Bahrun Makalah

download Bahrun Makalah

If you can't read please download the document

Transcript of Bahrun Makalah

DARI TAWHID KE TASAWUF: TRADISI KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA (Oleh: Drs. A. Bachrun Rifai, M.Ag.) Pendahuluan Nurcholis Madjid pernah menuliskan bahwa ada kesenjangan intelektual antara tradisi pemikiran dalam peradaban Indonesia dengan dunia Islam lainnya. Dalam buku Tradisi Islam,1 Nurcholis menulis bahwa kesenjangan itu ditandai misalnya pada kasus ketika di wilayah Timur Tengah pada abad ke-12 M muncul satu polemik filsafat dengan al-Ghazali sebagai tokoh utamanya, maka di Nusantara pada saat yang sama tampil tokoh Jayabaya, raja Kediri yang menulis buku Jangka Jayabaya. Kalau yang pertama mewariskan suatu rangkaian karya renungan filosofis yang amat mendalam, maka yang terakhir ini mewariskan suatu karya yang oleh kebanyakan orang di era modern ini dianggap sebagai hasil kreativitas imajinatif, jika tidak dikatakan sebagai hasil khayalan dan reka-reka belaka. Namun analisa Nurcholis ini tidak bisa menerangkan kenapa setelah Islam masuk pun, dengan segala keterlambatannya, pertumbuhan intelektual Islam Nusantara masih mandeg. Hal itu disebabkan karena tradisi menulis pemikiran di Nusantara masih minim, selain itu kuantitas para pemikir pun masih minim. Oleh sebab itu perlu ditelususri atau direkonstruksi jenis Nalar (aql) yang menjadi referensi pembangunan peradaban Islam Nusantara abad ke-17, yang secara linear dipengaruhi oleh Nalar Islam lain-nya yang menjadi sumber (yang berasal dari nalar pembawa Islam ke Nusantara) serta mempengaruhi Nalar Islam--dan perkembangan intelektualitas Islam-- Indonesia saat ini. Istilah nalar sebenarnya lebih dekat dengan matra kebudayaan, bukan dengan peradaban, namun jika tinjauan holistik dikenakan terhadap peradaban maka apa yang terdapat di dalam kebudayaan memiliki kait kelindan yang erat. Misalnya, jika kebudayaan (culture) dimaknai sebagai satuan budaya (kreasi manusia dalam hal cara ber-ada di dunia) yang dihasilkan suatu kaum dan peradaban (civilization) sebagai hasil konkret yang dihasilkan dari kreasi, maka membicarakan peradaban tidak bisa lepas dari kebudayaan. Samuel P. Huntington, menuliskan keterkaitan ini sebagai berikut: Peradaban dan kebudayaan sama-sama menunjuk pada seluruh pandangan hidup manusia, dan suatu peradaban adalah bentuk yang lebih luas dari kebudayaan. Keduanya mencakup nilai-nilai,normanorma, institusi-institusi, dan pola-pola pikir yang menjadi bagian1 Nurcholis Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1997, hal. 43-46

