Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

107

description

Edisi ini sangat penting karena akhir-akhir ini banyak sekali perkembangan yang terjadi yang perlu dikaji dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum ketahanan sektor keuangan Indonesia selama semester II tahun 2008 relatif cukup terjaga meskipun tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan meningkat tajam karena imbas krisis global.

Transcript of Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

Page 1: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009
Page 2: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan

tugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi ≈mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah

melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan

pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan∆.

Penerbit:

Bank Indonesia

Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta

Indonesia

Informasi dan Order :

KSK ini terbit pada bulan Maret 2009 dan didasarkan pada data dan informasi per Desember 2008, kecuali dinyatakan lain.

Dokumen KSK lengkap dalam format pdf tersedia pada web site Bank Indonesia : http://www.bi.go.id

Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada :

Bank Indonesia

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan

Biro Stabilitas Sistem Keuangan

Jl.MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia

Telepon : (+62-21) 381 8902, 381 8075

Fax : (+62-21) 351 8629

Email : [email protected]

KSK diterbitkan secara semesteran dengan tujuan untuk :

Meningkatkan wawasan publik dalam memahami stabilitas sistem keuangan

Mengkaji risiko-risiko potensial terhadap stabilitas sistem keuangan

Menganalisa perkembangan dan permasalahan dalam sistem keuangan

Merekomendasi kebijakan untuk mendorong dan memelihara sistem keuangan yang stabil.

Page 3: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

Kajian Stabilitas KeuanganI - 2007( No. 12, Maret 2009 )

Page 4: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

ii

Page 5: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

iii

Kata Pengantar vi

Gambaran Umum 3

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil 9

Kondisi Makroekonomi 9

Kondisi Sektor Riil 12

Boks 1.1. Survei Neraca Rumah Tangga Indonesia

2008 15

Boks 1.2. Risiko Kredit Sektor Korporasi:

Credit Default Swaps (CDS) 17

Boks 1.3. Transition Matrices: Potensi Risiko Kredit

Korporasi pada 3 Sektor 18

Bab 2 Sektor Keuangan 21

Struktur Sistem Keuangan Indonesia 21

Indeks Stabilitas Keuangan 22

Perbankan 22

Pendanaan dan Risiko Likuiditas 22

Perkembangan dan Risiko Kredit 25

Risiko Pasar 31

Profitabilitas dan Permodalan 33

Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal 36

Perusahaan Pembiayaan 36

Pasar Modal 39

Boks 2.1. Kronologis Gejolak Sektor Keuangan

2008 dan Respon Kebijakan 46

Boks 2.2. Pengambilalihan Bank Century, Penutupan

Bank Indover dan Stabilitas Sistem

Keuangan 47

Daftar Isi

Boks 2.3. Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) 48

Boks 2.4. Structured Products dan Offshore Products :

Dampaknya terhadap Stabilitas Sistem

Keuangan 50

Boks 2.5. Dampak Utang Luar Negeri terhadap

Stabilitas Sistem Keuangan 52

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan

Mitigasi Risiko 55

Perkembangan Sistem Pembayaran 55

Pengembangan Biro Informasi Kredit 59

Jaring Pengaman Sistem Keuangan 63

Boks 3.1. Stabilitas Sistem Keuangan dan PERPPU

tentang Perubahan Undang Undang Bank

Indonesia 65

Boks 3.2. Best Practices Analisis Dampak Sistemik

terhadap Sistem Keuangan 66

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia 69

Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko 69

Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 70

Prospek Sistem Keuangan Indonesia 72

Artikel

Artikel 1 Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal

Indonesia 75

Artikel 2 Corporate Balance Sheet Modelling:

Determinants of Indonesian Corporate

Debt 85

iii

Page 6: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

iv

Daftar Tabel dan Grafik

Tabel

1.1 Indikator Ekonomi Dunia 10

2.1 Laba/Rugi Perbankan 34

2.2 Perkembangan Pembiayaan Perusahaan

Pembiayaan 37

2.3 Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan 37

2.4 Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan 39

2.5 Pertumbuhan Indeks Bursa Regional 41

2.6 Pertumbuhan Indeks Sektoral 41

3.1 Perkembangan Data SID 2006-2008 60

3.2 Kerangka Kerja Jaring Pengaman Sistem

Keuangan 64

4.1 Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi 69

4.2 Persepsi Risiko Indonesia 70

Tabel Boks :

1.3.1 Migrasi Kolektibilitas Debitur 3 Sektor 18

2.1.1 Kronologis Gejolak Sektor Keuangan Indonesia

2008 46

2.1.2 Respon Kebijakan 46

2.3.1 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB

Rupiah Januari s.d Desember 2008 48

2.3.2 Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Valas

DN Januari s.d Desember 2008 49

2.5.1 Utang Luar Negeri Swasta Jatuh Tempo 2009 52

1.1 Business Confidence Indicators 9

1.2 Indeks Harga Beberapa Komoditas 10

1.3 Pertumbuhan PDB Negara Industri 10

1.4 Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging

Market 11

1.5 Indeks Harga Saham Global 11

1.6 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah IDR/USD 11

1.7 Perkembangan Inflasi ASEAN-5 dan Vietnam 12

1.8 Tingkat Bunga Riil Indonesia, AS dan Singapura 12

1.9 Pertumbuhan ROA dan ROE Perusahaan Non

Financial Go Public 13

1.10 Perkembangan DER dan TL/TA Perusahaan Non

Financial Go Public 13

1.11 Probability of Default (PD) Perusahaan Non

Financial Go Public 13

1.12 Tingkat Pengangguran Beberapa Negara ASEAN 14

1.13 Komposisi Sumber Pendapatan Rumah Tangga 14

2.1 Komposisi Aset Lembaga Keuangan 21

2.2 Indeks Stabilitas Keuangan

(Financial Stability Index) 22

2.3 Perkembangan DPK 23

2.4 Perkembangan DPK Valas 23

2.5 Perkembangan DPK Valas vs Nilai Tukar Rupiah 23

2.6 Ekses Likuiditas Bank 23

2.7 Volume Transaksi PUAB DN (rata-rata per hari) 24

2.8 Pertumbuhan Kredit (yoy) 25

2.9 Perkembangan Kredit 2007-2008 25

2.10 Pertumbuhan Kredit Kelompok Bank (ytd) 26

2.11 Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan (ytd) 26

2.12 Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi 26

2.13 Pertumbuhan KPR, Kartu Kredit & Lainnya 27

2.14 Perkembangan Kredit Properti 27

2.15 Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Valuta Asal 27

2.16 Pangsa Kredit Penggunaan 27

Grafik

iv

Page 7: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

v

2.17 Perkembangan Kredit MKM 28

2.18 Non Performing Loans 28

2.19 Kredit, NPL, dan PPAP (Rp Triliun) 28

2.20 Rasio NPL Gross Kelompok Bank 29

2.21 Rasio NPL Gross Sektor Ekonomi 29

2.22 Rasio NPL Gross Jenis Penggunaan 29

2.23 Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi 29

2.24 Rasio NPL Gross Kredit Properti (%) 30

2.25 Rasio NPL Gross Kredit Rupiah dan Valas (%) 30

2.26 Rasio NPL Gross MKM & Non MKM (%) 30

2.27 Rasio NPL Gross Kredit MKM (%) 31

2.28 Suku Bunga Rp & Nilai Tukar 32

2.29 Profil Maturitas Rupiah 32

2.30 Profil Maturitas Valas 32

2.31 Posisi Devisa Netto 32

2.32 Pangsa Kepemilikan SUN Perbankan 33

2.33 Perkembangan SUN (Rp T) 33

2.34 Profitabilitas Bank-mtm 2008 34

2.35 Pendapatan Bunga Bank 34

2.36 Perkembangan Rasio ROA per Kelompok Bank 34

2.37 Perkembangan Rasio BOPO per Kelompok Bank 35

2.38 Modal, ATMR, dan CAR 35

2.39 Integrated Stress Test terhadap CAR 15

Bank Besar 36

2.40 Interbank Stress Test 36

2.41 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan 37

2.42 Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan 37

2.43 Komposisi Nominal Pembiayaan PP (Nov'08) 37

2.44 NPL Pembiayaan 38

2.45 Perkembangan Nominal NPL 38

2.46 Arus Kas PP Swasta Nasional 38

2.47 Arus Kas PP Patungan 38

2.48 Exposure Perbankan 39

2.49 Perkembangan Penurunan NPL PP Subsidiary

Bank 39

2.50 Perkembangan Kenaikan NPL PP subsidiary Bank 39

2.51 Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham 40

2.52 Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham 40

2.53 Kepemilikan SUN dan SBI Investor Asing 40

2.54 Penyerapan SUN Lembaga Keuangan Domestik

dan Asing 40

2.55 Perkembangan IHSG & Indeks Global dan Regional

(Diindekskan dengan Indeks 31 Desember 2005) 41

2.56 Volatilitas (30 hari) beberapa Indeks Bursa Asia 41

2.57 Nilai Transaksi Saham Investor Domestik dan

Asing 42

2.58 Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi 42

2.59 Perkembangan Harga Saham Beberapa Bank 42

2.60 P/E Ratio Saham Bank 42

2.61 Perkembangan Harga Beberapa Seri FR 43

2.62 Yield SUN 1 s.d. 30 tahun 43

2.63 SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor 43

2.64 Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi 43

2.65 Nilai Aktiva Bersih Reksadana 44

2.66 Reksadana : Redemption-Subscription-NAB 44

2.67 Reksadana : NAB-Unit Penyertaan 44

2.68 Kinerja Penghimpunan Dana Reksadana 44

3.1 Perkembangan Transaksi BI-RTGS 55

3.2 Perkembangan Transaksi SKN-BI 56

3.3 Perkembangan Transaksi APMK 56

3.4 Perkembangan Transaksi E-Money 56

3.5 Peran Biro Informasi Kredit 59

3.6 Kebijakan Strategis BIK 60

4.1 Profil Risiko Perbankan dan Arah ke Depan 71

Grafik Boks :

1.1.1 Komposisi Hutang Rumah Tangga

(dalam % terhadap Total Hutang) 16

1.1.2 Tujuan Pinjaman Rumah Tangga 16

1.2.1 Perkembangan Harga CDS Indonesia 17

1.2.2 Perkembangan Spread CDS Indonesia 17

v

Page 8: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

vi

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami menyambut baik penerbitan Kajian Stabilitas

Keuangan (KSK) No.12 Maret 2009 ini. Edisi ini kami pandang sangat penting karena akhir-akhir ini banyak sekali

perkembangan yang terjadi yang perlu dikaji dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum ketahanan sektor keuangan Indonesia selama semester II tahun

2008 relatif cukup terjaga meskipun tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan meningkat tajam karena imbas krisis

global. Salah satu indikator peningkatan tekanan tersebut adalah Financial Stability Index (FSI) yang melampaui batas

maksimum indikatif angka 2 pada bulan November dan Desember 2008. Di pasar modal, peningkatan tekanan terlihat

pada merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), sementara di pasar SUN terjadi penurunan harga yang signifikan.

Di perbankan, tekanan tersebut tercermin pada peningkatan risiko likuiditas terutama pada bulan Agustus-Septem-

ber 2008. Tekanan likuiditas itu muncul tidak saja karena imbas krisis global, namun juga karena tingginya pertumbuhan

kredit yang lebih banyak dibiayai dengan secondary reserves dibandingkan dengan pembiayaan yang berasal dari kenaikan

dana masyarakat. Pada saat yang sama, perbankan juga menghadapi peningkatan risiko nilai tukar karena menurunnya

nilai mata uang Rupiah. Setelah dikeluarkannya berbagai kebijakan, baik oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia,

menjelang akhir 2008 tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan mulai berkurang meskipun belum sepenuhnya pulih.

Salah satu bentuk permasalahan yang belum dapat diatasi secara sempurna adalah segmentasi di Pasar Uang Antar Bank

(PUAB).

Meskipun tekanan terhadap sektor keuangan meningkat, namun kinerja perbankan sebagai industri yang paling

dominan di sektor keuangan, relatif masih cukup baik. Pada akhir Desember 2008, rasio permodalan (CAR) perbankan

tercatat masih tinggi (16,2%) dengan kualitas aktiva yang masih tetap terjaga sebagaimana tercermin pada rasio NPL

yang relatif rendah, yaitu 3,8% (gross) dan 1,5% (netto).

Namun demikian, ke depan perlu terus diwaspadai berbagai sumber instabilitas, termasuk potensi peningkatan

risiko kredit dan kemungkinan berulangnya tekanan likuiditas. Masalah lainnya yang juga dapat menimbulkan tekanan

adalah semakin lambatnya penyaluran kredit (credit crunch) oleh perbankan yang pada gilirannya dapat mengganggu

kinerja sektor riil, baik pada level korporasi maupun pada level households. Terganggunya kinerja sektor riil berpotensi

meningkatkan risiko kredit di perbankan.

Kata Pengantar

Page 9: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

vii

Semakin banyaknya tantangan di sektor keuangan perlu diantisipasi dengan selalu berupaya untuk memperbaiki

dan meningkatkan kualitas surveillance guna mendukung deteksi dini. Dengan mengetahui lebih awal potensi risiko,

langkah-langkah mitigasi risiko dapat direncanakan secara cermat sehingga kerugian dapat diminimalisir. Untuk itulah

kami memandang penting penerbitan KSK ini karena dapat digunakan sebagai media yang efektif untuk

mengkomunikasikan kepada para stakeholders hasil-hasil surveillance yang telah dilakukan. Semoga KSK berhasil

mengemban misinya itu dengan baik dan informasi yang disediakannya bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Maret 2009

DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA

Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad

Page 10: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

viii

Page 11: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

1

Gambaran Umum

Gambaran Umum

Page 12: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

2

Gambaran Umum

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 13: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

3

Gambaran Umum

Stabilitas sistem keuangan pada semester II 2008 masih tetap terjaga. Selama

periode tersebut, terimbas oleh krisis global, tekanan terhadap sektor keuangan

domestik menjadi semakin besar. Indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot

tajam, sementara harga Surat Utang Negara (SUN) mengalami penurunan yang

signifikan. Perbankan juga sempat mengalami tekanan likuiditas tidak saja

karena pengaruh krisis likuiditas global, namun juga karena tingginya

pertumbuhan kredit yang berlangsung s.d. Oktober 2008 yang sebagian besar

dibiayai dengan secondary reserves. Selain itu, menurunnya nilai tukar Rupiah

sejak awal Oktober 2008 juga meningkatkan risiko di sektor keuangan. Gejolak

di sektor keuangan ini telah mengakibatkan Indeks Stabilitas Keuangan selama

semester laporan meningkat tajam, bahkan melampaui batas maksimum

indikatif angka 2 pada bulan November dan Desember 2008. Untuk menjaga

stabilitas sistem keuangan, Pemerintah menerbitkan beberapa Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU), sementara Bank Indonesia

mengeluarkan beberapa ketentuan baru, termasuk merubah Giro Wajib

Minimum (GWM). Dampak positifnya adalah kondisi likuiditas industri

perbankan semakin membaik dan nilai tukar Rupiah semakin berkurang

volatilitasnya meskipun belum kembali pada level seperti sebelum Oktober

2008. Namun, menjelang akhir 2008 dan awal 2009 terdapat tanda-tanda

bahwa pertumbuhan kredit perbankan menjadi semakin melambat. Apabila

hal ini terus berlangsung dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap

perekonomian mengingat perbankan selama ini merupakan sumber

pembiayaan yang paling utama. Ke depan, prospek stabilitas sistem keuangan

diperkirakan masih akan tetap positif meskipun tantangan yang dihadapi

semakin berat karena akan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Gambaran Umum

1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS

1.1. Krisis Keuangan Global

Krisis keuangan global merupakan sumber instabilitas

yang terutama. Hal ini karena perekonomian Indonesia

semakin terintegrasi dengan perekonomian global. Selain

itu, sumber dana dari luar negeri selama ini merupakan

salah satu sumber dana yang penting, baik bagi

perusahaan perbankan maupun perusahaan non-

perbankan. Oleh karena itu, krisis keuangan yang dialami

sejumlah negara sejak beberapa waktu terakhir ini

Page 14: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

4

Gambaran Umum

berpotensi menular ke Indonesia. Tidak saja sektor

keuangan domestik menjadi semakin rentan oleh gejolak

keuangan, perusahaan-perusahaan Indonesia menjadi

semakin sulit mendapatkan dana asing untuk membiayai

kegiatan usahanya. Akibatnya, perusahaan-perusahaan di

sektor riil yang selama ini tergantung pada sumber

pembiayaan dari luar negeri dapat terganggu kinerjanya

dan dapat menurunkan debt repayment capacity dari

perusahaan-perusahaan tersebut. Di perbankan, hal-hal

ini dapat mendorong terjadinya peningkatan kredit

bermasalah (NPL), serta perlambatan pertumbuhan kredit

dan pembiayaan lainnya dalam valas yang dibutuhkan

untuk mendukung kegiatan perekonomian.

1.2. Kondisi Makroekonomi

Stabilitas makroekonomi merupakan prasyarat

utama untuk tercapainya stabilitas sistem keuangan.

Berbagai pihak memperkirakan bahwa kondisi

makroekonomi domestik tahun 2009 tidak lebih baik

dibandingkan dengan tahun 2008, terutama karena

pengaruh perlambatan ekonomi global. Memburuknya

kondisi makroekonomi berpotensi menekan stabilitas

keuangan karena dapat mendorong peningkatan NPL.

Disamping itu, perbankan kemungkinan menjadi semakin

selektif menyalurkan kredit. Untuk itu, perlu dilakukan

langkah-langkah antisipatif untuk mencegah

meningkatnya risiko perbankan karena memburuknya

kondisi makroekonomi, termasuk dengan memperketat

monitoring dan mempercepat pelaksanaan restrukturisasi

kredit terhadap debitur-debitur yang terkena imbas krisis

global.

1.3. Kondisi Sektor Riil dan Infrastruktur

Potensi instabilitas juga dapat berasal dari kondisi

sektor riil dan infrastruktur domestik yang masih belum

menggembirakan. Terimbas krisis global, hasil pemantauan

menunjukkan bahwa kinerja korporasi pada umumnya

mengalami penurunan terutama dari segi profitabilitas dan

ketersediaan likuiditas. Selain itu, leverage juga cenderung

meningkat sejalan dengan penurunan modal karena

berkurangnya profitabilitas. Selanjutnya, meskipun hasil

survei tahun 2008 menunjukkan bahwa kondisi sektor

rumah tangga (household) masih relatif aman, namun

ancaman pemutusan hubungan kerja yang terjadi pada

beberapa perusahaan sangat berpotensi mengganggu

kinerja household ke depan. Sementara itu, kondisi

infrastruktur, dalam enam bulan terakhir juga tidak

menunjukkan kemajuan yang berarti. Secara keseluruhan,

kondisi sektor riil dan infratsruktur yang masih belum

mendukung ini berpotensi menimbulkan tekanan terhadap

stabilitas sistem keuangan, terutama dalam bentuk

peningkatan NPL dan melambatnya penyaluran kredit

perbankan.

1.4. Inovasi Keuangan, Structured Products dan

Offshore Products

Dalam KSK edisi sebelumnya (No.11 September

2008) telah dikemukakan pentingnya perbankan

memperhatikan aspek manajemen risiko dan perlindungan

nasabah dalam melakukan inovasi terhadap produk-

produk keuangan yang ditawarkan kepada nasabah,

termasuk structured products. Dalam kenyataannya sejak

beberapa waktu terakhir sejalan dengan pelemahan nilai

tukar mata uang domestik, beberapa negara mengalami

kesulitan karena kerugian yang disebabkan oleh structured

products sehingga menimbulkan dispute antara bank

dengan nasabahnya. Meskipun di Indonesia, potensi

kerugian yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan

negara-negara lainnya, hal ini perlu mendapat perhatian

karena dapat meningkatkan risiko kredit dan risiko nilai

tukar di perbankan. Di samping itu, risiko reputasi dan

risiko hukum dari bank-bank yang terkait dengan

Page 15: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

5

Gambaran Umum

structured products juga berpotensi meningkat, khususnya

jika dispute dengan nasabah tidak berhasil diselesaikan

dengan baik.

Selain itu, perbankan juga perlu pula meningkatkan

kehati-hatian terkait dengan kegiatan keagenan offshore

products. Hal tersebut antara lain karena penanaman yang

berlebihan dalam produk tersebut dapat mendorong

terjadinya pelarian dana investor domestik ke luar negeri,

membuat bank lebih terekspose risiko reputasi dan risiko

hukum, serta meningkatkan potensi terjadinya dispute

dengan nasabah, terutama apabila transparansi dan

perlindungan konsumen masih belum diprioritaskan.

1.5. Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB)

Secara umum, tekanan likuiditas yang sempat dialami

pada semester kedua 2008 dewasa ini telah teratasi dan

industri perbankan sudah semakin likuid. Namun demikian,

masih ada persoalan yang tersisa yaitu masih terdapatnya

segmentasi PUAB dimana bank-bank besar cenderung

hanya bertransaksi dengan bank-bank besar pula,

sementara bank-bank kecil dan menengah relatif masih

mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana antar

bank. Ke depan, segmentasi PUAB ini perlu segera diatasi

karena dapat menimbulkan tekanan pada stabilitas

perbankan, khususnya dari sisi likuiditas.

1.6. Perkembangan Politik dan Keamanan Dalam

Negeri

Pelaksanaan Pemilu 2009 dapat berdampak terhadap

kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang apabila

tidak terkendali dapat mengganggu stabilitas keuangan.

Namun, dengan mempertimbangkan bahwa rakyat selama

ini sudah semakin terbiasa dengan pesta demokrasi seperti

halnya Pemilihan Gubernur dan Bupati yang berlangsung

terus menerus silih berganti sepanjang tahun di berbagai

tempat di dalam negeri, dapat diperkirakan bahwa Pemilu

tahun 2009 juga akan terlaksana dengan aman dan

terkendali. Keberhasilan melaksanakan Pemilu dengan

damai dan demokratis akan mendorong meningkatnya

investasi di dalam negeri, baik yang berasal dari investor

lokal maupun investor international.

2. MITIGASI RISIKO

2.1. Memperkuat Manajemen Risiko dan Good

Governance

Cara yang terbaik untuk menekan potensi instabilitas

di sektor keuangan adalah memperkuat manajemen risiko

dan good governance di lembaga-lembaga keuangan, baik

bank maupun non-bank. Manajemen risiko yang lebih baik

akan sangat membantu dalam pengambilan langkah-

langkah yang diperlukan untuk memitigasi risiko untuk

menghindarkan potensi kerugian. Sementara itu,

penerapan good governance akan membuat lembaga-

lembaga keuangan semakin memperhatikan prinsip-

prinsip transparansi, akuntabilitas dan fairness yang

memungkinkan berjalannya mekanisme disiplin pasar dan

perlindungan nasabah yang memadai. Dibandingkan

dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan

manajemen risiko dan good governance di perbankan

sudah mengalami kemajuan. Namun, untuk

mengantisipasi dampak semakin memburuknya ekonomi

global, diperlukan upaya yang lebih keras lagi untuk terus

memperkuat manajemen risiko dan implementasi good

governance di perbankan.

2.2. Memperkuat Surveillance

Mitigasi risiko di sektor keuangan juga dapat

dilakukan dengan memperkuat surveillance. Untuk itu,

telah dikembangkan berbagai tools dan methodologies

seperti stress tests, analisis probability of default, financial

stability index serta survey households untuk mendukung

surveillance pada tingkat macroprudential. Dari waktu

Page 16: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

6

Gambaran Umum

ke waktu masing-masing pendekatan ini terus direview

dan dikembangkan agar dapat menjadi alat deteksi dini

(early warning) yang andal. Sementara itu, pada level

microprudential, fungsi pengawasan bank terus

diperkuat, antara lain dengan membenahi sumber daya

manusia pengawasan bank, serta terus memperbaiki

berbagai pendekatan yang digunakan dalam rangka

penerapan Risk-Based Supervision. Disamping itu,

sejumlah ketentuan baru di bidang perbankan yang

ditujukan antara lain untuk menjaga stabilitas sistem

keuangan, juga telah dikeluarkan.

2.3. Memperkuat Protokol Manajemen Krisis

Untuk memitigasi risiko dalam konteks yang lebih

luas di sektor keuangan telah disusun protokol manajemen

krisis yang merupakan bagian penting dalam kerangka

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Terkait dengan

hal tersebut, untuk memitigasi risiko karena bergejolaknya

sektor keuangan pada bulan Oktober 2008, Pemerintah

telah menerbitkan 3 PERPPU, yaitu masing-masing tentang

(i) Peningkatan penjaminan oleh LPS dari semula maksimal

Rp100 juta menjadi Rp2 milyar perorang pernasabah; (ii)

Perubahan Undang-undang tentang Bank Indonesia yang

memungkinkan penggunaan kredit lancar sebagai agunan

dalam mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek

(FPJP) dari Bank Indonesia; dan (iii) Jaring Pengaman Sistem

Keuangan (JPSK).

Penerbitan ketiga PERPPU tersebut terbukti

membantu meredam tekanan likuiditas perbankan,

sehingga perbankan tetap tenang meskipun pada saat

tekanan likuiditas terjadi terdapat 1 bank yang diserahkan

ke LPS untuk disehatkan. Dalam perkembangan

selanjutnya, PERPPU tentang perubahan cakupan

penjaminan oleh LPS dan perubahan Undang-undang Bank

Indonesia sudah mendapatkan persetujuan dari DPR,

sementara PERPPU tentang JPSK tidak mendapat

persetujuan. Kondisi terakhir, Pemerintah telah

mempersiapkan Rancangan Undang-undang tentang JPSK

dan sudah mulai dibahas dengan DPR.

3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGAN

Prospek stabilitas sistem keuangan ke depan

diperkirakan masih akan tetap positif meskipun tantangan

yang dihadapi akan semakin berat terutama karena belum

pulihnya kondisi perekonomian baik domestik maupun

global. Sebagaimana yang akan diuraikan lebih rinci pada

Bab 4, hal-hal yang mendasari perkiraan ini sebagai berikut.

Pertama, gejolak keuangan yang terjadi akhir-akhir ini

terjadi lebih banyak karena faktor eksternal, sementara

perbankan domestik relatif tidak memiliki masalah seberat

perbankan di luar negeri. Kedua, dewasa ini perbankan

dan otoritas pengawasan bank lebih siap menghadapi krisis

dibandingkan kondisi tahun 1997/1998. Ketiga,

infrastruktur sektor keuangan sudah semakin lengkap,

antara lain ditandai dengan adanya Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS) yang cukup dipercaya dan menimbulkan

ketentraman bagi nasabah penyimpan dana di perbankan.

Faktor penting berikutnya yang mendukung prospek positif

stabilitas keuangan ke depan adalah Jaring Pengaman

Sektor Keuangan (JPSK) yang saat ini rancangan Undang-

undangnya sudah dipersiapkan dan telah mulai dibahas

di DPR.

Ditengah-tengah optimisme tersebut di atas, kehati-

hatian perlu terus lebih ditingkatkan karena krisis global

dewasa ini dinilai sebagai yang terberat paska Depresi Besar

(Great Depression) tahun 1929. Melambatnya

pertumbuhan ekonomi global secara kolektif akan sulit

dihindarkan dampaknya terhadap ekonomi domestik. Oleh

karena itu sangat penting untuk membentengi sektor

keuangan domestik dengan membuat jaring pengaman

yang memadai serta mengedepankan kehati-hatian dalam

menjalankan aktivitas usaha.

Page 17: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

7

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Bab 1Kondisi Makroekonomidan Sektor Riil

Page 18: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

8

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 19: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

9

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

1. KONDISI MAKROEKONOMI

Perkembangan ekonomi internasional selama

semester II 2008 diwarnai oleh meluasnya krisis keuangan

global hingga merambat ke sektor riil. Kelangkaan

likuiditas dan peningkatan volatilitas di pasar uang

memicu penurunan kepercayaan sektor korporasi

(produsen) maupun sektor rumah tangga (konsumen)

terhadap kondisi perekonomian. Hal ini tergambar pada

penurunan Business Confidence Indicator yang

dikeluarkan oleh IMF.

Kondisi ini menyebabkan produsen dan konsumen

melakukan langkah antisipasi dengan menahan diri untuk

melakukan investasi dan konsumsi. Hal tersebut

berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi

terutama di negara-negara maju. Selama tahun 2008

perekonomian dunia diperkirakan hanya tumbuh sekitar

Selama semester II 2008 stabilitas makroekonomi Indonesia masih tetap

terjaga meskipun mendapat tekanan dari krisis keuangan global. Penurunan

kepercayaan pasar menyebabkan krisis keuangan merambat ke sektor riil

sehingga mendorong terjadinya perlambatan ekonomi pada banyak negara

termasuk Indonesia. Sementara itu, penurunan daya beli yang diiringi dengan

penurunan harga menyebabkan profitabilitas sektor korporasi menurun.

Akibatnya, pelaku usaha melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga

kerja dan pembatasan kegiatan ekspansi yang pada gilirannya dapat

menyebabkan penurunan pendapatan rumah tangga. Jika terus berlanjut,

hal ini berpotensi menimbulkan gangguan terhadap stabilitas sistem

keuangan domestik.

Kondisi Makroekonomi dan Sektor RiilBab 1

3,4%, melambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2007

yang sebesar 5,2%. Perlambatan ini diperkirakan akan

berlanjut pada tahun 2009 yaitu menjadi hanya sekitar

0,5%. Pada tahun 2010, keadaan diperkirakan akan sedikit

membaik dengan pertumbuhan sebesar 3,0%.

Grafik 1.1Business Confidence Indicators

Sumber: World Economic Outlook-IMF November, 2008

Manufacturing PMls

(values greater than 50 indicate expansion)

2008

EmergingEconomies

UnitedStates

Euro Area

1985 1990 1995 2000 2005Okt

35

40

45

50

55

60

65

Page 20: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

10

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Penurunan kegiatan ekonomi di negara-negara maju

berdampak pada penurunan permintaan terhadap

komoditas yang menyebabkan turunnya harga komoditas

di pasar global. Semula, pada semester I 2008, pelemahan

nilai tukar dollar AS dan gejolak yang terjadi di pasar uang

mendorong beralihnya arus dana investasi ke pasar

komoditi yang memicu terjadinya lonjakan harga

komoditas. Harga minyak mentah dunia sempat mencapai

level tertinggi mendekati USD150 per barrel yang diikuti

pula dengan kenaikan harga komoditas lainnya. Namun,

memasuki semester II 2008, seiring dengan menurunnya

jumlah permintaan akibat penurunan kegiatan ekonomi

dan berkurangnya transaksi yang bersifat spekulatif di

pasar komoditas, harga minyak mentah dan harga

komoditas utama dunia lainnya menurun tajam.

Dibandingkan akhir semester I 2008, harga minyak dunia

mengalami penurunan lebih dari 50% hingga menjadi

USD44,6 per barrel pada akhir semester II 2008. Penurunan

tersebut juga diikuti oleh penurunan harga-harga

komoditas utama dunia lainnya.

Penurunan permintaan terhadap barang dan jasa,

khususnya dari negara-negara maju seperti AS dan Uni

Grafik 1.2Indeks Harga Beberapa Komoditas

Tabel 1.1Indikator Ekonomi Dunia

World Output: 5,2 3,4 0,5 3,0Advanced Economies 2,7 1,0 (2,0) 1,1

United States 2,0 1,1 (1,6) 1,6Euro area 2,6 1,0 (2,0) 0,2

Emerging & Developing Countries 8,3 6,3 3,3 5,0

Consumer Price:Advanced Economies 2,1 3,5 0,3 0,8Emerging & Developing Countries1) 6,4 9,2 5,8 5,0

LIBOR2)

US Dollar Deposit 5,3 3,0 1,3 2,9Euro Deposit 4,3 4,6 2,2 2,7Yen Deposit 0,9 1,0 1,0 0,4

Oil Price (USD) - rata-rata3) 10,7 36,4 (48,5) 20,0

Kategori 2007 2008

(%)(%)(%)(%)(%)Proyeksi

2009 2010

Sumber: World Economic Outlook - IMF Januari 2009

Grafik 1.3Pertumbuhan PDB Negara Industri

1990 = 100

Sumber: Bank Indonesia

0

100

200

300

400

500

600

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20080

100

200

300

400

500

600Minyak TembagaTimah EmasMinyak Sawit KopiBeras KaretAluminium

Sumber: Bloomberg

%

(3,00)

(2,00)

(1,00)

-

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4

Amerika Serikat JepangJerman InggrisCanada

Eropa yang selama ini menjadi pasar ekspor utama negara-

negara emerging market, yang disertai dengan penurunan

harga komoditas di pasar global menyebabkan turunnya

kinerja ekspor negara-negara emerging market termasuk

Indonesia. Karena pendapatan negara-negara emerging

market umumnya tergantung pada hasil ekspor, maka

penurunan kinerja ekspor tersebut menyebabkan

penurunan pertumbuhan ekonomi di masing-masing

negara.

Akan tetapi penting dicatat bahwa meskipun

pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat signifikan

pada triwulan IV 2008, namun secara keseluruhan selama

tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih

tumbuh cukup kuat, yaitu sebesar 6,1%, atau lebih tinggi

dibandingkan pertumbuhan ekonomi beberapa negara

Page 21: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

11

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

tukar rupiah melemah sekitar 20,5% hingga mencapai

Rp11.120 per dollar AS pada akhir semester II 2008.

Pelemahan ini masih terlihat meskipun volatitasnya sudah

semakin berkurang.

Grafik 1.4Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging Market

Sumber: Bloomberg

%

(9,00)

(6,00)

(3,00)

-

3,00

6,00

9,00

12,00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4 Q1 Q2 Q3Q4

IndonesiaThailandChina

SingapuraKorea SelatanIndia

ASEAN lainnya seperti Singapura, Korea Selatan dan

Thailand. Kondisi tersebut ditopang oleh masih cukup

tingginya pertumbuhan konsumsi swasta, khususnya dari

sektor-sektor non tradable seperti sektor pengangkutan

dan komunikasi, sehingga mengimbangi penurunan di

sektor-sektor yang berorientasi ekspor.

Sementara itu, di sisi keuangan, peningkatan

intensitas krisis keuangan global memicu para investor

menarik investasi portfolionya dari negara-negara

emerging market, baik untuk memenuhi kebutuhan

likuiditas (flight to liquidity) maupun mencari tempat

penanaman yang dianggap lebih aman (flight to quality).

Kondisi ini juga dialami Indonesia. Dibandingkan akhir

semester I 2008, indeks harga saham gabungan di Bursa

Efek Indonesia turun tajam sekitar 42,3% dari 2.349,11

menjadi 1.355,41 pada akhir semester II 2008. Aksi

pelepasan investasi asing tersebut antara lain

menyebabkan neraca modal dan finansial Indonesia pada

triwulan IV 2008 mengalami defisit. Selama tahun 2008

neraca pembayaran Indonesia diperkirakan defisit sebesar

USD2.302 juta.

Gejolak keuangan yang meningkat khususnya sejak

awal semester II 2008 juga berdampak kepada

terdepresiasinya nilai tukar rupiah dengan volatilitas yang

juga meningkat. Dibandingkan akhir semester I 2008, nilai

Pada sisi lain, penurunan permintaan dan penurunan

harga komoditas di pasar internasional menyebabkan

tekanan inflasi yang terjadi cukup kuat pada pertengahan

tahun 2008 mulai mereda. Momentum penurunan inflasi

ini mendorong bank sentral di beberapa negara melakukan

pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan suku

bunga guna mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi.

Pada bulan Desember 2008 Fed Fund Rate mencapai titik

terendahnya 0,25%, sementara suku bunga European

Central Bank turun menjadi 2,50%. BI rate juga mengalami

Grafik 1.6Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

IDR/USD

Sumber: Bloomberg

9.039 9.210

9.258 9.352

Rata-rata bulanan

Rata-rata semesteran

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

2007 2008

9.07

59.

077

9.17

29.

095

8.84

28.

981

9.06

79.

358

9.10

59.

102

9.26

79.

356

9.40

69.

180

9.17

89.

203

9.28

19.

288

9.15

99.

151

9.35

49.

990

11.3

1411

.803

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 120

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

Grafik 1.5Indeks Harga Saham Global

Sumber: Bloomberg

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

2006 2007 2008

Singapore

NYANew York

Dow Jones

IndonesiaNikkei

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

Page 22: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

12

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

penurunan menjadi 9,25% pada Desember 2008 yang

berlanjut hingga menjadi 7,75% pada Maret 2009.

