BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya
Transcript of BAB VI PEMBAHASAN - Universitas Brawijaya
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang pembahasan yang meliputi interpretasi
dan diskusi hasil penelitian seperti yang sudah dipaparkan pada bab
sebelumnya, implikasi keperawatan dan keterbatasan peneitian. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor tingkat kesadaran pasien, jenis
profesi kesehatan yang merujuk, persetujuan tindakan rujukan, tingkat
pendidikan, pelatihan kegawatdaruratan, pengalaman melakukan rujukan,
pendampingan saat merujuk, jarak rujukan, waktu yang ditempuh dan peralatan
dan obat-obatan gawat darurat sehingga dapat mempengaruhi outcome pasien
cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung melalui
pendekatan model interpersonal nursing Heldegrad E. Peplau.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa outcome pasien cedera kepala yang
dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan responden sebanyak 78
responden dan sebesar 59 pasien (75,6%) memiliki skor GOS antara 1-3, yang
berarti memiliki outcome yang buruk. Sedangkan, sebagian besar kondisi awal
pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak tergolong dalam
cedera kepala sedang 35 (44,9%) dan cedera kepala berat (CKB) adalah 32
orang. Dimana kedua keadaan tersebut sangat memungkinkan untuk
menyebabkan terjadinya tingginya outcome pasien cedera kepala yang buruk.
Penlitian dilakukan selama periode 1 bulan yang berlokasi di dropezone
pasien rujukan di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung hingga ke ruang triage
sekunder atau dapat dikatakan bahwa dimulai sejak pasien datang ke IGD
hingga pasien masuk dalam ruangan IGD. Beberapa pasien datang sudah dalam
keadaan koma dikarenakan mengalami cedera kepala yang parah. Penilaian
outcome pasien cedera kepala yang dirujuk dengan hasil yang buruk belum
menentukan kondisi akhir pasien cedera kepala tersebut. Adapun faktor-faktor
yang berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk akan
dijelaskan pada sub bab dibawah ini.
6.1 Hubungan Tingkat Kesadaran Pasien dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal Nursing Heldegrad E. Peplau.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa tingkat kesadaran pasien cedera
kepala yang dinilai dengan jumlah skor GCS memiliki hubungan yang signifikan
dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Hal ini dapat dinilai dari p-
value < 0,05 yang berarti bahwa tingkat kesadaran pasien cedera kepala
berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD
dr. Iskak Tulungagung.
Tingkat kesadaran pasien cedera kepala dinilai dengan skor GCS
merupakan tolok ukur kondisi klinis pasien cedera kepala yang diperiksa pada
pasien diawal ketika pasien tiba di IGD. Tingkat kesadaran dengan skor GCS ini
memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan
pada pasien cedera kepala. Skor GCS yang rendah pada awal cedera akan
memiliki outcome pasien cedera kepala yang dirujuk yang buruk (Okasha et al.,
2014).
Ada beberapa skoring yang bisa digunakan untuk menilai kondisi awal
pasien cedera kepala seperti Trauma Score, Rapid Trauma Score (RTS),
Glasgow Coma Scale (GCS), Injury Severity Score (ISS). Penelitian yang
dilakukan oleh Grote et al., (2011) menjelaskan tentang indikator tingkat
keparahan pada kondisi awal pasien cedera kepala, bahwa skoring cedera
kepala menggunakan GCS memiliki tingkat sensitivitas dan spesifitas yang lebih
baik untuk mengukur tingkat keparahan cedera kepala. Selain hal tersebut,
parameter GCS ini juga sudah menjadi alat ukur yang standar digunakan di Ruah
Sakit untuk mengkategorikan kondisi awal pasien ketika pertama kasli masuk
IGS terlebih lagi untuk pasien cedera kepala.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar pasien cedera
kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak cedera kepala ringan sebesar 45
(57,6%) pasien, cedera kepala sedang sebesar 27 (34,6%) pasien dan 6 (7,7%)
pasien. Sebagian besar pasien cedera kepala memiliki skor GOS 10 atau bahkan
<10, yaitu sebanyak 59 pasien (75,6%). Hal tersebut senada dengan hasil
penelitian dari Lingsma et al., (2014), bahwa nilai GCS kurang dari 11 dalam
waktu 24 jam akan memiliki outcome pasien cedera kepala yang buruk. Selain itu
juga dijelaskan bahwa outcome pasien cedera kepala secara progresif akan
menurun jika skor GCS yang sudah rendah. Penilain kondisi awal pada pasien
cedera kepala kurun waktu 3-6 bulan juga menunjukkan outcome yang buruk.
Penilaian lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Joseph et al., (2015) tentang kondisi pasien cedera kepala
dengan patah tulang tengkorak. Kondisi tersebut dijelaskan memiliki potensi
sepuluh kali untuk mengalami defisit neurologis dan akan semakin buruk, dimana
skala pengukuran yang bisa menilai hal tersebut adalah GCS. Oleh karena itu,
GCS merupakan skala penting untuk penilaian awal tingkat kesadaran, status
klinis dan prognosis pasien cedera kepala.
Skor GCS menjadi standar pengukuran awal kondisi neurologis pada
pasien dengan perubahan status mental oleh karena penyebab apapun,
termasuk cedera kepala. Menurut Lingsma (2014), menyebutkan beberapa
penelitian yang ada hubungan antara skor yang rendah pada nilai GCS dan
outcome pasien cedera kepala yang lebih buruk. Pasien dengan luka yang parah
pada bagian kepala, komponen motorik pada GCS memiliki nilai prediktif
terbesar karena respon mata dan verbal umumnya tidak ada pada pasien. Skor
GCS pada penelitian ini menggunakan skala ordinal, dimana nilai semua
komponen dalam GCS kemudian dijumlahkan. Skor 3-8 adalah cedera kepala
berat, 9-12 adalah cedera kepala sedang dan 13-15 merupakan cedera kepala
ringan.
Menurut Coronado et al., (2011), menjelaskan bahwa pasien cedera kepala
dengan skor 13-15 memiliki outcome yang buruk atau bahkan meninggal adalah
1%, skor GCS 8-12 yang memiliki outcome yang buruk sekitar 5% dan skor GCS
yang >8 memiliki outcome buruk relatif besar yaitu 40%. Hal yang sama juga
dikatakan oleh Brazinova et al., (2010), dimana outcome pasien cedera kepala
dipengaruhi oleh total skor dari GCS pasien, yang maknanya semakin kecil total
GCS pasien cedera kepala tersebut maka semakin buruk pula outcome pasien
cedera kepala tersebut.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Setterval, Souuza dan
Silva (2011), yang membandingkan kinerja tiga komponen pada nilai GCS
selama 72 jam pertama pasca trauma untuk memprediksi mortalitas pasien
cedera kepala di Rumah Sakit. Skor yang dipelajari meliputi skor GCS setelah
perawatan awal dari Rumah Sakit, skor GCS terburuk dan skor GCS terbaik
selama 72 jam pertama pasca trauma kepala. Hasil penelitian menunjukkan ada
perubahan signifikan secara statistik antara skor GCS dengan mortalitas pasien
cedera kepala. Pada penelitian ini hanya dilakukan satu kali pengukuran GCS
yaitu ketika pasien sebelum di rujuk dan masih berada di IGD Rumah Sakit
sebelumnya. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Setterval, Souuza dan Silva (2011), yang melaukukan penilaian GCS sebanyak 3
kali selama 72 jam pasca cedera kepala. Namun, hasil penelitian ini sama
dengan penelitian sebelumnya dengan signifikasni < 0,05 yang bermakna bahwa
kondisi awal pasien cedera kepala berhubungan dengan outcome pasien cedera
kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.
