BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat...

35
BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB Sebagai sebuah bagian dari bahasa-bahasa kuno dalam rumpun bahasa Semitik, bias jender dalam bahasa Arab sangatlah kental. Setiap kata dalam bahasa itu tidak bisa dilepaskan dari jenis kelamin yang menjadi bagian kategorisnya: mudzakkar (maskulin) atau muannats (feminin). Persoalan tentang konstruksi jender dalam bahasa ini mengemuka ketika bahasa Arab menjadi bahasa induk yang dipakai di hampir semua sumber-sumber klasik dalam kajian keislaman. Dalam hal ini sumber utama hukum Islam: al- Qur’an dan Hadits, menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa yang dipakai oleh Nabi Muhammad SAW guna menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Arab ketika itu. Argumen teologis yang menjawab persoalan mengapa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dapat dicerna melalui QS. Ibrahim 14:4, wa ma arsalna min rasulin illa bilisani qawmihi... “ “Dan sekali-sekali Kami tidak mengutus salah seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya....” Akan tetapi, watak utama peradaban Arab yang lekat dengan budaya

Transcript of BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat...

Page 1: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB

Sebagai sebuah bagian dari bahasa-bahasa kuno dalam rumpun

bahasa Semitik, bias jender dalam bahasa Arab sangatlah kental.

Setiap kata dalam bahasa itu tidak bisa dilepaskan dari jenis kelamin

yang menjadi bagian kategorisnya: mudzakkar (maskulin) atau

muannats (feminin). Persoalan tentang konstruksi jender dalam

bahasa ini mengemuka ketika bahasa Arab menjadi bahasa induk

yang dipakai di hampir semua sumber-sumber klasik dalam kajian

keislaman. Dalam hal ini sumber utama hukum Islam: al-Qur’an dan

Hadits, menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa yang dipakai

oleh Nabi Muhammad SAW guna menyampaikan dakwahnya kepada

masyarakat Arab ketika itu. Argumen teologis yang menjawab

persoalan mengapa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dapat

dicerna melalui QS. Ibrahim 14:4,

wa ma arsalna min rasulin illa bilisani qawmihi... “

“Dan sekali-sekali Kami tidak mengutus salah seorang rasul kecuali

dengan bahasa kaumnya....” Akan tetapi, watak utama peradaban

Arab yang lekat dengan budaya patriarakhis menjadikan beberapa

konsep yang diusung oleh para mujtahid dalam agama Islam melalui

penelaahan terhadap al-Qur’an dan Hadis yang menggunakan

bahasa Arab, serta kreatifitas ijtihadi mereka dalam menggunakan

sumber-sumber hukum Islam yang lain pada setiap masanya

sebagian besar tidak bisa dilepaskan dari bias jender yang timbul

Page 2: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

dari upaya penafsiran dan istinbat hukum yang berlatar belakang

budaya masyarakat Arab yang cenderung patriarkhis. Oleh karena

itu, persoalan bias jender bukan saja menyangkut aspek utama

secara lingusitik, di mana bahasa Arab sebagai bahasa induk kajian

Islam memang bertumpu pada pemilahan jender; tetapi juga terkait

dengan aspek penafsiran di mana konsep-konsep yang diturunkan

dari al-Qur’an dan Hadis turut pula diwarnai oleh latar belakang

budaya yang didominasi oleh peradaban partriarkhis yang bias

sebagai akibatnya.

Kenyataan ini membawa sebuah persoalan pelik dalam kajian Islam

ketika pada hakikatnya semangat dan keberadaan pesan yang

dibawa oleh Islam itu sendiri menjunjung tinggi asas kesetaraan

jender, di mana semua manusia secara ontologis setara

kedudukannya di sisi Allah SWT. Makalah ini akan membahas

persoalan-persoalan apa sajakah yang membawa dampak pada

terjadinya bias jender dalam bahasa Arab sebagai bahasa induk

kajian Islam. Dalam hal ini, uraian akan dibagi dalam tiga kategori

utama: bias jender dalam kosa kata (mufradat) bahasa Arab,

struktur bahasa yang didominasi bentuk jender maskulin, dan

kaidah-kaidah bahasa Arab yang ambigu yang berakibat timbulnya

ketidaksetaraan jender dalam aspek penafsiran. Sebelum memulai

ketiga pembahasan utama tersebut, akan diuraikan pula sekilas

tentang kedudukan penting bahasa Arab sebagai bahasa induk

dalam kajian keislaman.

Page 3: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

A. Pentingnya Kedudukan Bahasa Arab dalam Kajian Islam

Bahasa Arab memiliki kedudukan yang penting dalam kajian Islam,

ketika al-Qur’an sebagai kalamullah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW tertuang dalam bahasa Arab yang jelas (bilisani

arabiyyin mubin).1 Dalam perkembangan bahasa Arab, bahasa al-

Qur’an dapat digolongkan ke dalam apa yang dinamakan dengan

bahasa Arab klasik, yaitu bahasa al-Qur’an yang berkembang pula

menjadi bahasa susastra sejak abad ke-7 masehi. Berkat ketinggian

bahasa al-Qur’an pulalah maka kemudian para ahli bahasa

membuat standarisasi bahasa Arab secara akademik pada abad ke-3

H (9 M) dan 4 H (10 M). Dalam proses standarisasi inilah ditentukan

sistematika grammatikal, sintaksis, kosa kata, serta pemakaian

susastra melalui berbagai aktivitas penelitian yang mendalam.2 Dari

sini, kita mendapati sebuah kenyataan bahwa keberadaan teks al-

Qur’an ber[eran besar bagi terciptanya kaidah-kaidah gramatikal

bahasa Arab secara umum.

Bila kita telusuri sejarah perkembangan bahasa Arab dari asal

muasal sejarahnya, maka akan didapati sebuah kenyataan bahwa

bahasa Arab adalah bagian dari rumpun bahasa semitik. Dalam hal

ini, pada masa pra-klasik bahasa Arab tergabung dalam rumpun

cabang bahasa semit selatan (south semitic) atau semit barat daya

(south-west semitic) yang tediri dari dua kelompok besar: (1) Arab

selatan (meliputi bahasa suku Sabean kuno, Minean, Katabanian, 1 Lihat QS. 16:103; 26:195; dan 46:12. 2 Lihat C. Rabin, “Arabiyya” dalam Encyclopaedia of Islam. Leiden: Brill, 1999 (CD ROM Edition) i, 564a.

