Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do...

19
Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do Importing? Divisi Penelitian KANOPI FEB UI Divisi Penelitian Badan Otonom Economica FEB UI Pendahuluan Kesejahteraan penduduk adalah cita-cita yang berusaha dicapai oleh semua bangsa dalam menyelenggarakan pembangunan. Hal tersebut sulit terpenuhi bila ada ketidakstabilan dalam berbagai aspek kenegaraan, termasuk ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan aspek penting yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka menjaga keseimbangan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Hal ini sejalan dengan isi dari International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1996. Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang pangan, konsep ketahanan pangan mengacu pada tiga aspek yaitu ketersediaan, konsumsi, dan keterjangkauan harga pangan. Aspek-aspek dalam konsep ketahanan pangan memunculkan berbagai permasalahan yang harus dihadapi Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan. Permasalahan pertama yaitu dari ketersediaan pangan. Berdasarkan data Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan, tingkat pertumbuhan rata-rata produksi pangan baik nabati maupun hewani mengalami penurunan yaitu dari 7.78% (2015-2016) menjadi 3.51% (2016- 2017). Penurunan tersebut ternyata juga diikuti dengan penurunan pertumbuhan ketersediaan pangan yaitu dari 4.15% (2015-2016) menjadi -1.83% (2016-2017). Berdasarkan data tersebut, Indonesia mengalami permasalahan yaitu tingkat pertumbuhan produksi pangan dan pertumbuhan ketersediaan pangan yang menurun dari tahun ke tahun. Bahkan, pertumbuhan pada tahun 2017 justru menyentuh angka negatif yang menunjukkan penurunan stok pangan. Fenomena ini terjadi karena masih banyak komoditas pangan yang bersifat musiman dan terpengaruh letak geografis sehingga berdampak negatif pada stok pangan.

Transcript of Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do...

Page 1: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do

Importing?

Divisi Penelitian KANOPI FEB UI

Divisi Penelitian Badan Otonom Economica FEB UI

Pendahuluan

Kesejahteraan penduduk adalah cita-cita yang berusaha dicapai oleh semua bangsa

dalam menyelenggarakan pembangunan. Hal tersebut sulit terpenuhi bila ada ketidakstabilan

dalam berbagai aspek kenegaraan, termasuk ketahanan pangan. Ketahanan pangan

merupakan aspek penting yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka menjaga

keseimbangan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Hal ini sejalan dengan isi dari

International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang dikeluarkan oleh PBB

pada tahun 1996. Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang pangan, konsep

ketahanan pangan mengacu pada tiga aspek yaitu ketersediaan, konsumsi, dan keterjangkauan

harga pangan.

Aspek-aspek dalam konsep ketahanan pangan memunculkan berbagai permasalahan

yang harus dihadapi Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan. Permasalahan pertama

yaitu dari ketersediaan pangan. Berdasarkan data Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Badan Ketahanan Pangan, tingkat pertumbuhan rata-rata produksi pangan baik nabati

maupun hewani mengalami penurunan yaitu dari 7.78% (2015-2016) menjadi 3.51% (2016-

2017). Penurunan tersebut ternyata juga diikuti dengan penurunan pertumbuhan ketersediaan

pangan yaitu dari 4.15% (2015-2016) menjadi -1.83% (2016-2017). Berdasarkan data

tersebut, Indonesia mengalami permasalahan yaitu tingkat pertumbuhan produksi pangan dan

pertumbuhan ketersediaan pangan yang menurun dari tahun ke tahun. Bahkan, pertumbuhan

pada tahun 2017 justru menyentuh angka negatif yang menunjukkan penurunan stok pangan.

Fenomena ini terjadi karena masih banyak komoditas pangan yang bersifat musiman dan

terpengaruh letak geografis sehingga berdampak negatif pada stok pangan.

Page 2: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Perkembangan Konsumsi Penduduk Terhadap Bahan Pangan Tahun 2013-2017

Sumber:Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan – BKP

Konsumsi pangan yang dilakukan masyarakat Indonesia juga mengalami peningkatan

dari tahun ke tahun. Hal ini dapat terlihat dari 14 jenis komoditas pangan utama yang

mengalami peningkatan konsumsi per kilogram per kapita per tahun. Hal ini tentunya

menjadi masalah karena terjadi peningkatan konsumsi disaat pertumbuhan produksi dan stok

nasional justru menurun.

Selain itu, pengendalian harga pangan turut menjadi salah satu permasalahan dalam

menjaga ketahanan pangan. Pertumbuhan stok pangan dari tahun ke tahun serta adanya

distribusi pangan yang belum optimal menjadikan harga pangan seringkali meningkat.

Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang dilakukan BPS, cabai menjadi komoditas

dengan nilai perolehan margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) terbesar dan lebih

tinggi 26.12% dibandingkan beras. Tingginya nilai margin tersebut menunjukkan bahwa

rantai distribusi yang panjang menyebabkan harga menjadi mahal di pasar. Tingkat inflasi

pada bahan-bahan pangan di Oktober 2018 (y-o-y) bahkan mencapai 1.69%, andil terbesar

(0.04%) dari tingkat inflasi umum di bulan Oktober 2018 (0.28%).

Page 3: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Peningkatan harga pangan akan berdampak pada kesejahteraan penduduk khususnya

golongan berpendapatan rendah. Terlihat dari tabel, golongan berpendapatan rendah memiliki

proporsi pengeluaran terhadap makanan yang lebih tinggi ketimbang golongan berpendapatan

tinggi. Bila proporsi pengeluaran terhadap makanan tersebut diakumulasikan maka komoditas

makanan masih menjadi kebutuhan paling penting dengan kontribusi sebesar 50.94%.

Impor pangan menjadi salah satu jalan yang seringkali diambil pemerintah untuk

mengatasi kebutuhan nasional yang besar. Selain itu, impor pangan juga dilakukan guna

menjaga stabilitas harga agar kelompok berpendapatan rendah dapat membeli bahan makanan

dengan harga terjangkau. Hal ini tercermin dari kenaikan nilai impor salah satu komoditas

pangan yang memiliki proporsi konsumsi terbesar di Indonesia yaitu beras. Berdasarkan data

Badan Pusat Statistik, impor beras Indonesia tahun 2018 mencapai 2.016.072.592 kilogram

(sekitar 2 juta ton) dengan nilai CIF (Cost, Insurance, and Flight)/biaya angkut pembelian

impor sebesar US$939.966.944. Nilai impor dan CIF tersebut mengalami pertumbuhan

dibandingkan tahun 2017 yang hanya sebesar 305.274.646 ton dan CIF sebesar

US$143.641.724. Besarnya nilai impor mendorong pemerintah untuk memikirkan kembali

kebijakan impor. Besarnya anggaran yang dikeluarkan guna mengimpor pangan bisa saja

digunakan untuk keperluan sektor lainnya.

Di sisi lain, penanganan stok nasional di Bulog juga mengalami gangguan di tahun

2018. Gangguan tersebut disebabkan oleh kegagalan produksi, biaya lahan yang mahal,

diikuti penurunan produktivitas lahan, dan semakin tingginya biaya tenaga kerja. Pada

triwulan IV 2018, Indonesia juga mengalami defisit sekitar 4,5-4,7 juta ton. Hal ini akhirnya

menyebabkan Bulog harus menurunkan stoknya maksimal hingga 1,5 juta ton dan stok untuk

masyarakat maksimal 3 juta ton. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya kepastian akan

ketersediaan pangan nasional bila pemerintah berhenti mengimpor.

Page 4: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Berbagai masalah yang terjadi sepanjang tahun 2018 menjadi dilema bagi pemerintah

tidak terkecuali antar lembaga pemerintah. Kementerian Perdagangan melihat bahwa

Indonesia perlu untuk mengimpor beras guna menjaga stabilitas harga pangan di pasar

domestik dan didukung oleh data yang dihimpun bahwa stok nasional belum tercukupi.

Sebaliknya, berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Pertanian, stok nasional justru

telah mencukupi bahkan surplus 2,85 juta ton sehingga kebijakan impor tidak diperlukan lagi.

Perbedaan data antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian menjadi

permasalahan tersendiri dalam memutuskan kebijakan yang tepat.

Berangkat dari permasalahan diatas, kami dari Divisi Penelitian Kanopi FEB UI dan

Badan Otonom Economica FEB UI melakukan Collaborative Research melalui pendekatan

analisis kuantitatif deskriptif dan metode Analytical Hierarchical Process (AHP) dengan

responden dari kalangan Dosen FEB UI, Asisten Dosen, dan Mahasiswa FEB UI dengan

berbagai jurusan. Penelitian kami bertujuan untuk melihat opini masyarakat (khususnya

Civitas Akademika FEB UI yang sering mendapatkan informasi ekonomi) terkait pro dan

kontra terhadap kebijakan impor pangan. Selain itu, penelitian ini menguji urgensi

pemerintah dalam mengimpor pangan dengan alternatif kebijakan lain. Kemudian, melalui

metode Analytical Hierarchical Process (AHP) tersebut, pemerintah juga dapat meninjau

prioritas keputusan apa yang harus dipilih untuk melakukan impor atau tidak impor dengan

memperhatikan aspek cost-benefit analysis.

