BUKU REGULASI LINGKUNGAN KESEHATAN Dan INFRASTRUKTUR Kumpulan Regulasi Terkait Air Minum Dan...
-
Upload
iiq-srie-febria -
Category
Documents
-
view
52 -
download
2
Transcript of BUKU REGULASI LINGKUNGAN KESEHATAN Dan INFRASTRUKTUR Kumpulan Regulasi Terkait Air Minum Dan...
-
KATA PENGANTAR
Dalam mengimplementasikan kebijakan air minum dan penyehatan
lingkungan berbasis masyarakat yang telah berhasil disusun oleh pemerin-
tah, para pelaku di sektor air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL)
seringkali bersinggungan dengan masalah hukum dan peraturan perundang-
an-undangan yang terkait dengan masalah pembangunan AMPL. Peraturan
perundangan tersebut seringkali berubah seiring dengan perubahan sosial-
politik kemasyarakatan dan perubahan standard pelayanan umum.
Kondisi tersebut mengharuskan para pelaku di bidang air minum dan
penyehatan lingkungan untuk selalu up to date terhadap peraturan perun-
dang-undangan. Ketersediaan media informasi yang praktis dan padat san-
gat dibutuhkan oleh para pelaku tersebut. Kebutuhan tersebut mendorong
Kami untuk menerbitkan buku "Kumpulan Regulasi Terkait AMPL." Buku
ini antara lain berisikan regulasi yang terkait langsung maupun tidak lang-
sung, mulai dari bentuk UU, Perpu, PP, Keppres, Perpres, Kepmen, Permen,
dan Perda.
Buku ini hanya menjelaskan secara garis besar dari masing-masing per-
aturan perundang-undangan yang dihimpun. Hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan para pembaca dalam memahami isi peraturan perundang-
undangan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan AMPL.
Dengan hadirnya buku ini, diharapkan bahan referensi bagi para pelaku
bidang AMPL menjadi semakin lengkap.
Jakarta, 13 November 2007
Direktur Permukiman dan Perumahan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Sebagai Ketua Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Basah Hernowo
DAFTAR ISI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah ... 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Alam Hayati dan Ekosistemnya ...2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman . 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan ... 5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup . 6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan ........... 8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara ....... 10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara... 12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air . 14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 16
iii
-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Pemerintah Daerah ....... 17
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005 - 2025 ... 19
PERATURAN PEMERINTAH
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan ....................................... 20
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air ....... 21
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1990
tentang Perusahaan Umum (Perum) "Otorita Jatiluhur" 23
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991
tentang Sungai ...... 24
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun ... 26
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ... 28
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara .... 29
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun .... 31
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan .. 33
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah 35
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001
tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan
Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan
dan/atau Lahan ......... 36
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun .......... 38
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air ............. 40
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2002
tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif .............. 41
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2002
tentang Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Republik
Indonesia dalam Modal Perum Jasa Tirta I ................................. 43
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005
tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum ..... 44
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum . 46
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2005
tentang Pinjaman Daerah ................. 48
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan ..... 49
iviii
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2005
tentang Hibah kepada Daerah .............. 50
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal ....... 51
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2006
tentang Desa ......... 53
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2005
tentang Kelurahan ... 55
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
.............
..... 56
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang
Irigasi . 58
PERATURAN PRESIDEN
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004 - 2009
... 61
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
.61
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan
Pemeliharaan Kelestarian Daerah Sungai
...
64
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
. 65
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2001 tentang
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air
. 66
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2002 tentang
Perubahan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 Tahun
2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air
. 67
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2003 tentang
Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Nasional ....... 69
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
... 70
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi
.. 71
PERATURAN MENTERI
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor
45/PRT/1990 tentang Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air
................................................................... 73
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor
48/PRT/1990 tentang Pengelolaan atas Air dan/atau Sumber Air pada
Wilayah Sungai ............................... 74
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor
49/PRT/1990 tentang Tata Cara dan Persyaratan Izin Penggunaan Air
viv
-
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Per-
usahaan Daerah adalah semua perusahaan yang didirikan ber-
dasarkan Undang-Undang ini yang seluruh atau sebagian modal-
nya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika
ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang.
Perusahaan Daerah adalah suatu kesatuan produksi yang
bersifat memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum
dan memupuk pendapatan. Perusahaan Daerah dipimpin oleh
suatu Direksi yang jumlah anggota dan susunannya ditetapkan
dalam peraturan pendiriannya. Direksi berada dibawah peng-
awasan Kepala Daerah/pemegang saham/saham prioritas atau
badan yang ditunjuknya.
Untuk tiap tahun buku oleh Direksi dikirimkan perhitungan ta-
hunannya terdiri dari neraca dan perhitungan laba-rugi kepada
Kepala Daerah/pemegang saham/saham prioritet menurut cara
dan waktu yang ditentukan dalam peraturan pendirian
Perusahaan Daerah.
Dalam hal likuiditas, Daerah bertanggung jawab atas kerugian
yang diderita oleh pihak ketiga apabila kerugian itu disebabkan
oleh karena neraca dan perhitungan laba rugi yang telah disahkan
tidak menggambarkan keadaan perusahaan yang sebenarnya.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sifat, Tujuan dan Lapangan
Usaha; Bab III Modal; Bab IV Saham-saham; Bab V Penguasaan
dan Cara Mengurus; Bab VI Rapat Pemegang Saham; Bab VII
Pengawasan; Bab VIII Tanggung Jawab dan Tuntutan Ganti Rugi
Pegawai; Bab IX Tahun Buku; Bab X Anggaran Perusahaan; Bab
XI Laporan Perhitungan Hasil Usaha Berkala dan Kegiatan
Perusahaan; Bab XII Laporan Perhitungan Tahunan; Bab XIII
Penetapan dan Penggunaan Laba Serta Pemberian Jasa
Produksi; Bab XIV Kepegawaian; Bab XV Kontrol; Bab XVI
Penyerahan Kepada Daerah dan Pemindahan ke Tangan
Perkumpulan Koperasi; Bab XVII Pembubaran; Bab XVIII
Peralihan; Bab XIX Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertu-
juan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam
hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia. Hal ini merupakan tanggung jawab dan
kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam
dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk memper-
KUMPULAN REGULASI
21
-
tahankan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati
beserta ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan
pemanfaatan dan menutup taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya untuk selama
waktu tertentu.
Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah
melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna,
diantaranya melalui pendidikan dan penyuluhan. Dalam rangka
pelaksanaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang terse-
but kepada Pemerintah Daerah.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Perlindungan Sistem Penyang-
ga Kehidupan; Bab III Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tum-
buhan dan Satwa Beserta Ekosistemnya; Bab IV Kawasan Suaka
Alam; Bab V Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; Bab VI Pe-
manfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Eko-
sistemnya; Bab VII Kawasan Pelestarian Alam; Bab VIII Pemanfa-
atan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar; Bab IX Peran Serta Rakyat;
Bab X Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan; Bab XI
Penyidikan; Bab XII Ketentuan Pidana; Bab XIII Ketentuan
Peralihan; Bab XIV Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Per-
aturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1962 tentang Pokok-pokok Perumahan menjadi Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1964 sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan, sehingga perlu diatur kembali ketentuan menge-
nai perumahan dan permukiman dalam Undang-Undang yang ba-
ru.
