Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2010. Ruang Perkotaan Sebagai Cermin Peradaban

download Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2010. Ruang Perkotaan Sebagai Cermin Peradaban

of 59

description

diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang melalui Ditjen Penataan Ruang Kemen PU

Transcript of Buletin TATA RUANG. Edisi September-Oktober 2010. Ruang Perkotaan Sebagai Cermin Peradaban

  • Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta

    Macet adalah keadaan yang hampir setiap saat dialami

    masyarakat Jakarta. Sebelumnya, macet hanya dialami,

    saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun

    kini, setiap saat dan setiap kesempatan, macet akan terus

    menyertai, kemana pun mayarakat bepergian. Hal ini

    mungkin dapat dimaklumi, mengingat perbandingan

    jumlah pertumbuhan jalan dan pertumbuhan kendaraan

    bermotor tidak seimbang. Tercatat. pertumbuhan jalan di

    Jakarta kurang dari 1% per tahun padahal setiap hari

    setidaknya ada 1000 lebih kendaraan bermotor baru turun

    ke jalan di Jakarta.

    Menurut Pakar Transportasi Dr.Techn. Ir. Danang Parikesit, M. Sc.(Eng), dampak secara

    ekonomi akibat kemacetan ini, begitu nyata. Bahkan menurut survey, Danang

    menyatakan, masyarakat Jakarta, akan menghabiskan 6-8%PDB untuk biaya transportasi.

    Padahal menurut standart Internasional, biaya transportasi dikeluarkan oleh seseorang,

    idealnya adalah 4% dari PDB.

    Angka senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2005.

    Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta ditaksir Rp 12,8triliun/tahun

    yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar dan biaya kesehatan.

    Sementara berdasarkan SITRAMP II tahun 2004 menunjukan bahwa bila sampai

    2020tidak ada perbaikan yang dilakukan pada sistem transportasi maka perkiraan

    kerugian ekonomi mencapai Rp 65 triliun/tahun.

    Berdasarkan studi tersebut, maka jelas Jakarta sangat membutuhkan angkutan massal

    yang lebih andal. Salah satu alternatifnya adalah MRT. Menurut Danang Parikesit, yang

    lahir Yogyakarta, 3 Juni 1965 silam, MRT memiliki nilai lebih, yang tidak bisa

    didapatkan dari jenis angkutan yang lain. Berikut, wawancara singkat, mengenai

    efektivitas pemilihan angkutan missal yaitu MRT, untuk mengurai menyelesaikan

    permasalahan kemacetan di Jakarta khususnya dan di kota-kota besar lainnya di

    Indonesia.

    Bagaimana pendapat Prof. Danang mengenai keadaan transportasi di Indonesia,

    khususnya di Jakarta?

    Kalau kita lihat secara kinerja, kecepatan rata-rata orang melakukan kendaraan pribadi

    dengan tidak mencapai 15 km/jam , kita sudah tidak kompetitif lagi. Thailand kin, sudah

    mencapai 18 km/jam, Tokyo 20-22 km/jam.

  • Mengapa dikatakan tidak kompetitif?

    Karena, akibat kemacetan ini, sejumlah kerugian akan melanda. Salah satunya adalah

    kerugian secara ekonomi. Bahkan jika dikalikan setahun, kerugian secara ekonomi bisa

    mencapai trilyunan rupiah. Dan, ternyata menurut survey per okober kemarin, kita

    menghabiskan 6-8% PDB untuk biaya transport. Ini angka yang besar. Bahkan standart

    internasional saja, hanya 4%.

    Lalu, bagaimana penyelesaian kemacetan di Jakarta ini?

    Kalau bicara tentang menyelesaikan transportasi, harus dipastikan orang yang ada di

    dekat Jakarta misalnya Jabodetabek, mengalami kemajuan. Misalnya dalam kurun waktu

    5-10 tahun, kecepatan tempuh meningkat dari 13 km/jam menjadi 18 km/jam. Tapi di

    Jakarta khususnya, tidak ada progress, dulu macet, sekarang tambah macet. Salah satu

    sebabnya adalah arus urbanisasi semakin lama semakin bertambah.

    Dan, kecenderungannya adalah, mereka memiliki mobilitas yang tinggi. Mengingat

    kendaraan massal kurang memadai maka, mereka lebih memilih menggunakan kendaraan

    pribadi. Inilah salah satu sebab, kemacetan, setiap hari bertambah.

    Apa skema yang tepat, untuk mengurai kemacetan ini?

    Perjalanan tiap hari di Jakarta mencapai 40 Juta. Dari 40 juta perjalanan, 56%

    menggunakan angkutan massal, dan 44% menggunakan kendaraan pribadi. Dimana,

    untuk pengguna angkutan missal terbagi menjadi, 3% menggunakan KRL, 3%

    menggunakan transjakarta, dan 50% menggunakan bis non transjakarta dan KRL. Jika

    hal ini terus dibiarkan, saya khawatir kondisi di Jakarta akan semakin parah, karena

    masyarakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.

    Bagaimana dengan wacana tentang MRT?

    MRT, kini bukanlah wacana lagi. Namun, penyediaan MRT telah tertuang dalam Perpres

    No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Ada dua perspektif

    penting yang harus diperhatikan dalam mengatasi masalah transportasi. Yakni, jangka

    pendek terkait mengatasi kemacetan dan jangka panjang adalah pengaturan pemanfaatan

    ruang. Pembangunan MRT untuk Jakarta jelas sangat diperlukan demi mengatasi

    kemacetan. Pembangunan MRT beserta sistem pendukungnya merupakan solusi yang

    harus terus diupayakan. Juga diperlukan master plan untuk mengintegrasikan sistem

    busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik sebagai MRT andalan di masa datang.

    Dibutuhkan strategi untuk mengarahkan pilihan masyarakat menggunakan sarana

    transportasi massal atau melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi

    sehingga sistem transportasi massal dapat berjalan efektif.

    Apakah MRT ini mampu mengurai kemacetan?

    MRT bagian dari solusi transportasi. MRT mampu mengangkut penumpang dari satu

    titik asal ke titik tujuan secara cepat, dan dalam jumlah yang besar. Namun, selain MRT

  • untuk mengatasi kemacetan diperlukan langkah-langkah lain seperti, peningkatan disiplin

    lalu lintas, pembatasan volume lalu lintas, mendorong pengguna kendaraan pribadi

    beralih ke MRT seperti dengan menyediakan fasilitas park & ride. Dan, yang paling

    penting adalah mengintegrasikan sistem MRT dengan sistem angkutan massal lainnya

    seperti bus umum, busway, dan kereta Jabodetabek. Sehingga sebelum ada pembatasan

    jumlah kendaraan, Pemerintah hendaknya berupaya untuk menyediakan moda

    transportasi massal yang andal, layak dan memadai sehingga masyarakatdengan

    sendirinya akan lebih tertarik naik angkutan umum ketimbang bawa kendaraan sendiri.

    Dengan begitu, penggunaan kendaraan umum dapat menjadi pilihan yang setara dengan

    penggunaan kendaraan pribadi. Sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa beralih

    menggunakan transportasi publik.

    Sistem MRT Jakarta sendiri dibangun untuk menjawab tantangan mobilitasyang rendah

    karena terbatasnya ruang untuk bermobilitas. Kemacetan di jalanraya disebabkan oleh

    ketidakseimbangan kapasitas jalan dengan volume kendaraan yang melaluinya.

    Keunggulan sistem MRT Jakarta yang andal, tepat waktu, danharga tiketnya terjangkau

    memberikan pilihan bagi pengguna kendaraan pribadikhususnya untuk beralih ke MRT.

    Berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi iniakan meningkatkan ruang gerak di jalan

    raya yang berdampak pada berkurangnyatingkat kemacetan serta tingkat polusi

    Bagaimana mekanisme penyediaan MRT yang baik?

    Terkait penyediaan MRT harus terintegrasi dengan penataan ruang. Harus ada

    keterkaitan antara penataan ruang dengan sistem transportasi. Oleh karena itu,

    diperlukan konsistensi dari pemangku kepentingan mulai tahap penyusunan

    hingga implementasinya. Jakarta harus mencontoh negara-negara tetangganya

    seperti Singapura dan Thailand yang telah berhasil mengatasi masalah kemacetan

    dengan melakukan tindakan tersebut. Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta yang

  • saat ini dalam tahap penyusunan juga harus menyiapkan ruang yang diperlukan

    MRT adalah singkatan dari Mass Rapid Transit yang secara harafiah berarti

    angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara cepat.

    Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta) yang berbasis rel. Rencananya, MRT

    akan membentang kurang lebih 108.7 km , yang terdiri dari Koridor Selatan Utara (Koridor Lebak Bulus - Kampung Bandan) sepanjang kurang lebih 21,7

    km dan Koridor Timur Barat sepanjang kurang lebih 87 km.

    Pembangunan Koridor Selatan-Utara dari Lebak Bulus Kampung Bandan dilakukan dalam 2 tahap.Tahap I yang akan dibangun terlebih dahulu menghubungkan Lebak Bulus

    sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15.5 km dengan 13 stasiun (7 stasiun layang dan

    6 stasiun bawah tanah) ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016.Tahap II akan

    melanjutkan jalur Selatan-Utara dari Bundaran HI ke Kampung Bandan yang akan mulai

    dibangun sebelum tahap I beroperasi dan ditargetkan beroperasi paling lambat

    2020.Koridor Barat-Timur saat ini sedang dalam tahap pre-feasibility study. Koridor ini

    ditargetkan paling lambat beroperasi pada 2027.

    Apa kelebihan MRT ini?

    MRT, adalah jenis angkutan massal yang mahal dalam pengadaannya, salah satunya

    untuk biaya infrastruktur. Perhitungan kasarnya, 1 Km akan memakan biaya 1 trilyun.

    Sehingga praktis jika ingin membangun MRT sepanjang 12 Km maka, biaya yang harus

    dikeluarkan sebesar 12 trilyun sampai 14 trilyun. Dengan jumlah biaya yang demikian,

    jika pemaknaan pembangunan MRT ini hanya untuk mengangut orang saja, kurang. Nah,

    yang menjadi sisi keunggulan dari MRT ini adalah mampu mengembangkan daerah-

    daerah sekitar MRT sesuai dengan tata ruang kota. Seperti di negara-negara yang telah

    berhasil menggunakan moda ini, kawasan di sekitar MRT menjadi kawasan yang

    berkembang. Ruang-ruang public maupun bisnis, akan sangat tertarik untuk

    mengembangkan investasinya di sekitar MRT. Sehingga makin lama, kawasan sekitar

    MRT akan berkembang, sehingga biaya operasional MRT yang cukup mahal jika hanya

    untuk angkutan missal tersebut, dapat tertututi oleh berkembangnya daerah sekitar MRT.

    Selain itu, MRT ini tidak hanya sekedar membantu mengatasi kemacetan, namun juga

    sebagai pendorong bagi Pemprov DKI Jakarta untuk merestorasi tata ruang kota. Agar

    lebih efektif dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Caranya adalah MRT

    Jakarta diintergrasikan dengan tata ruang di kawasannya. Integrasi diwujudkan dengan

    pembangunan jalan menuju stasiun atau menyediakan angkutan umum lain yang

    memudahkan warga datang atau meninggalkan stasiun MRT.

    Pada beberapa lokasi stasiun, dimungkinkan untuk membangun tempat parkir di stasiun

    dan trotoar yang memadai untuk mengakses stasiun. Dengan cara ini, warga yang tinggal

    atau beraktivitas di sekitar jalur MRT dapat merasakan manfaat langsungnya. Sementara

    warga yang tinggal agak jauh juga dapat meninggalkan kendaraan pribadi dan mengakses

    MRT dengan angkutan umum pendukung. Pemilik kendaraan pribadi juga dapat

    memarkir kendaraan di dekat stasiun.

