Buku Propaganda Ideologi Islam

174

Transcript of Buku Propaganda Ideologi Islam

Page 1: Buku Propaganda Ideologi Islam

الرحيم الرحمن الله بسم

Page 2: Buku Propaganda Ideologi Islam

PROPAGANDA IDEOLOGI ISLAM

Pemikiran Partai Ideologi Islam

Sesungguhnya realitas buruk umat ini perlu diubah. Perubahan itu seharusnya dilakukan secara politis melalui sebuah partai (kutlah) politik yang ditegakkan di atas dasar ideologi (mabda’) Islam. Oleh karena itu harus ada penelitian terhadap berbagai karakteristik partai politik ideologi Islam yang ada, berikut faktor-faktor pendukungnya. Di samping itu harus pula dilakukan penelitian terhadap sejumlah partai politik terdahulu dalam rangka mengetahui sebab-sebab kegagalan dan kehancurannya, terutama menyangkut aspek keorganisasiannya. Hal ini termasuk di antara materi yang mesti ada dalam pemikiran (tsaqâfah) kolektif organisasi/partai.

Umat Islam saat ini hidup di dalam struktur masyarakat yang pemikiran, perasaan, dan peraturannya campur-aduk. Oleh karena itu, perjuangan untuk mendirikan Daulah Islamiyah pasti akan berhadapan vis a vis dengan masyarakat berikut seluruh realitas, komponen, dan apa saja yang berpengaruh di dalamnya; di samping akan berhadapan dengan bagaimana cara mengubahnya agar tercipta suatu masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang bersifat satu warna dan khas Islam.

Realitas individu tidak sama dengan realitas masyarakat. Komponen-komponen pembentuk individu tentu berbeda dengan komponen-komponen pembentuk masyarakat. Berdasarkan hal ini, hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan individu berbeda pula dengan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan masyarakat.

Aktivitas partai politik ideologi Islam berkaitan dengan transformasi sosial atau perubahan masyarakat. Oleh karena itu, ia harus mengadopsi secara rinci semua hal yang berkaitan dengan perubahan masyarakat, yakni berupa berbagai pemikiran dan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbaikan realitas masyarakat ini.

~ 1 ~

Page 3: Buku Propaganda Ideologi Islam

Pada saat yang sama, organisasi/partai dakwah ideologi Islam harus memberikan petunjuk kepada setiap individu, baik yang menjadi anggotanya maupun yang menjadi anggota masyarakat, bahwa mereka wajib mengadopsi setiap hukum yang berkaitan dengan aktivitas dan perjuangannya. Hukum-hukum yang dimaksud, baik yang berkaitan dengan upaya mendirikan masyarakat Islam yang terkait dengan dirinya sebagai fardhu kifayah—yang tidak ada uzur baginya untuk meninggalkannya—ataupun yang berkaitan dengan pribadinya ketika partai politik ideologi Islam ini menyeru dirinya untuk terikat dengan syariat dalam masalah muamalat, ibadat, dan akhlak, yang seluruhnya tegak di atas landasan akidah Islam dalam kehidupannya sehari-hari.

Umat Islam saat ini banyak mempergunakan akal mereka yang telah teracuni oleh pemikiran Barat dan mengikuti hukum-hukum akal mereka dalam menentukan kemaslahatan. Untuk dapat meneladani dengan tepat dan benar-benar konsisten jalannya suatu aktivitas kita harus berhadapan dengan akal dan faktor-faktor penyusunnya. Dengan begitu akan diketahui batas-batas penggunaannya sekaligus cara-cara penggunaannya dalam masalah akidah, hukum-hukum syariat, pemikiran-pemikiran dan realitas yang ada.

Aktivitas dakwah ini ditujukan untuk menegakkan hukum Allah dan menegakkan negara Khilafah Islam. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengetahuan mengenai perjalanan Rasulullah Saw. di Makkah dan berbagai aktivitas yang beliau lakukan, yang mengantarkan beliau pada tegaknya Daulah Islamiyah yang awalnya hanya seluas Madinah. Dari sinilah kita dapat meneladani beliau. Aktivitas perjuangan ini juga menuntut adanya upaya pembedaan antara hukum-hukum mengenai metode (tharîqah), sarana (wasîlah), dan strategi (uslûb) dakwah ideologi Islam, sehingga kita benar-benar tepat dalam meneladani Rasulullah Saw.

Aktivitas dakwah ideologi Islam ini juga ditujukan untuk menegakkan hukum Allah dan mengganti sistem yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, diperlukan adanya monitoring

~ 2 ~

Page 4: Buku Propaganda Ideologi Islam

(kontrol) politik terhadap setiap aktivitas penguasa, sekaligus adanya pemahaman mengenai realitas mereka, keterlibatan mereka, dan politik negara-negara besar yang mengendalikan sepak terjang mereka, serta adanya upaya untuk membongkar segala strategi mereka.

Sesungguhnya negeri-negeri Islam saat ini tunduk pada sistem kufur — khususnya pada peradaban Barat— dalam sistem pemikiran, sosial, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, perjalanan dakwah ideologi Islam untuk mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah akan berhadapan dengan sejumlah ideologi, akidah, serta pemikiran dan sistem-sistem non-Islam yang dilahirkannya.

Sesungguhnya tujuan syariat adalah diterapkannya Islam dan mengemban Islam sebagai risalah ke seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemaparan mengenai pemerintahan Islam dan Daulah Khilafah Islamiyah serta bentuk negaranya, berikut pilar-pilarnya, strukturnya, UUD-nya, dan pemikiran umum yang diterapkan di dalamnya; diperlukan adanya pemaparan bentuk-bentuk pemerintahan yang ada sekarang ini agar bisa dilihat adanya perbedaan antara Daulah Khilafah Islamiyah dan negara sistem kufur serta agar umat Islam tidak terpengaruh dengan segala bentuknya; serta diperlukan adanya pemaparan mengenai dasar negara.

Dengan jalan (manhaj) semacam ini, partai politik ideologi Islam harus menempuh perjalanan dakwahnya dengan cara menentukan terlebih dulu pemikiran (tsaqâfah) kolektifnya. Pemikiran kolektif inilah yang dipraktikkan dan didakwahkan di tengah-tengah masyarakat dengan cara yang dituntut oleh dakwah yang ditujukan dalam rangka mengembalikan kehidupan Islam. Kehidupan Islam terwujud dengan penegakkan Khilafah Islamiyah yang memerintah umat Islam dan non-Muslim —yang menjadi rakyatnya— dengan Islam. Dari sinilah risalah Islam kemudian disebarluaskan ke luar negeri melalui aktivitas dakwah dan jihad yang dilakukan oleh negara Khilafah.

~ 3 ~

Page 5: Buku Propaganda Ideologi Islam

Urgensi Akidah Islam

Sebagaimana diketahui, akidah Islam harus menjadi motivator kerja partai politik ideologi Islam, dan upaya mendirikan pemerintahan Islam yang menerapkan hukum-hukum Allah harus menjadi tujuannya sehingga kehidupan Islam terwujud. Oleh karena itu, pemikiran kolektif yang diadopsi oleh partai politik Islam wajib diambil dalam bentuknya yang terikat kuat dengan akidah. Cara seperti itu akan mewujudkan rasa tanggung jawab, perhatian, kesungguhan, semangat yang berapi-api, serta pengorbanan pada para pengemban dakwah atau para aktivis partai ideologi Islam. Cara seperti ini juga, pada saat yang sama, akan menjadikan seorang Muslim mau menanggung berbagai kesulitan yang menghadangnya, dan tidak akan menjadikan pengemban dakwah menunggu ‘ucapan terima kasih’ dari manusia.

Yang akan terjadi pada dirinya justru adalah rasa khawatir terhadap Hari Kiamat. Dengan begitu, dia senantisa ridha dengan segala kesulitan aktivitas yang dijalaninya serta keterhalangan dirinya dari kesenangan dan kenikmatan dunia. Semua itu dilakukan semata-mata demi memperoleh keridhaan Tuhannya serta demi memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan akhirat.

Dijadikannya akidah Islam sebagai asas pemikiran partai politik ideologi Islam juga meniscayakan akidah Islam sebagai satu-satunya asas perubahan masyarakat. Artinya, perubahan sosial yang diupayakan semata-mata harus didasarkan pada akidah Islam; bukan karena faktor kebencian terhadap kezaliman yang meliputi masyarakat, atau agar masyarakat terlepas dari kebodohan, atau semata-mata demi memperbaiki keadaan.

Dengan kata lain, faktor yang mendorong seorang Muslim untuk berdakwah dan yang mendorong kaum Muslim lainnya untuk menyambut seruan dakwahnya adalah pemikiran-pemikiran tentang keimanan. Hal inilah yang, pada dasarnya, merupakan manhaj yang dikehendaki oleh Islam. Pemikiran tentang keimanan yang dijadikan asas pemikiran kolektif bagi perubahan sosial ini wajib disampaikan dalam bentuk yang mampu mendorong

~ 4 ~

Page 6: Buku Propaganda Ideologi Islam

tercapainya tujuan yang telah dicanangkan. Demikian pula dengan akidah Islam dan hukum-hukumnya serta penelitian terhadap realitas yang ada; wajib disampaikan dalam bentuk yang dapat mendukung tercapainya tujuan yang ada.

Walhasil, pemikiran kolektif partai harus senantiasa diikat dengan akidah Islamiyah, dengan dalil-dalil syariat, dan yang disampaikan dengan cara yang dapat merealisasikan tujuan syariat. Tujuan tersebut adalah terwujudnya penyembahan kepada Allah secara praktis dengan jalan mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah, yakni merealisasikan bahwa kedaulatan hanya milik Allah semata. Atas dasar inilah, para anggota partai politik ideologi Islam harus dibina dan dikaderisasi.

Akidah Islam, sebagaimana dipahami, menduduki posisi puncak; laksana kepala bagi tubuh, dan jantung bagi anggota-anggota tubuh. Akidah Islam merupakan satu-satunya pengatur dan pengendali segala perkara sekaligus penjaga segala sesuatu.

Akidah Islam ini, ketika disampaikan, harus mampu mendorong manusia ke arah pengesaan Allah Swt. dalam masalah ibadah maupun hukum (tasyrî‘). Artinya, harus diyakini, bahwa tidak ada seorangpun selain-Nya yang memiliki hak ini. Allahlah satu-satunya Tuhan dan satu-satunya Pencipta. Dialah Yang Mahatahu atas semua perkara lahir maupun batin. Dialah satu-satunya Yang berhak membuat/menetapkan syariat dan Yang berhak melakukan pengaturan. Karena manusia secara fitrah merasakan bahwa dirinya lemah, serba kurang, membutuhkan yang lain, serta terbatas, maka sesungguhnya upaya dirinya mencari Tuhan dimaksudkan agar Tuhan memberinya petunjuk jalan yang benar dan mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya Islam.

Sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Rasulullah Saw. dari kalangan hamba-Nya yang terpilih untuk membawa risalah-Nya yang akan memberikan petunjuk jalan yang lurus kepada orang-orang yang mengikutinya. Allah meminta kepada kita agar hanya mengikuti Rasulullah dalam semua perkara yang disampaikannya

~ 5 ~

Page 7: Buku Propaganda Ideologi Islam

dari Tuhannya. Rasululullah Saw. adalah ma‘shûm (terpelihara dari dosa).

Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya merupakan risalah bagi umat manusia seluruhnya yang menjadi petunjuk, cahaya, rahmat, nasihat, dan obat bagi jiwa-jiwa manusia. Allah telah menjanjikan kepada mereka kesenangan yang abadi jika mereka beriman dan taat kepada-Nya. Sebaliknya, Allah juga mengancam mereka dengan Neraka Jahanam jika mereka menolak perintah-Nya. Manusia adalah makhluk yang diciptakan agar hanya beribadah kepada Allah dengan hanya mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Rasulllah Saw.

Umat Islam harus diberikan penjelasan bahwa Islam mengikat realitas manusia dengan keimanannya kepada Zat Yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur; juga pada apa yang ada pasca kehidupan dunia, yaitu Hari Kebangkitan serta adanya perhitungan, pahala, dan dosa. Hal ini harus disampaikan dengan cara yang dapat menjelaskan hubungan ini. Harus dijelaskan pula, bahwa siapapun yang memutuskan atau memisahkan hubungan/keterikatan ini tidak akan mampu menegakkan pendapatnya di atas hujjah yang kuat atau bukti yang nyata, sehingga pendapatnya tergolong pendapat yang kufur.

Akidah Islam wajib disampaikan dengan cara yang dapat menghidupkan umat dan mendorongnya untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Akidah Islam wajib dijelaskan kepada umat Islam sebagai sesuatu yang layak untuk menghadapi berbagai pemikiran kufur yang ada sekarang ini.

Harus dijelaskan kepalsuan setiap pemikiran kontemporer seperti kapitalisme, nasionalisme/ ashobiyah, atau patriotisme. Harus pula dilakukan upaya untuk membandingkan antara pemikiran-pemikiran Islam dan pemikiran-pemikiran lainnya untuk memperoleh hasil, yaitu meruntuhkan setiap pemikiran selain Islam

~ 6 ~

Page 8: Buku Propaganda Ideologi Islam

dan selanjutnya meruntuhkan pula setiap institusi yang berdiri di atasnya.

Dari sini kemudian dijelaskan, bahwa hanya Islam yang benar dan layak untuk seluruh dunia (karena keuniversalan akidah dan sistemnya) dan hanya pada Daulah Islamiyah Islam dapat direpresentasikan secara utuh. Di dalam medan semacam inilah jamaah ideologi Islam berusaha untuk menjatuhkan setiap propaganda, slogan-slogan yang digelar, papan-papan pengumuman, dan seruan-seruan palsu yang ditanamkan oleh orang-orang kafir di benak umat Islam seperti slogan, “Kebebasan kebudayaan dan pemikiran,” “Berikan apa yang menjadi hak kaisar kepada kaisar dan berikan apa yang menjadi hak Allah kepada Allah,” “Tanah airku selalu benar.”

Hendaknya partai politik ideologi Islam beraktivitas untuk menjauhkan setiap pemikiran Barat dari benak umat Islam dan dari kehidupan mereka, yaitu dengan menyangkal berbagai pemikiran destruktif yang berkembang seperti: “Pembaharuan Syariat,” “Yurisprudensi Syariat,” “Elastisitas syariat untuk merespon perkembangan zaman (menurut versi Barat),” “Pemisahan agama dari politik,” “Tidak ada politik dalam agama,” “Tidak bisa diingkari adanya perubahan hukum-hukum karena adanya perubahan waktu dan tempat,” dan lain-lain. Selain meruntuhkan semua propaganda ini, organisasi/partai dakwah ideologi Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran yang benar yang berlandaskan pada —sekaligus lahir dari— konsep syahadat “Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh.”

Secara syar‘î, dapat dimaklumi, bahwa kalimat Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh —baik secara ilmu maupun amal— tidak akan bersih berada di dalam jiwa sampai segala pemikiran selainnya dibuang dan setiap keimanan kepada selain-Nya dijauhkan dari dalam jiwa itu. Allah Swt. berfirman:

“Oleh karena itu, siapa saja yang ingkar (kufur) terhadap thâghût dan beriman kepada Allah, berarti ia telah berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus.

~ 7 ~

Page 9: Buku Propaganda Ideologi Islam

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Dalam ayat di atas, kata kufur terhadap thâghût supaya tidak menempel satu noda syirik atau satu kotoran kekufuran pun dalam jiwa, sehingga setelah itu datang keimanan yang ikhlas. Inilah keadaan yang dialami oleh orang yang berpegang teguh pada tali yang kukuh (‘urwah al-wutsqâ).

Allah Swt. berfirman:“Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, serta mohonkanlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (TQS. Muhammad [47]: 19).

Frasa lâ ilâha berarti bahwa setelah meneliti dan memikirkan, muncullah ‘ilm (baca: keyakinan) —yang bermakna negasi— bahwa sesungguhnya tidak ada ‘tuhan’ yang ada sebagai Tuhan yang layak untuk disembah. Kemudian, frasa illâ Allâh merupakan afirmasi (itsbât) bahwa ketuhanan (ulûhiyyah) hanyalah hak/milik Allah semata. Artinya, kalimat di atas menegasikan tuhan selain Allah, dan sekaligus mengafirmasikan (mengukuhkan) bahwa hanya Allah yang layak disebut Tuhan.

Dalam perspektif bahasa Arab, kalimat semacam ini adalah bentuk pengukuhan (itsbât) yang paling kuat dan memiliki fungsi untuk memberikan pembatasan/pengkhususan (al-hashr). Oleh karena itu, bukan pemikiran sosialis, nasionalisme/ashobiyah, atau patriotisme yang akan menyelamatkan atau merupakan pemikiran yang benar. Alasannya, pemikiran-pemikiran itu semuanya adalah rusak dan batil, menyengsarakan manusia, dan bukan membahagiakannya. Jadi, selain Islam dan syariat-Nya, tidak ada yang lain yang merupakan petunjuk, cahaya, dan penyembuh.

Partai politik ideologi Islam mesti melakukan pembinaan atas para anggotanya sekaligus membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islâmiyyah) mereka. Caranya adalah dengan

~ 8 ~

Page 10: Buku Propaganda Ideologi Islam

menyampaikan kepada mereka sejumlah tolok ukur/ standar yang benar dan memuaskan jiwa-jiwa mereka. Dengan begitu, mereka suka untuk senantiasa terikat dengan syariat, dan benci jika melanggarnya; mereka cinta untuk selalu berhukum dengan syariat, dan benci jika berhukum dengan selainnya. Dengan begitu pula, cara berpikir mereka dalam memandang perkara-perkara yang ada selalu terjaga dengan sejumlah tolok ukur dan pemikiran yang bersumber dari syariat; kecenderungan mereka mengikuti kecenderungan Islam; serta keridhaan dan kebencian mereka semata-mata karena alasan syar‘î.

Partai politik ideologi Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran ini kepada para pengikutnya melalui sejumlah halqah murakkazah (pembinaan intensif). Halaqah ini dimaksudkan dalam rangka mempersiapkan para aktivis partai ideologi Islam untuk memimpin dan melaksanakan aktivitas dakwah ideologi Islam. Hal itu dilakukan setelah mereka ikut terjun ke dalam realitas bersama partai untuk mengajak masyarakat agar mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam.

Partai politik ideologi Islam juga mesti berusaha memahami realitas yang ada dengan cara berpikir. Ia juga mesti menyampaikan kepada para aktivisnya proses berpikir yang dipergunakannya. Dengan demikian, partai ideologi Islam berperan sebagai pembimbing bagi para aktivisnya mengenai bagaimana cara mereka berinteraksi dengan realitas, serta bagaimana cara mereka untuk sampai pada pemahaman Islam mengenai sejumlah realitas yang ada yang menempati posisi sebagai obyek hukum (manâth al-hukm) baginya; seperti definisi akal, kebutuhan fisik (hâjât al-‘udhawiyyah), naluri-naluri (gharâ-iz), kebangkitan (nahdhah), masyarakat (mujtama‘), peradaban/kultur (hadhârah), kebudayaan material (madaniyyah), dan lain-lain. Semua itu tentu saja mesti didefinisikan karena adanya kebutuhan untuk mengetahui hakikatnya yang sangat berkaitan dengan banyak hukum syariat.

Partai politik ideologi Islam harus memahami hukum-hukum syariat melalui pemahaman terhadap dalil-dalilnya. Dari dalil-dalil

~ 9 ~

Page 11: Buku Propaganda Ideologi Islam

itulah kemudian digali sejumlah hukum yang berkaitan dengan penyelesaian berbagai masalah atau perbaikan realitas. Hal ini tentu saja membutuhkan pengadopsian (tabanni) sejumlah perangkat ilmu keislaman. Ilmu inilah yang memungkinkan partai mampu memahami nash-nash syariat sehingga, pada gilirannya, ia mampu memahami hukum-hukum syariat dengan sebenar-benarnya. Dalam hal ini, partai ideologi Islam wajib mempergunakan metode penggalian dalil (istidlâl), khususnya di hadapan para aktivisnya dan juga umat Islam secara umum. Artinya, partai ideologi Islam mesti mengajarkan kepada mereka, sekaligus menanamkan di dalam jiwa-jiwa mereka, metode Islam yang benar di dalam memahami sekaligus menggali hukum-hukum syariat.

Partai politik Islam, ketika pemikiran-pemikiran Islam yang diadopsinya ditransformasikan kepada para aktivisnya, juga wajib memperhatikan bahwa aspek amaliahnyalah yang dijadikan tujuan. Jadi, pemikiran kolektif partai ideologi Islam bukan sekadar untuk dipelajari, dikembangkan sebagai pengetahuan, atau semata-mata ditujukan agar para aktivisnya mencapai derajat ilmu yang mumpuni. Akan tetapi, lebih dari itu, pemikiran kolektif ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi pergumulan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) melawan konsep-konsep kufur, sekaligus untuk mengembannya sebagai kepemimpinan ideologis (qiyâdah fikriyyah) di dalam diri umat dalam upaya mendirikan sebuah institusi Daulah Khilafah Islamiyah yang akan membumikannya.

Partai politik Islam juga wajib menerjemahkan pemikiran kolektifnya secara praktis dan mendetail. Partai ideologi Islam tidak boleh mengatakan sesuatu tetapi melakukan sesuatu yang sebaliknya. Jika melakukan hal yang demikian, niscaya hanya kebencian yang besar di sisi Allah terhadap partai, karena ia mengetahui yang haq tetapi melaksanakan hal yang sebaliknya.

Memang, partai politik Islam harus mengadopsi pemikiran (tsaqâfah) Islam —sebagai pemikiran kolektif partai— dan demikian juga para aktivisnya. Partai ideologi Islam harus menjadikan

~ 10 ~

Page 12: Buku Propaganda Ideologi Islam

pemikiran kolektifnya sebagai asas bagi mereka dan menanamkannya dalam jiwa para aktivisnya. Dari sini, partai politik Islam dapat terjun ke tengah-tengah umat dengan membawa pemikiran-pemikiran Islam yang pokok, yakni dengan cara yang dapat membentuk opini umum terhadap pemikiran-pemikiran tersebut.

Partai politik Islam terjun ke tengah-tengah umat dengan sejumlah pemikiran Islam mengenai akidah dan hukum-hukum syariat yang pokok dalam bentuk yang dapat menyatukan umat. Hal ini dilakukan untuk mencapai satu tujuan, yaitu menjadikan syariat Allah sebagai satu-satunya hakim (pemutus perkara). Dengan begitu, partai ideologi Islam telah memiliki perspektif yang benar, yang dianggap sebagai awal kembalinya kepribadiannya yang telah lama hilang.

Pemikiran-pemikiran asasi dan hukum-hukum syariat pokok yang dimaksud adalah seperti pemikiran-pemikiran yang mendorong umat pada pengesaan Allah dalam hukum (tasyrî‘) dan ibadah, yang mengarahkan pada pemahaman bahwa Rasulullah Saw. adalah satu-satunya yang boleh diikuti, yang merangsang umat untuk selalu merindukan Surga, dan yang menimbulkan rasa ngeri terhadap Neraka. Pemikiran-pemikiran asasi dan hukum-hukum syariat pokok ini juga harus mengandung penjelasan bahwa: usaha untuk mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah adalah salah satu kewajiban paling penting di antara sejumlah kewajiban penting lainnya dalam Islam, karena banyaknya kewajiban lain yang bergantung padanya; umat Islam adalah umat yang satu, berbeda dengan umat yang lain, sehingga adanya perbedaan ras atau sistem non-Islam yang berkuasa atas mereka tidak boleh menjauhkan jarak mereka; umat Islam adalah bersaudara sehingga bukan ikatan patriotisme atau nasionalisme/ashobiyah yang menguasai mereka; jauhnya umat Islam dari hukum-hukum syariatlah yang mewariskan kehinaan dan kerendahan bagi mereka; umat Islam wajib untuk terikat dengan syariat yang berasal dari Tuhan mereka dan mereka tidak boleh melakukan satu perbuatan pun kecuali setelah mengetahui dalilnya.

~ 11 ~

Page 13: Buku Propaganda Ideologi Islam

Pemikiran-pemikiran yang seperti inilah yang akan menciptakan suatu lahan yang subur bagi tumbuhnya pemahaman dan upaya untuk hukum-hukum Islam yang matang dan bernas.

Cita-cita kita adalah bagaimana mewujudkan metode dakwah/perjuangan yang selamat, yang memang diperintahkan oleh syariat, di dalam menentukan pemikiran kolektif ini. Dengan berpedoman pada metode tersebut, proses pengadopsian pemikiran tersebut berlangsung dengan sempurna.

Dengan demikian, berarti telah lahir di dalam partai ideologi Islam sejumlah besar pemikiran dan pendapat Islam serta hukum-hukum syariat yang harus dimilikinya. Semua itu diperlukan sebagai bekal untuk menerjuni pergulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), mewujudkan pemikiran-pemikiran yang terkonsentrasikan (tsaqâfah murakkazah) dalam diri orang-orang yang bersedia memikul tanggung jawab dakwah ideologi Islam ini di atas pundak-pundak mereka, serta menciptakan opini umum di tengah-tengah umat sehingga mereka mau menerima pemikiran-pemikiran yang diemban oleh partai ideologi Islam.

Inilah rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh partai politik Islam. Jika partai ideologi Islam tetap konsisten dengan batasan-batasan di atas, ia tidak akan ditimpa malapetaka seandainya ia membuat sejumlah kekeliruan pada sebagian hukum-hukum cabang, atau ketika partai ideologi Islam berbeda pendapat dengan partai lainnya. Perbedaan ini merupakan sesuatu yang wajar dan bukanlah hal yang aneh.

Inilah pemikiran (tsaqâfah) yang dibutuhkan oleh partai politik Islam agar berhasil mencapai cita-citanya. Keberhasilan tersebut akan direpresentasikan oleh adanya penerapan syariat Allah dan tersebar luasnya dakwah ideologi Islam ke seluruh pelosok dunia.

Keharusan Mengadopsi Pemikiran Islam yang Dibutuhkan ~ 12 ~

Page 14: Buku Propaganda Ideologi Islam

Untuk Menjalankan Aktivitas Kepartaian

Sebagaimana telah dimaklumi, sesungguhnya yang dituntut oleh syariat bukanlah semata-mata keharusan adanya suatu partai, tetapi, lebih dari itu, adalah adanya partai ideologi Islam yang mampu melaksanakan tugas dakwah ini. Dalil-dalil mengenai keharusan adanya partai dakwah ideologi Islam telah menjelaskan hal itu kepada kita.

Allah Swt. berfirman:“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan al-Khayr (al-Islâm), menyuruh kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104)

Melalui ayat di atas, syariat Islam telah mewajibkan umat Islam untuk mendirikan partai politik yang berideologikan Islam serta mengemban sejumlah pemikiran dan hukum-hukum syariat yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan transformasi kekuasaan (istikhlâf).

Yang dimaksud tentu bukan sekadar adanya sebuah partai semata; tetapi adanya partai yang dapat merealisasikan tujuannya yaitu mendakwahkan Islam, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Lebih dari itu, yang dituntut juga bukan sekadar adanya partai yang mendakwahkan Islam, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran; tetapi partai yang melaksanakan semua itu dalam upaya merealisasikan tujuan lain yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan perubahan (dan penerapan) kekuasaan (istikhlâf).

Rasulullah Saw. bersabda:“Tidak halal atas tiga orang yang berada di muka bumi kecuali mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi amir (pemimpin).” (HR. Ahmad ibn Hanbal)

~ 13 ~

Page 15: Buku Propaganda Ideologi Islam

Hadis di atas menunjukkan, bahwa setiap kerja kolektif yang dituntut atas umat Islam untuk dilaksanakan harus segera direalisasikan sampai terlaksana, seperti adanya seorang amir yang wajib ditaati dalam hal yang karenanya dia diangkat, dan adanya partai yang memiliki komitmen terhadap perintah amir. Dengan adanya kerja kolektif ini, akan dihasilkan apa yang memang dikehendaki sesuai dengan tuntutan syariat.

Kita telah memahami bahwa Allah Swt. telah membebankan banyak kewajiban atas umat Islam, termasuk yang pelaksanaannya bagi Khalifah semata, bukan yang lain. Konsekuensinya, umat Islam harus mengangkat seorang Khalifah untuk menegakkan berbagai kewajiban tersebut. Kitapun telah memahami bahwa pengangkatan Khalifah dan penegakkan ke-Khilafahan tidak mungkin dapat direalisasikan kecuali dengan adanya partai Islam. Implikasinya, harus ada partai Islam yang didirikan dalam rangka mengangkat Khalifah dan untuk menegakkan keKhilafahan. Ketentuan semacam ini didasarkan pada kaidah syariat berikut:

Selama suatu kewajiban tidak bisa direalisasikan dengan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.

Dengan demikian, jelaslah bahwa keberadaan partai Islam terkait erat dengan adanya tujuan syariat yang dituntut. Partai yang dimaksud bukanlah partai yang didirikan untuk sekadar mengemban dakwah Islam atau tabligh semata. Lebih dari itu, partai Islam yang ada haruslah ditujukan dalam rangka menegakkan Islam di dalam realitas kehidupan umat Islam melalui pendirian Daulah Khilafah Islamiyah. Daulah Islamiyahlah yang dianggap sebagai metode syariat untuk menerapkan setiap hukum Islam.

Partai ideologi Islam mengadopsi seluruh pemikiran, hukum, dan pendapat —yang sesuai dengan syariat Islam— yang dibutuhkan bagi aktivitas perjuangannya, sekaligus terikat dengan ketiganya; baik dalam pemikiran, perkataan, maupun tindakan. Alasannya, di antara fungsi pengadopsian (tabanni) —dalam pemikiran, hukum,

~ 14 ~

Page 16: Buku Propaganda Ideologi Islam

dan pendapat— adalah untuk mempersatukan para anggota partai ideologi Islam.

Sebuah partai yang para anggotanya memiliki berbagai pemikiran dan menganut berbagai ijtihad —meskipun mereka bersatu dalam satu tujuan dan dalam Islam secara umum— tidak bisa tidak, akan mudah ditimpa oleh keretakan dan perpecahan. Bahkan, lebih jauh, akan muncul di dalam tubuh partai itu sejumlah ‘partai kecil’ dan akan lahir sejumlah ‘jamaah’ di dalam jamaah; dakwahnya akan berubah dari upaya mengajak orang lain berjuang secara bersama-sama untuk menegakkan kewajiban ini ke arah upaya mengajak masuk ke dalam kelompoknya; mereka akan saling bertengkar; dan masing-masing menginginkan agar pendapatnyalah yang dipakai di dalam partai.

Dari sini, tampak jelas, betapa penting adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat) dan legislasinya bagi partai ideologi Islam. Alasannya, kesatuan partai ideologi Islam sangat dituntut oleh syariat, dan tidak ada yang dapat menjaga kesatuan partai ideologi Islam kecuali dengan adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat) yang dibutuhkan partai ideologi Islam dalam aktivitas perjuangannya.

Dalam hal ini, para aktivis partai ideologi Islam jelas wajib juga untuk mengadopsi apa yang telah diadopsi oleh partainya. Adopsi (tabanni) merupakan tuntutan syariat berdasarkan kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihî fahuwa wâjib.”

Selama berbagai pemikiran, hukum, dan pendapat untuk beraktivitas pada sebuah partai ideologi Islam sesuai dengan syariat serta selama para aktivisnya menaruh kepercayaan penuh pada partai ideologi Islam, maka partai boleh mewajibkan para aktivisnya untuk mengikatkan diri secara penuh pula dengan apa yang telah diadopsinya. Hal ini didasarkan pada kebolehan seorang bagi Muslim untuk meninggalkan pendapatnya dan beramal dengan pendapat orang lain.

~ 15 ~

Page 17: Buku Propaganda Ideologi Islam

Utsman ibn ‘Affan r.a., misalnya, ketika dibaiat menjadi Khalifah, rela meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil ijtihad Abu Bakar dan ‘Umar r.a., meskipun pendapat keduanya bertentangan dengan pendapatnya. Para sahabat telah menyetujui sikap ‘Utsman dan mereka pun membaiat ‘Utsman.

Hanya saja, hal ini merupakan sesuatu yang boleh, bukan suatu kewajiban. Alasannya, Sayidina ‘Ali r.a. tidak mau meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil pendapat Abu Bakar dan ‘Umar, sementara tidak ada seorangpun dari para sahabat yang mengingkari hal itu.

Ada pula ada hadis sahih dari asy-Sya‘bi yang menyebutkan bahwa Abu Musa pernah meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat Ali; Zaid meninggalkan ijtihadnya dan mengambil pendapat ‘Ubay ibn Ka‘ab; ‘Abdullah meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat ‘Umar. Banyak pula hadis yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar pernah meninggalkan pendapat mereka dan mengambil pendapat ‘Ali. Hal ini menunjukkan bolehnya seorang mujtahid meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat orang lain dengan didasarkan pada keyakinan pada ijtihadnya. Namun demikian, para aktivis partai ideologi Islam harus berpegang teguh pada pemahaman partainya sehingga akan tumbuh pada diri mereka suatu kesatuan pemikiran dan perasaan.

Partai ideologi Islam di samping harus mengadopsi hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aktivitasnya, ia juga harus mengadopsi sejumlah cara (uslûb) yang diperlukan untuk menerapkan hukum-hukum tersebut. Uslûb, dengan demikian, merupakan model dari penerapan hukum-hukum syariat.

Uslûb adalah hukum yang berkaitan dengan hukum asal di mana dalil datang untuk menetapkannya. Sebagai contoh: yang dituntut dari sebuah jamaah adalah memproduksi pemikiran (tsaqâfah) yang mendalam pada diri para aktivisnya, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Ini adalah hukum syariat yang harus dilaksanakan. Lantas, dengan model seperti apa dan

~ 16 ~

Page 18: Buku Propaganda Ideologi Islam

bagaimana hukum syariat ini diaplikasikan, tentu harus ada cara (uslûb) tertentu. Dalam hal ini, dapat digunakan uslûb berupa halqah, ‘usrah, atau model lainnya.

