Cased Hf Bass
description
Transcript of Cased Hf Bass
PRESENTASI KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
Topik : Demam Berdarah Dengue
Penyusun : Baskoro C. Pramudito
I. Identitas Pasien
- Nama : Nn. S
- Usia : 18 tahun
- Pekerjaan : Pelajar
- Agama : Islam
- Alamat : Bojonegara Kp. Dukul Kel. Margagiri RT 7/4
- No. CM : -- -- --
- Tanggal Berobat : 2 Desember 2011
- Ruangan : Nusa Indah RSUD Cilegon
II. Anamnesa
Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 3 Desember 2011 pukul 06.00 WIB.
o Keluhan Utama :
Demam 4 hari SMRS
o Keluhan Tambahan :
Keringat Dingin, Mengiggil, Nyeri badan, Nyeri kepala, Nyeri ulu hati, Mual, dan
nafsu makan menurun.
o Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RSUD Cilegon dengan keluhan demam sejak ± 4 hari SMRS.
Menrut pasien demam dirasakan naik turun dan meninggi secara mendadak disertai
keringat dingin dan menggigil. Demam ini juga selalu memberat pada malam hari dan
berlangsung setiap hari. Demam tidak disertai batuk dan sesak.
1
Pasien juga mengeluhkan bahwa pasien merasa nyeri badan, nyeri kepala yang tidak
berputar, nyeri perut di bagian ulu hati, mual tanpa disertai muntah, dan kehilangan nafsu
makan. BAK dan BAB tidak ada kelainan.
Keluhan mimisan dari hidung, mulut atau gusi berdarah tiba-tiba, disangkal oleh
pasien. Keluhan muncul bintik-bintik merah pada kulit diperhatikan oleh pasien.
Dengan keluhan yang sekarang, pasien sudah mengkonsumsi obat-obatan penurun
panas selama sakitnya ini tapi tidak mengalami perbaikan yang berarti.
Riwayat perdarahan lama, mudah berdarah dan mudah memar disangkal. Riwayat
mengkonsumsi obat-obatan tertantu (obat sakit kepala, panas badan, rematik) dalam waktu
lama disangkal. Riwayat mudah lelah, lesu, pandangan berkunang-kunang, pusing, jantung
berdebar-debar disangkal. Riwayat pengobatan paru-paru, asma disangkal oleh pasien.
o Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya.
o Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluarga pasien yang tinggal bersebalahan rumah mengalami gejala seperti yang
terjadi pada pasien.
o Anamnesis Sistem:
Tanda checklist (√) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)
menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (√) Keringat malam
(-) Kuku (-) Ikterus (-) Sianosis
(-) Lain-lain
Kepala
(-) Trauma (√) Nyeri kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Sekret
(-) Radang (-) Gangguan penglihatan
(-) Sklera Ikterus (-) Penurunan ketajaman penglihatan
2
(-) Konjungtiva anemis
Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan pendengaran
(-) Kehilangan pendengaran
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir (-) Lidah
(-) Gusi (-) Gangguan pengecapan
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara
Leher
(-) Benjolan/ massa (-) Nyeri leher
Jantung/ Paru
(-) Nyeri dada (-) Sesak nafas
(-) Berdebar-debar (-) Batuk darah
(-) Ortopnoe (-) Batuk
Abdomen (Lambung / Usus)
(-) Rasa kembung (-) Perut membesar
(-) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah darah (-) Melena
(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna dempul
(√) Nyeri perut (-) Tinja berwarna teh
(-) Benjolan
Saluran Kemih / Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
3
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi urin
(-) Batu ginjal (-) Kencing menetes
(-) Ngompol (-) Prostat
Organ reproduksi eksterna (tidak ditanyakan)
( ) Leukore ( ) Perdarahan
( ) Lain-lain ( )
Haid (tidak ditanyakan)
( ) Hari terakhir ( ) Jumlah dan lamanya ( ) Menarche
( ) Teratur /tidak ( ) Nyeri ( ) Gejala Klimakterium
( ) Gangguan menstruasi ( ) Paska menopause
Otot dan Syaraf
(-) Anestesi (-) Sukar menggigit
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot lemah (-) Hipo/hiper-estesi
(-) Kejang (-) Pingsan / syncope
(-) Afasia (-) Kedutan (tick)
(-) Amnesis (-) Pusing (Vertigo)
(-) Lain-lain (-) Gangguan bicara (disartri)
Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri sendi (-) Sianosis
(√) Ptechiae (-) Edema
III. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 3 Desember 2010, pukul 15.00 WIB.
