Case SPES Word
description
Transcript of Case SPES Word
BAB 1
LEMBAR KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 38 Tahun
Alamat : Jl Swadaya II RT 08/01 PD Ranggon
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan Terakhir : SMP
1.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Kejang badan sebelah kanan
Keluhan Tambahan : Kelemahan pada tungkai kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Bhayangkara TK.1 Raden Said Sukanto dengan keluhan kejang
badan sebelah kanan + 2 jam SMRS. Kejang dialami pasien secara tiba-tiba dan ketika pasien
sedang beristirahat. Sebelumnya, pasien pernah mengalami hal seperti ini sekitar 4 bulan
yang lalu.
Pasien mengaku kaki kanannya lemah dan mengalami kesulitan saat berjalan. Pasien
menyangkal adanya pusing, nyeri kepala, pingsan, demam, mual muntah, penglihatan kabur
dan pasien mengaku tidak ada gangguan saat berkemih dan buang air besar.
Tidak ditemukan adanya gangguan penghidu dan gangguan dalam berbicara. Pasien
mengeluh bicara pelo sesaat setelah terjadinya kejang. Kemampuan ingatan pasien tidak
terganggu dan tidak terdapat gangguan emosi dan mental.
Riwayat Penyakit Dahulu
1
Pasien mengaku tidak pernah mengalami cidera pada daerah kepala pasien. Terdapat
riwayat kejang sekitar 4 bulan yang lalu. Pasien menyangkal adanya penurunan berat badan
yang drastis, riwayat darah tinggi dan riwayat diabetes.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya penyakit yang sama yang dirasakan oleh keluarga pasien.
1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Status generalis
a. Keadaan umum : tampak sakit ringan
b. Tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36.5oC
c. Kepala
Bentuk : normocephal
Simetris : simetris
Nyeri tekan : tidak ada
d. Mata
Exoftalmus -/-, edema palpebra -/-, Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil
bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+
e. Leher
Sikap : normal
Pulsasi a. carotis : teraba
Limfanodi : tidak teraba membesar
f. Thorax : normochest
g. Jantung : iktus cordis teraba di pertengahan axillaris anterior kiri sela iga 5,
bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
h. Paru : bunyi nafas vesikular, ronki -/-, wheezing -/-
i. Abdomen : supel, datar, nyeri tekan -, BU+
2
j. Hepar : tidak teraba pembesaran hepar
k. Lien : tidak teraba pembesaran lien
l. Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time kurang dari 2 detik, edema (-),
sianosis (-).
2. Status neurologis
a. Kesadaran : Compos Mentis
b. GCS 15 : (E4M6V5)
c. Sikap tubuh : berbaring terlentang
d. Cara berjalan : sulit berjalan karena kelemahan pada tungkai kanan
e. Gerakan abnormal : tidak ada
Gejala rangsang meningeal:
a. Kaku kuduk : -/-
b. Laseque : -/-
c. Kernig : -/-
d. Brudzinsky I : -/-
e. Brudzinsky II : -/-
Syaraf kranialis:
a. Nervus I (N. Olfactorius)
Daya penghidu: normosmia/ normosmia
b. Nervus II (N. opticus)
Ketajaman penglihatan : normal / normal
Pengenalan warna : normal / normal
Lapang pandang : normal / normal
Funduskopi : tidak dilakukan
c. Nervus III, IV, VI (N. occulomotorius/ trochlearis/ abdusens)
Ptosis : -/-
Strabismus : -/-
Nistagmus : -/-
Eksoftalmus :-/-
3
Enoptalmus : -/-
Gerakan bola mata: normal ke segala arah
Pupil
- Bentuk pupil : bulat/ bulat
- Isokor/ anisokor : isokor
- Posisi : di tengah/ di tengah
- Refleks cahaya langsung : -/-
- Refleks cahaya tidak langsung : -/-
- Refleks akomodasi/ konvergensi : sulit dinilai
d. Nervus IV (N. Trochlearis)
Gerakan bola mata (bawah lateral) : Baik
e. Nervus V (N. trigeminus)
Motorik
- Menggigit : baik
- Membuka mulut : simetris
Sensorik
- Rasa nyeri : baik
- Rasa raba : baik
- Rasa suhu : baik
Refleks
- Refleks masseter : baik
- Refleks kornea : +/+
f. Nervus VI (N. Abdusen)
Pergerakan bola mata (lateral) :Baik
g. Nervus VII (N. fasialis)
Pasif
- Kerutan kulit dahi : simetris
- Kedipan mata : simetris
- Lipatan nasolabial : simetris
- Sudut mulut : simetris
4
Aktif
- Mengerutkan dahi : simetris
- Menutup mata : simetris
- Menyeringai : tidak simetris
- Menggembungkan pipi : tidak simetris
- Daya pengecapan lidah 2/3 depan: tidak dinilai
- Hiperlakrimasi : tidak ada
- Lidah kering : tidak ada
h. Nervus VIII (N. acusticus)
Suara gesekan jari tangan : baik
Mendengarkan detik jam arloji : baik
Tes rinne : tidak dinilai
Tes weber : tidak dinilai
Tes swabach : tidak dinilai
i. Nervus IX (N. glossopharyngeus)
Arkus faring : tidak dinilai
Posisi uvula : tidak dinilai
Daya pengecap lidah 1/3 belakang : tidak dinilai
Refleks muntah : tidak dinilai
j. Nervus X (N. vagus)
Sulit dinilai
k. Nervus XI (N. assesorius)
Memalingkan kepala : baik
Sikap bahu : simetris
Mengangkat bahu : simetris
l. Nervus XII (N. hipoglosus)
Menjulurkan lidah : deviasi (-)
Atrofi lidah : tidak ada
Artikulasi : baik
Tremor lidah : tidak ada
5
Motorik:
a. Gerakan : Terbatas Terbatas
Terbatas Terbatas
b. Kekuatan : 5 5
3 5
c. Tonus otot : Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus
d. Trofi : Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
Refleks fisiologis:
a. Refleks tendon:
Refleks biseps : +/+
Refleks triseps : +/+
Refleks patella : +/+
Refleks archilles : +/+
Refleks Patologis:
a. Hoffman Trommer : -/-
b. Babinski : -/-
c. Chaddock : -/-
d. Oppenheim : -/-
e. Gordon : -/-
f. Schaefer : -/-
g. Gorda : -/-
Sensibilitas:
a. Eksteroseptif:
Nyeri : +/+
Suhu : +/+
Taktil : +/+
6
b. Propioseptif:
Posisi : sulit dinilai
Vibrasi : sulit dinilai
Tekanan dalam : sulit dinilai
1.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (4 Mei 2015)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
HEMATOLOGI 1
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
15.0 g/dl
14.100 u/l
44%
219.000 /ul
13 – 16 g/dl
5.000 – 10.000 u/l
40 – 48%
150.000 – 400.000 /ul
KIMIA KLINIK
Glukosa Glukometer 117
KIMIA KLINIK
RENAL FUNGSI TEST
Ureum
Creatinine
Asam Urat
26 mg/dl
0,7 mg/dl
3,7 mg/dl
10 – 50 mg/dl
0,5 – 1,5 mg/dl
3,4 – 7,0 mg/dl
1.5 Resume
Tn. A 38 tahun diantar oleh keluarganya ke RS Bhayangkara TK.1 Raden Said Sukanto
dengan keluhan kejang badan sebelah kanan + 2 jam SMRS, pasien mengalami kejang secara
tiba-tiba.
Pasien mengaku kaki kanannya lemah dan mengalami kesulitan saat berjalan. Pasien
menyangkal adanya pusing, nyeri kepala, pingsan, demam, mual muntah, penglihatan kabur
dan pasien mengaku tidak ada gangguan saat berkemih dan buang air besar.