  • Terhubungnya stasiun MRT dengan pusat perbelanjaan, perkantoran dan pusat-pusat

    aktivitas sosial lainnya akan memberikan manfaat tersendiri bagi pusat-pusat kegiatan

    ini.Dengan laju manusia yang lebih baik, pusat perbelanjaan menjadi ramai dan

    perkantoranterjamintingkathuniannya.

    Lalu, Bagaimana pembiayan MRT ini?

    Sekarang sudah ada sumber pembiayaannya. Tercatat, Pendanaan untuk proyek MRT ini

    diperoleh pinjaman dari JICA dan jaminan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain,

    proyek MRT ini merupakan proyek nasional yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI

    Jakarta. Pada Oktober 2005 telah dikeluarkan surat keputusan Menko Perekonomian no.

    057/2005 yang menetapkan pembayaran pinjaman tersebut ditanggung bersama oleh

    Pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta dengan komposisi 42% : 58%. Segera setelah

    keluarnya SK tersebut, pada tahun2005, juga disepakati struktur proyek dan konsep

    pendanaan yang disepakati oleh Bappenas, Departemen Perhubungan, Departemen

    Keuangan, Pemerintah Provinsi DKIJakarta dan JICA.

    Terkait dengan kota Jakarta yang rawan bencana, terutama banjir, bagaimana

    menurut Prof. Danang, tingkat keamanan MRT ini?

    Sekarang kan sudah ada teknologinya untuk menyiasatinya. Berdasarkan pengalaman di

    negara lain yang rawan gempa seperti di Jepang, begitu juga dengan masalah banjir,

    transportasi MRT tetap bisa dijalankan. Persoalan banjir, tanah lembek dan gempa dapat

    diatasi dengan rekayasa teknik. Misalnya saja di Hong Kong dan Bangkok, yang rawan

    banjir. Rekayasa teknik yang dipergunakan untuk mengatasi banjir antara lain dengan

    cara peninggian pintu masuk. Sedangkan untuk tanah lembek dapat diatasi dengan teknik

    perbaikan tanah (soil improvement). Selain itu, struktur bangunan yang relatif pendek

    pada MRT, membuat pengaruh gempa relatif tidak signifikan dibandingkan dengan

    pengaruh gempa pada gedung-gedung tinggi. (berbagai sumber)

  • WATERFRONT CITY, BANJARMASIN

    Sebuah Upaya Inovatif Pengembalian Citra Kota Oleh:

    Raditya PU *

    Kepala Bappeda Banjarmasin

    Kota Seribu Sungai. Sudah sewajarnya jika sebutan tersebut diberikan masyarakat untuk

    Banjarmasin. Kota yang dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu

    Sungai Martapura dan Sungai Barito sehingga kota ini pun memiliki berpuluh-puluh

    sungai, anak sungai dan bahkan kanal kanal. Sungai memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat Banjarmasin. Pasar Terapung yang sangat khas Banjarmasin menjadi

    bukti penting eksistensi sungai di tengah kehidupan masyarakat. Aktivitas

    perdagangannya terapung, baik penjual maupun pembeli bertransaksi diatas sungai dengan menggunakan perahu khas Banjar, Jukung.

    Foto 1. Banjarmasin, Kota Seribu Sungai

    Meskipun disebut sebagai kota seribu sungai,

    namun kenyataannya Banjarmasin justru

    kehilangan sungai dari sebelumnya 107 buah

    menjadi 71 buah pada saat ini. (Foto: Paparan

    Wakil Tentang Sungai, 2010)

    Foto 2. Pasar Terapung Banjarmasin

    Pasar terapung yang merupakan

    cerminan kuatnya kultur kehidupan

    perairan masyarakat Banjarmasin saat ini

    menjadi salah satu daya tarik pariwisata

    khas. (Foto: Paparan Wakil Tentang

    Sungai, 2010)

    Secara historis, Banjarmasin bahkan memiliki peran yang sangat strategis dalam

    perdagangan antar pulau karena merupakan wilayah pertemuan Sungai Barito dan Sungai

    Martapura. Di masa kolonial Belanda, Banjarmasin dengan aliran Sungai Barito yang

    luas menjadi pelabuhan keluar-masuk barang dari Singapura dan Jawa menuju ke pantai

    timur Kalimantan. Selain itu, secara internal, Suku Banjar banyak memanfaatkan

    keberadaan sungai tersebut beserta anak sungainya sebagai jalur transportasi utama

    dengan jukung sebagai kendaraan utama dalam pergerakan masyarakat. Pengaruhnya,

  • sebagian besar aktivitas dan permukiman masyarakat Banjarmasin berkembang di sekitar

    sungai dengan karakteristik rumah mengapung, atau mereka sering menyebut sebagai

    Rumah Lamin. Lebih jauh lagi, penggunaan sungai sebagai jalur transportasi

    mempengaruhi orientasi muka bangunan, entrance bangunan menghadap ke sungai yang

    merupakan salah satu karakteristik dari waterfront city.

    Foto 3 : Karakteristik Permukiman waterfront

    Banjarmasin selain memiliki tiga sungai besar (lebar lebih dari 500 meter) yakni Sungai

    Barito, Sungai Martapura dan Sungai Alalak, juga memiliki sungai-sungai berukuran

    sedang (lebar di atas 25 m hingga 500 m) seperti Sungai Andai, Sungai Duyung, Sungai

    Kuin dan Sungai Awang. Sedangkan sungai kecil (lebar kurang dari 25 m) jumlahnya

    sekitar 77 sungai, antara lain Sungai Guring, Sungai Keramat, Sungai Kuripan, dan

    Sungai Tatas. Tidak mengherankan apabila kehidupan berbasis sungai menjadi daya tarik

    unik bagi kota yang pernah menjadi ibukota Kesultanan Banjar dan dijuluki Venesia dari

    timur ini.

    Pemandangan yang khas dari kota sungai ini adalah adanya rumah-rumah dengan tipe

    rumah panggung yang dibangun berderet menghadap sungai dan rumah lanting (rumah

    terapung) yang berada di atas air di tepi sungai. Penduduk yang bermukim di sepanjang

    aliran sungai memanfaatkan sungai sebagai prasarana transportasi. Selain itu terdapat

    pula lanting atau batang, yaitu sejenis rakit yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai

    tempat untuk MCK serta sebagai dermaga untuk menambatkan jukung.

    Namun dalam perkembangannya, keunikan Banjarmasin tergerus oleh perkembangan

    zaman. Simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai tidak selamanya

    berjalan secara mutualisme. Pengaruh kolonialisasi Belanda sejak tahun 1860 secara

    tidak langsung mengubah orientasi wajah kota melalui pembangunan jalan darat untuk

    keperluan pengawasan terhadap pergerakan masyarakat Banjar. Penggunaan jalan seolah

    berkompetisi dengan peran sungai sebagai jalur transportasi utama. Perlahan-lahan,

    Foto 3. Karakteristik ideal sebuah waterfront city

    Salah satu karakteristik ideal sebuah waterfront city yang juga diimpikan oleh Banjarmasin adalah muka bangunan yang menghadap ke

    sungai. Dengan demikian, kebersihan sungai sebagai halaman depan rumah akan selalu menjadi prioritas para penghuninya. (Foto:

    Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

  • tumpuan aktivitas sungai tergantikan oleh dinamisme perkembangan jalan, penggunaan

    jukung mulai digantikan oleh mobil dan motor.

    Secara historis, jalan utama yang ada di Kota Banjarmasin berasal dari jalan lingkungan

    perumahan yang dulunya merupakan jalur air dan berawa sehingga meskipun saat ini

    telah mengalami perkerasan, namun jika dilewati beban yang cukup berat, jalan ini cepat

    rusak karena kondisi fisik tanahnya yang labil. Kondisi tanah yang berawa dan seringkali

    menimbulkan serangan nyamuk ini pulalah yang memunculkan gagasan dari dr. Murdjani

    sebagai Gubernur Kalimantan pada awal tahun 1950-an untuk memindahkan ibukota

    provinsi ke tempat yang dianggap lebih tinggi, yang sekarang dikenal sebagai

    Banjarbaru.

    Kota Banjarmasin sendiri mulai mengalami pergeseran orientasi dimana sungai tidak lagi

    menjadi muka depan aktivitas namun justru menjadi muka belakang, permukiman menghadap ke jalan sebagai akses utama aktivitas. Perubahan orientasi tersebut secara

    tidak langsung ternyata memberikan andil besar terhadap perubahan perlakuan terhadap sungai, contohnya sungai menjadi lokasi bagi pembuangan sampah rumah tangga serta

    aktivitas belakang lainnya seperti MCK. Hal tersebut mengubah wajah sungai menjadi tidak teratur, kotor dan bahkan tidak sehat.

    Hal ini menyebabkan penurunan kondisi sungai-sungai di kota tersebut, mulai dari

    permasalahan penyempitan alur sungai, pendangkalan sungai, penggerusan tebing sungai

    oleh aliran air, hilangnya sungai (baik tertutup bangunan maupun digunakan sebagai

    lahan parkir), dan maupun terjadinya genangan permanen. Hal ini diperparah oleh

    kondisi topografis Kota Banjarmasin yang rawan tergenang oleh air hujan dan air pasang.

    Secara geografis, kota ini terletak pada ketinggian rata-rata 0,16 meter di bawah

    permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relatif datar. Di sisi lain,

    pembangunan sektor jasa seperti pertokoan yang berjalan pesat di Kota Banjarmasin juga

    tidak diimbangi oleh penyediaan drainase yang memadai. Bantaran sungai cenderung

    berubah menjadi permukiman liar sehingga mengurangi badan air. Di sisi lain, terdapat

    pula ancaman lain. Penelitian yang dilakukan oleh Armi Susandi dkk dari Program Studi

    Meteorologi ITB memperlihatkan bahwa Kota Banjarmasin memiliki kerawanan

    terhadap kenaikan muka air laut yang cukup tinggi, yang dapat mencapai 0,48 meter pada

    tahun 2050.

    Foto 4 dan 5. Permukiman yang tidak teratur

    Foto-foto yang diambil pada tahun 2005 dan 2006 di atas memperlihatkan contoh-

  • contoh permukiman yang tidak teratur. Situasi ini sangat kontras dengan citra

    Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai.

    Sungguh sangat disayangkan, citra Kota Banjarmasin sebagai waterfront city pada

    jamannnya seolah hilang ditelan modernitas perkembangan perkotaan melalui dinamisme

    pembangunan jalan. Padahal keberadaan sungai di Banjarmasin dan seluruh aktivitas

    khas di sepanjang aliran sungai merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi Kota

    Banjarmasin yang mampu menjadi daya tarik wisata serta penanda citra kota.

    Lantas, apa yang dilakukan pemerintah?

    Menyadari urgensi permasalahan tersebut, pemerintah Kota Banjarmasin tidak tinggal

    diam. Degradasi lingkungan perkotaan yang terus meluas, ditambah lagi isu global

    mengenai perubahan iklim akan semakin memperparah kondisi kota Banjarmasin.

    Permukiman di sepanjang sungai semakin tidak terawat, masyarakat semakin buruk

    dalam memperlakukan sungai. Kualitas air semakin menurun, penumpukan sampah

    terjadi semakin banyak sehingga jukung semakin kesulitan melewati sungai. Dengan visi

    pemerintahan mewujudkan kota yang harmonis dengan alam, keberlanjutan lingkungan

    menjadi faktor kunci dalam perkembangan kota. Untuk mewujudkannya, langkah awal

    yang dilakukan, pada tahun 2009, pemerintah membentuk SKPD baru yaitu Dinas Sungai

    dan Drainase yang tugas pokok dan fungsinya mengarah pada perbaikan dan revitalisasi

    sungai untuk mampu mendukung kembali aktivitas perkotaan.