6.2 Hubungan Jenis Profesi Kesehatan yang Merujuk Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa jenis profesi kesehatan yang
mendampingi rujukan pasien cedera kepala tidak memiliki hubungan dengan
outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Hal ini dapat dinilai dari p-value >
0,05 yang berarti bahwa petugas kesehatan yang mendampingi rujukan pasien
cedera kepala tidak berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang
dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.
Menurut Eizanberg (2013) mendampingi rujukan pasien cedera kepala
seharusnya ditemani oleh pendamping. Ketentuan petugas kesehatan yang
menemani rujukan pasien cedera kepala tergantung dari kondisi pasien, jumlah
tenaga kesehatan yang tersedia dan kebijakan yang berlaku. Seorang dokter
senior atau konsultan hendaknya mengambil keputusan tentang siapa yang
harus menemani pasien yang dirujuk ke rumah sakit rujukan atau pun perawat
yang sudah ahli dan mahir dalam mendampingi rujukan pasien. Persyaratan
kebutuhan petugas kesehatan yang mendapingi rujukan pasien prehospital
berdasarkan kondisi kegawatdaruratan pasien. Tidak jarang pula, jika dalam
keadaan yang benar-benar mendesak tenaga kesehatan lainnya juga
mendampingi rujukan pasien cedera kepala.
Hasil pengamatan peneliti, jenis profesi kesehatan yang paling banyak
mendampingi rujukan pasien cedera kepala di IGD RSUD dr. Iskak adalah
perawat sebanyak 75 (96,2%) responden, sedangkan untuk profesi kesehatan
dari dokter adalah 3 (3,8%) responden. Tetapi sekali lagi, hasil dari analisis data
yang dilakukan menunjukkan bahwa jenis profesi kesehatan yang mendampingi
rujukan tidak mempunyai hubungan terhadap outcome pasien cedera kepala.
Menurut Andrayani (2014), menyatakan bahwa yang mempengaruhi
pelayanan rujukan untuk dapat memperbaiki outcome pasien cedera kepala yang
dirujuk bukan jenis petugas kesehatan yang merujuk melainkan ada 4 aspek,
meliputi; 1). Jumlah petugas, dimana jumlah petugas kesehatan yang
mendampingi rujukan pasien cedera kepala merupakan salah satu aspek
penunjang perolongan kegawatan pasien cedera kepala dapat terpenuhi dengan
baik sehingga prognosa dan outcome pasien cedera kepala akan sesuai dengan
harapan. Keadaan petugas kesehatan yang kurang menyebabkan dalam
penyelenggaraan rujukan pasien akan dilaksanakan tidak maksimal, terlebih lagi
untuk rujukan kasus cedera kepala dimana semua harus dilaksanakan dengan
cepat dan tepat karena onsetnya yang sangat terbatas. 2). Ketanggapan dan
Kehandalan petugas kesehatan, yang bermakna ketanggapan berhubungan
dengan aspek kesigapan dari petugas kesehatan yang mendampingi rujukan
dalam memnuhi segala kebutuhan pasien cedera kepala selama rujukan
sedangkan kehandalan berhubungan dengan aspek tingkat kemampuan dan
ketrampilan yang dimiliki petugas kesehatan dalam menyelenggarakan dan
memberikan pelayanan gawat darurat pada saat mendampingi rujukan.
Ketanggapan dan kehandalan yang kurang bagi tenaga kesehatan yang
mendampingi rujukan pasien cedera kepala akan memberikan dampak kurang
terpenuhinya kebutuhan yang menunjang pasien cedera kepala untuk dapat
meningkatkan kemungkinan hidupnya.
Hal ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Tsao dan Moore
(2010), dimana outcome pasien cedera kepala tidak dipengaruhi atau ditentukan
oleh faktor ekstrinsik (tenaga kesehatan, penyebab kejadian, sarana dan
prasarana gawat darurat), tetapi lebih karena kondisi luka yang disebabkan oleh
pasien cedera kepala. Tidak semua pasien dengan faktor ekstrinsik yang buruk
akan memiliki outcome cedera kepala yang buruk juga. Hasil penelitian ini sama
dengan penelitian sebelumnya dengan signifikasni >0,05 yang bermakna bahwa
jenis tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan pasien cedera kepala tidak
berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD
dr. Iskak Tulungagung.
6.3 Hubungan Persetujuan Tindakan Rujukan Dengan Outcome PasienCedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal Nursing Heldegrad E. Peplau.
Berdasarkan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa persetujuan
tindakan rujukan tidak terdapat hubungan dengan outcome pasien cedera kepala
yang dirujuk. Hal tersebut ditunjukkan dengan analisis antara persetujuan
tindakan rujukan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk ke IGD
RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai untuk p-value adalah 0,416
dimana jika dengan uji Chi-square bila signifikansi jika nilai p-value < 0,05. Maka
dari analisis tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara persetujuan tindakan
rujukan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Tidak adanya hubungan yang bermakna antara persetujuan tindakan
rujukan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk dikarenakan dalam
persetujuan tindakan rujukan hanya berisikan kejelasan status dan perlindungan
hukum baik untuk pasien terlebih lagi untuk tenaga kesehatan. Persetujuan
tindakan rujukan dapat menjaga segala kemungkinan yang akan ditimbulkan.
Persetujuan tersebut dilakukan setelah pasien dan keluarga setelah
mendapatkan penjelasan dari perawat, terkait segala yang berhubungan dengan
pelaksanaan rujukan pada pasien cedera kepala termasuk segala informasi
terkai kemungkinan terburuk dari resiko rujukan pada pasien cedera kepala
(Lontoh, 2013).
Persetujuan tindakan atau informed consent merupakan istilah yang
merujuk pada proses ikut menentukan tindakan oleh pasien setelah ia
mendapatkan informasi yang lengkap mengenai tindakan medis yang akan
diberikan. Persetujuan tindakan rujukan ini dibuat oleh tenaga kesehatan yang
akan melakukan tindakan rujukan pasien cedera kepala dalamnya berisi tentang
informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan selama rujukan pasien
cedera kepala, apa manfaatnya rujukan , apa resiko rujukan , alternatif lain dan
apa yang mungkin terjadi apabila tidak dilakukan tindakan medis atau operasi
tersebut. Keterangan ini harus diberikan secara jelas dalam bahasa yang
sederhana dan dapat dimengerti oleh pasien dan memperhitungkan tingkat
pendidikan dan intelektualnya (Dira, 2010).