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar ma-
nusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pem-
bentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta
dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan
dan penghidupan masyarakat. Untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilikan, setiap
pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang
dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada
asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan,
kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian
lingkungan hidup. Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk
menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan permukiman.
Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pem-
bangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana
secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang berta-
hap. Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha
di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan
siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang
sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta, baik dilakukan
secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama dalam
pembangunan perumahan dan permukiman. Pemerintah dapat
menyerahkan sebagian urusan di bidang perumahan dan per-
mukiman kepada Pemerintah Daerah.
Setiap orang atau badan yang dengan sengaja melanggar
43 04
-
ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang dikenakan
sanksi pidana. Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan pidana tidak dipenuhi oleh suatu badan usaha di bidang
pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin usaha
badan tersebut dicabut.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas dan Tujuan; Bab III
Perumahan; Bab IV Permukiman; Bab V Peran Serta Masyarakat;
Bab VI Pembinaan; Bab VII Ketentuan Pidana; Bab VIII Ketentuan
Lain-lain; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan
Dalam undang-undang ini diatur tentang asas dan tujuan yang
menjadi landasan dan memberi arah pembangunan kesehatan
yang dilaksanakan melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang
sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal
tanpa membedakan status sosialnya.
Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat
kesehatan yang optimal serta wajib untuk ikut serta di dalam
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.
Tugas dan tanggung jawab Pemerintah pada dasarnya adalah
mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan serta menggerakkan peran serta masyarakat.
Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu,
dan berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kese-
hatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemu-
lihan kesehatan.
Sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraan
upaya kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung
jawab sosialnya, dengan pengertian bahwa sarana pelayanan ke-
sehatan harus tetap memperhatikan golongan masyarakat yang
kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan.
Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk berperan serta
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber daya-
nya. Peran serta masyarakat untuk memberikan pertimbangan da-
lam ikut menentukan kebijaksanaan pemerintah pada penyeleng-
garaan kesehatan dapat dilakukan melalui Badan Pertimbangan
Kesehatan Nasional, yang beranggotakan tokoh masyarakat dan
pakar lainnya.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Azas dan Tujuan; Bab III Hak
dan Kewajiban; Bab IV Tugas dan Tanggung Jawab; Bab V Upaya
Kesehatan; Bab VI Sumber Daya Kesehatan; Bab VII Peran Serta
Masyarakat; Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan; Bab IX
Penyidikan; Bab X Ketentuan Pidana; Bab XI Ketentuan
Peralihan; Bab XII Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup karena Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 dianggap sudah tidak sesuai lagi.
Pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu
65 05
-
oleh instansi Pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tang-
gungjawab masing-masing, masyarakat serta pelaku pemba-
ngunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan
dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan
hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksa-
nakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoor-
dinasi oleh Menteri. Pemerintah berdasarkan peraturan perun-
dang-undangan dapat melimpahkan wewenang tertentu penge-
lolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah dan meng-
ikutsertakan peran Pemda untuk membantu Pemerintah Pusat
dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib me-
lakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan yang
dapat diserahkan pengelolaannya kepada pihak lain. Hal ini diatur
lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Am-
dal untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang diberikan oleh pejabat berwenang. Dalam menerbitkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib memperhatikan renca-
na tata ruang, pendapat masyarakat, pertimbangan dan rekomen-
dasi pejabat yang berwenang. Keputusan izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan wajib diumumkan.
Dalam hal pengawasan dilakukan oleh Menteri. Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang (Kepala Daerah menetap-
kan pejabat yang berwenang) untuk melakukan pengawasan. Pe-
ngendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan
dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh Pe-
merintah.
Jika terjadi pelanggaran dapat dijatuhi sanksi berupa pencabut-
an izin usaha dan/atau kegiatan. Kepala Daerah dapat menga-
jukan usul untuk mencabut izin tersebut kepada pejabat yang
berwenang.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh me-
lalui 2 cara, yaitu :
1. Melalui pengadilan
2. Di luar pengadilan : diselenggarakan untuk mencapai kesepa-
katan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan ter-
jadinya/terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas, Tujuan, dan Sasaran; Bab
III Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat; Bab IV Wewenang
Pengelolaan Lingkungan Hidup; Bab V Pelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup; Bab VI Persyaratan Penataan Lingkungan
Hidup; Bab VII Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup; Bab
VIII Penyidikan; Bab IX Ketentuan Pidana; Bab X Ketentuan
Peralihan; Bab XI Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
Karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan
dan pengurusan hutan dan tuntutan perkembangan keadaan
maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kehutanan perlu diganti.
Dalam undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pe-
nyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat lestari, kerak-
87 07
-
yatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk ke-
kayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran
rakyat. Pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan
perencanaan kehutanan; pengelolaan hutan; penelitian dan pe-
ngembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan ke-
hutanan, dan pengawasan.
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap
BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia yang memperoleh izin usa-
ha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan ko-
perasi masyarakat setempat.
Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan SDM ber-
kualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan tek-
nologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembang-
an, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang ber-
kesinambungan.
Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, me-
nelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga
tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupa-
kan umpan balik bagi perbaikan dan/atau penyempurnaan pengurus-
an hutan lebih lanjut. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan,
Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemda.
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke peng-
adilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum terhadap keru-
sakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Penyelesai-
an sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau
diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak
yang bersengketa. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Status dan Fungsi Hutan; Bab
III Pengurusan Hutan; Bab IV Perencanaan Kehutanan; Bab V Pe-
ngelolaan Hutan; Bab VI Penelitian dan Pengembangan, Pendi-
dikan dan Latihan Serta Penyuluhan Kehutanan; Bab VII Peng-
awasan; Bab VIII Penyerahan Kewenangan; Bab IX Masyarakat
Hukum Adat; Bab X Peran Serta Masyarakat; Bab XI Gugatan
Perwakilan; Bab XII Penyelesaian Sengketa Kehutanan; Bab XIII
Penyidikan; Bab XIV Ketentuan Pidana; Bab XV Ganti Rugi dan
Sanksi Administratif; Bab XVI Ketentuan Peralihan; Bab XVII
Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan
negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. APBN
terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembia-
yaan. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun
pendapatan negara. Sedangkan APBD merupakan wujud pe-
ngelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan
Peraturan Daerah. APBD terdiri atas anggaran pendapatan, ang-
garan belanja, dan pembiayaan.
Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal
109 09
-
dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada
DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
Mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Bank Sentral, Pemerintah Daerah, serta Pemerintah/Lembaga
Asing maka Pemerintah Pusat dan Bank Sentral berkoordinasi
dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.
Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada
Pemda berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Pemerintah Pusat dapat memberikan
hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari
pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.
