BUKU II - P3HH
Transcript of BUKU II - P3HH
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
RINGKASAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
2017
BUKU II
BOGOR, JANUARI 2018
KATA PENGANTAR
Buku Hasil Penelitian dan Pengembangan 2017 Puslitbang Hasil Hutan
memberikan gambaran atas hasil penelitian dan pengembangan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH) selama tahun 2017 yang disajikan dalam
bentuk ringkasan.
Pada buku ini disajikan ringkasan hasil penelitian dari 10 judul/kegiatan
penelitian dan 4 kegiatan pengembangan yang tercakup dalam 3 topik penelitian
terintegratif dan 1 topik pengembangan terintegratif yaitu, RPPI 7 Revitalisasi
Pemanfaatan Hasil Hutan, RPPI 8 Pengolahan Hasil Hutan, RPPI 9 Teknik
Pemanenan Hutan dan RPPI 2 Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Hasil-hasil
penelitian dan pengembangan yang disajikan diharapkan menjadi media diseminasi
dan distribusi informasi kepada pengguna. Selain itu diharapkan dapat menjadi
salah satu sarana efektif bagi para pengguna dan pengambil kebijakan untuk
memanfaatkan informasi hasil penelitian sebagai dasar pengambil kebijakan.
Kepada seluruh pihak terkait, disampaikan ucapan terima kasih dan
apresiasi yang tinggi atas kerjasama dan kontribusinya dalam penyusunan buku ini.
Bogor, Januari 2018 Kepala Pusat, Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si. NIP. 19591117 198603 1 001
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………… ii
DAFTAR ISI ..………….…………………………………………… iii
RPPI 7. REVITALISASI PEMANFAATAN HASIL HUTAN 1. Teknik Pemanfaatan Limbah Biomassa Berlignoselulosa Untuk
Bioenergi ……………………………………………..………….. 12. Teknik Pemanfaatan Getah Pinus dan Karet Untuk Obat dan
Kosmetik Alami …………………………………………………. 83. Teknik Inovasi Sagu dan Aren untuk Bahan Pangan ……………. 16 RPPI 8. PENGOLAHAN HASIL HUTAN 1. Diversifikasi Jenis Kayu Alternatif dan Penyempurnaan Sifat Kayu
untuk Pemenuhan Kebutuhan Kayu sebagai Bahan Baku Industri Perkayuan ……………………………………………………….. 25
2. Teknik Inovasi Pemanfaatan dan Diversifikasi Produk Kayu dan Bambu …………………………………………………………… 39
3. Teknik Penyempurnaan Pembuatan Rotan Komposit …………… 474. Formulasi Bahan Penunjang Industri dari Material Organik ……. 575. Diversifikasi Jenis dan Penyempurnaan Sifat Bambu dan Rotan
Alternatif untuk Bahan Baku Industri Bambu Dan Rotan ………. 646. Konservasi Fosil Tumbuhan Tropis (Identifikasi Fosil Kayu Asal
Gorontalo) ………………………………………………………. 74 RPPI 9. TEKNIK PEMANENAN HUTAN Teknik Pemanenan Kayu Hutan Alam Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan …………………………………………………. 83 RPPI 2. PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU 1. Aplikasi Pengembangan Pellet Kayu Dari Biomassa Untuk
Masyarakat ………………………………………………………. 902. Pilot IPTEK Bioetanol Aren ……………………………………. 1003. Aplikasi Pengembangan Arang Terpadu (2017) ………………… 1064. Pilot IPTEK Biodiesel Nyamplung ……………………………… 113
1
Judul Kegiatan : Teknik Pemanfaatan Limbah Biomassa Berlignoselulosa Untuk Bioenergi
Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk
Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator : Ir. Totok K. Waluyo, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dr. Ina Winarni, S.Hut. M.Si., Prof. Ris. Gustan Pari, M.Si.,
Ir. Santiyo Wibowo, M.Si., Djeni Hendra, M.Si., Teuku Benua Bardant, ST., M.Sc., Heru S. Wibowo, S.Hut.
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki industri pengolahan kayu yang cukup banyak, sehingga akan menghasilkan limbah yang banyak pula. Limbah kayu merupakan limbah lignoselulosa yang pada umumnya akan menumpuk dan kurang dimanfaatkan, sehingga akan menyebabkan pencemaran. Untuk meningkatkan nilai tambah limbah kayu/lignoselulosa, pembuatan bioetanol merupakan salah satu cara optimalisasi limbah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi penggunaan metode respon surface methodology untuk pembuatan model persamaan kadar bioetanol dari limbah kayu sengon. Hasil penelitian menunjukkan, persamaan kuadratik polinomial dan kurva 3D dengan menggunakan RSM dapat mengetahui kadar etanol optimum (18,39%) dengan penambahan substrat 37,15% dan konsentrasi enzim sebesar 13,8 FPU/g substrat. Kata kunci: Limbah kayu, lignoselulosa, RSM, kadar etanol. 1. LATAR BELAKANG
Pada tahun 2017 berjalan ini, konsumsi bahan bakar minyak (BBM)
khususnyapremium meningkat sangat tajam, yaitu sekitar 96.000 KL per hari atau
1.6 juta barel/hari dengan meningkatnya penjualan kendaraan bermotor. Sementara
itu, produksinya masih sekitar 800.000 barel per hari. Sehingga dipastikan adanya
defisit BBM sekitar 600.000 KL. Salah satu cara untuk mengatasi ketergantungan
BBM dari fosil adalah dengan membuat energi alternatif selain minyak bumi, gas
bumi dan batu bara (BBM) yang disebut bahan bakar nabati (BBN), yaitu bio-
etanol, bio-metanol dan bio-oil.
Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati yang cukup menjanjikan
untuk masa depan. Biomassa yang digunakan untuk memproduksi bioetanol dapat
diperoleh dari limbah pertanian, penjarangan atau limbah industri penggergajian
2
kayu terutama kayu sengon atau bahan baku yang mengandung lignoselulosa.
Pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku bioenergi telah banyak diteliti oleh
peneliti khususnya di bidang energi. Metanol adalah salah satu jenis bahan bakar
alternatif untuk mesin pembakaran dalam dan beberapa jenis mesin lainnya, dan
dapat digunakan dengan cara mencampurkannya dengan bensin atau digunakan
tanpa campuran (metanol murni). Saat ini, sebagian besar metanol dibuat dari gas
alam. Ohlström et al., (2001) menyatakan bahwa 86% metanol dihasilkan dari gas
alam yang merupakan sumber energi non-terbarukan. Bio-oil atau dikenal juga
sebagai pyrolysis oil adalah bahan bakar sejenis solar yang memiliki berat jenis
tinggi, baru dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler atau dibakar langsung untuk
keperluan pengeringan. Bio-oil dapat diproduksi dari bahan baku biomassa seperti
limbah kehutanan, pertanian atau perkebunan menggunakan teknologi pirolisis.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan penelitian tahun ini adalah, untuk mendapatkan informasi kadar
etanol yang tinggi dengan menggunakan kondisi optimum perlakuan hasil optimasi
aplikasi Respon Surface Methodology (RSM), mendapatkan informasi teknik
pemurnian biometanol dari serbuk kayu A. mangium, mendapatkan data dan
informasi sifat fisiko-kimia upgrading bio-oil menggunakan cara catalytic
hydrocracking.
Sedangkan sasarannya adalah agar limbah lignoselulosa dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku bioenergi sebagai subtitusi dari bahan bakar fosil yang tidak
dapat diperbaharui.
3. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Limbah kayu sengon yang berasal dari Industri Penggergajian kayu di
Garut, Jawa Barat. TKKS dan serbuk mangium dari Banten, Jawa Barat.
B. Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah
penggergajian kayu sengon, serbuk mangium dan tandan kosong kelapa sawit di
3
Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan adalah enzim selulase, tween 20, ragi
Sacharomyces cerevisiae merk komersial Fermipan, urea dan NPK, laterit, sulfur,
fenol, gas hidrogen, etanol pa, benzena, asam asetat, asam klorida dan asam sulfat.
Pelarut yang digunakan adalah asap cair kayu dan asap cair bambu, tandan kosong
kelapa sawit. Bahan kimia yang digunakan antara lain kristal Ni(NO3)2.6H2O,
zeolite, air suling, asam klorida (HCl), amonium klorida (NH4Cl), natrium sulfat
(Na2SO4) anhidrat, AgNo3, gas hidrogen.
Peralatan yang digunakan antara lain alat hidrolisis, unit destilator, neraca,
hot plate, buret, brix meter, pH meter, alat gelas / kaca vakum, saringan serbuk
kayu, reaktor hidrotermal, labu/corong pemisah, alat distilasi,dll.
C. Prosedur Kerja
1) Bioetanol
Tahapan proses yang akan dilakukan adalah: uji proksimat pada bahan baku
dan pulp, persiapan substrat, proses sakarifikasi pada 9 perlakuan yang telah
ditentukan konsentrasi subtrat, enzim dan surfaktannya sebagai kondisi
perlakuan optimum. Setelah hidrolisis selama 48 jam, dilanjutkan dengan
proses fermentasi selama 4 hari dengan penambahan jamur Saccharomyces
cerevisiae, NPK dan urea sebagai bahan makanan untuk ragi tersebut.
Setelah fermentasi, dilakukan penyulingan untuk memproduksi etanol, dan
dihitung kadar etanol dengan menggunakan alkohol meter dan GC juda
rendemennya.
2) Biometanol
Persiapan limbah serbuk mangium dengan pengeringan, kemudian digiling
sampai ukurannya lolos 80 mesh tertahan 100 mesh. Kemudian serbuk kayu
ditambahkan campuran katalis laterit dengan konsentrasi laterit 6% (b/b),
sulfur 1,5% (b/b) dan fenol 1% (b/v). Proses pemurnian menggunakan
tekanan gas hidrogen dengan variasi tekanan sebesar 7,5 bar; 12,5 bar; 17,5
bar. Penelitian ini akan menggunakan pelarut dari 2 jenis asap cair yaitu
asap cair kayu dan bambu. Asap cair yang dicampurkan menggunakan
perbandingan 1:4. Proses pemanasan dilakukan secara bertahap dari suhu
28-3000C. Proses pemanasan ditahan selama 1 jam ketika suhu mencapai
4
3000C. Setelah itu, suhu diturunkan sampai 1500C kemudian pemanasan
dihentikan sampai suhu 280C. Tahap selanjutnya proses fraksinasi dengan
cara destilasi dimulai pada suhu 28-1500C dan 150-2000C dan 200-3000C.
Pengujian kualitas dilakukan terhadap sifat fisiko-kimia yaitu : berat jenis,
pH, kadar metanol dengan uji uji GC dan komponen kimia dengan uji
GCMS.
3) Bio-oil
Proses preparasi katalis Ni/NZA menggunakan modifikasi prosedur
Irvantino, (2013) dan Tadeus et al., (2013). Zeolit alam dihaluskan dengan
ukuran 100 mesh, lalu dicuci dengan aquades dan dikeringkan, selanjutnya
direfluk dalam larutan HCL 6 N selama 30 menit pada suhu 50oC sambil
diaduk, kemudian dicuci berulang kali sampai tidak terdeteksi ion Cl- dan
dikeringkan. Zeolit direndam dalam larutan NH4Cl pada tempertaur 90oC
sambil diaduk selama 24 jam atau 3 jam perhari selama 1 minggu dan
dikeringkan. Zeolit direndam dalam larutan logam Ni(NO3) 2.9 H2O, dan
direfluk selama 6 jam pada suhu 60oC. Padatan yang diperoleh dikeringkan
dalam oven pada suhu 120oC selama 3 jam. Selanjutnya dikalsinasi pada
suhu 500oC.
Penelitian perengkahan bio-oil menggunakan reaktor rengkah sistem fixed
bed. Sejumlah 1 liter crude bio-oil dimasukkan ke dalam reaktor dan
ditambahkan 4% katalis Ni/NZA. Kemudian reaktor ditutup, divakum dan
dialirkan gas hidrogen dengan masing-masing perlakuan tekanan hidrogen
yaitu 0 bar (kontrol), 5, 10, dan 15 bar. Selanjutnya reaktor dipanaskan
sampai suhu 300oC. Jumlah katalis yang ditambahkan dan suhu berdasarkan
penelitian sebelumnya Wibowo et al., (2016), dimana 4% katalis dan suhu
300oC (tanpa tekanan) menghasilkan sifat upgrading bio-oil yang optimal.
5
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bioetanol
Tabel 1. Hasil dan Prediksi Bioetanol Pulp Limbah Sengon
Variasi konsentrasi
optimum
Substrat (%dw)
Enzim (FPU/g
substrat)
Surfaktan Tween 80
(%v)
Kadar bioetanol pulp limbah sengon (%v)
Prediksi Hasil 1 2 3 4 5 6 7 8 9
R2 = 0,977
20 25 30
33,68 36,9 42,9 27,3 31,8
37,15
12,7 13,05 13,21
10 12 15
13,3 13,5 13,8
1,16 1,5
1,87 2,3
2,47 2,8
0 1 2
12,33 15,39 17,25 12,21 17,96 18,39 11,89 16,15 18,39
11,30 14,94 17,01 12,26 17,40 18,10 13,00 15,70 17,21
B. Biometanol
Gambar 1. Kadar Biometanol
C. Bio-oil
Tabel 2. Karakteristik upgrading bio-oil
Rendemen pH Berat jenis
Viskositas cSt
Nilai kalor MJ/kg bahan bakar
(%) air (%)
Sisa (%)
Crude - - 2,7 1,0718 8,15 31,08 A 23,05 7,4 54,0 3,07 0,9864 2,26 31,27 B 39,87 6,3 51,55 3,21 0,9852 2,07 31,86 C 44,23 7 48,2 3,30 0,9804 2,03 32,56 D 44,6 6,2 46,85 3,24 0,9637 2,06 33,30 Biosolar - - - 4,26 0,8768 1,53 46,87
Keterangan : A = 0 bar hidrogen C = 10 bar hidrogen
58.44
80.30
52.94
13.11
38.99
71.1077.92
18.98
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
A B C D
Kad
ar Biometan
ol (%)
Perlakuan
1AC Kayu
2AC Bambu
6
5. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
1) Kadar etanol hasil percobaan perlakuan optimasi berkisar antara 11,30 –
18,10% dengan koefisien determinasi 0,977.
2) Perlakuan dengan hasil kadar etanol tertinggi adalah kombinasi perlakuan
optimasi dengan konsentrasi substrat 42,9% (dw); konsentrasi enzim
sebanyak 15 FPU/g substrat dan konsentrasi Tween 20 sebanyak 2,8% (v).
3) Perlakuan penambahan tekanan gas hidrogen sebesar 7,5 bar dan pelarut
asap cair kayu menghasilkan kadar biometanol tertinggi, yaitu sebesar
80,30% dan rendemen tertinggi diperoleh melalui penambahan gas hidrogen
sebesar 12,5 bar yaitu sebesar 2,33%
4) Perlakuan yang optimal untuk perengkahan crude bio-oil adalah dengan
penambahan 10 bar hidrogen dengan karakteristik yaitu rendemen
upgrading bio-oil 44,23%, pH 3,3, berat jenis 0,9804, viskositas 2,03 cSt,
nilai kalor 32,56 MJ/kg.
2. Saran
1) Perlu dilakukan penelitan lanjutan dengan menggunakan perlakuan
optimasi yang menghasilkan kadar etanol tinggi dan hasil kadar etanol
didehidrasi kembali untuk mendapatkan konsentrasi etanol yang lebih
tinggi.
2) Teknik pemurnian biometanol dapat dilakukan dengan penambahan
tekanan gas hidrogen. Namun, penggunaan gas hidrogen perlu
memperhatikan kekuatan reaktor dan kemurnian gas hidrogennya agar
biometanol yang dihasilkan memiliki kadar yang tinggi.
3) Perlu dilakukan penambahan arang sebagai katalis untuk proses
hydrocracking.
7
Lampiran 1.
Gambar 2. Proses Bioetanol
Gambar 3. Proses Biometanol
Gambar 4. Proses Bio-Oil
8
Judul Kegiatan : Teknik Pemanfaatan Getah Pinus dan Karet Untuk Obat dan Kosmetik Alami
Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk
Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator : Ir. Totok K. Waluyo, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Gunawan Pasaribu, S.Hut. M.Si., Ir. Totol K. Waluyo,
M.Si., Lisna Efiyanti, S.Si. M.Sc.
ABSTRAK
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) memiliki keragaman yang tinggi sehingga penanganannya sangat spesifik tergantung jenis dan tempat tumbuhnya. Dalam Permenhut No : P.35/Menhut-II/2007, tercantum 9 kelompok yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan dan hewan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi borneol hasil sintesis dari alfa pinena getah tusam, karakterisasi resin karet sebagai bahan baku obat dan mengetahui kandungan senyawa aktif 10 (sepuluh) jenis tumbuhan obat hutan asal Sulawesi. Metode yang dilakukan melalui sintesis alfa pinena menjadi borneol, karakterisasi resin karet dan identifikasi senyawa aktif tumbuhan obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan obat yang diteliti berpotensi sebagai antivirus, antibakteri, antitumor, penurun tekanan darah tinggi, antikarsinogen dan antimutasigen yaitu Asystasia nemorum Nees, Gliricidia sepium (Jacq.) Walp., Sida rhombifolia L., Artemisia vulgaris L, Micromelum minutum Wight & Arn., Eleutherine bulbosa (Mill) Urb., Adenanthera pavonina L. dan Ruellia tuberose L. Terdapat 4 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai obat rematik, asam urat tinggi dan bisul yaitu Artemisia vulgaris L, Tabernaemontana pandacaqui Lam, Eleutherine bulbosa (Mill) Urb dan Adenanthera pavonina L. Terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antiimflamasi, antialergi, antikanker, antioksidan yaitu Sida rhombifolia L., Artemisia vulgaris L,, Micromelum minutum Wight & Arn dan Eleutherine bulbosa (Mill) Urb. Terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antiimflamasi, hepatoprotektif, analgesik, antimikroba yaitu Tabernaemontana pandacaqui Lam, Eleutherine bulbosa (Mill) Urb dan Ruellia tuberose L. Semua jenis tumbuhan yang berpotensi obat batuk, obat tetes mata, obat malaria, obat kanker, antibakteri. Sifat-sifat getah karet klon PB 260 dan PR 303 yaitu kadar air, kadar kotoran, kadar abu, kadar nitrogen memenuhi SNI 1903:2011 tentang Karet Spesifikasi Teknis. Kadar protein getah karet (klon PB 260 dan PR 303) cukup tinggi yaitu 1,188% yang menyebabkan getah karet menimbulkan bau disebabkan terjadinya pembusukan protein. Hexadecanoic acid dan Fucosterol adalah 2 senyawa yang terdapat pada resin getah karet klon PB 260 dan PR 303. Sintesis borneol dengan metode reaksi reduksi logam natrium dapat menghasilkan borneol dengan kisaran 0.12-2.03%. Kata Kunci: alfa pinena, pinus, resin, karet, obat
9
1. LATAR BELAKANG
Tumbuhan obat merupakan salah satu andalan masa depan dalam
pengembangan agribisnis di Indonesia. Produk HHBK dari hutan tropis Indonesia
ini telah menghasilkan banyak senyawa metabolit sekunder yang dapat dan telah
digunakan sebagai sumber bahan baku obat tradisional (Zuhud, 1994). Menurut
WHO, hampir 65% penduduk Negara maju telah menggunakan obat herbal dan di
Negara berkembang pengguna obat herbal bahkan telah mejacai angka 80% dengan
Negara pemasok utama yaitu China, Eropa dan Amerika Serikat (Jumiarni &
Komalasari, 2017).
Getah karet dan jelutung memiliki karakter yang mirip dalam hal kesamaan
memiliki resin. Getah jelutung memiliki kadar resin yang tinggi yang
mengakibatkan elastisitasnya lebih rendah dibandingkan getah karet. Resin dari
getah jelutung diketahui mengandung beberapa komponen di mana salah satunya
taraxasterol (Waluyo et al., 2015) yang dapat berfungsi sebagai obat antiinflamasi
(Zhang et al., 2012; Xiong et al.,2014).
Komponen utama minyak terpentin ialah α-pinena yang dapat berfungsi
dalam produksi parfum serta prekursor fine chemical (Diaa, et al., 2012). Minyak
terpentin Indonesia mengandung sekitar 57-86% α-pinena, 8-12% δ-karena dan
golongan monoterpena yang lain dengan jumlah minor. Pengolahan derivat minyak
terpentin masih sangat minim dilakukan di Indonesia (Wiyono et al., 2006).
Pemanfaatan HHBK saat ini sedang berupaya dimaksimalkan karena selain
dapat mengisi kebutuhan masyarakat, meningkatkan nilai tambah juga dapat
meminimalkan efek global climate change yang diakibatkan oleh produksi kayu
hutan (Daryono, 2015).
2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan penelitian tahun 2017 adalah mendapatkan data dan informasi
tentang karakteristik borneol hasil sintesis dari alfa pinena getah tusam,
karakteristik resin karet sebagai bahan baku obat dan informasi kandungan senyawa
aktif 10 (sepuluh) jenis tumbuhan obat hutan asal Sulawesi. Sedangkan sasarannya
10
yang ingin dicapai adalah tersedianya informasi sintesis borneol, karakteristik resin
karet dan senyawa aktif tumbuhan obat.
3. METODE PENELITIAN
A. Tumbuhan Obat
1) Penyiapan bahan dan ekstraksi
Bahan penelitian berupa bagian tumbuhan/ pohon yang berkhasiat obat
(kulit, buah, daun, akar) dikumpulkan masing-masing sebanyak 2 kg.
Dihaluskan untuk menghasilkan serbuk 40 – 60 mesh, kemudian serbuk
diekstraksi secara meserasi (perendaman dengan metanol).
2) Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji saponin, uji flavonoid, uji triterpenoid
atau steroid, uji tanin, uji hidroquinon.
3) Pengujian toksisitas menggunakan metode Brime Shrim Letality Test.
4) Analisis komponen kimia menggunakan kromatograf gas spektrofotometri
massa (GMS).
B. Karakteristik Resin Karet
1) Analisis sifat fisiko-kima meliputi kadar air (%), kadar abu (%), kadar
kotoran (%), kadar nitrogen (%) dan kadar ekstrak aseton (%), berdasarkan
Standar Nasional Indonesia yaitu SNI Rubber 1903:2011.
Ekstrak aseton menggunakan metode ASTM D 297-93 (Standard Test
Methods for Rubber Products-Chemical Analysis) tahun 2011. Uji spektrum
infra merah menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared
Spectroscopy).
2) Analisis komponen kimia resin yang terdapat pada getah karet
menggunakan alat GC-MS.
C. Sintesis Alfa Pinena
Sintesis alfa pinena mengggunakan dua metode yaitu metode reaksi reduksi
logam natrium dan metode asiloksilasi. Hasil sintesis dikarakterisasi dengan
FTIR dan kromatografi gas dan NMR untuk mengetahui kemiripan senyawa
alam dengan borneol alam.
11
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tumbuhan Obat
Dari sepuluh jenis tumbuhan yang diuji fitokimia, menunjukan sampel
mengandung flavonoid, tanin, saponin, steroid/triterpenoid, alkaloid dan
hidrokuinon. Rendeman ekstrak bervariasi mulai 2,60 – 7,88%.
Toksisitas ekstrak tumbuhan yang diteliti (LC50) berkisar antara 59,88 –
608,32 ppm. Hal ini bermakna bahwa semua jenis yang diteliti memiliki LC < 1000
ppm tergolong aktif atau toksik.
B. Karakteristik Resin Karet
Kadar air getah karet (klon PB 260 dan PR 303) relatif sama yaitu 0,79%
dan 0,74%. Didalam SNI 1903:2011 tentang karet spesifiksi teknis tidak
dipersyaratkan kadar air getah karet, hal ini mungkin disebabkan karet tidak mudah
menyerap air walaupun direndam didalam air pada waktu penyimpanan di
lapangan. Kadar abu menunjukkan banyaknya mineral yang terkandung dalam
getah. Kadar abu getah karet (klon PB 260 dan PR 303) yakni 0,47% dan 0,18%.
Kadar abu getah karet kedua klon tersebut memenuhi SNI 1903:2011 yaitu sebesar
0,75% dan Standar Malaysian Rubber (SMR) sebesar 0,50%.
Kadar kotoran getah karet relatif kecil, hal ini menandakan para penyadap
getah karet di lapangan cukup trampil. Kadar kotoran getah karet ke dua klon (klon
PB 260 dan PR 303) yakni 0,025% dan 0,027% dan memenuhi SNI 1903:2011 yaitu
2,08%. Sebaliknya kadar kotoran getah karet tersebut tidak memenuhi SMR yang
mensyaratkan kadar kotoran maksimum 0,02%.
Kadar ekstrak aseton menunjukkan besarnya kadar resin yang terdapat pada
getah karet. Kadar ekstrak aseton getah karet kedua klon (klon PB 260 dan PR 303)
yakni 1,52% dan 3,19%. Hal ini menunjukkan bahwa getah karet klon PR 303 lebih
banyak mengandung resin dibanding getah karet klon PB 260.
Kadar nitrogen getah karet dari ke dua klon (klon PB 260 dan PR 303)
relatif kecil dan besarannya sama yakni 0,19%. Kadar nitrogen tersebut memenuhi
SNI !903:2011 dan SMR yang mensyaratkan maksimum 0,60%. Kadar nitrogen
berkaitan dengan kadar protein, maka untuk mengetahui kadar protein besaran
kadar nitrogen dengan faktor 6,25 (SNI 06-1903-2000). Dengan demikian kadar
12
protein getah karet klon PB 360 dan PR 303 sebesar 1,188%. Hal ini berbeda
dengan getah jelutung yang mempunyai kadar protein sangat kecil (0,46%)
sehingga tidak menimbulkan bau busuk (Waluyo, et al., 2012).
C. Sintesis Borneol
Pada metode reaksi reduksi logam natrium, data serapan FTIR
menunjukkan puncak-puncak absorbsi yang cukup serupa dengan puncak yang
muncul pada FTIR standar borneol. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa
puncak absorbsi yang memiliki gelombang serapan yang hampir sama bila
dibandingkan dengan serapan pada borneol.
Puncak-puncak tersebut muncul dengan intensitas lemah hingga sedang
dengan pelebaran sedikit pada bentuk puncak. Beberapa puncak yang penting pada
borneol diantaranya pada serapan 3300 cm-1, 2950 cm-1, 1454 cm-1dan 1055 cm -1.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada borneol, terdapati katan O-
H pada bilangan gelombang 3300-3600 cm-1 dan pada kedua belas sampel terlihat
bahwa ikatan O-H ini terlihat keberadaannya dengan puncak serapan bervariatif
antar sampel berkisar 3389,83 cm-1 - 3429,50 cm-1,.
Ikatan O-H ini merupakan ikatan lemah vibrasi ulur yang diindikasikan
terikat dengan ikatan hidrogen atau sampel yang diuji masih mengandung air karena
bentuk puncak serapan melebar, tidak tajam dan bergeser kearah bilangan
gelombang yang lebih pendek.
Kemudian ikatan C-H alifatik terdapat pada semua sampel yang ditunjukkan
oleh serapan dengan variasi absropsi pada panjang gelombang 2957-2969,08 cm-1
yang diakibatkan oleh vibrasi ulur dari cincin aromatik. Selanjutnya untuk ikatan
C-O terlihat pada variasi bilangan gelombang 1050-1100 an cm-1 dan ikatan C-C
aromatic pada bilangan gelombang 1454-1456 cm-1 dengan derajat subtitusi yang
rendah.
Analisis NMR menunjukkan bahwa pada borneol sintesis ditemukan
pergeseran kimia di daerah tersebut yaitu di 4,234 ppm namun dengan sinyal lemah,
diduga karena hasil sintesis masih crude dan mengandung produk samping lain
yang lebih banyak karena pergeseran kimia yang banyak terlihat justru di angka
13
0,8-2,4 ppm. Pergeseran kimia penciri borneol yaitu gugus hidroksi yang terikat
pada C-H muncul pada 4,0 ppm dan 3,6 ppm untuk isoborneol.
Hasil pengujian GCMS memperjelas senyawa sintesis yang terbentuk
melalui metode reaksi reduksi logam natrium dapat menghasilkan borneol dengan
kisaran 0,12 – 2,03%. Sementara itu, hasil sintesis borneol dengan asiloksilasi
belum menunjukkan terbentuknya senyawa borneol.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Tumbuhan Obat
a) Skrining fitokimia 10 jenis tumbuhan hutan menunjukkan yang berpotensi
sebagai antivirus, antibakteri, antitumor, penurun tekanan darah tinggi,
antikarsinogen dan antimutasigen yaitu Asystasia nemorum Nees, Gliricidia
sepium (Jacq.) Walp., Sida rhombifolia L., Artemisia vulgaris L,
Micromelum minutum Wight & Arn., Eleutherine bulbosa (Mill) Urb.,
Adenanthera pavonina L. dan Ruellia tuberose L.
b) Terdapat 4 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai obat rematik, asam urat
tinggi dan bisul yaitu Artemisia vulgaris L, Tabernaemontana pandacaqui
Lam, Eleutherine bulbosa (Mill) Urb dan Adenanthera pavonina L.
c) Terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antibakteri, antivirus,
antiimflamasi, antialergi, antikanker, antioksidan yaitu Sida rhombifolia L.,
Artemisia vulgaris L,, Micromelum minutum Wight & Arn dan Eleutherine
bulbosa (Mill) Urb.
d) Terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antiimflamasi,
hepatoprotektif, analgesik, antimikroba yaitu Tabernaemontana
pandacaqui Lam, Eleutherine bulbosa (Mill) Urb dan Ruellia tuberose L.
e) Semua jenis tumbuhan yang berpotensi obat batuk, obat tetes mata, obat
malaria, obat kanker, antibakteri.
