Blok 15

download Blok 15

of 16

description

SSJ

Transcript of Blok 15

Syndrom Steven JhonsonGita Nur Azizah102013182Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694-2061Email:[email protected] Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

PendahuluanSindrom Steven- Johnson (SJJ) adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang terebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengeliupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta melihatkan membrane mukosadari dua organ atau lebih. Sindom Steven-Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda terutama pria. Tanda-tanda oral sindrom Steven-Johnson sama dengan eritema multi-forme, perbedaannya yaitu melibatkan kulit dan membrane mukosa yang lebih luas, nyeri dada, diare, muntah dan anthralgia.1,2Sindrom Steven-Johnson mempunyai tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mata berupa kunjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dal vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi orang didahului oleh macula dan papula yang segera diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi ekskoriasis sehingga terbentuk ulkus yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudimembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami pendarahan dan menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak terjadi pada bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat adalah lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai faring, saluran pernafasan atas dan esophagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi. Lesi oral pada saluran pernafasan bagian atas dapat menyebabkan keluhan sulit bernafas.1-3 Penyebab pasti dari Sindrom Steven-Jhonson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya seperti obat-obatan atau infeksi virus. Mekanisme terjadi sindrom adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Sindrom Steven-Johnson muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun ditemukan reaksi tubuh pasien.1,2 SkenarioSeorang laki-laki, 13 tahun dirawat di rumah sakitdengan keluhan melepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha setelah minum sejak 2 hari yang lalu. Rumusan MasalahAnak laki-laki 12 tahun melepuh pada kedua lengan tangan, bokong, badab dan kedua paha sejak 2 hari yang lalu sehabis minum obat.HipotesisAnak laki-laki 12 tahun mengalami Sindrom Steven-Johnson.Istilah yang Tidak diketahuiTidak adaAnamnesisAnamnesis dapat dilakukan secara auto-anamnesis (langsung pada pasiennya) atau allo-anamnesis (wakil daripada pasien, mis: pasien bayi / pasien tidak sadarkan diri).Pada anamnesis, yang perlu ditanyakan yakni:4a. Identitas lengkap pasienNama lengkap, tempast dan tanggal lahir, usia, alamat, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan terakhir.b. Keluhan UtamaTanyakan apakah pasien adakah Gejala prodormal (gejala awal dari sebuah serangan atau penyakit), seperti: sebelumnya mengalami batuk (produktif dengan sputum purulent), adakah mialgia atau atralgia atau malaise? (keluhan dapat satu saja atau lebih). Gejala pada kulit berupa lesi, karena pada SSJ les-lesi tersebut berhubungan dengan beberapa bagian tubuh seperti: mukosa oral, oesofagus, faring, laring, anus, trakea, vagina, uretra. Gejala pada mata : adakah mata menjadi merah, berair, kering, sakit, gatal, penglihatan berkurang, sensasi terbakar, fotofobia? Juga adakah Blefarospasme (mata berkedip tidak terkendali), berpasir (grittiness)? Adakah alergi obat? Atau penggunaan obat-obatan tertentu sebelumnya, seperti: antibiotik, OAINS, Sulfa, dan lain-lain.c. Keluhan tambahanKeluhan tambahan juga perlu ditanyakan demi menunjangnya diagnosis ditegakan. Tanyakan apakah pasien mengeluh karena rasa terbakar dan merah pada wajah (simetris) dan bagian atas badan. Hal ini juga dapat disertai simptom okular (mata).d. Riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat obatPada riwayat penyakit dahulu ditanyakan apakah sering menderita penyakit serupa secara berulang. e. Riwayat sosialPada riwayat sosial dan keluarga, perlu ditanyakan apakah pasien merokok, baru pergi ke daerah mana, dan ada tidaknya orang-orang terdekat yang mengalami gejala yang sama. Pemeriksaan Fisik dan PenunjangPemeriksaan