Meskipun BI rate mengalami penurunan tetapi iklim

investasi di Indonesia diperkirakan masih cukup menarik,

karena secara riil tingkat bunga di Indonesia masih lebih

tinggi dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya.

diharapkan dapat mengimbangi tekanan dari sektor

eksternal. Stimulus dari sisi moneter adalah penurunan

suku bunga, sementara stimulus dari sisi fiskal antara lain

adalah pelaksanaan program peningkatan daya beli

masyarakat oleh pemerintah melalui Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, penurunan harga

bahan bakar minyak dan tarif angkutan, kenaikan Upah

Minimum Regional (UMR) yang diperkirakan melebihi

11%, dan kenaikan gaji pegawai negeri sipil. Tidak kalah

pentingnya adalah kegiatan Pemilu maupun Pilkada yang

diperkirakan juga akan mendorong pertumbuhan

konsumsi swasta yang sangat diperlukan untuk

mengimbangi tekanan dari sektor eksternal.

2. KONDISI SEKTOR RIIL

Perlambatan ekspor karena imbas krisis keuangan

global berdampak pula kepada kinerja sektor rill dalam

negeri, baik korporasi maupun rumah tangga. Hal ini

antara lain tercermin pada penurunan kinerja keuangan

perusahaan-perusahaan non financial go public yang

menyebabkan terjadinya pembatasan kegiatan ekspansi

maupun pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini pada

gilirannya dapat berdampak pada penurunan daya beli

rumah tangga.

Penurunan harga, berkurangnya permintaan ekspor

dan melemahnya daya beli masyarakat karena krisis global

menyebabkan sektor korporasi khususnya perusahaan non

financial go public mengalami penurunan margin. Hal ini

terlihat dari menurunnya pertumbuhan profitabilitas usaha

(ROA dan ROE) perusahaan-perusahaan tersebut pada

triwulan III 2008 dibandingkan dengan periode yang sama

tahun sebelumnya.

Sementara dari sisi pembiayaan, sektor korporasi

terlihat mulai mengalami keterbatasan modal. Untuk

memenuhi kebutuhan operasionalnya, perusahaan mulai

banyak mengandalkan dana dari pihak ketiga, baik

Grafik 1.7Perkembangan Inflasi ASEAN-5 dan Vietnam

Sumber: CEIC

y.o.y %

(5)

0

5

10

Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt

2007 2008

Filipina Singapura Thailand

Malaysia Indonesia Vietnam

Grafik 1.8Tingkat Bunga Riil Indonesia, AS dan Singapura

Sumber: Bloomberg dan CEIC

%

IndonesiaASSingapura

(8,0)

(6,0)

(4,0)

(2,0)

0,0

2,0

4,0

2003 2004 2005 2006 2007 2008Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep Des

Ke depan, tekanan krisis ekonomi global terhadap

ekonomi dan keuangan domestik diperkirakan masih

berlanjut. Penurunan permintaan barang ekspor akibat

perlambatan kegiatan ekonomi global kemungkinan akan

semakin menekan pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, beberapa stimulus dari dalam negeri baik dari sisi

moneter maupun dari sisi fiskal diperkirakan cukup mampu

mendorong pertumbuhan konsumsi swasta dan

Page 23: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

13

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

perbankan maupun melalui penerbitan obligasi dan surat

berharga lainnya. Hal ini dapat diamati dari meningkatnya

debt to equity ratio (DER) dan rasio total liabilities terhadap

total assets (TL/TA) pada triwulan III 2008 dibandingkan

dengan triwulan III 2007.

Selain menghadapi potensi peningkatan risiko kredit,

perusahaan-perusahaan di sektor riil khususnya

konglomerasi besar Indonesia juga berpotensi mendapat

tekanan risiko nilai tukar. Berdasarkan data per September

2008, konglomerasi besar Indonesia tampaknya perlu

memperhatikan potensi risiko karena fluktuasi nilai tukar.

Namun demikian, hasil stress test terhadap 46

konglomerasi besar yang rutin dipantau menunjukkan

bahwa secara umum permodalan masih dapat

dipertahankan dan baru akan tertekan sampai 100%

apabila nilai tukar rupiah melebihi Rp16.100 per USD.

Penurunan profitabilitas akibat penurunan daya beli

yang diiringi dengan penurunan harga, mendorong pelaku

usaha khususnya di sektor yang berorientasi ekspor untuk

melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja dan

pembatasan kegiatan ekspansi. Hal ini berpotensi

menambah jumlah pengangguran nasional. Berdasarkan

data terakhir pada tahun 2008, meskipun cenderung

Grafik 1.9Pertumbuhan ROA dan ROE

Perusahaan Non Financial Go Public

Sumber: Bursa Efek Indonesia

-200

-100

0

100

200

300

400

500

600

700

-150

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

350

2003 2004 2005 2006 2007 2008Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3

ROA (kiri)ROE (kanan)

Grafik 1.10Perkembangan DER dan TL/TA

Perusahaan Non Financial Go Public

Grafik 1.11Probability of Default (PD)

Perusahaan Non Financial Go Public

Sumber: Bursa Efek Indonesia

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1,40

1,60

1,80

2003 2004 2005 2006 2007 2008Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3

DERDebt/TA

Sejalan dengan menurunnya kinerja perusahaan

non financial go public tersebut, hasil estimasi probability

of default (PD) juga menunjukkan adanya kenaikan. Jumlah

perusahaan dengan PD lebih besar dari 0,5 meningkat dari

21 perusahaan pada September 2008 menjadi 29

perusahaan pada September 2009. Bagi perbankan, hal

ini merupakan salah satu indikasi dini tentang peningkatan

risiko kredit ke depan.

Probability of Default - September 2008

Jumlah

215

5 4 3 2 0 1 1 019

250

200

150

100

50

00,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-0,10

Probability of Default - September 2009

Jumlah

171

2114

6 90 4 1 1

23

0,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-0,10

180

160

140

120

100

80

60

40

20

0

Page 24: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

14

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

bergerak turun tetapi tingkat pengangguran Indonesia

sebesar 8,4% masih menjadi yang tertinggi di bandingkan

beberapa negara ASEAN lainnya.

tangga. Apabila kondisi ini terus berlanjut, dapat

menurunkan kemampuan membayar (repayment capacity)

rumah tangga.

Sementara itu, dilihat dari komposisi asetnya, rumah

tangga Indonesia tampaknya masih memiliki eksposur yang

kecil terhadap aset keuangan. Aset rumah tangga

Indonesia didominasi oleh non financial asset berupa

rumah, bangunan dan tanah dengan porsi 76,81% dari

total aset. Seiring kecilnya eksposur aset rumah tangga

pada sistem keuangan, diperkirakan dampak langsung

volatilitas pasar keuangan terhadap kondisi aset rumah

tangga relatif kecil. Namun, tetap diperlukan kehati-hatian

mengingat kenaikan nilai aset tersebut diperkirakan lebih

dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga properti yang

terjadi secara persisten sejak tahun 2004. Dalam kondisi

ekonomi yang melambat seperti sekarang ini, besar

kemungkinan permintaan terhadap properti akan

menurun sehingga harga properti juga berpotensi turun.

Jika harga properti turun tentunya nilai aset rumah tangga

juga akan turun. Penurunan nilai aset dan penurunan

pendapatan rumah tangga akan semakin menekan

kemampuan membayar rumah tangga.

Ke depan, tantangan di sektor rill diperkirakan masih

akan tetap tinggi sejalan dengan masih terbatasnya

pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Perekonomian diperkirakan juga akan masih dipengaruhi

imbas krisis keuangan global. Sebagai antisipasi terhadap

tekanan ekspor yang cukup besar, diperlukan langkah-

langkah untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor

usaha yang non tradable. Dalam jangka pendek, beberapa

stimulus yang telah dikeluarkan baik dari sisi moneter

maupun fiskal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan

konsumsi dan ketahanan sektor riil. Jika berhasil

diwujudkan maka stabilitas sistem keuangan ke depan

diperkirakan akan tetap terpelihara dengan baik.

Grafik 1.12Tingkat Pengangguran Beberapa Negara ASEAN

%

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

Indonesia Thailand Malaysia Singapura

2006 2007 2008*)

Sumber: CEICKeterangan:*) : Data untuk Indonesia (Agustus 2008), Thailand (November 2008), Malaysia dan Singapura (September 2008).

Hasil survey Neraca Rumah Tangga (Household)

menunjukkan bahwa pada tahun 2008 secara keseluruhan

rumah tangga Indonesia masih mempunyai kemampuan

membayar hutang yang cukup baik. Hal ini tergambar dari

masih kecilnya rasio hutang terhadap total pendapatan

maupun terhadap disposable income, yaitu hanya berada

pada kisaran 6,31% s.d. 28,62%. Namun, mengingat

56% dari total pendapatan rumah tangga bersumber dari

gaji dan tunjangan, maka pemutusan hubungan kerja oleh

perusahaan berpotensi menurunkan pendapatan rumah

Grafik 1.13Komposisi Sumber Pendapatan Rumah Tangga

PenerimaanPensiun

3%

Gaji dan Tunjangan56%

Lainnya10%

Pendapatan usahanetto 31%

Sumber: Survey Neraca Rumah Tangga 2008

Page 25: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

15

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Survei Neraca Rumah Tangga Indonesia 2008Boks 1.1

Neraca rumah tangga (household) merupakan

indikator penting untuk menganalisis potensi risiko

kredit dari sektor rumah tangga. Pada bulan Juni 2008,

Bank Indonesia bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik

(BPS) melakukan survei guna menyusun neraca rumah

tangga Indonesia. Survei dilakukan pada 10 propinsi

(Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa

Barat, DI Yogyakarta, Jawa timur, Bali, Kalimantan

Selatan, Kalimantan Timur, Gorontalo) dengan total

responden 3.553 rumah tangga.

Gambaran Umum Neraca Rumah Tangga

Indonesia

Aset Rumah Tangga

Seperti lazimnya di negara sedang berkembang,

aset rumah tangga Indonesia didominasi aset non

keuangan (non financial asset) berupa properti seperti

rumah, bangunan dan tanah dengan pangsa sebesar

76,81% dari total aset, diikuti oleh aset non keuangan

lainnya (15,57%), dan asset keuangan (7,62%).

Dibandingkan hasil survei 2007, komposisi aset

non keuangan lainnya (emas, ternak dan lainnya)

sedikit meningkat. Hal ini dipicu kenaikan harga emas

pada pertengahan 2008 yang mendorong rumah

tangga mengalihkan sebagian aset keuangannya ke

dalam bentuk emas. Sementara itu, aset keuangan

rumah tangga didominasi oleh penanaman pada bank

(73%), diikuti oleh penanaman pada lembaga

keuangan non bank (13%).

Sumber Dana Rumah Tangga

Sumber dana utama rumah tangga adalah dari

penghasilan sendiri (networth), mencapai 96,13% dari

total aset. Pembiayaan dari hutang bank hanya 3,01%

dari total aset, diikuti oleh pembiayaan dari lembaga

keuangan non bank (0,47%) dan sumber dana lainnya

(0,39%). Relatif tingginya networth rumah tangga

didukung kemampuan menabung. Hal itu tercermin

pada rasio total pengeluaran terhadap total pendapatan

rumah tangga dan rasio pengeluaran konsumsi

terhadap disposable income yang di bawah 100%, yaitu

masing-masing sebesar 91,29% dan 90,59%.

Namun demikian, kemampuan menabung rumah

tangga yang tidak memiliki hutang cenderung lebih

besar, terlihat pada rasio total pengeluaran terhadap

total pendapatan rumah tangga dan rasio pengeluaran

konsumsi terhadap disposable income yang lebih

rendah, yaitu masing-masing sebesar 83,64% dan

83,39%. Sementara itu, kemampuan menabung

kelompok rumah tangga yang berhutang cenderung

kurang memadai sehingga berhutang untuk

membiayai kebutuhan dan pembelian asetnya. Hal ini

tercermin dari rasio total pengeluaran terhadap total

pendapatannya dan rasio pengeluaran konsumsi

terhadap disposable income yang di atas 100%, yaitu

masing-masing sebesar 102,61%, dan 103,12%.

Hutang Rumah Tangga

Sebagian besar (sekitar 65%) responden

menyatakan bahwa mereka memiliki uang tunai yang

disisihkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tak

terduga. Namun, apabila kebutuhan tak terduga

tersebut sudah melebihi dana cadangan maka rumah

tangga mengatasinya dengan berhutang.

Berdasarkan nominalnya, hutang rumah tangga

Indonesia didominasi oleh hutang bank (78%), diikuti

oleh hutang kepada lembaga keuangan non bank (12%)

dan sumber lain diluar lembaga keuangan (10%).

Tujuan pinjaman atau berhutang adalah 24% untuk

modal usaha, 16% untuk membeli alat transportasi, 14%

untuk membangun atau renovasi rumah, dan 13% untuk

konsumsi makanan. Sementara rata-rata jangka waktu

pengembalian hutang adalah sekitar 20 bulan.

Page 26: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

16

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Potensi Risiko

Potensi risiko terhadap sistem keuangan terutama

ditransmisikan melalui volatilitas harga properti

mengingat mayoritas aset rumah tangga berupa

housing asset (aset properti seperti rumah, bangunan,

dan tanah). Sementara itu, risiko rumah tangga yang

berhutang terhadap sektor keuangan relatif rendah

mengingat kemampuan membayar kewajibannya yang

jatuh tempo cukup baik. Berikut dikemukakan hasil

analisis menggunakan beberapa rasio keuangan:

Liquidity Mismatch Ratio

Rasio ini menggambarkan kemampuan

pendapatan rumah tangga untuk membayar

kewajibannya. Hasil survei menunjukkan bahwa rasio

hutang rumah tangga terhadap total pendapatan

maupun disposable income kurang dari 100%, yaitu

sebesar 10,38% dan 11,22%. Debt servicing ratio

(cicilan pokok pinjaman dan biaya bunga terhadap

disposable income) rumah tangga juga kurang dari

100% yaitu hanya sebesar 6,31%. Kecil angka rasio-

rasio ini mengindikasikan bahwa rumah tangga mampu

mengelola pengeluarannya sedemikian rupa sehingga

pendapatan yang dihasilkan dapat digunakan untuk

membayar kewajibannya yang jatuh tempo.

Selanjutnya, meskipun rasio hutang terhadap

disposable income maupun debt servicing ratio dari

kelompok rumah tangga yang berhutang kepada bank

dan LKBB adalah yang tertinggi (72,11% dan 33,08%),

namun kedua rasio tersebut juga masih di bawah 100%.

Dengan demikian, kelompok rumah tangga tersebut

diperkirakan masih memiliki kemampuan membayar

yang baik apabila terdapat kewajiban yang jatuh tempo.

Solvency Ratio

Rasio ini menggambarkan kemampuan aset

rumah tangga untuk meng-cover hutangnya apabila

terjadi default. Hasil survei menunjukkan bahwa

kemampuan aset rumah tangga Indonesia cukup baik

tercermin dari household gearing ratio (rasio total

hutang terhadap total aset) maupun rasio total hutang

terhadap networth yang sangat rendah, yaitu masing-

masing hanya 3,87% dan 4,03%. Nilai household

gearing ratio yang kecil ini juga merupakan salah satu

indikasi bahwa rumah tangga masih mempunyai

kemampuan yang cukup besar untuk mendapatkan

tambahan pembiayaan dari bank.

Dari pengelompokkan rumah tangga

berdasarkan sumber hutangnya, diketahui bahwa

kelompok rumah tangga yang berhutang kepada bank

dan LKBB mempunyai household gearing ratio tertinggi

dibandingkan lainnya. Namun, nilai rasio tersebut juga

masih di bawah 100%. Hal tersebut mencerminkan

bahwa kelompok rumah tangga yang berhutang

cenderung juga masih mempunyai kemampuan

membayar yang baik.

Grafik Boks 1.1.2Tujuan Pinjaman Rumah Tangga

Modal usaha24%

Konsumsimakanan

13%

Pendidikan8%

Kesehatan3%

Membangun/Renovasi Rumah

14%

Membeli Rumahditempati sendiri

2%

MembeliTanah/Rumah

tidak ditempati2%

Membeli Alattransportasi

16%

Elektronik2%

Lainnya16%

Grafik Boks 1.1.1Komposisi Hutang Rumah Tangga(dalam % terhadap Total Hutang)

Hutang LKBB12%

HutangLainnya10%

Hutang bank78%

Page 27: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

17

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Risiko Kredit Sektor Korporasi: Credit Default Swaps (CDS)Boks 1.2

Sektor riil mencakup 2 komponen yaitu rumah

tangga (household) dan korporasi. Perkembangan

terakhir sektor rumah tangga telah diungkapkan pada

Boks 1.1. Pada Boks 1.2 ini dikemukakan salah satu

pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai

perkembangan risiko kredit sektor korporasi, yaitu

dengan menganalisis perkembangan Credit Default

Swaps (CDS).

CDS dikenal luas sebagai salah satu instrument

credit derivative. Secara konseptual, CDS dapat

dipandang sebagai asuransi atau perlindungan atas

default-nya kredit atau bonds (Duffie dan Singleton,

2003; Lando, 2004). Secara teknis, risiko kredit

tercermin pada spread CDS. Namun demikian, harga

(price) CDS juga tetap perlu diperhatikan karena juga

dapat menggambarkan perkembangan tekanan pasar.

Akhir-akhir ini, sejalan dengan semakin

memburuknya pasar keuangan global, perkembangan

harga dan spread CDS semakin menjadi pusat perhatian.

Bahkan, CDS tidak saja sebagai cerminan risiko kredit

korporasi, namun telah berkembang menjadi salah satu

indikator sovereign risk.

Gejolak pasar keuangan yang sempat terjadi pada

semester II 2008 telah menyebabkan harga dan spread

CDS Indonesia menjadi melonjak tinggi. Puncaknya

adalah sekitar tanggal 28 Oktober 2008 pada saat

Bursa Efek Indonesia terpaksa ditutup sementara

karena IHSG merosot tajam, mencapai 1111,4 yaitu

terendah sejak Desember 2005. Namun, setelah

Pemerintah dan Bank Indonesia mengambil sejumlah

kebijakan penting, harga dan spread CDS sudah mulai

menurun, meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan

dengan kondisi sebelum Oktober 2008.

Sementara itu, apabila dibandingkan dengan

negara-negara tetangga, harga dan spread CDS

Indonesia juga masih menjadi yang tertinggi. Hal ini

mengindikasikan kentalnya persepsi pasar bahwa risiko

kredit korporasi Indonesia masih tergolong tinggi.

Persepsi tersebut cenderung kurang

menggambarkan kondisi yang sebenarnya mengingat

harga dan spread CDS yang tinggi tersebut juga dipicu

oleh tipisnya pasar.

Namun demikian, untuk tujuan surveillance

ketahanan sistem keuangan, data tentang harga dan

spread CDS ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat

deteksi dini (early warning).

Grafik Boks 1.2.1Perkembangan Harga CDS Indonesia

Grafik Boks 1.2.2Perkembangan Spread CDS Indonesia

Daftar Pustaka:

Lando, D. (2004), Credit Risk Modeling, Princeton

University Press, Princeton, New Jersey.

Duffie, D. dan Singleton, K.J. (2003), Credit Risk:

Pricing, Measurement, and Management, Princeton

University Press, Princeton, New Jersey.

Sumber : Bloomberg

0

200

400

600

800

1000

1200

3Jul

2Ags

1Sep

1Okt

31Okt

30Nov

30Des

29Jan

2008 2009

Thailand

Korea

Philipin

Indonesia

Sumber : Bloomberg2008 2009

-80

-30

20

70

120

170

220

270

320

370

3Jul

2Ags

1Sep

1Okt

31Okt

30Nov

30Des

29Jan

IndonesiaPhilipin

KoreaThailand

Page 28: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

18

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Transition Matrices: Potensi Risiko Kredit Korporasipada 3 Sektor

Boks 1.3

Transition matrices (matriks transisi) merupakan

salah satu alat atau pendekatan yang dapat digunakan

untuk mendeteksi risiko kredit pada korporasi, yaitu

dengan menghitung probabilitas terjadinya migrasi

rating atau perubahan kualitas kredit terakhir suatu

perusahaan. Matriks transisi merupakan salah satu input

penting dalam berbagai aplikasi manajemen risiko.

Bahkan, perhitungan kecukupan modal (capital

requirements) sesuai rekomendasi New Basel Accord

(BIS, 2001) antara lain harus memperhatikan migrasi

rating.

Penelitian sebelumnya (Credit Risk Modelling:

Rating Transition Matrices oleh Hadad et al., 2007

dalam KSK No.9 September 2007) menggunakan rating

yang dikeluarkan oleh PT Pemeringkat Efek Indonesia

(Pefindo) sejak Februari 2001 s.d. Juni 2006. Penelitian

tersebut menggunakan dua pendekatan, yaitu metode

Continuous Time dan metode Cohort, serta

mengasumsikan bahwa proses rating kredit mengikuti

Markov chain. Kesimpulannya adalah metode

Continuous Time memberikan hasil yang lebih efisien

dibandingkan metode Cohort. Selain itu, metode

Continuous Time juga memungkinkan adanya

probabilitas migrasi ke rating yang memiliki jarak

cukup jauh (rating default).

Melanjutkan penelitian Hadad et al. (2007),

dilakukan penelitian baru untuk mempelajari migrasi

kolektibilitas kredit pada 3 sektor (properti, transportasi

dan tekstil) selama tahun 2008 dengan menggunakan

data triwulanan SID yang mencakup 448.183 debitur.

Adapun pendekatan yang digunakan adalah metode

Continuous Time dengan pertimbangan lebih unggul

dibandingkan metode Cohort.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari ketiga

sektor tersebut, debitur-debitur pada sektor properti

cenderung lebih baik dibandingkan 2 sektor lainnya.

Hal ini tercermin pada:

Peluang migrasi debitur dengan kolektibilitas 1 dan

2 (Performing Loans atau PL) ke kolektibilitas 3, 4

dan 5 (Non Performing Loans atau NPL) pada sektor

properti lebih kecil dibandingkan 2 sektor lainnya.

Peluang migrasi debitur NPL ke PL pada sektor

properti lebih besar dibandingkan 2 sektor lainnya.

Peluang migrasi debitur kolektibilitas 3 ke

kolektibilitas 5 pada sektor properti lebih kecil

dibandingkan 2 sektor lainnya.

Tabel Boks 1.3.1Migrasi Kolektibilitas Debitur 3 Sektor

1 89,7% 9,3% 0,3% 0,3% 0,4%2 64,4% 28,0% 1,7% 1,5% 4,4%3 37,7% 19,6% 5,8% 3,8% 33,1%4 23,4% 10,8% 1,5% 4,7% 59,5%5 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

PropertiKolek 1 2 3 4 5

1 89,5% 8,0% 0,5% 0,4% 1,7%2 53,5% 28,7% 1,7% 2,0% 14,0%3 7,5% 3,5% 3,3% 1,7% 84,1%4 2,9% 1,1% 0,3% 3,0% 92,6%5 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

TransportasiKolek 1 2 3 4 5

1 94,0% 3,8% 0,6% 0,3% 1,4%2 77,9% 4,6% 1,0% 1,1% 15,3%3 27,0% 2,3% 0,7% 1,5% 68,6%4 0,0% 0,0% 0,0% 0,6% 99,4%5 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

TekstilKolek 1 2 3 4 5

Page 29: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

19

Bab 2 Sektor Keuangan

Bab 2Sektor Keuangan

Page 30: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

20

Bab 2 Sektor Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 31: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

21

Bab 2 Sektor Keuangan

Sektor KeuanganBab 2

2.1. STRUKTUR SISTEM KEUANGAN INDONESIA

Dibandingkan dengan kondisi pada semester

sebelumnya, pada semester II 2008 struktur sistem

keuangan Indonesia tidak banyak mengalami perubahan.

Industri perbankan yang terdiri dari bank umum dan bank

perkreditan rakyat (BPR) masih tetap mendominasi dengan

pangsa sekitar 74% dari total asset sektor keuangan.

Sementara itu, pangsa industri keuangan lainnya, yaitu

asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, sekuritas

dan pegadaian relatif masih tetap rendah.

Pada industri perbankan, 15 bank besar menguasai

sebagian besar (70%) total aset industri. Selama semester

II 2008, total asset bank umum bertumbuh Rp269,7 triliun

(13,2%) menjadi Rp2.310,6 triliun. Pertumbuhan ini

merupakan salah satu pertanda bahwa krisis global yang

tengah terjadi tidak berdampak signifikan terhadap

industri perbankan. Namun, krisis global telah memicu

merosotnya IHSG dari 2.349,11 (Juni 2008) menjadi

Selama semester II 2008, sektor keuangan Indonesia terus bertumbuh

ditengah semakin beratnya tekanan yang berasal dari krisis keuangan global.

Secara umum, ketahanan sistem keuangan dapat tetap terjaga. Perbankan

sebagai industri yang paling dominan di sektor keuangan masih tetap

menunjukkan kinerja yang positif. Namun, krisis global telah sempat menekan

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga Surat Utang Negara (SUN).

1.355,41 (Desember 2008) atau turun 42,3%. Sementara,

harga SUN juga sempat turun yaitu sekitar 2,3% selama

periode 30 Juni s.d. 25 September 2008, meskipun kembali

rebound sebesar 8,6% selama periode 25 September 2008

s.d. 31 Desember 2008. Akan tetapi, sejak akhir Desember

2008 s.d. pertengahan Maret 2009, harga SUN kembali

mengalami tekanan dan turun sekitar 5,62%.

Grafik 2.1Komposisi Aset Lembaga Keuangan

79,0%

1,1%8,0%

3,2%5,8% 2,7% 0,3% Bank Umum

BPR

Perusahaan Asuransi

Dana Pensiun

Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan Sekuritas

Pegadaian

Page 32: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

22

Bab 2 Sektor Keuangan

2.2. INDEKS STABILITAS KEUANGAN

Perkembangan stabilitas keuangan dari waktu ke

waktu tercermin pada Indeks Stabilitas Keuangan atau

Financial Stability Index (FSI).1 Terpengaruh oleh krisis

keuangan global, sektor keuangan dalam negeri bergejolak

sehingga stabilitas keuangan selama semester II 2008

mengalami tekanan (lihat Boks 2.1). Akibatnya, FSI

meningkat tajam dari 1,60 pada akhir Juni 2008 menjadi

2,10 pada akhir Desember 2008, dengan posisi tertinggi

pada bulan November 2008 sebesar 2,43. Bersamaan

dengan itu, sejak Oktober 2008, nilai tukar rupiah juga

mengalami tekanan.

Dengan demikian, angka FSI dalam dua bulan

terakhir 2008 telah melampaui batas indikatif maksimum

2. Tingginya angka FSI tersebut lebih banyak karena

merosotnya IHSG dan harga SUN sebagai imbas krisis

global.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa

tekanan krisis keuangan global mulai sedikit menurun yang

ditandai dengan mulai membaiknya IHSG dan harga SUN.

Respon kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan Bank

Indonesia juga berhasil meredam gejolak keuangan yang

sempat terjadi. Sejalan dengan itu, FSI semakin menurun,

mencapai 2,06 per Januari 2009.

Penurunan FSI tersebut mencerminkan bahwa

stabilitas keuangan secara umum masih relatif terjaga.

Bahkan, ke depan pada akhir Juni 2009, FSI diperkirakan

akan mencapai sekitar 1,77 √ 2,13, dengan skenario

moderat sebesar 1,95 atau relatif lebih rendah

dibandingkan posisi akhir Desember 2008. Oleh karena

itu, prospek stabilitas keuangan diperkirakan masih tetap

positif dan stabilitas sistem keuangan ke depan akan relatif

tetap terpelihara.

2.3. PERBANKAN

2.3.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas

Perkembangan Dana Pihak Ketiga

Dana Pihak Ketiga (DPK), sebagai sumber dana

utama perbankan, pada awal semester II 2008 tumbuh

negatif, dan baru tumbuh positif sejak pertengahan

semester. Kenaikan signifikan DPK sejak bulan September

2008 menyebabkan selama periode laporan, DPK tumbuh

positif sekitar 12,87% mencapai Rp1.753,3 triliun.

Peningkatan tersebut terjadi pada semua komponen, baik

giro, tabungan, maupun deposito.

Peningkatan DPK sejak pertengahan semester II 2008

tampaknya terkait dengan tingginya suku bunga pada

waktu itu sebelum akhirnya diturunkan di penghujung

tahun 2008. Tingginya suku bunga merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi naiknya minat masyarakat

untuk kembali menanamkan dananya di perbankan.

Terlebih di tengah kondisi perekonomian yang belum

sepenuhnya stabil, investasi pada lembaga non perbankan

dinilai oleh sebagian pemilik dana sebagai berisiko tinggi

dan imbal hasil yang diperoleh cenderung tidak pasti

dibandingkan dengan menyimpan dana di perbankan.

Faktor penting lain yang turut mendorong kenaikan DPK

adalah kebijakan Pemerintah melalui PERPPU pada

pertengahan Oktober 2008 untuk meningkatkan besarnya

cakupan penjaminan simpanan oleh LPS dari sebesar

1 Uraian detail tentang metodologi dan pendekatan yang digunakan untuk menghitungIndeks Stabilitas Keuangan dapat dilihat pada KSK No.8 Maret 2007 dan No.9 September2007.

Grafik 2.2Indeks Stabilitas Keuangan (Financial Stability Index)

2,13

2,10

1,95

1,77

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Proyeksi FSIFSI

Page 33: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

23

Bab 2 Sektor Keuangan

Kecukupan Likuiditas

Lambatnya pertumbuhan DPK pada awal semester

II 2008 yang terjadi bersamaan dengan keringnya

likuiditas global menyebabkan kondisi l ikuiditas

perbankan domestik ikut tertekan. Selain itu,

pertumbuhan kredit yang cukup tinggi s.d. bulan Oktober

2008, ternyata sebagian besar dibiayai dengan pencairan

secondary reserves sehingga menekan likuiditas

perbankan. Akibatnya, kecukupan likuiditas semakin

berkurang dengan puncaknya pada bulan Agustus 2008,

pada saat ekses likuiditas mencapai titik terendah.2

Sampai dengan bulan tersebut, ekses likuiditas turun

sekitar 30,18% (ytd) dengan penurunan terbesar pada

Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Rp100 juta menjadi Rp2 miliar per nasabah per bank.

Kebijakan tersebut dinilai cukup efektif untuk

mempertahankan dan bahkan mendorong peningkatan

dana masyarakat di perbankan.

Grafik 2.3Perkembangan DPK

Giro (ki)

Tabungan (ki)

Deposito (ka)

Rp triliun

350

400

450

500

550

0

150

300

450

600

750

900

Des Feb Aprl Jun Ags Okt Des2007 2008

Berdasarkan jenis valuta, pertumbuhan DPK dalam

valuta asing tercatat sebesar 18,94% atau sedikit lebih

tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK rupiah sebesar

18,85%. Namun, karena faktor depresiasi nilai tukar rupiah

terhadap USD yang cukup besar selama periode laporan,

maka apabila dihitung dalam denominasi valas,

pertumbuhan DPK valas selama periode laporan justru

turun sebesar USD1,36 miliar, terutama pada komponen

deposito dan giro yang masing-masing turun sebesar

USD0,98 miliar dan USD0,58 miliar.

Grafik 2.4Perkembangan DPK Valas

18

21

24

27

30

DPK va dlm USD(skala kiri)

DPK va dlm Rp(skala kanan)

Rp triliunUSD miliar

Des Feb Apr Jun Ags Okt Des

2007 2008

200

230

260

290

320

2 Ekses likuiditas terdiri dari SBI, penempatan lainnya pada Bank Indonesia selain Giropada BI (Fasbi/FTK), dan Surat-surat Berharga.

Grafik 2.5Perkembangan DPK Valas vs Nilai Tukar Rupiah

dalam USD(skala kiri)

nilai tukarrupiah thd USD(skala kanan)

RupiahUSD miliar

18

21

24

27

30

2006 2007 2008Des Apr Ags Des Apr Ags Des

8.500

9.300

10.100

10.900

11.700

12.500

Grafik 2.6Ekses Likuiditas Bank

SBI (ki)

Fasbi/FTK (ki)

SUN (kn)

0

50

100

150

200

250

Des Feb Apr Jun Ags Okt Des270

275

280

285

290

2007 2008

Page 34: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

24

Bab 2 Sektor Keuangan

Selain tercermin pada penurunan jumlah ekses

likuiditas, berkurangnya kecukupan likuiditas bank juga

ditunjukkan oleh rasio alat likuid terhadap Non Core

Deposits (NCD)3 yang terus menurun dan mencapai angka

terendah pada bulan Agustus 2008, yaitu 84,9%. Rasio

ini menunjukkan kemampuan bank untuk dapat

memenuhi penarikan DPK sewaktu-waktu. Dengan

angka rasio yang kurang dari 100%, maka ketahanan

likuiditas perbankan pada waktu itu cenderung kurang

memadai.

Namun, seiring dengan kenaikan signifikan DPK sejak

awal September 2008, tekanan likuiditas mulai berkurang.

Kenaikan DPK tersebut, seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya, antara lain karena kebijakan Pemerintah

meningkatkan besarnya cakupan penjaminan simpanan

oleh LPS. Disamping itu, Bank Indonesia juga telah

mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengurangi

tekanan likuiditas, termasuk pelonggaran kewajiban GWM

rupiah dan valas. Akibatnya, kondisi likuiditas industri

perbankan semakin membaik sehingga mendorong

meningkatnya ketahanan likuiditas. Perkembangan positif

tersebut juga tercermin dari angka rasio alat likuid terhadap

NCD yang terus membaik, sehingga pada akhir Desember

2008 berhasil mencapai 109,1%. Hal ini mengindikasikan

bahwa kondisi likuiditas perbankan sudah semakin

terkendali.

Pasar Uang Antar Bank

Sejalan dengan meningkatnya tekanan likuiditas

global, terdapat kecenderungan bank-bank domestik

untuk menahan likuiditasnya dan membatasi transaksi

antar bank sehingga menimbulkan segmentasi Pasar Uang

Antar Bank (PUAB). Bersamaan dengan itu, rata-rata per

hari volume transaksi bank pada PUAB Dalam Negeri (DN)

cenderung menurun, baik dalam rupiah maupun valuta

asing (valas).

Grafik 2.7Volume Transaksi PUAB DN (rata-rata per hari)

USD jutaRp triliun

0

2

4

6

8

10

12

14

0

100

200

300

400

500

2008Jan Mar Mei Jul Sep Nov

PUAB Rupiah PUAB valas

Untuk meminimalkan dampak segmentasi di PUAB,

Bank Indonesia telah melakukan enhancement Operasi

Pasar Terbuka (OPT) sejak Februari 2008. Setelah

mengaktifkan fasilitas Fine Tune Operation (FTO), baik yang

bersifat ekspansi (FTE) untuk memberi kelonggaran bagi

bank yang kesulitan likuiditas, maupun yang bersifat

kontraksi (FTK) sebagai fasilitas penempatan dana bagi

bank dengan kelebihan likuiditas, Bank Indonesia

kemudian melakukan penyempurnaan pada fitur FTO. Hal

ini dilakukan dengan memperpanjang tenor FTE dari

maksimum 14 hari menjadi maksimum 3 bulan agar bank

dapat memperoleh akses lebih besar terhadap likuiditas

dari bank sentral. Sementara itu, Bank Indonesia juga

mengadakan transaksi repo dengan tenor lebih panjang

(2-14 hari) untuk membantu bank yang mengalami

kesulitan likuiditas. Langkah-langkah ini terbukti cukup

berhasil mengatasi tekanan likuiditas pada industri

perbankan.

Selanjutnya, dalam rangka mengetahui ketahanan

likuiditas perbankan, khususnya terhadap kemungkinan

penarikan DPK secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar

telah dilakukan suatu simulasi dengan mengasumsikan

bahwa penurunan/penarikan DPK akan dibiayai dari ekses3 Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI (Giro BI, SBI, dan penempatan lainnya).

Sedangkan NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro + 30% tabungan + 10% depositojangka waktu s.d 3 bulan.

Page 35: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

25

Bab 2 Sektor Keuangan

likuiditas bank. Hasil simulasi berdasarkan data akhir

Desember 2008 menunjukkan bahwa ekses likuiditas yang

dimiliki bank masih mencukupi untuk mengcover

penurunan DPK hingga 29,27%. Selain itu, juga telah

dilakukan stress test risiko likuiditas untuk mengetahui

ketahanan permodalan dalam menyerap biaya

mendapatkan likuiditas dari PUAB apabila bank

menghadapi kesulitan pendanaan. Hasil stress test

menunjukkan bahwa secara umum permodalan bank

masih cukup kuat menghadapi tekanan risiko likuiditas

dimaksud.

