case1 hiperljjeukositonjunnjnnsis

62
LAPORAN KASUS HIPERLEUKOSITOSIS SUSPEK LEUKIMIA LIMFOSITIK AKUT PEMBIMBING : dr.Tri Yanti Rahayuningsih, Sp.A (K) PENYUSUN : Cheras Yezia Kharismia Sjarfi 030.11.058 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI 0

description

jj

Transcript of case1 hiperljjeukositonjunnjnnsis

LAPORAN KASUS

HIPERLEUKOSITOSIS

SUSPEK LEUKIMIA LIMFOSITIK AKUT

PEMBIMBING :

dr.Tri Yanti Rahayuningsih, Sp.A (K)

PENYUSUN :

Cheras Yezia Kharismia Sjarfi

030.11.058

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI

PERIODE 16 MEI 2016- 23 JULI 2016

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

0

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan Judul

Hiperleukositosis etcause suspek leukemia akut

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan

kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak

Periode 16 Mei 2016 – 23 Juli 2016

Jakarta, Mei 2016

(dr. Tri Yanti, SpA)

1

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ...................................................................................... 1

Kata Pengantar .................................................................................. .......... 2

Daftar Isi ....................................................................................................... 3

BAB I Pendahuluan .......................................................................... 4

BAB II Laporan Kasus ...................................................................... 5

BAB III Analisis Kasus ....................................................................... 15

BAB IV Tinjauan Pustaka ....................................................... ........... 17

Daftar Pustaka ............................................................................................... 31

2

BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum

tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel

abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia leukosit dalam darah berproliferasi secara

tidak teratur, tidak terkendali dan fungsinya menjadi tidak normal. Oleh karena proses

tersebut, fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga menimbulkan

gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Leukemia merupakan kanker anak yang

paling sering dan mencapai lebih kurang 33% dari keganasan pediatrik. Insidensi

tahunan keseluruhan dari leukemia adalah 42,1 juta anak kulit putih dan 24,3 juta

anak kulit hitam.1,2

Leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan perjalanan alamiah penyakitnya

dan berdasarkan tipe sel predominan yang terlibat. Berdasarkan perjalanan alamiah

penyakitnya leukemia dibedakan menjadi leukemia akut dan kronis. Leukemia akut

mencapai 97% dari semua leukemia pada anak sementara leukemia kronik hanya

ditemukan sekitar 3%. Leukemia akut merupakan leukemia dengan perjalanan klinis

yang cepat dan tanpa pengobatan penderita rata-rata meninggal dalam 2 sampai 4

bulan. Leukemia akut terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) yang

merupakan 82% dari semua leukemia akut dan leukemia mieloblastik akut (LMA)

yang ditemukan mencapai 18%. Di RSU Dr. Sardjito LLA ditemukan sebanyak 79%,

LMA 9% dan sisanya leukemia kronik, sementara itu di RSU Dr. Soetomo pada tahun

2002 LLA ditemukan sebanyak 88%, LMA 8% dan 4% leukemia kronik.1,6

Penyebab leukemia sampai saat ini sebagian besar belum diketahui dengan

pasti. Namun demikian, pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada

binatang percobaan ditemukan bahwa penyebab leukemia mempunyai kemampuan

melakukan modifikasi nukleus DNA dan kemampuan ini meningkat bila terdapat

suatu kondisi genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan mutasi onkogen

seluler. Kondisi-kondisi tertentu seperti cacat genetik, radiasi ionik, infeksi virus atau

bakteri, kondisi perinatal dan paparan bidang elektomagnetik, benzene, pestisida dan

produk minyak bumi dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya leukemia pada

anak-anak.1,3

3

Di Negara berkembang, diagnosis leukemia harus dipastikan dengan aspirasi

sumsum tulang (BMA) secara morfologis, imunofenotip dan karakter genetik. Pada

leukemia akut, penting untuk membedakan LLA dengan LMA karena akan sangat

menentukan jenis terapi dan prognosis penderita. Walaupun dewasa ini pengobatan

leukemia telah menunjukkan hasil yang sangat baik terutama untuk LLA, tidak jarang

ditemukan kasus gawat darurat leukemia dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau

disfungsi organ yang terjadi akibat leukostasis. Hal ini menunjukkan bahwa diagnosis

dini leukemia sangat penting dilakukan.1,6

4

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RS PENDIDIKAN : RSUD KOTA BEKASI

STATUS PASIEN

Nama Mahasiswa : Cheras Yezia Pembimbing : dr. Tri Yanti, Sp.A (K)

NIM : 030.11.058 Tanda tangan :

BAB II

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS

Data Pasien Ayah Ibu

Nama An. Sa Tn. MY Ny. S

Umur 11 tahun 56 tahun 47 tahun

Jenis Kelamin Laki-Laki Laki-laki Perempuan

Alamat Jl. Beringin Kranji Rt4 RW 4 Kranji, bekasi Barat

Agama Islam Islam Islam

Suku bangsa Jawa

Pendidikan - SD SMA

Pekerjaan - Buruh Ibu Rumah Tangga

Penghasilan - - -

Keterangan Hubungan dengan

orang tua : Anak

Kandung

Tanggal Masuk

RS

16 Mei 2016

II. ANAMNESIS

Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu pasien pada tanggal 23 Mei 2016 pukul

13.00 di ruang PICU RSUD Bekasi

a. Keluhan Utama :

Demam sejak 1 minggu SMRS

5

b. Keluhan Tambahan :

Nafsu makan berkurang

c. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien dibawa ke IGD RSUD Bekasi oleh orangtuanya dengan keluhan

demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Menurut orangtuanya, demam

pasien naik turun tidak tentu, kadang naik di siang kadang di malam hari. Demam

terasa cukup tinggi, namun tidak diukur dengan temperatur. Orangtua pasien telah

memberikan obat penurun panas yang didapat dari puskesmas namun demam tidak

turun. Selain keluhan demam pasien juga mengeluh lidah pernah berwarna putih.

Setelah 1 minggu demam pasien tidak juga hilang kedua orangtuanya

membawanya ke RSUD Bekasi. Selama di rawat di RSUD Bekasi pasien sempat

mengalami mencret 3-4x sehari, konsistensi cair. Namun mencret hanya terjadi

selama 1 hari.pasien juga sempat mengalami gusi berdarah saat dirawat di RSUD.

Keluhan mual dan muntah selama sakit disangkal. Begitu juga dengan keluhan

pusing, sesak, dan keluhan perdarahan lain seperti mimisan juga disangkal.

Menurut orangtua pasien tidak ada penurunan berat badan secara tiba-tiba,

tidak ada keluhan pasien mudah lelah, atau mudah sesak. Saat ini pasien duduk di

bangku kelas 5 SD dan aktivitasnya normal sehari-hari. Tidak ada keluhan mudah

sesak ataupun lesu. BAB dan BAK pasien lancar.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah dirawat di RSUD Bekasi karena cedera kepala ringan yang

dialami kurang lebih 1 tahun sebelumnya. Selain cedera kepala tersebut pasien

tidak pernah sakit serius, hanya beberapa kali batuk dan pilek namun kemudian

hilang sendiri. Riwayat alergi (-) , riwayat Asma (-).

