case TB1
-
Upload
yuniparaditadjunaidi -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
description
Transcript of case TB1
Case Report
Kasus Baru TB paru dengan
DM tipe 2 berat badan kurang tidak terkontrol dan
Hipertensi stage 1
Oleh:
Satria marrantiza, S.Ked 04084821517020
Shelvia Chalista, S.Ked 04084821517032
Pembimbing:
DR.dr. Joni Anwar, Sp.P
DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM
RSUP Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
i
HALAMAN PENGESAHAN
Case Report
Judul
TB paru kasus baru dengan DM tipe 2 Berat Badan Kurang Tidak Terkontrol dan
Hipertensi stage 1
Oleh:
Satria Marrantiza,S.Ked 04084821517020
Shelvia Chalista,S.Ked 04084821517032
Telah diterima dan disetujui sebagai salahsatu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya stase
di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 28 September–4 Desember 2015.
Palembang, Oktober 2015
DR.dr. Joni Anwar, Sp.P
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul: “Kasus Baru TB Paru dengan DM
tipe 2 berat badan kurang tidak terkontrol dan hipertensi stage 1”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada DR.dr.Joni
Anwar, Sp.P selaku pembimbing case.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat,
baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatuhingga referat ini dapat terselesaikan. Semoga bantuan yang telah diberikan
mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa di dalam referat ini masih banyak kekurangan baik
dalam penulisan maupun isi. Karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan case ini. Demikianlah penulisan referat ini, semoga
bermanfaat, aamiin.
Palembang, Oktober 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS.................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi......................................................................................................17
3.2 Morfologi dan Fisiologi Kuman TB Paru..................................................17
3.3 Epidemiologi.............................................................................................17
3.4 Patogenesis................................................................................................18
3.5 Manifestasi Klinis......................................................................................22
3.6 Diagnosis...................................................................................................23
3.7 Penatalaksanaan.........................................................................................24
3.8 Komplikasi................................................................................................27
BAB IV ANALISIS MASALAH..........................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) dikenal sebagai pembunuh utama di antara penyakit
infeksi bakterial di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis (M.Tb), yang berbentuk batang, bersifat aerob dan tahan asam. Di
Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan merupakan
negara dengan penderita kelima terbanyak di dunia setelah India, Cina, Afrika
Selatan, dan Nigeria.1 Tuberkulosis paru menyerang 9,4 juta orang dan telah
membunuh 1,7 juta penduduk dunia setiap tahunnya.
Meskipun strategi kontrol kasus TB paru cukup berhasil, World Health
Organization (WHO) menduga pengendalian TB paru makin dipersulit dengan
peningkatan jumlah penderita diabetes melitus (DM). Hubungan antara TB paru
dan DM sebenarnya sudah dilaporkan sejak tahun 1000 M. Tahun 1883 dokter
berkebangsaan Amerika, Windle, melakukan autopsi terhadap 333 jenazah
penderita DM, hasilnya pada lebih dari 50% ditemukan TB paru.2 Saat ini telah
diketahui kasus TB paru di antara 454 penderita risiko penderita DM untuk
mengalami TB paru sebesar 4,7 kali lipat.
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi
manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan
menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang, tidak membentuk spora,
bersifat aerob dan tahan asam. TB umumnya terjadi pada paru, tetapi dapat pula
menyerang organ lain pada sepertiga kasus. Walaupun telah mendapat pengobatan
TB yang efektif, penyakit ini tetap menginfeksi hampir sepertiga populasi dunia,
dan setiap tahunnya menimbulkan penyakit pada sekitar 8,8 juta orang, serta
membunuh 1,6 juta pasiennya.
Indonesia masih menempati posisi ke 5 di dunia untuk jumlah kasus TB.1-
3 Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit
menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung
dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Meskipun keberhasilan
1
strategi dalam mengontrol kasus TB cukup tinggi, keberadaan TB di berbagai
belahan dunia menunjukkan kebutuhan untuk mengidentifikasi berbagai faktor
yang meningkatkan risiko terjadinya TB, antara lain usia dan imunitas.
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko paling penting
dalam terjadinya perburukan TB. Sejak permulaan abad ke 20, para klinisi telah
mengamati adanya hubungan antara DM dengan TB, meskipun masih sulit untuk
ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang menimbulkan
manifestasi klinis DM. Istilah DM menggambarkan suatu kelainan metabolik
dengan berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, sebagai akibat defek pada
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. DM dapat meningkatkan frekuensi
maupun tingkat keparahan suatu infeksi, hal tersebut disebabkan oleh adanya
abnormalitas dalam imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit
berkaitan dengan hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi.
Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi DM, terutama
DM tipe II. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup, meningkatnya
obesitas, dan berkurangnya aktivitas yang umumnya terjadi pada negaranegara
yang mulai mengalami industrialisasi. Peningkatan prevalensi DM, sebagai faktor
risiko TB juga disertai dengan peningkatan prevalensi TB. Para ahli mulai
memberi perhatian pada epidemiologi DM dan TB, terutama pada negara-negara
berpenghasilan rendah-menengah, seperti Cina dan India yang mengalami
peningkatan prevalensi DM tercepat dan memiliki beban TB tertinggi di dunia.
Peningkatan kasus TB pada pasien DM juga terjadi di Indonesia. Cukup banyak
pasien DM yang mengalami TB dan hal tersebut meningkatkan morbiditas
maupun mortalitas TB maupun DM. Dengan demikian penting untuk diketahui
lebih lanjut epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, maupun pengobatan
kasus TB yang terjadi pada pasien DM.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTIFIKASI
Nama : Ny. Yuliana Binti Nawawi
Usia : 54 tahun (23 Juli 1962)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jln. PS Ing Kenayan Lr. Hikmat RT 16 RW 06 Kel.
Karanganyar, Kec. Gandus, Palembang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SLTA
MRS (IGD) : 12 Oktober 2015
MRS Bangsal : 15 Oktober 2015 (12:36:13)
2.2 ANAMNESIS
AUTOANAMNESIS (tanggal, 24 Oktober 2015)
Keluhan Utama
Sesak bertambah sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
Keluhan Tambahan
Demam tinggi sejak 1 bulan yang lalu
Batuk sejak 5 bulan yang lalu
Riwayat Perjalanan Penyakit.
Sejak 5 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk (+), berdahak (+),
berwarna putih kadang-kadang kekuningan dan kental, dahak dengan
bercak merah (-), banyaknya dahak setiap kali dikeluarkan ± ½ sendok
makan, dipengaruhi cuaca dan debu (-). Sesak (-), Demam (-), gatal
ditenggorokan (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan, Sembab di kedua
kaki (-). Penurunan berat badan (+) sebesar 8 kg, dari 48 kg menjadi 40 kg
3
dalam 5 bulan terakhir. Pasien berobat ke bidan dekat rumah, diberi obat
pil tapi pasien tidak ingat namanya, keluhan sedikit berkurang.
Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh
demam (+) tidak terlalu tinggi, terus-menerus, menggigil (+), berkeringat
malam (+), batuk (+) berdahak, berwarna putih kadang-kadang
kekuningan dan kental, dahak dengan bercak merah (-), banyaknya dahak
setiap kali dikeluarkan ± ½ sendok makan, dipengaruhi cuaca dan debu (-),
sesak (+) hilang timbul, lebih sering timbul saat beraktivitas dan berkurang
dengan istirahat, pasien tidur dengan 2 bantal, Mengi (-). Terbangun
karena sesak (-), berkeringat malam (+), gatal ditenggorokan (-), nafsu
makan biasa, BAB dan BAK tidak ada keluhan, mual (-), Muntah (-),
sembab di kedua kaki (+), pasien kembali berobat ke dokter umum dekat
rumah, diberi obat, warna putih dan kuning pasien tidak ingat namanya,
namun keluhan berkurang sedikit, dan kambuh lagi.
Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh
sesak yang semakin sering ia rasakan, dipengaruhi aktivitas ringan, dan
hilang dengan istirahat, pasien nyaman dengan posisi ½ duduk, batuk (+)
berdahak, berwarna putih kadang-kadang kekuningan dan kental, dahak
dengan bercak merah (-), banyaknya dahak setiap kali dikeluarkan ± ½
sendok makan, batuk tidak dipengaruhi cuaca dan debu, sesak (+) hilang
timbul. lebih sering timbul saat beraktivitas dan berkurang dengan
istirahat, demam (-) tidak terlalu tinggi, sembab di kedua kaki (+) sehingga
pasien sulit berjalan, kemudian pasien ke IGD RSMH dan dirawat.
Pasien telah menjalani perawatan selama 9 hari di RSMH. Pasien
telah menjalani serangkaian pemeriksaan, yaitu pemeriksaan laboratorium,
rekam jantung, rontgen thoraks, dan Pemeriksaan sputum BTA 1,2,3
Didapatkan hasil pasien positif terkena tuberkulosis. Pasien mendapatkan
terapi berupa : oksigen, infus, obat batuk sirup, suntik insulin, obat yang
disuntikan lewat infus dan beberapa obat tablet yang pasien tidak ingat
namanya. Pasien merasa keluhan perbaikan.
Pasien penderita kencing manis (+)sejak 5 tahun yang lalu tidak terkontrol
4
Pasien penderita darah tinggi (+) sejak 5 tahun yang lalu tidak terkontrol
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sesak sebelumnya disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat terpapar debu dan zat kimia (-)
Riwayat minum obat selama 6 bulan dan membuat kencing berwarna
merah (-)
Riwayat merokok (-)
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat demam dan batuk lama di dalam keluarga yang tinggal serumah
disangkal.
Riwayat demam dan batuk lama disekitar lingkungan pasien (+) adik Ipar
pasien yang tinggal bersebelahan rumah.
Riwayat kencing manis pada kedua orang tua pasien dan adik bungsu
pasien usia 38 tahun
Riwayat Sosial Ekonomi, kejiwaan, kebiasaan dan Pekerjaan
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, menikah 1x, suami sudah
meninggal beberapa tahun yang lalu, dikarenakan kecelakaan, suami
punya riwayat batuk dan demam lama (tidak minum OAT). Pasien
mempunyai 4 orang anak yang masih hidup, tinggal dengan 1 orang anak
laki-lakinya yang bekerja sebagai buruh.
Riwayat Makanan
Pasien makan teratur 3x sehari. Banyaknya setiap kali makan ±
2-3 porsi. Jenis makanan yang bervariasi. Nasi/lontong/ubi + lauk pauk
berupa ikan goreng/ pindang/ tahu/ tempe/ telur+ sayur-sayuran berupa
sayur bayam/ katu/ sayur asam + pisang. Diselingi dengan pempek,
lakso, burgo sebagai cemilan. Pasien mempunyai kebiasaan
5
mengonsumsi kopi dan teh paling tidak 2 gelas perhari. Pasien juga
mempunyai kebiasaan minum jamu rutin setiap malam. Nafsu makan
baik dan pencernaan dalam keadaan baik. Semenjak tahu bahwa pasien
terkena kencing manis, pasien membatasi porsi makannya.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 85 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan :22 x/menit, reguler
Tipe pernapasan torakoabdominal
Suhu : 37,0o C
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 155cm
IMT : 16,65% (Underweight)
KEADAAN SPESIFIK
Kulit
Kulit berwarna kuning langsat. Efloresensi (-), pigmentasi (-),
jaringan parut (-), turgor baik, keringat (-). Pertumbuhan rambut dalam
batas normal, lapisan lemak tipis, ikterus (-), kering.
Kelenjar Getah Bening (KGB)
Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio submandibula,
cervical, supraclavicula, infraclaviculla, axilla, dan inguinal.
6
Pemeriksaan Organ
Kepala
Bentuk normocephali, ekspresi wajar, rambut hitam dan tidak
mudah dicabut, allopesia (-), deformitas (-), perdarahan temporal (-),
nyeri tekan (-), wajah sembab (-).
Mata
Eksoftalmus dan endoftalmus (-)
Palpebral : Edema (-), ptosis (-), xantelasma (-), blefaritis (-),
perdarahan (-)
konjungtiva palpebra : anemia (+/+), bercak bitot (-), radang (-/-)
Sklera : ikterik (-/-) kornea jernih (+), mata cekung (-)
Pupil : bulat, isokor, sentral, diameter 3mm/3mm, reflek
Cahaya (+/+)
Pergerakan bola mata : ke segala arah (+), strabismus (-), nistagmus (-)
Lapangan pandang : luas, defek lapang pandang (-).
Hidung
Deviasi septum nasal (-), sekret (-), epistaksis (-),nafas cuping hidung (-)
Telinga
MAE lapang, edema periaurikular/tophi (-), nyeri tekan processus
mastoideus (-), selaput pendengaran tidak ada kelainan, pendengaran
baik.
Mulut
Tonsil T1-T1, lidah kotor (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-),
faring hiperemis (-), mukosa bibir kering (-), karies dentis (-)
Leher
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP (5-2) cmH2O.
7
Dada
Bentuk dada asimetris, sela iga tidak melebar, retraksi dinding
dada (-), spider naevi (-), barrel chest (-), venektasi (-),angulus costae
<90o, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), hematoma (-), ptekie (-), purpura
(-), krepitasi (-), payudara dalam batas normal.
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi : Statis : asimetris, kiri lebih cekung
Dinamis : Hemitoraks kiri tertinggal dari
hemitoraks kanan
Palpasi : Stremfemitus Hemitoraks kiri menurun mulai dari
ICS 2 ke bawah.
