buku modul Imun 2009

144
Edisi Keempat Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung MODUL 7 SISTEM IMUN DAN KULIT BUKU PEGANGAN TUTOR Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Alamat: JL. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang 50112

Transcript of buku modul Imun 2009

Page 1: buku modul Imun 2009

Edisi Keempat

Fakultas KedokteranUniversitas Islam Sultan Agung

MODUL 7SISTEM IMUN DAN KULIT

BUKU PEGANGAN TUTOR

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan AgungAlamat: JL. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang 50112

PO Box 1054/SMTelepon. (024) 6583584

Facsimile: (024) 6594366

Page 2: buku modul Imun 2009

Modul 7 : Sistem Imun dan KulitBuku Modul

Copyright @ by Faculty of Medicine, Islamic Sultan Agung University.

Printed in SemarangFrist printed: 2005

Second printed : 2007Third printed : 2008

Designed by: Iwang yusufCover Designed by: Iwang Yusuf

Published by Faculty of Medicine, Islamic Sultan Agung UniversityAll right reserved

This publication is protected by Copyright law and permission should be obtained from publisher prior to any prohibited reproduction, storage in a retrieval system, or transmission in any form by any means, electronic, mechanical, photocopying, and recording or

likewise

TIM MODUL

Iwang Yusuf

2

Page 3: buku modul Imun 2009

Department of Medical Biology

MasfiyahDepartment of Microbiology

Pasid Harlisa

Department of Dermatology

HestiDepartment of Dermatology

KONTRIBUTOR

Core Disiplin:

1. Medical Biology devision of Immunobiology

2. Biochemistry

3

Page 4: buku modul Imun 2009

3. Microbiology

4. Dermatology

Suplementary disiplin:

a. Anatomy & Histology

b. Parasitology

c. Pathology of Anatomy

d. Clinical Pathology

e. Farmocology

f. Nutrient

g. Internal Medicine

h. Surgery

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum Wr. Wb,

4

Page 5: buku modul Imun 2009

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Rob seluruh

alam yang telah memberikan karunia kepada kami hingga kami

dapat menyelesaikan modul sistem imun dan kulit ini.

Modul Kulit dan Imun ini terdiri dari 5 lembar belajar

mahasiswa yang masing-masing memiliki area kompetensi,

kompetensi inti, komponen kompetensi, dan sasaran pembelajaran

sebagaimana yang diatur dalam STANDAR KOMPETENSI DOKTER

yang ditetapkan oleh Kolegium Kedokteran Indonesia ( KKI ). Tiap

unit belajar berisi Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) dengan

beberapa kegiatan belajar mencakup materi tentang imunologi dan

penyakit kulit. Kegiatan belajar didalamnya berupa diskusi, kuliah,

praktikum dan laboratorium ketrampilan yang meliputi Anamnesis,

pemeriksa klinik, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan dari

triger yang berupa materi tentang Rhematoid Arthritis (RA),

Sistemik Lupus Erythematosus (SLE), HIV AIDS, infeksi jamur pada

kulit dan kelainan pada kelenjar sebacea.

Meskipun sistim imum dan Kulit yang dikenalkan lewat modul

ini hanya berkisar pada 5 lembar belajar mahasiswa di atas, namun

bukan berarti bahwa cakupan masalah berhenti sampai di sini.

Konsultasi, membaca artikel dan jurnal penelitian merupakan

sumber informasi lain yang harus dicari oleh mahasiswa.

Pada saat menggunakan buku ini, mulailah dengan

membaca area kompetensi, kompetensi inti, komponen kompetensi,

dan sasaran pembelajaran masing-masing lembar belajar

mahasiswa, sehingga dapat dipahami cakupan minimal pengajaran

lewat modul ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam

penyusunan modul ini. Oleh karena itu, saran-saran baik dari tutor

maupun dari mahasiswa akan kami terima dengan terbuka.

Semoga modul ini dapat bermanfaat, dan membantu siapa

saja yang membutuhkannya.

Jazakumullhahi khoiro jaza’

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

5

Page 6: buku modul Imun 2009

Tim Penyusun Modul

GAMBARAN UMUM MODUL

Modul Sistem Imun dan Kulit dilaksanakan pada semester 2,

tahun ke 1, dengan waktu 5 minggu. Pencapaian belajar mahasiswa

dijabarkan dengan penetapan area kompetensi, kompetensi inti,

komponen kompetensi, dan sasaran pembelajaran sebagaimana

6

Page 7: buku modul Imun 2009

yang diatur dalam Standar Kompetensi Dokter yang dikeluarkan

oleh Kolegium Kedokteran Indonesia (KKI) .

Modul ini terdiri dari 5 unit dan masing-masing unit berisi Lembar

Belajar Mahasiswa (LBM) dengan beberapa sasaran pembelajaran

dan skenario. Pada modul ini mahasiswa akan belajar tentang

dasar-dasar imunologi dan imunopatologi yang akan mendasari

pengetahuan mahasiswa didalam memahami dasar-dasar

patogenesis penyakit infeksi, degeneratif pada semua organ atau

sistema serta memberi pengetahuan tentang dasar penegakan

diagnosis dan manajemen penyakit kulit.

Yang dipelajari oleh mahasiswa meliputi pengetahuan dasar

kedokteran, pathofisiologi, proses penegakkan diagnosis dan

pengelolaannya. Untuk itu diperlukan pembelajaran keterampilan

tentang anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan

keterampilan prosedural yang diperlukan. Mahasiswa juga akan

mempelajari sikap profesionalisme yang terkait dengan topik diatas.

Modul ini akan dipelajari dengan mengunakan strategi Problem

Based-Learning, dengan metode diskusi tutorial menggunakan

seven jump, kuliah, praktikum laboratorium, dan belajar

keterampilan klinik di laboratorium ketrampilan.

Hubungan dengan modul sebelumnya

1. Telah memahami prinsip-prinsip komunikasi dokter-pasien dan

keluarga yang diberikan pada modul komunoikasi efektif

( modul 2 )

2. Telah memahami konsep Homeostasis, reseptor dan ligan pada

modul Biopsykososial (modul 3)

3. Telah memahami komponen darah yang nantinya berperan

dalam sistim imun pada modul Hematopoetin (modul 6)

Hubungan dengan modul sesudahnya

Diperkuat modul hormonal & metabolisme (8) modul sistim

imun dan kulit ini mempunyai konstribusi mendasari beberapa

materi pada modul Gerak dan muskuloskeletal (9), Sistim

7

Page 8: buku modul Imun 2009

Kardivaskuler (10), Sistim pernafasan (11), Sistim pencernaan (12),

Enterohepatik (13), Penyakit Tropis (14), Saraf dan reseptor sensorik

(15), Sistem urogenetalia (17), Reproduksi (18), Tumbuh Kembang,

geriatri dan degeneratif (20), Penglihatan (22), Pendengaran,

penciuman dan tenggorok (23), dan modul electif obat tradisonal

serta modul Kegawatdaruratan (26).

DAFTAR ISI

Kata

pengatar…………………………………….......................................

....

5

Gambaran umum 7

8

Page 9: buku modul Imun 2009

modul...............................................................................

Hubungan dengan modul

sebelumnya.......................................................

7

Hubungan dengan modul

sesudahnya……………………………….......

8

Daftar

Isi……………………………………………………………...............

9

Learning

Objective..................................................................................

........

10

Pemetaan Pencapaian Learning

Objective..................................................

13

Topik.........................................................................................

........................

16

Topik Tree……………………………………………………………............

17

Materi “masalah”……………………………………………………............

18

Kegiatan

pembelajaran………………………………………………...........

19

Assessment…………………………………………............................

..........

24

Sumber

Belajar…………………………………………………….................

27

Penjabaran Pembelajaran

LBM.....................................................................

28

LBM 1 : Hipersensitifitas (Dermatitis

atopik)............................................

28

LBM 2 : Autoimun

(SLE)...............................................................................

44

LBM 3 : Imunodefisiensi/imunokompromise (HIV-

AIDS)....................

77

LBM 4 : Infeksi jamur

( Tinea ).....................................................................

87

LBM 5 : Penyakit Kelenjar Sebacea 100

9

Page 10: buku modul Imun 2009

( Acne )................................................

Jadwal ......................................................................................

........................

112

LEARNING OBJECTIVEMODUL SISTEM IMUN DAN KULIT

Area 2 : Keterampilan klinis

Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :

1. Mengidentifikasi, memilih dan menentukan prosedur klinis dan

pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan masalah dan

kebutuhan pasien

2. Melakukan prosedur klinis dan laboratorium sesuai kebutuhan

pasien dan kewenangannya

3. Menentukan pemeriksaan penunjang untuk tujuan penapisan

penyakit pada sistem imun dan Kulit

4. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan masalah

pasien

5. Memilih dan melakukan keterampilan terapetik, serta

tindakan prevensi sesuai dengan kewenangannya

Area 3 : Landasan ilmiah kedokteran

Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :

10

Page 11: buku modul Imun 2009

1. Menjelaskan prinsip-prinsip ilmu kedokteran dasar terkait

dengan terjadinya masalah kesehatan

2. Menjelaskan mekanisme patogenesis, patologis dan

patofisiologi suatu masalah dalam Sistem imun dan Kulit.

3. Menjelaskan masalah kesehatan pada Sistem imun dan Kulit

dari tingkat seluler maupun molekuler hingga tubuh manusia

melalui pemahaman mekanisme normal dalam tubuh

4. Menjelaskan mekanisme fisiologis Sistem imun dan Kulit

manusia dalam mempertahankan homeostasis

5. Menjelaskan faktor-faktor yang mendasari kelainan pada

tubuh manusia terkait dengan Sistem imun dan Kulit

( neoplasma, infeksi dan inflamasi, degenerasi, trauma,

herediter, dan kongenital)

6. Menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam

mengelola masalah kesehatan

7. Menjelaskan farmakodinamik dan farmakokinetik obat yang

berkaitan dengan masalah kesehatan

8. Menjelaskan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan dalam

penanganan pasien kasus Sistim imun dan Kulit.

9. Menjelaskan pertimbangan pemilihan intervensi berdasarkan

farmakologi, fisiologi, gizi, ataupun perubahan tingkah laku

10. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber

penyakit, poin-poin patogenesis dan patofisiologis, akibat

yang ditimbulkan, serta resiko spesifik secara efektif

11. Menjelaskan secara rasional/ ilmiah dalam menentukan

penanganan penyakit baik secara klinikal epidemiologis,

farmakologis, fisiologis, diet, olah raga, atau perubahan

perilaku

12. Menjelaskan alasan hasil diagnosis dengan mengacu

pada evidence- based medicine.

Area 4 : Pengelolaan masalah kesehatan

Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :

11

Page 12: buku modul Imun 2009

1. Menjelaskan perubahan proses patofisiologi setelah

pengobatan dalam kasus Sistim imun dan Kulit.

2. Mengidentifikasi berbagai pilihan cara pengelolaan yang

sesuai penyakit pasien Sistim imun dan Kulit.

3. Menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam

mengelola kasus Sistim imun dan Kulit.

4. Mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan

lingkungan sosial sebagai faktor yang berpengaruh terhadap

terjadinya penyakit serta sebagai faktor yang mungkin

berpengaruh terhadap pertimbangan terapi

5. Mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan

lingkungan sosial sebagai faktor risiko terjadinya penyakit dan

sebagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap

pencegahan penyakit

Area 8 : Islam dan disiplin ilmu

Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :

1. Menggali dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam mencari,

menguasai mengkaji dan mengembangkan dan menerapkan

ilmu kedokteran.

2. Melakukan pemeriksaan dan prosedur pelayanan sesuai

dengan masalah pasien dengan senantiasa berlandaskan

pada nilai-nilai dasar Islam dan etika kedokteran Islam.

3. Mampu membaca dan menghafal Al-qur’an dan hadist terkait

dengan topik yang dipelajari

12

Page 13: buku modul Imun 2009

PEMETAAN PENCAPAIAN LEARNING

OBJECTIVE

Learning Objective LBMI II III IV V

Area 2 : Ketrampilan Klinis :

Mampu mengidentifikasi, memilih dan menentukan prosedur klinis dan pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan pasien

√ √ √ √ √

Mampu melakukan pemeriksaan fisik kelainan Kulit

√ √ √

Mampu melakukan prosedur klinis pemeriksaan Hipersensitifitas

Mampu menjelaskan prosedur Laboratorium pemeriksaan ELISA

Mampu menjelaskan susunan sel-sel kulit √Mampu menjelaskan prosedur Laboratorium dan hasil pemeriksaan sel-sel radang

Mampu menjelaskan prosedur Laboratorium dan hasil pemeriksaan sel-sel degeneratif

Menetukan pemeriksaan penunjang untuk jamur dan parasit

√ √

Mampu melakukan ketrampilan terapetik incisi dan drainase

√ √

Mampu menjelaskan prosedur eksterpasi dan nackel ekstraksi

Mampu memilih dan melakukan ketrampilan terapetik injeksi Intrakutan dan Subkutan serta mampu melakukan wound care/dressing

Mampu memilih dan melakukan ketrampilan terapetik meracik obat dan menulis resep

Area 3 : Landasan ilmiah kedokteran

13

Page 14: buku modul Imun 2009

Mampu menjelaskan Komponan imun non spesifik, imun spesifik, antigen

√ √ √

Mampu menjelaskan zat mediator dan imunomodulator

Mampu menjelaskan mekanisme respons imun

Mampu menjelaskan susunan makros dan mikroskopis dari lapisan kulit

Mampu menjelaskan mekanisme Hipersensitifitas, Autoimun dan Imunodefisiensi/imunokompromise

√ √ √

Mampu menjelaskan masalah kesehatan sistim imun melalui masalah Rhematoid arthritis, Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan HIV-AIDS

√ √ √

Mampu menjelaskan manifestasi hipersensitifitas pada Kulit

Mampu menjelaskan mekanisme infeksi dan degeneratif pada kulit dan kelenjar ekrin serta kelenjar sebacea

√ √

Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mendasari kelainan kulit pada infeksi jamur, investasi parasitik dan noplasma kulit.

√ √ √ √ √

Mampu menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam mengelola masalah kesehatan sistim imun dan Kulit

√ √ √ √ √

Mampu menjelaskan farmakodinamik dan farmakokinetik obat yang berkaitan dengan masalah kesehatan Sistim imun dan Kulit

√ √

Mampu menjelaskan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan dalam penanganan pasien kasus Sistim imun dan Kulit.

√ √ √ √ √

Mampu menjelaskan pertimbangan pemilihan intervensi gizi pada masalah Sistim Imun.

Mampu mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, poin-poin patogenesis dan patofisiologis, akibat yang ditimbulkan, serta resiko spesifik secara efektif

√ √ √ √ √

Mampu menjelaskan secara rasional / ilmiah dalam menentukan penanganan penyakit baik secara klinikal epidemiologis, farmakologis, fisiologis, diet, olah raga, atau perubahan perilaku

√ √ √ √ √

Menjelaskan alasan hasil diagnosis dengan mengacu pada evidence- based medicine.

√ √ √ √ √

Area 4 : Pengelolaan Masalah kesehatan

14

Page 15: buku modul Imun 2009

Mampu menjelaskan perubahan proses patofisiologi setelah pengobatan dalam kasus Sistim imun dan Kulit.

√ √ √ √ √

Mampu mengidentifikasi berbagai pilihan cara pengelolaan yang sesuai penyakit pasien Sistim imun dan Kulit.

√ √ √ √ √

Mampu menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam mengelola kasus Sistim imun dan Kulit.

√ √ √ √ √

Mampu mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan lingkungan sosial sebagai faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit serta sebagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap pertimbangan terapi

√ √ √ √ √

Mampu mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan lingkungan sosial sebagai faktor risiko terjadinya penyakit dan sebagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap pencegahan penyakit

√ √ √ √ √

Area 8 : Islam dan disiplin ilmu

Menggali dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam mencari, menguasai mengkaji dan mengembangkan dan menerapkan ilmu kedokteran.

√ √ √ √ √

Melakukan pemeriksaan dan prosedur pelayanan sesuai dengan masalah pasien dengan senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai dasar Islam dan etika kedokteran Islam.

√ √ √

Mampu membaca dan menghafal Al-qur’an dan hadist terkait dengan topik yang dipelajari.

√ √ √ √ √

15

Page 16: buku modul Imun 2009

TOPIK

1. Sistim Imun

1.1. Fisiologis

Komponen Imun Non Spesifik

Komponen Imun Spesifik

Respons Imun

Antigen

1.2. Patologis

Hipersensitifitas

Autoimun

Imunodefisiensi/imunokompromise

1.3. Imunodiagnosis

Hipersensitifiti Test

ELISA

1.4. Imunoterapi

Antihistamin

Antiinflamasi

Imunostimulan

2. Penyakit Kulit

Anatomi dan Histologi Kulit

Makros dan mikroskopis Susunan Kulit

16

Page 17: buku modul Imun 2009

Patologis

Infeksi jamur pada Kulit

Infeksi bakteri pada kulit

Investasi parasit pada Kulit

Kelainan pada kelenjar ekrin dan sebacea (Acne

vulgaris dan Milliaria)

TOPIC TREE

17

Modul 7; Sistim Imun & Kulit

Imunologi

FisiologisPatologis

Imunodiagnosis

ImunoterapiImunnonspesifik

Imunspesifik

Antigen

Respons ImunHipersensitifitas

Autoimun

Imunodefisiensi/Imunokompromis

e

Dermatitis Atopi

SLE

HIV-AIDS Hipersensitifitas-Test

ELISA

AntiHistamin

AntiInflamasiImunostimulan

Dermatologi

Fisiologis Patologis

Page 18: buku modul Imun 2009

MATERI “MASALAH”

1. Hipersensitivitas

2. Autoimmne disorder

3. Imunodefisiensi

4. Infeksi kulit

5. Kelainan adneksa kulit

18

Makros Jar. Kulit

Mikros Jar. KulitInfeksi Kulit

Jamur Parasit

Kelainan Kelj. Ekrin & Sebacea

Bakteri

Page 19: buku modul Imun 2009

KEGIATAN PEMBELAJARAN

Pada modul ini akan dilakukan kegiatan belajar sebagai berikut:

a. Tutorial

Tutorial akan dilakukan 2 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan

tutorial berlangsung selama 100 menit. Jika waktu yang

disediakan tersebut belum mencukupi, kelompok dapat

melanjutkan kegiatan diskusi tanpa tutor di open space area

yang disediakan. Keseluruhan kegiatan tutorial tersebut

dilaksanakan dengan menggunakan seven jump steps. Seven

jump steps itu adalah:

1. Jelaskan terminologi yang belum anda ketahui

2. jelaskan masalah yang harus anda selesaikan

3. analisis masalah tersebut dengan brainstorming agar

kelompok memperoleh penjelasan yang beragam mengenai

fenomena yang didiskusikan.

4. cobalah untuk menyusun penjelasan yang sistematis

mengenai fenomena/ masalah yang diberikan kepada

anda.

5. susunlah persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan

dalam diskusi tersebut menjadi tujuan pembelajaran

kelompok (learning issue/learning objectives)

6. Lakukan belajar mandiri untuk mencari informasi yang anda

butuhkan guna menjawab learning issues yang telah anda

tetapkan.

19

Page 20: buku modul Imun 2009

7. Jabarkan temuan informasi yang telah dikumpulkan oleh

anggota kelompok, sintesakan dan diskusikan temuan

tersebut agar tersusun penjelasan yang komprehensif

untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah.

Aturan main tutorial:

Pada tutorial 1, langkah yang dilakukan adalah 1-5. Mahasiswa

diminta untuk menjelaskan istilah yang belum dimengerti pada

skenario “masalah”, mencari masalah yang sebenarnya dari

skenario, menganalisis masalah tersebut dengan mengaktifkan

prior knowledge yang telah dimiliki mahasiswa, kemudian dari

masalah yang telah dianalisis lalu dibuat peta konsep (concept

mapping) yang menggambarkan hubungan sistematis dari

masalah yang dihadapi, jika terdapat masalah yang belum

terselesaikan atau jelas dalam diskusi maka susunlah masalah

tersebut menjadi tujuan pembelajaran kelompok (learning issue)

dengan arahan pertanyaan sebagai berikut: apa yang kita

butuhkan?, apa yang kita sudah tahu? Apa yang kita harapkan

untuk tahu?