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Di dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal yang sama. Ibu pasien

memiliki penyakit hipertensi. Riwayat diabetes melitus (-), riwayat penyakit

jantung (-). Riwayat keganasan pada keluarga (-)

6

f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

KEHAMILAN Morbiditas Tidak ada

Perawatan antenatal Kontrol rutin ke bidan

setiap 1x/bulan

KELAHIRAN Tempat kelahiran Bidan

Penolong persalinan bidan

Cara persalinan spontan

Masa gestasi Cukup bulan (9 bulan 10

hari )

Keadaan bayi BBL : 2900 gram

PB : 48 cm

Apgar Score tidak

diketahui

Tidak ada kelainan

bawaan

g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Pertumbuhan gigi I : usia 5 bulan (normal: 5-9 bulan)

Psikomotor

Tengkurap : usia 4 bulan (normal: 3-4 bulan)

Duduk : usia 6 bulan (normal: 6 bulan)

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien baik

h. Riwayat Makanan

Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biscuit Bubur susu Nasi tim0-2 +2-4 +4-6 -/+6-7 -/+ - + -8-10 -/+ + + +10-12 -/+ + + +

7

Kesan : Pasien mendapat ASI hanya sampai usia 4 bulan, selanjutnya pasien mendapatkan susu formula. Pasien mulai mendapatkan bubur susu sejak usia 6 bulan

i. Riwayat Imunisasi

Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)BCG 1 blnDPT 2 bln 4 bln 6 blnPOLIO lahir 2 bln 4 bln 6 blnCAMPAK 6 thnHEPATITIS B lahir 1 bln 6 blnKesan : Riwayat imunisasi pasien menurut PPI lengkap. Hanya saja pemberian campak baru diberikan saat pasien usia 6 tahun.

j. Riwayat Keluarga

Ayah IbuNama Tn. J Ny. WPerkawinan ke 1 1Umur 56 47 tahunKeadaan kesehatan sehat Sehat (penyakit hipertensi

(+)

k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :

Pasien tinggal di rumah pribadi, dinding terbuat dari tembok, atap terbuat dari

genteng, dan ventilasi cukup. Menurut pengakuan keluarga pasien, keadaan

lingkungan rumah padat, ventilasi, dan pencahayaan baik. Sumber air bersih berasal

dari PAM.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis (Anak laki-laki, 11 tahun, BB: 26 kg, PB: 138 cm)

a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang,

c. Tanda Vital

Kesadaran : Compos mentis

Frekuensi nadi : 100x/m

Frekuensi pernapasan : 20 x/m

Suhu tubuh : 37,50C

8

Tekanan darah : 124/68mmHg

d. Data antropometri

Berat badan : 26 kg

Panjang badan : 138 cm

o BB/TB : 26/31 x 100% = 83,87% (Gizi Baik)

o BB/U : 26/36 x 100% = 72,2% (Gizi Kurang)

o TB/U : 138/142 x 100% = 97,1% (Tinggi Baik)

9

e. Kepala

10

Bentuk : Normocephali, simetris, ubun-ubun tidak

cekung,

Rambut : Rambut hitam, distribusi merata.

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-,

pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+.

Telinga : Normotia, serumen -/-.

Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, NCH -/-,

terdapat hematom (-)

Mulut : Bibir tidak kering, lidah kotor -, gusi

kehitaman, caries

Leher : Bentuk simetris, trakea di tengah, teraba

benjolan di submandibular dextra dan sinistra.

f. Thorax

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi -, napas

Kusmaul -

Palpasi : Gerak napas simetris

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

Pulmo : Suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Cor : BJ I dan II reguler, murmur -, gallop –

g. Abdomen

Inspeksi : Perut datar

Auskultasi : Bising usus meningkat, frekuensi 8x/menit

Palpasi : Supel, splenomegali + Turgor kembali cepat. Nyeri

tekan (+)

Perkusi : timpani, Shifting dullness -, nyeri ketuk -, turgor

kembali cepat.

h. Kulit : pallor -, ikterik -, petekie -

i. Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), oedem (-), ikterik (-),

CRT < 2 detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium tanggal 15 Mei 2016

11

Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan

Darah Rutin

Leukosit 274,5 ribu/ul 5-10

Hb 7,2 juta/ul 12-16

Hematokrit 25,0 g/dl 40-54

Trombosit 64 % 150-400

WIDAL

S-Typhi-O 1/320 Negative- 1/80

S-Paratyphi AO 1/160 Negative- 1/80

S Paratyphi BO 1/320 Negative- 1/80

Styphi-H 1/160 Negative- 1/80

S-PAratyphi AH 1/80 Negative- 1/80

S Paratyphi BH 1/80 Negative- 1/80

S Paratyphi CH 1/160 Negative- 1/80

KIMIA KLINIK

DIABETES

GDS 98 Mg/dl 60-100

ELEKTROLIT

Natrium

Kalsium

Clorida

127

3,1

87

Mmol/L

Mmol/L

Mmol/L

135-145

3,5-5,0

94-11

Gambaran Darah Tepi

Eritrosit : Mikrositik hipokrom

Ret HE : 21,8

12

Leukosit : Kesan jumlah sangat meningkat , pergeseran kekiri ditemukan

blast, dengan ukuran bervariasi, beberapa sel dengan kromatin kasar anak inti

tidak jelas, hipersegmentasi +, vakuolisasi +, limfosit atipik +, smudge cell +

Blast : 24% Eosinofil : 0%

Promielosit : 6% Batang : 3%

Mielosit : 10 % Segmen : 26%

Metamielosit : 2% Limfosit : 25%

Basofil :0% Monosit : 4%

Eritrosit berinti / 100 leukosit : 2

Trombosit : kesan jumlah kurang, morfologi sulit dinilai

Kesan : Tersangka Leukimia Akut

Anjuran: BMP dan sitokimia, Pemantauan hematologi, Faal hati ginjal, asam

urat , LDH

V. RESUME

Pasien dibawa ke IGD RSUD Bekasi oleh orangtuanya dengan keluhan

demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Menurut orangtuanya, demam

pasien naik turun tidak tentu, kadang naik di siang kadang di malam hari. Demam

terasa cukup tinggi, namun tidak diukur dengan temperatur. Orangtua pasien telah

memberikan obat penurun panas yang didapat dari puskesmas namun demam tidak

turun. Selain mengeluh demam pasien juga mengeluh lidah berwarna putih.

Setelah 1 minggu demam pasien tidak juga hilang kedua orangtuanya

membawanya ke RSUD Bekasi. Selama di rawat di RSUD Bekasi pasien sempat

mengalami mencret 3-4x sehari, konsistensi cair. Namun mencret hanya terjadi

selama 1 hari dan gusi yang berdarah. Keluhan mual dan muntah selama sakit

disangkal. Begitu juga dengan keluhan pusing, sesak, dan keluhan perdarahan lain

seperti mimisan juga disangkal.

Menurut orangtua pasien tidak ada penurunan berat badan secara tiba-tiba,

tidak ada keluhan pasien mudah lelah, atau mudah sesak. Saat ini pasien duduk di

bangku kelas 5 SD dan aktivitasnya normal sehari-hari. Tidak ada keluhan mudah

sesak ataupun lesu. BAB dan BAK pasien lancar.

Riwayat kehamilan dan kelahiran normal, tidak ada penyulit. Semasa hamil ibu

pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan ataupun terpapar sumber radiasi.

Riwayat keluarga tidak ada yang mengalami keganasan.

