Bidang Unggulan : Hibah Unggulan Program Studi Kode/Nama ... · 3 RINGKASAN Penelitian ini bertolak...
Transcript of Bidang Unggulan : Hibah Unggulan Program Studi Kode/Nama ... · 3 RINGKASAN Penelitian ini bertolak...
1
Bidang Unggulan : Hibah Unggulan Program Studi
Kode/Nama Bidang Ilmu: 512/Sastra (dan Bahasa) Indonesia
USULAN PENELITIAN
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
PERILAKU BERBAHASA GURU-GURU SLTP
DI KOTA DENPASAR:
SEBUAH KAJIAN PRAGMATIK
Peneliti Utama
Prof. Dr. Drs. I Wayan Simpen, M.Hum. (NIDN 0031126071)
Anggota
1. Drs. I Wayan Teguh, M.Hum. (NIDN 0031126072)
2. Dra.Putu N. Widarsini, M.Hum.(NIDN 0001046113)
DIBIAYAI OLEH DIPA PNBP UNIVERSITAS UDAYANA
DENGAN SURAT PERJANJIAN PENUGASAN PELAKSANAAN PENELITIAN
NOMOR: 007/UN14.1.1/PNL.01.03.00/2015
TANGGAL: 21 APRIL 2015
PROGRAM STUDI/JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
2
HALAMAN PENGESAHAN
USULAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
1. Judul Penelitian : “Perilaku Berbahasa Guru-guru SLTP di Kota Denpasar: Sebuah Kajian
Pragmatik”
2. Ketua Peneliti
a) Nama Lengkap : Prof. Dr. Drs. I Wayan Simpen, M.Hum.
b) Jenis Kelamin : Laki-laki
c) NIP/NIDN : 196012311985031028/0031126071
d) Jabatan Struktural : -
e) Jabatan Fungsional : Guru Besar
f) Fakultas/Jurusan : Sastra dan Budaya/Sastra Indonesia
g) Pusat Penelitian : Program Studi Sastra Indonesia
h) Alamat : Jl. Pulau Nias 13, Sanglah, Denpasar
i) Telepon/Faks : (0361) 224121
j) Alamat Rumah : Jl. Dewata II/8, Sidakarya, Denpasar Selatan
k) Telepon/email : (0361) 722785/[email protected].
l) HP : 081916254317
3. Jumlah anggota peneliti : tiga orang
4. Jumlah mahasiswa : dua orang
5. Pembiayaan :
Jumlah biaya yang diajukan ke fakultas : Rp 22.500.000,00
Denpasar, 3 November 2015
Mengetahui
Ketua Jurusan/Prodi, Ketua Peneliti,
Dr. Drs. I Ketut Sudewa, M.Hum. Prof. Dr. Drs. I Wayan Simpen, M.Hum.
NIP 196112311988031012 NIP 196012311985031028
3
RINGKASAN
Penelitian ini bertolak pada isu belakangan ini bahwa di masyarakat marak terjadi perilaku
kekerasan, terutama yang menimpa anak-anak. Mulai dari anak jalanan yang dieksploitasi sekelompok
orang, penganiayaan anak oleh orang tua, pelecehan seksual anak, anak kabur dari rumah, penculikan anak,
atau terjadinya penyimpangan perilaku anak, seperti seorang anak yang tega membunuh adik kandungnya
sendiri. Sekitar bulan Juni lalu, kita digegerkan dengan merebaknya berita kematian Angeline, yang
sebelumnya diberitakan hilang dan berita itu tersebar luas di jejaring media sosial. Ternyata, lagi-lagi pelaku
lenyapnya nyawa si gadis cilik Angeline itu adalah orang terdekat yang selama ini mengadopsinya, yaitu ibu
angkat Angeline.
Dua tempat yang sangat potensial terjadinya kekerasan pada anak adalah rumah tangga dan sekolah.
Di rumah, orang tua sebagai pihak superpower merasa berhak melakukan kekerasan verbal karena orang tua
adalah penguasa mutlak si anak. Sementara itu, di sekolah para guru juga seenaknya melontarkan kata-kata
tidak senonoh pada muridnya. Di sekolah, guru adalah penguasa murid. Guru dapat melakukan apa saja
terhadap muridnya, termasuk melakukan kekerasan verbal.
Di dalam rumah tangga, proses memanusiakan manusia terjadi pertama kali. Proses ini
dilakukan dengan alat yang paling ampuh, yaitu bahasa. Proses pembelajaran di dalam rumah tangga
dilakukan dengan bahasa. Melalui bahasa manusia mengomunikasikan pikiran dan perasaannya, berpikir dan
berasa, serta memahami pikiran dan perasaan manusia lain, termasuk cara orang tua mendidik anak-anaknya.
Dalam hal ini, peran bahasa sangatlah mulia dalam proses memanusiakan manusia. Akan tetapi, yang terjadi
sangatlah ironis karena tekanan ekonomi, atau persoalan lain, secara tidak sadar orang tua telah bertindak di
luar batas kemanusiaan. Bahasa yang semestinya berfungsi memuliakan manusia, justru menistakan
manusia.
Sistem pendidikan nasional kita juga memberikan andil terhadap munculnya kekerasan verbal di
sekolah. Adanya sekolah unggulan atau sekolah plus secara tidak langsung membentuk diskriminasi dan
ketidakadilan di masyarakat karena orang-orang yang bisa bersekolah di tempat itu hanyalah orang-orang
tertentu. Padahal, dalam konstitusi telah diamanatkan bahwa semua rakyat memiliki hak yang sama dalam
mendapatkan pendidikan. Di sisi lain, sistem penilaian yang berorientasi pada nilai dengan gambaran angka-
angka, memacu dan memicu sekolah berlomba-lomba menentukan peringkat para muridnya. Sekolah tidak
lagi merumuskan keberhasilan proses didik yang berorientasi pada capaian kompetensi, tetapi lebih pada
capaian angka-angka yang semu.
Untuk menjadi sekolah yang unggul dan favorit, guru harus menggenjot murid agar memperoleh
nilai yang membanggakan. Pertanyaannya, apakah di dalam kelas semua murid memiliki kemampuan yang
sama? Jawabannya, pasti tidak. Oleh karena itu, guru akan alergi pada murid yang bodoh. Murid-murid
seperti inilah yang biasanya menjadi korban kekerasan verbal. Padahal, guru semestinya dapat memintarkan
murid yang bodoh. Di sinilah tugas utama guru. Guru semestinya menyadari bahwa tidak ada anak didik
yang bodoh, yang ada hanyalah perbedaan cara murid menyerap pelajaran yang diberikan guru. Di samping
itu, setiap murid memiliki potensi yang berbeda.
Populasi penelitian ini adalah seluruh pemakaian bahasa para guru di SLTP di Kota Denpasar
khususnya SLTP yang ada di Kecamatan Denpasar Timur dan Kecamatan Denpasar Selatan. Untuk
Denpasar Timur dipilih SLTP 3 dan SLTP 8, sedangkan untuk Kecamatan Denpasar Selatan dipilih SLTP 6
dan SLTP 9. Pengambilan sampel dilakukan dengan sistem porposif area sampel dengan mempertimbangkan
jenis kelamin pada sampel guru jadi guru laki-laki dan perempuan terwakili.
Data dikumpulkan dengan penyebaran kuesioner dan metode wawancara. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif dan metode analisis kuantitatif. Hasil penyajian data lebih banyak
disajikan dengan metode informal dan penjabaran dalam analisis menggunakan metode induktif deduktif
yaitu analisis yang didahului pengadaan fakta lalu digeneralisasi.
Hasil penelitian membuktikan, bahwa perilaku berbahasa yang dilakukan guru (sesuai isian
kuisioner) berbeda dengan yang diisi murid, padahal pertanyaan dan pilihannya sama. Ini membuktikan
bahwa ada kecenderungan guru menutup-nutupi perilaku berbahasa yang sebenarnya. Jadi, realitas berbeda
dengan idealitas.