Langkah ke 6, mahasiswa belajar mandiri (self study) dalam

mencari informasi

Pada tutorial 2, mahasiswa mendiskusikan temuan-temuan

informasi yang ada dengan mensintesakan agar tersusun

penjelasan secara menyeluruh dalam menyelesaikan masalah

tersebut.

b. Kuliah Pakar

Ada beberapa aturan cara kuliah dan format pengajaran pada

problem based learning. Problem based learning menstimulasi

mahasiswa untuk mengembangkan perilaku aktif pencarian

pengetahuan. Kuliah mungkin tidak secara tiba-tiba berhubungan

dengan belajar aktif ini, Namun demikian keduanya dapat

memenuhi tujuan spesifik pada PBL. Adapun tujuan kuliah pada

modul ini adalah:

20

Page 21: buku modul Imun 2009

a. Menjelaskan gambaran secara umum isi modul, mengenai

relevansi dan kontribusi dari berbagai disiplin ilmu yang

berbeda terhadap tema modul.

b. Mengklarifikasi materi yang sukar. Kuliah akan lebih

maksimum efeknya terhadap pencapaian hasil ketika pertama

kali mahasiswa mencoba untuk mengerti materi lewat diskusi

atau belajar mandiri.

c. Mencegah atau mengkoreksi adanya misconception pada

waktu mahasiswa berdiskusi atau belajar mandiri.

d. Menstimulasi mahasiswa untuk belajar lebih dalam tentang

materi tersebut.

Agar penggunaan media kuliah dapat lebih efektif disarankan

agar mahasiswa menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak

dapat dijawab atau kurang jelas jawabannya pada saat diskusi

kelompok agar lebih interaktif.

Adapun materi kuliah yang akan dilaksanakan sebagai berikut:

a. Minggu 1

a.1. Overview Respon Imunn (Biologi)

a.2.Overview Dermatitis, Management dermatitis

atopik(Dermatologi)

a.3. Overview Aplikasi Klinis Reaksi Hipersensitivitas

a.4. Pemeriksaan Penunjang DKA (Dermatologi)

a.5. Konsep Konsumsi Halalan Toyiban Kaitannya dengan

Reaksi Hipersensitifitas (gizi)

b. Minggu 2

b.1. Overview Zat-zat Mediator dan Imunomodulator

(Biokimia)

b.2. Manifestasi SLE pada Kulit dan

b.3. Penyakit Bula Autoimun (Dermatologi)

b.4. Overview penyakit autoimun (Penyakit Dalam)

b.5.Manfaat Sholat (tahajud) dalam Proses Homeostatis

Modulasi Respons Imun

c. Minggu 3

21

Page 22: buku modul Imun 2009

c.1. Overview Farmakologi Obat-obat Imunostimulan , Anti

Inflamasi , Anti Histamin (farmakologi)

c.2. Gizi dan Mikronutrien pada Sistem Imun (Gizi)

c.3. Penanggulangan Epidemic dan Dampak Social HIV/AID

(Ilmu Kesehatan Masyarakat)

c.4. Overview Penyakit Imunodefisiensi (Penyakit dalam)

c.5. Islamic Lifestyle dalam Mencegah HIV-AIDS

d. Minggu 4

d.1. Aspek mikrobiologi bakteri gram positif pembentuk

nanah (Stafilokokus, Streptokokus), Sifat, morfologi,

eksotoksin, endotoksin, patogenesitas (mikrobiologi)

d.2. Overview Penyakit Infeksi Kulit (pioderma primer)

d.3. Aspek mikrobiologi jamur (sifat, morfologi,

patogenesitas mikosis superfisial (Dermatophyta dan non

Dermathophyta)dan Candida)

d.4. Overview Penyakit Kulit Eritropapuloskuamosa dan

Psoriasis vulgaris (Dermatologi)

d.5. Farmakologi obat anti jamur Golongan azole,

griseofulvin, dan alilamin

d.6. Konsep Thaharoh dalam Mencegah Penularan Penyakit

Kulit

e. Minggu 5

e.1. Milaria dan Hidradenitis Supurativa (Dermatologi)

e.2. Kelainan Kuku dan Rambut (Dermatologi)

e.3. Struktur Appendik Kulit (Dermatologi)

e.4. Adab menghadapi penderita penyakit menular

c. Praktikum

Tujuan utama praktikum pada PBL adalah mendukung proses

belajar lewat ilustrasi dan aplikasi praktek terhadap apa yang

mahasiswa pelajari dari diskusi, belajar mandiri, dan kuliah.

Alasan lain adalah agar mahasiswa terstimulasi belajarnya lewat

penemuan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar.

22

Page 23: buku modul Imun 2009

Adapun Praktikum yang akan dilaksanakan adalah:

a. Minggu 1

a.1. Organ limfoid sekunder (Histologi)

a.2. -

b. Minggu 2

b.1. Patologi anatomi reaksi inflamasi (PA)

b.2. Identifikasi sel imun (Biologi)

c. Minggu 3

c.1. Imunohistokimia (PA)

c.2. Imunodiagnosis (PK)

d. Minggu 4

d.1. Pemeriksaan KOH (Mikrobiologi)

d.2. Scabies dan pediculosis (Parasitologi)

e. Minggu 5

e.1. Menulis resep dan meracik obat kulit (Farmakologi)

e.2. –

d. Latihan keterampilan medik di Skills Laboratory

Tujuannya adalah menyiapkan mahasiswa dalam ketrampilan

yang mendukung pembelajaran pada sistem reproduksi dengan

menggunakan simulasi pasien dan manekin sebagai media ajar

guna kelangsungan proses pembelajaran di klinik . Mahasiswa

diharapkan mampu menguasai tekhnik secara lege artis,

sistematis dan terintegrasi. Adapun ketrampilan yang harus

dikuasai adalah:

a. Minggu 1

a.1. Prick test dan pacth test (THT)

a.2. -

b. Minggu 2

b.1. UKK Primer Sekunder

b.2. UKK Dermatitis

c. Minggu 3

23

Page 24: buku modul Imun 2009

c.1. Injeksi sub cutan, injeksi intra muskuler, injeksi intra vena c.2. -

d. Minggu 4

d.1. Insisi dan drainase

d.2. -

e. Minggu 5

e.1. Naegle ekstraksi

e.2.-

ASSESSMENT

Assessment knowledge :

Assessment tutorial : bobot (20 % dari total nilai akhir

knowledge)

Difungsikan untuk menilai performance mahasiswa dalam kegiatan

tutorial SGD maupun kegiatan praktikum. Beberapa hal yang dinilai

dalam penilaian harian ini adalah : kehadiran, keaktifan, dan

kesiapan materi. Bagi mahasiswa yang berhalangan hadir karena

sakit dengan menyampaikan surat ijin atau mengikuti kegiatan

kemahasiswaan , wajib meminta tugas kepada tim modul sebagai

pengganti kegiatan tutorial atau kegiatan praktikum yang

ditinggalkan tersebut.

Assessment kegiatan praktikum 10 % dari total nilai akhir

knowledge. Difungsikan untuk menilai kehadiran, keaktifan

mahasiswa, kerjasama kelompok, serta pengetahuan siswa pada

setiap kegiatan praktikum.

Assessment tengah modul dilakukan pada pertengahan

pelaksanaan modul (bobot 20 % dari total nilai akhir knowledge).

24

Page 25: buku modul Imun 2009

Ujian tengah modul bertujuan untuk mengetahui ketercapaian

sasaran pembelajaran LBM yang telah dilalui, yang berhubungan

dengan pengetahuan (knowledge). Oleh karena itu ujian dilakukan

dalam bentuk tertulis.

1. Siswa dapat mengikutinujian susulan tengah modul jika

memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Mengikuti 80 % dari keseluruhan SGD

b. Mengikuti 100 % dari keseluruhan praktikum

c. Mengikuti 100 % dari keseluruhan skill lab

d. Mengikuti 75 % dari keseluruhan kuliah

Siswa yang meninggalkan ujian tengah modul, dapat

mengikuti ujian susulan tengah modul jika memenuhi

persyaratan untuk mengikuti ujian

Tata cara permohonan ujian susulan dilaksanakan

sebagaimana yang berlaku yakni siswa mengajukan

permohonan kepada dekan dilampiri alasan

ketidakhadirannya pada ujian tersebut, selanjutnya surat

permohonan ujian susulan dikeluarkan oleh MEU untuk

disampaikan kepada tim modul terkait

Jika mahasiswa tidak mengikuti ujian tengah modul maka nilai

tengah modul dinyatakan nol

2. Apabila mahasiswa berhalangan hadir pada kegiatan SGD,

praktikum, dan Skill lab, maka mahasiswa harus :

a. Memberikan surat ijin ketidakhadiran pada kegiatan

tersebut

b. Mengganti kegiatan SGD dengan tugas dari tim modul,

untuk penggantian tersebut mahasiswa harus

berkoordinasi dengan tim modul

c. Mengganti kegiatan praktikum pada hari lain, untuk

penggantian tersebut mahasiswa harus berkoordinasi

dengan bagian

25

Page 26: buku modul Imun 2009

d. Mengganti kegiatan skill lab pada hari lain, untuk

penggantian tersebut mahasiswa berkoordinasi dengan tim

modul

e. Selain tugas pengganti SGD dan mahasiswa mengikuti

kegiatan pengganti praktikum dan skill lab maka

mahasiswa dinyatakan telah mengikuti kegiatan 100 %

Assessment akhir modul dilakukan pada akhir modul (bobot 50%

dari total nilai akhir knowledge)

Diselenggarakan menyesuaikan dengan jadual yang telah disusun

MEU. Bentuk ujian berupa ujian tulis dengan tujuan pembelajaran

yang harus dikuasai oleh siswa. Tujuan assesmen akhir modul

adalah untuk mengetahui ketercapaian seluruh sasaran

pembelajaran, baik knowledge, skill, maupun attitute yang dipelajari

dalam modul tersebut. Ketentuan yang berlaku bagi ujian tengah

berlaku pula bagi ujian akhir modul

Assessment Skill

Nilai skill diambil dari :

Kegiatan skill lab harian : 25 % dari total nilai akhir skill

Kegiatan OSCE : 75 % dari total nilai akhir skill

Kegiatan OSCE didasarkan pada kelulusan tiap station. Jika tidak

lulus pada station tertentu , mahasiswa diwajibkan mengulang dan

nilai skill belum dapat dikeluarkan sebelum mahasiswa lulus skill

tersebut. Pelaksanaan ujian ulang OSCE diatur oleh MEU dan Tim

Modul, dengan biaya yang akan ditentukan selanjutnya. Perhitungan

nilai akhir modul adalah :

(Nilai total kognitif X SKS kognitif) + (Nilai total skill X SKS skill)

SKS Modul

Standar kelulusan ditetapkan dengan Judgment Boderline

26

Page 27: buku modul Imun 2009

Sumber Belajar

1. Essesnsial Immunology, Ivan Roitt’s.et al.,

2. Imunologi III, Bellanti.,et al

3. Imunologi Dasar, Karnen Barata Wijaya

4. Molecular dan Cellular Immunology, Abul K. Abbas.,et al.

5. Medical Immunology, Daniel P. Stites.,et al.

6. Djuanda S, Sularsito S Adi, ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai

Penerbit FKUI, 2007

7. Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Atlas berwarna. Penerbit buku

Kedokteran, EGC. 2005

8. Wolff Klaus, Johnson RA, Suurmond Dick. Disorders of sebaceous

and apocrine glands. Dalam Fitzpatrick : Color atlas and synopsis

of clinical dermatology fifth edition, McGraw-Hill, 2005

9. Strauss John, Plewig G, Kerr Rebecca Er. Disorders of epidermal

appendages and related disorders. Dalam Fitzpatrick:

Dermatology in general medicine, sixth edition, McGraw-Hill 2005

10. Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology, thirdth ed.

Philadelphia: W. B. Saunders, 1992.

11. Color Atlas and Synopsis Of Clinical Dermatology . Thomas B

Fitzpatrick MD et all edisi 4.

27

Page 28: buku modul Imun 2009

12. Dermatomikosis superfisialis pedoman untuk dokter dan

mahasiswa kedokteran. Unandar Budimulja dkk. Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001

13. Penyakit Jamur Kulit. Dr. R.S Siregar Lab I. Penyakit Kulit dan

Kelamin FK UNSRI / RSU Palembang. 1995

14. Dermatology in general medicine. Fitzpatrick et all edisi 5/6

PENJABARAN PEMBELAJARAN LBM

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 1

(LBM 1)

b. Judul:

Gatal di kulit

c. Sasaran Belajar:

1. Melakukan pemeriksaan prict test , patch test, test alergi

2. Menjelaskan histologi organ limfoid primer (timus dan

sumsum tulang)

3. Menjelaskan fisiologi organ limfoid primer (timus dan sumsum

tulang)

4. Menjelaskan histologi organ limfoid sekunder yang meliputi

kulit, sistem mukosa saluran napas, gut associated limphoid

tissue, peyer`s patch, Waldeye`s ring, kelenjar getah bening,

lien

5. Menjelaskan fisiologi organ limfoid sekunder yang meliputi

kulit, sistem mukosa saluran napas, gut associated limphoid

tissue, peyer`s patch, Waldeye`s ring, kelenjar getah bening,

lien

6. Menjelaskan Innate Immunity (Imunitas bawaan)

28

Page 29: buku modul Imun 2009

7. Menjelaskan pemrosesan dan presentasi antigen

8. Menjelaskan perkembangan limfosit B dan T

9. Menjelaskan immunitas seluler

10. Menjelaskan immunitas humoral

11. Menjelaskan respon imun pada tubuh manusia

12. Menjelaskan macam- macam reaksi

hipersensitivitas

13. Menjelaskan imunopatogenesis macam- macam

reaksi hipersensitivitas

14. Menjelaskan etiologi dermatitis atopik

15. Menjelaskan patofisiologi dermatitis atopik

16. Menjelaskan gejala dan tanda dermatitis atopik

17. Menjelaskan pemeriksaan lab dasar dan penunjang

terkait masalah dermatitis atopik

18. Menjelaskan diferential diagnosis dermatitis atopik

19. Menjelaskan alasan hasil penegakan diagnosis terhadap

dermatitis atopik

20. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan

dermatitis atopik serta alasan pemilihan penanganan tersebut

21. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

dermatitis atopik

22. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan

dermatitis atopik serta alasan pemilihan penanganan tersebut

23. Menjelaskan prinsip dasar keputusan pengelolaan

pasien dermatitis atopik

24. Menjelaskan penyakit-penyakit kulit akibat reaksi imune

(Eczematous dermatitis, allergic skin disease)

25. Menjelaskan konsep konsumsi halalan toyiban kaitannya

dengan reaksi hipersensitivitas

29

Page 30: buku modul Imun 2009

SKENARIO

Kata Kunci: Gatal, bengkak, warna kulit memerah, makan ikan laut, obat CTM, Prick Test Masalah:Hipersensitivitas

30

Gatal di Kulit

Seorang Laki-laki usia 30 tahun datang ke tempat praktek dokter praktek umum yang buka pada sore hari, karena tidak kuat menahan rasa gatal pada ke dua punggung kaki yang dirasakan sejak siang hari. Gatal pada punggung kaki disertai bengkak dan warna kulit sekitarnya memerah, terasa panas dan perih akibat luka garukan, gatal timbul pada ke dua punggung kaki secara bersamaan. Hasil anamnesis diketahui bahwa penderita pada saat makan siang, makan di warung dengan lauk pauk ikan laut. Penderita sudah minum obat CTM membaik sebentar tetapi kemudian muncul kembali. Buang air kecil tidak ada kelainan, buang air besar tidak ada kelainan, pernafasan dan jantung tidak ada kelainan. Ibu penderita dulu juga sering menderita gatal-gatal dan bentol-bentol apabila makan udang. Oleh dokter diusulkan pemeriksaan penunjang prick test.

Page 31: buku modul Imun 2009

d. Konsep map

e. Materi

Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar

untuk menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang

bertujuan mencapai kompetensi sasaran belajar)

ANTIGEN adalah suatu substansi yang menjadi target suatu

respons imun yang dapat dikenali dan diikat oleh antibody (Ig)

maupun reseptor sel T (TCR). Bagian antigen yang berikatan

langsung dengan Fab dari Antibodi dan TCR disebut Antigenik

Deterniman atau EPITOP. Ada 2 macam EPITOP, yaitu linier

31

Antigen/Immunoge

n

Hipersensitivitas

Respons Imun

Imun non Spesifik

Imun spesifik

UKK

Struktur Ant&Histo Kulit

Gatal

Sistim Saraf

Antihistamin

Macam2 Penyakit Hipersensitifitas

Page 32: buku modul Imun 2009

epitop dan komformational epitop; Komformational epitop

adalah 1 epitop yang tersusun atas konfigurasi beberapa linier

epitop dan apabila mengalami denaturasi akan berubah menjadi

linier beberapa linier epitop.

(Sumber : Abbas et al.,2000)

Antigen yang dapat menginduksi suatu respons imun disebut

IMUNOGEN sedangkan antigen yang tidak dapat menginduksi

respons imun disebut HAPTEN.

MACAM ANTIGEN :

Menurut asalnya; Antigen eksogen yaitu yang berasal dari

mikroba dan bahan-bahan kimia. Antigen Endogen yaitu Human

Leukocyte Antigen (HLA) atau Major Histocompatibility Complexs

(MHC) yaitu antigen permukaan yang ada pada sel-sel dan

Tumor Antigen. HLA/MHC ada 2 macam Yaitu HLA/MHC Klas I

yang diekspesikan oleh seluruh sel yang mempunyai inti sel; dan

HLA/MHC klas II yang diekspresikan oleh sel imunokompeten.

Sedangkan Tumor antigen adalah antigen yang berasal dari sel

tubuh yang mengalami perubahan sehingga antigennya berubah

dari Self Antigen menjadi Non Self Antigen. Menurut Susunan

Kimia; adalah Macromolekul seperti protein, karbohidrat,

phospholipids dan Asam Nukleat. Metabolit lainnya seperti

Glikogen, lipid, aotocoid dan hormon. (Abbas et al., 2000; Stites

et al.,1997).

Gatal atau itch atau pruritus adalah suatu sensasi yang

merangsang kita untuk menggaruk daerah tersebut dan

merupakan suatu simtom dominan pada kelainan kulit.

32

Page 33: buku modul Imun 2009

(Pirouzi,2002). Sensasi gatal dapat timbul apabila terjadi

rangsangan baik makanik maupun kimiawi terhadap reseptor

gatal. Reseptor gatal adalah akhiran saraf yang tidak bermyelin

dan tidak spesifik dari serabut saraf yang ditemukan pada

daerah dekat antara dermal dan epidermal junction yang

ditemukan sejak tahun 1950 (bernhard,1991). Bahan atau

mediator kimia serta rangsangan fisik dapat menyebabkan gatal

dan ditemukan merangsang ujung saraf bebas yang terdapat

pada dermo-epidermal juncta (Sheley and Arthur,1957). Pola

gatal dari orang satu ke orang lain sangatlah berbeda, bahkan

sensasi gatal pada seseorang juga tidak sama walaupun di

bero rangsang gatal yang sama ( Bernhard,1992). Rangsangan

gatal kemudian disalurkan atau dipancarkan ke cornu dorsalis

medulla spinalis pada sisi yang berlawanan, menyilang garis

tengah kemudian naik ke traktus contra-lateral spinothalamic

kemudian ke thalamus dan berakhir pada cornu sensorik otak

pada cortex cerebri. Rangsangan gatal ditransmisikan oleh

serabut C tidak bermyelin ( Unmyelinated nociceptor C fiber ).

Walaupun rangsangan gatal melewati jalur yang sama seperti

jalur nyeri, tapi ada perbedaan jarak antara rangsangan gatal

yang unik pada titik gatal tadi dengan rangsangan nyeri.

Stimulasi listrik menyokong teori ini (Tuckett,1982 dalam

Bernhard,1992). Rangsangan nyeri menimbulkan reflek tarik diri

(withdrawal reflex), rangsangan gatal merangsang untuk

menggaruk. Penelitian terakhir dengan menggunakan “

functional positron emission tomography” menunjukkan induksi

gatal di kaki dengan “histamin iontophoresis” terjadi kenaikan

fokus dalam aktivitas metabolisme di area contra-lateral gyrus

cinguli anterior (area Brodman 24) (Greaves,2000).

