Case Report Kpd Rima
description
Transcript of Case Report Kpd Rima
CASE REPORT
SEORANG WANITA 34 TAHUN USIA KEHAMILAN 39 MINGGU DENGAN
KETUBAN PECAH DINI PADA PERSALINAN SPONTAN G4 P3 A0
OLEH:
Imba Wahyu Ginadra, S.Ked
J510155061
PEMBIMBING:
Dr. Arief Prijatna, Sp.OG
KEPANITRAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD DR HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2015
1
CASE REPORT
SEORANG WANITA 34 TAHUN USIA KEHAMILAN 39 MINGGU DENGAN
KETUBAN PECAH DINI PADA PERSALINAN SPONTAN G4 P3 A0
Yang Disusun Oleh:
Imba Wahyu Ginandra, S.Ked
J510155061
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari 2015
Pembimbing:
dr. Arief Prijatna, Sp.OG ( )
Dipresentasikan dihadapan:
dr. Arief Prijatna, Sp.OG ( )
Disahkan Ka. Program Profesi:
dr. Dona Dewi Nirlawati ( )
KEPANITRAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD DR HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2015
2
BAB I
STATUS PASIEN
I. DATA DASAR
A. Karakteristik Penderita
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. U
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Kalisat Bungkal, Ponorogo
No Register : 348xxx
Agama : Islam
Suku : Jawa
Masuk RS : 25 November 2015
Jam : 00.15 WIB
2. Data Suami
Nama : Tn. S
Umur : 42 tahun
Alamat : Kalisat Bungkal, Ponorogo
Pekerjaan : PNS Guru
B. Keluhan Utama
Keluar cairan ketuban dari jalan lahir
C. Riwayat Pasien
1. Riwayat Kehamilan Sekarang
Seorang wanita hamil usia 34 tahun datang ke Ponek Kamar Bersalin
RSUD Dr. Hardjono Ponorogo pada tanggal 25 November 2015 pukul 00.15 WIB
dengan keluhan keluar cairan berwarna jernih dan encer dari jalan lahir sejak
pukul 21.00 WIB (±3 jam sebelum MRS). Pengeluaran cairan ini tidak disertai
rasa kenceng-kenceng dan tidak disertai darah maupun lendir.
Sebelumnya, keluhan kenceng-kenceng belum pernah dirasakan oleh
pasien. Selama kehamilan, pasien mengaku selalu memeriksakan kehamilan
3
dengan rutin ke bidan terdekat sejak usia kehamilan 5 bulan dengan frekuensi 2
minggu sekali. Pasien mengatakan bahwa gerakan anak dirasakan aktif dan saat
kehamilan pasien tidak merasakan keluhan-keluhan yang sampai mengganggu
aktivitas sehari-harinya.
2. Riwayat Obstetri
Pasien hamil ini, anak kedua.
Partus terakhir : 21 Februari 2013
Abortus terakhir : -
HPL : 30 November 2015
3. Riwayat Haid
Menarche : 15 tahun
Siklus : 28 hari
Lamanya Haid : 7 hari
HPHT : 23 Maret 2015
4. Riwayat KB
Pasien tidak menggunakan KB.
5. Riwayat Keadaan Umum
a. Nafsu Makan : Biasa
b. BAB : Normal
c. BAK : Normal
d. Merokok : Disangkal
e. Alkohol : Disangkal
6. Riwayat Keputihan : Disangkal
7. Riwayat Operasi : Diakui, tahun 2004 operasi fraktur 1/3 distal tibia sinistra
8. Riwayat Penyakit Dahulu
-Jantung : Disangkal
-Hipertensi : Disangkal
-Diabetes Melitus : Disangkal
-Ashma : Disangkal
-Alergi : Diakui (makanan seafood)
-Penyakit Lain : Disangkal
4
9. Riwayat Penyakit Keluarga
-Jantung : Disangkal
-Hipertensi : Disangkal
-Diabetes Melitus : Disangkal
-Ashma : Disangkal
-Alergi : Disangkal
-Penyakit Lain : Disangkal
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
3. Vital Sign : TD : 110/70 mmHg S : 36,5°C
Nadi : 88 x/menit RR: 18 x/menit
4. Mata : Conjungtiva Anemis (-/-)
5. Mammae : Simetris (+/+), Papila Mammae Menonjol (+/+),
Pengeluaran Asi : (-/-)
6. Thorax : Pulmo : dalam batas normal
Cor : dalam batas normal
7. Abdomen : Perut membesar, peristaltik (+) normal, supel (+)
8. Ekstremitas : Edema tangan (-/-), kaki (-/-)
B. Status Obstetric
a. Pemeriksaan Luar
1. Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada, sikatrik (-),
striae (-).