Banyaknya uslûb bagi penerapan satu hukum syariat mengharuskan partai ideologi Islam mengadopsi uslûb tertentu dan membimbing para aktivisnya untuk menggunakannya. Dalam hal ini, partai ideologi Islam hendaknya mengadopsi uslûb yang dapat mengantarkan pada penerapan hukum-hukum syariat. Atas dasar ini, hukum uslûb diambil berdasarkan hukum pokoknya. Jadi, uslûb yang diambil bersifat mengikat sebagaimana halnya hukum syariat.

Partai ideologi Islam yang telah memilih halaqah (halqah, halqât) sebagai uslûb untuk mewujudkan pemikiran (tsaqâfah) yang mendalam harus mengadopsi uslûb tersebut sebagai sesuatu yang mengikat. Ketika mengadopsi uslûb tersebut, partai ideologi Islam harus memandang bahwa tujuan yang diharapkan, yaitu terwujudnya tsaqâfah (pemikiran) Islam yang mendalam, akan tercapai dengan uslûb ini.

Contohnya adalah demikian: jumlah anggota halaqah harus disesuaikan dengan tujuan. Jumlah anggota halaqah yang terlalu banyak dapat menyebabkan para anggotanya kurang konsentrasi. Sebaliknya, jumlah anggota halaqah yang terlalu sedikit akan mengakibatkan jumlah kelompok halaqah menjadi banyak sehingga akan menyulitkan dan menyusahkan. Oleh karena itu, jumlah anggota halaqah harus sesuai dengan proses penanaman pemikiran Islam; tidak lebih dan tidak kurang. Penentuan jumlah anggota halaqah ini harus dipertimbangan secara rasional.

Demikian juga alokasi waktu yang diperlukan untuk halaqah; harus diatur agar para anggota halaqah tetap memiliki kesadaran di dalam memahami berbagai pemikiran yang ada. Alokasi waktu halaqah yang terlalu lama akan mengakibatkan daya serap para anggota terhadap materi halaqah menjadi rendah. Daya serap para anggota yang rendah akan mengakibatkan berbagai pemikiran tidak tersampaikan secara sempurna.

~ 17 ~

Page 19: Buku Propaganda Ideologi Islam

Demikian pula menyangkut frekuensi halaqah; apakah harian, mingguan, atau dwimingguan; harus disepakati dan ditetapkan waktunya. Dengan begitu, aspek praktis dalam dakwah tidak akan menjadi sulit dan para aktivis partai tidak disibukkan oleh aspek ilmiah Islam dengan mengorbankan aspek amaliahnya.

Demikianlah proses pengadopsian setiap uslûb yang sesuai dengan hukum-hukum syariat berlangsung dan menjadikannya pas dengan hukum-hukum syariat yang ingin direalisasikan.

Apa yang dibicarakan berkaitan dengan uslûb juga sama persis dengan apa yang dibicarakan bekenaan dengan wasilah (sarana) dakwah. Seorang pemimpin partai ideologi Islam, dalam hal ini, boleh melakukan perubahan terhadap uslûb dan wasilah yang digunakan sesuai dengan apa yang memang dituntut untuk merealisasikan suatu amal.

Karena aktivitas partai ideologi Islam meliputi areal yang luas di muka bumi dan memiliki jaringan di berbagai negara, maka besarnya tugas yang dibebankan pada partai mengharuskan adanya struktur administrasi (jihâz idârî). Dengan struktur administrasi ini, partai ideologi Islam dapat melakukan monitoring dakwah, merealisasikan berbagai targetnya di seluruh lahan aktivitasnya, mengatur dan menertibkan gerakan dakwah ideologi Islam, mengawasi pembinaan para aktivisnya, mempersiapkan kondisi umum atas ide, terjun dalam pergulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), sekaligus menampilkan diri di tengah-tengah umat sebagai satu tubuh yang memposisikan dirinya untuk melaksanakan kewajiban ini.

Dengan demikian, harus ada struktur organisasi yang didirikan untuk mencapai tujuan secara optimal sehingga hasil-hasilnya dapat diperoleh dan dilestarikan.

Oleh karena itu, partai ideologi Islam harus pula mengadopsi struktur administrasi (jihâz idârî) atau struktur organisasi sehingga pengaturan aktivitas dakwah ideologi Islam dapat dilakukan secara

~ 18 ~

Page 20: Buku Propaganda Ideologi Islam

sempurna. Dengan begitu, tujuan dakwah ideologi Islam dapai dicapai dengan sukses.

Setelah itu, partai ideologi Islam harus mengadopsi peraturan administrasi (qânûn idârî) yang akan mengatur setiap bagian partai dan gerakan di dalamnya, membatasi wewenang ketua (amir) partai, menentukan bagaimana ketua partai mengatur partai, menjelaskan bagaimana cara pemilihan ketua partai, serta menerangkan siapa yang berhak mengangkat penanggung jawab mantiqah-mantiqah (mas’ûl manâtiq) atau penanggung jawab wilayah-wilayah (mas’ûl wilâyât) dan batas-batas wewenang mereka. Singkatnya, peraturan ini mengatur administrasi setiap aktivitas partai ideologi Islam dan menentukan wewenang semua komponen partai ideologi Islam.

Semua yang disebutkan di atas merupakan uslûb dan wasilah yang dibutuhkan untuk melaksanakan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aktivitas partai ideologi Islam. Berbagai uslûb administrasi yang diadopsi partai wajib dilaksanakan selama ketua (amir) partai memandang perlu hal itu. Alasannya, menaati ketua/amir partai hukumnya wajib.

Setiap perkara yang telah diadopsi oleh partai ideologi Islam adalah wajib dilaksanakan. Lantas, bagaimana sikap partai jika terjadi pelanggaran terhadap apa yang telah diadopsinya? Apakan partai akan menyelesaikannya dengan teguran atau sanksi administratif?

Sebuah organisasi politik ideologi Islam sesungguhnya juga harus mengadopsi sejumlah sanksi administratif atas setiap anggotanya yang melanggar hukum yang telah diadopsinya atau yang melampaui batas-batas syariat yang telah ditetapkannya. Dasar hukum dari keharusan adanya sanksi-sanksi tersebut adalah adanya pelanggaran terhadap perintah amir (mukhâlafah al-amir). Alasannya, hukum syariat telah mewajibkan adanya amir jamaah atau ketua partai sekaligus mewajibkan pula untuk menaatinya. Pelanggaran terhadap setiap perintahnya —yang berkaitan dengan semua perkara yang menyebabkan dirinya diangkat sebagai amir/ketua atas diri mereka— adalah tindakan yang diharamkan.

~ 19 ~

Page 21: Buku Propaganda Ideologi Islam

Jika tidak demikian, eksistensi amir/ketua bagi partai ideologi Islam tentu tidak ada artinya.

Adanya sanksi-sanksi administratif harus meliputi seluruh komponen partai ideologi Islam, mulai dari amir sampai anggota terkecil dalam tubuh partai. Sanksi-sanksi ini diberlakukan atas seluruh pelanggaran terhadap apa yang telah diadopsi oleh partai ideologi Islam. Jadi, siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat yang diadopsi partai, melanggar uslûb-uslûb-nya, atau tidak mempedulikan eksistensi struktur administrasi (jihâz idârî) atau peraturan administrasi (qânûn idârî), ataupun keluar dari batas-batas wewenangnya harus ditegur, dikritik, atau diberi sanksi.

Demikianlah, suasana pemikiran harus disertai dengan suasana organisasi yang teratur, yang akan mengatur pengejawantahan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan aktivitas partai ideologi Islam dan hukum-hukum yang berhubungan dengan metode dakwahnya.

Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri betapa banyak organisasi Islam maupun non-Islam telah bubar karena tidak memperhatikan aspek keorganisasian yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, wajar jika sebuah partai yang tidak memperhatikan gagasan tentang betapa pentingnya pengadopsian (tabanni) pemikiran/hukum akan selalu dilanda perbedaan pendapat, menghadapi keguncangan dan kekacauan, masuk dalam lingkaran setan, mengalami berbagai deviasi, dan tidak memiliki pihak yang melakukan kritik terhadapnya.

Akibatnya, partai akan semakin jauh dari sosoknya yang memenuhi berbagai ketentuan syariat. Wajar pula jika perekrutan para anggota partai dan para penanggung jawabnya yang tidak berdasarkan syarat-syarat syar’iyyah yang tertib —tetapi berdasarkan pada kekerabatan, kedudukan sosial, jabatan, atau tingkat pendidikannya— akan mengakibatkan buruknya distribusi tugas-tugas dakwah dan menciptakan kesenjangan jabatan di antara para anggotanya.

~ 20 ~

Page 22: Buku Propaganda Ideologi Islam

Tidak adanya aturan administrasi yang jelas, yang harus ditaati oleh semua anggota partai, secara alami, juga akan menimbulkan kritik/teguran yang bersifat diskriminatif dan tidak proposional. Bahaya pula jika tidak ada sanksi-sanksi administratif yang tidak mentoleransi terjadinya pelanggaran besar maupun kecil dan tidak akan membiarkan orang menikmati kemaksiatan dan banyak berbuat kesalahan.

Berdasarkan hal di atas, berbagai aspek keorganisasian dan pembentukan tubuh partai ideologi Islam yang mampu bergerak secara efektif harus selalu diperhatikan, karena hal itu merupakan garansi bagi tertibnya pemikiran-pemikiran dakwah ideologi Islam dan terkoordinasinya para aktivis partai ideologi Islam, yang lebih lanjut akan memudahkan aktivitas dakwah ideologi Islam. Dalam hal ini, pembentukan partai atau jamaah dakwah ideologi Islam harus senantiasa sesuai dengan tujuannya.

Hendaknya jangan ada seorangpun yang berasumsi bahwa aspek keorganisasian hanya merupakan perkara sekunder. Akan tetapi, harus disadari bahwa aspek ini mempunyai peran yang sangat penting dan krusial. Oleh karena itu, jika penyusunan dan pembentukan partai tidak tepat, pengadopsian hukum-hukum yang diperlukannya tidak bagus, dan keterikatannya terhadap apa yang diadopsi tidak baik, maka segala sesuatu yang dimiliki partai —sebagaimana yang disebutkan sebelumnya— akan mengalami keruntuhan dan kehancuran.

Selanjutnya, harus disadari, bahwa pelaksanaan tugas-tugas keorganisasian mengharuskan partai atau jamaah memiliki dana. Di antaranya adalah untuk membiayai aktivitas para aktivisnya yang membutuhkan dana untuk transportasi, biaya percetakan/fotokopi, dan lain sebagainya, yang diperlukan bagi upaya pengembanan dakwah Islam. Tanggung jawab keuangan ini harus ditanggung oleh partai ideologi Islam, dengan kata lain, harus ditanggung oleh para anggotanya. Dengan demikian, siapa saja yang telah mengikhlaskan diri untuk berdakwah ideologi Islam, sudah selayaknya dia mengorbankan hartanya, yang nyata-nyata

~ 21 ~

Page 23: Buku Propaganda Ideologi Islam

lebih ringan dibandingkan dengan memilkul tugas dakwah ideologi Islam itu sendiri.

Dalam hal ini, partai ideologi Islam harus berusaha keras agar tidak meminta bantuan pihak luar; baik pihak luar ini adalah individu, kelompok, atau pemerintah yang ada. Dengan begitu, partai ideologi Islam tidak akan disusupi melalui sektor ini. Masalahnya, musuh-musuh partai ideologi Islam akan selalu berpikir untuk mengeksploitasi kebutuhan partai terhadap dana hingga mereka pun menawarkan bantuannya. Boleh jadi, pada awalnya tanpa pretensi apa-apa. Akan tetapi kemudian, tidak berapa lama, bantuan dana tesebut akan berubah menjadi bantuan yang mengandung motif dan tujuan tertentu di baliknya.

Sekarang ini, di lapangan dakwah terdapat banyak sekali lontaran pemikiran yang tidak berlandaskan pada asas yang benar, dan banyak sekali partai dakwah yang tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh syariat. Sejumlah partai yang ada itu tidak lain sekadar merupakan perkumpulan umat Islam yang rela melakukan aktivitas yang bersifat parsial —yang tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada, sekalipun bersifat parsial— serta melalaikan pandangan yang komprehensif menurut syariat Islam.

Sejumlah partai tersebut pada dasarnya tidak mengemban Islam secara benar, yakni yang memungkinkan Islam dapat diterapkan secara sempurna di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Partai dakwah semacam ini sangat banyak jumlahnya, bahkan di satu negeri saja bisa mencapai ratusan. Pada gilirannya, mereka menjadikan sejumlah “toko dan lahan pertanian” menghabiskan segala usahanya, serta menjadikan orientasi dan aktivitas yang sahih hilang pada diri umat Islam.

Di tengah sejumlah banyak partai dakwah yang banyak menarik perhatian ini, hanya ada sedikit sekali yang memiliki pandangan yang jauh ke depan untuk mencapai berbagai tujuan Islam dan berusaha merealisasikannya. Umat dilarang menyelisihi hal-hal yang qath’i (pasti) di dalam Islam.

~ 22 ~

Page 24: Buku Propaganda Ideologi Islam

“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian menyembah-Ku.” (TQS. al-Anbiya’ [21]: 92)

“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku.” (TQS. al-Mukminun [23]: 52)

“Permisalan orang-orang Mukmin itu dalam kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh; jika salah satu anggotanya ada yang sakit maka seluruh tubuh akan merasakan gelisah dan demam.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

“Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka sejumlah bukti yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang layak mendapatkan azab yang pedih.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 105)

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (TQS. al-An’am [6]: 159)

Berkaitan dengan ayat di atas, al-Baydhawi, berkata, “Mereka berlebih-lebihan dalam agama; mereka mengimani sebagian dan kafir atas sebagian yang lain; dan merekapun berbeda pendapat di dalamnya.”

Ayat-ayat ini telah mengeluarkan orang yang akidahnya bertentangan dengan akidah umat Islam dari agama Islam. Ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik di seputar perbedaan ijtihad dalam hal-hal yang dzanni (tidak pasti).

~ 23 ~

Page 25: Buku Propaganda Ideologi Islam

Janganlah kalian seperti orang-orang yang melepaskan diri dari agamanya dan berbeda pendapat tentangnya setelah datang kepada kalian bayyinât, yaitu perkara-perkara akidah yang jelas dan bukti-bukti yang tegas (qath‘î). Yang dimaksud dengan mereka di sini adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Imam al-Baydhawi, ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Janganlah kalian bertikai dan berpecah-belah” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104),” menyatakan demikian:“Maksudnya adalah seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani yang bertikai dalam masalah tauhid, penyucian Allah, dan beberapa kondisi alam Akhirat; sementara mereka telah mengetahui —setelah datang kepada mereka bukti-bukti— berbagai tanda dan hujjah yang menjelaskan kebenaran yang wajib mereka sepakati. Tampak jelas bahwa larangan di dalam ayat ini khusus ditujukan pada perbedaan pendapat dalam masalah ushûl, bukan masalah furû‘, berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan:

“Siapa saja yang berijtihad dan ijtihadnya benar maka baginya dua pahala, sedangkan jika ijtihadnya salah maka baginya satu pahala.”Potongan ayat yang artinya, “Mereka itulah yang akan

mendapatkan azab yang berat,” merupakan ancaman bagi orang-orang yang berpecah-belah dan bagi orang-orang yang menyerupai mereka.”

Demikianlah pernyataan al-Baydhawi.

Sesungguhnya proses perubahan yang Islami merupakan aktivitas yang sulit; mengalahkan opini jahiliyah dari kedudukannya juga bukanlah perkara yang mudah; sementara upaya merealisasikan kekuasaan Islam atas masyarakat —dalam pemikiran, perilaku, dan sistem— menuntut adanya upaya bersama.

Konspirasi internasional atas Islam dan atas harakah Islam mengharuskan adanya persatuan dalam menghadapi dan menantangnya. Kekuatan internasional yang memusuhi Islam dan bersekongkol untuk menguasai Dunia Islam telah saling bekerjasama dan menyatukan perjuangannya. Oleh karena itu, kekuatan Islam yang ada di Dunia Islam tidak boleh ada yang

~ 24 ~

Page 26: Buku Propaganda Ideologi Islam

bertentangan dengan perkara-perkara yang qath’i (pasti) di dalam Islam agar tidak menjadi santapan yang lezat bagi musuh dan agar tidak mudah bagi mereka untuk mengeliminasi dan menjatuhkannya. Jika umat ada yang menyimpang dalam hal yang qath’i (pasti) di dalam Islam maka tidak akan menjadi penjaga masa depan Islam serta memelihara perjalanan Islam dari kerusakan, pelecehan, dan pemusnahan.

Berbagai kekuatan dan partai yang bersifat lokal yang memusuhi Islam sampai sekarang ini telah memiliki cabang-cabangnya di seluruh Dunia Islam. Mereka senantiasa mempelajari, mengawasi, merancang strategi, dan selalu bersiap diri di segala lini.

Umat Islam saat ini hidup di dalam naungan darul kufur (bersistem kufur), yang karenanya mesti diubah agar menjadi darul Islam. Sebuah keharusan adanya jamaah/partai ideologi Islam yang berjuang untuk merealisasikan tujuan melanjutkan kehidupan Islam dengan cara mengikuti langkah-langkah perjuangan Rasulullah Saw.

Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban yang harus diusahakan untuk dilaksanakan oleh umat Islam. Di antara kewajiban tersebut, ada yang harus dilaksanakan secara individual (fardhu ‘ain), yang tidak dapat digugurkan sampai berhasil dilaksanakan; dan ada pula merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah), yang harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh suatu jamaah di tengah-tengah umat Islam. Di antara sejumlah fardhu kifayah itu adalah kewajiban mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah.

Menegakkan syariat Allah secara total merupakan kewajiban, sementara seorang individu Muslim tidak akan mampu melaksanakannya tanpa bantuan Muslim lainnya. Namun demikian, setiap Muslim wajib menyatukan usaha serta mengumpulkan kemauan dan segenap kesungguhan untuk menegakkannya. Perkara ini termasuk ke dalam bab Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihî fahuwa wâjib (selama suatu kewajiban tidak sempurna

~ 25 ~

Page 27: Buku Propaganda Ideologi Islam

pelaksanaannya kecuali dengan adanya suatu perkara, maka perkara tersebut hukumnya wajib).

Kewajiban ini merupakan salah satu fardhu kifayah yang harus ditegakkan. Jika tidak ditegakkan, maka siapapun yang tidak melibatkan diri (berdiam diri) di dalamnya akan berdosa besar. Watak pelaksanaannya membutuhkan adanya jamaah/komunitas/partai dari kalangan umat Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn). Umat berusaha untuk menegakkan kewajiban ini. Siapa saja yang berdiam diri dipandang berdosa dan dosa itu tetap ada pada siapa saja yang tidak berusaha.

Partai yang ada di tengah-tengah umat Islam ini berupaya menegakkan kewajiban tersebut. Partai ideologi Islam juga harus mengevaluasi sekaligus mengkritisi benar-salahnya berbagai pemikiran dan hukum yang diadopsi serta yang dibutuhkannya ketika beraktivitas untuk merealisasikan tujuan yang ingin dicapai.

Partai yang dimaksud tentu bukan merupakan umat Islam secara keseluruhan sebagai jamaah (jamâ‘ah al-muslimîn). Partai ini juga tentu bukan Khalifah atau sejajar kedudukannya dengan Khalifah. Hukum-hukum di seputar ke-Khalifahan tidak berlaku bagi partai. Partai tidak boleh mengerjakan satu aktivitas apapun yang menjadi tugas seorang Khalifah, yang pelaksanaannya memang hanya disandarkan kepada dirinya, bukan kepada yang lain. Partai ideologi Islam, dalam hal ini, hanya merupakan salah satu jamaah yang merupakan bagian dari umat Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn) saja. Sebaliknya, umat Islam dengan seluruh komunitas yang ada di dalamnya merupakan jamaah umat Islam (jamâ‘ah al-muslimîn). Jama‘ah al-muslimîn meliputi semua jamaah dan semua individu Muslim yang ada.

Yang dimaksud dengan jamâ‘ah al-muslimîn adalah umat Islam yang disatukan dan dipersaudarakan oleh akidah Islam. Jadi, umat Islam mungkin saja berbeda pendapat dalam berbagai perkara dzanni (tidak pasti), tetapi perbedaan itu tidak akan menafikan persaudaraan mereka. Siapa saja —baik individu maupun jamaah dari kalangan umat Islam— yang keluar dari

~ 26 ~

Page 28: Buku Propaganda Ideologi Islam

akidah mereka, maka dia dianggap telah keluar dari jamâ‘ah al-muslimîn dan dia akan terlempar ke dalam Neraka. Pengertian seperti inilah yang dimaksud oleh Hadis Nabi Saw. yang berbunyi:

“Orang yang meninggalkan agamanya adalah orang yang berpisah dari jamaah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Maksudnya, seorang Muslim yang meninggalkan agamanya tidak lagi termasuk jamâ‘ah al-muslimîn.

Umat dilarang menyimpang dalam hal-hal yang qath’i (pasti) di dalam Islam.

“Umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan; semuanya ada di Neraka, kecuali satu.” Mereka bertanya, “Golongan manakah itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Golongan yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR. Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad ibn Hanbal)

Sebagai jamaah, umat Islam adalah umat yang satu; tidak seperti umat-umat lainnya. Umat Islam sekufu (setara) dalam darah dan harta mereka. Orang yang dianggap paling rendah di antara mereka sama dengan orang yang dianggap paling tinggi di tengah-tengah mereka. Mereka itu merupakan satu tangan, meskipun hasil ijtihad mereka berbeda-beda (dalam hal-hal yang dzanni/ tidak pasti).

Allah Swt. berfirman:“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian menyembah-Ku.” (TQS. al-Anbiya’ [21]: 92)

Nash-nash di atas menunjuk pada umat Islam dengan seluruh komponen yang ada di dalamnya bukan menunjuk hanya pada salah satu jamaah Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn). Jika suatu jamaah mengklaim dirinya sebagai jamâ‘ah al-muslimîn, maka klaim tersebut merupakan kesalahan besar dan merupakan pemahaman yang aneh. Klaim tersebut tidak jarang mengakibatkan hal-hal yang berbahaya seperti: menganggap orang yang tidak bergabung dengan mereka sebagai orang yang tidak ikut serta dalam ukhuwah bersama mereka; sebagai orang yang

~ 27 ~

Page 29: Buku Propaganda Ideologi Islam

meninggalkan agamanya dan keluar dari jamaah; atau sebagai orang yang akan terjerumus ke dalam Neraka.

Dibolehkan adanya multipartai atau banyaknya jamaah yang berusaha untuk menegakkan Islam. Dalil-dalil yang membolehkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah yang dzanni (tidak pasti, tidak tegas) sangat banyak sekali. Perbedaan pendapat dalam masalah ini terjadi juga di kalangan para sahabat; demikian juga di kalangan para tâbi‘în dan para ulama salaf.

Sebaliknya, yang terlarang adalah berbeda pendapat sebagaimana halnya yang terjadi di kalangan orang-orang kafir. Mereka, misalnya, berbeda pendapat mengenai nabi-nabi mereka dan berbeda sikap terhadap isi kitab-kitab mereka. Mereka terpecah menjadi banyak aliran. Akibatnya, mereka tersesat dari kebenaran yang telah diturunkan Allah kepada para Nabi mereka sehingga tersesat pula para pengikut mereka.

Allah Swt. berfirman:“Kemudian berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka sehingga kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar.” (TQS. Maryam [19]: 37)

Maksudnya, Allah Swt. memperingatkan kita terhadap perbedaan seperti yang mereka tunjukkan.

Rasulullah Saw. sendiri, pada waktu Perang Khandaq, telah membiarkan adanya perbedaan pemahaman para sahabat terhadap perkataan beliau, yakni ketika beliau bersabda mereka:

“Siapa saja yang mendengar dan taat, hendaknya dia tidak menunaikan shalat kecuali di Bani Quraidzah.” (Sirah Ibn Hisyam)

Rasulullah Saw. juga bersabda:“Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihadnya maka dia mendapatkan dua pahala. Sebaliknya, apabila dia berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah maka dia mendapatkan satu pahala.” (HR. al-Bukhari)

~ 28 ~

Page 30: Buku Propaganda Ideologi Islam

Seorang mujtahid, ketika berijtihad, bisa salah bisa benar. Ini tidak berarti bahwa kedudukannya sebagai seorang mujtahid menjadikan dia tidak pernah melakukan kesalahan.Hukum yang digali oleh seorang mujtahid dianggap sebagai hukum syariat.Seorang mujtahid yang salah dalam ijtihadnya tidak mengetahui bahwa dia salah. Sebab, seandainya dia mengetahui kesalahannya, dia jelas tidak boleh tetap berada dalam kesalahannya itu. Akan tetapi, dia mesti membandingkan pemahamannya dengan pemahaman orang lain.Seorang mujtahid mendapatkan pahala di sisi Allah apakah ijtihadnya benar atau salah. Akan tetapi, pahala keduanya berbeda.

Ada kesepakatan di kalangan para ulama bahwa dosa terlepas dari para mujtahid yang berijtihad dalam hukum-hukum syariat yang zhannî berkaitan dengan fikih.

Dalam tafsirnya, Imam al-Qurthubi bertutur, “Para sahabat berbeda pendapat dalam menghukumi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Akan tetapi, meskipun demikian, mereka tetap bersatu.”

Suatu jamaah atau partai berdiri di atas pemahaman terhadap syariat tertentu yang kadang-kadang mungkin berbeda-beda, sebagaimana terhadap syariat yang lainnya; kecuali apabila hukum-hukum syariat itu bersifat qath‘î (tegas).

Beraktivitas atau berjuang bersama-sama jamaah/partai yang lebih dekat dengan kebenaran menjadi wajib hukumnya. Demikianlah sebagaimana Allah Swt. berfirman:

“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan, menyuruh kemakrufan, dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104)

Perintah Allah Swt. di dalam ayat ini menunjukkan pada kewajiban untuk mendirikan minimal satu jamaah/partai di tengah-

~ 29 ~

Page 31: Buku Propaganda Ideologi Islam

tengah kaum Muslim yang aktivitasnya adalah mendakwahkan al-khair (Islam) dan amar makruf nahi mungkar.

Sesungguhnya kita wajib memahami dengan baik bahwa apa saja yang diakui atau disetujui oleh syariat merupakan rahmat.

Imam Malik berkata kepada Khalifah Harun ar-Rasyid ketika Khalifah ingin mengadopsi dan melegislasi pemahaman dan mazhab Imam Malik, sekaligus memaksa masyarakat untuk mempraktikkannya dan melarang penerapan pemahaman lainnya. Saat itu Imam Malik berkata, “Janganlah Anda mempersempit kaum Muslim dalam hal apa saja yang telah Allah mudahkan untuk mereka.”

Wajib diperhatikan di sini bahwa negara-negara sistem kufur —dalam menghadapi munculnya satu atau beberapa jamaah/partai di muka bumi ini secara nyata yang berusaha keras untuk menegakkan hukum-hukum Allah— selain mempergunakan cara-cara kekerasan dan membuat berita-berita bohong tentang jamaah-jamaah/partai-partai itu, merekapun sengaja menjatuhkan dan menggagalkan jamaah-jamaah/partai-partai ini dengan jalan mendirikan jamaah-jamaah/partai-partai lain yang tunduk kepada mereka.

Allah tidak akan menolong kaum Muslim kecuali apabila mereka terikat dengan syariat, berpegang teguh dengan tali Allah, serta melaksanakan semua perintah-Nya. Sesungguhnya Allah akan menolong mereka meskipun mereka hanya sedikit. Satu dalam kebenaran itu banyak, sementara banyak dalam kebatilan adalah seperti buih.

Adanya seorang Khalifah dan adanya Daulah Khilafah Islamiyah adalah representasi dan penampakan terpenting dari bentuk-bentuk persatuan kaum Muslim; tidak ada persatuan selain dalam kerangka itu. Memang, dalam Khilafah Islamiyah, akan banyak pemahaman yang berbeda-beda, tetapi kita diperintahkan untuk tetap menaati Khalifah. Khalifahlah yang mengadopsi sekaligus melegislasi hukum publik. Legislasi hukum yang

~ 30 ~

Page 32: Buku Propaganda Ideologi Islam

dilakukan Khalifah —bukan melarang atau menghapuskan pemahaman/mazhab tertentu— jelas akan menghilangkan perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebab, perintah Khalifah harus diterapkan, baik secara lahir maupun batin, oleh seluruh kaum Muslim.

Sementara itu, pemimpin jamaah/partai sesungguhnya hanya ditaati di dalam urusan jamaah/partainya saja. Perintahnya akan menghilangkan perbedaan pendapat di antara anggota-anggota partainya saja, bukan di antara kaum Muslim secara keseluruhan.

Agama Islam adalah agama yang bersifat universal; karena Muhammad Saw. diutus kepada manusia seluruhnya.

“Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (TQS. al-Baqarah [2]: 143)

“Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadalian semuanya.” (TQS. al-A’raf [7]: 158)

“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (TQS. Saba’ [34]: 28)

Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah mengarahkan dakwahnya ke seluruh dunia, ke segala kekuatan, ke seluruh blok, dan kepada semua raja. Karena itulah, beliau sebagai kepala negara Islam mengirim utusan kepada Najasyi (Raja Habsyah), Heraklius (Kaisar Romawi), Muqauqis (Pembesar Koptik), dan Kisra (Pemimpin Persia). Dalam hal ini, dakwah Islam tidak boleh hanya berbentuk semacam “toko-toko” dan “lahan-lahan pertanian” yang ada di sana-sini, sementara jihad Islampun hanya merupakan teriakan di padang sahara yang lengang.

Islam sebagai agama bersifat internasional dalam akidah dan sistemnya. Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Pengatur

~ 31 ~

Page 33: Buku Propaganda Ideologi Islam

segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui yang lahir maupun yang batin. Manusia yang lemah yang diciptakan dari air yang hina tentu wajib untuk kembali kepada-Nya. Allah adalah Pencipta manusia. Dia adalah Tuhan setiap manusia. Keberadaan manusia berkaitan dengan tujuan penciptaannya, yaitu ibadah. Keberadaan manusia juga berkaitan dengan kehidupan setelah dunia, yaitu Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan; Surga dan Neraka; balasan bagi keimanan dan kekufuran; serta balasan bagi ketaatan dan kemaksiatan. Hakikat akidah Islam wajib untuk disampaikan kepada manusia seluruhnya.

Allah Swt. berfirman: “Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (TQS. al-Anfal [8]: 42)

Peraturan yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan yang berasal dari akidah ini juga merupakan peraturan untuk manusia sebagai manusia tanpa memperhatikan lagi warna kulit, ras, atau keadaannya.

Islam adalah agama yang universal. Islam mewajibkan benih berdirinya Daulah Islamiyah adalah benih yang mendunia. Selanjutnya, Islam juga mengharuskan jamaah/partai ideologi Islam mempersiapkan dirinya untuk menegakkan tugas ini. Oleh karena itu, jamaah/partai ideologi Islam pada dasarnya wajib untuk tidak memandang aktivitasnya dengan pandangan yang sempit.

Akan tetapi, jamaah/partai ideologi Islam harus memandang bahwa dirinya wajib menyelamatkan umat manusia seluruhnya dari ide-ide kufur dan syirik meskipun kekufuran dan kemusyrikan itu menampilkan diri dalam berbagai bentuk dan nama. Jamaah/partai ideologi Islam juga harus mengembalikan manusia pada kebenaran yang tidak berbilang. Inilah yang wajib menjadi perspektif jamaah/partai ideologi Islam. Berdasarkan ini pula diadopsi pemikiran-pemikiran (tsaqâfât) jamaah/partai ideologi Islam.

~ 32 ~

Page 34: Buku Propaganda Ideologi Islam

Jamaah/partai ideologi Islam juga mesti memandang bahwa aktivitas dan langkah-langkah perjalanannya telah didesain sedemikian rupa sesuai tuntunan Rasul Saw. Dengan begitu, apabila jamaah/partai berjalan tanpa melenceng sedikitpun dan bersabar menghadapi segala hal yang menimpanya tanpa bias, tanpa melakukan rekonsiliasi, dan tanpa melakukan kamuflase, maka Allah Swt. telah mempersiapkannya (secara praktis dan teoritis) untuk menegakkan urusan ini secara internasional. Yang demikian itu adalah setelah berdirinya Daulah Islamiyah. Dengan demikian, apabila dilihat dari segi pemikiran, jamaah/partai ideologi Islam haruslah bersifat internasional. Sebaliknya, dari segi aktivitas, ia tidak keluar dari keadaannya sebagai suatu jamaah/partai yang beraktivitas di satu tempat tertentu untuk mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Setelah itu, Daulah Khilafah Islamiyahlah yang akan berperan untuk menegakkan tugas yang agung itu.

Negeri-negeri kaum Muslim telah terbagi-bagi menjadi sejumlah negara. Inilah yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam. Secara umum, kaum Muslim di negara-negara itu hidup dalam kondisi yang mirip. Ekspansi dakwah akan memberikan kekuatan bagi jamaah/partai ideologi Islam, membuat orientasinya lebih besar dan lebih efektif, dan menjadikan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah di salah satu wilayah di antara wilayah-wilayah yang menerima dakwah lebih luas dan lebih tersebar. Faktor inilah yang dapat membantu jamaah/partai ideologi Islam untuk melaksanakan tugas yang akan mengantarkannya pada tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah dan mempersiapkan Daulah Islamiyah memasuki fase pergulatan internasional. Dalam dua perkara ini jamaah/partai ideologi Islam tentu harus menyandarkan diri pada pertolongan Allah Swt.

Sesungguhnya aktivitas dakwah yang pertama pada masa Nabi Saw. bersifat komprehensif. Ketika itu, Rasulullah Saw. sebagai kepala negara mengatur dan memonitor aktivitas dakwah dalam segala bidang. Di bidang pendidikan, beliau berperan sebagai murabbi (pendidik); di bidang pengajaran, beliau berperan sebagai mu‘allim (pengajar); di medan jihad, beliau beperan sebagai panglima perang; dan di bidang strategi, beliau adalah seorang

~ 33 ~

Page 35: Buku Propaganda Ideologi Islam

pionir.

