Bank Indonesia Kajian Keuangan

105

Click here to load reader

description

enjoy reading

Transcript of Bank Indonesia Kajian Keuangan

Page 1: Bank Indonesia Kajian Keuangan
Page 2: Bank Indonesia Kajian Keuangan

Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan

tugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi ≈mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah

melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan

pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan∆.

Penerbit:

Bank Indonesia

Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta

Indonesia

Informasi dan Order :

KSK ini terbit pada bulan Maret 2008 dan didasarkan pada data dan informasi per Desember 2007, kecuali dinyatakan lain.

Dokumen KSK lengkap dalam format pdf tersedia pada web site Bank Indonesia : http://www.bi.go.id

Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada :

Bank Indonesia

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan

Biro Stabilitas Sistem Keuangan

Jl.MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia

Telepon : (+62-21) 381 8902, 381 8075

Fax : (+62-21) 351 8629

Email : [email protected]

KSK diterbitkan secara semesteran dengan tujuan untuk :

Meningkatkan wawasan publik dalam memahami stabilitas sistem keuangan

Mengkaji risiko-risiko potensial terhadap stabilitas sistem keuangan

Menganalisa perkembangan dan permasalahan dalam sistem keuangan

Merekomendasi kebijakan untuk mendorong dan memelihara sistem keuangan yang stabil.

Page 3: Bank Indonesia Kajian Keuangan

Kajian Stabilitas KeuanganI - 2007( No. 10, Maret 2008 )

Page 4: Bank Indonesia Kajian Keuangan

ii

Page 5: Bank Indonesia Kajian Keuangan

iii

Kata Pengantar vi

Gambaran Umum 3

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil 9

Kondisi Makroekonomi 9

Kondisi Sektor Riil 14

Boks 1.1. Macroeconomic Stress Test 19

Boks 1.2. Potensi Tekanan dari Utang Luar Negeri 20

Bab 2 Sektor Keuangan 25

Struktur Sistem Keuangan Indonesia 25

Perbankan 26

Pendanaan dan Risiko Likuiditas 26

Perkembangan dan Risiko Kredit 27

Risiko Pasar 35

Profitabilitas dan Permodalan 37

Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal 40

Perusahaan Pembiayaan 40

Pasar Modal 42

Boks 2.1. Perkembangan Industri Asuransi dan

Potensi Risiko bagi Sistem Keuangan 47

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia 53

Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko 53

Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 54

Daftar Isi

Prospek Sistem Keuangan Indonesia 55

Potensi Kerawanan 56

Boks 3.1. Dampak Kenaikan Harga Minyak terhadap

Stabilitas Sistem Keuangan 58

Boks 3.2. Bencana Alam, Lingkungan Hidup dan

Stabilitas Sistem Keuangan 59

Bab 4 Infrastruktur Keuangan 63

Sistem Pembayaran 63

Perkembangan Sistem Pembayaran 63

Kebijakan dan Mitigasi Risiko dalam Sistem

Pembayaran 64

Biro Informasi Kredit 65

Mitigasi Risiko Sistem Keuangan 67

Forum Stabilitas Sistem Keuangan 67

Crisis Management Protocol 68

Artikel

Artikel 1 Survey Industri Properti:

Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan

Membayar 71

Artikel 2 Survey Neraca Rumah Tangga:

Indikator Penting Dalam Surveillance

Stabilitas Sistem Keuangan 79

Glosari 93

Page 6: Bank Indonesia Kajian Keuangan

iv

Daftar Tabel dan Grafik

Tabel

1.1 Indikator Ekonomi Dunia 10

1.2 Pangsa Ekspor Non-Migas Indonesia Per Negara 11

1.3 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 14

1.4 Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Rupiah

Terhadap Ekuitas Konglomerasi 16

1.5 Peringkat Daya Saing √ World Economic Forum 17

2.1 Perkembangan Indeks Harga Beberapa Bursa

Regional 42

2.2 Perkembangan Indeks Harga Sektoral 43

3.1 Konsensus Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi 53

3.2 Persepsi Risiko Indonesia 54

4.1 Perkembangan Nilai dan Volume Setelmen dalam

Sistem BI-RTGS 64

4.2 Transaksi APMK 64

4.3 Perbandingan Ketentuan SID 66

Tabel Boks :

2.1.1 Perkembangan Jumlah Usaha Asuransi

2003-2006 47

3.1.1 Proyeksi NPL Gross Tahun 2008 dengan Berbagai

Skenario Harga Minyak 58

1.1 Indeks Harga Saham Global 9

1.2 Ekspor Non-Migas Indonesia 10

1.3 Nilai Impor Non-Migas Indonesia 10

1.4 Indeks Harga Beberapa Komoditas 11

1.5 Suku Bunga Internasional 11

1.6 Tingkat Bunga Riil Indonesia dan AS 11

1.7 Outlook Sovereign Rating Indonesia Standard &

Poor»s 11

1.8 Outlook Sovereign Rating Indonesia Moody»s 12

1.9 Outlook Sovereign Rating Indonesia Fitch 12

1.10 Komposisi Aliran Modal Masuk 12

1.11 Komposisi Aliran Modal Portfolio Asing 12

1.12 Portfolio Investment Ratio 12

1.13 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 13

1.14 Nilai Tukar Mata Uang Dunia 13

1.15 Inflasi Indonesia dan BI-Rate 13

1.16 Perkembangan Suku Bunga Indonesia 14

1.17 Selisih antara Suku Bunga Kredit dengan

Suku Bunga Deposito 14

1.18 Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen 15

1.19 Kredit Konsumsi 15

1.20 Pertumbuhan ROA dan ROE 15

1.21 Perkembangan Debt to Equity Ratio 15

1.22 Probability of Default Perusahaan Non-Financial

Go Public (Desember 2007) 16

1.23 Probability of Default Perusahaan Non-Financial

Go Public (Juni 2008) 16

1.24 Probability of Default Perusahaan Non-Financial

Go Public (Juni dan Desember 2007) 16

1.25 Kewajiban Neto Valas terhadap Equity 17

1.26 Pertumbuhan PDB Sektoral 17

1.27 Pembiayaan Korporasi Tbk dan Ekspansinya

(Pertumbuhan Aset) 18

1.28 Tingkat Pengangguran di Indonesia 18

1.29 Perkembangan DER dan TL/TA 18

2.1 Aset Lembaga Keuangan 25

2.2 Pertumbuhan DPK per Valuta (mtm) 26

2.3 Pertumbuhan DPK per Komponen (mtm) 26

2.4 Rasio Alat Likuid Perbankan 27

Grafik

Page 7: Bank Indonesia Kajian Keuangan

v

2.5 Suku Bunga Rata-rata PUAB O / N 27

2.6 Pertumbuhan Kredit 28

2.7 Komposisi Aktiva Produktif 28

2.8 Perkembangan Kredit valas 28

2.9 Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan 29

2.10 Perkembangan Kredit Sektor Ekonomi 29

2.11 Perkembangan UL 30

2.12 Non Performing Loan 30

2.13 Nominal NPL 30

2.14 Perkembangan Nominal NPL 31

2.15 Perkembangan NPL Gross Kelompok Bank 31

2.16 Perkembangan Nominal NPL Sektor Ekonomi 31

2.17 Pangsa NPL Menurut Sektor Ekonomi 31

2.18 Perkembangan NPL Kredit Jenis Penggunaan 32

2.19 Pangsa NPL Menurut Jenis Penggunaan Kredit 32

2.20 Perkembangan NPL Gross 32

2.21 Perkembangan Rasio NPL Gross Kredit

Konsumsi 33

2.22 Nominal NPL Korporasi dan MKM 33

2.23 NPL Gross MKM dan Korporasi 33

2.24 NPL Valas dan Rupiah 34

2.25 Stress Test NPL terhadap CAR 34

2.26 Kredit, NPL dan Penyisihan Penghapusan Kredit 35

2.27 Perkembangan Suku Bunga dan Nilai Tukar 35

2.28 Suku Bunga Kredit per Kelompok Bank 35

2.29 Maturity Profile Rupiah 36

2.30 Maturity Profile Valas 36

2.31 Perkembangan PDN (Overall) 37

2.32 SUN yang Dimiliki Perbankan 37

2.33 Perkembangan NII Perbankan 37

2.34 Rasio ROA Kelompok Bank 38

2.35 Komposisi Pendapatan Bunga Bank 38

2.36 Rasio CAR Kelompok Bank Semester II 2007 38

2.37 Rasio Modal Inti terhadap ATMR dan CAR 38

2.38 Peta Perkembangan Modal Inti 39

2.39 Stress Test CAR 40

2.40 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan 40

2.41 Kegiatan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan 40

2.42 Kinerja Perusahaan Pembiayaan 41

2.43 Sumber Dana PP Swasta Nasional 41

2.44 Sumber Dana PP Patungan 41

2.45 Inflows pada SUN-SBI-Saham 42

2.46 Volatilitas Bursa Asia 42

2.47 Bursa Regional: Perkembangan Indeks Saham 43

2.48 Pasar Saham: Nilai Transaksi & IHSG 43

2.49 Market Efficiency Coefficient 43

2.50 Pasar Saham: Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi 44

2.51 Perkembangan Harga Beberapa Seri SUN 44

2.52 Yield Penanaman Tenor 5 Tahun 44

2.53 Kepemilikan SUN 45

2.54 SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor 45

2.55 Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi 45

2.56 Perkembangan NAB Jenis Reksa Dana 45

2.57 Reksa Dana: NAB & Unit Penyertaan 45

2.58 Reksa Dana: Redemption & Subscription 46

2.59 Perkembangan Komposisi NAB Reksa Dana 46

3.1 Profil Risiko Perbankan dan Arahnya 55

3.2 Indeks Stabilitas Keuangan

(Financial Stability Index) 55

4.1 Aktivitas Transaksi Sistem Pembayaran

Semester II 2007 63

Grafik Boks :

1.2.1 Utang Luar Negeri 20

1.2.2 Indikator Debt Burden Indonesia 20

1.2.3 Rencana Pembayaran ULN Indonesia 20

2.1.1. Permodalan Asuransi 2003-2006 47

2.1.2. Aset-Premi-Klaim: 2003-2006 47

2.1.3. Perkembangan Laba Asuransi: 2003-2006 47

2.1.4. Beberapa Indikator Kesehatan Perusahaan

Asuransi 48

2.1.5. Investasi Perusahaan Asuransi: 2003-2006 48

2.1.6. Premi: Unit Link & Total: 2003-2006 48

2.1.7. Hasil Investasi: Unit Link terhadap Total:

2003-2006 48

3.1.1. NPL Perbankan dan Harga Minyak 58

Page 8: Bank Indonesia Kajian Keuangan

vi

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menyambut gembira penerbitan Kajian

Stabilitas Keuangan (KSK) No.10, Maret 2008 ini. KSK merupakan penyampaian informasi kepada para stakeholders

tentang salah satu pelaksanaan fungsi pokok Bank Indonesia disamping menjaga stabilitas moneter, yakni memelihara

stabilitas sistem keuangan.

Sebagaimana edisi-edisi sebelumnya, KSK edisi ini memuat hasil analisis tentang sumber-sumber instabilitas,

langkah mitigasi risiko dan prospek stabilitas keuangan ke depan. Selain itu, secara khusus KSK edisi ini juga memuat dua

artikel masing-masing tentang hasil survei kredit properti dan survei neraca keuangan rumah tangga (household).

Keberadaan kedua artikel tersebut sangat penting karena sejarah telah menunjukkan bahwa krisis keuangan dapat

berasal dari kegagalan sektor properti dan ketidakmampuan sektor rumah tangga memenuhi kewajibannya kepada

lembaga-lembaga keuangan.

Penerbitan KSK edisi ini juga sangat strategis mengingat semakin beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh

sektor keuangan dan perekonomian Indonesia. Tantangan terbesar berasal dari meningkatnya risiko perekonomian global

terutama sebagai akibat krisis subprime mortgage yang melanda negara-negara besar di dunia. Krisis subprime mortgage

ini telah mengguncang pasar keuangan dunia sehingga menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan global dan

menurunnya kepercayaan pada pelaku bisnis. Tantangan berikutnya adalah meningkatnya tekanan inflasi di tengah

melambatnya pertumbuhan perekonomian dunia, terkait dengan kenaikan harga minyak dunia dan harga komoditi

pokok. Dari dalam negeri, tantangan antara lain berasal dari semakin meningkatnya intensitas bencana alam serta kondisi

makroekonomi yang belum tentu sebaik kondisi sepanjang tahun 2007.

Meningkatnya tantangan-tantangan tersebut di atas memerlukan kewaspadaan dari semua pihak yang terkait di

sektor keuangan. Untuk mendukung kewaspadaan tersebut, sangat diperlukan adanya informasi yang up to date yang

disertai dengan kajian tentang isu-isu yang terkait dengan sektor keuangan. Dalam konteks inilah, penerbitan KSK akan

berperan dalam menyampaikan informasi dan kajian secara rutin sehingga bermanfaat untuk semua pihak yang terkait,

termasuk para pelaku bisnis, pejabat Pemerintah, serta akademisi dan pengamat.

Patut dicatat bahwa tahun 2007 yang baru saja dilewati merupakan salah satu tahun terbaik dalam konteks

stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sektor keuangan Indonesia terjaga dengan baik, sedangkan perbankan sebagai

industri terbesar dalam sektor tersebut terus menunjukkan kinerja yang semakin baik. Hal ini antara lain terlihat dari

pelaksanaan fungsi intermediasi yang terus meningkat sehingga pertumbuhan kredit mencapai 25,5%, sementara rasio

non-performing loans (NPL) gross dapat ditekan hingga 4,64% atau untuk pertama kalinya sejak krisis berada di bawah

5%. Ke depan salah satu tantangannya adalah bagaimana mengarahkan pertumbuhan kredit agar lebih mengarah

Kata Pengantar

Page 9: Bank Indonesia Kajian Keuangan

vii

untuk tujuan produktif serta mendorong kemajuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah terbukti

cukup tahan terhadap krisis.

Dengan harapan-harapan tersebut di atas, sekali lagi kami menyambut gembira penerbitan KSK edisi ini. Untuk

itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun dan semua pihak yang telah membantu baik secara

langsung maupun tidak langsung. Semoga kajian-kajian yang dilakukan akan bermanfaat dalam menjaga stabilitas sistem

keuangan ke depan sehingga mampu menopang stabilitas makroekonomi yang berkelanjutan demi kesejahteraan

masyarakat seluas-luasnya.

Jakarta, Maret 2008

DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA

Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad

Page 10: Bank Indonesia Kajian Keuangan

viii

Page 11: Bank Indonesia Kajian Keuangan

1

Gambaran Umum

Gambaran Umum

Page 12: Bank Indonesia Kajian Keuangan

2

Gambaran Umum

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 13: Bank Indonesia Kajian Keuangan

3

Gambaran Umum

Stabilitas sistem keuangan Indonesia selama semester II 2007 tetap terjaga

dengan prospek yang positif. Hal tersebut berhasil dicapai dengan dukungan

stabilitas makroekonomi dan kinerja sektor riil yang terus menunjukkan

perbaikan meskipun belum sepenuhnya sesuai harapan. Kinerja sektor

keuangan terutama perbankan juga semakin menggembirakan sehingga

mampu meningkatkan pertumbuhan kredit yang lebih besar dengan kualitas

kredit yang semakin baik. Lembaga keuangan bukan bank, terutama

perusahaan pembiayaan, dan pasar saham juga terus bertumbuh di tengah

semakin meningkatnya tekanan gejolak pasar keuangan global. Pasar surat

utang juga mengalami pertumbuhan yang menggembirakan meskipun

terdapat beberapa kali tekanan di tahun 2007, yang dapat dimitigasi dampak

negatifnya. Ke depan, sumber-sumber instabilitas perlu terus dimonitor dan

dimitigasi dampak negatifnya, antara lain dengan disusunnya Crisis

Management Protocol dan ditingkatkannya koordinasi antara otoritas

perbankan dengan otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank.

Gambaran Umum

1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS

Ketahanan sistem keuangan pada paruh kedua

tahun 2007 menghadapi tantangan yang semakin berat

dibandingkan dengan semester sebelumnya. Sumber-

sumber instabilitas yang sudah ada pada semester

sebelumnya terus berlanjut di tengah semakin dinamisnya

perkembangan sektor keuangan.

Secara umum, tekanan terbesar terhadap sistem

keuangan selama semester II 2007 lebih banyak

ditimbulkan oleh gejolak lingkungan eksternal. Hal ini

terutama terlihat dari semakin bergejolaknya pasar

keuangan global. Bahkan, bursa saham global semakin

sering terkoreksi secara signifikan yang dipicu oleh

meningkatnya ketidakpastian dan menurunnya

kepercayaan diantara sesama pelaku bisnis di pasar

keuangan dunia sebagai dampak lanjutan dari krisis

subprime mortgage. Meskipun bank-bank di Indonesia

tampaknya tidak ada yang terlibat langsung dalam

transaksi subprime mortgage, namun sejalan dengan

Page 14: Bank Indonesia Kajian Keuangan

4

Gambaran Umum

semakin terintegrasinya ekonomi nasional dengan

ekonomi dunia maka gejolak pasar uang global yang

ditimbulkan oleh krisis tersebut cepat berimbas kepada

sektor keuangan domestik. Akibatnya, setiap kali terjadi

tekanan terhadap bursa saham global maka bursa saham

Indonesia juga ikut terkoreksi secara dalam. Keadaan ini

dapat membahayakan sistem keuangan apabila pada saat

yang bersamaan terjadi aliran modal keluar secara serentak

dan tiba-tiba (sudden reversal).

Peningkatan gejolak lingkungan eksternal juga

muncul sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia

dan komoditi pokok. Dalam periode laporan, harga minyak

dunia bahkan sempat melampaui USD110 perbarel.

Sementara itu, harga komoditi pokok juga terus

melambung, terutama harga produk-produk pertanian,

barang tambang dan hasil alam. Kenaikan harga-harga

ini menimbulkan ancaman inflasi tinggi yang dapat

menurunkan daya beli masyarakat baik pada tingkat global

maupun domestik. Bagi sektor keuangan, inflasi tinggi

akan mengurangi kemampuan debitur dalam melunasi

kreditnya sehingga berpotensi meningkatkan non-

performing loans (NPL).

Permasalahan pokok lainnya yang berkontribusi pada

peningkatan gejolak lingkungan eksternal adalah

melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang dipicu

oleh beban berat perekonomian Amerika Serikat. Paska

krisis subprime mortgage, pertumbuhan ekonomi Amerika

Serikat menjadi sangat melambat dan bahkan beberapa

pengamat menyebutnya sebagai diambang resesi.

Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia akan

menimbulkan tekanan pada sektor keuangan karena

mengganggu kinerja eksportir yang menjadi nasabah bank

dan lembaga keuangan lainnya.

Sementara itu, tingginya ketergantungan terhadap

perbankan, berbagai kendala di sektor rii l dan

terkonsentrasinya kredit pada pembiayaan konsumen

juga masih menjadi sumber instabilitas. Dengan

tingginya ketergantungan terhadap perbankan maka

gejolak atau krisis yang melanda perbankan dengan

cepat akan menjalar kepada industri lain di sektor

keuangan. Lambatnya penyelesaian berbagai kendala

di sektor riil, seperti masalah ketenagakerjaan dan

keterbatasan infrastruktur, dapat menghambat kegiatan

investasi dan mengganggu kelancaran kegiatan bisnis

dunia usaha.

Meskipun pada semester laporan kenaikan kredit

konsumsi sedikit lebih rendah dari kredit modal kerja,

namun kewaspadaan perlu tetap ditingkatkan untuk

mencegah terkonsentrasinya kredit pada pembiayaan

konsumen. Konsentrasi tersebut dapat membahayakan

sektor keuangan terutama apabila pendapatan rumah

tangga (household income) tidak cukup kuat untuk

memenuhi kewajiban pada bank dan lembaga keuangan

lainnya. Selain itu, konsentrasi terhadap kredit konsumsi

dapat membuat berkurangnya perhatian untuk

meningkatkan kredit tujuan produktif yang justru lebih

dibutuhkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi.

Bencana alam yang terjadi silih berganti di Indonesia

akhir-akhir ini juga merupakan salah satu sumber

instabilitas yang perlu diwaspadai. Walaupun Bank

Indonesia telah mengeluarkan ketentuan tentang

perlakuan khusus terhadap kredit bank di daerah yang

terkena bencana alam, namun apabila bencana alam itu

terjadi secara meluas dan terus menerus maka ketahanan

sektor keuangan akan ikut terganggu.

Sumber instabilitas penting lainnya terkait dengan

semakin terintegrasinya bisnis perbankan dengan bisnis

lembaga keuangan non-bank yang menyebabkan batas-

batas antara produk perbankan dan produk lembaga

keuangan lainnya semakin kabur. Hal ini perlu sekali

diwaspadai mengingat inovasi produk keuangan yang

tidak disertai dengan kejelasan tentang mitigasi risiko

Page 15: Bank Indonesia Kajian Keuangan

5

Gambaran Umum

dan transparansi produk yang memadai dapat

merugikan nasabah dan membahayakan stabilitas sistem

keuangan.

Selanjutnya, kemungkinan meningkatnya gangguan

keamanan karena semakin dekatnya pelaksanaan Pemilu

juga perlu menjadi perhatian. Meskipun dari pengalaman

Pemilu sebelumnya tidak terdapat hal-hal yang perlu

dikhawatirkan dan masyarakat juga sudah semakin

terbiasa dengan dinamika pesta demokrasi, namun sektor

keuangan perlu selalu waspada dalam mengantisipasi

setiap kemungkinan yang dapat mengganggu stabilitas

sistem keuangan, termasuk yang terkait dengan persiapan

pelaksanaan Pemilu ini.

2. MITIGASI RISIKO

Untuk memperkecil peluang terjadinya instabilitas

pada sektor keuangan beberapa langkah mitigasi risiko

telah dilakukan. Pertama, memperkuat manajemen risiko

perbankan. Selama periode laporan, kemampuan

melaksanakan manajemen risiko semakin meningkat. Hal

ini merupakan dampak positif dari pelaksanaan sertifikasi

manajemen risiko bagi pengelola bank serta persiapan-

persiapan yang telah dilakukan perbankan dalam rangka

implementasi Basel II. Selain itu, penggunaan pendekatan

risk based supervision oleh pengawas bank juga telah

mendorong perbankan untuk melaksanakan manajemen

risiko yang lebih baik.

Mitigasi risiko juga dilakukan dengan meningkatkan

efektivitas pemantauan (surveillance) terhadap sistem

keuangan. Untuk itu, secara terus menerus dilakukan

review dan pengembangan dari berbagai metode dan

pendekatan yang digunakan dalam rangka surveillance,

baik yang bersifat kuantitatif seperti stress test dan simulasi,

maupun yang bersifat kualitatif seperti pemantauan secara

berkala terhadap perkembangan sektor-sektor yang

berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap

stabilitas sistem keuangan seperti halnya sektor riil dan

rumah tangga (household).

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap

perbankan, mitigasi risiko yang dapat dilakukan antara

lain adalah dengan mendorong financial deepening yang

memungkinkan lembaga keuangan non-bank untuk lebih

berperan dalam sektor keuangan. Financial deepening juga

memungkinkan berkembangnya pasar hedging dan

derivative, sehingga dapat membantu lembaga-lembaga

keuangan dan pelaku bisnis untuk melakukan manajemen

risiko yang lebih baik.

Untuk mengurangi risiko yang terkait dengan

semakin bergejolaknya pasar global maka hal yang paling

penting dilakukan adalah meningkatkan koordinasi antara

otoritas perbankan dengan otoritas pasar modal dan

lembaga keuangan lainnya. Dengan adanya koordinasi

yang erat maka langkah-langkah antisipasi dapat segera

dirumuskan sebelum permasalahan menjadi meluas. Tidak

kalah pentingnya adalah meningkatkan fungsi Forum

Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) serta mempercepat

disahkannya Rancangan Undang-undang Jaring Pengaman

Sektor Keuangan (JPSK). Selain itu, penyusunan Crisis

Management Protocol yang mengatur prosedur dan

langkah-langkah yang harus dilakukan pada saat krisis,

juga merupakan hal yang sangat penting dalam konteks

menjaga stabilitas sistem keuangan.

3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGAN

Ke depan, stabilitas sistem keuangan diperkirakan

akan tetap terjaga, meskipun terdapat tantangan yang

lebih berat pada tahun 2008, terutama sebagai akibat

melambatnya ekonomi Amerika Serikat dan kenaikan

harga minyak dunia, serta dampak ikutan (contagion) atas

tingginya tekanan terhadap pasar keuangan global.

Kondisi ini dapat memicu instabilitas melalui transmisi

perlambatan ekonomi Indonesia. Beberapa hal yang

Page 16: Bank Indonesia Kajian Keuangan

6

Gambaran Umum

mendukung ketahanan sistem keuangan tersebut,

terutama perbankan, adalah semakin meningkatnya

kemampuan manajemen risiko perbankan serta semakin

membaiknya pelaksanaan surveillance terhadap stabilitas

sistem keuangan, baik dari segi metode maupun luasnya

cakupan. Disamping itu, berbagai stress test yang telah

dilakukan memberikan indikasi yang kuat bahwa

perbankan sebagai sokoguru sektor keuangan cukup

tahan terhadap goncangan risiko kredit, risiko suku bunga,

risiko nilai tukar, dan risiko harga surat utang negara (SUN).

Hal lain yang memperkuat optimisme ke depan

adalah semakin kuatnya permodalan bank. Ketentuan

modal inti minimum sebesar Rp80 miliar pada akhir 2007

umumnya telah dapat dipenuhi oleh semua bank umum.

Selanjutnya, dengan adanya kewajiban bank umum untuk

memiliki modal inti minimum sebesar Rp100 miliar pada

tahun 2010 diharapkan perbankan akan semakin

memperkuat permodalannya sehingga akan lebih mampu

menghadapi risiko yang lebih besar.

Ditengah-tengah meningkatnya risiko ketidakpastian

di pasar keuangan global, prospek sistem keuangan

Indonesia masih terlihat positif karena ditunjang oleh

penguatan harga komoditas dan manajemen risiko yang

lebih baik. Meskipun kecenderungan naiknya harga

komoditas umumnya disambut dengan kekhawatiran,

namun penting dicatat bahwa peningkatan harga

komoditas tersebut juga mendorong terbukanya peluang

bisnis pada sektor-sektor seperti pertambangan (batubara),

energi alternatif, dan perkebunan (crude palm oil, kedelai,

dan tebu).

Upaya memelihara stabilitas sistem keuangan

memerlukan informasi yang cukup tentang semua sektor

yang terkait. Untuk mengetahui secara lebih dini

perkembangan sektor properti maka dikembangkan suatu

model Early Warning System (EWS) yang dapat

menjelaskan perilaku kredit properti. Model yang

dihasilkan memperlihatkan bahwa NPL properti 6 bulan

ke depan cenderung turun, dan akan kembali naik pada

periode 12 bulan kemudian. Sementara itu, hasil survei

neraca rumah tangga (household) pada 6 lokasi

(Bodetabek, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur dan Sumatera Barat) menunjukkan bahwa

seluruh rumah tangga di lokasi survei mampu memenuhi

kewajibannya baik terhadap bank maupun lembaga

keuangan non bank. Hal ini memberikan petunjuk bahwa

tekanan terhadap ketahanan sistem keuangan yang

berasal dari sektor rumah tangga, khususnya pada 6 lokasi

tersebut, tidak mengkhawatirkan. Ke depan, untuk

mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang peranan

sektor rumah tangga dalam menjaga stabilitas sistem

keuangan, maka cakupan survei neraca rumah tangga

perlu diperluas kepada lokasi-lokasi lainnya di Indonesia.

Page 17: Bank Indonesia Kajian Keuangan

7

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Bab 1Kondisi Makroekonomidan Sektor Riil

Page 18: Bank Indonesia Kajian Keuangan

8

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 19: Bank Indonesia Kajian Keuangan

9

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

1.1. KONDISI MAKROEKONOMI

Perkembangan ekonomi internasional pada semester

II 2007 didominasi oleh kekhawatiran akan resesi

perekonomian Amerika Serikat yang dipicu oleh krisis

subprime mortgage dan menurunnya tingkat konsumsi

Amerika Serikat. Krisis subprime mortgage merupakan titik

balik dari skim perkreditan berisiko tinggi yang diberikan

lembaga keuangan dalam rangka pembiayaan perumahan.

Krisis ini sudah terjadi sejak tahun 2006, namun

dampaknya baru meluas sejak awal semester II 2007.

Laporan tentang kerugian yang dialami oleh investor-

investor besar kredit sub-prime mortgage, termasuk bank-

bank bereputasi tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, yang

diiringi dengan laporan tentang masih terus meningkatnya

delinquency rate dan foreclosure rate debitur subprime

mortgage menjadi sentimen negatif yang memicu investor

melakukan redemption besar-besaran secara bersamaan.

Aksi redemption tersebut berpengaruh kepada pasar

keuangan negara-negara lain termasuk di emerging

markets, sehingga mengakibatkan pelemahan indeks

bursa saham global. Namun demikian, berbeda dengan

Selama semester II 2007 stabilitas makroekonomi Indonesia masih terjaga

dari gejolak di pasar keuangan global. Sementara itu, ekspansi ekonomi

terus berlanjut, meskipun diperkirakan akan melambat di 2008 akibat dipicu

naiknya harga minyak dunia. Dalam kondisi tersebut, inflasi masih terkendali,

bahkan tingkat suku bunga domestik mulai menurun yang dapat memberikan

peluang bagi aktivitas perekonomian.

Kondisi Makroekonomi dan Sektor RiilBab 1

itu, indeks bursa saham Indonesia sampai dengan akhir

Desember 2007 masih mengalami peningkatan meskipun

dengan volatilitas yang semakin tinggi. Kecilnya dampak

krisis subprime mortgage ke pasar keuangan domestik

karena tidak adanya lembaga keuangan Indonesia yang

melakukan penanaman langsung pada kredit jenis ini.

Selain itu, tetap bergairahnya pasar saham domestik

didukung pula dengan semakin membaiknya fundamental

makroekonomi.

Dampak lanjutan dari permasalahan krisis subprime

mortgage menyebabkan turunnya daya beli masyarakat

Grafik 1.1Indeks Harga Saham Global

Sumber: Bloomberg

2006 20070

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000Singapore HongkongNew York Dow JonesIndonesia Nikkei

Page 20: Bank Indonesia Kajian Keuangan

10

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

di Amerika Serikat. Melambatnya belanja konsumsi rumah

tangga kemudian membatasi pendapatan sektor korporasi

sehingga menimbulkan gelombang pemutusan hubungan

kerja. Mengingat belanja konsumsi rumah tangga

merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap

pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat maka

penurunannya menyebabkan pertumbuhan ekonomi

negara tersebut pada 2007 melambat 0,4% menjadi

sebesar 2,2%, atau lebih rendah dibandingkan tahun

sebelumnya sebesar 2,6%. Hal ini memicu kekhawatiran

bahwa Amerika Serikat sudah mendekati resesi.

Karena ekonomi Amerika Serikat menggerakkan

hampir 20% ekonomi dunia, pelemahannya sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Akibatnya, pada tahun 2007, IMF memperkirakan

pertumbuhan ekonomi dunia melambat hingga ke level

4,9%. Perlambatan tersebut lebih dipengaruhi oleh

perlambatan ekonomi yang terjadi di negara-negara maju,

sementara pertumbuhan ekonomi negara-negara

berkembang khususnya China dan India masih cukup

tinggi. Namun terdapat kekhawatiran bahwa ekonomi

China melakukan pengetatan moneter yang berdampak

kepada perlambatan pertumbuhan ekonomi China.

Pelemahan ekonomi Amerika Serikat yang

berkepanjangan berpotensi mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi negara-negara emerging market sejalan dengan

semakin ketatnya persaingan ekspor antar negara-negara

tersebut khususnya di Asia. Hal ini disebabkan penurunan

daya beli rumah tangga di Amerika Serikat yang

merupakan konsumen utama produk ekspor negara-

negara tersebut. Khusus untuk Indonesia, kondisi tersebut

belum berdampak signifikan terhadap nilai dan volume

ekspor. Sampai dengan November 2007 nilai ekspor

Indonesia masih tumbuh cukup tinggi meskipun

menunjukkan kecenderungan menurun. Dalam 11 bulan

pertama tahun 2007, ekspor Indonesia tumbuh 16,5%

(y-o-y), sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan

tahun 2004-2006 dengan rata-rata sebesar 18,8% per

tahun.