Dalam hal pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan
APBD, Presiden menyampaikan rancangan undang-undang ten-
tang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR beru-
pa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan
daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada
DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK,
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kekuasaan Atas Pengelolaan
Keuangan Negara; Bab III Penyusunan dan Penetapan APBN;
Bab IV Penyusunan dan Penetapan APBD; Bab V Hubungan Ke-
uangan Antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah
Daerah, Serta Pemerintah/Lembaga Asing; Bab VI Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah dan Perusahaan Negara, Perusa-
haan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana
Masyarakat; Bab VII Pelaksanaan APBN dan APBD; Bab VIII Per-
tanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan APBD; Bab IX Keten-
tuan Pidana, Sanksi Administratif, dan Ganti Rugi; Bab X Keten-
tuan Peralihan; Bab XI Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara
Sehubungan Undang-Undang Perbendaharaan Indone-
sia/Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor
448) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah ter-
akhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1968 tidak dapat
lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara, maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Perbendaharaan Negara meliputi pelaksanaan pendapatan
dan belanja negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja dae-
rah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pelak-
sanaan penerimaan dan pengeluaran daerah, pengelolaan kas,
pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan in-
vestasi dan barang milik negara/daerah, penyelenggaraan akun-
tansi dan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah,
penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/-
APBD, penyelesaian kerugian negara/daerah, pengelolaan Badan
Layanan Umum, dan perumusan standar, kebijakan, serta sistem
dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan ne-
gara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.
Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Peng-
guna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpin-
nya. Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga
1211 11
-
yang dipimpinnya.
Tahun anggaran meliputi masa satu tahun mulai dari tanggal 1
Januari sampai dengan 31 Desember. Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara berwenang mengatur dan menye-
lenggarakan rekening pemerintah. Pemerintah Pusat dapat mem-
berikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan
yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN.
Pemerintah dapat melakukan invetasi jangka panjang untuk mem-
peroleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya.
Menteri Keuangan mengatur pengelolaan barang milik negara.
Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kebijakan pengelolaan ba-
rang milik daerah. Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Ke-
uangan Daerah selaku Bendahara Umum Negara/Daerah
menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset,
utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan per-
hitungannya.
Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akunta-
bilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pe-
merintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengenda-
lian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Setiap
kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melang-
gar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pejabat Perbendaharaan Nega-
ra; Bab III Pelaksanaan Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah;
Bab IV Pengelolaan Uang; Bab V Pengelolaan Piutang dan Utang;
Bab VI Pengelolaan Investasi; Bab VII Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah; Bab VIII Larangan Penyitaan Uang dan Barang
Milik Negara/Daerah dan/atau Yang Dikuasai Negara/Daerah;
Bab IX Penatausahaan dan Pertanggungjawaban APBN/APBD;
Bab X Pengendalian Intern Pemerintah; Bab XI Penyelesaian
Kerugian Negara/Daerah; Bab XII Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum; Bab XIII Ketentuan Peralihan; Bab XIV
Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air
Dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (se-
lanjutnya disingkat SDA) disebutkan bahwa penguasaan sumber
daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum
adat setempat. Hak guna air (berupa hak guna pakai air dan hak
guna usaha air) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan
sebagian atau seluruhnya.
Presiden berhak untuk menetapkan wilayah sungai dan ce-
kungan air tanah dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
SDA Nasional. Dalam pengelolaan SDA, sebagian wewenang Pe-
merintah dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sesuai
dengan peraturan perundangan-undangan.
Dalam keadaan memaksa, Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah berhak mengatur dan menetapkan penggunaan SDA un-
tuk kepentingan konservasi, persiapan pelaksanaan konstruksi,
dan pemenuhan prioritas penggunaan SDA. Untuk pengembang-
an sistem penyediaan air minum adalah tanggung jawab Pemerin-
tah dan Pemerintah Daerah. Koperasi, badan usaha swasta, dan
masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pe-
ngembangan sistem penyediaan air minum.
Pengusahaan SDA permukaan yang meliputi satu wilayah su-
1413 13
-
ngai hanya dapat dilaksanakan oleh BUMN atau BUMD dibidang
pengelolaan SDA atau kerjasama antara BUMN dengan BUMD.
Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem
informasi SDA yang tersebar dan dikelola oleh berbagai institusi.
Dalam hal pembiayaan pengelolaan SDA ditetapkan berdasarkan
kebutuhan nyata pengelolaan SDA. Sumber dana untuk setiap je-
nis pembiayaan tersebut dapat berupa anggaran pemerintah,
anggaran swasta, dan/atau hasil penerimaan biaya jasa pengelo-
laan SDA.
Dalam hal terjadi sengketa, penyelesaian sengketa SDA tahap
pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk
sepakat. Jika tidak diperoleh kesepakatan, maka para pihak dapat
menempuh upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan (me-
lalui arbitrase) atau melalui pengadilan. Masyarakat yang
dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan SDA berhak
mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan. Begitu pula se-
tiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan kerugian terhadap orang lain maupun sumber air
dan prasarananya akan ditindak sesuai dengan ketentuan pidana
yang berlaku.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Wewenang dan Tanggung Ja-
wab; Bab III Konservasi Sumber Daya Air; Bab IV Pendaya-
gunaan Sumber Daya Air; Bab V Pengendalian Daya Rusak Air;
Bab VI Perencanaan; Bab VII Pelaksanaan Konstruksi, Operasi
dan Pemeliharaan; Bab VIII Sistem Informasi Sumber Daya Air;
Bab IX Pemberdayaan dan Pengawasan; Bab X Pembiayaan;
Bab XI Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat; Bab XII Koordina-
si; Bab XIII Penyelesaian Sengketa; Bab XIV Gugatan Masyarakat
dan Organisasi; Bab XV Penyidikan; Bab XVI Ketentuan Pidana;
Bab XVII Ketentuan Peralihan; Bab XVIII Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demok-
rasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanju-
tan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Perencanaan
Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perenca-
naan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bi-
dang kehidupan secara terpadu dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional meliputi pe-
nyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksa-
naan rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana. Penyusunan
RPJP dilakukan melalui urutan penyiapan rancangan awal renca-
na pembangunan, musyawarah perencanaan pembangunan dan
penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Menteri menyiapkan rancangan RPJP Nasional. Sedangkan
Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah. Pengen-
dalian pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan oleh ma-
sing-masing pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Pe-
rangkat Daerah. Perencanaan pembangunan didasarkan pada
data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawab-
kan.
Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas
Perencanaan Pembangunan Nasional. Sedangkan Kepala Dae-
151615
-
rah menyelenggaran dan bertanggung jawab atas perencanaan
pembangunan daerah di daerahnya. Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan se-
telah diundangkannya Undang-Undang ini. Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas dan Tujuan; Bab III Ruang
Lingkup Perencanaan Pembangunan Nasional; Bab IV Tahapan
Perencanaan Pembangunan Nasional; Bab V Penyusunan dan
Penetapan Rencana; Bab VI Pengendalian dan Evaluasi Pe-
laksanaan Rencana; Bab VII Data dan Informasi; Bab VIII Kelem-
bagaan; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat
dan Pemerintah Daerah
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemda meru-
pakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pemba-
gian tugas antara Pemerintah dan Pemda. Penyelenggaraan uru-
san Pemda dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai
oleh APBD. Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksa-
nakan oleh Gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi
didanai oleh APBN. Sedangkan penyelenggaraan urusan Pe-
merintah yang dilaksanakan oleh Gubernur dalam rangka Tugas
Pembantuan didanai oleh APBN. Dana Perimbangan terdiri atas :
1. Dana Bagi Hasil :
a). Bersumber dari pajak: PBB (Pajak Bumi Bangunan),
BPHTB, PPh (Pajak Penghasilan).
b). Sumber Daya Alam: kehutanan, pertambangan umum,
perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan
gas bumi dan pertambangan panas bumi.