13

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum

tampak sakit berat, conjungtiva yang anemis, teraba pembesaran limfa pada

submandibular dan inguinal, splenomegali (+)

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hiperleukositosis (274,500), anemia

( Hb 7,2 g/dL), trombositopenia (64.000). pada gambaran apus darah tepi didapatkan

sel blast yang meningkat (24%).

VI. PEMERIKSAAN ANJURAN

BMP

Sitokimia

Pemantauan hematologi,

Faal ginjal

SGOT, SGPT.

Urinalisa

Analisa Gas Darah

VII.DIAGNOSIS

Hiperleukositosis ec leukimia limfositik akut

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Leukimia mieloblastik akut

Thyphoid fever

IX. PENATALAKSANAAN

Rawat inap di bangsal

IVFD RL 2000cc/hari

Inj. Omeprazole 2x20mg i.v

Transfuse PRC 200cc

Paracetamol 2Cth k/p

Seri DHF/ 8jam

Edukasi kepada orangtua

X. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

14

XI. FOLLOW UP

Tanggal 16 Mei 2016

S: demam naik turun

O:

KU: TSS, Kes: CM

Tanda vital : HR: 80x/m, RR: 20x/m, suhu: 36,50C

Mata : CA +/+, SI-/-, pupil bulat isokor, RCL+/+, RCTL +/+

Leher : dalam batas normal

Thoraks : SNV +/+, ronki -/-, wheezing -/-

S1, S2, normal, reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, bising usus 4x/m, hepatosplenomegali +

Ekstremitas : akral hangat +, oedem -, CRT<2 detik

Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan

Darah Rutin DHF

Leukosit 260,4 ribu/ul 5-10

Hemoglobin 7,1 g/dl 12-16

Hematokrit 24,3 % 40-54

Trombosit 60 ribu/uL 150-400

A: bisitopenia, hiperleukositosis dd/ keganasan darah

P :

IVFD RL 2L/hari

Transfusi PRC 200cc (2kali)

Lasix 1 amp durante transfuse selang 24 jam

Allupurinol 2x100mg (p.o)

Tanggal 17 MEI 2016

S: perut sakit

O:

KU: TSS, Kes: CM

Tanda vital : HR: 150x/m, RR: 20x/m, suhu: 36,80C

15

Mata : CA -/-, SI-/-, pupil bulat isokor, RCL+/+, RCTL +/+

Leher : dalam batas normal

Thoraks : SNV +/+, ronki -/-, wheezing -/-

S1, S2, normal, reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, bising usus 4x/m, splenomegali +

Ekstremitas : akral hangat +, oedem -, CRT<2 detik

Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan

Darah Rutin DHF

Leukosit 246,5 ribu/ul 5-10

Hemoglobin 7,1 g/dl 12-16

Hematokrit 23,1 % 40-54

Trombosit 51 ribu/uL 150-400

P: Bisitopenia, hiperleukositosis dd/ keganasan darah

A :

IVFD RL 2 L/ hari

PRC 200cc (2kali)

LAsix 1 amp (durante)

Transfuse selang 24 jam

Allupurinol 2x100mg (p.o)

Bicnat tab 2x1/2

Tanggal 18 Mei 2016

S: perut sakit , perdarahan (-)

O:

KU: TSS, Kes: CM

Tanda vital : HR: 90x/m, RR: 18x/m, suhu: 39,40C

Mata : CA-/-, SI-/-, pupil bulat isokor, RCL+/+, RCTL +/+

Leher : dalam batas normal

Thoraks : SNV +/+, ronki -/-, wheezing -/-

S1, S2, normal, reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, bising usus 4x/m, splenomegali +

16

Ekstremitas : akral hangat +, oedem -, CRT<2 detik

URINALISA

Kimia Urine

warna Kuning kuning

kejernihan Agak keruh jernih

pH 6.0 5,0-8,0

Berat Jenis 1020 1005-1030

Albumin Urine Negative negatif

glukosa Negative negatif

keton Negative negatif

urobilinogen 0,2 0,1-

Bilirubin Negative negatif

Darah samar Positif (+1) negatif

Lekosit esterase Negative negatif

nitrit Negative negatif

Mikroskopis urin

eritrosit 0-5 /lpb <=2

Lekosit 0-5 /lpb <=5

Silinder Negative negatif

Epitel Gepeng (+) negatif

kristal Amorf (+) negatif

bakteri Positif (1+) negatif

Lan-lain Negative negatif

A : Bisitopenia, hiperleukositosis dd/ keganasan darah

P:RL 2 liter/ hari

PRC200 cc (2x)

Lasix 1 amp( durante transfuse)

Transfuse selang 24 jam

Allupurinol 2x100mg (p.o)

Bicnat 2x ½ tab.

17

19 Mei 2016

S: gusi berdarah

O:

KU: TSS, Kes: CM

Tanda vital : HR: 150x/m, RR: 21x/m, suhu: 39,40C

Mata : CA-/-, SI-/-, pupil bulat isokor, RCL+/+, RCTL +/+

Leher : dalam batas normal

Thoraks : SNV +/+, ronki -/-, wheezing -/-

S1, S2, normal, reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, bising usus 4x/m, splenomegali +

Ekstremitas : akral hangat +, oedem -, CRT<2 detik

URINALISA

Kimia Urine

Warna Kuning kuning

Kejernihan Agak keruh jernih

pH 5,5 5,0-8,0

Berat Jenis 1010 1005-1030

Albumin Urine Negative negatif

Glukosa Negative negatif

Keton Negative negatif

Urobilinogen 0,2 0,1-

Bilirubin Negative negatif

Darah samar Positif (+2) negatif

Lekosit esterase Negative negatif

Nitrit Negative negatif

Mikroskopis urin

Eritrosit 0-5 /lpb <=2

Lekosit 0-5 /lpb <=5

Silinder Negative negatif

Epitel Gepeng (+) negatif

18

Kristal Amorf (+) negatif

Bakteri Positif (1+) negatif

Lan-lain Negative negatif

A: bisitopenia, hiperleukositosis dd keganasan darah

P:IUVD NaCl 0,9% + Bicnat 20cc

Ceftriaxon 1x1 gr (2) Allupurinol 2x100mg Transfuse trombosit 4 kolf Transfuse albapor 20% 100cc

20 mei 2016

S: (-) O: KU: TSS, Kes: CM

Tanda vital : HR: 100x/m, RR: 20x/m, suhu: 370C

Mata : CA-/-, SI-/-, pupil bulat isokor, RCL+/+, RCTL +/+

Leher : dalam batas normal

Thoraks : SNV +/+, ronki -/-, wheezing -/-

S1, S2, normal, reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, bising usus 4x/m, splenomegali +

Ekstremitas : akral hangat +, oedem -, CRT<2 detik

Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan

Darah Rutin DHF

Leukosit 79,6 ribu/ul 5-10

Hemoglobin 10,7 g/dl 12-16

Hematokrit 31,7 % 40-54

Trombosit 44 ribu/uL 150-400

URINALISA

Kimia Urine

Warna Kuning kuning

19

Kejernihan Agak keruh jernih

pH 7,0 5,0-8,0

Berat Jenis 1020 1005-1030

Albumin Urine Positive 1 negatif

Glukosa Negative negatif

Keton Negative negatif

urobilinogen 0,2 0,1-

Bilirubin Negative negatif

Darah samar Positif (+3) negatif

Lekosit esterase Negative negatif

Nitrit Negative negatif

Mikroskopis urin

Eritrosit 5-10 /lpb <=2

Lekosit 0-5 /lpb <=5

Silinder Granula + negatif

Epitel Gepeng (+) negatif

Kristal Negative negatif

Bakteri Positif (1+) negatif

Lan-lain Negative negatif

21 Mei 2016 : post koreksi albumin

S: (-)