2.3.2. Perkembangan dan Risiko Kredit

Perkembangan Kredit

Pertumbuhan kredit yang tinggi menjadi hal yang

menonjol pada tahun 2008. Gejala pertumbuhan kredit

yang pesat sebenarnya sudah mulai terlihat sejak tahun

2007. Waktu itu pertumbuhan kredit mencapai 25% atau

lebih tinggi dari target sebesar 22%. Pada tahun 2008,

sesuai Rencana Bisnis, perbankan menargetkan

pertumbuhan kredit sekitar 24%. Namun, sebelum tahun

2008 berakhir, target kredit tersebut sudah terlampaui

hingga mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2008

dengan pertumbuhan 37% yoy.

Sejalan dengan meningkatnya tekanan karena

memburuknya perekonomian, sejak bulan November 2008

pertumbuhan kredit mulai melambat sehingga mencapai

29,5% pada akhir tahun. Mengingat selama periode

laporan telah terjadi depresiasi nilai tukar rupiah yang

signifikan, maka dengan menghilangkan faktor nilai tukar,

pertumbuhan kredit tahun 2008 sebenarnya lebih rendah,

yaitu sebesar 25,7%.

Tingginya pertumbuhan kredit antara lain didorong

oleh tingginya permintaan pengusaha domestik untuk

modal kerja dan investasi sejalan dengan semakin sulitnya

mendapat pendanaan dari luar negeri sebagai dampak

dari krisis global. Pertumbuhan kredit yang cukup tinggi

tampaknya juga bagian dari strategi bank untuk

mempertahankan tingkat laba karena spread antara biaya

bunga DPK dengan pendapatan bunga dari penanaman

pada PUAB dan SBI cenderung semakin menipis.

Pertumbuhan kredit yang tinggi tersebut dapat pula

dipandang sebagai hasil dari berbagai kebijakan Bank

Indonesia pada waktu-waktu sebelumnya dalam rangka

mendorong fungsi intermediasi perbankan.

Grafik 2.8Pertumbuhan Kredit (yoy)

Kredit Valas dlm USDTotal KreditTotal Kredit (NT Tetap)Kredit RupiahKredit Valas dlm Rp

Data Des'08 menggunakan data LHBU

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

%

Des Feb Apr Jun Ags Okt Des2007 2008

Grafik 2.9Perkembangan Kredit 2007-2008

(15) 25 65 105 145 185 225 2650

Total Kredit (Rp T)

Kredit Rupiah (Rp T)

Kredit Valas (Rp T)

Kredit Valas (USD T)20082007

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa selama

periode laporan dana pihak ketiga (DPK) bertumbuh sekitar

12,87%. Pertumbuhan DPK yang lebih rendah

dibandingkan pertumbuhan kredit mendorong

peningkatan loan to deposit ratio (LDR) dari 76,6% pada

Juni 2008 menjadi 77,2% pada Desember 2008. Bahkan

Page 36: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

26

Bab 2 Sektor Keuangan

Komunikasi; sektor Konstruksi; sektor Jasa Dunia Usaha;

dan sektor Industri Pengolahan.

angka LDR sempat mencapai titik tertinggi setelah krisis

1997/1998 yaitu sebesar 81,6% pada Agustus 2008.

Dari segi kelompok bank, penyaluran kredit oleh

bank Persero dan bank Swasta masih mendominasi.

Selama periode laporan, kredit kelompok bank Persero

meningkat signifikan, terutama untuk sektor Industri

Pengolahan, Lain-Lain (Konsumsi) serta Perdagangan.

Sementara itu, walaupun masih tumbuh tinggi,

peningkatan kredit bank Swasta cenderung lebih rendah

dibandingkan semester sebelumnya. Perlambatan

pertumbuhan kredit pada kelompok bank Swasta terutama

untuk sektor Perdagangan dan Lain-Lain (Konsumsi),

sedangkan sektor Industri Pengolahan masih naik cukup

besar.

Suatu hal yang menggembirakan dari penyaluran

kredit selama semester II 2008 adalah cukup tingginya

penyaluran kredit untuk sektor produktif. Hal ini tercermin

pada Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi yang

mendominasi penyaluran kredit dengan menyumbang

masing-masing sebesar 49% dan 27% dari total kenaikan

kredit. Dengan demikian, secara keseluruhan

pertumbuhan Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi

selama tahun 2008 bertumbuh cukup tinggi masing-

masing 32% dan 37%. Sementara itu, secara sektoral,

pertumbuhan kredit yang cukup tinggi terdapat pada

sektor Listrik, Air dan Gas; sektor Pengangkutan dan

Grafik 2.10Pertumbuhan Kredit Kelompok Bank (ytd)

32%

27%

36%

50%

46%

32%

%

20082007

0 10 20 30 40 50

BUMN

Swasta

BPD

Campuran

Asing

Industri

Meskipun tidak sebesar pertumbuhan kredit lainnya,

Kredit Konsumsi tetap meningkat sebesar Rp39 triliun

selama semester II 2008. Kenaikan kredit konsumsi

terutama berasal dari peningkatan kredit Lainnya

(mencakup kredit kendaraan bermotor, kredit tanpa

agunan, dan lain-lain) sebesar Rp25,6 triliun dan diikuti

kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar Rp10,1 triliun.

Dengan demikian, selama tahun 2008, pertumbuhan

kredit Lainnya dan KPR menjadi lebih tinggi dibandingkan

pertumbuhan Kartu Kredit. Sementara itu, dari 3 jenis

kredit yang termasuk dalam kelompok Kredit Properti (KPR,

Kredit Real Estate dan Kredit Konstruksi), KPR

menyumbang 54,6% dari total kenaikan kredit Properti

selama semester laporan yang mencapai Rp18,5 triliun.

Dengan total kredit mencapai Rp198,9 triliun, pangsa

Grafik 2.11Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan (ytd)

Grafik 2.12Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi

Modal Kerja

Investasi

Konsumsi

32%

37%

29%20082007

%0 10 20 30 40

Perdagangan

Lain-lain

Industri Pengolahan

Pengangkutan

Konstruksi

Pertanian

Jasa Dunia Usaha

Jasa Sosial

Pertambangan

Listrik

%

20,7%

29,1%

37,9%

70,2%

42,8%

19,1%

39,6%

11,1%

25,9%

133,8%

0 20 40 60 80 100 120 140

20082007

Page 37: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

27

Bab 2 Sektor Keuangan

kredit Properti mengalami sedikit penurunan dari 15,7%

pada akhir Juni 2008 menjadi 15,2% pada akhir Desember

2008.

Grafik 2.15Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Valuta Asal

% Rp

(60)

(40)

(20)

-

20

40

60

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20086.000

8.000

10.000

12.000

14.000

yoy Rp (%) yoy Va USD (%) kurs

Konsumsi lebih merata, tercermin pada pangsa untuk

pulau Jawa berkisar antara 50%-60%. Sementara itu,

kredit di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi lebih

kepada kredit investasi.

Grafik 2.13Pertumbuhan KPR, Kartu Kredit & Lainnya

Grafik 2.14Perkembangan Kredit Properti

29%

26%

29%

KPR

Kartu Kredit

Lainnya

%0 5 10 15 20 25 30

20082007

Pertumbuhan 2007 (%) Pertumbuhan 2008 (% ytd)

Delta Kredit 2007 (Rp M) Delta Kredit 2008 (Rp M)

0 9 18 27 36 45

Konstruksi

Real Estate

KPR

Kredit rupiah masih mendominasi penyaluran kredit

perbankan pada semester laporan, dengan pangsa

mencapai 80% dari total kenaikan kredit. Sementara itu,

kenaikan kredit valas sebesar Rp32,4 triliun lebih

dipengaruhi oleh faktor depresiasi nilai tukar rupiah.

Dengan menggunakan denominasi USD, kredit valas

sebenarnya turun sebesar USD0,8 miliar menjadi USD23,1

miliar. Penurunan kredit valas terjadi sejalan dengan

meningkatnya risiko akibat berfluktuasinya nilai tukar dan

kondisi perekonomian dunia yang masih belum

menggembirakan.

Dari sisi lokasi proyek, penyaluran kredit masih

terpusat di pulau Jawa, terutama untuk kredit modal kerja

(pangsa 72,9%). Perkembangan Kredit investasi dan Kredit

Grafik 2.16Pangsa Kredit Penggunaan

JaBar + Banten

DKI Jakarta

JaTeng + DIY

Jawa Timur

Sumatra

Kalimantan

Sulawesi

Bali + NusTra

Maluku + Papua

0 5 10 15 20 25 30 35

KKKIKMK

%

Pada semester II 2008, kredit MKM (Mikro, Kecil dan

Menengah) mengalami peningkatan sebesar Rp58,6 triliun

atau tumbuh 26,1% yoy, atau di bawah angka

pertumbuhan total kredit perbankan. Akibatnya,

pangsanya terhadap total kredit mengalami sedikit

penurunan dari 50,1% pada akhir Juni 2008 menjadi

48,5% pada akhir Desember 2008. Secara umum, kredit

MKM masih didominasi oleh Kredit Konsumsi dengan

peningkatan mencapai 61,5% dari total peningkatan

kredit MKM. Kredit produktif pada kredit MKM lebih

cenderung dalam bentuk Kredit Modal Kerja untuk

kebutuhan operasional sehari-hari yang peningkatannya

Page 38: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

28

Bab 2 Sektor Keuangan

selama selama semester laporan mencapai Rp19 triliun

(32,4% dari total peningkatan kredit). Sementara itu,

sumbangan kredit Investasi relatif kecil yaitu sekitar 6,1%

dari total kenaikan kredit MKM. Secara sektoral, sektor

yang mengalami kenaikan kredit terbesar adalah sektor

Lain-Lain dan Perdagangan.

yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan nominal NPL

mengindikasikan bahwa perbankan sudah mulai

mengantisipasi kemungkinan kenaikan risiko kredit ke

depan.

Grafik 2.18Non Performing Loans

(%) (Triliun)

NPL Gross (kr)

NPL Nominal (kn)

NPL Net (kr)

-

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

2006 Jun 2007 Jun 2008 Jun Des30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

Grafik 2.19Kredit, NPL, dan PPAP (Rp Triliun)

Nominal NPL (kiri)

Kredit (kanan)

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

2006 2007 2008 Des200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

Dari segi kelompok bank, selama semester laporan,

kenaikan nominal NPL terjadi pada kelompok bank Swasta,

kantor cabang bank Asing dan bank Campuran,

sedangkan nominal NPL bank Persero justru turun Rp3,1

triliun karena penghapusbukuan kredit. Naiknya nominal

NPL pada kelompok bank Swasta dan Campuran disertai

pula dengan peningkatan rasio NPL gross yang terjadi sejak

pertengahan semester II 2008, sementara kenaikan rasio

NPL kelompok kantor cabang bank Asing baru terjadi pada

akhir semester. Kenaikan kredit bermasalah pada kelompok

bank Swasta dan Campuran terutama pada kredit untuk

sektor Industri Pengolahan serta sektor Jasa Dunia Usaha,

sementara untuk kelompok kantor cabang bank Asing

Risiko Kredit

Selama semester II 2008, kenaikan nominal NPL

cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya

tekanan perlambatan perekonomian. Meskipun selama

periode laporan nominal NPL hanya naik Rp2,3 triliun

menjadi Rp50,9 triliun, namun mengingat rendahnya

peningkatan nominal NPL tersebut adalah karena

penghapusbukuan kredit yang cukup signifikan pada satu

bank besar, maka kenaikan nominal NPL perlu diwaspadai

apalagi kondisi ekonomi tengah kurang menggembirakan.

Dari sisi rasio NPL, dibandingkan dengan posisi akhir

semester I 2008, rasio NPL gross menurun menjadi 3,76%.

Rendahnya rasio NPL dipengaruhi oleh tingginya

peningkatan kredit yang jauh melebihi peningkatan

nominal NPL. Sementara itu, kenaikan nominal NPL juga

diiringi dengan kenaikan Penyisihan Penghapusan Aktiva

Produktif (PPAP) dalam jumlah yang lebih tinggi yaitu

sebesar Rp4,4 triliun menjadi Rp47,5 triliun selama

semester laporan. Hal ini menyebabkan rasio NPL net

menurun sebesar 0,2% menjadi 1,47%. Peningkatan PPAP

Grafik 2.17Perkembangan Kredit MKM

%

44

46

48

50

52

54

200

400

600

800

1000

1200

1400

2006 2007 2008 Des

Total Kredit Rp T (kiri)

MKM Rp T (kiri)% MKM/Kredit

Page 39: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

29

Bab 2 Sektor Keuangan

diikuti pula oleh kredit sektor Lain-Lain (konsumsi),

terutama yang berasal dari kartu kredit.

pada Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi mengalami

penurunan. Meskipun jumlah nominalnya mengalami

peningkatan, secara rasio, NPL gross Kredit Modal Kerja

sedikit menurun dibandingkan periode sebelumnya

sehingga menjadi 3,4%. Selanjutnya, walaupun secara

rasio, NPL tertinggi masih terdapat pada Kredit Investasi,

telah terjadi penurunan kredit non-lancar yang cukup

signifikan karena adanya hapus buku sehingga rasio NPL

gross Kredit Investasi turun dari 4,6% pada akhir Juni 2008

menjadi 3,8% pada akhir Desember 2008. Sementara itu,

sejalan dengan penurunan nominal NPL Kredit Konsumsi,

rasio NPL grossnya juga mengalami penurunan dari 2,9%

menjadi 2,5%.

Grafik 2.20Rasio NPL Gross Kelompok Bank

0

1

2

3

4

5

6

7

BUMN Swasta BPD Campuran Asing

Des-07Jun-08Des-08

Grafik 2.21Rasio NPL Gross Sektor Ekonomi

Pertanian

Pertambangan

Ind. Pengolahan

Konstruksi

Perdagangan

Pengangkutan

Jasa Dunia Usaha

Lain-lain Des-07Jun-08Des-08

0,0 1,5 3,0 4,5 6,0 7,5

Peningkatan nominal NPL sektor Jasa Dunia Usaha

dan Industri Pengolahan membuat kedua sektor ekonomi

tersebut mendominasi kenaikan nominal NPL sektoral

industri perbankan, masing-masing sebesar Rp1 triliun dan

Rp0,7 triliun. Kedua sektor tercatat memiliki rasio NPL gross

masing-masing sebesar 2,12% dan 5,41%. Dengan

demikian, Industri Pengolahan tampaknya masih menjadi

sektor dengan tingkat risiko kredit yang cukup tinggi,

meskipun sedikit membaik pada akhir periode laporan

sejalan dengan hapus buku yang dilakukan oleh salah satu

bank besar.

Grafik 2.22Rasio NPL Gross Jenis Penggunaan

0

1

2

3

4

5

6

7

Modal Kerja Investasi Konsumsi

Des-07Jun-08

Des-08

Dari segi jenis penggunaan kredit, peningkatan

nominal NPL selama semester II 2008 hanya terjadi pada

Kredit Modal Kerja, yaitu sebesar Rp1,7 triliun, sementara

Penurunan nominal NPL Kredit Konsumsi terutama

karena penurunan nominal kredit KPR yang menyebabkan

rasio NPL gross KPR turun menjadi 2,26%. Sementara itu,

Grafik 2.23Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi

0

2

4

6

8

10

12

KPR Kartu Kredit Lainnya

Des-07

Jun-08

Des-08

%

Page 40: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

30

Bab 2 Sektor Keuangan

penghapusbukuan kredit. Ke depan, perlu semakin

diwaspadai turunnya ekspor dan pelemahan nilai tukar

rupiah karena berpotensi mempengaruhi kemampuan

debitur membayar kewajibannya, terutama kewajiban

dalam valas.

rasio NPL gross Kartu Kredit masih cukup tinggi, yaitu 10,8%

pada akhir Desember 2008, meskipun sedikit menurun

dibandingkan posisi akhir Juni 2008 sebesar 11,6%.

Sebagian besar (78,2%) nominal NPL Kartu Kredit terdapat

pada kelompok Kantor Cabang Bank Asing. Sementara itu,

walaupun nominal NPL KPR sudah mengalami penurunan,

secara total, nominal NPL Kredit Properti masih mengalami

peningkatan sebesar Rp0,3 triliun. Hal tersebut karena

nominal NPL Kredit Real Estate mengalami peningkatan

dengan rasio NPL menjadi sebesar 4,51%.

Grafik 2.26Rasio NPL Gross MKM & Non MKM (%)

Grafik 2.25Rasio NPL Gross Kredit Rupiah dan Valas (%)

0

1

2

3

4

5

Rupiah Valas

Des-07

Jun-08Des-08

0

1

2

3

4

5

MKM Non MKM

Des-07Juni-08

Nov-08

Grafik 2.24Rasio NPL Gross Kredit Properti (%)

-

1

2

3

4

5

6

Konstruksi Real Estate KPR

Des-07Jun-08Des-08

Kredit valas menjadi sumber utama peningkatan

nominal NPL perbankan. Selama semester II 2008, nominal

NPL kredit valas naik Rp1,9 triliun menjadi Rp10,5 triliun

antara lain karena pelemahan nilai tukar rupiah. Apabila

dinyatakan dalam USD, nominal NPL kredit valas hanya

naik USD29,7 juta. Sejalan dengan itu, rasio NPL gross

kredit valas juga meningkat menjadi 4,14%. Kenaikan

nominal NPL kredit valas terbesar pada kelompok bank

Persero sebesar Rp0,8 triliun, diikuti Kantor Cabang Bank

Asing sebesar Rp0,7 triliun.

Di lain pihak, rasio NPL gross kredit rupiah turun

menjadi 2,98% sejalan dengan penurunan nominal NPL

kredit rupiah sebesar Rp0,7 triliun. Penurunan nominal NPL

kredit rupiah terutama karena menurunnya nominal NPL

pada kelompok bank Persero dalam jumlah yang signifikan,

yaitu sebesar Rp3,9 triliun yang disebabkab oleh

Pada periode laporan, nominal NPL Kredit MKM

turun Rp1 triliun menjadi Rp18,8 triliun. Sejalan dengan

itu, rasio NPL gross Kredit MKM juga turun menjadi 2,97%.

Berdasarkan jenis penggunaan, nominal NPL dari semua

jenis Kredit MKM turun, terutama pada Kredit Modal Kerja

sebesar Rp0,5 triliun. Dari sisi sektoral, penurunan nominal

NPL terjadi pada hampir semua sektor, kecuali sektor

Industri Pengolahan, dengan penurunan terbesar pada

sektor Perdagangan sebesar Rp1 triliun. Nominal NPL kredit

MKM sektor Industri Pengolahan naik Rp0,6 triliun,

sehingga rasio NPL gross-nya naik menjadi 7,5%. Hal ini

Page 41: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

31

Bab 2 Sektor Keuangan

masih tinggi pada saat itu juga berpotensi meningkatkan

tekanan inflasi ke depan. Sebagai respon atas kondisi

tersebut, Bank Indonesia menaikkan suku bunga

kebijakannya (BI rate) sebagai upaya untuk meredam

tekanan inflasi. Sejak Juli sampai dengan Oktober, secara

berturut-turut BI rate terus dinaikkan sebesar 25 bps,

sehingga mencapai 9,5% pada Oktober.

Namun, pada perkembangan lebih lanjut,

memburuknya kondisi pasar keuangan dunia mulai

mempengaruhi kondisi ekonomi domestik, terutama di

pasar keuangan yang menyebabkan menurunnya kinerja

pasar saham, dan harga SUN, serta pelemahan nilai tukar

Rupiah yang signifikan. Selain itu, perlambatan ekonomi

dunia menyebabkan pertumbuhan ekspor Indonesia turun

signifikan, sehingga ekonomi domestik mulai tumbuh

melambat. Memperhatikan kondisi tersebut, Bank

Indonesia mempertahankan level BI rate pada 9,5% pada

bulan November. Pada penghujung 2008, Bank Indonesia

mulai menurunkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 9,25%

untuk mendorong kegiatan ekonomi mengingat prospek

pertumbuhan ekonomi domestik ke depan diperkirakan

melambat cukup dalam.

Penurunan BI rate pada akhir 2008 tidak langsung

direspon dengan penurunan suku bunga perbankan. Suku

bunga perbankan masih meningkat meskipun sudah

cenderung melambat. Selama periode laporan, suku bunga

deposito 1 bulan naik 356 bps menjadi 10,75%,

sedangkan suku bunga kredit naik dalam level yang lebih

rendah. Masih tingginya suku bunga perbankan,

khususnya suku bunga deposito, terjadi karena perang

suku bunga untuk menarik dana masyarakat sebesar-

besarnya guna meningkatkan likuiditas perbankan.

Sementara itu, suku bunga kredit Kredit Modal Kerja,

Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi masing-masing naik

222 bps, 139 bps, dan 27 bps, sehingga spread suku bunga

cenderung menyempit.

Grafik 2.27Rasio NPL Gross Kredit MKM (%)

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0 Des-07 Jun-08Des-08

Mikro Kecil Menengah

menunjukkan bahwa risiko kredit di sektor Industri

Pengolahan tidak hanya berasal dari korporasi besar (Non

MKM) tetapi juga dari usaha skala kecil dan menengah

(MKM).

Sebagaimana dikemukakan pada Bab 1, potensi

peningkatan risiko kredit tercermin pula pada hasil analisis

Probability of Default (PD) yang mengindikasikan bahwa

ke depan risiko kredit yang berasal dari sektor riil

(korporasi) akan cenderung meningkat. Berdasarkan

analisis Probability of Default (PD) dan model

ekonometrik, diproyeksikan bahwa pada akhir tahun

2009 rasio NPL gross perbankan akan meningkat menjadi

sekitar 4,9%-5,6%. Namun demikian, hasil stress test

terhadap 15 bank besar dengan menggunakan skenario

pesimis (rasio NPL gross akan meningkat menjadi 5,6%

yaitu sebesar proyeksi tertinggi untuk tahun 2009)

menunjukkan bahwa secara umum perbankan masih

mampu mengatasi kemungkinan kerugian yang akan

terjadi sehingga tidak terdapat bank yang CAR-nya turun

menjadi di bawah 8%.

2.3.3. Risiko Pasar

Perkembangan ekonomi domestik pada awal

semester II 2008 ditandai dengan tingginya inflasi sebagai

dampak dari kenaikan harga BBM dan tingginya harga

komoditas pokok dunia. Pertumbuhan ekonomi yang

Page 42: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

32

Bab 2 Sektor Keuangan

pendapatan bunga bersih perbankan lebih tinggi

dibandingkan semester I 2008 sebagai akibat dari

penyaluran kredit yang masih tinggi, namun ke depan hal

ini berpotensi mengurangi profitabilitas. Hasil stress test

menunjukkan bahwa apabila suku bunga meningkat 1%,

tidak terdapat bank yang mengalami penurunan CAR

menjadi di bawah 8%.

Grafik 2.30Profil Maturitas Valas

M USD

(15)

(10)

(5)

0

5

10

sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln

Des07 Mrt08 Jun08

Sep08 Des08

Grafik 2.31Posisi Devisa Netto

%

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Des07 Mrt08 Jun08 Sep08 Des08

BUSN Campuran BPD Persero Asing SELURUH

Grafik 2.28Suku Bunga Rp & Nilai Tukar

Grafik 2.29Profil Maturitas Rupiah

Deposito 1bln (ki)

KI (ki)

KK (ki)

Kurs (kn)

% Rp

KMK (ki)

6

8

10

12

14

16

18

20

2006 2007 2008 Des7500

8500

9500

10500

11500

12500

Rp triliun

(500)

(400)

(300)

(200)

(100)

0

100

200

300

400

500

sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln

Des07 Mrt08 Jun08

Sep08 Des08

Dengan profil maturitas perbankan, baik rupiah

maupun valas, yang secara umum cenderung short dalam

jangka pendek dan long dalam jangka panjang, kenaikan

suku bunga perbankan berpotensi merugikan karena akan

mengurangi keuntungan atau meningkatkan kerugian.

Pada periode laporan, posisi short aset/kewajiban dalam

rupiah untuk jangka waktu sangat pendek (s.d. 1 bulan)

cenderung semakin meningkat seiring dengan gencarnya

perbankan dalam menarik dana masyarakat untuk

meningkatkan likuiditas. Sebaliknya, untuk aset/kewajiban

dalam valas, posisi shortnya cenderung menurun sejalan

dengan meningkatnya risiko akibat depresiasi rupiah yang

cukup tajam.

Meningkatnya posisi short jangka pendek ini

berpotensi meningkatkan risiko pasar perbankan akibat

kenaikan suku bunga, terlebih dengan spread yang

semakin menyempit. Meskipun selama semester II 2008

Gejolak pasar keuangan global juga menimbulkan

tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Bahkan rupiah sempat

mencapai Rp12.150 per USD pada November 2008,

sehingga rata-rata nilai tukar rupiah selama semester II

2008 mencapai Rp10.138 per USD dibandingkan semester

I 2008 sebesar Rp9.235 per dolar AS. Namun demikian,

rasio PDN perbankan yang relatif rendah (6,2%)

menyebabkan eksposur perbankan terhadap risiko nilai

tukar relatif terbatas. Hasil stress test menunjukkan bahwa

Page 43: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

33

Bab 2 Sektor Keuangan

apabila nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sampai

dengan Rp5.000 per USD, rasio kecukupan modal (CAR)

perbankan masih berada di atas 8%. Namun demikian,

perlu diwaspadai pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap

perbankan melalui penurunan kemampuan membayar

debitur.

Tekanan terhadap pasar saham dan pasar utang

domestik selama semester II 2008 semakin tinggi akibat

krisis pasar keuangan global yang semakin buruk. Salah

satu dampaknya adalah harga surat utang negara yang

sempat turun signifikan pada Oktober, meski pada akhir

2008 sudah mulai meningkat. Perkembangan ini sangat

mempengaruhi neraca dan laba rugi perbankan, karena

sebagian besar bank memiliki SUN sebagai salah satu

portofolio dalam aktiva produktif.

Untuk mengurangi kerugian yang lebih besar, pada

tanggal 9 Oktober 2008, Bank Indonesia, Pemerintah

(Bapepam-LK), dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)

menerbitkan keputusan bersama yang memungkinkan

perbankan untuk menunda penerapan marking to market

dalam penetapan nilai wajar untuk SUN. Selain itu,

perbankan juga dimungkinkan untuk mengalihkan tujuan

kepemilikan SUN dari kategori Trading dan Available for

Sale (AFS) menjadi kategori Hold to Maturity (HTM).

Kebijakan tersebut memberikan dampak positif terhadap

neraca dan laba rugi perbankan. Hal ini tercermin pada

net unrealized loss di neraca dan nilai kerugian bersih

Grafik 2.32Pangsa Kepemilikan SUN Perbankan

Grafik 2.33Perkembangan SUN (Rp T)

%

0

10

20

30

40

50

60

HTM AFS Trading

Des07Jun08Des08

2007 2008

130,

628

,212

6,8

0

50

100

150

200

250

300

Des Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

AFS Trading HTM

156,

416

,910

1,4

pada laporan laba rugi yang menurun pada Desember

2008, setelah sempat meningkat tinggi pada Oktober

2008.

Harga SUN yang turun tajam juga mendorong

perbankan untuk mengalihkan tujuan kepemilikan SUN dari

AFS menjadi HTM untuk mengurangi kerugian. Akibatnya,

selama semester II 2008, pangsa kepemilikan SUN untuk

AFS turun 10,8% menjadi 36,9%, sedangkan pangsa HTM

naik 11,3% menjadi 56,9%. Pangsa kepemilikan SUN

trading yang cukup rendah dan penundaan berlakunya

marking to market menjadikan perbankan tidak terlalu

terekspos dengan risiko penurunan harga SUN. Hasil stress

test menunjukkan bahwa apabila harga SUN turun sampai

20%, tidak terdapat bank yang mengalami penurunan CAR

menjadi di bawah batas minimum 8%.

2.3.4. Profitabilitas dan Permodalan

Profitabilitas

Di tengah peningkatan tekanan terhadap

perekonomian, industri perbankan masih mampu

mempertahankan profitabilitasnya, meskipun menurun bila

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Net Interest

Income (NII), sebagai salah satu indikator profitabilitas,

menunjukkan peningkatan yaitu dari Rp53,2 triliun (Juni

2008) menjadi Rp59,9 triliun (Desember 2008).

Peningkatan tersebut antara lain karena pertumbuhan

Page 44: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

34

Bab 2 Sektor Keuangan

terkait melambatnya pertumbuhan ekonomi ke depan

dengan meningkatkan beban Penyisihan Penghapusan

Aktiva Produktif (PPAP). Akibatnya, terjadi penurunan laba

operasional sekitar 30,6%, yaitu dari Rp17,6 triliun (Juni

2008) menjadi Rp12,2 triliun (Desember 2008). Setelah

memperhitungkan pajak, perolehan laba selama semester

II 2008 turun 33,9%, yaitu dari Rp18,4 triliun menjadi

Rp12,2 triliun.

Penting dicatat bahwa penurunan laba yang terjadi

pada paruh kedua tahun 2008 ini, merupakan

kecenderungan tahunan yang juga terjadi pada tahun

2007 yang lalu. Hanya saja, meningkatnya tekanan

terhadap kondisi perbankan pada tahun 2008,

menyebabkan perolehan laba berjalan menjadi lebih

menurun, yaitu dari sebesar Rp35,0 triliun pada akhir 2007

menjadi Rp30,6 triliun pada akhir 2008. Sementara itu,

pada periode yang sama total aset perbankan juga

mengalami peningkatan. Hal ini kemudian menyebabkan

ROA perbankan juga menjadi menurun.

kredit yang tinggi sejak awal tahun dan baru mulai

melambat sejak bulan November 2008. Dengan demikian,

peningkatan NII lebih ditopang oleh pendapatan bunga

kredit.

Grafik 2.34Profitabilitas Bank-mtm 2008

Rp triliun

0

5

10

15

20

25

Nov2007

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008

Pend. BungaBeban BungaNII

Grafik 2.35Pendapatan Bunga Bank

0

50

100

150

200

250LainnyaKredit

SSBBI

Nov Des Nov Des2007 2008

L/R Operasional 18,07 16,97 35,04 17,63 12,23 29,86

L/R Non Operasional 7,10 7,72 14,82 7,23 11,01 18,24

L/R sebelum Pajak 25,17 24,69 49,86 24,86 23,24 48,10

L/R setelah Pajak 18,38 16,63 35,02 18,39 12,16 30,55

Tabel 2.1Laba/Rugi Perbankan

2007 2008

Semester I Semester II Total Semester I Semester II Total

Rp triliunRp triliunRp triliunRp triliunRp triliun

Grafik 2.36Perkembangan Rasio ROA per Kelompok Bank

%

-

1

2

3

4

15 BB S. Menengah S. Kecil BPD Campuran Asing Industri

ROA Des'07 ROA Des'08

Akan tetapi, profitabilitas yang dihasilkan dari

pendapatan bunga tersebut tidak seluruhnya dapat

langsung menjadi laba bersih bank. Hal tersebut karena

perbankan mengantisipasi memburuknya kualitas kredit

Page 45: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

35

Bab 2 Sektor Keuangan

Sementara itu, rasio modal inti (Tier 1) terhadap

Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) juga masih

cukup tinggi, yaitu sebesar 14,4%. Dengan demikian,

permodalan perbankan diperkirakan masih cukup kuat

untuk menyerap berbagai risiko, serta masih memiliki

ruang gerak yang mencukupi untuk terus bertumbuh dan

melakukan ekspansi kredit.

Grafik 2.37Perkembangan Rasio BOPO per Kelompok Bank

%

15 BB S. Menengah S. Kecil BPD Campuran Asing Industri-

20

40

60

80

100

120BOPO Des'07 BOPO Des'08

Penurunan laba operasional sepanjang tahun 2008

tampaknya juga dipicu oleh tingkat efisiensi yang ikut

berkurang. Penurunan efisiensi ini tercermin pada rasio

Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional

(BOPO) yang meningkat. Oleh karena itu, salah satu

agenda penting perbankan ke depan adalah upaya untuk

meningkatkan efisiensi.

Sementara itu, data yang ada menunjukkan bahwa

inefisiensi ternyata lebih banyak terlihat pada kelompok

bank kecil dibandingkan kelompok bank lainnya. Dengan

demikian, salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi

adalah dengan memperbesar size atau skala usaha bank.

Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui merger dan

akuisisi dalam rangka konsolidasi perbankan.

Permodalan

Secara umum, rasio permodalan (CAR) industri

perbankan pada akhir semester II 2008 masih cukup tinggi,

yaitu 16,2%. Namun demikian, jika dibandingkan dengan

posisi akhir semester sebelumnya sebesar 16,4%, terdapat

sedikit penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya

pertumbuhan kredit yang dibarengi dengan lambannya

peningkatan laba bank. Apabila kredit perbankan ke depan

terus bertumbuh pada kisaran 15%-18%, maka CAR

industri perbankan pada akhir tahun 2009 diperkirakan

akan turun menjadi sekitar 14,3%.

Grafik 2.38Modal, ATMR, dan CAR

%Rp triliun

-

400

800

1.200

1.600

2.000

0

5

10

15

20

25ModalATMRCAR (kanan)

Des Feb Apr Jun Ags Okt Des

2007 2008

Ketahanan perbankan terhadap tekanan berbagai

risiko tersebut tercermin pada hasil integrated stress test,

yang mencakup risiko kredit, risiko suku bunga, risiko nilai

tukar, risiko harga SUN dan risiko likuiditas. Stress test ini

dilakukan terhadap 15 bank besar yang mencakup sekitar

70% dari total aset industri perbankan. Skenario yang

digunakan adalah rasio NPL gross meningkat menjadi

sebesar 5,6% (proyeksi pesimis rasio NPL tahun 2009),

harga SUN turun 20%, suku bunga turun 1% dan rupiah

terdepresiasi sampai dengan Rp5.000 per USD. Selain itu,

Grafik 2.39Integrated Stress Test terhadap CAR 15 Bank Besar

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

A B C D E F G H I J K L M N O

CAR AWAL

CAR BARU

Page 46: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

36

Bab 2 Sektor Keuangan

dampak lanjutannya (second round effects) berpotensi

membuat 24 bank lainnya (multiple failure) juga

menghadapi tekanan permodalan.

Sementara itu, apabila dilihat secara individual,

beberapa bank masih memiliki modal inti minimum kurang

dari Rp100 miliar. Meskipun ketentuan modal inti minimum

sebesar Rp100 miliar baru akan berlaku pada akhir tahun

2010, bank-bank yang dewasa ini masih belum memiliki

modal inti Rp100 miliar perlu segera menyiapkan langkah-

langkah untuk pemenuhannya. Salah satu langkah yang

mungkin dapat dilakukan adalah dengan melakukan

merger dan akuisisi sehingga dapat mempercepat proses

konsolidasi perbankan.

2.4. LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK DAN

PASAR MODAL

2.4.1. Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan Pembiayaan (PP) merupakan salah satu

jenis lembaga keuangan bukan bank yang berfungsi

melakukan pembiayaan melalui berbagai jenis pembiayaan

antara lain pembiayaan konsumen, sewa guna usaha,

anjak piutang dan kartu kredit. Selama semester II 2008

(s.d November), kinerja PP meningkat cukup signifikan,

tercermin pada peningkatan total asset dan modal masing-

masing sebesar 23,80% dan 2,01%, sementara kegiatan

pembiayaan meningkat sebesar 16,58%.

Pesatnya kegiatan usaha PP ditopang oleh kenaikan

pendanaan, terutama yang bersumber dari kredit

perbankan yang meningkat cukup pesat yaitu sekitar

24,42% sehingga pangsanya menjadi 42% dari total

pendanaan. Krisis keuangan global yang memperketat

likuiditas menyebabkan tingginya biaya emisi saham dan

obligasi. Akibatnya, PP semakin tergantung pada sumber

dana kredit perbankan.

Dari segi jenis pembiayaan yang diberikan, pangsa

pembiayaan konsumen semakin berkurang dan cenderung

Grafik 2.40Interbank Stress Test

Bank Kena Dampak

Bank

Pem

icu A

BCDEFGHIJKL

F M N O P Q R S T U V J W K

kekurangan likuiditas diasumsikan dipenuhi dari dana

PUAB. Hasil stress test menunjukkan bahwa tidak terdapat

bank yang CARnya turun menjadi di bawah 8%.