2. Dana Alokasi Umum (DAU): jumlah keseluruhan DAU ditetap-
kan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri
Netto yang ditetapkan dalam APBN.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK): besarnya DAK ditetapkan setiap
tahun dalam APBN.
Lain-lain Pendapatan terdiri atas Pendapatan Hibah dan Pen-
dapatan Dana Darurat. Untuk Hibah kepada Daerah yang bersum-
ber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah. Daerah tidak
dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.
Sedangkan Dana Darurat, Pemerintah mengalokasikannya yang
bersumber dari APBN untuk keperluan mendesak yang diaki-
batkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang
tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan
sumber APBD.
Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
Sejak berlakunya undang-undang ini maka Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848) dinyatakan tidak
berlaku.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Prinsip Kebijakan Perimbangan
Keuangan; Bab III Dasar Pendanaan Pemerintahan Daerah; Bab
IV Sumber Penerimaan Daerah; Bab V Pendapatan Asli Daerah;
Bab VI Dana Perimbangan; Bab VII Lain-lain Pendapatan; Bab
VIII Pinjaman Daerah; Bab IX Pengelolaan Keuangan dalam
171817
-
Rangka Desentralisasi; Bab X Dana Dekonsentrasi; Bab XI Dana
Tugas Pembantuan; Bab XII Sistem Informasi Keuangan Daerah;
Bab XIII Ketentuan Peralihan; Bab XIV Ketentuan Penutup.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025
Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
mengamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasio-
nal yang ditetapkan dengan undang-undang.
RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya
Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehi-
dupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.
Program Pembangunan Nasional periode 2005 - 2025 dilaksa-
nakan sesuai dengan RPJP Nasional. Dalam rangka menjaga ke-
sinambungan pembangunan dan untuk menghindarkan ke-
kosongan rencana pembangunan nasional, Presiden yang se-
dang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajib-
kan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun
pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya.
Pemerintah melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksa-
naan RPJP Nasional. Sedangkan Pemerintah Daerah melakukan
pengendalian dan evalusi pelaksanaan RPJP Daerah.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Program Pembangunan Nasio-
nal; Bab III Pengendalian dan Evaluasi; Bab IV Ketentuan Per-
alihan; Bab V Ketentuan Penutup.
192019
-
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
Dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di
bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan men-
dorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indo-
nesia, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Un-
dang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum da-
lam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama
bagi pemegang izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-
Undang tersebut. Ketidakpastian itu terjadi karena dalam ketentu-
an Undang-Undang tersebut tidak ada ketentuan yang menyata-
kan bahwa perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan
yang berada di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlaku-
nya Undang-Undang tersebut tetap berlaku.
Tidak adanya ketentuan tersebut mengakibatkan status dari
izin atau perjanjian yang ada sebelum berlakunya Undang-Un-
dang tersebut menjadi tidak jelas dan bahkan dapat diartikan men-
jadi tidak berlaku lagi. Hal ini diperkuat ketentuan Pasal 38 ayat (4)
yang menyatakan secara tegas bahwa pada kawasan hutan lin-
dung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertam-
bangan terbuka. Ketentuan tersebut semestinya hanya berlaku
sesudah berlakunya Undang-Undang tersebut dan tidak diber-
lakukan surut.
21 21
P E RATURANP EMER I N TAH
-
Ketidakpastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha per-
tambangan di kawasan hutan tersebut dapat mengakibatkan Pe-
merintah berada dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan
iklim investasi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air
Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup
orang banyak, sehingga perlu dipelihara kualitasnya agar tetap
bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hi-
dup lainnya. Oleh karena itu Pemerintah dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pen-
cemaran Air.
Gubernur menunjuk instansi teknis di daerah untuk melakukan
inventarisasi kualitas dan kuantitas air untuk kepentingan pengen-
dalian pencemaran air. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, mene-
tapkan prioritas pelaksanaan inventarisasi kualitas dan kuantitas
air. Data kualitas dan kuantitas air disusun dan didokumentasikan
pada instansi teknis yang bertanggung jawab, di bidang
pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Kemudian Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I mengidentifikasi sumber-sumber pence-
maran air.
Ketetapan tentang baku mutu air untuk golongan air ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah
ini. Metode analisa untuk setiap parameter baku mutu air dan
baku mutu limbah cair ditetapkan oleh Menteri. Apabila kualitas air
lebih rendah dari kualitas air menurut golongan yang telah ditetap-
kan, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menetapkan program
peningkatan kualitas air.
Untuk pengendalian pencemaran air di daerah dilakukan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Menteri setelah berkonsultasi
dengan Menteri lain dan atau Pimpinan lembaga pemerintah non-
departemen yang bersangkutan menetapkan baku mutu limbah
cair. Baku mutu air, daya tampung beban pencemaran dan baku
mutu limbah cair ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya se-
kali dalam lima tahun.
Setiap orang atau badan yang membuang limbah cair wajib
mentaati baku mutu limbah cair sebagaimana ditentukan dalam
izin pembuangan limbah cair yang ditetapkan baginya. Baku mutu
limbah cair yang diizinkan dibuang ke dalam air oleh suatu ke-
giatan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I ber-
dasarkan baku mutu limbah cair yang ditetapkan.
Setiap orang yang mengetahui atau menduga terjadinya pen-
cemaran air berhak melaporkan kepada Gubernur Kepada Dae-
rah Tingkat I atau aparat Pemerintah Daerah terdekat atau Kepala
Kepolisian Resort atau Aparat Kepolisian terdekat.
Dalam hal pembiayaan inventarisasi kualitas dan kuantitas air
dibebankan pada anggaran daerah yang bersangkutan. Se-
dangkan biaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan
pencemaran air akibat suatu kegiatan dibebankan kepada pe-
nanggungjawab kegiatan yang bersangkutan.
Apabila untuk suatu jenis kegiatan belum ditentukan baku mutu
limbah cairnya, maka baku mutu limbah cair yang boleh dibuang
ke dalam air oleh kegiatan tersebut ditetapkan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I setelah berkonsultasi dengan Menteri.
232322
-
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Inventarisasi Kualitas dan Ku-
antitas Air; Bab III Penggolongan; Bab IV Upaya Pengendalian;
Bab V Perizinan; Bab VI Pengawasan dan Pemantauan; Bab VII
Pembiayaan; Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X
Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum
(Perum) "Otorita Jatiluhur"
Peraturan ini merupakan penyesuaian dari Peraturan Pe-
merintah Nomor 20 Tahun 1970 tentang Pembentukan Peru-
sahaan Umum "Otorita Jatiluhur" sebagaimana telah diubah de-
ngan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1980.
Perusahaan ini adalah badan usaha yang menyelenggarakan
usaha-usaha eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan
serta mengusahakan air, sumber-sumber air, dan ketenagalistrik-
an. Perusahaan bertempat kedudukan dan berkantor pusat di Jati-
luhur. Modal Perusahaan adalah kekayaan negara yang dipisah-
kan dari APBN dan tidak terbagi atas saham-saham.
Pembelanjaan untuk investasi yang dilaksanakan perusahaan
dapat berasal dari dana intern perusahaan, penyertaan modal
negara melalui APBN, pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri,
serta sumber-sumber lainnya yang sah. Perusahaan dipimpin dan
dikelola oleh Direksi yang terdiri dari seorang Direktur Utama dan
sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang Direktur sesuai dengan bi-
dang usahanya. Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri setelah mendengar pertimbangan
Menteri Keuangan.
