C1q Glomerulosklerosis et causa Sindroma Nefrotik

download C1q Glomerulosklerosis et causa Sindroma Nefrotik

of 30

description

Sindroma Nefrotik penugasan Blok Uropoetika 2012 FK UII Angkatan 2010

Transcript of C1q Glomerulosklerosis et causa Sindroma Nefrotik

KATA PENGANTARAssalamualaikum wr. wb. Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan penugasan makalah ini dengan baik. Pada kesempatan ini kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini, terutama kepada yang terhormat dr. Wahyu Adhika Nugrahadi selaku tutor di tutorial 20 yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap penyelesaian tugas ini. Semoga Allah swt. senantiasa memberikan berkat, imbalan, serta karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan bantuannya yang tidak ternilai. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan dikemudian hari. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi diri penulis sendiri, pembaca sekalian, serta masyarakat luas terutama dalam hal menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang sindrom nefrotik et causa C1q nefropati dengan glomerulosklerosis fokal segmental. Wassalamualaikum wr. wb.

Yogyakarta, Maret 2012

Tim Penulis

ii

BAB I TERJEMAHAN CASE REPORTSeorang anak laki-laki berumur 2 tahun 7 bulan, masuk RS Kota Hiratsuka oleh karena bengkak yang menetap pada wajah, kelopak mata, dan alat gerak (kaki dan tangan) selama lebih dari 10 hari. Riwayat keluarga ditemukan hasil negatif yang merujuk kepada penyakit ginjal, hilang dengar, dan gangguan kolagen. Riwayat penyakit dahulu menunjukkan pernafasannya normal penuh, tanpa asphyxia (ketidakmampuan paru untuk menghirup udara/pertukaran oksigen dengan karbondioksida). Ia mempunyai perkembangan yang terhambat, terutama dalam berbicara. Ia tidak dapat mengucapkan kata yang berarti, walau ia dapat memahami dan melakukan petunjuk orang tuanya pada umur 2 tahun 7 bulan. Selama 6 bulan sebelum masuk rumah sakit, ibunya menyadari beberapa kejadian bengkak pada kelopak mata yang bersifat sementara, yang berlangsung selama beberapa hari dan hilangnya secara mendadak satu atau dua kali dalam satu bulan. Pemeriksaan fisik saat masuk rumah sakit tidak ada yang spesial, kecuali bengkak dengan ukuran sedang pada kedua kelopak mata dan kaki. Tekanan darah 83/36 mmHg. Ia termasuk aktif dan gizinya baik. Tingginya 87 cm (-0,88 SD) dan massa 13,3 kg. Tidak ditemukan erythema-kemerahan karena inflamasi pada wajah, somatitis-inflamasi pada kelenjar mukosa, dan arthritis-inflamasi sendi. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa ia mengalami hipoalbuminemia (1,6 g/dL) dan proteinuria berat (1970 mg/dL, atau 14,1 mg/mg kreatinin) dan mikroskopis hematuria (3+). Hiperlipidemia (T-Chol 805 mg/dL, TG 445 mg/dL) juga terlihat. Komplemen serum normal (C3 122 mg/dL, C4 26 mg/dL), dan antibodi anti-nuclear negatif (< 40). Fungsi ginjal lengkap (kreatinin 0,19 mg/dL, BUN 7 mg/dL). HBs-antigen, HCV antibody, PR3-ANCA, dan MPO-ANCA negatif. Tidak ditemukan bukti yang mengarah ke infeksi streptococcal. Berdasarkan temuan klinis dan laboratorium, ia didiagnosis menderita sindrom nefrotik, dan prednisolon diberikan secara oral dengan dosis 30mg/hari diberikan. Hematuria hilang dalam satu minggu, dan edema secara berangsur mengecil dalam waktu lebih dari 2 minggu setelah pemberian terapi steroid. Akan tetapi, proteinuria berat terjadi tanpa kenaikan tingkat albumin pada serum. Saat akhir pemberian prednisolon selama 4 minggu, rasio protein urin/kreatinin (mg/mg) diketahui 16,0 dan albumin serum 1,7g/dL, menerangkan bahwa sindrom nefrotiknya 1

resisten terhadap pemberian terapi steroid biasa. Kami kemudian mengambil spesimen ginjal dengan jarum biopsi dengan inform consent terlebih dulu kepada orang tuanya. Temuan histologi terlihat pada gambar 1. Lima belas glomerulus diteliti dengan mikroskop cahaya, dan 13 darinya terlihat abnormal. Akan tetapi, sklerosis segmentalis terlihat pada 2 glomerulus lain (figure 1a,b,c). Bentuk berpaku atau bentuk terputus-putus pada membran basalis glomerulus tidak terlihat pada pengectan PAM. Tidak ada endapan mesangial yang jelas pada pengecatan Azan. Pemeriksaan immunofluoroscence menunjukkan endapan mesangial utama C1q (figure 1d). IgA dan IgM juga terlihat, walaupun tidak sejelas dibanding C1q. C3 dan fibrinogen tidak terlihat pada pemeriksaan immunofluoroscnce. Endapan padat elektron mesangial ditemukan dengan mikroskopi elektron. Berdasarkan temuan histologi ini, diagnosis nefropati C1q dengan fokus segmental glomerulosklerosis telah terjadi. Diagnosis secara histologi tentang fokus segmental glomerulosklerosis mendorong kami untuk memulai terapi methylprednisolon bersamaan dengan pemberian cyclosporin dan prednisolon secara oral. Metilprednisolon diberikan secara intravena dengan dosis 30 mg/kg/dosis selama 3 hari berurutan. Setiap set pemberian 3 hari prednisolon, dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali, yaitu, 1, 4, 8, 12 minggu setelah bagian pertama. Cyclosporin (Neoral) 100 mg/hari diberikan selama 12 minggu, dan mulai dikurangi 80mg/hari. Perjalanan cyclosporin bertingkat dari 130-140 ng/mL selama 12 minggu pertama, dan 80-100ng/mL setelah minggu ke-tiga belas. Prednisolon diberikan dengan dosis 12 mg setiap hari selama 4 minggu, lalu mulai dikurangi menjadi 12 mg berselang hari. Proteinuria secara bertahap menurun sekitar 5 minggu setelah pemberian kombinasi terapi seperti yang di atas. Protein urin/creatinin ratio (mg/mg kreatinin) turun ke 2,1 dalam 6 bulan, sedangkan albumin serum naik menjadi sekitar 3,0 g/dL dalam 3 bulan. Tekanan darah naik menjadi 120/60 mmHg selama pemberian prednisolon 30 mg/hari sebelum biopsi ginjal, dan selanjutnya naik ke 136/72 mmHg setelah diberikan terapi kombinasi mPSL dan cyclosporin. Kalsium antagonis (aranadipine, 2mg/hari) dan ACE inhibitor (enalapril, 1,25mg/hari) kemudian diberikan, dan hipertensi terkontrol dengan baik. Fungsi ginjal tetap normal, (kreatinin 0,49 mg/dL) pada umur 5 tahun 6 bulan, 34 bulan setelah pemberian terapi kombinasi. Hiperthrichosis dan gingival hiperplasia nampak berhubungan dengan terapi cyclosporin, walau derajat sakitnya rendah. Tinggi badannya saat umur 5 tahun 5 bulan adalah, 105,5 cm (-0,93 SD). Kecepatan pertumbuhannya selama terapi cenderung makin baik. Urinalysis pada umur 5 tahun menunjukkan hampir normalnya nilai proteinuria dan hematuria. 2

Ia dapat mengucapkan hanya beberapa kata yang berarti, tapi dia dapat mengerti apa yang orang lain katakan, dan tidak ada keterlambatan pada perkembangan motoriknya.

