Case Jantung Kelompok 1
-
Upload
lala-komala-sari-hakim -
Category
Documents
-
view
223 -
download
0
description
Transcript of Case Jantung Kelompok 1
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis yaitu adanya kelainan fungsi
jantung yang bertanggung jawab atas kegagalan jantung memompa darah pada
kecepatan yang sepadan dengan kebutuhan jaringan yang melakukan metabolisme
dan/atau kemampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan ini memerlukan
peningkatan abnormal tekanan pengisian (Isselbacher, et al., 2000).
Gagal jantung kongestif (Congestive heart disease, CHF) adalah keadaan yang
terjadi akibat adanya bendungan sirkulasi sebagai akibat dari gagal jantung dan
kompensasinya. Gagal jantung kongestif terjadi sewaktu kontraktilitas jantung
berkurang dan ventrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak yang masuk
selama diastole. Hal ini menyebabkan volume diastolik-akhir ventrikel secara
progresif bertambah (Corwin, 2008).
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan
(Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997 ).
Gagal jantung kongestif adalah keadaan yang mana terjadi bendungan sirkulasi akibat
gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya (Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell,
1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997).
Menurut Braunwald, gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya
kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.
Definisi alternatif menurut Packer, gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom
klinis yang rumit yang ditandai dengan adanya abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan
kelainan regulasi neurohormonal, disertai dengan intoleransi kemampuan kerja fisis
(effort intolerance), retensi cairan, dan memendeknya umur hidup (reduced
longevity). Termasuk di dalam kedua batasan tersebut adalah suatu spektrum
fisiologi-klinis yang luas, mulai dari cepat menurunnya daya pompa jantung
(misalnya pada infark jantung yang luas, takiaritmia atau bradikardia yang
mendadak), sampai pada keadaan-keadaan di mana proses terjadinya kelainan fungsi
ini berjalan secara bertahap tetapi progresif {misalnya pada pasien dengan kelainan
jantung yang berupa pressure atau. volume overload dan hal ini terjadi akibat
penyakit pada jantung itu sendiri, seperti hipertensi, kelainan katup aorta atau mitral
dll).
Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak lagi
mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh
pada tekanan pengisian yang normal, padahal aliran balik vena (venous return) ke
jantung dalam keadaan normal.
CHF menurut New York Heart Assosiation (NYHA) dibagi menjadi :
a. Grade 1 : Penurunan fungsi ventrikel kiri tanpa gejala.
b. Grade 2 : Sesak nafas saat aktivitas berat
c. Grade 3 : Sesak nafas saat aktivitas sehari-hari.
d. Grade 4 : Sesak nafas saat sedang istirahat.
A. Etiologi dan Faktor Risiko
Dalam menilai pasien gagal jantung, penting untuk mengenali tidak saja penyebab
yang mendasari penyakit jantung tetapi juga penyebab yang memicu timbulnnya gagal
jantung. Jantung mungkin dapat mengkompensasi tetapi tidak mempunyai cadangan
tambahan, dan penyebab pemicu menyebabkan kemunduran fungsi jantung lebih jauh
lagi. Namun, pada keadaan tanpa penyakit jantung yang mendasari, gangguan akut ini
saja biasanya tidak akan menyebabkan gagal jantung (Isselbacher, et al., 2000).
Gagal jantung merupakan komplikasi dari segala jenis penyakit jantung kongenital
ataupun penyakit jantung non-kongenital. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung meliputi keadaan-keadaan berikut :
- Peningkatan beban akhir
Contoh : Stenosis aorta, Hipertensi Sistemik
- Peningkatan beban awal
Contoh : Regurgitasi aorta , Defek Septum Ventrikel
- Penurunan kontraktilitas miokardium
Contoh : Infark Miokardium dan Kardiomiopati
Menurut Eugene Braunwald (Isselbacher, et al., 2000), adapun hal-hal yang dapat
memicu terjadinya gagal jantung, yaitu:
Anemia
Tirotoksikosis dan kehamilan
Beban fisis, makanan, cairan, lingkungan, dan emosional yang berlebihan.
