KATA PENGANTAR - P3HH
Transcript of KATA PENGANTAR - P3HH
KATA PENGANTAR
Dewasa ini berkembang persepsi bahwa jati cepat tumbuh dapat dipanen pada umur muda
dengan kualitas yang menyamai jati konvensional berumur tua/masak tebang dan menghasilkan
keuntungan yang besar. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan
dan Pengolahan Hasil Hutan memberikan koreksi atas persepsi tersebut dari aspek kajian sifat dasar,
pengolahan dan sifat pemesinan.
Secara ilmiah dapat diprediksi bahwa kayu yang termasuk dalam kelompok jenis cepat tumbuh
akan menghasilkan kayu yang bersifat inferior dalam berbagai aspek. Pada sisi lain, fasilitas teknologi
dewasa ini memungkinkan untuk memperbaiki berbagai kelemahan pada kualitas kayu, baik pada
kayu jati maupun jenis kayu lain yang digunakan masyarakat. Teknologi ini akan menjadi semakin
penting mengingat bahwa penanaman kelompok jenis cepat tumbuh ini semakin luas. Berbagai
informasi yang terkait dengan tanaman jati cepat tumbuh telah dibahas pada seminar yang
dilaksanakan pada tanggal 25 November 2010, yang didokumentasikan dalam prosiding ini.
Terlaksananya seminar nasional tahun 2010 hingga tersusunnya prosiding ini tidak terlepas dari
bantuan dan kerjasama semua pihak yang terkait. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya dengan harapan semoga prosiding ini bermanfaat.
Kepala Pusat,
Dr. Ir. IB. Putera Parthama, M.Sc
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DARTAR ISI ............................................................................................... iii
RUMUSAN HASIL SEMINAR .................................................................. v
LAPORAN KETUA PENYELENGGARA ................................................ ix
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN .................... xiii
MAKALAH KUNCI ................................................................................... xix
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
II. TEKNOLOGI PENGOLAHAN ........................................................ 5
A. Makalah Utama .............................................................................. 17
1. Karakteristik Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Jati Lokal
(Mohammad Muslich, Nurwati Hadjib & Sri Rulliaty)....................... 7
2. Penyempurnaan Sifat Kayu Jati Muda untuk Meningkatkan
Nilai Jual ( Barly, B.Sc. M.Pd) ................................................................ 19
B. Diskusi ........................................................................................... 29
C. Makalah Penunjang ....................................................................... 34
1. Sifat Mekanis Beberapa Jenis Kayu Dari Hutan Tanaman
Untuk Bahan Bangunan (Abdurachman & Nurwati
Hadjib).................................................................................................
....... 34
2. Dimensi Dolok, Rendemen dan Nilai Ekonomi Kayu
Gergajian Mindi (melia azedarach) (Achmad Supriadi & Ali
Hamzah) ................................................................................................... 47
3. Meningkatkan Daya Guna dan Nilai Tambah Kayu Hutan
Tanaman Melalui Teknologi Rekonstitusi Menjadi Produk
Kayu Pertukangan (Han Roliadi & Abdurachman) ........................... 54
4. Pengaruh Perebusan Terhadap Mutu Kayu Kruing Berminyak
Jenis Keladan (Dipterocarpus gracilis Bl.) Sebagai Kayu Lapis
(Achmad Supriadi, M.I. Iskandar & Agus Turoso). ............................ 68
5. Pengujian Geser Tarik (Kedap Rebus dan Cuaca) Produk
Kayu Pertukangan (M.I. Iskandar) ........................................................ 73
III. STRATEGI PENGEMBANGAN BAHAN BAKU ............................. 81
A. Makalah utama ............................................................................... 83
1. Peran Hutan Rakyat dalam Strategi Pengembangan Bahan
Baku Kayu Pertukangan (Dede Rohadi) ............................................... 83
2. Jenis Kayu Alternatif untuk Pertukangan
(Jamal Balfas)............................................................................................. 98
B. Diskusi ......................................................................................... 109
C. Makalah penunjang ........................................................................ 114
1. Bambu Komposit sebagai Bahan Pelengkap Kayu Pertukangan
(Oleh: I.M. Sulastiningsih & M.I. Iskandar) ........................................ 114
2. Kemungkinan Pengolahan Limbah Kayu Pertukangan Menjadi Pulp dan Kertas dengan Penerapan Minimisasi Penggunaan Air Proses (Han Roliadi & Dian Anggraini) .................. 127
IV. HARAPAN INDUSTRI KECIL .......................................................... 141
A. Makalah utama ............................................................................. 143
Harapan Industri Kecil Jepara Tentang Produksi Mebel
Berkualitas dan Ketersediaan serta Keberlangsungan Bahan Baku
Kayu. (Margono) ............................................................................................ 143
B. Diskusi .......................................................................................... 147
V. PENUTUP ........................................................................................... 151
VI. LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................... 155
Lampiran 1. Perkembangan Industri dan Teknologi Pengolahan
Kayu jati ................................................................................. 157
Lampiran 2. Panitia penyelenggara ........................................................... 174
Lampiran 3. Jadwal acara seminar ............................................................. 178
Lampiran 4. Daftar peserta………………………………………………….. 179
PERUMUSAN SEMINAR NASIONAL
“Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya”
Bogor, 25 November 2010
Memperhatikan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, keynote speech
Dirjen Bina Usaha Kehutanan, 6 makalah yang dipresentasikan dan diskusi yang berkembang pada
“Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya”
pada tanggal 25 November 2010, dapat dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut:
1. Persepsi dan ekspektasi yang berkembang di masyarakat bahwa pada umur muda, jati cepat tumbuh dapat dipanen dengan menghasilkan keuntungan yang tinggi serta kualitasnya menyamai jati konvensional umur masak tebang. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan telah mengklarifikasi persepsi tersebut ditinjau dari aspek sifat dasar, pengolahan dan prospek pengembangan tanaman jati tersebut.
2. Hasil penelitian sifat dasar menunjukkan bahwa meskipun jati cepat tumbuh mempunyai diameter batang yang lebih besar, akan tetapi persentase kayu terasnya lebih kecil dari jati konvensional. Jati cepat tumbuh dan jati konvensional pada umur muda mempunyai karakteristik yang hampir sama, terutama sifat pengerjaan termasuk baik sampai sangat baik dan kekuatannya. Jati cepat tumbuh dan jati konvensional pada umur muda dibandingkan dengan jati konvensional masak tebang (50 tahun), lebih rendah sifat-sifatnya dalam berat jenis, kelas kuat dan kualitas pengeringannya. Sesuai sifatnya maka dapat digunakan untuk konstruksi ringan seperti lumber sharing, finger joint laminated board (FJLB), flooring, kayu bentukan (moulding), mebel, jalusi, dan barang kerajinan.
3. Untuk meningkatkan kualitas kayu jati cepat tumbuh dan konvensional berumur muda, telah dilakukan
beberapa penelitian baik pengawetan maupun stabilisasi dimensi. Pengawetan kayu JCT dan konvensional berumur muda dapat meningkatkan kelas awet dari kelas awet V menjadi kelas awet I dengan menggunakan bahan antara lain ZnCl2, Na2Cr2O7, (NH4)SO4, H3BO3, DAP dan Boraks. Perlakuan dengan beberapa bahan seperti minyak nyamplung, linseed Oil, minyak kepuh, PEG, CPO, parafin cair dan gliserol, perlakuan impregnasi dengan linseed Oil (LO) memberikan hasil terbaik dalam stabiliasi dimensi karena menghasilkan nilai penyusutan kayu yang paling rendah, persen ASE tertinggi, dan kerapatan meningkat. Dengan demikian kayu jati muda berpotensi untuk menggantikan peran kayu pertukangan.
4. Asosiasi Pengrajin Kecil Jepara (APKJ) mengharapkan adanya pengembangan dan peningkatan
produksi kayu secara lestari. Jenis-jenis kayu tersebut adalah jati (jati perhutani dan jati rakyat, mahoni, mindi, akasia, sonokeling dan kayu rakyat) yaitu mangga, duren, trembesi, waru, jabon, nangka, dan lain-lain. Kalangan pengrajin juga mengharapkan peran aktif semua pihak baik pemerintah maupun institusi terkait lainnya untuk turut berpartisipasi dalam penanggulangan beragamnya permasalahan industri kecil
5. Berdasarkan perkembangan industri dan pasar dari produk kayu jati diketahui bahwa volume ekspor
cenderung menurun sehingga total penerimaan menurun, namun harga produknya terus meningkat. Permasalahan yang masih dihadapi oleh industri pengolahan kayu di antaranya mesin-mesin sudah tua, efisiensi, produktifitas dan utilitas rendah, serta akses perbankan yang rendah. Selain juga menghadapi isu-isu hambatan tarif dan non tarif serta isu lingkungan dan legalitas kayu. Hal ini mengakibatkan menurunnya daya saing industri tersebut. Strategi pengembangan industri ke depan akan diarahkan pada diversifikasi dengan mengangkat jati sebagai unique wood dan produk ukiran serta
pengembangan engineered wood. Hal ini perlu didukung oleh strategi marketing yang baik (blue ocean), teknologi rekayasa disain dan finishing, serta kebijakan zero waste
6. Dalam dekade 10 tahun terakhir terjadi perubahan trend produksi dari hutan alam ke hutan tanaman
di antaranya hutan tanama rakyat. Jenis-jenis utama yang ditanam di hutan rakyat adalah sengon, jati, akasia, mahoni, pinus, sonokeling, jabon dan sungkai. Untuk mengembangkan hutan rakyat perlu dilakukan beberapa alternatif strategi di antaranya (a) menjadikan hutan rakyat sebagai alat untuk peningkatan kesejahteraan petani sekaligus upaya rehabilitasi hutan dan lahan; (b) Penyempurnaan prosedur perizinan untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat dan mudah; (c) peningkatan motivasi pengembangan usaha penanaman kayu melalui penyuluhan dan pendampingan; dan (d) Adanya intervensi pemerintah dalam memfasilitasi kredit mikro khusus bagi pengembangan hutan rakyat.
7. Untuk mengatasi defisiensi pasokan bahan baku industri, pemanfaatan jenis-jenis kayu alternatif (JKA)
perlu terus dipromosikan. Beberapa jenis kayu dengan karakteristik keunggulan masing-masing dapat menjadi alternatif seperti bayur, durian, jabon, kemiri, mahoni, mangium, surian, karet, kelapa dan batang sawit. Karakteristik jenis-jenis kayu alternatif secara umum memiliki kelemahan. Sifat inferior JKA dapat diatasi antara lain dengan teknologi laminasi. Secara kelembagaan, pengusahaan atau pemanfaatan JKA terutama dari areal perkebunan, belum memiliki struktur kelembagaan yang jelas. Dari sisi sumber bahan baku, JKA memiliki resiko dalam kontinyuitas pasokan karena keterbatasan areal dan kualitas tanaman. Saat ini terjadi kontradiksi antara harga bahan baku (kayu bulat) dengan harga produk kayu olahannya. Harga kayu bulat cenderung mengalami kenaikan sementara harga produk kayu alternaif cenderung menurun. Fenomena ini perlu segera ditangani untuk menjaga kelangsungan hidup industri kayu nasional.
Bogor, 25 November 2010
Tim Perumus:
1. Prof. Dr. Ir. H.R. Sudradjat, MSc; 2. Jamaludin Malik, Shut. MT; 3. Drs. Paimin Sukartana; 4. Ir. Agustinus P. Tampubolon, MSc.
LAPORAN KETUA PENYELENGGARA SEMINAR NASIONAL
“Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh
dan Kayu Pertukangan Lainnya”
Bogor, 25 November 2010
Yang Terhormat,
Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan
Bapak Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Bapak/Ibu Kepala Pusat Litbang lingkup Kementrian Kehutanan
Bapak Sekretaris Badana Litbang Kehutanan
Para Kepala Balai Penelitian Kehutanan
Hadirin Peserta Seminar
Selamat Pagi, Assalamu alaikum warochmatullahi wabarokatuh, Salam sejahtera.
Puji dan syukur kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia kesehatan, kesempatan dan
kemampuan yang telah Ia berikan kepada kita semua untuk bersama-sama menjalani seminar di hari ini.
Pada kesempatan yang sangat berharga ini, saya atas nama panitia penyelenggara perkenankanlah untuk
mmenyampaikan SELAMAT DATANG dan penghargaan atas kesediaan Bapak dan Ibu sekalian untuk
memenuhi undangan kami. Tanpa keberadaan Bapak dan Ibu sekalian acara ini tidak akan dapat
dilaksanakan.
Hadirin yang saya hormati,
KAYU JATI telah menjadi icon produk hasil hutan Indonesia dan telah lama menempati posisi terhormat
dalam pasar perkayuan internasional. Kedudukan ini telah lama dipegang oleh jenis kayu ini, sehingga kata
KAYU JATI selalu di asosiasikan dengan keindahan corak dekoratifnya, kehalusan tekstur, keawetan dan
kekhasan aroma yang memang telah dikenal secara luas.
Sementara itu dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak berkembang usaha budidaya tanaman-
tanaman yang memanfaatkan nama besar JATI. Berbagai merk dagang yang menggiurkan menggunakan
JATI sebagai cara untuk menciptakan imajinasi atau kekuatan asosiatif tersebut.
Dalam strategi pemasaran adalah sah-sah saja untuk melakukan pencitraan dengan memanfaatkan
kekuatan asosiatif, akan tetapi kami sebagai komunitas ilmiah mempunyai sistem nilai tersendiri yang
menuntut untuk mengungkapkan perbedaan maupun persamaan antara yang asli dengan yang asosiatif.
Selain itu, bangsa Indonesia yang mendapatkan kelimpahan karunia Tuhan yang berupa adanya berbagai
macam jenis pohon, memberikan pilihan-pilihan jenis-jenis sebagai substitusi kebutuhan kayu dengan
berbagai karakteristik yang diinginkan, dengan dukungan teknologi tertentu. Oleh sebab itu Seminar ini
sengaja mengangkan tema : “Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan
Lainya”
Hadirin yang saya hormati,
Adalah menjadi tujuan kami agar melalui seminar ini dapat diinformasikan kepada masyarakat tentang
karakteristik dari jenis kayu jati cepat tumbuh berdasarkan pemahaman secara ilmiah. Dengan demikian
diharapkan dapat diperoleh informasi yang transparan atas produk-produk yang asosiatif tersebut. Selain
itu untuk memenuhi kerinduan konsumen terhadap karakteristik JATI, maka kami juga ingin menawarkan
solusi teknologi pengolahan kayu jati cepat tumbuh.
Hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan ini hadir bersama kita Bapak DR. Ir. Tahrir Fathoni, M.Sc, Kepala Badan Litbang
Kehutanan, kami menyampaikan terima kasih dan mohon kepada Bapak Kabadan kesediaannya untuk
memberikan pengarahan dan sekaligus membuka secara resmi seminar ini.
Untuk mendapatkan informasi tentang kebijakan pemerintah dalam mengembangkan industri kayu di
Indonesia, maka pada kesempatan ini hadir bersama kita Bapak DR. Ir. Iman Santoso, MSc, Direktur
Jenderal Bina Usaha Kehutanan yang telah berkenan untuk menjadi pembicara utama dan akan
menyampaikan topik : “Strategi Perbaikan Industri Kayu di Indonesia” . Bapak Dirjen perkenankan kami
atas nama panitia menyampaikan terima kasih.
Selanjutnya pada sesi 1 akan dipresentasikan hasil-hasil penelitian dari para peneliti puslitbang hasil hutan
dan Libang Perum Perhutani masing-masing akan dipresentasikan oleh :
1. Ir. Nurwati Hajib, MS. , Karakteristik Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Jati Lokal. 2. Barli, BSc. MPd, Penyempurnaan Sifat Kayu Jati Muda untuk Meningkatkan Nilai Jual 3. Margono, dari APKJ, Harapan Industri Kecil Jepara tentang Produksi Meuble Berkualitas dan
Ketersediaan serta Keberlangsungan Bahan Baku Kayu.
Pada sesi kedua akan dipresentasikan potensi dan pilihan jenis-jenis kayu yang tersedia di masyarakat,
untuk itu kami sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :
1. Ir. Daryono, Perkembangan Industri dan Pengolahan Kayu Jati 2. Ir. Dede Rohadi, MSc, dari CIFOR Peran Hutan Rakyat dalam Strategi Pengembangan Bahan Baku
Kayu Pertukangan 3. Ir. Jamal Balfas, MSc akan menyampaikan Jenis-jenis Kayu Alternatif untuk Pertukangan
Hadirin yang saya hormati,
Kami laporkan pula bahwa seminar ini dihadiri oleh 125 orang yang berasal dari berbagai provinsi di
Indonesia, berbagai lembaga atau instansi yang meliputi lembaga-lembaga penelitian terkait kehutanan,
perguruan tinggi, instansi pemerintah, pelaku usaha, dan lain-lain. Oleh karenanya seminar ini kami
dudukkan sebagai seminar nasional, meskipun kami mengundang Bapak Dede Rohadi yang mewakili
sebuah lembaga internasional.
Sebagai penghargaan kepada hadirin sekalian, peserta seminar ini kami sediakan sertifikat partisipasi
seminar, dan bagi yang memerlukan dipersilakan untuk menghubungi panitia.
Hadirin yang saya hormati,
Perlu kami sampaikan disini bahwa penyelenggaraan seminar ini dibiayai dari dana APBN, DIPA 2010
pada satuan kerja Puslitbang Hasil Hutan. Kita mengetahui bahwa sebagian sumber APBN adalah berasal
dari pajak yang dibayar dari keringat rakyat, oleh karena itu saya mengajak hadirin sekalian mari kita jalani
seminar ini dengan sebaik-baiknya agar apa yang telah rakyat berikan ini membuahkan hasil yang dapat
disumbangkan kembali untuk kemakmuran rakyat.
Hadirin yang saya hormati,
Panitia telah berusaha sebatas kemampuan yang dimiliki dengan harapkan hadirin sekalian dapat menjalani
seminar ini dengan nyaman dan produktif, namun demikian kami sebagai manusia biasa memiliki
kelemahan, oleh sebab itu apabila terdapat berbagai kekurangan mohon untuk dimaafkan.
Akhir kata saya sampaikan selamat berseminar, seluruh fasilitas ini untuk hadirin sekalian, semoga apa
yang menjadi harapan masing-masing dapat terpenuhi.
Billahi taufik wak hidayah, wassalammu alaikum warochmatullahi wabarokatuh. Selamat berseminar.
Bogor, 25 November 2010
Ketua Panilia
Dr. Ir. Agus Djoko Ismanto, M.DM
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN
“Inovasi Teknologi Pemanfaatan Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Jenis Kayu Pertukangan
Lainnya”
Bogor, 25 November 2010
Kepala Badan Litbang Kehutanan Saat Memberikan Arahan dan Sekaligus Secara
Resmi Membuka Acara Seminar Nasional 2010.
Yth. Para Profesor Riset dan Peneliti
Yth. Para Pejabat Eselon I dan II Kementerian Kehutanan serta pejabat undangan dari instansi luar
Kementerian Kehutanan
Para undangan dan peserta seminar yang saya hormati.
Ass Wr. Wb.
Pertama sekali, seyogyanya kita mengucap syukur kehadapan Tuhan YME, atas limpahan karunianya
sehingga pagi ini kita semua ada dalam keadaan sehat walafiat berkumpul di sini untuk acara Pembukaan
Seminar INOVASI TEKNOLOGI PEMANFAATAN KAYU JATI CEPAT TUMBUH DAN JENIS
KAYU PERTUKANGAN LAINNYA.
Semoga acara yang akan kita jalankan ini menjadi ajang untuk menghasilkan sesuatu yang positip, yang
bermanfaat bagi kehutanan dan bagi masyarakat. Amin.
Saudara-Saudara sekalian.
Seminar adalah wahana bagi peneliti dan ilmuwan untuk menginformasikan capaian, temuan, kepada
sesama ilmuwan-peneliti, maupun kepada khalayak umum termasuk pembuatan kebijakan dan pengguna
teknologi. Oleh sebab itu, seminar, lokakarya, ekspose, dan sejenisnya merupakan bagian tidak
terpisahkan dari rangkaian pekerjaan atau tugas, lembaga penelitian dan pengembangan. Oleh sebab itu,
meskipun dewasa ini seminar terkesan sebuah rutinitas, bagi institusi penyelenggara riset tetap harus
dilaksanakan secara teratur.
Agar lebih memberikan sesuatu yang kongkrit bagi pengguna dan pembuat kebijakan, maka seminar
memang sebaiknya mengambil topik yang spesifik dan berkaitan dengan isu kongkrit. Oleh sebab itu, saya
sangat setuju dengan topik seperti yang diangkat pada seminar kali ini, yaitu pemanfaatan kayu jati cepat
tumbuh dan kayu jenis-jenis lainnya (yang tentunya masuk kelas cepat tumbuh pula). Seminar-seminar
atau ekspose yang bersifat multi-topik bunga rampai, bukan tidak boleh, tetapi seminar seperti itu
mungkin perlu didisain khusus semacam kongres IUFRO. Event besar seperti kongres IUFRO,
sebenarnya sebuah gabungan dari banyak seminar-seminar topik spesifik. Mungkin analoginya dengan
olah-raga,
kongres IUFRO adalah event semacam Olimpiade, Asian Games atau Sea Games. Sedangkan seminar-
seminar topik-spesifik semacam kejuaraan bulutangkis Indonesia Open. Tahun 2011 Badan Litbang akan
merencanakan mengadakan IUFRO versi nasional lndonesia, yang mungkin kita sebut dengan "Pekan
Hasil Riset Kehutanan". Pada even tersebut nanti semua peneliti kehutanan di Indonesia, tidak hanya
yang dari Badan Litbang Kehutanan, akan diundang untuk berpartisipasi.
Saudara-Saudara sekalian,
Kembali ke topik seminar, yaitu kayu jati cepat tumbuh, kita tahu bahwa dengan perkembangan jaman,
dengan makin timpangnya supply dan demand kayu, maka menghasilkan kayu secara cepat semakin menjadi
pilihan. Kita tahu menurut Tabel WvW, daur jati mencapai 80 tahun.
Dewasa ini, daur 40 tahun saja sudah terasa terlalu lama. Oleh sebab itu, trend-nya ke depan ialah menanam
kayu cepat tumbuh. Ini juga akan diimbangi pergeseran selera, yang tidak terlalu mengutamakan daya
tahan berpuluh tahun.
Dengan pergeseran ini, maka hutan-hutan tanaman, baik skala besar apalagi skala rakyat, kebanyakan akan
menanam jenis-jenis cepat tumbuh. Termasuk jati. Masyarakat sangat tergerak untuk menanam jati cepat
tumbuh.
Di satu sisi, pergeseran ini, yang telah menumbuhkan motivasi dan drive menanam pohon di kalangan
masyarakat adalah satu hal yang positip. Sesuatu yang dengan keras diupayakan pemerintah. Di sisi lain,
kayu cepat tumbuh yang akan dihasilkan hingga tingkat tertentu pasti tisak sarna dengan counter-part-nya
yang normal. Inferioritas ini, seyogyanya bisa diatasi dengan teknologi. Di sini peneliti atau institusi
penelitian dan pengembangan mengambil peran.
Peneliti diharapkan menghasilkan sebuah fatwa, yang akan dirujuk oleh industri dan pasar. Misalnya, fatwa
yang menyatakan bahwa kayu jati cepat tumbuh tidak terlalu berbeda dengan jati normal. Itu kalau
memang benar demikian. Atau sebaliknya, fatwa yang menyatakan bahwa jati cepat tumbuh memang
berbeda dengan jati normal. Apabila demikian, maka peneliti diharap memberikan rekomendasi, kayu jati
cepat tumbuh sebaiknya untuk penggunaan apa. Selain itu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi
inferioritas tadi. Mudah-mudahan paper yang akan dipresentasikan dan dibahas dalam seminar ini antara
lain memenuhi harapan-harapan tadi.
Saudara-Saudara sekalian,
Pada tingkat yang lebih general, lebih makro, saya selalu berpendapat bahwa peneliti pengolahan hasil
hutan bisa bisa menjadi agent atau aktor kunci, dalam upaya pemulihan sektor kehutanan, khususnya
industri kayu. Mengapa demikian? Tidak lain karena penelitian kayu, atau kehutanan secara luas, adalah
leverage atau pengungkit paling kuat dari upaya memulihkan kehutanan Indonesia, khususnya industri kayu.
Hanya melalui penelitian, melalui invensi sains dan teknologi, maka industri kehutanan atau industri kayu
Indonesia bisa kembali menjadi salah satu andalan negeri.
Kita semua harus mengakui bahwa industri kehutanan atau industri kayu Indonesia sejak dekade terakhir
abad ke 20 terus menerus mengalami kemerosotan, declining in a constant way. Industri kayu yang dahulu
pernah menjadi salah satu sumber penerimaan luar negeri republik ini, kini antara hidup dan mati.
Sebagian besar pabrik perkayuan tidak mampu survive, dan terpaksa tutup. Volume maupun nilai ekspor
produk kayu merosot jauh. Dahulu kita adalah pemain terbesar di pasar global kayu lapis tropis. Indonesia
bahkan pernah menjadi market leader di pasar Amerika sehingga bisa menjadi penentu harga. Tetapi itu
hanya tinggal sejarah.
Mari kita lihat apa underlying causes dari kemunduran tersebut, karena dulu industri kehutanan atau kayu
sangat bersandar pada keunggulan komparatif (comparative advantage). Kebijakan nasional pada saat itu
menggiring industri kayu kita menjadi industri yang lemah, yang manja, tidak menumbuhkan daya saing.
Industri kayu, kita manjakan dengan berbagai subsidi, langsung maupun tidak langsung. Bahan baku yang
dipaksa agar murah melalui pembelokan mekanisme pasar, adalah salah satu bentuk subsidi. Belum lagi
kemudahan-kemudahan perpajakan, bahan bakar, dll.
Akibatnya, dengan berbagai subsidi itu, industri kayu yang tidak efisien-pun (secara ekonomi maupun
secara teknis), saat itu tetap hidup dan berkibar meraup keuntungan.
Akan tetapi, sebenarnya itu berkibar yang fake atau palsu, karena revenue yang diperoleh bukan dari hasil
efisiensi, keuntungan yang diraup bukan dari keberhasilan menciptakan nilai tambah, melainkan semata
karena besarnya volume eksport. Dan, volume eksport yang membanjiri pasar dunia dengan harga rendah
itu dimungkinkan karena terutamanya harga bahan baku yang dipaksa sangat murah.
Maka itu, ketika subsidi tidak ada lagi, ketika harga log meningkat akibat peningkatan biaya produksi
karena lokasi penebangan yang semakin jauh dan kayu semakin langka, maka banyak industri yang rontok.
Demikian juga ketika terjadi resesi dunia, ketika permintaan di pasar global drop, maka industri kita
jeblok.
Saudara-saudara sekalian,
Bagi industri kayu yang hidup dengan subsidi, dengan semata memanfaatkan keunggulan komparatif, pada
umumnya teknologi tidak menjadi bagian dari faktor produksi. Sederhana saja, untuk apa inovasi
teknologi, the wong tanpa inovasi, dengan berboros-boros bahan baku, dengan membanting harga jual,
masih bisa jalan dan meraup keuntungan? Akibatnya Bapak/lbu, upaya-upaya inovasi teknologi untuk
peningkatan daya saing dan sustainabilitas masa depan industri mandeg.
Industri kayu kita telah menjadi contoh sempurna dari fenomena kodok rebus. Ketika berada di air
dengan suhu nyaman, santaiii.. menikmati hidup. Juga ketika suhu air pelan-pelan meningkat, tetap santaiii
, karena masih tetap nyaman. Tetapi ketika suhu mencapai 100 derajat, dan panas mulai tidak
tertanggungkan, baru terkaget dan mencoba melompat. Tetapi boro-boro bisa melompat dari air yang
semakin panas, malah kodok itu berakhir menjadi swike.
Nah, Saudara-saudara sekalian.
Riwayat industri kayu kita yang menyedihkan, dari kodok yang sehat dan hidup nyaman berakhir menjadi
swike tadi, adalah pelajaran mahal yang amat sangat berharga. Masa dimana inovasi dan pencarian sains
dan teknologi dimarginalkan harus diakhiri. Bangsa ini harus semakin sadar bahwa hanya dengan
berlomba di jalur inovasi teknologi maka akan bisa keluar dari kungkungan keterbelakangan. BRIC
(Brazil, Rusia, India, China) yang ke depan akan menjadi turbin utama pengerak ekonomi dunia telah
menjadi bukti akurat dari semua itu. Saat ini "I" dalam BRIC masih satu, karena "I" yang satunya yaitu
Indonesia belum pantas disisipkan. Para peneliti harus menyambut tantangan I untuk membuat "I" untuk
Indonesia masuk.
Saudara-saudara sekalian
Hampir di setiap industri, penikmat nilai tambah terbesar adalah yang memproses bahan baku menjadi
barang jadi. Aksioma ini berlaku mulai dari warteg lebih dari 100% dari jasanya mengolah bahan makanan
menjadi makanan. Demikian juga industri nuklir sampai senjata nuklir. Warteg menikmati keuntungan.
Amerika yang mengolah uranium. Point saya di sini ialah, bahwa apabila bangsa ini ingin lebih makmur,
kuncinya ialah pengembangan industri prosesing.
Satu contoh adalah gondorukem. Kepala Badan Litbang yang baru berkunjung ke Korea, mengatakan
bahwa gondorukem kita ditimbun di Korea. Oleh Korea diolah menjadi produk-produk akhir, sebagian
diekspor kembali ke Indonesia. Ini tentu sangat menyedihkan karena keuntungan terbesar diperoleh
Korea, yang tidak punya sumber gondorukem. Karena itu kita harus berhenti mengekspor bahan mentah,
tetapi mengekspor barang olahan. Tetapi tentu industri prosesing yang kita inginkan ialah yang benar,
yang kuat, bukan seperti industri kayu lapis di masa lalu yang bersandar pada subsidi.
Saudara-Saudara sekalian,
Teknologi yang dihasilkan pertama-tama dituntut agar tepat guna. Tepat guna adalah kata kunci yang amat
penting. Teknologi canggih yang tidak tepat bagi kondisi Indonesia tentu tidak ada manfaatnya. Teknologi
yang tepat bagi suatu kondisi harus di-invent, harus ditemukan sendiri. Tidak mungkin kita mengharapkan
alih atau transfer teknologi dari negara lain yang kondisinya berbeda dalam banyak hal Oleh sebab itu,
riset untuk invensi teknologi adalah sebuah keniscayaan, dan peneliti dapat berperan di sini.
Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati,
Satu hal lain yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini ialah harapan dari pimpinan Kementerian
Kehutanan agar penelitian dan pengembangan kehutanan lebih fokus untuk menghasilkan produk dalam
bentuk formula, prototype, model, dan sebagainya yang dapat diadopsi industri maupun masyarakat.
Laporan penelitian, sudah tentu. Prosiding seminar OK. Tetapi sangat diharapkan kita menghasilkan
IPTEK yang riil, yang dapat diaplikasikan.
Sebagai contoh, setiap tahun kita mengimpor perekat untuk industri kayu lapis dalam volume besar, yang
tentu saja memerlukan pengeluaran devisa. Saya mendapat informasi, bahwa sesungguhnya Indonesia
berpotensi menghasilkan perekat berbahan dasar resorsinol dalam volume besar. Penelitian yang
menghasilkan teknik ekstraksi resorsinol, isolasi, purifikasi dan memformulasikannya menjadi perekat
ramah lingkungan akan sangat bermanfaat bagi bangsa ini.
Tentu masih banyak contoh-contoh lain. Intinya, para peneliti diharapkan lebih besar mengalokasikan
daya dan pikiran untuk menghasilkan produk penelitian yang applicable. Selain itu juga diharapkan para
peneliti, dapat menjadi inisiator bagi kebijakan-kebijakan yang perlu dikeluarkan oleh pemerintah dalam
upaya meningkatkan industri kayu atau kehutanan.
Saudara-saudara sekalian.
Itu beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini. Semoga dapat memberikan dorongan
bagi kita semua untuk lebih giat lagi berkarya, berkontribusi bagi kemajuan penelitian kayu/kehutanan,
bagi pembangunan kehutanan, bagi bangsa dan negara.
Kepala Badan Litbang Kehutanan,
Dr. Ir. Tachir Fathoni, M.Sc
MAKALAH KUNCI (KEYNOTE SPEECH)
STRATEGI PERBAIKAN INDUSTRI KAYU DI INDONESIA
“Inovasi Teknologi Pemanfaatan Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Jenis Kayu Pertukangan
Lainnya”
Bogor, 25 November 2010
Keynote Speech Disampaikan oleh Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada-Nya kita
mengabdi dan meminta pertolongan dimana kita semua pada hari ini dapat hadir di Seminar Nasional
dengan tema :
"Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya".
Hadirin yang berbahagia,
Sebagaimana kita ketahui, pada dekade 1990-an Indonesia pernah menguasai pasar ekspor industri kayu
tropis dunia dengan perolehan devisa terbesar kedua setelah sektor migas. Namun demikian memasuki
paruh kedua dekade 1990 tepatnya 1997, produksi kayu hutan alam terus menurun sampai tahun 2002
sehingga tidak mampu lagi menjadi pemasok kayu untuk bahan baku industri perkayuan dan penggerak
ekonomi nasional. Hal ini merupakan ujian terbesar dalam sejarah industri perkayuan nasional.
Dalam rangka menggairahkan kembali industri perkayuan nasional, Kementerian Kehutanan melalui
Program Revitalisasi Industri Kehutanan menempuh strategi pencapaian berupa penguatan Aspek Legal
(Yuridis Formal) yaitu revisi PP No. 34 Tahun 2002 menjadi PP No.6 Tahun 2007 jo PP No.3 Tahun
2008 tentang tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
beserta penerbitan aturan-aturan turunannya untuk mendukung upaya-upaya sebagai berikut:
1. Peningkatan investasi/untuk mendukung. 2. Peningkatan Produksi dan Ekspor Hasil Hutan sekaligus menerapkan penegakan hukum dan
kepemerintahan yang baik (FLEGT-Forest Law Enforcement, Governance and Trade) (pro-growth dan pro-job) 3. Peningkatan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja kepada masyarakat sekitar hutan (pro-poor)
Selanjutnya, Kementerian Kehutanan juga mengeluarkan kebijakan di sub sektor hulu kehutanan yang
terkait dengan bahan baku kayu melalui pembinaan dan pengembangan sumber bahan baku berupa
intensifikasi kawasan hutan produksi yang tidak belum dibebani ijin / hak pada areal sisa virgin forest dan
LOA yang kondisinya baik melalui pemberian IUPHHK-HA dengan sistem silvikultur yang sesuai dengan
kondisi setempat dan produktif, dan intensifikasi kawasan hutan produksi yang tidak dibebani ijinfhak
pada LOA yang kondisinya rusak/tidak produktif melalui pemberian IUPHHK –HT /HTR/ HTC -
Biofuel.
Selain itu dilakukan juga Pembinaan dan Pengendalian Pasokan Bahan Baku (Peredaran Hasil Hutan)
melalui penyempurnaan tata usaha kayu berbasis teknologi informasi on-line system berdasarkan prinsip
lacak balak dan kondisi nyata lapangan, pengunaan website-online system dalam penyampaian Rencana
Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI), pengurangan secara bertahap pasokan bahan baku dari
sumber yang sah tapi tidak berkelanjutan (IPKjILS), dan meningkatkan secara bertahap pasokan kayu dari
sumber yang sah dan berkelanjutan (HA; HT jHTI; HTR; HR).
Hadirin yang berbahagia,
Kebijakan hilir yang terkait dengan Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) diarahkan untuk
memanfaatkan kayu-kayu diameter kecil dari Hutan Rakyat, HTI, dan peremajaan kebun untuk
meningkatkan daya saing dan menekan penggunaan kayu dari Hutan Alam. Selain itu, juga dengan
mendorong re engineering/retooling IPHHK untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas industri.
Selain kebijakan di sektor hulu dan hilir, juga diperlukan kebijakan penunjang yang terkait dengan
kebijakan pro-growth diantaranya Fasilitas pembiayaan pembangunan HTR dan HTI melalui lembaga
keuangan perbankan maupun non bank (BLU-Pusat P2H), kemudahan pelayanan melalui sistem
Pelayanan Satu Pintu on-line di bidang perizinan terkait IUPHHK-HA/HT, peningkatan kapasitas dan
penguatan kelembagaan pelaku usaha kehutanan, melalui pelatihan berbasis kompetensi, dan penguatan
institusi Unit Pelaksana Teknis (UPT Ditjen BPK-BP2HP) terkait sistem pelayanan satu pintu (one stop
services) serta peningkatan koordinasi dengan jajaran kehutanan daerah (Provinsi dan Kabupaten).
Hadirin yang berbahagia,
Kebijakan-kebijakan tersebut telah mendorong perubahan penggunaan bahan baku industri dari semula
lebih menggantungkan pada kayu hutan alam menjadi kayu hutan tanaman, baik hutan tanaman industri
(HTI) maupun hutan rakyat. Trend pergeseran tersebut terlihat dari data struktur pemenuhan bahan baku
IPHHK kapasitas produksi di atas 6.000 meter kubik per tahun selama 5 tahun terakhir (2004-2009)
dimana pemenuhan bahan baku dari hutan alam menunjukkan kecenderungan penurunan dari sebesar 25
juta meter kubik pada tahun 2004 menjadi 7,4 juta meter kubik pada tahun 2008 dan 4,6 juta meter kubik
pada tahun 2009. Oi sisi lain, pemenuhan bahan baku dari hutan tanaman (HTI, HR, dan perkebunan)
memperlihatkan trend peningkatan yang cukup signifikan, yakni sebesar 10,3 juta meter kubik pada tahun
2004 menjadi sebesar 24,5 juta meter kubik pada tahun 2008. Hutan tanaman ke depan akan menjadi basis
dan tulang punggung industri perkayuan nasional.
Langkah tersebut juga telah mendorong tumbuhnya industri kehutanan berbahan baku kayu rakyat
(khususnya di Pulau Jawa) dan menggairahkan masyarakat untuk menanam berdasarkan pendekatan pasar
(market driven) sehingga tercipta aglomerasi industri kehutanan dengan tujuan mengurangi biaya
transportasi terkait buruknya infrastruktur dan terciptanya division antar daerah.
Hadirin yang saya hormati,
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kepercayaan pasar dan promosi perdagangan kayu legal,
Kementerian Kehutanan mengembangkan sistem penjaminan legalitas kayu (Timber Legality Assurance
System) atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan melibatkan para pihak baik dalam
penyusunan standar verifikasi legalitas kayu maupun kelembagaannya dengan prinsip good governance,
credibility, dan representativeness. SVLK ini telah memenuhi harapan pasar Internasional khususnya memenuhi
due care Lacey-Act Amerika Serikat, Green Konyuho Jepang, FLEGT -VPA Uni Eropa dan harapan-
harapan pasar dunia lainnya.
Hadirin yang berbahagia,
Terkait dengan agenda Revitalisasi Industri Kehutanan tersebut, peran Badan Litbang Kehutanan pada
umumnya dan peneliti pada khususnya sangat strategis dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi perkayuan untuk mendukung industri kehutanan dalam upaya meningkatkan daya saing dan
kualitas produk tanpa menimbulkan masalah baru dibidang lingkungan, yang pada akhirnya akan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.
Untuk itu, saya berharap dalam Seminar Nasional" Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan
Kayu Pertukangan Lainnya" ini dapat diidentifikasi tantangan dan peluang bagi pengembangan ilmu dan
teknologi kayu, khususnya jenis jati cepat tumbuh dan kayu pertukangan lainnya untuk mendukung
industri perkayuan agar dapat bangkit menjadi penggerak ekonomi didukung .bahan baku yang legal dan
berkelanjutan. Sumbangan pemikiran para peserta Seminar sangat diharapkan untuk mengembalikan
kejayaan industri perkayuan Indonesia. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan,
bimbingan, dan rahmat kepada kita semua.
Asslaamu'alaikum Wr. Wb.
Direktur Jenderal
Bina Usaha Kehutanan
Dr. Ir. IMAN SANTOSO, M.Sc
I. PENDAHULUAN
Kita patut mensyukuri nikmat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan tanah air
Indonesia yang indah dengan hutan yang luas dan kaya keanekaragaman flora dan fauna sehingga sering
disebut mega bio-diversity countries.
Hutan alam produksi sebagai salah satu potensi sumberdaya alam yang dapat diperbaharui telah menjadi
andalan sumber pendapatan negara pada masa yang lalu. Melalui pengelolaan hutan alam produksi dengan
pola Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan sistim Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) selama lebih dari
25 tahun, ternyata tidak mampu menjamin kesinambungan produksi untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku industri perkayuan di dalam negeri.
Keterbatasan pasokan kayu jati di pasar nasional dalam kurun waktu yang panjang telah
mendorong munculnya inovasi pengembangan jati cepat tumbuh. Dewasa ini telah banyak ditanam
berbagai varietas jati cepat tumbuh yang dikenal dengan nama jati super, jati unggul, jati kencana, jati
emas dan lain sebagainya. Namun sampai saat ini belum diperoleh kejelasan hasilnya.
Seminar Nasional tahun 2010 kali ini mengambil tema “Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat
Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya”, tema ini sangat relevan dengan materi-materi yang disajikan,
terutama dalam menyawab anggapan masyarakat mengenai kayu jati cepat tumbuh selama ini ditengah
kurangnya pasokan bahan baku kayu pada industri perkayuan di Indonesia. Materi tersebut antara lain
adalah Karakteristik Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Jati Lokal; Penyempurnaan Sifat Kayu Jati Muda untuk
Meningkatkan Nilai Jual; Jenis Kayu Alternatif untuk Pertukangan; Perkembangan Industri dan Teknologi
Pengolahan Kayu Jati; Peran Hutan Rakyat dalam Strategi Pengembangan Bahan Baku Kayu
Pertukangan dan; Harapan Industri Kecil Jepara Tentang Produksi Mebel Berkualitas dan Ketersediaan
serta Keberlangsungan Bahan Baku Kayu.
Persepsi yang telah melekat pada masyarakat tentang jati adalah jati yang dipanen pada usia
masak tebang yang telah miskin riap dengan karakteristik kelas kuat II dan kelas awet I serta mudah
dikerjakan. Karakteristik ini berbeda dengan jati cepat tumbuh. Pertumbuhannya yang cepat
menyebabkan Jenis jati ini mempunyai diameter batang yang lebih besar dan pertumbuhannya yang lebih
seragam dibandingkan dengan tanaman jati lokal. Baik jati lokal maupun jati cepat tembuh mempuyai
karakteristik kayu yang sama dan memiliki sifat permesinan yang baik pada umur 7 tahun. Namun
mempuyai dengan umur 9 tahun kayu jati cepat tumbuh tergolong kelas kuat IV dan Kelas awet V.
Pada umumnya kayu-kayu yang di produksi dari HTI dan hutan rakyat memiliki kelas kuat dan
kelas awet yang mempuyai jati cepat tumbuh. Kelas awet rendah pada jati cepat tumbuh dapat
ditingkatkan dengan menggunakan bahan pengawet. Kayu jati hasil kultur jaringan menunjukan
kemampuan menyerap larutan pengawet dengan lebih mudah. Penggunaan bahan pengawet dapat
mencegah serapan rayap kering secara efektif dengan tingkat instalitas 100% dan derajat serapan 90-100.
Stabilitas dimensi dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan Linsead Oil (LO), minyak nyamplung,
minyak kepoh dan gliserol. Nilai Anti Shringkage Efficiency (ASE) mencapai kisaran dari 62,61% - 93,10%
jauh lebih tinggi dari PEG 1000 setara 52,52%. Kegunaan dari kayu-kayu tersebut dapat pula ditingkatkan
dengan memanfaatkan teknologi rekonstitusi kayu yang akan menghasilkan produk rekonstitusi kayu
(PRK) atau Engeneered Wood Product (EWP). Sementara itu terhadap kayu kering dapat dilakukan
perebusan, perlakuan ini dapat meningkatkan keteguhan rekat hingga mempuyai standar nasional
Indonesia, namun perlakuan ini menawarkan mutu tampilan dari A ke C.
Di tengah kelangkaan pasokan bahan baku dari hutan alam, berbagi penelitian menunjukan
bahwa potensi produksi tanaman kayu pantas untuk diperhitungkan. Tanaman karet di Indonesia yang
telah mencapai saat peremajaan demikian pula batang kayu kelapa sawit adalah contoh dari potensi yang
besar itu.
Hutan rakyat yang secara potensial dapat memberikan pasokan bahan baku industri kayu, belum
dapat berkembang secara maksimal. Hutan rakyat masih dianggap sebagai usaha sampingan meskipun
petani mengangap bahwa usaha tanaman kayu rakyat layak secara ekonomi namun bukan menjadi pilihan
nasional sebagai sumber pendapatan rumah tangga.
Masalah utama pengembangan kayu rakyat adalah kelangkaan insentif ekonomi. Disamping
tanaman kayu terdpat tanaman bambu yang kurang mendapat perhataian dalam menunjang industri.
Induksi teknologi pengolahan bambu ke dalam industri kehutanan dapat memberikan sumbangan bagi
peningkatan kinerja sektor kehutanan. Pengolahan bambu dalam bentuk panel bambu akan menjadi
tambahan suplai bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku industry. Potensi yang besar dan keberadaannya
dipedesaan dapat menjadi “Leverage” bagi pemberdayaan ekonomi rakyat.
Memperhatikan potensi dan ketersediaan teknologi, maka pengembangan hutan rakyat dapat
menjadi pilihan yang diunggulkan.
A. Makalah Utama
KARAKTERISTIK KAYU JATI CEPAT TUMBUH DAN JATI LOKAL1
Oleh:
Mohammad Muslich, Nurwati Hadjib & Sri Rulliaty2
ABSTRAK
Kayu jati yang tergolong kelas kuat II dan kelas awet I serta mudah dikerjakan dengan hasil yang baik, banyak
digunakan masyarakat karena sifatnya yang lebih baik dibandingkan dengan kayu dari hutan tanaman lainnya. Untuk
memenuhi pasokan kayu jati yang semakin meningkat, telah dikembangkan jenis jati yang “cepat tumbuh” dengan
harapan bisa dipanen pada umur muda dengan kualitas lebih. Jati cepat tumbuh dan jati lokal pada umur muda
mempunyai sifat karakteristuk yang sama. Sifat tersebut lebih rendah daripada kayu jati lokal masak tebang. Kedua jenis
jati tersebut tergolong kayu kelas IV dan kelas awet V. Sifat permesinan kedua jenis jati tersebut pada umur 7 tahun,
tergolong baik. Sesuai sifatnya, maka dapat digunakan untuk konstruksi ringan, lumber sharing, finger joint laminated
board (FJLB), flooring, kayu bentukan (moulding), mebel, jalusi, barang kerajinan dan lain sebagainya. Disarankan
dalam penggunaannya harus diawetkan karena mempunyai kelas awet rendah.