Kata kunci: perilaku, berbahasa, dan pragmatik
4
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................................... ii
RINGKASAN ................................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 8
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................................................. 12
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................................................. 15
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 28
LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................................................. 29
5
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah “perilaku berbahasa” yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tindakan atau cara-cara
berbahasa yang dilakukan oleh para guru SLTP se-Kota Denpasar, khususnya perilaku berbahasa Indonesia
terhadap murid-murid. Perilaku berbahasa itu menyangkut aktivitas di dalam atau di luar kelas, baik
berkaitan maupun tidak berkaitan dengan pelajaran yang dilakukan di sekolah. Dengan kata lain, penelitian
ini merekam cara-cara berbahasa Indonesia para guru di sekolah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana para guru tidak atau melakukan kekerasan verbal terhadap murid-muridnya.
Kajian terhadap perilaku berbahasa para guru akan bermuara pada isu yang berkembang selama ini
bahwa para guru merupakan salah satu agen pelaku kekerasan di masyarakat. Seperti diketahui bahwa
sekolah adalah salah satu tempat yang sangat potensial yang menjadi tempat terjadinya kekerasan. Untuk
itulah penelitian terhadap perilaku berbahasa, khususnya berbahasa Indonesia para guru menjadi sangat
urgen untuk dilaksanakan. Sebagai langkah awal, akan diteliti perilaku berbahasa di tingkat SLTP. Jika
memungkinkan, kegiatan yang sama akan dilakukan pada jenjang pendidikan yang lain.
Belakangan ini, banyak ditayangkan di media massa, baik elektronik maupun cetak, berita tentang
kaburnya seorang anak dari rumah. Kompas terbitan 30 November 2010 memuat berita tentang kaburnya
seorang anak perempuan berumur 10 tahun bernama Nabila Amalia Putri. Anak perempuan ini kabur dari
rumah orang tuanya di Tangerang Selatan. Di samping itu, berita tentang kaburnya Arumi Bachin dari rumah
sebanyak tiga kali juga tidak kalah menarik. Ini adalah contoh kecil yang terekspos media.
Sekitar bulan Juni 2015, kita dicengangkan dengan merebaknya berita kematian gadis cilik Angeline
di Jalan Sedap Malam, Sanur, Denpasar. Sebelum ditemukan polisi, gadis ini diberitakan hilang, dan
beritanya tersebar di media jejaring sosial. Sungguh ironis dan mengherankan karena ternyata pelaku yang
tega menghabisi nyawa gadis manis ini adalah orang terdekatnya, yaitu ibu angkat Angeline. Apa pun
alasannya, yang patut disadari adalah ketidakberdayaan dan ketidaksadaran kita semua bahwa kita adalah
monster-monster menakutkan bagi masa depan anak.
Ada hal yang sangat mencengangkan mengapa anak-anak itu kabur dari rumah? Jawabannya adalah
anak-anak itu sebelumnya mengalami kekerasan verbal di rumahnya. Pelakunya adalah orang tuanya sendiri.
6
Kasus anak kabur dari rumah karena mengalami kekerasan verbal adalah fenomena gunung es. Masih terlalu
banyak hal yang sama terjadi di masyarakat, tetapi luput dari pantauan media.
Bukan tidak mungkin kekerasan verbal juga terjadi di sekolah. Guru sebagai pihak penguasa di
sekolah merasa mempunyai hak untuk melakukan kekerasan verbal terhadap muridnya. Dengan dalih
mendidik dan mengajar guru kerap kali bertindak di luar batas kewajaran. Akibatnya, jangan heran kalau
ada siswa yang minder, penakut, tidak percaya diri, introvert, gampang marah, bahkan frustrasi.
Barangkali kita sendiri mungkin sebagai ayah, sebagai dosen/guru, sebagai suami, sebagai atasan
sering kali melakukan kekerasan verbal pada anak, mahasiswa/siswa, istri, atau bawahan. Sadar atau tidak
sadar kita mempunyai andil terhadap perkembangan anak, mahasiswa, istri, atau bawahan. Anak yang
penakut, mahasiswa yang tidak mandiri, atau istri yang selingkuh, dan bawahan yang frustrasi adalah harga
yang harus dibayar akibat kekerasan verbal yang kita lakukan.
Selama ini istilah kekerasan hanya dimaksudkan sebagai kekerasan fisik. Misalnya, pemukulan,
penganiayaan, atau pembunuhan. Jarang sekali istilah kekerasan verbal dikategorikan sebagai salah satu
jenis kekerasan. Oleh karena itu, kekerasan verbal jarang ditindaklanjuti secara hukum. Padahal, korban
kekerasan verbal itu sangatlah banyak dan berdampak sistemik. Korban kekerasan verbal akan menanggung
akibat sepanjang hidupnya. Lebih-lebih kalau kekerasan verbal itu dialami ketika usia dini, maka akibatnya
akan sangat fatal bagi anak yang bersangkutan. Misalnya, salah seorang anak menjadi korban kekerasan
verbal ketika di SD. Setiap saat gurunya membentak dan menghardik kalau ia salah menjawab pertanyaan
atau tidak bisa mengerjakan tugas yang dibebankan padanya. Sampai sekarang ia tumbuh menjadi anak yang
kurang percaya diri, takut bertanggung jawab, gampang menyerah, dan takut mencoba karena ia takut salah
meskipun sekarang ia telah berstatus mahasiswa.
Terbentuknya “Komisi Perlindungan Hak Anak” adalah angin segar bagi perlindungan anak di masa
depan. Diharapkan, lembaga ini mampu menjamah perlakuan kurang manusiawi pada anak, termasuk
kekerasan verbal. Pihak-pihak penguasa (orang tua atau guru) sudah saatnya menghentikan perilaku
mengejek, menghina, menghardik, membentak, mencaci maki, atau mengancam anak didiknya karena
tindakan itu mengakibatkan perasaan tidak enak, terhina, teraniaya, atau terancam pada anak didik.
Salah satu kekerasan verbal yang sudah mulai ditindaklanjuti secara hukum adalah pencemaran
nama baik. Pencemaran nama baik adalah suatu tindakan verbal (baca berbahasa) yang menyebabkan orang
7
lain tidak nyaman, terhina, bahkan terancam. Biasanya, tindakan ini tidak didukung oleh bukti-bukti yang
kuat dan memadai. Oleh karena itu, pencemaran nama baik merupakan fitnah. Kerugian yang dialami korban
adalah kerugian moral yang biasanya mengancam kredibilitas dan nama baik. Akibat kerugian itu
berimplikasi secara tidak langsung pada kerugian material.
Secara etimologis kata kekerasan berasal dari bentuk dasar keras, mendapat konfiks ke-/-an yang
berarti ‘perihal (yang bersifat, berciri keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan
cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; paksaan (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995: 485). Bertolak dari pengertian ini, maka istilah kekerasan
hanya dikaitkan dengan masalah fisik yang menyebabkan kematian, cedera, atau kerusakan barang. Dengan
demikian, tindakan seseorang atau kelompok yang dianggap melakukan kekerasan hanyalah mencakup
pemukulan, penganiayaan, pembunuhan, atau perusakan bangunan. Kekerasan tidak disangkutpautkan
dengan dampak mental, seperti penghinaan, pemfitnahan, penyindiran, pengancaman, penghardikan,
pembentakan, dan pengancaman.
Dampak kekerasan verbal lebih hebat daripada kekerasan fisik. Misalnya, anak yang menjadi korban
kekerasan verbal di rumah atau di sekolah akan menyebabkan anak itu pendiam, pendendam, pemarah,
pemalu, bahkan dapat bertindak di luar kebiasaan. Ada kasus seorang anak laki-laki menjadi waria karena
sangat menbenci figur laki-laki karena dari kecil ia senantiasa menyaksikan penganiayaan dan caci maki
ayahnya terhadap ibu kandungnya. Bahkan, hal yang sangat tragis adalah anak inilah yang akhirnya
membunuh dan memutilasi ayah kandungnya.
Akibat kekerasan fisik adalah rusaknya fisik, tetapi akibat kekerasan verbal adalah rusaknya mental.
