SKRIPSIrepository.uinjambi.ac.id/2617/1/301170014_Fatimah Binti... · 2020. 4. 23. · KONSEP...

81
KONSEP TAWASSUL MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu Pensyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S. 1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Oleh: FATIMAH BINTI ABDUL KHADAL NIM: 301170014 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2019

Transcript of SKRIPSIrepository.uinjambi.ac.id/2617/1/301170014_Fatimah Binti... · 2020. 4. 23. · KONSEP...

  • KONSEP TAWASSUL MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu Pensyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

    Strata Satu (S. 1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

    Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama

    Oleh:

    FATIMAH BINTI ABDUL KHADAL

    NIM: 301170014

    PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

    FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

    JAMBI

    2019

  • ii

    Drs. H. Lahmuddin, M.Ag Jambi, 04 Maret 2019

    Nilyati, S.Ag., M.Fil.I

    Alamat: Fak Ushuluddin dan Studi Kepada Yth.

    Agama UIN STS Jambi Bapak Dekan

    Jl. Raya Jambi-Ma Bulian Fak. Ushuluddin dan Studi

    Simp. Sungai Duren Agama UIN STS Jambi

    Muaro Jambi. di-

    JAMBI

    NOTA DINAS

    Assalamu’alaikumWr. Wb

    Setelah membaca dan mengadakan perbaikan sesuai dengan pensyaratan

    yang berlaku di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi, maka kami

    berpendapat bahwa skripsi saudari Fatimah Binti Abdul Khadal yang berjudul “Konsep

    Tawassul Menurut Perspektif Al-Qur’an” telah dapat diajukan untuk dimunaqasyahkan

    sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S. 1) Jurusan

    Ushuluddin dan Studi Agama dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Fakultas

    Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.

    Demikianlah yang dapat kami sampaikan kepada Bapak, semoga bermanfaat

    bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa.

    Wassalam.

  • iii

  • iv

  • v

    MOTTO

    ْن الرَِّحْيمِ ِبْسِم اهلِل الرَّْحْم

    “[D]an Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal

    yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang

    yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras”. (QS Asy-Syura’: 26)1

    1 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya

    Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 388.

  • vi

    PERSEMBAHAN

    احلمد هلل رب العاملني

    Kupersembahkan skripsi ini

    Kepada insan-insan yang tersayang

    Keluarga Tercinta

    Ayahanda, Abdul Khadal dan ibunda, Hasima yang telah mendidik dan mengasuh

    anaknda dari kecil hingga dewasa bagai menatang minyak yang penuh. Kakek dan

    nenek, Muhamad dan Isah yang tidak jemu menjaga dan membesarkan cucunda

    dengan penuh kasih sayang. Tidak lupa juga kakanda Khatijah dan Azizah serta

    adinda Darwis Muhyiddin yang selalu memberi galakkan, semangat dan dorongan

    agar sentiasa tabah menghadapi ujian dan cabaran sebagai mahasiswa supaya kelak

    menjadi seorang manusia yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi

    Agama, Nusa dan Bangsa, dan dapat menggapai cita-cita dan impian hidup.

  • vii

    ABSTRAK

    Terlalu ramai umat Islam pada zaman ini yang ternyata salah dalam memahami

    hakikat sebenar bertawassul. Sesungguhnya tawassul adalah bertawajjuh yaitu

    menghadapkan permohonan kepada Allah SWT., dalam doanya dengan kedudukan

    atau kemulian seseorang Nabi atau seseorang hamba yang sholeh karena tawassul

    merupakan sunnah. Ia juga adalah penghubung yang menjadi sebab kepada kita

    mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, terdapat golongan yang menolak

    tawassul ini dengan hujah-hujah yang pada hakikatnya tidak mampu diterima akal

    dengan mengatakan bahwa tawassul ini sama seperti meminta kepada orang yang

    sudah mati di mana ia merangkumi perbuatan yang sia-sia dan tidak berfaedah.

    Hakikatnya, dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permintaan kita kepada jasad

    yang tidak bernyawa, akan tetapi permintaan kita hanyalah kepada Allah SWT.

    Pendekatan penelitian yang penulis gunakan dalam kajian ini adalah penelitian

    kepustkaan (library research) penelitian yang dilakukan terhadap literatur-literatur yang ada di perpustakaan terutama yang berkaitan dengan kitab-kitab tafsir, buku-

    buku, dan literature-literatur tentang tawassul serta mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau pun belum dipublikasikan. Penulis meneliti dan

    mengkaji tentang tawassul yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an dengan

    pendekatan metode maudhui (tematik).

    Hasilnya penulis mendapati bahwa tawassul merupakan suatu pintu dari pintu-

    pintu untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Yang dituju dan diminta asalnya dan

    hakikatnya hanya pada Allah SWT., manakala yang menjadi perantara itu adalah jalan

    semata-mata untuk menghampirkan diri kepada Allah SWT., karena kecintaan kepada

    perkara yang dijadikan wasilah itu dengan berkeyakinan yang utuh bahwa Allah SWT.,

    juga mengasihi wasilah itu. Terdapat banyak dalil-dalil mengenai tawassul yang

    difirmankan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Nabi Saw.

    Amalan ini dibolehkan dan diharuskan menurut pendapat ulama. Bentuk-bentuk

    tawassul yang dapat dipahami dalam kajian penulis ini adalah bertawassul kepada

    Allah SWT., melalui nama-nama dan sifat Allah Yang Maha Agung, bertawassul

    kepada-Nya melalui keimanan kepada Allah SWT., dan Rasul utusan-Nya, bertawassul

    kepada Allah SWT., dengan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, bertawassul kepada-

    Nya melalui perantara amal-amal saleh dan kebaikan serta bertawassul kepada Allah

    SWT., dengan orang-orang saleh atau selain Nabi Saw., sebagaimana yang telah

    difirmankan oleh Allah SWT., dalam Al-Qur’an yang Mulia dan sunnah Nabi-Nya

    Muhammad Saw. Akhirnya penulis merekomendasikan kepada ummat Islam agar

    menetapkan niat dan menyempurnakan iman terlebih dahulu sebelum mengamalkan

    tawassul supaya tidak mengubah maksud dan tujuan dari tawassul tersebut.

  • viii

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, puji syukur tiada henti-hentinya kehadrat Allah SWT., yang

    telah menganugerahi penulis dengan sedikit ilmu pengetahuan, sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini.

    Selawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan alam, yakni Nabi besar

    Muhammad Saw., seorang Nabi yang pernah memberi angin segar kepada ummatnya

    disaat ummatnya tenggelam dalam lautan kemusyrikan, hingga menjadi pantai yang

    penuh dengan ilmu pengetahuan.

    Adapun maksud dan tujuan penulis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S.1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada

    Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Tak lupa pula rasa terima

    kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada yang terhormat.

    1. Bapak Drs. H. Lahmuddin, M.Ag sebagai pembimbing I dan ibuk Nilyati, S.Ag., M.Fil.I sebagai pembimbing II yang telah sabar membantu dan membimbing

    penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

    2. Ibuk Ermawati Hasan S,Ag., M.A selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri

    Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    3. Bapak Dr. Abdul Ghaffar, M. Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    4. Bapak Dr. Masiyan M. Syam S.Ag., M.Ag, Bapak H. Abdullah Firdaus, Lc, M.A, serta Bapak Dr. Pirhat Abbas, M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,

    Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Perencanaan dan Keuangan, serta

    Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dan Kerjasama Luar Fakultas Ushuluddin

    dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    5. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, M.A selaku Rektor UIN STS Jambi. 6. Bapak Prof. Dr. H. Su’aidi Asy’ari MA. Ph.D, Bapak Dr. H. Hidayat, M.Ag, dan

    Ibu Dr. Hj. Fadhlilah, M.Pd selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan

    Pengembangan Lembaga, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum,

    Perencanaan dan Keuangan, dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Dan

    Kerjasama.

    7. Bapak Ibu Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang memberi ilmu pengetahuan kepada penulis.

    8. Bapak dan Ibu karyawan dan karyawati dilingkungan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    9. Bapak Pimpinan Perpustakaan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi beserta staf-stafnya.

    10. Teman-teman seperjuangan, Nor Farah Ain, Nor Farhana, Bintu Afiqah Aiman, Hanisah Zafirah, Muhammad Iqbal, Muhammad Izzuddin dan Muhammad

  • ix

    Hambaly serta teman-teman lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan

    Pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi dan sahabat-sahabat dari jurusan Ilmu

    Al-Qur’an dan Tafsir yang telah memberikan motivasi kepada penulis.

    11. Serta semua pihak yang turut membantu, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

    Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis mengucapkan

    terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT., membalasnya. Akhirnya

    penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

    Jambi, 04 Maret 2019

    Penulis,

    Fatimah Binti Abdul Khadal

    IAT301170014

  • x

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL …………………………………………………………...... i

    NOTA DINAS ........................................................................................................ ii

    SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ........................................ iii

    PENGESAHAN ..................................................................................................... iv

    MOTTO .................................................................................................................. v

    PERSEMBAHAN ................................................................................................... vi

    ABSTRAK .............................................................................................................. vii

    KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii

    DAFTAR ISI .......................................................................................................... x

    PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... xii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Permasalahan ............................................................................. 5 C. Batasan Masalah ........................................................................ 6 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ 6 E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 7 F. Metode Penelitian ....................................................................... 11 G. Sistematika Penulisan ................................................................. 13

    BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP TAWASSUL

    A. Definisi Tawassul / Wasilah ........................................................ 14 B. Sejarah Tawassul ....................................................................... 19 C. Pemahaman Mengenai Konsep Tawassul .................................. 23

    BAB III TAWASSUL DALAM KEILMUAN ISLAM

    A. Macam-Macam Tawassul ........................................................... 27 B. Bentuk-bentuk Amalan Tawassul ............................................... 30 C. Pengamalan Tawassul dalam Islam ............................................ 42

    BAB IV AL-QUR’AN DAN TAWASSUL

    A. Penafsiran Tafsir Jalalain Terhadap Dalil-Dalil Wasilah ......... 45 B. Penafsiran Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di Terhadap Dalil-Dalil

    Wasilah ...................................................................................... 47

    C. Dalil-Dalil Berkaitan Konsep Tawassul ..................................... 49

    D. Pendapat Ulama Mengenai Tawassul ......................................... 57

  • xi

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ................................................................................ 62 B. Saran .......................................................................................... 62

    DAFTAR PUSTAKA

    CURRICULUM VITAE

  • xii

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    A. Alfabet

    Arab Indonesia Arab Indonesia

    ṭ ط , ا

    ẓ ظ b ب

    ʻ ع t ت

    gh غ th ث

    f ف j ج

    q ق h ح

    k ك kh خ

    l ل d د

    m م dh ذ

    n ن r ر

    h ه z ز

    w و s س

    , ء sh ش

    y ي ṣ ص

    ḍ ض

  • xiii

    B. Vokal dan Harkat

    Ar

    ab

    Indone

    sia

    Ar

    ab

    Indone

    sia

    Ar

    ab

    Indone

    sia

    ī اِى ā ا a ا َ

    aw ا و á ا ى u ا َ

    ay ا ى ū ا و i اَِ

    C. Tā’ Marbūṭah

    Transliterasi untuk ta marbutah ini ada dua macam:

    1. Tā’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, makan transliterainya

    adalah /h/.