1

terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari satu generasi ke genarasi. Kebudayaan merupakan tema umum dalam kaitan dengan setiap rumusan peradaban.2 Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan kepada Rasulullah SAW dalam kurun waktu sekitar 23 tahun (611 634 M) di wilayah Jazirah Arab, tepatnya di Makkah dan Madinah3. Dalam misinya, Islam dinyatakan sebagai agama sempurna yang tertuang dalam Kitab Suci4. Seiring dengan itu Rasulullah pun dinyatakan sebagai Utusan yang terakhir5. Misi kerasulan Muhammad SAW adalah membawa ajaran Tawhid (diindonesiakan menjadi Tauhid) yang bermakna me-Maha Esa-kan Tuhan. Atau lebih sederhananya, meminjam istilah Cak Nur, adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa6. Paham ke-tauhid-an inilah yang menjadi misi utama ajaran Islam, baik selama masa Rasulullah masih hidup atau masa-masa sesudahnya. Konsep tauhidnya terletak pada lafadz L ilha ill Allh (Tidak ada tuhan selain Allah) yang tetap terpelihara. Rasulullah adalah satu-satunya yang memberikan teladan dalam upaya pemeliharaan ajaran tauhid ini7. Ada perbedaan signifikan antara masa Rasulullah masih hidup dengan paska wafatnya. Letak signifikansi perbedaannya adalah pada konteks menjawab berbagai persoalan yang muncul. Ketika Rasulullah masih hidup,2 Samuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2000, hal. 40. Untuk mendukung tesis ini Huntington mengutip sejumlah ilmuwan: Bagi Braudel, peradaban adalah sebuah wilayah, wilayah kultural, sekumpulan karakter dan fenomena kultura. Wallerstein menedefinisikannya sebagai seperangkat pandangan dunia, kebiasaankebiasaan struktur-struktur sosial dan kebudayaan tertentu (baik kebudayaan material maupun bentuk kebudayaan yang lebih tinggi) yang membentuk pelbagai corak kesejarahan dan menjadi ada dengan keberadaan aneka ragam fenomena-fenomena lain. Sebuah peradaban menurut Dawson, adalah produk dari suatu proses tertentu dari kreativitas budaya sebagai hasil karya dari sekelompok orang atau masayarakat tertentu, sementara bagi Durkheim dan Mauss, peradaban adalah suatu corak wilayah moral yang melingkupi sejumlah bangsa, dengan kebudayaan masing-masing yang hanya menjadi suatu bentuk tertentu dari keseluruhan. Bagi Spengler, sebuah peradaban adalah suatu kebutuhan yang niscaya dari suatu kebudayaan keadaan-keadaan yang paling kentara dan artifisial dari pelbagai corak manusia yang berkembang sebuah kesimpulan sesuatu yang sedang menjadi. 3 Muhammad Husein Haekal, Ph.D.,SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, (Jakarta, Tintamas Indonesia dan Dunia Pustaka Jaya; 1981), Cetakan Keenam, hal. 89-92 4 Pada hari ini aku sempurnakan kepadamu agamamu (Islam), dan aku sempurnakan nikmatku atas kamu, dan aku ridhai bagimu Islam sebagai agamamu. (QS. Al-Maidah 5:5) 5 Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Ahzab 33:40) 6 Nurcholish Madjid, Dr., ISLAM DOKTRIN DAN PERADABAN (Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan), (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina; 1992), Cetakan I, hal. 72 7 Sesungguhnya Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kamu semua. (QS. lu `Imrn 4:.)

berbagai persoalan apapun yang berkenaan dengan ajaran Islam, pada saat itu pula Rasulullah memberikan jawabannya. Hal ini menjadi berbeda pasca sepeninggal Nabi SAW. Ketika ada persoalan muncul, justru muncul persoalan baru lagi, yaitu siapa yang memiliki otoritas untuk memberikan jawaban. Hal ini terjadi karena semasa Rasulullah masih hidup beliau tidak pernah menyatakan secara eksplisit, siapa yang bakal mewakili Nabi atau memiliki otoritas yang sama dengan Nabi apabila sepeninggal beliau kelak8. Tawhid dan Kekhalifahan Prinsip dasar bagi seluruh aktivitas Muslim adalah tawhid, yaitu prinsip pengakuan akan keeesaan Tuhan. Kalimat Lai ilaaha illa llah menegaskan bahwa hanya Allah saja yang harus disembah, sekaligus juga dalam kajian filsafat berarti tidak ada yang Ada kecuali Allah saja. Keesaan Tuhan bagi para filsuf berarti bahwa Tuhan haruslah simpel (basith), tidak boleh tersusun dari apapun kecuali zat-Nya sendiri 9. Para filsuf kemudian menegaskan bahwa bila tidak ada yang Ada kecuali Allah saja, maka identitas keber-ada-an alam haruslah dapat dijelaskan. Ibn Arabi menjelaskan bahwa alam ini tidak lain dari manifestasimanifestasi (tajalliyat) sifat-sifat, nama-nama, dan afal Allah. Jadi, pada dirinya alam tidak memiliki realitas, Tuhanlah yang memberi realitas tersebut kepada alam. Tuhanlah satu-satunya realitas sejati, dan karena itu mereka sebut al-Haqq (sang Kebenaran, Sang Realitas sejati) 10. Menurut Mullah Shadra, sebagai pengembangan tawhid, segala wujud yang ada dengan segala bentuk dan karakternyapada hakikatnya adalah satu dan sama. Yang membedakan yang satu dengan yang lainnya hanyalah gradasinya (tasykik al-wujud) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Oleh karena mereka pada dasarnya satu dan sama, wujud apapun yang kita ketahui tentu memiliki status ontologis yang sama-sama kuatnya dan sama-sama riilnya.11 Tawhid, dalam konsep filosofis, tidak hanya berkenaan dengan keberada-an Tuhan namun berkoensuensi pada integrasi segala hal. Hanya Allah yang Esa, yang Ada, selain Allah hanyalah manifestasi ilahiah yang satu. Bila tawhid hanya membicarakan Realitas Utama dan manifestasinya, ada resiko terlepasnya aktivitas manusia karena aktivitas bukanlah manifestasi dari manifestasi. Masalah ini dapat diselesaikan dengan prinsip bahwa segala sesuatu itu bergradasi, sehingga aktivitas manusia pun merupakan gradasi tingkat kedua dari gradasi awal: pada mulanya hanya Tuhan, kemudian8 Hal ini menjadi berbeda konteksnya, ketika para penganut faham Syi`ah -terutama Syi`ah Itsna`Asyariyyah- memiliki argumen bahwa Rasulullah pernah memberikan amanat kepemimpinan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai penerus beliau kelak apabila Rasul wafat, yaitu pada peristiwa Ghadir Khum. Untuk kasus ini, muncul berbagai interpretasi dan perspektif berbeda-beda. Terutama bagi golongan atau aliran non-syi`ah lainnya. 9 Mulyadhi Kertanegara, 2006: 33 10 Mulyadhi Kertanegara, 2006: 34 11 Mulyadhi Kertanegara, 2006: 35