BAB II3

RESUME CASE REPORTA. Resume Identitas Pasien adalah anak laki-laki yang berusia 2 tahun 7 bulan. B. Resume RPS Keluhan bengkak yang menetap pada wajah, kelopak mata, dan alat gerak (kaki dan tangan) selama lebih dari 10 hari. Ia mempunyai perkembangan yang terhambat, terutama dalam berbicara. Ia tidak dapat mengucapkan kata yang berarti, walau ia dapat memahami dan melakukan petunjuk orang tuanya pada umur 2 tahun 7 bulan. C. Resume RPD Pernafasannya normal penuh, tanpa asphyxia (ketidakmampuan paru untuk menghirup udara/pertukaran oksigen dengan karbondioksida). Selama 6 bulan sebelum masuk rumah sakit, ibunya menyadari beberapa kejadian bengkak pada kelopak mata yang bersifat sementara, yang berlangsung selama beberapa hari dan hilangnya secara mendadak satu atau dua kali dalam satu bulan. D. Resume RPK Pada keluarga tidak ditemukan adanya penyakit ginjal, hilang dengar, dan gangguan kolagen. E. Resume Pemeriksaan Fisik Ada bengkak dengan ukuran sedang pada kedua kelopak mata dan kaki. Tekanan darah 83/36 mmHg. Ia termasuk aktif dan gizinya baik. Tingginya 87 cm (-0,88 SD) dan berat badan 13,3 kg. Tidak ditemukan erythema-kemerahan karena inflamasi pada wajah, somatitis-inflamasi pada kelenjar mukosa, dan arthritis-inflamasi sendi. F. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboraturium Hipoalbuminemia (1,6 g/dL) dan proteinuria berat (1970 mg/dL, atau 14,1 mg/mg kreatinin) dan hematuria mikroskopis (3+). Hiperlipidemia (T-Chol 805 mg/dL, TG 445 mg/dL) juga terlihat. Komplemen serum normal (C3 122mg/dL, C4 26 mg/dL), dan antibodi anti-nuclear negatif (< 40). Fungsi ginjal lengkap (kreatinin 0,19mg/dL,

4

BUN 7 mg/dL). HBs-antigen, HCV antibody, PR3-ANCA, dan MPO-ANCA negatif. Tidak ditemukan bukti yang mengarah ke infeksi streptococcal. Pemeriksaan Histologi Temuan histologi lima belas glomerulus diteliti dengan mikroskop cahaya, dan 13 abnormal. Akan tetapi, sklerosis segmentalis terlihat pada 2 glomerulus lain (figure 1a,b,c). Bentuk berpaku atau bentuk terputus-putus pada membran basalis glomerulus tidak terlihat pada pengectan PAM. Tidak ada endapan mesangial yang jelas pada pengecatan Azan. Pemeriksaan immunofluoroscence menunjukkan endapan mesangial utama C1q. IgA dan IgM juga terlihat, walaupun tidak sejelas dibanding C1q. C3 dan fibrinogen tidak terlihat pada pemeriksaan immunofluoroscnce. Endapan padat elektron mesangial ditemukan dengan mikroskopi elektron. G. Resume Diagnosis Berdasarkan temuan klinis dan laboratorium, pasien tersebut didiagnosis menderita sindrom nefrotik resisten steroid. Selain itu, berdasarkan temuan histologi ini, menunjukkan nefropati C1q dengan fokus segmental glomerulosklerosis telah terjadi. H. 1. Resume Terapi Pada kasus ini, terdapat 2 tahap terapi, yaitu : Berdasarkan diagnosis klinis dan laboratorium pasien terkena sindrom nefrotik Terapinya : ~ Hematuria hilang dalam 1 minggu ~ Edema berangsur mengecil dalam waktu lebih dari 2 minggu ~ Proteinuria memberat, tidak diikuti dengan kenaikan albumin pada serum ~ Tekanan darah naik menjadi 120/60 mmHg

Diberi prednisolon secara oral 30 mg/hari

Setelah dikasih prednisolon selama 4 minggu, ternyata rasio protein urin/kreatinin (mg/mg) diketahui 16,0 dan albumin serum 1,7 g/dL, menerangkan bahwa sindrom nefrotiknya resisten terhadap pemberian terapi steroid biasa. Setelah terapi steroid tunggal tidak berhasil, akhirnya dilakukan pengambilan spesimen ginjal dengan jarum biopsi dengan inform consent terlebih dulu kepada orang tuanya.

5

2.

Berdasarkan uji histologi pasien juga terkena C1q nefropati dengan glomerulonefritis fokal segmental Terapinya : Terapi metilprednisolon secara I.V. bersamaan dengan pemberian cyclosporin Metilprednisolon diberikan secara intravena dengan dosis 30 mg/kg/dosis dan prednisolon secara oral. selama 3 hari berurutan. Setiap set pemberian 3 hari prednisolon, dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali, yaitu, 1, 4, 8, 12 minggu setelah bagian pertama. Cyclosporin (Neoral) 100 mg/hari diberikan selama 12 minggu, dan mulai dikurangi 80mg/hari. Perjalanan cyclosporin bertingkat dari 130-140 ng/mL selama 12 minggu pertama, dan 80-100ng/mL setelah minggu ke tiga belas. Prednisolon diberikan dengan dosis 12 mg setiap hari selama 4 minggu, lalu mulai dikurangi menjadi 12 mg berselang hari. Setelah terapi kombinasi tersebut diberikan, maka : Proteinuria secara bertahap menurun sekitar 5 minggu setelah pemberian kombinasi terapi seperti yang di atas. Ratio protein urin/kreatinin (mg/mg kreatinin) turun ke 2,1 dalam 6 bulan, sedangkan albumin serum naik menjadi sekitar 3,0 g/dL dalam 3 bulan. Tekanan darah meningkat menjadi 136/72 mmHg setelah diberikan terapi kombinasi mPSL dan cyclosporin. Kalsium antagonis (aranadipine, 2mg/hari) dan ACE inhibitor (enalapril, 1,25mg/hari) kemudian diberikan, dan hipertensi terkontrol dengan baik. Fungsi ginjal tetap normal, (kreatinin 0,49 mg/dL) pada umur Hiperthrichosis dan gingival hiperplasia nampak berhubungan Tinggi badannya saat umur 5 tahun 5 bulan adalah 105,5 cm (Urinalisis pada umur 5 tahun menunjukkan hampir normalnya 5 tahun 6 bulan, 34 bulan setelah pemberian terapi kombinasi. dengan terapi cyclosporin, walau derajat sakitnya rendah. 0,93 SD). Kecepatan pertumbuhannya selama terapi cenderung makin baik. nilai proteinuria dan hematuria.

