CA ISI 2

35
1 BAB I PENDAHULUAN Hipertensi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat meskipun obatnya telah ditemukan sekitar 30 tahun yang lalu. Patofisiologi hipertensi mencakup interaksi genetik dengan lingkungan yang melingkupi proses retensi garam, penurunan ambang filtrasi ginjal, hiperaktifitas simpatis, kelebihan sistem rennin angiostensin, perubahan membran sel, hiperinsulinemia dan disfungsi endotel. Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan keluhan selama bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya non spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Apabila hipertensi tetap tidak diketahui atau tidak dirawat, dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan perawatan hipertensi yang efektif dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan tekanan darah secara teratur mempunyai arti penting dalam perawatan hipertensi termasuk penggunaan obat antihiprtensi yang tepat secara rutin.

description

interna

Transcript of CA ISI 2

1

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat meskipun

obatnya telah ditemukan sekitar 30 tahun yang lalu. Patofisiologi hipertensi

mencakup interaksi genetik dengan lingkungan yang melingkupi proses retensi

garam, penurunan ambang filtrasi ginjal, hiperaktifitas simpatis, kelebihan sistem

rennin angiostensin, perubahan membran sel, hiperinsulinemia dan disfungsi

endotel.

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi

mungkin tidak menunjukkan keluhan selama bertahun-tahun. Masa laten ini

menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang

bermakna. Bila terdapat gejala biasanya non spesifik, misalnya sakit kepala atau

pusing. Apabila hipertensi tetap tidak diketahui atau tidak dirawat, dapat

mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau

gagal ginjal. Namun deteksi dini dan perawatan hipertensi yang efektif dapat

menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan

tekanan darah secara teratur mempunyai arti penting dalam perawatan hipertensi

termasuk penggunaan obat antihiprtensi yang tepat secara rutin.

Pemilihan OAH (Obat Anti Hipertensi) harus berdasarkan jumlah faktor

risiko yang menyertai dan keadaan organ sasaran atau keadaan klinis terkait.

Pemilihan tersebut memperlihatkan efek samping seperti efek metabolisme, efek

terhadap organ lain (bronkospasme, batuk, dsb),kondisi tertentu pasien (hamil,

usia lanjut, olahragawan) dan faktor kemampuan pasien mengingan OAH harus

dikonsumsi dalam jangka panjang.

Sesuai indikasi dapat dipilih salah satu dari 6 OAH yang banyak dipakai

saat ini yaitu golongan diuretic, penghambat beta, penghambat angiostensin

converting enzyme (ACE), kalsium antagonis, antagonis AII receptor blocker dan

alpha 1 Blocker.

Menurut beberapa studi penggunaan kalsium antagnis dalam hipertensi

secara umum tidak berbeda dalam efektivitas, efek samping, dan kualitas hidup

2

dibandingkan dengan OAH lain. Antagonis kalsium sebagai OAH banyak dipakai

pada pasien dengan hipertensi esensial, pada pasien hipertensi renovaskular,

hipertensi pada pasien kulit hitam (dimana reseptor penyakit terhadap blocker dan

ACE biasanya kurang memuaskan) dan pasienhipertensi dengan diabetes mellitus,

hipertensi dengan asma bronchial, serta hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri.

3

BAB II

HIPERTENSI

A. DEFINISI

Hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi yang

tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi primer atau

hipertensi esensial. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya

diketahui.7

Tabel 1 klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 14

Klasifikasi

tekanan darah

Sistolik

(mmHg)

Diastolik

(mmHg)

Normal <120 Dan <80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi stage 2 ≥160 Atau ≥100

B. PATOFISIOLOGI

Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul

terutama karena interaksi antara faktor pemicu dan penghambat hipertensi.

Faktor yang memicu antara lain : 7

1. Faaktor risiko, seperti: diet, asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok,

genetis.

2. Sistem saraf simpatis: tonus simpatis, variasi diurnal

3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokontriksi: endotel

pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel otot polos

dan intertisium juga memperikan kontribusi akhir.

4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan dalam sistem rennin,

angiostensin dan aldosteron.

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam

pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar TekananDarah

= Curah Jantung x Tahan Perifer.

4

C. KOMPLIKASI

Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien

hipertensi yang bersifat akut (karena hipertensi emergensi) ataupun kronis

adalah :

