 s/d 7 – Kurang, bila jumlah nilai 0 s/d 3 Skala yang digunakan ordinal. HASIL

1. Tingkat penggunaan obat DOPB oleh parpraktek di DKI Jakarta. 1

d2 rogram den), se

aruh faktor pengetahuan dokter tentang mencapai 3% responden, sisanya tidak erupakan dokter umDOPB di DKI Jakarta. obat DOPB 58,9% m

dokter gigi dan sisany

Mdata dokter

gigi. wawancarai 231 orang dokter/dokter gigi DKI Jakarta. Sampel dipilih secara acak ulasi dokter praktek yang diketahui mum 2020 orang, dokter spesialis 738 gigi 1.135 orang) (Sumber : Bagian as Kesehatan DKI Jakarta, 1988). Dugaan

yang menggunakan obat DOPB 20%, ke

diketahui bahwa 33,3% dari dokter umumdan 56,9% dokter spesialis tidak pemah DOPB. tabel 1 : Distribusi penggunaan obat DOPB di

dibedakan menurut jenis dokter.

di hendaki 5% dan confidence level 95%. nakan adalah kuesioner yang telah diuji n analisa data dilakukan dengan program II dan SPSS/ PC. Analisis hubungan ji chi-square dan uji gamma (Goodman

en adalah 231 orang dengan perincian : u

n obat DOPB, 20,8% sering menggunakan obat

obat DOP

m m, 44 orang dokter spesialis, dan 67 stribusi responden tiap wilayah dilakukan

uses ai dengan banyaknya masing-masing je

Pengetahuan dobagai dikenalnya keberadaan program DOPB oleh seorang dokter di DKI Jakarta, karena pemah membaca/mendengar, dikirimi blanko resep DOPB, diskusi dengan teman/orang lain serta pemah pula menawarkan obat DOPB tersebut pada pasien. Pengetahuan dokter tentang program bersama dibedakan berdasarkan jumlah skoring/nilai jawaban atas empat pertanyaan tentang : 1) Pernah membaca/mendengar tentang DOPB. Nilai : 2. sering

1. kadang-kadang 0. tidak pemah

2) Pernah dikirimi blanko resep DOPB. Nilai : 1. pernah 0. tak pemah 3) Diskusi dengan teman/orang lain. Nilai : 2. sering 1. kadang-kadang 0. tidak pernah

2. Pernah membaca/mendengar informasi tentang

program DOPB. Sampainya informasi DOPB pada dokter dapat terjadi melalui media massa (surat kabar, radio, TVRI dan berita IDI). Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa dari kelompok dokter yang sering baca/dengar tentang program DOPB sebanyak 66,7% kadang-kadang menggunaka

DOPB dan sisanya tidak pemah menggunakan obat DOPB. Dari kelompok kadang-kadang baca/dengar tentang program DOPB sebanyak 69,3% kadang-kadang menggunakan obat DOPB, 1,3% sering menggunakan obat DOPB dan sisanya tidak pemah menggunakan obat DOPB. Selanjutnya dari ke-lompok yang tidak pemah membaca/dengar tentang program DOPB sebagian besar tidak pernah pula menggunakan

B. Dui analisa persentase mengikuti kolom dapat pula di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 50

Page 52: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

ketahui bahwa dokter yang sering menggunakan obat DOPB temyata sering pula membaca/mendengar tentang program DOPB. Tabel 2. Penggunaan Obat DOPB oleh dokter dibedakan menurut

peroleh» an hitormasi tinting program DOPB.

3. Pernah dikirimi blanko resep DOPB bat DOPB yang terbanyak adalah oleh ke-

lom

Penggunaan opok yang pemah dikirimi blanko resep DOPB, sedangkan

kelompok yang tidak dikirimi blanko resep DOPB kebanyakan tidak menggunakan obat DOPB. Dari kelompok yang kadang-kadang menggunakan obat DOPB sebanyak 84,5% pernah di-kirimi blanko resep DOPB (tabel 3). Demikian juga dari ke-lompok yang sering menggunakan obat DOPB sebanyak 71,4% pemah dikirimi blanko resep DOPB. Sedangkan dari kelompok tidak pernah menggunakan obat-obat DOPB sebanyak 62,1% tidak pemah dikirimi blanko resep tersebut. Tabel 3. Distribusi penggunaan Obat DOPB oleh dokter dibedakan

menurut pemah/tdak pernah dikirimi blanko resep DOPB.

4. Diskusi tentang DOPB dengan sejawat/orang lain

Hanya 3% dari responden yang mengatakan sering men-diskusikan DOPB dengan sejawat/orang lain, 37,2% menjawab kadang-kadang dan 59,7% menjawab tidak pernah. Dari ke-lompok kadang-kadang mendiskusikan DOPB dengan sejawat/

dang meng- sedangkan dari kelompok tidak pemah

men n sejawat/orang lain sebanyak 55,1 gunakan obat DOPB. Selanjutnya

n obat DOPB 80% endiskusikannya dengan sejawat/orang

t DOPB pada pasien menjawab kadang-kadang me-

pasiennya, 35,1% menjawab tidak

kan menurut orang lain.

orang lain; sebanyak 77,9% menjawab kadang-kagunakan obat DOPB

diskusikan DOPB denga% tidak pemah meng

dari kelompok tidak pemah menggunakamemang tidak pernah mlain (tabel 4). 5. Menawarkan oba Sebanyak 59,3% respondennawarkan obat DOPB pada

tabel 4. Penggunaan obat DOPB oleh dokter dibedakusikan dengan sejawat/pernah mendis

pernah menawarkan obat DOPB pada pasiennya, dan sisanya menjawab sering menawarkan. Dari kelompok kadang-kadang menawarkan obat DOPB pada pasiennya, 86,9% menjawab kadang-kadang menggunaan obat DOPB, sedangkan dari ke-lompok sering menggunakan obat DOPB 71,4% menjawab sering pula menawarkan obat DOPB pada pasiennya. Demikian juga dari kelompok tak pemah menggunaan obat DOPB 82,1% tidak pernah menawarkan obat DOPB pada pasiennya, sedang-kan dari kelompok tidak pemah menawarkan obat DOPB pada pasiennya 96,3% juga tidak pemah menggunakan obat DOPB

bel 5).

abel 5. B oleh dokter dibedakan atas

(ta

Distribusi penggunaan obat DOPTpemah/tak pernah menawarkan obat tersebut pada pasien.