O: KU: TSS, Kes: CM

Tanda vital : HR: 100x/m, RR:18x/m, suhu: 37,40C

Mata : CA-/-, SI-/-, pupil bulat isokor, RCL+/+, RCTL +/+

Leher : dalam batas normal

Thoraks : SNV +/+, ronki -/-, wheezing -/-

S1, S2, normal, reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, bising usus 4x/m, splenomegali +

Ekstremitas : akral hangat +, oedem -, CRT<2 detik

Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan

Darah Rutin DHF

20

Leukosit 114,2 ribu/ul 5-10

Hemoglobin 11,5 g/dl 12-16

Hematokrit 35,6 % 40-54

Trombosit 38 ribu/uL 150-400

Eritrosit

MCV 87,3 fl 75-87

MCH 28,2 Pg 24-30

MCHC 32,2 % 31-37

GDS 80 MG/DL

60-110

ELEKTROLIT

Natrium 140 Mmol/L 60-110

Kalium 2,1 Mmol/L 3,5-5,0

Klorida 95 Mmol/L 94-111

Fungsi hati :

Albumin 2.09 g/dL 3,5-4,5

A;bisitopenia , hiperleukositosis dd/ keganasan darah

P:Nacl 0,9% + bicnat 20cc

Ceftriaxone 1x1gr

Allupurinol 2x100mg

22 Mei 2016

S: (-)

O: suhu: 37.2 , Nadi: 93x/menit

A; bisitopenia , hiperleukositosis dd/ keganasan darah

P:

Nacil 0,9% + bicnat 20cc

Ceftriaxon 1x1 gr

Allupurinol 2x100mg

21

Zinkid 2x1 cth

Lacto B 3x1

22

BAB III

ANALISIS KASUS

Pasien datang keluhan demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Demam pasien naik turun tidak tentu, kadang naik di siang kadang di malam hari.

Demam terasa cukup tinggi, namun tidak diukur dengan temperatur. Orangtua pasien

telah memberikan obat penurun panas yang didapat dari puskesmas namun demam

tidak turun. Keluhan demam dapat menuju ke berbagai diagnosis dan yang tersering

didasari oleh infeksi. Pada pasien ini tidak didapatkan pola demam yang khas. Pasien

menyangkal adanya mual, muntah maupun batuk dan pilek. Tidak ada diare maupun

konstipasi selama demam 1 minggu pertama.

Selain mengeluh demam pasien juga mengeluh pernah mengalami dan lidah

pasien berwarna putih. Awalnya ibu pasien mengira pasien alami tifoid karena

lidahnya berwarna putih. Setelah 1 minggu demam pasien tidak juga hilang kedua

orangtuanya membawanya ke RSUD Bekasi. Selama di rawat di RSUD Bekasi pasien

sempat mengalami mencret 3-4x sehari, konsistensi cair. Namun mencret hanya

terjadi selama 1 hari. Keluhan mencret atau diare biasa ditemukan pada pasien dengan

demam typhoid. Keluhan mual dan muntah selama sakit disangkal. Begitu juga

dengan keluhan pusing, sesak, dan keluhan perdarahan lain seperti mimisan maupun

muncul bintik merah disangkal. Sehingga kemungkinan untuk mendiagnosis pasien

ini demam berdarah dengue dapat disingkirkan.

Menurut orangtua pasien tidak ada penurunan berat badan secara tiba-tiba,

tidak ada keluhan pasien mudah lelah, atau mudah sesak. Penyakit yang didasari oleh

keganasan biasanya disertai dengan penurunan berat badan secara tiba-tiba. Keluhan

mudah lelah dan mudah sesak yang di sangkal pasien ini tidak mendukung hasil

pemeriksaan labortorium yang menunjukkan hasil anemia. Saat ini pasien duduk di

bangku kelas 5 SD dan aktivitasnya normal sehari-hari. Tidak ada keluhan mudah

sesak ataupun lesu. BAB dan BAK pasien lancar.

Riwayat kehamilan dan kelahiran normal, tidak ada penyulit. Semasa hamil

ibu pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan ataupun terpapar sumber

radiasi.Riwayat keluarga tidak ada yang mengalami keganasan. Anamnesis mengenai

riwayat kehamilan, kelahiran, dan riwayat keluarga tidak mendukung arah diagnosis

keganasan.

23

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum

tampak sakit berat, conjungtiva yang anemis, teraba pembesaran limfa pada

submandibular dan inguinal dextra , splenomegali (+). Conjungtiva yang anemis

menunjukkan anemia yang didukung oleh pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb

yang turun. Terabanya pembesaran limfa di submandibular dan subinguinal dextra

mendukung diagnosis Leukimia Limfositik Akut. Splenomegali dapat terjadi pada

diagnosis leukemia limfositik akut karena akibat dari sel-sel blast yang terbentuk

mempunyai kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke

organ-organ lain sehingga menimbulkan organomegali.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hiperleukositosis (274,500), anemia

( Hb 7,2 g/dL), trombositopenia (64.000). Hasil laboratorium menunjukkan adanya

bisitopenia dan hiperleukositosis. Pada pasien ini didapatkan hiperleukositosis di

mana jumlah leukosit darah tepi yang melebihi 100.000 ribu/ul. Keadaan ini

ditemukan pada 9-13% anak dengan leukemia limfoblastik akut (LLA). Jumlah

leukosit darah tepi pada awal diagnosis leukemia akut merupakan faktor yang sangat

penting dalam menentukan prognosis. Jumlah leukosit yang tinggi merupakan salah

satu penyebab tingginya angka relaps, baik relaps di sumsum tulang maupun di luar

sumsum tulang dan rendahnya angka kesintasan (survival) penderita leukemia akut.

Di samping merupakan faktor penyebab terjadinya relaps keadaan hiperleukositosis

dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi yang mengancam jiwa penderita

yang memerlukan tindakan segera sehingga keadaan ini dikategorikan sebagai

keadaan kedaruratan onkologi (oncology emergency).

Pada gambaran apus darah tepi didapatkan sel blast yang meningkat (24%).

Pada leukemia akut terjadi hambatan pada proses diferensiasi sel-sel seri myeloid

maupun limfoid yang terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi

akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan

menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada giliran akan mengakibatkan

sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome). Sel-sel blast

yang terbentuk juga mempunyai kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan

berinfiltrasi ke organ-organ lain sehingga menimbulkan organomegali. Keadaan

hiperkatabolik terjadi karena katabolisme sel yang meningkat. Diagnosis leukemia

dikesankan oleh adanya sel blas pada preparat apus darah tepi tetapi dipastikan

dengan pemeriksaan sumsum tulang

24

Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan darah namun dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan bone marrow. Pada apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan

limfoblas yang sangat banyak. Selain itu dianjurkan juga untuk melakukan

pemeriksaan asam urat karena pada pasien LLA dimana selnya rapuh, mudah pecah

sehingga keluar DNA, purin , menyebabkan peningkatan asam urat

(hiperurisemia )menyebabkan pembentukan Kristal asam urat, keadaan yang

berbahaya bagi ginjal karena bisa terjadi sumbatan ( uropati obstruktif ) sehingga bisa

terjadi gagal ginjal.