14
2) Karakteristik Resin Karet
1) Sifat-sifat getah karet klon PB 260 dan PR 303 yaitu kadar air, kadar
kotoran, kadar abu, kadar nitrogen memenuhi SNI 1903:2011 tentang Karet
Spesifikasi Teknis.
2) Kadar protein getah karet (klon PB 260 dan PR 303) cukup tinggi yaitu
1,188% yang menyebabkan getah karet menimbulkan bau disebabkan
terjadinya pembusukan protein.
3) Komponen kimia resin dari getah karet klon PB 260 terdeteksi sebanyak 19
senyawa, sedangkan pada klon PR 303 sebanyak 9 senyawa.
4) Hexadecanoic acid dan Fucosterol adalah 2 senyawa yang terdapat pada
resin getah karet klon PB 260 dan PR 303. Dengan demikian kedua
senyawa tersebut ada kemungkinan dijadikan senyawa penciri resin dari
getah karet.
3) Sintesis Borneol dari Alfa Pinena
Sintesis borneol dengan metode reaksi reduksi logam natrium dapat
menghasilkan borneol dengan kisaran 0.12-2.03%. Sementara dengan
menggunakan metode asiloksilasi belum mampu menghasilkan borneol sintesis.
B. Saran
Tumbuhan-tumbuhan yang berpotensi untuk obat perlu dikembangkan
secara terstruktur untuk menjamin kelestarian dan ketersediaan di alam. Perlu dikaji
lebih dalam kondisi reaksi yang dapat menghasilkan borneol sintesis pada reaksi
asiloksilasi.
15
Lampiran 2.
Gambar 5. Pengambilan Sampel Tumbuhan Obat
Gambar 6. Sampel Tumbuhan Obat; Bawang Hutan (kiri), Daun Saga (kanan)
16
Judul Kegiatan : Teknik Inovasi Sagu dan Aren untuk Bahan Pangan Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk
Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Koordinator : Ir. Totok K. Waluyo, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : R. Esa Pangersa G. S.Hut., Gunawan Pasaribu, S.Hut.
M.Si., Dr. Ina Winarni, S.Hut. M.Si., Novitri Hastuti, S.Hut. M.Si. Prof. Ris. Gustan Pari.
ABSTRAK Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi menyebutkan bahwa salah satu indikator pencapaian ketahanan pangan dan gizi yakni dengan penganekaragaman pangan dan perbaikan gizi masyarakat. Penganekaragaman jenis pangan termasuk introduksi bahan pangan lokal untuk mengurangi konsumsi beras. Salah satu bahan pangan lokal dan potensial di Indonesia adalah sagu dan aren. Kandungan gizi sagu berupa protein, kalsium, zat besi dan teonine masih lebih rendah dibandingkan beras dan jagung kering. Untuk itu pengolahan sagu menjadi tepung perlu ditingkatkan kualitasnya untuk memenuhi kandungan gizi yang lebih baik dengan cara fortifikasi. Sagu dalam bentuk tepung difortifikasi dengan aren dan porang menjadi biskuit dengan 7 formulasi (B1-B7) untuk kemudian dianalisa proksimat dan uji organoleptik untuk menilai tingkat kesukaan responden terhadap produk hasil penelitian. Hasil uji organoleptik menunjukkan formulasi B2 dan B5 merupakan yang paling disukai. Aren sebagai komoditas pangan sudah banyak diolah menjadi bahan pangan, salah satunya adalah Gula semut. Optimasi pengolahan gula semut dilakukan guna mengetahui kualitas gula semut yang dihasilkan dengan memberikan perlakuan berbeda pada lama penyimpanan nira (0-, 2-, 4-, 6- dan 8 jam) dan pemberian raru pada nira. Hasil penelitian menunjukkan lama penyimpanan hingga 8 jam tidak mempengaruhi nilai pH rendemen dan warna dari gula semut, namun Penambahan raru pada nira memberikan pengaruh yang nyata pada kadar sukrosa gula semut. Kata Kunci: Sagu, fortifikasi, peningkatan kandungan gizi, aren, gula semut
1. LATAR BELAKANG
Pangan adalah salah satu kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia.
Bahan pangan sumber karbohidrat non beras yang banyak terdapat di Indonesia
diantaranya adalah sagu, jagung, aren, ubi kayu, porang dan sorgum. Salah satu
jenis bahan pangan tersebut yang paling potensial dimanfaatkan adalah sagu.
17
Sebagian besar kandungan sagu adalah karbohidrat, berkisar 84-98% dan
kandungan lain yang jumlahnya sangat rendah seperti protein dan vitamin masing-
masing hanya berkisar 1%. Oleh karena itu apabila sagu dikonsumsi sebagai
makanan pokok, perlu dilakukan modifikasi untuk memperbaiki nilai gizinya
(Bantacut, 2011). Salah satu cara untuk menambahkan kandungan gizi ke dalam
tepung sagu adalah dengan cara fortifikasi.
Gula aren telah dikenal sejak dulu dan dimanfatkan sebagai pemanis alami
dalam dunia masak-memasak dan obat-obatan. Saat ini telah mulai dikenal gula
aren bentuk butiran halus atau gula semut. Petani lokal sering menggunakan raru
yang dicelupkan sesaat setelah nira disimpan didalam wadah setelah pemanenan.
Penambahan raru ini diyakini masyarakat berdampak pada kualitas gula semut yang
dihsailkan nantinya. Namun, belum banyak informasi mengenai pengaruh
penambahan raru ini terhadap kualitas gula semut.
Pada penelitian ini dilakukan fortifikasi porang dan gulas emut dari aren
kedalam tepung sagu sehingga diharapkan setelah dilakukan fortifikasi dapat
menjadikan tepung sagu sebagai bahan pangan fungsional alternatif yang bernilai
gizi tinggi serta pengaruh penambahan raru dan lama penyimpanan nira terhadap
kualitas gula semut yang dihasilkan.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas tepung sagu sebagai
bahan pangan fungsional alternatif bernilai gizi tinggi melalui proses fortifikasi dan
mengidentifikasi pengaruh lama penyimpanan nira terhadap kualitas gula semut
yang dihasilkan. Sasaran penelitian ini adalah tersedianya informasi nilai gizi
produk dari sagu hasil proses fortifikasi dan informasi kualitas gula semut hasil
optimasi pengolahan gula semut.
18
3. METODE PENELITIAN
A. Bahan dan Peralatan
Bahan utama penelitian adalah sagu dan aren. Bahan penunjang penelitian
berupa porang sebagai bahan fortifikan. Bahan penunjang yang digunakan adalah
mentega, cinnamons, vanili, telur. Alat yang digunakan adalah oven, mixer, wadah
dan lain sebagainya.
B. Prosedur Kerja
1) Sagu
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksprimen, yakni
melakukan percobaan fortifikasi porang dan aren kedalam tepung sagu.
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1) Pada tahap
pertama melakukan Pengolahan sagu, 2) pembuatan biskuit dari tepung
sagu dangan fortifikasi porang dan aren dan 3) Analisis karakteristik tepung
sagu hasil fortifikasi dan dibandingkan dengan yang tidak terfortifikasi.
Analisis yang dilakukan adalah sifat fisiko kimia dan organoleptik (uji
kesukaan). Persiapan bahan baku meliputi pengolahan sagu dan porang.
Formulasi biskuit yang digunakan pada tahapan ini dapat dilihat pada Tabel
3.
Tabel 3. Formulasi biskuit
Bahan Kontrol Aren Kirai
1 2 3 4 5 6 Tepung terigu, gr 200 - - - - - - Tepung tapioka, gr 200 - - - - - - Tepung porang, gr - 200 100 300 200 100 300 Sagu, gr - 200 300 100 200 300 100 Gula aren, gr 100 100 100 100 100 100 100 Mentega, gr 150 150 150 150 150 150 150 Telur, butir 1 1 1 1 1 1 1 Vanili, sdt 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 Backing soda, sdt 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 Garam secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya
Chococips secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya
19
Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu analisa proksimat dan
uji organoleptik. Analisa proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar
protein, kadar lemak, kadar karbohidrat mengikuti prosedur standar AOAC
(2005), kadar serat kasar, kolesterol dan kalsium mengikuti prosedur standar
BSN (2011), dan nilai kalori mengikuti prosedur standar BSN (1992). Uji
organoleptik dilakukan terhadap 30 responden dengan menilai warna,
aroma, rasa dan tekstur dari masing-masing formula.
2) Aren
Proses optimasi pengolahan gula semut dilakukan pada tahap persiapan
sebelum pengolahan dimulai. Perlakuan pada tahapan persiapan adalah
dengan membandingkan pengaruh waktu penyimpanan setelah panen dan
pemberian raru sebagai bahan pengawet terhadap kualitas gula semut.
Perlakuan pada waktu antara panen dan proses pengolahan adalah segar (0
jam), 2 jam, 4 jam, 6 jam dan 8 jam. Analisis dilakukan terhadap gula semut
meliputi : warna, rendemen, kadar sukrosa, kadar pati, kadar amilosa dan
amilopektin.
3) Analisis Data
Sagu
Data hasil pengamatan disajikan secara kualitatif dan deskriptif dalam
bentuk tabulasi. Data SNI mengenai sagu dan biskuit akan dijadikan acuan
sebagai pembanding. Uji organoleptik biskuit dianalisa menggunakan
metode Kruskall-Wallis.
Gula Semut
Analisis statistik yang digunakan berupa analisis rancangan acak lengkap
dengan perlakuan lama waktu penyimpanan dan penambahan raru. Lama
waktu penyimpanan (A) yaitu 0, 2, 4, 6 dan 8 jam, sedangkan penambahan
raru (B) dilakukan dengan penambahan atau tanpa penambahan raru pada
nira. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan rumus sebagai berikut :
𝑌𝑖𝑗𝑘=𝑢+𝛼𝑖+𝛽𝑗+(𝛼𝛽)𝑖𝑗+𝜖𝑖𝑗𝑘
20
Keterangan :
𝑌𝑖𝑗𝑘 = Nilai pengamatan
𝑢 = Nilai rata-rata sebenarnya
𝛼𝑖 = Pengaruh faktor lama waktu penyimpanan pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3)
𝛽𝑗 = Pengaruh faktor penambahan raru pada taraf ke-j (j = 1,2,3, ...., 10)
(𝛼𝛽)𝑖𝑗 = Pengaruh faktor interaksi faktor waktu taraf ke-i dan penambahan raru
taraf ke-j
𝜖𝑖𝑗𝑘 = error
Selanjutnya untuk perlakuan yang menunjukkan berbeda nyata dilakukan
uji lanjut Duncan untuk mengetahui signifikansi masing-masing variabel
yang berpengaruh pada hasil pengamatan seperti rendemen, kadar sukrosa,
kadar amilosa, kadar amilopektin dan warna.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sagu
Tabel 4. Analisis proksimat biskuit
Parameter Formulasi
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 Kalori (kKal) 475,29 458,26 460,07 376,82 450,65 477,65 456,06 Karbohidrat (%) 49,46 52,91 56,41 59,44 60,84 50,20 58,14 Lemak total (%) 21,05 18,07 16,14 6,02 14,51 20,61 14,69 Kadar protein (%) 21,99 21,00 22,28 21,22 19,16 22,83 22,81 Serat kasar (%) 1,12 2,27 1,74 1,24 1,64 2,88 1,44 Kadar air (%) 4,50 6,61 3,44 10,72 4,19 2,96 3,29 Kadar abu (%) 2,98 1,41 1,72 2,60 1,28 3,39 1,05 Kolesterol (mg/100 gr) 0,02 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 0,02 Kalsium (mg/100 gr) 709,95 583,69 429,72 510,17 1.629,03 703,72 568,18 Fe (mg/100 gr) 17,85 14,51 11,18 12,96 19,31 17,55 15,14
Proses fortifikasi sagu dengan porang dan aren meningkatkan nilai gizi sagu
dalam hal kalori, lemak total, kadar protein, kalsium dan Fe. Hasil uji organoleptik
biskuit berbahan dasar tepung sagu, porang dan aren dengan 7 formulasi diperoleh
bahwa formulasi B2 (perbandingan tepung sagu : porang = 3:1) merupakan yang
paling disukai responden dalam hal aroma, rasa dan tekstur.
21
B. Aren
Gambar 7. Perbandingan nilai pH Nira, Rendemen dan Kadar Sukrosa Gula Semut
Nilai pH nira dengan penambahan raru lebih besar dibandigkan dengan nira
tanpa penambahan raru. Hal ini menandakan penambahan raru menghambat
terjadinya fermentasi pada nira.
Rendemen gula semut yang dihasilkan dari nira baik dengan penambahan
raru atau tidak, memiliki kecenderungan nilai yang tidak jauh berbeda. Analisis
statistik menunjukkan bahwa penambahan raru tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap rendemen yang dihasilkan.
Dilihat dari kualitas gula dalam hal kadar sukrosa, gula semut yang berasal
dari nira tanpa penambahan raru memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan gula
semut yang berasal dari nira dengan penambahan raru. Namun bila dilihat dari
analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan raru tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kadar sukrosa.
22
Tabel 5. Perbandingan kadar pati, amilosa dan amilopektin gula semut
Parameter Asal gula semut
Nira + raru Nira tanpa raru Kadar pati 3,64 1,81
Kadar amilosa 0,85 0,23 Kadar amilopektin 2,79 1,58
Hasil penelitian menunjukkan kadar pati gula semut yang berasal dari nira
dengan penambahan raru menghasilkan nilai yang lebih tinggi (3,64%)
dibandingkan dengan gula semut yang berasal dari nira tanpa raru (1,81%). Hal
yang sama juga terjadi pada nilai kadar amilosa dan amilopektin, pada gula semut
yang berasal dari nira dengan penambahan raru menghasilkan nilai yang lebih
tinggi (0,85% ; 2,75%) dibandingkan dengan gula semut yang berasal dari nira
tanpa raru (0,23% ; 1,58%). Hal ini diduga karena kandungan zat ekstraktif yang
terdapat pada raru menghambat terjadinya proses fermentasi pada nira. Semakin
lama proses fermentasi ini terjadi maka semakin banyak zat asam yang terbentuk,
semakin banyak terjadi perombakan gula, artinya gula (karbohidrat) semakin
sedikit, dengan demikian angka pH (keasaman) semakin rendah.
Tinggi rendahnya kadar pati, amilosa dan amilopektin mengindikasikan
indeks glikemik dari gula semut. Indeks glikemik adalah ukuran seberapa besar
efek suatu makanan yang mengandung karbohidrat dalam meningkatkan kadar gula
darah setelah dimakan, dibandingkan dengan glukosa atau roti putih. Makanan
dengan indeks glikemik tinggi adalah makanan yang cepat dicerna dan diserap
sehingga kadar gula darah akan meningkat dengan cepat secara signifikan.
Makanan dengan indeks glikemik yang rendah mengalami pencernaan dan
penyerapan yang lebih lambat sehingga peningkatan kadar glukosa dan insulin
dalam darah akan terjadi secara perlahan-lahan.
23
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Hasil kegiatan inovasi peningkatan kualitas tepung sagu sebagai bahan
pangan fungsional alternatif bernilai gizi tinggi dapat disimpulkan bahwa
fortifikasi tepung sagu dengan penambahan gula aren dan tepung porang
meningkatkan nilai gizi dalam hal kalori, lemak total, kadar protein,
kalsium dan Fe.
2) Hasil uji organoleptik produk turunan (diversifikasi) olahan produk
fortifikasi berbentuk biskuit dengan 7 formulasi disimpulkan bahwa
formulasi B2 (perbandingan tepung sagu : porang = 3:1) merupakan yang
paling disukai responden dalam hal aroma, rasa dan tekstur.
3) Hasil kegiatan optimasi pengolahan gula aren dapat disimpulkan bahwa
penambahan raru pada nira sebelum diolah menjadi gula semut tidak
mempengaruhi kualitas dari segi rendemen, warna dan kadar sukrosa dari
gula semut yang dihasilkan dibandingkan dengan gula semut yang berasal
dari nira tanpa penambahan raru dalam rentang waktu penyimpanan 0
hingga 8 jam.
B. Saran
Sagu, porang dan aren merupakan bahan pangan alternatif potensial yang
berasal dari Kehutanan. Potensi yang semakin beragam melalui proses pengolahan
menjadi diversifikasi produk turunan dari ketiga jenis bahan pangan ini perlu diteliti
lebih lanjut lagi guna mendukung Riset Nasional di bidang bahan pangan alternatif.
24
Lampiran 3.
Gambar 8. Dokumentasi Kegiatan Penelitian
25
Judul Kegiatan : Diversifikasi Jenis Kayu Alternatif dan Penyempurnaan Sifat Kayu untuk Pemenuhan Kebutuhan Kayu sebagai Bahan Baku Industri Perkayuan
Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dr. Drs. Djarwanto, M.Si., Dr. Krisdianto, S.Hut. M.Sc.
Ir. Jamal Balfas, M.Sc., Drs. Ahmad Supriadi, MM., Abdurachman, ST. Dra. Jasni, M.Si., Dra. Sihati Suprapti, Dr. Karnita Yuniarti, S.Hut. M.Sc., Prof. Ris. Gustan Pari, Dian Anggraeni, S.Hut. MM., Drs. Agus Ismanto, M.Si., Rohmah Pari, S.Hut., Esti Rini Satiti, S.Hut., Ir. Efrida Basri, M.Sc.
ABSTRAK
Pengetahuan sifat dasar kayu kurang dikenal, dapat menentukan penggunaannya yang tepat sehingga pemanfaatannya lebih optimal. Kayu kurang dikenal dalam penggunaannya yang sesuai dengan sifat yang dimiliki menjadi pemasok bahan baku industri perkayuan. Dengan demikian, memanfaatkan kayu kurang di kenal akan dapat meningkatkan diversifikasi penggunaan kayu. Pada kegiatan ini, bahan yang dipakai adalah tiga jenis kayu dari Kalimantan Barat yaitu bengkulung (Drypetes neglecta (Kord..) Pax. & K.Hoffm.), ubar (Syzygium sp.), sawang (Santiria sp.).,. Sifat dasar yang diteliti adalah struktur anatomi dan dimensi serat, fisis dan mekanis, keawetan terhadap serangga, jamur, penggerek di laut, keterawetan, pengeringan, pemesinan, venir dan kayu lapis, kimia dan destilasi kering serta pulp dan kertas. Penelitian laboratorium dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Pengujian lapangan keawetan kayu dilakukan di Cikampek dan Pulau Rambut. Pengambilan kayu di lapangan terkendala sering sulit mendapatkan ijin lokasi hutan alam yang masih aktif HPH-nya, penjadwalan yang berubah-ubah dari pemilik hingga sulitnya menyesuaikan waktu dngan peneliti. Kata kunci : Kayu Kalimantan, sifat anatomi, pemesinan, diversifikasi jenis, keawetan
kayu, pulp, arang
1. LATAR BELAKANG
Telah disepakati bahwa peneltian sifat dasar kayu ditargetkan menyediakan
data dan informasi jenis kayu Indonesia untuk bahan penyusunan atlas kayu. Disisi
lain juga disisipkan asdas manfaat untuk melengkapi koleksi Xylarium Pusat
Litbang Hasil Hutan. Dari 400 jenis kayu yang dianggap penting itu baru 267 jenis
yang sudah diketahui sifat dan kegunaannya. Di antaranya sudah dikenal dalam
perdagangan dan dapat dikelompokkan menjadi 120 jenis kayu perdagangan
26
(Kartasujana & Martawijaya, 1979). Sisanya, yaitu 133 jenis digolongkan ke dalam
kelompok kayu kurang dikenal, mungkin saja merupakan kayu yang mempunyai
potensi cukup besar dan cepat tumbuh.
Kurang dikenalnya sifat kayu yang berasal dari hutan alam maupun hutan
rakyat, sering dicampurkannya jenis kayu yang berkualitas rendah dengan yang
berkualitas tinggi. Tanpa diketahui sifat-sifat kayunya dapat berakibat dalam
penggunaannya menjadi tidak efisien dan optimal. Untuk menanggulangi hal
tersebut maka diupayakan oleh P3HH, setiap tahun diteliti sifat dasar 5 jenis kayu
dari berbagai lokasi, antara lain Sumatera. Aspek yang diteliti adalah struktur
anatomi dan dimensi serat, sifat fisis dan mekanis, sifat pemesinan, sifat keawetan
terhadap serangga, sifat keawetan terhadap jamur, sifat keawetan terhadap
penggerek di laut, sifat keterawetan, sifat pengeringan, sifat venir dan kayu lapis,
sifat kimia dan nilai kalor, serta sifat dan pengolahan pulp untuk kertas. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pemanfaatan
kayu, sehingga dapat terjadi diversifikasi penggunaan jenis kayu. Dengan demikian
kayu jenis lain dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri maupun untuk
keperluan lain yang tidak lagi terbatas pada jenis kayu tertentu.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Penelitian yaitu Menyediakan data dan informasi sifat dasar dan kegunaan
tiga jenis kayu Kalimantan. Sedangkan luaran yang diharapkan tersedianya data
sifat dasar dan potensi kegunaan 3 jenis kayu Kalimantan untuk bahan penyusunan
Atlas kayu Indonesia.
3. METODE PENELITIAN
Struktur anatomi dan dimensi serat kayu berupa karakteristik anatomi serta
susunan sel-sel penyusun yang dimiliki setiap jenis kayu mengacu prosedur
Keating 1994 dan PROSEA 5 (1). Sifat fisis dan mekanis kayu berupa pengujian
contoh kayu yang diteliti mengacu standar ASTM D143-94-2006. Sifat pemesinan
dilakukan untuk mengetahui karakter kayu dalam proses pengerjaan mengacu
standar ASTM D-1666-64 -1982. Sifat keawetan kayu berupa pengujian terhadap
27
organisme perusak mengacu standar SNI 7207:2014. Sifat keterawetan kayu berupa
pengujian terhadap kemampuan kayu ditembus bahan pengawet mengikuti standar
IUFRO. Sifat pengeringan kayu dilakukan pengujian melalui metode pengeringan
secara alami dan buatan mengacu prosedur Terazawa-1965. Sifat venir dan kayu
lapis dilakukan untuk mengetahui karakter kayu jika dikupas, atau direkat, dalam
proses pembuatan venir dan kayu lapis mengacu pada SNI 01.5008.2 :2002) dan
JAS :2013. Sifat kimia dan nilai kalor dilakukan dengan menganalisis kandungan
kimia dalam kayu mengacu pada ASTM (1980,2001,2006). Sifat dan pengolahan
pulp untuk kertas dilakukan pengujian terhadap sifat pengolahan dan pulp yang
dihasilkan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bengkulung (Drypetes neglecta (Kord..) Pax. & K.Hoffm.)
Famili Polygalaceae. Tanah tempat tumbuh perbukitan. Tumbuhan daun
lebar. Memiliki banir pendek. Bentuk pohon agak silindris dengan percabangan
melebar ke sisi luar batang. Kulit batang kasar pecah-pecah berwarna gelap
kecoklatan. Pohon 1: tempat tumbuh pohon terdapat pada titik koordinat S
01.09081° - E 111.23371°. Tinggi batang bebas cabang 23 m, diameter 60 cm;
tinggi kanopi sekitar 30 m. Posisi daun mengumpul sedikit pada ujung ranting,
terletak bersilangan. Bunga dan buah tidak dijumpai. Nomor koleksi xylarium
34430. Distribusi pohon bengkulung meliputi Peninsular Malaysia, Sumatra,
Borneo (Sarawak, Brunei, Sabah, West-, Central- and East-Kalimantan)
(Soerianegara dan Lemmens, 1994).
B. Kayu sawang (Santiria sp.)
Famili Burceraceae; Genus : Santiria sp. (Lemmens, Soerianegara dan
Wong, 1994). Tapak tempat tumbuh perbukitan. Tumbuhan daun lebar. Tajuk tipis.
Batang bagian bawah berbanir. Batang tegak agak silindris. Kulit batang berwarna
gelap coklat agak cerah, tidak terlalu tebal, agak kasar bersisik. Pohon I: tumbuh
pada posisi koordinat S 01.109159° dan E 111.23200° diameter 46 cm tinggi bebas
cabang 17 m. Nomor koleksi xylarium 34431.
28
C. Kayu ubar (Syzygium sp.)
Famili Myrtaceae. Genus Syzygium. Jenis tanaman ini termasuk suku
meranti-merantian atau Dipterocarpaceae (Soerianegara dan Lemmens, 1994).
Tapak tempat tumbuh perbukitan. Tumbuhan daun lebar. Tajuk tipis. Batang bagian
bawah berbanir. Banir berupa tipis sempit setinggi 2-3 m. Batang tegak agak
silindris. Kulit batang berwarna gelap coklat kehitaman, kasar pecah-pecah. Titik
koordinat lokasi tumbuh pohon 1: S 01.09114° dan E 111.23114°; tinggi pohon
bebas cabang sekitar 18 m, diameter 56 cm. Bunga dan buah tidak dijumpai. Nomor
koleksi xylarium 34433.
Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis. Pengujian Sifat mekanis kayu Kalimantan
meliputi kekerasan (sisi dan ujung), uji pukul (tangensial dan radial), keteguhan
proporsi limit (MPL), keteguhan patah (MOR), keteguhan elastisitas (MOE),
keteguhan tekan (// serat dan ┴ serat), keteguhan geser (tangensial dan radial),
keteguhan belah (tangensial dan radial), serta keteguhan tarik (┴ tangensial, ┴
radial, // tangensial, dan // radial). Hasil uji sifat mekanis kayu sebelum dikeringkan
kayu Bengkulung memiliki nilai MPL 504.05; MOE 85339.83; MOR 769.98
kg/cm2; keteguhan tekan // 385.35 dan ┴ 151.12 kg/cm2 ; keteguhan geser radial
67.01, tangensial 57.39 serta keteguhan pukul radial 32.11 dan tangensial 32.49
(kg/cm2). Kayu sawang memiliki nilai MPL 713.49; MOE 150774.98; MOR
1182.05 kg/cm2; keteguhan tekan // 534.00 dan ┴ 278.41 kg/cm2 ; keteguhan geser
radial 74.49, tangensial 100.85 serta keteguhan pukul radial 57.69 dan tangensial
58.53 (kg/cm2). Kayu Ubar memiliki nilai MPL 482.44; MOE 114,311.90; MOR
835.02 kg/cm2; keteguhan tekan // 366.75 dan ┴ 171.16 kg/cm2 ; keteguhan geser
radial 59.77, tangensial 104.80 serta keteguhan pukul radial 45.82 dan tangensial
47.89 (kg/cm2).
Pengujian sifat pemesinan meliputi sifat pengetaman, pembentukan, pemboran,
pengampelasan dan pembubutan. Standar baku contoh kayu pemesinan harus sudah
dalam keadaan kering dengan kadar air sekitar 12%. Pengerjaan kayu yang belum
kering sempurna akan menghasilkan kualitas kerja yang tidak baik. Persentase
bebas cacat hasil pengerjaan pemboran pada kayu basah rendah, cacat serat berbulu
29
(fuzzy grain) merupakan jenis cacat yang paling banyak ditemukan pada hasil
pengerjaan kayu yang masih basah.
Pengujian terhadap serangga. Hasil pengujian keawetan alami lima jenis kayu
terhadap rayap tanah masih harus dikaji terus. Nampak rayap tanah masih
memberikan reaksi menggigiti kayu contoh uji yang diumpankan kepada rayap
pada pengmpanan empat minggu. Banyak dan sedikitnya jumlah rayap yang hidup
dipengaruhi makanan utama rayap yang ada dalam kayu antara lain selulosa, karena
selulosa sebagai energi bagi hidup rayap dan setiap jenis kayu mempunyai
kandungan selulosa yang berbeda dan selulosa dalam kayu berjumlah 40-50%
(Sumarni, 2004 dalam Jasni & Rullyati, 2015). Disamping selulosa, juga ketahanan
kayu dipengaruhi zat ekstratif dalam kayu, zat ektraktif dapat bersifat fungisida
maupun insktisida (Martawijaya, 1996).
Pengujian Sifat Ketahanan Terhadap Jamur, Berdasarkan data laju
pertumbuhan dan penyebaran miselium di perkirakan kelas ketahanan lima jenis
kayu pada masa inkubasi 12 minggu berdasarkan SNI 7207:2014. Perkiraan
ketahanan atau resistensi kayu terhadap serangan jamur pelapuk di laboratorium
tersebut yaitu kayu Xanthophyllum exelsum, Santiria sp., Syzigium sp. termasuk
kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV) terhadap 4 jenis jamur pelapuk (Pycnoporus
sanguineus HHBI-324, Polyporus sp. HHBI-209, dan Schizophyllum commune
HHBI-204, Tyromyces palustris HHBI-232). Berdasarkan pertumbuhan miselium
jamur pelapuk maka pada masa inkubasi 12 minggu diperkirakan kayu
Xanthophyllum exelsum, Santiria sp., Syzigium sp. termasuk kelompok kayu tidak-
tahan (kelas IV) terhadap 4 jenis jamur pelapuk (Pycnoporus sanguineus HHBI-
324, Polyporus sp. HHBI-209, dan Schizophyllum commune HHBI-204, Tyromyces
palustris HHBI-232).
