Case Obs 86 B Revisi Antar

66
Laporan Kasus Penatalaksanaan Syok Hipovolemik ec Solusio Plasenta pada Preeklampsia Berat dan HELLP Syndrom dengan IUFD Disusun Oleh: Alven Edra Lana Novia Ade Putri Lidia Wati Muhammad Nasir Nadya Fitriana Norra Purty Yolanda Nurwahidah Ridho Maulana Sukamto Pembimbing: Dr. dr. Syamsul Bahri, SpOG KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

description

jnjn

Transcript of Case Obs 86 B Revisi Antar

Page 1: Case Obs 86 B Revisi Antar

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Syok Hipovolemik ec Solusio

Plasenta pada Preeklampsia Berat dan HELLP

Syndrom dengan IUFD

Disusun Oleh:

Alven EdraLana Novia Ade Putri

Lidia WatiMuhammad Nasir

Nadya FitrianaNorra Purty Yolanda

NurwahidahRidho Maulana

Sukamto

Pembimbing:

Dr. dr. Syamsul Bahri, SpOG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMAD

PEKANBARU

2015

Page 2: Case Obs 86 B Revisi Antar

BAB I

PENDAHULUAN

Kematian ibu dan perinatal merupakan tolak ukur kemampuan pelayanan kesehatan

suatu negara dan merupakan salah satu indikator spesifik status kesehatan suatu masyarakat.

Mortalitas dapat dilihat dari indikator angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi

(AKB). Penyebab terbanyak kematian ibu karena komplikasi kehamilan dan persalinan di

seluruh dunia adalah perdarahan sebanyak 28%.1

Tingginya angka kematian ibu terbanyak kedua ialah disebabkan oleh hipertensi

dalam kehamilan berupa preeklamsia-eklamsia sebanyak 24%. Menurut data kesehatan

indonesia 2010 angka kematian ibu (AKI) dinilai masih cukup tinggi dibandingkan dengan

target Millenium Development Goals (MDG’s). AKI pada tahun 2010 yaitu sekitar

214/100.000, sedangkan target MDG’s AKI tahun 2015 sebesar 102/100.000 kelahiran

hidup.2

Faktor penyebab kematian ibu dibagi menjadi dua yaitu, faktor penyebab langsung

dan faktor penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung kematian ibu di Indonesia

masih didominasi oleh perdarahan post partum, preeklamsia-eklamsia dan infeksi. Sedangkan

faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena masih banyaknya kasus tiga terlambat

dan empat terlalu. Tiga terlambat yaitu terlambat memutuskan untuk memperoleh

pertolongan persalinan, terlambat sampai ke tempat pelayanan, dan terlambat mendapat

pertolongan medis, dan empat terlalu yaitu, terlalu muda melahirkan, terlalu dekat jarak

melahirkan, terlalu sering melahirkan, dan terlalu tua melahirkan.3,4

Preeklamsia merupakan penyebab kedua terbanyak pada angka kematian ibu

disamping perdarahan dan infeksi. Preeklamsia hingga saat ini masih merupakan masalah

obstetri yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas.5

Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan peningkatan

tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengalami

hipertensi.5,6 Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga

kehamilan.6 Gejalanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan sehingga terapi

definitifnya yaitu berupa terminasi kehamilan.7 Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada

ibu maupun janin yang dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP

(hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan,

solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran

1

Page 3: Case Obs 86 B Revisi Antar

premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD). Angka

kejadian preeklampsia berkisar antara 5 – 15% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia.6

Solusio plasenta merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia berat yang dapat

menimbulkan kematian ibu dan janin, dengan angka kematian maternal 15% dan angka

kematian perinatal 50-80%.6

Angka kematian ibu dan anak bergantung pada luasnya plasenta yang terlepas,

lamanya solusio plasenta berlangsung, usia janin dan banyaknya perdarahan yang terjadi,

sehingga ketepatan diagnosis dan pengobatan segera merupakan hal yang penting dalam

pengelolaannya. Keadaan ini tentunya menjadi tantangan untuk senantiasa agar dapat

mendeteksi secara dini kasus-kasus preeclampsia serta penanganannya perlu segera

dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.1

2

Page 4: Case Obs 86 B Revisi Antar

BAB II

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PENDERITA

Nama pasien : Ny. P

Umur : 36 tahun

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : Jl. Pasir Sialang Kec. Bangkinang Kampar

No. MR : 88 79 84

ANAMNESIS

Pasien masuk Kamar Bersalin IGD RSUD AA Pekanbaru pada tanggal 18 April 2015 Jam

18.50 WIB, rujukan dari RSU Bangkinang dengan G6P5A0H5 hamil 39 - 40 minggu, belum

inpartu dengan PEB-HELLP syndrome, syok hipovolemik et causa suspect solusio plasenta,

janin tunggal mati intrauterin. Infus terpasang 2 i.v line dan sudah resusitasi 1000 cc RL.

a. Keluhan Utama :

Tidak merasakan gerakan-gerakan janin

b. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien tidak merasakan gerakan janin ± 8 jam SMRS. Keluhan ini disertai nyeri perut

hebat dan perut terasa tegang, keluar darah dari jalan lahir ± 10 kali ganti pembalut,

darah berwarna merah kehitaman. Keluar darah yang sama sebelumnya disangkal.

Keluar air-air disangkal. Perdarahan teradi sudah 3 jam di rumah sebelum akhirnya

dibawa ke Rumah Sakit Umum Bangkinang dengan lama perjalanan sekitar 1 jam.

Setelah dilakukan pemeriksaan dikatakan perdarahan akibat curiga lepasnya

perlengketan plasenta dengan rahim, kemudian pasien mengaku dipasang infus dan

diberi oksigen. Riwayat trauma dan riwayat diurut-urut disangkal. Pasien dirujuk ke

RSUD AA dengan lama perjalanan 2 jam.

Pasien mengaku hamil 9 bulan dengan HPHT 15 Juli 2014 TP 22 April 2015 ~ 39-40

minggu. Pasien kontrol kehamilan tidak teratur, hanya 1 kali sejak awal kehamilan

saat usia kehamilan 6 bulan dan USG 1 kali saat usia kehamilan 6 bulan di RS swasta

3

Page 5: Case Obs 86 B Revisi Antar

di Bangkinang dikatakan ibu dan janin sehat. Keluhan nyeri kepala dan terasa berat

ditengkuk selama kehamilan ini disangkal. Pasien pertama kali merasakan gerakan

janin saat usia kehamilan 5 bulan dan sudah tidak aktif sejak ± 8 jam SMRS.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), Alergi (-), Penyakit Jantung (-), riwayat

perdarahan selama kehamilan sebelumnya (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga :

Hipertensi (+), Diabetes Melitus (-), Asma (-), Alergi (-), Penyakit Jantung (-)

e. Riwayat Ante Natal Care :

Pasien kontrol kehamilan tidak teratur, hanya 1 X sejak awal kehamilan saat usia

kehamilan 6 bulan dan USG 1 X saat usia kehamilan 6 bulan dan dikatakan janin

sehat, tidak pernah ANC lagi setelah itu karena merasa sehat-sehat saja.

f. Riwayat Haid:

Menarke usia 13 tahun, siklus teratur 30 hari, selama 5-6 hari, banyaknya 2-3 kali

ganti pembalut/ hari dan dismenore (-).

g. Riwayat Perkawinan :

1 kali saat usia 16 tahun

h. Riwayat Kehamilan/ Persalinan/ Abortus : hamil 6/ persalinan 5/ keguguran 0/

hidup 5

I. Perempuan, tahun 1998, sehat, ditolong suami

II. Perempuan, tahun 2000, sehat, ditolong suami

III. Laki-laki, tahun 2005, sehat, ditolong suami

IV. Laki-laki, tahun 2008, sehat,ditolong suami

V. Laki-laki, tahun 2010, sehat, ditolong suami

VI. Kehamilan ini

i. Riwayat KB :

Suntik 3 bulan dari anak 1 ke 2, selanjutnya tidak pernah KB lagi karena

mengeluhkan badan terasa tidak fit karena memakai KB tersebut.

j. Riwayat Sosial Ekonomi :

Suami bekerja sebagai buruh bangunan dengan gaji tidak tetap, gaji terbesar ±

3jt/bulan dan sering kurang, ibu sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan sekian untuk

7 orang. Memiliki 1 kendaraan sepeda motor untuk keperluan pekerjaan suami. Jarak

4

Page 6: Case Obs 86 B Revisi Antar

rumah dengan rumah tetangga terdekat sekitar ± 500 meter. Tidak ada bidan ataupun

tenaga kesehatan lain disekitar rumah.

PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan Umum

Sakit sedang

b. Kesadaran

Komposmentis

c. Tanda Tanda Vital

Tekanan Darah : 90/60 mmHg

Frek. Nadi : 120 x/menit

Frek. Nafas : 27x/menit

Suhu : Afebris

TB : 158 cm

BBSH/BBH : 65/70 kg

IMT : 26,10 kg/m2

d. Status Generalis

Kepala

Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Leher

JVP tidak meningkat

Thoraks

Paru : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung : BJ I - II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Status Obstetrikus

Genetalia : Status Obstetrikus

Ekstremitas : edema (-), reflek patela pada kedua tungkai+/+

e. Status Obstetrikus

Muka : kloasma gravidarum (+)

Mammae : hiperpigmentasi areola mammae, mammae membesar dan menegang,

papilla mammae menonjol.

5

Page 7: Case Obs 86 B Revisi Antar

Abdomen

Inspeksi :

Perut tampak membesar sesuai dengan usia kehamilan, striae gravidarum (+),

hiperpigmentasi linea mediana (+), skar (-).

Palpasi :

TFU 3 jari dibawah prosesus xypoideus, perut teraba tegang seluruh abdomen, sulit

diraba bagian janin

TFU : 39 cm, TBJ : tidak bisa dinilai

His : tidak dapat dinilai

Auskultasi : DJJ tidak dapat dinilai

Genetalia eksterna

Inspeksi /palpasi : V/U tenang, tampak perdarahan berwarna merah kehitaman

didepan vulva.

Genetalia interna

VT/bimanual palpasi : portio kenyal, efficement 25%, posterior, φ 1 cm, ketuban

(+), menonjol . kepala floating

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil laboratorium (18/04/2015)

Hemoglobin : 6,3 g/dl

Hematokrit : 18,3 %

Leukosit : 17.200/μL

Trombosit : 31.000/Μl

MCV : 88,2 μm3

MCH : 29,9 pg/sel

MCHC : 33,9 g/d

PT : 20,8 sec

INR : 1,760

APTT : Memanjang > 113 sec

Fibrinogen : 0,413

Glu 89, Ur/Cr 31.7/0.84, SGOT/SGPT 56.5/21, Alb 2.7, BILT/BILD 4.54/0.74, IND

BIL 3.8, BUN 14.8

Na + 137.6 / K + 2.78 / Cl- 111.0

Proteinurin +3 stik/lab

6

Page 8: Case Obs 86 B Revisi Antar

DIAGNOSIS KERJA

G6P5A0H5 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, syok hipovolemic ec HAP ec solusio

plasenta, PEB, HELLP Syndrome, Janin tunggal mati intrauterine.

RENCANA

Hemodinamik ibu stabil Observasi KU, Tanda vital

Terminasi kehamilan perabdominam SC Cito alasannya apa?

Atasi Anemia Transfusi 2 PRC, 2 WB, 10 TC, 5 FFP jangan disingkat

Tatalaksana PEB MgSO4 40% loading 4gr iv. Maintenance dose 2gr/jam. Kontrol

tekanan darah jika TD ≥ 160/110 nifedipin 10mg po max 4 tab/20 menit s.d ↓ MAP 20%

syaratnya apa aja? Urin tidak di laporkan

dasar PEB nya tidak jelas

kasi MgSO4 kalau syok hipovolemik sudah di koreksi, ini penanganan syok nya

tidak di laporkan.

Tatalaksana HELLP Syndrome hari I : Inj. Dexamethason 2 x 10mg, hari II : 2 x 5 mg

Rencana perawatan Back up ICU

Motivasi KB Tubektomi Pomeroy (SIO +)

Koreksi albumin mana?

Koreksi kalium mana?

FOLLOW UP

Tanggal 18/04/2015 jam 19.00 WIB (VK IGD)

S = Nyeri kepala bagian depan (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-)

O = TD 110/80 mmHg N 116x/menit P 26x/menit Saturasi 99%

A = G6P5A0H5 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, syok hipovolemic ec HAP ec solusio

plasenta, PEB, Hellp Syndrome, Janin tunggal mati intrauterin

P = Pasang infus RL drip MgSO4 40%, guyur 200 cc, selanjutnya 20 tpm.

Reaksi alergi tidak ada, injeksi ceftriakson 1 gr/iv, injeksi deksametason 2 amp/iv

Informed consent suami, persiapan transfusi darah, persiapan ruangan operasi

Dilakukan amniotomi, ketuban berwarna kemerahan

Tanggal 18/04/2015 jam 20.30 WIB (VK IGD)

S = Nyeri kepala bagian depan (-), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-)

7

Page 9: Case Obs 86 B Revisi Antar

O = TD 100/70 mmHg N 118 x/menit P28x/menit Saturasi 100%

A= G6P5A0H5 hamil 39-40 minggu, belum inpartu, syok hipovolemic ec HAP ec soluio

plasenta, PEB, Hellp Syndrome, Janin tunggal mati intrauterine

P = injeksi lasix 1 amp/iv

Transfusi TC 3 kantong

Pasien ke OK IGD

Laporan Sectio Caesarea (18/04/2015 jam 22.00-23.50 WIB)

Pasien posisi telentang diatas meja operasi dalam anestesi umum

A dan antisepsis daerah lapangan operasi dan sekitarnya

Insisi mediana ±10 cm, dinding abdomen dibuka lapis demi lapis. Peritoneum dibuka,

tampak uterus gravidus.

Plika vesikouterina dibuka, kandung kemih disisihkan kebawah. SBR disayat tajam

berbentuk semilunar, dilebarkan tumpul

Dengan meluksir kepala, lahir mati bayi laki-laki, BB 2600 gr, PB 46 cm, AS 0/0,

maserasi grade II

Plasenta berimplantasi di corpus anterior, dengan tarikan ringan pada tali pusat,

dilahirkan plasenta kesan lengkap, tampak hematom retroplasenter ±75%. Dilakukan

eksplorasi uterus, didapatkan uterus couvalaire, kontaksi uterus tidaak baik

diberikan utero tonika tidak berespon atonia uteri. Diskusi dnegan konsulen onsite

diputuskan untuk dilakukan histerektomi

Ligamentum rotundum kanan dan kiri diidentifikasi, diklem, dipotong dan diikat.

Ligamentum latum kanan dan kiri ditembus dari belakang, pangkal tuba dan ligamentum

ovarii proprium diklem dipotong dan diikat. Ligamentum latum kanan dan kiri dibuka

tajam, digunting sedekat mungkin ke uterus sampai setinggi plika vesikouterina.

Identifikasi arteri uterina kanan dan kiri, diklem, digunting dan ligasi. Ligamentum

cardinale dan scarouterina kanan dan kiri diklem, digunting dan diikat.

Identifikasi SBR uterus dipotong setinggi SBR, dijahit dengan safil no. 1 secara

jelujur. Diyakini tidak ada perdarahan, alat dan kasa lengkap. Dinding abdomen dijahit

lapis demi lapis. Peritoneum dijahit jelujur dengan chromic no.0. fascia dijahit jelujur

dengan safil no. 1. subkutis dijahit interupted dengan chromic. Kulit dijahit subkutikuler

dengan safil 3/0

Peritoneum dijahit secara jelujur dengan benang catgut no 2.0. Otot dijahit secara satu-

satu dengan catgut chromic no.2.0. Fascia dijahit secara jelujur dengan benang vicryl no.

8

Page 10: Case Obs 86 B Revisi Antar

1. subkutis dijahit satu-satu dengan benang catgut chromic no. 2.0. Kulit dijahit secara

jelujur dengan benang vicryl no 3.0

Intra op masuk 2 PRC dan 1 WB

Instruksi Perawatan Post Operasi

Hemodinamik ibu stabil :

Obs. KU, TV, TFU, kontraksi, perdarahan, diuresis per 15 menit selama 1 jam pertama,

per 30 menit selama 1 jam kedua

Cek DPL post op transfusi sampai Hb ≥8 gr/dl

Cek SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, Albumin, PT/APTT, Fibrinogen

Cegah infeksi : Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam iv

Atasi Anemia Transfusi 2 PRC, 2 WB, 10 TC, 5 FFP

Tatalaksana PEB MgSO4 40% maintenance dose 2gr/jam. Kontrol tekanan darah jika

TD ≥ 160/110 nifedipin 10mg po max 4 tab/20 menit s.d ↓ MAP 20%

Tatalaksana Hellp Syndrome hari I : Inj. Dexamethason 2 x 10mg, hari II : 2 x 5 mg

Atasi nyeri : Pronalges supp / 8 jam

Cek DPL 2 jam post op : Hb < 8 gr/dl, rencana transfusi

Realimentasi Dini : Menunggu bising usus (+)

Atasi Hipokalemia : KCl 50 mEq + RL 500cc/8 jam

Rawat ICU

Tanggal 19/04/2015 jam 00.15 WIB (ICU)

Jam Kesadaran Pupil Reflek GCS TD MAP Nadi00.1501.0002.0003.0004.0005.0006.00

CMCMCMCMCMCMCM

2/22/22/22/22/22/22/2

+/++/++/++/++/++/++/+

456456456456456456456

139/85146/80142/75130/70

130/63

939088

75

86857680

87

Balance cairan :

I = 1070 cc

O = 800 cc

9

Page 11: Case Obs 86 B Revisi Antar

IWL = 150 cc

B = +120 cc

Tanggal 19/04/2015 jam 07.30 WIB (ICU)

S= Nyeri luka operasi minimal, demam (-), perdarahan pervaginam tidak ada.