o VITAL SIGNS:
- Kesadaran : Compos mentis
- Keadaan Umum : Sakit Sedang
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 82 kali/menit, regular
- Respirasi : 22 kali/menit, cepat dan dalam
4
- Suhu : 38,90C
- TB/BB : tidak diukur
o STATUS GENERALIS:
- Kulit : Berwarna coklat muda, tidak terdapat kelainan warna kulit, tidak terlihat
ikterik, suhu febris, dan turgor kulit baik.
- Kepala : Bentuk oval, simetris, ekspresi wajah terlihat lemah.
- Rambut : Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut.
- Alis : Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut.
- Mata : Tidak exopthalmus, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
bulat dan isokor.
- Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, dan tidak
hiperemis.
- Telinga : Tidak ada deformitas, tidak ada tanda radang,
- Mulut : Bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor, tonsil T1-T1 tidak hiperemis.
- Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis,
subklavikula, pre-aurikula, post-aurikula, oksipital,
sternokleidomastoideus, dan supraklavikula. Tidak terdapat pembesaran
tiroid, trakea tidak deviasi.
- Thoraks : Normal, Simetris kiri dan kanan.
Paru-paru : Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat
statis dan dinamis, tidak terdapat retraksi diafragma.
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru, dan terdapat peranjakan paru-
hati
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, rhonki -/-, tidak terdapat
wheezing
Jantung : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra.
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dextra,
batas jantung kiri pada ICS V linea midklavikula sinistra,
batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis
sinistra, proyeksi besar jantung normal.
5
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, tidak terdapat murmur dan
gallop.
- Abdomen : Inspeksi : Tampak simetris, datar, tidak terdapat kelainan kulit seperti
sikatrik, dan tidak ada pelebaran pembuluh darah vena.
Auskultasi : Bising usus normal, bising aorta abdominalis terdengar.
Palpasi : Supel, turgor baik, terdapat nyeri tekan episgatrium, tidak
nyeri lepas, tidak teraba hepatosplenomegali, terdapat nyeri
ketuk.
Perkusi : Suara timpani di semua lapang abdomen, tidak terdapat nyeri
ketuk.
- Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan.
- Ekstrimitas: Akral hangat, tidak terdapat udem di ke-empat ekstrimitas. Tes Rumple
Leed +
IV. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium (2 Desmber 2011, IGD)
- Hb : 13,7 g/dl
- Leuko : 2660 /uL
- Ht : 38,9 %
- Trombosit : 88.000
- EKG: Tidak dilakukan
- Radiografi:
- Thoraks: CTR dan Pulmo dalam batas normal
V. Diagnosis
1. Diagnosis Kerja :
- 2 Desember 2011, IGD: Observasi Febris + Trombositopenia+Leukopenia, Susp.
DHF
6
2. Dasar Diagnosis:
Anamnesis :
- Pada DD/DHF, keluhan utama yang dapat menjadi alasan pasien datang berobat
adalah demam dan manifestasi perdarahan (petechiae, ekimosis, hematemesis,
melena)
- Pada DD/DHF, terjadi demam akut antara dua hingga tujuh hari. Demam
mendadak tinggi
- Terdapat keluhan nyeri badan yang tidak hebat.
- Terdapat keluarga dan tetangga pasien yang mengalami gejala yang sama dengan
pasien.
Pemeriksaan Fisik :
- Nyeri tekan epigastrium seringkali ditemukan pada permulaan penyakit
- Terdapat petechiae setelah dilakukan pengujian dengan uji tourniquet.
Pemeriksaan Penunjang :
- Leukopenia pada penderita DHF dijumpai antara hari ke-1 sampai ke-3.
