BUKU II - P3HH

127
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN  RINGKASAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 2017 BUKU II BOGOR, JANUARI 2018

Transcript of BUKU II - P3HH

Page 1: BUKU II - P3HH

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN  

RINGKASAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

2017

BUKU II

BOGOR, JANUARI 2018

Page 2: BUKU II - P3HH

KATA PENGANTAR

Buku Hasil Penelitian dan Pengembangan 2017 Puslitbang Hasil Hutan

memberikan gambaran atas hasil penelitian dan pengembangan Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH) selama tahun 2017 yang disajikan dalam

bentuk ringkasan.

Pada buku ini disajikan ringkasan hasil penelitian dari 10 judul/kegiatan

penelitian dan 4 kegiatan pengembangan yang tercakup dalam 3 topik penelitian

terintegratif dan 1 topik pengembangan terintegratif yaitu, RPPI 7 Revitalisasi

Pemanfaatan Hasil Hutan, RPPI 8 Pengolahan Hasil Hutan, RPPI 9 Teknik

Pemanenan Hutan dan RPPI 2 Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Hasil-hasil

penelitian dan pengembangan yang disajikan diharapkan menjadi media diseminasi

dan distribusi informasi kepada pengguna. Selain itu diharapkan dapat menjadi

salah satu sarana efektif bagi para pengguna dan pengambil kebijakan untuk

memanfaatkan informasi hasil penelitian sebagai dasar pengambil kebijakan.

Kepada seluruh pihak terkait, disampaikan ucapan terima kasih dan

apresiasi yang tinggi atas kerjasama dan kontribusinya dalam penyusunan buku ini.

Bogor, Januari 2018 Kepala Pusat, Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si. NIP. 19591117 198603 1 001

Page 3: BUKU II - P3HH

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………… ii

DAFTAR ISI ..………….…………………………………………… iii

RPPI 7. REVITALISASI PEMANFAATAN HASIL HUTAN 1. Teknik Pemanfaatan Limbah Biomassa Berlignoselulosa Untuk

Bioenergi ……………………………………………..………….. 12. Teknik Pemanfaatan Getah Pinus dan Karet Untuk Obat dan

Kosmetik Alami …………………………………………………. 83. Teknik Inovasi Sagu dan Aren untuk Bahan Pangan ……………. 16 RPPI 8. PENGOLAHAN HASIL HUTAN 1. Diversifikasi Jenis Kayu Alternatif dan Penyempurnaan Sifat Kayu

untuk Pemenuhan Kebutuhan Kayu sebagai Bahan Baku Industri Perkayuan ……………………………………………………….. 25

2. Teknik Inovasi Pemanfaatan dan Diversifikasi Produk Kayu dan Bambu …………………………………………………………… 39

3. Teknik Penyempurnaan Pembuatan Rotan Komposit …………… 474. Formulasi Bahan Penunjang Industri dari Material Organik ……. 575. Diversifikasi Jenis dan Penyempurnaan Sifat Bambu dan Rotan

Alternatif untuk Bahan Baku Industri Bambu Dan Rotan ………. 646. Konservasi Fosil Tumbuhan Tropis (Identifikasi Fosil Kayu Asal

Gorontalo) ………………………………………………………. 74 RPPI 9. TEKNIK PEMANENAN HUTAN Teknik Pemanenan Kayu Hutan Alam Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan …………………………………………………. 83 RPPI 2. PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU 1. Aplikasi Pengembangan Pellet Kayu Dari Biomassa Untuk

Masyarakat ………………………………………………………. 902. Pilot IPTEK Bioetanol Aren ……………………………………. 1003. Aplikasi Pengembangan Arang Terpadu (2017) ………………… 1064. Pilot IPTEK Biodiesel Nyamplung ……………………………… 113

Page 4: BUKU II - P3HH

1  

Judul Kegiatan : Teknik Pemanfaatan Limbah Biomassa Berlignoselulosa Untuk Bioenergi

Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk

Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator : Ir. Totok K. Waluyo, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dr. Ina Winarni, S.Hut. M.Si., Prof. Ris. Gustan Pari, M.Si.,

Ir. Santiyo Wibowo, M.Si., Djeni Hendra, M.Si., Teuku Benua Bardant, ST., M.Sc., Heru S. Wibowo, S.Hut.

ABSTRAK

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki industri pengolahan kayu yang cukup banyak, sehingga akan menghasilkan limbah yang banyak pula. Limbah kayu merupakan limbah lignoselulosa yang pada umumnya akan menumpuk dan kurang dimanfaatkan, sehingga akan menyebabkan pencemaran. Untuk meningkatkan nilai tambah limbah kayu/lignoselulosa, pembuatan bioetanol merupakan salah satu cara optimalisasi limbah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi penggunaan metode respon surface methodology untuk pembuatan model persamaan kadar bioetanol dari limbah kayu sengon. Hasil penelitian menunjukkan, persamaan kuadratik polinomial dan kurva 3D dengan menggunakan RSM dapat mengetahui kadar etanol optimum (18,39%) dengan penambahan substrat 37,15% dan konsentrasi enzim sebesar 13,8 FPU/g substrat. Kata kunci: Limbah kayu, lignoselulosa, RSM, kadar etanol. 1. LATAR BELAKANG

Pada tahun 2017 berjalan ini, konsumsi bahan bakar minyak (BBM)

khususnyapremium meningkat sangat tajam, yaitu sekitar 96.000 KL per hari atau

1.6 juta barel/hari dengan meningkatnya penjualan kendaraan bermotor. Sementara

itu, produksinya masih sekitar 800.000 barel per hari. Sehingga dipastikan adanya

defisit BBM sekitar 600.000 KL. Salah satu cara untuk mengatasi ketergantungan

BBM dari fosil adalah dengan membuat energi alternatif selain minyak bumi, gas

bumi dan batu bara (BBM) yang disebut bahan bakar nabati (BBN), yaitu bio-

etanol, bio-metanol dan bio-oil.

Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati yang cukup menjanjikan

untuk masa depan. Biomassa yang digunakan untuk memproduksi bioetanol dapat

diperoleh dari limbah pertanian, penjarangan atau limbah industri penggergajian

Page 5: BUKU II - P3HH

2  

kayu terutama kayu sengon atau bahan baku yang mengandung lignoselulosa.

Pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku bioenergi telah banyak diteliti oleh

peneliti khususnya di bidang energi. Metanol adalah salah satu jenis bahan bakar

alternatif untuk mesin pembakaran dalam dan beberapa jenis mesin lainnya, dan

dapat digunakan dengan cara mencampurkannya dengan bensin atau digunakan

tanpa campuran (metanol murni). Saat ini, sebagian besar metanol dibuat dari gas

alam. Ohlström et al., (2001) menyatakan bahwa 86% metanol dihasilkan dari gas

alam yang merupakan sumber energi non-terbarukan. Bio-oil atau dikenal juga

sebagai pyrolysis oil adalah bahan bakar sejenis solar yang memiliki berat jenis

tinggi, baru dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler atau dibakar langsung untuk

keperluan pengeringan. Bio-oil dapat diproduksi dari bahan baku biomassa seperti

limbah kehutanan, pertanian atau perkebunan menggunakan teknologi pirolisis.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan penelitian tahun ini adalah, untuk mendapatkan informasi kadar

etanol yang tinggi dengan menggunakan kondisi optimum perlakuan hasil optimasi

aplikasi Respon Surface Methodology (RSM), mendapatkan informasi teknik

pemurnian biometanol dari serbuk kayu A. mangium, mendapatkan data dan

informasi sifat fisiko-kimia upgrading bio-oil menggunakan cara catalytic

hydrocracking.

Sedangkan sasarannya adalah agar limbah lignoselulosa dapat dimanfaatkan

sebagai bahan baku bioenergi sebagai subtitusi dari bahan bakar fosil yang tidak

dapat diperbaharui.

3. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Limbah kayu sengon yang berasal dari Industri Penggergajian kayu di

Garut, Jawa Barat. TKKS dan serbuk mangium dari Banten, Jawa Barat.

B. Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah

penggergajian kayu sengon, serbuk mangium dan tandan kosong kelapa sawit di

Page 6: BUKU II - P3HH

3  

Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan adalah enzim selulase, tween 20, ragi

Sacharomyces cerevisiae merk komersial Fermipan, urea dan NPK, laterit, sulfur,

fenol, gas hidrogen, etanol pa, benzena, asam asetat, asam klorida dan asam sulfat.

Pelarut yang digunakan adalah asap cair kayu dan asap cair bambu, tandan kosong

kelapa sawit. Bahan kimia yang digunakan antara lain kristal Ni(NO3)2.6H2O,

zeolite, air suling, asam klorida (HCl), amonium klorida (NH4Cl), natrium sulfat

(Na2SO4) anhidrat, AgNo3, gas hidrogen.

Peralatan yang digunakan antara lain alat hidrolisis, unit destilator, neraca,

hot plate, buret, brix meter, pH meter, alat gelas / kaca vakum, saringan serbuk

kayu, reaktor hidrotermal, labu/corong pemisah, alat distilasi,dll.

C. Prosedur Kerja

1) Bioetanol

Tahapan proses yang akan dilakukan adalah: uji proksimat pada bahan baku

dan pulp, persiapan substrat, proses sakarifikasi pada 9 perlakuan yang telah

ditentukan konsentrasi subtrat, enzim dan surfaktannya sebagai kondisi

perlakuan optimum. Setelah hidrolisis selama 48 jam, dilanjutkan dengan

proses fermentasi selama 4 hari dengan penambahan jamur Saccharomyces

cerevisiae, NPK dan urea sebagai bahan makanan untuk ragi tersebut.

Setelah fermentasi, dilakukan penyulingan untuk memproduksi etanol, dan

dihitung kadar etanol dengan menggunakan alkohol meter dan GC juda

rendemennya.

2) Biometanol

Persiapan limbah serbuk mangium dengan pengeringan, kemudian digiling

sampai ukurannya lolos 80 mesh tertahan 100 mesh. Kemudian serbuk kayu

ditambahkan campuran katalis laterit dengan konsentrasi laterit 6% (b/b),

sulfur 1,5% (b/b) dan fenol 1% (b/v). Proses pemurnian menggunakan

tekanan gas hidrogen dengan variasi tekanan sebesar 7,5 bar; 12,5 bar; 17,5

bar. Penelitian ini akan menggunakan pelarut dari 2 jenis asap cair yaitu

asap cair kayu dan bambu. Asap cair yang dicampurkan menggunakan

perbandingan 1:4. Proses pemanasan dilakukan secara bertahap dari suhu

28-3000C. Proses pemanasan ditahan selama 1 jam ketika suhu mencapai

Page 7: BUKU II - P3HH

4  

3000C. Setelah itu, suhu diturunkan sampai 1500C kemudian pemanasan

dihentikan sampai suhu 280C. Tahap selanjutnya proses fraksinasi dengan

cara destilasi dimulai pada suhu 28-1500C dan 150-2000C dan 200-3000C.

Pengujian kualitas dilakukan terhadap sifat fisiko-kimia yaitu : berat jenis,

pH, kadar metanol dengan uji uji GC dan komponen kimia dengan uji

GCMS.

3) Bio-oil

Proses preparasi katalis Ni/NZA menggunakan modifikasi prosedur

Irvantino, (2013) dan Tadeus et al., (2013). Zeolit alam dihaluskan dengan

ukuran 100 mesh, lalu dicuci dengan aquades dan dikeringkan, selanjutnya

direfluk dalam larutan HCL 6 N selama 30 menit pada suhu 50oC sambil

diaduk, kemudian dicuci berulang kali sampai tidak terdeteksi ion Cl- dan

dikeringkan. Zeolit direndam dalam larutan NH4Cl pada tempertaur 90oC

sambil diaduk selama 24 jam atau 3 jam perhari selama 1 minggu dan

dikeringkan. Zeolit direndam dalam larutan logam Ni(NO3) 2.9 H2O, dan

direfluk selama 6 jam pada suhu 60oC. Padatan yang diperoleh dikeringkan

dalam oven pada suhu 120oC selama 3 jam. Selanjutnya dikalsinasi pada

suhu 500oC.

Penelitian perengkahan bio-oil menggunakan reaktor rengkah sistem fixed

bed. Sejumlah 1 liter crude bio-oil dimasukkan ke dalam reaktor dan

ditambahkan 4% katalis Ni/NZA. Kemudian reaktor ditutup, divakum dan

dialirkan gas hidrogen dengan masing-masing perlakuan tekanan hidrogen

yaitu 0 bar (kontrol), 5, 10, dan 15 bar. Selanjutnya reaktor dipanaskan

sampai suhu 300oC. Jumlah katalis yang ditambahkan dan suhu berdasarkan

penelitian sebelumnya Wibowo et al., (2016), dimana 4% katalis dan suhu

300oC (tanpa tekanan) menghasilkan sifat upgrading bio-oil yang optimal.

Page 8: BUKU II - P3HH

5  

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bioetanol

Tabel 1. Hasil dan Prediksi Bioetanol Pulp Limbah Sengon

Variasi konsentrasi

optimum

Substrat (%dw)

Enzim (FPU/g

substrat)

Surfaktan Tween 80

(%v)

Kadar bioetanol pulp limbah sengon (%v)

Prediksi Hasil 1 2 3 4 5 6 7 8 9

R2 = 0,977

20 25 30

33,68 36,9 42,9 27,3 31,8

37,15

12,7 13,05 13,21

10 12 15

13,3 13,5 13,8

1,16 1,5

1,87 2,3

2,47 2,8

0 1 2

12,33 15,39 17,25 12,21 17,96 18,39 11,89 16,15 18,39

11,30 14,94 17,01 12,26 17,40 18,10 13,00 15,70 17,21

 

B. Biometanol

 

Gambar 1. Kadar Biometanol

C. Bio-oil

Tabel 2. Karakteristik upgrading bio-oil

Rendemen pH Berat jenis

Viskositas cSt

Nilai kalor MJ/kg bahan bakar

(%) air (%)

Sisa (%)

Crude - - 2,7 1,0718 8,15 31,08 A 23,05 7,4 54,0 3,07 0,9864 2,26 31,27 B 39,87 6,3 51,55 3,21 0,9852 2,07 31,86 C 44,23 7 48,2 3,30 0,9804 2,03 32,56 D 44,6 6,2 46,85 3,24 0,9637 2,06 33,30 Biosolar - - - 4,26 0,8768 1,53 46,87

Keterangan : A = 0 bar hidrogen C = 10 bar hidrogen

58.44

80.30

52.94

13.11

38.99

71.1077.92

18.98

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

A B C D

Kad

ar Biometan

ol (%)

Perlakuan

1AC Kayu

2AC Bambu

Page 9: BUKU II - P3HH

6  

5. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

1) Kadar etanol hasil percobaan perlakuan optimasi berkisar antara 11,30 –

18,10% dengan koefisien determinasi 0,977.

2) Perlakuan dengan hasil kadar etanol tertinggi adalah kombinasi perlakuan

optimasi dengan konsentrasi substrat 42,9% (dw); konsentrasi enzim

sebanyak 15 FPU/g substrat dan konsentrasi Tween 20 sebanyak 2,8% (v).

3) Perlakuan penambahan tekanan gas hidrogen sebesar 7,5 bar dan pelarut

asap cair kayu menghasilkan kadar biometanol tertinggi, yaitu sebesar

80,30% dan rendemen tertinggi diperoleh melalui penambahan gas hidrogen

sebesar 12,5 bar yaitu sebesar 2,33%

4) Perlakuan yang optimal untuk perengkahan crude bio-oil adalah dengan

penambahan 10 bar hidrogen dengan karakteristik yaitu rendemen

upgrading bio-oil 44,23%, pH 3,3, berat jenis 0,9804, viskositas 2,03 cSt,

nilai kalor 32,56 MJ/kg.

2. Saran

1) Perlu dilakukan penelitan lanjutan dengan menggunakan perlakuan

optimasi yang menghasilkan kadar etanol tinggi dan hasil kadar etanol

didehidrasi kembali untuk mendapatkan konsentrasi etanol yang lebih

tinggi.

2) Teknik pemurnian biometanol dapat dilakukan dengan penambahan

tekanan gas hidrogen. Namun, penggunaan gas hidrogen perlu

memperhatikan kekuatan reaktor dan kemurnian gas hidrogennya agar

biometanol yang dihasilkan memiliki kadar yang tinggi.

3) Perlu dilakukan penambahan arang sebagai katalis untuk proses

hydrocracking.

Page 10: BUKU II - P3HH

7  

Lampiran 1.

Gambar 2. Proses Bioetanol

Gambar 3. Proses Biometanol

Gambar 4. Proses Bio-Oil

Page 11: BUKU II - P3HH

8  

Judul Kegiatan : Teknik Pemanfaatan Getah Pinus dan Karet Untuk Obat dan Kosmetik Alami

Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk

Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator : Ir. Totok K. Waluyo, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Gunawan Pasaribu, S.Hut. M.Si., Ir. Totol K. Waluyo,

M.Si., Lisna Efiyanti, S.Si. M.Sc.

ABSTRAK

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) memiliki keragaman yang tinggi sehingga penanganannya sangat spesifik tergantung jenis dan tempat tumbuhnya. Dalam Permenhut No : P.35/Menhut-II/2007, tercantum 9 kelompok yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan dan hewan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi borneol hasil sintesis dari alfa pinena getah tusam, karakterisasi resin karet sebagai bahan baku obat dan mengetahui kandungan senyawa aktif 10 (sepuluh) jenis tumbuhan obat hutan asal Sulawesi. Metode yang dilakukan melalui sintesis alfa pinena menjadi borneol, karakterisasi resin karet dan identifikasi senyawa aktif tumbuhan obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan obat yang diteliti berpotensi sebagai antivirus, antibakteri, antitumor, penurun tekanan darah tinggi, antikarsinogen dan antimutasigen yaitu Asystasia nemorum Nees, Gliricidia sepium (Jacq.) Walp., Sida rhombifolia L., Artemisia vulgaris L, Micromelum minutum Wight & Arn., Eleutherine bulbosa (Mill) Urb., Adenanthera pavonina L. dan Ruellia tuberose L. Terdapat 4 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai obat rematik, asam urat tinggi dan bisul yaitu Artemisia vulgaris L, Tabernaemontana pandacaqui Lam, Eleutherine bulbosa (Mill) Urb dan Adenanthera pavonina L. Terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antiimflamasi, antialergi, antikanker, antioksidan yaitu Sida rhombifolia L., Artemisia vulgaris L,, Micromelum minutum Wight & Arn dan Eleutherine bulbosa (Mill) Urb. Terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antiimflamasi, hepatoprotektif, analgesik, antimikroba yaitu Tabernaemontana pandacaqui Lam, Eleutherine bulbosa (Mill) Urb dan Ruellia tuberose L. Semua jenis tumbuhan yang berpotensi obat batuk, obat tetes mata, obat malaria, obat kanker, antibakteri. Sifat-sifat getah karet klon PB 260 dan PR 303 yaitu kadar air, kadar kotoran, kadar abu, kadar nitrogen memenuhi SNI 1903:2011 tentang Karet Spesifikasi Teknis. Kadar protein getah karet (klon PB 260 dan PR 303) cukup tinggi yaitu 1,188% yang menyebabkan getah karet menimbulkan bau disebabkan terjadinya pembusukan protein. Hexadecanoic acid dan Fucosterol adalah 2 senyawa yang terdapat pada resin getah karet klon PB 260 dan PR 303. Sintesis borneol dengan metode reaksi reduksi logam natrium dapat menghasilkan borneol dengan kisaran 0.12-2.03%. Kata Kunci: alfa pinena, pinus, resin, karet, obat

Page 12: BUKU II - P3HH

9  

1. LATAR BELAKANG

Tumbuhan obat merupakan salah satu andalan masa depan dalam

pengembangan agribisnis di Indonesia. Produk HHBK dari hutan tropis Indonesia

ini telah menghasilkan banyak senyawa metabolit sekunder yang dapat dan telah

digunakan sebagai sumber bahan baku obat tradisional (Zuhud, 1994). Menurut

WHO, hampir 65% penduduk Negara maju telah menggunakan obat herbal dan di

Negara berkembang pengguna obat herbal bahkan telah mejacai angka 80% dengan

Negara pemasok utama yaitu China, Eropa dan Amerika Serikat (Jumiarni &

Komalasari, 2017).

Getah karet dan jelutung memiliki karakter yang mirip dalam hal kesamaan

memiliki resin. Getah jelutung memiliki kadar resin yang tinggi yang

mengakibatkan elastisitasnya lebih rendah dibandingkan getah karet. Resin dari

getah jelutung diketahui mengandung beberapa komponen di mana salah satunya

taraxasterol (Waluyo et al., 2015) yang dapat berfungsi sebagai obat antiinflamasi

(Zhang et al., 2012; Xiong et al.,2014).

Komponen utama minyak terpentin ialah α-pinena yang dapat berfungsi

dalam produksi parfum serta prekursor fine chemical (Diaa, et al., 2012). Minyak

terpentin Indonesia mengandung sekitar 57-86% α-pinena, 8-12% δ-karena dan

golongan monoterpena yang lain dengan jumlah minor. Pengolahan derivat minyak

terpentin masih sangat minim dilakukan di Indonesia (Wiyono et al., 2006).

Pemanfaatan HHBK saat ini sedang berupaya dimaksimalkan karena selain

dapat mengisi kebutuhan masyarakat, meningkatkan nilai tambah juga dapat

meminimalkan efek global climate change yang diakibatkan oleh produksi kayu

hutan (Daryono, 2015).

2. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan penelitian tahun 2017 adalah mendapatkan data dan informasi

tentang karakteristik borneol hasil sintesis dari alfa pinena getah tusam,

karakteristik resin karet sebagai bahan baku obat dan informasi kandungan senyawa

aktif 10 (sepuluh) jenis tumbuhan obat hutan asal Sulawesi. Sedangkan sasarannya

Page 13: BUKU II - P3HH

10  

yang ingin dicapai adalah tersedianya informasi sintesis borneol, karakteristik resin

karet dan senyawa aktif tumbuhan obat.

3. METODE PENELITIAN

A. Tumbuhan Obat

1) Penyiapan bahan dan ekstraksi

Bahan penelitian berupa bagian tumbuhan/ pohon yang berkhasiat obat

(kulit, buah, daun, akar) dikumpulkan masing-masing sebanyak 2 kg.

Dihaluskan untuk menghasilkan serbuk 40 – 60 mesh, kemudian serbuk

diekstraksi secara meserasi (perendaman dengan metanol).

2) Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji saponin, uji flavonoid, uji triterpenoid

atau steroid, uji tanin, uji hidroquinon.

3) Pengujian toksisitas menggunakan metode Brime Shrim Letality Test.

4) Analisis komponen kimia menggunakan kromatograf gas spektrofotometri

massa (GMS).

B. Karakteristik Resin Karet

1) Analisis sifat fisiko-kima meliputi kadar air (%), kadar abu (%), kadar

kotoran (%), kadar nitrogen (%) dan kadar ekstrak aseton (%), berdasarkan

Standar Nasional Indonesia yaitu SNI Rubber 1903:2011.

Ekstrak aseton menggunakan metode ASTM D 297-93 (Standard Test

Methods for Rubber Products-Chemical Analysis) tahun 2011. Uji spektrum

infra merah menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared

Spectroscopy).

2) Analisis komponen kimia resin yang terdapat pada getah karet

menggunakan alat GC-MS.

C. Sintesis Alfa Pinena

Sintesis alfa pinena mengggunakan dua metode yaitu metode reaksi reduksi

logam natrium dan metode asiloksilasi. Hasil sintesis dikarakterisasi dengan

FTIR dan kromatografi gas dan NMR untuk mengetahui kemiripan senyawa

alam dengan borneol alam.

Page 14: BUKU II - P3HH

11  

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tumbuhan Obat

Dari sepuluh jenis tumbuhan yang diuji fitokimia, menunjukan sampel

mengandung flavonoid, tanin, saponin, steroid/triterpenoid, alkaloid dan

hidrokuinon. Rendeman ekstrak bervariasi mulai 2,60 – 7,88%.

Toksisitas ekstrak tumbuhan yang diteliti (LC50) berkisar antara 59,88 –

608,32 ppm. Hal ini bermakna bahwa semua jenis yang diteliti memiliki LC < 1000

ppm tergolong aktif atau toksik.

B. Karakteristik Resin Karet

Kadar air getah karet (klon PB 260 dan PR 303) relatif sama yaitu 0,79%

dan 0,74%. Didalam SNI 1903:2011 tentang karet spesifiksi teknis tidak

dipersyaratkan kadar air getah karet, hal ini mungkin disebabkan karet tidak mudah

menyerap air walaupun direndam didalam air pada waktu penyimpanan di

lapangan. Kadar abu menunjukkan banyaknya mineral yang terkandung dalam

getah. Kadar abu getah karet (klon PB 260 dan PR 303) yakni 0,47% dan 0,18%.

Kadar abu getah karet kedua klon tersebut memenuhi SNI 1903:2011 yaitu sebesar

0,75% dan Standar Malaysian Rubber (SMR) sebesar 0,50%.

Kadar kotoran getah karet relatif kecil, hal ini menandakan para penyadap

getah karet di lapangan cukup trampil. Kadar kotoran getah karet ke dua klon (klon

PB 260 dan PR 303) yakni 0,025% dan 0,027% dan memenuhi SNI 1903:2011 yaitu

2,08%. Sebaliknya kadar kotoran getah karet tersebut tidak memenuhi SMR yang

mensyaratkan kadar kotoran maksimum 0,02%.

Kadar ekstrak aseton menunjukkan besarnya kadar resin yang terdapat pada

getah karet. Kadar ekstrak aseton getah karet kedua klon (klon PB 260 dan PR 303)

yakni 1,52% dan 3,19%. Hal ini menunjukkan bahwa getah karet klon PR 303 lebih

banyak mengandung resin dibanding getah karet klon PB 260.

Kadar nitrogen getah karet dari ke dua klon (klon PB 260 dan PR 303)

relatif kecil dan besarannya sama yakni 0,19%. Kadar nitrogen tersebut memenuhi

SNI !903:2011 dan SMR yang mensyaratkan maksimum 0,60%. Kadar nitrogen

berkaitan dengan kadar protein, maka untuk mengetahui kadar protein besaran

kadar nitrogen dengan faktor 6,25 (SNI 06-1903-2000). Dengan demikian kadar

Page 15: BUKU II - P3HH

12  

protein getah karet klon PB 360 dan PR 303 sebesar 1,188%. Hal ini berbeda

dengan getah jelutung yang mempunyai kadar protein sangat kecil (0,46%)

sehingga tidak menimbulkan bau busuk (Waluyo, et al., 2012).

C. Sintesis Borneol

Pada metode reaksi reduksi logam natrium, data serapan FTIR

menunjukkan puncak-puncak absorbsi yang cukup serupa dengan puncak yang

muncul pada FTIR standar borneol. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa

puncak absorbsi yang memiliki gelombang serapan yang hampir sama bila

dibandingkan dengan serapan pada borneol.

Puncak-puncak tersebut muncul dengan intensitas lemah hingga sedang

dengan pelebaran sedikit pada bentuk puncak. Beberapa puncak yang penting pada

borneol diantaranya pada serapan 3300 cm-1, 2950 cm-1, 1454 cm-1dan 1055 cm -1.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada borneol, terdapati katan O-

H pada bilangan gelombang 3300-3600 cm-1 dan pada kedua belas sampel terlihat

bahwa ikatan O-H ini terlihat keberadaannya dengan puncak serapan bervariatif

antar sampel berkisar 3389,83 cm-1 - 3429,50 cm-1,.

Ikatan O-H ini merupakan ikatan lemah vibrasi ulur yang diindikasikan

terikat dengan ikatan hidrogen atau sampel yang diuji masih mengandung air karena

bentuk puncak serapan melebar, tidak tajam dan bergeser kearah bilangan

gelombang yang lebih pendek.

Kemudian ikatan C-H alifatik terdapat pada semua sampel yang ditunjukkan

oleh serapan dengan variasi absropsi pada panjang gelombang 2957-2969,08 cm-1

yang diakibatkan oleh vibrasi ulur dari cincin aromatik. Selanjutnya untuk ikatan

C-O terlihat pada variasi bilangan gelombang 1050-1100 an cm-1 dan ikatan C-C

aromatic pada bilangan gelombang 1454-1456 cm-1 dengan derajat subtitusi yang

rendah.

Analisis NMR menunjukkan bahwa pada borneol sintesis ditemukan

pergeseran kimia di daerah tersebut yaitu di 4,234 ppm namun dengan sinyal lemah,

diduga karena hasil sintesis masih crude dan mengandung produk samping lain

yang lebih banyak karena pergeseran kimia yang banyak terlihat justru di angka

Page 16: BUKU II - P3HH

13  

0,8-2,4 ppm. Pergeseran kimia penciri borneol yaitu gugus hidroksi yang terikat

pada C-H muncul pada 4,0 ppm dan 3,6 ppm untuk isoborneol.

Hasil pengujian GCMS memperjelas senyawa sintesis yang terbentuk

melalui metode reaksi reduksi logam natrium dapat menghasilkan borneol dengan

kisaran 0,12 – 2,03%. Sementara itu, hasil sintesis borneol dengan asiloksilasi

belum menunjukkan terbentuknya senyawa borneol.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Tumbuhan Obat

a) Skrining fitokimia 10 jenis tumbuhan hutan menunjukkan yang berpotensi

sebagai antivirus, antibakteri, antitumor, penurun tekanan darah tinggi,

antikarsinogen dan antimutasigen yaitu Asystasia nemorum Nees, Gliricidia

sepium (Jacq.) Walp., Sida rhombifolia L., Artemisia vulgaris L,

Micromelum minutum Wight & Arn., Eleutherine bulbosa (Mill) Urb.,

Adenanthera pavonina L. dan Ruellia tuberose L.

b) Terdapat 4 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai obat rematik, asam urat

tinggi dan bisul yaitu Artemisia vulgaris L, Tabernaemontana pandacaqui

Lam, Eleutherine bulbosa (Mill) Urb dan Adenanthera pavonina L.

c) Terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antibakteri, antivirus,

antiimflamasi, antialergi, antikanker, antioksidan yaitu Sida rhombifolia L.,

Artemisia vulgaris L,, Micromelum minutum Wight & Arn dan Eleutherine

bulbosa (Mill) Urb.

d) Terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antiimflamasi,

hepatoprotektif, analgesik, antimikroba yaitu Tabernaemontana

pandacaqui Lam, Eleutherine bulbosa (Mill) Urb dan Ruellia tuberose L.

e) Semua jenis tumbuhan yang berpotensi obat batuk, obat tetes mata, obat

malaria, obat kanker, antibakteri.