Grafik 1.2Ekspor Non-Migas Indonesia

Grafik 1.3Nilai Impor Non-Migas Indonesia

Sumber: BI

Juta USD Juta USD

2006 2007

ManufacturingMining and Quarrying

Agriculture, Hunting, FishingTotal

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

Juta USD Juta USD

Sumber: BI

2006 2007

ManufacturingMining and QuarryingAgriculture, Hunting, FishingTotal

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

World Output*) 4,4 5,0 4,9 4,1

Advanced Economies*) 2,5 3,0 2,6 1,8

Emerging & Developing Countries*) 7,0 7,7 7,8 6,9

Consumer PriceAdvanced Economies 2,3 2,3 2,1 2,0

Emerging & Developing Countries1) 5,2 5,1 5,9 5,3

(exclude Zimbabwe)

LIBOR2)

US Dollar Deposit 3,8 5,3 5,2 4,4

Euro Deposit 2,2 3,1 4,0 4,1

Yen Deposit 0,1 0,4 0,9 1,1

Oil Price (USD) - rata-rata3) 41,3 20,5 6,6 9,5

Tabel 1.1Indikator Ekonomi Dunia

Kategori 2005 2006

%%%%%Proyeksi

2007 2008

Sumber: World Economic Outlook - IMF Oktober 2007*) World Economic Outlook Update Projection - IMF January 2008

Page 21: Bank Indonesia Kajian Keuangan

11

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Amerika Serikat. Disamping itu, sejumlah bank sentral

negara lain juga melakukan hal yang sama. Berbagai

langkah yang ditempuh oleh the Fed dan sejumlah bank

sentral negara lain tersebut cukup efektif meredam

sentimen negatif yang beredar di pasar. Dampaknya,

indeks bursa saham global yang sempat anjlok karena aksi

redemption, secara perlahan kembali menguat.

Grafik 1.5Suku Bunga Internasional

Grafik 1.6Tingkat Bunga Riil Indonesia dan AS

Grafik 1.7Outlook Sovereign Rating Indonesia Standard & Poor»s

Relatif tetap tingginya nilai ekspor Indonesia terutama

didukung oleh kenaikan harga-harga komoditas ekspor di

pasar internasional, terutama minyak, CPO, timah dan karet.

Selain itu, meningkatnya diversifikasi negara tujuan ekspor

Indonesia ke negara-negara Asia khususnya ke China dan

India ikut mendukung bertumbuhnya ekspor Indonesia.

Peningkatan ekspor kepada dua negara ini cukup mampu

mengkompensasi dampak perlambatan ekspor akibat

permasalahan di perekonomian Amerika Serikat.

Dalam upaya pemulihan ekonomi Amerika Serikat,

the Fed melakukan penurunan suku bunga Fedfund rate

ke level 4,25% pada Desember 2007 dan berlanjut menjadi

2,25% pada Maret 2008. Selain menurunkan suku bunga,

the Fed juga melakukan liquidity injections dalam jumlah

besar ke sistem perbankan dan pasar keuangan untuk

mencegah semakin dalamnya potensi krisis ekonomi di

USA 14,61 14,07 14,00 13,19 12,00Canada 0,80 0,71 0,70 0,67 0,59Singapura 10,46 10,86 10,60 9,82 9,57Malaysia 4,80 5,01 4,92 4,84 5,05India 3,53 3,94 4,34 4,37 5,26Jepang 14,44 15,17 14,76 15,21 14,35China 5,64 6,09 6,01 6,98 7,31Korea Selatan 3,74 3,27 4,03 4,23 4,10Eropa 18,31 16,51 16,24 16,11 15,72

Tabel 1.2Pangsa Ekspor Non-Migas Indonesia Per Negara

Negara 2003 2004 2005 2006 2007

Sumber: BI

Grafik 1.4Indeks Harga Beberapa Komoditas

Sumber: BI

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Minyak TembagaTimah EmasMinyak Sawit KopiBeras KaretAluminium

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

% %

SIBOR ECB FFR LIBOR

Sumber: Bloomberg

0

1

2

3

4

5

6

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20080

1

2

3

4

5

6

Sumber: Bloomberg, BI, BPS

% %

2005 2006 2007

AS

Indonesia

-8

-6

-4

-2

0

2

4

-8

-6

-4

-2

0

2

4

Jul-92 Sep-94 Des-96 Feb-99 Apr-01 Jul-03 Sep-05 Nov-07

SD

CCC+

B

B+

BB-

BB

BB+

BBB-

BBB

BBB+

SD

CCC+

B -

B

B+

BB-

BB

BB+

BBB-

BBB

BBB+

SD

CCC+

B-

B

B+

BB-

BB

BB+

BBB-

BBB

BBB+

Sumber: Bloomberg

Stable Outlook

Page 22: Bank Indonesia Kajian Keuangan

12

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Penurunan tajam Fedfund rate menyebabkan semakin

tingginya interest rate differential suku bunga negara-negara

emerging market terhadap suku bunga Amerika Serikat.

Pertumbuhan ekonomi negara-negara emerging market

yang relatif cukup kuat dan ekspektasi tingginya imbal hasil

investasi menimbulkan sentimen positif kepada negara-

negara emerging market termasuk Indonesia. Semakin

tingginya tingkat bunga rill Indonesia dibandingkan Amerika

Serikat, membaiknya imbal hasil rupiah dan membaiknya

outlook sovereign rating Indonesia dari lembaga-lembaga

rating internasional semakin mendorong masuknya aliran

dana investasi asing ke Indonesia.

Namun demikian, kekhawatiran terhadap

kemungkinan masih akan terus meluasnya dampak krisis

subprime mortgage menyebabkan para investor sangat

berhati-hati dalam melakukan investasi. Mereka cenderung

memilih investasi jangka pendek dalam bentuk portofolio

aset-aset keuangan. Di Indonesia, pada tahun 2007,

pangsa aliran modal portofolio dalam komponen aliran

modal mencapai 55% sedangkan pangsa Foreign Direct

Investment (FDI) sebesar 45%. Sementara pangsa investasi

dalam SBI (money market) meningkat tajam menjadi 14%.

Grafik 1.8Outlook Sovereign Rating Indonesia Moody»s

Grafik 1.9Outlook Sovereign Rating Indonesia Fitch

Grafik 1.10Komposisi Aliran Modal Masuk

Grafik 1.11Komposisi Aliran Modal Portfolio Asing

Grafik 1.12Portfolio Investment Ratio

Jun-97 Des-98 Jun-00 Des-01 Jun-03 Nov-04 Mei-06 Nov-07

CCC+

B

B

B+

BB-

BB

BB+

BBB-

BBB

CCC+

-

B

B+

BB-

BB

BB+

BBB-

BBB

Sumber: Bloomberg

Positive Outlook

Mar-94 Jun-96 Okt-98 Jan-01 Mei-03 Ags-05 Nov-07Caa1

B3

B2

B1

Ba3

Ba2

Ba1

Baa3

Baa2

Sumber: Bloomberg

Stable Outlook

% of Total Liabilities, BOP

37

72

57

45

63

28

43

55

2004 2005 2006 2007

Direct investment (in Indonesia)Portfolio investment (Liabilities)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Sumber: BI

% of Total Liabilities, BOP

11

1822

1615

63

14

40

-1

1923

-4

6

-2

3

Bond & Note (Public)Others - SBI (Public)Equity Securities (Private)Debt Sec. (Private)

-10

-5

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

2004 2005 2006 2007Sumber: BI

%

0,100,24

1,040,94

0,28

0,80

2,18

1,63

0,03 0,03 0,120,20

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00 PI/CAPI/FDIPI/Int»l Reserve

Thailand Malaysia Philippines Indonesia

Sumber: BI

Page 23: Bank Indonesia Kajian Keuangan

13

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Dalam skala regional, rasio portofolio di Indonesia baik

terhadap Capital Account (CA), FDI, dan cadangan devisa

lebih tinggi dibandingkan Thailand dan Malaysia, meskipun

lebih rendah daripada Filipina.

Peningkatan ekspor dan terus masuknya aliran

investasi portfolio ke Indonesia mendukung terjadinya

surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2007 yang

lebih tinggi dibandingkan 2006. Perbaikan kinerja NPI

mendorong naiknya jumlah cadangan devisa menjadi

USD56,92 miliar pada Desember 2007 atau setara

dengan 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar

negeri.

Sejalan dengan surplus NPI, imbal hasil rupiah yang

menarik dan faktor resiko yang terjaga, nilai tukar rupiah

pada 2007 secara rata-rata menguat 0,29% dibandingkan

2006 sehingga menjadi sebesar Rp9.125 pada akhir tahun.

Akan tetapi, dibandingkan nilai tukar mata uang beberapa

negara lain, selama 2007 indeks nilai tukar rupiah paling

rendah walaupun volatilitasnya masih dalam batas yang

terkendali.

Volatilitas nilai tukar yang terkendali dan konsistensi

kebijakan moneter untuk menjaga kestabilan harga

berdampak kepada perbaikan ekspektasi inflasi. Selama

semester II 2007, laju inflasi bergerak terkendali. Secara

keseluruhan tingkat inflasi tahun 2007 berada dalam batas

yang ditargetkan oleh Bank Indonesia yaitu 6%±1%.

Ekspektasi laju inflasi yang terkendali mendorong

dilakukannya penurunan BI rate secara bertahap dan

terukur hingga mencapai level 8,00% pada Desember

2007.

Grafik 1.13Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

Grafik 1.15Inflasi Indonesia dan BI-Rate

Grafik 1.14Nilai Tukar Mata Uang Dunia

Peningkatan ekspor dan peningkatan daya

konsumsi yang didukung oleh terjaganya stabilitas

makroekonomi, laju inflasi yang terkendali, serta

penurunan suku bunga mendorong ekonomi Indonesia

terus bertumbuh meskipun terhambat oleh perlambatan

pertumbuhan ekonomi dunia. Secara keseluruhan,

selama tahun 2007 pertumbuhan ekonomi mencapai

6,33%, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya

yang sebesar 5,48%.

Ke depan, risiko kerawanan sektor eksternal

diperkirakan masih cukup tinggi. Hal ini dipengaruhi

IDR/USD

8.500

8.600

8.700

8.800

8.900

9.000

9.100

9.200

9.300

9.400

9.500

9.600

Sumber: Bloomberg

IDR/USD

9.47

49.

255

9.15

78.

929

9.01

89.

366

9.12

89.

093

9.15

59.

174

9.13

89.

087

9.07

59.

077

9.17

29.

095

8.84

28.

981

9.06

79.

358

9.10

59.

102

9.26

79.

356

8.500

8.600

8.700

8.800

8.900

9.000

9.100

9.200

9.300

9.400

9.500

9.600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 122006 2007

9.238

9.181

8.968

9.109

9.295

9.108 9.124 9.1349.125

9.165 9.210

9.0399.129

9.201

Rata-rata bulananRata-rata triwulananRata-rata tahunanRata-rata semesteran

Sumber: BloombergKet: Peningkatan indeks = penguatan nilai tukar

2 0 0 7

SGD PHP KRW EURJPY IDR THB

Indeks Indeks

85

90

95

100

105

110

115

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des85

90

95

100

105

110

115

1 Januari 2007 = 100

Sumber: BPS & BI

2005 2006 2007

% %

Inflasi (y-o-y)

BI-rate

0

4

8

12

16

0

4

8

12

16

Page 24: Bank Indonesia Kajian Keuangan

14

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

potensi terus meluasnya krisis subprime mortgage yang

masih berlanjut terhadap perekonomian global melalui

pasar keuangan, dan tekanan laju inflasi dari kenaikan

harga minyak dunia dan makanan. Selain itu terdapat juga

kekhawatiran akan terjadinya resesi ekonomi dunia yang

dipicu oleh pelemahan ekonomi Amerika Serikat apabila

paket stimulus ekonomi yang dipersiapkan pemerintahnya

tidak cukup mampu menahan memburuknya kondisi

ekonomi negara itu. Dengan pertimbangan tersebut,

pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2008 yang pada

Oktober 2007 diperkirakan oleh IMF akan tumbuh sebesar

4,8% mengalami koreksi pada Januari 2008 hingga turun

menjadi 4,1%. Kondisi ini juga mempengaruhi proyeksi

pertumbuhan ekonomi domestik yang lebih rendah dari

perkiraan awal, yaitu pada level 6,5% menurut perkiraan

IMF. Angka ini sejalan dengan perkiraan Bank Indonesia

sebesar 6,2%-6,8%.

Perkembangan makroekonomi tersebut di atas

mempengaruhi ketahanan sektor keuangan. Hal ini antara

lain terlihat dari hasil macro stress test tentang risiko kredit

di industri perbankan (lihat Boks 2.1). Selain faktor-faktor

makroekonomi, ketahanan sektor keuangan juga dapat

dipengaruhi oleh utang luar negeri. Analisis mengenai

potensi tekanan dari sisi utang luar negeri ini disajikan

pada Boks 2.2.

1.2. KONDISI SEKTOR RIIL

Fundamental ekonomi yang membaik menyebabkan

penurunan BI rate secara bertahap diikuti oleh suku bunga

domestik lainnya. Dibandingkan akhir semester sebelumnya,

pada akhir semester II 2007 suku bunga Kredit Investasi

(KI), Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Konsumsi (KK) turun

masing-masing 98 bps, 88 bps dan 78 bps sehingga menjadi

sebesar 13,01%, 13,00% dan 16,13%. Meskipun

penurunan BI rate masih ditransmisikan secara terbatas

kepada suku bunga kredit yang tergambar dari masih relatif

besarnya selisih antara suku bunga kredit (khususnya kredit

konsumsi) dengan suku bunga deposito, ekspektasi suku

bunga rendah dan stabilitas makroekonomi yang terjaga

memberikan sentimen positif yang mendorong keyakinan

konsumen (demand) dan optimisme produsen (supply)

terhadap perkembangan perekonomian ke depan.

GDP Growth (%) 5,60 5,48 5,99 6,34 6,52 6,47 6,33

- Sisi Pengeluaran

- Consumption 4,41 3,91 4,57 4,60 5,43 6,92 5,41

- Investment (Gross

Fixed Capital Form) 9,93 2,91 7,82 6,96 8,83 9,75 8,37

- Exports 8,60 9,16 8,95 9,78 7,78 9,14 8,00

- Imports 12,35 7,57 8,45 7,29 8,15 9,64 8,38

Tabel 1.3Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Indikator 2007

%%%%%

2007

Tw I Tw II Tw III Tw IV2005 2006

Sumber: BI

Grafik 1.16Perkembangan Suku Bunga Indonesia

Sumber: BI

% %

KK

KI

KMK

BI-rate SBI 1 bln

Dep Rp 1 bln

Tabungan

0

5

10

15

0

5

10

15

2005 2006 2007

Grafik 1.17Selisih antara Suku Bunga Kredit

dengan Suku Bunga Deposito

Sumber: BI

Rata-rata KMK KI KK

%%

0

2

4

6

8

10

0

2

4

6

8

10

2005 2006 2007

Page 25: Bank Indonesia Kajian Keuangan

15

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Dari sisi demand, peningkatan keyakinan konsumen

tercermin dari kecenderungan meningkatnya Indeks

Keyakinan Konsumen yang berdampak kepada

peningkatan konsumsi swasta.1 Hal ini antara lain dapat

diamati dari peningkatan kredit konsumsi. Selain didorong

oleh penurunan suku bunga, peningkatan konsumsi

swasta tersebut juga didukung oleh peningkatan daya beli

sebagian anggota masyarakat dan faktor musiman seperti

perayaan hari-hari besar keagamaan dan tahun baru

selama semester II 2007.

go public pada tahun 2007 relatif membaik dibandingkan

tahun sebelumnya. Hal ini antara lain terlihat dari kenaikan

rentabilitas usaha (ROA dan ROE) dan penurunan leverage.

1 Survei Konsumen Desember 2007. Survei ini dilakukan secara rutin setiap bulan sejakOktober 1999 oleh Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia.

Grafik 1.18Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen

Grafik 1.19Kredit Konsumsi

Optimis

Pesimis

Indeks150,0

125,0

100,0

75,0

50,0

25,0

2005 2006 20072 3 4 5 6 7 8 9 1011121 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121

Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini

Indeks Ekspektasi KonsumenIndeks Keyakinan Konsumen

Sumber: BI

Sumber: BI

2004 2005 2006

Rp triliun %

NPL (left axis)

Kredit (left axis)

Growth (right axis)

0

50

100

150

200

250

0

5

10

15

20

25

300 30

Outstanding

Sementara itu, dari sisi supply, sejalan dengan kondisi

makroekonomi yang cukup mendukung maka kinerja

keuangan korporasi khususnya perusahaan non-financial

Grafik 1.20Pertumbuhan ROA dan ROE

Grafik 1.21Perkembangan Debt to Equity Ratio

-100

0

100

200

300

400

500

600

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

350

2003 2004 2005 2006 2007Tw 1Tw 2Tw 3 Tw 4 Tw 1Tw 2Tw 3 Tw 4 Tw 1Tw 2Tw 3 Tw 4 Tw 1Tw 2Tw 3 Tw 4Tw 1Tw 2Tw 3

ROE (kanan)ROA (kiri)

Sumber: BEI

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

2005 2006 2007

Tw 1 Tw 2 Tw 3 Tw 4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4

Sumber: BEI

Namun demikian, peningkatan kinerja sektor

korporasi tersebut belum diiringi oleh peningkatan

ekspansi usaha yang memadai. Bahkan sebelum sektor

korporasi berkembang lebih maju, berbagai gejolak di

pasar keuangan seperti dampak krisis subprime mortgage

serta kenaikan harga bahan bakar minyak dan komoditi

pokok telah datang menghadang. Gejolak tersebut

berpotensi menahan perkembangan kinerja sektor

korporasi ke depan. Dalam kaitan ini, hasil estimasi

probability of default (PD) perusahaan non financial go

public di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah

perusahaan dengan PD di atas 0,5 diperkirakan meningkat

Page 26: Bank Indonesia Kajian Keuangan

16

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

dari 21 perusahaan pada akhir Desember 2007 menjadi

22 perusahaan pada akhir Juni 2008. Hal ini

mengindikasikan adanya potensi penurunan kinerja

0,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-1,0

181

2 1 0 0 2 0 0 019

Distribusi Forecast Probability of Default Juni 2008

Grafik 1.22Probability of Default Perusahaan Non-Financial

Go Public (Desember 2007)

0,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-1,0

178

3 0 0 2 0 0 0 022

Distribusi Forecast Probability of Default Desember 2007

Grafik 1.23Probability of Default Perusahaan Non-Financial

Go Public (Juni 2008)

Agri Mining Bsc Idty& Che

Misc Idty Cnsmr Gds Property Infrstrctr Trade,Invstmt

Des-07 Jun-07

0,00,0

10,010,0

9,89,8 12,1

12,1

9,49,4

6,96,9

7,17,1

16,2

18,9

%

Grafik 1.24Probability of Default Perusahaan Non-Financial

Go Public (Juni dan Desember 2007)

10% 0 1 6 6 8 7 8 8 7 6 3 0 0 0

20% 0 0 1 6 1 5 6 5 3 3 5 0 0 0

30% 0 0 0 1 5 4 0 2 5 4 2 0 0 0

40% 0 0 0 0 1 2 5 1 0 2 5 1 0 0

50% 0 0 0 0 0 1 1 4 1 0 0 2 0 0

60% 0 0 0 0 0 0 1 1 4 2 1 2 0 0

70% 0 0 0 0 0 0 0 1 1 3 3 3 2 0

80% 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0

90% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0

100% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 14 20 22

00000 11111 77777 1313131313 1515151515 1919191919 2121212121 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222

PenguranganEquity

Nilai Tukar Rupiah (IDR/USD)45.000

9.000 9.500 10.000 10.500 11.000 11.500 12.000 12.500 13.000 13.500 14.000 25.000 35.000

Tabel 1.4Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Ekuitas Konglomerasi

Jmlh KonglomerasiJmlh KonglomerasiJmlh KonglomerasiJmlh KonglomerasiJmlh Konglomerasibermasalahbermasalahbermasalahbermasalahbermasalah

korporasi yang meningkatkan risiko kredit pada sektor riil

ke depan. Sektor-sektor ekonomi yang diperkirakan

mengalami peningkatan PD adalah sektor Perdagangan,

Jasa dan Investasi (Trade, Service and Investment), serta

sektor Industri Lain-lain (Miscellaneous Industry).

Selain menghadapi potensi peningkatan risiko kredit,

perusahaan-perusahaan di sektor riil juga dapat terekspose

risiko nilai tukar. Hasil stress test terhadap 47 perusahaan

besar atau konglomerasi Indonesia menunjukkan bahwa

kinerja konglomerasi relatif tetap terjaga apabila rupiah

melemah menjadi kisaran Rp9.500/USD. Namun, apabila

nilai tukar Rupiah melemah menjadi Rp14.000/USD,

terdapat potensi terganggunya kinerja 1 konglomerasi

sehingga permodalannya turun sebesar 100%. Meskipun

Page 27: Bank Indonesia Kajian Keuangan

17

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

secara umum konglomerasi tampaknya cukup tahan

terhadap gejolak nilai tukar, namun mencermati

perkembangan ekonomi global dan domestik akhir-akhir

ini, maka sangat diperlukan kehati-hatian mengingat

cukup banyak konglomerasi yang memiliki rasio kewajiban

neto valas terhadap modal lebih dari 25%.

Grafik 1.25Kewajiban Neto Valas terhadap Equity

Rasio kewajiban neto valasthp equity > 25%

%

(50)

(25)

0

25

50

75

100

125

150

175

200

A C E G I K M O Q S U W Y AA AC AE AG AI AK AM AO AQ

Sementara itu, meskipun komponen investasi dalam

struktur PDB menunjukkan pertumbuhan, namun

pertumbuhan tersebut masih bersifat terbatas.

Pertumbuhan lebih didorong oleh kemajuan di sektor non-

traded (pengangkutan, komunikasi, listrik, gas dan air serta

jasa dan keuangan). Sementara, sektor industri

pengolahan yang diharapkan sebagai sektor utama

pendorong pertumbuhan ekonomi karena mempunyai

multiplier effect yang besar kepada sektor ekonomi lain,

belum tumbuh tinggi, hanya sekitar 4,9%. Kondisi ini

masih sama dengan semester sebelumnya.

Grafik 1.26Pertumbuhan PDB Sektoral

(Growth, yoy)

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

2005 2006 2007

PertanianIndustri PengolahanBangunanPengangkutandan KomunikasiJasa-jasa

Pertambangan & PenggalianListrik, Gas dan Air BersihPerdagangan, Hotel,dan RestoranKeuangan, Persewaan,dan Jasa

Sumber: BI

Secara umum, terbatasnya pertumbuhan investasi

adalah karena sektor korporasi masih menghadapi

berbagai hambatan dalam pengembangan usahanya,

terutama masalah keterbatasan infrastruktur dan

ketenagakerjaan. Belum tuntasnya penyelesaian

permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan daya

saing investasi Indonesia belum menunjukkan perbaikan

yang signifikan. Menurut World Economic Forum East Asia

(Juni 2007), secara rata-rata peringkat daya saing investasi

Indonesia diantara negara-negara ASEAN hanya berada

di atas Vietnam dan Filipina.

Di tengah-tengah tekanan risiko usaha yang makin

tinggi, sektor korporasi cenderung untuk menjalankan

usaha dengan menggunakan sumber dana internal

dibandingkan dengan sumber dana eksternal seperti kredit

perbankan. Meskipun terdapat tren penurunan suku

bunga, alokasi kredit yang disediakan oleh bank belum

dimanfaatkan dengan maksimal. Hal ini sekaligus dapat

menjelaskan mengapa penyaluran kredit oleh perbankan

khususnya kredit investasi masih belum sesuai harapan.

Kecenderungan pembiayaan korporasi dengan sumber

dana internal tersebut dapat diamati dari relatif tingginya

rasio modal sendiri terhadap total aset pada perusahaan

yang go public.

Pada satu sisi, kecenderungan pembiayaan

menggunakan dana internal menunjukkan semakin

membaiknya kondisi keuangan korporasi karena sudah

Tabel 1.5Peringkat Daya Saing - World Economic Forum

Indonesia 54 54Malaysia 21 19Vietnam 68 64Thailand 28 28China 34 35Philippines 71 75Singapore 7 8

GCI 2007- 2008 GCI 2006-2007(of 131 countries) (of 122 countries)

Country

Page 28: Bank Indonesia Kajian Keuangan

18

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Grafik 1.28Tingkat Pengangguran di Indonesia

%

2001 2002 2003 2004 2005 Feb-06 Ags-06 Feb-07 Ags-07

Sumber: BPS

0

2

4

6

8

10

12

Grafik 1.29Perkembangan DER dan TL/TA

2005 2006 2007

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

Debt Equity Ratio

Total Liabilies/Total Assets

Tw 1 Tw 2 Tw 3 Tw 4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4

Sumber: BEI

Grafik 1.27Pembiayaan Korporasi Tbk dan Ekspansinya

(Pertumbuhan Aset)

-0,2

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0Pertumbuhan Aset (kiri)Pembiayaan dengan Modal Sendiri (kanan)

-0,2

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Sumber: BEI

tidak lagi tergantung pada pembiayaan dari hutang.

Namun pada sisi lain, kecenderungan tersebut berpotensi

menghambat korporasi untuk melakukan ekspansi usaha

secara penuh mengingat terbatasnya dana internal.

Apabila kondisi ini berlanjut maka ketersediaan lapangan

pekerjaan baru akan menjadi semakin terbatas sehingga

menyulitkan upaya penurunan tingkat pengangguran yang

masih tergolong tinggi.

Sementara itu, aliran dana dari luar negeri (capital

inflows) yang umumnya berupa portfolio aset-aset finansial

belum banyak membantu pembiayaan di sektor rill,

khususnya sektor investasi. Di tengah-tengah derasnya

aliran dana masuk ke Indonesia, rasio hutang terhadap

modal (debt-to-equity ratio) perusahaan-perusahaan non

financial go public malah cenderung menurun. Hal ini

menunjukkan aliran dana yang masuk belum terserap ke

sektor korporasi, khususnya yang telah go public.

Ke depan, tantangan di sektor rill diperkirakan cukup

tinggi terkait potensi kenaikan inflasi dan pengaruh

perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Agar

perekonomian dapat tumbuh lebih kuat diperlukan

dukungan dari berbagai pihak untuk mengatasi kendala-

kendala yang ada di sektor riil. Sejalan dengan itu, sektor

Mikro, Kecil dan Menengah (MKM) yang terbukti telah

mampu bertahan dalam kondisi krisis perlu lebih

ditingkatkan perannya dalam perekonomian. Dengan

demikian perbaikan kondisi makroekonomi akan dapat

benar-benar diikuti oleh membaiknya perkembangan di

sektor riil sehingga akan meningkatkan ketahanan

perekonomian dan sektor keuangan domestik terhadap

vulnerabilitas sektor eksternal.

Page 29: Bank Indonesia Kajian Keuangan

19

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Macroeconomic Stress TestBoks 1.1

Untuk mengetahui dampak kondisi

makroekonomi terhadap risiko kredit perbankan

dilakukan macroeconomic stress test yang diestimasi

dengan menggunakan fixed-effect panel model.

Adapun model yang dikembangkan adalah model

regresi linear berdasarkan General Unrestricted Model

sebagai berikut:

dimana:

Yit : risiko kredit (LLP/TL dan NPL/TL)

Xit : variabel makroekonomi (GDP, Harga

Premium, Harga Solar, M1, M2, IHSG, INF,

EXRATE)

ai : efek individu dari setiap bank

eit : residual, dimana et~N(0, σ 2)

t : periode

LLP = Loan Loss Provisions

M1 = Narrow Money

NPL = Non Performing Loans

M2 = Broad Money

TL = Total Loans

IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan

GDP = Produk Domestik Bruto

INF = Inflasi

XRATE = Nilai Tukar

Menggunakan data dari 15 bank besar di

Indonesia dari Desember 1995 s.d. Mei 2005, hasil

stress test menunjukkan bahwa perubahan risiko

kredit, terutama variable LLP/TL, secara signifikan

dipengaruhi oleh perubahan indikator makroekonomi

seperti M2 dan inflasi. Hal ini berarti secara umum

shock yang ditimbulkan oleh faktor makroekonomi

meningkatkan risiko kredit pada bank. Oleh karena

itu, setiap perkembangan yang terjadi dalam

lingkungan makroekonomi baik domestik maupun

internasional sangat perlu dipantau dan diantisipasi

dengan cermat oleh para pihak yang terlibat di sektor

keuangan. Kegagalan dalam memonitor dan

mengantisipasi perkembangan makroekonomi dapat

membahayakan industri perbankan dan sistem

keuangan secara keseluruhan.

Yit =αi + δt+Σk

j = 1

γi Yit - j +Σn

m = 0

βi Xit - m + εit

Page 30: Bank Indonesia Kajian Keuangan

20

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Potensi Tekanan Dari Utang Luar NegeriBoks 1.2

Salah satu aspek penting yang perlu dicermati

terkait dengan perkembangan makroekonomi adalah

potensi tekanan dari utang luar negeri (ULN). Sampai

dengan Desember 2007 ULN Indonesia mencapai

US$136,6 miliar yang didominasi oleh Pemerintah

(51,0%), diikuti Swasta & lain-lain (49%).

Namun demikian, kewaspadaan perlu lebih

ditingkatkan mengingat terdapat beberapa tanda

peningkatan potensi tekanan dari sisi ULN. Pertama,

jumlah ULN terus meningkat. Dibandingkan dengan

posisi tahun 2006 terdapat kenaikan ULN sebesar 7%.

Peningkatan tersebut juga terjadi pada ULN jangka

pendek, yaitu dari USD16,5 miliar menjadi USD23,1

miliar atau naik 40,2%. Akibatnya, rasio ULN jangka

pendek terhadap total ULN meningkat dari 13%

menjadi 17%. Kedua, rasio ULN jangka pendek

terhadap cadangan devisa juga meningkat, yaitu dari

38,7% (akhir 2006) menjadi 40,6% (akhir 2007).

Selain itu, laju peningkatan cadangan devisa lebih

rendah dibandingkan dengan peningkatan ULN jangka

pendek.

Perkembangan ULN tersebut sangat penting

untuk dicermati dampaknya terhadap ketahanan

sektor keuangan mengingat ULN atau modal asing

yang masuk banyak yang ditempatkan dalam SBI dan

SUN, dan cenderung terus meningkat. Pada akhir

2007 jumlah SBI dan SUN yang dimiliki asing tercatat

sebesar USD11,3 miliar atau meningkat USD3,2 miliar

(39,3%) dibandingkan posisi tahun sebelumnya.

Tekanan terhadap ketahanan sektor keuangan dapat

muncul apabila modal asing yang ditempatkan pada

domestic securities tersebut tiba-tiba mengalir keluar

Grafik Boks 1.2.1Utang Luar Negeri

Juta USD

-

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

PemerintahSwastaLain-lain

Secara umum, sustainability ULN Indonesia terlihat

masih baik. Hal ini antara lain terlihat dari indikator-

indikator seperti external debt to GDP ratio, external

debt to export ratio dan debt service ratio (DSR). Ketiga

rasio tersebut pada tahun 2007 berada pada posisi yang

lebih rendah dari nilai benchmark yang ditetapkan oleh

World Bank sehingga dapat dikatakan berada pada level

yang cukup aman.

Grafik Boks 1.2.2Indikator Debt Burden Indonesia

%200

180

160

140

120

100

80

60

40

20

0

%300

250

200

150

100

50

01997 1998 1999 2005 2006 2007

ED / EXPORT (RHS)ED / GDP (RHS)DSR (LHS)ST ED / RESERVE (LHS)

Grafik Boks 1.2.3Rencana Pembayaran ULN Indonesia

Sumber : Dint/PPLN2008

Juta USD Juta USD

0

400

800

1.200

1.600

2.000

2.400

2.800

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

5.000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Pemerintah (lhs) Swasta (lhs) Total (rhs)

Page 31: Bank Indonesia Kajian Keuangan

21

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

secara serentak (sudden reversal). Di samping itu,

tekanan juga dapat timbul karena cukup besarnya

angka rencana pembayaran ULN. Untuk tahun 2008,

rencana pembayaran tersebut mencapai USD23,7

miliar, terdiri dari pembayaran ULN Pemerintah sebesar

USD9,1 miliar (38,3%) dan pembayaran ULN swasta

sebesar USD14,6 miliar (61,7%). Dengan demikian,

pihak Pemerintah dan swasta perlu mengupayakan

agar ULN tersebut dapat dilunasi pada waktunya

sehingga tidak menimbulkan reputational risk dan

tidak meningkatkan country risk Indonesia di mata

dunia internasional.