- Trombositopenia mulai tampak setelah beberapa hari demam, dan mencapai
terendah pada fase syok
VI. Pemeriksaan yang dianjurkan
- IgG dan IgM
- Hb, Ht, trombosit, tiap 8-12 jam
- Nonstructural protein 1 (NS1)
VII. Terapi yang diberikan
Non farmakologis
- Tirah Baring dan pembatasan
aktivitas
- Diet makanan lunak
- Cairan minimal 2 liter perhari
Farmakologis (simptomatis) (IGD)
- IVFD Ringer Lactat guyur 1 labu selanjutnya 40tpm
- Ceftriaxone 1 x 2 gram drip dalam NS 100cc
7
- Ranitidin Inj 2 x 1 amp.
- PCT 3 x 1 tab
- Vit K inj 2 x 1 amp
- As. Tranexamat inj 2 x 1 amp
IX. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
8
Tanggal S O A P
3 Desember
2011
Demam (+), Nyeri Perut
(+), Mual (+),
Perdarahan aktif (-),
BAB warna hitam (-)
TD: 100/70 mmHg
N: 84 x/m
R: 22 x/m
S: 38,2 oC
Pf:
Mata: CA-/- SI -/-
Thorax: Simetris
Cor: BJ 1 2 reg,G -, M -
Pulmo: VBS +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abd: BU +, NT +
Ext: Akral Hangat, Petechie +/+
IVFD RL 30 tpm
IVFD D5% + As. Tranexamat
16 tpm
Ceftriaxone 1x2 gr dripdlm NS
100
Ranitidin Inj 2x1 amp
Ondansentron Inj 4mg 2x1
PCT 3x1 tab
Lansoprazole tab 1-0-1
Cek DPR 8 jam
DHF Grd. II +
Leukopenia
4 Desember
2011
- TD: 100/90
N:80 x/m
R:20 x/m
S:37 oC
- Terapi Lanjutan
5 Desember
2011
Mual (+), Pusing (-)
Demam (-), Mimisan (-),
BAB Hitam (-), Nyeri
badan (+)
TD:110/80
N: 80 x/m
R: 20 x/m
S:37,1 oC
Pf:
IVFD RL 30 tpm
IVFD D5% 15 tpm
Ceftriaxone 1x2 gr dripdlm NS
100
Vit K inj 3x1 amp
DHF Grd II +
Leukopenia
9
Follow Up
Mata: CA-/- SI -/-
Thorax: Simetris
Cor: BJ 1 2 reg,G -, M -
Pulmo: VBS +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abd: BU +, NT +
Ext: Akral Hangat, Petechie +/+
Lab: (3/12/11) (I)
Hb: 12,6 g/dL
Leukosit: 3770 /uL
Ht: 37,7 %
Trombosit 61.000 /uL
SGOT: 68 /uL
SGPT 52 /uL
Ureum: 26 mg/dl
Creatinin: 1,0
Natrium: 137,3 mmol/l
Kalium: 3,71 mmol/l
Cholirda: 103,7 mmol/l
Dengue Blood IgM: NR
Dengue Blood IgG: NR
Gol. Darah: O/+
As. Tranexamat 3x1 amp
Ranitidin Inj 2x1 amp
Ondansentron Inj 4mg 3x1
PCT 3x1 tab
Curcuma 3x1
Obsevasi Ketat
Cek DPR 8 jam
Diit MLRS
10
(3/12/11) (II)
Hb: 12,6 mg/dL
Ht: 37,5%
Leuko: 3000 /uL
Trombo: 42.000 /uL
Lab: (4/12/11) (I)
Hb: 12,9 g/dl
Leuko: 3230 /uL
Ht: 36,9 %
Trombo: 33000 /uL
(4/12/11) (II)
Hb: 13,1 g/dL
Leuko:4100 /uL
Ht:39,0 %
Trombo: 33.000 /uL
(4/12/11) (III)
Hb:13,0 g/dl
Leuko:4700 /uL
Ht: 38,9 %
Trombo: 23000 /uL
6 Desember
2011
Demam (-) Muntah (-),
Nyeri kepala (-) BAB