6

BAB III ANALISIS CASE REPORTSindrom nefrotik merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema perifer yang terjadi secara bersamaan (Price, S. A., Wilson, L. M., 2006). Menurut Schwartz, M. W., (2005), sindrom nefrotik pada anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan dengan prevalensi 2:1. Awitan paling sering terjadi antara usia 2 - 7 tahun. Betz, C. L., Sowden, I. A. (2009), mengatakan bahwa sindrom nefrotik pada anak dapat dibagi menjadi 2, yaitu primer dan sekunder. Dikatakan sindrom nefrotik primer apabila faktor etiologinya tidak diketahui (idiopatik), misalnya sindrom nefrotik kongenital dan sindrom nefrotik dengan glomerulosklerosis fokal segmental. Golongan ini paling banyak dijumpai pada anak. Sedangkan, dikatakan sindrom nefrotik sekunder apabila faktor etiologinya jelas, misalnya obat, keracunan logam berat, gigitan lebah, bisa ular, dan lain sebagainya. Berdasarkan referensi tersebut di atas, maka pasien pada kasus ini termasuk sindrom nefrotik primer. Pada kasus ini pasien didiagnosis mengalami sindrom nefrotik resisten steroid yang disebabkan oleh C1q nefropati dengan glomerulosklerosis fokal segmental. Glomerulosklerosis fokal segmental adalah penyakit di mana terdapat jaringan parut di beberapa glomeruli ginjal. Istilah fokus menunjukan bahwa beberapa glomeruli menjadi berparut, sementara yang lain tetap normal. Istilah segmental menunjukan bahwa hanya sebagian dari sebuah glomerulus individu yang rusak. Glomerulosklerosis fokal segmental menyebabkan sekitar 10 sampai 15 % dari semua kasus sindrom nefrotik (Humes, H.D., 2001) Aktivitas komplemen merupakan usaha tubuh untuk menghancurkan antigen asing, namun sering pula menimbulkan kerusakan jaringan sehingga merugikan tubuh sendiri. Pada umumnya C1q muncul karena adanya aktivitas antigen-antibodi. Namun, pada kasus ini masih belum diketahui dengan jelas bagaimana sistem antigen-antibodi tersebut bisa muncul. Mengingat, bahwa seluruh kemungkinan timbulnya mekanisme antigen-antibodi tidak ditemukan pada kasus ini.

7

Sudoyo, A. W., et al, (2009), menerangkan dua mekanisme sistem imun yang mendasari terjadinya glomerulosklerosis yang menjadi penyebab sindron nefrotik, yaitu : 1.Mekanisme pertama, apabila Ag dari luar (misalnya antigen streptococcal) memicu terbentuknya antibodi spesifik, kemudian membentuk kompleks imun Ag-Ab yang ikut dalam sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang kemudian berikatan dengan kompleks Ag-Ab. Kompleks imun yang mengalir dalam sirkulasi akan terjebak pada glomerulus dan mengendap di sub endotel dan mesangium. Aktivasi sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan kompleks imun. C1q merupakan salah satu komplemen yang berfungsi dalam hal meningkatkan permeabilitas kapiler. C1q yang mengendap pada sel endotel dan mesengial akan menyebabkan pengerutan sel tersebut yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus, sehingga memungkinkan molekul yang lebih besar, seperti albumin, protein lain, serta eritrosit dapat bergerak masuk ke kapsula bowman. Molekul dalam ukuran besar tersebut nantinya akan diekskresikan melalui urin. Namun, pada kasus ini tidak ditemukan adanya penyebab terbentuknya antigen dari luar, seperti tidak adanya infeksi streptococcal. Sehingga dalam kasus ini terbentuknya C1q bukan karena aktivitas antibodi dengan antigen streptococcal. Mekanisme ke dua atau disebut dengan mekanisme autoimun, apabila Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan komponen glomerulus (adanya antigen sendiri). Antibodi yang paling banyak terdapat pada saluran kemih adalah IgA. Tubuh kita memiliki sequestered antigen, yaitu antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpajan oleh sel B atau sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi agar tidak dikenali oleh sistem imun. Namun, karena perubahan anatomi, seperti inflamasi ataupun idiopatik dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun, dan nantinya akan mengendap di glomerulus. Pada kasus ini, tidak ditemukan adanya tanda-tanda ke arah SLE, yaitu tidak ditemukan eritema pada wajah, stomatitis, maupun arthritis, di samping itu berdasarkan tes ANA hasilnya negatif. Sehingga dalam kasus ini terbentuknya C1q bukan karena autoimun. Menurut Niimura, F., et al, (2007), pada kasus ini masih belum ditemukan mekanisme timbulnya C1q, selain itu belum ada referensi yang mengatakan alasan mengapa tidak ditemukan C3 dan fibrinogen. Padahal, setelah teebentuk C1q, seharusnya komplemen-komplemen lain 8

juga diaktifkan secara berurutan (misal, C4, C2, C3). Namun pada kasus ini, dengan pemeriksaan immunofluorosence tidak ditemukan C3 dan fibrinogen. Oleh karena itu, pasien dikatakan mengalami C1q nefropati. Kriteria C1q nefropati, meliputi : Terlihatnya kumpulan C1q di mesangium pada pemeriksaan fluorescence Adanya padatan mesangial/paramesangial yang terlihat dengan mikroskop elektron Kurangnya bukti klinis dan patologis dari SLE Di samping itu, Niimura, F., et al, (2007) juga mengatakan bahwa model serangan pada kasus ini adalah simptom yang berkembang secara tersembunyi dan banyak yang mengalami perbaikan spontan, misalnya pada bengkak di kelopak mata yang diketahui berulang selama 6 bulan sebelum dirawat. Saat 6 bulan tersebut, jika dilakukan urinalisis maka akan diketahui bahwa pasien mengalami C1q nefropati yang muncul bersama abnormalitas urin yang asimptomatik, lalu memburuk menjadi sindrom nefrotik. A. ANALISIS PATOFISIOLOGI PENYAKIT Patofisiologi Proteinuria Pada kasus ini, pasien mengalami proteinuria. Hal ini dikarenakan ada peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran glomerulus mempunyai 3 lapisan yang berfungsi sebagai penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Menurut Sherwood, L. (2009), lapisan itu terdiri dari : 1. Dinding kapiler glomerulus Lapisan ini terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memiliki lubang-lubang dengan banyak pori-pori besar atau fenestra yang membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut. Namun, sifat permeabel tersebut tidak berlaku untuk protein, hal ini disebabkan karena ukuran protein plasma yang lebih besar sehingga tidak dapat melewati pori-pori tesebut. Walaupun demikian, sebenarnya pori-pori tersebut cukup besar untuk dapat dilewati oleh albumin (protein plasma terkecil). 2. Membran basal Lapisan ini terdiri dari glikoprotein dan kolagen. Kolagen berfungsi untuk menghasilkan kekuatan struktural, sedangkan glikoprotein berfungsi untuk menghambat filtrasi protein plasma kecil. Glikoprotein memiliki sawar muatan negatif, sedangkan albumin juga memiliki muatan negatif, sehingga glikoprotein 9