Kata kunci : Karakteristik kayu, jati, lokal, cepat tumbuh,
I. PENDAHULUAN
Jati (Tectona grandis L.f.) dari famili Verbenaceae adalah tumbuhan penghasil kayu dengan kualitas terbaik di dunia. Jati di Jawa dikenal dengan nama daerah dalek, dodolan, jate, jatih, jatos, kiati, kidawa, sedangkan di negara lain dikenal dengan nama gianti, teak, kyun, sagwan, mai sak, teck, teca. Di samping itu jati merupakan kayu yang paling banyak dipakai untuk berbagai keperluan, sangat cocok untuk segala jenis kontruksi bangunan rumah, jembatan, bantalan kereta api, kapal, lantai, kusen, mebel dan lain sebagainya. Kayu jati mempunyai kelas awet II-I (Martawijaya, 1965). Menurut Martawijaya dan Sumarni (1980), ada 13 varietas kayu jati dari Kesamben dan Nglambanan yaitu Malabar, Godavari, Central Provences, Siam, Burma, Hinh, Kay, Kouai, Kouoc, Pati, Cepu, Gundih dan Knobbel, semuannya termasuk golongan kayu yang resisten terhadap organisme perusak kayu.
Jati yang selama ini ditanam baik oleh masyarakat maupun pemerintah disebut dengan jati lokal atau jati konvensional dan dikembangkan melalui perkecambahan biji, seperti yang ditanam di Cepu, Bojonegoro, Randublatung, Pulau Muna dan lain-lainnya. Jati tersebut merupakan kayu perdagangan yang memiliki kualitas sangat bagus dan bernilai ekonomis tinggi. Tanaman jati dipanen pada umur berkisar antara 50 sampai 80 tahun. Mengingat usianya yang sampai puluhan tahun, petani maupun investor kurang begitu tertarik untuk menanam jati. Ada kabar bahwa varietas tanaman jati sudah bisa dipanen sejak umut 10 tahun (penjarangan) kemudian dipanen habis pada umur 15 tahun. Jenis jati tersebut diperkenalkan sebagai jati mas, jati super, jati pusaka, jati unggul dan lain-lain nama yang sebenarnya merupakan produk yang sama dengan jati yang telah ditanam sebelumnya.
Bayangan masyarakat awam terhadap jati super adalah, pada umur 15 tahun diameter tanaman dan karakteristiknya sudah bisa menyamai jati konvensional yang berumur 50- 80 tahun. Dugaan ini tentu saja keliru. Diameter jati super umur 15 tahun, masih sama dengan diameter kayu jati lokal pada umur yang sama, yakni hanya sekitar 15 cm. Dengan asumsi, pertumbuhan diameter kayu jati, tiap tahunnya sebesar 1 cm.
1 1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Inovasi teknologi pengolahan jati cepat tumbuh dan kayu pertukangan lainnya”,
25 November 2010 2 Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolaahn Hasi Hutan
Informasi mengenai kualitas kayu jati cepat tumbuh belum banyak diketahui, karena sampai saat ini
tanaman jati cepat tumbuh relatif masih muda dan belum mencapai masak tebang. Seperti halnya kayu
dari hutan tanaman kayunya mempunyai sifat kurang baik dibanding kayu dari hutan alam (Martawijaya et
al, 1981), demikian pula pada kayu jati yang cepat tumbuh. Oleh karena itu, jati cepat tumbuh
kemungkinan juga mempunyai kualitas yang berbeda dengan jati yang tumbuh lambat (jati lokal atau jati
kovensional). Tulisan ini membahas mengenai sifat dasar kayu jati lokal dan jati cepat tumbuh yang masih
berusia muda, sehingga para pengguna kayu tersebut dapat memanfaatkan sesuai dengan sifat-sifat yang
dimilikinya.
II. PERSEBARAN JATI DI INDONESIA
Semula jati merupakan tanaman hutan dan tumbuh liar bersama jenis tanaman lainnya sebagai tanaman campuran. Jati merupakan tanaman asli (endemik), dari jazirah India, Myanmar, Thailand bagian Barat, Indo Cina, sebagian Jawa, serta beberapa pulau kecil lainnya di Indonesia, seperti Muna dan Buton (Sulawesi Tenggara). Di luar daerah tersebut, jati merupakan tanaman asing atau tanaman eksotik (pendatang). Penyebarannya mulai dari Benua Asia, Afrika, Amerika, dan Australia, bahkan sampai ke Selandia Baru. Di Asia secara alami tanaman jati tersebar di negara-negara Asia Tenggara, Taiwan, India, dan Sri Lanka. Di Australia dan Pasifik, ditemukan di Queensland, Kepulauan Ryuku, Kepulauan Solomon, serta Selandia Baru. Di Afrika, tanaman jati terdapat di Sudan, Kenya, Tanzania, Tanganyika, Uganda, Ghana, Senegal, Nigeria dan beberapa negara di Afrika Barat (Tini dan Amri, 2005).
Masyarakat Indonesia sudah mengenal jati sejak pemerintahan kerajaan Hindu, kemudian mengalami proses naturalisasi di Pulau Jawa dan berkembang sampai ke Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Lampung. Terkesan bahwa jati didatangkan oleh orang Hindu yang merupakan tempat asli asal tanaman jati. Pendapat ini diperkuat oleh seorang ahli botani bernama Charceus yang mengatakan bahwa jati di Pulau Jawa berasal dari India yang dibawa sejak tahun 1500 Sebelum Masehi sampai abad ke 7 Masehi. Walaupun tanaman jati menyebar luas di Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil, namun mayoritas para ahli sepakat bahwa jati bukan tumbuhan asli Indonesia. Kontroversi ini terjawab dari hasil penelitian uji genetik menggunakan isoenzyme dilakukan oleh Kertadikara pada tahun 1994 menunjukkan bahwa jati yang tumbuh di Indonesia (Jawa) merupakan jenis asli. Jati ini telah mengalami adaptasi sesuai dengan keadaan iklim yang berkembang puluhan hingga ratusan ribu tahun sejak zaman quarternary dan pleistocene di Asia Tenggara (Irwanto, 2006).
Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di daerah Alas roban, Rembang, Blora, Grobogan, Randublatung dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dihasilkan dari daerah tanah berkapur Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, sebelum tahun 1978 sangat gersang, saat ini sudah berkembang tanaman campuran jati dan jenis lainnya. Penduduk setempat lebih memilih untuk menanam jati di lahan mereka dengan pertimbangan meningkatkan nilai manfaat, cara tanam yang mudah, dan harga jual kayu yang tinggi. Mereka juga mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
III. KUALITAS KAYU JATI LOKAL DAN JATI CEPAT TUMBUH
Pemanfaatan suatu jenis kayu termasuk jati untuk tujuan tertentu dipengaruhi oleh sifat dasar kayu
tersebut. Kayu jati pada umumnya mempunyai corak dan warna yang coklat alami, tekstur halus, kelas
kuat II dan kelas awet I serta mudah untuk dikerjakan dan di ”finishing”. Kebutuhan kayu jati pada tahun-
tahun mendatang akan semakin besar, sebab kayu dari hutan alam akan semakin terbatas volumenya yang
bisa dieksplorasi. Sementara kayu budidaya lainnya seperti mahoni, pinus dan sengon kualitasnya masih
berada di bawah jati. Sehingga permintaan kayu jati akan tetap lebih baik dibandingkan dengan kayu-kayu
tadi. Akan tetapi karena pertumbuhannya sangat lambat menyebabkan keseimbangan antara penyediaan
kayu jati dan kebutuhan industrinya menjadi tidak seimbang. Dua upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah memperpendek daur dan menanam klon unggulan yang tumbuh lebih
cepat.
A. Diameter Batang dan Struktur Anatomi Kayu
Sumarni et al. (2010) pada jati lokal dan cepat tumbuh umur 5, 7 dan 9 tahun melaporkan bahwa pertumbuhan jati cepat tumbuh lebih baik dari pada jati lokal. Pertumbuhan jati cepat tumbuh lebih seragam, tingkat pertumbuhan per tahun lebih cepat, bentuk batang lebih lurus dan percabangan lebih sedikit. Hadjib et al. (2006) juga menyatakan bahwa pada lokasi dan umur yang sama, diameter batang jati cepat tumbuh cenderung lebih besar dari jati lokal (Tabel 1).
Tabel 1. Diameter Batang Jati Lokal dan Jati Cepat Tumbuh dari Beberapa Lokasi
No. Asal Jenis jati Umur (tahun) Diameter pohon (cm)
1. Maros (Sulsel) Lokal 4 8,4 Cepat tumbuh. 4 10,8
2. Lampung Lokal 4 10,9 Cepat tumbuh. 5 13,7
3. Binjai (Sumut) Lokal 5 14,7
Cepat tumbuh. 5 19,8
4. Parung (Jabar) Lokal - - Cepat tumbuh. 5 19,6
5. Bengkulu Lokal - - Cepat tumbuh. 5 13,1
6. Kutai (Kaltim) Lokal 6 11,5 Cepat tumbuh. 6 12,2
7. Panajam (Kaltim) Lokal 7 10,9 Cepat tumbuh. 7 13,3
8. Lampung tengah Lokal 7 12,6 Cepat tumbuh. 7 14,5
9. Palembang Lokal 7 12,5 Cepat tumbuh. 7 14,8
10. Blora (Jateng) Lokal 9 11,9
Cepat tumbuh. 9 16,9
Sumber: Hadjib et al. (2006)
Permasalahan yang mendasar dari jati cepat tumbuh adalah belum banyak diketahui tentang kualitas kayunya. Brown et al. (1994) menyatakan bahwa berdasarkan pertumbuhan, pohon yang cepat tumbuh akan menghasilkan sel-sel yang lebih pendek sehingga akan mengurangi kualitas kayunya. Sumarni et al. (2009) menyatakan bahwa dimensi serat dan sel pembuluh jati cepat tumbuh lebih panjang dari jati lokal, sedangkan dinding seratnya sedikit lebih tebal dibandingkan dengan jati lokal pada umur yang sama. Pada pertumbuhan yang dipercepat, secara kualitatif tidak terdapat perubahan dalam struktur anatominya baik jati cepat tumbuh maupun jati lokal.
Pada umur muda di dalam sel pembuluh kedua jati tersebut telah ditemukan adanya tilosis, namun tidak ditemukan adanya endapan. Hal ini mengindikasikan telah terbentuknya kayu teras sekunder yang ditandai dengan perubahan warna. Semakin tua umur pohon, dimensi selnya akan bertambah besar, lingkar tumbuhnya lebih jelas dan sebagian pembuluhnya berisi endapan dan tilosis. Perbedaan struktur anatomi jati yang masih muda dengan jati tua dapat dilihat pada Gambar 2.
A. Jati cepat tumbuh umur 7 tahun
B. Jati lokal umur 7 tahun
A
B
C. Jati lokal umur 27 tahun
Penampang lintang
(skala 1 mm)
Penampang lintang
(skala 250 mikron)
Penampang radial
Penampang tangensial
Gambar 2. Struktur Anatomi Kayu Jati
Untuk menilai kualitas kayu jati, juga dilakukan pengukuran kayu teras dalam batang. Jati lokal
maupun jati cepat tumbuh pada umur 5 tahun, sudah menunjukkan terbentuknya kayu teras dari bagian pangkal sampai ke ujung batang meskipun porsinya masih sedikit. Belum ada pustaka yang secara tepat menyebutkan kapan kayu teras pada jati mulai terbentuk. Pandit (2010 dalam Damayanti, 2010) menyatakan bahwa kayu jati mulai membentuk kayu teras sekitar umur 7-9 tahun. Kayu teras terbentuk setelah beberapa tahun pertumbuhan dan berkembang secara perlahan ke arah lebar dan ujung pohon. Kayu teras berwarna coklat muda sampai coklat agak kemerahan dan gambar lingkar tumbuh tampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial. Gambaran inilah yang kelak menimbulkan corak sangat indah sehingga produk dari kayu jati akan menjadi sangat menarik.
Pada umur yang sama, meskipun diameter batang jati cepat tumbuh lebih besar dari jati lokal, akan tetapi porsi kayu teras pada jati lokal cenderung lebih tinggi dari jati cepat tumbuh (Muslich, et al., 2009). Hal ini disebabkan bahwa pohon yang pertumbuhannya dipercepat dalam kondisi lingkungan yang subur, pohon tersebut akan cenderung menunda ketuaan atau menunda terbentuknya kayu teras (Pandit, 2010 dalam Ratih, 2010). Secara fisiologis, kayu teras merupakan penumpukan sel-sel yang telah mati, dan sel-sel tersebut sudah tidak berfungsi. Warna kayu teras lebih tua dari pada kayu gubalnya, dan mempunyai bau yang tajam karena kandungan zat ekstraktif. Bagian kayu teras inilah yang lebih tahan terhadap serangan organisme perusak karena adanya penumpukan zat polyphenol dan pengurangan kadar air di dalam sel (Butterfield, 1993). Supriana (1999) mengatakan bahwa pada bagian teras kayu jati terdapat kelompok quinones yang bersifat anti rayap dan disebut dengan “tectochinon”.
Bagian pangkal batang jati memiliki porsi teras paling tinggi, kemudian menurun ke arah ujung. Keadaan ini terjadi karena kondisi sel kayu pada bagian pangkal lebih tua dibandingkan dengan bagian ujungnya. Pada jati yang masih muda kayu teras berwarna lebih terang, hal ini disebabkan kayu teras yang terbentuk masih merupakan kayu muda/juvenil wood (Wahyudi dan Arifien, 2005). Warna kayu teras yang lebih terang, mengindikasikan kandungan zat ekstraktif masih sedikit seperti pada jati yang masih muda. Dalam hal ini, kayu jati tersebut rentan terhadap organisme perusak. Semakin bertambah umur, persentase kayu teras akan lebih besar, warnanya lebih gelap dan lingkar pertumbuhan tampak lebih jelas (Gambar 3).
Pangkal Tengah Ujung
A
B
C
C
D
20 cm
Gambar 3. Lempengan Jati Memperlihatkan Diameter, Persentase Gubal dan teras A = Jati cepat tumbuh umur 5 tahun; B = Jati lokal umur 5 tahun; C = Jati lokal umur 15 tahun; D = Jati lokal umur 30 tahun
B. Sifat Fisis dan Mekanis
Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis pada jati lokal dan jati cepat tumbuh umur 5, 7 dan 9 yang
dilakukan oleh Hadjib et al. (2006), menunujukkan bahwa jati cepat tumbuh cenderung mempunyai kadar
air basah lebih tinggi, sedangkan berat jenis dan kerapatannya tidak berbeda dengan jati lokal. Penyusutan
kayu pada kedua jati tersebut termasuk lebih rendah dibanding dengan jati yang sudah tua. Pada jati yang
sudah tua dinding selnya bertambah tebal, sehingga potensi kayu untuk mengikat air akan lebih tinggi.
Menurut Brown et al., (1994), pada kayu yang lebih tua telah terjadi penebalan dinding sel dan tylosis yang
bertindak sebagai bulking agent terutama pada penyusutan. Penyusutan kayu yang terjadi pada jati tua
tergolong sedang sampai tinggi, sedangkan penyusutan pada jati yang relatif lebih muda tergolong sedang.
Walaupun demikian rasio penyusutan tangensial terhadap radial pada jati tua lebih rendah dibandingkan
pada jati muda. Hal ini menunjukkan bahwa kayu jati tua lebih stabil dibandingkan degan kayu jati yang
masih muda. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam proses pengeringan harus lebih hati-hati.
Berdasarkan nilai berat jenis yang dihitung dari berat dan volume kering udara serta kekuatannya,
pada umur yang sama jati lokal mempunyai kelas kuat yang sama dengan jati cepat tumbuh. Berat jenis
kayu akan bertambah sesuai dengan meningkatnya umur pohon. Senft et al. (1986) berpendapat bahwa
pada tanaman muda yang banyak mengandung kayu remaja, umumnya memiliki berat jenis, modulus
patah dan modulus elastisitas yang lebih kecil dari pada kayu sejenis dari hutan alam yang umumnya
berumur lebih tua. Perbedaan sifat pada kayu hutan tanaman termasuk jati yang mengandung banyak kayu
remaja, terutama disebabkan oleh perbedaan berat jenis. Menurut Martawijaya et al. (1981), rata-rata nilai
kerapatan kayu jati adalah 0,67. Nilai kerapatan jati lokal dan jati cepat tumbuh jauh lebih rendah, hal ini
disebabkan umurnya masih sangat muda yaitu 5 – 9 tahun.
Haygreen dan Bowyer (1982) mengemukakan bahwa kekuatan kayu berhubungan langsung dengan
nilai berat jenis, semakin tinggi berat jenisnya semakin tinggi nilai keteguhan lentur, keteguhan pukul,
kekerasan sisi dan keteguhan tekannya. Hadjib et al. (2006) yang telah meneliti sifat fisis dan mekanis kayu
jati cepat tumbuh dan jati lokal dari beberapa lokasi penanaman menunjukkan bahwa jati umur 7 tahun
mempunyai berat jenis sekitar 0,49 - 0,60 dan dapat digolongkan dalam kelas kuat IV dan III. Sesuai
peruntukannya kayu kelas kuat III umumnya digunakan untuk konstruksi ringan, seperti mebel dan
kerajinan. Pada jati yang sudah masak tebang sekitar umur 50 tahun, mempunyai berat jenis 0,60 - 0,75
dapat digolongkan ke dalam kelas kuat II (Martawijaya et al. 1981). Sesuai dengan peruntukannya kayu
kelas kuat II digunakan untuk konstruksi bangunan, bantalan kereta api, perahu kayu, kayu pertukangan,
perabot rumah tangga, furniture, ukiran dan sebagainya.
Tabel 3. Berat Jenis dan Kelas Kuat Jati Lokal dan Jati Cepat Tumbuh pada Umur yang Berbeda
No. Asal jati Jenis jati Umur (tahun)
Diameter (cm)
Berat jenis
Kelas kuat
1. Maros (Sulsel)
Lokal 4 8,4 0,49 IV Cepat tbh. 4 10,8 0,56 IV
2. Lampung Lokal 4 10,9 0,56 IV Cepat tbh. 5 13,7 0,56 IV
3. Binjai (Sumut)
Lokal 5 14,7 0,57 IV-III Cepat tbh. 5 19,8 0,56 IV-III
4. Parung (Jabar)
Lokal - - - - Cepat tbh. 5 19,6 0,56 IV-III
5. Bengkulu Lokal - - - - Cepat tbh. 5 13,1 0,57 IV-III
6. Kutai (Kaltim) Lokal 6 11,5 0,59 III Cepat tbh. 6 12,2 0,57 III
7. Panajam (Kaltim)
Lokal 7 10,9 0,59 III Cepat tbh. 7 13,3 0,58 III
8. Lampung tengah
Lokal 7 11,9 0,58 III Cepat tbh. 7 13,5 0,57 III
9. Palembang Lokal 7 12,9 0,57 III Cepat tbh. 7 13,8 0,58 III
10.
Blora (Jateng) Lokal 9 12,9 0,61 III Cepat tbh. 9 16,9 0,59 III
Sumber : Hadjib, 2006
Keterangan : tbh = tumbuh
C. Sifat Pemesinan
Salah satu karakteristik yang penting dalam pengolahan kayu adalah kemudahan untuk dikerjakan
dengan mesin ataupun alat tangan. Martawijaya et al. (1981) menyatakan bahwa kayu jati mudah dikerjakan
sampai halus, baik dengan mesin maupun dengan alat tangan. Pada jati lokal dan jati cepat tumbuh yang
masih berumur muda menunjukkan adanya cacat dominan berupa bulu halus (fuzzy grain), serat patah, dan
bekas garukan. Sifat pemesinan pada jati cepat tumbuh dan jati Konvensional /lokal yang berumur 5, 7
dan 9 tahun secara umum mudah dikerjakan, mempunyai kualitas sifat pemesinan kelas II sampai kelas I
(baik sampai sangat baik). Jati lokal dan jati cepat tumbuh umur 5, 7 dan 9 tahun berada dalam satu kelas,
dengan bertambah umur pohon, cenderung kualitas pemesinan kedua jenis jati tersebut semakin baik
(Tabel 2).
Tabel 4. Sifat Pemesinan Jati Lokal dan Jati Cepat Tumbuh Umur 5, 7 dan 9 Tahun
No. Pengerjaan Jenis
jati
Bebas cacat (%) Mutu Kelas
5 th. 7 th. 9 th. 5 th. 7 th. 9 th. 5 th. 7 th. 9 th.
1. Penyerutan
Lokal 71,7 65,0 87,5 Baik Baik S.B II II I
C.tbh. 65,0 65,0 87,0 Baik Baik S.B II II I
2. Pembentukan
Lokal 76,7 87,0 90,4 Baik S.B. S.B II I I
C.tbh. 82,5 82,0 89,4 S.B. S.B. S.B I I I
3. Pengampelasan Lokal 81,7 83,0 85.6 S.B. S.B. S.B I I I
C.tbh. 77,5 82,5 88,3 Baik S.B. S.B II I I
4. Pemboran Lokal 63,3 69,2 83,9 Baik Baik S.B II II I
C.tbh. 62,5 63,3 78,0 Baik Baik Baik II II II
5. Pembubutan Lokal 78,8 82,0 90,1 Baik S. B. S.B II I I
C.tbh. 73,1 62,5 87,4 Baik Baik S.B II II I
Sumber: Sumarni et al. (2006)
Keterangan: C.tbh = cepat tumbuh; S.B. = sangat baik
Berdasarkan sifat pemesinan tersebut di atas, terlihat bahwa jati yang masih muda umur 7 tahun
sudah dapat digunakan untuk berbagai bahan baku produk, seperti lumber sharing, finger joint laminated board
(FJLB), flooring, bubutan, kursi taman, jelusi, barang kerajinan dan lain sebagainya.
D. Sifat Keawetan
Kualitas suatu jenis kayu untuk keperluan tertentu sangat ditentukan oleh nilai keawetannya.
Bagaimanapun kuatnya kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila keawetannya rendah. Sumarni et al.
(2009) menguji secara laboratoris keawetan kayu jati lokal dan jati cepat tumbuh umur 5, 7 dan 9 tahun.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa semuanya mempunyai kelas awet yang rendah (Tabel 3). Kayu jati
berumur muda umumya tidak awet, oleh karena itu perlu dilakukan pengawetan dengan bahan pengawet
dan metode pengawetan yang sesuai.
Martawijaya (1996) mengadakan pengujian keawetan jati di lapangan dengan metode kuburan
(graveyard test), hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh uji dengan umur yang berlainan memiliki
keawetan yang berbeda. Jati yang berumur 75 tahun, ternyata masih memiliki kelas awet II. Da Costa et al.
(1985) menyatakan bahwa keawetan alami mempunyai korelasi positif terhadap umur pohon dan korelasi
negatif terhadap kecepatan tumbuh. Keawetan kayu dipengaruhi oleh kandungan zat ekstraktif, umur
pohon, bagian kayu dalam batang (gubal dan teras) kecepatan tumbuh dan lain-lainnya.
Tabel 5. Kelas Awet Jati Lokal dan Jati Cepat Tumbuh pada Berbagai Umur Terhadap Rayap Tanah dan Rayap Kayu Kering
No. Asal Jenis jati Umur (tahun)
Kelas awet terhadap
Bubuk KK Rayap KK Rayap Tanah
1. Maros (Sulsel)
Lokal 4 V V V Cepat tbh. 4 V V V
2. Lampung Lokal 4 V V V Cepat tbh. 5 V V V
3. Binjai (Sumut)
Lokal 5 V V V Cepat tbh. 5 V V V
4. Parung (Jabar)
Lokal - - - - Cepat tbh. 5 V V V
5. Bengkulu Lokal - - - - Cepat tbh. 5 V V V
6. Kutai (Kaltim)
Lokal 6 V V V Cepat tbh. 6 V V V
7. Panajam (Kaltim)
Lokal 7 V IV III Cepat tbh. 7 V IV III
8. Lampung tengah
Lokal 7 V IV III
Cepat tbh. 7 V IV III
9. Palembang
Lokal 7 V IV III
Cepat tbh. 7 V IV III
10. Blora (Jateng)
Lokal 9 V IV III
Cepat tbh. 9 V IV III
Sumber : Sumarni et al., 2009
Keterangn: tbh = tumbuh; KK = kayu kering
Pengujian keawetan kayu jati yang dilakukan di laboratorium maupun di lapangan menunjukkan
bahwa dengan bertambahnya umur pohon, kelas awetnya cenderung meningkat. Hasil penelitian di
laboratorium pada jati umur 15 tahun tergolong kelas awet III (terhadap rayap kayu kering) dan kelas awet
I (terhadap rayap tanah). Sedangkan pada pengujian di lapangan jati yang berumur 59 tahun masih
termasuk kelas awet III. Hal ini disebabkan metode dan perlakuan yang dipakai pada kedua pengujian
tersebut berbeda.
IV. PENUTUP
Jati cepat tumbuh memiliki laju pertumbuhan lebih cepat, diameter batang lebih besar, dan
pertumbuhan lebih seragam dibandingkan jati lokal. Meskipun jati cepat tumbuh mempunyai diameter
batang yang lebih besar, akan tetapi persentase kayu terasnya lebih kecil dari jati lokal. Jati cepat tumbuh
dan jati lokal pada umur muda mempunyai karakteristik yang sama. Sesuai sifatnya, maka dapat digunakan
untuk konstruksi ringan, seperti lumber sharing, finger joint laminated board (FJLB), flooring, kayu bentukan
(moulding), mebel, jalusi, barang kerajinan dan lain sebagainya. Disarankan dalam penggunaannya harus
diawetkan karena mempunyai kelas awet rendah.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kelebihan jati super dan lain-lain tersebut terhadap jati lokal bukan pada umur panennya, melainkan pada jenis kayu yang dihasilkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Butterfield, B.G. 1993. The Structure of Wood: an Overview. Chapter dalam J.C.F. Walke (Ed.) Primary Wood Processing, Principles and Practice. Chapman and Hall. Melbourne.
Brown, H.P., A.J. Panshin, and CC.Forsaith. 1994. Textbook of Wood Technology Vol. 1 McGraw-Hill Book Company Inc. 4 th Edition. New York.
Da Costa, E.W.B., Rudman, P. and F.J. Gay, 1985. Investigation on the Durability of Tectona grandis. Empire Forestry Review, Vol 37: 291-298. Canada.
Damayanti, R. 2010. Struktur Makro, Mikro dan Ultramikroskopik Kayu Jati Unggul Nusantara dan Kayu Jati Konvensional. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Hadjib, N. , Muslich, M dan G. Sumarni. 2006. Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Jati Super dan Local dari Beberapa Daerah Penanaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(4):359-369. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Harris, J.M. 1986. Effect of Rapid Growth on Wood Processing. Proceedings 17th IUFRO World Congress, Division 5 Forest Products, Kyoto.
Irwanto. 2006. Usaha Pengembangan Jati (Tecktona grandis L.f.). Wibeside http://www.irwantoshut.com. Diakses tanggal 25 Maret 2009.
Martawijaya, A. 1965. Keawetan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Diskusi Hutan Tanaman Industri. P3HH, Bogor.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, dan S.A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan Bogor.
Martawijaya, A. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Martawijaya, A. and G. Sumarni. 1980. Resistance of a Number of Indonesian Wood Species Against Criptotermes Cynocephalus Light. Laporan No. 129, LPHH, Bogor.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, dan S.A. Prawira. 1981. Atlas kayu Indonesia. Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan Bogor.
Muslich, M., G. Sumarni, N. Hadjib dan K.Yuniarti. 2009. Penelitian Wood Properties Jati Cepat Tumbuh. Laporan Hasil Penelitian P3HH. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Senft, J.F., M.J. Quanci, dan B.A. Bendtsen. 1986. Property profile of 60-year old Douglas-fir. Proc. of a Cooperative Technical Workshop of Juvenile Wood. Forest Product Research Society, Madison, USA. Pp 17 – 28.
Sumarni, G. dan M. Muslich. 2008. Kelas Awet Jati Cepat Tumbuh dan Jati Konvensional pada Berbagai Umur Pohon. Junal Penelitian Hasil Hutan 26(4):342-351. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Sumarni, G., M. Muslich dan K. Yuniarti. 2009. Karakteristik Jati Lokal dan Jati Cepat Tumbuh. Buletin Hasil Hutan 15(2): 139-150. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Supriana, N.1999. Rayap dan kayu. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan, Oktober 1999. Jakarta.
Tini, N dan K. Amri. 2002. Mengebunkan Jati Unggul: Pilihan Investasi Prospektif. Agro Media Pustaka. Depok.
Wahyudi, I. dan A.F. Arifien. 2005. Perbandingan Struktur Anatomis, Sifat Fisis dan Sifat Mekanis Kayu Jati Unggul dan Kayu Jati Konvensional. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. 3(2):53-59. Bogor.
PENYEMPURNAAN SIFAT KAYU JATI MUDA UNTUK
MENINGKATKAN NILAI JUAL
Oleh:
Barly
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik penyempurnakan sifat keawetan dan fisis kayu jati muda
dengan menggunakan bahan pengawet. Hasil pengujian menunjukkan kayu jati hasil kultur jaringan lebih mudah
menyerap larutan pengawet dibandingkan dengan jati konvensional. Bahan pengawet yang digunakan sangat efektif
mencegah serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan rayap kayu kering Cryptotemes cynocephalus
Light, yang ditunjukkan oleh tingkat mortalitas rayap 100% dan derajat serangan 90-100. Linseed oil (LO), minyak
nyamplung (Mny), – kepuh (MKp) dan gliserol (Gly) dapat meningkatkan stabilitas dimensi ditunjukkan oleh nilai anti
shrinkage efficiency (ASE) masing-masing secara berurut, yaitu 93,10%, 89,64% ,82,86%, 62,61% lebih tinggi dari
PEG 1000 (52,52%). Penggunaan LO pada kayu jati muda selain dapat meningkatkan stabilitas juga dapat mengubah
warna dari putih menjadi kuning-kecoklatan dengan gambar yang tegas, sehingga dapat meningkatkan nilai jual.
Kata kunci: Kayu jati muda, cepat tumbuh, keterawetan, stabilitas dimensi, warna
I. PENDAHULUAN
Kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu di dunia termasuk di Indonesia menyebabkan
harga kayu meningkat. Kenaikan harga kayu jati (Tectona grandis L.f.) rata-rata per tahun meningkat sebesar
8,3%. Bahkan harga log jati kualitas prima dapat mencapai 15% (Padnamabha, 2006). Untuk menjamin
pasokan kayu jati dalam jumlah cukup secara berkesinambungan dengan kualitas sesuai dengan kebutuhan
industri hanya dapat dilakukan melalui pembangunan hutan tanaman baru termasuk hutan rakyat. Jati
hasil kultur jaringan (HKJ) yang beredar saat ini diperjual-belikan dengan nama dagang berbeda, yaitu jati
super, - unggul, - kencana, - emas, plus Perhutani, dan unggul Lamongan (Irwanto, 2006).
Tujuan pengembangan jenis unggul adalah untuk menghasilkan riap tinggi pada daur pendek yaitu
antara 10-25 tahun dengan riap tahunan antara 12 -21 m3 per hektar per tahun (Padnamabha, 2006).
Pertanyaan sekarang, seberapa jauh varietas di atas dapat menghasilkan kayu yang sifat dan kualitasnya
memenuhi persyaratan sebagai lazimnya kayu jati? Brazier (1986) dalam Martawijaya (1989),
mengemukakan bahwa pohon dengan pertumbuhan yang cepat dan berumur lebih muda cenderung
menghasilkan kayu yang mengandung banyak mata, ringan, tekstur lebih kasar, arah serat tidak teratur dan
banyak mengandung kayu remaja. Hal tersebut juga berlaku pada kayu jati cepat tumbuh sehingga kualitas
dan sifatnya akan berbeda dengan kayu jati yang selama ini sudah dikenal, yaitu awet, stabil, mudah
dikerjakan serta memiliki corak, gambar dan warna yang indah (Anonim, 2010). Sampai saat ini, sifat kayu
jati cepat tumbuh belum banyak diketahui, tetapi yang tampak jelas adalah kayu gubal, berwarna pucat
atau putih-kekuningan. Perubahan sifat tersebut dapat berpengaruh terhadap kegunaan kayu karena setiap
produk memiliki persyaratan kualitas yang berbeda (Karnasudirdja & Kadir,1989). Salah satu sifat dasar
kayu yang banyak berhubungan dengan pengerjaan atau pertukangan kayu adalah sifat fisis, seperti
kerapatan atau berat jenis (BJ), kadar air, kembang-susut atau stabilisas dimensi, penampakan gambar dan
warna (Sadiyo et al. 2003).
Dari persyaratan kegunaan kayu pertukangan, faktor BJ kayu memegang peranan penting. Sebab
kekuatan kayu akan meningkat dengan betambahnya BJ. Sementara sifat kembang susut dipengaruhi BJ,
meskipun hubungannya tidak linear seperti hubungannya dengan kekuatan (Karnasudirdja & Kadir,
1989). Pada umumnya hampir semua penggunaan kayu memerlukan persyaratan kekuatan (Dumanau,
1982). Namun demikan, kuat saja belum cukup karena nilai suatu jenis kayu untuk keperluan bangunan
misalnya sangat ditentukan oleh keawetannya (Martawijaya, 1996). Untuk kayu pertukangan gambar
merupakan sifat yang diutamakan dan hampir semua kayu mempunyai gambar walaupun ada yang
kelihatan samar. Gambar yang dimaksud adalah sifat khas pada kayu baik yang ditimbulkan oleh adanya
lingkaran tumbuh, pita parenkim atau oleh penyebaran warna yang tidak merata (Mandang, 1996).Tulisan
ini menguraikan hasil percobaan laboratorium sebagai upaya memperbaiki sifat fisis dan keawetan kayu
jati berumur muda agar kualitasnya meningkat dan optimal dalam penggunaannya sebagai kayu
pertukangan.
II. DASAR TEORI
Pengawetan kayu, suatu proses memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu dengan tujuan
meningkatkan daya tahan kayu terhadap faktor penyebab kerusakan terutama oleh organisme biologis
perusak kayu (Wilkinson, 1979). Mengacu pada penggunaan bahan kimia organik atau anorganik
(Anonim, 1994) tunggal atau campuran yang dapat mencegah kerusakan kayu yang disebabkan oleh salah
satu atau kombinasi antara: pelapukan (decay), serangga (termite), binatang laut (marine borer), api (fire), cuaca
(weathering), penyerapan air dan reaksi kimia (Anonim, 1976). Berdasarkan bahan aktifnya, bahan pengawet
kayu dikelompokkan kedalam bahan berupa minyak, larut dalam air dan larut dalam pelarut organik (Hunt
& Garrat, 1986).
Bahan pengawet pelarut organik dan bahan berupa minyak lazim dipakai pada keadaan kayu kering.
Sedangkan bahan pengawet pelarut air dapat digunakan pada keadaan kayu kering atau basah. Bahan
tersebut dimasukkan ke dalam kayu dengan cara sederhana, seperti pelaburan, penyemprotan, pencelupan,
perendaman, difusi atau dengan cara vakum-tekan (Anonim, 1994). Kriteria yang digunakan untuk
mengukur hasil pengawetan kayu adalah: retensi, yaitu banyaknya bahan pengawet yang diserap dan
tinggal dalam kayu (kg/m3) dan penetrasi yaitu dalamnya penembusan (% atau mm). Retensi dan penetrasi
tersebut bergantung pada sifat keterawetan kayu itu sendiri, yang dipengaruhi paling sedikit oleh empat
faktor, yaitu jenis dan kondisi kayu pada saat diawetkan, teknik pengawetan dan bahan pengawet yang
digunakan (Martawijaya & Barly, 1982). Pemilihan teknik dan bahan pengawet yang digunakan bergantung
pada umur layanan yang dibutuhkan, seperti di mana kayu itu akan dipakai setelah diawetkan, mahluk
perusak kayu apa yang terdapat di tempat tersebut dan syarat kesehatan yang perlu diperhatikan
(Abdurrochim, 2008). Salah satu sifat fisis kayu yang penting adalah kembang-susut yang disebabkan oleh
sifat higroskopik kayu untuk mencapai keseimbang kadar air dengan lelembaban udara disekitarnya.
Pada kayu basah, penguapan air atau pengeringan yang berjalan cepat dan tidak terkendali dapat
mengakibatkan penyusutan yang tidak merata, sehingga akhirnya pecah atau retak. Terjadinya pecah dan
retak tidak hanya pada kayu ringan atau kayu muda, tetapi dapat juga terjadi pada kayu berat. Pencegahan
pecah-retak dapat dilakukan dengan pemberian bahan stabilitas dimensi kayu. Stamm (1964) dalam
Nicholas (1973) mengklasifikasikan metode stabiliasasi dimensi kayu ke dalam lima cara, yaitu pelapisan,
penghalang kelembaban, pengisian (bulking), inaktivasi gugus higroskopik, dan pembentukan ikatan silang.
Salah satu cara sederhana yang dapat memberi hasil baik untuk mencegah pecah dan retak adalah dengan
merendam kayu di dalam larutan polyethylene glycol PEG) 1000. Bahan tersebut lunak seperti lilin, tidak
berbau dan tidak berwarna, tetapi mempunyai sifat sedikit higroskopis.
III. BAHAN DAN METODE
A. Bahan Kayu
Kayu yang digunakan sebagai media pengujian adalah jenis jati hasil kultur jaringan (HKJ) dan
konvensional (K), umur muda sekitar 7-9 tahun, berasal dari Lampung dan Kalimantan Timur. Dolok
digergaji dibuat papan, disimpan di tempat terbuka di bawah atap sampai mencapai kadar air kering udara.
Pemilihan papan untuk pembuatan contoh uji dilakukan secara sembarang. Contoh uji dibuat dalam
ukuran 50 mm x 25 mm x 20 mm untuk pengujian rayap kayu kering (RKK), 25 mm x 25 mm x 5 mm
untuk pengujian rayap tanah (RT) dan 75 mm x 50 mm x 20 mm untuk pengujian stabilitas dimensi.
B. Bahan Kimia
Bahan pengawet yang digunakan untuk maksud tersebut adalah hasil formulasi dengan komposisi
campuran seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Formula Bahan Pengawet (dalam % berat/berat)
Bahan aktif Formula bahan pengawet tipe
A B C D E
ZnCl2 81,5 75 - 35 16,66
Na2Cr2O7 18,5 5 - 5 -
(NH4)2SO4 - 10 58,06 35 40
H3 BO3 - 10 19,35 25 20
DAP - - 12,90 - 13,33
Boraks - - 9,67 - 10
Di samping bahan pengawet tipe CCB komersial dan linseed oil, minyak nyamplung, minyak kepuh,
polyethylen glycol (PEG) 1000, parafin cair, dan glyserol juga digunakan untuk pengujian sifat fisis, yaitu
kerapatan dan stabilitas dimensi.
C. Pengujian
Bahan pengawet hasil peramuan tersebut pada Tabel 1, masing–masing dibuat larutan dalam air dengan konsentrasi 3,0%; 2,1%; 6,0%; 5,7%; 5,7% dan 5,5%. Pengawetan dilakukan pada suhu kamar menggunakan proses vakum-tekan dengan bagan: vakum awal pada 500 mm Hg selama 15 menit, tekanan hidraulis pada 10 atm selama 30 menit, dan vakum akhir pada 500 mm Hg selama 15 menit. Absorpsi dan BJ larutan digunakan untuk menetapkan retensi bahan pengawet dalam kayu, dinyatakan dalam kg/m3 dengan memakai rumus berikut:
R= (A x K x BJ) V
dimana: A = larutan yang diabsorpsi (kg)
R = target retensi (kg/m3)
V = volume kayu yang diawetkan (m3)
K = konsentrasi larutan bahan pengawet (% b/v)
Contoh uji yang sudah diawetkan selanjutnya diangin-anginkan dalam ruangan sampai mencapai
kadar air kering udara. Pengujian efikasi dilakukan terhadap rayap kayu kering (RKK),rayap tanah (RT)
dan jamur dengan menggunakan prosedur Martawijaya (1994).
Pengujian sifat fisis antara lain kerapatan, penyusutan volume,dan stabilitas dimensi menggunakan
contoh kayu berukuran 75 mm x 50 mm x 20 mm. Contoh uji direndam selama enam hari, kemudian
diangkat, dituskan, ditimbang dan diukur kembali untuk menentukan berat dan volume basah. Selanjutnya
dikeringkan selama 8 minggu dalam ruangan terbuka di bawah atap, dikeringkan dalam oven pada suhu
500C selama 3 hari, ditimbang dan diukur kembali untuk mengatahui berat dan volume kering udara.
Angka penimbangan berat sebelum dan sesudah direndam dipergunakan untuk menghitung banyaknya
larutan bahan pengawet yang diserap (b/b). Penyusutan kayu dihitung menggunakan rumus berikut:
% Penyusutan volume = (volume basah – volume kering)/ volume basah x 100%
ASE ditetapkan dengan menggunakan rumus berikut (Nicholas,1973):
ASE (%) = (SC-ST): SC x 100
di mana: ST = penyusutan atau pengembangan kayu yang diawetkan, dalam %,
SC = penyusutan atau pengembangan kayu yang tidak diawetkan, dalam %
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat Keterawetan
Hasil perhitungan retensi bahan pengawet yang diperoleh pada masing-masing ukuran kayu dan
varitas jati yang dicoba dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan yang sama
dan menggunakan ukuran contoh serta bahan pengawet berbeda, jati hasil kultur jaringan dapat
menghasilkan retensi lebih besar dibandingkan dengan pada jati konvensional .
Hal tersebut menunjukkan bahwa jati hasil kultur jaringan lebih mudah menyerap bahan pengawet
atau mudah diawetkan. Dengan menggunakan cara pengawetan yang sama dan dengan bahan pengawet
berbeda dapat dibuat bagan pengawetan agar hasilnya sesuai standar (Anonim, 1999).
Tabel 2. Retensi Bahan Pengawet pada Contoh Uji Berbeda
Ukuran
kayu, mm Jati Retensi (kg/m3) bahan pengawet tipe
CCB A B C D E
50 x 25 x 20 HTJ 11,29 07,82 25,10 20,12 18,13 22,41
K 08,98 07,21 17,75 15,66 12,41 11,57
25 x 25 x 5 HTJ 12,73 09,44 25,72 20,86 23,43 19,49
K 08.07 06,40 16,36 14,96 16,51 16,65
75 x 50 x 20 HTJ 10,41 06,82 17,68 19,47 16,17 19,80
K 05,59 03,23 06,20 07,13 04,75 05,49
B. Sifat Keawetan
Hasil pengujian terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus) dan rayap kayu kering (Crytotermes
cynochephallus) bahan pengawet tersebut di atas dapat meningkatkan kelas awet kayu dari kelas V menjadi
kelas I seperti dapat dilihat pada Tabel 3 . Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa daya tahan kedua jati yang
dicoba terhadap rayap tanah dan rayap kayu kering sangat rendah, yaitu kelas awet V.
Tabel 3. Mortalitas dan Derajat Serangan Rayap Tanah serta Rayap Kayu Kering
Pengawet Kayu
Rayap tanah Rayap kayu kering
Kelas awet Mortalitas
(%)
Derajat
Serangan
Mortalitas
(%)
Derajat
Serangan
Kontrol K 7,6 70 21,5 70
HTJ 16,4 40 34,1 70 V
CCB K 100 90 100 90
HTJ 100 92 100 100 I
A K 100 94 100 94
HTJ 100 90 100 100 I
B K 100 90 100 90
HTJ 100 90 100 90 I
C K 100 92 100 92
HTJ 100 90 100 90 I
D K 100 90 100 90
HTJ 100 92 100 92 I
E K 100 96 100 92
HTJ 100 90 100 90 I
Dengan pengawetan meningkat menjadi sangat awet atau kelas awet I melebihi keawetan alami
kayu jati, yaitu kelas awet II (Martawijaya et al., 1981)
3. Sifat Fisis
Stabilitas dimensi pada prinsipnya adalah mengurangi penyusutan (shrinkage) sebanyak mungkin,
karena penyusutan itu yang menyebabkan terjadinya pecah dan retak. Oleh karena itu keberhasilan usaha
stabilasi dimensi dapat dilihat dari berapa besar nilai persentase penyusutan, yaitu yang lazim dikenal
dengan anti shrinkage effisiensi (ASE).
Makin tinggi nilai %ASE menunjukkan kemampuan bahan tersebut untuk mencegah penyusutan
atau sebagai bahan stabilis kayu makin baik. Belum ada bahan stabilisasi kayu sepenuhnya (ASE 100%),
karena molekul air lebih kecil dari molekul bahan yang digunakan (Nicholas, 1973).
PEG 1000 adalah salah satu bahan yang banyak dianjurkan untuk mencegah terjadinya pecah dan
retak, penggunaannya sederhana, yaitu kayu direndam dalam larutan 30-40% selama beberapa hari.
Dengan cara tersebut akan diperoleh hasil baik jika kayu masih basah. Hasil pengujian kerapatan,
penyusutan dan stabilitas dimensi kayu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Peningkatan Kerapatan(%), Penyusutan(%) Kayu Jati HTJ dan ASE (%)
Bahan Kerapatan
Awal (g/cm3)
Kerapatan Kering
(g/cm3)
(Peningkatan,%)
Absorbsi
bahan kimia
%b/b)
Penyusutan
(%)
ASE
(%)
Air 0,4614 0,4573
(-0,88)
56,44 6,52 0
LO 0,4609 0,4987
(8,20)
9,26 0,45 93,10
Mny 0,4524 0,5000
(10,52)
9,95 0,67 89,64
MKp 0,4845 0,4930
(1,76)
5,69 1,11 82,86
PEG 0,6251 0,6285
(0,54)
5,76 3,64 52,52
CPO 0,5927 0,5950
(0,39)
3,90 4,18 45,47
P 0,5981 0,5697
(-4,74)
4,32 4,35 43,24
Gly 0,6104 0,6188
(1,36)
2,09 2,86 62,61
Dari Tabel 4, diketahui bahan LO, Mny, MKp, PEG, P dan Gy dapat meningkatkan kerapatan
kayu dan dengan absorpsi sedikit dapat menunjukkan nilai ASE tinggi, yaitu 96,99%, 89,64%, 82,64%,
52,52%, 45,47%dan 62,61% di atas nilai PEG 1000 (52,52%) yang sudah dikenal sebagai bahan stabilitas
kayu yang baik (Richardson 1978), kecuali CPO, yaitu 43,24% .