3

bergradasi menjadi makhluk diantaranya manusia, dari manusia inilah muncul gradasi kedua yaitu lahirnya tindakan-tindakan. Jadi tawhid tidak hanya membicarakan realitas sebagai benda-benda, melainkan seluruh hal yang ada dan mungkin ada. Apalagi dalam rumusan tawhid dikemukakan bahwa selain Tuhan adalah alam, dan alam adalah maifestasi dari Tuhan 12, jadi aktivitas manusia pun adalah alam dan manifestasi kedua dari Tuhan. Tawhid adalah konsep dasar dari realitas, melalui tawhid ini kehidupan dapat dipahami, disusun, dan dikembangkan --begitupun dengan teologi Pendidikan. Namun, merujuk pada pemikiran Nurcholish Madjid, tawhid yang dimaksud dalam perumusan teologi praksis tidak bermula dari pembicaraan tentang iman seperti dzat, sifat, nama dan afal Tuhan sebagaimana dilakukan para ulama Kalam di masa lalu. Perumusan teologi praksis dapat dimulai dari drama kosmis Adam dan Hawa di taman Adn, yang dimaknai Madjid13 sebagai berikut: a. Kisah itu menyatakan martabat manusia yang sangat tinggi, sebagai khalifah atau Wakil Tuhan di bumi b. Martabat itu bersangkutan dengan konsep bahwa alam dengan segala isinya disediakan untuk manusia, menjadi bidang garapannya dan tempat pelaksanaan tugasnya c. Martabat itu juga berkaitan dengan nilai kemanusiaan universal d. Untuk menjalankan tugasnya sebagai Khalifah Allah di bumi, manusia dilengkapi dengan ilmu pengetahuan; e. Kelengkapan lain martabat manusia adalah kebebasan, namun tetap mengenal batas (boleh makan semaunya, asalkan tidak mendekati sebatang [!] pohon terlarang) f. Pelanggaran terhadap batas itu membuat manusia jatuh tidak terhormat g. Dorongan untuk melanggar batas ialah nafsu serakah, yaitu perasaan tidak pernah puas dengan anugerah Tuhan h. Karena kelengkapan ilmu saja tidak menjamin manusia terhindar dari kejatuhan, maka manusia memerlukan petunjuk Ilahi, sebagai spiritual safety net i. Dengan mengikuti petunjuk Ilahi itu manusia dapat memperoleh kembali kebahagiaan surgawinya yang telah hilang Drama kosmis menyajikan beberapa kata kunci, yaitu 1) tugas kekhalifahan, 2) pengetahuan, 3) kebebasan, 4) hawa nafsu, 5) pengetahuan spiritual safety12 Schuon, 1994: 12 13 1999: 227-228