33

Page 34: buku modul Imun 2009

Proses Inflamasi adalah suatu reaksi tubuh mikrosirkuler yang

bersifat lokal terhadap benda atau zat-zat yang membahayakan

tubuh dengan tujuan perbaikan. Warna kemerahan ( rubor )

terjadi lebih dahulu oleh karena pada proses inflamasi awal

terjadi vasodilatasi kapiler yang meningkatkan aliran darah

setempat sehingga terjadi peningkatan suhu ( calor ),

kemudian terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah

yang berakibat eksudasi plasma (cairan darah) kejaringan

sekitarnya dan terjadi pembengkakan ( tumor ). Bila massa

tersebut menekan saraf maka akan timbul rasa nyeri ( dolor )

yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi

( fungsiolaesa ).

Hypersensitivity reactions are the result of normally beneficial

immune responses acting inappropriately, and sometimes cause

inflammatory reactions and tissue damage (Roitt, et al. 1998).

Reaksi alergi atau hipersensitivitas timbul apabila individu

terpapar oleh suatu alergen.

Alergen adalah Antigen (benda Asing) atau suatu substansi yang

tak dikenal oleh sistim imun spesifik yang dapat menimbulkan

respon imun alergi. Hal ini dapat terjadi apabila individu tersebut

secara genetik mempunyai kemampuan untuk memproduksi

antibodi dari kelas IgE dalam jumlah yang cukup setelah

34

Page 35: buku modul Imun 2009

terpapar oleh alergen dalam jumlah yang sedikit (stites,1997;

Roitt,1998).

Coombs and Gell membedakan reaksi hipersensitivitas menjadi

4 tipe ;

- Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga Immediate

Hipersensitivity atau Anaphylactic reaction terjadi apabila

alergen direspon atau diikat oleh antibodi dari kelas IgE dimana

IgE ini mempunyai aktivitas biologi mampu mengaktivkan sel

mast sehingga sel mast mengalami degranulasi melepaskan

mediator-mediator inflamasi terutama adalah Histamin

sehingga terjadi reaksi inflamasi dan dapat menyebabkan

kerusakan jaringan.

- Hipersensitivitas tipe II yang disebut juga dengan ADCC

Reaction ( Antibody Dependent Cell Cytotoxic ), pada

reaksi ini yang berperan dalam mengikat alergen adalah

Antibodi dari kelas IgG atau IgM dimana aktivitas biologi dari

kedua antibodi tersebut adalah dapat mengaktivkan sel Killer

untuk melakukan aktivitas fagosit atau juga dapat

mengaktivkan reaksi komplement untuk melakukan aktivitas

sitolisis.

- Hipersensitivitas tipe III disebut juga dengan immune

complexes reaction merupakan reaksi hipersensitivitas yang

terjadi akibat penumpukan antibodi pada jaringan dimana

terdapat alergen sehingga terjadi reaksi komplek imun yang

dapat mengaktifkan reaksi complement dan dapat merusak

jaringan tersebut.

- Hipersensitivitas tipe IV atau disebut juga Delayed Type

Hipersensitivity (DTH) berbeda dengan tiga tipe hipersensitivity

sebelumnya dimana pada tipe IV ini mediator yang berperan

bukan respon imun humoral (Antibodi) tetapi respon imun

seluler. Pada tipe IV ini alergen diikat oleh reseptor sel T (TCR)

kemudian sel limfosit T yang teraktivasi melepas mediator

humoral yang berupa Cytokine yang dapat mengaktivkan sel

35

Page 36: buku modul Imun 2009

pagosit seperti makrofag untuk melepas mediator inflamasi dan

melakukan aktivitas fagositosis. (Abbas et al.,2000;Stites et

al.,1997;Roitt’s,1997; Roitt et al.,1998)

Roitt et al.,1998

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I terdapat manifestasi bentuk

Wheal and Flare yang merupakan “ Late Phase Reaction “ dari

yang tampak setelah 2 – 4 jam setelah terpapar oleh alergen

dan berangsur angsur menghilang setelah 24 jam. Hal tersebut

dapat terjadi oleh karena pada degranulasi dari sel mast terjadi

pelepasan mediator-mediator inflamasi diantaranya adalah

Cytokine Tumor Necrosis Factor (TNF) yang dapat dapat

menginduksi sel endothel untuk mengekspresikan “leukocyte

adhesion molecules”, seperti E-Selectin, Intercelluler Adhesion

Molecule-1 (ICAM-1) yang dapat menyebabkan bermigrasinya sel

PMN dari intravaskuler ke jaringan sehingga dapat

menyebabkan oedema lokal (Wheal) serta adanya vasodilatasi

karena pengaruh dari Histamin menyebabkan warna kemerahan

(Flare). (Stites et al.1997)

36

Page 37: buku modul Imun 2009

(sumber : Roitt,1998)

(sumber : Roitt,1998)

Pada Hipersensitifitas tipe II terjadi aktivasi sel pagosit.

Sel pagosit adalah sel yang mempunyai kemampuan untuk

melakukan pinositosit (engulfment) suatu antigen. Yang

termasuk sel pagosit ini adalah sel denditrik yang ada di lapisan

kulit dan organ limfoid, monosit yang ada dicairan darah dan

makrofag yang terdapat pada jaringan.

37

Page 38: buku modul Imun 2009

Proses pagositosit sebagaimana yang diterangkan dalam

gambar dibawah.

Pada Hipersensitifitas tipe III terjadi aktivasi complement.

Komplement adalah protein yang dihasilkan di hepar yang

berperan dalam peristiwa sitolisis, inflamasi dan opsonisasi.

Aktifasi complement ada 2 jalur yaitu jalur klasik dan jalur

alternative. Jalur klasik dimulai dari aktifasi komponen

komplemet C1 oleh Antgen-antibodi komplek ( Ag-Ab Complex).

Sedangkan aktifasi jalur alternative dimulai dari komponen

complement C3 oleh properdin dan factor D.

38

Page 39: buku modul Imun 2009

(sumber : Abbas et al.,2000)

Pada Hipersensitifitas tipe IV terjadi reaksi antara Alergen

(antigen) dengan sel T/ limfosit T kemudian mengaktifkan

aktifitas cytotoxic dan pagositosis

Sistim imun ada 2 macam yaitu SISTIM IMUN NON SPESIFIK DAN

SISTIM IMUN SPESIFIK.

Perbedaan utama dari kedua sistim imun tersebut adalah

kemampuannya untuk mengenali Antigen dan kemampuan

untuk membentuk memoriterhadap antigen tersebut.

39

Page 40: buku modul Imun 2009

Sistim Imun Non Spesifik adalah :

Innate (natural) immunity refers to any inborn resistance that is

present the first time a pathogen is encountered; it does not

require prior exposure and is not modified significantly by

repeated exposures to the pathogen over the life of an

individual.

Mekanisme Imun Non Spesifik :

External barriers against infection

Phagocytic cells kill microorganisms

Humoral or Soluble mediator mechanism provide a second

defensive strategy. (Abbas et al.,2000;Stites et

al.,1997;Roitt’s,1997; Roitt et al.,1998)

Sistim Imun Spesifik adalah : Sistim imun yang mempunyai ciri

atau sifat sebagaimana berikut :

Mempunyai SPECIFICITY; yaitu kemampuan untuk

mengenal dan membedakan antigen/imunogen

Mampu membedakan SELF AND NONSELF; yaitu

kekmampuan untuk membedakan protein atau molekul

milik sendiri atau benda asing.

Mampu membentuk MEMORY; yaitu kemampuan untuk

mengenali pemaparan antigen yang pertama kali

sehingga pada pemaparan berikutnya sistim imun ini

sudah siap mengeliminasi antigen

(Abbas et al.,2000;Stites et al.,1997;Roitt’s,1997; Roitt et

al.,1998)

Deferensiasi sel T

Sel T (limfosit T) adalah limfosit yang proses maturasinya terjadi

di kelenjar thymus, setelah disensitisasi oleh antigen sel T ber

deferensiasi menjadi sel T h (T Helper/CD4+), sel T sitotoksik

(CTL/CD8+) dan Sel T regulator (Treg).

40

Page 41: buku modul Imun 2009

(sumber : Abbas et al.,2000)

Deferensiasi Sel B

Immunoglobulin (antibody) adalah protein fraksi globulin yang

disekresi oleh sel plasma yang merupakan deferensiasi dari sel B

(limfosit B) yang telah tersensitisasi oleh antigen. Struktur

41

Page 42: buku modul Imun 2009

immunoglobulin terdiri dari 2 rantai ringan (L chain) dan 2 rantai

berat (H chain) masing rantai mempunyai variabel region dan

constant region. Immunoglobulin mempunyai 2 Fab dan 1 Fc.

Imunoglobulin ada 5 kelas yaitu IgM, IgG, IgA, IgE dan IgD.

Deferensiasi sel B menjadi sel Plasma dan sekresi Imunoglobulin

Struktur Imunoglobulin

f. Pertanyaan minimal yang dikuasai

1. Apakah pengertian dari benda asing atau Antigen ? dan

jelaskan macam-macam antigen.

2. Apa yang disesbut Gatal dan Bagaimana sensasi gatal dapat

timbul ?

3. Apakah reaksi inflamasi itu?

42

Page 43: buku modul Imun 2009

4. Ada berapa macam sistim imun?

5. Apakah reaksi hipersensitifitas itu dan bagaimanakah

terjadinya?

6. Macam-macam reaksi hipersentifitas ?

7. Macam-macam pemeriksaan penunjang untuk reaksi

hipersenstifitias?

Daftar pustaka

- Arthur C. Guyton,1976. Fisiologi Kedokteran Edisi 5 Bagian

2,EGC,Jakarta,Hal 143

- Daniel P. Stites,Abba I. Terr, Tristram G. Parslow.,1997.Medical

Immunology 9th edition,Appleton&Lange,USA,pp : 187

- Ivan Roitt,Jonathan Brostoff,David Male.,1998. Immunology 4th

edition.Mosby,Barcelona,pp : 22.1 – 25.12

- Abul K. Abbas,Andrew H. Lichtman,Jordan S.

Pober.,2000.Cellular and Molecular Immunology 4th

edition.,Saunders,USA,pp : 424-44

- Ganong,1979 Fisiologi Kedokteran Hal : 93

- Junquiera, 1991 Histologi Umum Hal :191

- Andokoprawiro Atmojo,1978 Patologi Umum Hal 15

- CD Imunologi dasar

43

Page 44: buku modul Imun 2009

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 2

(LBM 2)

a. Judul:

Autoimmune dissorder

b. Sasaran Belajar

1. Menjelaskan sifat dan macam antigen (imunogen)

2. Menjelaskan proses injuri jaringan pada reaksi inflamasi

3. Mampu mengidentifikasi sel-sel imun yang berperan pada

proses injury jaringan

4. Menjelaskan konsep self tolerance

5. Menjelaskan mekanisme kehilangan self tolerance

6. Menjelaskan mekanisme autoimun

7. Menjelaskan Major Hystocompatibelity Complex

(MHC) atau Human Leukocyte Antigen (HLA)

8. Menjelaskan penyakit-penyakit autoimun

44

Page 45: buku modul Imun 2009

9. Menjelaskan etiologi penyakit-penyakit autoimun

10. Menjelaskan gejala dan tanda penyakit-penyakit

autoimun

11. Menjelaskan pemeriksaan lab dasar dan

penunjang terkait masalah penyakit-penyakit

autoimun

12. Menjelaskan alasan hasil penegakan diagnosis

terhadap penyakit-penyakit autoimun

13. Menjelaskan Faktor-faktor yang berpengaruh

pada penyakit-penyakit autoimun

14. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan

penyakit-penyakit autoimun serta alasan pemilihan

penanganan tersebut

15. Menjelaskan prinsip dasar keputusan pengelolaan

pasien autoimun

16. Menjelaskan penyakit penyakit bula autoimun

17. Melakukan identifikasi UKK primer maupun sekunder

18. Melakukan identifikas UKK dermatitis

19. Menjelaskan manfaat sholat (tahajud) dalam proses

homeostatis modulasi respons imun

SKENARIO

45

Seorang wanita usia 35 tahun datang ke Klinik dokter praktek umum. Penderita mengeluh sejak pulang dari berlibur dipantai kute Bali 3 hari yang lalu timbul bercak merah di wajah yang tidak mau hilang disertai bengkak dan sakit pada beberapa sendi di jari-jari tangan. Pada anamnesa diketahui sejak setengah tahun yang lalu penderita sering merasa kelelahan, sendi-sendi sering terasa sakit terutama ketika bangun tidur. Penderita sudah 6 tahun menikah tetapi belum dikaruniani anak. Penderita pernah keguguran 1 X, siklus menstruasi tidak teratur. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan bercak merah dikedua bagian pipi dan hidung yang menyerupai gambaran kupu-kupu, tidak sakit, dan tidak terasa gatal. Pada sendi jari-jari tangan tampak bengkak , merah , kaku dan sakit ketika digerakkan. Penderita pernah dirawat karena sakit pinggang dan kencing warna merah. Pada pemeriksaan laboratorium didapat penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit. Juga ditemukan rheumatoid faktor (+) dan gambaran erosi kartilago sendi jari tangan dan penebalan membran sinovial pada foto rontgen

Page 46: buku modul Imun 2009

Kata Kunci:Kelelahan, bercak merah menyerupai gambaran kupu-kupu diwajah, bengkak dan sakit pada beberapa sendi di jari-jari tangan, belum dikaruniai anak, kencing warna merah, penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit, rhematoid faktor (+).

Masalah:Autoimmune Disorder

c. Konsep map

46

HLA Jaringan

Respons Imun

Loss Of Self Toleran

AutoImun Disorders

Organ/JaringanSistemik

Antigen Related

SuperAntigen Related

Genetic Hormon Related

Page 47: buku modul Imun 2009

d. Materi

Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar untuk

menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang bertujuan

mencapai kompetensi sasaran belajar)

AUTOIMUN

Imunogenetik

Mekanisme imun dipandang dari sudut evolusi merupakan suatu

seri adaptasi genetik oleh spesies yang berkembang karena

pengaruh perubahan lingkungan yang dipaksakan kepadanya.

Pengendalian genetik dapat diamati pada tingkat seluler seperti

proliferasi dan diferensiasi aneka macam sel dalam berespon

terhadap antigen. Kerja gen juga dapat dipelajari pada tingkat

molekuler dalam kaitannya dengan struktur yang tidak terbatas dari

aneka macam imunoglobulin yang dikode secara langsung

dalam DNA.

Genetika Regulasi Imun

Sistem imun adalah jaring-jaring sel yang kompleks yang

berinteraksi dengan sentuhan langsung maupun melalui mediator-

mediator yang larut. Tujuan jaring-jaring ini adalah memberikan

imunitas yang efektif pada organisme dan mencegah kejadian-

kejadian internal yang membahayakan. Ada sejumlah besar gen

( bersama sama disebut respon imun atau IR genes) yang memberi

kode komponen-komponen pengatur jaring-jaring tersebut.

Diperkirakan bahwa gen yang mengatur respon imun terletak pada

segmen genetik yang memberi kode pada antigen

histokompatibilitas. Gen-gen IR yang terikat histokompatibilitas

memainkan peran penting, tetapi mereka juga hanya merupakan

47

Page 48: buku modul Imun 2009

sebagian dari seluruh sistem. Sistem multigen mengendalikan tidak

hanya kemampuan untuk berespon terhadap antigen tetapi juga

mengatur tingkat dan lamanya proses.

Kompleks Histokompatibilitas Mayor ( Major

Histokompatibility Complex = MHC )

Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC) merupakan suatu daerah

kromosom yang terdiri dari satu seri gen yang memberi kode untuk

ekspresi permukaan sel antigen-antigen transplantasi. Antigen-

antigen transplantasi ini umumnya adalah glikoprotein yang berada

pada permukaan kebanyakan sel berinti. MHC pada mamalia juga

merupakan suatu daerah tempat terdapatnya gena-gena respon

imun (IR) yang terikat histokompatibilitas, karena itu MHC tidak

hanya mengendalikan sintesis antigen-antigen tranplantasi dan

penolakan cangkok, tetapi juga mempengaruhi respon imun

terhadap tantangan infeksi dan kerentanan terhadap perkembangan

penyakit yang ditengahi imunologik. Kedua sistem MHC yang telah

dikarakterisasi secara luas adalah sistem H-2 pada mencit dan

sistem HLA ( Human LeucocyteAntigen) pada manusia.

Antigen dan Imunogenisitas

Imunigenisitas dapat didefinisikan sebagai sifat suatu zat

(imunogen) yang memberikan zat tersebut kemampuan

membangkitkan respon imun spesifik. Kemampuan ini terdiri dari

pembentukan antibodi, pengembangan imunitas seluler (cell

mediated) atau kedua-duanya. Sebaliknya antigenisitas adalah sifat

zat (antigen) yang memungkinkan zat tersebut bereaksi dengan

produk-produk dari respon imun spesifik, misalnya antibodi atau

limfosit-T yang tersensitasi spesifik. Zat yang imunogenik selalu

antigenik, tetapi antigen tidak selalu imunogenik. Sebagai contoh

48

Page 49: buku modul Imun 2009

zat tertentu dengan berat molekul rendah, yang disebut hapten,

misal pinisilin tidak imunogenik kecuali jika terikat pada molekul

pembawa (carrier) yang lebih besar. Jadi hapten berfungsi sebagai

antigen tetapi tidak sebagai imunogen.

Bagian-bagian dari struktur tiga dimensi tiap-tiap imunogen

mengandung kelompok-kelompok permukaan, misalnya asam

amino dalam suatu protein globular atau sisi rantai-rantai sakarida

yang menonjol pada polisakarida. Struktur ini dinamakan

determinan antigenik atau epitop dan menyajikan daerah aktif

molekul yang terpapar, dengan mana antibodi dapat menyatu.

Kebanyakan benda-benda yang kompleks seperti sel darah merah,

jaringan, dan bakteri , mengandung banyak determinan antigenik.

Karena ukurannya yang kecil, determinan antigenik suatu individu

dapat tidak imunogenik, dan dengan demikian dianggap sebagai

hapten. Dengan demikian respon imun pada imunogen yang

kompleks memerankan respon imun kolektif terhadap sejumlah

determinan antigenik.

Definisi-definisi Spesifisitas Antigenik

Pada umumnya antigen-antigen dapat diklasifikasikan menjadi dua

jenis utama : antigen eksogen dan antigen endogen.

Tabel 1. Klasifikasi Antigen

Sumber Jenis Contoh Arti klinis

Eksogen Beberapa Mikroorganisme, tepungsari, obat-obatan, polutan

Kerentanan terhadap infeksi, penyakit yang ditengahi imunologik (asma)

Endogen

Xenogeneic (Heterolog)

Xenoantigen(Heteroantigen)

Antigen Forssman, antigen-antigen jaringan tertentu yang bereaksi silang dengan antigen

Patogenesis penyakit tertentu misalnya glomerulonefritis, demam rematik

49

Page 50: buku modul Imun 2009

eksogen (misalnya jaringan ginjal, jantung dengan Streptococcus ß haemoliticus)

Autolog Autoantigen

Idiotip

Antigen-antigen spesifik organ ( misal antigen thiroid).Antigen-antigen spesifik imunoglobulin

Penyakit-penyakit autoimun misalnya : Thiroiditis Hashimoto.Bertukar kelas imunoglobulin

Allogeneik (Homolog)

Aloantigen (Isoantigen)

Golongan darah, antigen histokompatibilitas (HL-A)

Penyakit hemolitik neonatus, reaksi transfusi, imunitas, transplantasi

Antigen-antigen Eksogen

Antigen-antigen eksogen adalah antigen-antigen yang disajikan dari

luar kepada hospes dalam bentuk mikroorganisme, tepung sari,

obat-obat, atau polutan. Antigen ini bertanggung jawab terhadap

suatu spektrum penyakit pada manusia, mulai dari penyakit-

penyakit infeksi sampai kepada penyakit yang ditengahi imunologik

misalnya asma bronkiale.

Antigen-antigen Endogen

Antigen endogen adalah antigen yang terdapat dalam individu dan

meliputi antigen-antigen berikut : antigen senogeneik (heterolog),

antigen autolog dan antigen idiotipik atau antigen alogeneik

(homolog).