Persentase kenaikan kerapatan tertinggi dihasilkan oleh perlakuan dengan LO (8,20%), sementara
perlakuan dengan P justru terjadi penurunan kerapatan (-4,74%). Namun demikian nilai kerapatan yang
dihasilkan belum mencapai kerapatan jati (Tectona grandis, L.f.) yang sesungguhnya, yaitu 0,67 g/cm3
(Martawijaya et al.,1981) karena jumlah bahan yang diserap relatif sedikit. Peningkatan kerapatan
mengindikasikan ada bahan yang masuk ke dalam kayu dan terikat sehingga kayu bertambah padat dan
berat. LO dikelompokkan sebagai bahan pengawet berupa minyak (Anonim, 2010) dan lazim dipakai
dalam pembuatan cat minyak. Kayu yang diberi perlakuan LO permukaannya menjadi keras tetapi tidak
rapuh, terbukti mampu mencegah perubahan bentuk, tahan terhadap goresan, mudah direparasi kembali
dan warna kayu dapat berubah dari kuning sampai gelap dengan bertambahnya umur (Anonim, 2010).
Sementara itu, MNy dan MKp seperti halnya LO adalah campuran triglesrida meskipun kandungan asam
lemak yang berbeda. Ketiganya diharapkan dapat dipakai untuk mencegah perubahan bentuk pada kayu
jati muda, sementara sifat efikasinya terhadap OPK perlu dilakukan pengujian.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa perlakuan pengawetan dapat meningkatkan
kelas keawetan kayu jati umur muda sama bahkan melebihi kelas awet jati yang sudah lazim dikenal, yaitu
kelas awet II. Penambahan bahan stabilitas yang cukup dapat memperbaiki sifat fisis kayu, seperti
kerapatan dan stabilitas. Dengan demikian kayu jati muda berpotensi untuk menggantikan peran kayu
pertukangan. Linseed oil karena memiliki sifat baik dapat dianjurkan untuk digunakan. Hal tersebut
diharapkan dapat meningkatkan harga jual dan untuk meningkatkan sifat efikasinya perlu dilakukan
penelitian. Penelitian formulasi dan ekstraksi limbah serbuk gergaji kayu jati konvensional perlu dilakukan
karena kayu jati mengandung tectochinon dan resin yang diharapkan dapat dipakai sebagai bahan substitusi
pengawet dan stabilitas dimensi kayu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrochim, S. 2008. Penggunaan Bahan Pengawet Kayu di Indonesia. Buletin Hasil Hutan 14(2): 107-
115.
Anonim. 1994. Environmental Aspects of Industrial Wood Preservation. A Technical Guide. Technical
Report Series No.20. UNEPIE/PAC. Paris.
Anonim. 1976.Glossary of Terms in Wood Preservation. American Wood Preserver’s Association
Standard. P.19. NewYork-Washington.
Anonim. 2010. Myanmar Teak Log Characteristics, Quality, Drurability, Stability, Workability. IS
Myanmar Inter Safe Co.,Ltd. http://www. Myanmarewood.com/teaklog-character.shtml diunduh
3/18/2010
Anonim. 2010. Wood Preservation.http://en.Wikipedia.org/wiki/wood_preservation. Diunduh
7/13/2010 1:22 pm
Anonim. 2010. Linseed oil. http://en.wikipedia.org/wiki/Linseed oil. Diunduh 7/13/2010 11:42 am.
Dumanau,J.F. 1982. Mengenal Kayu. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.
Irwanto, 2006. Usaha pengembangan jati (Tectona grandis L.f.). http://www.irwantoshut.com
Karnasudirdja, S. dan Kosasi Kadir. 1989.Suatu Kajian Mengenai Kegunaan Jenis Kayu HTI untuk
Pertukangan. Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI. Jakarta 23 Maret, p.:117-126.
Badan Litbang Kehutanan.
Mandang, Y.I. 1996. Jenis-Jenis Kayu untuk Bahan Patung dan Ukiran. Makalah Diskusi Pemasyarakatan
Hasil Penelitian. Denpasar, 18 Desember. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan
Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor. 15p.
Martawijaya , A.,I. Kartasujana, K. Kadir,S.A.Prawira.1981. Altas Kayu Indonesia.Jilid I. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Martawijaya , A. dan Barly. 1982. Resistensi Kayu Indonesia terhadap Impregnasi dengan Bahan
Pengawet CCA. Pengumuman No.5. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Martawijaya, A. 1989. Keawetan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Prosiding
Diskusi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI. Jakarta 23 Maret, p.:280-288. Badan Litbang
Kehutanan.
Nicholas,D.D. (Editor) 1973. Kemunduran Kayu dan Pencegahannya Dengan Perlakuan-Perlakuan
Pengawetan. Penerjemah Haryanto Yoedodibroto. Airlangga University Press. Yogyakarta. 590 hal.
Padnambha, H.S.A. 2006. Product Disclosure Statement-Rewards Group Teak Project 2006 ARSN
111936 ”International Teak Market Report. March, 22.2006
Richardson, B.A. 1978. Wood Preservation. The Construction Press. Lancaster-London-New York.
Sadiyo, S., Suryono Suryokusumo dan Naresworo Nugroho. 2003. Kayu sebagai Bahan Bangunan. Sifat
Fisik, Kekuatan dan Keawetannya. Makalah pada Pelatihan Pertukangan. Bogor 12 Juli. LPPM-
UIKA. 8 hal.
B. Diskusi
Tanya/Saran:
1. Daryono: apakah ada dampak dari pengawetan kayu dan adakah teknik pewarnaan untuk jati? 2. Bambang: untuk Pak Barly, jika membandingkan antara LO dan minyak nyamplung, bagaimana
info biayanya? Langkah-langkah praktisnya bagaimana? Percobaan yang dilakukan Pak Barly berupa papan, bagaimana kalau diaplikasikan pada barang setengah jadi?
3. Dede Rohadi: Untuk Pak Margono, industri besar dan kecil saling memakan, siapakah yang besar dan kecil, apa yang menjadi dasar sehingga mereka tidak kooperatif? Berapa besar komponen bahan baku dalam industri kecil?
4. Efrida: Jepara kasihan sekali. Pengrajin-pengrajin kita yang terkenal dibawa keluar negeri dan diambil ilmunya, sehingga Negara luar yang diuntungkan. Kita harus merubah sistem, industri kecil harus dibantu dengan pembinaan. Litbang harus memiliki dana untuk pengembangan, sehingga hasil-hasil litbang yang bisa diimplementasikan dapat membina pengusaha kecil.
5. Indah sulistyawati: ada perusahaan datang sebagai investor untuk menanam jati cepat tumbuh. Dalam jangka waktu 5 tahun, dapat mencapai diameter 30 cm dan menyamai jati lokal. Ini namanya penipuan. Untuk Bu Nurwati: Jati cepat tumbuh umur 9 tahun kelas kuatnya masih III sehingga kurang bisa bersaing dengan kayu HTI lainnya seperti acacia.
6. Ratih: masalah istilah, jati lokal disebut jati normal, jati asli, secara ilmiah tidak bisa dibenarkan. Sebaiknya jati yang dikembangkan dari biji disebut jati konvensional. Untuk Bu Nurwati, dalam meneliti jati-jati muda harus disebutkan nama produsennya karena kualitas jati muda sangat berbeda satu sama lain, tampak dari sifat ultrastrukturnya. Apakah litbang dapat mewadahi penelitian yang mencakup semua jati unggul yang ada di Indonesia, karena kita tidak dapat memandang remeh usaha pengembangan jati cepat tumbuh.
7. Han Roliadi: masukan untuk aspek teknis yaitu kimia kayu, pertanyaan ditujukan untuk Pak Barly dan Bu Nurwati. Jati muda memang inferior, tapi banyak juga kelebihannya. Kayu jati yang sudah tua kadar abu, ekstraktif dan kadar silica-nya tinggi sehingga cepat menumpulkan alat. Sedangkan jati muda tidak mudah terbakar, kadar kadar abu, ekstraktif dan kadar silica-nya rendah, sehingga dalam pengolahan, alat tidak cepat tumpul. Untuk pengawetan, bahan pengawet bersifat elektrolit larut air, sehingga dapat mempercepat pengkaratan. Bisa menggunakan oli bekas.
8. Medi (Biomaterial Lipi): kami meneliti tentang densifikasi kayu. Kayu-kayu yang sifat mekaniknya rendah ditingkatkan, seperti merubah sifat kayu randu menjadi seperti kayu meranti. Kayu muda bisa dirubah menjadi kayu tua. Kami sudah membuat suatu mesin komersial untuk meningkatkan sifat mekanik kayu, tetapi bingung untuk menggarap kayu apa dulu. Untuk Pak Barly, jika keawetan kayu meningkat menjadi kelas I, apakah sudah diteliti aspek ekonominya? Harga jual kayu menjadi berapa? Apakah bisa diterapkan untuk teman-teman di Jepara? Yang dibutuhkan adalah data-data ekonomi dari variable-variabel tersebut.
9. Ali Mutajo (Penyuluh Kehutanan): Saya tertarik dengan kayu jati cepat tumbuh. Biasanya, jati unggul memerlukan perawatan dengan biaya tinggi. Bagaimana dengan kemampuan petani kita? Untuk program penanaman, tidak sama dengan program KB. Tidak semua propinsi di Indonesia cocok ditanami jenis-jenis tertentu, kalau jati mau diprogramkan untuk ditanam, Badan litbang juga harus menambahkan dengan informasi kesesuaian lahannya. Penyuluh-penyuluh yang di kabupaten sangat kekurangan materi penyuluhan, sehingga dalam seminar-seminar diharapkan persatuan penyuluh (IPKINDO) juga diundang, jangan hanya strukturalnya saja.
10. Baghya Siregar (PT. Setyamitra): Untuk Bu Nurwati: Terkait dgn Ibu ratih, sarankan istilah harus tepat. Jati konvensional adalah jati yang dikembangkan dari biji sedangkan jati cepat tumbuh merupakan jati yang merupakan hasil pemuliaan karena khawatir ada suatu kerancuan karena definisi yang berbeda dapat menimbulkan masalah. Dalam penelitian Bu Nur, jangan dibandingkan pada umur yang berbeda. Sepakat jati cepat tumbuh adalah hasil pemuliaan yang mendapatkan sertifikasi juga memenuhi kriteria kebutuhan kayu untuk industri. Ada kriteria seperti bantang Jati konvensional adalah jati yang belum mengelamai pemulianan. MFA JUN lebih kecil dibanding jati konvensional. Untuk Pak Barly: apakah benar, ada hubungan antara pengawetan dengan kekuatan kayu? Kepada para pengusaha kayu: ada suatu tawaran bagi para pengusaha,bahwa dengan cepatnya tumbuh
(percepatan volume), ada penggantian pada biaya cost/reservasi/percepatan waktu menunggu kayu jati selama 50-60 th.
11. Nurin: Untuk Bu Nurwati, apabila ada yang ingin menanam jati, apa yang bisa disarankan, apakah menanam jati cepat tumbuh atau jati konvensional? masalahnya bibit jati unggul lebih mahal dibanding jati lokal.
Tanggapan:
1. Nurwati: Untuk Ibu Indah Sulistyawati: Menurut Bu Indah, kayu jati berumur 9 tahun masuk kedalam kelas kuat 3 kurang bersaing dengan kayu lain. Tetapi kelas kuat tiga tidak masalah untuk dipakai keperluan konstruksi tetapi yang harus diperhatikan adalah kelas awet dan stabilitas yang rendah. Untuk Pak Ali Murtajo: sebagai produsen bibit setuju untuk mencantumkan kondisi penanaman. Untuk Ibu Nuri: tergantung kebutuhan, kalau mau jati konvensional silahkan saja. Bisa jati cepat tumbuh katrena sepertiga daur karena pengeluarkan bisa dikurangi untuk treatment jati cepat tumbuh, asalkan daur untuk peruntukan kayu tersebut jelas.
2. Barly: Untuk Pak Daryono: LO yang paling mendekati warna jati. Mohon kepada peserta untukmelihat penelitian yang sudah dilakukan. Hal ini bisa dicoba. Aplikasi untuk barang setengah jadi bisa langsung digunakan, meskipun akan diserut lagi, tetapi warnya juga tidak akan berubah. Untuk Pak Bambang: keuntungan bagi petani: menjual papan dalam keadaan setengah kering, dengan pemberian bahan tersebut dapat memberikan warna yang sama antara bagian luar dan bagian dalam. LO, minyak nyamplung dan minyak kemiri ada perbedaan dalam kandungan lemak jenuh dan tidak jenuh. Dengan menggunakan bahan pengawet bermacam-macam pun, kayu jati mudah untuk di treatment. Dengan menggunakan LO atau minyak karet, tekstur akan keluar. Untuk Pak Medi dari Biomaterial: penerapan yang dilakukan pak barly termasuk densifikasi. densifikasi adalah salah satu cara untuk meningkatkan BJ kayu, dengan penambahan pengawetan juga dapat mengurangi pecah. Berapa banyak yang dibuthkan, tergantung kebuthan, misal untuk tiang listrik, bantalan, semua berbeda, ada starndarnya. Nilai ekonomi pengawetan kayu sekitar 20% dari harga kayu dengan umur pakai bisa 5-10 kali lebih menguntungkan, tingal mau atau tidak kita mengunakannya. Untuk Pak Baghya: dapat dilihat pada halaman 8, Dengan memberikan LO bisa meningkatkan pengawetan lebih menguntungkan. kerapatan naik 9% dengan pemberian bahan kimia. Dgn pemberian bahan yang lebih banyak, kerapatan akan semiakin meningkat. kerapatan memang belum menyamai jati konvensional.
3. Kapus: Jati muda bisa digunakan, tetapi memiliki banyak kelemahan. Berdasarkan pengalaman, umur tidak bisa disubstitusi apapun, tetapi bukan berarti umur muda tidak bisa dimanfaatkan.
Diskusi Interaktif antara Peserta dan Pemakalah
B. Makalah Penunjang
SIFAT MEKANIS BEBERAPA JENIS KAYU DARI HUTAN TANAMAN UNTUK BAHAN BANGUNAN13
Oleh:
Abdurachman24 & Nurwati Hadjib2
ABSTRAK
Dalam pemanfaatannya sebagai bahan bangunan, kayu dibedakan sebagai kayu struktural (memikul beban tinggi) dan non struktural (tidak memikul beban tinggi). Baik untuk tujuan struktural maupun non struktural, diperlukan dukungan data teknis di antaranya sifat mekanis Pengujian sifat mekanis kayu menyajikan data yang behubungan dengan kekuatannya, sehingga bermanfaat dalam perencanaan untuk bahan bangunan. Tulisan ini menyajikan hasil pengujian sifat mekanis 10 jenis kayu dari hutan tanaman, yaitu sengon(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen), suren (Toona sureni Merr.), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), mindi (Melia azedarach), gmelina (Gmelina arborea), mahoni (Swietenia macrophylla King.), karet (Hevea brasiliensis), pinus (Pinus merkusii), mangium (Acacia mangium Willd. dan jabon (Anthocephalus cadamba) yang berasal dari hutan tanaman di Jawa Barat. Pengujian menggunakan standar ASTM D 143-94.
Hasil penelitian menunjukkan kayu sengon, sengon buto, suren, mindi dan gmelina tergolong kayu yang ringan dan sisanya tergolong sedang (medium) dan di antara kayu yang diteliti karet merupakan kayu terberat, sedangkan yang teringan adalah kayu sengon. Berdasarkan RSNI-3 tentang Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia, kayu mindi, gmelina, mahoni, karet, mangium dan pinus tergolong kayu kelas kuat III, sedangkan sisanya tergolong kayu kelas kuat IV. Kayu gmelina termasuk kelas mutu E11, sedangkan kayu lainnya tergolong mutu E 10. Berdasarkan mutu tersebut, maka kayu gmelina dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan struktural, sedangkan yang lain untuk bahan bangunan non struktural.
Kata kunci : Kayu hutan tanamaan, bahan bangunan, sifat mekanis
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, terutama
pada hutan tropika basahnya. Salah satu hasil hutan yang sangat penting adalah kayu. Di Indonesia
terdapat sekitar 4000 jenis kayu yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Salah satu kegunaan kayu
adalah untuk bahan bangunan yang dibedakan sebagai kayu struktural (memikul beban tinggi) dan non
struktural (tidak memikul beban tinggi). Baik untuk tujuan struktural maupun non struktural, diperlukan
dukungan data teknis di antaranya sifat mekanis.
Di dalam GBHN, salah satu program pemerintah adalah pembangunan perumahan yang layak bagi
seluruh warga negara Republik Indonesia. Salah satu bahan yang penting untuk perumahan adalah kayu
bangunan yang berasal dari hutan, suatu sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Sampai beberapa
dekade pemenuhan kebutuhan kayu dipasok dari hutan alam yang berdiameter besar dan mempunyai sifat
yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman sejenis dari hutan tanaman. Namun setelah tahun 2000
dolok kayu dari hutan alam menurun, dan digantikan oleh kayu dari hutan tanaman. Produksi log tahun
2000-2006 mencapai 24,3 juta m3, dimana 60%-nya berasal dari hutan tanaman (Departemen Kehutanan,
2007). Hal penting yang harus diperhatikan dalam perencanaan pemanfaatan kayu dari hutan tanaman
13 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan
Lainnya”, 25 November 2010 2 Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.
adalah data teknis sifat kayu. Seperti dikemukakan oleh Martawijaya (1990), kayu dari hutan tanaman
umumnya mempunyai sifat yang inferior dibanding kayu sejenis dari hutan alam.
Walaupun dalam industri bangunan sudah dikenal beberapa standar, namun penggunaannya belum
sebagaimana mestinya, berhubung masih banyaknya kekurangan, baik dalam materi, lingkup kegunaannya
maupun hubungan satu dengan yang lainnya. Sifat mekanis yang umum diperhitungkan dan dikenal
sebagai sifat kekuatan dalam perencanaan penggunaan kayu adalah tegangan lentur maksimum, keteguhan
tekan sejajar serat maksimum, keteguhan tekan tegak lurus serat dan keteguhan belah sejajar serat
(Anonim, 1999). Sifat mekanis kayu atau sifat kayu yang berhubungan dengan kekuatan kayu merupakan
ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya dari luar yang bekerja padanya. Yang dimaksud gaya luar
adalah gaya yang datangnya dari luar benda yang bersangkutan dan bekerja pada benda tersebut sihingga
gaya ini cenderung untuk mengubah ukuran atau bentuk benda tersebut.
Sifat mekanis ada beberapa macam yang berhubungan dengan penggunaannya sebagai bahan
bangunan, misalnya untuk tiang diperlukan data keteguhan tekan sejajar serat, untuk balok struktur
termasuk kuda-kuda diperlukan data keteguhan lentur statik, keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan
geser (Anonim, 1999).
Menurut Tular dan Idris (1981), sampai saat ini konstruksi kayu masih banyak dilakukan oleh para
tukang kayu yang umumnya tidak mengikuti perhitungan konstruksi, sehingga dalam pemanfaatannya
seringkali terjadi pemborosan baik dari segi pemilihan jenis maupun ukuran kayunya. Soenardi (1981)
menyatakan bahwa dalam penggunaannya, kayu terlebih dahulu harus diseleksi menurut syarat mutu yang
diminta oleh pengguna akhir.
DASAR TEORI
Sifat mekanis merupakan kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan,
sedangkan kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban atau gaya yang bekerja
padanya (Haygreen dan Bowyer, 1982). Sifat mekanis biasanya merupakan ciri terpenting dari produk
kayu yang akan digunakan untuk bahan bangunan sipil seperti rumah, gedung, dan jembatan. Penggunaan
struktural adalah setiap penggunaan di mana sifat mekanis merupakan kriteria pertama untuk pemilihan
bahan. Penggunaan struktural produk kayu antara lain meliputi palang lantai, kaso, kuda-kuda, tiang, anak
tangga, dan kerangka perabot rumah tangga.
Dua istilah dasar yang digunakan dalam mekanika, yaitu tegangan dan regangan. Tegangan adalah
gaya yang tersebar per satuan luas. Tegangan terjadi apabila suatu bagian bertindak terhadap yang lain
untuk melaksanakan suatu gaya. Regangan akan terjadi apabila tekanan dikenakan pada suatu benda padat.
Apabila tekanan yang dikenakan tidak melampaui suatu tingkat yang disebut batas proporsi, terdapat
hubungan garis lurus antara besarnya tegangan dengan regangan yang dihasilkan.
Beberapa sifat kekuatan kayu berhubungan erat dengan kerapatannya, misalnya keteguhan lentur
statis dan keteguhan tekan sejajar serat maksimum meningkat secara linier dengan kenaikan kerapatan
kayu. Sedangkan sifat kekuatan kayu lainnya meningkat secara fungsi pangkat atau polinom (Haygreen
dan Bowyer, 1982).
Kayu merupakan bahan yang bersifat ortotropis, yaitu bahan yang memperlihatkan sifat yang
berbeda dalam tiga sumbu yang saling tegaklurus, dalam hal ini arah radial, tangensial, dan longitudinal.
Pengujian sifat mekanis kayu yang mengacu kepada ASTM D 143-94 (Anonim, 2002a)
menghasilkan data hasil pengujian kayu contoh kecil bebas cacat. Sementara itu di dalam penggunaan
kayu gergajian dan produk kayu gergajian banyak mengandung cacat seperti mata kayu, serat miring, lama
pembebanan, keragaman dalam spesies dan cacat-cacat lain yang menurunkan kekuatannya Oleh karena
itu dalam penggunaannya nilai kekuatan ini harus disesuaikan dengan mempertimbangkan faktor-faktor di
atas. Nilai ini disebut tegangan yang diijinkan. Prosedur untuk mendapatkan nilai tegangan yang diijinkan
untuk kayu gergajian menurut ASTM D 245 adalah (contoh untuk MOR) :
Fb = MORrata2 – 1,645 s x FKA x FSR x FS
FDL
Keterangan :
s = simpangan baku MOR (ASTM D 2555-98)
MOR = tegangan lentur maksimum
1,645 s = merupakan batas luar 95% yang lebih rendah (5% exclusion limit)
FDL = faktor lama pembebanan
FKA = faktor kadar air
FSR = nisbah kekuatan untuk memperhitungkan cacat kayu
FS = faktor koreksi untuk kedalaman gelagar
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Jenis kayu yang diteliti tertera pada Tabel 1. Kayu-kayu tersebut berasal dari Hutan Tanaman
Industri (HTI), dalam hal ini Perum Perhutani Unit III dan tanaman rakyat) di daerah Jawa Barat.
Pemilihan jenis kayu tersebut didasarkan pada potensi jenis kayu yang ada pada hutan tanaman di Jawa
Barat, baik HTI maupun tanaman rakyat. Jenis kayu tersebut belum lazim digunakan untuk bahan
bangunan kecuali sengon yang sudah sering digunakan untuk pencetak beton.
Setiap jenis kayu diambil 3 pohon dan dari setiap pohon diambil 3 dolok masing-masing dari
pangkal, tengah atau ujung. Sedangkan bahan penunjang yang diperlukan antara lain adalah air, parafin,
ampelas dan kapur tohor.
Tabel 1. Jenis Kayu yang Diteliti.
No. Nama lokal Nama botanis Famili
1 Sengon Paraserianthes falcataria (L) Nielsen Mimosaceae
2 Suren Toona sureni Merr. Meliaceae
3 Sengon buto Enterolobium cyclocarpum Mimosaceae
4 Mindi Melia azedarach Meliaceae
5 Gmelina Gmelina arborea Verbenaceae
6 Mahoni Swietenia macrophylla King Meliaceae
7 Karet Hevea brasiliensis Euphorbiaceae
8 Pinus Pinus merkusii Pinaceae
9 Mangium Acacia mangium Willd Mimosaceae
10 Jabon Anthocephalus cadamba Rubiaceae
B. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut : gergaji belah, gergaji potong, alat
serut, alat pengukur panjang (penggaris, meteran, kaliper), timbangan, gelas piala, desikator, oven dan
mesin uji universal.
C. Metode
Ukuran contoh uji dan pengujian sifat fisis dan mekanis kayu dilakukan sesuai dengan ASTM
D.143-94 (Anonim, 2002a). Banyaknya contoh uji untuk setiap jenis kayu tergantung pada diameter pohon
contoh. Pengujian dilakukan terhadap contoh uji dalam keadaan kering udara.
Sifat mekanis yang diuji meliputi keteguhan lentur statis (tegangan pada batas proporsi dan
tegangan patah serta modulus elastisitas), keteguhan tekan (sejajar dan tegaklurus serat), keteguhan geser
sejajar serat (pada bidang radial dan tangensial), keteguhan pukul (pada bidang radial dan tangensial),
kekerasan (ujung, pada bidang radial dan tangensial), keteguhan belah (pada bidang radial dan tangensial)
dan keteguhan tarik tegaklurus serat (pada bidang radial dan tangensial). Sebagai penunjang diuji kadar air
dan kerapatan kayu.
Analisis data yang dilakukan meliputi rata-rata hasil pengujian setiap jenis kayu serta penentuan
kelas kuat kayu berdasarkan klasifikasi kekuatan kayu (Den Berger, 1923), penentuan mutu kayu
berdasarkan Anonim (2002b) dan penentuan tegangan ijin berdasar ASTM D 245 (Anonim, 2002a).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian kadar air dan kerapatan kayu yang diteliti disajikan pada Tabel 2, sedangkan hasil
pengujian sifat mekanisnya tercantum pada Lampiran 1. Nilai rata-rata kadar air dan kerapatan kering
udara kayu yang diteliti disajikan pada Tabel 2. Kadar air kering udara berkisar antara 11.46 -17.18%.
Berdasarkan klasifikasi berat kayu, maka kayu sengon, sengon buto, suren, mindi dan gmelina tergolong
kayu yang ringan (0.24 - 0.56) sedangkan sisanya tergolong kelas sedang (0.56 - 0.72).
Tabel 2. Kadar Air dan Kerapatan Kayu yang Diteliti
No Jenis kayu Kerapatan, gr/cm3 Kadar Air, %
1 Sengon 0.34 12.54
2 Suren 0.47 17,18
3 Sengon buto 0.49 13,49
4 Mindi 0.53 14.62
5 Gmelina 0.46 12.01
6 Mahoni 0.57 16.79
7 Karet 0.61 11.46
8 Pinus 0.57 17.30
9 Mangium 0.58 14.64
10 Jabon 0.55 16.00
Berdasarkan Tabel 2 tersebut terlihat bahwa kerapatan rata-rata kayu dari hutan tanaman berkisar
antara 0.34 - 0.61 gr/cm3 dengan rata-rata 0.517 gr/cm3. Sengon mempunyai kerapatan terendah
sedangkan tertinggi ialah karet seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Histogram kerapatan kayu yang diteliti.
Nilai rata-rata sifat mekanis kayu yang diteliti pada keadaan kering udara disajikan pada Tabel 3
terlihat bahwa pada umumnya kayu berdiameter kecil yang diteliti baik yang berasal dari hutan tanaman
(HTI) maupun dari tanaman rakyat tergolong kelas kuat III - V, hanya karet dan gmelina tergolong kelas
kuat II - III (PKKI-1961).
Tabel 3. Nilai Rata-rata Keteguhan Lentur Statis dan Keteguhan Tekan Sejajar Serat
No Jenis kayu
Keteguhan lentur statis, kg/cm2 Keteguhan tekan//
serat, kg/cm2 MOE MOR
1 Sengon 45505.67 319.92 165.18
2 Suren 56922.77 484.82 252.79
3 Sengon buto 44775.80 427.25 302.50
4 Mindi 57919.18 533.04 255.38
5 Gmelina 116510.00 708.19 359.44
6 Mahoni 62796.19 651.78 375.78
7 Karet 83587.20 824.40 421.80
8 Pinus 54718.38 503.08 322.21
9 Mangium 70225.54 541.09 307.10
10 Jabon 43850.00 260.75 189.98
Hubungan regresi antara kerapatan dengan nilai MOE dan MOR menunjukkan MOR = 985,52
kerapatan + 15,916 (R² = 0,2104). Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan tidak dapat menjadi penduga
terbaik untuk menduga kekuatan kayu yang diteliti. Hubungan MOE dengan MOR dari kayu yang diteliti
adalah MOR = 0,006 MOE + 142,74 (R2=0,6136), yang menunjukkan bahwa nilai E (MOE) dapat
digunakan untuk menduga kekuatan kayu. Seperti dikemukakan oleh Surjokusumo (1982), bahwa
pemilahan kayu dapat dilakukan dengan cara mengukur nilai E tanpa merusak kayu.
Tabel 4 menunjukkan kelas kuat, kelas mutu serta tegangan ijin dari sepuluh jenis kayu yang diuji. Dari kesepuluh kayu yang diuji, maka kayu mahoni, karet dan pinus dapat dipertimbangkan untuk keperluan konstruksi.
Tabel 4. Kelas Kuat, Mutu dan Tegangan Ijin Sepuluh Jenis Kayu yang Diuji
No Jenis kayu Kelas
kuat
Kode
mutu*
Tegangan ijin (kg/cm2) Kelas
awet** MOE MOR Tekan//
1 Sengon IV-V E10 45505.67 152 79 IV-V
2 Suren IV E10 56922.77 231 120 IV-V
3 Sengon buto III-IV E10 44775.80 203 144 V
4 Mindi III E10 57919.18 254 122 IV-V
5 Gmelina II-III E11 116510.00 337 171 III-IV
6 Mahoni II-III E11 62796.19 310 179 III
Lanjutan Tabel 4.
No Jenis kayu Kelas
kuat
Kode
mutu*
Tegangan ijin (kg/cm2) Kelas
awet** MOE MOR Tekan//
7 Karet III-II E11 83587.20 393 201 V
8 Pinus III-IV E10 54718.38 240 153 IV-V
9 Mangium III E10 70225.54 258 146 III
10 Jabon IV E10 43850.00 124 90 III-V
Keterangan : * = Kuat acuan berdasarkan pemilahan mekanis (Anonim, 2002b) ** = Mengacu kepada SNI 01-7207-2006 (Anonim, 2006)
Kayu dengan kelas kuat IV-V atau mutu E10 umumnya digunakan untuk keperluan non struktural
seperti panel, partisi dinding dan daun pintu/jendela. Sedangkan kelas kuat III atau mutu E11 dapat
dipertimbangkan untuk keperluan struktural tetapi tidak untuk beban berat seperti kuda-kuda dengan
bentang besar.
Untuk kayu bangunan, selain kuat, maka faktor ketahanan terhadap serangan organisme perusak
kayu (keawetan) juga diperlukan. Data kelas kuat dan kelas awet kayu yang diteliti ditampilkan pada Tabel
5 yang menunjukkan bahwa kayu yang berasal dari hutan tanaman yang umumnya berumur muda, pada
umumnya tergolong kayu yang kurang awet.
Tabel 5. Kelas Kuat dan Kelas Awet Kayu-kayu yang Diteliti
No Jenis kayu Kerapatan Kelas
kuat Kelas awet*
Kemungkinan
kegunaan**
1 Sengon 0.34 IV-V IV-V 1,2,4,5,7,8,10
2 Suren 0.47 IV IV 1,2,3,5,7, 9, 10
3 Sengon buto 0.49 III-IV III 1,2,5,7,10
4 Mindi 0.53 III III 1,2,3,5,7, 10
5 Gmelina 0.46 II-III II-III 1, 2,3,4,5,7, 10
6 Mahoni 0.57 II-III II-III 1,2,3,4,5,7,9, 10
7 Karet 0.61 III-II III 1,2,5,7,10
8 Pinus 0.57 III-IV II-IV 1,3,4,5,7,8,10
9 Mangium 0.58 III IV 1,2,3,5,7,
10 Jabon 0.55 IV III-V 2,5,10
* Berdasar SNI 01-7207-2006
** Kegunaan : 1.Bangunan 6.Bantalan
2.Kayu Lapis 7. Rangka pintu dan jendela
3.Mebel 8. Tiang listrik dan telepon
4.Lantai 9. Perkapalan
5.Papan dinding 10. Moulding
Untuk penggunaan di lapangan, kayu dengan kelas awet IV dan V harus diawetkan terlebih dahulu
agar umur pakainya lebih panjang. Bahan dan metode pengawetan disesuaikan menurut jenis dan kelas
awet kayu berdasarkan pengalaman yang sudah dilakukan.
V. KESIMPULAN
1. Berdasarkan klasifikasi berat kayu, kayu sengon, sengon buto, suren, mindi dan kayu gmelina
tergolong kayu yang ringan (0.24 ~ 0.56) sedangkan sisanya tergolong kelas sedang (0.56 - 0.72).
2. Rata-rata kerapatan kayu dari hutan tanaman berkisar antara 0.34 ~ 0.61 gr/cm3 dengan rata-rata
0.517 gr/cm3. Sengon mempunyai kerapatan terendah dan tertinggi karet.
3. Kayu yang diteliti baik yang berasal dari hutan tanaman (HTI) maupun dari tanaman rakyat
tergolong kelas kuat III ~ V, hanya karet dan gmelina tergolong kelas kuat II - III.
4. Berdasarkan kelas mutunya, kayu karet, gmelina dan pinus dapat dimanfaatkan untuk bahan
bangunan structural, sedangkan lainnya dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan non structural.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.
Jakarta
______ . 1999. Wood Handbook : Wood as an Engineering Material. Forest Product Society.
_______ . 2002a. Annual Book of ASTM Standards. American Society for Testing and Materials,
Philadelphia. Vol.04.10
_______ , 2002b. Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI NI-5). RSNI-3. Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
_______ , 2006. SNI 01-7207-2006.: Uji Ketahanan Kayu dan Prodik Kayu Terhadap Organisme Perusak
Kayu. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta
Berger. L.G. Den. 1923. Mechanische-technische Eigenschappen van Indische Houtsorten. Tectona XIV.
358-36, Bogor.
Brown. H.P., A.J.Panshin and C.C.Forsaith. 1952. Textbook of Wood Technology. Vol. II. Mc Graw-Hill
Book Co., New York.
Haygreen. J.G. and J.L. Bowyer. 1982. Forest Product and Wood Science. An introduction. Iowa State Univ. Press, Iowa.
Karnasudirdja. S., Kurnia S. dan R. Kusumodiwiryo, 1974. Pedoman Pengujian Sifat Fisik dan Mekanik
Kayu. Publikasi Khusus No.20. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
Martawijaya, A. 1990. Sifat Dasar Beberapa Jenis Kayu yang Berasal dari Hutan Alam dan Hutan
Tanaman. Proceedings Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang Kehutanan. Departemen
Kehutanan.
Nurwati dan E. Basri. 1990. Sifat Fisis, Mekanis dan Pengeringan Beberapa Jenis Kayu dari Hutan
Tanaman. Proceedings Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang Kehutanan. Departemen
Kehutanan.
Oey. Djoen Seng, 1964. Berat Jenis Kayu-kayu Indonesia dan Pengertian dari Berat Kayu Untuk
Keperluan Praktek. Pengumuman Lembaga Penelitian Hasil Hutan, No.1, Bogor.
Tular, R.B. dan A. Idris. 1981. Sekilas Mengenai ”Struktur Bangunan Kayu di Indonesia”. Proceedings
Lokakarya Standardisasi dan Normalisai Kayu Bangunan. Departemen Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Surjokusumo. S 1982. Perancangan Mesin Pemilah Kayu Bangunan Panter L-2. Bulletin Penelitian IPB
Vol.3 No. 2.
Lampiran 1. Sifat Mekanis Jenis Kayu yang Diteliti (kering udara)
Jenis kayu
Keteguhan lentur
statis, kg/cm2
Keteguhan
tekan,
kg/cm2
Keteguhan geser//
serat, kg/cm2
MOE MOR // ┴ R T
Mangium
n 135 136 133 122 132 132
Rata2 70225,54 541,09 307,10 83,92 53,88 60,21
Sd 19908,59 179,31 87,08 30,97 16,38 17,48
Min 28534,51 155,81 26,48 14,78 23,36 0,60
Max 116065,04 949,78 536,65 164,43 99,35 97,93
CV(%) 28,35 33,14 28,36 36,90 30,40 29,02
Pinus
n 53 53 53 53 53 53
Rata2 54718,38 503,08 322,21 320,47 209,12 218,69
Sd 15917,45 104,48 69,60 79,42 70,53 70,54
Min 22729,79 335,31 211,88 200,50 101,50 100,50
Max 85198,33 752,50 461,00 538,50 411,00 426,50
CV(%) 29,09 20,77 21,60 24,78 33,72 32,26
Mahoni
n 16 16 16 - 16 16
Rata2 62796.19 651.778 375.78 - 86.169 102.333
Sd 16858.78 43.387 43.378 - 14.332 21.613
Min 6632.13 280.94 280.94 - 64.529 79.527
Max 80306.10 431.04 274.85 - 121.831 148.746
CV,% 26.85 11.55 23.124 - 16.633 21.12
Karet
n 28 28 28 28 28 28
Rata2 83587.2 824.4 421.8 179.50 108.84 110.5
Sd 12260.8 146.4 36.15 20.23 14.332 18.04
Min 14.6682 17.76 8.57 126.88 13.168 16.33
Max 59801.8 453.7 336.6 204.42 88.782 63.93
CV,% 107452 1165 495.4 11.27 137.71 139.6
Gmelina
n 15 15 15 15 15 15
Rata2 116.51 708.19 359.44 125.85 151.02 90.86
sd 22.81 104.11 44.48 36.08 43.29 9.99
Min 69.03 506.16 306.49 75.74 90.89 64.73
Max 158.64 916.39 443.96 187.01 224.41 102.19
CV,% 19.58 14.70 12.37 28.67 28.67 10.99
Lanjutan Lampiran 1.
Jenis kayu
Keteguhan lentur
statis, kg/cm2
Keteguhan tekan,
kg/cm2
Keteguhan
geser// serat,
kg/cm2
MOE MOR // MOE MOR
Sengon
n 14 14 14 6 14 14
Rata2 40505.67 319.92 165.18 177,18 40.90 25.53
sd 17381.92 109.04 40.37 8,64 9.75 7.08
Min 21185.38 176.40 124.64 166,32 26.82 13.64
Max 89615.37 609.40 251.56 189,96 57.15 40.01
CV,% 42.91 34.08 24.44 4,87 23.83 27.75
Suren
n 19 19 19 19 19 19
Rata2 56922.77 454.82 252.79 74.69 50.34 67.34
sd 9056.20 60.849 31.673 12.238 8.276 8.21
Min 37654.58 304.74 182.54 51.18 36.54 50.24
Max 68952.92 548.22 304.96 96.21 62.53 82.26
CV,% 15.91 13.379 12.53 16.39 16.44 12.20
Sengon buto
n 35 35 35 35 35 35
Rata2 44775.80 427.25 302.50 94.55 53.31 59.22
sd 14445.56 117.75 84.11 15.54 11.00 8.143
Min 17207.95 153.76 152.78 66.99 27.71 42.44
Max 74803.53 623.14 424.46 130.53 77.41 82.54
CV,% 32.26 27.56 27.80 16.43 20.64 13.75
Mindi
n 12 12 12 9 12 12
Rata2 57919.18 533.04 255.38 87.986 84.32 82.66
sd 11832.63 103.81 27.26 64.662 14.83 15.21
Min 42473.84 304.11 210.83 115.39 66.68 59.78
Max 83530.30 666.53 300.53 16.037 123.73 108.33
CV,% 20.43 19.48 10.67 18.227 10.67 17.59
Jabon
n 12 12 12 12 12 12
Rata2 43.850 260,75 189,98 50,65 57,21 43,85
sd 11.390 50,53 39,98 8,79 7,05 11,39
Min 32.960 196,63 131,25 39,30 43,11 32,96
Max 63.420 351,42 258,20 67,56 69,24 63,42
CV,% 25.970 19,38 21,05 17,36 12,31 25,97
Klasifikasi Kekuatan Kayu Indonesia (PKKI, 1961)
Kelas
kuat
BJ kering
udara MOR
Tekan //
serat
Kekerasan
sisi
MOE
(x1000)
Geser //
serat
I
II
III
IV
V
0.9
0.6 – 0.9
0.4 –0.6
0.3 – 0.4
0.3
1100
725 – 1100
500 – 725
300 – 500
300
650
425 – 625
300 – 425
215 – 300
300
569
325 – 569
178 – 325
48 – 178
48
150
112 – 150
90 – 112
70 – 90
70
83
67 – 83
58 – 67
51 – 58
51
Lampiran 2. Nilai Kuat Acuan (MPa) berdasarkan Pemilahan Mekanis pada Kadar Air 15%
Kode
mutu
MOE
Ew
MOR
Fb
Tarik//
Ft
Tekan
//
Fc
Geser
Fv
Tekan
Fc
E26 25000 66 60 46 6.6 24
E25 24000 62 58 45 6.5 23
E24 23000 59 56 45 6.4 22
E23 22000 56 53 43 6.2 21
E22 21000 54 50 41 6.1 20
E21 20000 50 47 40 5.9 19
E20 19000 47 44 39 5.8 18
E19 18000 44 42 37 5.6 17
E18 17000 42 39 35 5.4 16
E17 16000 38 36 34 5.4 15
E16 15000 35 33 33 5.2 14
E15 14000 32 31 31 5.1 13
E14 13000 30 28 30 4.9 12
E13 12000 27 25 28 4.8 11
E12 11000 22 22 27 4.6 11
E11 10000 20 19 25 4.5 10
E10 9000 18 17 24 4.3 9
DIMENSI DOLOK, RENDEMEN DAN NILAI EKONOMI KAYU GERGAJIAN MINDI (Melia azedarach L.) 15
Oleh :
Achmad Supriadi 2 & Ali Hamzah 3
ABSTRAK
Kayu mindi (Melia azedarach L.) telah dikenal memiliki sifat kayu yang dapat diandalkan pemanfataannya. Jenis ini termasuk cepat tumbuh dan juga serba guna. Sifat kayunya baik dan memiliki tekstur yang menarik untuk dibuat mebel, bahkan mebel dari kayu mindi sudah dieskpor ke berbagai negara.
Makalah ini menyajikan hasil penelitian pengolahan dolok mindi menjadi kayu gergajian. Hasil penelitian menunjukkan dimensi mindi meliputi rata-rata panjang 228,6 cm, diameter 21,6 cm, kebundaran 95%, taper 2,1 cm/m dan volume 0,088 m3. Rendemen penggergajian rata-rata 44,67 %. Perkiraan harga jual kayu gergajian mindi sekitar Rp 2.250.000 per m3 dan biaya produksinya Rp 1.900.000, perkiraan keuntungan yang dapat diperoleh sekitar Rp 350.000 per m3 kayu gergajian . Kata kunci : Mindi, dimensi dolok, rendemen penggergajian, biaya, keuntungan.
I. PENDAHULUAN
Industri penggergajian sebagai industri primer masih memegang peranan penting di Indonesia. Industri penggergajian dan industri pengolahan kayu lainnya, saat ini banyak mengalami kekurangan bahan baku terutama kayu bulat karena kemampuan produksi kayu bulat terutama dari hutan alam yang terus menurun dan semakin terbatas sedangkan kebutuhan manusia terhadap kayu pertukangan terus meningkat. Realisasi produksi kayu bulat tahun 2007 sebesar 31.491.584 m3, jumlah ini di bawah dari yang dibutuhkan yaitu sekitar 50.000.000 m3 (Anonim, 2008). Dampak dari keadaan ini adalah makin sulitnya industri memperoleh pasokan bahan baku kayu baik dalam jumlah maupun kualitas yang dikehendaki.
Pohon mindi (Melia azedarach L.) sering disebut dengan nama gringging, merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan juga serba guna. Sifat jenis ini antara lain selalu hijau di daerah tropis basah tetapi menggugurkan daunnya selama musim dingin di daerah beriklim sedang (temperate), suka cahaya, agak tahan kekeringan, agak toleran terhadap salinitas tanah dan suhu di bawah titik beku serta tahan terhadap kondisi dekat dengan pantai, tetapi tumbuhan ini sensitif terhadap api. Seluruh bagian tanaman mulai dari akar, batang, kulit batang, daun, buah dan bijinya dapat dimanfaatkan (Anonim, 2001).
Pada awalnya mindi ditanam petani sebagai pohon pelindung, yang berfungsi sebagai peneduh tanaman kopi, pepaya, the, pisang, singking dan cabe. Penggunaannya semula sebagai kayu bakar, perkembangan selanjutnya kayu mindi banyak dicari masyarakat untuk digunakan sebagai bahan bangunan dan produk mebel. Hal ini disebabkan kayu mindi memiliki sifat-sifat yang unggul. Sifat kayunya baik dan memiliki tekstur yang menarik untuk dibuat mebel, bahkan mebel dari kayu mindi sudah dieskpor ke berbagai negara. Kayu mindi memiliki tekstur yang menarik, teksturnya menyerupai mahoni, apalagi setelah diplitur (pengerjaan akhir). Dengan demikian, kayu mindi dikelompokkan sebagai kayu komersial karena telah laku diperdagangkan di pasar lokal maupun internasional dalam bentuk barang jadi mebel. Produk lain dari kayu mindi yang telah diekspor adalah parket dan kayu lapis indah, sehingga keberadaan kayu mindi telah dapat menggantikan jenis komersial konvensional.
Makalah ini menyajikan data dan informasi tentang dimensi dolok, rendemen dan nilai ekonomi kayu mindi. Sasarannya adalah tersedianya data dimensi dolok, rendemen dan nilai ekonomi kayu gergajian mindi.
II. METODE PENELITIAN
1 Makalah penunjang pada Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya
tanggal 24 Niopember 2010 di Bogor. 2 Peneliti pada Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. 3 Teknisi pada Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor
A. Bahan dan Alat
Dolok kayu mindi yang digunakan berasal dari hutan rakyat di wilayah Bogor, Jawa Barat, sebanyak 7 dolok. Rata-rata diameter dan panjang dolok masing-masing adalah 21 cm dan 228 cm. Semua dolok dalam kondisi segar diangkut ke Laboratorium Penggergajian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2009.
Alat yang digunakan adalah gergaji ban ukuran 90 cm (36 inci), mesin gergaji potong, meteran, stop watch dan kaliper.