Page 17: BUKU II - P3HH

14  

2) Karakteristik Resin Karet

1) Sifat-sifat getah karet klon PB 260 dan PR 303 yaitu kadar air, kadar

kotoran, kadar abu, kadar nitrogen memenuhi SNI 1903:2011 tentang Karet

Spesifikasi Teknis.

2) Kadar protein getah karet (klon PB 260 dan PR 303) cukup tinggi yaitu

1,188% yang menyebabkan getah karet menimbulkan bau disebabkan

terjadinya pembusukan protein.

3) Komponen kimia resin dari getah karet klon PB 260 terdeteksi sebanyak 19

senyawa, sedangkan pada klon PR 303 sebanyak 9 senyawa.

4) Hexadecanoic acid dan Fucosterol adalah 2 senyawa yang terdapat pada

resin getah karet klon PB 260 dan PR 303. Dengan demikian kedua

senyawa tersebut ada kemungkinan dijadikan senyawa penciri resin dari

getah karet.

3) Sintesis Borneol dari Alfa Pinena

Sintesis borneol dengan metode reaksi reduksi logam natrium dapat

menghasilkan borneol dengan kisaran 0.12-2.03%. Sementara dengan

menggunakan metode asiloksilasi belum mampu menghasilkan borneol sintesis.

B. Saran

Tumbuhan-tumbuhan yang berpotensi untuk obat perlu dikembangkan

secara terstruktur untuk menjamin kelestarian dan ketersediaan di alam. Perlu dikaji

lebih dalam kondisi reaksi yang dapat menghasilkan borneol sintesis pada reaksi

asiloksilasi.

Page 18: BUKU II - P3HH

15  

Lampiran 2.

Gambar 5. Pengambilan Sampel Tumbuhan Obat

Gambar 6. Sampel Tumbuhan Obat; Bawang Hutan (kiri), Daun Saga (kanan)

Page 19: BUKU II - P3HH

16  

Judul Kegiatan : Teknik Inovasi Sagu dan Aren untuk Bahan Pangan Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk

Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator : Ir. Totok K. Waluyo, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : R. Esa Pangersa G. S.Hut., Gunawan Pasaribu, S.Hut.

M.Si., Dr. Ina Winarni, S.Hut. M.Si., Novitri Hastuti, S.Hut. M.Si. Prof. Ris. Gustan Pari.

ABSTRAK Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi menyebutkan bahwa salah satu indikator pencapaian ketahanan pangan dan gizi yakni dengan penganekaragaman pangan dan perbaikan gizi masyarakat. Penganekaragaman jenis pangan termasuk introduksi bahan pangan lokal untuk mengurangi konsumsi beras. Salah satu bahan pangan lokal dan potensial di Indonesia adalah sagu dan aren. Kandungan gizi sagu berupa protein, kalsium, zat besi dan teonine masih lebih rendah dibandingkan beras dan jagung kering. Untuk itu pengolahan sagu menjadi tepung perlu ditingkatkan kualitasnya untuk memenuhi kandungan gizi yang lebih baik dengan cara fortifikasi. Sagu dalam bentuk tepung difortifikasi dengan aren dan porang menjadi biskuit dengan 7 formulasi (B1-B7) untuk kemudian dianalisa proksimat dan uji organoleptik untuk menilai tingkat kesukaan responden terhadap produk hasil penelitian. Hasil uji organoleptik menunjukkan formulasi B2 dan B5 merupakan yang paling disukai. Aren sebagai komoditas pangan sudah banyak diolah menjadi bahan pangan, salah satunya adalah Gula semut. Optimasi pengolahan gula semut dilakukan guna mengetahui kualitas gula semut yang dihasilkan dengan memberikan perlakuan berbeda pada lama penyimpanan nira (0-, 2-, 4-, 6- dan 8 jam) dan pemberian raru pada nira. Hasil penelitian menunjukkan lama penyimpanan hingga 8 jam tidak mempengaruhi nilai pH rendemen dan warna dari gula semut, namun Penambahan raru pada nira memberikan pengaruh yang nyata pada kadar sukrosa gula semut. Kata Kunci: Sagu, fortifikasi, peningkatan kandungan gizi, aren, gula semut

1. LATAR BELAKANG

Pangan adalah salah satu kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia.

Bahan pangan sumber karbohidrat non beras yang banyak terdapat di Indonesia

diantaranya adalah sagu, jagung, aren, ubi kayu, porang dan sorgum. Salah satu

jenis bahan pangan tersebut yang paling potensial dimanfaatkan adalah sagu.

Page 20: BUKU II - P3HH

17  

Sebagian besar kandungan sagu adalah karbohidrat, berkisar 84-98% dan

kandungan lain yang jumlahnya sangat rendah seperti protein dan vitamin masing-

masing hanya berkisar 1%. Oleh karena itu apabila sagu dikonsumsi sebagai

makanan pokok, perlu dilakukan modifikasi untuk memperbaiki nilai gizinya

(Bantacut, 2011). Salah satu cara untuk menambahkan kandungan gizi ke dalam

tepung sagu adalah dengan cara fortifikasi.

Gula aren telah dikenal sejak dulu dan dimanfatkan sebagai pemanis alami

dalam dunia masak-memasak dan obat-obatan. Saat ini telah mulai dikenal gula

aren bentuk butiran halus atau gula semut. Petani lokal sering menggunakan raru

yang dicelupkan sesaat setelah nira disimpan didalam wadah setelah pemanenan.

Penambahan raru ini diyakini masyarakat berdampak pada kualitas gula semut yang

dihsailkan nantinya. Namun, belum banyak informasi mengenai pengaruh

penambahan raru ini terhadap kualitas gula semut.

Pada penelitian ini dilakukan fortifikasi porang dan gulas emut dari aren

kedalam tepung sagu sehingga diharapkan setelah dilakukan fortifikasi dapat

menjadikan tepung sagu sebagai bahan pangan fungsional alternatif yang bernilai

gizi tinggi serta pengaruh penambahan raru dan lama penyimpanan nira terhadap

kualitas gula semut yang dihasilkan.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas tepung sagu sebagai

bahan pangan fungsional alternatif bernilai gizi tinggi melalui proses fortifikasi dan

mengidentifikasi pengaruh lama penyimpanan nira terhadap kualitas gula semut

yang dihasilkan. Sasaran penelitian ini adalah tersedianya informasi nilai gizi

produk dari sagu hasil proses fortifikasi dan informasi kualitas gula semut hasil

optimasi pengolahan gula semut.

Page 21: BUKU II - P3HH

18  

3. METODE PENELITIAN

A. Bahan dan Peralatan

Bahan utama penelitian adalah sagu dan aren. Bahan penunjang penelitian

berupa porang sebagai bahan fortifikan. Bahan penunjang yang digunakan adalah

mentega, cinnamons, vanili, telur. Alat yang digunakan adalah oven, mixer, wadah

dan lain sebagainya.

B. Prosedur Kerja

1) Sagu

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksprimen, yakni

melakukan percobaan fortifikasi porang dan aren kedalam tepung sagu.

Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1) Pada tahap

pertama melakukan Pengolahan sagu, 2) pembuatan biskuit dari tepung

sagu dangan fortifikasi porang dan aren dan 3) Analisis karakteristik tepung

sagu hasil fortifikasi dan dibandingkan dengan yang tidak terfortifikasi.

Analisis yang dilakukan adalah sifat fisiko kimia dan organoleptik (uji

kesukaan). Persiapan bahan baku meliputi pengolahan sagu dan porang.

Formulasi biskuit yang digunakan pada tahapan ini dapat dilihat pada Tabel

3.

Tabel 3. Formulasi biskuit

Bahan Kontrol Aren Kirai

1 2 3 4 5 6 Tepung terigu, gr 200 - - - - - - Tepung tapioka, gr 200 - - - - - - Tepung porang, gr - 200 100 300 200 100 300 Sagu, gr - 200 300 100 200 300 100 Gula aren, gr 100 100 100 100 100 100 100 Mentega, gr 150 150 150 150 150 150 150 Telur, butir 1 1 1 1 1 1 1 Vanili, sdt 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 Backing soda, sdt 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 Garam secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya

Chococips secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya

Page 22: BUKU II - P3HH

19  

Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu analisa proksimat dan

uji organoleptik. Analisa proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar

protein, kadar lemak, kadar karbohidrat mengikuti prosedur standar AOAC

(2005), kadar serat kasar, kolesterol dan kalsium mengikuti prosedur standar

BSN (2011), dan nilai kalori mengikuti prosedur standar BSN (1992). Uji

organoleptik dilakukan terhadap 30 responden dengan menilai warna,

aroma, rasa dan tekstur dari masing-masing formula.

2) Aren

Proses optimasi pengolahan gula semut dilakukan pada tahap persiapan

sebelum pengolahan dimulai. Perlakuan pada tahapan persiapan adalah

dengan membandingkan pengaruh waktu penyimpanan setelah panen dan

pemberian raru sebagai bahan pengawet terhadap kualitas gula semut.

Perlakuan pada waktu antara panen dan proses pengolahan adalah segar (0

jam), 2 jam, 4 jam, 6 jam dan 8 jam. Analisis dilakukan terhadap gula semut

meliputi : warna, rendemen, kadar sukrosa, kadar pati, kadar amilosa dan

amilopektin.

3) Analisis Data

Sagu

Data hasil pengamatan disajikan secara kualitatif dan deskriptif dalam

bentuk tabulasi. Data SNI mengenai sagu dan biskuit akan dijadikan acuan

sebagai pembanding. Uji organoleptik biskuit dianalisa menggunakan

metode Kruskall-Wallis.

Gula Semut

Analisis statistik yang digunakan berupa analisis rancangan acak lengkap

dengan perlakuan lama waktu penyimpanan dan penambahan raru. Lama

waktu penyimpanan (A) yaitu 0, 2, 4, 6 dan 8 jam, sedangkan penambahan

raru (B) dilakukan dengan penambahan atau tanpa penambahan raru pada

nira. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan rumus sebagai berikut :

𝑌𝑖𝑗𝑘=𝑢+𝛼𝑖+𝛽𝑗+(𝛼𝛽)𝑖𝑗+𝜖𝑖𝑗𝑘

Page 23: BUKU II - P3HH

20  

Keterangan :

𝑌𝑖𝑗𝑘 = Nilai pengamatan

𝑢 = Nilai rata-rata sebenarnya

𝛼𝑖 = Pengaruh faktor lama waktu penyimpanan pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3)

𝛽𝑗 = Pengaruh faktor penambahan raru pada taraf ke-j (j = 1,2,3, ...., 10)

(𝛼𝛽)𝑖𝑗 = Pengaruh faktor interaksi faktor waktu taraf ke-i dan penambahan raru

taraf ke-j

𝜖𝑖𝑗𝑘 = error

Selanjutnya untuk perlakuan yang menunjukkan berbeda nyata dilakukan

uji lanjut Duncan untuk mengetahui signifikansi masing-masing variabel

yang berpengaruh pada hasil pengamatan seperti rendemen, kadar sukrosa,

kadar amilosa, kadar amilopektin dan warna.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sagu

Tabel 4. Analisis proksimat biskuit

Parameter Formulasi

B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 Kalori (kKal) 475,29 458,26 460,07 376,82 450,65 477,65 456,06 Karbohidrat (%) 49,46 52,91 56,41 59,44 60,84 50,20 58,14 Lemak total (%) 21,05 18,07 16,14 6,02 14,51 20,61 14,69 Kadar protein (%) 21,99 21,00 22,28 21,22 19,16 22,83 22,81 Serat kasar (%) 1,12 2,27 1,74 1,24 1,64 2,88 1,44 Kadar air (%) 4,50 6,61 3,44 10,72 4,19 2,96 3,29 Kadar abu (%) 2,98 1,41 1,72 2,60 1,28 3,39 1,05 Kolesterol (mg/100 gr) 0,02 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 0,02 Kalsium (mg/100 gr) 709,95 583,69 429,72 510,17 1.629,03 703,72 568,18 Fe (mg/100 gr) 17,85 14,51 11,18 12,96 19,31 17,55 15,14

Proses fortifikasi sagu dengan porang dan aren meningkatkan nilai gizi sagu

dalam hal kalori, lemak total, kadar protein, kalsium dan Fe. Hasil uji organoleptik

biskuit berbahan dasar tepung sagu, porang dan aren dengan 7 formulasi diperoleh

bahwa formulasi B2 (perbandingan tepung sagu : porang = 3:1) merupakan yang

paling disukai responden dalam hal aroma, rasa dan tekstur.

Page 24: BUKU II - P3HH

21  

B. Aren

Gambar 7. Perbandingan nilai pH Nira, Rendemen dan Kadar Sukrosa Gula Semut

Nilai pH nira dengan penambahan raru lebih besar dibandigkan dengan nira

tanpa penambahan raru. Hal ini menandakan penambahan raru menghambat

terjadinya fermentasi pada nira.

Rendemen gula semut yang dihasilkan dari nira baik dengan penambahan

raru atau tidak, memiliki kecenderungan nilai yang tidak jauh berbeda. Analisis

statistik menunjukkan bahwa penambahan raru tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap rendemen yang dihasilkan.

Dilihat dari kualitas gula dalam hal kadar sukrosa, gula semut yang berasal

dari nira tanpa penambahan raru memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan gula

semut yang berasal dari nira dengan penambahan raru. Namun bila dilihat dari

analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan raru tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap kadar sukrosa.

Page 25: BUKU II - P3HH

22  

Tabel 5. Perbandingan kadar pati, amilosa dan amilopektin gula semut

Parameter Asal gula semut

Nira + raru Nira tanpa raru Kadar pati 3,64 1,81

Kadar amilosa 0,85 0,23 Kadar amilopektin 2,79 1,58

Hasil penelitian menunjukkan kadar pati gula semut yang berasal dari nira

dengan penambahan raru menghasilkan nilai yang lebih tinggi (3,64%)

dibandingkan dengan gula semut yang berasal dari nira tanpa raru (1,81%). Hal

yang sama juga terjadi pada nilai kadar amilosa dan amilopektin, pada gula semut

yang berasal dari nira dengan penambahan raru menghasilkan nilai yang lebih

tinggi (0,85% ; 2,75%) dibandingkan dengan gula semut yang berasal dari nira

tanpa raru (0,23% ; 1,58%). Hal ini diduga karena kandungan zat ekstraktif yang

terdapat pada raru menghambat terjadinya proses fermentasi pada nira. Semakin

lama proses fermentasi ini terjadi maka semakin banyak zat asam yang terbentuk,

semakin banyak terjadi perombakan gula, artinya gula (karbohidrat) semakin

sedikit, dengan demikian angka pH (keasaman) semakin rendah.

Tinggi rendahnya kadar pati, amilosa dan amilopektin mengindikasikan

indeks glikemik dari gula semut. Indeks glikemik adalah ukuran seberapa besar

efek suatu makanan yang mengandung karbohidrat dalam meningkatkan kadar gula

darah setelah dimakan, dibandingkan dengan glukosa atau roti putih. Makanan

dengan indeks glikemik tinggi adalah makanan yang cepat dicerna dan diserap

sehingga kadar gula darah akan meningkat dengan cepat secara signifikan.

Makanan dengan indeks glikemik yang rendah mengalami pencernaan dan

penyerapan yang lebih lambat sehingga peningkatan kadar glukosa dan insulin

dalam darah akan terjadi secara perlahan-lahan.

Page 26: BUKU II - P3HH

23  

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Hasil kegiatan inovasi peningkatan kualitas tepung sagu sebagai bahan

pangan fungsional alternatif bernilai gizi tinggi dapat disimpulkan bahwa

fortifikasi tepung sagu dengan penambahan gula aren dan tepung porang

meningkatkan nilai gizi dalam hal kalori, lemak total, kadar protein,

kalsium dan Fe.

2) Hasil uji organoleptik produk turunan (diversifikasi) olahan produk

fortifikasi berbentuk biskuit dengan 7 formulasi disimpulkan bahwa

formulasi B2 (perbandingan tepung sagu : porang = 3:1) merupakan yang

paling disukai responden dalam hal aroma, rasa dan tekstur.

3) Hasil kegiatan optimasi pengolahan gula aren dapat disimpulkan bahwa

penambahan raru pada nira sebelum diolah menjadi gula semut tidak

mempengaruhi kualitas dari segi rendemen, warna dan kadar sukrosa dari

gula semut yang dihasilkan dibandingkan dengan gula semut yang berasal

dari nira tanpa penambahan raru dalam rentang waktu penyimpanan 0

hingga 8 jam.

B. Saran

Sagu, porang dan aren merupakan bahan pangan alternatif potensial yang

berasal dari Kehutanan. Potensi yang semakin beragam melalui proses pengolahan

menjadi diversifikasi produk turunan dari ketiga jenis bahan pangan ini perlu diteliti

lebih lanjut lagi guna mendukung Riset Nasional di bidang bahan pangan alternatif.

Page 27: BUKU II - P3HH

24  

Lampiran 3.

Gambar 8. Dokumentasi Kegiatan Penelitian

Page 28: BUKU II - P3HH

25  

Judul Kegiatan : Diversifikasi Jenis Kayu Alternatif dan Penyempurnaan Sifat Kayu untuk Pemenuhan Kebutuhan Kayu sebagai Bahan Baku Industri Perkayuan

Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dr. Drs. Djarwanto, M.Si., Dr. Krisdianto, S.Hut. M.Sc.

Ir. Jamal Balfas, M.Sc., Drs. Ahmad Supriadi, MM., Abdurachman, ST. Dra. Jasni, M.Si., Dra. Sihati Suprapti, Dr. Karnita Yuniarti, S.Hut. M.Sc., Prof. Ris. Gustan Pari, Dian Anggraeni, S.Hut. MM., Drs. Agus Ismanto, M.Si., Rohmah Pari, S.Hut., Esti Rini Satiti, S.Hut., Ir. Efrida Basri, M.Sc.

ABSTRAK

Pengetahuan sifat dasar kayu kurang dikenal, dapat menentukan penggunaannya yang tepat sehingga pemanfaatannya lebih optimal. Kayu kurang dikenal dalam penggunaannya yang sesuai dengan sifat yang dimiliki menjadi pemasok bahan baku industri perkayuan. Dengan demikian, memanfaatkan kayu kurang di kenal akan dapat meningkatkan diversifikasi penggunaan kayu. Pada kegiatan ini, bahan yang dipakai adalah tiga jenis kayu dari Kalimantan Barat yaitu bengkulung (Drypetes neglecta (Kord..) Pax. & K.Hoffm.), ubar (Syzygium sp.), sawang (Santiria sp.).,. Sifat dasar yang diteliti adalah struktur anatomi dan dimensi serat, fisis dan mekanis, keawetan terhadap serangga, jamur, penggerek di laut, keterawetan, pengeringan, pemesinan, venir dan kayu lapis, kimia dan destilasi kering serta pulp dan kertas. Penelitian laboratorium dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Pengujian lapangan keawetan kayu dilakukan di Cikampek dan Pulau Rambut. Pengambilan kayu di lapangan terkendala sering sulit mendapatkan ijin lokasi hutan alam yang masih aktif HPH-nya, penjadwalan yang berubah-ubah dari pemilik hingga sulitnya menyesuaikan waktu dngan peneliti. Kata kunci : Kayu Kalimantan, sifat anatomi, pemesinan, diversifikasi jenis, keawetan

kayu, pulp, arang

1. LATAR BELAKANG

Telah disepakati bahwa peneltian sifat dasar kayu ditargetkan menyediakan

data dan informasi jenis kayu Indonesia untuk bahan penyusunan atlas kayu. Disisi

lain juga disisipkan asdas manfaat untuk melengkapi koleksi Xylarium Pusat

Litbang Hasil Hutan. Dari 400 jenis kayu yang dianggap penting itu baru 267 jenis

yang sudah diketahui sifat dan kegunaannya. Di antaranya sudah dikenal dalam

perdagangan dan dapat dikelompokkan menjadi 120 jenis kayu perdagangan

Page 29: BUKU II - P3HH

26  

(Kartasujana & Martawijaya, 1979). Sisanya, yaitu 133 jenis digolongkan ke dalam

kelompok kayu kurang dikenal, mungkin saja merupakan kayu yang mempunyai

potensi cukup besar dan cepat tumbuh.

Kurang dikenalnya sifat kayu yang berasal dari hutan alam maupun hutan

rakyat, sering dicampurkannya jenis kayu yang berkualitas rendah dengan yang

berkualitas tinggi. Tanpa diketahui sifat-sifat kayunya dapat berakibat dalam

penggunaannya menjadi tidak efisien dan optimal. Untuk menanggulangi hal

tersebut maka diupayakan oleh P3HH, setiap tahun diteliti sifat dasar 5 jenis kayu

dari berbagai lokasi, antara lain Sumatera. Aspek yang diteliti adalah struktur

anatomi dan dimensi serat, sifat fisis dan mekanis, sifat pemesinan, sifat keawetan

terhadap serangga, sifat keawetan terhadap jamur, sifat keawetan terhadap

penggerek di laut, sifat keterawetan, sifat pengeringan, sifat venir dan kayu lapis,

sifat kimia dan nilai kalor, serta sifat dan pengolahan pulp untuk kertas. Hasil

penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pemanfaatan

kayu, sehingga dapat terjadi diversifikasi penggunaan jenis kayu. Dengan demikian

kayu jenis lain dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri maupun untuk

keperluan lain yang tidak lagi terbatas pada jenis kayu tertentu.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Penelitian yaitu Menyediakan data dan informasi sifat dasar dan kegunaan

tiga jenis kayu Kalimantan. Sedangkan luaran yang diharapkan tersedianya data

sifat dasar dan potensi kegunaan 3 jenis kayu Kalimantan untuk bahan penyusunan

Atlas kayu Indonesia.

3. METODE PENELITIAN

Struktur anatomi dan dimensi serat kayu berupa karakteristik anatomi serta

susunan sel-sel penyusun yang dimiliki setiap jenis kayu mengacu prosedur

Keating 1994 dan PROSEA 5 (1). Sifat fisis dan mekanis kayu berupa pengujian

contoh kayu yang diteliti mengacu standar ASTM D143-94-2006. Sifat pemesinan

dilakukan untuk mengetahui karakter kayu dalam proses pengerjaan mengacu

standar ASTM D-1666-64 -1982. Sifat keawetan kayu berupa pengujian terhadap

Page 30: BUKU II - P3HH

27  

organisme perusak mengacu standar SNI 7207:2014. Sifat keterawetan kayu berupa

pengujian terhadap kemampuan kayu ditembus bahan pengawet mengikuti standar

IUFRO. Sifat pengeringan kayu dilakukan pengujian melalui metode pengeringan

secara alami dan buatan mengacu prosedur Terazawa-1965. Sifat venir dan kayu

lapis dilakukan untuk mengetahui karakter kayu jika dikupas, atau direkat, dalam

proses pembuatan venir dan kayu lapis mengacu pada SNI 01.5008.2 :2002) dan

JAS :2013. Sifat kimia dan nilai kalor dilakukan dengan menganalisis kandungan

kimia dalam kayu mengacu pada ASTM (1980,2001,2006). Sifat dan pengolahan

pulp untuk kertas dilakukan pengujian terhadap sifat pengolahan dan pulp yang

dihasilkan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bengkulung (Drypetes neglecta (Kord..) Pax. & K.Hoffm.)

Famili Polygalaceae. Tanah tempat tumbuh perbukitan. Tumbuhan daun

lebar. Memiliki banir pendek. Bentuk pohon agak silindris dengan percabangan

melebar ke sisi luar batang. Kulit batang kasar pecah-pecah berwarna gelap

kecoklatan. Pohon 1: tempat tumbuh pohon terdapat pada titik koordinat S

01.09081° - E 111.23371°. Tinggi batang bebas cabang 23 m, diameter 60 cm;

tinggi kanopi sekitar 30 m. Posisi daun mengumpul sedikit pada ujung ranting,

terletak bersilangan. Bunga dan buah tidak dijumpai. Nomor koleksi xylarium

34430. Distribusi pohon bengkulung meliputi Peninsular Malaysia, Sumatra,

Borneo (Sarawak, Brunei, Sabah, West-, Central- and East-Kalimantan)

(Soerianegara dan Lemmens, 1994).

B. Kayu sawang (Santiria sp.)

Famili Burceraceae; Genus : Santiria sp. (Lemmens, Soerianegara dan

Wong, 1994). Tapak tempat tumbuh perbukitan. Tumbuhan daun lebar. Tajuk tipis.

Batang bagian bawah berbanir. Batang tegak agak silindris. Kulit batang berwarna

gelap coklat agak cerah, tidak terlalu tebal, agak kasar bersisik. Pohon I: tumbuh

pada posisi koordinat S 01.109159° dan E 111.23200° diameter 46 cm tinggi bebas

cabang 17 m. Nomor koleksi xylarium 34431.

Page 31: BUKU II - P3HH

28  

C. Kayu ubar (Syzygium sp.)

Famili Myrtaceae. Genus Syzygium. Jenis tanaman ini termasuk suku

meranti-merantian atau Dipterocarpaceae (Soerianegara dan Lemmens, 1994).

Tapak tempat tumbuh perbukitan. Tumbuhan daun lebar. Tajuk tipis. Batang bagian

bawah berbanir. Banir berupa tipis sempit setinggi 2-3 m. Batang tegak agak

silindris. Kulit batang berwarna gelap coklat kehitaman, kasar pecah-pecah. Titik

koordinat lokasi tumbuh pohon 1: S 01.09114° dan E 111.23114°; tinggi pohon

bebas cabang sekitar 18 m, diameter 56 cm. Bunga dan buah tidak dijumpai. Nomor

koleksi xylarium 34433.

Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis. Pengujian Sifat mekanis kayu Kalimantan

meliputi kekerasan (sisi dan ujung), uji pukul (tangensial dan radial), keteguhan

proporsi limit (MPL), keteguhan patah (MOR), keteguhan elastisitas (MOE),

keteguhan tekan (// serat dan ┴ serat), keteguhan geser (tangensial dan radial),

keteguhan belah (tangensial dan radial), serta keteguhan tarik (┴ tangensial, ┴

radial, // tangensial, dan // radial). Hasil uji sifat mekanis kayu sebelum dikeringkan

kayu Bengkulung memiliki nilai MPL 504.05; MOE 85339.83; MOR 769.98

kg/cm2; keteguhan tekan // 385.35 dan ┴ 151.12 kg/cm2 ; keteguhan geser radial

67.01, tangensial 57.39 serta keteguhan pukul radial 32.11 dan tangensial 32.49

(kg/cm2). Kayu sawang memiliki nilai MPL 713.49; MOE 150774.98; MOR

1182.05 kg/cm2; keteguhan tekan // 534.00 dan ┴ 278.41 kg/cm2 ; keteguhan geser

radial 74.49, tangensial 100.85 serta keteguhan pukul radial 57.69 dan tangensial

58.53 (kg/cm2). Kayu Ubar memiliki nilai MPL 482.44; MOE 114,311.90; MOR

835.02 kg/cm2; keteguhan tekan // 366.75 dan ┴ 171.16 kg/cm2 ; keteguhan geser

radial 59.77, tangensial 104.80 serta keteguhan pukul radial 45.82 dan tangensial

47.89 (kg/cm2).

Pengujian sifat pemesinan meliputi sifat pengetaman, pembentukan, pemboran,

pengampelasan dan pembubutan. Standar baku contoh kayu pemesinan harus sudah

dalam keadaan kering dengan kadar air sekitar 12%. Pengerjaan kayu yang belum

kering sempurna akan menghasilkan kualitas kerja yang tidak baik. Persentase

bebas cacat hasil pengerjaan pemboran pada kayu basah rendah, cacat serat berbulu

Page 32: BUKU II - P3HH

29  

(fuzzy grain) merupakan jenis cacat yang paling banyak ditemukan pada hasil

pengerjaan kayu yang masih basah.

Pengujian terhadap serangga. Hasil pengujian keawetan alami lima jenis kayu

terhadap rayap tanah masih harus dikaji terus. Nampak rayap tanah masih

memberikan reaksi menggigiti kayu contoh uji yang diumpankan kepada rayap

pada pengmpanan empat minggu. Banyak dan sedikitnya jumlah rayap yang hidup

dipengaruhi makanan utama rayap yang ada dalam kayu antara lain selulosa, karena

selulosa sebagai energi bagi hidup rayap dan setiap jenis kayu mempunyai

kandungan selulosa yang berbeda dan selulosa dalam kayu berjumlah 40-50%

(Sumarni, 2004 dalam Jasni & Rullyati, 2015). Disamping selulosa, juga ketahanan

kayu dipengaruhi zat ekstratif dalam kayu, zat ektraktif dapat bersifat fungisida

maupun insktisida (Martawijaya, 1996).