“Apakah kalian mengimani sebagian (isi) al-Kitab dan mengingkari sebahagian yang lainmya? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat kelak mereka dikembalikan pada siksaan yang sangat berat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 85)

Penentuan amal perbuatan berasal dari Allah. Kaidah syariat yang berbunyi:“Asal setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat.”

Seandainya perbuatan itu sesuai dengan perintah dan larangan Allah maka perbuatan itu hasan (terpuji) dan apabila tidak maka perbuatan itu qabih (tercela). Kaidah syara’ menyebutkan: “Hasan itu adalah apa-apa yang dikatakan oleh syara’ hasan dan qabih itu adalah apa-apa yang dikatakan syara’ qabih”

Sesungguhnya Islam itu sempurna, dan Islam secara keseluruhan dilaksanakan oleh seluruh kaum Muslim atau dengan kata lain oleh umat Islam.Di dalam umat Islam terdapat individu-individu, jamaah-jamaah dan Khalifah. Dan untuk masing-masing kelompok di atas telah dibebankan hukum-hukum syara’ yang spesifik.Seorang individu muslim melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai individu. Jamaah pun melaksanakan apa yang dituntut syara’ terhadapnya, Begitu pula dengan Khalifah, melaksanakan apa yang dibebankan syara’ terhadapnya.

Apabila kaum Muslim sebagai individu melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ terhadap mereka, demikian juga jamaah dan Khalifah, maka akan terealisasilah seluruh amal dan kesempurnaannya. Begitu pula kelalaian apapun atau hanya membatasi dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban tertentu saja tanpa melaksanakan yang lainnya akan menjadikan orang yang lalai itu keluar dari keumuman apa yang harus dilaksanakan olehnya, dan akan menjerumuskannya pada dosa.

~ 34 ~

Page 36: Buku Propaganda Ideologi Islam

Islam yang sempurna tidak akan lengkap eksistensinya tanpa adanya Khalifah. Keterikatan banyaknya hukum-hukum Islam dengan keberadaan Khalifah menjadikan kehadirannya wajib menurut syara’, dan menjadikan usaha untuk mengadakannya juga wajib menurut syara’. Implikasi dari semua itu mewajibkan adanya partai ideologi Islam yang beraktivitas untuk mengadakannya, dan menegakkan seluruh perkara yang dituntut syara’ untuk menegakkan agama melalui berdirinya Daulah Islamiyah. Inilah keseluruhan yang diminta. Inilah yang dinamakan dengan melanjutkan kehidupan Islam. Secara keseluruhan, itulah yang dituntut oleh syara’ dari jamaah. Jamaah dilarang oleh syara’ untuk melaksanakan hukum-hukum yang tidak menjadi kewenangannya, seperti menerapkan hudud. Jamaah tidak boleh mengambil alih tugas Khalifah. Yang harus dilakukan oleh jamaah adalah mewujudkan Khalifah agar dia melaksanakan tugas yang dituntut atasnya.

“Dan amir itu adalah pemimpin yang mengurusi urusan umat, dan dia bertanggung jawab dengan segala urusannya.” (HR. Muslim)

Dari sini kita mengalihkan perhatian pada topik bahwa seseorang yang beriman kepada Islam secara sempurna dan berdakwah kepada Islam secara keseluruhan, dia pasti akan mengadopsi secara terperinci hal-hal yang dituntut syara’ darinya dan mengadopsi pula hal-hal yang dituntut syara’ dari partai ideologi Islam, tempat dia beraktivitas di dalamnya.

Kelalaian terhadap perkara apapun yang dituntut darinya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt. Demikian juga halnya dengan seorang Khalifah. Dia harus melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai pribadi. Dia wajib mengerjakan shalat, shaum, berhaji, membayar zakat, berbakti kepada kedua orang tuanya. Diapun dilarang untuk berzina, melakukan aktivitas riba, berdusta dan menipu. Di samping itu dia juga harus melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang Khalifah, seperti menyusun

~ 35 ~

Page 37: Buku Propaganda Ideologi Islam

Undang-undang, mengumumkan jihad, melindungi persatuan kaum Muslim, memerintah (negara dan masyarakat) dengan apa yang diturunkan Allah, menerapkan hudud. Sebaliknya, kelalaian apapun dalam tugas-tugas yang diberikan kepadanya akan ditanyakan oleh Allah kelak.

Inilah realitas yang ditampilkan oleh hukum-hukum syara’. Dan hal ini harus dipahami dengan baik oleh partai ideologi Islam, agar partai ideologi Islam mampu untuk memilah-milah mana perkara yang harus dilaksanakan olehnya, dan mana perkara yang tidak dituntut atasnya. Jika sebuah partai ideologi Islam mampu menentukan fakta tentang dirinya maka partai ideologi Islam tersebut dapat menetapkan kapasitas yang dituntut atasnya.

Aktivitas partai ideologi Islam harus bersifat politis, serta berdiri berdasarkan asas [ideologi] yang ingin diterapkan atas umat Islam. Akidah Islam memperoleh perhatian utama dalam dakwah, karena akidah Islam adalah asas setiap perkara cabang dan berkaitan dengan seluruh hukum-hukum syara’. Konsentrasi yang amat besar pada aktivitas pendirian Daulah Khilafah Islamiyah adalah karena keterikatan banyaknya hukum dengan negara, dan dari sinilah penamaan bahwa mendirikan Daulah Islamiyah sebagai tâj al-furûdh (mahkota dari berbagai perkara fardhu).

Dengan demikian apabila partai ideologi Islam berusaha untuk mencapai takâmul dan tawâzun yang berbeda dengan apa yang telah dijelaskan, maka partai ideologi Islam tersebut telah membebani dirinya dengan apa yang tidak diwajibkan Allah atasnya. Dan jamaah tersebut akan terus mengeluhkan kekurangan dan ketidakseimbangan. Ujung-ujungnya jamaah tesebut akan berubah menjadi jamaah yang penuh dengan keluhan dan berurai air mata, tersesat dari jalan yang seharusnya karena dia telah kehilangan petunjuk.

Di antara keistimewaan manhaj Islam adalah bahwa di dalamnya juga terdapat sistem ibadah, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik dan sistem militer.

~ 36 ~

Page 38: Buku Propaganda Ideologi Islam

Di dalam sistem ekonomi terdapat hukum-hukum syara yang berkaitan dengan tanah, dengan kepemilikan, dengan industri, juga dengan perdagangan dalam dan luar negeri. Seluruh hukum-hukum ini maupun yang lainnya telah digantungkan oleh Syâri’ dengan Khalifah. Khalifahlah yang mengatur dan memelihara seluruh perkara tersebut, bukan partai ideologi Islam. Partai hanya berdakwah.

Di dalam sistem politik, Khilafah harus berdiri di atas pilar-pilar yang telah ditetapkan oleh syara’, dari Khalifah sampai mu’awin, termasuk wali dan qadhi, aparat administrasi hingga majelis umat. Khalifah memiliki wewenang dan tugas sebagaimana mu’awin; wali dan tentara memiliki tugas masing-masing, demikian juga dengan aparat administrasi yang memiliki tugas sendiri.

Bahkan termasuk dalam tentara Islam, seluruh persiapannya -yang dengan persiapan itu akan merealisasikan tujuan adanya tentara yaitu menyebarkan dakwah ke seluruh dunia -mengharuskannya mencakup level dunia, bukan hanya sampai tingkat gerakan saja; yang memungkinkan seorang muslim mampu mempelajari penggunaan senjata.

Di samping itu harus dimengerti bahwa ada jenis-jenis persenjataan yang hanya dimiliki oleh negara. Semua ini mengharuskan latihan (mobilisasi) pada level internasional (mencakup artileri, kapal-kapal penjelajah, pesawat-pesawat tempur, nuklir, pesawat ruang angkasa, dan sejenisnya); juga untuk mengembangkan berbagai penelitian dan pengembangan industri persenjataan, penyediaan lapangan-lapangan terbang serta pusat-pusat latihan.

Rasulullah Saw. ketika mempersiapkan dan melatih para sahabat, beliau tidak melakukannya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin partai ideologi Islam, melainkan sebagai penguasa negara Islam. Meneladani beliau dalam perkara ini tidak boleh keluar dari perspektif ini.

Kewajiban partai ideologi Islam adalah mewujudkan Khalifah, yang akan menjalankan tugasnya untuk merealisir seluruh perkara

~ 37 ~

Page 39: Buku Propaganda Ideologi Islam

tersebut. Sebab, Khalifahlah yang bertanggung jawab dalam perkara ini. Apabila umat lalai dalam mewujudkan Khalifah dan (berpaling dengan) berusaha untuk melaksanakan tugas-tugas Khalifah maka jamaah dalam hal ini telah menyeleweng dari syara’.

Partai ideologi Islam wajib mengadopsi konsep sistem-sistem yang ingin diterapkannya atas manusia ketika Allah memberikannya kemenangan untuk melaksanakannya. Partai ideologi Islam pun menetapkan struktur negara sistem Islam dan menetapkan UUD Khilafah, serta memberikan gambaran secara umum kepada manusia tentang hukum-hukum Islam, agar mereka melihat bahwa Islam mampu menyelesaikan problematika manusia, dan akan berjalan bersama mereka dalam mencapai peribadatan komprehensif mereka, dengan menjadikan mereka berada di dalam kancah nikmatnya penerapan hukum syara’ yang hanif atas mereka.

Partai ideologi Islam tsaqafah (khazanah keilmuan) Islam-nya harus luas, demikian juga lapangan aktivitasnya. Dia dituntut untuk melaksanakan seluruh perkara yang memang dituntut atasnya. Pemikirannya adalah pemikiran-pemikiran untuk mengatur/mengurus urusan umat dan mengadopsi kepentingan umat.

Terbebas Dari Racun Pemikiran

Ketika kaum Muslim mengalami kemerosotan yang amat dalam di bidang ruhiyah, keterbelakangan di bidang materi, kemunduran di bidang pemikiran dan politik Islam, maka pemikiran mereka menjadi sejalan dengan kenyataan-kenyataan buruk yang menimpa mereka.

Akibatnya, di tengah-tengah orang yang memiliki komitmen kepada Islam muncul pemikiran-pemikiran yang tidak menggambarkan hakikat Islam yang sebenarnya dan pandangan Islam tentang kehidupan. Pemikiran mereka lebih menggambarkan

~ 38 ~

Page 40: Buku Propaganda Ideologi Islam

tentang buruknya pemahaman dan ketidaktahuan terhadap Islam dan petunjuk-petunjuk Islam di dalam kehidupan.

Pihak kafir imperialis yang menguasai urusan kaum Muslim dan mampu membolak-baliknya sekehendak hati, telah berhasil menanamkan pemahaman dan tolok ukur mereka di kalangan kaum Muslim. Mereka (kaum kafir) berhasil menanamkan berbagai pemikiran dengan berbagai citarasa yang terasa enak di mulut musuh-musuh kaum Muslim dan terasa manis diucapkan. Semua itu untuk kepentingan kaum kafir.

Penyebabnya bukan karena Islam, melainkan terpulang kepada para penganutnya yang telah kehilangan ikatan kuat terhadap Islam, dan hilangnya pemahaman yang benar di dalam diri mereka. Sebagian kaum Muslim itu berusaha melakukan perlawanan dengan bermodalkan pemahaman yang telah dipengaruhi oleh realitas dan tunduk kepada kepentingan (asas manfaat). Sayangnya perlawanan itu hanya usaha-usaha yang gagal dan langkah-langkah yang tertatih-tatih yang berakhir pada kegagalan, berujung pada kehinaan dan kepasrahan yang menyedihkan.

Orang–orang kafir menyerang Islam dengan mengatakan bahwa Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman, dan Islam tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer yang bermunculan. Reaksi kaum Muslim terhadap lontaran ini adalah menciptakan solusi-solusi Islami dari berbagai perkara yang dilontarkan sistem kapitalis. Karena asas yang mendasari tegaknya sistem kapitalis berlawanan dengan asas tempat tegaknya Islam maka merekapun menyengaja mengkompromikan antara dua perkara yang (sesungguhnya) saling berlawanan. Mereka juga secara sengaja membuat-buat ta’wil (interpretasi) yang salah, yang pada gilirannya akan melahirkan pemahaman-pemahaman dan tolok ukur yang salah pula yang disandarkan kepada syara’ secara zalim dan dusta. Semua itu bertujuan untuk mengkompromikan di antara keduanya dan memberikan gambaran bahwa Islam mampu mengikuti perkembangan zaman.

~ 39 ~

Page 41: Buku Propaganda Ideologi Islam

Akibatnya, pemahaman-pemahaman dan tolok ukur semacam itu dianggap Islami dan digunakan untuk memahami Islam. Padahal, hakikatnya jika kita mengambil pemahaman dan tolok ukur semacam itu berarti sama saja dengan meninggalkan Islam dan mengikuti sistem kapitalis.

Setiap seruan untuk kompromi atau apapun yang dipengaruhi oleh seruan kompromi ini hakikatnya adalah seruan untuk mengambil kekufuran dan meninggalkan Islam. Ini berarti juga mengemban pemikiran kafir kepada kaum Muslim dan mengajak mereka untuk mengambilnya, seraya meninggalkan dakwah kepada Islam yang sebenarnya.

Dengan demikian, jika kaum Muslim sepanjang masa kemundurannya berusaha untuk membangkitkan umat dengan pemikiran-pemikiran yang semodel ini, maka usaha-usaha itu ibarat fatamorgana.

Dari sinilah kita mulai mendengar berbagai perbincangan yang

melampaui batas-batas syari’at Islam, baik disertai dengan niat atau karena kebodohan, lalu menyatakan bahwa tidak masuk akal jika kita yang hidup pada masa lebih dari empatbelas abad sejak masa Rasulullah saw masih berpegang dengan pola pikir yang sama dengan pola pikir masa kenabian, harus dilakukan upaya tajdîd (pembaruan) kembali syari’at Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Menurut mereka, Islam harus diberi suntikkan pemikiran-pemikiran “modern.”

Bertolak dari sini sebagian kaum Muslim mengeluarkan sejumlah pemikiran yang menjadi bentuk kaidah-kaidah pemikiran mereka, dan menetapkan perspektif baru dalam kehidupan mereka. Itu terjadi ketika sebagian kaum Muslim beranggapan bahwa mengikuti perkembangan zaman dan mengambil manfaat dari pemikiran Barat yang sedang bangkit merupakan suatu keharusan yang Islami agar Islam tetap berada pada kemodernannya.

~ 40 ~

Page 42: Buku Propaganda Ideologi Islam

Sejak itu muncul pemikiran kontemporer yang melayani tujuan ini, seperti: inna ad-dîna marinun wa mutathawwir (agama Islam itu elastis dan mengikuti perkembangan), khudz wa thâlib (ambil dan tuntutlah hak anda), al-qabûl bimâ yuwâfiqu asy-syar’i aw bimâ lâ yukhâlifu asy-syar’i (menerima apapun yang sesuai dengan syara’ atau apapun yang tidak bertentangan dengan syara’), irtikâbu akhaffu adh-dhararain wa ahwanu asy-syarrain (pelaksanaan yang lebih ringan bahayanya dan yang lebih sedikit keburukannya), mâ lâ yu’khadzu kulluhu lâ yutraku jalluhu (apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya maka jangan ditinggalkan semuanya), at-tadarruj fi akhzi al-Islâm (bertahap dalam penerapan Islam), ad-dimuqrâthiyyah min al-Islâm (demokrasi adalah bagian dari Islam), lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyuri az-zamân wa al-makân (tidak diingkari perubahan hukum dengan berubahnya waktu dan tempat), haitsuma takûnu al-maslahah fatsamma syar’ullâh (di mana ada maslahat di sana ada hukum Allah).

Pemikiran-pemikiran seperti ini menjadi titik tolak pemikiran atau kaidah berpikir bagi apa yang mereka namakan dengan ”kebangkitan Islam modern” yang dimotori oleh tokoh terpenting dalam masalah ini, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang menjadi anggota organisasi Freemason, Muhammad Abduh, yang saat itu digelari syaikhul Islam.

Sesungguhnya perkataan semacam ini diucapkan oleh orang-orang yang memiliki niat buruk dan kebusukan yang tersembunyi dengan maksud bisa memisahkan kaum Muslim dengan sebab-sebab kekuatan mereka, dan mewariskan kepada mereka kelemahan yang membuatnya berdiam diri terhadap penerapan hukum-hukum Allah untuk kedua kalinya.

Perkataan tersebut juga dilontarkan oleh orang-orang yang berniat dan maksud yang baik, tetapi mereka mengira bahwa pemikiran tersebut merupakan obat mujarab yang menyembuhkan apa saja yang diderita kaum Muslim saat ini, yaitu berupa kemunduran dan kemerosotan.

~ 41 ~

Page 43: Buku Propaganda Ideologi Islam

Perkataan seperti ini, baik diucapkan dengan niat buruk atau baik, pengaruhnya terhadap realitas kaum Muslim sama saja. Pemikiran orang-orang kafir pasti kegagalannya secara riil, yang tidak melahirkan kebaikan dan tidak mampu mengusir keburukan.

Allah Swt. telah menjadikan kita umat yang paling kaya, karena Islam telah cukup dan tidak perlu mengambil dari umat yang lain. Tabiat Islam telah menentukan metode pengambilannya. Dan agama Islam diturunkan Allah untuk menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang muslim kecuali berijtihad, menggali nash-nash syara’ yang telah diturunkan. Bukan mencari selainnya untuk mengetahui hukum-hukum Allah Swt. Kaidah berpikir seorang muslim -yang mengharuskan kehidupannya terikat dengan dalil-dalil syara’- itulah yang disebut dengan hukum-hukum syara’ yang memiliki dalil-dalil yang rinci. Metode ijtihad ini bersifat tetap dan tidak berubah. Dengan alasan apapun tidak boleh menggantikannya. Dari sinilah bertolaknya asas kebangkitan kita secara sempurna, sebagaimana telah bertolak sebelumnya.

Kaidah-kaidah dan pemikiran-pemikiran yang terikat dengan dalil-dalil syara’ yang wajib menguasai benak kaum Muslim untuk mengatur arah dan cara pandang mereka dipaparkan agar mereka berbuat sesuai syariat. Contohnya, ‘Di mana ada hukum syara’ di situ ada maslahat, dan bukan sebaliknya’, ‘Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’, ‘Asal segala sesuatu (benda-benda) adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya’, ‘Terpuji (hasan) itu adalah apa-apa yang dikatakan baik oleh syara, dan tercela (qabih) itu adalah apa-apa yang dikatakan buruk oleh syara’, ‘Kebaikan (khair) itu adalah apa-apa yang diridhai Allah, dan keburukan (syarr) itu adalah apa-apa yang dibenci Allah’, ‘Tidak ada hukum sebelum datangnya syariat’, ‘Barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah maka baginya kehidupan yang sempit’, ‘Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu tidak seperti umat yang lain’, ‘Sesungguhnya Islam tidak mengakui ashobiyah wathaniyah (nasionalisme), qaumiyah (kebangsaan), isytirâkiyyah (sosialis) dan demokrasi’, ‘Islam adalah

~ 42 ~

Page 44: Buku Propaganda Ideologi Islam

gaya hidup yang istimewa, yang berbeda dengan gaya hidup lainnya secara diametral.’

Jika sebagian nash-nash syara’ diperhatikan dengan seksama maka akan menunjukkan dengan jelas tentang pentingnya keterikatan terhadap apa yang telah dipegang oleh generasi salafush shâlih. Kita tidak boleh keluar dari keterikatan tersebut dengan membuat sesuatu yang baru (bid’ah), karena berlaku bid’ah di dalam agama adalah pebuatan yang tercela.

Rasulullah Saw. bersabda: “Sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian suatu perkara yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, sesuatu yang telah jelas, (yaitu) Kitabullah dan Sunnah RasulNya.” (Sirah Ibnu Hisyam)

Lafadz abada (selamanya) juga mencakup kita semua.

Rasulullah Saw. bersabda:“Dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya berada di Neraka, kecuali satu. Dan mereka (para sahabat) bertanya: ‘Siapa orang-orang yang termasuk golongan yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: ‘(Yaitu) yang mengikuti jalanku dan jalan para sahabatku sekarang ini’.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)

Rasulullah Saw. bersabda: “Telah aku tinggalkan bagi kalian hujjah-hujjah yang putih bersih, yang tidak akan menyimpang daripadanya sesudahku kecuali orang-orang yang sesat.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)

Sabda Rasulullah Saw.: “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka....” (HR. Muslim)

Sabda Rasulullah Saw.:~ 43 ~

Page 45: Buku Propaganda Ideologi Islam

“Barangsiapa di antara kalian yang diberi umur panjang maka ia akan melihat perbedaan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari membuat-buat perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berada di Neraka. Kalian wajib mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafâ ar-Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Dan berpegang teguhlah kepadanya seperti menggigit dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadits-hadits tersebut menyerukan untuk mengikuti yang hasan (terpuji) dan peringatan agar menjauhi perkara bid’ah. Semakin jauh suatu zaman dengan masa Rasulullah Saw. maka kita dituntut agar memiliki keterikatan yang lebih kuat, lebih konsisten dan lebih banyak lagi proses pencarian kebenaran, juga membutuhkan keikhlasan yang lebih besar.

Apabila yang diminta atas kita adalah berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Saw. dan sunnah khulafâ ar-râsyidîn yang mendapat petunjuk dan harus melaksanakan apapun yang Rasulullah saw dan para sahabat kerjakan, maka kita tidak boleh membuat-buat bid’ah di dalam agama dan tidak keluar lalu terperangkap pada perkara bid’ah. Yang demikian itu tertolak.

- Kita harus menjaga akidah Islam agar tetap bersih dan suci di dalam jiwa kita sehingga tidak ada satupun faktor yang bisa mengeruhkannya.

- Kita harus mengambil sumber-sumber Islam yang bersih dan suci.

- Kita harus menjaga metode istidlal (pengambilan dalil) yang akurat, yang bisa mencegah infiltrasi hawa nafsu dan pendapat manusia ke dalam hukum-hukum syara’.

- Kita harus menjadikan Islam sebagai perkara yang paling penting dalam kehidupan kita; lebih penting dari diri kita sendiri, anak-anak dan keluarga kita; lebih penting dari segala perkara yang mengikuti hawa nafsu kita dan kalimat Allah-lah yang tertinggi di dalam jiwa kita. Kita tidak melalaikan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga keadaan kita menjadi seperti keadaan salafush shâlih.

~ 44 ~

Page 46: Buku Propaganda Ideologi Islam

- Kita harus menanggalkan pemikiran-pemikiran kufur dan segala kotorannya dari jiwa dan akal kita karena bisa merusak akidah, serta membuang jauh-jauh segala keburukan dan bekas-bekasnya sebagaimana para sahabat ra. yang telah melucuti seluruh kotoran jahiliyyah di depan tangga Islam, lalu mereka memasukinya dengan penuh kesucian dan ketakwaan.

Semua ini mengharuskan kita untuk memulai segalanya dari awal, karena umat di masa akhir ini tidak akan baik kecuali dengan menggunakan perkara yang menjadikan umat di masa awal baik. Ini merupakan suatu keharusan di mana kaum Muslim harus memilikinya pada setiap fase kehidupan mereka. Dekat ataupun jauhnya mereka dari perkara tersebut amat menentukan kuat atau lemahnya kondisi mereka.

Konsep kompromistis Tadarruj (bertahap) juga berarti menerapkan sedikit hukum syara dengan ikut melestarikan penerapan hukum selain syara’ untuk sementara waktu, hingga menurut asumsinya akan tiba saatnya penerapan hukum syara’ secara sempurna.

Sesungguhnya tadarruj (pentahapan) tidak terkait dengan tahapan-tahapan tertentu. Juga tidak tunduk kepada kaidah-kaidah yang mengikat -menurut orang-orang yang membolehkannya-.

Konsep kompromistis tadarruj (bertahap) bisa mencakup juga pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan akidah, seperti ‘Sesungguhnya sosialisme itu bagian dari Islam’ atau ‘Sesungguhnya demokrasi adalah bagian dari Islam’. Bisa pula mencakup hukum-hukum syara’. Bisa tadarruj berkaitan dengan sistem, seperti tuntutan agar turut serta sebagai penguasa di dalam sistem pemerintahan non-Syariah, meskipun hal itu haram secara syar’i sesuai dengan pengakuan para pendukung tadarruj itu sendiri. Namun, menurut mereka bukan tuntutan itu yang menjadi tujuan sebenarnya. Bergabungnya dalam kekuasaan di pemerintahan kufur itu dalam rangka menuju pemerintahan Islam yang merupakan pokok dan kewajiban pada tahap berikutnya. Tadarruj juga bisa berarti usaha-usaha untuk mewujudkan sebagian

~ 45 ~

Page 47: Buku Propaganda Ideologi Islam

hukum Islam dengan membiarkan hukum-hukum kuur, dengan harapan akan semakin banyak hukum Islam yang diterapkan, kemudian diasumsikan bisa menjadi mayoritas dan seterusnya. Orang yang meyakini tadarruj bersikukuh dengan cara-caranya ini dan berusaha mengajak orang lain untuk mengikutinya. Kadang-kadang kita jumpai bahwa orang yang melontarkan ide ini adalah orang yang takwa, yang jika berkaitan dengan dirinya sendiri dia tidak menerima adanya tahapan-tahapan, akan tetapi jika berkaitan dengan orang lain dia menerima adanya tadarruj karena dia menghendaki agar orang lain dapat menjalankan hukum syara’, di samping agar mereka tidak menolak dakwah kepada hukum-hukum Islam. Jadi, menurutnya, keadaan mereka yang turut melestarikan hukum-hukum kufur dan mengupayakan sebagian dari hukum-hukum Islam adalah lebih baik daripada tidak melaksanakannya sama sekali.

Para pendukung ide ini menggunakan pembenaran yang memperkuat pemahaman mereka dalam pemikiran dan dakwah Islam. Dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapainya mereka telah mempergunakan alasan-alasan itu sebagai dalil terhadap apa yang mereka inginkan. Mereka tidak tunduk kepada nash dan dalalah (penunjukannya)-nya. Mereka malah mempergunakankan nash agar sesuai dengan keinginan mereka.

Dahulu, jihad futuhât (penaklukan/pembebasan) oleh Islam melalui Negara Islam dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Saat itu banyak negeri-negeri dibuka. Pada waktu itu manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Kaum Muslim yang membuka negeri itu tidak mempedulikan masih barunya ke-Islaman saudara-saudara mereka, dan tidak membiarkan mereka minum khamar melalui tahapan sebagaimana asumsi “tahapan” yang telah dilalui dalam pengharaman khamar. Padahal bisa diasumsikan kondisi saat itu menuntut mereka dan sangat dibutuhkan seandainya asumsi pentahapan bisa dijadikan sebagai patokan.

Wajar saja para ulama kita terdahulu tidak pernah membahas masalah tadarruj. Kiranya benarlah sabda Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang menjumpai perbedaan yang banyak, maka berhati-hatilah kalian dari

~ 46 ~

Page 48: Buku Propaganda Ideologi Islam

segala perkara yang menambah-nambah sesuatu yang baru (dalam masalah agama), karena yang demikian itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah (tempatnya) di dalam Neraka.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)

Hukum Syariah telah lengkap, yang secara syar’i tidak boleh kembali kepada hukum kufur. Jika kita melaksanakan hukum jahiliyah, berarti kita telah melaksanakan apa yang tidak diperintahkan Allah Swt. kepada kita. Inilah pendapat orang-orang terdahulu dan kemudian.

Allah ‘azza wa jalla telah menurunkan hukum-hukum berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk memperkuat hati. Yang pertama kali turun adalah masalah iman, kemudian tentang Surga dan Neraka. Setelah itu halal dan haram. Hal ini bukan berarti mengambil sebagian Islam dan meninggalkan sebagian yang lain.

Saat itu kaum Muslim bertanggung jawab sebatas (ayat-ayat) al-Qur’an yang diturunkan, tidak lebih dari itu.

Ketika ayat-ayat tentang keimanan turun, sedangkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum banyak belum turun, maka kaum Muslim –saat itu- bertanggung jawab terhadap Islam seluruhnya, akan tetapi sampai pada batas-batas yang telah dijelaskan nash-nash syara’ yang telah turun.

Kaum Muslim selalu harus bertanggungjawab terhadap hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan individu muslim dalam setiap keadaan, baik daulah Islam telah eksis ataupun belum ada. Sedangkan hukum-hukum Islam yang disandarkan pembebanannya kepada negara maka tetap berkaitan dengan negara yang harus dipastikan terpenuhinya. Inilah perincian yang mengikat kaum Muslim, bukan yang lainnya. Tidak ada yang namanya kembali ke belakang.

Ide tentang tadarruj (pentahapan) bukan berasal dari syara’ dan tidak boleh menisbahkannya kepada syara’. Permasalahan ini terkait dengan metode berpikir yang tidak sesuai dengan syara’ dalam kondisi apapun.

~ 47 ~

Page 49: Buku Propaganda Ideologi Islam

Islam memiliki sifat-sifat pokok yang berbeda dengan agama lainnya. Dan tabi’at sistem Islam itu adalah tegak dengan mengikuti wahyu semata.

Tatkala seorang muslim terikat dengan hukum syara’ maka dia harus menjadikan keterikatannya itu berdasarkan keimanan kepada Allah Swt. Jika tidak demikian maka konsistensinya itu tidak akan diterima. Demikian juga ketika dia mengajak orang lain kepada Islam maka dia wajib menjadkan iman kepada Allah Swt. sebagai asas dakwahnya.

Akidah Islam serta tauhid mengandung pengertian wajibnya berpasrah untuk menerima seluruh syariah Islam, jika TIDAK MAU MENERIMA Syariah Islam sebagai wujud KETUNDUKAN HATI kepada Allah berarti akidahnya, tauhidnya rusak.

Agar seorang muslim berubah dan sistem juga berubah dengan perubahan yang benar dan lurus maka wajib memperhatikan asas ruhiyahnya, yaitu dengan mewujudkannya kemudian memupuknya. Apabila seorang muslim tidak bersandar kepada asas ruhiyah ketika melaksanakan syariat, maka hal itu dapat menjerumuskannya pada dosa, bahkan bisa menggelincirkannya kepada syirik.

Rasulullah Saw. telah berkata kepada bani ‘Amir bin Sha’sha’ah ketika beliau mendakwahkan Islam kepada mereka dan meminta nushrah (pertolongan) kepada mereka:

‘Perkara (kekuasaan Islam) itu di tangan Allah, Dialah Yang menetapkan sekehendak-Nya’. (Sirah Ibnu Hisyam) Ini diucapkan beliau tatkala mereka meminta kepada beliau

(sebagai syarat pertolongan mereka) agar kendali kekuasaan diberikan kepada mereka setelah wafatnya Rasulullah Saw. Hal itu terjadi pada saat kondisi beliau Saw. sangat membutuhkan adanya orang (pihak) yang dapat menolong dakwah.

Apa yang dilakukan Rasulullah saw merupakan ajakan yang benar, dan perintah Allah-lah yang menjadikannya benar di dalam perkataannya tanpa mengindahkan lagi bujuk rayu dan tawar

~ 48 ~

Page 50: Buku Propaganda Ideologi Islam

menawar (kompromi), agar dapat diketahui dengan jelas orang-orang yang benar dan orang-orang yang salah.

Rasulullah Saw. telah mengatakan kepada paman beliau Abi Thalib:

“Demi Allah, wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (dakwah) maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah akan memenangkanku atau aku binasa karenanya.” (Sirah Ibnu Hisyam)

Nash yang berasal dari Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa beliau tidak menerima sedikitpun kompromi atau tawar menawar di dalam syari’at. Beliau dalam hal ini telah memberikan sebaik-baik contoh di dalam dakwahnya. Beliau tidak mencari muka, tidak “berdamai”, tidak mengikuti mereka, tidak menunjukkan keridhoan dan tidak berbasa-basi kepada para penguasa. Dakwah beliau jelas dan berani, yang bisa melahirkan pemikiran yang benar, yang mematahkan dan menyebabkan kebatilan itu sirna.

Allah Swt. telah memerintahkan kaum Muslim untuk berhijrah dari Makkah, dari tempat di mana mereka tidak bisa melaksanakan apa yang diwajibkan Allah Swt. ke tempat mereka bisa melaksanakannya. Dan Allah mengharamkan mereka tetap tinggal di tempat selain Negara Islam yang telah berdiri untuk tegaknya seluruh amal Islam (kecuali kerena keterpaksaan yang sungguh-sungguh). Firman Allah Swt:

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini? mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” (TQS. an-Nisa [4]: 97)

Rasulullah Saw. memulai dakwahnya dengan Lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh dan beliau mulai menyampaikan kalimat itu kepada kaumnya. Kalimat itu pula ucapannya yang terakhir tanpa

~ 49 ~

Page 51: Buku Propaganda Ideologi Islam

ada perubahan sedikitpun. Apakah beliau mendakwahkan sesuatu yang lebih ringan dari (kalimat) itu terlebih dahulu sehingga bisa menuai simpati penguasa dan penduduk Makkah, kemudian beliau berdakwah menyampaikannya secara bertahap sampai akhirnya menyampaikan hukum Allah yang sebenarnya? Sesungguhnya kalimat itu merupakan awal dan akhir dakwah beliau Saw.

Abu Bakar ra. telah memerangi orang-orang yang bersikeras tidak mau membayar zakat. Beliau tidak memberikan tempo (jeda waktu) dan tidak pula ridha kepada mereka. Tidakkah kita ingat terhadap perkataannya yang terkenal:

‘Demi Allah, seandainya mereka tidak mau membayar zakat kepadaku sebagaimana mereka telah membayarnya kepada Rasulullah Saw. maka sungguh aku akan memerangi mereka’.Padahal kaum Muslim saat itu sedang menghadapi gerakan

pemurtadan dan pembangkangan yang sangat besar?

Kaum Muslim terdahulu telah mengemban dakwah kepada Islam tanpa ada pemahaman tadarruj (pentahapan). Dan mereka mengambil metode ini pada saat mereka menerapkan Islam di negeri-negeri yang ditaklukkan, yang wilayahnya berubah dari dâr al-kufur menjadi dâr al-Islâm. Kaum Muslim terdahulu tidak mempedulikan kondisi negeri-negeri yang saat itu baru memeluk Islam, tidak berkompromi untuk membiarkan mereka berhukum kufur demi pentahapan.