Perkusi : Redup di hemitoraks kiri dari ICS 2 ke bawah,
batas paruhepar pada ICS VI, peranjakan paru
hepar 1 sela iga. Batasparu lambung pada ICS VIII
Auskultasi :Vesikuler (+) menurun di hemitoraks kiri dari
apeks ke bawah, ronkhi (+)basah sedang pada ½
lapangan paru kanan atas, wheezing (-/-)
Paru-paru (Posterior)
Inspeksi : Statis : asimetris, kiri lebih cekung
Dinamis: Hemisfer kiri tertinggal dari hemitoraks
kanan
Palpasi : Stremfemitus Hemitoraks kiri menurun mulai dari
ICS 2 ke bawah
Perkusi : Redup di hemitoraks kiri Redup di hemitoraks kiri
Auskultasi :Vesikuler (+) menurun di hemitoraks kiri dari
apeks ke bawah, ronkhi (+)basah sedang pada ½
lapangan paru kanan atas, wheezing (-/-)
8
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS V
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, thrill (-)
Perkusi : Batas atas ICS II,
Batas kanan lineas sternalis dextra,
Batas kiri sulit dinilai
Auskultasi : HR 85 x/menit, irama reguler
BJ I-II normal, murmur (-), gallop(-)
Pembuluh Darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis
posterior, a.dorsalis pedis : teraba
Abdomen
Inspeksi : datar , caput medusae (-), venektasi (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan
suprapubik (-) hepar dan lien tidak teraba.
Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-), nyeri
ketok CVA (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Look :
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), bengkak (-), Koilonikia (-),
Sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit kering
Inferior :Deformitas(-), kemerahan (-), edema pretibial (+/+),
Koilonikia (-),sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-)
Feel :
Superior : Akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), Edema pretibial (+/+), krepitasi (-/-)
9
Movement :
Superior : Gerakan luas, kekuatan 5, rom aktif pasif luas
Inferior : gerakan luas, kekuatan 5, rom rom aktif pasif luas
Alat Kelamin
Tidak Diperiksa
Status Neurologis
Dalam batas normal
2.4 Pemeriksaan Penunjang
17 Oktober 2015
Hemoglobin 9,7 g/dl (anemia)
RBC 3,15 x106/mm3
WBC 9.800/mm3
Hematrokit 29% (menurun)
Trombosit 326.000/mm3
Different count 0/1/77/11/12
Protein total 6,0
Albumin 1,9 (hipoalbumin)
Globulin 4,1
Glukosa 2 jam pp 320 (hiperglikemia)
HBA1C 12,3 (hiperglikemia)
Kolesterol total 173
HDL 28 (menurun)
LDL 101 (meningkat)
Trigliserida 180 (meningkat)
13 Oktober 2015
Urinalisis
Warna Kuning
10
Kejernihan agak keruh
Berat jenis 1,005
PH urin rutin 9
Protein +
Glukosa +++
Keton –
Darah +
Bilirubin –
Urobilinogen 1
Nitrit –
Leukosit Esterase –
Sedimen urin
Epitel +
Leukosit 3-5
Eritrosit 0-3
Silinder granular ++
Kristal –
Bakteri ++++
Mukus –
Jamur -
19 Oktober 2015
Sputum BTA 3x
BTA 1: +++
BTA 2 : ++
11
Rontgen Thorax
1. Kualitas foto baik
2. Simetris kanan = kiri
3. Tulang-tulang dan jaringan lunak baik
4. Trakea berada ditengah
5. Sela iga tidak melebar
6. Diafragma licin
7. Sudut costophrenicus lancip pada paru kanan dan paru kiri tidak
bisa dinilai
8. CTR tidak dapat dinilai
9. Corakan bronkovaskuler meningkat
Kesan: Perselubungan inhomogen di paru kiri
2.5 Diagnosis Sementara
Kasus baru TB paru + hipertensi grade 1 + DM tipe 2 berat badan kurang
tidak terkontrol+ anemia normokrom normositer + hipoalbumin +
dislipidemia
12
2.6 Diagnosis Banding
TB paru kasus baru dengan destroyed lung + Hipertensi grade 1 + DM tipe
2 berat badan kurang tidak terkontrol+ anemia normokrom normositer +
hipoalbumin + dislipidemia
TB paru kasus baru dengan massa hemitoraks kiri + Hipertensi grade 1 +
DM tipe 2 berat badan kurang tidak terkontrol+ anemia normokrom
normositer + hipoalbumin + dislipidemia
TB paru kasus baru+ HHD + Hipertensi grade 1 + DM tipe 2 berat badan
kurang tidak terkontrol+ anemia normokrom normositer + hipoalbumin +
dislipidemia
2.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis :
- Edukasi (diagnosis, penatalaksanaan, pemeriksaan yang akan
dilakukan).
- Tirah baring.
- Diet DM kalori 1400 kal.
Farmakologis :
IVFD RL gtt X/m makro Urin output
Valsartan 1x80 mg
Ambroxol 3x1 C
Inj. Novorapid 3x16 unit
Inj. Levemir 1x10 unit
Neurodex 1x1
Rimstar 3 tab sehari sekali. 1-2 jam sebelum/sesudah makan
Injeksi albumin 1 flash
VIII. Rencana Pemeriksaan
- CT Scan Thorax
13
- Sitologi Sputum
- CYPRA211
- bronkoskopi
IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
14
X. Follow Up
Tanggal P
25 Oktober
2015
S : Badan Lemas
O : sens compos mentis, TD : 140/90
mmHg, nadi : 80 x/m, RR : 20 x/m,
Temp : 36,2 ºC
Kepala : konjungtiva palpebra pucat (-),
sklera ikterik (-). Leher : JVP (5-2)
cmH2O, pemb KGB (-). Pulmo : I : Statis
kanan=kiri, dinamis kiri tertinggal P :
Stemfremitus kiri menurun mulai ICS II
ke bawah, P : Redup paru kiri (-), A :
Vesikuler paru kiri menurun. ronkhi
(+)basah sedang pada ½ lapangan paru
kanan atas Abdomen : datar, lemas,
hepar/lien tidak teraba. Akral : hangat,
edema (+) pretibial.
Non Farmakologi :
Istirahat, diet DM 1400
kkal, edukasi.
Farmakologi : IVFD
RL gtt X/m makro,
ambroxol syr 3x1 C, Inj
Novorapid 3x16 iu sc,
Inj levemir 1x10 iu sc,
Rimstar 3x1 tab,
Neurodex 1x1,
Valsartan 1x80 mg
26 Oktober
2015
S : Badan Lemas
O : sens compos mentis, TD : 140/80
mmHg, nadi : 92 x/m, RR : 20 x/m,
Temp : 36,2 ºC
Kepala : konjungtiva palpebra pucat (-),
sklera ikterik (-). Leher : JVP (5-2)
cmH2O, pemb KGB (-). Pulmo : I :
Statis kanan=kiri, dinamis kiri tertinggal
P : Stemfremitus kiri menurun mulai ICS
II ke bawah, P : Redup paru kiri (-), A :
Vesikuler paru kiri menurun. ronkhi
(+)basah sedang pada ½ lapangan paru
Non Farmakologi :
Istirahat, diet DM 1400
kkal, edukasi.
Farmakologi : IVFD
RL gtt X/m makro,
ambroxol syr 3x1 C, Inj
Novorapid 3x16 iu sc,
Inj levemir 1x10 iu sc,
Rimstar 3x1 tab,
Neurodex 1x1,.