Selanjutnya, mengingat beberapa bank dewasa ini

sedang menghadapi potensi kerugian terkait structured

products, telah dilakukan pula stress test untuk

mengetahui ketahanan permodalan dari bank-bank

tersebut. Hasil stress test ini menunjukkan bahwa secara

umum permodalan bank cukup kuat, meskipun beberapa

Kantor Cabang Bank Asing tertentu yang aktif melakukan

transaksi structured products harus siap-siap segera

meningkatkan modal apabila potensi kerugian menjadi

semakin meningkat.

Untuk mendapatkan gambaran tentang ketahanan

perbankan dalam menghadapi gejolak faktor-faktor

makroekonomi, telah dilakukan macroeconomic stress test,

khususnya terhadap 15 bank besar. Hasil stress test ini

memperlihatkan bahwa pada akhir 2009, sejalan dengan

proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi, maka secara

rata-rata rasio NPL 15 bank besar akan meningkat, namun

masih pada kisaran 5%.

Selain itu, telah dilakukan pula interbank stress test,

yaitu untuk mengetahui dampak contagion kegagalan

suatu bank terhadap bank lainnya dalam sistem perbankan

(contagion risk). Hasil stress test ini menunjukkan bahwa

apabila 11 bank pemicu gagal (single failure) terdapat 14

bank yang berpotensi permodalannya tertekan, sementara

Page 47: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

37

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.41Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

160,00

180,00

200,0023,80%

16,58%28,19%

2,01%

Aset Pembiayaan Pendanaan Modal

Jun 07Des'07Jun'08Nov'08

Grafik 2.42Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan

Grafik 2.43Komposisi Nominal Pembiayaan PP (Nov'08)

Piutang pembiayaan 141.179 46.257 93.795

Sewa Guna Usaha 53.480 5.759 46.634

Anjak Piutang 2.222 1.182 1.001

Kartu Kredit 1.178 2 1.175

Pembiayaan Konsumen 84.299 39.314 44.985

Pembiayaan (dalam Rp miliar)

0

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

160.000

Total Swasta Nasional Patungan

Sewa Guna Usaha 33,34% 11,31% 44,85%Anjak Piutang 1,82% 3,10% 1,05%Kartu Kredit 1,07% 0,01% 1,69%Pembiayaan Konsumen 63,76% 85,59% 52,40%

Tabel 2.2Perkembangan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan

Jun»08 Total Swasta Nasional Patungan

Nov»08 Total Swasta Nasional Patungan

Sewa Guna Usaha 37,88% 12,45% 49,72%Anjak Piutang 1,57% 2,56% 1,07%Kartu Kredit 0,83% 0,01% 1,25%Pembiayaan Konsumen 59,71% 84,99% 47,96%

*Total Sumber Dana: SSB, Pinjaman Subordinasi dan Total Pinjaman Dalam dan Luar Negeri

-7,33%

24,42%

28,19%

Rp miliar

Pinjaman BankDomestik

Surat Berharga yangDiterbitkan

Total Sumber Dana*

Jun'07

Des'07

Jun'08

Nov'08

0

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

Sementara itu, keuntungan PP meningkat cukup

signifikan, yaitu sebesar Rp2,85 triliun menjadi Rp5,96

triliun. Kenaikan laba tersebut mendorong meningkatnya

ROA dan ROE. Efisiensi usaha juga berhasil dipertahankan

dengan rasio Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi

(BOPO) sebesar 77%.

didiversifikasi melalui peningkatan pembiayaan sewa guna

usaha. Penurunan konsentrasi kegiatan pembiayaan

konsumen terutama terjadi pada PP Patungan yaitu dari

52,40% (Juni 2008) menjadi 47,96% (November 2008).

Asset 116.000.000.000 127.000.000.000 140.649.000.000 174.124.731.707

Debt (Pinjaman/

Obligasi) 81.524.052.728 90.319.642.214 100.183.895.911 128.423.157.567

Kewajiban 95.241.046.752 102.466.196.738 113.722.737.895 143.568.726.785

Equity 20.758.953.248 24.533.803.262 26.926.262.105 30.556.004.922

Profit Before Tax 2.978.914.227 5.763.866.446 4.134.560.328 8.078.856.892

Profit After Tax 2.244.670.921 4.379.780.690 3.114.695.467 5.961.654.328

ROA 0,03 0,05 0,03 0,05

ROE 0,14 0,23 0,15 0,26

BOPO 0,81 0,83 0,77 0,77

Debt/Equity 3,93 3,68 3,72 4,2

Kewajiban/Equity 4,59 4,18 4,22 4,7

Tabel 2.3Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan

Des-06 Mei-07 Des-07 Mei-07

Tetap baiknya kinerja PP pada semester laporan

didukung oleh perkembangan pasar kendaraan bermotor

yang masih tetap menggembirakan. Berdasarkan data

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia

(Gaikindo), sepanjang periode 2008, penjualan mobil di

Indonesia meningkat sekitar 40% menyentuh rekor

tertinggi mencapai 607,15 unit, meskipun terdapat trend

penurunan penjualan pada November dan Desember.

Page 48: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

38

Bab 2 Sektor Keuangan

Sementara itu, berdasarkan data Asosiasi Industri Sepeda

Motor Indonesia (AISI), penjualan sepeda motor selama

tahun 2008 juga meningkat mencapai 6,22 juta, atau jauh

lebih banyak dibandingkan penjualan pada tahun 2007

sebesar 4,69 juta unit.

Suku bunga kredit yang cukup tinggi pada semester

laporan meningkatkan potensi risiko pembiayaan oleh PP.

Di samping itu, menurunnya pendapatan nasabah sebagai

dampak krisis global juga berpotensi meningkatkan NPL.

Pada tahun 2008 rasio NPL pembiayaan PP tetap menurun,

namun secara nominal terindikasi adanya peningkatan

NPL, khususnya pada pembiayaan konsumen dan sewa

guna usaha.

Selain itu, risiko likuiditas juga berpotensi meningkat.

Hal tersebut terutama karena membesarnya mismatch

liquidity. Arus masuk likuiditas yang bersumber dari

pendanaan sebenarnya cukup tinggi, namun tetap tidak

mampu mengimbangi tingginya arus kas keluar karena

aktivitas operasi yang meningkat pesat.

Grafik 2.44NPL Pembiayaan

NPL (%)

Jun'07 2,67% 14,14% 4,28% 1,55%

Des'07 2,28% 11,59% 3,66% 1,68%

Jun'07 1,90% 11,32% 2,79% 1,70%

Nov'08 1,67% 9,04% 3,09% 1,66%

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

Sewa GunaUsaha

Anjak Piutang Kartu Kredit PembiayaanKonsumen

Grafik 2.45Perkembangan Nominal NPL

Rp miliar

0

500.000.000

1.000.000.000

1.500.000.000

2.000.000.000

2.500.000.000

3.000.000.000

Jun Des Jun Nov

2007 2008

SGUAPKK

PKTotal

Grafik 2.46Arus Kas PP Swasta Nasional

Arus kas neto dariaktivitas operasi 792 1.184

-

1.312

-

1.772

Arus kas neto dariaktivitas investasi -45 -162 -177 -322

Arus kas neto dariaktivitas pendanaan -903 -811 1.721 3.109

Rp miliar

Jun 07 Des 07 Jun 08 Nov 08-3.000

-2.000

-1.000

0

1.000

2.000

3.000

4.000

Grafik 2.47Arus Kas PP Patungan

Arus kas neto dariaktivitas operasi 3.528 7.133 5.221 9.786

Arus kas neto dariaktivitas investasi 174 494 944 724

Arus kas neto dariaktivitas pendanaan 4.790 7.513 4.480 11.222

Rp miliar

-15.000

-10.000

-5.000

0

5.000

10.000

15.000

Jun-07 Des-07 Jun-08 Nov-08

Meningkatnya risiko pembiayaan dan risiko likuiditas

tersebut pada gilirannya dapat mengganggu kinerja atau

meningkatkan risiko bagi bank yang menjadi sumber dana

bagi PP. Dengan demikian, potensi risiko yang lebih besar

akan dihadapi oleh bank-bank yang memiliki anak

Page 49: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

39

Bab 2 Sektor Keuangan

perusahaan PP. Sementara itu, meningkatnya kegiatan

channeling dan joint financing antara bank dengan PP

berpotensi meningkatkan tekanan risiko bagi bank. Selama

semester II 2008, channeling meningkat 23,74% menjadi

Rp9,33 triliun, sedangkan joint financing meningkat 9,8%

menjadi Rp49,61 triliun.

Grafik 2.48Exposure Perbankan

Grafik 2.50Perkembangan Kenaikan NPL PP Subsidiary Bank

0

50000000

10000000

15000000

20000000

25000000

30000000

0

500000

1000000

1500000

2000000

2500000

3000000

3500000

4000000

4500000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov

2008

236

7910

Grafik 2.49Perkembangan Penurunan NPL PP Subsidiary Bank

0

2000000

4000000

6000000

8000000

10000000

12000000

0

20000000

40000000

60000000

80000000

10000000

12000000

1 8 4 5

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov

2008Rp Miliar

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

50.000Channelling

Joint Financing

Jun Des Jun Nov2007 2008

Terkait dengan perkembangan tersebut, berdasarkan

pemantauan terhadap 21 PP yang terafiliasi dengan bank

diketahui adanya 10 PP yang memiliki NPL dan 6

diantaranya cenderung mengalami peningkatan. Kenaikan

nominal NPL yang signifikan terutama terjadi pada PP yang

memiliki porsi pembiayaan sewa guna usaha yang tinggi.

Sementara, NPL nominal pembiayaan konsumen

cenderung mengalami penurunan.

2.4.2. Pasar Modal

Portofolio Investasi Asing

Pada semester II 2008, investor asing cenderung

melakukan realisasi gain. Akibatnya, terjadi outflows

investasi asing pada aset keuangan rupiah sebesar Rp20,4

triliun, padahal pada semester sebelumnya terjadi inflows

sebesar Rp18,5 triliun. Outflows tersebut tercermin pada

turunnya kepemilikan asing pada SBI dan SUN masing-

masing Rp25,2 triliun dan Rp6,7 triliun.

Sementara itu, sentimen negatif paska kejatuhan

institusi keuangan internasional seperti Lehman Brothers

di AS dan beberapa bank investasi di Eropa serta

kegagalan Asuransi AIG menyebabkan semakin

berfluktuasinya harga saham, sehingga meningkatkan

peluang profit taking bagi investor asing. Di pasar saham

domestik, perilaku profit taking investor asing

1 0,54% 0,37% - - - -3.558.416

2 32,63% 53,28% 93.069.554 413.988 - 42.591.752

3 0,37% 0,37% - - - - -990.623

4 1,03% 0,00% - - - -26.578.328

5 1,20% 1,07% - - - -5.406.096

6 0,00% 0,06% 799.020 - - -

7 0,20% 0,44% - - - 1.370.608

8 0,79% 0,58% 142.127 - - -

9 0,00% 0,66% -540.907 - - -

10 0,02% 0,03% - - - 279.805

Tabel 2.4Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan

Perubahan % NPL

PP Jun»08 Nov»08

∆ Perubahan Nominal NPL

Jun»08 - Nov»08 SGU Ajk.Ptng KK Pmb.Kons

Page 50: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

40

Bab 2 Sektor Keuangan

mengakibatkan terjadinya net beli saham sebesar Rp11,5

triliun.

pelepasan SUN oleh investor domestik (khususnya lembaga

keuangan) sekitar Rp10,1 triliun. Akibatnya, pelemahan

pasar SUN sangat mendalam dan recovery pasar menjadi

sangat lambat. Pada sisi lain, tetap tingginya portofolio

SUN yang dimiliki oleh lembaga keuangan domestik,

seperti perbankan (sebesar Rp253,9 triliun), asuransi

(Rp53,3 triliun), dana pensiun (Rp32,2 triliun) dan

reksadana (Rp31,9 triliun), menyebabkan pelemahan pasar

SUN akan berdampak negatif terhadap kinerja lembaga

keuangan domestik tersebut sehingga perlu diwaspadai.

Grafik 2.51Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham

Rp triliun

-35

-25

-15

-5

5

15

25

35SBI SUN Saham

Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2007 2008

Grafik 2.52Penanaman Investor Asing: SBI-SUN-Saham

Rp triliun

-35

-25

-15

-5

5

15

25

35

Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2007 2008

Grafik 2.53Kepemilikan SUN dan SBI Investor Asing

0

20

40

60

80

100

120SBI SUN

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2008

Rp triliun

Grafik 2.54Penyerapan SUN Lembaga Keuangan Domestik dan Asing

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

20

2008Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

LK Domestik LK Asing

Rp triliunPerilaku profit taking oleh investor asing berpotensi

menekan stabilitas sistem keuangan karena berpotensi

memicu pembalikan arus dana secara tiba-tiba dan

serentak (sudden reversal). Kerawanan terutama

bersumber pada portofolio SUN yang dimiliki investor asing

sejumlah Rp87,4 triliun per akhir Desember 2008 yang

sebagian besar merupakan portofolio manajer investasi

asing. Selain berpotensi memicu sudden reversal,

pelepasan SUN oleh investor asing juga akan berpotensi

menekan nilai tukar rupiah dan harga SUN.

Potensi kerawanan semakin besar karena perilaku

investor utama SUN cenderung searah. Hal ini tampak pada

perkembangan selama semester laporan yaitu pelepasan

SUN oleh investor asing sebesar Rp4,7 triliun diikuti dengan

Pasar Saham

Pada semester laporan, bursa saham global terkoreksi

turun terimbas sentimen negatif kejatuhan perusahaan-

perusahaan investasi peringkat atas serta meningkatnya

laporan kerugian lembaga keuangan internasional. Bursa

Dow Jones turun pesat sekitar 23% dan sempat

Page 51: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

41

Bab 2 Sektor Keuangan

menyentuh level terendah 7.552,2 (pertengahan

November 2008). Prospek memburuknya kondisi

perekonomian global dan adanya ekspektasi resesi di AS

dan beberapa negara di Eropa berdampak pada turunnya

kinerja bursa regional Asia. Dalam hal ini, IHSG tercatat

turun sekitar 42,3% menjadi 1.355,41 (Desember 2008)

dan sempat mencapai level terendah sebesar 1.111,39

pada tanggal 28 Oktober 2008. Dengan perkembangan

tersebut, rata-rata IHSG selama semester II 2008 sekitar

1.723,06, atau jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata

selama semester sebelumnya sebesar 2.485,47.

Grafik 2.55Perkembangan IHSG & Indeks Global dan Regional

(Diindekskan dengan Indeks 31 Desember 2005)

0,20

0,70

1,20

1,70

2,20

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2007 2008

IHSG FSSTI SET KLCIPCOMP NKY Hang Seng KOSPIFTSE NYA DJIA

IHSG 2.139,28 2.745,83 2.349,11 1.832,51 1.355,41 28,35 (42,30) (21,99)Indeks Sektor Keuangan 223,14 260,57 203,74 203,37 176,33 16,78 (13,45) (0,18)Indeks Sektor Pertanian 1.680,12 2.754,76 3.061,06 1.489,57 918,77 63,96 (69,99) (51,34)Indeks Sektor Industri Dasar 196,10 238,05 200,05 162,93 134,99 21,39 (32,52) (18,55)Indeks Sektor Konsumsi 437,01 436,04 398,29 381,36 326,84 (0,22) (17,94) (4,25)Indeks Sektor Properti 211,72 251,82 168,53 142,42 103,49 18,94 (38,59) (15,49)Indeks Sektor Pertambangan 1.647,04 3.270,09 3.415,96 1.833,24 877,68 98,54 (74,31) (46,33)Indeks Sektor Infrastruktur 750,43 874,07 652,81 570,91 490,35 16,47 (24,89) (12,55)Indeks Sektor Perdagangan 387,38 392,24 356,76 261,33 148,33 1,26 (58,42) (26,75)Indeks Sektor Aneka Industri 324,96 477,35 360,65 326,15 214,94 46,89 (40,40) (9,57)

Tabel 2.6Pertumbuhan Indeks Sektoral

Sem II 07 Sem II 08 Jun-Sep 08

Pertumbuhan (%)Jun 07 Des 07 Jun 08 Sep 08 Des 08

pertambangan yang masing-masing turun sekitar 70% dan

74%. Pelemahan cukup besar juga dialami indeks sektoral

yang rentan terhadap pelemahan nilai tukar yaitu indeks

sektor perdagangan dan indeks sektor aneka industri yang

masing-masing turun sekitar 58% dan 40%.

IHSG 2.139,28 2.745,83 2.349,11 1.832,51 1.355,41 28,35 (42,30) (21,99)STI 3.475,89 3.465,63 2.947,54 2358,91 1.761,56 (0,30) (40,24) (19,97)SET 776,79 858,10 768,59 596,54 449,96 10,47 (41,46) (22,39)KLCI 1.354,38 1.445,03 1.186,57 1.018,68 876,75 6,69 (26,11) (14,15)PCOMP 3.660,86 3.621,60 2.459,98 2.569,65 1.872,85 (1,07) (23,87) 4,46NIKKEI 18.138,36 15.307,78 13.484,38 11.259,86 8.859,56 (15,61) (34.28) (16,48)HSCI 21.772,73 27.812,65 22.102,01 18.016,21 14.387,48 27,74 (34,90) (18,49)KOSPI 1.743,60 1.897,13 1.674,92 1.448,06 1.124,47 8,81 (32,86) (13,54)FTSE 9.873,02 9.740,32 8.660,48 7.532,80 5.757,05 (1,34) (33,53) (13,02)UKX 6.607,90 6.456,90 5.625,90 4.902,45 4.434,17 (2,29) (21,18) (12,86)DJIA 13408,62 13264,82 11350,01 10850,66 8776,39 (1,07) (22,68) (4,40)

Tabel 2.5Pertumbuhan Indeks Bursa Regional

Sem II 07 Sem II 08 Jun-Sep 08

Pertumbuhan (%)Jun 07 Des 07 Jun 08 Sep 08 Des 08

Sementara itu, berkurangnya tekanan inflasi dan

terdapatnya sinyal penurunan suku bunga pada menjelang

akhir tahun 2008 berhasil menahan pelemahan indeks

sektor keuangan yang hanya turun sekitar 0,18%. Gejolak

krisis pasar global sempat membuat volatilitas pasar saham

domestik melonjak tinggi pada periode September-

November 2008. Namun, karena secara rata-rata volatilitas

pasar saham domestik cukup moderat, maka minat

investor untuk profit taking jangka pendek masih tetap

bertahan.

Seluruh indeks sektoral mengalami pelemahan,

terutama indeks sektor pertanian dan indeks sektor

Grafik 2.56Volatilitas (30 hari) beberapa Indeks Bursa Asia

%

0

20

40

60

80

100

120

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2007 2008

Indonesia JepangThailand MalaysiaSingapore Hongkong

Page 52: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

42

Bab 2 Sektor Keuangan

Turun tajamnya indeks saham diiringi pula dengan

berkurangnya aktivitas transaksi. Hal tersebut antara lain

karena adanya libur panjang menjelang akhir tahun 2008.

Selama semester II 2008, transaksi saham turun sekitar

64% menjadi Rp34,88 triliun. Transaksi saham investor

asing menurun, namun tetap tingginya minat investor

mengakibatkan terdapatnya net beli sebesar Rp7,77 triliun.

Penurunan harga yang disertai turunnya transaksi

perdagangan menyebabkan turunnya kapitalisasi pasar

sebesar 45,86% menjadi hanya Rp1,076 triliun. Sementara

itu, likuiditas pasar tetap rendah, tercermin pada emisi

saham yang hanya meningkat 6,94% menjadi Rp407,46

triliun dengan jumlah emiten yang hanya bertambah 17

perusahaan menjadi 485 perusahaan.

Grafik 2.60P/E Ratio Saham Bank

%

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90Jun 07 Des 07

Jun 08 Des 08

Danamon BCA BRI Mandiri BNI BII CIMBNiaga

Selama semester laporan, harga sebagian besar

saham perbankan melemah signifikan meskipun

menjelang akhir semester terindikasi rebound. Sementara

itu, dari sisi Price/Earning Ratio (PER), sebagian besar saham

bank mengalami penurunan.

Grafik 2.58Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi

Grafik 2.57Nilai Transaksi Saham Investor Domestik dan Asing

Rp triliun

0

20

40

60

80

100

120

140

160

2008Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Total Indonesia Asing

Rp triliun

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

2008Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

N Kap (BEI)N Kap (BEJ)N Kap (BES)IHSG (RHS)N Emisi

Grafik 2.59Perkembangan Harga Saham Beberapa Bank

-

1.000,00

2.000,00

3.000,00

4.000,00

5.000,00

6.000,00

7.000,00

8.000,00

9.000,00

-

200,00

400,00

600,00

800,00

1.000,00

1.200,00

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2007 2008

BCA (LHS) BRI (LHS) Mandiri (LHS)Danamon (LHS) BNI (LHS) BII (RHS)CIMB Niaga (RHS)

Pasar Surat Utang

Tingginya suku bunga sejak awal sampai

pertengahan semester II 2008 menyebabkan kinerja pasar

surat utang menjadi tertekan. Harga SUN mengalami

penurunan, tercermin pada turunnya indeks IDMA sekitar

11% menjadi 88,21. Bahkan, indeks IDMA sempat

Page 53: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

43

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.62Yield SUN 1 s.d. 30 tahun

Grafik 2.61Perkembangan Harga Beberapa Seri FR

2008

20

40

60

80

100

120

140

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

FR02 FR49 FR27FR48 FR47 FR45

%

4

6

8

10

12

14

16

18

20

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2007 2008

1 tahun 3 tahun 5 tahun

10 tahun 15 tahun 30 tahun

Grafik 2.63SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor

Rp triliun

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45FR VR ORI Zero Coupon SPN

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2037 2038

mencapai level terendah 67,11 pada tanggal 29 Oktober

2008. Untuk mengurangi potensi kerugian investor karena

turun pesatnya harga SUN, telah ditempuh kebijakan untuk

melonggarkan aturan marking to market bagi investor

SUN. Sejalan dengan penurunan BI rate sejak awal

November 2008, pasar mulai rebound, terindikasi pada

turunnya yield penanaman rupiah berbagai tenor.

berkembangnya transaksi SUN untuk tenor jangka

panjang. Tidak adanya acuan yield yang wajar untuk

penanaman rupiah berjangka panjang (berjangka waktu

lebih dari 10 tahun) juga menghambat perkembangan

transaksi SUN berjangka panjang.

Tertekannya pasar surat utang mengurangi minat

emiten untuk menghimpun dana melalui penerbitan

obligasi. Pada tahun 2008, pembiayaan melalui emisi

obligasi korporasi tercatat rendah, yaitu nilai emisi hanya

naik sekitar 9% menjadi Rp145,9 triliun dengan tambahan

emiten hanya 3 perusahaan sehingga menjadi 178

perusahaan. Emisi obligasi korporasi tersebut tidak

berdampak nyata terhadap likuiditas pasar obligasi

korporasi karena sebagian besar emisi merupakan

refinancing. Secara keseluruhan, posisi obligasi korporasi

Dari segi likuiditas, tidak adanya lelang SUN pada

Kuartal IV (sejak 14 Oktober 2008) telah menyeimbangkan

likuiditas pasar yang diwarnai aksi jual. Sejalan dengan

itu, posisi SUN pada semester laporan turun dari Rp515,0

triliun menjadi Rp511,0 triliun. Dari segi tenor, likuiditas

pasar SUN tetap terkonsentrasi pada SUN berjangka

pendek dan menengah yang menyebabkan kurang

Grafik 2.64Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi

0

20

40

60

80

100

120

140

160

170

171

172

173

174

175

176

177

178

179

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2008

(Emisi & Posisi Trl Rp) (Emiten)

Emisi Posisi Emiten

Page 54: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

44

Bab 2 Sektor Keuangan

pada akhir Desember 2008 tercatat sebesar Rp73 triliun,

atau turun sebesar 13,7% dibandingkan posisi pada akhir

Desember 2007.

Reksadana

Semakin melemahnya pasar keuangan menyebabkan

memburuknya kinerja reksadana. Hal tersebut terlihat pada

perkembangan Nilai Aktiva Bersih (NAB) pada semester

laporan (s.d Oktober 2008) yang turun 25% menjadi

Rp68,9 triliun. Dengan perkembangan tersebut, selama

tahun 2008 NAB reksadana turun sekitar 27%.

Perkembangan bursa saham yang kurang

menggembirakan yang disertai meningkatnya volatilitas

IHSG mengakibatkan NAB reksadana saham turun sebesar

53% menjadi Rp16,6 triliun, sementara NAB reksadana

campuran turun 38% menjadi Rp8,7 triliun. Selanjutnya,

Grafik 2.65Nilai Aktiva Bersih Reksadana

0

5

10

15

20

25

30

35

40

2008Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt

2007

Pend Tetap Saham Camp Ps Uang Terproteksi

Rp triliun

Grafik 2.66Reksadana : Redemption-Subscription-NAB

0

2

4

6

8

10

12

14

2007 2008Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt

Rdmp, trl Rp,kr Subscr, trl Rp,kr NAB, trl Rp,knn

0

20

40

60

80

100

120

Grafik 2.67Reksadana : NAB-Unit Penyertaan

0

20

40

60

80

100

120NAB, trl Rp,kr Unit Penyertaan,

mil unit,krNAB/Unit,knn

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt2007 2008

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

Grafik 2.68Kinerja Penghimpunan Dana Reksadana

0

20

40

60

80

100

120

140

160

2007 2008Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

420

440

460

480

500

520

540

560Juml Unit Penyertaan,kr Juml Dana,Trl Rp,kr Juml Reksadana, knn

sejalan dengan melemahnya pasar surat utang, NAB

reksadana pendapatan tetap turun 15% menjadi Rp14,0

triliun.

Sementara itu, pemberlakuan ketentuan Bapepam-

LK yang melarang redemption reksadana terproteksi yang

belum selesai masa pengelolaannya, menyebabkan NAB

reksadana terproteksi tetap meningkat, yaitu naik 21%

menjadi Rp24,9 triliun. Sejalan dengan itu, pangsa

reksadana terproteksi pada akhir Desember 2008 menjadi

yang terbesar yaitu sekitar 36%, padahal pada akhir

Desember 2007 pangsanya masih sekitar 17%. Tetap

meningkatnya NAB reksadana terproteksi berhasil

mengurangi tekanan redemption. Bahkan, selama tahun

2008 redemption tetap lebih kecil dibandingkan dengan

subscription, yaitu Rp81,6 triliun berbanding Rp83,8

triliun.

Page 55: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

45

Bab 2 Sektor Keuangan

Namun demikian, terdapat tanda-tanda bahwa minat

investor terhadap reksadana semakin menurun. Hal tersebut

antara lain terlihat pada unit penyertaan. Meskipun

sepanjang tahun 2008 terdapat peningkatan unit penyertaan

sebesar 17%, namun sejak September 2008 menurun

menjadi sekitar 62,5 miliar unit. Selain itu, peningkatan

penghimpunan dana melalui reksadana pada tahun 2008

(s.d September) tergolong kecil yaitu hanya sebesar 2%

menjadi Rp135,5 triliun, sementara jumlah reksadana

meningkat cukup besar yaitu sekitar 16% menjadi 549.

Page 56: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

46

Bab 2 Sektor Keuangan

Kronologis Gejolak Sektor Keuangan 2008 dan ResponKebijakanBoks 2.1

Kondisi sektor keuangan pada tahun 2008,

khususnya selama semester II, penuh gejolak.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, gejolak tersebut

telah membuat Indeks Stabilitas Keuangan (Financial

Stability Index - FSI) meningkat tajam selama semester

laporan, bahkan pernah melampaui batas indikatif

maksimum angka 2 pada bulan November dan

Desember 2008. Sementara itu, nilai tukar rupiah juga

mengalami tekanan. Dalam perkembangan terakhir,

FSI mulai sedikit menurun sejalan dengan

membaiknya IHSG dan harga SUN, namun nilai tukar

rupiah masih belum kembali kepada level sebelum

Oktober 2008, meskipun volatilitasnya sudah semakin

berkurang.

8-10 Oktober 200828 Oktober 200829 Oktober 2008

20 Nopember 2008

24 Nopember 2008

Tabel Boks 2.1.1Kronologis Gejolak Sektor Keuangan Indonesia 2008

Tanggal Kejadian

Bursa Efek Indonesia ditutup sementara.IHSG: 1.111,39, terendah sejak Desember 2005.Indeks Harga SUN (IDMA): 67,11, terendah sejakpenerbitan SUN pertama kali pada Januari 2005.LPS mengambilalih 1 bank yang dinilai berdampaksistemik (Bank Century).Nilai tukar Rp/USD: 12.650, terendah sejak krisis 1997/1998.

Berikut ini disampaikan ringkasan kronologis

gejolak keuangan di Indonesia selama semester II 2008

dan respon kebijakan yang telah diambil untuk

menjaga stabilitas sistem keuangan.

16 September 2008

23 September 2008

13 Oktober 2008

15 Oktober 2008

24 Oktober 2008

29 Oktober 2008

13 Nopember 2008

14 Nopember 2008

18 Nopember 200816 Desember 2008

Tabel Boks 2.1.2Respon Kebijakan

Tanggal Kejadian

BI menurunkan O/N repo rate dari BI rate plus 300 bps menjadi BI rate plus 100 bps.BI menyesuaikan FASBI rate dari BI rate minus 200 bps menjadi BI rate minus 100 bps.BI memperpanjang jangka waktu Fine Tune Operation (FTO) dari 1 hari s.d 14 hari menjadi 1 hari s.d 3 bulan(PBI No.10/14/PBI/2008).BI merubah ketentuan tentang GWM rupiah dan GWM valas bagi Bank Umum (PBI No.10/19/PBI2008).BI meniadakan pembatasan posisi saldo harian Pinjaman Luar Negeri (PLN) jangka pendek (PBI No.10/20/PBI/2008).Penerbitan PERPPU No.2 Tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang Bank Indonesia yang memungkinkan kreditberkolektibilitas lancar dijadikan agunan untuk mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).Penerbitan PERPPU No.3 Tahun 2008 yang mengatur kenaikan nilai simpanan nasabah yang dijamin LPS dari Rp100 jutamenjadi Rp 2 milyar.BI memperpanjang tenor FX Swap dari paling lama 7 hari menjadi 1 bulan (PBI No.10/21/PBI/2008).BI berkomitmen menyediakan valas bagi korporasi domestik melalui perbankan (PBI No.10/22/PBI/2008).Penerbitan PERPPU No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).BI mengeluarkan perubahan atas PBI No.10/19/PBI2008 untuk menyempurnakan perhitungan GWM Rupiah menjadiGWM utama sebesar 5% dari DPK Rupiah, dan GWM sekunder sebesar 2.5% dari DPK Rupiah (PBI No.10/25/PBI/2008).BI mengeluarkan peraturan tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum (FPJP)(PBI No.10/26/PBI/2008).BI mengeluarkan peraturan yang membatasi transaksi spekulatif valas terhadap rupiah dengan mewajibkan adanyaunderlying transaksi untuk setiap pembelian valas yang melebihi USD100.000 (PBI No.10/28/PBI/2008).BI mengeluarkan perubahan atas PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi BankUmum (PBI No. 10/30/PBI/2008).BI mengeluarkan aturan mengenai Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) (PBI No.10/31/PBI/2008).BI melarang transaksi derivatif structured product yang terkait transaksi valas (PBI No.10/38/PBI/2008).

Page 57: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

47

Bab 2 Sektor Keuangan

Pengambilalihan Bank Century, Penutupan Bank Indover danStabilitas Sistem KeuanganBoks 2.2

Pada semester II 2008 terdapat 2 permasalahan

di perbankan yang banyak mendapat perhatian. Yang

pertama adalah pengambilalihan Bank Century oleh

LPS dan yang kedua adalah penutupan Bank Indover.

Pertanyaannya adalah apakah kedua permasalahan

tersebut mengganggu stabilitas sistem keuangan

Indonesia?

Bank Century adalah hasil merger Bank CIC,

Bank Pikko dan Bank Danpac pada bulan Desember

2004. Bersamaan dengan terjadinya kekeringan

likuiditas global yang berimbas ke dalam negeri, pada

bulan Juli 2008 Bank Century mengalami kesulitan

likuiditas yang ditandai dengan pelanggaran GWM

beberapa kali. Setelah itu, kinerja bank terus menurun

sehingga masuk dalam pengawasan khusus (Special

Surveillance) Bank Indonesia. Namun demikian,

kondisi bank terus memburuk sehingga dinyatakan

sebagai bank gagal pada tanggal 20 November 2008.

Selanjutnya, mengingat bank tersebut dinilai

berdampak sistemik maka Bank Century kemudian

diambilalih oleh LPS untuk disehatkan.

Dalam kenyataannya pengambilalihan Bank

Century oleh LPS tidak menimbulkan gejolak atau

shock yang signifikan di perbankan. Baik nasabah

maupun lembaga perbankan relatif tenang sehingga

tidak menimbulkan tekanan terhadap stabilitas sistem

keuangan. Pengambilalihan bank yang tidak

menimbulkan gejolak ini sekaligus juga merupakan

cerminan semakin kuatnya koordinasi antara

lembaga-lembaga terkait dalam sistem keuangan di

Indonesia dan berjalannya mekanisme protokol

manajemen krisis (crisis management protocol) yang

telah disepakati bersama.

Sementara itu, De Indonesische Overzeese Bank

atau lebih dikenal dengan Bank Indover adalah anak

perusahaan Bank Indonesia yang berkedudukan di

Amsterdam, Belanda. Bank Indover sempat memiliki

kinerja yang cukup bagus sebelum mengalami

kesulitan likuiditas akibat penurunan secara drastis

money market line sebagai dampak dari gejolak pasar

keuangan global, khususnya yang terjadi di Eropa.

Bank ini akhirnya dibekukan oleh pengadilan Belanda

pada tanggal 6 Oktober 2008.

Salah satu potensi tekanan terhadap stabilitas

keuangan adalah penanaman yang dilakukan oleh

bank-bank domestik pada Bank Indover. Data yang

ada menunjukkan terdapat sekitar 14 bank domestik

yang melakukan penanaman pada Bank Indover

sebelum ditutup. Mengingat jumlah eksposur ke14

bank domestik pada Bank Indover tersebut hanya

sekitar Rp1,6 triliun atau 0,07% dari total asset industri

perbankan per Oktober 2008, maka penutupan Bank

Indover tidak menimbulkan dampak yang signifikan

terhadap ketahanan sistem keuangan Indonesia.

Selain itu, dampaknya terhadap rasio

permodalan (CAR) industri perbankan juga tidak besar.

Penutupan Bank Indover hanya mengakibatkan

penurunan CAR dari 16,18% menjadi 16,09%. Hasil

interbank stress test juga menunjukkan bahwa bank-

bank yang mengalami penurunan CAR karena

penutupan Bank Indover bukanlah bank-bank yang

dapat menimbulkan dampak sistemik. Dari sisi

likuiditas, juga tidak berdampak signifikan karena

hanya mengakibatkan penurunan likuiditas dalam

kisaran antara 0,01% s.d 7,28% dari secondary

reserves perbankan.

Page 58: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

48

Bab 2 Sektor Keuangan

Segmentasi Pasar Uang Antar Bank (PUAB)Boks 2.3

Segmentasi PUAB adalah suatu kondisi dimana

transaksi antar bank cenderung terbatas dan hanya

terjadi antara sesama kelompok bank tertentu saja.

Dengan tersegmentasinya PUAB, bank yang memiliki

likuiditas menjadi semakin berhati-hati dalam

menempatkan atau mengelola likuiditasnya.

Sementara, bank yang memerlukan likuiditas menjadi

semakin berhati-hati dalam meminjam dana di PUAB,

bukan hanya karena keterbatasan supply, namun juga

untuk menjaga reputasi.

Segmentasi PUAB dapat ditelusuri dari

perkembangan penurunan rata-rata perhari volume

transaksi PUAB. Pada PUAB Rupiah, penurunan rata-

rata per hari volume transaksi terjadi sejak bulan

September 2008, sementara pada PUAB Valas Dalam

Negeri (DN) penurunan rata-rata per hari volume

transaksi baru terjadi satu bulan kemudian, yaitu sejak

bulan Oktober 2008.