Metode Penelitian

Metode Analytical Hierarchical Process (AHP)

Analytical Hierarchical Process (AHP) merupakan teknik pengambilan keputusan

dengan melakukan kuantifikasi prioritas relatif dari masing-masing kriteria. Dari masing-

masing kriteria akan dibandingkan seberapa penting salah satu kriteria terhadap pencapaian

tujuan (Saaty, 1986). Metode AHP digunakan dalam penelitian ini untuk memilih keputusan

mana yang memiliki lebih banyak manfaat dari dua keputusan yaitu antara impor dan tidak

impor. Terdapat empat manfaat dan empat biaya sebagai delapan kriteria utama yang

digunakan untuk menilai yaitu mengurangi biaya produksi, menyediakan produk berkualitas

tinggi, menjaga stabilitas harga pangan, diferensiasi produk, mempertahankan daya saing

produsen lokal, meningkatkan kemandirian pangan, memperbaiki neraca pembayaran, dan

mengurangi peluang kecurangan dari pihak tertentu. Tujuan dari AHP ialah memilih salah

satu dari dua keputusan dengan memperhitungkan keputusan mana yang menghasilkan paling

Page 5: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

banyak manfaat. Dari kriteria tersebut masing-masing dibagi menjadi 2 subcriteria yaitu

impor dan tidak impor.

Langkah-langkah metode AHP (Saaty, 1986) :

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, menetapkan kriteria

dalam membuat keputusan, dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan

kriteria yang paling bawah.

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif

atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang

setingkat diatasnya.

4. Melakukan perbandingan berdasarkan prioritas dari subjektivitas responden dengan

menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Lakukan hal

ini untuk setiap elemen. Kemudian tambahkan nilai yang telah diberi pembobotan

untuk masing-masing elemen dan dapatkan prioritas keseluruhan. Lanjutkan proses

pembobotan dan penambahan ini hingga prioritas akhir dari alternatif di tingkat paling

bawah diperoleh.

Hierarchical Structure dari Kriteria Keputusan untuk Impor atau Tidak Impor

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengisian kuesioner yang dilakukan dengan

metode:

a. Face-to-face structured interview (wawancara langsung terstruktur) yang dilakukan oleh

para enumerator. Kuesioner berisi beberapa kriteria yang merupakan manfaat dari

Page 6: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

pengambilan keputusan (impor atau tidak impor). Responden diminta untuk melakukan

perbandingan prioritas antara masing-masing kriteria dalam skala satu sampai sembilan.

Responden : Mahasiswa dan dosen

Pemilihan responden : Metode Purpose Sampling, yaitu penentuan sampel berdasarkan

pertimbangan subjektif peneliti yang berkaitan dengan tujuan penelitian (Soepeno, 1997)

b. Online Questionnaires (kuesioner secara online) yang ditujukan kepada mahasiswa

Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Kuesioner berisi beberapa pertanyaan mengenai pandangan

mahasiswa terhadap impor makanan. Responden juga diminta menjabarkan mengenai

manfaat dan biaya dari melakukan impor.

Hasil Penelitian Deskriptif

Dalam penelitian deskriptif ini, responden terdiri dari 50 orang mahasiswa Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) yang terdiri dari 26 laki-laki dan 24

perempuan, tersebar berbagai angkatan (16% angkatan 2015, 26% angkatan 2016, 28%

angkatan 2017 , dan 30% angkatan 2018), serta berbagai jurusan di FEB UI (20% Ilmu

ekonomi, 24% akuntansi, 24% manajemen, 16% ilmu ekonomi islam, dan 16% bisnis islam),

serta berbagai lapisan umur (4% 17 tahun, 30% 18 tahun, 16% 19 tahun, 24% 20 tahun, 20%

21 tahun, 4% 22 tahun, dan 1 % 24 tahun).