Hasil pengamatan dan penilaian ulang antara peneliti dan responden
menunjukkan bahwa responden yang tidak dapat menunjukkan lembar
persetujuan adalah sebanyak 2 responden, hal tersebut dikarenakan kondisi
pasien dalam keadaan gawat darurat dengan cedera kepala berat. Meskipun
demikian, responden yang tidak dapat menunjukkan lembar persetujuan tindakan
menyampaikan bahwa persetujuan tindakan sudah dilakukan secara lisan
kepada keluarga. 76 (97,4%) responden sisanya dapat menunjukkan lembar
persetujuan tindakan.
Menurut Dira (2010), mengatakan bahwa persetujuan tindakan rujukan ini
tidak akan memberi dampak secara langsung pada kondisi pasien atau outcome
pasien cedera kepala. Sebab, persetujuan tindakan rujukan dilakukan dengan
harapan jika pasien cedera kepala yang dirujuk dapat dilindungi dari
kesewenang-wenangan tenaga kesehatan yang merujuk. Tindakan yang tidak
diinginkan tersebut dapat berupa malpraktik, wanprestasi, tindakan yang
melawan hukum atau tindakan yang tidak sesuai dengan standart operasional
prosedur. Apabila telah dilakukan, maka tenaga kesehatan yang mendampingi
rujukan pasien cedera kepala akan malakukan tindakan sesuai dengan apa yang
telah ditetapkan.
6.4 Hubungan Tingkat Pendidikan Petugas Kesehatan yang MerujukDengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.
Berdasarkan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenjang atau
tingkat pendidikan perawat tidak terdapat hubungan dengan outcome pasien
cedera kepala yang dirujuk. Hal tersebut ditunjukkan dengan analisis antara
tingkat pendidikan perawat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk
ke IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai untuk p-value adalah 0,336
dimana jika dengan uji Chi-square bila signifikansi jika nilai p-value < 0,05. Maka
dari analisis tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Tidak adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan perawat
dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk dikarenakan dalam menilai
ketrampilan seseorang yang dalam hal ini penanganan pasien cedera kepala
yang dirujuk, bisa saja dipengaruhi adanya faktor lain. Keadaan ini tergantung
dari motivasi perawat dalam mempraktikkan ketrampilan kerja yang didapat dari
pendidikannya. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja faktor-
faktor tersebut antara lain: faktor kemampuan dan faktor motivasi. Motivasi
merupakan kemauan atau keinginan didalam diri seseorang yang mendorongnya
untuk bertindak (Ali, 2014).
Pendidikan merupakan salah satu karakteristik seorang individu, hal yang
sama juga dirasakan oleh profesi kesehatan terlebih lagi sebagai perawat
dimana tingkat pendidikannya sangatlah bervariasi. Pengetahuan seorang
tenaga kesehatan dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal yang telah
ditempuhnya. Kompetensi yang ditetapkan pada setiap jenjang pendidikan
pastinya juga akan berbeda, dimulai dari tingkat pendidikan D3, S1, S2 ataupun
jenjang Spesialis.jenjang pendidikan yang bervariasi ini dapat menyebabkan
perbedaan cara pandang dalam menilai, menghadapi dan memutuskan sesuatu
masalah yang dituntut secara cepat dan tepat (Andrayani, 2014). Strategi
peningkatan dan pengembangan jenjang karir perawat adalah dengan
peningkatan tingkat pendidikan, dimana telah terbukti mendukung perawat dalam
mengaplikasikan praktek keperawatan profesional yang berkualitas khususnya
dalam bidang pelayanan dan penanganan kondisi gawat darurat dan rujukan
(Arindika, 2014).
Hasil pengamatan penelitian terkait variabel tingkat pendidikan petugas
kesehatan yang mendampingi rujukan pasien cedera kepala di IGD RSUD dr.
Iskak Tulungagung didominasi profesi keperawatan dengan latar belakang D3
Keperawatan yaitu sebanyak 56 (71,8%) responden, tingkat pendidikan S1
Keperawatan sebanyak 20 responden dan dokter umum sebanyak 2 responden.
Meskipun bervariasi dalam tingkat pendidikan profesi kesehatan yang
mendampingi rujukan tersebut, tidak menunjukkan ada hubungan antara tingkat
pendidikan petugas kesehatan yang mendampingi rujukan dengan outcome
pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.
Hal ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Tsao dan Moore
(2010), dimana outcome pasien cedera kepala tidak dipengaruhi atau ditentukan
oleh faktor ekstrinsik (tenaga kesehatan, penyebab kejadian, sarana dan
prasarana gawat darurat), tetapi lebih karena kondisi luka yang disebabkan oleh
pasien cedera kepala. Tidak semua pasien dengan faktor ekstrinsik yang buruk
akan memiliki outcome cedera kepala yang buruk juga. Hasil penelitian ini sama
dengan penelitian sebelumnya dengan signifikasni >0,05 yang bermakna bahwa
tingkat pendidikan perawat yang mendampingi rujukan pasien cedera kepala
tidak berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD
RSUD dr. Iskak Tulungagung. Menurut Eizanberg (2013), didapatkan hubungan
yang signifikan antara pendidikan dengan praktik dan aplikasi keperawatan,
namun hanya sebatas kinerja perawat saja sedangkan untuk hasil kerja yang
berupa prognasis kesembuhan pasien belum teruji. Bila ditelusuri lebih lanjut lagi
mengenai karakteristik pendidikan keperawatan, kategori tertinggi dalam
pelaksanaan ketrampilan dan aplikasi keperawatan didominasi pendidikan D3
dengan sebagian lagi adalah S1 keperawatan.
6.5 Hubungan Pelatihan Gawat Darurat yang Diikuti Perawat Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pelatihan yang diikuti
perawat tidak berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Hasil analisis antara pengalaman perawat dengan outcome pasien cedera
kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value
0,912, dimana uji Chi-Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05.
Maka dari analisis tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara pelatihan yang
diikuti perawat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Hal ini sejalan dengan pnelitian yang dilakukan oleh Janssen, et al, (2011)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa pelatihan bukan merupakan salah satu
faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan rujukan pasien cedera kepala di
IGD. Dalam sebuah study yang dilakukan oleh Aloyce, et al., (2013) menemukan
78% dari perawat yang bekerja di instalasi gawat darurat tanpa pelatihan formal
baik pelatihan EMS, Ambulans, gawat darurat darurat, trauma, kritis, dan
perawatan intensif. Hal ini tidak memiliki dampak negatif dalam pelaksanaan
rujukan pada pasien cedera kepala, dimana yang berpengaruh pada keakuratan
pengambilan keputusan maupun penatalaksanaan kegawat daruratan tingkat
ketenangan dalam pengambilan keputusan dan tingkat pengalaman. Kurangnya
pelatihan dalam kemampuan menilai kegawatan pasien cedera kepala dan
pemberian tindakan asuhan keperawatan dan pengetahuan belum tentu memiliki
hubungan keputusan tindakan yang akan dilakukan pada pasien cedera kepala.
Hal ini telah diidentifikasi sebagai faktor kunci yang mempengaruhi outcome
pasien cedera kepala yang dirujuk.
