Pembahasan Referat Pjk Dan Hf
description
Transcript of Pembahasan Referat Pjk Dan Hf
BAB I
PENDAHULUAN
Diperkirakan bahwa lebih dari 16 juta orang Amerika memiliki penyakit arteri koroner
dan 8 juta telah menderita infark miokard (MI). Setiap tahun sekitar 1 juta akan memiliki infark
miokard baru. Berdasarkan data dari percobaan Framingham hampir 50% laki-laki dan 30%
perempuan yang berusia di atas 40 akan terkena penyakit arteri koroner. Penyakit arteri koroner
yang paling sering karena oklusi aterosklerotik arteri koroner. Aterosklerosis adalah proses yang
dapat melibatkan banyak pembuluh darah dengan berbagai presentasi. Ketika melibatkan arteri
koroner itu mengakibatkan penyakit arteri koroner. Setengah dari semua kematian di negara
maju dan seperempat dari kematian di negara berkembang adalah karena penyakit
kardiovaskular yang terdiri dari hipertensi dan penyakit yang disebabkan oleh aterosklerosis.(1)
Pada tahun 2005 sedikitnya 17,5 juta atau setara dengan 30,0% kematian di seluruh dunia
disebabkan oleh penyakit jantung. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), 60% dari seluruh
penyebab kematian penyakit jantung adalah penyakit jantung koroner (PJK). Menurut Riskesdas
2007, prevalensi penyakit jantung di Indonesia sebesar 7,2%.
1
BAB II
PEMBAHASAN
II. A. Anatomi Arteri Koroner
Otot jantung, seperti semua organ atau jaringan dalam tubuh, membutuhkan kebutuhan
darah yang kaya oksigen untuk bertahan hidup. Darah dipasok ke jantung dengan sistem
pembuluh darah sendiri, yang disebut sirkulasi koroner. Aorta (pemasok darah utama tubuh)
bercabang menjadi dua pembuluh darah koroner utama (juga disebut arteri). Pembuluh nadi
koroner bercabang menjadi arteri yang lebih kecil, yang memasok darah kaya oksigen ke otot
jantung secara keseluruhan.
Arteri koroner kanan memasok darah terutama ke sisi kanan jantung. Sisi kanan jantung
lebih kecil karena hanya memompa darah ke paru-paru. Arteri koroner kiri, yang cabang ke
dalam arteri desendens anterior sinistra dan arteri sirkumfleksa, memasok darah ke sisi kiri
jantung. Sisi kiri jantung lebih besar dan lebih berotot karena memompa darah ke seluruh tubuh.(2)
Gambar 1 : Anatomi arteri koroner
2
II. B. PENYAKIT JANTUNG KORONER
II. B. 1. Definisi
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang disebabkan penyempitan
arteri koroner, mulai dari terjadinya aterosklerosis (kekakuan arteri) maupun yang sudah terjadi
penimbunan lemak atau plak (plaque) pada dinding arteri koroner, baik disertai gejala klinis atau
tanpa gejala sekalipun (Peter Kabo, 2008). Manifestasi klinis PJK yang klasik adalah angina
pectoris. Angina pektoris adalah rasa nyeri yang timbul akibat iskemia miokardium.
II. B. 2. Epidemiologi dan Etiologi
Di Amerika penyebab kematian tertinggi karena PJK. Pada tahun 1986 penyebab
kematian karena PJK adalah 46% dari total kematian. Di Indonesia, menurut Survey Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI, PJK merupakan penyebab kematian kedua yaitu
9,9% (1986). Kemudian tahun 1992 meningkat menjadi 16,6%. Tingginya angka kematian di
Indonesia akibat penyakit jantung koroner (PJK) mencapai 26%. Berdasarkan hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir angka tersebut
cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, angka kematian akibat PJK adalah 16%
kemudian di tahun 2001 angka tersebut melonjak menjadi 26,45%. Angka kematian akibat PJK
diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di Negara kita. (HIMAPID, 2008).
Penyebab utama PJK adalah penyempitan arteri koronaria besar di bagian proksimal oleh
aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan penyebab lebih dari separuh kematian di negara-negara
maju di Barat. Penyakit ini merupakan penyakit arteri yang berkembang secara perlahan, dengan
penebalan intima terjadi akibat penumpukan fibrosa yang secara bertahap menjadi tempat
perdarahan dan pembentukan thrombus.