Polemik mengenai impor pangan sejak awal 2018 sudah menjadi isu yang banyak

menimbulkan pro dan kontra. Impor pangan dibutuhkan untuk stabilisasi harga di saat terjadi

kelangkaan domestik akan tetapi kesejahteraan petani dapat terganggu akibat adanya impor

pangan tersebut. 74% responden menyatakan bahwa mereka setuju pemerintah melakukan

impor pangan dan 26% yang lain tidak setuju pemerintah melakukan impor pangan. Terlepas

dari setuju atau tidaknya responden mengenai impor pangan, hanya 8% responden yang

menyatakan bahwa impor pangan saat ini sangat penting, sedangkan 52% responden

menyatakan bahwa impor pangan penting, dan 40% responden yang lain menyatakan impor

pangan tidak penting. Jadi, lebih dari 50% responden menganggap bahwa impor pangan

merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah.

Urgensi untuk melakukan impor pangan memang perlu didasari beberapa alasan.

Berdasarkan hasil penelitian, separuh dari total responden mendukung bahwa impor pangan

dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Alasan kedua yaitu 22% responden menyatakan

impor pangan ditujukan dapat menstabilkan harga pangan. Selain itu, sebanyak 14%

responden menyatakan bahwa kebijakan impor pangan dapat meningkatkan daya saing dalam

Page 7: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

negeri sehingga meningkatkan kualitas produk pangan di Indonesia. Kebijakan impor pangan

juga dapat menurunkan biaya produksi pangan dengan jumlah responden yang sama dengan

alasan sebelumnya.

Disisi lain, keputusan untuk mengimpor bahan pangan juga menimbulkan beberapa

opportunity cost. Dari hasil penelitian ini, sebanyak 42% dari total responden menyatakan

bahwa pengembangan produk lokal akan terhambat seiring dilakukannya impor pangan.

Kesejahteraan petani lokal juga dirugikan akibat impor pangan yaitu sebesar 38% responden.

Terakhir, sebanyak 20% responden mengatakan beban impor pangan berdampak pada

melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan teori makro

ekonomi yaitu impor yang meningkat akan mengurangi pendapatan nasional suatu negara.

Selain itu, responden dihadapkan dengan dua hal yang menimbulkan trade-off dan

diminta untuk memilih mana yang harus difokuskan terlebih dahulu antara berpartisipasi

dalam Global Value Chain (melalui penguatan sektor ekspor andalan) atau optimalisasi

impor-competing industry sector dalam memenuhi permintaan pasar domestik. Survei

menunjukkan bahwa 70% responden mendukung Indonesia untuk ikut-serta dalam Global

Value Chain dengan alasan pangsa pasar internasional memiliki potensi ekspor lebih tinggi

sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Indonesia juga dapat mengambil

keuntungan dari keikutsertaannya dalam Global Value Chain khususnya pada bidang pangan

yaitu transfer teknologi dalam pengolahan produk pangan atau penemuan bibit unggul yang

berkualitas. Sedangkan 30% responden sisanya memilih untuk meningkatkan daya saing

industri pangan khususnya industri yang sering melakukan impor (import-competing industry

sector). Hal tersebut dikarenakan produk pangan Indonesia masih kalah saing dengan negara

lain sehingga dapat dikatakan Indonesia masih belum mampu dalam memenuhi kebutuhan

pangan sendiri. Ditambah lagi pula, banyak masalah internal di bidang pangan yang kian

harus diperbaiki di Indonesia mulai dari sistem birokrasi dan pembuatan kebijakan yang pro

terhadap masyarakat yang sekaligus juga pro terhadap perusahaan pangan.

Setengah dari responden mengatakan bahwa penguatan produksi domestik penting

dan harus diprioritaskan. Setengah responden lagi berpendapat bahwa hal tersebut cukup

penting namun masih bisa ditunda untuk fokus kepada sektor ekonomi lainnya, seperti sektor

infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karena itu, tidak dapat dilakukan penarikan

kesimpulan yang jelas mengenai urgensi dari penguatan produksi domestik.

Kebijakan pada sektor pangan dinilai penting dan harus diprioritaskan karena bahan

pangan adalah kebutuhan pokok manusia sehingga menyangkut hidup orang banyak.

Ditambah lagi, kebijakan impor pangan yang berlebihan perlu dinormalisasikan agar

Page 8: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

meningkatkan kemandirian pangan Indonesia atau tidak dikuasai sektor asing. Penguatan

domestik di bidang pangan juga diperlukan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam

negeri sehingga dapat mengurangi ketergantungan untuk melakukan impor. Di sisi pendapat

lain, sektor non-pangan seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan juga harus

diperhatikan terlebih dahulu karena sektor ekonomi tersebut masih membutuhkan perhatian

yang besar khususnya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian,

peran pemerintah dalam memegang kestabilan antar sektor ekonomi cukuplah besar sehingga

kerja sama yang sinergis dan konstruktif antara masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah itu

sendiri mutlak diperlukan.

