BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

33
BAB VI PEMBAHASAN Pada bab ini akan diuraikan tentang pembahasan yang meliputi interpretasi dan diskusi hasil penelitian seperti yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya, implikasi keperawatan dan keterbatasan peneitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor tingkat kesadaran pasien, jenis profesi kesehatan yang merujuk, persetujuan tindakan rujukan, tingkat pendidikan, pelatihan kegawatdaruratan, pengalaman melakukan rujukan, pendampingan saat merujuk, jarak rujukan, waktu yang ditempuh dan peralatan dan obat-obatan gawat darurat sehingga dapat mempengaruhi outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung melalui pendekatan model interpersonal nursing Heldegrad E. Peplau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan responden sebanyak 78 responden dan sebesar 59 pasien (75,6%) memiliki skor GOS antara 1-3, yang berarti memiliki outcome yang buruk. Sedangkan, sebagian besar kondisi awal pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak tergolong dalam cedera kepala sedang 35 (44,9%) dan cedera kepala berat (CKB) adalah 32 orang. Dimana kedua keadaan tersebut sangat memungkinkan untuk menyebabkan terjadinya tingginya outcome pasien cedera kepala yang buruk. Penlitian dilakukan selama periode 1 bulan yang berlokasi di dropezone pasien rujukan di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung hingga ke ruang triage sekunder atau dapat dikatakan bahwa dimulai sejak pasien datang ke IGD hingga pasien masuk dalam ruangan IGD. Beberapa pasien datang sudah dalam keadaan koma dikarenakan mengalami cedera kepala yang parah. Penilaian outcome pasien cedera kepala yang dirujuk dengan hasil yang buruk belum

Transcript of BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

Page 1: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang pembahasan yang meliputi interpretasi

dan diskusi hasil penelitian seperti yang sudah dipaparkan pada bab

sebelumnya, implikasi keperawatan dan keterbatasan peneitian. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor tingkat kesadaran pasien, jenis

profesi kesehatan yang merujuk, persetujuan tindakan rujukan, tingkat

pendidikan, pelatihan kegawatdaruratan, pengalaman melakukan rujukan,

pendampingan saat merujuk, jarak rujukan, waktu yang ditempuh dan peralatan

dan obat-obatan gawat darurat sehingga dapat mempengaruhi outcome pasien

cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung melalui

pendekatan model interpersonal nursing Heldegrad E. Peplau.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa outcome pasien cedera kepala yang

dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan responden sebanyak 78

responden dan sebesar 59 pasien (75,6%) memiliki skor GOS antara 1-3, yang

berarti memiliki outcome yang buruk. Sedangkan, sebagian besar kondisi awal

pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak tergolong dalam

cedera kepala sedang 35 (44,9%) dan cedera kepala berat (CKB) adalah 32

orang. Dimana kedua keadaan tersebut sangat memungkinkan untuk

menyebabkan terjadinya tingginya outcome pasien cedera kepala yang buruk.

Penlitian dilakukan selama periode 1 bulan yang berlokasi di dropezone

pasien rujukan di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung hingga ke ruang triage

sekunder atau dapat dikatakan bahwa dimulai sejak pasien datang ke IGD

hingga pasien masuk dalam ruangan IGD. Beberapa pasien datang sudah dalam

keadaan koma dikarenakan mengalami cedera kepala yang parah. Penilaian

outcome pasien cedera kepala yang dirujuk dengan hasil yang buruk belum

Page 2: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

menentukan kondisi akhir pasien cedera kepala tersebut. Adapun faktor-faktor

yang berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk akan

dijelaskan pada sub bab dibawah ini.

6.1 Hubungan Tingkat Kesadaran Pasien dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal Nursing Heldegrad E. Peplau.

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa tingkat kesadaran pasien cedera

kepala yang dinilai dengan jumlah skor GCS memiliki hubungan yang signifikan

dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Hal ini dapat dinilai dari p-

value < 0,05 yang berarti bahwa tingkat kesadaran pasien cedera kepala

berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD

dr. Iskak Tulungagung.

Tingkat kesadaran pasien cedera kepala dinilai dengan skor GCS

merupakan tolok ukur kondisi klinis pasien cedera kepala yang diperiksa pada

pasien diawal ketika pasien tiba di IGD. Tingkat kesadaran dengan skor GCS ini

memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan

pada pasien cedera kepala. Skor GCS yang rendah pada awal cedera akan

memiliki outcome pasien cedera kepala yang dirujuk yang buruk (Okasha et al.,

2014).

Ada beberapa skoring yang bisa digunakan untuk menilai kondisi awal

pasien cedera kepala seperti Trauma Score, Rapid Trauma Score (RTS),

Glasgow Coma Scale (GCS), Injury Severity Score (ISS). Penelitian yang

dilakukan oleh Grote et al., (2011) menjelaskan tentang indikator tingkat

keparahan pada kondisi awal pasien cedera kepala, bahwa skoring cedera

kepala menggunakan GCS memiliki tingkat sensitivitas dan spesifitas yang lebih

baik untuk mengukur tingkat keparahan cedera kepala. Selain hal tersebut,

parameter GCS ini juga sudah menjadi alat ukur yang standar digunakan di Ruah

Page 3: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

Sakit untuk mengkategorikan kondisi awal pasien ketika pertama kasli masuk

IGS terlebih lagi untuk pasien cedera kepala.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar pasien cedera

kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak cedera kepala ringan sebesar 45

(57,6%) pasien, cedera kepala sedang sebesar 27 (34,6%) pasien dan 6 (7,7%)

pasien. Sebagian besar pasien cedera kepala memiliki skor GOS 10 atau bahkan

<10, yaitu sebanyak 59 pasien (75,6%). Hal tersebut senada dengan hasil

penelitian dari Lingsma et al., (2014), bahwa nilai GCS kurang dari 11 dalam

waktu 24 jam akan memiliki outcome pasien cedera kepala yang buruk. Selain itu

juga dijelaskan bahwa outcome pasien cedera kepala secara progresif akan

menurun jika skor GCS yang sudah rendah. Penilain kondisi awal pada pasien

cedera kepala kurun waktu 3-6 bulan juga menunjukkan outcome yang buruk.

Penilaian lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian yang

dilakukan oleh Joseph et al., (2015) tentang kondisi pasien cedera kepala

dengan patah tulang tengkorak. Kondisi tersebut dijelaskan memiliki potensi

sepuluh kali untuk mengalami defisit neurologis dan akan semakin buruk, dimana

skala pengukuran yang bisa menilai hal tersebut adalah GCS. Oleh karena itu,

GCS merupakan skala penting untuk penilaian awal tingkat kesadaran, status

klinis dan prognosis pasien cedera kepala.

Skor GCS menjadi standar pengukuran awal kondisi neurologis pada

pasien dengan perubahan status mental oleh karena penyebab apapun,

termasuk cedera kepala. Menurut Lingsma (2014), menyebutkan beberapa

penelitian yang ada hubungan antara skor yang rendah pada nilai GCS dan

outcome pasien cedera kepala yang lebih buruk. Pasien dengan luka yang parah

pada bagian kepala, komponen motorik pada GCS memiliki nilai prediktif

terbesar karena respon mata dan verbal umumnya tidak ada pada pasien. Skor

GCS pada penelitian ini menggunakan skala ordinal, dimana nilai semua

Page 4: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

komponen dalam GCS kemudian dijumlahkan. Skor 3-8 adalah cedera kepala

berat, 9-12 adalah cedera kepala sedang dan 13-15 merupakan cedera kepala

ringan.