Page 4: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

dan Hadramitik di Yaman dan Hadramaut Selatan, serta bahasa

Mehri di Hadramaut Utara, dan bahasa penduduk pulau Sokotra); (2)

Bahasa Ethiopia (yang meliputi bahasa Ethiopia kuno atau Ge’ez,

Tigre, Tigrinya, Amharik, Hurari, dan Gurage. Dalam proses

pembentukannya, bahasa Arab juga dipengaruhi oleh bahasa-

bahasa Semit Barat Laut (bahasa Ibrani, bahasa Ugaritik dan bahasa

Aramaik).3 Oleh karena itu, secara keseluruhan bahasa Arab berdiri

diantara bahasa Semit Selatan dan Semit Barat Laut, serta menjalin

hubungan yang kuat dengan kedua cabang bahasa semitik tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika sebagian besar kelompok-

kelompok bahasa semitik dalam rumpun bahasa semit selatan tidak

ditemukan lagi penggunaannya kini kecuali bahasa Arab, maka

faktor utama yang membuat bahasa Arab tetap terjaga hingga kini

adalah karena bahasa Arab menjadi bahasa al-Qur’an, bahasa kitab

suci umat Islam dan bahasa resmi yang dipakai dalam beberapa

ritual ibadat umat Islam. Dalam ritual ibadat salat, misalnya,

pengucapan bacaan-bacaan salat dilakukan dalam bahasa Arabnya

yang asli, begitu juga dalam beberapa even dalam ritual ibadah Haji.

Selain itu, secara sosiologis, bahasa Arab kini menjadi bahasa ibu

yang dipakai oleh masyarakat di Asia Barat dan Afrika Utara.

Bahkan, bahasa Arab juga memiliki pengaruh besar terhadap

bahasa-bahasa lain seperti Persia, Turki, Urdu, Swahili, Melayu dan

Husa. Dengan kata lain, bahasa Arab sudah menjadi bahasa 3 Seperti akhiran –in yang menandai bentuk jamak maskulin ataupun bentuk pasif dan bentuk pengecilan (diminutive) melalui wazan fu’ayl yang kesemuanya tidak didapatkan dalam bahasa Arab selatan dan bahasa Ethiopia. (Lihat, C. Rabin, ibid., 564b.)

Page 5: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

kebudayaan Islam yang diajarkan pada ribuan sekolah di luar dunia

Arab, termasuk negeri kita Indonesia dan kantong-kantong umat

Islam lainnya di seluruh dunia.4 Sehingga, kenyataan bahwa bahasa

Arab merupakan bahasa al-Qur’an dan bahasa kebudayaan Islam

menjadikan bahasa ini semakin terasa penting keberadaannya

sebagai bahasa yang tidak saja harus dikenal oleh umat Islam guna

bisa membaca al-Qur’an, dan melaksanakan beberapa ritual ibadah

penting, tetapi juga menjadi elemen penting yang harus dipelajari

guna dapat memahami al-Qur’an dan sumberr-sumber ajaran Islam

lainnya dalam kerangka upaya pengkajian terhadap Islam secara

umum.

Al-Qur’an menjadi sumber pokok ajaran Islam, dan bahkan ayat-ayat

al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelasan bagi ayat-ayat dalam

bahagian lain al-Qur’an yang masih samar menempati hirarkhi

tertinggi dalam sumber-sumber penafsiran kitab suci ini. Bila tidak

ditemukan penjelasan tentang makna sebuah ayat dalam bahagian

lain ayat-ayat al-Qur’an, maka barulah penafsiran dilakukan melalui

penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW yang tertuang

dalam bentuk hadis. Begitu seterusnya sampai kemudian penafsiran

didasarkan pada ijtihad masing-masing mufassir, mulai dari

kalangan sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, dan sampai kepada para

ulama mujtahidin dan mufassirin periode mutakhir. Bila kita

kemudian menyebut hierarkhi tata urutan sumber penafsiran al-

4 Lihat Nasaruddin Umar, Teologi Jender Antara Miitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta: Pustaka Cicero, 2003, 113.

Page 6: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

Qur’an seperti itu dengan istilah hermeneutika al-Qur’an,5 maka

penguasaan yang paripurna terhadap bahasa Arab sebagai bahasa

al-Qur’an menempati urutan tertinggi dalam prasyarat penafsiran al-

Qur’an,6 di samping penguasaan terhadap disiplin cabang ilmu

keislaman yang lain seperti qira’at, teologi, usul fiqh, fiqh, asbab al-

nuzul, nasikh mansukh, serta penguasaan terhadap ilmu hadis

merupakan hal yang juga memegang peranan penting.

Dalam mencermati kesemua sumber-sumber dalam hirarkhi

penafsiran dan bahkan juga berlaku sebagai prosedur penetapan

istinbat hukum yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas ijtihad,

kedudukan dan fungsi bahasa Arab memegang peranan sangat

penting. Dalam hal ini, pemilahan jender yang diterapkan dalam

bahasa Arab kerap mengakibatkan terjadinya pemahaman yang

timpang bila ditinjau dari sisi keadilan jender antara status dan

peran sosial laki-laki dan perempuan dalam banyak aspek yang

diatur oleh Syariat Islam. Sebuah persoalan yang memerlukan upaya

penafsiran ulang, atau reinterpretasi, di mana pemahaman yang

semestinya tetap harus mengedepankan semangat kesetaraan

jender yang tidak membedakan status dan peran sosial berdasarkan

jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu, diperlukan sebuah uraian

yang mengupas aspek-aspek mana saja yang kerap dapat

5 Lihat Jane Dammen Mc Auliffe, Qur’anic Christians An Analysis of Classical and Modern Exegesis. Cambridge: Cambridge Univ Press, 1991, 17.6 Lihat al-Suyuti, al-Itqan, ii, 180-1. Dalam hal ini, dari 15 cabang ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir, penguasaan bahasa Arab mencakup sedikitnya 7 aspek bahasa: lughat, nahw, saraf, isytiqaq, ma’ani, badi’ dan bayan. Lihat juga, Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidaya fi al-tafsir al-mawdu’i, Kairo: Matba’ah al-hadarat al-arabiyya, 1977, 19-20.

