Bahasa Indonesia sebagai bagian dari budaya bangsa
Click here to load reader
-
Upload
ristinikov -
Category
Documents
-
view
7.062 -
download
0
description
Transcript of Bahasa Indonesia sebagai bagian dari budaya bangsa
MAKALAH BAHASA INDONESIA
BAHASA INDONESIA DALAM ADMINISTRASI NEGARA : BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA
BANGSA
DISUSUN OLEH :
ANDRY RISTIAWAN (084674049)
S-1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA REGFAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA2009
TERDESAKNYA PERAN BAHASA INDONESIA DI RUANG PUBLIK
Penggunaan bahasa Indonesia secara nasional merupakan anugerah bagi
bangsa Indonesia. Bangsa ini tidak akan memiliki kesulitan dalam melakukan
komunikasi dengan seluruh suku bangsa yang ada di nusantara. Bahasa indonesia
seolah-olah berperan sebagai alat perekat dan pemersatu diantara rakyat Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan suatu simbol kebangsaan yang menunjukkan identitas
bangsa Indonesia.
Pasca tumbangnya Soeharto dari kursi presiden tahun 1998, terjadi
perubahan yang luar biasa terhadap bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dari
penggunaan bahasa daerah dan bahasa asing pada ruang publik. Semasa
pemerintahan Orde Baru di Indonesia seperti terdapat pembagian, yaitu hanya
bahasa Indonesia yang resmi digunakan untuk bahasa di ruang publik, sedangkan
bahasa asing hanya bahasa Inggris. Namun, sekarang di media massa, khususnya
televisi, kita bisa mendengar berita dalam bahasa Jawa, Sunda, juga bahasa
Mandarin, padahal dulu pada masa Orde Baru bahasa Mandarin tidak
diperkenankan digunakan di ruang publik. Sementara untuk bahasa daerah, pada
masa Orde Baru penggunaan bahasa daerah terbatas pada wilayah "aman", dalam
arti tidak digunakan untuk bidang politik dan ideologi, melainkan hanya pada ranah
budaya, seperti untuk pertunjukkan kesenian daerah. Seiring dengan pertumbuhan
otonomi daerah, penggunaan bahasa daerah di ruang publik semakin meluas dan
seolah-olah menjadi hal yang wajar.
Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kegiatan
seolah mulai surut. Banyak kalangan mulai dari mahasiswa, artis, politisi, pegawai
swasta maupun pejabat publik lebih menyukai menggunakan bahasa asing.
Menggunakan bahasa atau istilah-istilah asing terasa lebih membanggakan dan
terlihat intelektual daripada menggunakan bahasa Indonesia meskipun susah
dicerna orang lain.
Sejatinya fenomena berbahasa asing di pertemuan-pertemuan resmi, di
media massa, dan di tempat-tempat umum yang marak sekarang ini menunjukkan
adanya perubahan perilaku masyarakat kita dalam bertindak dan berbahasa.
1
Memang kita tidak menolak perubahan selama tidak mencederai falsafah hidup dan
jati diri bangsa kita. Namun pada kenyataannya perilaku berbahasa saat ini diikuti
kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam perilaku bertindak dan identifikasi diri
bangsa. Kecenderungan mengidentifikasikan diri pada budaya dan pola perilaku
asing yang belum tentu membawa kemajuan peradaban telah mengikis perlahan-
lahan identitas bangsa Indonesia dengan nilai-nilai budaya luhurnya.
Kecemasan itu semakin beralasan ketika semua itu menjadi kenyataan yang
sebenarnya (realitas aktual atau realitas objektif). Sebab realitas aktual sebuah
masyarakat adalah realitas luar (eksternal) yang padanya bahasa dan tanggapan
(persepsi) kita merujuk. Ia adalah cerminan asli (otentik) keadaan batin sebuah
masyarakat; hasil dari hubungannya dengan nilai-nilai manusiawi yang bersifat
batiniah yang telah menjadi pola dasar, standar perbuatan yang harus dilakukan dan
telah menjadi keyakinan bersama.
Dengan sangat lugas realitas aktual tampil mewakili kondisi batin sebuah
masyarakat; sebuah kondisi yang menyangkut keyakinan akan nilai-nilai kebenaran,
kebaikan, dan keindahan. Oleh sebab itu, kegemaran menggunakan bahasa asing
yang begitu menjadi-jadi dan ketidakmampuan bangsa Indonesia untuk menahan
arus penyerbuan budaya, yang ditandai antara lain oleh suramnya masa depan
bahasa Indonesia, dapat dikatakan sebagai musibah budaya. Hal itu sekaligus
menggambarkan kondisi mental bangsa Indonesia yang merasa tidak memiliki
identitas dan kekayaan budaya yang berharga pada dirinya sehingga perlu
mengadopsi milik bangsa lain yang dianggap berharga. Bahkan bangsa ini merasa
malu untuk menampilkan kekayaan budayanya di hadapan bangsa-bangsa lain.