Ketahanan Terhadap Penggerek Kayu di Laut. Data suhu dan salinitas rata-rata
perairan Pulau Rambut hasil pengukuran di beberapa lokasi adalah 34,0ºC dan 29,7
%. Perairan P. Rambut masih jernih dan banyak ditemukan landak laut atau bulu
babi (Echinoidea), kerang laut, rumput laut, siput laut dan berbagai jenis terumbu
karang. Sampai saat ini perairan P. Rambut masih cocok dan ideal untuk kegiatan
pengujian keawetan kayu secara alami terhadap serangan penggerek kayu di laut
30
(marine borers). Serangan penggerek pada kayu yang dipasang sebelumnya,
umumnya sedang sampai berat, jenis penggereknya didominasi jenis kelempok
Teredinidae, kemudian kelompok Pholadidae. Binatang penggerek kayu di laut
perairan Pulau Rambut yang potensial menyerang contoh uji adalah dari kelompok
famili Teredinidae dan Pholadidae.
Dalam uji Sifat Keterawetan; Pengawetan dilakukan dengan menggunakan bahan
pengawet golongan B yaitu campuran bahan kimia tembaga-khrom-boron (CCB)
3% melalui proses vakum tekan (sel penuh). Vakum awal yang diberikan 50 cm Hg
selama 15 menit, tekanan 10 atm selama 120 menit dan vakum akhir 15 menit. Sifat
keterawetan ditetapkan berdasarkan SNI 01-5010-1999 pengawetan untuk
digunakan di bawah atap atau di dalam ruangan dan contoh uji dapat diawetkan
bersama-sama. Hasil treatment sementara diketahui bahwa kayu ubar, sawang,
bengkulung, dapat diawetkan dengan bahan pengawet golongan boron dengan
tingkat keterawetan sedang sampai agak sukar. Kayu bengkulung memiliki kelas
keterawetan II (sedang) dengan retensi 9,5 kg/m3, sedangkan kayu sawang dan ubar
jatuh ke kelas III (sukar). Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik perlu dilakukan
dengan penambahan waktu tekan dan peningkatan kosentrasi larutan bahan
pengawet.
Uji Sifat Pengeringan, terhadap ketiga jenis kayu yang diteliti, hanya kayu
bengkulung memiliki sifat pengeringan agak baik (kelas 3). Kedua jenis yang lain
(ubar dan sawang) mengalami perubahan bentuk, pecah permukaan,dan pecah
dalam (honeycomb defect) yang parah (kelas 6). Cacat pecah dalam yang parah
lazimnya terjadi pada kayu yang cenderung kolaps (collapse) atau berubah bentuk
yang sangat parah sewaktu dikeringkan (Mugabi et al., 2011). Jenis cacat ini perlu
dipertimbangkan sewaktu akan menetapkan suhu dan kelembaban awal
pengeringan, terutama pada kadar air kayu yang sangat basah. Hal ini karena
kehadiran cacat tersebut berpengaruh terhadap kualitas dan kekuatan kayu yang
dikeringkan (Phonetip et al., 2017). Berdasarkan sifat pengeringannya, maka bagan
pengeringan dasar kayu ubar dan sawang adalah suhu 40 - 65oC dan kelembaban
88 – 17%, sedangkan bagan pengeringan dasar kayu bengkulung suhu 55 - 80oC
dan kelembaban 76 – 22%.
31
Sifat Venir dan Kayu Lapis. Jenis kayu yang diteliti pada tahun 2017 yaitu
Kumpang (Albizia sp.) dengan panjang dolok 126 cm dan diameter 45,4 cm,
Bengkulung (Xanthophyllum excelsum Miq.) dengan panjang dolok 121 cm dan
diameter 44,8 cm, Sawang (Santiria sp,) dengan panjang dolok 127 cm dan
diameter 36,2 dan Ubar (Syzygium sp.) dengan panjang dolok 130,8 cm dan
diameter 46,8 cm, semuanya dapat dikupas dalam keadaan dingin. Mutu venir pada
umumnya tidak dapat digunakan sebagai venir muka (face) kayu lapis dan hanya
sesuai untuk digunakan sebagai venir dalam (core, cross core dan long core) dan
venir belakang (back) kayu lapis. Venir yang bisa digunakan sebagai venir muka
kayu lapis adalah dari jenis kayu bengkulung.
Sifat Kimia dan Nilai Kalor. Kadar air pada ketiga jenis kayu yang dianalisa
memiliki kadar air di bawah 10% sehingga menurut SNI 7973-2013, ketiga jenis
kayu memenuhi kondisi untuk desain dan konstruksi kayu. Kadar air tertinggi
dimiliki oleh kayu Ubar sebesar 9,97%. Kadar abu pada tiga jenis kayu berkisar
antara 0,32-2,14 %. Kadar abu ini memiliki peranan dalam pemanfaatan kayu,
misalnya pada proses hidrolisis kayu diharapkan kadar abu tidak terlalu tinggi
karena dengan semakin banyaknya kadar abu, maka semakin sulit dihidrolisis
karena fraksi anorganik dalam kayu dapat menghalangi proses pemecahan kayu
menjadi glukosa. Kadar silica juga merupakan analisa penting pada kayu karena
dengan mengetahui kadar silika, maka pemanfaatan kayu juga akan lebih tepat
guna. Pada penelitian ini, kadar silika yang dihasilkan pada kayu yang diuji berkisar
antara 0,2-0,6 % dengan kayu bengkulung dengan kadar 0,678 %. Kadar silica akan
mengakibatkan proses penumpulan peralatan logam pada saat proses pengerjaan
kayu (Bowyer et al., 2007). Kadar silica juga berpengaruh pada pembuatan kertas
dan bioetanol, karena dengan tingginya kadar silica maka kualitas kertas yang
terbentuk akan semakin menurun dan dapat terjadi penghambatan pada proses
hidrolisis karena sulit terdegradasi. Silika juga paling berpengaruh pada
pembentukan fosil kayu, karena silica akan mengisi dinding sel dan menyebabkan
adanya presipitasi sehingga kayu akan mengeras.
Ketiga jenis kayu yang dianalisa memiliki kadar kelarutan air dingin, kelarutan air
panas, kelarutan alkohol-benzena dan kelarutan NaOH yang bervariasi. Kadar
32
kelarutan dalam air dingin berkisar antara 0,63% -2,6%, kelarutan dalam air panas
3,28% -8,41%, kelarutan dalam NaOH sebesar 10,41%-19,01% dan kelarutan pada
alkohol-benzena 3,38%-4,30% dan secara garis besar kayu Ubar memiliki nilai
kelarutan yang lebih tinggi dibanding jenis kayu lainnya. Nilai kelarutan ini
berkaitan dengan kadar ekstraktif didalam kayu. Kadar zat ekstraktif dapat
berpengaruh terhadap proses pulping dan konversi bahan lignoselulosa menjadi
bioetanol. Kandungan zat ekstraktif yang tinggi pada proses pulping mempengaruhi
pada kondisi pemakaian bahan pemasak yang tinggi serta rendemen pulp yang
dihasilkanakan cenderung menurun sedangkan pada proses pembuatan bioetanol
juga akan menurunkan aksesibilitas enzim dalam proses degradasi kayu.
Kelarutan dalam air dingin maupun air panas dapat memudahkan proses-proses
ektraksi, sebagai contoh pada senyawa dengan BM rendah seperti oligosakarida
akan lebih mudah terekstrak (Song, et al., 2012). Kelarutan dalam alkohol-benzena
menunjukkan kemudahan untuk mengekstrak senyawa semi polar dan non polar.
Senyawa seperti polifenol sederhana, senyawa glikosida, tannin, mono dan
disakarida diketahui dapat diekstrak menggunakan alkohol (Harkin & Rowe, 1971).
Kelarutan dalam NaOH juga menunjukan kemudahan selulosa untuk diaksespada
proses pulping, karena struktur kimia selulolsa yang kaku (rigid) dan memiliki
ikatan inter dan intra hidrogen yang kuat, sehingga dari hasil uji dan penelitian-
penelitian terdahulu maka semakin tinggi nilai kelarutan suatu senyawa kayu maka
makin mudah dalam proses aplikasi dan pemanfaatannya untuk beberapa produk.
Uji sifat dasar juga meliputi analisa sifat arang yang dihasilkan dari tiap-tiap jenis
kayu. Sifat arang yang diamati pada penelitian ini meliputi kadar air, kadar abu,
kadar zat terbang dan karbon terikat pada setia parang dari jenis kayu yang berbeda.
Kadar air ketiga jenis kayu berkisar antara 0,01-0,69 % dengan kadar air tertinggi
dimiliki oleh jenis kayu bengkulung dan terendah adalah kayu Ubar. Perbedaan
kadar air ini kemungkinan dikarenakan struktur pori yang dari masing-masing kayu
serta juga dipengaruhi oleh kelembaban lingkungan. Kadar air yang dimiliki oleh
arang seyogyanya bernilai rendah, agar arang tidak bersifat higroskopis dan mudah
direaksikan dengan senyawa tertentu ketika akan dilakukan proses aktivasi arang
untuk manfaat lebih lanjut.
33
Kadar abu pada kelima jenis kayu berkisar antara 0,59-5,4 %. Kadar abu
berpengaruh terhadap daya serap arang maupun arang aktif karena semakin banyak
kadar abu yang dimiliki, maka disinyalir kemampuan daya serap arang maupun
arang aktif akan menurun, seperti pada penggunaan arang/arang aktif dalam
adsorpsi limbah logam maupun larutan. Kadar abu memiliki kandungan kalsium,
kalium, magnesium dan natrium yang dapat menutup permukaan pori arang
sehingga menghalangi proses adsorpsi (Benaddi, et al., 2012). Kadar zat terbang
pada ketiga jenis sampel memiliki kandungan sekitar 3-26 % dengan kadar zat
terbang tertinggi pada sampel kayu Ubar sebesar 26,15 %. Kadar zat terbang
mengindikasikan seberapa besar permukaan arang mengandung zat/senyawa lain
selain karbon. Sedangkan kadar karbon terikat pada setiap jenis kayu bernilai diatas
50 % dengan kadar karbon terendah pada kode sampel kayu Ubar.
Penyempurnaan Sifat (Dasar) Kayu. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2016,
tiga jenis yaitu meranti bunga (Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis), mempisang
(Diospyros korthalsiana Hiern.) yang masing-masing memiliki kelas awet III, dan
suntai (Palaquium burckii H.J.L.) yang berkelas awet V, dan tidak tahan terhadap
serangan rayap tanah, maka dilakukan penyempurnaan dengan mengunakan
berbagai konsentrasi bahan pengawet hasil penelitian terlihat pada table berikut :
Proses pengawetan pada kayu dengan bahan pengawet boron 3 %, dua jenis kayu
meranti bunga dan mempisang sudah menaikan kelas dari kelas III (ketahanan
sedang) menjadi kelas II (tahan), sedangkan kayu suntai dari kelas V (sangat tidak
tahan )menjadi kelas III tahan), akan tetapi untuk kayu suntai konsentrasi 5% baru
dapat menaikan menjadi kelas II (tahan). Namun kalau untuk lebih baik lagi bisa
digunakan bahan pengawet boron dengan konsentrasi 7% dari kelas III maupun
kelas V menjadi kelas I (Sangat tahan). Kalau dilihat tentang mortalitas (jumlah
rayap yang mati) pada konsentrasi 3% mortlaitas mencapai 100%, matinya rayap
salah satu faktor adalah bahan pengawet yang bersifat racun (insektisida). Maka
untuk memperpanjang umur pakainya perlu dilakukan pengawetan dengan
menggunakan bahan pengawet.
34
PUBLIKASI ILMIAH. Pada dua tahun terakhir, terkait dengan penelitian sifat
dasar kayu telah terbit beberapa karya tulis ilmiah yaitu:
1) Kualitas arang 6 jenis kayu asal Jawa Barat sebagai produk destilasi kering.
Hastuti, N.; Pari, G.; Setiawan, D.; Mahpudin; Saepuloh. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan vol 33, no 4 (2015): 337-346.
2) Uji pelapukan pada lima jenis kayu yang dipasang sekrup logam. Suprapti, S.;
Djarwanto. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol 33, no 4 (2015): 365-376.
3) Keterawetan enam jenis kayu dari Jawa Barat dan riau. Krisdianto; Sudika,
D.A.; Wahyudi, A.; Muslich, M. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol 33, no 4
(2015): 329-336.
4) Ketahanan 30 jenis kayu Indonesia terhadap serangan bubuk kayu kering
Heterbostrichus aequalias Wat. Jasni, Jasni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol
33, no 3 (2015): 225-235.
5) Kualitas papan lamina dengan perekat resorsinol dari ekstrak limbah kayu
merbau. Santoso, A.; Pari, G.; Jasni, Jasni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol
33, no 3 (2015): 253-260.
6) Peningkatan mutu papan partikel melalui peningkatan kadar perekat. Iskandar,
M. I.; Supriadi, A. Jurnal Penelitian Hasil Hutan vol 33, no 2 (2015): 145-151.
7) Komponen kimia dan potensi penggunaan lima jenis kayu kurang dikenal asal
Jawa Barat. 2015. Hastuti, N., Efiyanti, L., Pari, G., Saepuloh, Saepuloh,
Setiawan, D. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.
8) Pengklasifikasian ketahanan 20 jenis bambu terhadap rayap kayu kering. Jasni,
Damayanti, R., & Sulastiningsih, I. M. 2015.
9) Natural durability of 57 Indonesian wood species tested under the shade. Jasni,
2016
10) Ketahanan 45 jenis kayu Indonesia terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah.
Muslich, M., Rulliaty, S. Jurnal Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 2016.
35
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Berdasarkan jumlah rayap tanah yang hidup (Natalitas) sampai usia 3
minggu pengumpanan, kelima jenis kayu berpotensi diserang rayap tanah.
2) Sifat pengeringan kayu ubar dan sawang termasuk buruk (kelas 6) dan kayu
bengkulung termasuk agak baik (kelas 3).
3) Berdasarkan sifat pengeringannya, maka bagan pengeringan dasar kayu
ubar dan sawang adalah suhu 40 - 65oC dan kelembaban 88 – 17%,
sedangkan bagan pengeringan dasar kayu bengkulung yaitu suhu 55 - 80oC
dan kelembaban 76 – 22%.
4) Berdasarkan pertumbuhan miselium jamur pelapuk maka pada masa
inkubasi 12 minggu diperkirakan kayu Xanthophyllum exelsum, Canarium
sp./ Santiria sp., Lapopethalum beccarianum termasuk kelompok kayu
tidak-tahan (kelas IV) terhadap 4 jenis jamur pelapuk (Pycnoporus
sanguineus HHBI-324, Polyporus sp. HHBI-209, dan Schizophyllum
commune HHBI-204, Tyromyces palustris HHBI-232), dan kayu
Lithocarpus ewyckii , kumpang termasuk kelompok kayu agak tahan
sampai tahan (kelas III-IV).
5) Berdasarkan sifat pemesinan jenis kayu yang memiliki sifat pengetaman dan
pengamplasan termasuk baik penggunaannya dapat untuk panel, daun meja,
pelapis dinding dan lain-lain. Untuk jenis kayu yang sifat pembentukannya
termasuk baik penggunanaannya dapat untuk molding dan bahan ukiran.
Jenis kayu yang sifat pemborannya baik dapat digunakan untuk sambungan
pasak. Jenis yang sifat pembubutannya baik dapat digunakan untuk jeruji
atau barang bubutan lainnya.
6) Binatang penggerek kayu di laut perairan Pulau Rambut yang menyerang
contoh uji adalah dari kelompok famili Teredinidae dan Pholadidae.
7) Mutu venir pada umumnya tidak dapat digunakan sebagai venir muka (face)
kayu lapis dan hanya sesuai untuk digunakan sebagai venir dalam (core,
cross core dan long core) dan venir belakang (back) kayu lapis. Cacat venir
dapat dihindari dengan pengupasan kayu ketika masih segar. Venir yang
36
bisa digunakan sebagai venir muka kayu lapis adalah dari jenis kayu
bengkulung.
8) Hasil modifikasi sifat ketahanan terhadap rayap tanah menggunakan
senyawa boron (B) terhadap meranti bunga (Shorea teysmanniana Dyer. ex
Brandis) dan mempisang (Diospyros korthalsiana Hiern.), yang memiliki
kelas ketahanan III, serta suntai (Palaquium burckii H.J.L.) memiliki kelas
ketahanan V, semuanya dapat ditingkatkan menjadi kelas ketahanan I
melalui proses pengawetan pada konsentrasi Boron 7%, dengan masing-
masing retensi 14,46 kg/m3 (meranti bunga), 29,91 kg/m3 (mempisang),
dan 16,84 kg/m3 (suntai).
B. Saran
Penelitian ini masih perlu dilanjutkan sampai diperoleh data akhir sebagai
bahan kajian ilmiah.
37
Lampiran 4.
Daun Kulit batang
Gambar 9. Pohon Bengkulung
Daun
Kulit batang
Gambar 10. Pohon sawang
38
Daun
Gambar 11. Pohon Ubar
39
Judul Kegiatan : Teknik Inovasi Pemanfaatan dan Diversifikasi Produk Kayu dan Bambu
Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dr. IM. Sulastiningsih, M.Sc., Dian Anggraini Indrawan,
S.Hut. MM., Abdurachman, ST., Drs. Achmad Supriadi, MM., Dr. Karnita, S.Hut., M.Sc., Rohmah Pari, S.Hut., Rossi M. Tampubolon, S.Si.
ABSTRAK
Penelitian pemanfaatan bambu sebagai substitusi kayu telah banyak dilakukan dengan jalan membuat produk bambu lamina. Pengolahan bambu menjadi produk bambu lamina masih menyisakan limbah berupa tatal hasil serutan bilah bambu dan bagian batang bambu yang tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi pengolahan bambu, limbah tersebut dapat diolah menjadi produk panel berupa papan partikel dan papan serat berbasis bambu. Di samping itu untuk mendapatkan bahan yang relatif tebal dan ringan tetapi memiliki kekuatan yang tinggi dapat dibuat produk bambu komposit berupa papan sandwich bambu yang terdiri atas bahan inti berupa papan partikel bambu atau papan serat bambu dengan lapisan luar bilah bambu atau kayu lapis yang dibuat dari jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat. Komponen mebel atau bangunan tertentu memerlukan bahan yang sudah dilengkungkan agar terlihat lebih estetis. Oleh karena itu perlu dipelajari sifat pelengkungan bambu lamina agar sesuai dengan tujuan penggunaannya.Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data dan informasi teknologi pembuatan papan sandwich berbasis bambu dan teknik pelengkungan bambu lamina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa papan sandwich terbaik diperoleh dengan inti papan partikel berkerapatan 0,55 g/cm3 yang dibuat dari campuran partikel bambu 50% dan partikel jabon 50% dengan lapisan luar bilah bambu, inti papan serat berkerapatan 0,45 g/cm3 dengan campuran serat pada proporsi 50% pulp bambu + 50% pulp kayu jabon dengan lapisan luar bilah bambu,dan bilah bambu lengkung terbaik diperoleh pada pembuatan bilah bambu lengkung yang diberi perlakuan steam 60 menit dengan ketebalan bilah 7 mm. Kata kunci : Papan sandwich, papan partikel, papan serat, kayu lapis mahoni, kayu lapis jabon, bilah bambu lengkung
1. LATAR BELAKANG
Saat ini bahan untuk mebel dan bangunan yang disukai adalah bahan yang
ringan tetapi kuat. Untuk mendapatkan produk tersebut maka salah satu teknologi
yang bisa diterapkan adalah teknologi kayu komposit. Produk komposit yang relatif
tebal tetapi ringan dan kuat dapat diperoleh dengan jalan menggabungkan atau
merekatkan bahan yang relatif tebal dan ringan sebagai inti atau inti dengan bahan
40
yang relatif tipis tetapi memiliki kekuatan yang tinggi sebagai lapisan luar, yang
dikenal dengan istilah papan sandwich atau sandwich panel. Bahan yang dapat
digunakan sebagai inti papan sandwich antara lain adalah papan partikel dan papan
serat yang dimensi serta sifatnya bisa dibuat sesuai dengan tujuan penggunaannya.
Dalam hal ini papan partikel dan papan serat yang diperlukan adalah yang
berkerapatan rendah. Penelitian pemanfaatan bambu sebagai substitusi kayu telah
banyak dilakukan dengan membuat bambu lamina baik berupa papan maupun
balok. Komponen mebel atau bangunan tertentu memerlukan bahan yang sudah
dilengkungkan agar terlihat lebih estetis. Oleh karena itu perlu dipelajari sifat
pelengkungan bambu lamina agar sesuai dengan tujuan penggunaannya.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan data dan informasi teknologi
pembuatan papan sandwich berbasis bambu serta Mendapatkan data dan informasi
teknik pelengkungan bambu lamina.
3. METODE PENELITIAN
Papan sandwich dibuat dengan inti papan partikel dan papan serat dengan
perlakuan perbedaan komposisi bahan (bambu 100%, bambu 50% + jabon 50%)
dan kerapatan papan partikel dan papan serat (0,45 g/cm3 dan 0,55 g/cm3).
Sedangkan lapisan luar terdiri dari bilah bambu, kayu lapis jabon dan kayu lapis
mahoni. Bambu lamina lengkung dibuat dari bilah bambu lengkung dengan
perlakuan perbedaan tebal bilah (5 mm, 6 mm dan 7 mm) dan lama waktu steam
(45 menit, 60 menit dan 120 menit).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Papan Sandwich dengan Inti Papan Partikel (PSPP)
Kadar air, kerapatan dan pengembangan tebal PSPP memenuhi syarat
Standar Indonesia dan Standar Jepang untuk papan partikel berlapis venir.
Kerapatan dan keteguhan lentur (MOE dan MOR) dan keteguhan tekan PSPP
dengan lapisan luar bilah bambu lebih tinggi dibanding PSPP dengan lapisan luar
41
kayu lapis mahoni dan jabon. Keteguhan rekat internal PSPP dengan kerapatan
bahan inti 0,55 g/cm3 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingan PSPP dengan
kerapatan bahan inti 0,45 g/cm3. Papan sandwich dengan inti papan partikel bambu
berkerapatan 0,55 g/cm3 dan dengan inti papan partikel campuran bambu dan jabon
berkerapatan 0,45 g/cm3 dengan lapisan luar bilah bambu dan kayu lapis mahoni
serta papan sandwich dengan inti papan partikel campuran bambu dan jabon
berkerapatan 0,55 g/cm3 dengan berbagai lapisan luar memiliki nilai modulus patah
yang memenuhi persyaratan produk papan partikel berlapis venir menurut SNI 03-
2105-2006 (Standar Nasional Indonesia, 2006), dan JIS A 5908:2003 (Japanese
Industrial Standard, 2003b), karena nilainya tidak kurang dari 306 kg/cm2.
B. Papan Sandwich dengan Inti Papan Serat (PSPS)
Kerapatan PSPS yang paling tinggi adalah penggunaan bagian lapisan luar
bilah bambu, diikuti berturut-turut oleh bagian lapisan luar dari kayu lapis mahoni
dan kayu lapis jabon. Analisis keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ
menunjukkan bahwa nilai keteguhan lentur (MOE dan MOR) dan keteguhan tekan
PSPS dengan bagian inti dari MDF berkerapatan (target) 0,45 g/cm3 lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai untuk papan dengan bagian inti dari MDF berkerapatan
0,55 g/cm3. Penyerapan air tertinggi terjadi pada PSPS dengan bagian lapisan luar
dari kayu lapis jabon, diikuti berturut-turut dengan bagian lapisan luar dari kayu
lapis mahoni dan bilah bambu (penyerapan air terendah). Berdasarkan Telaahan
sifat fisis dan kekuatan PSPS dilakukan dengan memperhatikan sifat fisis-kekuatan
papan yang diuji, menunjukkan hasil analisis diskriminan penggunaan bilah bambu
ternyata berindikasi paling prospektif sebagai bahan lapisan luar pada perakitan
PSPS, karena nilai diskriminan papan tersebut tertinggi.
C. Bilah Bambung Lengkung
Rata-rata nilai lengkung bilah bambu yang dikukus (steam) selama 45, 60
dan 120 menit berturut-turut adalah 1,33; 2,22 dan 2,22, sedangkan menurut
ketebalan untuk tebal 5 , 6 dan 7 mm berturut-turut adalah 2,11; 2,22 dan 2,78.
Hasil uji sidik ragam nilai lengkung menunjukkan bahwa lama waktu steam dan
tebal bilah secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap nilai lengkung, akan
tetapi interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap nilai lengkung bilah
42
bambu tersebut. Ada kecenderungan makin lama waktu steam makin baik nilai
lengkungnya, demikian juga makin tebal bilah bambu makin baik nilai
lengkungnya. Akan tetapi hasil uji sidik ragam nilai lengkung menunjukkan bahwa
lama waktu steam dan tebal bilah secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap
nilai lengkung, akan tetapi interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap
nilai lengkung bilah bambu tersebut. Sebagian besar bilah bambu yang gagal
dilengkungkan mengalami patah di bagian buku. Hal ini mengindikasikan perlunya
perlakuan khusus pada buku bambu untuk membuatnya mudah dilengkungkan
sebagaimana bagian bilah bambu lainnya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Papan sandwich dengan inti papan partikel terbaik diperoleh pada papan
sandwich dengan inti papan partikel berkerapatan 0,55 g/cm3 yang dibuat dari
campuran partikel bambu 50% dan partikel jabon 50% dengan lapisan luar bilah
bambu, diikuti oleh papan sandwich dengan inti papan partikel yang sama dengan
lapisan luar kayu lapis mahoni, urutan ketiga papan sandwich dengan inti papan
partikel berkerapatan 0,45 g/cm3 yang dibuat dari campuran partikel bambu 50%
dan partikel jabon 50% dengan lapisan luar bilah bambu, urutan keempat papan
sandwich dengan inti papan partikel berkerapatan 0,55 g/cm3 yang dibuat dari
partikel bambu 100% dengan lapisan luar kayu lapis mahoni dan urutan kelima
papan sandwich yang dibuat dengan inti papan partikel yang sama dengan lapisan
luar bilah bambu. Semua papan sandwich tersebut memenuhi persyaratan produk
papan partikel berlapis venir menurut Standar Nasional Indonesia dan Standar
Jepang.
Papan sandwich dengan inti papan serat terbaik diperoleh pada penggunaan
lapisan luar dari bilah bambu, inti dari MDF berkerapatan 0,45 g/cm3, dan
campuran serat pada MDF dengan proporsi 50% pulp bambu + 50% pulp kayu
jabon. Urutan kedua pada penggunan lapisan luar dari kayu lapis mahoni, inti
MDF juga berkerapatan 0,45 g/cm3, dan campuran serat pada proporsi 50% pulp
bambu + 50% pulp kayu jabon. Urutan ketiga menggunakan lapisan luar dari
43
bambu, inti MDF berkerapatan 0,55 g/cm3, dan campuran serat juga pada proporsi
50% pulp bambu + 50% pulp kayu jabon. Urutan terendah terjadi pada penggunaan
lapisan luar dari kayu jabon, dan MDF berkerapatan 0,55 g/cm3, dan 100% pulp
bambu.
Pembuatan bilah bambu lengkung menunjukkan bawha semakin tebal bilah
bambu makin baik nilai lengkungnya. Perlakuan terbaik diperoleh pada pembuatan
bilah bambu lengkung yang di steam selama 60 menit dengan ketebalan bilah 7
mm.
B. Saran
Untuk memperbaiki performa papan sandwich perlu dilakukan
penyempurnaan teknologi pembuatannya antara lain perbedaan bahan inti,
komposisi bahan inti, perbedaan suhu kempa venir, dan perbedaan tekanan kempa
venir. Sedangkan umtuk memperbaiki performa bilah bambu lengkung perlu
dilakukan penyempurnaan teknologi pembuatannya antara lain perbedaan
ketebalan bilah bambu, perbedaan lama waktu pengukusan dan cara pengeringan.
44
Lampiran 5.
