Defisiensi Imun

36
MM Defisiensi Imun Defisiensi Imun Definisi Defisiensi Imun Defesiensi imunitas merupakan penurunan atau gagalnya fungsi dari salah satu atau lebih komponen sistem imun. Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi meningkat. Etiologi Defisiensi Imun Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik berhasil mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola menurunnya terkait pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan autosomal. Penyebab Defsiensi Imun Defek Genetik Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal ataksia- teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen tunggal khusus pada sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T) Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik (misal common variable immunodeficiency) Obata tau Toksin Imunosupresan (kortikosteroid, siklosporin) Antikonvulsan (fenitoin)

description

hjgdygqy

Transcript of Defisiensi Imun

Page 1: Defisiensi Imun

MM Defisiensi Imun

Defisiensi Imun

Definisi Defisiensi Imun

Defesiensi imunitas merupakan penurunan atau gagalnya fungsi dari salah satu atau lebih komponen sistem imun. Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi meningkat.

Etiologi Defisiensi Imun

Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik berhasil mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola menurunnya terkait   pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan autosomal.

Penyebab Defsiensi Imun

Defek Genetik Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen tunggal khusus pada sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T)   Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik  (misal common variable immunodeficiency)

Obata tau Toksin Imunosupresan (kortikosteroid, siklosporin) Antikonvulsan (fenitoin)

Penyakit Nutrisi dan Metabolik Malnutrisi (misal kwashiorkor) Protein losing enteropathy (misal limfangiektasia intestinal)Defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin II)

Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati Akrodermatitis)

Kelainan Kromosom Anomali DiGeorge (delesi 22q11)Defisiensi IgA selektif (trisomi 18)

Infeksi Imunodefisiensi transien (pada campak dan varicella) Imunodefisiensi permanen

Page 2: Defisiensi Imun

(infeksi HIV, infeksi rubella kongenital)

(Dikutip dengan modifikasi dari Stiehm dkk, 2005)

Klasifikasi Defisiensi Imun

1. Defisiensi Imun Non-Spesifika) Komplemen

Dapat berakibat meningkatnya insiden infeksi dan penyakit autoimun (SLE), defisiensi ini secara genetik.

KongenitalMenimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE dan glomerulonefritis).

FisiologikDitemukan pada neonatus disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B yang masih rendah.

DidapatDisebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori)

b) Interferon dan lisozim Interferon kongenital

Menimbulkan infeksi mononukleosis fatal

Interferon dan lisozim didapatPada malnutrisi protein/kalori

c) Sel NK Kongenital

Pada penderita osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit), kadar IgG, IgA, dan kekerapan autoantibodi meningkat.

DidapatAkibat imunosupresi atau radiasi.

d) Sistem fagositMenyebabkan infeksi berulang, kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun, resiko meningkat apabila jumlah fagosit turun < 500/mm3. Defek ini juga mengenai sel PMN.

KuantitatifTerjadi neutropenia/granulositopenia yang disebabkan oleh menurunnya produksi atau meningkatnya destruksi. Penurunan produksi diakibatkan pemberian depresan (kemoterapi pada kanker, leukimia) dan kondisi genetik (defek perkembangan sel hematopioetik). Peningkatan destruksi merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin).

Kualitatif

Page 3: Defisiensi Imun

Mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis, dan membunuh mikroba intrasel. Chronic Granulomatous Disease (infeksi rekuren mikroba gram – dan +) Defisiensi G6PD (menyebabkan anemia hemolitik) Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu kemampuan membunuh benda asing) Chediak-Higashi Syndrome (abnormalitas lisosom sehingga tidak mampu

melepas isinya, penderita meninggal pada usai anak) Job Syndrome (pilek berulang, abses staphylococcus, eksim kronis, dan otitis

media. Kadar IgE serum sangat tinggi dan ditemukan eosinofilia). Lazy Leucocyte Syndrome (merupakan kerentanan infeksi mikroba berat. Jumlah

neutrofil menurun, respon kemotaksis dan inflamasi terganggu) Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan fagositsosis buruk, efeks

sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T terganggu. Ditandai infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka)

2. Defisiensi Imun Spesifika) Kongential/primer (sangat jarang terjadi)

Sel BDefisiensi sel B ditandai dengan penyakit rekuren (bakteri)

1. X-linked hypogamaglobulinemia2. Hipogamaglobulinemia sementara3. Common variable hypogammaglobulinemia4. Disgamaglobulinemia

Sel TDefisensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang rekuren

1. Sindrom DiGeorge (aplasi timus kongenital)2. Kandidiasis mukokutan kronik

Kombinasi sel T dan sel B1. Severe combined immunodeficiency disease2. Sindrom nezelof3. Sindrom wiskott-aldrich4. Ataksia telangiektasi5. Defisiensi adenosin deaminase

b) Fisiologik Kehamilan

Defisiensi imun seluler dapat diteemukan pada kehamilan.Hal ini karena pningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen

Usia tahun pertama

Page 4: Defisiensi Imun

Sistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun masih belum matang.