Hasil Penelitian AHP

Pada penelitian ini, kami mewawancarai 13 responden dari latar belakang yang

berbeda, yaitu mahasiswa, dosen, dan asisten dosen dari FEB UI. Sebanyak 7 responden

merupakan mahasiswa dari angkatan 2016 hingga 2018 dengan jurusan ilmu ekonomi dan

manajemen. Sedangkan, 4 responden berasal dari kalangan dosen yang mengampu mata

kuliah seperti ekonomi internasional, ekonomi kemiskinan, makro ekonomi 2, dan ekonomi

pembangunan.

Pro Tidak Impor Netral Pro Impor

Responden Keputusan Responden Keputusan Responden Keputusan

Impor Tidak

Impor

Impor Tidak

Impor

Impor Tidak

Impor

1 24.956% 75.04% 1 49.026

%

50.974% 1 60.142% 39.858%

2 10% 90% 2 49.87

%

50.13% 2 68.572% 31.428%

3 36.021% 63.979

%

3 47.279

%

52.721% 3 88.274% 11.726%

4 53.689

%

46.311% 4 81.35% 18.65%

5 76.22% 23.78%

6 63.327% 36.673%

Page 9: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Tabel 1. Klasifikasi responden pro tidak impor, netral, dan pro impor

Responden diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu responden dengan persentase

kecenderungan impor yang tinggi, netral, dan rendah. Sebanyak enam responden tergabung

dalam kelompok pro impor, dengan persentase kecenderungan impor 88,274; 81,35; 76,22;

68,572; 63,327, dan 60,142. Pada kelompok netral, sebanyak empat responden cenderung

hampir memiliki perbandingan keputusan impor dan tidak impor sebesar 1:1. Keputusan

impor pada responden kelompok netral memiliki persentase sebesar 52,721; 50,974; 50,13;

dan 46,311. Sedangkan, responden dari kelompok pro tidak impor memiliki kecenderungan

persentase tidak impor lebih besar dari 50 persen, yaitu 90; 75,04; dan 63,979.

Grafik 1. Rata-rata keputusan impor atau tidak impor

Dari grafik 1 diperoleh rata-rata keputusan untuk melakukan impor adalah 45,483 persen dan

tidak melakukan impor sebesar 54,517 persen. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa

rata-rata keputusan impor lebih besar dibandingkan keputusan tidak impor meskipun

perbedaan rata-rata tidak terlalu besar, yaitu sekitar 9,034 persen.

Selanjutnya, untuk mengetahui sensitivitas satu kriteria terhadap keseluruhan kriteria

lainnya, kami menggunakan satu sampel dari setiap kelompok dari keputusan pro impor dan

tidak impor. Analisis sensitivitas ini digunakan untuk mengetahui perubahan keputusan yang

terjadi jika terdapat perubahan proporsi sebuah kriteria dalam menentukan tujuan utama.

Misalnya, peneliti ingin menganalisis bagaimana keputusan impor atau tidak impor akan

berubah seiring dengan peningkatan bobot kepentingan untuk kriteria diferensiasi produk.

Dalam penelitian ini akan dibahas analisis sensitivitas dari empat prioritas teratas dari setiap

Page 10: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

sampel responden. Untuk merepresentasikan keputusan pro impor, digunakan sampel dengan

persentase keputusan impor 60,142 persen dan tidak impor 39,858 persen dengan

inconsistency sebesar 0,17479.

Grafik 2. Sensitivitas kriteria mempertahankan daya saing produsen lokal dari sampel

pro impor

Pada kriteria mempertahankan daya saing produsen lokal, prioritas untuk melakukan impor

semakin besar ketika kriteria ini dibandingkan dengan kriteria lainnya. Jika bobot

mempertahankan daya saing produsen lokal mencapai 50%, kecenderungan responden

melakukan impor sebesar 0,675 dan tidak impor sebesar 0,325. Grafik juga menunjukkan

bahwa semakin penting kriteria mempertahankan daya saing produsen lokal, produsen

cenderung memilih keputusan impor.