    Arab Indonesia

    Ṣalāh صالة

    Mir’āh مراة

    2. Ta Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dhammah,

    maka transliterasinya adalah /t/.

    Arab Indonesia

    Wizārat al-Tarbiyah وزارةَالتربية

    Mir’āt al-zaman مراةَالزمن

    3. Ta Marbutah yang berharakat tanwin maka translitnya adalah /tan/tin/tun.

    Arab Indonesia

    Faji’tan فجئةَ َ

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Dikala modernisasi menerpa umat Islam, pemikiran masyarakat juga semakin

    maju seiring dan bertepatan dengan peredaran zaman. Sehingga perkara-perkara yang

    asalnya merupakan amalan yang biasa dilakukan di mana terdapat dalil-dalil

    mengenainya, mula dipandang sebagai satu perbuatan yang sesat dan bertentangan

    dengan akidah Islam bahkan lebih payah dituduh sebagai bid’ah1 yang sesat.

    Mayoritas umat Islam pada jaman ini yang ternyata salah dalam memahami

    hakikat sebenar bertawassul. Sesungguhnya tawassul adalah bertawajjuh yaitu

    menghadapkan permohonan kepada Allah SWT., dalam doanya dengan kedudukan

    atau kemulian seseorang Nabi atau seseorang hamba yang saleh karena tawassul

    merupakan sunnah.2

    Hakikat keperluan bertawassul ini adalah sebagai wasilah yaitu merupakan

    jalan bagi mendapatkan sesuatu yang diperlukan dengan memohon melalui perantaraan

    para Nabi, para malaikat, wali, ulama’ dan orang-orang saleh, baik mereka masih hidup

    maupun telah meninggal dunia. Ia juga adalah penghubung yang menjadi sebab kepada

    kita mendekatkan diri kepada Allah SWT.

    Bagi melakukan tawassul ini, yang menjadi perantara itu seharusnya

    mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT., sebagai syarat untuk

    dilaksanakan tawassul. Selain itu, orang yang bertawassul dengan wasilah ini perlu

    mempunyai keyakinan bahwa orang yang menjadi wasilah itu adalah orang saleh atau

    1 Bid’ah mengerjakan sesuatu yang baru yang ada pada masa Rasulullah Saw. Bi’dah terbagi

    menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk). Asep Saifuddin Chalim, Membumikan

    ASWAJA Pegangan Para Guru NU (Surabaya: Khalista & PP. Pergunu, 2012), 150-151. 2 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, (Seremban:

    Koperasi As Sofa, 2014), 170.

  • 2

    wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan dan keistimewaan di sisi Allah SWT.,

    karena dianggap sebagai paling dekat dengan Allah SWT.

    Seiring dengan firman Allah SWT., dalam QS. Al-Ma’idah, ayat 35:

    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah

    (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) pada

    jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Al-Ma’idah: 35).3

    Ahmad Sonhadji Mohamad menafsirkan perkataan wasilah atau jalan

    mendekatkan diri kepada Allah SWT., dalam ayat tersebut ialah tiap-tiap perbuatan

    ketaatan yang mendekatkan kepada keredhaan Allah SWT., dan memudahkan

    mendapat pahala daripada-Nya di akhirat. Wasilah itu merupakan setinggi-tinggi

    gedung dalam surga.4

    Sebagai contoh, apabila kita berpuasa pada bulan mulia Ramadan, maka

    dikatakan bahwa dengan berpuasa merupakan wasilah menuju pengampunan dosa-

    dosa dan solat di malam hari pada Lailatul Qadar juga adalah wasilah. Semuanya ini

    diharuskan atas dasar iman dan pengharapan kita terhadap Allah SWT. Sebagaimana

    firman Allah SWT., dalam QS. Ali ‘Imran, ayat 185:

    “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat

    sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan

    3 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya

    Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 90. 4 Ahmad Sonhadji Mohamad, Tafsir Al-Qur’an di Radio (Kuala Lumpur: Pustaka Al-Mizan,

    1992), 153-155.

  • 3

    dimasukkan ke dalam syurga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia

    tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS Ali ‘Imran: 185).5

    Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala amal saleh adalah

    wasilah. Tujuan perbuatan saleh tersebut adalah demi memperoleh redha Allah SWT.,

    dan kemenangan di akhirat kelak. Dunia ini hanyalah tipu daya yang mengasyikkan

    semata-mata namun tidak pula memberi apa-apa manfaat terhadap manusia.

    Selain itu, tawassul kepada Allah SWT., juga boleh disebut sebagai suatu

    sarana demi termakbulnya doa. Apabila bertawassul melalui doa kepada Allah SWT.,

    orang yang berdoa itu harus mengiringi doanya dengan sesuatu yang menjadi sebab

    diterimanya doa tersebut. Di samping itu, orang yang bertawassul haruslah mempunyai

    dalil yang mendasari bahwa sesungguhnya ia merupakan penyebab termakbulnya doa.

    Perkara tersebut tidaklah diketahui kecuali melalui pensyariatan Allah SWT., yaitu

    barangsiapa yang menjadikan suatu perkara sebagai wasilah untuknya agar doanya itu

    dikabulkan oleh Allah SWT., tanpa mempunyai dalil syariat sebagai sandaran, maka

    sesungguhnya ia adalah perkara yang tidak berasas dan tidak mempunyai ilmu.6

    Oleh itu, wasilah merupakan suatu perkara yang diredhai Allah SWT., dan

    menjadi sebab termakbulnya doa karena doa itu sendiri adalah sebuah ibadah, yakni

    ibadah itu hanya berdasarkan dalil-dalil yang datangnya daripada syariat Allah SWT.,

    sendiri yang merupakan panduan dan ikutan dalam melaksanakan perintah-Nya.

    Namun, terdapat golongan yang menolak tawassul ini dengan hujah-hujah yang

    pada hakikatnya tidak mampu diterima akal dengan mengatakan bahwa tawassul ini

    sama seperti meminta kepada orang yang sudah mati di mana ia merangkumi perbuatan

    yang sia-sia dan tidak berfaedah. Hakikatnya, dalam bertawassul kita tidak

    menyampaikan permintaan kita kepada jasad yang tidak bernyawa, akan tetapi

    permintaan kita hanyalah kepada Allah SWT.

    5 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya

    Departemen Agama RI, 74. 6 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengkap Tawassul, Diterjemah oleh Muhammad

    Iqbal Amrullah (Jakarta: Darul Haq, 2014), 12.

  • 4

    Justeru, kita memohon syafaat kepada Allah SWT., melalui mereka yang telah

    tiada yang diyakini mereka merupakan orang-orang yang saleh juga yang dikasihi

    Allah SWT., bukan kepada benda mati dan tidak mempunyai apa-apa manfaat

    daripadanya. Jika jasad tidak mampu mendengar dan mengerti kata-kata kita, bukanlah

    bererti bahwa ruh suci mereka tidak boleh mendengar dan memahami permohonan

    kita.

    Imam Taqiyyuddin As Subki berkata: “Ketahuilah, bahwa boleh dan baik sekali

    bertawassul, beristighasah, dan memohon syafaat dengan Nabi Saw., untuk memohon

    kepada Tuhannya Yang Maha Suci dan Maha Agung. Diperbolehkannya tawassul dan

    dianggap bagus adalah karena termasuk hal-hal yang maklum bagi setiap orang yang

    beragama, amalan tawassul ini juga termasuk perbuatan para Nabi, Rasul, ulama salaf

    (generasi pertama dan terbaik dari ummat Islam, terdiri dari para Sahabat, Tabi’in,

    Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa)

    pertama yang dimuliakan oleh Allah SWT.)7, orang-orang saleh, para ulama dan kaum

    muslimin yang masih awam.8

    Menurut padangan Muhammad al Maliki Al- Hasani, tawassul termasuk salah

    satu cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap Allah SWT. Jadi yang menjadi

    sasaran atau tujuan asli yang sebenarnya dalam bertawassul adalah Allah SWT.

    Sedangkan yang ditawassulkan (al mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah

    dan wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan

    demikian, orang yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah menyekutukan

    Allah.9

    7 Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, “Definisi Salaf, Definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah”, diakses

    melalui alamat https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html,

    tanggal 06 September 2018. 8 M. Abror Rosyidin, “Dalil Tawassul, Istighosah, & Meminta Syafa’at Rasulullah SAW”,

    diakses melalui alamat https://tebuireng.online/dalil-tawassul-istighosah-meminta-syafaat-rasulullah-

    saw/, tanggal 06 September 2018. 9 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,

    Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 101.

    https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.htmlhttps://tebuireng.online/dalil-tawassul-istighosah-meminta-syafaat-rasulullah-saw/https://tebuireng.online/dalil-tawassul-istighosah-meminta-syafaat-rasulullah-saw/

  • 5

    Sementara, Syed Ahmad Zaini Bin Syed Zaini Dahlan (Mufti Makkah) ada

    mengatakan bahwa tawassul adalah sah terbitnya daripada Nabi Saw, para sahabat dan

    salafussaleh dulu dan kemudian.10

    Mendekatkan diri kepada Allah SWT., mempunyai banyak cara dan kaedah

    yang boleh digunakan, namun kesemuanya haruslah dengan cara yang dibenarkan

    oleh-Nya dan bermula dari perasaan kebutuhan serta kecintaan terhadap Allah SWT.,

    sendiri. Jika seseorang merasakan kebutuhan kepada sesuatu, maka ia pasti berusaha

    untuk menempuh segala liku dan dugaan bagi meraih ridha, perhatian dan

    menyenangkan siapa yang ia butuhkan itu. Demikian juga sikap manusia yang

    senatiasa membutuhkan Allah SWT., dalam hidup mereka.11

    Bertitik tolak dari uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan

    mengangkat permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) dengan

    judul “Konsep Tawassul Menurut Perspektif Al-Qur’an”.

    B. Permasalahan

    Dari latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas, pokok masalah

    yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana konsep tawassul yang

    terkandung dalam Al-Qur’an? Maka, untuk lebih menajamkan penelitian ini, pokok

    masalah ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagaimana

    berikut:

    1. Bagaimana hakikat konsep tawassul menurut Al-Qur’an?

    2. Bagaimana bentuk-bentuk amalan tawassul?

    3. Bagaimana pendapat ulama tentang konsep tawassul?

    10 Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,

    Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 2 11 Muchammad Chaidar, “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi (Yogyakarta: Program

    Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), 23

  • 6

    C. Batasan Masalah

    Mengingat luasnya permasalahan yang ingin dibahas, maka perlu dilihat sebuah

    batasan masalah agar lebih terarah dan tidak melenceng dalam pembahasan ini.