1. Jantung :

Akut : gagal jantung akut, edema pulmo, diseksi aorta, infark

miokard akut

Kronis : hipertrofi ventrikel kiri, angina pectoris, infark

miokardium, gagal jantung kongestif

2. Otak :

Akut : infark serebral, stroke hemoragik, ensefalopati hipertensi

dan transient ischemic attack

Kronis : stroke non hemoragik

3. Ginjal

Akut : gagal ginjal akut

Kronis : penyakit ginjal kronik

4. Penyakit arteri perifer

5. Retinopati hipertensi

5

BAB III

PERAN ANTAGONIS KALSIUM

DALAM PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

A. Pemilihan OAH

Pemilihan OAH harus berdasarkan jumlah faktor risiko yang

menyertai dan kerusakan organ sasaran atau keadaan klinis terkait. Pemilihan

tersebut memperhatikan efek samping seperti efek metabolisme, efek terhadap

organ lain (bronkospasme, batuk, dsb), kondisi tertentu pasien (hamil, usia

lanjut, olahragawan) dan faktor kemampuan pasien mengingat OAH harus

dikonsumsi dalam jangka panjang. 14

Terapi hipertensi dengan obat dimulai dengan dosis terendah yang

masih efektif dan dosis dinaikkan bila efek terapi masih kurang. Untuk

menambah efek hipotensif dan mengurangi efek samping dapat diberikan

terapi kombinasi yang tepat. Pemilihan OAH yang bekerja 24 jam lebih

mudah dipatuhi pasien, selain itu tekanan darah akan menurun secara merata

sepanjang hari. Sesuai indikasi, dapat dipilih salah satu dari 6 OAH yang

banyak dipakai saat ini, yaitu: golongan diuretik, penghambat beta,

penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), kalsium antagonis,

antagonis A II receptor blocker, dan alpha-1 blocker.

B. Antagonis Kalsium

1. Farmakologi

Calcium channel blocker adalah sekelompok obat yang bekerja dengan

menghambat masuknya ion Ca²+ melewati slow channel yang terdapat pada

membran sel (sarkolema) (Katzung, 2001).Terdapat 3 jenis calcium channel

yang diketahui, yaitu;

a. Voltage-dependent channel

Membuka setelah terjadi depolarisasi. CCB dosis terapetik sudah dapat

mengahmbat kanal Ca ini. Terdapat 4 tipe yang berbeda dari kanal Ca ini,

yaitu

1) L-type channel (long lasting, large channel)

6

Banyak ditemukan di jantung, otot polos, dan otot lurik. Terdapat beragam

bentuk yaitu L 1,2,3,4 isoform dimana memungkinkan beragam fungsi dan

selektivitas jaringan. Sangat senditif terhadap dihydropiridin,

phenylakilamines.

2) T-type channel (transient, tiny channel)

Banyak ditemukan pada jantung, saraf.

3) N-type channel (neuronal)

Banyak ditemukan pada saraf. Sensitif terhadap W-contoxins dan dapat

disertai pelepasan neurotransmitter dimana tidak bisa dilakukan oleh L-

type channel. Tetapi tipe N memiliki kesamaan seperti tipe L yaitu

membutuhkan depolarisasi kuat untuk aktivasi dan sensitive relative

terhadap cadmium blocker anorganik. tipe N juga memiliki kesamaan

dengan tipe T yaitu memerlukan negative potensial yang kuat untuk

menginaktivasi.

4) P-type channel (purkinje cell)

Banyak ditemukan pada saraf purkinje serebraldan sel granular.. Resisten

terhadap dihydropyridin dan contoxin.

(Yousef et. al, 2005) (Staf Pengajar Universitas Sriwijaya, 2009)

b. Reseptor operated channel

Pada otot jantung dan otot polospembuluh darah. Membuka setelah terjadi

perangsangan reseptor b1 oleh b-agonis pada sel otot jantung atau

perangsangan reseptor a oleh a-agonis pada sel otot polos pembuluh darah.

Diperlukan kadar CCB yang tinggi untuk menghambat tipe kanal Ca ini

( (Yousef et. al, 2005)

c. Stretch operated channel

Berdasarkan struktur kimianya, CCB dapat dibedakan atas 5 golongan obat:

1. Dyhidropyridine (DHP): Amilodipine, Felodipine, Isradipine,

Nicardipine, Nifedipine, Nimodipine, Nisoldipine, Nitrendipine.

2. Dyphenilalkilamine : Verapamil dll

3. Benzotiazepin : Diltiazem dll,

4. Piperazine : Sinarizine dll,

7

5. Lain-lain : Bepridil dll.

(Katzung, 2001)

2. Struktur Kimia

(Gupta et. al, 2003)

3. Mekanisme kerja

a. Efek inotropik negatif dan vasodilatasi pembuluh darah

Kontraksi otot jantung memerlukan ion Ca intraseluler dan ekstraseluler.

Sedangkan otot polos hanya memerlukan Ca ekstraseluler. Kalsium

channel blocker bekerja dengan menghalangi voltage-gated calcium

channel (VGCCs) dalam otot jantung dan pembuluh darah. Hal ini

mengurangi kalsium intraseluler yang mengarah kepengurangan dalam

kontraksi otot. Dengan demikian CCB memberikan efek inotropik negatif

terhadap jantung, sedangkan pada pembuluh darah memberikan efek

vasodilatasi. Kontraksi otot rangka tidak memerlukan ion Ca ekstraseluler

sehingga tidak dipengaruhi oleh antagonis kalsium (Yousef et. al, 2005;

Staf Pengajar Universitas Sriwijaya, 2009)

b. Kronotropik negatif dan perlambatan konduksi nodus AV

Nodus SA dan AV tergantung terutama pada Ca ekstraseluler untuk

ototmatisasi dan konduksinya sehingga CCB menimbulkan efek

8

konotropik negatif dan perlambatan konduksi AV (Staf Pengajar

Universitas Sriwijaya, 2009)