Pengujian Sifat Ketahanan Terhadap Jamur, Berdasarkan data laju

pertumbuhan dan penyebaran miselium di perkirakan kelas ketahanan lima jenis

kayu pada masa inkubasi 12 minggu berdasarkan SNI 7207:2014. Perkiraan

ketahanan atau resistensi kayu terhadap serangan jamur pelapuk di laboratorium

tersebut yaitu kayu Xanthophyllum exelsum, Santiria sp., Syzigium sp. termasuk

kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV) terhadap 4 jenis jamur pelapuk (Pycnoporus

sanguineus HHBI-324, Polyporus sp. HHBI-209, dan Schizophyllum commune

HHBI-204, Tyromyces palustris HHBI-232). Berdasarkan pertumbuhan miselium

jamur pelapuk maka pada masa inkubasi 12 minggu diperkirakan kayu

Xanthophyllum exelsum, Santiria sp., Syzigium sp. termasuk kelompok kayu tidak-

tahan (kelas IV) terhadap 4 jenis jamur pelapuk (Pycnoporus sanguineus HHBI-

324, Polyporus sp. HHBI-209, dan Schizophyllum commune HHBI-204, Tyromyces

palustris HHBI-232).

Ketahanan Terhadap Penggerek Kayu di Laut. Data suhu dan salinitas rata-rata

perairan Pulau Rambut hasil pengukuran di beberapa lokasi adalah 34,0ºC dan 29,7

%. Perairan P. Rambut masih jernih dan banyak ditemukan landak laut atau bulu

babi (Echinoidea), kerang laut, rumput laut, siput laut dan berbagai jenis terumbu

karang. Sampai saat ini perairan P. Rambut masih cocok dan ideal untuk kegiatan

pengujian keawetan kayu secara alami terhadap serangan penggerek kayu di laut

Page 33: BUKU II - P3HH

30  

(marine borers). Serangan penggerek pada kayu yang dipasang sebelumnya,

umumnya sedang sampai berat, jenis penggereknya didominasi jenis kelempok

Teredinidae, kemudian kelompok Pholadidae. Binatang penggerek kayu di laut

perairan Pulau Rambut yang potensial menyerang contoh uji adalah dari kelompok

famili Teredinidae dan Pholadidae.

Dalam uji Sifat Keterawetan; Pengawetan dilakukan dengan menggunakan bahan

pengawet golongan B yaitu campuran bahan kimia tembaga-khrom-boron (CCB)

3% melalui proses vakum tekan (sel penuh). Vakum awal yang diberikan 50 cm Hg

selama 15 menit, tekanan 10 atm selama 120 menit dan vakum akhir 15 menit. Sifat

keterawetan ditetapkan berdasarkan SNI 01-5010-1999 pengawetan untuk

digunakan di bawah atap atau di dalam ruangan dan contoh uji dapat diawetkan

bersama-sama. Hasil treatment sementara diketahui bahwa kayu ubar, sawang,

bengkulung, dapat diawetkan dengan bahan pengawet golongan boron dengan

tingkat keterawetan sedang sampai agak sukar. Kayu bengkulung memiliki kelas

keterawetan II (sedang) dengan retensi 9,5 kg/m3, sedangkan kayu sawang dan ubar

jatuh ke kelas III (sukar). Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik perlu dilakukan

dengan penambahan waktu tekan dan peningkatan kosentrasi larutan bahan

pengawet.

Uji Sifat Pengeringan, terhadap ketiga jenis kayu yang diteliti, hanya kayu

bengkulung memiliki sifat pengeringan agak baik (kelas 3). Kedua jenis yang lain

(ubar dan sawang) mengalami perubahan bentuk, pecah permukaan,dan pecah

dalam (honeycomb defect) yang parah (kelas 6). Cacat pecah dalam yang parah

lazimnya terjadi pada kayu yang cenderung kolaps (collapse) atau berubah bentuk

yang sangat parah sewaktu dikeringkan (Mugabi et al., 2011). Jenis cacat ini perlu

dipertimbangkan sewaktu akan menetapkan suhu dan kelembaban awal

pengeringan, terutama pada kadar air kayu yang sangat basah. Hal ini karena

kehadiran cacat tersebut berpengaruh terhadap kualitas dan kekuatan kayu yang

dikeringkan (Phonetip et al., 2017). Berdasarkan sifat pengeringannya, maka bagan

pengeringan dasar kayu ubar dan sawang adalah suhu 40 - 65oC dan kelembaban

88 – 17%, sedangkan bagan pengeringan dasar kayu bengkulung suhu 55 - 80oC

dan kelembaban 76 – 22%.

Page 34: BUKU II - P3HH

31  

Sifat Venir dan Kayu Lapis. Jenis kayu yang diteliti pada tahun 2017 yaitu

Kumpang (Albizia sp.) dengan panjang dolok 126 cm dan diameter 45,4 cm,

Bengkulung (Xanthophyllum excelsum Miq.) dengan panjang dolok 121 cm dan

diameter 44,8 cm, Sawang (Santiria sp,) dengan panjang dolok 127 cm dan

diameter 36,2 dan Ubar (Syzygium sp.) dengan panjang dolok 130,8 cm dan

diameter 46,8 cm, semuanya dapat dikupas dalam keadaan dingin. Mutu venir pada

umumnya tidak dapat digunakan sebagai venir muka (face) kayu lapis dan hanya

sesuai untuk digunakan sebagai venir dalam (core, cross core dan long core) dan

venir belakang (back) kayu lapis. Venir yang bisa digunakan sebagai venir muka

kayu lapis adalah dari jenis kayu bengkulung.

Sifat Kimia dan Nilai Kalor. Kadar air pada ketiga jenis kayu yang dianalisa

memiliki kadar air di bawah 10% sehingga menurut SNI 7973-2013, ketiga jenis

kayu memenuhi kondisi untuk desain dan konstruksi kayu. Kadar air tertinggi

dimiliki oleh kayu Ubar sebesar 9,97%. Kadar abu pada tiga jenis kayu berkisar

antara 0,32-2,14 %. Kadar abu ini memiliki peranan dalam pemanfaatan kayu,

misalnya pada proses hidrolisis kayu diharapkan kadar abu tidak terlalu tinggi

karena dengan semakin banyaknya kadar abu, maka semakin sulit dihidrolisis

karena fraksi anorganik dalam kayu dapat menghalangi proses pemecahan kayu

menjadi glukosa. Kadar silica juga merupakan analisa penting pada kayu karena

dengan mengetahui kadar silika, maka pemanfaatan kayu juga akan lebih tepat

guna. Pada penelitian ini, kadar silika yang dihasilkan pada kayu yang diuji berkisar

antara 0,2-0,6 % dengan kayu bengkulung dengan kadar 0,678 %. Kadar silica akan

mengakibatkan proses penumpulan peralatan logam pada saat proses pengerjaan

kayu (Bowyer et al., 2007). Kadar silica juga berpengaruh pada pembuatan kertas

dan bioetanol, karena dengan tingginya kadar silica maka kualitas kertas yang

terbentuk akan semakin menurun dan dapat terjadi penghambatan pada proses

hidrolisis karena sulit terdegradasi. Silika juga paling berpengaruh pada

pembentukan fosil kayu, karena silica akan mengisi dinding sel dan menyebabkan

adanya presipitasi sehingga kayu akan mengeras.

Ketiga jenis kayu yang dianalisa memiliki kadar kelarutan air dingin, kelarutan air

panas, kelarutan alkohol-benzena dan kelarutan NaOH yang bervariasi. Kadar

Page 35: BUKU II - P3HH

32  

kelarutan dalam air dingin berkisar antara 0,63% -2,6%, kelarutan dalam air panas

3,28% -8,41%, kelarutan dalam NaOH sebesar 10,41%-19,01% dan kelarutan pada

alkohol-benzena 3,38%-4,30% dan secara garis besar kayu Ubar memiliki nilai

kelarutan yang lebih tinggi dibanding jenis kayu lainnya. Nilai kelarutan ini

berkaitan dengan kadar ekstraktif didalam kayu. Kadar zat ekstraktif dapat

berpengaruh terhadap proses pulping dan konversi bahan lignoselulosa menjadi

bioetanol. Kandungan zat ekstraktif yang tinggi pada proses pulping mempengaruhi

pada kondisi pemakaian bahan pemasak yang tinggi serta rendemen pulp yang

dihasilkanakan cenderung menurun sedangkan pada proses pembuatan bioetanol

juga akan menurunkan aksesibilitas enzim dalam proses degradasi kayu.

Kelarutan dalam air dingin maupun air panas dapat memudahkan proses-proses

ektraksi, sebagai contoh pada senyawa dengan BM rendah seperti oligosakarida

akan lebih mudah terekstrak (Song, et al., 2012). Kelarutan dalam alkohol-benzena

menunjukkan kemudahan untuk mengekstrak senyawa semi polar dan non polar.

Senyawa seperti polifenol sederhana, senyawa glikosida, tannin, mono dan

disakarida diketahui dapat diekstrak menggunakan alkohol (Harkin & Rowe, 1971).

Kelarutan dalam NaOH juga menunjukan kemudahan selulosa untuk diaksespada

proses pulping, karena struktur kimia selulolsa yang kaku (rigid) dan memiliki

ikatan inter dan intra hidrogen yang kuat, sehingga dari hasil uji dan penelitian-

penelitian terdahulu maka semakin tinggi nilai kelarutan suatu senyawa kayu maka

makin mudah dalam proses aplikasi dan pemanfaatannya untuk beberapa produk.

Uji sifat dasar juga meliputi analisa sifat arang yang dihasilkan dari tiap-tiap jenis

kayu. Sifat arang yang diamati pada penelitian ini meliputi kadar air, kadar abu,

kadar zat terbang dan karbon terikat pada setia parang dari jenis kayu yang berbeda.

Kadar air ketiga jenis kayu berkisar antara 0,01-0,69 % dengan kadar air tertinggi

dimiliki oleh jenis kayu bengkulung dan terendah adalah kayu Ubar. Perbedaan

kadar air ini kemungkinan dikarenakan struktur pori yang dari masing-masing kayu

serta juga dipengaruhi oleh kelembaban lingkungan. Kadar air yang dimiliki oleh

arang seyogyanya bernilai rendah, agar arang tidak bersifat higroskopis dan mudah

direaksikan dengan senyawa tertentu ketika akan dilakukan proses aktivasi arang

untuk manfaat lebih lanjut.

Page 36: BUKU II - P3HH

33  

Kadar abu pada kelima jenis kayu berkisar antara 0,59-5,4 %. Kadar abu

berpengaruh terhadap daya serap arang maupun arang aktif karena semakin banyak

kadar abu yang dimiliki, maka disinyalir kemampuan daya serap arang maupun

arang aktif akan menurun, seperti pada penggunaan arang/arang aktif dalam

adsorpsi limbah logam maupun larutan. Kadar abu memiliki kandungan kalsium,

kalium, magnesium dan natrium yang dapat menutup permukaan pori arang

sehingga menghalangi proses adsorpsi (Benaddi, et al., 2012). Kadar zat terbang

pada ketiga jenis sampel memiliki kandungan sekitar 3-26 % dengan kadar zat

terbang tertinggi pada sampel kayu Ubar sebesar 26,15 %. Kadar zat terbang

mengindikasikan seberapa besar permukaan arang mengandung zat/senyawa lain

selain karbon. Sedangkan kadar karbon terikat pada setiap jenis kayu bernilai diatas

50 % dengan kadar karbon terendah pada kode sampel kayu Ubar.

Penyempurnaan Sifat (Dasar) Kayu. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2016,

tiga jenis yaitu meranti bunga (Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis), mempisang

(Diospyros korthalsiana Hiern.) yang masing-masing memiliki kelas awet III, dan

suntai (Palaquium burckii H.J.L.) yang berkelas awet V, dan tidak tahan terhadap

serangan rayap tanah, maka dilakukan penyempurnaan dengan mengunakan

berbagai konsentrasi bahan pengawet hasil penelitian terlihat pada table berikut :

Proses pengawetan pada kayu dengan bahan pengawet boron 3 %, dua jenis kayu

meranti bunga dan mempisang sudah menaikan kelas dari kelas III (ketahanan

sedang) menjadi kelas II (tahan), sedangkan kayu suntai dari kelas V (sangat tidak

tahan )menjadi kelas III tahan), akan tetapi untuk kayu suntai konsentrasi 5% baru

dapat menaikan menjadi kelas II (tahan). Namun kalau untuk lebih baik lagi bisa

digunakan bahan pengawet boron dengan konsentrasi 7% dari kelas III maupun

kelas V menjadi kelas I (Sangat tahan). Kalau dilihat tentang mortalitas (jumlah

rayap yang mati) pada konsentrasi 3% mortlaitas mencapai 100%, matinya rayap

salah satu faktor adalah bahan pengawet yang bersifat racun (insektisida). Maka

untuk memperpanjang umur pakainya perlu dilakukan pengawetan dengan

menggunakan bahan pengawet.

Page 37: BUKU II - P3HH

34  

PUBLIKASI ILMIAH. Pada dua tahun terakhir, terkait dengan penelitian sifat

dasar kayu telah terbit beberapa karya tulis ilmiah yaitu:

1) Kualitas arang 6 jenis kayu asal Jawa Barat sebagai produk destilasi kering.

Hastuti, N.; Pari, G.; Setiawan, D.; Mahpudin; Saepuloh. Jurnal Penelitian

Hasil Hutan vol 33, no 4 (2015): 337-346.

2) Uji pelapukan pada lima jenis kayu yang dipasang sekrup logam. Suprapti, S.;

Djarwanto. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol 33, no 4 (2015): 365-376.

3) Keterawetan enam jenis kayu dari Jawa Barat dan riau. Krisdianto; Sudika,

D.A.; Wahyudi, A.; Muslich, M. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol 33, no 4

(2015): 329-336.

4) Ketahanan 30 jenis kayu Indonesia terhadap serangan bubuk kayu kering

Heterbostrichus aequalias Wat. Jasni, Jasni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol

33, no 3 (2015): 225-235.

5) Kualitas papan lamina dengan perekat resorsinol dari ekstrak limbah kayu

merbau. Santoso, A.; Pari, G.; Jasni, Jasni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol

33, no 3 (2015): 253-260.

6) Peningkatan mutu papan partikel melalui peningkatan kadar perekat. Iskandar,

M. I.; Supriadi, A. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol 33, no 2 (2015): 145-151.

7) Komponen kimia dan potensi penggunaan lima jenis kayu kurang dikenal asal

Jawa Barat. 2015. Hastuti, N., Efiyanti, L., Pari, G., Saepuloh, Saepuloh,

Setiawan, D. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.

8) Pengklasifikasian ketahanan 20 jenis bambu terhadap rayap kayu kering. Jasni,

Damayanti, R., & Sulastiningsih, I. M. 2015.

9) Natural durability of 57 Indonesian wood species tested under the shade. Jasni,

2016

10) Ketahanan 45 jenis kayu Indonesia terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah.

Muslich, M., Rulliaty, S. Jurnal Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 2016.

Page 38: BUKU II - P3HH

35  

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Berdasarkan jumlah rayap tanah yang hidup (Natalitas) sampai usia 3

minggu pengumpanan, kelima jenis kayu berpotensi diserang rayap tanah.

2) Sifat pengeringan kayu ubar dan sawang termasuk buruk (kelas 6) dan kayu

bengkulung termasuk agak baik (kelas 3).

3) Berdasarkan sifat pengeringannya, maka bagan pengeringan dasar kayu

ubar dan sawang adalah suhu 40 - 65oC dan kelembaban 88 – 17%,

sedangkan bagan pengeringan dasar kayu bengkulung yaitu suhu 55 - 80oC

dan kelembaban 76 – 22%.

4) Berdasarkan pertumbuhan miselium jamur pelapuk maka pada masa

inkubasi 12 minggu diperkirakan kayu Xanthophyllum exelsum, Canarium

sp./ Santiria sp., Lapopethalum beccarianum termasuk kelompok kayu

tidak-tahan (kelas IV) terhadap 4 jenis jamur pelapuk (Pycnoporus

sanguineus HHBI-324, Polyporus sp. HHBI-209, dan Schizophyllum

commune HHBI-204, Tyromyces palustris HHBI-232), dan kayu

Lithocarpus ewyckii , kumpang termasuk kelompok kayu agak tahan

sampai tahan (kelas III-IV).

5) Berdasarkan sifat pemesinan jenis kayu yang memiliki sifat pengetaman dan

pengamplasan termasuk baik penggunaannya dapat untuk panel, daun meja,

pelapis dinding dan lain-lain. Untuk jenis kayu yang sifat pembentukannya

termasuk baik penggunanaannya dapat untuk molding dan bahan ukiran.

Jenis kayu yang sifat pemborannya baik dapat digunakan untuk sambungan

pasak. Jenis yang sifat pembubutannya baik dapat digunakan untuk jeruji

atau barang bubutan lainnya.

6) Binatang penggerek kayu di laut perairan Pulau Rambut yang menyerang

contoh uji adalah dari kelompok famili Teredinidae dan Pholadidae.

7) Mutu venir pada umumnya tidak dapat digunakan sebagai venir muka (face)

kayu lapis dan hanya sesuai untuk digunakan sebagai venir dalam (core,

cross core dan long core) dan venir belakang (back) kayu lapis. Cacat venir

dapat dihindari dengan pengupasan kayu ketika masih segar. Venir yang

Page 39: BUKU II - P3HH

36  

bisa digunakan sebagai venir muka kayu lapis adalah dari jenis kayu

bengkulung.

8) Hasil modifikasi sifat ketahanan terhadap rayap tanah menggunakan

senyawa boron (B) terhadap meranti bunga (Shorea teysmanniana Dyer. ex

Brandis) dan mempisang (Diospyros korthalsiana Hiern.), yang memiliki

kelas ketahanan III, serta suntai (Palaquium burckii H.J.L.) memiliki kelas

ketahanan V, semuanya dapat ditingkatkan menjadi kelas ketahanan I

melalui proses pengawetan pada konsentrasi Boron 7%, dengan masing-

masing retensi 14,46 kg/m3 (meranti bunga), 29,91 kg/m3 (mempisang),

dan 16,84 kg/m3 (suntai).

B. Saran

Penelitian ini masih perlu dilanjutkan sampai diperoleh data akhir sebagai

bahan kajian ilmiah.

Page 40: BUKU II - P3HH

37  

Lampiran 4.

Daun Kulit batang

Gambar 9. Pohon Bengkulung

Daun

Kulit batang

Gambar 10. Pohon sawang

Page 41: BUKU II - P3HH

38  

Daun

Gambar 11. Pohon Ubar

Page 42: BUKU II - P3HH

39  

Judul Kegiatan : Teknik Inovasi Pemanfaatan dan Diversifikasi Produk Kayu dan Bambu

Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dr. IM. Sulastiningsih, M.Sc., Dian Anggraini Indrawan,

S.Hut. MM., Abdurachman, ST., Drs. Achmad Supriadi, MM., Dr. Karnita, S.Hut., M.Sc., Rohmah Pari, S.Hut., Rossi M. Tampubolon, S.Si.

ABSTRAK

Penelitian pemanfaatan bambu sebagai substitusi kayu telah banyak dilakukan dengan jalan membuat produk bambu lamina. Pengolahan bambu menjadi produk bambu lamina masih menyisakan limbah berupa tatal hasil serutan bilah bambu dan bagian batang bambu yang tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi pengolahan bambu, limbah tersebut dapat diolah menjadi produk panel berupa papan partikel dan papan serat berbasis bambu. Di samping itu untuk mendapatkan bahan yang relatif tebal dan ringan tetapi memiliki kekuatan yang tinggi dapat dibuat produk bambu komposit berupa papan sandwich bambu yang terdiri atas bahan inti berupa papan partikel bambu atau papan serat bambu dengan lapisan luar bilah bambu atau kayu lapis yang dibuat dari jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat. Komponen mebel atau bangunan tertentu memerlukan bahan yang sudah dilengkungkan agar terlihat lebih estetis. Oleh karena itu perlu dipelajari sifat pelengkungan bambu lamina agar sesuai dengan tujuan penggunaannya.Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data dan informasi teknologi pembuatan papan sandwich berbasis bambu dan teknik pelengkungan bambu lamina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa papan sandwich terbaik diperoleh dengan inti papan partikel berkerapatan 0,55 g/cm3 yang dibuat dari campuran partikel bambu 50% dan partikel jabon 50% dengan lapisan luar bilah bambu, inti papan serat berkerapatan 0,45 g/cm3 dengan campuran serat pada proporsi 50% pulp bambu + 50% pulp kayu jabon dengan lapisan luar bilah bambu,dan bilah bambu lengkung terbaik diperoleh pada pembuatan bilah bambu lengkung yang diberi perlakuan steam 60 menit dengan ketebalan bilah 7 mm. Kata kunci : Papan sandwich, papan partikel, papan serat, kayu lapis mahoni, kayu lapis jabon, bilah bambu lengkung

1. LATAR BELAKANG

Saat ini bahan untuk mebel dan bangunan yang disukai adalah bahan yang

ringan tetapi kuat. Untuk mendapatkan produk tersebut maka salah satu teknologi

yang bisa diterapkan adalah teknologi kayu komposit. Produk komposit yang relatif

tebal tetapi ringan dan kuat dapat diperoleh dengan jalan menggabungkan atau

merekatkan bahan yang relatif tebal dan ringan sebagai inti atau inti dengan bahan

Page 43: BUKU II - P3HH

40  

yang relatif tipis tetapi memiliki kekuatan yang tinggi sebagai lapisan luar, yang

dikenal dengan istilah papan sandwich atau sandwich panel. Bahan yang dapat

digunakan sebagai inti papan sandwich antara lain adalah papan partikel dan papan

serat yang dimensi serta sifatnya bisa dibuat sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Dalam hal ini papan partikel dan papan serat yang diperlukan adalah yang

berkerapatan rendah. Penelitian pemanfaatan bambu sebagai substitusi kayu telah

banyak dilakukan dengan membuat bambu lamina baik berupa papan maupun

balok. Komponen mebel atau bangunan tertentu memerlukan bahan yang sudah

dilengkungkan agar terlihat lebih estetis. Oleh karena itu perlu dipelajari sifat

pelengkungan bambu lamina agar sesuai dengan tujuan penggunaannya.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan data dan informasi teknologi

pembuatan papan sandwich berbasis bambu serta Mendapatkan data dan informasi

teknik pelengkungan bambu lamina.

3. METODE PENELITIAN

Papan sandwich dibuat dengan inti papan partikel dan papan serat dengan

perlakuan perbedaan komposisi bahan (bambu 100%, bambu 50% + jabon 50%)

dan kerapatan papan partikel dan papan serat (0,45 g/cm3 dan 0,55 g/cm3).

Sedangkan lapisan luar terdiri dari bilah bambu, kayu lapis jabon dan kayu lapis

mahoni. Bambu lamina lengkung dibuat dari bilah bambu lengkung dengan

perlakuan perbedaan tebal bilah (5 mm, 6 mm dan 7 mm) dan lama waktu steam

(45 menit, 60 menit dan 120 menit).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Papan Sandwich dengan Inti Papan Partikel (PSPP)

Kadar air, kerapatan dan pengembangan tebal PSPP memenuhi syarat

Standar Indonesia dan Standar Jepang untuk papan partikel berlapis venir.

Kerapatan dan keteguhan lentur (MOE dan MOR) dan keteguhan tekan PSPP

dengan lapisan luar bilah bambu lebih tinggi dibanding PSPP dengan lapisan luar

Page 44: BUKU II - P3HH

41  

kayu lapis mahoni dan jabon. Keteguhan rekat internal PSPP dengan kerapatan

bahan inti 0,55 g/cm3 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingan PSPP dengan

kerapatan bahan inti 0,45 g/cm3. Papan sandwich dengan inti papan partikel bambu

berkerapatan 0,55 g/cm3 dan dengan inti papan partikel campuran bambu dan jabon

berkerapatan 0,45 g/cm3 dengan lapisan luar bilah bambu dan kayu lapis mahoni

serta papan sandwich dengan inti papan partikel campuran bambu dan jabon

berkerapatan 0,55 g/cm3 dengan berbagai lapisan luar memiliki nilai modulus patah

yang memenuhi persyaratan produk papan partikel berlapis venir menurut SNI 03-

2105-2006 (Standar Nasional Indonesia, 2006), dan JIS A 5908:2003 (Japanese

Industrial Standard, 2003b), karena nilainya tidak kurang dari 306 kg/cm2.

B. Papan Sandwich dengan Inti Papan Serat (PSPS)

Kerapatan PSPS yang paling tinggi adalah penggunaan bagian lapisan luar

bilah bambu, diikuti berturut-turut oleh bagian lapisan luar dari kayu lapis mahoni

dan kayu lapis jabon. Analisis keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ

menunjukkan bahwa nilai keteguhan lentur (MOE dan MOR) dan keteguhan tekan

PSPS dengan bagian inti dari MDF berkerapatan (target) 0,45 g/cm3 lebih tinggi

dibandingkan dengan nilai untuk papan dengan bagian inti dari MDF berkerapatan

0,55 g/cm3. Penyerapan air tertinggi terjadi pada PSPS dengan bagian lapisan luar

dari kayu lapis jabon, diikuti berturut-turut dengan bagian lapisan luar dari kayu

lapis mahoni dan bilah bambu (penyerapan air terendah). Berdasarkan Telaahan

sifat fisis dan kekuatan PSPS dilakukan dengan memperhatikan sifat fisis-kekuatan

papan yang diuji, menunjukkan hasil analisis diskriminan penggunaan bilah bambu

ternyata berindikasi paling prospektif sebagai bahan lapisan luar pada perakitan

PSPS, karena nilai diskriminan papan tersebut tertinggi.

C. Bilah Bambung Lengkung

Rata-rata nilai lengkung bilah bambu yang dikukus (steam) selama 45, 60

dan 120 menit berturut-turut adalah 1,33; 2,22 dan 2,22, sedangkan menurut

ketebalan untuk tebal 5 , 6 dan 7 mm berturut-turut adalah 2,11; 2,22 dan 2,78.

Hasil uji sidik ragam nilai lengkung menunjukkan bahwa lama waktu steam dan

tebal bilah secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap nilai lengkung, akan

tetapi interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap nilai lengkung bilah

Page 45: BUKU II - P3HH

42  

bambu tersebut. Ada kecenderungan makin lama waktu steam makin baik nilai

lengkungnya, demikian juga makin tebal bilah bambu makin baik nilai

lengkungnya. Akan tetapi hasil uji sidik ragam nilai lengkung menunjukkan bahwa

lama waktu steam dan tebal bilah secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap

nilai lengkung, akan tetapi interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap

nilai lengkung bilah bambu tersebut. Sebagian besar bilah bambu yang gagal

dilengkungkan mengalami patah di bagian buku. Hal ini mengindikasikan perlunya

perlakuan khusus pada buku bambu untuk membuatnya mudah dilengkungkan

sebagaimana bagian bilah bambu lainnya.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Papan sandwich dengan inti papan partikel terbaik diperoleh pada papan

sandwich dengan inti papan partikel berkerapatan 0,55 g/cm3 yang dibuat dari

campuran partikel bambu 50% dan partikel jabon 50% dengan lapisan luar bilah

bambu, diikuti oleh papan sandwich dengan inti papan partikel yang sama dengan

lapisan luar kayu lapis mahoni, urutan ketiga papan sandwich dengan inti papan

partikel berkerapatan 0,45 g/cm3 yang dibuat dari campuran partikel bambu 50%

dan partikel jabon 50% dengan lapisan luar bilah bambu, urutan keempat papan

sandwich dengan inti papan partikel berkerapatan 0,55 g/cm3 yang dibuat dari

partikel bambu 100% dengan lapisan luar kayu lapis mahoni dan urutan kelima

papan sandwich yang dibuat dengan inti papan partikel yang sama dengan lapisan

luar bilah bambu. Semua papan sandwich tersebut memenuhi persyaratan produk

papan partikel berlapis venir menurut Standar Nasional Indonesia dan Standar

Jepang.

Papan sandwich dengan inti papan serat terbaik diperoleh pada penggunaan

lapisan luar dari bilah bambu, inti dari MDF berkerapatan 0,45 g/cm3, dan

campuran serat pada MDF dengan proporsi 50% pulp bambu + 50% pulp kayu

jabon. Urutan kedua pada penggunan lapisan luar dari kayu lapis mahoni, inti

MDF juga berkerapatan 0,45 g/cm3, dan campuran serat pada proporsi 50% pulp

bambu + 50% pulp kayu jabon. Urutan ketiga menggunakan lapisan luar dari

Page 46: BUKU II - P3HH

43  

bambu, inti MDF berkerapatan 0,55 g/cm3, dan campuran serat juga pada proporsi

50% pulp bambu + 50% pulp kayu jabon. Urutan terendah terjadi pada penggunaan

lapisan luar dari kayu jabon, dan MDF berkerapatan 0,55 g/cm3, dan 100% pulp

bambu.

Pembuatan bilah bambu lengkung menunjukkan bawha semakin tebal bilah

bambu makin baik nilai lengkungnya. Perlakuan terbaik diperoleh pada pembuatan

bilah bambu lengkung yang di steam selama 60 menit dengan ketebalan bilah 7

mm.

B. Saran

Untuk memperbaiki performa papan sandwich perlu dilakukan

penyempurnaan teknologi pembuatannya antara lain perbedaan bahan inti,

komposisi bahan inti, perbedaan suhu kempa venir, dan perbedaan tekanan kempa

venir. Sedangkan umtuk memperbaiki performa bilah bambu lengkung perlu

dilakukan penyempurnaan teknologi pembuatannya antara lain perbedaan

ketebalan bilah bambu, perbedaan lama waktu pengukusan dan cara pengeringan.

Page 47: BUKU II - P3HH

44  

Lampiran 5.