Valsartan 1x80 mg
15
kanan atas Abdomen : datar, lemas,
hepar/lien tidak teraba. Akral : hangat,
edema (+) pretibial.
27 oktober
2015
S : Badan Lemas
O : sens compos mentis, TD : 140/80
mmHg, nadi : 86 x/m, RR : 20 x/m,
Temp : 36,4 ºC
Kepala : konjungtiva palpebra pucat (-),
sklera ikterik (-). Leher : JVP (5-2)
cmH2O, pemb KGB (-). Pulmo : I :
Statis kanan=kiri, dinamis kiri tertinggal
P : Stemfremitus kiri menurun mulai ICS
II ke bawah, P : Redup paru kiri (-), A :
Vesikuler paru kiri menurun. ronkhi (+)
basah sedang pada ½ lapangan paru
kanan atas Abdomen : datar, lemas,
hepar/lien tidak teraba. Akral : hangat,
edema (+) pretibial.
Non Farmakologi :
Istirahat, diet DM 1400
kkal ekstra putih telur,
edukasi.
Farmakologi : IVFD
RL gtt X/m makro,
ambroxol syr 3x1 C, Inj
Novorapid 3x16 iu sc,
Inj levemir 1x10 iu sc,
Rimstar 3x1 tab,
Neurodex 1x1.
Valsartan 1x80 mg
28 Oktober
2015
Kepala : konjungtiva palpebra pucat (-),
sklera ikterik (-). Leher : JVP (5-2)
cmH2O, pemb KGB (-). Pulmo : I :
Statis kanan=kiri, dinamis kiri tertinggal
P : Stemfremitus kiri menurun mulai ICS
II ke bawah, P : Redup paru kiri (-), A :
Vesikuler paru kiri menurun. ronkhi
(+)basah sedang pada ½ lapangan paru
kanan atas Abdomen : datar, lemas,
hepar/lien tidak teraba. Akral : hangat,
edema (+) pretibial.
Non Farmakologi :
Istirahat, diet DM 1400
kkal, edukasi.
Farmakologi : IVFD
RL gtt X/m makro,
ambroxol syr 3x1 C, Inj
Novorapid 3x16 iu sc,
Inj levemir 1x10 iu sc,
Rimstar 3x1 tab,
Neurodex 1x1.
Valsartan 1x80 mg
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
TB Paru ialah suatu penyakit infeksi kronik jaringan paru yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosae.11 Sebagian besar basil Mycobacterium
tuberculosae masuk ke dalam jaringan paru melalui airborne infection dan
selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon.
3.2. Morfologi dan Fisiologi Kuman TB Paru
Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak
bengkok, bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop.
Panjangnya 1- 4 mikron dan lebarnya antara 0,3-0,6 mikron. Basil tuberkulosis
akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C dengan tingkat pH optimal
(pH 6,4-7,0). Untuk membelah dari 1-2 kuman membutuhkan waktu 14-20 jam.
Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam
strearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta Cord factor dan protein terdiri
dari tuberkuloprotein (tuberkulin). TB Paru pada orang dewasa biasanya
disebabkan oleh reaktivasi infeksi sebelumnya sedangkan pada anak-anak
menunjukkan penularan aktif M. tuberculosis.
3.3 Epidemiologi
Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM.
Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit
infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol
yang non-diabetes.4,6 Dalam studi terbaru di Taiwan disebutkan bahwa diabetes
merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi
dengan kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien.7 Menurut penelitian yang
17
dilakukan oleh Alisjahbana et al8 di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih
banyak ditemukan pada pasien baru TB paru dibandingkan dengan non TB.
3.4 Patogenesis Tuberkulosis
Penularan TB umumnya terjadi melalui droplet, yang dikeluarkan dengan
cara batuk, bersin, atau percikan ludah orang terinfeksi TB paru. Droplet ini dapat
bertahan di udara dalam waktu beberapa jam. Diameter droplet yang sangat kecil
(<5-10 μm) menyebabkan droplet tersebut dapat mencapai jalan napas terminal
jika terhirup dan membentuk sarang pneumonia, yang dikenal sebagai sarang
primer atau afek primer.1,3
Dari sarang primer dapat terjadi peradangan saluran getah bening (limfangitis
lokal) yang diikuti pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional
membentuk kompleks primer. Kompleks primer ini dapat sembuh tanpa
meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrotik atau kalsifikasi,
ataupun menyebar secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen, maupun
hematogen. Kejadian tersebut merupakan perjalanan tuberkulosis primer.1,3
Tuberkulosis pasca primer terjadi bertahun-tahun setelah tuberkulosis
primer. Bentuk tuberkulosis ini menjadi masalah kesehatan karena dapat menjadi
sumber penularan. Tuberkulosis pasca primer diawali dengan pembentukkan
sarang dini (sarang pneumonia), umumnya di segmen apikal lobus superior
maupun inferior.1,3
Sarang pneumonia tersebut dapat diresorbsi dan sembuh tanpa cacat,
meluas dan menyembuh dengan fibrotik dan perkapuran, atau meluas dan
mengalami nekrosis kaseosa membentuk kavitas. Kavitas tersebut dapat meluas
dan membentuk sarang pneumonia baru, membentuk tuberkuloma, atau
menyembuh membentuk kavitas terbuka yang sembuh.1,3
Baik imunitas alamiah maupun imunitas adaptif berperan dalam
mekanisme defensi terhadap M. tuberculosis. Imunitas alamiah yang diawali oleh
ikatan antara M. Tuberculosis dengan reseptor fagosit dan masuknya M.
tuberculosis ke dalam makrofag alveolar, sel dendrit, maupun monosit,
merupakan kunci untuk terbentuknya imunitas adaptif terhadap M. tuberculosis.
18
Imunitas adaptif berupa imunitas yang diperantarai oleh sel, akan menimbulkan
resistensi terhadap M. tuberculosis dan menyebabkan terbentuknya
hipersensitivitas terhadap antigen TB. Imunitas alamiah dan imunitas adaptif
tersebut akan menentukan hasil akhir dari paparan terhadap M. Tuberculosis.9
Terdapat tiga kemungkinan hasil akhir paparan M. tuberkulosis. Pada
beberapa orang, kuman TB ini langsungsegera dieliminasi oleh pejamu setelah
inhalasi. Frekuensidan penyebab dari penyembuhan spontan tidak
diketahuidengan pasti. Kemungkinan kedua dan kelompok terbesarialah
bertahannya infeksi melalui keberhasilan pembentukangranuloma, sebuah fungsi
respon imun alamiah dan adaptifyang kuat oleh pejamu dan menghasilkan infeksi
laten. Padakelompok ini, reaktivasi dari infeksi laten dapat terjadi akibatbeberapa
faktor, seperti penuaan atau status imunokompromaisdari pejamu. Pada sejumlah
kecil pejamu yangterinfeksi, imunitas adaptif gagal dan terbentuklah
infeksiprimer.9
Rangkaian interaksi antara makrofag dengan kuman TB dan peran
makrofag sebagai respons pejamu diawali dengan ikatan M. tuberculosis pada
permukaan makrofag, kemudian dilanjutkan dengan fusi fagosom-lisosom,
hambatan pertumbuhan kuman TB, perekrutan sel imun tambahan untuk respons
inflamasi lokal, dan presentasi antigen kepada sel T untuk perkembangan imunitas
adaptif. Fagositosis M. tuberculosis oleh makrofag alveolar yang belum
teraktivasi merupakan peristiwa pertama yang terjadi dalam hubungan pejamu
dengan patogen, yang akan menentukan hasil akhir terjadinya infeksi. M.