Menganggap bahasa sendiri sebagai kampungan, tidak menguntungkan, dan tidak
memiliki nilai komersil. Hal demikian jelas menunjukkan kondisi psikologis yang
mencerminkan bangsa yang terserang krisis percaya diri dan rendah diri.
BAHASA INDONESIA SEBAGAI JATIDIRI BUDAYA BANGSA
Menurut Kluckhohn, sedikitnya ada tujuh macam unsur-unsur kebudayaan
universal, yaitu : bahasa, religi, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, sistem teknologi,
sistem mata pencaharian, dan sistem organisasi sosial. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya suatu bangsa. Para
2
ahli kebudayaan umumnya memandang setidak-tidaknya ada 3 hal yang
memastikan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan budaya, yaitu (1) bahasa adalah
bagian dari budaya, (2) bahasa adalah indeks budaya, dan (3) bahasa menjadi
simbol budaya. Oleh karena itu, para antropolog budaya menilai terjadinya
pergeseran makna budaya dapat menimbulkan pergeseran fokus, dari konsepsi-
konsepsi yang mementingkan peran bahasa sebagai sistem formal abstraksi
kategori-kategori budaya ke strategi-strategi linguistik yang dipakai membangun
status, identitas, dan hubungan-hubungan sosial.
Kenyataan, setiap bangsa memiliki jatidiri budayanya yang khas yang antara
lain tampil dalam bahasa yang digunakannya. Jatidiri budaya sebuah bangsa
terbentuk melalui berbagai proses kejadian yang menempa bangsa tersebut dalam
waktu yang relatif panjang. Jatidiri budaya tidak bisa terbentuk dalam waktu singkat
dan tiba-tiba, selalu ada proses panjang yang mengiringinya, sehingga sebuah
budaya dapat begitu mengakar di setiap jiwa masyarakat sebuah bangsa. Sebuah
jatidiri budaya mencerminkan nilai-nilai otentik yang diyakini oleh sebuah bangsa.
Jatidiri inilah yang membedakan bangsa tertentu dengan bangsa-bangsa yang
lainnya. Jatidiri budaya suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan
(eksistensi) bangsa tersebut. Oleh sebab itu, mempertahankan jatidiri budaya
sebuah bangsa sama dengan mempertahankan eksistensinya. Secara tepat
Rasulullah SAW melukiskan muslim yang terperangkap ke dalam budaya asing
sebagai telah " masuk lubang biawak ".
Bahasa sebagai jatidiri budaya mustahil dapat dipisahkan dari budaya. Oleh
karena itu, seseorang dan sebuah masyarakat atau suatu bangsa sejatinya
menunjukkan hakikat budayanya. Begitu juga sebaliknya, budaya suatu bangsa akan
merefleksi dalam perilaku lahiriah manusia dan masyarakatnya. Maka bahasa yang
digunakan oleh sebuah masyarakat dalam suatu bangsa menjadi cermin budayanya.
Bahkan entitas dan kualitasnya ditentukan oleh kemampuannya dalam melestarikan
jatidiri dan mengembangkan budayanya dalam menuju pengembangan watak atau
kepribadian bangsa.
Mengacu kepada maraknya penggunaan bahasa asing secara liar yang nyaris
memusnahkan bahasa Indonesia yang telah menjadi jatidiri budaya kita, maka dapat
dikatakan jatidiri budaya bangsa Indonesia kini berada dalam situasi krisis. Para
3
budayawan umumnya menyimpulkan bahwa krisis budaya yang kita hadapi
merupakan akibat dari dua kekuatan, yakni integratif dan alienasi. Setidak-tidaknya
dalam hal kebahasaan, kita tidak mampu menahan arus budaya global yang daya
cengkeram dan daya depaknya begitu kuat. Di satu sisi bahasa Indonesia
diintegrasikan dengan bahasa global dan di sisi lain terjadi alienisasi besar-besar
terhadap nilai-nilai dan identitas kita dari pentas publik.