Mereka tidak membiarkan orang-orang yang baru masuk Islam itu meminum khamr sedikit sampai jiwa-jiwa mereka terbiasa dengan tidak meminumnya; dan tidak membolehkan bermuamalah dengan riba sedikit; dan tidak membolehkan melacur dengan wanita sedikitpun,.... Mereka masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhan. Mereka semuanya dilarang mempraktekkan riba, zina atau minum khamr, dan seluruh perkara yang diharamkan Allah atas mereka. Mereka menerapkan hukum-hukum syari’at yang telah dibebankan, baik kewajiban yang dibebankan itu terkait dengan individu ataupun jama’ah, fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah.

~ 50 ~

Page 52: Buku Propaganda Ideologi Islam

Syari’at secara umum telah menunjukkan atas wajibnya membalut dakwah dengan kebenaran dan lurusnya jalan. Firman Allah Swt:

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus.” (TQS. al-Kahfi [18] 1-2)

Allah Swt. telah memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang kafir ingin membujuk-bujuk kita, berjalan bersama mereka, dan agar kita melepaskan kebenaran serta agar kita menerima perkara-perkara yang dianggap (pada mulanya) sebagai perkara yang enteng dan sepele terhadap kekafiran. Allah Swt berfirman:

“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri.” (TQS. al-Baqarah [2]: 109)

Kemudian dengan hukum-hukum, firman Allah Swt:“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (TQS. al-Qalam [68]: 9)

“Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).” (TQS. al-Qalam [68]: 8)

Rabb kita telah memperingatkan kita atas tunduk (lemah)nya kita terhadap orang-orang dzalim. Firman Allah Swt:

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim, yang menyebabkan kamu disentuh api Neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (TQS. Hud [11]: 113)

Dakwah yang benar (dengan mengajak) kepada iman yang benar mampu menjadikan keterikatan seorang muslim dengan syari’atnya secara sempurna, meskipun orang tersebut baru masuk

~ 51 ~

Page 53: Buku Propaganda Ideologi Islam

Islam atau baru saja terikat dengan hukum syara.’ Tidak ada jalan lain bagi kita, sebagai pengemban dakwah, selain dari menanamkan iman ke dalam jiwa dan menjaganya hingga memperoleh (panen) buah yang paling baik dengan menjadikan sebaik-baik iltizam dan takwa.

Daulah Islam tidak dibangun oleh orang-orang yang kosong dari pemikiran Islam, atau yang disesaki dengan pemikiran Barat, juga tidak didirikan di atas orang-orang yang tidak menjalankan aktivitas dakwah, dan orang-orang yang tidak terpengaruh oleh dakwah maupun orang-orang yang terpaksa menerima dakwah.

Daulah Khilafah Islam, wajib dibangun di atas opini umum yang terpancar dari kesadaran umum, yang menerima pemikiran Islam dan menerima ide untuk ber-tahkim kepada Islam. Dengan demikian tidak diperlukan sikap dengan mengikuti nafsu manusia atau mengikuti realitas yang menyimpang, karena Allah telah memerintahkan kita untuk merubah jiwa-jiwa (manusia) dan merubah realitas (yang ada) agar sesuai dengan Islam.

Apabila kita menengok kembali al-Qur’an, kemudian kita dalami lagi ayat-ayatnya, pasti kita akan mengetahui bahwa perintah untuk menerapkan hukum Islam bersifat qath’i.

Rasulullah Saw. dan orang-orang yang beriman kepadanya, setiap kali diturunkan ayat al-Qur’an, saat itu juga segera menerapkannya tanpa menunggu-nunggu atau memperlambatnya. Hukum yang diturunkan wajib diterapkan seiring dengan turunnya ayat.

Setelah turunnya ayat:“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (TQS. al-Maidah [5]: 3)

Kaum Muslim dituntut untuk melaksanakan Islam secara keseluruhan, dengan tuntutan yang bersifat menyeluruh; baik itu terkait dengan masalah akidah, ibadah ataupun akhlaq; baik itu terkait dengan muamalat ataupun dengan aspek pemerintahan,

~ 52 ~

Page 54: Buku Propaganda Ideologi Islam

ekonomi, sosial atau politik luar negeri; baik dalam kondisi damai maupun perang.

Firman Allah Swt: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Ambillah dan amalkanlah seluruh perkara yang dibawa oleh Rasulullah Saw., dan tinggalkanlah serta jauhilah seluruh perkara yang dilarangnya. Kata (mâ) di dalam ayat itu termasuk dalam kategori bentuk umum, yang mencakup wajibnya beramal dengan seluruh kewajiban, dan wajibnya meninggalkan atau menjauhi seluruh larangan. Tuntutan untuk melaksanakan atau meninggalkan yang terdapat di dalam ayat ini sifatnya wajib, dengan qarînah (indikasi) yang terdapat di ujung ayat, (yaitu) berupa perintah untuk bertakwa dan ancaman dengan azab yang pedih bagi yang tidak melaksanakan ayat tersebut.

Firman Allah Swt:“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka. Juga, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. al-Maidah [5]: 49)

Ayat ini memerintahkan kepada Rasul dan kaum Muslim setelah beliau dengan perintah yang bersifat jazm (pasti), (yaitu) tentang wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Allah; baik itu berupa perintah ataupun larangan. Di dalam ayat itu juga Rasulullah Saw. dan kaum Muslim setelah beliau dilarang untuk mengikuti hawa nafsu manusia lalu cenderung pada keinginan mereka. Demikian juga terdapat peringatan bagi Rasulullah Saw. dan kaum Muslim sesudah beliau agar tidak dipalingkan oleh manusia dari penerapan hukum-hukum yang diturunkan Allah.

~ 53 ~

Page 55: Buku Propaganda Ideologi Islam

Allah Swt berfirman:“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (TQS. al-Maidah [5]: 44)“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.” (TQS. al-Maidah [5]: 45)“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (TQS. al-Maidah [5]: 47)

Di dalam ayat-ayat ini Allah Swt. menghukumi kafir atau dzalim atau fasik bagi orang-orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Lafadz (mâ) di sini berbentuk umum, mencakup seluruh hukum-hukum syara’ yang diturunkan, baik berupa perintah-perintah ataupun larangan-larangan.

Tidak ada keraguan bahwa wajib bagi kaum Muslim, baik individu, jama’ah maupun negara Khilafah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna, tanpa menunda-nunda, memperlambat ataupun bertahap dalam penerapan.

Islam memandang orang yang menerapkan sebagian hukum seraya meninggalkan sebagian yang lainnya, berdosa di sisi Allah, baik ia individu, jamaah ataupun negara. Maka seluruh muslim harus terus mengupayakan terpenuhinya kewajiban hukum-hukum Islam.

Sesuatu yang wajib akan tetap wajib, (yaitu) harus dilaksanakan. Dan sesuatu yang haram akan tetap haram, (yaitu) wajib dijauhi. Rasulullah Saw. tidak menerima tuntutan (yang dilontarkan) utusan bani Tsaqif agar membiarkan berhala yang mereka sembah (Lâta) selama tiga tahun; dan tidak membiarkan mereka untuk tidak menjalankan shalat jika mereka masuk Islam. Rasulullah Saw. tidak menerima (tuntutan tersebut) dan menolaknya dengan tegas. Beliau tetap bersikeras untuk

~ 54 ~

Page 56: Buku Propaganda Ideologi Islam

menghancurkan berhala tanpa menunda-nunda waktu, dan tetap memerintahkan shalat tanpa mengulur-ulur waktu.

Allah Swt. telah menetapkan bahwa orang yang tidak menerapkan seluruh hukum-hukum Islam, atau menerapkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, sebagai kafir jika dia TIDAK MEYAKINI KELAYAKAN hukum-hukum Islam, atau tidak meyakini kelayakan sebagian hukum yang ditinggalkannya itu. Allah Swt. juga menganggapnya dzalim jika dia tidak menerapkan sebagian hukum Islam seraya tetap meyakini kelayakan penerapan (hukum) Islam.

Rasulullah Saw. mewajibkan untuk memerangi khalifah yang sah, dan mengangkat senjata apabila khalifah yang sah menampakkan kekufuran yang nyata, di mana kita memiliki bukti nyata di hadapan Allah. Dengan kata lain, sikap itu diberlakukan atas seorang khalifah yang menerapkan hukum kufur, yang tidak ada keraguan sedikitpun bahwa hal itu adalah hukum kufur, baik hukum itu banyak atau sedikit. Ini berdasarkan penjelasan dalam hadits Ubadah bin Shamit:

“Dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari yang berhak. (Rasulullah bersabda): ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, di mana kalian memiliki burhân (bukti nyata ) di sisi Allah’.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hal itu, tidak boleh ada (sikap) meremehkan sebagian hukum-hukum Allah. Sebab, tidak ada perbedaan antara satu kewajiban dengan kewajiban lainnya, juga antara satu perkara haram dengan perkara haram lainnya, termasuk antara satu hukum dengan hukum yang lainnya. Hukum Allah semuanya sama-sama wajib untuk dilaksanakan, tanpa ada penundaan atau sedikit demi sedikit. Jika tidak, maka kita akan dibalas Allah Swt.:

“Apakah kamu beriman kepada sebagian dari (isi) al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan dari orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 85)

~ 55 ~

Page 57: Buku Propaganda Ideologi Islam

Tidak ada satu udzur (halangan) bagi seorang muslim untuk tidak menerapkan satupun dari hukum-hukum syara’; baik dia sebagai khalifah dan jajarannya ataupun sebagai individu biasa, kecuali apabila terdapat rukhshah syar’iyyah (keringanan yang telah ditetapkan oleh syara’) yang terdapat di dalam nash-nash syara’.

Ketidakmampuan yang dapat diterima (secara syar’i) sebagai rukhshah syar’iyyah adalah dalam kondisi lemah yang sebenarnya, yang bisa diindera, atau dalam kondisi keterpaksaan yang sebenarnya, seperti pada keadaan adanya mukrah al-mulji (yaitu, keterpaksaan yang jika tidak dilaksanakan diduga kuat akan membahayakan jiwa).

Hendaklah umat mensikapi syara’ dengan bentuk hubungan yang meyakini secara total Rabbnya, beriman kepada-Nya dengan keimanan yang kuat bahwa Dialah yang mengatur seluruh perkara dan merubah seluruh situasi dan kondisi. Dialah yang memberikan pertolongan kepada yang berhak mendapatkan pertolongan.

Dengan keimanan seperti itulah seorang muslim (seharusnya) menghadapi realitas yang keras dan situasi yang sulit. Dengan imannya itu seorang muslim mencari kemuliaan dan menjadikannya sebagai titik tolak dakwahnya, sekaligus sebagai terminal perjalanan dakwahnya. Tidak melihat jauhnya jalan perjuangan, tidak melihat lamanya harus menempuh, tidak melihat penolakan atas dakwah ideologi Islam. Kita akan melihat bahwa keteguhan akan dapat mempengaruhi obyek dakwah dengan bentuk keterikatan yang benar dan konsistensi yang lurus meski ideologi Islam masih banyak dianggap asing.

Sikap kompromis dan menyembunyikan sebagian dari kebenaran menjadikan orang-orang non muslim dan muslim yang lalai akan menjadi ragu-ragu dalam menerima apapun yang ditawarkan kepadanya. Keraguan ini muncul karena tidak dipaparkan tentang Islam secara totalitas. Seruan semacam itu juga jauh dari asas ruhiyah, yang dibangun di atas keimanan kepada Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur. Berdasarkan asas ruhiyah itulah diambil hukum-hukum syara.

~ 56 ~

Page 58: Buku Propaganda Ideologi Islam

Kejelasan dakwahlah yang menjadikan hujjah Allah tetap tegak atas para da’i.

Kita telah diperintahkan agar tidak mendahulukan atau menunda-nunda apa yang telah ditetapkan Allah atas kita. Lagi pula bukankah yang mengobati manusia (menyelesaikan segala persoalannya) adalah Rabbnya Yang Maha Mengetahui, yang mengetahui apa yang diciptakan-Nya.

Berbagai pandangan rusak mulai banyak muncul setelah penerapan sistem hukum Islam dilakukan oleh Daulah Khilafah Islamiyah selama lebih dari 1000 tahun hingga berakhir seiring dengan runtuhnya Daulah Islamiyah. Sejak saat itu, masyarakat Muslim tidak bisa lagi menyaksikan kesempurnaan penerapan sistem hukum Islam. Bahkan, membayangkannya saja sudah sangat sulit.

Ditambah lagi ada upaya orang-orang kafir untuk mengikis habis seluruh sistem hukum Islam hingga ke simbol-simbolnya. Semua ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat benar-benar ‘buta’ terhadap hukum-hukum Islam yang seharusnya menjadi keyakinan dan tolok-ukur mereka.

Padahal, setelah al-Qur’an sempurna diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat manusia melalui Rasulullah Saw., tidak ada lagi alasan bagi siapapun untuk tidak menerima dan tidak menerapkan seluruh hukum Islam. Hukum Islam wajib diterapkan secara total dan sekaligus. Kewajiban ini ditujukan baik kepada individu, jamaah, maupun khalifah.

“Tidaklah patut bagi pria Mukmin dan tidak pula bagi wanita Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat.” (TQS. al- Ahzâb [33]: 36)

Allah Swt. telah menyempurnakan agama-Nya. Tidak ada lagi pilihan bagi kita selain menaati dan menjalankan apa yang telah dibebankan atas kita, yaitu seluruh perintah dan larangan Allah

~ 57 ~

Page 59: Buku Propaganda Ideologi Islam

Swt. Tidak boleh ada pilihan antara mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Tidak mengerjakan sesuatu, yakni sesuai perintah dan larangan Allah, berarti telah terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Sikap demikian adalah haram.

Hadits riwayat ‘Abdullah ibn ‘Umar r.a. melalui jalur para perawi yang terpercaya (tsiqah). Ia bertutur demikian:

“Rasulullah Saw. pernah menjumpai kami, lalu beliau bersabda, “Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara yang jika kalian diuji dengan kelima perkara tersebut, aku berlindung kepada Allah terhadap perjumpaan dengannya….., dan ketika pemimpin-pemimpin mereka tidak bertahkim (merujuk) pada Kitab Allah karena memiliki pilihan lain selain yang diturunkan oleh Allah; niscaya Allah akan menimpakan azab kepada mereka.” (HR. Ibn Majah)

Hadits Rasulullah Saw. ini merupakan petunjuk yang pasti mengenai larangan mencari alternatif selain hukum Islam, sehingga diterapkan hukum selain Islam. Larangan secara qath‘î (pasti) tampak dari celaan yang diindikasikan dengan adanya azab Allah Swt. Maksudnya, setiap perbuatan yang mengakibatkan datangnya azab Allah Swt. adalah tercela dan diharamkan secara pasti.

Hadits riwayat Imam Ahmad melalui jalan as-Sudaysi, yakni Ibn al-Khashasiyah, yang bertutur demikian:

“Aku pernah datang kepada Nabi Saw. untuk berbai’at. Rasulullah Saw. lalu mensyaratkan kepadaku agar bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba sekaligus Rasul-Nya; juga agar aku menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji, menjalankan shaum di bulan Ramadhan, dan berjihad fi sabilillah. Akupun berkata, “Demi Allah, mengenai dua perkara itu, aku tidak mampu menjalankannya, yaitu jihad dan sedekah. Sesungguhnya mereka mengatakan bahwa, orang yang lari dari medan perang akan memperoleh kemurkaan Allah. Oleh karena itu, aku khawatir kalau aku turut berperang, aku sangat mencintai diriku dan takut mati. Sedangkan sedekah, aku tidak memiliki apapun kecuali ghanîmah dan sepuluh orang tanggungan keluarga.

~ 58 ~

Page 60: Buku Propaganda Ideologi Islam

Semua hartaku adalah untuk keluargaku, memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.” Kemudian, Rasulullah Saw. menarik tangannya sendiri seraya menggerak-gerakkannya, lalu bersabda, “Jika tidak dengan berjihad dan sedekah (maksudnya zakat), maka dengan apa engkau masuk Surga?” Akupun menjawab, “Aku membaiatmu.” Aku lalu membaiat beliau dengan seluruh syarat-syarat tadi.”

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak menerima alasan Ibnu Khashasiyah yang meminta untuk meninggalkan jihad dan tidak menunaikan zakat. Padahal, dua perkara itu jelas-jelas hukumnya wajib. Namun demikian, pada akhirnya Ibn Khashasiyah menyetujui syarat-syarat yang diminta Rasulullah Saw. kepadanya, yaitu menunaikan seluruh kewajiban-kewajiban Islam, termasuk berjihad dan menunaikan zakat.

Dilarang mengajak untuk mencampuradukkan antara penerapan hukum Islam dengan penerapan hukum kufur.

Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, Zâd al-Ma‘ad, menuturkan riwayat sebagai berikut:

Kinanah ibn ‘Abdi Yalil berkata, “Apakah engkau akan menuntut kami (untuk taat kepadamu) meskipun kami telah kembali kepada kaum kami?” Rasulullah Saw. bersabda, “Ya, jika kalian memang memutuskan untuk masuk Islam, aku menuntut kalian. Namun, jika tidak, tidak akan ada tuntutan atas kalian, dan tidak ada perdamaian dengan kalian.” Kinanah berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu tentang zina? Sesungguhnya kami adalah kaum yang senang membujang, sementara kami harus melakukan hal itu.”Rasulullah menjawab, “Zina itu haram atas kalian, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman (yang maknanya): Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya ia adalah perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan.” Kinanah berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu tentang riba? Sesungguhnya ia adalah harta milik kami semuanya.” Rasulullah menjawab, “Bagi kalian berhak atas modal pokok kalian. Sesungguhnya Allah berfirman (yang maknanya): Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan

~ 59 ~

Page 61: Buku Propaganda Ideologi Islam

tinggalkanlah riba yang masih ada jika kalian benar-benar beriman.”Mereka berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang khamr? Sesungguhnya khamar itu adalah perasan hasil bumi kami, sementara kami biasa meminumnya.” Rasulullah kemudian menjawab lagi: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya.” Mereka, lalu saling berdiri dan saling berbisik-bisik, kemudian berkata, “Celaka kita, sesungguhnya kita khawatir bila menentangnya, kita akan menemui nasib seperti Fathu Makkah (penaklukkan kota Mekah). Pergilah kalian, kita menyetujui atas apa yang kita tanyakan.” Mereka kemudian mendatangi Rasulullah Saw. seraya berkata, “Ya, kami setuju atas apa yang engkau minta. Akan tetapi, bagaimana pendapatmu mengenai sesembahan kami? Apa yang harus kami lakukan terhadapnya?” Rasulullah menjawab, “Hancurkanlah!” Mereka berkata, “Itu sesuatu yang tidak mungkin. Seandainya berhala itu mengetahui bahwa engkau akan menghancurkannya, pasti ia akan membunuh pemiliknya.” Tiba-tiba, ‘Umar ibn al-Khaththab berkata, “Celaka kamu, hai Ibn Abdi Yalil. Betapa bodohnya kamu. Sesungguhnya berhala itu cuma seonggok batu!” Merekapun berkata, “Sesungguhnya kami tidak datang kepadamu, Ibn al-Khaththab.” Mereka kemudian melanjutkan perkataannya kepada Rasulullah Saw., “Tunjuklah orang lain untuk menghancurkannya, sebab kami tidak akan menghancurkannya.” Rasulullah menjawab, “Aku akan mengirimkan kepada kalian orang yang akan menghancurkannya.” Setelah itu merekapun memeluk Islam.

Hadis ini secara tegas menunjukkan bahwa, kaum Muslim —siapapun wajib memenuhi hukum Islam secara total dan serentak. Rasulullah Saw. telah menolak secara tegas berbagai persyaratan yang diminta oleh beberapa kabilah untuk menangguhkan atau mengecualikan diterapkannya beberapa hukum Islam (baik itu hukum zina, khamar, zakat, riba dll). Penangguhan penerapan sebagian hukum Islam telah ditolak oleh Rasulullah Saw., meskipun terhadap kabilah-kabilah yang baru memeluk Islam.

~ 60 ~

Page 62: Buku Propaganda Ideologi Islam

Imam Ibn Majah menuturkan riwayat yang bersumber dari ‘Athiyah ibn Sufyan ibn Abdillah ibn Rabi‘ah. Ia bertutur demikian:

“Utusan kami telah bercerita setelah datang menghadap Rasulullah pada saat masuk Islamnya Bani Tsaqif yang berkata, “Para utusan itu datang menghadap Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan.” Rasulullah Saw. lalu memerintahkan mereka untuk membuat kubah di masjid. Tatkala mereka masuk Islam, mereka langsung menjalani shaum pada hari-hari Ramadhan yang tersisa.”

Imam Bukhari meriwayatkan hadis dari al-Barra’. Disebutkan bahwa ia bertutur demikian:

“Tatkala Rasulullah Saw. datang ke kota Madinah, beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan. Meskipun beliau lebih menyukai untuk berkiblat ke Makkah. Kemudian, turunlah ayat (yang artinya): Sesungguhnya Kami sering (melihat) mukamu menengadah ke langit, maka Kami memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai (Makkah).” Setelah itu, Rasulullah mengalihkan kiblatnya ke arah Ka‘bah. Saat itu, bersama beliau ada seorang laki-laki yang turut shalat ashar. Selanjutnya, dia pergi dan melewati suatu kaum dari kalangan Anshar. Dia lantas bersaksi bahwa dia shalat bersama dengan Rasulullah, sementara beliau shalat menghadap ke Ka‘bah. (Ketika diturunkannya ayat tersebut) merekapun segera mengalihkan (arah kiblatnya), padahal mereka dalam keadaan rukuk shalat ashar.”

Imam al-Bukhari, an-Nasa‘i, Muslim, Ibn Majah, dan Imam Ahmad menuturkan riwayat yang bersumber dari Ahmad ibn Abdillah ibn Abi Awfa. Disebutkan bahwa ia bertutur,

“Kami pernah menjumpai seekor keledai di luar desa. Rasulullah Saw. lantas bersabda, ‘Buanglah seluruh isi panci (yang berisi daging keledai).’”

Menurut riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari Shalit al-Anshari, ia adalah seorang Badwi. Ia berkata, “Rasulullah melarang kami memakan daging keledai tatkala kami (berada) di Khaibar, lalu kamipun membuangnya, padahal kami dalam keadaan lapar.”

~ 61 ~

Page 63: Buku Propaganda Ideologi Islam

Abu Ya‘la menuturkan riwayat dari Jabir. Disebutkan bahwa ia pernah bertutur sebagai berikut:

“Seorang laki-laki tengah memikul khamr dari Khaibar menuju kota Madinah. Dia menjualnya kepada kaum Muslim (sementara khamr belum diharamkan), dan dia memperoleh uang hasil penjualannya. Pada suatu hari, dia datang lagi ke kota Madinah, namun berjumpa dengan seorang laki-laki Muslim yang berkata kepadanya, “Fulan, sesungguhnya khamar telah diharamkan.” Orang tersebut lantas meletakkan khamar di suatu tempat (yang tinggi) dan menutupinya dengan kain. Ia kemudian mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “Telah sampai kepadaku berita bahwa khamar telah diharamkan.” Rasulullah menjawab, “Memang.” Laki-laki itu berkata lagi, “Apakah boleh aku mengembalikan khamar kepada orang tempat aku membelinya?” Rasulullah menjawab, “Tidak boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah boleh aku menghadiahkan khamar ini kepada orang yang akan memberikan balasan kepadaku?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” Laki-laki itu melanjutkan, “Sesungguhnya di dalamnya terdapat harta anak-anak yatim yang berada dalam asuhanku.” Rasulullah bersabda, “Jika datang harta dari daerah Bahrain (kepada kami), maka datanglah engkau kepada kami. Kami akan mengganti harta anak-anak yatimmu.” Kemudian disebarkanlah berita tentang perkara ini ke seluruh kota. Berkatalah laki-laki itu, “Wahai Rasulullah, bolehkah bejana-bejana itu kami manfaatkan?” Beliau bersabda, “Biarkanlah aku yang membuka tutup bejana itu.” Dituangkanlah khamar itu hingga merembes ke dalam tanah.”

Imam Al-Bukhari juga menuturkan riwayat dari Anas ibn Malik. Disebutkan bahwa ia pernah berkata sebagai berikut:

“Ketika itu aku sedang memberi minum kepada Thalhah al-Anshari, Abu Ubaydah ibn Jarrah, dan Ubay ibn Ka‘ab minuman fudhaij, yaitu minuman yang berasal dari perasan kurma. Namun, saat itu datang seseorang kepada mereka dan berkata, “Sesungguhnya khamar telah diharamkan.” Berkata Abu Thalhah, “Anas, pergilah ke tempat penyimpanan khamar, dan

~ 62 ~

Page 64: Buku Propaganda Ideologi Islam

hancurkanlah.” Mendengar itu, akupun pergi ke tempat yang dimaksud, lalu kupukul bagian bawah hingga pecah.”

Hadits-hadits di atas secara tegas menunjukkan ketaatan kaum Muslim yang luar biasa di masa Rasulullah. Padahal, saat itu mereka tengah menjalankan aktivitas tertentu. Namun, tatkala mereka mendengar hukum atas perkara itu secara tegas ditentukan oleh Rasulullah Saw., seketika itu juga mereka mendengar dan menaatinya, meskipun mereka tengah menjalani perbuatan sebaliknya.

Dengan demikian, tatkala Daulah Khilafah Islamiyah berdiri, sebagai penerap sistem Islam ia tidak boleh menerapkan sistem hukum Islam sedikit demi sedikit, karena al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. telah sempurna diturunkan. Kita diwajibkan oleh Allah Swt. untuk menjalankan seluruh sistem Islam secara total dan seketika.

Konsisten Dengan Mabda’ (Ideologi), Baik Fikrah (Pemikiran) Maupun Thariqah (Metode) Islam

Hagemoni Barat yang kafir mampu menjadikan metode hidupnya sebagai model yang diikuti seluruh umat manusia. Bersamaan dengan itu kaum Muslim hidup dalam kondisi pemikiran, sosial, ekonomi, politik yang tidak menyenangkan. Mereka hidup di tengah-tengah pemikiran yang bertentangan dengan akidah mereka. Mereka telah kehilangan jejak yang lurus dan kepribadian mereka tatkala berusaha mengumpulkan kembali pemikiran yang terpancar dari akidah mereka.

Kesamaran ini muncul disebabkan karena kebodohan mereka dan karena kaum Muslim tidak mengambil segala sesuatu dari asalnya. Akibatnya, umat lalu mengkompromikan antara Islam dengan selain Islam. Pendapat mereka yang berdasarkan kepada hawa nafsu dijadikan sebagai maksud syari’at. Mereka menerima segala bentuk penakwilan dan mencari-cari justifikasi terhadap berbagai penyimpangan. Ujung-ujungnya, seluruh kehidupan sosial maupun ekonomi manusia penuh kontradiksi. Kehidupan politik

~ 63 ~

Page 65: Buku Propaganda Ideologi Islam

diarahkan untuk menempatkan pemikiran-pemikiran yang berasal dari luar Islam pada posisi pemikiran umat yang asli.

Dalam kondisi yang sangat buruk ini muncullah gerakan-gerakan dan partai-partai untuk menghadapi berbagai pemikiran yang salah, pemahaman-pemahaman yang keliru, perasaan-perasaan yang menyimpang, dan kondisi politik yang diperbudak oleh pihak (kekuatan) asing.

Seharusnya gerakan-gerakan dan partai-partai itu memiliki obat penawar dan solusi yang menyembuhkan; memiliki jalan lurus yang bisa dilewati manusia. Hendaknya mereka mengatakan kepada manusia:

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (TQS. al-An’aam [6]: 153)

Jama’ah atau partai harus memiliki sifat-sifat yang menjadikannya mampu mencapai tujuan; berupa kejelasan pemikiran Islam dan semangat untuk mencapai tujuan; mempersiapkan kelompok yang sadar; mempersiapkan umat; dan konsisten dengan hukum-hukum thariqah (metode) perjuangan Islam.

Aspek fikrah (pemikiran) Islam harus mendapatkan perhatian utama dari jama’ah. Pemikiran itu adalah pandangan jama’ah yang benar dan wajib dipercaya oleh setiap manusia. Pemikiran itu juga petunjuk yang menyinari seluruh manusia, sekaligus sebagai rahmat yang diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada hamba-Nya. Pemikiran tersebut adalah cahaya yang mengeluarkan manusia seluruhnya dari kegelapan (dan) hawa nafsu.

Pemikiran Islam itu amat layak untuk manusia, sangat sesuai dengan fitrahnya, memuaskan akal dan menenangkan hatinya. Pemikiran itu pula yang mampu membahagiakan kehidupan dan menghidupkan harapan. Di dalamnya terdapat kesempurnaan dan

~ 64 ~

Page 66: Buku Propaganda Ideologi Islam

rincian yang menjadikannya mampu untuk menjawab setiap pertanyaan (problematika) manusia tentang kehidupan yang dihadapinya; yang menjalin manusia dengan hubungan yang benar, baik dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan sesudah dunia; yang mengikat manusia dengan Penciptanya dengan ikatan yang benar, sehingga manusia mengetahui tujuan hidupnya dan menjadikannya memperoleh kebahagiaan sampai akhir.

Dengan pemikiran Islam jama’ah atau partai ideologi Islam meyakini pula bahwa jika bukan pemikiran ini yang dianut secara umum di masyarakat maka pemikiran yang bathil akan dominan, kemunkaran akan merajalela, hawa nafsu menjadi acuan, kedzaliman akan menyebar luas, kegelapan akan merata, dan kehidupan yang sempit mengakibatkan manusia tidak bisa tenang sehingga tidak akan tentram jiwa-jiwa mereka, serta akal-akal mereka tidak akan berkembang.

Jernihnya pemikiran Islam partai amat mempengaruhi kecemerlangan pandangan-pandangan yang dimiliki. Kecemerlangan pandangan diperoleh dengan pemahaman terhadap hukum syara’ melalui cara istidlâl yang benar.

Tatkala pemikiran Islam yang jernih, cemerlang, jelas dan mengkristal itu hilang maka akan hilang pula keistimewaannya. Cahayanya tidak akan kembali, bersamaan dengan sirnanya petunjuk dan rahmat. Hilang pula dasar yang menjadi alasan keberadaannya, sehingga jama’ah (partai tersebut) menjadi seperti gerakan-gerakan lainnya, yang menyerah pasrah di hadapan realitas menyimpang yang berhasil mempengaruhinya, bukan gerakan itu yang berhasil merubahnya, melainkan realitas itu yang berhasil membentuknya. Semestinya gerakan itulah yang mampu membentuk realitas sesuai dengan perkara yang diwajibkannya.

Banyaknya kristalisasi pemikiran (fikrah) pada anggota-anggota gerakan itu berbanding lurus dengan kristalisasi metode (tharîqah) yang menghantarkannya kepada realitas praktis. Kejelasan tujuan (ghâyah) adalah bagian dari kejelasan pemikiran.

~ 65 ~

Page 67: Buku Propaganda Ideologi Islam

Dan jalan untuk mencapai tujuan diambil dari hukum-hukum syara’ juga.

Jama’ah yang mengemban mabda’ atau partai politik ideologis adalah jama’ah atau partai yang terikat dengan mabda di dalam setiap gerak maupun diamnya. Hal itu karena pemikiran yang berasal dari mabda’ (ideologi) Islam telah melarang penganutnya maupun orang yang mendakwahkannya untuk mengambil selain mabda Islam, kecuali jika pemikiran tersebut membolehkannya. Mabda adalah pemikiran pokok yang membahas tentang segala perkara dari dasarnya, dan memberikan jawaban yang khas mengenai hakikat keberadaan manusia di alam ini. Setiap pemikiran cabang lahir dan terpancar dari pemikiran pokok ini. Seluruh pemikirannya tentang hidup, pemahaman-pemahamannya tentang segala sesuatu dan hukum-hukumnya yang menyangkut seluruh perbuatan, semuanya berasal dari pemikiran pokok ini.

Dengan demikian Islam merupakan bangunan yang lengkap. Tidak ada sedikitpun kekurangannya, meskipun hanya satu topik. Apapun yang ada di dalam Islam sangat harmonis satu sama lainnya, karena terpancar dari kaidah berpikir yang satu dan telah baku, menyatu dengan aturan kehidupan dan tabiat penciptaan.

Siapapun yang beriman dengan Islam, halal dan haram menjadi tolok ukur setiap perbuatannya, dan menjadi standar bagi setiap pandangannya terhadap segala sesuatu. Bukan mengacu kepada asas manfaat. Tolok ukur keliru asas manfaat selaras dengan pemikiran bahwa manusialah yang membuat hukum, bukan Allah Swt.

Sementara kebahagiaan seorang muslim adalah memperoleh ridha Allah, bukan didapatkannya kelezatan secara berlimpah. Dengan demikian, kehidupan seorang muslim adalah kehidupan ibadah kepada Allah, dan mengikuti perintah-Nya; bukan hidup yang berdasarkan pada ide kebebasan yang menjadikannya terlepas dari segala ikatan. Siapa saja yang menerima suatu asas,

~ 66 ~

Page 68: Buku Propaganda Ideologi Islam

dengan sendirinya ia akan menerima apapun yang lahir dari asas tersebut.

Dan siapa saja yang ingin melakukan perubahan, maka rubahlah dari asasnya dahulu. Setelah itu baru memperhatikan kesesuaian antara cabang dengan asas. Ini adalah pemikiran dan dakwah yang bersifat ideologis, yang harus menjadi titik tolak sebuah jama’ah.

Berdasarkan hal ini tidak bisa diterima adanya pencampuradukkan antara Islam dengan selain Islam pada diri kaum Muslim, sistemnya maupun jama’ah-jama’ahnya. Implikasinya adalah bahwa sistem pemerintahan sekarang ini tidak dapat diterima. Sistem tersebut telah menjadikan Islam sebagai salah satu sumber dari berbagai sumber lain perundang-undangannya, seperti kesepakatan para anggota legislatif dan eksekutif.