6. Pengetahuan dokter tentang program DOPB dan

hubungannya dengan penggunaan obat DOPB.

tent B dengan penggunaan obat DOPB oleh

yang bermakna mengenai penggunaan obat DOPB oleh para

Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dokter ang program DOP

para dokter dilakukan uji Goodman Kruska/ G (gamma). Di samping itu untuk melihat adanya perbedaan penggunaan obat DOPB di antara responden yang mempunyai pengetahuan cukup dan kurang dilakukan uji Chi-square (X2). Untuk itu data disusun dalam bentuk tabel 2 x 2. Pengetahuan dokter tentang program DOPB dikelompokkan atas pernah dan tak pemah. Ini dilakukan mengingat hanya terdapat sedikit sekali responden yang menjawab sering menggunakan obat DOPB (yaitu 3%). Di samping itu adanya recall bias perlu pula dipertimbangkan. Dengan demikian sebaiknya kedua kelompok jawaban tersebut dijadikan satu menjadi kelompok "pernah menggunakan obat DOPB".

Dari uji Chi-square dapat diketahui bahwa ada perbedaan

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 51

Page 53: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

dokter praktek di DKI Jakarta antara yang berpengetahuan cukup dan kurang tentang program DOPB. Uji gamma (G

) meriunjukkan adanya hubungan yang erat antara0,80030ngetahua

pe-n dokter tentang program DOPB dengan penggunaan

dokter dengan pengetahuan dokter tentang program DOPB.

Penggunaan Obat DOPB

obat DOPB oleh dokter praktek di DKI Jakarta.

Tabel silang penggunaan obat DOPH oleh Tabel 6.

Pengetahuan pemah tak pemah

Total

Cukup 51.5% 70 87.5% 10 10.5% 12.5% 80

34.6% 100.0%

Kurang 48.5% 66 43.7% 85 89.5% 56.3% 151

65.4% 100.0%

Total 136 100.0% 58.9% 95

100.0% 41.1% 231 100.0% 100.0%

Gamma (G) – 0.80030 Chi-square (x2) – 39.62957 (df – 1),L Significance – 0.0000

EMBAHASAN

kter t gan

Pernah mendiskusikan DOPB dengan sejawat/orang lain asien.

gkutan untuk mengadakan klasifikasi pesan lah dokter yang

enggunakan obat DOPB sudah cukup banyak. Ini dikuatkan

eadaan di luar diri seseorang. Respon tersebut dapat bersifa

ngambilan keputusan (decision) dan tahap a

diharapk han

tau tanggapan positip dari orang lain dia akan mengubah

di atas Lee

rangnya diskusi, sebab forumnya memang tidak ada

nya.

Sebanyak 65,4% responden mempunyai pengetahuan yang kurang tentang program DOPB. Dari kelompok yang kurang ini sebanyak 56,3% tidak pernah menggunakan obat DOPB,-sedangkan dari kelompok yang cukup pengetahuannya tentang program DOPB sebanyak 87,5% pemah menggunakan obat DOPB. Demikian juga dari kelompok tidak pemah menggunakan obat DOPB ternyata memang pengetahuannya tentang program DOPB kurang (tabel 6). P

Uji G pada tabel 6 menunjukkan ballwa pengetahuan entang program DOPB berhubungan erat dendo

penggunaan obat DOPB. Di samping itu didapatkan pula bahwa kebanyakan para dokter masih kurang pengetahuannya tentang program DOPB di DKI Jakarta.

Sesuai dengan yang diuraikan dalam metodologi, bahwa pengetahuan dokter tentang DOPB diukur melalui jawaban atas 4 pertanyaan tentang : − Pemah membaca/mendengar tentang DOPB − Pernah menerima/dikirimi blanko resep DOPB −− Pernah menawarkan penggunaan obat DOPB pada pTernyata 75,3% responden menjawab pemah (sering atau kadang-kadang) membaca/mendengar tentang DOPB, sebanyak 64,9% responden menjawab pernah dikirimi blanko resep DOPB. Hal ini menunjukkan bahwa cukup banyak para dokter yang terpapar oleh informasi DOPB. Walaupun informasi tersebut sudah mencapai cukup banyak dokter, tetapi tingkat pengetahuan para dokter tersebut tentang DOPB masih kurang (tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua informasi yang disampaikan pada seorang dokter dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Rendahnya jumlah dokter yang mendiskusikan DOPB dengan sejawat/orang lain menunjukkan kurangnya

saha yang bersanuyang disampaikan. Walaupun demikian jumpemah menawarkan (kadang-kadang dan sering menawarkan) obat DOPB pada pasien cukup tinggi yaitu 64,9%. Ini menanda-kan bahwa para dokter yang sampai pada tingkat ingin mencoba m

pula dengan banyaknya jumlah dokter yang pernah (kadang-kadang dan sering) menggunakan obat DOPB (tabel 1).

Penggunaan obat DOPB oleh dokter berawal dari perubahan sikap melalui suatu proses rasional. Perubahan tersebut adalah pengalihan kebiasaan menulis obat paten menjadi obat DOPB/ generik. Untuk itu diperlukan adanya keadaan menerima dan percaya terhadap informasi obat DOPB yang sampai padanya. Di samping itu usaha memasyarakatkannya di kalangan dokter merupakan pula suatu inovasi dengan sasaran perilaku dokter dalam memilih obat untuk pasiennya. Perilaku merupakanrefleksi dari berbagai gejala jiwa seperti : keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sikap, motivasi reaksi dan persepsi. Perilaku timbul sebagai respon atas situasi atau

t kaktif maupun pasif. (3)

Bentuk operasional dari perilaku dapat dikelompokkan atas tiga jenis yaitu perilaku dalam bentuk pengetahuan (knowledge) perilaku dalam bentuk sikap (attitude) dan perilaku dalam bentuk tindakan nyata (action). Green menyebutkan tiga kelompok faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu : faktor pre-disposing, faktor enabling dan faktor reinforcing.(4)! Pengetahuan dan kepercayaan termasuk kedalam faktor predisposing. Untuk sampai pada perubahan perilaku nyata diperlukan beberapa tahap proses. Rogers menyebutkannya sebagai tahap pengetahuan, tahap persuasi, tahap pekonfirm si.,(5) Informasi tentang DOPB yang disampaikan

an dapat memasuki tahap pertama dari perubaperilaku tersebut di kalangan dokter. Penataran, ceramah dan dialog tentang DOPB diharapkan dapat masuk ke dalam tingkat persuasi sehingga terbentuk situp yang para dokter terhadap obat DOPB. Adanya keinginan untuk mencoba menggunakan obat tersebut menunjukkan telah sampainya seorang dokter pada tingkat pengambilan keputusan dalam proses pengubahan perilaku. Sedangkan adanya diskusi dengan sejawat/ orang lain mengenai obat DOPB menandakan telah sampainya paradokter pada tahap konfirmasi di mana dia berusaha mencari dukungan dan pandangan tentang apa yang telah diputus-kannya. Ada kemungkinan bila tidak mendapatkan dukungan akeputusan yang telah diambil, dan sebaliknya.