TD:100/70 IVFD RL 40 tpm DHF Grd. II
11
Hitam (-) Seluruh badan
terasa gatal
N: 80 x/m
R: 22 x/m
S:37 oC
Pf:
Mata: CA-/- SI -/-
Thorax: Simetris
Cor: BJ 1 2 reg,G -, M -
Pulmo: VBS +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abd: BU +, NT –
Ext: Akral Hangat, Konvalenscens rash
+/+
+/+
Lab: (5/12/11) (I)
Hb: 13,3 g/dl
Leuko: 5350 /uL
Ht: 39,3 %
Trombo: 26000 /uL
Dengue Blood IgM : NR
Dengue Blood IgG : Reaktif
(5/12/11) (II)
Hb: 12,6 g/dL
IVFD D5% 15 tpm
Ceftriaxone 1x2 gr dripdlm NS
100
Vit K inj 3x1 amp
As. Tranexamat 3x1 amp
Ranitidin Inj 2x1 amp
Ondansentron Inj 4mg 3x1
PCT 3x1 tab
Curcuma 3x1
Obsevasi Ketat
Cek DPR 8 jam
Diit MLRS
12
Leuko:5700 /uL
Ht:35,0 %
Trombo: 28.000 /uL
(5/12/11) (III)
Hb:13,4 g/dl
Leuko:6700 /uL
Ht: 38,9 %
Trombo: 31000 /uL
7 Desember
2011
Demam (-), Lemas (+)
Muntah (-), Nyeri perut
(-) BAB Hitam (-)
TD:110/70
N: 80 x/m
R: 22 x/m
S:36,4 oC
Pf:
Mata: CA-/- SI -/-
Thorax: Simetris
Cor: BJ 1 2 reg,G -, M -
Pulmo: VBS +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abd: BU +, NT –
Ext: Akral Hangat, Konvalenscens rash
+/+
+/+
IVFD RL 35 tpm
Ceftriaxone 1x2 gr dripdlm NS
100
Vit K inj 3x1 amp (k/p)
As. Tranexamat 3x1 amp (k/p)
Ranitidin Inj 2x1 amp
Ondansentron Inj 4mg 3x1
Curcuma 3x1
Cek DPR 8 jam
Diit MLRS
DHF Grd. II
13
Lab: ( 6/12/11) (I)
Hb: 12,6 g/dl
Leuko: 5200 /uL
Ht: 37,6 %
Trombo: 33000 /uL
(6/12/11) (II)
Hb: 12,8 g/dL
Leuko:5370 /uL
Ht:37,2 %
Trombo: 36.000 /uL
(6/12/11) (III)
Hb:13,0 g/dl
Leuko:5730 /uL
Ht: 38,4 %
Trombo: 35000 /uL
8 Desember
2011
Tidak ada keluhan
Bebas demam hari ke-4
TD:100/70
N: 80 x/m
R: 22 x/m
S:36,7 oC
Pf:
Mata: CA-/- SI -/-
BLPL Kontrol ke Poli
Penyakit dalam
Obat Injeksi STOP
Cefadroxil tab 3x1
Vit K tab 3x1
Rantidin tab 2x1
DHF Grd. II
14
Thorax: Simetris
Cor: BJ 1 2 reg,G -, M -
Pulmo: VBS +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abd: BU +, NT –
Ext: Akral Hangat, Konvalenscens rash
+/+
+/+
Lab: (7/12/11) (I)
Hb: 11,9 g/dl
Leuko: 5280 /uL
Ht: 35,6 %
Trombo: 47000 /uL
(7/12/11) (II)
Hb: 12,0 g/dL
Leuko:6370 /uL
Ht:35,3 %
Trombo: 75.000 /uL
(7/12/11) (III)
Hb:12,3 g/dl
Leuko:5650 /uL
Ht: 35,8 % Trombo:97000 /uL
Curcuma tab 3x1
Saran: bed rest di rumah hingga
kontrol kembali
Banyak minum,
Makan makanan yang tidak
terlalu ekstrem
15
16
PEMBAHASAN TEORI
Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO 1997 untuk
DBD. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus
dengue.