Kekerasan verbal juga dapat menyebabkan pembunuhan karakter. Jadi, dampak kekerasan verbal lebih hebat
daripada kekerasan fisik. Akan tetapi, masyarakat tidak banyak yang menyadarinya. Untuk itulah, penelitian
ini sangat penting dilakukan. Tujuannya adalah membuktikan apakah di tingkat SLTP di Kota Denpasar
ditemukan perilaku guru-guru yang dapat digolongkan kekerasan verbal.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertolak pada isu belakangan ini bahwa di masyarakat marak terjadi perilaku
kekerasan, terutama yang menimpa anak-anak. Mulai dari anak jalanan yang dieksploitasi sekelompok
8
orang, penganiayaan anak oleh orang tua, pelecehan seksual anak, anak kabur dari rumah, penculikan anak,
atau terjadinya penyimpangan perilaku anak, seperti seorang anak yang tega membunuh adik kandungnya
sendiri.
Dua tempat yang sangat potensial terjadinya kekerasan pada anak adalah rumah tangga dan sekolah.
Di rumah, orang tua sebagai pihak superpower merasa berhak melakukan kekerasan verbal karena orang tua
adalah penguasa mutlak si anak. Sementara itu, di sekolah para guru juga seenaknya melontarkan kata-kata
tidak senonoh pada muridnya. Di sekolah, guru adalah penguasa murid. Guru dapat melakukan apa saja
terhadap muridnya, termasuk melakukan kekerasan verbal.
Di dalam rumah tangga, proses memanusiakan manusia terjadi pertama kali. Proses ini
dilakukan dengan alat yang paling ampuh, yaitu bahasa. Proses pembelajaran di dalam rumah tangga
dilakukan dengan bahasa. Melalui bahasa manusia mengomunikasikan pikiran dan perasaannya, berpikir dan
berasa, serta memahami pikiran dan perasaan manusia lain, termasuk cara orang tua mendidik anak-anaknya.
Dalam hal ini, peran bahasa sangatlah mulia dalam proses memanusiakan manusia. Akan tetapi, yang terjadi
sangatlah ironis karena tekanan ekonomi, atau persoalan lain, secara tidak sadar orang tua telah bertindak di
luar batas kemanusiaan. Bahasa yang semestinya berfungsi memuliakan manusia, justru menistakan
manusia.
Orang tua dapat seenaknya mencaci maki, membentak, atau menghina anak-anaknya. Seolah-olah
anak-anak adalah pihak yang mesti dipersalahkan kalau orang tua bermasalah di kantor, di tempat kerja, atau
terdesak ekonomi. Kondisi yang sama akan berulang di sekolah. Guru-guru yang bermasalah di rumah
tangganya akan melampiaskan kemarahannya itu pada para siswa. Tidak jarang ditemukan guru-guru yang
marah-marah tanpa sebab pada muridnya. Tindakan yang paling lazim dilakukan guru-guru seperti itu adalah
mengejek, membentak, menghina, mencaci maki, atau mengancam murid. Momentum yang biasa digunakan
adalah murid digiring untuk menjawab atau mengerjakan tugas yang sulit. Kalau murid tidak dapat
mengerjakan tugas itu dengan baik, saat itulah guru biasanya melontarkan bahasa yang tidak senonoh. Mulai
dari kamu goblok, otakmu di mana, otakmu di dengkul, dan hinaan yang lain.
Sekolah adalah rumah kedua bagi anak. Oleh Karena itu, sudah selayaknya para guru berperilaku
sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Guru harus dapat mengayomi, membimbing, dan menjamin masa
depan bagi seluruh anak didiknya. Hal itu dapat dilakukan guru apabila guru memandang semua siswa
9
adalah anak kandungnya sendiri. Jadi, guru dituntut bersikap adil dan tidak pilih kasih pada murid-muridnya.
Guru tidak boleh menyayangi murid yang pintar saja, atau menyayangi murid yang kebetulan menjadi
kerabatnya, atau titipan para pejabat dan teman baik. Lebih-lebih karena orang tua murid tertentu banyak
memberikan bantuan material pada oknum guru atau sekolah yang bersangkutan.
Kasus sejumlah orang tua yang memiliki akses langsung pada sekolah anaknya, baik para pejabat
maupun donator telah terjadi di mana-mana. Lebih-lebih kalau sekolah yang bersangkutan adalah sekolah
unggulan atau sekolah plus. Hal-hal seperti inilah yang kemudian akan memengaruhi sikap para guru, baik
ketika mengajar di kelas maupun ketika menilai para muridnya. Akibatnya, jangan heran kalau di sekolah
akan ada anak emas, anak perak, atau anak perunggu.
Sistem pendidikan nasional kita juga memberikan andil terhadap munculnya kekerasan verbal di
sekolah. Adanya sekolah unggulan atau sekolah plus secara tidak langsung membentuk diskriminasi dan
ketidakadilan di masyarakat karena orang-orang yang bisa bersekolah di tempat itu hanyalah orang-orang
tertentu. Padahal, dalam konstitusi telah diamanatkan bahwa semua rakyat memiliki hak yang sama dalam
mendapatkan pendidikan. Di sisi lain, sistem penilaian yang berorientasi pada nilai dengan gambaran angka-
angka, memacu dan memicu sekolah berlomba-lomba menentukan peringkat para muridnya. Sekolah tidak
lagi merumuskan keberhasilan proses didik yang berorientasi pada capaian kompetensi, tetapi lebih pada
capaian angka-angka yang semu.
Untuk menjadi sekolah yang unggul dan favorit, guru harus menggenjot murid agar memperoleh
nilai yang membanggakan. Pertanyaannya, apakah di dalam kelas semua murid memiliki kemampuan yang
sama? Jawabannya, pasti tidak. Oleh karena itu, guru akan alergi pada murid yang bodoh. Murid-murid
seperti inilah yang biasanya menjadi korban kekerasan verbal. Padahal, guru semestinya dapat memintarkan
murid yang bodoh. Di sinilah tugas utama guru. Guru semestinya menyadari bahwa tidak ada anak didik
yang bodoh, yang ada hanyalah perbedaan cara murid menyerap pelajaran yang diberikan guru. Di samping
itu, setiap murid memiliki potensi yang berbeda.
Bertolak dari paparan di atas, maka penelitian “Perilaku Berbahasa Guru-guru SLTP di Kota
Denpasar: Sebuah Kajian Pragmatik” bertujuan untuk mengetahui perilaku berbahasa guru-guru SLTP di
Kota Denpasar, mengetahui satuan verbal yang digunakan para guru, dan mengetahui ada tidaknya siswa
yang menjadi korban kekerasan verbal.
10
1.3 Urgensi penelitian
Seperti yang telah dipaparkan di depan bahwa sekolah adalah salah satu tempat terjadinya kekerasan,
terutama kekerasan verbal. Pemahaman kita tentang kekerasan verbal adalah semua perilaku berbahasa yang
menyebabkan lawan bicara kita merasa tidak nyaman, merasa dilecehkan, merasa dinistakan, merasa
difitnah, merasa tercemar nama baiknya, merasa ketakutan, dan merasa terancam. Penelitian ini akan
membuktikan apakah para guru di tingkat SLTP di Kota Denpasar kerap melakukan kekerasan verbal atau
tidak. Jadi, urgensi penelitian ini adalah ditemukannya (1) perilaku berbahasa para guru di SLTP di Kota
Denpasar, (2) kecenderungan para guru melakukan kekerasan verbal, (3) satuan verbal yang biasa digunakan
para guru untuk tujuan menyuruh, menasihati, memarahi, menganjurkan, memerintah, melarang, dan
menyalahkan muridnya, serta ditemukan ada tidaknya siswa yang menjadi korban kekerasan verbal para
guru. Di samping itu, temuan penelitian ditargetkan juga dapat menemukan solusi untuk mengatasi perilaku
berbahasa yang mengakibatkan kekerasan verbal, baik yang terjadi di sekolah maupun di luar sekolah.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian tentang kekerasan verbal sangatlah langka. Oleh karena itu, tidak mudah memperoleh
pustaka yang gayut dengan topik ini. Akan tetapi, kekerasan verbal tercakup dalam fungsi bahasa. Jadi,
pustaka yang dianggap gayut adalah pustaka yang berhubungan dengan fungsi bahasa. Berikut adalah
pustaka yang dimaksud.