II. B. 3. Faktor Risiko
Secara umum dikenal berbagai faktor yang berperan penting terhadap timbulnya PJK
yang disebut sebagai faktor PJK. Faktor – faktor timbulnya PJK ada yang tidak dapat
dimodifikasi dan dapat dimodifikasi.
Faktor – faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain :
3
1. Usia.
Meningkatnya usia akan menyebabkan meningkat pula penderita PJK pembuluh darah
mengalami perubahan progresif dan berlangsung lama dari lahir sampai mati. Tiap arteri
menghambat bentuk ketuanya sendiri. Arteri yang berubah paling dini mulai pada usia 20 tahun
adalah pembuluh koroner. Arteri lain mulai bermodifikasi hanya setelah usia 40 tahun. Terjadi
pada laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Juga didapatkan
hubungan antara umur dan kadar kolesterol yaitu kadar kolesterol total akan meningkat dengan
bertambahnya umur.
2. Jenis Kelamin.
Merupakan kenyataan bahwa wanita lebih sedikit mengalami serangan jantung
dibandingkan pria. Rata-rata kematian akibat serangan jantung pada wanita terjadi 10 tahun lebih
lama dari pria. Secara umum faktor resiko lebih sedikit menyebabkan kelainan jantung
PJK .namun ketahanan wanita berubah setelah menopause. Hal ini diduga faktor hormonal
seperti estrogen melindungi wanita.
3. Riwayat Keluarga dengan penyakit arterosklerosis.
4. Ras
Faktor – faktor yang dapat dimodifikasi, antara lain :
1. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung,
sehinggamenyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard).
Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Serta tekanan darah yang tinggi dan
menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria,
sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan
angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita
hipertensi dibandingkan orang normal.
2. Hiperkolesterolmia
Kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh
darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh derah tersebut menyempit dan proses ini disebut
aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat
4
bahkan dapat tersumbat sehingga aliran darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya
memberi ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya akan menyebabkan otot jantung menjadi
lemah, sakit dada, serangan jantung bahkan kematian.
3. Merokok
Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya konsumsi 02 akibat inhalasi CO. Katekolamin juga dapat
menambah reaksi trombosis dan juga menyebabkan kerusakan dinding arteri, sedangkan
glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri. Di samping itu
rokok dapat menurunkan kadar HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin banyak
jumlah rokok yang diisap, kadar HDL kolesterol makin menurun.
4. Kegemukan
Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol total dan LDL kolesterol.
5. Diabetes Melitus
Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisipenyakit
pembuluh darah. Mekanismenya belum jelas, akan tetapi terjadi peningkatan tipe IV
hiperlipidemi dan hipertrigliserid, pembentukan platelet yang abnormal dan DM yang disertai
obesitas dan hipertensi
6. Stress
II. B. 4. Klasifikasi
II. B. 4. 1. Angina Pektoris Stabil(6)
Angina pektoris adalah rasa nyeri yang timbul akibat iskemia miokardium. Biasanya
mempunyai karakteristik tertentu :
Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan penjalaran ke
leher, rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar,
punggung/pundak kiri.
5
Gambar 2 : Penjalaran Angina
Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih/berat di
dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, seperti diremas-
remas atau dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat
dingin dan sesak napas serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah nyeri yang tajam,
seperti rasa ditusuk-tusuk/diiris sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien
mengatakan bahwa ia hanya merasa tidak enak di dadanya. Nyeri berhubungan dengan
aktifitas, hilang dengan istirahat; tapi tak berhubungan dengan gerakan pernafasan atau
gerakan dada ke kiri dan ke kanan. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stress fisik ataupun
emosional.
Kuantitas : nyeri yang pertama sekali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit
sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus
dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable angina pectoris = UAP) sehingga
dimasukka ke dalam sindrom koroner akut = “acute coronary syndrome” = ACS, yang
memerlukan perawatan khusus. Nyeri dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual
dalam hitungan detik sampai beberapa menit. Nyeri tidak terus menerus, tapi hilang
timbul dengan intensitas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai terkontrol.
Nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, bahkan sampai berhari-hari
biasanya bukan angina pectoris.
6
Gambar 3 : Angina
Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh “Canadian Cardiovascular Society” sebagai
berikut :
Kelas I : aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan
lain-lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang
berat, berjalan cepat seperti terburu-buru waktu kerja atau bepergian.