2. Palpasi :
Leopold I : Tinggi Fundus Uteri 3 jari dibawah processus xhypoideus,
Leopold II : Puka
5
Leopold III : Letak Kepala
Leopold IV : Kepala masuk PAP
HIS : Jarang
3. Auskultasi :
DJJ (+) 140x / menit
b. Pemeriksaan Dalam
VT :
Vulva / Vagina : cairan ketuban
Portio Pembukaan : -
Pendataran : 0%
Blood Slym : -
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (Darah Lengkap)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 14,8 µL 4.0-10.0
Lymph# 2,1 µL 0.8-4
Mid# 1,1 µL 0.1-0.9
Gran# 11,6 µL 2-7
Lymph% 14,4 % 20-40
Mid% 7,4 % 3-9
Gran% 78,2 % 50-70
Hb 14,0 g/dl 11-16
Rbc 4,67 µL 3.5-5.5
Hct 42,8 % 37.0-50.0
MCV 91,6 fL 82.0-95.0
6
MCH 30,0 Pg 27.0-31.0
MCHC 32,7 g/dl 32.0 – 36.0
PLT 215 µL 150 – 450
2. USG
Dilakukan 1 kali pada tanggal 23 Oktober 2015 : DJJ janin (+), janin
tunggal/hidup/intrauterine, letak kepala punggung kiri, TBJ 2400 gr, air
ketuban cukup, jenis kelamin laki-laki, usia kehamilan 36 minggu.
III. DIAGNOSIS
GIPIA0 Usia Kehamilan 39 minggu dengan Ketuban Pecah Dini
IV. PENATALAKSANAAN
1. Rencana Diagnostik
-Observasi tanda vital
-Observasi inpartu
2. Rencana Terapi
a. Infus RL 20 tpm
b. Injeksi Cefotaxime 2x1
c. Induksi, drip Oxitocin 5IU 1 FL dimulai jam 17.30
V. FOLLOW UP
Tanggal &
Jam
Subjective Objective Assestment Planning
7
7 Nov15,
14.30 WIB
Pasien hamil
anak ke 1 usia
kehamilan 39
mg, keluar
cairan ketuban
pd pkl 12.00
KU : Baik
Kes : CM
TD : 110/70
Px Obs :
I: TFU 4 jari
dibwh PX
II: Let Kep
III: Puki
IV: Kepala
masuk PAP
HIS jarang
DJJ (+)
VT Vagina
Vulva : Cairan
Ketuban\
Pembukaan : -
KPD -infus RL 20
tpm
-Inj
Cefotaxime
2x1gr
-Pro Induksi
(17.00)
-Induksi drip
Oxytocin 5IU
FL I (17.30)
8 Nov 15,
05.00
Pasien
mengeluh
kenceng-
kenceng
KU : Baik, TD
120/70mmHg,
N:80x/mnt,
S:36C. VT :
V/V : Blood
slym (+),
Pembukaan
8cm, Kepala
Hodge II, HIS
(+) sering, DJJ
(+), ketuban
(-)
G1P0AO UK
39mg a/I PRM
Induksi
-infus RL 20
tpm
-Inj
Cefotaxime
2x1gr
8
8 Nov 15,
05.45
Pasien
mengeluh
terasa sangat
kenceng-
kenceng
KU : Baik, TD
120/80mmHg,
N:82x/mnt,
S:36C. VT :
V/V : Blood
slym (+),
Pembukaan
lengkap 10cm,
Kepala Hodge
III, HIS (+)
sering, DJJ
(+), ketuban (-)
G1P0AO UK
39mg a/I PRM
Induksi
-infus RL 20
tpm
-Pimpin
Persalinan
8 Nov 2015,
06.00
Bayi telah lahir
spontan dengan
jenis kelamin
laki-laki , berat
2000gr,
placenta lahir
lengkap
KU : Baik
TD : 120/70
Perdarahan
±150 cc, TFU :
1 jari dibawah
pusat.
P1AO post
partus spontan
dengan KPD
hari ke 1
-infus RL 20
tpm
-Inj
Cefotaxime
3x1vial
9 Nov 2015
07.00
ASI blm keluar KU : Baik
TD : 110/80
TFU : 2 jari
dibawah pusat,
lochea rubra
(+), BAB &
BAK dbn
P1A0 post
partus spontan
dengan KPD
hari ke 2
Pulang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
KETUBAN PECAH DINI
I. DEFINISI
Ketuban pecah dini ( KPD) atau spontaneus/ early/ premature rupture of the
membrane (PROM) mempunyai bermacam-macam batasan/ teori/ definisi. Ketuban
pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum proses persalinan yang dapat terjadi
pada kehamilan preterm dan pada kehamilan aterm. Ketuban pecah dini preterm
adalah ketuban yang pecah sebelum kehamilan 37 minggu dan tidak sedang dalam
masa persalinan.1 Ada teori yang menghitung berapa jam sebelum in partu, dan ada
juga yang menyatakan dalam ukuran pecahnya ketuban sebelum inpartu , yaitu bila
pembukaan serviks pada kala I kurang dari 2 cm pada primipara dan pada multipara
kurang dari 5 cm. Namun pada prinsipnya adalah ketuban yang pecah sebelum
waktunya.
II. EPIDEMIOLOGI
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil
yang bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8-10% dari semua kehamilan. Hal
yang menguntungkan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa lebih banyak
yang terjadi pada kehamilan yang cukup bulan daripada yang kurang bulan, yaitu
95%, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm
terjadi sekitar 34% dari semua kelahiran premature.
III. ETIOLOGI
Penyebab dari ketuban pecah dini masih belum diketahui secara pasti. Ada
banyak teori mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, infeksi, inkompetensi
serviks, gemelli, hidramnion, kehamilan preterm, disproporsi sefalopelvik serta
perubahan pada selaput ketuban baik secara biomekanik dan fisiologik. Pada sebagian
besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65 %).
Beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan ketuban pecah dini antara
lain yaitu :
a. Infeksi : infeksi yang secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen
dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD.
10
b. Serviks yang inkompetensia, canalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena
kelainan pada serviks uteri ( akibat persalinan, curettage).
c. Tekanan intrauterine yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati
sebagai faktor predisposisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat
misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amniosintesis
menyebabkan KPD karena biasanya disertai infeksi .
d. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membrane bagian bawah.
e. Keadaan sosial ekonomi
f. Faktor lain :
- Faktor golongan darah
- Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan
kelemahan bawaan termasuk kelemahan jaringan kulit ketuban.
- Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu
- Faktor multigravida, merokok, dan perdarahan antepartum
- Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat (vitamin C)
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban adalah karena hilangnya elastisitas
yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan perubahan yang besar.
Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya dengan jaringan
kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya kadar
kolagen. Kolagen pada selaput ketuban terdapat pada amnion di daerah lapisan
kompakta, fibroblast serta pada korion di daerah lapisan retikuler dan trofoblas,
dimana sebagian besar jaringan kolagen terdapat pada lapisan penunjang (dari epitel
amnion sampai dengan epitel basal korion). Sintesis maupun degradasi jaringan
kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 dan prostaglandin.
Adanya infeksi dan inflamasi menyebabkan bakteri penyebab infeksi mengeluarkan
enzim protease dan mediator inflamasi interleukin-1 dan prostaglandin. Mediator ini
menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada
selaput korion/ amnion menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah, dan mudah pecah
spontan. Selain itu mediator tersebut membuat uterus berkontraksi sehingga
membran mudah ruptur akibat tarikan saat uterus berkontraksi.
11
Taylor,dkk telah menyelidiki bahwa ketuban pecah dini ada hubungannya
dengan hal-hal sebagai berikut
Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah.
Penyakit-penyakit seperti pielonefritis, sistitis, servisitis, dan vaginitis terdapat
bersama-sama dengan motilitas rahim.
Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban).
Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).
Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah multipara, malposisi,
disproporsi, cervix incompten, dll.
Ketuban pecah dini artificial (amniotomi), dimana ketuban dipecahkan terlalu
dini.
IV. PATOFISIOLOGI
1. Ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan ada hubungan langsung
antara ruang intraamnion dengan dunia luar
2. Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau dengan
penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin, kemudian ke ruang
intraamnion
3. Mungkin juga jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin menjalar
melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal)
4. Tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan dalam
yang terlalu sering, dan sebagainya, predisposisi infeksi.
Kuman yang sering ditemukan : Streptococcus, Staphylococcus (gram positif),
E.coli (gram negatif), Bacteroides, Peptococcus (anaerob).
IV. DIAGNOSIS
Menegakkan diagnose KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosis
yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal
12
atau melakukan section yang sebenarnya tanpa indikasi. Sebaliknya, diagnosis yang
nefatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang
akan mengancam kehidupan janin, ibu, atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan
diagnose yang tepat dan cepat. Penegakan diagnosis KPD dengan cara :
1. Anamnesis
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak
secara tiba-tiba dari jalan lahir. Cairan berbau khas dan perlu juga diperhatikan warna,
keluarnya cairan tersebut his belum teratur atau belum ada dan belum ada pengeluaran
lender darah.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan
lebih jelas.
b. Pemeriksaan dengan speculum
Pemeriksaan dengan speculum pada KPD akan tampak keluar cairan dari
orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri
ditekan, penderita diminta batuk, mengejan atau mengadakan maneuver valsava,
atau bagian terendah digoyangkan akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan
terkumpul pada fornix anterior.
c. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi.
Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan toucher perlu dipertimbangkan, pada
kehamilan kurang bulan yang belum ada persalinan tidak perlu diadakan
pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal.
Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi pathogen.
Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD yang sudah dalam
persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
13
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi,
bau, dan Ph nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban
mungkin juga urine atau secret vagina. Secret vagina ibu hamil dengan Ph : 4-
5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
1) Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis) Ph air ketuban 7-7,5, darah dan
infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu.
2) Mikroskopik (tes pakis) dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek
dan dibiarkan kering. Pada pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis.
b. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam cavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang
sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion.
Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya,
namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan
pemeriksaan sederhana.
V. PENATALAKSANAAN
Anjuran mengenai penatalaksanaan optimum dari kehamilan dengan
komplikasi ketuban pecah dini tergantung pada umur kehamilan janin, tanda infeksi
intrauterin, dan populasi pasien. Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm atau
preterm dengan atau tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit.8 Penanganan
ketuban pecah dini pada kehamilan cukup bulan sering ditujukan untuk mengurangi
komplikasi yang terjadi pada ibu hamil dan janin. Terdapat dua jenis penatalaksanaan,
yaitu penangan aktif, yaitu segera dilakukan terminasi kehamilan dengan konsekuensi
meningkatkan resiko seksio sesaria dan penanganan konservatif yaitu diterminasi
kehamilannya jika terjadi infeksi, yang umumnya meningkatkan resiko terjadinya
infeksi pada ibu dan janin.