B. Metode
1. Dimensi dolok Pengukuran dan perhitungan dimensi dolok meliputi panjang, diameter, kebundaran dan
kerucingan dolok (taper), dengan rumus sebagai berikut :
a. Diameter (cm) = (d1 + d2)/2 + (d3 + d4)/2 ……………. (1) 2
b. Kebundaran (%) = (d2/d1) + (d4/d3) x 100% ……………. (2) 2
c. Taper = (dp du)/100 cm ……………………... (3)
d. Volume dolok (m3) = ¼ x d2 x p ………………………….. (4)
Di mana : dp = diameter pangkal dolok du = diameter ujung dolok d1 = diameter pangkal dolok pada arah vertikal d2 = diameter pangkal dolok pada arah horizontal d3 = diameter ujung dolok pada arah vertikal d4 = diameter pangkal dolok pada arah horizontal π = 3,14. P = panjang dolok
2. Rendemen penggergajian Rendemen penggergajian diperoleh dengan cara membagi volume kayu hasil penggergajian
dengan volume dolok-nya, sehingga rumus yang digunakan adalah :
Rendemen (%) = Vg/Vd x 100% ………………………………………(5)
Di mana : Vg = Volume hasil penggergajian Vd = Volume dolok
3. Nilai ekonomi kayu gergajian mindi
Nilai ekonomi kayu gergajian mindi meliputi biaya produksi kayu gergajian mindi dan perkiraan keuntungannya. Biaya produksi berupa biaya variabel yang meliputi biaya bahan baku, biaya angkut (termasuk muat bongkar) dan upah penggergajian. Perkiraan keuntungan kayu gergajian mindi diperoleh dari selisih antara harga jual kayu gergajian dengan biaya produksinya.
C. Analisa Data
Seluruh data hasil pengamatan dikumpulkan, dihitung rata-ratanya untuk setiap parameter yang diuji yaitu panjang, diameter, kebundaran, taper, volume dan rendemen. Sedangkan data nilai ekonomi dikumpulkan dan dihitung sampai dapat diketahui perkiraan keuntungan yang diperoleh dari kayu gergajian mindi tersebut.. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan software program Minitab (Hendradi, 2006).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Dimensi dan Volume Dolok
Data hasil pengukuran dimensi dan volume dolok rata-rata disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Dimensi dan Volume Dolok Kayu Mindi
Nilai Panjang
(cm) Diameter
(cm) Kebundaran
(%) Taper
(cm/m) Volume (m3)
Minimum 200 17 92 0 0,067
Maksium 300 27 98 4 0,136
Rata-rata 228,6 21,6 95 2,1 0,088
Pada Tabel 1 tampak bahwa panjang dolok mindi berkisar antara 200–300 cm dengan rata-rata
228,6 cm, dolok kayu umumnya berukuran relatif kecil dengan diameter berkisar antara 17-27 cm dengan
rata-rata 21,6 cm. Bentuk dolok termasuk bundar dengan kebundaran berkisar antara 92-98% dengan
rata-rata 95%, taper rata-rata 2,1 cm/m. Volume dolok berkisar antara 0,067-0,136 m3 dengan rata-rata
0,088 m3.
Dolok mindi yang diteliti memiliki taper rata-rata 2,1 cm/m sehingga termasuk dolok bertaper.
Sepotong dolok dikatakan bertaper apabila perbedaan diameter pangkal dan ujungnya lebih besar dari
0,52 cm setiap meter panjang (Rachman, 1997). Taper pada dolok akan menurunkan mutu dolok karena
kayu gergajian yang dihasilkannya akan mengandung serat miring, sehingga tidak disukai karena kekuatan
kayunya rendah, mudah patah dan tidak layak sebagai kayu penyangga.
Untuk menghindari terjadinya serat miring pada kayu gergajian yang dihasilkan dapat dilakukan
dengan pola penggergajian taper (Rachman, 1997). Taper juga berpengaruh pada rendemen penggergajian
yang dihasilkan. Dolok dengan diameter yang sama besarnya, akan menghasilkan rendemen lebih rendah
pada dolok yang bertaper lebih besar dibandingkan dengan yang bertaper lebih kecil (Steele, 1984).
B. Rendemen Penggergajian
Data hasil pengukuran rendemen penggergajian rata-rata disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rendemen Penggergajian Kayu Mindi
Nilai Volume
dolok (m3 ) Volume kayu gergajian (m3 )
Rendemen penggergajian (%)
Minimum 0,068 0,028 41,79 Maksium 0,136 0,062 47,49 Rata-rata 0,088 0,039 44,67
Besarnya rendemen penggergajian dipengaruhi oleh nilai bentuk dan kondisi dolok. Pada umumnya
makin besar diameter dolok, makin tinggi rendemen yang diperoleh. Sebaliknya, makin besar taper pada suatu dolok, makin rendah rendemennya. Kondisi dolok yang baik juga dapat mempertinggi rendemen yang diperoleh (Steele, 1984).
Pada Tabel 2. tampak bahwa besarnya rendemen penggergajian berkisar antara 41,79% sampai dengan 47,49%, dengan rendemen rata-rata sebesar 44,67 %. Nilai rendemen kayu gergajian mindi pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan kayu gergajian mindi pada penelitian sebelumnya yaitu sebesar 53% (Supriadi et al., 2004). Hal ini diduga meskipun memiliki besar diameter yang sama, akan tetapi dolok mindi pada penelitian ini memiliki taper lebih tinggi dibandingkan dengan dolok mindi pada penelitian sebelumnya (taper 1,8 cm/m).
Nilai rendemen kayu gergajian mindi ini juga lebih rendah dibandingkan dengan rendemen kayu sukun dan tisuk, yaitu 54,8% dan 55,4 %. Hal ini diduga karena kayu mindi yang diteliti memiliki diameter rata-rata yang lebih kecil yaitu 21,6 cm dibanding kayu sukun dan tisuk yaitu 25 cm dan 27 cm (Supriadi
dan Rachman, 2002). Steele (1984) menyatakan bahwa factor-faktor yang berpengaruh terhadap rendemen penggergajian diantaranya diameter dan taper. Makin besar diameter makin tinggi nilai rendemen, sebaliknya makin besar taper makin rendah rendemen penggergajian yang diperoleh.
C. Biaya Produksi dan Perkiraan Keuntungan Kayu Gergajian Mindi
Berdasarkan hasil pengamatan pada industri penggergajian di Bogor, untuk memperoleh 1 m3 kayu gergajian diperlukan sekitar 2 m3 kayu bundar mindi atau besarnya rendemen penggergajian sekitar 50%. Harga kayu bundar mindi dari pedagang pengumpul Rp 800.000 per m3, ongkos angkut Rp 200.000,- dan biaya penggergajian Rp 100.000 per m3 kayu gergajian, sehingga untuk menghasilkan 1 m3 kayu gergajian diperlukan biaya sekitar Rp 1.900.000. Dengan harga jual Rp 2.250.000 per m3, maka dapat diperoleh keuntungan Rp 350.000 per m3 kayu gergajian. Rincian biaya dan perkiraan keuntungan dari pemanfaatan dolok mindi menjadi kayu gergajian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Biaya dan Perkiraan Keuntungan Pembuatan Kayu Gergajian Mindi
No. U r a i a n Jumlah (Rp)
1. Jenis biaya
- Biaya bahan baku (2 m3 a Rp 800.000)
- Ongkos angkut - Biaya penggergajian
1.600.000
200.000 100.000
2. Harga jual per m3 2.250.000 3. Keuntungan per m3 350.000
Biaya produksi kayu gergajian mindi pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya yaitu sebesar Rp 1.000.000 (Karyono dan Supriadi, 2001). Hal ini terjadi sebagai akibat kenaikan komponen-komponen biaya seperti kenaikan harga dolok sebesar Rp 500.000, ongkos angkut sebesar Rp 75.000 dan biaya penggergajian Rp 25.000 masing-masing untuk setiap m3 dolok .
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Dolok kayu mindi yang diteliti umumnya berukuran relatif kecil dengan diameter rata-rata 21,6 cm. Bentuk dolok bundar (kebundaran rata-rata 95%), taper rata-rata 2,1 cm/m. Volume dolok rata-rata 0,088 m3.
2. Rendemen penggergajian rata-rata 44,67 % 3. Biaya produksi per m3 kayu gergajian mindi Rp 1.900.000. Dengan harga jual Rp 2.250.000, maka
dapat diperoleh keuntungan sekitar Rp 350.000 per m3 kayu gergajian mindi. 4. Untuk meningkatkan rendemen, perlu dicoba penggergajian dolok mindi menggunakan pola
penggergajian taper
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001. Mindi (Melia Azedarach L.). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Anonim. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta
Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1982. Forest Products and Wood Science. First Edition. The Iowa State University Press. Ames.
Hendradi, T.C. 2006. Statistik Six Sigma dengan Minitab. Panduan Cerdas Inisiatif Kualitas. ANDI OFFSET. Yogyakarta.
Karyono, O.K. dan A. Supriadi. 2001. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Kayu Mindi (Melia Azedarach L.). Studi kasus di Bogor Jawa Barat. Info Hasil Hutan Vol. 8 (1), 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor
Rachman, O.`1997. Teknologi Penggergajian Pusat Penelitian Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor
Rumidatul, A. dan O. Rachman. 2003. Karakteristik Penggergajian Kayu Tisuk (Hibiscus macrophyllus Roxb.) dan Kayu Sukun (Artocarpus communis Forst.) dari Jawa Barat. Wana Mukti Forestry Research Journal 1 (2) : 38-44. Jatinangor.
Supriadi, A. dan O. Rachman. 1998. Nilai Bentuk Dolok, Sifat Penggergajian dan Pengerjaan Kayu Tisuk (Hibiscus macrophyllus Roxb.) dan Sukun (Artocarpus communis Forst.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan. Bogor tanggal 19 Desember 2002.
Supriadi, A., O. Rachman dan J. Malik. 2004. Karakteristik Penggergajian Kayu Mindi (Melia azedarach L.). Prosiding Seminar Nasional MAPEKI ke 7. Makasar, tanggal 5-6 Agustus 2004.
Steele, P.H. 1984. Factors Determining Lumber Recovery Sawmilling. Gen. Tech. Rep. FPL- 39. U.S. Department of Agriculture. Madison.
MENINGKATKAN DAYA GUNA DAN NILAI TAMBAH KAYU HUTAN TANAMAN MELALUI TEKNOLOGI REKONSTITUSI
MENJADI PRODUK KAYU PERTUKANGAN 16
Oleh:
Han Roliadi2 & Abdurachman2
ABSTRAK
Ketersediaan kayu komersial berukuran besar dari hutan alam tropis Indonesia untuk pasokan industri pengolahan kayu semakin terbatas dan langka. Di lain pihak, sumber kayu alternatif seperti dari hutan tanaman potensinya cukup besar. Umumnya kayu hutan tanaman berdiameter kecil dan bercacat seperti terdapat kayu reaksi, mata kayu, dan kulit tersisip, sehingga dianggap kayu bernilai rendah. Hal tersebut dapat menimbulkan kesulitan pemanfaatannya oleh industri kayu. Salah satu usaha memecahkan masalah tersebut adalah memanfaatkan kayu hutan tanaman menjadi produk rekonstitusi kayu dalam bentuk balok I-joist, balok girder, dan broti lamina. Manfaatnya adalah: 1. memungkinkan pemanfaatan kayu berdiameter kecil, limbah kayu, dan kayu dari tahap pertumbuhan setelah proses penjarangan; 2. sifat dan dimensinya dapat direkayasa sesuai dengan tujuan penggunaannya; 3. mengurangi pengaruh kayu muda dan cacat lain; 4. meningkatkan keawetan dan ketahanan terhadap api, dan 5. menyediakan alternative pasokan bahan baku. Makalah dengan judul seperti di atas merinci kemungkinan meningkatkan daya guna dan nilai tambah kayu hutan tanaman menjadi 3 macam produk rekonstitusi kayu (balok I-joist, balok girder, dan broti lamina) untuk produk kayu pertukangan dan berstruktur bangunan sipil, berikut kendala yang dihadapi (a.l. keuntungan dan kerugian) dan saran usaha mengatasinya. Kata kunci: Kayu hutan tanaman, rekonstitusi kayu, produk kayu pertukangan, struktur bangunan sipil
I. PENDAHULUAN
Ketersediaan kayu komersial berukuran besar dari hutan alam tropis Indonesia untuk pasokan
industri pengolahan kayu semakin terbatas dan langka. Pada tahun 2006, tercatat kemampuan hutan alam
produksi Indonesia untuk memasok kebutuhan bahan baku kayu industri perkayuan mencapai 6,7 juta m3,
sedangkan kapasitas terpasang industri perkayuan lebih besar dari 10 juta m3 per tahun. Hal tersebut
mengakibatkan ketidak seimbangan antara pasokan dan kebutuhan kayu. Guna mengatasi kekurangan
pasokan kayu, biasanya industri kayu Indonesia mengekstrak kayu seacara tidak legal dari hutan alam yang
bukan ditujukan untuk produksi (antara lain konservasi, suaka alam, dan taman nasional, atau dikenal
dengan istilah illegal logging. Kegiatan tersebut dapat memicu kerusakan hutan alam, dan hingga kinia laju
kerusakan tersebut sudah sangat membahayakan yaitu 2-3 juta ha per tahun, dimana selanjutnya berakibat
terganggunya kerusakan ekosistem, and kerusakan lingkungan terkait (Anonim, 2005; 2006; 2008).
Untuk menjamin kebutuhan pasokan kayu tersebut dan juga menjaga kelestarian hutan alam,
Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan soft landing di mana salah satu ketentuannya adalah
mengurangi peran hutan alam sebagai pemasok kayu untuk industri perkayuan (Anonim, 2006a). Dengan
demikian, hutan tanaman industri (HTI) dan hutan rakyat (HR) merupakan harapan yang diunggulkan
mengganti peran hutan alam tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah sifat-sifat kayu dari HTI dan
HR pada aspek tertentu tidak sama dengan dan bahkan lebih inferior dari kayu hutan alam.
1 Makalah Penunjang pada Seminar Litbang Hasil Hutan: Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu
Pertukangan Lainnya, Kamis, 25 Nopember 2010, Bogor
2 Staf Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
Target penanaman HTI sampai tahun 2009 adalah 5 juta ha. Hak pengusahaan hutan tanaman
(HPHTI) sampai akhir tahun 2005 berjumlah 230 unit dengan relasisasi penanaman sampai akhir 2005
mencapai 2.5 juta ha. Produksi kayu HTI pada tahun 2002-2005 cenderung meningkat (rata-rata
produksinya 3.8 juta m3/tahun), sedangkan produksi hutan alam sekitar 14 juta m3 dan selanjutnya
cenderung menurun pada 2 tahun terakhir (Anonim, 2006b). Macam lain hutan tanaman adalah HR. Luas
HR dan potensi biomasanya saat ini mencaai 1.560.229 ha dan 39.564.000 m3. Selanjutnya, perkiraan
persediaan produksi kayu (standing stock) HR sekitar 2,284,700 m3 (Anonim, 2006a; Pasaribu dan Roliadi,
2006). Berdasarkan angka-angka tersebut maka HTI dan HR berprospek cerah menggantikan hutan alam
produksi sebagai bahan baku industri perkayuan.
Kayu hutan alam umumnya dicirikan dengan ukuran dimensi besar, berat jenis tinggi dan proporsi
kayu dewasa (mature wood) tinggi pula, sehingga memberikan sifat kekuatan kayu yang superior, dan bila
digunakan untuk produk kayu pertukangan tidak terlalu terkendala dengan ukuran produk tersebut yang
dikehendaki. Dalam hal hutan tanaman, hutan tersebut dengan sengaja dibangun manusia terkait dengan
usaha pengolahan kayu (perkayuan), dan dengan sendirinya dikehendaki pertumbuhannya yang lebih cepat
dan rotasi penebangan yang lebih singkat pula (Walker, et al., 1993). Sebagai akibatnya, pertumbuhan kayu
dari hutan buatan umumnya menghasilkan dolok bermutu inferior (bernilai rendah) dibandingkan dengan
kayu hutan alam yaitu antara lain diameter relatif kecil, proporsi kayu muda (juvenile wood) tinggi, dan berat
jenis rendah, sehingga lazimnya memberikan sifat kekuatan rendah pula dibandingkan kayu hutan alam
(Maloney, 1986; Heyne, 1987; McGavin et al., 2006). Pohon bernilai rendah tersebut kurang disukai
sebagai bahan baku industri perkayuan karena mempersulit pengerjaan pengolahannya, mempengaruhi
mutu produk, dan macam produk kayu yang dihasilkan terbatas (Hunt, 2000). Selanjutnya, kayu hutan
tanaman umumnya berdimensi lebih kecil dibandingkan kayu hutan alam, sehingga sering terkendala pada
pemanfaatannya menjadi produk kayu berukuran tertentu.
Di samping itu, kayu hutan tanaman dengan porsi kayu muda tinggi memiliki serat lebih pendek, dinding sel tipis, dan sudut orientasi mikrofibril terhadap sumbu serat yang besar. Keadaan tersebut mengakibatkan pada saat mengering, terjadi penyusutan kayu pada arah longitudinal yang besar dan selanjutnya mengakibatkan cacat/kerusakan bentuk kayu seperti retak, belah, dan melintir (Haygreen dan Bowyer, 1989). Keadaan tersebut perlu mendapatkan perhatian sepenuhnya pada pemanfaatan kayu hutan tanaman sebagai bahan baku alternatif produk kayu pertukangan.
Sebagai salah satu pemecahan sifat inferioritas kayu hutan tanaman adalah memanfaatkan kayu
seoptimal mungkin, Makalah ini mengkaji kemungkinan meningkatkan daya guna dan nilai tambah kayu
hutan tanaman menjadi tiga macam produk rekonstitusi kayu (balok I-joist, balok girder, dan broti lamina)
untuk produk kayu pertukangan dan berstruktur bangunan sipil, berikut kendala yang dihadapi (a.l.
keuntungan dan kerugian) dan saran usaha mengatasinya.
II. URAIAN SINGKAT PRODUK REKONSTITUSI KAYU
Definisi produk rekonstitusi kayu (PRK) atau yang disebut engineered wood products (EWP) agak
rancu, karena mencakup berbagai bahan panel. Di sini pengertian PRK dibatasi pada produk struktural
yaitu mulai dari kayu bulat (dolok) atau limbah kayu (baik hasil pembalakan hutan ataupun sisa industri
pengolahan kayu) dimana dimensi/ukurannya mengalami reduksi menjadi bentuk-bentuk berukuran lebih
kecil; kemudian bahan dengan bentuk tersebut saling direkat menggunakan bahan perekat tertentu dan
spesifik sehingga menghasillkan suatu produk rekayasa. Produk akhir tersebut memiliki sifat fisis dan
mekanis yang khas (Anonim, 1995; Hunt dan Winandy, 2003). Di samping itu, karena menggunakan
bahan baku kayu berukuran relatif kecil, maka bentuk dan ukuran PRK bisa direkayasa sesuai dengan yang
dikehendaki pemakai. Atas dasar itu, diharapkan PRK tersebut bisa pula dimanfaatkan untuk berbagai
produk tertentu kayu pertukangan seperti peralatan rumah tangga, bagian interior dan eksterior bangunan,
B flange
flange
lattice
dan berbagai bentuk bertstruktur bangunan sipil, sebagaimana halnya kayu utuh asal pohon hutan alam
berukuran besar (Anonim, 1999).
Atas dasar uraian di atas maka, produk pengolahan kayu yang bisa dikategorikan sebagai PRK
(EWP) adalah antara lain laminated-veneer lumber (LVL), balok I-joist, glued-laminated beams, balok girder, oriented
strand board (OSB), kayu lapis (plywood), dan broti lamina (Anonim, 1995; Hunt, 2000; Abdurachman et al.,
2008). Khusus dalam makalah akan diulas singkat PRK bentuk balok I-joist, balok girder, dan broti laminae
(Gambar 1, 2, dan 3). Uraian lebih lanjut mengenai ketiga macam PRK tersebut diuraikan berikut ini.
Gambar 1. Profil balok I-joist yang Dibuat dengan Lamina (bilah), dimana Bagian Web Saling
Direkat secara Horisontal (A); dan secara Vertikal (B). (Hunt and Winandy, 2003)
Keterangan: flange = sayap, web = tubuh, lattice = tubuh bentuk kisi-kisi
A B
A flange
flange
web
Gambar 2. Balok Girder Tipe Board-Webbed (A), Tipe Lattice I (B). (Anonim, 2009)
Gambar 3. Broti Lamina dalam Bentuk Papan (A) dan Bentuk Tubular (B).
(Abdurachman, et al., 2008; Sarwono et al., 2009)
III. PRK BENTUK BALOK I-JOIST
Balok I-joist merupakan salah satu macam produk komposit kayu, di mana melalui pandangan melintang terlihat sebagai bentuk “I” (Gambar 1). Bagian atas dan bawah produk laminasi tersebut diberi istilah flange atau sayap, sedangkan bagian tengah disebut web atau porsi tegak (Hunt dan Winandy, 2003).
Percobaan pembuatan balok I-joist menggunakan kayu berdiameter kecil dan rentan terhadap api (kebakaran) telah dilakukan oleh Hunt and Winandy (2003). Kayu yang digunakan berasal dari daerah beriklim sedang (subtropics), sedangkan perekat yang digunakan adalah fenol-resorsinol-formaldehide. Balok I-joist yang dihasilkan memiliki sifat kekuatan yang sebanding atau atau bahkan pada sifat tertentu melebihi sifat kekuatan kayu utuh (solid) individu dari jenis yang sama.
Lebih lanjut, percobaan pembuatan balok I-joist telah dilakukan di Laboratorium Pemanfaatan Hasil Hutan (PHH), Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (P3KKPHH), Bogor, menggunakan kayu hutan tanaman, diantaranya adalah jenis kayu gmelina (Gmelina arborea) (Roliadi et al., 2009). Bahan perekat yang digunakan adalah tipe thermosetting (fenol-resorsinol-formaldehida). Balok I-joist tersebut direkayasa sedemikian rupa sehingga susunan bilah (lamina) kayu gmelina di bagian tubuh (web) tersusun dalam dua orientasi, yaitu vertikal (Gambar 1A) dan horisontal (Gambar 1B). Rincian hasil pengujian sifat kekuatan balok tersebut (dengan cara pelengkungan/static bending) disajikan pada Tabel 1.
Ternyata, sifat mekanis/kekuatan balok I-joist dari kayu gmelina dengan profil rekatan horisontal
antar lamina pada bagian web lebih tinggi dari pada sifat balok dengan profil rekatan vertikal. Ini
mengindikasikan untuk kasus ini, bahwa pada balok I-joist dengan profil lamina tersusun horisontal,
interaksi antara fenomena adesi lamina-perekat-lamina, kohesi dalam prekat, dan sifat kekuatan lamina
kayu solid individu berperan lebih nyata terhadap sifat kekuatan balok, dibandingkan pada balok dengan
profil lamina vertikal (di mana sifat kekuatan lamina kayu solid lebih banyak berperan dibandingkan
fenomena adesi). Sifat mekanis/kekuatan balok I-joist dengan profil rekatan horisontal tersebut dalam
beberapa hal sebanding dengan sifat kayu solid bebas cacat dari jenis yang sama (Tabel 1). Lebih lanjut,
sifat fisis dan kekuatan balok I-joist dengan profil rekatan horisontal tersebut (Gambar1A) ternyata
sebanding dengan selang sifat jenis-jenis kayu Amerika Serikat yang umum digunakan untuk tujuan
konstruksi setelah dikoreksi dengan faktor realitas (Tabel 2).
IV. PRK BENTUK BALOK GIRDER
Sama halnya dengan balok I-joist (Gambar 1), PRK bentuk balok girder dilihat dari pandangan
muka berbentuk huruf I pula (Gambar 2). Balok girder tersebut terdapat dalam bentuk board-webbed
(Gambar 2A) dan bentuk lattice (Gambar 2B). Untuk tipe board-webbed, di negara maju kedua macam balok
ini banyak digunakan untuk kerangka atau penopang bangunan baik berstruktur kayu atau bukan kayu
(antara lain tembok yang sedang didirikan, batu-batu disusun berbentuk tertentu dan saling direkat dengan
semen masih basah/ belum mengeras, dan cetakan beton) yang tengah dalam penyelesaian seperti gedung,
menara, jembatan, dermaga, dan sebagainya (Anonim, 2009).
Tabel 1. Data Sifat Mekanis/Kekuatan Balok I-joist dari Kayu Gmelina berikut Pembanding,
yang Diikuti dengan Hasil Uji Jarak Benda Nyata Jujur (BNJ) – (dinyatakan dalam
grade dan skor) *)
Sifat
Profil, FSPL MOR MOE Sh Total skor (TS)
balok
(T)
M1) G2) S3) M1) G2) S3) M1) G2) S3) M1) G2) S3) M1) G2) TS3)
kg/cm2 kg/cm2 (104
kg/cm2)
kg/cm2
Balok I-joist
t1 216,67 A 4 264,98 A 4 5,0757 A 4 5,4489 A 4 16
t2 221,62 A 4 245,37 B 3 4,7025 B 3 5,1324 B 3 13
Pembanding
t3 208,76-350,42 347,00-389,88 4.9750
-5,1064
27,6-34,0
(Sumber: Roliadi, et al., 2009)
Keterangan: FSPL = keteguhan lengkung pada batas proporsi; keteguhan lengkung pada keadaan patah;
MOE = keteguhan elastis (lentur) melalui pelengkungan; Sh = keteguhan geser horisontal
maksimum,; 1)M = Rata-rata dari 3 ulangan; 2)Angka (dalam kolom M) yang diikuti secara
horizontal oleh huruf-huruf yang sama dalam kolom G (grade) tak berbeda nyata: A > B
(atas dasar hasil uji BNJ); 3) S = skor ; semakin besar skor, semakin tinggi/baik sifat
mekanis/kekuatan balok I-joist; profil balok I-joist (T) dengan kode t1 dan t2 berturut-turut
dapat dilihat pada Gambar 1A dan 1B; t3 = kayu gmelina bebas cacat berukuran untuk
standar pengujian ASTM (Anonim, 2007); TS = total skor.
Tabel 2. Sifat Fisik dan Kekuatan Balok I-joist Hasil Percobaan dengan Profil Rekatan Horisontal antar Lamina (dari kayu gmelina) Dibandingkan dengan Selang Sifat berbagai Jenis Kayu Amerika Serikat yang Umum Digunakan untuk Tujuan Konstruksi
No Sifat fisis, dan kekuatan
melalui pelengkungan
Balok I-joist hasil
percobaan*)
Perbandingan dengan kayu Amerika
Serikat
Rata-rata Simpangan
baku Bebas cacat
Dikoreksi dengan
faktor realitas
1 Kadar air (Moisture content),
%
k.u. - 12-14 12-14
2 Keteguhan lengkung pada
batas proporsi, kg/cm2
216,67 2,0 8 350,46 – 841,13 129,49 – 310,80
3 Keteguhan lengkung pada
batas patah (MOR), kg/cm2
264,98 2,29 560,75 –1401,88 207,20 – 517,99
4 Keteguhan lentur (MOE),
kg/cm2
50757,474 11,42 70093,91-
175234,77
25899,70-
64749,25
5 Keteguhan geser horisontal
pada bidang netral , kg/cm2
5,4489 1,297 56,08 – 168,23 20,72 – 62,16
6 Momen inersia, cm4 1022,81 10,268 - -
(Sumber: Anonim ,1956 dan 1999; Haygreen dan Bowyer, 1989)
Keterangan: *) Lihat Tabel 2 dan Gambar 1 (A dan B);
k.u. = kering udara; Faktor realitas (Fb) = (FMC * FSR * FS) / FDL = 0.3695; Nilai Fb berdasar
pada: FMC = koreksi untuk kadar air = 1 (karena kadar air hasil percobaan sama dengan
selang kadar air kayu Amerika; FSR = faktor koreksi untuk cacat pada kayu, seperti orientasi
serat, mata kayu, kayu reaksi, dan kulit tersisip = 0.75; FS = faktor koreksi untuk bentuk
balok = 0.6159; dan (and) FDL = faktor keselamatan = 1.25;
Ada dua alasan menguntungkan penggunaan balok girder untuk tujuan tersebut (Walker et al., 1993;
Abdurachman, 2000). Pertama, bidang melintang balok girder merupakan bentuk yang efisien.
Penampang melintang bagian sayap yang cukup besar terletak agak jauh dari sumbu netral horisontal
(Gambar 1), dengan demikian dapat meningkatkan momen inersia dan sifat mekanis/kekuatannya
(keteguhan patah dan keteguhan elastis). Selanjutnya, bagian tubuh balok yang lebih tipis dibandingkan
dengan bagian sayap (pada arah horisontal) masih bisa memberikan unjuk kerja memuaskan khususnya
keteguhan geser horisontal. Kedua, balok girder merupakan salah satu produk permesinan kayu yang
efisien ditinjau dari pemakaian bahan baku kayu. Bila balok tersebut mengalami tekanan vertikal, maka
bagian sayap akan mengalami tekanan dan tegangan. Dengan demikian, bahan kayu yang digunakan pada
bagian sayap, sebaiknya dipilih yang memiliki keteguhan tarik dan keteguhan tekan tinggi, sedangkan
bagian tubuh memiliki keteguhan geser tinggi.
Struktur balok girder dapat dirancang sedemikian rupa hingga balok tersebut memiliki sifat
kekuatan memadai antara lain kekakuan, ketahanan lengkung pada arah vertikal (vertical bending), ketahanan
momen, dan keteguhan geser (Anonim, 1999). Selanjutnya diutarakan pula bahwa tebal bagian tubuh
(Gambar 1) hendaknya diatur sehingga balok girder tidak mudah bengkok atau melintir (buckle).
Untuk balok girder tipe board-webbed (Gambar 2A), bagian web (tubuh) dapat menggunakan papan
panil seperti kayu lapis, papan partikel, atau papan serat; sedangkan bagian flange bisa berupa kayu solid
atau produk rekatan kayu (laminasi). Selanjutnya, rekayasa tahap akhir balok girder tipe ini terbentuk
dengan merekatkan bangian web dan flange, dan macam perekat yang digunakan bisa tipe thermosetting atau
thermoplastic (Gambar 2A). Percobaan rekayasa balok girder tipe ini tengah berlangsung di Laboratorium
PHH, PKKPHH (Bogor), dan masih dalam tahap pengujian hasil. Rekayasa tersebut menggunakan jenis
kayu pinus, dan memakai bahan perekat thermosetting fenol-resorsinol-formaldehida. Sebagai faktor
dalam rekayasa tersebut adalah pola rekatan bilah (lamina) di bagian web (pola rekatan vertikal dan
horisontal) dan panjang papan tersebut (Roliadi et al., 2010). Diharapkan dari hasil pengujian, dapat
diperoleh balok girder tipe board-webbed dengan mutu memuaskan antara lain sebanding atau lebih tinggi
dari pada sifat kayu pinus solidnya dan sifat papan partikel (sebagaimana digunakan di bagian web).
Mengenai balok girder tipe lattice (Gambar 2B), sama halnya dengan tipe board-webbed (Gambar 2A),
bagian flange bisa berupa kayu solid dan produk rekatan kayu (laminasi). Perbedaannya adalah bagian
tubuhnya merupakan kisi-kisi (lattice) dari hasil rakitan potongan kayu berukuran relatif kecil yang tersusun
miring saling berhadapan dan disambung lalu direkat ke bagian sayap balok tersebut baik bagian atas
ataupun bagian bawah. Diharapkan dengan manipulasi atau rekayasa tersebut dapat diperoleh juga suatu
produk berkuatan tinggi, berdaya penopang memuaskan, dan berkestabilan dimensi efektif. Selanjutnya
dengan adanya lattice tersebut, balok girder dapat disambung-sambung secara memanjang menggunakan
alat klem sehingga memperbesar ukuran (panjang) dan menambah daya gunanya.
Percobaan rekayasa balok girder tipe lattice direncanakan dilakukan di Laboratorium PHH, PKKPHH (Bogor) tahun 2011. Bahan baku yang digunakan adalah jenis tertentu kayu hutan tanaman, dan untuk perekatan akan memakai perekat thermosetting pula (Roliadi et al., 2010a). Diharapkan dari hasil pengujian, dapat diperoleh balok girder tipe lattice dengan mutu memuaskan sebanding atau lebih tinggi dari pada sifat jenis kayu solid jenis hutan tanaman tersebut.
V. PRK BENTUK BROTI LAMINA
Broti lamina terdapat dalam dua bentuk yaitu bentuk papan dan tubular (Gambar 3; A dan B). Pada
broti lamina tipe papan, hasil potongan dolok kayu dalam bentuk trapesium dengan ketinggian tertentu
saling disambung/direkat secara lateral sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk rekayasa
memanjang (linier). Sedangkan pada broti tipe sirkular, hasil potongan dolok kayu juga dalam bentuk
trapesium dengan ketinggian tertentu saling direkat sedemikian rupa sehingga hasil rekatan tersebut
berbentuk sirkular. Bahan perekat yang digunakan bisa tipe thermosetting atau thermoplastic (Sarwono et al.,
2009). Diharapkan dengan manipulasi atau rekayasa tersebut dapat diperoleh suatu produk masif
berukuran lebih besar, berkuatan tinggi, dan berkestabilan dimensi memuaskan, sehingga menambah daya
gunan broti lamina tersebut untuk produk kayu pertukangan dan berstruktur banguan sipil.
Percobaan rekayasa broti lamina tipe papan (Gambar 3A) juga tengah berlangsung di Laboratorium
PHH, PKKPHH (Bogor), dan masih dalam tahap pengujian hasil. Rekayasa tersebut menggunakan jenis
kayu hutan tanaman jenis sengon, dan memakai bahan perekat thermoplastic polivinil asetat (PVA) (Roliadi
et al., 2010). Diharapkan dari hasil pengujian, dapat diperoleh broti lamina tipe papan dengan mutu
memuaskan yaitu sebanding atau lebih tinggi dari pada sifat kayu sengon solid.
VI. KARAKTERISTIK KETIGA BENTUK PRK
Tiga bentuk PRK yang dimaksud adalah balok I-joist, balok girder, dan broti lamina. Uraian lebih
lanjut sebagai berikut.
A. Balok I-joist
Rekayasa kayu bermutu inferior (antara lain kayu hutan tanaman) menjadi produk balok I-joist
diharapkan mendatangkan manfaat (Anonim, 1989, 1995; Hunt dan Winandy, 2003; McGavin et al., 2006)
yaitu; 1. memungkinkan pemanfaatan kayu berdiameter kecil, limbah kayu, dan kayu dari tahap
pertumbuhan setelah proses penjarangan; 2. mengurangi atau merandomize pengaruh kayu muda dan cacat-
cata lain (mata kayu, kayu reaksi, kulit tersisip, dan sebagainya); 3. mengurangi penetrasi dan penguapan
air pada permukaan kayu yang dapat mengakibatkan perubahan bentuk produk komposit tersebut balok;
4. meningkatkan keawetan dan ketahanan terhadap api, karena adanya lapisan bahan perekat dan bentuk
komposit yang relatif besar sehingga menghambat serangan organisme perusak kayu dan juga
memperlama pergerakan nyala api mulai dari bagian permukaan produk komposit hingga bagian
dalamnya; 5. memungkinkan produksi produk komposit dengan biaya rendah dan jangka waktu
pengembalian modal singkat; 6. ikut menunjang usaha pelestarian hutan dan kelangsungan bahan baku
industri perkayuan; 7. proses laminasi menghasilkan produk (balok I-joist) dengan bentuk lebih lurus,
dimensi lebih stabil, dan lebih konsisten. Di sini mekanisme perekatan terjadi di mana bahan perekat
sewaktu masih cair (sebelum mengeras/cured) melakukan penetrasi ke dalam struktur lamina (bilah kayu)
secara lateral terhadap permukaan bilah tersebut, dimana arah lateral tersebut tegak lurus dengan arah
longitudinal (aksial) produk balok I-joist (Gambar 2). Dengan demikian terindikasi bahwa sifat kekuatan
balok ini khususnya pada arah aksial merupakan interaksi antara sifat kekuatan arah aksial masing-masing
bilah kayu solid penyusun dan lapisan perekat (glueline) yang sudah cured (adesi lamina-perekat-lamian);
dan 8. Karena kayu berkualitas rendah dan/atau bernilai ekonomi rendah dapat ditingkatkan menjadi
produk hasil rekayasa bernilai tambah (balok I-joist), dan balok ini sesuai untuk struktur/konstruksi
bangunan dimana keteguhan tarik, keteguhan tekan, keteguhan geser, ketahanan momen, ketahanan
lengkung baik pada arah lateral ataupun arah vertikal, dan kekakuan tinggi diperlukan (Anonim, 1999),
maka balok tersebut telah banyak dimanfaatkan sebagai produk kayu pertukangan dan berstruktur
bangunan sipil/konstruksi seperti perumahan, gymnasium, jembatan, hangar pesawat udara, kapal laut,
dan sebagainya.
B. Balok Girder
Rekayasa kayu bermutu inferior/kayu hutan tanaman menjadi produk broti lamina juga diharapkan
mendatangkan manfaat (Abdurachman, et al., 2000; Anonim, 1999), juga hampir serupa pada balok I-joist
yaitu; 1. sifat dan dimensi balok girder dapat direkayasa sesuai dengan tujuan penggunaannya; 2. pembuatan
balok girder dapat menggunakan bahan baku secara efisien; 3. meminimumkan keretakan kayu dan
pengaruh cacat-cacat lain; 4. proses perekatan juga menghasilkan produk (balok girder) dengan bentuk
lebih lurus, dimensi lebih stabil, dan lebih konsisten. Mekanisme penetrasi bahan perekat kedalam struktur
kayu dan bagian tebal papan partikel juga terjadi secara lateral, dimana arah lateral tersebut tegak lurus
arah aksial produk balok girder. Dengan demikian, hampir serupa dengan balok I-joist, terindikasi pula
bahwa sifat kekuatan balok girder khususnya pada arah aksial ini merupakan interaksi antara sifat kekuatan
arah aksial masing-masing bilah kayu solid penyusun (bagian flange), bagian tubuh (bentuk web atau
lattice), dan lapisan perekat yang sudah mengeras/cured ; 5. balok girder juga mampu memikul beban berat,
penyambungan sangat mudah dengan menggunakan perekat, sangat ekonomis karena dapat dipakai
berulang-ulang, mudah dipasang dan dibongkar untuk berbagai form work, bisa memiliki keteguhan tarik,
keteguhan tekan, keteguhan geser, ketahanan monen, ketahanan lengkung baik pada arah lateral ataupun
arah vertikal, dan kekakuan tinggi. Ini disebabkan penyusunan bagian web atau lattice dan bagin flange yang
direkayasa sedemikian rupa (Gambar 2); dan 6. atas dasar itu, penggunaan balok girder untuk produk kayu
pertukangan dan berstruktur bangunan sipil, banyak terdapat pada kerangka atau penopang bangunan
baik berstruktur kayu atau bukan kayu yang tengah dikerjakan (sebagaimana diuraikan sebelumnya).
C. Broti lamina
Rekayasa kayu bermutu inferior / kayu hutan tanaman menjadi produk broti lamina juga
diharapkan mendatangkan manfaat yaitu (Abdurachman, et al., 2008; Sarwono, et al., 2009), juga hampir
serupa pada balok I-joist yaitu 1. Sifat dan ukuran balok papan broti lamina juga dapat direkayasa sesuai
dengan tujuan penggunaannya; 2. Meminimumkan atau merandomize pula pengaruh cacat-cata kayu; dan 3.
Proses perekatan menghasilkan produk papan broti lamina dengan bentuk lebih lurus, dimensi lebih
stabil/ konsisten. Dalam hal perekatan menjadi broti tersebut (khususnya tipe papan), terdapat perbedaan
dalam hal mekanisme penetrasi bahan perekat kedalam struktur bahan kayu antara produk balok I-
joist/balok girder (Gambar 1 dan 2) dengan broti lamina (Gambar 3). Di sini penetrasi bahan perekat ke
dalam struktur kayu juga terjadi secara lateral terhadap permukaan kayu, tetapi arah lateral tersebut sejajar
dengan arah aksial produk broti lamina (tipe papan). Sedangkan untuk broti tipe sirkular (Gambar 3 B),
terjadi penetrasi lateral perekat dimana arahnya tegak lurus dengan arah aksial produk broti tersebut.
Dengan demikian diindikasikan bahwa sifat kekuatan produk broti lamina bentuk papan pada arah axial
(Gambar 2A) merupakan interaksi antara sifat kekuatan masing-masing broti penyusun (kayu solid) pada
arah lateral dengan lapisan perekat (cured). Sedangkan untuk broti lamina tipe sirkular, sifat kekuatannya
pada arah axial berindikasi merupakan interaksi sifat kekuatan arah aksial pula masing-masing broti
penyusun dengan lapisan perekat (Gambar 2B).
D. Masalah yang Mungkin Timbul pada Rekayasa Ketiga Bentuk PRk
Usaha memnafaatkan kayu inferior/hutan tanaman menjadi berbagai bentuk PRK (balok I-joist,
balok girder, dan broti lamina) disamping membawa manfaat, diperkirakan menimbulkan pula
masalah/kendala (Anonim, 1999; Hunt dan Winandy, 2003; Williamson, 2005) seperti 1. Penyiapan bahan
(bilah/lamina kayu, potongan kayu) untuk proses perekatan biasanya berakibat peningkatan biaya produk
PRK akhir dibandingkan biaya hanya menyiapkan produk kayu solid; 2. Untuk rekayasa PRK, khususnya
agar proses perekatan memberi hasil memuaskan, biasanya diperlukan bahan kayu dalam keadaan kering.
Akibatnya tambahan waktu diperlukan dalam hal memotong kayu, mengeringkan, dan mengkondisikan; 3.
Karena sifat fisis dan kekuatan produk PRK bergantung pada mutu bahan perekat, teknik perekatan, dan
peralatan yang digunakan (untuk perlakuan pendahuluan, perekatan, pengempaan, dan finishing), maka
diperlukan keahlian khusus dan peralatan memadai. Hal tersebut tidak terlalu diperlukan atau
memimbulkan amasalah dalam memproduksi kayu solid; dan 4. Karena beberapa tambahan operasi
pengerjaan diperlukan, maka proses rekayasa PRK memerlukan tindakan yang berhati-hati guna menjamin
mutu produknya. Dengan demikian agar segala kendala tersebut dapat diatasi, perlu adanya pemikiran
matang sebelum ada rencana melakukan rekayasa PRK dari kayu inferior/hutan tanaman
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
Rekayasa pembuatan produk rekonstitusi kayu (PRK), bentuk balok I-joist, balok girder (tipe board-webbed dan tipe lattice), dan broti lamina (tipe papan dan tipe tubular) menggunakan bahan baku kayu hutan tanaman (HTI dan HR) yang berdiameter kecil dan bersifat inferior dibandingkan kayu hutan alam, dilakukan dalam rangka meningkatkan daya guna dan nilai tambah kayu hutan tanaman tersebut.
Usaha rekayasa tersebut juga bertujuan mengurangi ketergantungan industri kayu yang menggunakan bahan baku kayu hutan alam, di mana sumbernya semakin langka dan kemampuan pasokannya makin terbatas.
Ketiga macam PRK tersebut (balok I-joist, balok girde, dan broti lamina) diharapkan bermanfaat untuk tujuan produk kayu pertukangan dan berstruktur bangunan sipil, seperti halnya manfaat kayu solid dari hutan alam.
Hal tersebut didasarkan pada kemungkinan manfaat dari PRK tersebut antara lain bentuk dan ukuran PRK bisa direkayasa; meminimumkan/merandomize cacat kayu pada kayu hutan tanaman; meningkatkan keawetan, ketahanan api, dan kestabilan dimensi kayu tersebut; produk PRK tersebut
diharapkan memiliki sifat kekuatan memadai sekiranya untuk produk kayu pertukangan dan bertruktur bangunan sipil.
Sifat kekuatan PRK yang memadai dan setara dengan, atau bahkan lebih baik dari pada sifat jenis kayu solid penyusunnya bisa diharapkan, karena sifat PRK tersebut merupakan interaksi antara rekayasa penyusunan bahan kayu dan turunannya (seperti papan partikel pada balok girder) yang saling direkat, penetrasi bahan perekat ke dalam struktur kayu, adesi kayu-perekat-kayu, gaya kohesi perekat, dan lapisan perekat yang sudah cured.
Usaha rekayasa tersebut diharapkan ikut menunjang pula usaha pelestarian hutan (khususnya hutan alam) dan kelangsungan pasokan bahan baku industri perkayuan. Di samping membawa manfaat, ternyata kendala bisa timbul dari usaha rekayasa PRK tersebut seperti memerlukan biaya tambahan, peralatan khusus, keahlian, dan tambahan waktu untuk melaksanakan rekayasa. Segala kendala tersebut perlu mendapat perhatian sepatutnya, seperti pemikiran yang cermat dan perencanaan matang sebelum pelaksanaan rekayasa PRK tersebut menggunakan bahan baku kayu hutan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, 2000. Kajian Mengenai Pengujian Kekakuan Sisa Gider Perri Gt-24 sebagai balok
pengkaku cetakan beton. Skripsi. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan,
Bogor. (Tidak diterbitkan).
___________, O. Rachman, N. Hadjib, E. Sarwono, dan A. Santoso. 2008. Teknologi Pemanfaatan Kayu
Hutan Rakyat, HTI, dan Penjarangan untuk berbagai Produk Kayu Majemuk (pembuatan bilah
sambung, glulam lengkung, dan papan broti laminasi). Laporan Tahunan, Buku II. Pusat Litbang
Hasil Hutan. Bogor.
Anonim. 1956. Timber Design and Construction Handbook. F.W. Dodge Corporation. New York. 263-327 pp.
_______. 1995. Engineered Wood Products: Thw Future is Bright. Forest Products Journal, 45 (7/8): 17-
24.
_______. 1999. Wood Handbook. Wood as Engineering Material Agricultural Handbook No. 72. Forest
Products Laboratory, USDA Forest Service. Madison, Wisconsin. P.10-1 – 10-11.
________. 2005. Moratorium Pembalakan Liar Membuat Hutan Dapat Bernafas. Harian Kompas,
tanggal 5 Maret 2005, hal. 38. Jakarta.
_______. 2006. Kelapa sawit: Jangan ada lagi Konversi Hutan Alam. Harian Kompas, tanggal 9 Agustus
2006, hal. 13. Jakarta.
_______. 2006a. Kayu Alam Distop Total: Laju Degradasi Hutan Mencapai 2,87 Juta Hektar per Tahun.
Harian Kompas, tanggal 28 April 2006, hal. 22. Jakarta.
_______. 2006b. Industri Kayu Makin Terpuruk. Harian Kompas, tanggal 28 Juni 2006, hal. 17. Jakarta.
_______. 2007. Standard Methods of Testing Clear Specimens of Timber. American Standard for Testing
Material (ASTM) D-198. Philadelphia, Pensylvania.
______. 2008. Tigapuluhdua Ribu Log Kayu Disita: Kuota Penebangan di Kalimantan Tengah hanya 1,85
Juta Meter Kubik. Harian Kompas, tanggal 11 Pebruari, 2008, hal. 15. Jakarta.