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut :
1. Demam tidak jelas
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut
selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis
(nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit,
manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif),
leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau
ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam
dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa syok)
17
Patogenesis
Sekarang ini terdapat beberapa hipotesis mengenai patogenesis
dengue yang diajukan.
Namun tidak terdapat satu teori manapun yang dapat berdiri sendiri
untuk menerangkan seluruh patogenesis yang terjadi pada pasien
infeksi dengue. Masih terdapat banyak hal yang terjadi dalam tubuh
manusia pada infeksi dengue yang belum dapat sepenuhnya dipahami.
Secara patofiologis, peningkatan permeabilitas pembuluh darah secara
mendadak akan menyebabkan hilangnya cairan intravaskular sehingga
mengakibatkan terjadinya peningkatan hematokrit, hipotensi dan efusi
serosa.
Beberapa teori patogenesis yang diusulkan antara lain adalah
patogenesis yang
diperantarai oleh tubuh, patogenesis yang diperantarai sel, fenomena
badai sitokin, pengaruh latar belakang genetik individu, perbedaan
serotipe virus, jumlah atau kadar virus yang terdapat dalam sirkulasi
selama fase akut, dan status gizi individu yang terinfeksi. Dua teori
yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue
adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory)
dan hipotesis immune enhancement.
18
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977,
sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda,
respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan
proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG
anti dengue. Karena kesamaan tempat, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan
peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya
cairan dalam rongga serosa.
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenali virus
lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag.
Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator
19
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.
Seiring dengan berjalannya waktu hipotesis ini mengalami beberapa
modifikasi dan pembaruan untuk dapat mencakup aspek lain dari
respon imun, termasuk mengenai berbagai turunan limfosit T dan
kaskade sitokin. Antibodi terhadap virus dengue akan berikatan
dengan virus, membentuk kompleks antibodi-virus non-netralisasi yang
berikatan dengan reseptor Fc pada monosit-makrofag dan kemudian
diikuti dengan infeksi yang produktif. Antigen virus selanjutnya
dipresentasikan oleh sel yang terinfeksi sebagai antigen MHC,
mengakibatkan terjadinya pematangan dan perangsangan limfosit T
CD4+ dan CD8+. Salah satu konsekuensi dari aktivasi sel limfosit T ini
adalah terjadinya produksi sitokin, terutama interferon-γ (IFN-γ) yang
mengaktivasi sel-sel lain, termasuk makrofag, sehingga
mengakibatkan upregulation ekspresi reseptor Fc dan MHC.9 Faktor-faktor
lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi trombosit, dan produksi
sitokin yang berpotensi bersifat sitotoksik oleh makrofag, limfosit dan
sel epitel/endotel, termasuk faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor /
TNF-α, interleukin (IL)-1 dan IL-6, IL-8, IL-10, juga turut membantu dan
memicu eksaserbasi kaskade peristiwa inflamasi ini.
Kaskade komplemen diaktifkan oleh kompleks virus-antibodi dan
beberapa sitokin untuk melepaskan C3a dan C5a yang juga memiliki
efek langsung pada permeabilitas pembuluh darah. Efek sinergistik
dari IFN-γ, TNF-α, dan komplemen yang teraktivasi akan memicu
terjadinya kebocoran plasma dari sel endotel pada infeksi virus dengue
sekunder. Aktivasi komplemen kemungkinan terjadi karena keparahan
penyakit, bukan sebagai penyebab DBD.
Teori yang berkembang akhir-akhir ini menyatakan bahwa intensitas
respon imun terhadap virus dengue berperan penting dalam kaskade
patofisiologi yang mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. DBD
dan sindrom renjatan dengue tampaknya berkaitan dengan tingginya
kadar sitokin pro-inflamasi dalam serum pasien. Selain itu, mediator-
20
mediator lain yang diproduksi oleh sel-sel fagositik serta peran dari
pengimitasian antibodi juga diperkirakan terlibat dalam patofisiologi
tersebut.