    Pembentukan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan kota. Dengan jumlah penduduk

    mencapai 627.245 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk 2,07% per

    tahun, kota ini menunjukkan perkembangan yang pesat terutama di sektor perdagangan

    dan jasa. Pembangunan fasilitas perdagangan, seperti ruko yang menjadi salah satu

    pemandangan yang acap dijumpai di berbagai sudut kota, seringkali tidak mengindahkan

    struktur kota, khususnya jaringan drainase. Di sinilah SKPD baru tersebut berperan

    dalam memastikan bahwa drainase pendukung aktivitas perkotaan tersedia secara baik, di

    samping menormalisasi kembali fungsi sungai-sungai yang ada. Hal ini ditempuh melalui

    pemeliharaan rutin harian seperti pembersihan sungai maupun pemeliharaan drainase

    yang pada tahun 2010 mencakup 42 titik.

  • Satu catatan menarik dari apa yang dilakukan oleh Kota Banjarmasin, upaya perubahan

    citra kota yang dilakukan cukup inovatif. Selain secara normatif, pemerintah

    memasukkan konsep penataan kota yang berbasis sungai pada konsep struktur Rencana

    Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini ditempuh antara lain melalui pemantapan fungsi

    jaringan Sungai Barito sebagai jalur pergerakan regional, pemantapan fungsi jaringan

    Sungai Martapura sebagai jalur pergerakan regional dan jalur pergerakan dalam Kota

    Banjarmasin, serta pemantapan fungsi jaringan Sungai Kuin, Sungai Alalak dan Sungai

    Kelayan, sebagai jalur pergerakan dalam Kota Banjarmasin. Pemerintah Kota juga

    meningkatkan kapasitas pelayanan dan efektivitas kebersihan kota melalui penambahan

    personil petugas kebersihan kota menjadi 300 orang serta upaya penghijauan dan

    pembangunan sarana persampahan yang lebih memadai, antara lain melalui

    pembangunan TPA Basiri.

    Lebih jauh lagi, Kota Banjarmasin juga melakukan upaya yang revolusioner dengan

    mengadakan sayembara internasional untuk penataan tepian Sungai Martapura di

    Kawasan Pusat Kota Banjarmasin dimana pemenang penataan kota dalam sayembara

    tersebut akan dijadikan acuan dalam penataan waterfront city Banjarmasin saat ini.

    Sayembara tersebut tidak bisa dipandang sebagai sebuah kompetisi semata, dibalik proses

    tersebut, terdapat sebuah pembelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat

    mengenai kepedulian terhadap perbaikan citra kota Banjarmasin terutama dalam upaya

    mengembalikan fungsi sungai di Banjarmasin sebagai bagian dari aktivitas masyarakat

    yang pernah ditinggalkan. Bahkan, terlihat dari besarnya animo pihak asing untuk

    mengikuti sayembara tersebut, maka diharapkan penataan Kota Banjarmasin akan

    semakin variatif dan adaptif terhadap perkembangan.

    Secara teknis, perencanaan tepian sungai tersebut dilakukan dengan memperhitungkan

    aspek hidrologis dan perilaku sungai. Bantaran sungai sendiri akan dikembangkan

    sebagai ruang terbuka publik dengan konsep riverwalk. Akses untuk masyarakat ke

    sungai sebagai milik umum juga akan dibuka seluas-luasnya. Hal menarik lainnya adalah

    kawasan perdagangan dan jasa eksisting yang seringkali menimbulkan konflik, akan

    ditata secara terintegrasi dengan konsep revitalisasi kawasan. Bangunan yang akan

    dibangun pun disesuaikan secara teknis, yaitu dengan konsep rumah panggung dengan

    material yang ringan. Upaya fisik yang telah dilakukan adalah pembangunan tanggul atau

    siring di sepanjang Sungai Martapura, yang saat ini telah mencapai panjang 1 km dari

    sekitar 5 km yang direncanakan.

    Berhasilkah rencana tersebut?

    Perlahan tapi pasti, mungkin kalimat tersebut sangat tepat untuk menggambarkan

    bagaimana transformasi wajah kota Banjarmasin di sepanjang sungai. Upaya penanganan

    drainase wilayah kumuh melalui pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan sungai yang

    ada dan normalisasi sungai mati, dan revitalisasi bantaran sungai-sungai besar mulai

    menampakkan hasil. Hal ini tak terlepas dari dukungan masyarakat yang juga ingin

    melihat kotanya kembali bersih.

  • Foto 7. Penataan Sungai Miai

    Foto di sebelah kiri memperlihatkan situasi Sungai Miai sebagai salah satu contoh sungai

    kecil sebelum normalisasi, sedangkan foto sebelah kanan memperlihatkan situasi Sungai

    Miai saat ini. Normalisasi serupa dilakukan pula pada sungai-sungai yang lain, seperti

    Sungai Cemara, Sungai Beruntung, Sungai Belitung, Sungai Pandu, dan lain-lain. (Foto:

    Paparan Wakil Tentang Sungai, 2010)

    Foto 8. Penataan Kawasan Tendean

    Kawasan Tendean merupakan bagian dari penataan tepi sungai di pusat kota. Gambar atas

    memperlihatkan desain situasi yang diharapkan. Sedangkan foto pada bagian bawah

    memperlihatkan situasi saat ini kawasan tersebut setelah pembangunan siring dan penataan

    kawasan. (Foto: Pemkot Banjarmasin)

    Namun meskipun begitu, beberapa hambatan masih dialami oleh pemerintah dalam

    upaya merealisasikannya. Pergeseran perlakuan sungai bagi masyarakat Banjarmasin

    ternyata justru sudah menjadi budaya baru dalam konteks kekinian. Memandang sungai

  • sebagai bagian belakang aktivitas masyarakat menjadi lebih familiar. Hal tersebut terlihat melalui banyaknya timbunan sampah yang terbuang ke sungai, bahkan lama-

    kelamaan sungai seakan dianggap sebagai TPA kota. Kultur tersebut menjadi salah satu

    hambatan signifikan dalam penataan kota. Keberhasilan penataan tersebut harus

    dibarengi dengan perubahan kembali pola pikir masyarakat terhadap keberadaan sungai

    sebagai bagian penting dalam pembentukan citra Kota Banjarmasin sehingga warisan

    citra waterfront bisa dikembalikan kembali.

    Selain itu, permasalahan lahan juga memiliki andil yang sangat besar dalam menghambat

    realisasi rencana tersebut. Sebagian lahan di sepanjang sungai yang akan diremajakan

    ternyata sudah dikuasai oleh preman penguasa lahan yang memiliki konsekuensi terhadap sulitnya proses pembebasan lahan. Namun, ternyata partisipasi masyarakat patut

    diapresiasi. Dalam upaya relokasi dan pembongkaran bangunan, masyarakat yang

    bertempat tinggal di sepanjang sungai mendukung sepenuhnya upaya tersebut, mereka

    bahkan rela untuk direlokasi. Di Banjarmasin yang kehidupan masyarakatnya sangat

    terikat dengan sungai, kesediaan ini adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, dengan

    dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat, Adipura yang didambakan nampaknya

    bukanlah hal yang mustahil.

    Pemindahan pusat pemerintahan provinsi

    Di sisi lain, Banjarmasin harus pula mempersiapkan pemindahan pusat pemerintahan

    Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru. Pemindahan ini, yang merupakan

    wacana lama, ketika Gubernur Kalimantan pada tahun 1951, dr. Murdjani, mengeluhkan

    aktivitas pemerintahan yang seringkali terganggu akibat genangan air dan gelombang

    pasang. Di sisi lain, kondisi Banjarmasin yang berawa-rawa juga menimbulkan ancaman

    berbagai penyakit. Murdjani kemudian menganggap bahwa perlu mencari lokasi ibukota

    Kalimantan Selatan yang baru.

    Banjarbaru dipilih karena terletak di perbukitan yang bertanah padat, berbeda dengan

    wilayah di sekitarnya yang cenderung berawa-rawa, sehingga dianggap layak sebagai

    lokasi sebuah ibukota baru. Sebuah tim kajian kelayakan yang dipimpin oleh D.A.W.

    Van der Peijl bekerjasama dengan Tim Planologi dari ITB merancang Banjarbaru sebagai

    sebuah kota baru (new town) dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Palangkaraya.

    Selanjutnya, kota baru ini mendapatkan status kota administratif selama 23 tahun, hingga

    pada tahun 1997 kota ini ditetapkan sebagai Kotamadya.

  • Foto 9. Rencana Pemanfaatan Lahan di

    sekitar kantor pemerintahan Provinsi

    Gambar di samping memperlihatkan

    rencana pemanfaatan ruang Kota

    Banjarbaru di sekitar perkantoran provinsi,

    yang terdiri atas perumahan dan fasilitas

    pendukung, perhotelan, sekolah, hutan

    kota, danau buatan dan alun-alun kota.

    (Sumber: Distako Banjarbaru, 2010)

    Saat ini Banjarbaru telah berkembang menjadi suatu kota yang berkembang pesat dan

    mandiri, hingga telah sepenuhnya lepas dari Banjarmasin sebagai induknya. Kota baru ini

    pun telah siap menerima rencana pemindahan perkantoran provinsi, antara lain dengan

    mengakomodasi rencana pemindahan tersebut dalam Rencana Teknik Ruang Kawasan

    Perkotaan Kota Banjarbaru. Wilayah perencanaannya berada di sekeliling kawasan

    perkantoran Provinsi, agar kualitas ruangnya selaras dengan kualitas ruang kawasan

    perkantoran provinsi. Perencanaan ini juga diperlukan untuk menghindari praktik

    spekulasi lahan, yang merupakan praktik jamak yang mengiringi rencana pembangunan

    suatu pusat baru. Perencanaan ini meliputi pengaturan perumahan dengan gradasi

    kepadatan yang dikombinasikan dengan ruang terbuka hijau.

    Bagaimana dengan Banjarmasin sendiri setelah pemindahan ini? Banjarmasin tampaknya

    telah siap dengan isu ini. Pemindahan ini sekaligus membantu Banjarmasin mengurangi

    beban kota, yang selama ini tertumpu khususnya di Kecamatan Banjarmasin Barat yang

    mencapai 10.763 jiwa/km2. Sangat menarik untuk melihat bagaimana Banjarmasin dan

    Banjarbaru akan berkembang di masa depan karena keduanya mewakili dua proses

    perkembangan kota yang berbeda: Banjarmasin tumbuh sebagai kota yang organis,

    sedangkan Banjarbaru tumbuh sebagai kota baru yang direncanakan. Namun keduanya

    sama-sama menyiratkan optimisme di masa depan.

  • ALUN-ALUN

    Oleh:

    Suwardjoko P Warpani

    SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota

    Dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (Keraton, Kabupaten) selalu

    dilengkapi dengan sebidang alun-alun yang melambangkan konsep Ketuhanan, atau

    dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Begitu

    juga dengan konsep kerajaan besar yang menghadap samudera dengan pelabuhan

    besarnya, dan membelakangi gunung yang memberikan kemakmuran (Mardiono, 2009).

    Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu kerajaan maupun

    kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang cukup luas dan sepasang

    pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor

    kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman dinas bupati. Lapangan inilah yang

    dinamakan Alun-alun. Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

    Ada perbedaan antara Alun-alun Keraton (Istana Raja) dengan Alun-alun Kabupaten

    (kediaman Bupati). Pada Keraton memiliki dua alun-alun, di depan dan di belakang

    istana, sedangkan tempat tinggal resmi Adipati (Kadipaten) hanya memiliki satu alun-

    alun yang terletak hanya di depan istana, seperti Mangkunegaran-Surakarta dan

    Pakualaman-Yogyakarta. Begitu juga tempat tinggal resmi Bupati (Kabupaten) yang

    hanya mempunyai satu alun-alun di depan kabupaten. Saat ini dalam pemerintahan,

    kabupaten menjadi sebuah daerah otonomi yang dikepalai oleh seorang Bupati, atau

    pemerintahan setingkat di bawah propinsi.

    Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dulu alun-

    alun bukan sekedar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni: di samping

    sebagai ruang terbuka kota, saat ini kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat rekreasi tak

    jarang digelar pula di alun-alun. Kini, fungsi dan sejumlah alun-alun sudah berubah

    wajah, namun sebagai elemen kota berupa ruang terbuka umum, ruang publik, masih sangat diperlukan.

    Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul

    Sejak masa Kerajaan Majapahit alun-alun telah dikenal, namanya pun terabadikan dalam sebuah

    riwayat, yakni Alun-alun Bubat. Kota-kota kerajaan kuno (seperti Surakarta dan

    Yogyakarta), mempunyai dua buah alun-alun, satu terletak di utara Keraton dan satu lagi

    terletak di selatan Keraton. Permukaan Alun-alun Keraton tersebut tidak berumput tetapi

    berupa hamparan pasir halus (Kisdarjono, 2009), sedangkan Alun-alun Kabupaten

  • biasanya berumput. Bahkan halaman dalam Keraton berupa pasir halus yang konon

    diambil dari pantai selatan Pulau Jawa, seperti isyarat dalam mitologi Laut Kidul.

    Penggunaan hamparan pasir dilakukan atas dasar pertimbangan filosofis. Pada siang hari,

    pasir menghadirkan suasana panas namun di malam hari udara semilir sejuk. Hal ini

    diibaratkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dunia ini berpasang-pasangan.

    Siang-malam, bahagia-duka, panas-dingin, dan seterusnya (Brongtodiningrat, 1978).

    Selain itu, secara teknis dan praktis pun ternyata benar. Busana resmi keraton tanpa alas

    kaki (kecuali Raja), dan para sentana dan abdidalem duduk bersila (bila terpaksa di

    halaman). Pasir tidak akan mengotori telapak kaki meskipun basah, sehingga paseban

    pun tidak kotor. Tak hanya itu, duduk bersila di atas pasir pun tidak akan mengotori kain,

    bahkan air hujan pun cepat meresap ke perut bumi.

    Di depan bangunan keraton terdapat pintu masuk yang menuju Sitinggil (Pendopo

    Keraton), begitu pula di depan bangunan kabupaten terdapat pintu masuk menuju

    Pendopo. Pendopo juga dinamakan Paseban, yang berasal dari kata seba (Kisdarjono,

    2009). Sementara itu, dari tutur Ki Dalang Wayang, dikenal Paseban Jawi (paseban luar)

    yang berfungsi sebagai tempat menunggu bagi para tamu yang hendak menghadap raja,

    untuk hal ini tidak terdapat pada kabupaten.

    Alun-alun Lor (utara) dikelilingi oleh bangunan di penjuru mata angin, yakni: Masjid

    Agung di sebelah Barat, bangunan keraton di sebelah Selatan, pasar di sebelah Utara, dan

    sebelah Timur (dahulu) ada kebun binatang. Hal sedikit berbeda terdapat pada Alun-alun

    Kabupaten, pasalnya pada sisi sebelah Timur biasanya berdiri bangunan penjara. Konon

    letak penjara ini didasarkan pada pemikiran agar para terpidana segera menyadari

    kekeliruannya dan bertobat, karena dipenjara berseberangan dengan tempat ibadah.

    Alun-alun di depan masjid biasanya dimanfaatkan untuk shalat Ied pada waktunya.

    Kemudian tak jauh dari masjid atau sebelahnya terdapat permukiman yang disebut

    Kauman, kampung para santri. Barangkali, karena faktor masjid inilah maka bangunan

    keraton di Jawa selalu menghadap Utara-Selatan, demikian pula pendopo kabupaten pada

    umumnya menghadap Utara atau Selatan, kecuali Pendopo Kabupaten Kediri yang

    menghadap ke Barat.

    Disisi lain, jalan masuk terdapat di tengah-tengah membelah alun-alun. Kemudian pada

    sisi kanan dan kiri selalu ditanami pohon beringin yang berpagar, karena itu masyarakat

    (di Jawa) menyebutnya Ringin Kurung, dan biasanya dikeramatkan serta diberi nama

    Kyai Jayandaru (kemenangan) dan Kyai Dewandaru (keluhuran). Sedangkan sebagian

    masyarakat menyebutnya Ringin Kembar. Sebagai lambang kebesaran, Ringin Kurung

    hanya ada di Keraton dan Kabupaten, sedangkan Kadipaten (meskipun memiliki

    pemerintahan seperti daerah otonom) tidak memilikinya.

    Di tempat itu, pada saat paseban rakyat yang ingin seba (menghadap raja), harus duduk

    menunggu berjemur di alun-alun (dalam Bahasa Jawa disebut pepe) sampai waktunya

    dipanggil jika raja berkenan menerimanya. Rakyat yang pepe adalah rakyat yang akan

    menyampaikan keluhannya atau ingin melaporkan sesuatu langsung kepada raja.

  • Sementara itu, Ringin Kembar mengandung makna atau pesan simbolik bahwa Raja atau

    Bupati bukan sekedar penguasa melainkan juga pengayom (pelindung) bagi rakyatnya.

    Ini hendaknya dibaca dari kanopi pohon beringin yang rindang memberi keteduhan bagi siapapun yang kepanasan terik matahari, sedangkan akar yang tertanam kuat seolah-

    olah menyiratkan kuasa raja yang mengakar pada rakyatnya. Dari sini pula bisa diartikan

    lebih dalam makna keberadaan pohon beringin di alun-alun, sedangkan lapangnya

    (jembar : Jawa) alun-alun menyiratkan kesan seorang penguasa (Raja, Bupati) yang

    berpandangan luas (jembar nalare) sebagaimana konsep kepemimpinan Astabrata.

    Perihal Ringin Kurung, juga memiliki makna dalam model busana, gaya tari, dan gaya

    bahasa. Terdapat perbedaan antara Keraton Surakarta dengan Yogyakarta. serupa tapi

    tak sama. Menurut versi Surakarta, di tengah-tengah alun-alun terdapat dua pohon

    beringin, yakni: Kyai Jayadaru di sebelah Timur dan Kyai Dewadaru di sebelah Barat. Di

    samping itu masih terdapat empat pohon beringin jantan, seperti Kyai Jenggot tumbuh di

    Baratdaya, dan beringin betina Wok di Timurlaut, sementara itu beringin Gung terdapat

    di Tenggara dan beringin Bitur menempati sisi sebelah Baratlaut.

    Tak hanya itu, sejumlah beringin lain juga tumbuh rapat di Jalan Gladhag tak lebih

    sebagai pohon peneduh (Setiadi, dkk; 2001). Tetapi jika menengok versi Yogyakarta, bila

    kita dari Selatan masuk melalui Plengkung Gadhing (Nirbaya) ke komplek keraton, di

    pinggir Alun-alun Selatan, tumbuh dua pohon beringin bernama Wok yang berasal dari

    kata brewok, sedangkan dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun

    menggambarkan bagian tubuh yang rahasia sekali, maka dari itu diberi pagar batu bata,

    namanya Supit Urang, lambang perempuan, sedangkan pagarnya terdapat ornamen buser

    yang melambangkan sifat pemuda-pemudi. Di sisi lain, sebelah Utara terdapat dua pohon

    beringin.

    Selain pohon beringin yang ditanam dengan landasan filosofi pemerintahan, halaman

    Keraton, Kadipaten, dan Kabupaten biasanya juga ditanami pohon yang mengandung

    filosofi hubungan antar sesama, yaitu pohon Sawo Kecik (sawo mini), yang konon

    mengandung pesan agar manusia hendaknya selalu nandur kabecikan (berbuat kebaikan)

    kepada sesama. Bahkan biji buah sawo kecik dijadikan bahan mainan anak-anak masa

    itu, anak-anak lelaki menggunakannya untuk diadu kekerasannya sesama teman

    (ditumpangkan satu di atas yang lain, lantas diinjak sambil dihentakkan dengan tumit),

    sedangkan anak-anak perempuan menggunakannya untuk main dakon (keterampilan

    berhitung dan memindahkan biji kecik dari satu cekungan ke cekungan lain pada

    semacam nampan kayu). Selain itu rindangnya pohon-pohon sawo kecik di halaman

    digunakan sebagai peneduh yang menebar kesejukan. Konon ini pun mengandung pesan

    bagi penguasa agar mampu memberi kesejukan kepada kawulanya.

    Pada masa lampau, alun-alun dapat dikatakan sebagai pusat kemasyarakatan (civic

    centre), di antaranya sebagai tempat upacara kegiatan kerajaan, rekreasi, hiburan, pasar

    malam, kegiatan ekonomi, dan sebagainya; bahkan keberadaan pasar menjadi satu

    kesatuan lokasi dengan alun-alun. Pasar Kabupaten pada masa lalu, selalu berdekatan

    dengan alun-alun (di seberang jalan). Uniknya, pusat kemasyarakatan ini (berlaku bagi

  • Keraton) justru terletak di belakang Keraton (Surakarta dan Yogyakarta), yakni di Alun-

    Alun Lor (Utara), karena Keraton menghadap ke Selatan. Buktinya, Dalem Ageng Praba

    Suyasa sebagai pusat dari seluruh bangunan keraton, jelas menghadap ke arah selatan.

    Ada riwayat yang mengungkapkan: Kyai Tumenggung Wiraguna dumugi alun-alun pengkeran lajeng nyengkal masjid ageng, beteng dalah sedaya griyanipun Kumpeni. Artinya: Kyai Tumenggung Wiraguna, sampai di alun-alun belakang lalu mengukur

    masjid besar, benteng serta loji/rumah Kumpeni. Padahal keseluruhan bangunan itu tidak

    terletak di Alun-alun Kidul (Setiadi, dkk; 2001).

    Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton biasanya menyatu berada di dalam benteng (tembok

    tinggi) sebagai salah satu sistem pertahanan tempo dulu. Ciri ini masih dapat ditemui di

    Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pada Alun-alun Kidul

    biasanya diselenggarakan gladen, latihan perang bagi para prajurit kerajaan secara

    berkala. Pada saat tertentu gladen ini digelar menjadi tontonan masyarakat;

    dipertontonkan keahlian sodoran (pertandingan keterampilan berkuda dan memainkan

    tombak). Kira-kira analog dengan gelar siaga militer pada masa sekarang lengkap dengan pasukan kavaleri untuk unjuk kesiagaan (show of force).

    Ringin Kurung dan Gapura Alun-alun Kidul Yogyakarta 1920 (Dok. Ginong)

    Sodoran atau rampogan

    diadakan di alun-alun tiap

    hari Sabtu atau Senin

    (Seton atau Senenan).

    Rampogan adalah laga

    prajurit beramai-ramai

    melawan seekor macan

    (harimau); macan dirampog

    (Jawa). Di alun-alun pula

    biasanya digelar berbagai

    upacara maupun keramaian,

    seperti upacara Gerebeg, Sekaten, apel prajurit, dan pasar malam. Seperti disebutkan olah

    Adrisijanti, peran alun-alun merambah aspek kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan

    ekonomi. Menariknya, Kisdarjono (2009) menengarai bahwa di Jawa Barat juga terdapat

    alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tetapi alun-alun tersebut tanpa pohon

    beringin. Masjid seringkali terdapat di sebelah Barat alun-alun.