_______. 2009a. Vario GT 24. The variable girder wall formwork system with the proven lattice girder GT 24. Peri GMBH. Formwork Scaffolding Engineering. Weissenhorn. Germany
Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1989. Forest Products and Wood Science. Iowa State University Press /
Ames.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Badan Litbang Kehutanan, Departemen
Kehutanan. Jakarta
Hunt, J.F. 2000. Utilization of Small-diameter Crooked Timbers for Use in Laminated Structural Boards Through Development of New Sawing, Laminating, and Drying Processes. Proposal No. 01.FPL.C2 to USDA Forest Service, Forest Products Laboratory. Madison, Wisconsin.
________. and J.E. Winandy. 2003. Lam I-joist. A new Structural Building Product from Small-diameter, Fire-prone Timber. Research Note FPL-RN-0291. Forest Products Laboratory, USDA Forest Service. Madison, Wisconsin. p. 1-4.
Maloney, T.M. 1986. Juvenile wood. Problems in Composition Products. In: Proc. 47309 Juvenile Wood. What does it mean to Forest Management and Forest Products. Forest Products Research Society. Madison, Wisconsin.
McGavin, R.L., M.P. Davies, and W.J. Atyeo. 2006. Utilisation Potential and Market Opportunities for Plantation Hardwood Thinnings from QUEENSLAND and Northern New South Wales: Manufacturing and Products. Project No. PN05.2022. September 2006. Forest and Wood Products Research and Development Corporation. Australian Government.
Murphey, W.K. and R.N. Jorgensen. 1974. Wood as an Industrial Arts Material. Pergamon Press. New York. 38-48 pp.
Pasaribu, R. dan H. Roliadi. 2006. Kajian Potensi Kayu Pertukangan dari Hutan Rakyat pada Beberapa Kabupaten di Jawa Barat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006: Kontribusi Hutan Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan, di Bogor, 21 September 2006. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Roliadi, H., Abdurachman, N. Hadjib, O. Rachman, 2009. Pemanfaatan Kayu Berdiameter Kecil dan Kayu Reaksi untuk Balok I-joist Sebagai Bahan Bangunan Struktural. Laporan Hasil Penelitian 2009. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor
______________________________, E. Sarwono, M.I. Iskandar, dan A. Supriadi. 2010. Teknologi Pembuatan Broti Lamina tipe Papan dan Balok Girder untuk Produk Kayu Pertukangan. Rencana Penelitian Tim Peneliti 2010. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
______________________________, E. Sarwono, M.I. Iskandar, dan A. Supriadi. 2010a. Teknologi Pembuatan Broti Lamina Tipe Sirkular dan Balok Girder untuk Produk Kayu Pertukangan. Proposal Penelitian Tim Peneliti 2011. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Sarwono, E., M.I. Iskandar, dan K. Yuniarti. 2009. Pengembangan Teknologi Pemanfaatan Dolok Kayu Hutan Tanaman untuk Broti Lamina Berbentuk Papan dan Tubular. Proposal Penelitian Tim Peneliti 2010-2014 (Konsep Awal). Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor
Walker, J.C.F., B.G. Butterfield, and. 1993. Primary Wood Processing. Chapman & Hall. London. p. 321-374.
Williamson, T.G. 2005. APA Engineered Wood Handbook. McGraw-Hill. New York – Chicago –
Singapore – Tokyo.
PENGARUH PEREBUSAN TERHADAP MUTU KAYU KERUING BERMINYAK JENIS KELADAN (Dipterocarpus gracilis Bl.)
SEBAGAI KAYU LAPIS 17
Oleh
A. Supriadi2, M.I. Iskandar2 & A. Turoso3
ABSTRAK
Industri kayu lapis di Indonesia tengah menghadapi kesulitan karena menurunnya pasokan kayu. Untuk itu telah diteliti kemungkinan pemanfaatan kayu keruing berminyak jenis keladan (Dipterocarpus gracilis Bl.) sebagai bahan baku. Hasil penelitian menunjukkan dimensi, kadar air dan keteguhan rekat kayu lapis dari dolok keruing keladan yang direbus memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI), sedangkan yang tidak direbus hanya memenuhi standar dari aspek dimensi dan kadar air. Mutu penampilan kayu lapis dari dolok keruing yang direbus (mutu C) lebih rendah daripada yang tidak direbus (mutu A). Perlakuan perebusan telah dapat menurunkan kandungan zat ekstraktif dari 9,58% menjadi 4,59%. Kata kunci : Kayu keruing berminyak, mutu penampilan, kadar air, keteguhan rekat, zat ekstraktif, Keladan
I. PENDAHULUAN
Industri pengolahan kayu saat ini banyak mengalami kekurangan bahan baku karena kemampuan produksi kayu bulat terutama dari hutan alam yang terus menurun. Realisasi produksi kayu bulat tahun 2007 sebesar 31.491.584 m3, jauh di bawah dari kebutuhan sekitar 50.000.000 m3 (Anonim, 2008). Dampaknya adalah makin sulitnya industri memperoleh pasokan bahan baku. Hal ini tercermin dari menurunnya jumlah industri kayu primer termasuk industri kayu lapis. Pada tahun 1977 jumlah industri kayu lapis di Indonesia sebanyak 121 unit, sedangkan pada tahun 2005 hanya tinggal 55 unit (Iskandar dan Kliwon, 2006).
Jenis-jenis kayu untuk bahan baku kayu lapis harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain, berat jenis (0,35-0,75), bentuk lurus (silindris), kadar air (minimal 50-60%), kembang susut rendah, struktur kayu seragam, tekstur baik, dan kandungan zat ekstraktif serendah mungkin (Kliwon dan Iskandar, 1994). Salah satu jenis kayu alternatif yang berpeluang cocok untuk dikembangkan sebagai bahan baku kayu lapis adalah kayu keruing, Dipterocarpus spp. (Dipterocarpaceae).
Kayu keruing banyak jenisnya, antara lain jenis keruing keladan (D. Gracilis) yang termasuk jenis keruing berminyak (Sutigno dan Iskandar, 1994). Kandungan minyak dalam kayu berpengaruh terhadap sifat perekatan sehingga dapat menurunkan kualitas kayu lapis yang dihasilkan. Untuk meningkatkan mutu perekatannya, kadar minyak tersebut harus diturunkan sebelum dibuat venir, misalnya dengan perebusan.
Makalah ini menyajikan pemanfaatan kayu keruing keladan sebagai bahan baku kayu lapis. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi tentang sifat fisis dan mutu penampilan venir, dimensi, sifat fisis dan keteguhan rekat kayu lapis serta kadar zat ekstraktif dari dolok yang tidak direbus dan yang direbus.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan dolok keruing keladan dari Kutai Timur Samarinda, Kalimantan Timur sebanyak ± 2 m3, dengan perekat Urea Formaldehida (UF). Pembuatan kayu lapis dilakukan di PT. TY Sawmill Plywood Samarinda. Kayu lapis yang dibuat berukuran tebal 4 mm (3 lapis). Sebagian dolok
1 Makalah penunjang pada Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya
tanggal 24 Nopember 2010 di Bogor. 2 Peneliti pada Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. 3 Teknisi pada Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor.
direbus pada suhu 800 C selama 16 jam dan yang lain tidak direbus. Pengujian sifat venir dan kayu lapis dilakukan di Laboratorium Puslitbang Hasil Hutan Bogor.
Contoh uji untuk penelitian kadar air berukuran 10 x 10 cm dan keteguhan rekat 10 x 2,5 cm masing-masing sebanyak 4 ulangan. Untuk pengujian kadar ekstraktif, dolok dibuat contoh lempengan ukuran 5 x 5 x 5 cm, dan kemudian dilarutkan dalam alkohol benzena. Banyaknya zat ekstraktif yang larut diamati.
Seluruh data sifat fisis dan keteguhan rekat kayu lapis dihitung rata-ratanya, dan kemudian dibandingkan dengan standar SNI (Anonim, 2002). Penghitungan yang sama dilakukan pada data kelarutan kayu dalam alkohol benzena, dan kemudian dibandingkan antara kayu keruing yang direbus dengan yang tidak direbus.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat Venir
Data menunjukkan bahwa kadar air venir dari dolok yang direbus lebih tinggi daripada venir dari dolok yang tidak direbus, sebaliknya penyusutan venir dari dolok yang direbus lebih rendah dibandingkan dari dolok yang tidak direbus (Tabel 1).
Tebal dan kerapatan venir dari dolok yang direbus sama besarnya dengan yang tidak direbus. Mutu penampilan venir dari dolok yang direbus (mutu C) lebih rendah dibanding yang tidak direbus (mutu A).
Tabel 1. Nilai Rata-rata Sifat Fisis dan Mutu Penampilan Venir Keruing Keladan
No. Mutu penampilan dan dimensi
Dolok direbus 16 jam Dolok tidak direbus
1 2 3 4 5
Kadar air (%) Tebal (mm) Kerapatan (g/cm3) Penyusutan (%) Mutu penampilan
10,25 1,20 0,70 8,75 C
9,15 1,20 0,71 9,18 A
B. Mutu Penampilan dan Dimensi Kayu Lapis
Tabel 2 menunjukkan bahwa penampilan kayu lapis lapisan muka, lapisan dalam dan lapisan belakang untuk dolok yang direbus termasuk mutu C dan yang tidak direbus mutu A. Perlakuan perebusan telah menurunkan mutu penampilan kayu keruing.
Dimensi dolok keruing yang direbus sama dengan yang tidak direbus, keduanya memenuhi persyaratan SNI (SNI, 2002), dimana panjang tidak melebihi 1,6 mm; lebar tidak melebihi 1,6 mm; toleransi tebal ± 5% dan selisih panjang diagonal tidak melebihi 3 mm.
Tabel 2. Mutu Penampilan dan Rata-rata Dimensi Kayu Lapis Keruing
No Mutu penampilan dan
dimensi Dolok direbus 16 jam Dolok tidak direbus
1 2 3 4 5
Mutu penampilan Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (mm) Diagonal (cm)
C 244,2 122,2 4,0
272,2
A 244,2 122,2 4,0
272,2
C. Sifat Fisis dan Keteguhan Rekat Kayu Lapis
Dolok kayu keruing yang direbus memiliki kadar air dan keteguhan rekat yang lebih tinggi dari pada yang tidak direbus (Tabel 3). Perebusan menyebabkan pengeluaran zat ekstraktif yang larut dalam air panas, di samping gula, pati, pektin, tannin dan zat warna (antosianin dan quinon), sehingga dapat mempengaruhi proses perekatan.
Dengan demikian perebusan kayu keruing dapat meningkatkan mutu perekatan. Kerapatan keruing yang direbus relatif sama dengan yang tidak direbus.
Tabel 3. Sifat Fisis dan Keteguhan Rekat Kayu Lapis Keruing
No Sifat fisis dan keteguhan
rekat Dolok direbus 16
jam Dolok tidak direbus
1 2 3 4
Kadar air (%) Kerapatan (g/cm3) Keteguhan rekat (kg/cm2) Kerusakan kayu (%)
10,45 0,76 9,78 57,80
9,28 0,77 5,95 25,19
Kadar air baik kayu keruing yang direbus maupun yang tidak direbus memenuhi persyaratan SNI
(2002) karena tidak lebih dari 14%. Keteguhan rekat kayu keruing yang direbus juga memenuhi standar, sedangkan keruing yang tidak direbus tidak memenuhi standar karena nilainya di bawah 7 kg/cm3.
Kerusakan kayu rata-rata pada kayu lapis dari dolok keruing yang direbus (57,80%) lebih tinggi dibandingkan dari dolok yang tidak direbus (25,19%). Perlakuan perebusan, meskipun meningkatkan keteguhan rekat kayu lapis, menimbulkan kerusakan kayu dan menurunkan mutu penampilan kayu lapis.
D. Kelarutan Kayu Keruing
Hasil uji kelarutan kayu keruing keladan menunjukkan adanya zat lemak, resin dan gum yang larut dalam alkohol benzene. Kada zat ekstraktif dolok yang direbus pada suhu 800 C selama 16 jam sebesar 4,59%, sedangkan yang tidak direbus 9,58%. Perlakuan perebusan telah menurunkan kadar zat ekstraktif sebesar 4,99% (Tabel 4).
Tabel 4. Kelarutan Kayu Keruing dalam Alkohol Benzene
No. Keterangan Kadar zat ekstraktif (%)
1 Dolok direbus 16 jam 4,59 2 Dolok tidak direbus 9,58
IV. KESIMPULAN
1. Hasil perlakuan perebusan dolok kayu keruing keladan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dari aspek dimensi, kadar air dan keteguhan rekat kayu lapis, sedangkan yang tidak direbus hanya memenuhi standar dari aspek dimensi dan kadar air.
2. Perebusan menurunkan mutu tampilan dari A ke C, namun tidak menurunkan dimensi. Perlakuan ini juga menurunkan kandungan zat ekstraktif dari 9,58% menjadi 4,59%.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Mutu Kayu Lapis Penggunaan Umum. Satandar Nasional Indonesia. SNI 01-2704-2002. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
Anonim. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta
Kliwon, S. dan M.I. Iskandar. 1994. Sifat Kayu Lapis dan Papan Partikel beberapa Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri. Prosiding Diskusi Hasil Penelitian, 1994, pp.: 461 - 470 Puslitbang Hasil Hutan dan Sosek Kehutanan. Bogor.
Iskandar, M.I. dan S. Kliwon. 2006. Pemanfaatan Kayu Mangium untuk Bahan Kayu Lapis dan Kayu Lapis Indah. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. 2005, pp.: 117 – 130. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor.
Sutigno, P. dan M.I. Iskandar. 1994. Kesesuaian Kayu Keruing untuk Kayu Lapis Jenis Kayu dari Kalimantan Selatan. Laporan Proyek Penelitian Puslitbang Hasil Hutan dan Sosek Kehutanan. Bogor
PENGUJIAN GESER TARIK (KEDAP REBUS DAN CUACA) PRODUK KAYU
PERTUKANGAN 1)8
Oleh :
M.I. Iskandar 2)
ABSTRAK
Pengujian geser tarik kedap dan cuaca adalah suatu pengujian kayu lapis tipe WBP yang berarti tahan terhadap
cuaca, organisme mikro, air dingin, air panas, panas kering dan tahan lembab. Perekat yang digunakan adalah phenol
formaldehida.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengujian geser tarik kedap rebus dan cuaca produk kayu lapis
pertukangan. Analisis data penelitian dilakukan dengan uji statistik rancangan percobaan tersarang. Standar yang
digunakan dalam pengujian kayu lapis adalah standar Inggris.
Hasil penelitian ini menunjukan kadar air dan uji geser tarik memenuhi syarat standar pengujian. Hasil sidik
ragam menunjukkan macam ekstender tidak berbeda nyata, sedangkan kadar ekstender berbeda sangat nyata.
Kata kunci : Geser tarik, kedap rebus dan cuaca, kayu pertukangan.
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal akan hutannya sehingga sering dijuluki
dengan jamrud katulistiwa. Berbagai macam sumber daya alam yang tersimpan di dalam hutan diantaranya
adalah kayu. Kayu memiliki sifat-sifat utama yaitu unisotropis atau memiliki kembang susut yang tidak
sama serta higroskopis yaitu mudah menyerap air. Kayu memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan
manusia, mulai dari yang sederhana tidak memerlukan alat atau mesin-mesin yang dibuat kayu bakar
sampai pembuatan kayu lapis yang memerlukan mesin-mesin modern yaitu industri kayu lapis untuk
memperoleh produk yang tidak kalah mutunya dengan kayu utuh.
Industri kayu lapis sudah dikenal sejak sebelum Perang Dunia II. Pada saat itu sudah ada dua buah
pabrik kayu lapis di Sumatera yang didirikan pada tahun 1920 dan 1927. Di Jawa pabrik kayu lapis mulai
ada pada tahun 1950. Teknologi yang dipergunakan masih sederhana. Sebenarnya pada tahun 1960-an
merupakan awal yang baik bagi perkembangan Industri kayu lapis berkenaan dengan bantuan Jepang
dalam rangka pampasan perang. Waktu itu mulai dibangun dua buah pabrik kayu lapis di Sulawesi dan
Kalimantan. Teknologi yang dipakai sudah termasuk modern pada saat itu. Karena berbagai hal kedua
pabrik itu pada tahun 1970 belum berproduksi.
1) Makalah penunjang pada Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan
Lainnya” pada tanggal 24 Nopember 2010 di Bogor. 2) Peneliti pada Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.
Perkembangan yang berarti terjadi pada tahun 1970-an melonjak pada tahun 1980-an sejalan
dengan peningkatan kegiatan Hak Pengusaha Hutan (HPH). Disamping itu juga pemerintah mendorong
berdirinya industri pengolahan kayu. Selain jumlah pabrik yang bertambah banyak, terdapat penambahan
dari macam produk yang dihasilkan. Penggunaannya pun bertambah luas, mulai dari peti teh, mebel,
komponen rumah sampai ke cetakan beton.
Pengujian atau pemilihan atau penetapan mutu (grading) kayu lapis dilakukan untuk mengetahui
kualitas kayu lapis sehingga dapat menggolongkan ke dalam suatu kelas atau tingkat mutu tertentu.
Kegiatan ini dilakukan di laboratorium dan di luar laboratorium. Pengujian di laboratorium dikerjakan
terhadap contoh uji yang lebih kecil daripada ukuran panel sehingga termasuk pengujian yang bersifat
merusak. Pengujian di luar laboratorium dilakukan terhadap contoh berupa panel dan tidak bersifat
merusak. Ditinjau dari penggunaan alat ada pengujian visual atau tanpa alat dan ada pengujian dengan
memakai alat (Sutigno dan Sulistiningsih, 2010).
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pengujian geser keteguhan rekat dengan menggunakan
metode tarik (kedap rebus dan cuaca) produk kayu pertukangan.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan adalah venir dari jenis kayu damar (Agathis alba Foxw), bahan pembantunya yaitu perekat Fenol formaldehida cair, ekstender serbuk ampelas kayu lapis, serbuk ampelas papan partikel dan pengerasnya pada formaldehida. Alat yang dipakai adalah oven, kempa dingin, kempa panas, timbangan, mistar geser, penangas dan mesin uji universal.
B. Metode Penelitian
1. Prosedur Pengujian Geser Tarik Contoh uji berukuran 13,5 x 2,5 cm dengan panjang bidang geser 2,5 cm takik dibuat sedalam 2/3
inti. Perlakuan terhadap contoh uji adalah direndam dalam air mendidih selama 72 ± 3 jam, kemudian dicelupkan dalam air 15 ± 5oC sampai dingin kemudian contoh uji dengan mesin uji universal.
Persyaratan keteguhan rekat dinyatakan dalam beban putus dan kerusakan kayu (Tabel 1).
Tabel 1. Persyaratan Geser Tarik Menurut Standar Inggris.
Beban putus rata-rata (b) Kgf/cm2
Kerusakan kayu (%)
Rata-rata Rata-rata minimum dari
potongan uji
3,5 ≤ b ≤ 7 7 < b ≤ 17 17 < b ≤ 25 25 < b
≥ 75 ≥ 50 ≥ 25 ≥ 15
25 15 5 0
2. Analisis Data Penelitian Analisis data penelitian dilakukan dengan uji statistik Rancangan Percobaan Tersarang 3 x 4 dimana
faktor A berjumlah 3 buah yaitu serbuk ampelas kayu lapis, serbuk ampelas papan partikel dan campuran keduanya. Faktor B yaitu dosis ekstender ada 4 buah yaitu 0,1 %, 0,2 %, 0,3 % dan 0,4 %. Dalam penelitian ini faktor A dan faktor B membentuk rancangan tersarang. Bila perlakuan pengujian berpengaruh nyata, dilakukan pengujian statistik lanjutan dengan uji Tukey (Sudjana, 2004).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Perekat Hasil penambahan air dan pengukuran kekentalan perekat dari 3 macam ekstender dan konsentrasi
ekstender tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Penambahan Air dan Kekentalan Perekat
No Macam Ekstender Kadar
ekstender (%)
Penambahan air
(ml)
Kekentalan (poise)
1 Serbuk ampelas kayu lapis 10 20 30 40
15 13 19 25
8 8,5 9 9
2 Serbuk ampelas papan partikel
10 20 30 40
6 14 20 35
8 9
9,5 9,5
3 Campuran No. 1 dan No. 2 10 20 30 40
8 15 21 37
9 9
9,5 9,5
Untuk mencapai kekentalan perekat yang realtif sama yaitu maksimum 10 poise, penambahan air
pada setiap komposisi perekat tidak sama. Dari banyaknya air yang ditambahkan terlihat bahwa semakin banyak ekstender yang ditambahkan ke dalam campuran perekat, maka jumlah air yang dibutuhkan untuk menurunkan kekentalan campuran perekat juga semakin banyak.
2. Kadar Air dan Kerapatan Nilai rata-rata kadar air dan kerapatan kayu lapis dari semua perlakuan tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Rata-rata Kadar Air (%) dan Kerapatan (g/cm3)
No Macam Ekstender Kadar
ekstender (%)
Penambahan air (ml)
Kekentalan (poise)
1 Serbuk ampelas kayu lapis 10 20 30 40
9,50 9,65 10,45 10,60
0,58 0,59 0,60 0,62
2 Serbuk ampelas papan partikel
10 20 30 40
9,30 9,60 10,55 10,65
0,57 0,58 0,60 0,61
3 Campuran No. 1 dan No. 2 10 20 30 40
8,50 9,70 10,20 10,50
0,59 0,60 0,60 0,63
Dari Tabel 3 terlihat bahwa kadar air rata-ratanya berkisar antara 8,50 % (campuran no. 1 dan no. 2
degan kadar ekstender 10 %) sampai 10,65 % (serbuk ampelas papan partikel dengan kadar ekstender 40 %). Berdasarkan persyaratan kadar air kayu lapis, ternyata nilai kadar air memenuhi persyaratan standar Inggris karena nilainya ada diantara 6 % sampai 14 %.
Dari Tabel 3 terlihat nilai kerapatan rata-rata kayu lapis berkisar dari 0,57 g/cm3 (serbuk apelas papan partikel dengan kadar ekstender 10 %) sampai 0,63 g/cm3 (campuran no. 1 dan no. 2 dengan kadar ekstender 40 %). Kerapatan kayu lapis ada kenaikan apabila dibandingkan dengan berat jenis kayunya yaitu 0,54 g/cm3 (Kertasudjana dan Martawijaya, 1977), hal ini disebabkan oleh adanya lapisan campuran perekat dan terjadinya pemadatan bahan kayu lapis akibat pengempaan dingin dan pengempaan panas.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa nilai kerapatan kayu lapis yang menggunakan ekstender serbuk ampelas kayu lapis, ekstender serbuk ampelas papan partikel dan ekstender campuran no. 1 dan no. 2 berbeda, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kadar air pada setiap campuran perekat.
.
3. Uji Geser Tarik (Kedap Rebus dan Cuaca) Hasil pengujian uji geser tarik dan kerusakan kayu rata-rata kayu lais dammar tercantum pada Tabel
4.
Tabel 4. Nilai Uji Geser Tarik (UGT) dan Kerusakan Kayu (KK) Rata-rata Kayu Lapis Damar.
No
Ekstender Nilai Rata-rata Nilai Standar
Macam ekstender
Kadar Ekstender
UGT (Kgf/cm2)
KK (%)
KK rata-rata minimum dari potongan uji
(%)
UGT (Kgf/cm2)
KK (%)
KK rata-rata minimum dari potongan uji
(%)
1 Serbuk ampelas kayu lapis
10 20 30 40
11 13,49 13,51 12,83
50 55 50 60
16 16 17 15
7 – 17 ≥ 50
≥ 15
2 Serbuk ampelas papan partikel
10 20 30 40
13,71 13,72 17,65 14,35
60 75 70 50
15 17 16 15
7 – 17 ≥ 50
≥ 15
3 Campuran No. 1 dan No. 2
10 20 30 40
13,53 14,83 16,34 15,64
55 60 55 50
17 18 17 16
7 – 17 ≥ 50
≥ 15
Hasil sidik ragam uji geser tarik kayu lapis tercantum pada Tabel 5
Tabel 5. Sidik Ragam Uji Geser Tarik Kayu Lapis Damar
Sumber Keragaman
DB JK KT F.hit F. Tabel
0,5 0,1
Rata-rata Macam Ekstender Kadar Ekstender Galat
1 2 9 36
9700,32 55,15 131,72 153,01
27,58 14,64 4,25
1,88 TN
3,44 **
4,26 2,15
8,02 2,94
Total 48 10040,20
Berdasarkan sidik ragam uji geser tarik kayu lapis pada Tabel 5, ternyata bahwa macam ekstender
tidak berpengaruh nyata terhadap uji geser tarik kayu lapis pinus, sedangkan kadar ekstender berpengaruh sangat nyata. Tidak nyatanya pengaruh macam ekstender terhadap uji geser tarik kayu lapis diduga karena sifat dasar serbuk ampelas kayu lapis dan serbuk ampelas papan partikel yang relatif sama.
Karena uji geser tarik cenderung menurun dengan meningkatnya kadar ekstender, maka untuk melihat hubungan antara uji geser tarik dengan kadar ekstender dilakukan analisis regresi, untuk membuktikan hubungan tersebut. Hasil analisis regresi antara kadar ekstender dengan uji geser tarik tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Sidik Ragam Regresi Kadar Ekstender dengan Uji Geser Tarik Kayu Lapis Damar
Sumber Keragaman
DB JK KT F.hit F.Tabel
Regresi linier 1 10,542 10,5424 4,03 4,67
Regresi Kuadratik 1 5,664 5,664 2,17 4,67 Galat 13 34,003 2,616
Total 15 50,209
Menurut standar Inggris, jika keteguhan rekat rata-rata lebih besar dari 7 kg/cm2 dan kurang dari
17 kg/cm2, kerusakan kayu minimumya aalah lebih besar atau sama dengan 15 % dan rata-ratanya lebih besar atau sama dengan 50 %. Dengan menggunakan batasan tersebut, dan berdasarkan analisis regresi Y = 7,8325x + 13,126, maka di dapat kadar ekstender optimum yaitu 31,09 % (30 %) dan kadar ekstender maksimum 55 %.
Tabel 7. Uji Tukey Komposisi Ekstender terhadap Uji Geser Tarik Kayu Lapis Damar
Kadar/Ekstender 10% 20% 40% 30%
NT 12,75 13,8 14,50 15,83
Dari hasil uji Tukey pada Tabel 7 diketahui bahwa kadar ekstender 30 % berbeda nyata dengan kadar 10 %, 20 % dan 40 %.
IV. KESIMPULAN
Nilai kadar air memenuhi persyaratan standar, begitu juga uji geser tarik kayu lapis damar
memenuhi standar Inggris. Berdasarkan hasil sidik ragam macam ekstender tidak berbeda nyata akan
tetapi kadar ekstender berbeda sangat nyata yaitu kadar ekstender 30 % berbeda nyata dengan kadar
ekstender 10 %, 20 % dan 40 %.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. British Standard Plywood BS 6566. British Standard Intitution, London.
Kartasudjana, I & A. Martawidjaya. 1977. Kayu Perdagangan Indonesia Sifat dan Kegunaannya. Bagian I
Laporan LPHH No. 3, Bogor.
Sudjana. 2004. Desain dan Analisis Eksperimen. Tarsito, Bandung.
Sutigno, P & I.M. Sulastiningsih. 2010. Pengujian kayu Lapis. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Keteknikan Kehutanan dan Pengelolaan Hasil Hutan, Bogor
A. Makalah Utama
PERAN HUTAN RAKYAT DALAM STRATEGI PENGEMBANGAN BAHAN BAKU KAYU
PERTUKANGAN: PEMBELAJARAN DARI KASUS TANAMAN JATI RAKYAT DI
KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAN TANAMAN JABON RAKYAT DI KABUPATEN
TANAH LAUT91
Oleh :
Dede Rohadi102
ABSTRAK
Perhatian terhadap hutan rakyat dipicu oleh permintaan yang tinggi terhadap bahan baku kayu pada saat
kapasitas hutan alam dalam memproduksi kayu semakin terbatas. Hutan rakyat mempunyai peran yang sangat nyata
dalam penyediaan bahan baku kayu untuk pertukangan, namun pada umumnya peran tersebut tidak begitu dikenal
karena model pengusahaannya yang lebih banyak dilakukan secara individual dalam skala yang kecil. Berbekal
pembelajaran yang diperoleh dari kasus tanaman rakyat jati (Tetona grandis) di Kabupaten Gunungkidul dan tanaman
rakyat jabon (Anthocephalus chinensis) di Kabupaten Tanah Laut, tulisan ini membahas peranan tanaman kayu
rakyat di dalam struktur ekonomi rumah tangga petani, serta berbagai permasalahan yang dihadapi petani di dalam
menjalankan usaha penanaman kayu. Pada akhir tulisan disampaikan beberapa alternatif strategi intervensi untuk
mendorong perkembangan usaha tanaman kayu rakyat yang akan berimplikasi kepada peningkatan pasokan bahan baku
kayu bagi keperluan industri perkayuan di Indonesia.
Kata kunci: hutan rakyat, perhutanan sosial, kayu pertukangan, jati, jabon
1. PENDAHULUAN
Permintaan bahan baku kayu untuk memasok kebutuhan industri perkayuan di Indonesia terus
mengalami peningkatan. Pada saat yang bersamaan kemampuan hutan alam untuk menghasilkan bahan
baku kayu yang dibutuhkan terus menurun. Pada awal tahun 2000 an Indonesia mengalami kesenjangan
yang sangat besar antara kebutuhan kayu bagi industri dengan kemampuan sumber daya hutan untuk
memproduksi kayu secara lestari. Kesenjangan tersebut telah memunculkan berbagai asumsi bahwa
sebagian besar (antara 68% sampai 82%) bahan baku kayu yang dikonsumsi industri perkayuan pada
waktu itu berasal dari tebangan ilegal (Micski, 2008).
Kesenjangan yang besar tersebut juga telah memicu kerusakan sumber daya hutan karena
pembalakan yang berlebihan dan telah memaksa sebagian besar industri perkayuan untuk menghentikan
kegiatan produksinya. Pembalakan yang berlebihan yang biasanya juga diikuti dengan perambahan areal
hutan tesebut telah menyebabkan laju kerusakan hutan sebesar 1.08 juta ha per tahun selama periode
1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya”,
Hotel Mirah Bogor, 25 November 2010. Diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.
2 Secondend scientist, Center for International Forestry Research. Bogor. Email: [email protected]
tahun 2000 dan 2006 serta menciptakan areal lahan kritis lebih dari 30 juta ha (Direktorat Bina Rehabilitas
Hutan dan Lahan, 2007).
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kesenjangan pasokan dan
kebutuhan bahan baku tersebut melalui program rehabilitasi hutan dan pembangunan hutan tanaman.
Salah satu upaya yang kini sedang dilakukan adalah mendorong partisipasi masyarakat di dalam kegiatan
penanaman hutan. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penanaman hutan tersebut sangat
beragam (lihat Tabel 1) dan hutan rakyat merupakan bentuk usaha tanaman kayu yang paling menonjol di
antara sekian banyak pilihan yang tersedia. Namun demikian, setelah sekitar dua dekade program
pelibatan masyarakat ini berjalan, capaian luas areal tanaman kayu rakyat relatif masih sangat rendah
apabila dibandingkan dengan potensi pengembangan yang tersedia.
Tulisan ini membahas peranan dan strategi pengembangan hutan rakyat (tanaman kayu rakyat)
berdasarkan pembelajaran (lessons learnt) yang diperoleh dari pelaksanaan kegiatan penelitian tanaman kayu
rakyat di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (hutan rakyat jati) dan di Kabupaten Tanah Laut,
Kalimantan Selatan (tanaman rakyat jabon). Tujuan tulisan ini adalah untuk lebih memahami posisi dan
karakteristik tanaman kayu rakyat, khususnya dari sudut pandang aktor utama yaitu para petani kayu,
dalam rangka perumusan strategi yang lebih tepat untuk mengembangkan usaha tanaman kayu rakyat.
Apabila intervensi dilakukan dengan tepat, maka diharapkan minat masyarakat di dalam usaha tanaman
kayu rakyat akan meningkat dan memberikan pengaruh positif bagi peningkatan pasokan bahan baku kayu
untuk keperluan industri perkayuan nasional.
Tabel 1. Karakteristik Berbagai Model Partisipasi Masyarakat di dalam Usaha Penanaman Kayu
di Indonesia.
No
.
Model sistem
manajemen
Tenurial Aktor utama
(pengguna lahan)
yang memiliki hak
Tujuan
pengelolaan Contoh
Kepemilikan Hak yang diberikan
kepada pengguna
1 Hutan
Kemasyarakat
an (HKm)
Negara
(Pemerintah
pusat,
propinsi atau
kabupaten)
Akses,
pemanfaatan dan
pengelolaan
Dinas Kehutanan
Propinsi atau
Kabupaten dan
kelompok
masyarakat
- Produksi
- Konservasi
- Hutan damar
di Lampung
- HKm jati di
Gunungkidul.
Lanjutan Tabel 1.
No
.
Model egara
manajemen
Tenurial
Aktor utama
(pengguna lahan)
yang memiliki hak
Tujuan
pengelolaan Contoh Kepemilikan Hak yang
diberikan kepada
pengguna
2 Hutan
Tanaman
Rakyat (HTR)
egara
(Pemerintah
kabupaten)
Akses,
pemanfaatan
dan pengelolaan
Kelompok
masyarakat, Dinas
Kehutanan dan
kemungkinn pihak
swasta (berdasarkan
kontrak)
- Produksi Dalam proses
pengembangan
3 Hutan desa egara
(Pemerintah
kabupaten/de
sa)
Akses,
pemanfaatan
dan pengelolaan
Kelompok
masyarakat,
individu dan
pemerintah desa
(berdasarkan
kontrak)
- Produksi
-Konservasi
Hutan desa di
beberapa
tempat di Jawa
4 Model
kemitraan
(perusahaan
dengan
masyarakat)
BUMN Akses,
pemanfaatan
dan pengelolaan
Kelompok
masyarakat dan
BUMN
(berdasarkan
kontrak)
-Produksi
-Konservasi
Model PHBM
atau MHBM di
Jawa.
5 Model
kemitraan
(perusahaan
dengan
masyarakat)
Perusahaan
swasta
Akses,
pemanfaatan
dan pengelolaan
Kelompok
masyarakat,
individu dan
perusahaan swasta
(berdasarkan
kontrak)
Produksi Tanaman
rakyat akasia di
beberapa
tempat di luar
Jawa
6 Hutan rakyat individu Akses,
pemanfaatan,
pengelolaan dan
pemindahan
kepemilikan
Individu Produksi Hutan rakyat
jati di
Kabupaten
Gunungkidul
I. PERKEMBANGAN HUTAN RAKYAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
Perkembangan hutan rakyat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks pembangunan
kehutanan secara umum. Salah satu alasannya adalah karena istilah hutan rakyat muncul sebagai akibat
dari diberlakukannya kebijakan-kebijakan dalam pembangunan kehutanan. Sejarah mencatat bahwa
setelah masa pergolakan kemerdekaan di Indonesia selesai, yang ditandai dengan tercapainya kestabilan
politik di dalam negeri, penataan terhadap sumber daya alam di Indonesia mulai dilakukan. Di sektor
kehutanan, kebijakan dalam penataan tersebut dimulai dengan diberlakukannya Undang Undang No. 5
Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (Basic Forestry Law). Berdasarkan undang-
undang ini status kepemilikan hutan telah dikelompokkan menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan
negara terdiri dari kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik,
sedangkan hutan milik ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik yang belakangan
juga dikenal dengan istilah hutan rakyat.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, pengelolaan hutan di Indonesia lebih banyak dipusatkan
kepada eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan para pemegang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH). Sekalipun pada tahun 1978 Jakarta menjadi tuan rumah penyelenggaraan
Kongres Kehutanan Sedunia (The World Forestry Congress) yang ke VIII dengan thema ”forest for people”,
perhatian terhadap hak-hak pengelolaan hutan oleh rakyat secara legal baru diimplementasikan pada tahun
1991 melalui program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Selanjutnya pada tahun 1995 konsep
Hutan Kemasyarakatan (HKm) mulai diperkenalkan, sekalipun sampai saat kini implementasi di
lapangannya pun masih banyak mengalami hambatan.
Setelah era reformasi, kondisi sumber daya hutan di Indonesia telah mengalami kerusakan yang
cukup parah dengan laju kerusakan hutan yang tinggi sehingga mencapai besaran 2.8 juta ha per tahun.
Perhatian pemerintah mulai terpusat kepada upaya-upaya rehabilitasi hutan, yang diawali dengan program
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL dan kemudian GERHAN) sejak tahun 2003.
Terlepas dari tingkat keberhasilannya yang kontroversial, program GERHAN telah melakukan
penanaman hutan secara masif, termasuk pada areal-areal hutan milik atau hutan rakyat. Perkembangan
terakhir ditandai dengan peluncuran program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sejak tahun 2006 dengan
target yang cukup ambisius, yaitu terbangunnya hutan tanaman yang dikelola masyarakat pada kawasan
hutan produksi yang sudah tidak produktif, seluas 5.4 juta ha pada tahun 2016. Kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan hutan rakyat (hutan milik) relatif tidak banyak, selain ketentuan tentang pedoman
pemanfatannya (melalui Permenhut No. P 26/Menhut-II/2005) dan tata tertib perdagangan kayu yang
dihasilkan dari areal hutan rakyat yang diatur dengan dokumen Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU)
(melalui Permenhut No. P. 51/Menhut-II/2006).
Berdasarkan kronologis singkat tersebut, nampak bahwa keterlibatan masyarakat di dalam
pengelolaan hutan lebih banyak diarahkan untuk upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khsusnya
masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, serta dalam rangka rehabilitasi kawasan hutan. Tujuan
yang lebih khusus diarahkan untuk kepentingan pasokan bahan baku kayu baru tercermin di dalam
program HTR yang sampai saat kini baru mencapai tahap inisiasi.
Data terkini mengenai potensi hutan rakyat belum terdokumentasi dengan baik dan masih
memerlukan verifikasi. Data Statistik Kehutanan Indonesia (2008) memperkirakan luas total areal hutan
rakyat di Indonesia saat ini mencapai sekitar 1.8 juta ha (lihat Gambar 1). Sebagian besar areal hutan
rakyat tersebut ditanam atas usaha swadaya masyarakat dan menyusul kemudian tanaman hutan rakyat
yang dibangun melalui program GERHAN.
Gambar 1. Kegiatan Penamaan Hutan Rakyat di Indonesia
(Statistik Kehutanana, 2008)
Mengenai produksi kayu dari areal hutan rakyat, data yang cukup akurat tersedia berdasarkan hasil
sensus pada tahun 2003. Berdasarkan hasil sensus tersebut tercatat bahwa potensi produksi kayu yang
berasal dari areal hutan rakyat di Indonesia adalah sekitar 68.5 juta pohon atau setara dengan 14 juta 11
* m3,
sementara jumlah cadangan tegakan mencapai lebih dari 226 juta pohon atau setara dengan 45 juta m3
(Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, 2004). Angka-angka tersebut hanya memperhitungkan tujuh
jenis tanaman hutan rakyat yang paling dominan ditanam oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia,
yaitu untuk jenis-jenis akasia (Acacia mangium), jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), pinus
(Pinus merkusii), sengon (Paraserianthes falcataria), sonokeling (Dalbergia latifolia) dan sungkai (Peronema
canescens).
Berdasarkan data tersebut maka potensi hutan rakyat sebagai pemasok bahan baku kayu sebenarnya
sangat besar. Apabila dibandingkan dengan data produksi kayu bulat nasional (Statistik Kehutanan
Indonesia, 2008), seperti terlihat pada Gambar 2, maka pada tahun 2004 potensi produksi kayu tanaman
rakyat telah menempati urutan pertama. Informasi-informasi tersebut di atas memberikan beberapa bukti
bahwa hutan rakyat memiliki peran yang sangat besar di dalam pemenuhan pasokan bahan baku kayu.
Gambar 2. Produksi Kayu Bulat Indonesia
(Statistik Kehutanana, 2008)
III. PROFIL HUTAN RAKYAT DALAM STRUKTUR EKONOMI RUMAH TANGGA
Pemahaman terhadap kinerja ekonomi dalam pengusahaan tanaman kayu rakyat, khususnya dalam
struktur ekonomi rumah tangga petani di pedesaan sangatlah penting. Petani pada umumnya jarang
menerapkan analisa ekonomi secara akurat di dalam kegiatan usaha tani mereka. Namun demikian, aspek
ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan biaya dan manfaat dari setiap kegiatan usaha tani sering
menjadi dasar pertimbangan utama di dalam keputusan petani dalam melakukan investasi di bidang usaha
tani, termasuk pada kegiatan tanaman kayu rakyat. Kegiatan penelitian yang dilakukan terhadap para
petani jati rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan para petani jabon di Kabupaten Tanah Laut
memberikan beberapa pembelajaran yang sangat menarik.
*Dengan asumsi bahwa 1 m3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang.
Hasil analisa biaya manfaat atas kegiatan usaha tanaman kayu rakyat serta beberapa kegiatan usaha
tani alternatif lainnya pada kedua kabupaten di atas disajikan pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kegiatan tanaman kayu rakyat memberikan keuntungan yang marjinal. Sekalipun secara ekonomis
usaha tersebut layak, namun kegiatan tanaman kayu rakyat kemungkinan besar bukanlah merupakan
pilihan usaha tani terbaik. Pada kasus tanaman jati rakyat, pada akhir masa rotasi (25 tahun) usaha
tanaman jati memberikan nilai rasio biaya manfaat atau benefit-cost ratio (BCR) dan nilai kini bersih atau net
present value (NPV) masing-masing sebesar 2.35 dan Rp 15 juta. Dibandingkan dengan alternatif usaha
tanaman pangan (palawija) yang lebih banyak dilakukan para petani, usaha tanaman kayu jati memberikan
nilai NPV dan BCR yang jauh lebih rendah. Kelebihan usaha tanaman kayu jati dibandingkan dengan
tanaman pangan adalah karena biaya pengadaan (establishment cost) dan pemeliharaannya yang relatif lebih
rendah.
Tabel 2. Analisa Biaya – Manfaat Tanaman Kayu Rakyat dan Kegiatan Usaha Tani Lainnya
dengan Rotasi Tebang 25 Tahun.
No. Jenis tanaman
Biaya
pengadaan
tanaman (Rp
1 juta)
Biaya
pemeliharaan per
tahun sampai
panen pertama
(Rp 1 juta)
Potensi
pendapatan
per bulan
(Rp 1 juta)
Nilai Kini
Bersih
(NPV)
Rasio biaya –
manfaat
(BCR)
1 Tanaman rakyat jati:
a. Model kitren 3.51 1.03 NA 15.07 2.35
b. Model tegalan
- Responden 1 1.67 1.58 0.44 44.62 4.31
- Responden 2 14.71 14.59 0.73 73.05 1.59
- Responden 3 5.14 4.99 2.18 220.43 6.21
- Responden 4 23.68 23.53 4.89 494.07 3.49
- Responden 5 7.97 7.87 1.45 185.40 3.20
2 Tanaman rakyat jabon
- Harga rendah 3.50 1.15 NA -0.07 0.99
- Harga tinggi 3.50 1.15 NA 6.02 2.17
3 Kebun karet
rakyat 6.80 2.50 1.05 - 2.89 151.80 3.41
4 Kebun kelapa
sawit 11.87 1.92 -2.44 4.65 - 9.85 484.89 10.22
Pada kasus tanaman jabon, kegiatan tanaman kayu bahkan dapat merugikan petani apabila tingkat
harga jual kayu jabon terlalu rendah, seperti yang terjadi pada beberapa kasus responden penelitian pada
saat ini. Pada tingkat harga normal yang diharapkan petani saat ini (Rp 275,000 per m3), usaha tanaman
kayu jabon layak secara ekonomis dengan nilai BCR 2.17 dan NPV sebesar Rp 6 juta pada akhir rotasi 25
tahun. Sekalipun layak secara ekonomis, tanaman kayu jabon kurang menarik bila dibandingkan dengan
usaha alternatif lain seperti tanaman karet atau kelapa sawit. Seperti halnya pada tanaman kayu jati,
kelebihan usaha tanaman kayu jabon dibandingkan dengan pesaingnya adalah karena biaya pengadaan dan
pemeliharaan yang relative rendah. Pada kasus tanaman kayu jabon tersebut, para petani melakukan
kegiatan penanaman karena usaha tersebut diawali dengan dukungan dan rencana pemasaran kayu hasil
tanaman dari salah sebuah perusahaan perkayuan.
Posisi usaha tanaman kayu di antara berbagai jenis usaha tani lainnya juga tercermin dari struktur
pendapatan rumah tangga. Pada kasus petani jati rakyat, kontribusi usaha tanaman jati terhadap
pendapatan rumah tangga petani hanya berkisar sekitar 11.6%, sementara sebagian besar sumber
pendapatan rumah tangga berasal dari kegiatan di luar usaha tani (Gambar.3). Demikian pula halnya
dengan kasus tanaman rakyat jabon, sebagian besar pendapatan rumah tangga bersumber dari kegiatan di
luar usaha tani, sementara hasil penjualan tanaman kayu belum memberikan kontribusi yang berarti
(Gambar 4).