Pemeriksaan yang dianjurkan lainnya adalah pemeriksaan sitokimia untuk

membedakan apakah leukemia tersebut adalah tipe mieloblastik atau limfositik.

Penatalaksanaan pada kasus ini merupakan bentuk terapi suportif. Pemberian

omeprazole untuk mengurangi mual, paracetamol sebagai antipiretik dan transfuse

packed red cell untuk mengatasi anemia. Selain pemberian farmakoterapi, pasien

juga dirawat dan dilakukan pemeriksaan serial untuk memonitor leukosit,

hemoglobin, serta trombositnya.

25

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

1. HIPERLEUKOSITOSIS

 DEFINISI

Hiperleukositosis adalah jumlah leukosit, darah tepi yang melebihi 100.000 ribu/ul.

EPIDEMIOLOGI

Keadaan ini ditemukan pada 9-13% anak dengan leukemia limfoblastik akut

(LLA), pada 5-22% anak dengan leukemia non limfoblastik akut (LNLA) dan pada

hampir semua anak dengan leukemia mieloitik kronik (LMK) fase kronik.

Jumlah leukosit darah tepi pada awal diagnosis leukemia akut merupakan faktor yang

sangat penting dalam menentukan prognosis. Jumlah leukosit yang tinggi merupakan

salah satu penyebab tingginya angka relaps, baik relaps di sumsum tulang maupun di

luar sumsum tulang dan rendahnya angka kesintasan (survival) penderita leukemia

akut. Di samping merupakan faktor penyebab terjadinya relaps keadaan

hiperleukositosis dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi yang

mengancam jiwa penderita yang memerlukan tindakan segera sehingga keadaan ini

dikategorikan sebagai keadaan kedaruratan onkologi (oncology emergency) yaitu :

Sindrom lisis tumor

Sindrom Lisis Tumor merupakan kondisi kelainan metabolik sebagai akibat

nekrosis sel-sel tumor atau apoptosis fulminan, baik yang terjadi secara spontan

maupun setelah terapi. Terutama pasien LLA dimana selnya rapuh, mudah pecah

sehingga keluar DNA, purin , menyebabkan peningkatan asam urat

(hiperurisemia )menyebabkan pembentukan Kristal asam urat, keadaan yang

berbahaya bagi ginjal karena bisa terjadi sumbatan ( uropati obstruktif ) sehingga bisa

terjadi gagal ginjal. Kelainan yang lain meliputi : hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan

hipokalsemia.

 EPIDEMIOLOGI

Insiden sindrom lisis tumor tidak diketahui secara pasti. Prevalensinya

bervariasi pada berbagai jenis keganasan. Penelitian terhadap pasien dengan limfoma

26

non Hodgkin oleh Hande dan Garrow (1993) didapatkan sebanyak 42% pasien

mengalami sindrom lisis tumor pada hasil pemeriksaan laboratoriumnya

(asimptomatik) dan hanya sebanyak 6% pasien menunjukkan gejala tumor lisis tumor

secara klinis. Penelitian pada anak-anak dengan leukemia limfoblastik akut yang

sedang dalam fase induksi kemoterapi didapatkan sebanyak 70% penderita tanpa

menunjukkan gejala klinis namun hasil laboratoriumnya menunjukkan telah terjadi

sindrom lisis tumor dan hanya 3% yang menunjukkan gejala klinis. Tidak didapatkan

perbedaan predileksi insiden sindrom lisis tumor pada laki-laki dan perempuan, ras,

atau usia.

 

PATOFISIOLOGI

Kerusakan sel yang cepat sebagai akibat terapi sitostatika akan diikuti

keluarnya materi intraseluler ke sistem sirkulasi. Keluarnya materi intraseluler ini

melebihi kemampuan mekanisme buffer seluler dan kemampuan eksresi ginjal,

sehingga timbul kekacauan metabolisme. Secara klinis sindrom lisis tumor dapat

terjadi secara spontan, namun paling sering terjadi 48-72 jam sesudah dimulainya

terapi keganasan. Lisis sel yang terjadi dengan cepat secara langsung akan

menyebabkan pengeluaran ion kalium dan fosfat intrasel sehingga terjadi

hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Asam nukleat purin yang dikeluarkan pada saat

kerusakan sel, oleh enzim xhantin oksidase hepar akan dimetabolisme menjadi asam

urat yang dapat menyebabkan terjadinya hiperurisemia. Hiperfosfatemia akut akan

mengakibatkan terjadinya hipokalsemia dan presipitasi kalsium fosfat di jaringan

lunak.

Fosfat merupakan anion intraseluler yang pada saat lisis sel-sel tumor

sejumlah besar fosfat akan keluar sel dan menimbulkan hiper fosfatemia.

Hipokalsemia bisa menyertai hiperfosfatemia karena fosfat akan berikatan dengan

kalsium dan mengendap di jaringan dalam bentuk kalsium fosfat, termasuk di jaringan

ginjal. Menurut Jones DP pengobatan hipokalsemia pada keadaan hiperfosfatemia

akan meningkatkan resiko kalsifikasi, nefrokalsinosis/nefrolitiasis. Hipokalsemia juga

bisa timbul karena menurunnya aktivitas enzim 1 ἀ-hidroksilase di tubulus proksimal

dan menurunnya kadar 1.25 dihidroksi vitamin D3. Pada sindrom lisis tumor terjadi

penurunan reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal menyebabkan peningkatan ekskresi

fosfat dalam urine. Hal ini meningkatkan resiko nefrokalsinosis dan obstruksi tubulus

karena presipitasi kalsium fosfat.

27

Asidosis metabolik dapat meningkatkan perpindahan fosfat dari intraseluler ke

ekstraseluler sehingga konsentrasi fosfat dalam plasma meningkat dan beban filtrasi

glomerulus juga ikut meningkat. Pemberian natrium bikarbonat untuk alkalinisasi

urine akan menurunkan kelarutan kalsium fosfat intravaskuler sehingga resiko

presipitasi kalsium fosfat meningkat. Gagal ginjal akut dan pelepasan asam-asam

intraseluler dalam jumlah besar akan menimbulkan asidemia; menurunnya konsentrasi

bikarbonat dan kesenjangan anion yang melebar. Kondisi asidemia akan memperberat

ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada sindrom lisis tumor.

 

MANIFESTASI KLINIS

Tidak didapatkan keluhan atau manifestasi klinis yang khas dan spesifik. Keluhan dan

kelainan klinis yang timbul merupakan perwujudan kelainan metabolik yang

mendasari.

 

TERAPI

Tujuan pengelolaan sindrom lisis tumor adalah mencegah gagal ginjal dan ke tidak

seimbangan. Dengan hidrasi yang adekuat melalui cairan intravena D5 ¼ NS 3

liter/m2  luas permukaan tubuh perhari akan memperbaiki gangguan elektrolit,

meningkatkan volume intravaskuler, meningkatkan aliran darah ke ginjal,

meningkatkan GFR dan volume urine dan mengurangi kemungkinan

dialisis. Elektrolit yang berat, untuk itu biasanya dilakukan dengan meningkatkan

produksi urine, menurunkan konsentrasi asam urat, dan meningkatkan kelarutan asam

urat dalam urine.