Hipertensi sistemik
Infark miokard
Selain keadaan-keadaan diatas, terdapat faktor lain yang dapat menyebabkan gagal
jantung , seperti:
- Stenosis katup atrioventrikularis yang dapat mengganggu pengisian ventrikel
- Perikarditis konstriktif dan tamponade jantung yang dapat mengganggu pengisian
ventrikel dan ejeksi ventrikel
Faktor – Faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan
yang mendadak yaitu seperti :
- Disritmia
Disritmia dapat menggangu fungsi mekanik jantung dengan mengubah
rangsangan listrik yang memulai respons mekanis. Respons mekanis yang sinkron
dan efektif tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil.
- Infeksi Sistemik dan paru-paru
Respons tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme yang meningkat.
- Emboli Paru
Emboli paru secara mendadak dapat meningkatkan resistensi terhadap ejeksi dari
ventrikel kanan sehingga dapat memicu terjadinya gagal jantung kanan.
Adapun penyebab seluruh kegagalan pompa jantung adalah (Price, et al., 2006):
A. Kelainan Mekanik
1. Peningkatan Beban Tekanan: Sentral (stenosis aorta, dll) dan Perifer
(hipertensi sistemik, dll)
2. Peningkatan Beban Volume (regurgitasi katup, pirau, peningkatan beban
awal, dll.)
3. Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitral atau trikuspidal)
4. Tamponade Perikardium
5. Pembatasan Miokardium atau Endokardium
6. Aneurisme ventrikel
7. Dissinergi ventrikel
B. Kelainan Miokardium
1. Primer: kardiomiopati, miokarditis, kelainan metabolik, toksisitas (alkohol,
kobalt), presbikardia.
2. Kelainan Disdinamik Sekunder (akibat kelainan mekanik): deprivasi sekunder
(penyakit jantung koroner), kelainan metabolik, peradangan, penyakit
sistemik, penyakit paru obstruktif kronis.
C. Perubahan Irama Jantung atau Urutan Hantaran
1. Tenang (standstill)
2. Fibrilasi
3. Takikardia atau bradikardia ekstrim
4. Asinkronitas listrik, gangguan konduksi. (Price, et al., 2006)
B. Klasifikasi
Menurut The New York Heart Association, gagal jantung kongestif dibagi menjadi
beberapa kelas, yaitu:
1. Kelas I, jika pasien masih bisa beraktivitas normal walaupun terdapat gejala.
2. Kelas II, jika pasien merasa lemah, dispnea, atau gejala yang lain ketika melakukan
aktifitas seperti biasanya.
3. Kelas III, jika pasien terbatas untuk melakukan aktivitas fisik secara normal.
4. Kelas IV, jika pasien tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun.
C. Patofisiologi
Kelainan pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung ,akibat penyakit
jantung iskemik , mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontyraktilitas
ventrikel kiri yang menurun akan mengurangi volume sekuncup dan meningkatkan volume
residu ventrikel. Dengan meningkatnya volume akhir diastolik (End Diastolic Volume , EDV)
akan terjadi peningkatan akhir diastolik maka terjadi pula pengingkatan tekanan akhir diastolic
ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan tergantung dari kelenturan ventrikel.
Dengan meningkatnya LVEDP, maka terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena
atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastole. Peningkatan LAP diteruskan ke
belakang ke dalam anyaman vascular paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-
paru. Jika tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vascular,
maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam intertisial. Jika kecepatan transudasi cairan
melebihi kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema intertisial. Peningkatan tekanan
lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru-
paru.
Tekanan arteria paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis
tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan.
Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan,
di mana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh
regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis bergantian. Regurgitasi
fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus katup atrioventrikularis, atau perubahan-
perubahan pada orientasi otot papilaris dan korda tendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi
ruang (Price, et al., 2006).