Pembinaan terhadap Perusahaan dilakukan oleh Menteri yang
dalam pelaksanaannya dibantu oleh Direktur Jenderal berda-
sarkan ketentuan yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. Se-
lambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku mulai ber-
laku, Direksi mengirimkan rencana kerja dan anggaran Per-
usahaan yang meliputi anggaran investasi dan anggaran eksplo-
itasi kepada Menteri untuk memperoleh pengesahannya berda-
sarkan penilaian bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan.
Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana
pengairan dan hasil penjualan tenaga listrik dari pembangkit listrik
tenaga air didasarkan pada asas memperoleh penghasilan yang
cukup bagi Perusahaan untuk menutup biaya pengusahaan yang
ditetapkan dengan keputusan Menteri atas usul Direksi, setelah
mendapat pertimbangan Menteri Keuangan.
Menteri melakukan pengawasan umum atas jalannya Per-
usahaan. Pada Perusahaan dibentuk Dewan Pengawas yang ber-
tanggung jawab kepada Menteri. Dewan Pengawas mengadakan
rapat sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali dan sewaktu-wak-
tu apabila diperlukan. Untuk membantu kelancaran pelaksanaan
tugas Dewan Pengawas, Menteri dapat mengangkat seorang Se-
kretaris atas beban Perusahaan.
Untuk tiap tahun buku oleh Direksi disusun perhitungan tahun-
an yang terdiri dari neraca dan perhitungan laba rugi. Pembu-
baran Perusahaan dan penunjukan likuidaturnya ditetapkan de-
ngan Peraturan Pemerintah. Semua kekayaan Perusahaan sete-
lah diadakan likuidasi menjadi milik Negara.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pendirian Perusahaan; Bab III
Anggaran Dasar Perusahaan; Bab IV Ketentuan Peralihan; Bab V
Penutup.
252524
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 1991
tentang Sungai
Sungai sebagai sumber air sangat penting fungsinya dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan pemba-
ngunan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka dipan-
dang perlu melakukan pengaturan mengenai sungai yang meliputi
perlindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian.
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang direvisi ke
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Da-
ya Air.
Lingkup pengaturan sungai berdasarkan PP ini mencakup per-
lindungan, pengembangan, penggunaan, dan pengendalian su-
ngai termasuk danau dan waduk. Wewenang dan tanggung jawab
pembinaan sungai ada pada Pemerintah yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Menteri. Wewenang dan tanggung jawab pembina-
an sungai ini juga dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik
negara. Sepanjang belum dilimpahkan kepada badan usaha milik
negara, dapat dilimpahkan juga kepada Pemerintah Daerah da-
lam rangka tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku.
Untuk mencapai keterpaduan yang menyeluruh dalam per-
lindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian su-
ngai, bagi tiap kesatuan wilayah sungai disusun perencana pem-
binaan sungai yang ditetapkan oleh Menteri.
Selain sungai merupakan salah satu sumber daya air, juga me-
miliki potensi yang lain yaitu sebagai sumber bahan galian khu-
susnya bahan galian berupa pasir dan batu.
Dalam rangka menumbuhkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan nasional, maka masyarakat diikutsertakan dalam
kegiatan pembangunan, eksploitasi dan pemeliharaan sungai, pe-
nanggulangan bahaya banjir, maupun pengamanan sungai, se-
hingga dapat merasa ikut memiliki dan dengan demikian ikut me-
rasa bertanggung jawab.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Penguasaan Sungai; Bab III
Fungsi Sungai; Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab Pembi-
naan; Bab V Perencanaan Sungai; Bab VI Pembangunan Ba-
ngunan Sungai; Bab VII Eksploitasi dan Pemeliharaan Sungai dan
Bangunan Sungai; Bab VIII Pengusahaan Sungai dan Bangunan
Sungai; Bab IX Pembangunan, Pengelolaan dan Pengamanan
Waduk; Bab X Penanggulangan Bahaya Banjir; Bab XI Penga-
manan Sungai dan Bangunan Sungai; Bab XII Kewajiban dan La-
rangan; Bab XIII Pembiayaan; Bab XIV Pengawasan; Bab XV Ke-
tentuan Pidana; Bab XVI Ketentuan Peralihan; Bab XVII Ketentu-
an Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
Dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khu-
susnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula
jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan be-
racun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehat-
an manusia. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perlu
dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 1994 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 ten-
272726
-
tang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan me-
nanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan
kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fung-
sinya kembali.
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau mengha-
silkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah
limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3. Untuk pengumpul,
pengangkut, pemanfaat, pengolah, dan penimbun limbah B3 dila-
kukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan ter-
sebut.
Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan
limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi yang
bertanggung jawab. Pengawasan pengelolaan limbah B3 dilaku-
kan oleh Menteri dan pelaksanaannya diserahkan kepada instan-
si yang bertanggung jawab. Penghasil, pengumpul, pemanfaat,
pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 bertanggung ja-
wab atas penanggulangan kecelakaan dan pencemaran lingkun-
gan hidup akibat lepas atau tumpahnya limbah B3 yang menjadi
tanggung jawabnya.
Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan di
daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II untuk skala
yang bisa ditanggulangi oleh kegiatan penghasil dan/atau pe-
ngumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau
penimbun. Dalam hal pembiayaan, segala biaya untuk memper-
oleh izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 dibebankan ke-
pada pemohon izin.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Identifikasi Limbah B3; Bab III
Pelaku Pengelolaan: Bagian Pertama : Penghasil, Bagian Kedua :
Pengumpul, Bagian Ketiga: Pengangkut, Bagian Keempat : Pe-
manfaat, Bagian Kelima : Pengolah, Bagian Keenam : Penimbun;
Bab IV Kegiatan Pengelolaan : Bagian Pertama : Reduksi Limbah
B3, Bagian Kedua : Pengemasan, Bagian Ketiga : Penyimpanan,
Bagian Keempat : Pengumpulan, Bagian Kelima : Pengangkutan,
Bagian Keenam : Pemanfaatan, Bagian Ketujuh : Pengolahan,
Bagian Kedelapan : Penimbunan; Bab V Tata Laksana : Bagian
Pertama : Perizinan, Bagian Kedua : Pengawasan, Bagian Ketiga:
Perpindahan Lintas Batas, Bagian Keempat : Informasi dan Pe-
laporan, Bagian Kelima : Penanggulangan dan Pemulihan, Bagian
Keenam : Pengawasan Penanggulangan Kecelakaan, Bagian Ke-
tujuh : Pembiayaan; Bab VI Sanksi; Bab VII Ketentuan Peralihan;
Bab VIII Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu dilakukan
penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (selanjutnya di-
singkat AMDAL) merupakan bagian kegiatan studi kelayakan ren-
cana usaha dan/atau kegiatan. Jenis usaha dan/atau kegiatan
yang wajib memiliki AMDAL ditetapkan oleh Menteri setelah men-
dengar dan memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/
2928 29
-
atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang ter-
kait.
Untuk menilai kerangka acuan, AMDAL, rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup ma-
ka dibentuk Komisi Penilai. Komisi Penilai dibentuk oleh Menteri
di tingkat pusat, sedangkan di tingkat daerah dibentuk oleh Gu-
bernur.
Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan AMDAL disusun
oleh pemrakarsa. Pemrakarsa menyusun AMDAL, rencana pe-
ngelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup berdasarkan kerangka acuan yang telah mendapatkan ke-
putusan dari instansi yang bertanggung jawab. Untuk penyusunan
AMDAL bagi usaha dan/atau kegiatan ekonomi lemah dibantu Pe-
merintah dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah memper-
hatikan saran dan pendapat instansi yang membidangi usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan terlebih da-
hulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun
AMDAL. Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan
dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka
acuan, AMDAL, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan ren-
cana pemantauan lingkungan hidup.
Dalam hal pembiayaan, untuk pelaksanaan kegiatan komisi pe-
nilai dan tim teknis AMDAL di tingkat pusat dibebankan pada ang-
garan instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan se-
dangkan di tingkat daerah dibebankan pada anggaran instansi yang
ditugasi mengendalikan dampak lingkungan daerah tingkat I.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Komisi Penilai Analisis Me-
ngenai Dampak Lingkungan Hidup; Bab III Tata Laksana; Bab IV
Pembinaan; Bab V Pengawasan; Bab VI Keterbukaan Informasi
dan Peran Masyarakat; Bab VII Pembiayaan; Bab VIII Ketentuan
Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Ketentuan ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari
usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spe-
sifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik
yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi
dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah tu-
runnya mutu udara ambien.
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu
udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, am-
bang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang ba-
tas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara.
Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan pe-
nanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan
melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber
pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak ber-
gerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keada-
an darurat.
Menteri melakukan pengawasan terhadap penataan penang-
gung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran udara. Dalam hal wewenang pengawasan
diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Waliko-
313130
-
tamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan
terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang membuang emisi dan/atau gangguan.
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengenda-
lian pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak ber-
gerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau ke-
giatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau ke-
giatan yang bersangkutan. Setiap orang atau penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pence-
maran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pence-
maran udara serta biaya pemulihannya.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Perlindungan Mutu Udara; Bab
III Pengendalian Pencemaran Udara; Bab IV Pengawasan; Bab V
Pembiayaan; Bab VI Ganti Rugi; Bab VII Sanksi; Bab VIII
Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.
20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 85 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
Untuk mengenali limbah yang dihasilkan secara dini diperlukan
identifikasi berdasarkan uji toksikologi dengan penentuan nilai
akut dan/atau kronik untuk menentukan limbah yang dihasilkan
termasuk sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun. Se-
hubungan dengan hal tersebut, maka dipandang perlu mengubah
dan menyempurnakan beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Ber-
bahaya dan Beracun.
Pasal I mengubah ketentuan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pasal 6 :
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan/atau uji
karakteristik dan/atau uji toksikologi.
Pasal 7 :
(1)Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi limbah B3 dari
sumber tidak spesifik, limbah B3 dari sumber spesifik, limbah B3
dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan
buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
(2)Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Peraturan
Pemerintah ini.
(3)Uji karakterisitik limbah B3 meliputi mudah meledak, mudah
terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan
bersifat korosif.
(4)Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan/atau
kronik.
Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan
D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah dilakukan uji karakteris-
tik dan/atau uji toksikologi.
Pasal 8 :
(1)Limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk da-
lam Lampiran I, Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini, apabila ter-
bukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) dan/atau ayat (4) maka lim-
bah tersebut merupakan limbah B3.
3332 33
-
(2)Limbah B3 dari kegiatan yang tercantum dalam Lampiran I,
Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini dapat dikeluarkan dari daf-
tar tersebut oleh instansi yang bertanggung jawab, apabila da-
pat dibuktikan secara ilmiah bahwa limbah tersebut bukan lim-
bah B3 berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh instansi
yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan ins-
tansi teknis, lembaga penelitian terkait dan penghasil limbah.
(3)Pembuktian secara ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan berdasarkan uji karakteristik limbah B3, uji toksi-
kologi, dan/atau hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah
yang dihasilkan tidak menimbulkan pencemaran dan ganggu-
an kesehatan terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya.
(4)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) akan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung
jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis dan lem-
baga penelitian terkait.
Pasal II :
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Per-
aturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
di Luar Pengadilan
Peraturan Pemerintah ini ditetapkan sebagai pelaksana
ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Un-
dang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pe-
nyelesaian Sengketa.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak
yang telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hi-
dup di luar pengadilan, maka gugatan yang disampaikan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinya-
takan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak
yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang berseng-
keta menarik diri dari perundingan.
Untuk lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh Pemerintah
dan/atau masyarakat. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh
Pemerintah Pusat ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di
instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan. Sedangkan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah
ditetapkan Gubernur/Bupati/Walikota dan berkedudukan di instan-
si yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak ling-
kungan di daerahnya. Pendirian penyedia jasa yang dibentuk oleh
masyarakat dibuat dengan Akta Notaris.
Orang-orang yang menjalankan fungsi sebagai arbiter atau me-
diator atau pihak ketiga lainnya terikat pada kode etik profesi yang
penilaian dan pengembangannya dilakukan oleh asosiasi profesi
yang bersangkutan. Kesepakatan yang dicapai melalui proses pe-
nyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak
ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di
atas kertas bermaterai.
Mengenai biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup me-
lalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Biaya untuk media-
tor atau pihak ketiga lainnya dibebankan atas kesediaan dari sa-
lah satu pihak atau para pihak yang bersengketa atau sumber-
sumber dana lainnya yang bersifat tidak mengikat. Segala biaya
353534
-
kesekretariatan yang diperlukan dibebankan kepada Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah pada anggaran belanja instan-
si yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak ling-
kungan di pusat ataupun daerah yang bersangkutan.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kelembagaan; Bab III Per-
syaratan Penunjukan Pihak Ketiga Netral; Bab IV Tata Cara Pe-
nyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Lembaga Pe-
nyedia Jasa; Bab V Pembiayaan Lembaga Penyedia Jasa; Bab VI
Ketentuan Penutup.
22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 105 Tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pa-
da peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif,
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas
keadilan dan kepatutan. APBD merupakan dasar pengelolaan ke-
uangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Struktur APBD
merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah,
belanja daerah dan pembiayaan.
Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus di-
dukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam
jumlah yang cukup. Semua transaksi keuangan daerah baik pe-
nerimaan daerah maupun pengeluaran daerah dilaksanakan me-
lalui kas daerah. Apabila diperkirakan pendapatan daerah lebih
kecil dari rencana belanja, daerah dapat melakukan pinjaman. Pe-
merintah daerah dapat juga mencari sumber-sumber pembiayaan
lain melalui kerjasama dengan pihak lain dengan prinsip saling
menguntungkan.
Tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD
tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Perda tentang
APBD dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah. Untuk setiap
pengeluaran atas beban APBD diterbitkan Surat Keputusan Oto-
risasi atau surat keputusan lainnya yang disamakan dengan itu
oleh pejabat yang berwenang.