Page 7: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

menimbulkan pemahaman yang bias jender dalam bahasa Arab.

Dalam hal ini, pemahaman terhadap bahasa Arab, baik tentang

makna kosa kata (mufradat), struktur, maupun kaidah yang berlaku

di dalamnya merupakan keniscayaaan untuk dapat memahami

kajian Islam dengan baik ketika umumnya generasi awal Islam

menuangkan gagasan-gagasan mereka dalam karya-karya yang

berbahasa Arab, dan hanya dalam waktu akhir-akhir ini saja karya-

karya itu giat diterjemahkan dalam berbagai bahasa lain di dunia

Islam.

B. Bias Jender dalam Kosa Kata (mufradat)

Melalui pendekatan semantik, pemahaman tentang makna kosa

kata dalam sebuah bahasa merupakan pondasi kuat yang akan bisa

mengantar seseorang pada pemahaman yang tepat, tidak saja agar

bisa sesuai dengan semangat yang dibawa oleh teks yang dihendak

difahami, tetapi juga agar seorang penafsir dapat tepat sasaran

dalam memilih makna yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh

penuturnya. Dalam hal ini, pemahaman yang baik terhadap makna

kosa kata bahasa Arab menjadi prasyarat utama yang harus

dilakukan dalam memahami teks kitab suci. Beberapa contoh

pemahaman terhadap teks kitab suci al-Qur’an yang terkesan

menimbulkan bias jender dapat disebutkan dalam memahami kosa

kata bahasa Arab seperti quru’, lamasa, dan kalala yang dipahami

secara berbeda oleh para ahli hukum Islam.7

7 Lihat Nasaruddin Umar, op.cit, 218-219.

Page 8: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

1. Quru’

Kata quru’ merupakan bentuk jamak dari kata benda qar’ yang

secara leksikal berarti “waktu” yang berlaku baik untuk masa haid

maupun masa suci.8 Oleh karena itu, kata ini dapat dikategorikan

sebagai kata yang musytarak, yaitu kosa kata yang maknanya tidak

tunggal, bahkan saling bertentangan satu sama lain.9 Terkait

dengan proses pengambilan ketetapan hukum tentang lamanya

periode menunggu (iddah) yang diberikan kepada kaum perempuan

yang dijatuhi talak oleh suaminya, seperti yang tertuang dalam QS.

2:228, Wal mutallaqatu yatarabbashna bi anfusihinna tsalatata

quru’, “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri selama

tiga kali quru’....” Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang

makna apa yang paling tepat diambil dari kosa kata quru’ ini,

periode haidkah atau masa suci? Sebagian ulama menetapkan

makna quru’ sebagai masa haid, seperti yang dipilih oleh Ibn

Qayyim sesuai dengan hadis yang memerintahkan kaum perempuan

untuk meninggalkan salat di masa haid mereka, “da’i al-salata

ayyama aqra’iki...” Kata aqra’ yang menjadi padanan jamak kata

quru’ dalam hadis ini mengindikasikan kepada masa haid.

Pengambilan makna yang sama juga berlaku bila kita

mempertimbangkan kelanjutan QS. 2:228 yang menegaskan

larangan bagi kaum wanita untuk menyembunyikan apa yang

8 Lihat pendapat Abu Ubayd dalam Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, i, 130.9 Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Semarang: Toha Putra, tt, II, 279.

Page 9: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

diciptakan oleh Allah di dalam rahim mereka, yang menurut

umumnya para ahli tafsir berarti haid dan kehamilan.10

Penafsiran berbeda dikemukakan para hali hukum Islam dari

kalangan madzhab Syafi‘i. Imam Syafi’i sendiri menegaskan bahwa

kata quru’ boleh dipakai baik untuk masa haid maupun masa suci.

Akan tetapi, menurutnya kata quru’ dalam QS. 2:228 hendaklah

dipahami sebagai masa suci. Pemilihan makna suci ini didasarkan

pada argumen bahwa ketika Ibn Umar mentalak isterinya yang

tengah haid, maka Umar kemudian meminta pendapat Nabi

mengenai apa yang harus dilakukannya. Nabi kemudian bersabda,

“Suruhlah dia (Ibn Umar) untuk merujuk isterinya, dan apabila tiba

waktu sucinya maka barulah ia jatuhkan talaknya; itulah iddah yang

diperintahkan Allah untuk mentalak kaum wanita.”11

Kedua penafsiran yang berbeda dalam menyikapi kosa kata dalam

bahasa Arab yang memiliki makna ganda (musytarak), bahkan yang

berlawanan antara satu makna dengan lainnya, pada gilirannya

mengakibatkan munculnya ketetapan hukum yang berbeda tentang

berapa lama seorang wanita mesti menunggu dan menahan diri dari

keinginan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain. Pilihan terhadap

kata quru’ yang berarti masa haid, seperti pendapat yang dipegangi

oleh Abu Hanifah memberi akibat pada lamanya waktu menunggu

yang diperlukan oleh kaum wanita dalam menjalani masa iddah

mereka bisa mencapai minimal sekitar 60 hari dengan perhitungan: 10 Menurut pada ulama, makhluk di dalam rahim adalah mamsa datang bulan yang nyata (haidh wujudi). 11 Lihat Lisan al-Arab, i, 131.