D. Manifestasi Klinik
Terdapat beberapa gejala dan tanda yang muncul pada pasien dengan gagal
jantung kongestif, yaitu seperti :
a. Dyspnea (Sulit bernafas)
Terjadi akibar peningkatan kerja pernafasan sebagai akibat dari
kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru. Terjadi
sevara progresif.
b. Orthopnea
Terjadi akibat redistribusi aliran darah dri bagian-bagian tubuh yang
berada dibawah menuju arah sirkulasi sentral.
c. Proxysmal Nocturnal Dyspnea
Terjadi akibat adanya edema intertisial.
d. Batuk-non produktif
Terjadi akibat kongesti paru (terutama saat berbaring)
e. Ronki
Terjadi akibat adanya transudasi cairan paru. Pada awalnya ronki
terjadi dibagian bawah paru karena adanya gravitasi.
f. Hemoptisis
Terjadi akibat adanya perdarahan vena bronkial oleh karena distensi
vena.
g. Kompresi esofagus dan nyeri menelan
Terjadi akibat adanya distensi atrium atau vena pulmonalis.
7
h. Peningkatan JVP dan bendungan vena leher tekanan vena sentral
(CVP)
i. Refluks hepatojugular
Jantung kanan tidak dapat menyesuaikan dengan peningkatan aliran
balik vena.
j. Hepatomegali
Akibat dari teregangnya kapsula hepar , terasa nyeri tekan pada
daerah hepar.
k. Gejala saluran cerna lain
Seperti anoreksia, rasa penuh pada perut dan mual, sebagai akibat dari
kongesti pada hati dan usus.
l. Edema perifer
Terjadi sebagai akibat dari penimbunan cairan dalam ruang
interstisial. Edema pada awalnya akan terjadi pada bagian tubuh yang
bergantung dan sering terjadi pada malam hari.
m. Nokturia
Terjadi sebagai akibat dari redistribusi cairan dan reabsorpsi saat
berbaring. Pada saat berbaring, vasokontriksi pada ginjal berkurang.
n. Asites/edema anasarka
o. Perfusi pada organ yang berkurang
Hal ini dapat terlihat sebagai kulit yang nampak pucat dan dingin.
Keadaan ini terjadi akibat kurangnya perfusi sehingga aliran darah
hanya dialirkan ke organ-orghan yang vital melalui vasokontriksi
perifer.
8
p. Demam ringan dan keringat berlebihan
Terjadi akibat adanya vaokontriksi di kulit sehingga kemampuan
tubuh dalam melepas panas berkurang.
q. Insomnia, gelisah, bingung dan sianosis.
Hal ini dapat terjadi akibat penurunan curah jantung.
(Price, et al., 2006)
E. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif dibuat berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan jasmani, elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-Doppler
dan kateterisasi. Diagnosis gagal jantung kongestif dapat pula ditegakkan
menggunakan kriteria Framingham dibawah ini :
KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR
- Paroxysmal Nocturnal
Dyspneu
- Distensi Vena leher
- Ronki paru
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Gallop S3
- Peninggian tekanan Vena
Jugularis
- Refluks hepatojugular
- Edema ekstremitas
- Batuk Malam Hari
- Dyspnea d’effort
- Hepatomegali
- Efusi Pleura
- Penurunan Kapasitas Vital
1/3 dari normal
- Takikardia
9
Diagnosis gagal jajntung kongestif tegak apabila memenuhi minimal satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor.
F. Pemeriksaan
1. FOTO POLOS DADA
Foto polos dada dapat menunjukkan adanya hipertensi vena paru,
sembab paru atau kardiomegali.
Edema paru dan hipertensi vena pulmonal: tanda awal adanya
hipertensi vena pulmonal ialah adanya peningkatan aliran darah ke daerah
paru atas dan peningkatan kaliber vena (flow redistribution). Jika tekanan
paru makin tinggi, maka sembab paru mulai timbul, dan terdapat garis Kerley
B. Akhirnya sembab alveolar timbul dan tampak berupa perkabutan di daerah
hilus. Efusi pleura seringkali terjadi terutama di sebelah kanan.
Kardiomegali: dapat ditunjukkan dengan peningkatan diameter
transversal lebih dari 15,5 cm pada pria dan lebih 14,5 cm pada wanita. Atau
peningkatan CTR (cardio thoracic ratio) lebih dari 50%.'