O= Keadaan umum: tampak sakit sedang

Kesadaran: composmentis

TD : 129/60 mmHg N : 78x/i S : 36,5°C P : 22x/i Sat O2 : 98%

St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (+), gallop (+)

pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

abdomen : tampak perban menutupi luka bekas operasi, rembesan (-), pus (-),

darah (-), drain terpasang baik : produksi (+) 250 cc.

ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.

St. Obstetri : I= V/U tenang, fluor (-), fluxus (-)

Io&VT tidak dilakukan

Balance cairan/ 6 jam

I : cairan 300 cc + darah 2000 cc = 2300cc

O : urin 800 cc + darah 250 cc = 1050cc

B : +1250cc

D : 2,2cc/kgbb/jam

A= Perawatan luka operasi hari ke I pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c

covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :

Pemanjangan PT/APTT e.c DIC

Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC

Anemia e.c perdarahan

Hipoalbuminemia

PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)

P=

Hemodinamik ibu stabil:

a. Obs KU, TTV, perdarahan, berkemih, tanda akut abdomen, produksi urin.

b. Balance cairan seimbang : cegah overload cairan

c. Target MAP > 65%, saturasi O2>95%.

10

Page 12: Case Obs 86 B Revisi Antar

Atasi anemia : pasien sudah masuk 5 TC, 2WB, 2 PRC, 2FFD, cek DPL post

operasi

Kontrol TD nifedipin 3 x 10 mg bila tekanan darah ≥ 160/110 mmHg.

Cegah kejang : MgSO4 40% 2 gram/jam

Atasi HELLP syndrome : inj. Dexamethason 2 x 10 mg hari ke I, dilanjutkan

inj.Dexamethason hari ke II

Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2200 kkal, putih telur 8 buah/hari.

Pindahan pasien dari ICU (20/04/2015 jam 11.45 WIB)

S = nyeri luka operasi (+), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-), nyeri kepala depan (-),

demam (-)

O = keadaan umum tampak sakit ringan

TD : 116/68 mmHg N : 63x/i T : 36,5°C P : 26x/i

St. Generalis : mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,

rembesan darah (-).

ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.

St. Obstetri : I= V/U tenang

Diuresis :1200cc/4jam = 5 cc/kgbb/jam

Post transfusi 2 PRC, 10 cryo, 5 TC

Io&VT tidak dilakukan

DPL (19/04/2015) : 6,6/19,35/18.600/420.100//82,42/28,12/34,12

PT/APTT : 20,8/>113, Alb 2,7

A= Perawatan luka operasi hari ke 1,5 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c

covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :

Pemanjangan PT/APTT e.c DIC

Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC

Anemia e.c perdarahan

Hipoalbuminemia

PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)

P=

Hemodinamik ibu stabil:

11

Page 13: Case Obs 86 B Revisi Antar

a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.

b. Balance cairan seimbang

c. Target MAP > 65%, saturasi O2>95%.

Atasi anemia : post transfusi 10 cryoprecipitate, 10TC, 2 PRC, 5 FFP.

Cek DPL post transfusi, PT/APTT/SGOT?SGPT diruangan

Kontrol TD nifedipin 3 x 10 mg bila tekanan darah ≥ 160/110 mmHg.

Cegah kejang : MgSO4 40% 2 gram/jam

Atasi HELLP syndrome : inj. Dexamethason hari ke II 2 x 5 mg

Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 8 buah/hari.

Pasien sudah dirawat diruangan (HCU) setelah observasi 1 hari pindah ke camar I

Tanggal 20/04/2015 jam 17.50 WIB ( HCU Camar II)

S = nyeri luka operasi (+), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-), nyeri kepala depan (-),

demam (-)

O = keadaan umum tampak sakit ringan

Kesadaran komposmentis

TD : 115/69 mmHg N : 69x/i T : 36,5°C P : 25x/i

St. Generalis : mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,

rembesan darah (-).

ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.

St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)

Post transfusi 2 PRC, 10 cryo, 5 TC

A= Perawatan luka operasi hari ke 1,5 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c

covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :

Pemanjangan PT/APTT e.c DIC

Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC

Anemia e.c perdarahan

Hipoalbuminemia

PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)

P=

12

Page 14: Case Obs 86 B Revisi Antar

Hemodinamik ibu stabil:

a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.

b. Balance cairan seimbang

Atasi anemia : transfusi 3 PRC target Hb>8

Atasi HELLP syndrome : inj. Dexamethason 2 x 5 mg

Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari.

Tanggal 21/04/2015 jam 07.00 WIB (HCU Camar II)

S = nyeri kepala (+), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-)

O = keadaan umum baik

Kesadaran komposmentis

TD : 164/71 mmHg N : 99x/i T : 36,3°C P : 20x/i

St. Generalis : mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,

rembesan darah (-).

ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.

St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)

Post transfusi tambahan 2 PRC

DPL (20/04/2015) : 6,8/21/13.400/64.000

PT/APTT : 1,08/0,8

A= Perawatan luka operasi hari ke 2 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c

covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :

Pemanjangan PT/APTT e.c DIC

Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC

Anemia e.c perdarahan

Hipoalbuminemia

PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)

P=

Hemodinamik ibu stabil:

a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.

b. Balance cairan seimbang

Atasi anemia : transfusi PRC 3 kantong, cek DPL post transfusi

Atasi HELLP syndrome : inj. Dexamethason 2 x 5 mg selama 2 hari (sudah selesai)

Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari. 13

Page 15: Case Obs 86 B Revisi Antar

Rencana rawat di Camar I

Tanggal 21/04/2015 jam 12.30 WIB

Diskusi dengan konsulen camar I dr. Zulmaeta, SpOG (K)

Pasien dengan permasalahan diatas, di acc untuk dirawat di Camar I dengan hemodinamik

stabil.

S = nyeri kepala (+), nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-)

O = keadaan umum baik

Kesadaran komposmentis

TD : 160/75 mmHg N : 95x/i T : 36,4°C P : 20x/i

St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,

rembesan darah (-).

ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.

St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)

Post transfusi PRC 7, WB 2, FFP 8, TC 10, cryo 10

Rencana transfusi tambahan PRC 1 kolf

A= Perawatan luka operasi hari ke 3 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c

covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :

Pemanjangan PT/APTT e.c DIC

Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC

Anemia e.c perdarahan

Hipoalbuminemia

PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)

P=

Hemodinamik ibu stabil:

a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.

b. Balance cairan seimbang

Atasi anemia : transfusi PRC 3 kantong, cek DPL post transfusi

Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari.

Ranitidin 2 x 1 tab

Anti nyeri : Na. Diklofenak 2 x 1

14

Page 16: Case Obs 86 B Revisi Antar

Cegah infeksi : Cefadroksil 2 x 1

Tanggal 22/04/2015 jam 06.30 WIB

S = nyeri kepala (-), nyeri ulu hati (-)

O = keadaan umum baik

Kesadaran komposmentis

TD : 140/90 mmHg N : 85x/i T : 36,3°C P : 18x/i

St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,

rembesan darah (-).

ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.

St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)

Post transfusi PRC 7, WB 2, FFP 8, TC 10, cryo 10

Na/K/Cl (21/04/2015) : 135,5/3,08/104,6

A= Perawatan luka operasi hari ke 4 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c

covulaire uterus e.c solusio plasenta, dengan permasalahan :

Pemanjangan PT/APTT e.c DIC

Trombositopenia e.c PEB HELLP syndrome dd DIC

Anemia e.c perdarahan

Hipoalbuminemia

PEB HELLP syndrome (TD terkontrol)

P=

Hemodinamik ibu stabil:

a. Obs KU, TTV, perdarahan, diuresis, tanda akut abdomen.

b. Balance cairan seimbang

Atasi anemia : transfusi PRC 3 kantong, cek DPL post transfusi

Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari.