Untuk mengefektipkan perubahan pada fase-fasewin (1975)(6) mengemukakan tiga cara yaitu memperkuat

driving force,mereduksi restraining force dan melalui kombinasi kedua cara tersebut.(4) Memperkuat driving force dapat dilakukan melalui peningkatan pendidikan, penerangan dan peraturan perundang-undangan. Mereduksi restraining force dapat dilakukan melalui pengikutsertaan masyarakat atau individu dalam memecahkan persoalan, memberikan saran-saran dan lain-lain sehingga ada rasa memiliki dan rasa keinginan untuk mensukseskannya. Khusus tentang program DOPB, yang dilakukan baru memperkuat driving force sedangkan mereduksi restraining force belum banyak dilakukan selama ini.

Kalau dilihat kembali tabel 1 dan 4, dokter yang sampai pada tahap konfirmasi masih sedikit. Barang kali hal ini terjadi karena kuatau kalau ada tidak berfungsi, sehingga yang tadinya sudah mulai mencoba tersebut kehilangan gairah untuk melanjutkan-

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 52

Page 54: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa walaupun banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan obat DOPB oleh seorang dokter, tetapi faktor informasi tetap merupakan salah satu yang terpenting, karena merupakan tahap awal dari

erubahan perilaku. Oleh karena itu untuk memp antapkan peng-

dok diskusi serta kut sertaan merek ipelihara.

itu, o baran umsi lainnya juga memerluka omosi d ā m perkenal-kan t u penampilannya hams menarik dan arga serta kualitasnya harusl pat merupakan juga sebagian dari obat esensial dan dibuat oleh pabrik sam a n kemasan dari tab sul lepas kalen enjadi

atau strip dapat menghilangkan kesan obat-al ini dapat

ipertimbangkan karena biaya kemasan strip .tersebut dipe

etakutan (fear effect) apat juga dimanfaatkan berupa sanksi bagi tenaga dokter yang

penggunaan obat DOPB seperti yang dibe

KES

OPB tetapi yang betul-betul sering

mempunyai

a

gunaan obat DOPB dan sejenisnya sempainya informasi pada ter dan masyarakat lain, adanya forumpara

kei a perlu dilakukan dan dPB sebDi samping bat DO

n pragaimana

upayg kons

alam embarang ersebut pada masyarakat, karena it

hah da dipertanggung jawabkan. Obat DOPB

yang a nglet/kap sehi g kualita a

dalam sny dijamin n

g/botol m. Pe ingkata

dalam blister pack obat DOPB sebagai "obat murahan". Hd

rkirakan hanya akan menaikkan harga obat sebesar 5 - 10% saja.

Orang Indonesia sangat peka terhadap gengsi, karena me-nyangkut status dan kedudukannya. Dalam memasyarakatkan obat DOPB konotasi "murah dan sederhana" tentu tidak akan mencapai sasaran yang diharapkan. Barangkali eksploitasi penggunaan obat tersebut di kalangan tokoh-tokoh masyarakat dapat membantu promosi obat ini. Efek kdtidak mendukung

rlakukan pada obat generik dengan Permenkes NO. 085/Menkes/Per/ 1989 tentang kewajiban menuliskan obat generik dalam resep dokter bagi pasien yang berobat ke RS dan Puskesmas pemerintah.

IMPULAN 1) Sebanyak 58,9% dokter praktek di DKI Jakarta pernah menggunakan obat Dmenggunakannya baru sebanyak 3%. 2) Sebanyak 65,4% dokter praktek di DKI Jakarta pengetahuan yang kurang tentang program DOPB. 3) Dokter yang mempunyai pengetahuan cukup tentang prog-ram DOPB kebanyakan pemah menggunakan obat DOPB di DKI Jakarta. 4) Pengetahuan dokter tentang program DOPB berpengaruh kuat pada penggunaan obat DOPB oleh dokter praktek di DKI Jakarta. SARAN 1) Kepada kelompok dokter yang kurang mendukung program DOPB karena berbagai sebab perlu dilakukan pendekatan per-suasif misalnya dengan cara menatar mereka, memberikan informasi yang rinci tentang obat-obat DOPB (pokok pikiran konsep obat DOPB, jenis obat, efek farmakologis, harga dan jaminan mutu), pengiriman brosur serta blanko resep DOPB dan mengadakan forum diskusi obat DOPB. 2) Perlu dilakukan pengembangan dan peningkatan dukungan sosial serta faktor-faktor yang mendorong penggunaan obat DOPB oleh dokter dan masyarakat.

3) Jens obat-obat DOPB perlu ditambah sehingga diperolehsuatu daftar obat generik yang mencakup spektrum penyakit yang lebih luas. KEPUSTAKAAN 1. Laurence (WHO). Obat Esensial Indonesia bermutu tinggi, Varia Farmasi

1987, 73 : 19. 2. Kartono Muhamad, Dokter tak berkeberatan beri resep obat tanpa merk.

Suara Karya Sept. 27, 1988. Hal. 11. 3. Soekidjo dick. Prinsip Prinsip Pendidikan Kesehatan.Dalam : Pendidikan

Kesehatan Masyarakat. Staf Jurusan PKIP - FKMUI Jakarta, 1984. hal. 33. 4. Green L W et al. Health Education Planning, A diagnostic approach, 1st

Ed. California; Mayfield Publ. Co., 1980, hal 14. 5. Rogers EM, Shoemaker. Communication of Innovation, New York, Mc

Milian Publ. Co. Inc., 1971. 6. Leewin. Dalam : Mico P, Roos H. Health Education and Behavior

Sciences, California; Third Party Assoc. In., 1975. 7. AzwarA Kontribusi masyarakat terhadap biaya kesehatan melalui dokter

praktek swasta. (Laporan Pendahuluan), 1987. 8. Andrews FM., et al. A Guide for selecting Statistical Techniques for

Analysing Social Science Data, 2nd Ed., Michigan: University of Michigan; 1981, hal. 17.