Menurut Coronado et al., (2011), menjelaskan bahwa pasien cedera kepala

dengan skor 13-15 memiliki outcome yang buruk atau bahkan meninggal adalah

1%, skor GCS 8-12 yang memiliki outcome yang buruk sekitar 5% dan skor GCS

yang >8 memiliki outcome buruk relatif besar yaitu 40%. Hal yang sama juga

dikatakan oleh Brazinova et al., (2010), dimana outcome pasien cedera kepala

dipengaruhi oleh total skor dari GCS pasien, yang maknanya semakin kecil total

GCS pasien cedera kepala tersebut maka semakin buruk pula outcome pasien

cedera kepala tersebut.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Setterval, Souuza dan

Silva (2011), yang membandingkan kinerja tiga komponen pada nilai GCS

selama 72 jam pertama pasca trauma untuk memprediksi mortalitas pasien

cedera kepala di Rumah Sakit. Skor yang dipelajari meliputi skor GCS setelah

perawatan awal dari Rumah Sakit, skor GCS terburuk dan skor GCS terbaik

selama 72 jam pertama pasca trauma kepala. Hasil penelitian menunjukkan ada

perubahan signifikan secara statistik antara skor GCS dengan mortalitas pasien

cedera kepala. Pada penelitian ini hanya dilakukan satu kali pengukuran GCS

yaitu ketika pasien sebelum di rujuk dan masih berada di IGD Rumah Sakit

sebelumnya. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Setterval, Souuza dan Silva (2011), yang melaukukan penilaian GCS sebanyak 3

kali selama 72 jam pasca cedera kepala. Namun, hasil penelitian ini sama

dengan penelitian sebelumnya dengan signifikasni < 0,05 yang bermakna bahwa

kondisi awal pasien cedera kepala berhubungan dengan outcome pasien cedera

kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.

Page 5: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

6.2 Hubungan Jenis Profesi Kesehatan yang Merujuk Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa jenis profesi kesehatan yang

mendampingi rujukan pasien cedera kepala tidak memiliki hubungan dengan

outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Hal ini dapat dinilai dari p-value >

0,05 yang berarti bahwa petugas kesehatan yang mendampingi rujukan pasien

cedera kepala tidak berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang

dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.

Menurut Eizanberg (2013) mendampingi rujukan pasien cedera kepala

seharusnya ditemani oleh pendamping. Ketentuan petugas kesehatan yang

menemani rujukan pasien cedera kepala tergantung dari kondisi pasien, jumlah

tenaga kesehatan yang tersedia dan kebijakan yang berlaku. Seorang dokter

senior atau konsultan hendaknya mengambil keputusan tentang siapa yang

harus menemani pasien yang dirujuk ke rumah sakit rujukan atau pun perawat

yang sudah ahli dan mahir dalam mendampingi rujukan pasien. Persyaratan

kebutuhan petugas kesehatan yang mendapingi rujukan pasien prehospital

berdasarkan kondisi kegawatdaruratan pasien. Tidak jarang pula, jika dalam

keadaan yang benar-benar mendesak tenaga kesehatan lainnya juga

mendampingi rujukan pasien cedera kepala.

Hasil pengamatan peneliti, jenis profesi kesehatan yang paling banyak

mendampingi rujukan pasien cedera kepala di IGD RSUD dr. Iskak adalah

perawat sebanyak 75 (96,2%) responden, sedangkan untuk profesi kesehatan

dari dokter adalah 3 (3,8%) responden. Tetapi sekali lagi, hasil dari analisis data

yang dilakukan menunjukkan bahwa jenis profesi kesehatan yang mendampingi

rujukan tidak mempunyai hubungan terhadap outcome pasien cedera kepala.

Page 6: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

Menurut Andrayani (2014), menyatakan bahwa yang mempengaruhi

pelayanan rujukan untuk dapat memperbaiki outcome pasien cedera kepala yang

dirujuk bukan jenis petugas kesehatan yang merujuk melainkan ada 4 aspek,

meliputi; 1). Jumlah petugas, dimana jumlah petugas kesehatan yang

mendampingi rujukan pasien cedera kepala merupakan salah satu aspek

penunjang perolongan kegawatan pasien cedera kepala dapat terpenuhi dengan

baik sehingga prognosa dan outcome pasien cedera kepala akan sesuai dengan

harapan. Keadaan petugas kesehatan yang kurang menyebabkan dalam

penyelenggaraan rujukan pasien akan dilaksanakan tidak maksimal, terlebih lagi

untuk rujukan kasus cedera kepala dimana semua harus dilaksanakan dengan

cepat dan tepat karena onsetnya yang sangat terbatas. 2). Ketanggapan dan

Kehandalan petugas kesehatan, yang bermakna ketanggapan berhubungan

dengan aspek kesigapan dari petugas kesehatan yang mendampingi rujukan

dalam memnuhi segala kebutuhan pasien cedera kepala selama rujukan

sedangkan kehandalan berhubungan dengan aspek tingkat kemampuan dan

ketrampilan yang dimiliki petugas kesehatan dalam menyelenggarakan dan

memberikan pelayanan gawat darurat pada saat mendampingi rujukan.

Ketanggapan dan kehandalan yang kurang bagi tenaga kesehatan yang

mendampingi rujukan pasien cedera kepala akan memberikan dampak kurang

terpenuhinya kebutuhan yang menunjang pasien cedera kepala untuk dapat

meningkatkan kemungkinan hidupnya.

Hal ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Tsao dan Moore

(2010), dimana outcome pasien cedera kepala tidak dipengaruhi atau ditentukan

oleh faktor ekstrinsik (tenaga kesehatan, penyebab kejadian, sarana dan

prasarana gawat darurat), tetapi lebih karena kondisi luka yang disebabkan oleh

pasien cedera kepala. Tidak semua pasien dengan faktor ekstrinsik yang buruk

akan memiliki outcome cedera kepala yang buruk juga. Hasil penelitian ini sama

Page 7: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

dengan penelitian sebelumnya dengan signifikasni >0,05 yang bermakna bahwa

jenis tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan pasien cedera kepala tidak

berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD

dr. Iskak Tulungagung.

6.3 Hubungan Persetujuan Tindakan Rujukan Dengan Outcome PasienCedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal Nursing Heldegrad E. Peplau.

Berdasarkan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa persetujuan

tindakan rujukan tidak terdapat hubungan dengan outcome pasien cedera kepala

yang dirujuk. Hal tersebut ditunjukkan dengan analisis antara persetujuan

tindakan rujukan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk ke IGD

RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai untuk p-value adalah 0,416

dimana jika dengan uji Chi-square bila signifikansi jika nilai p-value < 0,05. Maka

dari analisis tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara persetujuan tindakan

rujukan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Tidak adanya hubungan yang bermakna antara persetujuan tindakan

rujukan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk dikarenakan dalam

persetujuan tindakan rujukan hanya berisikan kejelasan status dan perlindungan

hukum baik untuk pasien terlebih lagi untuk tenaga kesehatan. Persetujuan

tindakan rujukan dapat menjaga segala kemungkinan yang akan ditimbulkan.

Persetujuan tersebut dilakukan setelah pasien dan keluarga setelah

mendapatkan penjelasan dari perawat, terkait segala yang berhubungan dengan

pelaksanaan rujukan pada pasien cedera kepala termasuk segala informasi

terkai kemungkinan terburuk dari resiko rujukan pada pasien cedera kepala

(Lontoh, 2013).

Persetujuan tindakan atau informed consent merupakan istilah yang

merujuk pada proses ikut menentukan tindakan oleh pasien setelah ia

Page 8: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

mendapatkan informasi yang lengkap mengenai tindakan medis yang akan

diberikan. Persetujuan tindakan rujukan ini dibuat oleh tenaga kesehatan yang

akan melakukan tindakan rujukan pasien cedera kepala dalamnya berisi tentang

informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan selama rujukan pasien

cedera kepala, apa manfaatnya rujukan , apa resiko rujukan , alternatif lain dan

apa yang mungkin terjadi apabila tidak dilakukan tindakan medis atau operasi

tersebut. Keterangan ini harus diberikan secara jelas dalam bahasa yang

sederhana dan dapat dimengerti oleh pasien dan memperhitungkan tingkat

pendidikan dan intelektualnya (Dira, 2010).