Hasil pengamatan penelitian terkait variabel pelatihan kegawatdaruratan
yang diikuti oleh tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan pasien cedera
kepala di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung mayoritas didapatkan bahwa
petugas kesehatan tersebut belum update dalam pelatihan kegawatdaruratan
lanjutan yaitu sebanyak 46 (59%) responden, padahal hal tersebut dapat
meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan
bagi pasien khususnya pasien dengan onset yang sangat cepat seperti cedera
kepala. Petugas kesehatan tersebut sudah update dalam pelatihan
kegawatdaruratan lanjutan yaitu sebanyak 32 (41%) responden. Pelatihan
kegawatan daruratan yang diikuti oleh tenaga kesehatan pun juga bervariasi,
mulai dari ATLS, ACLS, EMS hingga Basic Ambulance Protocols. Dipastikan
bahwa semua petugas kesehatan yang mendampingi rujukan sudah mengikuti
pelatihan minimal kegawatdaruratan berupa BLS, akan tetapi tidak jarang yng
hanya mengikuti BLS saja belum update. Meskipun bervariasi dalam pelatihan
kegawatdaruratan yang diikuti oleh tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan
tersebut, tidak menunjukkan ada hubungan antara pelatihan kegawatdaruratan
yang diikuti oleh tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan dengan outcome
pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.
Chen, N, G. et al, (2010) menyatakan bahwa pelatihan tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan pelaksanaan rujukan pada pasien cedera
kepala di instalasi gawat darurat. Perawat gawat darurat harus selalu mengasah
ketajaman berpikir, bertindak dan mengevaluasi bukan hanya sekedar pelatihan
sehingga keputusan yang dibuat tepat dalam memberikan pelayanan yang
sangat efektif untuk pasien gawat darurat di instalasi gawat darurat. Emergency
Nursing Assossiation (2014) menegaskan bahwa perawat ambulans harus
secara professional dalam melaksanakan tugasnya oleh karenanya perawat
ambulans harus memiliki kemampuan untuk bekerja dan menghadapi situasi dan
kondisi gawat darurat dengan kondisi pasien yang sulit diprediksi serta situasi
stres yang tinggi.
Hal berbeda diungkapkan oleh Dadashzadeh, et al., (2013) menyatakan
pelatihan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan psikomotor seseorang
dalam melakukan penilaian, pengambilan keputusan dan intervensi kegawatan
yang merupakan bagian dari program pendidikan yang komprehensif. Pelatihan
mengenai keterampilan transportasi ambulans dapat memungkinkan perawat
IGD untuk melakukan pelaksanaan pendampingan rujukan pasien cedera kepala
lebih efektif, sehingga akan menghasilkan pemilahan pasien yang lebih baik dan
akurat (Kelly, et al., 2011). Pelatihan transportasi ambulans dapat meningkatkan
kemampuan psikomotor, juga merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan
pengetahuan perawat tentang transportasi ambulans, secara khusus
meningkatkan kemampuan dalam pegambilan keputusan.
Pelatihan saja tidak dapat meningkatkan outcome pasien cedera kepala,
sebab hal ini bisa terjadi dikarenakan kemampuan yang didapat perawat dari
pelatihan tidak dapat dipraktekkan dengan baik karena tidak didukung oleh
sarana prasarana ataupun lingkungan yang ada. Berdasarkan penelitian Yoon et
al., (2013), mengatakan bahwa didapatkan adanya faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhi keterlambatan penanganan kasus cedera kepala antara lain
ketersediaan sarana dan prasarana. Menurut Rivai (2016), ada beberapa faktor
yang perlu dipertimbangkan dan berperan dalam pelatihan antara lain ketepatan
dan kesesuaian fasilitas.
6.6 Hubungan Pengalaman Perawat Melakukan Rujukan Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pengalaman perawat
selama memberi pertolongan pada pasien cedera kepala tidak berhubungan
dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Hasil analisis antara
pengalaman perawat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD
RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value 0,968, dimana uji Chi-
Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05. Maka dari analisis
tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara pengalaman perawat dengan
outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Menurut penelitian Ali (2014), mengungkapkan faktor pengalaman dalam
mendampingi rujukan pasien cedera kepala dalam ambulans yang sangat
berpengaruh adalah kesadaran, percaya diri dan pilihan dalam menggunakan
protokol yang ada. Kondisi pada pasien cedera kepala sering menimbulkan
keraguan, panik dan tidak percaya diri saat memberikan tindakan meskipun
perawat tersebut sudah lama dan dikatakan berpengalaman dalam memberikan
pertolongan pada pasien cedera kepala. Sehingga perawat senior tersebut
terkadang masih sering panik dan tidak percaya diri yang secara langsung akan
mempengaruhi pengambilang keputusan melakukan tindakan yang tepat dan
cepat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap layanan rujukan dan pemberian
asuhan keperawatan dalam ambulans.
Hasil pengamatan penelitian terkait variabel pengalaman perawat atau
tenaga kesehatan dalam mendampingi rujukan pasien cedera kepala mayoritas
didapatkan bahwa petugas kesehatan tersebut memeliki pengalaman sedang
dalam mendampingi rujukan yaitu sebanyak 51 (65,4%) responden.
Dikategorikan sebagai pengalaman sedang adalah mereka yang mengabdi di
IGD dan mendampingi rujukan dengan kurun waktu 5-10 tahun kerja. Responden
yang dikategorikan sangat berpengalaman dengan masa kerja >10 tahun adalah
sebanya 15 (19,2%) responden, 12 (15,4%) dikategorikan sebagai tenaga
kesehatan dengan kurang pengalaman dengan masa kerja < 5 tahun. Hal
tersebut didukung oleh uisa tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan pasien
cedera kepala di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung, yaitu sebanyak 57 (73,1%)
responden berusia antara 21-40 tahun. Kategori pengalaman tenaga kesehatan
yang mendampingi rujukan tersebut, tidak menunjukkan ada hubungan antara
pengalaman tenaga kesehatan yang mendampingi rujukan dengan outcome
pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.
Usia berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan peawat dalam
melaksanakan pendampingan rujukan pasien gawat darurat. Makin tua umur
seseorang maka proses perkembangannya juga akan baik, akan tetapi pada
umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat
seperti ketika berumur belasan tahun. Daya ingat seseorang, salah satunya
dipengaruhi oleh umur. Bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada
pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umur tertentu
atau menjelang usia lanjut, kemampuan untuk mengingat suatu pengetahuan
akan berkurang. Selain itu, usia juga memengaruhi kematangan seseorang
dalam menghadapi masalah, semakin bertambahnya umur seseorang,
pengalamannya juga akan betambah (Notoadmodjo, 2007).
Pengalaman perawat yang biasanya diukur dengan lama kerja perawat
pada suatu rumah sakit atau ruangan tidak identik dengan produktifitas yang
tinggi pula. Hal ini didukung oleh teori yang mengatakan bahwa tidak ada alasan
yang meyakinkan bahwa orang-orang yang telah lebih lama berada dalam suatu
pekerjaan akan lebih produktif dan bermotivasi tinggi ketimbang mereka yang
senioritasnya yang lebih rendah (Lontoh, 2013).