Page 10: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

masa haid pertama maksimal 10 hari, lalu suci 15 hari, haid lagi 10

hari, suci lagi 15 hari, dan terakhir haid lagi 10 hari. Hitungan yang

lebih pendek diberikan oleh pengikut (ashab ) madzhab Hanafi yang

lain bahwa masa iddahnya berlangsung minimal 39 hari dengan

menghitung masa haid minimal 3 hari. Oleh karena itu, dalam

rentang waktu tiga kali masa haid dihitung terdapat dua kali masa

suci masing-masing 15 hari, sehingga jumlah total lama iddah

minimal 39 hari (3+15+3+15+3=39).12 Rentang waktu masa

menunggu (iddah) minimal yang direkomendasikan oleh para ulama

Hanafiah tersebut masih terhitung lebih lama jika dibandingkan

dengan perhitungan rentang waktu iddah minimal yang dipahami

kelompok madzhab Syafi’i yang mengambil arti kata quru’ sebagai

masa suci. Menurut mereka, masa tunggu yang harus dijalani oleh

perempuan yang tertalak oleh suaminya berlangsung minimal 32

hari ditambah satu jam. Logikanya, jika seorang wanita tertalak

dalam keadaan suci dan satu jam kemudian dia mendapatkan masa

haid, maka masa satu jam tadi sudah bisa dianggap sebagai satu

kali suci, kemudian ia mesti menunggu masa haid pertama yang

minimal berlangsung 1 hari, kemudian masa suci 15 hari, haid lagi 1

hari, dan suci lagi 15 hari. Pada waktu ia menjalai masa haid yang

ketiga, maka berakhirlah masa menunggu yang dijalaninya.13

Walhasil, masa menunggu yang lebih pendek, sebagaimana

dipegangi oleh pendapat Imam Syafi‘i, dianggap lebih

12 Sayyid Sabiq, op.cit., 279-80. 13 Ibid., 279.

Page 11: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

memperhatikan hak-hak kaum perempuan yang sedikit banyak

mampu memupus bias jender yang terjadi di dalam bahasa Arab

yang terlalu banyak membela kepentingan kaum lakilaki akibat

budaya patriarkhis masyarakat Arabia.

2. Lamasa

Kata kerja lamasa juga merupakan lafazh yang musytarak dalam

penggunaan bahasa Arab, sehingga perbedaan makna yang diambil

terhadap makna kata itu berimplikasi pada perbedaan ketetapan

hukum yang lahir dari pemakaian kata itu dalam teks al-Qur’an.

Dalam QS. 5:6 yang menerangkan aturan berwudu’ dan hal-hal yang

membatalkan wudu terdapat kalimat yang berbunyi aw lamastumun

nisa’. Kalimat ini dipahami secara berbeda olah para ahli hukum

Islam sebagai akibat perbedaan mereka dalam mengambil makna

yang dikehendaki oleh ayat tersebut dari penggunaan kata lamasa

dalam kebiasaan masyarakat Arab yang mengindikasikan

pemakaian yang majemuk. Dalam hal ini, ungkapan dalam ayat

tersebut ditafsirkan secara tidak sama sebagai akibat perbedaan

makna yang bisa diambil dari kata tersebut. Sebagian mengatakan

bahwa kata lamasa diartikan sebagai aktivitas menyentuh yang

dilakuan dengan tangan, sehingga menyentuh kulit perempuan

bukan muhrim tanpa penghalang dianggap sebagai tindakan yang

membatalkan wudu’. Sementara itu, sebagian ulama yang lain

memandang kalimat tersebut sebagai sebuah ungkapan konotatif

yang sebenarnya menjurus pada aktivitas persetubuhan, sehingga

Page 12: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

persentuhan kulit semata-mata tidaklah berakibat pada batalnya

wudu’ seseorang. Pendapat pertama dipegangi umumnya oleh

kalangan madzhab Syafi‘i dan Maliki, meski ada perbedaan diantara

keduanya;14 sedangkan pandangan kedua dipegangi oleh kelompok

madzhab Hanafi. Dari dua pendapat ini, pendapat Abu Hanifa kali ini

nampak lebih moderat dibandingkan dengan pendapat dalam

madzhab lain seperti Syafi’i dan Maliki yang mengesankan adanya

sesuatu hal dalam tubuh perempuan yang begitu mudah bisa

membatalkan wudu bagi laki-laki yang menyentuhnya.15

3. Kalala

Kosa kata lain dalam bahasa Arab yang memiliki makna ganda,

sehingga menimbulkan perbedaan pandangan mengenai penetapan

hukum yang terkait dengan masalah itu dapat pula dicontohkan

dalam makna yang dikandung oleh lafazh kalala. Dalam ayat

pembagian waris QS. 4:12, “Jika seorang laki-laki atau perempuan

(meninggal dalam keadaan) tidak memiliki ayah ataupun anak, dan

ia memiliki seorang saudara laki-laki atau seorang saudara

perempuan, maka masing-masing keduanya memperoleh bagian

seperenam. Jika jumlah mereka ternyata lebih banyak dari itu, maka

14 Perbedaan antara kedua madzhab ini dipaparkan oleh Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid sebagai akibat hukum yang didasarkan pada asas pengambilan keputusan hukum yang berbeda. Kelompok madzhab Maliki memandang persoalan tersebut dari sudut pandangan yang umum dengan menghendaki sesuatu yang bersifat khusus (bab al-‘am urida bihi al-khash), oleh karena itu mereka mensyaratkan terjadinya batal wudu’ jika akibat persentuhan tersebut menimbulkan syahwat. Sementara kelompok Syafiiyah menganggapnya dari sudut pandangan umum dengan menghendaki keumumannya (bab al-‘am urida bihi al-‘am) sehingga tidak ada syarat apakah persentuhan tersebut menimbulkan syahwat atidak, tetap saja hal tersebut dianggap telah membatalkan wudu. Lihat Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid. Singapura: Sulaiman Mara’i, tt, i, 38. 15 Lihat Nasaruddin Umar, op.cit., 219.

Page 13: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

mereka bersekutu untuk (mendapatkan) bagian sepertiga....” Dalam

hal ini, makna kalala didefinisikan sebagai “seseorang yang tidak

memiliki anak maupun orang tua.”16 Perbedaan pendapat

menyeruak ketika timbul pertanyaan kepada siapa status kalala itu

dikenakan, apakah kepada si mayit yang tidak meninggalkan anak

dan orang tua, ataukah kepada kaum kerabat terdekatnya yang

ditinggalkan yang bukan merupakan ayah ataupun anak dari yang

meninggal? Kedua makna tersebut sama-sama diakui

keberadaannya oleh ahli bahasa Arab. Perbedaan pandangan

mengenai makna mana yang boleh diambil untuk lafazh kalala

menyebabkan lahirnya perbedaan dalam hal penetapan hukum,

apakah berlaku bagian yang sama-sama seperenam untuk saudara

baik laki-laki maupun perempuan, ataukah melalui cara pembagian

lain yang terkesan bias jender seperti yang ditunjukkan dalam hadis

Jabir bin Abdillah di mana kaum laki-laki memperoleh porsi dua kali

lebih besar dibandingkan dengan bahagian perempuan.17

Dari ketiga contoh kosa kata bahasa Arab yang memiliki makna

ganda (musyarak) sebagimana diuraikan di atas nampak bahwa

perbedaan makna menyebabkan terjadinya perbedaan keputusan

hukum yang berimplikasi pada munculnya bias jender, ketika

masing-masing pendapat yang dikemukakan memunculkan

perbedaan perlakuan yang didasarkan atas nama perbedaan jenis

kelamin. Dalam hal ini, dominasi budaya patriarkhis memojokkan

16 Lisan al-Arab, xi, 592.17 Lihat Nasaruddin Umar, op.cit. 219.

Page 14: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

kaum perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, atau

bahkan minimal tidak diperlakukan setara dengan kaum laki-laki.