tersebut akan menolak albumin yang berhasil melewati dinding kapiler glomerulus agar tidak ikut difiltrasi. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya tidak dapat difiltrasi, dan kurang dari 1 % molekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bowman. 3. Lapisan dalam kapsula bowman Lapisan ini terdiri dari podosit. Setiap podosit mempunyai tonjolan memanjang yang saling menjalin dengan tonjolan podosit didekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan, yang dikenal sebagai celah infiltrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke lumen kapsul bowman. Pada sindrom nefrotik, telah terjadi gangguan pada lapisan tersebut. Gangguan tersebut berupa adanya perubahan pada ukuran pori-pori dan hilangnya sawar muatan negatif pada membran glomerulus, sehingga menyebabkan protein ikut difiltrasi dan nantinya akan diekskresikan melalui urin, yang disebut sebagai proteinuria. Proteinuria dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin, yaitu selektif dan non selektif. Protein selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil, misalnya albumin. Sedangkan non selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar, seperti immunoglobulin (Alatas, H., et al, 1996). Patofisiologi Hipoalbuminemia Hipoalbuminemia adalah menurunnya kadar albumin dalam darah. Keadaan hipoalbuminemia disebabkan karena meningkatnya ekskresi albumin dalam urin. Hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan pada ukuran pori-pori dan hilangnya sawar muatan negatif pada membran glomerulus, sehingga albumin yang seharusnya berada dalam darah, menjadi dapat difiltrasi diglomerulus, dan diekskresikan melalui urin. Patofisiologi Edema Pada kasus ini, pasien mengalami bengkak (edema) yang menetap pada wajah, kelopak mata, dan alat gerak (kaki dan tangan) selama lebih dari 10 hari. Edema yang terjadi pada kasus ini dapat diterangkan dengan teori underfill. Teori underfill menjelaskan bahwa penurunan tekanan onkotik plasma yang disebabkan oleh rusaknya jaringan membran permeabel pada glomerulus sehingga 10

menyebabkan albumin dan protein dapat masuk ke dalam tubulus ginjal. Menurunnya tekanan onkotik intravascular yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus terhadap albumin (karena menyatunya podosit sel-sel epitel glomerulus yang terlihat dengan mikroskop elektron) menyebabkan cairan dari intravaskular merembes ke jaringan interstitial sehingga terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma menyebabkan terjadinya hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut (Sudoyo, A. W., et al, 2009). Edem pada mata biasa disebut dengan periorbital edema karena mata memiliki resistensi jaringan yang rendah sehingga mudah terjadi edem bila tekanan onkotik intravaskuler menurun. Sedangkan, edem pada kaki terjadi karena kaki murupakan daerah basal dengan tekanan hidrostatik terbesar, sehingga edem terlihat pada kaki.

Gambar 1. Terbentuknya edema menurut teori underfilled (Alatas, H., et al, 1996)

Patofisiologi Hiperlipidemia

11

Menurut Sudoyo, A. W., et al, (2009), hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai sindrom nefrotik. Kadar kolestrol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolestrol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolestrol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu, ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp) a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada sindrom nefrotik disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada sindrom nefrotik. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada sindrom nefrotik. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada sindrom nefrotik merupakan akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolestrol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada sindrom nefrotik (Sudoyo, A. W., et al, 2009). Patofisiologi Gangguan Perkembangan Pada kasus ini, pasien mempunyai perkembangan yang terhambat, terutama dalam berbicara. Ia tidak dapat mengucapkan kata yang berarti, walau ia dapat memahami dan melakukan petunjuk orang tuanya pada umur 2 tahun 7 bulan. Menurut Niimura, F., et al, (2007), gangguan perkembangan bicara tidak ada hubungannya dengan C1q. Adanya gangguan bicara pada pasien dengan C1q nefropati, hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Namun, hal ini masih akan diteliti lebih lanjut mengenai etiologi pasien yang mengalami gangguan perkembangan, terutama dalam berbicara. Sampai saat ini, adanya gangguan perkembangan terutama dalam berbicara diduga karena berkurangnya protein dalam tubuh. Menurut Asmadi, (2008), protein dalam tubuh

12

berfungsi sebagai pertumbuhan dan perkembangan semua jaringan tubuh, pembentukan hormone, dan memelihara keseimbangan cairan tubuh

Gambar 2. Gangguan permeabilitas selektif sindrom nefrotik (Silbernagl, S., Lang, F., 2007) B. ANALISIS PENEGAKAN DIAGNOSIS Pemeriksaan Fisik 13

Ada bengkak dengan ukuran sedang pada kedua kelopak mata dan kaki Menurut Schwartz, M. W., (2005), pada anak-anak dengan sindrom nefrotik, umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,7 g/dL. Adanya kerusakan pada membran glomerulus dapat menyebabkan albumin dan protein dapat masuk ke dalam tubulus ginjal sehingga menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma. Karena menurunnya tekanan onkotik intravascular yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus terhadap albumin, menyebabkan cairan intravaskular dapat keluar ke ruang interstitial, sehingga ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan resistensi Natrium dan air sehingga terjadilah edema. Edem pada mata biasa disebut dengan periorbital edema karena mata memiliki resistensi jaringan yang rendah sehingga mudah terjadi edem bila tekanan onkotik intravascular menurun. Edem pada kaki terjadi dikarenakan adanya gaya gravitasi sehingga edem terlihat pada kaki. Tekanan darah 83/36 mmHg Pada pemeriksaan, tekanan darah pasien 83/36 mmHg, sedangkan tekanan darah normal rata-rata adalah 120/80 mmHg (Werner, D., et al, 2010). Dari pemeriksaan tersebut, diketahui pasien mengalami hipotensi. Pasien mengalami hipotensi karena ada hubungannya dengan terjadinya hipovolemia vaskuler yang mengakibatkan keluarnya cairan ke ruang interstitial. Hal tersebut, menyebabkan volume darah yang kembali ke jantung berkurang, secara otomatis cardiac output juga menurun, sehingga terjadilah hipotensi. Ada gangguan pertumbuhan Pada kasus ini, tinggi badan pasien 87 cm (-0,88 SD) dan berat badannya 13,3 kg, hal ini menunjukkan pertumbuhan pasien tidak maksimal untuk anak seusianya. Padahal ia termasuk aktif dan gizinya baik. Gangguan pertumbuhan tersebut diduga berhubungan dengan berkurangnya vitamin D dan hormon tiroid, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan. Vitamin D diproduksi oleh kulit melalui paparan sinar matahari. Di dalam tubuh, vitamin D berikatan dengan protein dan ada juga vitamin D bebas (tanpa terikat