4. Dosis Terapi dan Toksisitas Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium memiliki rasio toksisitas terapi yang rendah, dan pernah

ditemukan efek yang serius pada pemberian antagonis kalsium yang sedikit

melebihi dari dosis terapi yang dianjurkan. Oleh sebab itu perlu mengetahui

batasan dosis antagonis kalsium.21

5. Dosis Terapi dan Toksisitas Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium adalah pasien yang alergi terhadap komponen obat

ini. Kontraindikasi verapamil dan diltiazem adalah pada pasien dengan

hipotensi, blok atrioventrikular derajat II atau III, dan pasien dengan atrial

flutter atau fibrilasi atrium. Selain itu, verapamil merupakan kontraindikasi

pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang parah, sedangkan diltiazem

merupakan kontraindikasi pada pasien dengan infark miokard akut dan

kongesti paru yang dapat dilihat dalam foto thoraks. Antagonis kalsium

umumnya tidak dianjurkan untuk pasien dengan, atau yang memiliki risiko

9

tinggi gagal jantung atau fungsi ventrikel kiri yang berkurang. Bila

ditambahkan ke terapi lain, long-acting dihidropiridin tidak secara signifikan

menyebabkan prognosis pasien menjadi CHF 22.

Terapi menggunakan diuretik secara signifikan lebih efektif dalam

mencegah gagal jantung dibandingkan jenis obat lain, termasuk antagonis

kalsium. antagonis kalsium umumnya tidak digunakan pengobatan tunggal

pada pasien dengan penyakit ginjal. Sebagai contoh, amlodipine mempunyai

potensi lebih rendah dibandingkan dengan ACE inhibitor dalam mencegah

penurunan fungsi ginjal di Amerika Afrika pada penderita nondiabetes dengan

hipertensi nephrosclerosis dan pada pasien dengan hipertensi dengan diabetes

tipe 2 nephropathy22

6. Efek Samping Antagonisme Kalsium

Efek samping penggunaan antagonis kalsium tergantung pada jenis

yang dipakai:

Nifedipin sering menyebabkan hipotensi dan sakit kepala. Verapamil

menyebabkan hipotensi dan kardiodepresi, sedangkan Diltiazem menyebabkan

kardiodepresi.22

C. Antagonis Kalsium sebagai Obat Hipertensi

Antagonis kalsium bekerja dengan cara menghambat masuknya kalsium

ke dalam sel melalui chanel-L. Antagonis kalsium dibagi 2 golongan besar, yaitu

antagonis kalsium non-dihidropiridin (kelas fenilalkilamin dan benzotiazepin) dan

antagonis kalsium dihidropiridin (1,4-dihidropiridin). Golongan dihidropiridin

terutama bekerja pada arteri sehingga dapat berfungsi sebagai OAH, sedangkan

golongan non-dihidropiridin mempengaruhi sistem konduksi jantung dan

cenderung melambatkan denyut jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi

perifer dan penurunan resistensi perifer. Penelitian yang membandingkan efek

antihipertensi antagonis kalsium dengan obat lain menunjukkan efek

antihipertensi yang sama baiknya pada pasien dengan hipertensi ringan dan

moderat. 4

10

Efek anti hipertensi antagonis kalsium berhubungan dengan dosis, bila

dosis ditambah maka efek antihipertensi semakin besar dan tidak menimbulkan

efek toleransi. Antagonis kalsium tidak dipengaruhi asupan garam sehingga

berguna bagi orang yang tidak mematuhi diet garam. 14

Menurut beberapa studi penggunaan antagonis kalsium dalam hipertensi

secara umum tidak berbeda dalam efektivitas, efek samping, atau kualitas hidup

dibandingkan dengan OAH lain. Ditinjau dari mortalitas, tidak ada perbedaan

bermakna antara diuretik, antagonis kalsium dan penghambat ACE dalam

pengobatan hipertensi. 13 Hanya mungkin ada sedikit perbedaan dalam respons

terapi sesuai usia dan kelompok suku bangsa atau warna kulit. Antagonis kalsium

sebagai OAH banyak dipakai pada pasien dengan hipertensi esensial, pasien

dengan hipertensi renovaskular, hipertensi pada pasien kulit hitam (dimana

respons penyakit terhadap beta blocker atau ACE biasanya kurang memuaskan)

dan pasien hipertensi dengan diabetes mellitus, hipertensi dengan asma bronkhial,

serta hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri. 2

Antagonis kalsium mempunyai efek tambahan yang menguntungkan

pasien. antagonis kalsium dan penghambat ACE lebih baik dari penghambat beta

dan diuretik dalam mengurangi kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang merupakan

risiko independen pada hipertensi. Banyak studi menunjukkan antagonis kalsium

mempunyai efek proteksi vaskular dengan mengurangi remodelling vaskular dan

memperbaiki faal endothelium. 2

Beberapa studi jangka panjang pada penggunaan antagonis kalsium

(kelompok diltiazem) sebagai OAH menunjukkan hasil bahwa antagonis kalsium

dapat mengurangi kejadian stroke sampai 20%.5 Kontraindikasi utama

penggunaan antagonis kalsium adalah gangguan konduksi (heart block) gagal

jantung berat dan sindrom sick sinus. 13

Semua antagonis kalsium menyebabkan vasodilatasi. Potensi relatif

sebagai vasodilator bervariasi dengan nifedipin dianggap paling poten sedangkan

verapamil dan diltiazem kurang poten. Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa

beberapa antagonis kalsium (nifedipin, nisoldipin, isradipin) berikatan di saluran

kalsium tipe L di pembuluh darah dengan beberapa sifat selektif, sedangkan

11

verapamil berikatan sama baiknya di saluran kalsium tipe L pada jantung dan

pembuluh darah. 2

Semua kelas antagonis kalsium menurunkan aktivitas sinus jantung dan

memperlambat konduksi arterioventrikular (AV), sedangkan di klinik, hanya

verapamil dan diltiazem yang menghambat konduksi AV atau menyebabkan

berkurangnya aktivitas sinus. Semua kelas antagonis kalsium menyebabkan

kontraksi otot jantung yang tergantung konsentrasi pada in vitro, sedangkan invivo

hanya verapamil dan diltiazem yang menunjukan hal tersebut. Perbedaan in vitro

dan in vivo mungkin dapat dijelaskan dengan aktivasi simpatis yang terjadi

sebagai respons terhadap vasodilatasi yang diinduksi oleh dihidropiridin, yang

mengurangi efek kronotropik dan inotropik negatif.

D. Efek Antihipertensi Antagonis Kalsium

Di Amerika Serikat (AS), antagonis kalsium yang digunakan sebagai

antihipertensi antara lain amlodipin, diltiazem, felodipin, isradipin, nikardipin,

nifedipin, nisoldipin dan verapamil. Semuanya menurunkan tekanan darah selama

pemberian peroral jangka panjang. Kebanyakan mempunyai waktu kerja panjang

sehingga dapat diberikan 1 kali sehari. Di AS, antagonis kalsium

direkomendasikan sebagai terapi lini pertama jika ada alasan yang kuat untuk

tidak menggunakan tiazid atau beta blocker. 1

On et al 9 melaporkan bahwa pemberian amlodipin dan vitamin C secara

terus menerus dalam jangka waktu lama akan memperbaiki fungsi endotel pada

pasien hipertensi. Pada terapi dengan antihipertensi, jika target tekanan darah

125/75 mmHg tidak tercapai seperti direkomendasikan Modification of Diet in

Renal Disease (MDRD), penambahan antagonis kalsium dihidropiridin dapat

bermanfaat, namun pemantauan tekanan darah dan protein urin harus dilakukan

secara ketat.

E. Efek Antiproteinuria Antagonis Kalsium

Proteinuria merupakan pencerminan tekanan intra-glomerulus, tetapi

mungkin juga merangsang kerusakan ginjal karena proteinuria itu sendiri

menyebabkan kerusakan tubulointerstisial. Proteinuria merupakan penentu yang

12

penting pada memburuknya fungsi ginjal. Penurunan proteinuria diikuti dengan

perbaikan fungsi ginjal, karena itu penurunan proteinuria dianggap sebagai hasil

akhir yang penting.

Pemberian verapamil dosis sedang, menimbulkan sedikit efek pada

tekanan darah tetapi meningkatkan proteinuria dan glomerulosklerosis, sedangkan

verapamil dosis tinggi menurunkan tekanan darah namun tidak meningkatkan

proteinuria atau glomerulosklerosis secara bermakna. 2

Kanazawa et al. 6 melaporkan kombinasi azelnidipin (antagonis kalsium)

dan temokapril (penghambat ACE) mempunyai efek renoprotektif dan

antihipertensi. Pemberian kombinasi obat tersebut secara simultan mempunyai

efek renoprotektif yang lebih besar daripada pemberian temokapril sebagai

monoterapi. Antagonis kalsium mungkin efektif pada pasien diabetes melitus

(DM).

Dihidropiridin mempunyai efek antiproteinuria pada pasien dengan

albuminuria < 500 mg/24 jam tetapi tidak ada efek pada pasien dengan

albuminuria > 500 mg/24 jam. Verapamil dan diltiazem tampaknya lebih efektif

daripada dihidropiridin dalam menurunkan proteinuria, tetapi penurunan tekanan

darah pada kelompok verapamil dan diltiazem juga lebih jelas sehingga mungkin

penurunan tekanan darah tersebut berperan dalam menurunkan proteinuria. 2

Antagonis kalsium tetap dibutuhkan untuk mencapai target tekanan darah

130/85 mmHg bila albuminuria <1g/24 jam atau 120/75 mmHg bila albuminuria

>1 g/24 jam) pada pasien DM, terutama pada kombinasi dengan penghambat ACE

atau antagonis angiotensin II. 11

African American Study of Kidney Disease on Hypertension (AASK) tidak

merekomendasi penggunaan antagonisme kalsium kelas dihidropiridin pada

penyakit ginjal atau DM karena dapat memperburuk fungsi ginjal. Penelitian

tersebut menganjurkan penggunaan penghambat ACE atau antagonis angiotensin

II, tetapi dalam penelitian tersebut pada pasien hipertensi dan insufisiensi ginjal,

risiko kematian pada penggunaan dihidropiridin tidak berbeda bermakna

dibandingkan penggunaan penghambat ACE.