    Sehubungan dengan itu, penulis hanya mengkaji tentang konsep tawassul, dalil-dalil

    berkaitan dengan konsep tawassul dan penafsirannya serta mengetengahkan pendapat-

    pendapat ulama berkaitan dengan konsep tawassul ini.

    D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini, secara umum diupayakan untuk mengetahui hakikat sebenar

    konsep bertawassul. Secara khusus, penelitian ini ditujukan:

    a. Untuk mengetahui hakikat konsep tawassul menurut Al-Qur’an.

    b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk amalan tawassul.

    c. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang konsep tawassul.

    2. Kegunaan Penelitian

    Lebih jauh, penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai kegunaan yang

    bersifat teoritis dan juga praktis, yaitu:

    a. Sebagai salah satu sumber daya pemikiran dan kematangan iman masyarakat pada

    masa kini dalam konsep ibadah kepada Allah SWT.

    b. Melalui penelitian yang dilakukan masyarakat dapat menjadikan ia sebagai salah

    satu rujukan ilmiah yang bermanfaat untuk memperkasakan lagi ilmu pengetahuan.

    c. Menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS Jambi yang tengah

    mengembangkan paradigm keilmuan yang berwawasan global dalam bentuk

    Universitas Islam.

  • 7

    E. Tinjauan Pustaka

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kaedah tinjauan pustaka di mana

    penulis mencari dan meneliti beberapa buku, kajian ilmiah dan bahan literatur yang

    berkait dengan perbahasan dan penelusuran penulis dalam penelitian ini. Penulis

    melakukan tinjauan pustaka terhadap kitab-kitab tafsir, buku-buku, kajian ilmiah dan

    karya akademik yang terkait dengan permasalahan penelitian yang penulis rangkakan.

    Penulis menemukan banyak para ulama yang sudah memberikan pengetahuan tentang

    masalah amalan tawassul ini. Antaranya buku ilmiah yang merupakan karya tulis

    popular seperti Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at, Takfir,

    Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim oleh Muhammad Al-Maliki Al-Hasani. Beliau

    menyatakan bahwa amalan bertawassul adalah salah satu cara berdoa dan salah satu

    pintu untuk menghadap Allah SWT. Maka yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang

    sebenar dalam bertawassul adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawassuli (al-

    mutawassal bih) hanya sekadar perantara (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada

    Allah SWT12 Selain itu, Al Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani dalam karyanya,

    Agamamu dalam Bahaya menerangkan bahwa sesungguhnya tawassul adalah

    bertawajjuh yaitu menghadapkan permohonan kepada Allah dalam doa dengan

    kedudukan atau kemulian seseorang Nabi atau seorang hamba yang saleh karena

    tawassul merupakan sunnah.13 Buku ini telah menerangkan mengenai konsep-konsep

    tawassul yang menjadi persoalan dan titik perbahasan dalam kalangan masyarakat pada

    masa hari ini.

    Selanjutnya, penulis telah melakukan kajian ilmiah di perpustakaan bagi

    dijadikan bahan tinjauan pustaka bagi penelitian penulis. Penulis menemukan sebuah

    jurnal yang berkaitan tawassul karya Udah Mohsin berjudul Tawassul: Antara yang

    disyariatkan dan yang dipertikaikan. Dalam jurnal ini diterangkan bahwa makna

    12 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,

    Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim, 101. 13 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, 170.

  • 8

    tawassul kepada Allah SWT., melalui sesuatu adalah menghampiri dan menyampaikan

    sesuatu kepada Allah SWT., melalui sesuatu perkara dan juga berarti kedudukan dan

    taraf qurbah (pendekatan) yang khusus. Tawassul yang disyariatkan mempunyai dalil-

    dalil yang jelas daripada Al-Qura’n atau Al-Sunnah atau kedua-duanya sekali.14

    Penelitian yang dikaji dalam karya di atas merupakan pembahasan secara umum

    mengenai hakikat tawassul sedangkan penulis melakukan pengkajian khusus tentang

    konsep tawassul menurut Al-Qur’an.

    Selain itu, penulis juga menemukan jurnal dalam Google yang berjudul “The

    Islamic Rulling On Tawassul” yang ditulis oleh Naasir ‘Abdul Kareem Al-‘Aql. Jurnal

    ini mengupas tentang penyebaran banyak inovasi, mitos, dan amalan musyrik telah

    meningkat pada zaman kita disebabkan ketidaktahuan orang ramai akibat dari

    meninggalkan perintah-perintah Allah SWT. Salah satu amalan yang tersebar secara

    meluas adalah memuliakan orang yang disebut Wali (orang yang shaleh) dan memohon

    kepada mereka daripada memohon kepada Allah SWT. Banyak orang memegang

    keyakinan bahwa mereka boleh mendatangkan bahaya atau manfaat kepada orang lain,

    maka mereka memuliakan golongan shaleh itu dan mengelilingi makam mereka.

    Orang-orang itu mendakwa memohon kepada Wali sebagai kaedah untuk memenuhi

    keperluan mereka dan melepaskan penderitaan mereka semasa kesukaran, tetapi jika

    orang-orang jahil ini merujuk kepada Al-Qur'an dan sunnah dan memahami apa yang

    ada di dalamnya mengenai doa, mereka akan mempunyai memahami makna sebenar

    tawassul yang diperkenankan (mendekatkan diri kepada Allah). Tawassul yang

    dibenarkan adalah sesuatu yang dilakukan dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya,

    dengan melakukan perbuatan yang benar dan menahan larangan-larangan, serta berdoa

    kepada Allah SWT. berdasarkan nama-Nya Yang Indah dan Yang Mulia. Ini adalah

    cara untuk mencapai kesenangan dan rahmat Allah SWT. 15 Jurnal ini mengupas

    14 Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal

    Islamiyyat, 18&19, No.3 (1998), 35-36. 15 Naasir ‘Abdul Kareem Al-‘Aql, “The Islamic Rulling on Tawassul”, Artikel (Daar Al-Watan

    Publishing House: 12 Disember 2004), 2-3, https://en.islamway.net/book/177/islamic-ruling-on-

    tawassul, Diunduh tanggal 08 Oktober 2018.

  • 9

    tentang kesalahan dalam amalan tawassul yang dilakukan oleh ummat Islam pada masa

    kini manakala penulis hanya mengkaji konsep tawassul secara umum melalui

    perspektif Al-Qur’an dan pendapat ulama’ tentang amalan ini.

    Sementara itu, di dalam jurnal penulisan 'Abd Al-Karim Bi-Azar Shirazi

    berjudul Tawassul16, kupasan beliau menyimpulkan bahwa kontroversi tentang isu

    tawassul bukanlah perpecahan antara ummat Islam, namun ia merupakan sebuah

    percanggahan pendapat antara pengikut aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan aliran

    Salafiyyah. Tawassul melalui doa dengan penuh penghayatan kepada Nabi Muhammad

    Saw., dan orang-orang saleh ini menjadi perbahasan dan perdebatan yang tiada

    sudahnya setelah kemunculan Ibnu Taimiyyah. Polemik ini semakin meruncing dengan

    kemunculan kumpulan yang menyebarkan fahaman dan pemikiran Ibnu Taimiyyah

    tersebut dengan lebih esktrem dan syadid sehingga menjadi ikutan manusia serta

    terkenal diserata dunia iaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Terdapat puisi tawassul di

    dalam karya imam-imam yang terkemuka dan terkenal dalam kalangan ahli sufi dan

    falsafah seperti Syeikh Sa’di, Khalid Naqshabandi dan Shaikh Muhyi al-Din Ibn al-

    'Arabi . Golongan Salfiyyah ini mahu mendapatkan penerangan hanya dengan

    berpandukan Al-Qur’an dan hadis secara zahir tanpa bijak dalam mendalami dan

    mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perihal kepentingan bertawassul ini.

    Kupasan dalam jurnal ini merupakan perbedaan pemahaman amalan tawassul dalam

    kalangan Ahluss Sunnah Wal Jamaah dan Salafiyyah sementara kajian penulis adalah

    tentang konsep tawassul menurut Al-Qur’an.

    Penulis juga telah menemukan skripsi yang berjudul “Ayat-Ayat Tawassul

    dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab” karya Lailatul Badriyah, Fakultas

    Ushuluddin, Institus Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.17 Beliau membahas

    tentang padangan Muhammad Bin Abdul Wahhab bahwa tawassul yang disyariatkan

    adalah tawassul kepada Allah SWT. Menurutnya, orang yang bertawassul kepada

    16 ‘Abd Al-Karim Bi-Azar Shirazi, “Tawassul”, Message of Thaqalayn, Vol 5, No 4 (2000), 25. 17 Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahhab”,

    Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009).

  • 10

    orang saleh maupun kepada para kekasih Allah SWT., dianggap sama dengan sikap

    orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada

    Allah SWT. Menurutnya lagi, Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang

    berdoa kepada Nya. Jika Allah Maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa

    memerlukan sekat antara kita dan Allah. Skripsi ini hanya mengemukan pendapat

    Muhammad Bin Abdul Wahhad dalam penelitiannya terhadap masalah pengamalan

    tawassul. Manakala penulis pula lebih kepada merungkai pendapat-pendapat ulama

    dan tokoh Islam terhadap pengamalan tawassul dalam kehidupan.

    Skripsi kedua yang penulis temukan adalah “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”

    yang karang oleh Muchammad Chaidar, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri

    Sunan Kalijaga Yogyakarta.18 Beliau membuat kesimpulan, redaksi hadis- hadis

    tawassul yang ditelitinya bisa dipahami secara kontekstual, bahwa Nabi membolehkan

    bertawassul dengan kemuliaan al-muqarrabin dengan kecintaannya. Hadis-hadis

    tentang tawassul tersebut tidak boleh dimaknai sempit, yaitu hanya bisa bertawassul di

    hadapan muqarrabin yang masih hidup saja, namun bisa juga dimaknai secara luas,

    yakni bisa bertawassul pada yang telah wafat. Sebab pada prinsipnya, hakikat wasilah

    dari tawassul kepada muqarrabin bukanlah keberadaan sosoknya, melainkan

    kemuliaan dan amal saleh beliau. Maka dapatlah di fahami bahwa penelitian tersebut

    lebih terarah kepada kajian hadis-hadis namun dalam kajian penulis, penulis

    melakukan penelitian dan kajian tentang konsep tawassul menurut persepektif Al-

    Qur’an.