Hasil pengamatan dan penilaian ulang antara peneliti dan responden

menunjukkan bahwa responden yang tidak dapat menunjukkan lembar

persetujuan adalah sebanyak 2 responden, hal tersebut dikarenakan kondisi

pasien dalam keadaan gawat darurat dengan cedera kepala berat. Meskipun

demikian, responden yang tidak dapat menunjukkan lembar persetujuan tindakan

menyampaikan bahwa persetujuan tindakan sudah dilakukan secara lisan

kepada keluarga. 76 (97,4%) responden sisanya dapat menunjukkan lembar

persetujuan tindakan.

Menurut Dira (2010), mengatakan bahwa persetujuan tindakan rujukan ini

tidak akan memberi dampak secara langsung pada kondisi pasien atau outcome

pasien cedera kepala. Sebab, persetujuan tindakan rujukan dilakukan dengan

harapan jika pasien cedera kepala yang dirujuk dapat dilindungi dari

kesewenang-wenangan tenaga kesehatan yang merujuk. Tindakan yang tidak

diinginkan tersebut dapat berupa malpraktik, wanprestasi, tindakan yang

melawan hukum atau tindakan yang tidak sesuai dengan standart operasional

prosedur. Apabila telah dilakukan, maka tenaga kesehatan yang mendampingi

rujukan pasien cedera kepala akan malakukan tindakan sesuai dengan apa yang

telah ditetapkan.

Page 9: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

6.4 Hubungan Tingkat Pendidikan Petugas Kesehatan yang MerujukDengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.

Berdasarkan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenjang atau

tingkat pendidikan perawat tidak terdapat hubungan dengan outcome pasien

cedera kepala yang dirujuk. Hal tersebut ditunjukkan dengan analisis antara

tingkat pendidikan perawat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk

ke IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai untuk p-value adalah 0,336

dimana jika dengan uji Chi-square bila signifikansi jika nilai p-value < 0,05. Maka

dari analisis tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan

dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Tidak adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan perawat

dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk dikarenakan dalam menilai

ketrampilan seseorang yang dalam hal ini penanganan pasien cedera kepala

yang dirujuk, bisa saja dipengaruhi adanya faktor lain. Keadaan ini tergantung

dari motivasi perawat dalam mempraktikkan ketrampilan kerja yang didapat dari

pendidikannya. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja faktor-

faktor tersebut antara lain: faktor kemampuan dan faktor motivasi. Motivasi

merupakan kemauan atau keinginan didalam diri seseorang yang mendorongnya

untuk bertindak (Ali, 2014).

Pendidikan merupakan salah satu karakteristik seorang individu, hal yang

sama juga dirasakan oleh profesi kesehatan terlebih lagi sebagai perawat

dimana tingkat pendidikannya sangatlah bervariasi. Pengetahuan seorang

tenaga kesehatan dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal yang telah

ditempuhnya. Kompetensi yang ditetapkan pada setiap jenjang pendidikan

pastinya juga akan berbeda, dimulai dari tingkat pendidikan D3, S1, S2 ataupun

jenjang Spesialis.jenjang pendidikan yang bervariasi ini dapat menyebabkan

Page 10: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

perbedaan cara pandang dalam menilai, menghadapi dan memutuskan sesuatu

masalah yang dituntut secara cepat dan tepat (Andrayani, 2014). Strategi

peningkatan dan pengembangan jenjang karir perawat adalah dengan

peningkatan tingkat pendidikan, dimana telah terbukti mendukung perawat dalam

mengaplikasikan praktek keperawatan profesional yang berkualitas khususnya

dalam bidang pelayanan dan penanganan kondisi gawat darurat dan rujukan

(Arindika, 2014).

Hasil pengamatan penelitian terkait variabel tingkat pendidikan petugas

kesehatan yang mendampingi rujukan pasien cedera kepala di IGD RSUD dr.

Iskak Tulungagung didominasi profesi keperawatan dengan latar belakang D3

Keperawatan yaitu sebanyak 56 (71,8%) responden, tingkat pendidikan S1

Keperawatan sebanyak 20 responden dan dokter umum sebanyak 2 responden.

Meskipun bervariasi dalam tingkat pendidikan profesi kesehatan yang

mendampingi rujukan tersebut, tidak menunjukkan ada hubungan antara tingkat

pendidikan petugas kesehatan yang mendampingi rujukan dengan outcome

pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.

Hal ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Tsao dan Moore

(2010), dimana outcome pasien cedera kepala tidak dipengaruhi atau ditentukan

oleh faktor ekstrinsik (tenaga kesehatan, penyebab kejadian, sarana dan

prasarana gawat darurat), tetapi lebih karena kondisi luka yang disebabkan oleh

pasien cedera kepala. Tidak semua pasien dengan faktor ekstrinsik yang buruk

akan memiliki outcome cedera kepala yang buruk juga. Hasil penelitian ini sama

dengan penelitian sebelumnya dengan signifikasni >0,05 yang bermakna bahwa

tingkat pendidikan perawat yang mendampingi rujukan pasien cedera kepala

tidak berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD

RSUD dr. Iskak Tulungagung. Menurut Eizanberg (2013), didapatkan hubungan

yang signifikan antara pendidikan dengan praktik dan aplikasi keperawatan,

Page 11: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

namun hanya sebatas kinerja perawat saja sedangkan untuk hasil kerja yang

berupa prognasis kesembuhan pasien belum teruji. Bila ditelusuri lebih lanjut lagi

mengenai karakteristik pendidikan keperawatan, kategori tertinggi dalam

pelaksanaan ketrampilan dan aplikasi keperawatan didominasi pendidikan D3

dengan sebagian lagi adalah S1 keperawatan.

6.5 Hubungan Pelatihan Gawat Darurat yang Diikuti Perawat Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pelatihan yang diikuti

perawat tidak berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Hasil analisis antara pengalaman perawat dengan outcome pasien cedera

kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value

0,912, dimana uji Chi-Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05.

Maka dari analisis tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara pelatihan yang

diikuti perawat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Hal ini sejalan dengan pnelitian yang dilakukan oleh Janssen, et al, (2011)

dalam penelitiannya menyatakan bahwa pelatihan bukan merupakan salah satu

faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan rujukan pasien cedera kepala di

IGD. Dalam sebuah study yang dilakukan oleh Aloyce, et al., (2013) menemukan

78% dari perawat yang bekerja di instalasi gawat darurat tanpa pelatihan formal

baik pelatihan EMS, Ambulans, gawat darurat darurat, trauma, kritis, dan

perawatan intensif. Hal ini tidak memiliki dampak negatif dalam pelaksanaan

rujukan pada pasien cedera kepala, dimana yang berpengaruh pada keakuratan

pengambilan keputusan maupun penatalaksanaan kegawat daruratan tingkat

ketenangan dalam pengambilan keputusan dan tingkat pengalaman. Kurangnya

pelatihan dalam kemampuan menilai kegawatan pasien cedera kepala dan

pemberian tindakan asuhan keperawatan dan pengetahuan belum tentu memiliki

Page 12: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

hubungan keputusan tindakan yang akan dilakukan pada pasien cedera kepala.

Hal ini telah diidentifikasi sebagai faktor kunci yang mempengaruhi outcome

pasien cedera kepala yang dirujuk.

Hasil pengamatan penelitian terkait variabel pelatihan kegawatdaruratan

yang diikuti oleh tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan pasien cedera

kepala di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung mayoritas didapatkan bahwa

petugas kesehatan tersebut belum update dalam pelatihan kegawatdaruratan

lanjutan yaitu sebanyak 46 (59%) responden, padahal hal tersebut dapat

meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan

bagi pasien khususnya pasien dengan onset yang sangat cepat seperti cedera

kepala. Petugas kesehatan tersebut sudah update dalam pelatihan

kegawatdaruratan lanjutan yaitu sebanyak 32 (41%) responden. Pelatihan

kegawatan daruratan yang diikuti oleh tenaga kesehatan pun juga bervariasi,

mulai dari ATLS, ACLS, EMS hingga Basic Ambulance Protocols. Dipastikan

bahwa semua petugas kesehatan yang mendampingi rujukan sudah mengikuti

pelatihan minimal kegawatdaruratan berupa BLS, akan tetapi tidak jarang yng

hanya mengikuti BLS saja belum update. Meskipun bervariasi dalam pelatihan

kegawatdaruratan yang diikuti oleh tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan

tersebut, tidak menunjukkan ada hubungan antara pelatihan kegawatdaruratan

yang diikuti oleh tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan dengan outcome

pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.