F. Efek Antagonis Kalsium pada Fungsi Ginjal

13

Mekanisme perlindungan AK pada ginjal yang telah diketahui dan

dipostulasikan adalah sebagai berikut:

1. Menurunkan tekanan darah sistemik

2. Menurunkan hipertrofi ginjal

3. Modulasi alur mesangial makromolekul

4. Menurunkan aktivitas metabolisme pada ginjal remnant

5. Memperbaiki nefrokalsinosis uremia

6. Mengurangi efek mitogenik pada faktor pertumbuhan

7. Menghambat tekanan yang menginduksi pemasukan kalsium

8. Mengurangi pembentukan radikal bebas

Obat antihipertensi paling efektif untuk menghambat penurunan LFG.

Pada studi MDRD, pengontrolan tekanan darah sistolik lebih baik daripada

tekanan darah diastolik dalam melindungi ginjal. Fungsi ginjal terbaik dijaga pada

pasien dengan tekanan darah sangat rendah yaitu antara 135/85 mmHg-125/75

mmHg. Menurut Joint National Committee (JNC) VII, target tekanan atau lebih

rendah lagi darah pada pasien tanpa proteinuria adalah 140/90 mmHg, pada

proteinuria <1 g/24 jam target tekanan darah sampai dengan 130/80 mmHg,

sedangkan jika proteinuria >1 g/24 jam maka target tekanan darah 125/75 mmHg.

Dengan demikian, pasien hipertensi dengan proteinuria memerlukan terapi

antihipertensi yang efektif. 2

Zuchelli et al, 2 membandingkan captopril dengan nifedipin pada 121

pasien non-diabetik dengan insufisiensi ginjal dan proteinuria yang diikuti selama

3 tahun. Secara keseluruhan, tidak ada perbedaaan bermakna pada memburuknya

fungsi ginjal, tetapi tekanan darah menurun akibat kedua obat tersebut (tekanan

darah turun dari 165/100 mmHg menjadi 139/82 mmHg). Kelemahan penelitian

ini adalah lebih banyak pasien yang diobati dengan nifedipin selama tindak lanjut

(follow up) yang memerlukan hemodialisis, walaupun tidak berbeda bermakna.

Jumlah pasien yang diikuti menjadi berkurang (37 pasien vs 31 pasien), sehingga

efek negatif antagonis kalsium dibandingkan penghambat ACE tidak dapat

diketahui sebenarnya.

Baru-baru ini fokus pengamatan dialihkan kepada kerusakan

tubulointerstisial pada penyakit ginjal progresif. Proteinuria dianggap bertanggung

14

jawab terhadap kerusakan sel tubulus yang pada akhirnya menyebabkan

kerusakan interstisial. 2

Mekanisme lain berupa gangguan overload kalsium pada mitokondria

yang menyebabkan malfungsi sel dan pada akhirnya kematian sel. Pemberian

benidipin 3 mg dan 5 mg/kg BB/hari pada tikus dengan mesangioproliferatif

glomerulonefritis progresif, meningkatkan nilai bersihan kreatinin, mencegah

kerusakan glomerulus dan tubulointerstisial. Pemberian 5 mg dapat mengurangi

ukuran glomerulus, namun tidak sampai tingkat terkontrol. Benidipin mencegah

progresivitas ke arah gagal ginjal terminal tergantung pada dosis yang diberikan.

Kemampuan renoprotektif benidipin dengan cara supresi ekspresi transforming

growth factor(TGF)-ß dan a-SMA pada glomerulus. 8

Antagonisme kalsium dan obat antihipertensi konvensional mempunyai

efek renoprotektif yang sama pada pasien hipertensi dengan transplantasi ginjal,

jika terapi dimulai 3 bulan setelah transplantasi. 10

Manidipin mempunyai mekanisme proteksi ginjal berhubungan dengan

efek peroksida lipid. Salah satu mekanisme pengurangan proteinuria oleh

manidipin adalahdengan mengurangi akumulasi produk peroksida lipid pada

korteks ginjal. 8

G. Peran AK pada Gagal Ginjal

Pengambilan kesimpulan mengenai penggunaan antagonis kalsium pada

populasi umum tidak dapat disamakan dengan pasien gagal ginjal, karena pada

beberapa penelitian, antagonis kalsium justru memberi keuntungan pada pasien

uremia. Antagonis kalsium merupakan obat antihipertensi yang sangat efektif

untuk menurunkan tekanan darah pada pasien gagal ginjal yang dianggap resisten

terhadap obat antihipertensi lain. Antagonis kalsium terutama dihidropiridin

meningkatkan ekskresi natrium dan air, sebagian dengan menurunkan reabsorbsi

natrium pada tubulus proksimal. Mekanisme itu menguntungkan terutama pada

pasien gagal ginjal karena tidak meretensi air dan garam (mengurangi edema).