Gambar 3. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Jati (%)
Gambar 4. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Jabon (%)
Hasil analisa finansial seperti dijelaskan di atas menunjukkan bahwa usaha tanaman kayu saat ini
belum menjadi bentuk usaha yang vital bagi petani pada umumnya. Namun demikian, hal tersebut juga
bukan berarti bahwa usaha tanaman kayu tidak memiliki peran yang penting di dalam struktur ekonomi
rumah tangga petani. Survey rumah tangga yang dilakukan terhadap 275 petani di Kabupaten Gunung
Kidul menunjukkan bahwa para petani, terlepas dari keterbatasan lahan pertanian yang mereka miliki pada
umumnya mengalokasikan sekitar 9% dari areal lahannya untuk penanaman kayu melalui penanaman
monokultur dengan dominansi kayu jati, atau dalam istilah lokal disebut sebagai kitren (Gambar 5). Pada
kasus petani penanam jabon di Kabupaten Tanah Laut, para petani rata-rata mengalokasikan sekitar 28%
areal lahannya untuk tanaman jabon, menyamai rata-rata alokasi lahan untuk kebun karet mereka (Gambar
6). Jumlah petani jabon di lokasi penelitian (Desa Asem Jaya, Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut)
adalah sekitar 8% dari jumlah keluarga petani di desa tersebut12.4
Gambar 5. Sistem Alokasi Lahan Tanaman Jati Rakyat
Gambar 6. Sistem Alokasi Lahan Tanamn Jabon Rakyat
Hasil survey rumah tangga terhadap para petani kayu di kedua kabupaten di atas melaporkan
bahwa motivasi utama para petani dalam kegiatan penanaman kayu adalah untuk tabungan keluarga. Bagi
petani jati di Kabupaten Gunung Kidul, tanaman jati merupakan tabungan keluarga yang dapat dijual
sewaktu-waktu pada saat keluarga membutuhkan uang dalam jumlah yang relatif besar, seperti untuk
4 Jumlah responden petani tanaman jabon yang diwawancarai di desa tersebut adalah 32 keluarga yang hampir mencakup seluruh petani jabon
yang ada di desa tersebut. Jumlah keluarga di desa adalah sebanyak 383 keluarga.
menyekolahkan anak, untuk persiapan perayaan pernikahan anak atau untuk renovasi rumah. Para petani
sering pula terpaksa menjual tanaman jati mereka pada saat paceklik untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Oleh karena itu para petani jati rakyat umumnya tidak mengenal rotasi tebang untuk tanaman jati
mereka. Mereka akan menebang kayu pada saat mereka butuh, sehingga sistem penebangan kayu jati
tersebut dikenal dengan istilah tebang butuh. Tabungan rumah tangga juga menjadi motivasi utama para
petani jabon di Kabupaten Tanah Laut. Motivasi untuk tabungan keluarga tersebut sekaligus menjelaskan
bagaimana para petani kayu tidak terlalu responsif terhadap sentimen pasar, misalnya pada saat terjadi
penurunan atau kenaikan harga kayu. Investasi mereka di dalam kegiatan usaha penanaman kayu selalu
disesuaikan dengan optimalisasi ketersediaan sumberdaya yang mereka miliki (lahan, tenaga kerja dan
input produksi lainnya). Walaupun demikian, para petani pada umumnya akan menyambut baik setiap
bantuan dari luar (pemerintah maupun non pemerintah) yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas tanaman kayu mereka.
IV. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PENGEMBANGAN TANAMAN KAYU RAKYAT
Data statistik yang tersedia memberikan gambaran bahwa tanaman kayu rakyat di Indonesia
memiliki peran yang sangat nyata sebagai sumber pemasok bahan baku kayu. Peran tersebut masih
berpotensi untuk ditingkatkan melalui peningkatan kinerja usaha tanaman kayu rakyat, baik pada aspek
luasan maupun produktivitasnya. Dalam upaya peningkatan kinerja tersebut, berbagai faktor penting perlu
mendapat perhatian yang lebih serius agar strategi pengembangan usaha tanaman kayu rakyat dapat
dijalankan dengan lebih efektif. Wijayanto (2006), dan Darusman dan Hardjanto (2006) telah
mengidentifikasi bahwa permasalahan dalam upaya pengembangan hutan rakyat masih mencakup faktor-
faktor yang sangat kompleks, karena melibatkan keseluruhan sistem di dalam pengusahaan tanaman kayu
rakyat tersebut, yaitu meliputi sistem produksi, pemasaran, pengolahan dan kelembagaan. Hasil
pembelajaran pada kasus-kasus tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Tanah Laut
memberikan gambaran bagaimana berbagai permasalahan di dalam faktor-faktor tersebut dijumpai di
dalam realita praktek pengusahaan tanaman kayu rakyat.
Pada sistem produksi, para petani tanaman kayu rakyat masih dihadapkan dengan keterbatasan
lahan, input produksi (seperti pupuk, bibit unggul dan modal kerja), tenaga kerja dan pengetahuan. Pada
aspek lahan, khususnya di Jawa, para petani memiliki lahan garapan dengan luasan yang sangat kecil. Hasil
survey rumah tangga di Kabupaten Gunung Kidul melaporkan bahwa luas kepemilikan lahan petani
sebagian besar (63%) berada di bawah 1 ha (Gambar 7). Untuk kondisi di luar Jawa, lahan garapan
umumnya cukup luas namun para petani sering memiliki permasalahan dalam hal status kepemilikannya.
Gambar 7. Distribusi Kepemilikan Lahan Petani jati Rakyat
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, usaha tanaman kayu saat ini masih menjadi usaha
sampingan petani. Dengan profil usaha seperti itu, maka penggunaan input produksi, seperti dalam hal
pengalokasian tenaga kerja, pupuk dan bibit unggul untuk kegiatan usaha tanaman kayu belum menjadi
prioritas utama petani. Sebagai contoh, di dalam praktek silvikultur atau teknik budidaya tanaman jati
rakyat, sebagian besar petani menggunakan bibit jati yang mereka tanam dari anakan alam yang mudah
diperoleh dari lahan mereka (Roshetko and Manurung, 2009). Hanya segelintir petani saja yang telah mulai
menggunakan bibit jati unggul. Konsep penjarangan (thinning) tegakan belum dipahami oleh sebagian
besar petani dan ide tersebut cenderung ditolak petani. Beberapa petani sudah mempraktekkan
pemangkasan pohon (pruning), namun tujuan dan teknik pelaksanaannya belum diarahkan kepada upaya
untuk memperbaiki kualitas kayu yang dihasilkan. Pemangkasan lebih bertujuan untuk mengumpulkan
kayu bakar dan pada umumnya dilakukan dengan meninggalkan potongan cabang yang akan berkembang
menjadi cacat mata kayu (dead knots).
Sistem pemasaran kayu rakyat masih menyisakan berbagai kendala. Para petani umumnya masih
menjumpai permasalahan dalam hal akses dan informasi pasar. Para petani jati rakyat di Kabupaten
Gunung Kidul umumnya berada pada posisi price takers dalam pemasaran kayu jati mereka. Harga kayu
lebih banyak ditentukan oleh pihak industri dan pedagang pengumpul (midllemen). Petani umumnya tidak
atau hanya sedikit mengetahui standar kualitas kayu jati yang dikehendaki industri. Disamping itu para
petani masih cenderung memasarkan kayu jati mereka secara individual karena variasi dalam waktu
tebang. Pada prakteknya petani lebih banyak menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri dan proses
penebangan dilakukan sepenuhnya oleh para middlemen. Praktek penjualan seperti ini membawa resiko
kerugian, umumnya bagi para petani karena terjadinya kesalahan dalam penaksiran nilai pohon. Para
pedagang kadangkala juga menanggung risiko kerugian karena cacat kayu yang tidak selalu nampak pada
saat pohon masih berdiri (Kurniawan et al, 2008).
Kebutuhan rumah tangga petani yang mendesak akan uang tunai sering memaksa petani untuk
menjual kayunya sebelum masa tebang optimal. Untuk jumlah uang tunai yang relatif kecil (< Rp 1 juta),
para petani umumnya telah memiliki akses pinjaman dari sumber-sumber informal, seperti dari pihak
keluarga, tetangga atau melalui perkumpulan-perkumpulan simpan pinjam. Namun demikian, untuk
jumlah pinjaman yang lebih besar petani masih mempunyai kesulitan karena lembaga keuangan seperti
perbankan masih menerapkan berbagai persyaratan yang menyulitkan (Nuryartono et al, 2008). Karena
peranannya sebagai tabungan keluarga, tanaman kayu umumnya tidak akan dikorbankan untuk memenuhi
desakan kebutuhan petani apabila mereka masih memiliki aset rumah tangga lainnya, seperti perhiasan,
barang-barang elektronik, kendaraan bermotor atau ternak. Namun apabila aset-aset tersebut sudah tidak
tersedia, maka petani akan menjual pohon jatinya sekalipun umur pohon masih relatif muda (Rohadi,
2009).
Pada sistem kelembagaan, upaya peningkatan usaha tanaman kayu rakyat masih terkendala oleh
kapasitas usaha kolektif petani di dalam sistem produksi dan khususnya pada sistem pemasarannya. Di
Jawa pada umumnya organisasi kelompok tani sudah berkembang cukup baik. Melalui kelompok tani,
inovasi teknologi dalam budidaya tanaman kayu, khususnya dalam aspek teknik silvikultur relatif mudah
dilakukan. Namun dalam hal pengorganisasian pemasaran, termasuk dalam pengelolaan keuangan
bersama dalam jumlah yang besar, masih menjadi tantangan yang lebih sulit. Kegiatan penelitian dalam
rangka pembinaan lembaga keuangan mikro petani di Kabupaten Gunung Kidul memberikan pengalaman
bahwa unsur kepercayaan di antara pengurus kelompok dan anggota, tatacara administrasi dalam
pengelolaan keuangan serta mekanisme kontrol pengelolaan organisasi masih menjadi hambatan utama
(Rohadi et al, 2010).
Program penyuluhan merupakan unsur yang penting dalam upaya pengembangan kelembagaan
masyarakat petani. Hambatan yang masih dijumpai di dalam program penyuluhan tersebut adalah
disamping jumlah tenaga penyuluh yang relatif masih terbatas, kemampuan para penyuluh dalam
memfasilitasi pemasaran kayu masih perlu ditingkatkan. Peningkatan kapasitas para tenaga penyuluh
sangat diperlukan agar mereka mampu memfasilitasi kelompok tani di dalam membangun jaringan
kerjasama dengan industri pengolahan kayu.
Dalam sistem tataniaga kayu, peraturan tentang dokumen tataniaga kayu seperti Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) masih menyebabkan biaya
transaksi tinggi bagi petani dan atau pedagang pengumpul. Para pedagang pengumpul di Kabupaten
Gunung Kidul harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pengurusan surat-surat tersebut yang jumlahnya
bervariasi dari Rp 25,000 sampai sekitar Rp 250,000 per trip pengangkutan. Biaya-biaya tersebut pada
akhirnya sering dibebankan kepada petani kayu dalam bentuk harga beli yang lebih murah dari para
pedagang kayu. Selain biaya, pengurusan dokumen transportasi kayu juga menjadi hambatan kelancaran
usaha bagi petani yang ingin memasarkan kayunya secara langsung ke pihak industri.
V. BEBERAPA ALTERNATIF STRATEGI UNTUK PENGEMBANGAN USAHA TANAMAN KAYU RAKYAT
Usaha tanaman kayu rakyat memiliki berbagai dimensi manfaat di dalam konteks pembangunan
kehutanan, dimana peranannya sebagai pemasok bahan kayu hanya merupakan salah satu dari manfaat-
manfaat tersebut. Departemen Kehutanan, melalui program perhutanan soial (social forestry) bertekad
untuk menjadikan usaha tanaman kayu rakyat sebagai alat untuk peningkatan kesejahteraan petani
sekaligus sebagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan (Rusli, 2003). Peningkatan kinerja usaha tanaman kayu
rakyat dengan demikian menjadi salah satu program prioritas nasional di sektor pembangunan kehutanan.
Berbagai alternatif strategi perlu dirumuskan untuk mendorong pengembangan usaha tersebut. Alternatif-
alternatif strategi tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi pengusahaan tanaman kayu rakyat serta
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh aktor utamanya, yaitu para petani kayu.
Permasalahan lahan merupakan faktor yang penting untuk diatasi. Untuk kasus di Jawa,
keterbatasan kepemilikan lahan relatif sulit diatasi karena tekanan jumlah penduduk yang tinggi. Akan
tetapi pada kenyataannya di lapangan masih dijumpai lahan-lahan milik negara yang pengelolaannya tidak
cukup produktif. Melalui skema-skema perhutanan sosial yang telah tersedia (hutan kemasyarakatan,
hutan desa dan hutan tanaman kemitraan) optimalisasi pengelolaan lahan tersebut masih mungkin untuk
ditingkatkan. Untuk kasus di luar Jawa, Departemen Kehutanan telah meluncurkan program Hutan
Tanaman Rakyat (HTR) sejak tahun 2006. Namun demikian dalam praktek pelaksanaannya masih
dijumpai kerumitan di dalam prosedur perizinan sehingga menjadi hambatan serius bagi masyarakat yang
ingin berpartisipasi di dalam program tersebut. Penyempurnaan prosedur perizinan untuk memberikan
pelayanan yang lebih cepat dan mudah bagi masyarakat merupakan strategi yang sangat dianjurkan
(Kartodihardjo et al, 2010).
Peningkatan motivasi petani untuk melakukan usaha penanaman kayu merupakan strategi yang
sangat direkomendasikan. Faktor kunci dari strategi ini adalah dengan menyediakan insentif ekonomi yang
lebih besar bagi usaha penanaman kayu. Insentif tersebut antara lain dapat diciptakan melalui bantuan
pemerintah dalam penyediaan input produksi, seperti bantuan bibit unggul dan pupuk; dan penciptaan
akses pasar yang lebih baik melalui pembangunan jaringan pemasaran dengan pihak industri (sebagai
contoh industri mebel bersertifikasi). Penyederhanaan aturan-aturan dalam tataniaga kayu yang bisa
mengurangi biaya transaksi dalam pemasaran kayu rakyat termasuk ke dalam strategi untuk meningkatkan
insentif bagi petani tersebut.
Peningkatan program penyuluhan dan kapasitas para tenaga penyuluh dalam menjalankan program
pendampingan masyarakat merupakan salah satu strategi yang juga perlu dilakukan. Pembelajaran yang
dapat dipetik dari kegiatan penelitian di Kabupaten Gunung Kidul dan Tanah Laut mengindikasikan
bahwa program penyuluhan saat ini terlalu terfokus kepada aspek-aspek teknik budidaya dalam
penanaman kayu yang sebenarnya relatif sudah dikuasai para petani. Program penyuluhan perlu
dikembangkan ke aspek pemasaran dan pengembangan kelembagaan masyarakat agar mampu menjadi
mitra yang efektif dengan industri pengolahan kayu.Intervensi pemerintah dalam penyediaan kredit mikro
bagi kelompok tani perlu dilakukan untuk menanggulangi kesulitan modal usaha dalam usaha penanaman
kayu. Skema pelayanan kredit mikro perlu didasarkan kepada kesungguhan motivasi petani di dalam
melaksanakan usaha dan bukan kepada format-format persyaratan administrasi yang bersifat kaku.
Persyaratan-persyaratan administrasi yang kompleks dan kaku cenderung akan menjadi faktor
penghambat bagi partisipasi masyarakat, menimbulkan biaya transaksi tinggi dan memicu penyalahgunaan
kredit oleh kelompok elit tertentu (elite capture). Peran penyuluh atau tenaga pendamping masyarakat
lainnya sangat penting dalam upaya peningkatan kapasitas organisasi kelompok tani.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Hutan rakyat, atau dalam konteks yang lebih umum, tanaman kayu rakyat mempunyai peran yang
sangat besar sebagai pemasok bahan baku kayu untuk kebutuhan industri. Meskipun demikian peran yang
besar tersebut belum begitu dikenal karena karakteristik pengusahaannya yang tersebar dalam skala kecil
dan lebih banyak dilakukan secara individual oleh para petani. Posisinya yang hanya sebagai usaha
sampingan petani menyebabkan pengelolaan tanaman kayu rakyat umumnya tidak dilakukan secara
intensif yang membawa implikasi produktivitas kayu yang dihasilkan relatif rendah dan dengan kualitas
kayu yang sangat beragam. Dari sudut pandang petani, sekalipun usaha tanaman kayu rakyat layak secara
ekonomis, namun mungkin bukan merupakan pilihan yang terbaik sebagai sumber pendapatan rumah
tangga. Potensi tanaman kayu rakyat masih sangat besar untuk dikembangkan apabila intervensi yang
dilakukan mampu menarik minat masyarakat untuk berusaha di bidang penanaman kayu.
Permasalahan yang dihadapi dalam rangka pengembangan usaha tanaman kayu rakyat sangat
kompleks dan mencakup keseluruhan aspek di dalam sistem pengusahaannya, yaitu meliputi sistem
produksi, pemasaran, pengolahan dan kelembagaannya. Pada dasarnya permasalahan utama yang dihadapi
untuk upaya pengembangan tanaman kayu rakyat adalah insentif ekonomi yang belum memadai bagi para
pelaku utama di dalam kegiatan penanaman kayu tersebut. Insentif yang rendah tersebut terutama
disebabkan oleh posisi tawar petani yang rendah serta terbatasnya akses dan informasi pasar bagi petani.
Tanaman kayu rakyat memberikan dampak lingkungan yang positif sehingga peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan usaha tanaman kayu rakyat semestinya memberikan insentif dan bukan aturan-aturan
yang menyebabkan biaya transaksi tinggi. Berdasarkan pembelajaran dari kasus tanaman jati rakyat di
Kabupaten Gunung Kidul dan tanaman jabon rakyat di Kabupaten Tanah Laut, tersedia beberapa
alternatif strategi intervensi untuk mendorong perkembangan usaha tanaman kayu rakyat. Alternatif
strategi tersebut adalah dengan mempermudah akses petani terhadap lahan negara, memperkuat organisai
petani melalui kegiatan penyuluhan yang intensif dan tepat sasaran, membangun kerjasama produksi dan
pemasaran kayu antara kelompok tani dengan industri pengolahan kayu serta dengan memberikan
program bantuan yang tepat sasaran, seperti penyediaan kredit mikro bagi petani.
DAFTAR PUSATAKA
Darusman, D. dan Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Makalah Seminar Hasil Litbang
Hasil Hutan. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2007. Resume Data Informasirehabilitasi Hutan dan
Lahan Tahun 2007. http://www.dephut.go.id/files/Resume%20Data%20 Informasi%20
RHL_2007.pdf, diakses tanggal 11 Maret 2010.
Kartodihardjo, H., Suharjito, D. dan Nugroho, B. 2010. Hambatan Pembaruan Kebijakan Pemanfaatan
Hutan Bagi Masyarakat Lokal: Kasus pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Laporan proyek.
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Kurniawan, I., Roshetko, J. and Anggakusuma, D. 2008. Community Teak Wood Marketing in Gunung
Kidul District, Yogyakarta Province: Current Practice, Problems and Opportunities. Project
Report. The World Agroforestry Center. Bogor.
Micski, J. 2008. Analisa dampak VPA terhadap Perdagangan Kayu Indonesia. EC-Indonesia Forest Law Enforcement, Governance and Trade Support Project.
Nuryartono, N., Kusumowardani, N., Effendi, J dan hasanah, H. 2008. Aspek Finansial Petani Jati
Gunung Kidul. Laporan proyek. InterCAFE-IPB. Bogor.
Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. 2004. Potensi hutan rakyat Indonesia 2003. Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Rohadi, D. 2009. Improving Economic Outcomes for Smallholders Growing Teak in Agroforstry System
in Indonesia. Project Newsletter. CIFOR. Bogor.
Rohadi, D., Roshetko, J., Nuryartono, N., Siswiyanti, Y., Sasono, M. J. and Blyth, M. 2010. Improving
Economic Outcomes for Smallholders Growing Teak in Agroforstry System in Indonesia. Project
Annual report. CIFOR. Bogor.
Roshetko, J. M. and Manurung, G. E. S. 2009. Smallholder Teak Production System in Gunungkidul,
Indonesia. Poster presented at the 2nd World Congress of Agroforestry. Nairobi.
Rusli, Y. 2003. “Social Forestry”: Pokok-pokok Pikiran. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi Juni. Jakarta.
Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Departemen Kehutanan. Jakarta. 2009. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Wijayanto, N. 2006. Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Makalah Seminar. Pekan Hutan Rakyat
Nasional. Loka Litbang Hutan Monsoon. Ciamis.
JENIS KAYU ALTERNATIF UNTUK PERTUKANGAN1
Oleh :
Jamal Balfas 213)
ABSTRAK
Defisiensi pasokan bahan baku bagi industri perkayuan telah menjadi masalah nasional dalam dekade terakhir.
Upaya Kementerian Kehutanan melalui pengembangan hutan tanaman industri dan hutan rakyat tidak mampu
menanggulangi permasalahan tersebut, sehingga diperlukan suatu solusi yang bersifat cepat dan praktis untuk
mempertahankan peran industri kayu nasional. Indonesia memiliki sumber kayu dan bahan berkayu lainnya dari areal
hutan rakyat dan areal perkebunan dalam jumlah sangat besar. Apabila potensi ini dapat dimanfaatkan secara efektif,
maka pemanfaatan tersebut akan mampu menanggulangi masalah defisit kayu nasional, terutama untuk kebutuhan
industri kayu pertukangan. Diperlukan perhatian dan upaya serius dari semua pihak dalam menanggulangi berbagai
permasalahan yang dihadapi untuk mencapai sukses dalam pemanfaatan potensi dan pengembangan produk kayu
alternatif.
Kata kunci: Kayu alternatif, defisit, potensi, pertukangan
I. PENDAHULUAN
Penurunan produksi kayu nasional secara drastis terjadi sejak diberlakukan kebijakan program restrukturisasi industri kehutanan, yang memuat kebijakan “Soft landing“ (Prakosa, 2002). Implikasi kebijakan ini menyebabkan penurunan ekspor produk perkayuan, perolehan devisa, pajak, kesempatan kerja dan beberapa implikasi lainnya. Pembatasan produksi kayu dari hutan alam secara alami menyebabkan peningkatan konsumsi kayu rakyat seperti sengon, afrika, kayu buah-buahan, puspa dan beberapa jenis lainnya dengan volume yang berlebihan (overcut) tanpa diimbangi dengan penanaman secara intensif. Fenomena ini akan mengantarkan masalah defisiensi kayu nasional menjadi lebih serius di masa mendatang, serta menimbulkan kecemasan pada semua pihak yang terkait dengan penggunaan kayu.
Gambaran perubahan di atas menunjukkan bahwa defisit pasokan bahan baku bagi industri perkayuan telah menjadi masalah nasional yang menuntut solusi cepat dan praktis sehingga mampu menyelamatkan sebagian industri perkayuan di dalam negeri. Dalam kebanyakan forum komunikasi ilmiah dilaporkan bahwa defisit kayu nasional akan mencapai lebih dari 50 juta m3 per tahun.
Dunia perkayuan saat ini sedang berupaya mencari material substitusi yang dapat mengganti kedudukan kayu tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Bagi Indonesia upaya tersebut tidak terlalu sulit untuk direalisasikan karena memiliki areal hutan rakyat yang cukup luas, yaitu lebih dari 1,5 juta hektar (Hindra, 2006). Selain itu, Indonesia juga memiliki perkebunan terluas di dunia, yang di dalamnya terdapat material berkayu dalam jumlah yang sangat besar. Tanaman perkebunan yang sudah dewasa, tidak produktif dan perlu peremajaan dapat menjadi sumber bahan substitusi kayu dan sumber bahan baku lestari bagi industri perkayuan nasional. Perkebunan karet seluas 3 juta ha (Anonim, 2008a) dan
1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan
Lainnya”, 25 November 2010
2 Peneliti Utama Pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor
sawit seluas 8 juta ha (Anonim, 2008b) di seluruh nusantara menjadikan Indonesia sebagai negara perkebunan karet dan sawit terluas di dunia. Dari kegiatan peremajaan areal kebun tersebut masing-masing dapat dihasilkan kayu karet sebanyak 180 m3/ha (Balfas, 1993) dan kayu sawit sebanyak 220 m3/ha (Balfas, 1997). Sementara dari potensi tanaman kelapa di Indonesia, Fruhwald et al (1992) memperkirakan potensi produksi kayu kelapa sekitar 4,5 juta m3/tahun.
Potensi material substitusi di atas baik dari sumber hutan rakyat maupun sumber perkebunan secara kumulatif mampu menanggulangi defisit kayu nasional yang dialami saat ini. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana membuat material substitusi yang sedemikian besar secara efektif mengganti atau mengisi kekurangan kayu baik pada tingkat nasional maupun internasional. Salah satu syarat penting yang harus dipenuhi adalah mendekatkan atau menyamakan karakteristik material substitusi dengan karakteristik yang dimiliki oleh material komersil yang secara tradisional diperoleh dari hutan alam.
Tulisan ini memberikan gambaran mengenai potensi bahan kayu alternatif untuk keperluan
pertukangan, terutama yang berasal dari lahan hutan rakyat dan lahan perkebunan, prospek
penggunaannya serta beberapa permasalahan yang perlu ditanggulangi untuk meningkatkan efektivitas
dalam pemanfaatan dan komersialisasi sumber kayu alternatif tersebut.
II. POTENSI KAYU ALTERNATIF
Secara umum potensi kayu alternatif untuk pertukangan dapat dibedakan ke dalam dua kelompok
menurut sumber material, yaitu hutan takyat dan perkebunan. Kelompok jenis potensial yang terdapat di
hutan rakyat diantaranya adalah bayur, durian, jabon, kemiri, mahoni, mangium dan surian. Potensi bahan
berkayu yang terdapat di lahan perkebunan terdiri dari karet, kelapa dan sawit.
A. Bayur
Kayu bayur (Pterospermum spp.) dikenal dengan berbagai nama daerah, seperti balang, cerlang,
wadang, walang, jitang, merilang, bangero dan beberapa nama lainnya. Jenis ini terdapat di banyak wilayah
nusantara terutama pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sumatra, Kalimantan dan Maluku. Potensi
jenis ini diperkirakan sekitar 50.000 hektar (Balfas dan Gintings, 2001) yang menyebar di lahan rakyat dan
daerah perkebunan dataran tinggi. Jenis kayu ini memiliki gubal berwarna putih sampai keabuan, dan kayu
teras berwarna merah sampai cokelat. Tekstur kayu agak kasar dengan orientasi serat lurus atau berpadu.
Jenis kayu ini baik digunakan untuk keperluan konstruksi ringan, rangka figura dan komponen furniture.
B. Durian
Kayu durian (Durio spp.) terdapat di seluruh wilayah Indonesia dengan perkiraan potensi lebih dari
400.000 hektar. Kayu ini memiliki gubal berwarna putih dan kayu terasnya berwarna merah – cokelat.
Tekstur kayu durian agak kasar dengan orientasi serat lurus atau berpadu. Kayu durian baik digunakan
untuk keperluan konstruksi ringan, isi panil dan komponen furniture.
C. Jabon
Kayu jabon (Anthocephalus chinensis) dikenal dengan berbagai nama daerah seperti kelempaian, hanja,
galupai, harapean, johan, ilan, taloh, tuak, tuneh, bance, pute, pontua, koa dan beberapa sebutan lainnya.
Pohon ini tersebar di seluruh wilayah nusantara dengan perkiraan potensi lebih dari 200.000 hektar. Kayu
ini memiliki warna gubal dan teras yang sukar dibedakan, berwarna kuning sampai krem, dengan tekstur
agak halus dan orientasi serat pada umumnya lurus. Kayu ini baik digunakan untuk mainan anak, kotak
buah, panil, rangka figura dan furniture.
D. Kemiri
Kayu kemiri (Aleurites moluccana) dikenal dengan nama kembiri, madang lajo, komere, muncang,
keminting, berau, nena, nyenga, anoi dan beberapa nama daerah lainnya. Jenis ini tersebar di seluruh
wilayah nusantara, terutama di lahan rakyat dan perkebunan swasta dengan perkiraan potensi sekitar
200.000 hektar. Kayu kemiri memiliki warna gubal dan teras relatif sama, yaitu berwarna putih
kekuningan, Kayu ini memiliki tekstur agak halus dengan orientasi serat lurus atau berpadu. Kayu ini baik
digunakan untuk mainan anak, kotak buah, rangka figura dan barang kerajinan.
E. Mahoni
Kayu mahoni (Swietenia spp.) terutama dikembangkan di wilayah Jawa, Sumatra dan Kalimantan
dengan perkiraan potensi sekitar 200.000 hektar yang terkonsentrasi pada areal hutan Perhutani, areal
konsesi (HPH) dan lahan rakyat. Jenis kayu ini memiliki kayu gubal berwarna putih hingga merah muda
dan kayu terasnya berwarna merah kecokelatan. Kayu ini memiliki tekstur agak halus dengan orientasi
serat lurus, berpadu dan kadang bergelombang. Kayu ini baik digunakan untuk panil, venir dekoratif,
ukiran dan komponen furniture.
F. Mangium
Kayu mangium (Acacia mangium) merupakan salah satu jenis kayu Hutan Tanaman Industri yang
dikembangkan paling masif di wilayah nusantara meliputi Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Papua. Potensi tanaman mangium secara nasional diperkirakan lebih dari 500.000 hektar. Kayu ini
memiliki gubal berwarna putih-krem dan bagian terasnya berwarna abu kecoklatan. Tekstur kayu
mangium agak kasar dengan orientasi serat lurus, berpadu dan kadang terpilin. Kayu ini baik untuk
keperluan pertukangan, mainan anak, ukiran dan furniture.
G. Surian
Kayu surian (Toona sureni) dikenal dengan berbagai nama daerah seperti serian, surian, ingul,
lemperah, redani, mesal, alipega, mapala, uwes, moroa, mozoa dan beberapa sebutan daerah lainnya. Jenis
ini menyebar di seluruh wilayah nusantara dengan perkiraan potensi lebih dari 100.000 hektar. Kayu ini
memiliki gubal berwarna krem dan kayu terasnya berwarna cokelat kemerahan. Kayu surian memiliki
tekstur agak halus dengan orientasi serat lurus, bergelombang dan kadang terpadu. Kayu ini baik
digunakan untuk panil, venir dekoratif, rangka figura dan komponen furniture ringan.
H. Karet
Kayu karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu jenis kayu perkebunan yang terdapat dalam
jumlah besar di wilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Indonesia memiliki
luasan kebun karet terbesar di dunia dengan porsi lebih dari 33% dari luas tanaman karet dunia (Anonim,
1993). Potensi kayu karet secara nasional adalah sekitar 17,9 juta m3/tahun (Balfas, 1993) dengan
konsentrasi wilayah terbesar adalah Sumatera dan Kalimantan, masing-masing sekitar 12,6 dan 4,4 juta
m3/tahun atau sekitar 70 dan 25% dari potensi kayu karet nasional. Kayu ini memiliki bagian gubal dan
teras berwarna relatif sama, yaitu putih-krem. Kayu karet memiliki tekstur agak halus dengan orientasi
serat lurus dan berpadu. Kayu karet baik digunakan untuk mainan anak, perkakas rumah tangga, barang
kerajinan, rangka figura, lantai (flooring) dan furniture.
I. Kelapa
Pohon kelapa (Cocos nucifera) terdapat di seluruh wilayah nusantara, mulai dari dataran rendah
sampai wilayah pegunungan, dengan konsentrasi tanaman pada daerah pesisir. Tanaman ini dibudidayakan
sebagai penghasil kopra, untuk kemudian dikonversi menjadi minyak sebagai bahan dasar pembuatan
minyak goreng, sabun, semir sepatu dan produk lainnya. Menurut Killman dan Fink (1996) terdapat lebih
dari 60 varietas tanaman kelapa yang telah dikembangkan untuk pengusahaan kopra. Wilayah yang
memiliki potensi kayu kelapa terbesar adalah Sumatera, Jawa dan Sulawesi dengan potensi masing-masing
sekitar 3,9, 2,9 dan 2,2 juta m3/tahun. Kayu kelapa memiliki warna merah hingga cokelat kehitaman
tergantung pada posisi dalam batang. Kayu ini memiliki struktur dan karakteristik berbeda dengan kayu
tradisional yang biasa diperoleh dari hutan alam, hutan tanaman maupun hutan rakyat. Kayu ini termasuk
dalam kelompok monokotil yang memiliki orientasi dan distribusi serat maupun parenkim berbeda
dengan kayu biasa (kelompok dikotil). Kayu ini tidak memiliki bagian gubal dan teras, justru bagian luar
kayu ini memiliki struktur serat lebih padat dibandingkan dengan bagian dalamnya. Secara longitudinal,
kayu dari batang bagian bawah lebih baik secara mekanis dibandingkan dengan kayu dari bagian di
atasnya. Karena sifat ini maka kayu kelapa biasa dibedakan penggunaannya menurut posisi dalam batang.
Bagian kayu luar biasa digunakan untuk keperluan konstruksi dan perkakas, sedangkan kayu bagian dalam
lebih banyak digunakan untuk keperluan furniture.
J. Sawit
Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
mengalami peningkatan rata-rata lebih dari 10%. Daur ekonomis yang digunakan dalam manajemen teknis
perkebunan sawit adalah sekitar 25 tahun. Setelah itu pohon sawit ditebang dan kebun diremajakan atau
ditanami dengan tanaman baru. Pada umumnya batang sawit hasil kegiatan peremajaan kemudian dibakar
atau dibiarkan melapuk setelah dikumpulkan berbaris di antara ajir tanaman baru. Dalam proses
pelapukannya batang sawit dapat menjadi sarang kumbang Oryctes rhinoceros dan penyakit Ganoderma
(Prayitno dan Darnoko, 1994) yang sangat potensial menyerang tanaman muda.
Hasil determinasi lapangan (Balfas, 1997) menunjukkan bahwa kerapatan pohon per hektar pada
saat peremajaan rata-rata berjumlah 128 pohon, dengan volume batang rata-rata 1,72 m3/pohon atau
volume batang 220 m3 per hektar. Berdasarkan pada kerapatan tegakan dan karakteristik fisik batang sawit
tersebut, serta daur produktif 25 tahun (tingkat peremajaan 4% per tahun) dan asumsi luas tanaman sawit
di Indonesia dewasa ini mencapai 8 juta hektar, potensi limbah batang kayu sawit secara nasional adalah
sekitar 70 juta m3/tahun. Propinsi yang memiliki potensi kayu sawit terbesar adalah Sumatera Utara dan
Riau dengan volume sekitar 15 juta m3/tahun. Secara umum potensi kayu sawit di Indonesia
terkonsentrasi di pulau Sumatera dengan volume lebih dari 52 juta m3/tahun atau sekitar 74% dari potensi
kayu sawit nasional. Struktur kayu sawit memiliki orientasi serat serupa dengan kayu kelapa, namun kayu
ini berwarna putih hingga kehitaman tergantung posisi pada batang. Kayu ini memiliki berbagai
karakteristik fisis, mekanis, keawetan dan pemesinan yang rendah, sehingga sukar dimanfaatkan tanpa
perlakuan khusus (Balfas, 1997). Kayu ini dapat digunakan untuk berbagai produk pertukangan, panil dan
furniture.
III. KARAKTERISTIK KAYU ALTERNATIF
A. Sifat Fisis
Karakteristik fisis kayu alternatif secara umum lebih rendah daripada karakteristik fisis kayu yang
biasa diperoleh dari hutan alam. Lampiran 1 menunjukkan bahwa kelompok jenis kayu alternatif memiliki
nilai berat jenis dan stabilitas dimensi yang rendah. Kelompok kayu ini memiliki nilai berat jenis umumnya
kurang dari 0,6 dan disertai dengan nilai pengembangan tangensial relatif tinggi. Kelemahan pada sifat fisis
ini secara teknis dapat disempurnakan melalui impregnasi resin organis atau resin sintetik, namun
perlakuan ini umumnya memerlukan biaya tinggi, sehingga secara ekonomis hanya efektif dilakukan pada
produk tertentu yang memiliki nilai jual tinggi.
B. Sifat Mekanis
Proporsional dengan karakteristik fisis di atas, sifat mekanis kayu alternatif umumnya lebih rendah
daripada sifat mekanis yang dimiliki oleh kayu asal hutan alam. Pada Lampiran 1 tampak bahwa berbagai
sifat keteguhan dari kelompok jenis alternatif relatif rendah, sehingga membatasi kegunaan kayu dari
kelompok ini untuk keperluan konstruksi. Kompensasi teknis yang biasa dilakukan untuk memenuhi
keperluan konstruksi adalah penggunaan sortimen yang berukuran lebih besar dibandingkan dengan
sortimen kayu hutan alam. Namun cara ini tidak mudah dilakukan karena pada umumnya sortimen kayu
alternatif tersedia dalam ukuran relatif kecil dan pendek. Kondisi ini menuntut proses konversi lebih
lanjut, yaitu dengan proses laminasi sebagaimana banyak dilakukan oleh industri kayu dewasa ini.
C. Sifat Keawetan
Kelemahan yang paling tidak disukai pada kelompok jenis kayu alternatif adalah sifat keawetan
yang rendah (kelas III – V). Kelompok jenis ini pada umumnya lebih banyak mengandung komponen
gula dan pati dibandingkan dengan kayu asal hutan alam. Kondisi kayu dengan karakteristik keawetan
seperti ini mutlak memerlukan perlakuan penyempurnaan keawetan. Penggunaan senyawa borax, basilit,
tribromofenol, copper-arsenic atau kombinasi senyawa tersebut lazim digunalkan untuk melindungi kayu
dari serangan jamur dan rayap.
D. Sifat Pemesinan
Karakteristik pemesinan kayu alternatif pada umumnya cukup baik, relatif setara dengan kayu hutan
alam (Lampiran 1), kecuali pada kayu kelapa dan kayu sawit. Kedua jenis kayu ini memiliki sifat
pemesinan yang rendah karena banyak mengandung jaringan parenkim. Jaringan ini bersifat non-
struktural sehingga mudah terkoyak oleh pisau pada mesin. Namun demikian kelemahan ini secara teknis
relatif mudah disempurnakan melalui proses impregnasi resin pada beberapa lapis sel (sekitar 2 mm) dari
permukaan kayu.
IV. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
A. Kelembagaan
Sistem pengusahaan dan pemanfaatan kayu alternatif terutama yang berasal dari areal perkebunan seperti bayur, karet, kemiri, kelapa dan sawit tidak memiliki struktur kelembagaan yang jelas. Departemen Pertanian tidak tergerak untuk membina usaha kayu asal kebun karena komoditi ini dianggap bukan komoditi pertanian. Sementara Departemen Kehutanan juga tidak tertarik untuk menangani industri ini karena tidak menggunakan kayu dari areal hutan. Departemen yang lebih peduli mengurusi industri kayu asal kebun adalah Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Banyak kegiatan yang telah dilakukan Deperindag dalam upaya pengembangan industri kayu kebun, terutama kayu karet dan kelapa. Namun demikian Departemen ini tidak memiliki konsep pembinaan yang konstruktif, sehingga perannya tidak begitu efektif dalam pengembangan industri kayu tersebut.
Secara profesional pembinaan industri kayu kebun di Indonesia ditumpangkan pada Asosiasi Kayu Gergajian dan Woodworking (Indonesian Sawmillers and Woodworking Association). Asosiasi ini secara mendasar tumbuh dalam kalangan pengusaha kayu hutan alam, yang memiliki naluri berbeda dengan pengusaha kayu karet, kelapa atau kayu kebun lainnya. Asosiasi ini relatif berperan tidak optimal dalam lingkup usaha kayu hutan alam, apalagi diberi tambahan tugas pembinaan industri kayu alternatif asal kebun.
B. Sumber dan Kualitas Bahan Baku
Sebagian besar sumber kayu alternatif berada di wilayah kebun rakyat, kecuali sawit dan mangium.
Areal kebun rakyat umumnya memiliki keterbatasan dalam kualitas tanaman dan infrastruktur.
Pemanfaatan kayu dari sumber ini memiliki resiko dalam hal kontinuitas supply, stabilitas harga, variasi
kualitas bahan baku dan pengurusan administrasi. Penggunaan bibit tanaman yang tidak selektif,
pemeliharaan tanaman yang tidak memadai serta kesalahan dalam pemeliharaan cenderung menghasilkan
kualitas kayu bulat yang lebih rendah dibandingkan dengan kayu asal perkebunan besar atau kayu
kehutanan.
Selain itu, kelompok jenis kayu alternatif asal perkebunan rakyat umumnya mudah terserang jamur
dan serangga, sehingga diperlukan cara penanganan yang cepat pada pengolahan tahap awal. Eksploitasi
kayu kebun seperti bayur, karet, kemiri dan kelapa tidak menggunakan perlakuan pencegahan (propilaktis),
sehingga sering terjadi penurunan kualitas bahan baku sebelum dilakukan pengolahan.
C. Bahan dan Teknologi
Bahan kimia, perekat, bahan finishing dan bahan pembantu lainnya yang diperlukan oleh industri
kayu alternatif diperoleh dari luar negeri (impor). Hal serupa harus dilakukan dalam memenuhi kebutuhan
mesin dan peralatan pengolahan kayunya. Hal ini otomatis memberi beban biaya produksi lebih tinggi dan
melemahkan daya saing produk kayu alternatif nasional di luar negeri.
D. Harga Bahan Baku dan Produk
Harga bahan baku kayu bulat dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami kenaikan yang
cukup tinggi, bahkan harga kayu bulat dari beberapa jenis alternatif di Jawa Barat telah mencapai harga
sekitar Rp 1.000.000/m3. Pada sisi lain harga jual produk kayu alternatif cenderung menurun akibat
persaingan produsen di dalam negeri. Fenomena ini perlu segera dibenahi untuk menjaga kelangsungan
industri kayu alternatif nasional.
F. Jenis Produk
Jenis produk dari kelompok jenis kayu alternatif yang dominan diekspor dari Indonesia adalah
komponen furniture, papan sambung (jointed boards) atau produk setengah jadi lainnya. Untuk
memperoleh margin yang lebih baik dan mengurangi kompetisi antar pabrik perlu dikembangkan
diversifikasi produk serta orientasi pada produk barang jadi. Upaya ini memerlukan dukungan kekuatan
dalam hal desain, pengendalian kualitas dan inovasi produk.
G. Riset dan Pengembangan
Sampai saat ini tidak ada satu institusi riset di Indonesia yang mendapat tugas khusus menangani
permasalahan dan penyempurnaan kualitas produk kayu alternatif. Sebagai contoh industri kayu karet
nasional tumbuh dengan kemampuan sendiri melalui adopsi paket teknologi dari luar negeri, khususnya
Malaysia. Kondisi pasif inilah yang menjadikan posisi Indonesia selalu menjadi pengikut dalam
perkembangan teknologi produksi kayu karet. China telah lama tampil sebagai pionir untuk berbagai
produk yang terbuat dari bahan alternatif seperti kayu poplar dan bambu. Hal serupa terjadi pada produk
kayu kelapa, di mana Philipina menjadi pionir dalam pengembangan produk kayu ini. Hampir mustahil
bagi industri kayu alternatif untuk melakukan pekerjaan riset dan pengembangan sendiri, karena
disamping secara rutin mereka telah disibukkan dengan target produksi, pekerjaan riset dan
pengembangan memerlukan anggaran, tenaga dan fasilitas khusus.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Areal perkebunan rakyat merupakan sumber bahan kayu alternatif yang dapat digunakan dalam
menanggulangi defisit kayu nasional. Potensi kayu alternatif secara nasional diperkirakan mampu
menanggulangi sebagian besar kebutuhan bahan baku industri perkayuan nasional.
Kelompok kayu alternatif memungkinkan digunakan sebagai bahan substitusi kayu konvensional
dengan beberapa perlakuan khusus. Kelompok kayu ini lebih ideal digunakan sebagai bahan baku bagi
industri kayu pertukangan. Produk yang dihasilkan sangat potensial menjadi komoditi ekspor yang bersifat
unik dan ramah lingkungan. Upaya pemanfaatan dan pengembangan bahan kayu alternatif memerlukan
penanganan lebih intensif, baik secara teknis maupun manajerial.
B. Saran
Indonesia memiliki sumber bahan kayu alternatif cukup besar, baik dari kebun rakyat, kebun besar
maupun hutan tanaman. Posisi ini memberikan peluang strategis bagi Indonesia untuk memimpin upaya
pemanfaatan dan pengembangan produk kayu ramah lingkungan. Hendaknya peluang ini dapat segera
ditangani secara serius baik oleh Pemerintah maupun swasta, sehingga tidak lagi menunggu investor asing
untuk pengembangan usaha kayu alternatif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008a. Statistik Perkebunan Indonesia 2008:Karet. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan, Jakarta.
Anonim. 2008b. Statistik Perkebunan Indonesia 2008:Kelapa sawit. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan, Jakarta.
Balfas, J. 1993. Status of Research and Development on Rubber-wood in Indonesia. International Forum
on Investment Opportunities in the Rubberwood Industri, 20-22 September 1993. Kuala Lumpur,
Malaysia.
Balfas, J. 1997. Sifat Dasar Kayu Sawit. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan
Pematang Siantar tanggal 18 -19 September 1997di Medan. Hlm. 137-154. Balai Penelitian
Kehutanan Pematang Siantar.
Balfas, J. 2002. Hasil Penelitian Dua Tahun Terakhir Kelompok Peneliti Pemanfaatan Hasil Hutan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi Hasil Hutan. Tanggal19 Desember 2002 di Bogor.
Hlm. 127-134.Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Balfas, J. Dan A.N. Gintings. 2001. Atlas Kayu Tanaman Indonesia. Indonesia Furniture Club. Jakarta.
Fruhwald, A. Rolf D.P. and Matthias S. 1992. Utilization of coconut timber. Deutsche Gesellschaft fur
Technische Zasammenarbeit (GTZ) GmbH. Hamburgh.
Hindra, B. 2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan.
21 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor
Killmann, F. and D. Fink. 1996. Coconut palm Stem Processing. Technical Handbook. Protrade
Deutsche Gesellschaft. Frankfurt.
Lubis, A.U, P. Guritno dan Darnoko. 1994. Prospek Industri dengan Bahan Baku Limbah Padat Kelapa
Sawit di Indonesia.
Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit . Vol. 2(3):203-209. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Prakosa, M. 2002. Kebijakan Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan. Policy paper Dephut.
Jakarta.
Prayitno, T.A. dan Darnoko. 1994. Karakteristik Papan Partikel dari Pohon Kelapa Sawit. Berita Pusat
Penelitian Kelapa Sawit . Vol. 2(3): 211-220. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Shaari, K., K.K. Choon and A.R.M. Ali. 1991. Oil Palm Stem Utilization: Review of research. Research
Pamphlet No.107. Forest Research Institute Malaysia (FRIM), Kuala Lumpur.
Lampiran 1. Karakteristik Kayu Jenis Alternatif
Jenis
kayu
Sifat fisis Sifat mekanis Kelas pemesinan Kelas
awet BJ PR PT Kr KL KT KK Ketam Bentuk Amplas
Bayur 0,44 3,
6
8,
5
119 489 251 III – IV II II II IV/V
Durian 0,58 3,
5
6,
6
364 618 274 II - III II II II IV - V
Jabon 0,42 3,
0
6,
9
268 387 374 III - IV II II II V
Kemiri 0,31 2,
8
5,
5
108 333 204 IV - V IV III III V
Mahoni 0,61 3,
3
5,
7
371 557 376 II - III II II II III
Mangium 0,59 3,
4
6,
3
337 512 329 II - III II II II IV
Surian 0,39 4,
3
8,
2
209 305 292 IV III III II IV
Karet 0,60 3,
3
7,
1
340 538 358 III II II II V
Kelapa 0,67 5,
3
- 422 892 513 II - III III III III V
Sawit 0,36 6,
4
- 138 353 310 IV III IV IV V
Keterangan: BJ = Berat jenis; PR = Pengembangan radial; PT = Pengembangan tangensial; Kr = Kerapatan; KL
= Keteguhan lentur; KT = Keteguhan tekan; KK = Kelas kuat
B. Diskusi
Tanya/saran:
1. Paribroto:
Mutu furniture perlu ada standar khusus seperti SNI. Perum Perhutani sudah terbiasa dengan standar seperti yang ditetapkan pada produk madu, hal yang sama dapat diterapkan pada produk furniture.