14

protein). Vitamin D yang terikat protein akan digunakan dalam metabolisme kalsium untuk pembentukan tulang. Pada sindrom nefrotik, terjadi proteinuria. Hal ini mengakibatkan berkurangnya protein dalam sirkulasi karena protein banyak diekskresikan melalui urin. Akibat proteinuria, vitamin D tidak dapat berikatan dengan protein, sehingga pembentukan tulang terhambat. Di samping itu, pada sindrom nefrotik juga terjadi kehilangan hormon tiroid karena menurunnya protein dalam tubuh (Sudoyo, A. W., et al, 2009). Tabel 1. Berat Dan Tinggi Badan Rata-Rata Untuk Anak Usia 1 - 5 tahun, Tanpa Membedakan Jenis Kelamin. No. Umur 1 tahun 0 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 2 tahun 0 Bulan 3 Bulan 2 tahun 6 Bulan 9 Bulan 3 tahun 0 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 4 tahun 0 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 5 tahun 0 Bulan Berat Badan (gram) Standar 9.900 10.600 11.300 11.900 12.400 12.900 13.500 14.000 14.500 15.000 13.500 16.000 16.500 17.000 17.400 17.900 18.400 80 % Standar 7.900 8.500 9.000 9.600 9.900 10.500 10.800 11.200 11.600 12.000 12.400 12.900 13.200 13.600 14.000 14.400 14.700 Tinggi Badan (cm) Standar 74.5 78.0 81.5 84.5 87.0 89.5 92.0 94.0 96.0 98.0 99.5 101.5 103.5 105.0 107.0 108.0 109.0 80 % Standar 60.0 62.5 65.0 67.5 69.5 71.5 73.5 75.0 77.0 78.5 79.5 81.5 82.5 85.5 86.5 87.0

Sumber : www.dinkes.dharmasrayakab.go.id

Tidak ditemukan erithema pada wajah, somatitis, dan arthritis

Hal ini menunjukan bahwa pasien tidak mengalami aktivitas autoimun. Tapi, hal tersebut masih perlu ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium 15

Hipoalbuminemia (1,6 g/dL) Analisis : Pada hasil pemeriksaan laboratorium terjadi hipoalbuminemia dengan 1,6 g/dL sedangkan kadar normal albumin dalam darah antara 3,5-5,0 g/dL (Marks, D. B., et al, 2000). Penyebab utama terjadinya hipoalbuminemia adalah akibat peningkatan infiltrasi albumin melalui membran basalis kapiler yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan hilangnya albumin dalam darah melalui urin yang menyebabkan kadar albumin dalam darah menurun sehingga disebut hipoalbuminemia. Yang dimaksud dengan hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik pada anak apabila kadar albumin plasma kurang dari 3 gr%. Bila kadar albumin sangat rendah (< 1,2 gr%) akan terjadi hipovolemi berat dengan gejala hipotensi ortostatik (Behrman, et al, 2000). Proteinuria Berat (1970 mg/dL, atau 14,1 mg/mg kreatinin) Analisis : Pada hasil pemeriksaan laboratorium protein dalam urin didapatkan hasil 1970 mg/dL dan dapat dikatakan mengalami proteinuria berat. Sedangkan kadar normal ekskresi protein dalam urin pada anak biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dL urin (Behrman, et al, 2000). Dalam keadaan normal, membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah terjadinya kebocoran protein. Pada sindrom nefrotik telah terjadi gangguan mekanisme penghalang pada membran basal glomerulus yang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang menyebabkan kebocoran protein sehingga menyebabkan adanya protein dalam urin. Pada sindrom nefrotik, proteinuria bersifat proteinuria massif. Menurut Schwartz, M. W., (2005), menyebutkan kriteria klinis untuk dapat memastikan proteinuria masif, adalah : 1. Kehilangan protein melalui urin sebanyak 40 mg/m2/jam 2. Rasio protein urin : kreatinin urin > 1,0 pada sekali pemeriksaan urin. ~ Rasio yang < 0,15 adalah normal. 16

~ Rasio yang > 1,0 memberi kesan proteinuria pada rentang nefrotik ~ Rasio yang > 2,5 merupakan diagnostik pada sindrom nefrotik. Hematuria Mikroskopis (3+) Analisis : Dalam keadaan normal urin tidak mengandung eritrosit atau 0. Pada pemeriksaan urin ditemukan hematuria mikroskopis 3+, hal tersebut dapat terjadi karena adanya gangguan pada membran basal glomerulus sehingga memungkinkan adanya eritrosit yang masuk ke dalam urin dan menimbulkan hematuria. Dan bila keadaan sudah kronis maka akan terjadi trombosis vena renalis yang mengakibatkan hematuria makroskopi (Behrman, et al, 2000). Hiperlipidemia (T-Chol 805 mg/dL, TG 445 mg/dL) Analisis : Hiperlipidemia anak didefinisikan sebagai kelainan atau gangguan kadar lemak darah yang terjadi pada anak berusia antara 2-19 tahun. Gangguan ini berupa peningkatan kadar kolesterol total, LDL, dan VLDL. Terjadi penurunan tekanan onkotik plasma dan penurunan albumin menyebabkan peningkatan sintesis lemak di hepar, sehingga mengakibatkan hiperlipidemia. Digunakannya batasan usia 2-19 tahun adalah berdasar pertimbangan bahwa anak-anak yang berada di bawah usia 2 tahun kadar lemaknya masih belum menetap akibat kebutuhan kolesterol yang relatif tinggi; sedangkan anak yang berada di atas usia 19 tahun telah dikategorikan sebagai dewasa. Berdasarkan pemeriksaan kadar kolesterol, anak-anak dapat dikategorikan menjadi kelompok normal (acceptable), intermediate (borderline), dan berisiko (high). Menurut Sacher, R. A., Mcpherson, R. A. (2004), mereka yang memiliki kadar kolesterol total kurang dari 170 mg/dL dan atau kadar LDL kolesterol kurang dari 110 mg/dL dikategorikan sebagai normal, sedangkan mereka dengan kadar kolesterol lebih 200 mg/dL dan atau kadar LDL kolesterol melebihi 130 mg/dL dikategorikan sebagai berisiko. Kadar lemak darah yang berada di antara nilai normal dan berisiko dianggap intermediate. Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil T-Chol 805 mg/dL dan Trigliserid 445 mg/dL. 17