Dihidropiridin mungkin juga menghambat reabsorbsi protein di tubulus. Setelah

pemberian nifedipin terjadi peningkatan ekskresi beta 2 mikroglobulin pada urin

(petanda reabsorbsi protein di tubulus proksimal). 2

15

Keuntungan lain antagonis kalsium yaitu tidak menyebabkan hiperkalemia

seperti golongan penghambat ACE dan antagonis angiotensin (AA) II. Solomon et

al, 2 melaporkan pada pasien gagal ginjal terminal penggunaan antagonis kalsium

diltiazem meningkatkan pengeluaran kalium. Pada penelitian the United States

Renal Data system Dialysis Morbidity and Mortality Study Wave II (USRDS

DMMS II), yang melibatkan 4065 pasien gagal ginjal terminal yang menjalani

dialisis, ternyata penggunaan antagonis kalsium menurunkan mortalitas yang

bermakna dibandingkan dengan obat antihipertensi lain (penghambat ACE,

penyekat beta). Didapatkan angka kematian 21% lebih rendah dari semua

penyebab kematian dan 26% penurunan angka kematian pada penyebab penyakit

kardiovaskular, serta 32% angka kematian lebih rendah pada pasien yang

sebelumnya mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular. Untuk diltiazem

sendiri, penurunan mortalitas mencapai 48% pada pasien dengan riwayat penyakit

kardiovaskular serta 38% lebih rendah pada semua penyebab kematian. Risiko

kematian yang lebih rendah pada penggunaan antagonis kalsium pada pasien

gagal ginjal tersebut dihubungkan dengan peran antagonis kalsium yaitu

menurunkan tekanan darah, mengurangi kejadian hipertrofi ventrikel kiri dan

memperbaiki kalsium intrasel yang menguntungkan pasien gagal ginjal terminal.

H. Terapi Kombinasi Antagonis Kalsium dengan OAH lain

Antagonis kalsium telah dipakai dengan hasil baik bila dikombinasikan

dengan OAH lain, sebagai obat lini kedua atau obat tambahan ketiga terutama

pada pasien dengan hipertensi yang refrakter. Antagonis kalsium paling baik

dikombinasikan dengan penghambat beta atau penghambat ACE yang akan

menambah efek hipotensif.

Golongan dihidropiridin menyebabkan peningkatan efek simpatis yang

mengakibatkan takikardia sedangkan penyekat beta akan menghambat efek

simpatis tadi dan dapat menimbulkan bradikardia. Sebaliknya Antagonis kalsium

dapat menetralisir timbulnya vasokonstriksi perifer akibat pemberian penghambat

beta. 2

Pada pasien dengan hipertensi berat dan gangguan faal jantung, kombinasi

antagonis kalsium dengan penghambat ACE merupakan kombinasi yang efektif

16

untuk menurunkan tekanan darah dengan aman. Obat pilihan kelompok hipertensi

usia lanjut (usia lebih dari 60 tahun) dengan jumlah penderita hipertensi sistolik

terisolasi mencapai lebih 50% adalah diuretik tiazid dosis rendah. Pilihan kedua

bila diuretik tidak berhasil adalah antagonis kalsium dihidropiridin. Golongan

antagonis kalsium dihidropiridin juga merupakan pilihan kedua setelah alfa

metildopa untuk OAH pada ibu hamil. Indikasi antagonis kalsium pada penyakit

gangguan fungsi ginjal adalah sebagai obat kombinasi dengan penghambat ACE

dan bila gagal ginjal telah lanjut. Penggunaan antagonis kalsium untuk hipertensi

yang timbul akibat penyakit ginjal (penyakit ginjal non-diabetik, penyakit ginjal

diabetik dan penyakit ginjal transplantasi) bertujuan untuk mengurangi risiko

memburuknya penyakit kardiovaskuler dan mencapai target TD yaitu <130/80

mmHg. 6

I. Dosis Terapi dan Toksisitas Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium memiliki rasio toksisitas terapi yang rendah, dan

pernah ditemukan efek yang serius pada pemberian antagonis kalsium yang

sedikit melebihi dari dosis terapi yang dianjurkan. Oleh sebab itu perlu

mengetahui batasan dosis antagonis kalsium.21

17

J. Kontraindikasi Antagonis Kalsium

Kontraindikasi semua obat golongan antagonis kalsium adalah pasien yang

alergi terhadap komponen obat ini. Kontraindikasi verapamil dan diltiazem adalah

pada pasien dengan hipotensi, blok atrioventrikular derajat II atau III, dan pasien

dengan atrial flutter atau fibrilasi atrium. Selain itu, verapamil merupakan

kontraindikasi pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang parah, sedangkan

diltiazem merupakan kontraindikasi pada pasien dengan infark miokard akut dan

kongesti paru yang dapat dilihat dalam foto thoraks. Antagonis kalsium umumnya

tidak dianjurkan untuk pasien dengan, atau yang memiliki risiko tinggi gagal

jantung atau fungsi ventrikel kiri yang berkurang. Bila ditambahkan ke terapi lain,

long-acting dihidropiridin tidak secara signifikan menyebabkan prognosis pasien

menjadi CHF 22.

Terapi menggunakan diuretik secara signifikan lebih efektif dalam

mencegah gagal jantung dibandingkan jenis obat lain, termasuk antagonis

kalsium. antagonis kalsium umumnya tidak digunakan pengobatan tunggal pada

pasien dengan penyakit ginjal. Sebagai contoh, amlodipine mempunyai potensi

lebih rendah dibandingkan dengan ACE inhibitor dalam mencegah penurunan

fungsi ginjal di Amerika Afrika pada penderita nondiabetes dengan hipertensi

nephrosclerosis dan pada pasien dengan hipertensi dengan diabetes tipe 2

nephropathy22

K. Efek Samping Antagonis Kalsium

Efek samping penggunaan antagonis kalsium tergantung pada jenis yang dipakai:

Nifedipin sering menyebabkan hipotensi dan sakit kepala. Verapamil

menyebabkan hipotensi dan kardiodepresi, sedangkan Diltiazem menyebabkan

kardiodepresi.22

18

BAB V

RINGKASAN

Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang utama hingga saat ini.

Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi pada berbagai organ target, sehingga

memerlukan penatalaksanaan serius. Penatalaksanaan hipertensi dibagi dua yaitu

non-medikamentosa dan medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa berupa

pemberian obat anti hipertensi (OAH); salah satunya antagonis kalsium (AK). AK

bekerja menghambat masuknya Ca ke dalam sel melalui channel-L. AK dibagi

dua yaitu golongan dihidropiridin yang terutama bekerja pada arteri dan golongan

non-dihidropiridin yang menyebabkan vasodilatasi periferserta menurunkan

resistensi perifer. AK memiliki efek antihipertensi yang baik pada kasus

hipertensi ringan maupun sedang, berhubungan dengan dosis serta baik untuk

pasien yang tidak mematuhi diet garam. Dibandingkan -blockers dan diuretik,

AK lebih baik dalam menurunkan kejadian hipertrofi ventrikel kiri. AK

merupakan obat yang aman dan sama efektifnya dengan OAH lain dalam terapi

hipertensi. AK baik untuk hipertensi dengan penyakit penyerta seperti diabetes

melitus, asma bronkhial dan renovaskular.

Antagonis kalsium telah dipakai dengan hasil baik bila dikombinasikan

dengan OAH lain, sebagai obat lini kedua atau obat tambahan ketiga terutama

pada pasien dengan hipertensi yang refrakter. Antagonis kalsium paling baik

dikombinasikan dengan penghambat beta atau penghambat ACE yang akan

menambah efek hipotensif dengan aman. Antagonis kalsium dihidropiridin

merupakan obat pilihan kedua pada kelompok hipertensi usia lanjut (usia lebih

dari 60 tahun) dengan jumlah penderita hipertensi sistolik terisolasi mencapai

lebih 50% setelah diuretik tiazid dosis rendah. Golongan antagonis kalsium

dihidropiridin juga merupakan pilihan kedua setelah alfa metildopa untuk OAH

pada ibu hamil. Indikasi antagonis kalsium pada penyakit gangguan fungsi ginjal

adalah sebagai obat kombinasi dengan penghambat ACE dan bila gagal ginjal

telah lanjut.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Abernethy DR, Schwartz JB. Calcium-antagonist drugs. The New England

Journal of Medicine 1999; 341(19):1447-57.

2. Aziza Lucky. Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan

Hipertensi. Maj Kedokt Indon, 2007; 57:259-264

3. Brown AL, Wilkinson R. Clinical approach to hypertension. In : Davison

AM, Cameron JS, Grunfeld, JP, Ponticell C, Ritz E, Winearls CG,

Ypersele CV (eds). Oxford Textbook of Clinical Nephrology. 3rd Edition.

Oxford university press. 2005. Pp 1307-20

4. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh Report of the

Joint National Committee on Prevention, Detection,Evaluation, and

Treatment of High Blood Pressure. The JNC 7 Report. JAMA. 2003. 289 :

Pp 2560-72.

5. Hansson L, Hedner T, Lun-Johansen P. Randomised trial or old and new

antihypertensive drugs in elderly patients: cardiovascular mortality and

morbidity the Swedish Trialin Old Patients-2 study. Lancet

1999;354:1751-6.

6. Kanazawa M, Kohzuki M, Yoshida K, Kurosawa H, Minami N, Saito T, et

al. Combination therapy with an angiotensin-converting enzyme (ACE)

inhibitor and a calcium antagonist.: beyond the renoprotective effects of

ACE Inhibitor monotherapy in spontaneous hypertensive rat with renal

ablation. Hypertens Res 2002;25(3):447-53.

7. Kaplan NM. Primary hypertension: pathogenesis. In : Neal W (ed).

Kaplan's clinical hypertension. 8th edition. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins. 2002. Pp 56-135.

8. Nakamura T, Obata JE, Onitsuka M, Shimada Y, Yoshida Y, Kawachi H,

et al. Benidipine, a long-acting calcium-channel blocker, prevents the

progression to end stage renal failure in a rat mesangio-proliferative

glomerulonephritis. Nephron 2000;86(3):315-26.

20

9. On YK, kim CH, sohn DW, oh BH, Lee MM, Park YB, et al.Improvement

of endothelial function by amlodipine and vitamin C in essential

hypertension. Korean J Intern Med 2002;17(2):131-7.