Gambar 12. Kayu Lapis Mahoni dan Kayu Lapis Jabon
45
Gambar 13. Papan Partikel dan Papan Serat
46
Gambar 14. Papan Sandwich dengan Inti Papan Partikel dan Papan Serat
47
Judul Kegiatan : Teknik Penyempurnaan Pembuatan Rotan Komposit Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Prof. Dr.Drs. Adi Santoso, M.Si, Prof. Dr. Gustan Pari,
M.Si, Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc, Karnita Yuniarti, S.Hut., MWood.Sc., PhD, Dra. Jasni, M.Si, dan Heru Wibisono, S.Hut
ABSTRAK Rotan merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu berlignoselulosa yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Pemanfaatan rotan saat ini terbatas pada jenis tertentu dengan diameter < 20 mm, sedangkan rotan dengan diameter >20 mm cenderung tidak dimanfaatkan. Salah satu produk yang bisa dikembangkan dari rotan dengan diameter >20 mm adalah pembuatan produk rotan lamina. Laporan ini menyajikan hasil penelitian tentang teknologi pembuatan rotan lamina dari jenis batang (Calamus zolingerii) berdiameter besar (>20 mm) dengan perekat tanin mangium. Tujuan penelitian mempelajari efek perlakuan pendahuluan pada rotan asalan berupa pengeringan dengan cara oven, steam, penggorengan, hidrothermal, dan gelombang mikro (microwave). Perlakuan pendahuluan diharapkan dapat menurunkan kadar komponen kimia penghambat perekatan yang terkandung dalam rotan sebagai bahan baku papan rotan komposit agar kualitas perekatannya meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan pada rotan asalan berupa pengeringan dengan cara oven, steam, penggorengan, hidrothermal, dan gelombang mikro (microwave), menghasilkan efek yang berbeda terhadap komponen kimia yang terkandung dan derajat kristalinitas rotan asalan. Perubahan tersebut berakibat langsung terhadap kualitas papan rotan lamina. Papan rotan lamina terbaik diperoleh dari rotan batang yang diberi perlakuan pendahuluan menggunakan gelombang mikro (microwave) oven 1 kW (input) dengan kekuatan energi maksimum 50%.
Kata kunci : Rotan batang, perlakuan pendahuluan, hidrothermal, gelombang mikro
1. LATAR BELAKANG
Rotan adalah salah satu komoditi yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK), dengan nilai ekonomi tinggi. Retraubun (2013) menyatakan potensi rotan
Indonesia sangat tinggi, diperkirakan 85% rotan dunia dipasok dari Indonesia. Pada
tahun 2016, ekspor produk rotan, terutama untuk produk tikar, anyaman maupun
kerajinan berbasis anyaman, tercatat sekitar USD$ 44.07 juta
(https://www.bps.go.id). Dalam upaya meningkatkan laju industri rotan nasional,
Pemerintah melalui SK Menteri Perindustrian No. 199/M-Ind/Per/10/2009
48
mengemukakan bahwa salah satu upaya peningkatan nilai tambah rotan di
masyarakat hulu adalah dengan mengembangkan perekayasaan pengolahan rotan
yang sesuai dengan kemajuan teknologi. Salah satu upaya dimaksud adalah dengan
memanfaatkan teknologi perekatan pada jenis-jenis rotan berdiameter besar yang
selama ini belum termanfaatkan secara maksimal, karena sampai saat ini rotan yang
banyak digunakan oleh pengrajin untuk dijadikan produk umumnya rotan yang
berdiameter < 20 mm dari jenis tertentu (4–5 jenis). Rotan sebagai bahan
lignoselulosa memiliki kadar holoselulosa yang tinggi (71 – 76%) dan komponen
sel porus, menjadikan rotan berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk
komposit dengan memanfaatkan teknologi perekatan seperti halnya produk lamina
bambu dan kayu. Dengan menggunakan perekat, rotan yang bentuk aslinya bulat
dapat diolah menjadi produk panel berupa rotan komposit dan produk lainnya
berbentuk papan lamina atau balok lamina. Pembuatan papan lamina dari batang
rotan sudah dirintis oleh Pusat Inovasi Rotan Nasional (PIRNAS) di Palu (Tellu,
2014) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH),
dengan mengolah rotan berdiameter > 20 mm menjadi produk papan rotan
menggunakan berbagai jenis perekat sintetis dan perekat hayati (bio-adhesive)
(Santoso et al., 2016).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, produk papan lamina rotan bisa
dibuat dengan berbagai tipe perekat sintetis maupun alami,. yang kualitasnya
tergolong tipe interior meskipun menggunakan perekat impor tipe eksterior seperti
resorsinol phenol formaldehida (RPF) atau isocyanat, dan perekat berbasis tanin
buatan P3HH. Hal ini ditengarai akibat rotan sebagai bahan baku masih
mengandung banyak senyawa gula walaupun rotan asalan sudah digoreng dan
diawetkan terlebih dahulu. Perekat yang sesuai untuk papan rotan tipe interior
adalah yang menggunakan perekat tanin mangium (Santoso et al., 2016).
2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan penelitian pada tahun 2017 adalah memperoleh data dan informasi
mengenai teknik pengeringan rotan asalan berdiameter besar (>20 mm), dengan
gelombang mikro, penguapan, hidrothermal dan konvensional (penggorengan
49
dengan minyak tanah tanpa campur air) untuk penggunaan bahan baku papan
lamina rotan, dan kesesuaian rotan setelah dikeringkan dengan cara-cara tersebut
sebagai bahan baku papan lamina rotan, serta kualitas produk papan lamina rotan
yang menggunakan perekat hayati (tanin mangium).
Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi karakteristik produk
perekatan dalam bentuk papan rotan lamina dari jenis rotan batang berdiameter
besar berperekat tanin mangium, yang rotan asalannya telah diberi perlakuan
pendahuluan terbaik di antara cara oven, steam, penggorengan, hidrothermal, dan
gelombang mikro (microwave).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH), Bogor. Kegiatan
pengumpulan bilah rotan sebagai bahan utama penelitian dilakukan di Pusat Inovasi
Rotan Nasional (PIRNAS), Palu (Propinsi Sulawesi Tengah) dan pembuatan
produk serta pengumpulan informasi yang mendukung penelitian ini dilakukan di
daerah Jawa Barat dan Banten. Pendekatan pelaksanaan kegiatan terdiri atas:
Pemilahan rotan Ø besar, perlakuan pendahuluan (5 taraf), pemotongan dan
pembuatan bilah, pengawetan dan pengeringan, pelaburan perekat dan pembuatan
papan lamina rotan, kondisioning dan pengujian produk, evaluasi data dan
penuyusunan laporan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Rotan Sebagai Bahan Baku Papan Komposit
Hasil analisis dengan difraksi sinar-X dan py-GCMS) menunjukkan derajat
kristalinitas dan komponen kimia dominan yang terkandung dalam rotan pada
berbagai macam perlakuan mengalami perubahan dibandingkan dengan tanpa
perlakuan. Perlakuan terhadap rotan dengan cara oven maupun steam relatif sedikit
mengubah derajat kristalinitas rotan (<5%) dibanding kontrol, yang
mengindikasikan perlakuan dengan cara oven relatif tidak mengubah struktur rotan.
Di lain fihak, perlakuan cara penggorengan, hidrothermal, dan gelombang mikro
mengakibatkan pelunakan lignin dan selulosa sehingga masing-masing rotan
50
memiliki derajat kristalinitas yang jauh lebih rendah dibanding kontrol, yang
mengindikasikan struktur rotan tersebut menjadi lebih tidak teratur akibat rusaknya
ikatan hidrogen antar molekul pada daerah kristalit sehingga berkurangnya nilai
kristalinitas dinding sel rotan dengan pori-pori yang lebih terbuka. Dengan
demikian rotan ini akan bersifat kenyal dan berdaya regang besar dibanding dengan
rotan perlakuan lainnya.
Hasil analisis dengan py-GCMS menunjukkan komponen kimia dalam rotan
mengalami perubahan setelah mengalami berbagai macam perlakuan. Rotan asalan
selain didominasi oleh senyawa golongan fenolik (23,95%), keton (9,89) dan
ekstraktif (polar & non polar: 23,14%), juga mengandung senyawa yang bersifat
higroskopis serta mudah terhidrolisis dalam air (dingin maupun panas) seperti: D-
Ribofuranosa (15,16%), asam karboksilat (9,70%), amida (2,73%). Di lain fihak,
perlakuan dengan oven relatif sama dengan penggorengan, didominasi oleh
senyawa golongan fenolik (19,59-20,48%), keton (11,74%) dan ekstraktif (polar &
non polar: 22,25-23,14%), juga senyawa yang bersifat higroskopis dan mudah
terhidrolisis dalam air (dingin maupun panas) seperti: asam karboksilat (10,08%),
amida (35,45%), sementara perlakuan dengan steam menghasilkan senyawa
golongan fenolik (36,99%), keton (10,12%), dan ekstraktif (polar & non polar:
5,7%), juga senyawa yang bersifat higroskopis dan mudah terhidrolisis dalam air
(dingin maupun panas) seperti: asam karboksilat (16,99%), dan amino (37,76%).
Demikian pula perlakuan dengan hidrothermal selain didominasi oleh senyawa
golongan fenolik (29,25%), keton (10,85%), dan ekstraktif (polar & non polar:
5,70%), juga senyawa yang bersifat higroskopis dan mudah terhidrolisis dalam air
(dingin maupun panas) seperti: asam karboksilat (33,24%), glukosa (13,24), dan
amida (7,72%). Perlakuan dengan gelombang mikro nampaknya paling banyak
mengeluarkan senyawa yang bersifat higroskopis dan mudah terhidrolisis dalam air
(dingin maupun panas). Terbukti sisa senyawa yang dominan terkandung dalam
rotan ini selain senyawa golongan fenolik (27,77%), keton (12,99%), dan ekstraktif
(polar & non polar: 41,47%), juga hanya 1 senyawa yang bersifat higroskopis dan
mudah terhidrolisis dalam air (dingin maupun panas) yakni: asam karboksilat
(17,77%).
51
B. Karakteristik Sifat Fisiko-Kimio Perekat
Karakteristik perekat fenolik yang disintesis dari bahan baku hayati tanin
mangium merupakan produk penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan (P3HH) secara visual memiliki sifat yang relatif serupa dengan perekat
fenolik sintesis komersial impor (Phenol Resorsinol Formaldehida, PRF) yang
biasa digunakan di industri pengolahan kayu. Perbedaan terdapat pada kadar
padatan dan viskositas. Kadar padatan mengindikasikan kadar resin yang
terkandung dalam perekat, yang cenderung berbanding lurus dengan kekentalan.
Kadar formaldehida bebas menggambarkan adanya kelebihan formaldehida yang
tidak bereaksi dalam pembentukan suatu polimer (BSN, 1998). Hasil pengujian
menunjukkan bahwa formaldehida bebas dari perekat tanin mangium produk P3HH
ini masih dalam batas aman karena kurang dari 3% seperti yang disyaratkan bagi
perekat yang mengandung formaldehida (BSN, 1998), demikian pula bila
dibandingkan dengan perekat PRF karena kurang dari 1%.
C. Evaluasi Kualitas Papan Rotan
Rotan asalan dengan kerapatan rata-rata 0,39 g/cm3, rendemen rata-rata
rotan asalan setelah dibuat menjadi bilah rata-rata 38,99 %. Bilah-bilah rotan ini
selanjutnya dibuat papan 5 lapis berukuran 40 cm x 10 cm x 1,5 cm, menggunakan
perekat tanin mangium dengan proses kempa dingin pada suhu kamar selama 3 jam.
Kualitas produk papan rotan yang diuji meliputi kadar air, kerapatan,
keteguhan rekat, keteguhan lentur, keteguhan patah, dan emisi formaldehida. Papan
rotan yang dibuat dalam skala laboratorium memiliki kerapatan rata-rata 0.32–0.42
g/cm3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa papan rotan yang bahan bakunya
mengalami perlakuan yang berbeda menghasilkan produk lamina yang memiliki
kerapatan rata-rata yang sama yakni 0,35 g/cm3, hal ini mengindikasikan bahwa
semua perlakuan pendahuluan yang diterapkan pada rotan bahan baku tidak
berpengaruh terhadap kerapatan produk. Pengulitan dan pembuatan bilah rotan
asalan (kerapatan: 0,55 g/cm3) menyebabkan berkurangnya kerapatan rotan.
Kadar air papan rotan berkisar antara 10,71–13,63% (Tabel 3), kadar air
produk ini memenuhi standar JAS 234-2003 karena nilainya <15%. Hasil uji
statistik menunjukkan semua faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar
52
air papan rotan. Uji lanjut menunjukkan bahwa nilai kadar air produk yang bahan
bakunya diperlakukan dengan oven, steam dan gelombang mikro berbeda nyata
dengan perlakuan hidrothermal dan goreng. Sedangkan kadar air antar perlakuan
oven, steam dan microwave tidak berbeda nyata demikian pula pada perlakuan
hidrothermal dan goreng juga tidak berbeda nyata.
Pengujian keteguhan rekat dengan cara keteguhan geser tekan dilakukan
untuk mengetahui kinerja perekat dalam papan rotan yang dihasilkan. Nilai rataan
keteguhan rekat papan rotan yang bahan bakunya diperlakukan berbeda, dalam
kondisi uji kering (tipe interior) berkisar 14,98 - 50,12 kg/cm2. Nilai keteguhan
rekat uji kering tertinggi dicapai pada produk yang bahan bakunya diberi perlakuan
dengan gelombang mikro, sementara yang terendah dicapai pada produk lamina
yang bahan bakunya mengalami penggorengan. Tingginya nilai keteguhan rekat ini
disebabkan rotan yang diperlakukan dengan gelombang mikro terlebih dahulu
sudah tidak mengandung komponen kimia yang bersifat higroskopis serta mudah
terhidrolisis dalam air (dingin maupun panas), yang bersifat mengganggu
perekatan, seperti senyawa golongan asam karboksilat, amida, amina, gula dan
amino seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya. Hal ini diperkuat dengan hasil
uji keteguhan rekat dalam kondisi basah (eksterior) yang nilainya mencapai 16,95
kg/cm2 sementara rotan yang mengalami perlakuan pendahuluan dengan oven,
goreng, maupun steam seluruhnya mengalami delaminasi, sementara perlakuan
hidrothermal menghasilkan nilai keteguhan rekat papan rotan 7,86 kg/cm2. Nilai
keteguhan rekat papan rotan (uji kering) lebih tinggi dibanding produk serupa yang
dibuat dalam skala pilot di PIRNAS-Palu dengan perekat komersial (resorsinol
formaldehida) rata-rata 35,49 kg/cm2 (Santoso, Jasni, Krisdianto, 2016). Hasil uji
statistik menunjukkan semua faktor perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap
keteguhan rekat papan rotan yang diuji dalam kondisi kering. Uji lanjut
menunjukkan bahwa nilai keteguhan rekat uji kering pada perlakuan oven, steam
dan goreng berbeda nyata dengan perlakuan hidrothermal dan gelombang mikro.
Sedangkan nilai keteguhan rekat uji kering pada perlakuan oven, steam dan goreng
tidak berbeda nyata. Demikian pula nilai pada perlakuan hidrothermal berbeda
nyata dengan perlakuan gelombang mikro.
53
Nilai keteguhan patah, Modulus of Rupture (MOR) produk perekatan ini
berkisar 180,72- 402,74 kg/cm2, di mana nilai tertinggi rata-rata diperoleh dari
papan rotan yang bahan bakunya diberi perlakuan dengan gelombang mikro,
sementara yang terendah dicapai pada papan rotan yang bahan bakunya diberi
perlakuan dengan steam. Nilai MOR papan rotan buatan PIRNAS berkisar 260 -
268 kg/cm2 (Santoso et al. 2016). Produk yang bahan bakunya diperlakukan dengan
gelombang mikro memenuhi persyaratan produk glulam menurut standar Jepang,
karena nilai MOR-nya > 300 kg/cm2. Hasil uji statistik menunjukkan semua faktor
perlakuan masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan patah
papan rotan. Uji lanjut menunjukkan bahwa nilai keteguhan patah antara perlakuan
goreng, steam dan hidrothermal tidak berbeda nyata. Sementara nilai keteguhan
patah pada perlakuan oven berbeda nyata dengan gelombang mikro.
Nilai keteguhan lentur, Modulus of elasticty (MOE) papan rotan ini rata-rata
berkisar 18.236,60 – 78.458,40 kg/cm2, sementara MOE papan rotan buatan
PIRNAS: 15.362-18.597 kg/cm2 (Santoso et al., 2016). Hasil uji statistik
menunjukkan semua faktor perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap
keteguhan lentur papan rotan. Uji lanjut menunjukkan bahwa nilai keteguhan lentur
antara perlakuan hidrothermal, oven dan steam, maupun perlakuan gelombang
mikro dan goreng masing-masing tidak berbeda nyata. Namun nilai keteguhan
lentur pada perlakuan hidrothermal, oven dan steam berbeda nyata dengan
perlakuan gelombang mikro dan goreng. Produk yang bahan bakunya diperlakukan
dengan digoreng secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan gelombang
mikro, namun secara kuantitas perlakuan dengan digoreng yang memenuhi
persyaratan produk glulam menurut standar Jepang, karena nilai MOE-nya >
75.000 kg/cm2.
Emisi formaldehida papan rotan rata-rata berkisar antara 0,39 - 1,23mg/L
yang berarti tergolong pada klasifikasi produk rendah emisi (F* - F****). Menurut
hasil uji statistik, semua perlakuan pendahuluan pada rotan asalan berpengaruh
sangat nyata terhadap emisi formaldehida papan rotan. Uji lanjut menunjukkan
bahwa nilai antar perlakuan goreng, steam dan gelombang mikro tidak berbeda
nyata, namun rata-rata nilai emisi formaldehida pada perlakuan goreng dan steam
54
berbeda nyata dengan perlakuan hidrothermal dan oven. Hasil perlakuan
gelombang mikro tidak berbeda nyata dengan perlakuan hidrothermal, dan
perlakuan hidrothermal hasilnya tidak berbeda nyata dengan perlakuan oven.
Dalam hal pengerjaan, perlakuan pendahuluan dengan gelombang mikro relatif
singkat dengan hasil yang secara visual lebih baik dibanding perlakuan lainnya.
Bertolak dari uraian di atas, nampak bahwa perlakuan pendahuluan pada rotan
asalan berakibat pada perubahan komponen kimia rotan tersebut menjadi lebih
didominasi oleh senyawa polar yang sesuai dengan komponen senyawa perekat
yang juga poar, dan secara fisik mengubah struktur rotan menjadi lebih amorf
(derajat kristalinitas lebih rendah) dibanding tanpa perlakuan, sehingga semakin
banyak rongga yang dapat dimasuki oleh cairan perekat. Konsekwensi dari
perubahan tersebut ikatan komponen kimia perekat dengan komponen kimia rotan
semakin kokoh, dengan demikian daya rekat dan sifat fisis-mekanis papan lamina
rotan semakin baik, dengan emisi formaldehida yang rendah sehingga produk rotan
lamina ini ramah lingkungan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Rotan jenis batang berdiameter besar (> 30 mm) yang telah diberi perlakuan
pendahuluan dapat diolah menjadi papan rotan lamina, menggunakan perekat
berbasis tanin dari kulit kayu mangium dengan bobot labur perekat 200 g/m2
permukaan. Perlakuan pendahuluan pada rotan asalan mengakibatkan perubahan
komponen kimia maupun struktur yang berbeda terhadap rotan, dan masing-masing
berpengaruh nyata terhadap kualitas papan lamina rotan.
Berdasarkan nilai sifat fisis-mekanis dan emisi formaldehidanya, papan
lamina rotan terbaik dicapai oleh produk yang bahan bakunya diberi perlakuan
pendahuluan menggunakan teknik gelombang mikro (microwave) oven 1 kW (input)
dengan kekuatan energi maksimum 50%. Ditinjau dari sisi pengerjaannya,
perlakuan dengan gelombang mikro adalah yang tersingkat dengan tampilan visual
terbaik dibanding perlakuan dengan oven, steam, goreng, dan hidrothermal.
Berdasarkan sifat mekanisnya, nilai rataan MOR maupun MOE papan rotan terbaik
55
diperoleh dari kombinasi perlakuan cara penggorengan dengan campuran minyak
tanah dan air 80:20 dengan menggunakan perekat dari ekstrak kulit kayu mangium,
dengan bobot labur 200 g/m2 permukaan.
B. Saran
Proses pengeringan dengan cara gelombang mikro pada rotan asalan
berdiameter besar sebagai bahan baku papan lamina rotan, perlu disosialisasikan ke
masyarakat untuk dapat diadopsi.
56
Lampiran 6.
1. Pengangkutan rotan 2. Pengeringan rotan dengan 3. Pembuatan bilah rotan
gelombang mikro
4. Kulit mangium sebagai 5. Ekstraktor & Reaktor untuk 6. Perekat tanin mangium bahan baku perekat tanin preparasi perekat tanin
7. Pelaburan perekat pada 8. Pengempaan papan lamina 9. Contoh produk lamina permukaan bilah rotan
Gambar 15. Dokumentasi Kegiatan Penelitian Penyempurnaan Rotan Komposit
57
Judul Kegiatan : Formulasi Bahan Penunjang Industri dari Material Organik
Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Ir. Elfrida Basri, M.Sc., Ir. Jamal Balfas, M.Sc., Prof. Ris.
Adi Santoso, Karnita Yuniati, S.Hut., M.Sc. Ph.D.
ABSTRAK
Kegiatan tahun 2017 bertujuan mendapatkan data dan informasi : 1) Formula impregnan terbaik dari resin kak menggunakan metode rendaman air yang dipanaskan, 2) Formula pengisi kayu (wood filler) dari tepung dempul dengan berbagai komposisi resin, dan 3) Formula perekat berbasis tanin dari ekstrak kulit mahoni, 4) Uji coba pembuatan panel kayu lamina dari kayu jabon, tusam, dan karet dengan lima garis rekat (enam lapis bilah), menggunakan bahan impregnan, wood filler, dan perekat organik tersebut di atas. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Formula terbaik untuk peningkatan sifat fisis dan mekanis (kerapatan, kekuatan, dan stabilisasi dimensi) kayu jabon menggunakan metode rendaman panas adalah kak 8% dengan waktu rendaman 4 jam; kayu karet adalah kak 10% dengan waktu rendaman 2 jam; dan tusam adalah kak 8% dengan waktu rendaman 2 jam, 2) Secara ekonomis, formula impregnan dengan konsentrasi kak 8% sesuai untuk diaplikasikan di industri skala kecil, 3) Bahan wood filler organik memiliki keunggulan dalam hal ketahanan gores, kualitas pewarnaan, dan biaya produksi dibandingkan wood filler komersil atau sintetis, 4) Wood filler organik yang menghasilkan nilai ketahanan gores tertinggi pada permukaan kayu jabon, karet, dan tusam diperoleh pada aplikasi film 100 mikron dengan komposisi campuran polivinil asetat 20% dan tepung dempul 20%, 5) Formula perekat organik terbaik untuk kayu lamina jabon dan karet adalah campuran kak 3% dengan tannin dari ekstrak kulit mahoni, sedangkan untuk kayu lamina tusam hanya tannin tanpa menggunakan kak.
Kata kunci : Formula impregnan, formula wood filler, formula perekat, sifat kayu 1. LATAR BELAKANG
Upaya pengembangan produk bahan impregnan, wood filler, dan perekat
alternatif harus dilakukan melalui eksplorasi riset yang bersifat praktis dan efektif.
Bahan alami yang berpotensi digunakan adalah limbah kayu dan resin organik yang
bersifat ramah lingkungan dan mudah diperoleh di sekitar kita.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan penelitian adalah mendapatkan data dan informasi: 1) Formula
impregnan terbaik dari resin kak menggunakan metode rendaman air yang
58
dipanaskan, 2) Formula pengisi kayu (wood filler) dari tepung dempul dengan
berbagai komposisi resin, dan 3) Formula perekat berbasis tanin dari ekstrak kulit
mahoni, 4) Uji coba pembuatan panel kayu lamina dari kayu jabon, tusam, dan
karet dengan lima garis rekat (enam lapis bilah), menggunakan bahan impregnan,
wood filler, dan perekat organik butir 1-3.
3. METODE PENELITIAN
Bahan kayu yang digunakan dalam penelitian adalah jabon, karet, tusam
(bahan utama) dan kulit kayu mahoni (untuk bahan perekat), diambil di Kabupaten
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
A. Formulasi Bahan Impregnan
Formulasi bahan impregnan adalah campuran kak atau gum (kolagen dari
protein hewani) dengan 2 konsentrasi 8 dan 10% dan setiap perlakuan ditambahkan
asam borak 4%, menggunakan metode rendaman panas suhu 80oC dengan
perlakuan waktu 2 dan 4 jam. Jumlah contoh uji per jenis kayu untuk setiap
perlakuan 5 ulangan. Ukuran contoh uji untuk kerapatan kayu 3,0 cm (tb) x 3,0 cm
(lb) x 3 cm (p); penyusutan 3,0 cm (tb) x 3,0 cm (lb) x 1,0 cm (p); untuk uji lentur
2 cm (tb) x 2 cm (lb) x 8 cm (p) dan uji tekan sejajar serat 2 cm (tb) x 2 cm (lb) x
34 cm (p). Pengujian sifat fisis dan mekanis kayu mengacu pada ASTM D143-94
(ASTM, 2012).
B. Formulasi Bahan Pengisi Kayu (wood filler)
Formulasi bahan wood filler organik dengan perlakuan: 2 komposisi sirlak
5 dan 10% dengan pelarut alkohol; 2 komposisi akrilik 10 dan 20%, dan 2
komposisi PVAc 10 dan 20% dengan pelarut air. Setiap perlakuan dicampurkan
dengan 20% tepung dempul. Pengujian fungsi bahan dalam hal penolakan terhadap
air menggunakan contoh uji kayu 1 cm (T) x 1 cm (L) x 10 cm (R) dan 1 cm (R) x
1 cm (L) x 10 cm (T) yang sudah dilapisi dengan dempul organik. Pengujian
kemampuan proteksi bahan wood filler terhadap air dengan metode rendaman dan
pembasahan, mengacu pada Basri & Balfas (2014). Pengujian aspek kimia dalam
hal ketahanan lapisan wood filler terhadap senyawa asam, basa serta berbagai
pelarut dilakukan dengan metode tetes yang diamati secara visual sebagaimana
59
diuraikan dalam ASTM D1308-02 (ASTM, 2013). Pengujian kehalusan permukaan
kayu dengan perlakuan wood filler dan perubahan warnanya dilakukan dengan
sistem Cielab sebagaimana diuraikan dalam Balfas (2017).
C. Formulasi Bahan Perekat
Penelitian formulasi dilakukan dengan mereaksikan tanin dari ekstrak kulit
kayu mahoni (T) dengan kak, resorsinol (R) dan formaldehida (F). Formulasi
ditetapkan dengan perbandingan mol T:R:F = 1: (0,1-0,5) : 1 (Santoso, 2003),
sedangkan kak dalam persentase 0, 6, 8, dan 10%. Tolok ukur pencapaian formula
optimum perekat dilakukan dengan pendekatan nilai keteguhan rekat produk
perekatannya. Selanjutnya pada komposisi perekat yang optimum dilakukan
pencampuran dengan tepung tapioka antara (0,5 – 20)% dari bobot perekat cair.
Tolok ukur pencapaian ramuan perekat tanin mahoni dengan tepung tapioka
dilakukan dengan pendekatan nilai keteguhan rekat produk perekatannya.
Kayu lamina dengan lima garis rekat (enam lapis bilah) dibuat dari bilah
kayu jabon, tusam, dan karet yang sudah diimpregnasi dengan formula impregnan
dan direkat menggunakan perekat dengan komposisi terbaik hasil penelitian ini.
Permukaan kayu lamina sebelum diuji, dilapisi dulu dengan bahan pengisi (wood
filler) yang dibuat pada kegiatan tahun ini dan diberi top coating yang dihasilkan
dari kegiatan penelitian tahun 2015-2016 lalu. Sebagai kontrol adalah contoh uji
kayu lamina yang tidak diberi bahan pengisi (wood filler) dan top coating. Kayu
lamina perlakuan dan kontrol kemudian diuji sifat fisis, mekanis, dan emisi
formaldehida skala laboratorium dengan mengacu pada standar uji JAS (JAS,
2003).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Formulasi Bahan Impregnan
Kerapatan kayu jabon tertinggi 0,46 g/cm3 diperoleh dari hasil impregnasi
dengan formula campuran kak 8% dalam air panas selama 4 jam, karet 0,69 g/cm3
dengan formula campuran kak 10% dalam air panas selama 2 jam, dan tusam 0,55
g/cm3 dengan formula campuran kak 8% dalam air panas selama 2 jam. Kestabilan
dimensi kayu yang diimpregnasi yang ditunjukkan dari rasio penyusutan dimensi
60
arah tangensial terhadap radial (T/R rasio) kayu menurun dengan kenaikan
kerapatan kayu tersebut. Bowyer, Shmulsky, & Haygreen, 2007) mengatakan
bahwa jika nilai T/R rasio suatu jenis kayu lebih kecil atau sama dengan 2 (T/R ≥
2), maka kayu tersebut diindikasikan akan stabil dimensinya. Nilai MOR yang
menunjukkan tingkat keteguhan lentur ketiga jenis kayu yang diimpregnasi
menahan beban, lebih tinggi daripada kayu kontrolnya. Berdasarkan nilai
kerapatan, tekan sejajar serat, dan nilai MOR, maka kayu jabon yang diimpregnasi
menggunakan formula kak minimal 8% sudah menaikkan kekuatannya dari kelas
III-IV (kontrol) menjadi III, kayu tusam dari kelas III menjadi kelas II (III-II), dan
kayu karet dari kelas III (II-III) menjadi kelas II (I – II).