Sikap yang sama, yaitu tidak dapat diterima adalah, manakala jama’ah-jama’ah Islam melakukan proses pencampuran tersebut, seperti melaksanakan hukum-hukum Islam dan sebagian hukum-hukum Barat yang bertentangan dengan Islam. Ini adalah langkah mundur yang tidak diterima oleh Allah Swt. maupun hamba-hambanya yang beriman.

Oleh karena itu, seluruh jama’ah Islam yang berdiri diatas asas lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh (yang berarti tidak ada yang benar-benar berhak disembah dan dita’ati kecuali Allah) tidak dibolehkan condong ke Barat ataupun ke Timur dalam proses pengambilan hukum-hukum tentang kehidupan. Artinya, setiap pemikiran harus terpancar dari akidah Islam dan harus diambil dari sumber-sumber syara’ yang terpercaya dengan dalil-dalil yang terperinci.

Bagaimana mungkin kalimat lâ ilâha illa Allah sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa sosialis -yang asasnya adalah pemikiran lâ ilâha wa al-hayâtu mâddah (tidak ada tuhan, dan kehidupan ini hanya sekedar materi)- adalah berasal dari Islam.

~ 67 ~

Page 69: Buku Propaganda Ideologi Islam

Begitu pula, bagaimana mungkin kalimat syahadat selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi -yang berdiri atas ide pemisahan agama dari kehidupan- itu berasal dari Islam. Dan bagaimana bisa selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa qaumiyah (kesukuan) dan wathaniyah (nasionalisme) yang berpijak pada ashâbiyah (fanatisme) -yang telah dihinakan oleh Islam- berasal dari Islam.

Bagaimana mungkin kalimat lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh -yang berarti hanya Allah yang berhak dalam tasyri’ (pembuatan undang-undang)- bisa sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa manusia juga menentukan aturannya sendiri.

Bagaimana mungkin kalimat lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh -yang tegak di atas landasan merendahkan diri, ketundukan dan ibadah kepada Rabb semesta alam- akan selaras dengan kebebasan yang ada di dalam sistem Barat, di mana manusia menjadi tuan bagi dirinya sendiri dalam segala hal. Dan mereka tidak mau tunduk kepada Tuhan kecuali jika ketundukannya itu sesuai dengan syahwatnya, keinginannya dan kepentingannya?

Berpegang teguh kepada akidah Islam berimplikasi untuk tetap berpegang teguh kepada apapun yang terpancar dari akidah tersebut. Jika tidak, maka kepribadian jama’ah akan hilang digilas oleh serangan kompromi, yang tidak akan pernah diridhai Allah dan hamba-hambanya yang beriman.

Untuk memelihara pemikiran agar tetap jernih dan cemerlang, jelas dan terkristal, wajib menjauhkannya dari arus realitas yang bengkok yang menghanyutkan, dan menyerah pada situasi dan kondisi buruk; menjauhkan pula dari penyimpangan, penggantian dan proses tawar menawar.

Sama halnya dengan kondisi para pengemban dakwah yang ingin merubah masyarakat sesuai dengan pemahamannya, maka demikian pula masyarakat, dengan pemahaman dan pemikirannya

~ 68 ~

Page 70: Buku Propaganda Ideologi Islam

yang salah, kondisi politik dan sosial yang ada juga akan ada resistensi atas jama’ah yang berusaha melakukan perubahan.

Waspada Terhadap Penyimpangan dan Kompromi

Sebuah jama’ah yang berlandaskan pemikiran Islam yang bersifat ideologis, yang terjun kedalam realitas, maka pasti akan diterpa angin ribut yang berusaha untuk mencerabutnya dari akarnya. Sikap penguasa sistem non-Islam terhadap jama’ah ini akan berbeda dengan sikap mereka terhadap gerakan-gerakan lainnya.

Hal itu terjadi karena jama’ah lain hanya melontarkan pemikiran yang bersifat parsial sehingga tidak secara langsung berbenturan dengan membeberkan sistem keliru yang ada. Malahan kadang kala jama’ah-jama’ah itu berfungsi sebagai penutup (tameng) dari kelemahan-kelemahan yang dihasilkan oleh sistem bengkok mereka.

Kondisi tersebut berbeda dengan dakwah yang mengakar dan berlandaskan pada pemikiran yang bersifat ideologis; yang menyelesaikan problematika dari akarnya; yang tidak ridha dengan dengan kompromi; juga tidak mencampur haq dan bathil; tidak pula menerima penyelesian yang ditawarkan oleh sistem yang ada; tidak mencampakkan dakwah ideologi Islam (sebagai kompensasi) adanya perubahan yang komprehensif; dan tidak mau menerima hal-hal cabang dengan meninggalkan asas yang menjadi dasar berpijaknya cabang tersebut.

Terkadang, kerasnya perlawanan penguasa ditujukan kepada diri pengemban dakwah, dan jika dia tidak mampu untuk menanggungnya, maka dia akan menekan jama’ahnya untuk lebih meringankan lontaran-lontarannya. Terkadang jama’ah itu merasa sempit dan merasa lemah keinginannya ketika menyadari bahwa mereka diasingkan oleh manusia (masyarakat) dan terisolir kondisinya.

~ 69 ~

Page 71: Buku Propaganda Ideologi Islam

Terkadang pengemban dakwah merasa putus asa dan berpikir untuk mengundurkan diri dari aktivitas dakwah, terutama ketika kepentingan dunianya berbenturan dengan situasi yang berkembang dalam menjalankan aktivitas bersama jama’ahnya.

Jama’ah ideologi Islam harus menghadapi dua bahaya: pertama, adanya bahaya internal di dalam jama’ah karena lemahnya cita-cita dan semangat para anggotanya; dan yang kedua, adanya bahaya eksternal yang berasal dari adanya resistensi terhadap ide-ide perubahan Islami secara total.

Berdasarkan pembahasan ini dapat dipahami bahwa pemikiran Islam yang bersifat ideologis dan benar membutuhkan jama’ah atau partai yang bersifat ideologis pula. Para pemimpin dan para anggotanya harus memiliki keterikatan yang kuat berdasarkan syara’, sehingga menjadikannya sebagai yang tertinggi. Selalu berusaha keras untuk memelihara kejernihan, kecemerlangan , kesucian dan kesabaran, siap berkorban dan mementingkan kepentingan jama’ah ideologi Islam, melawan keinginan diri sendiri, mengosongkan diri dari mementingkan diri sendiri. Semua itu bertujuan agar penyelewengan tidak berkembang dan cita-cita tidak melemah. Agar partai ideologi Islam tetap bisa berjalan dengan tetap memelihara aktivitasnya serta terjauh dari perubahan dan permainan, maka wajib baginya untuk mengikatkan dengan kuat setiap simpul pemikiran dan setiap hukum syara’ dengan akidah Islam.

Apabila terjadi benturan antara kepentingan pribadi pengemban dakwah (yang bersifat temporer) dengan ketegaran dan kesabaran dalam mengemban dakwah untuk mencapai tujuannya yang syar’iy, maka yang dimenangkan adalah kepentingan dakwah. Ikatan ini merupakan penghalang yang sangat kuat terhadap bisikan setan dan kata hati yang memerintahkan kepada keburukan.

Agar perahu jama’ah atau partai ideologi Islam selamat dari bahaya karam dan tenggelam di tengah-tengah lumpur realitas yang buruk, maka harus ada dasar-dasar yang bersifat baku yang

~ 70 ~

Page 72: Buku Propaganda Ideologi Islam

mengikat pemikiran dan metode berpikirnya. Hal ini yang akan mengikat partai ideologi Islam, karena tidak boleh bagi partai ideologi Islam untuk keluar dari ushûl-nya berdasarkan takwil dan justifikasi meskipun sekejap.

Visi yang bagus, keteladanan yang baik, dan pemahaman yang sempurna akan membersihkan partai ideologi Islam dari segala kotoran yang seringkali melekat. Dengan demikian mereka mampu mensucikan jiwa dan memperkuat iman.

Tidak ada yang mampu bersabar menghadapi jalan yang sulit ini kecuali orang-orang beriman yang memiliki ‘azam yang kuat. Fitnah yang mereka hadapi dengan kesabaran justru akan semakin mensucikan mereka, layaknya api yang bisa membersihkan emas dari kotoran-kotorannya.

Sebaliknya, jika dasar-dasar yang menjadi pengikatnya telah hilang dari sebuah jama’ah, maka kemunduran, penggantian dan pengaruhlah yang akan mewarnai dan mengarahkan jama’ah. Jalan yang akan ditempuh diliputi kesamaran, tujuannya tidak jelas, dan tidak terkristalnya pemikiran-pemikiran yang ada pada jama’ah bisa menyeret jama’ah untuk menggantinya tatkala berhadapan dengan kesulitan. Kemudian dia akan memaksakan diri dengan menta’wilkan dan mencari-cari justifikasi tatkala dituntut menyebutkan dalilnya.

Tatkala sebuah jama’ah menerima kompromi, atau menerima kebenaran secara parsial, lalu berlepas diri dari dakwahnya yang mengakar maka kekuatan satu-satunya yang dimiliki jama’ah akan hilang. Jama’ah tersebut akan kehilangan sifat istimewanya dan tidak lagi menarik perhatian manusia secara khusus. Pada akhirnya jama’ah tersebut jatuh tersungkur di medan pergulatan pemikiran.

Kemenanganpun diraih musuh-musuhnya, meskipun dia masih menyerukan dan melontarkan (pemikiran) Islam. Sebab, lontarannya telah terdistorsi dan beralih fungsi untuk mendukung kepentingan sistem keliru yang sedang berkuasa. Jika demikian

~ 71 ~

Page 73: Buku Propaganda Ideologi Islam

keadaannya maka jama’ah itu menjadi batu penghalang (proses) perubahan yang sebenarnya, bukan sebaliknya. Hal ini telah diperingatkan Allah Swt ketika berfirman kepada Rasul-Nya dan kepada umatnya:

“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. al-Maidah [5]: 49)

Juga seperti perkataan Umar ra kepada qâdhi Syuraih: ‘Jangan sampai orang-orang memalingkanmu dari (syari’at Allah)’

Senjata paling ampuh yang dimiliki oleh sebuah jama’ah adalah pemikiran Islamnya. Apabila partai ideologi Islam itu mampu menjaganya dan mengeluarkannya dari lingkaran kompromi, kemudian mampu bersabar bagaimanapun situasi yang mengungkungnya dan tetap berjalan di jalan yang pernah dilewati oleh Rasulullah Saw., maka partai ideologi Islam itu akan mampu -setelah beberapa waktu- untuk mempersiapkan perkara yang pernah Rasulullah Saw. persiapkan; yaitu berupa sekelompok orang-orang yang beriman, dan mempersiapkan umat untuk menerima (sistem) pemerintahan yang akan menerapkan seluruh perkara (hukum) yang Allah turunkan. Setelah itu akan mampu membalikkan keadaan untuk kepentingan dakwah dan mendirikan daulah Islam.

Pengemban dakwah yang benar dengan berhiaskan pemikiran Islam menuntut mereka untuk selalu siap menghadapi berbagai tekanan terhadap pemikiran Islam yang sejalan dengan pemikiran yang pokok dan asasi. Berdasarkan hal ini tidak layak jika jama’ah itu menghadapinya dengan logika khudz wa thâlib (ambil -yang ada- dan tuntut lagi –yang lainnya-) atau logika ‘lontarkan perkara agar sesuai dengan realitas’ atau logika ‘lontarkan sebagian tuntutan’ atau logika ‘menerima win-win solution’.

Pemikiran-pemikiran seperti ini justru yang harus dirubah oleh partai ideologi Islam, bukan malah mempraktekannya. Itu adalah berbagai bentuk pemikiran Barat yang telah menyerang akal pikiran kita. Pemikiran-pemikiran tersebut berbeda secara

~ 72 ~

Page 74: Buku Propaganda Ideologi Islam

mendasar dengan tabi’at Islam yang menolak semua penyataan itu. Bahkan kewajiban partai ideologi Islam itu untuk berusaha mencopotnya, lalu berusaha untuk mengokohkan Islam maupun metode berpikirnya. Siapapun yang ingin melibatkan diri dalam aktivitas perubahan, wajib memulainya dari dirinya sendiri.

Berdasarkan pemaparan di atas jelas tentang wajibnya sebuah partai ideologi Islam membekali diri dengan menjaga pemikiran Islam dan kejelasannya.

Kebusukan Peradaban Barat

Barat dibangun di atas ide sekularisme. Dengan pemikiran dasar ini segala bentuk pengaruh agama dijauhkan dalam kehidupan manusia. Pemahaman-pemahaman manusia tentang hidup diatur dengan bertumpu pada asas ini. Implikasinya, di Barat muncul ide sejenis yang merupakan turunannya, dengan mengacu pada pemikiran pokok tersebut. Ide itu adalah demokrasi, yang memproklamirkan bahwa manusia adalah pengatur bagi dirinya sendiri, bukan Allah. Maslahat/ asas manfaat menjadi tolok ukur atas seluruh perbuatan manusianya. Selain itu, kebahagiaan menurut mereka adalah memperoleh sebesar mungkin kenikmatan. Turunan lainnya adalah ide yang mengagungkan individu, yang berdampak pada mengagungkan kebebasan. Masyarakat (Barat) dibangun berdasarkan ide-ide ini dan menafikan seluruh pemikiran yang bertolak belakang dengannya.

Akibat dari adanya pemikiran-pemikiran semacam ini adalah kesengsaraan hidup manusia (pada msayarakat Barat), bukan kebahagiaan. Kondisi tersebut dimaklumi, karena manusia yang lemah dan terbatas kemampuannya tidak akan mampu membuat syari’at (hukum), baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Masyarakat yang dikuasai oleh egoisme dan kebebasan yang membudaya di dalamnya tidak lain akan memunculkan masyarakat liar, yang di dalamnya berlaku hukum rimba.

~ 73 ~

Page 75: Buku Propaganda Ideologi Islam

Barat juga memberikan kebebasan dalam berpikir. Sejak saat itu, Barat memasuki masa penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi yang mencengangkan, sehingga Barat mampu meraih sebab-sebab kekuatan yang memungkinkannya menguasai dunia, dengan berlandaskan pada logika kekuatan bukan dengan logika kebenaran. Kemudian Barat mulai mendominasi dunia secara materi, lalu merambah ke pemikiran. Barat menguasai banyak negeri, seraya mengangkat orang-orang yang dapat melayani kepentingannya sebagai penguasa boneka dan mampu menerapkan sistem yang sesuai dengan Barat. Setelah itu, media massa dan kurikulum pendidikan berperan untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran Barat dan metode kehidupannya. Barat berusaha meyakinkan kaum Muslim bahwa sebab-sebab kekuatan Barat adalah pemikirannya tentang hidup dan kehidupan.

Barat membagi-bagi dunia dengan bentuk pembagian yang sesuai dengan kepentingannya. Ada negara yang disebut dengan negara industri (industrial countries); sebagai produsen, kaya, kuat, berkuasa. Barat menyebutnya sebagai negara-negara yang maju dan modern. Ada pula negara-negara miskin; sebagai konsumen, lemah, selalu terkalahkan dalam setiap perkara. Barat mengelompokannya sebagai negara-negara terbelakang (undeveloped countries). Barat berusaha melestarikan pembagian ini dan mencegah adanya perubahan-perubahan situasi di negara-negara miskin ini, dan akan mencegah usaha-usaha untuk merubah realitas buruk ini.

Di samping itu, Barat memberikan kebebasan yang seluas-luasnya di dalam negerinya; manusia menikmati kestabilan politik; menyediakan fasilitas hidup dengan berbagai cara.

Di saat yang sama, Barat mengharamkan kemajuan bagi negara-negara miskin; mengisolasi mereka dari ilmu (sains dan teknologi) yang memungkinkan mereka memiliki kekuatan materi, serta melarang meraka membangun industri-industri berat agar negara-negara itu tetap tergantung kepada Barat.

~ 74 ~

Page 76: Buku Propaganda Ideologi Islam

Selain memiskinkan negara lain, Barat juga menciptakan mereka sebagai pasar bagi berbagai komoditasnya dan menghalanginya untuk memperoleh stabilitas politik dan keamanan. Semua itu disebabkan karena negara-negara industri kaya saling bersaing di antara mereka untuk menjajah negara-negara miskin. Persaingan itu bukanlah pertarungan kasat mata yang memicu peperangan fisik di antara mereka. Barat sengaja menjadikan bangsa-bangsa (miskin) berperang satu sama lain, kadangkala dengan menciptakan kegoncangan dan pemberontakan di negeri-negeri yang dikuasainya. Kondisi tersebut memunculkan instabilitas keamanan. Rasa dengki menyala di antara manusia. Akibatnya muncul rasialisme dan fanatisme, serta merangsang munculnya kesukuan di antara rakyat negeri itu sendiri.

Barat juga mendiversifikasi cara-cara penjajahannya dengan mendirikan lembaga internasional seperti PBB, Mahkamah Internasional, Dewan Keamanan PBB, Bank Dunia maupun Amnesti Internasional.

Didirikan pula pasukan multinasional untuk turut campur menyelesaikan persengketaan antar negara atau untuk melindungi program bantuan bagi negara-negara miskin. Selain itu juga didirikan organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga lain agar dapat mengintervensi urusan negara-negara miskin secara tersamar, tidak secara terang-terangan. Bahkan mereka juga membeli keputusan (yang dikeluarkan) lembaga-lembaga internasional, seperti lembaga (program) bantuan untuk anak, atau kedokteran, dan sebagainya.

Pemikiran sekularisme dan berbagai ide yang dilahirkannya, seperti asas manfaat, berhubungan dengan ide penjajahan. Penjajahan –saat ini- banyak tidak mengambil bentuk konvensional seperti yang terjadi pada masa lalu. Pemikiran, sarana-sarana dan cara-cara yang dipakai mereka telah berubah menjadi penjajahan terselubung. Di luar menampakkan menggunakan baju rahmat, tetapi di dalamnya menyimpan azab. Barat berusaha menutupi hakikat mereka yang sebenarnya, dan menampakkan dirinya solah-olah adalah teladan. Dan bangsa-bangsa lain wajib mencontohnya.

~ 75 ~

Page 77: Buku Propaganda Ideologi Islam

Barat juga menjadikan dirinya sebagai kiblat, tempat kaum Muslim mengarahkan pandangan kepadanya.

Barat menampakkan dirinya dengan cara dusta dan munafik. Seakan-akan yang ada padanya hanyalah kesenangan, seperti tampak pada ide demokrasi dan kebebasan yang menjadi alat bantu kehidupan mereka. Padahal Barat mengabaikan kerusakan masyarakatnya, menyembunyikan hakikat penjajahan, dan mengeksploitasi kekayaan kaum Muslim. Barat juga memiskinkan manusia dan membiarkan mereka dalam ketertinggalan di bidang ekonomi; menjadikan mereka sebagai sasaran eksploitasi dan pasar permanen bagi industri dan perdagangannya. Semua itu menjadi sebab-sebab hegemoninya terhadap dunia. Cerita tentang Barat dan penjajahan yang dilakukannya sangatlah panjang. Kami hanya menyebutkan sebagian saja secara ringkas.

Memang benar, Barat telah memutarbalikkan informasi dan data; memutarbalikkan seluruh perkara manusia; serta menutupi pandangan mereka yang benar. Ini dimaksudkan agar manusia melihat dengan cara pandang mereka (Barat). Seluruh propagandanya disasarkan pada: sesungguhnya yang kuat itulah yang menang dan yang lemah itulah yang layak kalah tertindas.

Di sinilah dibutuhkan adanya peran jama’ah atau partai politik ideologis untuk mengembalikan segala perkara kepada asalnya, dan memperbaiki cara pandang serta mencegah kerancuan. Kenyataan tadi jika berpengaruh kepada partai ideologi Islam bisa menyebabkan kehilangan gambaran yang benar. Apabila partai ideologi Islam memahami hakikat perkara ini, maka ia akan kembali kepada syara’ untuk mengetahui bagaimana menyelesaikan masalah, sehingga partai ideologi Islam itu akan tampil laksana dokter yang membawa obat, mampu mengeluarkan mereka dari kedzaliman pemikiran Barat kepada keadilan Islam.

Dari paparan ini kami melihat bahwa dominasi kekuatan Barat disebabkan karena Barat membebaskan akalnya di bidang ilmu dan teknologi; dan mencegah bangsa-bangsa lain untuk memiliki sebab-sebab kekuatan di bidang materi. Kekayaan Barat yang luar

~ 76 ~

Page 78: Buku Propaganda Ideologi Islam

biasa diperoleh melalui penjajahan, menghisap darah bangsa-bangsa lain serta merampas kekayaan bangsa-bangsa itu, di samping juga memeras rakyatnya sendiri. Jadi, bukan disebabkan oleh demokrasi.

Ide pemisahan agama dari kehidupan lahir di Barat setelah orang-orang di sana terbakar dengan kemarahan campur tangan gereja dalam urusan manusia. Saat itu gereja bersama penguasa turut campur dengan mengatasnamakan agama, padahal agama mereka tidak menyinggung-nyinggung urusan negara. Sebab, dalam agama Nasrani tidak ada (sistem) perundang-undangan yang mengatur kehidupan kolektif.

Kalangan agamawan (rijaluddin) tampil membuat undang-undang dzalim dengan mengatasnamakan agama, Hal ini memicu dua reaksi: Pertama, yang menyuarakan penolakan terhadap agama secara mutlak. Kedua, yang menyuarakan pengakuan terhadap agama akan tetapi harus dipisahkan dari kehidupan.

Di atas ide yang pertama lahir pemikiran-pemkiran sosialis tentang kehidupan, yang runtuh setelah beberapa dasawarsa. Itupun setelah menyengsarakan manusia melalui penerapannya. Sedangkan di atas ide yang kedua, lahir pemikiran tentang hidup yang diadopsi oleh negara-negara kapitalis. Sistem inipun sedang melangkah menuju kehancurannya. Itu dibuktikan berdasarkan pemikiran maupun realitas.

Ide pemisahan agama dari kehidupan telah memberikan kepada manusia hak untuk membuat undang-undang dan menghalang-halangi agama untuk membuatnya. Mereka mengakui keberadaan Tuhan, akan tetapi menjadikannya pemikiran yang bersifat individual (pribadi), tidak ada hubungannya dengan masyarakat dan tidak ada pengaruh agama di dalamnya. Ide ini tidak melarang apakah Tuhan itu Allah, al-Masih, Budha atau pribadi tertentu. Tidak juga melarang adanya keimanan tanpa agama (atheis). Yang penting, dalam kondisi apapun manusia sajalah yang berhak mengatur. Ide ini menurut mereka tidak ada jalan tengahnya, dan tidak ada interpretasi lainnya. Manusia menurut mereka adalah pengatur segala urusannya, dan mengurusi segala kepentingannya. Bahkan mengatur pula pemuasan atas seluruh nalurinya. Dari

~ 77 ~

Page 79: Buku Propaganda Ideologi Islam

sinilah lahir ide demokrasi, yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Pemerintahan dari rakyat, berarti rakyatlah yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Artinya, dialah yang berhak membuat undang-undang. Dengan kata lain rakyatlah yang membuat undang-undang.

Pemerintahan oleh rakyat, berarti rakyatlah yang menjalankan pemerintahan dengan menerapkan undang-undang yang telah dibuatnya.

Pemerintahan untuk rakyat, berarti rakyatlah yang diperintah dengan apa yang telah diundangkannya.

Ketiga point diatas diterjemahkan dengan bentuk tiga kekuasaan:Kekuasaan Legislatif, yang membuat undang-undang dan hukum-hukum, berhak merubahnya, menghapusnya serta mengawasi penerapannya.Kekuasaan Eksekutif, yang menerapkan undang-undang secara umum, atau kehendak wakil rakyat, atau menerapkan perundang-undangan dan hukum-hukum yang yang telah dibuat oleh pihak Legislatif.Kekuasaan Yudikatif, yang mengadili setiap kasus yang dihadapkan kepadanya berdasarkan hukum-hukum dan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pihak Legislatif dan Eksekutif.

Itulah sifat-sifat demokrasi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap sistem yang memiliki spesifikasi seperti tersebut di atas tergolong sebagai sistem demokrasi. Sistem yang tidak memenuhi satu poin saja dari apa yang telah disebutkan tadi tidak bisa dikatakan sebagai sistem demokrasi, karena spesifikasi yang paling menonjol dari semuanya adalah kedaulatan berada di tangan rakyat atau para manusia. Dan hal ini dianggap sebagai pilar utama dari pemikiran demokrasi sekaligus menjadi tulang punggung sistem demokrasi.

Ide demokrasi adalah selaras dengan ide yang menjadi asasnya, yaitu ide pemisahan agama dari kehidupan yaitu sekularisme. Paham ini merupakan induk demokrasi, akidahnya

~ 78 ~

Page 80: Buku Propaganda Ideologi Islam

demokrasi. Dan demokrasi mempunyai hukum yang selaras dengan ide sekularisme. Karena demokrasi merupakan ide cabang dari ide dasar yang telah tertolak, maka PENGANUTNYA, orang-orang yang MEYAKINI KEBENARANNYA dianggap kafir. Termasuk pengetahuan umum, bahwa ide pemisahan agama dari kehidupan bertentangan dengan pemikiran pokok kaum Muslim, yaitu fikrah (idealisme pemikiran) lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh, maupun fikrah lain yang muncul dan selaras dengan akidah kaum Muslim.

Firman Allah Swt:“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (TQS. al-Kahfi [18]: 26)

“Keputusan hukum itu hanya kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS. Yusuf [12]: 40)

‘Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’ memiliki pengertian bahwa suara mayoritas tidak ada nilainya atau tidak berarti kalau dibandingkan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rabb semesta alam, bahwa yang berhak membuat hukum adalah Allah saja. Di dalam sistem yang Islami keputusan adalah di tangan Allah Swt. yang ada dalam apa yang telah Dia turunkan sebagai petunjuk, tuntunan, pedoman. Perintah, kewajiban, larangan, pengharaman dan penghalalan hanyalah milik Yang Maha Tinggi dan Maha Besar lagi Maha Mengetahui, bukan di tangan makhluk-Nya. Tidak ada satu individupun atau jama’ah yang boleh campur tangan membuat-buat perkara ini, meskipun sedikit.

Jadi, bagaimana mungkin gelap-gulitanya demokrasi bisa bertemu dengan terang benderangnya Islam? Allah Swt. telah menjelaskan di dalam ayat-Nya yang amat gamblang:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka kan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (TQS. al-An’aam [6]: 116)

Mereka tersesat karena tidak menggunakan tuntunan dari Allah semata.

~ 79 ~

Page 81: Buku Propaganda Ideologi Islam

Allah Swt. berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS. al-Baqarah [2]: 216)

Islam telah menetapkan bahwa setiap hukum yang merujuk kepada selain Allah berarti sama saja dengan tahâkum kepada thaghut. Allah Swt. berfirman:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesesatan yang sejauh-jauhnya.” (TQS. an-Nisa [4]: 60)

Berhukum kepada thaghut sama artinya berhukum dengan hukum jahiliyyah, yaitu hukum yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Thaghut pada suatu kaum bisa berarti orang yang menetapkan hukum selain Allah dan Rasul-Nya, atau orang yang diikuti bukan karena petunjuk Allah, atau seseorang yang ditaati padahal tidak termasuk di dalam ketaatan kepada Allah, padahal menyimpang dari tuntunan Allah Swt.

Al-Qur’an menganggap bahwa orang rela, setuju berhukum kepada thaghut itu imannya hanya sekedar di mulut saja, tidak hakiki. Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa thaghut merupakan lawan dari iman. Firman Allah Swt:

“Barangsiapa yang ingkar pada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Umat Islam –dalam perkara ini- wajib menjadi saksi bagi seluruh manusia sepeninggal Rasulullah Saw. hingga hari kiamat nanti, untuk mengatakan kepada manusia seperti apa yang al-Qur’an katakan:

~ 80 ~

Page 82: Buku Propaganda Ideologi Islam

“Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut itu.” (TQS. an-Nahl [16]: 36)

Ide pemisahan agama dari kehidupan beserta seluruh pemikiran cabangnya, seperti pemikiran demokrasi, merupakan pemikiran-pemikiran thaghut. Islam mengharuskan pemeluknya untuk meninggalkannya dan mencampakkannya.

Itulah ide demokrasi. Begitu pula hukum Islam terhadapnya. Sedangkan realitas yang telah dihasilkan oleh penerapannya di atas muka bumi bukanlah realitas yang yang penuh dengan kemuliaan dan indah sehingga kita ingin hidup di dalamnya, melainkan realitas hina yang penganutnya hidup penuh dengan kekosongan dan kesia-siaan sebagai akibat dari penerapannya.

Kebebasan Demokrasi

Tatkala Barat meyakini ide pemisahan agama dari kehidupan, maka pada saat itu Barat telah memberikan kepada dirinya hak untuk membuat undang-undang. Mereka berpandangan bahwa manusia wajib menjalani kehidupannya menurut pendapatnya sendiri, bukan menurut Allah dan Rasul-Nya; dan berjalan sesuai dengan keinginanya sendiri. Barat juga memandang bahwa hal itu tidak mungkin bisa terlaksana kecuali jika manusia diberikan kebebasan. Kebebasan tersebut tergambar dalam kebebasan berakidah, kebebasan memiliki, kebebasan menyampaikan pendapat, dan kebebasan pribadi (bertingkah laku). Mereka juga beranggapan bahwa pemikiran tentang kebebasan adalah perkara yang sakral, yang tidak mungkin disentuh (dirubah-rubah).

Kebebasan berakidah, membolehkan setiap individu untuk menganut agama berdasarkan pilihannya sendiri, dan boleh berpindah dari satu agama kepada agama yang lain, meskipun hal itu dilakukannya setiap hari. Kebebasan ini juga membolehkan individu untuk menjadi seorang atheis.

~ 81 ~

Page 83: Buku Propaganda Ideologi Islam

Kebebasan memiliki, membolehkan setiap individu untuk memiliki apa saja yang disukainya dengan segala cara yang dikehendakinya; membolehkannya untuk membelanjakan hartanya sekehendak hatinya. Seandainya seseorang ingin memberikan hartanya kepada anjingnya atau dikubur bersamanya ketika dia mati dan tidak mewariskannya kepada ahli warisnya, maka terhadap perkara semacam ini tidak boleh ada seorangpun yang berhak melarangnya.

Kebebasan berpendapat, membiarkan individu untuk mempropagandakan apa saja yang dia sukai, baik benar ataupun salah, tanpa ada sanksi atau pengawasan. Setiap individu berhak mengoreksi, mengkritik pendapat apa saja yang bertentangan dengan akal ataupun hawa nafsunya, dan tidak ada seorangpun yang berhak untuk melarangnya.

Sedangkan kebebasan bertingkah laku, membolehkan setiap individu untuk melakukan apa saja urusan pribadinya tanpa memperdulikan nilai-nilai dan ikatan akhlak ataupun larangan agama.

Ide tentang kebebasan yang merupakan kebutuhan dalam sistem demokrasi menuntut para pengikutnya untuk menanggalkan kebenaran, sehingga menjadikan para penganutnya terperosok pada derajat yang lebih rendah dari hewan.

Kebebasan beragama, telah menempatkan agama sebagai sesuatu yang tidak bernilai di dalam masyarakat kapitalis. Mereka meremehkan agama dengan memberikan keleluasaan kepada siapapun untuk menukar agamanya semudah mengganti bajunya. Dengan menyebarnya pemikiran materialistik sementara pemikiran yang bersifat agamis menghilang maka lenyap pulalah nilai-nilai akhlak, kemanusiaan dan kebenaran. Akibatnya banyak jiwa yang kehilangan rasa kasih sayangnya, sehingga manusia hidup bagaikan serigala-serigala, yang kuat menguasai yang lemah.

Kebebasan mengeluarkan pendapat, yang membolehkan individu manusia untuk mengatakan apa saja yang mereka sukai dan mengajak kepada apapun yang mereka inginkan. Akibatnya, muncul ide-ide yang menyimpang, aneh, dan batil di tengah-tengah

~ 82 ~

Page 84: Buku Propaganda Ideologi Islam

masyarakat mereka, yang terlepas dari kebenaran dan dari tolok ukur kebenaran. Bukanlah sesuatu yang mengherankan jika anda mendengar pernyataan seperti yang dilontarkan Salman Rusydi. Dengan dalih kebebasan berakidah dan dikemas dengan kebebasan berpendapat, dia leluasa menghujat Rasulullah Saw.

Kebebasan memiliki yang mengacu kepada tolok ukur berlandaskan asas manfaat, telah melahirkan raksasa kapitalisme. Penjajahan dijadikan sebagai metode baginya untuk menguasai bangsa-bangsa lain, merampas kekayaan mereka dan memonopoli kekayaan mereka serta mengisap darah rakyatnya. Selain itu di antara mereka sama-sama bersaing dan berebut untuk mendapatkan bagian. Itu sama saja dengan memperjualbelikan darah bangsa-bangsa, menyalakan fitnah dan perang di antara negara-negara.

Hal itu dilakukan agar mereka bisa menjual komoditas yang dihasilkan industri perang mereka yang akan mengucurkan keuntungan besar bagi mereka. Negara-negara kapitalis ini telah terlepas dari nilai-nilai agama, akhlak dan rasa kemanusiaan dengan bermodalkan demokrasi. Bahkan memperalat agama jika kondisinya tersudut, sebagai kuda tunggangan yang digunakan untuk kepentingan mereka, seraya berpura-pura menyerukan akhlak dan kemanusiaan, untuk menutupi wajahnya yang buruk dan baunya yang sangat busuk.

Kebebasan bertingkah laku, telah merubah masyarakat di negara-negara demokratis menjadi masyarakat binatang. Menempatkan mereka kepada sikap permisivisme (serba boleh) yang tidak pernah dicapai oleh hewan sekalipun. Perundang-undangan mereka telah membolehkan hubungan seksual yang menyimpang. Tidaklah mengherankan jika anda dapat melihat di dalam masyarakat mereka apa yang tidak pernah terlihat di kalangan hewan sekalipun, yaitu hubungan seksual dilakukan secara terang-terangan, juga dengan sesama jenis kelamin. Tanpa rasa malu mereka melakukan hubungan seksual secara massal, tidak jarang juga dilakukan dengan anggota keluarga mereka, seperti dengan ibu-ibu mereka, saudara-saudara perempuan mereka dan anak-anak perempuan mereka. Malahan mereka

~ 83 ~

Page 85: Buku Propaganda Ideologi Islam

melakukannya dengan hewan. Akibatnya muncul di tengah-tengah mereka berbagai penyakit yang belum pernal dikenal sebelumnya.