Page 32: Bank Indonesia Kajian Keuangan

22

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 33: Bank Indonesia Kajian Keuangan

23

Bab 2 Sektor Keuangan

Bab 2Sektor Keuangan

Page 34: Bank Indonesia Kajian Keuangan

24

Bab 2 Sektor Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 35: Bank Indonesia Kajian Keuangan

25

Bab 2 Sektor Keuangan

Sektor KeuanganBab 2

2.1. STRUKTUR SISTEM KEUANGAN INDONESIA

Dibandingkan dengan KSK edisi sebelumnya,

struktur sistem keuangan Indonesia tidak banyak

mengalami perubahan. Sistem keuangan masih terdiri dari

bank umum dan BPR, serta industri keuangan non-bank,

yaitu asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan,

sekuritas dan pegadaian. Data menunjukkan bahwa

perbankan masih tetap mendominasi, namun dengan

pangsa yang cenderung menurun menjadi sekitar 79%

dari total aset seluruh sistem keuangan. Selain itu, industri

perbankan juga masih didominasi oleh 15 bank besar

dengan pangsa mencapai sekitar 70% dari total aset

perbankan.

Selain perbankan, penurunan pangsa cukup besar

juga terjadi pada perusahaan pembiayaan. Sementara itu,

pangsa total aset perusahaan sekuritas menunjukkan

Pada semester II 2007 sektor keuangan Indonesia masih tetap terpelihara

stabilitasnya, khususnya pada sektor perbankan yang mampu menyerap

gejolak volatilitas yang relatif tinggi di pasar surat utang pemerintah. Industri

perbankan yang mendominasi sektor keuangan terus menunjukkan kinerja

yang menggembirakan dengan laju pertumbuhan kredit yang tinggi

meskipun komposisi kredit untuk tujuan produktif masih perlu ditingkatkan.

Kualitas kredit membaik, tercermin dari rasio NPL gross posisi akhir Desember

2007 yang untuk pertama kalinya sejak krisis berada di bawah 5%. Perbankan

tetap likuid dengan manajemen risiko yang semakin baik dalam menghadapi

gejolak pasar, yang disertai dengan profitabilitas dan permodalan yang

memadai.

Grafik 2.1Aset Lembaga Keuangan

2005

% total aset sektor keuangan

2006

Sumber: BI dan sumber lainnya

Bank Umum Komersial Bank Perkreditan RakyatPerusahaan Asuransi Dana PensiunPerusahaanPembiayaan Persahaan SekuritasPegadaian

81,5%

1,1%7,3%

3,5%5,3%

0,3%

1,0%

79,0%

1,1%

8,2%3,2% 4,6% 3,7% 0,3%

Page 36: Bank Indonesia Kajian Keuangan

26

Bab 2 Sektor Keuangan

kenaikan cukup signifikan, diikuti oleh perusahaan asuransi

yang juga mengalami sedikit kenaikan pangsa. Secara

agregat, total dana yang dikelola oleh sektor keuangan

mencapai sekitar 64% dari total PDB Indonesia.2Ω

2.2. PERBANKAN

2.2.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas

Perkembangan Dana Pihak Ketiga

Sepanjang semester II 2007 dana pihak ketiga (DPK)

sebagai sumber dana utama perbankan terus meningkat.

Pada akhir 2007, total DPK industri perbankan mencapai

Rp1.510,7 triliun atau dalam satu semester meningkat

sebesar Rp157,0 triliun (11,60%). Namun demikian,

perkembangan tersebut tidak lagi diwarnai preferensi

penempatan dana dalam valuta asing seperti yang terjadi

pada semester sebelumnya. Selama semester laporan, DPK

rupiah tumbuh 13,62% sedangkan DPK valas hanya

tumbuh 1,36%.

seperti dari giro dan tabungan, dalam rangka efisiensi

biaya. Tingginya pertumbuhan tabungan pada periode

laporan tidak terlepas dari maraknya berbagai macam

inovasi untuk produk tabungan, seperti kemudahan

tabungan sebagai alat pembayaran (debit card) dan produk

tabungan berjangka dengan bunga yang lebih tinggi.

Sementara itu, pertumbuhan deposito yang rendah

tampaknya terkait dengan semakin menurunnya suku

bunga deposito seiring dengan turunnya BI rate. Karena

imbal hasil deposito yang cenderung menurun, nasabah

memilih alternatif investasi lain yang lebih

menguntungkan, salah satunya dengan melakukan

penanaman dalam reksa dana. Akibatnya, selama semester

II 2007 NAB reksa dana tumbuh pesat yaitu sebesar 36,4%.

Kecukupan Likuiditas

Kondisi likuiditas perbankan selama semester II 2007

cukup terkendali. Perbankan memiliki ketahanan likuiditas

yang cukup baik, tercermin dari tingginya rasio antara

jumlah alat likuid3Ω terhadap jumlah non core deposit

(NCD)4Ω. Pertumbuhan alat likuid perbankan yang lebih

besar dibandingkan dengan pertumbuhan kewajiban

jangka pendek menyebabkan rasio alat likuid laporan

meningkat dari sebesar 138,9% pada akhir semester

Grafik 2.2Pertumbuhan DPK per Valuta (mtm)

2 PDB nominal harga berlaku

%

DPK Rupiah

DPK valas

Semester I

Semester II

-6

-3

0

3

6

9

2006 Juni 2007 2007

Meskipun deposito masih memegang pangsa

terbesar dari total DPK, namun pertumbuhannya pada

semester II 2007 justru lebih kecil dibandingkan dengan

giro dan tabungan. Giro dan tabungan masing-masing

tumbuh sebesar 9,25% dan 23,69%, namun deposito

hanya tumbuh 6,15%. Perkembangan tersebut sejalan

dengan strategi bank untuk menggali sumber dana murah,

Grafik 2.3Pertumbuhan DPK per Komponen (mtm)

Giro

Deposito

-3

0

3

6

9

12

2006 Juni 2007 2007

Semester IISemester I

Tabungan

%

3 Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI (giro BI, SBI dan Fasbi)4 Asumsi non core deposit (NCD) adalah 30% giro dan tabungan + 10% deposito jangka

waktu s.d 3 bulan

Page 37: Bank Indonesia Kajian Keuangan

27

Bab 2 Sektor Keuangan

mencapai angka 21% pada minggu kedua September

akibat cukup besarnya kontraksi likuiditas pada saat yang

bersamaan, yang sebagian besar untuk settlement Obligasi

Retail Indonesia (ORI) dan pembayaran pajak. Namun

dengan pengelolaan likuiditas yang cukup baik, antara lain

melalui pemanfaatan fasilitas SBI Repo, kondisi tersebut

tidak menimbulkan permasalahan likuiditas di industri

perbankan.

Grafik 2.4Rasio Alat Likuid Perbankan

sebelumnya menjadi sebesar 147,7% per akhir semester

laporan.

Namun demikian, preferensi penempatan alat likuid

perbankan pada instrumen yang bersifat likuid dan berisiko

rendah seperti SBI dan Fasbi masih menunjukkan

peningkatan. Pada akhir semester II 2007, penempatan

perbankan pada SBI dan Fasbi mencapai Rp250,70 triliun,

atau naik 11,86% dalam tempo 6 bulan. Dengan imbal

hasil yang cukup tinggi dan risiko yang rendah,

penempatan likuiditas pada SBI dan Fasbi sangat

menguntungkan sekaligus membantu manajemen

likuiditas mengingat DPK sebagai sumber dana utama

perbankan masih terkonsentrasi pada dana jangka pendek

yang rentan terhadap penarikan secara tiba-tiba. Pada

akhir semester laporan, konsentrasi dana jangka pendek

pada DPK mencapai 93,3%. Angka ini berpotensi

meningkat apabila bank terus menerapkan strategi

menggali sumber dana murah.

Pasar Uang Antar Bank (PUAB)

Kondisi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sepanjang

semester II 2007 cukup stabil meskipun dengan tingkat

bunga yang berfluktuasi yang disebabkan adanya

segmentasi di pasar PUAB. Tercatat suku bunga PUAB

overnight (O/N) tertinggi selama semester II 2007 pernah

Alat Likuid NCD Alat Likuid/NCD

Rp triliun

0

80

160

240

320

400

480

Des'06 Jun '07 Sept'07 Des '0760

120

180

%

Grafik 2.5Suku Bunga Rata-rata PUAB O / N

%

PUAB sore

PUAB Va DN

PUAB pagi

PUAB Va LN

0

4

8

12

16

Jan'07 Mar'07 Mei'07 Juli'07 Sep'07 Nov'07

Sementara itu, tingkat suku bunga PUAB terendah

sempat mencapai kurang dari 1% pada pertengahan

Oktober. Hal ini antara lain karena transaksi keuangan

belum sepenuhnya aktif setelah libur hari raya Idul Fitri,

tercermin dari penurunan volume transaksi PUAB rupiah

yang mencapai 70% dari pekan sebelumnya. Selain itu,

tidak dibukanya window Fasbi pada libur hari raya

mengakibatkan supply likuiditas yang berasal dari Fasbi

dan SBI jatuh waktu tidak dapat terserap kembali sehingga

menambah likuiditas pasar.

2.2.2. Perkembangan dan Risiko Kredit

Perkembangan Kredit

Membaiknya kondisi ekonomi, terutama rendahnya

suku bunga dan didukung dengan berbagai kebijakan

untuk mendorong intermediasi sepanjang 2007,

menunjukkan hasil sangat menggembirakan pada periode

laporan. Selama semester II 2007 kredit perbankan

Page 38: Bank Indonesia Kajian Keuangan

28

Bab 2 Sektor Keuangan

meningkat sangat signifikan (Rp141,5 triliun atau 15,7%)

dibandingkan periode sebelumnya (Rp 71,1 triliun atau

8,5%) sehingga total pertumbuhan kredit sepanjang 2007

mencapai 25,5%, melebihi target 22%.

Secara umum, perbankan lebih menekankan

penyaluran kredit pada jenis dengan risiko yang lebih

terkendali meskipun beberapa jenis kredit dengan risiko

lebih tinggi, seperti kredit pada sektor Industri dan kredit

dalam valas, tercatat meningkat cukup besar. Namun

demikian, peningkatan kredit ini lebih selektif

dibandingkan era sebelum krisis terutama karena telah

diterapkannya manajemen risiko yang lebih baik oleh

perbankan. Preferensi risiko yang lebih terkendali tercermin

antara lain dari besarnya peningkatan kredit dalam bentuk

modal kerja dan konsumsi dibanding jenis kredit investasi,

dan kecenderungan penyaluran kredit kepada debitur-

debitur lama dibanding dengan debitur-debitur baru.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, pangsa kredit

dalam aktiva perbankan mengalami peningkatan.

Sementara itu, rendahnya suku bunga tidak

menyurutkan minat masyarakat untuk menyimpan

dananya di perbankan, tercermin dari meningkatnya DPK

perbankan yaitu sebesar Rp157,0 triliun (11,60%).

Peningkatan tersebut masih lebih rendah daripada

peningkatan kredit sehingga loan-to-deposit ratio (LDR)

pada akhir Desember 2007 mencapai 69,2% atau lebih

tinggi dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2007 sebesar

66,8%.

Kredit perbankan dalam valuta asing terus meningkat

sejalan dengan kenaikan kegiatan ekspor dan impor serta

melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD sebesar

Rp590/USD. Kenaikan mencapai 21,8% atau 27% dari

total kenaikan kredit perbankan selama periode laporan.

Namun demikian, pangsa kredit valas dalam total kredit

perbankan relatif stabil pada kisaran 20% (akhir Desember

2007 sebesar 21,0%). Dari sisi risiko, perkembangan kredit

valuta asing ini belum mengkhawatirkan karena pangsanya

relatif kecil.

Grafik 2.6Pertumbuhan Kredit

Grafik 2.7Komposisi Aktiva Produktif

-5,0

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

2006 Juni 2007 Juni Des

%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Jun-07 Des-07

KreditBISSBABA

55,1%

13,7%

20,8%

10,1%

58,4%

14,0%

19,5%

7,8%

Grafik 2.8Perkembangan Kredit valas

Rp triliun

100,0

120,0

140,0

160,0

180,0

200,0

220,0

2005 Juni 2006 Juni 2007 Juni Des

Nominal (kiri)YOYYTD

-10,0

-5,0

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

40,0

%

Kredit Modal Kerja (KMK) merupakan jenis kredit

dengan kenaikan kredit terbesar dan pertumbuhan

tertinggi sepanjang paruh kedua tahun 2007. KMK

menyumbang 62,5% dari total kenaikan kredit sepanjang

semester laporan atau tumbuh 28,6% (yoy). Kenaikan

tersebut diikuti oleh Kredit Konsumsi (KK) yang

Page 39: Bank Indonesia Kajian Keuangan

29

Bab 2 Sektor Keuangan

total kenaikan kredit perbankan pada periode laporan atau

tumbuh 32,7% yoy. Hal ini kemudian diikuti oleh sektor

Lain-lain yang umumnya kredit konsumsi dengan kenaikan

mencapai 23,4% (tumbuh 24,7% yoy). Dengan

perkembangan tersebut, pangsa kredit Sektor Perdagangan

sudah mencapai 21,6% dari total kredit perbankan dan

telah melampaui pangsa kredit Sektor Industri sebesar

20,5%. Pilihan kredit dengan risiko yang terkendali juga

tercermin pada perkembangan kredit Mikro, Kecil dan

Menengah (MKM) yang periode laporan meningkat sebesar

Rp60,0 triliun (tumbuh 22,5% yoy). Dengan peningkatan

tersebut, kredit MKM menyumbang 40,7% dari total

kenaikan kredit perbankan periode laporan sehingga

totalnya mencapai 50,2% dari total kredit perbankan.

Diperkirakan pada semester I 2008, kredit tumbuh

tidak sebesar periode laporan, namun tetap akan lebih

besar dibandingkan semester I tahun 2007. Hal ini

dikarenakan cukup besarnya fasilitas kredit yang belum

ditarik nasabah (undisbursed loans) sampai dengan akhir

tahun 2007. Selama semester laporan jumlah undisbursed

loans (UL) perbankan naik sebesar Rp32,7 triliun atau

18,6% sehingga pada akhir Desember 2007 mencapai

angka sebesar Rp208,3 triliun. Secara persentase, total

UL pada akhir tahun tersebut mencapai 20,7% dari total

kredit perbankan, atau relatif stabil paska krisis dengan

kisaran 20%-21%.

menyumbang 23,6% dari total kenaikan kredit atau

tumbuh 24,6% (yoy).

Grafik 2.9Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan

line = YOYbar = YTD

-10,0

-5,0

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

2006 Jun 2007 Jun Des

KMK KI KK

Dengan perkembangan tersebut, pangsa kredit tetap

didominasi oleh KMK yaitu sebesar 53,3% dari total kredit

perbankan, diikuti oleh KK dengan pangsa sebesar 28,2%,

sedangkan sisanya dalam bentuk Kredit Investasi (KI).

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, besarnya

pangsa penyaluran kredit pada jenis KMK dan KK

mencerminkan preferensi bank untuk menyalurkan kredit

pada jenis dengan risiko kredit yang lebih terkendali. Hal

ini karena KMK umumnya berupa kredit berjangka pendek

dalam jumlah yang relatif cukup besar yang diberikan pada

debitur-debitur lama yang telah dikenal perbankan,

sementara KK biasanya mencakup fasilitas kredit yang

relatif lebih kecil dengan debitur mayoritas rumah tangga.

Perbankan memilih berkonsentrasi pada KMK dan KK

karena dapat membantu memitigasi mismatch sumber

dana yang dominan berjangka pendek. Namun demikian,

ke depan untuk mendukung tercapainya pertumbuhan

ekonomi yang lebih tinggi maka proporsi kredit untuk

tujuan produktif (kredit investasi dan modal kerja) perlu

lebih ditingkatkan.

Preferensi memilih risiko yang lebih terkendali juga

tercermin dari perkembangan kredit berdasarkan sektor

ekonomi. Sektor Perdagangan yang umumnya jenis kredit

modal kerja, naik paling besar yaitu mencapai 24,6% dari

Grafik 2.10Perkembangan Kredit Sektor Ekonomi

Rp triliun

120,0

140,0

160,0

180,0

200,0

220,0

240,0

260,0

280,0

300,0

2006 Jun 2007 Jun Des

Lain-lainIndustriPerdaganganGabungan

Page 40: Bank Indonesia Kajian Keuangan

30

Bab 2 Sektor Keuangan

Risiko Kredit

Membaiknya kondisi makroekonomi sangat

membantu proses restrukturisasi kredit perbankan,

sehingga untuk pertamakalinya sejak paska krisis rasio NPL

gross berada di bawah 5%. Hal ini juga seiring dengan

semakin efektifnya pelaksanaan manajemen risiko oleh

perbankan serta sebagai dampak dari berbagai kebijakan

yang dikeluarkan Bank Indonesia dan Pemerintah yang

kondusif bagi perbaikan kualitas kredit perbankan.

Perbaikan kredit bermasalah terutama terdapat pada bank-

bank besar milik Pemerintah sehingga tekanan risiko pada

sistem keuangan mengalami penurunan.

Selama semester II 2007 total kredit bermasalah

menurun sebesar Rp9,0 triliun atau 15,5% dibandingkan

periode sebelumnya yang hanya turun Rp0,6 triliun atau

1,0% sehingga nominal NPL turun menjadi Rp48,6 triliun.

Semua kredit pembentuk NPL (kategori Kurang Lancar,

Diragukan dan Macet) mengalami penurunan masing-

masing 30,2%, 34,5% dan 10,3%. Sementara itu, kredit

dengan kategori Dalam Perhatikan Khusus juga ikut

membaik dengan turunnya nominal sebesar 6,6%

dibandingkan posisi akhir Juni 2007. Membaiknya kualitas

kredit tersebut menjadi semakin terlihat positif dengan

meningkatnya kredit perbankan sebesar Rp141,7 triliun

atau 15,7% selama semester laporan, sehingga rasio NPL

Gross turun dari 6,4% menjadi 4,6%. Pada sisi lain,

turunnya nominal NPL menyebabkan penurunan

pembentukan penyisihan penghapusan kredit sebesar

Rp2,1 triliun atau 4,8%. Setelah memperhitungkan

pembentukan penyisihan ini, rasio NPL Net turun dari 2,9%

menjadi 1,9%, juga menjadi rasio terendah paska krisis.

Grafik 2.12Non Performing Loan

Grafik 2.11Perkembangan UL

Rp triliun

140

150

160

170

180

190

200

210

220

UL (kiri)Kredit

2006 Jun 2007 Jun Des700

750

800

850

900

950

1000

1050

Rp triliun

% Rp triliun

NPL Gross

NPL Nominal NPL Net

-

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

2003 2004 2005 2006 2007 Des25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

Grafik 2.13Nominal NPL

Rp triliun

KurangLancar (kiri)

Macet (kanan)Diragukan (kiri)

Total NPL

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

18,0

20,0

22,0

30,0

35,0

40,0

45,0

50,0

55,0

60,0

65,0

70,0

75,0

2006 Jun 2007 Jun Des

Rp triliun

Berkurangnya kredit bermasalah pada kelompok

bank-bank besar berperan mengurangi tekanan terhadap

ketahanan sistem keuangan. Selama semester II 2007,

nominal NPL kelompok bank ini turun cukup besar (Rp8,5

triliun atau 18,5%) dan diikuti dengan peningkatan kredit

yang cukup besar. Akibatnya, rasio NPL gross kelompok

bank ini turun dari 7,4% menjadi 5,2%. Penurunan NPL

bank-bank besar tersebut lebih banyak terjadi karena

restrukturisasi dan hapus buku pada bank-bank BUMN.

Namun demikian, terdapat peningkatan kredit non-lancar

pada kelompok kantor cabang bank asing sebesar Rp0,5

triliun atau 14,3%, sehingga rasio NPL gross mereka untuk

Page 41: Bank Indonesia Kajian Keuangan

31

Bab 2 Sektor Keuangan

ketat agar jangan sampai memburuk kualitasnya karena

dapat menimbulkan gangguan terhadap ketahanan sektor

keuangan. Sementara itu, perbaikan kualitas kredit juga

terjadi pada Sektor Perdagangan sebagai sektor dengan

pangsa nominal NPL kedua terbesar. Nominal NPL sektor

ini turun sebesar Rp2,2 triliun atau 19,6%, sehingga rasio

NPL grossnya turun dari 6,1% menjadi 4,1%.

pertama kalinya menyamai rasio NPL gross kelompok bank

besar yaitu sebesar 5,2%.

Grafik 2.14Perkembangan Nominal NPL

Grafik 2.15Perkembangan NPL Gross Kelompok Bank

Rp miliar

-10000 -8000 -6000 -4000 -2000 0 2000

Bank Besar

Bank Menengah

Bank Kecil

Campuran

Asing

%

Besar Menengah Kecil Campuran Asing0,0

3,0

6,0

9,0

4,0

7,4

4,0

3,1 3,0

5,15,2

3,2

2,21,8

5,2

3,63,33,8

8,4Des 06Jun-07Des-07

Dua sektor ekonomi dengan nominal NPL terbesar,

yaitu Sektor Industri Pengolahan dan Sektor Perdagangan,

mengalami perbaikan kualitas kredit yang cukup

menggembirakan. Membaiknya kondisi makroekonomi

selama semester laporan dan turunnya BI rate sebesar 50

bps dibandingkan periode laporan sebelumnya berdampak

positif pada outlook debitur pada saat restrukturisasi.

Akibatnya, nominal NPL Sektor Industri Pengolahan turun

cukup besar yaitu sebesar Rp4,0 triliun atau 21,7%

sehingga rasio NPL grossnya turun dari 10,0% menjadi

7,10%. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa Sektor

Industri Pengolahan masih mendominasi pangsa NPL yaitu

sebesar 35,3% dari total NPL perbankan. Dengan demikian,

penyaluran kredit kepada sektor ini perlu monitoring yang

Grafik 2.16Perkembangan Nominal NPL Sektor Ekonomi

Rp triliun

-5,0 -4,0 -3,0 -2,0 -1,0 0,0 1,0

Pertanian

Pertambangan

Industri

Listrik

Konstruksi

Perdagangan

Pengangkutan

Jasa Dunia Usaha

Jasa Sosial

Lain-lain

Grafik 2.17Pangsa NPL Menurut Sektor Ekonomi

Dapat ditambahkan bahwa pada semester laporan

dari seluruh sektor ekonomi, hanya penyaluran kredit

kepada Sektor Pertambangan saja yang sedikit mengalami

penurunan kualitas, sedangkan sembilan sektor lainnya

menunjukkan perbaikan. Dari segi stabilitas sistem

keuangan dan pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan

hal ini sangat menggembirakan. Ke depan, kemajuan ini

perlu dipertahankan sambil terus mengupayakan

perbaikan kualitas kredit kepada Sektor Pertambangan.

Gabungan Lainnya = Pertambangan, Listrik, Jasa Sosial, Konstruksi, Pengangkutan

0

20

40

60

80

100

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des

Pertanian

Industri

Perdagangan

Gabungan Lainnya

Jasa Dunia Usaha

%

Page 42: Bank Indonesia Kajian Keuangan

32

Bab 2 Sektor Keuangan

Mengingat pangsa NPL KMK dan KI dalam total NPL

perbankan masih tergolong sangat besar, tidak berlebihan

untuk mengatakan bahwa monitoring yang ketat sangat

diperlukan dalam menjaga agar perkembangan tersebut

tidak membahayakan ketahanan perbankan. Alasan lain

pentingnya monitoring yang ketat adalah kenyataan

bahwa kredit seperti KI biasanya ditujukan kepada debitur

korporasi, berjangka panjang dan dengan jumlah fasilitas

cukup besar serta sering dalam bentuk valas sehingga

debitur juga menjadi terekspose risiko nilai tukar yang

dapat menambah potensi default kreditnya.

Dari segi jenis penggunaan, kualitas kredit modal

kerja (KMK) dan kredit investasi (KI) mengalami perbaikan

cukup besar. Membaiknya kualitas kredit Sektor Industri

Pengolahan dan Sektor Perdagangan tersebut di atas,

secara tidak langsung juga memperbaiki kualitas KMK

sebagai jenis kredit dengan pangsa NPL terbesar dalam

total NPL perbankan. Secara nominal NPL KMK turun

sebesar Rp6,1 triliun atau 23,3% sehingga rasio NPL gross

kredit ini turun dari 5,8% menjadi 3,7%. Sejalan dengan

kemajuan tersebut, pangsa NPL KMK dalam total NPL

perbankan turun dari 52,1% menjadi 48,8%. Sementara

itu, NPL KI juga mengalami perbaikan tercermin dari

penurunan nominal sekitar Rp2,9 triliun atau 19,1%

sehingga rasio NPL grossnya turun dari 9,1% menjadi

6,6%. Dalam kaitan ini, pangsa nominal NPL KI tercatat

mencapai 30,0% dari total NPL perbankan pada akhir

semester II 2007.

Grafik 2.19Pangsa NPL Menurut Jenis Penggunaan Kredit

Grafik 2.18Perkembangan NPL Kredit Jenis Penggunaan

Rp triliun

Modal Kerja

Investasi

Konsumsi

-7,0 -6,0 -5,0 -4,0 -3,0 -2,0 -1,0 0,0

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des

Modal Kerja Investasi Konsumsi

Grafik 2.20Perkembangan NPL Gross

Investasi (kiri)

Modal Kerja (kiri)

Konsumsi (kanan)

2,0

7,0

12,0

17,0

22,0

2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0% %

Kelompok terakhir kredit berdasarkan jenis

penggunaannya adalah kredit konsumsi (KK). Selama

semester laporan, jenis kredit ini mengalami sedikit

perbaikan kualitas ditandai dengan turunnya nominal NPL

sebesar Rp0,01 triliun atau 0,1%, sehingga rasio NPL gross

KK menurun dari 3,5% menjadi 3,1%. Kecilnya perbaikan

kualitas mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi sektor

rumah tangga masih belum menggembirakan terutama

dari segi pendapatan. Pada sisi lain, hal ini juga dapat

diartikan bahwa sektor rumah tangga belum mampu

mengelola pendapatannya dengan baik.

Secara umum, terdapat 3 komponen kredit konsumsi

yang perlu diperhatikan, yaitu kartu kredit, kredit

kepemilikan rumah (KPR) dan jenis lainnya (meliputi antara

lain kredit kendaraan bermotor, multiguna dan kredit tanpa

Page 43: Bank Indonesia Kajian Keuangan

33

Bab 2 Sektor Keuangan

agunan). Dari ketiga jenis kredit konsumsi ini, pada akhir

semester II 2007 rasio NPL gross tertinggi terdapat pada

kartu kredit, yaitu sebesar 12,0%, sedangkan rasio NPL

gross KPR dan jenis lainnya tercatat masing-masing sebesar

3,02% dan 1,90%. Tingginya rasio NPL gross kartu kredit

antara lain karena masih adanya kendala perpajakan dalam

melakukan penghapusbukuan kredit. Namun demikian,

perbankan umumnya sudah membentuk cadangan yang

memadai sehingga rasio NPL netto kartu kredit sebenarnya

cukup rendah.

MKM turun sebesar Rp7 triliun atau 23,8%, sehingga rasio

NPL grossnya turun dari 7,3% menjadi 4,6%. Meskipun

pangsa kredit non-MKM terhadap total kredit perbankan

hanya sebesar 48,9% atau lebih rendah dari pangsa kredit

MKM, namun penurunan NPL kredit non-MKM merupakan

hal yang sangat menggembirakan mengingat debitur non-

MKM umumnya berasal dari sektor korporasi dengan

jumlah fasilitas yang besar, berjangka waktu panjang dan

sering dalam bentuk valas sehingga dapat membahayakan

ketahanan sistem keuangan apabila tidak mampu melunasi

pinjamannya kepada perbankan. Pengalaman krisis tahun

1997/1998 menunjukkan bahwa debitur korporasi sangat

rentan terhadap krisis keuangan.

Kinerja kredit valas membaik sehingga mengurangi

tekanan risiko pada perbankan. Dalam kenyataannya

sebagian besar debitur korporasi yang direstrukturisasi oleh

Grafik 2.21Perkembangan Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi

0

3

5

8

10

13

15

2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des

KPRKartu KreditLainnya

%

Sementara itu, kualitas kredit Mikro Kecil dan

Menengah (MKM) juga menunjukkan perbaikan, ditandai

dengan penurunan nominal NPL sebesar Rp2,0 triliun atau

10,0% sehingga rasio NPL grossnya turun dari 4,8%

menjadi 3,5%. Perbaikan kualitas kredit ini didukung oleh

membaiknya kondisi ekonomi dan adanya berbagai

kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia yang ditujukan

untuk mendorong kemajuan usaha MKM. Jenis kredit ini

diperkirakan tidak akan menimbulkan tekanan pada

stabilitas sistem keuangan dalam jangka pendek karena

tipikal kreditnya cukup terdiversifikasi dengan plafon kredit

yang relatif kecil dan jumlah debitur cukup besar, serta

terkonsentrasi pada jenis konsumsi.

Perbaikan kualitas juga terlihat pada kredit non-MKM

yang umumnya debitur dengan fasilitas kredit di atas Rp5

miliar. Selama semester II 2007, nominal NPL kredit non-

Grafik 2.22Nominal NPL Korporasi dan MKM

Grafik 2.23NPL Gross MKM dan Korporasi

Korporasi (kiri)

UMKM (kanan)

-

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

0

5

10

15

20

25

2001 2004 `2005 2006 2007 Des

Rp triliun Rp triliun

Korporasi (kiri)

MKM (kanan)

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

9,0

10,0

11,0

12,0

13,0

2003 2004 `2005 2006 2007 Des2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

4,5

5,0

5,5% %

Page 44: Bank Indonesia Kajian Keuangan

34

Bab 2 Sektor Keuangan

bank-bank BUMN merupakan debitur dengan fasilitas

kredit valas. Keberhasilan restrukturisasi tersebut

mendorong penurunan nominal NPL valas sebesar Rp2,1

triliun atau 2,14%, sehingga rasio NPL grossnya turun dari

7,9% menjadi 5,1%. Sementara itu, nominal NPL kredit

rupiah menurun sebesar Rp6,8 triliun atau turun 16,9%,

sehingga rasio NPL gross kredit tersebut turun dari 5,3%

menjadi 3,8%.

diperoleh cukup tinggi untuk menutupi tambahan

penyisihan penghapusan kredit yang dibutuhkan, serta

kuatnya permodalan.

Stress Test

Guna mengetahui ketahanan sistem perbankan

terhadap gejolak risiko kredit dilakukan suatu stress test

yang memperlihatkan pengaruh kenaikan NPL terhadap

permodalan bank. Dalam stress test tersebut, perbankan

digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu 15 bank besar,

bank menengah dan bank kecil. Sementara itu, skenario

kenaikan NPL dibuat dalam beberapa alternatif dan

dikaitkan dengan NPL posisi akhir semester II 2007. Hasil

stress test menunjukkan bahwa perbankan masih mampu

menghadapi shock berupa kenaikan NPL sampai dengan

sebesar 25% dari posisi laporan. Khusus untuk 15 bank

besar, rata-rata CAR turun sekitar 1% (terendah 0% dan

tertinggi 5,5%) dari 18,0% menjadi 16,9%. Bahkan, CAR

bank menengah dan bank kecil cenderung selalu lebih

tinggi dibandingkan dengan CAR bank besar untuk setiap

skenario. Cukup besarnya kemampuan perbankan dalam

mengatasi kenaikan NPL tersebut adalah karena laba yang

Grafik 2.24NPL Valas dan Rupiah

% USD miliar

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

-

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

4,5

NPL Valas (USD)NPL Gross (kiri)

Mitigasi Risiko

Untuk menurunkan risiko kredit perbankan,

beberapa upaya terus dilakukan. Perbankan melakukan

mitigasi risiko kredit dengan menerapkan manajemen risiko

pada setiap lini bisnis, serta dengan meningkatkan

kemampuan bank dalam mengelola risiko dengan

pengembangan kompetensi sumber daya manusia melalui

program sertifikasi. Implementasi Basel II juga diharapkan

akan memperkuat pelaksanaan manajemen risiko kredit

perbankan ke depan. Upaya penting lainnya yang

dilakukan perbankan untuk memitigasi risiko kredit adalah

menjaga kecukupan pembentukan penyisihan

penghapusan kredit. Selama periode laporan, penyisihan

yang dibentuk turun sebesar Rp2,1 triliun atau 4,8%

sejalan dengan menurunnya nominal NPL perbankan.

Meskipun menurun, namun penyisihan yang dibentuk

cukup konservatif untuk mengantisipasi kerugian.