2.ELEKTROKARDIOGRAFI
Kelainan EKG dibawah ini dapat ditemukan pada GJA:
Gelombang Q (menunjukkan adanya infark miokard lama) dan kelainan
gelombang ST-T menunjukkan adanya iskemia miokard.
LBBB (left bundle branch block), kelainan ST-T dan pembesaran atrium kin
menunjukkan adanya disfungsi bilik kiri.
LVH (left ventricular hypertrophy) dan inversi gelombang T menunjukkan
adanya stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi.
Aritmia jantung.
10
3.ANALISIS GAS DARAH
Regangan pare berkurang dengan penurunan volume total pare dan kapasitas
vital. Gambaran analisis gas darah berupa penurunan tekanan oksigen arterial
dengan tekanan CO2 arterial normal atau menurun. Pada GJA yang berat,
tampak penurunan hebat tekanan oksigen arterial, asidosis metabolik dan
tekanan CO2 arterial menurun.
Asidosis yang terjadi akibat penumpukan asam laktat karena penurunan
perfusi perifer.
G. Tata Laksana
Tujuan primer dari pengobatan gagal jantung adalah mencegah terjadinya
gagal jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju terjadinya
gagal jantung , terutama hipertensi dan/atau penyakit arteri koroner. Jika terjadi
disfungsi miokard, pengobatan ditujukan untuk menghilangkan penyebab.,
namun , bila hal tersebut tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk :
- Mencegah memburuknya fungsi Jantung
Hal ini dilakukan dengan cara memperlambat remodelling miokard,
sehingga dapat mengurangi mortalitas dan merupakan tujuan utama dari
pengobatan gagal jantung kronik. Obat yang sesuai adalah ACE inhibitor
dan beta blocker, yang dapat mengurangi beban jantung.
- Mengurangi gejala-gejala gagal jantung
Hal ini merupakan tujuan dari pengobatan gagal jantung akut dan
dilakukan dengan pemberian vasodilator untuk menurunkan resistensi
perifer, obat diuretik untuk mengurangi overload cairan dan obat
inotropik untuk meningkatkan kontraktilitas miokardium.
Menurut Eugene Braunwald (Isselbacher, et al., 2000), terapi gagal jantung
secara logis dapat dibagi menjadi tiga komponen:
11
(1) menghilangkan factor pemicu
(2) memperbaiki penyebab yang mendasari
(3) mengendalikan keadaan gagal jantung kongestif.
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja
jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama fungsi miokardium,
baik secara sendiri-sendiri ataupun gabungan dari beban awal, kontraktilitas dan
beban akhir. Penanganan dimulai bila timbul gejala saat beraktivitas biasa (NYHA
fungsional II). Regimen penanganan secara progresif ditingkatkan sampai mencapai
respons klinis yang diinginkan. Eksaserbasi akut dari gagal jantung atau
perkembangan menuju gagal jantung berat dapat menjadi alasan untuk perawatan
dirumah sakit dan penanganan yang lebih agresif.
1. Pengurangan Beban Awal
Pembatasan asupan garam dalam makanan dapat mengurangi beban
awal dengan menurunkan retensi cairan yang terjadi. Apabila gejala-gejala
menetap dengan pembatasan garam yang sedang, diperlukan pemberian
diuretik oral untuk mengatasi retensi natrium dan air. Biasanya, diberikan
regimen diuretik maksimum sebelum dilakukan pembatasan asupan natrium
yang ketat, diet yang tidak mempunyai rasa dapat menghilangkan nafsu
makan dan menyebabkan gizi buruk.
Vasodilatasi vena dapat menurunkan beban awal melalui distribusi
darah dan sentral ke sirkulasi perifer. Venodilatasi menyebabkan menaglirnya
darah kapiler dan mengurangi aliran darah balik vena ke jantung . Pada
situasi yang ekstrim mungkin diperlukan pengeluaran cairan melalui
hemodialisis untuk menunjang fungsi miokoardium. Ventrikel yang gagal
bekerja dapat meningkatkan End Diastolic Volume (EDV). Hal ini dapat
diturunkan dengan penggunaan diuretik dan pembatasan natrium. Penurunan
EDV dapat menurunkan gejala-gejala kongesti yang muncul.