Ketiga contoh di atas cukup memberikan gambaran betapa kaum

perempuan diharuskan untuk menjalani waktu iddah yang lama,

atau bahkan lebih lama lagi akibat perbedaan parameter quru’;

tubuh perempuan menjadi sebab yang membatalkan wudu bagi laki-

laki yang menyentuhnya, serta pembagian waris yang tidak

seimbang dengan bagian waris laki-laki. Kesemua perlakuan yang

tidak didasarkan pada asas kesetaraan jender tersebut berakar pada

perbedaan ketetapan hukum sebagai akibat dari perbedaan makna

yang dikandung dalam kosa kata (mufradat) bahasa Arab yang

memiliki makna ganda. Dalam hal ini, sebenarnya bukanlah teks al-

Qur’an yang mengandung bias jender, tetapi perbedaan istinbat

hukum yang didasarkan pada perbedaan makna dalam penggunaan

lafazh tertentu dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan

penuturnya menjadikan proses interpretasi yang dilakukan seorang

mujtahid kerap menghasilkan keputusan hukum yang jatuh

terjerembab dalam bias jender, di mana kepentingan kaum

perempuan dinomorduakan dibandingkan dengan kepentingan laki-

laki.

C. Struktur Bahasa Arab yang didominansi Bentuk Maskulin

Selain aspek kosa katanya yang memberikan makna yang bias

jender, bahasa Arab memiliki beberapa struktur yang bentuk

maskulinnya terkesan mendominasi, sehingga penyebutan sebuah

Page 15: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

bentuk maskulin mencakup pula di dalamnya masuknya jenis jender

feminin, dan bahkan beberapa bentuk maskulin terkesan begitu

dominan sehingga tidak memiliki bentuk feminin yang menjadi

padanan katanya. Dalam dua kasus ini, pokok persoalan yang

bermuara pada dominasi bentuk jender maskulin dalam struktur

bahasa Arab nampak sebagai akibat domain sosiologis yang bias

ketika peran sosial laki-laki lebih ditonjolkan dibandingkan dengan

peran perempuan, bahkan cenderung terdapat kesan bila kaum

perempuan berada di bawah sub-ordinas laki-laki.

1. Pemakaian Khitab Maskulin

Struktur bahasa Arab yang kerap menimbulkan bias jender berasal

dari kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan bagian dari rumpun

bahasa Semitik yang lebih dominan memakai bentuk maskulin

dibandingkan dengan bentuk feminin. Contoh yang paling gamblang

dalam hal ini adalah pemakaian khitab laki-laki yang dianggap pula

mencakup pula jender feminin di dalamnya, bila keduanya

berkumpul dalam sebuah tempat yang sama. Dengan kata lain,

selain berarti khusus laki-laki khitab maskulin juga bisa diartikan

sebagai khitab universal yang tidak saja mencakup jender laki-laki,

tetapi juga mencakup jender perempuan pada tempat yang sama.

Kondisi semacam ini dipandang memiliki kaitan dengan konsepsi

kosmologi bangsa Semit yang menganggap perempuan berasal dari

tulang rusuk laki-laki, sehingga jika laki-laki dan perempuan

Page 16: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

berkumpul di tempat yang sama, maka menyebutkan laki-laki

dirasakan sudah mencakup pula kaum perempuan di dalamnya.18

Beberapa sebutan yang menggunakan khitab laki-laki untuk maksud

universal di dalam teks al-Qur’an dapat disebutkan seperti

penyebutan khitab panggilan Ya ayyuha alladzina amanu (wahai

orang-orang yang beriman); ya ayyuha al-kafirun (wahai orang-

orang kafir), dan lain sebagainya, dengan jelas mengindikasikan

pemakaian bentuk maskulin untuk tujuan universal. Di samping itu,

untuk hampir semua khitab universal al-Qur’an juga menyebutnya

dengan bentuk maskulin, seperti aqimu al-salat, atimmu al-hajja,

dst.

Bentuk lain dominasi budaya patriakhis dalam struktur bahasa Arab

tercermin dalam urut-urutan penyebutan yang mendahulukan laki-

laki baru kemudian perempuan dalam urutan kata dalam sebuah

kalimat seperti QS. 4:1, ...wa batstsa minhuma rijalan katsiran wa

nisa’a..., QS. 4:7, lirrijali nasibun...wa lin nisa’i..., QS. 4:12, ...wa in

kana rajulun yuratsu kalalatan aw imra’atun..., QS. 5:38, Al-sariqu

was sariqatu faqta’u..., dsb. Tata urutan penyebutan semacam itu

yang mendahulukan sebutan bagi laki-laki dibandingkan perempuan

merupakan bentuk normal, karena ketika penyebutannya dibalik

seperti dalam kasus yang menyangkut hukuman pidana bagi pezina

dalam QS. 24:2, al-zaniyatu wa al-zani fajlidu..., maka hal ini

dianggap sebagai kasus khusus yang memerlukan penjelasan.

Sebagian mufassir menafsirkan didahulukannya penyebutan pelaku 18 Lihat Nasaruddin Umar, ibid., 227.

Page 17: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

zinah perempuan (zaniyah) dalam ayat ini sebagai sebuah

peringatan (warning) yang kuat atas dasar alasan bahwa karena

syahwat dalam diri kaum perempuan dianggap lebih besar,

sehingga perlu didahulukan penyebutannya.19

Walhasil, struktur bahasa Arab yang lebih banyak didominasi oleh

pemakaian khitab maskulin, penggunaan kata ganti (dhamir)

mudzakkar dalam lingkup yang juga mencakup perempuan di

dalamnya sebagai sebuah kesatuan, dan penyebutan urutan laki-laki

yang didahulukan dari perempuan merupakan beberapa contoh

yang mencerminkan adanya bias jender dalam bahasa Arab yang

terjadi akibat produk budaya masyarakat yang patriarkhis.