Antigen senogeneik (xenogeneic) adalah antigen yang terdapat

dalam aneka macam spesies yang secara filogenetik tidak ada

hubungannya. Antigen-antigen ini juga dikenal sebagai antigen

heterogeneik ,dan penting pada kedokteran klinik, karena antigen-

antigen ini menimbulkan respon antibodi yang berkaitan atau

berguna dalam diagnosis penyakit. Sebagai contoh, reaksi silang

antara antigen-antigen Streptococcus beta haemoliticus grup A dan

jaringan jantung manusia. Diduga kerusakan jaringan merupakan

akibat reaksi silang antara antibodi dengan antigen-antigen

50

Page 51: buku modul Imun 2009

heterolog ini. Contoh terbaik dari proses ini adalah antigen

Forssman, yang terdapat dalam jaringan dari kebanyakan spesies

dan berkaitan erat dengan antigen-antigen lain yang ada di jaringan

manusia, seperti antigen golongan darah A. Karena antigen

Forssman sendiri tidak terdapat pada jaringan manusia, maka

mungkin sekali bahwa aneka macam jaringan lain atau sel-sel yang

mengandung antigen ini dapat mensensitasi manusia.

Komponen-komponen tubuh yang autolog adalah unsur pokok

hospes dan dikenal sebagai komponen-komponen self. Pada

keadaan normal mereka nonimunogenik. Diduga bahwa perubahan

dalam komponen- komponen tubuh dapat menyebabkan mereka

menjadi imunogenik, sehingga hospes menyusun serangan

imunologik melawan jaringannya sendiri. Pada beberapa kejadian,

jaringan manusia mengandung antigen-antigen yang biasanya

dapat dikenali oleh sistem imun hospes, mereka terhindar dari

tindakan antibodi-antibodi oleh sel-sel imun tubuh mereka sendiri

karena ada rintangan-rintangan, seperti membrana basalis. Pada

keadaan tertentu dimana terdapat penghilangan rintangan

sedemikian rupa akan menghasilkan respon imun akut sekunder,

merangsang hospes untuk menyusun serangan pada jaringannya

sendiri. Pada tiap kasus, keadaan akhir ditunjuk sebagai

autoimunitas.

Penyakit yang Secara Imunologi Melibatkan Antigen-antigen

Autolog

Pada sebagian kecil populasi terjadi suatu penyakit yang dikenal

sebagai penyakit autoimun. Dalam hal ini, tanda-tanda pokok

adalah injuri jaringan yang disebabkan oleh reaksi imunologik

hospes yang nyata dengan jaringannya sendiri. Pada kebanyakan

individu, dalam hospes ada ``pengenalan self `` dan toleransi

terhadap semua komponen-komponen tubuh, namun demikian pada

penyakit autoimun, ada suatu keadaan penyimpangan yang disebut

51

Page 52: buku modul Imun 2009

Erlich sebagai `` horror autotoxicus `` , dimana proses

penghancuran diri terjadi oleh sistem imun orang itu sendiri.

Pemisahan yang jelas harus dibuat antara respons autoimun dan

penyakit autoimun. Istilah "respons autoimun" merujuk pada

ditemukannya autoantibodi yang diarahkan pada antigen ``self ``

atau reaktivitas limfosit tersensitisasi terhadap antigen ``self ``.

Respons autoimun dapat atau tidak dapat menimbulkan penyakit

autoimun. Meskipun diduga bahwa penyakit autoimun akibat dari

cedera jaringan oleh respons autoimun, belum diketahui apakah

fenomena autoimun adalah penyebabnya, akibat, atau suatu

penemuan yang bersamaan dalam penyakit autoimun. Meskipun

percobaan binatang yang luas telah dilakukan, respons autoimun

sebagai penyebab penyakit manusia masih merupakan suatu

hipotesis. Sering terjadi fenomena autoimun berkaitan dengan

penyakit infeksi. Hemaglutinin dingin sering terlihat sesudah infeksi

dengan Mycoplasma pneumoniae dan kadang-kadang dikaitkan

dengan hemolisis. Sekarang belum ada bukti bahwa respons

autoimun ini menyebabkan terjadinya penyakit autoimun yang kekal

dan terus-menerus. Penggunaan yang tidak menguntungkan istilah

"penyakit autoimun", yang menyatakan suatu serangan pertama

dari hospes melawan dirinya, timbul sebelum pengetahuan tentang

mekanisme imunologi injuri jaringan dikemukakan. Istilah penyakit

"kolagen", penyakit "kolagenvaskuler" dan penyakit "jaringan ikat"

merupakan masalah peristilahan tambahan yang mengganggu.

Istilah-istilah ini memusatkan perhatian yang tidak semestinya pada

jaringan ikat, yang hanya merupakan satu dari beberapa jaringan

yang terlibat. Autoimunitas dapat dipandang sebagai manifestasi

tersier dari respons imun yang diarahkan pada antigen yang

pemrosesannya tidak tepat dan menimbulkan penghancuran

jaringan hospes. Pandangan ini berbeda dari pengertian klasik

serangan pertama hospes terhadap jaringannya sendiri.

52

Page 53: buku modul Imun 2009

Teori-Teori Patogenesis Penyakit Autoimun

Tiga hipotesis telah diusulkan untuk menerangkan mekanisme dan

manifestasi penyakit autoimun .

Hipotesis pertama, teori klon terlarang (forbidden-clone theory),

menyatakan adanya suatu klon dari limfosit mutan yang timbul

melalui mutasi somatik . Sel mutan yang membawa antigen

permukaan yang dikenal sebagai asing (mutan positif secara

antigenik) biasanya akan dihancurkan. Bagaimanapun, menurut

teori ini, sel mutan yang tidak membawa antigen permukaan

(mutan negatif secara antigenik) tidak akan dihancurkan. Dengan

berproliferasinya sel mutan yang defisien antigen ini (klon

terlarang), sel-sel ini akan mampu bereaksi dengan jaringan sasaran

karena ketidaksamaan genetik. Fenomena ini sama dengan reaksi

hospes melawan cangkok karena limfosit yang tidak cocok secara

genetik.

Hipotesis kedua, teori antigen terasing (sequestered antigen

theory), didasarkan pada fenomena pengaruh toleransi pada janin.

Menurut teori ini, selama pertumbuhan embrio, jaringan yang

dipaparkan pada sistem limforetikuler dikenal sebagai ``self ``.

Mereka yang secara anatomi terpisah atau terasing dari sistem

limforetikuler tidak dikenali sebagai ``self``. Antigen ini terdapat

pada jaringan seperti mata, sistem syaraf pusat, thiroid, dan testis.

Pada kehidupan kemudian, pemaparan melalui trauma atau infeksi,

dari antigen jaringan terasing ini terhadap sistem limforetikuler

menyebabkan terjadinya penyakit autoimun. Kedua pengertian ini

didasarkan pada dasar pikiran (premise) hiperaktivitas respon imun,

yang melalui pembentukan autoantibodi atau limfosit tersensitisasi

(hipersensitivitas lambat) akan menimbulkan produksi suatu

penyakit autoimun.

Hipotesis ketiga, pengertian tentang defisiensi imunologik,

didasarkan pada hipoaktif atau defisien sistem imunoiogik. Hipotesis

ini mendapat dukungan dari pengamatan secara klinis adanya

hubungan antara sindroma defisiensi imunoiogik dan kenaikan

53

Page 54: buku modul Imun 2009

insidensi abnormalitas autoimun. Hubungan ini telah diperhitungkan

sebagian besar dari data yang diperoleh pada percobaan binatang.

Injuri akan terjadi melalui munculnya limfosit mutan atau sebagai

akibat tetap adanya antigen mikroba. Dari pengamatan ini, telah

disimpulkan bahwa bukan individu normal yang mengembangkan

penyakit autoimun, kenyataannya paling tidak individu tersebut

mempunyai defisiensi imun yang mendasari yang tidak kentara

yang memberi kecenderungan pada keadaan autoimun. Akhirnya,

suatu pengertian yang meminta penjelasan perkembangan keadaan

autoimun harus memperhitungan pengendalian genetik dari sistem

imun. Gambaran keluarga dan distribusi jenis kelamin (misalnya

lebih banyak terjadi pada wanita) mengkarakterisasi kebanyakan

penyakit autoimun. Penemuan adanya hubungan antara antigen

histokompatibilitas tertentu dengan aneka macam penyakit

memberi kesan bahwa gena respons imun (IR) pada manusia

mungkin terletak dekat sekali dengan lokus HLA pada kromosom ke-

6. Hubungan yang paling utama adalah risiko yang relatif tinggi

terjadinya spondilitisankilosis atau sindroma Reiter pada individu

HLA-B27-positif, yang mempunyai kerentanan yang diwariskan

terhadap berkembangnya spondilitis atau sindrom Reiter dari aneka

macam rangsangan antigenik. Bukti akhir-akhir ini pada percobaan

binatang dan manusia memberi kesan pengaturan imun yang

terganggu didasarkan pada ketidakseimbangan asz3yang

ditentukan secara genetik pada subpopulasi sel-T (yaitu sel-T4

helper/induser dan T8 sitotoksik/supresor) sebagai determinan

penting pada perkembangan penyakit autoimun serta penyakit

alergi.

Klasifikasi

Penyakit autoimun dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu

penyakit autoimun sistemik (non organ spesific) dan penyakit

autoimun spesifik organ (organ spesific). Penyakit autoimun

sistemik(non organ spesific) adalah penyakit autoimun dimana

54

Page 55: buku modul Imun 2009

pengaruh utamanya melibatkan lebih dari satu organ sedangkan

penyakit autoimun organ spesifik adalah penyakit autoimun dimana

pengaruh utamanya melibatkan satu organ.

Gambar 1. Spektrum dari penyakit autoimun

55

Page 56: buku modul Imun 2009

Gambar 2. Dua tipe penyakit autoimun

Penyakit Autoimun Sistemik (Non Organ Spesific)

Lupus Eritematosis Sistemik (Systemic Lupus Erythematosus

= SLE)

Gambar 3. SLE dan berbagai manifestasi klinis yang dapat terjadi

Banyak terdapat pada wanita, SLE adalah suatu penyakit

generalisata yang mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang

melibatkan beberapa sistem organ. Sel sasaran primernya adalah

sistem hematopoetik, kulit, sendi dan ginjal. Organ-organ ini

dilibatkan dalam aneka macam cara oleh banyak sekali antibodi .

Antibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit

masing-masing menyebabkan anemia hemolitik, leukopenia dan

trombositopenia. Perpanjangan waktu protrombin dan sebagian

waktu tromboplastin kadang-kadang terjadi karena "antikoagulan

lupus", pada beberapa kasus, antibodi terhadap faktor koagulasi

dapat ditemukan. Antibodi terhadap bahan-bahan nukleus atau

antigen lain yang tidak diketahui dapat bergabung dan

menimbulkan injuri jaringan vaskuler membrana glomeruli ginjal,

atau permukaan sinovial sendi . Pembentukan antibodi yang luas

digambarkan oleh hipergamaglobulinemia, yaitu, gamopati

poliklonal khas untuk beberapa penyakit autoimun. Kecuali pada

56

Page 57: buku modul Imun 2009

kerusakan sel darah merah, autoantibodi sendiri rupa-rupanya tidak

mencetuskan cedera jaringan secara langsung. Cedera diduga

terjadi terutama karena pengendapan kompleks antigen antibodi

(reaksi Tipe III). Seperti pada beberapa penyakit vaskuler, jaringan

tertentu lebih mudah terserang injuri daripada yang lain. Jaringan ini

meliputi pembuluh darah kecil, glomerulus, sendi, limpa, dan

valvula jantung.

Gambar 4. Penderita SLE dengan lesi kulit dan alopesia

Tabel 2. Manifestasi Umum SLE

Mekanisme Manifestasi

Antibodi terhadap sel darah merah Coombs + anemia hemolitik

Antibodi terhadap sel darah putih Leukopenia

Antibodi terhadap trombosit trombositopenia

Antibodi terhadap faktor pembekuan Waktu pcmbekuan diperpanjang

Pcmbcntukan antibodi ekstcnsif Hipergamaglobulinemia

kompleks anugen-antibodi: vasa darah Vaskulitis

Kompleks antigen-antibodi: glomeruli Nefritis

Kompleks antigen antiibodi: membrana

sinovia

Artritis

57

Page 58: buku modul Imun 2009

Gambar 5. Foto mikroskopis penderita SLE yang menunjukkan pengendapan

imunofluoresens tidak teratur yang khas dari globulin Ig G

sepanjang membrana basalis gromerulus

Patogenesis

Predisposisi genetik disebut "diatesis lupus", telah dilibatkan atas

dasar bertambahnya insidensi pada kembar dan adanya penyakit

autoimun pada keluarga penderita dengan lupus eritematosus.

Sebagai tambahan ,tampaknya ada kenaikan insidensi pada

penderita yang positif HLA-DR2 atau positif DR3. Sindroma seperti

lupus sementara telah terjadi setelah penggunaan yang lama obat-

obat seperti hidralazin dan prokainamida. Pada individu yang rentan

secara genctik, faktor-faktor eksogen tertentu seperti sinar

ultraviolet, obal-obatan tertentu dan aneka macam agen infeksi

dapat berperan sebagai antigen atau menghasilkan antigen yang

memicu respons imunologik penghancur diri.

Tabel 3. Antigen HLA dan Penyakit Manusia

Penyakit Antigen

Spondilitis ankilosis B 27

Sindroma Reiter B27

Artritis Reaktif Infeksi Yersinia, Salmonella,

Shigella

B27

Artritis Reumatoid Dw4, DRw4

Lupus eritematosus sistemik A1,B8, DR3

Diabetes Melitus (tergantung insulin) B8, B15, DW3

Penyakit Grave B8

Penyakit Addison B8, Dw 3

Penyakit celiak Dw3, B8

Epatitis akut kronis B8

Anemia pernisiosa B7

Psoriasis B13, B17, B27, B37, Cw 6, D11, DR7

Phemfigus B13

58

Page 59: buku modul Imun 2009

Sklerosis Multipel A3, B7, B18, D2

Miastenia Gravis B8

Uveitis anterior akut B27

Glomerulonefritis kronik A2

Penyakit Hodgkin B5

Leukemia mielogenus kronik A3

Leukimia limfositik akut A2, B12

Limfosarkoma B12

Sindroma Sjogren primer Dw3

Bukti yang diperoleh dari binatang percobaan juga memberi kesan

etiologi genetik, Pada strain mencit New Zealand hitam sejenis,

dapat terjadi sindroma seperti lupus yang terdiri dari sel-sel LE dan

lesi glomerulus. Disamping predisposisi genetik, penemuan partikel

seperti virus pada mencit ini memberi kemungkinan etiologi infeksi

yang menyebabkan keadaan autoimun. Ada bukti akhir-akhir ini

bahwa sel-T supresor atau zat supresor respons imun solubel (a

soluble immune respon suppressor = SIRS) mungkin defisien pada

tikus NZB ( New Zealand Black Strain). Meskipun fungsi yang tepat

dari sel-T supresor pada manusia belum diketahui, mereka

tampaknya memainkan peran penting pada pengaturan imunologik

dan pada pencegahan produksi autoantibodi. Mungkin kemudian

menyusul, bahwa defisiensi fungsi sel supresor memungkinkan sel-B

keluar dari mekanisme pengaturan normal dan terus menghasilkan

autoantibodi. Gambaran subpartikel mixovirus pada hasil biopsi

ginjal dari kasus lupus eritematosus sistematik pada manusia

menguatkan kemungkinan virus ini sebagai penyebab pada

manusiatetapi arti dari penemuan ini belum diketahui.

Uji Imunologik

Sel lupus eritematosus (sel LE) adalah leukosit polimorfonuklear

yang telah mengingesti bahan-bahan nukleus yang bergabung

dengan antibodi antinuklear. Uji untuk adanya sel-sel ini dapat

digunakan untuk membuktikan diagnosis SLE. Darah perifer atau

sumsum tulang diinkubasi pada suhu 370 C dan kemudian dicari sel

LE. Karena nonspesifisitasnya, uji ini sekarang jarang dilakukan.

59

Page 60: buku modul Imun 2009

Yang lebih sering dicari dalam diagnosis SLE adalah antibodi yang

melawan protein atau bahan-bahan nukleus lain. Beberapa antibodi

ditemukan dengan fluoresensi (fluorescent antinucleur antibody)

yang ditemukan dengan teknik presipitasi Amonium Sulfas .

Antibodi antinuklear (ANA) mempunyai kemampuan bergabung

dengan antigen dan mengikat komplemen. Bila penyakitnya sangat

aktif, terutama bila ginjal terlibat, ada pengurangan komplemen

dalam sirkulasi (misalnya C3) dalam sera individu ini, yang

mempunyai arti penting baik diagnostik maupun terapeutik karena

kadarnya menjadi normal bila terapi berhasil.

Uji untuk ANA sekarang sedang digunakan untuk menyaring SLE.

Karena ANA dan sel LE juga terjadi pada penderita yang menerima

obat-obatan, adanya riwayat minum obat supaya diperhatikan

dengan seksama. Kadar komplemen dapat memberi pegangan yang

berguna dalam diagnosis maupun pengelolaan penyakit, terutama

dengan keterlibatan ginjal. Antibodi anti-DNA dan pengikatan DNA

merupakan uji tambahan yang mempunyai spesifisitas yang tinggi

untuk SLE dan digunakan secara seri untuk menilai aktivitas

penyakit. Di antara antibodi-antibodi ini ada antibodi terhadap

antigen nukleus yang diekstraksi (extractable nuclear antigen =

ENA),seperti antigen ribonukleoprotein (RNP), antigen Sm, antigen

Ro, dan antigen La. Adalah menarik bahwa mikroskopik

imunofluoresen dari kulit menunjukkan pengendapan imunoglobulin

pada perbatasan dermoepidermal pada lebih dari 90 persen

spesimen dari kulit yang terlibat, dan lebih dari 50 persen dari kulit

yang tidak terlibat pada penderita SLE. Berbeda halnya, pada lupus

diskoid, pengendapan hanya terhadap pada kulit yang terlibat.

Pengobatan SLE berbeda-beda. Pada beberapa penderita obat-obat

anti inflamatoris nonsteroid dapat memberikan cukup pengendalian

aktivitas penyakit, dan dalam beberapa kasus diperlukan obat- obat

sitotoksik.

60

Page 61: buku modul Imun 2009

Artritis reumatoid (Rheumatoid Arthritis =RA)

Gambar 6. Reumatoid arthritis

Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit lain autoimun yang

dapat melibatkan beberapa sistem organ dengan menghasilkan

vaskulitis. Tempat injuri yang paling sering adalah permukaan

sinovial dan sendi . Lesi yang lebih luas dapat terjadi, terutama

artritis reumatoid sistemik.

Patogenesis dan etiologi

Etiologi RA belum diketahui. Beberapa etiologi telah dirumuskan,

termasuk gangguan metabolik dan agen infeksius (bakteri dan

mikoplasma). Bukti tidak langsung telah diajukan untuk virus-virus

pada membran sinovial penderita RA. Namun demikian, tidak ada

bukti langsung bahwa virus-virus ini memainkan peran pada

patogenesis RA. Artritis ringan diketahui menyertai beberapa infeksi

virus. Misalnya, setelah terjadi infeksi rubela secara alami atau

imunisasi rubela, kurang lebih sepertiga dari orang dewasa timbul

pengaruh seperti artritis reumatoid sementara.

61

Page 62: buku modul Imun 2009

Gambar 7. Foto tangan penderita dengan artritis reumatoid lanjut. Perhatikan

deformitas pada sendi metakarpal-falangeal dengan atrofi pada otot

hipotenar dan deviasi ulner

Genetik

Keluarga dari penderita yang terkena RA menunjukkan kenaikan

insidensi penyakit jaringan ikat (misalnya SLE). Lagi pula, pada

anak-anak dengan defisiensi imun (misalnya agamaglobulinemia),

mempunyai kenaikan insidensi terhadap penyakit jaringan ikat

(misalnya artritis reumatoid). Tambahan lagi, ada suatu kenaikan

insidensi HLA-DR-4 pada penderita AR. Karena itu, mungkin ada

faktor genetik yang mendasari yang menentukan kerentanan

penderita terhadap RA, tetapi faktor-faktor ini kompleks dan saat ini

belurn dimengerti.