Ranitidin 2 x 1 tab

Anti nyeri : Na. Diklofenak 2 x 1

Cegah infeksi : Cefadroksil 2 x 1

15

Page 17: Case Obs 86 B Revisi Antar

Tanggal 23/04/2015 jam 12.30 WIB

S = nyeri pada luka operasi (-)

O = keadaan umum baik

Kesadaran komposmentis

TD : 130/80 mmHg N : 84x/i T : 36,7°C P : 16x/i

St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,

rembesan darah (-).

ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.

St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)

DPL (22/04/2015) : 12,53/37,43/17.810/120.000//85,02/28,45/33,46

Glu 54 Bil direct/Bil total 0,39/2,37 ure /cre 47/1,48 Ast/Alt 16/22 Alb 3,58

A= Perawatan luka operasi hari ke 5 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia uterus e.c

covulaire uterus e.c solusio plasenta

P= Hemodinamik ibu stabil: Obs KU, TTV, tanda akut abdomen.

Atasi hipoalbuminemia : diet TKTP 2000 kkal, putih telur 6 butir/hari.

Anti nyeri : Na. Diklofenak 2 x 1

Cegah infeksi : Cefadroksil 2 x 1

Hasil konsultasi dengan dr. Zulmaeta, SpOG (K) pasien Ny. Purwati binti Sardi usia 36 tahun

dengan perawatan luka operasi hari ke 5 pada P6A0H5 post cesarea histerektomi a/i atonia

uterus e.c covulaire uterus e.c solusio plasenta di advise untuk aff drain hari ini dan pulang

besok.

Tanggal 24/04/2015 jam 06.30 WIB

S = keluhan (-)

O = keadaan umum baik

Kesadaran komposmentis

TD : 130/80 mmHg N : 74x/i T : 36,7°C P : 18x/i

St. Generalis : mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

thoraks : cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

16

Page 18: Case Obs 86 B Revisi Antar

abdomen : datar, lemas, tampak perban menutup luka bekas operasi,

rembesan darah (-).

ekstremitas : akral hangat, edema -/-, CRT< 2 detik.

St. Obstetri : I= V/U tenang, perdarahan aktif (-)

DPL (22/04/2015) : 12,53/37,43/17.810/120.000//85,02/28,45/33,46

Glu 54 Bil direct/Bil total 0,39/2,37 ure /cre 47/1,48 Ast/Alt 16/22 Alb 3,58

A= P6A0H5 post caesarean subtotal histerektomi a/i uterus couvelaire e.c atonia uteri dengan

perawatan luka operasi hari ke 6

P= Hemodinamik ibu stabil: Obs KU, TTV

Diet TKTP, putih telur

Rencana pulang

17

Page 19: Case Obs 86 B Revisi Antar
Page 20: Case Obs 86 B Revisi Antar

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Syok Hipovolemik

3.1.1 Difinisi

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi

kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,

disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi

yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan

darah yang cepat (syok hemoragik). 8

3.1.2 Patofisiologi

Tubuh manusia berespon terhadap pendarahan akut dengan mengaktivasi

sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskular, ginjal,

dan sistem neuroendokrin.9

Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan

akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah

(melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga

melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur

pada sumber pendarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen,

yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan

darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari

bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna. 9

  Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik

dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan

vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan

pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur

oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah

pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke

otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus

gastrointestinal. 9

18

Page 21: Case Obs 86 B Revisi Antar

  Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan

sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah

angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi

angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang

keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu

vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari

korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan

akhirnya akan menyebabkan retensi air. 9

  Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan

meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari

glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah

(dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang

dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan

peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus

kolektivus, dan lengkung Henle.10

Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam

memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi

cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan,

perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan

segera terjadi.10

  Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian darah rata-rata dan

menurunkan aliran darah  balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan

penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan

menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ. 10

Mikrosirkulasi

Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk

meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi

jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya

gastrointestinal. Kebutuhan energy untuk penalaksanaan metabolism di jantung

dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ tersebut tidak mampu menyimpan

cadangan energy. Sehingga keduanya sangat bergantung akan kesediaan oksigen

19

Page 22: Case Obs 86 B Revisi Antar

dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang

melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata

(mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ

akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu. 11

Neuroendokrin

Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan

kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autoimun tubuh

yang mengatur perfusi serta substrak lain. 11

Kardiovaskular

Tiga variabel seperti : pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)

ventrikel dan kontraksi miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume

sekuncup. Curah jantung,  penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali

volume sekuncup dan frekuensi  jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan

pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu

peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan

mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.10

Gastrointestinal

Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi

peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang

mati dalam usus. Hal ini memicu pelebaran darah serta peningkatan metabolisme

dan bukan memperbaiki sel dan menyebabkan depresi jantung. 11

Ginjal

Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi,

frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.

Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok,

sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media

kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan

mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang,

20

Page 23: Case Obs 86 B Revisi Antar

tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang

bersama-sama dengan aldosteron dan vesopresin bertanggung jawab terhadap

menurunnya produksi urin. 11

Penyebab utama syok hipovolemik adalah perdarahan akut > 20% volume

darah total.12

3.1.3 Klasifikasi dan diagnosis

21

Perdarahan akut

Syok hipovolemik

Curah jantung berkurang

Tekanan darah arteri berkurang

Perfusi jaringan terganggu

Anoreksia jaringan

Metabolisme sel berubah dari aerobik menjadi anaerobik

Terbentuk banyak asam laktat

Asidosis metabolik

Kerusakan jaringan otak, ginjal, dll (gagal organ multipel)

Henti jantung

KEMATIAN

Page 24: Case Obs 86 B Revisi Antar

Klasifikasi syok perdarahan adalah sebagai berikut13

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IVJumlah darah yang hilang (ml)

>750 750 – 1500 1500 – 2000 >2000

Persentasi kehilangan darah

>15% 15% - 30% 30% - 40% >40%

Frekuensi nadi (kali/menit)

<100 100 - 120 120-140 >140

Tekanan darah Normal atau meningkat

Menurun Menurun Menurun

Frekuensi napas (kali/menit)

>20 20 - 30 30 - 40 >35

Urin (ml/jam) >30 20 - 30 5 - 15 DiabaikanStatus mental Sedikit cemas Setengah

cemasCemas, bingung

Bingung, letargi

Cairan pengganti

Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan darah

Kristaloid dan darah

3.1.4 Penatalaksanaan

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok

hipovolemik antara lain:

1) Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang

adekuat peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah

2) Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut

3) Resusitasi cairan. 5

Penanganan awal syok perdarahan:

1. Tindakan umum

Dilakukan sebelum atau selama pengiriman pasien ke tempat rujukan.

Memastikan tidak ada sumbatan jalan napas, tidak memberikan minuman dan

makanan ke dalam mulut pasien karena sewaktu waktu dapat muntah dan terjadi

aspirasi ke dalam paru-paru. Cegah hipotermi. Menaikkan kaki pasien untuk

membantu lairan darah balik ke jantung.

2. Pemberian Oksigen

Pastikan bahwa jalan napas bebas. Oksigen diberikan dalam kecepatan 6-8

liter/menit.22

Page 25: Case Obs 86 B Revisi Antar

3. Pemberian cairan intravena

Pada umumnya dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl 0.9% atau Ringer

Lactat dengan menggunakan jarum infus nomor 16-18 agar cairan dapat

dimasukkan secara cepat. Sebelum menyambungan jarum tersebut dengan infus

set diambil contoh darah untuk memilih jenis darah yang aka ditransfusikan.

Cairan dapat diberikan sebanyak 0,5-1 liter dalam waktu 15-20 menit.

Setelah kehilangan cairan dikoreksi, pemberian cairan infus dipertahankan dalam

kecepatan 1 liter per 6-8 jam.

4. Pemberian transfusi darah

Kehilangan darah dengan kadar Hb < 10 g/dl perlu penggantian darah

dengan transfusi sesuai kebutuhan.1 Keputusan untuk memberikan darah harus

dilakukan dengan sangat hati-hati. Resiko yang serius berkaitan dengan transfusi

darah mencakup penyebaran mikro organisme infeksius (HIV, virus hepatitis);

masalah yang berkaitan dengan imunologik (hemolisis intravaskular)’ dan

kelebihan cairan dalam sirkulasi darah.

Produk darah yang lazim ditransfusikan dalam perdaraha obstetri:

Produk Volume per UnitKandungan per

UnitEfek

Darah lengkap (Whole Blood)

Sekitar 500 mL; Ht 40%

RBC, plasma, 600-700 mg fibrinogen, tanpa trombosit

Memulihkan volume darah dan fibrinogen, meningkatkan Ht 3-4% volume per unit

Packed Red Cells (PRC)

Sekitar 250 mL plus larutan penambah; Ht 55% - 80%

Hanya RBC, tanpa fibrinogen, tanpa trombosit

Meningkatkan Ht 3-4 % volum per unit

Fresh-Frozen plasma (FFP)

Sekitar 250 mL; diperlukan pencairan 30 menit sebelum digunakan

Koloid plus 600 – 700 mg fibrinogen, tanpa trombosit

Memulihkan volume sirkulasi dan fibrinogen. Sering digunakan pada koagulopati konsumtif atau dilusi.