9. Anggarini Siregar K. Statistik nonparametrik. Jakarta: Badan, Penerbit Kesehatan Masy rakat, FKM-UI 1980, hal. 20.

10. Arkin H, Colton RR Statistical Methods as applied to Economics Business, Psychology, Education and Biology. 5th ed. New York; Barnes & Noble Inc. 1957. hal 100.

11. Brotowasisto. Survai biaya kesehatan, Medika 1987, 5; 407. 12. Departemen Kesehatan RI. Daftar Obat Esensial Nasional, Departemen

Kesehatan RI. Jakarta, 1980. Hal. 6. 13. Sasrodihardjo S. Mengajak masyarakat untuk menjadi sehat. Simposium

Peningkatan Jangkauan Pelayanan Kesehatan, Yogyakarta. November 1986.

Page 55: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Kegiatan llmiah

Second intPediatric Headac

Sydney, Australia, 1

Masalah nyeri kepala di kalangan anak-anak akhir-akhir ini mulai mendapatkan perhatian yang tersendiri, antara lain karena

e

i bersama oleh beberapa keluarga, konomi, banyaknya orang yang tinggal

t (61,4%) dan terutama bermula dari daerah temporal orbital (10,84%) atau frontal (24,13%). Hanya 17,2%

ue

jug

ada

bah ramin tidak selalu dapat ditemukan pada coklat, se-ingga tidak dapat dianggap sebagai pencetus migren; eskipun demikian coklat diketahui mengandung feniletilamin

ang hampir serupa dengan tiramin, sehingga dianggap bahwa pada penderita migren tertentu dapat hiperse sitivitas terhadap at tersebut. Walaupun zat aktif yang dapat mencetuskan erangan migren belum dapat ditentukan, penelitian buta-ganda

rnational he Symposium, 5 th October 1989

, prevalensinya yang cukup menonjol dan sifat keluhannya yang sering kurang spesifik sehingga tidak cepat dikenali. Oleh karena itu, bersamaan dengan IV International Headache Congress, baru-baru ini telah pula diadakan II International Pediatric Headache Symposium yang berlangsung pada tanggal 15 Oktober 1989 di Sydney, Australia.

Para pembicara dari tujuh negara telah membawakan maka-lahnya, yang meliputi berbagai masalah nyeri kepala pada anak.

M. Sillanpaa dan kawan-kawan meneliti prevalensi nyeri kepala pada anak-anak prasekolah di Turku, Finlandia. Semua bayi yang dilahirkan antara 1 Juni 1981 sampai dengan 31 Mei 1982, diikuti sampai berusia 5 tahun; terdapat 4425 anak yang berhasil menyelesaikan studi ini.

Nyeri kepala diderita oleh 861 (19,5%) anak dan kejadiannya berhubungan bermakna dengan situasi tempat inggal yang ditinggalt

masalah sosial-eserumah dan seringnya berpindah-pindah rumah. Selain itu anak-anak penderita nyeri kepala, lebih banyak yang menderita sakit perut, temper tantrum, enuresis nokturna dan mempunyai

salma ah dalam pergaulan. Mereka menyimpulkan bahwa nyeri kepala cukup banyak diderita di kalangan anak-anak dan

rupame kan sebagian dari cermin stres psikososial. FC Tulunay mengedarkan kuesioner kepada 2550 pelajar

sekolah dasar di Turki. Ternyata 93,3% pernah menderita nyeri kepala dalam jangka waktu 1 tahun; 3,3% di antatanya setiap hari, tetapi umumnya tidak lama diderita, hanya 4,8% yang men-deritanya lebih dari 24 jam. Umumnya nyeri kepala dirasakan

erdenyub(35,89%),yang ke dokter untuk konsultasi, meskipun tidak kurang dari 75,8% yang menyatakan minum obat untuk menghilangkan nyerinya. Nyeri terutama diderita pada hari-hari sekolah (85,2%), hanya 4,3% yang merasakannya di hari-hari libur. Kebanyakan bersifat moderat (55,56%) dan hanya 20,84% di antaranya yang didahului oleh gejala-gejala prodromal.

S Hing dari Australia membahasnya dari segi kelainan okuler; skime pun jarang ditemukan kelainan mata yang dapat dikaitkan

dengan keluhan nyeri kepala, pemeriksaan ke arah tersebut dan koreksi atas kelainan yang ditemukan dapat membantu me-

ng rangi keluhan. Selain itu pemeriksaan oftalmologik dapat nemukan kelainan fundus okuli yangm dapat mengarah ke

kelainan intrakranial, atau tanda-tanda neuritis optika; dapat a dilihat adanya gangguan gerakan bola mata yang dapat

dikaitkan dengan migren oftalmoplegik. Faktor alergi dibicarakan oleh AS Kemp dari Australia. Dia

berpendapat bahwa sampai saat ini belum dapat dibuktikan nya reaksi IgE mediated sehingga lebih baik disebut sebagai

intoleransi makanan. Jenis makanan yang paling sering dihubungkan dengan

migren ialah coklat dan keju; pada anak-anak juga dikaitkan dengan susu dan telur. Penelitian atas coklat menunjukkan

wa tihmy

nzsmenunjukkan bahwa terdapat hubungan antara diet dengancetusan serangan migren pada anak-anak tertentu, bahkan adajuga yang mengaitkannya dengan serangan epilepsi.

Penanganan migren pada anak-anak hendaknya juga mem-perhatikan faktor diet,bila perlu dapat dicoba suatu diet oligo-antigenik selama jangka waktu tertentu.

JM Hockaday dari Inggris menyarankan, bila anak tidaksegera pulih kembali setelah serangan nyeri kepala, hendaknyadipikirkan penyebab lain; demikian pula bila serangan tersebutmenjadi makin sering, makin berat dan makin sulit diatasidengan analgesik biasa. Sēlain itu juga perlu waspada bila ditemukan pula gangguan pertumbuhan dan perubahankepribadian, tingkah laku dan/atau inteligensi. Hal-hal yangmenyebabkan si anak baru pada saat tersebut dibawa ke dokterdapat merupakan petunjuk ke arah penyebab, baik organik maupun psikogenik. Apapun penyebabnya, faktor pencetus hams dikenali untuk kemudian dihilangkan. Conversionheadache sudah dapat ditemukan pada usia 8 - 9 tahun.