Komplemen serum normal (C3 122 mg/dL, C4 26 mg/dL) Analisis : Komponen komplemen yang paling sering diperiksa dalam serum adalah C3 dan C4. Parameter nilai normal dari C3 adalah 75-175 mg/dl. Sedangkan, Parameter nilai normal dari C4 adalah 15-45 mg/dl. Keduanya pada keadaan normal merupakan factor komplemen yang terbanyak dalam serum dan paling mudah diukur dengan metode imunologis. Pemeriksaan ini dapat dipakai untuk membedakan gangguan imunologis dari keadaan peradangan lain dan juga untuk mendiagnosis suatu defisiensi spesifik (Sacher, R. A., Mcpherson, R. A., 2004). Antibodi Anti-Nuclear Negatif (< 40) Analisis : Pada tes ANA (Anti Nuclear Antibody) ditemukan hasil negatif. Dilakukannya tes tersebut untuk mengetahui apakah salah satu faktor resiko terjadinya sindrom nefrotik idiopatik pada pasien mengarah pada indikasi penyakit autoimunitas, seperti SLE. Ditemukan hasil negatif berarti penyebab dari terjadinya sindrom nefrotik pada kasus ini bukan berasal dari penyakit autoimunitas. Fungsi Ginjal Lengkap (kreatinin 0,19 mg/dL, BUN 7 mg/dL) Analisis : Berdasarkan uji fungsi ginjal, meliputi kreatinin dan BUN (Blood Urea Nitrogen), dapat diketahui bahwa ginjal masih dapat menjalankan fungsinya dengan baik. a. Kreatinin (0,19 mg/dL) Kreatinin merupakan produk akhir metabolisme kreatin otot dan kratin fosfat (protein), diproduksi dalam hati. Ditemukan dalam otot rangka dan darah, dan dibuang melalui urin. Kadar kreatinin dapat diukur dengan menggunakan metode kolorimetri menggunakan spektrofotometer, fotometer atau kimiawi analyzer (Indriasari, D., 2009). Menurut Indriasari, D., 2009, nilai normal pemeriksaan kreatinin, adalah : 18

~ Pria ~ Wanita ~ Anak ~ Bayi

: 0,6 1,3 mg/dL : 0,5 0,9 mg/dL (wanita sedikit lebih rendah karena massa otot yang lebih rendah daripada pria) : 0,4 1,2 mg/dL : 0,8 1,4 mg/dL

~ Bayi baru lahir : 0,7 1,7 mg/dL Pada kasus ini didapatkan hasil tes kreatinin 0,19 mg/dL, interpretasi dari hasil tes menunjukan bahwa jumlah kreatinin pada pasien menurun atau kurang. Hal ini dapat disebabkan karena pasien mempunyai berat badan yang kurang dari normal, sehingga massa otot juga ikut berkurang dan hasil uji kreatinin juga menunjukkan hasil kurang dari normal. b. BUN (7 mg/dL) BUN merupakan tes kimia serum darah untuk menghitung kadar urea dalam darah. Menurut Indriasari, D., 2009, nilai normal pemeriksaan BUN, adalah : ~ Dewasa ~ Bayi : 5 25 mg/dL : 5 15 mg/dL ~ Anak-anak : 5 20 mg/dL ~ Lanjut usia : kadar sedikit lebih tinggi daripada dewasa. Pada kasus ini didapatkan hasil tes BUN 7 mg/dL, sehingga hasil pemeriksaan tersebut dapat dikatakan masih dalam batas normal karena nilai normal BUN anak-anak berkisar 5-20 mg/dl, seperti yang sudah tertulis di atas. .

HBs-antigen negatif Analisis : Pada kasus dilaporkan pada pemeriksaan HBs-antigen negatif. HBs-antigen, yaitu suatu protein yang merupakan selubung luar partikel VHB (virus 19

hepatitis B). HBs-antigen yang positif menunjukkan bahwa pada saat itu pasien yang bersangkutan mengidap infeksi VHB. HBs-antigen adalah antigen (bagian dari mikroorganisme penyebab penyakit) yang berasal dari virus hepatitis B, yang berarti jika seseorang terinfeksi oleh virus hepatitis B, maka dalam darah akan terdeteksi adanya HBs-antigen. Pada keadaan normal HBs-antigen tidak ditemukan dalam darah. HCV antibodi Analisis : Pada kasus dilaporkan HCV antibodi negatif. HCV adalah Hepatitis C Virus. HCV antibodi yang negatif menunjukkan bahwa orang tersebut tidak terinfeksi oleh Virus Hepatitis C. PR3-ANCA, dan MPO-ANCA negatif Analisis : Anti neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) adalah kelompok auto antibodi yang dihasilkan ketika sistem kekebalan tubuh seseorang salah sasaran dan menyerang protein sendiri neutrofil. Dua dari protein yang paling sering didapatkan adalah myeloperoxidase (MPO) dan proteinase 3 (PR3). Hal tersebut menyebabkan produksi antibodi untuk MPO dan / atau PR3. Tes darah ANCA mendeteksi ada atau tidak adanya autoantibodi tersebut dengan melihat pola fluoresensi pada slide di bawah mikroskop. Anti neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) biasa terdapat dalam tubuh yang mengalami berbagai gangguan autoimun yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pembuluh darah ke seluruh tubuh (vaskulitis sistemik). Vaskulitis dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan organ akibat penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah, serta hilangnya suplai darah. Pada kasus ini, hasil pemeriksaan PR3-ANCA, dan MPO-ANCA adalah negatif. Sehingga dapat diketahui bahwa pasien tidak mengalami gangguan autoimun. Tidak adanya infeksi streptococcal Analisis : 20

Diperlukan adanya suatu pemeriksaan untuk mengetahui apakah pasien terindikasi menderita infeksi streptococcal. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jelas dari faktor resiko penyebab penyakit yang terdiagnosa. Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa terjadinya nefropati IgA dapat melalui beberapa faktor resiko salah satunya karena adanya infeksi streptococcal. Bila didapatkan hasil negatif maka faktor resiko nefropati IgA dari kuman streptococcal dapat disingkirkan. Pemeriksaan Histologi glomerulus lain. Analisis : Pemeriksaan mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerulus yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Sklerosis segmental disebabkan kolapsnya kapiler-kapiler dan ekspansi mesangial akibat bertambahnya matriks mesangial. Telah terjadi kerusakan pada jaringan glomeruli, sehingga merusak membran pelindung protein pada glomerulus. Nekrosis dan sklerosis pada glomerulus terjadi karena kerusakan kapiler glomerulus dengan kolaps dan tersumbatnya lumen glomerulus. Pada sklerosis yang fokal mungkin terdapat hialinosis dan penebalan dinding arteriol aferen. Jika terjadi secara progresif, akan terjadi peningkatan jumlah glomerulus yang mengalami sklerosis dan matriks mesangial. Mekanisme dari penyakit ini terutama adalah terjadi kerusakan epitel yang dikarenakan hialinosis dan sklerosis. Hialinosis dan sklerosis akan menyebabkan terperangkapnya protein plasma dalam glomerulus karena membran yang hiperpermeabel. Analisis : Pengecatan PAM tidak terlihat bentuk berpaku atau bentuk terputus-putus pada membrane basalis. Lima belas glomerulus diteliti dengan mikroskop cahaya, dan 13 abnormal. Akan tetapi, sklerosis segmentalis terlihat pada 2