B. Formula wood filler
Secara umum tampak bahwa wood filler organik memiliki kedekatan warna
lebih baik daripada wood filler komersil. Komposisi wood filler organik, seperti
SF1 (5% sirlak +20% tepung dempul), SF2 (10% sirlak +20% tepung dempul), AF1
(10% akrilik+20% tepung dempul) dan AF2 (20% akrilik+20% tepung dempul)
memiliki nilai kecerahan, kemerahan dan kekuningan yang mendekati nilai kayu
kontrol pada tusam, karet maupun jabon (Tabel 1). Dari ketahanan film, wood filler
organik dan wood filler komersil memerlukan tambahan proteksi film dari kontak
terhadap bahan kimia dan cairan rumah tangga. Proteksi pelapisan permukaan (top
coat) dengan bahan resin sintetik yang menggunakan pelarut minyak seperti
melamin dan nitroselulosa mampu melindungi kerusakan film finishing dari
berbagai larutan tersebut (Balfas, 2017). Nilai ketahanan gores tertinggi pada
kelompok wood filler organik diperoleh pada aplikasi film 100 mikron dengan
komposisi LF2, yaitu campuran polivinil asetat 20% dengan tepung dempul
sebanyak 20%. Bahan wood filler organik selain unggul dalam hal kedekatan
pewarnaan dibandingkan dengan wood filler komersil, juga aman terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan.
C. Formula Perekat
Keteguhan rekat tertinggi yang diuji dalam kondisi kering dicapai pada kayu
yang menggunakan perekat tanin ekstrak kulit kayu mahoni dengan formulasi tanin:
resorsinol 1:0,25 dengan kadar ekstender (tepung tapioka) 15%, yang memenuhi
61
persyaratan standar Jepang (JAS, 2003) karena nilainya berada dalam kisaran 54 -
96 kg/cm2. Formula optimum untuk peramuan perekat tanin mahoni ditetapkan
dengan perbandingan mol T : R : F = 1 : 0,25 : 1, dengan kadar tepung tapioka
sebagai ekstender 15%. Formula perekat tanin mahoni tersebut dibandingkan
dengan ramuan perekat tanin dengan campuran kak selanjutnya diaplikasikan untuk
pembuatan kayu komposit dalam bentuk lamina dari berbagai jenis kayu yang
sudah diimpregnasi dengan kak pada kadar dan waktu impregnasi yang bervariasi.
Hasil uji keteguhan rekat kayu lamina dari jenis kayu jabon, karet dan tusam tanpa
impregnan menggunakan perekat tanin campuran dengan kak 3% mengindikasikan
nilai keteguhan rekat tertinggi, khususnya pada produk yang diuji dalam kondisi
basah (untuk penggunaan tipe eksterior). Berdasarkan nilai keteguhan rekatnya,
diketahui formula terbaik untuk aplikasi kayu lamina jabon adalah perlakuan
impregnasi kak 10% selama 4 jam, dengan formula ramuan perekat tanin T:R:F =
(1:0,25:1) mol, atau yang di impregnasi kak 10% selama 2 jam, menggunakan
formula ramuan perekat tanin dengan campuran kak 3, sementara formula terbaik
untuk kayu lamina karet adalah perlakuan impregnasi kak 8% selama 4 jam
menggunakan formula ramuan perekat tanin dengan campuran kak 3%, atau yang
di impregnasi kak 10% selama 4 jam, menggunakan formula ramuan perekat tanin
dengan campuran kak 3%, dan untuk kayu lamina tusam adalah perlakuan
impregnasi kak 8% selama 2 jam menggunakan formula ramuan perekat tanin tanpa
campuran kak (0%), atau yang tanpa impregnasi, menggunakan formula ramuan
perekat tanin T:R:F = (1:0,25:1) mol.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Kestabilan dimensi, kerapatan, dan kekuatan kayu jabon, tusam, dan karet
yang diimpregnasi dengan formula campuran kak minimal 8% naik secara
significant dibandingkan dengan kayu tanpa diimpregnasi (kayu kontrol).
2) Bahan wood filler komersil memiliki keunggulan dalam hal ketahanan
terhadap cairan kimia dan rumah tangga, kualitas pewarnaan, dan biaya
62
produksi dibandingkan dengan bahan wood filler komersil. Juga aman
terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
3) Berdasarkan nilai keteguhan rekat, formula perekat terbaik untuk aplikasi
kayu lamina jabon adalah formula campuran perekat tanin T : R : F = (1 :
0,25 : 1) mol, atau formula perekat campuran tanin dengan kak 3%; kayu
lamina karet adalah formula campuran perekat tanin dengan kak 3%; kayu
lamina tusam adalah formula campuran tanin T : R : F = (1 : 0,25 : 1) mol.
B. Saran
Pada skala di industri, terutama industri kecil, formula impregnan yang
memungkinkan untuk modifikasi kayu jabon dan tusam adalah formula campuran
kak 8% yang ditambahkan borak 4% dengan metode rendaman panas. Namun
untuk kayu karet perlu ditambahkan konsentrasi kak menjadi 10%. Penggunaan
kayu yang impregnasi dengan formula impregnan yang mengandung kak dengan
pelarut air disarankan hanya untuk produk indoor (di bawah atap).
63
Lampiran 7.
Gambar 16. Pengujian Pembasahan Contoh Uji dalam Desikator
64
Judul Kegiatan : Diversifikasi Jenis dan Penyempurnaan Sifat Bambu dan Rotan Alternatif untuk Bahan Baku Industri Bambu Dan Rotan
Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dra. Jasni, M.Si., Dra. Titi Kalima, M.Si., Dr. Krisdianto,
M.Sc., Abdurachman, ST., Prof,Ris. Dr. Gustan Pari, M.Si., Dr. Ratih Damayanti, S.Hut, M.Si., Dr.Ir. I.M. Sulastiningsih, M.Sc., Ir. Efrida Basri, M.Sc., Dr. Djarwanto, M.Si., Dra. Sri Komarayati., Dra, Sihati Suprapti., Rohmah Pari, S.Hut., Esti Rini Satiti, S.Hut., Jamaludin Malik, S.Hut, MT
ABSTRAK
Di Indonesia tercatat terdapat delapan genera rotan dengan 314 spesies. Dari jumlah tersebut, sekitar 51 sudah dikenal dalam perdagangan (komersial), sedangkan yang lain belum dimanfaatkan. Selain rotan, Indonesia juga memiliki sumber daya bambu. Tercatat terdapat lebih dari 120 jenis bambu namun beberapa jenis saja yang baru dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya rotan dan bambu dari jenis-jenis yang belum digunakan. Sasaran kegiatan adalah memperoleh data dan informasi sifat-sifat rotan dan bambu sebagai dasar pemanfaatannya. Dalam kegiatan ini, sifat dasar rotan yaitu struktur anatomi, kimia, fisis-mekanis, ketahanan dan pelengkungan diteliti, sedangkan untuk sifat dasar bambu yang diteliti adalah struktur anatomi, fisis-mekanis, kimia, keawetan dan keterawetan. Untuk menunjang sifat pengolahannya dilakukan penelitian terhadap pengeringan dan perekatannya. Jenis rotan yang dipelajari ada empat jenis rotan yaitu rotan pinang (Daemonorops calapparia (Mart.) Blume, akar (Calamus cawa Blume), jawa (Calamus equestris Willd), dan buruk tuni (Calamus rumphii Blume). Jenis bambu yang digunakan ada dua yaitu bambu kapal (Gigantochloa scortechinii Gamble.) dan bambu paring tali (Gigantochloa luteostritata Widjaya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat jenis rotan baik digunakan untuk bahan baku pembuatan komponen mebel, keranjang dan anyaman. Sedangkan hasil penelitian bambu menunjukkan bahwa kedua jenis tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas, alat rumah tangga mebel, serta asap cair sebagai biopestisida. Kata kunci : Rotan, bambu, sifat dasar, kegunaan, produk 1. LATAR BELAKANG
A. Bambu
Bambu telah lama dikenal masyarakat Indonesia dan dimanfaatkan oleh
berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk bambu selalu berhubungan erat
dengan perkembangan budaya bangsa Indonesia. Hal ini mudah dimengerti
65
mengingat bambu tumbuh hampir di seluruh wilayah secara alami maupun
dibudidayakan. Bambu merupakan bahan berlignoselulosa yang dapat digunakan
sebagai substitusi kayu pada beberapa keperluan. Selain mempunyai daur tebang
yang lebih pendek dibandingkan kayu, bambu mempunyai penggunaan yang luas
untuk berbagai tujuan, batangnya mudah dipanen dan dikerjakan untuk berbagai
keperluan mulai dari pangan (rebung), alat rumah tangga, bahan pembuat kertas,
kerajinan, sampai mebeler bahkan konstruksi pemukiman dan kebutuhan konsumen
lainnya. Martawijaya (1977) dalam Nandika, Matangaran, & Darma (1994)
memberi taksiran bahwa 80% bambu di Indonesia digunakan untuk konstruksi
(termasuk mebel), 10% untuk pembungkus, 5% untuk bahan baku kerajinan
(industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain.
Widjaja et al. (1994) menyatakan bahwa jumlah jenis bambu Indonesia yang
semula tercatat hanya 65 jenis saat ini telah bertambah menjadi 120 jenis lebih
dimana 56 jenis memiliki potensi ekonomi. Widjaja (2009) menyebutkan saat ini di
Indonesia ada 160 jenis bambu, 122 jenis asli Indonesia, 88 diantaranya endemik
Indonesia, dan 65 adalah jenis bambu potensial yang dapat dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Agar pemanfaatan batangnya lebih maksimal dan effisien, diperlukan
penelitian sifat dasar bambu secara menyeluruh sehingga dapat dinentukan
peruntukannya sebagai alternatif bahan baku industri bambu.
B. Rotan
Potensi rotan Indonesia sangat tinggi, diperkirakan 85% rotan dunia dipasok
dari Indonesia, sisanya Filipina, Vietnam dan negara Asia lainnya (Retraubun,
2013). Selanjutnya dikatakan bahwa total nilai ekspor produk rotan sepanjang tahun
2012 mencapai USD 206,67 juta yang terdiri dari rotan furnitur senilai USD 151,64
juta dan rotan kerajinan/anyaman sebesar 51,03 juta. Pasar luar negeri produk rotan
asal Indonesia untuk HS 46012 (basketwork, wickerwork & other article made
directly to shape from rattan) pada tahun 2012 adalah Belanda USD 11,6 juta
(27,02%), Amerika Serikat senilai USD 6,6 juta (15,39%), Korea Selatan USD 4,2
juta (9,76%), Jerman senilai USD 3,6 juta (8,43%), Belgia USD 2,4 juta (5,6%),
66
dan ke beberapa negara lainnya seperti Inggris, Jepang, Swedia, Perancis, dan
Australia (Warta Ekspor, 2013).
Jumlah rotan Indonesia kurang lebih 300 – 350 jenis. Dari jumlah tersebut,
51 jenis di antaranya adalah rotan komersial, sedangkan 265 jenis non-komersial.
Di antara 51 jenis komersial tersebut, hanya sekitar 20 – 30 jenis saja yang disukai
dan banyak dieksploitasi (Rachman & Jasni, 2013). Jenis-jenis rotan favorit ini
sudah menipis persediaannya, hal ini disebabkan antara lain karena pemanenan
rotan tidak diimbangi dengan usaha pembudidayaannya. Untuk memenuhi
kebutuhan industri perlu ada usaha untuk mencari jenis alternatif.
Untuk mendorong pemanfaatan jenis-jenis rotan yang selama ini belum
digunakan (lesser used species), maka perlu dilakukan penelitian yang
komprehensif dan holistik. Penelitian akan mencakup penyebaran, botani, sifat
dasar anatomi, fisis mekanis, kimia, keawetan dan pelengkungan rotan sehingga
dapat diketahui penyebaran jenis, kualitas dan peruntukan secara lebih tepat untuk
masing-masing jenis sebagai alternatif bahan baku industri rotan.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan penelitian adalah menyediakan informasi sifat dasar dan
kemungkinan penggunaan dua jenis bambu sebagai dasar diversifikasi bahan baku
bambu untuk berbagai tujuan pemakaian. Mendapatkan informasi sifat dasar dan
kemungkinan penggunaan empat jenis rotan sebagai dasar diversifikasi penggunaan
bahan baku rotan untuk berbagai tujuan pemakaian.
Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi ilmiah mengenai sifat
dasar dan penyempurnaan dua jenis bambu dan empat jenis rotan.
3. METODE PENELITIAN
A. Lapangan
Pemilihan jenis bambu ada 2 yaitu bambu kapal (Gigantochloa scortechnii
Gamble) dan paring tali (Gigantochloa luteostriatata Wijaya). Rotan yang masak
tebang dari jenis-jenis rotan yang belum dimanfaatkan dan bambu yang sudah tua
dengan metode eksploratif. Jenis rotan ada 4 jenis yaitu: rotan pinang
67
(Daemonorops calapparia) (Mart.) Blume, akar (Calamus cawa Blume), jawa
(Calamus equestris Willd), dan buruk tuni (Calamus rumphii Blume).
B. Laboratorium
Bambu dan rotan yang sudah dipanen kemudian di bawa ke laboratorium
untuk dilakukan pengujian
1) Untuk mengetahui nama ilmiah dari jenis-jenis rotan yang ditemukan
dilapangan digunakan metode Comparativea dengan specimen herbarium.
2) Sifat dasar meliputi; bambu diteliti (anatomi, fisis mekanis, kimia, keawetan,
keterawetan, pengeringan, dan cuka bambu), sedangkan rotan diteliti (anatomi,
fisis mekanis, kimia dan keawetan), pengolahan (pelengkungan),
3) Penyempurnaan
C. Proses Pembuatan Komponen Produk
Bambu dan rotan dibuat komponen produk sesuai dengan peralatan yang
ada dan jenis produk yang akan dibuat disesuaikan dengan sarana dan prasarana
industri.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bambu
Tipe ikatan pembuluh jenis bambu kapal (Gigantochloa scortechinii) dan
bambu paring tali (Gigantochloa luteostritata) dari genus yang sama memiliki
ikatan pembuluh tipe III (tipe pinggang terpisah) yaitu ikatan pembuluh terdiri dari
dua bagian: ikatan pembuluh pusat dan ikatan serat yang terpisah atau dikenal
dengan istilah broken-waist type (tipe pergelangan patah) dan tipe IV (tipe
pinggang terpisah) yaitu ikatan pembuluh tersusun dalam tiga bagian: 1 untai
pembuluh di bagian pusat dengan selubung sklerenkim yang kecil dan dua berkas
serat bagian dalam dan luar yang terpisah.
Sifat fisis bambu seperti kadar air bambu kapal (Gigantochloa scortechinii)
11% dengan kerapatan 0,80, sedangkan bambu paring tali (Gigantochloa
luteostriata) rata-rata kadar air 10% dan kerapatan rata-rata 0,88.
Rata-rata nilai MOE terbesar (152.073 kg/cm2) pada bambu kapal dan
terendah bambu pada paring tali (130.531 kg/cm2). Nilai MOR terbesar pada
68
bambu paring tali (873 kg/cm2) dan terkecil adalah bambu kapal (648 kg/cm2).
Selanjutnya nilai keteguhan tekan sejajar serat terbesar dimiliki bambu kapal yaitu
sebesar 417 kg/cm2 dan terkecil adalah pering tali yaitu sebesar 327 kg/cm2.
Berdasarkan data sifat mekanis pada kondisi kering udara dapat dinyatakan
bahwa kedua jenis bambu ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan penggunaannya.
Bambu paring tali memiliki rata-rata keteguhan geser terbesar yaitu 122 kg/cm2
dan terkecil adalah bambu kapal 93 kg/cm2.
Hasil penelitian tentang keawetan dua jenis bambu yaitu bambu kapal dan
bambu paring tali terhadap rayap tanah termasuk kelas II. Sedangkan ketahanan
kedua jenis bambu terhadap jamur, bambu kapal dan bambu paring tali termasuk
kelas IV.
Kandungan kimia bambu kapal dan bambu paring tali, kelarutan dalam
NaOH 1% kedua jenis bambu ini berbeda, bambu kapal 22,58% dan bambu paring
tali 32,22%. Kadar selulosa tertinggi pada bambu kapal (57,29%) sedangkan paring
tali 51,18%.
Berdasarkan kriteria tersebut, suhu optimum untuk pengeringan bambu
kapal dan bambu paring tali pada batang pangkal adalah 40 sampai 60oC dan
batang tengah 45 sampai 70oC, suhu optimum. Jika akan mengeringkan bambu
kapal dan bambu paring tali dari batang pangkal sampai batang tengah bersama-
sama dalam satu dapur pengeringan, maka suhu optimum disarankan 40 sampai
60oC, agar kualitas batang pangkal tetap terjaga.
Keterawetan bambu kapal dan bambu paring tali, retensi bahan pengawet
pada bambu kapal (Gigantochloa scortechinii) dengan konsentrasi 5% rata-rata 14,4
kg/m3 dan bambu paring tali (Gigantochloa luteostriata ) rata-rata 18,08 kg/m3.
Penetrasi kedua jenis bambu ini mencapai 100 %.
Berdasarkan penelitian asap cair dua jenis bambu, yaitu bambu kapal dan
bambu paring tali pH bambu kapal 3,24 dan bambu paring tali 3,20 kedua jenis
bambu ini memenuhi standar mutu asap cair Jepang ( 1,50- 3,70) . Sedangkan berat
jenis asap cair bambu kapal dan paring tali 1,08 dan 1,09 telah memenuhi standar
Jepang.
69
B. Rotan
Berdasarkan hasil penelitian. diameter ke empat jenis rotan berkisar 4 – 19
mm, diameter besar adalah rotan pinang, kemudian tuni, akar dan terkecil jawa.
Panjang ruas berkisar 12 – 31 cm, ruas terpanjang adalah rotan pinang, kemudian
akar, tuni dan yang pendek jawa.
Ke empat jenis rotan yang diteliti tebal dinding sel serabut terendah 4,7
(rotan akar) dan tertinggi rotan jawa 5,95 μm, panjang serabut terpanjang pada
rotan jawa (2.379 µm) terpendek jenis rotan akar (1.473 µm). Diameter metaksilim
terbesar pada rotan tuni (176 µm) dan terkecil rotan jawa (142 µm). kemudian rotan
pinang 5,4 µm dan rotan tuni 5,2 µm. Tebal dinding jenis rotan akar 4,7 µm
Sedangkan diameter protoksilim rotan jawa 26 μm sama dengan rotan sebelumnya
yaitu tunggal (Calamuslaevigatus Martius) sebesar 26 μm. Selanjutnya panjang
serat rotan jawa 2,379 μm hampir sama dengan jenis rotan sebelumnya rotan buruk
hati (Calamus insignis Griff.var.longispinosus Dransfield) yaitu 2.381 μm.
Berdasarkan sifat fisis mekanis rotan, dari empat jenis rotan yang diteliti, berat jenis
(BJ), yang tertinggi pada rotan tuni (0,78/kelas I), rotan akar (0,71/kelas I),rotan
pinang (0,60/kelas II) dan rotan jawa (0,43/kelas III). Sedangkan berdasarkan
modulus elastis (MOE), rotan pinang 26.134 kg/cm2 (kelas II), berdasarkan
klasifikasi MOE rotan, rotan kelas II (performanya baik). Sedangkan rotan akar
tekan sejar serat 558,206 kg/cm2 (kelas III), rotan tuni 546,646 kg/cm2 (III) dan
rotan jawa 376,439 kg/cm2 (kelas IV).
Berdasarkan komponen kimia dari 4 jenis rotan yang diteliti, kandungan
selulosa rotan pinang (47,03 %), rotan akar (53,37%), jawa (45,40%) dan rotan tuni
(52,05). Lignin terdapat dalam rotan pinang (25,57%), akar (26,82%), jawa
(23,82%) dan rotan tuni (27,44%). Dari ke empat jenis rotan yang diteliti, ternyata
komponen kimia lain adalah pati, pati pada rotan pinang (15,58%), rotan akar
(16,89%), rotan jawa (18,12%) dan rotan tuni (16,78%).
Untuk ketahanan rayap tanah, rotan pinang, akar dan rotan jawa kelas II
(tahan), sedangkan rotan tuni kelas I. Berdasarkan demikian rotan yang mempunyai
kelas ketahanan I dan II tidak perlu diawetkan untuk memperpanjang umur pakai
bahan baku rotan untuk tujuan penggunaanya tersebut.
70
Berdasarkan proses pengolahan, tuni dan pinang, untuk pelengkungan
menghasilkan radius lengkung terkecil yang berkisar 3,5 – 9 cm, dengan demikian
dapat dilengkungkan pada acuan lengkung berdiameter 10 cm. Berdasarkan hasil
wawancara dengan pengrajin di industri rotan Cirebon pada saat pembuatan
produk, kempat rotan (tuni, pinang, jawa dan akar) mudah dikerjakan. Rotan ini,
dapat disetarakan dengan rotan manau/Calamus zolingerii (radius lengkung <10
cm), batang/Calamus zolingerii (radius lengkung 7,2 cm/<10 cm),
lambang/Calamus ornatus var celebicus (radius lengkung <10 cm). Sedangkan
rotan jawa dan akar tidak dilengkungkan karena kecil, rotan ini baik sebagai
komponen kekuatan tarik, dan dapat dibelah dua, dapat digunakan sebagai produk
anyaman dan kerajinan.
Pembuatan produk bambu dan rotan
1) Bambu
Bahan baku bambu dari bambu kapal dan paring dapat dibuat untuk mebel dan
peralat rumah tangga dan tidak dapat dibuat sebagai bahan baku bambu lamina,
karena kedua jenis bambu ini mempunyai dinding yang tipis.
Gambar 17. Produk dari Bambu
2) Rotan
Keempat jenis rotan dapat disetarakan dengan rotan dari kelompok rotan
komersial. Produk mebel yang dihasilkan dari salah satu jenis yang dipelajari
atau digabungkan dengan rotan yang sudah ada di pasaran, juga dapat menarik
pembeli. Hal ini menggambarkan bahwa keempat jenis rotan yang di pelajari
dapat pengganti rotan komersial.
71
Gambar 18. Produk dari Rotan
Penyempurnaan bambu dan rotan
1) Bambu
Penelitian bambu ini adalah hasil peneilitian tahun 2016, karena bambu ini tidak
tahan terhadap organisme perusak terutama rayap maka dilakukan
penyempurnaan. Berdasarkan hasil penelitian ternyata terhadap bambu peting
(Gigantochloa leavis) maupun bambu manggong (Gigantohloa manggong)
dengan berbagai konsentrasi dapat menahan serangan rayap tanah. Proses
pengawetan pada bambu dengan bahan pengawet boron 3 %, kedua jenis bambu
sudah menaikan kelas dari kelas IV menjadi kelas II, namun kalau untuk lebih
baik lagi bisa digunakan bahan pengawet boron dengan konsentrasi 7% dari
kelas IV menjadi kelas I. Maka untuk memperpanjang umur pakainya perlu
dilakukan pengawetan dengan menggunakan bahan pengawet.
2) Rotan
Penyempurnaan rotan akan dilakukan berdasarkan sifat yang dimiliki rotan
misalnya terkait dengan ketahanan rotan terhadap organisme perusak rotan
(OPR). Rotan yang mempunyai kelas awet rendah (Kelas III,IV dan V) perlu
72
dilakukan pengendaliannya terhadap OPR, antara lain dengan proses
pengawetan. Namun hasil penelitian sebelumnya (Tahun 2016) keempat jenis
rotan yang diteliti termasuk kelas awet I dan II, maka dalam pemakaiannya
tidak perlu diawetkan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Bambu
a) Bambu kapal dan bambu paring tali, dilihat secara struktur anatomi,
dinding serat bambu paring tali lebih tebal dibandingkan bambu kapal,
sehingga bambu paring tali lebih kuat dibandingkan bambu kapal.
b) Sifat mekanis bambu yang mencakup keteguhan lentur statis, tekan,
geser dan tarik sejajar serat umumnya cukup baik; kadar lignin, zat pati,
bambu kapal dan bambu paring tali cukup besar, akan berpengaruh
terhadap kadar phenol asap cair, dan persentase kerusakan bambunya
memenuhi persyaratan standar jepang yang disesuaikan untuk bambu.
c) Ketahanannya terhadap rayap tanah bambu kapal maupun bambu paring
tali cukup baik masuk kelas II (tahan). Ketahanan kedua jenis bambu
terhadap jamur termasuk kelas IV.
d) Hasil penyempurnaan bambu peting (Gigantochloa leavis) dan bambu
manggong (Gigantochloa manggong) terhadap rayap tanah, konsentrasi
boron dengan 3% dan 5% dapat menaikan kelas ketahanan kedua jenis
bambu dari kelas IV (tidak tahan ) menjadi kelas II (tahan), lebih baik
lagi konsentrasi 7 % menjadi kelas I (sangat tahan).
2) Rotan
a) Sifat-sifat dasar keempat jenis rotan yang dipelajari mirip dengan rotan
komersial, ditinjau dari sifat anatomi, kimia fisis mekanis, keawetan dan
pelengkungan.
b) Ketahanan rotan terhadap rayap tanah, rotan pinang (Daemonorops
calapparia (Mart.) Blume, rotan jawa (Calamus equestris Willd.) dan
rotan akar (Calamus cawa Blume) termasuk kelas ketahanan II (tahan),
73
sedangkan rotan tuni (Calamus rumphii Blume) termasuk kelas I
(sangat tahan).
c) Rotan yang termasuk kelas awet I dan II untuk memperpanjang umur
pakai tidak perlu diawetkan.
d) Pelengkungan 2 jenis rotan yang diteliti rotan tuni dan pinang termasuk
dalam kelompok sangat baik dilengkungkan dengan radius lengkung
dibawan 10 cm dan termasuk kelas I.
e) Produk dari keempat jenis rotan ( jawa, akar, pinang dan tuni) termasuk
mudah dikerjakan dan dapat disetarakan dengan rotan tohiti (Calmus
inops Becc. Ex.Heyne), lambang (Camus ornatus var celebicus Becc.),
sega (Calamus caecius) dan rotan irit (Calamus trachycoleus).
B. Saran
Jenis bambu ini dapat disarankan pada pengguna untuk pembuatan mebel
dan peralatan rumah tangga dan tidak dapat digunakan sebagai bambu lamina,
sedangkan jenis rotan ini dapat disosialisasikan kepada pengguna karena sifat-sifat
rotan ini mirip rotan komersial, sehingga jenis rotan ini dapat digunakan pengganti
rotan komersial yang sudah langgka dilapangan, seperti manau, batang, lambang,
tohiti, sega dan irit.
74
Judul Kegiatan : Konservasi Fosil Tumbuhan Tropis (Identifikasi Fosil Kayu Asal Gorontalo)
Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 8. Pengolahan Hasil Hutan Koordinator : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Andianto, S.Hut. MSi., Dr. Ratih Damayanti, S.Hut.,
M.Si., Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc., Listya Mustika Dewi, S.Hut., M.Sc., Hanny Oktariani, S.Si.
ABSTRAK Gorontalo merupakan wilayah provinsi yang diketahui memiliki Sumber Daya Alam berupa fosil kayu. Tujuan penelitiaan tahun 2017 adalah mendapatkan informasi ilmiah mengenai fosil kayu yang berasal dari wilayah ini. Dilakukan pengamatan struktur anatomi serta analisis perkiraan umur terhadap sampel fosil kayu. Irisan tipis bidang lintang, radial dan tangensial fosil kayu diamati ciri-ciri anatominya dengan menggunakan mikroskop Carl Zeiss-Axio Imager A1m. Diskripsi ciri anatomi mengacu kepada daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi kayu daun lebar IAWA (International Association of Wood Anatomists). Analisis umur fosil dilakukan berdasarkan peta Geologi (skala 1 : 100.000) lembar Tilamuta, Sumatera. Ciri-ciri natomi yang berhasil teridentifikasi menunjukkan bahwa sampel fosil-fosil kayu yang diambil dari Gorontalo adalah jenis Hopea (Hopeoxylon sp.) dan Balau (Shoreoxylon sp.), yang diperkirakan berumur antara 3,6 hingga 1,8 juta tahun yang lalu, yaitu antara zaman Pliosen akhir dan Plistosen awal. Kata Kunci: Fosil kayu, Gorontalo, Pliosen, Plistosen, Hopeoxylon, Shoreoxylon. 1. LATAR BELAKANG
Bidang anatomi kayu memiliki keterkaitan yang luas dan dapat mendukung
cabang-cabang ilmu lain seperti Arkeologi, Forensik, Ethnologi,
Dendrochronologi, dan Paleobotani. Penelitian tentang fosil kayu ini termasuk ke
dalam bidang ilmu Paleobotani. Kajian bidang ilmu Paleobotani merupakan ilmu
yang meliputi aspek fosil tumbuhan, rekonstruksi taksa, dan sejarah evolusi dunia
tumbuhan. Diperlukan penguasaan bidang-bidang ilmu pendukung untuk
memahami ilmu Paleobotani seperti ilmu Geologi, Anatomi tumbuhan, dan
Taksonomi tumbuhan (Susandarini, 2016). Sehingga ilmu Paleobotani bermanfaat
dalam memahami identitas jenis botani (ilmu anatomi), umur fosil (geologi), serta
dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah persebaran (Fitogeografi) dan
kepunahan dari taksa tumbuhan tertentu (Dewi, 2013.).