Untuk setiap akhir tahun anggaran Pemerintah Daerah wajib
membuat perhitungan APBD yang memuat perbandingan antara
realisasi pelaksanaan APBD dibandingkan dengan APBD. Pe-
merintah Daerah juga menyampaikan laporan triwulan pelaksa-
naan APBD kepada DPRD. Pemeriksaan atas pelaksanaan, pe-
ngelolaan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengelolaan Keuangan Daerah;
Bab III Penyusunan dan Penetapan APBD; Bab IV Pelaksanaan
APBD; Bab V Perhitungan APBD; Bab VI Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah; Bab VII Pengawasan Pengelolaan Keuangan
Daerah; Bab VIII Pemeriksaan Keuangan Daerah; Bab IX Ke-
rugian Keuangan Daerah; Bab X Ketentuan Penutup.
373736
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2001
tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari keten-
tuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hi-
dup secara tegas dikemukakan dalam Tap MPR No.IV/MPR/1999
tentang GBHN, bahwa pemanfaatan potensi sumber daya alam
dan lingkungan hidup harus disertai dengan tindakan konservasi,
rehabilitasi, dan penghematan penggunaan dengan menerapkan
teknologi ramah lingkungan. Penerapan kebijakan ini diharapkan
dapat memperkecil dampak yang akan merugikan lingkungan
hidup dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi upaya pence-
gahan, penanggulangan, dan pemulihan serta pengawasan ter-
hadap pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup daerah. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
daerah ditetapkan dengan ketentuan sama atau lebih ketat daripada
ketentuan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan
dan/atau lahan juga berkewajiban mencegah terjadinya kerusak-
an dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan de-
ngan kebakaran hutan dan/atau lahan. Setiap orang yang meng-
akibatkan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan wajib mela-
kukan pemulihan dampak lingkungan hidup.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengko-
ordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan/atau lahan lintas
propinsi dan/atau lintas batas negara. Gubernur bertanggung ja-
wab terhadap pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan yang dampaknya lintas Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan dilakukan secara periodik untuk
mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup dan
secara intensif untuk menanggulangi dampak dan pemulihan ling-
kungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau
lahan.
Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pe-
ngendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam hal pembiayaan untuk melakukan kegiatan tersebut
diatas dibebankan pada APBN, APBD dan sumber dana lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kriteria Baku Kerusakan Ling-
kungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau
Lahan; Bab III Baku Mutu Pencemaran Lingkungan Hidup; Bab IV
Tata Laksana Pengendalian; Bab V Wewenang Pengendalian Ke-
rusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; Bab VI Pengawasan;
Bab VII Pelaporan; Bab VIII Peningkatan Kesadaran Masyarakat;
Bab IX Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat; Bab X
393938
-
Pembiayaan; Bab XI Sanksi Administrasi; Bab XII Ganti Kerugian;
Bab XIII Ketentuan Pidana; Bab XIV Ketentuan Peralihan; Bab XV
Ketentuan Penutup.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 74 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya
dan Beracun
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Ba-
han Berbahaya dan Beracun (B3).
Pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan/atau mengu-
rangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan
manusia dan makhluk hidup lainnya.
B3 dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu B3 yang dapat diper-
gunakan, B3 yang dilarang dipergunakan, dan B3 yang terbatas
dipergunakan.
Setiap B3 wajib diregistrasikan oleh penghasil dan/atau
pengimpor. Tata cara registrasi dan sistem registrasi nasional B3
ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung
jawab. Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang
terbatas dipergunakan, wajib menyampaikan notifikasi ke otoritas
negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang
bertanggung jawab. Sedangkan yang melakukan kegiatan impor
B3 wajib mengikuti prosedur notifikasi.
Setiap orang yang memproduksi B3 wajib membuat Lembar
Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet). Dan seti-
ap penanggung jawab pengangkutan, penyimpanan, dan peng-
edaran B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan
(Material Safety Data Sheet).
Dalam rangka pengelolaan B3 dibentuk Komisi B3 yang mempu-
nyai tugas untuk memberikan saran dan/atau pertimbangan kepada
Pemerintah. Komisi B3 terdiri dari wakil instansi yang berwenang,
wakil instansi yang bertanggung jawab, wakil instansi yang terkait,
wakil perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan asosiasi.
Wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3
dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang
berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Dalam hal tertentu wewenang tersebut dapat diserahkan menjadi
urusan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib
menyampaikan laporan tertulis tentang pengelolaan B3 secara
berkala sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada ins-
tansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang di bi-
dang tugas masing-masing dengan tembusan kepada Guber-
nur/Bupati/Walikota.
Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi tentang upa-
ya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan penge-
lolaan B3.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Klasifikasi B3; Bab III Tata Lak-
sana dan Pengelolaan B3; Bab IV Komisi B3; Bab V Keselamatan
dan Kesehatan Kerja; Bab VI Penanggulangan Kecelakaan dan
Keadaan Darurat; Bab VII Pengawasan dan Pelaporan; Bab VIII
Peningkatan Kesadaran Masyarakat; Bab IX Keterbukaan In-
formasi dan Peran Masyarakat; Bab X Pembiayaan; Bab XI Sank-
si Administrasi; Bab XII Ganti Kerugian; Bab XIII Ketentuan Pi-
dana; Bab XIV Ketentuan Peralihan; Bab XV Ketentuan Penutup.
414140
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air
Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan dari Pasal 14
ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Penge-
lolaan Lingkungan Hidup.
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air di-
selenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem.
Hal tersebut dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Upaya pengelolaan kualitas air
dilakukan pada :
1. Sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung;
2. Mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
3. Akuifer air tanah dalam.
Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi
dan/atau lintas batas negara. Pemerintah Propinsi mengkoordina-
sikan pengelolaan kualitas air lintas Kab/Kota. Sedangkan Peme-
rintah Kab/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kab/Kota.
Pemerintah dapat menentukan baku mutu air yang lebih ketat
dan/atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi
dan/atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaan-
nya di bawah kewenangan Pemerintah.
Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan tetap memperhatikan saran masukan dari instan-
si terkait. Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Per-
aturan Daerah Propinsi.
Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana
dan/atau sarana pengelolaan air limbah yang disediakan oleh Pe-
merintah Kab/Kota dapat dikenakan retribusi yang ditetapkan de-
ngan Perda Kab/Kota. Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib
membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada
keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengelolaan Kualitas Air; Bab III
Pengendalian Pencemaran Air; Bab IV Pelaporan; Bab V Hak dan
Kewajiban; Bab VI Persyaratan Pemanfaatan dan Pembuangan
Air Limbah; Bab VII Pembinaan dan Pengawasan; Bab VIII
Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup.
26. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2002
tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif
Peraturan Pemerintah ini sebagai pelaksana dari ketentuan
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran. Peraturan ini mengatur klasifikasi limbah
radioaktif, manajemen perizinan, pengolahan, pengangkutan, dan
penyimpanan limbah radioaktif, program jaminan kualitas, pe-
ngelolaan dan pemantauan lingkungan, pengolahan limbah
radioaktif tambang bahan galian nuklir dan tambang lainnya, pro-
gram dekomisioning, serta penanggulangan kecelakaan nuklir
dan/atau radiasi.
Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk melindungi
keselamatan dan kesehatan pekerja, anggota masyarakat, dan
lingkungan hidup dari bahaya radiasi dan/atau kontaminasi.
Limbah radioaktif diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif
434342
-
tingkat rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi.
Setiap orang atau badan yang akan melakukan pemanfaatan
tenaga nuklir wajib menyatakan kepada Badan Pengawas bahwa
limbah radioaktif akan dikembalikan ke negara asal atau dise-
rahkan kepada Badan Pelaksana untuk dikelola. Pengolahan lim-
bah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang dapat dilakukan
sendiri oleh penghasil limbah radioaktif.
