CA ISI 2
-
Upload
christine-notoningtiyas-santoso -
Category
Documents
-
view
28 -
download
1
description
Transcript of CA ISI 2
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat meskipun
obatnya telah ditemukan sekitar 30 tahun yang lalu. Patofisiologi hipertensi
mencakup interaksi genetik dengan lingkungan yang melingkupi proses retensi
garam, penurunan ambang filtrasi ginjal, hiperaktifitas simpatis, kelebihan sistem
rennin angiostensin, perubahan membran sel, hiperinsulinemia dan disfungsi
endotel.
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tidak menunjukkan keluhan selama bertahun-tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala biasanya non spesifik, misalnya sakit kepala atau
pusing. Apabila hipertensi tetap tidak diketahui atau tidak dirawat, dapat
mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau
gagal ginjal. Namun deteksi dini dan perawatan hipertensi yang efektif dapat
menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan
tekanan darah secara teratur mempunyai arti penting dalam perawatan hipertensi
termasuk penggunaan obat antihiprtensi yang tepat secara rutin.
Pemilihan OAH (Obat Anti Hipertensi) harus berdasarkan jumlah faktor
risiko yang menyertai dan keadaan organ sasaran atau keadaan klinis terkait.
Pemilihan tersebut memperlihatkan efek samping seperti efek metabolisme, efek
terhadap organ lain (bronkospasme, batuk, dsb),kondisi tertentu pasien (hamil,
usia lanjut, olahragawan) dan faktor kemampuan pasien mengingan OAH harus
dikonsumsi dalam jangka panjang.
Sesuai indikasi dapat dipilih salah satu dari 6 OAH yang banyak dipakai
saat ini yaitu golongan diuretic, penghambat beta, penghambat angiostensin
converting enzyme (ACE), kalsium antagonis, antagonis AII receptor blocker dan
alpha 1 Blocker.
Menurut beberapa studi penggunaan kalsium antagnis dalam hipertensi
secara umum tidak berbeda dalam efektivitas, efek samping, dan kualitas hidup
2
dibandingkan dengan OAH lain. Antagonis kalsium sebagai OAH banyak dipakai
pada pasien dengan hipertensi esensial, pada pasien hipertensi renovaskular,
hipertensi pada pasien kulit hitam (dimana reseptor penyakit terhadap blocker dan
ACE biasanya kurang memuaskan) dan pasienhipertensi dengan diabetes mellitus,
hipertensi dengan asma bronchial, serta hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri.
3
BAB II
HIPERTENSI
A. DEFINISI
Hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi yang
tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi primer atau
hipertensi esensial. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya
diketahui.7
Tabel 1 klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 14
Klasifikasi
tekanan darah
Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 Atau ≥100
B. PATOFISIOLOGI
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul
terutama karena interaksi antara faktor pemicu dan penghambat hipertensi.
Faktor yang memicu antara lain : 7
1. Faaktor risiko, seperti: diet, asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok,
genetis.
2. Sistem saraf simpatis: tonus simpatis, variasi diurnal
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokontriksi: endotel
pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel otot polos
dan intertisium juga memperikan kontribusi akhir.
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan dalam sistem rennin,
angiostensin dan aldosteron.
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam
pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar TekananDarah
= Curah Jantung x Tahan Perifer.
4
C. KOMPLIKASI
Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien
hipertensi yang bersifat akut (karena hipertensi emergensi) ataupun kronis
adalah :
1. Jantung :
Akut : gagal jantung akut, edema pulmo, diseksi aorta, infark
miokard akut
Kronis : hipertrofi ventrikel kiri, angina pectoris, infark
miokardium, gagal jantung kongestif
2. Otak :
Akut : infark serebral, stroke hemoragik, ensefalopati hipertensi
dan transient ischemic attack
Kronis : stroke non hemoragik
3. Ginjal
Akut : gagal ginjal akut
Kronis : penyakit ginjal kronik
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati hipertensi
5
BAB III
PERAN ANTAGONIS KALSIUM
DALAM PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
A. Pemilihan OAH
Pemilihan OAH harus berdasarkan jumlah faktor risiko yang
menyertai dan kerusakan organ sasaran atau keadaan klinis terkait. Pemilihan
tersebut memperhatikan efek samping seperti efek metabolisme, efek terhadap
organ lain (bronkospasme, batuk, dsb), kondisi tertentu pasien (hamil, usia
lanjut, olahragawan) dan faktor kemampuan pasien mengingat OAH harus
dikonsumsi dalam jangka panjang. 14
Terapi hipertensi dengan obat dimulai dengan dosis terendah yang
masih efektif dan dosis dinaikkan bila efek terapi masih kurang. Untuk
menambah efek hipotensif dan mengurangi efek samping dapat diberikan
terapi kombinasi yang tepat. Pemilihan OAH yang bekerja 24 jam lebih
mudah dipatuhi pasien, selain itu tekanan darah akan menurun secara merata
sepanjang hari. Sesuai indikasi, dapat dipilih salah satu dari 6 OAH yang
banyak dipakai saat ini, yaitu: golongan diuretik, penghambat beta,
penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), kalsium antagonis,
antagonis A II receptor blocker, dan alpha-1 blocker.