75
Persebaran fosil kayu di Indonesia perlu digali untuk mendapatkan data
ilmiah seperti jenis, lokasi keberadaan, serta perkiraan umurnya. Wilayah Indonesia
bagian tengah yang diketahui memiliki sumber keragaman fosil tumbuhan adalah
Provinsi Gorontalo.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan kegiatan penelitian tahun 2017 adalah untuk mendapatkan informasi
ilmiah mengenai fosil-fosil kayu yang terdapat di wilayah Provinsi Gorontalo.
Sasaran penelitian tahun 2017 adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai
identitas botanis, persebaran serta umur fosil kayu yang berasal dari wilayah
Provinsi Gorontalo.
3. METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian dilakukan di Puslitbang Hasil Hutan Bogor, serta Museum
Geologi Bandung. Sedangkan pengambilan bahan penelitian dilaksanakan di
Provinsi Gorontalo. Bahan utama penelitian adalah sampel fosil kayu yang diambil
langsung dari lokasi tapaknya (masih berada di dalam tanah) di wilayah Provinsi
Gorontalo. Bahan kimia yang digunakan antara lain carborundum dan canada
balsam. Sedangkan peralatan yang digunakan di antaranya pemotong batu (gergaji
mesin), mikrotom, lup, mikroskop cahaya, kamera, hot plate. Bahan gelas kaca
yang diperlukan antara lain object glass dan cover glass.
Ciri anatomi pada irisan bidang lintang, radial dan tangensial fosil kayu
diamati melalui preparat tipis dengan bantuan mikroskop Carl Zeiss-Axio Imager
A1m. Preparat tipis iris dibuat berdasarkan SNI 13-4175-1996 tentang penyiapan
sayatan tipis contoh batuan dan mineral untuk analisis petrograf. Pembuatan
preparat untuk setiap bongkahan fosil dilakukan dalam 3 kali ulangan. Selanjutnya
preparat siap untuk diamati menggunakan daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi
kayu daun lebar IAWA (Wheeler, Baas, & Gasson, 1989) guna mengetahui jenis
fosil kayu. Ciri anatomi hasil pengamatan selanjutnya dibandingkan dengan ciri-
ciri anatomi kayu masa kini yang sejenis.
76
Perhitungan perkiraan umur fosil kayu dilakukan dengan menganalisis
sedimen berdasarkan data peta Geologi (skala 1:100.000). Peta Geologi merupakan
peta yang di dalamnya berisi stratigrafi (formasi) batuan dengan perkiraan
informasi umurnya. Perkiraan umur fosil dianalisis berdasarkan lapisan batuan
dimana fosill tersebut ditemukan. Keberadaan fosil kayu yang tertimbun di dalam
lapisan batuan diasumsikan memiliki usia yang sama dengan lapisan batuan itu
sendiri. Lapisan batuan pada peta tersebut digambarkan dengan sejumlah warna
yang berbeda. Setiap warna yang terdapat di dalam peta tersebut menginformasikan
formasi batuan dan perkiraan umurnya. Selanjutnya informasi warna disesuaikan
dengan warna pada peta grafik perkiraan umur fosil. Analisis jenis mineral
menggunakan X-ray Diffractometer untuk mengetahui proses pembentukan fosil.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dua buah batang fosil kayu ditemukan berada pada wilayah Desa Tohupo
Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo dengan koordinat lokasi berada
pada LU (N): 00° 34,1' 63'' dan BT (E): 122° 51' 64''. Karakteristik lokasi temuan
berupa dinding bukit dimana dibawahnya mengalir sungai Bongomeme. Pada
bagian sudut lain terlihat area perkebunan masyarakat. Keberadaan fosil kayu masih
menancap pada dinding tebing yang merupakan lapisan batuan berwarna kuning
dan abu-abu. Warna yang berbeda menunjukan perbedaan kandungan mineral yang
terkandung dalam lapisan kedua batuan. Diujung tebing terlihat lapisan batuan yang
tidak menerus yang menandakan bahwa terjadi sesar normal pada daerah tersebut.
Fosil kayu yang terlihat menonjol pada dinding bukit masing-masing memiliki
panjang sekitar 1 m berdiameter sekitar 0,5 meter. Lapisan batuan berwarna kuning
merupakan tufa pasiran, sedangkan batuan berwarna abu merupakan batupasir
tufaan. Warna yang berbeda menunjukan perbedaan kandungan mineral yang
terkandung dalam kedua batuan tersebut.
Ciri-ciri anatomi fosil kayu (sampel 1) serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu
dari genus Hopea sp. (Merawan/Hopea) adalah anggota dari famili
Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil ini adalah
fosil dari jenis kayu Merawan/Hopea (Hopeoxylon sp.). Ciri-ciri anatomi fosil kayu
77
(sampel 2) serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari genus Shorea sp. (Balau)
anggota dari famili Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian
maka fosil kayu sampel 2 adalah fosil dari jenis kayu Balau (Shoreoxylon sp.).
Tabel 6. Hasil Pengamatan Ciri Anatomi
No. Ciri Anatomi Spesimen 1 Spesimen 2 Pembuluh 1. Porositas baur (5) baur (5) 2. Bidang perforasi sederhana (13) sederhana (13) 3. Susunan
noktah/ceruk antar pembuluh
selang-seling (22) selang-seling (22)
4. Tilosis dan endapan dalam pembuluh
Tilosis umum (56) Tilosis umum (56)
Serat 1. Tebal dinding serat tipis sampai tebal (69) tipis sampai tebal (69) Parenkim 1. Tipe Parenkim aksial apotrakea tersebar
dalam kelompok (77) aksial apotrakea tersebar (76)
2. Tipe Parenkim vaskisentrik (79) aksial apotrakea tersebar dalam kelompok (77)
3. Tipe Parenkim konfluen (83) aksial paratrakea jarang (78)
4. Tipe Parenkim - aliform (80) 5. Tipe Parenkim - konfluen (83) Jari-jari 1. Lebar lebar 1-3 seri (97 lebar 1-3 seri (97) 2. Lebar jari-jari besar umumnya 4-10
seri (98) jari-jari besar umumnya 4-10 seri (98)
3. Tubuh jari-jari baring
tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106)
tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106)
4. Tubuh jari-jari baring
tubuh jari-jari sel baring umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107)
tubuh jari-jari sel baring umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107)
Saluran Interselular 1. Saluran aksial saluran aksial dalam baris
tangensial panjang (127) saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127)
Kandungan mineral
78
No. Ciri Anatomi Spesimen 1 Spesimen 2 1. Kristal terdapat kristal prismatik
dalam sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (137)
-
2. Kristal terdapat kristal prismatik dalam sel baring (138)
-
3. Kristal terdapat kristal prismatik berderet radial dalam sel baring jari-jari (139)
-
4. Kristal terdapat kristal prismatik dalam parenkim aksial berbilik (142)
terdapat kristal prismatik dalam parenkim aksial berbilik (142)
Jensi fosil kayu Merawan/Hopea (Hopeoxylon sp.)
Balau (Shoreoxylon sp.)
Berdasarkan peta geologi lembar Tilamuta, Sulawesi, formasi batuan pada
peta dicirikan dengan warna. Berdasarkan warna formasi batuan tersebut
selanjutnya dikonfirmasi dengan korelasi satuan peta yang menyediakan informasi
umur lapisan batuan (sesuai warna lapisan batuannya).
Wilayah temuan fosil-fosil kayu asal Desa Tohupo berada dalam Formasi
Batuan Gunungapi Pinogu (TQpv) berupa aglomerat, tuf, lava andesit-basal.
Formasi ini berada pada umur batuan zaman Pliosen akhir dan Plistosen awal.
Selanjutnya berdasarkan peta grafik perkiraan umur fosil (International
Chronostratigraphic Chart), umur lapisan batuan yang berada pada zaman Pliosen
akhir dan Plistosen awal adalah antara 3,6 hingga 1,8 juta tahun yang lalu sehingga
fosil kayu ini juga diperkirakan berumur antara 3,6 hingga 1,8 juta tahun yang lalu.
Zaman Pliosen (5-1,8 juta tahun lalu) ditandai dengan semakin berkurangnya
jumlah tumbuhan karena cuaca dingin sedangkan zaman Plistosen (1,8-0,01 juta
tahun lalu) ditandai oleh beberapa kali glasiasi (zaman es) yang menutupi sebagian
besar Eropa, Amerika Utara, Asia Utara, pegunungan Alpen, Himalaya, dan
Cherpathia (Museum Geologi, 2017).
Hasil pengamatan lokasi pada areal temuan fosil ditemukan jenis pohon
perkebunan seperti pohon kelapa dan jagung. Lokasi temuan fosil kayu memang
berada di sekitar areal perkebunan masyarakat.
79
Fosil-fosil kayu yang ditemukan di wilayah Gorontalo merupakan asset
yang perlu diselamatkan sebagai bukti adanya tumbuhan prasejarah. Nilai material
berupa koleksi sampel fosil kayu yang dikumpulkan dari wilayah ini membuktikan
adanya jenis-jenis pohon anggota famili Dipterocarpaceae, yaitu Merawan/Hopea
(Hopeoxylon sp.) dan Balau (Shoreoxylon sp.) yang pernah ada di wilayah
Gorontalo pada masa silam, yaitu 3,6 – 1.8 juta tahun yang lalu.
Hasil analisa kandungan mineral yang terdapat pada fosil kayu sebagian
besar (utamanya) adalah Quartz (SiO2), selanjutnya berturut-turut menyusul adalah
Graphite (C) atau intan (bentuk alotrop carbon), Zaherite (AL12(SO4)5(OH)26),
Albite, disordered (Na (Si3AL)O8. Casium Sodium Alumosilicate (Ca0.65 Na0.35
( Al1.65 Si2.35 O8)). Hal ini menunjukkan bahwa unsur kimia yang terdapat dalam
fosil kayu bukan lagi Carbon, sehingga perkiraan umur tidak dapat dianalisa
berdasarkan metoda Carbon Dating.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Fosil kayu yang diperoleh dari wilayah Propinsi Gorontalo (Kecamatan
Bongomeme) telah berhasil diambil langsung dari lokasi keberadaannya guna
pengamatan ciri-ciri anatomi serta analisis perkiraan umurnya. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa fosil kayu tersebut adalah jenis Hopeoxylon sp.
(Merawan/Hopea) dan Shoreoxylon sp. (Balau) dengan perkiraan umur antara 3,6
hingga 1,8 juta tahun yang lalu (antara zaman Pliosen akhir dan Plistosen awal).
Fosil kayu yang ditemukan di wilayah Provinsi Gorontalo mengindikasikan
bahwa wilayah ini memiliki potensi sebagai salah satu sumber keragaman jenis fosil
kayu di Indonesia. Sehingga untuk menjaga keberadaannya diperlukan upaya
konservasi di wilayah temuan fosil kayu tersebut.
80
Lampiran 8
Gambar 19. Letak fosil kayu pada dinding bukit (Desa Tohupo)
81
a. Penampang lintang mikroskopis, skala 200 mikron b. Penampang radial mikroskopis, skala 200 mikron c. Penampang tangensial mikroskopis, skala 200 mikron
Gambar 20. Penampang mikroskopis fosil kayu Hopea (Hopeoxylon sp.).
cb
a
82
a. Penampang lintang mikroskopis, skala 200 mikron b. Penampang radial mikroskopis, skala 200 mikron c. Penampang tangensial mikroskopis, skala 200 mikron
Gambar 21. Penampang mikroskopis fosil kayu Balau (Shoreoxylon sp.).
a
b c
83
Judul Kegiatan : Teknik Pemanenan Kayu Hutan Alam Berbasis Zero Waste dan Ramah Lingkungan
Jenis Kegiatan : Penelitian Integratif RPPI : 9. Teknik Pemanenan Hutan Koordinator : Ir. Soenarno, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Wesman Endom, B.Sc.F., M.Sc., Ir. Soenarno, M.Si., Ir.
Sona Suhartana, Yuniawati, S.TP. M.Si., Ir. Zakaria Basari, B.Sc.F.
ABSTRAK
Kendati kegiatan pemanenan kayu di hutan alam telah dilakukan menerapkan prinsip pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/RIL) tetapi pelaksanaan di lapangan masih lemah. Hal ini tercermin dari kegiatan penebangan pohon yang masih sepenuhya diserahkan kepada penebang (operator chainsaw) tanpa ada kontrol teknik pembagian batang (bucking) yang baik dan benar. Akibatnya volume kayu yang dimanfaatkan tidak optimal dan meninggalkan limbah kayu serta kerusakan tegakan yang cukup besar. Di lain pihak, industri pengolahan kayu terus mengalami defisit bahan baku kayu bulat. Oleh karena itu upaya perbaikan teknik pemanenan harus terus dilakukan agar produksi kayu hutan alam meningkat dan aspek kelestarian tetap dapat dijamin. Salah satu upaya tersebut adalah inovasi teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah lingkungan. Teknik pemanena kayu ini sebenarnya merupakan penyempurnaan dari metode pemanenan kayu tree length logging yang telah dikembangkan oleh Idris dan Soenarno pada tahun 2012 sampai 2015. Metode penelitian teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah lingkungan dilakukan secara purposive dengan membuat petak contoh penelitian (PCP) berukuran 100m X 100m yang ditempatkan pada petak tebang terpilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah lingkungan meningkat menjadi rata-rata 92,99% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang hanya 89,70%. BIaya penyaradan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah lingkungan meningkat menjadi rata-rata 92,99% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol lebih murah (Rp 22.702/m3) dibandingan dengan kontrol sebesar Rp 33.941/m3. Sedangkan kerusakan tegakan akibat teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah lingkungan lebih rendah (37,67%) dibandingkan teknik penebangan kontrol (38,26%). Kata kunci : hutan alam, pemanenan kayu, zero waste, ramah lingkungan, efisiensi
pemanfaatan kayu, kerusakan tegakan 1. LATAR BELAKANG
Kayu yang dipanen dari hutan alam merupakan sumber utama pasokan
bahan baku industri pengolahan kayu. Kegiatan pemanenan ini hingga kini masih
tetap berjalan, sekalipun jumlah perusahaan hutan maupun kayu hasil produksinya
saat ini sangat jauh berkurang dibanding dengan periode di tahun 1970-1990-an.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016), kekurangan
84
bahan baku kayu bulat untuk industri pengolahan kayu mencapai sebanyak ± 32,37
juta m3. Bahkan berdasarkan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu yang
ada saat ini, defisitnya mencapai sebesar 40 juta m3/tahun (Nurrochmat, 2010). Di
sisi lain, secara aktual volume kayu bulat hasil pemanenan dari hutan alam ini
belum dimanfaatkan secara maksimal, limbah tebangannya cukup banyak
sementara kerusakan tegakannya yang terjadi masih cukup besar. Besarnya volume
limbah pemanenan kayu berkisar 11 - 23% atau rata-rata 17% (Soenarno et al.,
2016) sedang kerusakan tegakan yang terjadi juga masih cukup besar berkisar 17 -
40% (Elias, 2016).
Memperhatikan masih cukup besarnya limbah dengan rata-rata sebesar 17%
dan kerusakan tegakan yang terjadi sebesar 17-40%, maka sangatlah diharapkan di
samping besar limbah bisa ditekan untuk bisa membantu menambah pasokan
kekurangan penghara kayu bulat, juga sangat penting agar kerusakan tegakannya
bisa minimal sehingga hutan dapat terus dikelola secara berkelanjutan. Ada
berbagai faktor kemungkinan mengapa limbah tebangan dan kerusakan tegakan
masih tinggi yaitu antara lain karena pengaruh geophisik, biophisik dan utamanya
akibat kesalahan teknik penebangan dan pada cara pembagian batang. Oleh karena
itu, sudah selayaknya perlu dicari solusinya agar limbah semakin jauh berkurang
sementara tegakan tinggalnya tidak banyak mengalami kerusakan yang parah.
Bertolak dari permasalahan tersebut di atas, dicoba dicari solusinya dengan
melakukan penelitian teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah
lingkungan. Sebagai pembanding atas metoda ini juga dilakukan penelitian
pemanenan yang biasa dilakukan perusahaan sebagai kontrol.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Untuk memperoleh informasi teknis, ekonomis dan ekologis, yang
diharapkan hasilnya dapat meningkatkan produksi kayu bulat dari hutan alam tanpa
harus mengorbankan kerusakan tegakan yang berlebihan.
85
3. METODE PENELITIAN
Prosedur penelitian dilakukan dengan tahapan penentuan lebih dulu 3 unit
IUPHHK-HA yang telah memiliki sertifikat PHPL, kemudian pada setiap unit
IUPHHK-HA dipilih 6 petak tebang uji coba (PCP) secara purposif, yang didesain
3 PCP sebagai petak coba secara kontrol, dan 3 PCP lagi didesain dengan cara zero
waste. Luas tiap PCP berukuran 100 m X 100 m. Pada tiap PCP dilakukan
penebangan, penyaradan dan jumlah pohon yang rusaknya dihitung. Pengukuran
dan pengumpulan data yang dilakukan meliputi kayu yang dimanfaatkan, kondisi
limbah penebangan (setelah pengujian dan pengukuran/grading scaling) di TPn,
waktu penebangan dan penyaradan serta jarak sarad. Perhitungan volume kayu /
batang yang dimanfaatkan dan limbahnya digunakan rumus empiris Brereton
(Ditjen Pengusahaan Hutan, 1993), sedangkan produktiivitas kerja dan biaya
penebangan serta penyaradan, dihitung menggunakan formula FAO (1992). Biaya
produksi pengeluaran kayu dihitung dari biaya usaha dibagi dengan produktivitas
kerja (Rp/m3).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kendati kegiatan pemanenan kayu di hutan alam telah dilakukan
menerapkan prinsip pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/RIL)
tetapi pelaksanaan di lapangan masih lemah. Hal ini tercermin dari kegiatan
penebangan pohon yang masih sepenuhya diserahkan kepada penebang (operator
chainsaw) tanpa ada kontrol teknik pembagian batang (bucking) yang baik dan
benar. Akibatnya volume kayu yang dimanfaatkan tidak optimal dan meninggalkan
limbah kayu serta kerusakan tegakan yang cukup besar. Di lain pihak, industri
pengolahan kayu terus mengalami defisit bahan baku kayu bulat. Oleh karena itu
upaya perbaikan teknik pemanenan harus terus dilakukan agar produksi kayu hutan
alam meningkat dan aspek kelestarian tetap dapat dijamin. Salah satu upaya
tersebut adalah inovasi teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan ramah
lingkungan.
Teknik pemanena kayu ini sebenarnya merupakan penyempurnaan dari
metode pemanenan kayu tree length logging yang telah dikembangkan oleh Idris
86
dan Soenarno pada tahun 2012 sampai 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
efisiensi pemanfaatan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah lingkungan
meningkat menjadi rata-rata 92,99% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang
hanya 89,70%. BIaya penyaradan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah
lingkungan meningkat menjadi rata-rata 92,99% lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol lebih murah (Rp 22.702/m3) dibandingan dengan kontrol sebesar Rp
33.941/m3. Sedangkan kerusakan tegakan akibat teknik pemanenan kayu berbasis
zero waste dan ramah lingkungan lebih rendah (37,67%) dibandingkan teknik
penebangan kontrol (38,26%).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
1) Realisasi pohon yang ditebang dilakukan secara umum berkisar antara
47,7% - 56,6% atau rata-rata 52,2% dan yang tidak ditebang 47,8% diduga
karena growong.,
2) Efisiensi pemanfaatan kayu teknik pemanenan zero waste dan ramah
lingkungan berkisar antara 88,56% - 94,15% dengan rata-rata 92,99% lebih
besar dibandingkan dengan kontrol yang berkisar antara 85,67% - 91,80%
dengan rata-rata 89,70%.
3) Potensi rata-rata limbah batang bebas cabang pada teknik penebangan
berbasisi zero waste dan ramah lingkungan lebih sedikit (0,526 m3/pohon
atau 9,93%) dibandingkan teknik penebangan kontrol (0,863 m3/pohon atau
13,80%).
4) Sebaran limbah kayu batang bebas cabang sebagian besar cacat (41,42 -
57,93%) dan pecah (27,3 – 38,79%) sedangkan yang kondisinya baik
berkisar antara 17,44 -20,74% atau 0,199 – 0,342 m3/pohon dengan rata-
rata 0,313 m3/pohon.
5) Ketiga IUPHHK-HA tidak mengolah potensi limbah berkualitas baik
karena pertimbangan pengenaan tariff PNBP yang mahal.
87
6) Produktivitas penyaradan kayu teknik pemanenan kayu berbasis zero waste
dan ramah lingkungan cenderung lebih rendah (26,233 m3/jam)
dibandingkan dengan teknik pemanenan kontrol (27,230 m3/jam).
7) Besarnya biaya penyaradan kayu teknik pemanenan kayu berbasis zero
waste dan ramah lingkungan cenderung lebih murah (Rp 31.523 – Rp
41.830/m3 atau rata-rata Rp 22.702/m3) dibandingkan dengan teknik
pemanenan kontrol (Rp 28.0152 – Rp 37.016/m3 dengan rata-rata
33.941/m3/jam).
8) Kerusakan tegakan akibat teknik pemanenan kayu berbasis zero waste dan
ramah lingkungan lebih rendah (37,67%) dibandingkan teknik penebangan
kontrol (38,26%).
2. Saran
1) Operator chainsaw perlu dilakukan pelatihan atau penyegaran tentang
penerapan teknik penebangan yang baik dan benar.
2) Petugas survey inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) perlu
dibekali tambahan alat khusus pendeteksi pohon growong.
3) Diperlukan komitmen pihak manajemen pemegang IUPHHK-HA dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dengan dapat
terlaksananya implementasi pengolahan limbah kayu di lapangan.
88
Lampiran 9
Gambar 22. Beberapa contoh limbah kayu cacat (A = bengkok, B = berlubang, C = Notch, D = mata buaya
Gambar 23. Kondisi ukuran log di TPn (A = Teknik pemanenan kontrol, B = teknik pemanenan Zero waste)
A B
C D
Mata buaya
Mata kayu
A B
89
Gambar 24. Kerusakan tegakan akibat pemanenan kayu (A = setelah penebangan, B = setelah penebangan dan penyaradan kayu)
A B
90
Judul Kegiatan : Aplikasi Pengembangan Pellet Kayu Dari Biomassa Untuk Masyarakat
Jenis Kegiatan : Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan
RPPI : 2. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator : Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Santiyo Wibowo, S.TP, Prof. Riset. Dr. Gustan Pari, M.Si,
Djeni Hendra, M.Si, Ir. Sofwan Bustomi, M.Si, Yuniawati, S.T.P, M.Si, Nur Adi Saputra, S.Hut, M.S.
ABSTRAK
Masalah utama bahan bakar minyak bumi adalah karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui (non renewable), sehingga perlu disubstitusi oleh bahan bakar alternatif yang dapat dipulihkan atau terbarukan yang berasal dari biomassa. Keuntungan penggunaan biomasa sebagai salah satu bioenergi adalah dapat diperbarui, ramah lingkungan, mengurangi emisi rumah kaca atau gas yang bersift asam, dapat dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia dan dapat secara langsung melibatkan masyarakat. Tetapi biomasa juga mempunyai kekurangan yaitu kadar air tinggi, bentuk dan ukuran yang tidak seragam, densitasnya rendah, yang dapat meningkatkan biaya penyimpanan, penanganan dan transportasi, selain itu mudah diserang mikroba perusak. Salah satu cara penanganan biomasa adalah dengan cara dijadikan pellet kayu (wood pellets). Wood pellet dapat meningkatkan densitas biomassa dan memudahkan dalam transportasi. Tujuan kegiatan pengembangan ini adalah mendapatkan prototype alat produksi pellet kayu untuk bahan bakar yang mudah dan murah diterapkan oleh masyarakat. Sasaran kegiatan diperolehnya prototype alat produksi pellet kayu untuk bahan bakar yang mudah dan murah diterapkan oleh masyarakat. Hasil pengembangan diperoleh dua alat yaitu hammer mill dan alat pembuat pellet kayu. Kapasitas produksi hammer mil sebesar 25 kg/jam dan kapasitas produksi pellet kayu 30 kg/jam menggunakan bahan baku kayu kaliandra. Karakteristik pellet kayu kaliandra adalah kadar air 8,16%, zat terbang 80,64%, kadar abu 2,59% kerapatan 1,127 g/cm3 dan kalor 4363,52 kal/g, emisi CO 1,45 ppm, dan CO2 6,1%. Kata kunci : pellet kayu, biomassa, energi baru terbarukan
1. LATAR BELAKANG
Salah satu bahan bakar alternatif yang berpotensi dikembangkan adalah
pellet kayu. Pellet merupakan bentuk modern dari biomassa yang dipadatkan yang
berasal dari sisa-sisa kayu dan campuran biomassa melalui proses penggilingan,
pengeringan dan pemadatan. Keuntungan dari pemadatan adalah dihasilkannya
produk dengan kepadatan tinggi dibandingkan dengan biomassa yang diproses
dengan cara lainnya dan dihasilkannya produk dengan kandungan energi yang
91
tinggi. Pellet kayu tidak hanya dapat diproduksi dari bahan baku kayu saja tetapi
biomassa lainnya seperti limbah kehutanan, pertanian atau perkebunan.
Pusat Litbang Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian pellet kayu tahun
2011 mengenai rekayasa alat wood pellets skala industri kecil dengan sistem pres
hidroulik yang digerakkan oleh elektromotor, dilengkapi dengan pemanas dari
electric heater. Mesin produksi bio-pellets hasil rekayasa berdasarkan hasil uji coba
tahan untuk digunakan selama 8 jam tanpa henti (semi kontinyu). Meskipun
demikian produktivitasnya masih cukup rendah yaitu 2,67 kg/jam (Hendra & Pari,
2011). Untuk dapat diaplikasikan pada masyarakat perlu dilakukan pengembangan
peralatan pellet berupa pembuatan/penyempurnaan alat dengan kapasitas alat yang
lebih besar dan efisien.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan kegiatan pengembangan ini adalah mendapatkan prototipe alat
produksi pellet kayu untuk bahan bakar yang mudah dan murah diterapkan oleh
masyarakat. Sasaran kegiatan diperolehnya prototipe alat produksi pellet kayu
untuk bahan bakar yang mudah dan murah diterapkan oleh masyarakat.
3. METODE PENGEMBANGAN
A. Lokasi Pengembangan
Lokasi kegiatan pembuatan alat hammer mill dan alat pellet dilakukan di
Bogor, sedangkan pengambilan bahan baku kayu kaliandra dilakukan di Sukabumi.
Untuk ujicoba peragaan di lapangan dilakukan oleh masyarakat di Desa Cimaragas
Kabupaten Ciamis.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah bahan besi untuk
pembuatan alat, kayu kaliandra, tepung tapioka. Peralatan yang digunakan
timbangan, disk mill, ayakan, oven dan peralatan gelas kaca.
92
C. Stakeholder yang terlibat
Kegiatan pengembangan ini akan melibatkan pemerintah daerah Provinsi
Jawa Barat melalui Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis dan Pemda Kabupaten
Ciamis melalui Kepala Desa Cimaragas Kabupaten Ciamis.
D. Prosedur Kerja
Prosedur kerja terbagi menjadi 5 aspek yaitu; aspek teknis berkaitan dengan
karakteritik alat, karakteristik pellet yang dihasilkan dan hasil uji pembakaran pellet
serta efisiensi energi produksi pellet, aspek sosial masyarakat penerima alat pellet,
aspek ekonomi berkaitan dengan harga pokok produksi pellet, aspek lingkungan
berkaitan dengan emisi pembakaran pellet dan aspek kelembagaan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Aspek Teknis
1) Alat penghancur biomasa (Hammer mill)
Kapasitas produksi hammer mill ini adalah 10-25 kg/jam tergantung dari
ukuran diameter batang kayu. Biomassa kayu dengan diameter batang 3-5 cm
kapasitasnya dapat mencapai 25 kg/jam. Alat ini menggunakan penggerak mesin
diesel 7,5 pk yang mampu beroperasi selama delapan jam/hari. Prinsip kerja alat ini
adalah memberikan pukulan atau tumbukan pada batang kayu menggunakan 12
untaian plat besi dengan ukuran panjang 15 cm, lebar 5 cm dan tebal 1 cm. Plat-plat
besi yang berfungsi sebagai palu dengan kecepatan tinggi. Hasilnya berupa serbuk
kayu dengan ukuran 5-40 mesh.
2) Alat pellet
Untuk memadatkan serbuk biomassa menjadi pellet diperlukan alat pellet.
Alat pellet ini menggunakan diameter piring cetakan (flat die) sebesar 30,5 cm,
dengan ketebalan 3 cm dan diameter wadah 32 cm. Jumlah lubang cetakan pellet
172 buah dengan diameter lubang 8 mm. Tenaga penggerak menggunakan mesin
diesel 19 pk dengan rpm 2200. Prinsip kerja alat ini adalah memadatkan serbuk
biomassa (densifikasi) melalui pergerakan antara roda besi (roller) dan piringan
berlubang (die) dimana sumber pergerakan berada pada die sedangkan roller berada
posisi diam.
93
Tekanan dan panas yang dihasilkan dari perputaran roller dan die akan
menyebabkan serbuk kayu memadat sehingga terbentuklah pelet.