Beberapa ahli berpendapat bahwa resiko infeksi dapat terjadi setiap saat
setelah ketuban pecah dan infeksi janin mungkin sudah terjadi walaupun belum ada
tanda-tanda infeksi pada ibu, sehingga atas dasar alasan tersebut mereka lebih
memilih penanganan aktif, yaitu melakukan induksi segera setelah diagnosis ketuban
14
pecah dini ditegakkan. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa resiko infeksi baru
meningkat secara bermakna setelah periode waktu tertentu. Penanganan aktif akan
meningkatkan persalinan operatif, padahal hampir 90% kasus KPD akan terjadi
persalinan spontan dalam waktu 24 jam, sehingga berdasarkan alasan tersebut mereka
lebih memilih menunggu terjadinya persalinan spontan. Bila dalam waktu tertentu
belum ada tanda persalinan, dilakukan induksi persalinan.
Beberapa penatalaksanaan yang dianjurkan antara lain yaitu :
o Rawat rumah sakit.
o Jika ada perdarahan pervaginam dengan nyeri perut, pikirkan solusio plasenta.
o Jika ada tanda-tanda infeksi (demam, cairan vagina berbau) berikan antibiotik:
Ampisilin 2 gr I.V./6 jam, ditambah dengan gentamisin 5 mg/kgBB I.V./24
jam
Jika persalinan pervaginam, hentikan antibiotika pasca persalinan.
Jika persalinan dengan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika dan berikan
metronidazol 500 mg I.V./8 jam sampai bebas demam selama 48 jam.
o Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu:
Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin, yaitu
ampisilin 4x500 mg selama 7 hari ditambah eritromisin 250 mg/oral 3 kali per
hari selama 7 hari.
Berikan kortikosteroid kepada ibu untuk memperbaiki kematangan paru janin.
Berikan betametason 12 mg I.M. dalam 2 dosis/12 jam atau deksametason 6
mg I.M. dalam 4 dosis/6 jam. (Jangan berikan kortikosteroid jika ada infeksi).
Lakukan persalinan pada kehamilan 37 mg.
Jika terdapat his dan darah lendir, kemungkinan terjadi persalinan preterm.
o Jika tidak terdapat infeksi dan kehamilan > 37 minggu:
Jika ketuban telah pecah > 18 jam, berikan antibiotika profilaksis untuk
mengurangi resiko infeksi streptokokus grup B. Berikan ampisilin 2 gr I.V./6
jam, atau penisilin G 2 juta unit I.V./6 jam sampai persalinan, jika tidak ada
infeksi pasca persalinan hentikan antibiotika.
15
Nilai serviks. Jika serviks sudah matang lakukan induksi persalinan dengan
oksitosin. Jika belum, matangkan dengan prostaglandin dan infus oksitosin
atau lahirkan dengan seksio sesarea.
o Jika terdapat infeksi dan umur kehamilan < 37 minggu :
Komplikasi tersering yang timbul pada pasien masa ini adalah
khorioamnionitis. Induksi dengan oxitocyn harus dilakukan bila serviks telah matang.
Namun biasanya serviks belum matang dan induksi biasanya berakhir dengan seksio.
Oleh karena itu lebih baik dilakukan penatalaksanaan menunggu yang
dikombinasikan dengan terapi antibiotika. Hal tersebut dapat menurunkan angka
mortalitas perinatal, morbiditas infeksi neonatal dan insiden HMD (Hyalin Membran
Disease). Antibiotika yang dipergunakan Ampicillin sulbactam 2x1,5 gr i.v, per 6
jam.
BERAT BADAN LAHIR RENDAH
1. DEFINISI
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badan
lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram. dulu bayi baru lahir yang
berat badannya kurang atau sama dengan 2500 gram (≤2500 gram) disebut bayi
prematur. Tetapi ternyata morbiditas dan mortalitas neonatus tidak hanya bergantung
pada berat badannya, tetapi juga pada maturitas bayi itu. Untuk mendapat
keseragaman, pada kongres European Perinatal Medicine II di London (1970) telah
diusulkan defenisi berikut :
- Bayi kurang bulan adalah bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu.
- Bayi cukup bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai dari 37 minggu sampai
42 minggu.
-Bayi lebih bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu atau lebih.
2. EPIDEMIOLOGI
Angka bayi berat lahir rendah (BBLR) masih cukup tinggi, terutama di Negara
dengan sosio ekonomi rendah. Data statistik menunjukkan sekitar 90 kasus
BBLR terjadi di negara berkembang. Di negara berkembang, angka kematian BBLR
16
mencapai 35 kali lebih tinggi di bandingkan bayi dengan berat lahir di atas 2500
gram.
Sejak tahun 1981, frekuensi BBLR telah naik, terutama karena adanya
kenaikan jumlah kelahiran preterm. Sekitar 30% bayi BBLR di Amerika Serikat
mengalami dismaturitas, dan dilahirkan sesudah 37 minggu. Di negara-negara yang
sedang berkembang sekitar 70% bayi BBLR tergolong dismaturitas.
Di Negara maju, angka kejadian kelahiran bayi prematur adalah sekitar 6-
7%.Di Negara sedang berkembang, angka kelahiran ini lebih kurang tiga kali lipat. Di
Indonesia, kejadian bayi prematur belum dapat dikemukakan, tetapi angka kejadian
BBLR di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1986 adalah 24%.
Angka kematian perinatal di rumah sakit pada tahun yang sama adalah 70%, dan 73%
dari seluruh kematian disebabkan oleh BBLR.