FisikPemeriksaan fisik yang diperlukan meliputi survei umum keadaan pasien, tingkat kesadaran, ekspresi wajah dan aktivitas motorik, tanda-tanda vital, pemeriksaan mata, dan yang pasti adalah pemeriksaan fisik kulit.5 Pemeriksaan fisik kulit yang dilakukan antara lain:5 Pemeriksaan morfologi kulit pada seluruh tubuh mulai dari ujung kepala sampai dengan kaki. Nikolsky sign:Mencari kulit lapisan atas yang terlepas dari bagian bawah ketika digosok atau digores dengan lembut (gesekan biasa saja).Cara pengujian: Dokter atau suster akan menggunakan sebuah penghapus karet, penghapus tersebut diletakan di kulit pasien dan dengan lembut di toreh maju-mundur. Jika hasil positif maka akan ada area lepuhan, biasanya dalam beberapa menit. Area yang digores oleh penghapus tersebut mempunyai karingan kulit yang sudha longgar dan akan jatuh bebas ketika digores. Area dibawahnya berwarna merah jambu dan lembab, biasanya sangat halus/lembut. Dikatakan hasil negatif jika tidak ada reaksi / kulit tidak terlepas. Pemeriksaan mata yang dilakukan antara lain: Palpebra, dilihat apakah ada edema, warna kemerahan, lesi, arah bulu mata, dan kemampuan palpebra untuk menutup sempurna Konjungtiva dan sclera, dilihat warnanya dan vaskularisasinya, cari setiap nodulus atau pembengkakan. Kornea, lensa, dan pupil, dengan cahaya yang dipancarkan dari temporal dilihat apakah ada kekeruhan (opasitas) pada lensa melalui pupil, apakah ada bayangan berbentuk bulan sabit pada sisi medial, kemudian dilihat ukuran, bentuk dan kesimetrisan pupil. Ketajaman visus, lapang pandang, palpebral, konjungtiva dan sclera, kornea, lensa dan pupil. (palpebral, konjungtiva dan sclera, kornea, lensa dan pupilPemeriksaan PenunjangHasil pemeriksaan laboraturium memberikan hasil yang tidak khas. Apabila terdapat leukositosis, penyebabnya mungkin karena infeksi bacterial. Bila diduga penyebabnya adalah infeksi dapat dilakukan kultur darah. Selain itu bila terdapat eusinofilia kemungkinan penyebabnya adalah alergi. Disamping itu, juga ditemukan adanya peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria dan gangguan elektrolit serta adanya gambaran gangguan fungsi organ tubuh yang terkena.6HistopatologiBiasanya pemeriksaan histopatologi tidak perlu dilakukan, namun bila ditemukan keraguan dalam menegakkan diagnosis, perlu dilakukan pereriksaan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi dilakukan guna untuk membedakan kelainan ini dengan Eksantema Fiksatum Multiple dan Necrolisis Epidermal Toksik (NET).6Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluh. Kelainan berupa:7 Infiltrat sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial. Edema dan ekstravasasi sel darah di dermis papiliar. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis. Diagnosis KerjaDiagnosis sindrom steven johnson 90 % berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat, ada kolerasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta hubungannya dengan faktor penyebab. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta ujiresistensi dari darah da tempat lesi dan pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan eosinofil. Kadar igG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tidak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkan diagnosis.8 Diagnosis BandingNekrolisis Epidermal ToksikNekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit berat, gejala klinis yang terpenting ialah epidermiolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata. Dibandingkan dengan Sindrom Steven-Johnson, penyakit ini lebih jarang. Umumnya pada orang dewasa dan dengan SSJ. Penyebab utama karena alergi obat berjumlah 80%, seperti karena penicillin 24%, paracetamol 17%, dan karbamazepin 14%. Penyebab lain adalah analgesic/antipiretik, kotrimoksasol, Dilantin, klorokuin, seftriakson, jamu dan adiktif.9 Nekrolisi epidermal toksik adalah bentuk parah dari SSJ. Tentang imunopatogenesis sama dengan SSJ yaitu merupakan reaksi tipe II (sitolitik) merupakan Coomb dan Gel. Jadi gambaran klinisnya bergantung pada sel sasaran (target cell). Gejala utama pada NET adalah epidermiolisis karena sel sasarannya adalah epidermis. Gejala atau tanda yang lain dapat menyertai NET bergantung pada sel sasaran yang dikenai.9