Mungkin diperlukan beberapa kali kunjungan untuk me-negakkan diagnosis yang pasti, selain itu kunjungan-kunjungantersebut dapat sekaligus dimanfaatkan untuk memberikan pen-jelasan dan mengurangi kekuatiran orang tuanya.

Pengobatan yang dianjurkan ialah parasetamol atau aspirin

Page 56: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

dalam bentuk mudah larut untuk mempercepat absometoklopramid kurang disukai pada anak-anak kamungkinan distonia yang lebih besar daripada di kal

ewasa. Bila cara tersebut gagal, dapat dicoba

rpsinya; rena ke-

angan kodein,

iazepam (parenteral) atau klorpromazin; ergotamin hendaknya ihindarkan penggunaannya

tahun. Obatobat tersebut hakeadaan yanbahaya "ove

proterb

ican akhirakhir ini dilaporkan juga penggunaan flunarizin.

Tigapuluh tiga anak berusia antara 6 - 15 tahun diterapi dengan rangsangan atas m. trapezius dengan kekuatan 100 Hz selama 4 minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa cara tersebut

terbukti mengurangi frekuensi nyeri kepala lebih dari 50% pada 14 (73%) anak; hasil ini terutama menonjol pada kasus-

a servikal atau tortikolis, ada kasus-kasus migren –

misi. kawan-

i

n pengurangan frekuensi nyeri kepala lebih dari 50%; lebih dari

ddd pada anak-anak di bawah 10

nya digunakan pada keadaan-kasus nyeri kepala setelah traumsebaliknya kurang memuaskan p

g berat saja karena kemungkinan efek samping dan rmedication": kan anak-anak tidak memerlukan terapi

hanya 56% di antara kasus migren yang mengalami reSelf-help relaxation diberikan olehDoberl dan

kawan atas 160 remaja yang menderita tension headacKebanyafilaktik; dan sampai saat ini belum ada obat profilaktik yang ukti bermanfaat pada anak-anak. Beberapa yang pernah

oba ialah propranolo, timolol maleat, klonidin dan pizotifen;

he (80%) dan migren (20%) selama 5 minggu. Kepada mereka dibercatatan harian nyeri kepala dan diikuti sampai 3 - 4 tahun.Hasilnya ialah 60% dari remaja tersebut merasakad

dF. Sorge dan kawan-kawan dari Italia memberikan 2,5 - 5

mg. flunarizin untuk pencegahan migren pada anak selama 3 - 6 bulan. Mereka menyimpulkan bahwa obat tersebut sangat efektif sebagai profilaktik dan tidak/belum mengakibatkan efek samping.

Pengobatan cara lain dikemukan oleh K. Winter dan R. Pothman dari Jerman Barat berupa transcutaneus electric nerve stimulation (TENS), dan oleh Doberl, Larsson dan Melba dari Swedia yang memberikan latihan self-help relaxation pada penderita nyeri dan remaja.

itu, penurunan frekuensi tersebut menetap walaupun training telah selesai diberikan. Cara ini mungkin dapat merupakan altematif bagi kasus nyeri kepala di kalangan remaja.

Pembicara terakhir ialah G Lanzi dan kawan-kawan dari Italia yang mengetengahkan penelitiannya mengenai aspek psikopatologi penderita migren. Mereka menyimpulkan bahwa nyeri kepala cenderung menetap pada pasien-pasien yang mempunyai mekanisme pertahanan yang kurang efektif dan rapuh, dan pada pasien-pasien yang mempunyai defisit dalam hal kapasitas in-sight nya.

BRW

iatan Ilmiah

Kalender Keg

23 – 28 Sept. 1990 – 8th Asian–Australasian Congress of Anaesthesiologists. Seoul, Korea. Secr.: Korean Society of Anaesthesiologists +607 Korean Medical Assn Building 302–75 Ichon–dong, Yongsan–gu Seoul 140, KOREA 7 – 12 Oct. 1990 – 22nd International Congress of International Confederation of Midwives. International Conference Centre, World Hall, Kobe, JAPAN Secr.: Japanese Midwifery Assn. 1–8–21 Fujimi, Chiyoda–ku Tokyo 102, JAPAN. 4 – 10 Nov. 1990 – 5th International Child Neurology Congress. 3rd Asian and Oceanian Congress of Child Neurology. Nippon Convention Centre, Chiba, JAPAN Secr.: Japanese Soc. of Child Neurology 2F Kobayashi Bldg. 10–1 Wakamatsu–cho, Shinjuku–ku, Tokyo 162, JAPAN 5–10 Dec. 1990 – 9th Asia–Oceania Congress of Endocrinology Jakarta, INDONESIA Secr.: Div. of Metabolism and Endocrinology Dept. of Internal Medicine Faculty of Medicine, University of Indonesia. Salemba 6, Jakarta Pusat 10403, INDONESIA

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 55

Page 57: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

PELEPASAN EKSPOR PERDANA OBJAKARTA, 24 P

Sejalan dengan program Pemerintah untuk meningkatkan

ekspor nonmigas sebagai salah satu sumber devisa negara dan melihat peluang pasar obat jadi yang cukup menggembirakan pada negara-negara di kawasan ASEAN, Timur Jauh, Asia Selatan dan Afrika, makausa

AT PRODUKSI P.T. KALBE FARMA BRUARI 1990 E

pada awal tahun 1988 dintulailah

yan

erta usaha-usaha pemasaran yang gigih, pada tahun

beredar di negara ini. Bila pasar Singapura berhasil diterobos, aka akan terbuka peluang untuk memasarkan prod

Farma di negara ASEANpercobaan dilanjutkan keMalaysia, Nigeria, Filipinaahun 1989 telah berhasil ditandatangani kontrak ekspor dalam

skala besar dengan Sri Lanka. Obat jadi ad

karena negara CPOB oleh negAfrika yang lai

ha-usaha pemasaran untuk menerobos pasaran ekspor. Disadari bahwa untuk menerobos pasaran ekspor tidaklah

mudah, mengingat persyaratan di negara tujuan ekspor yang sangat ketat yang menyangkut persyaratan mutu obat yang tinggi, persyaratan tata cara pembuatan obat yang baik (CPOB)

g tinggi dengan kompetisi harga dan usaha-usaha pemasaran yang ketat.