Usia lanjutGolongan usia lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang menurun.

c) Defisiensi imun didapat/sekunder Malnutrisi Infeksi Obat, trauma, tindakan, kateterisasi, dan bedah Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat mengganggu kemotaksis

neutrofil. Kloramfenikol, tetrasiklin dapat menekan antibodi sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral ataupun selular.

Penyinaran Dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, dosis rendah menekan aktivitas sel Ts

secara selektif Penyakit berat Penyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti Hodgkin, mieloma multipel,

leukemia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun.Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus pada diare

Kehilangan Ig/leukosit Sindrom nefrotik penurunan IgG dan IgA, IgM norml.Diare (linfangiektasi intestinal,

protein losing enteropaty) dan luka bakar akibat kehilangan protein. Stres Agammaglobulinmia dengan timoma Dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari sirkulasi. Eosinopenia

atau aplasia sel darah merah juga dapat menyertai

d) AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

Pemeriksaan Lab

a. Defisiensi Sel B  Uji Tapis: Kadar IgG, IgM dan IgA, Titer isoaglutinin, Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)

Uji lanjutan: Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20), Kadar subklas IgG, Kadar IgE dan IgD, Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli, Respons antibodi terhadap, vaksin tifoid dan pneumokokus, Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid

Riset: Fenotiping sel B lanjut, Biopsi kelenjar, Respons antibodi terhadap antigen khusus misal phage antigen, Ig-survival in vivo, Kadar Ig sekretoris, Sintesis Ig in vitro, Analisis aktivasi sel, Analisis mutasi 

Page 5: Defisiensi Imun

b. Defisiensi sel T  Uji tapis:Hitung limfosit total dan morfologinya, Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts, Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid tetanus, tuberculin, Foto sinar X dada : ukuran timus

Uji lanjutan: Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8), Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik, HLA typing, Analisis kromosom

Riset: Advance flow cytometr, Analisis sitokin dan sitokin reseptor, Cytotoxic assay (sel NK dan CTL), Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside urin/PNP), Pencitraan timus dab fungsinya, Analisis reseptor sel T, Riset aktivasi sel T, Riset apoptosis, Biopsi, Analisis mutasi

c. Defisiensi fagosit  Uji tapis:Hitung leukosit total dan hitung jenis, Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolik neutrofil, Titer IgE

Uji lanjutan: Reduksi dihidrorhodamin, White cell turn over, Morfologi special, Kemotaksis dan mobilitas random, Phagocytosis assay, Bactericidal assays

Riset: Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin), Oxidative metabolism, Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH), Analisis mutasi

d. Defisensi komplemen  Uji tapis:Titer C3 dan C4, Aktivitas CH50 Uji lanjutan: Opsonin assays, Component assays, Activation assays

(C3a, C4a, C4d, C5a) Riset:Aktivitas jalur alternative, Penilaian fungsi(faktor kemotaktik,

immune adherence)

Virus HIV

Definisi Infeksi HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol).

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.

Page 6: Defisiensi Imun

Struktur HIV terdiri atas :

2 untaian RNA yang identik dan merupakan genom virus yang berhubungan dengan P17 dan P24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop.

RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase) : polimerase DNA dalam retrovirus seperti HI V. Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik rekombinan DNA yang diperlukan dalam sintesis first stand cDNA.

Antigen p24 : core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda dini adanya infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari minggu sblm terjadi serokonversi sintesis antibodi terhadap HIV-1.

Antigen gp120 : gilkoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+ ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+.

Protein envelop : produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh pejamu.

Menurut spesies terdapat dua jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2 . HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia, dan Afrika Tengah, Selatan, dan Timur. HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat. HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur hampir sama, HIV-1 mempunyai gen VPU, tetapi tidak mempunyai gen VPX, sedangkan HIV-2 sebaliknya.

a. HIV-1Merupakan penyebab utama AIDS diseluruh dunia. Genom HIV mengkode sembilan protein esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Pada HIV-1 terdapat protein Vpu yang membantu pelepasan virus. Terdapat 3 tipe dari HIV-1 berdasarkan alterasi pada gen amplopnya yaitu tipe M, N, dan O.

b. HIV-2Protein Vpu pada HIV-1 digantikan dengan protein Vpx yang dapat meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan hasil duplikasi dari protein lain (Vpr). Walaupun sama-sama menyebabkan penyakit klinis dengan HIV-2 tetapi kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1.

Etiologi Infeksi HIV

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA.Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.

Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan

Page 7: Defisiensi Imun

inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.

Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.

Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata, cairan vagina dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak (Siregar,2008).

HIV dapat ditularkan melalui berbagai cara, yaitu :

1. Hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi dengan orang yang telah terinfeksi HIV

2. Transfusi darah atau penggunaan jarum suntik secara bergantian3. Melalui alat suntik4. Melalui silet, pisau atau alat pencukur jenggot yang digunakan bergantian5. Melalui transplantasi orang pengidap HIV6. Penularan ibu ke anak, biasanya infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya yang

mengidap HIV, dapat juga ditularkan melalui ASISebelum HIV berubah menjadi AIDS, penderitanya akan tampak sehat dalam waktu kira-kira

5-10 tahun. Walaupun tampak sehat, mereka dapat menularkan HIV pada orang lain melalui hubungan seks yang tidak aman, transfusi darah atau penggunaan jarum suntik secara bergantian.

Klasifikasi Infeksi HIV

Klasifikasi Stadium Klinis HIV AIDS Menurut WHO 

Klasifikasi Stadium klinis WHO

Asimtomatik 1

Ringan 2

Sedang 3

Berat 4

Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV

Stadium klinis 1

Asimtomatik Limfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2

Page 8: Defisiensi Imun

Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan Erupsi pruritik papular Infeksi virus wart luas Angular cheilitis Moluskum kontagiosum luas Ulserasi oral berulang Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan Eritema ginggival lineal Herpes zoster Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media,   otorrhoea, sinusitis, tonsillitis ) Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3

Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak   berespons secara adekuat terhadap terapi standar

Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari   atau lebih )

Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih   dari 37.5o C intermiten atau konstan, > 1 bulan)

Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu   pertama kehidupan) Oral   hairy leukoplakia Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut TB kelenjar TB Paru Pneumonia bakterial yang berat dan berulang Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik   termasuk bronkiektasis Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ),   neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia

(<50 000/ mm3)

Stadium klinis 4

Malnutrisi, wasting   dan stunting berat yang tidak dapat   dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standara

Pneumonia pneumosistis Infeksi bakterial berat yang berulang  (misalnya empiema, piomiositis, infeksi   tulang dan sendi,

meningitis, kecuali pneumonia) Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau   kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi

manapun) TB ekstrapulmonar Sarkoma Kaposi Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau   paru) Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa   neonatus) Ensefalopati HIV Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau   infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur

> 1bulan Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis,   coccidiomycosis) Kriptosporidiosis kronik   (dengan diarea) Isosporiasis kronik Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang   simtomatik Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral

Page 9: Defisiensi Imun

   Progressive multifocal   leukoencephalopathy

LO. 2.4. Patofisiologi Infeksi HIV

HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA). Virion HIV (partikel virus yang lengakp dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru dimana p24 merupakan komponen strukturan yang utama.

Setelah virus masuk, target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel CD4+ dengan menggunakan enzim reverse transcriptase dan virus akan melakukan pemrograman ulang materi genetic sel yang terinfeksi untuk membuat DNA. DNA ini akan dsatukan ke dalam nukleus sel sebagai provirus dan kemudian menginfeksi permanen, sehingga orang yang terinfeksi HIV akan seumur hidup terinfeksi HIV. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan, atau batu pada 3-6 minggu setelah terinfeksi. Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer.

Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler. Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi

Page 10: Defisiensi Imun

penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T- CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).

Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005).

Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).

Epidemiologi Infeksi HIV

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1998).

Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (Djauzi dan Djoerban, 2007). Berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes) pada periode Juli-September 2006 secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif di Indonesia telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang.

Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).

Perkembangan epidemi HIV di Indonesia, termasuk yang tercepat di kawasan Asia, meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah. Diperkirakan pada tahun 2006 prevalensi HIV sekitar 0,16% pada orang dewasa. Salah satu masalah dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah, baik dalam hal jumlah kasus maupun factor-faktor yang mempengaruhi. Epidemic HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemic terkonsentrasi dengan kecenderungan menjadi epidemic meluas pada beberapa provinsi.

Seperti diketahui, pasien HIV/AIDS adalah orang yang sangat rentan dengan berbagai penyakit termasuk TB. Dari data yang diketahui bahwa epidemik HIV menunjukan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemic TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di

Page 11: Defisiensi Imun

masyarakat.pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebliknya TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).

Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus TB baru per 100.000 penduduk dengan perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB sebesar 0,8% secara nasional (WHO Report 2007). Sammpai saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara psien TB. Hasil studi tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 2006 menunjukan angka prevalensi HIV sebesar 2% diantara pasien TB. Sedangkan survey yang sama di propinsi Papua menunjukan angka sebesar 15,4% Jawa Timur sebesar 1,8% dan di Bali sebesar 3,9%. Berdasarkan Laporan Triwulan, pengidap Inveksi HIV dan Kasus AIDS sampai dengan 31 Maret 2008 (Kemkes RI), infeksi oportunistik terbanyak dilaporkan adalah TB, yaitu sebesar 6367 kasus di antara 118.868 kasus AIDS.(Depkes RI, 2010)

Manifestasi klinis Infeksi HIV

Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):

Gejala Klinis

Gejala Mayor a. Berat badan menurun lebih dari 10%dalam 1 bulan

b. Diare kronis yang berlangsung lebihdari 1 bulan

c. Demam berkepanjangan lebih dari 1bulan

d. Penurunan kesadaran dan gangguanneurologis

e. Demensia/ HIV ensefalopatiGejala Minor a.Batuk menetap lebih dari 1 bulan

b. Dermatitis generalisatac. Adanya herpes zoster multisegmental

dan herpes zoster berulangd. Kandidiasis orofaringeale.Herpes simpleks kronis progresiff. Limfadenopati generalisatag. Renitis virus Sitomegalo

Gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

Page 12: Defisiensi Imun

a. Fase awal Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.

b. Fase lanjutPenderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.

c. Fase akhirSelama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain:a. Manifestadi tumor diantaranya;

1) Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.

2) Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.

b. Manifestasi Oportunistik diantaranya 1) Manifestasi pada Paru

a) Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.

b) Cytomegalo Virus (CMV)Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.

c) Mycobacterium Avilum Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

d) Mycobacterium TuberculosisBiasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.

2) Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.

3) Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer (Siregar, 2008).

Page 13: Defisiensi Imun

Pemeriksaan Fisik Dan Diagnosis Serta Penunjang Infeksi HIV

Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi karena mereka tidak mengalami gejala setelah mereka pertama kali terinfeksi HIV. Sebagian dari mereka memiliki gejala mirip flu dalam beberapa hari sampai beberapa minggu setelah terpapar virus. Mereka mengeluh demam, sakit kepala, kelelahan, dan terjadi pembesaran kelenjar getah bening di leher. Gejala-gejala ini biasanya hilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu. Setelah itu, orang tersebut merasa normal dan tidak memiliki gejala. Fase ini sering berlangsung tanpa gejala selama bertahun-tahun. Pemeriksaan darah adalah cara paling umum untuk mendiagnosis HIV. Tes ini bertujuan untuk mencari antibodi terhadap virus HIV. Orang yang terkena virus harus segera dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tindak lanjut tes mungkin diperlukan, tergantung pada waktu awal paparan.

Sebelum dilakukan tes, pemeriksaan anamnesis juga perlu dilakukan untuk mengetahui gaya hidup pasien apakah termasuk gaya hidup berisiko tinggi.

Pemeriksaan fisik meliputi :

1. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan.

3. Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan.

4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.

5. Demensia/ensefalopati HIV.

Batuk menetap lebih dari 1 bulan.

1. Dermatitis generalisata yang gatal.

2. Herpes Zoster multisegemental dan atau berulang.

3. Kandidiasis orofaringeal.

4. Herpes simpleks kronis progresif.

5. Limfadenopati generalisata.

6. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.

Page 14: Defisiensi Imun

Pemeriksaan primer untuk mendiagnosis HIV dan AIDS meliputi:

ELISA ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan pasien tersebut memiliki HIV, pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai tiga bulan.

ELISA sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%, cukup sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu untuk beberapa bulan setelah terinfeksi. Meskipun hasil tes mungkin negatif selama periode ini, pasien mungkin memiliki tingkat penularan tinggi. Biasanya tes ini memberikan hasil positif setelah 2-3 bulan terinfeksi.

Pemeriksaan Air LiurPad kapas digunakan untuk memperoleh air liur dari bagian dalam pipi. Pad ditempatkan dalam botol dan diserahkan ke laboratorium untuk pengujian. Hasil dapat diperoleh dalam tiga hari. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes darah.

Viral Load Test Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah. Umumnya, tes ini digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan atau mendeteksi dini infeksi HIV. Tiga teknologi yang digunakan untuk mengukur viral load HIV dalam darah: Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), Branched DNA (bDNA) and Nucleic Acid Sequence-Based Amplification Assay (NASBA). Prinsip-prinsip dasar dari tes ini sama. HIV dideteksi menggunakan urutan DNA yang terikat secara khusus pada virus. Penting untuk dicatat bahwa hasil dapat bervariasi antara tes.

Western Blot Ini adalah pemeriksaan darah yang sangat sensitif sebesar 99,6-100%, yang digunakan untuk mengkonfirmasi hasil tes ELISA positif. Tetapi pemeriksaan ini cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Western Blot merupakan elektroporesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan berarti tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan berarti western blot positif. Tes ini harus diulangi lagi setelah 2 minggu dengan sampel yang sama. Jika western blot tetap tidak bisa disimpulkan maka tes western blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif

Page 15: Defisiensi Imun

Strategi IHanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap

sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan nonreaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%).