3. ETIOLOGI
A. Faktor ibu
1) Penyakit
a) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan antepartum,
preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung kemih.
b) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual, hipertensi,
HIV/AIDS, TORCH, penyakit jantung.
c) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.
2) Ibu
a) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun.
b) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).
c) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
3) Keadaan sosial ekonomi
a) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini dikarenakan
keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.
17
b) Aktivitas fisik yang berlebihan
c) Perkawinan yang tidak sah
B. Faktor janin
Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi
sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.
C. Faktor plasenta
Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solutio plasenta,
sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini.
D. Faktor lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran tinggi,
terkena radiasi, serta terpapar zat beracun.
4. PATOFISIOLOGI
Bayi berat lahir rendah dibagi menjadi dua golongan yaitu prematuritas murni
dimana masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badanya sesuai dengan berat
badan untuk masa gestasi itu atau biasa disebut noenatus kurang bulan-sesuai untuk
masa kehamilan (NKB-SMK) dan dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan
kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu yang berarti bayi mengalami
retardasi pertumbuhan intrauterine dan merupakan bayi yang kecil untuk masa
kehamilannya (KMK).
Penyebab prematuritas antara lain dari faktor ibu yaitu penyakit toksemia
gravidarum, perdarahan antepartum, trauma fisis dan psikologis, nefritis akut, diabetes
mellitus, infeksi akut, tindakan operatif, usia dibawah 20 tahun, multigravida yang jarak
antar kelahirannya terlalu dekat, golongan soial-ekonomi rendah maupun bayi yang
lahir dari perkawinan yang tidak sah, sedangkan dari faktor janin adalah hidramnion
dan kehamilan ganda.
Kapasitas vital dan kapasitas residual fungsioonal paru-paru pada dasarny akecil
berkaitan dengan ukuran bayi. Sebagai akibatnya sindrom gawat napas sering
merupakan penyebab umum kematian. Masalah besar lainnya pada bayi premature
adalah pencernaan dan absorpsi makanan yang inadekuat. Bila prematuritas bayilebih
dari dua bulan, system pencernaan dan absorpsi hampir selalu inadekuat. Absorpsi
18
lemak juga sangat buruk sehingga bayi premature harus menjalani diet rendah lemak.
Lebih jauh lagi, bayi premature memiliki kesulitan dalam absorpsi kalsium yang tidak
lazim dan oleh karena itu dapat mengalami rikets yang berat sebelum kesulitan tersebut
dikenali. Imaturitas organ lain yang sering menyebabkan kesulitan yang berat pada bayi
premature meliputi system imun yang menyebabkan daya tahan tubuh terhadap infeksi
berkurang karena rendahnya kadar IgG gamma globulin, serta bayi premature relatif
belum sanggup membentuk antibody dan daya fagositosis serta reaksi terhadap
peradangan masih belum baik sehingga bayi premature beresiko mengalami infeksi,
system integumen dimana jaringan kulit masih tipis dan rawan terjadinya lecet, system
termoregulasi dimana bayi premature belum mampu mempertahankan suhu tubuh yang
normal akibat penguapan yang bertambah karena kurangnya jaringan lemak di bawah
kulit dan pusat pengaturan suhu yang belum berfungsi sebagaimana mestinya sehingga
beresiko mengalami hipotermi atau kehilangan panas dalam tubuh.
5. DIAGNOSIS
Diagnosa BBLR dengan menentukan usia kehamilan berdasarkan
a. Perhitungan HPHT (hari pertama haid terakhir). Untuk perhitungan HPHT harus
ingat betul tanggal dari pertama menstruasi misalnya HPHT nya 1-4-2000, maka
hari persangkaan lahirnya dapat dihitung dengan rumus HPHS : 1-04-2000 +7-
3+1HPLB: 8-01-2001
b. Maturitas fisik dan neurologis bayi paska natal dengan skor Dubowitz, Ballard
maupun simplifed Dubowitz. Baik berdasarkan HPHT maupun skor Dubowitz dan
modifikasinya. jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu (< 259 hari) disebut
bayi kurang bulan (BKB).Diagnosis BBLR, apabila BL (berat lahir) < 2500
gram / 2499 gram).
6. PENATALAKSANAAN
Bayi berat bayi lahir rendah biasanya tampak haus dan harus diberikan
makanan dini (early feeding), hal ini sangat penting untuk menghindari terjadinya
hipoglikemia, kadar gula darah harus diperiksa setiap 8-12 jam.
Frekuensi pernafasan terutama dalam 24 jam pertama harus selalu diawasi
untuk mengetahui adanya sindrom aspirasi mekonium atau sindrom gangguan
19
pernafasan idiopatik, sebaiknya setiap jam dihitung frekuensi pernafasan lahir dan
bila frekuensi lebih dari 60 x/menit dibuat foto thoraks.
Pencegahan terhadap infeksi sangat penting, karena bayi sangat rentan
terhadap infeksi, yaitu karena pemindahan IgG dari ibu ke janin terganggu.