net, dan 6) perolehan kembali kebahagiaan yang pernah terlepas. Keenam kata kunci inilah yang kemudian akan menjadi dasar dari pembahasan mengenai teologi Islam pada disertasi ini. Dari drama kosmis inilah Nurcholis kemudian merumuskan kalam kekhalifahan, suatu kajian teologis yang menjadikan iman sebagai dasar tugas-tugas manusia dalam menjalani kehidupannya. Titik tolak dari drama kosmis ini menjadikan kalam tidak lagi sekadar perdebatan mengenai dzat, sifat, nama atau perbuatan Allah, atau sekadar diskusi tentang kebebasan dan keterkekangan manusia; kalam berkembang menjadi apa yang disebut Nurcholis Majid sebagai rasionalitas penjabaran dan penyusunan bahanbahan dasar yang tersedia, dengan kemungkinan penalaran dan perluasannya yang melibatkan khazanah pemikiran umum. Pada titik ini pula teologi pendidikan Islam dipijakkan, yaitu suatu pemikiran yang hendak menguraikan bahwa mengajar dan belajar adalah salah satu tugas kekhalifahan manusia, yang berdasar pada kebebasan, pengendalian hawa nafsu, untuk mendapatkan pengetahuan spiritual safety net, dan perolehan kembali kebahagiaan yang pernah terlepas Konsep kekhalifahan manusia ini, menurut Nurcholish Madjid berdasarkan tafsir atas drama kosmis, juga terkait dengan konsep tawhid, disamping juga terkait dengan taskhir, dan taslim. Taskhir berarti penundukan alam untuk umat manusia merupakan konsekuensi dari tugas kekhalifahan. Karena manusia memiliki tugas sebagai wakil Tuhan di muka bumi, maka Allah menciptakan segala sesuatu di bumi ini untuk manusia14. Allah menundukkan atau membuat segala sesuatu lebih rendah (sakhara) segala sesuatu yang ada di jagat raya beserta segenap benda dan gejala alam (matahari dan rembuna, siang dan malam, lautan, angin, kapal yang berlayar di lautan, sungai-sungai, dan hewan ternak) untuk manusia.15 Taskhir merupakan konsep yang menegaskan bahwa manusia adalah puncak ciptaan Tuhan. Sebagai makhluk tertinggi, manusia harus melihat ke atas hanya kepada Tuhan, kemudian kepada sesamanya harus melihat dalam garis mendatar yang rata, dan kepada alam harus melihat ke bawah, dalam arti alam berada dalam hierarki yang lebih rendah. Konsep taskhir ini menjadi dasar dari pokok tawhid, yaitu hanya menyerah pasrah kepada Allah dan tidak mempersekutukan Allah dengan memuja alam atau memandang alam atau manusia lain lebih tinggi dari diri. Kemusyrikan dalam kerangka taskhir adalah pengingkaran kenyataan bahwa alam sudah disediakan untuk diatur oleh manusia. Maka konsep taskhir berkorelasi kuat sekali dengan konsep tawhid, atau sebaliknya tawhid melibatkan pandangan taskhir. Tawhid dalam Islam adalah proses pembebasan diri yang berpangkal pada syahadat pertama. Kalimat syahadat pertama terdiri dari penafsiran dan peneguhan (al-nafy wa al-itsbat), yaitu peniadaan jenis-jenis tuhan apapun, dan peneguhan terhadap adanya Tuhan yang sebenarnya. Tawhid disebut membebaskan dengan asumsi bahwa setiap kepercayaan terhadapa14 15 QS. 2:29 QS. 31:20; 45:13.