Gambar 12. Kayu Lapis Mahoni dan Kayu Lapis Jabon

Page 48: BUKU II - P3HH

45  

Gambar 13. Papan Partikel dan Papan Serat

Page 49: BUKU II - P3HH

46  

Gambar 14. Papan Sandwich dengan Inti Papan Partikel dan Papan Serat

Page 50: BUKU II - P3HH

47  

Judul Kegiatan : Teknik Penyempurnaan Pembuatan Rotan Komposit Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Prof. Dr.Drs. Adi Santoso, M.Si, Prof. Dr. Gustan Pari,

M.Si, Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc, Karnita Yuniarti, S.Hut., MWood.Sc., PhD, Dra. Jasni, M.Si, dan Heru Wibisono, S.Hut

ABSTRAK Rotan merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu berlignoselulosa yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Pemanfaatan rotan saat ini terbatas pada jenis tertentu dengan diameter < 20 mm, sedangkan rotan dengan diameter >20 mm cenderung tidak dimanfaatkan. Salah satu produk yang bisa dikembangkan dari rotan dengan diameter >20 mm adalah pembuatan produk rotan lamina. Laporan ini menyajikan hasil penelitian tentang teknologi pembuatan rotan lamina dari jenis batang (Calamus zolingerii) berdiameter besar (>20 mm) dengan perekat tanin mangium. Tujuan penelitian mempelajari efek perlakuan pendahuluan pada rotan asalan berupa pengeringan dengan cara oven, steam, penggorengan, hidrothermal, dan gelombang mikro (microwave). Perlakuan pendahuluan diharapkan dapat menurunkan kadar komponen kimia penghambat perekatan yang terkandung dalam rotan sebagai bahan baku papan rotan komposit agar kualitas perekatannya meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan pada rotan asalan berupa pengeringan dengan cara oven, steam, penggorengan, hidrothermal, dan gelombang mikro (microwave), menghasilkan efek yang berbeda terhadap komponen kimia yang terkandung dan derajat kristalinitas rotan asalan. Perubahan tersebut berakibat langsung terhadap kualitas papan rotan lamina. Papan rotan lamina terbaik diperoleh dari rotan batang yang diberi perlakuan pendahuluan menggunakan gelombang mikro (microwave) oven 1 kW (input) dengan kekuatan energi maksimum 50%.

Kata kunci : Rotan batang, perlakuan pendahuluan, hidrothermal, gelombang mikro

1. LATAR BELAKANG

Rotan adalah salah satu komoditi yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK), dengan nilai ekonomi tinggi. Retraubun (2013) menyatakan potensi rotan

Indonesia sangat tinggi, diperkirakan 85% rotan dunia dipasok dari Indonesia. Pada

tahun 2016, ekspor produk rotan, terutama untuk produk tikar, anyaman maupun

kerajinan berbasis anyaman, tercatat sekitar USD$ 44.07 juta

(https://www.bps.go.id). Dalam upaya meningkatkan laju industri rotan nasional,

Pemerintah melalui SK Menteri Perindustrian No. 199/M-Ind/Per/10/2009

Page 51: BUKU II - P3HH

48  

mengemukakan bahwa salah satu upaya peningkatan nilai tambah rotan di

masyarakat hulu adalah dengan mengembangkan perekayasaan pengolahan rotan

yang sesuai dengan kemajuan teknologi. Salah satu upaya dimaksud adalah dengan

memanfaatkan teknologi perekatan pada jenis-jenis rotan berdiameter besar yang

selama ini belum termanfaatkan secara maksimal, karena sampai saat ini rotan yang

banyak digunakan oleh pengrajin untuk dijadikan produk umumnya rotan yang

berdiameter < 20 mm dari jenis tertentu (4–5 jenis). Rotan sebagai bahan

lignoselulosa memiliki kadar holoselulosa yang tinggi (71 – 76%) dan komponen

sel porus, menjadikan rotan berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk

komposit dengan memanfaatkan teknologi perekatan seperti halnya produk lamina

bambu dan kayu. Dengan menggunakan perekat, rotan yang bentuk aslinya bulat

dapat diolah menjadi produk panel berupa rotan komposit dan produk lainnya

berbentuk papan lamina atau balok lamina. Pembuatan papan lamina dari batang

rotan sudah dirintis oleh Pusat Inovasi Rotan Nasional (PIRNAS) di Palu (Tellu,

2014) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH),

dengan mengolah rotan berdiameter > 20 mm menjadi produk papan rotan

menggunakan berbagai jenis perekat sintetis dan perekat hayati (bio-adhesive)

(Santoso et al., 2016).

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, produk papan lamina rotan bisa

dibuat dengan berbagai tipe perekat sintetis maupun alami,. yang kualitasnya

tergolong tipe interior meskipun menggunakan perekat impor tipe eksterior seperti

resorsinol phenol formaldehida (RPF) atau isocyanat, dan perekat berbasis tanin

buatan P3HH. Hal ini ditengarai akibat rotan sebagai bahan baku masih

mengandung banyak senyawa gula walaupun rotan asalan sudah digoreng dan

diawetkan terlebih dahulu. Perekat yang sesuai untuk papan rotan tipe interior

adalah yang menggunakan perekat tanin mangium (Santoso et al., 2016).

2. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan penelitian pada tahun 2017 adalah memperoleh data dan informasi

mengenai teknik pengeringan rotan asalan berdiameter besar (>20 mm), dengan

gelombang mikro, penguapan, hidrothermal dan konvensional (penggorengan

Page 52: BUKU II - P3HH

49  

dengan minyak tanah tanpa campur air) untuk penggunaan bahan baku papan

lamina rotan, dan kesesuaian rotan setelah dikeringkan dengan cara-cara tersebut

sebagai bahan baku papan lamina rotan, serta kualitas produk papan lamina rotan

yang menggunakan perekat hayati (tanin mangium).

Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi karakteristik produk

perekatan dalam bentuk papan rotan lamina dari jenis rotan batang berdiameter

besar berperekat tanin mangium, yang rotan asalannya telah diberi perlakuan

pendahuluan terbaik di antara cara oven, steam, penggorengan, hidrothermal, dan

gelombang mikro (microwave).

3. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH), Bogor. Kegiatan

pengumpulan bilah rotan sebagai bahan utama penelitian dilakukan di Pusat Inovasi

Rotan Nasional (PIRNAS), Palu (Propinsi Sulawesi Tengah) dan pembuatan

produk serta pengumpulan informasi yang mendukung penelitian ini dilakukan di

daerah Jawa Barat dan Banten. Pendekatan pelaksanaan kegiatan terdiri atas:

Pemilahan rotan  Ø besar, perlakuan pendahuluan (5 taraf), pemotongan dan

pembuatan bilah, pengawetan dan pengeringan, pelaburan perekat dan pembuatan

papan lamina rotan, kondisioning dan pengujian produk, evaluasi data dan

penuyusunan laporan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisasi Rotan Sebagai Bahan Baku Papan Komposit

Hasil analisis dengan difraksi sinar-X dan py-GCMS) menunjukkan derajat

kristalinitas dan komponen kimia dominan yang terkandung dalam rotan pada

berbagai macam perlakuan mengalami perubahan dibandingkan dengan tanpa

perlakuan. Perlakuan terhadap rotan dengan cara oven maupun steam relatif sedikit

mengubah derajat kristalinitas rotan (<5%) dibanding kontrol, yang

mengindikasikan perlakuan dengan cara oven relatif tidak mengubah struktur rotan.

Di lain fihak, perlakuan cara penggorengan, hidrothermal, dan gelombang mikro

mengakibatkan pelunakan lignin dan selulosa sehingga masing-masing rotan

Page 53: BUKU II - P3HH

50  

memiliki derajat kristalinitas yang jauh lebih rendah dibanding kontrol, yang

mengindikasikan struktur rotan tersebut menjadi lebih tidak teratur akibat rusaknya

ikatan hidrogen antar molekul pada daerah kristalit sehingga berkurangnya nilai

kristalinitas dinding sel rotan dengan pori-pori yang lebih terbuka. Dengan

demikian rotan ini akan bersifat kenyal dan berdaya regang besar dibanding dengan

rotan perlakuan lainnya.

Hasil analisis dengan py-GCMS menunjukkan komponen kimia dalam rotan

mengalami perubahan setelah mengalami berbagai macam perlakuan. Rotan asalan

selain didominasi oleh senyawa golongan fenolik (23,95%), keton (9,89) dan

ekstraktif (polar & non polar: 23,14%), juga mengandung senyawa yang bersifat

higroskopis serta mudah terhidrolisis dalam air (dingin maupun panas) seperti: D-

Ribofuranosa (15,16%), asam karboksilat (9,70%), amida (2,73%). Di lain fihak,

perlakuan dengan oven relatif sama dengan penggorengan, didominasi oleh

senyawa golongan fenolik (19,59-20,48%), keton (11,74%) dan ekstraktif (polar &

non polar: 22,25-23,14%), juga senyawa yang bersifat higroskopis dan mudah

terhidrolisis dalam air (dingin maupun panas) seperti: asam karboksilat (10,08%),

amida (35,45%), sementara perlakuan dengan steam menghasilkan senyawa

golongan fenolik (36,99%), keton (10,12%), dan ekstraktif (polar & non polar:

5,7%), juga senyawa yang bersifat higroskopis dan mudah terhidrolisis dalam air

(dingin maupun panas) seperti: asam karboksilat (16,99%), dan amino (37,76%).

Demikian pula perlakuan dengan hidrothermal selain didominasi oleh senyawa

golongan fenolik (29,25%), keton (10,85%), dan ekstraktif (polar & non polar:

5,70%), juga senyawa yang bersifat higroskopis dan mudah terhidrolisis dalam air

(dingin maupun panas) seperti: asam karboksilat (33,24%), glukosa (13,24), dan

amida (7,72%). Perlakuan dengan gelombang mikro nampaknya paling banyak

mengeluarkan senyawa yang bersifat higroskopis dan mudah terhidrolisis dalam air

(dingin maupun panas). Terbukti sisa senyawa yang dominan terkandung dalam

rotan ini selain senyawa golongan fenolik (27,77%), keton (12,99%), dan ekstraktif

(polar & non polar: 41,47%), juga hanya 1 senyawa yang bersifat higroskopis dan

mudah terhidrolisis dalam air (dingin maupun panas) yakni: asam karboksilat

(17,77%).

Page 54: BUKU II - P3HH

51  

B. Karakteristik Sifat Fisiko-Kimio Perekat

Karakteristik perekat fenolik yang disintesis dari bahan baku hayati tanin

mangium merupakan produk penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hasil Hutan (P3HH) secara visual memiliki sifat yang relatif serupa dengan perekat

fenolik sintesis komersial impor (Phenol Resorsinol Formaldehida, PRF) yang

biasa digunakan di industri pengolahan kayu. Perbedaan terdapat pada kadar

padatan dan viskositas. Kadar padatan mengindikasikan kadar resin yang

terkandung dalam perekat, yang cenderung berbanding lurus dengan kekentalan.

Kadar formaldehida bebas menggambarkan adanya kelebihan formaldehida yang

tidak bereaksi dalam pembentukan suatu polimer (BSN, 1998). Hasil pengujian

menunjukkan bahwa formaldehida bebas dari perekat tanin mangium produk P3HH

ini masih dalam batas aman karena kurang dari 3% seperti yang disyaratkan bagi

perekat yang mengandung formaldehida (BSN, 1998), demikian pula bila

dibandingkan dengan perekat PRF karena kurang dari 1%.

C. Evaluasi Kualitas Papan Rotan

Rotan asalan dengan kerapatan rata-rata 0,39 g/cm3, rendemen rata-rata

rotan asalan setelah dibuat menjadi bilah rata-rata 38,99 %. Bilah-bilah rotan ini

selanjutnya dibuat papan 5 lapis berukuran 40 cm x 10 cm x 1,5 cm, menggunakan

perekat tanin mangium dengan proses kempa dingin pada suhu kamar selama 3 jam.

Kualitas produk papan rotan yang diuji meliputi kadar air, kerapatan,

keteguhan rekat, keteguhan lentur, keteguhan patah, dan emisi formaldehida. Papan

rotan yang dibuat dalam skala laboratorium memiliki kerapatan rata-rata 0.32–0.42

g/cm3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa papan rotan yang bahan bakunya

mengalami perlakuan yang berbeda menghasilkan produk lamina yang memiliki

kerapatan rata-rata yang sama yakni 0,35 g/cm3, hal ini mengindikasikan bahwa

semua perlakuan pendahuluan yang diterapkan pada rotan bahan baku tidak

berpengaruh terhadap kerapatan produk. Pengulitan dan pembuatan bilah rotan

asalan (kerapatan: 0,55 g/cm3) menyebabkan berkurangnya kerapatan rotan.

Kadar air papan rotan berkisar antara 10,71–13,63% (Tabel 3), kadar air

produk ini memenuhi standar JAS 234-2003 karena nilainya <15%. Hasil uji

statistik menunjukkan semua faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar

Page 55: BUKU II - P3HH

52  

air papan rotan. Uji lanjut menunjukkan bahwa nilai kadar air produk yang bahan

bakunya diperlakukan dengan oven, steam dan gelombang mikro berbeda nyata

dengan perlakuan hidrothermal dan goreng. Sedangkan kadar air antar perlakuan

oven, steam dan microwave tidak berbeda nyata demikian pula pada perlakuan

hidrothermal dan goreng juga tidak berbeda nyata.

Pengujian keteguhan rekat dengan cara keteguhan geser tekan dilakukan

untuk mengetahui kinerja perekat dalam papan rotan yang dihasilkan. Nilai rataan

keteguhan rekat papan rotan yang bahan bakunya diperlakukan berbeda, dalam

kondisi uji kering (tipe interior) berkisar 14,98 - 50,12 kg/cm2. Nilai keteguhan

rekat uji kering tertinggi dicapai pada produk yang bahan bakunya diberi perlakuan

dengan gelombang mikro, sementara yang terendah dicapai pada produk lamina

yang bahan bakunya mengalami penggorengan. Tingginya nilai keteguhan rekat ini

disebabkan rotan yang diperlakukan dengan gelombang mikro terlebih dahulu

sudah tidak mengandung komponen kimia yang bersifat higroskopis serta mudah

terhidrolisis dalam air (dingin maupun panas), yang bersifat mengganggu

perekatan, seperti senyawa golongan asam karboksilat, amida, amina, gula dan

amino seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya. Hal ini diperkuat dengan hasil

uji keteguhan rekat dalam kondisi basah (eksterior) yang nilainya mencapai 16,95

kg/cm2 sementara rotan yang mengalami perlakuan pendahuluan dengan oven,

goreng, maupun steam seluruhnya mengalami delaminasi, sementara perlakuan

hidrothermal menghasilkan nilai keteguhan rekat papan rotan 7,86 kg/cm2. Nilai

keteguhan rekat papan rotan (uji kering) lebih tinggi dibanding produk serupa yang

dibuat dalam skala pilot di PIRNAS-Palu dengan perekat komersial (resorsinol

formaldehida) rata-rata 35,49 kg/cm2 (Santoso, Jasni, Krisdianto, 2016). Hasil uji

statistik menunjukkan semua faktor perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap

keteguhan rekat papan rotan yang diuji dalam kondisi kering. Uji lanjut

menunjukkan bahwa nilai keteguhan rekat uji kering pada perlakuan oven, steam

dan goreng berbeda nyata dengan perlakuan hidrothermal dan gelombang mikro.

Sedangkan nilai keteguhan rekat uji kering pada perlakuan oven, steam dan goreng

tidak berbeda nyata. Demikian pula nilai pada perlakuan hidrothermal berbeda

nyata dengan perlakuan gelombang mikro.

Page 56: BUKU II - P3HH

53  

Nilai keteguhan patah, Modulus of Rupture (MOR) produk perekatan ini

berkisar 180,72- 402,74 kg/cm2, di mana nilai tertinggi rata-rata diperoleh dari

papan rotan yang bahan bakunya diberi perlakuan dengan gelombang mikro,

sementara yang terendah dicapai pada papan rotan yang bahan bakunya diberi

perlakuan dengan steam. Nilai MOR papan rotan buatan PIRNAS berkisar 260 -

268 kg/cm2 (Santoso et al. 2016). Produk yang bahan bakunya diperlakukan dengan

gelombang mikro memenuhi persyaratan produk glulam menurut standar Jepang,

karena nilai MOR-nya > 300 kg/cm2. Hasil uji statistik menunjukkan semua faktor

perlakuan masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan patah

papan rotan. Uji lanjut menunjukkan bahwa nilai keteguhan patah antara perlakuan

goreng, steam dan hidrothermal tidak berbeda nyata. Sementara nilai keteguhan

patah pada perlakuan oven berbeda nyata dengan gelombang mikro.

Nilai keteguhan lentur, Modulus of elasticty (MOE) papan rotan ini rata-rata

berkisar 18.236,60 – 78.458,40 kg/cm2, sementara MOE papan rotan buatan

PIRNAS: 15.362-18.597 kg/cm2 (Santoso et al., 2016). Hasil uji statistik

menunjukkan semua faktor perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap

keteguhan lentur papan rotan. Uji lanjut menunjukkan bahwa nilai keteguhan lentur

antara perlakuan hidrothermal, oven dan steam, maupun perlakuan gelombang

mikro dan goreng masing-masing tidak berbeda nyata. Namun nilai keteguhan

lentur pada perlakuan hidrothermal, oven dan steam berbeda nyata dengan

perlakuan gelombang mikro dan goreng. Produk yang bahan bakunya diperlakukan

dengan digoreng secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan gelombang

mikro, namun secara kuantitas perlakuan dengan digoreng yang memenuhi

persyaratan produk glulam menurut standar Jepang, karena nilai MOE-nya >

75.000 kg/cm2.

Emisi formaldehida papan rotan rata-rata berkisar antara 0,39 - 1,23mg/L

yang berarti tergolong pada klasifikasi produk rendah emisi (F* - F****). Menurut

hasil uji statistik, semua perlakuan pendahuluan pada rotan asalan berpengaruh

sangat nyata terhadap emisi formaldehida papan rotan. Uji lanjut menunjukkan

bahwa nilai antar perlakuan goreng, steam dan gelombang mikro tidak berbeda

nyata, namun rata-rata nilai emisi formaldehida pada perlakuan goreng dan steam

Page 57: BUKU II - P3HH

54  

berbeda nyata dengan perlakuan hidrothermal dan oven. Hasil perlakuan

gelombang mikro tidak berbeda nyata dengan perlakuan hidrothermal, dan

perlakuan hidrothermal hasilnya tidak berbeda nyata dengan perlakuan oven.

Dalam hal pengerjaan, perlakuan pendahuluan dengan gelombang mikro relatif

singkat dengan hasil yang secara visual lebih baik dibanding perlakuan lainnya.

Bertolak dari uraian di atas, nampak bahwa perlakuan pendahuluan pada rotan

asalan berakibat pada perubahan komponen kimia rotan tersebut menjadi lebih

didominasi oleh senyawa polar yang sesuai dengan komponen senyawa perekat

yang juga poar, dan secara fisik mengubah struktur rotan menjadi lebih amorf

(derajat kristalinitas lebih rendah) dibanding tanpa perlakuan, sehingga semakin

banyak rongga yang dapat dimasuki oleh cairan perekat. Konsekwensi dari

perubahan tersebut ikatan komponen kimia perekat dengan komponen kimia rotan

semakin kokoh, dengan demikian daya rekat dan sifat fisis-mekanis papan lamina

rotan semakin baik, dengan emisi formaldehida yang rendah sehingga produk rotan

lamina ini ramah lingkungan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Rotan jenis batang berdiameter besar (> 30 mm) yang telah diberi perlakuan

pendahuluan dapat diolah menjadi papan rotan lamina, menggunakan perekat

berbasis tanin dari kulit kayu mangium dengan bobot labur perekat 200 g/m2

permukaan. Perlakuan pendahuluan pada rotan asalan mengakibatkan perubahan

komponen kimia maupun struktur yang berbeda terhadap rotan, dan masing-masing

berpengaruh nyata terhadap kualitas papan lamina rotan.

Berdasarkan nilai sifat fisis-mekanis dan emisi formaldehidanya, papan

lamina rotan terbaik dicapai oleh produk yang bahan bakunya diberi perlakuan

pendahuluan menggunakan teknik gelombang mikro (microwave) oven 1 kW (input)

dengan kekuatan energi maksimum 50%. Ditinjau dari sisi pengerjaannya,

perlakuan dengan gelombang mikro adalah yang tersingkat dengan tampilan visual

terbaik dibanding perlakuan dengan oven, steam, goreng, dan hidrothermal.

Berdasarkan sifat mekanisnya, nilai rataan MOR maupun MOE papan rotan terbaik

Page 58: BUKU II - P3HH

55  

diperoleh dari kombinasi perlakuan cara penggorengan dengan campuran minyak

tanah dan air 80:20 dengan menggunakan perekat dari ekstrak kulit kayu mangium,

dengan bobot labur 200 g/m2 permukaan.

B. Saran

Proses pengeringan dengan cara gelombang mikro pada rotan asalan

berdiameter besar sebagai bahan baku papan lamina rotan, perlu disosialisasikan ke

masyarakat untuk dapat diadopsi.

Page 59: BUKU II - P3HH

56  

Lampiran 6.

 

 

 

 

 

 

 

      1. Pengangkutan rotan 2. Pengeringan rotan dengan 3. Pembuatan bilah rotan

gelombang mikro  

 

 

 

 

 

 

 

 

4. Kulit mangium sebagai 5. Ekstraktor & Reaktor untuk 6. Perekat tanin mangium bahan baku perekat tanin preparasi perekat tanin  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7. Pelaburan perekat pada 8. Pengempaan papan lamina 9. Contoh produk lamina permukaan bilah rotan

Gambar 15. Dokumentasi Kegiatan Penelitian Penyempurnaan Rotan Komposit

Page 60: BUKU II - P3HH

57  

Judul Kegiatan : Formulasi Bahan Penunjang Industri dari Material Organik

Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Ir. Elfrida Basri, M.Sc., Ir. Jamal Balfas, M.Sc., Prof. Ris.

Adi Santoso, Karnita Yuniati, S.Hut., M.Sc. Ph.D.

ABSTRAK

Kegiatan tahun 2017 bertujuan mendapatkan data dan informasi : 1) Formula impregnan terbaik dari resin kak menggunakan metode rendaman air yang dipanaskan, 2) Formula pengisi kayu (wood filler) dari tepung dempul dengan berbagai komposisi resin, dan 3) Formula perekat berbasis tanin dari ekstrak kulit mahoni, 4) Uji coba pembuatan panel kayu lamina dari kayu jabon, tusam, dan karet dengan lima garis rekat (enam lapis bilah), menggunakan bahan impregnan, wood filler, dan perekat organik tersebut di atas. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Formula terbaik untuk peningkatan sifat fisis dan mekanis (kerapatan, kekuatan, dan stabilisasi dimensi) kayu jabon menggunakan metode rendaman panas adalah kak 8% dengan waktu rendaman 4 jam; kayu karet adalah kak 10% dengan waktu rendaman 2 jam; dan tusam adalah kak 8% dengan waktu rendaman 2 jam, 2) Secara ekonomis, formula impregnan dengan konsentrasi kak 8% sesuai untuk diaplikasikan di industri skala kecil, 3) Bahan wood filler organik memiliki keunggulan dalam hal ketahanan gores, kualitas pewarnaan, dan biaya produksi dibandingkan wood filler komersil atau sintetis, 4) Wood filler organik yang menghasilkan nilai ketahanan gores tertinggi pada permukaan kayu jabon, karet, dan tusam diperoleh pada aplikasi film 100 mikron dengan komposisi campuran polivinil asetat 20% dan tepung dempul 20%, 5) Formula perekat organik terbaik untuk kayu lamina jabon dan karet adalah campuran kak 3% dengan tannin dari ekstrak kulit mahoni, sedangkan untuk kayu lamina tusam hanya tannin tanpa menggunakan kak.

Kata kunci : Formula impregnan, formula wood filler, formula perekat, sifat kayu 1. LATAR BELAKANG

Upaya pengembangan produk bahan impregnan, wood filler, dan perekat

alternatif harus dilakukan melalui eksplorasi riset yang bersifat praktis dan efektif.

Bahan alami yang berpotensi digunakan adalah limbah kayu dan resin organik yang

bersifat ramah lingkungan dan mudah diperoleh di sekitar kita.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan penelitian adalah mendapatkan data dan informasi: 1) Formula

impregnan terbaik dari resin kak menggunakan metode rendaman air yang

Page 61: BUKU II - P3HH

58  

dipanaskan, 2) Formula pengisi kayu (wood filler) dari tepung dempul dengan

berbagai komposisi resin, dan 3) Formula perekat berbasis tanin dari ekstrak kulit

mahoni, 4) Uji coba pembuatan panel kayu lamina dari kayu jabon, tusam, dan

karet dengan lima garis rekat (enam lapis bilah), menggunakan bahan impregnan,

wood filler, dan perekat organik butir 1-3.

3. METODE PENELITIAN

Bahan kayu yang digunakan dalam penelitian adalah jabon, karet, tusam

(bahan utama) dan kulit kayu mahoni (untuk bahan perekat), diambil di Kabupaten

Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

A. Formulasi Bahan Impregnan

Formulasi bahan impregnan adalah campuran kak atau gum (kolagen dari

protein hewani) dengan 2 konsentrasi 8 dan 10% dan setiap perlakuan ditambahkan

asam borak 4%, menggunakan metode rendaman panas suhu 80oC dengan

perlakuan waktu 2 dan 4 jam. Jumlah contoh uji per jenis kayu untuk setiap

perlakuan 5 ulangan. Ukuran contoh uji untuk kerapatan kayu 3,0 cm (tb) x 3,0 cm

(lb) x 3 cm (p); penyusutan 3,0 cm (tb) x 3,0 cm (lb) x 1,0 cm (p); untuk uji lentur

2 cm (tb) x 2 cm (lb) x 8 cm (p) dan uji tekan sejajar serat 2 cm (tb) x 2 cm (lb) x

34 cm (p). Pengujian sifat fisis dan mekanis kayu mengacu pada ASTM D143-94

(ASTM, 2012).

B. Formulasi Bahan Pengisi Kayu (wood filler)

Formulasi bahan wood filler organik dengan perlakuan: 2 komposisi sirlak

5 dan 10% dengan pelarut alkohol; 2 komposisi akrilik 10 dan 20%, dan 2

komposisi PVAc 10 dan 20% dengan pelarut air. Setiap perlakuan dicampurkan

dengan 20% tepung dempul. Pengujian fungsi bahan dalam hal penolakan terhadap

air menggunakan contoh uji kayu 1 cm (T) x 1 cm (L) x 10 cm (R) dan 1 cm (R) x

1 cm (L) x 10 cm (T) yang sudah dilapisi dengan dempul organik. Pengujian

kemampuan proteksi bahan wood filler terhadap air dengan metode rendaman dan

pembasahan, mengacu pada Basri & Balfas (2014). Pengujian aspek kimia dalam

hal ketahanan lapisan wood filler terhadap senyawa asam, basa serta berbagai

pelarut dilakukan dengan metode tetes yang diamati secara visual sebagaimana

Page 62: BUKU II - P3HH

59  

diuraikan dalam ASTM D1308-02 (ASTM, 2013). Pengujian kehalusan permukaan

kayu dengan perlakuan wood filler dan perubahan warnanya dilakukan dengan

sistem Cielab sebagaimana diuraikan dalam Balfas (2017).

C. Formulasi Bahan Perekat

Penelitian formulasi dilakukan dengan mereaksikan tanin dari ekstrak kulit

kayu mahoni (T) dengan kak, resorsinol (R) dan formaldehida (F). Formulasi

ditetapkan dengan perbandingan mol T:R:F = 1: (0,1-0,5) : 1 (Santoso, 2003),

sedangkan kak dalam persentase 0, 6, 8, dan 10%. Tolok ukur pencapaian formula

optimum perekat dilakukan dengan pendekatan nilai keteguhan rekat produk

perekatannya. Selanjutnya pada komposisi perekat yang optimum dilakukan

pencampuran dengan tepung tapioka antara (0,5 – 20)% dari bobot perekat cair.

Tolok ukur pencapaian ramuan perekat tanin mahoni dengan tepung tapioka

dilakukan dengan pendekatan nilai keteguhan rekat produk perekatannya.

Kayu lamina dengan lima garis rekat (enam lapis bilah) dibuat dari bilah

kayu jabon, tusam, dan karet yang sudah diimpregnasi dengan formula impregnan

dan direkat menggunakan perekat dengan komposisi terbaik hasil penelitian ini.

Permukaan kayu lamina sebelum diuji, dilapisi dulu dengan bahan pengisi (wood

filler) yang dibuat pada kegiatan tahun ini dan diberi top coating yang dihasilkan

dari kegiatan penelitian tahun 2015-2016 lalu. Sebagai kontrol adalah contoh uji

kayu lamina yang tidak diberi bahan pengisi (wood filler) dan top coating. Kayu

lamina perlakuan dan kontrol kemudian diuji sifat fisis, mekanis, dan emisi

formaldehida skala laboratorium dengan mengacu pada standar uji JAS (JAS,

2003).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Formulasi Bahan Impregnan

Kerapatan kayu jabon tertinggi 0,46 g/cm3 diperoleh dari hasil impregnasi

dengan formula campuran kak 8% dalam air panas selama 4 jam, karet 0,69 g/cm3

dengan formula campuran kak 10% dalam air panas selama 2 jam, dan tusam 0,55

g/cm3 dengan formula campuran kak 8% dalam air panas selama 2 jam. Kestabilan

dimensi kayu yang diimpregnasi yang ditunjukkan dari rasio penyusutan dimensi

Page 63: BUKU II - P3HH

60  

arah tangensial terhadap radial (T/R rasio) kayu menurun dengan kenaikan

kerapatan kayu tersebut. Bowyer, Shmulsky, & Haygreen, 2007) mengatakan

bahwa jika nilai T/R rasio suatu jenis kayu lebih kecil atau sama dengan 2 (T/R ≥

2), maka kayu tersebut diindikasikan akan stabil dimensinya. Nilai MOR yang

menunjukkan tingkat keteguhan lentur ketiga jenis kayu yang diimpregnasi

menahan beban, lebih tinggi daripada kayu kontrolnya. Berdasarkan nilai

kerapatan, tekan sejajar serat, dan nilai MOR, maka kayu jabon yang diimpregnasi

menggunakan formula kak minimal 8% sudah menaikkan kekuatannya dari kelas

III-IV (kontrol) menjadi III, kayu tusam dari kelas III menjadi kelas II (III-II), dan

kayu karet dari kelas III (II-III) menjadi kelas II (I – II).