Dengan didukung oleh R & D yang modem, teknologi produksi dan pengawasan mutu dengan peralatan-peralatan mutakhir s1988 berhasil dirintis terobosan ekspor percobaan pertama ke Singapura. Dipilihnya Singapura sebagai negara tujuan ekspor pertama bersifat strategis, mengingat persyaratan yang sangat ketat dan hanya obat-obat modem dari perusahaan-perusahaan farmasi multinasional dari Amerika, Eropa dan Jepang yang

m uk Kalbe lainnya. Pada tahun 1989 ekspor

Singapura disamping : Hongkong, , Sri Lanka dan Vietnam. Pada akhir

t

alah komoditi yang amat potensiil untuk diekspor kita dianggap sebagai parlutan dalam bidang ara ASEAN khususnya dan negara-negara Asia/ n. Bantuan yang diberikan instansi pemerintah

Pelepasan eksdilangsungkan padoleh Menteri Keseprasasti dan penycontainer untuk seBesar Srilanka, Mr.

or, yan

Ekspor ke Amerika Sdimungkinkan dengan sudah diperolehnya pengakuan US

erika Serikat) terhadap sedang dalam proses

yang diharapkan akan Hal ini menunjukkan

pengakuan internasional, terutama US FDA akan teknologi lah, menerapkan prinsip

cara pembuatan obat yang baik/Good Manufacturing Practices. akan satu-satunya industri farmasi

akuan dari US FDA.

por perdana obat produksi P.T. Kalbe Farma yang a hari Sabtu, 24 Februari 1990 ini secara resmi dilepas hatan R.I., Dr. Adhyatma,-MPH. dengan.menandatangani iraman air kendi pada kendaraan yang mengangkut gera dikapalkan ke Sri Lanka dengan didampingi Dula Jaya Peri Sundaram,

RI di dalam dan di luar negeri dalam menerobos pasaran ekspor obat jadi amat positif. Hambatan ekspor yang hams ditanggu-langi adalah : • Diperlukannya pendaftaran obat di negeri yang mengimp

g dapat memakan waktu yang agak lama. • Praktek dumping obat-obat substandar yang dilakukan oleh eksportir negara tertentu. • Subsidi ekspor oleh negara tertentu untuk meningkatkan ekspor mereka di samping menekan harga jual.

Ekspor percobaan dari P.T. Kalbe Farma pada tahun 1989 berjumlah kurang dari Rp. 100 juta dan pada tahun 1990 diharapkan berkembang lebih dari 10 x lipat. Upacara ekspor perdana untuk Srilanka, yang dilakukan pada tanggal 24 Pebruari 1990 adalah barn tahap pertama dari kontrak tahun 1990. Di samping ekspor ke Srilanka juga dijalin suatu kerja sama teknis antara P.T. Kalbe Farma dengan SPMC dalam bidang CPOB.

Kalbe Farma akan meneruskan rencana terobosan ekspor dan sedang dalam tahap penjajakan adalah Burma, Bangladesh dan Amerika Serikat. erikat

FDA (Food and Drug Administration di Amobat-obat OTC Kalbe Farma dan pengakuan untuk obatobat Ethical diperoleh pada semester I 1990.

proses obat jadi di Kalbe Farma yang te

P.T. Kalbe Farma merupPMDN yang mendapat peng

M), Dr. B. Setiawan dan Bapak J. R. Kosasih. n ekspor perdana ini para Pejabat teras dari

hatan R.I, G.P., Farmasi Indonesia, pihak Licensor Supplier

Drs. Slamet Soesilo (Dir. Jen. PO acara pelepasa Hadir dalam

Departemen Kesedan para undangan lainnya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 56

Page 58: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

SEMANGAT 45

enjawab "K

ROKOK DAN UMU

a

ak

me

tenud

Prajurit : "E!" bAa P

Dokter : "Baik sekal yang di bawa

Prajurit : "PRODUK INDONESI

Dokter : "Lho kok dapat mem

Prajurit : "Jelas saja, d kepala!"

TIDAK SATUNYA Seorang gadis datadalah pacarnya. Setelah disuntik. Mulanya gadiherkata : "Suntik dong

an

Dr. Dharma K. Widya Jakarta

Seorang lelaki bekas pejuang ke-lihatan bersungut-sungut setelah ke luar dari sebuah apotek. Gerutunya dalam hati, "Kalau 2–5 tersedia, kenapa 4–5 tidak."

Yon Bandung

DALIH SANG PASIEN Seorang dokter memberi advis ke-pada pasiennya. "Di samping berobat Anda harus beristirahat dan rajin-rajinlah kontrol secara teratur !" Dengan kalem si pasien m

Seorang Profesordunia di depan para rokok adalah kebiaspada umumnya tidakmerokok tentunya perokok berat. "Bukan begitu menjadi tua karena s

HAFAL Di poliklinik maperiksa ketajaman pDokter : "Coba sa

alau saya istirahat berarti saya tidak bisa bekerja. Kalau saya tidak bekerja, dari mana saya dapat duit untuk mem-bayar dokter yang mahal-mahal be-

Dokter : "Yang di Prajurit : "F, B, M, Dokter : "Bagus, yPrajurit : "M, N, E,

gini .... ?!" Dr. Ketut Ngurah

Lab. Parasitologi FK Unud, Denpasar

BAGIAN YANG BERHARGA Anda tabu bahwa bagi seorang bangsawan baik dari Solo atau Jogya, mungkin bagian tubuhnya yang paling berharga ialah . . . . jempolnya (ibu jarinya), karena hampir segala sikap dan tindak-tanduknya harus disertai lambaian jempolnya, bahkan kalau mungkin mau di . . . asuransikan ke .... Asuransi Tanggung Jempol .. .

Juvelin Jakarta

juga disuntik. Minggu depannydokter kembali berta"Jangan, dok, takut …

R sedang memberikan ceramah pada hari Bebas Tembakau Se-mahasiswanya. "Saudara-saudara" kata Profesor tersebut. "Me-an buruk yang dapat mengganggu kesehatan, seorang perokok dapat menjadi tua". "Setuju Prof, kalau begitu orang yang an awet muda" celetuk seorang mahasiswa yang kebetulan

aksud saya" jawab Profesor. "Seorang perokok tidak dapat belum sempat menjadi tua, ia telah meninggal terlebih dahulu".

ATK Salatiga

a suatu rumah sakit militer, datang seorang prajurit untuk di-glihatannya. ara baca tulisan yang ada di papan depan yang paling atas!"

awahnya itu!" , W!"

ng lebih kecil lagi!" B, Q, R, S, D!" , 0,

i, saya bangga akan penglihatan anda yang begitu tajam. Coba hnya sekali!"