Gejala Klinis Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbanagn cairan/electrolit atau karena sepsis. Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun (sporo-komatosa), kelainan kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat disertai lesi pada bibir dan selaput lender mulut berupa erosi, ekskoriasi dan pendarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan macam ini dapat pula terjadi orifisiumgenitalia eksterna juga kelainan pada mata. Pada NET yang palingpenting adalah terjadiny epidermolysis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh dan gambaran klinisnya berupa kombusio. Adanya epidermolysis menyebabkan tanda Nikolskiy positif pada kulit yang eritemosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan mudah mengelupas. Epidermolysis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yaitu padapunggung dan bokong karena bias terbaring. Pada sebagian asien, kelainan kulit hanya berpa epidermolysis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis) kadang juga terdapat pendarahan di traktus gastrointestinalKomplikasi pada NET terjadi pada ginjal berupa nekrolisis tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama glomerulonephritis. Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan alergi terhadap obat. Kalau kelainan kita luas, meliputi 50-70% permukaan kulit, prognosisnya buruk.9Staphylococcal Scalded Skin SyndromStaphylococcal Scalded Skin Syndrom (SSSS) merupakan penyakit pada neonates dan anak-anak. SSSS jarang terjadi pada dewasa kecuali dengan gangguan ginjal, defisiensi imun dan penyakit kronik. Hamper seluruh kasus terjadi pada anak kurang dari 6 tahun, dan prevalensi pada pria lebih sering terkena dibandingkan pada wanita. Anak-anak merupakan resiko pada SSSS karena kekurangan imunitas dan kemampuan renal imatur dalam membersihkan toksin (toksin exfoliative). Infeksi Staphylococcal Scalded Skin Syndrom disebabkan oleh bakteri Staphylococcus Aureus 3a, 3b, 55 dan 57 phage II yang menghasilkan eksfoliatin A (ETA) dan eksfoliatin toksin B (ETB). Eksfoliatin toksin ini bersifat epidemolitik. ETA dan ETB bereaksi pada pada protein (DG-1) yang merupakan protein di epidermis superficial. Infeksi ini terjadi pada oral, nasal cavitis, laring atau umbilicus. Toksin epidemolitik yang diproduksi Staphylococcus Aureus menyebabkan ruam kemerahan dan menyebar ke dalam epidermis kemudian bula muncul dan akirnya terjadi deskuamasi.8ETA dan ETB merupakan protease serin yang mempunyai target special yanitu desmoglein-1. keduannya juga merupakan superantigen yang mengaktivasi makrofag untuk memproduksi proinflamatori sitokin seperti TNF alpha dan IL-6. Ikatan desmoglein-1 dengan toksin eksfloliatif staphylococcus aureus menyebabkan terbentuknya antibody IgG spesifik desmoglein-1 dan mengakibatkan pecahnya stratum granulosum dan stratum spinosum.8Manifestasi klinisPada Staphylococcal Scalded Skin Syndrom akan terjadi demam kemudian muncul ruam eritem (tender rash)pada muka, badan dan ekstermitas kemudian dalam waktu 24-28 jam berkembang menjadi bula yang besar dan mudah rupture kemudian mengelupas. Lesi akan mongering dan dalam waktu 7 sampai 14 hari terjadi regenerasi epidermis tanpa menimbulkan jaringan parut. Komplikasi yang terjadi pada SSSSbiasanya meliputi sepsis, superinfeksi dan dehidrasi akibat gangguan keseimbangan elektrolit. Selulitis, sepsis dan pneumonia merupakan komplikasi lain yang mungkin terjadi pada SSSS.8PrognosisAngka mortalitas SSSS pada anak sangat rendah sedangkan pada dewasa cukup tinggi. Morbiditas SSSS meliputi penyebaran local infeksi. SSSS pada anak dapat sembuh dalam 10 hari tanpa menyebabkan jaringan parut. Sedangkan prognosis SSSS pada dewasa tergantung pada status imun penderita, inisial terapi yang tepat lebih awal, perjalanan infeksi dan komplikasi.8 Manifestasi KlinisSecara umum gejala klinis SSJ didahului gejala prodromal yang tidak spesifik seperti demam, malaise, batuk, sakit kepala, nyeri dada, diare, muntah, batuk, nyeri tenggorokan dan antralgia. Gejala prodromal ini ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan keadaan yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan sampai koma.1,2 Pada sindrom Sindrom Steven-Johnson juga didapatkan trias kelainan, yaitu: Gejala pada kulitLesi kulit pada Sindron Steven-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal atau juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh lain. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetris dan ukuran lesinya juga bervariasi dari yang kecil hingga yang besar. Mula-mula lesi kulit berupa bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan sering kali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada, dan seluruh permukaan tubuh.10Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat pendarahan akan menjadi krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai warna kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasagatal dan rasa terbakar. Terbentuknya purpura pada lesi kulit memberikan prognosis buruk.10 Gejala pada mataManifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien Sindrom Steven-Johnson. Kelainan yang sering terjadi adalah konjungtivitis. Selain konjungtivitis kelopak mata menunjukan erupsi yang merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata. Penderita Sindrom Steven-Johnson yang parah, kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulent, photophobia, panophtalmitis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta sindrommata kering, komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatrik kornea, ulserasi kornea, dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan kebutaan.2,10 Gejala pada genitalLesi pada genital dapat menyebabkan urethritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada gland penis. Urethritis merupakan peradangan pada uretra dengan gejala klinik berupa secret uretra, peradanga meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritrasivulva, gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil. Sindrom Steven-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal atau inflamasi anal.2,3 Gejala pada oral Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi dari pada lesi kulit, seluruh permukaan ora dapat terlibat, namun lesi orang lebih cenderung banyak terjadi pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada gusi relative jarang terjadi lesi.3Lesi oral didahului oleh macula, papula segera diikuti oleh vesikel dan bula. Vesikel maupun bula terutama pada mukosa bibir mudah pecah karena gesekan lidah dan friksi pada waktu mengunyah dan bicara sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaan klinis oral.2,3 Vesikel maupun bula yang lebih mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulcus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik yang berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik yang berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan suatu ulkus yang tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik dan mengalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang tebal dapat terlibat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut.2,3Pada palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi oral diawali oleh vesikel mupun bila yang mudah pecah menjadi erosi, ekskoriasi dan ulcus. Erosi sering kali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi daerah berwarna kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum durum. Pada mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi seperti lidah, vesikel atau bula di mukosa pipi jarang ditemukan utuh, hanya