5

apapun bersifat mengikat, maka pembebasan manusia dari kepercayaan palsu berarti kemerdekaannya. Karena itu manusia dalam ajaran Islam memiliki kemestian untuk tunduk yang pasrah dan tulus kepada Tuhan Yang Mahaesa. Sikap tunduk yang pasrah secara tulus itu disebut dalam bahasa Arab islam. ...demi martabatnya sendiri selaku puncak ciptaan, manusia harus dibebaskan dari suatu atau berbagai tuhan palsu, kemudian dibimbing ke arah pendekatan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Dengan al-Nafy wa al-Itsbat, yaitu sikap memutlakkan hanya Yang Mutlak, yaitu Tuhan, dengan berimplikasi proses taskhir, yaitu kesadaran tentang alam sebagai lebih rendah daripada manusia dalam hierarki ciptaan Tuhan, dan memperlakukan alam itu sesuatu ketentuan tersebut, yaitu memanfaatkannya untuk kepentingan manusia. Hanya dengan tawhid, yang secara langsung dan konsekuen mengimplikasikan taskhir, manusia dapat menjalankan tugasnya dengan benar sebagai Khalifah Allah di bumi16 Dimensi sosial keimanan ini diwujudkan dalam akhlaq al-karimah dan al-ishlah. Nabi bersabda, Yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan berbudi luhur (HR al-Hakim). Sementara ishlah adalah usaha perbaikan tempat manusia (ishlah fi al-ard)17. Secara historis, seluruh Nabi diturunkan demi melakukan perjuangan melawan kezaliman dan menegakkan keadilan. Maka komitmen kepada usaha menciptakan masyarakat yang memenuhi rasa keadilan merupakan makna sosial keyakinan agama yang harus ditumbuhkan dalam pribadi yang beriman. Kata Ishlah dapat dibaca sebagai bentuk habl min al-nas yang merupakan terusan dari habl min al-Lah. Sementara habl min al-lahdicapai melalui penghayatan dimensi individual ritual keagamaan, habl min al-nas dicapai melalui penghayatan dimensi sosial keagamaan. Prinsip ini dilambangkan dalam shalat yang dimulai dengan takbirat al-ihram (takbir yang mengharamkan segala tindakan sosial, selama dalam shalat) dan diakhiri dengan taslim, dengan menengok ke kanan dan ke kiri atau lingkungan sekitar, sebagai isyarat akan kesadaran diri tentang dimensi sosial kehidupan, dan sebagai lambang kemanusiaan 18. Pendidikan dalam kerangka teologi ini adalah mengemban kekhalifahan yang telah diamanatkan pada manusia. Kekhalifahan dapat dirumuskan sebagai aktivitas manusia yang mendapatkan kekuasaan taskhir dengan tetap bersumber pada tawhid demi menghasilkan sikap dan tatanan kehidupan yang taslim. Pendidikan adalah bagian dari kekhalifahan, maka di dalamnya pun terdapat ketiga unsur ini (taskhir, tawhid, dan taslim).16 Nurcholish, 1999: 237 17 QS. 7: 56 dan 58 18 Majid, 1992: 354