12
2. Peningkatan Kontraktilitas
Obat inotropik dapat meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium.
Mekanisme pasti yang menghasilkan efek inotropik psoitif masih belum jelas.
Namun, tampaknya merupakan meningkatnya persediaan kalsium intrasel
untuk protein-protein kontraktil, aktin, dan miosin. Ion kalsium sangan
berperan dalam pembentukan jembatan penghubung antara protein kontraktil
dan kontraksi otot.
Dua golongan obat inotropik yang dapat dipakai adalah glikosida
digitalis dan obat non-glikosida. Obat non-glikosida meliputi amin
simpatomimetik seperti epinefrin dan nirepinefrin, dan penghambat
fosfodiesterase, seperti amrinon dan enoksimon. Amin simpatomimetik
meningkatkan kontraktilitas secara langsung dengan merangsang reseptor
beta adrenergik pada miokardium dan secara tidak langsung dengan
melepaskan norepinefrin dari medula adrenal. Fosfodiesterase (PDE) adalah
enzim yang menyebabkan pemecahan suatu senyawa, adenosin monofosfat
siklik (cAMP), yang memulai perpindahan kalsium ke dalam sel melalui
saluran kalsium lambat. Penghambatan PDE meningkatkan kadar cAMP
dalam darah sehingga meningkatkan kadar kalsium intrasel. Penghambat
PDE juga mengakibatkan vasodilatasi.
Obat inotropik memperbaiki fungsi ventrikel sehingga curah jantung
lebih besar pada volume dan tekanan akhir sistolik. Peningkatan aliran ke
depan mengakibatkan menurunnya volume ventrikel residu. Dengan
menurunnya EDV, akan tercapai titik optimal sehingga gejala mereda dan
curah jantung dipertahankan.
3. Pengurangan Beban Akhir
Dua respons kompensatorik terhadap gagal jantung (Aktivasi sistem
saraf simpatis dan sistem RAA) menyebabkan terjadinya vasokonstriksi yang
dapat meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel dan beban akhir.
Dengan meningkatnya beban akhir, kerja jantung bertambah dan curah
13
jantung menurun. Vasodilator arteri akan menekan efek efek negatif tersebut.
Vasodilator yang umum dipakai mengakibatkan dilatasi anyaman vaskular
melalui dua cara, yaitu :
- Dilatasi langsung otot polos pembuluh darah
- Hambatan enzim konversi angiotensin.
Vasodilator langsung terdiri dari obat-obatan seperti hidralazin dan nitrat.
Supaya efektif, pemberian hidralazin harus dikombinasikan dengan terapi
nitrat. Kombinasi obat yang paling sering digunakan adalah hidralazin-
isosorbid dinitrat yang dapat dikombinasikan dengan terapi penghambat
enzim konversi angiotensin atau diberikan tersendiri apabila penghambat
enzim konversi angiotensin tidak dapat ditoleransi.
Penghambat enzim konversi angiotensin (ACE Inhibitor) menghambat
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Efek ini dapat mencegah
vasokontriksi yang diinduksi oleh angiotensin dan menghambat produksi
aldostereon dan retensi cairan. ACE inhibitor memberikan harapan besar
dalam penanganan gagal jantung sehingga penggunaan vasodilator oral
diberikan lebih awal yaitu untuk gagal jantung NYHA kelas II.
Vasodilator arteri mengurangi tahanan terhadap ejeksi ventrikel ,
sehingga dapat memudahkan ejeksi ventrikel dan beban jantung berkurang
serta curah jantung dapat meningkat. Dengan penanganan yang optimal,
penurunan tekanan arteri biasanya tidak bermakna karena peningkatan curah
jantung menghilangkan kemungkinan penurunan tekanan yang biasanya
timbul jika pasien hanya diberi vasodilator.
Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa obat beta blocker efektif
mnurunkan morbilitas dan mortalitas pada gagal jantung. Carvedilol
merupakan satu-satunya obat beta blocker yang sidetujua oleh FDA sebagai
penggunaan pada gagal jantung dan terpilih sebagai pengobatan bagi gagal
jantung ringan hingga sedang. Propanolol , metoprolol dan timolol dapat
14
digunakan pada pasien asimtomatis tanpa disfungsi ventrikel kiri yang
menyertai infark miokardium.
Atrial Fibrilasi
a. Definisi
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang
ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan
frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial
fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial
yang tidak terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan ini
menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung2,5,6.
b. Klasifikasi
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial
fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu2 :
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi
pertama. Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi
AF sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai
episode pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal
AF. AF jenis ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri
dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu
penggunaan dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali
normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada
permanen AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena
dinilai cukup sulit untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal.15
Gambar 6. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association),
AF juga sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu
AF akut dan AF kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu
berlangsungnya atau onset yang kurang dari 48 jam, sedangkan AF kronik
sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 48 jam.
c. Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-
faktor, diantaranya adalah5,6 :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor
pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
16
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik
d. Tanda dan Gejala
Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada
perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut
jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik.
Disamping itu, AF juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh
penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan,
kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi, lebih dari 90% episode dari AF
tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut7,8,9.
e. Faktor Resiko
Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya:
a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
c. Penyakit Jantung Koroner
d. Penyakit Katup Mitral
e. Penyakit Tiroid
f. Penyakit Paru-Paru Kronik
g. Post. Operasi jantung
h. Usia ≥ 60 tahun
i. Life Style
17
f. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan
multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses
depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal,
fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior.
Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava
superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik
yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi
yang dicetuskan oleh nodus SA7,9,14.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi
yang berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple
wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada
proses aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal
elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry,
sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode
refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa
dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga
faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan
peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF7,9,14.
Gambar 7. A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelets
Reentry Atrial Fibrilasi
18
g. Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol
ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi
merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF.
Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang
berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut
jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan
farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik
(Electrical Cardioversion)8,10.
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk
mencegah adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan
adalah jenis antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini
berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam pembuluh
darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai
untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam,
diantaranya adalah :
1. Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam
proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau
mencegah koagulasi. Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat
diserap hingga mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu ± 1
jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin di metabolisme dengan
cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang kemudian
diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari
trombosit (COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin
terminal. Efek dari COX2 ini adalah menghambat produksi
19
endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di dalam trombosit. Hal inilah
yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari trombosit. Tetapi,
penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan
pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah,
terutama faktor II, VII, IX dan X.
b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis
kalsium. Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun
kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung
menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat
sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini
mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium
yang abnormal.
2. β-blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem
saraf simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan
berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas
jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam
intraseluler melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.
c. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat
dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya,
kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk
mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
20
dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion).
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
a. Amiodarone
b. Dofetilide
c. Flecainide
d. Ibutilide
e. Propafenone
f. Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua
pelat logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi
listrik ini adalah mengembalikan irama jantung kembali normal atau
sesuai dengan NSR (nodus sinus rhythm).
3. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan
membuatan sayatan pada daerah paha. Kemudian dimasukkan
kateter kedalam pembuluh darah utma hingga masuk kedalam
jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat elektroda yang
berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya AF.
b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation,
tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin”
yang berfungsi untuk membantu menormalitaskan system
konduksi sinus SA.