Page 11: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Grafik 3. Sensitivitas kriteria mengurangi biaya produksi dari sampel pro impor

Pada grafik tersebut ditunjukkan bahwa pada awalnya ketika kriteria mengurangi biaya

produksi dibandingkan dengan kriteria lain, responden cenderung memilih keputusan tidak

impor. Namun jika bobot mengurangi biaya produksi mencapai 20% dari seluruh kriteria,

terjadi perpotongan antara garis impor dan tidak impor. Jika bobot mengurangi biaya

produksi lebih dari 20% dari seluruh kriteria, responden cenderung memilih impor. Rata-rata

kecenderungan responden memilih impor sebesar 0.541 dan tidak impor sebesar 0,459. Oleh

karena itu, semakin penting kriteria mengurangi biaya produksi bagi responden, keputusan

yang dipilih cenderung melakukan impor.

Grafik 4. Sensitivitas kriteria menjaga stabilitas harga pangan dari sampel pro impor

Page 12: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Pada grafik tersebut terjadi perpotongan antara prioritas melakukan impor dan tidak impor.

Responden cenderung memprioritaskan tidak impor ketika kriteria menjaga stabilitas

dibandingkan dengan kriteria lain. Jika bobot menjaga stabilitas harga pangan mencapai 50%

dari seluruh kriteria, sensitivitas untuk melakukan impor sebesar 0,477 dan tidak impor

sebesar 0,523. Namun, jika bobot menjaga stabilitas harga pangan mencapai lebih dari 56%,

prioritas responden untuk melakukan impor meningkat melebihi prioritas tidak impor. Oleh

karenanya, semakin penting kriteria menjaga stabilitas harga pangan, responden akan

cenderung memilih impor.

Grafik 5. Sensitivitas kriteria menyediakan produk berkualitas tinggi dari sampel pro

impor

Pada awalnya ketika kriteria menyediakan produk berkualitas tinggi dibandingkan dengan

kriteria lain, responden lebih memprioritaskan tidak impor. Tetapi, setelah bobot

menyediakan produk berkualitas tinggi mencapai lebih dari 30%, terjadi perpotongan garis

sensitivitas sehingga responden lebih memprioritaskan impor. Jika bobot menyediakan

produk berkualitas tinggi mencapai 50%, responden cenderung memprioritaskan impor

dengan kecenderungan mencapai 0,535. Sedangkan, kecenderungan rata-rata untuk tidak

impor adalah 0,465. Jadi, semakin penting kriteria menyediakan produk berkualitas tinggi

bagi responden, keputusan yang diambil cenderung memilih impor.

Selanjutnya, sebagai representasi kelompok dengan keputusan tidak impor, digunakan

sampel yang memiliki kecenderungan tidak impor sebesar 90 persen dan kecenderungan

Page 13: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

impor sebesar 10 persen dengan inconsistency sebesar 0.35993. Selanjutnya, analisis

sensitivitas satu kriteria terhadap seluruh kriteria lainnya dijelaskan sebagai berikut.

Grafik 6. Sensitivitas kriteria memperbaiki neraca pembayaran dari sampel pro tidak

impor

Jika bobot memperbaiki neraca pembayaran mencapai 50%, responden memiliki

kecenderungan pada keputusan tidak impor sebesar 0,848 dan keputusan impor hanya sebesar

0,152. Sehingga, jika responden menganggap kriteria memperbaiki neraca pembayaran

semakin penting dibandingkan dengan kriteria lainnya, keputusan yang dipilih cenderung

tidak impor.

Page 14: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Grafik 7. Sensitivitas kriteria mengurangi biaya produksi dari sampel pro tidak impor

Selanjutnya, pada kriteria mengurangi biaya produksi, responden cenderung memilih tidak

impor dengan kecenderungan sebesar 0,875. Hal ini menunjukkan bahwa pada kriteria

mengurangi biaya produksi ketika dibandingkan dengan kriteria lainnya, keputusan yang

diambil responden adalah tidak impor di semua tingkat bobot atau kepentingan. Namun,

grafik menunjukkan bahwa semakin penting kriteria mengurangi biaya produksi maka

kecenderungan untuk tidak impor akan semakin menurun. Hal ini ditunjukkan dengan grafik

sensitivitas tidak impor yang menurun dan grafik sensitivitas impor yang semakin naik

seiring dengan peningkatan bobot mengurangi biaya produksi

Page 15: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Grafik 8. Sensitivitas kriteria mengurangi peluang kecurangan dari pihak tertentu dari

sampel pro tidak impor

Sama seperti kriteria sebelumnya, ketika kriteria mengurangi peluang kecurangan dari pihak

tertentu dibandingkan dengan kriteria lainnya, responden cenderung memilih keputusan tidak

impor di semua tingkat bobot atau kepentingan. Pada bobot rata-rata, kecenderungan untuk

tidak impor mencapai 0,731 dan keputusan impor hanya sebesar 0,269. Grafik juga

menunjukkan bahwa semakin penting kriteria mengurangi peluang kecurangan dari pihak

tertentu maka kecenderungan tidak impor akan menurun sedangkan kecenderungan impor

akan naik. Oleh karena itu, semakin penting kriteria mengurangi peluang kecurangan dari

pihak tertentu bagi responden, kecenderungan untuk tidak impor akan semakin menurun

walaupun akan tetap lebih besar dari kecenderungan impor.