Hidrasi

Hidrasi intravena dilakukan 24-48 jam sebelum kemoterapi dan dilanjutkan  sampai

48-72 jam sesudahnya akan menurunkan kecepatan pengendapan urat di ginjal dan

meningkatkan klirens ura. Hidrasi dilakukan dengan cairan D5 ¼ NS 2-4 kali

kebutuhan rumatan, dengan demikian GFR dan produksi urine akan meningkat.

Produksi urine dipertahankan tidak kurang dari 3 ml/kg/jam untuk anak < 9 tahun atau

90-100 ml/m2  luas permukaan tubuh/jam untuk anak yang lebih tua dengan BJ urine

tidak lebih dari 1,010. Kalium dan kalsium harus dihindari dalam cairan intravena.

Diuretik bisa diberikan pada pasien dengan produksi urine yang tidak adekuat. Jika

produksi urine 60 ml/m2/jam, manitol dapat diberikan dengan dosis 0,5 mg/kbBB

selama 15 menit kemudian diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg berat

28

badan. Penggunaan diuretik, khususnya furosemid bisa dipertimbangkan pada

penderita yang sudah terhidrasi dengan baik tapi produksi urine belum adekuat, pada

penderita normovolemik dengan hiperkalemia, dan pada penderita yang terbukti

mengalami overload cairan.

 

Alkalinisasi Urine

Penggunaan natrium bikarbonat isotonis secara intravena untuk mendorong diuresis

alkali mempunyai efek meningkatkan kelarutan asam urat dan mengurangi

pengendapan asam urat intratubuler. Penambahan  natrium bikarbonat 40-80

mEq/liter, 100-125 mEq/m2 atau75-100 mEq/liter cairan hidrasi akan membuat pH

urine berkisar antara 7,0-7,5 dan BJ urine tidak lebih dari 1,010 sehingga eksresi asam

urat menjadi lebih efisien.

 

Pengobatan Hiperurisemia

Beri Allopurinol  dosis 10 mg/kk bb/hari

2. LEUKIMIA LIMFOSITIK AKUT

II.1 Definisi

Leukemia merupakan keganasan hematologik yang terjadi akibat proses

neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi (maturation arrest) pada berbagai

tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok

(clone) sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, yang kemudian beredar secara

sistemik. Leukemia akut merupakan leukemia dengan perjalanan klinis yang cepat

dan dibagi atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut

(LMA).6

Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor

limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B dan sisanya

berasal dari sel T. Sementara itu, leukemia mieloblastik akut adalah suatu penyakit

yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel

progenitor dari seri myeloid.3

29

II.2 Epidemiologi

Leukemia akut merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada anak,

yaitu mencapai 30-40% dari seluruh keganasan dan merupakan 97% dari semua

leukemia pada anak. Insidens rata-rata leukemia akut yaitu 4-4,5 kasus/tahun/100.000

anak dibawah usia 15 tahun dan lebih banyak ditemukan pada anak kulit putih

dibandingkan anak kulit hitam.1

Di negara berkembang, leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan 82% dari

seluruh kasus leukemia akut pada anak dengan insidensi tertinggi pada usia 3-5 tahun

dan lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Sementara itu,

leukemia mieloblastik akut (LMA) lebih sering ditemukan pada dewasa dan

berjumlah 18% dari seluruh kasus leukemia akut pada anak dengan insidensi yang

tetap dari lahir hingga usia 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Pada

leukemia akut, rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1

untuk LMA.1

Di Jepang, leukemia akut mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap tahun

terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mencapai

2,76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien leukemia

baru setiap bulannya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, sementara itu di RSU Dr.

Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 kasus leukemia baru.1

II.3 Etiologi

Penyebab leukemia sebagian besar belum diketahui, namun terdapat beberapa

kondisi yang dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya leukemia pada anak-

anak, yaitu cacat genetik, radiasi ionik, infeksi virus atau bakteri, kondisi perinatal

dan paparan bidang elektomagnetik, benzene, pestisida dan produk minyak bumi.1,3,4

1. Cacat genetik. Anak-anak dengan cacat genetik (Trisomi 21, sindrom Bloom,

anemia Fanconi dan ataksia telangiektasi) mempunyai resiko lebih tinggi untuk

menderita leukemia. Pasien dengan sindrom down mempunyai resiko 10 sampai 18

kali lebih tinggi untuk terkena leukemia baik LLA maupun LMA.

2. Radiasi ionik. Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan

di Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan

radiasi dosis tinggi in utero secara signifikan tidak mengarah pada peningkatan

30

insidens leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal ini

masih menjadi perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdomen selama trimester I kehamilan

menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5 kali.

3. Infeksi virus atau bakteri. Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi

leukemia pada anak-anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti

disebutkan Greaves (Greaves, Alexander 1993). Ia mempercayai ada 2 langkah mutasi

pada sistem imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama

tahun pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respons terhadap infeksi pada

umumnya.

4. Kondisi perinatal. Beberapa kondisi perinatal merupakan factor resiko

terjadinya leukemia pada anak, seperti yang dilaporkan Cnattingius dkk (1995).

Faktor-faktor tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen,

asfiksia, berat badan lahir > 4.500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu

dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang menkonsumsi alkohol meningkatkan

resiko terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA.

5. Paparan elektomagnetik. Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik

masih tetap ada. Beberapa studi tidak menemukan peningkatan, tetapi studi terbaru

menunjukkan peningkatan 2 kali diantara anak-anak yang tinggal di jalur listrik

tegangan tinggi, namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar sedikit.

6. Paparan benzene. Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan

aplasi sumsum tulang, kerusakan kromosom dan leukemia. Paparan benzene ini

meningkatkan resiko LLA maupun LMA.

7. Paparan pestisida dan produk minyak bumi. Paparan terhadap pestisida dan

produk minyak bumi pada masa paternal/maternal menunjukkkan peningkatan resiko

leukemia pada keturunannya.

II.4 Klasifikasi Morfologik

Berdasarkan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi

Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang

terdiri dari 8 subtipe. Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (France,

American and British) dan sampai saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA.

Klasifikasi morfologik menurut FAB adalah seperti berikut :1,4

31

M-0 Leukemia mielositik akut dengan diferensiasi minimal

M-1 Leukemia mielositik akut tanpa maturasi

M-2 Leukemia mielositik akut dengan maturasi

M-3 Leukemia promielositik hipergranuler

M-4 Leukemia mielomonositik akut

M-5 Leukemia monositik akut

M-6 Leukemia eritroblastik (eritroleukemia)

M-7 Leukemia megakariositik akut

Sementara itu, untuk LLA, penelitian yang dilakukan pada leukemia

limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian besar LLA mempunyai homogenitas

pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa

populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka

dibuat klasifikasi LLA secara morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya

dalam klinik, klasifikasi LLA menurut FAB adalah sebagai berikut:1

L-1 Terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogeni, anak

inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit

L-2 Pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin

lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti

L-3 Terdiri dari sel limfoblas besar, homogeni dengan kromatin berbercak, banyak

ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi

32

Gambar 1. Klasifikasi LLA secara morfologik menurut FAB (French, American,

British). Kiri atas gambaran morfologi L1. Kanan atas gambaran morfologi L2.