Strategi IIMenggunakan dua kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil

reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya nonreaktif, maka dilaporkan hasilnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah nonreaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate.

Strategi IIIMenggunakan tiga kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama, kedua, dan ketiga

reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan tes ketiga nonreaktif, atau tes pertama reaktif, sementara tes kedua dan ketiga nonreaktif, maka keadaan ini disebut sebagai equivokal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai nonreaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifisitas yang lebih tinggi.

Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot (WB).

Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan konseling pra tes. Hal ini dilakukan agar ia bisa mendapat informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak akan diberi tahu hasil tesnya.

Untuk memberi tahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko. Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.

Page 16: Defisiensi Imun

Skrining HIV

Mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu populasi tertentu, sementara uji diagnostik HIV berarti melakukan pemeriksaan HIV pada orang-orang dengan gejala dan tanda yang konsisten dengan infeksi HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV memenuhi seluruh kriteria untuk dilakukan skrining, karena:

a. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis sebelum timbulnya gejala. b. HIV dapat dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah, dan noninvasif. c. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup bila pengobatan

dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala. d. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan manfaat yang akan diperoleh serta

dampak negatif yang dapat diantisipasi. Di antara wanita hamil, skrining secara substansial telah terbukti lebih efektif dibandingkan pemeriksaan berdasarkan risiko untuk mendeteksi infeksi HIV dan mencegah penularan perinatal. CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara rutin untuk setiap orang

berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana pelayanan kesehatan meskipun tanpa gejala. Selain itu, CDC juga merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan dalam pemeriksaan rutin antenatal bagi wanita hamil.11 Sementara pemeriksaan wajib HIV lebih ditekankan untuk dilakukan pada donor darah dan organ. Pemeriksaan wajib HIV juga dapat dilakukan pada bidang perekrutan tentara atau tenaga kerja imigran.

Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode ini dapat diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda- beda, yaitu daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat epidemi HIV yang terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang meluas. Yang dimaksud dengan epidemi yang rendah adalah infeksi HIV hanya ditemukan pada beberapa individu dengan perilaku berisiko (WPS, pengguna narkoba suntik, laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki); angka prevalensinya tidak melebih 5% pada subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang dimaksud dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di subpopulasi tertentu, namun tidak ditemukan di populasi umum. Hal ini menunjukkan aktifnya hubungan antara risiko dengan subpopulasi; angka prevalensi pada subpopulasi melebihi 5%, namun tidak sampai 1% pada wanita hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat epidemi yang meluas adalah infeksi HIV telah ditemukan pada populasi umum, dengan prevalensi pada wanita hamil melebihi 1%.

Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan kepada orang dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan infeksi HIV; anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu yang HIV positif; anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang meluas, yang tidak membaik dengan terapi yang optimal; serta pria yang menginginkan untuk dilakukan sirkumsisi sebagai pencegahan penularan HIV.

Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk diterapkan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk pasien TB; pelayanan kesehatan antenatal, persalinan dan post partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia dibawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan pembedahan; dan layanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana.

Untuk daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi, PITC dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan, dan pascamelahirkan; serta

Page 17: Defisiensi Imun

pelayanan untuk TB.

Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV merekomendasikan pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:

a. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana HIV, termasuk infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis banding.

b. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual. c. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIV positif. d. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki e. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. f. Semuapasiendenganriwayatpenggunaannarkobasuntik. g. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV

yang tinggi (>1%). h. Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau di dalam Inggris dengan

pasangan yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.

Uji Konfirmasi HIV

Pemeriksaan Anti-HIV konfirmasi merupakan pemeriksaan tahap kedua setelah uji saring. Pemeriksaan ini diperlukan ketika hasil uji saring positif atau positif palsu (hasil uji saring menyatakan positif, namun sebenarnya tidak terinfeksi HIV). Bila pada pemeriksaan ini menunjukkan hasil positif, maka hampir dapat dipastikan bahwa seorang individu terinfeksi HIV.

Penatalaksanaan Infeksi HIV

Pengobatan suportif Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat sintomatik, vitamin dan dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin.

Pengobatan infeksi oportunistikYaitu pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan dilakukan secara empiris.

Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral

TERAPI ANTIRETROVIRAL

Pengobatan ODHA dewasa dengan antiretroviral dibagi menjadi dua kelompok:

1. Regimen ARV Lini Pertamaa. Golongan Nucleoside RTI (NRTI):

Abacavir (ABC) 400 mg sekali sehari Didanosine (ddl) 250 mg sekali sehari (BB<60 kg) Lamivudine (3TC) 300 mg sekali sehari Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg setiap 12 jam

b. Nucleotide RTI

Page 18: Defisiensi Imun

Tenofovir (TDF) 300 mgsekali sehari (obat baru)c. Non-nucleoside RTI (NNRTI)

Efavirenz (EFV)600 mg sekali sehari Nevirapine (NPV) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, selanjutnya setelah 12 jam

d. Protease Inhibitor (PI) Indinavir/ritronavir (IDV/r) 800 mg/100 mg setiap 12 jam Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam Sequinavir/r (SQV/r) 1000 mg/100 mg setiap 12 jam Ritonavir (RTV, r) 100 mg

Pilihan pengobatan adalah kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI:

1. AZT + 3TC + NVP2. AZT + 3TC +EVP3. d4T + 3TC + NVP4. d4T +3TC + EFV

2. Regimen ARV Lini KeduaIni merupakan alternative pengobatan apabila yang pertama gagal:

1. AZT atau d4T diganti dengan TDF atau ABC2. 3TC diganti dengan ddl3. NVP atau EFV diganti dengan LPV/r atau SQV/r

Obat ARV menjadi pilihan terapi karena:

ARV memperlambat progresivitas penyakit dan dapat memperpanjang daya tahan tubuh Obat ini aman, mudah, dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan sampai

mendekati nol melalui identifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif dan pengelolaan klinis yang agresif

Imunisasi belum memuaskan

Tujuan Terapi ARV

Menurunkan angka kematian dan angka perawatan di rumah sakit Menurunkan viral load Meningkatkan CD4 (pemulihan respons imun) Mengurangi resiko penularan Meningkatkan kualitas hidup

Kriteria untuk memberikan terapi antiretrovirus sebagai berikut :

Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis HIV secara dini.

Page 19: Defisiensi Imun

Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama sedikitnya 1 tahun

Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.

Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART

Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik

akibat HIV Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi

oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan

sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.

Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebar luaskan informasi dan pedoman baru.

Komplikasi Infeksi HIV

Kebanyakan komplikasi HIV terjadi akibat dari surpresi sel T. Karena sel T yang diserang, kekebalan tubuh menuruh hingga dapat terjadi infeksi oportunistik. Komplikasi-komplikasi pada pasien yang terjangkit HIV menyebabkan AIDS. Obat anti-retroviral, yang dikenal sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy (ART), sekarang tersedia untuk menghambat replikasi dari virus HIV. Obat-obat ini membantu untuk memperpanjang hidup, mengembalikan sistem kekebalan pasien hingga mendekati aktivitas normal dan mengurangi kemungkinan infeksi oportunistik. Kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan diberikan untuk mengurangi kemungkinan resistensi.

Komplikasi-komplikasi umum pada pasien HIV/AIDS akibat infeksi oportunistik:

Tuberkulosis (TB)Di negara-negara miskin, TB merupakan infeksi oportunistik yang paling umum yang terkait dengan HIV dan menjadi penyebab utama kematian di antara orang yang hidup dengan AIDS. Jutaan orang saat ini terinfeksi HIV dan TBC dan banyak ahli menganggap bahwa ini merupakan wabah dua penyakit kembar.

SalmonelosisKontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari makanan atau air yang telah terkontaminasi. Gejalanya termasuk diare berat, demam, menggigil, sakit perut dan, kadang-kadang, muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella dapat menjadi sakit, salmonellosis jauh lebih umum ditemukan pada orang yang HIV-positif.

Cytomegalovirus (CMV)

Page 20: Defisiensi Imun

Virus ini adalah virus herpes yang umum ditularkan melalui cairan tubuh seperti air liur, darah, urine, semen, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat menonaktifkan virus sehingga virus tetap berada dalam fase dorman (tertidur) di dalam tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus menjadi aktif kembali dan dapat menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan, paru-paru atau organ tubuh lainnya.

KandidiasisKandidiasis adalah infeksi umum yang terkait HIV. Hal ini menyebabkan peradangan dan timbulnya lapisan putih tebal pada selaput lendir, lidah, mulut, kerongkongan atau vagina. Anak-anak mungkin memiliki gejala parah terutama di mulut atau kerongkongan sehingga pasien merasa sakit saat makan.

Cryptococcal MeningitisMeningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (meninges). Cryptococcal meningitis infeksi sistem saraf pusat yang umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur yang ada dalam tanah dan mungkin berkaitan dengan kotoran burung atau kelelawar.

ToxoplasmolisisInfeksi yang berpotensi mematikan ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Penularan parasit ini disebabkan terutama oleh kucing. Parasit berada dalam tinja kucing yang terinfeksi kemudian parasit dapat menyebar ke hewan lain.

KriptosporidiosisInfeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada hewan. Penularan kriptosporidiosis terjadi ketika menelan makanan atau air yang terkontaminasi. Parasit tumbuh dalam usus dan saluran empedu yang menyebabkan diare kronis pada orang dengan AIDS.

Kanker yang biasa terjadi pada pasien HIV/AIDS:

Sarkoma KaposiSarkoma Kaposi adalah suatu tumor pada dinding pembuluh darah. Meskipun jarang terjadi pada orang yang tidak terinfeksi HIV, hal ini menjadi biasa pada orang dengan HIV-positif. Sarkoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah muda, merah atau ungu pada kulit dan mulut. Pada orang dengan kulit lebih gelap, lesi mungkin terlihat hitam atau coklat gelap. Sarkoma Kaposi juga dapat mempengaruhi organ-organ internal, termasuk saluran pencernaan dan paru-paru.

LimfomaKanker jenis ini berasal dari sel-sel darah putih. Limfoma biasanya berasal dari kelenjar getah bening. Tanda awal yang paling umum adalah rasa sakit dan pembengkakan kelenjar getah bening ketiak, leher atau selangkangan.

Komplikasi lainnya:

Wasting Syndrome

Page 21: Defisiensi Imun

Pengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus wasting syndrome, namun masih tetap mempengaruhi banyak orang dengan AIDS. Hal ini didefinisikan sebagai penurunan paling sedikit 10 persen dari berat badan dan sering disertai dengan diare, kelemahan kronis dan demam.

Komlikasi NeurologisWalaupun AIDS tidak muncul untuk menginfeksi sel-sel saraf, tetapi AIDS bisa menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, lupa, depresi, kecemasan dan kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang paling umum adalah demensia AIDS yang kompleks, yang menyebabkan perubahan perilaku dan fungsi mental berkurang.

Prognosis Infeksi HIV

Tanpa pengobatan, waktu hidup bersih rata-rata setelah terinfeksi HIV diperkirakan 9 sampai 11 tahun, tergantung pada subtipe HIV, di daerah-daerah dimana banyak tersedia, pengembangan ARV sebagai terapi efektif untuk infeksi HIV dan AIDS mengurangi kematian tingkat dari penyakit dengan 80%, dan meningkatkan harapan hidup untuk orang yang terinfeksi HIV baru didiagnosis sekitar 20 tahun.

Tanpa terapi antiretroviral, kematian biasanya terjadi dalam waktu satu tahun. Laju perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antara individu dan telah terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan host dan fungsi kekebalan tubuh

Pencegahan dan Promotif Infeksi HIV

Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan penularan HIV)

Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya, sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.

Abstinensi ( puasa, tidak melakukan hubungan seks) Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada

pasangannya Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan melakukan

seks aman termasuk menggunakan kondom o Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur) harus disterilisasi dengan benar

Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain

Page 22: Defisiensi Imun

Upaya promotif diberikan melalui:

Edukasi dan informasi tentang HIV & AIDS secara lengkap kepada semua lapisan masyarakat sehingga mereka dapat bertanggung jawab menjaga diri agar tidak tertular.

Edukasi dan informasi kepada ODHA sehingga tidak menularkan HIV & AIDS kepada orang lain dan informasi tentang pentingnya minum obat secara teratur untuk mencegah penyebaran HIV & AIDS.

Upaya preventif diberikan melalui:

Upaya perubahan perilaku (contoh: menggunakan kondom bagi mereka yang mempunyai risiko tertulari atau menulari HIV ketika melakukan hubungan seks);

Upaya struktural (upaya mengatasi kemiskinan, pendidikan dan gender); Upaya biomedik (termasuk pemberian ARV, sunat, mengobati sifilis &

gonorea dan upaya PMTCT)

Mampu Menjelaskan Dilema Etika Dokter Terkait dengan Penderita HIV/AIDS

Etika Dokter Yang Menimbulkan Stigma Dalam Penanganan Pasien

HIV

Mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh lapisan masyarakat. Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan akan mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dan keluarganya. (Kesrepro, 2007).

Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada ODHA; atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV mereka; atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (Kesrepro, 2007).

Kewajiban Dokter Yang Diatur Dalam KODEKI Untuk Penanganan

Penderita HIV

KODEKI

Page 23: Defisiensi Imun

Pasal 8

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Kaidah Dasar Bioetik

Prinsip Autonomy, menghormati hak-hak pasien, hak otonomi pasien. Melahirkan informed consent

Prinsip Beneficence, Tindakan untuk kebaikan pasien. Memilih lebih banyak manfaatnya daripada buruknya.

Prinsip Non-maleficence, Melarang tindakan yang memperburuk kedaan pasien. Primum non nocere atau above all do no harm.