Temperatur harus diperbaiki, jangan sampai kedinginan karena mudah terjadi
hipotermik, hal ini disebabkan oleh karena luas permukaan tubuh bayi relatif lebih
besar dan jaringan lemak subkutan kurang. Mengingat belum sempurnanya kerja alat-
alat tubuh yang perlu untuk pertumbuhan, perkembangan, dan penyesuaian diri
dengan lingkungan hidup di luar uterus maka perlu diperhatikan pengaturan suhu
lingkungan, pemberian makanan dan bila perlu pemberian oksigen, mencegah infeksi
serta mencegah kekurangan vitamin dan zat besi.
a. Pengaturan Suhu
Untuk mencegah hipotermi, diusahakan lingkungan yang cukup hangat untuk
bayi, bila dirawat dalam inkubator, maka suhunya unuk bayi dengan berat badan
kurang dari 2000 gram adalah 35 C dan untuk bayi dengan berat badan 2000-2500
gram adalah 34 C, agar bayi dapat mempertahankan suhu tubuh sekitar 37 C.
Kelembaban inkubator berkisar antara 50-60%. Saat ini telah digunakan inkubator
yang dilengkapi dengan alat temperatur sensor, yang ditempelkan pada kulit bayi.
Kelembaban yang tinggi diperlukan pada bayi dengan sindroma gangguan
pernafasan, suhu inkubator dapat diturunkan 1 C per minggu untuk bayi dengan berat
badan 2000 gram dan secara berangsur-angsur ia dapat diletakkan di dalam tempat
tidur bayi dengan suhu lingkungan 27 C - 29 C.
Bila inkubator tidak ada, pemanasan dilakukan dengan membungkus bayi dan
meletakkan botol hangat di sekitarnya atau dengan memasang lampu pijar atau
petromaks di dekat tempat tidur bayi. Cara lain untuk mempertahankan suhu tubuh
bayi sekitar 36,5C-37,5C adalah dengan memakai alat perspexheat shield yang
diselimuti pada bayi di dalam inkubator, alat ini berguna untuk mengurangi
kehilangan panas karena radiasi.
b. Nutrisi Enteral
Pada bayi prematur reflek isap, telan dan batuk belum sempurna, kapasitas
lambung masih sedikit, daya enzim pencernaan terutama lipase masih kurang,
20
disamping itu kebutuhan protein 3-5 g/hari dan tinggi kalori (110 kal/kg/hari) agar
berat badan bertambah baik.
Pemberian nutrisi enteral dimulai pada bayi dengan berat lebih dari 1500
gram, dan masa gestasi lebih dari 32 minggu serta tidak terdapat distres dimulai saat
berumur 2-4 jam agar bayi tidak menderita hipoglikemia dan hiperbilirubinemia. Pada
bayi lebih kecil, walaupun tidak distress, jangan diberikan nutrisi enteral selama 12-
24 jam pertama, lebih baik diberikan infus larutan glukosa 5-10 % sejak lahir dan
diobservasi, bila keadaan bayi stabil maka pemberian nutrisi enteral dapat dimulai.
Syarat lain untuk memulai nutrisi enteral adalah keluarnya mekonium, yang
menunjukkan adanya kontinuitas dan motilitas traktus gastrointestinal.
Masalah yang sering menghambat pemberian nutrisi enteral adalah sindrom
distress pernafasan, sindrom aspirasi, pneumonia, apnea karena prematuritas dan
gagal jantung akibat duktus arteriosus paten
Sebelum pemberian minum pertama harus dilakukan pengisapan cairan
lambung, hal ini perlu untuk mengetahui ada tidaknya atresia esofagus dan mencegah
muntah. Pada umumnya bayi dengan berat lahir 2000 gram atau lebih dapat menyusu
pada ibunya, bayi dengan berat kurang dari 1500 gram kurang mampu mengisap air
susu ibu atau susu botol, terutama pada hari-hari pertama, dalam hal ini bayi diberi
minum melalui sonde lambung (orogastric-intubation). Sesudah 5 hari bayi dicoba
menyusu pada anaknya, bila daya isap cukup baik, maka pemberian air susu ibu
diteruskan. Adakalanya daya isap bayi kecil ini lebih baik dengan dot dibandingkan
dengan puting susu ibu, pada keadaan ini air susu ibu dipompa dan diberikan melalui
botol, cara pemberian melalui susu botol adalah dengan frekuansi pemberian yang
lebih sering dalam jumlah susu yang sedikit. Frekuensi pemberian minum makin
berkurang dengan bertambahnya berat bayi, jumlah cairan yang diberikan pertama
kali adalah 1-5 ml/jam dan jumlahnya dapat ditambah sedikit demi sedikit setiap 12
jam. Penambahan susu tersebut tergantung dari jumlah susu yang tertinggal pada
pemberian minum sebelumnya, untuk mencegah regurgitas (muntah) atau distensi
abdomen. Banyaknya cairan yang diberikan adalah 60 ml/kg/hari, dan setiap hari
dinaikkan sampai 200 ml/kg/hari pada akhir minggu kedua.
Bila air susu ibu tidak ada, susunya dapat diganti dengan susu buatan yang
mengandung lemak yang mudah dicerna bayi (middle chain triglycerides) dan
21
mengandung 20 kalori per 30 ml air atu sekurang-kurangnya bayi mendapat 110
kal/kg berat badan perhari.