Bawah gambaran morfologi L3.

II.4 Patofisiologi

Leukemia sebenarnya merupakan istilah untuk beberapa jenis penyakit yang

berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula. Mulai dari yang berat

dengan penekanan sumsum tulang yang berat pula seperti pada leukemia akut sampai

33

kepada penyakit dengan perjalanan yang lambat dan gejala yang ringan seperti pada

leukemia kronik. Pada dasarnya patofisiologi berbagai macam leukemia akut

mempunyai kemiripan tetapi sangat berbeda dengan leukemia kronik.1,6

Sel-sel darah berkembang di dalam sumsum tulang yang disebut stem sel yang

berkembang menjadi berbagai macam sel darah yang memiliki fungsi yang berbeda-

beda. Sel stem akan berkembang menjadi sel stem myeloid ataupun limfoid. Sel stem

mieloid berkembang menjadi mieloid blast yang dapat berkembang menjadi sel darah

merah, platelet, atau menjadi beberapa jenis sel darah putih. Sementara sel stem

limfoid akan berkembang menjadi limfoid blast yang akan berkembang menjadi

beberapa tipe sel darah putih seperti sel B atau sel T.1,5

Penelitian morfologik dan kinetika sel menunjukkan bahwa pada leukemia akut

terjadi hambatan pada proses diferensiasi sel-sel seri myeloid maupun limfoid yang

terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum

tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan

hematopoesis normal dan pada giliran akan mengakibatkan sindrom kegagalan

sumsum tulang (bone marrow failure syndrome). Sel-sel blast yang terbentuk juga

mempunyai kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke

organ-organ lain sehingga menimbulkan organomegali. Keadaan hiperkatabolik

terjadi karena katabolisme sel yang meningkat.1,3,4

II.5 Gambaran Klinis

Presentasi klinis leukemia akut sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis

menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstrameduler oleh sel

leukemia. Gejala pertama biasanya non spesifik dan meliputi anoreksia, iritabel dan

letargi. Mungkin ada riwayat infeksi virus atau eksantem dan penderita seperti tidak

mengalami kesembuhan sempurna. Leukemia akut memperlihatkan gambaran klinis

sebagai berikut:1,3,5,6

1. Onset mendadak. Sebagian besar pasien datang dalam 3 bulan setelah onset

gejala. Kira-kira 66% anak dengan LLA mempunyai gejala dan tanda penyakitnya

kurang dari 4 minggu pada waktu diagnosis.

2. Gejala berkaitan dengan depresi sumsum tulang normal. Gejala tersebut

mencakup rasa mudah lelah, letargi, pusing dan sesak yang terutama karena anemia;

34

demam yang mencerminkan infeksi akibat tidak adanya leukosit matang; dan

perdarahan (ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi) akibat trombositopenia.

3. Nyeri tekan dan nyeri pada tulang. Hal ini terjadi akibat ekspansi sumsum

tulang disertai infiltrasi subperiosteum. Gejala ini lebih sering ditemuka pada LLA

dibandingkan LMA.

4. Limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali. Ketiganya mencerminkan

penyebaran sel leukemia; keadaan tersebut terjadi pada semua leukemia akut, tetapi

lebih mencolok pada LLA. Pada LLA, limfadenopati biasanya nyata dan

splenomegali dijumpai pada lebih kurang 66% kasus namun hepatomegali jarang

ditemukan. Sementara pada LMA, hepatoslenomegali sering ditemukan dan

limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingival atau pembengkakan kelenjar parotis

terkadang ditemukan pada LMA.

5. Manifestasi susunan saraf pusat. Keadaan tersebut mencakup nyeri kepala,

muntah dan kelumpuhan saraf akibat penyebarab ke meningen. Kondisi ini lebih

sering ditemukan pada LLA daripada LMA.

6. Keadaan hiperkatabolik. Keadaan ini ditandai dengan kaheksia, keringat malam

dan hiperurisemia.

II.6 Diagnosis

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan

diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan

aspirasi sumsum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan

serebrospinal dan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat

mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih

lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika dan biologi molekuler.1,2

Leukemia Limfoblastik Akut

Pada pemeriksaan darah lengkap leukemia limfoblastik akut didapatkan anemia,

kelainan jumlah hitung jenis leukosit dan trombositopenia. Anemia hampir selalu ada,

namun hanya kira-kira 25% mempunyai Hb 6 g%. Jumlah leukosit dapat normal,

meningkat atau menurun pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3)

terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3. Sekitar 50%

penderita dengan hitung leukosit kurang dari 10.000/mm3 dan sekitar 20% memiliki

35

hitung leukosit lebih besar dari 50.000/mm3. Kebanyakan penderita juga

trombositopenia, tetapi kira-kira 25% mempunyai trombosit 100.000/mm3. Diagnosis

leukemia dikesankan oleh adanya sel blas pada preparat apus darah tepi tetapi

dipastikan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Pada apus sumsum tulang tampak

hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak.1,2

Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional (protokol Jakarta),

pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah leukosit > 50.000/ul,

ada massa mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah

sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm3.

Massa mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya

leukemia SSP arus dilakukan aspirasi cairan serebrospinal (pungsi lumbal) dan

dilakukan pemeriksaan sitologi.1

Leukemia Mieloblastik Akut

Kadang-kadang diagnosis LMA diawali dengan prolonged preleukemia,

biasanya ditunjukkan adanya kekurangan kekurangan produksi sel darah yang normal

sehingga terjadi anemia refrakter, neutropenia atau trombositopenia. Pemeriksaan

sumsum tulang tidak menunjukkan leukemia, tetapi ada perubahan morfologi yang

jelas. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik (MDS) dan

mempunyai klasifikasi FAB sendiri. Biasanya sumsum tulang menunjukkan

hiperseluler, kadang-kadang hipoplastik yang kemudian berkembang menjadi

leukemia akut.1,4

Pada LMA, hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia,

trombositopenia dan leukositosis. Kadar hemoglobin sekitar 7.0 sampai 8.5 g/dl,

jumlah trombosit umumnya <50.000/ul dan jumlah leukositnya sekitar 24.000/ul.

Sekitar 20% pasien jumlah leukositnya >100.000/ul.1

Membedakan Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Mieloblastik Akut

Membedakan ALL dengan AML merupakan langkah yang harus dilakukan

pada setiap leukemia akut, karena akan sangat menentukan jenis terapi dan prognosis

penderita. gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang

kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA maupun LMA sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan sitokimia. Pewarnaan Sudan Black dan mieloperoksidase akan

memberikan hasil yang positif pada AML namun negatif pada ALL.