Kriopresipitat

Sekitar 15 mL, beku

Sekitar 200 mg fibrinogen plus faktor pembekuan lain, tanpa platelet

Sekitar 3000 – 4000 mg yang diperlukan untuk memulihkan fibrinogen hingga >150 mg/dL

Trombosit Sekitar 50 mL, Satu unit mening- Biasanya ditransfusikan

23

Page 26: Case Obs 86 B Revisi Antar

disimpan pada suhu ruang

katkan hitung trombosit sekitar 5000/µL (aferesis donor-tunggal “6 pak” lebih dianjurkan)

6-10 unit.

Transfusi darah tidak selalu dapat dilakukan di puskesmas, oleh karena itu

darah tidak selalu mudah diperoleh. Biasanya darah yang disediakan ialah darah

lengkap yang baru diambil dari donor darah.

Pada keadaan berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan

inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan

untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi

dulu. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3-5 menit dilanjutkan 60

mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP. 1

Dalam waktu 20-30 menit setelah pemberian cairan, kondisi pasien dinilai

apakah stabil. Tanda tanda bahwa kondisi pasien sudah stabil atau ada perbaikan

antara lain sebagai berikut:

TD mulai naik, sistolik mencapai 100 mmHg

Frekuensi nadi stabil

Kondisi mental pasien membaik

Produksi urin bertambah (diharapkan produksi urin paling sedikit 100

mL/4 jam atau 30 mL/jam)

Apabila langkah untuk menstabilkan pasien telah dilakukan dan berhasil,

penanganan terhadap penyebab syok harus dilakukan. Jika penyakit yang menjadi

dasar penyebab syok tidak dapat ditangani di tempat itu, pasien harus dirujuk ke

fasilitas yang lebih mampu menangani.

3.2 Solusio Plasenta

3.2.1 Difinisi

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya

yang normal pada uterus, sebelum janin dilahirkan. Definisi ini berlaku pada

kehamilan dengan masa gestasi di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500

gram.

24

Page 27: Case Obs 86 B Revisi Antar

3.2.2 Patofisiologi

Bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korealis

plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi

perdarahan. Oleh karena itu patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada

trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah di desidua.

Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis)

yang disebabkna oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat

menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desudua atau dalam

vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang

menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil

akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapis

tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikan, pada tingkat

permulaan sekali dari proses teridiri atas pembentukan hematom yang bisa

menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian

plasenta pada sekelilingnya yang berdekatan.

Dalam beberapa kejadian pembentukan hematoma retroplasenter

disebabkan oleh putusnya arteri spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenter

mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta

ke sirkulasi janin. Hematoma dapat semakin membesar ke arah pinggir plasenta

sehingga jika amniokhorion sampai terlepas, perdarahan akan keluar melalui

ostium uteri (perdarahan keluar), sebaliknya apabila amniokhorion tidak terlepas,

perdarahan tertampung dalam uterus (perdarahan tersembunyi).

Perdarahan keluar Perdarahan tersembunyi

Keadaan umum penderita relatif lebih baik

Keadaan penderita lebih jelek

Plasenta terlepas sebagian atau inkomplit

Plasenta terlepas luas, uterus keras/tegang

Jarang berhubungan dengan hipertensi Sering berkaitan dengan hipertensi

3.2.3 Diagnosis

25

Page 28: Case Obs 86 B Revisi Antar

Gambaran klinis penderita bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau

luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinis yang

klasik:

Perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80% kasus)

Nyeri perut

Uterus tegang terus menerus mirip his partus prematurus.

a. Solusio plasenta ringan

Hanya 30% kasus yang memiliki sedikit gejala. Pada keadaan yang sangat

ringan tidak ada gejala kecuali hematom retroplasenter berukuran beberapa

sentimeter pada inspeksi plasenta setelah partus. Rasa nyeri pada perut masih

ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar melalui

vagina.

b. Solusio plasenta sedang

Gejala dan tanda sudah jelas, rasa nyeri pada perut yang terus menerus,

perut tegang sehingga sukar melakukan palpasi, denyut jantung janin biasanya

sudah menunjukkan gawat janin, perdarah nyata keluar dari vagina, takikardi,

hipotensi, kulit dingin dan keringatan, oliguria, kadar fibrinogen mulai berkurang

antara 150 sampai 250 mg/100 ml, dan mungkin kelainan pembekuan darah dan

gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada.

c. Solusio plasenta berat

Perut sangat nyeri dan tegang hingga defance musculaire sehingga palpasi

bagian janin tidak mungkin lagi dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada

yang seharusnya karena telah terjadi penumpukan darah didalam rahim. Pada

inspeksi perut tampak membulat dan kulit di atasnya kencang dan mengkilat. Pada

auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi. Terjadi syok hipovolemik.

Hipofibrinogenemia dan oliguria telah ada sebagai komplikasi pembekuan darah

intravaskular yang luas (disseminated intravacular coagulation), dengan

gangguan fungsi ginjal. Kadar fibrinogen darah kurang dari 150mg% dan telah

ada trombositopenia.

26

Page 29: Case Obs 86 B Revisi Antar

Diagnosis definitif hanya bisa ditegakkan secara retrospektif yaitu setelah

partus dengan melihat adanya hematoma retroplasenter. Pemeriksaan USG

berguna untuk membedakan dengan plasenta previa, akan tetapi pada pemeriksaan

USG ini dapat memberikan hasil positif palsu karena solusio plasenta sulit

dibedakan dengan plasenta itu sendiri kecuali pada 48 jam perdarahan karena

pembekuan darah anak tampak lebih ekogenik dan menjadi hipogenik dalam

waktu 1 sampai 2 minggu.

Alfa-feto-protein serum ibu (MSAFP) dan hCG serum ibu ditengarai bisa

melewati plasenta dalam keadaan dimana terdapat gangguan fisiologik dan

keutuhan anatomik dari plasenta. Kadar MSAFP yang tinggi tanpa sebab lain

(seperti kehamilan dengan kelainan kromosom, neural tube defect, hipertensi

karena kehamilan, plasenta previa, ancaman persalinan prematur dan hambatan

pertumbuhan janin) dapat dicurigai solusio plasenta.

3.2.4 Penatalaksanaan

27

Page 30: Case Obs 86 B Revisi Antar

Pada kasus dimana telah terjadi kematian janin dipilih persalinan

pervaginam kecuali ada perdarahan berat yang tidak teratasi dengan transfusi

darah yang banyak atau ada indikasi obstetrik lain yang menghendaki persalinan

dilakukan perabdominam. Hemostasis pada tempat implantasi plasenta

bergantung sekali kepada kekuatan kontraksi miometrium. Karenanya pada

persalinan pervaginam perlu diupayakan stimulasi miometrium secara

farmakologik atau masase agar kontraksi miometrium diperkuat dan mencegah

perdarahan yang hebat pasca persalinan sekalipun pada keadaan masih ada

gangguan koagulasi. Harus diingat bahwa koagulopati berat merupakan faktor

resiko tinggi bagi bedah sesar berhubung kecenderungan perdarahan yang

berlangsung terus pada tempat insisi baik pada abdomen maupun pada uterus.

3.3 Preeklampsia Berat

3.3.1 Difinisi

Preeklamsia adalah sindrom spesifik kehamilan yamg ditandai onset baru

hipertensi dan proteinuria atau tidak terdapatnya proteinuria tetapi ditandai dengan

tanda thrombositopenia, insufisiensi renal, gangguan fungsi ginjal, udema

pulmonal yang timbul setelah umur kehamilan 20 minggu disertai dengan

proteinuria.

3.3.2 Patofisiologi

Banyak teori yang menjelaskan tentang terjadinya preeklamsia-eklamsia

tetapi semua teori itu harus dapat menjelaskan bahwa preeklamsia jauh lebih besar

kemungkinannya timbul pada wanita yang :1

1. Terpajan vili korion untuk pertama kali

2. Terpajan vili korion dalam jumlah sangat besar seperti pada kehamilan

kembar atau mola hidatidosa

3. Sudah mengidap penyakit vaskular

4. Secara genetik rentan terhadap hipertensi yang timbul saat hamil

Etiologi dari preeklamsia masih belum diketahui secara jelas.