Tabel 7. Hasil uji coba alat hammer mill menggunakan beberapa ukuran kayu.
Ukuran
Kondisi mesin
Hasil Panjang (cm) Diameter (cm)
40-50 5-7 Putaran berat dan mesin mati karena terganjal batang kayu
Kayu pecah terbentuk serpihan besar
20-25 5-7 Putaran cukup lancar pada 2-3 kg bahan baku yang dimasukkan, selanjunya putaran menjadi berat dan hammer mill terganjal dan mesin mati
Terbentuk serpihan kecil, tetapi kelancaran produksi terganggu karena mesin mati dan harus menghidupkan kembali mesin setelah batang yang mengganjal di keluarkan
40-50 1-3 Putaran cukup lancar tetapi pada bahan baku berikutnya, putaran hammer terganggu
Terbentuk serbuk 10-15 kg/jam serbuk
20-25 3-5 Putaran hammer mill lancar 15-20 kg/jam serbuk 10-15 1-3 Putaran hammer mill lancar 20-25 kg/jam serbuk
Meskipun di dalam kayu terdapat lignin yang dapat yang berfungsi sebagai
perekat. Akan tetapi penambahan perekat kanji juga diperlukan untuk beberapa
jenis biomassa yang kandungan ligninya rendah. Perekat yang biasa ditambahkan
dalam proses produksi wood pellet adalah perekat kanji (tapioka, sagu, tepung
kentang) dengan jumlah antara 1 s/d 3% b/b. Pada ujicoba pembuatan pellet
menggunakan penambahan perekat tapioka ± 3% dari berat serbuk.
Ujicoba alat pellet menggunakan bahan baku kayu kaliandra dan serbuk
gergaji kayu yang berasal dari saw mill. Sebelumnya bahan baku dikeringkan
sampai mencapai kadar air 10-15%, selanjutnya dibagi menjadi tiga ukuran serbuk
yaitu kasar dimana serbuk gergaji tertahan pada ayakan 40 mesh, serbuk gergaji
yang lolos ayakan 40 mesh dan tertahan di 60 mesh, dan serbuk gergaji yang lolos
ayakan 60 mesh. Untuk memperoleh serbuk yang halus, diperlukan alat disk mill
yaitu alat penghancur biomassa menjadi ukuran yang halus. Selanjutnya serbuk
ditambahkan tepung tapioka antara 1-3% dan minyak goreng bekas pakai antara 1-
94
3% b/b yang ditambahkan pada akhir proses. Dengan adanya pelumasan pada akhir
proses diharapkan mesin dapat langsung digunakan pada keesokan harinya.
Tabel 8. Hasil ujicoba alat wood pellet
Ukuran serbuk Kondisi mesin Hasil
30-40 mesh Pergerakan roller dan die beberapa kali macet dan bukaan gas pada mesin diesel harus besar (posisi 3) agar mesin tidak mati karena beratnya beban akibat menggunakan bahan baku yang kasar
3-5 kg/jam
40-60 mesh Bukaan gas pada posisi 2 7-15 kg/jam
>60 mesh Bukaan gas pada posisi 2 20-30 kg/jam
Hasil ujicoba menunjukkan bahwa alat pellet menghasilkan 15-30 kg/jam,
diperoleh dengan menggunakan serbuk kayu berukuran >60 mesh, sedangkan untuk
ukuran 30-60 mesh kapasitas produksinya 3-15 kg/jam. Ukuran serbuk yang halus
lebih mudah menyatu dan membentuk pellet dibandingkan serbuk yang berukuran
besar. Kapasitas alat ini masih mungkin dapat ditingkatkan menjadi 50-75 kg per
jam dengan menggunakan bahan baku dan formulasi lainnya atau menambah daya
dan kekuatan gear box pemutar die dan roller.
Tabel 9. Karakteristik uji laboratorium serbuk dan pellet dari kayu kaliandra
Jenis Bahan Serbuk kayu Pellet Pellet kayu SNI 8021-2014
Kadar air 16,45 8,16 Maksimal 12 Kadar zat terbang 83,63 80,64 Maksimal 80 Kadar abu 0,81 2,59 Maksimal 1,5 Kadar karbon terikat 15,56 16,77 Minimal 14 Kerapatan g/cm3 0,5 1,127 Minimal 0,8 Nilai kalor kal/g 3798,99 4363,52 Minimal 4000
3) Total energi
Total energi yang diperlukan dalam proses pembuatan pellet kayu menjadi
dasar menghitung efisiensi energi produksi pellet (Abdullah et al, 1998). Analisis
energi pembuatan pellet dimulai pada tahap penghancuran, penghalusan,
densifikasi dan pengeringan (Tabel 4).
95
Table 10 . Energi input proses pembuatan pellet.
Proses Jumlah (Kg) Total (kkal) Penghancuran kayu 30 10.160 Penghalusan serbuk 30 9148,91 Densifikasi/pellet 30 20.320 Total energi 39.628,91
Berdasarkan hasil perhitungan total energi yang dibutuhkan adalah sebesar
39.628,91 kkal (31,3%), dan energi pellet yang dihasilkan sebesar 126.542,08 kkal.
Dengan demikian energi pembuatan pellet masih lebih kecil dibandingkan dengan
energi yang dihasilkan pellet.
Hasil pengujian menunjukkan waktu rata-rata yang diperlukan pellet untuk
mendidihkan 1,5 liter air menggunakan pellet kaliandra adalah 6,5 menit, pellet
serbuk gergaji 6,9 menit dan pellet komersil membutuhkan 7,3 menit. Laju
konsumsi pembakaran pellet kayu kaliandra sebesar 0,79 kg/jam, pellet serbuk
gergaji 1,11 kg/jam dan 0,82 kg/jam.
B. Aspek Sosial
Aspek sosial pada kegiatan ini diharapkan menjadi penguatan kelompok
tani/masyarakat untuk terwujudnya kemandirian energi pada masyarakat dengan
memanfaatkan kayu/limbah biomassa menjadi bioenergi. Alat penghancur kayu
dan alat pellet diserahterimakan pada kelompok masyarakat Posyan TTG GASMA
(Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna Galuh Siliwangi Manunggal) di Kecamatan
Cimaragas Ciamis yang diketuai oleh Bapak Ujang Solikhin sebagai penerima
hadiah Kalpataru tahun 2010. Kelompok masyarakat tersebut selama ini bergerak
pada pembuatan arang, asap cair dan arang briket beserta peralatannya seperti tanur
pengarangan, alat pencetak briket, dan disk mill penghalus arang. Dengan adanya
bantuan alat hammer mill dan alat pellet kayu beserta teknologi pembuatannya
diharapkan dapat lebih memberdayakan masyarakat dalam penganekaragaman
energi biomassa menuju kemandirian energi dan kedepannya dapat menurunkan
angka perusakan hutan dari pengambilan kayu bakar dan terkendalinya masalah
limbah, sehingga terjaga kebersihan lingkungan dan kelestarian alam.
96
C. Aspek Ekonomi
Secara ekonomi kegiatan aplikasi pellet kayu untuk masyarakat dapat
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Kegiatan
kelompok masyarakat selama ini melibatkan 8-13 orang dalam produksi briket
arang yang terbagi dalam kegiatan pembuatan arang, penggilingan arang,
pengadukan arang, pencetakan arang arang, penjemuran dan pengepakan. Dengan
adanya tambahan alat akan membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar.
Sebagai perkiraan penentuan harga pokok produksi (HPP) pellet kayu,
dilakukan analisis ekonomi sederhana. Dalam analisis ini digunakan asumsi-
asumsi untuk memperkirakan harga jual pellet ditingkat konsumen. Hasil
perhitungan diperoleh HPP sebesar Rp.1150/kg. Untuk memperoleh keuntungan
yang layak, maka diasumsikan laba yang diperoleh sebesar 40% dari harga pokok
produksi. Sehingga harga jual yang layak adalah Rp. 1610. Jika produksi per jam
dari alat pellet ditingkatkan menjadi 50-75 kg/jam, atau menggunakan lebih dari
satu unit alat, maka nilai HPP akan lebih rendah lagi.
D. Aspek Lingkungan
Emisi Hasil Pembakaran Pellet
Secara umum pembakaran biomassa akan menghasilkan emisi berupa CO,
CO2, hidrokarbon, O2 dan sebagainya. Menurut Nukman (2009), pengukuran emisi
bertujuan untuk mengetahui hasil emisi yang dihasilkan sudah memenuhi standar
emisi atau tidak dan bagaimana keamanannya di lingkungan.
Tabel 11. Hasil uji emisi pembakaran pellet kayu
Jenis Bahan Bakar CO (ppm)
CO2 (%)
O2
(%) Pellet serbuk gergaji campuran 0,48 1,2 18,76 Pellet serbuk kayu kaliandra 1,45 6,1 14,88 Pellet komersial 1,88 7,16 13,65 Pellet kulit kacang tanah 2,60(a) 2,16 2,56 Pellet bagase 16,33(b) - - Briket batubara 970(c) 10,97 -
Sumber : (a) Lubis (2015), (b) Nukman (2010), (c) Djayanti et al. (2010)
Hasil pengukuran emisi (Tabel 5) menunjukkan hasil kadar CO berkisar
0,48 – 1,88 ppm, kadar CO2 berkisar 1,2-7,16%. Untuk standar CO sesuai lampiran
PP No 41 Tahun 1999 di dalam Permen LH No. 12 Tahun 2010, disebutkan standar
97
CO maksimal 26,2-30 ppm, maka hasil pellet yang dianalisis telah memenuhi
standar. Tetapi untuk kadar CO2 jika dibandingkan dengan standar SNI 0231-2005
(tentang nilai ambang batas zat kimia di udara tempat kerja) yang menyebutkan
standar CO2 maksimal 0,9% maka semua jenis pellet yang dianalisis tidak
memenuhi standar. Kadar CO dan CO2 pellet kayu kaliandra lebih baik daripada
pellet komersial.
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata emisi gas CO yang dihasilkan
pada pembakaran serbuk gergaji campuran lebih rendah daripada 2 bahan wood
pellet lainnya. Rendahnya gas CO dari hasil pembakaran mengindikasikan telah
terjadi pembakaran sempurna dimana gas CO mendorong pembentukkan CO2
menjadi lebih besar (ditunjukkan pada Tabel 2 dimana gas CO2 sebesar 1,2% > dari
gas CO 0,48 ppm). Proses pembakaran dikatakan sempurna bila campuran bahan
bakar dan udara dapat terbakar seluruhnya pada waktu dan keadaan yang
dikehendaki. Konsentrasi CO yang rendah dengan meningkatnya CO2 karena
pembakaran terjadi pada keadaan kaya oksigen sehingga terjadi pembakaran
sempurna. Secara umum asap berwarna hitam yang keluar dari saluran pembakaran
menunjukkan bahwa proses pembakaran berlangsung kurang sempurna (Sugiharto,
2016).
Menurut Terroka (2009), biomassa wood pellet secara signifikan
mempunyai emisi yang lebih rendah dari pada kayu bakar. Kualitas wood pellet
dapat ditentukan dari bahan baku dan proses produksi dan Ollson (2002)
mengemukakan bahwa pembakaran wood pellet menghasilkan emisi yang rendah
dan ramah lingkungan.
E. Aspek Kelembagaan dan Kebijakan
Aspek kelembagaan dalam pengolahan biomassa menjadi produk bernilai
ekonomi terdiri dari kelompok masyarakat yang bernama Pos Pelayanan Teknologi
Tepat Guna (Posyantek) Galuh Siliwangi Manunggal di Desa Cimaragas,
Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis, yang dibentuk melalui SK Kepala Desa
Cimaragas No. 147/Kpts-16/DS/2015 pada tanggal 10 Mei 2015. Kemudian Tim
Pembinaan tingkat kecamatan Cimaragas dimana Camat sebagai Pembina dan
mengendalikan arah kebijakan kelompok masyarakat tersebut. Kelompok
98
masyarakat Posyantek ini diketuai oleh Ujang Solikhin. Adapun perangkatnya
adalah bendahara, sekretaris dan terdapat tiga seksi yaitu seksi pelayanan teknologi
tepat guna dan usaha, seksi kemitraan dan seksi pengembangan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kegiatan pengembangan telah menghasilkan prototipe alat hammer mill dan
alat pellet kayu. Kapasitas produksi hammer pellet 25 kg/jam dan alat pellet sebesar
30 kg/jam menggunakan bahan baku kayu kaliandra. Karakteristik pelletnya adalah
kadar air 8,16%, zat terbang 80,64%, kadar abu 2,59% kerapatan 1,127 g/cm3 dan
kalor 4363,52 kal/g. Aplikasi pembakaran pellet kayu kaliandra pada pemasakan
air menghasilkan laju konsumsi sebesar 0,78 kg/jam, menghasilkan emisi CO
sebesar 1,45 ppm, CO2 6,1% dan O2 14,88%. Penyerahan alat hammer mill dan
alat pellet kayu kepada masyarakat dapat membuka lapangan kerja baru dan
mendorong masyarakat dalam pemanfaatan limbah biomassa untuk kemandirian
energi.
B. Saran
Disarankan untuk menggunakan biomassa batang kayu dengan ukuran
diameter < 5 cm dan panjang < 10 cm agar memudahkan proses penghancuran
biomassa kayu.
99
Lampiran 10
Gambar 25. Kayu dan Serbuk Kaliandra
Gambar 26. Hammer Mill dan Alat Pellet
Gambar 27. Pellet kayu kaliandra
100
Judul Kegiatan : Pilot IPTEK Bioetanol Aren Jenis Kegiatan : Penyempurnaan Reaktor Bioetanol RPPI : 2. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator : Dr. Ir. Yulianti, M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dra. Sri Komarayati, Djeni Hendra, MSi., Dr. Ina
Winarni, MSi., Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si., Dra. Gusmailina, M.Si., Heru Satrio Wibisono, S.Hut., Ir. Rina Aprisanti, MA.
ABSTRAK
Aren merupakan tanaman yang kaya manfaat. Salah satu bagian yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan bernilai tinggi adalah nira aren. Nira aren dapat diolah menjadi bioetanol. Bioetanol dapat digunakan sebagai campuran premium atau bahan bakar kompor. Tujuan kegiatan pengembangan ini adalah penyempurnaan alat pengolah bioetanol dan alih iptek pembuatan bioetanol dari aren. Kegiatan pengembangan ini meliputi pembuatan alat produksi bioetanol, kemudian di uji coba dengan bahan baku nira aren. Alat pengolah bioetanol yang digunakan merupakan penyempurnaan dari tahun sebelumnya. Penyempurnaan terdapat pada alat destilasi. Produksi bioetanol aren dengan reaktor P3HH-3 menghasilkan rendemen sebesar 18%. Kegiatan ujicoba bioetanol aren dilakukan di Kabuaten Boalemo dengan melibatkan KTH Aren Maju Bersama dan Aren Usaha Bersama. Ujicoba bioetanol aren pada kompor modifikasi tidak mengalami kendala. Kata kunci : alat, bioetanol, alih teknologi, ujicoba, nira aren 1. LATAR BELAKANG
Saat ini di Indonesia telah dibangun beberapa pabrik bioetanol plant dengan
kapasitas mulai dari 300 liter/hari dengan system batch sampai dengan 600 ton/hari
dengan system kontinyu sebagai langkah awal untuk pengembangan selanjutnya ke
skala komersial. Keputusan kebijakan untuk menentukan kelayakan penggunaan
bioetanol secara umum perlu dilandasi suatu kajian yang mendalam dengan
mempertimbangkan penguasaan teknologi, nilai ekonomis, kontinuitas suplai dan
manfaat lain dari penggunaan bioetanol tersebut. Berdasarkan uraian tersebut,
bioetanol merupakan energi alternatif yang layak untuk dikembangkan. Oleh
karena itu, untuk mendukung keberhasilan produksi bioetanol telah dibuat alat
pengolah yang praktis, aplikatif guna menghasilkan rendemen bioetanol yang
tinggi, dan alat tersebut akan di uji coba di beberapa daerah.
Aren menjadi salah satu tanaman yang memiliki ragam manfaat. Salah
satunya adalah menghasilkan nira yang dapat diolah menjadi produk yang bernilai
101
tinggi, yaitu bioetanol. Bioetanol dapat dijadikan sebagai energi alternatif pengganti
gas elpiji untuk rumah tangga.
2. LATAR BELAKANG
Tujuan kegiatan ini adalah penyempurnaan alat pengolah bioetanol dari nira
aren dan uji coba bioetanol pada kompor rumah tangga sedangkan sasarannya
adalah terlaksananya penyempurnaan alat pengolah bioetanol aren dan ujicoba
pada kompor rumah tangga.
3. METODE PENGEMBANGAN
A. Ruang Lingkup
1) Penyempurnaan desain alat/mesin produksi bioetanol;
2) Uji coba alat produksi bioetanol;
3) Uji coba/aplikasi penggunaan bioetanol pada kompor.
B. Aspek Teknis
1) Bahan dan Peralatan
Bahan baku yang digunakan dalam kegiatan ini adalah nira aren, ragi dan
lain-lain. Peralatan yang digunakan antara lain alat/mesin produksi
bioetanol, pH meter, termometer, kertas saring, gelas piala, gelas ukur dan
lain-lain.
2) Lokasi Kegiatan
Kegiatan ini dilakukan di Gorotalo, Jawa Barat dan Riau. Pengujian reaktor
bioetanol aren dilakukan di Laboratorium Bioenergi, Pusat Litbang Hasil
Hutan, Bogor.
C. Aspek Sosial
Pengolahan nira aren menjadi bioetanol, dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat karena bioetanol dapat dijual dengan harga yang layak.
102
D. Aspek Ekonomis
Bioetanol yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk
memasak (kompor). Harganya lebih murah daripada menggunakan gas LPG. Jadi
dapat menghemat pengeluaran sehari-hari.
E. Aspek Lingkungan
Bioetanol aren merupakan sumber energi terbarukan yang tersedia dengan
menggunakan bahan baku aren. Bioethanol aren tidak akan merusak lingkungan.
Selain itu, akan dilakukan uji emisi terhadap penggunaan bioetanol aren.
F. Aspek Kelembagaan/Kebijakan
Mengacu pada PP no 79/ tahun 2014, kebijakan energi nasional menentukan
target energi terbarukan pada tahun 2025 adalah sebesar 23%.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Rancang Bangun Reaktor
Gambar 28. Reaktor Bioetanol tipe P3HH-3
Penyempurnaan reaktor terdapar pada beberapa bagian, yaitu:
1) Pendingin (condenser)
‐ Disempurnakan dengan menggunakan sensor air, sehingga akurasi suhu
pendinginan uap etanol terkontrol secara otomatis (Pendingin1)
‐ Disempurnakan dengan dibuat penampung etanol yang dilengkapi
dengan alkoholmeter (Pendingin 2)
103
2) Pipa laju alir uap etanol; ukuran pipa pada alat destilasi diperbesar menjadi
2,5 inch. Tujuannya untuk memperlancar laju uap etanol.
3) Pipa spiral di dalam pendingin; pipa spiral di dalam penndingin 1 dan 2
diperbesar ukurannya.
B. Ujicoba Reaktor P3HH-3
Reaktor P3HH-3 dilakukan uji coba untuk memproduksi bioetanol dari nira
aren. Kapasitas reaktor 60 liter ujicoba dengan nira aren sebanyak 60 liter.
Berdasarkan hasil ujicoba didapatkan rendemen alat sebesar 18% dan kadar etanol
sebesar 70%. Rendemen tersebut lebih tinggi jika dibandingan dengan alat
sebelumnya (P3HH-2), yaitu sebesar 15%. Kadar etanol tersebut masih dapat
ditingkatkan melalui proses dehidrasi hingga mencapai 99,5%.
(a) (b)
Gambar 29. Proses produksi bioetanol aren (a); Pengukuran kadar etanol (b) C. Ujicoba Bioetanol Aren
Kegiatan ini melibatkan 2 (dua) kelompok tani aktif, yaitu Kelompok Tani
Hutan (KTH) Aren Maju Bersama yang terdiri dari 25 orang dan KTH Aren Usaha
Bersama yang terdiri dari 25 orang. Peserta alih teknologi antusias mengikuti
rangkaian acara yang mendeskripsikan potensi aren sebagai tambahan sumber
pendapatan baru.
104
(a) (b)
Gambar 30. (a). Peneliti Bioetanol P3HH menjelaskan cara kerja alat pengolah P3HH (b). Peserta ujicoba melakukan demo masak dengan kompor bioetanol aren
Dengan teknologi pengolahan aren yang diadopsi, 25 liter nira aren akan
menghasilkan minimal 2 liter bioethanol. Berarti, bioethanol yang dihasilkan
216.000 liter/bulannya. 1 liter bioethanol mix yang memiliki kinerja setara dengan
gas 3 kg seharga 20 ribu rupiah ini akan membuka peluang pasar bioethanol mix
sebagai alternatif bahan bakar selain gas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,
dimana 60% penduduk menggunakan gas. Selain sebagai energi alternatf, aren juga
memiliki diversifikasi produk potensial antara lain nata pinnata, gula aren, gula
semut dan kolang-kaling.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Reaktor pengolah bioetanol aren disempurnakan pada bagian alat
destilasinya dengan mengubah ukuran pendingin dan pipa uap etanolnya.
2) Reaktor P3HH-3 menghasilkan bioetanol aren dengan rendemen 18%.
3) Ujicoba bioetanol aren dilakukan di Kabupaten Boalemo dengan
melibatkan KTH Aren Maju Bersama dan Aren Usaha Bersama.
4) Aplikasi bioetanol aren pada kompor modifikasi tidak mengalami kendala.
105
B. Saran
1) IPTEK Bioetanol aren dengan reaktor P3HH perlu disebarluaskan ke
daerah lain dengan potensi aren yang melimpah.
2) Reaktor perlu diujicoba dengan jenis nira lainnya agar diketahui rendemen
alat dan kadar bioetanol yang dihasilkan
106
Judul Kegiatan : Aplikasi Pengembangan Arang Terpadu (2017) Jenis Kegiatan : Pilot IPTEK Arang Terpadu RPPI : 2. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator : Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si., M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Dra. Gusmailina, M.Si., Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si., Dra.
Sri Komarayati, N. Jaojah, SP.
ABSTRAK
Arang terpadu merupakan teknologi yang dalam proses pembuatan dan aplikasi dilakukan secara terpadu, merupakan teknologi terapan yang ramah lingkungan karena menggunakan bahan baku limbah, menghasilkan arang, arang kompos dan asap cair. Prosesnya rendah emisi karena asap dari pembakaran di kondensasikan sehingga berubah menjadi cairan yang disebut asap cair. Produk arang terpadu sangat tepat digunakan untuk perbaikan kondisi lahan yang rusak, lahan bekas tambang dan miskin hara. Demikian juga untuk budidaya tanaman, dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sehingga perlu disosialisasikan secara luas karena teknologi yang menghasilkan arang kompos dan asap cair ini dapat menggantikan keberadaan pupuk kimia secara total. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH), telah mensosialisasikan teknologi ini sejak tahun 2000-an, baik pada berbagai instansi terkait, maupun pada kelompok-kelompok masyarakat dan kelompok tani. Beberapa diantara kelompok maupun perorangan bahkan telah memperoleh penghargaan dari pemerintah diantaranya sebagai kelompok terbaik tingkat nasional sekaligus juga penghargaan bagi penyuluh pembina kelompok karena telah berhasil mengembangkan teknologi arang terpadu. Kegiatan ini bertujuan 1) mengadakan pilot Iptek arang terpadu dalam rangka sosialisasi, alih Iptek dan aplikasi teknologi arang terpadu di beberapa lokasi yang ditetapkan; 2) Demplot aplikasi produk arang terpadu di Kabupaten Cianjur pada beberapa jenis tanaman; 3) Evaluasi perkembangan iptek arang terpadu di beberapa lokasi. Salah satu luaran yang ingin dicapai adalah selain terselenggaranya kegiatan alih Iptek arang terpadu, juga demplot aplikasi produk arang terpadu di Kabupaten Cianjur pada tanaman padi dan kopi, yang diharapkan dapat menjadi pe rcontohan bagi masyarakat sekitar. Testmoni masyarakat di Kabupaten Karo yang telah berhasil mengembangkan asap cair, penggunaan asap cair 1-2% dapat meningkatkan produksi tanaman, 3-4% dapat mengusir serta mengendalikan hama/penyakit tanaman. Demikian juga aplikasi asap cair yang telah dikembangkan di KPH Lakitan, dapat meningkatkan produktivitas tanaman sawit. Hasil aplikasi pada demplot padi di kabupaten Cianjur dapat meningkatkan produksi dan pendapatan, secara finansial keuntungan meningkat hingga Rp.2,7 juta dibanding kontrol atau setara dengan Rp12-27 juta/ha. Demikian juga aplikasi pada demplot kopi aplikasi arkoba dan asap cair dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman 2 kali lebih baik dibanding tanpa pemberian arkoba dan asap cair. Kata kunci : arang terpadu, arang kompos, asap cair, sosialisasi,demplot 1. LATAR BELAKANG
Arang terpadu merupakan teknologi yang dalam proses pembuatan dan
aplikasi dilakukan secara terpadu, merupakan teknologi terapan yang ramah
107
lingkungan karena menggunakan bahan baku limbah, menghasilkan arang, arang
kompos dan asap cair. Prosesnya rendah emisi karena asap dari pembakaran di
kondensasikan sehingga berubah menjadi cairan yang disebut asap cair. Produk
arang terpadu sangat tepat digunakan untuk perbaikan kondisi lahan yang rusak,
lahan bekas tambang dan miskin hara. Demikian juga untuk budidaya tanaman,
dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sehingga perlu disosialisasikan secara
luas karena teknologi yang menghasilkan arang kompos dan asap cair ini dapat
menggantikan keberadaan pupuk kimia secara total.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH), telah melakukan
sosialisasi teknologi ini sejak tahun 2000-an, baik pada berbagai instansi terkait,
maupun pada kelompok-kelompok masyarakat dan kelompok tani. Beberapa
diantara kelompok maupun perorangan bahkan telah memperoleh penghargaan dari
pemerintah diantaranya sebagai kelompok terbaik tingkat nasional sekaligus juga
penghargaan bagi penyuluh pembina kelompok karena telah berhasil
mengembangkan teknologi arang terpadu.
2. TUJUAN DAN SASARAN
Kegiatan ini bertujuan 1) mengadakan pilot Iptek arang terpadu dalam
rangka sosialisasi, alih Iptek dan aplikasi teknologi arang terpadu di beberapa lokasi
yang ditetapkan; 2) Demplot aplikasi produk arang terpadu di Kabupaten Cianjur
pada beberapa jenis tanaman; 3) Evaluasi perkembangan iptek arang terpadu di
beberapa lokasi. Salah satu luaran yang ingin dicapai adalah selain terselenggaranya
kegiatan alih Iptek arang terpadu, juga demplot aplikasi produk arang terpadu di
Kabupaten Cianjur pada tanaman padi dan kopi, yang diharapkan dapat menjadi
percontohan bagi masyarakat sekitar.
Dampak kegiatan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan
kemandirian masyarakat, dalam upaya pelestarian SDA; meningkatnya
pemahaman masyarakat dalam pengelolaan limbah biomasa menjadi produk yang
bermanfaat, sehingga selain lingkungan terjaga kebersihan, juga produk dari arang
terpadu bisa digunakan sendiri atau dijual, dan lebih lanjut dapat menjadi sumber
pendapatan tambahan keluarga; serta menjadi contoh bagi masyarakat sekitar,
108
bahwa produk arang terpadu (arang kompos dan asap cair) dapat digunakan sebagai
pengganti pupuk kimia dan pestisida.
3. METODE PENGEMBANGAN
Kegiatan ini mencakup diseminasi dan alih Iptek meliputi: pembuatan
arang, arang kompos dan asap cair. Selanjutnya arang, arang kompos dan asap cair
diaplikasikan pada tanaman pertanian/pangan/perkebunan/kehutanan. Lokasi
kegiatan antara lain : (1) Desa Singa, Kabupaten Karo (Sumatera Utara); (2) Desa
Kertajaya Ciranjang, Kabupaten Cianjur (Jawa Barat), (3) KPHP Lakitan. Ruang
lingkup kegiatan mencakup pengadaan 2 set alat/tungku stainless di Desa Singa
(Kabupaten Karo); 2 set alat/tungku stainless di Kabupaten Cianjur; 2 set
alat/tungku konvensonal di Kabupaten Cianjur; 2 unit mesin cacah kompos untuk
dihibahkan pada kelompok masyarakat di Cianjur dan Lakitan. Kegiatan juga
mencakup alih teknologi, demo pembuatan arang, asap cair dan arkoba, aplikasi
produk arang terpadu pada demplot padi dan kopi di kabupaten Cianjur.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada tanggal 20-21 April 2017 telah diselenggarakan kegiatan Alih
Teknologi Pilot IPTEK Arang Terpadu kepada para Penyuluh dan masyarakat di
Desa Singa, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo. Alih teknologi ini merupakan
yang keempat di Kabupaten Karo, setelah pada tahun 2016 dilaksanakan di 3 tempat
yaitu kawasan relokasi Siosar, Desa Sugihen dan Desa Simpang Selakar. Acara
Alih Teknologi dibuka secara resmi oleh Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang
Jaringan Kerjasama Masyarakat dan Daerah dan dihadiri oleh Asisten 3 Bupati
Karo, unsur Kodim Karo, unsur Polres Karo, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Karo, Dinas Pertanian Kabupaten Karo, BPHP Medan, BPDASHL Wampu Sei
Ular, Balai Litbang KLHK Aeknauli, Camat Tigapanah, tokoh masyarakat
kecamatan Tigapanah, Juhar dan Munthe, para Penyuluh Pertanian dan Kehutanan,
serta masyarakat dari desa Singa, Desa Sugihen dan Simpang Selakar. Testimoni
oleh petani Desa Sugihen dan petani Desa Munthe (Kabupaten Karo), yang telah
berhasil mengembangkan asap cair dengan bahan baku kayu alpukat, kayu cokelat
109
dan kayu caliandra, telah membuktikan bahwa dengan penggunaan asap cair 1-2%
dapat meningkatkan produksi tanaman, dan penggunaan asap cair 3-4% dapat
mengusir serta mengendalikan hama/penyakit tanaman. Demikian juga aplikasi
asap cair yang telah dikembangkan di KPH Lakitan dengan bahan baku limbah kayu
karet, dapat meningkatkan produktivitas tanaman sawit.