Grafik 9. Sensitivitas kriteria meningkatkan kemandirian pangan dari sampel pro tidak

impor

Pada grafik tersebut ditunjukkan bahwa ketika kriteria meningkatkan kemandirian pangan

dibandingkan dengan kriteria lainnya, keputusan responden cenderung memilih tidak impor.

Pada tingkat bobot rata-rata, kecenderungan responden memilih tidak impor mencapai 0,802

dan impor hanya sebesar 0,198. Grafik menunjukkan bahwa semakin penting kriteria

meningkatkan kemandirian pangan bagi responden, keputusan yang diambil cenderung pada

tidak impor di semua tingkat bobot atau kepentingan. Namun, semakin penting kriteria

meningkatkan kemandirian pangan maka kecenderungan untuk tidak impor akan semakin

menurun walaupun masih lebih tinggi dari kecenderungan untuk impor.

Page 16: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Grafik 10. Prioritas pemilihan kriteria sampel responden pro impor

Grafik di atas menunjukkan prioritas kriteria sampel responden pro impor. Responden

cenderung memprioritaskan benefit dari impor yaitu menjaga stabilitas harga pangan sebesar

31%, mempertahankan daya saing produsen 18% (cost), menyediakan produk berkualitas

tinggi 17%, dan mengurangi biaya produksi sebesar 15%. Sedangkan, kriteria cost yaitu

untuk memperbaiki neraca pembayaran memiliki prioritas yang paling rendah yaitu 2%.

Page 17: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

Grafik 11. Prioritas pemilihan kriteria sampel responden pro impor

Sedangkan, responden yang memilih tidak impor cenderung memprioritaskan cost dari

impor, yaitu adanya peluang kecurangan dari pihak tertentu sebesar 42%, meningkatkan

kemandirian pangan sebesar 24%, memperbaiki neraca pembayaran 13%, mengurangi biaya

produksi 6% (benefit), dan mempertahankan daya saing produsen lokal 6%. Kriteria benefit

berupa diferensiasi produk memiliki persentase yang paling rendah yaitu sebesar 2%.

Kesimpulan

Hasil penelitian yang kami lakukan terhadap mahasiswa dan dosen FEB UI

menunjukkan bahwa impor pangan perlu dilakukan pemerintah. Hasil penelitian melalui

metode AHP ditemukan bahwa 9 dari 13 responden memprioritaskan keputusan impor

pangan. Hal ini ditunjukkan pada persentase kecenderungan impor mereka lebih dari 50

persen. Analisis sensitivitas pada responden pro impor menunjukkan bahwa semakin penting

kriteria bagi responden, keputusan yang diambil cenderung pada impor. Responden yang

memilih keputusan impor juga cenderung memprioritaskan kriteria berupa benefit dari impor,

seperti menjaga stabilitas harga pangan. Penemuan ini juga didukung oleh hasil penelitian

Page 18: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

deskriptif yang kami lakukan, yaitu 74 responden menyatakan bahwa mereka setuju

pemerintah melakukan impor pangan. Terlepas dari mereka setuju atau tidak akan impor, 52

persen responden mengungkapkan bahwa impor penting. Hasil penelitian juga menunjukkan

bahwa alasan impor pangan penting dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan pangan

dalam negeri dan menstabilkan harga pangan itu sendiri. Dengan demikian, dari kedua

metode penelitian diperoleh hasil yang sama bahwa responden setuju akan kebijakan

pemerintah untuk melakukan impor pangan.

Melihat berbagai masalah dari ketiga aspek penyusun konsep ketahanan pangan, dapat

terlihat jelas adanya masalah besar yang akan dihadapi Indonesia di masa depan. Pemerintah

perlu untuk melakukan langkah tepat guna menjamin ketahanan pangan. Impor menjadi salah

satu solusi yang ditawarkan atas masalah tersebut. Selain itu, impor diharapkan dapat

menekan biaya produksi dan memicu terjadinya alih teknologi guna meningkatkan produksi

pangan domestik. Namun, impor juga dapat membawa efek negatif berupa hancurnya pasar

pangan domestik oleh harga pangan impor yang terlalu murah dan memunculkan kesan

rendahnya tingkat independensi bangsa.