Simpen (2011) dalam tulisannya yang berjudul “Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam
Masyarakat” menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan
verbal, yaitu faktor ekonomi, faktor sakit hati, kecewa, dan frustrasi. Tulisan ini juga menyebutkan bahwa
rumah, sekolah, tempat kerja, dan kantor adalah tempat-tempat berlangsungnya kekerasan verbal.
Disebutkan pula bahwa pihak-pihak yang dapat melakukan kekerasan verbal adalah pihak-pihak yang
tergolong penguasa atau yang memiliki kekuasaan, seperti ayah terhadap anaknya, guru terhadap muridnya,
atasan terhadap bawahannya, suami terhadap istrinya, dan kakak terhadap adiknya.
Penelitian Simpen (2011) masih bersifat umum. Oleh karena itu, kajian terhadap tempat terjadinya
kekerasan verbal, seperti sekolah belum dikaji lebih dalam. Hal ini dapat dimaklumi karena tulisan ini adalah
orasi ilmiah, walaupun berdasarkan data empiris, belum dilakukan pengujian secara spesifik dan menukik.
Akan tetapi, tulisan ini mampu menginspirasi tulisan–tulisan lain yang sejenis. Penelitian ini memfokuskan
pada perilaku berbahasa para guru di SLTP se-Kota Denpasar. Tujuannya adalah merekam perilaku
berbahasa para guru sehingga dapat dibuktikan apakah para guru itu melakukan kekerasan verbal atau tidak.
Bahasa diartikan sebagai a system of arbitrary vocal symbols by mean of which a social group
coorperates (Bloch, 1942: 5; Stutervant, 1947: 2; Band. Masinambow, 2000: 7). Sebagai sistem simbol
bunyi yang arbitrer, bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi. Di samping itu, bahasa juga
berfungsi sebagai alat bekerja sama dalam suatu kelompok sosial.
Melalui bahasa manusia mengomunikasikan pikiran dan perasaannya, berpikir dan berasa, dan
memahami pikiran dan perasaan manusia lain. Pada manusia, bahasa sekaligus sebagai bahasa ke dalam,
yaitu proses berbahasa yang memungkinkan manusia berpikir dan bersadar diri, dan berefleksi secara
manusiawi. Selain itu, juga sebagai bahasa keluar, yaitu proses berbahasa yang menyebabkan manusia bisa
berkomunikasi. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Binatang tidak bisa membahasakan
12
pikirannya. Demikian pula manusia yang mengalami kelemahan bahasa atau gangguan berbahasa tidak akan
mampu mengatakan pikirannya. Misalnya, manusia yang kehilangan bahasa atau kemampuan bahasanya
kuarng sempurna, tidak hanya mengalami rintangan dalam hubungannya dengan orang lain, tetapi ia juga
mendapat kesulitan dalam dirinya sendiri dalam hal pikirannya, seperti yang dialami oleh orang primitif,
anak kecil, tuli bisu, para penderita patologis, orang sakit ingatan, orang kelu (afasis), atau orang yang
mengalami ketarasingan bahasa (Widyamartaya, (Pen.), 1983: 10).
Peranan bahasa amatlah besar dalam kehidupan manusia. Bahkan, secara ekstrem dapat dikatakan
bahwa tanpa bahasa manusia tidak ubahnya dengan binatang. Filsuf terkenal, E. Cassier pernah berujar
bahwa manusia adalah animal symbolicum. Melalui bahasa, manusia memperoleh kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosional. Selanjutnya, dengan dua kecerdasan ini manusia mengembangkan kecerdasannya
yang lain.
Kecerdasan intelektual dan emosional pertama-tama dikembangkan di dalam rumah tangga yang
dilakukan dengan bahasa. Orang tua mendidik anak-anaknya dengan bahasa. Bahasa mengambil bagian yang
penting dalam proses memanusiakan manusia. Namun, karena beberapa faktor seperti yang disitir di atas,
bahasa yang semestinya memuliakan manusia justru menistakan manusia. Dengan bahasa, orang tua dapat
melakukan kekerasan.
Sudaryanto (1990: 51—53), mencatat ada tiga kegiatan berbahasa yang tergolong pengawafungsian
bahasa. Ketiga kegiatan dimaksud adalah berbahasa yang narsistik, berbahasa yang mansurbatif, dan
berbahasa yang psitasistik. Pengawafungsian bahasa terjadi apabila kegiatan berbahasa itu tidak
menyebabkan pengoptimalan fungsi bahasa, tetapi justru penurunan hakikat fungsi bahasa. Seperti yang
disebutkan di atas bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat bekerja sama atau sebagai alat untuk sama-sama
bekerja. Namun, yang lebih utama adalah bila bahasa dapat membuat manusia sama-sama menjadi sesama.
Apabila pemakaian bahasa itu dimaksudkan untuk menistakan manusia, seperti mencaci maki, mengejek,
membentak, dan mengancam, maka pemakaian bahasa justru akan mengerdilkan fungsi bahasa itu sendiri
Pemakaian bahasa yang mansurbatif didorong oleh adanya kekuasaan atau power. Istilah superior
atau imperior, yaitu memosisikan orang sebagai penguasa dan terkuasa mengacu pada apa yang disebut
symbolic capital, economic capital, cultural capital, dan social capital (Bourdieu, 1984: 91). Dengan kata
lain, modal simbolik, modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial dapat menempatkan seseorang
13
menjadi penguasa. Foley (1997:307) mengemukakan bahwa stratifikasi sosial memiliki kaitan yang erat
dengan kekuasaan/power. Lebih lanjut dikatakan bahwa variabel stratifikasi sosial, seperti kelas masyarakat,
kasta, status, etnik, umur, dan lain-lain direalisasikan melalui tanda-tanda linguistik yang melekat pada
pelakunya (1997:312).
Secara simbolik, seperti kasta di Bali atau masyarakat lain yang mengenal stratifikasi sosial
memberikan kekuasaan bagi seseorang yang memilik kasta yang lebih tinggi. Demikian pula orang tua yang
memiliki umur yang lebih tua, akan berkuasa pada anak-anaknya. Guru-guru di sekolah yang memiliki status
yang lebih tinggi daripada siswanya juga memiliki kuasa yang lebih besar. Demikian pula orang yang
memiliki kekuatan finansial akan berkuasa terhadap oarng yang tidak, seperti majikan/bos terhadap
buruhnya. Di sisi lain, faktor gender juga tidak kalah pentingnya dalam memperoleh kekuasaan.
Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap masyarakat Jawa, Anderson (1990: 21—28) merumuskan
perbedaan konsep power di dunia Barat dengan di dunia Timur. Power, dalam tradisi sering dihubungkan
dengan karisma atau kesaktian. Karisma atau kesaktian dalam tradisi Jawa dengan cara yang unik, misalnya
memerkosa diri dalam meditasi yang ketat, beryoga, bertapa, atau berpuasa makan/berpuasa seks. Konsep
power seperti ini tidak ditemukan di dunia Barat.
Konsep kekuasaan atau kekuatan seperti di atas juga diterapkan dalam perilaku berbahasa. Entitas
yang memegang kuasa memandang lawan bicaranya dalam posisi yang berbeda. Penguasa adalah pihak
superior, sedangkan yang terkuasa adalah imperior. Konsep inilah yang kemudian melahirkan kekerasan
verbal di masyarakat.
Kekuasaan yang melekat pada diri guru karena guru adalah pihak terpelajar dan umurnya juga lebih
tua daripada murid, maka guru memiliki hak untuk memperlakukan murid sekehendak hatinya. Murid juga
dianggap tempat pelampiasan rasa kecewa guru, baik karena masalah ekonomi maupun persoalan lainnya.
Sadar atau tidak sadar para guru ikut melakukan pengawafungsian bahasa. Berdasarkan alasan itu, penelitian
terhadap perilaku berbahasa para guru sangat penting dilakukan. Hasil penelitian akan membuktikan apakah
para guru itu melakukan kekerasan verbal atau tidak karena kekerasan bukanlah pendidikan yang
berkarakter.