Mitigasi risiko kredit juga terbantu oleh kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah. Salah satunya

adalah adanya jaminan yang diberikan Pemerintah

terhadap kredit untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) sehingga

risiko yang harus ditanggung perbankan menjadi lebih

Grafik 2.25Stress Test NPL terhadap CAR

Skenario Kenaikan NPL

15,0

17,5

20,0

22,5

15 Bank Besar Bank Menengah Bank Kecil

Car Awal 1 2 3 4 5 7 10 15 20 25

%

Page 45: Bank Indonesia Kajian Keuangan

35

Bab 2 Sektor Keuangan

rendah. Selain itu, Pemerintah juga telah merevisi paket

investasi yang dapat meningkatkan kepastian berusaha

bagi pelaku bisnis. Hal ini secara tidak langsung membantu

mengurangi potensi risiko kredit bagi perbankan. Dalam

konteks restrukturisasi kredit, implementasi Peraturan

Pemerintah No.33/2006 tentang Tata Cara Penghapusan

Piutang Negara, diharapkan juga akan membantu mitigasi

risiko kredit terutama bagi bank-bank milik Pemerintah.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Bank

Indonesia juga turut membantu perbankan dalam

memitigasi risiko kredit. Kebijakan moneter yang kondusif

akan memudahkan perbankan melakukan langkah-

langkah untuk memperbaiki kualitas kredit disamping terus

meningkatkan fungsi intermediasi terutama untuk tujuan

produktif. Sementara itu, serangkaian kebijakan perbankan

juga telah diterbitkan untuk mendorong pelaksanaan

manajemen risiko yang efektif di perbankan. Tidak kalah

pentingnya adalah pembentukan Biro Informasi Kredit (BIK)

untuk membantu penyediaan informasi kredit yang

dibutuhkan dunia usaha sehingga mengurangi risiko kredit

karena faktor kelemahan informasi.

2.2.3. Risiko Pasar

Membaiknya kondisi makroekonomi yang

mendorong penurunan BI rate cenderung membuat risiko

pasar yang dihadapi perbankan relatif terkendali. Trend

penurunan suku bunga yang telah berlangsung sejak awal

tahun 2007 masih berlanjut pada semester II meskipun

sedikit melambat pada akhir tahun. Sejalan dengan hal

itu, rata-rata suku bunga deposito 1 bulan rupiah pada

semester laporan hanya turun 27 bps, padahal pada

semester sebelumnya turun 150 bps. Sementara itu, suku

bunga kredit modal kerja (KMK), kredit investasi (KI) dan

kredit konsumsi (KK) turun masing-masing sebesar 88 bps,

98 bps dan 78 bps.

Walaupun suku bunga KK turun lebih rendah

dibandingkan suku bunga kredit lainnya namun

penurunannya lebih besar bila dibandingkan semester

sebelumnya. Melambatnya penurunan suku bunga pada

akhir tahun tampaknya terkait dengan sempat tertahannya

penurunan BI rate. Namun demikian, secara umum tampak

bahwa bank-bank sudah lebih berani menurunkan suku

bunga kreditnya. Pada akhir Desember 2007, suku bunga

KMK dan KI masing-masing sebesar 13,00% dan 13,01%

Grafik 2.26Kredit, NPL dan Penyisihan Penghapusan Kredit

Rp triliun

Nominal NPL (kiri)

PPAP (kiri)

Kredit (kanan)

30

40

50

60

70

80

90

100

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007200

300

400

500

600

700

800

900

1000

1100

Grafik 2.28Suku Bunga Kredit per Kelompok Bank

Grafik 2.27Perkembangan Suku Bunga dan Nilai Tukar

Deposito 1 bln(ki)

KMK (ki)

KI (ki)

KK (ki)

Kurs (kn)

% Rp triliun

4

7

10

13

16

19

22

2002 2003 2004 2005 2006 20077500

8500

9500

10500

11500

%

0

10

20

30

40

KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KKPersero BPD BUSN Asing & camp. Seluruh

Jun06 Des06

Jun07 Des07

Page 46: Bank Indonesia Kajian Keuangan

36

Bab 2 Sektor Keuangan

atau sudah mencapai level terendah sejak tahun 2001,

dan hanya suku bunga KK yang relatif masih tinggi yaitu

sebesar 16,13%. Tingginya suku bunga KK terutama

disumbangkan oleh kelompok bank campuran dan

kelompok kantor cabang bank asing yang rata-ratanya

masih di atas 30%.

Dengan trend penurunan suku bunga yang

berlanjut selama semester II 2007, perbankan umumnya

melakukan pengelolaan risiko suku bunga dengan

memelihara portofolio dengan posisi net short untuk

jangka pendek dan net long pada jangka panjang.

Dengan demikian bank menikmati keuntungan saat suku

bunga turun. Komposisi profil maturitas tersebut terjadi

baik untuk portofolio rupiah maupun valas dengan tren

yang cenderung meningkat dibandingkan posisi akhir

tahun lalu terutama untuk portofolio valas. Peningkatan

posisi valas ini perlu mendapat perhatian, karena

meskipun jumlahnya masih relatif kecil namun

menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat

khususnya untuk posisi net short jangka pendek.

Meskipun bank diperkirakan mampu mengatasi gejolak

nilai tukar karena ditopang oleh permodalan yang relatif

tinggi, namun pelaksanaan manajemen risiko yang efektif

juga sangat diperlukan.

Stress Test

Dengan kondisi profil maturitas seperti di atas maka

potensi risiko suku bunga akan meningkat apabila terjadi

pembalikan arah pergerakan suku bunga. Masih belum

berkembangnya pasar hedging dan derivative yang dapat

mendukung pelaksanaan mitigasi risiko membuat bank

perlu sangat berhati-hati menghadapi kemungkinan

terjadinya pergerakan suku bunga yang berlawanan

tersebut. Hasil stress test menunjukkan bahwa setiap

peningkatan suku bunga 1% akan berpengaruh pada

penurunan CAR rata-rata sebesar 34 bps.

Pergerakan nilai tukar yang cukup fluktuatif pada

akhir Semester II 2007 tidak sampai menimbulkan

instabilitas karena bank memelihara rasio Posisi Devisa

Netto (PDN) yang masih relatif rendah, yaitu sebesar

4,47%. Namun demikian, dibandingkan dengan posisi

akhir semester sebelumnya sebesar 3,92%, terdapat

peningkatan rasio PDN yang cukup besar. Peningkatan

tersebut terjadi karena kenaikan profil maturitas untuk

posisi short jangka pendek.

Meskipun secara rata-rata rasio PDN tersebut masih

jauh di bawah batas maksimum 20%, namun trend

peningkatan tersebut perlu diwaspadai dengan

meningkatkan manajemen risiko serta mempersiapkan

contingency plan yang memadai. Berdasarkan hasil stress

test tentang dampak apresiasi/depresiasi nilai tukar rupiah

terhadap permodalan (CAR) diketahui bahwa secara umum

perbankan masih mampu memelihara CAR di atas 8%.

Grafik 2.30Maturity Profile Valas

USD Miliar

(15)

(10)

(5)

0

5

10

sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln

Des05 Jun06Des06 Jun07Des07

Grafik 2.29Maturity Profile Rupiah

Rp triliun

(450)

(300)

(150)

0

150

300

450

sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln

Des05 Jun06Des06 Jun07Des07

Page 47: Bank Indonesia Kajian Keuangan

37

Bab 2 Sektor Keuangan

Sejalan dengan trend penurunan suku bunga, minat

perbankan untuk memiliki SUN khususnya dengan

portofolio trading terus menunjukkan peningkatan. Hal

ini terlihat dari naiknya kepemilikan perbankan atas SUN

trading sebesar Rp12,5 triliun dibandingkan dengan akhir

semester sebelumnya, sehingga komposisi SUN trading

meningkat dari 61,2% menjadi 64,3% dari total

keseluruhan SUN yang dimiliki perbankan. Kondisi ini

dapat menyebabkan perbankan semakin terekspose oleh

risiko pasar yang terkait dengan harga SUN. Meskipun

kenaikan komposisi SUN trading tersebut tidak terlalu

besar, namun kewaspadaan perlu ditingkatkan

mengingat pasar keuangan global akhir-akhir ini

cenderung terus bergejolak.

Sejauh ini, strategi yang dilakukan perbankan untuk

memitigasi risiko pasar yang terkait dengan harga SUN

adalah dengan memelihara proporsi SUN trading yang

rendah. Strategi tersebut cukup berhasil karena juga

didukung oleh permodalan perbankan yang kuat. Dengan

demikian, tekanan terhadap permodalan baru akan

dirasakan apabila harga SUN jatuh secara signifikan. Hasil

stress test menunjukkan bahwa CAR bank akan berkurang

menjadi di bawah 8% apabila terjadi penurunan harga

SUN sebesar 20% atau lebih. Ke depan, di samping

mengandalkan permodalan yang kuat, perbankan perlu

terus meningkatkan kemampuan manajemen risikonya.

2.2.4. Profitabilitas dan Permodalan

Profitabilitas

Profitabilitas perbankan selama semester II 2007

relatif membaik dibandingkan semester sebelumnya.

Dibandingkan dengan posisi yang sama pada tahun

sebelumnya, pendapatan bunga bersih (NII) perbankan

naik dari Rp46,4 triliun pada Desember 2006 menjadi Rp50

triliun pada Desember 2007. Hal tersebut terkait dengan

kenaikan pendapatan bunga dari Rp87 triliun (selama

semester I 2007) menjadi sebesar Rp89 triliun (selama

semester II 2007) yang disertai dengan turunnya biaya

bunga dari Rp40,6 triliun menjadi Rp39 triliun. Peningkatan

profitabilitas ini terutama karena peningkatan jumlah kredit

yang lebih tinggi dibanding peningkatan dana pihak ketiga

(DPK), yang didukung oleh membaiknya kualitas kredit dan

kecenderungan perbankan untuk mengurangi sumber

dana mahal.

Grafik 2.31Perkembangan PDN (Overall)

Grafik 2.32SUN yang Dimiliki Perbankan

16.9

14.7

16.915.3

17.419.2

0

4

8

12

16

20

24

Sep Des Mar Jun Sep Des2006 2007

BUSN

Bank asing

Bank campuran

SELURUH

BPD

PDN Tertinggi

Bank persero

%

0

25

50

75

100

Des»05 Jun»06 Des»06 Jun»07 Des»075

9

13

17

21

trading (ki) investment (ki)SUN Trading thd TA (ka) SUN thd TA (ka)

% %

Grafik 2.33Perkembangan NII Perbankan

Rp triliun

-

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

Des «03 Jun «04 Des «04 Jun «05 Des «05 Jun «06 Des «06 Jun «07 Des «07

Pendapatan Bunga Beban Bunga NIM

Page 48: Bank Indonesia Kajian Keuangan

38

Bab 2 Sektor Keuangan

Sementara itu, ROA mengalami sedikit penurunan

dari 2,81% menjadi 2,78% karena kenaikan NII diimbangi

oleh kenaikan aset. Dengan menggolongkan perbankan

menjadi kelompok bank besar dan kelompok lainnya

diketahui bahwa penurunan ROA hanya dialami oleh

kelompok bank lainnya yaitu dari 3,26% menjadi 2,98%.

Sementara itu, kelompok bank besar justru mengalami

peningkatan ROA dari 2,62% menjadi 2,69%.

Permodalan

Meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan selama

periode laporan mendorong terjadinya peningkatan ATMR

perbankan. Dalam kaitan ini, peningkatan ATMR yang lebih

tinggi dari kenaikan modal menyebabkan rasio permodalan

(CAR) turun dari 20,7% menjadi 19,3%. Penurunan CAR

ini dialami oleh seluruh kelompok bank. Penurunan

terbesar dialami oleh kelompok bank lainnya yaitu dari

23,8% menjadi 22,1%, sedangkan penurunan terkecil

terdapat pada kelompok bank besar yaitu dari 19,3%

menjadi 18,0%.

Grafik 2.34Rasio ROA Kelompok Bank

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

Bank Besar Bank Lainnya Industri

Jun'07 Des'07

Grafik 2.35Komposisi Pendapatan Bunga Bank

BI SSB Kredit Lainnya

Des «05 Jun «06 Des «06 Jun «07 Des «076,01 8,75 10,37 11,78 10,2

22,0 22,9 21,4 16,8 16,9

63,1 59,2 60,1 63,5 64,7

8,90 9,16 8,21 7,88 8,3

%

Pangsa pendapatan bunga kredit terus meningkat.

Sejalan dengan peningkatan kredit yang disalurkan maka

pangsa pendapatan bunga kredit juga turut meningkat

dari 63,5% menjadi 64,7%. Sementara itu, pangsa

pendapatan bunga dari surat-surat berharga (SSB)

meningkat dari 16,8% menjadi 16,9%. Selanjutnya,

sejalan dengan penurunan BI rate maka pendapatan dari

SBI turun dari 11,8% menjadi 10,2%.

Grafik 2.36Rasio CAR Kelompok Bank Semester II 2007

0

5

10

15

20

25

Bank Besar Bank Lainnya Industri

%

Des'07Jun'07

Grafik 2.37Rasio Modal Inti terhadap ATMR dan CAR

0

5

10

15

20

25

30

A B C D E F G H I J K L M N O

15 B

B

Asg

Cmpr

Lain

nya

Inds

tCAR

Tier 1 : ATMR

Meskipun mengalami penurunan, CAR perbankan

Indonesia masih tergolong tertinggi di Asia. Permodalan

perbankan sebagian besar adalah modal inti (Tier I) dengan

rasio terhadap ATMR sebesar 16,8% pada akhir Desember

2007. Tingginya rasio modal inti terhadap ATMR ini

Page 49: Bank Indonesia Kajian Keuangan

39

Bab 2 Sektor Keuangan

- Naiknya suku bunga terhadap net maturity profile

asset dan kewajiban bank dibawah 3 bulan. Dalam

hal ini, apabila bank dalam posisi long atau aset lebih

besar dibanding kewajiban maka akan berdampak

positif bagi bank dan sebaliknya.

- Melemahnya nilai tukar terhadap posisi devisa netto

bank. Dalam hal ini, apabila bank dalam posisi long

maka akan berdampak positif bagi bank dan

sebaliknya.

Disamping itu, stress test dimaksud dilengkapi

dengan skenario turunnya harga SUN menjadi di bawah

par pada persentase tertentu serta meningkatnya NPL bank

pada persentase tertentu. Dampak dari skenario tersebut

akan ditransmisikan pertama kali pada laba rugi bank dan

kemudian pada permodalan bank.

Selain mempertimbangkan risiko pasar, stress test

ini juga memperhitungkan risiko kredit dengan skenario

yang digunakan berupa memburuknya kondisi perkreditan

tiap kategori. Skenario tersebut adalah NPL naik sebesar

5% dari kredit kategori Lancar (L) dan Dalam Perhatian

Khusus (DPK), diikuti 5% kredit kategori Kurang Lancar

(KL) menurun menjadi kategori Diragukan (D) dan 5%

kredit kategori Diragukan (D) turun menjadi Macet (M).

Di samping itu, skenario stress test ini juga dilengkapi

dengan naiknya suku bunga 3% yang akan mempengaruhi

aset dan kewajiban bank, khususnya dengan maturity di

bawah 3 bulan, melemahnya nilai tukar sebesar Rp500

terhadap Posisi Devisa Netto bank dan turunnya nilai Surat

Utang Negara sebesar 5% dari harga par. Selanjutnya,

besarnya dampak skenario tersebut terhadap permodalan

bank sangat tergantung kepada kondisi NPL, aktiva dan

kewajiban valas, kecukupan Penyisihan Penghapusan

Aktiva Produktif, besarnya laba rugi bank dan permodalan

bank.

Berdasarkan skenario tersebut, hasil stress test

terhadap 15 bank besar menunjukkan bahwa 1 bank rasio

mencerminkan bahwa solvabilitas perbankan dalam

kondisi yang memadai dalam menyerap risiko usahanya

serta memberi ruang gerak yang cukup bagi perbankan

untuk melakukan ekspansi kredit.

Penting dicatat bahwa walaupun CAR perbankan

secara agregat tergolong tinggi, masih terdapat beberapa

bank menengah dan kecil yang memiliki CAR marginal

(antara 9% - 12%). Dengan CAR yang marginal, bank-bank

tersebut akan sangat rentan terhadap peningkatan risiko

terutama apabila tidak memiliki manajemen risiko yang baik.

Sementara itu, terkait dengan kewajiban bank umum

untuk memiliki modal inti minimum sebesar Rp80 miliar

pada akhir 2007, diketahui bahwa seluruh bank telah

memenuhi kewajiban tersebut. Mengingat pada akhir

2010 perbankan diwajibkan memiliki modal inti minimum

sebesar Rp100 miliar maka pemantauan ke depan

ditekankan untuk mengetahui potensi pemenuhan

ketentuan tersebut. Pada akhir Desember 2007 jumlah

bank yang memiliki modal inti antara Rp80 miliar s.d.

Rp100 miliar tercatat sejumlah 20 bank.

Grafik 2.38Peta Perkembangan Modal Inti

30

9

23

39

2925

9

25

41

30

9

2025

43

33

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

< 80 M 80 M - 100 M 100 M - 200 M 200 M -1 T > 1 T

Data SIMWAS, sebelum judgement pengawas

Des'06Jun'07

Des-07

Stress Test

Guna melihat ketahanan 15 bank besar dalam

menghadapi memburuknya kondisi perekonomian,

dilakukan stress test yang terintegrasi (integrated stress

test) yang mencakup perubahan beberapa variabel

ekonomi yaitu:

Page 50: Bank Indonesia Kajian Keuangan

40

Bab 2 Sektor Keuangan

hanya tumbuh 15,52% atau jauh lebih rendah

dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun

sebelumnya sebesar 37,65%.

Grafik 2.40Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan

CARnya menjadi di bawah ketentuan. Selain itu, secara

rata-rata terdapat penurunan CAR sebesar 1,5% yaitu dari

rata-rata 18,0% menjadi 16,5%. Dengan demikian, secara

umum permodalan bank terlihat masih cukup kuat

menghadapi berbagai shock yang datang dari beberapa

jenis risiko secara simultan.

Grafik 2.39Stress Test CAR

%30

25

20

15

10

5

0A B C D E F G H I J K L M N O

CAR AWALCAR BARU

0

20

40

60

80

100

120

140

Aset Pembiayaan Pendanaan Modal

Milliar Rp

200420052006

NovJun 07

2.3. LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK DAN

PASAR MODAL

Sampai dengan akhir semester II 2007, lembaga

keuangan bukan bank dan pasar modal terus berkembang

ditengah meningkatnya tekanan sebagai akibat dari

bergejolaknya pasar global. Sementara itu, meningkatnya

NPL pembiayaan konsumen oleh perusahaan pembiayaan

perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan tekanan

terhadap ketahanan perbankan dan sistem keuangan.

Kewaspadaan juga semakin diperlukan karena meskipun

pasar keuangan terus menguat, namun volatilitas jangka

pendek cenderung meningkat.

2.3.1. Perusahaan Pembiayaan

Pada tahun 2007 (s.d November 2007), kinerja

perusahaan pembiayaan (PP) meningkat cukup pesat

terlihat dari meningkatnya total aset sekitar 16% menjadi

Rp126,4 triliun, atau lebih tinggi dibandingkan dengan

tahun sebelumnya yang hanya meningkat sekitar 13%.

Namun, dari segi pembiayaan cenderung melambat, yaitu

Jenis pembiayaan PP, khususnya PP Swasta Nasional

tetap terkonsentrasi pada pembiayaan konsumen yaitu

kredit kendaraan bermotor. Kredit jenis ini memiliki potensi

risiko yang cukup tinggi terkait dengan ekspektasi turunnya

permintaan kendaraan bermotor sebagai dampak

kenaikan harga minyak dunia. Tingginya risiko pembiayaan

konsumen juga tercermin dari meningkatnya NPL

pembiayaan konsumen, yaitu dari 1,24% (Desember 2006)

menjadi 1,52% (Oktober 2007).

Sementara itu, profitabilitas PP meningkat. Hal ini

terlihat pada naiknya laba sebelum pajak sebesar 11%

menjadi Rp4,48 triliun, padahal tahun sebelumnya turun

Grafik 2.41Kegiatan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan

%

Sewa GunaUsaha

AnjakPiutang

KartuKredit

PembiayaanKonsumen

100

90

80

70

60

50

4030

20

10

0

0%Swasta Nasional 3% 87%

Total 2% 1% 63%

Patungan 1% 2% 50%10%

34%46%

Page 51: Bank Indonesia Kajian Keuangan

41

Bab 2 Sektor Keuangan

sebesar 13%. Namun demikian, ROE menurun menjadi

19% (November 2007) dibandingkan dengan 21%

(Desember 2006) terutama karena berkurangnya

efektivitas pengelolaan aset oleh PP Swasta Nasional.

PP Patungan mengalami peningkatan efisiensi,

tercermin pada turunnya rasio Biaya Operasi terhadap

Pendapatan Operasi (BOPO) dari sekitar 90% (Desember

2006) menjadi sekitar 76% (November 2007).

Meningkatnya efisiensi PP Patungan terutama karena

meluasnya akses terhadap sumber dana yang didukung

pula oleh semakin terdiversifikasinya pembiayaan.

menjadi 3,90 (November 2007). Pada tahun 2007,

terdapat 9 perusahaan yang telah melakukan penawaran

umum obligasi dengan nilai emisi sebesar Rp6,15 triliun.

Selain itu, terdapat 1 perusahaan melakukan right issue,

dan 1 perusahaan melakukan penerbitan obligasi di luar

negeri.

Terkonsentrasinya PP pada pembiayaan konsumen

terutama untuk pembelian kendaraan bermotor dan

meningkatnya NPL pembiayaan konsumen tersebut, serta

tingginya ketergantungan PP terhadap sumber dana

perbankan dapat meningkatkan eksposur risiko bagi bank.

Sementara itu, penerapan PBI No.8/6/PBI/2006 tentang

Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi Bagi Bank

Yang Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan Anak

berpotensi menyebabkan PP yang terafiliasi dengan bank

mengalami kerugian karena meningkatnya biaya

pencadangan sejalan dengan meningkatnya NPL

Grafik 2.42Kinerja Perusahaan Pembiayaan

0

20

40

60

80

100

120

Des 05 Des 06 Nov 07

Ribu

0 ,00

0 ,05

0 ,10

0 ,15

0,20

0 ,25

0 ,30

0,35

ROA PPROE PP

ROA SNROE SN

Pembiayaan TotalPembiayaan SNPembiayaan Ptgn

Pinjaman dari perbankan domestik tetap menjadi

sumber dana utama PP Swasta Nasional. Pada 2007 jumlah

pinjaman tersebut meningkat sekitar 30% menjadi

Rp13,47 triliun. Sementara itu, pinjaman perbankan

domestik kepada PP secara keseluruhan meningkat sebesar

19% sehingga mencapai angka Rp35,47 triliun yang

terutama diberikan kepada PP Patungan. Di samping

pinjaman dari perbankan domestik, PP Patungan juga

memanfaatkan sumber dana pinjaman luar negeri. Porsi

pinjaman luar negeri PP Patungan mencapai 52% dari total

pinjaman (November 2007).

Selama 2007, PP cukup aktif menghimpun dana

melalui penerbitan obligasi sehingga rasio pinjaman

terhadap ekuitas menurun dari 3,98 (Desember 2006)

Grafik 2.44Sumber Dana PP Patungan

Grafik 2.43Sumber Dana PP Swasta Nasional

Ribu

Pinjaman Perbankan DomestikPinjaman Luar Negeri

SSB

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Des 05 Des 06 Jun 07 Jul 07 Ags 07 Sep 07 Okt 07 Nov 07

Ribu

Pinjaman Perbankan Domestik

Pinjaman Luar Negeri

Des 05 Des 06 Jun 07 Jul 07 Ags 07 Sep 07 Okt 07 Nov 07

SSB

0

5

10

15

20

25

30

35

Page 52: Bank Indonesia Kajian Keuangan

42

Bab 2 Sektor Keuangan

pembiayaan konsumen. Kerugian PP tersebut selanjutnya

akan tercermin dalam neraca konsolidasi bank sehingga

perlu diwaspadai sejak dini.

2.3.2. Pasar Modal

Portfolio Investor Asing

Memasuki semester II 2007, tekanan stabilitas sistem

keuangan cenderung membesar terutama karena semakin

agresifnya investor asing untuk melakukan profit taking

jangka pendek. Perilaku investasi investor asing tersebut

menyebabkan terkoreksinya perkembangan pasar

keuangan. Selama semester laporan, penanaman investor

asing pada instrumen keuangan rupiah tetap naik yaitu

sekitar Rp49 triliun atau hampir sama dengan peningkatan

pada semester sebelumnya. Dengan perkembangan

tersebut, selama tahun 2007 penanaman asing pada SBI,

SUN dan saham meningkat sekitar Rp98 triliun, terdiri dari

masing-masing Rp35 triliun (SBI), Rp29 triliun (SUN) dan

Rp33 triliun (net beli saham).

Tetap relatif tingginya yield penanaman rupiah

mempertahankan minat investor asing untuk melakukan

penanaman pada instrumen keuangan rupiah. Namun

demikian, terdapat perubahan perilaku portofolio dari para

investor asing yang terutama merupakan manager hedge

funds. Investor asing menjadi semakin agresif melakukan

profit taking jangka pendek serta realisasi keuntungan

khususnya dalam rangka menutup kerugian dari portofolio

aset keuangan subprime. Perilaku tersebut menyebabkan

terjadinya koreksi pasar saham yang cukup signifikan serta

meningkatkan volatilitas. Koreksi pasar saham tersebut

kemudian turut menjadi sentimen negatif yang

berkontribusi pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap

dollar Amerika Serikat.

Pasar Saham

Pada semester II 2007 pasar saham global mengalami

koreksi signifikan terutama karena kuatnya sentimen negatif

dari ekspektasi memburuknya prospek perekonomian AS

sebagai dampak krisis subprime mortgage. Kondisi tersebut

berdampak nyata pada bursa emerging markets Asia dan

menyebabkan melemahnya perkembangan indeks pada

Grafik 2.46Volatilitas Bursa Asia

Grafik 2.45Inflows pada SUN-SBI-Saham

-20

-10

0

10

20

30

SahamSBI

SUN

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2 0 0 7

Triliun Rp

0

10

20

30

40

50

60

70

2 0 0 7

IHSG

KLCI

SET

PCOMM

STI

1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/12 11/12 12/12

IHSGIHSGIHSGIHSGIHSG 1.805,52 2.139,28 2.745,83 18,49 28,35

STISTISTISTISTI 2.985,83 3.548,20 3.445,82 18,83 -2,89

KLCIKLCIKLCIKLCIKLCI 1.096,24 1.354,38 1.447,04 23,55 6,84

SETSETSETSETSET 679,84 776,79 858,10 14,26 10,47

PCOMMPCOMMPCOMMPCOMMPCOMM 3.940,47 5.148,42 4.422,22 30,65 -14,11

HSCIHSCIHSCIHSCIHSCI 2.802,68 3.109,64 3.874,22 10,95 24,59

NIKKEINIKKEINIKKEINIKKEINIKKEI 336,39 356,40 301,09 5,95 -15,52

NASDAQNASDAQNASDAQNASDAQNASDAQ 3.415,29 2.603,23 2.674,46 -23,78 2,74

DJIDJIDJIDJIDJI 12.463,15 13.443,75 13.365,87 7,87 -0,58

SIASASIASASIASASIASASIASA 6.979,53 13.202,68 18.658,13 89,16 41,32

KOSPIKOSPIKOSPIKOSPIKOSPI 1.434,46 1.743,60 1.897,13 21,55 8,81

Tabel 2.1Perkembangan Indeks Harga Beberapa Bursa Regional

Sem II 07 2007

Pertumbuhan (%)Des 06 Jun 07 Des 07

Page 53: Bank Indonesia Kajian Keuangan

43

Bab 2 Sektor Keuangan

tahun 2007. Bahkan, pada beberapa bursa Asia, khususnya

yang perekonomiannya terkait langsung dengan AS, indeks

harga saham turun cukup tajam.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga sempat

mengalami koreksi tajam sehingga turun sebesar 7% pada

Agustus 2007 dan mencapai tingkat terendah yaitu

1.908,64 pada tanggal 17 Agustus. Aktifnya penanaman

yang dilakukan investor asing pada saham yang terutama

ditujukan untuk profit taking jangka pendek telah

mendorong kembali peningkatan harga sehingga IHSG

mencapai 2.745,83 pada akhir Desember 2007. Oleh

karena itu, secara keseluruhan selama tahun 2007 IHSG

tetap menguat sekitar 28%. Secara sektoral, penguatan

indeks yang besar terjadi pada sektor pertanian, sektor

pertambangan dan sektor aneka industri.

Pada satu sisi, perilaku portofolio investor asing

mampu mendorong kenaikan harga, namun di sisi lain

telah mengakibatkan semakin volatile-nya perkembangan

harga. Angka koefisien efisiensi pasar (market efficiency

coefficient) untuk bursa emerging market Asia sebagian

besar berada di bawah 75%. Hal ini memberikan

konfirmasi bahwa memang koreksi pasar telah membuat

semakin berfluktuasinya harga dalam jangka pendek,

namun pasar tetap cukup memiliki ketahanan sehingga

stabilitas perkembangan harga dalam jangka panjang tetap

terpelihara.

Grafik 2.47Bursa Regional: Perkembangan Indeks Saham

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000IHSG

SET

NIKKEI NASDAQ

PCOMM

STI KLCI

HSCI

20072006

29Des

29Jan

28Feb

29Mar

29Apr

29Mei

29Jun

29Jul

29Ags

29Sep

29Okt

29Nov

Tabel 2.2Perkembangan Indeks Harga Sektoral

Pertanian 1.190,71 1.680,12 2.754,76 41,10 63,96

Industri Dasar 148,79 196,10 238,05 31,80 21,39

Konstruksi, Properti, RE 120,82 211,72 251,82 75,24 18,94

Konsumsi 390,19 437,01 436,04 12,00 -0,22

Keuangan 204,39 223,14 260,57 9,17 16,77

Infrastruktur 754,54 750,43 874,07 -0,54 16,48

Pertambangan 920,31 1.647,04 3.270,09 78,97 98,54

Aneka Industri 282,14 324,96 477,35 15,18 46,90

Jasa Perdagangan 274,28 387,38 392,24 41,24 1,26

Sem II 07 2007

Pertumbuhan (%)Des 06 Jun 07 Des 07

Grafik 2.48Pasar Saham: Nilai Transaksi & IHSG

IndonesiaAsingIHSG

0

20

40

60

80

100

120

140

0

500

1000

1500

2000

2500

3000Triliun Rp IHSG

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2 0 0 7

Grafik 2.49Market Efficiency Coefficient

MEC-IHSG MEC-KLCI MEC-SETMEC-PCOMM MEC-STI

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

70,0

80,0

90,0%

2 0 0 7

12Jan

12Feb

12Mar

12Apr

12Mei

12Jun

12Jul

12Ags

12Sep

12Okt

12Nov

12Des

Sementara itu, pada tahun 2007 pembiayaan melalui

pasar saham mengalami peningkatan sebagaimana

tampak pada meningkatnya emisi saham sekitar 17%

menjadi sekitar Rp328 triliun, atau meningkat tajam

dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya naik sekitar

Page 54: Bank Indonesia Kajian Keuangan

44

Bab 2 Sektor Keuangan

5%. Pesatnya perkembangan indeks saham telah

berkontribusi pada meningkatnya kapitalisasi pasar sebesar

59% menjadi sekitar Rp1.988,3 triliun. Sementara itu,

jumlah perusahaan yang melakukan emisi saham

bertambah 24 sehingga menjadi 468 perusahaan.

perbankan naik cukup pesat, yaitu sekitar 19% menjadi

Rp116 triliun. Dengan perkembangan tersebut pangsa

kepemilikan SUN oleh residen non perbankan meningkat

dari 22% (akhir Juni 2007) menjadi 25% (akhir Desember

2007). Investor residen non perbankan antara lain terdiri

dari perorangan, lembaga keuangan bukan bank, yayasan

dan lembaga keuangan lainnya.

Distribusi likuiditas SUN terkonsentrasi pada tenor 1

tahun s.d 5 tahun yang harganya sudah tinggi dan berada

di atas par. Ekspektasi akan tertahannya penurunan suku

bunga pada tahun 2008 telah mendorong para investor

untuk mengurangi kepemilikan SUN yang harganya sudah

tinggi dan mengalihkan penanaman pada SUN yang

harganya relatif murah. Terkonsentrasinya SUN pada tenor

1 tahun s.d 5 tahun menyebabkan perilaku switching

portfolio investor tersebut menimbulkan tekanan terhadap

harga SUN.

Grafik 2.50Pasar Saham: Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi

Grafik 2.52Yield Penanaman Tenor 5 Tahun

Grafik 2.51Perkembangan Harga Beberapa Seri SUN

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

250

260

270

280

290

300

310

320

330

340(N Kapitalisasi, Triliun Rp) (N Emisi, Triliun Rp)

N Kap (BEJ)

N Kap (BES)N Emisi

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2 0 0 7

90

95

100

105

110

115

FR0023 FR0025 FR0026 FR0027FR0028 FR0030 FR0043

2Jan

2007

2Feb

2Mar

2Apr

2Mei

2Jun

2Jul

2Ags

2Sep

2Okt

2Nov

2Des

0

2

4

6

8

10

12

Indonesia Philipina Thailand Singapura

%

2 0 0 7

2Jan

2Feb

2Mar

2Apr

2Mei

2Jun

2Jul

2Ags

2Sep

2Okt

2Nov

2Des

Pasar Obligasi

Pada semester II 2007 pasar SUN yang merupakan

acuan pasar obligasi domestik mengalami mild correction

sehingga sempat turun rata-rata sekitar 4%. Koreksi pasar

tersebut terutama terjadi karena sempat tertahannya

penurunan BI rate yang berdampak pada menyempitnya

potensi kenaikan harga SUN. Kondisi tersebut mendorong

investor melakukan switching portofolio dari SUN yang

harganya sudah terlalu tinggi kepada SUN yang harganya

masih di bawah par terutama melalui pembelian di pasar

perdana. Pada tahun 2007 harga SUN secara rata-rata

hanya naik sekitar 5%, atau jauh melambat dibandingkan

dengan kenaikan pada tahun 2006 sekitar 20%.