B. Antagonis Kalsium
1. Farmakologi
Calcium channel blocker adalah sekelompok obat yang bekerja dengan
menghambat masuknya ion Ca²+ melewati slow channel yang terdapat pada
membran sel (sarkolema) (Katzung, 2001).Terdapat 3 jenis calcium channel
yang diketahui, yaitu;
a. Voltage-dependent channel
Membuka setelah terjadi depolarisasi. CCB dosis terapetik sudah dapat
mengahmbat kanal Ca ini. Terdapat 4 tipe yang berbeda dari kanal Ca ini,
yaitu
1) L-type channel (long lasting, large channel)
6
Banyak ditemukan di jantung, otot polos, dan otot lurik. Terdapat beragam
bentuk yaitu L 1,2,3,4 isoform dimana memungkinkan beragam fungsi dan
selektivitas jaringan. Sangat senditif terhadap dihydropiridin,
phenylakilamines.
2) T-type channel (transient, tiny channel)
Banyak ditemukan pada jantung, saraf.
3) N-type channel (neuronal)
Banyak ditemukan pada saraf. Sensitif terhadap W-contoxins dan dapat
disertai pelepasan neurotransmitter dimana tidak bisa dilakukan oleh L-
type channel. Tetapi tipe N memiliki kesamaan seperti tipe L yaitu
membutuhkan depolarisasi kuat untuk aktivasi dan sensitive relative
terhadap cadmium blocker anorganik. tipe N juga memiliki kesamaan
dengan tipe T yaitu memerlukan negative potensial yang kuat untuk
menginaktivasi.
4) P-type channel (purkinje cell)
Banyak ditemukan pada saraf purkinje serebraldan sel granular.. Resisten
terhadap dihydropyridin dan contoxin.
(Yousef et. al, 2005) (Staf Pengajar Universitas Sriwijaya, 2009)
b. Reseptor operated channel
Pada otot jantung dan otot polospembuluh darah. Membuka setelah terjadi
perangsangan reseptor b1 oleh b-agonis pada sel otot jantung atau
perangsangan reseptor a oleh a-agonis pada sel otot polos pembuluh darah.
Diperlukan kadar CCB yang tinggi untuk menghambat tipe kanal Ca ini
( (Yousef et. al, 2005)
c. Stretch operated channel
Berdasarkan struktur kimianya, CCB dapat dibedakan atas 5 golongan obat:
1. Dyhidropyridine (DHP): Amilodipine, Felodipine, Isradipine,
Nicardipine, Nifedipine, Nimodipine, Nisoldipine, Nitrendipine.
2. Dyphenilalkilamine : Verapamil dll
3. Benzotiazepin : Diltiazem dll,
4. Piperazine : Sinarizine dll,
7
5. Lain-lain : Bepridil dll.
(Katzung, 2001)
2. Struktur Kimia
(Gupta et. al, 2003)
3. Mekanisme kerja
a. Efek inotropik negatif dan vasodilatasi pembuluh darah
Kontraksi otot jantung memerlukan ion Ca intraseluler dan ekstraseluler.
Sedangkan otot polos hanya memerlukan Ca ekstraseluler. Kalsium
channel blocker bekerja dengan menghalangi voltage-gated calcium
channel (VGCCs) dalam otot jantung dan pembuluh darah. Hal ini
mengurangi kalsium intraseluler yang mengarah kepengurangan dalam
kontraksi otot. Dengan demikian CCB memberikan efek inotropik negatif
terhadap jantung, sedangkan pada pembuluh darah memberikan efek
vasodilatasi. Kontraksi otot rangka tidak memerlukan ion Ca ekstraseluler
sehingga tidak dipengaruhi oleh antagonis kalsium (Yousef et. al, 2005;
Staf Pengajar Universitas Sriwijaya, 2009)
b. Kronotropik negatif dan perlambatan konduksi nodus AV
Nodus SA dan AV tergantung terutama pada Ca ekstraseluler untuk
ototmatisasi dan konduksinya sehingga CCB menimbulkan efek
8
konotropik negatif dan perlambatan konduksi AV (Staf Pengajar
Universitas Sriwijaya, 2009)
4. Dosis Terapi dan Toksisitas Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium memiliki rasio toksisitas terapi yang rendah, dan pernah
ditemukan efek yang serius pada pemberian antagonis kalsium yang sedikit
melebihi dari dosis terapi yang dianjurkan. Oleh sebab itu perlu mengetahui
batasan dosis antagonis kalsium.21
5. Dosis Terapi dan Toksisitas Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium adalah pasien yang alergi terhadap komponen obat
ini. Kontraindikasi verapamil dan diltiazem adalah pada pasien dengan
hipotensi, blok atrioventrikular derajat II atau III, dan pasien dengan atrial
flutter atau fibrilasi atrium. Selain itu, verapamil merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang parah, sedangkan diltiazem
merupakan kontraindikasi pada pasien dengan infark miokard akut dan
kongesti paru yang dapat dilihat dalam foto thoraks. Antagonis kalsium
umumnya tidak dianjurkan untuk pasien dengan, atau yang memiliki risiko
9
tinggi gagal jantung atau fungsi ventrikel kiri yang berkurang. Bila
ditambahkan ke terapi lain, long-acting dihidropiridin tidak secara signifikan
menyebabkan prognosis pasien menjadi CHF 22.