Penyebabnya meliputi faktor dari maternal, plasenta dan fetal.4

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari

cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebuh

28

Page 31: Case Obs 86 B Revisi Antar

menembus miometrium berupa arteri arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang

arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan

memberi cabang arteri spiralis.2

Pada hamil normal terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria

spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi

dilatasi arteri spiralis. Dilatasi lumen arteri spiralis memberi dampak penurunan

tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada

daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi

jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan

baik. Proses ini dinamakan ”Remodelling arteri spiralis”.2

Pada hipertensi pada kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada

lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya sehingga terjadi

kegagalan dari ”Remodelling arteri spiralis” yang menyebabkan arteri spiralis

relatif mengalami vasokonstriksi sehingga aliran uteroplasenta menurun, dan

terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.2

Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan

oksidan/radikal bebas. Oksidan yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh

tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Kerusakan

membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan

rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel”

yang menyebabkan :2

a. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel

adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunya produksi prostasiklin

(PGE2): suatu vasodilator kuat.

b. Agregasi sel-sel trombosit menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang

mengalami kerusakan sehingga terjadi vasokontriksi dengan terjadinya

kenaikan tekanan darah.

c. Peningkatan permeabilitas kapilar.

d. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO

(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.

29

Page 32: Case Obs 86 B Revisi Antar

3.3.3 Diagnosis

Hipertensi didiagnosis apabila tekanan darah sistolik mencapai ≥ 140 dan

tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang diukur dalam 2 selang waktu yang

berbeda ≥ 4 jam tetapi tidak lebih dari 7 hari.1,2,4

30

Page 33: Case Obs 86 B Revisi Antar

Dikatakan severe preeklamsia apabila ditemukan satu atau lebih tanda-

tanda berikut :1,3,4

a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg yang

didapatkan dari 2 kali hasil pengukuran dalam rentang waktu minimal

4 jam.

b. Thrombositopenia (Platelet < 100.000 /μL)c. Gangguan fungsi hepar yang ditandai dengan naiknya enzim 2 kali

normal, nyeri yang hebat pada kuadran kanan atas atau nyeri pada

epigastrium yang tidak respon pada pengobatan.

d. Insufisiensi pada renal yang ditandai dengan creatinin > 1,1 mg/dL.\

e. Edema pulmonal

f. Nyeri kepala menetap atau gangguan serebrum atau penglihatan lainnya.

3.3.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada severe preeklampsia :4

- Wanita dengan preeklamsia berat dengan usia kehamilan 34 minggu atau di

atas 34 minggu, dan pada mereka dengan kondisi ibu atau janin tidak stabil

terlepas dari usia kehamilan, harus dilakukan terminasi. (ACOG 2013)

- Persalinan per vaginam harus dicoba kecuali dinyatakan adanya

kontraindikasi. Diagnosis preeklamsia bukan merupakan indikasi untuk

operasi caesar. Bahkan dengan serviks yang belum matang, lebih dari 60%

dari wanita dengan berat pre-eklampsia dapat mencapai kehamilan

pervaginam.

- Wanita dengan preeklamsia berat dengan usia kehamilan kurang dari 34

minggu dengan kondisi ibu dan janin stabil harus dirujuk ke perawatan tersier

yang mampu merawat bayi dan untuk konsultasi ke bagian Fetal Maternal.

(ACOG 2013)

- MgSO4 untuk profilaksis kejang

- Hindari pemberian cairan secara intravena yang berlebihan untuk mencegah

udema pulmonal (maksimal 150 cc/jam)

- Terapi hipertensi direkomendasikan pada pasien dengan tekanan sistolik >

160-165 mmHg dengan target terapi < 155 mmHg dan tekanan diastolik >

105-110 mmHg dengan target terapi < 100-105 mmHg.

31

Page 34: Case Obs 86 B Revisi Antar

- < 34 minggu : pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru. Bahkan jika

ada indikasi untuk dilakukan induksi persalinan karena status ibu atau janin,

kortikosteroid harus diberikan karena pentingnya manfaat kortikosteroid

terhadap neonatal dalam 12 jam pertama setelah dosis awal. Pada wanita

dengan hipertensi berat, dan status ibu dan janin stabil, pertimbangan dapat

diberikan untuk menunda inisiasi induksi atau pengiriman sampai 24-48 jam

setelah mulai kortikosteroid.

Cara pemberian magnesium sulfat :2

- Loading dose: initial dose

4 gram MgSO4: intravena, (40% dalam 10cc) selama 15 menit

- Maintenance dose :

Diberikan infus 6 gram dalam larutan ringer/6 jam atau diberikan 4 atau 5

gram i.m. Selanjutnya maitenance dose diberikan 4 gram i.m tiap 4-6 jam.

Pemberian antihipertensi2

- Antihipertensi lini pertama

Nifedipin dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120

mg dalam 24 jam.

- Antihipertensi lini kedua

Diazokside : 30-60 mg i.v/5 menit; atau i.v infus 10 mg/menit/ditritasi.

- Antihipertensi sedang dalam penelitian

Isradipin, nimodipin, ketan serin

3.4 HELLP Syndrom

3.4.1 Difinisi

Sindrom hellp adalah preeklamsia-eklamsia disertai timbulnya

hemolisis,peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia.

Kematian ibu bersalin pada Sindrom HELLP cukup tinggi yaitu 24 %. Penyebab

kematian dapat berupa kegagalan kardiopulmoner, gangguan pembekuan darah,

perdarahan otak, ruptur hepar, dan kegagalan organ multiple. Demian juga

kematian perinatal Sindrom HELLP cukup tinggi, terutama disebabkan oleh

persalinan preterm.

32

Page 35: Case Obs 86 B Revisi Antar

3.4.2 Patofisiologi

Penyebab sindrom HELLP secara pasti belum diketahui, sindrom

menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial mikrovaskuler dan aktivasi platelet

intravaskuler. Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan tromboksan A dan

serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi, agregasi platelet,

serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa dihentikan dengan

terminasi kehamilan.

Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari pembuluh

darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan fibrin di

sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar, akibatnya enzim hepar

akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati, dan dapat menyebabkan

terjadinya iskemia yang mengarah kepada nekrosis periportal dan akhirnya

mempengaruhi organ lainnya.

Ada beberapa kondisi yang diduga sebagai penyebab terjadinya eklampsia

dan pre eklampsia. Salah satunya adalah adanya peningkatan sintesis bahan

vasokonstriktor (angiotensin dan tromboksan A2) dan sintesis bahan vasodilator

yang menurun (prostasiklin), yang mengakibatkan terjadinya kerusakan endotel

yang luas. Manifestasinya adalah vasospasme arteriol, retensi Na dan air, serta

perubahan koagulasi.Penyebab lain eklampsia diduga terjadi akibat iskemia

plasenta, hubungan antara lipoprotein dengan densitas yang rendah dengan

pencegahan keracunan, perubahan sistem imun, dan perubahan genetik.

Berkurangnya resistensi vaskuler serebral, ditambah dengan adanya

kerusakan endotel, menyebabkan terjadinya edema serebri. Meskipun dikatakan

bahwa kejang yang diakibatkan oleh eklampsia tidak akan menyebabkan

kerusakan otak yang menetap, tetapi perdarahan intrakranial dapat terjadi.

3.4.3 Diagnosis

Didahului tanda dan gejala tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala, mual

dan muntah ( semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus )

Adanya tanda dan gejala preeklamsia

Tanda-tanda hemolisis intravascular, khususnya kenaikan LDH, AST, dan

kenaikan bilirubin indirek.

Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST, LDH

33

Page 36: Case Obs 86 B Revisi Antar

Trombositopenia (trombosit < 150.000/ml)

Berdasarkan trombosis darah, Sindrom HELLP diklasifikasikan dengan

nama “klasifikasi Mississipi”

Kelas 1 : Kadar trombosit : <50.000/ml

LDH > 600 IU/L

AST dan/atau ALT > 40 IU/L

Kelas 2 : Kadar trombosit : >50.000<10.000/ml

LDH > 600 IU/L

AST dan/atau ALT > 40 IU/L

Kelas 3 : Kadar trombosit : >100.000< 150.000/ml

LDH > 600 IU/L

AST dan/atau ALT > 40 IU/L

Klasifikasi tenesse

3.4.4 Penatalaksanaan

a. Terapi secara medikamentosa

Mengikuti terapi medikamentosa preeklamsia-eklamsia dengan melakukan

monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila kadar trombosit : <50.000/ml atau

adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin,

tromboplastin parsial dan fibrinogen. Pemberian dexametason rescue, pada

antepartum diberikan dalam bentuk double strenghy dexamethasone ( double

dose).