Institusi keluargapun hancur di dalam masyarakat mereka, dan kasih sayang lenyap di antara anggota keluarga. Kebebasan bertingkah laku adalah kebebasan yang lepas dari semua ikatan, dan bebas dari setiap nilai. Kebebasan yang menghancurkan institusi keluarga. Kebebasanlah yang menjadi sebab terjadinya seluruh malapetaka dan dilanggarnya segala sesuatu yang jelas-jelas diharamkan.

Mereka bebas melakukan zina, homoseks, lesbian, nudis, minum minuman keras dan melakukan seluruh aktivitas bagaimanpun kejinya dilakukan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan.

Semua itu adalah trade mark demokrasi, yang merupakan produk hawa nafsu manusia yang bukan berasal dari Allah Swt. dan tidak bersandar pada wahyu yang turun dari langit. Demokrasi juga tidak ada kaitannya dengan satu agamapun. Seandainya kita merujuk kepada asal usul lahirnya, sebagaimana yang ada di benak para pencetusnya, yaitu para pemikir, kemudian memperhatikan juga situasi dan kondisi lahirnya, maka akan tampak jelas bagi kita bahwa demokrasi berdiri di atas asas yang kufur.

Amat jelas pula bahwa demokrasi merupakan reaksi terhadap perkataan Louis XIV yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kekuasaan para raja berdasarkan pada perwakilan dari Pencipta dan sumber (kekuasaan)nya adalah Tuhan semata bukan rakyat, dan para raja tidak bertanggung jawab tentang cara-cara pelaksanaan kekuasaan, kecuali kepada Tuhan’. Selain itu, para pemikir melukiskan teori tentang kontrak sosialnya John Jacques Roussou, bahwa teori ini merupakan Injil Revolusi Perancis yang sekuler.

Dari seluruh paparan di atas, jelas bagi kita adanya kontradiksi antara Islam dengan demokrasi yang sangat menyeluruh; meliputi sumber datangnya, akidah yang mendasarinya, asas tempat berdirinya, pemikiran-pemikirannya dan sistem yang dibawanya.

~ 84 ~

Page 86: Buku Propaganda Ideologi Islam

Yang menjadi sumber datangnya demokrasi adalah manusia. Dan hakim di dalam sistem demokrasi, yaitu tempat dikembalikannya seluruh penetapan hukum tentang perbuatan maupun hukum tentang segala sesuatu, termasuk standarisasi baik dan buruknya adalah hawa nafsu dan kebutuhan yang bersifat situasional. Demokrasi adalah rekaan para filosof Eropa.

Islam sendiri sangat kontradiktif dengan apa yang disebutkan di atas. Islam berasal dari Allah Swt., yang mewahyukannya kepada Nabi-Nya Muhammad, hamba-Nya dan Rasul-Nya Saw. sedangkan hakim di dalam Islam, yaitu tempat dikembalikannya pembuatan hukum, adalah syara’ bukan akal. Fungsi akal terbatas hanya di dalam memahami nash-nash (teks-teks) syara’.

Akidah yang melahirkan demokrasi adalah akidah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yaitu akidah yang berlandaskan pada jalan tengah (kompromi). Akidah ini mengakui keberadaan agama akan tetapi menghapus peranannya di dalam kehidupan dan di dalam negara. Selanjutnya menetapkan bahwa manusialah yang berhak membuat peraturan hidupnya. Berdasarkan akidah inilah dibangun peradaban demokrasi dan ditetapkan arah pemikiran demokrasi.

Islam sangat bertentangan dengan hal itu. Islam berlandaskan kepada akidah Islam, yang mewajibkan berjalannya seluruh urusan kehidupan dan negara berdasarkan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Dengan kata lain, harus sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang terpancar dari akidah Islam. Di atas akidah inilah dibangun peradaban Islam.

Adapun asas tempat berdirinya demokrasi adalah kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Berdasarkan atas kedaulatan rakyat itu sistem demokrasi melahirkan tiga bentuk kekuasaan: Kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, yang menterjemahkan secara praktis bentuk kedaulatan dan kekuasaan rakyat.

~ 85 ~

Page 87: Buku Propaganda Ideologi Islam

Sedangkan di dalam Islam, kedaulatan itu berada di tangan syara’. Umat tidak memiliki hak untuk membuat undang-undang. Meskipun demikian, Islam menyerahkan penerapan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya kepada kaum Muslim. Dan semua itu ditampakkan dengan berdirinya Daulah Khilafah, yang diatur oleh nash-nash syara’.

Demokrasi datang dengan sistem dan pemikiran yang berdiri berdasarkan asas kemaslahatan (manfaat) dan hawa nafsu. Sementara, perundang-undangan Islam tegak berdasarkan pada teks-teks (nash) dan istinbath hukum-hukum syara’ yang berasal dari teks-teks tersebut. Islam berdiri di atas keterikatan terhadap syara’ dan senantiasa mengikuti petunjuk.

Pendapat yang menyebutkan bahwa kemajuan di bidang ilmu dan teknologi yang terdapat di dunia Barat merupakan buah dari demokrasi adalah perkataan yang dilontarkan oleh orang yang tidak mengetahui fakta dan realitas. Alasannya, karena berbagai bentuk penemuan itu lahir berdasarkan proses penelitian ilmiah yang merupakan perkara-perkara yang bisa dicapai oleh akal manusia manapun yang telah diberikan Allah. Jadi, hal itu tidak berkaitan dengan pandangan hidup (ideologi).

Fenomena tentang ilmu dan teknologi bisa kita saksikan ada di kalangan orang-orang kapitalis, sosialis, ataupun muslim. Sebab, Allah telah memberikan kepada manusia kemampuan akal seperti itu. Artinya, agama atau mabda’ (ideologi) tidak berimplikasi apapun terhadap kemajuan yang diraih sains dan teknologi. Meskipun demikian kita perlu membahas, apakah agama atau mabda membolehkan ilmu pengetahuan, dan membolehkan penggunaan akal? Atau malah memberangusnya seperti yang dilakukan gereja pada masa lalu?

Mabda (ideologi) Islam tidak hanya membolehkan penggunaan akal di dalam sainstek, bahkan Islam mewajibkannya dalam rangka mempersiapkan kekuatan yang wajib dimiliki untuk menegakkan kedaulatan mabda’ Islam.

~ 86 ~

Page 88: Buku Propaganda Ideologi Islam

Barat telah menawarkan kepada kita komoditasnya yang rusak, seperti demokrasi, padahal syara’ telah melarang kita untuk mengambilnya. Sementara, pada saat yang sama Barat menghalang-halangi kita untuk memperoleh komoditas yang lain, yaitu sains dan penemuan-penemuannya, karena hal itu akan memberikan bagi kita jalan untuk memiliki sebab-sebab kekuatan yang kita butuhkan. Untuk perkara ini syara’ tidak melarang kita untuk mengambilnya. Itu menunjukkan bahwa Barat menyadari apa yang dilakukannya.

Orang-orang yang menyerukan demokrasi terdiri dari beberapa golongan. Di antara mereka ada yang busuk dan penipu, tetapi ada juga orang yang ikhlas hanya tidak mengetahui hakikat demokrasi. Tidak ada jalan lain bagi kelompok yang ikhlas itu kecuali harus menjauhkan dirinya dari lontaran perkataan seperti ini. Jika tidak, maka keadaannya sama saja dengan orang yang menyembah Allah dalam kondisi jahil, yang bisa menyebabkannya jatuh dalam ma’siyat. Tabi’at orang yang ikhlas adalah mudahnya untuk kembali dari kesalahan dan cepat mengambil pelajaran.

Ada juga yang pernah mengatakan bahwa sosialisme berasal dari Islam dan Rasulullah Saw. adalah imam sosialis mereka. Tatkala kebusukan sosialis tersingkap, maka dengan apa mereka memberikan jawaban?. Demikian juga halnya dengan demokrasi, yang sekarang ini sedang menghadapi sakaratul maut dan menunggu detik-detik kematiannya. Sesungguhnya propaganda seperti ini tidak berpihak pada kepentingan Islam melainkan demi kebaikan demokrasi. Mereka menempatkannya sebagai pemikiran yang agung ketimbang menjelaskan kepalsuannya. Mereka mengembannya, bukan malah membela ideologi Islam.

Pelaksanaan perintah Allah merupakan proses menjadikan kalimat Allah yang tertinggi, dan ideologi yang tampil ke puncak hanyalah ideologi yang diridhoi Allah semata. Hal itu tidak akan bisa dicapai kecuali dengan adanya partai ideologi Islam yang mendapatkan petunjuk dalam memahami perintah-perintah tersebut dan memiliki perspektif ketika didirikannya, cemerlang

~ 87 ~

Page 89: Buku Propaganda Ideologi Islam

pemikirannya, pemahamannya terhadap hukum-hukum Islam sangat mendalam, menyuarakan ide-ide yang bersifat pokok dan istilah-istilah yang orisinil dari Islam, tidak mau tunduk kepada realitas (yang rusak) dan tidak diwarnai oleh situasi maupun kondisi.

Bersikap Teguh

Agama ini telah sempurna, dan nikmat juga telah disempurnakan. Tidak ada penggantian/perubahan terhadap kalimat-kalimat Allah Swt. Allah berfirman:

“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. al-An’aam [6]: 115)

Di antara karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah disempurnakannya bagi mereka agama mereka, begitu pula disempurnakannya nikmat bagi mereka. Allah Swt. juga menjaga al-Qur’an dan memeliharanya dari tangan-tangan yang ingin merubah dan menggantinya. Firman Allah Swt:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (TQS. al-Hijir [15]: 9)

Sungguh, Allah telah mejaga al-Qur’an agar menjadi hujjah bagi manusia sampai Hari Kiamat.

Tatkala Rasulullah Saw. menerima risalah maka sejak saat itu kaum Muslim wajib mewarisi tugas ideologi Islam dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an, menggamit dengan kuat kepada as-Sunnah sebagaimana yang diperintahkan. Jika hal ini dilakukan, maka keadaan mereka sama seperti keadaan Rasulullah dan para sahabatnya. Dalil-dalil yang menjelaskan hal itu sangat banyak.

~ 88 ~

Page 90: Buku Propaganda Ideologi Islam

Tatkala kaum Muslim berdakwah, menyampaikan Islam kepada umat-umat lain, menawarkan kepada mereka agama yang lurus, agama yang berlandaskan pada akal sehat sesuai fitrah, maka pada saat yang sama umat-umat lain itu juga menawarkan agama mereka kepada kaum Muslim, meskipun dalam rangka untuk mempertahankan diri. Sejak itu sebagian kaum Muslim terpengaruh dengan apa yang dijajakan oleh umat-umat lain itu tanpa mereka sadari. Hal ini membawa pengaruh negatif pada pemahaman kaum Muslim terhadap Islam dan terhadap dakwah.

Namun, kondisi tersebut tidak memakan waktu lama. Ulama kaum Muslim menyadari hal itu. Para ulama ini merupakan menara-menara dan rambu penunjuk jalan yang akan memberitahukan kepada kaum Muslim kebenaran sehingga mampu menghilangkan campuran asing yang melekat pada pikiran umat. Para ulama itu dengan gigih mencegah penyimpangan dan menggagalkan pemalsuan sehingga agama kembali bersinar.

Datanglah masanya kepada kita keburukan, dan kita terjebak berada di dalamnya. Kondisi kita sekarang ini menuntut kita untuk kembali kepada sebab-sebab kebaikan sebagaimana yang pernah dilakukan pada mula pertama, agar kita kembali kepada Islam sebagaimana pertama kalinya dahulu.

Untuk membersihkan Islam dari segala kotoran dan menghilangkan seluruh penyimpangan serta mengubur setiap pemalsuan, kita wajib keluar dari cara berpikir yang rusak, yang dipropagandakan oleh Barat. Cara berpikir yang tercampuri dengan tolok ukur berasaskan manfaat dan menuruti hawa nafsu.

Sementara itu, cara berpikir Islam yang benar adalah bertumpu pada anggapan bahwa segala perkara ada di tangan Allah semata. Artinya, tidak boleh kita memasukkan bid’ah terhadap hukum-hukum Allah, juga hasil akal-akalan dan kecenderungan-kecenderungan kita. Tidak boleh kita jadikan hawa nafsu sebagai pemutus perkara.

Tidak boleh bagi kita menjadikan respon negatif manusia, atau tidak adanya interest terhadap Islam, atau keadaan dan situasi yang menyelimuti kita, atau tidak adanya maslahat, sebagai alasan

~ 89 ~

Page 91: Buku Propaganda Ideologi Islam

bagi pengemban dakwah ideologi Islam untuk bersikap lemah. Sebab, Allah Swt. bersifat ‘Alîm dan Khabîr (Maha Mengetahui) hakikat tabiat manusia, mengetahui apa yang dibutuhkannya dan apa yang dapat dilaksanakannya. Allah mengetahui realitas dan fakta tempat manusia hidup di dalamnya, mengetahui pula siapa musuh-musuh kaum Muslim, dan bagaimana cara-cara berinteraksi dengan mereka dan seterusnya.

Ijtihad yang benar didasarkan terlebih dahulu kepada pemahaman atas realitas yang ingin dicari hukum syara’-nya, kemudian dilanjutkan dengan mencari hukum syara’-nya dengan menggunakan teks-teks syara’ sesuai dengan dalalah (penunjukan)nya. Barulah diketahui hukum Allah dalam perkara tersebut.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. al-Hujurat [49]: 1)

Allah Swt. berfirman:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (TQS. al-Ahzab [33]: 36)

Cara berpikir yang dipengaruhi Barat telah mengakibatkan ditinggalkannya sebagian teks-teks syara’ yang bersifat qath’i (pasti, tegas) dan menempatkan masalah pada posisi dicari-cari alasan situasi dan kondisi, atau karena asumsi adanya maslahat.

Hukum riba misalnya, diharamkan secara qath’i (pasti)dengan lafadz yang jelas, tidak mengandung pengertian lain dan tidak bisa ditakwilkan. Namun sebagian orang ketika bersentuhan dengan realitas, situasi dan kondisi, apalagi diasumsikan mendatangkan manfaat dan bisa menolak mafsadat yang sangat berpengaruh

~ 90 ~

Page 92: Buku Propaganda Ideologi Islam

pada kehidupan mereka, maka mereka mengeluarkan hukum lain, yang membolehkan bermuamalah dengan cara riba.

Menggunakan cara berpikir seperti ini berarti mengeluarkan hukum-hukum yang tidak ada sandarannya sama sekali di dalam syara’, bahkan bertentangan dengan syara’ sama sekali. Sementara hal itu bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. secara diametral.

Mereka akan mencari-cari alternatif hukum pengganti lain dengan cara berpikir yang sama. Jadi, kita harus benar-benar waspada terhadap pola pikir seperti ini yang tidak diakui oleh syara’ dan menjadi tempat lahirnya berbagai pemikiran yang menyimpang.

Mereka tidak memiliki metode yang benar dalam berpikir, terutama dari segi cara pandangnya terahadap realitas dan dalam melakukan istinbath (penggalian, penyimpulan) hukum-hukum syara’. Bahkan mereka tidak memiliki cara pandang yang benar terhadap hukum syara’ itu sendiri. Mereka tidak bisa membedakan antara thariqah (metode) dan uslub (cara) di dalam dakwah. Ini dimungkinkan karena kuatnya pengaruh pemikiran tentang “elastisnya syari’at”, sehingga mereka menganggap remeh hukum-hukum syara’, lalu menggantinya dengan hukum-hukum yang tidak syar’i dengan dalih bahwa hal itu sesuai dengan perkembangan zaman.

Sikap semacam itu adalah sikap yang tidak benar dan tidak menunjukkan pada adanya penelitian yang mendalam terhadap realitas yang ingin dirubah. Yang harus diamati secara seksama atas realitas adalah ciri-ciri dasar yang ada, bukan pada bentuknya yang berubah-ubah.

Masyarakat misalnya, memiliki unsur-unsur utama (yang bersifat baku dan tidak berubah) berupa manusia, pemikiran, perasaan dan sistem (peraturan). Unsur-unsur itu tetap ada meskipun tampak dalam bentuk yang bermacam-macam. Bisa berbentuk kabilah, negara kecil, atau negara yang amat kompleks. Bisa juga berupa negara yang demokratis atau bahkan diktator. Jadi, yang dilihat adalah ciri-ciri dasarnya. Dengan demikian, bentuk-bentuk masyarakat yang berbeda-beda tidak mempengaruhi thariqah (metode) dakwah.

~ 91 ~

Page 93: Buku Propaganda Ideologi Islam

Contoh dalam masalah ini adalah, bahwa untuk merubah pemikiran-pemikiran yang salah dan pemahaman-pemahaman yang keliru, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk di dalam masyarakat, adalah dengan mewujudkan sistem syariat yang pernah dijalankan oleh Rasulullah Saw. Ini merupakan aktivitas yang tidak pernah berubah.

Yang berbeda dalam masalah ini adalah, mungkin pemikiran masyarakat itu berbentuk nasionalisme/ ashobiyah, atau kesukuan, atau ideologi sosialis, atau ideologi kapitalis. Pemikiran yang bersifat ideologis lebih kuat daripada pemikiran-pemikiran lain sehingga untuk membongkarnya memerlukan usaha yang sangat besar.

Tambahan lagi, bermacam-macamnya pemikiran terkadang bisa mempersulit atau mempermudah aktivitas. Namun, tidak merubah jalan yang harus ditempuh. Bentuk pemerintahan, meskipun hanya sistem kabilah, atau berbentuk negara kecil, atau negara yang amat kompleks seperti pada masa sekarang ini, tidak akan merubah hukum-hukum thariqah (metode) dakwah. Pengaruhnya hanya mempersulit atau mempermudah aktivitas dakwah. Begitu pula kondisi dari sistem yang ingin dirubah itu bisa bersandar kepada militer, bisa juga bersandar kepada kabilah-kabilah bersenjata.

Usaha yang dilakukan Rasulullah Saw. ditujukan untuk memperoleh pertolongan (nushrah) dari kekuatan-kekuatan yang telah setuju Islam tersebut untuk mendirikan Daulah Islamiyah. Ketika Rasulullah Saw. berusaha untuk mewujudkan masyarakat, beliau bertumpu kepada pembentukan asas-asas berdirinya masyarakat. Rasulullaah Saw. membentuk individu-individu yang kuat dengan keimanan, yang dipersiapkan agar mampu menanggung beban dakwah ideologi Islam dan mendirikan negara Islam (saat itu adalah orang-orang Muhajirin). Rasulullah juga membentuk basis massa yang akan mengasuh dakwah beserta para pengembannya. Basis massa ini siap menerima apabila negara Islam didirikan di tengah-tengah mereka (saat itu adalah orang-orang Anshar). Thalab an-nushrah merupakan metode beliau untuk meraih kekuasaan. Rasululllah Saw. tetap menjalankan

~ 92 ~

Page 94: Buku Propaganda Ideologi Islam

aktivitas thalab an-nushrah meskipun menghadapi banyak tantangan dan kesulitan.

Orang yang mencermati aktivitas beliau Saw. ketika berada di

Makkah akan menjumpai bahwa metode perubahan itu memiliki unsur-unsur pokok. Dia juga akan menemukan bahwa thariqah (metode) perjuangan beliau tidak pernah berubah dengan berubahnya waktu dan tempat, dan tidak berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya. Sebab, yang berbeda dari masyarakat dan wilayah hanya yang berkaitan dengan bentuk, bukan esensinya. Tabi’at perbedaan ini hanya mempengaruhi tingkat kesulitan usaha yang dilakukan.

Tidak boleh menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai sandaran untuk melakukan perubahan metode, dengan dalih “elastisitas syari’at”. Syari’at Islam telah disempurnakan oleh Allah. Syari’at Islam juga bersifat integral (luas) sehingga sanggup memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia, baik yang lama maupun yang baru. Hukum hanya milik Allah semata.

Kita tidak boleh menjadikan pendapat yang menyebutkan tentang keluasan syari’at sebagai sebab ditinggalkannya teks-teks syara’, atau berakibat pada dierimanya perkara yang bukan berasal dari Islam. Beberapa ulama kaum Muslim telah meninggalkan sistem sanksi yang syar’i, dengan menggunakan alasan ini. Mereka mengatakan: ‘Selama tujuan syari’at dari adanya (hukum) sanksi itu adalah zajr (tindakan pencegahan), maka setiap perkara yang bisa mencegah terjadinya tindak kejahatan bisa dianggap sesuai dengan (hukum) syara’. Menurut mereka, ketika sanksi-sanksi syar’iat dianggap tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman; jiwa dan akal manusia juga menolaknya; maka dapat digunakan sanksi-sanksi lainnya selama hal itu bisa mencapai tujuan. Ini berarti tujuan menghalalkan segala cara.

Mereka juga berpendapat dengan cara yang sama tentang metode untuk meraih kekuasaan yang Islami. Yaitu menggunakan metode apapun yang bisa menghantarkannya ke tampuk kekuasaan boleh diambil. Jadi, menurut mereka, bukan perkara

~ 93 ~

Page 95: Buku Propaganda Ideologi Islam

penting untuk terikat dengan satu bentuk. Ini dianggap anti dari kejumudan dan kebekuan yang bertentangan dengan tabi’at Islam yang luas, elastis dan berkembang menurut versi mereka.

Perkataan yang menyebutkan tentang elastisitas syari’at dengan makna yang seperti ini, adalah haram. Karena menyebabkan ditinggalkannya hukum-hukum Islam dan bertentangan dengan banyak sekali nash Islam yang qath’i (pasti,tegas). Terlebih lagi cara berpikir seperti itu adalah akibat pengaruh dan terhanyut oleh pelukan pemikiran Barat.

Para ulama ushul telah menetapkan bahwa fakta atau realitas itu adalah manath (tempat dilekatkannya atau obyek) hukum. Fakta atau realitas untuk dipahami apa adanya. Kemudian datang dalil-dalil syara’ yang menetapkan hukum-hukum syara’ atasnya.

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (TQS. an-Nisa [4]: 65)

Tidak boleh meninggalkan hukum Allah untuk mengambil hukum selainnya. Siapa saja yang melakukan hal itu berarti dia lebih mementingkan hukum jahiliyah daripada hukum Allah. Allah berfirman:

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. al-Maidah [5]: 50)

“Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan’.” (TQS. Yusuf [12]: 55)

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki, dan Kami tidak

~ 94 ~

Page 96: Buku Propaganda Ideologi Islam

menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (TQS. Yusuf [12]: 56)

Para Nabi adalah utusan-utusan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Mereka adalah orang-orang pilihan-Nya. Allah memilih mereka untuk menyebarkan agama-Nya. Mereka merupakan contoh dan teladan bagi kaumnya. Mereka merupakan contoh yang benar di dalam ibadah, ketundukan dan bersikap konsisten. Mereka melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Dan Allah memelihara mereka dari perbuatan-perbuatan maksiat, memelihara mereka dari fitnah, menetapkan mereka di dalam kebenaran dan membantu mereka agar selalu berada di atas kebenaran. Sayidina Yusuf as termasuk di dalam kelompok yang terpilih ini. Allah Swt. telah memujinya dengan pujian yang tinggi, bukan hanya dalam satu ayat saja. Contohnya:

Allah Swt berfirman:“Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (TQS. Yusuf [12]: 22)

“Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba yang Kami pilih.” (TQS. Yusuf [12]: 24)

Sesungguhnya tidak dijumpai satu teks pun di dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara langsung ataupun hanya berupa isyarat, yang menunjukkan bahwa beliau (Yusuf as.) telah memerintah dengan syari’at raja. Tidak terdapat satu isyaratpun bahwa Nabi Yusuf as. telah memerintah dengan (hukum) selain apa yang diturunkan Allah.

“Tiadalah patut bagi Yusuf untuk menghukum saudaranya menurut undang-undang raja.” (TQS. Yusuf [12]: 76)

Nabi Yusuf as. meminta kepada raja agar diberikan kepadanya urusan tentang penyimpanan gandum dan pengaturan distribusinya pada tahun-tahun yang subur. Tugas ini sangat sulit

~ 95 ~

Page 97: Buku Propaganda Ideologi Islam

sehingga tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang kuat, terpercaya, penjaga dan berilmu, seperti Yusuf as. Dan raja memberikannya kebebasan dalam mengatur.

Tidak mungkin Nabi Yusuf melakukan pelanggaran syara’, karena beliau adalah seorang Nabi yang bersifat ma’shum. Allah Swt. telah menyebutnya sebagai muhsin, mukhlis dan bertakwa. Beliau lebih mengutamakan penjara dari kesesatan. Beliau sendiri yang meminta dimasukkan ke dalam penjara. Beliau pula yang menolak untuk keluar dari penjara kecuali nama baiknya dibersihkan. Beliau adalah orang yang sifat ‘iffah dan kesuciannya membuat kagum orang-orang kafir yang mengenalnya, begitu juga raja dan saudara-saudaranya, setelah mereka mengetahui siapa beliau yang sebenarnya.

Para ulama fiqih maupun ushul fiqih telah meletakkan kaidah: Syar’un man qablana laisa syar’an lana (syariat orang-orang sebelum kita bukanlah syari’at bagi kita).

Apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. telah me-nasakh (menghapus) syari’at para nabi sebelumnya.

Syari’at Nabi Muhammad Saw. telah melarang untuk berhukum kepada selainnya, dan mengharamkam secara qath’i (pasti, tegas) untuk mengambil hukum-hukum kafir dan hukum jahiliyyah apapun bentuknya.

Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an maupun kenyataan (perbuatan) Rasulullah Saw., terutama ketika beliau berupaya mendirikan pemerintahan sesuai dengan apa yang diturunkan Allah; begitu juga akidah maupun hukum-hukum, seluruhnya telah menunjukkan tentang tidak bolehnya bergabung melestarikan hukum kufur sistem pemerintahan kufur.

Seluruh Nabi-Nabi memiliki kesamaan di dalam perkara akidah. Mereka mengajak untuk beriman dan tunduk kepada Allah yang Maha Esa, Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Mereka juga mengajak untuk beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir. Allah Swt berfirman:

~ 96 ~

Page 98: Buku Propaganda Ideologi Islam

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku oleh kamu sekalian’.” (TQS. al-Anbiya [21]: 25)

Para Nabi memiliki kesamaan dalam hal kewajiban untuk tabligh (menyampaikan wahyu), menanggung risiko dan kesulitan-kesulitannya, bersabar melaksanakan perintah Allah dan berkorban di dalam melaksanakan perintah Allah.

“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita Rasul-rasul itu.” (TQS. al-An’aam [6]: 34)

Para Nabi juga memiliki kesamaan di dalam hal menyeru kaumnya agar bersikap konsisten dan taat. Allah Swt berfirman:

“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (TQS. an-Nisa [4]: 64)

Mereka pun memiliki kesamaan, yaitu didustakan oleh kaum mereka dan dakwah mereka diolok-olok. Allah Swt berfirman:

“Alangkah besarnya penyesalan hamba-hamba itu, tiada datang seorang Rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-oloknya.” (TQS. Yasin [36]: 30)

Allah Swt. juga berfirman: “Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: ‘Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami’. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: ‘Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang dzalim itu dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka, yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang

~ 97 ~

Page 99: Buku Propaganda Ideologi Islam

takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan takut kepada ancamanku’.” (TQS. Ibrahim [14]: 13-14)

Mereka juga memiliki kesamaan di dalam hal pertolongan Allah yang selalu datang di bagian akhir. Allah Swt berfirman:

“Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa.” (TQS. Yusuf [12]: 110)

Demikianlah dakwah para Nabi itu seluruhnya memiliki kesamaan dalam banyak aspek yang telah kami sebutkan sebagiannya. Dan bagi orang-orang yang terdahulu terdapat kondisi-kondisi yang perlu untuk diingat. Allah Swt. telah menyebutkannya untuk kita agar kita bisa mengambil pelajaran, mengambil ibrah, memperoleh nasihat dan petunjuk untuk menetapkan iman, memperkuat azam (niat) dan menambah kesabaran.

Selain itu juga untuk memastikan bahwa untaian dakwah itu satu simpul dalam aspek akidahnya, dan aspek dakwahnya konsisten dengan tuntunan Yang Maha Mengetahui, termasuk dari segi risikonya. Ayat-ayat itu datang untuk menerangi setiap muslim tentang sifat-sifat dakwah dan tabi’at manusia dalam menghadapinya.

Hal itu juga sama dengan menyodorkan kepada musuh agar memilih antara kufur atau iman. Bahwa pertarungan di antara keduanya tidak akan pernah berhenti. Juga agar loyalitas kita hanya ditujukan kepada Allah, terbebas dari syirik, dan adanya pertolongan Allah setelah teruji keimanan dan amalan kita.

Sirah para Nabi dijadikan suri tauladan dari segi sikap-sikapnya. Allah Swt. telah memberikan kepada setiap Nabi itu aturan-aturan yang berbeda. Allah berfirman:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan syir’ah (aturan) dan manhaj (jalan) yang terang.” (TQS. al-Maidah [5]: 48)

~ 98 ~

Page 100: Buku Propaganda Ideologi Islam

Setiap Nabi diutus khusus kepada kaumnya saja, sedangkan Rasulullah Saw. diutus kepada seluruh umat manusia. Risalah beliau adalah risalah penutup. Allah telah memerintahkan seluruh pemeluk agama-agama lain untuk mengikuti risalah ini dan meninggalkan syari’at mereka. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. Ali Imran [3]: 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (TQS. Ali Imran [3]: 85)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (TQS. al-Maidah [5]: 48)

Tabiat risalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. berbeda dengan tabi’at risalah lainnya dari segi keadaannya sebagai risalah penutup yang sempurna. Dan eksistensi Daulah Islamiyah merupakan aspek penting dari risalah ini. Daulah Khilafah Islamiyah adalah metode yang syar’iy untuk memelihara Islam, menerapkan dan menyebarkannya. Sedangkan kita telah menemukan pada para Nabi terdahulu kekhususan di dalam dakwah. Mereka diutus kepada kaumnya, bukan kaum yang lain. Ini berarti bahwa risalah itu terbatas hanya untuk waktu dan tempat tertentu. Berbeda dengan Islam, yang hukum-hukumnya bersifat tetap, dan layak untuk setiap waktu dan tempat.

Oleh karena itu risalah Islam tidak boleh dianalogikan dengan yang lainnya. Kaum Muslim harus mengambil hanya dari syariat Islam saja, bukan dari syariat lainnya. Hukum-hukum syariat Islam saling berkaitan satu sama lain dengan ikatan yang sesuai dengan tabiat risalah itu.

~ 99 ~

Page 101: Buku Propaganda Ideologi Islam

“Katakanlah, inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (TQS. Yusuf [12]: 108)

Syariat Islam telah mewajibkan sebagian perkara dan mengharamkan perkara lainnya. Syara’ tidak mengizinkan manusia untuk merubah, mengganti dan menyelewengkannya. Allah Swt. sebagai Pembuat hukum yang Maha Bijaksana telah memberikan keringanan karena mengetahui bahwa manusia kadang-kadang membutuhkannya.

Namun, apabila syara’ tidak memberikan keringanan maka manusia tidak boleh berpaling dari hukum itu, meskipun hawa nafsu dan bisikan setan menyenanginya dengan dalih maslahat. Siapapun yang membolehkan perkara yang jelas-jelas haram, atau mengharamkan perkara yang nyata-nyata halal, padahal Allah tidak memberikan kepadanya keringanan dalam masalah itu, maka dia terjerumus kefasikan.

Akal-Akalan Membolehkan Kebathilan

Para penguasa antek yang ada sekarang ini telah menggunakan orang-orang muslim yang saleh sebagai ornamen yang menghiasi pemerintahan mereka yang buruk. Hal itu mereka gunakan untuk menipu orang-orang-orang awam.

Bergabung melestarikan hukum kufur sistem pemerintahan jahiliah sama artinya dengan memberikan kepercayaan kepada orang-orang yang dzalim, berarti memperpanjang umur kebatilan.Allah Swt. memperingatkan kita terhadap hal itu.

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api Neraka.” (TQS. Hud [11]: 113)

Salah satu contoh hukum syara’ yang jelas dan qath’i –yang tidak ~ 100 ~

Page 102: Buku Propaganda Ideologi Islam

boleh ada ijtihad di dalamnya- adalah tidak bolehnya melakukan transaksi dengan cara riba. Allah telah mengharamkannya dengan tegas berdasarkan firman-Nya:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (TQS. al-Baqarah [2]: 275)

Terdapat juga qarinah-qarinah (indikasi) yang sesuai dengan hukum syara’ yang qath’i dan memperkuat pendapat. Allah berfirman:

“Allah memusnakan riba dan menyuburkan sedekah.” (TQS. al-Baqarah [2]: 276)

Allah juga telah memperingatkan orang-orang yang melakukan transaksi dengan cara riba dan memberikan kepada mereka peringatan berupa (sikap) perang.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 278-279)

Allah menggambarkan orang yang memakan riba dengan: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.” (TQS. al-Baqarah [2]: 275)

Rasulullah Saw. menggolongkan riba ke dalam kelompok dosa besar dan mensejajarkannya dengan perbuatan syirik kepada Allah. Beliau bersabda:

“‘Jauhilah tujuh dosa besar’. Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Apakah itu wahai Rasulullah? Rasul berkata: ‘Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali (yang dihalalkan) karena menegakkan kebenaran, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan, menuduh perempuan baik-baik dan beriman melakukan zina’.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

~ 101 ~

Page 103: Buku Propaganda Ideologi Islam

Meskipun demikian ada sebagian orang menelaahnya berdasarkan metode yang bathil asas manfaat/ maslahat, juga berdasarkan ASUMSI darurat maupun terpaksa, yaitu bahwa transaksi riba itu boleh! Ke mana perginya pengharaman yang bersifat qath’i dan jelas? Dan ke mana hilangnya peringatan dan ancaman? Dengan metode berpikir seperti itu mereka mengganti hukum-hukum Allah, merubahnya dan menjadikan hukum syara’ itu bersifat “fleksibel”. Metode itu dengan sendirinya akan meremehkan perkara-perkara agama dan identitas seorang muslim.

Berhukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah fardhu. Wajib mengesakan Allah dan hal ini terdapat dalam syahadat mereka. Meskipun demikian mereka telah menelaah –berdasarkan metode berpikirnya tadi- bahwa boleh bagi seorang muslim untuk bergabung dalam sistem pemerintahan thaghut. Mereka telah menyimpang jauh dari kebenaran.

Menurut logika dan metode berpikir yang keliru itu berbagai asumsi kemaslahatan membolehkan pelanggaran terhadap syara’ dan akan menolong musuh-musuh Allah. Pemikiran mereka telah melahirkan perkara yang melampaui batas (yaitu) mereka menempati posisi sebagai pembuat syara’ (hukum). Mereka mengeluarkan produk-produk yang tidak berguna untuk dakwah ideologi Islam, tidak mendekatkan kaum Muslim pada kebenaran ataupun kemenangan, dan tidak pula bisa merubah realitas yang ada. Justru dampak negatif yang muncul, dan hal ini telah dibuktikan berdasarkan realitas.

Tidak diragukan lagi bahwa bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah menimbulkan kerusakan yang besar. Para penguasa itu menerapkan sistem thaghut, menyimpang dari perintah Allah dan menentang hukum-hukum-Nya. Sungguh hal ini adalah dosa yang amat besar.

Apakah layak untuk mendapatkan berbagai maslahat yang diasumsikan itu dengan menjadikan seorang muslim berhak melanggar perintah Rabbnya? Apakah tidak ada jalan lain, jalan

~ 102 ~

Page 104: Buku Propaganda Ideologi Islam

yang tidak mengundang kemurkaan Allah?

Sesungguhnya gerakan-gerakan Islam ketika terjun di bidang politik harus berjalan sesuai dengan hukum syara’ dan terikat dengan metode Rasulullah Saw. Apakah tidak ada jalan yang benar bagi seorang da’i untuk menyeru peminum khamr meninggalkan kebiasaannya itu selain jalan yang salah yaitu dengan masuk ke bar, kemudian turut minum khamr bersamanya. Kemudian meninggalkan perbuatan itu untuk meyakinkan peminum khamr bahwa dia mampu meninggalkannya. Demi Allah, betapa lemahnya akal yang melahirkan pemikiran seperti ini! Bagaimana mungkin dia mengizinkan dirinya mengganti syari’at Allah!

Sistem bathil yang dimasuki oleh mereka itu tidak akan berubah dengan kehadiran mereka, bahkan justru memperburuk citra mereka di hadapan masyarakat, karena masyarakat akan menempatkan sikap yang sama terhadap sistem maupun orang-orang yang bergabung di dalamnya. Justru mereka akan memberikan contoh yang buruk dan teladan yang tidak layak untuk ditiru. Hal itu telah dibuktikan berdasarkan kenyataan. Jika tidak ada gerakan Islam yang ikhlas dan sadar yang tampil menghadapi seruan-seruan ini, dan ulama kaum Muslim yang pemberani maka Islam pasti akan hilang dari jiwa-jiwa manusia seperti mereka akibat keterangan-keterangan yang telah diberikan dan sikap-sikap kompromistis terhadap kebathilan oleh para pencetus ide-ide ini yang tekun memperkuat dan membelanya.

Demi Allah, betapa jauhnya perbedaan antara gerakan-gerakan atau “ulama” yang berada dalam kubangan sistem jahiliah itu yang menyesaki dadanya dengan sistem yang rusak, dengan gerakan-gerakan Islam dan ulama yang mengatakan yang hak dan menegakkannya, yang tidak takut celaan orang-orang yang mencela, meskipun dijebloskan ke dalam penjara para penguasa muslim. Ingatlah dengan firman Allah Swt.:

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul telah bersabar.”

~ 103 ~

Page 105: Buku Propaganda Ideologi Islam

(TQS. al-Ahqaf [46]: 35)

“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar.” (TQS. ar-Ruum [30]: 60)

Gerakan ideologi Islam mesti melalui jalan yang benar untuk meraih cita-cita tanpa terjerumus pada perkara bathil. Pada hakikatnya tidak ada maslahat yang akan tercapai apabila melakukan maksiat kepada Allah dan turut serta kekuasaan sistem pemerintahan yang jahiliah. Sebaliknya, justru akan berakibat negatif baginya, dakwah dan Islam.

Dengan metode yang bathil maka para tokoh dan anggotanya belajar untuk bersikap membengkok-bengkokkan kebenaran. Apabila mereka berkumpul dengan penguasa tempat mereka bergabung di dalam sistem pemerintahan bathil, maka mereka akan mengatakan apa yang disukai manusia. Pernyataan-pernyataan mereka menjadi berubah-rubah. Dan mereka di sebagian besar waktunya berdiam diri terhadap tuntunan-tuntunan Islam yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingannya.

Dakwah yang mereka lakukan akhirnya hanya terbatas pada hal-hal yang tidak membahayakan sistem bathil yang ada. Mereka enggan mendakwahkan hukum-hukum yang membuat sistem bathil gelisah dan selanjutnya tidak pernah berpikir untuk keluar dari situasi itu.

Mereka menjadikan maslahat sebagai standar (tolok ukur) usaha-usaha politiknya, bukan keterikatan dengan hukum syara’. Apa yang bisa mendatangkan maslahat, mereka kerjakan, meskipun melanggar syara’. Di dalam metode berpikir mereka terdapat kelancangan terhadap agama dan berbelok dari nash-nash yang shahih dan qath’i.

Mereka yang menggunakan metode berpikir akal-akalan ini telah membuka peluang bagi diri mereka sendiri untuk membuat hukum, dan membolehkan hawa nafsu mereka untuk menilai mana yang manfaat dan mana yang mudharat yang terkait dengan setiap

~ 104 ~

Page 106: Buku Propaganda Ideologi Islam

perbuatan yang ingin mereka jalankan. Apabila menurut akal mereka manfaat suatu perbuatan jauh lebih besar dari mudharat-nya, maka perbuatan itu harus dikerjakan. Dan jika mudharat-nya lebih besar dari pada manfaatnya -menurut akalnya- maka perbuatan itu ditinggalkan. Dengan metode berpikir akal-akalan itu seorang muslim memposisikan dirinya sebagai musyarri’ (pembuat syari’at) karena dia mengukur maslahat dengan akal dan hawa nafsunya.

Adapun apa yang mereka contohkan dengan mengutip pendapat sebagian ulama untuk memperkuat pemikiran mereka, maka pendapat manusia bukanlah hujjah yang bernilai di hadapan syara’, tidak termasuk sebagai dalil dan tidak layak digunakan sebagai hujjah. Apabila mereka mengatakan: bahwa si fulan berpendapat demikian, demikian, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya telah berkata dengan perkataan-perkataan yang benar, qath’i dan kuat. Apakah dibenarkan kita menghapus perkataan Allah dan Rasul-Nya dengan perkataan manusia, siapapun dia?! Pemikiran maslahat telah menguasai para pencetus ide ini sehingga mereka layak disebut sebagai oportunis.

Penetapan tolok ukur khair (baik) dan syar (buruk), hasan (terpuji) dan qabih (tercela), halal dan haram ada di tangan Allah semata. Apa yang dituntut oleh syara’ kepada kita untuk mengerjakannya adalah maslahat bagi kita. Dan apa yang diperintahkan syara untuk meninggalkannya maka itu adalah mafsadat. Tidak ada hak dan campur tangan manusia di dalam perkara ini selamanya. Seandainya manusia berhak, maka pasti Allah akan memberikan hak itu sejak mula pertama, dan syari’at tidak mungkin turut campur menetapkan hukum-hukum yang rinci. Implikasinya tentu saja seorang muslim hanya dituntut untuk beriman kepada Allah Maha Pencipta saja, tetapi tidak dituntut untuk beriman kepada Allah sebagai Pengatur bagi segala urusan manusia dan Pengatur bagi hidupnya.

Firman Allah Swt.:“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan

~ 105 ~

Page 107: Buku Propaganda Ideologi Islam

mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (TQS. al-A’raaf [7]: 157)

Artinya, thayyib (baik) adalah apa yang dihalalkan oleh Allah. Dan kita tidak mengetahui bahwa sesuatu itu adalah thayyib sampai Allah menghalalkannya. Khabits (buruk) adalah apa yang diharamkan oleh Allah. Dan kita tidak mengetahui bahwa sesuatu dikatakan khabits kecuali setelah Allah mengharamkannya. Ayat ini tidak bisa diartikan bahwa akal kita mampu menentukan sesuatu itu thayyib kemudian menghalalkannya, atau menetapkan sesuatu itu khabits kemudian mengharamkannya.

Ulama-ulama lurus berjalan sesuai dengan pokok-pokok Islam, terikat dengan syariat yang diwajibkan oleh tabi’at Islam itu sendiri, terikat dengan syari’at Allah dalam setiap perkara dan tidak membolehkan manusia turut campur dalam perkara tasyri’ (pembuatan hukum).

Seorang pengemban dakwah menurut syara’ dituntut bersikap terus terang dan berani, kuat dalam pemikiran, menantang apapun yang bertentangan dengan Islam serta berjuang untuk menjelaskan kepalsuannya. Syara’ menuntut agar kedaulatan mutlak berada di tangan mabda’ (ideologi) Islam, tanpa memperhatikan lagi apakah sesuai dengan mayoritas manusia atau bertentangan dengan mereka, sejalan dengan adat istiadat mereka atau tidak, apakah manusia menerima atau menolak, atau mungkin melawannya. Pengemban dakwah tidak berbasa-basi dengan manusia dan tidak bermanis muka dengan para penguasa. Demikianlah keadaan Rasulullah Saw. di dalam dakwahnya. Beliau beriman dengan kebenaran yang beliau serukan, menantang dunia seluruhnya, tidak memandang pada kebiasaan, adat istiadat, akidah, agama kufur, penguasa atau rakyat, dan tidak berpaling sedikitpun kecuali kepada dakwah dan risalah Islam. Ibnu Hisyam telah menyebutkan tindakan Rasulullah Saw. tatkala menjumpai orang-orang Quraisy dengan menyebut tuhan-tuhan mereka dan mencelanya, kemudian menganggap bodoh akal-akal mereka dan menganggap bapak-bapak (nenek moyang) mereka telah sesat. Akibatnya mereka membalas beliau dan sepakat untuk

~ 106 ~

Page 108: Buku Propaganda Ideologi Islam

menentang dan memusuhinya. Demikian kiranya dakwah kaum Muslim saat ini. Hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang meneladani sikap Rasulullah Saw. dan mengikuti firman Allah Swt.:

“Katakanlah: ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata’.” (TQS. Yusuf [12]: 108)

Begitu juga dengan memperhatikan sabda Nabi Saw.:“Telah aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepada (kedua)nya, maka tidak akan tersesat selamanya. Perkara yang jelas, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Sirah Ibnu Hisyam)

Juga dengan mencontoh salafush shaleh dan perkataan mereka:Tidak akan baik akhir perkara ini, kecuali dengan apa yang membuat awalnya baik.

Merupakan hak Allah atas ulama yang mewarisi (perjuangan) Nabi Muhammad Saw. agar menunaikan hak Allah dan selalu berada di barisan paling depan para yang menjelaskan kebenaran, menegakkannya, menentang kebathilan, menyingkap segala rencana jahat mereka. Dengan kata lain dia wajib menjadi imam dari ilmu, mihrab dan hirab. Inilah yang dilakukan oleh generasi salafush shâleh.

Maka hendaklah para penganjur metode berpikir bathil dan pemikiran-pemikiran yang jauh dari pemahaman Islam ini sadar, bahwa metode berpikir dan pemikiran-pemikiran yang mereka lontarkan itu tidak berasal dari Islam. Mereka harus menjadi para pembela ideologi Islam.

Seandainya akal diberi kewenangan untuk menetapkan sendiri alasan-alasan pembuatan syariat, maka sesungguhnya akal akan mengharamkan banyak hal yang telah dibolehkan Allah Swt. dan menghalalkan banyak hal yang telah diharamkan Allah Swt. Oleh karena itu, qiyâs (analogi) tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan metode yang telah ditetapkan oleh syariat. Dengan kata lain, qiyâs syar‘î tidak akan terjadi kecuali dengan nash yang di

~ 107 ~

Page 109: Buku Propaganda Ideologi Islam

dalamnya memang mengandung ‘illat (kondisi yang mendasari berlakunya suatu hukum syariah). Qiyâs tidak boleh dilakukan dengan nash yang tidak mengandung ‘illat syar‘iyyah; qiyâs tidak boleh didasarkan pada ‘illat ‘aqliyyah (‘illat yang diadakan sendiri oleh akal); dan qiyâs pun tidak boleh ditentukan dengan didasarkan pada ‘illat syar‘iyyah yang tidak disebutkan atau tidak ditentukan nash yang bersangkutan.

Oleh karena itu pula, para fuqaha membatasi ‘illat hanya pada ‘illat yang digali dari nash-nash syariat. Mereka menyatakan bahwa suatu ‘illat kadang-kadang dipahami dari suatu nash secara jelas (sharâhah), melalui penunjukkan (dilâlah), lewat penggalian (istinbâth), atau dengan analogi (qiyâs). (Dalam hal ini, bisa dirujuk berbagai kitab ushul fiqih). Harus diketahui bahwa qiyâs hanya merupakan kewenangan bagi orang yang telah sangat memahami nash-nash yang ada, hukum-hukum syariat, dan berbagai fakta yang terjadi. Tidak setiap orang berhak dan bisa melakukan qiyâs sesuka hatinya sendiri. Jika tidak demikian, qiyâs hanya akan merupakan salah satu sarana untuk menghancurkan Islam dan menjauhkan hakikat hukum Allah Swt.

Dalam konteks ini, Imam Syafi‘i pernah berkata: ‘Seseorang tidak boleh melakukan qiyâs sampai ia memahami Sunnah Nabi, pendapat para ulama salaf, dan bahasa Arab; memiliki kecerdasan sehingga ia bisa membedakan hal-hal yang syubhat; tidak tergesa-gesa menyimpulkan pendapat; tidak mengabaikan pendapat orang yang mengkritiknya, sebab kritik akan membuatnya waspada dari keteledoran, dan waspada dari kesalahan yang diyakininya sebagai kebenaran’. Praktek qiyas memerlukan pemahaman yang amat cermat dan teliti. Jadi, tidak sah qiyas untuk menggali hukum kecuali dilakukan oleh seorang mujtahid.

Syariat dengan akidahnya ditegakkan di atas landasan iman kepada Allah yang Esa, dan wajib meng-Esakannya di dalam ibadah. Ucapan (lâ ilâha) berarti menafikan ketuhanan, ibadah dan tasyri’ kepada selain Allah. Dan ucapan (illa Allah) berarti itsbat (penetapan) semua itu hanya untuk Allah. Dialah Tuhan yang layak untuk diibadahi dan layak untuk membuat hukum. Ini mengharuskan juga beribadah dan tunduk kepada-Nya, serta mengetahui syari’at-Nya melalui Rasulullah Saw. Inilah yang

~ 108 ~

Page 110: Buku Propaganda Ideologi Islam

dikandung oleh bagian kedua dari ucapan syahadat, yaitu perkataan (Muhammad Rasulullah). Artinya, wajib menjadikan Rasulullah Saw. sebagai satu-satunya figur yang diikuti dan diteladani dalam perkara tasyri’.

Ushul fiqih telah membatasi sumber wahyu agar tasyri’ tidak diambil selain dari wahyu. Ushul fiqih juga membatasi kaidah-kaidah istinbath (penyimpulan hukum dari nash-nash) agar tidak ada unsur yang masuk ke dalam syara’, berupa sesuatu yang bukan syara’. Oleh karena itu pembahasan pertama di dalam ushul fiqih adalah bahwa Hâkim (pembuat hukum) adalah Allah Swt., dan bahwa hukum itu hanya hak Allah saja. Tidak ada hukum kecuali syara’ telah menjelaskannya.

Kemudian datang fiqih yang merupakan terjemahan praktis untuk beribadah kepada Allah semata dan tunduk kepada-Nya. Tidak menerima tasyri’ selain-Nya, dan hanya berhukum kepada syari’at-Nya semata.

Dan bergabung menjalankan sistem pemerintahan yang kufur berarti mengajak untuk ridho mendiamkan kebathilan: undang-undang buatan manusia; musyarri’ selain Allah, sejajar dengan Allah; menerima berbilangnya sumber tasyri’... Lalu, di mana ke-Esaan Yang Disembah, yang menuntut ke-Esaan dalam peribadatan, baik dzahir maupun batin?

Tidak dibolehkannya mensyarikatkan Allah mengharuskan pula tidak boleh turut serta di dalam penetapan hukum-hukum menyalahi-Nya.

Sirah perjalanan dakwah Rasulullah Saw. menunjukkan tidak disisakannya satu keraguanpun terhadap fundamentalnya pemikiran dan menjauhkannya dari realitas yang mungkin bisa mempengaruhinya. Bahkan, berusaha untuk mempengaruhi realitas dan memunculkan perubahan. Dakwah Rasulullah Saw. tidak terpengaruh fakta-fakta syirik yang ada di tengah-tengah orang kafir Makkah, tidak memperhatikan lagi adat kebiasaan mereka, tidak memperhitungkan apakah manusia akan menerima atau menolak dakwahnya, dan tidak bermanis muka kepada penguasa.

~ 109 ~

Page 111: Buku Propaganda Ideologi Islam

Padahal kondisi Rasulullah Saw. dan kondisi dakwah di kota Makkah ketika itu sangat keras. Rasulullah Saw. menyerukan (lâ ilaâha illa Allah) yang merupakan inti Islam secara keseluruhan, dan penolakan secara total terhadap selain Islam, baik akidah maupun syari’at. Berdasar asas ini pula Abu Jahal bersama tokoh-tokoh Makkah lainnya melakukan penolakan.

Dengan bertumpu kepada asas ini Rasulullah Saw. menjalankan dakwah kepada umat manusia seluruhnya, baik yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, hamba sahaya ataupun orang merdeka, kaya maupun miskin, orang Arab atau selain Arab, penyembah berhala ataupun ahli kitab.

Rasulullah Saw. menghadapi mereka dan berjuang untuk menyampaikannya. Beliau memulai dengan menyebut tuhan-tuhan mereka. Mereka membalasnya dengan pemusuhan. Kemudian mereka menawarkan kompromi, dan meminta beliau agar tidak mengganggu mereka. Jika hal ini diterima, maka mereka juga tidak akan mengganggu beliau. Mereka menginginkan andai saja Rasulullah Saw. bermanis muka kepada mereka, maka mereka akan melakukan hal yang sama.

Kenyataannya, Rasulullah Saw. tidak menuruti keinginan mereka dan memilih bersikap sabar terhadap penolakan mereka terhadap dakwahnya, dan gangguan mereka terhadap sahabat-sahabatnya maupun orang-orang mukmin lain yang beriman terhadapnya.

Kesabaran merupakan bukti kebenaran dakwah dan ucapannya. Beliau Saw. juga menolak (dengan tegas) syarat yang diajukan bani Sha’sha’ah tatkala beliau mendatangi mereka supaya mereka menerima Islam kaaffah dan mau memberikan pertolongan mereka terhadap Islam di saat-saat dakwah beliau dalam kondisi kritis. Tidak seorangpun yang menolong.

Mereka bersedia untuk menolong beliau akan tetapi dengan mengajukan persyaratan, (yaitu) jika beliau wafat, maka kekuasaan Islam harus diserahkan kepada mereka. Saat itu beliau tidak mengatakan adanya celah (peluang) terbuka yang dapat dimanfaatkan, setelah setiap jalan yang ada di hadapan beliau tertutup rapat. Beliau malah mengatakan kepada mereka -dan kepada kita juga untuk mengajarkan, memberi petunjuk dan mengajak-:

~ 110 ~

Page 112: Buku Propaganda Ideologi Islam

“Perkara (kekuasaan) itu adalah urusan Allah. Dialah yang memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

Dakwah Rasulullah Saw. berjalan hanya bersandar kepada pemikiran dan taufiq Allah Swt. bahkan dakwah beliau juga sampai pada tercapainya tujuan dengan berdirinya Darul Islam yang baru seluas Madinah setelah Allah Swt. membuka hati dan akal orang-orang yang menolong dan mendukung beliau. Ini merupakan taufiq dari Allah Swt. yang akan diperoleh juga oleh orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, meminta pertolongan-Nya, memelihara kejernihan pemikiran dan kecemerlangan pemahaman, istiqamah dalam perjalanan (dakwahnya) dan menjaga kebenaran tingkah lakunya.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (TQS. al-Maidah [5]: 51-52)

Tidak bolehnya mengikuti yahudi dan nasrani bukan berarti boleh mengikuti selain mereka. Yang dimaksudkan disini adalah haram mengikuti apa dan siapa saja yang bertentangan dengan Islam. Haramnya mengangkat mereka menjadi pemimpin mengharuskan pula bagi kita berlepas diri dari pemikiran dan tingkah laku mereka.

~ 111 ~

Page 113: Buku Propaganda Ideologi Islam

Loyalitas itu hanya diberikan kepada Allah, kepada Rasul-Nya, ideologi Islam, orang-orang mukmin. Allah Swt. berfirman:

“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (TQS. al-Maidah [5]: 56)Loyalitas itu sesuatu yang dilakukan oleh anggota badan dan

hati sekaligus.

Sistem Bathil Perlu Diganti

Di tengah-tengah kenyataan hidup kaum Muslim yang menyakitkan ini berdiri gerakan Islam yang melakukan aktitivitas untuk merubah kenyataan ini, memberikan alternatif yang baik dan istimewa dengan pandangan menyeluruh, dengan Khilafah Islamiyah.

Metode pengubahan masyarakat yang diakui syara’ mengharuskan kita untuk mengetahui realitas yang menjadi tempat aktivitas. Setelah itu baru memunculkan dalil-dalil syara’ yang berhubungan dengan fakta tersebut, dan memahaminya dengan pemahaman yang sesuai dengan syara’.

Islam adalah agama yang paripurna. Di dalam Islam dijumpai cara-cara ishlâh (perbaikan) ketika faktanya memang membutuhkan ishlâh. Dijumpai pula cara-cara taghyîr (perubahan total) apabila faktanya memang membutuhkan taghyîr.

Taghyîr bisa dilakukan terhadap individu, bisa juga ditujukan untuk merubah keadaan masyarakat atau merubah kondisi bangsa-bangsa dan umat. Taghyîr harus dimulai dengan merubah asas yang darinya manusia, masyarakat atau kondisi dibangun dengan asas tersebut. Sebab, setiap pemikiran cabang berasal dari asasnya, termasuk pemahaman-pemahaman yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan ini. Dengan asas ini serta apapun yang berkaitan dengannya (baik berupa pemikiran cabang

~ 112 ~

Page 114: Buku Propaganda Ideologi Islam

ataupun furu’), manusia bisa berbahagia atau menderita; umat bisa bangkit bisa juga mundur.

Asas yang menjadi landasan seorang muslim atau masyarakat Islam adalah akidah Islam. Setiap perbuatan seorang muslim tidak boleh menyimpang. Begitu pula aktivitas Daulah Islamiyah satupun tidak boleh keluar dari akidah Islam dan segala konsekuensinya.

Adapun ishlâh, adalah perubahan menyangkut perkara cabang atau furu’, bukan asasnya. Asas yang ada dibiarkan, tidak dirubah. Hanya dibersihkan saja. Eksistensi asas itu sendiri tetap diakui.

Jika asasnya itu ada, akan tetapi muncul kotoran-kotoran yang menutupi sebagian ‘baju’nya, berupa pemikiran-pemikiran yang mendominasinya, maka yang harus dilakukan dalam kondisi ini adalah ishlâh bukan taghyîr. Yang dilakukan adalahnupaya untuk menjernihkan kembali asasnya, lalu memperkuatnya agar kembali menyinari perkara-perkara cabang, terutama di dalam penerapan praktis.

Seorang muslim yang terpengaruh dengan tsaqafah (pemikiran) Barat misalnya, yang harus dilakukan terhadapnya adalah mensucikan kembali imannya dan menghilangkan segala kotoran yang menempel, agar orientasinya jelas dan tingkah lakunya benar. Terhadap seorang muslim yang terjerumus dalam perbuatan maksiat, yang harus dilakukan adalah memperkuat iman, mengubah perbuatan, sehingga terwujud dorongan yang memacunya untuk bertakwa, sekaligus berfungsi sebagai pengendali yang bisa mencegah dan menjaganya dari tindakan maksiat.

Jika kita ingin mengajak orang kafir masuk Islam, maka

dakwah kita kepadanya adalah dakwah yang bersifat taghyîr. Karena asas yang dimilikinya, dan setiap perkara yang lahir dan terpancar dari asas tersebut adalah batil. Wajib mengganti asasnya dengan asas yang benar. Oleh karena itu kita tidak mengajak orang kafir untuk melakukan shalat sementara kita masih membiarkan asas kafir yang dianutnya.

~ 113 ~

Page 115: Buku Propaganda Ideologi Islam

Apabila kita ingin mengajak seorang muslim maka dakwah kita kepadanya adalah dakwah yang bersifat ishlâh, karena asas yang dimiliki muslim itu benar. Meskipun demikian kita wajib menjauhkannya dari segala kotoran yang menempel, yang menyebabkan orientasi dan konsistensinya melemah. Jadi, selama asas itu masih ada, maka dia hanya memerlukan perbaikan yang bisa mengembangkan dan menguatkannya, menyuburkan dan mensucikannya. Jika hal itu telah tercapai, dengan sendirinya dia akan memiliki orientasi yang benar dan konsistensi yang lurus.

Dengan demikian, seorang muslim yang meminum khamar, berzina, mencuri atau melakukan transaksi yang mengandung riba, atau berdiam diri dari aktivitas dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam, maka orang semacam ini memerlukan pengobatan atas imannya. Dia harus diingatkan kepada Allah yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur, yang wajib disembah dan ditaati. Wajib baginya untuk tidak melihat pada kecilnya dosa tetapi kepada keagungan Pencipta. Ketika al-Khaliq memerintah dan melarang, maka perintah dan larangan-Nya itu untuk kebaikan dirinya di dunia dan akhiratnya. Diingatkan pula bahwa balasan bagi tindakan maksiat adalah dosa, yang akan menjerumuskan pelakunya ke dalam Neraka. Dan balasan bagi ketaatan adalah pahala, yang akan diperolehnya nanti pada hari kiamat dan berhak memperoleh rahmat Rabbnya. Ingatannya diarahkan pada dahsyatnya hari kiamat dan adzab jahanam, serta nikmatnya Surga. Dengan demikian, keimanannya akan memacunya untuk berbuat taat dan meninggalkan maksiat. Dengan cara seperti ini tingkah laku seorang muslim bisa diluruskan kembali. Oleh karena itu, kita sekarang ini tatkala berdakwah kepada kaum Muslim sebagai individu-individu, wajib memperhatikan bahwa mereka itu adalah muslim yang harus diperbaiki pemikiran dan tingkah lakunya.

Sistem pemerintahan suatu negara berdasarkan kepada UUD. Dan UUD-nya diambil dari sumber-sumber tertentu yang dibangun di atas asas tertentu. Dalam perkara ini kita harus mencermati, apakah asas negara itu akidah Islam sehingga al-Qur’an dan as-Sunnah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya dijadikan sebagai sumber satu-satunya untuk membuat UUD? Apakah

~ 114 ~

Page 116: Buku Propaganda Ideologi Islam

hukum-hukum yang terdapat di dalam UUD tidak keluar sedikitpun dari wahyu? Jika demikian kondisinya, maka negara itu dianggap Daulah Islamiyah.

Apabila di dalam Daulah Islamiyah banyak terjadi kerusakan atau dijumpai adanya keburukan di dalam penerapan, maka terhadap negara seperti ini harus dilakukan upaya ishlâh (perbaikan), bukan taghyîr. Kondisi semacam itu mirip dengan keadaan Daulah Islamiyah pada masa Utsmani. Khilafah saat itu membutuhkan ishlâh.

Namun, jika asas negara bukan akidah Islam, yang merupakan asas UUD, peraturan dan perundang-undangan lainnya, maka yang dituntut di sini adalah aktivitas taghyîr bukan ishlâh. Contohnya adalah kondisi negara-negara tempat kaum Muslim hidup sekarang ini. Negara-negara itu bukanlah Daulah Islamiyah, karena peraturan-peraturannya tidak eksklusif berasal dari syari’at Islam (meskipun mereka mengatakan bahwa agama negara adalah agama Islam). Sebab yang jadi acuan adalah penerapan bukan sekedar perkataan (pengakuan).

Jadi, selama peraturan negara-negara yang memerintah kaum Muslim sekarang ini UUD-nya tidak berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka realitas ini memerlukan aktivitas yang bersifat taghyîr, yaitu merubah secara fundamental pusat-pusat peraturan dan kaidah-kaidahnya. Tidak boleh memperbaiki sistem yang bukan Islam. Misalnya memperbaiki kapitalisme supaya bisa dianggap lebih adil, memperbaiki demokrasi sehingga lebih demokratis, menyehatkan perbankan ribawi, menstabilkan industri keuangan non-riil, dsb.

Para penganjur taghyîr (penggantian sistem) mempunyai pemikiran-pemikiran yang sangat berbeda atas realitas yang ingin mereka ubah. Sikap tersebut muncul karena mereka mengikatkan pemikirannya dengan asas yang mereka imani, dan menolak fakta menyimpang yang ada dari segi asasnya. Selama asasnya berbeda, maka apapun yang berasal dari asas tersebut tertolak, karena

~ 115 ~

Page 117: Buku Propaganda Ideologi Islam

gugurnya asas, meskipun terdapat kemiripan pada sebagian perkara cabangnya.

Di dalam benak para pencetus ide taghyîr terdapat gambaran yang ingin disampaikan kepada umat manusia. Gambaran ini membawa mereka kemasa Rasulullah Saw. Mereka mengkritik realitas, tempat mereka hidup dengan kritikan yang menyentuh asasnya. Pemikiran yang dilontarkan kelompok ini sama di setiap negeri, karena kondisi yang diciptakan oleh kafir penjajah terhadap kaum Muslim sama dan seragam. Oleh karena itu, solusi terhadap kondisi tersebut juga sama.

Pada fase penjajahan gaya baru Barat atas negeri-negeri kaum Muslim, mereka menjauhkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber satu-satunya bagi perundang-undangan hidup kita. Itu dilakukan Barat dengan melakukan pemisahan agama Islam dari kehidupan dan peraturan kita. Perlakuan itu berhasil mereka jalankan. Dan hal itu merupakan bencana bagi kita. Sesungguhnya realitas yang ada saat ini tidak akan bisa diperbaiki dengan cara tambal sulam, meskipun amat banyak. Dan orang yang tidak memahami realitas tentang sesuatu tidak akan mungkin mengetahui hukumnya.

Orang yang menyeru kepada ideologi Islam sekarang ini tidak bisa mengabaikan hadits Nabi Saw.:

“…Kemudian akan datang Khilafah yang berdasarkan pada manhaj ke-Nabian.” (HR. Imam Ahmad)

Orang yang menginginkan hadirnya Khilafah yang berdasarkan pada manhaj ke-Nabian tidak akan memiliki alternatif lain kecuali meneladani sirah manusia terbaik (yaitu Muhammad Saw.), yang usaha-usahanya menghasilkan buah. Dan dengan taufik Allah bisa menelurkan sebaik-baik umat yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia. Sesungguhnya sirah itu adalah satu untaian dengan sirah para Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka. Hanya kepada Allah kita memohon agar kita termasuk di dalam salah satu mata rantainya. Maka kita juga harus meneladani sirah Muhammad Saw. Masyarakat lalu meneladaninya pula, dan

~ 116 ~

Page 118: Buku Propaganda Ideologi Islam

bersatu untuk melaksanakan amal perbuatan mulia yaitu dakwah Islam ideologis.

Orang yang mengemban dakwah Islam secara benar dan berusaha mewujudkannya kembali di dalam realitas pemerintahan dan kehidupan secara ikhlas, baik individu ataupun partai, tidak mungkin berhasil dengan bergabung dengan sistem pemerintahan bukan-Islam. Karena di saat yang sama dia berusaha untuk mengungkap kerusakannya, mengungkap pertentangannya dengan dalil-dalil syar’i yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dilalah (pasti penunjukannya).

Sungguh, merupakan suatu bencana dan dosa besar apabila seorang pengemban dakwah mengadopsi maslahat yang diukur dengan akalnya dan tidak diakui oleh syara’, sebagai dalil baginya dengan melanggar nash yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah; atau menggunakan syubhat dalil.

Rasul Saw. mengirimkan surat-surat dakwah kepada para kepala negara lain. Di dalam juz ke-12 dari kitab Syarah Shahih Muslim an-Nawawi, disebutkan bahwa Najasy (gelar bagi raja Habasyah) yang dikirimi surat oleh Rasulullah Saw. dan diajaknya masuk Islam pada akhir tahun ke-6 Hijriah, setelah beliau kembali dari Perang Hudaibiyah, bukanlah Najasy yang Rasulullah Saw. menshalat jenazahkan. Teksnya berbunyi:

“Dari Anas bahwa Nabi Saw. telah menulis surat kepada Kisra, kepada Kaisar dan kepada Najasy, serta kepada setiap Jabbar (penguasa), mengajak mereka kepada Allah ta’ala, bukan Najasy yang Nabi Saw. menshalat (jenazahkan) atasnya.“ (Hadits dari Anas bin Malik, yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya)

Najasy yang telah masuk Islam ini telah menerima kekuasaan pada tahun ke-7 Hijriah, karena Rasulullah Saw. telah mengirimkan banyak utusannya kepada para Raja dan Amir. Di antara mereka adalah Najasy. Hal itu beliau lakukan sekembalinya dari perang Hudaibiyah, yang terjadi pada akhir tahun ke-6 Hijriah, bulan Dzulqa’idah. Mungkin Najasy ini telah meninggal pada tahun ke-7 Hijriah, dan pada tahun itu pula Najasy yang masuk Islam telah

~ 117 ~

Page 119: Buku Propaganda Ideologi Islam

menerima estafet pemerintahan. Dialah yang Rasulullah Saw. melakukan shalat jenazah atasnya, yang waktu kematiannya terjadi sebelum penaklukkan kota Makkah pada tahun ke-8 Hijriah, sebagaimana yang disebutkan oleh Baihaqi dalam kitab Dalâ’ilu an-Nubuwwah.