Prinsip Justice, mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributiv justice)

UUD yang Berhubungan

Pasal 6

Informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan, perawatan dan kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya seperti yang berlaku bagi data rekam medis. Dalam kaitannya aspek hukum kerahasiaan pasien HIV AIDS , kode etik administrator perekammedis dan informasi kesehatan ( PORMIKI, 2006) adalah :

Selalu menyimpan dan menjaga data rekam medis serta informasi yang terkandung di dalamnya sesuai dengan ketentuan prosedur manajemen, ketetapan pimpinan institusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan dan hak atas informasi pasien yang terkait dengan identittas individu atau sosial. Administrator informasi kesehtan wajib mencegah terjadinya tindakan yang menyimpang dari kode etik profesi. Perbuatan / tindakan yang bertentangan dengan kode etik adalah menyebarluaskan informasiyang terkandung dalam

Page 24: Defisiensi Imun

laporan rekam medis HIV AIDS yang dapat merusak citra profesi rekam administrator informasi kesehatan. Disisi lain rumah sakit sebagai institusi tempatdilaksanakannya pelayanan medis, memiliki Kode Etik Rumah Sakit (Kodersi) dalam kaitannya manajemen informasi kesehatan :

Pasal 9

Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien

Pasal 10

Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan.

Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan jabatan adalahuntuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya statuskesehatan. Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA memuat hak pasien terhadap kerahasiaan sebagai berikut:

Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi medis,diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya pribadi, harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat pasien mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang dapat memberitahukan mengenai resiko kesehatan mereka.

Etika Islam Terkait Penderita HIV

Transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas tersebut. Hal ini meliputi media-media yang merangsang (pornografi-pornoaksi), tempat-tempat prostitusi, club-club malam, tempat maksiat dan pelaku maksiat.

1. Islam telah mengharamkan laki-laki dan perempuan yang bukanmuhrim berkholwat (berduaan/pacaran).

Sabda Rasulullah Saw:‘Laa yakhluwanna rojulun bi imroatin Fa inna tsalisuha syaithan’artinya: “Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga”. (HR. Baihaqy)

Page 25: Defisiensi Imun

2. Islam mengharamkan perzinahan dan segala yang terkait dengannya.Allah Swt berfirman:

“Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan” (QS al Isra’[17]:32)

3. Islam mengharamkan perilaku seks menyimpang, antara lain homoseks (laki-laki dengan laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan ).

Firman Allah Swt dalam surat al A’raf ayat 80-81 : “ Dan (kami juga telah mengutus) Luth ( kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun manusia (didunia ini) sebelummu? Sesungghnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu ( kepada mereka ), bukan kepada wanita, Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. ( TQS. Al A’raf : 80-81)

4. Islam melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan pornoaksi.

Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya. Rafi’ ibnu Rifa’a pernah bertutur demikian: ’ Nahaana Shallallaahu ’alaihi wassalim’an kasbi; ammato illa maa ’amilat biyadaiha. Wa qaala: Haa kadza bi’ashobi’ihi nakhwal khabzi wal ghazli wan naqsyi.’artinya: “Nabi Saw telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda “Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau pengukir.”

5. Islam mengharamkan khamr dan seluruh benda yang memabukkan serta mengharamkan narkoba.

Sabda Rasulullah Saw :“Kullu muskirin haraamun” artinya : “Setiap yang menghilangkan akal itu adalah haram (HR. Bukhori Muslim) “Laa dharaara wa la dhiraara” artinya : ”Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan kepada orang lain.” (HR. Ibnu Majah). Narkoba termasuk sesuatu yang dapat menghilangkan akal dan menjadi pintu gerbang dari segala kemaksiatan termasuk seks bebas. Sementara seks bebas inilah media utama penyebab virus HIV/AIDS.

6. Tugas Negara memberi sangsi tegas bagi pelaku mendekati zina.

Pelaku zina muhshan (sudah menikah) dirajam, sedangkan pezina ghoiru muhshan dicambuk 100 kali. Adapun pelaku homoseksual dihukum mati; dan penyalahgunaan narkoba dihukum cambuk. Para pegedar dan pabrik narkoba diberi sangsi tegas sampai dengan mati. Semua fasilitator seks bebas yaitu pemilik media porno, pelaku porno, distributor, pemilik tempat-tempat maksiat, germo, mucikari, backing baik oknum aparat atau bukan, semuanya diberi sangsi yang tegas dan dibubarkan.

Page 26: Defisiensi Imun

Dewi, Alexandra I. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher

Karnen, Baratawidjaja & Iris Rengganis. 2012. Imunologi Dasar. Jakarta : Badan Penerbit FKUI

Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : FKUI

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis, edisi 2. Jakarta. Erlangga