Tuberculosismasuk ke dalam makrofag alveolar dengan cara endositosis.
Terjadinya endositosis tersebut diperantarai oleh sejumlah reseptor yang terdapat
di permukaan makrofag. Reseptor komplemen (CR1, CR2, CR3, dan CR4),
reseptor mannosa (MR), dan molekul reseptor yang lain (CD14, scavenger
receptor) memainkan peranan penting dalam terjadinya ikatan antara kuman
dengan fagosit. Sejumlah sitokin mempengaruhi ekspresi dari reseptor permukaan
sel tersebut. Prostaglandin E2 (PGE2) dan interleukin (IL)-4 meningkatkan
ekspresi reseptor komplemen dan reseptor mannosa, sedangkan interferon-g (IFN-
g) menurunkan ekspresi reseptor dan menyebabkan berkurangnya kemampuan
19
mikobakteria untuk melekat pada makrofag. Stadium awal TB primer ditandai
oleh proliferasi M. Tuberculosisdi dalam makrofag alveolar. Proliferasi ini pada
akhirnya dapat menyebabkan lisis makrofag. Lisisnya makrofag melepaskan
berbagai kemoatraktan, seperti komplemen, molekul bakteri, dan sitokin yang
merekrut dan mengaktivasi lebih banyak makrofag imatur, termasuk sel dendrit.
Makrofag-makrofag tersebut kemudian bermigrasi ke dalam aliran limfatik dan
mempresentasikan antigen M.tuberculosis pada limfosit T, dengan perantara
MHC kelas II. Pada saat ini, pembentukan imunitas yang diperantarai sel dimulai.
Reseptor menyerupai Toll (TLR) juga diperkirakan memiliki peranan
dalam pembentukan imunitas adaptif terhadap M. tuberculosis. Akibat utama dari
interaksi antara TLR pada makrofag dan sel dendrit dengan M.
Tuberculosisadalah terjadinya sekresi sitokin dan kemokin. Sitokin dan kemokin
ini selanjutnya bertanggung jawab dalam pembentukan respon imun adaptif
terhadap M. tuberculosis. Limfosit T CD4 merupakan sel yang memainkan peran
paling penting dalam respon imun adaptif terhadap M. tuberculosis. Apoptosis
atau lisis sel-sel yang terinfeksi oleh sel T CD4 juga dapat memainkan peranan
dalam mengontrol infeksi. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel
Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Pada saat ini, dikenal tiga jenis sitokin
yang menginduksi perubahan sel T menjadi Th1. Ketiga jenis sitokin tersebut
adalah IL-12, yang merupakan sitokin yang dominan dalam induksi dan
pemeliharaan Th1; IL-23, yang memiliki aktivitas pada sel T memori; dan IL-27,
yang terlibat dalam inisiasi Th1. Th1 memproduksi IFN-g dan IL-2, sedangkan
Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan berperan pada timbulnya imunitas
humoral. Namun, hingga saat ini peran sel Th2 pada TB masih kontroversial.
Limfosit T CD8 juga memiliki peranan dalam proteksi terhadap TB. Sel
CD8 juga memiliki kemampuan untuk mensekresi sitokin, seperti IFN-g dan IL-4,
dan berperan dalam meregulasi keseimbangan sel Th1 dan Th2 pada paru pasien
dengan TB paru. 1,9-11
Sel Th1 matur, baik di paru maupun di nodus limfatik, menghasilkan IFN-g. IFN-
g merupakan molekul efektorpenting yang menyebabkan makrofag mampu
menahaninfeksi M. tuberculosis. Sitokin ini dapat meningkatkan presentasi
20
antigen, sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD4 dan atau limfosit T
sitotoksik yang akan berpartisipasi pada pembunuhan M. tuberculosis. IFN-g juga
menstimulasi pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan
memaparkan kuman pada suatu lingkungan yang sangat asam. Selain itu, IFN-g
menstimulasi ekspresi dari inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang
menghasikan nitric oxide (NO). NO menyebabkan timbulnya reactive nitrogen
intermediates dan radikal bebas lainnya yang mampu menyebabkan destruksi
oksidatif pada bagian bagian kuman, mulai dari dinding sel hingga DNA. Selain
menstimulasi makrofag untuk membunuh M. tuberculosis, respons Th juga
merancang pembentukan granuloma dan nekrosis kaseosa. Makrofag teraktivasi,
yang distimulasi oleh IFN-g, memproduksi tumor necrosis factor b (TNFa), yang
merekrut monosit. Monosit-monosit ini berdiferensiasi menjadi histiosit epiteloid,
yang merupakan gambaran respon granulomatosa.
Pada sebagian orang, respon ini tidak menimbulkan destruksi jaringan
yang signifikan maupun penyakit. Akan tetapi pada sebagian orang yang lain,
infeksi bersifat progresif menyebabkan destruksi jaringan melalui nekrosis
kaseosa dan kavitasi. Progresivitas infeksi ini berkaitan dengan umur dan
imunosupresi. Di samping itu, TNFa juga berperanan dalam menginduksi
terbentuknya reactive nitrogen intermediatesdan terjadinya apoptosis makrofag
yang terinfeksi, sehingga mengurangi jumlah kuman.Kemungkinan penyebab
meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada pengidap diabetes dapat berupa
defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme
yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat
ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai
suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB.
Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada
pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang
buruk.Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh
defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Wang et al. mengemukakan adanya
peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag alveolar hipodens) pada
pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang
21
signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag
alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM, seperti yang
ditemukan dalam penelitian ini, dianggap bertanggung jawab terhadap lebih
hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM.
Pada percobaan eksperimental yang dilakukan Stalenhoef pada plasma darah
manusia didapatkan bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien TB
dengan atau tanpa DM. Jika pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan dengan
kontrol yang sehat, produksi IFN-g spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi
produksi IFN-g yang non-spesifik berkurang secara signifikan pada kelompok
DM. Diduga bahwa berkurangnya IFN-g yang non-spesifik tersebut menunjukkan
adanya defek pada respon imun alamiah yang berperan pada meningkatnya risiko
pasien DM untuk mengalami TB aktif. Meskipun demikian, mekanisme yang
mendasari terjadinya hal tersebut masih perlu ditelusuri lebih lanjut.