Dengan demikian, jarak antara pengangkatannya menjadi Raja dan ke-Islamannya, begitu juga dengan kematiannya sangat singkat. Dia masuk Islam secara rahasia, dan tidak ada seorangpun yang mengetahui ke-Islamannya, bahkan Rasulullah Saw. sendiri tidak mengetahuinya selain diberitahu melalui wahyu tentang kematiannya, juga ke-Islamannya pada hari kematiannya itu. Waktu yang singkat yang dilaluinya sebagai seorang muslim sebelum dia meninggal tidak memungkinkannya untuk mengetahui tentang hukum-hukum Islam. Dan ketidaktahuan Nabi Saw. terhadap hal itu menyebabkan beliau tidak sempat mengirimkan kepadanya utusan yang akan menjelaskan apa yang harus dikerjakan.

Islam Ideologi yang Haq

Serangan Barat terhadap Islam memiliki beberapa wajah yang berbeda. Serangannya menyusup ke berbagai bidang, akan tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu berusaha untuk menjauhkan Islam dari kehidupan. Serangan Barat tidak hanya terbatas dengan memperburuk citra Islam, meruntuhkan negara Khilafah, menikam hukum-hukum Islam, dan menyerukan bahwa Islam hanyalah gambar yang akan hilang dengan berlalunya waktu, akan tetapi juga mencakup seluruh perkara yang bisa menjauhkan Islam dari kepemimpinan dunia sekali lagi. Islamophobia terus berlangsung. Makar terhadap Islam tidak akan pernah surut, agar orang-orang yang awam tidak beranjak dari cengkeraman mereka, kecuali jika kaum Muslim kembali memimpin dunia.

Barat memandang bahwa kaum Muslim adalah umat yang hidup dengan Islam; agama mereka adalah agama yang bersifat universal, yang layak bagi seluruh manusia dan mampu memperbaiki kehidupan manusia. Seluruh jiwa kaum Muslim akan

~ 118 ~

Page 120: Buku Propaganda Ideologi Islam

selalu mencari jalan untuk bersatu. Barat amat memahami bahwa letak geografis dari negeri-negeri Islam yang banyak dan tersebar akan menjadi negara yang strategis dan bersatu. Keberadaannya menempati pusat-pusat benua dan terletak memanjang di atasnya. Negeri-negeri kaum Muslim memiliki sumberdaya alam yang luar biasa, melebihi kebutuhan negara-negara besar, dan mampu menjadikannya sebagai negara adidaya.

Lebih dari itu jumlah kaum Muslim mencapai sepertiga penduduk dunia. Cita-cita kaum Muslim, jika Allah memenangkan mereka, bukanlah untuk membunuh dan merampas kekayaan negeri-negeri yang mereka taklukkan, melainkan akan membukanya secara cermat; membebaskan manusia, dan seluruh umat manusia dari kebodohan dan kekufuran, kepada hidayah Islam karena kesadaran. Mengarahkan kepada suatu keyakinan bahwa memasukkan seseorang ke dalam Islam lebih dia cintai daripada dunia dan seisinya.

Islam menghadapi banyak sekali tipu daya dan makar keji terhadap hukum-hukumnya, dan terhadap para pengemban dakwahnya yang ikhlas. Tujuan mereka untuk menjauhkan pengaruh Islam kepada pengikutnya dan umat yang lain.

Kalau bukan karena Islam itu adalah agama Allah yang hak, pasti sudah terhapus dan hilang dari pengaruhnya yang luar biasa. Dan kalau bukan karena kehendak Allah yang akan terus berlaku, juga karena iradah-Nya yang pasti terjadi, maka kaum Muslim tidak mungkin tetap memberikan loyalitasnya kepada agama mereka pada masa yang paling mundur.

Barat telah berhasil membengkokkan tolok ukur kaum Muslim menyimpang, pemahaman-pemahaman mereka menjadi rancu dan pemikiran mereka menjadi rusak.

Pada perang Salib yang pertama Barat melihat bahwa Islam menancap kuat di dalam jiwa kaum Muslim, dan realitasnya jauh lebih kuat dari berbagai usaha untuk melepaskannya. Oleh karena itu, Barat mengganti strateginya di dalam perang Salib yang kedua, yang hingga saat ini kita masih merasakan bencananya. Pada

~ 119 ~

Page 121: Buku Propaganda Ideologi Islam

perang Salib kedua ini, Barat menjauhkan kaum Muslim dari agamanya, dan mencegah kaum Muslim untuk menyebarkanluaskan pemahaman-pemahaman Islam, keyakinan-keyakinannya, dan standar pemikirannya. Supaya Barat tetap mendominasi kaum Muslim secara fisik, maka Barat pun menciptakan pemikiran-pemikiran palsu yang dibarengi dengan dominasi secara fisik.

Setelah itu, Barat menempatkan para penguasa yang telah teracuni dengan politik dan pemikiran yang rusak. Lalu Barat mengikat erat eksistensi negeri-negeri Islam (yang dijajahnya) dengan mengarahkan politik negara-negara tersebut berjalan dengan orientasi yang sama, yaitu merealisir kepentingan-kepentingan Barat.

Dunia dijadikan oleh Barat bagaikan perseroan terbatas, yang di dalamnya terdapat investor (pemilik modal) dan negara-negara lain sebagai buruh dan konsumennya. Barat melengkapi hagemoninya atas dunia dengan penguasaan di bidang jaringan informasi (dan komunikasi) raksasa, dan menempatkan jaringan-jaringan informasi negara lain berkiblat kepada mereka. Hal itu dilakukan Barat agar kita tidak membaca melainkan apa yang mereka tulis, dan tidak mendengar kecuali apa yang mereka siarkan, serta tidak menyaksikan kecuali apa yang mereka tayangkan. Dan kita tidak membicarakan atau memahami perkara apapun kecuali menurut perspektif yang mereka inginkan.

Ini merupakan bentuk penjajahan baru yang amat progresif, lebih berbahaya dan lebih licik dari penjajahan konvensional. Penjajahan konvensional berbentuk penguasaan manusia oleh pihak luar (secara fisik), sedangkan penjajahan model baru adalah penguasaan manusia, baik dari dalam (aspek pemikiran, budaya, ideologi, dan lain-lain) maupun dari luar (aspek militer, ekonomi dan politis).

Kondisi tersebut menggiring kaum Muslim agar ketaatan dan loyalitasnya secara mutlak diberikan hanya kepada (pemikiran dan peradaban) ala Barat, sehingga tidak akan ada satupun yang bisa mengancam eksistensi penjajah.

Sampai-sampai terhadap agama kitapun, Barat menginginkan agar kita memahaminya dengan cara dan metode berpikir mereka.

~ 120 ~

Page 122: Buku Propaganda Ideologi Islam

Jika ada orang yang menyimpang dari cara pandang mereka, maka mereka akan menggerakkan media masa untuk menyerang orang tersebut. Lalu menggambarkan orang tadi dengan citra negatif dan menganggap orang tadi menantang kemapanan, keluar dari kelaziman, merusak ijma’, dan mendeskripsikannya sebagai ekstrimis, teroris, fundamentalis dan radikal, bahkan menyebutnya sebagai musuh kemanusiaan dan orang-orang bodoh yang tidak layak hidup kecuali di dalam (zaman) kegelapan dan permusuhan, karena orang-orang itu melontarkan pemikiran yang menebarkan permusuhan dan provokasi.

Setelah citra buruk direkayasa dan memanipulasi fakta, penguasa (yang menjadi antek penjaga kepentingan-kepentingan Barat) menindas orang-orang karena –menurut mereka- layak untuk dibungkam. Apa yang dilakukan mereka itu dengan memanfaatkan kebodohan masyarakat terhadap berbagai hakikat. Diperkuat dengan bantuan para “ulama” buruk (as-sû) yang mendukung seluruh perilaku Barat.

Namun, apa yang kita saksikan sekarang ini adalah mulai berdenyutnya kebangkitan di dalam diri umat. Umat melihat kepada Barat, penguasa dan “ulama” buruk (as-sû) dengan pandangan yang sama. Umat memandang Barat bagaikan melihat setan, sedangkan para penguasa itu menjadi murid-muridnya. Para ulama buruk (as-sû) tidak akan menduduki posisi kecuali jika mereka melanggar kehormatan agama. Itulah kebanyakan ulama pada masa kemunduran, dan fungsi mereka akan berakhir dengan berakhirnya masa kemunduran itu. Di era kebangkitan Islam yang sebenarnya, akan muncul para ulama yag bersih, taqwa dan jujur.

Sesungguhnya kita sekarang ini berada pada tahap di mana Barat dan para penguasa, hidup dalam ketakutan yang amat sangat terhadap kembalinya Islam. Mereka menganggap setiap pemikiran Islami yang dilontarkan merupakan bahaya yang mengancam kedudukan mereka, sehingga mereka berusaha untuk mengepungnya dan menuduhnya dengan berbagai dakwaan. Mereka menggunakan corong media masa maupun propaganda, bahkan acapkali menggunakan lidah-lidah para “ulama” untuk menyerangnya. Mereka menggambarkan gerakan-gerakan Islam

~ 121 ~

Page 123: Buku Propaganda Ideologi Islam

yang menuntut (penerapan sistem) Islam semata sebagai ekstrimis dan teroris. Di lain pihak para “ulama”, para penulis, baik lokal maupun nasional, dengan rajin mengarang buku-buku dan memberikan ceramah-ceramah agar kaum Muslim menjauhi sikap “ekstrim” dan menyerukan sikap moderat. Mereka semuanya bertolak dari satu perspektif yaitu perspektif Barat. Para ulama itu dipandang sebelah mata oleh umat dan citra mereka seperti penguasa. Para “ulama” itu sendiri dijauhi oleh umat dengan memunggunginya. Hal itu disebabkan banyaknya justifikasi yang mereka lontarkan dan tidak mengandung kebenaran. Fatwa-fatwa mereka menyimpang dari pokok-pokok syariat yang telah baku. Pada akhirnya bukan hanya bertentangan dengan pemahaman yang Islami, malah bertentangan dengan nash-nash syara’ yang telah disepakati umat validitas sumbernya. Sebagian fatwa itu bahkan memerintahkan untuk mengerjakan yang munkar dan melarang yang ma’ruf. Semoga Allah Swt. melindungi kita dari semua itu. Sikap fanatik yang ditunjukkan oleh para “ulama” dengan melontarkan pemikiran-pemikiran yang pro Barat, yang notabenenya merupakan pemikiran asing yang disusupkan ke dalam Islam, itu dilakukan bukan untuk mencari keridhaan Allah, melainkan untuk menyenangkan para penguasa dan kroni-kroninya. Meskipun mereka berusaha menunjukkan semangat untuk membela kaum Muslim dan kepentingan dakwah Islam akan tetapi umat amat memahami kosongnya pemikiran mereka dan penyimpangan yang dilontarkan para penggagasnya.

Islam datang untuk menjawab seluruh problematika manusia sebagai satu kesatuan. Islam menjawab tentang hubungan manusia dengan dirinya sendiri melalui aturan-aturan akhlak, (hukum tentang) math’umât (tentang makanan dan minuman) dan malbûsât (tentang pakaian); dan menjawab tentang hubungan manusia dengan sesamanya melalui aturan-aturan mu’amalât dan uqûbât; juga menjawab tentang hubungan manusia dengan Rabbnya melalui aturan-aturan ibadah dan akidah. Islam merupakan aturan yang integral (menyeluruh) dan menyelesaikan setiap perbuatan manusia. Islam adalah pemikiran

~ 122 ~

Page 124: Buku Propaganda Ideologi Islam

menyeluruh yang menjadikannya mampu untuk menjawab setiap hal yang berkaitan dengan urusan hidup.

Di samping itu, bangunan Islam adalah bangunan yang paripurna, yang tegak di atas asas yang memancarkan setiap penyelesaian. Di atasnyalah dibangun seluruh pemikiran. Oleh karena itu, pemahaman-pemahaman Islam, keyakinan-keyakinannya dan tolok ukurnya, semuanya berasal dari unsur pemikirannya yang asasi.

Islam tegak di atas asas iman seorang muslim, bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengatur; bahwa manusia itu lemah, membutuhkan kepada yang lain, serba kurang dan terbatas; bahwa manusia tidak mampu memberikan penyelesaian. Allah Swt. telah mengutus Rasul-Nya untuk mengajarkan kepada manusia siapakah Allah yang harus disembah, bagaimana beribadah kepada-Nya, apa yang menjadi konsekuensinya apabila manusia beribadah, atau konsekuensinya jika tidak melakukannya, yakni berupa pahala dan siksa di dalam kehidupan Akhirat. Semua ini menumbuhkan pada diri seorang muslim tolok ukur bagi setiap perbuatannya, yaitu halal dan haram. Fungsi akal manusia bukan untuk membuat hukum, tetapi akal manusia digunakan untuk memahami apa yang ditunjukkan oleh nash-nash. Nash-nash itulah yang mampu memberikan solusi, yaitu nash-nash yang berasal dari Allah Swt. Tugas manusia adalah untuk memahami nash-nash supaya mereka konsisten. Dalam memahami nash-nash tersebut manusia bisa salah, bisa juga benar. Meskipun demikian, dalam dua kondisi itu tetap diberikan pahala, asalkan tunduk kepada metode ijtihad yang syar’i. Berdasarkan hal ini kaum Muslim sangat memperhatikan itsbat (penetapan) nash-nash. Dari sinilah lahir ilmu hadits. Mereka juga sangat memperhatikan pemahaman nash-nash sehingga melahirkan ilmu ushul fiqih. Di antara kaidah-kaidah ushul fiqih, antara lain:- Sesungguhnya Allah itu adalah Hakim.- Hukum asal dari setiap perbuatan dan segala sesuatu terikat dengan dalil syara’.- Sesungguhnya, khair (kebaikan) itu adalah apa yang membuat Allah ridha, dan syar (buruk) adalah apa yang membuat Allah

~ 123 ~

Page 125: Buku Propaganda Ideologi Islam

murka.- Sesungguhnya, hasan (terpuji) itu adalah apa yang dianggap hasan (terpuji) oleh syara’, dan qabîh (tercela) itu adalah apa yang dianggap qabîh (tercela) oleh syara.

Seorang muslim yang beriman menganggap bahwa kebahagiaannya adalah memperoleh keridhan Allah Swt. Dan ketenangannya akan muncul apabila hajat udhuwiyah (kebutuhan fisik) dan gharizah (naluri)nya dipenuhi berdasarkan imannya kepada Allah Swt. dan keterikatannya dengan syari’at-Nya. Begitulah, kami melihat bahwa bangunan Islam yang sempurna dan paripurna, seluruh pemikirannya itu harmonis, dan berdiri di atas asas yang satu. Apa yang sesuai dengan asas itu, diterima, dan apa yang tidak sesuai, ditolak.Kapitalis adalah mabda’ (ideologi) yang bersumber dari hawa nafsu pikiran manusia. Bangunan pemikirannya satu sama lain memiliki jenis yang sama, yaitu bisa diambil seluruhnya atau ditinggalkan seluruhnya. Pemikiran sekularisme merupakan asas atas seluruh penyelesaian (masalah)nya, dan setiap pemikiran kapitalis tegak di atasnya. Pemikiran sekularisme dibangun berasaskan ide kompromi, yang menganggap bahwa manusia itu adalah tuan bagi dirinya sendiri. Agar dia menjadi tuan bagi dirinya sendiri maka manusia harus dibebaskan. Dan itu tidak bisa direalisir kecuali jika dia menggunakan empat jenis kebebasan. Dari sinilah lahirnya ide tentang kebebasan. Ide tentang kebebasan di dalam ideologi kapitalis memiliki pemahaman yang khas. Agar manusia itu menjadi tuan bagi dirinya sendiri berarti dalam memenuhi kebutuhannya yang asasi harus sesuai dengan keinginannya (sendiri), yaitu tidak ada peraturan yang mengaturnya, baik agama atau yang lain, meski juga diembel-embeli ide HAM. Dari sini lahirlah ide tentang demokrasi. Para penganut ide sekularisme menganggap bahwa kebahagiaan adalah apabila dia memperoleh sebanyak mungkin kesenangan dan kelezatan. Dengan demikian apa yang dipandang oleh akalnya adalah maslahat, itulah yang menjadi tujuan dari setiap perbuatannya, karena akalnya dijadikan musyarri’/ pembuat hukum.

~ 124 ~

Page 126: Buku Propaganda Ideologi Islam

Islam tidak menerima demokrasi, karena demokrasi berarti menempatkan rakyat sebagai sumber hukum. Di dalam Islam, hukum berada di tangan syara’. Pemikiran kapitalis itu akan memagari Islam agar tidak sampai pada jenjang kekuasaan. Sebab, ketika Islam telah memperoleh kekuasaan, pasti akan menghapus demokrasi dan seluruh pemahaman yang berasal daripadanya. Oleh karena itu, Barat akan memerangi setiap pemikiran Islam yang bersifat mengakar (ideologis) dan akan memerangi setiap gerakan-gerakan Islam yang berusaha untuk sampai pada jenjang kekuasaan. Barat memandang bahwa gerakan-gerakan itu merupakan bahaya bagi eksistensi dan kepentingannya dan akan memusnahkan (peradaban) Barat langsung dari akarnya. Dari sini kita amat memahami bahwa Barat akan memeranginya dan memusuhi Islam dan kaum Muslim, dan memandangnya sebagai musuh laten. Berdasarkan realitas itu pula Barat kemudian menempelkan sebutan dengan bermacam-macam stempel, seperti fundamentalis, karena gerakan-gerakan ini bertolak dari perkara pokok (ushul) yang tidak diakui oleh Barat keberadaannya. Barat juga menyebutnya sebagai teroris, karena gerakan-gerakan itu tidak mau ridho dengan Barat, disebabkan tidak ada perkara yang bisa mempersatukan keduanya. Barat menyebutnya juga sebagai radikal, karena dia tidak bermanis muka terhadap seluruh bentuk pemikiran Barat dan tidak menghormati eksistensinya.

Jika kita benar-benar memperhatikan, maka kita akan menyaksikan bahwa apa yang mereka tuduhkan kepada pihak lain itu sebenarnya merupakan sifat-sifat diri mereka sendiri. Justru Baratlah yang fundamentalis, karena mereka bertolak dari asas yang mereka yakini kebenarannya dan tidak mau menerima asas lain sebagai rivalnya. Hal itu amat kontradiktif dengan pemikirannya yang menggembar-gemborkan demokrasi, yang katanya membolehkan pihak-pihak lain sampai kepada jenjang kekuasaan, selama rakyat yang memilihnya. Barat juga sebenarnya teroris, ekstremis dan fundamentalis, karena Barat tidak menghormati eksistensi politik Islam dan tidak mau berurusan dengannya, malah tidak mau bertemu dengannya. Jadi, betapa Barat telah melanggar mabda’ (ideologi)nya sendiri dan

~ 125 ~

Page 127: Buku Propaganda Ideologi Islam

menjerumuskan dirinya sendiri kepada apa yang mereka tuduhkan kepada orang lain.

Apabila kita ingin menetapkan apakah suatu fikrah atau pemikiran itu benar atau salah, maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus mengembalikan kepada asasnya. Setelah itu kita mencari hukum baginya dan menghukuminya berdasarkan asas tadi. Kita tidak boleh mencari hukum-hukum cabang melalui asas yang lain. Kita misalnya, tidak boleh mengatakan bahwa kebahagiaan di dalam Islam berdasarkan perolehan kelezatan (kenikmatan). Kita juga tidak boleh mengatakan bahwa seorang muslim beriman kepada (prinsip-prinsip) kebebasan yang diyakini oleh Barat, karena Islam tidak mengakui hal itu dan sama sekali tidak menerimanya. Barangsiapa menerima Islam sebagai asas baginya, maka pasti akan rela terhadap apapun yang lahir dari Islam. Dia harus mengambil Islam secara keseluruhan, karena meninggalkan sebagian dari Islam sama saja dengan meninggalkan seluruhnya.

Berdasarkan hal ini kita menolak pernyataan yang berasal dari Barat, yang menyebutkan bahwa Islam adalah agama moderat, dan bahwa Islam tidak punya konsep jihad/ perang. Ini adalah perkataan yang memiliki tujuan batil, karena berasal dari asas yang rusak.

Banyak hukum-hukum syara’ yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim, dan berdosa jika ditinggalkan. Sementara Barat memandangnya sebagai sesuatu yang ektrem, radikal dan perbuatan teror. Contohnya adalah pemikiran tentang jihad fi sabilillah, pemikiran tentang upaya mendirikan negara Khilafah, pemikiran tentang amar ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa, menentang kekufuran dan menyebarkan dakwah, membuang demokrasi, haramnya transaksi riba, pakaian wanita, dan banyak lagi yang lain. Semua itu mengharuskan seorang muslim bersikap konsisten kepadanya. Apakah boleh bagi kita berhukum kepada demokrasi yang berlandaskan pada pemikiran Barat yang rusak dan busuk, yang tidak menebarkan kebaikan bagi para pengikutnya? Kita wajib menolak campur tangan Barat terhadap agama kita.

~ 126 ~

Page 128: Buku Propaganda Ideologi Islam

Al-Mughâlât atau al-ghuluw berarti az-ziyâdah dan mubâlaghah. Mubâlaghah dalam beragama berarti tasyaddud dan tashallub, yakni melampaui batas yang dituntut dan yang telah ditetapkan. Itu disebut juga dengan ifrâth. Lawan katanya adalah tafrîth, yang berasal dari fi’il farratha fi al-amr farathan atau qashsharahu bihi wadhi’ahu wa qaddama al-‘ajza fîhi. Tafrîth dalam agama berarti melalaikan hukum-hukumnya dan menyia-nyiakan haknya, menampakkan kelemahan dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dari sini lahir perkataan: lâ ifrâtha walâ tafrîtha fi al-Islâm.

Adapun iqtishâd sama dengan tawassuth, i’tidâl, rusyd dan istiqâmah. Orang yang mu’tadil (pertengahan, normal, proporsional) dalam agama adalah orang yang istiqâmah di dalam mengerjakan perintah Allah, dan tidak menyimpang, baik ke arah yang berlebihan atau lalai. Allah Swt. berfirman:

“Di antara mereka ada golongan yang proporsional (orang berlaku jujur dan lurus dan tidak menyimpang dari kebenaran), dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (TQS. al-Maidah [5]: 66)

Umat ini adalah umat yang mu’tadilah terhadap perintah Rabbnya, artinya konsisten dengan batas-batas yang diperintahkan Allah kepadanya.

Orang yang memperhatikan definisi-definisi ini memahami bahwa yang dituntut dari seorang muslim adalah konsisten dengan batas-batas Allah, dan tidak boleh melampauinya. Seorang muslim harus mu’tadil, yaitu lurus terhadap perintah-Nya. Rasulullah Saw. bersabda:

“Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamalah.” (HR. Muslim)

Konsistenlah dengan apa yang Allah perintahkan kepadamu dan berhentilah dari apa yang dilarang-Nya. Jadi, kata istiqamah-lah di sini berarti bertakwalah. Dari sini datanglah firman Allah untuk menjelaskan makna tersebut:

~ 127 ~

Page 129: Buku Propaganda Ideologi Islam

“Dan tetaplah segaimana diperintahkan kepadamu.” (TQS. asy-Syura [42]: 15)

Allah-lah yang memerintah, dan seorang muslim harus mentaati perintah-Nya. Seorang muslim tidak akan mengetahui jalan takwa dan jalan yang lurus, sendirian. Seandainya dia mengikuti dirinya sendiri, berarti dia telah mengikuti hawa nafsu. Dan barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, berarti dia telah menyimpang.

Oleh karena itu, istiqâmah itu tidak lain mengikuti apa yang diperintahkan Allah semata, dan tidak melampauinya, baik dengan melebih-lebihkan ataupun melalaikannya. Untuk memahami hal itu harus kembali kepada asasnya.

Seorang muslim yang beriman kepada Allah, akan beriman pula bahwa penyelesaian yang dibawa Islam adalah sesuai dengan fithrahnya, yang telah Allah fithrahkan kepadanya. Sebab, penyelesaian-penyelesaian itu berasal dari al-Khaliq, yang telah menciptakan fithrah itu sendiri dan menetapkan khasiat-khasiat-nya, serta menciptakan apa yang baik baginya. Pada waktu yang sama, seorang muslim juga beriman bahwa solusi yang disodorkan agama-agama dan ideologi-ideologi lain adalah dangkal, salah, menyimpang, menyengsarakan dan tidak membuat manusia bahagia. Karena solusi-solusi tersebut adalah buatan manusia yang bersifat lemah, yang membutuhkan kepada yang lain, dan penuh dengan keterbatasan. Akal manusia tidak mampu mencakup seluruh fakta tentang dirinya sebagai manusia. Implikasinya, tidak mampu melahirkan solusi.

Islam memiliki kelebihan dibandingkan dengan ideologi-ideologi dan agama-agama lain. Islam adalah jalan hidup dari Allah, mencakup seluruh perbuatan manusia dan memberikan kepada manusia solusi yang menjamin kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Allah Swt. berfirman:

“Lalu, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat pada keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Ya Tuhanku,

~ 128 ~

Page 130: Buku Propaganda Ideologi Islam

mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman: ‘Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamupun dilupakan’. Adapun orang yang berjalan di muka bumi ini bukan dengan petunjuk Allah maka dia adalah buta, menyimpang dari kebenaran, menyimpang dari yang haq.” (TQS. Thahaa [20]: 123-126)

Allah telah memelihara untuk kita agama ini dari kemusnahan. Allah mencegah tangan-tangan yang akan mengotori untuk merubah dan memalingkan nash-nash-Nya hingga musnah. Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (TQS. al-Hijir [15]: 9)

Adanya eksistensi nash dan terpeliharanya nash, mengandung arti terpeliharanya hujjah Allah atas manusia. Sedangkan manusia itu sendiri, maka mungkin saja menyimpang atau tersesat, atau mentakwilkan nash-nash dengan sesuatu yang tidak dikandungnya, menambahi atau mengurangi. Namun, hal ini masih dalam batas-batas pemahaman, bukan nash-nash al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim beriman dengan benar, konsisten dan istiqâmah melaksanakan perintah-perintah Allah yang Maha Mengetahui, juga berusaha agar tidak menyimpang darinya.

Inilah Islam yang telah baku. Seorang muslim yang beriman dengan apa yang telah ditetapkan. Sementara, manusia itu, siapapun, tidak akan mampu membuat hukum yang haq, meskipun diberikan kepadanya kecerdasan berpikir, kedalaman pengalaman dan kekuatan iman. Dalam proses penyimpulan hukum, manusia harus tunduk kepada nash-nash yang ada, meskipun dia adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Itulah yang beliau maksudkan dengan perkataannya pada khutbahnya yang pertama setelah beliau menerima jabatan Khalifah: “Taatlah kalian kepadaku selama aku mentaati Allah dalam urusan kalian. Seandainya aku berbuat

~ 129 ~

Page 131: Buku Propaganda Ideologi Islam

maksiat, maka tidak ada ketaatan kepadaku…aku ini tidak lain adalah pengikut, bukan orang yang membuat-buat (bid’ah).” Hal itu merupakan pencerminan dari sabda Rasulullah saw:

“Ikutilah, dan janganlah membuat bid’ah. Sungguh telah dicukupkan untuk kalian.”

Dengan demikian, kaum Muslim harus konsisten, tidak mudah menyerah, harus mengikuti, dan tidak berbuat bid’ah.

Disebutkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas ra. Ada sekelompok orang yang memberitakan tentang ibadah Rasulullah Saw., maka seolah-olah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang dilakukan Rasulullah Saw., lalu mereka berkata: ‘Di mana posisi kita dibandingkan Nabi Saw. Allah telah mengampuni dosa beliau baik yang dahulu maupun yang sesudahnya’. Lalu mereka berjanji untuk bangun pada malam hari (shalat malam) dan puasa pada siang harinya serta menjauhi wanita. Maka Rasululah Saw. bersabda kepada mereka:

‘Apakah kalian kaum yang mengatakan begini dan begini? Sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah daripada (rasa takut yang) kalian (miliki), dan lebih bertakwa kepada-Nya. Namun demikian aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan akupun menikahi wanita.’

Dan Rasul mengakhiri sabdanya dengan:“Barangsiapa yang tidak senang kepada sunnahku maka dia tidak termasuk golonganku.”

Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali sesuai dengan syariah. Tidak termasuk taqarrub kepada-Nya apapun yang dibuat-buat oleh manusia.

Terdapat juga kecaman untuk orang-orang yang tasâhul (meremehkan) Islam. Pada dasarnya orang seperti ini beriman kepada Islam, akan tetapi dia melalaikan berbagai kewajiban dan bersandar pada angan-angan. Dia mengerjakan dosa besar, lalu berjanji pada dirinya akan bertaubat sebelum mati, seolah-olah dia mengetahui kapan waktu kematiannya. Sikap seperti ini diharamkan. Seorang muslim wajib mengambil Islam secara total, dan tidak besikap ridha kecuali dengan ketaatan. Inilah manhaj

~ 130 ~

Page 132: Buku Propaganda Ideologi Islam

Allah yang lurus.

Tidak dibolehkan menyimpang dan keluar dari garis lurus yang Rasulullah telah gariskan. Mereka meremehkan berbagai hukum. Mereka melontarkan pendapat-pendapat yang tidak ada kaitannya dengan nash-nash Islam. Semua itu dilakukan untuk memberikan kepada Barat deskripsi tentang Islam, bahwa Islam itu sesuai dengan waktu dan realitas. Mereka berpendapat perlunya meninggalkan nash-nash syara’ yang telah disepakati oleh umat untuk diamalkan. Contoh tentang takwil mereka adalah bahwa orang murtad tidak perlu dibunuh meskipun Rasulullah telah bersabda:

“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad dari Islam), maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Alasan mereka itu bahwa situasi dan realitas ketika Rasullullah mengatakan hal itu amat berbeda dengan situasi dan realitas kita sekarang ini. Itu dilakukan agar pemikiran ini sesuai dengan pemikiran Barat yang terkait dengan kebebasan berakidah. Contoh lainnya adalah, bahwa wanita menurut pandangan mereka boleh menjabat sebagai imam (kepala negara), walaupun Rasulullah Saw. telah bersabda:

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada wanita.” (HR.Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzi)

Alasannya mereka, bahwa hadist tersebut diucapkan dalam kesempatan tertentu, sehingga tidak boleh dijadikan umum. Hal itu –menurut mereka- dilakukan untuk memberikan kepada Barat suatu gambaran bahwa Islam menghormati kaum wanita, sesuai dengan pemahaman kafiir Barat. Contoh lain lagi adalah, mereka membolehkan transaksi dengan cara riba. Alasan bathilnya, bahwa riba itu merupakan transaksi internasional yang amat mendesak, yang tidak bisa ditinggalkan.

Kelemahan mental yang mereka tonjolkan itu hakikatnya merupakan kelemahan mereka, bukan kelemahan Islam. Sikap dzalim yang ada dibalik tafrîth sama dengan sikap yang ada di balik

~ 131 ~

Page 133: Buku Propaganda Ideologi Islam

ifrâth, yaitu kebodohan terhadap agama dan kebodohan atas manusia. Dua jenis manusia ini sama-sama merusak agama. Keduanya dikuasai oleh hawa nafsu. Ingin mencari keridhaan nafsunya yang menggebu-gebu, dan mencari-cari keridhaan manusia, yang jauh dari ridha Allah.

Konsisten dengan perintah Allah, kita tidak boleh zalim, meremehkan sebagian kewajiban Islam, dan menyimpang. Firman Allah Swt.:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 143)

Allah telah menetapkan umat ini sebagai saksi yang adil bagi umat manusia, sebagaimana pada masa Rasulullah Saw. Dengan fungsinya itu berarti umat ini menjadi umat terbaik dan paling mulia. Kedudukan umat ini di hadapan manusia bagaikan puncak gunung yang menempati posisi yang paling tinggi.

Akidah tidak mungkin tegak di atas kompromi. Kompromi (dalam perkara ini) merupakan kesesatan yang sebenarnya. Sebab, perkaranya adalah antara cahaya dan kegelapan, antara petunjuk dan kesesatan. Telah dipahami dan ditetapkan sebelumnya bahwa tidak ada musyarri’ selain Allah, dan sesungguhnya tidak ada ganti (alternatif lain) bagi hukum-hukum Allah. Dan Allah sebaik-baik yang menghukumi.

Di balik pemikiran yang dilontarkan Barat tiada lain bermaksud ingin memusnahkan apapun yang menjadi bahaya bagi eksistensi dan imperialismenya.

“Maka karena itu, serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka.” (TQS. asy-Syura [42]: 15)

~ 132 ~

Page 134: Buku Propaganda Ideologi Islam

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api Neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberikan pertolongan.” (TQS. Huud [11]: 112-113)

Sesungguhnya, jiwa kita mengemban kebaikan agama ini, dan sangat menginginkan sekali untuk menjadikan ideologi Islam ini berkuasa. Dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya akan dibuka akal dan hati, untuk menolong agama ini. Sesungguhnya kebaikan yang kita inginkan untuk diri kita, kami sukai pula bagi selain kita, dan kami memohon kepada Allah agar menempatkan nasihat kami ini seperti hujan yang akan menghidupkan jiwa-jiwa. Dan hanya kepada Allah-lah segala tujuan.

Bacaan:Sheikh Ahmad Mahmoud, The Da’wah To Islam, www.khilafah.com

Diolah oleh:Annas I. Wibowo

~ 133 ~