Kadang-kadang diperlukan pemberian makanan melalui kateter (polietilen)
yang dapat tinggal di lambung selama 4-5 hari tanpa iritasi, kateter no. 8 untuk bayi
kurang dari 1500 gram dan no.10 untuk bayi diatas 1500 gram. Kateter yang telah
dimasukkan ke dalam lambung dihubungkan dengan botol infus yang berisi susu yang
digantungkan setinggi 1 meter dari atas bayi, susu diberikan dengan tetes yang teratur
sebanyak 60 ml/kg berat badan sehari, dan tiap hari dinaikkan sampai 200 ml/kg berat
badan pada akhir minggu kedua. Bila daya isap dan menelan mulai baik, kateter
secara berangsur-angsur dapat diganti dengan pipet, sendok atau botol dengan dot.
c. Kebutuhan Cairan
Kehilangan air insensible secara tidak langsung terkait dengan umur
kehamilan, keadaan lingkungan, dan status penyakit, bayi preterm yang amat imatur
(<1000 gram) memerlukan sebanyak 2-3 mL/kg/jam. Bayi yang premature akan
kehilangan cairan insisible sebesar 0,6 – 0,7 ml/kgBB/jam, bila dirawat dalam
incubator. Jumlah cairan yang dianjurkan pada neonatus yang memerlukan susu botol
atau cairan intravena adalah 60-70 mL/kgBB pada hari pertama dan dinaikkan
sampai 100-120 mL/kgBB pada hari ke-2 dan ke-3, dan pada hari ke 4-5 mencapai
150 ml/kgBB, selanjutnya dapat mencapai 160 - 180ml/kgBB/hari. Bayi lebih
prematur dan kecil dimulai dengan 70-100 mL/kgBB pada hari pertama dan
dilanjutkan sampai 150 mL/kgBB atau lebih pada hari ke-3 dan ke-4.
Penimbangan badan setiap hari, pengeluaran urin, pemeriksaan fisik harus
dipantau secara cermat untuk mendeteksi adanya kelainan status hidrasi.
d. Nutrisi Parenteral Total
Bila pemberian makanan oral untuk masa waktu yang lama tidak
memungkinkan, makanan intravena total dapat memberikan cairan yang cukup,
kalori, asam amino, elektrolit dan vitamin untuk mempertahankan pertumbuhan pada
bayi BBLR.
Tujuan dari pemberian nutrisi parenteral adalah memasukkan kalori
nonprotein yang cukup, sehingga memungkinkan bayi menggunakan sebagian
terbesar proteinnya untuk pertumbuhan. Infus harus mengandung asam amino
22
sintetik 2,5-3 g/dL dan glukosa hipertonik pada kisaran antara 10-25 g/dL sebagai
tambahan disamping kuantitas elektrolit, mineral, dan vitamin yang cukup.
Infus awal harian harus memasukkan 10-15 g/kgBB/24 jam glukosa dan
menambah sedikit demi sedikit sampai 25-30 g/kgBB/24 jam, bila hanya glukosa saja
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan penuh nonprotein 100-120 kkal/kgBB/24
jam. Jika yang digunakan vena perifer, dianjurkan untuk mempertahankan kadar
glukosa dibawah 12,5 g/dL. Emulsi lemak intravena seperti 20% intralipid (2,2
kkal/mL) dapat digunakan untuk memberikan kalori tanpa beban osmotik yang nyata,
sehingga dapat mengurangi akan kebutuhan infus dengan kadar glukosa yang lebih
tinggi, melalui vena sentral atau perifer, dan biasanya mencegah perkembangan
defisiensi asam lemak essensial. Intralipid dapat dimulai pada 0,5 g/kgBB/24 jam dan
selanjutnya diberikan sampai 3 g/kgBB/24 jam.
Komplikasi makanan intravena terkait dengan kateter, sepsis adalah masalah
yang paling penting pada infus vena sentral dan dapat diminimalkan dengan
perawatan keteter yang cermat dan prefarat infus aseptic. Komplikasi metabolic
meliputi hiperglikemia yang berasal dari kadar glukosa infus yang tinggi, yang dapat
menyebabkan diuresis osmotic dan dehidrasi, azotemia, hipoglikemia, hiperlipidemia,
hipoksemia.
e. Infeksi
Bayi prematur mudah sekali diserang infeksi, hal ini disebabkan oleh karena
daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang, relatif belum sanggup membentuk
antibody dan daya fagositosis serta reaksi terhadap peradangan belum baik. Oleh
karena itu perlu dilakukan tindakan pencegahan yang dimulai pada masa perinatal,
yaitu dengan memperbaiki keadaan lingkungan, kebersihan makanan, mencegah
terjadinya infeksi silang para dokter, perawat, bidan dan petugas lain.
7. PROGNOSIS
Tergantung dari berat ringannya masalah perinatal, misalnya masa gestasi
(makin muda masa gestasi, makin rendah berat bayi makin tinggi angka kematian),
asfiksia, sindrom gangguan pernafasan, perdarahan intraventrikuler, infeksi gangguan
metabolik (asidosis, hipoglikemia, hiperbilirubinemia). Asfiksia sendiri merupakan
23
komplikasi yang paling serius dari bayi berat lahir rendah, bila tidak segera diatasi
maka prognosis neonatus menjadi buruk.
Prognosis ini juga tergantung dari keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang
tua dan perawatan pada saat kehamilan, persalinan, post natal (pengaturan suhu
lingkungan, resusitasi, makanan).