RELATIVITAS BAHASA
Relativitas bahasa bukan ide baru di bidang linguistik. Ia pernah terabaikan
beberapa dasawarsa di pertengahan abad 20; namun mulai dasarwarsa 1970-an ia
bangkit lagi dengan semangat baru, yaitu semangat perlawanan terhadap
universalitas bahasa yang diformalkan secara berlebihan oleh Gramatika Generatif,
dengan pandangan sentralnya yang tidak pernah bergeser dari ranah sintaksis. Kini
relativitas bahasa kembali mendapatkan posisi yang mapan dalam Sosiolinguistik,
Pragmatik, dan terutama Etnolinguistik. Dalam sejarahnya yang cukup panjang,
relativitas bahasa berawal dari pemikiran para sarjana linguistik, dimulai sejak awal
abad 19 dan merentang sampai paruh pertama abad 20.
Adalah Wilhelm von Humboldt (1767-1835) yang sering dirujuk sebagai
bapak relativitas bahasa. Menurut filosof dan bahasawan berbangsa Jerman ini,
terdapat saling-hubungan yang erat antara masyarakat, bahasa, dan budaya. Pada
tahap ideal, kesatu-paduan itu muncul sebagai tritunggal : satu masyarakat, satu
bahasa, dan satu budaya.
Di Amerika Serikat, relativitas bahasa nampak jelas pada Linguistik Deskriptif
ala Franz Boas (1858-1942), yang merupakan hasil penelitiannya atas bahasa-
bahasa Indian-Amerika. Llinguistik Boas sangat diwarnai oleh pendekatan
antropologi dan dengan demikian selalu melihat kaitan yang erat antara bahasa dan
budaya. Boas di Amerika bergelut dengan bahasa-bahasa Indian yang eksotik dan
tak dikenal untuk menghasilkan deskripsi yang tuntas. Akhirnya Boas menyimpulkan
bahwa setiap bahasa memiliki deskripsinya yang khas, karena setiap bahasa
memiliki struktur yang unik. Bagi Boas, tak ada bahasa dengan tipe ideal yang dapat
dijadikan model bagi bahasa-bahasa alamiah yang ada.
4
Berdasarkan pemikiran tokoh-tokoh di atas dapat kita simpulkan bahwa setiap
bahasa mempunyai ciri khas yang membedakannya dari bahasa yang lain. Ciri khas
bahasa tersebut lahir akibat keragaman keadaan masyarakat dan budaya para
penutur bahasa tersebut. Dengan kata lain, setiap masyarakat dan setiap budaya
mempunyai bahasanya sendiri; yang cocok dengan keadaan lingkungan
sosiokultural mereka. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk lebih gemar menggunakan
bahasa asing daripada menggunakan bahasa asli atau bahasa ibu dalam konteks ini
adalah bahasa Indonesia. Akhirnya anggapan-anggapan negatif terhadap bahasa
Indonesia yang dilontarkan para penggemar bahasa asing akan gugur dengan
sendirinya. Tidak ada bahasa yang lebih unggul dari bahasa lain. Setiap bahasa
mempunyai kedudukannya masing-masing, anggapan keunggulan suatu bahasa
terhadap bahasa lain adalah sesuatu yang bersifat relatif tergantung penafsiran
masing-masing orang. Penafsiran tersebut lahir akibat penilaian dan persepsi sempit
seseorang terhadap suatu bahasa.
Mengubah pandangan masyarakat Indonesia tentang kedudukan bahasa
Indonesia terhadap bahasa asing memang tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Gambaran umum tentang keunggulan bahasa asing khususnya bahasa
Inggris terhadap bahasa Indonesia telah terekam kuat di setiap otak masyarakat
Indonesia sehingga secara tidak disadari kegemaran menggunakan bahasa asing
menjadi suatu kebiasaan di kalangan masyarakat Indonesia. Mengubah suatu
kebiasaan sangatlah tidak mudah dan membutuhkan kerja yang sangat keras.
Pendekatan psikologis sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kita harus mengubah penilaian dan persepsi sempit masyarakat Indonesia mengenai
bahasa Indonesia. Kemudian menanamkan pemahaman bahwa bahasa Indonesia
merupakan bagian dari budaya bangsa yang diabadikan melalui peristiwa bersejarah
tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda. Melestarikan bahasa Indonesia sama
artinya dengan menghargai perjuangan para pahlawan bangsa untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa para pahlawannya. Butuh kesungguhan dan komitmen kuat
seluruh elemen bangsa Indonesia untuk membuat bahasa Indonesia menjadi tuan
rumah di negeri sendiri.
5
DAFTAR PUSTAKA
Kadarisman, A. Effendi. 2008. Linguistik Indonesia : Hipotesis Sapir-Whorf dan
Ungkap-Verbal Keagamaan. Malang : Universitas Negeri Malang.
Navis. 2007. Mendesak Undang-Undang Kebahasaan. http://fpks-dpr.or.id
6