    Sebagaimana terlihat dari studi pustaka ini, penulis belum menemukan kajian-

    kajian yang membahas tentang konsep tawassul menurut perspektif Al-Qur’an. Dalam

    arti lainnya, karya penulis ini tidaklah sama dengan karya-karya di atas, penulis

    menyoroti konsep tawassul menurut perspektif Al-Qur’an, penulis juga menggunakan

    kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di untuk dijadikan

    18 Muchammad Chaidar, “Hadis-Hadis Tentang Tawassul”, Skripsi (Yogyakarta: Program

    Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010)

  • 11

    sebagai dokongan yang kuat dalam penelitian ini. Selain itu, penulis mengemukan

    pendapat-pendapat ulama mengenai pandangan mereka terhadap konsep pengamalan

    tawassul. Dengan demikian, penelitian penulis adalah berbeda dan dapat

    ditindaklanjuti lebih jauh sebagai bahan kajian yang menarik. Penulis meneliti dan

    mengkaji tentang tawassul yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an dengan

    pendekatan metode tahlily (analisis).

    F. Metode Penelitian

    1. Pendekatan Penelitian

    Yang dimaksudkan dengan metodologi penelitian adalah suatu kaedah atau

    jalan yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam

    suatu penelitian, untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.

    Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang

    dilakukan terhadap literatur-literatur yang ada di perpustakaan terutama yang berkaitan

    dengan kitab-kitab tafsir, buku-buku, dan literature-literatur tentang tawassul serta

    mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau pun belum

    dipublikasikan.

    2. Sumber Data

    Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, karena itu sumber data dalam

    penelitian ini adalah data-data sumber tulisan dari buku ilmiah, jurnal atau berbagai

    artikel yang berkaitan dengan pembahasan yang terkaitan dengan judul ini.

    a. Data Primer yakni merupakan data literature yang secara langsung memiliki

    keterkaitan dan behubungan secara langsung dengan topik perbahasan penelitian.

    Maka sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah al-Qur’an.

    b. Data sekunder adalah data yang mendukung dan memperkuat data primer. Data ini

    bersumber dari literatur-literatur yang ada relevansinya dengan masalah yang

    dibahas. Diantaranya kitab-kitab yang ditulis oleh para ahli khususnya ahli tafsir

  • 12

    seperti Tafsir Jalalain oleh Jalaluddin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin

    Abdurrahman As-Suyuti serta Tafsir Al-Qur’an as-Sa’di karangan Syaikh

    Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di. Antara buku-buku yang dijadikan bahan

    rujukan kajian penulis adalah Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah,

    Syafa’at, Takfir, Tasawuf, Tawasul, dan Ta’zhim yang ditulis oleh Muhammad Al-

    Maliki Al-Hasani, Agamamu dalam Bahaya karya Al Allamah Abu Abdullah

    ‘Alawi Al Yamani, Khilafiah Persoalan & Penjelasan oleh Muhadir Bin Haji Joll,

    Hakikat Tawassul dan Wasilah yang ditulis oleh Musa Muhammad Ali dan buku-

    buku lain yang berkaitan dengan judul penelitian.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode tahlily (analisis).

    Metode ini menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi sesuai

    dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufassir mencakup pengertian

    umum kosa kata ayat dan makna global ayat yang ditafsirkan. 19

    4. Analisis Data

    Data-data yang diperoleh dianalisi melalui metode tahlily. Metode tahlily ini

    digunakan untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang

    tawassul dan yang berkaitan dengannya. Adapun langkah-langkah yang ditempuh

    dalam metode ini mencakup pengertian umum kosa kata, Munasabah/hubungan ayat

    dengan ayat sebelumnya, Sabab an-Nuzul (kalau ada), makna ayat global, hukum yang

    dapat ditarik, yang tidak jarang menghidang aneka pendapat ulama mazhab dan

    menambahkan uraian tentang aneka Qira’at , I’rab ayat-ayat yang ditafsirkan, serta

    keistimewaan susunan kata-katanya.20

    19 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Kententuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui

    dalam Memahami al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2015), 5. 20 Ibid, 377.

  • 13

    G. Sistematika Penulisan

    Sistematika disini dimaksudkan sebagai gambaran yang akan menjadi pokok

    bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan dalam memahami dan

    mencerna masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun sistematika tersebut adalah

    sebagai berikut:

    Bab pertama merupakan pendahuluan yang berfungsi untuk menyatakan

    keseluruhan isi skripsi dengan sepintas, kemudian dirinci ke dalam sub bab yang terdiri

    dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian

    kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan.

    Bab kedua merupakan landasan teori dan tinjauan umum dari penelitian ini,

    dalam bab ini penulis menguraikan tentang definisi, sejarah dan pemahaman tentang

    amalan tawassul.

    Bab ketiga pula penulis melakukan pembahasan mengenai tawassul dalam

    keilmuan Islam yakni mengupas tentang macam-macam tawassul, bentuk-bentuk

    amalan tawassul serta pengamalan tawassul dalam Islam.

    Bab keempat merupakan analisis tentang Al-Qur’an dan tawassul yang

    dilakukan untuk mengetahui pemaknaan, pemahaman dan interpretasi tentang hujah

    dan dalil-dalil berkaitan tawassul. Bab ini merupakan hasil dan bahasan inti daripada

    penelitian ini dengan mengeluarkan ayat-ayat tawassul dalam Al-Qur’an yang berkait

    tentang tawassul, penafsiran kitab tafsir terhadap ayat-ayat tersebut pendapat ulama

    terhadap konsep tawassul itu.

    Bab kelima yaitu penutup dalam penelitian, berisikan bahasan tentang

    kesimpulan akhir yang menjawab matlamat penelitian, saran-saran serta harapan yang

    sebaiknya dilakukan untuk lebih mengembangkan penelitian mengenai tema ini.

  • 14

    BAB II

    TINJAUAN UMUM KONSEP TAWASSUL

    Tawassul adalah satu amalan yang berasal dari kata wasilah (suatu jalan)

    yang mana ia merupakan isu hangat yang menjadi perbincangan dan perbahasan

    dalam kalangan ilmuan agama maupun masyarakat awam yang merangkumi bidang

    ilmu akidah yakni kepercayaan ummat Islam. Sesungguhnya pujian hanya milik

    Allah SWT., kita memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan memohon

    keampunan dari-Nya. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT., niscaya

    tidak ada yang sesat, dan barangsiapa yang tersesat niscaya tidak ada yang memberi

    petunjuk kepadanya selain Allah SWT.

    اْوا مَ َتِضل : تَ رَْكُت ِفْيُكْم أَْمَرْيِن َلنْ bَعْن َماِلِك، أَنَّهُ بَ َلَغُه، َأنَّ َرُسوَل اهلِل ََ ََّّْكُُْم ِِِ : ا ََ ِكَُاَب اهلِل َو ُسنََّة نَِبيِِّه.

    “Dari Malik, sesungguhnya hadis tersebut sampai padanya, sesungguhnya

    Rasulullah Saw., bersabda: Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara.

    Kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya, iaitu Kitab

    Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya.”. (Riwayat Yahya Bin Yahya al- Laitsi)1

    Oleh itu, sebagai ummat Islam yang berpaksikan kehidupan berlandaskan

    Al-Qur’an dan Al-Sunnah, haruslah kita mengetahui hakikat dan kaidah dalam

    membezakan tawassul yang disyariatkan dengan tawassul yang menjadi pertikaian

    para ulama’. Tawassul yang disyariatkan akan menjadi pegangan dan prinsip kita

    manakala tawassul yang dipertikaikan itu perlu dijadikan renungan bahwa boleh

    melakukan dan menerimanya atau menolak dan meninggalkannya.

    A. Definisi Tawassul / Wasilah

    Dalam memahami makna kepada perkataan tawassul yang banyak disalah-

    artikan, kita seharusnya memahami apa itu tawassul terlebih dahulu. Bahwasanya

    1 Abu Abdillah Malik Bin Anas, Al-Muwatho' bi Riwayati Yahya bin Yahya al-Laitsi, Bab

    Jami’, No 1619 (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Alamiah, 1984), 502.

  • 15

    tawassul merupakan salah satu cara atau jalan berdoa dan merupakan salah satu

    pintu dari pintu-pintu menghadap Allah SWT. Orang-orang yang bertawassul

    dengan perantara adalah karena ada rasa cinta kepada perkara yang dijadikan

    sebagai perantara tersebut dan juga yakin bahwa Allah SWT., juga mencintai

    perkara itu. Selain itu, setiap orang yang berkeyakinan bahwa perantara itu dapat

    mendatangkan manfaat atau mudarat persis seperti Allah SWT. atau tanpa kemauan

    Allah SWT., maka sesungguhnya ia telah pun berbuat musyrik. Tawassul bukanlah

    suatu keharusan atau perkara yang sangat perlu malah terkabulnya doa adalah tidak

    sepenuhnya bergantung pada perkara yang menjadi perantara tetapi prinsip berdoa

    itu sendiri yakni berdoa secara mutlak hanya kepada Allah SWT.2

    1. Tinjauan Etimologi

    Tawassul arti bahasa adalah al-qurbah atau al-taqarrub, yaitu mendekatkan

    diri dengan suatu perataraan (wasilah). Wasilah bermaksud mendekatkan diri dan

    mengharapkan. Dan dari kata itu terbentuk suatu pemahaman yakni sesuatu yang

    bisa mendekatkan diri pada hal yang lain. Maka dari kata wasilah itulah masyarakat

    kita lebih mengenal dengan kata tawassul. Jadi tawassul adalah mendekatkan diri

    dengan suatu perantaraan (wasilah) atau menjadikan sesuatu yang menurut Allah

    SWT., mempunyai nilai, derajat dan kedudukan yang tinggi, untuk dijadikan

    sebagai perantaraan (wasilah) agar doa dapat dikabulkan. Sedangkan untuk orang

    yang melakukan tawassul disebut dengan mutawassil. Dari kata-kata itulah

    kemudian praktek tentang wasilah biasa pula dikenal dengan istilah tawassul. Jadi,

    jika kata tawassul disebutkan, maka ia jelas memiliki hubungan yang sangat erat

    dengan kata wasilah,3

    Selain itu, terdapat beberapa tokoh yang mengklasifikasikan makna

    tawassul itu kepada beberapa bentuk. Bagi Al-Fairuz, تَ ْوِسْيًل َوسََّل إِلَْيِه تَ َعاََل : “Berperantara kepada-Nya dengan suatu perantara, yaitu melakukan suatu

    2 Siti Asifah, “Tawassul Menurut Al Qur’an”, Skripsi (Surabaya: Program Sarjana IAIN

    Sunan Ampel Surabaya, 1998), 22-23. 3 Ahmad Faiz Ajyaad Bin Mohammad, “Tawassul Dalam Perspektif Hadis Nabi SAW”,

    Skripsi (Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015), 18.