    Alun-alun Kota Bandung tempo dulu pernah menjadi lapangan sepakbola sebelum pindah

    di lapangan Gasibu (di depan Gedong Sate) dan kemudian pindah ke Sidolig. Pada masa

    silam, di seberang Alun-alun Kabupaten Cilacap adalah tempat perantaian, yaitu hukuman kepada orang yang dirantai dan dijemur tak jauh dari penjara (di sebelah Timur

    alun-alun), juga pernah menjadi lapangan olah raga sejumlah sekolah, dan arena

  • kampanye pemilu 1955. Ini juga membuktikan bahwa kala itu alun-alun menyandang

    aneka guna.

    Alun-Alun Sekarang

    Kini alun-alun pada umumnya sudah kehilangan atau ditinggalkan masyarakat, apalagi

    makna filosofi yang terkandung didalamnya. Banyak alun-alun yang sudah tidak lagi

    menampilkan ciri khasnya kecuali letaknya di depan kantor Bupati. Tidak ada lagi Ringin

    Kurung atau Ringin Kembar yang tumbuh di kanan kiri akses jalan masuk kantor Bupati.

    Dua contoh ekstrim, adalah Alun-alun Kota Blitar dan Alun-alun Kota Bandung.

    Dua batang pohon beringin sebagai elemen Alun-alun Kota Blitar dikorbankan demi

    pelebaran jalan karena tuntutan perkembangan lalu lintas. Elemen pohon di dalam

    kawasan alun-alun diubah, tidak hanya pohon beringin, tetapi ditambah dengan pohon

    yang dianggap lebih modern, yakni palem. Pohon baru ini ditanam dalam jumlah yang

    cukup banyak sehingga menimbulkan kesan yang lebih menonjol daripada beringinnya

    (Gunawan, Myra P; 2009). Tidak tahu apa pertimbangannya, maka sejumlah pohon

    beringin di Alun-alun Kota Blitar diganti dengan pohon palem. Tatanan wajah alun-alun

    pun sudah berbeda dibandingkan dengan alun-alun tradisional.

    Bagian dalam Alun-alun Kota Blitar (2009)

    Jalan masuk di antara jajaran pohon palem;

    pohon beringin di dalam kurungan. [Dok. PWK - SAPPK ITB]

    Ringin Kurung yang menjadi ciri suatu

    alun-alun, nampak kehilangan makna.

    Pohon beringin tidak lagi di kanan-kiri

    akses masuk Kabupaten, bahkan pagarnya sangat tinggi, terkesan seperti kurungan (sangkar).

    Zaman dulu, meskipun pohon beringin dipagari, masyarakat dengan bebas dapat masuk.

    Bedanya, pohon beringin tempo dulu dikeramatkan, sedangkan kini hanya dianggap

    sebagai tanaman biasa. Citra Alun-alun Kota Blitar seluas 20.000 m2

    yang dibangun

    pada tahun 1875 juga sudah hilang, hanya meninggalkan sebutan Alun-alun saja. Sudah

    tidak lagi menjadi satu kesatuan jiwa tak terpisahkan dengan fungsi Kabupaten karena

    rancangannya memang tidak berlandaskan filosofi alun-alun, tetapi sudah murni menjadi

    salah satu elemen ruang terbuka kota, tempat aktivitas masyarakat.

    Keadaan serupa juga dialami oleh Alun-alun Kota Bandung. Karena kehilangan makna

    filosofi pohon beringin sudah enggan tumbuh dan memang tidak lagi ditanam karena

    hamparannya sudah dilapisi perkerasan dan berubah fungsi. Alun-alun Kota Bandung

  • bahkan sudah bukan lagi alun-alun, hilangnya Alun-alun Kota Bandung sudah dirasakan

    sejak 1984 (Warpani, Suwardjoko; 1984).

    Alun-alun Kota Bandung sudah bermetamorfosa menjadi elemen ruang terbuka kota,

    menjadi halaman Masjid Agung yang juga berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung.

    Tidak ada lagi ciri-ciri sebuah alun-alun. Citra lapangan pun telah lenyap, padahal alun-

    alun ini pernah menjadi lapangan sepak bola. Di bawah alun-alun dijadikan ruang bawah

    tanah bagi PKL dan fasilitas umum, namun kurang diminati. PKL tetap bertebaran di

    sekitar alun-alun bahkan tak jarang masuk meramaikan isi halaman Mesjid Raya ini.

    Kasus Alun-alun Kota Bandung dan Blitar menunjukkan bahwa nasib alun-alun itu

    berada di tangan pemangku kepentingan, yang saat ini lebih dikenal sebagai Pemerintah

    Kota.

    Karena melupakan filosofi keberadaan sebidang alun-alun serta tergoda oleh suatu

    kepentingan, maka yang dipertimbangkan hanyalah ketersediaan lahan. Pameo yang

    beredar perihal Alun-alun Kota Bandung adalah: Ganti Walikota, diubah wajah alun-alun, seolah-olah di alun-alunlah potret karya bakti seorang walikota. Ada satu lagi: Alun-alun Kota Semarang hilang akibat korban dari kepentingan ekonomi.

    Alun-alun Kota Bandung tahun 1999

    Bukan lagi alun-alun melainkan plasa.

    Oleh karena itu, mau atau tidak

    mau, pemangku otoritas harus

    memiliki pemahaman yang

    komprehensif. Keberpihakan

    kepada kepentingan yang mana

    harus jelas dan konsisten.

    Ujungnya, nasib objek peninggalan

    budaya itu berada dalam

    keputusannya. Untuk

    mengantisipasi proses tarik menarik

    kepentingan itu, mau tidak mau,

    pemangku otoritas harus

    mempelajari juga medan kekuatan

    kepentingan yang akan terlibat

    dalam tarik-menarik itu (Kisdarjono, 2010), tetapi apakah harus melupakan filosofi

    keberadaan suatu elemen kota ?

    Ruang Terbuka Umum

    Ruang terbuka umum sesungguhnya bukan entitas spesifik, melainkan sebuah kategori

    yang berisi banyak varian. Terbuka bisa berarti berada dalam ruang terbuka, bukan dalam

    gedung tertutup, tetapi bisa juga diartikan sebagai terbuka bagi pengunjung umum, dalam

    arti siapa saja bisa masuk. Sebuah pusat perbelanjaan, misalnya, terbuka untuk

    pengunjung umum, walaupun ia berbentuk gedung tertutup. Sebaliknya, lapangan golf

  • berada di udara terbuka, tetapi tidak semua orang bisa masuk, terbatas pada anggota atau

    tamu yang harus membayar (Kisdarjono, 2009).

    Monumen Mayor Bismo di Alun-alun Kediri

    luas 1,5 Ha; umur 150 tahun

    Tak bisa lagi disebut Alun-alun Fungsi saat ini:

    RTH, PKL, upacara; sebagian bekas standplat bis

    OJC sekarang menjadi pertokoan. [Dok. PWK - SAPPK ITB]

    Bagian dalam Alun-alun Madiun

    Jalan berbelok dan tak ada Ringin Kurung

    [Dok. PWK - SAPPK ITB]

    Sebelah timur Alun-alun Madiun; bukan pohon peneduh, melainkan atap parabola

    [Dok. PWK - SAPPK ITB]

    Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya

    menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang

    sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan

    waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi

    sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak

    anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham

    berhak melakukan apa saja.

    Banyak alun-alun yang tidak lagi bisa disebut alun-alun dalam makna tradisional. Alun-

    alun sekarang adalah ruang terbuka umum, namun tidak seharusnya kehilangan makna

    filosifis yang terkandung di dalamnya agar alun-alun masih menunjukkan ikatan budaya

    dengan masyarakat dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan jaman. Alun-alun,

    sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi sebagian anggota masyarakat adalah tempat

  • mencari nafkah. PKL sudah ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai

    pedagang keliling sedangkan sekarang lebih banyak membangun jongko.

    Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran alun-alun sebagai ruang

    terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian, bahkan seharusnya diperkuat

    peran dan fungsinya. Selain berfungsi sebagai taman untuk menghirup udara segar,

    rekreasi bersama keluarga, olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana

    pendidikan.

    Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya, memiliki nilai kesejarahan dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa

    dijual sebagai objek pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak bisa berceritera tentang sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu alun-alun dalam skala Keraton maupun dalam skala

    Kabupaten. Menjadi objek maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang

    terkandung sebagai warisan kekayaan budaya nasional.

  • MRT: Angkutan perkotaan masa depan?

    Oleh:

    Delik Hudalah1) dan Yudistira Pratama2)

    1)Staf pengajar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan,

    ITB 2)

    Peneliti pada Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, ITB

    Apakah itu MRT? MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang

    mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi

    dan kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan

    menjadi beberapa jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorail.

    Bus MRT dapat dibedakan dengan bus angkutan

    biasa dan kendaraan lain karena biasanya

    merupakan shuttle bus yang memiliki rute

    perjalanan tertentu dan beroperasi pada lajur

    khusus, sehingga sering disebut buslane/busway.

    Pemisahan lajur ini dilakukan agar penumpang

    tidak mengalami penundaan waktu perjalanan dan

    tidak terganggu oleh aktivitas moda angkutan lain

    yang melintasi rute perjalanan yang sama. Busway

    sendiri biasanya bervariasi ada yang berbentuk

    ganda (bus gandeng), bus tunggal, dan bus

    bertingkat. MRT jenis busway biasanya lebih banyak dipilih oleh kota-kota di negara

    berkembang karena pengembangannya membutuhkan biaya yang lebih murah

    dibandingkan dengan subway, monorel, ataupun tram. Kota Bogota di Kolombia

    merupakan salah satu contoh sukses penerapan sistem busway.

    MRT dalam bentuk subway pada prinsipnya

    memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta

    api. Namun, konstruksi teknisnya terdapat

    perbedaan karena subway terletak di bawah

    tanah (underground) tetapi stasiun-stasiunnya

    langsung terhubung ke lokasi pusat kegiatan. Di

    Eropa Barat, subway merupakan salah satu moda

    angkutan yang sangat populer dan seringkali

    dikenal dengan istilah metro system. Kota

    London merupakan kota pertama yang

    menerapkan sistem subway sebagai moda angkutan massal berkecepatan tinggi pada

    tahun 1863.

    Bogota, kota yang berhasil mengembangkan

    busway

    London, kota pertama yang

    mengembangkan subway

  • Tram merupakan bentuk MRT dengan moda angkutan mirip dengan kereta api, tetapi

    jalur operasinya dapat terintegrasi dengan jalan raya. Tram dapat ditemukan di hampir

    semua kota menengah dan besar di Eropa dan di beberapa kota besar di Amerika. Tram

    pertama kali diperkenalkan pada tahun 1807 di Inggris dan merupakan bentuk awal MRT

    di dunia. Dalam operasionalnya, dikenal dua jenis tram: (1) tram yang jalur operasinya

    menyatu dengan jalur lalu-lintas kendaraan; dan (2) tram yang memiliki jalur operasional

    tersendiri yang dikenal dengan istilah light rail.

    Monorail merupakan MRT yang memiliki jalur tertentu dan biasanya tidak mengambil

    ruang kota yang luas. MRT jenis ini biasanya memiliki jalur di atas jalan raya dan yang

    ditopang dengan tiang-tiang yang sekaligus berfungsi untuk membentuk lintasan

    monorail. Berbeda dengan MRT lainnya, monorail biasanya hanya terdiri atas satu rute

    dengan sistem lintasan loop dengan beberapa stasiun pemberhentian yang

    menghubungkan dengan MRT lainnya maupun langsung ke lokasi kegiatan tertentu.

    Penggunaan monorail sudah banyak dikembangkan di kota-kota metropolitan di dunia

    antara lain Moskow, Tokyo, dan Sydney.