3.5 Manifestasi Klinis
Bacakoðlu et al.melakukan penelitian untuk melihat apakah diabetes
mellitus mempengaruhi manifestasi klinis dan radiologis tuberkulosis pada
pejamu non-imunokompromais dan untuk melihat keterlibatan lapangan paru
bawah. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa DM tidak memengaruhi gejala,
hasil bakteriologi, reaktivitas tuberkulin, dan lokalisasi infiltrat pada gambaran
radiografi. Pada pasien
DM yang lebih tua dari 40 tahun dan berjenis kelamin wanita didapatkan
adanya keterlibatan lapangan paru bawah yang secara statistik berbeda secara
bermakna dibandingkan dengan yang tidak DM.Pada penelitian Wang et
al.6didapatkan bahwa pasien DM dengan TB paru menunjukkan frekuensi yang
lebih tinggi terhadap demam, hemoptisis, pewarnaan sputum BTA yang positif,
lesi konsolidasi, kavitasi, dan lapangan paru bawah, serta angka kematian yang
lebih tinggi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Alisjahbana et al.menemukan adanya
beberapa perbedaan manifestasi klinik pada pasien TB yang juga menderita DM
dan pasien TB tanpa DM. Pada pasien TB yang juga DM ditemukan gejala klinis
22
yang lebih banyak dan keadaan umum yang lebih buruk (menggunakan indeks
Karnofsky).. Tetapi hasil penelitian tersebut juga tidak menunjukkan hasil yang
signifikan. Pada penelitian itu juga didapatkan pengaruh negatif dari DM terhadap
hasil akhir pengobatan antituberkulosis.
DM secara signifikan berkaitan dengan kultur sputum yang masih positif
setelah enam bulan pengobatan.Berdasarkan ketiga penelitian di atas tidak
ditemukan adanya perbedaan yang signifikan manifestasi klinis antara pasien TB
yang menderita DM maupun pasien TB tanpa DM. Dengan demikian pada pasien
TB yang juga menderita DM dapat ditemukan gejala, seperti batuk, batuk
berdarah, sesak nafas, demam, keringat malam, dan penurunan berat badan,
namun gejala cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk. Sedangkan
gambaran hasil pemeriksaan darah, radiologi, dan bakteriologi tidak menunjukkan
perbedaan.
3.6 Diagnosis
Secara klinis, berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM, baik
keluhan klasik maupun keluhan tambahan. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
Keluhan tambahan lainnya berupa lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.Diagnosis
DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan
maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, bila keluhan klasik ditemukan dan
pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/dL, maka pasien dapat didiagnosis
DM. Ketiga, dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Berdasarkan standar
WHO, tes tersebut dilakukan setelah pasien puasa minimal delapan jam lalu
diberikan beban glukosa 75 g yang dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum
dalam lima menit. Bila pemeriksaan glukosa darah setelah dua jam pemberian
glukosa ini >200 mg/dL, maka diagnosa DM dapat ditegakkan.
23
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Gejala klinis yang dapat timbul, antara lain demam dan
keringat malam, penurunan berat badan, batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah,
sesak napas, dan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas
bronkial, amforik, suara napas yang melemah, dan rhonki basah. Diagnosis pasti
tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis
dalam sputum atau jaringan paru biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah dengan pencitraan radiologi, pemeriksaan BACTEC, PCR (Polymerase
Chain Reaction), ELISA (EnzymLinked Immunosorbent Assay), ICT
(ImmunochromatographicTuberculosis), Mycodot, PAP (Peroksidase Anti
Peroksidase), dan IgG TB.
3.7 Penatalaksanaan
Pada masa belum diterapkannya terapi insulin, sebagian besar pasien DM
akan meninggal karena TB paru bila mereka berhasil bertahan dari koma diabetes.
Setelah diperkenalkan terapi insulin pada tahun 1922, TB masih tetap menjadi
ancaman yang serius dan mematikan pada pasien DM. Namun, dengan
pengobatan anti-TB yang efektif, prognosisnya akan jauh lebih baik. Prinsip
pengobatan TB paru pada pasien DM serupa dengan yang bukan pasien DM,
dengan syarat kadar gula darah terkontrol. Prinsip pengobatan dengan obat anti
tuberkulosis (OAT) dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif yang berlangsung
selama 2-3 bulan dan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pengobatan
TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah kontrol kadar gula darah dan efek
samping OAT. Obat lini pertama yang biasa digunakan adalah isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, etambuto,dan streptomicin.3,13,15
Dosis harian isoniazid ialah 4-6 mg/kg berat badan (BB)/ hari dengan
dosis maksimal 300 mg. Efek samping ringan dapat berupa gejala-gejala pada
saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot. Keadaan ini terkait
dengan terjadinya defisiensi piridoxin (Vit B6) sehingga dapat dikurangi dengan
24
pemberian piridoksin dengan dosis 10 mg/ hari atau dengan vitamin B kompleks.
Kelainan akibat defisiensi piridoksin dapat berupa sindrom pellagra. Efek
samping berat yang dapat terjadi berupa hepatitis imbas obat yang t timbul pada
kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, OAT yang
bersifat hepatotoksik (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dihentikan dan
pengobatan TB dilanjutkan sesuai pedoman pengobatan TB pada keadaan
khusus.3,13
Obat lini pertama selanjutnya adalah rifampisin dengan dosis hariannya 8-
12 mg/kg BB/hari dan dosis maksimal 600 mg. Efek samping ringan yang didapat
berupa sindrom flu (misalnya demam, menggigil, nyeri tulang), sindrom perut
(sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare), dan sindrom kulit (gatal-
gatal). Efek samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis imbas obat, sesak
nafas, dan bila terjadi salah satu gejala sepeti purpura, anemia hemolitik, syok,
gagal ginjal, maka pengobatan dengan rifampisin harus segera dihentikan dan
tidak diberikan lagi walaupun gejala telah menghilang. Rifampisin dapat
menyebabkan warna merah pada urin, keringat, air mata, air liur. Hal itu terjadi
karena metabolit obat dan hal ini tidak berbahaya.Keadaan yang perlu
diperhatikan ialah pemberian rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat
oral antidiabetes, khususnya sulfonilurea karena dapat mengurangi efektivitas obat
tersebut dengan cara meningkatkan metabolisme sulfonilurea. Sehingga pada
pasien DM, pemberian sulfonilurea harus dengan dosis yang ditingkatkan. 3,13
Saat ini penulis belum dapat menemukan literatur yang menjelaskan cara
meningkatkan dosis sulfonilurea pada kasus ini. Sementara itu, pirazinamid
sebagai antituberkulosis dapat diberikan dengan dosis harian: 20-30 mg/kg
BB/hari. Efek samping utama obat ini ialah hepatitis imbas obat. Dapat pula
terjadi nyeri akibat serangan arthritis gout yang disebabkan oleh penimbunan
asam urat. Bila hal ini terjadi maka perlu dimonitor karena bila kadar asam urat
terlalu tinggi mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.3,13 Etambutol diberikan pada pasien TB
dengan dosis harian 15-20 mg/kg BB/hari. Antituberkulosis ini dapat
menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, serta buta
25
warna hijau dan merah. Gangguan penglihatan akan kembali normal beberapa
minggu setelah obat dihentikan. Penggunaan etambutol pada pasien DM harus
hati-hati karena efek sampingnya terhadap mata, padahal pasien DM sering
mengalami komplikasi penyakitberupa kelainan pada mata.3.13
Streptomisin sebagai antituberkulosis diberikan pada dosis harian 15-18
mg/kg BB/hari dan dengan dosis maksimal: 1000 mg. Efek samping utama adalah
kerusakan nervus VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.