B. Formula wood filler

Secara umum tampak bahwa wood filler organik memiliki kedekatan warna

lebih baik daripada wood filler komersil. Komposisi wood filler organik, seperti

SF1 (5% sirlak +20% tepung dempul), SF2 (10% sirlak +20% tepung dempul), AF1

(10% akrilik+20% tepung dempul) dan AF2 (20% akrilik+20% tepung dempul)

memiliki nilai kecerahan, kemerahan dan kekuningan yang mendekati nilai kayu

kontrol pada tusam, karet maupun jabon (Tabel 1). Dari ketahanan film, wood filler

organik dan wood filler komersil memerlukan tambahan proteksi film dari kontak

terhadap bahan kimia dan cairan rumah tangga. Proteksi pelapisan permukaan (top

coat) dengan bahan resin sintetik yang menggunakan pelarut minyak seperti

melamin dan nitroselulosa mampu melindungi kerusakan film finishing dari

berbagai larutan tersebut (Balfas, 2017). Nilai ketahanan gores tertinggi pada

kelompok wood filler organik diperoleh pada aplikasi film 100 mikron dengan

komposisi LF2, yaitu campuran polivinil asetat 20% dengan tepung dempul

sebanyak 20%. Bahan wood filler organik selain unggul dalam hal kedekatan

pewarnaan dibandingkan dengan wood filler komersil, juga aman terhadap

kesehatan manusia dan lingkungan.

C. Formula Perekat

Keteguhan rekat tertinggi yang diuji dalam kondisi kering dicapai pada kayu

yang menggunakan perekat tanin ekstrak kulit kayu mahoni dengan formulasi tanin:

resorsinol 1:0,25 dengan kadar ekstender (tepung tapioka) 15%, yang memenuhi

Page 64: BUKU II - P3HH

61  

persyaratan standar Jepang (JAS, 2003) karena nilainya berada dalam kisaran 54 -

96 kg/cm2. Formula optimum untuk peramuan perekat tanin mahoni ditetapkan

dengan perbandingan mol T : R : F = 1 : 0,25 : 1, dengan kadar tepung tapioka

sebagai ekstender 15%. Formula perekat tanin mahoni tersebut dibandingkan

dengan ramuan perekat tanin dengan campuran kak selanjutnya diaplikasikan untuk

pembuatan kayu komposit dalam bentuk lamina dari berbagai jenis kayu yang

sudah diimpregnasi dengan kak pada kadar dan waktu impregnasi yang bervariasi.

Hasil uji keteguhan rekat kayu lamina dari jenis kayu jabon, karet dan tusam tanpa

impregnan menggunakan perekat tanin campuran dengan kak 3% mengindikasikan

nilai keteguhan rekat tertinggi, khususnya pada produk yang diuji dalam kondisi

basah (untuk penggunaan tipe eksterior). Berdasarkan nilai keteguhan rekatnya,

diketahui formula terbaik untuk aplikasi kayu lamina jabon adalah perlakuan

impregnasi kak 10% selama 4 jam, dengan formula ramuan perekat tanin T:R:F =

(1:0,25:1) mol, atau yang di impregnasi kak 10% selama 2 jam, menggunakan

formula ramuan perekat tanin dengan campuran kak 3, sementara formula terbaik

untuk kayu lamina karet adalah perlakuan impregnasi kak 8% selama 4 jam

menggunakan formula ramuan perekat tanin dengan campuran kak 3%, atau yang

di impregnasi kak 10% selama 4 jam, menggunakan formula ramuan perekat tanin

dengan campuran kak 3%, dan untuk kayu lamina tusam adalah perlakuan

impregnasi kak 8% selama 2 jam menggunakan formula ramuan perekat tanin tanpa

campuran kak (0%), atau yang tanpa impregnasi, menggunakan formula ramuan

perekat tanin T:R:F = (1:0,25:1) mol.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Kestabilan dimensi, kerapatan, dan kekuatan kayu jabon, tusam, dan karet

yang diimpregnasi dengan formula campuran kak minimal 8% naik secara

significant dibandingkan dengan kayu tanpa diimpregnasi (kayu kontrol).

2) Bahan wood filler komersil memiliki keunggulan dalam hal ketahanan

terhadap cairan kimia dan rumah tangga, kualitas pewarnaan, dan biaya

Page 65: BUKU II - P3HH

62  

produksi dibandingkan dengan bahan wood filler komersil. Juga aman

terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

3) Berdasarkan nilai keteguhan rekat, formula perekat terbaik untuk aplikasi

kayu lamina jabon adalah formula campuran perekat tanin T : R : F = (1 :

0,25 : 1) mol, atau formula perekat campuran tanin dengan kak 3%; kayu

lamina karet adalah formula campuran perekat tanin dengan kak 3%; kayu

lamina tusam adalah formula campuran tanin T : R : F = (1 : 0,25 : 1) mol.

B. Saran

Pada skala di industri, terutama industri kecil, formula impregnan yang

memungkinkan untuk modifikasi kayu jabon dan tusam adalah formula campuran

kak 8% yang ditambahkan borak 4% dengan metode rendaman panas. Namun

untuk kayu karet perlu ditambahkan konsentrasi kak menjadi 10%. Penggunaan

kayu yang impregnasi dengan formula impregnan yang mengandung kak dengan

pelarut air disarankan hanya untuk produk indoor (di bawah atap).

Page 66: BUKU II - P3HH

63  

Lampiran 7.

Gambar 16. Pengujian Pembasahan Contoh Uji dalam Desikator

Page 67: BUKU II - P3HH

64  

Judul Kegiatan : Diversifikasi Jenis dan Penyempurnaan Sifat Bambu dan Rotan Alternatif untuk Bahan Baku Industri Bambu Dan Rotan

Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dra. Jasni, M.Si., Dra. Titi Kalima, M.Si., Dr. Krisdianto,

M.Sc., Abdurachman, ST., Prof,Ris. Dr. Gustan Pari, M.Si., Dr. Ratih Damayanti, S.Hut, M.Si., Dr.Ir. I.M. Sulastiningsih, M.Sc., Ir. Efrida Basri, M.Sc., Dr. Djarwanto, M.Si., Dra. Sri Komarayati., Dra, Sihati Suprapti., Rohmah Pari, S.Hut., Esti Rini Satiti, S.Hut., Jamaludin Malik, S.Hut, MT

ABSTRAK

Di Indonesia tercatat terdapat delapan genera rotan dengan 314 spesies. Dari jumlah tersebut, sekitar 51 sudah dikenal dalam perdagangan (komersial), sedangkan yang lain belum dimanfaatkan. Selain rotan, Indonesia juga memiliki sumber daya bambu. Tercatat terdapat lebih dari 120 jenis bambu namun beberapa jenis saja yang baru dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya rotan dan bambu dari jenis-jenis yang belum digunakan. Sasaran kegiatan adalah memperoleh data dan informasi sifat-sifat rotan dan bambu sebagai dasar pemanfaatannya. Dalam kegiatan ini, sifat dasar rotan yaitu struktur anatomi, kimia, fisis-mekanis, ketahanan dan pelengkungan diteliti, sedangkan untuk sifat dasar bambu yang diteliti adalah struktur anatomi, fisis-mekanis, kimia, keawetan dan keterawetan. Untuk menunjang sifat pengolahannya dilakukan penelitian terhadap pengeringan dan perekatannya. Jenis rotan yang dipelajari ada empat jenis rotan yaitu rotan pinang (Daemonorops calapparia (Mart.) Blume, akar (Calamus cawa Blume), jawa (Calamus equestris Willd), dan buruk tuni (Calamus rumphii Blume). Jenis bambu yang digunakan ada dua yaitu bambu kapal (Gigantochloa scortechinii Gamble.) dan bambu paring tali (Gigantochloa luteostritata Widjaya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat jenis rotan baik digunakan untuk bahan baku pembuatan komponen mebel, keranjang dan anyaman. Sedangkan hasil penelitian bambu menunjukkan bahwa kedua jenis tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas, alat rumah tangga mebel, serta asap cair sebagai biopestisida. Kata kunci : Rotan, bambu, sifat dasar, kegunaan, produk 1. LATAR BELAKANG

A. Bambu

Bambu telah lama dikenal masyarakat Indonesia dan dimanfaatkan oleh

berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk bambu selalu berhubungan erat

dengan perkembangan budaya bangsa Indonesia. Hal ini mudah dimengerti

Page 68: BUKU II - P3HH

65  

mengingat bambu tumbuh hampir di seluruh wilayah secara alami maupun

dibudidayakan. Bambu merupakan bahan berlignoselulosa yang dapat digunakan

sebagai substitusi kayu pada beberapa keperluan. Selain mempunyai daur tebang

yang lebih pendek dibandingkan kayu, bambu mempunyai penggunaan yang luas

untuk berbagai tujuan, batangnya mudah dipanen dan dikerjakan untuk berbagai

keperluan mulai dari pangan (rebung), alat rumah tangga, bahan pembuat kertas,

kerajinan, sampai mebeler bahkan konstruksi pemukiman dan kebutuhan konsumen

lainnya. Martawijaya (1977) dalam Nandika, Matangaran, & Darma (1994)

memberi taksiran bahwa 80% bambu di Indonesia digunakan untuk konstruksi

(termasuk mebel), 10% untuk pembungkus, 5% untuk bahan baku kerajinan

(industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain.

Widjaja et al. (1994) menyatakan bahwa jumlah jenis bambu Indonesia yang

semula tercatat hanya 65 jenis saat ini telah bertambah menjadi 120 jenis lebih

dimana 56 jenis memiliki potensi ekonomi. Widjaja (2009) menyebutkan saat ini di

Indonesia ada 160 jenis bambu, 122 jenis asli Indonesia, 88 diantaranya endemik

Indonesia, dan 65 adalah jenis bambu potensial yang dapat dipergunakan untuk

memenuhi kebutuhan manusia.

Agar pemanfaatan batangnya lebih maksimal dan effisien, diperlukan

penelitian sifat dasar bambu secara menyeluruh sehingga dapat dinentukan

peruntukannya sebagai alternatif bahan baku industri bambu.

B. Rotan

Potensi rotan Indonesia sangat tinggi, diperkirakan 85% rotan dunia dipasok

dari Indonesia, sisanya Filipina, Vietnam dan negara Asia lainnya (Retraubun,

2013). Selanjutnya dikatakan bahwa total nilai ekspor produk rotan sepanjang tahun

2012 mencapai USD 206,67 juta yang terdiri dari rotan furnitur senilai USD 151,64

juta dan rotan kerajinan/anyaman sebesar 51,03 juta. Pasar luar negeri produk rotan

asal Indonesia untuk HS 46012 (basketwork, wickerwork & other article made

directly to shape from rattan) pada tahun 2012 adalah Belanda USD 11,6 juta

(27,02%), Amerika Serikat senilai USD 6,6 juta (15,39%), Korea Selatan USD 4,2

juta (9,76%), Jerman senilai USD 3,6 juta (8,43%), Belgia USD 2,4 juta (5,6%),

Page 69: BUKU II - P3HH

66  

dan ke beberapa negara lainnya seperti Inggris, Jepang, Swedia, Perancis, dan

Australia (Warta Ekspor, 2013).

Jumlah rotan Indonesia kurang lebih 300 – 350 jenis. Dari jumlah tersebut,

51 jenis di antaranya adalah rotan komersial, sedangkan 265 jenis non-komersial.

Di antara 51 jenis komersial tersebut, hanya sekitar 20 – 30 jenis saja yang disukai

dan banyak dieksploitasi (Rachman & Jasni, 2013). Jenis-jenis rotan favorit ini

sudah menipis persediaannya, hal ini disebabkan antara lain karena pemanenan

rotan tidak diimbangi dengan usaha pembudidayaannya. Untuk memenuhi

kebutuhan industri perlu ada usaha untuk mencari jenis alternatif.

Untuk mendorong pemanfaatan jenis-jenis rotan yang selama ini belum

digunakan (lesser used species), maka perlu dilakukan penelitian yang

komprehensif dan holistik. Penelitian akan mencakup penyebaran, botani, sifat

dasar anatomi, fisis mekanis, kimia, keawetan dan pelengkungan rotan sehingga

dapat diketahui penyebaran jenis, kualitas dan peruntukan secara lebih tepat untuk

masing-masing jenis sebagai alternatif bahan baku industri rotan.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan penelitian adalah menyediakan informasi sifat dasar dan

kemungkinan penggunaan dua jenis bambu sebagai dasar diversifikasi bahan baku

bambu untuk berbagai tujuan pemakaian. Mendapatkan informasi sifat dasar dan

kemungkinan penggunaan empat jenis rotan sebagai dasar diversifikasi penggunaan

bahan baku rotan untuk berbagai tujuan pemakaian.

Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi ilmiah mengenai sifat

dasar dan penyempurnaan dua jenis bambu dan empat jenis rotan.

3. METODE PENELITIAN

A. Lapangan

Pemilihan jenis bambu ada 2 yaitu bambu kapal (Gigantochloa scortechnii

Gamble) dan paring tali (Gigantochloa luteostriatata Wijaya). Rotan yang masak

tebang dari jenis-jenis rotan yang belum dimanfaatkan dan bambu yang sudah tua

dengan metode eksploratif. Jenis rotan ada 4 jenis yaitu: rotan pinang

Page 70: BUKU II - P3HH

67  

(Daemonorops calapparia) (Mart.) Blume, akar (Calamus cawa Blume), jawa

(Calamus equestris Willd), dan buruk tuni (Calamus rumphii Blume).

B. Laboratorium

Bambu dan rotan yang sudah dipanen kemudian di bawa ke laboratorium

untuk dilakukan pengujian

1) Untuk mengetahui nama ilmiah dari jenis-jenis rotan yang ditemukan

dilapangan digunakan metode Comparativea dengan specimen herbarium.

2) Sifat dasar meliputi; bambu diteliti (anatomi, fisis mekanis, kimia, keawetan,

keterawetan, pengeringan, dan cuka bambu), sedangkan rotan diteliti (anatomi,

fisis mekanis, kimia dan keawetan), pengolahan (pelengkungan),

3) Penyempurnaan

C. Proses Pembuatan Komponen Produk

Bambu dan rotan dibuat komponen produk sesuai dengan peralatan yang

ada dan jenis produk yang akan dibuat disesuaikan dengan sarana dan prasarana

industri.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bambu

Tipe ikatan pembuluh jenis bambu kapal (Gigantochloa scortechinii) dan

bambu paring tali (Gigantochloa luteostritata) dari genus yang sama memiliki

ikatan pembuluh tipe III (tipe pinggang terpisah) yaitu ikatan pembuluh terdiri dari

dua bagian: ikatan pembuluh pusat dan ikatan serat yang terpisah atau dikenal

dengan istilah broken-waist type (tipe pergelangan patah) dan tipe IV (tipe

pinggang terpisah) yaitu ikatan pembuluh tersusun dalam tiga bagian: 1 untai

pembuluh di bagian pusat dengan selubung sklerenkim yang kecil dan dua berkas

serat bagian dalam dan luar yang terpisah.

Sifat fisis bambu seperti kadar air bambu kapal (Gigantochloa scortechinii)

11% dengan kerapatan 0,80, sedangkan bambu paring tali (Gigantochloa

luteostriata) rata-rata kadar air 10% dan kerapatan rata-rata 0,88.

Rata-rata nilai MOE terbesar (152.073 kg/cm2) pada bambu kapal dan

terendah bambu pada paring tali (130.531 kg/cm2). Nilai MOR terbesar pada

Page 71: BUKU II - P3HH

68  

bambu paring tali (873 kg/cm2) dan terkecil adalah bambu kapal (648 kg/cm2).

Selanjutnya nilai keteguhan tekan sejajar serat terbesar dimiliki bambu kapal yaitu

sebesar 417 kg/cm2 dan terkecil adalah pering tali yaitu sebesar 327 kg/cm2.

Berdasarkan data sifat mekanis pada kondisi kering udara dapat dinyatakan

bahwa kedua jenis bambu ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan penggunaannya.

Bambu paring tali memiliki rata-rata keteguhan geser terbesar yaitu 122 kg/cm2

dan terkecil adalah bambu kapal 93 kg/cm2.

Hasil penelitian tentang keawetan dua jenis bambu yaitu bambu kapal dan

bambu paring tali terhadap rayap tanah termasuk kelas II. Sedangkan ketahanan

kedua jenis bambu terhadap jamur, bambu kapal dan bambu paring tali termasuk

kelas IV.

Kandungan kimia bambu kapal dan bambu paring tali, kelarutan dalam

NaOH 1% kedua jenis bambu ini berbeda, bambu kapal 22,58% dan bambu paring

tali 32,22%. Kadar selulosa tertinggi pada bambu kapal (57,29%) sedangkan paring

tali 51,18%.

Berdasarkan kriteria tersebut, suhu optimum untuk pengeringan bambu

kapal dan bambu paring tali pada batang pangkal adalah 40 sampai 60oC dan

batang tengah 45 sampai 70oC, suhu optimum. Jika akan mengeringkan bambu

kapal dan bambu paring tali dari batang pangkal sampai batang tengah bersama-

sama dalam satu dapur pengeringan, maka suhu optimum disarankan 40 sampai

60oC, agar kualitas batang pangkal tetap terjaga.

Keterawetan bambu kapal dan bambu paring tali, retensi bahan pengawet

pada bambu kapal (Gigantochloa scortechinii) dengan konsentrasi 5% rata-rata 14,4

kg/m3 dan bambu paring tali (Gigantochloa luteostriata ) rata-rata 18,08 kg/m3.

Penetrasi kedua jenis bambu ini mencapai 100 %.

Berdasarkan penelitian asap cair dua jenis bambu, yaitu bambu kapal dan

bambu paring tali pH bambu kapal 3,24 dan bambu paring tali 3,20 kedua jenis

bambu ini memenuhi standar mutu asap cair Jepang ( 1,50- 3,70) . Sedangkan berat

jenis asap cair bambu kapal dan paring tali 1,08 dan 1,09 telah memenuhi standar

Jepang.

Page 72: BUKU II - P3HH

69  

B. Rotan

Berdasarkan hasil penelitian. diameter ke empat jenis rotan berkisar 4 – 19

mm, diameter besar adalah rotan pinang, kemudian tuni, akar dan terkecil jawa.

Panjang ruas berkisar 12 – 31 cm, ruas terpanjang adalah rotan pinang, kemudian

akar, tuni dan yang pendek jawa.

Ke empat jenis rotan yang diteliti tebal dinding sel serabut terendah 4,7

(rotan akar) dan tertinggi rotan jawa 5,95 μm, panjang serabut terpanjang pada

rotan jawa (2.379 µm) terpendek jenis rotan akar (1.473 µm). Diameter metaksilim

terbesar pada rotan tuni (176 µm) dan terkecil rotan jawa (142 µm). kemudian rotan

pinang 5,4 µm dan rotan tuni 5,2 µm. Tebal dinding jenis rotan akar 4,7 µm

Sedangkan diameter protoksilim rotan jawa 26 μm sama dengan rotan sebelumnya

yaitu tunggal (Calamuslaevigatus Martius) sebesar 26 μm. Selanjutnya panjang

serat rotan jawa 2,379 μm hampir sama dengan jenis rotan sebelumnya rotan buruk

hati (Calamus insignis Griff.var.longispinosus Dransfield) yaitu 2.381 μm.

Berdasarkan sifat fisis mekanis rotan, dari empat jenis rotan yang diteliti, berat jenis

(BJ), yang tertinggi pada rotan tuni (0,78/kelas I), rotan akar (0,71/kelas I),rotan

pinang (0,60/kelas II) dan rotan jawa (0,43/kelas III). Sedangkan berdasarkan

modulus elastis (MOE), rotan pinang 26.134 kg/cm2 (kelas II), berdasarkan

klasifikasi MOE rotan, rotan kelas II (performanya baik). Sedangkan rotan akar

tekan sejar serat 558,206 kg/cm2 (kelas III), rotan tuni 546,646 kg/cm2 (III) dan

rotan jawa 376,439 kg/cm2 (kelas IV).

Berdasarkan komponen kimia dari 4 jenis rotan yang diteliti, kandungan

selulosa rotan pinang (47,03 %), rotan akar (53,37%), jawa (45,40%) dan rotan tuni

(52,05). Lignin terdapat dalam rotan pinang (25,57%), akar (26,82%), jawa

(23,82%) dan rotan tuni (27,44%). Dari ke empat jenis rotan yang diteliti, ternyata

komponen kimia lain adalah pati, pati pada rotan pinang (15,58%), rotan akar

(16,89%), rotan jawa (18,12%) dan rotan tuni (16,78%).

Untuk ketahanan rayap tanah, rotan pinang, akar dan rotan jawa kelas II

(tahan), sedangkan rotan tuni kelas I. Berdasarkan demikian rotan yang mempunyai

kelas ketahanan I dan II tidak perlu diawetkan untuk memperpanjang umur pakai

bahan baku rotan untuk tujuan penggunaanya tersebut.

Page 73: BUKU II - P3HH

70  

Berdasarkan proses pengolahan, tuni dan pinang, untuk pelengkungan

menghasilkan radius lengkung terkecil yang berkisar 3,5 – 9 cm, dengan demikian

dapat dilengkungkan pada acuan lengkung berdiameter 10 cm. Berdasarkan hasil

wawancara dengan pengrajin di industri rotan Cirebon pada saat pembuatan

produk, kempat rotan (tuni, pinang, jawa dan akar) mudah dikerjakan. Rotan ini,

dapat disetarakan dengan rotan manau/Calamus zolingerii (radius lengkung <10

cm), batang/Calamus zolingerii (radius lengkung 7,2 cm/<10 cm),

lambang/Calamus ornatus var celebicus (radius lengkung <10 cm). Sedangkan

rotan jawa dan akar tidak dilengkungkan karena kecil, rotan ini baik sebagai

komponen kekuatan tarik, dan dapat dibelah dua, dapat digunakan sebagai produk

anyaman dan kerajinan.

Pembuatan produk bambu dan rotan

1) Bambu

Bahan baku bambu dari bambu kapal dan paring dapat dibuat untuk mebel dan

peralat rumah tangga dan tidak dapat dibuat sebagai bahan baku bambu lamina,

karena kedua jenis bambu ini mempunyai dinding yang tipis.

Gambar 17. Produk dari Bambu

2) Rotan

Keempat jenis rotan dapat disetarakan dengan rotan dari kelompok rotan

komersial. Produk mebel yang dihasilkan dari salah satu jenis yang dipelajari

atau digabungkan dengan rotan yang sudah ada di pasaran, juga dapat menarik

pembeli. Hal ini menggambarkan bahwa keempat jenis rotan yang di pelajari

dapat pengganti rotan komersial.

Page 74: BUKU II - P3HH

71  

Gambar 18. Produk dari Rotan

Penyempurnaan bambu dan rotan

1) Bambu

Penelitian bambu ini adalah hasil peneilitian tahun 2016, karena bambu ini tidak

tahan terhadap organisme perusak terutama rayap maka dilakukan

penyempurnaan. Berdasarkan hasil penelitian ternyata terhadap bambu peting

(Gigantochloa leavis) maupun bambu manggong (Gigantohloa manggong)

dengan berbagai konsentrasi dapat menahan serangan rayap tanah. Proses

pengawetan pada bambu dengan bahan pengawet boron 3 %, kedua jenis bambu

sudah menaikan kelas dari kelas IV menjadi kelas II, namun kalau untuk lebih

baik lagi bisa digunakan bahan pengawet boron dengan konsentrasi 7% dari

kelas IV menjadi kelas I. Maka untuk memperpanjang umur pakainya perlu

dilakukan pengawetan dengan menggunakan bahan pengawet.

2) Rotan

Penyempurnaan rotan akan dilakukan berdasarkan sifat yang dimiliki rotan

misalnya terkait dengan ketahanan rotan terhadap organisme perusak rotan

(OPR). Rotan yang mempunyai kelas awet rendah (Kelas III,IV dan V) perlu

Page 75: BUKU II - P3HH

72  

dilakukan pengendaliannya terhadap OPR, antara lain dengan proses

pengawetan. Namun hasil penelitian sebelumnya (Tahun 2016) keempat jenis

rotan yang diteliti termasuk kelas awet I dan II, maka dalam pemakaiannya

tidak perlu diawetkan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Bambu

a) Bambu kapal dan bambu paring tali, dilihat secara struktur anatomi,

dinding serat bambu paring tali lebih tebal dibandingkan bambu kapal,

sehingga bambu paring tali lebih kuat dibandingkan bambu kapal.

b) Sifat mekanis bambu yang mencakup keteguhan lentur statis, tekan,

geser dan tarik sejajar serat umumnya cukup baik; kadar lignin, zat pati,

bambu kapal dan bambu paring tali cukup besar, akan berpengaruh

terhadap kadar phenol asap cair, dan persentase kerusakan bambunya

memenuhi persyaratan standar jepang yang disesuaikan untuk bambu.

c) Ketahanannya terhadap rayap tanah bambu kapal maupun bambu paring

tali cukup baik masuk kelas II (tahan). Ketahanan kedua jenis bambu

terhadap jamur termasuk kelas IV.

d) Hasil penyempurnaan bambu peting (Gigantochloa leavis) dan bambu

manggong (Gigantochloa manggong) terhadap rayap tanah, konsentrasi

boron dengan 3% dan 5% dapat menaikan kelas ketahanan kedua jenis

bambu dari kelas IV (tidak tahan ) menjadi kelas II (tahan), lebih baik

lagi konsentrasi 7 % menjadi kelas I (sangat tahan).

2) Rotan

a) Sifat-sifat dasar keempat jenis rotan yang dipelajari mirip dengan rotan

komersial, ditinjau dari sifat anatomi, kimia fisis mekanis, keawetan dan

pelengkungan.

b) Ketahanan rotan terhadap rayap tanah, rotan pinang (Daemonorops

calapparia (Mart.) Blume, rotan jawa (Calamus equestris Willd.) dan

rotan akar (Calamus cawa Blume) termasuk kelas ketahanan II (tahan),

Page 76: BUKU II - P3HH

73  

sedangkan rotan tuni (Calamus rumphii Blume) termasuk kelas I

(sangat tahan).

c) Rotan yang termasuk kelas awet I dan II untuk memperpanjang umur

pakai tidak perlu diawetkan.

d) Pelengkungan 2 jenis rotan yang diteliti rotan tuni dan pinang termasuk

dalam kelompok sangat baik dilengkungkan dengan radius lengkung

dibawan 10 cm dan termasuk kelas I.

e) Produk dari keempat jenis rotan ( jawa, akar, pinang dan tuni) termasuk

mudah dikerjakan dan dapat disetarakan dengan rotan tohiti (Calmus

inops Becc. Ex.Heyne), lambang (Camus ornatus var celebicus Becc.),

sega (Calamus caecius) dan rotan irit (Calamus trachycoleus).

B. Saran

Jenis bambu ini dapat disarankan pada pengguna untuk pembuatan mebel

dan peralatan rumah tangga dan tidak dapat digunakan sebagai bambu lamina,

sedangkan jenis rotan ini dapat disosialisasikan kepada pengguna karena sifat-sifat

rotan ini mirip rotan komersial, sehingga jenis rotan ini dapat digunakan pengganti

rotan komersial yang sudah langgka dilapangan, seperti manau, batang, lambang,

tohiti, sega dan irit.

Page 77: BUKU II - P3HH

74  

Judul Kegiatan : Konservasi Fosil Tumbuhan Tropis (Identifikasi Fosil Kayu Asal Gorontalo)

Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Andianto, S.Hut. MSi., Dr. Ratih Damayanti, S.Hut.,

M.Si., Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc., Listya Mustika Dewi, S.Hut., M.Sc., Hanny Oktariani, S.Si.

ABSTRAK Gorontalo merupakan wilayah provinsi yang diketahui memiliki Sumber Daya Alam berupa fosil kayu. Tujuan penelitiaan tahun 2017 adalah mendapatkan informasi ilmiah mengenai fosil kayu yang berasal dari wilayah ini. Dilakukan pengamatan struktur anatomi serta analisis perkiraan umur terhadap sampel fosil kayu. Irisan tipis bidang lintang, radial dan tangensial fosil kayu diamati ciri-ciri anatominya dengan menggunakan mikroskop Carl Zeiss-Axio Imager A1m. Diskripsi ciri anatomi mengacu kepada daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi kayu daun lebar IAWA (International Association of Wood Anatomists). Analisis umur fosil dilakukan berdasarkan peta Geologi (skala 1 : 100.000) lembar Tilamuta, Sumatera. Ciri-ciri natomi yang berhasil teridentifikasi menunjukkan bahwa sampel fosil-fosil kayu yang diambil dari Gorontalo adalah jenis Hopea (Hopeoxylon sp.) dan Balau (Shoreoxylon sp.), yang diperkirakan berumur antara 3,6 hingga 1,8 juta tahun yang lalu, yaitu antara zaman Pliosen akhir dan Plistosen awal. Kata Kunci: Fosil kayu, Gorontalo, Pliosen, Plistosen, Hopeoxylon, Shoreoxylon. 1. LATAR BELAKANG

Bidang anatomi kayu memiliki keterkaitan yang luas dan dapat mendukung

cabang-cabang ilmu lain seperti Arkeologi, Forensik, Ethnologi,

Dendrochronologi, dan Paleobotani. Penelitian tentang fosil kayu ini termasuk ke

dalam bidang ilmu Paleobotani. Kajian bidang ilmu Paleobotani merupakan ilmu

yang meliputi aspek fosil tumbuhan, rekonstruksi taksa, dan sejarah evolusi dunia

tumbuhan. Diperlukan penguasaan bidang-bidang ilmu pendukung untuk

memahami ilmu Paleobotani seperti ilmu Geologi, Anatomi tumbuhan, dan

Taksonomi tumbuhan (Susandarini, 2016). Sehingga ilmu Paleobotani bermanfaat

dalam memahami identitas jenis botani (ilmu anatomi), umur fosil (geologi), serta

dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah persebaran (Fitogeografi) dan

kepunahan dari taksa tumbuhan tertentu (Dewi, 2013.).