Walaupun demikian, masih ada ganjalan dalam perumusan teologi pendidikan. Yaitu pemahaman umum bahwa kekhalifahan merupakan nama umum dari kuasa manusia untuk mengatur jagat raya, karenanya kekhalifahan tidak terkait dengan sistem pendidikan. Tetapi bila drama kosmis itu dicermati terdapat beberapa kata kunci yang menjadikan tugas kekhalifahan dapat difasir sebagai tugas pendidikan. Pada kisah drama kosmis itu ada dua tiga kata kunci yang terkait dengan dunia pendidikan, nama-nama (al-Asma kullaha), peraturan (la taqraba hadihi asy-syajarah), dan kalimat yang dapat mengembalikan (kalimat fataaba alaih). Pendidikan adalah sistem aktivitas yang terkait dengan transfer pengetahuan, dengan sejumlah peraturan yang harus ditaati yang bila dilanggar akan menghasilkan hukuman sementara karena hukuman itu adalah cara lain dari transfer kesadaran baru. Kisah drama kosmis Adam dan Hawa menyajikan sebuah model pendidikan sekaligus juga peringatan. Pertama, Adam adalah murid pertama dengan Tuhan sebagai pengajar pertamanya, materi yang diajarkannya adalah al-asma kullaha (nama-nama seluruh alam semesta, atau ilmu pengetahuan). Kedua, ilmu pengetahuan saja tidak menjamin kebahagiaan karena ilmu pengetahuan tidak dapat menahan hawa nafsu, bahkan dalam banyak kasus dapat menjadi penyulut dari hawa nafsu. Ketiga, agar Adam menyadari kekeliruannya (tidak menuruti aturan yang telah ditetapkan) dan menyadari keterbatasan ilmu pengetahuan sebagai modal kehidupan, Adam dihukum keluar dari jannah dan menjalani kehidupan yang penuh hambatan dan kesulitan. Keempat, Tetapi Allah, Sang Pengajar, menunjukkan kasihNya19 kepada Adam dengan memberikan ajaran (kalimat). Ajaran itu menjadi petunjuk bagi Adam dan keturunannya sehingga manusia dapat menempuh hidup tanpa perasaan takut dan kuatir20. Secara sederhana teologi pendidikan Islam merupakan refleksi dari drama kosmis ini. Yaitu bahwa pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan meliputi pengujian mental dan hawa nafsu, yang diakhiri dengan pemberian petunjuk hidup agar peserta didik dapat menjalani kehidupan dengan tetap merujuk kepada kebaikan dan kebenaran. Tradisi Baru di Abad ke 17 Dengan menyebut beberapa nama saja akan dikemukakan bagaimana Perjalanan ke Makkah mempengaruhi tingkat pemahaman ajaran Islam pada masyarakat Indonesia pada abad ke-17. Syekh Yusuf Makassar berangkat ke tanah Arab pada tahun 1644 dan baru kembali pada tahun 1670. Ia belajar banyak pada kyai besar, terutama kyai tasawuf, dan memperoleh ijazah untuk mengajar berbagai tarekat. Yang dicari Syekh Yusuf bukan hanya kesaktian saja. Di bawah bimbingan Syekh Ibrahim al-Qurani di Madinah, ia antara lain mempelajari Kitab Falsafat, Kalam dan Tasawuf yang sangat sulit, seperti alDurrat al-Fakhirat karangan Abd al-Rahman Jami`. Sepulangnya di19 20 QS. Al-Baqarah :37 QS. 2:35-39

7

Indonesia ia bukan hanya menyebarkan tarekat Khalwatiyah saja, tapi punya peranan politik yang sangat penting sebagai penasehat Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika Kompeni Belanda campur tangan dalam urusan interen Banten dan membantu Sultan Haji menyingkirkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf membantu Sultan Banten melawan Belanda. Kyai lain yang juga mirip dengan Syekh Yusuf adalah Abdul Rauf Singkel, yang kemudian menjadi Mufti di Kerajaan Aceh. Ia dikenal sebagai pembawa tarekat Syattariyah di Indonesia dan sebagai penerjemah dan penyunting Tafsir Jalalayn dalam bahasa Melayu. Gurunya di Madinah ialah Ibrahim al-Qurani, kyai terbesar di Madinah pada saat itu. Melalui muridnya, Ibrahim mempengaruhi gerakan reformis abad XVIII di berbagai negara. Baik Muhammad bin Abdul Wahab maupun Syah Waliyullah di India, dan reformis Muslim di China Ma Mingxin telah belajar pada murid-murid Ibrahim al-Qurani. Ibrahim Qurani inilah yang mengajarkan ajaran neo-sufisme, yang di Indonesia kemudian merubah wajah peradaban Islam yang semula berorientasi pada mistik (tasawuf) atau fiqh (kekuasaan) menjadi berorientasi pada syariat tanpa meninggalkan tasawuf. Karena pada neo-sufisme, sementara mempertahankan doktrin-doktrin mistisisme filosofis tertentu, yang sangat penting bagi setiap jenis filsafat, neo sufisme memberikan tekanan lebih besar pada kesetiaan dan kepatuhan total dari para penganutnya kepada syariat Islam21. Lebih jauh lagi, berbeda dengan jenis tasawuf sebelumnya yang cenderung mendorong para sufi bersifat pasif, neosufisme menganjurkan aktivisme. Keterlibatan dalam permasalahan duniawi dianggap sebagai salah satu langkah penting menuju pemenuhan cita-cita mistis. Menurut pengamatan Fazlur Rahman, neo sufisme ini: berusaha, dalam metodologi mereka, untuk memasukkan sebanyak mungkin warisan sufi yang dapat didamaikan dengan Islam ortodoks dan yang dapat diusahakan untuk menghasilkan suatu sumbangan positif terhadapnya. Pertama-tama, motif moral tasawuf diberi tekanan dan sebagian dari teknik dzikr digunakan. Tetapi obyek dan kandungan dzikre ini disatukan dengan doktrin ortodokd dan citacitanya didefiniskan kembali sebagai penguatan iman dalam ajaranajaran dogmatik dan kesucian moral dan jiwa. Neo-sufisme model ini cenderung memperbaharui aktivisme ortodoks dan menemukan kembali suatu sikap positif terhadap dunia ini.22 Tradisi Tasawuf Nusantara Melacak akar teologis yang berkembang di Nusantara bisa dilakukan dengan melacak sejumlah literatur Islam yang berkembang. Seperti diungkap pada uraian di atas bahwa di Nusantara ini telah berkembang subur sejumlah literatur tasawuf, maka pembicaraan tentang teologi sebagaimana pembicaraan tentang fikihada dalam lingkup pengaruh tasawuf. Seperti21 22 Azra, 294, 1992 Fazlurahman, Islam, 205-206