    Di mana MRT sukses diterapkan?

    Konsep MRT sudah banyak diterapkan di kota-kota besar di negara maju maupun negara-

    negara berkembang. Biasanya, MRT merupakan bagian dari implementasi sistem

    transportasi umum terpadu, yaitu sistem transportasi yang mampu menghubungkan orang

    dan barang dari satu titik ke titik lain secara efisien dan memiliki kemudahan dalam

    melakukan perpindahan dari satu moda ke moda lain (modal shift) tanpa mengurangi

    waktu tempuh perjalanan. Pengembangan yang terpadu akan menjadikan MRT tidak

    hanya berfungsi sebagai sarana angkutan yang efisien, tetapi juga instrumen yang handal

    untuk mengarahkan perkembangan kota besar.

    Salah satu negara tetangga terdekat yang sukses dalam mengembangkan MRT sebagai

    sistem terpadu ini adalah Singapura. MRT di Singapura sudah dapat dikatakan sebagai

    urat nadi pertumbuhan ekonomi dan daya tarik investasi. MRT yang dikembangkan di Singapura terdiri busway dan monorail. Terdapat empat jalur monorail MRT di

    Singapura dan semuanya saling terhubung antara satu dengan yang lainnya sehingga

    penumpang dapat mengakses seluruh bagian negara Singapura dengan mudah. Selain itu,

    sistem ini juga terhubung dengan sistem busway sehingga memudahkan penumpang

    untuk mengakses lokasi yang tidak terhubung oleh sistem monorail.

    Monorail di Singapura memiliki 87 stasiun

    dengan panjang lintasan keseluruhan

    sepanjang 129,7 km. Kemudahan lain dari

    MRT ini ialah adanya sistem fares and

    ticketing yang mudah dan murah. Sistem

    pembayaran tiket dilakukan dengan

    mempergunakan kartu prabayar yang sudah

    terisi sejumlah uang maupun uang logam.

    Singapura, negara yang berhasil

    mengembangkan monorail

  • Keunggulan sistem ini ialah penumpang hanya perlu satu kali membayar pada saat masuk

    sehingga memberikan kemudahan untuk pindah lintasan, pindah moda, maupun keluar

    menuju tujuan akhir. Sistem ini dikoordinasikan secara terintegrasi oleh suatu perusahaan

    yang khusus menagani masalah fare and ticketing MRT di Singapura.

    Contoh sukses lainnya adalah pengembangan Busway TransMillenio di Kota Bogota

    Columbia. Pengembangan tahap pertama dilakukan dari tahun 1999 sampai dengan 2002

    yang meliputi 470 bus dalam jalur sepanjang 41 km. Pengembangan TransMillenio tahap

    dua dilakukan pada tahun 2002 sampai dengan 2006 dengan penambahan untuk lahan

    ruang terbuka dan pedestrian, serta pengembangan sistem pengelolaan. Unsur utamanya

    pengembangan armada berkapasitas tinggi, pembangunan jalur busway, dan stasiun

    pemberhentian. Hingga saat ini, kapasitas pelayanan TransMillenio Busway merupakan

    yang terbesar di dunia karena mampu melayani kebutuhan perangkutan penumpang

    sekitar 35-40 ribu penumpang per jam. Untuk mempermudah proses ticketing, pihak

    pengelola memberlakukan sistem smart card dimana pengguna hanya perlu mengisi kartu

    dengan sejumlah nilai uang untuk mendapatkan layanan busway. Jalur busway dibuat dua

    lajur, sehingga memungkinkan bus lain untuk menyalip jika bus yang ada di depannya

    sedang berhenti.

    Suatu keniscayaan Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan

    perangkutan memiliki peran penting

    dalam menggerakkan perekonomian kota-

    kota besar di Indonesia. Permintaan akan

    perangkutan akan semakin meningkat

    seiring dengan pertumbuhan permintaan

    akan barang dan jasa. Permintaan layanan

    perangkutan juga akan semakin

    meningkat seiring dengan semakin

    besarnya jumlah penduduk. Karena ruang

    yang terbatas, kota-kota besar seperti

    Jakarta tidak mampu memenuhi tingginya permintaan pergerakan penduduk hanya

    melalui penambahan jalan dan angkutan umum berkapasitas kecil. Akibatnya terjadi

    penurunan tingkat pelayanan jalan pada ruas-ruas tertentu di mana pergerakan kendaraan

    menjadi tersendat (fenomena bottleneck). Kondisi tersebut semakin parah dengan

    munculnya emisi kendaraan yang dapat menimbulkan gangguan kondisi kesehatan dan

    penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, lamanya waktu yang dihabiskan di jalan dapat

    menimbulkan dampak psikologis berupa penurunan ketidakstabilan emosi dan dampak

    ekonomis berupa penurunan tingkat produktivitas kerja.

    Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan

    perangkutan di kota-kota besar tersebut. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya

    mengangkut penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai

    situasi. Dengan mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena

    penggunaan kendaraan pribadi dapat diminimalisasi.

    Kemacetan telah menjadi keseharian di

    kota besar seperti Jakarta

  • Kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), dan busway yang sudah dikembangkan

    di kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai

    sarana transportasi massal. Namun, di berbagai kota, ketiganya belum dapat sepenuhnya

    dikategorikan sebagai MRT karena belum memenuhi kriteria sebagai sarana transportasi

    yang benar-benar cepat dan handal dalam segala situasi.

    Berangkat dari permasalahan lingkaran setan kemacetan di Ibukota Negara, busway

    misalnya telah menjadi pilihan angkutan umum massal dan telah direalisasikan dalam

    waktu yang relatif cepat sehingga mampu mengalahkan sistem angkutan berbasis rel

    (KRL) yang sudah ada di Jakarta. Perlu dicatat bahwa hadirnya busway ini tidaklah

    dimaksudkan untuk menghilangkan penggunaan kendaraan pribadi tetapi sebagai suatu

    usaha untuk menyeimbangkan antara supply dan demand transportasi. Busway

    diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan jalan yang sudah ada dengan cara

    mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat tidak seimbangnya antara kecepatan

    penambahan jalan dengan kecepatan pertumbuhan penggunaan kendaraan. Pada proyek

    sebelumnya, DKI Jakarta berencana membuat monorel tetapi proyek tersebut belum

    terealisasi hingga sekarang karena terkendala penyediaan dana.

    Pengembangan MRT di beberapa kota terbesar di Indonesia, khususnya di Jakarta, dapat

    dikatakan cukup telat dan kurang antisipatif karena dilakukan setelah situasi terdesak

    akibat semakin parahnya tingkat kemacetan. Padahal, kinerja penataan ruang kota besar

    dapat dilihat diantaranya dari berhasil tidaknya penerapan MRT di kota tersebut.

    Memang lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Namun, sebagai konsekuensinya,

    kita harus siap menanggung biaya sosial yang sangat mahal. Beberapa ide pengembangan

    MRT seperti busway di luar Jakarta dapat dikatakan cukup antisipatif dengan belajar dari

    keterlambatan yang pernah dialami Jakarta. Namun, ini masih merupakan inisiasi dari

    atas, belum asli berasal dari prioritas pemerintah lokal. Padahal yang akan merasakan

    langsung manfaat MRT adalah pemerintah dan masyarakat lokal, bukan pemerintah

    pusat.

    Rencana pembangunan subway melalui PT MRT Jakarta dapat menjadi terobosan

    mutakhir dalam pengembangan sistem angkutan massal, khususnya perkeretaapian, di

    Indonesia. Dengan menawarkan kenyamanan, kecepatan dan kapasitas angkut yang yang

    lebih besar, MRT berbentuk subway dapat menjadi moda transportasi yang sangat dinanti

    untuk keberlanjutan sistem transportasi di Indonesia di masa depan. MRT ini

    direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2016. Proyek MRT Jakarta yang akan

    dibangun membentang dari Lebak Bulus di Jakarta Selatan dan Dukuh Atas di Jakarta

    Pusat sepanjang 14,5 km. Empat kilometer diantaranya (4 stasiun) dibangun di bawah

    tanah dan 10,5 km dibangun melayang di atas jalan (8 stasiun). Proyek ini adalah tahap 1

    dari rencana 3 tahap pembangunan MRT di Jakarta. Tahap 2 adalah dari Dukuh Atas ke

    Kota; dan tahap 3 adalah jalur Timur-Barat. Untuk pembangunan Tahap 2 dan tahap 3

    saat ini sedang dalam pembuatan feasibility study.

  • Rencana Pembangunan MRT di DKI Jakarta

    Benturan gaya hidup

    Serba Salah

    NafaskuTerasaSesak

    BerimpitanBerdesakkan

    Bergantungan

    MemangSusah

    JadiOrangYangTakPunya

    Kemanapun Naik Bis Kota

    Penggalan lirik di atas berasal dari salah satu lagu Achmad Albar yang cukup populer di

    tahun delapan puluhan. Penggalan tersebut sebenarnya merefleksikan pandangan umum

    masyarakat kita terhadap angkutan umum massal. Di Indonesia, kendaraan umum,

    apalagi yang sifatnya massal, seringkali diidentikkan dengan kendaraan untuk orang

    miskin. Jika tidak ditanggulangi, cara pandang yang keliru seperti ini dapat menjadi

    momok bagi pengembangan MRT sebagai angkutan publik masa depan.

    Masyarakat Indonesia pada umumnya

    masihberpandangan bahwa menggunakan

    kendaraan pribadi merupakan simbol

    yang dapat secara efektif menunjukkan

    kekayaan, status sosial, dan martabat

    seseorang. Cara pandang ini tidak

    terlepas dari berkembangnya perilaku

    Menerobos lintasan kereta api merupakan

    perilaku yang membahayakan keselamatan

  • konsumerisme dan individualisme yang telah lama menggantikan norma kesederhanaan,

    tenggang rasa, dan kesetiakawananan sosial yang dulu dikenal sebagai Adat Timur.

    Globalisasi yang ditunjukkan dengan derasnya impor gaya hidup liberal dari negara-

    negara maju telah mengisi norma baru dalam masyarakat. Misalnya melalui film-film dan

    produk-produk yang mengedepankan konsumerisme dan gengsi. Gemerlap kehidupan

    artis papan atas Hollywood yang tinggal di rumah-rumah mewah di kawasan pinggiran

    telah menjadi acuan puncak kualitas hidup yang mengedepankan sisi materi. Kegiatan

    melaju dengan menempuh jarak yang jauh dan sangat tergantung dengan penggunaan

    kendaraan pribadi telah menjadi gaya hidup tersendiri.

    Di Indonesia, angkutan umum khususnya

    massal tidak hanya belum digemari

    masyarakat, bahkan masih dianggap

    sebagai salah satu biang persoalan

    perkotaan. Jika ada kecelakaan di pintu

    rel, seringkali yang disalahkan adalah

    perusahaan kereta api karena dianggap

    tidak mampu menjamin keamanan

    pengendara mobil atau, yang lebih parah

    lagi kereta api itu sendiri sudah dicap

    sebagai angkutan yang membahayakan

    keselamatan masyarakat. Baru-baru ini,

    pola pikir yang terbalik seperti ini juga diterapkan dalam menyikapi beberapa kecelakaan

    akibat menyebrang jalan pada lintasan busway di Jakarta. Atau persoalan keseharian, jika

    kita mengendarai kendaraan pribadi melewati kemacetan, maka kita cenderung lebih

    menyalahkan bus atau angkutan kota sebagai sumber utama kemacetan karena

    pemngemudinya sering menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan.

    Mungkin pola pikir seperti ini

    pulalah yang secara berangsur telah

    menyebabkan punahnya tram yang

    dulu pada zaman pendudukan

    Belanda cukup diandalkan sebagai

    sarana angkutan massal di kota-kota

    besar seperti Jakarta dan Semarang.