Penemuan Imunologik

Faktor reumatoid (RF) merupakan globulin IgM yang mempunyai

kemampuan bereaksi dengan globulin IgG in vitro. Ada aneka

macam antiglobulin lain dari IgG, IgE dan IgA. Rangsangan untuk

produksi RF belum diketahui. Faktor ini ditemukan dalam serum dan

cairan sinovial dari kebanyakan penderita-penderita dewasa dengan

artritis reumatoid tetapi jarang ditemukan pada RA juvenil.

Meskipun RF secara diagnostik berguna, tetapi tidak spesifik karena

juga ditemukan pada hospes penyakit lain termasuk penyakit

jaringan ikat. Uji untuk RF dilakukan dengan menggunakan aneka

macam bahan pembawa (carrier) sebagai pengantar gamaglobulin

(lateks, bentonit dan eritrosit). Karena kompleks faktor reumatoid-

62

Page 63: buku modul Imun 2009

gama-globulin-komplemen telah ditemukan dalam cairan sinovial,

FR telah dilibatkan sebagai faktor penyebab dari penyakit radang

sendi kronik AR. Tidak seperti kasuss SLE, kadar komplemen serum

yang rendah jarang dijumpai pada serum penderita dengan RA.

Karena kompleks terutama berada dalam sendi, kadar komplemen

yang rendah telah ditemukan dalam cairan sendi penderita dengan

AR. Sintesis RF telah juga ditunjukkan dalam sinovial sendi yang

terkena.

Uji Imunologik.

Pada orang dcwasa, uji utama yang membedakan AR adalah uji RF

serum. Pada bentuk demam akut atau sistemik RA juvenil,

pencetusan penyakit sering menyerupai pencetusan proses

penyakit infeski akut dengan demam tinggi, ruam, leukositosis dan

laju endap darah yang cepat. Pada anak-anak, diagnosis pasti dari

RA mungkin harus menunggu timbulnya manifestasi sendi.

Pengobatan RA diarahkan terutama pada hilangnya rasa sakit dan

radang. Obat- obat yang sering digunakan termasuk salisilat dan

agen nonsteroid lain. Kebanyakan penderita mendapat manfaat

oleh obat-obat ini dan fisioterapi. Penderita dengan RA yang

progresif mungkin memerlukan obat-obat preparat emas,

antimalaria, D-penisilamin, steroid dan bahkan obat-obat sitotoksik.

Agen ini mempunyai pengaruh "meringankan" dalam arti mereka

mungkin menghentikan progresifitas RA.

Spondilitis Ankilosis (SA)/ Ancylosing Spondylitis (AS)

Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit reumatik sistemik

yang dikarakterisasi oleh radang sendi sakroiliaka dan sendi

apofisial spinal (sinovial). Akibatnya, nyeri pinggang merupakan

keluhan-keluhan yang sering diajukan meskipun penyakit dapat

mulai pada sendi perifer, bahkan dapat dimulai dengan iridosiklitis

akut. AS menyerang 10 kali lebih banyak laki-laki daripada wanita

63

Page 64: buku modul Imun 2009

dan mulai kebanyakan antara 20 dan 40 tahun. Meskipun etiologi

yang pasti dari AS ini belum jelas, bukti adanya pengaruh faktor

genetik tampak makin bcrtambah. AS diduga sejak lama

mempunyai latar belakang genetik, pertama karena kelompok

keluarga yang menyolok ditemukan antara penderita dan kedua

karena angka persamaan yang tinggi pada kembar monozigot.

Baru-baru ini, terungkapnya frekuensi yang luar biasa tinggi dari

antigen HLA-B27 yang diwariskan mencapai lebih dari 96 persen

dari penderita , dan 50 persen dari keluarga bila dibandingkan

dengan kontrol yang hanya 9 persen, memberikan bukti yang besar

adanya hubungan genetik pada penyakit ini. Hubungan yang sering

antara AS dan penyakit yang seakan-akan tidak berkaitan seperti

colitis ulserativa, enteritis regional, sindroma Reiter dan psoriasis

sampai sekarang belum dapat dijelaskan. Diperkirakan bahwa risiko

berkembangnya SA adalah 40 kali lebih besar pada penderita

dengan colitis ulserativa yang membawa antigen B27 daripada

mereka yang tanpa antigen. Tepatnya bagaimana hubungan

genetik belum diketahui. Namun demikian, laporan akhir-akhir ini

memberikan bukti adanya pembentukan antibodi dan pengendapan

kompleks imun di AS. Akibatnya, patogenesis AS dapat disusun

dalam cara berikut. Faktor pendorong yang berubah-ubah, seperti

colitis ulserativa, dapat mempercepat perkembangan spondilitis

pada individu yang mempunyai kecenderungan secara genetik yang

mempunyai penanda B27. Penyakit ini kemudian dapat diabadikan

oleh serangan pengrusak diri respon imun melawan ``self yang

diubah``.

Obat-obat utama dalam penanganan termasuk indometasin dan

fenilbutason. Masing- masing obat ini menekan dengan cepat

radang sendi dan keluhan-keluhannya, penderita dianjurkan

melakukan langkah-langkah pendukung selama hidupnya seperti

latihan bersikap dan latihan terapeutis. Bagaimanapun, obat-obat ini

tidak mencegah progresivitas AS. Untuk penderita dengan kifos-

64

Page 65: buku modul Imun 2009

koliasis yang jarang, osteotomi vertebra yang terjepit dapat

memperbaiki keadaan penderita.

Sindroma Sjögren (Ss)

Gambar 8. Serostomia dan keratokonjungtivitis sikka

Sindroma Sjögren (SS), pada bentuk primernya terdiri dari

keratokonjungtivitas sikka (mata kering) dan serostomia (mulut

kering). Namun demikian, SS lebih sering terjadi akibat AR atau

salah satu dari penyakit jaringan ikat seperti SLE, skleroderma atau

polimiositis. Salah satu tanda-tanda yang paling khas dari SS

adalah reaktivitas imunologik yang menyolok yang ditemukan

dalam serum. Sel LE, ANA, RF, dan hipergamaglobulinemia sering

terdapat antibodi terhadap RNA, duktus salivarius, kelenjar lakrimal

otot polos, mitokondia dan kelenjar tiroid dapat juga ditemukan.

Tambahan lagi, antibodi terhadap antigen yang disebut SS-A dan

SS-B ditemukan, dengan presentase yang tinggi pada pcnderita-

penderita SS. Pada penderita SS ada kenaikan frekuensi asidosis

tubulus renalis. Limfoma dapat juga bcrkembang pada pendcrita ini,

terutama pada penderita dengan bentuk primer dari SS.

Antibodi antiduktus salivarius, yang ditunjukkan dengan

imunofluoresensi indirek dari kelenjar ludah dan kelenjar lakrimal

manusia, terjadi lebih sering pada pendcrita dengan SS dan AR

daripada pada penderita dengan SS primer. Antibodi ini nampaknya

memblok (bereaksi dengan dan menutupi) diterminan pada sel-sel

permukaan duktus, , diserang oleh limfosit tersen- sitisasi. Akhir-

akhir ini hubungan HLA-DW3 dengan sindroma Sjögren primer telah

diternukan. Diagnosis diperkuat dengan technitium pertechnetate

65

Page 66: buku modul Imun 2009

scintiscanning kelenjar ludah, yang lebih sensitif dari sialografi, dan

biopsi bibir. Pengobatannya termasuk tindakan penyokong seperti

penggunaan air mata buatan dan steroid atau obat imunosupresif

untuk menanggulangi manifestasi sistemik yang serius seperti

vaskulitis.

Angitis Nekrotikans (AN) / Necrotizing Angitis (NA)

Angitis nekrotikans meliputi sekelompok gejala-gejala yang

dikarakterisasi oleh radang segmental dari arteri. Poliarteritis

nodosa (PN) mempunyai kecenderungan terdapat laki-laki dan

melibatkan baik arteri kecil ataupun sedang. Sedangkan

hipersensitivitas angiitis hanya melibatkan vasa-vasa kecil. Secara

klinik sukar membedakan antara PN dari hipersensitivitas angitis

kecuali bila keterlibatan kulit jelas memberikan dugaan yang

mengarah pada hipersensitivitas angiitis, yang sering disebabkan

oleh obat-obatan, terutama sulfonamida dan penisilin. Gambaran

toksik penderila dengan tiap penyakit menggambarkan keterlibatan

berbagai macam organ yang tersebar luas sebagai akibat oklusi

vaskuler difus. Pengobatannya termasuk steroid (dosis tinggi) dan

kadang-kadang ditambah obat-obat imunosupresif. Prognosis lebih

baik pada hipersensitivitas angiitis, penderita yang bertahan hidup

sebaiknya menghindari obat-obat yang terlibat.

Purpura Henoch-Schonlein mengenai vasa-vasa kecil kulit, sendi dan

traktus gastrointestinal. Purpura, perdarahan gastrointestinal dan

glomerulonefritis lokal sering menyertai artritis. Baru-baru ini,biopsi

lesi purpura menunjukkan adanya endapan granuler yang

cemerlang dari IgA, C3 dan fibrin-fibrinogen dalam kapiler dan

jaringan ikat dermis

Penemuan-pencmuan yang mungkin berguna untuk diagnostik,

terutama pada kasus atipik. Pada granulomatosis Wegener,

vaskulitis terjadi pada traktus respiratorius bagian atas, paru-paru,

ginjal, pada penyakit Kawazaki, terutama terjadi pada arteri

66

Page 67: buku modul Imun 2009

coronaria, sedangkan pada penyakit takayasu (tanpa nadi), ini

terjadi pada aorta dan cabang-cabang utamanya, dan pada arteritis

sel raksasa, ini terjadi pada arteri temporalis dan arteri cranialis

yang lain.

Patogenesis dan Etiologi.

Adanya kompleks imun antigen hepatitis B (HbsAg) pada jaringan

yang terkena, termasuk ginjal, baru- baru ini telah ditunjukkan pada

30 sampai 40 persen penderita dengan PN. Sebaliknya etiologi dari

keadaan ini tetap belum diketahui. bagaimanapun, tanda

imunopatologik dari keadaan ini adalah vaskulitis, serupa dengan

injuri jenis kompleks imun. Penemuan penentuan laboratorium

termasuk leukositosis dan kadang-kadang eosinofilia. Dengan

keterlibatan ginjal, dalam sedimen urin dapat ditemukan

heterogenesitas elemen-elemen seluler. Biopsi adalah satu-satunya

cara untuk memperkuat diagnosis dan harus diperoleh dari area

yang terkena.

Polimiositis (Dermatomiositis)

Polimiositis merupakan penyakit autoimun sistemik lain yang secara

patologik dikarakterisasi oleh degenerasi dan inflamasi otot skelet.

Secara klinis, penyakit ini ditandai oleh kelemahan otot bahu dan

otot-otot lingkaran pelvis. Dermatomiositis adalah bentuk

polimiositis, yang melibatkan kulit.

Patogenesis dan etiologi.

Etiologi dari keadaan ini tidak jelas, meskipun bukti untuk cara injuri

imun otot yang ditengahi sel terus bertambah. Yang menarik adalah

insidensi keseluruhan penyakit malignan yang terjadi sampai lebih

dari 20 persen kasus, biasanya pada penderita dengan

dermatomiositis. Insidensi ini dikaitkan dengan umur hospes

( menjadi makin tinggi dengan makin bertambahnya umur). Karena

67

Page 68: buku modul Imun 2009

itu, pada setiap orang dcwasa tua dengan penyakit ini,

pemeriksaan yang teliti untuk neoplasma harus dilakukan,

terutama bila mulainya akut. Penemuan laboratorium termasuk

kenaikan enzim otot dalam serum (transaminase, aldolase, kreatinin

fosfokinase) dan gambaran elektromiografi yang abnormal.

Diagnosis dapat diperkuat dengan biopsi otot. Pengobatan adalah

penggunaan imunosupresan, misalnya steroid.

Sklerosis Sistemik Progresif Skleroderma

(Progressive Systemik Sclerosis Skleroderma)

PSS adalah penyakit kronik yang etiologinya belum diketahui,

dikarakterisasi oleh penebalan fibrosa dari kulit (skleroderma) dan

beberapa organ dalam (traktus gastrointestinal,jantung, ginjal dan

paru-paru). Dua pertiga dari penderita adalah wanita. Kenaikan

kadar imunoglobulin, ANA (terutama gambaran yang berbintik dan

nukleolar) dan ikatan DNA pada anak dengan PSS dan skleroderma

lokal (morphea dan hemiatrofi) merupakan bukti untuk patogenesis

yang ditengahi antigen. Pemeriksaan in vitro dari fibroblast kulit

skleroderma menunjukkan kenaikan sintesis kolagen, memberi

kesan bahwa cacat dasar pada PSS adalah salah satu dari gangguan

pengaturan atau aktivasi dari fibroblast. Saat ini, belum ada terapi

yang berhasil, meskipun D-penisilamin memberikan beberapa

harapan, terutama untuk penyakit kulit PSS.

Penyakit Jaringan Ikat Campuran

(Mixed Connective Tissue Disease = MCTD)

Pemberian nama ini disediakan untuk penderita-penderita dengan

tanda-tanda klinik gabungan dari RA, SLE, PSS dan polimiositis.

Penderita menunjukkan adanya artritis, tangan bengkak secara

difus, fenomen Raynaud, motilitas esofagus terganggu, miositis,

68

Page 69: buku modul Imun 2009

limfadenopati, dan hipergamaglobulinemia. Khas, penderita

mempunyai ANA positif dengan gambaran yang berbintik. Diagnosis

diperkuat oleh adanya titer yang tinggi dari antibodi terhadap

antigen nuklear yang dapat diekstraksi (extractable nuelear antigen

= ENA) terutama antigen RNP. Antibodi serum MCTD tidak bereaksi

dengan antigen bila sebelumnya dicampur dengan ribonuklease.

Tidak seperti pada kasus SLE, pada MCTD kadar komplemen serum

normal. Beberapa penderita (mudah berespons) terhadap

kortikosteroid. Prognosis tampaknya baik, tetapi pengamatan

jangka lama menunjukkan bahwa beberapa penderita berkembang

menjadi penyakit jaringan ikat klasik, seperti PSS.

PENYAK1T ORGAN SPESIFIK

Anemia Hemolitik Autoimun (AHA)

AHA adalah kelompok anemia heterogen yang dikaraktcrisasi oleh

proses hemolitik yang bcrkaitan dengan antibodi spesifik sel darah

yang mengaglutinasi sel darah merah (aglutinin), yang lain melisis

mereka (hemolisin) bila bersama-sama dengan komplemen. Karena

antibodi ini diarahkan melawan sel darah merah penderita sendiri,

mereka disebut autoantibodi. AHA dikIasifikasikan menurut sifat-

sifat fisik dari antibodi . AHA yang paling sering ditemukan adalah

kelompok aglutinin panas, terdiri dari jenis idiopatik dan jenis

sekunder. Pada pendcrita ini, antibodi adalah kelas IgG dan

menunjukkan kemampuan mengikat komplemen terbatas. Pada

jenis idiopatik yang merupakan lebih dari separo kasus AHA,

etiologinya tetap belum jelas. Namun demikian pada pengamatan

jangka lama pada beberapa dari penderita ini timbul limfoma. Pada

jenis sekunder anemia terjadi berkaitan dengan salah satu dari

beberapa pcnyakit atau sesudah penggunaan obat. Pada kelompok

aglutinin dingin, antibodi kelas IgM mempunyai kemampuan untuk

mengikat komplemen dan bereaksi pada suhu dingin (4°C),

69

Page 70: buku modul Imun 2009

terutama yang melawan golongan darah I. Autoantibodi anti-I

terdapat pada penyakit seperti pneumonia atipik (Mycoplasma

pneumoniae), mononukleosis infeksiosa, dan penyakit aglutinin

dingin. Autohemolisin dingin (jenis Donath- landsteiner) ditemukan

pada kelompok ketiga dari AHA yang berkaitan dengan

hemoglobulinuria dengan paroksismal dan infeksi yang bcrubah-

ubah (variabel), termasuk virus. Penyakit ini pertama digambarkan

pada penderita dengan sifilis tersier. Antibodi adalah IgG dan

semuanya mengikat komplemen. Karena mudah sekali mengikat

komplemen, kebanyakan sel darah merah dilisis sebelum mereka

mencapai sel-sel fagositik, menyebabkan hemolisis intravaskuler

yang cepat dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria khas untuk

penyakit ini.

Etiologi

Etiologi AHA belum diketahui. Telah disimpulkan bahwa agen

eksogen (obat dan virus) dapat rnengubah susunan antigenik dari

membran sel darah merah, yang menyebabkan eritrosit rentan

terhadap hemolisis. Pada penderita yang mengalami AHA dapat

ditentukan secara genetik kerentanannya terhadap perkembangan

autoantibodi yang pada beberapa kasus dapat dikaitkan dengan

abnormalitas imunologik, misalnya sebagai kegagalan membentuk

imunoglobulin yang diwariskan atau didapat.

Diagnosis

Kriteria diagnostik utama yang digunakan dalam membedakan AHA

dari bentuk-bentuk lain anemia adalah adanya sferositosis pada

preparat apus darah perifer dan raksi antiglobulin yang positif (uji

Coombs) untuk autoantibodi. Reaksi aglutinasi tergantung suhu

akan membantu mengenali autoantibodi jenis spesifik .

Terapi

70

Page 71: buku modul Imun 2009

Pada jenis aglutinin panas, steroid adalah obat-obat yang berguna,

tetapi agen imunosupresi lain seperti azatioprin, dapat digunakan

jika penderita gagal berespons dengan steroid. Splenektomi dapat

juga berguna pada beberapa penderita yang tidak berespons

dengan steroid. Pada kelompok aglutinin dingin, tidak ada

pengobatan spesifikyang diperlukan karena merupakan jenis pasca

infeksi, agen sitotoksik bcrguna pada jenis idiopatik. Pada

hemoglobinuria dingin paroksismal, terapi obat tidak berhasil

meskipun transfusi dengan darah yang scbelumnya dipanasi sampai

37°C sering menguntungkan.

Kelenjar Tiroid

Penyakit kelenjar yang melibatkan faktor autoimun telah ditemukan

yaitu tiroiditis dan penyakit Grave. Tiroiditas merupakan suatu

keadaan dimana terjadi tingkat penghancuran kelenjar yang

berbeda-beda dengan infiltrasi inflamatoris. Penderita dapat dalam

manifestasi penyakit akut, subakut atau kronik, yang ditegaskan

oleh derajat dan lama inflamasi. Sifat-sifat imunologik tiroiditis

dijelaskan melalui penelitian dengan membuat penyakit pada kelinci

dengan menyuntikkan jaringan tiroid yang diemulsikan dalam

ajuvan Freund lengkap. Meskipun mulanya diduga ditengahi oleh

antibodi, sekarang dirasakan bahwa mekanisme primer injuri

imunologik dapat melibatkan mekanisme lain, misalnya injuri

seluler. Tiroiditis akut dapat supuratif atau nonsupuratif. Ada bukti

bahwa bentuk non- supuratif dapat mempunyai dasar imunologik. Ia

tampak dengan gejala demam, sakit tenggorokan, kelenjar tiroid

membesar dan lunak. Gejala-gejala hipertiroidisme dapat ada, dan

kadar tiroksin serum dapat naik.

Gejala- gejalanya sama dengan gejala infeksi, dan dapat terjadi

kenaikan jumlah Ieukosit dan laju endap darah yang cepat.

71

Page 72: buku modul Imun 2009

Kemungkinan adanya tiroiditis harus betul-betul dipertimbangkan.

Pada penderita yang datang dengan hipertiroidisme, Ratio wanita

terhadap laki-laki adalah enam banding satu.

Gambaran klinis yang kurang berat terjadi pada tiroiditis subakut.