Jika pemerintah Indonesia memilih untuk melakukan kebijakan impor, pemerintah

seyogyanya memfokuskan diri sebagai regulator guna memastikan keadilan dan transparansi

dalam proses impor tersebut. Bulog tidak dapat menentukan waktu impor berdasarkan

kebutuhan dan kondisi pasar dikarenakan badan tersebut harus mempertimbangkan proses

birokrasi dan pertimbangan politis pemerintah. Akibatnya, Bulog menghabiskan lebih banyak

dana untuk impor beras daripada yang seharusnya, sehingga memboroskan anggaran hingga

Rp 303 milyar (22,78 juta dolar Amerika Serikat [AS]) antara tahun 2010 hingga 2017. Oleh

karena itu, importasi dan distribusi beras sebaiknya dibuka sebagai peluang usaha bagi

perusahaan-perusahaan swasta yang memenuhi syarat. Hal ini penting mengingat rantai

distribusi beras impor lebih pendek dibandingkan beras lokal, sehingga beras impor dapat

dengan cepat memenuhi kebutuhan para konsumen.

Sedangkan apabila pemerintah memilih penguatan domestik melalui kebijakan non-

impor, pemerintah perlu memastikan lagi kesiapan dan kecukupan produksi dalam negeri

untuk menjamin ketahanan pangan. Produktivitas padi di Indonesia yang masih rendah

menyediakan ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan lagi produksi padi di Indonesia.

Peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan mengadopsi teknologi baru dan atau

meningkatkan tingkat efisiensi dari produksi dari padi. Apabila produksi dengan teknologi

yang sudah ada masih inefisiensi, meningkatkan efisiensi menjadi tujuan kebijakan tepat

setidaknya dalam jangka pendek (Mariyono, 2014). Berdasarkan penelitian Joko Mariyono

Page 19: Benefit and Cost Analysis of Food Importing: Should We Do ...kanopi-febui.org/wp-content/uploads/2018/12/COLLABORATIVE-RESEARCH... · Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang

(2014), peningkatan efisiensi dapat dicapai melalui pelatihan pertanian sehingga petani akan

mampu berproduksi secara efisien. Kesiapan dan kecukupan produksi dalam negeri juga

harus dipastikan melalui data akurat mengenai ketersediaan dan produksi beras di Indonesia.

Hal ini ditujukan untuk memudahkan pemerintah dalam mengontrol produksi beras yang

harus dicapai untuk memenuhi kebutuhan domestik dan menjaga pergerakan harga pangan.

REFERENSI

Badan Pusat Statistik. (2018). Analisis Isu Terkini 2018. No. Publikasi: 07310.1805 Katalog:

9101009 ISBN: 978-602-438-241-4.

Badan Pusat Statistik. (2018). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi November 2018.

Nomor Katalog : 9199017, Nomor Publikasi : 03220.1817, ISSN / ISBN : 2087-930X

Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Indonesia 2018. Nomor Katalog : 1101001

Nomor Publikasi : 03220.181

Kementerian Pertanian. (2017). Statistik Ketahanan Pangan 2017. Diakses pada

http://bkp.pertanian.go.id/storage/app/media/Evalap/Statistik%20BKP%202017.pdf, 1

Desember 2018

Mariyono, Joko. (2014). The economic performance of indonesian rice-based agribusiness.

Bisnis & Birokrasi Journal, 21(1), 35-43.

Mariyono, Joko. (2014). Rice production in Indonesia: policy and performance. Asia Pacific

Journal of Public Administration, 36:2, 123-134, DOI: 10.1080/23276665.2014.911489

Saaty, T. L. (2008). Decision making with the analytic hierarchy process. International

journal of services sciences, 1(1), 83-98.

Soepeno, B. (1997). Statistik Terapan dalam Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Pendidikan.

Jakarta: Rineka.

Respatiadi, Hizkia dan Hana Nabila. (2017). Reformasi Kebijakan Beras: Menghapuskan

Pembatasan Perdagangan Beras di Indonesia. Center for Indonesian Policy Studies

(CIPS).

https://docs.wixstatic.com/ugd/c95e5d_cc33bc7c078249fbbd51e466ba11fe45.pdf,

Diakses pada 1 Desember 2018.