Page 78: BUKU II - P3HH

75  

Persebaran fosil kayu di Indonesia perlu digali untuk mendapatkan data

ilmiah seperti jenis, lokasi keberadaan, serta perkiraan umurnya. Wilayah Indonesia

bagian tengah yang diketahui memiliki sumber keragaman fosil tumbuhan adalah

Provinsi Gorontalo.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan kegiatan penelitian tahun 2017 adalah untuk mendapatkan informasi

ilmiah mengenai fosil-fosil kayu yang terdapat di wilayah Provinsi Gorontalo.

Sasaran penelitian tahun 2017 adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai

identitas botanis, persebaran serta umur fosil kayu yang berasal dari wilayah

Provinsi Gorontalo.

3. METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan di Puslitbang Hasil Hutan Bogor, serta Museum

Geologi Bandung. Sedangkan pengambilan bahan penelitian dilaksanakan di

Provinsi Gorontalo. Bahan utama penelitian adalah sampel fosil kayu yang diambil

langsung dari lokasi tapaknya (masih berada di dalam tanah) di wilayah Provinsi

Gorontalo. Bahan kimia yang digunakan antara lain carborundum dan canada

balsam. Sedangkan peralatan yang digunakan di antaranya pemotong batu (gergaji

mesin), mikrotom, lup, mikroskop cahaya, kamera, hot plate. Bahan gelas kaca

yang diperlukan antara lain object glass dan cover glass.

Ciri anatomi pada irisan bidang lintang, radial dan tangensial fosil kayu

diamati melalui preparat tipis dengan bantuan mikroskop Carl Zeiss-Axio Imager

A1m. Preparat tipis iris dibuat berdasarkan SNI 13-4175-1996 tentang penyiapan

sayatan tipis contoh batuan dan mineral untuk analisis petrograf. Pembuatan

preparat untuk setiap bongkahan fosil dilakukan dalam 3 kali ulangan. Selanjutnya

preparat siap untuk diamati menggunakan daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi

kayu daun lebar IAWA (Wheeler, Baas, & Gasson, 1989) guna mengetahui jenis

fosil kayu. Ciri anatomi hasil pengamatan selanjutnya dibandingkan dengan ciri-

ciri anatomi kayu masa kini yang sejenis.

Page 79: BUKU II - P3HH

76  

Perhitungan perkiraan umur fosil kayu dilakukan dengan menganalisis

sedimen berdasarkan data peta Geologi (skala 1:100.000). Peta Geologi merupakan

peta yang di dalamnya berisi stratigrafi (formasi) batuan dengan perkiraan

informasi umurnya. Perkiraan umur fosil dianalisis berdasarkan lapisan batuan

dimana fosill tersebut ditemukan. Keberadaan fosil kayu yang tertimbun di dalam

lapisan batuan diasumsikan memiliki usia yang sama dengan lapisan batuan itu

sendiri. Lapisan batuan pada peta tersebut digambarkan dengan sejumlah warna

yang berbeda. Setiap warna yang terdapat di dalam peta tersebut menginformasikan

formasi batuan dan perkiraan umurnya. Selanjutnya informasi warna disesuaikan

dengan warna pada peta grafik perkiraan umur fosil. Analisis jenis mineral

menggunakan X-ray Diffractometer untuk mengetahui proses pembentukan fosil.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dua buah batang fosil kayu ditemukan berada pada wilayah Desa Tohupo

Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo dengan koordinat lokasi berada

pada LU (N): 00° 34,1' 63'' dan BT (E): 122° 51' 64''. Karakteristik lokasi temuan

berupa dinding bukit dimana dibawahnya mengalir sungai Bongomeme. Pada

bagian sudut lain terlihat area perkebunan masyarakat. Keberadaan fosil kayu masih

menancap pada dinding tebing yang merupakan lapisan batuan berwarna kuning

dan abu-abu. Warna yang berbeda menunjukan perbedaan kandungan mineral yang

terkandung dalam lapisan kedua batuan. Diujung tebing terlihat lapisan batuan yang

tidak menerus yang menandakan bahwa terjadi sesar normal pada daerah tersebut.

Fosil kayu yang terlihat menonjol pada dinding bukit masing-masing memiliki

panjang sekitar 1 m berdiameter sekitar 0,5 meter. Lapisan batuan berwarna kuning

merupakan tufa pasiran, sedangkan batuan berwarna abu merupakan batupasir

tufaan. Warna yang berbeda menunjukan perbedaan kandungan mineral yang

terkandung dalam kedua batuan tersebut.

Ciri-ciri anatomi fosil kayu (sampel 1) serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu

dari genus Hopea sp. (Merawan/Hopea) adalah anggota dari famili

Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil ini adalah

fosil dari jenis kayu Merawan/Hopea (Hopeoxylon sp.). Ciri-ciri anatomi fosil kayu

Page 80: BUKU II - P3HH

77  

(sampel 2) serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari genus Shorea sp. (Balau)

anggota dari famili Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian

maka fosil kayu sampel 2 adalah fosil dari jenis kayu Balau (Shoreoxylon sp.).

Tabel 6. Hasil Pengamatan Ciri Anatomi

No. Ciri Anatomi Spesimen 1 Spesimen 2 Pembuluh 1. Porositas baur (5) baur (5) 2. Bidang perforasi sederhana (13) sederhana (13) 3. Susunan

noktah/ceruk antar pembuluh

selang-seling (22) selang-seling (22)

4. Tilosis dan endapan dalam pembuluh

Tilosis umum (56) Tilosis umum (56)

Serat 1. Tebal dinding serat tipis sampai tebal (69) tipis sampai tebal (69) Parenkim 1. Tipe Parenkim aksial apotrakea tersebar

dalam kelompok (77) aksial apotrakea tersebar (76)

2. Tipe Parenkim vaskisentrik (79) aksial apotrakea tersebar dalam kelompok (77)

3. Tipe Parenkim konfluen (83) aksial paratrakea jarang (78)

4. Tipe Parenkim - aliform (80) 5. Tipe Parenkim - konfluen (83) Jari-jari 1. Lebar lebar 1-3 seri (97 lebar 1-3 seri (97) 2. Lebar jari-jari besar umumnya 4-10

seri (98) jari-jari besar umumnya 4-10 seri (98)

3. Tubuh jari-jari baring

tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106)

tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106)

4. Tubuh jari-jari baring

tubuh jari-jari sel baring umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107)

tubuh jari-jari sel baring umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107)

Saluran Interselular 1. Saluran aksial saluran aksial dalam baris

tangensial panjang (127) saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127)

Kandungan mineral

Page 81: BUKU II - P3HH

78  

No. Ciri Anatomi Spesimen 1 Spesimen 2 1. Kristal terdapat kristal prismatik

dalam sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (137)

-

2. Kristal terdapat kristal prismatik dalam sel baring (138)

-

3. Kristal terdapat kristal prismatik berderet radial dalam sel baring jari-jari (139)

-

4. Kristal terdapat kristal prismatik dalam parenkim aksial berbilik (142)

terdapat kristal prismatik dalam parenkim aksial berbilik (142)

Jensi fosil kayu Merawan/Hopea (Hopeoxylon sp.)

Balau (Shoreoxylon sp.)

Berdasarkan peta geologi lembar Tilamuta, Sulawesi, formasi batuan pada

peta dicirikan dengan warna. Berdasarkan warna formasi batuan tersebut

selanjutnya dikonfirmasi dengan korelasi satuan peta yang menyediakan informasi

umur lapisan batuan (sesuai warna lapisan batuannya).

Wilayah temuan fosil-fosil kayu asal Desa Tohupo berada dalam Formasi

Batuan Gunungapi Pinogu (TQpv) berupa aglomerat, tuf, lava andesit-basal.

Formasi ini berada pada umur batuan zaman Pliosen akhir dan Plistosen awal.

Selanjutnya berdasarkan peta grafik perkiraan umur fosil (International

Chronostratigraphic Chart), umur lapisan batuan yang berada pada zaman Pliosen

akhir dan Plistosen awal adalah antara 3,6 hingga 1,8 juta tahun yang lalu sehingga

fosil kayu ini juga diperkirakan berumur antara 3,6 hingga 1,8 juta tahun yang lalu.

Zaman Pliosen (5-1,8 juta tahun lalu) ditandai dengan semakin berkurangnya

jumlah tumbuhan karena cuaca dingin sedangkan zaman Plistosen (1,8-0,01 juta

tahun lalu) ditandai oleh beberapa kali glasiasi (zaman es) yang menutupi sebagian

besar Eropa, Amerika Utara, Asia Utara, pegunungan Alpen, Himalaya, dan

Cherpathia (Museum Geologi, 2017).

Hasil pengamatan lokasi pada areal temuan fosil ditemukan jenis pohon

perkebunan seperti pohon kelapa dan jagung. Lokasi temuan fosil kayu memang

berada di sekitar areal perkebunan masyarakat.

Page 82: BUKU II - P3HH

79  

Fosil-fosil kayu yang ditemukan di wilayah Gorontalo merupakan asset

yang perlu diselamatkan sebagai bukti adanya tumbuhan prasejarah. Nilai material

berupa koleksi sampel fosil kayu yang dikumpulkan dari wilayah ini membuktikan

adanya jenis-jenis pohon anggota famili Dipterocarpaceae, yaitu Merawan/Hopea

(Hopeoxylon sp.) dan Balau (Shoreoxylon sp.) yang pernah ada di wilayah

Gorontalo pada masa silam, yaitu 3,6 – 1.8 juta tahun yang lalu.

Hasil analisa kandungan mineral yang terdapat pada fosil kayu sebagian

besar (utamanya) adalah Quartz (SiO2), selanjutnya berturut-turut menyusul adalah

Graphite (C) atau intan (bentuk alotrop carbon), Zaherite (AL12(SO4)5(OH)26),

Albite, disordered (Na (Si3AL)O8. Casium Sodium Alumosilicate (Ca0.65 Na0.35

( Al1.65 Si2.35 O8)). Hal ini menunjukkan bahwa unsur kimia yang terdapat dalam

fosil kayu bukan lagi Carbon, sehingga perkiraan umur tidak dapat dianalisa

berdasarkan metoda Carbon Dating.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Fosil kayu yang diperoleh dari wilayah Propinsi Gorontalo (Kecamatan

Bongomeme) telah berhasil diambil langsung dari lokasi keberadaannya guna

pengamatan ciri-ciri anatomi serta analisis perkiraan umurnya. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa fosil kayu tersebut adalah jenis Hopeoxylon sp.

(Merawan/Hopea) dan Shoreoxylon sp. (Balau) dengan perkiraan umur antara 3,6

hingga 1,8 juta tahun yang lalu (antara zaman Pliosen akhir dan Plistosen awal).

Fosil kayu yang ditemukan di wilayah Provinsi Gorontalo mengindikasikan

bahwa wilayah ini memiliki potensi sebagai salah satu sumber keragaman jenis fosil

kayu di Indonesia. Sehingga untuk menjaga keberadaannya diperlukan upaya

konservasi di wilayah temuan fosil kayu tersebut.

Page 83: BUKU II - P3HH

80  

Lampiran 8

Gambar 19. Letak fosil kayu pada dinding bukit (Desa Tohupo)

Page 84: BUKU II - P3HH

81  

a. Penampang lintang mikroskopis, skala 200 mikron b. Penampang radial mikroskopis, skala 200 mikron c. Penampang tangensial mikroskopis, skala 200 mikron

Gambar 20. Penampang mikroskopis fosil kayu Hopea (Hopeoxylon sp.).

cb 

a

Page 85: BUKU II - P3HH

82  

a. Penampang lintang mikroskopis, skala 200 mikron b. Penampang radial mikroskopis, skala 200 mikron c. Penampang tangensial mikroskopis, skala 200 mikron

Gambar 21. Penampang mikroskopis fosil kayu Balau (Shoreoxylon sp.).

a

b  c

Page 86: BUKU II - P3HH

83  

Judul Kegiatan : Teknik Pemanenan Kayu Hutan Alam Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan

Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 9. Teknik Pemanenan Hutan Koordinator : Ir. Soenarno, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Wesman Endom, B.Sc.F., M.Sc., Ir. Soenarno, M.Si., Ir.

Sona Suhartana, Yuniawati, S.TP. M.Si., Ir. Zakaria Basari, B.Sc.F.

ABSTRAK

Kendati kegiatan pemanenan kayu di hutan alam telah dilakukan menerapkan prinsip pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/RIL) tetapi pelaksanaan di lapangan masih lemah. Hal ini tercermin dari kegiatan penebangan pohon yang masih sepenuhya diserahkan kepada penebang (operator chainsaw) tanpa ada kontrol teknik pembagian batang (bucking) yang baik dan benar. Akibatnya volume kayu yang dimanfaatkan tidak optimal dan meninggalkan limbah kayu serta kerusakan tegakan yang cukup besar. Di lain pihak, industri pengolahan kayu terus mengalami defisit bahan baku kayu bulat. Oleh karena itu upaya perbaikan teknik pemanenan harus terus dilakukan agar produksi kayu hutan alam meningkat dan aspek kelestarian tetap dapat dijamin. Salah satu upaya tersebut adalah inovasi teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah lingkungan. Teknik pemanena kayu ini sebenarnya merupakan penyempurnaan dari metode pemanenan kayu tree length logging yang telah dikembangkan oleh Idris dan Soenarno pada tahun 2012 sampai 2015. Metode penelitian teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah lingkungan dilakukan secara purposive dengan membuat petak contoh penelitian (PCP) berukuran 100m X 100m yang ditempatkan pada petak tebang terpilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah lingkungan meningkat menjadi rata-rata 92,99% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang hanya 89,70%. BIaya penyaradan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah lingkungan meningkat menjadi rata-rata 92,99% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol lebih murah (Rp 22.702/m3) dibandingan dengan kontrol sebesar Rp 33.941/m3. Sedangkan kerusakan tegakan akibat teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah lingkungan lebih rendah (37,67%) dibandingkan teknik penebangan kontrol (38,26%). Kata kunci : hutan alam, pemanenan kayu, zero waste, ramah lingkungan, efisiensi

pemanfaatan kayu, kerusakan tegakan 1. LATAR BELAKANG

Kayu yang dipanen dari hutan alam merupakan sumber utama pasokan

bahan baku industri pengolahan kayu. Kegiatan pemanenan ini hingga kini masih

tetap berjalan, sekalipun jumlah perusahaan hutan maupun kayu hasil produksinya

saat ini sangat jauh berkurang dibanding dengan periode di tahun 1970-1990-an.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016), kekurangan

Page 87: BUKU II - P3HH

84  

bahan baku kayu bulat untuk industri pengolahan kayu mencapai sebanyak ± 32,37

juta m3. Bahkan berdasarkan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu yang

ada saat ini, defisitnya mencapai sebesar 40 juta m3/tahun (Nurrochmat, 2010). Di

sisi lain, secara aktual volume kayu bulat hasil pemanenan dari hutan alam ini

belum dimanfaatkan secara maksimal, limbah tebangannya cukup banyak

sementara kerusakan tegakannya yang terjadi masih cukup besar. Besarnya volume

limbah pemanenan kayu berkisar 11 - 23% atau rata-rata 17% (Soenarno et al.,

2016) sedang kerusakan tegakan yang terjadi juga masih cukup besar berkisar 17 -

40% (Elias, 2016).

Memperhatikan masih cukup besarnya limbah dengan rata-rata sebesar 17%

dan kerusakan tegakan yang terjadi sebesar 17-40%, maka sangatlah diharapkan di

samping besar limbah bisa ditekan untuk bisa membantu menambah pasokan

kekurangan penghara kayu bulat, juga sangat penting agar kerusakan tegakannya

bisa minimal sehingga hutan dapat terus dikelola secara berkelanjutan. Ada

berbagai faktor kemungkinan mengapa limbah tebangan dan kerusakan tegakan

masih tinggi yaitu antara lain karena pengaruh geophisik, biophisik dan utamanya

akibat kesalahan teknik penebangan dan pada cara pembagian batang. Oleh karena

itu, sudah selayaknya perlu dicari solusinya agar limbah semakin jauh berkurang

sementara tegakan tinggalnya tidak banyak mengalami kerusakan yang parah.

Bertolak dari permasalahan tersebut di atas, dicoba dicari solusinya dengan

melakukan penelitian teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah

lingkungan. Sebagai pembanding atas metoda ini juga dilakukan penelitian

pemanenan yang biasa dilakukan perusahaan sebagai kontrol.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Untuk memperoleh informasi teknis, ekonomis dan ekologis, yang

diharapkan hasilnya dapat meningkatkan produksi kayu bulat dari hutan alam tanpa

harus mengorbankan kerusakan tegakan yang berlebihan.

Page 88: BUKU II - P3HH

85  

3. METODE PENELITIAN

Prosedur penelitian dilakukan dengan tahapan penentuan lebih dulu 3 unit

IUPHHK-HA yang telah memiliki sertifikat PHPL, kemudian pada setiap unit

IUPHHK-HA dipilih 6 petak tebang uji coba (PCP) secara purposif, yang didesain

3 PCP sebagai petak coba secara kontrol, dan 3 PCP lagi didesain dengan cara zero

waste. Luas tiap PCP berukuran 100 m X 100 m. Pada tiap PCP dilakukan

penebangan, penyaradan dan jumlah pohon yang rusaknya dihitung. Pengukuran

dan pengumpulan data yang dilakukan meliputi kayu yang dimanfaatkan, kondisi

limbah penebangan (setelah pengujian dan pengukuran/grading scaling) di TPn,

waktu penebangan dan penyaradan serta jarak sarad. Perhitungan volume kayu /

batang yang dimanfaatkan dan limbahnya digunakan rumus empiris Brereton

(Ditjen Pengusahaan Hutan, 1993), sedangkan produktiivitas kerja dan biaya

penebangan serta penyaradan, dihitung menggunakan formula FAO (1992). Biaya

produksi pengeluaran kayu dihitung dari biaya usaha dibagi dengan produktivitas

kerja (Rp/m3).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kendati kegiatan pemanenan kayu di hutan alam telah dilakukan

menerapkan prinsip pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/RIL)

tetapi pelaksanaan di lapangan masih lemah. Hal ini tercermin dari kegiatan

penebangan pohon yang masih sepenuhya diserahkan kepada penebang (operator

chainsaw) tanpa ada kontrol teknik pembagian batang (bucking) yang baik dan

benar. Akibatnya volume kayu yang dimanfaatkan tidak optimal dan meninggalkan

limbah kayu serta kerusakan tegakan yang cukup besar. Di lain pihak, industri

pengolahan kayu terus mengalami defisit bahan baku kayu bulat. Oleh karena itu

upaya perbaikan teknik pemanenan harus terus dilakukan agar produksi kayu hutan

alam meningkat dan aspek kelestarian tetap dapat dijamin. Salah satu upaya

tersebut adalah inovasi teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah

lingkungan.

Teknik pemanena kayu ini sebenarnya merupakan penyempurnaan dari

metode pemanenan kayu tree length logging yang telah dikembangkan oleh Idris

Page 89: BUKU II - P3HH

86  

dan Soenarno pada tahun 2012 sampai 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

efisiensi pemanfaatan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah lingkungan

meningkat menjadi rata-rata 92,99% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang

hanya 89,70%. BIaya penyaradan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah

lingkungan meningkat menjadi rata-rata 92,99% lebih tinggi dibandingkan dengan

kontrol lebih murah (Rp 22.702/m3) dibandingan dengan kontrol sebesar Rp

33.941/m3. Sedangkan kerusakan tegakan akibat teknik pemanenan kayu berbasis

zero waste dan ramah lingkungan lebih rendah (37,67%) dibandingkan teknik

penebangan kontrol (38,26%).

5. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

1) Realisasi pohon yang ditebang dilakukan secara umum berkisar antara

47,7% - 56,6% atau rata-rata 52,2% dan yang tidak ditebang 47,8% diduga

karena growong.,

2) Efisiensi pemanfaatan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah

lingkungan berkisar antara 88,56% - 94,15% dengan rata-rata 92,99% lebih

besar dibandingkan dengan kontrol yang berkisar antara 85,67% - 91,80%

dengan rata-rata 89,70%.

3) Potensi rata-rata limbah batang bebas cabang pada teknik penebangan

berbasisi zero waste dan ramah lingkungan lebih sedikit (0,526 m3/pohon

atau 9,93%) dibandingkan teknik penebangan kontrol (0,863 m3/pohon atau

13,80%).

4) Sebaran limbah kayu batang bebas cabang sebagian besar cacat (41,42 -

57,93%) dan pecah (27,3 – 38,79%) sedangkan yang kondisinya baik

berkisar antara 17,44 -20,74% atau 0,199 – 0,342 m3/pohon dengan rata-

rata 0,313 m3/pohon.

5) Ketiga IUPHHK-HA tidak mengolah potensi limbah berkualitas baik

karena pertimbangan pengenaan tariff PNBP yang mahal.

Page 90: BUKU II - P3HH

87  

6) Produktivitas penyaradan kayu teknik pemanenan kayu berbasis zero waste

dan ramah lingkungan cenderung lebih rendah (26,233 m3/jam)

dibandingkan dengan teknik pemanenan kontrol (27,230 m3/jam).

7) Besarnya biaya penyaradan kayu teknik pemanenan kayu berbasis zero

waste dan ramah lingkungan cenderung lebih murah (Rp 31.523 – Rp

41.830/m3 atau rata-rata Rp 22.702/m3) dibandingkan dengan teknik

pemanenan kontrol (Rp 28.0152 – Rp 37.016/m3 dengan rata-rata

33.941/m3/jam).

8) Kerusakan tegakan akibat teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan

ramah lingkungan lebih rendah (37,67%) dibandingkan teknik penebangan

kontrol (38,26%).

2. Saran

1) Operator chainsaw perlu dilakukan pelatihan atau penyegaran tentang

penerapan teknik penebangan yang baik dan benar.

2) Petugas survey inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) perlu

dibekali tambahan alat khusus pendeteksi pohon growong.

3) Diperlukan komitmen pihak manajemen pemegang IUPHHK-HA dan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dengan dapat

terlaksananya implementasi pengolahan limbah kayu di lapangan.

Page 91: BUKU II - P3HH

88  

Lampiran 9

Gambar 22. Beberapa contoh limbah kayu cacat (A = bengkok, B = berlubang, C = Notch, D = mata buaya

 

Gambar 23. Kondisi ukuran log di TPn (A = Teknik pemanenan kontrol, B = teknik pemanenan Zero waste)

A B

C D

Mata buaya

Mata kayu

A B

Page 92: BUKU II - P3HH

89  

Gambar 24. Kerusakan tegakan akibat pemanenan kayu (A = setelah penebangan, B = setelah penebangan dan penyaradan kayu)

A B

Page 93: BUKU II - P3HH

90  

Judul Kegiatan : Aplikasi Pengembangan Pellet Kayu Dari Biomassa Untuk Masyarakat

Jenis Kegiatan : Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan

RPPI : 2. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator : Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Santiyo Wibowo, S.TP, Prof. Riset. Dr. Gustan Pari, M.Si,

Djeni Hendra, M.Si, Ir. Sofwan Bustomi, M.Si, Yuniawati, S.T.P, M.Si, Nur Adi Saputra, S.Hut, M.S.

ABSTRAK

Masalah utama bahan bakar minyak bumi adalah karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui (non renewable), sehingga perlu disubstitusi oleh bahan bakar alternatif yang dapat dipulihkan atau terbarukan yang berasal dari biomassa. Keuntungan penggunaan biomasa sebagai salah satu bioenergi adalah dapat diperbarui, ramah lingkungan, mengurangi emisi rumah kaca atau gas yang bersift asam, dapat dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia dan dapat secara langsung melibatkan masyarakat. Tetapi biomasa juga mempunyai kekurangan yaitu kadar air tinggi, bentuk dan ukuran yang tidak seragam, densitasnya rendah, yang dapat meningkatkan biaya penyimpanan, penanganan dan transportasi, selain itu mudah diserang mikroba perusak. Salah satu cara penanganan biomasa adalah dengan cara dijadikan pellet kayu (wood pellets). Wood pellet dapat meningkatkan densitas biomassa dan memudahkan dalam transportasi. Tujuan kegiatan pengembangan ini adalah mendapatkan prototype alat produksi pellet kayu untuk bahan bakar yang mudah dan murah diterapkan oleh masyarakat. Sasaran kegiatan diperolehnya prototype alat produksi pellet kayu untuk bahan bakar yang mudah dan murah diterapkan oleh masyarakat. Hasil pengembangan diperoleh dua alat yaitu hammer mill dan alat pembuat pellet kayu. Kapasitas produksi hammer mil sebesar 25 kg/jam dan kapasitas produksi pellet kayu 30 kg/jam menggunakan bahan baku kayu kaliandra. Karakteristik pellet kayu kaliandra adalah kadar air 8,16%, zat terbang 80,64%, kadar abu 2,59% kerapatan 1,127 g/cm3 dan kalor 4363,52 kal/g, emisi CO 1,45 ppm, dan CO2 6,1%. Kata kunci : pellet kayu, biomassa, energi baru terbarukan

1. LATAR BELAKANG

Salah satu bahan bakar alternatif yang berpotensi dikembangkan adalah

pellet kayu. Pellet merupakan bentuk modern dari biomassa yang dipadatkan yang

berasal dari sisa-sisa kayu dan campuran biomassa melalui proses penggilingan,

pengeringan dan pemadatan. Keuntungan dari pemadatan adalah dihasilkannya

produk dengan kepadatan tinggi dibandingkan dengan biomassa yang diproses

dengan cara lainnya dan dihasilkannya produk dengan kandungan energi yang

Page 94: BUKU II - P3HH

91  

tinggi. Pellet kayu tidak hanya dapat diproduksi dari bahan baku kayu saja tetapi

biomassa lainnya seperti limbah kehutanan, pertanian atau perkebunan.

Pusat Litbang Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian pellet kayu tahun

2011 mengenai rekayasa alat wood pellets skala industri kecil dengan sistem pres

hidroulik yang digerakkan oleh elektromotor, dilengkapi dengan pemanas dari

electric heater. Mesin produksi bio-pellets hasil rekayasa berdasarkan hasil uji coba

tahan untuk digunakan selama 8 jam tanpa henti (semi kontinyu). Meskipun

demikian produktivitasnya masih cukup rendah yaitu 2,67 kg/jam (Hendra & Pari,

2011). Untuk dapat diaplikasikan pada masyarakat perlu dilakukan pengembangan

peralatan pellet berupa pembuatan/penyempurnaan alat dengan kapasitas alat yang

lebih besar dan efisien.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan kegiatan pengembangan ini adalah mendapatkan prototipe alat

produksi pellet kayu untuk bahan bakar yang mudah dan murah diterapkan oleh

masyarakat. Sasaran kegiatan diperolehnya prototipe alat produksi pellet kayu

untuk bahan bakar yang mudah dan murah diterapkan oleh masyarakat.

3. METODE PENGEMBANGAN

A. Lokasi Pengembangan

Lokasi kegiatan pembuatan alat hammer mill dan alat pellet dilakukan di

Bogor, sedangkan pengambilan bahan baku kayu kaliandra dilakukan di Sukabumi.

Untuk ujicoba peragaan di lapangan dilakukan oleh masyarakat di Desa Cimaragas

Kabupaten Ciamis.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah bahan besi untuk

pembuatan alat, kayu kaliandra, tepung tapioka. Peralatan yang digunakan

timbangan, disk mill, ayakan, oven dan peralatan gelas kaca.

Page 95: BUKU II - P3HH

92  

C. Stakeholder yang terlibat

Kegiatan pengembangan ini akan melibatkan pemerintah daerah Provinsi

Jawa Barat melalui Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis dan Pemda Kabupaten

Ciamis melalui Kepala Desa Cimaragas Kabupaten Ciamis.

D. Prosedur Kerja

Prosedur kerja terbagi menjadi 5 aspek yaitu; aspek teknis berkaitan dengan

karakteritik alat, karakteristik pellet yang dihasilkan dan hasil uji pembakaran pellet

serta efisiensi energi produksi pellet, aspek sosial masyarakat penerima alat pellet,

aspek ekonomi berkaitan dengan harga pokok produksi pellet, aspek lingkungan

berkaitan dengan emisi pembakaran pellet dan aspek kelembagaan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Aspek Teknis

1) Alat penghancur biomasa (Hammer mill)

Kapasitas produksi hammer mill ini adalah 10-25 kg/jam tergantung dari

ukuran diameter batang kayu. Biomassa kayu dengan diameter batang 3-5 cm

kapasitasnya dapat mencapai 25 kg/jam. Alat ini menggunakan penggerak mesin

diesel 7,5 pk yang mampu beroperasi selama delapan jam/hari. Prinsip kerja alat ini

adalah memberikan pukulan atau tumbukan pada batang kayu menggunakan 12

untaian plat besi dengan ukuran panjang 15 cm, lebar 5 cm dan tebal 1 cm. Plat-plat

besi yang berfungsi sebagai palu dengan kecepatan tinggi. Hasilnya berupa serbuk

kayu dengan ukuran 5-40 mesh.

2) Alat pellet

Untuk memadatkan serbuk biomassa menjadi pellet diperlukan alat pellet.

Alat pellet ini menggunakan diameter piring cetakan (flat die) sebesar 30,5 cm,

dengan ketebalan 3 cm dan diameter wadah 32 cm. Jumlah lubang cetakan pellet

172 buah dengan diameter lubang 8 mm. Tenaga penggerak menggunakan mesin

diesel 19 pk dengan rpm 2200. Prinsip kerja alat ini adalah memadatkan serbuk

biomassa (densifikasi) melalui pergerakan antara roda besi (roller) dan piringan

berlubang (die) dimana sumber pergerakan berada pada die sedangkan roller berada

posisi diam.

Page 96: BUKU II - P3HH

93  

Tekanan dan panas yang dihasilkan dari perputaran roller dan die akan

menyebabkan serbuk kayu memadat sehingga terbentuklah pelet.

Tabel 7. Hasil uji coba alat hammer mill menggunakan beberapa ukuran kayu.

Ukuran

Kondisi mesin

Hasil Panjang (cm) Diameter (cm)

40-50 5-7 Putaran berat dan mesin mati karena terganjal batang kayu

Kayu pecah terbentuk serpihan besar

20-25 5-7 Putaran cukup lancar pada 2-3 kg bahan baku yang dimasukkan, selanjunya putaran menjadi berat dan hammer mill terganjal dan mesin mati

Terbentuk serpihan kecil, tetapi kelancaran produksi terganggu karena mesin mati dan harus menghidupkan kembali mesin setelah batang yang mengganjal di keluarkan

40-50 1-3 Putaran cukup lancar tetapi pada bahan baku berikutnya, putaran hammer terganggu

Terbentuk serbuk 10-15 kg/jam serbuk

20-25 3-5 Putaran hammer mill lancar 15-20 kg/jam serbuk 10-15 1-3 Putaran hammer mill lancar 20-25 kg/jam serbuk

Meskipun di dalam kayu terdapat lignin yang dapat yang berfungsi sebagai

perekat. Akan tetapi penambahan perekat kanji juga diperlukan untuk beberapa

jenis biomassa yang kandungan ligninya rendah. Perekat yang biasa ditambahkan

dalam proses produksi wood pellet adalah perekat kanji (tapioka, sagu, tepung

kentang) dengan jumlah antara 1 s/d 3% b/b. Pada ujicoba pembuatan pellet

menggunakan penambahan perekat tapioka ± 3% dari berat serbuk.

Ujicoba alat pellet menggunakan bahan baku kayu kaliandra dan serbuk

gergaji kayu yang berasal dari saw mill. Sebelumnya bahan baku dikeringkan

sampai mencapai kadar air 10-15%, selanjutnya dibagi menjadi tiga ukuran serbuk

yaitu kasar dimana serbuk gergaji tertahan pada ayakan 40 mesh, serbuk gergaji

yang lolos ayakan 40 mesh dan tertahan di 60 mesh, dan serbuk gergaji yang lolos

ayakan 60 mesh. Untuk memperoleh serbuk yang halus, diperlukan alat disk mill

yaitu alat penghancur biomassa menjadi ukuran yang halus. Selanjutnya serbuk

ditambahkan tepung tapioka antara 1-3% dan minyak goreng bekas pakai antara 1-

Page 97: BUKU II - P3HH

94  

3% b/b yang ditambahkan pada akhir proses. Dengan adanya pelumasan pada akhir

proses diharapkan mesin dapat langsung digunakan pada keesokan harinya.

Tabel 8. Hasil ujicoba alat wood pellet

Ukuran serbuk Kondisi mesin Hasil

30-40 mesh Pergerakan roller dan die beberapa kali macet dan bukaan gas pada mesin diesel harus besar (posisi 3) agar mesin tidak mati karena beratnya beban akibat menggunakan bahan baku yang kasar

3-5 kg/jam

40-60 mesh Bukaan gas pada posisi 2 7-15 kg/jam

>60 mesh Bukaan gas pada posisi 2 20-30 kg/jam

Hasil ujicoba menunjukkan bahwa alat pellet menghasilkan 15-30 kg/jam,

diperoleh dengan menggunakan serbuk kayu berukuran >60 mesh, sedangkan untuk

ukuran 30-60 mesh kapasitas produksinya 3-15 kg/jam. Ukuran serbuk yang halus

lebih mudah menyatu dan membentuk pellet dibandingkan serbuk yang berukuran

besar. Kapasitas alat ini masih mungkin dapat ditingkatkan menjadi 50-75 kg per

jam dengan menggunakan bahan baku dan formulasi lainnya atau menambah daya

dan kekuatan gear box pemutar die dan roller.

Tabel 9. Karakteristik uji laboratorium serbuk dan pellet dari kayu kaliandra

Jenis Bahan Serbuk kayu Pellet Pellet kayu SNI 8021-2014

Kadar air 16,45 8,16 Maksimal 12 Kadar zat terbang 83,63 80,64 Maksimal 80 Kadar abu 0,81 2,59 Maksimal 1,5 Kadar karbon terikat 15,56 16,77 Minimal 14 Kerapatan g/cm3 0,5 1,127 Minimal 0,8 Nilai kalor kal/g 3798,99 4363,52 Minimal 4000

3) Total energi

Total energi yang diperlukan dalam proses pembuatan pellet kayu menjadi

dasar menghitung efisiensi energi produksi pellet (Abdullah et al, 1998). Analisis

energi pembuatan pellet dimulai pada tahap penghancuran, penghalusan,

densifikasi dan pengeringan (Tabel 4).

Page 98: BUKU II - P3HH

95  

Table 10 . Energi input proses pembuatan pellet.

Proses Jumlah (Kg) Total (kkal) Penghancuran kayu 30 10.160 Penghalusan serbuk 30 9148,91 Densifikasi/pellet 30 20.320 Total energi 39.628,91

Berdasarkan hasil perhitungan total energi yang dibutuhkan adalah sebesar

39.628,91 kkal (31,3%), dan energi pellet yang dihasilkan sebesar 126.542,08 kkal.

Dengan demikian energi pembuatan pellet masih lebih kecil dibandingkan dengan

energi yang dihasilkan pellet.

Hasil pengujian menunjukkan waktu rata-rata yang diperlukan pellet untuk

mendidihkan 1,5 liter air menggunakan pellet kaliandra adalah 6,5 menit, pellet

serbuk gergaji 6,9 menit dan pellet komersil membutuhkan 7,3 menit. Laju

konsumsi pembakaran pellet kayu kaliandra sebesar 0,79 kg/jam, pellet serbuk

gergaji 1,11 kg/jam dan 0,82 kg/jam.

B. Aspek Sosial

Aspek sosial pada kegiatan ini diharapkan menjadi penguatan kelompok

tani/masyarakat untuk terwujudnya kemandirian energi pada masyarakat dengan

memanfaatkan kayu/limbah biomassa menjadi bioenergi. Alat penghancur kayu

dan alat pellet diserahterimakan pada kelompok masyarakat Posyan TTG GASMA

(Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna Galuh Siliwangi Manunggal) di Kecamatan

Cimaragas Ciamis yang diketuai oleh Bapak Ujang Solikhin sebagai penerima

hadiah Kalpataru tahun 2010. Kelompok masyarakat tersebut selama ini bergerak

pada pembuatan arang, asap cair dan arang briket beserta peralatannya seperti tanur

pengarangan, alat pencetak briket, dan disk mill penghalus arang. Dengan adanya

bantuan alat hammer mill dan alat pellet kayu beserta teknologi pembuatannya

diharapkan dapat lebih memberdayakan masyarakat dalam penganekaragaman

energi biomassa menuju kemandirian energi dan kedepannya dapat menurunkan

angka perusakan hutan dari pengambilan kayu bakar dan terkendalinya masalah

limbah, sehingga terjaga kebersihan lingkungan dan kelestarian alam.

Page 99: BUKU II - P3HH

96  

C. Aspek Ekonomi

Secara ekonomi kegiatan aplikasi pellet kayu untuk masyarakat dapat

menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Kegiatan

kelompok masyarakat selama ini melibatkan 8-13 orang dalam produksi briket

arang yang terbagi dalam kegiatan pembuatan arang, penggilingan arang,

pengadukan arang, pencetakan arang arang, penjemuran dan pengepakan. Dengan

adanya tambahan alat akan membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar.

Sebagai perkiraan penentuan harga pokok produksi (HPP) pellet kayu,

dilakukan analisis ekonomi sederhana. Dalam analisis ini digunakan asumsi-

asumsi untuk memperkirakan harga jual pellet ditingkat konsumen. Hasil

perhitungan diperoleh HPP sebesar Rp.1150/kg. Untuk memperoleh keuntungan

yang layak, maka diasumsikan laba yang diperoleh sebesar 40% dari harga pokok

produksi. Sehingga harga jual yang layak adalah Rp. 1610. Jika produksi per jam

dari alat pellet ditingkatkan menjadi 50-75 kg/jam, atau menggunakan lebih dari

satu unit alat, maka nilai HPP akan lebih rendah lagi.

D. Aspek Lingkungan

Emisi Hasil Pembakaran Pellet

Secara umum pembakaran biomassa akan menghasilkan emisi berupa CO,

CO2, hidrokarbon, O2 dan sebagainya. Menurut Nukman (2009), pengukuran emisi

bertujuan untuk mengetahui hasil emisi yang dihasilkan sudah memenuhi standar

emisi atau tidak dan bagaimana keamanannya di lingkungan.

Tabel 11. Hasil uji emisi pembakaran pellet kayu

Jenis Bahan Bakar CO (ppm)

CO2 (%)

O2

(%) Pellet serbuk gergaji campuran 0,48 1,2 18,76 Pellet serbuk kayu kaliandra 1,45 6,1 14,88 Pellet komersial 1,88 7,16 13,65 Pellet kulit kacang tanah 2,60(a) 2,16 2,56 Pellet bagase 16,33(b) - - Briket batubara 970(c) 10,97 -

Sumber : (a) Lubis (2015), (b) Nukman (2010), (c) Djayanti et al. (2010)

Hasil pengukuran emisi (Tabel 5) menunjukkan hasil kadar CO berkisar

0,48 – 1,88 ppm, kadar CO2 berkisar 1,2-7,16%. Untuk standar CO sesuai lampiran

PP No 41 Tahun 1999 di dalam Permen LH No. 12 Tahun 2010, disebutkan standar

Page 100: BUKU II - P3HH

97  

CO maksimal 26,2-30 ppm, maka hasil pellet yang dianalisis telah memenuhi

standar. Tetapi untuk kadar CO2 jika dibandingkan dengan standar SNI 0231-2005

(tentang nilai ambang batas zat kimia di udara tempat kerja) yang menyebutkan

standar CO2 maksimal 0,9% maka semua jenis pellet yang dianalisis tidak

memenuhi standar. Kadar CO dan CO2 pellet kayu kaliandra lebih baik daripada

pellet komersial.

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata emisi gas CO yang dihasilkan

pada pembakaran serbuk gergaji campuran lebih rendah daripada 2 bahan wood

pellet lainnya. Rendahnya gas CO dari hasil pembakaran mengindikasikan telah

terjadi pembakaran sempurna dimana gas CO mendorong pembentukkan CO2

menjadi lebih besar (ditunjukkan pada Tabel 2 dimana gas CO2 sebesar 1,2% > dari

gas CO 0,48 ppm). Proses pembakaran dikatakan sempurna bila campuran bahan

bakar dan udara dapat terbakar seluruhnya pada waktu dan keadaan yang

dikehendaki. Konsentrasi CO yang rendah dengan meningkatnya CO2 karena

pembakaran terjadi pada keadaan kaya oksigen sehingga terjadi pembakaran

sempurna. Secara umum asap berwarna hitam yang keluar dari saluran pembakaran

menunjukkan bahwa proses pembakaran berlangsung kurang sempurna (Sugiharto,

2016).

Menurut Terroka (2009), biomassa wood pellet secara signifikan

mempunyai emisi yang lebih rendah dari pada kayu bakar. Kualitas wood pellet

dapat ditentukan dari bahan baku dan proses produksi dan Ollson (2002)

mengemukakan bahwa pembakaran wood pellet menghasilkan emisi yang rendah

dan ramah lingkungan.

E. Aspek Kelembagaan dan Kebijakan

Aspek kelembagaan dalam pengolahan biomassa menjadi produk bernilai

ekonomi terdiri dari kelompok masyarakat yang bernama Pos Pelayanan Teknologi

Tepat Guna (Posyantek) Galuh Siliwangi Manunggal di Desa Cimaragas,

Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis, yang dibentuk melalui SK Kepala Desa

Cimaragas No. 147/Kpts-16/DS/2015 pada tanggal 10 Mei 2015. Kemudian Tim

Pembinaan tingkat kecamatan Cimaragas dimana Camat sebagai Pembina dan

mengendalikan arah kebijakan kelompok masyarakat tersebut. Kelompok

Page 101: BUKU II - P3HH

98  

masyarakat Posyantek ini diketuai oleh Ujang Solikhin. Adapun perangkatnya

adalah bendahara, sekretaris dan terdapat tiga seksi yaitu seksi pelayanan teknologi

tepat guna dan usaha, seksi kemitraan dan seksi pengembangan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kegiatan pengembangan telah menghasilkan prototipe alat hammer mill dan

alat pellet kayu. Kapasitas produksi hammer pellet 25 kg/jam dan alat pellet sebesar

30 kg/jam menggunakan bahan baku kayu kaliandra. Karakteristik pelletnya adalah

kadar air 8,16%, zat terbang 80,64%, kadar abu 2,59% kerapatan 1,127 g/cm3 dan

kalor 4363,52 kal/g. Aplikasi pembakaran pellet kayu kaliandra pada pemasakan

air menghasilkan laju konsumsi sebesar 0,78 kg/jam, menghasilkan emisi CO

sebesar 1,45 ppm, CO2 6,1% dan O2 14,88%. Penyerahan alat hammer mill dan

alat pellet kayu kepada masyarakat dapat membuka lapangan kerja baru dan

mendorong masyarakat dalam pemanfaatan limbah biomassa untuk kemandirian

energi.

B. Saran

Disarankan untuk menggunakan biomassa batang kayu dengan ukuran

diameter < 5 cm dan panjang < 10 cm agar memudahkan proses penghancuran

biomassa kayu.

Page 102: BUKU II - P3HH

99  

Lampiran 10

Gambar 25. Kayu dan Serbuk Kaliandra

Gambar 26. Hammer Mill dan Alat Pellet

Gambar 27. Pellet kayu kaliandra

Page 103: BUKU II - P3HH

100  

Judul Kegiatan : Pilot IPTEK Bioetanol Aren Jenis Kegiatan : Penyempurnaan Reaktor Bioetanol RPPI : 2. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator : Dr. Ir. Yulianti, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dra. Sri Komarayati, Djeni Hendra, MSi., Dr. Ina

Winarni, MSi., Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si., Dra. Gusmailina, M.Si., Heru Satrio Wibisono, S.Hut., Ir. Rina Aprisanti, MA.

ABSTRAK

Aren merupakan tanaman yang kaya manfaat. Salah satu bagian yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan bernilai tinggi adalah nira aren. Nira aren dapat diolah menjadi bioetanol. Bioetanol dapat digunakan sebagai campuran premium atau bahan bakar kompor. Tujuan kegiatan pengembangan ini adalah penyempurnaan alat pengolah bioetanol dan alih iptek pembuatan bioetanol dari aren. Kegiatan pengembangan ini meliputi pembuatan alat produksi bioetanol, kemudian di uji coba dengan bahan baku nira aren. Alat pengolah bioetanol yang digunakan merupakan penyempurnaan dari tahun sebelumnya. Penyempurnaan terdapat pada alat destilasi. Produksi bioetanol aren dengan reaktor P3HH-3 menghasilkan rendemen sebesar 18%. Kegiatan ujicoba bioetanol aren dilakukan di Kabuaten Boalemo dengan melibatkan KTH Aren Maju Bersama dan Aren Usaha Bersama. Ujicoba bioetanol aren pada kompor modifikasi tidak mengalami kendala. Kata kunci : alat, bioetanol, alih teknologi, ujicoba, nira aren 1. LATAR BELAKANG

Saat ini di Indonesia telah dibangun beberapa pabrik bioetanol plant dengan

kapasitas mulai dari 300 liter/hari dengan system batch sampai dengan 600 ton/hari

dengan system kontinyu sebagai langkah awal untuk pengembangan selanjutnya ke

skala komersial. Keputusan kebijakan untuk menentukan kelayakan penggunaan

bioetanol secara umum perlu dilandasi suatu kajian yang mendalam dengan

mempertimbangkan penguasaan teknologi, nilai ekonomis, kontinuitas suplai dan

manfaat lain dari penggunaan bioetanol tersebut. Berdasarkan uraian tersebut,

bioetanol merupakan energi alternatif yang layak untuk dikembangkan. Oleh

karena itu, untuk mendukung keberhasilan produksi bioetanol telah dibuat alat

pengolah yang praktis, aplikatif guna menghasilkan rendemen bioetanol yang

tinggi, dan alat tersebut akan di uji coba di beberapa daerah.

Aren menjadi salah satu tanaman yang memiliki ragam manfaat. Salah

satunya adalah menghasilkan nira yang dapat diolah menjadi produk yang bernilai

Page 104: BUKU II - P3HH

101  

tinggi, yaitu bioetanol. Bioetanol dapat dijadikan sebagai energi alternatif pengganti

gas elpiji untuk rumah tangga.

2. LATAR BELAKANG

Tujuan kegiatan ini adalah penyempurnaan alat pengolah bioetanol dari nira

aren dan uji coba bioetanol pada kompor rumah tangga sedangkan sasarannya

adalah terlaksananya penyempurnaan alat pengolah bioetanol aren dan ujicoba

pada kompor rumah tangga.

3. METODE PENGEMBANGAN

A. Ruang Lingkup

1) Penyempurnaan desain alat/mesin produksi bioetanol;

2) Uji coba alat produksi bioetanol;

3) Uji coba/aplikasi penggunaan bioetanol pada kompor.

B. Aspek Teknis

1) Bahan dan Peralatan

Bahan baku yang digunakan dalam kegiatan ini adalah nira aren, ragi dan

lain-lain. Peralatan yang digunakan antara lain alat/mesin produksi

bioetanol, pH meter, termometer, kertas saring, gelas piala, gelas ukur dan

lain-lain.

2) Lokasi Kegiatan

Kegiatan ini dilakukan di Gorotalo, Jawa Barat dan Riau. Pengujian reaktor

bioetanol aren dilakukan di Laboratorium Bioenergi, Pusat Litbang Hasil

Hutan, Bogor.

C. Aspek Sosial

Pengolahan nira aren menjadi bioetanol, dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat karena bioetanol dapat dijual dengan harga yang layak.

Page 105: BUKU II - P3HH

102  

D. Aspek Ekonomis

Bioetanol yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk

memasak (kompor). Harganya lebih murah daripada menggunakan gas LPG. Jadi

dapat menghemat pengeluaran sehari-hari.

E. Aspek Lingkungan

Bioetanol aren merupakan sumber energi terbarukan yang tersedia dengan

menggunakan bahan baku aren. Bioethanol aren tidak akan merusak lingkungan.

Selain itu, akan dilakukan uji emisi terhadap penggunaan bioetanol aren.

F. Aspek Kelembagaan/Kebijakan

Mengacu pada PP no 79/ tahun 2014, kebijakan energi nasional menentukan

target energi terbarukan pada tahun 2025 adalah sebesar 23%.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Rancang Bangun Reaktor

Gambar 28. Reaktor Bioetanol tipe P3HH-3

Penyempurnaan reaktor terdapar pada beberapa bagian, yaitu:

1) Pendingin (condenser)

‐ Disempurnakan dengan menggunakan sensor air, sehingga akurasi suhu

pendinginan uap etanol terkontrol secara otomatis (Pendingin1)

‐ Disempurnakan dengan dibuat penampung etanol yang dilengkapi

dengan alkoholmeter (Pendingin 2)

Page 106: BUKU II - P3HH

103  

2) Pipa laju alir uap etanol; ukuran pipa pada alat destilasi diperbesar menjadi

2,5 inch. Tujuannya untuk memperlancar laju uap etanol.

3) Pipa spiral di dalam pendingin; pipa spiral di dalam penndingin 1 dan 2

diperbesar ukurannya.

B. Ujicoba Reaktor P3HH-3

Reaktor P3HH-3 dilakukan uji coba untuk memproduksi bioetanol dari nira

aren. Kapasitas reaktor 60 liter ujicoba dengan nira aren sebanyak 60 liter.

Berdasarkan hasil ujicoba didapatkan rendemen alat sebesar 18% dan kadar etanol

sebesar 70%. Rendemen tersebut lebih tinggi jika dibandingan dengan alat

sebelumnya (P3HH-2), yaitu sebesar 15%. Kadar etanol tersebut masih dapat

ditingkatkan melalui proses dehidrasi hingga mencapai 99,5%.

(a) (b)

Gambar 29. Proses produksi bioetanol aren (a); Pengukuran kadar etanol (b) C. Ujicoba Bioetanol Aren

Kegiatan ini melibatkan 2 (dua) kelompok tani aktif, yaitu Kelompok Tani

Hutan (KTH) Aren Maju Bersama yang terdiri dari 25 orang dan KTH Aren Usaha

Bersama yang terdiri dari 25 orang. Peserta alih teknologi antusias mengikuti

rangkaian acara yang mendeskripsikan potensi aren sebagai tambahan sumber

pendapatan baru.

Page 107: BUKU II - P3HH

104  

(a) (b)

Gambar 30. (a). Peneliti Bioetanol P3HH menjelaskan cara kerja alat pengolah P3HH (b). Peserta ujicoba melakukan demo masak dengan kompor bioetanol aren

Dengan teknologi pengolahan aren yang diadopsi, 25 liter nira aren akan

menghasilkan minimal 2 liter bioethanol. Berarti, bioethanol yang dihasilkan

216.000 liter/bulannya. 1 liter bioethanol mix yang memiliki kinerja setara dengan

gas 3 kg seharga 20 ribu rupiah ini akan membuka peluang pasar bioethanol mix

sebagai alternatif bahan bakar selain gas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,

dimana 60% penduduk menggunakan gas. Selain sebagai energi alternatf, aren juga

memiliki diversifikasi produk potensial antara lain nata pinnata, gula aren, gula

semut dan kolang-kaling.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Reaktor pengolah bioetanol aren disempurnakan pada bagian alat

destilasinya dengan mengubah ukuran pendingin dan pipa uap etanolnya.

2) Reaktor P3HH-3 menghasilkan bioetanol aren dengan rendemen 18%.

3) Ujicoba bioetanol aren dilakukan di Kabupaten Boalemo dengan

melibatkan KTH Aren Maju Bersama dan Aren Usaha Bersama.

4) Aplikasi bioetanol aren pada kompor modifikasi tidak mengalami kendala.

Page 108: BUKU II - P3HH

105  

B. Saran

1) IPTEK Bioetanol aren dengan reaktor P3HH perlu disebarluaskan ke

daerah lain dengan potensi aren yang melimpah.

2) Reaktor perlu diujicoba dengan jenis nira lainnya agar diketahui rendemen

alat dan kadar bioetanol yang dihasilkan

Page 109: BUKU II - P3HH

106  

Judul Kegiatan : Aplikasi Pengembangan Arang Terpadu (2017) Jenis Kegiatan : Pilot IPTEK Arang Terpadu RPPI : 2. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator : Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si., M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dra. Gusmailina, M.Si., Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si., Dra.

Sri Komarayati, N. Jaojah, SP.

ABSTRAK

Arang terpadu merupakan teknologi yang dalam proses pembuatan dan aplikasi dilakukan secara terpadu, merupakan teknologi terapan yang ramah lingkungan karena menggunakan bahan baku limbah, menghasilkan arang, arang kompos dan asap cair. Prosesnya rendah emisi karena asap dari pembakaran di kondensasikan sehingga berubah menjadi cairan yang disebut asap cair. Produk arang terpadu sangat tepat digunakan untuk perbaikan kondisi lahan yang rusak, lahan bekas tambang dan miskin hara. Demikian juga untuk budidaya tanaman, dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sehingga perlu disosialisasikan secara luas karena teknologi yang menghasilkan arang kompos dan asap cair ini dapat menggantikan keberadaan pupuk kimia secara total. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH), telah mensosialisasikan teknologi ini sejak tahun 2000-an, baik pada berbagai instansi terkait, maupun pada kelompok-kelompok masyarakat dan kelompok tani. Beberapa diantara kelompok maupun perorangan bahkan telah memperoleh penghargaan dari pemerintah diantaranya sebagai kelompok terbaik tingkat nasional sekaligus juga penghargaan bagi penyuluh pembina kelompok karena telah berhasil mengembangkan teknologi arang terpadu. Kegiatan ini bertujuan 1) mengadakan pilot Iptek arang terpadu dalam rangka sosialisasi, alih Iptek dan aplikasi teknologi arang terpadu di beberapa lokasi yang ditetapkan; 2) Demplot aplikasi produk arang terpadu di Kabupaten Cianjur pada beberapa jenis tanaman; 3) Evaluasi perkembangan iptek arang terpadu di beberapa lokasi. Salah satu luaran yang ingin dicapai adalah selain terselenggaranya kegiatan alih Iptek arang terpadu, juga demplot aplikasi produk arang terpadu di Kabupaten Cianjur pada tanaman padi dan kopi, yang diharapkan dapat menjadi pe rcontohan bagi masyarakat sekitar. Testmoni masyarakat di Kabupaten Karo yang telah berhasil mengembangkan asap cair, penggunaan asap cair 1-2% dapat meningkatkan produksi tanaman, 3-4% dapat mengusir serta mengendalikan hama/penyakit tanaman. Demikian juga aplikasi asap cair yang telah dikembangkan di KPH Lakitan, dapat meningkatkan produktivitas tanaman sawit. Hasil aplikasi pada demplot padi di kabupaten Cianjur dapat meningkatkan produksi dan pendapatan, secara finansial keuntungan meningkat hingga Rp.2,7 juta dibanding kontrol atau setara dengan Rp12-27 juta/ha. Demikian juga aplikasi pada demplot kopi aplikasi arkoba dan asap cair dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman 2 kali lebih baik dibanding tanpa pemberian arkoba dan asap cair. Kata kunci : arang terpadu, arang kompos, asap cair, sosialisasi,demplot 1. LATAR BELAKANG

Arang terpadu merupakan teknologi yang dalam proses pembuatan dan

aplikasi dilakukan secara terpadu, merupakan teknologi terapan yang ramah

Page 110: BUKU II - P3HH

107  

lingkungan karena menggunakan bahan baku limbah, menghasilkan arang, arang

kompos dan asap cair. Prosesnya rendah emisi karena asap dari pembakaran di

kondensasikan sehingga berubah menjadi cairan yang disebut asap cair. Produk

arang terpadu sangat tepat digunakan untuk perbaikan kondisi lahan yang rusak,

lahan bekas tambang dan miskin hara. Demikian juga untuk budidaya tanaman,

dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sehingga perlu disosialisasikan secara

luas karena teknologi yang menghasilkan arang kompos dan asap cair ini dapat

menggantikan keberadaan pupuk kimia secara total.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH), telah melakukan

sosialisasi teknologi ini sejak tahun 2000-an, baik pada berbagai instansi terkait,

maupun pada kelompok-kelompok masyarakat dan kelompok tani. Beberapa

diantara kelompok maupun perorangan bahkan telah memperoleh penghargaan dari

pemerintah diantaranya sebagai kelompok terbaik tingkat nasional sekaligus juga

penghargaan bagi penyuluh pembina kelompok karena telah berhasil

mengembangkan teknologi arang terpadu.

2. TUJUAN DAN SASARAN

Kegiatan ini bertujuan 1) mengadakan pilot Iptek arang terpadu dalam

rangka sosialisasi, alih Iptek dan aplikasi teknologi arang terpadu di beberapa lokasi

yang ditetapkan; 2) Demplot aplikasi produk arang terpadu di Kabupaten Cianjur

pada beberapa jenis tanaman; 3) Evaluasi perkembangan iptek arang terpadu di

beberapa lokasi. Salah satu luaran yang ingin dicapai adalah selain terselenggaranya

kegiatan alih Iptek arang terpadu, juga demplot aplikasi produk arang terpadu di

Kabupaten Cianjur pada tanaman padi dan kopi, yang diharapkan dapat menjadi

percontohan bagi masyarakat sekitar.

Dampak kegiatan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan

kemandirian masyarakat, dalam upaya pelestarian SDA; meningkatnya

pemahaman masyarakat dalam pengelolaan limbah biomasa menjadi produk yang

bermanfaat, sehingga selain lingkungan terjaga kebersihan, juga produk dari arang

terpadu bisa digunakan sendiri atau dijual, dan lebih lanjut dapat menjadi sumber

pendapatan tambahan keluarga; serta menjadi contoh bagi masyarakat sekitar,

Page 111: BUKU II - P3HH

108  

bahwa produk arang terpadu (arang kompos dan asap cair) dapat digunakan sebagai

pengganti pupuk kimia dan pestisida.

3. METODE PENGEMBANGAN

Kegiatan ini mencakup diseminasi dan alih Iptek meliputi: pembuatan

arang, arang kompos dan asap cair. Selanjutnya arang, arang kompos dan asap cair

diaplikasikan pada tanaman pertanian/pangan/perkebunan/kehutanan. Lokasi

kegiatan antara lain : (1) Desa Singa, Kabupaten Karo (Sumatera Utara); (2) Desa

Kertajaya Ciranjang, Kabupaten Cianjur (Jawa Barat), (3) KPHP Lakitan. Ruang

lingkup kegiatan mencakup pengadaan 2 set alat/tungku stainless di Desa Singa

(Kabupaten Karo); 2 set alat/tungku stainless di Kabupaten Cianjur; 2 set

alat/tungku konvensonal di Kabupaten Cianjur; 2 unit mesin cacah kompos untuk

dihibahkan pada kelompok masyarakat di Cianjur dan Lakitan. Kegiatan juga

mencakup alih teknologi, demo pembuatan arang, asap cair dan arkoba, aplikasi

produk arang terpadu pada demplot padi dan kopi di kabupaten Cianjur.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tanggal 20-21 April 2017 telah diselenggarakan kegiatan Alih

Teknologi Pilot IPTEK Arang Terpadu kepada para Penyuluh dan masyarakat di

Desa Singa, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo. Alih teknologi ini merupakan

yang keempat di Kabupaten Karo, setelah pada tahun 2016 dilaksanakan di 3 tempat

yaitu kawasan relokasi Siosar, Desa Sugihen dan Desa Simpang Selakar. Acara

Alih Teknologi dibuka secara resmi oleh Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang

Jaringan Kerjasama Masyarakat dan Daerah dan dihadiri oleh Asisten 3 Bupati

Karo, unsur Kodim Karo, unsur Polres Karo, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten

Karo, Dinas Pertanian Kabupaten Karo, BPHP Medan, BPDASHL Wampu Sei

Ular, Balai Litbang KLHK Aeknauli, Camat Tigapanah, tokoh masyarakat

kecamatan Tigapanah, Juhar dan Munthe, para Penyuluh Pertanian dan Kehutanan,

serta masyarakat dari desa Singa, Desa Sugihen dan Simpang Selakar. Testimoni

oleh petani Desa Sugihen dan petani Desa Munthe (Kabupaten Karo), yang telah

berhasil mengembangkan asap cair dengan bahan baku kayu alpukat, kayu cokelat

Page 112: BUKU II - P3HH

109  

dan kayu caliandra, telah membuktikan bahwa dengan penggunaan asap cair 1-2%

dapat meningkatkan produksi tanaman, dan penggunaan asap cair 3-4% dapat

mengusir serta mengendalikan hama/penyakit tanaman. Demikian juga aplikasi

asap cair yang telah dikembangkan di KPH Lakitan dengan bahan baku limbah kayu

karet, dapat meningkatkan produktivitas tanaman sawit.