14
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh pemakaian bahasa para guru di SLTP di Kota Denpasar. Untuk
penelitian tahun ini, SLTP yang dijadikan objek penelitian adalah SLTP yang ada di Kecamatan Denpasar
Timur dan Kecamatan Denpasar Selatan, masing-masing dua SLTP. Untuk Denpasar Timur dipilih SLTP 3
dan SLTP 8, sedangkan untuk Kecamatan Denpasar Selatan dipilih SLTP 6 dan SLTP 9. Jumlah guru yang
cukup banyak tidak memungkinkan untuk meneliti seluruh pemakaian bahasa para guru. Oleh sebab itu, data
akan diambil berdasarkan sistem sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan sistem porposif area
sampel. Sistem ini akan mempertimbangkan jenis kelamin guru, artinya guru yang dijadikan sampel
mewakili guru perempuan dan guru laki-laki. Dari segi area, tiap-tiap kecamatan diharapkan terwakili. .
Setiap sekolah dijaring lima guru dan lima siswa. Jadi, jumlah guru dan murid yang dijadikan objek
penelitian masing-masing berjumlah 20 orang. Perilaku berbahasa guru akan tercermin dari isian daftar
tanyaan. Akan tetapi, untuk mengecek realitasnya maka dicocokkan dengan isian daftar tanyaan siswa.
Dipastikan ada perbedaan jawaban guru dengan jawaban siswa, meskipun pertanyaan dan pilihan jawaban
sama. Hal ini, dimungkinkan karena guru cenderung menyembunyikan perilaku berbahasanya yang tidak
baik, atau lupa apa yang pernah dilakukannya. Di sisi lain, siswa pasti ingat apa yang pernah dikatakan
gurunya.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua cara pengumpulan data. Pertama, data dikumpulkan dengan cara
penyebaran kuesioner. Kedua, data dikumpulkan dengan metode wawancara. Kuesioner berisi pilihan yang
menggambarkan jenis satuan verbal yang digunakan oleh para guru. Jenis satuan verbal itu menyangkut cara
guru ketika menyuruh murid, membimbing murid, menghukum murid, memarahi murid, atau menganjurkan
murid. Kuesioner akan diberikan pada siswa sehingga pilihan jawaban lebih objektif. Setiap responden akan
menilai pemakaian bahasa guru yang berbeda.
Untuk membuktikan kebenaran pilihan yang tergambar pada kuesioner, akan dicek silang kepada
siswa dan guru melalui wawancara. Apakah pilihan yang tercermin pada kuesioner itu merupakan realita
atau rekayasa. Ini dimaksudkan agar jawaban tidak bias karena unsur sentimen pribadi. Oleh sebab itu, siswa
15
akan ditanyai langsung terhadap perilaku berbahasa guru yang dimaksud. Di samping itu, penelitian ini juga
memanfaatkan data yang ada di BP (bimbingan dan penyuluhan) mengenai siswa yang bermasalah.
Hasil analisis lebih banyak disajikan dengan metode informal, yaitu deskripsi dalam bentuk satuan
verbal. Metode penyajian hasil analisis akan dijabarkan dengan pola penalaran secara induktif dan deduktif,
yaitu analisis yang dimulai dari penyodoran fakta, kemudian digeneralisasi. Di sisi lain, penyajian diawali
dengan generalisasi dan selanjutnya dibuktikan dengan fakta.
3.3 Metode Analisis Data
Data yang terkumpul akan membentuk korpus data, berupa data kuantitatif yang dikumpulkan dengan
cara penyebaran kuesioner dan data kualitatif yang dikumpulkan dengan metode wawancara. Dengan
demikian, analisis data akan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan metode analisis kuantitatif.
Perhitungan secara kuantitatif terhadap responden akan menggambarkan bahwa di bawah 50 % akan
dianggap bahwa para guru tidak melakukan kekerasan verbal, sedangkan di atas 50% para guru dianggap
melakukan kekerasan verbal. Hasil perhtungan statistik ini akan diperkuat dengan analisis data kualitatif.
Penelitian ini menghasilkan luaran berupa laporan hasil penelitian yang di dalamnya termuat hal-hal
sebagai berikut.
1. Pembuktian ada/tidak adanya kekerasan verbal yang dilakukan oleh para guru SLTP di Kota Denpasar.
2. Bentuk-bentuk satuan verbal yang digunakan oleh para guru ketika menyuruh muridnya, mengarahkan,
menganjurkan, menasihati, menghukum, dan memarahi muridnya.
3. Memberikan informasi yang real mengenai wajah pendidikan di tingkat tertentu, terutama di tingkat
SLTP.
4. Memberikan informasi pada masyarakat luas, terutama para orang tua agar ikut berpartisipasi aktif
dalam mengawal proses pendidikan di sekolah karena anak adalah tumpuan masa depan bangsa.
5. Membuktikan bahwa kekerasan verbal memiliki dampak sistemik pada perkembangan dan masa depan
anak.
6. Menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan instrospeksi bagi seluruh penyelenggara pendidikan,
terutama para orang tua bahwa kekerasan verbal itu harus dihentikan karena berdampak negatif pada
perkembangan watak anak.
16
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengantar
Bab ini, berturut-turut akan menyajikan tindak tutur dan jenis-jenisnya, tindak tutur guru-guru SLTP
di Kota Denpasar, tindak tutur dan kesantunan berbahasa, dan tindak tutur dan kekerasan verbal. Masing-
masing akan disajikan secara rinci berikut ini.
4.2 Tindak Tutur
Bertutur adalah bertindak. Setiap ujaran menuntut penerima ujaran untuk melakukan suatu tindakan.
Alih-alih menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap pengujar tadi. Austin (1962) menyatakan bahwa
ujaran yang muncul dalam sebuah peristiwa tutur memiliki daya atau kekuatan terhadap lawan tutur. Tindak
tutur sebagai sebuah ujaran, bukanlah semata-mata sebagai sebuah peristiwa verbal semata, melainkan
menjadi representasi tindakan fisik.
Austin membagi tindak tutur menjadi tiga bagian, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak
perlokusi. Tindak lokusi (locutionary act) adalah suatu tindak berkata, menghasilkan tuturan dengan makna
dan referen tertentu. Misalnya, gunung itu tinggi. Tindak ilokusi (illocutionary act) adalah suatu tindak
tutur yang tidak hanya menghasilkan suatu tuturan dengan makna dan acuan tertentu, tetapi juga punya
maksud untuk menyatakan sesuatu, seperti pernyataan, perjanjian, permintaan, larangan, anjuran,
permohonan maaf , dan lain-lain. Biasanya, tuturan ini dilakukan dalam konteks tertentu. Misalnya, pada saat
seorang tamu duduk kepanasan, dan jendela ruang tamu tidak terbuka, maka akan berujar pada tuan
rumahnya: Apakah jendela ini bisa dibuka?. Ini bukanlah sebuah kalimat, melainkan sebuah tuturan
karena maksud penutur bukan ingin bertanya tentang kondisi jendela yang dapat dibuka atau tidak.
Tindak perlokusi (perlucutionary act) merupakan tuturan yang tidak hanya bermakna dan mereferen
sesuatu, atau bermaksud tertentu, tetapi tuturan ini bertujuan untuk memengaruhi lawan tuturnya. Oleh
karena itu, tuturan ini dimaksudkan untuk memberi efek tertentu pada lawan tuturnya. Misalnya, bagi
pengendara yang membaca tulisan: Awas tikungan maut, jangan ngebut akan menganggap bahwa tulisan
itu tidak sekadar sebagai informasi bahwa di sekitar tempat itu ada tikungan yang sering menimbulkan
kecelakaan yang berujung pada kematian, tetapi sekaligus memberi efek pada pengendara sehingga ia tidak
berani ngebut, kecuali ingin maut.
17
Apabila dicermati, sesungguhnya batas tuturan lokusi, ilokusi, dan perlokusi tidaklah jelas benar.