Kelas II : Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila melakukan
aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1
lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak atau melawan angin dan lain-lain.
Kelas III : aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik
tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa.
Kelas IV : AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hamper semua aktifitas bisa
menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu dan lain lain.
Nyeri dada ada yang mempunyai ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga
tak meragukan lagi untuk diagnosis, disebut sebagai nyeri dada (Angina) tipikal; sedangkan
nyeri dada yang meragukan tidak mempunyai ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan
yang hati-hati, disebut angina atipik. Nyeri dada lainnya yang sudah jelas berasal dari luar
jantung disebut nyeri non kardiak.
7
Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan maka baiknya anamnesis
dilengkapi dengan mencoba menemukan adanya factor resiko baik pada pasien atau keluarganya
seperti kebiasaan makan/kolesterol, DM, hipertensi, rokok, penyakit vascular lain seperti strok
dan penyakit vascular perifer, obesitas, kurangnya latihan dan lain-lain.
Pada AP stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat, sekalipun tidak termasuk UAP,
berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa pengobatan, kemudian
menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul pada beban/stress yang tertentu atau
lebih berat dari sehari-harinya).
Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus sampai akhirnya
menghilang, yaitu menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya adanya iskemia tetap dapat terlihat
misalnya pada EKG istirahatnya, keadaan yang disebut sebagai “silent iskemia” sedangkan
pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan
iskemia baru terlihat pada stress tes.
II. B. 4. 2. Angina Pektoris Tak Stabil
II. B. 4. 2. 1. Definisi
Yang termasuk ke dalam angina tak stabil yaitu :
1. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup beratdan
frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari.
2. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan
angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan factor presipitasi makin
ringan.
3. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
II. B. 4. 2. 2. Epidemiologi dan Etiologi(5)
Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat di rumah sakit karena angina
pectoris tak stabil; dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang
tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan.
8
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan America Heart
Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI=non ST elevation myocardial infarction) ialah apakah iskemia yang timbul cukup
berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya pertanda
kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai
keluhan iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa
perubahan ECG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar
atau adanya gelombang T yang negative. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam,
maka pada tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.
II. B. 4. 2. 3. Patogenesis(6)
Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pectoris tak stabil,
sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya
mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami rupture
sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak
stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang
mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil
terdiri dari ini yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya
rupture terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari
timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena
adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding
plak (fibrous cap).
Gambar 4 : plaque
9
Terjadinya rupture menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan
aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi
infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila thrombus tidak menyumbat 100%, dan hanya
menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.
Gambar 5 : aterosklerosis
Thrombosis dan agregasi thrombosis
Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya thrombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang
terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan
terpentingdalam pembentukan thrombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel
busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi factor jaringan dalam plak
10
tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, factor jaringan berinteraksi dengan factor VIIA
untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan thrombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan
pembentukan thrombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya
hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai thrombosis yang intermiten, pada angina
tak stabil.
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet
berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang
terlokalisir seperti pada angina Printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya
spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan
thrombus.
Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi
dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi
karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat
dan keluhan iskemia.
II. B. 4. 2. 4. Gambaran Klinis
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang
bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada
dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.
II. B. 4. 2. 5. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiografi (EKG)
11
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien
angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya
iskemia akut. Gelombang T negative juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan
gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5 mm dan
gelombang T negative kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan
karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6%
EKG juga normal.
b. Uji Latih
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan risiko tinggi
perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasilnya negative maka prognosis
baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam,
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh
koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi (PCI atau CABG) karena risiko terjadinya
komplikasi kardiovaskular dalam waktu mendatang cukup besar.
c. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil
secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya insufisiensi
mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik.
Ekokardiografi stress juga dapat membantu menegakkan adanya iskemia miokardium.
12
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai pertanda
paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC
dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif
sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.
CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi
berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali
normal dalam 48 jam.
Kenaikan CRP dengan SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker
yang lain seperti amioid A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA.
II. B. 4. 2. 6. Penatalaksanaan
Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu
diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen; Pemberian morfin atau petidin perlu pada
pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
Terapi Medikamentosa
1. Obat anti iskemia
Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek
mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan
oksigen (oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi
pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut
nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau melalui infuse
intravena; yang ada di Indonesia terutama isosorbid dinitrat, yang dapat diebrikan secara
intravena dengan dosis 1-4mg per jam. Karena adanya toleransi terhadap nitrat, dosis
dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah terkendali infuse dapat diganti
isosorbid dinitrat per oral.