Terapi menggunakan diuretik secara signifikan lebih efektif dalam
mencegah gagal jantung dibandingkan jenis obat lain, termasuk antagonis
kalsium. antagonis kalsium umumnya tidak digunakan pengobatan tunggal
pada pasien dengan penyakit ginjal. Sebagai contoh, amlodipine mempunyai
potensi lebih rendah dibandingkan dengan ACE inhibitor dalam mencegah
penurunan fungsi ginjal di Amerika Afrika pada penderita nondiabetes dengan
hipertensi nephrosclerosis dan pada pasien dengan hipertensi dengan diabetes
tipe 2 nephropathy22
6. Efek Samping Antagonisme Kalsium
Efek samping penggunaan antagonis kalsium tergantung pada jenis
yang dipakai:
Nifedipin sering menyebabkan hipotensi dan sakit kepala. Verapamil
menyebabkan hipotensi dan kardiodepresi, sedangkan Diltiazem menyebabkan
kardiodepresi.22
C. Antagonis Kalsium sebagai Obat Hipertensi
Antagonis kalsium bekerja dengan cara menghambat masuknya kalsium
ke dalam sel melalui chanel-L. Antagonis kalsium dibagi 2 golongan besar, yaitu
antagonis kalsium non-dihidropiridin (kelas fenilalkilamin dan benzotiazepin) dan
antagonis kalsium dihidropiridin (1,4-dihidropiridin). Golongan dihidropiridin
terutama bekerja pada arteri sehingga dapat berfungsi sebagai OAH, sedangkan
golongan non-dihidropiridin mempengaruhi sistem konduksi jantung dan
cenderung melambatkan denyut jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi
perifer dan penurunan resistensi perifer. Penelitian yang membandingkan efek
antihipertensi antagonis kalsium dengan obat lain menunjukkan efek
antihipertensi yang sama baiknya pada pasien dengan hipertensi ringan dan
moderat. 4
10
Efek anti hipertensi antagonis kalsium berhubungan dengan dosis, bila
dosis ditambah maka efek antihipertensi semakin besar dan tidak menimbulkan
efek toleransi. Antagonis kalsium tidak dipengaruhi asupan garam sehingga
berguna bagi orang yang tidak mematuhi diet garam. 14
Menurut beberapa studi penggunaan antagonis kalsium dalam hipertensi
secara umum tidak berbeda dalam efektivitas, efek samping, atau kualitas hidup
dibandingkan dengan OAH lain. Ditinjau dari mortalitas, tidak ada perbedaan
bermakna antara diuretik, antagonis kalsium dan penghambat ACE dalam
pengobatan hipertensi. 13 Hanya mungkin ada sedikit perbedaan dalam respons
terapi sesuai usia dan kelompok suku bangsa atau warna kulit. Antagonis kalsium
sebagai OAH banyak dipakai pada pasien dengan hipertensi esensial, pasien
dengan hipertensi renovaskular, hipertensi pada pasien kulit hitam (dimana
respons penyakit terhadap beta blocker atau ACE biasanya kurang memuaskan)
dan pasien hipertensi dengan diabetes mellitus, hipertensi dengan asma bronkhial,
serta hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri. 2
Antagonis kalsium mempunyai efek tambahan yang menguntungkan
pasien. antagonis kalsium dan penghambat ACE lebih baik dari penghambat beta
dan diuretik dalam mengurangi kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang merupakan
risiko independen pada hipertensi. Banyak studi menunjukkan antagonis kalsium
mempunyai efek proteksi vaskular dengan mengurangi remodelling vaskular dan
memperbaiki faal endothelium. 2
Beberapa studi jangka panjang pada penggunaan antagonis kalsium
(kelompok diltiazem) sebagai OAH menunjukkan hasil bahwa antagonis kalsium
dapat mengurangi kejadian stroke sampai 20%.5 Kontraindikasi utama
penggunaan antagonis kalsium adalah gangguan konduksi (heart block) gagal
jantung berat dan sindrom sick sinus. 13
Semua antagonis kalsium menyebabkan vasodilatasi. Potensi relatif
sebagai vasodilator bervariasi dengan nifedipin dianggap paling poten sedangkan
verapamil dan diltiazem kurang poten. Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa
beberapa antagonis kalsium (nifedipin, nisoldipin, isradipin) berikatan di saluran
kalsium tipe L di pembuluh darah dengan beberapa sifat selektif, sedangkan
11
verapamil berikatan sama baiknya di saluran kalsium tipe L pada jantung dan
pembuluh darah. 2
Semua kelas antagonis kalsium menurunkan aktivitas sinus jantung dan
memperlambat konduksi arterioventrikular (AV), sedangkan di klinik, hanya
verapamil dan diltiazem yang menghambat konduksi AV atau menyebabkan
berkurangnya aktivitas sinus. Semua kelas antagonis kalsium menyebabkan
kontraksi otot jantung yang tergantung konsentrasi pada in vitro, sedangkan invivo
hanya verapamil dan diltiazem yang menunjukan hal tersebut. Perbedaan in vitro
dan in vivo mungkin dapat dijelaskan dengan aktivasi simpatis yang terjadi
sebagai respons terhadap vasodilatasi yang diinduksi oleh dihidropiridin, yang
mengurangi efek kronotropik dan inotropik negatif.