Kenyataan ini menjadi keniscayaan yang tidak mungkin hilang,

mengingat budaya patriarkhis dalam masyarakat Arab memang

telah menciptakan dominasi laki-laki dan memojokkan posisi kaum

perempuan dalam peran dan relasi sosial dan keagamaan mereka,

yang pada gilirannya juga menciptakan konsep-konsep agama yang

lebih dominan memberikan bentuk-bentuk dan hak-hak khusus bagi

kaum laki-laki dan cenderung menafikan peran kaum perempuan di

dalamnya, sebagaimana sudah diuraikan dalam pertemuan-

pertemuan terdahulu.

2. Beberapa Bentuk Khusus Maskulin

Beberapa ungkapan dalam bahasa Arab ada yang cenderung

memiliki struktur dalam bentuk laki-laki saja, dan tidak memiliki

19 Tafsir al-Baghawi, xii, 160.

Page 18: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

struktur dalam bentuk feminin. Dalam hal ini, kata imam dan

khalifah dengan jelas menunjukkan bahwa dua kata tersebut

merupakan bentuk kata benda maskulin yang tidak memiliki

bentuknya dalam jender feminin. Kenyataan yang sangat bias jender

dan cenderung patriarkhis ini pada gilirannya menyumbang amat

besar bagi lahirnya konsep-konsep keagamaan yang kemudian

hanya diperuntukkan sebagai hak bagi kaum laki-laki. Kata imam

yang tidak memiliki bentuk nomina feminin pada gilirannya selalu

ditonjolkan sebagai sesuatu yang berkonotasi laki-laki, seperti

predikat imam sebagai pemimpin dalam salat berjamaah, pemimpin

agama, atau bahkan pemuka masyarakat. Struktur bahasa Arab

yang didominasi bentuk maskulin kemudian memberi kesan lebih

jauh bahwa konsep imam melulu menjadi otoritas yang dimiliki

kaum laki-laki,20 dan sebaliknya meminggirkan atau bahkan

meniadakan peran perempuan di dalamnya.

Sementara itu, kata khalifah meskipun memiliki ciri feminin dengan

tambahan ta’ marbutah di akhir dianggap sebagai sebuah kata yang

digolongkan ke dalam bentuk mudzakkar dengan dua buah bentuk

jamak khulafa’ dan khala’if. Bentuk jamak yang pertama selalu

menampilkan bentuk mudzakar, sementara bentuk jamak yang

kedua bisa pula dianggap sebagai mu’annats. Di sini, berkait dengan

makna kata ini, bentuk yang selalu mudzakkar diberikan untuk kata

benda tunggal khalifah maupun bentuk jamaknya yang membawa

20 Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, xii, 22-27. Lihat pula Nasaruddin Umar, op.cit., 229.

Page 19: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

arti “pemimpin (imam) tertinggi yang tidak ada lagi imam di

atasnya”.21

Walhasil, kekhususan bentuk mudzakar dalam contoh dua kata

imam dan khalifah menjadi dasar bagi lahirnya konsepsi-konsepsi

sosial dan politik yang kemudian turut pula menyeret dominasi hak-

hak khusus dan peran yang diperuntukkan hanya untuk kaum laki-

laki. Dalam hal ini, struktur bahasa Arab yang cenderung didominasi

laki-laki menyumbang peranan yang sangat besar bagi bias jender

yang asalnya sangat bersifat liguistik ini, ketika kemudian dominasi

budaya patriarkhis yang mendasari penafsiran terhadap al-

Qur’an,misalnya, tidak jarang pula memberikan sokongan bagi

lahirnya legitimasi secara keagamaan. Stempel keagamaan untuk

konsep-konsep yang bias jender ini merupakan dampak langsung

dari aktivitas interpretasi dalam bentuk ijtihad yang dilandasi

pemakaian bahasa yang didominasi oleh budaya, pemikiran, dan

ideologi masyarakat Arab secara umum yang masih patriarkhis dan

meninggikan peran laki-laki.

D. Kaidah Bahasa yang Bersifat Ambigu

Bias jender dalam bahasa Arab juga dapat dilihat dalam penerapan

beberapa kaidah kebahasaan yang terkesan bersifat ambigu.

Kaidah-kaidah yang ambigu ini terdapat dalam beberapa macam

kasus seperti tentang fungsi dan makna huruf waw, apakah huruf

itu berfungsi sebagai huruf ‘athaf, ataukah sebagai hal, dan fungsi-21 Lihat L. Ma’louf, al-Munjid, Beirut: Dar el-Masyriq, 1986, 192. Dukungan terhadap dominasi mudzakkar bagi makna tersebut diberikan pula oleh Sibawaih dan Ibn Sayyidih. Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, ix, 84.

Page 20: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

fungsi gramatikal yang lain; begitu juga dengan kasus

ketidakjelasan mengenai ruang lingkup batas pengecualian

(istitsna); dan penetapan rujukan kata ganti (dhamir). Ketiga macam

kasus di atas merupakan persoalan konkrit yang ditemukan di dalam

teks al-Qur’an yang berbahasa Arab, ketika tidak ada kaidah yang

jelas mengatur bagaimana seharusnya fungsi dan makna elemen-

elemen kebahasaan tadi bisa diterapkan secara standar, dan

dengan begitu bisa diberikan makna secara lebih pasti menurut tata

kaidah bahasa Arab yang dianggap benar.

1. Fungsi dan Makna Huruf Waw

Huruf waw yang terletak di tengah-tengah kalimat dalam bahasa

Arab seringkali dipahami secara berbeda menyangkut status dan

fungsi gratikalnya. Perbedaan ini pada gilirannya menimbulkan

perbedaan makna yang dikandung oleh kalimat dimaksud. Berbeda

dengan waw yang terletak di muka kalimat yang sering dirujuk

dalam status qasam, di mana fungsi huruf ini menjadi kata pembuka

sumpah yang mengiringi penyebutan nama Tuhan atau tempat dan

objek yang dianggap sakral, huruf waw yang berada di tengah

kalimat lazimnya dirujuk sebagai huruf athaf (kata sambung atau

conjunction) dan hal (circumstantial expression).