21

Membran basalis glomerulus normal akan tampak seperti terputus-putus dan seperti berbentuk paku karena adanya struktur podosit yang menyerupai jari-jari sebagai alat filter pada glomerulus. Pada Sindrom Nefrotik yang sudah mengalami sklerosis segmental, membrane basalis akan mengalami sklerosis dan tampak menyatu dengan membrane basalis lainnya. Sehingga tidak ditemukan adanya gambaran berpaku dan terputus-putus. Imunofluorescence : C1q mendominasi pada endapan mesengial, selain itu juga terlihat IgA-IgM Analisis : Hal ini terjadi karena adanya aktivitas komplemen dan terjadi reaksi antigen antibodi sehingga terjadinya endapan komplemen dan imunoglobulin pada sel mesengial. Namun, penyebab terjadinya reaksi antigen-antibosi, masih dalam penelitian (Niimura, F., et al, 2007). Mikroskop Elektron : Endapan padat elektron mesengial Analisis : Pada pemeriksaan mikroskop elektron terlihat deposit padat-elektron dalam mesangium yang besar dan jelas, hal ini terjadi karena adanya infiltrasi sel PMN, monosit, dan kadang eosinofil Imunofluorescence : C3 dan fibrinogen tidak terlihat pada pemeriksaan immunofluoroscence Analisis : Sampai saat ini tidak ada alasan yang jelas mengenai tidak terlihatnya C3 dan fibrinogen. Hal ini masih dalam penelitian. Selain itu, hanya diketahui bahwa pada kelainan glomerulosklerosis fokal segmental tidak melibatkan sel inflamasi (Sudoyo, A. W., et al, 2009). Berdasarkan temuan klinis dan laboratorium, pasien tersebut didiagnosis menderita sindrom nefrotik resisten steroid. Selain itu, berdasarkan temuan histologinya, menunjukkan C1q nefropati dengan glomerulosklerosis fokus segmental telah terjadi. Sehingga, dapat

22

disimpulkan bahwa pasien pada kasus ini menderita sindrom nefrotik resisten steroid yang disebabkan C1q nefropati dengan glomerulosklerosis fokus segmental. C. ANALISIS TERAPI Pada kasus ini, pasien mendapatkan 2 macam terapi, yaitu terapi tunggal dan terapi kombinasi. Terapi kombinasi diberikan setelah pasien diketahui resisten terhadap pemberian terapi tunggal. 1. Terapi tunggal (pemberian prednisolon) Hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium menunjukan bahwa pasien terkena sindrom nefrotik. Berdasarkan diagnosis tersebut, maka pasien mendapat terapi prednisolon yang diberikan secara oral. Menurut ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children) , terapi sindrom nefrotik untuk episode awal dimulai dengan pemberian prednisolon dengan dosis harian 60 mg/m selama 4 minggu, diikuti dengan 40 mg/m untuk 3 hari dalam seminggu (terapi intermiten) selama 4 minggu (Mantan, M., Bagga, A., 2005). Pada kasus ini, terapi dengan prednisolon dapat menghilangkan hematuria. Hal ini disebabkan, karena prednisolon mampu menurunkan afinitas makrofag dan leukosit saat terjadi proses inflamasi. Selain itu, prednisolon mampu mempertahankan trombosit dalam keadaan normal. Dalam waktu 1 hari setelah awal pemberian pednisolon, perdarahan sering kali berkurang. Efek ini berperan dalam mempertahankan stabilitas vaskuler, sehingga untuk terjadinya resiko perdarahan menjadi kecil. Pemberian prednisolon juga mampu mengurangi edema pada pasien dalam kasus ini. Mekanisme kerjanya diduga melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF) dan menghambat lokalisasi makrofag (reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endothelium kapiler, serta menghambat migrasi leukosit). Sehingga prednisolon mampu menghentikan keluarnya protein intravaskular yang keluar melalui urin dan juga dapat meningkatkan jumlah urin output. Hal ini akan mengakibatkan sedikit demi sedikit edem akan berangsur-angsur hilang. Peningkatan protein dalam urin pasca pemberian prednisolon disebut sebagi relaps (masih adanya protein dalam urin). Hal tersebut dapat disebabkan karena tubuh pasien resisten terhadap pemberian prednisolon. Dalam beberapa sumber menyebutkan 23

mekanisme terjadinya resistensi pemberian steroid pada sindrom nefrotik masih dalam penelitian lebih lanjut dan belum ada yang mengatakan penyebab pasti terjadinya resistensi steroid tersebut. Tekanan darah meningkat yang terjadi pasca pemberian prednisolon diakibatkan karena mekanisme obat tersebut juga mempengaruhi produksi angiotensinogen, sehingga sekresi aldosteron meningkat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya retensi Na yang berlebih dan berlangsung lama sehingga menimbulkan edema diantara dinding arteriol. Akibatnya, diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan bertambah. Di samping itu, prednisolon juga akan meningkatkan jumlah LDL dalam darah dan menurunkan HDL dalam darah, sehingga akan menyebabkan tingginya tekanan darah pada pengobatan prednisolon. Setelah 4 minggu mendapat terapi prednisolon, ternyata pasien mengalami resisten terhadap pengobatan steroid tersebut. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perbaikan proteinurianya. Menurut ISKDC, suatu sindrom nefrotik dikatakan resisten steroid bila telah mendapat terapi steroid dengan dosis yang adekuat, namun tidak mencapai fase remisi. Kriteria remisi meliputi pengurangan edema, pengurangan proteinuria 4 mg/m2/jam, atau albumin dipstick 0 dalam jangka waktu minimal 3 hari (Mantan, M., Bagga, A., 2005). Pada beberapa sumber yang kami temukan, belum ada mekanisme yang pasti untuk menjelaskan bagaimana mekanisme terjadinya resisten obat steroid pada pasien sindrom nefrotik. Karena dari beberapa sumber yang kami temukan menyebutkan bahwa penyebab resisten steroid adalah karena idiopatik. 2. Terapi kombinasi (pemberian prednisolon) Untuk mengetahui kelainan lain pada sindrom nefrotik tersebut, akhirnya dilakukan biopsi ginjal. Hasil pemeriksaan histologi menunjukan bahwa pasien mengalami C1q nefropati dengan glomerulosklerosis fokal segmental. Berdasarkan diagnosis tersebut, maka pasien mendapat terapi kombinasi, meliputi metilprednisolon yang diberikan secara I.V., serta siklosporin dan prednisolon secara oral. Pasien pada kasus ini akhirnya mendapatkan terapi kombinasi. Hal ini dikarenakan pasien tidak berespon terhadap terapi awal yang diberikan, yaitu pemberian prednisolon. Terapi kombinasi yang diberikan kepada pasien, dosisnya menggunakan tapering dose (pengurangan dosis secara perlahan sebelum dosis dihentikan). Hal ini dikarenakan 24