D. Efek Antihipertensi Antagonis Kalsium
Di Amerika Serikat (AS), antagonis kalsium yang digunakan sebagai
antihipertensi antara lain amlodipin, diltiazem, felodipin, isradipin, nikardipin,
nifedipin, nisoldipin dan verapamil. Semuanya menurunkan tekanan darah selama
pemberian peroral jangka panjang. Kebanyakan mempunyai waktu kerja panjang
sehingga dapat diberikan 1 kali sehari. Di AS, antagonis kalsium
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama jika ada alasan yang kuat untuk
tidak menggunakan tiazid atau beta blocker. 1
On et al 9 melaporkan bahwa pemberian amlodipin dan vitamin C secara
terus menerus dalam jangka waktu lama akan memperbaiki fungsi endotel pada
pasien hipertensi. Pada terapi dengan antihipertensi, jika target tekanan darah
125/75 mmHg tidak tercapai seperti direkomendasikan Modification of Diet in
Renal Disease (MDRD), penambahan antagonis kalsium dihidropiridin dapat
bermanfaat, namun pemantauan tekanan darah dan protein urin harus dilakukan
secara ketat.
E. Efek Antiproteinuria Antagonis Kalsium
Proteinuria merupakan pencerminan tekanan intra-glomerulus, tetapi
mungkin juga merangsang kerusakan ginjal karena proteinuria itu sendiri
menyebabkan kerusakan tubulointerstisial. Proteinuria merupakan penentu yang
12
penting pada memburuknya fungsi ginjal. Penurunan proteinuria diikuti dengan
perbaikan fungsi ginjal, karena itu penurunan proteinuria dianggap sebagai hasil
akhir yang penting.
Pemberian verapamil dosis sedang, menimbulkan sedikit efek pada
tekanan darah tetapi meningkatkan proteinuria dan glomerulosklerosis, sedangkan
verapamil dosis tinggi menurunkan tekanan darah namun tidak meningkatkan
proteinuria atau glomerulosklerosis secara bermakna. 2
Kanazawa et al. 6 melaporkan kombinasi azelnidipin (antagonis kalsium)
dan temokapril (penghambat ACE) mempunyai efek renoprotektif dan
antihipertensi. Pemberian kombinasi obat tersebut secara simultan mempunyai
efek renoprotektif yang lebih besar daripada pemberian temokapril sebagai
monoterapi. Antagonis kalsium mungkin efektif pada pasien diabetes melitus
(DM).
Dihidropiridin mempunyai efek antiproteinuria pada pasien dengan
albuminuria < 500 mg/24 jam tetapi tidak ada efek pada pasien dengan
albuminuria > 500 mg/24 jam. Verapamil dan diltiazem tampaknya lebih efektif
daripada dihidropiridin dalam menurunkan proteinuria, tetapi penurunan tekanan
darah pada kelompok verapamil dan diltiazem juga lebih jelas sehingga mungkin
penurunan tekanan darah tersebut berperan dalam menurunkan proteinuria. 2
Antagonis kalsium tetap dibutuhkan untuk mencapai target tekanan darah
130/85 mmHg bila albuminuria <1g/24 jam atau 120/75 mmHg bila albuminuria
>1 g/24 jam) pada pasien DM, terutama pada kombinasi dengan penghambat ACE
atau antagonis angiotensin II. 11
African American Study of Kidney Disease on Hypertension (AASK) tidak
merekomendasi penggunaan antagonisme kalsium kelas dihidropiridin pada
penyakit ginjal atau DM karena dapat memperburuk fungsi ginjal. Penelitian
tersebut menganjurkan penggunaan penghambat ACE atau antagonis angiotensin
II, tetapi dalam penelitian tersebut pada pasien hipertensi dan insufisiensi ginjal,
risiko kematian pada penggunaan dihidropiridin tidak berbeda bermakna
dibandingkan penggunaan penghambat ACE.