Chen, N, G. et al, (2010) menyatakan bahwa pelatihan tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan pelaksanaan rujukan pada pasien cedera

kepala di instalasi gawat darurat. Perawat gawat darurat harus selalu mengasah

ketajaman berpikir, bertindak dan mengevaluasi bukan hanya sekedar pelatihan

sehingga keputusan yang dibuat tepat dalam memberikan pelayanan yang

sangat efektif untuk pasien gawat darurat di instalasi gawat darurat. Emergency

Page 13: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

Nursing Assossiation (2014) menegaskan bahwa perawat ambulans harus

secara professional dalam melaksanakan tugasnya oleh karenanya perawat

ambulans harus memiliki kemampuan untuk bekerja dan menghadapi situasi dan

kondisi gawat darurat dengan kondisi pasien yang sulit diprediksi serta situasi

stres yang tinggi.

Hal berbeda diungkapkan oleh Dadashzadeh, et al., (2013) menyatakan

pelatihan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan psikomotor seseorang

dalam melakukan penilaian, pengambilan keputusan dan intervensi kegawatan

yang merupakan bagian dari program pendidikan yang komprehensif. Pelatihan

mengenai keterampilan transportasi ambulans dapat memungkinkan perawat

IGD untuk melakukan pelaksanaan pendampingan rujukan pasien cedera kepala

lebih efektif, sehingga akan menghasilkan pemilahan pasien yang lebih baik dan

akurat (Kelly, et al., 2011). Pelatihan transportasi ambulans dapat meningkatkan

kemampuan psikomotor, juga merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan

pengetahuan perawat tentang transportasi ambulans, secara khusus

meningkatkan kemampuan dalam pegambilan keputusan.

Pelatihan saja tidak dapat meningkatkan outcome pasien cedera kepala,

sebab hal ini bisa terjadi dikarenakan kemampuan yang didapat perawat dari

pelatihan tidak dapat dipraktekkan dengan baik karena tidak didukung oleh

sarana prasarana ataupun lingkungan yang ada. Berdasarkan penelitian Yoon et

al., (2013), mengatakan bahwa didapatkan adanya faktor internal dan eksternal

yang mempengaruhi keterlambatan penanganan kasus cedera kepala antara lain

ketersediaan sarana dan prasarana. Menurut Rivai (2016), ada beberapa faktor

yang perlu dipertimbangkan dan berperan dalam pelatihan antara lain ketepatan

dan kesesuaian fasilitas.

Page 14: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

6.6 Hubungan Pengalaman Perawat Melakukan Rujukan Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pengalaman perawat

selama memberi pertolongan pada pasien cedera kepala tidak berhubungan

dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Hasil analisis antara

pengalaman perawat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD

RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value 0,968, dimana uji Chi-

Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05. Maka dari analisis

tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara pengalaman perawat dengan

outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Menurut penelitian Ali (2014), mengungkapkan faktor pengalaman dalam

mendampingi rujukan pasien cedera kepala dalam ambulans yang sangat

berpengaruh adalah kesadaran, percaya diri dan pilihan dalam menggunakan

protokol yang ada. Kondisi pada pasien cedera kepala sering menimbulkan

keraguan, panik dan tidak percaya diri saat memberikan tindakan meskipun

perawat tersebut sudah lama dan dikatakan berpengalaman dalam memberikan

pertolongan pada pasien cedera kepala. Sehingga perawat senior tersebut

terkadang masih sering panik dan tidak percaya diri yang secara langsung akan

mempengaruhi pengambilang keputusan melakukan tindakan yang tepat dan

cepat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap layanan rujukan dan pemberian

asuhan keperawatan dalam ambulans.

Hasil pengamatan penelitian terkait variabel pengalaman perawat atau

tenaga kesehatan dalam mendampingi rujukan pasien cedera kepala mayoritas

didapatkan bahwa petugas kesehatan tersebut memeliki pengalaman sedang

dalam mendampingi rujukan yaitu sebanyak 51 (65,4%) responden.

Dikategorikan sebagai pengalaman sedang adalah mereka yang mengabdi di

Page 15: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

IGD dan mendampingi rujukan dengan kurun waktu 5-10 tahun kerja. Responden

yang dikategorikan sangat berpengalaman dengan masa kerja >10 tahun adalah

sebanya 15 (19,2%) responden, 12 (15,4%) dikategorikan sebagai tenaga

kesehatan dengan kurang pengalaman dengan masa kerja < 5 tahun. Hal

tersebut didukung oleh uisa tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan pasien

cedera kepala di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung, yaitu sebanyak 57 (73,1%)

responden berusia antara 21-40 tahun. Kategori pengalaman tenaga kesehatan

yang mendampingi rujukan tersebut, tidak menunjukkan ada hubungan antara

pengalaman tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan dengan outcome

pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.

Usia berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan peawat dalam

melaksanakan pendampingan rujukan pasien gawat darurat. Makin tua umur

seseorang maka proses perkembangannya juga akan baik, akan tetapi pada

umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat

seperti ketika berumur belasan tahun. Daya ingat seseorang, salah satunya

dipengaruhi oleh umur. Bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada

pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umur tertentu

atau menjelang usia lanjut, kemampuan untuk mengingat suatu pengetahuan

akan berkurang. Selain itu, usia juga memengaruhi kematangan seseorang

dalam menghadapi masalah, semakin bertambahnya umur seseorang,

pengalamannya juga akan betambah (Notoadmodjo, 2007).

Pengalaman perawat yang biasanya diukur dengan lama kerja perawat

pada suatu rumah sakit atau ruangan tidak identik dengan produktifitas yang

tinggi pula. Hal ini didukung oleh teori yang mengatakan bahwa tidak ada alasan

yang meyakinkan bahwa orang-orang yang telah lebih lama berada dalam suatu

pekerjaan akan lebih produktif dan bermotivasi tinggi ketimbang mereka yang

senioritasnya yang lebih rendah (Lontoh, 2013).

Page 16: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

6.7 Hubungan Pendampingan Perawat Saat Merujuk Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pendampingan perawat

selama merujuk pasien cedera kepala berhubungan dengan outcome pasien

cedera kepala yang dirujuk. Hasil analisis antara pendampingan perawat selama

merujuk pasien cedera kepala dengan outcome pasien cedera kepala yang

dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value 0,042,

dimana uji Chi-Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05. Maka

dari analisis tersebut dikatakan ada hubungan antara pengalaman perawat

dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Menurut Luti & Hasanbasri (2012), mengungkapkan bahwa tenaga yang

mendampingi dalam melakukan rujukan pada pasien cedera kepala adalah

seorang perawat yang sudah mampu dengan baik menangani kasus gawat

darurat, maka dalam hal ini adalah pasien cedera kepala. Menurunnya nilai

outcome pasien cedera kepala harus dihindari untuk meminimalkan kecacatan

dan kematian. Pendampingan selama rujukan pasien cedera kepala harus

dilakukan pada saat tranport ambulans ke rumah sakit yang telah ditentukan

bahwa kapasitas dan fasilitasnya lebih baik dalam hal penatalaksanaan pasien

cedera kepala. Selain hal tersebut, pemeriksaan atau observasi secara berkala

pada pasien cedera kepala sesuai dengan kegawatan penderita yang dirujuk

selama perjalanan menuju rumah sakit pusat rujukan.

Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, bahwa pasien cedera

kepala yang dirujuk ke IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung dilakukan oleh tenaga

kesehatan dari profesi perawat dan dokter, akan tetapi beberapa pendampingan

tidak sesuai standart yang telah ditetapkan seperti pemberian tindakan dan

observasi yang minimal selama rujukan berlangsung, petugas tidak berada

Page 17: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

disamping pasien, terpasang monitor, komunikasi dengan pihak IGD yang

minimal dan tidak adanya kolaborasi dengan tim medis. Hal tersebut diperkuat

dengan adanya beberapa ambulans yang hanya menjadi alat transportasi pasien

untuk mendapatkan pelayanan gawat darurat. Menurut Andrayani (2014),

komunikasi gawat darurat antara petugas ambulans dengan IGD rujukan dalam

pendampingan petugas kesehatan dalam upaya rujukan dapat mempercepat

penanganan dalam pengambilan keputusan untuk rujukan ke instansi pelayanan

yang lebih baik. Sebanyak 32 (41%) responden, dikategorikan dengan

pendampingan kurang baik saat merujuk pasien cedera kepala di IGD RSUD dr.

Iskak Tulungagung dan 46 (59%) responden dikategorikan dengan

pendampingan baik saat merujuk pasien cedera kepala.

Pendampingan dan observasi pasien kritis dengan cedera kepala yang

memerlukan perawatan lanjutan dan harus dirujuk ke layanan dengan fasilitas

lebih baik merupakan hal yang mendorong teknologi kesehatan untuk dapat

memberikan kemudahan, kecepatan dan ketepatan dalam mengatasi masalah-

masalah yang timbul selama pasien dirawat di dalam ambulans. Observasi yang

dilakukan pada pasien di cedera kepala selama rujukan meliputi, tanda-tanda

vital (suhu, nadi, pernapasan, saturasi oksigen dan tekanan darah), GCS, EKG,

observasi fungsi neuorologis observasi fungsi motorik dan lain-lain. Namun,

peralatan yang ada untuk memudahkan perawat dalam rujukan jika tidak

mendapatkan perhatian penuh perawat pada pasien cedera kepala dalam hal

pendampingan ketika rujukan maka tidak akan membawa hasil bagi outcome

pasien cedera kepala. Sehingga sudah seharunya perawat menyadari akan arti

pentingnya observasi dan pendampingan ketika melakukan rujukan pasien

cedera kepala untuk mengetahui perkembangan kondisi pada pasien cedera

kepala sehingga diharapkan tepat dalam melakukan tindakan keperawatan dan

diharapkan dapat menjadi gambaran atau acuan bagi penilaian outcome pasien

Page 18: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung (Jeven dan

Ewens 2009).

6.8 Hubungan Jarak Wilayah Kerja Saat Merujuk Dengan Outcome PasienCedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal Nursing Heldegrad E. Peplau.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jarak wilayah kerja saat

merujuk berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Hasil

analisis antara jarak wilayah kerja saat merujuk dengan outcome pasien cedera

kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value

0,020, dimana uji Chi-Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05.

Maka dari analisis tersebut dikatakan ada hubungan antara jarak wilayah kerja

saat merujuk dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Menurut Sekoranja et al., (2009), mengungkapkan bahwa hal yang

mempengaruhi outcome pasien cedera kepala yang dirujuk adalah masalah

lokasi demografi. Dalam arti, semakin jauh lokasi kejadian dengan instansi

kesehatan yang memiliki fasilitas penanganan cedera kepala yang baik maka

semakin besar pula kesempatan pasien untuk kehilangan golden periode cedera

kepala. Jarak dihitung mulai kejadian awal hingga kecepatan sampai di drope

zone IGD rumah sakit dengan fasilitas unggulan dalam perawatan cedera kepala

dalam hal ini adalah IGD RSUD dr. Iskak Tulugagung, dimana hal tersebut dapat

meminimalkan kecacatan dan kematian pada pasien cedera kepala. Penelitian

sebelumnya yang pernah dilakukan di RSUD dr. Harjono Ponorog menyebutkan

bahwa, penggolongan demografi untuk pertolongan pada pasien cedera kepala

dibagi menjadi 2 kategori yaitu pasien cedera kepala yang lokasi kejadiannya

dari pelayanan kesehatan dengan jarak > 7 kilometer tanpa kemacetan akan

mengalami keterlambatan 3 kali dibandingkan dengan jarak lokasi pasien cedera

kepala dengan pelayanan kesehatan < 7 kilometer (Andrayani, 2014).

Page 19: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

Hasil pengamatan dan analisa peneliti, menurut lokasi demografi RSUD dr.

Iskak Tulungagung berada ditengah kota Tulungagung, hal ini menunjukkan

karakteristiknya sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD dr.

Harjono Ponorogo. Menurut jumlah instansi yang merujuk paling banyak adalah

Puskesmas dengan RSUD di luar Kabupaten Tulungagung, dari jumlah

Puskesmas yang ada di Tulungagung teridentifikasi berjumlah 31 Puskesmas

yang tersebar diseluruh Kabupaten Tulungagung. Dari 31 Puskesmas tersebut,

hanya 7 Puskesmas yang memiliki kategori dekat dengan jarak < 7 kilometer dan

10 rumah sakit swasta/klinik yang ada di Kabupaten Tulungagung. Walaupun

kategori dekat, namun pada kondisi waktu tertentu ketika akan masuk ke kota

Tulungagung akan terdapat kendala diantaranya kemacetan, jalan

bergelombang, jumlah kendaraan yang bertambah. Masalah tersebut juga

merupakan salah satu penghambat dalam melakukan rujukan pada pasien

cedera kepala.

Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Tsao & Moore (2010),

outcome pasien cedera kelapa tidak ditentukan dari penyebab cedera yang

dialami pasien, tetapi kondisi luka yang disebabkan dan jarak yang harus

ditempuh untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai meski

penyebabnya adalah kecelakaan kendaraan, jatuh, terkena pukulan benda

tumpul dan peluru senjata api. Pasien cedera kepala yang diakibatkan

kecelakaan kendaraan bermotor tidak selalu mempunyai outcome yang buruk,

tetapi seberapa cepat dan lancar selama perjalanan untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan dengan fasilitas cedera kepala unggulan.

Berdasarkan Britto et al., (2012), jarak perjalanan yang semakin lama pada

pasien cedera kepela akan menyebabkan perubahan sistemik pada pasien.

Perubahan sistemik yang sering terjadi adalah hipotensi dan penurunan nilai

GCS. Pasien yang mengalami hipotensi dan penurunan nilai GCS disebabkan

Page 20: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

karena kehilangan darah, cedera sistemik dan herniasi otak yang diakibatkan

dari pasien cedera kepala tidak secara cepat mendapatkan penanganan yang

baik. Pasien dengan hipotensi yang dirawat selama 24 jam mempunyai nilai

tingkat mortalitas 45% daripada mereka yang tidak mengalami hipotensi dimana

hal tersebut akan menentukan nilai oucome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Gambar 6.1: Peta Wilayah Tulungagung

Dilihat dari peta kabupaten Tulungagung tersebut didominasi warna hijau,

dimana dapat diartikan mayoritas daerah di Kabupaten Tulungagung terdiri dari

pegunungan. Pengumudi harus mempunyai strategi tersendiri untuk dapat

mempercepat rujukan pada daerah pegunungan tersebut. Sebab, selain > 7

kilometer letak geografis dan medan juga menentukan kecepatan transport

ambulan dimana batas waktu golden periode untuk pasien cedera kepala

ditentukan adalah selama 3 jam. Oleh sebab itu, jarak wilayah kerja saat merujuk

mempunyai hubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di

IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.

Page 21: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

6.9 Hubungan Waktu yang Ditempuh untuk Merujuk Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.

Pada tatalaksana pre hospital sakit waktu setelah terjadinya cedera kepala

sampai dengan penanganan di in hospital IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung

merupakan hal penting yang perlu. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa kecepatan waktu pre hospital didapatkan hasil bahwa pasien cedera

kepala yang dirujuk dengan cepat ( 3 jam) sebanyak 46 (59%) pasien dengan

yang mengalami perburukan outcome cedera kepala setelah tiba dilokasi rujukan

adalah 15 (19,3%) pasien. Hasil uji statistik Chi-square juga menunjukkan bahwa

p value 0,006 yang bermakna bahwa ada hubungan antara kecepatan tiba di

IDG RSUD dr Iskak Tulungagung dengan outcome pasien cedera kepala yang

dirujuk.

Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa prinsip pra

rumah sakit (pre hospital) yaitu memberikan pertolongan dan penanganan pada

pasien dengan cedera kepala secara cepat dan tepat untuk meningkatkan

perbaikan outcome cedera kepala. Waktu pre hospital pasien cedera kepala

merupakan hal yang sangat penting dalam memaksimalkan outcome yang baik,

hal tersebut berhubungan dengan “Platinum Ten Minutes” dan “Golden Period”.

Platinum ten minute yaitu pertolongan pertama di tempat kejadian dan rujukant

ke tempat pelayanan terdekat tidak terlalu lama (Campbel, 2012), serta sisa

pemanfaatan waktu digunakan untuk perawatan maksimum pasien (di ambulans

dan pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas perawatan cedera kepala lebih

baik) dengan prinsip do no futher harm artinya jangan menambah keparahan

cedera kepala pasien, sedangkan golden hours (1-3 jam pertama) yaitu waktu

yang diperlukan pada pasien setelah terjadi trauma sampai dengan pasien

Page 22: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

mendapatkan terapi definitif di tempat pelayanan kesehatan yang diperlukan

sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien (terapi definitif) untuk menurunkan

angka mortalitas dan morbiditas (Rosenfeld et al., 2013).

Berdasarkan hal tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pada

tatalaksana awal pasien cedera kepala diperlukan observasi yang cepat, tepat

dan berkelanjutan pada manajemen awal baik di pre hospital yaitu di tempat

kejadian trauma dan tempat asal rujukan (Puskesmas atau rumah sakit) sebagai

tempat penyedia pelayan kesehatan bagi masyarakat, sangat penting terutama

dalam meminimalkan golden hours serta ten minute platinum yaitu waktu yang

diperlukan dalam meningkatkan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di

IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.

Pada penelitian ini outcome cedera kepala yang tiba di IGD kurang dari 3

jam sejak cedera kepala dialami lebih besar dari pada pasien cedera kepala

yang dirujuk lebih dari 3 jam, sehingga peluang outcome cedera kepala mambaik

lebih besar, menurut suatu penelitian apabila pertolongan terhadap cedera

kepala dilakukan kurang dari 1 jam pertama maka keadaan perburukan outcome

cedera kepala sangat rendah sekitar 10%, sedangkan apabila pertolongan

tersebut dilakukan pada waktu 8 jam pertama maka outcome cedera kepala atau

bahkan mortalitas dapat terjadi sekitar 75%. (Campbel, 2012; Sobuwa,

Hartzenberg & Geduld, 2014). Namun menurut Rehn (2011) mengatakan dalam

sebuah systematik review sebanyak 20 buah level III evidence based practice

dikatakan bahwa rentang waktu pre hospital dan kecepatan menuju ke tempat

pelayanan kesehatan (ruang emergency), tidak ada pengaruh dengan outcome

pasien cedera kepala, yang mempengaruhi outcome yaitu ketepatan dalam

pemberian tindakan kritis, resusitasi awal selama pre hospital.

Menurut peneliti banyak faktor yang mempengaruhi rentang waktu pre

hospital antara lain: letak antara lokasi kejadian trauma dengan fasilitas

Page 23: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

kesehatan, kondisi geografis antara tempat kejadian trauma dengan tempat

pelayanan kesehatan, traffic jam (kemacetan jalan), kecepatan dan ketepatan

pengambilan keputusan merujuk pasien cedera kepala ke tempat pelayanan

kesehatan yang lebih memadai, jenis dan kecepatan kendaraan yang digunakan

dalam mengangkut pasien cedera kepala, hal tersebut sesuai dengan penelitian

yang dilakukan secara restropective study pada tanggal 1 Januari sampai

dengan 31 Desember 2012, pada EMS di Singapura pada pasien cedera kepala

berat yang masuk kriteria inklusi, dikatakan bahwa banyak faktor yang

mempengaruhi ambulance respon time antara lain : pengambilan keputusan,

geografi tempat kejadian, traffic jam (kemacetan), cuaca yang kurang

mendukung serta jenis ambulans (Murad et al., 2015).

Pada penelitian ini tingkat bias ataupun validitas rentang waktu pre hospital

belum optimal serta ketepatan dalam tindakan resusitasi awal belum terobservasi

karena peneliti mendapatkan informasi dari catatan atau dokumentasi data

(rekam medis) serta informasi perawat dari terjadinya cedera kepala sampai

dengan pasien tiba di dropezone IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.

6.10 Hubungan Peralatan dan Obat-Obatan Gawat Darurat Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa peralatan dan obat-obatan

gawat darurat bukan salah satu faktor yang berhubungan dengan outcome

pasien cedera kepala yang dirujuk. Hasil analisis antara peralatan dan obat-

obatan gawat darurat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD

RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value 0,375, dimana uji Chi-

Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05. Maka dari analisis

tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara peralatan dan obat-obatan gawat

darurat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Page 24: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

Menurut Fanara et al., (2015), menjelaskan bahwa kecepatan dan

kemampuan profesional tim gawat darurat dalam memberikan layanan

transportasi ambulans dan EMS yang paling mempengaruhi outcome pasien

cedera kepala yang dirujuk dan penanganan kasus pre hospital liannya

dibandingkan peralatan yang lengkap serta layanan yang mendukung dalam

penanganan gawat darurat. Hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa

banyak pasien cedera kepala yang dirujuk hanya didampingi secara transportasi

saja, tidak ada tindakan stabilisasi terlebih dahulu. Hal tersebut lebih sering

dilakukan oleh layanan IGD yang berada di Puskesmas, hal tersebut

dikarenakan pada pelayanan IGD yang berada di Puskesmas jumlah tenaga

kesehatan tidak memadai terutama pada waktu sore dan malam hari. Minimalnya

tenaga kesehatan tersebut juga akan meningkatkan resiko keterlambatan

pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala. Terkadang

beberapa instansi kesehatan langsung melakukan rujukan pasien cedera kepala

tanpa memberikan informasi terlebih dahulu ke pihak IGD RSUD dr. Iskak

Tulungagung. Kondisi ini bisa dikarenakan tidak adanya kontak sentral untuk

layanan gawat darurat maupun memang kondisi pasien sudah sangat emergensi

yang membutuhkan layanan gawat darurat dengan cepat dan tepat.

Menurut Poerwani et al., (2013), menyebutkan bahwa dalam transport

rujukan masalah kelengkapan alat gawat darurat harus sesuai standart kondisi

gawat darurat. Namun, hal yang paling signifikan adalah kemampuan petugas

kesehatan dalam mengaplikasikan peralatan tersebut dan mencari solusi

peralatan pengganti jika memang peralatan standart tidak ada. Hal tersebut

senada dengan yang diungkapkan Wirawan (2013), jika fasilitas paling ideal

yang harus dimiliki setiap IGD ketika melaksanakan rujukan adalah personil yang

terlatih, bukan sekedar mesin EKG, peralatan dan obat-obatan resusitasi gawat

darurat.

Page 25: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan hampir 36 ambulans desa

dengan standart ambulans gawat darurat yang lengkap dengan peralatan dan

terkadang juga dilengkapi dengan obat-obatan maupun kategori obat bukan

emergensi. Dari beberapa ambulans desa tersebut banyak ambulans desa yang

hanya berfungsi sebagai kendaraan transportasi untuk memindah pasien ke

fasilitas yang lebih baik saja. Petugas dan sopir belum mengetahui secara pasti

tugas dan fungsinya, walaupun beberapa desa mempunyai sarana poskesdes

hanya beberapa desa saja yang mampu melaksanakan pendampingan rujukan

dengan baik kepada pasien yang dirujuk (Poerwani et al., 2013).

