Case Report Atresia Ani

24
Case Report Session ATRESIA ANI oleh : Fauzan Arisyi Koto 1010312085 Preseptor : dr. Jon Efendi Sp.BA BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 1

description

case report malformasi anorectal (atresia ani)

Transcript of Case Report Atresia Ani

Case Report Session

ATRESIA ANI

oleh :

Fauzan Arisyi Koto

1010312085

Preseptor :

dr. Jon Efendi Sp.BA

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL

1

PADANG

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

- N a m a : by RN

- U m u r : 0 hari

- Jenis kelamin : laki-laki

- Alamat : Pesisir Selatan

- Masuk RS : 18 Mei 2015

II. ANAMNESA

Alloanamnesa dengan ibu pasien

Keluhan utama: Tidak ada anus sejak lahir

Riwayat Penyakit Sekarang

- NBBLC 2700 gr, PBL 48 cm, lahir spontan, cukup bulan, langsung menangis,

kondisi ibu baik, ketuban jernih.

- Tidak ada anus sejak lahir, mekonium belum keluar sejak lahir, bayi sudah

diberi ASI

- Muntah tidak ada

- Demam tidak ada, kejang tidak ada

- Sesak nafas tidak ada, kebiruan tidak ada

- Injeksi vit K sudah diberikan

2

- BAK sudah keluar

- Keluhan di tempat lain (-)

- Riwayat ibu demam selama kehamilan tidak ada

- Riwayat ibu keputihan ada, banyak, warna putih kental, tidak gatal, tidak

berbau

Riwayat Penyakit dahulu

Tidak ada

Riwayat penyakit keluarga

Dalam riwayat keluarga tidak pernah ada yang menderita kelainan seperti ini.

III. PEMERIKSAAN FISIK

- Keadaan umum : Tampak sakit sedang

- Kesadaran : Compos mentis

- Nadi : 140 x/menit

- Pernafasan : 40 x/menit

- Suhu : Afebris C

Status Generalis

KEPALA

Bentuk : Normocephali, bulat, simetris.

Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.

Mata : Palpebra tidak oedem, konjungtiva anemis -/-, sclera

Anikterik

3

Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung,

, sekret tidak ada.

Mulut : tidak ada kelainan

Telinga : tidak ada kelainan

LEHER : Tidak ada kelainan

THORAKS

- Inspeksi : Bentuk simetris

Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris

Palpasi : -

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru,

Wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

- JANTUNG

Inspeksi : Pulsasi Ictus cordis tidak terlihat.

Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga IV kiri garis klavikula.

Perkusi : dalam batas normal

Auskultasi : teratur, tidak ada bising.

ABDOMEN

Inspeksi : distensi (-)

4

- Palpasi : Supel

Tidak teraba massa/benjolan

- Perkusi : Timpani

- Auskultasi : Bising usus (+) normal

EKSTREMITAS

- Superior : Jari lengkap, sianosis (-), oedem (-)

- Inferior : Jari lengkap, oedem (-), sianosis (-)

Status Lokalis

Regio Anal

Inspeksi, palpasi : Anus (-), fistel (-)

IV. FOTO KLINIS

5

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Hb : 18,2 gr%

Leukosit : 9.900 / mm3

Trombosit : 193.000 mm3

Foto Rontgen

6

V. DIAGNOSIS KERJA

Malformasi anorektal tanpa fistel

VI. PENATALAKSANAAN

Kolostomi emergency

Foto Post Op

7

VII. RENCANA

Posterior Sagital Anorectoplasty

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Malformasi anorektal adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau

anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan

atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma

VACTERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb).1

2.2 Embriologi

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan

hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,

esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.

Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon

asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut

hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan

ektoderm dari protoderm.2

Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon

desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. endodern usus belakang ini

juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian akhir usus

belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang

berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara

endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka.2

Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu

septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini

tumbuh kearah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu

sinus uroginetalis primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika

mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di

daerah ini terbentuklah korpus parienalis. Membran kloakalis kemudian terbagi

menjadi membran analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan.2

9

Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim,

yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membran

analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas

kanalis analisberasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus

belakang, yaitu arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah

kanalis analis berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata,

yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari

epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng.2

2.3 Etiologi

Atresia ani dapat disebabkan karena:

1. Gangguan organogenesis dalam kandungan

2. Berkaitan dengan sindrom down

Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah

komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi

meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1

dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000

kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani

dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut

menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat

menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat

multigenik.3

2.4 Patofisiologi

Secara embriologis, kelainan ini mempunyai dasar kelainan, yaitu4:

Gangguan pembagian kloaka oleh septum urorektal menjadi sinus

urogenital di anterior dan kanal anorektal di posterio, sehingga

terbentuklah fistel antara rektum dengan saluran kencing (pada alki-laki)

dan antara rektum dengan genetalia (pada perempuan)

10

Kelebihan fusi dari lipatan genital lateral sehingga menutupi lubang anus

atau kegagalan partial atau komplit menyerap membran anal sehingga

membran anal tetap ada utuh sebagian

2.5 Klasifikasi

Menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan

yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi

menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel

tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki –

laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis

anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit.5

Gambar 2.1 Gambaran Atresia Ani pada laki-laki

Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu

kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak

ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan

dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada.

dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit.5

11

Gambar 2.2 Gambaran Atresia Ani pada perempuan

2.6 Manifestasi Klinis

Pada saat bayi baru lahir, malformasi anorektal biasanya dapat diketahui

yaitu berupa tidak adanya anus normal. Pada beberapa bayi dijumpai fistula

seperti rektouretral atau rektovesikal sehingga urinnya bercampur mekonium, dan

mekonium keluar dari vagina jika terdapat fistula rektovagina, dan pada kelainan

letak rendah dapat ditemui adanya fistula di perineum, tetapi mungkin tidak

tampak pada saat lahir dan secara berangsur-angsur dengan adanya peristaltik

memaksa mekonium melewati fistula tersebut. Gejala yang menunjukan

terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam, gejala yang lain berupa perut

kembung, muntah, dan tidak bisa buang air besar.4

Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih

abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50%-60%.

Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih

sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi

beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler.6

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan

malformasi anorektal adalah

1. Kelainan kardiovaskuler.

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan

yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus

arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.

2. Kelainan gastrointestinal.

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),

obstruksi duodenum (1%-2%).

3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan

lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan

12

hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah

myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.

4. Kelainan traktus genitourinarius.

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada

atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital

dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani

letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun

muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,

Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae,

Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb

abnormality). ( Oldham K, 2005).

2.7 Diagnosis

Dalam mengevaluasi malformasi anorektal harus ditujukan untuk

menetapkan apakah kelainan itu letak rendah atau letak tinggi, untuk

menentukan pengobatan awal dan pengobatan defenitif. Disamping itu perlu

dicari adanya fistula atau kelainan bawaan yang lain.4

Menurut Pena, untuk mendiagnosa menggunakan cara:

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin :

a. Fistel perianal (+), anal stenosis atau anal membran berarti

atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital

Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi

b. Bila mekonium (-) maka atresia letak tinggi dan dilakukan

kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan

tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan

invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak

rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel

dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.

2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

13

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP

tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan

kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila

akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila

akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.

Leape (1987) menyatakan bila mekonium didapatkan pada perineum,

vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila pada

pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah.

Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\

udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan

vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan

bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula

lakukan fistulografi.1

Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan

gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada

pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan

dengan memasukkan termometer melalui anus.3

Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan

fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan

selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa

keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan

bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter

yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong.

Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus

otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24

jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah

akan dilakukan colostomy atau anoplasty.3

Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,

ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan

14

bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini

berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy.

Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani

letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin

tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat

keluarnya mekonium).3

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani

letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Ketika terdapat lesi letak

rendah, yang diperlukan hanyalah operasi daerah perineal tanpa kolostomi. Ketika

terdapat kloaka persisten, saluran urin perlu dievaluasi lebih teliti pada saat

membuat kolostomi untuk memastikan bahwa pengosongan yang normal dapat

terjadi dan menentukan apakah buli-buli perlu didrainase dengan vesikostomi.1,6

Menurut pena malformasi anorektal letak tinggi dan intermediet

dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi

definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini tehnik yang paling banyak dipakai adalah

posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau full postero sagital

anorektoplasti.1,6

Prinsip pengobatan operatif pada malformasi anorektal dengan eksplorasi

postero sagital anorektal plastik, akan banyak menggunakan kolostomi

perlindungan atau kolostomi sementara. Ada dua tempat kolostomi yang

dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi, yaitu: transversokolostomi (kolostomi

di kolon transversum) dan sigmoidostomi (kolostomi di sigmoid). Bentuk

kolostomi yang mudah dan aman adalah laras ganda (double barrel).1

Kolostomi dilakukan pada saat neonates, manfaat melakukan kolostomi

adalah:

a. mengatasi obstruksi usus

b. memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan

lapangan operasi yang bersih

15

c. memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan

lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta

menemukan kelainan bawaan yang lain.1,6

Setelah dilakukan kolostomi, tindakan definitif akan dilakukan 3-4 bulan

kemudian. Dengan alasan pasien diharapkan telah memiliki keadaan umum yang

baik, fungsi peristaltis dari pasien sudah membaik. Dan komplikasi-komplikasi

untuk tindakan bedah sudah teratasi seperti gangguan sirkulasi, gangguan jalan

napas, dan keseimbangan cairan elektrolit telah terjaga. Kenapa diambil waktu 3-

4 bulan karena menurut Albanese et al, semakin cepat perbaikan dari suatu

malformasi keongenital semakin baik hasil yang didapatkan dan juga lebih cepat

untuk melatih reflex defekasi dari otak merupakan hal yang sangat penting.1,6

Penatalaksanaan malformasi anorektal (pada gambar 1)

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada laki-laki

Penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan (gambar 2)

16

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada perempuan

DAFTAR PUSTAKA

17

1. Faradilla N, Damanik R.R, Mardhiya W.R.2009. Anestesi pada Tindakan Posterosagital Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorektal. Universitas Riau.

2. Sadler, T.W. 1997. Embriologi Kedokteran Langman. alih bahasa, Joko Suyono; editor, Devi H. Ronardy. Jakarta: EGC.

3. Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 30 November 2014]

4. Suraatmaja,S. Gastroenterologi. Cetakan kedua. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2007.hlm. 252-3

5. Sjamsuhidajat R. De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.hlm. 667-70.

6. Grosfeld J, O’Neill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6th edition. Philadelphia:Mosby elseivier, 2006; 1566-99

18