Pada Tabel di bawah ini tahun 2008 dipecah

menjadi dua periode. Periode I adalah sebelum

terjadinya tekanan likuiditas (Januari s.d. Agustus

untuk PUAB Rupiah atau Januari s.d. September untuk

PUAB Valas DN), sedangkan periode II adalah setelah

terjadi tekanan likuiditas (September s.d. Desember

untuk PUAB Rupiah atau Oktober s.d. Desember untuk

PUAB Valas DN). Dengan memperbandingkan kedua

periode tersebut, terlihat bahwa pada periode II hampir

semua kelompok bank membatasi transaksi, baik

dalam hal menempatkan dana (placing) maupun

dalam hal meminjam (taking). Selain itu, kalaupun ada

Tabel Boks 2.3.1Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Rupiah Januari s.d Desember 2008

Periode I 266.184 260.786 99.627 8.628 706.069 143.799 1.485.0931.485.0931.485.0931.485.0931.485.093Periode II 17.690 30.547 4.762 0 112.154 3.962 169.115169.115169.115169.115169.115

Perubahan -93,4% -88,3% -95,2% -100,0% -84,1% -97,2% -88,6%Periode I 456.839 239.003 119.152 69.866 592.022 188.310 1.665.1921.665.1921.665.1921.665.1921.665.192Periode II 121.980 372.240 173.638 20.184 367.196 143.939 1.199.1771.199.1771.199.1771.199.1771.199.177

Perubahan -73,3% 55,7% 45,7% -71,1% -38,0% -23,6% -28,0%Periode I 49.585 62.317 36.332 50.926 81.815 17.459 298.434298.434298.434298.434298.434Periode II 51.991 100.921 126.384 31.345 90.521 33.659 434.819434.819434.819434.819434.819

Perubahan 4,9% 61,9% 247,9% -38,5% 10,6% 92,8% 45,7%Periode I 9.382 53.515 63.656 36.223 7.424 22.954 193.155193.155193.155193.155193.155Periode II 4.963 37.090 45.772 15.076 1.594 12.730 117.226117.226117.226117.226117.226

Perubahan -47,1% -30,7% -28,1% -58,4% -78,5% -44,5% -39,3%Periode I 10.229 4.897 2.377 1.411 252.279 0 271.193271.193271.193271.193271.193Periode II 2.500 11.701 2.778 0 318.728 0 335.707335.707335.707335.707335.707

Perubahan -75,6% 139,0% 16,9% -100,0% 26,3% - 23,8%Periode I 873.565 695.964 197.388 71.858 97.870 917.118 2.853.7632.853.7632.853.7632.853.7632.853.763Periode II 225.304 614.915 355.914 15.469 51.586 1.090.923 2.354.1122.354.1122.354.1122.354.1122.354.112

Perubahan -74,2% -11,6% 80,3% -78,5% -47,3% 19,0% -17,5%Periode I 1.665.7831.665.7831.665.7831.665.7831.665.783 1.316.4821.316.4821.316.4821.316.4821.316.482 518.532518.532518.532518.532518.532 238.913238.913238.913238.913238.913 1.737.4801.737.4801.737.4801.737.4801.737.480 1.289.6401.289.6401.289.6401.289.6401.289.640 6.766.8296.766.8296.766.8296.766.8296.766.829Periode II 424.429424.429424.429424.429424.429 1.167.4151.167.4151.167.4151.167.4151.167.415 709.247709.247709.247709.247709.247 82.07482.07482.07482.07482.074 941.778941.778941.778941.778941.778 1.285.2131.285.2131.285.2131.285.2131.285.213 4.610.1574.610.1574.610.1574.610.1574.610.157

Perubahan -74,5% -11,3% 36,8% -65,6% -45,8% -0,3% -31,9%

BANK PEMBERI

Kelompok Bank

Rp jutaRp jutaRp jutaRp jutaRp juta

4 BankPersero

BAN

K P

EMIN

JAM

Bank BesarNon Persero

Bank SwastaMenengah

Bank SwastaKecil

BPDBank

Campuran &KCBA

Total

4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero

Bank BesarBank BesarBank BesarBank BesarBank BesarNon PerseroNon PerseroNon PerseroNon PerseroNon Persero

Bank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaMenengahMenengahMenengahMenengahMenengah

Bank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaKecilKecilKecilKecilKecil

BPDBPDBPDBPDBPD

BankBankBankBankBankCampuran &Campuran &Campuran &Campuran &Campuran &

KCBAKCBAKCBAKCBAKCBA

TOTALTOTALTOTALTOTALTOTAL

Page 59: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

49

Bab 2 Sektor Keuangan

transaksi, hal itu cenderung hanya terjadi terbatas

pada kelompok bank-bank tertentu saja. Bank-bank

besar terlihat hanya mau bertransaksi dengan sesama

bank besar pula, sementara bank-bank kecil dan

menengah relatif kesulitan dalam mendapatkan dana

antar bank.

Perkembangan terakhir, seiring mulai

membaiknya kondisi likuiditas domestik paska

serangkaian kebijakan yang diambil Bank Indonesia

dan Pemerintah, maka mulai penghujung tahun 2008,

baik PUAB rupiah maupun valas DN, sama-sama

menunjukkan peningkatan rata-rata per hari volume

transaksinya. Dengan demikian, ke depan diharapkan

permasalahan segmentasi PUAB ini segera

terselesaikan secara menyeluruh sehingga tidak

menimbulkan tekanan terhadap stabilitas keuangan.

Tabel Boks 2.3.2Rata-rata per Hari Volume Transaksi PUAB Valas DN Januari s.d Desember 2008

Periode I 8.623 14.935 5.980 759 1.337 2.873 34.508Periode II 4.455 16.072 4.481 894 174 4.418 30.494

Perubahan -48,3% 7,6% -25,1% 17,6% -87,0% 53,8% -11,6%Periode I 10.481 9.057 6.014 1.109 52 6.561 33.274Periode II 2.209 7.193 4.530 1.065 50 2.121 17.168

Perubahan -78,9% -20,6% -24,7% -4,0% -4,5% -67,7% -48,4%Periode I 2.504 2.837 670 1.525 24 330 7.889Periode II 1.170 1.568 648 1.212 8 376 4.982

Perubahan -53,3% -44,7% -3,3% -20,5% -65,0% 14,1% -36,8%Periode I 0 3 78 53 0 45 179Periode II 0 0 0 18 0 25 43

Perubahan - -100,0% -100,0% -66,9% - -44,7% -76,2%Periode I 32 14 0 0 0 94 139Periode II 0 700 19 19 0 0 737

Perubahan -100,0% 5037,9% - -100,0% 429,7%Periode I 45.668 60.364 24.368 5.943 144 81.611 218.098Periode II 2.585 41.127 13.445 6.093 0 71.763 135.014

Perubahan -94,3% -31,9% -44,8% 2,5% -100,0% -12,1% -38,1%Periode I 67.307 87.209 37.110 9.390 1.558 91.513 294.087Periode II 10.419 66.660 23.122 9.300 232 78.703 188.437

Perubahan -84,5% -23,6% -37,7% -1,0% -85,1% -14,0% -35,9%

BANK PEMBERI

Kelompok Bank

USD ribuUSD ribuUSD ribuUSD ribuUSD ribu

4 BankPersero

BAN

K P

EMIN

JAM

Bank BesarNon Persero

Bank SwastaMenengah

Bank SwastaKecil

BPDBank

Campuran &KCBA

Total

4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero4 Bank Persero

Bank BesarBank BesarBank BesarBank BesarBank BesarNon PerseroNon PerseroNon PerseroNon PerseroNon Persero

Bank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaMenengahMenengahMenengahMenengahMenengah

Bank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaBank SwastaKecilKecilKecilKecilKecil

BPDBPDBPDBPDBPD

BankBankBankBankBankCampuran &Campuran &Campuran &Campuran &Campuran &

KCBAKCBAKCBAKCBAKCBA

TOTALTOTALTOTALTOTALTOTAL

Page 60: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

50

Bab 2 Sektor Keuangan

Structured Products dan Offshore Products: Dampaknyaterhadap Stabilitas Sistem KeuanganBoks 2.4

Structured Products

Beberapa bank, terutama kantor cabang bank

asing dan bank swasta nasional yang dimiliki asing,

akhir-akhir ini aktif melakukan penawaran produk-

produk investasi yang dikenal di Indonesia sebagai

structured products. Secara umum, structured

products dapat dipandang sebagai derivatif produk

keuangan konvensional dengan struktur aset yang

diharapkan menghasilkan return yang paling optimal

atau memberikan yield enhancement bagi nasabah,

berdasarkan asumsi-asumsi tertentu dari indikator

pasar keuangan yang umum, misalnya suku bunga,

nilai tukar dan indeks saham.

Structured products yang berkembang di

Indonesia umumnya merupakan derivatif dari deposito

dengan option atau hedging (umumnya forward)

dengan option. Data menunjukkan bahwa

perkembangan transaksi option sangat pesat, yaitu

pada tahun 2007 meningkat 251% dan pada tahun

2008 meningkat 134%. Sementara itu, transaksi

forward juga meningkat yaitu pada tahun 2007 dan

2008 masing-masing naik 24% dan 46%.

Sementara itu, memburuknya perekonomian

global menekan kinerja neraca pembayaran Indonesia.

Hal ini kemudian menjadi sentimen negatif yang

membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi. Pada tahun

2008, nilai tukar Rp/USD melemah sekitar 18,5%

sehingga nilai tukar pada akhir Desember mencapai

sekitar Rp11.120/USD. Pelemahan nilai tukar rupiah

ini kemudian mempengaruhi kinerja structured

products yang pada umumnya tidak pernah

memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah akan

terdepresiasi secara signifikan.

Dalam perkembangan lebih lanjut, menurunnya

kinerja structured products menimbulkan kerugian

bagi investor, sementara investor tetap harus

menyediakan dana untuk memelihara nilai simpanan.

Bahkan nasabah structured products tertentu, seperti

eksportir, dewasa ini ada yang menghadapi persoalan

pembatalan sepihak oleh importir di luar negeri terkait

dengan memburuknya perekonomian global.

Akibatnya, nasabah ini tidak memiliki dana cukup

untuk memelihara nilai simpanan, padahal mereka

juga kesulitan untuk membatalkan transaksi

structured products karena tingginya biaya

pembatalan transaksi (unwinding cost). Sementara itu,

karena bank masih memiliki kewajiban terhadap bank

lain terkait transaksi structured products nasabah,

maka bank seringkali menutup kewajiban nasabah

yang jatuh waktu terlebih dahulu. Namun, praktek

tersebut akan meningkatkan eksposur risiko kredit

bank, dan dapat menjadi sumber dispute dengan

nasabah. Dengan demikian, transaksi structured

products telah menimbulkan suatu kesulitan baru

diperbankan dan apabila tidak diselesaikan secara

cermat, berpotensi menekan stabilitas keuangan.

Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari

permasalahan structured products yang saat ini ramai

dibicarakan adalah pentingnya perbankan

menerapkan kehati-hatian dan keterbukaan dalam

memasarkan produk tersebut, termasuk dalam

menjelaskan aspek mitigasi risiko dan perlindungan

konsumen. Apabila masalah structured products tidak

tuntas diselesaikan, hal ini akan meningkatkan risiko

reputasi dan risiko hukum dari masing-masing bank

yang terkait.

Offshore Products

Sementara itu, maraknya transaksi reksadana

telah mendorong perbankan untuk melakukan

kegiatan keagenan reksadana. Akibatnya, keagenan

reksadana oleh perbankan tidak lagi hanya terbatas

Page 61: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

51

Bab 2 Sektor Keuangan

pada reksadana onshore, yaitu reksadana yang

diterbitkan oleh manajer investasi (MI) domestik,

namun juga mencakup penawaran produk keuangan

offshore, baik yang bersifat structured funds maupun

structured notes. Pada dasarnya, structured funds

merupakan reksadana yang diterbitkan oleh MI luar

negeri, sementara structured notes merupakan jenis

produk keuangan terstruktur yang yang diterbitkan

oleh investment banks di luar negeri.

Beberapa alasan utama dilakukannya kegiatan

penawaran produk keuangan offshore oleh

perbankan adalah: (i) adanya permintaan dari

nasabah utama (prime customers); (ii) dalam rangka

memelihara hubungan dengan nasabah atau

menjaga agar nasabah tidak pindah ke bank lain; dan

(iii) untuk menghadapi persaingan dengan semakin

maraknya penawaran produk-produk keuangan luar

negeri oleh bank dan MI luar negeri yang dilakukan

dengan cara mengunjungi calon investor langsung

ke Indonesia.

Dengan latar belakang tersebut, kantor cabang

bank Asing (KCBA) adalah kelompok bank yang paling

aktif dalam melakukan keagenan produk keuangan

offshore, khususnya melalui unit private banking atau

unit wealth management. Pada sebagian bank, unit

wealth management di Indonesia berhubungan

langsung dan merupakan bagian dari unit wealth

management pada global office bank yang

bersangkutan di luar negeri. Hal lain yang

menyebabkan KCBA menjadi cukup aktif dalam

melakukan penawaran produk keuangan offshore

adalah karena kegiatan serupa telah sering dilakukan

di kantor-kantor cabang bank tersebut di negara-

negara lain.

Berdasarkan laporan dari beberapa bank

penyelenggara keagenan produk keuangan offshore

diketahui bahwa penawaran produk keuangan luar

negeri pada semester II 2008 turun 14% menjadi

sekitar Rp32 triliun. Penurunan tersebut terkait dengan

melemahnya pasar keuangan global sehingga

mengurangi minat investor terhadap produk-produk

investasi terstruktur. Namun demikian, jumlah bank

penyelenggara semakin meningkat. Hal tersebut

antara lain karena bertambahnya bank domestik yang

telah diambil alih pihak asing.

Di samping perbankan, penawaran produk

keuangan offshore juga dilakukan oleh MI domestik.

Berdasarkan data sementara s.d November 2008,

penawaran produk keuangan offshore oleh MI

domestik jauh lebih rendah, yaitu hanya berkisar Rp2,5

triliun. Bahkan, selama semester II 2008 (data s.d

November) jumlahny menurun sekitar 6% sehingga

menjadi sekitar Rp2 triliun. Namun demikian, secara

keseluruhan, posisi produk keuangan offshore yang

ditawarkan oleh bank dan MI domestik relatif kecil,

yaitu pangsanya secara rata-rata hanya sekitar 29%

dari reksadana onshore.

Penawaran produk keuangan offshore yang

dilakukan oleh perbankan tampaknya masih

cenderung terbatas, yaitu hanya ditujukan bagi calon

investor yang telah memiliki pemahaman yang cukup

tentang risiko penanaman pada produk keuangan

offshore. Meskipun masih cenderung terbatas, kehati-

hatian perlu ditingkatkan mengingat kegiatan

keagenan produk keuangan offshore berpotensi

membuat bank lebih terekspose terhadap risiko

reputasi dan risiko hukum, disamping memperbesar

peluang meningkatnya kesalahpahaman dengan

investor, khususnya apabila masalah tranparansi dan

perlindungan nasabah kurang diperhatikan. Dampak

penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah

penanaman yang berlebihan dalam offshore products

berpotensi mendorong terjadinya pelarian dana

investor domestik ke luar negeri.

Page 62: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

52

Bab 2 Sektor Keuangan

Dampak Utang Luar Negeri terhadap Stabilitas SistemKeuanganBoks 2.5

Pengalaman krisis 1997/1998 menunjukkan

bahwa utang luar negeri (ULN) perbankan dan korporasi

dapat menjadi pemicu krisis, khususnya apabila nilai

tukar domestik mengalami penurunan yang signifikan.

Belajar dari pengalaman tersebut, bank dewasa ini

cukup berhati-hati dalam menjaga Posisi Devisa Netto

(PDN), tercermin dari rata-rata PDN industri perbankan

yang cukup rendah (6,2%) padahal batas maksimal

adalah 20% dari modal. Namun demikian, mengingat

profil maturitas valas perbankan menunjukkan cukup

tingginya posisi short jangka pendek (tenor s.d. 1 bulan),

maka kehati-hatian perlu lebih ditingkatkan.

Secara umum diperkirakan kewajiban

pembayaran utang luar negeri 2009 masih

manageable. Selama 2009 diperkirakan akan

dilakukan pembayaran ULN sebesar USD27,5 miliar

yang mencakup kewajiban pembayaran ULN

Pemerintah dan Swasta.

Jumlah pokok dan bunga ULN swasta perbankan

yang jatuh tempo pada tahun 2009 hanya sebesar

USD3,1 miliar, sedangkan jumlah ULN swasta non

bank adalah sekitar USD14,2 miliar (tidak termasuk

jumlah ULN yang standstill). Bagi perbankan,

kewajiban pembayaran ULN diperkirakan akan cukup

terkendali, mengingat sekitar 60% dari total ULN yang

akan jatuh tempo pada tahun 2009 merupakan

banker»s acceptance. Sementara itu, jumlah ULN

swasta non bank juga masih relatif kecil dibandingkan

dengan cadangan devisa. Dengan demikian, tekanan

terhadap nilai tukar yang berasal dari ULN swasta

termasuk perbankan pada tahun 2009 diperkirakan

tidak akan signifikan.

Tabel Boks 2.5.1Utang Luar Negeri Swasta Jatuh Tempo 2009

Loan Agreement 4.208,97 2.191,40 1.919,57 3.190,13 11.510,06Securities 1.614,73 750,35 223,03 93,36 2.681,46Trade Credits 755,45 154,43 87,03 87,55 1.084,47Other Loan 32,94 10,76 3,23 57,55 104,46JumlahJumlahJumlahJumlahJumlah 6.612,086.612,086.612,086.612,086.612,08 3.106,943.106,943.106,943.106,943.106,94 2.232,862.232,862.232,862.232,862.232,86 3.428,583.428,583.428,583.428,583.428,58 15.380,4615.380,4615.380,4615.380,4615.380,46

LOAN_TYPE Tw I-09 Tw II-09 Tw III-09 Tw IV-09 USD Juta

Loan Agreement 271,47 555,55 238,14 699,22 1.764,38Securities 54,60 66,11 49,06 62,66 232,44JumlahJumlahJumlahJumlahJumlah 326,07326,07326,07326,07326,07 621,67621,67621,67621,67621,67 287,21287,21287,21287,21287,21 761,88761,88761,88761,88761,88 1.996,821.996,821.996,821.996,821.996,82Grand TotalGrand TotalGrand TotalGrand TotalGrand Total 6.938,146.938,146.938,146.938,146.938,14 3.728,613.728,613.728,613.728,613.728,61 2.520,062.520,062.520,062.520,062.520,06 4.190,464.190,464.190,464.190,464.190,46 17.377,2817.377,2817.377,2817.377,2817.377,28

Bank 3.140,50Non Bank 14.236,70ULN Swasta* 17.377,20

BUNGA

LOAN_TYPE Tw I-09 Tw II-09 Tw III-09 Tw IV-09 USD Juta

* Tidak termasuk surat-surat berharga domestik yang dimiliki asing sebesar USD1.308 juta.

Page 63: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

53

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Bab 3Infrastruktur Keuangandan Mitigasi Risiko

Page 64: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

54

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 65: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

55

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

3.1. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN

Secara umum, peranan Sistem BI-RTGS dalam sistem

pembayaran semakin penting karena dari sisi nilai transaksi,

sekitar 93% pembayaran menggunakan sistem ini.

Namun, dari sisi volume transaksi, pembayaran dengan

menggunakan kartu (Kartu kredit, kartu debit dan kartu

ATM) lebih mendominasi, yaitu sebesar 97% dari total

pembayaran.

Nilai transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS

mengalami peningkatan sebesar Rp3,1 ribu triliun atau

tumbuh 14,68% (yoy) mencapai nilai Rp23,9 ribu triliun

(yoy). Seiring dengan peningkatan nilai transaksi, volume

transaksi pembayaran melalui Sistem BI-RTGS bertambah

710 ribu transaksi atau tumbuh 14,9% mencapai 5,45

juta transaksi dibandingkan periode sebelumnya.

Peningkatan volume transaksi tersebut terutama karena

semakin banyaknya transaksi antar nasabah dan transaksi

pemerintah yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS.

Sementara itu, setelmen melalui SKN-BI

menunjukkan pola yang agak berbeda dengan yang

melalui BI-RTGS. Selama 2 tahun terakhir sampai dengan

akhir semester II 2008, nilai dan volume transaksi

pembayaran melalui SKN-BI mengalami tren kenaikan,

namun pada semester II 2008 cenderung menurun. Secara

lebih khusus, jika dibandingkan dengan semester II 2007,

transfer dana ritel melalui SKN-BI mengalami penurunan

Kehandalan infrastruktur keuangan selama semester II 2008 tetap terpelihara

dengan baik sehingga dapat mendukung aktivitas di sistem keuangan dan

perekonomian. Sistem pembayaran terus menunjukkan kemajuan, sementara

informasi yang disediakan oleh Biro Informasi Kredit semakin banyak

dimanfaatkan. Keberadaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang

saat ini sedang dipersiapkan undang-undangnya akan semakin memperkuat

stabilitas sistem keuangan ke depan.

Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi RisikoBab 3

Grafik 3.1Perkembangan Transaksi BI-RTGS

-

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

-

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

2004 2005 2006 2007 2008

Volume (jutaan)

Nominal (trilyun)

Page 66: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

56

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Rp105,35 triliun (14,31%) menjadi Rp631 triliun. Dari sisi

volume transaksi juga terdapat penurunan yaitu 19,35 juta

transaksi (47,96%) menjadi 21 juta transaksi.

meningkat sebesar 1,15 juta transaksi (163,75%).

Peningkatan ini karena semakin banyaknya penerbit baru

e-money, sehingga sampai dengan akhir tahun 2008 sudah

terdapat 8 penerbit e-money.

3.1.1. Risk Assessment dan Mitigasi Risiko

Dalam rangka mitigasi risiko kredit dalam sistem

pembayaran dan dalam upaya mengantisipasi dampak

krisis global yang berpotensi membahayakan kebutuhan

likuiditas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia telah

menyempurnakan ketentuan Fasilitas Likuiditas Intrahari

(FLI) dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), serta

mengeluarkan ketentuan baru mengenai Fasilitas

Pembiayaan Darurat (FPD).

Selain itu, dalam rangka mitigasi risiko setelmen

dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional, Bank

Indonesia telah menetapkan prefund sebagai salah satu

Grafik 3.2Perkembangan Transaksi SKN-BI

Volume Nilai (Rp Juta)

6

5

4

3

2

1

-1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

2007 2008

20

-

40

60

80

100

120Volume (Juta)

Nilai (Rp Triliun)

Penggunaan alat pembayaran menggunakan kartu

(APMK) juga cukup tinggi dengan jumlah transaksi melalui

kartu ATM/Debit masih mendominasi hingga mencapai

89%, sedangkan penggunaan kartu kredit hanya sebesar

11%. Dari sisi nilai transaksi, penggunaan kartu ATM/Debit

juga tetap tertinggi yaitu sebesar 95%, sedangkan kartu

kredit hanya 5%.

Transaksi electronic money (e-money) dalam

semester II 2008 mengalami pertumbuhan secara

signifikan dibandingkan dengan semester I 2008. Dari sisi

nilai transaksi, penggunaan e-money meningkat sebesar

Rp0,05 triliun (398,44%). Sementara, dari sisi volume

Grafik 3.3Perkembangan Transaksi APMK

95%

5%

Kartu Berbasis (ATM dan ATM + Debit) Kartu Kredit Kartu Berbasis (ATM dan ATM + Debit) Kartu Kredit

89%

11%

Grafik 3.4Perkembangan Transaksi E-Money

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00Volume (ribu)

Nominal (milyar)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Page 67: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

57

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

mekanisme failure to settle (FtS) sebagaimana diatur dalam

Peraturan Bank Indonesia No.7/18/PBI/2005 tentang

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI).

Mekanisme prefund merupakan kewajiban bank peserta

SKN-BI untuk penyediaan dana awal baik berupa dana

tunai (cash prefund) atau surat berharga (collateral

prefund) dalam rekening giro dan agunan di Bank

Indonesia untuk dapat mengikuti kegiatan kliring debet.

Dengan adanya kewajiban prefund ini diharapkan dapat

meminimalkan risiko terjadinya bank yang tidak memiliki

likuiditas yang cukup untuk memenuhi kewajibannya

dalam setelmen kliring debet. Kegagalan pemenuhan

prefund pada waktu yang ditetapkan dapat

mengakibatkan bank peserta tidak dapat mengikuti kliring

debet pada hari tersebut.

Dalam rangka mitigasi risiko gagal bayar dalam

penyelesaian hasil kliring transaksi pembayaran debet

antar-bank, pada akhir tahun 2008 Bank Indonesia telah

mengeluarkan kebijakan untuk menerapkan pula prinsip

no money no game untuk kliring debet.Ω Melalui penerapan

kebijakan penyempurnaan penyelesaian hasil kliring

transaksi pembayaran debet antar-bank tersebut, risiko

gagal bayar dalam penyelesaian hasil kliring debet dapat

dimitigasi, dan Bank Indonesia sebagai Penyelenggara

Kliring tidak akan menanggung risiko gagal bayar dari bank

peserta kliring debet (mitigasi credit risk yang berpotensi

dihadapi oleh Bank Indonesia). Penerapan kebijakan no

money no game dengan instrumen pre-fund tersebut akan

membuat seluruh transaksi pembayaran debet dari suatu

bank dapat dibatalkan oleh Penyelenggara Kliring apabila

pre-fund untuk meng-cover kewajiban dari hasil kliring

debet-nya tidak mencukupi.

Terkait dengan upaya mengurangi risiko dalam

penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang

(KUPU), Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan

pelaksana Surat Edaran Bank Indonesia No.10/49/DASP

tanggal 24 Desember 2008 perihal Perizinan KUPU, yang

mencabut ketentuan pelaksanaan sebelumnya (Surat

Edaran Bank Indonesia No.8/32/DASP tanggal 20

Desember 2006 perihal Pendaftaran KUPU). Dengan

berlakunya SE baru tersebut, masa transisi selama 2 tahun

yang diberikan kepada penyelenggara KUPU untuk

melakukan pendaftaran kegiatan usaha KUPU telah

berakhir dan setiap penyelenggara KUPU diwajibkan untuk

memperoleh izin dari Bank Indonesia. Dengan adanya

ketentuan baru ini diharapkan penyelenggaraan KUPU

dapat termonitor dengan lebih baik dan memiliki standar

kegiatan sesuai international best practices.

Bank Indonesia juga terus berupaya untuk

menyempurnakan ketentuan dan pengawasan APMK

guna memastikan bahwa penyelenggara APMK dapat

mengelola potensi risiko. Dalam rangka meningkatkan

keamanan dan mitigasi potensi risiko penyalahgunaan dan/

atau pemalsuan kartu kredit termasuk keamanan

perangkat Electronic Data Capture, Bank Indonesia telah

mengeluarkan kebijakan bahwa penggunaan chip pada

kartu kredit harus dilakukan selambat-lambatnya 31

Desember 2009.

Sementara itu, sebagai tindak lanjut hasil security

assessment dan progress implementasi chip kartu kredit

yang telah dilakukan pada semester I tahun 2008 dapat

diinformasikan bahwa 46 temuan atau 58% dari 80 total

temuan telah diselesaikan pada akhir semester II tahun

2008. Selanjutnya, Penerbit dan Acquirer diminta

menyampaikan laporan progres implementasi chip dan

tindak lanjut security assessment secara berkala

(triwulanan).

Sebagai upaya untuk terus memitigasi potensi risiko

dalam sistem pembayaran antar-bank di Indonesia, pada

Sistem BI-RTGS direncanakan akan dikembangkan

mekanisme Payment-Versus-Payment (PVP) Settlement. Hal

ini dimaksudkan untuk memitigasi risiko kegagalan

Page 68: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

58

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

pembayaran dalam penyelesaian transaksi perdagangan

valuta asing (valas) antar-bank di Indonesia (mitigasi FX

settlement risk). Dengan PVP settlement, pembayaran mata

uang domestik dan mata uang asing dari transaksi

perdagangan valas antar-bank di Indonesia akan dilakukan

secara bersamaan (simultaneous settlement), sehingga dua

pihak dalam perdagangan valas antar-bank tidak akan

mengalami kondisi telah melakukan serah mata uang yang

dijualnya namun belum menerima mata uang yang

dibelinya (FX settlement risk).

Mekanisme PVP settlement yang akan dikembangkan

pada Sistem BI-RTGS terutama untuk penyelesaian

perdagangan Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah (USD/

IDR). Hal ini karena perdagangan USD/IDR merupakan porsi

terbesar dalam perdagangan valas antar-bank di Indonesia.

Mekanisme PVP yang dinamai USD/IDR PVP tersebut akan

dikembangkan dengan membangun USD/IDR PVP Link yang

akan menghubungkan Sistem BI-RTGS (untuk setelmen

pembayaran IDR) dengan Sistem USD-CHATS4 di HongKong

(untuk setelmen pembayaran USD). Untuk itu, Bank

Indonesia dan Hong Kong Monetary Authority telah

menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of

Understanding) pada tanggal 24 Oktober 2008.

3.1.2. Business Continuity Plan (BCP) Sistem BI-

RTGS

Kegagalan sistem pembayaran dapat menimbulkan

gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh

karena itu, sistem pembayaran harus memiliki kinerja baik,

handal, serta termitigasi risikonya. Untuk itu, diperlukan

kesiapan sumber daya manusia dan kehandalan

infrastruktur (aplikasi, hardware dan jaringan) baik pada

penyelenggara maupun peserta dalam menghadapi

kondisi darurat.

Untuk menjaga kelangsungan sistem BI-RTGS pada

penyelenggara, Bank Indonesia melaksanakan ujicoba sistem

backup secara berkala dengan menggunakan berbagai

skenario. Sementara untuk memastikan keberfungsian

sistem backup pada peserta, Bank Indonesia memberikan

kesempatan untuk melakukan ujicoba koneksi ke

penyelenggara. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan

alternatif mekanisme penyelesaian transaksi yang dapat

digunakan oleh peserta dalam kondisi gangguan dan/atau

keadaan darurat berupa fasilitas Guest Bank (penggunaan

fasilitas hardware dan software di Bank Indonesia) dan

penggunaan instrumen Cek dan Bilyet Giro Bank Indonesia.

Dalam rangka menjaga kehandalan infrastruktur

Sistem BI-RTGS dalam kondisi gangguan atau keadaan

darurat, Bank Indonesia terus melakukan ujicoba dan

analisa untuk meminimalkan recovery time objective (RTO).

RTO adalah target waktu yang ditetapkan dalam proses

pemulihan kegiatan operasional dan sistem untuk

memastikan kesinambungan kegiatan operasional apabila

terjadi gangguan (disaster). Penetapan RTO merupakan

iterative process dan negotiation process yang dilakukan

dengan mempertimbangkan antara biaya dan risiko yang

akan ditanggung. Mengingat BI-RTGS merupakan sistem

penyelesaian transaksi nilai besar dan merupakan

systemically important payment system (SIPS), maka RTO

diupayakan seminimal mungkin. Dalam kaitan ini, upaya-

upaya peningkatan percepatan proses recovery terus

dilakukan melalui kajian teknis dan penyelenggaran uji

coba disaster recovery plan (DRP) secara berkala.

3.1.3. Upaya Pemenuhan CP-SIPS

Bank Indonesia terus berupaya untuk memenuhi

standar internasional dalam penyelenggaraan sistem

pembayaran yang bersifat sistemik seperti pemenuhan core

principle systemically important payment system (CP-SIPS)

yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlements4 CHATS singkatan dari Clearing House Automated Transfer System, yang merupakansalah satu sistem RTGS di HongKong.

Page 69: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

59

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

(BIS) untuk penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. Upaya yang

dilakukan antara lain mencakup peningkatan good

corporate governance melalui reorganisasi satuan kerja

penyelenggara Sistem BI-RTGS.

Pada akhir tahun 2008, Bank Indonesia telah

menerbitkan ketentuan internal No.10/86/Intern tanggal

23 Desember 2008 mengenai Reorganisasi Direktorat

Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP) sebagai salah

satu langkah agar penyelenggaraan sistem pembayaran

dilakukan secara efektif, dapat dipertanggungjawabkan

dan transparan. Reorganisasi DASP merupakan

perwujudan dari kewajiban penyelenggara SIPS untuk

menerapkan prinsip tata kelola yang baik antara lain

melalui adanya pemisahan tanggung jawab pelaporan

(reporting line) unit kerja yang menangani pengawasan

(payment system oversight) dengan unit kerja yang

melaksanakan operasional Sistem BI-RTGS.

Selain itu, Bank Indonesia bekerjasama dengan

beberapa peserta Sistem BI-RTGS membentuk suatu

working group sebagai bagian dari upaya meningkatkan

transparansi antara penyelenggara dan peserta dengan

melibatkan para peserta dalam pengembangan Sistem BI-

RTGS. Pendekatan ini diharapkan akan meningkatkan

efisiensi dan kehandalan sistem yang ada.

3.2. PENGEMBANGAN BIRO INFORMASI KREDIT

Pembentukan Biro Informasi Kredit (BIK), yang

diresmikan pada bulan Juni 2006, merupakan salah satu

upaya Bank Indonesia untuk memperkuat infrastruktur

sistem perbankan dan sistem keuangan di Indonesia. Hal

ini merupakan wujud pelaksanaan Arsitektur Perbankan

Indonesia (API) khususnya Pilar V yaitu penguatan

infrastruktur untuk menciptakan perbankan yang sehat,

kuat dan efisien.

Tugas utama BIK adalah menghimpun dan

menyimpan data perkreditan, mempertukarkan dan pada

akhirnya mendistribusikannya sebagai informasi debitur

dalam rangka mendukung pelaksanaan fungsi intermediasi

lembaga keuangan. Keberadaan BIK diharapkan dapat

membantu meminimalkan permasalahan asymmetric

information antara penyedia dana dan penerima dana.

Guna mendukung pencapaian tugas tersebut, BIK

mengoperasikan dan mengelola sebuah sistem dengan

nama Sistem Informasi Debitur (SID). Sistem ini telah

mengalami penyempurnaan secara berkesinambungan

dan sejak tahun 2005, telah berbasis web. Dengan

demikian pelaporan data disampaikan secara on-line dan

permintaan informasi debitur dapat dilakukan secara on-

line dan real-time. Data perkreditan sebagai input SID,

PERTUMBUHANEKONOMI

PERTUMBUHAN SEKTOR RIIL

SEKTORKEUANGAN

BA

NK

NO

NB

AN

K

INFOR-MASI

INFOR-MASI

PENGHIMUPUNAN DAN PENYEDIAAN DANA

BIRO INFORMASI KREDITMEMPERLANCAR

FUNGSIINTERMEDIASI

MEMINIMALKANGAP INFORMASI

DAN RISIKO

MASYARAKAT

MEMPERCEPATPENGAMBILAN

KEPUTUSAN

MENURUNKANBIAYA

BAD

AN

USA

HA

PERO

RAN

GA

N

SEKTORNON KEUANGAN

PERUSH.UTILITAS PUBLIK

TRANSPARANSIPEMERINTAH / REGULATOR

DISIPLIN PASAR

Grafik 3.5Peran Biro Informasi Kredit

Page 70: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

60

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

dihimpun dari semua lembaga penyedia dana yang

meliputi Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR),

Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) termasuk

Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank (PKKSB).

ke atas selama 6 bulan berturut-turut, dan PKKSB.

Sedangkan pelapor sukarela adalah BPR yang total asetnya

belum sesuai dengan persyaratan menjadi pelapor wajib,

LKNB, dan Koperasi Simpan Pinjam.

Dari angka statistik, penyelenggaraan BIK telah

menunjukan hasil yang cukup menggembirakan. Selama

2 tahun pasca beroperasi, telah terjadi peningkatan yang

cukup signifikan pada jumlah pelapor, debitur, fasilitas

kredit maupun akses terhadap informasi debitur. Namun

demikian, dapat dicatat bahwa pelapor SID dari LNKB,

khususnya Perusahaan Pembiayaan (PP) masih tergolong

minim. Hal tersebut terutama karena kepesertaannya

bersifat sukarela, serta adanya gap yang cukup besar antara

struktur data yang dimiliki LKNB dengan struktur data yang

dipersyaratkan dalam SID.