Jika didapatkan klasifikasi kelas 2 dan 3 sindrom help disertai tanda-tanda,

eklamsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan dexamethasone 10

mg i.v. /12 jam. Pada pospartum deksametason diberikan 10 mg i.v. /12 jam 2

kali, kemudian diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametasone

dihentikan bila telah terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit > 100.000/ml

dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala klinik preeklamsia-

eklamsia. Dapat dipertimbangkan pemberian tranfusi trombosit, bila kadar

trombosit <50.000/ml.

34

Page 37: Case Obs 86 B Revisi Antar

b. Sikap pengelolaan obstetrik

Sikap pengelolaan obstetrik pada Sindrom HELLP ialah aktif, yaitu

kehamilan diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan

dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal.

35

Page 38: Case Obs 86 B Revisi Antar

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Antenatal Care dan sistem rujukan

Terjadinya gangguan yang serius terhadap kehamilan ataupun keselamatan

ibu hamil adalah akibat tidak disiplin dalam melakukan ANC. Faktor yang

menyebabkan seorang ibu hamil melakukan ANC ada tiga faktor: (1) faktor

predisposisi (predisposing factor) diantaranya : pengetahuan, sikap, kepercayaan,

tradisi, keyakinan, nilai dan motivasi; (2) faktor pendukung (enabling factor)

adalah ketersediaan fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan; (3) faktor

pendorong (reinforcing factor) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan,

informasi kesehatan baik literature, media, atau kader (Natoatmodjo, 2003). Pada

kasus ini pasien hanya melakukan ANC satu kali saat usia kehamilan 6 bulan,

Seharusnya dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan. Alasan ibu hanya

melakukan ANC satu kali adalah karena pada ANC tersebut dikatakan oleh dokter

kondisi ibu dan janin dalam keadaan sehat, pasien merasa sehat sehat saja, tidak

mengeluhkan apapun selama kehamilan tersebut, pada 5 kali kehamilan

sebelumnya pasien juga mengaku tidak ada keluhan yang berarti dan dapat

melahirkan dengan normal dan anak semua dalam kondisi sehat. Jika dianalisa

pada kasus ini ada beberapa faktor yang tidak terpenuhi sehingga ibu tidak mau

melakukan ANC seperti tingkat pendidikan ibu, sesuai dengan beberapa penelitian

yang menyatakan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin baik tingkat

pengetahuan tentang ANC dan keinganan untuk melakukan kunjungan begitupula

sebaliknya. 19-21 Letak rumah sangat jauh dari fasilitas kesehatan atau tenaga

medis, kurang lebih 1 jam untuk sampai, hal ini juga faktor kendala pada

kunjungan ANC.

Pada kasus kehamilan dengan penyulit harus dilakukan perujukan yang

cepat dan tepat. Sistem rujukan pada kasus obstetri dapat menentukan efektifitas

penatalakasanaannya, sistem rujuk yang tidak baik akan meningkatkan angka

kematian ibu maupun bayi. Pada tahun 1992 Unicef melaporkan prakiraan lama

waktu sejak terjadi komplikasi dalam persalinan sampai ibu meninggal jika tidak

ditangani.18 Pada kasus ini pasien tiba di RSU Bangkinang 4 jam dari awal

36

Page 39: Case Obs 86 B Revisi Antar

perdarahan karena masalah transportasi tanpa terlebih dahulu ke puskesmas

terdekat. Menurut keterangan surat rujukan dari RSU Bangkinang, pasien tiba

disana sudah dalam keadaan syok hipovolemik tetapi tidak ada keterangan

termasuk pada kelas yang mana, ditatalaksana dengan pemberian oksigen, 2 IV

line dengan cairan 1000cc Ringer Lactat lalu pasien dirujuk ke RSUD AA karena

suspek solusio plasenta dengan PEB-HELLP Syndrom dengan menggunakan

mobil Ambulance, cairan dan oksigen tetap diberikan. Saat tiba di RSUD AA

pasien masih dalam keadaan syok hipovolemik.

Kebijakan yang ada pada saat ini difokuskan kepada penanganan ibu hamil

dengan komplikasi dan pencegahan terhadap Tiga Terlambat yakni terlambat

menangani keputusan, transportasi pengiriman ke Pusat Rujukan, dan penanganan

yang adekuat di RS Rujukan. Rujukan terlambat adalah kondisi ibu dan janin

dalam rahim sudah tidak dalam keadaan optomal bahkan sudah dalam keadaan

gawat atau gawat darurat, jarak waktu antara rumah dan rumah sakit rujukan

primer sangat panjang, dan pertolongan yang dibutuhkan tidak segera diberikan di

rumah sakit rujukan. Pada kasus ini pasien datang dengan keadaan sudah syok

hipovolemik kelas II dan DJJ tidak dapat dinilai lagi, jarak waktu antara RS

bangkinang ke RSUD AA pekanbaru sekitar 2 jam sehingga kasus ini disebut

rujukan terlambat. Rujukan terlambat terjadi karena adanya tiga kendala pokok

yaitu (1) perangkap geografis, dimana pulau atau desa-desa terpencil yang jauh

dari fasilitas kesehatan dan akses rujukan, sesuai pada kasus ini dimana jarak antar

rumah ke faskes dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke faskes terdekat;

(2) perangkap sosial budaya, terjadi di dalam masyarakat di mana prevalensi

persalinan rumah masih tinggi, kepercayaan tradisional kepada dukun masih

besar, dan pemanfaatan tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan masih rendah,

sesuai pada kasus ini yakni riwayat persalinan di rumah pada 5 anak sebelumnya;

(3) perangkap sosial ekonomi, terjadi pada msyarakat atau keluarga miskin/Gakin,

sesuai pada kasus ini dimana pemasukan pada keluarga hanya < 3 juta/bulan

untuk menanggung 7 orang dalam keluarga tersebut.

37

Page 40: Case Obs 86 B Revisi Antar

4.2 Syok Hipovolemik

Diagnosis masuk pada pasien ini adalah G6P5A0H5 hamil 39 - 40 minggu,

belum inpartu dengan PEB-HELLP syndrome, syok hipovolemik et causa suspect

solusio plasenta, janin tunggal mati intrauterin. Penegakan diagnosis syok

hipovolemik pada pasien ini didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini dari anamnesis, pasien datang dengan

keluar darah dari jalan lahir ± 10 kali ganti pembalut, darah berwarna merah

kehitaman. Perdarahan terjadi sudah 3 jam di rumah sebelum akhirnya dibawa ke

Rumah Sakit Umum Bangkinang dengan lama perjalanan sekitar 1 jam. Setelah

dilakukan pemeriksaan dikatakan perdarahan akibat curiga lepasnya perlengketan

plasenta dengan rahim, kemudian pasien mengaku dipasang infus dan diberi

oksigen. Pasien dirujuk ke RSUD AA dengan lama perjalanan 2 jam.

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah pasien 90/60 mmHg,

Nadi 120 x/menit, frekuensi nafas 27x/menit. Dari status generalis didapatkan

konjungtiva anemis +/+, dan dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 6,3 g/dl.

Penyebab utama syok hipovolemik adalah perdarahan akut > 20% volume darah

total.12 Pada saat terjadi perdarahan akut, pada sistem kardiovaskuler pada

awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut

jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah

perifer. Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian darah rata-rata dan

menurunkan aliran darah  balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan

penurunan curah jantung. Tanda-tanda klinis yang terjadi adalah takikardi,

takipnea, dan tekanan darah menurun. Pada pasien ini termasuk kategori syok

hipovolemik kelas II. 13

4.3 PEB

Diagnosis PEB dapat ditegakkan apabila tekanan darah sistolik mencapai

≥ 140 dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang diukur dalam 2 selang waktu

yang berbeda ≥ 4 jam disertai dengan proteinuria.1,2,4 Pasien ini merupakan

rujukan dari RSU Bangkinang dengan G6P5A0H5 hamil 39 - 40 minggu, belum

inpartu dengan PEB-HELLP syndrome, syok hipovolemik et causa suspect

solusio plasenta, janin tunggal mati intrauterine. Tidak ada riwayat hipertensi pada

38

Page 41: Case Obs 86 B Revisi Antar

pasien ini sebelumnya. Tekanan darah pada saat pasien masuk adalah 90/60

mmHg dan didapatkan proteinuria +3. Pada saat masuk tidak didapatkan tekanan

darah sistolik mencapai ≥ 140 dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg tetapi

didapatkan proteinuria +3. Pasien ini didiagnosis dengan PEB karena pasien ini

dengan rujukan PEB dari RSU Bangkinang dan didapatkan proteinuria +3.