Huruf waw yang berfungsi sebagai kata sambung yang dipahami

secara berbeda maknanya oleh para ulama dapat dilihat dalam

contoh QS. 4:3, wa in khiftum an la tuqsitu fi al-yatama, fankihu ma

thaba lakum min al-nisa’i matsna wa tsulatsa wa ruba’, fa in khiftum

Page 21: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

an la ta’dilu fa wahidah... ‘Dan jikalau kamu khawatir tidak akan bisa

berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka kawinilah wanita-

wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Jika

kemudian kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka seorang

saja...” Terjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur

ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna

wa tsulatsa wa ruba’ sebagai huruf athaf yang mewakili lambang

“koma” dalam aksara latin dan bermakna “atau”22 yang dalam

bahasa Arab menempati fungsi sebagai “pengganti” (badal).23 Oleh

karena itu, tidak dibolehkan bagi laki-laki muslim menikahi wanita

lebih dari empat orang. Bila kemudian Nabi SAW sendiri menikahi

sembilan isteri, maka hal itu merupakan pengecualian yang

diberikan oleh Allah kepada beliau.

Akan tetapi, ada pendapat di kalangan sekte Syi’ah dan sebagian

penganut aliran Zhahiri yang membolehkan seorang lelaki muslim

untuk menikahi wanita lebih dari empat orang. Untuk itu mereka

menafsirkan huruf athaf waw dalam fungsi makna penjumlahan (lil

jam’i), sehingga ungkapan matsna wa tsulatsa wa ruba’ dimaknai

sebagai 2+3+4=9. Jumlah ini, menurut kaum Syi’ah sesuai dengan

jumlah isteri yang boleh dimiliki oleh Nabi SAW. Bahkan, pendapat

yang lebih buruk lagi diungkapkan oleh sebagian kelompok Zhahiri

yang menafsirkan matsna sebagai dua-dua, dst. Sehingga, jumlah

22 Nasaruddin Umar, Teologi Jender, 227.23 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, II, 97.

Page 22: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

wanita yang boleh dinikahi adalah 18 orang dari hasil penjumlahan

2+2+3+3+4+4=18.24

Beberapa penafsiran yang berbeda menyangkut status, fungsi dan

makna waw sebagai huruf athaf dilatarbelakangi oleh perbedaan

masing-masing penafsir dalam memberikan makna bagi status dan

fungsi waw sendiri yang memang tidak saja bersifat multi-tafsir.

Dalam tradisi pemakaian bahasa Arab, waw yang berfungsi sebagai

athaf dengan makna penjumlahan memang lazim dipakai oleh

penutur bahasa Arab, sehingga untuk mengatakan jumlah total

sembilan, orang Arab biasa mengatakan: “dua, tiga, dan empat”.

Begitu juga dengan ungkapan matsna untuk menunjuk "kelompok

dua", seperti ungkapan “mereka datang berdua-dua” maksudnya

dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari dua orang dua orang.

Sementara itu, jumhur membatasi jumlah wanita yang dinikahi

sebatas empat sebagaimana mereka menggunakan pertimbangan

dalil lain yang berasal dari hadis yang menegaskan kembali batasan

itu.25 Walhasil, perbedaan cara istinbat hukum, utamanya ketika

menyertakan pengambilan argumentasi menurut pemakaian bahasa

Arab secara umum turut memberikan kontribusi dalam penafsiran

teks al-Qur’an menyangkut makna apa yang mesti dikenakan

terhadap huruf athaf yang ambigu maknanya dan disimbolkan

dengan huruf waw tersebut. Kesemua penafsiran tentang makna

waw sebagai huruf athaf di atas sangat jelas mencerminkan

24 Ibid.25 Ibid., 96-98.

Page 23: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

bagaimana bahasa Arab dipahami dan dibentuk dalam kultur yang

sangat bias jender. Akibat ketimpangan jender ini, nasib kaum

perempuan terkesan sangat dirugikan secara kultural.

2. Penetapan Batas Pengecualian (istisna)

Makna yang ambigu dalam kaidah bahasa Arab juga tercermin

dalam kaidah dalam menetapkan batas pengecualian (istisna)

apakah hanya kalimat yang berada dalam urutan terdekat saja,

ataukah bisa menjangkau sebagian atau keseluruhan kalimat yang

sudah disebutkan. Contoh yang cukup gamblang dapat dilihat dalam

contoh kasus QS. 24:4-5, walladzina yarmuna al-muhshanati

tsumma lam ya’tu bia rba’ati syuhada’a fajliduhum tsamanina

jaldah, wa la taqbalu lahum syahadatan abada, wa ula’ika hum al-

fasiqun (4). Illa alladzina tabu min ba’di dzalika...(5) “Dan orang-

orang yang menuduh (berzina terhadap) wanita-wanita yang baik,

kemudian tidak mendatangkan orang saksi, maka deralah mereka

(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian

terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah

orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang yang bertaubat

sesudah itu dan memperbaiki dirinya. Maka sesungguhnya Allah

maha Pengampun lagi Penyayang.” Terdapat perbedaan pandangan

terhadap aspek mana sajakah yang termasuk dalam pengecualian

yang disebutkan di dalam ayat kelima dari surat al-Nur ini. Ada tiga

hal yang menjadi elemen hukuman bagi mereka yang melakukan

tuduhan palsu terhadap perbuatan zina: (1) hukuman 80 cambuk,

Page 24: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

(2) ditolak kesaksiannya, (3) digolongkan ke dalam kelompok fasik.