Sementara itu, dari sisi pemanfaatan output SID, rata-

rata permintaan informasi debitur selama tahun 2008

mengalami peningkatan sebesar 55% dibandingkan tahun

Grafik 3.6Kebijakan Strategis BIK

KUALITASDATA

PRODUK &LAYANAN

SISTEM &APLIKASI

KETENTUAN &PENGATURAN

PELAPOR &PENGGUNA

EDUKASIMASYARAKAT

BIK

Jumlah Pelapor (Lembaga) 486 751 777Bank Umum 130 130 127BPR 355 618 646PP 1 3 4

Jumlah Pelapor (Kantor Cabang) 3.374 3.788 4.054Bank Umum 2.548 2.788 2.790BPR 825 2.633 1.260PP 1 3 4

Jumlah Debitur (berdasarkan Debtor Identification Number) 20.359.850 28.187.986 35.900.857Bank Umum 19.535.979 26.312.078 33.070.536BPR 822.849 1.780.534 2.521.748PP 1.022 95.374 308.573

Jumlah Fasilitas Kredit (rekening)*) 21.689.062 29.479.139 57.782.495Bank Umum 20.863.200 27.640.264 53.573.464BPR 824.839 1.697.186 3.813.657PP 1.023 141.689 395.374

Jumlah Permintaan Informasi Debitur**) 782.626 1.178.957 2.050.957Bank Umum 751.769 1.147.096 1.833.158BPR 30.857 30.192 206.255PP 0 1.669 10.915

Tabel 3.1Perkembangan Data SID 2006-2008

Desember Desember Desember2006 2007 2008

Catatan:*) Desember 2006, data jumlah fasilitas kredit yang tersedia hanya untuk rekening yang aktif. Sedangkan Desember 2007 dan 2008, jumlah fasilitas

kredit mencakup rekening yang aktif dan pasif.**) Jumlah permintaan pada bulan tersebut.

Saat ini terdapat 2 jenis kepesertaan dalam SID yaitu

kepesertaan yang bersifat wajib dan sukarela. Pelapor wajib

terdiri dari Bank Umum, BPR dengan total aset Rp10 miliar

Page 71: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

61

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

2007. Share terbesar dari pemanfaatan informasi debitur

dilakukan oleh Bank Umum, sementara pemanfaatan

output SID oleh BPR masih sangat rendah.

Untuk lebih mengembangkan BIK sekaligus

mengatasi kendala-kendala yang masih ada, Bank

Indonesia menjalankan beberapa kebijakan strategis yang

mencakup aspek peningkatan kualitas data,

penyempurnaan sistem dan aplikasi, perluasan cakupan

pelapor dan pengguna, penyempurnaan ketentuan dan

pengaturan, pengembangan produk dan layanan, serta

edukasi kepada masyarakat.

3.2.1. Peningkatan Kualitas Data

Untuk meningkatkan kualitas data dan informasi

yang dihasilkan SID, upaya yang dilakukan Bank Indonesia

meliputi absensi secara periodik untuk memastikan

ketepatan waktu pelaporan, pembersihan data duplikat

dan pemberian teguran atas kesalahan pelaporan, dan

pemeriksaan terhadap pelapor untuk meningkatkan

kesadaran pelapor terhadap ketentuan yang berlaku dan

pentingnya pelaporan secara benar. Disamping itu, telah

dilakukan pula pelatihan kepada petugas pelapor untuk

meningkatkan pengetahuan serta kualitas pelaporan.

Upaya lainnya adalah peningkatan layanan help-desk SID.

3.2.2. Penyempurnaan Sistem dan Aplikasi

Penyempurnaan sistem dan aplikasi SID dilakukan

secara berkesinambungan. Kegiatan ini dimulai dengan

melakukan evaluasi terhadap existing sistem dan aplikasi,

yang dilakukan oleh internal Bank Indonesia maupun

dengan melibatkan para pelapor. Evaluasi tersebut tidak

hanya sebatas pada aplikasi SID, namun terhadap aplikasi

lainnya yang terkait. Hasil evaluasi selanjutnya

dipergunakan sebagai dasar penyempurnaan, serta

masukan dalam pembuatan kajian rencana

pengembangan BIK ke depan.

Dalam kajian rencana pengembangan BIK, telah

dirumuskan rencana pengembangan SID dalam jangka

pendek, menengah dan panjang. Pada tahap awal,

pengembangan SID akan lebih difokuskan pada

peningkatan akurasi data dan performance sistem.

Sedangkan untuk tahap selanjutnya, akan dilakukan

perubahan terhadap mekanisme penyampaian laporan

debitur agar lebih efektif dan efisien. Pelaksanaan dari

kajian ini dimulai tahun 2009 dan akan berlangsung sampai

dengan 2 tahun ke depan.

3.2.3. Perluasan Cakupan Pelapor dan Pengguna

Keandalan informasi debitur yang dihasilkan oleh BIK

ditentukan pula oleh luasnya cakupan sumber data. Masih

minimnya jumlah LKNB yang melaporkan SID saat ini

menunjukan bahwa masih terdapat potensi data yang

belum dimanfaatkan. Untuk itu, Bank Indonesia bekerja

sama dengan Departemen Keuangan (Bapepam LK) telah

berupaya mendorong keikutsertaan LKNB dalam SID

melalui penandatanganan Nota Kesepahaman pada bulan

September 2007. Sebagai tindak lanjutnya, telah disusun

rencana kegiatan sosialisasi kepada pegawai Bapepam LK,

workshop secara bertahap untuk Asosiasi Perusahaan

Pembiayaan Indonesia (APPI) dan LKNB calon pelapor SID,

serta penyusunan standard operating procedure (SOP)

untuk joint procedure pengecekan kepada LKNB pelapor

SID mulai tahun 2009.

Selain itu, mengikuti standar credit bureau

internasional, sumber data SID direncanakan akan

diperluas sehingga mencakup data pelanggan perusahaan

utilitas publik, seperti Telkom, PLN dan PDAM. Hal ini telah

tertuang dalam Paket Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK)

tahun 2008, dengan target keluaran ≈tercakupnya data

perusahaan utilitas publik pada SID∆. Terkait dengan hal

tersebut, telah dilakukan kajian terhadap

integrasi∆database dari perusahaan utilitas publik.

Page 72: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

62

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Berdasarkan kajian tersebut masih terdapat beberapa

kendala, termasuk kendala legal. Untuk itu, akan dilakukan

harmonisasi ketentuan yang terkait dengan pemberian

data dari perusahaan utilitas publik ke dalam SID.

Sementara itu, untuk meningkatkan jumlah penggunaan

informasi debitur oleh BPR telah dilakukan sosialisasi serta

pelatihan SID kepada pejabat dan petugas BPR.

3.2.4. Penyempurnaan Ketentuan

Untuk menjamin kelancaran operasional BIK, pada

tahun 2007-2008 telah dilakukan penyempurnaan

Peraturan Bank Indonesia tentang SID beserta Surat

Edaran Bank Indonesia sebagai aturan pelaksanaannya.

Secara garis besar, ketentuan SID tersebut mengatur

mengenai pihak yang dapat menjadi pelapor; kewajiban

pelapor; cakupan dan prosedur penyampaian laporan

debitur; pihak yang dapat meminta informasi debitur

beserta batasan penggunaannya; pengawasan Bank

Indonesia kepada pelapor; serta pengenaan sanksi atas

pelanggaran yang dilakukan. Dengan adanya ketentuan

ini, seluruh hak dan kewajiban dari pelapor dan debitur

dapat lebih diperjelas.

Proses penyusunan ketentuan tersebut telah

mengakomodir kebutuhan industri perkreditan melalui

keterlibatan perwakilan pelapor SID, yang terdiri dari

perwakilan Bank Pemerintah, Bank Asing, BPR dan LKNB

yang tergabung dalam Working Group SID. Kontribusi aktif

dari Working Group tersebut telah memperkaya materi

pengaturan SID serta sebagai masukan untuk penyusunan

rencana penyempurnaan aplikasi serta pengembangan BIK.

3.2.5. Pengembangan Produk dan Layanan

Pengembangan produk dan layanan BIK terus

diarahkan untuk dapat memenuhi standar credit

bureauinternasional. Produk BIK saat ini adalah informasi

debitur atau dikalangan perbankan dikenal dengan namaBI

Checking. Informasi debitur yang dihasilkan mencakup

informasi positif (yaitu informasi kredit yang tidak

mengalami kegagalan dalam penyelesaiannya) dan

informasi negatif (yaitu informasi kredit yang mengalami

kegagalan dalam penyelesaiannya) untuk seluruh

penyediaan dana mulai dari Rp1 ke atas, serta mencakup

pula informasi tentang historis pembayaran yang dilakukan

oleh debitur dalam kurun waktu 24 bulan terakhir. Dengan

demikian, informasi debitur yang dihasilkan dapat

memberikan gambaran mengenai exposure kredit, serta

performance dan kualitas kredit dari debitur yang

bersangkutan.

Produk lain yang telah dikembangkan adalah

penyediaan consumer report atau informasi debitur yang

dapat diminta oleh debitur atas nama dirinya sendiri di

Gerai Info - Bank Indonesia atau di lembaga keuangan

pelapor SID yang memberikan penyediaan dana kepada

debitur tersebut. Penyediaan consumer report ini

merupakan salah satu bentuk pelaksanaan transparansi

pelapor kepada debitur, serta sebagai sarana cross check

debitur atas pelaporan yang telah dilakukan. Lokasi layanan

penyediaan consumer report juga diperluas pada Kantor

Bank Indonesia di daerah dan counter informasi kredit yang

disediakan pada beberapa event khusus seperti Bazar

UMKM dan Festival Ekonomi Syariah.

Pada credit bureau berstandar internasional, produk

yang dihasilkan tidak hanya berupa basic report tetapi

mencakup pula value added services yang merupakan

olahan dan pengembangan data yang dihimpun dan

teknologi yang dimiliki oleh credit bureau tersebut. Value

added services ini dapat berupa credit scoring, fraud alert/

detection, pengelolaan risiko kredit, jasa konsultasi, dan

sebagainya. Dari sisi sumber data, data yang dihimpun

oleh credit bureau internasional mencakup pula data dari

perusahaan utilitas publik, koperasi dan keputusan

pengadilan. Sebagai bagian dari upaya menjadikan BIK

Page 73: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

63

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

berstandar internasional, maka penyediaan value added

services, khususnya credit scoring dan perluasan sumber

data dari perusahaan utilitas publik, merupakan target

pengembangan produk BIK berikutnya.

3.2.6. Edukasi Kepada Masyarakat

Pencapaian sistem perkreditan yang sehat dan

efisien, tidak hanya tergantung pada kesadaran dari para

penyedia dana dalam melakukan pelaporan, namun juga

memerlukan kesadaran dari masyarakat akan pentingnya

menjaga reputasi kreditnya. Dengan mengetahui bahwa

riwayat kreditnya terdata di BIK dan dapat diakses oleh

seluruh lembaga penyedia dana yang menjadi pelapor SID,

diharapkan awareness debitur untuk menjaga nama

baiknya akan meningkat.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan

kesadaran masyarakat akan keberadaan BIK, antara lain

melalui sosialisasi berupa seminar di beberapa daerah, serta

edukasi masyarakat melalui advertorial di media massa

nasional. Dampaknya adalah semakin meningkatnya

jumlah permintaan consumer report melalui Gerai Info

Bank Indonesia oleh masyarakat. Hal tersebut sesuatu yang

positif bagi pengembangan BIK ke depan, karena dengan

semakin seringnya output SID diakses oleh masyarakat,

semakin tinggi pula tuntutan untuk meningkatkan kualitas

data dan informasi debitur.

3.3. JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

Infrastruktur keuangan lainnya yang dinilai sangat

penting bagi stabilitas sistem keuangan suatu negara

adalah Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Secara

konseptual, adanya JPSK akan sangat membantu dalam

memitigasi risiko sistemik. Lazimnya dalam JPSK diatur

protokol manajemen krisis (crisis management protocol)

sebagai bagian dari mekanisme koordinasi diantara

lembaga-lembaga pada saat sektor keuangan sedang

mengalami tekanan. Secara lebih rinci, manfaat yang dapat

diperoleh dari JPSK adalah:

terdapat landasan hukum yang kuat dalam melakukan

tindakan pencegahan dan penanganan krisis;

adanya transparansi dan akuntabilitas dalam

mekanisme pengambilan keputusan dalam rangka

pencegahan dan penanganan krisis;

terdapat mekanisme koordinasi diantara lembaga

terkait dalam menghadapi gangguan yang berpotensi

mengancam stabilitas sistem keuangan nasional,

tanpa mengurangi independensi masing-masing

otoritas;

penanganan permasalahan lembaga keuangan yang

berdampak sistemik dapat dilakukan secara tuntas;

terdapat sumber pendanaan yang jelas untuk

tindakan pencegahan dan penanganan krisis dengan

memperhatikan tatacara dan mekanisme hak budget

Dewan Perwakilan Rakyat.

Sementara itu, di Indonesia, pada semester II 2008

terdapat beberapa bulan yang penuh tekanan di sektor

keuangan, antara lain ditandai dengan keringnya likuiditas

rupiah dan valas yang dibarengi dengan penurunan nilai

tukar rupiah yang cukup signifikan. Untuk itu, pada

pertengahan Oktober 2008, Pemerintah telah menerbitkan

beberapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang (PERPPU) yang salah satunya adalah mengenai

JPSK (PERPPU No.4 Tahun 2008 tanggal 15 Oktober 2008).

Berdasarkan PERPPU tersebut, JPSK merupakan suatu

mekanisme pengamanan sistem keuangan dari ancaman

krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.

Adapun tindakan pencegahan dan penanganan krisis

meliputi: (i) penanganan kesulitan likuiditas dan/atau

masalah solvabilitas bank yang berdampak sistemik, dan

(ii) penanganan kesulitan likuiditas dan/atau masalah

solvabilitas lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang

berdampak sistemik. Untuk mencapai tujuan dari JPSK,

Page 74: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

64

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang

beranggotakan Menteri Keuangan (sebagai Ketua) dan

Gubernur Bank Indonesia. KSSK berwenang menetapkan

kebijakan dan langkah-langkah dalam rangka pencegahan

dan penanganan krisis di sektor keuangan dan melakukan

koordinasi dengan berbagai otoritas dalam

pelaksanaannya.

Dalam perjalanannya PERPPU No.4 Tahun 2008

tentang JPSK tidak mendapat persetujuan DPR sehingga

harus disusun ulang dan diajukan kembali ke DPR. Pada

saat ini Rancangan Undang-undang (RUU) JPSK sudah

berhasil disusun dan telah mulai dibahas di DPR.

Adapun ruang lingkup yang diatur dalam RUU JPSK

adalah pencegahan dan penanganan krisis yang meliputi

tindakan mengatasi permasalahan likuiditas dan

permasalahan solvabilitas pada bank dan LKBB yang

berdampak sistemik. Pencegahan krisis meliputi tindakan

mengatasi permasalahan: (i) Bank yang mengalami

permasalahan likuiditas yang berdampak Sistemik; (ii) Bank

yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan

pelunasan Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) yang berdampak

sistemik; dan (iii) LKBB yang mengalami permasalahan

likuiditas dan/atau permasalahan solvabilitas yang

berdampak sistemik. Sementara itu, penanganan krisis

meliputi tindakan mengatasi permasalahan (i) beberapa

bank yang mengalami permasalahan likuiditas dan/atau

solvabilitas yang secara individu berdampak sistemik; (ii)

Bank yang secara individu dalam keadaan normal tidak

berdampak sistemik tetapi dalam kondisi krisis berdampak

sistemik dan berpotensi krisis; dan (iii) Beberapa LKBB yang

mengalami permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas

yang berdampak sistemik. Sementara itu, kerangka kerja

yang diusulkan adalah sebagaimana yang tercantum pada

Tabel 3.2

Pencegahan KrisisPencegahan KrisisPencegahan KrisisPencegahan KrisisPencegahan Krisis

Tabel 3.2Kerangka Kerja Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Tujuan/Ruang Lingkup

PengambilanKeputusan

KeputusanTool Kits/

MekanismeSumber

Pendanaan

1. Likuiditas Bank

2. Solvabilitas Bank/Bank Gagal

3. Likuiditas dan/atausolvabilitas

KSSK melakukan:a. Evaluasi masalahb. Penetapan masalahc. Penetapan langkah

penanganan masalah

1. Pemberian bantuanlikuiditas

2.a. Penyertaan ModalSementara (PMS)untuk Bank Sistemik.

2. b. Penyelesaian BankNon-sistemik

3. Pemberian pinjamanatau penyertaan modaluntuk LKBB

FPD oleh BI, dijaminPemerintah2.a. PMS oleh LPS2.b. Penutupan Bank dan

Pembayaran jaminanoleh LPS

3. Pinjaman ataupenyertaan modal olehPemerintah

Sumber pendanaanPemerintah untukpencegahan danpenanganan Krisisberasal dari APBNmelalui penerbitanSBN (Surat BerhargaNegara) atau tunai.BI dapat membeliSBN dimaksud dipasar primer.Penggunaan danaAPBN untukpencegahan danpenanganan krisisharus terlebihdahulu mendapatpersetujuan dari DPR

Penanganan KrisisPenanganan KrisisPenanganan KrisisPenanganan KrisisPenanganan Krisis

1. Likuiditas dan/atausolvabilitas Bank

2. Likuiditas dan/atausolvabilitas LKBB

KSSK melakukan:a. Evaluasi masalahb. Penetapan masalahc. Penetapan langkah

penanganan masalah

1.a. Pemberian bantuanlikuiditas

1.b. Penyertaan ModalSementara

2. Pemberian bantuanlikuiditas/PenyertaanModal Sementara

1.a. FPD oleh BI1.b. PMS oleh LPS atau

Pemerintah atauBadan Khusus

2. Pinjaman/PMS olehPemerintah atau BadanKhusus

Page 75: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

65

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Stabilitas Sistem Keuangan dan PERPPU tentang PerubahanUndang Undang Bank IndonesiaBoks 3.1

Salah satu kebijakan penting yang diambil

Pemerintah pada pertengahan Oktober 2008 adalah

penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (PERPPU) Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. PERPPU

ini penting artinya bagi stabilitas sistem keuangan

karena memberikan dasar hukum bagi Bank Indonesia

dalam memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek

(FPJP) secara lebih luas bagi bank yang memerlukan.

Perluasan akses bagi bank tersebut didasarkan atas

perubahan terhadap Pasal 11 Undang-Undang Bank

Indonesia.

Sebelum dilakukan perubahan, Pasal 11 pada

intinya mengatur bahwa Bank Indonesia dapat

memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan

prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 hari

kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan

jangka pendek bank. Pelaksanaan pemberian kredit

atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut

wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang

berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah

kredit atau pembiyaan yang diterimanya. Sedangkan

yang dimaksud dengan agunan yang berkualitas tinggi

dan mudah dicairkan meliputi surat berharga dan/atau

tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan

hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi

berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang

kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat

dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.

Perubahan yang diatur PERPPU menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan agunan berkualitas

tinggi dan mudah dicarikan, tidak saja meliputi surat

berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh

Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai

peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga

pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu

dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan

uang tunai, namun juga termasuk aset kredit

kolektibilitas lancar. Dengan demikian, obyek yang

dapat dijadikan sebagai agunan oleh bank untuk

mendapatkan FPJP menjadi lebih banyak jenisnya,

sehingga memperluas akses bagi bank untuk

menggunakan FPJP.

Dalam pencegahan maupun penanganan krisis,

diperlukan dasar hukum yang kuat serta mekanisme

kerja yang jelas untuk mendukung pengambilan

keputusan-keputusan yang penting untuk mencegah

terjadinya krisis ataupun menyelamatkan perekonomian

dari krisis. Perubahan Undang-Undang Bank Indonesia

yang dilakukan melalui PERPPU tersebut di atas

merupakan contoh langkah antisipatif Pemerintah dari

sisi dasar hukum guna menjaga stabilitas sistem

keuangan dalam menghadapi krisis global.

Page 76: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

66

Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Best Practices Analisis Dampak Sistemik terhadapSistem KeuanganBoks 3.2

Secara konseptual, dampak sistemik terhadap

sistem keuangan terjadi apabila permasalahan dari

suatu lembaga keuangan, baik secara individu maupun

bersama-sama yang karena ukuran (size) dari lembaga

keuangan tersebut dan potensi penyebaran masalah

(contagion effect) yang ditimbulkannya, menyebabkan

kegagalan pada sistem keuangan secara keseluruhan.

Berdasarkan best practices atau praktek yang

berlaku umum di dunia internasional, maka kriteria

dampak sistemik tidak ditetapkan secara eksplisit

dimuka (ex ante) dalam suatu ketentuan perundang-

undangan, dengan dua alasan pokok sebagai berikut.

Pertama, penetapan secara ex ante berpotensi

menimbulkan moral hazard. Adanya kriteria yang

eksplisit, akan mendorong lembaga keuangan untuk

melakukan pengambilan risiko yang tidak terkendali

(excessive risk taking) karena yakin akan tetap

diselamatkan oleh Pemerintah.

Kedua, penetapan dampak sistemik cenderung

bersifat situasional. Hal itu karena pemicu krisis sistemik

dapat berbeda-beda tergantung situasi, baik yang

bersifat internal lembaga keuangan, maupun yang

bersifat eksternal seperti krisis keuangan global,

serangan teroris, dan bencana alam. Oleh karena itu,

dampak sistemik sulit untuk ditetapkan diawal. Suatu

lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak

sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak

sistemik pada situasi yang lain. Dengan demikian,

penetapan dampak sistemik memerlukan professional

judgement.

Salah satu sumber referensi dalam penilaian

dampak sistemik adalah dokumen Memorandum of

Understanding on Cooperation between the Financial

Supervisory Authorities, Central Banks and Finance

Ministries of the European Union on Cross Border

Financial Stability (Annex 2 Template for Systemic

Assessment Framework). Dokumen ini antara lain

merekomendasikan bahwa penilaian dampak sistemik

perlu memperhatikan dampak kegagalan atau

permasalahan yang dihadapi lembaga keuangan

terhadap: (i) institusi keuangan lainnya secara

keseluruhan, (ii) pasar keuangan, (iii) sistem

pembayaran, dan (iv) psikologi pasar. Selain itu,

penilaian juga harus mencakup perkiraan

kemungkinan akan terganggunya sektor riil dengan

memperhatikan peranan atau kontribusi lembaga

keuangan yang bersangkutan terhadap sektor

tersebut.

Page 77: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

67

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Bab 4Prospek SistemKeuangan Indonesia

Page 78: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

68

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 79: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

69

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

4.1. PROSPEK EKONOMI DAN PERSEPSI RISIKO

Perekonomian Indonesia diperkirakan akan

mengalami perlambatan dengan pertumbuhan sekitar 4-

5% di tahun 2009 seiring dengan perlambatan ekonomi

dunia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan

mengurangi tekanan dari sisi permintaan sehingga inflasi

relatif terkendali. Hal-hal lainnya yang diperkirakan akan

turut berkontribusi terhadap penurunan inflasi adalah

penurunan harga komoditas di pasar global yang

mendorong penurunan harga komoditas domestik,

penurunan harga BBM pada awal tahun 2009,

swasembada dan surplus beras yang diperkirakan akan

terus berlanjut pada tahun 2009. Oleh karena itu, pada

kuartal II 2009 diperkirakan inflasi berada di bawah satu

digit, yaitu 8%, turun dari 11.1% pada akhir 2008. Namun,

perlambatan ekonomi dunia dan penurunan harga

komoditas di pasar global menyebabkan nilai ekspor

menurun sehingga kinerja Neraca Perdagangan 2009

diperkirakan akan mengalami penurunan.

Secara umum, prospek sistem keuangan Indonesia diperkirakan masih akan

tetap positif, meskipun tekanan karena belum pulihnya kondisi perekonomian

global dan domestik tampaknya masih akan terus menjadi tantangan. Di

perbankan, prospek positif tersebut antara lain didukung oleh permodalan

yang masih cukup tinggi. Sementara itu, koordinasi antara otoritas perbankan

dengan otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank diperkirakan

akan semakin erat dan menjadi bagian penting dari jaring pengaman sistem

keuangan yang mendukung ketahanan sektor keuangan.

Prospek Sistem Keuangan IndonesiaBab 4

PDB (% yoy) 6,3 6,4 6,4 5,2 4,5 4,3 4,4 4,7

Inflasi (% yoy) 7,6 11,0 12,0 11,1 10,2 8,0 5,8 5,8

Neraca Perdagangan (US$ miliar) 7,5 5,3 5,8 8* 6,7 7,1 6,8 7,7

Tabel 4.1Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi

2008 2009*

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4

* Prediksi dari Asia Pacific Concensus Forecast

Sementara itu, krisis keuangan global yang berimbas

pada sektor keuangan domestik telah semakin

meningkatkan persepsi risiko tentang Indonesia. Hal itu

tercermin pada yield spread yang cenderung meningkat.

Tingginya persepsi risiko tersebut berpotensi menghambat

aliran investasi masuk, apalagi di negara asalnya para

investor umumnya sedang kesulitan likuiditas karena krisis

global. Bagi perbankan, tingginya persepsi risiko akan

membuat penyaluran kredit menjadi semakin selektif.

Aliran investasi masuk yang rendah cenderung

menekan pertumbuhan ekonomi sehingga sektor riil, baik

Page 80: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

70

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

korporasi maupun rumah tangga (household), dapat

terganggu kinerjanya. Pada gilirannya hal ini dapat

mendorong peningkatan risiko kredit di perbankan.

Disamping itu, rendahnya aliran investasi yang masuk juga

berpotensi menimbulkan tekanan pada nilai tukar.

Akibatnya, bank-bank yang mengalami posisi short dalam

valas berpotensi mengalami kerugian karena risiko nilai

tukar. Hal-hal ini perlu diwaspadai agar stabilitas sistem

perbankan dan sistem keuangan tetap terjaga.

16,2%. Berdasarkan hasil stress test, permodalan tersebut

masih mampu menyerap berbagai jenis risiko, seperti risiko

pasar (mencakup risiko suku bunga, risiko nilai tukar, dan

risiko penurunan harga SUN), risiko likuiditas dan risiko

kredit, termasuk pula risiko yang berasal dari kerugian

karena structured products.

Risiko pasar berada pada level moderat meskipun

pada paruh kedua tahun 2008 sempat mengalami

peningkatan yang signifikan terutama karena penurunan

harga SUN dan nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi,

disamping karena trend kenaikan suku bunga pada waktu

itu. Namun menjelang akhir 2008, risiko penurunan harga

SUN berkurang dengan terbitnya Surat Edaran Bank

Indonesia yang membolehkan bank untuk menangguhkan

kewajiban marking to market. Sementara, risiko nilai tukar

cukup terkendali mengingat Posisi Devisa Netto (PDN) yang

dipegang industri perbankan tergolong rendah (sekitar

6,2%) dan kebanyakan bank memiliki posisi long dalam

valas. Selanjutnya, risiko suku bunga juga berkurang

sejalan dengan penurunan BI rate yang dilakukan

berulang-ulang sejak bulan Desember 2008 hingga

menjadi sebesar 8,25% pada bulan Februari 2009.

Namun demikian, ke depan perbankan tampaknya

masih tetap memiliki potensi risiko pasar yang cukup besar

mengingat gejolak krisis keuangan global masih belum

sepenuhnya mereda. Di samping itu, sejalan dengan

pelemahan nilai tukar rupiah, beberapa bank diketahui

memiliki potensi kerugian yang terkait dengan structured

products. Meskipun berdasarkan hasil stress test potensi

kerugian tersebut masih dapat diserap oleh permodalan

bank. Ke depan perbankan tampaknya perlu lebih

meningkatkan kehati-hatian terhadap produk serupa dan

transaksi derivatif pada umumnya, termasuk offshore

products.

Risiko likuiditas pada awal semester II 2008, terutama

pada bulan Agustus, cenderung meningkat sejalan dengan

Indo 49 Ba3 (Moody's) 11,70 997,47 1015,41

Indo 48 Ba3 (Moody's) 11,86 932,46 965,17

Indo 45 Ba3 (Moody's) 11,95 918,30 925,92

Tabel 4.2Persepsi Risiko Indonesia

Obligasi Rating Ytm (%)Yield Spread (bp)

September Desember2008 2008

4.2. PROFIL RISIKO PERBANKAN: TINGKAT DAN

ARAH

Tantangan terhadap stabilitas sistem keuangan yang

dialami pada semester I 2008 terus berlanjut pada semester

II 2008 dan bahkan semakin besar. Seperti telah diuraikan

dalam bab-bab sebelumnya, gejolak pasar keuangan global

dan perlambatan ekonomi dunia yang berimbas pada

kondisi pasar keuangan dan perekonomian domestik telah

menimbulkan tekanan pada sektor keuangan Indonesia.

Hal tersebut antara lain ditandai dengan merosotnya Indeks

Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia dan

menurunnya harga Surat Utang Negara (SUN). Namun

demikian, secara keseluruhan kondisi sektor keuangan

tetap terkendali.

Sementara itu, perbankan yang merupakan industri

yang paling dominan dalam sektor keuangan domestik,

secara umum masih memiliki ketahanan yang relatif baik

yang tercermin dari CAR yang masih cukup tinggi di level

Page 81: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

71

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

berkurangnya ekses likuiditas perbankan akibat

pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang masih tetap

lambat sementara kredit yang disalurkan cenderung sangat

ekspansif. Pada saat itu, terimbas krisis keuangan global,

kondisi pasar uang antar bank (PUAB) cenderung ketat

dan terjadi segmentasi yang membatasi akses bank-bank

khususnya dari kelompok menengah dan kecil untuk

masuk ke PUAB. Namun, dengan pelonggaran ketentuan

GWM yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan

peningkatan jumlah simpanan yang dijamin LPS, kondisi

likuiditas industri perbankan terus membaik. Bahkan sejak

November 2008 sejalan dengan peningkatan DPK dan

berkurangnya penyaluran kredit, penanaman bank dalam

alat likuid seperti SBI kembali mengalami peningkatan yang

signifikan. Ke depan, walaupun risiko likuiditas

diperkirakan akan relatif stabil, tetap perlu diwaspadai

potensi tekanan yang berasal dari belum pulihnya kondisi

likuiditas global serta masih adanya segmentasi di PUAB.

Sementara itu, risiko kredit perbankan relatif stabil

pada tingkat moderat dengan rasio kredit bermasalah (NPL)

yang terus menurun. Namun, ke depan perlu diwaspadai

potensi kenaikan risiko kredit karena proyeksi akan

memburuknya kondisi ekonomi. Sebagaimana

dikemukakan pada Bab 1, potensi peningkatan risiko kredit

ke depan juga tercermin pada hasil estimasi Probability of

Default (PD) menggunakan data keuangan dari

perusahaan non-financial go public yang listed di Bursa

Efek Indonesia. Selain itu, potensi kenaikan risiko kredit

juga dapat berasal dari debitur yang mengalami kerugian

karena pelemahan nilai tukar rupiah yang kemudian

mempengaruhi kemampuan mereka dalam menyelesaikan

semua jenis kewajiban kepada perbankan.

Risiko lain yang juga cukup penting diperhatikan

adalah risiko operasional. Secara umum masih banyak

tantangan yang harus dihadapi perbankan terkait dengan

risiko operasional ini, terutama yang berkaitan dengan

kapasitas dan integritas sumber daya manusia untuk

meminimalisir human error maupun kemungkinan fraud,

serta infrastruktur pendukung seperti teknologi informasi

yang memadai dan good governance. Sementara itu,

tekanan yang berasal dari krisis global juga perlu

diperhitungkan dampaknya terhadap kemampuan

perbankan dalam melakukan penilaian terhadap risiko

operasional. Untuk meningkatkan kesiapan perbankan di

tengah krisis global tersebut, rencana implementasi Basel

II yang ditandai dengan kewajiban membentuk capital

charges untuk risiko operasional yang rencananya dimulai

pada tahun 2009 ditunda sampai dengan 2010.

Grafik 4.1Profil Risiko Perbankan dan Arah ke Depan

Risk Control System (RCS)

Sem II-2008

Outlook

Sem II-2008

Outlook

Sem II-2008

Outlook

High

Mod

erat

eLo

w

Risiko Likuiditas Risiko KreditRisiko Pasar

StrongAcceptableWeak StrongAcceptableWeak StrongAcceptableWeak

Inhe

rent

Risk

SukuBunga

NilaiTukar

HargaSUN

Page 82: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

72

Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Penundaan tersebut diharapkan tetap membuat

perbankan memperhatikan aspek-aspek yang terkait

dengan risiko operasional, termasuk memperkuat

pelaksanaan fungsi pengendalian intern pada masing-

masing bank.

4.3. PROSPEK SISTEM KEUANGAN INDONESIA

Prospek sistem keuangan Indonesia ke depan

diperkirakan masih tetap positif di tengah-tengah

perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik.

Beberapa hal yang mendasari perkiraan ini sebagai berikut.

Pertama, gejolak keuangan yang terjadi akhir-akhir ini

terjadi lebih banyak karena faktor eksternal, sementara

perbankan domestik relatif tidak memiliki masalah seberat

perbankan di luar negeri. Hal ini sangat berbeda

dibandingkan dengan situasi krisis 1997/1998 yang lebih

banyak dipicu oleh berbagai kelemahan pada perbankan

dalam negeri seperti tingginya NPL serta pelanggaran Batas

Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Posisi Devisa

Netto (PDN). Dengan demikian, diperkirakan dampak dari

krisis global terhadap sektor keuangan dalam negeri akan

sangat terbatas.

Kedua, dewasa ini perbankan lebih siap menghadapi

krisis dibandingkan kondisi tahun 1997/1998. Kesiapan

itu antara lain tercermin pada membaiknya pelaksanaan

manajemen risiko dan good governance di perbankan.

Dibandingkan satu dawarsa yang lalu, sekarang ini tidak

mudah untuk menjadi pengurus dan pemegang saham

pengendali bank karena harus lulus Fit and Proper Test.

Dengan governance perbankan yang semakin baik,

perbankan semakin tahan terhadap gejolak keuangan.

Ketiga, otoritas pengawasan bank juga semakin siap

menghadapi krisis dibandingkan kondisi tahun 1997/1998.

Saat itu, pengawasan bank masih berorientasi pada

compliance-based, tidak risk-based seperti yang sekarang

ini dijalankan. Para pengawas bank dewasa ini diharuskan

mengikuti program sertifikasi dan diberi kesempatan yang

lebih luas untuk mengikuti training dalam rangka capacity

building. Ke depan, untuk meningkatkan kualitas

pengawasan, hasil pengawasan dan pemeriksaan juga

akan dibahas dengan panel ahli (expert panel).

Prospek positif stabilitas keuangan juga diperkuat

oleh telah semakin dipercayanya Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS) oleh masyarakat luas. Keberadaan LPS juga

sudah semakin teruji dengan penutupan sejumlah Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) bermasalah serta pengambilalihan

1 bank umum yang dinilai berdampak sistemik pada bulan

November 2008. Dalam kenyataannya penutupan BPR

maupun pengambilalihan bank umum tersebut sama sekali

tidak menimbulkan gejolak di perbankan. Ke depan, upaya

memperkuat infrastruktur keuangan tersebut akan

semakin mantap apabila rancangan Undang-undang

tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) dapat

disetujui DPR.

Secara keseluruhan, prospek positif stabilitas

keuangan tercermin pada Indeks Stabilitas Keuangan

(Financial Stability Index - FSI) yang setelah meningkat tajam

selama semester II 2008, kemudian mulai menunjukkan

penurunan sejak beberapa bulan terakhir. Sebagaimana

dikemukakan pada Bab 2, ke depan pada akhir Juni 2009,

FSI diperkirakan mencapai sekitar 1,77-2,13, dengan

skenario moderat sebesar 1,95 atau relatif lebih rendah

dibandingkan posisi akhir Desember 2008 sebesar 2,10.

Perkiraan FSI yang relatif akan lebih rendah tersebut

memberikan harapan bahwa ketahanan sektor keuangan

ke depan masih akan tetap terjaga.

Page 83: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

73

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Ar t ike l

Page 84: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

74

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 85: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

75

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Artikel I

Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Wimboh Santoso1, Bagus Santoso2, Ita Rulina3, Elis Deriantino4

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat contagion risk pada pasar modal Indonesia.

Pendekatan yang dipakai adalah Multivariate GARCH/ Dynamic Conditional Correlations (DCC) dan Markov Regime

Switching. Adapun data yang digunakan dalam studi ini adalah data harian indeks saham dari 15 negara yaitu

Indonesia, Australia, Amerika Serikat (Dow Jones dan Nasdaq), Inggris, Jerman, Jepang, Korea, Hong Kong,

Cina, Taiwan, India, Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia, data T-Bill 3 bulan, nilai tukar Rp/USD, suku

bunga PUAB dan harga minyak dunia, dengan periode 2 Januari 1995 sampai 13 November 2008. Dengan

menggunakan Indonesia sebagai titik referensi, data harian ini dibagi menjadi 4 periode. Hasil estimasi

menunjukkan bahwa terdapat contagion antara Indonesia dengan negara-negara lainnya dalam penelitian ini

dan Indonesia lebih merupakan shock absorber dan bukan merupakan shock transmitter, terutama untuk negara-

negara maju (Jepang, Australia, Jerman, Inggris, dan AS).