Tingginya minat investor domestik pada SUN

tercermin dari meningkatnya kepemilikan SUN oleh

perbankan dan residen non perbankan. Pada akhir semester

II 2007 kepemilikan perbankan domestik pada SUN kembali

sedikit meningkat sehingga menjadi sebesar Rp265 triliun,

dengan pangsa terhadap total SUN relatif tetap, yaitu sekitar

58%. Sementara itu, kepemilikan SUN oleh residen non

Page 55: Bank Indonesia Kajian Keuangan

45

Bab 2 Sektor Keuangan

Sementara itu, perusahaan emiten obligasi bertambah 13

menjadi 175 perusahaan. Dengan perkembangan tersebut,

pembiayaan melalui penerbitan obligasi korporasi

meningkat sebesar 25% menjadi sekitar Rp85 triliun.

Reksa Dana

Trend penurunan suku bunga pada tahun 2007 juga

mendorong kenaikan kinerja reksa dana. Pada tahun 2007

NAB reksa dana meningkat 79% menjadi sekitar Rp91

triliun, atau sedikit meningkat dibandingkan kenaikan pada

tahun sebelumnya sebesar 76%. Hal ini juga didukung

oleh tetap menguatnya perkembangan pasar saham yang

mengakibatkan meningkatnya NAB reksa dana jenis saham

sekitar 300% menjadi Rp35 triliun. Perkembangan NAB

sejalan dengan tingginya minat investor sebagaimana

terlihat dari perkembangan unit penyertaan yang

Grafik 2.54SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor

Grafik 2.53Kepemilikan SUN

Perbankan Residen Asing

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Rp triliun

2 0 0 7

0

50

100

150

200

250

300

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Tahun1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 29

FR VR ORI

Rp triliun

Pada tahun 2007 pembiayaan oleh perusahaan

melalui penerbitan obligasi korporasi meningkat cukup

pesat. Hal ini terutama didukung oleh tren penurunan suku

bunga. Emisi obligasi korporasi naik sekitar 30% menjadi

sekitar Rp134 triliun, atau jauh lebih tinggi dibandingkan

tahun sebelumnya yang hanya meningkat sekitar 13%.

Grafik 2.55Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi

2006

155

160

165

170

175

180Emisi Posisi Emiten

2007

Emisi & Posisi, Rp triliun Emiten

0

20

40

60

80

100

120

140

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Grafik 2.56Perkembangan NAB Jenis Reksa Dana

Grafik 2.57Reksa Dana: NAB & Unit Penyertaan

Rp triliun

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2 0 0 7

Pendapatan Tetap Saham Campuran Pasar Uang Terproteksi

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

NAB Triliun Rp - Unit Penyertaan Miliar NAB Unit Penyertaan

2 0 0 7

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100NAB/Unit

Unit PenyertaanNAB

Page 56: Bank Indonesia Kajian Keuangan

46

Bab 2 Sektor Keuangan

meningkat sekitar 47% dan tingginya subscription

(sebesar Rp122,8 triliun) dibandingkan redemption

(sebesar Rp102,7 triliun).

Sempat terkoreksinya pasar SUN mengakibatkan

melambatnya pertumbuhan NAB jenis reksa dana

pendapatan tetap menjadi sekitar 11%. Namun demikian,

secara keseluruhan, koreksi pasar SUN tidak berdampak

nyata terhadap pasar reksa dana karena telah semakin

terdiversifikasinya penanaman investor pada berbagai

alternatif jenis reksa dana yang mencakup reksa dana

terproteksi, reksa dana indeks dan exchange traded funds.

Dengan diversifikasi tersebut, pangsa NAB masing-masing

jenis reksa dana menjadi relatif berimbang yaitu: 23%

(pendapatan tetap), 38% (saham), 16% (campuran), 5%

(pasar uang) dan 18% (terproteksi).

Pada tahun 2008, perkembangan NAB reksa dana

yang terutama didukung bullish-nya pasar saham

diperkirakan akan terus berlanjut. Sejalan dengan itu,

berbagai jenis reksa dana berbasis saham akan semakin

berkembang. Namun demikian, semakin bergejolaknya

harga saham serta adanya potensi risiko karena alternatif

penanaman baru belum dipahami oleh para investor, dapat

mendorong terjadinya koreksi reksa dana. Oleh karena itu,

semakin terdiversifikasinya penanaman pada reksa dana

akan menjadi faktor utama yang mendukung stabilitas

perkembangan reksa dana.

Grafik 2.59Perkembangan Komposisi NAB Reksa Dana

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

Des 03 Des 04 Des 05 Des 06 Des 07

%

SahamPendapatan Tetap Campuran

Pasar UangTerproteksiIndeks

Grafik 2.58Reksa Dana: Redemption & Subscription

Rp triliun

0

2

4

6

8

10

12

14Redemption Subscription

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2 0 0 7

Page 57: Bank Indonesia Kajian Keuangan

47

Bab 2 Sektor Keuangan

Perkembangan Industri Asuransi dan Potensi Risiko bagiSistem KeuanganBoks 2.1

Perkembangan Industri Asuransi

Salah satu industri terpenting dalam sistem

keuangan Indonesia adalah industri asuransi.

Berdasarkan data terakhir yang diperoleh, jumlah

perusahaan asuransi menurun dari 157 (2005) menjadi

146 (2006), sedangkan permodalan meningkat dari

Rp25 triliun (2005) menjadi Rp34 triliun (2006).

Penerapan risk based capital (RBC) menyebabkan

berkurangnya jumlah perusahaan asuransi terkait

dengan ketidakmampuan memperkuat modal. Namun

demikian, terjadi perluasan bisnis asuransi, terlihat dari

meningkatnya jumlah lembaga penunjang asuransi dari

219 perusahaan (2005) menjadi 256 perusahaan (2006).

Dari segi kinerja, selama tahun 2006 terjadi

peningkatan aset sekitar 23% menjadi Rp171 triliun,

sementara premi dan klaim meningkat masing-masing

sekitar 14% menjadi Rp52 triliun dan Rp38 triliun.

Peningkatan terutama terjadi pada asuransi jiwa, yaitu

aset meningkat 31% menjadi Rp71 triliun sedangkan

premi dan klaim meningkat masing-masing sekitar

20% menjadi Rp27 triliun dan Rp23 triliun. Laba

asuransi jiwa juga meningkat pesat yaitu sekitar 85%

menjadi Rp2,3 triliun.

Grafik Boks 2.1.1.Permodalan Asuransi 2003-2006

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

2003 2004 2005 2006

Asuransi Jiwa Asuransi Kerugian

Reasuransi Asuransi Sos & JamsostekAsuransi PNS & TNI

Rp triliun

I.I.I.I.I. Perusahaan AsuransiPerusahaan AsuransiPerusahaan AsuransiPerusahaan AsuransiPerusahaan Asuransia. Asuransi Jiwa 60 57 51 45b. Asuransi Kerugian 104 101 97 92c. Reasuransi 4 4 4 4d. Asuransi Sosial 5 5 5 5

II.II.II.II.II. Penunjang AsuransiPenunjang AsuransiPenunjang AsuransiPenunjang AsuransiPenunjang Asuransia. Pialang Asuransi 120 128 134 154b. Pialang Reasuransi 21 19 21 29c. Adjuster Asuransi 25 30 30 30d. Konsultan Aktuaria 20 23 28 34e. Agen Asuransi 0 5 6 9

Table Boks 2.1.1Perkembangan Jumlah Usaha Asuransi 2003-2006

2003 2004 2005 2006

Grafik Boks 2.1.2.Aset-Premi-Klaim: 2003-2006

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

2003 2004 2005 2006

Aset Premi Klaim

Rp triliun

Grafik Boks 2.1.3.Perkembangan Laba Asuransi: 2003-2006

0,0

500,0

1000,0

1500,0

2000,0

2500,0

2003 2004 2005 2006

Asuransi Jiwa Asuransi Kerugian

Reasuransi Asuransi Sos & Jamsostek

Asuransi PNS & TNI

Rp miliar

Sejalan dengan peningkatan laba tersebut maka

ROA, ROE, ROI dan investment yield dari asuransi jiwa

juga meningkat. Asuransi jiwa menjadi semakin aktif

dan efisien dalam mengelola investasi disamping tetap

Page 58: Bank Indonesia Kajian Keuangan

48

Bab 2 Sektor Keuangan

memelihara kehati-hatian. Sementara itu, asuransi

umum juga semakin aktif berinvestasi namun dalam

pengelolaan investasi tampaknya tidak seefisien

asuransi jiwa.

asuransi konvensional juga memiliki karakteristik

tabungan. Nasabah Unit Link selain memperoleh

pertanggungan atas jiwa juga akan memperoleh

pengembalian investasi sejumlah tertentu.

Grafik Boks 2.1.4.Beberapa Indikator Kesehatan Perusahaan Asuransi

Grafik Boks 2.1.5.Investasi Perusahaan Asuransi: 2003-2006

2005 2006

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

18,00

20,00

ROA-AJ ROA-AU ROE-AJ ROE-AU ROI-AJ ROI-AU Invyield- AJ

Invyield- AU

0

10

20

30

40

50

60

70

2003 2004 2005 2006

Surat Berharga Pem Deposito Saham & Obligasi Reksadana

Rp triliun

Dari segi aktivitas investasi, tampak bahwa

perusahaan asuransi semakin aktif melakukan

penanaman tidak hanya pada deposito namun juga

pada saham dan obligasi serta reksa dana. Pada tahun

2006 investasi asuransi pada saham dan obligasi naik

158% menjadi Rp60 triliun, sedangkan penanaman

pada reksa dana naik 29% menjadi Rp10 triliun.

Potensi Risiko

Penting dicatat bahwa relatif bagusnya

perkembangan asuransi jiwa terutama didukung oleh

berkembangnya produk asuransi non konvensional yaitu

Unit Link. Produk tersebut selain memiliki karakteristik

Grafik Boks 2.1.6.Premi: Unit Link & Total: 2003-2006

Grafik Boks 2.1.7.Hasil Investasi: Unit Link terhadap Total: 2003-2006

0

5

10

15

20

25

30

2003 2004 2005 2006

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00Premi Unit Link Total Premi Premi UL/T Premi

Rp miliar % Premi UL/Premi Total

0

1

2

3

4

5

6

7

2003 2004 2005 2006

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

Hasil Inv Unit Link Hasil Inv Total Hsl Inv UL/Hsl Inv Total

Rp miliar Hasil Inv UL/Hasil Inv Total

Pada tahun 2006, terdapat 21 perusahaan yang

menyelenggarakan Unit Link. Premi Unit Link terus

meningkat meskipun kontribusinya terhadap total

premi asuransi jiwa relatif rendah, yaitu sekitar 25%.

Penyelenggaraan Unit Link menyebabkan asuransi jiwa

semakin aktif melakukan investasi sehingga risiko

pasar menjadi meningkat. Hal tersebut terlihat pada

melambatnya kenaikan hasil investasi pada saat

naiknya suku bunga (tahun 2005) dan meningkat

pesatnya hasil investasi dengan mulai turunnya suku

bunga (tahun 2006).

Berkembangnya asuransi jiwa juga didukung

oleh kerja sama antara asuransi jiwa dengan

Page 59: Bank Indonesia Kajian Keuangan

49

Bab 2 Sektor Keuangan

perbankan melalui Bancassurance. Sampai dengan

akhir tahun 2007 terdapat sekitar 27 bank besar yang

melakukan Bancassurance terutama berupa

keagenan produk asuransi termasuk Unit Link.

Bancassurance dalam bentuk keagenan produk

asuransi memberikan keuntungan bagi kedua belah

pihak. Di satu sisi, perusahaan asuransi akan

memperluas nasabah, sementara di sisi lain,

perbankan berpeluang untuk meningkatkan fee

based income.

Namun demikian, kegiatan bancassurance dalam

bentuk kegiatan keagenan tetap berpotensi

meningkatkan risiko bagi bank terutama dalam bentuk

risiko reputasi. Hal tersebut karena :

• Kemungkinan terdapatnya misselling karena

kekurangpahaman tenaga penjual di bank tentang

karakteristik produk asuransi.

• Perkembangan produk asuransi yang semakin

mirip produk bank dan bahkan semakin terkait

dengan produk bank menyebabkan semakin

rumitnya proses klaim;

Dengan adanya potensi peningkatan risiko pasar

dan risiko reputasi tersebut di atas maka bank perlu

berhati-hati dalam menawarkan produk Unit Link dan

Bancassurance. Kehati-hatian tersebut dibangun melalui

pemahaman yang utuh tentang produk yang ditawarkan

serta langkah-langkah mitigasi risiko yang telah

dipersiapkan untuk mengantisipasi potensi kerugian.

Page 60: Bank Indonesia Kajian Keuangan

50

Bab 2 Sektor Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 61: Bank Indonesia Kajian Keuangan

51

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Bab 3Prospek SistemKeuangan Indonesia

Page 62: Bank Indonesia Kajian Keuangan

52

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 63: Bank Indonesia Kajian Keuangan

53

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

3.1. PROSPEK EKONOMI DAN PERSEPSI RISIKO

Meskipun akhir-akhir ini terdapat tekanan inflasi dalam

perekonomian domestik yang dibarengi dengan gejala

perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi global, namun

prospek ekonomi Indonesia tetap positif dengan

pertumbuhan diperkirakan di atas 6%. Analis ekonomi Asia

Pasifik menyebutkan bahwa proyeksi pertumbuhan

ekonomi tersebut didukung oleh peningkatan perdagangan

internasional dan tingkat inflasi yang relatif terkendali.

Di samping itu, investasi dan ekspor mulai menjadi

penopang pertumbuhan ekonomi disamping sektor

konsumsi yang semenjak paska krisis menjadi penopang

perekonomian Indonesia. Kondisi ini didorong oleh

penurunan tingkat suku bunga domestik dan iklim investasi

yang semakin membaik kendati belum sepenuhnya pulih

seperti sebelum krisis. Prospek makroekonomi yang cukup

baik ini akan memperkuat kestabilan sistem keuangan dan

menopang perekonomian Indonesia.

Sementara itu, investor asing diperkirakan akan

masih terus menganggap kondisi ekonomi dan instrumen

investasi Indonesia menarik dan relatif stabil, meskipun

terdapat peningkatan persepsi risiko sebagaimana

tercermin pada yield spread yang cenderung meningkat.

Namun demikian, peningkatan aliran investasi terutama

yang berjangka pendek perlu diwaspadai karena sangat

rentan terhadap gejolak eksternal yang berpotensi

mendorong terjadinya aliran modal keluar secara serentak

dan tiba-tiba (sudden reversal).

Secara umum prospek sistem keuangan Indonesia tetap positif. Hal tersebut

didukung oleh kondisi makroekonomi yang relatif kondusif di tengah

peningkatan tekanan inflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.

Prospek tersebut juga ditopang oleh kondisi internal sektor keuangan terutama

perbankan dengan permodalan yang kuat dan kemampuan manajemen risiko

yang cenderung membaik. Eratnya koordinasi antara otoritas perbankan

dengan otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank sangat

diperlukan untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan ke depan.

Prospek Sistem Keuangan IndonesiaBab 3

PDB (%yoy) 6,0 6,3 6,5 6,1 6,2 6,1 6,1 6,1

Inflasi (% yoy) 6,4 6,0 6,5 6,6 6,4 6,7 6,4 6,6

Neraca Perdagangan (US$ milliar) 7,9 8,4 8,1 8,7 8,5 8,9 9,4 10,4

Tabel 3.1Konsensus Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi

2007 2008

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4

Sumber: Asia Pacific Consensus Forecast

Page 64: Bank Indonesia Kajian Keuangan

54

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

3.2. PROFIL RISIKO PERBANKAN: TINGKAT DAN

ARAH

Karena perbankan mendominasi sektor keuangan

Indonesia maka tingkat dan arah dari profil risiko

perbankan akan berdampak besar terhadap stabilitas.

Secara umum, risiko perbankan selama semester II 2007

relatif terkendali dan cenderung stabil. Gejolak-gejolak

yang terjadi di pasar keuangan baik domestik maupun

global tidak sampai mengganggu ketahanan sistem

perbankan sehingga kinerjanya tetap terjaga dan fungsi

intermediasi terus membaik. Hal tersebut dibarengi pula

dengan peningkatan efisiensi dan penurunan kredit

bermasalah sehingga profitabilitas terus meningkat

meskipun rasio permodalan (CAR) sedikit menurun sebagai

akibat kenaikan kredit perbankan.

Sementara itu, peningkatan fungsi intermediasi

perbankan telah diimbangi oleh risk control systems (RCS)

kredit yang terus membaik. Kemajuan dalam manajemen

risiko kredit yang dibarengi dengan pelaksanaan

restrukturisasi kredit pada beberapa bank BUMN

merupakan faktor-faktor yang menyebabkan membaiknya

kualitas kredit perbankan. Sebagaimana dikemukakan

pada Bab 2, pada akhir 2007 untuk pertama kalinya setelah

krisis rasio kredit bermasalah (NPL) gross berada di bawah

5%.

Namun demikian, di tengah masih banyaknya

permasalahan internal dan eksternal seperti sektor riil yang

belum sepenuhnya pulih, meningkatnya intensitas bencana

alam, gejolak harga komoditas pokok, dan potensi

kenaikan harga minyak dunia maka perbankan ke depan

diperkirakan akan menghadapi peningkatan risiko kredit.

Akan tetapi, dengan semakin membaiknya RCS

perkreditan bank maka peningkatan risiko kredit

diperkirakan tidak akan signifikan.

Sementara itu, risiko likuiditas tetap rendah dengan

tren stabil sejalan dengan tingginya rasio alat likuid

terhadap non-core deposits perbankan. Likuiditas

perbankan juga tetap terkendali, antara lain tercermin dari

tidak terdapatnya gejolak di pasar uang antar bank (PUAB)

yang mengganggu kinerja perbankan. Namun demikian,

potensi peningkatan risiko likuiditas tetap ada mengingat

struktur dana pihak ketiga perbankan masih kurang

berimbang, baik dari sisi tenor, volume maupun

kepemilikan. Hal lain yang juga berpotensi meningkatkan

risiko likuiditas adalah kemungkinan terjadinya shock di

pasar keuangan global yang kemudian menjalar ke pasar

keuangan domestik.

Risiko pasar dari sisi nilai tukar relatif rendah dengan

tren stabil. Secara teknis, risiko nilai tukar tetap terkendali

karena posisi devisa netto (PDN) perbankan yang relatif

rendah, jauh di bawah rasio maksimum 20%. Sedangkan

risiko pasar dari sisi suku bunga masih tetap moderat

dengan tren stabil, sejalan dengan profil maturitas

perbankan yang short pada jangka pendek dan long pada

jangka panjang. Meskipun strategi profil maturitas tersebut

sampai saat ini efektif dalam mengatasi risiko suku bunga,

namun kerawanan dapat timbul apabila terjadi pembalikan

arah suku bunga. Hal ini perlu diwaspadai mengingat

instrumen keuangan yang dapat digunakan sebagai

pengendali risiko suku bunga masih relatif terbatas karena

belum berkembangnya pasar hedging dan derivative di

Indonesia.

Selanjutnya, risiko pasar dari sisi harga SUN juga

masih tergolong moderat dengan tren stabil. Sejauh ini

Indo 41 Ba3 (Moody's) 7,27 386,6 423,9

Indo 17 BB+ (S&P) 8,96 475,2 495,2

Indo 45 Ba3 (Moody's) 11,01 546,6 653,4

Tabel 3.2Persepsi Risiko Indonesia

Sumber: Bloomberg

Obligasi Rating Ytm (%)Yield Spread (bps)

Sep 2007 Des 2007

Page 65: Bank Indonesia Kajian Keuangan

55

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

strategi yang ditempuh bank untuk meminimalisir risiko

harga SUN adalah dengan memelihara portfolio SUN

trading yang rendah. Namun demikian, kewaspadaan perlu

ditingkatkan khususnya apabila terjadi kenaikan portfolio

SUN trading yang diiringi dengan kejatuhan harga karena

gejolak pasar yang umumnya di luar kendali bank.

Untuk risiko operasional, masih banyak tantangan

yang dihadapi perbankan Indonesia. Hal ini antara lain

karena masih adanya gangguan yang terkait dengan

teknologi informasi. Selain itu, kemungkinan terjadinya

fraud dan kelemahan operasional lainnya perlu terus

diminimalisir dengan meningkatkan fungsi internal control.

Pengukuran risiko operasional juga masih menjadi suatu

tantangan karena keterbatasan data dan keahlian yang

dimiliki perbankan. Implementasi Basel II nantinya

diharapkan dapat mendorong peningkatan kemampuan

perbankan dalam pengukuran dan pengendalian risiko

operasional.

3.3. PROSPEK SISTEM KEUANGAN INDONESIA

Kondisi stabilitas sistem keuangan selama semester II

2007 relatif terjaga dengan prospek yang positif. Hal

tersebut sejalan dengan kondisi makroekonomi yang

membaik, pasar keuangan domestik yang relatif stabil, serta

infrastruktur dan kinerja perbankan yang terus meningkat.

Stabilitas sistem keuangan selama 2007 sebagian

besar diwarnai oleh dampak perkembangan perekonomian

dunia, seperti krisis subprime mortgage dan peningkatan

harga minyak dunia dan komoditi pokok. Meningkatnya

tekanan dari perekonomian global tersebut mendorong

kenaikan tipis indeks stabilitas sistem keuangan (financial

stability index) dari 1,21 pada akhir Juni 2007 menjadi

1,25 pada akhir Desember 2007.

Memasuki tahun 2008, semakin meningkatnya

ketidakpastian dalam pasar keuangan global sebagai

akibat lanjutan dari krisis subprime mortgage dan

melemahnya perekonomian Amerika Serikat berpotensi

menimbulkan dampak negatif terhadap pasar keuangan

domestik dan kinerja korporasi yang menjadi debitur bank.

Dari dalam negeri, bencana alam yang terjadi silih berganti

Grafik 3.1Profil Risiko Perbankan dan Arahnya

Smt-II 2007

Outlook

Smt-II 2007

Outlook

Smt-II 2007

Outlook

Inherent Risk

HighM

oderateLow

Strong Acceptable WeakRisk Control

Strong Acceptable WeakRisk Control

Strong Acceptable WeakRisk Control

Risiko Likuiditas Risiko KreditRisiko Pasar

Nilai Tukar

SukuBunga Harga

SUN

Grafik 3.2Indeks Stabilitas Keuangan(Financial Stability Index)

2,5

2

1,5

1

0,5

0

1,251,271,34

M04 M08 M12 M04 M08 M12 M04 M08 M12 M04 M08 M12 M04 M08 M12 M04

2003 2004 2005 2006 2007 2008

FSIFSI (average)

Page 66: Bank Indonesia Kajian Keuangan

56

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

berpotensi untuk meningkatkan jumlah kredit bermasalah.

Hal-hal tersebut diperkirakan akan menimbulkan tekanan

terhadap ketahanan sistem keuangan pada semester I

2008 sehingga indeks stabilitas sistem keuangan akan

sedikit meningkat menjadi 1,34 pada akhir Juni 2008.

Meskipun terdapat potensi penurunan stabilitas

sistem keuangan yang berasal dari perusahaan korporasi

yang menjadi debitur bank, namun secara umum

perbankan diperkirakan akan dapat mengatasinya dengan

pembentukan cadangan aktiva produktif dan permodalan

yang memadai. Selain itu, langkah-langkah restrukturisasi

kredit yang terus akan dilanjutkan juga diperkirakan dapat

semakin meningkatkan kualitas kredit perbankan.

Berbagai gejolak dan perkembangan yang terjadi

dalam perekonomian domestik dan global tidak selamanya

dipandang sebagai suatu ancaman. Kenaikan harga

minyak dunia dan komoditas pokok lainnya justru

membuat pencarian sumber energi alternatif menjadi

semakin penting. Disamping itu, sejak krisis, berbagai jenis

infrastruktur strategis kurang mendapat perhatian

sehingga Pemerintah perlu meluncurkan berbagai paket

kebijakan untuk mempercepat pembangunan

infrastruktur. Hal-hal ini mendorong terbukanya peluang

bisnis yang besar pada sektor-sektor seperti crude palm

oil, batubara, gula, infrastruktur dan properti.

Pengembangan sektor-sektor tersebut perlu dukungan

iklim investasi yang lebih menarik, serta pembiayaan dari

lembaga-lembaga keuangan dan pasar modal.

3.4. POTENSI KERAWANAN

Faktor-faktor yang menjadi potensi kerawanan pada

semester sebelumnya diperkirakan masih akan terus

membayangi ketahanan sistem keuangan. Dari sisi

eksternal, potensi kerawanan terbesar terkait dengan

gejolak perekonomian dunia, terutama sebagai dampak

dari berlanjutnya kerugian akibat krisis subprime mortgage,

peningkatan harga minyak dunia dan komoditi pokok,

serta melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.

Sampai saat ini, dampak krisis subprime mortgage

masih terus berlanjut dan telah berimbas ke beberapa

segmen lain. Di Amerika Serikat, krisis tersebut selain telah

merugikan perusahaan-perusahaan keuangan besar, juga

berdampak pada monoline company sebagai perusahaan

yang menjamin ketepatan pembayaran pokok maupun

bunga dari obligasi atau surat berharga lainnya pada saat

penerbit mengalami default. Dua perusahaan monoline

terbesar Amerika Serikat (Ambac Financial Group Inc., dan

MBIA) telah mengalami kerugian dan penurunan peringkat

sehingga harga sahamnya sempat anjlok. Perkembangan

tersebut dapat mengakibatkan semakin sempitnya credit

market di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya

yang terkait.

Meskipun Indonesia tidak mengalami kerugian

langsung akibat krisis subprime mortgage, namun

imbasnya turut dirasakan sejalan dengan semakin

terintegrasinya ekonomi domestik dengan ekonomi

global. Sementara itu, kenaikan harga minyak dunia

dapat meningkatkan biaya-biaya produksi dan

mendorong kenaikan harga-harga yang menurunkan

daya beli masyarakat. Akibatnya, kemungkinan

meningkatnya kredit bermasalah menjadi semakin besar

sehingga dapat menimbulkan tekanan pada sistem

keuangan (lihat Boks 3.1).

Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang

dipicu oleh menurunnya perekonomian Amerika Serikat

juga telah mulai merembet ke beberapa negara di Eropa.

Kebijakan penurunan suku bunga yang ditempuh Amerika

Serikat untuk mengatasi perlambatan ekonomi justru

mendorong semakin melebarnya perbedaan suku bunga

yang berpotensi memicu derasnya arus modal jangka

pendek yang masuk pasar keuangan domestik. Kerawanan

dapat timbul apabila terjadi pembalikan arus modal

Page 67: Bank Indonesia Kajian Keuangan

57

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

tersebut secara serentak dan tiba-tiba (sudden reversal)

ke luar Indonesia.

Dari sisi internal, potensi kerawanan dapat timbul

sebagai akibat bencana alam yang datang silih berganti,

gejolak kenaikan harga komoditi pokok, dan persiapan

Pemilu. Potensi kenaikan risiko kredit akibat bencana alam

antara lain telah direspon dengan penerbitan ketentuan

perbankan yang terkait dengan pemberian kredit kepada

debitur di daerah bencana (lihat Boks 3.2). Sementara itu,

penanggulangan kenaikan harga komoditi pokok dan

antisipasi persiapan Pemilu, sangat memerlukan langkah-

langkah konkrit dari Pemerintah.

Sementara itu, terdapat beberapa tantangan yang

perlu dijawab oleh perbankan Indonesia ke depan.

Tantangan pokok antara lain adalah pelaksanaan

konsolidasi perbankan, dan implementasi Basel II.

Konsolidasi perbankan diyakini akan meningkatkan daya

saing dan skala ekonomis dari bank-bank domestik, serta

akan memudahkan pelaksanaan pengawasan bank. Pada

sisi lain, implementasi Basel II akan semakin mendorong

peningkatan kualitas manajemen risiko perbankan.

Potensi kerawanan dapat semakin berkurang dengan

mengefektifkan Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK)

yang merupakan media pertukaran informasi dan

pembahasan berbagai risiko yang berpotensi menimbulkan

shock dan krisis di sektor keuangan. Ke depan, koordinasi

yang lebih erat antara otoritas perbankan dengan otoritas

pasar modal dan lembaga keuangan non-bank sangat

diperlukan untuk lebih meningkatkan ketahanan sistem

keuangan.

Page 68: Bank Indonesia Kajian Keuangan

58

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Dampak Kenaikan Harga Minyak terhadap Stabilitas SistemKeuangan

Boks 3.1

Menjelang akhir tahun 2007 dan awal tahun 2008,

harga minyak dunia cenderung terus meningkat, bahkan

sempat melebihi US$110 per barel. Dalam kaitan ini

kewaspadaan sangat diperlukan mengingat pengalaman

pada tahun 2005 menunjukkan bahwa kenaikan harga

minyak dapat menimbulkan tekanan terhadap sistem

keuangan, khususnya melalui peningkatan jumlah kredit

bermasalah (NPL) di perbankan.

Namun demikian, apabila diperhatikan data

sepanjang tahun 2007, hubungan antara harga minyak

dunia dan NPL perbankan tampaknya tidak selalu

searah. Sebagaimana terlihat dalam Grafik Boks 3.1.1,

walaupun harga minyak cenderung meningkat, namun

NPL perbankan menurun. Hal ini terjadi karena selama

periode tersebut NPL perbankan lebih banyak

dipengaruhi oleh restrukturisasi kredit. Sungguhpun

demikian, karena dampak dari kenaikan harga minyak

dunia kemungkinan baru akan terlihat setelah beberapa

bulan kemudian, diperlukan pemantauan yang seksama

oleh perbankan terhadap debitur-debitur yang sensitif

terhadap perubahan harga minyak dunia. Dengan

pemantauan yang cermat dapat diperkirakan

kemungkinan besarnya peningkatan NPL dan

kebutuhan pembentukan cadangan (provisions) yang

diperlukan.

Sementara itu, untuk mengetahui dampak

perubahan harga minyak dunia terhadap NPL

perbankan telah pula dilakukan suatu simulasi. Sebagai

dasar perhitungan dalam simulasi adalah tingkat rasio

NPL gross per akhir Desember 2007 sebesar 4,6%.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa, ceteris paribus,

setiap peningkatan 10% harga minyak dunia akan

mengakibatkan peningkatan rasio NPL gross tiga bulan

kemudian sekitar 0,20%. Dengan demikian, apabila

harga minyak dunia meningkat misalnya menjadi

USD115 dan hal tersebut terjadi secara terus menerus,

maka rasio NPL gross tiga bulan berikutnya

diperkirakan akan menjadi sebesar 5,66% (lihat Tabel

Boks 3.1.1.).

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa

peningkatan harga minyak dunia merupakan suatu

hal yang dapat berpengaruh signifikan terhadap

perbankan sehingga tidak boleh diabaikan dalam

kegiatan surveillance stabilitas sistem keuangan.

Grafik Boks 3.1.1.NPL Perbankan dan Harga Minyak

USD/barel %

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

10.00

9.00

8.00

7.00

6.00

5.00

4.00

3.00

2.00

1.00

0.00Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2004 2005 2006 2007

NPL (aksis kanan)

Harga Minyak (aksis kiri)

USD 75 USD 85 USD 100 USD 110 USD 115 USD 120 USD 125

Tabel Boks 3.1.1.Proyeksi NPL Gross Tahun 2008 dengan Berbagai Skenario Harga Minyak

Rasio NPL gross (%) 4,82% 5,02% 5,37% 5,57% 5,66% 5,75% 5,82%

Skenario HargaMinyak Dunia

Page 69: Bank Indonesia Kajian Keuangan

59

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Bencana Alam, Lingkungan Hidup dan Stabilitas SistemKeuangan

Boks 3.2

Sejak beberapa waktu terakhir bencana alam

terus menerus melanda Indonesia. Berita tentang

gempa, banjir dan longsor hampir setiap hari menghiasi

media massa. Terjadinya bencana alam tersebut

terutama karena semakin meningkatnya kerusakan

lingkungan hidup.

Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam

yang ditimbulkannya dapat berdampak negatif

terhadap stabilitas sistem keuangan. Bencana alam

tidak saja berpotensi mengakibatkan biaya ekonomi

tinggi, namun juga dapat merusak infrastruktur

sehingga mengganggu pelayanan jasa keuangan dan

pelaksanaan sistem pembayaran. Bagi perbankan,

bencana alam dapat meningkatkan risiko kredit melalui

kenaikan NPL dan menimbulkan risiko operasional.

Selanjutnya, gangguan operasional yang serius dapat

menimbulkan risiko reputasi. Oleh karena itu, Disaster

Recovery Plan atau Business Continuity Plan yang

memadai perlu dipersiapkan secara baik.

Tidak diragukan lagi, menjaga lingkungan hidup

merupakan cara yang paling tepat untuk mencegah

terjadinya bencana alam. Sebagai otoritas perbankan,

Bank Indonesia telah berupaya mendorong bank untuk

mendukung pemeliharaan lingkungan hidup. Hal ini

antara lain tercermin dalam Peraturan Bank Indonesia

(PBI) No.7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang

Penilaian Aktiva Produktif Bank Umum yang

mewajibkan bank agar pada saat melakukan penilaian

prospek bisnis debitur mengevaluasi upaya-upaya yang

telah dilakukan debitur dalam rangka memelihara

lingkungan hidup. Selanjutnya, untuk mendukung

pemulihan kondisi perekonomian paska bencana alam,

Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No.8/15/PBI/2006

tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perlakuan Khusus

terhadap Kredit Bank bagi Daerah-daerah tertentu di

Indonesia yang Terkena Bencana Alam. Disamping itu,

perbankan juga dapat membantu menjaga kondisi

lingkungan hidup melalui pembiayaan terhadap

proyek-proyek seperti mitigasi efek rumah kaca,

produksi bahan pengganti bahan bakar minyak, daur

ulang sampah dan pemrosesan limbah industri.

Salah satu isu terakhir terkait dengan lingkungan

hidup adalah pemanasan global (global warming). Isu

tersebut telah menjadi salah satu topik penting dalam

Konferensi Tingkat Tinggi mengenai perubahan

lingkungan (United Nations Climate Change

Conference) yang berlangsung di Bali tanggal 3-14

Desember 2007. Dalam kaitan ini, pertanyaan yang

paling relevan adalah bagaimana sektor keuangan

berkontribusi aktif dalam mitigasi dampak pemanasan

global?

Indonesia memiliki kekayaan alam yang terdiri

dari kawasan hutan yang meliputi 25% dari

keseluruhan hutan di wilayah Asia Timur dan Pasifik.

Laporan dari World Bank menyebutkan bahwa

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki

karakteristik keanekaragaman mahluk hidup yang

tinggi. Dengan potensi kawasan hutan yang besar,

Indonesia memiliki kesempatan untuk mengurangi

efek rumah kaca yang selama ini dianggap penyebab

utama pemanasan global. Pembentukan carbon

market yang dicetuskan sebagai hasil kesepakatan

Kyoto Protocol 1997 dapat menjadi peluang bagi

lembaga-lembaga keuangan untuk terjun dalam bisnis

pembiayaan aktivitas yang dapat menurunkan emisi

efek rumah kaca atau greenhouse gas (GHG).

Di dalam carbon market, negara yang melebihi

kuota dalam emisi GHG dapat mengkompensasinya

dengan cara pembiayaan proyek penurunan emisi

GHG baik di negaranya sendiri maupun di negara lain.

Transaksi karbon (carbon transaction) didefinisikan

sebagai pembelian kontrak dimana pihak pertama

membayar pihak kedua untuk melakukan aktivitas

penurunan emisi GHG atau untuk memperoleh hak

Page 70: Bank Indonesia Kajian Keuangan

60

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

untuk melakukan emisi sejumlah GHG sehingga pihak

pertama dapat memenuhi batasan emisi GHG-nya.

Pembayaran dapat dilakukan dalam bentuk tunai,

equity, utang (debt), convertible debt, warrant, atau

dalam bentuk alih teknologi. Dewasa ini, EU ETS

(European Union Emissions Trading Scheme)

merupakan carbon market yang terbesar dengan

kapitalisasi mewakili negara-negara maju yang telah

secara aktif meramaikan carbon market yang disalurkan

untuk pembiayaan pengurangan emisi GHG di negara-

negara Eropa sendiri dan di negara-negara

berkembang.

Mengingat eksposur Indonesia pada carbon

market masih relatif sangat kecil, dan pangsa carbon

market pada pasar keuangan Indonesia juga masih

relatif sangat kecil maka dampaknya pada stabilitas

sistem keuangan dapat diabaikan. Namun demikian,

carbon market berpotensi untuk menjadi sumber

pendanaan bagi proyek-proyek lingkungan hidup di

Indonesia. Selanjutnya, karena potensi Indonesia dalam

memberikan kontribusi untuk mengurangi efek rumah

kaca sangat besar maka eksposur carbon market ini

kemungkinan besar akan terus meningkat. Carbon

market internasional sendiri mengalami pertumbuhan

kapitalisasi senilai US$30 miliar sepanjang tahun 2006,

atau tiga kali lebih besar dari tahun 2005. Sudah

saatnya dipikirkan upaya-upaya untuk menghidupkan

perdagangan karbon di pasar keuangan Indonesia

sebagai salah satu sumber pembiayaan proyek-proyek

lingkungan hidup.

Daftar Pustaka

Asia Cleantech, ≈Avoided deforestation credits head

for the voluntary carbon markets∆, 7 Januari 2008.

New Energy Finance, ≈Clean energy investment breaks

the $100bn barrier in 2007∆, Press Release 2

Januari 2008.

The World Bank, ≈Environment at a Glance -

Indonesia∆, 2004

The World Bank, ≈State and Trends of the Carbon

Market 2007∆, Mei 2007.

United Nations Framework Convention on Climate

Change (UNFCCC) website (http://unfccc.int).

Page 71: Bank Indonesia Kajian Keuangan

61

Bab 4 Infrastruktur Keuangan

Bab 4Infrastruktur Keuangan

Page 72: Bank Indonesia Kajian Keuangan

62

Bab 4 Infrastruktur Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 73: Bank Indonesia Kajian Keuangan

63

Bab 4 Infrastruktur Keuangan

4.1. SISTEM PEMBAYARAN

4.1.1. Perkembangan Sistem Pembayaran

Sistem pembayaran Indonesia tetap handal dan

tidak menunjukkan adanya potensi risiko sehingga

mendukung stabilitas sistem keuangan. Pada semester II

2007, 96,51% dari total nilai transaksi pembayaran antar-

bank dilakukan melalui sistem BI-RTGS (Bank Indonesia-

Real Time Gross Settlement). Sementara itu, pemrosesan

melalui kliring mencapai 3,49% sedangkan sisanya

melalui kartu kredit dan kartu account based (ATM,

ATM+Debet dan Debet).

Dibandingkan dengan semester sebelumnya, nilai

transaksi pembayaran melalui sistem BI-RTGS pada

semester laporan menurun 10,42% dari Rp22,09 ribu

triliun menjadi Rp20,01 ribu triliun, meskipun dari segi

volume meningkat 15,34% dari 3,87 juta transaksi

menjadi 4,57 juta transaksi. Penurunan nilai transaksi

pembayaran antara lain terkait dengan penjarangan

intervensi dalam pengelolaan moneter. Sementara

kenaikan volume transaksi pembayaran terjadi karena

peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat pada waktu-

waktu khusus seperti peringatan hari besar keagamaan,

tutup buku akhir tahun, dan tahun baru. Alasan lain

peningkatan volume transaksi pembayaran adalah

kenaikan kegiatan transaksi di pasar valas untuk

memenuhi kebutuhan valas dari korporasi, serta

berlanjutnya peningkatan kegiatan transaksi di pasar

modal pada semester laporan.

Selama paruh kedua tahun 2007, infrastruktur keuangan Indonesia tetap

mendukung terpeliharanya stabilitas sistem keuangan. Kendati terdapat

peningkatan volume dan nilai setelmen, sistem pembayaran berfungsi tanpa

kendala sehingga dapat memitigasi risiko setelmen dan risiko operasional.

Sementara itu, Biro Informasi Kredit semakin berperan dalam penyediaan

informasi kredit untuk pelaku bisnis. Infrastruktur keuangan juga semakin

kuat dengan semakin berfungsinya Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK).

Infrastruktur KeuanganBab 4

Grafik 4.1Aktivitas Transaksi Sistem Pembayaran Semester II 2007

0,0002%

96,5101%

0,0045%3,4852%

Kartu KreditKartu account based (ATM, ATM+Debet&Debet)

RTGSKliring

Page 74: Bank Indonesia Kajian Keuangan

64

Bab 4 Infrastruktur Keuangan

Sebagai kesinambungan dari kegiatan pada semester

sebelumnya, implementasi Sistem Kliring Nasional Bank

Indonesia (SKNBI) pada Penyelenggara Kliring Lokal (PKL)

terus berlanjut sehingga pada akhir semester II 2007

terdapat 41 PKL yang telah menyelenggarakan SKNBI.

Sementara itu, nilai transaksi kliring kredit pada semester

laporan tercatat sebesar Rp195,49 triliun dengan volume

transaksi 19,62 juta transaksi. Sedangkan nilai transaksi

kliring debet tercatat sebesar Rp527,23 triliun dengan

volume transaksi 20,28 juta transaksi. Dibandingkan

dengan semester I 2007, baik kliring kredit maupun kliring

debet mengalami peningkatan baik dari sisi nilai maupun

volume. Kenaikan nilai dan volume kliring kredit masing-

masing sebesar 12,91% dan 8,22%, sedangkan kenaikan

nilai dan volume kliring debet masing-masing sebesar

11,47% dan 2,11%.

Dalam semester laporan, Bank Indonesia telah

memberikan persetujuan kepada 7 institusi penerbit APMK

yang berupa kartu kredit, kartu debet, kartu ATM dan kartu

prabayar. Meskipun terjadi peningkatan jumlah kartu,

penggunaan APMK berupa kartu kredit, kartu debet dan

kartu ATM menunjukkan penurunan dibandingkan

semester sebelumnya. Jumlah kartu yang beredar dalam

semester laporan adalah sebesar 44,35 juta kartu atau naik

8,74% dibandingkan semester sebelumnya yang tercatat

sebesar 40,46 juta kartu. Sementara itu, nilai transaksi

menggunakan APMK tercatat sebesar Rp0,98 ribu triliun

atau turun sebesar 12,51% dibandingkan semester

sebelumnya sebesar Rp1,10 ribu triliun, dengan volume

transaksi sebesar 657,26 juta transaksi atau turun sebesar

23,12% dibandingkan semester sebelumnya sebesar

809,22 juta. Penurunan nilai dan volume transaksi APMK

ini terutama karena penurunan volume dan nilai transaksi

kartu jenis account based berupa kartu ATM dan

ATM+Debet yang mendominasi (sekitar 95,97%) total

transaksi APMK.

Nilai Transaksi Volume Nilai Transaksi Volume Nilai Volume

(ribu triliun) Transaksi (ribu triliun) Transaksi

(juta) (juta)

Rp22,09 3,87 Rp20,01 4,57 (10,42%) 15,34%

Tabel 4.1Perkembangan Nilai dan Volume Setelmen

dalam Sistem BI-RTGS

PertumbuhanSemester I 2007 Semester II 2007

4.1.2. Kebijakan dan Mitigasi Risiko dalam

Sistem Pembayaran

Dalam pengoperasian sistem pembayaran terdapat

potensi risiko yang dihadapi oleh Bank Indonesia baik

sebagai regulator dan operator sistem pembayaran

maupun sebagai institusi pengguna sistem pembayaran.

Terkait dengan potensi risiko tersebut, Bank Indonesia

melakukan upaya mitigasi antara lain sebagai berikut :

a.a.a.a.a. Intensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadapIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadapIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadapIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadapIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap

CP-SIPSCP-SIPSCP-SIPSCP-SIPSCP-SIPS

CP SIPS merupakan standar internasional yang

dikeluarkan oleh Bank for International Settlements

(BIS) melalui Committee on Payment and Settlement

Systems (CPSS). Pemenuhan standar internasional ini

akan membantu mitigasi risiko.

Untuk pemenuhan CP SIPS, ketentuan Sistem BI-RTGS

dibuat lebih transparan, termasuk dengan

mengumumkan kebijakan pengenaan biaya sistem

Kartu Kredit 9,15 67,22 39,56

Kartu Debet (ATM

dan ATM+Debet) 35,20 590,04 941,64

TotalTotalTotalTotalTotal 44,3544,3544,3544,3544,35 657,26657,26657,26657,26657,26 981,20981,20981,20981,20981,20

Tabel 4.2Transaksi APMK

Jumlahkartu

(dalam juta)

Nilai Transaksi(dalam triliun)

VolumeTransaksi

Jenis Kartu(dalam juta)

Page 75: Bank Indonesia Kajian Keuangan

65

Bab 4 Infrastruktur Keuangan

BI-RTGS yang digunakan oleh Bank Indonesia. Selain

transparan, ketentuan sistem BI-RTGS yang disusun

juga memperhatikan aspek efisiensi bagi peserta

sistem BI-RTGS dengan cara memberikan kebebasan

untuk memilih jenis kepesertaannya dalam sistem BI-

RTGS. Dari segi aplikasi, telah diimplementasikan fitur-

fitur keamanan baru dalam sistem BI-RTGS guna

meningkatkan keamanan penyelenggara (Bank

Indonesia) dan peserta. Selanjutnya, Bank Indonesia

juga akan mengeluarkan ketentuan mengenai

perlindungan konsumen pengguna sistem

pembayaran, antara lain mencakup perlindungan

dalam pengkreditan dan pendebetan rekening

nasabah serta pemberian bunga dan kompensasi.

b.b.b.b.b. Pengawasan Sistem PembayaranPengawasan Sistem PembayaranPengawasan Sistem PembayaranPengawasan Sistem PembayaranPengawasan Sistem Pembayaran

Pengawasan yang efektif akan mengurangi risiko

dalam sistem pembayaran. Dalam upaya

mempertahankan penyelenggaraan sistem BI-RTGS

yang cepat, aman, dan handal, Bank Indonesia terus

melakukan pengawasan terhadap peserta baik secara

onsite maupun offsite. Pengawasan onsite dilakukan

dengan melakukan kunjungan langsung ke lokasi

produksi peserta untuk mengetahui kepatuhan

peserta terhadap ketentuan sistem BI-RTGS.

Sementara itu, pengawasan offsite dilakukan dengan

menganalisis laboran-laporan yang disampaikan oleh

peserta, antara lain laporan hasil pemeriksaan internal

dan laporan hasil security audit.

c.c.c.c.c. Business Continuity Plan Sistem PembayaranBusiness Continuity Plan Sistem PembayaranBusiness Continuity Plan Sistem PembayaranBusiness Continuity Plan Sistem PembayaranBusiness Continuity Plan Sistem Pembayaran

Untuk menjaga kelangsungan sistem BI-RTGS, Bank

Indonesia melaksanakan uji coba secara periodik

dengan menggunakan berbagai skenario kondisi

guna mempersiapkan dan melatih personil yang

terlibat dalam operasional agar selalu siap dalam

kondisi apapun. Uji coba tersebut juga dimaksudkan

untuk mengetahui kesiapan sistem back up pada

penyelenggara. Untuk menjaga kelangsungan sistem

BI-RTGS peserta, Bank Indonesia memberikan

kesempatan kepada peserta untuk melakukan uji

coba koneksi ke penyelenggara untuk memastikan

bahwa backup-nya berfungsi dengan baik. Dalam hal

backup peserta tidak dapat digunakan, Bank

Indonesia juga telah menyediakan Fasilitas Guest

Bank, yang dapat digunakan oleh peserta untuk

melakukan penyelesaian transaksi sistem BI-RTGS.

d. Peningkatan Keamanan Alat Pembayarand. Peningkatan Keamanan Alat Pembayarand. Peningkatan Keamanan Alat Pembayarand. Peningkatan Keamanan Alat Pembayarand. Peningkatan Keamanan Alat Pembayaran

Menggunakan KartuMenggunakan KartuMenggunakan KartuMenggunakan KartuMenggunakan Kartu

Proses perizinan dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan keamanan APMK sebelum APMK

tersebut digunakan secara luas oleh masyarakat.

Dalam proses pemberian izin penerbitan APMK, Bank

Indonesia menerapkan prinsip kehati-hatian antara

lain dengan cara menganalisa dokumen permohonan

yang diajukan oleh institusi calon penerbit APMK.

Peningkatan keamanan dari sisi teknologi instrumen

dilakukan dengan mendorong penggunaan teknologi

chips untuk kartu ATM dan kartu Debet. Sementara

itu, untuk meminimalkan risiko bagi konsumen, Bank

Indonesia melakukan pengawasan langsung kepada

penyelenggara APMK dan pengawasan tidak

langsung dengan menganalisa laporan

penyelenggaraan APMK yang diserahkan secara

periodik kepada Bank Indonesia.

4.2. BIRO INFORMASI KREDIT

Upaya penting lainnya yang telah ditempuh untuk

memperkuat infrastruktur sektor keuangan Indonesia

adalah pendirian Biro Informasi Kredit (BIK) di Bank

Indonesia. Pembentukan BIK ini merupakan salah satu

Page 76: Bank Indonesia Kajian Keuangan

66

Bab 4 Infrastruktur Keuangan

program dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API),

khususnya pilar ke-5 yaitu mewujudkan infrastruktur yang

lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan

yang sehat.

Secara umum, BIK ditujukan untuk membantu

perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam

memperlancar proses penyediaan dana dan penerapan

manajemen risiko melalui tersedianya informasi kualitas

debitur yang dapat diandalkan. Adanya informasi yang

lengkap dan transparan mengenai debitur sangat

dibutuhkan untuk menghindari terjadinya assymetric

information dalam analisa pemberian kredit agar risiko

kredit dapat diminimalisir.

Penyediaan informasi debitur sebenarnya sudah lama

dilakukan Bank Indonesia. Pada mulanya dikenal dengan

nama Sistem Informasi Kredit (SIK) yang kemudian diubah

menjadi Sistem Informasi Penyediaan Dana (SIPD) dan sejak

tahun 2005 dikenal dengan nama Sistem Informasi Debitur

(SID) yaitu sistem yang digunakan untuk mengelola dan

menyediakan informasi mengenai individual debitur.

Sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

7/8/PBI/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang SID maka

laporan informasi debitur ke Bank Indonesia wajib

dilakukan secara on line melalui website yang disediakan

oleh Bank Indonesia. Pelaksanaan SID berbasis web ini

menggunakan aplikasi yang terus disempurnakan mulai

dari penggunaan aplikasi yang pertama yaitu versi 504

dan saat ini versi 510. Peningkatan dan pengembangan

versi aplikasi SID akan membantu kecepatan dalam

pelaksanaan SID yang on line dan real time. Adapun

cakupan SID sebagai berikut:

Pelapor SID meliputi Bank Umum, Bank Perkreditan

Rakyat (BPR), BPR Syariah, Lembaga Penyelenggara

Kartu Kredit Selain Bank (LPKKSB) dan Lembaga

Keuangan Bukan Bank. Bagi Bank Umum, BPR

dengan total aset sebesar Rp10 miliar atau lebih dan

LPKKSB, pelaporan ini bersifat wajib, sedangkan bagi

perusahaan keuangan lainnya dan BPR dengan aset

kurang dari Rp10 miliar, pelaporan bersifat sukarela.

Laporan debitur meliputi seluruh fasilitas penyediaan

dana yang tercatat dalam pembukuan mulai dari

Rp1,- ke atas.

Laporan informasi debitur wajib disampaikan secara

on line ke Bank Indonesia setiap bulan melalui aplikasi

SID dengan menggunakan website.

Bagi pelapor yang menyampaikan laporan debitar

sesuai yang ditetapkan berhak untuk memperoleh

informasi debitur individual (IDI) secara on line dan

real time. Informasi yang tercakup dalam IDI antara

lain identitas debitur, pemilik/pengurus debitur, jumlah

fasilitas yang diterima debitur di bank pelapor, jumlah

baki debet atau oustanding fasilitas, agunan serta

kualitas kreditnya.

Sanksi bagi pelapor yang tidak menyampaikan

laporan atau koreksi laporan sesuai ketentuan atau

sesuai dengan perjanjian.

Perbedaan ketentuan SID yang berlaku saat ini

dengan ketentuan SIPD (SID lama) sebagai berikut :

Bank Umum Bank Umum, BPR, PKKSB dan LKNB

On line tetapi tidak real time On line dan real time

Rp50 juta atau lebih Seluruh nilai fasilitas yang diberikan

Tidak ada unique number Kepada masing-masing debitur diberikanDIN

PelaporPelaporPelaporPelaporPelapor

IDIIDIIDIIDIIDI

Plafon yang dilaporanPlafon yang dilaporanPlafon yang dilaporanPlafon yang dilaporanPlafon yang dilaporan

Debtor Indenfication Number (DIN)Debtor Indenfication Number (DIN)Debtor Indenfication Number (DIN)Debtor Indenfication Number (DIN)Debtor Indenfication Number (DIN)

Tabel 4.3Perbandingan Ketentuan SID

Keterangan Ketentuan SID Lama Ketentuan SID yang Sedang Berlaku

Page 77: Bank Indonesia Kajian Keuangan

67

Bab 4 Infrastruktur Keuangan

Bagi pemberi kredit, manfaat BIK dan SID adalah

membantu mempercepat proses analisa dan pengambilan

keputusan pemberian kredit. Selain itu, dengan informasi

yang lebih komprehensif dan akurat maka risiko kredit

dapat diminimalisir. Sementara itu, bagi penerima kredit,

manfaat BIK dan SID adalah mempercepat waktu

persetujuan kredit. Disamping itu, nasabah baru akan

mendapat akses yang lebih luas kepada pemberi kredit

karena informasi kinerja kreditnya di tempat lain dapat

diketahui oleh calon pemberi kredit melalui SID. Manfaat

lainnya adalah debitur dapat melakukan pengecekan

terhadap kebenaran data kreditnya yang dilaporkan oleh

pelapor yaitu dengan mengajukan permohonan tertulis

ke Bank Indonesia dengan menunjukkan bukti identitas

diri atas nama debitur yang bersangkutan.

4.3 MITIGASI RISIKO SISTEM KEUANGAN

4.3.1. Forum Stabilitas Sistem Keuangan

Dalam memitigasi risiko sistem keuangan, berbagai

upaya telah dilakukan antara lain mencakup meningkatkan

efektivitas kordinasi berbagai instansi terkait dalam Forum

Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK). Selama semester II

2007, Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) semakin

meningkatkan fungsinya. Sebagaimana dilaporkan dalam

KSK edisi sebelumnya, FSSK terdiri dari Forum Pengarah,

Forum Pelaksana dan Tim Kerja, dengan fungsi antara lain

sebagai berikut:

menunjang pengambilan keputusan terhadap bank

bermasalah yang ditengarai sistemik.

melakukan koordinasi dan tukar menukar informasi

dalam rangka sinkronisasi peraturan perundang-

undangan dan ketentuan di bidang perbankan,

lembaga keuangan non bank, dan pasar modal.

melakukan penyiapan ∆macro early warning system∆

sektor keuangan terhadap permasalahan lembaga-

lembaga dalam sistem keuangan yang berpotensi

sistemik berdasarkan hasil early warning system yang

dihimpun dari lembaga pengawas yang

bersangkutan.

mengkoordinasikan dan mensinkronisasikan

penyusunan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia

(ASKI).

melakukan kerjasama persiapan Financial Sector

Assessment Program (FSAP).

Untuk mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi

tersebut di atas maka pada bulan Oktober 2007 telah

dibentuk 2 Sub Tim Kerja dan 3 Gugus Tugas pada tingkat

Forum Pelaksana. Sub Tim Kerja yang baru tersebut terdiri

dari Sub Tim Kerja ASKI dan Sub Tim Kerja FSAP. Sementara

itu, Gugus Tugas yang baru mencakup Gugus Tugas

Subprime Crisis, Gugus Tugas Crisis Management Protocol

dan Gugus Tugas Repo.

Secara rutin, FSSK telah mengadakan pertemuan-

pertemuan untuk membahas perkembangan terakhir di

sektor keuangan Indonesia. Dalam pertemuan-pertemuan

tersebut dibahas langkah-langkah antisipasi yang perlu

dilakukan. Selain itu, untuk mendorong tukar menukar

informasi, Bank Indonesia setiap bulan secara teratur telah

Tidak terdapat pemeriksaan khusus SID Dilakukan pemeriksaan khusus SID

Melalui switching PT. Aplikanusa Lintasarta Langsung ke server BI (Kantor Pusat)

Dial-up via VSAT Dial-up via ekstranet BI

PemeriksaanPemeriksaanPemeriksaanPemeriksaanPemeriksaan

Penyampaian LaporanPenyampaian LaporanPenyampaian LaporanPenyampaian LaporanPenyampaian Laporan

Jaringan komunikasiJaringan komunikasiJaringan komunikasiJaringan komunikasiJaringan komunikasi

Tabel 4.3Perbandingan Ketentuan SID (lanjutan)

Keterangan Ketentuan SID Lama Ketentuan SID yang Sedang Berlaku

Page 78: Bank Indonesia Kajian Keuangan

68

Bab 4 Infrastruktur Keuangan

menyampaikan kepada FSSK informasi terakhir tentang

perkembangan industri perbankan serta hasil penilaian

terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

4.3.2. Crisis Management Protocol

Sementara itu, terkait dengan Crisis Management

Protocol sudah dirampungkan beberapa kegiatan

termasuk penetapan ruang lingkupnya. Pada saat ini

sedang dilakukan penyusunan kerangka kerja, dan akan

segera dilanjutkan dengan penyusunan kerangka hukum,

penyusunan organisasi dan mekanisme koordinasi,

penyiapan infrastruktur, penyiapan data dan information

sharing, penetapan indikator dan skenario, penyusunan

program komunikasi, dan pelaksanaan simulasi krisis.

Diperkirakan seluruh kegiatan tersebut dapat diselesaikan

pada bulan April 2008.

Page 79: Bank Indonesia Kajian Keuangan

69

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Ar t ike l

Page 80: Bank Indonesia Kajian Keuangan

70

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 81: Bank Indonesia Kajian Keuangan

71

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Artikel I

Survey Industri Properti:Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Wimboh Santoso5, Noer Azam Achsani6, Herawanto7

Tujuan kajian ini adalah membangun model ekonomi yang berguna sebagai petunjuk peringatan dini atas

dampak negatif perkembangan industri properti dan real estate terhadap stabilitas sistem keuangan serta untuk

mengetahui perilaku pembiayaan pelaku usaha industri properti dan real estate. Dengan menggunakan data

1996 √ Agustus 2006, hasil kajian menunjukkan bahwa model EWS yang dibangun mampu menjelaskan perilaku

PDB konstruksi, kredit properti serta NPL properti dengan sangat baik, khususnya pada periode prediksi 3, 6 dan

12 bulan.

5 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia, alamat e-mail: [email protected]

6 Peneliti, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB, alamat e-mail:[email protected]

7 Peneliti Senior, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan PengaturanPerbankan, Bank Indonesia, alamat e-mail: [email protected]

1. PENDAHULUAN

Industri properti, merupakan salah satu sumber

utama pendorong bangkitnya perekonomian suatu negara.

Pada kebanyakan negara berkembang, industri properti

memainkan peran strategis karena industri ini melibatkan

industri hulu sampai ke hilir. Maraknya pertumbuhan

industri properti secara cepat akan ditransmisikan kepada

industri lainnya seperti industri semen, besi beton, batu

bata, kayu, konsultan, dan agen properti. Namun

demikian, implikasi perkembangan industri properti tidak

hanya terbatas pada industri di atas. Pertumbuhan industri

properti secara cepat akan merambat ke sektor jasa

keuangan karena perusahaan properti membutuhkan dana

investasi konstruksi yang berasal dari bank/lembaga

keuangan. Di sisi lain, pembeli properti yang membutuhkan

dana untuk membiayai propertinya juga akan meminta

pembiayaan kepada bank/lembaga keuangan. Pada saat

inilah sistem keuangan mulai terkait oleh industri properti.

Perkembangan industri properti dan real estate di

Indonesia selama 3 tahun terakhir menunjukkan gejala

pertumbuhan yang membaik setelah terpuruk akibat krisis

ekonomi 1997. Berkembangnya industri properti dan real

estate ini dapat dijadikan indikator bagi membaiknya

perekonomian nasional karena perkembangan industri

tersebut terkait erat dengan masalah ketenagakerjaan

maupun industri pendukung (seperti semen, batu-bata,

Page 82: Bank Indonesia Kajian Keuangan

72

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

terbangunnya early warning system yang baik maka

perkembangan industri properti di masa-masa mendatang

dapat diprediksi.

Tahap kedua, pelaksanaan survei untuk mempelajari

perilaku pembiayaan dari para pelaku industri properti dan

real estate (pengembang, perbankan, dan konsumen) serta

mengetahui ekspektasi pelaku di industri properti dan real

estate tentang prospek industri tersebut ke depan. Survei

ini digunakan untuk mengklarifikasi model ekonomi yang

disusun pada tahap pertama.

2. EARLY WARNING SYSTEM INDUSTRI PROPERTI

DAN REAL ESTATE DI INDONESIA

Shock (baik yang bersumber dari internal maupun

external) akan menyebabkan fluktuasi dalam

perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi tersebut

akan membentuk suatu siklus (business cycle) berupa naik-

turunnya perekonomian yang sangat mungkin akan

terulang di masa datang. Apabila siklus tersebut dapat

dipahami dengan baik maka perilaku ekonomi ke depan

bisa diketahui jauh hari sebelumnya. Dalam kondisi

demikian, deteksi dini atau peramalan siklus perekonomian

menjadi suatu hal yang penting baik bagi pemerintah

maupun pelaku usaha.

Dalam membangun model Early Warning System

(EWS) industri properti dan real estate di Indonesia serta

menganalisis dampak industri properti dan real estate

terhadap variabel makroekonomi dan stabilitas keuangan

digunakan lima kriteria, yaitu : Akurat, Antisipatif,

Komprehensif, Flexible dan Kiwari (up to date). Untuk

mencapai tujuan tersebut, model dibangun dengan

menggunakan metode Business Cycle Analysis (analisis

siklus bisnis). Metode ini dirintis oleh National Bureau of

Economic Research (NBER) dan saat ini banyak digunakan

di negara-negara maju, khususnya Negara OECD. Di

Indonesia dan di negara berkembang lainnya, metode ini

masih sangat jarang digunakan karena keterbatasan data.

keramik, cat, besi, kayu), transportasi dan sektor-sektor

terkait lainnya. Studi Literatur di berbagai negara (misalnya

Nathakumaran et al (1996), Key et al (1994), Wood and

Williams (1992), Newell and Higgins (1996), Krystalogianni

et al (2004) dan Everhart and Duva-Hernandez (2001))

juga menunjukkan bahwa industri properti dan real estate

juga menjadi indikator penting kesehatan ekonomi.

Kinerja industri properti dan real estate ini sekaligus

juga dapat dijadikan sinyal bagi sektor keuangan,

khususnya sektor perbankan. Kejadian di masa lalu

menunjukkan bahwa tekanan pada industri property dan

real estate mampu memicu krisis, antara lain seperti yang

dicerminkan oleh kasus US savings and loan crisis di US

akhir 1980-an, financial crisis di Swedia dan Jepang awal

1990-an serta US subprime mortgage loan April 2007.

Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Koehler (2001),

Carson (2001), Van den Bergh (2001) dan Zhu (2003).

Mencermati eratnya keterkaitan peran industri

properti dan real estate, baik terhadap ekonomi secara

keseluruhan maupun terhadap stabilitas keuangan maka

perilaku industri properti menjadi sangat penting untuk

dipelajari secara kontinu. Adapun penelitian ini bertujuan

untuk:

(i) Membangun model ekonomi yang dapat digunakan

untuk memperoleh petunjuk peringatan dini atas

dampak negatif perkembangan industri properti dan

real estate terhadap stabilitas sistem keuangan,

(ii) Mengetahui perilaku pembiayaan dari para pelaku

usaha di industri properti dan real estate

(pengembang, perbankan, dan konsumen),

(iii) Mengetahui ekspektasi pelaku di industri properti dan

real estate dan prospek industri tersebut ke depan.

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, penelitian

ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama,

menyusun model yang dapat digunakan sebagai petunjuk

peringatan dini (Early Warning System EWS)

perkembangan industri properti dan real estate. Dengan

Page 83: Bank Indonesia Kajian Keuangan

73

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Dalam business cycle analysis dikenal 3 macam

composite indexes serta 1 reference series. Masing-masing

composite index merupakan kombinasi dari beberapa

variabel. Ketiga index tersebut adalah leading, coincident

dan lagging indexes. Reference Series adalah variabel yang

dapat menggambarkan kondisi perekonomian secara

agregat yang akan dipelajari, dalam hal ini adalah indikator

sektor properti dan real estate. Leading index bergerak

mendahului coincident maupun reference series.