Gejalanya adalah telinga mendenging, vertigo, dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
25 mg dari dosis total yang diberikan. Jika pengobatan streptomisin diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan akan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli). Efek samping ringan lainnya yang dapat terjadi demam,
sakit kepala, muntah, eritema pada kulit, dan kesemutan sekitar mulut.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin.3,13
Obat-obat ini dapat diberikan dalam bentuk terpisah ataupun dalam bentuk
kombinasi dosis tetap (Fixed DoseCombination/FDC), kecuali streptomisin. Jenis
kombinasi dan lama pengobatan TB paru tergantung dari kasus TB paru yang
diderita pasien dan disesuaikan dengan kategori pengobatan TB.3
Berbagai bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa efikasi rifampisin
tergantung pada paparan terhadap obat dan konsentrasi maksimum obat yang
dapat dicapai. Kadar plasma rifampisin pada pasien TB dengan DM hanya 50%
dari kadar rifampisin pasien TB tanpa DM. Begitu pula pasien TB dengan DM,
konsentrasi plasma maksimal rifampisin di atas target (8 mg/L) hanya ditemukan
pada 6% pasien, sedangkan pada yang bukan DM ditemukan pada 47% pasien.
Hal ini mungkin dapat menjelaskan respon pengobatan yang lebih rendah pada
pasien TB dengan DM. Namun, studi tambahan lain yang menjelaskan respon
pengetahun lebih rendah pada TB dengan DM ini tetap diperlukan. Untuk
mengontrol kadar gula darah dilakukan pengobatan sesuai standar pengobatan
DM yang dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa
waktu. Bila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
26
farmakologis dengan obat oral anti diabetes dan atau dengan suntikan insulin.
Namun dalam pemberian obat oral anti diabetes pada kasus ini harus diperhatikan
adanya interaksi dengan obat anti tuberkulosis.
3.8 Komplikasi
a. Pleuritis dan Empiema
Pleuritis adalah peradangan jaringan tipis yang meliputi paru-paru dan
melapisi rongga dinding rongga dada bagian dalam (pleura).15,16 Empiema adalah
berkumpulnya atau timbunan pus (nanah) di dalam suatu kavitas organ berongga
yaitu paru-paru. Keadaan pleura yang merupakan bagian dari sistem pernapasan,
dapat dipengaruhi melalui tiga cara yang berbeda:
i. Cairan yang dibentuk dalam waktu beberapa bulan setelah terjadinya
infeksi primer.
ii. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih
lanjut. Keadaan ini bisa berlanjut menjadi nanah (empiema)walaupun
jarang terjadi
iii. Memecahnya kavitas TB Paru dan keluarnya udara ke dalam rongga
pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara
paru dan dinding dada. TB Paru dari kavitas yang memecah mengeluarkan
efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan disebut
piopneumotoraks.
b. Pneumotoraks Spontan
Pneumotoraks adalah masuknya udara atau gas secara abnormal ke dalam
paru dimana gas tersebut memisahkan pleura viseralis dan pleura parietalis
sehingga jaringan paru tertekan dan kesulitan bernapas.15,16 Pneumotoraks spontan
dapat terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah terjadi robekan pada
kavitas tuberkulosis. Hal ini mengakibatkan rasa sakit pada dada secara akut dan
tiba-tiba bersamaan dengan sesak napas. Ini dapat berlanjut menjadi suatu
empiema tuberkulosis.
27
c. Laringitis Tuberkulosis
Laringitis tuberkulosis adalah radang pangkal tenggorokan dengan gejala
serak, perubahan suara dan gatal pada kerongkongan. Keganasan pada laring
jarang menimbulkan rasa sakit. Sputum biasanya positif, tetapi diagnosis mungkin
perlu diitegakkan dengan biopsi pada kasus-kasus yang sulit. Tuberkulosis laring
memberikan respon yang sangat baik terhadap kemoterapi. Bila terdapat nyeri
hebat yang tidak cepat hilang dengan pengobatan, tambahkan prednisolon selama
2-3 minggu.
d. Kor Pulmonale
Kor pulmonale adalah suatu bentuk penimbunan cairan di dalam paru
(abses paru). Gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat kerusakan paru
dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang sangat luas. Keadaan ini dapat
terjadi walaupun penyakit tuberkulosis sudah tidak aktif lagi, dimana banyak
meninggalkan jaringan parut. Pengobatan dini terhadap penyakit TB Paru dengan
jelas dapat mengurangi komplikasi ini.
e. Apergilomata
Apergilomata adalah kavitas tuberkulosis yang sudah diobati dengan baik
dan sudah sembuh terinfeksi jamur Aspergillus fumigatus. A. fumigatus yaitu
spesies jamur lingkungan yang menghasilkan spora yang terdapat di dalam udara
dengan dihirup secara terus menerus. Pada sinar rontgen dapat dilihat semacam
bola terdiri atas fungus yang berada dalam kavitas. Keadaan ini kadang-kadang
menyebabkan hemoptisis (batuk darah) yang berat bahkan fatal. Fungsi paru
sudah sering rusak berat karena tuberkolosis lama sehingga tidak dapat lagi
dioperasi.
28
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Dari anamnesis didapatkan, bahwa seorang wanita datang ke RS dengan
keluhan sesak sejak 1 minggu yang lalu. Sesak nafas bisa disebabkan oleh
berbagai mekanisme antara lain kegagalan pertukaran udara seperti adanya
tahanan pada saluran nafas misal obstruksi (asma, ppok) atau edema paru, kadar
oksigen pada atmosfer yang menurun seperti pada kasus kebakaran, dinding paru
yang abnormal sehingga tidak bisa mengembang sempurna misal pada tb,
penumonia dll. Dalam kasus ini perlu dicari tahu penyebab sesak nafas berasal
dari organ atau sistem mana sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam
diagnosis.
Dalam anamnesis didapatkan sesak hilang timbul dan lebih sering timbul
pada saat beraktivitas dan menghilang saat istirahat. Sesak yang dipengaruhi
aktivitas biasanya menandakan adanya keterlibatan jantung, tapi dalam hal ini
sesak dikarenakan keterlibatan organ lain masih belum bisa disingkirkan, karena
pada kasus-kasus penyakit paru, gagal ginjal yang berat, aktivitas bisa menjadi
pemicu timbulnya sesak. Pada pasien sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan
posisi seperti pada efusi pleura, dan sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan mengi
seperti pada asma. Sesak juga tidak yang disertai bengkak dan BAK pada pasien
normal menunjukkan tidak ada keterlibatan ginjal.