Pada keadaan ini, terjadi pelunakan nodulus kelenjar tiroid atau

struma lokal yang dapat diragukan dengan Karsinoma. Meskipun

pada suatu saat dianggap jarang ditemukan, tetapi sekarang

tiroiditis subakut lebih sering dikenal. Kekhasannya, penderita

adalah eutiroid dan tidak ditemukan kelainan fungsi tiroid. Pada

tiroiditis limfositik kronik (tiroiditis Hashimoto), penderita

berkembang melalui fase akut dan subakut . la dapat tetap eutiroid

atau dapat berkernbang menjadi berbagai tingkat hipotiroidisme.

Kehabisan kelenjar dapat total, yang mengakibatkan mixedema.

Pada bentuk klasik, ditemukan kelenjar yang membesar difus dan

tidak lunak. Pada kasus dengan mixedema, pemeriksaan fisik dapat

menunjukkan suatu struma atau suatu kelenjar tiroid keras, kecil

dengan penemuan fungsi tiroid yang tertekan.

Gambar 9. Tiroiditis Hashimoto

Sebagai akibat dari penemuan imunologik yang lebih baru, penyakit

Grave sekarang dipandang sebagai penyakit multisistem dimana

ada 3 golongan yang berbeda secara klinis: (1) hipertiroidisme

karena struma difus (2) oftalmopati infiltratif (eksoftalmus), dan (3)

dermopati infiltratif (mixedema pretibial lokal). Tiga komponen ini

mungkin terdapat secara individual atau dalam kombinasi satu

72

Page 73: buku modul Imun 2009

dengan yang lain. Manifestasi oftalmopati infiltratif dan dermopati

infiltratif lebih seing terjadi pada penderita dewasa karena pada

orang dewasa ditemukan insidensi yang lebih tinggi. Hubungan

antara penyakit Grave dan penyakit Hashimoto makin lebih sering

dikenal. Kedua penyakit ini sering ada bersama-sama dan tentu saja

dapat menggambarkan manifestasi yang berbeda dari spektrum

biasa. Antibodi dalam sirkulasi serta respons limfoproliferatif in vitro

terhadap berbagai macam unsur pokok tiroid biasanya ditemukan

dalam keduanya, Lagi pula, perubahan-perubahan patologik dari

penyakit Hashimoto sering ditemukan pada kelenjar tiroid dari

penderita dengan penyakit Grave. Di samping antibodi dalam

sirkulasi, yang dapat menggambarkan fenomena autoimun, antibodi

telah dibicarakan pada dua penyakit ini yang tampaknya mengatur

aktivitas seluler dan dapat secara nyata membantu hipertiroidisme.

Bantuan ini termasuk stimulator tiroid berdaya kerja lama (long

acting thyroid stimulator = LATS), aktivitas pelindung LATS (LATS

protcctor activity = LPA) dan imunoglobulin yang merangsang tiroid

(thyroid-stimulating imunoglohulin - TSI). Saat ini belurn jelas

apakah aktivitas ini menggambarkan tiga antibodi yang berbeda

atau apakah mereka semua dapat merupakan manifestasi yang

berbcda dari antibodi yang lama spesifisitasnya, hanya berbeda

pada cara yang digunakan untuk deteksi. Antibodi ini dideteksi

dengan cara bioassay. LATS dengan kemampuan in vivonya untuk

memperbesar pelepasan hormon tiroid dan LPA dengan

kemampuannya mencegah neutralisasi LATS dengan inaktivator

yang biasanya ada pada ekstrak tiroid manusia. TSl tampaknya

mewakili autoantibodi yang diarahkan pada reseptor tirotropin, yang

mampu mengikat reseptor dan merangsang produksi AMP siklik dan

produksi hormon tiroid yang berlebih-lebihan. Penderita dapat juga

mempunyai antibodi yang diarahkan melawan tiroglobulin dan

antigen mikrosom.

Patogenesis

73

Page 74: buku modul Imun 2009

Tiroglobulin biasanya dipindahkan dari ruang koloidal ke dalam sel

asinar dengan cara proses pinositosis. Dalam sel asinar, protease

melepaskan tiroksin dari kompleks protein makromolekuler. Secara

normal tiroglobulin tidak masuk sirkulasi dalam jumlah yang berarti.

Tiroksin yang dilepaskan masuk ke dalam struktur kapiler yang

mengelilingi sel asinar dan diangkut ke jaringan perifer. Jika

kompleks makromolekuler belum dibersihkan oleh protease atau

dilepaskan utuh, ia mungkin masuk ke dalam sirkulasi dan

merangsang terjadinya respons imun dengan akibat cedera

"autoimun" terhadap tiroid . Hal ini dapat tcrjadi sesudah trauma

atau infeksi. Baru-baru ini, faktor genetik telah dilibatkan dalam

patogenesis tiroiditas kronik baik pada manusia maupun pada

binatang percobaan. Dengan penggambaran LATS, LPA, dan TSI

baru-baru ini, diduga bahwa antibodi tambahan dapat memainkan

peran dalam patogenesis penyakit Grave dan tiroiditis limfositik

kronik.

Uji Imunologik

Ada beberapa uji imunologik yang berguna untuk deteksi antibodi

terhadap jaringan tiroid. Antibodi antitiroglobulin dapat dideteksi

dengan teknik presipitasi, aglutinasi lateks, uji sel darah merah

warna coklat (tanned red cell = TRC) dan radioimunoassay. Antibodi

mikrosomal dideteksi dcngan fiksasi komplemen, uji sitotoksisitas,

imunofluoresensi dari sel epitel tiroid yang tidak terikat,

radioimmunoassay dan uji hemaglutinasi. Antigen mikrosomal

dikaitkan dengan baik sekali dengan lipoprotein ekstrak tiroid dan

dilekatkan pada bagian membran retikulum endoplasmik yang

halus. Antigen kedua koloid asinar, suatu protein yang berbeda dari

tiroglobulin juga dideteksi dengan imunofluoresensi. Pewarnaan

untuk antibodi ini paling cemerlang pada tiroiditis Hashimoto,

meskipun tidak spesifik pada penyakii ini dan dapat sering

ditemukan pada serum penderita dengan tirotoksikosis dan kanker

tiroid. Antibodi permukaan sel spesifik tiroid telah terdeteksi

74

Page 75: buku modul Imun 2009

dengan imunofluoresensi pada suspensi sel tiroid manusia. Arti dari

antibodi ini belum diketahui. Stimulator tiroid berdaya kerja lama

(long acting thiroid Stimulatorr = LATS) telah dideteksi pads sekitar

50 persen penderita penyakit Grave. Imunoglobulin yang

merangsang tiroid (thyroid-slimulating immunoglobulin = TSI) dalam

sirkulasi telah dideteksi dalam 90 persen penderita-penderita

penyakit Grave dan 15 persen pada penderita tiroiditis Hashimoto.

Meskipun hipertiroidisme dapat mengkarakterisasi fase tertentu

tiroiditis, tujuan keseluruhan dari proses penghancur diri dari

penyakit Hashimoto tampaknya diarahkan dengan keras pada

terjadinya inflamasi kronik dengan infiltrasi limfosit, penghancuran

kelenjar ,dan akhirnya pengurangan fungsi tiroid dan hipotiroidisme.

Sebab dari eksoftalmus pada penyakit Grave belum diketahui.

Namun demikian penelitian baru-baru ini yang menunjukkan adanya

tiroglobulin dalam otot orbita penderita penyakit grave dapat

memperkuat dasar dari injuri imun seluler pada patogenesis

penyakit ini. Aneka macam bentuk tiroiditis dapat dibedakan

dcngan meneliti berbagai macam fungsi tiroid dan antibodi . Pada

bentuk akut, gambaran yang paling sering adalah bertambahnya T4

total bersamaan dengan berkurangnya pengambilan jodium-131.

Antibodi antitiroid biasanya tidak dideteksi pada tiroiditis akut. Pada

tiroiditis subakut, kadar tiroksin sering normal, tetapi dapat

dideteksi bertambahnya senyawa jodium nontiroksin dalam

sirkulasi. Penyerapan jodium-131 seringkali normal. Antibodi

antitiroid biasanya tidak ada pada tiroiditis subakut. Pada bentuk

kronik, fungsi tiroid dapat normal atau berkurang, tergantung pada

tingkat keterlibatan tiroid. Antibodi antitiroid biasanya terdeteksi.

Pada penyakit Grave, T4 total naik, penyerapan 113I radioaktif

meningkat, dan antibodi antitiroid, terutama LATS dan TSI ada.

75

Page 76: buku modul Imun 2009

Gambar 10. Foto mikroskopis kelenjar tiroid yang menunjukkan perubahan

tiroiditis kronis (tiroiditis Hashimoto). Perhatikan penghancuran

susunan normal kelenjar dengan infiltrasi sel-sel mononuklear berat

Pankreas

Antibodi terhadap insulin dalam sirkulasi telah ditemukan dalam

serum penderita diabetes, yang dapat membantu alergi insulin (IgE)

atau kekebalan insulin (IgG, IgA atau IgM) . Namun demikian,

antibodi ini tidak ditemukan secara teratur pada penderita yang

tidak diobati. Akhir-akhir ini, kekebalan insulin telah dilaporkan pada

penderita yang tidak diobati dan tampak dikaitkan dengan dua jenis

antibodi: (1) antibodi yang diarahkan terhadap reseptor molekul

insulin, dan (2) antibodi yang diarahkan terhadap reseptor insulin.

Pada kedua keadaan ini, interaksi insulin dengan reseptornya

tampak dirintangi. Antibodi insulin yang dihasilkan pada binatang

telah memberikan dasar untuk uji yang berguna untuk

radioimunoassay kadar insulin. Baru-baru ini, autoantibodi tiroid

dan gastrik telah ditemukan dalam serum penderita diabetes tanpa

ada penyakit tiroid secara klinis atau anemia pernisiosa.

Autoantibodi ini lebih sering dideteksi pada jenis tergantung insulin

(Juvenile-onset) dan lebih sering dideteksi pada wanita. Penemuan

ini mungkin merupakan salah satu segi heterogenesitas dari

penvakit endokrin ini.

76

Page 77: buku modul Imun 2009

Kelenjar Adrenal

Penemuan antibodi terhadap jaringan adrenal pada penderita

penyakit Addison telah dilaporkan. Antibodi ini telah dideteksi

dengan imunofluoresensi atau fiksasi komplemen. Arti penting

penemuan tersebut pada saat ini belum jelas.

Kelenjar Paratiroid

Hipoparatiroidisme idiotipik terjadi dengan frekuensi lebih besar

pada anak-anak daripada dewasa dan lebih sering pada wanita

daripada laki-laki. Penyakit terkait yang dapat menyertai

hipoparatiroidisme, termasuk penyakit Addison idiopatik, alopesia

totalis, anemia pernisiosa dan moniliasis. Antibodi terhadap tiroid,

kelenjar adrenal dan jaringan gastrik telah dideteksi. Bukti dengan

alasan yang meyakinkan telah diperoleh untuk cara pemindahan

autosomal resesif dari cacat yang mendasari macam-macam

penyakit yang terkait ini bila ada kelompok yang terdiri dari dua

atau lebih. Perlu diperhatikan bahwa ada juga hubungan

hipoparatiroidisme dengan kegagalan perkembangan sistem imun

tergantung timus pada sindroma DiGeorge.

e. Pertanyaan minimal yang dikuasai

1. Bagaimanakah mekanisme Autoimun?

2. Bagaimanakah konsep self Tolerance ?

3. Bagaimanakah mekanisme kehilangan self tolerance?

4. Apakah yang dimaksud Major Hystocompatibelity Complex

(MHC) atau Human Leukocyte Antigen (HLA) ?

5. Sebutkan penyakit-penyakit yang berdasarkan mekanisme

autoimun !

6. Jelaskan patogenesis penyakit-penyakit yang berdasarkan

mekanisme autoimun !

77

Page 78: buku modul Imun 2009

7. Jelaskan gejala dan tanda kelainan-kelainan yang berdasarkan

mekanisme autoimun !

8. Jelaskan pemeriksaan penunjang untuk kelainan-kelainan

yang berdasarkan mekanisme autoimun!

f. Daftar pustaka

- Daniel P. Stites,Abba I. Terr, Tristram G. Parslow.,1997.Medical

Immunology 9th edition,Appleton&Lange,USA,pp : 827-862

- Ivan Roitt,Jonathan Brostoff,David Male.,1998. Immunology 6th

edition.Mosby,Barcelona,pp : 401-412

- Joseph A Bellanti, MD. Immunologi III,58-86, 203-212, 223-234,

442-483

- Abul K. Abbas,Andrew H. Lichtman,Jordan S.

Pober.,2000.Cellular and Molecular Immunology 4th

edition.,Saunders,USA,pp : 41-63.

- Julius M Cruse, Robert E lewis. Immunology. Hostech SA, Spain,

177-205

- CD Imunologi dasar

78

Page 79: buku modul Imun 2009

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 3

(LBM 3)

a. Judul:

Imunodefisiensi dan imunokompremaise

b. Sasaran Belajar

1. Melakukan injeksi sub cutan (test alergi), injeksi intra

muskuler, dan injeksi intra vena

2. Menjelaskan mekanisme imunodefisiensi

3. Menjelaskan pengaturan imun (Imunopotensiasi,

Toleransi, Imunosupresi dan imunokompromise)

4. Menjelaskan farmakologi obat-obat imunostimulan, anti

inflamasi dan anti histamin

5. Menjelaskan zat-zat mediator dan imunomodulator respons

imun

6. Menjelaskan penyakit-penyakit imunodefisiensi primer

dan sekunder

7. Menjelaskan imunopatogenesis penyakit

imunodefisiensi primer dan sekunder

8. Menjelaskan gejala dan tanda HIV + / AIDS sebagai

penyebab terpenting dari imunodefisiensi sekunder

9. Menjelaskan pemeriksaan lab dasar dan penunjang

terkait masalah penyakit imunodefisiensi primer dan

sekunder

10. Menjelaskan alasan hasil penegakan diagnosis

terhadap penyakit imunodefisiensi primer dan

sekunder

11. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan

penyakit imunodefisiensi primer dan sekunder serta alasan

pemilihan penanganan tersebut

12. Menjelaskan prinsip dasar keputusan pengelolaan

pasien imunodefisiensi primer dan sekunder

13. Menjelaskan penanganan TBC with HIV

79

Page 80: buku modul Imun 2009

14. Menjelaskan Islamic Lifestyle dapat mencegah HIV-AIDS

15. Menjelaskan penanggulangan epidemic dan dampak

social HIV/AIDS

16. Menjelaskan pemeriksaan immunohistokimia

17. Menjelaskan teknik Immunodiagnostik

SKENARIO

Kata Kunci:Badan lemah, nyeri perut yang hilang timbul, diare, napsu makan menurun, dan penurunan badan yang dratis, bekas-bekas luka sayat berupa sikatrik dan keloid, HIV +, bercak-bercak kemerahan

Masalah:Imunodefisiensi dan imunokompromise

80

Seorang wanita usia 30 tahun dirawat di bangsal ruang isolasi bagian Penyakit Dalam RS Pemerintah, dengan keluhan badan lemah, batuk-batuk, nyeri perut yang hilang timbul, diare, napsu makan menurun, serta penurunan berat badan yang drastis. Pada anamnesis diketahui berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Sudah 5 tahun ini penderita hidup dengan pacarnya yang diketahui sebagai pengguna narkoba injeksi (injection drug user). Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya bercak-bercak kemerahan di sekujur tubuh, bercak-bercak tersebut muncul sejak 4 bulan yang lalu dan semakin bertambah banyak. Kadang bercak-bercak tersebut terasa sakit. Ditemukan pula pembesaran kelenjar limfe multiple. Pada pemeriksaan lab ditemukan penurunan lekosit. Pada pemeriksaan radiologi tampak gambaran putih pada lapang paru yang diduga sebagai gambaran pneumonia. Penderita diambil sampel saliva, urin, darah, swab vagina guna pemeriksaan gula darah dan skrening p24 antigen test serta pemeriksaan Elisa

Page 81: buku modul Imun 2009

c. Konsep Maping

f. Materi

Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar

untuk menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang

bertujuan mencapai kompetensi sasaran belajar)

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu suatu kumpulan

gejala penyakit yang timbul akibat lemah atau hilangnya system

imun disebabkan oleh infeksi virus HIV.

HIV kependekan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu

suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia.

Dimana target utama dari virus ini adalah sel T helper. HIV dapat

dihentikan oleh system pertahan tubuh non spesifik. HIV tidak dapat

masuk kedalam tubuh melalui kulit yang intak/utuh. HIV hanya

dapat ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh secara langsung,

misal hubungan sexual, transfusi darah, melalui jarum suntik yang

terkontaminasi, ibu hamil ke janin yang sedang dikandung dan saat

menyusui. HIV yang ditularkan melalui hubungan sexual, masuk ke

81

HIV+ / AIDS Imunodefisiensi

NAPZA

SEX Bebas

Infeksi

KeganasanImun

Spesifik

Imun Non Spesifik

Imunokompromise

Page 82: buku modul Imun 2009

dalam tubuh melalui membrane mukosa vagina, mulut dan rectum.

Makrofag dan sel dendritik pada permukaan mukosa akan mengikat

virus dan akan membawa virus ke limfonodi yang banyak

mengandung sel T helper (CD4+ Tcells)

Kemudian HIV akan menyerang sel T CD4+, dan melakukan

replikasi sehingga terjadi viremia. Dan memperluas penyebaran

virus ke jaringan-jaringan limfonodi yang lain. Respon immune yang

dicetuskan oleh virus menimbulkan perlindungan tetapi infeksi

kronik tetap berjalan terus. Produksi sitokin dan sel2 imun yang

meregulasi system immune justru akan menyebabkan replikasi HIV.

Penggantian sel T CD4+ berlangsung cepat seiring dengan

jumlah sel T CD4+ yang dihancurkan oleh HIV. Pada suatu saat

limfonodi dan sumsum tulang yang memproduksi sel-sel imun akan

lelah sehingga produksi sel-sel immune akan berkurang atau tidak

ada sama sekali. Hal ini akan menyebabkan menurunnya atau

hilangnya system kekebalan tubuh kita.

HIV berkembang biak (bereplikasi) melalui suatu siklus:

82

Page 83: buku modul Imun 2009

1. HIV akan melakat pada permukaan sel T CD4+, untuk masuk

ke dalam sel memerlukan pengikat yaitu co-reseptor CXCR4

dan CCR5.

2. HIV yang sudah tidak berkapsul masuk ke dalam sel dan

membalikan transkrip genom RNA mjd DNA, mengacaukan

replikasi RNA satu frequent untuk tiap2 siklus replikasi

3. DNA virus dapat berintegrasi dengan DNA host dan menjadi

bagian dari genome seluler. Pada tingkat ini infeksi bersifat

irreversible dan itu berarti untuk mengobati atau

mengeluarkan (membunuh) virus di dalam tubuh seseorang

yang terinfeksi viru ini menjadi tidak mungkin.

Virus menggunakan mesin seluler ntuk mensintesis protein virus.

Beberapa diantaranya adalah asam amino rantai panjang dimana

untuk memotong rantai ini diperlukan enzim protease virus

spesifik sebelum partikel virus menjadi aktif.

83

Page 84: buku modul Imun 2009

Pada saat pertamakali seseorang terinfeksi HIV, dibutuhkan

waktu 1-6 bulan untuk pembentukan antibody yang cukup

jumlahnya sehingga dapat dideteksi melalui pemeriksaan

laboratorium. Untuk menjadi AIDS tiap-tiap individu memerlukan

waktu yang bervariasi demikian pula perjalanan penyakitnya.

Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan spectrum yang berkisar

dari sindroma akut yang berkaitan dengan infeksi primer lalu

keadaan asimptomatik yang berkepanjangan sampai penyakit

lanjut.

SINDROMA HIV AKUT

Biasanya terjadi 3- 6 minggu setelah infeksi primer. Gejala biasanya

menetap 1-2 minggu dan secara bertahap mereda seiring dengan

pembentukan respon imun terhadap HIV.