Key words: Financial Aspect of Economic Integration, International Financial Market, Time Series Model

JEL classification: F36, G15, C22

1 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; alamat email: [email protected]

2 Peneliti, Universitas Gadjah Mada, email: [email protected] Peneliti Senior Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan

Perbankan, Bank Indonesia, email: [email protected] Peneliti Yunior Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan

Perbankan, Bank Indonesia, email: [email protected]

LATAR BELAKANG

Globalisasi keuangan yang menyebabkan

terintegrasinya sektor keuangan suatu negara terhadap

pasar keuangan global, membuat negara-negara tersebut

mengalami eksposur risiko contagion, yaitu krisis yang

terjadi di suatu negara dapat menyebar ke negara lain.

Devaluasi nilai tukar, default terhadap sovereign obligation

di suatu negara akan berdampak pada negara lainnya.

Sebagai contoh, krisis 1997 yang berawal di Thailand akibat

devaluasi baht yang diikuti kebijakan pengambangan nilai

tukar baht, dengan cepat menyebar ke Indonesia, Malaysia,

Korea, Filipina, menyebabkan rata-rata nilai tukar negara-

negara tersebut terdepresiasi sekitar 75%. Pada 1998,

bangkrutnya pasar obligasi domestik Rusia dan jatuhnya

LTCM berimbas pada Hongkong, Brazil dan Mexico dan

emerging market lainnya. Yang terakhir adalah krisis

subprime mortgage 2007 di AS yang berdampak terutama

pada pasar saham di negara-negara Eropa dan mulai

menyebar ke negara-negara lain di dunia.

Page 86: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

76

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Dimana

rt = (r1,t, r2,t,..., rn,t), ai = (a1,i, a2,i,..., an,i), et = (e1,t, e2,t,...,

en,t), dan et l Σt-1 ~ N(0, Ht)

rt adalah return index saham masing-masing negara

dengan n=16 (Indonesia, Singapura, Thailand,

Malaysia, Filipina, India, Hongkong, Taiwan, Korea,

Jepang, Cina, UK, Jerman, Australia, Dow Jones, dan

Nasdaq).

Tbill3m adalah Treasury bill √ 3 bulan Amerika Serikat.

Multivariate conditional variance dirumuskan sebagai

berikut.

H t = D t R t D t

Dt merupakan matriks diagonal nxn yang elemennya

merupakan time varying standard deviation dari

model univariat dengan diagonal ke-i dan Rt matriks

time varying correlation nxn.

Dalam model DCC, matriks time varying covariance

dituliskan sebagai berikut.

Qt = (1-a-β)Q = aut-1u»t-1 + βQt-1

Qt=(qij,t) matriks time varying covariance dari ut

berukuran nxn, Q = E[ut ut»] matriks unconditional

variance ut berukuran nxn, dan a, β skalar nonnegatif.

Matriks korelasi kemudian dapat dirumuskan dengan:

Rt = (diag(Qt ))1/2 Qt (diag(Qt ))

1/2

dimana (diag(Qt ))1/2 = diag(1/ q1,t,...1/ qn,t).

Model DCC tersebut kemudian diestimasi dengan

menggunakan fungsi log likelihood sebagai berikut:

2. Markov Regime Switching

Namun, metode Multivariate GARCH tersebut

memiliki kelemahan dalam mendeteksi contagion.

Salah satunya dikemukakan oleh Bekaert et al. (2005)

yang menyatakan bahwa model GARCH tidak dapat

menangkap adanya volatilitas yang tidak simetris dan

hal ini dapat mempengaruhi korelasi yang diestimasi

Kondisi Indonesia saat ini ditandai dengan semakin

derasnya aliran hot money. Kondisi ekonomi AS yang

berada diambang resesi sehingga memaksa The Fed

menurunkan suku bunganya membuat spread suku bunga

antar kedua negara semakin lebar, aset-aset Indonesia

menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan

AS, sehingga semakin mendorong kuatnya aliran hot

money.

Sentimen global negatif berpotensi mendorong

terjadinya sudden reversal dalam jumlah yang signifikan

yang akan memberikan tekanan ke bawah pada harga

aset-aset Indonesia sehingga menurunkan return aset

tersebut. Hal ini akan menimbulkan kepanikan bagi

investor dalam negeri sehingga ikut melepas saham yang

dimilikinya mengikuti investor asing. Akibatnya kejatuhan

harga aset yang terjadi semakin dalam. Hal ini juga akan

membawa implikasi lain seperti pelemahan nilai tukar

rupiah. Oleh karena itu deteksi contagion perlu dilakukan

termasuk identifikasi asal contagion tersebut. Adapun

tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah

terdapat contagion risk pada pasar modal Indonesia

sebagaimana digambarkan pada analytical framework

berikut:

METODOLOGI PENELITIAN

Untuk menguji apakah terdapat contagion pada

pasar modal Indonesia, penelitian ini menggunakan

beberapa metode yaitu:

1. Multivariate GARCH/ Dynamic Conditional

Correlations (DCC)

Model GARCH multivariate yang dikemukakan oleh

Engle (2002) dapat digunakan untuk mengestimasi

dynamic conditional correlation (DCC). Penelitian ini

menggunakan model multivariate GARCH (1,1)

dengan persamaan mean konstanta AR(1) dan tbill3m

sebagai world common factor:

rt = a0 + ai rt-1 + a2 tbill3m + et

lt (Σ,f ) = - (nlog(2p) + log l Dt l2 + e»tDt

2et) +12Σ»

- 12Σ»t-1

t-1(log l Rt l

+ u»tRt ut - u»tut)-1

Page 87: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

77

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

selama periode krisis. Oleh karena itu digunakan

metode regime-switching untuk melakukan deteksi

contagion.

Markov-switching merupakan metode untuk

menangkap adanya perubahan sifat stokhastik data

time series dengan memodelkan data dalam beberapa

persamaan. Keunggulan metode switching regime

dibandingkan dengan model GARCH dalam

melakukan estimasi adalah kemampuannya dalam

mengestimasi data yang memiliki nilai ekstrim yang

merupakan indikasi adanya peristiwa yang ekstrim.

Metode ini mampu memberikan periode krisis yang

secara endogen didefinisikan dalam sistem

persamaan. Oleh karena itu, metode switching regime

ini dianggap mampu menyelesaikan masalah generasi

pertama pengujian contagion yang mensyaratkan

bahwa periode krisis dan tranquil didefinisikan

terlebih dahulu sebelum pengujian dilakukan.

Misalkan return saham dalam suatu pasar memiliki

dua keadaan atau state, yaitu tranquil state (St=1)

dan volatile state (St=2), untuk menggambarkan

perpindahan dari St=1 ke St=2 digunakan prinsip

rantai Markov yaitu :

Pr (St = j l St-1 = i, St-2 = k,..., yt-1, yt-2,...) = Pr (St = j l

St-1 = i ) = pij

Dengan first order Markov-switching, probabilitas

transisi (transition probabilities) dapat diformulasikan

sebagai berikut.

dimana p11+p12=p21+p22=1 dan

Dalam keadaan St tidak dapat diamati secara

langsung, diperlukan informasi mengenai sifat

stokastik St. Estimasi parameter dilakukan dengan

menggunakan metode maximum likelihood.

DATA

Data yang digunakan dalam studi ini adalah data

harian (berdasarkan 5 hari kerja) indeks saham dari 15

negara: Indonesia, Australia, Amerika Serikat (Dow Jones

dan Nasdaq), Inggris, Jerman, Jepang, Korea, Hong Kong,

Cina, Taiwan, India, Filipina, Thailand, Singapura, dan

Malaysia, data T-Bill 3 bulan, nilai tukar Rp/USD, suku

bunga PUAB dan harga minyak dunia,

Data harian dimulai dari 2 Januari 1995 sampai 13

November 2008. Dengan menggunakan Indonesia

sebagai titik referensi, data harian ini dibagi menjadi 4

periode. Adapun periode-periode tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Periode Pertama Pertama Pertama Pertama Pertama disebut dengan periode sebelum Pra-Pra-Pra-Pra-Pra-

KrisisKrisisKrisisKrisisKrisis. Periode ini dimulai dari 2 Januari 1995 sampai

15 Juli 1997.

2. Periode Kedua Kedua Kedua Kedua Kedua disebut periode Krisis IKrisis IKrisis IKrisis IKrisis I. Periode ini

dimulai dari 16 Juli 1997 sampai 29 Desember 2000.

3. Periode Ketiga Ketiga Ketiga Ketiga Ketiga adalah periode Setelah KrisisSetelah KrisisSetelah KrisisSetelah KrisisSetelah Krisis. Periode

ini dimulai dari 1 Januari 2001 sampai 14 Agustus

2007.

4. Periode Keempat Keempat Keempat Keempat Keempat adalah periode Krisis IIKrisis IIKrisis IIKrisis IIKrisis II. Periode ini

dimulai dari 15 Agustus 2007 sampai 13 November

2008.

Salah satu permasalahan dalam studi ini adalah

menentukan break pada data harian dan bulanan. Dalam

menentukan break, Indonesia merupakan titik referensi

atau pusat hubungan dengan negara-negara amatan

dalam studi ini, kecuali penentuan break pada estimasi

Markov-Switching. Metode estimasi yang digunakan

dalam menentukan adanya break pada data harian adalah

sebagai berikut:

P =P11 P12

P21 P22

P11 - Pr [St - 1lSt -1- 1]

P12 - Pr [St - 2lSt -1- 1]

P21 - Pr [St - 1lSt -1- 2]

P22 - Pr [St - 2lSt -1- 2]

Page 88: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

78

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Penentuan Periode Kedua sebagai periode Krisis IKrisis IKrisis IKrisis IKrisis I

(16 Juli 1997-29 Desember 2000) dipilih berdasarkan krisis

di Indonesia. Break pada periode tersebut dipilih karena

return saham Indonesia menunjukkan volatilitas yang

tinggi.

Penentuan break pada Krisis II Krisis II Krisis II Krisis II Krisis II (15 Agustus 2007-13

November 2008) berdasarkan krisis global. Pada periode

itu menunjukkan bahwa indeks harga saham Dow Jones

dan Nasdaq mengalami penurunan yang signifikan.

HASIL ESTIMASI DETEKSI CONTAGION

1. Multivariate GARCH/ Dynamic Conditional

Correlations (DCC)

Grafik A1.1 menunjukkan korelasi antara Indonesia

dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Terlihat

bahwa korelasi antara Indonesia dengan Thailand lebih

rendah dibandingkan dengan korelasi dengan negara lain

di kawasan ini pada pertengahan 1997. Namun korelasi

ini kemudian meningkat secara signifikan dan mencapai

puncaknya pada saat krisis Asia 1998. Hal ini menunjukkan

bahwa pada krisis Asia, terdapat contagion antara

Indonesia dengan Thailand. Sedangkan pada periode

2007-2008, terdapat peningkatan korelasi yang cukup

signifikan antara Indonesia dengan Singapura dan

Indonesia dengan Malaysia. Hal ini mengindikasikan bahwa

terdapat contagion antara Indonesia dengan kedua negara

ini pada Periode Krisis II.

Grafik A1.2 menunjukkan korelasi antara Indonesia

dengan negara-negara di Asia (kecuali negara-negara di

kawasan Asia Tenggara). Terlihat bahwa Indonesia memiliki

korelasi yang relatif rendah untuk negara-negara dalam

grafik sampai dengan sebelum Periode Krisis II, kecuali

Hong Kong. Indonesia mengalami peningkatan korelasi

pada periode Krisis I dengan Hong Kong, yang

mengindikasikan adanya contagion antara Indonesia

dengan Hong Kong. Periode Krisis II menunjukkan

peningkatan korelasi yang cukup signifikan antara

Indonesia dengan semua negara dalam grafik, kecuali

Cina, dengan korelasi yang cukup tinggi antara Indonesia

dengan Hong Kong.

Grafik A1.1Dynamic Conditional Correlations (DCC) Indonesia

dengan Negara-Negara di Asia Tenggara

Idn-sin

Idn-thai

Idn-mly

Idn-phl

0,8

0,7

0,6

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

01995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Grafik A1.2Dynamic Conditional Correlations (DCC) Indonesia

dengan Negara-Negara di Asia (kecuali Asia Tenggara)

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

R_IND_HK

R_IND_TWN

R_IND_CHN

R_IND_INA

R_IND_JPN

R_IND_KOR

0,8

0,7

0,6

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

0

-0,1

Grafik A1.3 menggambarkan korelasi antara

Indonesia dengan negara-negara maju. Terlihat bahwa

Indonesia tidak memiliki korelasi yang tinggi dengan

negara-negara dalam grafik. Bahkan pada periode Krisis

I, Indonesia memiliki korelasi yang negatif dengan Amerika

Serikat (baik untuk Dow Jones Index maupun Nasdaq).

Namun pada periode Krisis II, korelasi antara Indonesia

dan Australia meningkat secara signifikan. Hal ini

mengindikasikan adanya contagion antara Indonesia

dengan Australia.

Untuk melihat apakah kenaikan korelasi yang

diperoleh signifikan, DCC yang diperoleh dari Model 4

dipecah menjadi empat periode, yaitu Periode Sebelum

Page 89: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

79

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Krisis, Krisis I, Setelah Krisis, dan Krisis II. Dari seri korelasi

yang diperoleh tersebut kemudian diperoleh nilai rata-rata

korelasi untuk keempat periode. Nilai korelasi yang

diperoleh ini kemudian diuji dengan menggunakan Uji

Fisher. Adanya peningkatan korelasi pada pengujian ini

mengindikasikan adanya contagion antara Indonesia

dengan negara lain. Null hypothesis dalam uji ini adalah

tidak ada perbedaan korelasi antara periode volatilitas

rendah dengan periode volatilitas tinggi (∑i = ∑h). Sedangkan

hipotesis alternatif dalam uji ini adalah korelasi pada

periode volatilitas tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan

korelasi pada periode volatilitas rendah (∑i < ∑h).

Hasil yang diperoleh berdasarkan Uji Fisher pada tabel

A1.1 menunjukkan tidak adanya peningkatan korelasi yang

signifikan pada Periode 2 antara return saham Indonesia

dengan return saham negara lain. Hal ini berarti pada

periode Krisis Asia, tidak ada contagion antara Indonesia

dengan negara-negara dalam penelitian ini.

Untuk Periode 3, hasil estimasi dengan DCC

menunjukkan adanya peningkatan korelasi yang signifikan

antara Indonesia dengan Jepang dan India pada tingkat

signifikansi 5 persen, serta antara Indonesia dengan Korea

dan Taiwan pada tingkat signifikansi 1 persen. Hal ini

berarti terdapat contagion di Indonesia yang berasal dari

negara-negara tersebut. Sedangkan untuk Periode 4,

peningkatan korelasi yang signifikan terjadi di hampir di

semua negara, kecuali korelasi antara Indonesia dengan

Filipina, Jerman, Dow Jones, dan Nasdaq.

Grafik A1.3Dynamic Conditional Correlations (DCC) Indonesia

dengan Negara-Negara Maju

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008-0,2

0,7

0,6

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

0

-0,1

R_IND_UK

R_IND_GER

R_IND_DOW

R_IND_NASDAQ

R_IND_AUS

IDN - CHN 0,02885 0,01949 0,06040 0,21785 0,18315 -0,69170 -2,77582 ***

IDN - HK 0,38930 0,36340 0,35565 0,62349 0,59024 0,85513 -4,60957 ***

IDN - JPN 0,20369 0,21825 0,27484 0,44552 -0,29805 -1,65232 ** -3,92898 ***

IDN - KOR 0,14951 0,16979 0,29427 0,47997 -0,40707 -3,33905 *** -5,36774 ***

IDN - TWN 0,13661 0,16031 0,26543 0,44685 -0,47405 -2,94255 *** -4,94937 ***

IDN - PHIL 0,35927 0,32417 0,25437 0,37696 0,77732 2,53743 -0,29511

IDN - SIN 0,42429 0,40541 0,37972 0,54769 0,44598 1,16358 -2,33810 ***

IDN - MLY 0,33618 0,26867 0,27986 0,52233 1,45414 1,36211 -3,31258 ***

IDN - THAI 0,32858 0,33702 0,30109 0,44945 -0,18549 0,66773 -2,05835 **

IDN - AUS 0,28818 0,27669 0,30222 0,55227 0,24430 -0,33648 -4,68655 ***

IDN - UK 0,17723 0,15270 0,16984 0,31572 0,49313 0,16669 -2,13033 **

IDN - GER 0,18563 0,18358 0,15692 0,26901 0,04146 0,64712 -1,26861

IDN - INA 0,17594 0,13356 0,27282 0,47507 0,84920 -2,23446 ** -4,88472 ***

IDN - DOW 0,07272 0,03421 0,05611 0,12253 0,75542 0,36499 -0,72521

IDN - NASDAQ 0,05999 0,00406 0,04681 0,11701 1,09522 0,28916 -0,82877

Tabel A1.1Deteksi Contagion dengan Dynamic Conditional Correlation (DCC)-Return Saham harian

P1 P2 P3 P4 Z-Stat P2 Z-Stat P3 Z-Stat P4

Keterangan: P1: Korelasi Periode 1 (Januari 1995 - Juli 1997)P2: Korelasi Periode 2 (Agustus 1997 - Desember 2000)P3: Korelasi Periode 3 (1 Januari 2001 - 14 Agustus 2007)P4: Korelasi Periode 4 (15 Agustus - 13 November 2008)

***: Signifikan untuk a=1%**: Signifikan untuk a=5%*: Signifikan untuk a=10%

Page 90: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

80

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

2. Markov√Switching Regime Estimation Method

Pada penelitian ini, metode switching regime

diestimasi dengan menggunakan persamaan GARCH (1,1)

dengan persamaan mean dan variansi sebagai berikut:

ridn,t = ac,St + a1,St

ridn,t-1 + a2,St idn_exe_dlog + a3,St

idn_int +

a4,St tbill3m + a5,St

oil_dlog + a6,St rm,t + eSt,t

eSt,t ~ N(0, s2

St,t)

s2St,t

= VASt + VBSt

e2St,t-1 + VCSt

s2St,t-1

Keterangan:

ridn,t: return saham Indonesia

rm,t: return saham negara lain

idn_exe_dlog: rate of depreciation nilai tukar Indonesia

idn_int: interest rate Indonesia (PUAB)

tbill3m: T-Bill 3 bulan

oil_dlog: perubahan harga minyak

e : error

s2 : variansi

St: regime 1 (non krisis) dan regime 2 (krisis)

Persamaan Markov-switching di atas,

mengasumsikan bahwa arah contagion terjadi dari negara-

negara yang diestimasi ke Indonesia. Variabel independen

dalam persamaan mean di atas diperoleh berdasarkan hasil

estimasi dengan menggunakan metode Autoregressive

Distributed Lag (ADL) untuk melihat variabel-variabel

keuangan dan ekonomi apakah yang berpengaruh

terhadap return saham Indonesia.

Dalam penelitian ini dilakukan estimasi dengan

membagi state menjadi dua regime, yaitu Regime Krisis

dan Non-Krisis berdasarkan persistensi dan unconditional

variance yang diperoleh dari conditional variance.

Persistensi yang lebih rendah antara kedua state

dikategorikan sebagai Regime 1 (non krisis), sedangkan

persistensi yang lebih tinggi dikategorikan sebagai Regime

2 (krisis). Contagion dikatakan terjadi antara Indonesia

dengan negara lain apabila terjadi peningkatan signifikan

koefisien return negara lain (a6) dari Regime 1 ke Regime

2. Tabel A1.2 memperlihatkan bahwa nilai koefisien a6

IDN - CHN regime 1 0,004 *** 0,010 -0,142 *** -0,014 *** -0,019 0,005 0,011regime 2 -0,006 *** 0,714 *** -0,696 *** 0,035 *** 0,017 0,054 * 0,152 ***

IDN - HK regime 1 0,003 *** 0,053 ** -0,068 *** -0,009 *** -0,027 ** 0,001 0,174 ***regime 2 -0,001 0,159 *** -0,518 *** 0,005 0,035 0,055 ** 0,616 ***

IDN - JPN regime 1 0,003 *** 0,002 -0,132 *** -0,010 *** 0,015 0,003 0,137 ***regime 2 -0,002 0,658 *** -0,622 *** -0,002 0,036 0,046 0,393 ***

IDN - KOR regime 1 0,003 *** -0,004 -0,120 *** 0,014 *** -0,015 -0,001 0,090 ***regime 2 -0,004 ** 0,484 *** -0,614 *** 0,026 *** 0,016 0,050 * 0,334 ***

IDN - TWN regime 1 0,003 *** 0,006 -0,128 *** -0,014 *** -0,013 0,006 0,059 ***regime 2 -0,004 ** 0,538 *** -0,640 *** 0,029 *** -0,001 0,046 0,451 ***

IDN - PHIL regime 1 0,004 *** -0,010 -0,116 *** -0,013 *** -0,020 0,003 0,119 ***regime 2 -0,005 *** 0,442 *** -0,562 *** 0,021 *** 0,033 0,021 0,549 ***

IDN - SIN regime 1 0,003 *** -0,002 -0,040 ** -0,012 *** -0,015 -0,006 0,194 ***regime 2 -0,001 0,243 *** -0,415 *** 0,008 0,007 0,045 *** 0,686 ***

IDN - MLY regime 1 0,003 *** -0,015 -0,104 *** -0,014 *** -0,018 -0,008 0,112 ***regime 2 -0,002 * 0,297 *** -0,500 *** 0,015 ** 0,020 0,051 ** 0,672 ***

IDN - THAI regime 1 0,003 *** 0,009 -0,127 *** -0,011 *** -0,019 -0,002 0,085 ***regime 2 -0,004 ** 0,357 *** -0,474 *** 0,008 0,065 * 0,047 * 0,603 ***

IDN - AUS regime 1 0,003 *** 0,009 -0,127 *** -0,011 *** -0,019 -0,002 0,085 ***regime 2 -0,004 ** 0,357 *** -0,474 *** 0,008 0,065 * 0,047 * 0,603 ***

IDN - UK regime 1 0,003 *** 0,014 -0,135 *** -0,016 *** -0,004 0,015 0,050 ***regime 2 -0,002 0,522 *** -0,608 *** 0,045 *** -0,080 ** -0,018 0,754 ***

Tabel A1.2Markov Switching Mean Equation

a0 a1 a2 a3 a4 a5 a6

Page 91: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

81

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

signifikan dan mengalami peningkatan pada Regime 2

untuk semua negara, kecuali Amerika Serikat (baik untuk

Dow Jones maupun Nasdaq).

Berdasarkan analisis dengan metode Markov-

Switching diperoleh kesimpulan bahwa contagion terjadi

antara Indonesia dengan hampir semua negara yang

diteliti, kecuali dengan Amerika Serikat (Dow Jones dan

Nasdaq).

KESIMPULAN

Tabel A1.3 merupakan rangkuman hasil estimasi

dengan menggunakan metode DCC-MG (Dynamic

IDN - GER regime 1 0,003 *** 0,014 -0,135 *** -0,016 *** -0,004 0,015 0,050 ***regime 2 -0,002 0,522 *** -0,608 *** 0,045 *** -0,080 ** -0,018 0,754 ***

IDN - INA regime 1 0,003 *** 0,004 -0,122 *** -0,015 *** -0,015 0,001 0,056 ***regime 2 -0,004 ** 0,387 *** -0,582 *** 0,029 *** 0,008 0,053 ** 0,437 ***

IDN - DOW regime 1 0,003 *** 0,000 -0,142 *** -0,012 *** -0,020 * 0,006 0,042 **regime 2 -0,004 ** 0,796 *** -0,650 *** 0,007 0,042 0,042 0,051

IDN - NASDAQ regime 1 0,003 *** 0,000 -0,141 *** -0,012 *** -0,020 0,006 0,034 ***regime 2 -0,004 ** 0,800 *** -0,651 *** 0,007 0,043 0,043 0,020

Tabel A1.2Markov Switching Mean Equation (lanjutan)

a0 a1 a2 a3 a4 a5 a6

IDN-MLY √*** √***IDN-SIN √*** √***IDN-THA √*** √***IDN-PHI √***IDN-JPN √*** √*** √***IDN-TWN √*** √*** √***IDN-HK √*** √***IDN-CHN √*** √***IDN-KOR √*** √*** √***IDN-INA √*** √*** √***IDN-AUS √*** √***IDN-GER √***IDN-UK √*** √***IDN-US(DJ)IDN-US(NQ)

Tabel A1.3Kesimpulan Hasil Pengujian Deteksi Contagion (1)

DCC/Multivariate GARCHMarkov-Regime Switching

P2 P3 P4

Keterangan: ***: Signifikan untuk α=1% (critical value: -2,32)**: Signifikan untuk α=5% (critical value: -1,64)*: Signifikan untuk α=10% (critical value: -1,28)

Tanda √ menunjukkan bahwa terdapat contagion antara kedua negara.

Conditional Correlation-Multivariate GARCH) dan Markov-

Switching. Kedua uji ini merupakan pengujian contagion

tanpa memperhitungkan negara yang menjadi awal krisis.

Markov-Switching melakukan pengujian adanya contagion

tanpa memberikan terlebih dahulu periodisasi krisis.

Metode ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi

permasalahan dalam pengujian contagion yang

mensyaratkan adanya titik krisis dan non-krisis yang

ditetapkan secara arbitrary.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat

contagion antara Indonesia dengan negara-negara lainnya

dalam penelitian ini. Contagion terutama terjadi antara

Indonesia dengan negara-negara Asia Timur, seperti

Jepang, Taiwan, dan Korea. Terdapat pula contagion antara

Indonesia dengan India. Selain itu, perilaku pasar saham

di Indonesia pun tidak jauh berbeda dengan pasar saham

India. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya

investor asing yang berinvestasi baik di India dan Indonesia.

Indonesia dan India memiliki kondisi fundamental dan

kondisi sosial yang mirip, sehingga investor menggunakan

India sebagai sinyal bagi kondisi pasar di Indonesia, dan

sebaliknya menggunakan Indonesia sebagai sinyal bagi

kondisi pasar di India. Hal ini menunjukkan adanya wake-

up call hypothesis.

Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa tidak ada

contagion antara Indonesia dan Amerika Serikat, baik

untuk estimasi dengan menggunakan indeks Dow Jones

maupun dengan indeks Nasdaq. Oleh karena itu, apabila

Page 92: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

82

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Indonesia terpengaruh krisis global yang terjadi saat ini,

yang berawal dari krisis sub-prime mortgage di Amerika

Serikat, pengaruh ini bukan merupakan pengaruh

langsung dari pasar Amerika Serikat, melainkan

merupakan pengaruh terusan dari pasar-pasar modal di

Asia yang memiliki hubungan langsung dengan pasar

modal Amerika Serikat.

Tabel A1.4 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki

hubungan contagion dengan negara-negara di kawasan

Asia, seperti Jepang, Taiwan, Korea, Hongkong, dan

India. Hubungan contagion ini merupakan hubungan

dua arah, dalam artian Indonesia mempengaruhi negara

lain dan negara lain pun memiliki pengaruh terhadap

Indonesia. Namun berdasarkan uji deteksi error, dapat

dilihat bahwa Indonesia lebih merupakan shock absorber

dan bukan merupakan shock transmitter terutama untuk

negara-negara maju (Jepang, Australia, Jerman, Inggris,

dan AS).

IDN-MLY √ ^^^ √ ^ √ ^IDN-SIN √ ^^^ √ ^IDN-THA √ ^^^ √ ^ √ ^ √ ^ √ ^IDN-PHI √ ^^^ √ ^IDN-JPN √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^^^IDN-TWN √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^IDN-HK √ ^^^ √ ^^^IDN-CHN √ ^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^IDN-KOR √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^IDN-INA √ ^^^ √ ^ √ ^^^ √ ^^^ √ ^^^IDN-AUS √ ^ √ ^IDN-GER √ ^ √ ^ √ ^^IDN-UK √ ^ √ ^IDN-US(DJ) √ ^ √ ^IDN-US-(NQ) √ ^

Tabel A1.4Kesimpulan Hasil Pengujian Deteksi Contagion (2)

NegaraData

HarianData

Bulanan

Data Harian Data Bulanan

P2 P3 P4 P2 P3*

Keterangan: P2 : Periode 2 (data harian: 16 Juli 1997 - 29 Desember 2000; data bulanan Agustus 1997-Desember 2000)P3 : Periode 3 (data harian: 1 Januari 2001 - 14 Agustus 2007; data bulanan Januari 2000-September 2008)P4 : Periode 4 (15 Agustus - 13 November 2008)^^^ : Hubungan contagion dua arah^^ : Hubungan contagion dengan Indonesia sebagai asal shock^ : Hubungan contagion dengan negara lain sebagai asal shockTanda √ menunjukkan bahwa terdapat contagion antara kedua negaraTingkat signifikansi yang digunakan adalah 5% dan 1%

Page 93: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

83

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Agenor, Aizenman, dan Hoffmaister. 2008. ≈External

Shocks, Bank Lending Spreads, External Shocks,Bank

Lending Spreads, and Output Fluctuations∆, Review

of International Economics,16:1, 1-20.

Arestis, et al. 2005. ≈Testing for Financial Contagion

between Developed and Emerging Markets during

the 1997 East Asian Crisis∆, International Journal of

Finance and Economics, 10, 359-367.

Caporale, Cipollini, dan Spagnolo. 2005. ≈Testing for

Contagion: a Conditional Correlation Analysis∆,

Journal of Empirical Finance, 12, 476-489.

Caramazza, Ricci, dan Salgado. 2004. ≈International

Financial Contagion in Currency Crisis∆, Journal of

International Money and Finance, 23, 51-70.

Cartapanis, Dropsy, dan Mametz. 2002. ≈The Asian

Currency Crises: Vulnerability, Contagion, or

Unsustainability∆, Review∆of International Economics,

10(1), 79-91.

Castiglionesi. 2007. ≈Financial Contagion and the Role of

the Central Bank∆, Journal of Banking and Finance,

31, 81-101.

Chiang, Bang Nam Jeon, dan Huimin Li. 2007. ≈Dynamic

Correlation Analysis Of Financial Contagion: Evidence

From Asian Markets∆, Journal of International Money

and Finance, 26, 1206-1228.

Chu-Sheng Tai. 2004. ≈Contagion: Evidence from

International Banking Industry∆, Journal of

Multinational Financial Management, 14, 353-368.

Cifuentes, Ferrucci, dan Shin. 2005. ≈Liquidity Risk and

Contagion∆, Journal of the European Economic

Association, 3(2-3), 556-566.

Daftar Pustaka

Collins dan Gavron, 2004. ≈Channels of Financial Market

Contagion∆, Applied Economics, 36:21, 2461- 2469.

Collins dan Gavron. 2005. ≈Measuring Equity Market

Contagion in Multiple Financial Events∆, Applied

Financial Economics, 15:8, 531-538.

Dornbusch, Park, dan Claessens. 2000. ≈Contagion: How

It Spreads and How It Can be Stopped∆, Forthcoming

World Bank Research Observer.

Duggar dan Mitra. 2007. ≈External Linkages and

Contagion Risk in Irish Bank∆, IMF Working Paper.

Engle, G. 2000. ≈Dynamic Conditional Correlation √ A

Simple Class of Multivariate GARCH Models∆, UCSD

Economics Discussion Paper, 2000-9.

Essaadi, Jouini, dan Khallouli. 2007. ≈The Asian Crisis

Contagion: A Dynamic Correlation Approach

Analysis∆, Documents De Travail-Working Papers, 07-

25.

Forbes dan Rigobon. 2000. ≈Contagion in Latin America:

Definition, Measurement and Policy Implication∆,

NBER Working Paper Series, 7885.

Hatemi-J dan Hacker. 2005. ternative Method to Test for

Contagion with an Application to the Asian Financial

Crisis∆, Applied Financial Economics Letters, 1:6, 343-

347.

Horta, Mendes, dan Vieira. 2008. Contagion Effects of

the U.S Subprime Crisis on Developed Countries∆,

CEFAGE-UE Working Paper, 08.

Luo dan Tang. 2007. ≈Capital Openness and Financial

Crises: A Financial Contagion Model with Multiple

Equilibria∆, Journal of Economic Policy Reform, 10:4,

283-296.

Page 94: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

84

Artikel I - Dampak Contagion Risk pada Pasar Modal Indonesia

Marais dan Bates. 2006. ≈An Empirical Study to Identify

Shift Contagion during the Asian Crisis∆, International

Financial Markets Institutions and Money, 16, 468-

479.

Marongiu. 2005. ≈Towards a New Set of Leading Indicators

of Currency Crisis for Developing Countries: an

Application to Argentina∆.

Rodriguez. 2007. ≈Measuring Financial Contagion: A

Copula Approach∆, Journal of Empirical Finance,14,

401-423.

Sojli. 2007. ≈Contagion in Emerging Markets: the Russian

Crisis∆, Applied Financial Economics, 17:3, 197-213.

Sriananthakumar dan Silvapulle. 2008. ≈Multivariate

Conditional Heteroscedasticity Models with Dynamic

Correlations for Testing Contagion∆, Applied Financial

Economics, 18:4, 267-273.

Suliman. 2005. ≈Interest Rate Volatility, Exchange Rates,

and External Contagion∆, Applied Financial

Economics, 15:12, 883-894.

Van Horen, Jager, dan Klaassen. 2006. ≈Foreign Exchange

Market Contagion in the Asian Crisis: A Regression-

Based Approach∆.

Walti. 2003. ≈Contagion and Interdependence among

Central European Economies: the Impact

of≈Common External Shocks∆, HEI Working Paper,

02.

Yang dan Lim. 2004. ≈Crisis, Contagion, and East Asian

Stock Markets∆, Review of Pacific Basin Financial

Markets and Policies, 7:1, 119-151.

Yoon. 2005. ≈Correlation Coefficients, Heteroskedasticity

and Contagion of Financial Crises∆, The Manchester

School, 73:1, 92-100.

Page 95: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

85

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

Artikel II

Corporate Balance Sheet Modelling:Determinants of Indonesian Corporate Debt

Wimboh Santoso1, Viverita2, Ardiansyah3, Reska Prasetya4, Heny Sulistyaningsih5

Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi hutang perusahaan Indonesia

yang pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan pembiayaan dan investasi perusahaan tersebut. Model

yang digunakan merupakan pengembangan dari model Gibbard dan Stevens (2006) yang dikombinasikan

dengan pendekatan tradisional struktur modal trade-off theory dan pecking order theory. Penelitian ini akan

memodelkan corporate leverage dengan mengkombinasikan hutang, equity issuance serta model investasi dan

mengaplikasikan Generalized Moment of Method (GMM) dengan panel data dari 218 perusahaan yag sudah go

public. Hasil estimasi menunjukkan bahwa penentuan level hutang korporasi di Indonesia dipengaruhi oleh

default probability effect, sehingga membutuhkan penilaian yang hati-hati dalam penentuan sumber pendanaan.

Diketahui pula bahwa aktivitas Investasi, akuisisi serta ketersediaan kas akan mempengaruhi tingkat hutang

korporasi. Selanjutnya, hasil estimasi juga menggambarkan bahwa teori pecking order berkontribusi signifikan

terhadap model neraca korporasi.

Keywords : Corporate debt; balance sheet; capital structure; speed of adjustment

JEL Classification: C51;C33;N65

1 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; alamat email: [email protected]

2 Peneliti Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, e-mail address: [email protected] Peneliti Eksekutif, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan

Perbankan; alamat email: [email protected] Peneliti Yunior, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan

Perbankan; alamat email: [email protected] Peneliti Yunior, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan

Perbankan; alamat email: [email protected]

1. PENDAHULUAN

Meningkatnya volatilitas di pasar komoditas dan

pasar uang internasional serta melambatnya pertumbuhan

ekonomi dunia berimbas kepada perlambatan

pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi ini secara tidak

langsung berpotensi menurunkan kinerja keuangan sektor

korporasi. Melemahnya daya beli konsumen menyebabkan

tingkat penjualan korporasi menurun sehingga pendapatan

korporasi juga menurun. Penurunan pendapatan yang

tidak diiringi dengan penurunan biaya operasional maupun

biaya produksi menyebabkan korporasi membutuhkan

pinjaman dari pihak ketiga, baik berupa hutang kepada

perbankan atau pembiayaan non bank lainnya. Semakin

Page 96: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

86

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

mempengaruhi optimal level of debt dari suatu perusahaan

dengan menggunakan teori pecking order dan teori trade-

off.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Modigliani dan Miller (1963), korporasi

cenderung akan menjaga kapasitas cadangan hutang

dalam kondisi pasar yang sempurna. Oleh karena itu,

fasilitas pinjaman yang akan diterima perusahaan akan

berkurang seiring dengan meningkatnya pinjaman yang

telah diterima oleh perusahaan tersebut. Sementara itu,

Farrar dan Selwyn (1967) yang berpendapat sama dengan

Stiglitz (1972) menyatakan bahwa perbedaan dari pajak

personal income yang dikenakan pada penambahan modal

dan pendapatan tetap mengurangi keyakinan pada teori

yang menyatakan bahwa keuntungan pajak dari fasilitas

pinjaman akan berdampak pada penolakan penggunaan

fasilitas pinjaman sebagai modal. Di sisi lain, literatur

mengenai credit rationing menjelaskan sudut pandang

kreditur dan perbankan tentang alasan korporasi

membatasi jumlah pinjamannya. Jaffe (1971)

menggambarkan bahwa ketidakinginan seorang manajer

untuk mendapatkan pinjaman disebabkan mereka ingin

menjaga posisi dan kesejahteraan mereka. Faktor lain yang

dianggap mempengaruhi penggunaan pinjaman adalah

besarnya biaya yang dicadangkan apabila terjadi

kebangkrutan atau apabila kondisi keuangan sedang buruk

(Warner, 1976 dan Robichek dan Myers, 1966).