  • 16

    perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT., sebagai satu tawassul.”

    Menurut pendapat Ar-Raghib Al-Ashfahani pula: “Hakikat dari al-wasilah kepada

    Allah SWT., adalah melalui jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah, serta menjejaki

    kemuliaan syariat seperti taqarrub. Dalam pandangan Al-Fayumi, beliau

    mengatakan َلة Bertawassul kepada-Nya dengan sesuatu“ :َوتَ َوسََّل ِإََل َربِِّه ِبَوِسي ْwasilah iaitu mendekati-Nya dengan suatu amal.4

    Secara lughawi (bahasa), dan penunjukan (dalalah)nya yang asli, kata

    tawassul berasal dari bahasa Arab asli, disebutkan di dalam Al-Qur’an, hadits,

    pembicaraan orang Arab, syair dan natsr (prosa), yang artinya mendekat (taqorrub)

    kepada yang dituju dan mencapainya dengan keimanan keras. Tawassul berasal dari

    kata الوسيلة yaitu suatu sebab yang dapat mengantarkan pada tercapainya tujuan. Wasilah juga mempunyai makna yang lain, yaitu kedudukan di sisi raja, atau derajat

    dan kedekatan.5

    Maka dapatlah disimpulkan bahawa makna tawassul itu diambil daripada

    kata al-wasilah atau al-washilah, lalu الُوسل dengan الُوصل memiliki makna yang

    berhampiran , kerana huruf sin (س) dan sod (ص) saling mewakili antara satu sama

    lain dan kerana itulah kita boleh membaca firman Allah SWT. ِاْهِدنَا الصِّرَاَط

    ََُُّْقْيَم،َت َعَلْيِهمْ امل َْ ََُُّْقْيَم، ِسرَاَط atau dibaca seperti ِصرَاَط الَِّذْيَن أَنَع

    ِاْهِدنَا الَِّّرَاَط امل

    َت َْ َعَلْيِهْم الَِّذْيَن أَنَع dengan huruf sin dan kedua-dua bacaan ini merupakan salah

    satu daripada tujuh jenis bacaan al-Quran (القراءة الَّبعة). Oleh itu, الُوسل dan

    4 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq,

    2014), 7-8. 5 Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul

    Wahhab”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009), 13.

  • 17

    memiliki makna yang sangat berdekatan sekali dan wasilah menjadi الُوصلpenyebab yang menyampaikan kepada tujuan dan hakikat sesuatu yang diinginkan.6

    Selain itu, tawassul ialah memohon atau berdoa kepada Allah SWT., dengan

    perantaraan seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Tuhan.7 Tawassul juga

    merupakan jalan menuju kepada Allah SWT., atau jalan yang paling cepat untuk

    mendekati Allah SWT. Sesetengah ahli bahasa mengatakan tawassul ialah jalan

    untuk mencapai suatu tujuan atau suatu maksud. Tawassul dan wasilah ialah

    mendekat diri kepada Allah SWT., dengan melakukan sesuatu amalan baik yang

    diredhai-Nya seperti mentaati-Nya, melakukan amar maaruf dan meninggalkan

    munkar dan seumpamanya.8

    2. Tinjaun Epistomologi

    Makna kepada perkataan tawassul adalah salah satu daripada cara berdoa

    dan pintu untuk bertawajjuh (menghadapkan sesuatu permintaan) kepada Allah

    SWT., kerana tujuan asal tawassul yang sebenar ialah Allah SWT. Manakala orang

    yang dijadikan sebagai perkara bertawassul hanyalah sebagai perantara dan jalan

    untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang bertawassul tidaklah

    bertawassul dengan wasilah ini melainkan kerana perasaan kasihnya terhadap

    wasilah tersebut dan kepercayaannya bahawa Allah SWT., mengasihi wasilah

    tersebut.9

    Tawassul ialah berdoa kepada Allah SWT., dengan wasilah yaitu

    memperingati sesuatu yang dikasihi Allah SWT. Sekiranya dicontohkan kepada

    situasi keduniaan, umpamanya kita akan meminta pekerjaan kepada sesuatu

    jawatan, tetapi kita tidak begitu dikenali oleh ketua pejabat itu, maka kita lalu

    mencari jalan, yaitu menghubungi sahabat kita yang bekerja pada pejabat itu dan

    6 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul, 8. 7 Muhadir Haji Joll, “Q&A Bersama Tuan Guru Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu Al-

    Banjari Al-Makki” (Selangor: PNS Pblications Sdn Bhd, 2012), 40. 8 Zakaria @ Mahmod Daud, Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam (Kuala

    Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995), 3. 9 Dede Ridwanullah, “Pandangan Para Mufassir Indonesia Kontemporer Tentang

    Tawassul”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2012), 3

  • 18

    dengan pertolongannya permintaan kita untuk bekerja menjadi terkabul. Ini

    merupakan contoh permohonan dengan wasilah.10

    Hakikatnya, tawassul adalah “mengambil atau menggunakan sebab-sebab

    yang dengan sebab itu akan menyampaikan kepada keridhaan Allah SWT. Sebab-

    sebab itu pula barangkali sesuatu yang dharuri (mustahak) seperti makan dan

    minum dan barangkali ghari dharuri (tidak mustahak) seperti bergantung atau

    bersandar kepada kekasih-kekasih Allah SWT., dari kalangan orang-orang saleh.

    Allah SWT., menggelarkan mereka sebagai muqarrabin (sentiasa beribadah dan

    mencari ridha-Nya) yang dikurniakan nikmat bagi sesiapa yang duduk bersama

    mereka.11

    Defisini tawassul yang lainnya adalah berdoa meminta sesuatu hajat kepada

    Allah SWT., disertai dengan mengingatkan sesuatu yang dikasihi dan diredhai

    Allah SWT. Jika bertawassul dengan Rasulullah Saw., motif utamanya ialah untuk

    mendapat syafaat Rasulullah Saw., manakala jika bertawassul dengan orang alim

    dengan motif semoga Allah SWT., memberikan keberkatan mereka pada

    urusannya. Maka dengan syafaat dan keberkatan itu terlahir sebuah pengharapan

    bahwa doanya akan lebih mudah dikabulkan oleh Allah SWT., atas kemuliaan

    orang yang dijadikan perantara doa itu.12

    Menurut Yusuf Al-Qaradhawi tawassul adalah mengambil perantara bagi

    mencapai sesuatu tujuan. Sesuatu tujuan itu tidak dapat dicapai melainkan dengan

    perantaraan yang betul. Tawassul kepada Allah SWT., adalah bertawassul bagi

    mendapat keridhaan dan ganjaran yang baik. Keridhaan ini diperoleh oleh semua

    orang yang beriman kepada Allah SWT., yaitu dengan mengambil semua cara dan

    sebab yang dapat mencapai ke arah keridhaan itu. Sebagaimana dijelaskan Allah

    SWT., dalam Al-Qur’an surah al-Mai’dah ayat 35. Perantara atau wasilah yang

    dinyatakan dalam ayat tersebut adalah kaedah bagi mendekatkan diri kepada Allah

    10 Abu Nizam, Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,

    Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 7 11 Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan Al Hasani, Fitnah Wahabi (Ampang: Sofa Production,

    2009), 18-19. 12 Jahid Sidek, “Doa Tawassul Meminta Bukan Kepada Mahkluk”, Al Islam, Bil. 481,

    Tahun 37, Februari 2014, 18.

  • 19

    SWT., melalui cara yang disukai dan diridhai-Nya, yakni melalui percakapan,

    perbuatan, dan niat yang betul.13

    Maka dapatlah dipahami bahwa tawassul boleh diartikan dengan maksud

    ibadah yang dengannya dimaksudkan tercapainya rihda Allah SWT., dan surga. Ini

    bermakna bahwa tawassul adalah pendekatan diri kepada Allah SWT., dengan

    suatu amal. Karena itulah seluruh ibadah adalah wasilah menuju keselamatan dari

    api neraka dan kebahagiaan masuk surga.14

    Kata wasilah juga disinggung dalam hadis Rasulullah Saw., sebagaimana

    sabda beliau: “Mohonlah untukku wasilah kepada Allah SWT., sesungguhnya ia

    (wasilah) adalah sebuah kedudukan di surga yang tidak diberikan kecuali kepada

    salah seorang hamba Allah SWT. Dan aku menggharap akulah hamba itu. Maka

    barangsiapa memohonkan wasilah untukku dari Allah SWT., maka ia akan

    mendapatkan syafa’atKu di hari kiamat”. Tawassul melalui Nabi Saw., menurut

    para sahabat adalah bertawassul dengan doa dan syafa’at beliau. Sedangkan wasilah

    menurut ulama mutaakhirin adalah bersumpah dan memohon dengan nama Nabi

    Saw., seperti yang mereka terdahulu bersumpah dengan nama Nabi-nabi, para

    salehin dan orang-orang yang dianggap baik .15

    B. Sejarah Tawassul

    Istilah atau perbuatan tawassul ini bukan sesuatu yang baru atau rekaan

    semata-mata, namun istilah dan perbuatan tawassul ini telah wujud dari dahulu lagi.

    Berikut beberapa hadis Rasulullah Saw., dan atsar (peninggalan) sahabat yang

    memperjelas cakupan umum tentang amalan tawassul. Dengan perhatian penuh

    terhadap hadis-hadis dan atsar, akan terlihat bahwa telah terjadi tawassul kepada

    Allah SWT., dengan perantaraan (kemuliaan) Nabi Muhammad Saw., sebelum

    wujud kelahirannya, ketika hidup di dunia, juga sesudah wafatnya di alam barzakh,

    13 Ahmad Faiz Ajyaad Bin Mohammad, “Tawassul dalam Perspektif Hadis Nabi Saw”,

    Skripsi (Riau: Program Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015), 23 14 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq,

    2014), 8-9. 15 Lailatul Badriyah, “Ayat-Ayat Tawassul Dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul

    Wahhab”, Skripsi (Semarang: Program Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2009), 13-14.

  • 20

    demikian pula ketika manusia telah dibangkitkan sebelum diputuskan segala

    urusannya di hari kiamat.