Pada tanggal 19 Juli 2017 telah dilaksanakan ekspose panen padi hasil

aplikasi IPTEK arang terpadu berupa Arang Kompos Bioaktif (Arkoba) sebagai

penyubur tanah dan asap cair juga sebagai penyubur sekaligus pengendali

hama/penyakit tanaman di lingkungan pondok pesantren Miftahul Huda Al-Musri

Desa Kertajaya, Kec. Ciranjang Kab. Cianjur. Panen padi dihadiri antara lain oleh

Staf Ahli Bidang Pangan KLHK, Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Jaringan dan

Kerjasama Masyarakat Daerah, Wakil Bupati Cianjur beserta jajarannya,

perwakilan Dinas Kehutanan Prov. Jawa Barat beserta jajarannya, para Penyuluh

Kehutanan dan Penyuluh Pertanian, Kelompok Tani/Tani Hutan, santri Al-Musri,

aparat keamanan setempat juga dari jajaran awak media yaitu antara lain: TVRI,

DAAI TV, Metro TV, NET TV, Agro Indonesia dan Warta Ekspres serta media

lokal lainnya. Kelompok tani yang berkesempatan hadir yaitu dari Kelompok Tani

Itikurih Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kelompok Tani KWT Dewi Sri,

Desa Bojong Picung, Kecamatan Ciranjang, Kelompok Tani Tunas Harapan, Desa

Karya Mukti, Kecamatan Campaka, Kelompok Tani Generasi Tani, Desa Karya

Mukti, KecamatanCampaka dan Kelompok Tani Serpong, Desa Babakan Karet,

Kecamatan Cianjur.

Kegiatan aplikasi arang kompos bioaktif (Arkoba) dan asap cair pada

tanaman padi di Cianjur tersebut telah dilaksanakan 3 kali ulangan panen padi sejak

tahun 2016 pada demplot tanaman padi seluas 4.000 m2 milik Kelompok Tani

Itikurih, dengan kualitas padi yang dihasilkan lebih baik dibanding dengan

mempergunakan pupuk kimia. Selain itu tanaman padi tahan dari serangan hama

penyakit, kualitas bulir gabah lebih berisi, dimana rendemen beras perkuintal gabah

bisa mencapai 75%, dibanding dengan menggunakan pupuk kimia hanya bisa

memperoleh 65%. Rata-rata pertumbuhan tanaman padi di demplot desa Ciranjang,

jumlah batang per rumpun mencapai 32-55 batang untuk perlakuan arkoba+asap

Page 113: BUKU II - P3HH

110  

cair, sedangkan yang menggunakan pupuk kimia 29 batang per rumpun. Jumlah

bulir padi per tangkai yang menggunakan arkoba+asap cair mencapai 174 butir,

yang menggunakan pupuk kimia rata-rata 144 butir. Hasil Panen pakai arang

kompos+asap cair 627 kg, yang tanpa arang kompos produksi 596,kg dari luas

lahan 0,1 ha dilahan pesantrren pada Juli 2017.

Analisis finansial secara global dari demplot menunjukkan bahwa aplikasi

produk arang terpadu berupa arkoba dan asap cair meningkatkan keuntungan

hingga Rp.2,7 juta dibanding kontrol atau setara dengan Rp12-27 juta/ha. Demikian

juga Pertumbuhan tanaman kopi pada demplot di desa Karyamukti, Kabupaten

Cianjur menunjukkan rata-rata pertambahan tinggi tanaman yang ditanam

menggunakan arkoba dan asap cair adalah = 28,76 cm, dan pertambahan diameter

batang tanaman = 3,89 mm, sedang blanko (kontrol) rata-rata pertambahan tinggi

tanaman = 13,84 cm, dan diameter 1,8 mm. Dengan demikian aplikasi arkoba dan

asap cair pada kopi selama 5 bulan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman 2

kali lebih baik dibanding tanpa pemberian arkoba dan asap cair.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Diseminasi dan alih Iptek meliputi: pembuatan arang, arang kompos dan

asap cair yang dilakukan di desa Singa,Kecamatan Tiga panah, Kabupaten

Karo telah terlaksana dengan lancar, yang dihadiri oleh penyuluh dan

masyarakat sekitar.

2) Rata-rata pertumbuhan tanaman padi di demplot desa Ciranjang, jumlah

batang per rumpun mencapai 32-55 batang untuk perlakuan arkoba+asap

cair, sedangkan yang menggunakan pupuk kimia 29 batang per rumpun.

Jumlah bulir padi per tangkai yang menggunakan arkoba+asap cair

mencapai 174 butir, yang menggunakan pupuk kimia rata-rata 144 butir.

Hasil Panen pakai arang kompos+asap cair 627 kg, yang tanpa arang

kompos produksi 596,kg dari luas lahan 0,1ha dilahan pesantrren pada Juli

2017. Analisis finansial secara global dari demplot menunjukkan bahwa

aplikasi produk arang terpadu berupa arkoba dan asap cair meningkatkan

Page 114: BUKU II - P3HH

111  

keuntungan hingga Rp.2,7 juta dibanding kontrol atau setara dengan Rp12-

27 juta/ha.

3) Pertumbuhan tanaman kopi pada demplot di desa Karyamukti, Kabupaten

Cianjur menunjukkan rata-rata pertambahan tinggi tanaman yang ditanam

menggunakan arkoba dan asap cair adalah = 28,76 cm, dan pertambahan

diameter batang tanaman = 3,89 mm, sedang blanko (kontrol) rata-rata

pertambahan tinggi tanaman = 13,84 cm, dan diameter 1,8 mm.

4) Kegiatan alih teknologi arang terpadu di KPH Lakitan merupakan lanjutan

dari kegiatan sebelumnya. Pada tahun 2017, kegiatan lebih difokuskan pada

proses pembuatan arang kompos bioaktif (arkoba), dengan menghibahkan

1 unit alat chopper utntuk mendukung kelancaran pembuatan dan

pengembangan arkoba selanjutnya. Pembuatan asap cair berbahan baku

kayu karet hasil peremajaan sudah dikembangkan oleh masyarakat dibawah

bimbingan dari KPH lakitan.

B. Saran

1) Kegiatan alih teknologi dilanjutkan pada tahun 2018 di lokasi Karo, sesuai

dengan kesepakatan kerja dengan Pemda setempat, dalam rangka

mensosialisasikan penggunaan produk arang terpadu untuk mendukung

budidaya organis.

2) Monitoring pada demplot padi di desa Ciranjang untuk mengetahui lanjutan

perkembangan optimalisasi penggunaan alat produksi arang terpadu dalam

menunjang budidaya organik. Demplot tanaman kopi dilanjutkan untuk

mengetahui pengaruh penggunaan produk arang terpadu pada budidaya

kopi di desa Karyamukti, Kabupaten Cianjur.

3) Monitoring perkembangan optimalisasi penggunaan alat produksi arang

terpadu di KPH lakitan

4) Melanjutkan upaya peningkatan kualitas asap cair menjadi nano fertilizer

cair, bekerjasama dengan fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang.

Page 115: BUKU II - P3HH

112  

Lampiran 11.

Gambar 31. Praktek Pembuatan Arang dan Asap Cair

Gambar 32. Praktek Pembuatan Arang Kompos Bioaktif

Page 116: BUKU II - P3HH

113  

Judul Kegiatan : Pilot IPTEK Biodiesel Nyamplung Jenis Kegiatan : Penyempurnaan Reaktor Biodiesel RPPI : 2. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator : Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si., M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Djeni Hendra M.Si., Prof. Ris. Dr. Gustan Pari, M.Si.,

Dr. Saptadi Darmawan, M.Si., Heru Satrio Wibisono, S.Hut., Riki Nelson, ST.

ABSTRAK

Kemajuan teknologi industri dan bertambahnya jumlah penduduk sejalan dengan meningkatnya konsumsi energi. Saat ini, Indonesia merupakan negara dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap konsumsi energi fosil. Disisi lain, produksi dan cadangan bahan bakar fosil semakin berkurang. Dalam mengolah biodiesel diperlukan ketersediaan reaktor yang memadai. Untuk memenuhi kebutuhan produksi biodiesel dilakukan pengembangan melalui penyempurnaan reaktor. Penyempurnaan terdapat pada tabung reaktornya, yaitu reaktor multi fungsi yang terdiri dari satu tabung menjadi reaktor yang memiliki 2 tabung dengan sistem semi kontinyu. Masing-maisng tabung berkapasitas 100 liter. Tabung 1 berfungsi sebagai reaktor estrans dan tabung 2 berfungsi sebagai reaktor pemurnian. Reaktor hasil pengembangan diujicobakan dengan menggunakan bahan baku buah nyamplung yang diperoleh dari Purworejo dan Batukaras. Proses pengolahan biodiesel nyamplung menggunakan reaksi transesterifikasi. Hasil pengolahan menyatakan bahwa proses produksi menghasilkan biodiesel minyak nyamplung dengan rendemen 68%. Biodiesel minyak nyamplung yang dihasilkan memiliki karakteristik yang memenuhi SNI. Biodiesel nyamplung telah diaplikasi pada mesin traktor pertanian dan mesin tambak udang di Desa Batukaras.

Kata kunci: Biodiesel, reaktor, nyamplung, ujicoba, aplikasi.

1. LATAR BELAKANG

Kemajuan teknologi industri dan pertambahan populasi penduduk sejalan

dengan konsumsi energi. Sampai saat ini, Indonesia bahkan dunia belum terlepas

dari ketergantungan energi fosil (minyak bumi, gas bumi, batubara). Hasan et al.

(2012) menyatkan bahwa selama ini sebagian besar sumber energi menggunakan

bahan bakar fosil yang jumlahnya semakin menipis. Hal ini mendorong kita

mencari berbagai cara untuk menghemat penggunaan minyak bumi serta

menciptakan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil. Pengolahan

Page 117: BUKU II - P3HH

114  

energi terbarukan di Indonesia diatur dalam PP No. 79 Tahun 2014 Tentang

Kebijakan Energi Nasional. Berdasarkan PP tesebut, Dewan Energi Nasional

menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan menetapkan target

bahwa pada tahun 2025 energi terbarukan memberikan kontribusi sebesar 23% dan

31% pada tahun 2050.

Penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan polusi yang

ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung

maupun dampak tidak langsung kepada kesehatan manusia. Polusi langsung bisa

berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrokarbon), juga

unsur metalik seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas

merupakan ledakan CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global

Warming Potential). Kesadaran terhadap ancaman polusi tersebut telah

mengintensifkan berbagai penelitian yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber

energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih

terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan (Susilo, 2007).

Kelangkaan energi fosil dapat diantisipasi dengan pengelolaan energi

terbarukan yang memanfaatkan biomassa tanaman hutan. Nyamplung

(Callophylum inophylum) merupakan tanaman prospektif yang dapat diolah

menjadi bioenergi, terutama biodiesel. Kandungan lemak dalam biji nyamplung

dapat dikonversi menjadi biodisel berstandar SNI. Teknologi pengolahan

nyamplung dilakukan dengan proses transesterifikasi (ESTRANS) yang

dimodifikasi sehinga menghasilkan kualitas biodiesel yang memenuhi SNI.

Biodiesel nyamplung dapat dijadikan sebagai substitusi minyak solar. Konsumsi

minyak solar nasional sangat vital di bidang industri. Jika dikaitkan dengan energi

pedesaan, biodiesel nyamplung dapat dijadikan sebagai bahan bakar untuk perahu

nelayan dan alat pertanian lainya yang menggunakan mesin diesel. Ketergantungan

terhadap energi fosil dapat berkurang dengan adanya biodiesel nyamplung. Dengan

demikian, pengembangan pilot IPTEK biodiesel nyamplung menjadi penting untuk

dilakukan.

Page 118: BUKU II - P3HH

115  

2. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan kegiatan ini adalah pengembangan reaktor degumming multi fungsi

yang meliputi reaktor ESTRANS dan pemurnian, sedangkan sasarannya adalah

hasil pengem-bangan reaktor dan aplikasi biodiesel nyamplung yang memenuhi

standar SNI pada mesin traktor pertanian dan mesin diesel tambak udang.

3. METODE PENGEMBANGAN

A. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan ini adalah :

1) Penyempurnaan reaktor biodiesel (ESTRANS dan pemurnian).

2) Pengolahan biodiesel nyamplung dengan menggunakan reaktor ESTRANS.

3) Aplikasi biodiesel nyamplung pada mesin traktor pertanian dan mesin diesel

tambak udang.

B. Aspek Teknis

1) Bahan dan Peralatan

Bahan utama yang digunakan adalah biji nyamplung asal Purworejo, Jawa

Tengah dan Batukaras Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan antara lain

bentonit, zeolit, metanol teknis, etanol pa, asam asetat, Iod, H3PO4, KOH

dan NaOH. Peralatan yang digunakan antara lain reaktor degumming,

reaktor ESTRANS, reaktor pemurnian, pompa oil dan alat gelas kaca.

2) Pengolahan Biodiesel

a. Ekstraksi minyak

Ekstraksi biji untuk memperoleh minyak yaitu dengan cara biji yang

telah dikupas, dikeringkan dan digiling halus kemudian di pres

menggunakan mesin kempa hidrolik (manual).

b. Perlakuan degumming

Degumming dilakukan sebanyak 2 kali. degumming I yaitu

mereaksikan minyak mentah (crude oil) dengan larutan H3PO4 pada

konsentrasi 1% (v/v), dipanaskan pada suhu antara 500-700 C selama

30 menit sambil diaduk, dilanjutkan perlakuan degumming II yaitu

Page 119: BUKU II - P3HH

116  

minyak bersih (refined oil) ditambahkan dengan bentonit aktif 1 %

sambil diaduk dengan kecepatan tinggi.

c. Proses esterifikasi

- Proses esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol teknis

15% (v/v) dan HCl 1% (v/v), lalu dimasukkan ke dalam reaktor

ESTRANS yang berisi minyak.

- Campuran dipanaskan pada suhu 60o C selama 1 jam.

- Selanjutnya campuran minyak dipisahkan dari endapannya.

d. Proses transesterifikasi

- Proses transesterifikasi digunakan campuran katalis metanol teknis

20% dan KOH 0,5% (b/v) dimasukan ke dalam reaktor ESTRANS

yang berisi minyak dengan waktu reaksi selama 60 menit pada suhu

600 C.

- Setelah reaksi transesterifikasi selesai, dilakukan pemisahan minyak

dengan metanol sisa reaksi. Minyak biodiesel yang terbentuk

selanjutnya dimasukkan ke dalam reaktor pencucian dan pemurnian

minyak biodiesel.

e. Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel

- Minyak biodiesel dicuci menggunakan air hangat sebanyak

30%(v/v) dari minyak biodiesel (metil ester). Pencucian dilakukan

hingga pH netral.

- Minyak biodiesel dimurnikan dengan cara dipanaskan pada suhu

1050 C sampai penampakan minyak jernih dan tidak ada busa diatas

permukaan minyak.

f. Analisis sifat fisiko-kimia biodiesel

Analisis meliputi sifat fisiko-kimia biodiesel sesuai standar SNI 04-

7182-2006/2012 antara lain kadar air, viskositas, densitas, bilangan

asam dan rendemen biodiesel.

Page 120: BUKU II - P3HH

117  

C. Aspek Sosial

Salah satu kegiatan pilot IPTEK Biodiesel Nyamplung adalah alih teknologi

pembuatan dan pemanfaatan minyak biodiesel. Alih teknologi dari Pusat Litbang

Hasil hutan akan memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat tentang

pemanfaatan biodiesel nyamplung sebagai substitusi bahan bakar solar atau untuk

kebutuhan perahu nelayan dan alat-alat pertanian.

D. Aspek Ekonomis

Daerah dengan sebaran tanaman nyamplung melimpah memiliki nilai

ekonomi tinggi dalam aplikasi teknologi pembuatan biodiesel nyamplung.

Kemudahan dalam mendapatkan bahan baku menjadi keunggulannya. Bahan baku

biji nyamplung dapat diperoleh dengan mudah dan dapat ditingkatkan menjadi

produk yang bernilai lebih tinggi, yaitu menjadi minyak biodiesel nyamplung.

E. Aspek Lingkungan

Pengolahan biodiesel nyamplung memanfaatkan biji dengan tanpa merusak

pohonnya. Masyarakat dapat melihat perspektif bahwa biji nyamplung dapat

menghasilkan produk yang bernilai lebih tinggi. Pola pikir masyarakat semakin

berkembang sehingga tidak menebang pohon nyamplung sebagai kayu bakar.

Dengan demikian, nyamplung menjadi daya tarik bagi masyarakat agar dapat

dikelola dengan teknik budidaya yang sesuai.

F. Aspek Kelembagaan dan Kebijakan

Pengolahan biodiesel nyamplung menjadi potensi bagi masyarakat sehingga

akan merespon masyarakat dalam membentuk kelembagaan. Kelembagaan

berdampak pada tindakan yang dilakukan bersama dengan tujuan tertentu.

Pengelolaan biodiesal nyamplung dalam bentuk kelembagaan dapat merespon

pemerintah dalam mewujudkan/implmentasi PP. No. 79 Tahun 2014 tentang

Kebijakan Energi Nasional. Salah satu yang disebutkan dalam peraturan tersebut

adalah menyediakan energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025.

Page 121: BUKU II - P3HH

118  

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Reaktor ESTRANS dan pemurnian

1) Rancang bangun reaktor ESTRANS dan Pemurnian

Gambar 33. Sketsa reaktor 3D tampak miring

2) Hasil Rancang Bangun Pengembangan Reaktor

Reaktor ESTRANS dan pemurnian dibuat dari bahan stainless steel dengan

ketebalan 3 mm. Reaktor dilengkapi dengan pengaduk otomatis dengan

elektromotor sebagai tenaga penggeraknya. Elektromotor yang dipasang

menggunakan tenaga sebesar 1 HP dengan 3 phase. Pengaduk pada reaktor

berfungsi untuk mencampurkan katalis dan bahan baku agar dapat bereaksi

secara sempurna. Pengaduk dapat diatur kecepatannya melalui box panel.

Pengaduk dijalankan ketika proses degumming, esterifikasi dan

transesterifikasi karena pada saat proses itu terjadi reaksi pemisahan minyak

bersih dan pembentukan metil ester (biodiesel). Kemudian, untuk

memudahkan pemindahan minyak dari reaktor ke reaktor yang lain, reaktor

dilengkapi dengan oil pump.

Reaktor yang dikembangkan memiliki kapasitas sebesar 100 liter dengan

sumber tenaga listrik untuk pengoperasiannya. Tabung reaktor memiliki

ketinggian 75 cm dengan diameter tabung sebesar 45 cm. Reaktor

dilengkapi dengan box panel sebagai pusat/tombol pengoperasian. Pada saat

Page 122: BUKU II - P3HH

119  

proses pengalohan berlangsung, perubahan warna hasil reaksi dapat

dikontrol melalui celah level kontrol. Pada bagian bawah tabung masing-

masing reaktor dilengkapi dengan band heater 2000-5000 watt yang dapat

diatur dan thermocouple. Adapun reaktor hasil pengembangan disajikan

pada Gambar 7.

Gambar 34. Reaktor ESTRANS dan Pemurnian.

B. Uji Coba Reaktor Hasil Pengembangan

Reaktor diujicobakan untuk memproduksi biodiesel nyamplung. Bahan

baku nyamplung diperoleh dari Purworejo dan Batukaras. Kabupaten Purworejo

merupakan salah satu sentra pohon nyamplung. Berdasarkan hasil survey, sebaran

tanaman nyamplung di Purworejo seluas 32 ha. Tanaman tersebut berstatus milik

perhutani. Selain itu, juga terdapat tanaman nyamplung yang ditanam oleh

kelompok tani pada tahun 2009. Tanaman nyamplung juga diperoleh dari daerah

Batu Karas, Kabupaten Pangandaran.

Pengepresan dengan press hidrolik ini menghasilkan rendemen minyak

kotor sebesar 50-60%. Minyak nyamplung hasil pengepresan dilakukan pengujiam

bilangan asam, pH, kadar air, densitas dan komponen penyusun asam lemak bebas.

Berdasarkan hasil pengukuran, didapat data crude oil (minyak kasar) yang tersaji

pada Tabel 1.

Page 123: BUKU II - P3HH

120  

Tabel 12. Data crude oil (minyak kasar) nyamplung

Volume

Data crude oil pH Bilangan asam

(mg KOH/g) Kadar air

(%) Massa jenis

(kg/m3) 70 liter 5,32 33 2,01 0,9631

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa bilangan asam minyak nyamplung masih

tergolong tinggi dengan nilai 33 mg KOH/g, sehingga bilangan asam ini perlu

diturunkan dengan cara esterifikasi agar memenuhi SNI biodiesel yang berlaku,

sedangkan untuk komponen penyusun asam lemak minyak lampung tersaji pada

Tabel 2.

Tabel 13. Asam lemak bebas minyak nyamplung

Jenis analisis (Type of analysis)

Metode (Method)

Hasil (Result)

Satuan (Unit)

Asam Laurat

GC

ttg

% Asam Niristat 0,04 Asam Palmitat 16,45 Asam Stearat 1,48 Asam Oleat 58,93 Asam Linoleat 24,26 Asam Linolenat 0,07

Keterangan : ttd (tidak terdeteksi), limit deteksi alat 0,1 ppm

Komposisi jenis asam lemak dari minyak Nyamplung didominasi asam

oleat 58,93%, linoleat 24,26%, dan palmitat 16,45%. Total keseluruhan dari 3 jenis

asam lemak utama mencapai 99,64%.

1) Degumming

Proses degumming, minyak mentah dipanaskan pada suhu 50-60 0C, kemudian

ditambahkan H3PO4 teknis dengan konsentrasi 1,5% (v/v) sambil diaduk

dengan kecepatan 400 rpm, selama ½ jam, dienapkan kemudian dipisahkan

antara minyak dan getah (gum). Kemudian minyak bersih dipanaskan pada suhu

50-60 0C, kemudian ditambahkan bentonit 1 % sambil diaduk selama ½ jam.

kemudian diamkan (aging) dan dipisahkan antara minyak dan bentonitnya

(Proses degumming dilakukan pada reaktor multi fungsi).

Page 124: BUKU II - P3HH

121  

2) Esterifikasi

Proses esterifikasi, menyak bersih di panaskan suhu 50-60 0C setelah suhu

tercapai (50 °C) kemudian ditambahkan campuran metanol 15% (v/v) dan HCl

1% (v/v) (katalis metanol asam) sambil diaduk dengan kecepatan 400 rpm,

selama 1 jam. Kemudian dipisahkan antara minyak bersih dan sisa reaksi

metanol asamnya. Minyak bersih dianalisis bilangan asamnya dan kalau

bilangan asam sudah turun dibawah 5 mg KOH/g bisa dilanjutkan ke proses

transesterifikasi.

3) Transesterifikasi

Proses transesterifikasi, minyak bersih dari proses esterifikasi dipanaskan pada

suhu 50-60 °C, setelah suhu minyak tercapai (50 °C) kemudian ditambahkan

campuran metanol 20% (v/v) dan KOH 0,5% (b/v) (katalis metanol basa),

sambil diaduk dengan kecepatan 400 rpm, dipisahkan antara minyak biodiesel

dan sisa reaksi katalis metanol basanya.

4) Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel.

Minyak biodiesel dicuci menggunakan air hangat sebanyak 30% (v/v) dari

minyak biodiesel (metil ester). Pencucian dilakukan hingga pH netral. Minyak

biodiesel dimurnikan dengan cara dipanaskan pada suhu 1050 C sampai

penampakan minyak jernih dan tidak ada busa diatas permukaan minyak.

Berdasarkan hasil pengujian, minyak biodiesel nyamplung sudah memenuhi

kriteria SNI 04-7182 tahun 2006. Adapun hasil pengujiannya tersaji pada Tabel

4.

Tabel 14. Karakteristik biodiesel minyak nyamplung

Parameter Nilai SNI 04-7182-2006 Bilangan asam 0,78 mg KOH/g Maks. 0,8 mg KOH/g Massa jenis 886 kg/m3 850-890 kg/m2

Viskositas kinematik pada 400C 4,7 mm2/s (cSt) 2,3-6,0 mm2/s (cSt) Kadar air 0,09% 0,05% Abu tersulfatkan 0,28% 0,02% Bilangan penyabunan 194,70 mg basa/g - Bilangan Iod 83,20 mg I2/100 g Maks. 115 mg/g Bilangan Setana index 55,61 Min. 51 Rendemen biodiesel 68% -

Page 125: BUKU II - P3HH

122  

C. Apliasi Biodiesel Nyamplung

Dalam rangka sosialisasi minyak biodiesel nyamplung hasil produksi,

dilakukan kegiatan aplikasi bahan bakar minyak biodiesel nyamplung di Batukaras,

Kabupaten Pangandaran. Kegiatan aplikasi minyak biodiesel nyamplung dibuka

langsung oleh Kapala Pusat Litbang Hasil Hutan dan dihadiri oleh Pejabat

kecamatan, perangkat desa batukaras, kepolisian sektor Cijulang, serta kelompok

tani.

Biodiesel nyamplung diujicobakan pada mesin traktor pertanian 9 PK merk

Yanmar dan mesin diesel 7,5 PK merk dompleng untuk penggerak kincir air di

tambak udang. Komposisi biodiesel yang diujicobakan adalah biodiesel

nyamplung murni (B-100) dan biodiesel nyamplung campuran solar dengan

perbandingan 50:50 (B-50) yang dibandingkan dengan minyak solar. Hasil ujicoba

minyak biodiesel pada peralatan tersebut tidak mengalami kendala.

Gambar 35. Contoh produk biodiesel B-100, B-50, B-40, B-30, B-20 dan B-10 Salah satu pengusaha tambak udang menyebutkan bahwa biodiesel

nyamplung murni (B-100) mengeluarkan asap warna putih, wangi dan tidak pedih

di mata jika dibandingkan dengan minyak solar. Konsumsi biodiesel nyamplung

murni (B-100) lebit irit jika dibandingkan dengan minyak solar pada ujicoba mesin

diesel penggerak kincir tambak. Mesin diesel tersebut membutuhkan kurang lebih

5 liter solar untuk menggerakan kincir selama 14 jam sedangkan untuk biodiesel

murni (B-100) hanya dibutuhkan 4,6 liter dan membutuhkan 4,8 liter untuk

biodiesel campuran (B-50). Berdasarkan data tersebut biodiesel nyamplung masih

lebih irit sebesar 8-10% dari solar.

Page 126: BUKU II - P3HH

123  

Gambar 36. Aplikasi minyak biodiesel nyamplung sebagai bahan bakar traktor pertanian dan mesin diesel penggerak kincir tambak udang

5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Pengembangan reaktor ESTRANS yang dipadukan dengan reaktor

pemurnian minyak biodiesel berkapasitas 100 liter, menggunakan bahan

stainless steel 316 dengan ketebalan 3 mm. Reaktor dilengkapi dengan

pengaduk otomatis, box inverter, band heater, thermocouple, kontrol level

dan pompa minyak.

2) Ujicoba reaktor ESTRANS dan pemurnian menghasilkan biodiesel minyak

nyamplung yang memenuhi kriteria SNI, yaitu dengan bilangan asam

biodiesel sebesar 0,78 mg KOH/g, massa jenis 886 kg/m3, viskositas

kinematik pada 400C 4,7 mm2/s (cSt), bilangan penyabunan 194,70 mg

KOH/g, bilangan Iod 83,20 mg I2/100 g, bilangan setana index 55,61 dan

rendemen biodiesel 68%.

3) Aplikasi biodiesel minyak nyamplung dilakukan pada mesin traktor

pertanian dan mesin diesel untuk tambak udang yang berlokasi di Desa Batu

Karas, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran.

4) Aplikasi B-100 dengan mesin traktor pertanian 9 PK menunjukkan hasil

yang lebih irit dibanding solar. B-100 lebih irit sebesar 350 ml.

Page 127: BUKU II - P3HH

124  

5) Aplikasi B-100 sebanyak 5 liter pada mesin diesel penggerak kincir tambak

udang masih lebih irit kurang lebih 400 ml dibandingkan dengan solar,

sedangkan B-50 masih lebih irit 275 ml jika dibandingkan dengan

penggunaan solar.

B. Saran

1) Perlu dilakukan ujicoba pengolahan biodiesel dari minyak jenis tanaman

yang lainnya untuk mendukung hasil kinerja reaktor.

2) Reaktor memerlukan penyempurnaan pada beberapa bagian antara lain:

kondensor untuk sirkulasi metanol, kontrol level di belakang reaktor dan

penambahan pompa vacum untuk proses pemurnian minyak biodiesel.