berupa erosi atau ulkus yang ditutupi dengan pseudomembran.2,10Manifestasi oral Sindrom Steven-Johnson biasanya diikuti oeh pembesarab nodus limfatikus servicalis disertai rasa nyeri yang hebat sekali dan terjadi peningkatan aliran saliva. Penderita biasanya akan mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan yang masuk ke dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke faring, saluran pernafasan bagian atas dan esophagus sehingga penderita mengalami kesulitan bernafas. Edema pada faring dapat menyebar ke trakea, apabila keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli, sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia serta trakeobronkitis.10EtiologiPenyebab pastidari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun, penyebab yang paling sering terjadi adalah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh. Adapun yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Diperkirakan sekita 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25% karena infeksi dan penyebab lainnya. Paparan obat dan reaksi hipersnsivitas yang dihasilakn adalah penyebab mayoritas yang sangat besar dari kasus SJS. Dalam rangka absolut kasus, allopurinol adalah penyebab paling sering umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian setidaknya 200 mg.5Sindrom ini juga dikatakan multifactorial. Berikut adalah beberapa factor yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:5a. Obat-obatanAleri obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun demam). Berbagai obata yang dapat menyebabkan SJS yaitu: penisilin dan derivatnya, streptomysin, tetrasiklin, analgetik/antipiretik (misalnya derivate salisilat, pirazolon, metamizol, metapiron dan paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturate (fenobarbital), kinin antipirin, chlorpromazine, karbamazepin dan jamu-jamuan.b. Infeksi Virus, antara lain Herpes simplex virus, Epstein-Barr virus, enterovirus, HIV, Coxsackie virus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma venereum, rickettsia dan variola. Bakteri, antara lain Grob A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis, mycobakteri, Mycoplasma pneumonia, Tularaemia. Jamur, antara lain coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis. Protozoa, meliputi malaria dan tricomoniasis. c. ImunisasiTerkait dengan imunisasi, antara lain campak, hepatitis B.d. Factor lain Zat tambahan pada makanan (food additive) dan zat warna. Factor fisik, misalnya sinar x, sinar matahari, cuaca lain dan lain-lain. Penyakit-penyakit kolagen vaskuler. Penyakit-penyakit keganasan, misalnya karsinoma penyakit hodgkins, limfoma, pmycloma, dan polisitemia, neoplasma. Radioterapi.Epidemiologiinsiden SSJ dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Setiap tahun terdapat kira0kira 12 pasien, umumnya juga pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut.6 PatofisiologiPatofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks Soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgM, serta reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan reaksiyang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.2,3Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivitas system komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasiberkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokon dilepaskan sehingga reaksi radang.2,3Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsy kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dan sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respon imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa factor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang ditimbulkan akibat aktivitas factor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbatas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolic). Komplek imun beredar dapat mengendap di daerah kulitdan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivitas komplemen dan reaksi imflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis local di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sitotosik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.2,3Oleh karena proses hipersensivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress humoral diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.2,3 Tata LaksanaPenatalaksanaan sindrom steven-johnson berdasarkan atas tingkat keparahan penyakit yang secara umum meliputi:111. Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontroln setiap hari keadaan penderita.2. Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa dekametason secara intravenadengan dosis permulaan4-6 x 5 mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.3. Antibiotik, penggunaan kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas penderita menurun, maka antibiotik harus diberikan untuk sekunder, misalnya broncopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik. Antiniotik yang memenuhi syarat tersebut anatara lain siprofloksasin dengan dosis 2 x 400 mg intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600 mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. Sekarang dipakai netilmisin sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari, dosis dibagi dua. Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan gentamisin 4. Menjaga keseimbangan cairan, elektolit dan nutrisi. Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan ditenggorokkan serta kesadaran yang menurun. Utnuk ini dapat diberikan infuse berupa glukosa 5 % atau larutan darrow. Pada pemberian kortikosteroid terjadi retensi natrium, kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendahgaram, KCL 3 x 500 mg/hari dan obat-obat anabolik. Untukmencegah penekanan korteks adrenal ACTH (synacthen depot) dengan dosis 1 mg/hari setiap minggu dimulai setelah pemberian kortikosteroid.5. Transfusi darah. Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan tranfuse darah sebanyak 300-500 cc setiap hari intravena dan obat-obat hemostatik.6. Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita kembali normal. Penderita selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan.7. Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler. Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen hemostatik yang sering digunkan adalah vitamin K.8. Perawatan pada kulit. Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita mearasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan orintment berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit. Kerjasama anatara dokter gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan.9. Perawatan pada mata. Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan orintment. Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali digunkaan untuk mencegah terjadinya corneal ephitelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.10. Perawatan pada genital. Larutan slain dan petroleum berbentuk gel sering digunkan pada area genital penderita. Penderita sindrom steven-johnson yang seringkali mengalami gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka katerisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.11. Perawatan pada oral. Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dnegan pemberian anastesik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah sperinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perwatan berupa kompres asam borrat 3%. Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan spons steril utnuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak akan bekerja dengan optimum sehingga tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.

KomplikasiSindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:12,131. Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara seluruh kasus yang ada.2. Kehilangan cairan dan darah3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock4. Oftalmologi - ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan karena gangguan lakrimasi5. Gastroenterologi esophageal strictures6. Genitourinari - nekrosis ginjal tubular, gagal ginjal, penis scarring, stenosis vagina7. Pulmonari pneumonia, bronchopneumonia

PrognosisJika dilakukan tindakan tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia lebih buruk. Kematian berkisar 5-15% pada kasus berat dan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Kematian biasanya terjadi disebabkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit, bronkopneumonia serta sepsis.6PencegahanObat tetaplah bahan kimia yang dapat menimbulkan efek yang tidak diingankan dari yang ringan sampai berat. Karena pemakaian obat walaupun sesuai dosis tetap dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan maka harus bijaksana dalam pemakaian obat. Pastikan benar-benar bahwa anda memerlukan obat dalam pemakaian obat. Pastikan benar-benar bahwa anda memerlukan obat dalam tatalaksana keadaannya, dan bila meminum obat pastikan mebaca petunjuk dalam kemasan obat, observasi tanda-tanda yang muncul setelah meminum obat.Jangan minum obat bila tidak sesuai indikasi. Selalu tanyakan diagnosis penyakit, periksa kembali apakah memang obat yang dikonsumsi sudah sesuai indikasi penyakit yang diderita. Cara-cara ini untuk menghindari dari efek yang tidak diinginkan dari obat yang diminum.1