apabila dosisnya tidak dikurangin secara perlahan, maka bisa menimbulkan sindrom withdrawal. Pada terapi kombinasi ini, metilprednisolon dipilih sebagai salah satu terapi kombinasi karena merupakan turunan prednisolon yang mempunyai efek kerja yang sama seperti senyawa induknya. Di samping itu, pada terapi kombinasi ini juga diberikan siklosporin. Siklosporin baru boleh diberikan apabila terapi standar dengan kortikosteroid gagal. Pada sindrom nefrotik resisten steroid, terapi yang diberikan, yaitu pemberian siklosporin yang dikombinasi dengan kortikosteroid. Mekanisme kerja siklosporin, yaitu dengan menghambat kalsineurin. Kalsineurin adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan memegang peranan penting dalam defosforilasi (aktivasi) protein regulator di sitosol, yaitu NFATc (nuclear factor of activated T cell). Setelah mengalami defosforilasi, NFATc ini mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam sintesis sitokin, terutama IL-2, dan berbagai protoonkogen, seperti c-myc dan H-Ras, serta reseptor sitokin tertentu, seperti reseptor IL-2. Pemberian siklosporin dapat menghambat kalsineurin, sehingga akan menghambat transkripsi gen-gen tersebut. Siklosporin juga mengurangi produksi IL-2 dengan cara meningkatkan ekspresi TGF- (tumor growth factor-) yang merupakan penghambat kuat aktivasi limfosit T oleh IL-2. Meningkatnya ekspresi TGF- diduga memegang peranan penting pada efek imunosupresan siklosporin (Dep. Farmako dan Teraupetik FK UI, 2007). Pada terapi kombinasi yang diberikan dapat menurunkan proteinuria lebih baik dari pada pemberian terapi tunggal. Hal ini disebabkan karena pemberian kortikosteroid tanpa siklosporin hasilnya kurang maksimal. Jika diberikan kostikosteroid saja, kemungkinan besar dapat terjadi relaps. Sehingga dibutuhkan siklosporin karena bersifat imunosupresif istimewa dengan jalan menghambat spesifik respon imun seluler. Di samping itu, terapi kombinasi dapat meningkatkan albumin serum. Hal ini dikarenakan proteinuria sudah mulai terkontrol (permeabilitas dinding kapiler glomerulus sudah mulai membaik), sehingga secara otomatis albumin serumnya juga akan meningkat. Siklosporin yang diberikan pada pasien ini ternyata menimbulkan efek samping berupa hiperthrichosis dan gingival hiperplasia. Menurut Vescovi, P., et al, (2005), mekanisme pasti siklosporin dapat menyebabkan hipertrikosis masih belum diketahui secara jelas. Sedangkan, untuk gingival hiperplasia, terdapat 2 hipotesa yang menjelaskan 25

mekanismenya. Hipotesa pertama, menyatakan siklosporin baik secara langsung maupun tidak langsung menginduksi terjadinya pembentukan jaringan fibroblast dan sel epitel pada gingival. Hipotesa ke dua, menyatakan bahwa siklosporin menyebabkan pengurangan degradasi kolagen atau peningkatan sintesa kolagen yang dapat meningkatkan jumlah fibroblast dan volume dari matriks ekstraselular. Di samping itu, siklosporin juga dapat meningkatkan Il-6 dan TGF-1 yang menginduksi pertumbuhan fibroblast gingival. Pemberian terapi kombinasi menyebabkan pasien mengalami hipertensi. Hal ini dikarenakan prednisolon saja sudah bisa meningkatkan tekanan darah. Apalagi jika pemberiannya dikombinasikan dengan metilprednisolon dan siklosporin, maka sudah dapat dipastikan bahwa tekanan darahnya akan semakin meningkat daripada pemberian terapi tunggal. Namun, hipertensi tersebut dapat diatasi dengan pemberian terapi 2 macam obat, yaitu ACE inhibitor dan kalsium antagonis. ACE inhibitor baik digunakan pada pasien nefropati karena dapat menurunkan proteinuria dan menstabilkan fungsi ginjal, serta dapat pula menurunkan kadar lipid dalam plasma. Sedangkan, kalsium antagonis baik digunakan karena mempunyai efek vasodilator arteriol aferens yang menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus tetap walau terjadi penurunan tekanan darah. Banyak penelitian melaporkan kombinasi kalsium antagonis dan ACE inhibitor mempunyai efek renoprotektif dan antihipertensi. Pemberian kombinasi obat tersebut secara simultan mempunyai efek renoprotektif yang lebih besar daripada pemberian ACE inhibitor sebagai monoterapi (Aziza, L., 2007) Pemberian terapi kombinasi dapat mengatasi proteinuria masif yang terjadi, sehingga secara otomatis protein akan tetap berada dalam tubuh sehingga pertumbuhan dan perkembangan pasien juga sudah mulai membaik.

Episode pertama sindrom nefrotik (tidak adanya hipertensi, hematuria, azotemia) Prednisolon 2 mg/kg/hari selama 6 minggu, 1,5 mg/kg berselang hari selama 6 minggu

26

Jarang kambuh

Sering kambuh, ketergantungan steroid

Resisten steroid

Prednisolon 2 mg/kg per hari sampai membaik, kemudian 1,5 mg/kg diberikan berselang hari selama 4 minggu

Merujuk untuk evaluasi (Prednisolon berselang hari untuk mempertahankan kesembuhan; menilai batas steroid (prednisolon)

Batasan steroid < 0,5 mg/kg berselang hari

Batasan > 0,5 mg/kg berselang hari, komplikasi parah, atau keracunan steroid

Pemberian prednisolon berselang hari selama 9-18 bulan

Levamisole Cyclophosphamide Cyclosporin A Mycophenolate mofetil

Gambar 2. Manajemen Sindrom Nefrotik Pada Anak (Mantan, M., Bagga, A., 2005)

27

DAFTAR PUSTAKAAlatas, H., et al, 1996. Buku Ajar Nefrologi Anak Jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Asmadi, 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika Aziza, L., 2007. Peran Antagonis Kalsium Dalam Penatalaksanaan Hipertensi. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 57, Nomor : 8, pp. 259-263 Baratawidjaja, K.G., Rengganis, I., 2010. Imunologi Dasar Edisi Ke 9. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Behrman, et al, 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Ed. 15, Vol. 3. Jakarta : EGC Betz, C. L., Sowden, I. A., 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC Departemen Farmakologi dan Teraupetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. Farmakologi dan Terapi (ed.5). Jakarta : Gaya Baru Humes, H. D., 2001. Kelley's Essentials of Internal Medicine, 2nd Edition. USA : Quebecor World Indriasari, D., 2009. 100% Sembuh Tanpa Dokter A-Z Deteksi, Obati, Dan Cegah Penyakit. Yogyakarta : Pustaka Grhatama Mantan, M., Bagga, A., 2005. Nephrotic Syndrome In Children. Indian J. Med Res 122, pp. 13-28 Marks, D. B., et al, 2000. Biokimia Kedokteran Dasar : Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta : EGC Niimura, F., et al, 2007. C1q Nephropathy In A 2-Year-Old Boy Presenting With Steroid Resistant Nephrotic Syndrome. Tokai J Exp Clin Med., Vol. 32, No. 3, pp. 95-98 Price, S. A., Wilson, L. M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC Sacher, R. A., Mcpherson, R. A., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Ed. 11. Jakarta : EGC Schwartz, M. W., 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC Sherwood, L., 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC Silbernagl, S., Lang, F., 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC

Sudoyo, A. W., et al, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta : Interna Publishing Vescovi, P., et al, 2005. Cyclosporin-Induced Gingival Overgrowth : A Clinical-Epidemiological Evaluation Of 121 Italian Renal Transplant Recipients. Journal of Periodontology, Vol. 76, No. 8, Pages 1259-1264 Werner, D., et al, 2010. Apa Yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada Dokter. Yogyakarta : CV. Andi Offset

2