Noisakran S, dkk menilai bahwa walaupun beberapa hipotesis telah
diajukan, masih terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan
berperan dalam patogenesis infeksi virus dengue. Antibodi IgM alamiah
pada fase awal infeksi dengue diperkirakan mempengaruhi perjalanan
klinis penyakit. Peran trombosit sebagai sumber infeksi primer
dan/atau sebagai pembawa virus serta respon imun bawaan terhadap
trombosit yang terinfeksi virus diperkirakan juga berperan dalam
induksi terjadinya DBD.
Teori lain mengenai trombositopenia pada infeksi Dengue sekunder
diajukan oleh Rachman A. Ia menyatakan bahwa trombositopenia
terjadi karena adanya reaksi silang antara IgG anti-NS-1 dan trombosit
GP IIb/IIIa. Paparan anti-NS1 terhadap trombosit secara in vivo
menyebabkan terjadinya destruksi trombosit yang ditandai oleh
peningkatan bersihan trombosit.
Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa;
hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
• Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
umur dan jenis kelamin.
• Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, hiponatremia.
21
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2 : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit
dan perdaran lain.
Derajat 3 : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang)
atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan
lembab, tampak gelisah.
Derajat 4 : Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
22
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3).
Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 akibat depresi
sumsum tulang. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3
demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan
terjadinya kelainan
koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen,
D-Dimer, atau
FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin,
SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan
isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekuler. Di antara tiga
jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli,
23
waktu yang lama (lebih dari 1 – 2 minggu), serta biaya yang relatif mahal.
Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode
diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui
pemeriksaan Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat
bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif
mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan
timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan
adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5,
meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada
infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada
infeksi sekunder dapt terdeteksi mulai hari ke 2.
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan
antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen Nonstructural protein 1 (NS1).
Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih
terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama
antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan
mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam
kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi
primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7 % & 100 %). Oleh karena
berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi
antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.
Pemeriksaan radiologis toraks (posisi dekubitus kanan) dapat dilakukan
untuk melihat
ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada
keadaan perembesan
plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan
efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.
24
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan
untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan
memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan
adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi
antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke 7,
proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari
ruang interstitial ke intravascular. Terapi cairan pada kondisi tersebut
secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites
masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan
gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang
mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan
antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas
(lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DBD dewasa mengikuti protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol
ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
25
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
26
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
27
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
28
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa29
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan
dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah mengganti kehilangan cairan di ruang
intravascular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat,
cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi
30
kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan
dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis
cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan
antara lain memiliki sifat bertahan lama intravaskular, aman dan bisa
dikeluarkan melalui ginjal, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal. Pemberian cairan i.v. dapat
menggunakan ringer laktat atau ringer asetat dengan kebutuhan cairan
mengikuti perhitungan kebutuhan cairan rumatan. Koloid/ plasma
ekspander dapat diberikan bila diperlukan pada DBD stadium III dan IV.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD adalah
aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema,
asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid
memiliki waktu
bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL
secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume
vaskuler hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke
seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskuler) dengan
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu
jam hanya 5 ml yang
tetap berada dalam ruang intravaskuler dan 15 ml masuk ke dalam ruang
interstisial. Namun
demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan
kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai
komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas
dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memberikan beberapa
keunggulan
yaitupada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume
plasma (intravaskular)
31
yang lebih besar dan bertahan lebih lama. Dengan keunggulan ini,
diharapkan oksigenasi
jaringan dapat terjaga lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil.
Beberapa kerugian yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid
yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya perawatan yang lebih
besar, walaupun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping
koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetasrach). Penelitian cairan
koloid
dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue pada pasien anak
dengan parameter
stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil
sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai
efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa
dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia menunjukkan bahwa
koloid adalah pilihan cairan yang aman dan dapat digunakan sebagai
cairan rumatan pada
penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2.
Kesimpulan
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah
kesehatan di Indonesia.
Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat
ditegakkan dan terapi cairan dapat dimulai. Berbagai modalitas
pemeriksaan penunjang baru seperti antigen Nonstructural protein
1(NS1) sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik
untuk diagnsosis yang lebih dini.
Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi
kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal
terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta
32
kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris
untuk menilai respon kecukupan cairan.
Referensi
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi IV.
33