    Kondisi ini sungguh ironi karena di

    negara-negara asalnya pemerintah

    justru rela menggelontorkan subsidi

    dalam jumlah yang besar untuk

    menjamin kelangsungan hidup tram ini.

    Pengembangan MRT yang harmonis dan berkelanjutan haruslah berangkat dari gerakan

    budaya. Kesadaran untuk beralih ke MRT sebaiknya tidak sekedar karena keterpaksaan

    tetapi menjadi gaya hidup baru sehingga penerapannya akan menjadi mudah. Sebelum

    MRT berkembang, warga Eropa Barat dan Cina terkenal sebagai pecinta sepeda, sebagai

    cerminan moda transportasi yang sederhana dan ramah lingkungan. Dengan modal

    Tram melewati kawasan Glodok,

    Jakarta pada tahun 40an

    Menggunakan jalur busway merupakan

    perbuatan yang melanggar tata tertib lalu lintas

  • budaya seperti ini, tidaklah terlalu sulit bagi pemerintah untuk memperkenalkan MRT,

    sebagai moda transportasi masa depan, kepada masyarakatnya.

    Rekomendasi: Membudayakan MRT

    Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap

    MRT? Pertama, penerapan MRT yang sukses sebagai gerakan budaya memerlukan

    kepemimpinan yang kuat. Ini tidak serta merta dapat dimaknai dengan pemimpin yang

    otoriter. Pemimpin yang diperlukan adalah yang dapat menjadi teladan yang baik bagi

    masyarakatnya. Pemerintah misalnya dapat melakukan gerakan pejabat naik kendaraan

    umum. Para pejabat juga seyogyanya memberikan contoh dengan tinggal pada jarak dan

    lokasi permukiman yang masih memungkinkan untuk dapat diakses dengan kendaraan

    umum.

    Upaya-upaya terobosan yang cukup kreatif yang dapat secara tidak langsung menunjang

    pengembangan MRT pun perlu terus dikembangkan. Misalnya, program car free day di

    ruas-ruas jalan tertentu seyogyanya jangan hanya dipandang sebagai program populis

    atau sekedar memindahkan simpul kemacetan. Sebaliknya, program seperti ini, terlepas

    dari berbagai keterbatasannya, perlu diapresiasi dan didukung karena secara bertahap

    dalam jangka panjang dapat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan

    masyarakat akan gaya hidup yang lebih efisien, sehat, dan ramah lingkungan.

    Kedua, penerapan MRT yang berkelanjutan memerlukan koordinasi antar sektor dan

    antar tingkat pemerintahan. Peningkatan penggunaan kendaraan umum oleh masyarakat

    luas akan lebih realistis jika diiringi dengan mekanisme disinsentif bagi pengguna

    kendaraan pribadi dan insentif bagi pengguna kendaraan umum. Pemerintah perlu secara

    konsisten mengelola dampak industri kendaraan melalui misalnya penerapan pajak yang

    tinggi dan subsidi BBM yang lebih selektif. Sebagai kompensasinya, pemerintah dapat

    mengalihkan dana yang ada untuk pengembangan infrastruktur massal dan penunjangnya.

    Pembangunan rel kereta api misalnya menjadi prioritas sehingga tidak terlalu tergantung

    dengan jalan tol.

    Ketiga, seringkali kendala yang dihadapi bukanlah pada kualitas pelayanan MRT, tetapi

    fasilitas penunjangnya. Untuk itu, dalam kerangka pengembangan MRT yang terpadu,

    pemerintah harus mulai memikirkan misalnya sarana angkutan feeder (antara) yang

    handal yang dapat menghubungkan rute MRT dengan pusat-pusat permukiman.

    Pemerintah juga perlu memperbaiki jalur-jalur pejalan kaki yang menghubungkan halte-

    halte dengan pusat-pusat kegiatan.

    Dalam jangka panjang, pengembangan pusat-pusat permukiman maupun pusat-pusat

    kegiatan baru di suatu kota perlu terintegrasi dengan master plan MRT. MRT sebagai

    sarana angkutan skala perkotaan juga perlu lebih terintegrasi dengan sistem transportasi

    skala wilayah maupun nasional. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan

    mengembangkan simpul-simpul penghubung antar-moda seperti pengembangan halte

    MRT yang dipadukan dengan pengembangan lokasi terminal bus, stasiun kereta api, atau

    bahkan bandar udara dan pelabuhan. Lebih jauh lagi, sistem pembayaran sebaiknya

  • memanfaatkan teknologi otomatis seperti kartu prabayar atau chip dan sebaiknya dapat

    terintegrasi dengan moda angkutan umum lain sehingga lebih efisien bagi pengguna.

    Keempat, pengembangan MRT yang tangguh harus bertahap dan memperhatikan dampak

    sosial selama proses transisi. Pengembangan MRT sebaiknya dimulai dengan yang

    sederhana seperti busway. Lalu, seiring dengan bertambah rumitnya sistem pergerakan di

    suatu kota, program berikutnya dapat melibatkan moda yang lebih rumit pula seperti

    monorail, tram, atau subway.

    Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan MRT berkonsekuensi pada

    pengurangan lapangan kerja sektor transportasi kota karena operasinya relatif lebih padat

    modal. Pemerintah harus memikirkan proses adaptasi dan pengalihan sebagian tenaga

    kerja dan pengusaha sektor transportasi secara bertahap melalui peningkatan kapasitas,

    bantuan permodalan, ataupun penyediaan lapangan kerja baru.

  • Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau

    untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

    Oleh:

    Catrini Pratihari Kubontubuh

    Direktur Eksekutif BPPI dan Executive Committee for International of National Trusts

    Organisation Asian Region serta bekerja di Bank Dunia - Jakarta sebagai tim Social Safeguard

    Ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang telah berkembang

    menuntut adanya penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan

    partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan

    (Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang)

    I. Pendahuluan

    Tantangan dalam melakukan penataan

    ruang sebuah Kota Pusaka saat ini

    adalah bagaimana merumuskan

    langkah strategi penataan ruang kota

    dalam sinergi kegiatan pelestarian yang

    tepat. Tidak hanya melibatkan

    kebijakan/keputusan dan berbagai

    bentuk advokasi maupun mitigasi

    terkini, namun penting

    mempertimbangkan kota dalam

    peradabannya di masa lampau.

    Salah satunya adalah dengan mempelajari tipologi perkembangan sebuah kota, yang

    tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh-pengaruh bentuk tata ruang

    kota, perbedaan-perbedaannya serta menemukenali kearifan lokal yang bisa diterapkan

    di masa kini.

    Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang besar yang terwujud

    dan berisikan keragaman pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta

    saujana (Adishakti, 2008). Walau kota-kota di Indonesia banyak yang memiliki

    kelimpahan keragaman pusaka, tetapi klasifikasi sebagai kota pusaka (atau sebutan lain

    kota bersejarah, kota warisan, ataupun kota cagar budaya) baru mulai dipakai setelah

    Konferensi Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia di Surakarta bulan Oktober 2008 yang

    berhasil membentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI/Indonesian Heritage Cities

    Network).

  • Terminologi Kota Pusaka dipakai untuk mendefinisikan sebuah bentuk kota yang menempatkan penerapan kegiatan pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama

    pengembangan kotanya. JKPI hingga kini telah beranggotakan 33 kota pusaka,

    termasuk DI Yogyakarta. Inisiatif pembentukan jaringan ini merupakan sebuah upaya

    strategis untuk membantu penataan ruang kota berbasis pelestarian dalam berbagai kota

    yang sarat dengan kekentalan tradisi dan keragaman pusaka yang dimilikinya.

    II. Pemahaman Sejarah Perkembangan Kota

    Pemahaman sejarah memiliki kandungan akan sesuatu yang tetap yang perlu dipertahankan, bukan berarti tidak bisa menerima perubahan, walau memang ada yang

    tidak boleh diubah sama sekali. Pembangunan masa depan secara berkelanjutan

    hendaknya mampu menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dengan

    dinamika zaman secara terseleksi. Termasuk menjadi alat dan modal untuk

    pengembangan budaya dan ekonomi. Apresiasi dan rasa yang dimiliki insan di bumi

    terhadap pusaka yang ada menjadi kekuatan utama mencapai tujuan tersebut. Sehingga

    perkembangan kota merupakan manifestasi dari upaya manusia mengembangkan

    peradaban yang dimilikinya di masa lalu.

    Studi sejarah kota di Indonesia meliputi pengenalan konsepsi, struktur dan bentuk kota

    sebelum zaman kolonial yang didominasi oleh sistem kerajaan. Kota Daerah Istimewa

    Yogyakarta (DIY) merupakan kota yang berperan penting dalam menentukan

    perkembangan sejarah Jawa. Pusat kerajaan di masa lampau merupakan tempat

    pemusatan hampir seluruh aspek kehidupan kota baik tata ruang, arsitektur dan

    aktivitas masyarakatnya. Dalam hal ini pusat kerajaan berarti sebuah wilayah kota yang

    melingkupi keraton serta kompleksnya yang berada di dalam tembok benteng yang

    mengelilinginya (Santoso, 2008). Dimensi ruang kota sudah terbentuk di masa tersebut

    dengan pola catur pathus yaitu pusat kota berupa alun-alun dengan bagian sebelah utara

    adalah lapangan bubat, sebelah timur adalah tempat persembahyangan, sebelah selatan

    adalah keraton, dan sebelah barat adalah kompleks pemukiman. Salah satu instrumen

    yang kuat dalam sejarah perkotaaan adalah pengaturan teritorial, ruang dan bangunan

    berdasarkan konsepsi kosmografis serta kaidah penataannya.

  • III. Pengembangan Kota di Masa Lampau dan Masa Kini

    Salah satu bentuk penanganan pengelolaan Kota Pusaka adalah dengan pelaksanaan

    revitalisasi kawasan-kawasan pusaka yang berada di kota-kota tersebut. Revitalisasi

    kawasan pusaka adalah upaya mengembalikan dan meningkatan vitalitas kawasan yang

    memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Walau seringkali revitalisasi masih diartikan

    dengan tidak tepat sebagai memperindah fisik kawasan semata, tanpa memikirkan

    pemanfaatan baik dari segi sosial, budaya dan ekonomi.

    Langkah awal untuk menunjang upaya revitalisasi adalah registrasi dan dokumentasi

    semua pusaka yang dimiliki sebuah kota baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka

    maupun pusaka rakyat. Berbagai sektor perlu diajak bersama-sama memahami,

    mengamati, mengkaji berbagai aset pusaka di daerahnya, serta mendalami potensi dan

    hambatan yang dihadapinya.

    Selain itu, berbagai sektor dalam pemerintah kota perlu diajak menggarap kawasan

    pusaka di daerahnya, meninjaunya dari berbagai aspek, dan mencoba menyepakati

    kebijakan dan program yang optimal serta langkah apa yang perlu diambil.

    Dalam hal ini dibutuhkan kreativitas dan pemahaman realistik dalam mengembangkan

    program dan pencapaiannya. Termasuk perencanaan mengenai peraturan/panduan serta

    sarana yang diperlukan misalnya, pengembangan organisasi, penyediaan SDM,

    perlengkapan operasional, anggaran, promosi dan sebagainya. Pemerintah kota juga

    perlu mengembangkan kerjasama antar kota/kabupaten, dalam sinkronisasi kebijakan

    dan pengembangan program bersama terutama diantara para anggota JKPI.