Gejala Umum:

1. Demam

2. Faringitis

3. Limfadenopati

4. nyeri kepala/ nyeri retro orbita

5. atralgia / mialgia

6. Letargi / malese

7. Anoreksia dan penurunan berat badan yang drastis, lebih dari

10 kg dalam waktu 1 bulan

8. Diare berkepanjangan lebih dari 3 bulan.

Gejala neuropati :

1. Meningitis

2. Encephalitis

3. Neuropati perifer

4. Mielopati

Gejala Dermatologis :

84

Page 85: buku modul Imun 2009

1. Ruam makulopapuler eritematosa yang lebih dikenal sebagai

sarcoma Kaposi

2. Ulkus mukokutis

STADIUM ASIMTOMATIK – LATENSI KLINIS

Jangka waktu dari infeksi awal sampai pembentukan penyakit klinis

sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain, waktu median

adalah sekitar 10 tahun. Waktu median ini sangat bervariasi sesuai

cara infeksi. Infeksi transuterin biasanya mengalami perjalanan

penyakit yang lebih progresif.

Selama periode asimtomatik ini replikasi virus aktif terus

berlangsung. Penurunan progresif jumlah sel T CD4+ selama

periode asimtomatik ini menimbulkan status imunosupresi yang

cukup parah ( jumlah sel T CD4+ < 200 per mikroliter ) yang

menempatkanpasien pada resiko tinggi terjangkit penyakit

oportunistik yang tampak secara klinis. Pada pasien-pasien tertentu,

walaupun asimtomatik, mengalami limfadenopati generalisata.

STADIUM SIMTOMATIK DINI

Pada suatu titik selama penurunan jumlah sel T CD4+ dibawah 500

per mikroliter, pasien mulai memperlihatkan gejala dan tanda

penyakit klinis. Karakteristik klinis penyakit simtomatik dini :

1. Limfadenopati generalisata : pembesaran kelenjar limfe >

1cm di dua atau lebih tempat ekstrainguinal

2. Trush : infeksi pada mukosa mulut akibat Candida

3. Oral hairy leukoplakia : berupa lesi putih filamentosa biasanya

terdapat pada batas lateral lidah. Disebabkan oleh virus

Epstein-Barr.

4. Ulkus aftosa : penyebab tidak diketahui, biasanya terletak di

orofaring posterior dan sangat nyeri sehingga menyebabkan

gangguan prose menelan.

5. Reaktivasi herpes zoster/ shingles. Dijumpai 10 – 20 % pasien

infeksi HIV setelah 5 tahun terinfeksi HIV.

85

Page 86: buku modul Imun 2009

6. Trombositopenia, gejala klinis yang sering muncul adalah

perdarahan gusi, petekie di ekstremitas dan mudah memar.

Gejala klinis lain yang sering dijumpai adalah moluskum

kontagiosum, karsinoma sel basal kulit, kondiloma kuminata, nyeri

kepala dan serangan berulangan herpes oral dan genital.

Virus AIDS ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan yang

paling banyak ditemukan pada drah, cairan sperma, dan cairan

vagina. Pada cairan tubuh lain juga bisa ditemukan, seperti

misalnya cairan ASI tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sejumlah 75-

85% penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya

melalui hubungan homoseksual). 3-5% melalui transfusi darah yang

tercemar. Infeksi HIV sebagian besar (>80%) diderita oleh kelompok

usia produktif, 15-49 tahun, terutama laki-laki. Tetapi proporsi

penderita wanita cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak,

90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang

dilahirkan oleh ibu pengidap HIV akan menjadi pengidap HIV melalui

infeksi yang terjadi dalam kandungan selama proses persalinan dan

melalui pemberian ASI. Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu

hamil trimester akhir risiko penularan dapat dikurangi menjadi 8%.

Pada dasarnya pencegahan suatu penyakit lebih murah dari pada

pengobatan penyakit tersebut. Proses pencegahan tersebut tidak

dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan dan sejarah penyakit.

Dalam proses pencegahan, dilakukan deteksi dan intervensi pada

penyebab dan factor resiko dari penyakit tersebut. Arti pencegahan

sendiri adalah mengadakan inhibisi terhadap perkembangan suatu

penyakit.

Tingkat pencegahan penyakit terdiri dari :

Pencegahan primer (tingkat pencegahan dilakukan pada fase

sejarah alami suatu penyakit), terdiri dari 2 kategori, yang

pertama yaitu peningkatan kesehatan (health promotion) missal

perbaikan gizi, perbaikan kondisi rumah, pendidikan kesehatan);

yang kedua pencegahan spesifik missal immunisasi, penjernihan

air minum,pencegahan kecelakaan,pengaruh diet dan olahraga

86

Page 87: buku modul Imun 2009

dan dalam pelaksanaan dipengaruhi sikap individu dan

lingkungan

Pencegahan sekunder (tingkat pencegahan ini dilakukan

pada fase preklinik dan klinik) ; terdiri 2 macam yaitu penemuan

deteksi secara dini dan pengobatan secara dini

Pencegahan Tersier (pencegahan dilakukan pada fase

penyakit yang sudah lanjut atau fase kecacatan) ;terdiri dari

membatasi kecacatan dan rehabilitasi.

Dari uraian diatas maka jelas bahwa perilaku dan pola

kehidupan manusia itu sendiri mempunyai pengaruh penting

terhadap masalah kesehatan yang timbul termasuk kasus diatas

yaitu penderita AIDS.

Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara

mencegah penularan virus AIDS. Karena penularan AIDS terbanyak

adalah melalui hubungan seksual. Pencegahan lain adalah melalui

pencegahan kontak darah, misalnya pencegahan penggunaan jarum

suntik yang diulang, pengidap virus tidak boleh menjadi donor

darah.

Secara ringkas, pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C.

A adalah Abstinensia, artinya tidak melakukan hubungan seks

sebelum menikah. B adalah be faithful, artinya jika sudah menikah

hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. C adalah

Condom, artinya jika memang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka

harus menggunakan alat pencegahan dengan menggunakan

kondom

g. Pertanyaan minimal yang dikuasai

1. Bagaimanakah mekanisme imunodefisiensi ?

2. Bagaimana pengaturan imun (Imunopotensiasi, Toleransi,

Imunosupresi) ?

3. Jelaskan tentang imunodefisiensi primer dan sekunder

4. Jelaskan patogenesis patogenesis HIV+ / AIDS !

5. Jelaskan tentang HIV+ / AIDS !

87

Page 88: buku modul Imun 2009

6. Jelaskan gejala dan tanda HIV +/ AIDS !

7. Jelaskan pemeriksaaan penunjang HIV+ / AIDS !

h. Daftar pustaka

- Daniel P. Stites,Abba I. Terr, Tristram G.

Parslow.,1997.Medical Immunology 9th

edition,Appleton&Lange,USA,pp : 187

- Ivan Roitt,Jonathan Brostoff,David Male.,1998. Immunology

4th edition.Mosby,Barcelona,pp : 22.1 – 25.12

- Abul K. Abbas,Andrew H. Lichtman,Jordan S.

Pober.,2000.Cellular and Molecular Immunology 4th

edition.,Saunders,USA,pp : 424-44

- CD Imunologi dasar

88

Page 89: buku modul Imun 2009

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 4

(LBM 4)

a. Judul:

Bercak merah, gatal, dan bernanah

b. Sasaran Belajar :

1. Memahami aspek mikrobiologi dari jamur dermatofita dan

non dermatofita

2. Memahami aspek mikrobiologi dari bakteri gram (+)

pembentuk nanah ( Staphylococcus dan Streptococcus)

3. Memahami reaksi jaringan terhadap masuknya jamur dan

bakteri gram positif

4. Menjelaskan definisi dari impetigenisata

5. Memahami dan menjelaskan apa yang disebut pyoderma

primer.

6. Menjelaskan macam-macam pyoderma primer

7. Menjelaskan penatalaksanaan pyoderma primer

8. Melakukan terapi incisi dan drainase pada pyoderma

9. Menjelaskan etiologi bercak merah yang gatal dengan

tepi aktif dan central healing

10. Menjelaskan klasifikasi mikosis superfisialis

11. Menjelaskan penyakit- penyakit yang termasuk

dalam mikosis superfisialis

12. Menjelaskan predisposisi terjadinya mikosis

superfisial

13. Menjelaskan etiologi, gejala dan ujud kelainan

kulit yang terdapat pada mikosis superfisialis

14. Menjelaskan terapi anti jamur masing-masing

penyakit yang termasuk dalam mikosis superfisialis

baik dewasa maupun anak, efek samping terapi dan

interaksi obat.

89

Page 90: buku modul Imun 2009

15. Bisa menentukan diagnosis banding berdasarkan

ujud kelainan kulit dan predileksi lesi

16. Bisa melakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis

mikosis superfisial

17. Menjelaskan aspek farmakologi terapi jamur

18. Bisa melakukan penulisan resep obat-obat anti jamur

19. Menjelaskan konsep taharoh dalam mencegah

penularan penyakit kulit

90

Page 91: buku modul Imun 2009

SKENARIO

Kata Kunci:Eritematousa, tepi aktif, central healing, pustul, impetigenisata

Masalah:Bercak merah gatal dan bernanah

91

Bercak Merah Gatal dan Bernanah

Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke RISA dengan keluhan sejak 14 hari yang lalu bagian lipat paha timbul bercak merah bersisik yang tepinya meninggi dan terasa gatal. Gatal akan semakin mengganggu bila berkeringat. 4 Hari yang lalu bercak merah bertambah lebar dan bertambah banyak jumlahnya. Bercak merah timbul pada punggung dan perut. Bercak merah pada bagian perut karena digaruk timbul luka dan bernanah. Dari pemeriksaan didapatkan adanya lesi berbentuk polisiklis yang eritematousa, tepi aktif terdapat papula dan bagian tengahnya terdapat central healing dengan ujud kelainan kulit berupa hiperpigmentasi, skuama, pada perut ada pustul, krusta, ekskoriasi, tidak ada lesi satelit, tidak ada makula eritema dengan skuama halus . Dokter menyatakan bahwa ada dua kelainan. Yang bernanah merupakan suatu kelainan kulit yang mengalami proses impetigenisata.. Untuk meyakinkan diagnosisnya doter menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan sample dari dua lokasi yang berbeda yaitu dari lipat paha dan dari perut pada lesi yang bernanah.

Page 92: buku modul Imun 2009

Konsep map

Materi

Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar

untuk menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang

bertujuan mencapai kompetensi sasaran belajar)

BERCAK MERAH GATAL DAN BERNANAH

Bercak merah merupakan perubahan warna kulit menjadi merah.

Bila disertai adanya infiltrat maka akan membentuk papul, nodul,

plakat. Banyak penyakit kulit diawali dengan timbulnya bercak

merah. Pada tiap-tiap penyakit selain adanya bercak merah juga

92

Bercak Merah Gatal

Central healing

Jamur

Tepi aktif

Tinea

Impetigenisataa

Skuama

Pyoderma sekunder

Kandidosis kutis

Lesi satelit

P. Versikolor

Lesi kecil skuama halus

Bakteri Gram (+):Staphylococcus, Streptococcus

Page 93: buku modul Imun 2009

disertai dengan tanda-tanda yang spesifik sehingga dapat

dibedakan antara penyakit satu dengan yang lain.

Bila didapatkan bercak merah maka perhatikan bentuk, ukuran,

tepi, skuama, gejala dan tanda lain yang menyertainya.

Bercak merah yang gatal dimana bagian tepinya aktif dan bagian

tengahnya tenang (central healing) disebabkan oleh jamur golongan

dermatofita yang disebut dengan tinea. Namun demikian jamur

golongan dermatofita walaupun spesiesnya sama bila menyerang

kepala, telapak kaki, kuku akan memberi gambaran yang tidak khas

yaitu tidak terdapatnya central healing dan tepi yang aktif. Bila

bercak merah disertai adanya lesi-lesi kecil yang mengelilinginya

(lesi satelit) maka disebabkan oleh Candida albican. Bila bercak

merah terdapat pada daerah tertutup diselimuti skuama halus

kemungkinan adalah Pthyriasis versikolor (panu) (PV). PV selain

memberikan warna yang merah dapat juga memberikan gambaran

warna putih dan coklat dengan skuama halus diatasnya.

PENATALAKSANAAN UMUM

Dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang untuk membedakan masing-masing penyakit

Apabila terbentuk pus kemungkinan terjadinya infeksi sekunder

(proses impetigenisata) sehingga terjadi pyoderma sekunder.

DERMATOMIKOSIS

Dermatomikosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur.

Berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi :

1. Mikosis Superfisialis

2. Mikosis Intermediate

3. Mikosis Profunda

MIKOSIS SUPERFISIALIS

93

Page 94: buku modul Imun 2009

Mikosis superfisialis : Penyakit jamur kulit yang mengenai lapisan

luar kulit, kuku dan rambut.

Dibagi menjadi 2:

Dermatofitosis

Non dermatofitosis

DERMATOFITOSIS

Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang

mengandung zat tanduk misalnya pada epidermis kulit, rambut dan

kuku yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Kedalaman

pada pada kulit bisa mencapai stratum basale. Sinonim: Tinea,

ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata.

Etiologi:

Jamur golongan dermatofita yang terbagi dalam 3 genus:

Mikrosporon, Tricophyton, dan Epidermophyton. Jamur golongan

dermatofita bersifat keratofilik dan memiliki enzim keratinase yang

membantu jamur mencerna keratin.

Klasifikasi:

Klasifikasi yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan

lokasi:

- Tinea Kapitis

- Tinea Barbae

- Tinea Kruris

- Tinea Pedis et Manum

- Tinea Unguium

- Tinea Korporis

- Tinea Fasialis

- Tinea Imbrikata

- Tinea Sirsinata

- Pada akhir-akhir ini dikenal nama Tinea inkognito yang berarti

dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena

telah diobati dengan steroid topikal kuat.

94

Page 95: buku modul Imun 2009

Gejala klinis:

Secara umum penderita merasa gatal sedangkan ujud kelainan

pada kulit yang tidak berambut mempunyai morfologi khas. Lesi

berupa plakat eritematousa berbatas tegas dengan tepi sedikit

meninggi ( tepi aktif) yang terbentuk dari vesikel kecil kecil , papul

disertai adanya skuama. Bagian tengahnya cenderung lebih tenang

(central healing)

Namun demikian pada lokasi-lokasi tertentu mempunyai gambaran

yang khas.

Diagnosis:

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik dibantu juga dengan

peeriksaan penunjang berupa:

1. Pemeriksaan preparat langsung dengan larutan KOH 10-

40%

2. Pembiakan

3. Reaksi imunologis

4. Biopsi atau gambaran histopatlogi

5. Pemeriksaan lampu Wood

Tinea Kapitis

Dermatofitosis yang menyerang rambut dan kulit kepala.

Etiologi:

- Jamur endotrix: Spesies Tricophyton ( T.tonsuran, Tviolaceum)

Infeksi jamur terjadi didalam batang rambut tanpa merusak

kutikula

- Jamur ektotrik : Spesies Microsporum (M. auduinii dan M. canis)

Infeksi jamur dimulai dari luar batang rambut sehingga

merusak kutikula rambut.

Dibagi menjadi 2: Yaitu yang menimbulkan reaksi peradangan dan

tidak

1. Raksi Peradangan hebat

95

Page 96: buku modul Imun 2009

Kerion.

Bentuk peradangan hebat ditandai dengan adanya

pembengkakan, nodul ayng eritematousa disertai pustul. Bila

pustul pecah pus akan keluar dari lubang lubang bekas pustul .

Gambaran ini menyerupai sarang lebah. Rambut pada lokasi ini

putus-putus dan mudah dicabut. Bila sembuh meninggalkan

jaringan parut yang mengakibatkan alopesia ireversibel

Favus

Dimulai adanya titik dibawah kulit berwarna merah kuning

berkembang menjadi krusta yang berwarna kuning berbentuk

cawan (skutula) melekat pada kulit. Krusta biasanya ditembus

oleh satu atau dua rambut bila krusta diangkat terlihat dasar

yang cekung. Dapat tecium bau tikus (mousy odor)

2. Tidak ada peradangan

Black dot ring worm

Rambut putus tepat pada permukaan kulit kepala (pada muara

folikel rambut)yang tertinggal ujung rambut yang mengandung

spora. Ujung rambut tampak sebagai titik-titik hitam sehingga

tampak gambaran sebagai black dot.

Gray pacth ring worm

Dimulai papul eritem kecil melebar kesekitarnya membentuk

bercak berwarna pucat dan bersisik. Rambut menjadi abu-abu

rapuh dan mudah patah diatas kulit kepala.

Tinea Barbae

Dermatofitosis pada jenggot dan kumis.

96

Page 97: buku modul Imun 2009

Etiologi : T.verrucosum, T.mentagrophytes

Tanda klinis:

Folikel rambut didapatkan adanya pustul, papul sering

eksudasi dan krusta. Rambut kumis dan jenggot mudah dicabut

dan rontok.

Tinea Kruris dan Tinea korporis

T.kruris : Dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar

anus, bokong dan kadang sampai perut bagian bawah.

T.korporis : Dermatofitosis pada daerah badan, tungkai dan

lengan.

T.kruris dan T.korporis dapat digolongkan menjadi t. glabrosa

oleh karena kelainan terdapat pada kulit yang tidak berambut.

Walaupun secara klinis terdapat murni T kruris atau korporis

namun bisa ditemukan tinea kruris et korporis.

Etiologi: Bisa dari ketiga genus dermatofita.

Gejala dan tanda :

Keluhan yang sering dialami pasien adalah gatal.

Ujud kelainan kulit yang tipikal didapatkan lesi dengan batas

tegas tepi meninggi terdiri dari eritematosa, papulovesikel

skuama (tepi aktif) bagian tengah menyembuh bisa berupa

hiperpigmentasi, skuama. Pada t. kruris bisa terjadi secara

unilateral maupun simetris. Daerah skrotum jarang menunjukkan

gambaran klinis. Berbeda dengan kandidiasis yang sering

menunjukkan keterlibatan klinis pada skrotum. Pada t korporis

bila terjadi pada daerah wajah tidak berambut para klinisi

menyebutnya sebagai tinea fasialis. Sedangkan bentuk t.korporis

lain yang khas adalah t.imbrikata yaitu dermatofitosis dengan

susunan skuama yang kosentris dan disebabkan Tricophyton

consentricum.

97

Page 98: buku modul Imun 2009

Tinea Pedis et manus

Dermatofitosis pada kaki dan tangan.

Ada 3 bentuk.

1. Tinea pedis /manum interdigitalis

Sering terjadi pada antara jari IV dan V. Didapatkan fisura,

skuama halus dan tipis. Oleh karena daerah ini lembab bisa

ditemukan adanya maserasi. Kelainan ini dapat meluas pada

sela jari yang lain.

2. Tinea pedis/ manum hiperkeratosis (moccasin foot)

Pada seluruh telapak kaki dan tangan, tepi sampai punggung

kaki dan tangan. Ditemukan adanya penebalan (hiperkeratosis)

skuam. Bila hiperkeratosis hebat bisa ditemukan adanya fisura.

Eritema biasanya ringan.

3. Tinea pedis / manum sub akut.

Dijumpai vesikel, vesiko pustul, bula mula dari sela jari, meluas

ke telapak kaki,dan punggung kaki. Vesikel berisi cairan yang

kental bila pecah meninggalkan skuama yang melingkar

disebut koleret.

Tinea Unguium

Kelainan kuku yang disebabkan jamur dermatofitosis.

Ada 3 bentuk:

1. Sub ungual proksimal

Mulai dari pangkal kuku. Bagian distal kukuk biasanya masih

utuh.

2. Sub ungual distal

Mulai dari bawah kuku bagian diatal atau

distolateral.Permukaan kuku suram , rapuh dan terbentuk

hiperkeratosis sub ungual. Bawah kuk terdapat detritus yang

mengandung elemen jamur.

3. Leukonikia trikofita.

98

Page 99: buku modul Imun 2009

Berupa warna putih pada permukaan kuku yang dapat

dikerok. T. unguium merupakan dermatofitosis yang paling

sulit diobati.

NON DERMATOFITOSIS

Pitiriasis Versikolor.

Etiologi : Malassezia furfur flora normal kulit.

Lokasi : Atas dada meluas lengan atas, leher, perut,

tungkai atas bawah, Aksila inguinal kulit wajah dan kepala.