Pada tanggal 19 Juli 2017 telah dilaksanakan ekspose panen padi hasil
aplikasi IPTEK arang terpadu berupa Arang Kompos Bioaktif (Arkoba) sebagai
penyubur tanah dan asap cair juga sebagai penyubur sekaligus pengendali
hama/penyakit tanaman di lingkungan pondok pesantren Miftahul Huda Al-Musri
Desa Kertajaya, Kec. Ciranjang Kab. Cianjur. Panen padi dihadiri antara lain oleh
Staf Ahli Bidang Pangan KLHK, Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Jaringan dan
Kerjasama Masyarakat Daerah, Wakil Bupati Cianjur beserta jajarannya,
perwakilan Dinas Kehutanan Prov. Jawa Barat beserta jajarannya, para Penyuluh
Kehutanan dan Penyuluh Pertanian, Kelompok Tani/Tani Hutan, santri Al-Musri,
aparat keamanan setempat juga dari jajaran awak media yaitu antara lain: TVRI,
DAAI TV, Metro TV, NET TV, Agro Indonesia dan Warta Ekspres serta media
lokal lainnya. Kelompok tani yang berkesempatan hadir yaitu dari Kelompok Tani
Itikurih Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kelompok Tani KWT Dewi Sri,
Desa Bojong Picung, Kecamatan Ciranjang, Kelompok Tani Tunas Harapan, Desa
Karya Mukti, Kecamatan Campaka, Kelompok Tani Generasi Tani, Desa Karya
Mukti, KecamatanCampaka dan Kelompok Tani Serpong, Desa Babakan Karet,
Kecamatan Cianjur.
Kegiatan aplikasi arang kompos bioaktif (Arkoba) dan asap cair pada
tanaman padi di Cianjur tersebut telah dilaksanakan 3 kali ulangan panen padi sejak
tahun 2016 pada demplot tanaman padi seluas 4.000 m2 milik Kelompok Tani
Itikurih, dengan kualitas padi yang dihasilkan lebih baik dibanding dengan
mempergunakan pupuk kimia. Selain itu tanaman padi tahan dari serangan hama
penyakit, kualitas bulir gabah lebih berisi, dimana rendemen beras perkuintal gabah
bisa mencapai 75%, dibanding dengan menggunakan pupuk kimia hanya bisa
memperoleh 65%. Rata-rata pertumbuhan tanaman padi di demplot desa Ciranjang,
jumlah batang per rumpun mencapai 32-55 batang untuk perlakuan arkoba+asap
110
cair, sedangkan yang menggunakan pupuk kimia 29 batang per rumpun. Jumlah
bulir padi per tangkai yang menggunakan arkoba+asap cair mencapai 174 butir,
yang menggunakan pupuk kimia rata-rata 144 butir. Hasil Panen pakai arang
kompos+asap cair 627 kg, yang tanpa arang kompos produksi 596,kg dari luas
lahan 0,1 ha dilahan pesantrren pada Juli 2017.
Analisis finansial secara global dari demplot menunjukkan bahwa aplikasi
produk arang terpadu berupa arkoba dan asap cair meningkatkan keuntungan
hingga Rp.2,7 juta dibanding kontrol atau setara dengan Rp12-27 juta/ha. Demikian
juga Pertumbuhan tanaman kopi pada demplot di desa Karyamukti, Kabupaten
Cianjur menunjukkan rata-rata pertambahan tinggi tanaman yang ditanam
menggunakan arkoba dan asap cair adalah = 28,76 cm, dan pertambahan diameter
batang tanaman = 3,89 mm, sedang blanko (kontrol) rata-rata pertambahan tinggi
tanaman = 13,84 cm, dan diameter 1,8 mm. Dengan demikian aplikasi arkoba dan
asap cair pada kopi selama 5 bulan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman 2
kali lebih baik dibanding tanpa pemberian arkoba dan asap cair.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Diseminasi dan alih Iptek meliputi: pembuatan arang, arang kompos dan
asap cair yang dilakukan di desa Singa,Kecamatan Tiga panah, Kabupaten
Karo telah terlaksana dengan lancar, yang dihadiri oleh penyuluh dan
masyarakat sekitar.
2) Rata-rata pertumbuhan tanaman padi di demplot desa Ciranjang, jumlah
batang per rumpun mencapai 32-55 batang untuk perlakuan arkoba+asap
cair, sedangkan yang menggunakan pupuk kimia 29 batang per rumpun.
Jumlah bulir padi per tangkai yang menggunakan arkoba+asap cair
mencapai 174 butir, yang menggunakan pupuk kimia rata-rata 144 butir.
Hasil Panen pakai arang kompos+asap cair 627 kg, yang tanpa arang
kompos produksi 596,kg dari luas lahan 0,1ha dilahan pesantrren pada Juli
2017. Analisis finansial secara global dari demplot menunjukkan bahwa
aplikasi produk arang terpadu berupa arkoba dan asap cair meningkatkan
111
keuntungan hingga Rp.2,7 juta dibanding kontrol atau setara dengan Rp12-
27 juta/ha.
3) Pertumbuhan tanaman kopi pada demplot di desa Karyamukti, Kabupaten
Cianjur menunjukkan rata-rata pertambahan tinggi tanaman yang ditanam
menggunakan arkoba dan asap cair adalah = 28,76 cm, dan pertambahan
diameter batang tanaman = 3,89 mm, sedang blanko (kontrol) rata-rata
pertambahan tinggi tanaman = 13,84 cm, dan diameter 1,8 mm.
4) Kegiatan alih teknologi arang terpadu di KPH Lakitan merupakan lanjutan
dari kegiatan sebelumnya. Pada tahun 2017, kegiatan lebih difokuskan pada
proses pembuatan arang kompos bioaktif (arkoba), dengan menghibahkan
1 unit alat chopper utntuk mendukung kelancaran pembuatan dan
pengembangan arkoba selanjutnya. Pembuatan asap cair berbahan baku
kayu karet hasil peremajaan sudah dikembangkan oleh masyarakat dibawah
bimbingan dari KPH lakitan.
B. Saran
1) Kegiatan alih teknologi dilanjutkan pada tahun 2018 di lokasi Karo, sesuai
dengan kesepakatan kerja dengan Pemda setempat, dalam rangka
mensosialisasikan penggunaan produk arang terpadu untuk mendukung
budidaya organis.
2) Monitoring pada demplot padi di desa Ciranjang untuk mengetahui lanjutan
perkembangan optimalisasi penggunaan alat produksi arang terpadu dalam
menunjang budidaya organik. Demplot tanaman kopi dilanjutkan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan produk arang terpadu pada budidaya
kopi di desa Karyamukti, Kabupaten Cianjur.
3) Monitoring perkembangan optimalisasi penggunaan alat produksi arang
terpadu di KPH lakitan
4) Melanjutkan upaya peningkatan kualitas asap cair menjadi nano fertilizer
cair, bekerjasama dengan fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang.
112
Lampiran 11.
Gambar 31. Praktek Pembuatan Arang dan Asap Cair
Gambar 32. Praktek Pembuatan Arang Kompos Bioaktif
113
Judul Kegiatan : Pilot IPTEK Biodiesel Nyamplung Jenis Kegiatan : Penyempurnaan Reaktor Biodiesel RPPI : 2. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Koordinator : Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si., M.Si. Satker Pelaksana : Pusat Litbang Hasil Hutan Pelaksana Kegiatan : Djeni Hendra M.Si., Prof. Ris. Dr. Gustan Pari, M.Si.,
Dr. Saptadi Darmawan, M.Si., Heru Satrio Wibisono, S.Hut., Riki Nelson, ST.
ABSTRAK
Kemajuan teknologi industri dan bertambahnya jumlah penduduk sejalan dengan meningkatnya konsumsi energi. Saat ini, Indonesia merupakan negara dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap konsumsi energi fosil. Disisi lain, produksi dan cadangan bahan bakar fosil semakin berkurang. Dalam mengolah biodiesel diperlukan ketersediaan reaktor yang memadai. Untuk memenuhi kebutuhan produksi biodiesel dilakukan pengembangan melalui penyempurnaan reaktor. Penyempurnaan terdapat pada tabung reaktornya, yaitu reaktor multi fungsi yang terdiri dari satu tabung menjadi reaktor yang memiliki 2 tabung dengan sistem semi kontinyu. Masing-maisng tabung berkapasitas 100 liter. Tabung 1 berfungsi sebagai reaktor estrans dan tabung 2 berfungsi sebagai reaktor pemurnian. Reaktor hasil pengembangan diujicobakan dengan menggunakan bahan baku buah nyamplung yang diperoleh dari Purworejo dan Batukaras. Proses pengolahan biodiesel nyamplung menggunakan reaksi transesterifikasi. Hasil pengolahan menyatakan bahwa proses produksi menghasilkan biodiesel minyak nyamplung dengan rendemen 68%. Biodiesel minyak nyamplung yang dihasilkan memiliki karakteristik yang memenuhi SNI. Biodiesel nyamplung telah diaplikasi pada mesin traktor pertanian dan mesin tambak udang di Desa Batukaras.
Kata kunci: Biodiesel, reaktor, nyamplung, ujicoba, aplikasi.
1. LATAR BELAKANG
Kemajuan teknologi industri dan pertambahan populasi penduduk sejalan
dengan konsumsi energi. Sampai saat ini, Indonesia bahkan dunia belum terlepas
dari ketergantungan energi fosil (minyak bumi, gas bumi, batubara). Hasan et al.
(2012) menyatkan bahwa selama ini sebagian besar sumber energi menggunakan
bahan bakar fosil yang jumlahnya semakin menipis. Hal ini mendorong kita
mencari berbagai cara untuk menghemat penggunaan minyak bumi serta
menciptakan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil. Pengolahan
114
energi terbarukan di Indonesia diatur dalam PP No. 79 Tahun 2014 Tentang
Kebijakan Energi Nasional. Berdasarkan PP tesebut, Dewan Energi Nasional
menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan menetapkan target
bahwa pada tahun 2025 energi terbarukan memberikan kontribusi sebesar 23% dan
31% pada tahun 2050.
Penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan polusi yang
ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung
maupun dampak tidak langsung kepada kesehatan manusia. Polusi langsung bisa
berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrokarbon), juga
unsur metalik seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas
merupakan ledakan CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global
Warming Potential). Kesadaran terhadap ancaman polusi tersebut telah
mengintensifkan berbagai penelitian yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber
energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih
terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan (Susilo, 2007).
Kelangkaan energi fosil dapat diantisipasi dengan pengelolaan energi
terbarukan yang memanfaatkan biomassa tanaman hutan. Nyamplung
(Callophylum inophylum) merupakan tanaman prospektif yang dapat diolah
menjadi bioenergi, terutama biodiesel. Kandungan lemak dalam biji nyamplung
dapat dikonversi menjadi biodisel berstandar SNI. Teknologi pengolahan
nyamplung dilakukan dengan proses transesterifikasi (ESTRANS) yang
dimodifikasi sehinga menghasilkan kualitas biodiesel yang memenuhi SNI.
Biodiesel nyamplung dapat dijadikan sebagai substitusi minyak solar. Konsumsi
minyak solar nasional sangat vital di bidang industri. Jika dikaitkan dengan energi
pedesaan, biodiesel nyamplung dapat dijadikan sebagai bahan bakar untuk perahu
nelayan dan alat pertanian lainya yang menggunakan mesin diesel. Ketergantungan
terhadap energi fosil dapat berkurang dengan adanya biodiesel nyamplung. Dengan
demikian, pengembangan pilot IPTEK biodiesel nyamplung menjadi penting untuk
dilakukan.
115
2. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan kegiatan ini adalah pengembangan reaktor degumming multi fungsi
yang meliputi reaktor ESTRANS dan pemurnian, sedangkan sasarannya adalah
hasil pengem-bangan reaktor dan aplikasi biodiesel nyamplung yang memenuhi
standar SNI pada mesin traktor pertanian dan mesin diesel tambak udang.
3. METODE PENGEMBANGAN
A. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan ini adalah :
1) Penyempurnaan reaktor biodiesel (ESTRANS dan pemurnian).
2) Pengolahan biodiesel nyamplung dengan menggunakan reaktor ESTRANS.
3) Aplikasi biodiesel nyamplung pada mesin traktor pertanian dan mesin diesel
tambak udang.
B. Aspek Teknis
1) Bahan dan Peralatan
Bahan utama yang digunakan adalah biji nyamplung asal Purworejo, Jawa
Tengah dan Batukaras Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan antara lain
bentonit, zeolit, metanol teknis, etanol pa, asam asetat, Iod, H3PO4, KOH
dan NaOH. Peralatan yang digunakan antara lain reaktor degumming,
reaktor ESTRANS, reaktor pemurnian, pompa oil dan alat gelas kaca.
2) Pengolahan Biodiesel
a. Ekstraksi minyak
Ekstraksi biji untuk memperoleh minyak yaitu dengan cara biji yang
telah dikupas, dikeringkan dan digiling halus kemudian di pres
menggunakan mesin kempa hidrolik (manual).
b. Perlakuan degumming
Degumming dilakukan sebanyak 2 kali. degumming I yaitu
mereaksikan minyak mentah (crude oil) dengan larutan H3PO4 pada
konsentrasi 1% (v/v), dipanaskan pada suhu antara 500-700 C selama
30 menit sambil diaduk, dilanjutkan perlakuan degumming II yaitu
116
minyak bersih (refined oil) ditambahkan dengan bentonit aktif 1 %
sambil diaduk dengan kecepatan tinggi.
c. Proses esterifikasi
- Proses esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol teknis
15% (v/v) dan HCl 1% (v/v), lalu dimasukkan ke dalam reaktor
ESTRANS yang berisi minyak.
- Campuran dipanaskan pada suhu 60o C selama 1 jam.
- Selanjutnya campuran minyak dipisahkan dari endapannya.
d. Proses transesterifikasi
- Proses transesterifikasi digunakan campuran katalis metanol teknis
20% dan KOH 0,5% (b/v) dimasukan ke dalam reaktor ESTRANS
yang berisi minyak dengan waktu reaksi selama 60 menit pada suhu
600 C.
- Setelah reaksi transesterifikasi selesai, dilakukan pemisahan minyak
dengan metanol sisa reaksi. Minyak biodiesel yang terbentuk
selanjutnya dimasukkan ke dalam reaktor pencucian dan pemurnian
minyak biodiesel.
e. Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel
- Minyak biodiesel dicuci menggunakan air hangat sebanyak
30%(v/v) dari minyak biodiesel (metil ester). Pencucian dilakukan
hingga pH netral.
- Minyak biodiesel dimurnikan dengan cara dipanaskan pada suhu
1050 C sampai penampakan minyak jernih dan tidak ada busa diatas
permukaan minyak.
f. Analisis sifat fisiko-kimia biodiesel
Analisis meliputi sifat fisiko-kimia biodiesel sesuai standar SNI 04-
7182-2006/2012 antara lain kadar air, viskositas, densitas, bilangan
asam dan rendemen biodiesel.
117
C. Aspek Sosial
Salah satu kegiatan pilot IPTEK Biodiesel Nyamplung adalah alih teknologi
pembuatan dan pemanfaatan minyak biodiesel. Alih teknologi dari Pusat Litbang
Hasil hutan akan memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat tentang
pemanfaatan biodiesel nyamplung sebagai substitusi bahan bakar solar atau untuk
kebutuhan perahu nelayan dan alat-alat pertanian.
D. Aspek Ekonomis
Daerah dengan sebaran tanaman nyamplung melimpah memiliki nilai
ekonomi tinggi dalam aplikasi teknologi pembuatan biodiesel nyamplung.
Kemudahan dalam mendapatkan bahan baku menjadi keunggulannya. Bahan baku
biji nyamplung dapat diperoleh dengan mudah dan dapat ditingkatkan menjadi
produk yang bernilai lebih tinggi, yaitu menjadi minyak biodiesel nyamplung.
E. Aspek Lingkungan
Pengolahan biodiesel nyamplung memanfaatkan biji dengan tanpa merusak
pohonnya. Masyarakat dapat melihat perspektif bahwa biji nyamplung dapat
menghasilkan produk yang bernilai lebih tinggi. Pola pikir masyarakat semakin
berkembang sehingga tidak menebang pohon nyamplung sebagai kayu bakar.
Dengan demikian, nyamplung menjadi daya tarik bagi masyarakat agar dapat
dikelola dengan teknik budidaya yang sesuai.
F. Aspek Kelembagaan dan Kebijakan
Pengolahan biodiesel nyamplung menjadi potensi bagi masyarakat sehingga
akan merespon masyarakat dalam membentuk kelembagaan. Kelembagaan
berdampak pada tindakan yang dilakukan bersama dengan tujuan tertentu.
Pengelolaan biodiesal nyamplung dalam bentuk kelembagaan dapat merespon
pemerintah dalam mewujudkan/implmentasi PP. No. 79 Tahun 2014 tentang
Kebijakan Energi Nasional. Salah satu yang disebutkan dalam peraturan tersebut
adalah menyediakan energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025.
118
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Reaktor ESTRANS dan pemurnian
1) Rancang bangun reaktor ESTRANS dan Pemurnian
Gambar 33. Sketsa reaktor 3D tampak miring
2) Hasil Rancang Bangun Pengembangan Reaktor
Reaktor ESTRANS dan pemurnian dibuat dari bahan stainless steel dengan
ketebalan 3 mm. Reaktor dilengkapi dengan pengaduk otomatis dengan
elektromotor sebagai tenaga penggeraknya. Elektromotor yang dipasang
menggunakan tenaga sebesar 1 HP dengan 3 phase. Pengaduk pada reaktor
berfungsi untuk mencampurkan katalis dan bahan baku agar dapat bereaksi
secara sempurna. Pengaduk dapat diatur kecepatannya melalui box panel.
Pengaduk dijalankan ketika proses degumming, esterifikasi dan
transesterifikasi karena pada saat proses itu terjadi reaksi pemisahan minyak
bersih dan pembentukan metil ester (biodiesel). Kemudian, untuk
memudahkan pemindahan minyak dari reaktor ke reaktor yang lain, reaktor
dilengkapi dengan oil pump.
Reaktor yang dikembangkan memiliki kapasitas sebesar 100 liter dengan
sumber tenaga listrik untuk pengoperasiannya. Tabung reaktor memiliki
ketinggian 75 cm dengan diameter tabung sebesar 45 cm. Reaktor
dilengkapi dengan box panel sebagai pusat/tombol pengoperasian. Pada saat
119
proses pengalohan berlangsung, perubahan warna hasil reaksi dapat
dikontrol melalui celah level kontrol. Pada bagian bawah tabung masing-
masing reaktor dilengkapi dengan band heater 2000-5000 watt yang dapat
diatur dan thermocouple. Adapun reaktor hasil pengembangan disajikan
pada Gambar 7.
Gambar 34. Reaktor ESTRANS dan Pemurnian.
B. Uji Coba Reaktor Hasil Pengembangan
Reaktor diujicobakan untuk memproduksi biodiesel nyamplung. Bahan
baku nyamplung diperoleh dari Purworejo dan Batukaras. Kabupaten Purworejo
merupakan salah satu sentra pohon nyamplung. Berdasarkan hasil survey, sebaran
tanaman nyamplung di Purworejo seluas 32 ha. Tanaman tersebut berstatus milik
perhutani. Selain itu, juga terdapat tanaman nyamplung yang ditanam oleh
kelompok tani pada tahun 2009. Tanaman nyamplung juga diperoleh dari daerah
Batu Karas, Kabupaten Pangandaran.
Pengepresan dengan press hidrolik ini menghasilkan rendemen minyak
kotor sebesar 50-60%. Minyak nyamplung hasil pengepresan dilakukan pengujiam
bilangan asam, pH, kadar air, densitas dan komponen penyusun asam lemak bebas.
Berdasarkan hasil pengukuran, didapat data crude oil (minyak kasar) yang tersaji
pada Tabel 1.
120
Tabel 12. Data crude oil (minyak kasar) nyamplung
Volume
Data crude oil pH Bilangan asam
(mg KOH/g) Kadar air
(%) Massa jenis
(kg/m3) 70 liter 5,32 33 2,01 0,9631
Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa bilangan asam minyak nyamplung masih
tergolong tinggi dengan nilai 33 mg KOH/g, sehingga bilangan asam ini perlu
diturunkan dengan cara esterifikasi agar memenuhi SNI biodiesel yang berlaku,
sedangkan untuk komponen penyusun asam lemak minyak lampung tersaji pada
Tabel 2.
Tabel 13. Asam lemak bebas minyak nyamplung
Jenis analisis (Type of analysis)
Metode (Method)
Hasil (Result)
Satuan (Unit)
Asam Laurat
GC
ttg
% Asam Niristat 0,04 Asam Palmitat 16,45 Asam Stearat 1,48 Asam Oleat 58,93 Asam Linoleat 24,26 Asam Linolenat 0,07
Keterangan : ttd (tidak terdeteksi), limit deteksi alat 0,1 ppm
Komposisi jenis asam lemak dari minyak Nyamplung didominasi asam
oleat 58,93%, linoleat 24,26%, dan palmitat 16,45%. Total keseluruhan dari 3 jenis
asam lemak utama mencapai 99,64%.
1) Degumming
Proses degumming, minyak mentah dipanaskan pada suhu 50-60 0C, kemudian
ditambahkan H3PO4 teknis dengan konsentrasi 1,5% (v/v) sambil diaduk
dengan kecepatan 400 rpm, selama ½ jam, dienapkan kemudian dipisahkan
antara minyak dan getah (gum). Kemudian minyak bersih dipanaskan pada suhu
50-60 0C, kemudian ditambahkan bentonit 1 % sambil diaduk selama ½ jam.
kemudian diamkan (aging) dan dipisahkan antara minyak dan bentonitnya
(Proses degumming dilakukan pada reaktor multi fungsi).
121
2) Esterifikasi
Proses esterifikasi, menyak bersih di panaskan suhu 50-60 0C setelah suhu
tercapai (50 °C) kemudian ditambahkan campuran metanol 15% (v/v) dan HCl
1% (v/v) (katalis metanol asam) sambil diaduk dengan kecepatan 400 rpm,
selama 1 jam. Kemudian dipisahkan antara minyak bersih dan sisa reaksi
metanol asamnya. Minyak bersih dianalisis bilangan asamnya dan kalau
bilangan asam sudah turun dibawah 5 mg KOH/g bisa dilanjutkan ke proses
transesterifikasi.
3) Transesterifikasi
Proses transesterifikasi, minyak bersih dari proses esterifikasi dipanaskan pada
suhu 50-60 °C, setelah suhu minyak tercapai (50 °C) kemudian ditambahkan
campuran metanol 20% (v/v) dan KOH 0,5% (b/v) (katalis metanol basa),
sambil diaduk dengan kecepatan 400 rpm, dipisahkan antara minyak biodiesel
dan sisa reaksi katalis metanol basanya.
4) Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel.
Minyak biodiesel dicuci menggunakan air hangat sebanyak 30% (v/v) dari
minyak biodiesel (metil ester). Pencucian dilakukan hingga pH netral. Minyak
biodiesel dimurnikan dengan cara dipanaskan pada suhu 1050 C sampai
penampakan minyak jernih dan tidak ada busa diatas permukaan minyak.
Berdasarkan hasil pengujian, minyak biodiesel nyamplung sudah memenuhi
kriteria SNI 04-7182 tahun 2006. Adapun hasil pengujiannya tersaji pada Tabel
4.
Tabel 14. Karakteristik biodiesel minyak nyamplung
Parameter Nilai SNI 04-7182-2006 Bilangan asam 0,78 mg KOH/g Maks. 0,8 mg KOH/g Massa jenis 886 kg/m3 850-890 kg/m2
Viskositas kinematik pada 400C 4,7 mm2/s (cSt) 2,3-6,0 mm2/s (cSt) Kadar air 0,09% 0,05% Abu tersulfatkan 0,28% 0,02% Bilangan penyabunan 194,70 mg basa/g - Bilangan Iod 83,20 mg I2/100 g Maks. 115 mg/g Bilangan Setana index 55,61 Min. 51 Rendemen biodiesel 68% -
122
C. Apliasi Biodiesel Nyamplung
Dalam rangka sosialisasi minyak biodiesel nyamplung hasil produksi,
dilakukan kegiatan aplikasi bahan bakar minyak biodiesel nyamplung di Batukaras,
Kabupaten Pangandaran. Kegiatan aplikasi minyak biodiesel nyamplung dibuka
langsung oleh Kapala Pusat Litbang Hasil Hutan dan dihadiri oleh Pejabat
kecamatan, perangkat desa batukaras, kepolisian sektor Cijulang, serta kelompok
tani.
Biodiesel nyamplung diujicobakan pada mesin traktor pertanian 9 PK merk
Yanmar dan mesin diesel 7,5 PK merk dompleng untuk penggerak kincir air di
tambak udang. Komposisi biodiesel yang diujicobakan adalah biodiesel
nyamplung murni (B-100) dan biodiesel nyamplung campuran solar dengan
perbandingan 50:50 (B-50) yang dibandingkan dengan minyak solar. Hasil ujicoba
minyak biodiesel pada peralatan tersebut tidak mengalami kendala.
Gambar 35. Contoh produk biodiesel B-100, B-50, B-40, B-30, B-20 dan B-10 Salah satu pengusaha tambak udang menyebutkan bahwa biodiesel
nyamplung murni (B-100) mengeluarkan asap warna putih, wangi dan tidak pedih
di mata jika dibandingkan dengan minyak solar. Konsumsi biodiesel nyamplung
murni (B-100) lebit irit jika dibandingkan dengan minyak solar pada ujicoba mesin
diesel penggerak kincir tambak. Mesin diesel tersebut membutuhkan kurang lebih
5 liter solar untuk menggerakan kincir selama 14 jam sedangkan untuk biodiesel
murni (B-100) hanya dibutuhkan 4,6 liter dan membutuhkan 4,8 liter untuk
biodiesel campuran (B-50). Berdasarkan data tersebut biodiesel nyamplung masih
lebih irit sebesar 8-10% dari solar.
123
Gambar 36. Aplikasi minyak biodiesel nyamplung sebagai bahan bakar traktor pertanian dan mesin diesel penggerak kincir tambak udang
5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Pengembangan reaktor ESTRANS yang dipadukan dengan reaktor
pemurnian minyak biodiesel berkapasitas 100 liter, menggunakan bahan
stainless steel 316 dengan ketebalan 3 mm. Reaktor dilengkapi dengan
pengaduk otomatis, box inverter, band heater, thermocouple, kontrol level
dan pompa minyak.
2) Ujicoba reaktor ESTRANS dan pemurnian menghasilkan biodiesel minyak
nyamplung yang memenuhi kriteria SNI, yaitu dengan bilangan asam
biodiesel sebesar 0,78 mg KOH/g, massa jenis 886 kg/m3, viskositas
kinematik pada 400C 4,7 mm2/s (cSt), bilangan penyabunan 194,70 mg
KOH/g, bilangan Iod 83,20 mg I2/100 g, bilangan setana index 55,61 dan
rendemen biodiesel 68%.
3) Aplikasi biodiesel minyak nyamplung dilakukan pada mesin traktor
pertanian dan mesin diesel untuk tambak udang yang berlokasi di Desa Batu
Karas, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran.
4) Aplikasi B-100 dengan mesin traktor pertanian 9 PK menunjukkan hasil
yang lebih irit dibanding solar. B-100 lebih irit sebesar 350 ml.
124
5) Aplikasi B-100 sebanyak 5 liter pada mesin diesel penggerak kincir tambak
udang masih lebih irit kurang lebih 400 ml dibandingkan dengan solar,
sedangkan B-50 masih lebih irit 275 ml jika dibandingkan dengan
penggunaan solar.
B. Saran
1) Perlu dilakukan ujicoba pengolahan biodiesel dari minyak jenis tanaman
yang lainnya untuk mendukung hasil kinerja reaktor.
2) Reaktor memerlukan penyempurnaan pada beberapa bagian antara lain:
kondensor untuk sirkulasi metanol, kontrol level di belakang reaktor dan
penambahan pompa vacum untuk proses pemurnian minyak biodiesel.