yang ditunjukkan oleh sejumlah literatur, perkembangan tasawuf secara organik berkaitan erat dengan maraknya penyebaran Filsafat Hermetisme dan Neo-Platonisme, ilmu kimia, astrologi, kedokteran serta kebangkitan ideologi Syiah sebagai gerakan oposisi atas pemerintahan resmi Umayyah maupun Abasiyyah. Dinamika seperti itu yang kemudian membentuk satu paradigma tersendiri yang kemudian dikenal dengan paradigma irfani (gnosis). Meski secara ideologis berbeda, terutama ketika munculnya upaya harmonisasi antara doktrin Sunni, ideologi resmi negara, dengan doktrin tasawuf, paradigmanya secara epistemologis tetap sama yaitu Hermetisme. Dalam sebuah naskah tua tentang musyawarah para wali di Jawa tertera dialog berikut:23 Pangeran Girgajah berkata kepada para wali: Saya mohon kepada kalian, para sahabatku, untuk bertukar pikiran tentang ma`rifat. Usahakanlah untuk melakukan kesepakatan tentang soal ini Karena itu, kalian harus mencapai pandangan yang jelas mengenai hakekat Tuhan. Pangeran Bonang berkata, Hakikat pengetahuan iman dan tauhid itu tidak lagi dikenal oleh kaum ahl ma`rifah yang telah sempurna pengetahuannya, dan telah tenggelam dalam ma`rifah. Iman dan tauhid tidak dapat dipisahkan dari ma`rifah, tidak pula dapat disamakan begitu saja, namun merupakan kesatuan antara iman, tauhid, dan marifah. Pangeran Majagung berkata: Kalau pengetahuan manusia itu tidak sedemikian, yaitu yang masih mendua, maka pengetahuan orang itu kosong. Kalau masih juga ia berpegang pada pandangan mendua, maka ia adalah musyrik yang tidak mampu memahami kalimat syahadat karena ia tidak menangkap hakikat kesatuan. Pangeran Cirebon berkata, ma`rifat yang sempurna berarti tidak lagi memandang sasaran pandangan, juga tidak lagi memuji yang dipuji (karena pelaku dan sasaran pandangan dan pujian adalah satu dan sama). Syeh Lemah Abang berkata: Sayalah Allah. Siapa lagi saya ini, sebab tidak ada sesuatu kecuali Saya. Maulana Maghribi berkata: Baiktapi yang ini apa namanya (maksudnya sambil menunjuk ke tubuh atau jasad lemah Abang) Syeh Lemah Abang menjawab: Saya tidak mau membicarakan masalah jasad Maulana Maghribi berkata: Anda ini memang benar, tapi Anda tidak mempertimbangkan kalau yang Anda ucapkan itu akan didengar orang banyak. Jangan sampai diketahui orang lain.. Bila naskah tersebut memang berasal dari abad ke-16, maka setidaktidaknya akan tergambar bahwa persoalan utama yang menggelisahkan umat23 G.W.J. Drewes, an Early Javanese Code of Muslim, the Hague, Leiden, 1978, hal. 4447.