    1. Bertawassul dengan Perantara Nabi Muhammad Saw., Sebelum

    Kelahiranya

    Terdapat hadis yang menceritakan tentang Nabi Adam a.s., bertawassul

    kepada Allah SWT., dengan perantaraan (kemuliaan) Nabi Muhammad Saw.:

    رَ َعنْ ََ طَّابِ ْبنِ ُع مَ َوَسلَّ َوآلِهِ َعَلْيهِ اللَّهُ َصلَّى اللَّهِ َرُسولُ قَالَ : قَالَ ، َعْنهُ اللَّهُ َرِضيَ اْلَْا اف ْ : ََ ا َغَفْرتَ َُ َرَف آَدُم اَْلِطيئَ َل ََ ََّد ِل فَ َقاَل اهلُل : َِل َة َقاَل : يَا َربِّ َأْسأَُلَك ِِبَقِّ ُُمَ

    ًدا وَلَْ أَ ََّ ا َخَلْقَُِِ بَ يَ َربِّ ! ِلَ ْخَلْقُه؟ فَ َقاَل : يَايَا آَدُم وََكْيَف َعَرْفَت ُُمَ ََّ َك دِ نََّك َلٌد ِإَّلَّ ُُوبًا آ إَِلهَ ِم الَعْرِش َمكْ رَْاِسي فَ رَاَْيُت َعَلى قَ َوائِ ِمْن ُرْوِحَك رفَ ْعُت َونَ َفْختَ ََّ اهللَ ُُمَ

    ُت أَنََّك ََلْ تُ َرُسوُل َْ َك ، فَ َقاَل اهللُ : َصَدْقتَ يْ ِق أِلَ لْ ِضْف ِإََل اْسَِْك ِإَّلَّ َأَحبَّ اْلَ اهللِ فَ َعِلََّدٌ َوَلو كَ ، فَ َقْد َغَفْرُت لَ ِِ َِبَقِّهِ بَّ اْللِق َعَلىَّ ، أُْدعُ حَ يَا آَدُم ِإنَّهُ ِلَ َُُك.قْ َما َخلَ ََّل َُمَ

    “Daripada Saidina Umar bin al-Khattab r.a., bhawa beliau berkata: Rasulullah

    Saw., telah bersabda: “Ketika Adam a.s., melakukan kesalahan lalu baginda

    berkata: “Wahai Tuhan, saya memohon dengan hak Muhammad, tidakkah

    kamu sudi mengampuniku?” Allah SWT., lalu berfirman: “Wahai Adam,

    bagaimana kamu kenal Muhammad sedangkan aku belum menciptakannya

    lagi?” Beliau menjawab: “Wahai Tuhan. Ia karena, ketika Engkau

    menciptakanku dengan yadd (kekuasaan)-Mu, lalu Engkau tiupkan padaku

    daripada roh-Mu, lalu aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat di atas

    tiang-tiang Arasy telah tertulis “La ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’.

    Maka, aku ketahui bahawa Engkau tidak akan menggandingkan sesuatu kepada

    nama-Mu melainkan seseorang yang kamu paling sayang dalam kalangan

    makhluk-Mu di sisi-Mu.” Lalu Allah SWT., berfirman: “Benar wahai Adam,

    sesungguhnya Baginda adalah makhluk yang paling disayangi pada sisi-Ku.

    Berdoalah kepada-Ku dengan hak Baginda. Maka sesungguhnya, Aku telah

    ampunkan kamu. Jika bukan kerana Muhammad, nescaya Aku tidak

    menciptakan kamu.”

    Meninjau dari periwayatan hadis ini, ramai ulama dan terdahulu dan

    mutaakhir yang membenarkan dan meriwayatkan hadis ini. Antara ulama terdahulu

    adalah seperti Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak dan hadis ini telah

    dishohihkan olehnya [Jilid 2 halaman 615] dan Al Hafiz al Suyuti dalam kitab

  • 21

    beliau al Khasois al Nabawiyyah dan telah dishohihkannya [Jilid 1 halaman 27]. Al

    Baihaqi juga meriwayatkan hadis ini dalam karyanya Dalailun Nubuwwah [Jilid 5

    halaman 489] dan beliau tidak meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ (palsu)

    sebagaimana yang dijelaskan dalam muqaddimah kitabnya dan juga dishahihkan

    oleh al Qastalani dalam kitab penulisannya al Mawahib al Laduniyyah [Jilid 1

    halaman 82]. Manakala ulama mutaakhir pula adalah Syeikhul Islam Sayyid

    Ahmad Zaini Dahlan dalam al Durrar al Saniah [halaman 33-35] dan juga Al

    Muhaddith Al Mufassir al Allamah Syeikh Yusuf al Dijwi, salah seorang Anggota

    Ulama Besar al Azhar menerusi majalah An Nur terbitan Syawal 1350 Hijrah dalam

    makalah berjudul “Kalimaat Lil Wahhabiah”.16

    Hadis di atas didukung oleh ayat Al-Qur’an sebagaimana firman Allah

    SWT., dalam QS Al-Baqarah ayat 37:

    “Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat (kata-kata untuk bertaubat)

    daripada Tuhan-Nya, maka Allah menerima tobatnya. Sungguhnya, Allah

    Maha Penerima Tobat, lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Baqarah: 37).17

    As-Syed Abdullah As-Siddiq Al-Hasani Al-Ghimari, salah seorang ulama

    hadis yang terkenal dalam kitabnya Ittahaful Azkia’ Bi Jawazi At-Tawassul Bil

    Anbiya’ Wa Auliya’ mengatakan bahwa Ibn Munzir telah meriwayatkan bahwa

    malaikat Jibril a.s., telah mengajarkan Nabi Adam a.s., bertawassul dengan Nabi

    Muhammad Saw. Maka jelas dalam hadis ini bahwa Nabi Adam a.s., berdoa kepada

    Allah SWT., dengan bertawassulkan Nabi Muhammad Saw., yang belum

    dilahirkan lagi pada ketika itu. Perbuatan Nabi Adam a.s., dan cara berdoanya

    beliau diterangkan oleh Rasulullah Saw., dalam haditsnya karena doa semacam ini

    dikabulkan oleh Allah SWT.18

    16 Muhammad Fuad Kamaludin, Benarkah Hadith Tawassul Nabi Adam A.S. Palsu???

    (Selangor: Abnak Production, 2002), 9-11. 17 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya

    Departemen Agama RI, (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 7. 18 Abu Nizam, Mutiara-Mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,

    Istighasah dan Kubur, 13-18.

  • 22

    2. Bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW ketika Masih Hidup dan

    Sesudah Wafatnya

    Hadith Rasulullah Saw., daripada Uthman bin Hunaif r.a., bahwa seorang

    laki-laki buta telah datang kepada Nabi Saw.,:

    اَن ْبِن َحِنْيف ََ َعَلْيِه َوَسلََّم: فَ َقاَل َأنَّ َرُجًل َضرِيَر اْلَبَصِر أََتى النَِّبَّ َصلَّى اهللُ َعْن ُعْث اْدعُع اهلَل َأْن يُ َعافُ َيِِن.

    “Dari Usman Bin Hunaif, bahwa seorang laki-laki yang buta matanya telah datang menemui Nabi Saw, lalu berkata: Wahai Rasulullah saw, doakan pada

    Allah agar menyembuhkan aku.19

    Maka Rasulullah Saw., bersabda kepadanya dan dia menjawab: “Ya

    Rasulullah, aku tidak mempunyai penuntun, ini berat bagiku”. Nabi Saw., bersabda

    kembali:

    ٌر َلَك ، َوِإْن ِشْئَت َدَعْوتَ َأََّل َتْصِبُ ؟ . ِإْن ِشْئَت َأخَّْرُت َذِلِك فَ ُهَو َخي ْ“Mengapa engkau tidak bersabar? Bila kamu berkenan, maka aku menunda hal

    itu dan itu lebih baik bagimu, namun bila kamu berkenan, maka aku berdoa

    (untuk kesembuhanmu)”.20

    Dan kemudian laki-laki itu menyuruh Rasulullah saw., berdoa. Maka sabda

    Rasulullah saw., : “Pergilah berwudhu’ dengan baik dan solatlah dua rakaat.

    Kemudian bacalah doa ini:

    ََّد ِإِّنِّ ََّد َنِبِّ الرَّْْحَِة يَا ُُمَ تَ َوجَّْهُت ِبَك ِإََل اللَُّهمَّ ِإِّنِّ َأْسأَُلَك َوأَتَ َوجَُّه إِلَْيَك بَِنِبيَِّك ُُمَ . َرِّبِّ ِف َحاَجِِت َهِذِه لُُِ ْقَضى ِلَ، اللَُّهمَّ َفَشفِّْعُه ِفَّ

    “Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon dan bertawajjuh kepadaMu dengan

    (kemualiaan) Nabiku, Muhammad saw: Nabi pembawa rahmat, wahai

    Muhammad! Sesungguhnya aku memohon syafa’at denganmu ke atas Tuhanku

    19 Ibid. 20 Syaikh Muhammad Bin Ahmad, Rahsia & Mukjizat Tawassul (Jakarta: Pustaka Imam

    Bonjol, 2017), 6.

  • 23

    agar penglihatan mataku dikembalikan. Maka syafa’atkanlah diriku dan

    syafa’atkanlah Nabiku dalam mengembalikan penglihatanku”. 21

    Rasulullah Saw., bersabda:

    َوِإْن َكاَنْت َلَك َحاَجٌة فَاف َْعْل ِمْثَل َذِلكَ “Sekiranya kamu mempunyai sebarang hajat, maka lakukanlah seperti itu”.22

    Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di mana beliau mengatakan

    hadis ini adalah hadis hasan yang sahih dan juga diriwayatkan oleh al-Nasaii dan

    al-Hakim. Manakala, Ibnu Abi Khaithamah r.a juga meriwayatkannya dalam kitab

    hadis beliau berjudul Tarikh. Bahkan Imam al-Tabarani dan ulama lain

    meriwayatkan bahwa Uthman bin Hunaif ra mengajar seorang laki-laki supaya

    berdoa dengan doa ini selepas kewafatan Rasulullah saw tatkala mempunyai

    sesuatu hajat, maka hajat laki-laki tersebut tertunai. Imam Al-Tabrani telah

    mensahihkan kisah ini dan diperakui oleh al-Munziri dalam al-Targhib wa al

    Tarhib. Demikian juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-Haithami di dalam Majma’ al-

    Zawaid.23

    Ini membuktikan bahwa doa juga merupakan sebahgian daripada cara

    bertawassul dan doa yang diajarkan Rasulullah Saw., ini, menunjukkan keharusan

    bertawassul dengan Baginda Saw., ketika hayat Baginda Saw., maupun selepas

    kewafatan Baginda Saw., khususnya melalui perkataan Baginda Saw.,: “Sekiranya

    kamu mempunyai sebarang hajat, maka lakukanlah seperti ini”.

    C. Kepahaman Mengenai Tawassul

    Terdapat sebahgian golongan yang menafsirkan ayat-ayat tawassul hanya

    didasari akal fikiran dan hawa nafsu semata-mata. Sehingga munculah pelbagai

    golongan yang mengklasifikasikan tawassul sebagai sebuah amalan berupa

    21 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, (Seremban:

    Koperasi As Sofa, 2014), 171. 22 Ibid. 23 Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi Al Yamani, Agamamu Dalam Bahaya, 171.

  • 24

    kesyirikkan yang besar. Ini disebabakan karena mereka tidak memahami makna

    tawassul dari sisi bahasa maupun istilahnya. Sehingga mengakibatkan kesalahan

    dalam memahami jalan menempuh ridha Allah SWT.