24
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien wanita hamil GIPIA0 datang dengan keluhan keluar
cairan berwarna jernih dan encer dari jalan lahir 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
pengeluaran cairan tersebut disertai rasa kenceng-kenceng namun tidak terdapat darah
maupun lendir. Sebelum keluar cairan tersebut, pasien belum pernah merasakan
kenceng-kenceng. Keluhan kenceng- kenceng dirasakan pasien dengan frekuensi
jarang dan menjalar hingga punggung.
Dari keluhan diatas dapat disimpulkan bahwa keluhan yang dirasakan pasien
tersebut dikarenakan adanya cairan ketuban yang pecah, dan adanya rasa kenceng-
kenceng yang mengarah pada kontraksi his. Keadaan tersebut merupakan suatu tanda-
tanda terjadinya persalinan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien GIPIA0
mengalami ketuban pecah dini (KPD).
Pasien mengaku sering melakukan antenatal care (ANC) di bidan terdekat
untuk mengetahui kondisi kesehatan ibu dan bayinya. Pasien mengaku jarang
memiliki keluhan selama kehamilan. Dari riwayat pasien sendiri,pasien menstruasi
pertama kali pada usia 14 tahun dengan haid teratur dan haid berlangsung selama 6
hari. Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit dahulu maupun riwayat penyakit
keluarga.
Pada pemeriksaan Obstetri didapatkan hasil bahwa, terdapat janin tunggal
intrauterine dimana letak kepala sudah masuk PAP. Untuk tinggi fundus uteri yaitu 4
jari di bawah processus xiphoideus, didapatkan DJJ (+). Untuk his ada namun jarang.
Dari pemeriksaan dalam didapatkan adanya cairan ketuban di vulva dan
vagina, pada portio belum terdapat pembukaan dengan pendataran serviks 0%, dan
bagian terendah janin teraba kepala.
Kembali pada keluhan yang dirasakan pasien yaitu berupa KPD maka harus
segera cepat mendapat penanganan, karena dengan adanya cairan ketuban yang telah
pecah, maka akan membentuk port de entre dari kuman sehingga kuman akan mudah
dan menyebabkan infeksi, sehingga perlu diberikan profilaksis antibiotik. Pada
25
tindakan pemeriksaan dalam juga harus berhati-hati dan tidak boleh sering dilakukan
karena akan menambah resiko infeksi.
Untuk penanganan dari KPD sendiri tergantung dari usia kehamilan itu
sendiri, apabila usia kehamilan sudah aterm pasien ini, maka harus dilakukan induksi
persalinan, namun dilihat dahulu dari indikasi dan kontraindikasi dilakukannya
induksi persalinan.
Dilihat terlebih dahulu dari niai bishop skor, apabila pasien sudah memenuhi
nilai > 5 maka induksi persalinan harus segera dilakukan. Jadi, pada pasien ini induksi
persalinan bisa dilakukan sehingga janin bisa dilahirkan dengan spontan melalui
pervaginam.
Bayi lahir spontan dengan jenis kelamin laki-laki dan berat janin 2000gr. Berat
janin tersebut dapat dikatakan sebagai Berat Badan Lahir Rendah karena berat janin
kurang dari normal yaitu <2500gr.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Bari Saifuddin, Prof., dr., SpOG, MPH. (ed) “Ketuban Pecah Dini”. Buku
Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo-POGI, Jakarta. 2002. hal M112-115
2. Arif M, Kuspuji T, dkk, (ed) “Ketuban Pecah Dini”, Kapita Selekta Kedokteran,
Jilid I, Edisi ke-3, Penerbit Media Aesculapius FKUI, Jakarta, 2001, hal 310-313
3. Arifuddin J, Palada P. BBLR-LBW. Dalam : Perinatologi dan Tumbuh Kembang.
Jakarta : FKUI, 2004;9-11.
4. Asrining Surasmi, Dkk, 2003, Perawatan Bayi Resiko Tinggi, Jakarta: EGC
5. Behrman, RE, Kliegman RM. The Fetus and the Neonatal Infant, In : Nelson
Textbook of pediatrics; 17 th ed. California: Saunders. 2004; 550-8.
6. Bruce Elizabeth.2002. Premature Rupture of Membrane diakses
http://wwwcompletemother.com/prom.html.
7. Cunningham,F.G., Gant,N,M.,Leveno,K.J.,Gilstrap,L.C., Hauth,J.C.,
Wenstrom,K.D. 2013. Obstetri William. Edisi 21. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
8. Elder, M.G, et al. “Preterm Premature Rupture of Membranes”, Preterm Labor, 1 st
ed, Churchill Livingstone Inc. New York, 1997, hal 153-164
9. Gomella, TL, Cunningham MD. Management of the Extremely Low Birth Infant
During the First Weekof Life. In : Lange Neonatology; 5 th ed. NewYork :
Medical Publishing Division, 2002; 120-31.
10. Ketuban Pecah Dini dalam Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. 2002. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo Bekerjasama
dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi-POGI. Jakarta.
11. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I. Obstetri Fisiologi, Obstetri
Patologi. Jakarta : EGC
12. Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: FKUI
13. Proverawati Atikah, & Ismawati Cahyo, S. (2010). BBLR : Berat Badan Lahir
Rendah. Yogyakarta: Nuha Medika.
14. Saiffudin, A.B,. 2011. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat
Cetakan ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
27
15. Wiknjosastro H, Saifuddin AB. Bayi Berat Lahir Redah. Dalam: Ilmu
Kebidanan; edisi ke-3. Jakarta : yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2002;771-83.
28