6.7 Hubungan Pendampingan Perawat Saat Merujuk Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pendampingan perawat
selama merujuk pasien cedera kepala berhubungan dengan outcome pasien
cedera kepala yang dirujuk. Hasil analisis antara pendampingan perawat selama
merujuk pasien cedera kepala dengan outcome pasien cedera kepala yang
dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value 0,042,
dimana uji Chi-Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05. Maka
dari analisis tersebut dikatakan ada hubungan antara pengalaman perawat
dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Menurut Luti & Hasanbasri (2012), mengungkapkan bahwa tenaga yang
mendampingi dalam melakukan rujukan pada pasien cedera kepala adalah
seorang perawat yang sudah mampu dengan baik menangani kasus gawat
darurat, maka dalam hal ini adalah pasien cedera kepala. Menurunnya nilai
outcome pasien cedera kepala harus dihindari untuk meminimalkan kecacatan
dan kematian. Pendampingan selama rujukan pasien cedera kepala harus
dilakukan pada saat tranport ambulans ke rumah sakit yang telah ditentukan
bahwa kapasitas dan fasilitasnya lebih baik dalam hal penatalaksanaan pasien
cedera kepala. Selain hal tersebut, pemeriksaan atau observasi secara berkala
pada pasien cedera kepala sesuai dengan kegawatan penderita yang dirujuk
selama perjalanan menuju rumah sakit pusat rujukan.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, bahwa pasien cedera
kepala yang dirujuk ke IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung dilakukan oleh tenaga
kesehatan dari profesi perawat dan dokter, akan tetapi beberapa pendampingan
tidak sesuai standart yang telah ditetapkan seperti pemberian tindakan dan
observasi yang minimal selama rujukan berlangsung, petugas tidak berada
disamping pasien, terpasang monitor, komunikasi dengan pihak IGD yang
minimal dan tidak adanya kolaborasi dengan tim medis. Hal tersebut diperkuat
dengan adanya beberapa ambulans yang hanya menjadi alat transportasi pasien
untuk mendapatkan pelayanan gawat darurat. Menurut Andrayani (2014),
komunikasi gawat darurat antara petugas ambulans dengan IGD rujukan dalam
pendampingan petugas kesehatan dalam upaya rujukan dapat mempercepat
penanganan dalam pengambilan keputusan untuk rujukan ke instansi pelayanan
yang lebih baik. Sebanyak 32 (41%) responden, dikategorikan dengan
pendampingan kurang baik saat merujuk pasien cedera kepala di IGD RSUD dr.
Iskak Tulungagung dan 46 (59%) responden dikategorikan dengan
pendampingan baik saat merujuk pasien cedera kepala.
Pendampingan dan observasi pasien kritis dengan cedera kepala yang
memerlukan perawatan lanjutan dan harus dirujuk ke layanan dengan fasilitas
lebih baik merupakan hal yang mendorong teknologi kesehatan untuk dapat
memberikan kemudahan, kecepatan dan ketepatan dalam mengatasi masalah-
masalah yang timbul selama pasien dirawat di dalam ambulans. Observasi yang
dilakukan pada pasien di cedera kepala selama rujukan meliputi, tanda-tanda
vital (suhu, nadi, pernapasan, saturasi oksigen dan tekanan darah), GCS, EKG,
observasi fungsi neuorologis observasi fungsi motorik dan lain-lain. Namun,
peralatan yang ada untuk memudahkan perawat dalam rujukan jika tidak
mendapatkan perhatian penuh perawat pada pasien cedera kepala dalam hal
pendampingan ketika rujukan maka tidak akan membawa hasil bagi outcome
pasien cedera kepala. Sehingga sudah seharunya perawat menyadari akan arti
pentingnya observasi dan pendampingan ketika melakukan rujukan pasien
cedera kepala untuk mengetahui perkembangan kondisi pada pasien cedera
kepala sehingga diharapkan tepat dalam melakukan tindakan keperawatan dan
diharapkan dapat menjadi gambaran atau acuan bagi penilaian outcome pasien
cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung (Jeven dan
Ewens 2009).
6.8 Hubungan Jarak Wilayah Kerja Saat Merujuk Dengan Outcome PasienCedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal Nursing Heldegrad E. Peplau.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jarak wilayah kerja saat
merujuk berhubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Hasil
analisis antara jarak wilayah kerja saat merujuk dengan outcome pasien cedera
kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value
0,020, dimana uji Chi-Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05.
Maka dari analisis tersebut dikatakan ada hubungan antara jarak wilayah kerja
saat merujuk dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Menurut Sekoranja et al., (2009), mengungkapkan bahwa hal yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala yang dirujuk adalah masalah
lokasi demografi. Dalam arti, semakin jauh lokasi kejadian dengan instansi
kesehatan yang memiliki fasilitas penanganan cedera kepala yang baik maka
semakin besar pula kesempatan pasien untuk kehilangan golden periode cedera
kepala. Jarak dihitung mulai kejadian awal hingga kecepatan sampai di drope
zone IGD rumah sakit dengan fasilitas unggulan dalam perawatan cedera kepala
dalam hal ini adalah IGD RSUD dr. Iskak Tulugagung, dimana hal tersebut dapat
meminimalkan kecacatan dan kematian pada pasien cedera kepala. Penelitian
sebelumnya yang pernah dilakukan di RSUD dr. Harjono Ponorog menyebutkan
bahwa, penggolongan demografi untuk pertolongan pada pasien cedera kepala
dibagi menjadi 2 kategori yaitu pasien cedera kepala yang lokasi kejadiannya
dari pelayanan kesehatan dengan jarak > 7 kilometer tanpa kemacetan akan
mengalami keterlambatan 3 kali dibandingkan dengan jarak lokasi pasien cedera
kepala dengan pelayanan kesehatan < 7 kilometer (Andrayani, 2014).
Hasil pengamatan dan analisa peneliti, menurut lokasi demografi RSUD dr.
Iskak Tulungagung berada ditengah kota Tulungagung, hal ini menunjukkan
karakteristiknya sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD dr.
Harjono Ponorogo. Menurut jumlah instansi yang merujuk paling banyak adalah
Puskesmas dengan RSUD di luar Kabupaten Tulungagung, dari jumlah
Puskesmas yang ada di Tulungagung teridentifikasi berjumlah 31 Puskesmas
yang tersebar diseluruh Kabupaten Tulungagung. Dari 31 Puskesmas tersebut,
hanya 7 Puskesmas yang memiliki kategori dekat dengan jarak < 7 kilometer dan
10 rumah sakit swasta/klinik yang ada di Kabupaten Tulungagung. Walaupun
kategori dekat, namun pada kondisi waktu tertentu ketika akan masuk ke kota
Tulungagung akan terdapat kendala diantaranya kemacetan, jalan
bergelombang, jumlah kendaraan yang bertambah. Masalah tersebut juga
merupakan salah satu penghambat dalam melakukan rujukan pada pasien
cedera kepala.
Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Tsao & Moore (2010),
outcome pasien cedera kelapa tidak ditentukan dari penyebab cedera yang
dialami pasien, tetapi kondisi luka yang disebabkan dan jarak yang harus
ditempuh untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai meski
penyebabnya adalah kecelakaan kendaraan, jatuh, terkena pukulan benda
tumpul dan peluru senjata api. Pasien cedera kepala yang diakibatkan
kecelakaan kendaraan bermotor tidak selalu mempunyai outcome yang buruk,
tetapi seberapa cepat dan lancar selama perjalanan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dengan fasilitas cedera kepala unggulan.
Berdasarkan Britto et al., (2012), jarak perjalanan yang semakin lama pada
pasien cedera kepela akan menyebabkan perubahan sistemik pada pasien.
Perubahan sistemik yang sering terjadi adalah hipotensi dan penurunan nilai
GCS. Pasien yang mengalami hipotensi dan penurunan nilai GCS disebabkan
karena kehilangan darah, cedera sistemik dan herniasi otak yang diakibatkan
dari pasien cedera kepala tidak secara cepat mendapatkan penanganan yang
baik. Pasien dengan hipotensi yang dirawat selama 24 jam mempunyai nilai
tingkat mortalitas 45% daripada mereka yang tidak mengalami hipotensi dimana
hal tersebut akan menentukan nilai oucome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Gambar 6.1: Peta Wilayah Tulungagung
Dilihat dari peta kabupaten Tulungagung tersebut didominasi warna hijau,
dimana dapat diartikan mayoritas daerah di Kabupaten Tulungagung terdiri dari
pegunungan. Pengumudi harus mempunyai strategi tersendiri untuk dapat
mempercepat rujukan pada daerah pegunungan tersebut. Sebab, selain > 7
kilometer letak geografis dan medan juga menentukan kecepatan transport
ambulan dimana batas waktu golden periode untuk pasien cedera kepala
ditentukan adalah selama 3 jam. Oleh sebab itu, jarak wilayah kerja saat merujuk
mempunyai hubungan dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di
IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.
6.9 Hubungan Waktu yang Ditempuh untuk Merujuk Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.
Pada tatalaksana pre hospital sakit waktu setelah terjadinya cedera kepala
sampai dengan penanganan di in hospital IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung
merupakan hal penting yang perlu. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kecepatan waktu pre hospital didapatkan hasil bahwa pasien cedera
kepala yang dirujuk dengan cepat ( 3 jam) sebanyak 46 (59%) pasien dengan
yang mengalami perburukan outcome cedera kepala setelah tiba dilokasi rujukan
adalah 15 (19,3%) pasien. Hasil uji statistik Chi-square juga menunjukkan bahwa
p value 0,006 yang bermakna bahwa ada hubungan antara kecepatan tiba di
IDG RSUD dr Iskak Tulungagung dengan outcome pasien cedera kepala yang
dirujuk.
Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa prinsip pra
rumah sakit (pre hospital) yaitu memberikan pertolongan dan penanganan pada
pasien dengan cedera kepala secara cepat dan tepat untuk meningkatkan
perbaikan outcome cedera kepala. Waktu pre hospital pasien cedera kepala
merupakan hal yang sangat penting dalam memaksimalkan outcome yang baik,
hal tersebut berhubungan dengan “Platinum Ten Minutes” dan “Golden Period”.
Platinum ten minute yaitu pertolongan pertama di tempat kejadian dan rujukant
ke tempat pelayanan terdekat tidak terlalu lama (Campbel, 2012), serta sisa
pemanfaatan waktu digunakan untuk perawatan maksimum pasien (di ambulans
dan pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas perawatan cedera kepala lebih
baik) dengan prinsip do no futher harm artinya jangan menambah keparahan
cedera kepala pasien, sedangkan golden hours (1-3 jam pertama) yaitu waktu
yang diperlukan pada pasien setelah terjadi trauma sampai dengan pasien
mendapatkan terapi definitif di tempat pelayanan kesehatan yang diperlukan
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien (terapi definitif) untuk menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas (Rosenfeld et al., 2013).
Berdasarkan hal tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pada
tatalaksana awal pasien cedera kepala diperlukan observasi yang cepat, tepat
dan berkelanjutan pada manajemen awal baik di pre hospital yaitu di tempat
kejadian trauma dan tempat asal rujukan (Puskesmas atau rumah sakit) sebagai
tempat penyedia pelayan kesehatan bagi masyarakat, sangat penting terutama
dalam meminimalkan golden hours serta ten minute platinum yaitu waktu yang
diperlukan dalam meningkatkan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di
IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.
Pada penelitian ini outcome cedera kepala yang tiba di IGD kurang dari 3
jam sejak cedera kepala dialami lebih besar dari pada pasien cedera kepala
yang dirujuk lebih dari 3 jam, sehingga peluang outcome cedera kepala mambaik
lebih besar, menurut suatu penelitian apabila pertolongan terhadap cedera
kepala dilakukan kurang dari 1 jam pertama maka keadaan perburukan outcome
cedera kepala sangat rendah sekitar 10%, sedangkan apabila pertolongan
tersebut dilakukan pada waktu 8 jam pertama maka outcome cedera kepala atau
bahkan mortalitas dapat terjadi sekitar 75%. (Campbel, 2012; Sobuwa,
Hartzenberg & Geduld, 2014). Namun menurut Rehn (2011) mengatakan dalam
sebuah systematik review sebanyak 20 buah level III evidence based practice
dikatakan bahwa rentang waktu pre hospital dan kecepatan menuju ke tempat
pelayanan kesehatan (ruang emergency), tidak ada pengaruh dengan outcome
pasien cedera kepala, yang mempengaruhi outcome yaitu ketepatan dalam
pemberian tindakan kritis, resusitasi awal selama pre hospital.
Menurut peneliti banyak faktor yang mempengaruhi rentang waktu pre
hospital antara lain: letak antara lokasi kejadian trauma dengan fasilitas
kesehatan, kondisi geografis antara tempat kejadian trauma dengan tempat
pelayanan kesehatan, traffic jam (kemacetan jalan), kecepatan dan ketepatan
pengambilan keputusan merujuk pasien cedera kepala ke tempat pelayanan
kesehatan yang lebih memadai, jenis dan kecepatan kendaraan yang digunakan
dalam mengangkut pasien cedera kepala, hal tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan secara restropective study pada tanggal 1 Januari sampai
dengan 31 Desember 2012, pada EMS di Singapura pada pasien cedera kepala
berat yang masuk kriteria inklusi, dikatakan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi ambulance respon time antara lain : pengambilan keputusan,
geografi tempat kejadian, traffic jam (kemacetan), cuaca yang kurang
mendukung serta jenis ambulans (Murad et al., 2015).
Pada penelitian ini tingkat bias ataupun validitas rentang waktu pre hospital
belum optimal serta ketepatan dalam tindakan resusitasi awal belum terobservasi
karena peneliti mendapatkan informasi dari catatan atau dokumentasi data
(rekam medis) serta informasi perawat dari terjadinya cedera kepala sampai
dengan pasien tiba di dropezone IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.