Tekanan darah pada pasien ini 90/60 mmHg karena terjadinya perdarahan akibat

solusio plasenta sehingga tidak didapatkan tekanan darah sistolik mencapai ≥ 140

dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada pasien ini. Dari anamnesis tidak

didapatkan gejala impending eklampsia pada pasein ini seperti nyeri pada ulu hati,

padangan kabur, dan nyeri kepala yang hebat pada bagian depan tetapi didapatkan

tanda-tanda impending eklampsia seperti trombositopenia, peningkatan enzim

hati, peningkatan bilirubin, PT dan APTT memanjang, INR > 1.2, fibrinogen

0.413. Berdasarkan criteria mississipi didiagnosis dengan HELLP sindrom kelas

1.

Masalah PEB + HELLP Sindrom pada pasien ini kemudian ditatalaksana

dengan tatalaksana PEB MgSO4 40% loading 4gr iv. Maintenance dose

2gr/jam. Kontrol tekanan darah jika TD ≥ 160/110 nifedipin 10mg po max 4

tab/20 menit s.d ↓ MAP 20% dan tatalaksana HELLP Syndrome hari I : Inj.

Dexamethason 2 x 10mg, hari II : 2 x 5 mg. Pasien kemudian direncanakan

terminasi perabdominal cito.

4.4 HELLP SYNDROM

Berdasarkan teori pada pasien ini, pasien masuk dalam keadaan

preeklamsia berat ditabah dengan keluhan nyeri ulu hati ditambah hasil

laboratorium didapatkan : Trombosit : 31.000 /ml, LDH : -, AST : 56,2 IU/L dan

ALT : 21 IU/L, maka pasien di tegakakn diagnosa Hellp Sindrom, sesuai

klasifikasi Mississipi kelas 1.

Secara teori terapi Hellp sindrom adalah Mengikuti terapi medikamentosa

preeklamsia-eklamsia dengan melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam.

Bila kadar trombosit : <50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka

harus diperiksa waktu protrombin, tromboplastin parsial dan fibrinogen. Pada

pasien ini mendapatkan : deksametasone 2 x 10 mg i.v. /12 jam pada hari 1 dan

39

Page 42: Case Obs 86 B Revisi Antar

deksametasone 2 x 5 mg i.v. /12 jam pada hari II. Penatalaksanaan pada kasus ini

sesuai dengan teori, Pemberian dexametason rescue telah dilakukan pada

antepartum, dalam bentuk double strenghy dexamethasone ( double dose).

Pada pasien ini hasil follow up hari ke 4 didapatkan kadar Trombosit

104.600 dan terapi dexametaon dihentikan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa

Terapi deksametasone dihentikan bila telah terjadi perbaikan laboratorium, yaitu

trombosit > 100.000/ml.

Karena pada pasien ini hasil labor trombositnya didapatkan 31.000 maka

dipertimbangkan pemberian tranfusi trombosit. Pada pasien ini telah mendpatkan

tranfusi 10 kantong trombosit konsentrat, Pasien juga mendpatkan terapi tranfusi

Kriopresipitat, TC, FFP, PRC. Hal ini sesui dengan teori bahwa jika di didapatkan

kadar trombosit <50.000/ml.dipertimbangkan pemberian tranfusi trombosit.

4.5 Solusio Plasenta

Pada pasien ini juga terjadi solusio plasenta. Solusio plasenta adalah

terlepasnya sebagian atau keseluruhan dari inplantasi normalnya setelah

kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir. Tanda dan gejala pasien ini

didiagnosis dengan solusio plasenta berat karena ditemukan perut yang tegang,

diffence muscular, nyeri tekan, adanya riwayat perdarahan dalam jumlah banyak

hingga ganti pembalut 10 X secara pervaginam yang berwarna kehitaman. Dari

konjungtiva mata pasien tampak anemis, sehingga kecurigaan akibat kehilangan

darah pada pasien. Pasien juga mengaku tidak terdapat gerakan janin dalam

kandungannya dan dari pemeriksaan DJJ hasilnya negatif. Hal tersebut merupakan

salah satu petanda telah terjadinya solusio plasenta berat. Pada saat plasenta lahir

ditemukan adanya hematoma retroplasenta ±> 75% pada plasenta janin.

Hematoma ini merupakan koagulum di belakang plasenta yang menjadi petanda

khas solusio plasenta dan dalam katagori berat karena >75% luas hematoma pada

plasenta. Penyebab solusio plasenta secara pasti belum jelas, namun salah satu

penyebabnya dapat disebabkan karena adanya riwayat PEB yang dialami pada

pasien. Hal ini berdasarkan diagnosa rujukan RSUD di Bangkinang. Dari

anamnesis tidak ada diketahui adanya riwayat tekanan darah tinggi karena pasien

melakukan pemeriksaan ANC tidak rutin sehingga riwayat kesehatan kehamilan

40

Page 43: Case Obs 86 B Revisi Antar

tidak diketahui jelas dan ketika dilakukan pemeriksaan spiromanometri, tekanan

darah pasien yaitu 90/60 dengan pemeriksaan protein urin yaitu 3+. Tekanan

darah yang rendah dapat disebabkan karena telah terjadi perdarahan yang banyak

dan telah tejadi syok pada pasien ini.

Penanganan solusio plasenta dengan kematian janin dapat dilakukan

dengan pilihan terminasi berupa pervaginam. Namun pada pasien ini dilakukan

terminasi perabdominal dengan pertimbangan berupa perdarahan yang terus

menerus dan dikhawatirkan tidak mampu diatasi dengan tranfusi darah yang

banyak. Koagulopati pada pasien juga merupakan pertimbangan dilakukan

terminasi secara abdominal.

4.6 Tatalaksana di IGD

4.6.1 Informed Consent

Informed Consent sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atau

keluarga pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien

setelah mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat

dilakukan untuk menolong pasien disertai informasi mengenai segala resiko yang

mungkin terjadi. Persetujuan tindakan medik yang dikaitkan dengan persetujuan

atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan operatif, lebih dikenal sebagai

Surat Izin Operasi Universitas Sumatera Utara (SIO), surat perjanjian dan lain–

lain.

Pada kasus ini sudah dilakukan informed consent kepada suami pasien

dengan memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan

penyakit pasien, tindakan apa yang akan dilakukan mencakup tujuan, resiko,

manfaat dari tindakan yang akan dilaksanakan dan sudah menandatangani surat

izin dilakukannya tindakan tersebut.

4.6.3 Transfusi

Transfusi darah atau komponen darah darah ditujukan untuk menjaga

kadar fibrinogen diatas 1 g/L, menjaga Prothrombin Time (PT) dan Aktivated

Partial Thromboplastin Time (APTT) kurang dari 1,5 kali nilai kontrol, serta

menghentikan perdarahan aktif yang persisten dan berlanjut. Pada kasus ini pasien

41

Page 44: Case Obs 86 B Revisi Antar

mengalami anemia dan trombositopenia dengan kadar hemoglobin 6,3 g/dl dan

trombosit 31.000/Μl. Kemudian pasien mendapatkan transfusi Thrombocyte

Concentrate (TC) 3 kantong.

Thrombocyte Concentrate (TC) biasanya diberikan pada kelainan

trombosit baik pada kualitas maupun kuantitasnya dan dilakukan pada keadaan

dimana jumlah trombosit sekitar 20 000 - 50 000/ mm3 dan pemberian dilakukan

sesuai dengan golongan darah ABO. Indikasi utama transfusi TC adalah

trombositopeni, kemoterapi, keganasan, Disseminated Intravascular Coagulation

(DIC), perdarahan massif.

4.6.3 Kadar trombosit yang boleh di SC

Jumlah trombosit normal dalam darah berkisar antara 150.000- 400.000

µm. Pada kasus ini, dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar

trombosit 31.000 µm. Untuk homeostasis pembedahan nilai trombosit antara

50.000 mm/3 sampai 100.000 mm/3 masih adekuat selama fungsi trombosit baik.

Kelainan pada trombosit sering di temukan saat persiapan pre operasi

berupa disfungsi trombosit atau jumlah trombosit rendah (trombositopenia). Nilai

trombosit di bawah atau sama 50.000/mm3 tidak meningkatkan kejadian

perdarahan saat operasi jika fungsi dari trombosit normal; tetapi trombosit yang

normal dengan disfungsi trombosit dapat meningkatkan kejadian perdarahan saat

operasi. Oleh karena itu persiapan perioperatif harus benar benar mengetahui

apakah terdapat kelainan pada thrombosit dan segera di atasi untuk menghindari

perdarahan saat operasi

4.7 Hipoalbuminemia

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil penurunan pada albumin.

Hal ini dianggap sebagai komplikasi yang didapat pasien. Kemungkinan terbesar

adanya hipoalbumin pada kasus ini adalah akibat syok, dimana syok dapat

menyebabkan gagal ginjal akut serta terdapat kebocoran kapiler sehingga

menyebabkan hipoalbuminemia.

42