6.11 Faktor yang Paling Berhubungan dengan Outcome Pasien Cedera Kepala yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung

Hasil penelitian didapatkan bahwa variabel independen yang berhubungan

dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak

Tulungagung adalah kondisi pasien, pendampingan selama proses rujukan, jarak

yang ditempuh dan waktu yang diperlukan selama rujukan pasien cedera kepala.

Sedangkan faktor yang paling berhubungan dari keempat variabel tersebut

setelah melalui uji analisis regresi logistik kondisi awal pasien cedera kepala.

Beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa kondisi awal pasien cedera

kepala yang dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)

merupakan komponen yang bisa digunakan untuk memprediksi outcome pasien

cedera kepala yang dirujuk. Menurut Damkliang et al., (2014), bahwa

pengukuran GCS menjadi salah satu intervens penting yang harus dilakukan

oleh perawat di ruang IGD ketika memberikan asuhan keperawatan pada pasien

dengan cedera kepala. Pada cedera kepala yang parah, nilai GCS cenderung

cepat menurun karena mekanisme kompensasi tubuh manusia ketika terjadi

peningkatan tekanan intra kranial.

Page 26: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

Studi retrospektif yang dilakukan oleh Berry et al., (2012), terhadap 15.733

pasien cedera kepala yang mengalami penurunan nilai GCS, dalam kurun waktu

1998 sampai dengan 2005 menjelaskan bahwa pasien cedera kepala yang

memiliki nilai GCS kurang dari 10 harus segera dipertimbangkan untuk segera

mendapatkan perawatan dan tindakan terlebih lagi ketika pasien harus dirujuk ke

instansi yang memiliki fasilitas lebih baik. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Haddad dan Arabi (2012), menjelaskan bahwa pasien cedera kepala merupakan

masalah kesehatan dan sosial ekonomi utama yang merupakan penyebab

kematian. Manajemen perawatan kritis mengacu kepada Brain Trauma

Fondation, dimana kondisi awal pasien cedera kepala dapat dilihat dari

manifestasi klinis yang ditunjukkan. Salah satu yang menjadi tolok ukur dalam

menentukan tindakan perawatan lanjuttan adalah nilai GCS. Manajemen

penatalaksanaan cedera kepala mencakup multimodel.

Perubahan kondisi pasien cedera kepala, dimana perubahan tersebut

mengacu pada kepada nilai GCS yang rendah dapat digunakan untuk

memprediksi outcome pasien cedera kepala yang dirujuk selama dalam rentang

48 jam paska cedera. Hasil yang signifikan dijelaskan bahwa nilai GCS yang

semakin turun, maka akan semakin buruk outcome pasien cedera kepala. Pasien

cedera kepala dalam penelitian ini mencakup cedera kepala ringan CKR), cedera

kepala sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB) (Bruijns et al., 2014).

Cedera kepala yang masih dalam fase kompensasi dan dalam kondisi cedera

kepala primer, penurunan nilai GCS dapat dicegah. Namun, apabila mekanisme

kompensasi sudah dapat mentolelir maka kondisi pasien akan berubah menjadi

fase dekompensasi dengan nilai GCS yang terus menurun. Keadaan ini

diakibatkan dari tidak adekuatnya suplai darah yang membawa O2 dan glukosa

sehingga menimbulkan iskemik pada jaringan otak. Nilai GCS menjadi salah satu

indikator penting untuk memprediksi outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.

Page 27: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

Ketika dirujuk, pasien cedera kepala mengalami penurunan nilai GCS pada saat

dirujuk merupakan petunjuk bahwa terjadi perburukan kondisi pasien, sehingga

nilai GCS menjadi parameter yang penting untuk diperhatikan dan harus

diobservasi selama pasien dalam proses rujukan menuju instansi kesehatan

dengan fasilitas yang lebih baik.

Salah satu fokus dari asuhan keperawatan berdasarkan pendekatan teori

model Peplau adalah individu, perawat, dan proses interaktif yang menghasilkan

hubungan antara perawat dan pasien. Pada pasien dengan cedera kepala,

pasien dan keluarga akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan,

memberi rasa aman dan kurangnya perawatan. Berdasarkan teori interpersonal

ini, pasien adalah individu dengan gangguan pemenuhan kebutuhan tertentu,

dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan

keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga, dan untuk membantu

klien mencapai kematangan dalam memenuhi kebutuhannya (Schaefer, 2014).

Oleh sebab itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat

dan pasien dimana perawat bertugas sebagai nara sumber, konselor, dan wali

(Alligood & Tomey, 2010).

Proses interpersonal didefinisikan sebagai proses interaksi secara simultan

dengan orang lain dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, biasanya

dengan tujuan untuk membina suatu hubungan. Berkaitan dengan hal tersebut,

maka proses interpersonal yang dimaksud antara perawat dan pasien cedera

kepala yang dirujuk menggambarkan hubungan timbak-balik antara pasien dan

perawat yang terdiri dari 4 fase yaitu fase orientasi, fase identifikasi, fase

eksploitasi, fase resolusi (Schaefer, 2010; Schaefer, 2014).

Tahap pertama dalam proses asuhan keperawatan menurut model

interpersonal Peplau yaitu fase orientasi. Tahapan ketika keputusan pasien

memanggil perawat gawat darurat untuk meminta bantuan sampai dengan

Page 28: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

petugas tiba di lokasi kejadian dan beradaptasi dengan situasi yang terjadi. Pada

fase orientasi, lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan

tenaga kesehatan yang merujuk dan rasa percaya terhadap kemampuan

perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian askep pada klien.

Fase ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak awal untuk membangun

kepercayaan dan terjadi pengumpulan data. Perawat mengamati kondisi awal

dan respon pasien tentang penyakit, membaca laporan medis, mengevaluasi

hasil studi diagnostik, melakukan persetujuan tindakan rujukan dan bicara

dengan pasien dan keluarga (dukungan) tentang kebutuhan mereka dalam

bantuan. Perawat mengkaji fisiologis dan patofisiologis (Berntsson & Hildingh,

2012).

Pada fase kedua adalah fase identifikasi. Terjadi ketika Dilakukan

pengkajian terhadap apa yang pasien butuhkan pada saat itu, termasuk

pemberian bantuan oleh perawat terampil terkait airway, breathing dan

circulation. Sehingga antara pasien cedere kepala yang dirujuk ke rumah sakit

dengan fasilitas lebih baik tidak mengalami perburukan kondisi klinis yang

diakibatkan tidak terpenuhinya bantuan oleh perawat. Pada fase ini sangat

diutamakan ketrampilan perawat yang mendampingi proses rujukan pasien

cedera kepala. Kompetansi dan ketrampilan tersebut dapat dinilai dari tingkat

pendidikan perawat, pelatihan gawat darurat terkini yang diikuti perawat untuk

merujuk pasien cedera kepala dan pengalaman perawat dalam mendapingi

rujukan pasien cedera kepala (Berntsson & Hildingh, 2012).

Fase eksploitasi merupakan fase ketiga dalam proses keperawatan

menurut model interpersonal Peplau adalah Dimuai saat pasien berada di dalam

ambulans dan selama proses perjalanan pasien mendapatkan pendampingan

perawat secara penuh hingga tiba di rumah sakit rujukan. Fase ini merupakan inti

hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien

Page 29: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat

didalamnya. fase eksploitasi yang menghasilkan desain intervensi. Intervensi

diupayakan untuk diterima oleh pasien dan keluarga dan diambil keputusan

secara bersama-sama. Harapannya adalah selama proses rujukan pasien

cedera kepala, segala bentuk bahaya selama transportasi dapat dihilangkan.

Jenis-jenis bahaya selama rujukan antara lain: pendampingan yang buruk

selama merujuk pasien cedera kepala, jarak yang sangat jauh, waktu yang

ditempuh sangat lama dan tidak tersedianya peralatan dan obat-obatan gawat

darurat di dalam ambulans (Berntsson & Hildingh, 2012).