Pengelola limbah radioaktif sebelum melaksanakan pengelo-
laan limbah radioaktif harus membuat program jaminan kualitas
untuk kegiatan desain, pembangunan, pengoperasian dan per-
awatan, dekomisioning instalasi, serta pengelolaan limbah
radioaktif. Pengelola limbah radioaktif harus melakukan pe-
mantauan tingkat radiasi dan radioaktivitas lingkungan di sekitar
instalasi.
Badan Pelaksana atau badan yang melakukan penambangan
bahan galian nuklir wajib melakukan pengumpulan, pengelom-
pokkan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah
radioaktif. Sebelum melaksanakan dekomisioning instalasi pengo-
lahan limbah radioaktif, setiap pengolah limbah radioaktif wajib
menyampaikan dokumen program dekomisioning kepada Badan
Pengawas. Penghasil, pengolah, dan pengelola limbah radioaktif
harus melakukan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan nuklir
dan/atau radiasi.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup, Asas dan Tu-
juan; Bab III Klasifikasi Limbah Radioaktif; Bab IV Manajemen
Perizinan; Bab V Pengolahan, Pengangkutan dan Penyimpanan
Limbah Radioaktif; Bab VI Program Jaminan Kualitas; Bab VII
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan; Bab VIII Pengolahan
Limbah Radioaktif Tambang Bahan Galian Nuklir dan Tambang
Lainnya; Bab IX Program Dekomisioning; Bab X Penanggulangan
Kecelakaan Nuklir dan/atau Radiasi; Bab XI Sanksi Administratif;
Bab XII Ketentuan Pidana; Bab XIV Ketentuan Penutup.
27. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 2002
tentang Penambahan Penyertaan Modal
Pemerintah Republik Indonesia Dalam
Modal Perum Jasa Tirta I
Pemerintah melakukan penambahan penyertaan modal ke da-
lam modal Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta I, yang didi-
rikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 1999
tentang Perum Jasa Tirta I. Penambahan penyertaan modal terse-
but berasal dari kekayaan Negara.
Pelaksanaan penambahan penyertaan modal Negara ke dalam
Perum Jasa Tirta I dilakukan menurut ketentuan Peraturan Pe-
merintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum
(PERUM), Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2001 tentang
Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Ke-
uangan Pada Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan
Umum (PERUM) dan Perusahaan Jawatan (PERJAN) Kepada
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Daftar Isi Bab I Penambahan Penyertaan Modal; Bab II Pelaksanaan
Penambahan Penyertaan Modal; Bab III Ketentuan Penutup.
4544 45
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2005
tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 Undang-undang No-
mor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air maka ditetapkan Per-
aturan Pemerintah tentang Pengembangan Sistem Penyediaan
Air Minum. Pengaturan pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum (selanjutnya disingkat SPAM) diselenggarakan secara ter-
padu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi yang
berkaitan dengan air minum. Dalam penyelenggaraan pengem-
bangan SPAM dan/atau prasarana dan sarana sanitasi,
Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama antar daerah.
Kebijakan dan strategi nasional pengembangan SPAM disusun
dan ditetapkan oleh Pemerintah setiap 5 tahun sekali melalui kon-
sultasi publik. Rencana induk pengembangan SPAM yang cakup-
an wilayah layanannya bersifat lintas Kabupaten/Kota ditetapkan
oleh Pemerintah Provinsi setelah berkoordinasi dengan daerah
Kabupaten/Kota terkait. Jika bersifat lintas provinsi, maka ditetap-
kan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait,
pemerintah provinsi, dan/atau kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan SPAM dilakukan oleh
BUMN atau BUMD yang dibentuk secara khusus untuk pe-
ngembangan SPAM. Apabila BUMN/BUMD tidak dapat mening-
katkan kuantitas dan kualitas pelayanan SPAM di wilayah pela-
yanannya, maka atas persetujuan dewan pengawas/komisaris da-
pat mengikutsertakan koperasi, badan usaha swasta, dan/atau
masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM di-
bentuklah suatu badan yang disebut Badan Pendukung Pengem-
bangan SPAM (BPP SPAM). BPP SPAM merupakan badan non-
struktural yang dibentuk oleh, berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Menteri. Keanggotaan BPP SPAM terdiri atas unsur
Pemerintah, unsur penyelenggara dan unsur masyarakat.
Dalam hal pembiayaan pengembangan SPAM meliputi pem-
biayaan untuk membangun, memperluas serta meningkatkan sis-
tem fisik (teknik) dan sistem non-fisik dapat berasal dari Peme-
rintah dan/atau Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, koperasi, ba-
dan usaha swasta, dana masyarakat dan/atau sumber dana lain
yang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Koperasi, badan usaha swasta dan/atau masyarakat dapat me-
nyelenggarakan SPAM untuk memenuhi kebutuhan sendiri berda-
sarkan izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Masyarakat yang dirugikan berhak mengajukan gugatan per-
wakilan ke pengadilan. Begitu pula dengan organisasi yang berge-
rak pada bidang sumber daya air berhak mengajukan gugatan ter-
hadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang
menyebabkan kerusakan pada prasarana dan sarana penyediaan
air minum.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Sistem Penyediaan Air Minum;
Bab III Perlindungan Air Baku; Bab IV Penyelenggaraan; Bab V
Wewenang dan Tanggung Jawab; Bab VI Badan Pendukung Pe-
ngembangan SPAM; Bab VII Pembiayaan dan Tarif; Bab VIII Tu-
gas, Tanggung Jawab, Peran, Hak, dan Kewajiban; Bab IX Pem-
binaan dan Pengawasan; Bab X Gugatan Masyarakat dan Orga-
nisasi; Bab XI Sanksi Administratif; Bab XII Ketentuan Peralihan;
Bab XIII Ketentuan Penutup.
4746 47
-
29. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (7) Undang-Un-
dang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ma-
ka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum.
Badan Layanan Umum (BLU) bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kese-
jahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasar-
kan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek
bisnis yang sehat.
BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara lemba-
ga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum
yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelega-
sikan oleh instansi yang bersangkutan.
Di lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak
satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola lebih efektif
melalui pola Badan Layanan Umum. Dengan pola pengelolaan
keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan
anggaran termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pen-
gelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa.
Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola
keuangan dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum (PPK-BLU) apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis,
dan administratif. Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU
menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh
Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya. BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat
sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.
BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan
mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lemba-
ga (Renstra KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD).
Pola BLU tersedia untuk diterapkan oleh setiap instansi peme-
rintah yang secara fungsional menyelenggarakan kegiatan yang
bersifat operasional. Dengan demikian, BLU diharapkan tidak
sekedar sebagai format baru dalam pengelolaan APBN/APBD,
tetapi BLU diharapkan untuk menyuburkan pewadahan baru bagi
pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi mening-
katkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Daftar Isi Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tujuan dan Asas; Bab III Per-
syaratan, Penetapan, dan Pencabutan; Bab IV Standar dan Tarif
Layanan; Bab V Pengelolaan Keuangan BLU; Bab VI Tata Kelola;
Bab VII Ketentuan Lain; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ke-
tentuan Penutup.
30. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 54 Tahun 2005
tentang Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau untuk menu-
tup kekurangan kas yang digunakan untuk me