    Mereka menyamakan amalan tawassul ini seperti dengan golongan

    plytheist24 yang mana mereka menyembah tuhan-tuhan selain Allah SWT.

    Golongan tersebut menyatakan bahwa mereka mencipta tuhan-tuhan mereka

    sebagai tempat meminta syafaat dan menyembahnya bagi mendekatkan diri kepada

    Allah SWT., seperti firman Allah SWT., pada QS Yunus ayat 18:

    “Dan mereka menyembah selain daripada Allah, apa yang tidak dapat

    mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan

    mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’.

    Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak

    diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan

    Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu)”. (QS Yunus: 18).25

    “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah Agama yang bersih (dari syirik). Dan

    orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak

    menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada

    Allah dengan sedekat-dekatnya’. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di

    antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya

    24 Gelaran bagi golongan musyrikin. 25 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya

    Departemen Agama RI, 167.

  • 25

    Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. (QS Az-

    Zumar: 3).26

    Menurut ayat-ayat Al-Qur’an di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    golongan yang mengatakan tawassul merupakan syirik adalah disebabkan mereka

    menyamakan orang yang bertawassul itu sama seperti kaum musyrikin karena

    apabila seseorang itu mempercayai penunaian hajat secara bertawassul, maka ia

    adalah sama seperti memohon kepada patung-patung yang tidak bernyawa. Mereka

    menyamakan orang-orang saleh yang telah meninggal dunia ibarat patung-patung

    berhala yang tiada fungsi dan tidak mampu melakukan apa-apa kerana tidak

    bernyawa.27

    Ini adalah pendapat yang tidak berasas dan satu bentuk pengadilan yang

    dilakukan bukan pada tempatnya. Ini karena ayat di atas jelas menzahirkan kutukan

    Allah SWT., ke atas puak musyrikin yang menyembah berhala, menjadikan berhala

    sebagai tuhan selain Allah SWT., dan melakukan syirik dengan mendakwa bahwa

    penyembahan terhadap berhala bertujuan menghampirkan diri kepada Allah SWT.

    Mereka percaya bahwa patung berhala wujud sifat ketuhanan yang mampu memberi

    manfaat dan menolak mudarat. Sekalipun mereka tidak menganggap patung berhala

    boleh mencipta, memberi rezeki dan mentadbir urusan-urusan besar tetapi mereka

    beranggapan dengan meyakini bahwa syafaat yang dipohon terhadap berhala itu

    akan ditunaikan Allah SWT., karena kedudukan berhala sebagai sekutu dengan

    Allah SWT.28

    Jika amalan tawassul ini merupakan syirik sebagaimana yang dikatakan oleh

    sebahgian golongan itu, maka tidaklah wujud doa tawassul yang diajarkan oleh

    Rasulullah Saw., kepada para sahabatnya dan menyuruh mereka mengamalkannya:

    ُلَك ِِبَقِّ الََّّائِِلْْيَ إِلَْيكَ اَللَُّهمَّ ِإِّنِّ َأْسأَ

    26 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya

    Departemen Agama RI, 336. 27 Adika Mianoki, Tawassul Syar’i VS Tawassul Syirik, diakses melalui alamat

    https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html, tanggal 01 Januari

    2019. 28 Al-Sayyid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah (Selangor: Pelima Media Sdn Bhd,

    2014), 175-177.

    https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html

  • 26

    “Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan kebenaran orang-orang yang

    memohon kepada-Mu”.29

    Maka, amalan tawassul dengan perantara termasuk dalam perantara iman

    dan masyru’ (dibolehkan). Antara perantara kategori ini adalah para Rasul, para

    Nabi, para Malaikat dan setiap yang kita merujuk sebagai wasilah dan

    bertawassulkannya kepada Allah SWT., adalah dengan cara kasih dan bukan

    sembah. Termasuk dalam kategori ini adalah amalan tawassul yang mengEsakan

    Allah SWT dengan menjadikan para Nabi dan orang-orang saleh sebagai perantara

    kepada Allah SWT untuk memperoleh suatu hajat dan mendapat syafaat. 30

    Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon

    kepada seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan

    bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat

    dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini

    kemudian membuat mereka menuduh orang yang bertawassul kafir dan musyrik.

    Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon datangnya

    manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah SWT.,

    dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.31

    Mereka tidak melakukan semua itu dengan niat menyembah pengantara itu,

    tidak juga dengan menganggap wasilah itu sebagai Tuhan atau ada orang lain yang

    mampu menunaikan atau menghalang sesuatu. Namun, mereka hanya menganggap

    wasilah hanya sebagai jalan untuk memohon doa dan syafaat dari Allah SWT.

    Mereka ini hanya menyembah Allah SWT dan menyakini bahwa Allah SWT sahaja

    yang mampu mendatangkan kemudaratan dan manfaat.32

    29 Sayyid Ahmad Bin Zaini Dahlan, Fitnah Wahabi, 24-25. 30 Al-Syayid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah, 177-178. 31 Muhammad Idrus Ramli, Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi (Surabaya: Bina

    ASWAJA, 2010), 63. 32 Ibid.

  • 27

    BAB III

    TAWASSUL DALAM KEILMUAN ISLAM

    A. Macam-Macam Tawassul

    Dalam keilmuan Islam, ulama sepakat membagikan tawassul kepada beberapa

    jenis yang utama. Ada sebagian ulama yang mengharuskan tawassul. Disamping itu,

    ada ulama lain yang juga berselisih dalam pengalaman tawassul ini. Oleh itu, tawassul

    dapat dibagi kepada dua jenis yaitu tawassul yang disepakati dan tawassul yang

    dipertikaikan.

    1. Tawassul yang disepakati

    Ibn Taimiyah dan pengikutnya hanya membenarkan tawassul pada tiga keadaan

    sahaja. Tiga keadaan atau bahagian itu merupakan yang ditunjukkan oleh nas-nas Al-

    Qur’an, As-Sunnah, amalan salafussoleh dan ijmak muslimin yakni yang pertama

    adalah tawassul dengan salah satu daripada nama-nama Allah SWT., atau salah satu

    dari sifat Allah SWT. Keduanya pula ialah tawassul dengan amal saleh yang dikerjakan

    oleh orang yang meminta dan yang terakhir adalah tawassul dengan doa orang-orang

    saleh.1

    Menurut Noriza Salleh2 dalam penulisannya pula, tawassul yang disepakati

    oleh ulama-ulama Islam bermakna tawassul dengan cara yang tidak menyalahi atau

    bertentangan dengan syarak dan mempunyai dalil-dalil yang jelas dan nyata daripada

    Al-Qur’an atau As-Sunnah atau kedua-duanya sekali. Ia juga dikenali sebagai wasilah

    al-syar’iyyah. Pada lazimnya, tawassul ini hanya bertujuan untuk mencapai sesuatu

    maksud dengan cara yang tidak membawa syirik kepada Allah SWT. Maka, kaedah-

    kaedah tawassul tersebut ialah melalui keimanan kepada Allah dan Rasul serta taat

    pada-Nya, menggunakan namanama atau sifat-sifat Allah Yang Maha Sempurna dan

    1 Abu Nizam, Mutiara-mutiara yang Bersinar dalam Menyelesaikan Masalah Tawassul,

    Istighasah dan Kubur (Johor Bahru: Cetak Ratu Sdn. Bhd., 1996), 7-8. 2 Noriza Salleh, Kedudukan Tawassul dalam Islam”, Jurnal Al-Hikmah, Vol. 5, No. 3 (2013),

    36.

  • 28

    Agung, amal-amal soleh dan memohon pertolongan kepada orang-orang soleh untuk

    mendoakannya.

    Seterusnya, tawassul yang katogerikan sebagai tawassul yang disyariatkan

    adalah tawassul yang mempunyai dalil-dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah

    atau kedua-duanya sekali di mana ulama tidak mempertikaikan kebenaran amalan

    tawassul ini. Ianya merangkumi amalan tawassul seperti tawassul kepada Allah SWT.,

    dengan beriman kepada Nabi Muhammad Saw., dan taat kepadanya, tawassul kepada

    Allah SWT., melalui nama dan sifat-sifat-Nya. Selain itu, tawassul kepada Allah

    SWT., melalui doa dan syafaat Rasulullah Saw., tawassul kepada Allah SWT., melalui

    amal-amal saleh dan tawassul kepada Allah SWT., melalui doa daripada orang saleh.3

    2. Tawassul yang dipertikaikan

    Tawassul yang dipertikaikan adalah tawassul yang menjadi perselsihan dalam

    kalangan ulama yang mana ada yang mengharuskannya tetapi ada juga yang

    melarangnya. Tawassul ini adalah tawassul dengan makhluk, atau dengan makna lain

    bertawassul dengan Rasulullah Saw., para anbiya’ atau orang saleh. Imam Ahmad

    mengharuskan tawassul dengan Rasulullah Saw., sahaja tidak yang lain. Manakala

    Imam al-Shawkani mengharuskan tawassul dengan Rasulullah Saw., dan para anbiya’

    yang lain seterusnya orang saleh yang lain.4

    Muhammad Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa adapun yang

    dipertentangkan di antara ummat Islam adalah masalah bertawassul kepada Allah SWT

    lewat perantara berbentuk benda dengan perantaraan manusia. Misalnya dikatakan:

    “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan kesalehan Abu Bakar

    Shiddiq r.a., atau dengan Umar bin Khattab r.a., atau dengan perantaraan Usman r.a.,

    atau dengan perantaraan kemuliaan Ali r.a.” Namun sebetulnya tawassul seperti ini

    merupakan tawassul yang disepakati karena orang yang bertawassul kepada Allah

    3 Udah Mohsin, “Tawassul: Antara yang Disyariatkan dan yang Dipertikaikan”, Jurnal

    Islamiyyat, 18&19, No.3 (1998), 36. 4 Ibid, 38.

  • 29

    SWT., dengan perantara seseorang itu dikarenakan ia mencintai orang tersebut. Mereka

    berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang saleh, yakin bahwa perantara itu

    mencintai Allah SWT., dan berjihad di jalan-Nya dan Allah SWT., juga mencintai

    orang tersebut.5

    Namun, sebenarnya bertawassul sesama manusia itu tiada larangan dalam ayat

    Al-Qur’an dan hadis bahwa tawassul kepada Allah SWT., melalui orang-orang yang

    dekat dengan Allah SWT., umpama bertawassul kepada para Nabi, para Rasul, para

    sahabat Rasulullah Saw., para tabi’in, para syuhada, dan para ulama salehin. Ini

    disebabkan oleh karena walaupun kita bertawassul kepada orang-orang yang hampir

    dengan Allah SWT., namun pastinya kita memohon kepada Allah SWT., karena Allah

    SWT., sahajalah tempat kita meminta. 6

    Jika dilihat dari sudut golongan yang menghukum amalan ini tidak benar, maka

    semua manusia telah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah SWT. Nabi

    Muhammad Saw., mengambil Al-Qur’an melalui perantaraan malaikat Jibril a.s. Maka

    malaikat Jibril a.s., adalah pengantara bagi Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad

    Saw., pula ialah pengantara tersebar bagi para sahabat pada ketika itu. Dalam setiap

    kesulitan yang menimpa, para sahabat sentiasa mengadu kepada Rasulullah Saw.,

    mereka bertawassul dengan Baginda Saw., kepada Allah SWT., dan memohon doa

    daripada Nabi Saw . Tidak pula Rasulullah Saw., berkata bahawa para sahabat telah

    jatuh kufur atau syirik kerana mengadu dan memohon kepada Rasulullah Saw.