6.10 Hubungan Peralatan dan Obat-Obatan Gawat Darurat Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung Melalui Pendekatan Model Interpersonal NursingHeldegrad E. Peplau.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa peralatan dan obat-obatan
gawat darurat bukan salah satu faktor yang berhubungan dengan outcome
pasien cedera kepala yang dirujuk. Hasil analisis antara peralatan dan obat-
obatan gawat darurat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD
RSUD dr. Iskak Tulungagung didapatkan nilai p-value 0,375, dimana uji Chi-
Square dikatakan nilai ada signifikansi jika p-value < 0,05. Maka dari analisis
tersebut dikatakan tidak ada hubungan antara peralatan dan obat-obatan gawat
darurat dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Menurut Fanara et al., (2015), menjelaskan bahwa kecepatan dan
kemampuan profesional tim gawat darurat dalam memberikan layanan
transportasi ambulans dan EMS yang paling mempengaruhi outcome pasien
cedera kepala yang dirujuk dan penanganan kasus pre hospital liannya
dibandingkan peralatan yang lengkap serta layanan yang mendukung dalam
penanganan gawat darurat. Hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa
banyak pasien cedera kepala yang dirujuk hanya didampingi secara transportasi
saja, tidak ada tindakan stabilisasi terlebih dahulu. Hal tersebut lebih sering
dilakukan oleh layanan IGD yang berada di Puskesmas, hal tersebut
dikarenakan pada pelayanan IGD yang berada di Puskesmas jumlah tenaga
kesehatan tidak memadai terutama pada waktu sore dan malam hari. Minimalnya
tenaga kesehatan tersebut juga akan meningkatkan resiko keterlambatan
pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala. Terkadang
beberapa instansi kesehatan langsung melakukan rujukan pasien cedera kepala
tanpa memberikan informasi terlebih dahulu ke pihak IGD RSUD dr. Iskak
Tulungagung. Kondisi ini bisa dikarenakan tidak adanya kontak sentral untuk
layanan gawat darurat maupun memang kondisi pasien sudah sangat emergensi
yang membutuhkan layanan gawat darurat dengan cepat dan tepat.
Menurut Poerwani et al., (2013), menyebutkan bahwa dalam transport
rujukan masalah kelengkapan alat gawat darurat harus sesuai standart kondisi
gawat darurat. Namun, hal yang paling signifikan adalah kemampuan petugas
kesehatan dalam mengaplikasikan peralatan tersebut dan mencari solusi
peralatan pengganti jika memang peralatan standart tidak ada. Hal tersebut
senada dengan yang diungkapkan Wirawan (2013), jika fasilitas paling ideal
yang harus dimiliki setiap IGD ketika melaksanakan rujukan adalah personil yang
terlatih, bukan sekedar mesin EKG, peralatan dan obat-obatan resusitasi gawat
darurat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan hampir 36 ambulans desa
dengan standart ambulans gawat darurat yang lengkap dengan peralatan dan
terkadang juga dilengkapi dengan obat-obatan maupun kategori obat bukan
emergensi. Dari beberapa ambulans desa tersebut banyak ambulans desa yang
hanya berfungsi sebagai kendaraan transportasi untuk memindah pasien ke
fasilitas yang lebih baik saja. Petugas dan sopir belum mengetahui secara pasti
tugas dan fungsinya, walaupun beberapa desa mempunyai sarana poskesdes
hanya beberapa desa saja yang mampu melaksanakan pendampingan rujukan
dengan baik kepada pasien yang dirujuk (Poerwani et al., 2013).
6.11 Faktor yang Paling Berhubungan dengan Outcome Pasien Cedera Kepala yang Dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung
Hasil penelitian didapatkan bahwa variabel independen yang berhubungan
dengan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di IGD RSUD dr. Iskak
Tulungagung adalah kondisi pasien, pendampingan selama proses rujukan, jarak
yang ditempuh dan waktu yang diperlukan selama rujukan pasien cedera kepala.
Sedangkan faktor yang paling berhubungan dari keempat variabel tersebut
setelah melalui uji analisis regresi logistik kondisi awal pasien cedera kepala.
Beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa kondisi awal pasien cedera
kepala yang dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
merupakan komponen yang bisa digunakan untuk memprediksi outcome pasien
cedera kepala yang dirujuk. Menurut Damkliang et al., (2014), bahwa
pengukuran GCS menjadi salah satu intervens penting yang harus dilakukan
oleh perawat di ruang IGD ketika memberikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala. Pada cedera kepala yang parah, nilai GCS cenderung
cepat menurun karena mekanisme kompensasi tubuh manusia ketika terjadi
peningkatan tekanan intra kranial.
Studi retrospektif yang dilakukan oleh Berry et al., (2012), terhadap 15.733
pasien cedera kepala yang mengalami penurunan nilai GCS, dalam kurun waktu
1998 sampai dengan 2005 menjelaskan bahwa pasien cedera kepala yang
memiliki nilai GCS kurang dari 10 harus segera dipertimbangkan untuk segera
mendapatkan perawatan dan tindakan terlebih lagi ketika pasien harus dirujuk ke
instansi yang memiliki fasilitas lebih baik. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Haddad dan Arabi (2012), menjelaskan bahwa pasien cedera kepala merupakan
masalah kesehatan dan sosial ekonomi utama yang merupakan penyebab
kematian. Manajemen perawatan kritis mengacu kepada Brain Trauma
Fondation, dimana kondisi awal pasien cedera kepala dapat dilihat dari
manifestasi klinis yang ditunjukkan. Salah satu yang menjadi tolok ukur dalam
menentukan tindakan perawatan lanjuttan adalah nilai GCS. Manajemen
penatalaksanaan cedera kepala mencakup multimodel.
Perubahan kondisi pasien cedera kepala, dimana perubahan tersebut
mengacu pada kepada nilai GCS yang rendah dapat digunakan untuk
memprediksi outcome pasien cedera kepala yang dirujuk selama dalam rentang
48 jam paska cedera. Hasil yang signifikan dijelaskan bahwa nilai GCS yang
semakin turun, maka akan semakin buruk outcome pasien cedera kepala. Pasien
cedera kepala dalam penelitian ini mencakup cedera kepala ringan CKR), cedera
kepala sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB) (Bruijns et al., 2014).
Cedera kepala yang masih dalam fase kompensasi dan dalam kondisi cedera
kepala primer, penurunan nilai GCS dapat dicegah. Namun, apabila mekanisme
kompensasi sudah dapat mentolelir maka kondisi pasien akan berubah menjadi
fase dekompensasi dengan nilai GCS yang terus menurun. Keadaan ini
diakibatkan dari tidak adekuatnya suplai darah yang membawa O2 dan glukosa
sehingga menimbulkan iskemik pada jaringan otak. Nilai GCS menjadi salah satu
indikator penting untuk memprediksi outcome pasien cedera kepala yang dirujuk.
Ketika dirujuk, pasien cedera kepala mengalami penurunan nilai GCS pada saat
dirujuk merupakan petunjuk bahwa terjadi perburukan kondisi pasien, sehingga
nilai GCS menjadi parameter yang penting untuk diperhatikan dan harus
diobservasi selama pasien dalam proses rujukan menuju instansi kesehatan
dengan fasilitas yang lebih baik.