F. Efek Antagonis Kalsium pada Fungsi Ginjal
13
Mekanisme perlindungan AK pada ginjal yang telah diketahui dan
dipostulasikan adalah sebagai berikut:
1. Menurunkan tekanan darah sistemik
2. Menurunkan hipertrofi ginjal
3. Modulasi alur mesangial makromolekul
4. Menurunkan aktivitas metabolisme pada ginjal remnant
5. Memperbaiki nefrokalsinosis uremia
6. Mengurangi efek mitogenik pada faktor pertumbuhan
7. Menghambat tekanan yang menginduksi pemasukan kalsium
8. Mengurangi pembentukan radikal bebas
Obat antihipertensi paling efektif untuk menghambat penurunan LFG.
Pada studi MDRD, pengontrolan tekanan darah sistolik lebih baik daripada
tekanan darah diastolik dalam melindungi ginjal. Fungsi ginjal terbaik dijaga pada
pasien dengan tekanan darah sangat rendah yaitu antara 135/85 mmHg-125/75
mmHg. Menurut Joint National Committee (JNC) VII, target tekanan atau lebih
rendah lagi darah pada pasien tanpa proteinuria adalah 140/90 mmHg, pada
proteinuria <1 g/24 jam target tekanan darah sampai dengan 130/80 mmHg,
sedangkan jika proteinuria >1 g/24 jam maka target tekanan darah 125/75 mmHg.
Dengan demikian, pasien hipertensi dengan proteinuria memerlukan terapi
antihipertensi yang efektif. 2
Zuchelli et al, 2 membandingkan captopril dengan nifedipin pada 121
pasien non-diabetik dengan insufisiensi ginjal dan proteinuria yang diikuti selama
3 tahun. Secara keseluruhan, tidak ada perbedaaan bermakna pada memburuknya
fungsi ginjal, tetapi tekanan darah menurun akibat kedua obat tersebut (tekanan
darah turun dari 165/100 mmHg menjadi 139/82 mmHg). Kelemahan penelitian
ini adalah lebih banyak pasien yang diobati dengan nifedipin selama tindak lanjut
(follow up) yang memerlukan hemodialisis, walaupun tidak berbeda bermakna.
Jumlah pasien yang diikuti menjadi berkurang (37 pasien vs 31 pasien), sehingga
efek negatif antagonis kalsium dibandingkan penghambat ACE tidak dapat
diketahui sebenarnya.
Baru-baru ini fokus pengamatan dialihkan kepada kerusakan
tubulointerstisial pada penyakit ginjal progresif. Proteinuria dianggap bertanggung
14
jawab terhadap kerusakan sel tubulus yang pada akhirnya menyebabkan
kerusakan interstisial. 2
Mekanisme lain berupa gangguan overload kalsium pada mitokondria
yang menyebabkan malfungsi sel dan pada akhirnya kematian sel. Pemberian
benidipin 3 mg dan 5 mg/kg BB/hari pada tikus dengan mesangioproliferatif
glomerulonefritis progresif, meningkatkan nilai bersihan kreatinin, mencegah
kerusakan glomerulus dan tubulointerstisial. Pemberian 5 mg dapat mengurangi
ukuran glomerulus, namun tidak sampai tingkat terkontrol. Benidipin mencegah
progresivitas ke arah gagal ginjal terminal tergantung pada dosis yang diberikan.
Kemampuan renoprotektif benidipin dengan cara supresi ekspresi transforming
growth factor(TGF)-ß dan a-SMA pada glomerulus. 8
Antagonisme kalsium dan obat antihipertensi konvensional mempunyai
efek renoprotektif yang sama pada pasien hipertensi dengan transplantasi ginjal,
jika terapi dimulai 3 bulan setelah transplantasi. 10
Manidipin mempunyai mekanisme proteksi ginjal berhubungan dengan
efek peroksida lipid. Salah satu mekanisme pengurangan proteinuria oleh
manidipin adalahdengan mengurangi akumulasi produk peroksida lipid pada
korteks ginjal. 8
G. Peran AK pada Gagal Ginjal
Pengambilan kesimpulan mengenai penggunaan antagonis kalsium pada
populasi umum tidak dapat disamakan dengan pasien gagal ginjal, karena pada
beberapa penelitian, antagonis kalsium justru memberi keuntungan pada pasien
uremia. Antagonis kalsium merupakan obat antihipertensi yang sangat efektif
untuk menurunkan tekanan darah pada pasien gagal ginjal yang dianggap resisten
terhadap obat antihipertensi lain. Antagonis kalsium terutama dihidropiridin
meningkatkan ekskresi natrium dan air, sebagian dengan menurunkan reabsorbsi
natrium pada tubulus proksimal. Mekanisme itu menguntungkan terutama pada
pasien gagal ginjal karena tidak meretensi air dan garam (mengurangi edema).
Dihidropiridin mungkin juga menghambat reabsorbsi protein di tubulus. Setelah
pemberian nifedipin terjadi peningkatan ekskresi beta 2 mikroglobulin pada urin
(petanda reabsorbsi protein di tubulus proksimal). 2
15
Keuntungan lain antagonis kalsium yaitu tidak menyebabkan hiperkalemia
seperti golongan penghambat ACE dan antagonis angiotensin (AA) II. Solomon et
al, 2 melaporkan pada pasien gagal ginjal terminal penggunaan antagonis kalsium
diltiazem meningkatkan pengeluaran kalium. Pada penelitian the United States
Renal Data system Dialysis Morbidity and Mortality Study Wave II (USRDS
DMMS II), yang melibatkan 4065 pasien gagal ginjal terminal yang menjalani
dialisis, ternyata penggunaan antagonis kalsium menurunkan mortalitas yang
bermakna dibandingkan dengan obat antihipertensi lain (penghambat ACE,
penyekat beta). Didapatkan angka kematian 21% lebih rendah dari semua
penyebab kematian dan 26% penurunan angka kematian pada penyebab penyakit
kardiovaskular, serta 32% angka kematian lebih rendah pada pasien yang
sebelumnya mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular. Untuk diltiazem
sendiri, penurunan mortalitas mencapai 48% pada pasien dengan riwayat penyakit
kardiovaskular serta 38% lebih rendah pada semua penyebab kematian. Risiko
kematian yang lebih rendah pada penggunaan antagonis kalsium pada pasien
gagal ginjal tersebut dihubungkan dengan peran antagonis kalsium yaitu
menurunkan tekanan darah, mengurangi kejadian hipertrofi ventrikel kiri dan
memperbaiki kalsium intrasel yang menguntungkan pasien gagal ginjal terminal.
H. Terapi Kombinasi Antagonis Kalsium dengan OAH lain
Antagonis kalsium telah dipakai dengan hasil baik bila dikombinasikan
dengan OAH lain, sebagai obat lini kedua atau obat tambahan ketiga terutama
pada pasien dengan hipertensi yang refrakter. Antagonis kalsium paling baik
dikombinasikan dengan penghambat beta atau penghambat ACE yang akan
menambah efek hipotensif.
Golongan dihidropiridin menyebabkan peningkatan efek simpatis yang
mengakibatkan takikardia sedangkan penyekat beta akan menghambat efek
simpatis tadi dan dapat menimbulkan bradikardia. Sebaliknya Antagonis kalsium
dapat menetralisir timbulnya vasokonstriksi perifer akibat pemberian penghambat
beta. 2
Pada pasien dengan hipertensi berat dan gangguan faal jantung, kombinasi
antagonis kalsium dengan penghambat ACE merupakan kombinasi yang efektif
16
untuk menurunkan tekanan darah dengan aman. Obat pilihan kelompok hipertensi
usia lanjut (usia lebih dari 60 tahun) dengan jumlah penderita hipertensi sistolik
terisolasi mencapai lebih 50% adalah diuretik tiazid dosis rendah. Pilihan kedua
bila diuretik tidak berhasil adalah antagonis kalsium dihidropiridin. Golongan
antagonis kalsium dihidropiridin juga merupakan pilihan kedua setelah alfa
metildopa untuk OAH pada ibu hamil. Indikasi antagonis kalsium pada penyakit
gangguan fungsi ginjal adalah sebagai obat kombinasi dengan penghambat ACE
dan bila gagal ginjal telah lanjut. Penggunaan antagonis kalsium untuk hipertensi
yang timbul akibat penyakit ginjal (penyakit ginjal non-diabetik, penyakit ginjal
diabetik dan penyakit ginjal transplantasi) bertujuan untuk mengurangi risiko
memburuknya penyakit kardiovaskuler dan mencapai target TD yaitu <130/80
mmHg. 6
I. Dosis Terapi dan Toksisitas Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium memiliki rasio toksisitas terapi yang rendah, dan
pernah ditemukan efek yang serius pada pemberian antagonis kalsium yang
sedikit melebihi dari dosis terapi yang dianjurkan. Oleh sebab itu perlu
mengetahui batasan dosis antagonis kalsium.21
17
J. Kontraindikasi Antagonis Kalsium
Kontraindikasi semua obat golongan antagonis kalsium adalah pasien yang
alergi terhadap komponen obat ini. Kontraindikasi verapamil dan diltiazem adalah
pada pasien dengan hipotensi, blok atrioventrikular derajat II atau III, dan pasien
dengan atrial flutter atau fibrilasi atrium. Selain itu, verapamil merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang parah, sedangkan
diltiazem merupakan kontraindikasi pada pasien dengan infark miokard akut dan
kongesti paru yang dapat dilihat dalam foto thoraks. Antagonis kalsium umumnya
tidak dianjurkan untuk pasien dengan, atau yang memiliki risiko tinggi gagal
jantung atau fungsi ventrikel kiri yang berkurang. Bila ditambahkan ke terapi lain,
long-acting dihidropiridin tidak secara signifikan menyebabkan prognosis pasien
menjadi CHF 22.
Terapi menggunakan diuretik secara signifikan lebih efektif dalam
mencegah gagal jantung dibandingkan jenis obat lain, termasuk antagonis
kalsium. antagonis kalsium umumnya tidak digunakan pengobatan tunggal pada
pasien dengan penyakit ginjal. Sebagai contoh, amlodipine mempunyai potensi
lebih rendah dibandingkan dengan ACE inhibitor dalam mencegah penurunan
fungsi ginjal di Amerika Afrika pada penderita nondiabetes dengan hipertensi
nephrosclerosis dan pada pasien dengan hipertensi dengan diabetes tipe 2
nephropathy22
K. Efek Samping Antagonis Kalsium
Efek samping penggunaan antagonis kalsium tergantung pada jenis yang dipakai:
Nifedipin sering menyebabkan hipotensi dan sakit kepala. Verapamil
menyebabkan hipotensi dan kardiodepresi, sedangkan Diltiazem menyebabkan
kardiodepresi.22
18
BAB V
RINGKASAN
Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang utama hingga saat ini.
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi pada berbagai organ target, sehingga
memerlukan penatalaksanaan serius. Penatalaksanaan hipertensi dibagi dua yaitu
non-medikamentosa dan medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa berupa
pemberian obat anti hipertensi (OAH); salah satunya antagonis kalsium (AK). AK
bekerja menghambat masuknya Ca ke dalam sel melalui channel-L. AK dibagi
dua yaitu golongan dihidropiridin yang terutama bekerja pada arteri dan golongan
non-dihidropiridin yang menyebabkan vasodilatasi periferserta menurunkan
resistensi perifer. AK memiliki efek antihipertensi yang baik pada kasus
hipertensi ringan maupun sedang, berhubungan dengan dosis serta baik untuk
pasien yang tidak mematuhi diet garam. Dibandingkan -blockers dan diuretik,
AK lebih baik dalam menurunkan kejadian hipertrofi ventrikel kiri. AK
merupakan obat yang aman dan sama efektifnya dengan OAH lain dalam terapi
hipertensi. AK baik untuk hipertensi dengan penyakit penyerta seperti diabetes
melitus, asma bronkhial dan renovaskular.
Antagonis kalsium telah dipakai dengan hasil baik bila dikombinasikan
dengan OAH lain, sebagai obat lini kedua atau obat tambahan ketiga terutama
pada pasien dengan hipertensi yang refrakter. Antagonis kalsium paling baik
dikombinasikan dengan penghambat beta atau penghambat ACE yang akan
menambah efek hipotensif dengan aman. Antagonis kalsium dihidropiridin
merupakan obat pilihan kedua pada kelompok hipertensi usia lanjut (usia lebih
dari 60 tahun) dengan jumlah penderita hipertensi sistolik terisolasi mencapai
lebih 50% setelah diuretik tiazid dosis rendah. Golongan antagonis kalsium
dihidropiridin juga merupakan pilihan kedua setelah alfa metildopa untuk OAH
pada ibu hamil. Indikasi antagonis kalsium pada penyakit gangguan fungsi ginjal
adalah sebagai obat kombinasi dengan penghambat ACE dan bila gagal ginjal
telah lanjut.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Abernethy DR, Schwartz JB. Calcium-antagonist drugs. The New England
Journal of Medicine 1999; 341(19):1447-57.
2. Aziza Lucky. Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan
Hipertensi. Maj Kedokt Indon, 2007; 57:259-264
3. Brown AL, Wilkinson R. Clinical approach to hypertension. In : Davison
AM, Cameron JS, Grunfeld, JP, Ponticell C, Ritz E, Winearls CG,
Ypersele CV (eds). Oxford Textbook of Clinical Nephrology. 3rd Edition.
Oxford university press. 2005. Pp 1307-20
4. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh Report of the
Joint National Committee on Prevention, Detection,Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. The JNC 7 Report. JAMA. 2003. 289 :
Pp 2560-72.
5. Hansson L, Hedner T, Lun-Johansen P. Randomised trial or old and new
antihypertensive drugs in elderly patients: cardiovascular mortality and
morbidity the Swedish Trialin Old Patients-2 study. Lancet
1999;354:1751-6.
6. Kanazawa M, Kohzuki M, Yoshida K, Kurosawa H, Minami N, Saito T, et
al. Combination therapy with an angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor and a calcium antagonist.: beyond the renoprotective effects of
ACE Inhibitor monotherapy in spontaneous hypertensive rat with renal
ablation. Hypertens Res 2002;25(3):447-53.
7. Kaplan NM. Primary hypertension: pathogenesis. In : Neal W (ed).
Kaplan's clinical hypertension. 8th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2002. Pp 56-135.
8. Nakamura T, Obata JE, Onitsuka M, Shimada Y, Yoshida Y, Kawachi H,
et al. Benidipine, a long-acting calcium-channel blocker, prevents the
progression to end stage renal failure in a rat mesangio-proliferative
glomerulonephritis. Nephron 2000;86(3):315-26.
20
9. On YK, kim CH, sohn DW, oh BH, Lee MM, Park YB, et al.Improvement
of endothelial function by amlodipine and vitamin C in essential
hypertension. Korean J Intern Med 2002;17(2):131-7.
10. Rose GW, Kano Y, Ikeburo H, Kaneko M, Kaneko K, Kanno T, et al.
Cilnidipine as effective as benazepril for control of blood pressure and
proteinuria in hypertensive patient benign nephrosclerosis. Hypertens Rest
2001;24(4):377-83.