Pada anamnesis pasien, ditemukan juga bahwa pasien ini mengeluh batuk
lama sejak 5 bulan Sebelum masuk RS. Batuk berdahak (+), warna putih kadang-
kadang kekuningan dan kental, banyaknya dahak setiap kali dikeluarkan ± ½
sendok makan. Keluhan batuk tidak hilang, meskipun pasien telah meminum obat
batuk dari bidan. Karena pada kasus didapatkan batuk dan sesak nafas maka
kemungkinan diagnosis mengarah pada keterlibatan paru karena merupakan gejala
dari system yang sama. Batuk lama dapat ditemukan pada pasien Bronkitis,
bronkiektasis dan Tuberkulosis
29
Selain itu didapatkan bahwa pasien mengalami demam lama > 2 minggu,
keringat malam (+) penurunan berat badan (+). Demam lama ditemukan pada
pasien dengan Tuberkulosis, infeksi saluran kemih, sepsis.
Pasien mempunyai riwayat kontak dengan penderita batuk lama dan demam
lama juga, memperkuat dugaan bahwa pasien terkena tuberkulosis paru. Pasien
menyangkal pernah mengonsumsi obat tuberkulosis sebelumnya, kemungkinan ini
adalah kasus baru tuberkulosis paru.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sakit sedang, dengan
compos mentis, tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 85 x/ menit, reguler,
Pernapasan 22 x/ menit pada saat pemeriksaan (pasien telah dirawat 1 minggu dan
telah mengalami perbaikan), Temperatur 37º C. RBW 16,65% (underweight),
konjungtiva anemis (+/+). Pada pemeriksaan paru didapatkan, inspeksi statis
simetris, dan dinamis hemitoraks kiri tertinggal, pada palpasi ditemukan
stemfremitus hemitoraks kiri menurun dari ICS 2 dibanding kanan, pada perkusi
redup di hemitoraks kiri di seluruh lapangan paru, dan pada auskultasi Vesikuler
(+) menurun di hemitoraks kiri dari apeks ke bawah, ronkhi (+) basah sedang pada
½ lapangan paru kanan atas, wheezing (-/-). Asma dan PPOK
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis banding PPOK
dengan DM tipe 2 berat badan kurang tidak terkontrol + hipertensi stage 1+
anemia penyakit kronik, Asma + DM tipe 2 berat badan kurang tidak terkontrol +
hipertensi stage 1 Karena pada kasus ini lebih mengarah ke kriteria klinis
tuberkulosis paru dengan DM tipe 2 berat badan kurang tidak terkontrol +
hipertensi stage 1 maka diagnosis kerja adalah tuberkulosis paru DM tipe 2 berat
badan kurang tidak terkontrol + hipertensi stage 1.
Untuk memperkuat diagnosis kerja dan menyingkirkan diagnosis banding
maka dilakukan pemeriksaan Sputum BTA, rontgen toraks dan darah rutin. Pada
pemeriksaan Sputum BTA 3x, di dapatkan hasil pada tes BTA 1 +++ dan pada tes
BTA 2 ++. Pada pemeriksaan Rontgen didapatkan gambaran perselubungan in
homogen di paru kiri.
Tatalaksana kasus terdiri dari non farmakologis dan farmakologis. Untuk
tatalaksana non farmakologis saat ini pasien dianjurkan untuk bedrest, diet DM
30
1400 kkal, sesuai dengan kebutuhan pasien, dan edukasi yang meliputi tentang
penjelasan penyakit, risiko, penularan, pencegahan penularan termasuk cara batuk
yang benar, dan pengobatan pada Tuberkulosis yang harus diperhatikan tidak
boleh terputus. Tatalaksana farmakologis diberikan Valsartan 1x80 mg dari
golongan angiotensin II reseptor Blocker sebagai terapi untuk hipertensi pada
pasien ini, diberikan Rimstar 3 tab sehari dan sekali minum, diminum saat perut
kosong 1-2 jam sesudah/sebelum makan sebagai terapi Tuberkulosis pada pasien
ini, Injeksi Novorapid 3x10 IU sesaat sebelum makan pagi, siang dan malam dan
Injeksi Levemir 1x16 IU sebelum tidur sebagai terapi DM tipe 2, dan ambroxol
syrup 3x1 C untuk terapi simptomatis batuk pada pasien ini. Untuk demam
diberikan paracetamol sirup 3x1 (jika T>38oC).
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald
E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. penyunting.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-17. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.h.1006-20.
2. Jeon CY, Murray MB. Diabetes mellitus increases the risk of active
tuberculosis: a systematic review of 13 observational studies. PLoS Med
[serial internet]. 2008 [sitasi 15 Juli 2008];5(7): 11p. Diunduh dari:
http://www.plosmedicine.org.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2006.
4. Yamashiro S, Kawakami K, Uezu K, Kinjo T, Miyagi K, Nakamura K, et
al. Lower expression of Th1-related cytokines and inducible nitric oxide
synthase in mice with streptozotocin-induced diabetes mellitus infected
with mycobacterium tuberculosis. Clin Exp Immunol. 2005;139:57-64.
5. Department of Noncummunicable Disease Surveillance. Definition,
Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications:
Report of a WHO Consultation. Geneva: World Health Organization;
1999.
6. Wang CS, Yang CJ, Chen HC, Chuang SH, Chong IW, Hwang JJ, et al.
Impact of type 2 diabetes on manifestations and treatment outcome of
pulmonary tuberculosis. Epidemiol Infect. 2009;137:203-10.
7. Dooley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin W. Impact of diabetes
mellitus on treatment outcomes of patients with active tuberculosis. Am J
Trop Med Hyg. 2009;80(4):634-9.
8. Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A,
Istriana E, et al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis
in indonesia. Int J Tuberc Lung Dis. 2006; 10(6):696-700.
32
9. Bhatt K, Salgame P. Host innate immune response to Mycobacterium
tuberculosis. J Clin Immunol. 2007;27(4):347-62.
10. Raja A. Immunology of tuberculosis. Indian J Med Res. 2004;120:213-32.
11. Stalenhoef JE, Alisjahbana B, Nelwan EJ, van der Ven-Jongekrijg,
Ottenhoff THM, van der Meer JWM, et al. The role of interferon gamma
in the increased tuberculosis risk in type 2 diabetes mellitus. Eur J Clin
Microbiol Infect Dis. 2008;27:97-103.
12. Bacakoðlu F, Baþoðlu ÕK, Çok G, Sayiner A, Ateº M. Pulmonary
tuberculosis in patients with diabetes mellitus. Respiration. 2001;68:595-
600.
13. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y,
Ottenhoff THM, dkk. The effect of type 2 diabetes mellitus on the
presentation and treatment response of pulmonary tuberculosis. J Clin
Infect Dis. 2007;45:428-35.
14. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta: PB
PERKENI; 2006.
15. Kritski A, de Melo FAF. Tuberculosis in adults. Dalam: Palomino JC,
Leão SC, Ritacco V, penyunting. Tuberculosis 2007: From Basic Science
to Patient Care. Edisi ke-1. Brazil; 2007.h.487-524.
33