Coincident index bergerak seiring dengan reference series.

Lagging index bergerak mengikuti (lag) coincident maupun

reference series.

Leading index menarik perhatian, karena dapat

memberikan deteksi dini (early warning system) tentang

arah pergerakan perekonomian secara agregat. Sementara

coincident index dapat memberikan gambaran tentang

current economic situation dan lagging index untuk

mengkonfirmasikan pergerakan kedua indeks terdahulu.

Studi ini menggunakan tiga alternatif reference series

yang terkait erat dengan industri properti dan real estate,

yaitu : Alternatif 1: Indikator perbankan yang mencakup

kredit properti dan NPL kredit properti, Alternatif 2: Value-

added konstruksi yang diukur dari PDB sektor konstruksi

(bangunan), dan Alternatif 3: Tingkat penyerapan yang

diukur dengan tingkat hunian/penjualan atau indeks harga

sewa/jual (untuk properti dan real estate komersial) dan

indeks harga jual atau tingkat penjualan (untuk properti

dan real estate residential). Selanjutnya, alternatif reference

series ke-3 tidak jadi digunakan akibat perubahan definisi

harga pada 2002, sehingga series yang tersedia sangat

pendek dan tidak memenuhi syarat. Dari dua alternatif

yang tersedia, kemudian dikembangkan early warning

system untuk mendeteksi perilaku reference series pada

periode prediksi 3, 6 dan 12 bulan ke depan.

Pengembangan EWS dalam 3 periode tersebut dilakukan

tidak hanya didasarkan pada pertimbangan keakuratan

hasil analisis semata, namun juga memperhatikan ruang

gerak bagi pengambil kebijakan khususnya dalam proses

perumusan dan penentuan kebijakan.

Dengan menggunakan data 1996 - Agustus 2006,

hasil studi menunjukkan bahwa model EWS yang dibangun

mampu menjelaskan perilaku PDB Konstruksi, Kredit

Properti serta NPL Properti dengan sangat baik, baik pada

periode prediksi 3, 6 maupun 12 bulan. Secara ringkas,

hasil analisis siklus bisnis dapat disajikan sebagai berikut:

NPL PropertiNPL PropertiNPL PropertiNPL PropertiNPL Properti. Hasil pengembangan model early

warning system untuk NPL Properti menunjukkan bahwa

prediksi NPL Properti pada periode 3 dan 6 bulan ke depan

(akhir 2006 √ Maret 2007) menurun. Hal ini sejalan dengan

data NPL (out of sample), namun demikian pada prediksi

12 bulan ke depan (Agustus 2007), NPL Properti

diindikasikan akan mengalami kenaikan. Hal ini pun sejalan

dengan pemberitaan di berbagai media yang juga

menunjukkan arah yang sama.

Adapun variabel utama yang menjadi komponen

penyusun leading index NPL properti adalah Konsumsi

Listrik dan Indeks Harga Konsumen (pada periode prediksi

3 bulan ke depan), serta SBI 1 bulan (pada periode prediksi

6 dan 12 bulan ke depan). Konsumsi Listrik mempunyai

korelasi negatif, yang menunjukkan bahwa tingginya

konsumsi listrik akan diikuti dengan rendahnya NPL

Properti. Sebaliknya Indeks Harga Konsumen dan SBI 1

bulan berkorelasi positif, yang mencerminkan tingginya

harga-harga dan SBI 1 bulan akan memicu naiknya NPL

pada periode 6 dan 12 bulan sesudahnya.

Kredit PropertiKredit PropertiKredit PropertiKredit PropertiKredit Properti. Model early warning system Kredit

Properti menunjukkan bahwa Kredit Properti untuk periode

prediksi 3, 6 dan 12 bulan ke depan (November 2006 √

Agustus 2007) diindikasikan akan mengalami peningkatan.

Hal ini pun sejalan dengan data kredit property terkini

maupun pendapat pelaku pasar sektor properti.

Analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa

variabel utama yang menjadi penyusun leading index Kredit

Properti diantaranya adalah: Stok Perkantoran Sewa, Stok

Page 84: Bank Indonesia Kajian Keuangan

74

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Hotel Berbintang dan Tingkat Hunian Apartemen. Stok

apartemen sewa dan tingkat hunian apartemen sewa

berhubungan positif dengan kredit properti, sehingga

tingginya kedua indikator tersebut akan diikuti dengan

kecenderungan naiknya kredit. Sebaliknya stok hotel

berbintang berhubungan negatif dengan kredit properti,

sehingga rendahnya stok hotel berbintang menjadi indikasi

akan adanya kenaikan kredit properti pada periode

sesudahnya.

PDB Sektor Konstruksi. PDB Sektor Konstruksi. PDB Sektor Konstruksi. PDB Sektor Konstruksi. PDB Sektor Konstruksi. Sebagaimana dua model

terdahulu, model early warning system untuk PDB

konstruksi juga mampu menjelaskan pergerakan PDB

dengan sangat baik pada periode prediksi 3, 6 maupun

12 bulan. Model yang dikembangkan mengindikasikan

bahwa pada hasil prediksi dengan periode 3, 6 dan 12

bulan ke depan (November 2006 √ Agustus 2007) akan

mengalami peningkatan. Hasil prediksi ini masih

menunggu konfirmasi data aktual PDB yang sedang

disiapkan untuk dipublikasikan. Namun demikian, hasil

early warning system tersebut sejalan dengan pendapat

pelaku pasar dan para pakar industri properti di tanah air.

Analisis lebih dalam menunjukkan bahwa variabel

utama penyusun early warning system PDB Konstruksi

adalah SBI 1 bulan, Tingkat Hunian Ritel dan Real

Investment Approval untuk Hotel. . . . . SBI 1 bulan

berhubungan negatif dengan PDB Konstruksi, sehingga

rendahnya SBI 1 bulan akan diikuti dengan tingginya

kegiatan ekonomi di sektor properti. Sebaliknya Tingkat

hunian ritel dan Real Investment Approval untuk Hotel

bertanda positif, sehingga tingginya tingkat hunian dan

Real Investment Approval akan diikuti dengan peningkatan

aktifitas di sektor properti.

Untuk mempelajari dampak sektor properti ke

perekonomian secara umum serta stabilitas sistem

keuangan, akan dianalisis variabel NPL Properti baik sebagai

leading indicator, maupun keterkaitannya dengan

coincident serta lagging indicators. NPL Properti sendiri

merupakan komponen utama penyusun leading index

untuk kredit properti dengan korelasi negatif. Artinya,

perbankan cenderung bersikap backward looking,

sehingga tingginya NPL cenderung diikuti oleh rendahnya

kredit Properti. Coincident index memperlihatkan bahwa

pergerakan NPL Properti akan berjalan seiring dengan

indikator ekonomi lain seperti Konsumsi Listrik, Ekspor,

Kurs Riil, Tingkat Penjualan Lahan Industri serta Tingkat

Hunian dan Stok Apartemen Sewa. Selanjutnya, perilaku

NPL properti akan diikuti oleh Kredit Properti, M1 serta

Net Foreign Assets.

3. PERILAKU PEMBIAYAAN DAN EKSPEKTASI

PELAKU INDUSTRI PROPERTI

Untuk mengetahui perilaku pembiayaan dan

ekspektasi pelaku industri properti dilaksanakan survei

yang ditujukan untuk mengetahui perilaku pembiayaan

dan ekspektasi ke depan dari para pelaku usaha di industri

properti dan real estate yang mencakup pengembang,

perbankan, dan konsumen. Survei dilaksanakan di 10 kota

di Indonesia, yaitu: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,

Bekasi, Yogyakarta, Medan, Palembang, Makasar, dan

Balikpapan. Pemilihan Lokasi Sampel dilakukan dengan

bantuan analisis SSA (Shift-share Analysis) dan LQ (Location

Quotient).

SSA merupakan suatu metode analisis untuk

mengukur apakah sebuah sektor di wilayah tertentu

memiliki kinerja lebih baik dibanding rata-rata daerah lainnya

atau dibanding kinerja di tingkat nasional. Sedangkan LQ

digunakan untuk mengidentifikasi sektor basis di suatu

wilayah. Suatu sektor dikatakan sektor basis apabila memiliki

koefisien LQ > 1. Sebaliknya, apabila koefisien LQ<1 maka

dapat dikategorikan sebagai bukan sektor basis. Suatu

daerah akan dipilih menjadi sampel apabila di daerah

tersebut sektor properti (konstruksi) menjadi sektor basis

penopang ekonomi serta memiliki kinerja yang lebih baik

dibanding daerah lainnya secara nasional.

Page 85: Bank Indonesia Kajian Keuangan

75

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Hasil survei baik ke pengembang, konsumen maupun

perbankan, adalah sebagai berikut:

Pengembang. Pengembang. Pengembang. Pengembang. Pengembang. Bagi pengembang perumahan tipe

kecil dan KPR bersubsidi, penjualan dengan cara pre-selling

lebih diminati dibandingkan dengan post-selling. Dengan

cara penjualan pre-selling, pengembang mendapatkan

kepastian pembeli serta tambahan modal. Sebaliknya,

meskipun harus indent antara 2-6 bulan, konsumen juga

lebih senang karena harga jual rumah bisa lebih murah

dan sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Semakin

besar tipe rumah yang akan dibeli, maka penjualan tipe

post-selling semakin digemari. Selain itu, kecenderungan

untuk menggunakan dana sendiri juga semakin besar.

lainnya berasal dari uang muka penjualan, pinjaman bank

serta pinjaman non-bank. Faktor-faktor yang sangat

mempengaruhi keputusan pengembang untuk meminjam

uang di bank adalah: tingkat suku bunga, harga properti,

harga bahan bangunan, tingkat hunian dan permintaan

akan properti.

Grafik A1.1Cara Penjualan Rumah

0

10

20

30

40

50

60

70

Tipe kecilsubsidi

Tipe kecilnon subsidi

Tipe sedang Tipe besar

64

36

57

43

52

48

51

49

%

Pre selling Post selling

Grafik A1.2Cara Penjualan Produk Properti Komersial

0

10

20

30

40

50

60

70

Apartemen Perkantoran Pertokoan

37

63

42

58 54

46

Pre Selling Post Selling

%

Dari sisi sumber pembiayaan, porsi terbesar dana

yang dipakai oleh para pengembang berasal dari dana

sendiri. Hal ini terkait dengan proses pembebasan dan

penyiapan lahan sampai siap bangun yang harus

ditanggung sendiri oleh pengembang. Selain itu, dana

Grafik A1.3Sumber Pembiayaan

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

1 2 3 4 5 6 7

1. Modal sendiri 2. Uang muka penjualan 3. Pinjaman Bank 4. Pinjaman lembaga non Bank

Konsumen. Konsumen. Konsumen. Konsumen. Konsumen. Salah satu temuan menarik adalah

bahwa sejumlah besar konsumen residensial (sekitar 40

persen) membeli rumah dengan menggunakan dana

sendiri dengan beberapa alasan antara lain: (i) tidak ingin

terlibat hutang, (ii) prosedur perbankan yang rumit, serta

(iii) memiliki dana yang cukup. Semakin besar tipe rumah

yang akan dibeli, semakin besar porsi penggunaan dana

sendiri, meskipun secara keseluruhan dana perbankan

masih lebih besar. Faktor-faktor yang diyakini terkait erat

dengan pengajuan kredit diantaranya adalah tingkat suku

bunga, tingkat pendapatan dan besarnya uang muka.

Grafik A1.4Komposisi Pembiayaan Konsumen Residensial

Dana SendiriDana Sendirii dan Bank

BankDana sendiri dan Non BankNon BankDana sendiri, Bank dan Non Bank

38,3

46,9

8,64,9 0,6 0,6

Page 86: Bank Indonesia Kajian Keuangan

76

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Pembeli properti tipe komersial (apartemen dan

pertokoan) banyak menggunakan dana sendiri

mengingat daya beli konsumen golongan ini rata-rata

cukup baik. Sedangkan dari sisi penjualan, sebagian besar

dilakukan dengan cara post-selling. Dengan cara

penjualan seperti ini, pembeli mendapatkan kejelasan

lokasi serta bentuk dan kualitas bangunan yang akan

dibeli.

Secara umum, baik perbankan, konsumen maupun

pengembang berpendapat bahwa kondisi sektor properti

di Indonesia pada 2007 lebih baik apabila dibandingkan

pada 1999. Pada 1999, sektor properti dalam kondisi mulai

meningkat setelah mencapai titik terendah pada saat krisis,

dan pada 2007 kondisinya membaik menuju ke puncak.

Selain itu, responden berpendapat tingkat bunga kredit

properti yang berlaku saat ini dianggap masih terlalu tinggi,

dan mengharapkan suku bunga ideal yang berkisar 8-12%.

Responden juga berpendapat bahwa angsuran bulanan

yang mencapai 30% dari pendapatan masih terlalu tinggi

dan mengharapkan angsuran bulanan yang berkisar pada

angka 10%.

4. PENUTUP

Early Warning System (EWS) untuk industri properti

dan real estate disusun dengan tiga reference series, yaitu

: Kredit Properti, NPL Properti dan PDB Sektor Konstruksi.

Sistem deteksi dini yang dibangun untuk ketiga reference

series tersebut memiliki kemampuan prediksi sampai 12

bulan ke depan dengan ketepatan yang tinggi. Hasil

analisis business cycles sejalan dengan kondisi riil di

lapangan seperti yang ditulis berbagai media (nasional

maupun internasional), serta temuan hasil survei.

Wawancara dengan pelaku pasar menunjukkan

bahwa saat ini industri properti sedang dalam fase naik,

namun demikian laporan-laporan media menunjukkan

banyaknya properti komersial yang kosong dan berpotensi

meningkatkan NPL Properti. Di lain pihak, hasil wawancara

dengan perbankan dan pelaku pasar mengindikasikan

bahwa NPL dan suku bunga merupakan beberapa faktor

penting yang perlu diperhatikan dalam bisnis properti. Oleh

karena itu, pemantauan terhadap credit risk exposure

(khususnya pada sektor properti) perlu terus diupayakan

guna memitigasi resiko yang dapat ditimbulkan oleh NPL

Properti tersebut.

Grafik A1.5Pendanaan Properti Komersial

Dana SendiriDana Sendiri dan Bank

PerbankanDana Sendiri dan Non Bank

Dana Non Bank

75%

15%

4%5% 1%

Grafik A1.6Cara Pembelian Komersial

0

20

40

60

80

Apartemen Perkantoran Pertokoan

Pre Selling Post Selling

37

63

21

79

24

76

%

Perbankan. Perbankan. Perbankan. Perbankan. Perbankan. Faktor-faktor yang terkait dengan

besarnya kredit properti adalah: (i) prospek industri

properti, (ii) tingkat penyerapan/permintaan pasar properti,

serta (iii) stabilitas makro, keamanan maupun politik.

Sedangkan, faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya

NPL Properti adalah : (i) tingkat suku bunga, (ii) tingkat

pendapatan masyarakat, (iii) tingkat penyerapan/

permintaan properti dan (iv) inflasi.

Page 87: Bank Indonesia Kajian Keuangan

77

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Untuk mengembangkan Early Warning System ke

depan yang mendukung pemeliharaan kestabilan sistem

keuangan, perlu diupayakan penyempurnaan data dan

monitoring aktif indikator terkait EWS yang tidak hanya

untuk sektor properti, namun juga untuk sektor lainnya.

Hal ini telah menjadi perhatian negara-negara maju yang

mengembangkan 19 jenis leading indicators untuk melihat

pergerakan ekonomi dan keuangan ke depan.

Page 88: Bank Indonesia Kajian Keuangan

78

Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar

Akerlof, George. 1970. The Market for Lemons: Quality

, Uncertainty and the Market Mechanism. Quarterly

journal of Economics 84: 488-500.

Bernanke, Ben S. and Alan S. Blinder. 1988. Credit, Money,

And Aggregate Demand. National Bureau Of

Economic Research. Working Paper No. 2534.

Bussiere, M and Marcel F. 2002. Towards a New Early

Warning System of

Financial Crises. Working Paper European Central Bank

no. 145.

Greef , I.J.M. de and R.T.A. de Haas. 2000. Housing Prices,

Bank Lending, and Monetary Policy. Paper presented

at the Financial Structure, and Behaviour and

Monetary Policy inthe EMU Conference, October 5-

6, 2000, Groningen.

Kiyotaki, N and Moore J. 1997. Credits Cycles. Journal of

Political Economy, Vol. 105, pages 211-248

Krytalogianni, A., G. Matysiak, dan S. Tsolacos. 2004.

Forecasting UK Commercial Real Estate Cycle Phases

With Leading Indicators: A Probit approach. Applied

Economics.

Nanthakumaran, N., B. O»Roarty, and A. Orr. 1997. The

Impact of Economic Indicators on Industrial Property

Market Performance. Center for Property Research.

University of Aberdeen. UK.

Daftar Pustaka

Samuelson, P.A. 1976. Optimality of Sluggish Predictors

under Ergodic Probabilities. International Economic

Review 17:1-7.

Sims, C. 1980. Macroeconomics and Reality. Econometrica,

Vol. 48 page 1-48.

Siregar, Doli. 2002. Dasar-Dasar Penilaian Properti.

Stiglitz, J. E. 1992. Capital Markets and Economics

Fluctuations in Capital Economies. European

Economics Review. Vol. 36, pages 269-306.

Sugema, Iman. 2000. Indonesia»s Deep Economic Crisis:

The Role of the Banking Sector in It»s Origin and

Propagation, PhD thesis, The Australian National

University.

Whitley, J and Richard W. 2003. A Quantitative Framework

for Commercial Property and its Relationship to the

Analysis of Financial Stability of the Corporate Sector.

Bank of England Working Paper no. 207.

Zhang, Whenda and Juzhong Zhuang. 2002. Leading

Indicators of Business Cycle in Malaysia and the

Philippines. ERD Working Paper No. 32

Page 89: Bank Indonesia Kajian Keuangan

79

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

Artikel II

Survey Neraca Rumah Tangga8:Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

Wimboh Santoso9, Bagus Santoso10

Survey rumah tangga bertujuan menyusun struktur neraca rumah tangga masyarakat. Neraca rumah tangga

merupakan salah satu indikator penting bagi proses pelaksanaan surveillance stabilitas sistem keuangan. Dengan

tersusunnya neraca rumah tangga diharapkan analisis mengenai kemampuan rumah tangga dalam mendapatkan

kredit perbankan dan potensi terjadinya credit default dari sektor rumah tangga dapat dilakukan dengan lebih

akurat. Selanjutnya, dengan menggunakan teknik random sampling dilakukan survey terhadap responden di

seluruh kabupaten/kota di 6 lokasi yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Bodetabek, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa

Timur. Hasil survey menunjukkan bahwa rata-rata rumah tangga mampu memenuhi kewajibannya baik terhadap

bank maupun lembaga keuangan non bank seperti tercermin dari nilai rasio total liabilities/core income, rasio

bank liabilities/core income dan rasio non-bank liabilities/core income yang masing-masing mencapai 19,98%,

14,42%, dan 5,56%.

8 Disarikan dari laporan hasil survey yang dilaksanakan melalui kerja sama antara DirektoratPenelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia dengan Bagus Santoso dan Setiyono(Universitas Gadjah Mada), Viverita (Universitas Indonesia), FX. Sugiyanto (UniversitasDiponegoro), Niki Lukviarman (Universitas Andalas), Maryunani (Universitas Brawijaya)dan Nury Effendi (Universitas Padjadjaran)

9 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; e-mail address: [email protected]

10 Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, e-mail address:[email protected]

I. LATAR BELAKANG

Sebagai salah satu unit di sistem ekonomi, rumah

tangga berperan penting dalam sistem keuangan. Rumah

tangga dalam sistem keuangan dapat berperan sebagai

Investor/Debitur (surplus unit) dan Kreditur (deficit unit)

seperti tercermin dari diagram 1. Dengan demikian,

tekanan yang dihadapi oleh neraca rumah tangga

berpotensi mempengaruhi kinerja lembaga keuangan dan

sebaliknya. Apabila tidak diantisipasi dengan baik, risiko

tersebut dapat menimbulkan gangguan terhadap sistem

keuangan secara keseluruhan. Oleh karena itu, surveillance

terhadap sektor tersebut menjadi hal yang sangat penting

sehingga potensi risiko dapat diukur dan dimonitor.

Untuk mendukung proses surveillance terhadap

sektor rumah tangga dibutuhkan ketersediaan data,

khususnya dalam bentuk Neraca Rumah Tangga

(Household Balance Sheet) yang saat ini dirasakan masih

Page 90: Bank Indonesia Kajian Keuangan

80

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Bodetabek, Jawa Tengah,

DIY, dan Jawa Timur. Household balance sheet dari wilayah

tersebut merupakan langkah awal dalam program

pembangunan household balance sheet Indonesia. Dalam

pelaksanaannya, pemilihan metode studi untuk

melaksanakan survei diserahkan sepenuhnya kepada

surveyor dengan terlebih dahulu didiskusikan dengan

penyelenggara.

Untuk membangun balance sheet tersebut

digunakan data primer sebagai hasil survei lapangan yang

dilakukan berdasarkan tehnik random sampling. Adapun

pelaksanaan survei mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Responden survei merupakan rumah tangga (RT) yang

terdapat di 6 wilayah survei. Rumah tangga

didefinisikan sebagai seseorang atau sekelompok

orang yang hidup dalam satu bangunan fisik/sensus

dengan makanan dan kebutuhan hidup lainnya

dibiayai secara bersama (Badan Pusat Statistik).

2. Pemilihan dan penentuan jumlah responden

penelitian di tiap kabupaten/kota proporsional

dengan jumlah penduduk kabupaten/kota. Proporsi

jumlah responden di tiap-tiap kabupaten/kota

terhadap total responden di suatu propinsi sama

dengan proporsi rasio jumlah penduduk di tiap-tiap

kabupaten/kota terhadap total penduduk propinsi.

Demikian pula, proporsi jumlah responden di tiap-

tiap kecamatan terhadap total responden di suatu

kabupaten/kota sama dengan proporsi rasio jumlah

penduduk di masing-masing kecamatan terhadap

total penduduk kabupaten/kota. Pemilihan wilayah

sampel pada studi ini didasarkan pada pertimbangan

bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang

representatif sesuai dengan metodologi survei.

Disamping itu, pemilihan daerah juga

mempertimbangkan faktor kemudahan akses ke

daerah tersebut.

3. Basis sampling adalah kelurahan/desa.

belum mencukupi. Dengan tersusunnya neraca rumah

tangga diharapkan analisis atas potensi risiko yang

dihadapi sektor rumah tangga dapat dilakukan dengan

memadai.

II. TUJUAN

Tujuan dilakukannya survei neraca rumah tangga ini

adalah untuk:

- Menyusun struktur neraca rumah tangga masyarakat

di seluruh kabupaten/kota di 6 lokasi yang akan

digunakan sebagai dasar analisa untuk mengetahui

kemampuan rumah tangga dalam mendapatkan

kredit perbankan dan untuk mengetahui potensi

terjadinya kredit bermasalah (credit default) dari

sektor rumah tangga.

- Membantu kegiatan surveillance BI terhadap

household sector di Indonesia, terutama dalam

kaitannya dengan stabilitas sistem keuangan.

III. METODOLOGI DAN DATA

III.1. Metodologi

Survei ini merupakan studi kuantitatif. Proses

wawancara dengan responden dilakukan dengan tatap

muka langsung. Melalui survei ini akan dibangun

household balance sheet (neraca rumah tangga) di 6 lokasi,

Gambar A1.1Kerangka Analisis Stabilitas Sistem Keuangan

Household

Corporate

Macroeconomic

Financial Condition

Probabilityof Default

Probabilityof Default

Bank

Non BankFinancial

Institution

MoneyMarket

FinancialSystem

Infrastructure

Financial Performance

International and Domestic :- Economic Factor- Non Economic Factor

CapitalProfitability

CapitalProfitability

JSI, YieldCurve, InterbankMoney Market

FinancialSystemStability

- Intermediation- Transmission Mechanism

GrowthDomesticProduct

Inflation

Inflation Target

MonetaryStability

Page 91: Bank Indonesia Kajian Keuangan

81

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

III. 2. Data

Data untuk jumlah penduduk yang diperlukan untuk

melakukan estimasi jumlah responden, nama kecamatan,

dan nama desa lokasi survei diperoleh dari kantor BPS

Propinsi, BPS Kabupaten/Kota yang bersangkutan, dan web

site Pemerintah Daerah. Data penduduk yang dipakai adalah

data penduduk tahun 2004. Jumlah responden per masing-

masing propinsi sebanyak 500 orang sehingga total

kumulatif responden untuk 6 lokasi adalah 3.000 orang.

IV. HASIL ANALISA

IV.1. Analisa Neraca

Sesuai tujuan survei, dari data yang dikompilasikan

kemudian disusun Neraca Rumah Tangga baik untuk

tingkat propinsi maupun untuk masing-masing

kabupaten/kota. Elemen-elemen neraca yang dihimpun

dari kuesioner dikelompokkan menjadi elemen Aktiva

(Assets) dan elemen Passiva (Liabilities and Equities)

sebagai berikut:

Jatim Snow Ball Purposive Sampling: 5 besarkontributor PDRB Jatim

DIY Secara umum tidak ada -penyesuaian, kec. untukdaerah-daerah yangterkena dampak gempa

Jateng Pertimbangan anggaran Pertimbangan anggaran untukuntuk kecamatan kecamatan yang majuyang maju

Jabar - - 5 terbesar daerahkontributor PDRB Jabar'(kec. Bogor, Depok,Tangerang, dan Bekasi)

- Desa yang dikunjungidiseleksi 'berdasarkanpertimbangan jarak ke pusatkota

Bodetabek Snow Ball -Sumbar Pertimbangan anggaran Pertimbangan anggaran

Tabel A2.2Beberapa Penyesuaian yang Dilakukan

Wilayah Kotamadya

Sumbar Padang, Bukittinggi Solok, Agam, Padang Pariaman

Jabar Bandung Bandung, Indramayu,

Karawang, Garut

Bodetabek Tangerang, Bogor, Tangerang, Bogor, Bekasi

Bekasi, Depok

Jateng Semarang, Surakarta, Kudus

Pekalongan, Magelang

DIY Yogyakarta Bantul, Kulonprogo

Sleman, Gunung Kidul

Jatim Malang, Pasuruan Malang, Pasuruan, Batu

Tabel A2.1Wilayah Survei

Wilayah Kotamadya Kabupaten

1 Kas 1 Utang Bank2 Tabungan 2 Utang Koperasi3 Deposito 3 Utang Pegadaian4 Giro 4 Utang Toko/Dealer5 Tabungan Asuransi 5 Uang Warung6 Tabungan Koperasi 6 Utang Pemilik Rumah/

Tanah7 Tabungan Kantor Pos 7 Utang Saudara8 Piutang 8 Utang Majikan9 Saham 9 Utang Arisan/Teman10 Obligasi 10 Utang Pelepas Uang11 Reksadana 11 Utang Lainnya12 Dana Pensiun13 Bapertarum14 Penyertaan modal usaha15 Ternak16 Emas17 Kendaraan18 Rumah19 Bangunan20 Tanah21 Harta Lainnya

Tabel A2.3Elemen Aktiva dan Pasiva

No Elemen Aktiva No Elemen Pasiva

Dari data kuesioner pula berhasil dihimpun elemen-

elemen pendapatan dan pengeluaran rumah tangga

sebagai berikut:

1 Gaji & Tunjangan 1 Pangan2 Penghasilan usaha Netto 2 Pakaian3 Penerimaan Pensiun 3 Sewa rumah dan tanah4 Beasiswa/Ikatan Dinas 4 Peralatan rumah tangga

tahan lama

Tabel A2.4Elemen Pendapatan dan Pengeluaran

No Elemen Pendapatan No Elemen Pengeluaran

Page 92: Bank Indonesia Kajian Keuangan

82

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

Sebelum disusun menjadi Neraca, elemen-elemen

Neraca di atas diklasifikasikan atas dasar perkiraan

kegunaannya (usefulness). Karena data Neraca Rumah

Tangga ini akan digunakan dalam rangka memelihara

Stabilitas Sistem Keuangan maka untuk aset

dikelompokkan sesuai likuiditasnya, sedangkan untuk

utang dikelompokkan sesuai sumber pendanaannya, yaitu

Bank dan Lembaga Keuangan non Bank (LKNB).

Dari hasil survei dan berdasarkan pengelompokan

elemen laporan keuangan tersebut, didapatkan struktur

neraca rumah tangga. Struktur neraca rumah tangga ini

merupakan struktur neraca per penduduk (jumlah per

elemen neraca dibagi dengan jumlah sampel per lokasi)

yang ditampilkan sebagai berikut:

1. Sumatera Barat

5 Ganti Rugi Asuransi 5 Transportasi6 Hasil Menang Undian 6 Kendaraan, dan bahan

bakar7 Pendapatan Bunga 7 Listrik, air, dan

Piutang dan Bunga telekomunikasiTabungan

8 Hasil Netto Penjualan 8 PendidikanTanah

9 Hasil Netto Penjualan 9 KesehatanEmas

10 Hasil Netto Penjualan 10 Rekreasi dan PerhiasanKendaraan

11 Bantuan Pemerintah 11 Aneka barang dan jasaNon-Beasiswa

12 Bantuan Lembaga Non- 12 Pembayaran pokokPemerintah Non-Beasiswa pinjaman

13 Penerimaan Lainnya 13 Pembayaran bungacicilan.

Tabel A2.4Elemen Pendapatan dan Pengeluaran (lanjutan)

No Elemen Pendapatan No Elemen Pengeluaran

Aktiva Lancar

Investasi

Aktiva Tetap

Total Aktiva

Utang Bank

Utang LKNB

Utang Lain-lain

Tabel A2.5Definisi Variabel

Variabel Definisi

Kas + Tabungan + Deposito + Giro +

Tabungan Asuransi + Tabungan Koperasi +

Tabungan Kantor Pos + Piutang +

Saham + Obligasi + Reksadana

Dana Pensiun+Bapertarum+Penyertaan

modal usaha+Ternak

Emas + Kendaraan + Rumah + Bangunan +

Tanah + Harta Lainnya

Aktiva Lancar + Aktiva Tetap + Investasi

Utang Bank

Utang Koperasi + Utang Pegadaian

Utang Toko/Dealer+Uang Warung+Utang

Pemilik Rumah/Tanah+Utang Saudara+Utang

Majikan+Utang Arisan/Teman+Utang

Pelepas Uang+Utang Lainnya

Total Utang

Kekayaan Bersih

Pendapatan

Total Pendapatan

Konsumsi

Total Cicilan + Bunga

Pembayaran Bunga

Pendapatan Bersih

Tabel A2.5Definisi Variabel (lanjutan)

Variabel Definisi

Utang Bank + Utang LKNB + Utang Lain-lain

Total Aset - Total Utang

Gaji & Tunjangan + Penghasilan usaha Netto

+ Penerimaan Pensiun

Gaji dan Tunjangan + Pendapatan Usaha

Netto + Penerimaan Pensiun + Beasiswa/

Ikatan Dinas + Ganti Rugi Asuransi + Hasil

Menang Undian + Pendapatan Bunga

Piutang dan Bunga Tabungan + Hasil Netto

Penjualan Tanah + Hasil Netto Penjualan

Emas dan Perhiasan + Hasil Netto Penjualan

Kendaraan + Bantuan Pemerintah Non-

Beasiswa + Bantuan Lembaga Non-

Pemerintah Non-Beasiswa + Penerimaan

Lainnya

Pangan+Pakaian+Sewa rumah dan

tanah+Peralatan rumah tangga tahan

lama+Transportasi, kendaraan, dan bahan

bakar+Listrik, air, dan

telekomunikasi + Pendidikan + Kesehatan +

Rekreasi + Aneka barang dan jasa

Pembayaran pokok pinjaman + Pembayaran

bunga cicilan

Pembayaran bunga cicilan

Pendapatan √ Konsumsi

Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )

Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: Banks 4.758.8784.758.8784.758.8784.758.8784.758.878

Cash 2.172.157 Household Debt: Non BanksHousehold Debt: Non BanksHousehold Debt: Non BanksHousehold Debt: Non BanksHousehold Debt: Non Banks 899.858899.858899.858899.858899.858

Saving, Deposit and 14.107.812 Household Debt: Store/ 518.548

Checking Acc Dealer

Insurance, Cooperatives, 2.827.600 Household Debt: Kiosk 2.400

Post Office

Account receivable 5.905.440 Household Debt: Landlord 0

Stock, Bond, Mutual Fund 912.000 Household Debt: Relatives 81.200

Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 25.925.01025.925.01025.925.01025.925.01025.925.010 Household Debt: Employer 800

InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 12.235.80412.235.80412.235.80412.235.80412.235.804 Household Debt: ROSCA/ 17.720

Friends

Page 93: Bank Indonesia Kajian Keuangan

83

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

Pada neraca rumah tangga di Sumatera Barat,

komposisi aktiva tetap mendominasi keseluruhan

total aset dengan pangsa sebesar 88,38%. Dari sisi

aktiva lancar, komponen terbesar adalah tabungan,

deposito, dan giro yaitu sebesar 54,42% dari total

aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva komponen

terbesar adalah modal (net worth), yaitu sebesar

97,88% dari total pasiva. Dari sisi utang, rumah

tangga di Sumatera Barat masih mengandalkan pada

sektor perbankan dengan pangsa sebesar 63,40%

dari total utang. Sementara itu, pangsa utang kepada

lembaga keuangan non bank dan utang lain-lain

sebesar 11,99% dan 24,61%.