KesimpulanSindrom Stevens Jhonson adalah penyakit mukokutan dengan tiga gejala yang khas, yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada oral berupa stomatitis, serta kelainan pada genital berupa balanitis da vulvovaginitis. Manifestasi oral hampir sepenuhnya terjadi pada penderita Sindroma Stevens Johnson. Pada seluruh permukaan oral dapat terjadi lesi seperti mukosa bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi, sedangkan lesi jarang terdapat pada gusi. Perawatan padapenderita sindrom Stevens Johnson lebih ditekankan pada perwatan simtomatik dan suportif karena etiologinya belum diketahui secara pasti.Daftar Pustaka1. A Masjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi alergi Obat. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius.2000.h.134-6. 2. R.P Langlais CSM. Colour atlas of common oral diseases. Philadelpia: Lea & Febinger.2003.3. Siregar RS. Sindrom sevens jhonson. Sampai penyakit kulit. Edisi ke2.Jakarta: EGC.2004.p.141-5.4. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005.h.7.5. Burns BT, Graham R: Lecture notes on dermatology. Edisi ke- 8. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2009.h.1526. Hamzah M, Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.h.163-7.7. Darmstadt GL, Sidbuty R. Steven jhonson syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Textbook of prdiatrics. Edisi ke17. Philadelphia: WB Saunders.2004.h.2191-4.8. Bolognial J, Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of dermatology. Edisi ke3. Elseiver hal 330.9. Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..2013.h.154-7.10. Foster CS, Steven-johnson syndrome treatment & management. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1197450-treatment. Diunduh: 22 April 2015.11. Burns BT, Graham R: Lecture notes on dermatology. Edisi ke- 8. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2009.h.152.12. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ke3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2004.h.135-6.13. Carrol MC, Yeung-Yue KA. Esterly NB. Drug inducy hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatric 2001.h.108,491.Syndrom Steven JhonsonPage 11