Langkah terakhir adalah fase resolusi atau tahap evaluasi. Fase resolusi

merupakan keadaan dimana sampai di rumah sakit dan menjalani perawatan

yang selanjutnya berhubungan dengan masalah kesehatan yang terjadi pada

dirinya. Hasil dari pemberian tindakan keperawatan selama rujukan pada pasien

cedera kepala yang dirujuk dievaluasi dengan menilai respon pasien. Respon

pasien cedera kepala pada hal ini dinilai dengan menggunakan standart glasgow

outcome scale (GOS). Perkiraan outcome setelah terjadinya rujukan cedera

kepala merupakan suatu masalah besar, terutama pada pasien dengan cedera

kepala. Evaluasi outcome fungsional setelah keluar dari rumah sakit pada

individu menjadi bagian penting suatu program rehabilitasi. Evaluasi juga

menjadi langkah terbaik untuk mengukur keefektifan penatalaksanaan yang

diberikan ketika manjalani rujukan (Locker & Morris, 2003; Ponsford et al., 2014).

GOS terdiri dari 5 komponen yang digunakan untuk menentukan outcome pasien

cedera kepala, yaitu death (meninggal), vegetative state (sadar tanpa respon),

savere disability (cacat berat), moderate disability (cacat sedang) dan good

recovvery (baik).

Dari semua fase tersebut yang menunjukkan hubungan yang signifikan

adalah fase orientasi dengan variabel tingkat kesadaran pasien, fase ekspoitasi

Page 30: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

dengan variabel pada penelitian pendampingan saat merujuk, jarak rujukan dan

wktu rujukan. Dari semua variabel dalam tahapan tersebut yang terdapat

hubungan sehingga fase resolusi dalam teori interpesonal nursing belum

tercapai. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya perburukan dalam fase resolusi

yang ditunjukkan dengan variabel outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di

IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.

Pada tingkat kesadaran yang merupakan variabel dari fase orientasi,

perawat melakukan pengkajian fisiologis dan patofisiologis pada pasien cedera

kepala yang akan dirujuk. Berdasarkan beberapa tipikan kesadaran pasien

cedera kepala akan mengalami penurunan kesadaran mulai dari somnolen

hingga jatuh dalam keadaan koma. Selanjutnya dalam teori interpesonal pasien,

keluarga dan perawat bekerja bersama mengenali dan menentukan masalah,

Pada kasus pasien cedera kepala yang dirujuk, salah satu standar diagnosis

keperawatan yang digunakan dengan menggunakan pendekatan NANDA.

Setidaknya ada 2 diagnosa keperawatan yang dapat dijadikan prioritas pada

pasien cedera kepala yang dirujuk dengan masalah tingkat kesadaran yaitu

pernurunan perfusi jaringan serebral dan perubahan persepsi sensori.

Penggunaan diagnosis keperawatan dari NANDA, kriteria hasil dengan NOC,

dan rencana atau hipotesis perawatan dengan NIC merupakan salah suatu

pendekatan praktis dalam menerapkan model interpersonal dari Peplau. Hal ini

sesuai dengan penjelasan Cox (2008) bahwa penggunaan NANDA, NOC, dan

NIC dalam prinsip penerapan model interpersonal Peplau bertujuan untuk

memberikan standar bahasa keperawatan dan teori keperawatan secara

berkelanjutan. Salah satu jalan untuk mengidentifikasi masalah keperawatan

yang saling berhubungan dengan aspek dari model interpersonal Peplau,

menggunakan diagnosis keperawatan, intervensi, dan kriteria hasil. Sehingga

Page 31: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

dalam penerapannya, model interpersonal Peplau diterapkan dalam bahasa

standar keperawatan.

Berdasarkan referensi diatas, penerapan model interpersonal Peplau

dapat menggunakan konsep NOC dan NIC. Sehingga pada fase identifikasi,

perencanaan terapi keperawatan pada pasien cedera kepala digunakan

pendekatan NOC dan NIC. Hal ini didasari penjelasan Schaefer (2010) dan

bahwa fase identifikasi mengarahkan intervensi keperawatan dengan tujuan

memenuhi kebutuhannya dan mengintegrasikan belajar pengalaman. Perawat

Perawat berperan mengatur tujuan dan proses interaksi interpersonal dengan

pasien yang bersifat partisipatif, sedangkan pasien mengendalikan isi yang

menjadi tujuan. Hal ini berarti dalam hubungannya dengan pasien, perawat

berperan sebagai mitra kerja, pendidik, narasumber, pengasuh pengganti,

pemimpin dan konselor sesuai dengan fase proses interpersonal. Pendampingan

perawat yang baik selama proses rujukan akan memberikan harapan yang lebih

besar pada kesembuhan pasien.

Outcome pasien cedera kepala yang dirujuk dipengaruhi banyak hal.

Namun, dengan adanya persamaan ini peneliti mempunyai inisiatif untuk

memperkirakan kemungkinan pasien kondisi awal pasien hingga tiba di IGD

RSUD rujukan. Harapan peneliti, dengan adanya sebuah nursing practice theory

tersebut dapat meningkatkan kemampuan prediksi outcome pasien cedera

kepala yang dirujuk dan membantu meningkatkan mutu asuhan keperawatan

dan keluarga melalui pendekatan aplikasi langsung teori-teori keperawatan

kepada pasien, keluarga dan komunitas karena hampir seluruh pasien cedera

kepala memiliki resiko outcome yang buruk dan membutuhkan penanganan

dengan cepat dan tepat.

Page 32: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

6.12 Implikasi Keperawatan Upaya untuk meningkatkan penatalaksanaan pasien cedera kepala saat

melakukan rujukan dengan kondisi gawat darurat ke unit pelayanan

berkelanjutan merupakan salah satu upaya pelayanan keperawatan guna

menghindari penurunan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Proses

keperawatan tidak hanya dimulai ketika pasien masuk ke Rumah Sakit, tetapi

sejak awal sebelum penanganan pasien sebelum tiba di Igd atau di pra

hospital.identifikasi melalui pengkajian dan pemeriksaan fisik yang tepat

menggambarkan kondisi pasien cedera kepalapada saat itu dan menentukan

jenis tindakan yang cepat dan tepat. Selain itu, tindakan tersebut juga bisa

menjadi acuan perawat dalam pengambilan keputusan terhadap kondisi pasien

cedera kepala yang dirujuk, terutama dalam memberikan support atau dukungan

psikologis kepada pasien dan keluarga.

Tindakan monitoring dan evaluasi yang ketat perlu dilakukan kepada

pasien cedera kepala pada saat dilakukan tatalaksana cedera kepala yang

dirujuk, guna mencegah perburukan kondisi pada pasien yang berdampak pada

outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Kondisi pasien yang diketahui labih

awal, keputusan merujuk sejak dini bisa menjadi dasar dalam memberikan

penjelasan yang akurat pada keluarga pasien, untuk menentukan apakah suatu

tindakan agresi dan suportif akan diteruskan atau dihentikan.

6.13 Keterbatasan Penlitian Penelitian ini tidak terlepas dari banyak kekurangan. Beberapa kekurangan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

6.13.1 Peneliti belum mencakup semua faktor yang mempengaruhi outcome

pasien cedera kepala yang dirujuk, seperti penanganan awal keluarga

saat mengambil keputusan dirujuk kerumah sakit, penanganan yang

cepat dari rim IGD Puskesmas atau Rumah Sakit yang merujuk.

Page 33: BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya

6.13.2 Peneliti hanya melakukan survei analitik saja terhadap faktor yang

mempengaruhi outcome pasien cedera kepala yang dirujuk, kemungkinan

perubahan klinis pasien bisa terjadi karena banyak hal selama fase pra

hospital sedangkan penilaian outcome dilakukan saat pasien berada di

dropezone IGD RSUD dr. iskak Tulungagung yang belum dapat

menggambarkan secara utuh kondisi umum pasien cedera kepala selama

rujukan.

6.13.3 Hasil data yang dikumpulkan hanya satu kali pengamatan saja yaitu

selama pasien berada di dropezone hingga berada di ruang triage

sekunder IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.