2. Jawa Barat

Dari struktur neraca rumah tangga di Jawa Barat

terlihat bahwa aktiva tetap (terutama berupa rumah

dan bangunan), merupakan komponen terbesar dari

total aset, yaitu dengan pangsa sebesar 87%. Aktiva

lancar, investasi, dan aktiva lain-lain mengambil

pangsa sebesar 10%, 2%, dan 1%. Dari sisi aktiva

lancar, komponen terbesar adalah tabungan,

deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 68% dari

total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,

komponen terbesar adalah modal (net worth) dengan

pangsa sebesar 97% dari total pasiva. Selain dari

modal sendiri, rumah tangga di Jawa Barat lebih

banyak menggantungkan pembiayaannya pada

perbankan yang mencapai 82% dari total utang.

3. Bodetabek

Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt: Money 4.000

Lender

Gold and Jewelry 6.440.278 Household Debt: Others 175.832

Vehicle 34.756.541 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 1.847.5811.847.5811.847.5811.847.5811.847.581

House and buildings 221.637.302 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 7.506.3187.506.3187.506.3187.506.3187.506.318

Land 50.354.506

Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 313.188.627313.188.627313.188.627313.188.627313.188.627 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 346.874.202346.874.202346.874.202346.874.202346.874.202

Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 3.031.0803.031.0803.031.0803.031.0803.031.080

Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 354.380.520354.380.520354.380.520354.380.520354.380.520 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 354.380.520354.380.520354.380.520354.380.520354.380.520

Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )

Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )

Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt, BanksHousehold Debt, BanksHousehold Debt, BanksHousehold Debt, BanksHousehold Debt, Banks 8.748.3778.748.3778.748.3778.748.3778.748.377

Cash 1.152.812 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 261.153261.153261.153261.153261.153

BanksBanksBanksBanksBanks

Saving, Deposit and 24.814.429 Household Debt : Store/ 1.276.500

Checking Acc Dealer

Insurance, Cooperatives, 2.400.146 Household Debt : Kiosk 200

Post Office

Account receivable 2.912.344 Household Debt : Landlord 38.400

Stock, Bond, Mutual Fund 5.040.000 Household Debt : Relatives 160.680

Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 36.319.73236.319.73236.319.73236.319.73236.319.732 Household Debt : Employer 0

InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 6.625.1706.625.1706.625.1706.625.1706.625.170 Household Debt : ROSCA/ 12.000

Friends

Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 396

Lender

Gold and Jewelry 3.044.710 Household Debt : Others 126.200

Vehicle 33.112.080 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 1.614.3761.614.3761.614.3761.614.3761.614.376

House and buildings 242.889.742 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 10.623.90610.623.90610.623.90610.623.90610.623.906

Land 46.670.200

Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 325.716.732325.716.732325.716.732325.716.732325.716.732 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 363.559.128363.559.128363.559.128363.559.128363.559.128

Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 5.521.4005.521.4005.521.4005.521.4005.521.400

Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 374.183.034374.183.034374.183.034374.183.034374.183.034 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 374.183.034374.183.034374.183.034374.183.034374.183.034

Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )

Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: Banks 5.436.3805.436.3805.436.3805.436.3805.436.380

Cash 918.553 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 1.910.0741.910.0741.910.0741.910.0741.910.074

BanksBanksBanksBanksBanks

Saving, Deposit and 15.637.631 Household Debt : Store/ 1.976.814

Checking Acc Dealer

Insurance, Cooperatives, 915.243 Household Debt : Kiosk 395

Post Office

Account receivable 5.558.247 Household Debt : Landlord 0

Stock, Bond, Mutual Fund 328.063 Household Debt : Relatives 470.593

Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 23.357.73723.357.73723.357.73723.357.73723.357.737 Household Debt : Employer 31.621

InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 9.051.0599.051.0599.051.0599.051.0599.051.059 Household Debt : ROSCA/ 85.692

Friends

Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 10.119

Lender

Gold and Jewelry 2.779.087 Household Debt : Others 2.084.163

Vehicle 39.825.257 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 4.659.3964.659.3964.659.3964.659.3964.659.396

House and buildings 173.407.263 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 12.005.85012.005.85012.005.85012.005.85012.005.850

Land 40.703.755

Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 256.715.362256.715.362256.715.362256.715.362256.715.362 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 278.688.032278.688.032278.688.032278.688.032278.688.032

Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 1.569.7231.569.7231.569.7231.569.7231.569.723

Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 290.693.882290.693.882290.693.882290.693.882290.693.882 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 290.693.882290.693.882290.693.882290.693.882290.693.882

Dari struktur neraca rumah tangga di Bodetabek

terlihat bahwa aktiva tetap (terutama berupa rumah

dan bangunan), merupakan komponen terbesar dari

total aset, yaitu dengan pangsa sebesar 88,31%.

Aktiva lancar, investasi, dan aktiva lain-lain mengambil

pangsa sebesar 8,04%, 3,11%, dan 0,54%. Dari sisi

Page 94: Bank Indonesia Kajian Keuangan

84

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

aktiva lancar, komponen terbesar adalah tabungan,

deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 66,95%

dari total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,

komponen terbesar adalah modal (net worth) dengan

pangsa sebesar 95,87% dari total pasiva. Selain dari

modal sendiri, rumah tangga di Bodetabek lebih

banyak menggantungkan pembiayaannya pada

perbankan yang mencapai 45,28% dari total utang.

Sedangkan, pangsa utang ke lembaga keuangan non

bank dan utang lain-lain sebesar 15,91% dan

38,81%.

4. D.I. Yogyakarta

dari total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,

komponen terbesar adalah modal (net worth) dengan

pangsa sebesar 96,24% dari total pasiva. Selain dari

modal sendiri, rumah tangga di D.I.Yogyakarta lebih

banyak menggantungkan pembiayaannya pada

perbankan yang mencapai 80,87% dari total utang.

Sedangkan, pangsa utang ke lembaga keuangan non

bank dan utang lain-lain sebesar 8,59% dan 10,54%.

5. Jawa Tengah

Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )

Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : Banks 14.172.83314.172.83314.172.83314.172.83314.172.833

Cash 2.089.595 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 1.506.0231.506.0231.506.0231.506.0231.506.023

BanksBanksBanksBanksBanks

Saving, Deposit and 13.779.277 Household Debt : Store/ 1.462.759

Checking Acc Dealer

Insurance, Cooperatives, 2.597.860 Household Debt : Kiosk 6.250

Post Office

Account receivable 5.905.440 Household Debt : Landlord 22.639

Stock, Bond, Mutual Fund 148.810 Household Debt : Relatives 125.298

Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 24.520.98124.520.98124.520.98124.520.98124.520.981 Household Debt : Employer 11.905

InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 10.238.04810.238.04810.238.04810.238.04810.238.048 Household Debt : ROSCA/ 49.569

Friends

Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 20.635

Lender

Gold and Jewelry 3.909.800 Household Debt : Others 148.527

Vehicle 41.542.785 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 1.847.5811.847.5811.847.5811.847.5811.847.581

House and buildings 250.522.599 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 17.526.43717.526.43717.526.43717.526.43717.526.437

Land 121.388.179

Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 417.363.362417.363.362417.363.362417.363.362417.363.362 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 449.200.522449.200.522449.200.522449.200.522449.200.522

Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 14.604.56814.604.56814.604.56814.604.56814.604.568

Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 466.726.959466.726.959466.726.959466.726.959466.726.959 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 466.726.959466.726.959466.726.959466.726.959466.726.959

Berdasarkan struktur neraca rumah tangga di

D.I.Yogyakarta yang dihitung secara rata-rata terlihat

bahwa aktiva tetap (terutama berupa rumah dan

bangunan), merupakan komponen terbesar dari total

aset, yaitu dengan pangsa sebesar 89,42%. Aktiva

lancar, investasi, dan aktiva lain-lain mengambil

pangsa sebesar 5,25%, 2,19%, dan 3,13%. Dari sisi

aktiva lancar, komponen terbesar adalah tabungan,

deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 56,19%

Berdasarkan struktur neraca rumah tangga di Jawa

Tengah yang dihitung secara rata-rata terlihat bahwa

aktiva tetap (terutama berupa rumah dan bangunan),

merupakan komponen terbesar dari total aset, yaitu

dengan pangsa sebesar 94,28%. Aktiva lancar,

investasi, dan aktiva lain-lain mengambil pangsa

sebesar 5,08%, 0,41%, dan 0,23%. Dari sisi aktiva

lancar, komponen terbesar adalah tabungan,

deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 50% dari

total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,

hampir seluruh kebutuhan rumah tangga dibuayai

oleh modal sendiri (net worth) dengan pangsa sebesar

Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )

Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : Banks 4.776.3124.776.3124.776.3124.776.3124.776.312

Cash 1.245.918 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 537.350537.350537.350537.350537.350

BanksBanksBanksBanksBanks

Saving, Deposit and 8.311.627 Household Debt : Store/ 804.410

Checking Acc Dealer

Insurance, Cooperatives, 2.451.280 Household Debt : Kiosk 292

Post Office

Account receivable 3.840.979 Household Debt : Landlord 0

Stock, Bond, Mutual Fund 892.200 Household Debt : Relatives 52.900

Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 16.742.00416.742.00416.742.00416.742.00416.742.004 Household Debt : Employer 1200

InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 1.339.5251.339.5251.339.5251.339.5251.339.525 Household Debt : ROSCA/ 39.330

Friends

Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 440

Lender

Gold and Jewelry 3.719.063 Household Debt : Others 17.200

Vehicle 28.022.390 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 915.772915.772915.772915.772915.772

House and buildings 238.762.016 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 6.229.4336.229.4336.229.4336.229.4336.229.433

Land 40.048.548

Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 310.552.017310.552.017310.552.017310.552.017310.552.017 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 323.162.133323.162.133323.162.133323.162.133323.162.133

Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 758.020758.020758.020758.020758.020

Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 329.391.566329.391.566329.391.566329.391.566329.391.566 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 329.391.566329.391.566329.391.566329.391.566329.391.566

Page 95: Bank Indonesia Kajian Keuangan

85

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

98,11% dari total pasiva. Selain dari modal sendiri,

rumah tangga di Jawa Tengah lebih banyak

menggantungkan pembiayaannya pada perbankan

yang mencapai 76,67% dari total utang. Sedangkan,

pangsa utang ke lembaga keuangan non bank dan

utang lain-lain sebesar 8,63% dan 14,70%.

6. Jawa Timur

sebesar 6,40%, 1,57%, dan 0,91%. Dari sisi aktiva

lancar, komponen terbesar adalah tabungan,

deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 57,91%

dari total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,

hampir seluruh kebutuhan rumah tangga dibiayai

oleh modal sendiri (net worth) dengan pangsa sebesar

97,90% dari total pasiva. Selain dari modal sendiri,

rumah tangga di Jawa Timur lebih banyak

menggantungkan pembiayaannya pada perbankan

yang mencapai 69,44% dari total utang. Sedangkan,

pangsa utang ke lembaga keuangan non bank dan

utang lain-lain sebesar 8,18% dan 22,38%.

IV.2. Analisa Rasio

Analisa Rasio Total Liabilities/Total Asset

Rasio ini menunjukkan kemampuan total aset dalam

mencover kewajiban rumah tangga. Apabila nilai rasio

ini kurang dari 1 (= 100%), maka nilai kewajiban

rumah tangga lebih kecil daripada total asetnya.

Artinya, rumah tangga masih memiliki kemampuan

untuk mengajukan pinjaman yang lebih besar. Dari

survei yang telah dilakukan terlihat bahwa seluruh

rumah tangga di area survei masih memiliki

kemampuan untuk mengajukan pinjaman yang lebih

besar. Rumah tangga di Bodetabek memiliki rasio

tertinggi, sedangkan rumah tangga di Jawa Tengah

memiliki rasio terendah.

Analisa Rasio Total Liabilities/Current Asset

Rasio ini menunjukkan kemampuan kemampuan

Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )

Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : Banks 5.386.9465.386.9465.386.9465.386.9465.386.946

Cash 2.343.074 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 634.727634.727634.727634.727634.727

BanksBanksBanksBanksBanks

Saving, Deposit and 13.704.406 Household Debt : Store/ 1.308.552

Checking Acc Dealer

Insurance, Cooperatives, 1.458.087 Household Debt : Kiosk 0

Post Office

Account receivable 4.218.410 Household Debt : Landlord 0

Stock, Bond, Mutual Fund 1.940.200 Household Debt : Relatives 212.000

Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 23.664.17723.664.17723.664.17723.664.17723.664.177 Household Debt : Employer 7.900

InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 5.805.5385.805.5385.805.5385.805.5385.805.538 Household Debt : ROSCA/ 58.286

Friends

Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 700

Lender

Gold and Jewelry 4.126.520 Household Debt : Others 148.527

Vehicle 34.236.390 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 1.735.9651.735.9651.735.9651.735.9651.735.965

House and buildings 219.749.584 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 7.757.6377.757.6377.757.6377.757.6377.757.637

Land 78.583.960

Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 336.696.454336.696.454336.696.454336.696.454336.696.454 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 361.758.772361.758.772361.758.772361.758.772361.758.772

Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 3.350.2403.350.2403.350.2403.350.2403.350.240

Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 369.516.409369.516.409369.516.409369.516.409369.516.409 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 369.516.409369.516.409369.516.409369.516.409369.516.409

Berdasarkan struktur neraca rumah tangga di Jawa

Timur yang dihitung secara rata-rata terlihat bahwa

aktiva tetap (terutama berupa rumah dan bangunan),

merupakan komponen terbesar dari total aset, yaitu

dengan pangsa sebesar 91,12%. Aktiva lancar,

investasi, dan aktiva lain-lain mengambil pangsa

Sumbar 2,12 28,95 18,36 2,40

Jabar 2,84 29,25 24,09 3,26

Bodetabek 4,13 51,40 23,27 4,68

Jateng 1,89 37,21 28,53 2,01

DIY 3,76 71,48 57,80 4,20

Jatim 2,10 32,78 22,76 2,30

L o k a s iR a s i o

Total Liabilities/Total Asset Total Liabilities/Current Asset Total Bank Liabilities/Current Asset Total Bank Liabilities/Fixed Asset(%) (%) (%) (%)

Page 96: Bank Indonesia Kajian Keuangan

86

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

aktiva lancar untuk mengcover kewajiban rumah

tangga. Apabila rasio ini kurang dari 1 (= 100%) maka

nilai kewajiban rumah tangga lebih kecil

dibandingkan dengan aset lancarnya. Artinya rumah

tangga masih memiliki kemampuan untuk

mengajukan pinjaman yang lebih besar. Hasil survei

menunjukkan bahwa seluruh rumah tangga di area

survei masih memiliki kemampuan untuk mengajukan

pinjaman yang lebih besar. Rumah Tangga

D.I.Yogyakarta memiliki rasio tertinggi, sedangkan

Sumatera Barat memiliki rasio terendah.

Analisa Rasio Total Bank Liabilities/Current Asset

Rasio ini menunjukkan kemampuan aktiva lancar

untuk mengcover kewajiban rumah tangga terhadap

bank. Apabila rasio ini kurang dari 1 (=100%) maka

nilai kewajiban rumah tangga lebih kecil

dibandingkan dengan aset yang dimilikinya. Artinya

rumah tangga masih memiliki kemampuan untuk

mengajukan pinjaman yang lebih besar. Hasil survei

menggambarkan bahwa semua rumah tangga di area

survei masih memiliki kemampuan untuk mengajukan

pinjaman yang lebih besar. Rumah Tangga di D.I.

Yogyakarta memiliki rasio tertinggi dan Sumatera

Barat memiliki rasio terendah.

Analisa Rasio Total Bank Liabilities/Fixed Asset

Rasio ini menunjukkan kemampuan aktiva tetap

untuk mengcover kewajiban rumah tangga terhadap

bank. Apabila rasio ini kurang dari 1 (=100%) maka

nilai kewajiban rumah tangga lebih kecil

Sumbar 13,02 8,25 4,76 1,73

Jabar 18,59 15,31 3,28 0,38

Bodetabek 15,54 7,03 8,50 1,90

Jateng 25,33 19,42 5,91 1,44

DIY 31,47 25,45 6,02 10,08

Jatim 15,94 11,07 4,87 2,66

L o k a s iR a s i o

Total Liabilities/Core Income Bank Liabilities/Core Income Total Non-Bank Liabilities/Core Income Interest Payment/Core Income(%) (%) (%) (%)

dibandingkan dengan aset yang dimilikinya. Hal ini

berarti rumah tangga masih memiliki kemampuan

untuk mengajukan pinjaman yang lebih besar. Hasil

survei menggambarkan bahwa semua rumah tangga

di area survei masih memiliki kemampuan untuk

mengajukan pinjaman yang lebih besar. Rumah

tangga di Bodetabek memiliki rasio tertinggi dan Jawa

Tengah memiliki rasio terendah.

Analisa Rasio Total Liabilities/Core Income

Rasio ini menunjukkan kemampuan pendapatan

utama rumah tangga untuk mengcover

kewajibannya. Hasil survei menunjukkan bahwa

seluruh rumah tangga di area survei memiliki

kemampuan untuk melakukan pinjaman.

Analisa Rasio Bank Liabilities/Core Income

Rasio ini menunjukkan kemampuan pendapatan

utama rumah tangga untuk mengcover kewajibannya

ke bank. Hasil survei menunjukkan bahwa rumah

tangga di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah memiliki

nilai rasio yang lebih tinggi dibandingkan dengan

rumah tangga di daerah lain.

Analisa Rasio Non-Bank Liabilities/Core Income

Rasio ini menunjukkan kemampuan pendapatan

utama rumah tangga untuk mengcover kewajiban

rumah tangga ke non bank (misal: koperasi ataupun

lembaga microfinance lainnya dan pegadaian). Hasil

survei menunjukkan bahwa rumah tangga di Jabar

memiliki kemampuan pendapatan yang paling baik

dalam mengcover kewajiban hutang non bank

Page 97: Bank Indonesia Kajian Keuangan

87

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi lainnya.

Sementara itu, rumah tangga di Bodetabek memiliki

kemampuan pendapatan yang paling rendah dalam

mengcover kewajiban hutang non bank

dibandingkan rumah tangga di lokasi lainnya.

Analisa Rasio Interest Payment/Core Income

Rasio ini menunjukkan proporsi pendapatan utama

rumah tangga yang digunakan untuk membayar

bunga pinjaman. Hasil survei menunjukkan bahwa

diantara rumah tangga di semua lokasi survei, rumah

tangga di Jabar memiliki proporsi kewajiban

pembayaran bunga yang paling kecil. Dengan kata

lain, rumah tangga di Jabar memiliki kemampuan

pendapatan yang paling baik dalam mengcover

kewajiban bunga pinjaman. Sementara itu, dengan

proporsi kewajiban pembayaran bunga pinjaman

yang paling besar, rumah tangga di DIY memiliki

kemampuan pendapatan yang paling rendah dalam

mencover kewajiban tersebut.

Analisa Rasio (Total Installment+Interest Payment)/

Total Income

Rasio ini menunjukkan proporsi pendapatan utama

rumah tangga yang digunakan untuk membayar

cicilan pokok beserta bunga. Hasil survei

menunjukkan bahwa diantara rumah tangga di

semua lokasi survei, rumah tangga di Jabar memiliki

proporsi kewajiban pembayaran cicilan pinjaman

(pokok dan bunga) yang paling kecil karena memiliki

rasio terendah, yaitu 4,816%. Dengan kata lain,

rumah tangga di Jabar memiliki kemampuan

pendapatan yang paling baik dalam mengcover cicilan

pinjaman. Sementara itu, rumah tangga di Bodetabek

memiliki proporsi kewajiban pembayaran cicilan

pinjaman yang paling besar, dengan rasio 22,485%.

Atau dengan kata lain rumah tangga di Bodetabek

memiliki kemampuan pendapatan yang paling rendah

dalam mencover kewajiban pembayaran cicilan

pinjaman.

Analisa Rasio (Total Installment+Interest Payment)/

Current Asset

Rasio ini menunjukkan kemampuan aktiva lancar

untuk mengcover cicilan pinjaman (pokok dan

bunga). Hasil survei menunjukkan bahwa diantara

rumah tangga di semua lokasi survei, rumah tangga

di Jabar memiliki proporsi kewajiban pembayaran

cicilan pinjaman yang paling kecil karena memiliki

rasio terendah, yaitu 9,950%. Dengan kata lain,

rumah tangga di Jabar memiliki kemampuan

pendapatan yang paling baik dalam mengcover cicilan

pinjaman. Sementara itu, proporsi kewajiban

pembayaran cicilan pinjaman yang paling besar

dimiliki oleh rumah tangga di Bodetabek dengan rasio

82,253%. Dengan kata lain, rumah tangga di

Bodetabek memiliki kemampuan pendapatan yang

paling rendah dalam mencover kewajiban

pembayaran cicilan pinjaman.

Sumbar 5,53 13,95 -

Jabar 4,82 9,95 3,14

Bodetabek 22,49 82,25 1,40

Jateng 10,89 20,17 -

DIY 12,58 35,11 1,64

Jatim 10,92 26,76 11,46

L o k a s iR a s i o

(Total Installment + Interest Payment)/ (Total Installment + Interest Payment)/ Collateral / Agreed Bank LoanTotal Income (%) Current Asset (%)

Page 98: Bank Indonesia Kajian Keuangan

88

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

Analisa Rasio Collateral/Agreed Bank Loan

Rasio ini menunjukkan jumlah kredit yang diberikan

dibandingkan dengan nilai jaminan. Apabila nilai rasio

ini kurang dari 1 berarti pinjaman yang diberikan tebih

tinggi daripada nilai jaminan. Ambang batas untuk

rasio ini adalah 1,25. Nilai rasio yang lebih tinggi

daripada nilai ambang batas menunjukkan bahwa

propinsi dimaksud masih potensial untuk mengajukan

pinjaman yang lebih besar. Hasil survei menunjukkan

bahwa rumah tangga di Jawa Barat, Bodetabek,

D.I.Yogyakarta dan Jawa Timur berpotensi untuk

mengajukan pinjaman yang lebih besar dibandingkan

pinjaman mereka saat ini.

VI. KESIMPULAN

Survei Neraca Rumah Tangga yang dilakukan di 6

lokasi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Bodetabek, Jawa

Tengah, D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur berhasil

membangun sebuah Neraca Rumah Tangga (Household

Balance Sheets) per November 2007 baik untuk tingkat

propinsi maupun per wilayah kabupaten/kota. Struktur

Neraca Rumah Tangga di 6 lokasi survei terdiri dari current

assets, investasi, fixed assets, dan aktiva lain-lain disisi aktiva

(assets) dan utang bank, utang Lembaga Keuangan Non

Bank (LKNB), utang lain-lain, dan kekayaan bersih di sisi

passiva (liabilities and equities). Di lihat dari komposisinya,

sisi aktiva neraca rumah tangga didominasi oleh fixed assets

(khususnya aset berupa rumah dan bangunan), sedangkan

di sisi passiva, total utang didominasi oleh utang bank yang

mencapai rata-rata 69,67% dari total utang.

Secara umum, rumah tangga di seluruh lokasi survei

berpotensi untuk mengajukan pinjaman yang lebih besar.

Hal ini terlihat dari nilai rasio total liabilities/total asset,

total liabilities/current asset, total bank liabilities/current

asset, dan total bank liabilities/fixed asset. Hasil survei juga

menunjukkan bahwa berdasarkan pendapatan utama yang

dimiliki, seluruh rumah tangga di lokasi survei mampu

memenuhi kewajibannya baik terhadap bank maupun

lembaga keuangan non bank. Kemampuan ini tercermin

dari nilai rasio total liabilities/core income, bank liabilities/

core income dan rasio non-bank liabilities/core income.

Sementara itu, apabila dilihat dari elemen total pendapatan

dan aktiva lancar, rumah tangga di 6 lokasi survei mampu

memenuhi kewajiban membayar cicilan pokok beserta

bunganya. Hal ini terlihat dari rasio (total installment +

interest payment)/current asset.

Page 99: Bank Indonesia Kajian Keuangan

89

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah

Mada, 2007. Laporan Akhir Household Balance Sheet

Survey Daerah Istimewa Yogyakarta 2007

Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan Universitas

Brawijaya, 2007. Laporan Akhir Survei Neraca Rumah

Tangga Propinsi Jawa Timur 2007

Center for Banking Research Universitas Andalas, 2007.

Laporan Pelaksanaan Survey Neraca Rumah Tangga

2007 di Sumatera Barat

Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi Universitas

Diponegoro, 2007. Laporan Akhir Survei Household

Balance Sheet Wilayah Jawa Tengah Tahun 2007

Laboratorium Penelitian, Pengabdian Pada Masyarakat dan

Pengkajian Ekonomi Universitas Padjajaran, 2007.

Laporan Akhir Survei Household Balance Sheet

Daftar Pustaka

Laboratorium Studi Manajemen Universitas Indonesia,

2007. Survey Neraca Rumah Tangga Bank Indonesia:

Analisis Temuan

Lee, Kevin and Paul Mizen (2005), ≈Household Credit and

Probability Forecast of Financial Distress in the United

Kingdom∆

Rinaldi, Laura and Alicia Sanchis Arellano (2006),

≈Household Debt Sustainability: What Explains

Household Non Performing Loan? An Empirical

Analysis, Working Paper no.570, European Central

Bank, January 2006.

Page 100: Bank Indonesia Kajian Keuangan

90

Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 101: Bank Indonesia Kajian Keuangan

Glosari

91

Glosari

Page 102: Bank Indonesia Kajian Keuangan

Glosari

92

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 103: Bank Indonesia Kajian Keuangan

Glosari

93

Ambil untungAmbil untungAmbil untungAmbil untungAmbil untung (profit taking) (profit taking) (profit taking) (profit taking) (profit taking): tindakan investor dengan

menjual aset/surat berharga pada saat harga tinggi untuk

mendapatkan keuntungan.

Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS):

penyelesaian transaksi secara elektronis dan real time

dimana rekening peserta dapat didebit/dikredit berkali-kali

dalam sehari sesuai perintah.

Exchange Traded Fund Exchange Traded Fund Exchange Traded Fund Exchange Traded Fund Exchange Traded Fund (ETF)(ETF)(ETF)(ETF)(ETF): Suatu jenis reksadana yang

memiliki karakteristik mirip dengan suatu perusahaan

terbuka dimana unit penyertaannya dapat diperdagangkan

di bursa. ETF ini merupakan kombinasi dari reksadana

tertutup dan reksadana terbuka.

Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis (business continuity(business continuity(business continuity(business continuity(business continuity

management)management)management)management)management): pengelolaan risiko untuk memastikan tetap

berjalannya fungsi-fungsi penting dalam keadaan

gangguan dan proses pemulihan yang efektif.

Financial deepeningFinancial deepeningFinancial deepeningFinancial deepeningFinancial deepening: : : : : istilah yang menggambarkan

perkembangan sektor keuangan pada suatu negara.

Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)::::: program IMF

dan Bank Dunia yang ditujukan untuk menilai ketahanan

sistem keuangan suatu negara termasuk kepatuhan

terhadap standar-standar internasional.

Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (CapitalCapitalCapitalCapitalCapital

Adequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CAR))))): Rasio kecukupan modal bank;

merupakan pembagian jumlah modal yang meliputi tier I,

tier II, dan tier III dengan aktiva tertimbang menurut risiko.

Kredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalur (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans): kredit yang telah

disetujui namun belum dicairkan.

Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (non performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPL))))): terdiri dari

kredit yang tergolong Kurang Lancar (KL), Diragukan (D)

dan Macet (M).

Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (crisis managementcrisis managementcrisis managementcrisis managementcrisis management))))): proses yang

meliputi identifikasi, mitigasi dan penyelesaian krisis.

Glosari

Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko (risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation): upaya untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya dan dampak risiko.

Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis (Crisis Management Protocol)(Crisis Management Protocol)(Crisis Management Protocol)(Crisis Management Protocol)(Crisis Management Protocol):

Kerangka kerja yang menetapkan tindakan, peran, dan

tanggung jawab otoritas dalam menangani krisis sehingga

kerugian ekonomi dapat diminimalkan

RedemptionRedemptionRedemptionRedemptionRedemption: penjualan sekuritas sebelum jatuh tempo

RestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasi: penyesuaian persyaratan kredit dengan

penambahan dana dan/atau konversi seluruh atau

sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru,

dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi

penyertaan bank dalam perusahaan, yang dapat disertai

dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan

kembali (reconditioning).

Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (credit riskcredit riskcredit riskcredit riskcredit risk))))): risiko yang timbul akibat

kegagalan debitur atau mitra bisnis memenuhi

kewajibannya.

Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (liquidity riskliquidity riskliquidity riskliquidity riskliquidity risk))))): risiko yang timbul akibat

ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban

jangka pendeknya akibat ketidaksesuaian dana masuk

dan keluar.

Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (operational riskoperational riskoperational riskoperational riskoperational risk))))): risiko yang terjadi baik

secara langsung maupun tidak langsung akibat

ketidakmampuan atau kegagalan proses internal, manusia

dan sistem atau kejadian eksternal.

Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (market riskmarket riskmarket riskmarket riskmarket risk))))): risiko atas posisi perdagangan

akibat perubahan harga.

Sistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment Systems (SIPS) (SIPS) (SIPS) (SIPS) (SIPS): sistem

pembayaran yang berperan penting dan dapat

menimbulkan dampak sistemik jika tidak diatur dan diawasi

dengan baik.

Page 104: Bank Indonesia Kajian Keuangan

Glosari

94

Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (risk control systemsrisk control systemsrisk control systemsrisk control systemsrisk control systems))))): sistem

pengendalian risiko yang telah dituangkan dalam kebijakan

dan prosedur bank sesuai dengan prinsip-prinsip

manajemen risiko yang baik.

Stabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuangan: suatu sistem keuangan dengan

intermediasi keuangan yang efektif dimana lembaga, pasar

dan infrastruktur pasar mampu memfasilitasi aliran dana

antara penabung dan debitur sehingga mendukung

pertumbuhan ekonomi.

Stress testingStress testingStress testingStress testingStress testing: estimasi potensi kerugian terhadap eksposur

kredit dan likuiditas yang dihasilkan dari beberapa skenario

perubahan harga dan volatilitas.

Subprime mortgageSubprime mortgageSubprime mortgageSubprime mortgageSubprime mortgage: surat utang kepemilikan rumah atau

KPR kepada masyarakat yang memiliki kualitas kredit yang

rendah tetapi memberikan imbal hasil tinggi

Sudden reversalSudden reversalSudden reversalSudden reversalSudden reversal: aliran modal keluar secara serentak dan

tiba-tiba

VolatilitasVolatilitasVolatilitasVolatilitasVolatilitas: standar deviasi dari perubahan nilai suatu

instrumen keuangan dengan jangka waktu spesifik;

digunakan untuk menghitung risiko dari instrumen

keuangan pada suatu periode waktu umumnya secara

tahunan.

Page 105: Bank Indonesia Kajian Keuangan

PENGARAH

Halim Alamsyah Wimboh Santoso

KOORDINATOR & EDITOR

Agusman

TIM PENYUSUN

Ardiansyah, Linda Maulidina, Ratih A. Sekaryuni, Herawanto, Pipih Dewi Purusitawati, Wini

Purwanti, Endang Kurnia Saputra, Ita Rulina, Ricky Satria, Fernando R. B, Noviati, Cicilia A.

Harun, Sagita Rachmanira, Reska Prasetya, Elis Deriantino, Primitiva Febriarti, Hero Wonida,

Mestika Widantri, Heny S

KOMPILATOR, LAYOUT & PRODUKSI

Ita Rulina Ricky Satria Primitiva Febriarti

KONTRIBUTOR

Direktorat Pengawasan Bank 1

Direktorat Pengawasan Bank 2

Direktorat Pengawasan Bank 3

Direktorat Perbankan Syariah

Direktorat Kredit, BPR dan UMKM

Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan

Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan

Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter

Direktorat Pengelolaan Moneter

Direktorat Pengelolaan Devisa

PENGOLAHAN DATA

Suharso I Made Yogi Tita Hapsari

Kajian Stabilitas KeuanganNo. 10, Maret 2008