Kecuali, tuturan itu ditempatkan pada konteks yang tepat serta efek yang ditimbulkannya dapat diamati
secara kasat mata. Misalnya, seorang guru berujar di depan kelas “menyontek tidak dibenarkan oleh
semua agama”. Tuturan ini termasuk lokusi, kalau diujarakan pada saat menjelaskan ajaran agama karena
makna dan referen tuturan ini sangat jelas. Akan tetapi, jika tuturan ini diucapkan oleh guru pada saat sedang
ujian, maka tuturan ini dapat dianggap sebagai tindak ilokusi. Tuturan ini muncul pada saat ujian
berlangsung dan banyak siswa yang menyontek, sehingga tuturan ini dimaksudkan agar siswa tidak
menyontek karena tindakan itu melanggar ajaran agama. Jadi, tuturan di atas memiliki maksud. Di sisi lain,
tuturan di atas juga termasuk tindak perlokusi kalau tuturan di atas memiliki efek. Misalnya, setelah ujaran
itu selesai dituturkan, tidak ada lagi siswa yang menyontek. Dengan kata lain, tuturan itu berefek pada siswa
yang tadinya menyontek menjadi berhenti menyontek.
Untuk mengoptimalkan pemahaman peserta tutur (penutur dn petutur) tentang ketiga jenis tindak
tutur, dibutuhkan kerja sama yang baik di antara peserta tutur sehingga tujuan komunikasi tercapai. Kerja
sama itu tercapai apabila setiap peserta tutur sadar dan mengetahui peran yang dimainkannya. Ia akan
bertindak sebagai penutur atau petutur pada saat yang tepat. Dasar kerja sama adalah pengetahuan bersama,
sehingga penutur dan petutur dapat dengan cerdas memilah tuturan lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Berkaitan dengan teori tindak tutur, Searle (1976) mengulas lebih rinci tindak ilokusi menjadi lima
bagian seperti berikut ini.
1. Representatif, tindak tutur yang mengikat penuturnya terhadap kebenaran atas apa yang
diujarkannya, misalnya : menyatakan, melaporkan, dan menyebutkan.
2. Direktif, yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar petutur melakukan
tindakan sesuai maksud ujaran. Misalnya, memohon, menuntut, menyarankan, dan lain-lain.
3. Komisif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar petuturnya melaksanakan apa yang
diujarkan. Misalnya, bersumpah, berjanji, atau mengancam.
4. Ekpresif, yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud untuk mengekspresikan kondisi
psikologis penuturnya. Misalnya, minta maaf, berterima kasih, memberi salam, memberi selamat,
bersyukur, dan lain-lain.
18
5. Deklarasi, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan sesuatu hal.
Misalnya, menyatakan perang, membaptis, meresmikan sesuatu, memecat pegawai, dan lain-lain.
Hal yang terpenting dari tindak tutur ini adalah satu tindak tutur memiliki beberapa fungsi, atau satu
maksud dapat dinyatakan dalam beberapa tindak tutur.
Menyadari akan pentingnya tindak tutur ini, maka sudah sepantasnyalah guru-guru memanfaatkan tindak
tutur dalam proses belajar-mengajar, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Guru yang tidak
memahami hakikat tindak tutur akan berperilaku berbahasa yang mengarah pada kekerasan verbal.
Akibatnya, proses pembelajaran tidak akan efektif. Misalnya, hasil pembelajaran tidak maksimal, sejumlah
murid menentang guru, siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, respon siswa terhadap pembelajaran
rendah, atau ada siswa yang ogah, malas, dan bahkan takut pergi ke sekolah. Oleh karena itu, perilaku
berbahasa para guru semestinya dijaga dengan baik, bukan oleh guru bahasa Indonesia saja, melainkan oleh
semua guru.
4.3 Tindak Tutur Guru-guru SLTP di Kota Denpasar
Bahasa dalam kebudayaan suatu bangsa dapat diamati dalam tataran ide, perilaku, dan hasil perilaku
karena bahasa melingkupi tiga wujud kebudayaan. Dalam tataran ide, bahasa membingkai pola pikir, pola
pandang, cara pandang, pandangan dunia, dan ideologi penuturnya. Dalam tataran ini, bahasa berfungsi
sebagai pembentuk karakter dan jati diri penuturnya. Ungkapan, petitih, pepatah, peribahasa, semboyan, atau
motto adalah bukti nyata keberadaan bahasa.
Struktur sintaktik dan pola gramatika suatu bahasa juga dicurigai sebagai piranti pola pikir penutur suatu
bahasa. Anggapan ini tidaklah berlebihan karena dalam persinggungan kehidupan bahasa yang kompleks
unsur gramatika paling sulit dan bahkan mustahil berubah karena pengaruh bahasa lain.
Di dalam perilaku (kebudayaan sebagai tindakan), bahasa juga menampakkan diri. Budaya suatu bangsa
dapat dengan mudah dikenali melalui cara mereka berbahasa. Hal ini, terpampang dengan sangat jelas ketika
kita ingin mengetahui asal-usul etnik seseorang. Tanpa ragu-ragu akan kita katakan bahwa seseorang itu
adalah orang Jawa, orang Batak, orang Madura, atau orang Kupang melalui perilaku berbahasa mereka.
Dongeng, mitos, prasasti, lontar, dan bahkan karya sastra merupakan artefak bahasa. Dalam hal ini,
bahasa hadir dalam wujud kebudayaan sebagai hasil perilaku. Analisis bahasa yang terdapat dalam mitos,
19
dongeng, prasasti, lontar, dan karya sastra dapat dijadikan alat rekonstruksi budaya masa lalu penuturnya.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila para arkeolog mengggunakan artefak bahasa untuk
merekonstruksi budaya masa silam.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, perilaku berbahasa guru-guru ditelaah sebagai wujud budaya
sekolah yang berimplikasi terhadap proses pembelajaran. Teori tindak tutur yang dipaparkan di atas,
berkorelasi terhadap perilaku berbahasa guru-guru. Oleh karena teori tindak tutur itu ada tiga jenis, maka
semua perilaku berbahasa guru-guru akan ditelaah melalui tiga jenis tindak tutur ini.
4.3.1 Tindak Tutur Lokusi
Dalam kehidupan sosial di sekolah, perilaku berbahasa guru-guru tidak hanya bertujuan untuk
menyuruh, menganjurkan, memerintah, atau melarang siswanya, tetapi kadangkala tuturannya hanya
bertujuan untuk sekadar memberi informasi. Tuturan seperti ini tidak diukur efektivitasnya karena penutur
tidak menuntut petutur untuk bertindak, atau penutur tidak melihat dampak tuturannya. Contoh tuturan
seperti ini dapat dilihat di bawah ini.
(1) Sebagian besar hasil ujian tidak memuaskan.
(2) Maaf karena sesuatu dan lain hal, ujian hari ini dibatalkan.
Seperti dipaparkan di atas, tindak lokusi merupakan tindak tutur yang hanya sifatnya informatif. Dalam
hal ini, guru-guru berbahasa hanya untuk memberikan informasi dan tuturan yang disampaikan memiliki
acuan tertentu. Untuk membuktikan, perilaku berbahasa guru-guru itu dapat dicermati pada tuturan di bawah
ini.
4.3.2 Tindak Ilokusi
Tiga jenis tindak tutur yang diusulkan Austin, kemudian dibahas lebih rinci oleh Searle (1976). Searle
(1976) memerinci lebih jauh mengenai tindak ilokusi, seperti paparan di atas. Tidak semua tindak ilokusi
yang diusulkanya berdampak pada proses pembelajaran. Oleh karena itu, perilaku berbahasa yang dikaji
dalam penelitian ini hanyalah yang memiliki dampak terhadap siswa. Misalnya, tindak representatif seperti:
menyatakan sesuatu, melaporkan sesuatu, dan menyebutkan sesuatu tidak dikaji di sini karena tindak tutur
ini mirip tindak lokusi.
20
Tindak direktif yang mencakup: memohon, menuntut, dan menyarankan dikaji semua karena tindak tutur
ini paling banyak ditemukan. Tindak komisif seperti bersumpah, berjanji, dan mengancam, hanya
mengancam yang dikaji. Tindak ekspresif, seperti minta maaf, berterima kasih, memberi salam, memberi
selamat, dan bersyukur, tindak bersyukur tidak dibahas. Tindak deklarasi yang mencakup tindak:
menyatakan perang, membaptis, memecat, dan meresmikan tidak dikaji di sini karena tindak tutur ini tidak
relevan.