Jenis-jenis yang sudah biasa ditanam oleh masyarakat setempat perlu dikembangkan contohnya seperti kayu titi, gmelina dan sapium.
Balitbang sudah punya peta kayu andalan setempat untuk dimaksimalkan/digunakan, misalnya jenis-jenis kayu dari Bangka Belitung, Maluku, Bengkulu, Aceh dsb. Perlu ada percontohan di Litbang (semisal arboretum).
2. Margono
Ada seseorang yang meproses ijin HTR di Sumut dan membutuhkan dana (dari BLU). Petani membutuhkan dana untuk areal yang berada di kawasan non hutan padahal dalam konsep HTR dana diperuntukkan untuk kawasan hutan. Apakah ada konsep HTR yang berkaitan dengan BLU, dan apakah konsep HTR dapat dilakukan di kawasan non hutan. Konfirmasi dan mohon penjelasannya.
3. Bagia S.
Data areal penanaman/rehabilitasi hutan sangat besar, sehingga akan ada peningkatan jumlah produksi hasil hutan. Untuk itu diperlukan kejelasan mengenai kebijakan dan kerjasama dalam pengelolaannya. Apakah produksi kayu kita untuk memenuhi kebutuhan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan kayu dunia. Dikahawatirkan pertumbuhan industri akan terhambat dan lapangan kerja tidak terpenuhi, untuk itu diharapkan ada lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Kita bisa mengacu pada Vietnam yang menjual produksi jadi saja dan melarang ekspor bahan baku.
Permesinan dalam pengukiran kayu memerlukan biaya tinggi tetapi tidak mendidik generasi kita untuk berpikir kreatif dan tidak akan memberi dampak kepada pengrajin karena nilai seninya ditinggalkan, berbeda apabila dikerjakan dengan tangan (hand made) dengan ornament-ornament yang memiliki nilai seni. Jika hal ini dibiarkan dikahawatirkan penyerapan tenaga kerja akan berkurang dan justru akan memperbesar eksploitasi hasil hutan.
4. Yusram
Ada hal yang terlupakan, yaitu potensi sumber bahan baku kayu besar dan SDM yang kita milki bagus, tetapi mengapa kita tertinggal dari negara-negara lain seperti Malaysia. Kita terbiasa bermain sendiri bukan sebagai tim yang memerlukan kerjasama dengan baik. Perhutani diharapkan dapat menjadi bapak angkat industri kecil yang dapat mensuplai bahan baku dan peralatan/mesin.
Masyarakat di daerah Ciamis sangat bersemangat untuk menanam jenis-jenis pohon hutan rakyat, namun sayangnya tidak merasa didukung oleh Kementerian Kehutanan. Pungutan dalam pengurusan dokumen (SKAU) membebani masyarakat. Pembenahan sistim TUK HTR dapat mempercepat perbaikan sistim pengelolaan HTR.
Jawab :
1. Ir Daryono
Perhutani sudah mempunyai standar tersendiri sementara masyarakat menuntut standar sesuai
keinginan mereka. Dalam kebijakan peruntukan kayu, perhutani sudah merancang JPP (kelas umur 10
- 15 tahun) yang diharapkan cukup untuk kebutuhan pasar. Ancaman dampak penggunaan permesinan
tidak harus terjadi, apabila hasil pengolahan ukir dengan tangan (hand made) lebih baik dan lebih
murah. Lebih baik dikemas dalam satu branding sehingga dapat mengangkat kerajinan Jepara. Perlu
dibangun sistem kelembagaan, kerjasama dan marketing yang bagus untuk menambah daya tarik
produk. Selama ini kita hanya fokus diprosesnya saja. Diharapkan kelak buyer yang akan bergantung
pada kita, namun sampai saat ini fasilitas dari pemerintah juga lemah. Perhutani bisa bermitra dengan
industri kecil untuk mem-branding produk, serta akan mencari dan menentukan titik sinergi dan
berkolaborasi dengan pengrajin di Jepara.
2. Ir. Dede Rohadi, M.Sc
Perlu kritis juga dalam mentukan jenis kayu meskipun litbang telah mempunyai penelitian kayu
andalan setempat, aspek komersial perlu dilihat sehingga tidak salah dalam menanam. Meskipun luas
lahan yang disediakan 300.000 Ha untuk program HTR, namun masih terdapat beberapa kendala
dalam proses perijinannya seperti antara lain proses perijinan yang hingga dua tahun belum keluar serta
adanya kasus tumpang tindih lahan dengan perusahaan. Untuk BLU, insentif diberikan pada
masyarakat yang punya motivasi yang kuat. Pada dasarnya petani sangat hati-hati dalam meminjam
uang, namun penyalahgunaan pemanfaatkan kredit BLU ini menjadi kekhawatiran pemerintah
sehingga BLU perlu diperbaiki,
Kita selalu membuat team of the winner bukan the winning team, untuk itu perlu dirubah. Yang
krusial adalah kelembagaan yang baik. Untuk itu peran pemerintah sangat diperlukan untuk
memberdayakan potensi yang ada di masyarakat.
Untuk kayu tanaman rakyat sebaiknya tidak dibebabani dengan pungutan dalam pengurusan
dokumen seperti SKAU. Di sisi lain, dampak adanya persyaratan dokumen ini menimbulkan kewajiban
aparat lain untuk mengecek keabsahan dokumen ini. Masalah kelembagaan sepertinya simple tetapi
sangat kompleks. Untuk memproteksi suatu produk, misalnya rotan ada pertentangan antar asosiasi
sehingga selalu ada korban/pihak yang dirugikan. Dengan demikian tidak perlu ada proteksi, lebih baik
mengikuti mekanisme pasar. Industri besar dan industri kecil/pengrajin harus memiliki hubungan yang
baik.
3. Ir. Jamal Balfas, M.Sc
Litbang sudah memiliki tanaman percontohan beserta data informasinya namun dalam jumlah
sedikit dengan perawatan yang kurang. Ada kecemburuan terhadap pertumbuhan luas lahan tanaman
jenis kelapa sawit yang sekarang mendekati 70 juta hektar yang berasal dari bekas lahan hutan. Perlu
diusulkan agar Kementerian Kehutanan mempersyaratkan pengusaha perkebunan kelapa sawit dalam
membuka lahannya menanam jenis pohon berkayu (pohon kehutanan) di daerah riparian. Dari dulu
kita terbiasa mencari devisa dari kayu hutan alam, sebenarnya kita mempunyai potensi besar untuk
kayu karet. Untuk meningkatkan nilai jual, perlakuan tertentu pada kayu karet mutlak diperlukan,
contohnya untuk pembuatan garden furniture (outdoor). Pemakaian CNC pada kayu sangat sedikit dan
masing-masing ada segmennya sendiri, sehingga pengrajin Jepara tidak perlu khawatir. Umumnya
perusahaan asing dengan modal tinggi yang mampu membeli kayu, karena pembelian kayu harus
kontan/ada modal namun bagi pengrajin yang bermodal sedikit akan sangat susah memperoleh bahan
baku kayu. Saat ini orang keberatan dengan sistim tata usaha kayu yang ada, kalau perlu sistim ini
ditiadakan, atau paling tidak dimudahkan.
B. Makalah Penunjang
BAMBU KOMPOSIT SEBAGAI BAHAN PELENGKAP
KAYU PERTUKANGAN1)14
Oleh :
I.M. Sulastiningsih, M.I. Iskandar & Agus Turoso2)
ABSTRAK
Bambu komposit adalah suatu produk yang diperoleh dengan jalan menggabungkan beberapa elemen bambu dengan
menggunakan perekat. Macam produk bambu komposit tergantung dari jenis perekat dan bentuk elemen bambu yang
digunakan. Dengan menggunakan teknologi perekatan yang sudah maju maka berbagai macam produk dengan berbagai
macam ukuran dan penampilan dapat dibuat dari bambu. Produk tersebut dapat dibuat dengan kualitas tinggi,
penampilan yang sangat bagus dan bervariasi serta memberikan pilihan motif penampilan yang berbeda dibanding motif
penampilan kayu dan memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan tujuan penggunaannya. Bambu yang bentuk aslinya
bulat dan berlubang dapat diolah menjadi produk bambu komposit seperti papan wol bambu, papan semen partikel
bambu, papan partikel bambu, bambu lapis dan bambu lamina. Produk bambu komposit tersebut dapat digunakan
sebagai bahan pelengkap kayu pertukangan.
Pengembangan industri bambu komposit di Indonesia harus dilakukan karena dapat memberi sumbangan terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional, mewujudkan pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sekaligus mendukung upaya
pemerintah dalam melestarikan hutan karena kegiatan ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku kayu
sehingga dapat mengurangi laju penebangan pohon di hutan dan akhirnya mengurangi kerusakan hutan. Pengembangan
industri panel bambu harus didukung oleh kebijakan pemerintah, tersedianya pasokan bambu secara berkesinambungan
dan sosialisasi budidaya tanaman bambu kepada masyarakat luas.
Kata kunci: Papan wol bambu, papan semen partikel bambu, papan partikel bambu, bambu lapis dan bambu lamina
I. PENDAHULUAN
Manusia dalam kehidupannya sehari-hari tidak terlepas dari penggunaan akan kayu dan bahan
berlignoselulosa lain khususnya untuk bahan perumahan dan mebel yang dikenal sebagai kayu
pertukangan. Kebutuhan kayu di Indonesia untuk perumahan dan penggunaan lainnya terus meningkat
seiring dengan pertambahan penduduk. Sementara itu jumlah kayu yang tersedia semakin menurun jumlah
dan kualitasnya. Untuk memenuhi permintaan tersebut maka dilakukan usaha efisiensi pemanfaatan kayu
semaksimal mungkin dan pengembangan bambu komposit sebagai bahan pelengkap kayu pertukangan.
1) Makalah penunjang pada Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan
Lainnya” tanggal 25 November 2010 di Bogor 2) Peneliti dan teknisi pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Bambu komposit adalah suatu produk yang diperoleh dengan jalan menggabungkan beberapa
elemen bambu dengan menggunakan perekat. Macam produk bambu komposit tergantung dari jenis
perekat dan bentuk elemen bambu yang digunakan. Dengan menggunakan teknologi perekatan yang
sudah maju maka berbagai macam produk dengan berbagai macam ukuran dan penampilan dapat dibuat
dari bambu. Produk tersebut dapat dibuat dengan kualitas tinggi, penampilan yang sangat bagus dan
bervariasi serta memberikan pilihan motif penampilan yang berbeda dibanding motif penampilan kayu
dan memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan tujuan penggunaannya. Bambu yang bentuk aslinya
bulat dan berlubang dapat diolah menjadi produk bambu komposit seperti papan wol bambu, papan
semen partikel bambu, papan partikel bambu, bambu lapis dan bambu lamina. Produk bambu komposit
tersebut dapat digunakan sebagai bahan pelengkap kayu pertukangan.
Dalam produk komposit perekat merupakan bahan utama yang ditambahkan dalam tahapan proses
pelaburan atau pencampuran. Jenis perekat yang digunakan bisa perekat organik seperti urea
formaldehida, melamin formaldehida dan fenol formaldehida atau perekat anorganik yang disebut juga
sebagai perekat mineral seperti semen dan gipsum. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa perekat
dapat berasal dari elemen kayu itu sendiri yang berupa lignin.
Berglund dan Rowell (2005) mengemukakan keuntungan pengembangan produk komposit antara
lain dapat menggunakan kayu diameter kecil, menggunakan limbah dari industri pengolahan kayu,
membuat komponen yang seragam, mengembangkan produk komposit yang lebih kuat dibanding kayu
asalnya, dan dapat membuat produk komposit dengan berbagai bentuk. Keuntungan tersebut berlaku juga
dalam pengembangan produk bambu komposit. Sumberdaya bambu yang cukup potensial di Indonesia
perlu diolah menjadi produk bambu komposit yang dapat digunakan sebagai bahan pelengkap kayu
pertukangan sehingga dapat menambah ketersediaan kayu pertukangan.
Dalam tulisan ini dikemukakan beberapa macam produk bambu komposit yang dapat digunakan
sebagai bahan pelengkap kayu pertukangan. Bambu komposit yang dikemukakan meliputi papan semen
(papan wol bambu dan papan semen partikel bambu), papan partikel bambu, bambu lapis, dan bambu
lamina.
II. POTENSI SUMBERDAYA BAMBU
Tanaman bambu di Indonesia terdapat di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Pada tahun 2005 Departemen Kehutanan telah melakukan pendugaan potensi tanaman bambu di Indonesia berdasarkan data inventarisasi tahun 1999 yang merupakan data tanaman bambu di dalam kawasan hutan (Tabel 1) dan data hasil sensus pertanian tahun 2003, yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik, sebagai data tanaman bambu di luar kawasan hutan dengan luas total area tanaman bambu sekitar 1.414.000 ha. Kedua data tersebut digunakan sebagai data untuk menduga potensi tanaman bambu di Indonesia pada tahun 2000.
Table 1. Perkiraan Luas Tanaman Bambu yang Tumbuh di dalam Kawasan Hutan pada 11
Propinsi
No Propinsi Banyaknya plot dengan
tanaman bambu
Perkiraan luas,
x 1000 ha
1 Jambi 3 36
2 Sumatera Selatan 5 60
3 Nusa Tenggara Barat 2 24
4 Nusa Tenggara Timur 5 60
5 Kalimantan Timur 1 12
6 Kalimantan tengah 1 12
7 Kalimantan Selatan 5 60
8 Sulawesi Tengah 1 12
9 Sulawesi Tengggara 5 60
10 Sulawesi Selatan 2 24
11 Maluku 22 264
Total 52 624
Sumber : Departemen Kehutanan (2005)
Dengan asumsi laju deforestasi 2% maka luas tanaman bambu di dalam kawasan hutan pada tahun 2000 menjadi sekitar 611.520 ha. Pada tahun 1999 – 2000 Inventarisasi tanaman bambu juga dilakukan oleh UPT Badan Planologi Kehutanan di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan luas total area tanaman bambu sekitar 78.600 ha. Dengan demikian perkiraan luas tanaman bambu di dalam kawasan hutan pada tahun 2000 adalah sekitar 690.000 ha. Berdasarkan data tersebut maka perkiraan luas tanaman bambu seluruhnya di Indonesia pada tahun 2000 adalah sekitar 2.104.000 ha yang terdiri dari 690.000 ha tanaman bambu di dalam kawasan hutan dan 1.414.000 ha tanaman bambu di luar kawasan hutan.
III. BEBERAPA MACAM PRODUK BAMBU KOMPOSIT
A. Papan Semen
Bambu dapat digunakan sebagai bahan baku papan semen. Berdasarkan bentuk partikelnya papan semen dibedakan antara papan wol dengan papan semen partikel. Papan wol adalah papan semen yang bentuk partikelnya berupa wol atau ekselsior, sedangkan papan semen partikelnya dapat berupa selumbar, serutan, untai dan suban. Papan semen mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan papan partikel yaitu lebih tahan terhadap jamur, tahan air dan tahan api (Maloney, 1977). Papan semen ini juga tahan lama dalam penggunaannya sehingga biaya pemeliharaan rumah akan lebih murah.
Papan semen di samping memiliki kelebihan juga memiliki kelemahan dibanding papan tiruan lainnya antara lain lebih berat khususnya untuk papan semen partikel karena berkerapatan tinggi dan penggunaannya lebih terbatas sebagai bahan bangunan. Menurut Moslemi dan Pfister (1987), papan semen memerlukan waktu yang lama untuk mengeras sebelum mencapai kekuatan yang cukup. Kelemahan lainnya adalah tidak semua jenis kayu atau bahan berlignoselulosa dapat digunakan sebagai bahan baku papan semen karena adanya zat ekstraktif seperti gula, tanin dan minyak yang dapat mengganggu pengerasan semen. Ketidak sesuaian tersebut dapat diperbaiki dengan jalan merendam partikel kayu atau bahan berlignoselulosa dalam air dingin atau air panas sehingga zat penghambat tersebut larut dalam air.
Sulastiningsih, et al (1996) mengemukakan hasil penelitian papan wol bambu betung (Dendrocalamus
asper) dengan katalis CaCl2 dan Ca(OH)2 dan target kerapatannya bervarisi (0,6 ; 0,8 dan 1) g/cm3. Wol
bambu betung harus direndam dahulu dalam air dingin selama 48 jam sebelum dibuat papan wol.
Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa macam katalis sangat berpengaruh pada
penyerapan air dan keteguhan lentur papan wol. Kesetabilan dimensi dan sifat mekanis papan wol sangat
dipengaruhi oleh kerapatan papan wol. Pengembangan tebal, penyerapan air dan pengurangan tebal akibat
tekanan 3 kg/cm2 menurun dengan meningkatnya kerapatan papan wol, sedangkan keteguhan lentur
meningkat dengan meningkatnya kerapatan papan wol.
Tabel 2. Nilai Rata-rata Sifat Fisis dan Mekanis Papan Wol Bambu Betung
No
Sifat yang diuji
Katalis
Target kerapatan, g/cm3
0,6 0,8 1
1 Kadar air, %
CaCl2
Ca(OH)2
11,42
10,84
13,07
11,54
14,30
12,97
2 Pengembangan tebal setelah
direndam 24 jam, %
CaCl2
Ca(OH)2
4,02
3,60
2,42
2,23
1,66
1,62
3 Penyerapan air setelah
direndam 24 jam, %
CaCl2
Ca(OH)2
48,19
54,30
43,94
45,70
34,21
36,58
4 Pengurangan tebal akibat
tekanan 3 kg/cm2
CaCl2
Ca(OH)2
3,97
4,38
3,80
2,34
2,34
2,11
5 Keteguhan lentur, kg/cm2 CaCl2
Ca(OH)2
23,38
27,91
56,02
61,39
114,47
75,74
Hasil penelitian Sulastiningsih et al (2000) yang membuat papan semen partikel dari bambu betung
berupa untai (strand) dengan variasi kadar magnesium klorida (MgCl2) dan target kerapatan 1,2 g/cm3
menunjukkan bahwa partikel bambu betung harus direndam terlebih dahulu dalam air dingin selama 24
jam sebelum dibuat papan semen. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu dimana nilai faktor
kesesuaian bambu betung sebagai bahan baku papan semen sangat rendah yaitu kurang dari 28%
(Sulastiningsih et.al, 1998).
Nilai atau besarnya pengembangan tebal dan penyerapan air papan semen partikel bambu betung
menurun dengan meningkatnya kadar semen sedangkan nilai modulus patah dan kuat pegang sekrup
meningkat dengan meningkatnya kadar semen. Sifat kesetabilan dimensi dan sifat mekanis papan semen
partikel bambu betung meningkat dengan meningkatnya kadar MgCl2 dari 0% hingga 5% (Tabel 3). Pada
tingkat kadar MgCl2 yang lebih tinggi (7,5% dan 10%) terjadi sedikit penurunan dari sifat tersebut.
Kombinasi perlakuan kadar semen 250% dari berat partikel bambu betung dan kadar katalis MgCl2
sebanyak 5% dari berat semen merupakan kondisi optimum dalam pembuatan papan semen partikel
bambu betung. Pada kondisi tersebut diperoleh papan semen partikel bambu betung dengan sifat fisis dan
mekanis yang terbaik.
Tabel 3. Sifat Fisis dan Mekanis Papan Semen dari Bambu Betung
No Sifat papan semen Kadar katalis MgCl2 (%)
0 2,5 5 7,5 10
1 Kadar air, % I 6,80 8,85 9,07 9,24 10,55
II 6,55 9,32 9,47 10 11,42
2 Kerapatan, g/cm3 I 1,18 1,19 1,20 1,17 1,19
II 1,18 1,17 1,19 1,20 1,21
3 Pengembangan tebal
( 24 jam ),%
I 4,97 3,64 3,21 3,27 3,27
II 3,50 2,45 2,14 2,47 2,59
4 Pengembangan linier
(24 jam), %
I 0,36 0,28 0,30 0,28 0,21
II 0,26 0,21 0,13 0,20 0,22
5 Penyerapan air (24 jam),% I 35,73 22,26 22,60 24,71 24,44
II 32,49 22,88 21,84 23,12 23,48
6 Modulus patah, kg/cm2 I 139,45 174,14 184,70 181,05 177,81
II 157,31 178,78 189,29 188,29 187,81
7 Modulus elastisitas,
kg/cm2
I 22381 30118 34480 30166 30948
II 24722 32657 36515 34519 31547
8 Keteguhan rekat internal,
kg/cm2
I 1,72 2,28 2,94 2,59 2,50
II 2,01 2,36 3,03 2,78 2,77
9 Kuat pegang sekrup, kg I 23 26 30 24 25
II 26 30 32 29 27
Keterangan : I = bambu : semen (1 : 2,4) II = bambu : semen (1 : 2,5)
Industri papan semen bambu di Indonesia sudah ada yaitu di Kerawang, Jawa Barat. Bambu yang
digunakan adalah bambu tali. Produk papan semen bambu tersebut dikenal dengan nama Askaboard
(Bamboo Fiber Cement Board) dan digunakan sebagai bahan bangunan untuk lantai, dinding dan plafon.
B. Papan Partikel Bambu
Papan partikel bambu adalah hasil pengempaan panas campuran partikel bambu dengan perekat organik dan bahan lainnya. Penelitian pembuatan papan partikel bambu telah dilakukan oleh Kasim dan Ahmad, 1999) dengan menggunakan jenis bambu Gigantochloa scortechini , perekat yang digunakan adalah urea formaldehida dengan variasi kadar (8, 10 dan 12%) dan target kerapatan (561, 641 dan 721 kg/m3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat papan partikel bambu sangat dipengaruhi oleh kerapatan papan dan kadar perekat yang digunakan. Papan partikel bambu yang dibuat dengan kadar perekat 12% dengan kerapatan papan 561 g/cm3 memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Standar Inggris untuk papan partikel.
Penelitian pembuatan papan partikel bambu juga dilakukan oleh Sulastiningsih et al (2006). Papan partikel dibuat dari bambu betung (Dendrocalamus asper), bentuk partikel adalah untai, perekatnya adalah urea formaldehida cair dengan target kerapatan papan partikel 0,70 g/cm3. Hasil penelitian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis papan partikel bambu sangat dipengaruhi oleh kadar perekat yang digunakan. Semakin tinggi kadar perekat semakin baik sifat papan partikel bambu yang dihasilkan. Penggunaan kadar perekat minimum 11% dari berat kering partikel bambu menghasilkan papan partikel bambu yang cukup kuat dan stabil serta memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia. Pabrik papan partikel bambu di Indonesia belum ada. Tabel 4. Sifat Fifis dan Mekanis Papan Partikel Bambu Betung
No Sifat papan partikel bambu
Kadar perekat,%
8 9 10 11 12
1 Kerapatan, g/cm3 0,68 0,70 0,70 0,70 0,71
2 Pengembangan tebal,% 12,83 12,33 11.88 9,78 10,60
3 Penyerapan air, % 69,63 59,49 59,08 50,87 48,68
4 Keteguhan rekat internal ,
kg/cm2
1,58 1,92 2,86 3,19 3,71
5 Modulus patah , kg/cm2 56,86 114,17 117,28 136,75 187,56
6 Modulus elastisitas , kg/cm2 7.485 12.676 14.525 20.134 25.315
Produk papan partikel bambu di Cina sudah diproduksi secara komersial. Pabrik ini memanfaatkan
limbah bambu dari industri lampit bambu dan industri pengolahan bambu lainnya, berupa partikel bambu yang digunakan sebagai bahan baku, perekat yang digunakan adalah urea formaldehida. Pabrik bekerja 2 shift tiap hari (8 jam tiap shift) dengan jumlah tenaga kerja 24 orang atau 12 orang tiap shift, sedangkan kapasitas produksinya 1000 m3 tiap bulan. Produk yang dihasilkan digunakan sebagai bahan mebel dan kotak pengemas (Sulastiningsih, 2005). Menurut Guo (2009) pabrik papan partikel bambu di Cina menghindari penggunaan perekat urea formaldehida untuk mengurangi emisi formaldehida dan meningkatkan ketahanan papan partikel terhadap cuaca. Papan partikel bambu yang dihasilkan kemudian dilapisi dengan venir kayu, kertas dekoratif atau produk panel lainnya.
C. Bambu Lapis
Bambu lapis adalah suatu produk yang diperoleh dengan cara menyusun bersilangan tegak lurus
beberapa lembar venir bambu (anyaman sayatan bambu = anyaman bambu) yang diikat dengan perekat.
Teknologi pembuatan bambu lapis pada prinsipnya sama dengan teknologi pembuatan kayu lapis,
perbedaannya hanya pada bahan penyusunnya. Pada bambu lapis, lapisan penyusunnya terdiri dari
anyaman bambu sedangkan pada kayu lapis terdiri dari venir kayu.
Proses pembuatan bambu lapis secara garis besar terdiri dari pembuatan sayatan bambu,
pembuatan anyaman bambu, pengeringan anyaman bambu, perekatan anyaman bambu dan penyelesaian
akhir. Di Indonesia produk bambu lapis telah dibuat sejak tahun 1976 tetapi bentuknya tidak datar karena
dalam pengempaannya menggunakan acuan. Bambu lapis tersebut digunakan untuk bahan pembuatan
baki. Bambu yang digunakan disayat secara manual dengan ketebalan venir bambu 0,3 mm dan lebarnya 5
mm. Venir bambu selanjutnya dianyam baik dikombinasi dengan venir kayu atau tidak. Hasil anyaman
tersebut kemudian dikeringkan dan digunakan sebagai bahan bambu lapis (4 lapis) dengan menggunakan
perekat melamin urea formaldehida (Sutigno, 1980).
Penelitian mengenai bambu lapis yang dikempa datar dikemukakan oleh Sulastiningsih dan Sutigno
(1994) dengan menggunakan bambu tali (Gigantochloa apus) sebagai bahan venir dan urea formaldehida
sebagai perekat. Venir bambu tali yang digunakan mempunyai ketebalan 1 mm dan lebar 25 mm. Bambu
lapis dibuat dengan ukuran 40cm x 40cm terdiri dari 3 lapis dan 5 lapis. Hasil penelitian pada Tabel 5
menunjukkan bahwa jumlah lapisan sangat berpengaruh terhadap sifat mekanis bambu lapis. Bambu lapis
dengan jumlah lapisan lebih banyak (multipleks), sifat mekanisnya lebih tinggi daripada bambu lapis
dengan 3 lapisan (tripleks). Keteguhan rekat bambu lapis yang terbuat dari bambu tali memenuhi
persyaratan Standar Indonesia dan hasil uji delaminasi yang dilakukan menurut Standar Jepang juga
memenuhi persyaratan karena panjang bagian yang terbuka kurang dari 2,5 cm.
Anwar et al (2005) juga melakukan penelitian mengenai bambu lapis. Jenis bambu yang digunakan
adalah bambu semantan (Gigantochloa scortechinii), perekat yang digunakan adalah polyvinyl acetate dan
fenol formaldehida, sedangkan komposisi perekat yang digunakan 2 macam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan komposisi perekat 67% resin fenol formaldehida, 6,7% filler dan 23,6%
ekstender merupakan komposisi yang terbaik dalam pembuatan bambu lapis.
Pabrik bambu lapis di Indonesia belum berkembang sementara itu produk bambu lapis di Cina telah diproduksi secara komersial. Pabrik bambu lapis di Anji menggunakan anyaman bambu sebagai bahan baku. Anyaman bambu tersebut tidak dibuat di pabrik bambu lapis tetapi dikerjakan oleh penduduk. Anyaman bambu terdiri dari dua macam yaitu anyaman bambu sederhana yang diikat dengan tali rafia dan anyaman bambu seperti bilik. Anyaman bambu sederhana berfungsi seperti short grain veneer pada plywood sedangkan anyaman bilik bambu berfungsi seperti long grain veneer pada plywood. Komposisi lapisan bambu lapis terdiri dari beberapa lapis anyaman bambu sederhana dan anyaman bilik bambu. Perekat yang digunakan dalam pembuatan bambu lapis adalah fenol formaldehida sehingga produk yang dihasilkan termasuk tipe I (tipe exterior) atau tahan cuaca. Bambu lapis yang dihasilkan digunakan untuk cetakan beton, lantai peti kemas dan bahan struktural lainnya. (Sulastiningsih, 2005).
Tabel 5. Nilai Rata-rata Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis
No Sifat yang diuji 3 lapis (tripleks) 5 lapis (multipleks)
1 Tebal, mm 2,6 4,0
2 Kadar air, % 10,20 9,91
3 Kerapatan g/cm3 0,81 0,80
4 Keteguhan rekat, kg/cm2 25,08 14,02
5 Kerusakan kayu, % 34 22
6 Delaminasi, cm 0,02 0,13
7 Keteguhan lentur, kg/cm2
- Sejajar serat
- Tegak lurus serat
1.022,20
98,62
1.324,72
351,09
8 Keteguhan tarik, kg/cm2
- Sejajar serat
- Tegak lurus serat
1.511,20
1.873,35
911,01 956,10
9 Keteguhan tekan, kg/cm2
- Sejajar serat
- Tegak lurus serat
- 45
149,59
43,63
39,08
186,07
143,43
96,35
Yan (2009) mengemukakan bahwa produksi bambu lapis di Cina per tahun adalah sekitar 200.000 m3. Bambu lapis tersebut telah diekspor ke Jepang, USA, Hongkong dan Taiwan. Produk bambu lapis di Cina telah banyak digunakan untuk bahan interior mobil di beberapa perusahaan mobil seperti the First Auto-Making Block, the Dong Feng Auto-Making Block dan the Nanjing Auto-Making Block, sekitar 100.000 mobil per tahun diproduksi dengan menggunakan bambu lapis sebagai bahan interiornya. Bambu lapis juga digunakan untuk cetakan beton, gerbong dan lantai gerbong kereta api, lantai peti kemas dan bahan pengemasan.
D. Bambu Lamina
Bambu yang bentuk aslinya bulat dan berlubang jika akan digunakan sebagai pengganti papan atau
balok kayu harus memenuhi persyaratan lebar dan tebal tertentu. Dalam bentuk pipih bambu mempunyai
ketebalan yang relatif kecil (tipis) sehingga untuk menambah ketebalannya perlu dilakukan usaha laminasi
dengan menggunakan perekat tertentu. Bambu lamina adalah suatu produk yang dibuat dari beberapa
bilah bambu yang direkat dengan arah serat sejajar. Hasil perekatan tersebut dapat berupa papan atau
balok tergantung dari ukuran tebal dan lebarnya.
Penelitian pengaruh lapisan kayu terhadap sifat bambu lamina telah dilakukan oleh Sulastiningsih et
al (2005). Bambu yang digunakan adalah bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) sedangkan kayu
yang digunakan adalah kayu mangium (Acacia mangium) dan tusam (Pinus merkusii) berasal dari Jawa Barat.
Perekat yang digunakan adalah tanin resorsinol formaldehida dan waktu kempa yang diterapkan dalam
pembuatan bambu lamina adalah 20 jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lapisan kayu sangat berpengaruh terhadap sifat bambu lamina
yang dibuat dari bilah bambu andong. Kerapatan dan sifat mekanis bambu lamina menurun dengan
penggunaan kayu untuk lapisan tengah bambu lamina. Penggunaan kayu mangium untuk lapisan tengah
bambu lamina lebih baik daripada kayu tusam. Berdasarkan nilai kerapatan dan keteguhan lentur, bambu
lamina yang dibuat dari bilah bambu andong serta kombinasinya dengan kayu mangium atau kayu tusam,
setara dengan kayu kelas kuat II (Oey Djoen Seng, 1964). Sifat perekatan bambu lamina dari bilah bambu
andong dan kombinasinya dengan kayu mangium atau kayu tusam cukup baik.
Penelitian pembuatan bambu lamina dari tiga jenis bambu telah dilakukan oleh Sulastiningsih
(2008). Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari kemungkinan penggunaan bambu lamina sebagai
bahan substitusi kayu, khususnya mengetahui pengaruh jenis bambu terhadap sifat bambu lamina yang
direkat dengan urea formaldehida. Bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu andong
(Gigantochloa pseudoarundinacea) , bambu mayan (Gigantochloa robusta) dan bambu tali (Gigantochloa apus)
yang berasal dari tanaman rakyat di Jawa Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa sifat bambu lamina dipengaruhi oleh jenis bambu
yang digunakan kecuali kadar air, keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan rekat. Kerapatan bambu
lamina bervariasi antara 0,62 – 0,79 g/cm3. Bambu lamina dari bambu tali memiliki nilai keteguhan lentur
tertinggi sedangkan bambu lamina dari bambu mayan memiliki keteguhan lentur terendah. Keteguhan
rekat bambu lamina yang diuji dengan cara geser tekan bervariasi antara 67,03 – 86,19 kg/cm2 dan 54,43 –
62,94 kg/cm2 berturut-turut untuk uji kering dan uji basah. Sifat perekatan bambu lamina dari bambu
andong, mayan dan tali cukup baik. Bambu lamina (3 lapis) masing-masing dari bambu andong, mayan
dan tali setara dengan kayu kelas kuat II (Oey Djoen Seng, 1964). Pembuatan bambu lamina secara teknis
dapat dilakukan dan produk tersebut dapat digunakan sebagai bahan substitusi kayu.
Penelitian pengaruh jenis bambu dan jumlah lapisan terhadap sifat bambu lamina telah dilakukan
oleh Sulastiningsih dan Nurwati (2009). Bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali
(Gigantochloa apus) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta) yang berasal dari tanaman rakyat di Jawa Barat.
Perekat yang digunakan adalah tanin resorsinol formaldehida (TRF). Bilah bambu yang digunakan
sebelumnya diawetkan dahulu dalam larutan boron. Waktu kempa yang diterapkan 4 jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan bambu lamina yang dibuat bervariasi dari
0.71−0.75 g cm-3. Nilai modulus patah (MOR) dan modulus elastisitas (MOE) bambu lamina
berturut-turut bervariasi dari 393.7−969.4 kg cm-2 dan dari 74 100−102 290 kg cm-2 dipengaruhi oleh
jumlah lapisan. MOR dan MOE bambu lamina menurun dengan meningkatnya jumlah lapisan. Nilai rataan
keteguhan rekat bambu lamina dari bambu tali (uji kering) lebih tinggi (55.8 kg cm-2) dibanding bambu
lamina dari bambu mayan (40.8 kg cm-2). Bambu lamina 3 lapis setara dengan kayu kelas kuat II sedangkan
bambu lamina 5 lapis setara dengan kayu kelas kuat IV (Oey Djoen Seng, 1964). Kekuatan bambu lamina
tidak hanya ditentukan oleh kekuatan bahan penyusunnya akan tetapi sangat ditentukan oleh kekuatan atau
kualitas hasil perekatan antar bilah bambu atau pelupuh bambu penyusun bambu lamina baik ke arah lebar
maupun ke arah tebal.
Lee dan Liu (2003) mengemukakan beberapa sifat fisis lantai bambu yang terbuat dari bambu
lamina 3 lapis dan dibandingkan dengan lantai kayu oak. Lantai bambu yang digunakan 2 macam yaitu
yang ada di pasaran dan sudah difinishing permukaan atasnya dan lantai bambu yang dibuat di
laboratorium dengan arah serat lapisan tengah tegak lurus pada lapisan luar. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa berat jenis lantai bambu lebih rendah daripada berat jenis lantai kayu oak dan lantai bambu
memiliki kesetabilan dimensi yang lebih baik dibanding lantai kayu oak. Kekerasan lantai bambu komersial
jauh lebih tinggi dibanding latai kayu oak dan lantai bambu yang dibuat di laboratorium.
Industri bambu lamina belum berkembang di Indonesia. Namun demikian Kementrian Kehutanan
melalui Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan telah memberikan bantuan seperangkat mesin dan
peralatan beserta barak kerja pembuatan bambu lamina kepada industri kecil dan menengah di Klaten,
Jawa Tengah, pada tahun 2008 (Anonim, 2008). Industri bambu lamina telah berkembang pesat di Cina.
Produk bambu lamina digunakan sebagai bahan pembuatan mebel seperti meja, kursi, tempat tidur dan
almari serta untuk pembuatan komponen bangunan seperti kusen pintu dan jendela, daun pintu dan
jendela, lantai dan tangga.
IV. PELUANG PENGEMBANGAN
Pengembangan industri pengolahan bambu khususnya yang bukan konvensional perlu terus diupayakan. Bambu yang merupakan tanaman serbaguna dan mempunyai daur cukup pendek merupakan sumberdaya yang sangat menjanjikan sebagai bahan pelengkap kayu pertukangan. Dengan menggunakan teknologi perekatan yang sudah maju maka berbagai macam produk, berbagai macam ukuran dengan kualitas tinggi dan persyaratan tertentu serta sesuai dengan tujuan penggunaannya dapat dibuat dari bambu.
Pengembangan industri pengolahan bambu khususnya panel bambu dapat menyediakan lapangan kerja baru bagi masyarakat serta memberikan nilai tambah yang cukup tinggi bagi tanaman bambu petani. Sebagai contoh, dalam proses pembuatan bambu lapis, anyaman bambu sebagai bahan penyusun bambu lapis tidak dibuat di pabrik tetapi dikerjakan oleh penduduk, kegiatan yang dilakukan di pabrik adalah proses pelaburan perekat, pengempaan dan pengerjaan akhir. Di samping itu dalam proses pembuatan bambu lamina masyarakat atau petani bisa terlibat langsung dalam proses produksi misalnya dalam tahapan proses pembelahan dan penyerutan bilah bambu, proses selanjutnya baru dilakukan di pabrik bambu lamina.
Bambu dapat diolah menjadi suatu produk dengan penampilan yang sangat bagus dan bervariasi
serta memberikan pilihan motif penampilan yang berbeda dibanding motif penampilan kayu. Produk
pengolahan bambu khususnya panel bambu dapat digunakan sebagai bahan pelengkap kayu pertukangan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan melihat keberhasilan negara Cina dalam
memanfaatkan sumberdaya bambu maka pengembangan industri pengolahan bambu dengan nilai tambah
yang tinggi harus dilakukan di Indonesia sehingga dapat memberi sumbangan terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional dan sekaligus mendukung upaya pemerintah dalam melestarikan hutan karena kegiatan
ini dapat menahan laju pemanfaatan kayu dari hutan alam maupun hutan tanaman. Di samping itu
pengembangan industri pengolahan bambu tersebut dapat mewujudkan pemberdayaan ekonomi
masyarakat karena petani bambu dapat terlibat langsung dalam proses produksi pembuatan panel bambu.
Dengan kualitas perekatan yang baik, pada umumnya bambu lamina setara dengan kayu kelas kuat
II. Pengembangan produk bambu lamina dapat menyediakan alternatif pilihan sumber bahan untuk
mebel, disain interior dan bahan bangunan.
Produk papan semen banyak digunakan dalam membangun rumah di Jepang karena angat sesuai
sebagai bahan bangunan tahan gempa. Oleh karena itu produk papan semen bambu baik papan wol
bambu maupun papan semen partikel bambu sangat sesuai untuk digunakan sebagai bahan bangunan
yang tahan gempa di Indonesia. Seperti telah diuraikan dimuka bahwa produk papan semen tahan air,
tahan rayap dan tahan api sehingga rumah yang dibuat dari papan semen tahan lama sehingga biaya
pemeliharaan rumah relatif murah. Pengembangan industri papan semen bambu dapat mengurangi laju
kegiatan eksplotasi hutan dan dapat mengisi kekurangan bahan baku kayu.
Untuk menjamin kelangsungan industri panel bambu perlu ketersediaan pasokan bambu secara
berkesinambungan sehingga sosialisasi budidaya tanaman bambu perlu terus dilakukan kepada masyarakat
luas khususnya di daerah yang memiliki tanaman bambu cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Bantuan Mesin Bagi Industri Kecil dan Menengah. Bulian:01/XII/Oktober 2008.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Anwar,U.M.K., Paridah, M.T., Hamdan, H., Abd Latif, M and Zaidon, A.2005. Adhesion and Bonding
Properties of Plybamboo Manufactured from Gigantochloa scortechinii. American Journal of Applied
Science (Special Issue):53-58.
Berglund, L. and R. M. Rowell. 2005. Wood Composites in Rowell (Editor): Handbook of Wood
Chemistry and Wood Composites. CRC Press, 2000 N.W. Corporate Blvd., Boca Raton, Florida,
USA.
Dephut. 2005. Global Forest Resources Assessment Update 2005. Indonesia. Country Report on
Bamboo Resources. Forest Resources Assessment Working Paper (Bamboo).Food and Agriculture
Organization of the United Nation, Forestry Department and International Network for Bamboo
and Rattan (INBAR), Jakarta, May, 2005.
Guo, Z.W.W. 2009. Current Status and Prospects of New Architectural Materials From bamboo.
http://www.inbar.int/publication/txt/INBAR_Working_ Paper_No47.htm Diakses pada tanggal
13 Novemver 2009
Kasim, J. And A. J. Ahmad. 1999. Properties of Urea and Cement-Bonded Particleboard from Three-year-old Bamboo (Gigantochloa scortechinii). Journal of Tropical Forest Products 5(1): 39-45
Lee, A.w.C. and Liu, Y. 2003. Selected Physical Properties of Commercial Bamboo flooring. Forest Products Journal 53(6):23-26.
Maloney, T.M. 1977. Modern Particleboard & Dry-Process Fibreboard Manufacturing. Miller Freeman Publication, San Francisco, California, USA.
Moslemi,A.A. and S.C. Pfister. 1987. The Influence of Cement/Wood Ratio and Cement Type on
Bending Strength and Dimensional Stability of Wood-cement Composite Panels. Wood and Fiber
Science 19 :165-175.
Sulastiningsih, I.M., and P. Sutigno. 1994. Some Properties of Bamboo Plywood (Plybamboo) Glued with
Urea Formaldehyde. Indonesian Journal of Tropical Agriculture 5(2): 69-72.
Sulastiningsih, I.M., B. Tambunan, Y. Yulia and A. Santoso. 1996. Some Properties of Bamboo-Cement
Board. Proceedings of the First International Wood Science Seminar. JSPS-LIPI Core University
Program in the Field of Wood Science. Desember 6-7, 1996, Kyoto, Japan.
Sulastiningsih, I.M., L.F. Ma, Z. Mohd. Amin, and S. Kawai. 1998. Predicting the Compatibility of Some
Indonesian Bamboos with Cement by Hydration Test. Proceedings of the Second International
Wood Science Seminar. JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science.
November 6-7, 1998, Serpong, Indonesia.
Sulastiningsih, I.M., Nurwati , S. Murjoko and S. Kawai. 2000. The Effects of Bamboo:Cement Ratio and
Magnesium Chloride (MgCl2) content on the Properties of Bamboo-Cement Boards. Wood-
Cement Composites in the Asia-Pacific Region. ACIAR Proceedings No 107: 66-71.
Sulastiningsih, I.M., Nurwati dan A. Santoso. 2005. Pengaruh Lapisan Kayu terhadap Sifat Bambu
Lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(1):15-22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan, Bogor.
Sulastiningsih, I.M. 2005. Laporan Mengikuti International Training Workshop on Small Bamboo Daily
Product Processsing Technologies and Machines. September 6 – 20, 2005, Zhejiang Province,
China. (Tidak diterbitkan)
Sulastiningsih, I.M., Novitasari dan A. Turoso. 2006. Pengaruh Kadar Perekat terhadap Sifat Papan
Partikel Bambu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(1):1-8. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan, Bogor.
Sulastiningsih. 2008. Beberapa Sifat Bambu Lamina yang Terbuat dari Tiga Jenis Bambu. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan 26(3):277-287. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Sulastiningsih, I.M., and Nurwati. 2009. Physical and Mechanical Properties of Laminated Bamboo Board.
Journal of Tropical Forest Science 21(3): 246-251.
Sutigno, P. 1980. Catatan Mengenai Industri Venir, Kayu Lapis dan Perekat di Jawa. Publikasi Khusus
No, 60. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Oey Djoen Seng, 1964. Berat Jenis dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk
Keperluan Praktek. Pengumuman LPHH No 1. Bogor.
Yan, S. 2009. Present conditions and prospects for the development of the bamboo plywood industry in
China. http://www.fao.org/docrep/x5336e /x5336e0i.htm Diakses pada tanggal 13 November
2009.
KEMUNGKINAN PENGOLAHAN LIMBAH KAYU PERTUKANGAN MENJADI PULP DAN KERTAS DENGAN PENERAPAN
MINIMISASI PENGGUNAAN AIR PROSES 115
Oleh:
Han Roliadi2 & Dian Anggraini2
ABSTRAK
Ekstraksi kayu hutan dan pengolahannya menjadi produk kayu pertukangan menghasilkan sejumlah besar limbah,
sehingga mempersulit penanganannya. Di antara pemecahannya adalah memanfaatkan limbah kayu tersebut menjadi pulp
dan kertas. Pengolahan pulp/kertas dari kayu umumnya membutuhkan sejumlah besar air, di mana memproduksi 1 ton
kertas memerlukan air proses 55.000 gallon air (sekitar 245 kiloliter). Masalah penggunaan besar air oleh pabrik
pulp/kertas sudah lama dirasakan oleh negara-negara sub tropis dan bermusim 4 (winter, spring, summer, dan fall),
karena pada winter sumber air proses (a.l. mata air, danau, dan sungai) umumnya membeku, sedangkan pasokan air
harus kontinu. Akibatnya, pabrik pulp/kertas sering harus mendapatkan air dari tanah yang cukup dalam, di mana
membutuhkan peralatan dan tenaga yang mahal, a.l. pemboran, pompa air, pipa air yang panjang, dsb. Maka, timbullah
gagasan mengolah pulp/kertas dengan minimisasi penggunaan air. Indonesia yang terletak di daerah tropis, tidak terlalu
bermasalah. Namun, sejalan dengan semakin gencarnya beban kekhawatiran lingkungan, industri pulp/kertas Indonesia
perlu pula memikirkan usaha minimisasi air proses. Air proses tersebut digunakan pada tahapan penanganan/
pengkulitan kayu, pemasakan serpih kayu, pencucian pulp, pemutihan pulp, penambahan bahan aditif, pembentukan
lembaran kertas, dan ketel uap boiler pembangkit tenaga listrik.