13
Penyekat beta : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Data data menunjukkan
penyekat beta dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien dengan infark
miokard. Semua pasien dengan angina tak stabil harus diberi penyekat beta kecuali ada
kontraindikasi. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, atenolol,
telah diteliti pada pasien dengan angina tak stabil, yang menunjukka efektivitas yang
serupa. Kontra indikasi pemberian penyekat beta antara lain pasien dengan asma
bronchial, pasien dengan bradiaritmia.
Antagonis kalsium : dibagi dalam 2 golongan besar : golongan dihidropiridin seperti
nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua
golongan dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan
nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negative juga lebih kecil.
2. Obat Antiagregasi Trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak stabil maupun
infark tanpa elevasi segmen ST. tiga golongan obat antiplatelet seperti aspirin, tienopiridin dan
inhibitor GP IIb/IIIa telah terbukti bermanfaat.
Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian
jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien
dengan angina tak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur
hidup dengan dosis awal 160mg per hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg per
hari.
Tiklopidin : derivate tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan angina tak
stabil bila pasien tidak tahan aspirin.
Klopidogrel : dapat menghambat agregasi platelet. Dalam pedoman ACC/AHA
klopidogrel juga dianjurkan untuk diberikan bersama aspirin paling sedikit 1 bulan
sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per
hari.
14
Inhibitor Glikoprotein IIb/IIIa : obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak
stabil maupun untuk obat tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus
angina tak stabil.
3. Obat Antitrombin
Unfractionated heparin : kelemahan heparin adalah efek terhadap thrombus yang kaya
trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet factor 4
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Direct Thrombin Inhibitors
4. Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
II. B. 4. 3. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (Non ST Elevation Myocardial
Infarction = NSTEMI)
II. B. 4. 3. 1. Definisi
Angina pectoris tak stabil dan NSTEMI diketahui merupakan suatu kesinambungan
dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan
keduanya tidak berbeda.
II. B. 4. 3. 2. Epidemiologi dan Etiologi
1/3 dari 5,3 juta kunjungan pasien datang ke IGD dengan kekuhan nyeri dada disebabkan
oleh UA/NSTEMI, dan merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit
jantung. Angka kunjungan RS untuk pasien UA/NSTEMI semakin meningkat , sementara angka
infark miokard dengan elevasi ST (STEMI) menurun.
II. B. 4. 3. 3 Patofisiologi
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
thrombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Thrombosis akut pada arteri koroner diawali
dengan adanay rupture plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti
lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi factor
15
jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung rupture mempunyai konsentrasi ester kolesterol
dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi rupture plak dapat dijumpai sel
makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan
mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF alfa, dan IL 6. Selanjutnya IL 6 akan
merangsang pengeluaran hsCRP di hati.
II. B. 4. 3. 4. Penatalaksanaan
Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi
segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap
pasien NSTEMI yaitu :
Terapi anti iskemia
Terapi anti platelet/antikoagulan
Terapi invasive (kateterisasi dini/revaskularisasi)
Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.
II. B. 4. 4. Infark Miokard Akut dengan elevasi ST (ST Elevation Myocardial Infarction =
STEMI)(7)
II. B. 4. 4. 1. Definisi
Merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina
pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.
II. B. 4. 4. 2. Epidemiologi dan Etiologi
Infark Miokard Akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju.
Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi
sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2
dekade terakhir, sekitar 1 di antara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal
dalam tahun pertama setelah IMA.
16
II. B. 4. 4. 3. Patofisiologi
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah
ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh factor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture
atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histologist menunjukkan plak koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrous cap
yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patoogis klasik terdiri dari
fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons
terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokontriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti factor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul
multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasikan ikatan
silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik.
17
II. B. 4. 4. 4. Diagnosis
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST>2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang
berdampingan atau >1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA,
prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.
Gambar 6 : STEMI
II. B. 4. 4. 5. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2009 dan ESC tahun 2008. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di
bidang kardiologi intervensi).
Tatalaksana Awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum
yaitu : komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).