    Dalam kenyataan, mengelola suatu lingkungan pusaka, apapun bentuknya saujana, kota, desa, kawasan, area akan menyangkut persoalan kepekaan, selera dan kreasi pengelolanya terhadap pusaka-pusaka yang dimiliki wilayahnya (Adishakti, 2008). Bila

    ditelaah, persoalan kepekaan menjadi dasar penting dalam prinsip tersebut. Ketika

    melakukan inventarisasi berbagai pusaka yang ada diperlukan kepekaan dalam

    menelaah dan menetapkan apa saja yang masuk dalam klasifikasi pusaka. Demikian

    pula dalam proses yang sistematik untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian suatu

    aset pelestarian, termasuk dalam mengelola keterlibatan masyarakat. Kemudian juga

    dengan prinsip bahwa pelestarian pusaka itu unik. Untuk dapat memahami keunikan ini

    kepekaan adalah kuncinya.

    Selera dan kreasi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkah ketika menindak

    lanjuti hasil identifikasi dan melaksanakan proses sistimatik pelestarian beserta

    perencanaan selanjutnya. Memadukan antara pelestarian pusaka dan pembangunan

    ekonomi sebenarnya adalah pilihan dari pengelola kota dan daerah. Bila memiliki

    selera memadukannya dan mampu berkreasi, prinsip universal tujuan pelestarian

    terpadu dapat diikuti. Demikian pula dalam kewenangan penentu kebijakan dalam

    menata keuangan dan peraturan yang menunjukkan keberpihakan pada pelestarian

    pusaka yang komprehensif.

    Arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan

    pusaka. Dalam hal ini aspek legal yaitu UU No. 5 tahun 1992 dan revisinya belum

  • secara optimal dapat mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah disain arsitektur

    pusaka. Demikian pula undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang

    Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan

    gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu

    sendiri hingga kini belum diterbitkan. Undang Undang 26/2007 tentang Penataan

    Ruang telah menyertakan Perencanaan Persiapan Resiko Bencana untuk Pusaka. DI

    Yogyakarta sangat rentan terhadap bencana alam. Sudah saatnya perencanaan tata

    ruang dan bangunan kota pusaka mengantisipasi pula persoalan resiko bencana untuk

    pusaka.

    .

    IV. Pengembangan Yogyakarta sebagai Kota Pusaka

    Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan lingkungan pusaka masih

    merupakan hal yang relatif baru. Konsentrasi yang sudah dijalankan lebih pada

    persoalan pusaka tunggal atau beberapa pusaka dengan perwujudan yang sama.

    Di Indonesia, indikator kota pusaka apakah dikelola dengan benar, dapat dicermati dari

    sistem pengelolaan dan aspek legal yang melindunginya. Sistem pengelolaan ini dapat

    ditunjukkan dengan:

    - Apakah daftar pusaka kota yang telah ditetapkan oleh kota itu sendiri telah dimiliki?

    - Adakah dinas khusus pemerintah kota yang menangani pusaka kota baik fisik maupun non fisik?

    - Adakah kebijakan untuk investasi pusaka, karena pada dasarnya banyak komponen kota pusaka yang membutuhkan investasi bagi pengembangannya yang tepat?

    Dengan adanya undang-undang otonomi daerah, sebenarnya pengelola kota memiliki

    kewenangan untuk mengembangkan aset pusakanya secara mandiri. Hal ini juga

    menjadi indikator yang kuat akan ada dan tidaknya kepedulian kota terhadap

    pusakanya. Termasuk selera dan tingkat kreasi pengelola kota tercermin dengan

    langkah-langkah pengelolaannya.

    Beberapa penanganan pelestarian kawasan menunjukkan bahwa kepekaan dan

    kreativitas terhadap pusaka tunggal tidaklah cukup. Perlu dikembangkan kerjasama

    dalam menangani keragaman pusaka dalam kawasan secara komprehensif. Pendekatan

    holistik dalam pelestarian kawasan ini sangat diperlukan, bahkan di dalam menghadapi

    kegiatan pemulihan kawasan akibat bencana sekalipun.

    Bencana yang merupakan ancaman dapat menjadi sebuah peluang. Namun peluang

    tersebut memerlukan kreativitas. Dan, kreasi ini perlu kolaborasi. Contoh pemulihan

    Kawasan Pusaka Kotagede pasca gempa 2006 yang sedang dilakukan dan hasilnya

    masih belum dapat dilihat. Menangani bangunan tradisional saja di kawasan yang

    memiliki keragaman pusaka tidak akan memberikan dampak yang berarti. Ekonomi

    lokal yang tergantung pada pengembangan pusaka budaya non-tangible seperti

    makanan, kerajinan perlu dihidupkan bersamaan dengan wadah fisiknya. Kenyataan

  • menunjukkan kawasan pusaka di Daerah Istimewa Yogyakarta dan umumnya di

    Indonesia masih belum menjadi bagian dari pembangunan daerah.

    Menurut Adishakti, ada beberapa indikator yang mendukung kesimpulan ini. Pertama,

    belum ada aspek legal yang tepat untuk melindunginya. Revisi Undang-undang No. 5

    tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yaitu UU no. 12 tahun 2010 diharapkan mulai

    mengakomodasi persoalan kawasan. Di sisi lain pengelolaan pelestarian kawasan

    pusaka bukanlah bertujuan untuk mengawetkan/preservasi kawasan tersebut. Kawasan

    pusaka perlu dapat terus tumbuh dan berkembang mengikuti zaman, namun tetap harus

    memperhatikan proteksi dan kesinambungan pusaka-pusaka di dalam teritori kawasan.

    Perlu kita cermati. Perda Propinsi DIY No. 11 tahun 2005 tentang Pengelolaan

    Kawasan Cagar Budaya. Tepatkah penggunaan terminologi Kawasan Cagar Budaya?

    Kedua, tentang aspek kelembagaan yang perlu mengakomodasi berbagai persoalan

    pelestarian pusaka maupun umum secara komprehensif dan sistematik dalam

    mengelolanya. Suatu kawasan perlu pengelolaan dari banyak sektor. Sementara pusaka

    di dalam kawasan yang kemudian membentuk kawasan pusaka juga terdiri banyak aset

    mulai dari pusaka alam, pusaka budaya tangible dan intangible, serta pusaka saujana.

    Sudahkah kelembagaan di DIY mencerminkan hal tersebut?

    Ketiga, pengelolaan pelestarian kawasan pusaka mensyaratkan adanya regristasi dan

    dokumentasi semua pusaka yang dimilikinya baik alam, budaya maupun saujana, adi

    pusaka maupun pusaka rakyat. Registrasi ini harus terus diperbaharui dan menjadi

    acuan dalam perencanaan pembangunan daerah maupun informasi terbuka kepada

    publik luas dan masyarakat. Sudahkah registriasi yang selalu diperbaharui dilakukan?

    Dimanakah di DIY lembaga yang secara terpadu melakukan hal ini?

    Keempat, sudahkah ruang lingkup perencanaan kawasan menyertakan keseluruhan

    pusaka kawasan yang dimiliki sebagai bagian yang tidak terpisahkan baik dalam

    penataan ruang maupun bangunan, termasuk Perencanaan Persiapan Resiko Bencana

    untuk Pusaka.? Kenyataan menunjukkan pula bahwa pelestarian pusaka tidak

    terakomodasi dalam UU RI No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

    Gempa Jogja tahun 2006 dan pemulihan Kawasan Pusaka Kotagede justru telah

    membangunkan banyak pihak akan terpinggirkannya persoalan pusaka dalam

    pembangunan daerah.

    Kelima, arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi

    kawasan pusaka. Kembali di sini aspek legal untuk mengakomodasi pemanfaatan

    kembali dan olah disain arsitektur pusaka dipertanyakan. UU No. 12 Tahun 2010

    tentang Cagar Budaya sangat diharapkan dapat digunakan untuk melingkupi bangunan

    pusaka yang dalam upaya pelestariannya perlu seleksi mana yang harus diawetkan

    mana yang bisa dibongkar atau ditambah baru. Demikian pula undang-undang yang

    lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula

    peraturan untuk pelestarian bangunan gedung, namun pedoman teknis pelaksanaan

    untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini belum diterbitkan.

    Keenam, pelestarian pusaka pada dasarnya adalah pengelolaan perubahan. Kesuksesan

    pengelolaan perubahan selain didasari peraturan juga ditentukan oleh sumber daya

    manusia pengelolanya. Seberapa banyak eksekutif dan legislatif memiliki kompetensi

    di bidang pelestarian pusaka yang holistik dan komprehensif?

  • MENDAMBAKAN KOTA LAYAK ANAK KOTA DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN RUANG BERMAIN ANAK

    Oleh:

    DR. Seto Mulyadi

    Ketua Komisi Perlindungan Anak

    Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, di dalamnya terdapat anak-

    anak yang menyimpan banyak potensi. Mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan

    yang diharapkan bisa membawa bangsa Indonesia menuju pada kemajuan. Karena di

    antara jutaan anak-anak Indonesia, ada calon-calon pemimpin yang akan mengelola

    negeri ini. Namun sampai saat ini penghargaan dan pemenuhan kebutuhan untuk anak-

    anak di Indonesia sendiri masih harus terus ditingkatkan.

    Pemerintah kini telah menjamin hak-hak dan kewajiban anak-anak Indonesia melalui

    Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-

    undang itu, terdapat pasal yang berbunyi, setiap anak berhak untuk beristirahat dan

    memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan

    berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan

    diri. Selain itu, di pasal lainnya disebutkan bahwa anak-anak Indonesia berhak

    memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.

  • Pemerintah terus berusaha untuk mengakomodir kebutuhan anak-anak Indonesia

    sesuai yang diamanatkan Undang-undang Perlindungan Anak Indonesia itu. Untuk

    mewujudkan tuntutan pasal yang telah disebutkan tersebut, maka perlu diciptakan sarana

    dan kawasan yang memang diciptakan untuk kawasan bermain anak. Perlu diakui

    hampir di setiap kota di Indonesia masih sangat minim sekali ketersediaan ruang publik,

    khususnya taman bermain. Yang dimaksud dengan taman bermain anak adalah, anak

    masih sangat kekurangan ruang bermain anak. Taman-taman bermain dengan udara yang

    lepas kini harus berbagi tempat dengan mall dan real estat. Lebih kepada kepentingan

    komersial dengan akses terbatas, hanya untuk kalangan ekonomi menengah ke atas

    Fenomena seperti ini mengundang keprihatinan Ketua Komisi Nasional Anak, Seto

    Mulyadi yang lebih dikenal dengan nama Kak Seto. Menurut Kak Seto, kawasan bermain

    yang sudah ada dan berkembang saat ini, seperti di mall dan taman- taman bermain,

    bukanlah sebuah konsep yang ideal bagi sebuah kawasan ruang bermain anak. Kawasan

    itu, selain komersial, menurut Kak Seto juga sangat diskriminatif, karena hanya

    kalangan yang berekonomi kecukupan yang bisa mengakses kawasan bermain anak

    semacam itu. Cenderung lebih mengutamakan unsur bisnis dan kurang sekali menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak untuk bermain, tekannya.

    Kepentingan bisnis itu, dalam pandangan Kak Seto tampak pada rancang bangun Mall

    yang hanya memenuhi kebutuhan untuk belanja. Padahal semua anak membutuhkan

    udara udara segar dan tempat lapang, sehingga anak-anak bisa berlari-lari dan berkejar-

    kejaran. Itu sangat bagus bagi pertumbuhan fisiknya dan baik pula untuk perkembangan jiwanya. Bebas lepas dan lebih kreatif! tegas Kak Seto.

    Dalam pandangan pemerhati dan pencinta anak ini, konsep taman bermain anak yang

    bergabung dengan kawasan pertokoan seperti di atas belum bisa dikatakan sebagai taman

    bermain yang ideal. Tempat bermain itu, menurut pandangan ideal Kak Seto, sebaiknya

    berupa tempat lapang dengan udara sega