Tidak ditemukan adanya gangguan penghidu dan gangguan dalam berbicara.Pasien
mengeluh bicara pelo sesaat setelah terjadinya kejang. Pasien mengaku pernah mengalami
7
hal yang sama 4 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan didapatkan parese N.VII sentral dan
monoparese pada ekstremitas kanan.
Kesadaran : Compos mentis
GCS 15 : E4M6V5 = 15
Tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36.5oC
Tanda rangsang meningeal : (-)
Nervus Kranialis
Nervus VII (N. fasialis)
Aktif
- Mengerutkan dahi : simetris
- Menutup mata : simetris
- Menyeringai :tidak simetris
- Menggembungkan pipi :tidak simetris
- Daya pengecapan lidah 2/3 depan: tidak dinilai
- Hiperlakrimasi : tidak ada
- Lidah kering : tidak ada
Motorik :
a. Kekuatan : 5 5
3 5
1.6 Diagnosis
Diagnosis Klinis :
- Parese Nervus VII central
- Monoparese ekstremitas bawah kanan
Diagnosis Topis : Hemispher cerebri
Diagnosis Etiologi : Simple partial epileptic seizures
8
1.7 Diagnosis Banding
Temporal lobe epilepsy
1.8 Penatalaksanaan
1. Phenitoin 100, 3 x 1
1.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
2.1. DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol
yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi
ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa
disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang.
2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima
puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara
berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan
apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut
di atas 65 tahun (81/100.000 kasus).
2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi
anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang
canggih kelompok ini makin kecil
Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya :
post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi
10
otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy
(ILAE) 1981:
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
a) lena/ absens
b) mioklonik
11
c) tonik
d) atonik
e) klonik
f) tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
II. Epilepsi Umum
A. Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
West’s syndrome (infantile spasms)
12
Lennox gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
C. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
2.5. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran
aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih
stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter
inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh
kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan
istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas
serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.
Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-
13
menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak.
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000
2.6 GEJALA
Kejang parsial simplek
Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
14
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh
tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama.
Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu
serangan. Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan
seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku
diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami
tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan
perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-
kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran,
kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot
yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat
dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun
ingin tidur setelah serangan semacam ini.
15
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan
16
umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan
adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh
dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi
epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung
oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural
di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal
gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video
EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk
kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur
otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan
17
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus
kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.
2.8 TERAPI
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan pengobatan
yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian . Definisi
dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk penanganannya
dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit.
Algoritme manajemen status epileptikus:
18
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Prinsip terapi
farmakologi epilepsi yakni:
OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali
bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan
kemungkinan efek sampingnya.
Terapi dimulai dengan monoterapi
19
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan
kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat
epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan
pertama merupakan status epileptikus.
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau
aktivitas neurotransmiter.
Penghentian pemberian OAE
Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun
bebas serangan. Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2
tahun bebas bangkitan
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang
bukan utama
Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja sebagai pembuka
saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak. Akan tetapi mekanisme unik ini
memiliki beberapa efek toksik yang biasanya tidak terdapat pada obat kejang lainnya seperti
20
retensi urin.Hal inilah yang menyebabkan US Food and Drug Administration's (FDA's) masih
mempertimbangkan obat ini.
Mekanisme kerja OAE:
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.epilepsy.ca/eng/content/sheet.html
2. http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
3. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita
Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. p119-127.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric Neurology:
Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
5. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939
21
6. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development
and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
7. http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
8. http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
9. http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsi-pada-
anak-2
10. http://www.epilepsysociety.org.uk/AboutEpilepsy/Whatisepilepsy/Causesofepilepsy
11. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in
Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
12. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6.
Jakarta: EGC
13. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
14. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
15. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
16. http://www.medscape.com/viewarticle/726809
17. Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Saundres
Elsevier. 2008. 593(6)
22