18
Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih
dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada
penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama
waktu onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa
ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan
mengenai pentingnya tatalaksana dini.
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusi segera, triase pasien resiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien
STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga
dapat menurunkan kebutuhan oksigen myokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena juga
diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat
memicu efek hipotensi nitrat.
3. Morfin
19
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 50mg. efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling vena yang akan mengurangi curha jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan
IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5mg IV.
4. Aspirin
Asipirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di
ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.
5. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit
sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100
mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan 100mg tiap 12 jam.
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi
dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventrikuler yang maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI
adalah door to needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik
20
dapat dicapai dalam 30 menit atau door to ballon (atau medical contact to balloon) time untuk
PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
II. B. 4. 4. 6. STEMI menjadi Gagal Jantung
Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling
ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi.
Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark antara lain slippage serat otot, disrupsi sel
miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula
pemanjangan segmen non infark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi
zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan
lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan
penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih
buruk.
Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal(10 hari infark) dan sesudahnya.
21
II. C. GAGAL JANTUNG(9,10)
II. C. I. Definisi
Berdasarkan European Society of Cardiology (ESC) Guidelines for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008, definisi Heart Failure (HF) atau Gagal
jantung (GJ) adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh ketidakmampuan
jantung untuk memompakan darah keseluruh jaringan tubuh secara adekuat, akibat adanya
gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien dengan HF harus memenuhi kriteria
sebagai berikut :
Gejala-gejala (symptoms) dari HF berupa sesak nafas yang spesifik pada saat istirahat
atau saat beraktifitas dan atau rasa lemah, tidak bertenaga.
Tanda-tanda (signs) dari HF berupa retensi air seperti kongesti paru, edema tungkai
Dan objektif, ditemukannya abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung.
Definition of Heart Failure
Heart failure is a clinical syndrome in which patients have the following features:
Symptoms typical of heart failure
(breathlessness at rest or on exercise, fatigue, tiredness, ankle swelling)
And
Signs typical of heart failure
(tachycardia, tachypnoea, pulmonary rales, pleural effusion, raised jugular venous pressure,
peripheral oedema, hepatomegaly)
And
Objective evidence of a structural or functional abnormality of the heart at rest
(cardiomegaly, third heart sound, cardiac murmurs, abnormality onthe echocardiogram,
raised natriuretic peptide concentration)
22
II. C. 2. Epidemiologi
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih
lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau
penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal
dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50%
akan meninggal dalam tahun pertama.
II. C. 3. KLASIFIKASI
Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari HF, pertama kali diperkenalkan
oleh New York Heart Association (NYHA) tahun 1994, yang membagi HF menjadi 4 klasifikasi,
dari kelas 1 sampai kelas 4 tergantung dari tingkat aktifitas dan timbulnya keluhan, misalnya
sesak sudah timbul saat istirahat menjadi kelas 4, sesak timbul pada aktifitas ringan kelas 3,
sesak timbul saat aktifitas sedang menjadi kelas 2, sedangkan kelas 1 sesak timbul saat
beraktifitas berlebih. Klasifikasi menurut NYHA lebih banyak atau pada umumnya berdasarkan
keluhan subyektif.
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Chronic Heart Failure from
European Heart Journal (2001) 22, 1527-1560, ada beberapa istilah dalam gagal jantung :
Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan
jasmani, foto toraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah
jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktifitas fisik menurun dan
gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolic adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung diastolic didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%.
Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena
pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan jasmani saja.
Ada 3 macam gangguan fungsi diastolic :
o Gangguan relaksasi
o Pseudo-normal
23
o Tipe restriktif
Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab gangguan
diastolic seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Di samping itu kongesti sistemik/pulmonal
akibat dari gangguan diastolic tersebut dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian
diuretic. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk diastolic bertambah, dapat dilakukan
dengan pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium non-dihidropiridin.
Low Output dan High Output Heart Failure
Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan
perikard. High Out Put HF ditemukan pada penurunan resistensi vascular sistemik seperti
hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri dan penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-tiba
menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronis adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang
terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih
terpelihara dengan baik.
Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis
dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnoea. Gagal jantung kanan terjadi kalau
kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder,
tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema
perifer, hepatomegali dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal
jantung terjadi pada miokard kedua ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang
sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
Klasifikasi terbaru yang dikeluarkan American College of Cardiology/American Heart
Association (ACC/AHA) pada tahun 2005 yang menekankan pembagian HF berdasarkan
progresivitas kelainan structural dari jantung dan perkembangan status fungsional. Klasifikasi
24
dari ACC/AHA ini, perkembangan HF dibagi juga menjadi 4 stages, A, B, C, dan D. Stage A
dan B jelas belum HF, hanya mengingatkan pelaksanan pelayanan kesehatan (health care
provider) bahwa kondisi ini kedepan dapat masuk kedalam keadaan HF. Stage A menandakan
adanya factor risiko HF (diabetes, hipertensi, penyakit jantung koroner) namun belum ada
kelainan structural dari jantung (cardiomegali, LVH, dll) maupun kelainan fungsional.
Sedangkan pada stage B ada factor-faktor risiko HF seperti pada stage Adan sudah terdapat
kelainan structural, LVH cardiomegali dengan atau tanpa gangguan fungsional, namun bersifat
asimtomatik. Stage C, sedang dalam dekompensasi dan atau pernah HF, yang didasari oleh
kelainan structural dari jantung. Stage D adalah yang benar-benar masuk ke dalam refractory HF,
dan perlu advanced treatment strategies.
Juga apabila dilihat dari segi onsetnya, maka HF dapat dibagi menjadi new onset HF,
transient HF dan chronic HF. New onset HF merujuk ke presentasi klinis pertama HF transien
HF merujuk ke HF simptomatik terbatas pada periode waktu tertentu, walaupun pengobatan
jangka panjang masih diperlukan, misalnya HF karena myokarditis ringan dan sembuh secara
baik. HF karena ischemia, dilakukan revaskularisasi dan berhasil. HF pada infark akut yang tidak
memerlukan terapi diuretic jangka panjang. Chronic HF dapat berupa persisten atau perburukan
HF atau mengalami dekompensasi akut dari chronic HF. Perburukan HF yang didasari Chronic
25
HF (dekompensasi) merupakan HF terbanyak dari seluruh bentuk HF yang dirawat di rumah
sakit yaitu sekitar 80% dari semua kasus.
II. C. 4. Etiologi dan Faktor Pencetus
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, pericardium,
pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika
disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark
miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul
hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data di
rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit
jantung koroner dan katup.
Gagal Jantung Akut
Gagal Jantung Akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepat/rapid/onset atau adanya
perubahan pada gejala atau tanda-tanda (symptoms and signs) dari gagal jantung (GJ) yang
berakibat diperlukannya tindakan atau terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama
GJ, atau perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya. Pasien dapat memperlihatkan
kedaruratan medic (medical emergency) seperti edema paru akut (acute pulmonary edema).
Disfungsi jantung dapat berhubungan dengan atau diakibatkan ischemia jantung, irama
jantung yang abnormal, disfungsi katup jantung, penyakit perikard, peninggian dari tekanan
pengisian ventrikel atau peninggian dari tahanan sirkulasi sistemik. Dengan demikian berbagai
26
factor kardiovaskular dapat merupakan etiologi dari GJA dan juga bisa beberapa kondisi
(comorbid) ikut berinteraksi. Ada banyak kondisi kardiovaskuler yang merupakan kausa dari
GJA ini dan juga factor-faktor yang dapat mencetuskan (precipitating factors) terjadinya GJA.
Semua factor-faktor ini sangat penting untuk diidentifikasi; dan dihimpun untuk mengatur
strategi pengobatan.
Gambaran klinis khas dari GJA adalah kongesti paru, walau beberapa pasien lebih
banyak memberikan gambaran penurunan cardiac output dan hipoperfusi jaringan lebih
mendominasi penampilan klinis.
Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan GJA. Contoh yang
paling sering antara lain :
I. Peninggian afterload pada penderita hipertensi sistemik atau pada penderita hipertensi
pulmonal
II. Peninggian preload karena volume overload atau retensi air
III.Gagal sirkulasi (circulatory failure) seperti pada keadaan high output states antara lain pada
infeksi, anemia dan tirotoksikosis.