Menurut teori, sebuah perusahaan akan melakukan

investasi apabila mempunyai cash. Oleh karena itu,

keputusan untuk menggunakan sumber pembiayaan dari

internal maupun eksternal tidak hanya bergantung pada

waktu berinvestasi, namun juga pada ketersediaan

kesempatan investasi. Keputusan untuk tidak menerbitkan

saham dan tidak menggunakan kesempatan berinvestasi

akan berakibat pada ketidaktepatan pengalokasian dana

yang nantinya akan menurunkan nilai perusahaan tersebut

besar hutang korporasi semakin besar eksposur korporasi

terhadap sistem keuangan. Peningkatan jumlah hutang

yang diiringi penurunan pendapatan lebih lanjut berpotensi

menurunkan kemampuan membayar korporasi. Disisi lain,

penurunan pendapatan berpotensi menurunkan

kemampuan membayar korporasi terhadap kewajibannya

kepada pihak ketiga sehingga dapat menjadi sumber

instabilitas sistem keuangan.

Terdapat beberapa alasan suatu perusahaan

menerbitkan hutang sebagai sumber pembiayaan usahanya.

Menurut Jensen (1986), hutang merupakan cara yang efisien

untuk mengurangi biaya-biaya yang terkait dengan

penerbitan saham sedangkan Klaus dan Litzenberger

berpendapat bahwa hutang dapat mengoptimalkan struktur

permodalan korporasi melalui keuntungan pajak. Ross

(2008) dan Leldan & Pyle (1977) berpendapat bahwa hutang

merupakan poin yang penting dari nilai suatu perusahaan.

Raviv (1991) menemukan bahwa peningkatan leverage

sejalan dengan peningkatan hutang, non-debt tax shield,

kesempatan investasi. Sebaliknya, penurunan leverage

sejalan dengan peningkatan volatilitas, advertising

expenditure, default probability dan keunikan dari suatu

produk. Oleh karena itu, optimal debt ratio ditentukan

dengan mempertimbangkan keuntungan dan biaya yang

dikeluarkan untuk menerbitkan hutang (Frydenberg, 2004).

Sampai dengan Juni 2008, perbankan berkontribusi

memberikan pembiayaan ke perusahaan berupa kredit

modal kerja dan kredit investasi sebesar 71% dari total

kredit perbankan. Hal ini mengindikasikan bahwa eksposur

terbesar dari perbankan dan institusi keuangan lainnya

adalah korporasi Indonesia. Oleh karena itu, sangatlah

penting untuk membuat suatu model yang dapat

menentukan neraca korporasi Indonesia dengan meneliti

peran dari optimal debt dalam mengambil keputusan

pembiayaan dan investasi. Penelitian ini bertujuan untuk

membangun model neraca korporasi dengan meneliti

struktur hutang dan juga faktor-faktor yang

Page 97: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

87

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

atau dikenal dengan financing trap (Myers dan Majluf,

1984). Berdasarkan perkembangan ini, perusahaan

cenderung akan menggunakan hutang sebagai sumber

eksternal saat pemegang saham yang ada tergolong

sebagai passive investors. Dampaknya, perusahaan yang

mempunyai kelonggaran pembiayaan yang cukup besar

cenderung akan mengambil kesempatan investasi yang

ada. Jensen (1986) berpendapat bahwa sebuah

perusahaan yang lebih memilih untuk menerbitkan dan

mempergunakan hutang sebagai sumber pembiayaan

akan menguntungkan tidak hanya bagi manajer dalam

kaitannya dengan hak untuk menunda pemberian future

dividends, namun juga memberikan hak bagi pemilik

perusahaan untuk mengambil legal action saat terjadi

default. Adanya kenaikan penggunaan hutang akan

meningkatkan leverage dari suatu perusahaan maupun

agency dan bankruptcy cost.

Terdapat 2 (dua) teori yang umum digunakan untuk

menjelaskan struktur hutang korporasi yaitu teori trade

off dan teori pecking order. Teori trade off mengenai

struktur permodalan menjelaskan bahwa tingkat hutang

korporasi bisa dijelaskan dengan keseimbangan antara

biaya dan keuntungan dari penggunaan hutang sebagai

sumber pembiayaan, dengan biaya kebangkrutan sebagai

biaya hutang dan pengurangan pajak sebagai keuntungan

dari penggunaan hutang. Hal ini menjelaskan adanya trade

off antara keuntungan pajak dan biaya karena adanya

tekanan keuangan. Teori ini fokus pada keseimbangan

antara keuntungan dari hutang dan tingginya biaya

penggunaannya serta kesempatan dari tekanan keuangan.

Selain itu, teori ini juga menjelaskan keterkaitan antara

hutang dan risiko gagal bayar maupun hutang dan

kesempatan pertumbuhan.

The pecking order theory menyatakan mengenai

strategi pembiayaan jangka panjang dari perusahaan dan

penggunaan sumber internal sebagai suatu pilihan

pembiayaan. Secara umum, teori ini menjelaskan prioritas

perusahaan dalam memilih sumber internal sebagai

sumber pembiayaan daripada menggunakan hutang.

Namun, apabila sumber eksternal sangat dibutuhkan,

hutang lebih baik dibandingkan dengan equity (Myers dan

Majluf, 1984). Teori ini lebih fokus pada bagaimana cara

mengatur perusahaan agar mencapai keseimbangan

antara ekonomi dengan stabilitas keuangan. Teori ini dapat

dijelaskan sebagai berikut (1) pembiayaan dari internal

(modal yang ditahan) digunakan karena dinilai lebih aman

dibandingkan dengan hutang yang memiliki default risk,

(2) menerbitkan surat hutang sebagai sumber pembiayaan

paling aman apabila pembiayaan dari eksternal tidak dapat

dihindari lagi. Dalam teori ini pula, menerbitkan saham

sebagai sumber pembiayaan merupakan pilihan

pembiayaan yang kurang tepat mengingat nantinya tetap

akan dibutukan pembiayaan dari sumber lain. Oleh karena

itu, kondisi tersebut dapat menciptakan gap antara

corporate expenses dan free cash flow yang membutuhkan

pembiayaan dari hutang (financing gap). Berdasarkan teori

ini, perubahan dari hutang harus sama dengan financing

gap. Studi lain yang dilakukan oleh Shyam-sunder dan

Myers (1999) mempergunakan debt ratio sebagai proxy

untuk optimal level of debt dengan asumsi target level of

debt konstan.

Gibbard dan Stevens (2006) meneliti faktor-faktor

penentu hutang korporasi di UK, US, Perancis, dan Jerman.

Studi ini menjelaskan peran hutang korporasi dengan

menghitung investasi dan penerbitan equity. Dengan

menggunakan persamaan, ditemukan bahwa variabel

pecking order terutama cash flow dan akuisisi mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap corporate debt level.

Studi ini juga menemukan bahwa hutang memiliki korelasi

yang positif dengan kebutuhan pembiayaan perusahaan,

sementara level optimal hutang korporasi berkorelasi

negatif dengan market to book ratio. Selanjutnya,

procyclicality hutang merupakan efek dari procyclicality

gap pembiayaan. Temuan lain menggambarkan bahwa

Page 98: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

88

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

pertumbuhan hutang korporasi pada saat ekonomi

membaik tidak dapat dijelaskan oleh kenaikan hutang

optimal namun dijelaskan oleh gap pembiayaan.

Sementara itu, Welch (2002) menyarankan bahwa struktur

modal korporasi ditentukan dari return saham (misalnya,

nilai equity, perkiraan nilai equity saat ini dan debt equity

ratio). Oleh sebab itu, faktor penentu utama dari struktur

permodalan adalah pengaruh eksternal daripada struktur

internal. Di satu sisi, Welch (2004) menemukan bahwa

40% perubahan di struktur hutang korporasi

kemungkinan besar karena pendapatan dari saham.

Sementara itu, penerbitan hutang jangka panjang

mempengaruhi 30% dari perubahan debt level.

Fama dan French (2002) memperkenalkan two-step

regression untuk menentukan level optimal dari hutang

dengan menggabungkan Teori Trade off dan Teori pecking

order dan menemukan 4 (empat) faktor penentu yaitu (1)

profitability, (2) investment opportunity, (3) ukuran

perusahaan (dilihat dari total aset) dan (4) target dividend

payout. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya

perbedaan dan hasil yang bertolak belakang dari aplikasi

ke-2 teori tersebut. Contohnya, saat mengaplikasikan teori

trade off, ditemukan bahwa perusahaan dengan investasi

yang besar memiliki hutang yang kecil. Sebaliknya, teori

pecking order menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang negatif antara expected investment dan book

leverage. Selain itu, terdapat hubungan yang positif antara

leverage dan besarnya perusahaan maupun antara dividen

payout dengan besarnya perusahaan. Hal ini

mengindikasikan bahwa perusahaan dengan pendapatan

yang cukup besar memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap struktur permodalan.

Tsiplakov (2007) menggunakan model dinamis dari

optimal capital structure dan menemukan adanya

hubungan yang kuat antara pendapatan dari saham

perusahaan dan perubahan debt level. Penemuan ini

mendukung Welch (2004). Sementara itu, Drobetz dan

Wanzenried (2002) meneliti pengaruh dari faktor-faktor

tertentu di perusahaan dan faktor makroekonomi

terhadap speed of adjustment untuk target leverage 90

perusahaan di Swiss. Penelitian ini menemukan bahwa

makin tinggi tingkat pertumbuhan suatu perusahaan dan

makin jauh dari tingkat optimal debt akan makin cepat

mencapai target leverage. Selain itu, ditemukan juga

bahwa tangibility dan besar kecilnya perusahaan tidak

mempunyai hubungan yang positif dengan leverage.

Sebaliknya, profitability mempunyai hubungan yang

negatif terhadap leverage. Tingginya pertumbuhan

perusahaan (market to book ratio) mempunyai leverage

yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang

memiliki market to book ratio yang rendah. Historis dari

market to book value digunakan oleh Hovakimian (2003)

untuk meneliti pengaruh dari faktor ini terhadap

keputusan investasi dan pembiayaan. Hasilnya ditemukan

bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap

keputusan investasi dan pembiayaan. Hal ini menunjukkan

bahwa current market to book value terhadap hutang

gagal menggambarkan kesempatan pertumbuhan suatu

perusahaan.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggabungkan teori trade off dan

teori pecking order untuk membangun neraca korporasi

di Indonesia. Teori pecking order menyatakan bahwa

penggunaan sumber internal merupakan sumber

pembiayaan yang lebih utama dibandingkan dengan

penerbitan saham. Teori ini berpendapat bahwa penerbitan

saham akan dianggap sebagai sentimen negatif oleh

investor. Sementara itu, teori trade off mengajukan konsep

proxy tingkat optimal hutang dengan membandingkan

keuntungan marginal dengan biaya marginal dari

penggunaan hutang. Berdasarkan tujuan penelitian ini,

selanjutnya akan disusun neraca korporasi Indonesia

dengan menggunakan model penelitian empiris mengenai

Page 99: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

89

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

struktur permodalan, seperti yang pernah dilakukan oleh

Gibbard dan Stevens (2006).

Terdapat perbedaan sudut pandang dalam melihat

perubahan posisi hutang apabila didasarkan pada 2 (dua)

teori tersebut. Teori pecking order berpendapat bahwa

perubahan posisi hutang bergantung pada financing gap

yaitu gap antara pengeluaran korporasi (investasi & akuisisi)

dengan sumber pembiayaan yang berupa cash. Untuk

mengatasi keterbatasan cash, perusahaan akan

menggunakan hutang sebagai sumber utama dari

pembiayaan eksternal. Di satu sisi, teori trade off

berpendapat bahwa perubahan posisi hutang adalah

perbedaan antara tingkat optimal hutang dengan hutang

aktual. Gambar A2.1 menunjukkan kerangka konsep

model hutang dari neraca korporasi Indonesia.

(2) rata-rata rasio hutang selama periode penelitian (Sunder

dan Myers 1999); dan (3) penentuan tingkat optimum debt

dengan meregressi variabel yang mungkin mempengaruhi

target debt ratio perusahaan (Fama dan French, 1999).

Nilai yang sesuai dari hasil regresi akan menggambarkan

optimal debt dari korporasi.

Beberapa penelitian empiris telah dilakukan untuk

memodelkan struktur permodalan korporasi dengan

menggunakan beberapa model seperti debt model, equity

issuance model, dan investment model seperti yang

dijelaskan dibawah ini:

3.1. Debt Model

Model ini menjelaskan faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat hutang korporasi. Menurut teori

pecking order, variabel investasi (I) dan akuisisi (A) memiliki

hubungan yang positif dengan tingkat hutang korporasi,

sementara cash (C) mempunyai hubungan yang negatif

dengan tingkat hutang. Selain itu, tingkat optimal dari

hutang (M) diharapkan memiliki hubungan negatif dengan

tingkat aktual hutang korporasi. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Welch (2002) memberikan kesimpulan yang

berbeda, dimana market to book value of debt mempunyai

hubungan yang negatif dengan tingkat hutang korporasi.

Namun, secara statistik hubungan ini tidak signifikan. Hasil

yang ambigu ini dapat dijelaskan melalui dua pendekatan

yaitu efek pertumbuhan kesempatan (Myers, 1977) dan

efek kemungkinan untuk default (Welch, 2002) seperti

dalam persamaan dibawah ini:

Dit = α + α

1D

i,t-1 + α

2I

it + α

3I

i,t-1 + α

4A

it + α

5A

i,t-1 + α

6C

it +

α7C

i,t-1 + α

8M

it + α

9M

i,t-1 + η

1 + ε

it(2)

η1 di persamaan (2) menggambarkan efek khusus

perusahaan, yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan

dalam koefisien regresi, namun bisa diselesaikan

menggunakan teknik differencing. Namun, dengan

mendifferensialkan variabel endogen dapat menyebabkan

korelasi antara differenced of error term dan differenced

Gambar A2.1Kerangka Konsep dari Model Neraca Korporasi

DEBTEQUITYCASH

Use to financeINVESTMENTACQUISITION

Penelitian yang dilakukan Gibbard dan Stevens

(2006) menggabungkan 2 (dua) teori mengenai struktur

permodalan. Penelitian ini memberikan kemungkinan

untuk melihat siklus pergerakan dari hutang korporasi dan

menghitung seberapa jauh pergerakan hutang memicu

kebutuhan pembiayaan dan kecepatan penyesuaian dari

tingkat hutang, seperti yang digambarkan dalam

persamaan dibawah ini:

Dit = αG

it + βD

it

* + (1-β) Di,t-1

(1)

Dimana, Dit adalah hutang korporasi pada suatu waktu t;

Git = financing gap; dimana variabel utama yang digunakan

adalah arus kas, pengeluaran investasi dan akuisisi. Dit*

adalah optimal debt (dinyatakan oleh teori trade off) dan

bisa ditentukan dari salah satu model berikut ini: (1) market

to book value (Gibbard dan Stevens 2006, Welch 2002);

Page 100: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

90

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

lag of endogenous term. Masalah ini bisa diatasi dengan

menggunakan lebih dari satu lag untuk tingkat variabel.

Misalnya, Arellano dan Bond (1991) menggunakan

Generalized Methods of Moment (GMM) yang akan

menghasilkan estimasi yang efisien.

3.2. Equity Issuance Model

Persamaan (3) menggambarkan model dari

penerbitan equity yang dipengaruhi oleh financing gap

maupun tingkat optimal hutang korporasi, berdasarkan

model empiris yang dibangun oleh Benito dan Young

(2002). Model ini mendukung debt model dalam

persamaan (2) dan digunakan untuk menentukan tingkat

hutang korporasi Indonesia. Model ini mengharapkan

pengeluaran modal (A & I) memiliki hubungan yang positif

dengan kenaikan jumlah saham yang diterbitkan,

sementara cash (C) diharapkan memiliki hubungan yang

negatif. Tingkat hutang optimal memiliki hubungan yang

ambigu dengan kenaikan jumlah saham yang diterbitkan

dimana tingkat hutang optimal memiliki hubungan yang

positif atau negatif dengan jumlah saham yang diterbitkan.

Equity Issuance Model dapat ditunjukkan dalam persamaan

(3) berikut:

Eit = α + α

1D

i,t-1 + α

2I

it + α

3A

it + α

4C

it + α

5M

it + η

1 + ε

it(3)

3.3. Investment Model

Persamaan (4) memodelkan tingkat investasi dari

perusahaan. Model ini mengharapkan bahwa cash (C)

memiliki hubungan yang positif dengan nilai investasi

perusahaan. Pertama, variabel Q (variabel yang digunakan

berdasarkan bukti-bukti empiris dari Blundell, at.al.,1992)

dimasukkan di dalam persamaan. Variabel ini diharapkan

menjadi pengaruh yang positif terhadap investasi

korporasi. Model ini dapat dituliskan dalam persamaan

dibawah ini:

Iit = α + α

1D

i,t-1 + α

3I

i,t-1 + α

4A

it + α

6C

it + α

7C

i,t-1 + α

8Q

it +

α9Q

i,t-1 + η

1 + ε

it(4)

3.4. Spesifikasi Model

Berdasarkan model-model sebelumnya, model yang

disusun untuk penelitian ini terutama menggunakan model

dari Gibbard dan Stevens (2006). Penelitian Welch (2002)

memasukkan pendapatan saham (R) sebagai salah satu

variabel yang mempengaruhi tingkat hutang perusahaan

Indonesia. Penggunaan pendapatan saham bertujuan

untuk menguji inertia dari penggunaan hutang di dalam

struktur permodalan. Pendekatan perilaku ini secara tidak

langsung akan menjelaskan bahwa pendapatan saham

yang negatif akan memberikan sinyal yang negatif

sehingga akan meningkatkan tingkat hutang korporasi.

Model dapat digambarkan sebagai berikut :

Dit = α + α

1D

i,t-1 + α

2I

it + α

3I

i,t-1 + α

4A

it + α

5A

i,t-1 + α

6C

it +

α7C

i,t-1 + α

8M

it + α

9M

i,t-1 + α

10R

i,t,t-1 + η

1 + ε

it(5)

dimana, Di,t-1

adalah hutang pada waktu t-1; I adalah

investasi pada waktu t; Ait menunjukkan akuisisi pada waktu

t; Cit adalah arus kas korporasi pada waktu t; M

it adalah

target debt ratio pada waktu t; dan Ri,t,t-1

menggambarkan

pendapatan saham perusahaan pada waktu t.

3.4.1. Menentukan Tingkat Optimal Hutang

Perusahaan

Menurut Fama dan French (2002), rasio target

leverage dari perusahaan ditentukan oleh nilai tetap dari

persamaan (6). Rasio target leverage perusahaan (M)

nantinya menjadi model neraca perusahaan Indonesia.

Mt = b

0 + b

1MV

t-1 + b

2EBIT

t-1 + b

3DP

t-1 + b

4RD

t-1 +

b5 ln(A

t-1) + b

6FA

t-1 + b

7MI

t + b

8M

t-1 + e

t+1(6)

Hal ini diasumsikan bahwa perusahaan memiliki laba

sebelum pajak (EBIT) tinggi atau tingkat leverage yang

rendah. Rendahnya leverage bisa terjadi di perusahaan

yang mempunyai laba ditahan cukup besar atau saat

perusahaan membatasi leverage untuk melindungi

franchise dalam menghasilkan laba yang besar. Tingginya

leverage menggambarkan kemampuan perusahaan untuk

memenuhi pembayaran hutang diluar relatif tingginya arus

Page 101: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

91

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

kas. Selanjutnya, tingginya market to book ratio (MV)

secara umum menggambarkan pertumbuhan yang lebih

baik di masa depan. Dalam hal ini, tingginya pertumbuhan

perusahaan cenderung dapat dilindungi dengan

membatasi jumlah leverage.

Depresiasi (DP) merupakan proporsi total aset.

Perusahaan dengan tingkat depresiasi yang tinggi akan

memperoleh pengurangan interest terkait dengan

besarnya penggunaan leverage sebagai sumber

pembiayaan. Perusahaan dengan nilai aset yang tinggi

ln(At) cenderung akan menggunakan lebih banyak hutang

dibandingkan perusahaan yang memiliki aset yang kecil.

Hal ini bisa terjadi karena perusahaan cenderung lebih

transparan atau memiliki akses yang lebih mudah ke pasar

surat hutang. Perusahaan yang memiliki tangible asset (FA)

tinggi cenderung memiliki kapasitas hutang besar,

sementara perusahaan yang memiliki intangible asset

tinggi dalam bentuk R&D lebih memilih equity sebagai

sumber pembiayaan. Selanjutnya, firm»s lagged industry

media debt ratio (MI) digunakan untuk mengontrol

karakteristik industri yang tidak bisa digambarkan oleh

variabel independen lainnya.

4. ANALISIS

Penelitian ini menggunakan unbalanced panel data

dari 218 perusahaan go public yang terbagi dalam delapan

sektor yaitu konsumsi, infrastruktur, mining, property, basic

industry, agriculture, trading dan miscellaneous industry

dari tahun 2004 sampai dengan 2007. Data bersumber

dari Bloomberg dan Bursa Efek Indonesia.

Tabel A2.1 menggambarkan bahwa nilai rata-rata

hutang perusahaan Indonesia adalah lebih dari 400 kali

total aset perusahaan tersebut. Namun, standar deviasi

dari masing-masing variabel juga lebih tinggi dari rata-

ratanya. Untuk menguji faktor-faktor yang menentukan

level hutang korporasi Indonesia, digunakan estimator

generalised methods of moments mengikuti Arrelano dan

Bover (1995). Metode ini digunakan untuk mengurangi

firm specific effect dari sample perusahaan mengingat

perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari beragam

sektor industri.

Mengikuti Fama & French (2002) serta Hovakimian

et al (2003), study ini menemukan bahwa level optimal

hutang korporasi Indonesia secara negatif dan signifikan

dipengaruhi level keuntungan. Hal ini sejalan dengan

ekspektasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum

korporasi Indonesia lebih menyukai menggunakan

keuntungan (internal sources) daripada menggunakan

hutang sebagai sumber pembiayaan. Di lain pihak,

ditemukan juga bahwa besarnya perusahaan berhubungan

secara negatif dan signifikan dengan penggunaan external

source sebagai sumber pembiayaan.

Tabel A2.2 menunjukkan estimasi persamaan hutang

dari perusahaan Indonesia. Tabel tersebut menunjukkan

bahwa teori pecking order secara signifikan mampu

menjelaskan hutang korporasi. Hal ini digambarkan pula

oleh tanda dan koefisien yang signifikan dari 2 faktor

Total Asset (Trilliun IDR) 6.133,65 55.821,59Current Asset (Trilliun IDR) 872,02 1.891,74Fixed Asset (Trilliun IDR) 1.118,58 4.157,16Tangible assets (Trilliun IDR) 6.024,73 55.745,80Intangible Asset (Trilliun IDR) 90,11 558,83Total Debt (Trilliun IDR) 25.471,62 437.384,39Net Sales (Trilliun IDR) 1.935,43 5.641,06Net income (Trilliun IDR) 246,87 1.812,31Depretiation (Trilliun IDR) 644,08 3.079,11Amortization (Trilliun IDR) 46,55 473,89Capital expenditure (Trilliun IDR) 167,08 992,40EBIT 327,52 1.658,52Cash per total asset 0,33 0,34Depreciation Expense per tangible asset 0,27 0,24R & D Expense per total asset 0,05 1,11Size (Log of Total Asset) 27,14 1,85Fixed asset per total asset 0,38 0,24Debt per total asset 0,78 1,04Investment (Capex per total asset) 0,04 0,10acquisition (Acquisition per total asset) 0,03 0,08

Tabel A2.1Deskripsi Statistik Korporasi Indonesia (2004 √ 2007)

VariabelAll

Mean Standard Deviation

Page 102: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

92

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

financing gap yaitu investasi dan cash flow. Komponen

lain, akuisisi memiliki unexpected sign (negative sign) dan

tidak signifikan.

ACTA : Hasil regresi menunjukkan hubungan negatif

dengan penggunaan hutang korporasi walaupun

hasilnya tidak signifikan. Studi empiris

menunjukkan hasil koefisien yang berbeda.

Hubungan negatif antara akuisisi

mengindikasikan prioritas sumber pembiayaan

lain untuk membiayai aktivitas akuisisi.

Hasil estimasi seperti tercantum pada Tabel A2.2

menunjukkan bahwa Fitted Values of Debt (OD-1) sebagai

suatu proxy level optimal dari hutang korporasi

menunjukkan hubungan negatif dan signifikan dengan

level hutang aktual. Koefisien negatif ini mendukung efek

default probability (Myers, 1977 dan Jensen, 1986). Hal

ini mengindikasikan bahwa keputusan mengambil hutang

sebagai sumber pembiayaan merupakan hal penting dan

perlu dilakukan perusahaan secara hati-hati. Selanjutnya,

variabel stock return perusahaan sebagai proxy ekspektasi

pasar menunjukkan bahwa stock return berpengaruh

secara negatif dan signifikan terhadap level optimal

hutang. Kondisi ini menggambarkan bahwa pasar memiliki

ekspektasi tinggi dan positif terhadap kinerja perusahaan

di masa depan, karenanya korporasi perlu lebih sedikit

hutang sebagai sumber pembiayaan. Sejalan dengan

Welch (2204), stock return perusahaan mempengaruhi

variabilitas level hutang yang optimal.

5. KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan neraca

korporasi Indonesia dan menguji faktor-faktor yang

mempengaruhi level optimal hutang korporasi dengan

mengkombinasikan teori trade-off dan pecking order.

Dengan menggunakan estimator Generalised Methods of

Moment, hasil penelitian ini menangkap dinamika level

hutang korporasi yang menyesuaikan dengan level

optimalnya.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa level hutang

korporasi Indonesia ditentukan secara signifikan oleh level

KeteranganDEBT : Total debt per total assetACTA : Total Acquisition per total assetCASH : Total cash per total assetINVTA : Total Investment per total assetReturn : Tingkat pengembalian Saham per year

DEBT(-1) 0.5740 13.0137 0.0000ACTA -0.1456 -1.2976 0.1971ACTA(-1) 0.0692 0.4581 0.6478CASH 0.0574 0.6196 0.5368CASH(-1) 0.0359 0.6204 0.5362INVTA 0.1816 2.0067 0.0472INVTA(-1) 0.1186 1.3022 0.1956OD 0.0054 0.5342 0.5943OD(-1) -0.5757 -41.0524 0.0000RETURN -0.0341 -3.0392 0.0030RETURN(-1) -0.0158 -4.1306 0.0001Cross-section fixed (first differences)R-squared 0.983631P-value (Chi square) 0.00000SSE 0.07645N (Firms) 201

Tabel A2.2Determinants of Corporate Debt

DEBT EQUATION (GMM Sys)Dependent Variable :DEBT

Variable Coefficient t-Statistic Prob.

Analisis masing-masing variabel adalah sebagai

berikut:

INVTA : Koefisien dari investasi terhadap rasio penggunaan

hutang korporasi adalah positif (+) dan signifikan

pada level 5%. Hal ini mengindikasikan semakin

banyak jumlah investasi perusahaan maka

penggunaan hutang semakin meningkat. Ini

sejalan dengan dengan teori pecking-order.

CASH : Koefisien dari investasi terhadap rasio

penggunaan hutang korporasi adalah positif (+).

Kedua variabel ini sesuai dengan pecking-order

theory, dimana semakin untung perusahaan

maka penggunaan hutang semakin meningkat

(kelebihan kas digunakan untuk keperluan lain

seperti pembayaran deviden).

Page 103: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

93

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

investasi dan arus kas. Temuan juga mengindikasikan

bahwa teori pecking order berkontribusi signifikan

terhadap model neraca korporasi Indonesia. Selanjutnya,

level hutang optimal mendukung efek default probability

seperti yang dijelaskan Myers (1977) dan Jensen (1986).

Karena hasil temuan menunjukkan bahwa neraca korporasi

Indonesia secara umum dipengaruhi oleh teori pecking

order, hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas investasi

dan akuisisi akan mempengaruhi level hutang korporasi.

Berdasarkan estimasi GMM-SYS, ditemukan bahwa

hutang korporasi Indonesia menyesuaikan sedikit lebih

rendah dari level optimalnya, yaitu dengan implied

adjustment rate sebesar 0,43. Artinya bahwa perusahaan

perlu mempertimbangkan seluruh faktor yang

mempengaruhi level hutangnya dan secara hati-hati perlu

memperhatikan penyesuaian biaya karena level hutang

ditentukan oleh efek default probability.

Temuan study ini menunjukkan faktor-faktor yang

menjadi penentu hutang perusahaan sehingga perusahaan

menyesuaikan level hutangnya sedemikan rupa sampai

mencapai level optimal hutangnya. Lebih lanjut, temuan

tersebut dapat digunakan untuk memonitor hutang

perusahaan yang digunakan untuk aktivitas investasi dan

akuisisi sehingga pada akhirnya dapat digunakan untuk

mnghitung potensi risiko default. Untuk itu, kreditur dan

regulator perlu melakukan penilaian komprehensif untuk

mengurangi dampak negatif penggunaan hutang yang

berlebihan. Pada akhirnya, manajemen level hutang yang

baik yang mengarah pada level optimal hutang akan

mendorong naiknya nilai perusahaan.

Page 104: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

94

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

Arellano Manuel dan Stephen Bond (1991), ≈Some Tests

of Specification of Panel Data: Monte Carlo Evidence

dan Application to Employment Equations∆. The

Review of Economic Studies, Vol. 58, No. 2 (Apr.,

1991), pp. 277-297

Antoniou, A., Guney, Y dan Paudyal, K (2003),

≈Determinants of corporate debt ownership structure:

evidence from market-based dan bank-based

economies∆, mimeo, University of Durham Business

School.

Blundell, Richard dan Stephen Bond (1998), ≈Initial

Conditions dan Moment Restrictions in Dynamic Panel

Data Models∆. Journal of Econometrics 87, pp. 115-

143.

Davis, E. P. (1995): Banking, corporate finance dan

monetary policy: an empirical perspective, Oxford

Review of Economic Policy, 10, pp. 49-67

Deminguc-Kunt A. dan Maksimovic V. (1996): ≈Financial

constraints, uses of funds dan firm growth. An

international comparison∆, World Bank, Policy

Research Working Paper 1671.

Drobetz, Wolfgang dan Gabrielle Wanzenried (2002),

≈What determines the speed of adjustment to the

target capital structure?∆.

Fama, E dan French, K (2002), ≈Testing trade-off dan

pecking order prediction about dividends dan debt∆,

The Review of financial studies, vol. 15 (1), pp. 1-33.

Farrar, Donald dan Lee Selwyn (1967),∆Taxe, corporate

policy, dan return to investors.∆. National Tax Journal

20,pp. 444-54.

Friderichs, Hans, Bernard Paranque dan Annie Sauve»

(1999), ≈Structures of corporate finance in Germany

Daftar Pustaka

dan France:a comparative analysis for west German

dan French incorporated enterprises with special

reference to institutional factors∆.

Frydenberg,Stein (2004), ≈Theory of capital structure √ a

review∆. Sor-Trondelag University College,

Department of Business Administration, Jonsvannsun,

82,7004 Trondheim, Norway. http://www.ssrn.com/

abstract=556631.

Gibbard, P dan Stevens, I (2006), ≈Corporate debt dan

financial balance sheet adjustment: a comparison of

the United States, the United Kingdom, France dan

Germany∆, WP No. 317, Bank of Engldan.

Hovakimian, Harmen (2003), ≈Are Observed Capital

Structures Determined by Equity Market Timing?∆.

Baruch College, the City University of New York, One

Bernard Baruch Way, Box B 10-225, NY 10010.

Jaffe, D. M., 1971, Credit Rationing dan the Commercial

Loan Market, (Wiley, New York).

Jensen, M (1986). ≈Agency costs of free cash flow,

corporate finance dan takeovers∆, American

Economic Review, Vol. 76, pages 323-29.

Modigliani, F. dan M. H. Miller (1963). ≈The Cost of Capital,

Corporation Finance dan the Theory of Investment:

Corrections,∆ American Economic Review 53, 433-

443

Myers, Stewart C (1977). ≈The determinants of corporate

borrowing∆. Journal of Financial Economics, Vol. 5,

No. 2. pp. 147-175.

Myers dan Majluf, N (1984). ≈Corporate Financing dan

Investment Decision when Firms have information

that investors do not have∆. Journal of Financial

Economics, Vol.13, pp. 187-221.

Page 105: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

95

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

Robichek, A. A. dan S. C. Myers, ≈Problems in the Theory

of Optimal Capital Structure ≈Journal of Financial dan

Quantitative Analysis 1,(12).pp. 1-35.

Ross, Westerfield dan Jaffe (2008), ≈Corporate Fianance∆.

McGraw Hill InternationalEdition.

Von Thadden, E. L. (1992): The commitment of finance,

duplicated monitoring dan the investment horizon,

Working Paper, Centre for Economic Policy Research,

London

Stiglitz, J. E., 1972, ≈On Some Aspects of the Pure Theory

of Corporate Finance, Bankruptcies dan Takeovers,∆

Bell Journal of Economics 3,458-82.

Shyam-Sunder, Laksmi dan Stewart C. Myers (1999),

≈Testing static trade-off against pecking order models

of capital structure. Journal of Financial Economics

51, pp. 219-244.

Titman, Sheridan dan Sergei Tsiplakov (2007),∆A dynamic

model of optimal capital structure∆. McCombs

Research Paper Series No. FIN-03-06. SSRN: http://

ssrn.com/abstract=332042 .

Warner, J. B., 1976, ≈Bankruptcy Costs, Absolute Priority

dan the Pricing of Risky Debt Claims, Journal of

Financial Economics, 4.

Welch, Ivo (2002): Columbus» Egg: The real determinant

of capital structure, Working Paper,8782, National

Bureau of Economics Research.

Welch, Ivo (2004): Capital structure dan stock returns.

Journal of Political Economy, Vol.112, No. 1. The

University of Chicago.

Page 106: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

96

Artikel II - Corporate Balance Sheet Modelling: Determinants of Indonesian Corporate Debt

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 107: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No.12 Maret 2009

PENGARAH

Halim Alamsyah Wimboh Santoso Suhaedi

KOORDINATOR & EDITOR

Agusman

TIM PENYUSUN

Ardiansyah, Linda Maulidina, Ratih A. Sekaryuni, Anto Prabowo, Tirta Segara, Wini

Purwanti, Endang Kurnia Saputra, Ita Rulina, Boyke Wibowo Suadi, Ida Rumondang,

Azka Subhan, Pipih Dewi Purusitawati, Noviati, Rosita Dewi, Erma Kusumawati,

Darmawan Tohap B, Sagita Rachmanira, Reska Prasetya, Elis Deriantino, Hero Wonida,

Mestika Widantri, Heny Sulistyaningsih, Primitiva Febriarti, Adidoyo Prakoso

KOMPILATOR, LAYOUT & PRODUKSI

Boyke Wibowo Suadi Primitiva Febriarti

KONTRIBUTOR

Direktorat Pengawasan Bank 1

Direktorat Pengawasan Bank 2

Direktorat Pengawasan Bank 3

Direktorat Perbankan Syariah

Direktorat Kredit, BPR dan UMKM

Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan

Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan

Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter

Diserktorat Pengelolaan Moneter

Direktorat Pengelolaan Devisa

PENGOLAHAN DATA

Suharso I Made Yogi

Kajian Stabilitas KeuanganNo. 12, Maret 2009