Gejala dan tanda klinis:

Timbul keluhan timbul bercak berwarna putih sampai

kecoklatan yang kadang gatal bila berkeringat. Bisa pula tanpa

keluhan gatal sama sekali. Ujud kelainan kulit yang dijumpai adanya

makula hipopigmentasi berbatas tegas tertutup skuama halus pada

orang dengan kulit berwarna sedangkan pada orang kulit pucat

biasanya berupa makula hiperpigmentasi sampai eritematousa

dengan skuama halus. Untuk menunjukkan adanya suamasi secara

sederhana dapat dilakukan dengan garukan maka akan tampak

jelas antara lesi dan kulit yang normal (finger nail sign). Terjadinya

hipopigmentasi disebabkan enzim oksidase pada M.furfur akan

mengoksidasi asam lemak pada kulit sehingga terbentuk asam

dekarboksilat yang menghambat tirosinase pada melanosit

epidermal. Selain itu jamur juga mempunyai sifat sitotoksik pada

melanosit. Sedangkan lesi hiperpigmenasi yang terjadi sampai saat

ini belum dapat dijelaskan.

Ada 2 bentuk klinis:

1. Bentuk makular: Makula yang lebar dengan skuama halus

2. Bentuk folokuler: Makula kecil –kecil disekitar folikel rambut.

TERAPI MIKOSIS SUPERFISIALIS

1. Terapi topikal

- Lesi radang akut atau yang mengalami eksudasi di kompres

- Obat –obat topikal dengan kandungan tolsiklat, haloprogin,

tolnaftat, golongan azol: mikonazol, ketokonazol, bifonazol,

99

Page 100: buku modul Imun 2009

tiokonazol, clotrimazol dalam bentuk krim, salep, solusio,

shampo, sabun, bedak

- Lesi yang hiperkeratosis dapat diberikan bahan-bahan

keratolitik berupa asam salisilat 3-6%

2. Terapi sistemik

- Griseovulvin harus diminum bersama dengan orange juice

karena untuk melarutkan tablet harus dalam pH asam.

- Azol : ketokonazol, itrakonazol, flukonazol

- Alilamin: Terbinafin

Dosis dan lama pemberian tergantung pada anak atau dewasa

serta jenis penyakit jamur.

PENCEGAHAN

1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan

maserasi , jika faktor lingkungan tidak diperbaiki penyembuhan

akan lambat.

2. Alas kaki harus pas dan tidak ketat

3. Pasien dengan hiperhidrosis memakai kaos dari bahan katun

yang menyerap keringat

4. Pakaian , handuk agar sering diganti dan dicuci.

PROGNOSIS

Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh bentuk klinik dan

penyebab penyakitnya disamping faktor yang memperberat dan

memperingan penyakit.

e. Pertanyaan Minimal

1. Apakah yang dimaksud dengan dermatomikosis?

2. Klasifikasi dermatomikosis.

3. Apakah yang dimaksud dengan mikosis superfisial?

4. Klasifikasi mikosis superfisial

5. Apa yang dimaksud dengan dermatofitosis dan sebutkan

jamur yang termasuk penyebab dermatofitosis.

100

Page 101: buku modul Imun 2009

6. Jelaskan predisposisi penderita mikosis superfisial

7. Jelaskan mengenai Tinea kapitis, Tinea pedis, Tinea Ungueum

8. Jelaskan mengenai Tinea korporis, Tinea kruris

9. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis

10. Jelaskan mengenai Pthyriasis Versicolor?

11. Jelaskan etiologi kandidosis kutis

12. Bagaimanakah ujud kelainan kandidosis kutis

13. Dimana predileksi kandidosis kutis

14. Jelaskan Terapi pada masing-masing mikosis

superfisialis dosis dan lamanya pada anak dan dewasa, serta

efek samping.

f. Daftar Pustaka

- Color Atlas and Synopsis Of Clinical Dermatology . Thomas B

Fitzpatrick MD et all edisi 4.

- Dermatomikosis superfisialis pedoman untuk dokter dan

mahasiswa kedokteran. Unandar Budimulja dkk. Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001

- Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Prof Dr.dr. Adhi Djuanda dkk.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Edisi 4 2005.

- Penyakit Jamur Kulit. Dr. R.S Siregar Lab I. Penyakit Kulit dan

Kelamin FK UNSRI / RSU Palembang. 1995

- Dermatology in general medicine. Fitzpatrick et all edisi 5/6

101

Page 102: buku modul Imun 2009

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 5

(LBM 5)

a. Judul:

Kelainan Adneksa Kulit

b. Sasaran Belajar:

1. Menjelaskan macam-macam adneksa kulit

2. Menjelaskan macam-macam kelainan adneksa kulit

3. Menjelaskan faktor-faktor yang mendasari kelainan

kelenjar kulit

4. menjelaskan mekanisme patogenesis dan

patofisiologi kelainan kelenjar sebasea

5. Menjelaskan gejala klinis macam-macam kelainan

kulit

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang untuk tujuan

penapisan pada kelainan adneksa kulit

7. Menjelaskan berbagai pilihan cara pengelolaan

kelainan adneksa kulit

8. Menjelaskan terapi kelainan adneksa kulit

9. Menentukan keterampilan terapeutik berkaitan

dengan kelainan adneksa kulit

10. Menentukan tindakan preventif untuk mencegah

terjadinya kelainan adneksa kulit

11. Adab menghadapi penderita penyakit menular

102

Page 103: buku modul Imun 2009

SKENARIO

Kata Kunci: Kelainan adneksa kulit, kelainan kelenjar sebasea, kelainan kelenjar sudoriferaMasalah:Kulit wajah berminyak dan pori-pori besar, terdapat papula eritem, pustula dan komedo. Terdapat sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea dengan massa sebum di dalam folikel sebasea.

103

Kelainan Adneksa Kulit

Remaja putri 15 tahun dengan keluhan timbul bintil-bintil dan benjolan bernanah di wajah dan punggung dan sudah diderita + 3 bulan terakhir. Pada bintil-bintil berisi masa putih seperti nasi, sedang pada benjolan yang bernanah terasa nyeri dan kemerahan. Penderita juga mengeluh wajahnya sangat berminyak dan pori-porinya tampak lebar. Pemeriksaan status dermatologi tampak eritem, papula, pustula dan komedo. Melihat UKK dan predileksinya dokter menduga merupakan salah satu kelainan adneksa kulit sehingga didiagnosis banding dengan beberapa kelainan di kelenjar sebasea (seperti : akne, rosasea) dan kelainan di kelenjar sudorifera (seperti : hidradenitis supurativa dan miliaria). Ternyata pemeriksaan histopatologi anatomi dari spesimen biopsi lesi menunjukkan adanya sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea dengan massa sebum di dalam folikel sebasea.

Page 104: buku modul Imun 2009

c. Konsep map

104

KERINGATAPOKRIN :Hidradenitissupurativa

EKRIN :Miliaria

SEBASEAINFLAMASI :

Akne, rosasea dermatitis perioral

KONGENITAL

NEOPLASMA

KUKU

INFEKSI

TRAUMA

KULIT

EPIDERMIS

DERMIS

SUB KUTIS

Adneksa KELENJAR

AnatomiFisiologisHistologis

RAMBUT

ALOPESIA :AreataAndrogenik

EFLUVIUM TELOGEN

TRIKOTILOMANIA

Page 105: buku modul Imun 2009

d. Materi

Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar

untuk menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang

bertujuan mencapai kompetensi sasaran belajar)

MACAM-MACAM KELAINAN KELENJAR SUDORIFERA

A. Kelenjar apokrin

a. Bromhidrosis

Adalah suatu keadaan dimana bau yang hebat menusuk

hidung keluar dari kulit. Terdapat dua jenis, bromhidrosis

apokrin (akibat penguraian keringat apokrin oleh bakteri

Gram negatif) dan bromhidrosis ekrin (akibat degradasi

mikrobiologik pada stratum korneum yang melunak

karena produksi keringat ekrin yang berlebihan

b. Kromhidrosis

Adalah kelainan yang ditandai adanya sekresi keringat

apokrin yang berwarna, ada dua bentuk klinis : fasial dan

aksiler. Terjadinya diduga disebabkan oleh meningkatnya

jumlah ekskresi keringat apokrin diikuti oleh oksidasi

yang meningkat pada lipofuchsin (pigmen bentuk

granuler yang normal terdapat pada kelenjar apokrin)

c. Hidradenitis supurativa

Hidradenitis supurativa

Definisi : merupakan penyakit kronis supuratif dan

sikatrikal pada kulit lokasi kelenjar apokrin, terutama di

aksila dan anogenital.

Etiopatogenesis : pada awalnya terjadi sumbatan

keratin pada duktus apokrin distal diduga karena

gesekan (trauma ketika mencukur rambut atau pakaian

yang ketat) atau iritasi bahan kimia (anti persipiran

deodoran), selanjutnya terjadi pelebaran duktus, diikuti

105

Page 106: buku modul Imun 2009

masuknya bakteri ( yang tersering stapilokokus,

streptokokus dan e. Coli) yang kemudian terjebak di

bawah tempat yang tersumbat. Bakteri tumbuh dan

berkembang dengan lingkungan nutrisi dalam duktus

apokrin. Selanjutnya terjadi peradangan yang menyolok

pada kelenjar apokrin yang tersumbat.

Manifestasi klinik : Awalnya terjadi bisul eritem yang

nyeri tanpa puncak pustuler, pada daerah apokrin.

Biasanya soliter, jika multiple jarang lebih dari tiga.

Dalam beberapa hari menjadi abses yang membesar

dan tanpa terapi akan pecah mengeluarkan cairan

purulen atau seropurulen, pada penyembuhan terjadi

fibrosis. Secara keseluruhan terdapat tiga stadium :

Stadium I

Terjadinya abses soliter, atau bila multipel biasanya

terpisah, tanpa ada jaringan parut atau sinus.

Stadium II

Terjadinya abses yang rekuren dengan sinus-sinus

dan sikatrik, dapat tunggal atau multipel tapi lesi

masih terpisah.

Stadium III

Terjadinya absesyang difus dengan sinus-sinus

multipel dan saling berhubungan.

B. Kelenjar ekrin

a. Hiperhidrosis(kortikal/

emosional,volar,aksilar,hipotalamus, medularis, spinal,

kompensatorik)

Hiperhidrosis adalah suatu kondisi dimana terjadi

peningkatan sekresi keringat ekrin, dibagi dua jenis

neural dan non neural berdasarkan mekanisme kerja dan

respon yang ditimbulkan.

106

Page 107: buku modul Imun 2009

b. Anhidrosis

Suatu keadaan hilangnya sebagian aktifitas kelenjar

keringat. Jarang terjadi secara menyeluruh sehingga lebih

tepat disebut sebagai hipohidrosis. Biasanya kondisi

anhidrosis pada satu tempat diikuti terjadinya

hiperhidrosis kompensatoris pada kelenjar keringat lain

yang berfungsi sempurna. Penyebabnya dibagi 3, yaitu:

neuropati, perubahan tingkat kelenjar non neural perifer

dan idiopatik.

c. Miliaria

Suatu keadaan dimana pori-pori keringat tertutup

sehingga timbul retensi keringat di kulit. Terbentuknya

sumbat parakeratotik di duktus diduga akibat lesi pada

sel epidermis pembentuk duktus. Lesi terjadi akibat

maserasi yang ditimbulkan air yang berasal dari

keringat yang berlebihan (lingkungan tropis dengan

suhu dan kelembaban udara yang tinggi). Tingkat

obstruksi dalam duktus ekrin menentukan tipe miliaria

yang ditimbulkan, ada 3 macam:

Miliaria kristalina

Sumbatan superfisial pada stratum korneum.

Vesikel yang terbentuk menyerupai kristal jernih.

Asimtomatik dan vesikel sifatnya mudah pecah.

Miliaria rubra

Sumbatan terjadi pada epidermis yang lebih

dalam. Disertai gejala eritem dan pruritus akibat

vasodilatasi perifer dan stimulasi reseptor gatal

oleh ensim sel epidermis yang rusak. Lesi

ditemukan ekstra folikuler

Miliaria profunda

107

Page 108: buku modul Imun 2009

Sumbatan terjadi pada taut dermoepidermal.

Berupa papul putih dengan diameter 1-3 mm,

predileksi di tubuh/ektremitas. Dapat

menimbulkan komplikasi hiperhidrosis fasial

kompensatorik

d. Dishidrosis

Adalah erupsi vesikuler, rekuren non inflamasi pada

telapak tangan atau kaki. Sinonim pomfolik.

MACAM-MACAM KELAINAN KELENJAR SEBASEA

1. Akne

Akne adalah peradangan menahun folikel pilosebasea yang

ditandai adanya komedo, papul, pustula, nodul dan kista.

Klasifikasi menurut Plewig dan Kligman:

A. Akne vulgaris

Pada akne vulgaris terjadi perubahan jumlah dan

konsistensi lemak kelenjar akibat multifaktorial

Varietasnya : Akne tropikalis

Akne fulminan

Pioderma fasiale

Akne Mekanika

Akne venenata akibat kontaktan eksternal

Pada akne venenata terjadi penutupan folikel sebasea

oleh massa eksternal.

Varietasnya : akne kosmetika

Pomade akne

Akne klor

Akne akibat kerja

Akne deterjen

B. Akne komedonal akibat agen fisik Pada akne fisis saluran

folikel sebasea menyempit akibat radiasi sinar ultraviolet,

sinar matahari atau sinar radioaktif

Varietasnya : Solar comedones

108

Page 109: buku modul Imun 2009

Akne radiasi

2. Rosasea

Definisi : Merupakan penyakit kronis pada sentral wajah akibat

kelainan kelenjar pilosebasea pada daerah wajah berupa akne

yang meradang disertai peningkatan reaktivitas kapiler

sehingga terjadi flushing dan teleangiektasis.

Etiopatogenesis

Diduga ada beberapa faktor:

a. Makanan

b. Psikis

c. Obat

d. Infeksi

e. Musim

f. Imunologis

Klinis: adanya eritem dan teleangiektasis yang persisten dan

tidak nyeri, papul, edema, pustul dengan predileksi pada

sentral wajah yaitu hidung, pipi, dagu, kening dan alis, lesi

umumnya simetris. Komedo biasanya tidak ditemukan jika

ada mungkin kombinasi dengan kelainan akne (akne solaris,

akne kosmetika)

Diagnosis banding : akne vulgaris, dermatitis seboreik,

dermatitis perioral, lupus eritematosus

3. Dermatitis perioral (M 2400)

Definisi : Kelainan kulit ditandai erupsi papuler, eksemateus

dan berskuama dengan predileksi lipat nasolabial dan bibir

atas dengan perjalanan penyakit berfluktuasi.

Etiopatogenesis: Belum diketahui pasti. Faktor hormonal dan

penggunaan steroid topikal fluorinated diduga sebagai

penyebab.

Perjalanan penyakit: berfluktuasi dengan ruam akut rekuren

berupa eritem dan papul. Ruam mereda meninggalkan bekas

109

Page 110: buku modul Imun 2009

berupa bercak eritem dengan skuama. Siklus bervariasi dari

beberapa hari sampai beberapa bulan.

Diagnosis banding : akne vulgaris, rosasea, dermatitis

seboreik, dermatitis kontak.

MACAM-MACAM KELAINAN RAMBUT

a. Alopesia areata

Adalah jenis kerontokan rambut yang rekuren tanpa

meninggalkan jaringan parut. Dapat terjadi di daerah

berambut manapun.

Patofisiologinya belum diketahui dengan pasti, namun

hipotesis yang dapat diterima adalah suatu keadaan

autoimun yang diperantarai sel T dan cenderung

mempunyai predisposisi genetik.

Klinis biasanya asimptomatik, namun beberapa pasien

mengeluh sensasi gatal atau terbakar pada daerah yang

terkena. Lesi pertama kali terlokalisir kemudian menjadi

multipel. Daerah yang terkena bisa kulit kepala, jenggot,

alis mata dan ekstremitas.

Pemeriksaan fisik adanya bercak alopesia halus warna

normal atau eritematosus pada daerah yang terkena.

Ditemukan rambut seperti tanda seru (rambut yang

menipis di dekat ujung proksimal).

Terapi dengan steroid intra lesi, steroid topikal potensi

kuat, imunoterapi topikal (dibutilester asam squarik dan

dinitriklorobensen).

b. Alopesia androgenik

Alopesia yang timbul pada pria/wanita pada awal umur

tigapuluhan, rambut rontok secara bertahap mulai dari

verteks dan frontal. Garis rambut anterior menjadi

mundur dan dahi menjadi lebar, puncak kepala menjadi

lebar. Hamilton membagi menjadi 8 tipe untuk pria dan 6

tipe untuk wanita.

110

Page 111: buku modul Imun 2009

c. Efluvium telogen

Adalah kerontokan rambut yang terlalu cepat dan terlalu

banyak pada folikel rambut normal. Biasanya karena

rangsangan yang mempercepat fase anagen dan fase

telogen. Dapat mengenai 50% jumlah rambut

keseluruhan. Berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi

efluviun telogen pasca partum, efluvium telogen

pascanatal, effluvium telogen psikis, effluvium telogen

pascafebris akut.

d. Trikotilomania

Suatu keadaan dimana terjadi gangguan kontrol impuls

ditandai kebiasaan menarik rambut berulang-ulang

sehingga menyebabkan terjadinya alopesia. Jadi

merupakan gangguan obsesif kompulsif biasanya

bersamaan dengan kelainan psikiatri lain (depresi,

cemas)

Klinis dijumpai alopesia tanpa jaringan parut, rambut

patah dengan panjang yang tidak sama. Pada stadium

lanjut dapat ditemukan fibrosis dan alopesia permanen.

Mengenai daerah kepala, alis mata, bulu mata, rambut

pubis, biasanya lebih dari satu tempat terkena. Dapat

diikuti dengan trikopagi (memakan rambut tersebut)

sehingga dapat terjadi trikobezoar (obstruksi rambut

pada traktus gastrointestinal).

Terapi biasanya sulit jika diserta gangguan psikiatri berat.

Pemberian Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor

klomipramine dikatakan efektif. Dapat juga dilakukan

terapi perubahan perilaku untuk merubah kebiasaan atau

dengan hipnoterapi.

KELAINAN KUKU

111

Page 112: buku modul Imun 2009

Paronikia :

Inflamasi jaringan sekitar lipatan kuku. Penyebab tersering

karena infeksi (jamur kuku - onikomikosis, bakteri).

Klinis ditamdai adanya bengkak, kemerahan dan nyeri pada

pangkal kuku. Dapat terjadi pemisahan lipatan kuku dari

lempeng kuku oleh material purulen. Jika penyebabnya

onikomikosis terjadi perubahan warna lempeng kuku menjadi

rapuh, warna kuning kecoklatan dan subungual hiperkeratosis.

Terapi tergantung pada penyebabnya yang penting menjaga

kuku agar tetap kering. Dapat diberikan preparat anti jamur atau

anti bakteri.

e. Pertanyaan minimal:

1. Macam-macam adneksa kulit

2. Macam-macam kelenjar sudorifera, distribusi dan perbedaan

fungsi masing-masing

3. Macam-macam kelainan kelenjar sudorifera

4. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis dan

penatalaksanaan miliaria

5. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis dan

penatalaksanaan hidradenitis supurativa

6. Macam-macam kelainan kelenjar sebasea

7. Klasifikasi akne

8. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis diferensial

diagnosis dan penatalaksanaan akne vulgaris

9. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis, diferensial

diagnosis dan penatalaksanaan rosasea

10. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis, diferensial

diagnosis dan penatalaksanaan dermatitis perioral

11. Macam-macam kelainan rambut (Alopesia areata, alopesia

androgenik, trikotilomania, effluvium telogen)

12. Apa yang dimaksud dengan paronikia?

112

Page 113: buku modul Imun 2009

f. Daftar Pustaka

- Djuanda S, Sularsito S Adi, ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,

Balai Penerbit FKUI, 2007

- Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Atlas berwarna.

Penerbit buku Kedokteran, EGC. 2005

- Wolff Klaus, Johnson RA, Suurmond Dick. Disorders of

sebaceous and apocrine glands. Dalam Fitzpatrick : Color

atlas and synopsis of clinical dermatology fifth edition,

McGraw-Hill, 2005, Hal.8 - 11.

- Strauss John, Plewig G, Kerr Rebecca Er. Disorders of

epidermal appendages and related disorders. Dalam

Fitzpatrick: Dermatology in general medicine, sixth edition,

McGraw-Hill 2005, Hal. 633 – 713

- Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology, thirdth ed.

Philadelphia: W. B. Saunders, 1992.

113

Page 114: buku modul Imun 2009

114