Kondisi lain yang dapat mencetuskan GJA adalah ketidakpatuhan minum obat-obat GJ,
atau nasehat-nasehat medik, pemakaian obat seperti NSAUDs, cyclo-oxygenare (COX) inhibitor,
dan thiazolidinediones. GJ berat juga bisa sebagai akibat dari gagal multi organ (multiorgan
failure). Simtom gagal jantung bisa juga dicetuskan oleh faktor-faktor non kardiovaskular seperti
penyakit paru obstruktif, atau adanya penyakit organ lanjut (end-organ disease) terutama
disfungsi renal. Pengobatan inisial yang tepat dan pengobatan jangka panjang yang sesuai sangat
diperlukan. Bila mungkin, koreksi kelainan anatomis yang mendasarinya seperti penggantian
katup atau revaskularisasi, dapat mencegah episode GJA dan memperbaiki prognose jangka
panjang.
Klasifikasi Klinis
Manifestasi klinis GJA memberikan gambaran/kondisi spectrum yang luas dan setiap
klasifikasi tidak akan dapat menggambarkan secara spesifik. Pasien dengan GJA biasanya akan
memperlihatkan salah satu dari enam bentuk GJA. Edema paru tidak selalu menyertai semua
keenam bentuk GJA.
27
Keenam bentuk GJA ini adalah :
1. Perburukan atau gagal jantung kronik (GJK) dekompensasi
Adanya riwayat perburukan yang progresif pada penderita yang sudah diketahui dan
mendapat terapi sebelumnya sebagi penderita GJK dan dijumpai adanya kongesti sistemik dan
kongesti paru. Tekanan darah yang rendah pada saat masuk RS, merupakan petanda prognose
yang buruk.
2. Edema Paru
Pasien dengan respiratory distress yang berat, pernafasan yang cepat, dan ortopnoe dan
ronkhi pada seluruh lapangan paru. Saturasi O2 arterial biasanya <90% pada suhu ruangan,
sebelum mendapat terapi oksigen.
3. Gagal jantung hipertensif.
Terdapat gejala dan tanda-tanda gagal jantung yang disertai dengan tekanan darah tinggi
dan biasanya fungsi sistolik jantung masih relative cukup baik, juga terdapat tanda-tanda
peninggian tonus simpatitik dengan takikardia dan vasokonstriksi. Pasien mungkin masih eu
volemia atau hanya hipervolemia yang ringan. Umumnya memperlihatkan kongesti paru tanpa
tanda-tanda kongesti sistemik.
4. Syok kardiogenik.
Didefinisikan sebagai adanya bukti tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang disebabkan
oleh gagal jantung, walau sesudah preload dan aritmia berat sudah dikoreksi secara adekuat.
Tidak ada parameter hemodinamik diagnostic yang pasti. Akan tetapi cirri khas dari syok
kardiogenik adalah tekanan darah sistolik<90mmHg, atau penurunan dari tekanan arteriol rata-
rata(mean arterial pressure>30mmHg), dan tidak adanya produksi urin, atau berkurang
(<0,5ml/kg/jam). Gangguan irama jantung sering ditemukan. Tanda-tanda hipoperfusi organ dan
kongesti paru timbul dalam waktu cepat.
5. Gagal jantung kanan terisolasi
Ditandai dengan adanya sindroma “low out put” tanpa disertai oleh kongesti paru dengan
peninggian tekanan vena jugularis dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang rendah.
28
6. Sindroma koroner akut dan gagal jantung.
Banyak penderita GJA timbul bersamaan dengan SKA yang dibuktikan dari gambaran
klinis dan pemeriksaan penunjang. Kira-kira 15% penderita SKA memperlihatkan gejala dan
tanda-tanda GJ. Episode GJA biasanya disertai atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, AF,
VT)
Disamping itu, ada beberapa klasifikasi GJA yang bisa dipakai di ICCU, antara lain :
1. Klasifikasi Killip, berdasarkan tanda-tanda klinis sesudah infark jantung akut.
2. Klasifikasi Forester yang juga berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik hemodinamik
pada infark akut.
II. C. 5. Patogenesis
Gagal jantung sistolik
Gagal jantung sistolik didasari oleh suatu beban/penyakit miokard(underlying HD/index
of events) yang mengakibatkan remodeling structural, lalu diperberat oleh progresivitas
beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang disebut gagal jantung.
Remodeling structural ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi sehingga
fungsi jantung terpelihara relative normal (gagal jantung asimtomatik). Sindrom gagal jantung
yang simtomatik akan tampak bila timbul factor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark
jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, aktifitas berlebihan, emosi atau garam berlebih,
29
emboli paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung
simtomatik juga akan tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat progresifitas penyakit yang
mendasarinya/underlying HD.