Usaha teknologi minimisasi pemakaian air diantaranya: menggunakan media bukan air (alkohol/metanol) pada
ketel pemasak (digester) untuk pemasakan serpih kayu menjadi pulp; mencampur sisa larutan bahan kimia bekas
pemasak serpih (black liquor) dengan larutan bahan kimia segar pemasak serpih (white liquor); kondensasi uap air yang
terbentuk dari ketel boiler, digester, dan tahapan lain terkait; dan mendaur ulang air bekas proses pada pembentukan
lembaran kertas (white water). Terkait dengan daur ulang, perlu diintrodusir penggunaan bahan aditif retensi (bentuk
larutan media air) bersuasana pH netral/basa lemah (a.l. alkyl ketene dimer dan cationic starch) guna menggantikan
bahan konvensional retensi (alum) bersifat asam yang berakibat korosi peralatan logam dan degradasi komponen
karbohidrat serat pulp. Usaha tersebut juga berdampak positif pada pelestarian sumber daya alam dan penghematan
energi. Makalah berjudul seperti di atas merinci berbagai cara kemungkinan mimimalisasi penggunaan air proses pada
pengolahan pulp/kertas dari limbah kayu pertukangan, berikut kendala yang dihadapi (a.l. keuntungan dan kerugian)
dan saran usaha mengatasinya.
Kata kunci: Limbah kayu pertukangan, pengolahan pulp/kertas, air, teknologi minimisasi, kendala
I. PENDAHULUAN
Ekstraksi kayu hutan dan pengolahannya menjadi produk kayu pertukangan menghasilkan sejumlah
besar limbah, sehingga mempersulit penanganannya. Sebagai gambaran produksi kayu bulat Indonesia
1 Makalah Penunjang pada Seminar Litbang Hasil Hutan: Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan Lainnya,
Kamis, 25 Nopember 2010, Bogor
2 Staf Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
selama lima tahun terakhir (2003-2007) berkisar 9-21 juta (Anonim, 2008). Kayu tersebut sebagian besar
dipakai sebagai bahan baku industri pengolahan kayu dalam negeri baik primer ataupun sekunder, seperti
penggergajian kayu, pulp/paper, vinir/kayu lapis, partikel board, oriented strand board (OSB), dan serat
(fiberboard), dan pengerjaan kayu skala menengah/kecil (antara lain meubel, kerajinan kayu, dan produk
kayu pertukangan). Sekiranya diasumsikan bahwa kayu tersebut diekstrak dari hutan alam dan proporsi
limbah yang terbentuk mencapai 35% dari volume kayu yang diekstrak (Dulsalam, et al., 2000), dengan
demikian besarnya limbah tersebut sekitar 3,2-7,6 juta m3 per tahun. Selanjutnya, tercatat bahwa produksi
industri primer dan sekunder Indonesia (mencakup seperti produk tersebut di atas) selama periode yang
sama (2003-2007) sekitar 0.5-1.8 juta m3 per tahun (Anonim, 2008). Bila diasumsikan bahwa limbah
industri pengolahan kayu tersebut mencapai 25-40% dari volume produksinya (Syafii dan Sudohadi,
1996), maka diperkirakan terbentuk limbah sekitar 126.162-743.647 m3 per tahun. Ini menggambarkan
besarnya limbah ekstraksi kayu dan limbah pengolahan kayu. Sebagian dari limbah tersebut sudah
dimanfaatkan terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar (energi) industri/pabrik, sisanya hanya
dibakar atau dibiarkan ditempat begitu saja. Hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap lingkungan,
sehingga perlu dipikirkan usaha penanganannya. Sebagai gambaran, tercatat produksi pulp dan kertas
Indonesia pada tahun 2008 sebesar berturut-turut 5,4 juta dan 9,7 juta ton, sedangkan jumlah konsumsi
dan ekspor di tahun yang sama mencapai 6,5 juta ton (pulp) dan 10,2 juta ton (kertas) (Anonim, 2010).
Keadaan ini diakibatkan makin langka dan terbatasnya pasokan kayu hutan alam. Salah satu usaha
pemecahannya adalah pembangunan hutan tanaman industri (HTI). Akan tetapi hal tersebut tidak atau
belum 100% efektif mengatasi masalah. Ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ketersediaan
lahan/areal untuk menanam pohon HTI; memerlukan biaya investasi yang tinggi; dan mebutuhkan biaya
operasi guna menjaga dan mengawasi pembangunan HTI. Hingga kini realisasi pembangunan HTI
mencapai 3 juta ha dari target 5 juta ha (Anonim, 2009). Sehubungan dengan itu perlu dicari bahan baku
alternatif untuk industri pulp/kertas, dan diantaranya yang cukup menjanjikan adalah limbah ekstraksi
kayu hutan dan limbah industri pengolahan kayu (termasuk limbah kayu pertukangan) karena potensinya
yang cukup besar sebagaimana diuraikan di atas.
Limbah ekstraksi kayu hutan dan limbah pengolahan kayu pertukangan bisa memiliki jenis kayu
asal yang bervariasi. Ini disebabkan terdapat berbagai macam produk, spesifikasi, dan tujuan penggunaan
kayu pertukangan, yang dengan demikian memerlukan bahan baku jenis tertentu pula. Oleh sebab itu
diperlukan proses pengolahan pulp/kertas yang bisa mentolerir beraneka ragam jenis kayu dalam satu
operasi sekaligus, dan di antaranya adalah proses sulfat. Proses sulfat merupakan salah satu proses kimia
untuk merubah kayu (serpih) menjadi pulp, dan proses kimia tersebut mengkonsumsi banyak air. Masalah
penggunaan besar air oleh pabrik pulp/kertas sudah lama dirasakan oleh negara-negara sub tropis dan
bermusim 4 (winter, spring, summer, dan fall), karena pada winter sumber air proses (antara lain. mata air,
danau, dan sungai) umumnya membeku, sedangkan pasokan air harus kontinu. Akibatnya, pabrik
pulp/kertas sering harus mendapatkan air dari tanah yang cukup dalam, di mana membutuhkan peralatan
dan tenaga yang mahal, seperti pemboran, pompa air, pipa air yang panjang, dsb. Maka, di negara tersebut
timbul gagasan mengolah pulp/kertas dengan minimisasi penggunaan air.
Indonesia yang terletak di daerah tropis, tidak terlalu bermasalah. Namun, sejalan dengan semakin
gencarnya beban kekhawatiran lingkungan, industri pulp/kertas Indonesia perlu pula memikirkan usaha
minimisasi air proses. Terkait dengan segala urian tersebut, Makalah ini mengkaji berbagai cara
kemungkinan mimimalisasi penggunaan air proses pada pengolahan pulp/kertas mengunakan bahan baku
limbah kayu pertukangan (dan limbah lain terkait), berikut kendala yang dihadapi (a.l. keuntungan dan
kerugian) dan saran usaha mengatasinya.
II. GAMBARAN PENGOLAHAN PULP SULFAT DAN TAHAPAN TERKAIT
Pada pengolahan kayu menjadi pulp mengggunakan proses kimia (termasuk proses sulfat), peranan
air untuk keperluan proses tersebut tidak bisa diabaikan, karena salah satu alasannya penggunannya relatif
besar. Sebagai gambaran, untuk memproduksi 1 ton pulp/kertas diperlukan 55.000 gallon air (sekitar 245
kiloliter) (Haygreen dan Bowyer, 1989; Smook and Kocurek, 1993; Anonim, 2005). Tahapan pembuatan
pengolahan pulp/kertas hingga produk akhir menggunakan proses kimia (termasuk proses sulfat)
mencakup antara lain: penyiapan dolok kayu (pemotongan, pengkulitan, penyerpihan, pemasakan serpih
hingga lunak, perlakuan mekanis untuk merubah serpih lunak menjadi serat terpisah (pulp), pencucian
pulp, pemutihan pulp, pengggilingan pulp, penambahan bahan aditif, pembentukan lembaran pulp
(kertas), pengeringan kertas, calendering, finishing, pemotongan dan pengepakan kertas (Gambar 1a dan
1b) . Di antara tahapan tersebut, diperlukan air proses antara lain pada penanganan/pengkulitan kayu
(dolok), pemasakan serpih kayu dalam ketel pemasak (digester), pencucian pulp, pemutihan pulp,
penambahan bahan aditif, pembentukan lembaran kertas, dan ketel uap (boiler) untuk pembangkit tenaga
listrik (Gambar 1b). Usaha atau teknologi minimisasi pemakaian air yang bisa dianjurkan diantaranya
adalah: menggunakan media bukan air (alkohol/metanol) pada ketel pemasak (digester) untuk pemasakan
serpih kayu menjadi pulp; mencampurkan sisa larutan bahan kimia bekas pemasak serpih (black liquor)
dengan larutan bahan kimia segar pemasak serpih (white liquor); kondensasi uap air yang terbentuk dari
ketel boiler, evaporator, digester, dan tahapan lain terkait; dan mendaur ulang air bekas pada proses
pembentukan lembaran kertas (white water).
III. TEKNOLOGI MINIMISASI AIR PROSES PENGOLAHAN PULP/KERTAS
Usaha kemungkinan penerapan teknologi minimisasi air proses pada pengolahan tersebut di sini
mencakup pada tahapan tertentu sebagaimana diuraikan berikut ini.
A. Memasak Serpih Kayu dalam Digester Menggunakan Media Pelarut Bukan Air
(Sumber: PT TEL Pulp and Paper, Muara Enim, Sumatera Selatan , 2006)
Gambar 1a. Tahapan pada Pengolahan Pulp Sulfat untuk Kertas
Gambar 1b. Tahapan Pengolahan Pulp dari Kayu Menggunakan Proses Kimia Sulfat, hingga Tahap Akhir (Pembentukan Lembaran Kertas dan (Finishing). Di sini Terlihat Jelas Tahapan-tahapn yang Memerlukan Penggunaan Air Proses (Sumber: Gaylord Container Corporation. Bogalusa, Louisiana, USA, 2002
Air merupakan media yang umum pada pemasakan serpih kayu dengan proses kimia (a.l. proses
sulfat). Bahan kimia yang digunakan pada proses sulfat adalah natrium hidroksida (NaOH) dan (Na2S)
dengan proporsi tertentu, dan keduanya dilarutkan dalam air pada konsentrasi tertentu; nama larutannya
dikenal dengan istilah white liquor. Larutan tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam digester dan siap
digunakan untuk memasak serpih.
Di dalamnya bahan kimia tersebut aktif melunakkan dan melarutkan hingga serpih lunak, dan
selanjutnya mudah diceraiberaikan dengan perlakuan mekanis disebut pulp. Pemasakan tersebut
berlangsung selama beberapa waktu pada suhu dan tekanan tinggi. Mengenai media bukan air, cairan yang
bisa dipakai umumnya adalah alkohol (metanol).
Bahan kimia pemasak serupa (NaOH dan Na2S) tetap bisa digunakan di mana dilarutkan dalam
metanol, karena baik air ataupun metanol merupakan pelarut polar (Browning, 1967; Smook dan
Kocurek, 1993).
Keuntungan penggunaan metanol sebagai media bahan kimia pemasak konvensional (campuran NaOH dan Na2S) metanol bereaksi pula dengan lignin melalui proses metilasi ikatan eter sehingga ikut mendepolimerisasi lignin menjadi fragmen-fragmen dengan berat molekul lebih rendah sehingga mudah larut, dan ikut membantu pula pemisahan serat-serat kayu menjadi pulp. Dengan demikian, dapat
mempercepat atau mempersingkat waktu pengolahan pulp. Keuntungan lain metanol memiliki titik didih lebih rendah dari pada air, sehingga suhu maksimum pemasakan pada digester diturunkan, sehingga menghemat pemakaian energi.
Waktu pemasakan lebih singkat dan suhu lebih rendah dapat mengurangi degradasi fraksi karbohidrat kayu (selulosa dan hemiselulosa), sehingga menghasilkan pulp/kertas dengan rendemen dan sifat kekuatan tinggi. Kelemahan metanol adalah mahal dan mudah terbakar (harus berhati-hati dalam penanganan, penyimpanan, transportasi, dsb) (Casey, 1980; Molin dan Lennholm, 2002).
B. Mencampurkan Black Liquor dengan White Liquor
Mencampur sisa larutan bekas pemasak serpih kayu (black liquor) dengan larutan pemasak segar
(white liquor) dapat dipandang pula sebagai usaha minimisasi penggunaan air.
Campuran tersebut selanjutnya dimasukkan dalam digester guna memasak serpih kayu. Cara ini
dikenal dengan istilah rapid-displacement of heating (RDH), selanjutnya sesuai dengan istilahnya maka cara
tersebut dapat pula sekaligus menghemat pula pemakaian energi, karena suhu black liquor masih relatif
tinggi (Gambar 2), sehingga mempersingkat pula waktu yang diperlukan untuk mencapai suhu pemasakan
maksimum (ramp time). Akibatnya, mengurangi pula degradasi kerbohidrat serat kayu.
Gambar 2. Proses Pengolahan Pulp dengan Mencampurkan Black Liquor dengan While Liquor
(Sumber: Andrew, et al., 2001)
Cara ini memiliki kelemahan yaitu membutuhkan instalasi/peralatan tambahan dan sistim komputerisasi
lebih rumit guna mengetahui kekuatan black liquor dan campurannya dengan white liquor secara cepat,
sedemikian rupa (antara lain konsentrasi alkali aktif, sulfiditas, dan alkali efektif) dan pengaturan kondisi
pemasakan lain (suhu, tekanan, dan waktu) sedemikian rupa dapat menghasilkan pulp dengan kualitas
tidak berubah dibandingkan kualitas pulp hasil pemasakan awal dengan white liquor (Andrew, et al., 2001).
Bisanya komposisi campuran yang umum antara black liquor dengan white liquor adalah 50:50
(Anonim, 2005a). Untuk memperoleh gambaran dalam memproduksi 1 ton pulp/kertas bila tanpa
pencampuran dengan black liquor, maka diperlukan white liquor sebesar 8 kiloliter. Dengan mencampurkan
white liquor dengan black liquor (pada proporsi 50:50), maka akan dihemat air proses sebesar (50/100) x 8 =
4 kiloliter atau sebesar (4/245)x 100% = 1.63% dari keseluruhan air proses.
C. Mendaur Ulang Air Bekas Pembentukan Lembaran Kertas
Usaha terbososan lain untuk menghemat pemakaian air proses adalah mendaur ulang air bekas
proses pembentukan lembaran pulp/kertas (white water). Dalam mendaur ulang tersebut perlu adanya
perlakuan (treatment) khusus terhadap white water.
Sebelum pembentukan lembaran kertas, umumnya pada pulp digunakan bahan aditif, seperti rosin
size untuk mempertinggi ketahanan kertas terhadap air; bahan perekat tapioka guna menambah daya rekat
antar serat sewaktu pembentukan lembaran kertas sehingga sifat kekuatannya tinggi, bahan pengisi (filler)
guna menambah kepadatan dan sifat tidak tembus cahaya (opasitas) kertas, dan bahan retensi alum (tawas)
untuk membuat bahan aditif tersebut terikat lebih sempurna pada serat pulp atau tidak banyak terbuang
bersama sisa air bekas proses.
Selanjutnya campuran campuran pulp dalam bentuk tersuspensi dalam air berikut aditifnya
dialirkan ke mesin pembentukan lembaran kertas (Fourdrinier) antara lain terdapat bahan tipis berpori halus
yang bergerak (wire sheet) (Gambar 1a dan 1b), selanjutnya diatas bahan tersebut fraksi air dipisahkan
dengan cara penghisapan (suction) dan bahan pulp tetap tertahan diatas bahan membentuk lembaran
(Gambar 3 dan 4). Fraksi air (white water) selanjutnya bisa digunakan lagi (daur ulang) untuk proses
pembentukan lembaran tahap berikutnya.
White water yang akan didaur ulang tersebut, sebelumnya perlu mendapatkan perlakuan khusus. Ini
karena didalamnya masih terkandung sisa bahan aditif, terutama alum/tawas yang dapat menurunkan pH
white water (pH sekitar 4-5). Hal ini berbahaya sebab dapat menimbulkan karat/korosif pada peralatan
mesin kertas yang terbuat dari logam sekiranya didaur ulang lagi tanpa adanya perlakuan khusus (Smook
dan Kocurek, 1993; Anonim, 2007).
Disamping itu pH white water yang asam dapat mendegradasi serat pulp, sehingga menurunkan
kekuatan lembaran kertas. Oleh sebab itu pH air bekas proses tersebut perlu ditingkatkan menjadi netral
atau sedikit basa, biasanya digunakan basa lemah (a.l. larutan kapur atau soda). Inipun memerlukan biaya
dan peralatan tidak murah pada proses netralisasi tersebut.
Di lain hal terkait dengan daur ulang perlu dintrodusir bahan sizing (aditif) yang reaktif seperti alkyl
ketene dimer (AKD) dan distearic anhydride (DAH). Kedua bahan aditif tersebut mampu berikatan dengan
serat pulp secara kuat dengan bantuan bahan retensi yang disebut cationic starch, sebagai pengganti bahan
retensi konvensional (tawas/alum).
Lebih lanjut bahan sizing dan bahan retensi (cationic starch) tersebut dapat digunakan pada selang pH
besar (netral hingga suasana basa lemah), sehingga white water sebagai cairan sisa pembentukan lembaran
karat dapat didaur ulang tanpa adanya perlakuan khusus, tanpa menimbulkan bahaya karat pada peralatan
logam dan degradasi serat pulp.
Di samping itu, hal tersebut memungkinkan pemakaian bahan filler yang tidak tahan asam seperti
kapur (CaCO3). Akan tetapi, penggunaan bahan sizing dan bahan retensi reaktif tersebut terkendala dengan
harganya yang jauh lebih mahal dari pada bahan sizing dan retensi konvensional (Gess and Lund, 1991;
Breslin, 2001).
Untuk memperoleh gambaran, dalam memproduksi 1 ton lembaran pulp/kertas umumnya
menghasilkan white water sekitar 13917 gallon (sekitar 62.6 kiloliter) (Stephenson, 1953; Anonim, 2005a).
Dengan demikian, mendaur ulang white water akan menghemat pemakaian air proses sebesar 25.5%
D. Cara lain minimisasi penggunaan air proses
Cara/usaha lain meminimumkan pemakaian air antara lain merendam dolok kayu dalam air selama
beberapa waktu sehingga memudahkan pemisahan bagian kulitnya (debarking), terutama dengan sistim
yang disebut water jet, dan mengkondensasikan segala uap air yang terbentuk pada boiler, evaporator, digester,
blow tank, recovery furnace, dan tahapap proses terkait lainnya (Gambar 1b dan 5). Memudahkan penggunaan
sistim water jet tidak hanya menghemat pemakaian air, tetapi juga energi.
Untuk kondensasi uap air, selain memperoleh air, juga panas yang dilepaskan sewaktu proses
kondensasi tersebut bisa dimanfaatkan untuk keperluan tahapan lain tertentu pengolahan pulp/kertas
(penghematan energi pula).
Kelemahannya (kendala) adalah ini terbuangnya waktu (merendam dolok kayu dalam air), peralatan
tambahan untuk proses kondensasi, dan peningkatan biaya
Gambar 3. Pembentukan Lembaran Kertas dari Suspensi Pulp, didaur Ulang Air (Sumber:
Smook dan Kocurek, 1993)
Gambar 4. Mesin Pembentukan Lembaran Kertas dengan Sistim Pendaur Ulang Air (White
Water) (Sumber: Anonim, 2007)
Gambar 5. Proses Daur Ulang Bahan Kimia Pemasak pada Proses Pengolahan Pulp Sulfat
(Sumber: Smook dan Kocurek, 1993)
Banyaknya pemakaian air dan porsi air yang terbuang (evaporasi) pada tahapan pengkulitan kayu
dan ketel boiler pada pengolahan pulp/kertas agak sulit diperkirakan. Akan tetapi perkiraan banyaknya air
yang terevaporasi dan bisa dikondensasikan pada pemasakan serpih kayu dan pendaur ulangan bahan
kimia (antara lain blow tank, digester, evaporator, dan recovery furnace) dan pada pengeringan lembaran kertas
(sheet dryer) (Gambar 1a, 1b, dan %) bisa diperkirakan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, untuk
memproduksi 1 ton pulp/kertas diperlukan sekitar 8 liter white liquor. Hampir seluruh white liquor tersebut
mengalami evaporasi menjadi uap pada urutan/tahapan digester, blow tank, evaporator, dan recovery
furnace. Dengan demikian adanya kondensasi uap dapat menghemat pemakaian air proses sebesar
(8/245) x 100% = 3.27%. Selanjutnya pada tahap pengeringan lembaran kertas, untuk setiap produksi 1
ton kertas akan menguapkan air sebanyak 4700 gallon atau sekitar 21.15 kiloliter (Smook dan Kocurek,
1993). Dengan mengkondensasikan uap tersebut maka akan menghemat pemakaian air proses sebesar
(21.15/245) x 100% = 8.8 %
E. Kendala Dalam Usaha Minimisasi Air Proses
Minimisasi penggunaan air proses dengan cara antara lain: menggunakan media bukan air
(alkohol/metanol) pada pemasakan serpih kayu; mencampurkan sisa larutan black liquor) dengan white
liquor; kondensasi uap air yang terbentuk dari ketel boiler, evaporator, digester, blow tank, recovery furnace, dryer,
dan tahapan lain terkait; dan mendaur ulang white wate, ternyata terkendala pada beberapa hal seperti
pelarut/media bukaan air yang mahal dan berbahaya (mudah terbakar); memerlukan peralatan dan sistim
komputerisasi dalam pencampuran liquor; memerlukan peralatan dan biaya tambahan dalam hal
kondensasi; memerlukan perlakuan khusus (netralisasi) terhadap white water sekiranya digunakan bahan
aditif antara lain bahan retensi bersifat asam (alum/tawas); dan bahan sizing/retensi reaktif yang mahal
sebagai pengganti bahan sizing/retensi konvensional. Segala kendala tersebut perlu mendapar perhatian
berupa pemikiran dan perencanaan yang matang.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Ekstraksi kayu hutan dan pengolahannya menjadi produk kayu pertukangan menghasilkan sejumlah
besar limbah, sehingga menimbulkan masalah penanganannya. Salah satu usaha pemecahannya adalah
memanfaatkan limbah tersebut menjadi pulp/kertas.
Terdapat berbagai macam produk kayu pertukangan karena disesuaikan dengan tujuan dan
spesifikasi penggunaannya, dan dengan demikian membutuhkan kayu yang jenisnya bisa berbeda
(bervariasi) sebagai bahan baku pembuatan produk tersebut. Dengan demikian jenis kayu asal limbah kayu
pertukangan bisa bervariasi pula.
Variasi jenis limbah kayu tersebut bila diolah menjadi pulp/kertas perlu proses pengolahan khusus
(dalam satu kegiatan operasi) yang bisa memtolerir variasi tersebut, agar mutu hasil pulp/kertas
berkualitas memadai. Diantara macam pengolahan yang mentolerir tersebut adalah proses kimia sulfat.
Pengolahan pulp dengan proses kimia (termasuk sulfat) memerlukan sejumlah besar air. Usaha
minimisasi penggunaan air proses perlu dilakukan. Diantara usaha minimisasi tersebut adalah:
menggunakan media bukan air (alkohol/metanol) pada ketel pemasak (digester) untuk pemasakan serpih
kayu menjadi pulp; mencampur sisa larutan bahan kimia bekas pemasak serpih (black liquor) dengan
larutan bahan kimia segar pemasak serpih (white liquor); kondensasi uap air yang terbentuk dari ketel boiler,
digester, dan tahapan lain terkait; dan mendaur ulang air bekas proses pada pembentukan lembaran kertas
(white water). Usaha minimisasi ternyata dapat berperan pula menghasilkan pulp/kertas dari limbah katu
pertukangan dengan kualitas lebih baik.
Dengan penerapan usaha minimisasi air proses ternyata banyaknya air yang bisa dihemat adalah
berturut-turut 3.27% (menggunakan metanol sebagai media pemasakan serpih kayu, 1.63 %
(mencampurkan white liquor dengan black liquor dalam digester), 25.5% (mendaur ulang white liquor), 3.27%
(menkondensasikan uap air yang terbentuk pada digester, blow tank, evaporator, dan digester), dan 8.8%
(mengkondensasikan uap air dari paper-sheet dryer) dari seluruh kebutuhan air tersebut (100%). Air yang bisa
dihemat dari kondensasi uap pada ketel boiler sulit diperkirakan.
Usaha minimisasi tersebut dapat dipandang selain sebagai meningkatkan daya guna (nilai tambah)
limbah pengolahan produk kayu pertukangan, juga ikut melestarikan sumber daya alam (kayu hutan dan
air) dan menghemat pemakaian energi.
Di lain hal, ternyata usaha tersebut juga menimbulkan kendala terutama dalam keperluan tambahan keahlian (skill), peralatan rumit, dan biaya. Segala kendala tersebut perlu mendapat perhatian berupa pemikiran dan perencanaan yang matang, dalam rangka memanfaatkan limbah kayu pertukangan menjadi pulp dan kertas dengan penerapan minimisasi penggunaan air proses.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew, E.K., N.H. Shin, and F. Mera. 2001. Belbrite – a Natutal Extensin of the RDH Kraft Process.
TAPPI (Technical Association of the Pulp Industry) Journal, vol. 98 (11): 83-92.
Anonim. 2005. Swedish Pulp and Paper Technology Tour on India and South East Asia, on 27 April 2005. Embassy of Sweden. Jakarta
_______ 2005a. Swedish Pulp and Paper Technology Group. PPT of Sweden. Stockholm.
_______ 2007. Testing Machine Catalogue. Kumagai Riki Kogyo Co., Ltd. Tokyo – Japan.
______. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Departemen Kehutanan. Jakarta.
______. 2009. Hentikan konversi hutan. Harian Kompas, tanggal 20 Mei 2009, hal. 22. Jakarta.
______. 2010. Industri Pulp dan Kertas Indonesia Menghadapi Persaingan Pasar global. Diskusi Panel
Industri Kehutanan Menghadapi Persaingan Pasar Global. Jakarta, Agustus 2010. Asosiasi Pulp dan
Kertas Indonesia. Jakarta
Breslin, J. 2001. Measuring the Success of Alkaline Papermaking Program. Paper Trade Journal of Canada, April 2001, pg. 57-58.
Browning, B.L. 1967. The Chemistry of Wood. Interscience Publisher, a Division of John Wiley & Sons. New York – London.
Casey, J.P. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Technology, third edition, Vol. 1. A Wiley-Interscience Publisher. New York – Brisbane – Toronto.
Dulsalam, D. Tinambunan, dan I. Sumantri. 2000. Peningkatan efisiensi pemungutan kayu sebagai bahan baku industri. Makalah Utama pada Lokakarya Penelitian Hasil Hutan tanggal 7 Desember 2000 di Bogor. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Gess, J.M. and R.C. Lund. 1991. The strong bond – weak bond theory of sizing. TAPPI Journal, vol. 74
(1): 111-114.
Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1989. Forest Products and Wood Science. Iowa State University Press /
Ames.
Molin, U. and H. Lennholm. 2002. The influence of alkaline degradation during pulping on mechanical
properties of pulp fibres. Australian Pulp and Paper Industry Technical Association (APPITA), vol.
54 (6): 540-546.
Syafii, W and Y. Sudohadi. 1996. Development of wood industries and research trend in Indonesia.
Department of Forest Products Technology, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University,
Bogor - Indonesia. Paper presented at the International Wood Science Seminar, 6-7 December
1996. Kyoto, Japan.
Smook, G.A. and M.J. Kocurek. 1993. Handbook for Pulp and Paper Technologists. Joint Textbook
Committee of the Paper Industry. Atlanta, Georgia.
Stephenson, J.N. Pulp and Paper Manufacture. Vol 3: Manufacture and Testing of Paper and Paperboard.
McGraw-Hill Book Co., Inc. New York – Toronto – London.
A. Makalah Utama
HARAPAN INDUSTRI KECIL JEPARA TENTANG PRODUKSI MEBEL
BERKUALITAS DAN KETERSEDIAAN SERTA KEBERLANGSUNGAN BAHAN KAYU1 16
Oleh :
Margono2
ABSTRAK
Industri kecil mebel masih mendominasi industri yang ada di Jepara. Permasalah yang dihadapi industri kecil atau
pengrajin terutama adalah bahan baku, dan permodalan. Pengrajin kecil mengharapkan adanya pengembangan dan
peningkatan produksi kayu sebagai bahan baku industri secara lestari. Perlu dikembangkan jenis-jenis alternatif sambil
menunggu peningkatan produksi kayu jati dan mahoni. Di samping itu pengetahuan teknis dan manajemen usaha yang
masih tradisional perlu digantikan dengan teknis dan manajemen usaha yang lebih modern. Para pengrajin memerlukan
peningkatan pengetahuan mulai dari pengetahuan bahan baku kayu, proses produksi yang benar, hingga pemasaran serta
perjanjian kontrak yang menguntungkan.
Kata kunci: industri kecil, mebel, bahan baku, harapan
I. PENDAHULUAN
Berbicara tentang produksi di Jepara tidak terlepas dari bicara tentang mebel, dan berbicara tentang
mebel Jepara tidak akan lepas dengan kebutuhan kayu sebagai bahan baku yang selalu digunakan oleh para
produsernya sebagai bahan utama yang selama ini secara terus menerus dibutuhkan dalam proses
produksinya.
Usaha atau industri kecil yang ada di Jepara masih mendominasi angkanya dibandingkan dengan
industri besar. Hubungan antara Industri besar dan kecil sangat erat kaitannya dengan proses produksi
produk-produk pesanan baik ekspor maupun non ekspor. Meskipun prosentase keuntungan antara
industri kecil dan besar sungguh jauh berbeda. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah
jauhnya akses pasar para pengrajin dengan customer atau buyer langsung, juga karena adanya kenaikan
harga kayu secara tidak menentu mengakibatkan hal itu terjadi.
II. PERMASALAHAN
Pengrajin kecil sebagai para pelaku yang memiliki banyak kekurangan baik dari unsur permodalan,
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkaitan dengan pengolahan kayu secara benar, pembuatan produk
yang berkualitas, sampai dengan pengetahuan bagaimana menjual dan memasarkan. Hal ini membuat
1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Inovasi Teknologi Pengolahan Jati Cepat Tumbuh dan Kayu Pertukangan
Lainnya”, 25 November 2010 2 Ketua Asosiai Pengrajin Kecil Jepara
pengrajin kecil semakin terpuruk ditambah lagi kondisi pasar yang tidak menentu dan memposisikan para
pengrajin sebagai pihak yang selalu dirugikan.
Ada beberapa hal mengapa kondisi tersebut di atas terjadi kian marak tidak hanya di Jepara, namun
di berbagai tempat di Indonesia. Pengetahuan para pengrajin akan pengolahan bahan kayu dan pembuatan
produk berkualitas kurang memadai. Pengetahuan mereka tentang perjanjian sebuah kontrak jual beli
dengan memahami apa yang menjadi isi dari kontrak tersebut juga menjadi masalah buat mereka, Persepsi
penjual dan pembeli tidak sama sehingga mengakibatkan permasalahan pada kedua belah pihak.
Sebagaimana yang tertulis sesuai tema di atas bahwa produk yang berkualitas tidak hanya
dipengaruhi oleh tenaga kerja trampil dan konstruksi yang baik serta memadai saja tapi jauh lebih penting
dari itu, karena ketersediaan bahan baku kayu yang berkualitas dan berkelanjutan tidak dapat terpenuhi.
Meski tidak ada data secara kongkrit tentang penggunaan bahan kayu bertkualitas namun ini juga dapat
terlihat pada penurunan angka unit usaha pada tahun 2005 yang mencapai 12.763 unit usaha (data diambil
oleh CIFOR tahun 2005) menjadi 7.732 unit pada tahun 2010 serta adanya penurunan pasokan kayu ke
Jepara sehingga menimbulkan kenaikan kayu yang sangat signifikan. Sementara daya beli produk pada
umumnya masih mengikuti harga kayu yang lama dan tentu saja para pengrajin tidak mampu
mensuplainya sehingga banyak dari mereka yang gulung tikar. Penurunan ini terlihat drastis mencapai 40
% dari beberapa tahun tersebut, sementara angka expor menurun volumenya dari 61.817.687,75 kg pada
tahun 2004 menjadi 36.297.275,48 kg, dari 343 (th. 2004) menjadi 254 exportir (th. 2009), dan nilai
nominal dalam US Dollar mencapai USD135.500.648,46 (pada tahun 2004) menjadi USD91.309.963,72
(pada tahun 2009), (Sumber data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman
Modal Kab. Jepara).
Asumsinya angka tersebut diatas masih bisa bertambah mengingat persaingan pasar global sangat
ketat sementara pasokan kayu berkualitas berkurang dan harga kayu serta bahan pendukung lainnya
semakin mahal dan tidak menentu.
III. SOLUSI DAN HARAPAN
Dengan berkembangnya teknologi dan desain serta terdorong oleh tidak dapat tercukupinya
pasokan bahan baku yang berkualitas, jati dan mahoni, sonokeling, mindi dan akasia yang selama ini
menjadi material utama produksi mebel maka kayu-kayu alternatif menjadi jawabannya. Adapun kayu-
kayu alternative tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: kayu mangga dan sejenisnya, kayu durian,
trembesi, waru, nangka dan masih banyak yang lainnya. Jenis-jenis kayu tersebut menjadi kebutuhan para
pengusaha mebel Jepara secara terus menerus meskipun Jati dan mahoni tetap mendominasi sebagai kayu
yang menjadi idola para customer.
Harapan kedepan oleh masyarakat khususnya para pengrajin, kayu jati dan dan mahoni
dikembangkan lagi kelestariannya sehingga kebutuhan para pengrajin dan penguasaha mebel pada
umumnya dapat tercukupi secara maksimal. Untuk program jangka panjang perlu adanya inovasi
teknologi pengolahan kayu cepat tumbuh terutama kayu jati. Saat ini para pengrajin masih ada
kecenderungan menggunakan kayu jati rakyat atau biasa disebut dengan kayu jati kampung.
Sebenarnya saat ini sudah ada pengembangan dan budidaya jati emas di Jepara yang bibitnya
didatangkan dari luar Jepara. Program ini sudah berjalan dan telah dilakukan penanaman sekitar 3-4 tahun
yang lalu. Namun ternyata dari kwalitas jati emas ini kurang baik dibanding dengan jati rakyat yang
tumbuh secara alami. Sangat diharapkan untuk jangka panjang pemerintah dapat memberikan bantuan
berupa bibit berkualitas dengan pertumbuhan cepat untuk menunjang kebutuhan kayu jati nasional.
Hal di atas dapat disimpulkan dengan jelas bahwa produksi kayu jati harus ditingkatkan, baik
pemerintah lewat Perhutani maupun jati rakyat itu sendiri demi menjamin kelangsungan industri mebel
secara nasional serta mampu menyediakan produk kayu yang bersertifikasi untuk memenuhi tuntutan
pasar global terutama pasar Eropa karena produk mebel yang bersertifikasi saat ini sedang banyak diburu
para pelaku bisnis inetrnational terutama Amerika dan negara-negara Eropa lainnya.
Asosiasi Pengrajin Kecil Jepara (APKJ) sebagai asosiasi pengrajin kecil yang ada di Jepara
mengharapkan adanya pengembangan dan peningkatan produksi kayu industri secara lestari. Jenis-jenis
kayu tersebut adalah jati (jati perhutani dan jati rakyat, mahoni, mindi, akasia, sono keling, dan sejeninya
dan bahkan ada kayu kayu yang bernilai ekonomi di masyarakat untuk bahan baku alternatif industri.
Beberapa hal tersebut di atas menyajikan tingkat keperihatinan yang sangat luar biasa khususnya pelaku
industri kecil Jepara terkait dengan persoalan internal maupun external. Pada hal kalau persoalan ini tidak
segera diperbaiki, maka akan menjadi ancaman yang serius di dalam dunia industri kecil yang ada Jepara.
IV. PENUTUP
APKJ juga mengharapkan semua pihak untuk ikut tetrlibat dalam perbaikan persoalan tersebut baik
pemerintah maupun lembaga-lembaga terkait bahan baku kayu ini. Tentu saja diharapkan pemerintah bisa
bertindak lebih arif dan bijaksana dalam mengemas permasalahan yang ada karena bagaimanapun juga
peran industri kecil tidak akan mampu membenahi persoalan internal apa lagi eksternalnya yang tentu saja
lebih komplek tanpa ada peran serta pemerintah dalam menyentuh masalah-masalah internal industri kecil
yang ada melalui program pembinaan, pendampingan, dan progam penguatan` secara berkelanjutan.
Disamping Pelaksanaan Seminar, PUSTEKOLAH juga Memamerkan Berbagai Jenis Produk dari Kayu
Jati Muda dan Berbagai Produk Aplikasi Wood Vinegar (WV).
B. Diskusi
Tanya:
Paribotro: untuk Pak Margono, masalah bantuan pembiayaan, bagaimana kalau APKJ dirubah menjadi
koperasi kecil jepara; untuk Pak Barly: apakah bisa dibuat paket teknologi untuk mewujudkan penggunaan
biji karet dan minyak kemiri, lengkap hingga aspek ekonomi. Kemudian kualitas perekatan setelah
diawetkan dengan kedua material tersebut, perlu untuk di-uji coba. Mungkin Perhutani bisa bantu.
Tanggapan:
Margono: Untuk Pak Paribotro: APKJ kemungkinan besar tidak bisa dirubah menjadi koperasi, tetapi
kalau APKJ memiliki koperasi itu mungkin. Koperasi hanyalah bagian dari APKJ dan APKJ mempunyai
nilai lebih dan peran yang cukup banyak yaitu sebagai pemberdayaan. Sifat perekatan: Tingkat perekatan
dipengaruhi sifat pengeringan kayunya, yang penting kayunya ikut kering, Kayu muda pasti memoiki sifat
perekatan lebih baik karen pori-porinya terbuka. Kayu yang sudah berkualitas sekalipun umur 100 tahun,
jika tingkat kekeringan rendah maka perekatan juga rendah maka dari itu harus ada standar. Untuk Pak
Dede: jaman dahulu pengusaha besar melindungi yang kecil, dan seharusnya Industri kecil menjadi mitra
industri besar tp sekarang, bisnis tetap bisnis. Sehingga industri yang sudah memiliki teknologi canggih
banyak yang meninggalkan industri kecil. Jika pengusaha yang besar tidak memberikan margin yang besar,
maka masa depan pengusaha kecil akan suram, oleh karena itu Industri kecil harus mempunyai pasar
sendiri. Umur 7th bisa dipakai hanya saja perlakuannya beda karena karakteristiknya juga berbeda dan nilai
tambahnya juga rendah, oleh karena itu harganya juga menjadi lebih tinggi karena butuh banyak
perlakuan. Keuntungan bagi pengrajin kecil tetapi paling tidak dapat menjadi alternatif menggantikan
kekurangan bahan baku. Jati apa saja kalau umurnya cukup tetapsaja bagus. Untuk Ibu Nurin: Jati cepat
tumbuh memiliki banyak kelemahan, walaupun ditunggu sampai 100 tahun, lama kelamaan akan terjadi
pelapukan di bagian tengahnya, dibuktikan dengan jati Jawa Barat yang lebih buruk dibandingkan jati Jawa
Timur. Daerah penanaman juga mempengaruhi kualitas jati.
PENUTUP
Selama seminar nasional berlangsung menjaring beberapa tanggapan dan saran masukan untuk
pengembangan selanjutnya diantaranya:
1. Pemerintah diharapkan dapat membina hutan tanaman rakyat dari jenis-jenis kayu alternatif yang sudah ada.
2. Perlu dipromosikan selain kayu jati seperti bayur, durian, jabon, kemiri, mahoni, mangium, surian, mindi, karet, kelapa dan batang sawit dengan karakteristik keunggulan masing-masing dapat menjadi alternatif bahan baku kayu pertukangan.
3. PT Perhutani diharapkan bisa bekerjasama dengan APKJ dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengan kehidupan perajin kecil Jepara.
4. Kayu dari tanaman rakyat tidak perlu dibebani biaya dokumen tatausaha kayu (SKAU).
5. Perum Perhutani diminta melakukan ujicoba kombinasi tanaman sawit dengan tanaman kayu pada lahan perhutani.
6. Produk perkayuan perhutani perlu diberi label bahwa produk tersebut telah memenuhi standar yang berlaku.
7. Arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan dalam sambutannya diharapkan agar para peneliti dapat memfokuskan daya dan pikiran untuk menghasilkan penelitian yang aplikatif yang dapat dijadikan inisiator bagi kebijakan-kebijakan Inovasi Teknologi Pengolah yang perlu dikeluarkan oleh pemerintah dalam meningkatkan industri kayu dan pembangunan kehutanan. Serta focus untuk menghasilkan produk dalam bentuk formula, prototype, model, dan sebgainya yang dapat diadopsi industri mapupun masyarakat.
8. Kementerian kehutanan perlu memperhatikan pemberian penghargaan kepada para peneliti yang telah berjasa dalam menghasilkan penelitian yang bermanfaat, selain itu juga memberikan biaya penelitian yang memadai dengan tingkat kesulitan penelitian tersebut.
Akhirnya semoga prosiding hasil seminar nasional tahun 2010 ini dapat ditindaklanjuti dan
bermanfaat bagi masyarakat untuk pembangunan kehutanan dimasa yang akan datang.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Perkembangan Industri dan Teknologi Pengolahan Kayu Jati
PERKEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN KAYU JATI
Oleh: Ir. Daryono
Lampiran 2. Panitia penyelenggara
Lampiran 3. Jadwal acara seminar
JADWAL ACARA
PENDAFTARAN
08:00 - 08:50 Registrasi
PEMBUKAAN
08:50 - 09:00 Laporan Panitia
09:00 - 09:20 Pengarahan dan Pembukaan Seminar
Oleh: Kepala Badan Litbang Kehutanan
09:20 - 09:50 Istirahat
KEYNOTE SPEECH
09:50 - 10:20 Strategi perbaikan industri kayu di Indonesia
Oleh: Dirjen BUK Kementerian Kehutanan
SIDANG SESI - I:
10:20 - 11:05 1. Karakteristik Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Jati Lokal
Oleh: Ir. Nurwati Hadjib, M.S (P3KKPHH)
2. Penyempurnaan Sifat Kayu Jati Muda untuk
Meningkatkan Nilai Jual.
Oleh: Barly, B.Sc. M.Pd (P3KKPHH)
3. Harapan Industri Kecil Jepara Tentang Produksi Mebel
Berkualitas dan Ketersediaan serta Keberlangsungan
Bahan Baku Kayu.
Oleh: Ketua Asosiasi Pengrajin Kecil Jepara (APKJ)
11:05 - 12:05 Diskusi
12:05 - 13:00 ISHOMA
SIDANG SESI - II:
13:00 - 13:45 1. Perkembangan Industri dan Teknologi Pengolahan
Kayu Jati
Oleh: Ir. Daryono (Perhutani)
2. Peran Hutan Rakyat dalam Strategi Pengembangan
Bahan Baku Kayu Pertukangan
Oleh: Ir. Dede Rohadi, M.Sc (CIFOR)
3. Jenis Kayu Alternatif untuk Pertukangan
Oleh: Ir. Jamal Balfas, M.Sc (P3KKPHH)
13:45 - 14:45 Diskusi
14:45 - 15:15 Istirahat dan perumusan
15:15 - 16:00 Pembacaan perumusan hasil seminar dan penutupan
Lampiran 4. Daftar peserta
DAFTAR PESERTA SEMINAR NASIONAL
A. KEMENTERIAN KEHUTANAN
1. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan,
2. Tenaga Ahli Menteri Bidang Pengembangan Teknologi Kehutanan
3. Direktur Bina Usaha Hutan Tanaman
4. BUK,
5. Sekretaris Badan Litbang Kehutanan.
6. Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
7. Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan,
8. Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan,
9. Kepala Pusat Diklat dan Pelatihan Kehutanan
10. Kepala Pusat Pengembangan Penyuluhan Kehutanan
11. Kepada Yth,
12. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar, Sumatera Utara Medan
13. Kepala Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Pekanbaru Riau
14. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Palembang
15. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makasar
16. Kepala Bagian Program dan Anggaran, Badan Litbang Kehutanan, Jakarta
17. Ir. Diah Puspitasari, M.Si
18. Sekretariat Badan Litbang Kehutanan
19. Departemen Kehutanan
20. Dekan Fakultas Kehutanan IPB
21. Dr.Ir. Ombo Sacapraja, M.Sc
22. Universitas Nusa Bangsa (UNB)
23. Direktur Center for International Forestry Research (CIFOR)
24. Ketua APHI
25. Direktur APKINDO
26. Kepala Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK)
27. Asosiasi Pengrajin Kayu Jepara (APKJ)
28. Direktur Utama Perum Perhutani, Jakarta
29. PT. Setyamitra Bhaktipersada
30. Kepala Unit Industri Bekasi PT. Inhutani I
31. Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional
32. Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan BUK, Jakarta
33. Kepala Badan Litbang Kehutanan, Jakarta
34. Kepala Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
35. Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan
36. Kepala Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda
37. Kepala Pusat Pelayanan Penyuluhan Kehutanan
38. Kepala Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian Kehutanan
39. Kepala Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor
40. Kepala Balai Kehutanan Ciamis
41. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Banjar Baru
42. Departemen Kehutanan
43. Ketua Departemen Hasil Hutan Fahutan IPB
44. Dr. Ir. Pipin Permadi, M.Sc
45. Sekretariat Badan Litbang Kehutanan
46. Direktur International Center For Research in Agroforesty (ICRAF)
47. Kepada Yth,
48. Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada
49. Dr. Ir. Sri Nugroho Marsoem, M.Sc.
50. Ketua Asosiasi Permebelan Indonesia (ASMINDO)
51. Direktur ISWA
52. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat
53. Direktur Utama PT. Inhutani I
54. Adm. Perum Perhutani KPH Bogor
55. Vice President PT. SUCOFINDO (Persero)
56. Forum Rembug Klaster Jepara
B. PERGURUAN TINGGI DAN LEMBAGA LAIN
57. Dekan Fakultas Kehutanan IPB
58. Ketua Departemen Hasil Hutan Fahutan IPB
59. Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada
60. Dr. Ir. Sri Nugroho Marsoem, M.Sc. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada
61. Direktur Center for International Forestry Research (CIFOR)
62. Direktur International Center For Research in Agroforesty (ICRAF)
C. ASSOSIASI.
63. Ketua APHI
64. Ketua APKINDO
65. Direktur ISWA
66. Kepala Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK)
67. Ketua Asosiasi Permebelan Indonesia (ASMINDO)
68. Asosiasi Pengrajin Kayu Jepara (APKJ)
D. SWASTA dan LSM
69. Direktur Utama Perum Perhutani, Jakarta
70. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat
71. Adm. Perum Perhutani KPH Bogor
72. Direktur Utama PT. Inhutani I
73. Kepala Unit Industri Bekasi PT. Inhutani I
74. Vice President PT. SUCOFINDO (Persero)
75. PT. Setyamitra Bhaktipersada
E. LITBANG
76. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan 50 orang
77. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi 10 orang
78. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Tanaman 10 orang
79. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan 10 orang