11. Ruilope LM, Campo C, Segura J. The calcium channel blocker
controversy in patients with diabetic nephropathy: Is there an issue?
Current Hypertens Rep 2001;3(5):419-21.
12. Sica DA. Angiotensin converting enzyme inhibitor. In : Black HR, Elliot
WJ (eds). Hypertension : a companion to Braunwald’s heart disease. 1st
edition. WB Saunders Company. 2007. Pp 239-53
13. The ALLHAT (The Antihypertensive and Lipid Lowering treatment to
prevent Heart Attack Trial) Collaborative Research group Sponsored by
the National Heart, Lung, and Blood Institute (NHBLI)
JAMA,2002;288:2981-97.
14. Trisnohadi HB. Peran antagonis kalsium dalam hipertensi: Symposium
pendekatan holistic penyakit kardiovaskular III & Karimun III. Jakarta;
2004.
15. Virdis A, Ghiadoni L, Sudano I. effect of antihypertensive drugs on
endothelial function in humans. J Hypertens 1998;16 (Suppl.8):S103-10.
16. World Health Organization, International Society of Hypertension Writing
Group. World Health Organization - International Society of Hypertension
Statement of Management of Hypertension. J Hypertension. 2003
17. Katzung, Bertram G, 2001, Basic & Clinical Pharmacology Eighth
edition, Edisi Bahasa Indonesia, Buku I, penerjemah Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Salemba Medika, Jakarta.
18. Gupta et.al. 2003. A Quantitative Structure–Activity Relationship Study on
A Novel Class of Calcium-Entry Blockers: 1-[{4-
(Aminoalkoxy)Phenyl}Sulphonyl]Indolizines. E J of Med Chem. 38 (10):
867-873.
21
19. Yousef et al. 2005. The Mechanism of Action of Calcium Channel
Blockers in The Treatment of Diabetic Nephropathy. Int J
Diabetes&Metabolism. 13: 76-82.
20. Staf Pengajar FK Universitas Sriwijaya. 2009.. Kumpulan Kuliah
Farmakologi. Ed. 2. Jakarta:
21. Olson, K.R. et al. 2005 Calcium Channel Blocker Ingestion: An Evidence-Based Consensus Guideline for Out-of-Hospital Management. Clinical Toxicology, 43:797–822.
22. Elliot and Ram. 2011. Calcium Channel Blockers. The Journal of Clinical Hypertension, 13(9): 687-689.
22
Penelitian Metode Hasil penelitian
Benazepril plus Amlodipine or Hydrochlorothiazide for Hypertension in High-Risk Patients 2005
Subjek :11.506 pasien hipertensi yang berisiko tinggi untuk kejadian kardiovaskuler dan menerima pengobatan dengan benazepril ditambah amlodipine atau benazepril ditambah hidroklorotiazid.Desain penelitian :Dalam uji coba secara acak, double-blind trialEnd points :Primer : kejadian kematian (gabungan dari peristiwa kardiovaskular dan kematian akibat kardiovaskuler)Peristiwa kardiovasular (infark miokard nonfatal, stroke, rawat inap untuk angina tidak stabil, revaskularisasi koroner, atau resusitasi setelah serangan jantung mendadak)Kematian akibat kardiovaskuler (kematian mendadak akibat penyebab jantung, infark miokard, stroke, intervensi koroner, gagal jantung kongestif, atau penyebab kardiovaskular lainnya)Sekunder: kejadian kardiovascular nonfatal yang merupakan eksklusi kejadian fatal dari primary end points dan kematian dari penyakit kardiovascular, stroke non fatal, dan nonfatal infark miokardial
Karakteristik dasar dari kedua kelompok adalah serupa. Penelitian ini dihentikan setelah rata-rata tindak lanjut dari 36 bulan, ketika target terlampaui. Tekanan darah pada kelompok benazepril-amlodipine setelah penyesuaian dosis adalah 131.6/73.3 mmHg dan 132.5/74.4 mm Hg pada kelompok benazepril-hidroklorotiazid. Ada 552 primer hasil peristiwa di benazepril-kelompok amlodipine (9,6%) dan 679 pada kelompok benazepril-hidroklorotiazid (11,8%), mewakili pengurangan risiko absolut dengan benazepril-amlodipine terapi sebesar 2,2% dan pengurangan risiko relatif sebesar 19,6 % (rasio hazard, 0,80, interval kepercayaan 95% [CI], 0,72-0,90, P <0,001). Untuk titik akhir sekunder kematian akibat kardiovaskuler, infark miokard nonfatal, dan stroke nonfatal, rasio hazard adalah 0,79 (95% CI, 0,67-0,92, P = 0,002). Harga efek samping konsisten dengan yang diamati dari pengalaman klinis dengan obat studi.
Kesimpulan :
Kombinasi benazepril-amlodipine lebih unggul daripada kombinasi benazepril-hidroklorotiazid dalam mengurangi kejadian kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi yang berisiko tinggi untuk penelitian tersebut.