II. C. 6. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi/foto
toraks, ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria Major :
Paroksismal nocturnal dispnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120/menit)
Major atau minor
Penurunan BB>4,5kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor
30
II. C. 7. Penatalaksanaan Gagal Jantung
Pada tahap simtomatik dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti cepat
capek (fatik), sesak napas (dyspnea in effort, orthopnoea), kardiomegali, peningkatan tekanan
vena jugularis, asites, hepatomegalia dan edema sudah jelas, maka diagnosis gagal jantung
mudah dibuat.
Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel
kiri/LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang
timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen, ekokardiografi dan
pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.
Diuretic oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung
sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik), ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor
Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta
dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretic dan ACE-Inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra ventrikuler(fibrilasi atrium atau SVT lainnya)
atau ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi digitalis sangat
mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah
(kurang dari 3,5 meq/L).
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretic atau pada pasien dengan
hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian
jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretic-vasodilatasi seperti Brain Natriuretic Peptide
(Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac Resychronization
Therapy (CRT) maupun Pembedahan, pemasangan ICD (Intra Cardiac Defibrilator) sebagai alat
mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-iskemia dapat
memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi
regenerasi miokard, masih terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat
ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.
31
Stages in the Development of Heart Failure/Recommended Therapy by Stage ACEI indicates
angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin II receptor blocker; EF, ejection
fraction; FHx CM, family history of cardiomyopathy; HF, heart failure; LV, left ventricular;
LVH, left ventricular hypertrophy; and MI, myocardial infarction.
32
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang disebabkan penyempitan
arteri koroner, mulai dari terjadinya aterosklerosis (kekakuan arteri) maupun yang sudah terjadi
penimbunan lemak atau plak (plaque) pada dinding arteri koroner, baik disertai gejala klinis atau
tanpa gejala sekalipun. Akibatnya, otot jantung tidak bisa mendapatkan darah atau oksigen yang
dibutuhkan. Hal ini dapat menyebabkan nyeri dada ( angina ) atau serangan jantung. Berdasarkan
hasil penelitian, penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian penyakit jantung
terbesar, tidak hanya di barat tapi juga di Indonesia. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui
kriteria, gejala klinis, dan tatalaksana pada setiap klasifikasi penyakit jantung koroner. Karena
seiring waktu, penyakit jantung koroner atau infark miokard akut lama kelamaan juga dapat
melemahkan otot jantung dan berkontribusi pada gagal jantung.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Munther K. Homoud, MD. Coronary Artery Disease. Tufts-New England Medical Center.
Spring 2008; available at : http://ocw.tufts.edu/data/50/636849.pdf. Accesed : February
2th,2012
2. The Coronary Arteries. Texas Heart Institute. Available at : http://www.texasheart.org/
HIC/Anatomy/coroanat.cfm. Accesed at : February 3th, 2012.
3. Coronary Artery Disease. MedlinePlus. Available at : http://www.nlm.nih.gov/medline
plus/coronaryarterydisease.html. Accesed : February 3th, 2012.
4. Trisnohadi HB. Angina Pektoris Tak Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Sudoyo
AW : Cetakan kedua Agustus 2012. P 1728-34.
5. Braunwald E, Antman EM, Heasky JW, et al. ACC/AHA Guideline Update for the
Management of Patients with Unstable Angina and Non ST segment Elevation Myocardial
Infarction 2002. Summary Article: A report of The American College of Cardiology/
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines Circulation 2002; 106: 1893-
900 the stable to the unstable clinical state. Circulation 1993;88:2493-500.
6. Rahman AM. Angina Pektoris Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Sudoyo AW :
Cetakan kedua Agustus 2012. P 1735-40
7. Alwi I. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Sudoyo AW : Cetakan kedua Agustus 2012. P 1741-54.
8. Silbernagl S, Lang F. Penyakit Jantung Koroner. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan 1: 2007. p 218-223.
9. Panggabean MM. Gagal Jantung. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Sudoyo A W:
Cetakan kedua Agustus 2010. p 1583-85
10. Kennet Dickstein, Alain Cohen-Solal, Garasimos Fillippatos, et al. The Task Force for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of
Cardiology. European Heart Journal (2008) 29, 2388-2442.
34