SI PABRIK ALAT OPTIK, JAKARTA TIMUR, Co. Ltd, A!"

yang itu, bagaimana mungkin? Mata normal saja belum tentu baca dalam jarak sekian."

ok! Semua bacaan yang ada di papan itu telah saya hafal luar

Any S.O.S. Jakarta

KATA DENGAN PERBUATAN ang untuk berobat ditemani oleh seorang pemuda yang agaknya

periksa, dokter bertanya kepada si gadis apakah mau di-s itu agak enggan, namun sang pemuda dengan suara memelas , enggak apa-apa, kan biar cepat sembuh !", akhirnya mau

si pemuda datang sendiri untuk berobat. Setelah diperiksa ya apakah mau disuntik, si pemuda dengan wajah ngeri berkata: ………….. !"

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 57

Page 59: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

ABSTRAK NIFEDIPIN MEMPERLAMBAT ATEROSKLEROSIS

INTACT (International Nifedipine Trial on Anti-atherosclerotic Thstudi mengenai nifedipin, telah menunjukkan bahwa obat tersebut d

mbat terbentuknya aterosklerosis. 425 pasien koroner ringan dan sedang menerima 80 mg. nifedipin perhari atau

lasebo selama 3 tahun; pada akhir percobaan terdapat 282 pasien yang dapat di-valuasi (134 nifedipin dan 148 plasebo).

er lumen arteri koroner iografi bantuan da

prin

terida cabang kanan, penguranga

demikian, nifedipin tidak berpenga da da sebelumnya.

RTe tiazid

pertensi. 20 12,5 mg. HCT atau 120 kh nya

amil. i ant

g ari 175 (58%) pasien yang men

kelompok verapam g mencapa ih rendah dan kompada HCT lebih efektif daripa ahan HCT pa

a–ph

fer

l dan intrapinfeksi coronaviius telah men ort an klinik telah dilakukan terhadap pasien common cold, t lny

skah lengkapnya dalam jumlah terbatas - dapat diminta

ATIAN AKIBAT KANKER a n

usia produktif (15–55 tahun), baik di negara-negara maju maupun yang sedang berkembang. Dua penyebab ke-matian yang lain ialah kecelakaan dan penyakit kardiovaskuler. Kasus-kasus

penggunaan tembakau.

kasus baru tiap tahun), kahker (660.000) dan kanker (570.000). Dan evaluasi yang dilakukan

Australia, Cili, Finlandia, Inggris,

terlihat bahwa mortalitas akibat kanker lambung menurun tajam karena per-baikan teknik pengawetan makanan dan perubahan diet. Kanker paru meningkat di banyak negara, terutama di kalangan

sampai akhir abad ini. Sampai saat ini

Finlandia dan Inggris yang berhasil

alangan pria. Kanker payudara juga

ini sebenarnya dapat dicegah dengan meningkatkan kesadaran akan deteksi dini dan pengobata

ram pendidikan masyarakat.

meneliti hubungan antara pemberian air

atas penyakit gastrointestinal. Dan 750 bayi yang diselipada akhir tahun ke dua.

erapy) – suatu apat memper-

KEMKanker adalah salah satu dari tig

penyebab kematian utama di kalangala

pe

Setelah diamet (yang diukur melalui angkomputer) dibandingkan antara sebelumrata-rata 0,58 lesi baru/pasien pada kelompasien pada kelompok plasebo. Bila dipebaru sebesar 40% di cabang left ancircumflex; pa

n sesudah percobaan, ternyata ditemukan ok nifedipin, dan rata-rata 0,80 lesi barn/ ci lebih lanjut, nifedipin mengurangi lesi or descending dan 38% pada cabang n yang terlihat tidak bermakna. Meskipun lesi yang telah a

kanker di negara-negara berkembang makin meningkat, mendekati angka di negara maju terutama akibat peningkatan harapan hidup, berkurangnya penyakit-penyakit lain dan meningkatnya

ruh paScrip , 1989; 1450: 28

brw Kasus kanker yang paling sering di-

jumpai ialah kanker lambung (670.000 HCT DAN VERAPAMIL PADA HIPE

Suatu studi telah dilakukan untuk m(HCT) dengan verapamil pada hi

ENSI mtandingkan efektivitas hidrokloro

di sembilan negara (Amerika Serikat,

Pasien dengan tekanan diastolik 95–1mg. verapamil lepas–lambat; bila pada amasih ) 90 mmHg, ditingkatkan menjadi 25

Pada akhir minggu ke delapan, 76 dhasil mencapai target diastolik ( 90 mmHdapat 101 d

mmHg menerima Jepang, Perancis, Polandia dan Swedia)

ir minggu ke empat tekanan diastolikmg. HCT atau 240 mg. verapara 178 (43%) yang menerima HCT ber-sedangkan pada kelompok verapamil ter-capai target serupa. Setelah 48 minggu,

i target terapi, pada dosis lebwanita, dan agaknya akan tetap, dominan

il lebih banyak yan jarang memerlukan terapi binasi; lagipula penambahan verapamil

da verapamil. barn program tobacco-control di

da penambBMJ 1989; 299 : 881-2

Hk menununkan angka kejadian kanker paru di k

OBATFLU?

Suatu senyawa nukleosid baru – 7–thiproteksi terhadap coronavirus dan encemenderita common cold. Senyawa tersebutkiller–cells, serta menginduksi kerja inter

Pemberian secara intranasa

8–oxoguanosin – menunjukkan aktivitas_ melalui progalomyocarditis virus pada rodent yang bekerja mengaktivasi sel–b dan natural-

on. eritoneal terhadap tikus-tikus yang ter-alitas. Percoba

World Health Forum 1989; 10 : 284-5 Hk

DAYA PROTEKSI ASI Sekelompok ilmuwan di Inggris telah

gurangi metapi hasi a belum dapat disimpulkan sekarang.