9

Islam awal adalah problem ma`rifah. Namun bukan dalam pengertian teologis (model Asy`ari maupun Mu`tazilah) atau falsafi (model al-Farabi, Ibn Sina atau Ibn Rusyd yang bersifar burhani) dalam kerangka reproduksi pengetahuan dengan metodologi tertentu seperti induksi, deduksi, empirisme atau rasionalisme, karena buku-buku Kalam dan filsafat belum dikenal saat itu. Tapi yang dimaksud ma`rifat dalam teks itu ialah yang termasuk dalam pengertian gnosis-Hermetis yang ditujukan untuk mencari jalan menuju kesatuan dengan Tuhan. Maka tradisi pemikiran Islam awal yang berkembang di Dunia Nusantara adalah tradisi Hermetisme dalam baju Islam yang mengidentifikasikan manusia hanya sekadar bayangan Tuhan tanpa daya. Paradigma ini menyatakan bahwa Tuhan adalah transenden tidak dikenal sifat, wujud, maupun hakekatnya. Dari Tuhan ini kemudian lahir satu entitas (dengan nama yang berbeda-beda, Akal Pertama, Roh Pertama, Hakekat atau Nur Muhammad, dan lahir melalui emanasi, tajalli atau pancaran cahaya) yang dianggap mewakili Tuhan untuk menciptakan dan mengatur alam yang banyak ini, termasuk roh, jiwa, dan sebagainya. Sedang manusia dianggap memiliki roh yang merupakan bagian dari Roh Tuhan, dan dengan roh itu pula ia akan kembali menyatu dengan Tuhan melalui proses penyucian, yaitu ma`rifah. Yakni dengan pandangan batin langsung di mana obyek dan subyek yang memandang menjadi satu. Orientasi Nalar Islam Nusantara yang hanya pada Fikih dan Tasawuf ini pun kemudian berlanjut pada sejumlah pembaharuan Islam di Indonesia pada pra kemerdekaan. Maksudnya, seluruh perbincangan intelektual Islam terpaku pada mendukung (atau menolak) mazhab fikih tertentu, atau mencerca (atau memuja) aliran tasawuf tertentu. Analisis Harun Nasution yang mengemukakan bahwa pertentangan organisasi keagamaan Islam Indonesia (PERSIS, Muhammadiyah, NU) masih berkisar pada masalahmasalah furu` (cabang) dari ajaran Islam dan tidak menyentuh masalahmasalah Ushul (pokok) ajaran. Karena itu kesemuanya sebenarnya tetap menganut mazhab teologi Asyariyah yang semi-fatalis (kasb) dan menganut salah satu dari empat mazhab fikih Sunni.24 Kondisi Nalar Islami yang dimiliki bangsa Indonesia ini diperparah dengan politisasi ajaran Islam yang dilakukan pemerintahan Belanda. Perjalanan Haji tidak hanya untuk menjalankan Rukun Islam yang kelima, namun juga pada abad ke-17 dianggap sebagai perjalanan memperdalam dan menyempurnakan ilmu-ilmu ke-Islam-an.25

DAFTAR PUSTAKA24 25 Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1996, hal. 109 Martin van Bruinessen, Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci Orang Nusantara Naik Tanah Suci, dalam Dickha Douwes & Nick Kaptein, Indonesia dan Haji, INIS, Jakarta, 1997, hal.. 24

Nurcholis Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1997, Samuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2000, Muhammad Husein Haekal, Ph.D., SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, (Jakarta, Tintamas Indonesia dan Dunia Pustaka Jaya; 1981), Cetakan Keenam Nurcholish Madjid, ISLAM DOKTRIN DAN PERADABAN (Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan), (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina; 1992), Cetakan I Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekontruksi Holistik UIN Jakarta Press, 2006 Schuon, G.W.J. Drewes, an Early Javanese Code of Muslim, the Hague, Leiden, 1978 Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1996 Martin van Bruinessen, Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci Orang Nusantara Naik Tanah Suci, dalam Dickha Douwes & Nick Kaptein, Indonesia dan Haji, INIS, Jakarta, 1997.

11