36

Mieloperoksidase merupakan enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer

dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Umunya

sitoplasma limfoblas mengandung agregat bahan aktif PAS (Periodic acid-Schiff)

berukuran besar, sedangkan mieloblas sering positif peroksidase. 3,6

Tabel 1. Perbedaan ALL dan AML

Pembanding Leukemia Limfositik Akut Leukemia Mieloblastik Akut

Morfologi Limfoblas

Kromatin : bergumpal

Nukleoli : lebih samar,

lebih sedikit

Auer Rod : negatif

Sel pengiring : limfosit

Mieloblas

Kromatin : lebih halus

Nukleoli : lebih

prominent, lebih sbanyak

Auer Rod : positif

Sel pengiring : netrofil

Sitokimia

a. Mieloperoksidase

b. Sudan Black

c. Esterase non

Spesifik

d. PAS

e. Acid Phosphatase

f. Platelet

Peroxsidase

Kasar

+

+

+

+

+ (Monositik)

+ (Halus)

+ (M7)

Enzim

a. TdT

b. Serum Lysozime

+

+ (Monositik)

Imunofenotipe

II.7 Penatalaksanaan

Penanganan leukemia meliputi penanganan suportif dan kuratif. Penanganan

suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan

komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian

antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian

nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial.1

37

Penatalaksanaan Leukemia Limfoblastik Akut

Pada penatalaksanaan LLA, terapi kuratif bertujuan untuk menyembuhkan

leukemianya berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi,

profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi risiko normal atau risiko

tinggi, menentukan protokol kemoterpai. Saat ini di Indonesia sudah ada 2 protokol

pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu protokol Nasional

(Jakarta) dan protokol WK-ALL 2000.1

Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda

(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil

yang dapat dicapai remisi komplit, remisi parsial atau gagal. Intensifikasi merupakan

kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit dan untuk profilaksis leukemia

pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan

remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien risiko sedang dan tinggi, induksi

diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien akan

mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu secara langsung diberikan melalui

injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi dengan infuse berulang

metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2).

Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur > 5 tahun mungkin lebih efektif dengan

memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik

dosis tinggi.1

Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari dan

metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan

tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2 sampai

2,5 tahun dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis

sitostatika secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor

konsentrasi obat selama terapi rumatan.1

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala

klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas < 5% dari sel

berinti, hemoglobin > 12g/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3000/ul dengan hitung

jenis leukosit normal, jumlah granulosit > 2000/ul, jumlah trombosit > 100.000/ul dan

pemeriksaan cairan serebrospinal normal.1

Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien sedangkan

2-3% dari pasien anak akan meninggal dalam CCR (Continuous Complete Remission)

38

dan 25-30% akan kambuh. Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya

penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam 18 bulan sesudah diagnosis)

memperburuk prognosis (10-20% long-term survival) sementara relap yang terjadi

kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik, khususnya

relap testis dimana long-term survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif untuk

mengatasi resitensi obat.1

Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk sembuh,

khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel-T yang setelah relaps mempunyai

prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional.1

Penatalaksanaan Leukemia Mieloblastik Akut

Tiga puluh tahun yang lalu, hamper setiap anak dengan LMA, meninggal dan

tidak ada kelompok yang teridentifikasi. Saat ini gambaran survival hidup lebih sari

40% dilaporkan pada banyak studi. Perubahan terjadi pada tahun 70-an dengan

dikenalnya sitarabin (Ara-C) dan antrasiklin. Dengan kombinasi obat yang berbeda,

remisi bisa berpengaruh pada 75-85% anak, namun terapi lebih lanjut kebanyakan

anak-anak relaps dalam 1 tahun. Remisi mungkin terjadi dalam 2-3 minggu setelah

terapi dimulai tetapi juga memerlukan beberapa rangkaian kemoterapi. Penderita yang

tidak berespon terhadap terapi induksi merupakan calon untuk transplantasi

allogenik.1,2

Kualitas remisi harus diperbaiki dengan terapi konsolidasi intensif, namun

intensitas remisi juga bisa mempengaruhi hasil yang tidak berharga dari tipe terapi

konsolidasi yang digunakan. Tiga metode terapi konsolidasi adalah kemoterapi

sendiri, transplantasi sumsum tulang autologus, atau transplantasi alogenik dari HLA

yang identik. Saat ini nampaknya transplantasi sumsum tulang autologus

menunjukkan hasil baik, namun transplantasi alogenik dari donor dengan HLA yang

identik masih merupakan yang terbaik untuk kesembuhan.1

II.8 Faktor Prognostik

Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam

kelompok resiko biasa dan resiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan

membuktikan faktor prognostik itu hubungannya dengan in vitro drug resistance.

Faktor prognostik LLA adalah sebagai berikut:

39

1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin

merupakan factor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya

hubungan linier antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada

anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai

prognosis yang buruk.

2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis dan hasil

pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun

mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur

diantara itu. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6

bulan mempunyai prognosis paling bururk. Hal ini dikatakan karena mereka

mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi berhubungan

dengan gene re-arrangement pada kromososn 11q23 seperti t(4;11) atau t(11;19)

dan jumlah leukosit yang tinggi.

3. Fenotip imunologis (immunophenotype) dari limfoblas saat diagnostic juga

mempunyai nilai prognostic. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan

antibody “kappa” dan “lamda” pada permukaan blas diketahui mempunyai

prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk sel-B,

prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai prognosis

yang jelek, dan diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel-T

leukemia murni tanpa factor prognostic buruk yang lain, mempunyai prognosis

yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatasi dengan protokol

resiko tinggi.

4. Nilai prognostic jenis kelamin telah banyak dibahas. Dari berbagai penelitian,

sebagian besar menyimpulkan bahwa anak perempuan mempunyai prognosis

yang lebih baik dari anak laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya relaps testis

dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi, hiperleukositosis dan organomegali

dan massa mediastinum pada anak laki-laki. Penyebab pastinya belum

diketahui, tetapi diketahui pula ada perbedaan metabolism merkatopurin dan

metotreksat.

5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah 1

minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada sumsum tulang

pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk.

40

6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (>

50 kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis

yang baik. LLA hipodiploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti

t(1;19). Translokasi t(9;22) pada 5% anak atau t(4;11) pada bayi berhubungan

dengan prognosis buruk.

Faktor prognostik LMA lebih sulit untuk diidentifikasi. Faktor-faktor tersebut antara

lain:

1. Umur saat diagnosis tidak terlalu penting seperti pada ALL. Pengalaman

beberapa peneliti menunjukkan bahwa bayi mempunyai prognosis lebih baik.

2. Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi.

3. FAB M3 (promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya

diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi.

4. Anak-anak dengan sindrom Down terdapat pada 10% kasus. Sebagian besar

merupakan factor penting. Prognosis baik berhubungan dengan t(8;21), t(15;17)

dan inverse 16. Ploidi juga mempengaruhi prognosis.

5. Respons awal terhadap terapi.

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Permono HB dan Ugrasena IDG. Leukemia Akut. Dalam: Permono HB,

Sutaryo, Ugrasena IDG, dkk (eds). Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak

Cetakan Kedua. Jakarta, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2006: p.

236-247.

2. Crist WM dan Pui CH. Leukemia. Dalam: Wahab AS, Noerhayati, Soebono H,

dkk (eds). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Bahasa Indonesia Vol. 3.

Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000: p. 1772-1777.

3. Fianza PI. Leukemia Limfoblastik Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi

Keempat vol. 1. Jakarta: Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006: p. 728-734.

4. Kurnianda J. Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi

Keempat vol. 1. Jakarta: Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006: p. 706-709.

5. Aster J. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Hartanto H, Darmaniah N, Nanda

W, dkk (eds). Robbins Buku Ajar Patologi Edisi 7 Bahasa Indonesia Vol.2.

Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007: p. 475-477, 489-491.

6. Bakta IM. Buku Ajar Hematologi Klinik Ringkas. Denpasar, UPT Penerbit

Universitas Udayana, 2001: p. 119-141.

42