10. Rose GW, Kano Y, Ikeburo H, Kaneko M, Kaneko K, Kanno T, et al.

Cilnidipine as effective as benazepril for control of blood pressure and

proteinuria in hypertensive patient benign nephrosclerosis. Hypertens Rest

2001;24(4):377-83.

11. Ruilope LM, Campo C, Segura J. The calcium channel blocker

controversy in patients with diabetic nephropathy: Is there an issue?

Current Hypertens Rep 2001;3(5):419-21.

12. Sica DA. Angiotensin converting enzyme inhibitor. In : Black HR, Elliot

WJ (eds). Hypertension : a companion to Braunwald’s heart disease. 1st

edition. WB Saunders Company. 2007. Pp 239-53

13. The ALLHAT (The Antihypertensive and Lipid Lowering treatment to

prevent Heart Attack Trial) Collaborative Research group Sponsored by

the National Heart, Lung, and Blood Institute (NHBLI)

JAMA,2002;288:2981-97.

14. Trisnohadi HB. Peran antagonis kalsium dalam hipertensi: Symposium

pendekatan holistic penyakit kardiovaskular III & Karimun III. Jakarta;

2004.

15. Virdis A, Ghiadoni L, Sudano I. effect of antihypertensive drugs on

endothelial function in humans. J Hypertens 1998;16 (Suppl.8):S103-10.

16. World Health Organization, International Society of Hypertension Writing

Group. World Health Organization - International Society of Hypertension

Statement of Management of Hypertension. J Hypertension. 2003

17. Katzung, Bertram G, 2001, Basic & Clinical Pharmacology Eighth

edition, Edisi Bahasa Indonesia, Buku I, penerjemah Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Salemba Medika, Jakarta.

18. Gupta et.al. 2003. A Quantitative Structure–Activity Relationship Study on

A Novel Class of Calcium-Entry Blockers: 1-[{4-

(Aminoalkoxy)Phenyl}Sulphonyl]Indolizines. E J of Med Chem. 38 (10):

867-873.

21

19. Yousef et al. 2005. The Mechanism of Action of Calcium Channel

Blockers in The Treatment of Diabetic Nephropathy. Int J

Diabetes&Metabolism. 13: 76-82.

20. Staf Pengajar FK Universitas Sriwijaya. 2009.. Kumpulan Kuliah

Farmakologi. Ed. 2. Jakarta:

21. Olson, K.R. et al. 2005 Calcium Channel Blocker Ingestion: An Evidence-Based Consensus Guideline for Out-of-Hospital Management. Clinical Toxicology, 43:797–822.

22. Elliot and Ram. 2011. Calcium Channel Blockers. The Journal of Clinical Hypertension, 13(9): 687-689.

22

Penelitian Metode Hasil penelitian

Benazepril plus Amlodipine or Hydrochlorothiazide for Hypertension in High-Risk Patients 2005

Subjek :11.506 pasien hipertensi yang berisiko tinggi untuk kejadian kardiovaskuler dan menerima pengobatan dengan benazepril ditambah amlodipine atau benazepril ditambah hidroklorotiazid.Desain penelitian :Dalam uji coba secara acak, double-blind trialEnd points :Primer : kejadian kematian (gabungan dari peristiwa kardiovaskular dan kematian akibat kardiovaskuler)Peristiwa kardiovasular (infark miokard nonfatal, stroke, rawat inap untuk angina tidak stabil, revaskularisasi koroner, atau resusitasi setelah serangan jantung mendadak)Kematian akibat kardiovaskuler (kematian mendadak akibat penyebab jantung, infark miokard, stroke, intervensi koroner, gagal jantung kongestif, atau penyebab kardiovaskular lainnya)Sekunder: kejadian kardiovascular nonfatal yang merupakan eksklusi kejadian fatal dari primary end points dan kematian dari penyakit kardiovascular, stroke non fatal, dan nonfatal infark miokardial

Karakteristik dasar dari kedua kelompok adalah serupa. Penelitian ini dihentikan setelah rata-rata tindak lanjut dari 36 bulan, ketika target terlampaui. Tekanan darah pada kelompok benazepril-amlodipine setelah penyesuaian dosis adalah 131.6/73.3 mmHg dan 132.5/74.4 mm Hg pada kelompok benazepril-hidroklorotiazid. Ada 552 primer hasil peristiwa di benazepril-kelompok amlodipine (9,6%) dan 679 pada kelompok benazepril-hidroklorotiazid (11,8%), mewakili pengurangan risiko absolut dengan benazepril-amlodipine terapi sebesar 2,2% dan pengurangan risiko relatif sebesar 19,6 % (rasio hazard, 0,80, interval kepercayaan 95% [CI], 0,72-0,90, P <0,001). Untuk titik akhir sekunder kematian akibat kardiovaskuler, infark miokard nonfatal, dan stroke nonfatal, rasio hazard adalah 0,79 (95% CI, 0,67-0,92, P = 0,002). Harga efek samping konsisten dengan yang diamati dari pengalaman klinis dengan obat studi.

Kesimpulan :

Kombinasi benazepril-amlodipine lebih unggul daripada kombinasi benazepril-hidroklorotiazid dalam mengurangi kejadian kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi yang berisiko tinggi untuk penelitian tersebut.

23