Scrip 1989; 1452: 24 brw

stisu ibu (asi) dengan angka kesakitan bayi pada dua tahun pertama, khususnya

paru payudara

makin meningkat di banyak negara; hal

masyarakat n segera

* Para pembaca yang berminat mendapatkan namelalui alamat redaksi.

diki, 618 dapat dinilai

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 58

Page 60: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

Temyata bayi yang mendapat asi lebih dari 13 minggu, secara bermakna menderita penyakit gastrointestinal lebih sedikit daripada yang mendapat susu botol; pengurangan angka kesakitan ini tetap terlihat meskipun bayi-bayi tdersebut sudah tidak lagi mendapat asi,

75% kasus bronkitis kronik dan fisema dan 25% kasus penyakit

ntung iskemik di kalangan pria berusia urang dari 65 tahun. Meskipun demi-

dia Baru. Selain itu, juga dicatat adanya pe-

urunan jumlah perokok di negaranegara aju : Di Inggris, perokok di kalangan

ari 65% menjadi 45%,

TERAPI WARFARIN Evaluasi atas 82 pasie

nunjukkan bahwa pasien dosis stabil; selain itu pekastis emboli paru dan trom

Bila pasien telah mendijumpai komplikasi ataup

13

ri

an disertai pula dengan rendahnya angka perawatan di rumah sakit. Infeksi saluran pernafasan juga tercatat lebih rendah pada kelompok asi yang berusia 0-13 minggu dan 40-52 minggu.

OBAT RINITIS

Meskipun demikian tidak tercatat perbedaan yang bermakna dalam hal infeksi mata, telinga, mulut atau kulit,

Beberapa obat yang dapat digunakan pada

kolik, eksim dan nappy rash. BMJ 1990; 300 : 11-6

Hk KONSUMSI ROKOK

Merokok bertanggung jawab ter-hadap sedikitnya 90% kasus kanker paru.

emjakkian konsumsi rokok dunia cenderung tetap meningkat, terutama di negara-negara sedang berkembang.

Konsumsi rokok dunia hanya me-ningkat sekitar 7,1% selama 15 tahun (1970-1985); angka ini terutama berasal dari peningkatan konsumsi rokok di negara-negara berkembang : peningkatan sebesar 42% di Afrika, 24% di Amerika Latindan 22% di Asia. Sebaliknya terdapat penurunan sebesar 25% di Inggris, 9% di Canada dan Amerika Serikat, dan 6% di Australia dan Selan-

nmpria turun dsedangkan di kalangan wanitanya turun dari 45% menjadi 34%. Di Amerika Serikat, perokok pria turun dari 54% menjadi 29%, sedangkan perokok wanita dari 36% menjadi hanya 24%.

World Health Forum 1989; 10 :185 Hk

n yang mendapatkan terapi warfarin jangka panjang me-yang berusia lebih muda cenderung lebih sulit mencapai nyesuaian dosis lebih sexing harus dilakukan pada kasus-

bosis vena dalam. capai dosis stabil selama tiga bulan, umumnya tidak lagi un memerlukan perubahan dosis.

Pharmacotherapy 1989; 9 (4) : 207–Brw

nitis ialah :

Dosis Anak-anak Dewasa

Oral Astemizol Azatadin Bromfeniramin Klorfeniramin Loratadin

0,2 mg/kg0,5 – 1 mg0,35 mg/k0,35 mg/k

PseudoefedriSetrizin Terfenadin

.

gg

g 3–6 th. – 17–12 th. –

n HCl 15 – 30 m

bb/24 jam bid . bb/24 jam . bb/24 jam

10 mg. sekali sehari 1 mg. bid 8 – 12 mg. bid 8 – 12 mg. bid 10 m

. tid.

5 mg bid. 30 mg bid.

g. sekali sehari 60 mg. tid. 10 mg. sekali sehari 60 mg. bid atau 120 mg. sekali sehari

Topilcal Oksimetazolon HC1 Sodium kromoglikat 2%

Xilometazolon HC1

2–3 semprotan/tetes 1–3 kali/hari 1 semprotan 4–6 kali/ hari 1–2 semprotan/8–12jam2–3 tetes/8–12 jam

Drugs 1989; 38 (2) : 313–31.

Brw

aneurisma aorta di Rochester, Minn. AS., a-rata bertambah 0,21 cm. pertahun. 5 tahun dan 8% setelah 10 tahun; meski-

ANEURISMA AORTA

Studi yang dilakukan atas pasien-pasien menunjukkan bahwa diameter aneurisma rat

h an

mi rupt mengalami ruptur dalam 5 tahun.

Angka kejadian ruptur ialah 6% setelapun demikian, bila dilihat dari diameterkurang dari 5 cm tidak ada yang mengala25%

eurismanya, pasien dengan diameter ur, sedangkan bila lebih dari 5 cm,

N Engl J Med. 1989; 321: 1009–14 Hk

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 59

Page 61: Cdk 061 Demam Berdarah (II)

RPenambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah sa

uang Penyegar dan

udara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Serotipe virus Dengue yang cenderu

gejala yang berat ialah serotipe : a) D1 b) D2 c) D3

ng menyebabkan c) Kenaikan Ht > 20%.

d) D4 e) Semua sama berat.

engue yang mulai meerajat :

ta oleh penderita

itif de

ndukung diagnosis la

d) Hipoalbuminemia. e) Tanpa k

6. Pernyataan y engenai Japanese Ena) Vektornya nyamuk Culex. b) Vi oc) Sal a ialah g . d) Ca eruh. e) Se

7. Toxopa) Da bortus. b) Dap gejala ensefac) Da cing pelid) Da daging se) Sem

8. Obat yang tidak digunakan pada rinitis : a) Azatadin. b) Loratadin. c) Ranitidin. d) Terfenadin. e) Pseudoefedrin.

2. Demam Berdarah D mperlihatkan tanda-tanda renjatan termasuk dalam da) 1 b) 2 c) 3 d) 4 e) 5

3. Jenis perdarahan yang dapat dideriDemam Berdarah Dengue ialah : a) Perdarahan gusi. b) Hematemesis. c) Epistaksis. d) Melena. e) Semua benar.

4. Tipe HLA yang diduga berkorelasi posDHF ialah : a) HLA-A2 b) HLA - B c) HLA-B 13 d) HLA - B 17 e) Semua salah.

5.

ngan antigen

Pemeriksaan laboratorium yang meDengue ialah sebagai berikut, kecuali :a) Uji turniket mendapat 50 bercak dab) Trombosit 100.000/mi.

m 1 inci persegi.

ecuali. ang salah m cephalitis :

rus penyebabnya termasuk gollinisny

ngan Flavivirus. piramidalah satu gejala k ejala ekstra

iran otak penderitanya kmua benar.

osis : lasmpat menyebabkan aat menimbulkan litis.

pat ditularkan oleh ku haraan. pat ditularkan melalui

ua benar. etengah matang.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 60