Abu Hanifa mengatakan bahwa pengecualian hanya berlaku bagi

penggolongan terhadap kelompok fasik. Oleh karena itu, jika si

pelaku bertaubat maka dia dikeluarkan dari kategori fasik di

hadapan Allah. Sementara penolakan terhadap kesaksian dan

hukuman cambuk tetap berlaku. Akan tetapi, ulama lain secara

umum memandang bahwa selain dikeluarkan dari kategori fasik,

maka pelaku tuduhan palsu yang sudah bertaubat juga dikeluarkan

dari kelompok yang ditolak kesaksiannya. Dengan demikian, istisna

juga diberlakukan terhadap elemen yang kedua, sehingga

penolakan terhadap kesaksian digugurkan oleh taubat yang

dilakukannya. Meskipun demikian mereka tetap sepakat bahwa

taubat tidak bisa menggugurkan hukuman dera yang termaktub

dalam elemen pertama.26 Perbedaan penerapa hukuman akibat

perbedaan pandangan mengenai penetapan batas pengecualian ini

tentu saja menimbulkan dampak yang bias jender, karena

pandangan jumhur ulama yang membebaskan penolakan terhadap

kesaksian dengan taubat terkesan memberikan keringanan

hukuman kepada para pelaku tuduhan palsu yang umumnya

merupakan kaum laki-laki.27

3. Penetapan Rujukan Kata Ganti (dhamir)

Kaidah-kaidah dalam bahasa Arab yang mengesankan terjadinya

bias jender akibat ambiguitas yang ditunjuk dalam pemakaian 26 Lihat Tafsir al-Qurtubi, xii, 179. Lihat pula Ali al-Sabuni, Tafsir ayat ahkam, II, 76 dalam Nasaruddin Umar, Teologi Jender, 225. 27 Nasarudin Umar, ibid.

Page 25: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

istisna juga didapati dalam penetapan rujukan kata ganti (dhamir).

Dalam hal ini, di dalam al-Qur’an juga terdapat pemakaian kata

ganti yang tidak jelas ke mana rujukan yang sebenarnya. Salah satu

contoh yang kalau kita analisis lebih jauh akan menimbulkan bias

jender yang menjadi akar pemahaman yang juga bias jender dalam

teologi penciptaan manusia, sebagaimana tertuang dalam QS. 4:1,

Ya ayyuha al-nas (i)ttaqu rabbakum alladzi khalaqakum min nafsin

wahidah wa khalaqa minha zawjaha... “Hai manusia, bertakwalah

kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu

(nafs wahida), dan dari padanya (minha) Allah menciptakan

pasangannya (zawjaha)...” Terdapat dua buah kata ganti (dhamir)

ha’ yang diperselisihkan ke mana kembalinya. Umumnya mufassir

mengembalikan rujukan dhamir ha tersebut kepada kata nafsin

wahida yang dimaknai sebagai Adam, sehingga dhamir ha’ dalam

kata zawjaha dimaknai sebagai pasangan Adam, yaitu Hawa. Bias

jender yang cenderung berpangkal dari keyakinan Israiliyat bahwa

Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok yang

kemudian dikuatkan pula oleh sebuah hadis Nabi menjadikan

penafsiran ayat ini menjadi penguat bagi lahirnya kultur dan budaya

yang menempatkan kedudukan wanita secara ontologis sebagai

makhluk yang tersubordinasi oleh kedudukan dan kekuasaan laki-

laki.

Penafsiran yang berbeda terhadap ayat ini diungkapkan oleh Abduh.

Mengikuti pendapat Abu Muslim al-Isfahani, Abduh mengembalikan

Page 26: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

kata ganti dhamir ha hanya kepada kata nafsin yang bermakna diri

yang satu yang menjadi unsur pembentuk Adam. Sementara dhamir

kedua ha dimaknai sebagai pasangan genetik dari diri yang satu.28

Penetapan rujukan kata ganti dhamir ha dalam ayat di atas,

sebagaimana ditunjukkan dalam perbedaan penafsiran ayat

tersebut menunjukkan dengan jelas, bagaimana budaya patriarkhis

masyarakat Arab yang ditunjukkan dalam penggunaan bahasa Arab

memberikan kontribusi yang sangat besar bagi terjadinya

ketimpangan jender dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang

seyogianya paralel dengan semangat al-Qur’an yang menjunjung

tinggi kesamaan derajat semua manusia di hadapan Allah, tidak

peduli apa jenis kelamin dan peran sosialnya yang tercipta dari

perbedaan jenis kelamin itu.

Bias jender yang terjadi dalam memahami teks-teks al-Qur’an,

sebagaimana tercermin dalam pandangan-pandangan yang tertuang

dalam kitab-kitab tafsir yang mu’tabar secara umum berpangkal dari

penggunaan bahasa Arab yang bias jender. Kasus-kasus yang

memberi ruang bagi kemungkinan mufradat yang memiliki makna

ganda, struktur bahasa yang didominasi jender maskulin, ataupun

kaidah-kaidah yang terkadang bersifat ambigu akibat kurang

jelasnya batasan pengecualian maupun rujukan kata ganti dhamir

yang disebut menjadikan pemahaman terhadap teks-teks berbahasa

Arab kerapkali dibarengi dengan lahirnya penafsiran yang bias pula 28 Lihat Nasaruddin Umar, Teologi Jender, 219-224.

Page 27: BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB - Blog … · Web viewTerjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa

dan menempatkan laki-laki setingkat lebih tinggi dibandingkan

dengan perempuan. Penafsiran semacam ini tidak sejalan dengan

semangat persamaan jender yang diusung oleh al-Qur’an, sehingga

sudah selayaknya untuk mulai ditinjau kembali. Wallahu a’lam

Daftar Pustaka

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya.

Rabin, C. “Arabiyya” dalam Encyclopaedia of Islam. Leiden: Brill, 1999 (CD ROM Edition) i, 564a.Umar, Nasaruddin. Teologi Jender Antara Miitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta: Pustaka Cicero, 2003.Mc Auliffe, J.D. Qur’anic Christians An Analysis of Classical and Modern Exegesis. Cambridge: Cambridge Univ Press, 1991,Suyuti, al-Itqan, Beirut: Dar el Fikr, 1979, 2 vols. Farmawi, Abd al-Hayy. al-Bidaya fi al-tafsir al-mawdu’i, Kairo: Matba’ah al-hadarat al-arabiyya, 1977. Ma’louf, L. al-Munjid, Beirut: Dar el-Masyriq, 1986.Ibn Mandzur, Lisan al-Arab. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Semarang: Toha Putra, tt, II, 279. Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid. Singapura: Sulaiman Mara’i, tt, i, 38. Tafsir al-Baghawi.Tafsir al-Qurtubi. Sabuni, Ali al-. Tafsir ayat ahkam, 2 vols.