21
c. Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang
ditempatkan di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan
denyut jantung.
h. Pembahasan
AF sebenarnya merupakan bagian dari aritmia, yaitu suatu keadaan
abnormalitas dari irama jantung yang ditandai dengan pola pelepasan sinyal
elektrik yang sangat cepat dan berulang. Keadan ini secara umum bisa
diakibatkan oleh gangguan potensial aksi, gangguan konduksi ataupun bisa
gangguan dari keduanya. Pada AF, gangguan terjadi pada ketidakteraturan
irama jantung dan peningkatan denyut jantung. Secara umum, gangguan AF
dapat dikatakan sebagai takikardi, karena denyut jantung pada AF mencapai
lebih dari 100x/menit. Takikardi sendiri dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu takikardi supraventrikuler dan takikardi ventrikuler. AF merupakan
takikardi supraventrikuler, dimana gangguan potensial aksi ataupun konduksi
berasal dari sistem konduksi diatas berkas HIS, yang meliputi nodus SA,
nodus AV dan berkas HIS sendiri. Sedangkan takikardi ventrikuler lebih
disebabkan tidak hanya dari sistem konduksi serabut purkinje, tetapi peran
takikardi supraventrikuler juga bisa menyebabkan takikardi ventrikuler.
Takikardi supravenrikuler tidak hanya AF, tetapi meliputi ekstrasistol
atium, flutter atrium dan takikardi supraventrikuler. Pada AF, mekanisme
terjadinya melalui 2 proses, yaitu aktivasi lokal atau multiple wavelets
reentry. Pada aktivasi lokal lebih didominasi karena adanya fokus ektopik
pada vena pulmonalis superior, sedangkan multiple wavelets reentry lebih
cenderung disebabkan oleh pembesaran atrium, pemendekan periode
refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Selain itu, sebenarnya masih
ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya AF, yaitu detak jantung
prematur, aktivitas saraf otonom, iskemik atrium, konduksi anisotropik dan
peningkatan usia.
Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung,
yaitu hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon
ventrikel dan ketidakteraturan denyut jantung. Ketiga hal ini akan
22
berpengaruh pada penurunan cardiac output, karena kontraksi jantung tidak
sempurna walaupun terjadi proses depolarisasi yang berulang. Hilangnya
koordinasi proses mekanik lebih disebabkan karena cepat dan seringnya
depolarisasi. Depolarisasi yang cepat dan berulang pada AF mempunyai sifat
yang tidak sempurna, sehingga proses kontraktilitas jantung juga tidak bisa
maksimal. Selain itu, peningkatan depolarisasi dan denyut jantung pada
atrium akan direspon secara fisiologis oleh ventrikel dengan penurunan
denyut jantung. Hal ini bertujuan untuk mengurangi peningkatan potensial
aksi pada atrium yang menyebabkan ketidakteraturan penerimaan denyut
pada ventrikel. Penurunan denyut pada ventrikel terjadi karena proses
fisiologis yang diperankan oleh sistem nodus AV. Nodus AV akan
memperantarai proses ini dengan meningkatkan kinerja sistem saraf
parasimpatis dan menurunkan kinerja saraf simpatis pada sistem konduksi
AV. Sedangkan untuk ketidakteraturan denyut jantung akibat AF, memang
diakibatkan dari peningkatan depolarisasi dan masuknya sinyal elektrik
secara berulang-ulang.
Efek dari terjadinya AF disamping ketidakteraturan denyut jantung
dan peningkatan denyut jantung, tromboembolisme juga merupakan efek
yang berbahaya pada jantung akibat dari AF. Tromboembolisme terjadi akibat
dari 3 faktor, yaitu statis, disfungi endotel dan hiperkoagulasi. Mekanisme ini
terjadi dari statis dan kerusakan endotel darah akibat kontraksi dan aliran
darah yang tidak sempurna. Selain itu adanya hiperkoagulasi meningkatkan
adanya proses bekuan darah yang merupakan bagian penyebab dari
tromboembolisme.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Pemeriksaan Penunjang Gagal Jantung.
http://www.periksalaboratorium.blogspot.com/2013/06/pemeriksaan-penunjang-
gagal-jantung.html diakses tanggal 28 Juni 2014 jam 19.00.
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.
Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Isselbacher, Kurt J, et al. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Volume 3. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif M, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius.
Marcum, James L. 2008. When The Heart Attacks. Diakses dari
http://proquest.umi.com/ pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 14.21 WIB.
Nafrialdi ; Setawati, A., 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. Jakarta : EGC
Noer, Sjaifoellah, et al. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Potter, Patricia A, Anne Griffin Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan
Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A, et al. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta: EGC.
24