4.3.2.1 Tindak Direktif Menyarankan
Tindak ini dilakukan guru ketika menyarankan siswanya agar melakukan tindakan seperti yang
dikehendakinya. Misalnya, ketika ujian berlangsung bangku deret depan kosong dan siswa memilih duduk di
bangku belakang, guru akan menyarankan seperti tuturan berikut.
(3) Bangku di depan masih kosong, silakan yang di belakang maju.
Tuturan ini sebagian besar dipilih baik oleh guru, maupun siswa. Alasan yang didapat hampir sama
karena guru dan siswa memahami tuturan ini tidak bersifat suruhan langsung, seperti tuturan :”Yang di
belakang maju”, “ Saya minta yang di belakang maju”, atau “ Saya mohon dengan hormat Anda maju”.
Tuturan yang sifatnya langsung cenderung dinilai kurang santun, sedangkan tuturan yang tidak langsung
dianggap santun karena petutur memiliki waktu yang cukup untuk menimbang-nimbang tuturan dimaksud.
Hal ini, memang relevan dengan teori kesantunan berbahasa bahwa semakin langsung tuturan semakin tidak
santun tuturan dimaksud. Fakta di atas, membuktikan bahwa pada saat guru menyarankan sesuatu kepada
siswanya, guru cenderung berbahasa yang santun.
Tindak direktif menyarankan yang mengarah pada motivasi ditemukan ketika guru menyarankan siswa
agar belajar lebih giat. Tuturan yang dipilih adalah tuturan di bawah ini.
(4) Siswa yang aktif tentu akan mendapat penghargaan.
(5) Nilai siswa yang aktif pasti berbeda dengan yang pasif.
(6) Saya berjanji akan memberikan perhatian kepada siswa yang aktif .
(7) Saya sangat menghargai siswa yang aktif.
21
Tuturan (4), (5), (6), dan (7) adalah tuturan yang dipilih baik oleh guru, maupun oleh murid. Tuturan (4)
paling banyak dipilih, kemudian tuturan (5), (6), dan (7) dipilih lebih sedikit. Ini membuktikan bahwa guru
dan siswa cenderung memilih tuturan yang tidak langsung.
4.3.2.2 Tindak Direktif Minta Tolong
Pada saat guru minta tolong kepada siswa untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan kepentingan
dirinya sendiri, seperti mem-foto copy buku, atau mengambilkan sesuatu, tuturan yang dipilih seperti berikut
ini. Tuturan di bawah ini disusun berdasarkan pilihan guru dan disesuaikan dengan pilihan siswa. Dari atas
ke bawah memperlihatkan gradasi pilihan dimaksud.
(8) Apakah Anda bisa membantu saya untuk memfoto copy buku ini?
(9) Bolehkah saya minta bantuan adik untuk memfoto copy buku ini?
(10)Mohon difotocopy-kan buku ini!
(11)Tolong fotocopy-kan buku ini!
Apabila guru minta tolong demi kepentingan dirinya sendiri, guru cenderung berbahasa yang santun. Hal
ini, terbutki dari banyaknya guru atau siswa yang memilih tuturan (8) di atas. Akan tetapi, apabila guru
bertutur demi kepentingan siswa, maka cara berbahasanya cenderung memerintah. Perhatikan tuturan di
bawah ini, ketika guru memerintah siswa untuk membaca.
(12) Baca halaman 100!
(13) Tolong baca halam 100 !
(14) Saya mohon baca halaman 100!
(15) Silakan baca halaman 100!
(16) Apakah kalian bisa baca halaman 100?
Tuturan (12) merupakan tuturan yang paling kerap dipilih guru, semakin ke bawah semakin sedikit
digunakan. Guru lebih banyak menggunakan tuturan langsung dari pada tuturan tidak langsung. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa guru cenderung memilih bentuk yang kurang santun karena tuturan yang
langsung berindikasi tidak santun. Petutur, dalam hal ini siswa tidak memili pilihan selain menaati perintah
guru. Hierarki peserta tutur tidak simetris karena guru berada pada posisi superior, sedangkan siswa berada
pada posisi emperior. Prinsif kesantunan mengajarkan bahwa peserta tutur yang lebih atas berhak untuk
22
berbahasa yang tidak santun terhadap peserta tutur di bawahnya. Dalam hal ini, tampak jelas adanya
hubungan bahasa dan kekuasaan dalam perilaku berbahasa guru-guru (Bourdieu, 1984: 91). Guru adalah
pihak yang memiliki kuasa, sedangkan murid adalah pihak terkuasa.
4.3.2.3 Tindak Direktif Menuntut
Ketika guru menuntut siswa agar melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya, guru cenderung
berbahasa yang agak tegas, tetapi rasionalitas. Misalnya, ketika guru menuntut agar hasil ujian menjadi lebih
baik, maka tuturan yang disampaikan seperti di bawah ini. Tuturan diurutkan dari yang paling kerap
digunakan sampai yang jarang digunakan.
(17) Belajar dengan baik supaya nilai ujian bagus.
(18) Saya bahagia kalau hasil ujian nanti semua bagus.
(19) Semua siswa nilainya harus bagus.
Semua tuturan di atas, masih memperlihatkan kuasa penuturnya. Tampak guru sebagai entitas yang
memegang kuasa, sehingga tidak memberi peluang bagi petutur untuk menolak perintah guru.
4.3.2.4 Tindak Komisif Mengancam
Tuturan yang bernada mengancam dilakukan guru ketika mendapati siswanya yang bandel. Guru,
tampaknya tidak sabar dan cenderung berbahasa yang mengancam siswanya. Di bawah ini adalah urutan
tuturan yang digunakan guru yang dibenarkan siswa.
(20) Kalau Anda sayang kepada orang tua, sekolah, dan guru, semestinya Anda tidak berbuat itu lagi.
(21) Saya mohon perbuatan itu jangan diulang lagi.
(22) Apakah Anda berjanji tidak akan berbuat itu lagi?
(23) Jangan mengulangi perbuatan itu lagi!
(24) Tolong perbuatan itu jangan diulangi!
4.3.2.5 Tindak Komisif Mengecam
Tindak komisif mengecam dilakukan guru ketika melihat atau mendapati siswanya bodoh. Guru
cenderung melakukan kekerasan verbal jika berhadapan dengan siswa bodoh. Hal ini, terbukti dengan
banyaknya guru-guru yang menggunakan tuturan yang kasar, dan tuturan ini juga dibenarkan oleh siswa. Di
23
bawah ini, disajikan tuturan dimaksud. Dari nomor (25) dan seterusnya memperlihatkan gradasi tuturan yang
paling kasar sampai yang kurang kasar.
(25) Kalau berpikir pakai otak jangan pakai dengkul!
(26) Begitu saja tidak bisa, lebih baik ke Rahim ibumu!
(27) Apakah kamu punya otak?
(28)Tolong belajar lebih giat lagi, saya yakin kamu bisa.
4.3.2.6 Tindak Ekspresif Memberi Selamat
Seperti dijelaskan di atas, bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang menyatakan isi hati
penuturnya. Fakta memperlihatkan bahwa ketika guru melihat keberhasilan siswanya, guru biasanya tidak
menunjukkan isi hatinya dengan tuturan langsung. Guru memilih tuturan tidak langsung, sehingga tampak
menyembunyikan isi hatinya. Perhatikan tuturan di bawah ini. Tuturan paling di atas digunakan lebih banyak
daripada tuturan di bawahnya.
(29) Selamat ya, saya berharap sukses ini tidak membuat kamu lupa diri.
(30) Selamat atas prestasimu.
(31)Kamu memang sangat luar biasa.
(32) Kamu sangat hebat.
4.3.2.7 Tindak Ekspresif Minta Maaf
Tindak tutur ini dilakukan apabila penutur melakukan kesalahan terhadap mitra tuturnya. Perilaku
berbahasanya adalah ungkapan rasa bersalah. Berbuat salah dapat menimpa siapa saja, tidak terkecuali guru
terhadap muridnya. Persoalan yang muncul adalah apakah seseorang bersedia melakukan permohonan maaf
itu, atau kalau bersedia sejauh mana ketulusan permohonan maaf itu? Fakta membuktikan bahwa peristiwa
komunikasi guru dengan murid sifatnya asimetris. Dalam hal ini, guru masih memperlihatkan sikap
berbahasanya sebagai entitas yang superior, dan murid sebagai entitas yang emperior.
Implikasi hubungan antarpelibat yang asimetris, melahirkan tuturan yang hanya berfungsi sebagai
alat kerja sama, dan tidak mungkin menjadikan peserta tutur menjadi sesama. Guru sebagai pemegang kuasa
menuntut siswa berbahasa yang santun, sementara di sisi lain guru tidak harus berbahasa yang santun.
24
Tuturan di bawah ini sangat jelas menggambarkan bahwa, sekalipun guru harus minta maaf pada siswa, ia
tidak akan melakukannya dengan tulus. Perilaku berbahasanya hanya sekadar memenuhi tuntutan formalitas.
Bahkan, kata maaf tidak muncul dalam tuturannya. Tuturan di bawah ini diurutkan dari derajat yang paling
tinggi sampai yang rendah.
(33) Ujian hari ini dibatalkan.
(34) Maaf karena sesuatu dan lain hal, ujian hari ini dibatalkan.
(35) Dengan sangat menyesal, saya sampaikan bahwa ujian hari ini dibatalkan.
(36) Saya berharap kalian tidak berkeberatan karena hari ini tidak jadi ujian.
4.3.3 Tindak Perlokusi
Di atas telah disinggung bahwa hubungan komunikasi guru dengan siswa merupakan hubungan
komunikasi yang tidak simetris. Dengan demikian, komunikasi guru- murid sifatnya adalah top down.
Sebagian besar perilaku berbahasa guru-guru menuntut agar siswa melakukan apa yang disampaikan guru.
Tuturannya senantiasa mengharapkan perubahan sikap dan pandangan siswa. Dalam teori tindak tutur ini
termasuk tindak perlokusi.
Dalam pembahasan tindak ilokusi sudah dinyatakan bahwa baik tindak direktif, komisif, maupun
ekspresif semua berdampak pada perubahan pandangan dan sikap siswa. Oleh karena itu, kajian terhadap
tindak perlokusi sudah tercakup di dalamnya. Hanya satu situasi tutur yang benar-benar sifatnya perlokusif.
Di bawah ini adalah tuturan yang disampaikan guru, ketika mendapati nilai ujian siswa sebagian besar jelek.
Tuturan diurutkan sesuai dengan kekerapannya.
(37) Saya kecewa mengapa sebagian besar hasil ujian jelek?
(38) Sebagian besar hasil ujian tidak memuaskan.
(39) Beginilah hasilnya kalau pada saat guru menjelaskan kalian tidak serius. Nilai ujian jelek.
(40) Sebagian besar hasil ujian jelek.
25
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di depan, dapat disimpulkan bahwa perilaku berbahasa guru-guru
SLTP yang adpa di Kecamatan Denpasar Timur dan Kecamatan Denpasar Selatan adalah sebagai berikut.
Pertama, perilaku berbahasa guru dengan siswa adalah perilaku berbahasa yang asimetris, yaitu guru sebagai
pihak penguasa dan murid sebagai pihak terkuasa. Implikasinya adalah tuturan murid cenderung lebih santun
daripada tuturan guru.
Kedua, perilaku berbahasa guru-guru sebagian besar tidak mengarah pada kekerasan verbal,
meskipun tuturan guru belum tergolong sangat santun. Ini tampak pada beberapa tindak ilokusi yang sifatnya
umum. Akan tetapi, ketika guru menghadapi siswa yang nakal, bandel, atau bodoh guru cenderung tidak
sabar dan perilaku berbahasanya mengarah pada kekerasan verbal, misalnya mengecam dan
mengancam.
Ketiga, ada perbedaan pilihan guru dan pilihan siswa. Ini membuktikan bahwa guru-guru cenderung
menyembunyikan perilaku berbahasanya. Hal ini dapat dimaklumi karena kasus kekerasan anak yang marak
belakang ini, dan guru takut dianggap sebagai pelaku kekerasan.
5.2 Saran
Tujuan pembelajaran akan tercapai dengan baik, apabila komunikasi guru dan murid terlaksana
dengan baik. Komunikasi yang baik terjadi kalau hubungan antarpelibat bersifat simetris. Meskipun guru dan
murid memiliki posisi yang vertikal, ada baiknya guru menganggap murid sebagi mitra tuturnya. Dengan
demikian, dalam komunikasi akan terjadi perubahan peran, guru sebagai penutur, dan murid sebagai petutur.
Selanjutnya, guru sekali-kali menjadi petutur dan murid sebagi penutur. Hanya dengan menganggap sebagai
subjek, dan tidak semata-mata objek komunikasi guru-murid akan berjalan harmonis. Oleh karena itu, sangat
penting artinya semua guru memahami cara-cara berbahasa yang santun.
Guru juga disarankan agar jangan melakukan kekerasan verbal karena kekerasan verbal berdampak
sistemik dan berkelanjutan. Kekerasan verbal merupakan awal kekerasan fisik. Kekerasan verbal seperti
mengina, memfitnah, dan mencemarkan nama baik sekarang dapat dipidanakan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, Sutan Takdir. 1979.Arti Bahasa, Pikiran, dan Kebudayaan dalam Hubungan Sumpah
Pemuda 1928. Pidato Sambutan Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa pada Universitas
Indonesia. Jakarta; PT Dian Rakyat.
Anderson, Benedict R.O,’G 1990.Language and Power:Exploring Political Cultures in Indonesia. United
States of America: Cornel University Press.
Austin,JL. 1962. How to Do Things With Words. Cambridge,Mass Harvard University Press.
Branneau,Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Terjemahan H.Nuktah
Arfaweie Kurde. Yogyakarta; Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samanda.
Brown, Penelope dan S.C. Levinson .1978.” Universal in Language Usage: Politenes Phenomena” dalam
Esther N.Goody (Peny.) Question and Politenes. Cambridge; Cambridge University Press.
Casson, Ronald W.1981..Language, Culture, and Cognition: Anthrophological Perspective. New York:
Macmilan Publishing Co.Inc.
Carrol,John.B.(Ed.).1969.Language, Tought, and Reality: Selected Writings of Benyamin Lee Worf.
Cambridge: Massachusets; The MIT Press .
Faiclough, Norman.1989. Language and Power.London dan New York: Longman.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende, Flore: Nusa Indah.
Levison,S.C.191983. Pragmatic:Cambridge: Cambridge University Press.
Simpen, I Wayan. 2011.” Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam Masyarakat” Orasi ilmiah
Pengenalan Jabatan Guru Besar tetap di Universitas Udayana.
Simpen, I Wayan. 2008.Pelangi Bahasa Indonesia. Denpasar: Pustaka Larasan.
Sudaryanto. 1990. Mengenal Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
27
Catatan Kegiatan Penelitian “Perilaku Berbahasa Guru-Guru SLTP
di Kota Denpasar: Kajian Pragmatik”
No. Nama Kegiatan Pelaksana
Kegiatan Waktu dan Tempat
1 Penyusunan proposal Ketua tim Denpasar, Januari 2015
2 Perubahan proposal Seluruh tim Denpasar, awal Februari 2015
3 Finalisasi proposal Seluruh tim Denpasar, akhir Februari 2015
4 Pengajuan proposal Tim Bukit, awal Maret 2015
5 Keputusan proposal dikirim Tim Bukit, April 2015
6 Penyusunan kuesioner
penelitian Ketua tim Denpasar, Mei 2015
7 Perubahan kuesioner Sekretaris tim Denpasar, Akhir mei 2015
8 Finalisasi dan perbanyak
kuesioner Semua tim Denpasar, Juni 2015
9 Penyebaran kuesioner ke
sekolah Salah satu tim Denpasar, awal Juli 2015
10 Pengumpulan kuesioner Tim Denpasar, 15 Juli 2015
11 Tabulasi, analisis data dari
penyusunan draft penulis Tim Denpasar, Juli-Agustus 2015
12 Diskusi draft Tim Denpasar, September 2015
13 Finalisasi hasil Tim Denpasar, awal Oktober 2015
14 Perbanyak dari penjilidan Tim Denpasar, pertengahan Oktober 2015
15 Penyetoran laporan tim Denpasar, 30 Oktober 2015