    Sebaliknya Rasulullah Saw., hanya berdoa dan memohon kepada Allah Saw., untuk

    sahabat Rasulullah Saw., padahal mereka benar-benar yakin bahawa yang memberi dan

    menghalang sesuatu, yang menurunkan dan meluaskan rezeki pada hakikatnya

    hanyalah Allah SWT., sahaja. Rasulullah Saw., mampu memberi tetapi melalui

    5 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Bid’ah, Syafa’at,

    Takfir, Tasawuf. Tawassul, dan Ta’zhim (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 103-104. 6 Muhadir Bin Haji Joll, Khilafiah: Persoalan & Penjelasan (Kuala Lumpur: Inteam Publishing

    Sdn. Bhd., 2015), 234-235.

  • 30

    keizinan dan kurnia dari Allah Saw., sendiri dan Rasulullah Saw., pernah bersabda

    bahawa Rasulullah Saw., hanyalah pembahagi dan pemberi adalah Allah SWT.7

    Perselisihan ini hanya pada zahir dan bukan pada hakikatnya kerana perkara

    yang menjadi perselisihan dalam kalangan ulama’ hanyalah mengenai keharusan

    bertawassul semasa hayat seseorang wasilah dan selepas kewafatan wasilah tersebut.

    Amalan bertawassul adalah dengan memohon dan mendekatkan diri kepada Allah

    SWT., bukan kepada wasilah. Wasilah tersebut hanya sebagai kaedah dan perantara

    bagi menyampaikan kita kepada Allah SWT. Maka sebagai umat Islam, seharusnya

    kita menyakini bahawa yang diharuskan bertawassul adalah melalui amalan soleh

    orang yang dijadikan wasilah di mana wasilah tersebut merupakan seseorang yang

    mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT.8

    B. Bentuk-Bentuk Amalan Tawassul

    1. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Nama dan Sifat-Sifat-Nya

    Tawassul dalam bentuk ini merupakan firman daripada Allah SWT., dalam QS

    Al-A’raf ayat 180:

    “Hanya Milik Allah al-Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan

    menyebut Al-Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang

    dari kebenaran dalam (menyebut) Nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat

    balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Al-A’raf: 180)9

    7 Al-Sayyid Muhammad Bin ‘Alawi, Dialah Allah (Selangor: Pelima Media Sdn Bhd, 2014),

    178. 8 Fatimah Binti Abdul Khadal, “Tawassul: Kebenaran atau Kebatilan?”, Skripsi (Ampang:

    Program Diploma Kolej Islam As Sofa, 2016), 59-60. 9 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya

    Departemen Agama RI (Bandung: CV Diponegoro, 2005), 138.

  • 31

    Ayat ini Allah SWT., memberi peransang kepada setiap orang Islam supaya

    selalu berdoa kepada Allah SWT., dengan perantara Nama-nama-Nya Yang Husna,

    dengan harapan supaya doa itu dimakbulkan oleh Allah SWT.

    Mihjan Ibnu Adra’ r.a., menceritakan bahwa Rasulullah Saw., masuk ke dalam

    masjid, ketika itu Rasulullah Saw., mendapati seorang laki-laki hampir menyelesaikan

    solatnya, yaitu sedang dalam tasyahhud akhir, laki-laki itu membaca doa: “Ya Allah,

    sesungguhnya aku memohon kepada Engkau, Ya Allah, Yang Maha Esa, Tuhan Yang

    Maha Tunggal, Yang dapat memenuhi hajat segala hamba-Nya, Yang tidak beranak

    dan tidak dilahirkan dan tiada bagi-Nya suatu apa pun yang dapat dijadikan

    perbandingan, Aku memohon ampunan dari segala dosa-dosaku, sesungguhnya hanya

    Engkau Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Maka Rasululllah Saw., pun

    bersabda10:

    ْد ُغِفَر َلُه .َقْد ُغِفَر َلُه ، َقْد ُغِفَر َلُه ، قَ “Sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah

    diampuni”. (HR Abi Daud: 985)11

    Imam Abu Hanifah mengatakan tidak patut bagi seorang Muslim berdoa

    dengan tidak menggunakan Nama Allah SWT. Imam Abu Yusuf ada memetik

    pendapat Imam Abu Hanifah yang berkata: Tidak sayugia (tidak sepatutnya) bagi

    seorang Muslim berdoa kepada Allah SWT., melainkan dengan melalui perantaraan

    Nama-Nama Allah SWT., itu sendiri. Terdapat ayat dalam Al-Qur’an yang

    menunjukkan bahwa Nabi Allah Ibrahim juga bertawassul dengan menggunakan

    Nama-Nama Allah SWT., dan sifat-sifat-Nya Yang Mulia. Sebelum baginda

    mengemukakan doa dan permohonan, terlebih dahulu baginda bertawassul dengan

    beberapa sifat Allah SWT., yaitu yang pertama dengan Ilmu Allah SWT., yang meliputi

    segala perkara dan tidak bersembunyi sesuatu jua pun sama ada di langit atau di bumi.

    10 Sa’id Bin Ali bin Wahf al-Qathani, Agar Doa Dikabulkan, (Jakarta: Darul Haq, 2016), 45. 11 Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Riyadh: Maktabah Al-

    Ma’arif, 2007), 171.

  • 32

    Keduanya bertawassul dengan sifat Wahhab yakni Allah SWT., memberi kepadanya

    dua orang anak: Ismail dan Ishak walaupun baginda telah lanjut usianya. Dan ketiganya

    pula dengan sifat Sama’ yang dapat mendengar segala permohonan doa hamba-

    hamban-Nya. Selepas menyebut sifat-sifat tersebut barulah Nabi Ibrahim memohon

    doa kepada Allah SWT.,12 seperti firman Allah SWT., dalam QS Ibrahim ayat 38-41:

    “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui akan apa yang kami

    sembunyikan dan apa yang kami lahirkan dan tidak ada sesuatu pun yang

    tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala

    puji bagi Allah yang telah mengurniakan kepadaku di hari tuaku, Isma’il dan Ishaq.

    Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (Memperkenankan) doa.

    Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan

    solat, ya kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan ami, beri ampunlah aku dan bagi

    kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang Mukmin pada hari terjadinya hisab

    (hari kiamat)”. (QS Ibrahim: 38-41).13

    2. Tawassul kepada Allah SWT., dengan Beriman kepada-Nya dan kepada

    Rasul-Nya.

    Bertawassul kepada Allah SWT., dengan beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya

    apabila kita menyatakan َاَلَلُهمَّ بِِإْْيَاِنْ ِبَك َوِبَرُسوِلَك َأْسأَُلك"" yang bermaksud: “Ya Allah,

    12 Zakaria @ Mahmod Daud, Tawassul & Tabarruk Mengikut Perspektif Islam (Kuala Lumpur:

    Bahagian Hal Ehwal Jabatan Perdana Menteri, 1995), 18-19. 13 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya

    Departemen Agama RI, 207-208.

  • 33

    dengan keimananku kepada-MU dan kepada Rasul-Mu saya memohon kepada-

    Mu…”14

    Firman Allah SWT., dalam QS Ali ‘Imran ayat 193:

    “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada

    iman (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’, maka kami pun beriman. Ya

    Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami

    kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang

    berbakti.” (QS Ali-‘Imran: 193)15

    Terdapat juga firman Allah SWT., dalam QS Al-Mu’minun ayat 109:

    “Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hambaKu berdoa (di dunia), ‘Ya

    Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat,

    dan Engkau adalah Pemberi Rahmat yang Paling Baik”. (QS Al-Mu’minun:109)16

    Makna bertawassul dalam dalil-dalil di atas adalah yang pertamanya, karena

    sebab keimanan kepada Rasul-Mu maka mereka memohon diampunkan. Maka

    dijadikan keimanan kepada Rasul sebagai wasilah untuk mendapatkan ampunan.

    Selain itu, ayat dia atas menunjukkan tawassul dengan keimanan kepada Allah SWT.,

    dan keimanan kepada Rasul-Nyamdan bertawassul dengan kecintaan kepada Allah

    SWT., dan kecintaan kepada Rasul-Nya, adalah boleh hukumnya karena keimanan dan

    14 Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ulasan Lengakap Tawassul (Jakarta: Darul Haq, 2014),

    23. 15 Ibid, 60. 16 Ibid, 278.

  • 34

    kecintaan kepada Allah SWT., dan Rasul-Nya adalah sebab yang menyampaikan

    kepada ampunan. Karena itu bertawassul kepada Allah SWT., dengan hal tersebut

    adalah benar.17

    Perkara ini merupakan asas Iman dan Islam, tanpanya seseorang itu tidak akan

    dinamakan sebagai seorang Mukmin. Maka mereka meminta kepada Allah SWT.,

    keampunan dosa-dosa mereka, penghapusan segala kesalahan mereka dan mati

    bersama-sama dengan orang baik, melalui keimanan mereka kepada Nabi Muhammad

    Saw.18

    Tawassul kepada Allah SWT., boleh juga dilakukan dengan beristighfar

    memohon kemapunan atas dosa yang dilakukan. Sayyidul istighfar ialah bahawa

    seorang hamba mengucapkan: “Ya Allah! Engkau adalah Tuhanku, tidak ada yang

    disembah selain Engkau. Engkau telah menjadikan aku dan aku adalah hamba-Mu.

    Aku tetap di atas perjanjian kepadaMu (untuk tidak mengabdikan diri selain kepada-

    Mu) seboleh yang terdaya olehku. Aku berlindung kepadaMu daripada kejahatan yang

    aku buat sendiri. Aku mengakui segala kenikmatan yang Engkau telah berikan

    kepadaku dan aku mengakui dosa-dosaku”.19

    3. Tawassul Kepada Allah SWT., Melalui Rasulullah Saw.

    Tawassul kepada Allah SWT., juga adalah dengan melalui Rasulullah Saw.,

    yang juga pemberi syafaat kepada ummat Islam. Firman Allah SWT dalam QS An-

    Nisa’ ayat 64: