BabIII Analisis Kawasan

68
Analisis Kawasan III-1 ANALISIS KAWASAN 3.1. Kerangka Dasar Analisis Kawasan Seluruh upaya pengendalian banjir di wilayah Jabodetabek yang dilakukan melalui pelaksanaan program-program hendaknya mengacu pada peta permasalahan banjir. Jika kita gagal memahami peta permasalahan tersebut, kita akan ragu atau kesulitan mendesain program. Selain itu hasil dan dampaknya juga tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal itu dapat terjadi karena desain program tidak mengacu pada akar permasalahan. Gambar 3.1. Peta aliran permukaan sebagai kerangka dasar untuk memetakan permasalahan dan pengendalian banjir. BAB III

Transcript of BabIII Analisis Kawasan

Analisis Kawasan III-1

ANALISIS KAWASAN

3.1. Kerangka Dasar Analisis Kawasan Seluruh upaya pengendalian banjir di wilayah Jabodetabek yang dilakukan melalui pelaksanaan program-program hendaknya mengacu pada peta permasalahan banjir. Jika kita gagal memahami peta permasalahan tersebut, kita akan ragu atau kesulitan mendesain program. Selain itu hasil dan dampaknya juga tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal itu dapat terjadi karena desain program tidak mengacu pada akar permasalahan.

Gambar 3.1. Peta aliran permukaan sebagai kerangka dasar untuk memetakan permasalahan dan pengendalian banjir.

BAB III

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-2

BPDAS Citarum-Ciliwung

Upaya pengendalian banjir pada dasarnya ditujukan untuk menurunkan jumlah aliran permukaan, mengendalikan daya rusak aliran permukaan dan memperbaiki kualitas aliran permukaan. Fokus program-program pengendalian banjir yang dilakukan mesti mengacu pada sifat alamiah aliran permukaan, yakni upaya-upaya yang befokus untuk menahan dan meresapkan aliran permukaan. Skema alir permukaan seperti ditunjukan pada Gambar 3.1 merupakan kerangka dasar untuk memetakan permasalahan sekaligus pengendalian banjir. Kenyataannya ada banyak gagasan atau inisiatif program yang telah dikembangkan kurang berpijak pada peta permasalahan banjir. Program-program didesain secara mikro, sektoral/parsial, atau reaktif. Beberapa isu permasalahan dan pengendalian banjir seperti itu acap kali muncul ke publik, antara lain:

? Banjir Jakarta dari tahun ke tahun cenderung semakin besar atau parah yang disebabkan oleh sesuatu yang berada diluar kontrol, yakni perubahan iklim. Pandangan seperti itu dapat memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi publik dan juga para praktisi konservasi tanah dan air. Hal itu dapat diidentifikasi dari adanya sikap skeptis yang kemudian beranggapan bahwa banjir adalah sesuatu yang tidak bisa dikontrol dan dianggap sebagai kejadian bencana rutin yang harus diterima sebagai takdir.

? Gagasan pembangunan bendungan dan kanal-kanal sebagai sesuatu yang fundamental dan mendesak untuk segera direalisasikan. Sesungguhnya ada banyak pilihan upaya lain untuk pengendalian banjir selain dari bendungan dan kanal-kanal dengan resiko dan biaya yang lebih rendah serta memberikan efek yang cepat tetapi memerlukan pelibatan masyarakat yang berkesimabungan.

Dua contoh isu di atas adalah salah satu alasan mengapa kita perlu memeriksa dan mengkaji ulang Rencana Tindak. Hal ini diperlukan tiada lain untuk meneguhkan atau menegaskan kembali bahwa program-program yang diturunkan benar-benar mengacu pada akar permasalahannya. Setelah itu kemudian merincikan program-program tersebut ke dalam uraian-uraian yang lebih bersifat operasional. Paparan tinjauan atau temuan dari banyak aspek berikut ini merupakan pertimbangan dan/atau

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-3

BPDAS Citarum-Ciliwung

masukan untuk melakukan analisis dan simulasi rincian program rencana tindak yang objektif dan rasional sehingga dapat menjadi jawaban dari akar permasalahan yang ada.

Berdasarkan pada kerangka analisis yang telah dijelaskan pada Bab II dan penjelasan tersebut di atas, maka pada bagian ini akan dijelaskan hasil-hasil analisis kawasan dari berbagai aspek yang didahului dengan penjelasan tentang status kawasan, kondisi geohidrologi, deskripsi mengenai jenis tanah, kondisi penutupan lahan, kelompok hidrologi tanah yang berpengaruh terhadap jumlah limpasan permukaan, keadaan topografi dan kelerengan yang berpengaruh terhadap waktu konsentrasi dan waktu tempuh aliran, deskripsi dan analisis kondisi curah hujan, hidrologi DAS dan demografi sosial ekonomi serta kelembagaannya. Masing-masing dari aspek kajian tersebut akan dijelaskan secara terpisah serta kaitannya dengan kondisi banjir yang terjadi.

3.2. Status Kawasan Berdasarkan status kawasan hutan, luas total wilayah DAS di Jabodetabek yang merupakan kawasan hutan seluas 11,7 %, sedangkan sisanya di luar kawasan hutan. Pembagian batas DAS berdasarkan status kawasan disajikan pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.2 di bawah ini.

Tabel 3.1. Luas wilayah DAS menurut status kawasan

No DAS Dalam Kawasan

Hutan (Ha) Luar Kawasan

Hutan (Ha) Area (Ha)

1 Angke - 23.975 23.975

2 Cakung - 13.403 13.403

3 Ciliwung 3.709 33.763 37.472

4 Cisadane 26.722 113.324 140.046

5 Kali Bekasi 7.151 44.634 51.785

6 Krukut & Grogol 111 22.088 22.199

7 Pesanggrahan - 17.737 17.737

8 Sunter - 15.349 15.349

Jumlah 37.693 284.274 321.963 Sumber: Baplan, Kepmen No.SK.195/Kpts-II/2003 tgl 4 Juli 2003 dan Kepmen

No.SK.220/Kpts-II/2000 tgl 2 Agustus 2000).

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-4

BPDAS Citarum-Ciliwung

Berdasarkan status kawasan wilayah Jabodetabek, yang merupakan area dalam kawasan hutan terdiri dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasinal Halimun Salak di bagian selatan. Keberadaan taman nasional ini merupakan daerah resapan air dan penyangga untuk DAS Ciliwung, Cisadane dan Kali bekasi di bagian hulu. Sedangkan hulu Sungai Angke dan Pesanggahan berada di luar kawasan, tetapi di bagian muara terdapat Cagar Alam Muara Angke. Pada hulu DAS Ciliwung terdapat Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Telaga Warna. Sedangkan di bagian hulu DAS Cisadane terdapat Taman Nasional Gunung Halimun. Diantara hulu Ciliwung dan Cisadane terdapat Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Di DAS Kali Bekasi terdapat Taman Wisata Alam/Hutan wisata Gunung Pancar. Di DAS Krukut dan Grogol terdapat Suaka Margasatwa Muara Angke. Dari Tabel 3.1 terlihat bahwa luas total kawasan hutan 7 DAS tersebut hanya 11,7 % dari total areal.

Gambar 3.2. Wilayah DAS Jabodetabek Menurut Status Kawasan (Baplan, Kepmen No.SK.195/Kpts-II/2003 tgl 4 Juli 2003 dan Kepmen No.SK.220/Kpts-II/2000 tgl 2 Agustus 2000).

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-5

BPDAS Citarum-Ciliwung

3.3. Geologi dan hidrogeologi 3.3.1. Geologi

Berdasarkan tatanan geologi daerah Jabodetabek termasuk ke dalam 2 zona fisiografi, yakni zona Bogor, menempati wilayah Bogor yang dicirikan oleh adanya antiklinorium dengan arah barat-timur dan wilayah Sukabumi merupakan kelanjutan dari zona Bandung yang dicirikan oleh adanya tinggian yang terdiri dari sedimen tua menyembul di antara endapan vulkanik. Batas kedua zona tesebut di lapangan tidak terlalu jelas karena tertutup oleh endapan gunung api Kuarter.

Batuan tertua menempati initi antiklin yang secara berurutan ditutupi oleh batuan yang lebih muda yang tersingkap pada bagian sayap antiklin di bagian utara dan selatan. Berdasarkan peta geologi lembar Bogor oleh A.C. Effendi, (1986) yang dikorelasikan dengan peta geologi lembar Jakarta oleh T. Turkandi, (1992) dapat dikelompokan secara sederhana menjadi 3 satuan batuan, yaitu :

a) Batuan sedimen tersier b) Batuan vulkanik dan terobosan c) Batuan endapan permukaan Tabel 3.2. Jumlah luas setiap formasi geologi di masing-masing

DAS daerah kajian

LUAS FORMASI GEOLOGI SETIAP DAS (Ha) KODE 1 2 3 4 5 6 7 8 JUMLAH

QTvb 4,742 3,591 67 - - - - - 8,400

Qa 13,489 7,469 4,674 7,847 4,012 3,867 7,298 10,621 59,277

Qav 16,636 12,751 12,596 14,349 16,850 11,353 5,257 20,360 110,153 Qvpo 14,907 160 248 - 9,522 - - 90 24,928

Qbr - - - - 74 129 849 147 1,199

Qv 66 - 129 3 499 - - - 697 Qvba - - - - 1,085 - - - 1,085

Qvk - - - - 5,429 - - 5,465 10,894

Qvas 30 - - - - - - - 30 Qvb 3,219 - - - - - - - 3,219

Qvep 2,670 - - - - - - - 2,670

Qvl 1,154 - - - - - - - 1,154 Qvsb 21,225 - - - - - - - 21,225

Qvsl 5,104 - - - - - - - 5,104

Qvst 13,263 - - - - - - - 13,263

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-6

BPDAS Citarum-Ciliwung

LUAS FORMASI GEOLOGI SETIAP DAS (Ha) KODE 1 2 3 4 5 6 7 8 JUMLAH

Qvt 942 - - - - - - - 942 Qvu 19,919 - - - - - - - 19,919

Tmb 8,820 - - - - - - - 8,820

Tmbl 358 - - - - - - - 358 Tmtb 2,035 - 23 - - - - - 2,058

Tpg 10,460 - - - - - - - 10,460

Tpss 995 - - - - - - - 995 Tmj - - - - - - - 12,297 12,297

Tmk - - - - - - - 2,718 2,718

A - - - - - - - 86 86 Jumlah 140.036 23.971 17.737 22.199 37.472 15.349 13.403 51.785 321.952

Ket: 1.Cisadane, 2.Angke, 3.Pesanggrahan, 4.Krukut & Grogol, 5.Ciliwung, 6.Sunter, 7.Cakung, 8. Kali Bekasi

Gambar 3.3. Distribusi Geologi di wilayah Jabodetabek

Geologi daerah Jakarta seluruhnya terbentuk oleh batuan sedimen yang berumur Miosen Awal-Plistosen, batuan vulkanik dan endapan permukaan yang berumur sekarang. Secara singkat, litostratigrafi daerah penyelidikan dari yang berumur tua hingga muda dapat dikemukakan sebagai berikut di bawah ini.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-7

BPDAS Citarum-Ciliwung

Endapan Permukaan

a. Satuan Batu Pasir Tufan dan Konglomerat/Kipas Aluvium (Qav)

Tuf halus berlapis, tuf konglomerat berselang-seling dengan tuf pasiran dan batu apung. Tuf halus, kelabu muda, berlapis tipis, pejal, merupakan bagian bawah dari satuan ini. Tebal yang tersingkap sekitar 2 m. Sebagian lapisannya memperlihatkan perairan sejajar.

Tuf Konglomeratan, putih kekuningan, kemas terbuka, pemilihan buruk, membundar tanggung-membundar sempurna, berbutir 1-3 cm, tersusun oleh andesit dan kuarsa, matrik tuf halus, tebal kira-kira 1,5 m.

Tuf pasiran, kelabu muda, pemilihan buruk, berbutir halus-kasar, membundar tanggung-membundar, bersusunan andesitan, bersisipan selang-seling dengan tuf konglomeratan.

Tuf batu apung, kuning kecoklatan, kemerahan, mengandung konkresi besi (2-3 cm) dan fragmen batu apung, membundar tanggung sampai membundar, garis tengah 3-5 cm dan kerikil kuarsa yang bundar, menindih langsung tuf konglomeratan. Tebal sekitar 3 m.

Satuan ini membentuk morfologi kipas dengan pola aliran ”dischotomic”. Pengendapanya diduga pada lingkungan darat, bahan pembentuknya berasal dari batuan gunung api muda di Dataran Tinggi Bogor. Umur satuan ini diduga Pleistosen Akhir atau lebih muda. Tebal satuan ini diduga sekitar 300 m. Satuan ini terlempar sangat luas, dari selatan ke utara. Di selatan pada lembar Bogor membentuk kipas aluvium (Qa), sedangkan pada lembar Karawang merupakan satuan Konglomerat dan Batu Pasir Tufan (Qav).

b. Endapan Pematang Pantai (Qbr)

Terdiri dari pasir halus-kasar, warna kelabu tua dan terpilah bagus. Sebarannya berarah timur-barat searah dengan bentuk pasir sekarang. Kenampakan di lapangan sangat sulit dikenal karena sudah tertutup oleh pemukiman. Namun masih tampak pada foto udara, yaitu berupa tanggul dengan morfologi menggelombang.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-8

BPDAS Citarum-Ciliwung

Berdasarkan kenampakan morfologi dan batuan penyusunnya, diduga satuan ini terbentuk karena endapan angin yang membentuk onggokan pasir (sand dune).

c. Aluvium (Qa)

Terdiri dari lempung pasir, kerikil , kerakal dan bongkahan. Endapan ini meliputi endapan pantai sekarang, endapan sungai dan rawa. Sebaran satuan ini terlampar di sepanjang pantai utara dan di sepanjang lembah sungai besar. Endapan ini menyebar luas ke arah timur pada lembar Karawang yang terdiri dari endapan sungai muda (Qa), endapan dataran banjir (Qaf) dan endapan batu dangkal (Qac).

Batuan Sedimen

a. Formasi Klapanunggal

Terdiri dari batu gamping koral dengan sisipan batu gamping pasiran, napal, batu pasir kuarsa glokonitan dan batu pasir hijau.

Batu gamping koral, tersusun dari cangkang moluska dan koral, makin ke atas berubah menjadi batu gamping pasiran, pejal, berlapis, kelabu muda, tebal 20-50 cm, kemiringan 200 dengan arah jurus timur laut-barat daya. Setempat mempunyai retakan dengan kemiringan 50-600 ke arah timur laut.

Batu gamping pasiran, kelabu kekuningan, glokonitan, mengandung moluska, foraminifora dan koral, berlapis baik dengan tebal 5-20 cm, kemiringan 20-500, setempat sampai 700

dengan arah jurus timur laut-barat daya. Batu gamping ini berselingan dengan napal dan batu pasir hijau. Beberapa sayatan sisipnya menunjukkan bahwa batu ini mengandung glokonit, moluska, foraminifera, echinodermata dan bahan rombakan berupa kuarsa berhablur tunggal atau banyak, felspar, fragmen batuan andesitan dan granitan, hornblenda, biotit, piroksen, epidot, turnalin dan magnetit yang tersemen oleh sparit dan matrik mikrit.

Napal, kelabu, tidak berlapis dan lunak mengandung foraminifera, moluska, berhablur priti, berselingan dengan batu gamping pasiran, tebal 40-200 m. Batu pasir kuarsa glakoinitan, kelabu kehijauan, banyak mengandung kuarsa,

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-9

BPDAS Citarum-Ciliwung

berbutir halus hingga sedang, membundar tanggung-bundar, terpilih baik, tebal 40-80 cm, menyisip dengan batu lempung.

Batu pasir, kehijauan, lunak, sebagian mengandung 80% glokonit, berbutir halus-sedang, kandungan moluska, foraminifera, koral melimpah, juga terdapat bekas galian binatang (burrow). Hasil analsis palaentologi menunjukkan bahwa batu pasirnya mengandung fosil foraminifera kecil, plankton dan bentos, di antanya Globigerina venezuelana HERDBERG, kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur Miosen Tengah atau zona N9-N12 (Purnamaningsih, 1986, hubungan tertulis).

Pada batuan yang sama dijumpai fosil bentos, antara lain Uvigerina sp., brazilina sp., planulina sp, dan gyoridina sp. Fosil tersebut menunjukkan bahwa formasi ini berlingkungan pengendapan sublitoral luar-batial. Formasi ini tebalnya ratusan meter dan menyebar di bagian tenggara lembar, meliputi daerah Rawaragos, Sungai Cibeber, yang membentuk morfologi ”hogbag”. Berdasarkan bentuk sebaran dan umurnya, formasi ini menjemari dengan kelapanunggal.

Nama Formasi Jatiluhur pertamakali diusulkan oleh Effendi (1974) dan menerus ke lembar Karawang dan lembar Bogor.

b. Formasi Bojongmanik (Tmb)

Terdiri dari perselingan batu pasir dan batu lempung dengan sisipan batu gamping.

Batu pasir, kelabu kehijauan, berbutir halus-sedang, membundar tanggung-membundar, terpilih baik, tersusun oleh kuarsa dan banyak glokonit tebal 40-80 cm.

Batu lempung, kelabu kebiruan, berlapis baik, berstruktur perairan, agak padat, tebal berkisar antara 10-30 cm.

Batu gamping, kelabu kekuningan, padat berlapis dengan tebal 50-100 cm, mengandung fosil moluska dan koral. Pada beberapa tempat terdapat sisipan tipis tuf batu apung, breksi tufan, batu pasir tufan dan sedikit sisa tumbuhan, berstruktur simpang siur. Di beberapa tempat dijumpai sisipan batubara muda dan kuning kecoklatan bila sudah lapuk.

Analisis Palaentologi pada batu lempung dijumpai jejak fosil dan foraminifera plankton, diantaranya Globigerinoides trilobus

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-10

BPDAS Citarum-Ciliwung

REUSS. Kumpulan fosil-fosil tersebut di atas menunjukkan umur Miosen Tengah (N9-N13, Purnamaningsih, 1986, hubungan tertulis). Dengan dijumpainya fosil bentos antara lain Robulus sp., maka formasi Bojongmanik diperkirakan diendapkan dalam lingkungan laut dangkal terbuka, sublitoral dalam. Secara umum formasi ini menunjukkan perlapisan bagus dengan struktur sedimen lapis bersusun, simpang siur dan struktur perairan, yang menunjukkan sedimen ini diendapkan dalam lingkungan air yang berarus.

Tebal formasi ini diperkirakan mencapai 1.000 m. Berdasarkan kesamaan batuan dan umur nisbinya, formasi ini dapat dikorelasikan dengan formasi Bojongmanik bagian bawah (Sudjatmiko, dkk. 1989). Sebarannya meliputi daerah Pr. Rahang, Bojongsengket, Cikaau, Banakan dan lain-lainnya.

Pada lembar Bogor, Formasi Bojongmanik (Tmb) ini tertindih oleh tuf dan breksi (Tmtb), sedangkan pada lembar Jakarta tuf dan Breksi merupakan bagian dari Formasi Bojongmanik (Tmb).

c. Formasi Genteng (Tpg)

Terdiri dari tuf batu apung, batu pasir tufan, breksi, andesit, konglomerat dan sisipan lempung tufan.

Tuf batu apung warna putih sampai kelabu, berbutir halus hingga kasar, bersifat asam hingga menengah, berlapis baik, mengandung batu apung, kaca gunung api, kuarsa, mika, hornblenda, dan pecahan batuan, tebal batuan sekitar 90 cm, setempat bersisipan tipis tuf debu dan kayu terkesikkan.

Batu pasir tufan, kelabu hingga kebiruan, berbutir sedang hingga kasar, mengandung glokonit, kuarsa dan kayu terkesikkan yang melimpah, berstruktur silang siur, tebal lapisan sampai puluhan meter.

Breksi andesit, berstruktur perlapisan bersusun, berbutir pasir kasar hingga kerakal, menyudut tanggung hingga membundar tanggung, berkomponen andesit basal, batu apung, kuarsa dan gunung api, tebal lapisan dari beberapa sentimeter hingga puluhan meter. Di beberapa tempat terdapat lensa-lensa tuf dan batu pasir terutama di bagian alasnya.

Konglomerat, kelabu tua, agak mampat, berbutir pasir kasar hingga kerakal, membundar hingga membundar tanggung,

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-11

BPDAS Citarum-Ciliwung

berlapis baik, berkomponen andesit, kuarsa, batu apung, felspar, batu pasir dengan masa dasar tuf pasiran, berstruktur lapis bersusun, tebal lapisan antara 15-60 cm, terutama pada bagian bawah formasi.

Lempung tufan, berwarna kelabu kehijauan, lunak, tebal sekitar 5-10 cm, sebagai sisipan dalam batu pasir. Di dalam formasi ini tidak ditemukan adanya fosil. Berdasarkan stratigrafinya yang menindih tak selaras Formasi Bojongmanik dan ditindih secara selaras Formasi Serpong, maka formasi ini diduga berumur Pliosen awal-pliosen tengah. Marks (1956) menyatakan Pliosen awal berumur pliosen awal-pliosen tengah, sedangkan Van Bammelen (1949) menyatakan berumur Miosen-Pliosen Awal. Berdasarkan struktur sedimen dan batuan penyusunnya, diduga formasi ini diendapkan dalam lingkungan litoral hingga darat.

Tebal lapisan ini diperkirakan puluhan hingga ratusan meter, sebarannya meliputi daerah-daerah Dago hilir, Pasirawi, Celong, Pagedangan dan Curugwetan.

Nama satuan ini didasarkan persamaan litologi dan penyebarannya di lembar Serang, dengan lokasi tipe di Desa Genteng, sebelah selatan Rangkasbitung, Banten.

Nama lain adalah ”Genteng Lagen” (Anonimous, 1938) atau ”Genteng Bed” (Van Bemmelen, 1949).

d. Formasi Serpong (Tpss)

Tersusun oleh perselingan konglomerat, batu pasir,batu lanau, batu lempung dengan sisa tanaman, konglomerat batu apung dan tuf batu apung.

Konglomerat, hitam kebiruan, terdiri dari beraneka ragam komponen, yaitu andesit, basal, batu gamping dan rijang, setempat terdapat fosil kayu, matriks pasir hitam, kemas terbuka, pemilahan sedang, komponen berumur 7-12 cm, setempat sampai 30 cm, membundar-tanggung membundar, berstruktur imbrikasi (”imbrication”). Pada umumnya mengisi bagian yang tererosi pada batuan yang lebih tua (Formasi Bojongmanik). Di bagian atas, konglomerat ini mengandung batu apung yang berukuran lebih kecil dari (3-5 cm) dengan matrik pasir tufan.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-12

BPDAS Citarum-Ciliwung

Batu pasir, kelabu kehijauan, halus-sedang, membundar tanggung-membundar baik, pemilihan sedang, sebagian berstruktur silang siur, tebal lapisan 60-200 cm, berselang seling dengan konglomerat.

Batu lanau, kelabu kehitaman, berstruktur perairan, mengandung banyak sisa tanaman seperti daun, batang dan tunggul pohon, berselang seling dengan konglomerat, tebal lapisan 50-300 cm.

Batu lempung, kelabu kehitaman, pejal dan berstruktur perairan, mengandung sisa tanaman dan bekas galian binatang, berselang seling dengan konglomerat, tebal lapisan 30-100 cm.

Konglomerat batu apung, putih kekuningan, komponen terdiri dari batu apung andesitan, pemilihan baik, berukuran 3-5 cm, matrik tufan kelabu cerah, berselang seling dengan tuf batu apung.

Tuf batu apung, putih, berbutir kasar, pemilihan jelek, membundar tanggung hingga membundar, tersusun dari pasir kasar (lapili) bersusunan andesitan, berstruktur silang siur, semakin ke atas semakin halus dan menjadi tuf halus yang berstruktur perairan, setempat bersisipan pasir hitam. Kemiringan batuan 5-100 dengan arah jurus timur laut-barat daya.

Dalam formasi ini tidak ditemukan adanya fosil. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang menindih secara tidak selaras Formasi Bojongmanik dan Formasi Genteng, dan ditindih secara selaras oleh batuan vulkanik muda. Diduga Formasi Serpong berumur Pliosen Akhir.

Berdasarkan kenampakan batuan, struktur sedimen dan bentuk sebarannya yang di sepanjang sungai, maka formasi ini diduga diendapkan pada sungai tua yang berpola menganyam dan bertanggul (levee), dan sebagian di endapkan pada lingkungan rawa.

Tebal lapisan ini sekitar 100 m, sebaran Formasi ini di sepanjang Sungai Cisadane, Sungai Cikeas, Sungai Cileungsi, di Kampung Bodonglio dan Depok.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-13

BPDAS Citarum-Ciliwung

Batuan Gunung Api

a. Tuf Banten (QTvb)

Terdiri dari tuf, batu apung, breksi dan batu pasir tufan.

Tuf kaca, berwarna kelabu, terdiri dari masa dasar kaca, berkomponen felspar, mineral mafik dan sedikit kuarsa, bersusunan andesit dan umumnya mengandung batu apung.

Tuf tua, berwarna kelabu gelap, terutama terdiri dari kepingan andesit dan batu apung serta dengan sedikit felspar dengan tuf halus sebagai masa dasar.

Tuf hablur, berwarna kelabu putih, tersusun dari felspar, mika, minera, mafik, kaca dan sedikit kepingan andesit serta batu apung.

Breksi batu apung, kelabu kecoklatan, komponennya menyudut-membundar tanggung, terpilah buruk, kemas agak terbuka dan padu, berukuran 10 cm terdiri dari batu apung, andesit, obsidian dan kaca gunung api.

Batu pasir tufan, berwarna putih kelabu, berbutir menengah sampai kasar, agak padat, mengandung batu apung, setempat terdapat sisa tumbuhan, umumnya menmunjukkan perlapisan silang siur. Dijumpai beberapa sisipan tuf batu apung dengan tebal 10-15 cm dan andesit dengan massa dasar tuf berbutir halus.

Di dalam satuan ini tidak dijumpai fosil. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang menindih secara tidak selaras Formasi Genteng dan Formasi Serpong, dan ditindih secara selaras oleh batuan gunung api muda, satuan ini diduga berumur Plistosen Awal-Tengah, dan diendapkan dalam lingkungan darat sampai daerah pasang surut.

Sebaran satuan ini terutama di bagian barat-laut Lembar, meliputi daerah Tanerang, Bojonglopang, Cipondoh dan Pasir Gadeng. Tebalnya diduga sekitar puluhan meter.

Satuan ini merupakan lanjutan dari Tuf Banten dan Lembar Serang.

Penyelidik terdahulu menyebutnya sebagai Banten Tuff (Schreibner, 1925).

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-14

BPDAS Citarum-Ciliwung

b. Endapan Gunung Api Muda (Qv)

Breksi, lahar, lava bantal, dan tuf breksi berselingan dengan tuf pasir atau tuf halus.

Breksi, kelabu kehitaman padat berkomponen andesit berukuran 1-15 cm, menyudut-membundar tanggung, terpilah buruk dengan masa dasar batu pasir kasar bersusunan andesitan.

Lahar, kelabu kehitaman, padat, struktur kasar, aliran, permukaan kasar, komponen menyudut-membundar tanggung, terpilah buruk.

Lava, berstruktur bantal, kelabu kehitaman, berhablur halus-sedang, porfiritik dengan piroksen dan olivin sebagai fenokris, dan masa dasar dari plagioklas, di beberapa tempat berstruktur berongga (Amigdaloidal) yang diisi oleh kalsit.

Tuf Breksi, kelabu-coklat, sebaran komponen 0,5-20 cm, tidak merata, terpilah buruk, kemas agak terbuka, komponen dari andesit, batu apung, gelas atau pasir gunung api dan mineral terang, tebalnya beberapa meter.

Tuf pasir berlapis, putih kekuningan, pemilahan jejak, berbutir halus-kasar, menyudut-membundar tanggung, masa dasar pasair halus, tebal lapisan 2-15 cm, berselingan dengan tuf halus, dan di bagian atas dengan tuf breksi.

Tuf halus, putih kekuningan, berstruktur perairan, mengandung fosil kayu yang terkesikkan, moluska dan bekas galian binatang ”burrow”. Di dalam tuf halus ini dijumpai adanya foraminifera bentos jenis Bolivia sp., Non-ion sp. Dan tulang ikan. Batuan gunung api ini diduga plistosen dan diendapkan dalam lingkungan darat, diperkirakan dari sumber Gunung Sudamanik. Di lembar Bogor (Effendi, 1986), satuan ini disebut sebagai vulkanik tua tak terurai (Qvu). Tebal lapisan beberapa puluh sampai ratusan meter. Sebarannya di sekitar Sungai Cipangaur dan Sungai Cimanceuri. Adanya lava berstruktur bantal menunjukkan bahwa lava ini tidak jauh dari sumbernya dan diendapkan dalam lingkungan air. Endapan gunung api muda ini menyebar ke Lembar Bogor sebagai aliran lava (Qv) dan batuan Gunung Api tua tak dipisahkan (Qvu).

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-15

BPDAS Citarum-Ciliwung

c. Andesit Sudamanik (Qvas)

Terdiri dari andesit. Andesit kelabu kehitaman, padat, porfiritik dengan piroksen, hornblenda dan plagioklas sebagai fenokris dan bermassa dasar felsfar. Di beberapa tempat berstruktur meniang atau ”sheeting”. Batuan ini membentuk kerucut tumpul di Gunung Sudamanik dan kerucut kecil-kecil di sekitarnya. Diduga bahwa kerucut ini merupakan sumbat gunung api (”volcanic neck”) atau “parasiticone” dari Gunung Sudamanik. Umur batuan ini diduga sama dengan atau lebih muda dari endapan gunung api (Qv), yaitu Plistosen.

3.3.2. Hidrogeologi

Wilayah cekungan air tanah Jakarta terbagi ke dalam 4 bagian, yaitu :

1. wilayah dataran pantai yang meliputi utara Tangerang – Jakarta – Bekasi, wilayah undak/terrace menempati bagian tengah cekungan, wilayah batuan dasar Tersier kedap air/produktif kecil dan wilayah lereng gunung api salak dan Pangrango.

2. Wilayah dataran pantai dan undak/terrace, merupakan daerah dengan sistem akuifer dengan aliran air tanah melalui ruang antar butir, debut sumur umumnya kurang dari 5 l/dtk terutama terdapat di wilayah Jakarta.

3. Wilayah lereng gunung api Salak dan Pangrango, merupakan daerah akuifer dengan aliran melalui celahan dan ruang antar butir, debit sumur umumnya kurang dari 5 l/dtk, setempat lebih dari 5 l/dtk.

4. Wilayah batuan dasar tersier kedap air atau akuifer produktif kecil (pegunungan sebelah timur dan barat).

Berdasarkan kesebandingan lempung laut dari berbagai sumur bor endapan kuarter di cekungan air tanah Jakarta, Soekardi (1992) menyusun penampang hidrogeologi utara – selatan dengan hasil sebagai berikut :

1. Kelompok Akuifer I, merupakan akuifer tak tertekan berkedalaman kurang daru 40 meter bmt.

2. Kelompok Akuifer II, merupakan akuifer tertekan atas dengan kedalaman 40-140 meter bmt.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-16

BPDAS Citarum-Ciliwung

3. Kelompok Akuifer III, merupakan akuifer tertekan tengah dengan kedalaman 140-250 m bmt.

4. Kelompok Akuifer IV, merupakan akuifer tertekakn bawah dengan kedalaman > 250 meter bmt.

Selanjutnya CRBDFS, menyusun diagram pagar di wilayah Jabotabek berdasarkan data sumur bor. Tataan akuifer di wilayah Jabotabek terutama dijumpai pada akuifer endapan kuarter dan terbagi ke dalam 3 zona akuifer, yaitu zona akuifer tak tertekan, zona akuifer tertekan tengah dan zona akuifer tertekan bawah yang masing-masing zona ini dipisahkan oleh lapisan akuitar. Masing-masing zona akuifer tersebut bervariasi dari kedalaman sekitar 20-60 m, 60-150 m, dan 150-250 m bmt. Pada kedalaman yang lebih lanjut dijumpai batuan sedimen Polisen dan Miosen yang umumnya berfungsi sebagai nir akuifer terutama pada endapan Plisen.

Keterdapatan air tanah di suatu daerah dipengaruhi oleh keterkaitan dari berbgai faktor pendukung, seperti keadaan iklim, curah hujan, jenis litologi, struktur geologi, morfologi dan tata guna lahan. Mandala Air Tanah

Terutama didasarkan pada ciri morfologi, di Jakarta dapat dibagi menjadi 3 mandala air tanah, yaitu mandala air tanah dataran, mandala air tanah perbukitan, dan mandala air tanah karst.

? mandala air tanah dataran; menempati dataran aluvium pantai dan dataran aluvium sungai. Dataran patai berarah barat-timur meliputi utara Tangerang – Jakarta dan Bekasi dengan lebar antara 6-16 km, selebihnya sebagian besar mandala air tanah dataran terletak di bagian selatan hingga sampai di sekitar daerah Serpong dan Depok. Umumnya mandala ini mempunyai sudut kelerengan antara 0-1,5%, ketinggian antara 0-100 m dpl. Luas mandala ini sekitar 75% dari daerah penyelidikan. Litologi penyusun dari mandala ini terutama terdiri dari endapan bersifat lepas dari endapan kuarter berupa kerakal, kerikil, pasir, lempung dan terdiri dari endapan batuan padu tersier berupa batu pasir, breksi, tufa, konglomereat dan batu lempung. Batu-batu lepas terutama diendapkan oleh sungai Cisadane, Ciliwung dan Bekasi serta cabang-cabangnya berupa endapan aluvium pantai, pematang

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-17

BPDAS Citarum-Ciliwung

pantai dan sungai purba di bagian utara meliputi utara Tangerang-Jakarta-Bekasi. Ke arah lebih selatan dari daerah ini litologi penyusunnya berupa endapan kipas aluvium berupa pasir, lempung dan kerikil yang semuanya bersifat tufaan. Tata guna lahan di daerah ini berupa pemukiman, ladang, kebun buah-buahan, sawah dan industri.

? Mandala air tanah perbukitan; menempati sekitar 20% dari daerah penyelidikan, menempati bagian selatan dengan ketinggian sekitar 60-512 m dpl, umumnya bersudut lereng 3-10% (kemiringan sedang) dan sebagaian di barat daya bersudut lereng 10-30% (kemiringan curam). Litologi penyusun dari mandala air tanah perbukitan terdiri dari endapan tersier dan kuarter. Endapan tersier berupa batu lempung, batu pasir, konglomerat, tufa dan sisipan batu gamping. Endapan kuarter terdiri dari batuan vulkanik muda dan kipas aluvium. Batuan vulkanik muda terdiri dari breksi, lahar, tufa batu apung di daerah lereng curam. Endapan kipas aluvium umumnya bersifart tufaan terdiri dari pasir dan lempung. Penyebaran mata air mandala ini sedikit dijumpai, diantaranya adalah mata air gabageang di daerah lereng utara Gunung Sudamanik bagian barat daya daerah penyelidikan mempunyai debit 0,4 l/dtk. Tata guna lahan mandala ini berupa ladang, belukar, sawah, pemukiman, kebun karet, kebun teh dan hutan.

? Mandala air tanah karst; dicirikan oleh daerah batu gamping dengan gejala pelarutannya oleh air. Proses pelarutan ini ditunjukkan oleh rongga-rongga dan permukaan-permukaan runcing pada batu gamping tersebut. Luas mandala ini sekitar 5% dari daerah penyelidikan, menempati bagian tenggara daerah penyelidikan. Litologi penyusun mandala ini terdiri daribatu gamping koral dan bati gamping berlapis. Pemunculan mata air di mandala ini mempunyai debit cukup besar dengan kiksaran 100-500 l/dtk (M.A. Cilalai). Tata guna lahan di mandala ini berupa ladang dan belukar.

Daerah resapan air tanah utama di Jabodetabek antara lain daerah Parung, Sawangan, Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong, Pancoran Mas, Cisarua. Tingkat kelulusan batuan sangat tinggi, yaitu diatas 10³ m/hari dengan jenis batuan endapan kipas aluvium, aluvium sungai dan endapan gunung api muda. Dibagian selatan tingkat kelulusan relatif rendah yaitu sebesar 10-1 sampai 10-2 m/hari. Daerah ini jenis tanahnya

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-18

BPDAS Citarum-Ciliwung

regosol, latosol dengan curah hujan 2.500-5.000 mm ke arah selatan.

Daerah resapan sedang terdapat di daerah Megamendung dengan luasan relatif kecil dibanding lainnya. Daerah resapan kecil tersebar di wilayah Parungpanjang, Cigudeg, G. Awi Bengkok, G. Salak, G. Mandalawangi di selatan, G. Megamendung, G. Telaga, tersusun atas material gunung api muda, endapan gunung api tak teruraikan, endapan gunung api tua, lava Formasi Cantayan dan kompleks sedimen berselang seling dengan kelulusan air antara 10-1 sampai 10-2 m/hari. Curah hujan antara 3.500-5.000 mm ke arah tenggara dengan jenis tanah grumusol dan andosol.

Menurut perhitungan imbangan air berdasar penggunaan lahan dan hujan th 1998 maka di Kabupaten Dati II Bogor masih mampu meresapkan air sebanyak 7.837,09 x 106 m³/th. Nilai ini sudah terjadi penurunan dibanding data th 1996 dengan resapan sebesar 7.980 x 106 m³/th.

3.4 Topografi, Kelerengan dan Kecepatan Aliran

Rata-rata bentuk DAS yang mengalir ke Jakarta adalah memanjang dari hulu ke hilir. Hanya DAS-DAS besar seperti Cisadane, Ciliwung dan Bekasi yang mempunyai bentuk DAS membesar di bagian hulu. Terkait dengan kondisi topografi dan kelerengannya, maka variasi lereng yang curam terdapat di tiga DAS tersebut terutama di daerah hulu. Sedangkan bagian tengah dari DAS tersebut berbatasan dengan bagian hulu dari DAS lain seperti Angke, Pasanggrahan, Grogol-Krukut, Sunter dan Cakung yang mempunyai kelerengan relatif landai dari 0-15%. Dengan melihat kondisi ini, maka pada saat aliran air permukaan di tiap DAS tersebut masuk ke dalam wilayah Jakarta akan mengalami kecenderungan waktu konsentrasi yang lebih lama atau dengan kata lain mempunyai potensi genangan yang lebih tinggi. Berdasarkan pembagian kelas lereng di wilayah DAS di Jabodetabek disajikan pada Tabel 3.3 dan Gambar 3.4 di bawah ini.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-19

BPDAS Citarum-Ciliwung

Tabel 3.3. Kelas lereng wilayah DAS di Jabodetabek

Luas (Ha) Kelas Lereng

(%) 1 2 3 4 5 6 7 8

Total Luas (Ha)

0 – 5 77,522 23,703 17,427 22,142 24,982 15,319 13,396 35,288 229,779

6 - 10 17,037 235 255 55 3,789 29 6 6,816 28,223

11 - 15 12,581 33 52 2 2,486 2 - 4,184 19,340

16 - 20 9,298 - 3 - 1,719 - - 2,105 13,124

21 - 25 7,951 - - - 1,407 - - 1,333 10,691

26 - 30 6,293 - - - 1,191 - - 963 8,447

31 - 35 4,558 - - - 897 - - 667 6,122

36 - 40 2,721 - - - 567 - - 314 3,603

> 41 % 2,084 - - - 434 - - 115 2,633 Total Luas (Ha)

140,046 23,971 17,737 22,199 37,472 15,349 13,403 51,785 321,963

Keterangan: 1.Cisadane, 2.Angke, 3.Pesanggrahan, 4.Krukut & Grogol, 5.Ciliwung,

6.Sunter, 7.Cakung, 8.Kali Bekasi

Dengan menggunakan batasan kelerengan dan metode perhitungan kecepatan aliran seperti yang dijelaskan pada Bab II, maka untuk setiap DAS di dapatkan waktu konsentrasi mulai dari bagian paling hulu sampai dengan hilir seperti yang disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Waktu aliran rata-rata dari hulu sampai hilir

No DAS Waktu aliran rata-rata dari Hulu ke Hilir (jam)

1 Cisadane 18.0 2 Angke 7.4 3 Pasanggrahan 6.2 4 Grogol-Krukut 5.0 5 Ciliwung 10.4 6 Sunter 7.0 7 Cakung 4.9 8 Bekasi 9.5

Dengan melihat waktu konsentrasi aliran terlihat bahwa DAS Cisadane mempunyai waktu yang lama (18 jam) sehingga dari segi bahaya banjir lebih rendah bila dibandingkan dengan DAS lainnya. DAS Angke, Pesangrahan, Krukut-Grogol dan Sunter mempunyai waktu pemusatan aliran berkisar antara 4-7 jam sehingga perlu diwaspadai, sementara DAS Ciliwung memerlukan

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-20

BPDAS Citarum-Ciliwung

waktu 10,4 jam untuk berkumpulnya seluruh aliran apabila di wilayah Jabodetabek ada hujan yang seragam dari hulu sampai hilir, sehingga masih ada waktu yang cukup untuk melakukan antisipasi terhadap banjir yang mungkin terjadi di Jabodetabek.

Gambar 3.4. Pembagian kelas lereng di wilayah DAS di Jabodetabek.

3.5 Jenis Tanah dan Potensi Infiltrasi Berdasarkan peta tanah klasifikasi USDA skala 1 : 250.000 dari Pusat Penelitian Tanah, daerah kajian meliputi 8 tipe jenis tanah. Jenis tanah yang ada meliputi distrandept, distropept, eutropept, hidraquent, paleudult, rendole, tropaquept, tropudalf dan vitrandept. Penjelasan masing-masing jenis tanah ditunjukan pada Tabel 3.5.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-21

BPDAS Citarum-Ciliwung

Tabel 3.5. Deskripsi fisik jenis tanah yang ada dalam daerah kajian

Jenis Tanah (USDA) Keterangan

Distrandept Tanah abu vulkanik agak lapuk, dengan nilai jenuh rendah, berlapis tanah-bawah, basa dan lapis tanah atas tebal hitam

Distropept Tanah agak lapuk iklim panas dengan nilai jenuh tanah bawah basa yang rendah

Eutropept Tanah iklim panas agak lapuk dengan kejenuhan basa

Hidraquent Tanah tak-lapuk, jenuh permanerr, yang lembut bila terinjak dan sebagian besar bertekstur halus

Paleudult Tanah asam sangat lapuk dengan tanah-bawah yang tebal, merata dan bertekstur lebih halus

Rendole Tanah bersifat asam lemah sampai netral, lapuk moderat, dangkal berwarna gelap pada bahan induk berkapur

Tropaquept Tanah iklim panas yang jenuh permanen, agak lapuk, tak diperbedakan

Tropudalf Tanah lapuk benar di iklim panas dengan tanah bawah bertekstur lebih halus

Vitrandept Tanah debu vulkanik agak lapuk mempunyai tekstur dominan kasar dan lapisan tanah aras yang hitam

Berdasarkan tebal solum, distrandept; distropept; eutropept; hidraquent; tropaquept dan vitrandept memiliki tebal solum yang dalam. Paleudult memiliki tebal solum yang sangat dalam sedangkan rendole tebal solumnya dangkal. Jenis tanah tropudalf memiliki tebal solum dalam –sangat dalam. Berdasarkan muka air tanah distrandept, distropept, eutropept, paleudult, rendole, tropudalf dan vitrandept memiliki muka air tanah yang dalam sedangkan hidraquent dan tropaquept memiliki muka air tanah yang dangkal–sangat dangkal. Berdasarkan laju infiltrasi, distrandept dan vitrandept memiliki laju infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan jenis tanah yang lainnya. Distropept dan eutropept memiliki tingkat laju infiltrasi yang sedang. Laju infiltrasi tanah hidraquent berkisar antara

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-22

BPDAS Citarum-Ciliwung

rendah–sangat rendah. Sedangkan paleudult, rendole, tropaquept dan tropudalf laju infiltrasinya rendah. Peta sebaran jenis tanah menunjukkan di bagian hulu DAS Cisadane, Ciliwung dan Kali Bekasi relatif lebih beragam jenis tanahnya dibandingkan DAS-DAS yang lainya. Distropept lebih mendominasi jenis tanah di bagian hulu DAS Ciliwung dan Cisadane. Sedangkan di DAS Kali Bekasi lebih didominasi oleh jenis tanah tropudalf. Jenis tanah Paleudult lebih mendominasi di bagian tengah DAS Ciliwung, Cisadane dan Kali bekasi atau di bagian hulu DAS Krukut dan Grogol, Cakung, Sunter, Angke dan Pesanggrahan. Hampir seragam di bagian hilir daerah kajian lebih didominasi oleh jenis tanah Tropaquept. Luas masing-masing jenis tanah setiap DAS ditunjukan oleh Tabel 3.6 dan sebarannya ditunjukkan pada Gambar 3.5. Tabel 3.6. Jumlah luas jenis tanah klasifikasi USDA di setiap

DAS.

Luas Jenis tanah di Setiap DAS (Ha) Jenis Tanah (USDA)

1 2 3 4 5 6 7 8

Total Luas (Ha)

Distrandept 408 - - - - - - - 408

Distropept 49.459 - - - 7.798 - - 4.565 61.822

Eutropept 7.576 2.158 1.840 - 5.547 - - 8.683 25.804

Hidraquent 20.141 - - 83 5.325 - - 54 25.603

Paleudult 50.365 20.344 14.987 16.256 12.629 13.989 8.056 11.863 148.488

Rendole - - - - - - - 2.068 2.068

Tropaquept 10.175 1.325 909 5.860 4.281 1.361 5.347 12.577 41.835

Tropudalf 1.921 - - - - - - 11.976 13.898

Vitrandept - - - - 1.893 - - - 1.893

No Data - 145 - - - - - 145

Total Luas (Ha)

140.046 23.971 17.737 22.199 37.472 15.349 13.403 51.785 321.963

Ket: 1.Cisadane, 2.Angke, 3.Pesanggrahan, 4.Krukut & Grogol, 5.Ciliwung, 6.Sunter 7.Cakung, 8. Kali Bekasi

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-23

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.5. Peta sebaran tanah dalam lingkup wilayah Jabodetabek (sumber: Pusat Penelitian Tanah, Repprot)

3.6 Kelompok Hidrologi Tanah (Soil Hidrology Group)

Untuk menghitung karakteristik infiltrasi tanah U.S. Soil Conservation Service membagi tanah ke dalam empat Soil Hidrological Group, yang didefinisikan sebagai berikut :

Grup A : potensi run-off rendah, tanah mempunyai laju transmisi air tinggi (laju infiltrasi final lebih besar 0,72 cm/jam), tektur berpasir

Grup B : tanah mempunyai laju transmisi air tergolong sedang (laju infiltrasi final antara 0,72 – 0.36 cm/jam), tektur lempung berpasir

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-24

BPDAS Citarum-Ciliwung

Grup C : tanah mempunyai laju transmisi air tergolong lambat (laju infiltrasi final antara 0,36-0,12 cm/jam), lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan tanah –tanah berkadar liat tinggi

Grup D : potensi run-off tinggi, tanah mempunyai laju transmisi air tergolong sangat rendah (laju infiltrasi final lebih kecil 0,12 cm/jam), tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat berat, dan plastis.

Soil Hidrological Group di daerah kajian didominasi oleh grup C, yang paling banyak ditemukan di bagian tengah daerah kajian. Hanya sebagian kecil ditemukan pada bagian hulu DAS Cisadane dan Kali Bekasi. Group B lebih banyak di temukan pada bagian Hulu DAS Cisadane dan Kali Bekasi. Bagian Hilir semua DAS kajian termasuk dalam Group D, di mana daerah ini memiliki potensi limpasan permukaan yang tinggi atau potensi transmisi air ke dalam tanah sangat rendah. Tabel 3.7 menunjukkan luas kawasan menurut SHG dan Gambar 3.6 menunjukkan sebarannya.

Tabel 3.7. Jumlah luas soil hidrological group (SHG) di setiap DAS.

Soil Hidrological Group (SHG) Daerah Aliran Sungai

A B C D No Data

Total Luas (Ha)

DAS Angke - 2.158 20.344 1.325 145 23.971

DAS Cakung - - 8.056 5.347 - 13.403

DAS Ciliwung 1.893 13.345 12.629 9.606 - 37.472

DAS Cisadane 408 57.035 52.286 30.316 - 140.046

DAS Bekasi - 13.248 23.839 14.699 - 51.785

DAS Krukut & Grogol - - 16.256 5.943 - 22.199

DAS Pesanggrahan - 1.840 14.987 909 - 17.737

DAS Sunter - - 13.989 1.361 - 15.349

Jumlah 2.301 87.626 162.386 69.506 145 321.963

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-25

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.6. Peta sebaran SHG dalam lingkup wilayah

Jabodetabek (sumber: Pusat Penelitian Tanah, Hasil Studi)

3.7. Kondisi Tutupan Lahan 3.7.1 DAS Cisadane

DAS Cisadane mengalir dari G. Salak di bagian selatan Kab. Bogor. Dibagian hulu bterdapat S. Cikaniki, Cianten, Ciampea, Cinangneng, Cihideung, Ciomas, yang bersal dari bagian Bogor bagian barat. Sementara di bagian hulu dibagian selatan terdapat S. Cinagara, Cimande, Cisadaen Hulu, dan S. Ciapus. Kawasan hijau lebih banyak tersebar dari bagian hulu sampai bagian hilir (± 33 %). Banyak wilayah dalam DAS ini termasuk dalam kawasan hutan. DAS Cisadane paling selatan terdapat Taman nasional Gung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-26

BPDAS Citarum-Ciliwung

Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh lahan pertanian semusim dan daerah ladang, sawah dan tegalan. Khusus untuk daerah Cisadane hulu tertama di daerah Kec. Caringin dan Ciawai yang meliputi Desa Pasir Buncir, Cinagara, Tangkil, Lemah Duwur dan Pancawati merupakan daerah “lahan gontai” yang dikuasasi oleh para pengembang yang merupakan tanah eks PTP XI perkebunan karet sehingga banyak masalah yang berkaitan dengan masalah sosial terkait dengan status kepemilikan dan masalah sosial terkait dengan kesempatan kerja yang ada sehingga memerlukan penanganan yang seksama.

Gambar 3.7. Batas dan Bentuk DAS Cisadane

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-27

BPDAS Citarum-Ciliwung

Di bagian tengah yang meliputi Kota Bogor, Rumpin dan Serpong terdapat lahan terbangun tersebar merata di bagian tengah. Kurang lebih 17,7% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun. Daerah yang termasuk pemukiman ± 15,45%.. Proporsi luasan tipe penutupan lahan yang lainnya di tunjukan oleh gambar di bawah ini.

Gambar 3.8. Persentase Penutupan Lahan di DAS Cisadane

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-28

BPDAS Citarum-Ciliwung

3.7. 2 DAS Angke

DAS Kali Angke memiliki bentuk hulu yang runcing dan memanjang. Bagian tengah yang lebih tambun kemudian menyempit sampai hilir. Luas DAS ini ± 23.971 Ha. Hulu DAS ini berada di perumahan Yasmin Bogor dan melewati wilayah Parung, Bojong Gede, Ciputat, Serpong dan bermuara di saluran Mookevart. Konsentrasi daerah pemukiman berada di bagian hulu, dan tersebar sampai bagian hilir. Bagian hulu paling ujung lebih padat. Kurang lebih 45 % dari luas total DAS adalah daerah pemukiman padat. Kawasan hijau lebih banyak tersebar di bagian hilir dan hulu bagian tengah walaupun tersebar tidak merata. Proporsi setiap tipe penutupan lainnya yang ada di DAS ini di tunjukan Gambar 3.9. di bawah ini.

Gambar 3.9. Batas dan Bentuk DAS Angke

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-29

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.10. Persentase penutupan lahan di DAS Angke

Kawasan pemukiman yang ada di DAS Angke adalah Perumahan Taman Yasmin, Taman Persada, Bukit Cimanggu Vila dan Bukit Mekar Wangi di Kota Bogor, serta perumahan Bilabong dan Telaga Kahurupan di wilayah Kabupaten Bogor. Sementara di bagian hilir perumahan di sekitar Serpong, Ciputat, Kebayoran lama dan perumahan di sekitar Kota Tanggerang, dan Jakarta Barat.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-30

BPDAS Citarum-Ciliwung

3.7.3 DAS Pesanggrahan

DAS Pesanggrahan bentuknya memanjang dan ramping. Bagian hulu lebih runcing dan melebar menuju bagian tengah kemudian menyempit dan melebar kembali menuju hilir. Bagian hilir bentuknya lebih oval dan lebih luas dibandingkan bagian hulu dan tengah. Hulu DAS Pesangrahan terletak di perumahan Budi Agung, Tanah Sareal Kota Bogor dan bagian hilirnya bertemu dengan saluran Cengkareng Drain. Luas kawasan DAS ini ±17.737 Ha.

Tipe penutupan lahan di DAS Pesanggrahan lebih di dominasi oleh lahan terbangun (± 60%). Daerah pemukiman lebih banyak di temukan di bagian tengah sampai hilir. Diantara lahan terbangun yang ada daerah Bogor, yaitu Bojong Gede, Cilebut, Depok, Sawangan, Pondok Cabe, Kebayoran Lama, Cileduk, Kebon Jerung dan Srengseng di Jakarta Barat. Pemukiman padat paling banyak ditemukan kurang lebih 38,43% dari luasan DAS adalah daerah pemukiman padat yang tersebar paling banyak di daerah hilir, khusunya disekitar Kebayoran lama, Kedoya dan kebon jeruk di jakarta Barat.

Berdasarkan hasil analisis hanya terdapat Kurang lebih 7% Kawasan hijau hanya sebagian kecil berada di bagian hilir dan sebarannya tidak merata termasuk hutan kota di Srengseng Jakarta Barat.

Gambar 3.11. Batas dan bentuk DAS Pesanggrahan

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-31

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.12. Persentase penutupan lahan di DAS Pesanggrahan

3.7.4 DAS Ciliwung

Das Ciliwung lebih unik lagi dibandingkan dengan bentuk DAS-DAS yang lainnya. Sepintas terlihat seperti corong. Bagian hulu yang melebar kemudian meyempit di bagian tengah dan memanjang sampai ke hilir. Bagian hulu berada di daerah puncak Kab. Bogor sampai ke daerah Katulampa. Bagian tengah berada di daerah Ratujaya, Depok dan bagian hilir DAS ini sampai ke Banjir Kanal Barat daerah Manggarai. Luas DAS ini ± 37.472 Ha.

Di bagain hulu DAS Ciliwung terdapat dua perkebunan teh masing-masing PTP VIII Gunung Mas dan perkebunan teh Ciliwung, yang berbatasan dengan Cagar Alam Talaga Warna dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Seluruh wilayah Daerah hulu DAS Ciliwung terdapat di Kabupaten Bogor. Masalah yang terdapat di hulu DAS Ciliwung adalah adanya pelanggaran terhadap tata ruang khsususnya adanya pembangunan vila-vila yang tidak sesuai dengan fungsi resapan.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-32

BPDAS Citarum-Ciliwung

Daerah lahan terbangun DAS ini tersebar merata dari bagian tengah sampai hilir. Kurang lebih 45,8% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun yang meliputi daerah Megamendung, Cisarua, Ciawi, Kota Bogor, Cibinong, Depok, Pasar Minggu dan Manggarai. Daerah yang termasuk pemukiman ± 33,7%. Daerah pemukiman yang paling padat berada di bagian hilir DAS, sekitar daerah Depok sampai Manggarai.

Gambar 3.13. Batas dan bentuk DAS Ciliwung

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-33

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.14. Persentase Penutupan Lahan di DAS Ciliwung

3.7.5 DAS Sunter

Bentuk DAS Sunter unik, memanjang dengan sedikit berlekuk. Bagian hulu lebih runcing dibandingkan bagian hilirnya dan sedikit membesar di bagian tengahnya, dengan luas area ±15.349 Ha. Dalam DAS ini dilalui oleh 2 sungai besar yaitu Kali Cipinang dan Kali Sunter. Penutupan lahan lebih didominasi oleh lahan terbangun, baik pemukiman ataupun jalan yang diperkeras seperti yang ditunjukan oleh Gambar 3.14. (± 63,6% dari luas wilayah DAS Sunter). Kategori pemukiman yang sangat padat (pemukiman 80-100 %) lebih mendominasi di antara lahan yang terbangun lainnya. Dibandingkan dengan tipe penutupan lahan lainnya yang ada, pemukiman 80-100 % paling banyak menutupi wilayah DAS (36% atau ± 5.470,338 Ha), terutama di bagian hilir DAS. Tipe penutupan lahan ini memiliki koefesien run off yang tinggi, artinya Sebagian besar air hujan yang turun di kawasan DAS ini sebagian besar akan menjadi limpasan permukaan. Sebaran kawasan hijau

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-34

BPDAS Citarum-Ciliwung

hanya sedikit sekali tersebar di wilayah DAS ini. Kawasan hijau paling banyak tersebar terutama bagian tengah DAS, ± 22,9% berupa tanah kosong/rumput dan tegalan/ladang. Hal ini memungkinkan sedikitnya daerah yang dapat meresapkan air. Jika kondisi tersebut lebih didukung dengan saluran drainase yang buruk maka kemungkinan terbesar adalah terjadinya banjir. Karena padatnya pemukiman di sepanjang DAS sunter menyebabkan sungai ini mudah sekali meluap sehingga sepanjang Rawamangun dan Cempaka Putih sering meluap yang hanya diakibatkan oleh hujan lokal. Oleh karena itu, penanganan masalah resapan menjadai sangat penting. Di bagian hilir Kali sunter dan Cipinang akan disodet ke arah Bajir Kanal Timur (BKT) yang sekarang masih dalam tahap pembangunan.

Gambar 3.15. Batas dan bentuk DAS Sunter

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-35

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.16. Persentase Penutupan Lahan di DAS Sunter

3.7.6 DAS Cakung

Bentuk DAS Cakung hampir mirip dengan DAS Sunter namun bagian hulunya lebih ramping dan runcing. Bagian tengah yang melebar dan menyempit ke bagian hilir. Luas DAS Cakung ± 13.403 Ha. Sungai yang melalui DAS ini adalah Kali Buaran dan Kali Cakung. Bagian Hilirnya terdapat saluran Cakung Drainage.

Penutupan lahan di DAS Cakung lebih didominasi oleh lahan terbangun, baik pemukiman ataupun jalan yang diperkeras. Kurang lebih 67% dari luas DAS ini tertutupi oleh lahan terbangun. Di antara lahan terbangun yang ada, kurang lebih 84% adalah daerah pemukiman padat (pemukiman 80-100 %). Jika dibandingkan luasan total DAS, daerah pemukiman padat kurang lebih 56,5 % (± 7.572 Ha). Lahan terbangun lebih banyak tersebar dari bagian tengah sampai hilir DAS. Kurang lebih 12,64% dari luas total DAS adalah sawah irigasi. Tipe penutupan lahan ini lebih banyak ditemukan di bagian hilir DAS. Hanya 13,43% dari luasan total DAS yang merupakan kawasan hijau (perkebunan,

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-36

BPDAS Citarum-Ciliwung

semak belukar/ladang). Sebagian kawasan hijau di DAS Cakung banyak ditemukan di bagian hulu dan sebagian lagi tersebar di bagian hilir.

Gambar 3.17. Batas dan bentuk DAS Cakung

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-37

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.18. Persentase penutupan lahan DAS Cakung

3.7.7 DAS Kali Bekasi

DAS Kali Bekasi memiliki 5 Sub DAS besar, yaitu Kali Bekasi, Cikeas, Cileungsi, Citeurep dan Cijanggel. Bagian hilir DAS ini bermuara di CBL (Cakung Bekasi Laut) Kab. Bekasi bagian Utara. Bagian Hulu berada di Kab. Bogor. Luas DAS ini ± 51.785 Ha. Daerah lahan terbangun DAS ini tersebar merata dari bagian tengah sampai hilir. Kurang kebih 31,20% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun. Daerah yang termasuk pemukiman ± 27,5%. Daerah pemukiman yang paling padat berada di bagian tengah sampai hilir DAS. Kawasan hijau lebih banyak tersebar di bagian hulu karena merupakan dalam kawasan hutan. Proporsi luasan tipe penutupan lahan yang lainnya di tunjukan oleh Gambar 3.19 di bawah ini. Di bagian hulu Kali bekasi terdapat pemukiman Bukit sentul, serta lahan “bermasalah” di sekitar Babakan Madang dan Cileungsi, sehingga berkurangnya atau hilangnya perkebunan karet di bagian hulu yang berubah menjadi daerah pemukiman menyebabkan berubahnya aliran S. Cikeas dan Cilengsi.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-38

BPDAS Citarum-Ciliwung

Di bagian selatan terdapat perumahan Sentul, Lapang Golf Sentul dan Gunung Geulis yang merupakan hulu dari S. Cikeas, demikian juga perumahan dan lapang Golf di kanan kiri Jl Tol Jagorawi, di sekitar Cibinong, Cileungsi dan Cimanggis memberikan konstribusi positif terhadap naiknya debit S. Cikeas di sekiar perumahan Villa Indah Bekasi. Di bagian Sub DAS Cileungsi terdapat kawasan industri yang padat di sekitar Pabrik semen Cibinong, Pabrik semen Holcim dan kawasan industri Branta-Mulia. Selain itu, di daerah ini juga terdapat perumahan-perumahan seperti Kota Legenda, Kota Wisata di Cibubur sehingga Sub DAS Cileungsi merupakan daerah yang menyebabkan naiknya debit di DAS Kali Bekasi.

Gambar 3.19. Batas dan bentuk DAS Bekasi

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-39

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.20. Persentase Penutupan Lahan di DAS Bekasi

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-40

BPDAS Citarum-Ciliwung

3.8. Iklim dan Curah Hujan 3.8.1. Curah hujan

Unsur iklim dan curah hujan adalah faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu DAS. Kejadian banjir dan kekeringan merupakan salah satu kondisi yang disebabkan oleh kejadian dan intensitas hujan di suatu kawasan. Bencana banjir di wilayah Jabodetabek adalah salah satu kejadian yang disebabkan oleh jumlah aliran permukaan yang berasal dari hujan yang tidak mampu lagi diresapkan ataupun diteruskan ke laut oleh berbagai jenis penutupan lahan yang ada di kawasan tersebut. Iklim dan curah hujan kemudian sering dianggap sebagai sumber utama penyebab terjadinya banjir yang di wilayah Jabodetabek. Untuk mengetahui kebenaran dari anggapan tersebut di atas perlu disajikan data klimatologi unsur curah hujan dari beberapa stasiun untuk periode waktu tertentu. Sebagai kawasan yang bertipe iklim A di bagian hulu dan B di bagian tengah dan hilir menurut Schmit-Ferguson, kawasan ini mendapat kejadian hari hujan yang banyak sepanjang tahunnya. Penggambaran kondisi iklim wilayah dengan tipe iklim tersebut tidak dapat memberikan gambaran kondisi hujan pada saat kejadian banjir. Perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan pola hujan dan jumlah intensitas hujan sering dianggap sebagai faktor yang menyebabkan kejadian banjir di kawasan Jabodetabek. Namun demikian, berdasarkan data curah hujan bulanan dan harian yang ada di kawasan ini tidak dapat menjelaskan bahwa terdapat perubahan pola dan intensitas hujan. Data curah hujan bulanan di stasiun Jakarta Obs (1866-2003) yang disajikan pada Gambar 3.21 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan pola hujan di kawasan ini. Dengan kata lain, anggapan bahwa penyebab utama banjir wilayah Jabodetabek akibat perubahan iklim dan curah hujan adalah sama sekali tidak berdasar data dan fakta.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-41

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.21. Curah Hujan Bulanan Jakarta tahun 1866-2003 (sumber: BMG)

Untuk menunjukkan bahwa pada tahun-tahun sebelum kejadian banjir tahun 1996, 2002, 2007 maka akan disajikan kondisi hujan harian di kawasan ini untuk rentang waktu 20-30 tahun terakhir seperti yang disajikan pada Gambar 3.22 sampai dengan Gambar 3.25 yang meliputi stasiun hujan (BMG) Citeko, Halim PK, Soekarno-Hatta dan Tanjung Priok. Penyajian curah hujan harian dalam bentuk grafik dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa sebelum tahun-tahun tersebut diatas telah terjadi curah hujan maksimum. Sedangkan untuk penggambaran yang lebih jelas bahwa hujan bukan sebagai penyebab utama kejadian banjir di kawasan ini maka data hujan harian dibuat menjadi jumlah hujan selama 3 hari berturut-turut. Penggambaran jumlah curah hujan selama 3 hari berturut-turut dimaksudkan bahwa proses kejadian banjir selalu diawali dengan nilai tanah (peresapan) dan kapasitas drainase yang telah jenuh.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-42

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.22. (a) Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Citeko (Jan 1985-Feb 2008).

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-43

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.23. (a) Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Halim Perdana Kusuma (Jan 1977-2006).

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-44

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.24. (a) Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Soekarno-Hatta (Jan 1985-Feb 2008).

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-45

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.25. Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (5b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Tanjung Priok (1977-1983 dan 1989-2007).

Berdasarkan pada data curah hujan harian, maka untuk setiap DAS dalam kajian ini dibuat curah hujan rencana harian untuk periode ulang 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun. Selain dibuat periode ulang curah hujan harian juga disusun periode ulang curah hujan tiga harian. Data curah hujan periode ulang ini selanjutnya akan menjadi dasar perhitungan dan optimasi tindakan konservasi.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-46

BPDAS Citarum-Ciliwung

Dengan data-data yang disajikan tersebut di atas, dapat disimpulkan tidak ada kaitan yang signifikan antara kenaikan pola curah hujan di wilayah Jabodetabek dengan kejadian banjir. Pola hujan selalu sama dalam periode 1 abad tetapi pola hujan yang sama dampak masalahnya sangat terasa dalam beberapa tahun terakhir terutama setelah th 1990. Demikianlah fenomena banjir wilayah Jabodetabek terjadi murni karena masalah resapan yang berkurang akibat perubahan penutupan lahan.

3.8.2. Curah hujan wilayah dan kejadian Banjir 1996, 2002 dan 2007

Analisis terhadap curah hujan wilayah pada saat kejadian banjir perlu dilakukan untuk mengetahui sebaran jumlah hujan wilayah yang diterima oleh kawasan Jabodetabek. Dengan mengetahui sebaran hujan wilayah di kawasan ini maka akan dapat diketahui debit curah hujan yang diterima oleh kawasan ini. Pada analisis ini digunakan data curah hujan harian pada saat kejadian banjir tahun 1996, 2002 dan 2007. Pada masing masing kejadian banjir tersebut disajikan hasil analisis spasial selama hari terjadi banjir.

Curah hujan dan Banjir tahun 1996

Banjir pada tahun 1996 terjadi pada tanggal 3-6 Januari. Jumlah debit curah hujan yang diterima pada saat mulai banjir untuk kawasan ini adalah 106,67 juta m3/hari pada tanggal 3 Januari. Kondisi curah hujan dengan nilai yang relatif sama terjadi sampai dengan tanggal 5 Januari dan mengalami peningkatan lebih dari dua kalinya pada tanggal 6 Januari yaitu 242,35 juta m3/hari (Gambar 3.26). DAS-DAS besar seperti Ciliwung, Cisadane dan Bekasi mempunyai sumbangan yang paling besar dalam kejadian banjir tahun 1996. Dalam Tabel 3.8 dapat dilihat bahwa DAS dengan wilayah hulu yang luas menerima jumlah hujan yang lebih besar pada saat kejadian banjir. Secara spasial dapat dilihat bahwa kejadian banjir tahun 1996 dimulai dengan curah hujan yang tinggi di wilayah hulu Ciliwung dan Bekasi serta sebagian wilayah hilir Cakung dan Bekasi yang terjadi pada tanggal 3-4 Januari. Kondisi ini menyebabkan banjir di daerah hilir sungai tersebut dan kemudian diperparah dengan curah hujan yang terjadi pada tanggal 6 Januari yang meluas

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-47

BPDAS Citarum-Ciliwung

untuk seluruh wilayah Jabodetabek terutama bagian tengah dan timur. Gambar 3.26 menyajikan sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 1996.

-

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

1/3/1996 1/4/1996 1/5/1996 1/6/1996

tanggal

juta

m3/

hari

Gambar 3.26. Jumlah debit curah hujan wilayah harian pada

saat kejadian banjir tahun 1996.

Tabel 3.8. Jumlah debit curah hujan wilayah harian setiap DAS pada kejadian hujan tahun 1996.

Debit curah hujan (juta m3/hari) No DAS

3-Jan-96 4-Jan-96 5-Jan-96 6-Jan-96 Jumlah 1 Cisadane 27.90 58.02 52.67 101.20 239.79 2 Angke 1.42 0.60 6.87 9.98 18.87 3 Pesanggrahan 2.16 0.01 3.60 7.52 13.28 4 Krukut-Grogol 1.02 - 2.97 13.75 17.75 5 Ciliwung 22.87 16.26 9.13 33.32 81.59 6 Sunter 5.47 - 1.85 10.54 17.86 7 Cakung 5.94 - 1.82 10.55 18.32 8 Bekasi 37.87 8.03 16.42 37.23 99.55

9 Cengkareng Drain

- 0.10 7.22 11.05 18.38

10 Ancol 1.33 - 1.14 6.00 8.47 11 Tiram 0.69 - 0.23 1.22 2.14 Jumlah 106.67 83.02 103.94 242.35 535.98

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-48

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.27. Sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian

banjir tahun 1996.

Curah hujan Banjir tahun 2002

Banjir pada tahun 2002 terjadi pada tanggal 28 Januari-2 Februari. Pada saat tersebut, jumlah total debit curah hujan harian yang diterima kawasan ini per hari berkisar antara 39,51-205,21 juta m3/hari. Kejadian hujan tanggal 28 Januari mempunyai debit yang paling tinggi dan banjir mulai surut tanggal 2 Februari pada saat debit hujan adalah 39,51 juta m3/hari. Tabel 3.9 dan Gambar 3.27 menunjukkan jumlah dan pola debit hujan harian di setiap DAS yang mengalir di kawasan Jabodetabek. Secara spasial dapat dilihat bahwa kejadian banjir tahun 2002 diawali dengan kejadian hujan yang terjadi di bagian hilir

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-49

BPDAS Citarum-Ciliwung

(Jakarta). Pada saat tersebut kawasan yang banyak menerima hujan tersebut adalah kawasan bagian Tengah dan Timur. Kemudian kondisi banjir tersebut ditambah dengan hujan pada hari berikutnya di daerah hulu, terutama pada tanggal 30 Januari. Gambar 3.28 menunjukkan sebaran hujan wilayah pada tanggal 28 Januari- 2 Februari 2002.

-

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

1/28/2002 1/29/2002 1/30/2002 1/31/2002 2/1/2002 2/2/2002

tanggal

juta

m3/

hari

Gambar 3.28. Jumlah debit curah hujan wilayah harian pada

saat kejadian banjir tahun 2002

Tabel 3.9. Jumlah debit curah hujan wilayah harian setiap DAS pada kejadian hujan tahun 2002.

Debit curah hujan (juta m3/hari) No DAS

28-Jan 29-Jan 30-Jan 31-Jan 1-Feb 2-Feb Jumlah

1 Cisadane 65.07 70.24 77.67 24.24 84.71 30.93 352.86 2 Angke 13.25 8.49 11.47 1.05 14.94 0.62 49.82 3 Pesanggrahan 9.53 4.09 6.19 0.43 5.46 0.36 26.05 4 Krukut-Grogol 18.43 5.98 9.04 0.09 5.04 0.00 38.58 5 Ciliwung 16.94 15.55 23.92 13.15 9.89 2.29 81.74 6 Sunter 14.11 4.98 8.94 0.54 3.54 0.21 32.33 7 Cakung 19.48 8.21 13.69 1.05 8.65 1.03 52.10 8 Bekasi 35.43 24.93 39.34 17.59 21.89 3.86 143.05

9 Cengkareng Drain 0.35 - - - - - 0.35

10 Ancol 9.54 3.03 4.87 0.03 1.78 0.04 19.29 11 Tiram 3.08 1.54 2.35 0.20 2.04 0.18 9.40 Jumlah 205.21 147.05 197.49 58.37 157.93 39.51 805.56

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-50

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.29. Sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2002.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-51

BPDAS Citarum-Ciliwung

Curah hujan dan Banjir tahun 2007

Banjir pada tahun 2007 terjadi pada tanggal 2-5 Februari. Jumlah debit curah hujan yang diterima oleh seluruh DAS di kawasan ini pada saat mulai terjadi banjir adalah 262,16 juta m3/hari. Kondisi ini diperparah pada kejadian banjir pada hari berikutnya (3 Februari) yang berjumlah 528,45 juta m3/hari. Banjir mulai surut pada tanggal 5 Februari dengan debit curah hujan harian yang diterima adalah 144,53 juta m3/hari, dan setelah tanggal tersebut jumlah curah hujan yang diterima mulai menurun. Berbeda dengan kondisi tahun 2002, kejadian banjir tahun 2007 dapat disebutkan bahwa hampir setiap daerah hilir menerima hujan. Gambar 3.30 dan Tabel 3.10 menunjukkan jumlah debit curah hujan yang diterima kawasan Jabodetabek.

Secara spasial dapat dilihat bahwa kejadian banjir tahun 2007 diawali oleh kondisi hujan lokal yang terjadi di daerah hilir (2 Februari). Daerah hulu pada tanggal 3-4 Februari menerima jumlah curah hujan tinggi hanya terdapat di hulu bagian Barat (Cisadane, Angke dan Pesanggrahan) dan hulu bagian Timur (Bekasi dan Cakung) serta sebagian dari hulu Ciliwung. Oleh karena itu, kejadian banjir 2007 dapat dikatakan bahwa pengaruh hujan lokal lebih dominan sebagai sumber air yang menyebabkan banjir. Gambar 3.31 menyajikan sebaran curah hujan wilayah harian untuk kawasan Jabodetabek.

-

100.00

200.00

300.00

400.00

500.00

600.00

2/2/2007 2/3/2007 2/4/2007 2/5/2007

tanggal

juta

m3/

hari

Gambar 3.30. Jumlah debit curah hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2007

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-52

BPDAS Citarum-Ciliwung

Tabel 3.10. Jumlah debit curah hujan wilayah harian setiap DAS pada kejadian hujan tahun 2007.

Debit curah hujan (juta m3/hari) No DAS

2-Feb 3-Feb 4-Feb 5-Feb Jumlah 1 Cisadane 56.28 150.33 77.82 60.54 344.98 2 Angke 17.05 28.05 12.89 5.82 63.80 3 Pesanggrahan 13.12 22.17 9.39 4.31 48.99 4 Krukut-Grogol 25.96 43.69 11.39 9.61 90.65 5 Ciliwung 22.69 46.44 36.51 13.43 119.08 6 Sunter 20.13 32.72 9.17 8.26 70.28 7 Cakung 21.67 38.06 3.96 8.97 72.67 8 Bekasi 49.66 90.32 44.45 19.03 203.46 9 Cengkareng Drain 20.06 48.13 22.55 8.19 98.93 10 Ancol 12.71 23.71 3.42 5.26 45.10 11 Tiram 2.82 4.83 0.01 1.11 8.77 Jumlah 262.16 528.45 231.56 144.53 1,166.71

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-53

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.31. Sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian

banjir tahun 2002.

3.9 Hidrologi DAS Berdasarkan perbandingan antara luas (A), panjang sungai (L), dan keliling DAS (P) diketahui bahwa DAS-DAS di Jabodetabek mempunyai karaktersitik DAS selengkapnya disajikan pada Tabel 3.10 di bawah ini.

Tabel 3.11. Sifat Fisik DAS-DAS di Jabodetabek

DAS L (m) P (m) A (Ha) Drainage Factor (Dd)

Compact Factor

Shape Factor

(fs)

Angke

62.548,20

141.200,08

23.971,18 2,609

0,938

0,0000061

Cakung

20.656,95

88.594,23

13.402,77 1,541

1,053

0,0000314

Ciliwung

116.986,94

201.553,98

37.472,38 3,122

0,856

0,0000027

Cisadane

122.143,45

292.528,15

140.045,64 0,872

0,333

0,0000094

Kali Bekasi

115.202,46

186.029,43

51.785,47 2,225

0,572

0,0000039 Krukut & Grogol

39.110,96

103.755,34

22.199,35 1,762

0,744

0,0000145

Pesanggrahan

71.755,40

125.942,16

17.736,93 4,046

1,131

0,0000034

Sunter

45.614,43

86.256,89

15.349,39 2,972

0,895

0,0000074

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-54

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.32. Drainage faktor DAS

Berdasarkan faktor drainase DAS Pesanggrahan mempunyai faktor drainase yang terbaik, dalam setiap ha terdapat 4 m sungai, disusul Ciliwung dan Kali sunter. Sedangkan berdasarkan kekompakan bentuk DAS Pesanggrahan dan Cakung termasuk yang kompak sebagaimana disajikan pada Gambar 3.33 di bawah ini.

Gambar 3.33. Faktor Kekompakan DAS-DAS di Jabodetabek.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-55

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.34. Faktor Bentuk DAS-DAS di Jabodetabek.

Berdasarkan faktor bentuk dan kekompakan maka pola aliran di DAS Cakung dan Krukut-Grogol merupakan DAS dengan pola pemusatan aliran yang paling cepat, sehingga mudah sekali meluap. 3.9.1. DAS Cisadane

Luasan areal DAS Cisadane adalah 151.808 ha yang meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tengerang. Sumbernya (bagian hulu) berada di Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai ini sekitar 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3.000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%. Sedangkan bagian hilir sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang. DAS Cisadane bagian hulu yang meliputi Kabupaten Bogor dan sebagian Kota Bogor didominasi oleh penggunaan lahan sebagai berikut: hutan, ladang, perkebunan, pemukiman dan lahan kosong. Sedangkan di bagian tengah dan hilir, penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman, ladang dan lahan kosong. Dengan daerah tangkapan seluas 1.500 km2, Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-56

BPDAS Citarum-Ciliwung

Barat. Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung pada curah hujan di daerah tangkapannya (catchment area). Aliran yang tinggi terjadi saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Debit normal Sungai Cisadane adalah 70 m3/detik. Antara tahun 1971 dan 1997, berdasarkan pemantauan di stasiun Pengamat Serpong, aliran sungai terendah yang pernah terjadi tercatat sebesar 2,93 m³/detik di tahun 1991 dan tertinggi 973,35 m3/detik pada tahun 1997. Berdasarkan catatan bulanan antara tahun 1981 dan 1997, aliran minimum terjadi antara bulan Juli dan September dengan rata-rata aliran di bawah 25 m³/detik.

3.9.2 DAS Kali Angke dan Pesanggrahan

Total luasan areal Kali Angke-Pesanggrahan adalah 65.256 ha yang meliputi tiga provinsi dan 8 kabupaten/kota, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta (Kota Tangerang, Kabupaten Tengerang, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Barat dan Kota Jakarta Utara). Kondisi topografi Kali Angke-Pesanggrahan yaitu datar hingga bergelombang dengan ketinggian 0-300 m dpl dan variasi kemiringan lereng 0-25%. Panjang kedua sungai ini adalah 82 km dan 66 km hingga bermuara di Cengkareng Drain. Kali Pesanggrahan mengalir di antara Kali Ciliwung dan Cisadane. Di bagian hulu, Kali Pesanggrahan mendapat suplesi dari Kali Pekancilan di Kota Depok dan saluran Kali Baru di daerah Bojongsari. Pada bagian tengah, Kali Pesanggrahan mendapat pasokan dari Kali Grogol melalui sudetan Grogol-Pesanggrahan. Sedangkan bagian hulu Kali Angke yaitu di Kecamatan Semplak (Kabupaten Bogor). Kali Angke mengalir melalui Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Jakarta Barat kemudian bertemu dengan Banjir Kanal Barat di daerah Pluit (Kota Jakarta Utara). Kali Pesanggrahan melalui daerah pemukiman yang kepemilikannya sudah sedemikian rupa hingga menyebabkan sulitnya membuat tampang basah sungai yang memadai untuk mengalirkan air maupun untuk memelihara kualitas badan air agar masih memenuhi persyaratan. Sejalan dengan perkembangan pemukiman di wilayah Jabodetabek, terjadi perubahan daerah tangkapan yang semula dapat menyerap air hujan (infiltrasi)

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-57

BPDAS Citarum-Ciliwung

menjadi aliran permukaan (excess run-off ) yang membebani daya tampung sungai. Akibatnya, debit aliran sungai yang tadinya kecil semakin lama semakin besar dan pada lokasi tertentu terjadi luapan dan genangan sebagai akibat tidak tertampungnya excess run-off yang semakin besar. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya banjir pada lokasi tertentu yang pada umumnya terjadi di daerah pemukiman. Lebar sungai yaitu sekitar 12 m (menyempit di kawasan perkotaan). Debit normal Kali Angke yaitu 18 m3/dtk. Pada musim kemarau debit air relatif sedikit dan kualitas air buruk. Sedangkan pada musim hujan, debit air akan sangat melonjak karena besarnya air limpasan dari daerah hulu maupun dari kawasan-kawasan pemukiman di sepanjang Kali Angke.

3.9.3 DAS Ciliwung

Berdasarkan letak geografisnya, Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung terletak antara 60 12` 55,14`` - 60 46` 2,16`` LS dan 1060 57` 53,64`` - 1070 00` 21,91`` BT. Menurut toposekuensnya, DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002). Masing-masing bagian tersebut mempunyai karakteristik iklim, fisik, penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda. Secara administratif pemerintahan, bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan). Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kotamadya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah Sereal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji). Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai termasuk saluran buatan Kanal Barat. Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-58

BPDAS Citarum-Ciliwung

Penggunaan lahan di bagian hulu dapat dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q Balai Taman Nasional Gede-Pangrango (Kawasan Taman Nasional), Balai Konservasi Sumberdaya Alam (Kawasan Hutan Cagar Alam Telaga Warna) Departemen Kehutanan, dan PT Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk setu dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik pada umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun (PTP VIII Gunung Mas dan PT Ciliwung). Lahan milik umumnya dimilki oleh orang yang bertempat tinggal di luar lahan milik tersebut. Seperti halnya di bagian hulu, penggunaan lahan di bagian tengah dapat dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q. PT Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk setu dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan Pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun. Sementara itu, penggunaan lahan di bagian hilir didominasi oleh lahan hunian (build up areas), jaringan jalan, badan sungai dan saluran drainase lainnya, sedikit lahan hijau dalam bentuk taman. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1990 menunjukkan bahwa tegalan merupakan jenis penggunaan lahan terbesar yaitu 103,47 km2, kemudian kebun 69,56 km2, hutan 53,93 km2, sawah 51,37 km2 dan pemukiman 41,10 km2. Pada tahun 1996 luasan masing-masing jenis penggunaan lahan tersebut berubah, yang semula pemukiman merupakan jenis penggunaan lahan terkecil berubah menjadi yang terbesar (115,90 km2) kemudian tegalan 77,77 km2, kebun 57,30 km2, hutan 50,94 km2, dan sawah 16,65 km2 .

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-59

BPDAS Citarum-Ciliwung

DAS Ciliwung terletak pada dataran landai (bagian hilir), bergelombang hingga pegunungan (bagian tengah dan hulu). Daerah berbukit atau bergelombang yaitu mulai dari Kedungbadak ke arah selatan sampai daerah Tugu Selatan (1.057m dpl). Semakin ke arah selatan dan timur termasuk daerah pegunungan yang merupakan batas DAS, seperti Gunung Halimun (1.665 m dpl), Gunung Kencana (1.796 m dpl), Gunung Megamendung (1.672 m dpl) dan Gunung Pangrango (3.019 m dpl). Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu sedikitnya terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras dan variasi kemiringan lereng yang tinggi (2-15% , 15-45% dan lebih dari 45%). Kondisi kemiringan sungai ini menyebabkan aliran air yang dari hulu sungai berkecepatan tinggi tetapi pada daerah yang landai kecepatan aliran air berkurang drastis, sehingga aliran air berpotensi meluap ke luar sungai (Gambar 3.35).

Gambar 3.35. Hubungan elevasi dengan jarak dari hulu S. Ciliwung

Bagian tengah mencakup areal seluas 94 km2 merupakan daerah bergelombang dan berbukit-bukit dengan variasi elevasi antara 100 m sampai 300 m dpl. Di bagian Tengah terdapat dua anak sungai, yaitu: Cikumpay dan Ciluar yang keduanya bermuara di S. Ciliwung. Bagian tengah S. Ciliwung didominasi daerah dengan kemiringan lereng 2-15%.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-60

BPDAS Citarum-Ciliwung

Sementara itu, bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai pada elevasi P+8 m mencakup areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi daerah dengan kemiringan lereng 0-2 % dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor. Bentuk DAS Ciliwung mulai dari hulu sampai daerah Katulampa mempunyai bentuk dendritik. Bentuk ini mencirikan bahwa antara kenaikan aliran dengan penurunan aliran ketika terjadi banjir mempunyai durasi yang seimbang. Sedangkan ke arah hilir berbentuk paralel (memanjang) dan makin sempit. Dengan bentuk seperti ini peranan daerah hulu semakin penting, kontribusi aliran permukaan dari daerah ini cukup besar. Jika kondisi fisik khususnya perubahan penggunaan lahan berubah maka akan mengakibatkan perubahan yang nyata terhadap karakteristik aliran sungai. Berdasarkan rata-rata tebal limpasan bulanan di tiga stasiun (AWLR) yaitu stasiun Katulampa-Bogor (luas 151,1 km2), stasiun Ratujaya-Depok (luas 246,4 km2), dan stasiun Kebon Baru-Manggarai (luas 325,8 km2), selama 11 tahun (1977 - 1987) terjadi fluktuasi bulanan yang cukup besar (Pawitan, 1989). Di stasiun Katulampa tebal limpasan selama 11 bulan selalu lebih besar dari tebal limpasan di stasiun Ratujaya dan bila dibandingkan dengan stasiun Kebon Baru perbedaannya semakin besar (Gambar 3.36). Hal ini menunjukkan bahwa daerah hulu Sungai Ciliwung mempunyai kontribusi yang nyata terhadap banjir yang terjadi di daerah Jakarta. Banjir ini diperparah lagi oleh kemiringan Sungai Ciliwung, mulai dari hulu di daerah Megamendung sampai daerah Ciawi mempunyai kemiringan curam, antara Ciawi sampai Depok kemiringannya lebih landai dan sampai Manggarai kemiringannya semakin kecil. Kondisi kemiringan sungai ini menyebabkan aliran air yang dari hulu sungai berkecepatan tinggi tetapi pada daerah yang landai kecepatan aliran air berkurang sehingga aliran air meluap ke luar sungai.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-61

BPDAS Citarum-Ciliwung

Berdasarkan data pencatatan tinggi muka air Sungai Ciliwung tahun 1974-2002 di stasiun Depok menunjukkan bahwa perbedaan antara debit sesaat terbesar dan terkecil cukup tinggi (Gambar 3.37). Hal ini memberikan gambaran bahwa kondisi DAS Ciliwung terjadi gangguan keseimbangan hidrologi. Pada waktu hujan hanya sebagian kecil air yang dapat diresapkan ke dalam tanah, sisanya dalam jumlah besar yang menjadi aliran permukaan dan selanjutnya meningkatkan debit air sungai. Tetapi sebaliknya air hujan yang menjadi aliran dasar (base flow) di sungai kecil sehingga pada musim kemarau debit sungai sangat berkurang.

0

100

200

300

400

500

600

Jan.

Feb.

Mar. Apr. Mei.

Jun.

Jul.

Agu.

Sep.

Okt.Nov. Des.

Lim

pasa

n (m

m)

St. Katulampa (151 km2)

St. Ratujaya (246 km2)St. Kebon Baru (326 km2)

a. Limpasan bulanan rata-rata

0

10

20

30

40

50

Jan Feb.Mar. Apr. Mei. Jun

. Jul.

Agu. Sep. Okt. Nov. Des.

Deb

it a

liran

(m

3/dt

) St. KatulampaSt. RatujayaSt. Kebon Baru

b. Debit bulanan rata-rata

Gambar 3.36. Debit dan limpasan bulanan rata-rata Sungai Ciliwung (1977-1987).

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-62

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.37. Fluktuasi Tinggi muka air Sungai Ciliwung Stasiun

Depok. Berdasarkan analsisis hidrograf pada kejadian banjir 2002 pola aliran di DAS Ciliwung Hulu di dearah Katulampa, dalam tempo 1 jam air dapat naik dari 18,72 m3/det menajdi 343 m3/det dan selanjutnya mencapai puncak aliran pada 525 m3/det. Dengan volume run off 5.628.852 m3 atau setara dengan 3,78 cm atau 37,8 mm padahal curah hujan yang turun 51 mm sehingga koefisien limpasannya mencapai 74,1% DAS Ciliwung hulu mengubah curah hujan menjadi aliran permukaan. Data l selengkapnya disajikan pada Tabel di bawah ini. Tabel 3.12. Perhitungan hidrograf satuan Sungai Ciliwung

Katulampa tahun 2002

Tanggal Ch (mm)

T(jam) Q (m³/s) BF (m³/s)

DRO (m³/s)

UH (cm)

16.00 18,72 18,72 0 1,188

17.00 343,2 18,72 324,48 46,068

18.00 525,525 18,72 506,805 71,286

19.00 525,525 18,72 506,805 71,286

20.00 244,2 18,72 225,48 32,375

18/01/2002 51

1657,17 93,6 1563,57 32,375

050

100150200250300350400450500

1974

1976

1978

1980

1982

1984

1986

1988

1990

1992

1994

1996

1998

2000

2002

Tin

gg

i mu

ka a

ir (c

m)

Maksimum Minimum

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-63

BPDAS Citarum-Ciliwung

0

200

400

600

15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3

Jam

Q (

m3/

s)

Hidrograf aliran

Gambar 3.38. Hidrograf aliran Sungai Ciliwung di Katulampa tahun 2000

3.9.4 DAS Bekasi

Secara topografis, DAS Kali Bekasi terletak pada dataran landai dan perbukitan bergelombang. Daerah dataran terletak pada kota bekasi yang merupakan bagian hilir DAS dengan elevasi titik tengahnya pada 27 m sedangkan pada bagian hulu masih terdiri dari daerah bergelombang seperti DAS Cikeruh, Cibadak, dan Cijanggel yang masing-masing terletak pada elevasi titik tengah pada 400 m, 509 m dan 417 m. DAS Cikeruh dan Cibadak memiliki lereng yang relatif terjal yaitu 25-40%. Kelerengan ini dibentuk oleh pegunungan yang terletak disebelah selatan DAS Bekasi sementara dibagian hilir didominasi oleh kelerangan yang relatif rendah, yaitu antara 0-8%. DAS Kali Bekasi hampir seluruhnya mempunyai bentuk wilayah datar dengan cekungan-cekungan berupa rawa namun beberapa di antaranya telah berubah menjadi pemukiman dan industri. Perbedaan tinggi tempat berkisar antara 0-15 meter dengan lereng kurang dari 3%. Secara garis besar fisiografi DAS Kali Bekasi bagian Bekasi Utara dikategorikan sebagai dataran pantai (coastal plain) dengan sub unit fisiografinya dibedakan menjadi beting pantai, dataran aluvial, tanggul sungai atau levee dan cekungan/ perlembahan. Sedangkan wilayah lainnya yang mengarah ke hulu Sungai Bekasi (Bekasi Selatan dan Bogor) sub unit fisiografinya dibedakan menjadi daerah jalur sungai/pelembahan, daerah kipas vulkan, daerah perbukitan lipatan, daerah vulkan.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-64

BPDAS Citarum-Ciliwung

3.10. Tinjauan Sosial dan Kelembagaan Karakteristik sosial yang paling menonjol dari DAS di wilayah Jabodetabek adalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta diketahui bahwa laju perkembangan penduduk Jabotabek mulai tahun 1961 s/d tahun 2000 mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Pada tahun 1961, jumlah penduduk Jabotabek baru mencapai 5,65 juta jiwa, Kemudian pada tahun 1971 menjadi 7,97 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 11,65 juta jiwa, tahun 1990 bertambah lagi menjadi 16,83 juta jiwa dan akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai 23,31 juta jiwa, Selain Kota Tangerang sebagai bagian hilir DAS Cisadane yang mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor yang merupakan bagian hulu dan tengah DAS Cisadane juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi. Laju pertambahan penduduk yang cepat ini adalah konsekuensi logis dari terpusatnya kegiatan ekonomi dan pembangunan selama ini di wilayah Jabodetabek sehingga menyebabkan terjadi migrasi dan pertumbuhan penduduk yang cepat. Tabel 3.13. Jumlah Penduduk Wilayah Jabodetabek Tahun 2005

No JABODETABEK Jumlah Penduduk (jiwa)

Jumlah Keluarga

(KK)

Area (Ha)

Kepadatan Penduduk (jiwa/Ha)

1 DKI Jakarta* 7.464.792 1.726.237

66.160 113

2 Bogor 3.642.390 902.751 297.170 12

3 Kota Bogor 823.283 192.661 10.839 76

4 Bekasi 1.976.503 470.521 126.127 16

5 Kota Bekasi 1.726.435 428.980 23.200 74

6 Kota Depok 1.342.969 294.085 19.635 68

7 Tangerang 3.117.141 746.342 116.288 27

8 Kota Tangerang 1.329.289 323.594 18.999 70

Jumlah 21.422.802 5.085.171

678.419 31.5

(Sumber: BPS, 2007)

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-65

BPDAS Citarum-Ciliwung

Tabel 3.14. Jumlah penduduk menurut DAS.

No DAS Jumlah Penduduk (jiwa)

Jumlah Keluarga Area (Ha)

Kepadatan Penduduk (jiwa/Ha)

1 Angke 1.196.038 284.550 23.971 50

2 Cakung 1.185.457 279.056 13.403 88

3 Ciliwung 1.892.980 440.085 37.472 51

4 Cisadane 2.603.699 633.462 140.046 19

5 Kali Bekasi 1.309.246 321.210 51.785 25

6 Krukut & Grogol 2.429.518 555.401 22.199 109

7 Pesanggrahan 1.228.562 285.243 17.737 69

8 Sunter 1.497.439 346.612 15.349 98

Jumlah 13.342.939 3.145.619 321.963 41.4

Berdasarkan data Tabel 3.14. di atas terlihat wilayah Krukut & Grogol dengan jumlah penduduk 109/ha merupakan DAS yang terpadat penduduknya, disusul sunter 98 jiwa/ha, Cakung dengan 88 jiwa/ha dan Ciliwung 51 jiwa/ha, sehingga permasalahan sampah dan sanitasi lingkungan sangat tergantung pada distribusi penduduk di suatu DAS.

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-66

BPDAS Citarum-Ciliwung

Gambar 3.39. Pola sebaran penduduk Daerah Jabodetabek tahun 2005.

Isu-isu kelembagaan pengelolaan DAS telah cukup lama teridentifikasi. IPB (2001) misalnya menyelenggarakan suatu lokakarya yang menghasilkan beberapa permasalahan terkait dengan aspek kelembagaan dalam pengelolaan DAS secara umum, dan dalam beberapa hal situasi tersebut masih dirasakan hingga saat ini, sebagai berikut:

? Lemahnya Kelembagaan pengelolaan DAS

Kelembagaan pengelolaan DAS dirasakan kurang mantap. Hal ini dicirikan oleh masih lemahnya tingkat koordinasi antar pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan pengawasan yang lemah. Koordinasi tampaknya menjadi titik sentral kelemahan dalam pengelolaan DAS yang berakibat pada perencanaan dan

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-67

BPDAS Citarum-Ciliwung

pelaksanaan pengelolaan DAS secara terpadu tidak pernah berjalan. Koordinasi yang lemah ini disebabkan oleh permasalahan yang cukup mendasar antara lain karena masih kentalnya “ego sektoral” yang menyebabkan persepsi, visi, dan misi tentang pengelolaan DAS yang tidak sama. Pada tingkatan operasional, para pelaksana program rehabilitasi lahan dan penghijauan tidak cukup punya komitmen dan masih berorientasi keproyekan.

? Tata Ruang Yang Tidak Mantap

Permasalahan tidak mantapnya tata ruang wilayah menyebabkan penggunaan lahan seringkali tidak sesuai atau tidak mengikuti tata ruang yang ada. Sebagai implikasinya dari persoalan tersebut menyebabkan sering terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Tata ruang yang tidak mantap juga menyebabkan perencanaan dalam program rehabilitasi lahan dan penghijauan yang dihasilkan tidak mantap pula.

? Kurangnya Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah dalam rangka untuk mendapatkan kepastian hukum atas segala aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Penegakan hukum yang masih rendah ini dibuktikan masih besarnya kegiatan illegal logging dan bentuk-bentuk pelanggaran di bidang lingkungan. Kondisi ini tentunya dapat menyebabkan berbagai pihak dalam masyarakat tidak/kurang mempunyai dorongan/insentif untuk turut serta menjaga dan memperbaiki lingkungan DAS yang rusak. Pada sisi lain, adanya illegal logging menyebabkan rendahnya harga kayu, di mana ini dapat berdampak pada tidak lakunya kayu-kayu hasil penghijauan, yang pada akhirnya tidak memberikan insentif bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan penghijauan (hutan rakyat) karena produknya tidak dapat dipasarkan.

? Kurangnya Pendekatan Sosial Budaya

Kurangnya pendekatan sosial budaya cukup dirasakan oleh masyarakat dalam perencanaan program rehabilitasi lahan dan penghijauan. Pendekatan program rehabilitasi lahan dan penghijauan bersifat top-down, di mana aspirasi dari bawah kurang diperhatikan. Kurangnya masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan menyebabkan “sense of belonging”

“Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR”

Analisis Kawasan III-68

BPDAS Citarum-Ciliwung

masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan rendah.

? Kurangnya Sosialisasi Program

Kurangnya sosialisasi program juga dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya pada level tengah dan level bawah (masyarakat). Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan tidak adanya kesamaan persepsi, visi, dan misi program di antara para pihak yang terkait, perencanaan yang tidak padu/selaras dan kurangnya bahkan tidak adanya pemahaman manfaat pada tingkat masyarakat tentang kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan.

? Sumberdaya Manusia yang Rendah

Kualitas sumberdaya manusia baik aparat maupun masyarakat sangat memegang peranan yang sangat penting dalam setiap kegiatan pembangunan, karena faktor ini sangat menentukan kualitas setiap kegiatan seperti perencanaan, koordinasi, dan pengawasan serta rendahnya kesadaran akan manfaat hutan di DAS yang rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini pun dapat menyebabkan permasalahan yang lainnya muncul.

? Kurangnya Pertimbangan Ekonomi

Dalam setiap perencanaan program rehabilitasi lahan dan penghijauan sangat mempertimbangkan masalah-masalah teknis biologis tetapi kurang mempertimbangkan masalah-masalah ekonomi. Pertimbangan ekonomi dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan ini sangat menentukan dan menjadi pendorong/motivator bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan dengan baik. Beberapa pertimbangan ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain pemilihan komersial dan disukai masyarakat, diversifikasi usaha, dukungan pasar untuk produk/hasil kegiatan penghijauan melalui penyediaan/perbaikan infrastruktur pasar dan stabilisasi harga.

-0-