Salah satu fokus dari asuhan keperawatan berdasarkan pendekatan teori
model Peplau adalah individu, perawat, dan proses interaktif yang menghasilkan
hubungan antara perawat dan pasien. Pada pasien dengan cedera kepala,
pasien dan keluarga akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan,
memberi rasa aman dan kurangnya perawatan. Berdasarkan teori interpersonal
ini, pasien adalah individu dengan gangguan pemenuhan kebutuhan tertentu,
dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan
keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga, dan untuk membantu
klien mencapai kematangan dalam memenuhi kebutuhannya (Schaefer, 2014).
Oleh sebab itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat
dan pasien dimana perawat bertugas sebagai nara sumber, konselor, dan wali
(Alligood & Tomey, 2010).
Proses interpersonal didefinisikan sebagai proses interaksi secara simultan
dengan orang lain dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, biasanya
dengan tujuan untuk membina suatu hubungan. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka proses interpersonal yang dimaksud antara perawat dan pasien cedera
kepala yang dirujuk menggambarkan hubungan timbak-balik antara pasien dan
perawat yang terdiri dari 4 fase yaitu fase orientasi, fase identifikasi, fase
eksploitasi, fase resolusi (Schaefer, 2010; Schaefer, 2014).
Tahap pertama dalam proses asuhan keperawatan menurut model
interpersonal Peplau yaitu fase orientasi. Tahapan ketika keputusan pasien
memanggil perawat gawat darurat untuk meminta bantuan sampai dengan
petugas tiba di lokasi kejadian dan beradaptasi dengan situasi yang terjadi. Pada
fase orientasi, lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan
tenaga kesehatan yang merujuk dan rasa percaya terhadap kemampuan
perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian askep pada klien.
Fase ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak awal untuk membangun
kepercayaan dan terjadi pengumpulan data. Perawat mengamati kondisi awal
dan respon pasien tentang penyakit, membaca laporan medis, mengevaluasi
hasil studi diagnostik, melakukan persetujuan tindakan rujukan dan bicara
dengan pasien dan keluarga (dukungan) tentang kebutuhan mereka dalam
bantuan. Perawat mengkaji fisiologis dan patofisiologis (Berntsson & Hildingh,
2012).
Pada fase kedua adalah fase identifikasi. Terjadi ketika Dilakukan
pengkajian terhadap apa yang pasien butuhkan pada saat itu, termasuk
pemberian bantuan oleh perawat terampil terkait airway, breathing dan
circulation. Sehingga antara pasien cedere kepala yang dirujuk ke rumah sakit
dengan fasilitas lebih baik tidak mengalami perburukan kondisi klinis yang
diakibatkan tidak terpenuhinya bantuan oleh perawat. Pada fase ini sangat
diutamakan ketrampilan perawat yang mendampingi proses rujukan pasien
cedera kepala. Kompetansi dan ketrampilan tersebut dapat dinilai dari tingkat
pendidikan perawat, pelatihan gawat darurat terkini yang diikuti perawat untuk
merujuk pasien cedera kepala dan pengalaman perawat dalam mendapingi
rujukan pasien cedera kepala (Berntsson & Hildingh, 2012).
Fase eksploitasi merupakan fase ketiga dalam proses keperawatan
menurut model interpersonal Peplau adalah Dimuai saat pasien berada di dalam
ambulans dan selama proses perjalanan pasien mendapatkan pendampingan
perawat secara penuh hingga tiba di rumah sakit rujukan. Fase ini merupakan inti
hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien
dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat
didalamnya. fase eksploitasi yang menghasilkan desain intervensi. Intervensi
diupayakan untuk diterima oleh pasien dan keluarga dan diambil keputusan
secara bersama-sama. Harapannya adalah selama proses rujukan pasien
cedera kepala, segala bentuk bahaya selama transportasi dapat dihilangkan.
Jenis-jenis bahaya selama rujukan antara lain: pendampingan yang buruk
selama merujuk pasien cedera kepala, jarak yang sangat jauh, waktu yang
ditempuh sangat lama dan tidak tersedianya peralatan dan obat-obatan gawat
darurat di dalam ambulans (Berntsson & Hildingh, 2012).
Langkah terakhir adalah fase resolusi atau tahap evaluasi. Fase resolusi
merupakan keadaan dimana sampai di rumah sakit dan menjalani perawatan
yang selanjutnya berhubungan dengan masalah kesehatan yang terjadi pada
dirinya. Hasil dari pemberian tindakan keperawatan selama rujukan pada pasien
cedera kepala yang dirujuk dievaluasi dengan menilai respon pasien. Respon
pasien cedera kepala pada hal ini dinilai dengan menggunakan standart glasgow
outcome scale (GOS). Perkiraan outcome setelah terjadinya rujukan cedera
kepala merupakan suatu masalah besar, terutama pada pasien dengan cedera
kepala. Evaluasi outcome fungsional setelah keluar dari rumah sakit pada
individu menjadi bagian penting suatu program rehabilitasi. Evaluasi juga
menjadi langkah terbaik untuk mengukur keefektifan penatalaksanaan yang
diberikan ketika manjalani rujukan (Locker & Morris, 2003; Ponsford et al., 2014).
GOS terdiri dari 5 komponen yang digunakan untuk menentukan outcome pasien
cedera kepala, yaitu death (meninggal), vegetative state (sadar tanpa respon),
savere disability (cacat berat), moderate disability (cacat sedang) dan good
recovvery (baik).
Dari semua fase tersebut yang menunjukkan hubungan yang signifikan
adalah fase orientasi dengan variabel tingkat kesadaran pasien, fase ekspoitasi
dengan variabel pada penelitian pendampingan saat merujuk, jarak rujukan dan
wktu rujukan. Dari semua variabel dalam tahapan tersebut yang terdapat
hubungan sehingga fase resolusi dalam teori interpesonal nursing belum
tercapai. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya perburukan dalam fase resolusi
yang ditunjukkan dengan variabel outcome pasien cedera kepala yang dirujuk di
IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.
Pada tingkat kesadaran yang merupakan variabel dari fase orientasi,
perawat melakukan pengkajian fisiologis dan patofisiologis pada pasien cedera
kepala yang akan dirujuk. Berdasarkan beberapa tipikan kesadaran pasien
cedera kepala akan mengalami penurunan kesadaran mulai dari somnolen
hingga jatuh dalam keadaan koma. Selanjutnya dalam teori interpesonal pasien,
keluarga dan perawat bekerja bersama mengenali dan menentukan masalah,
Pada kasus pasien cedera kepala yang dirujuk, salah satu standar diagnosis
keperawatan yang digunakan dengan menggunakan pendekatan NANDA.
Setidaknya ada 2 diagnosa keperawatan yang dapat dijadikan prioritas pada
pasien cedera kepala yang dirujuk dengan masalah tingkat kesadaran yaitu
pernurunan perfusi jaringan serebral dan perubahan persepsi sensori.
Penggunaan diagnosis keperawatan dari NANDA, kriteria hasil dengan NOC,
dan rencana atau hipotesis perawatan dengan NIC merupakan salah suatu
pendekatan praktis dalam menerapkan model interpersonal dari Peplau. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Cox (2008) bahwa penggunaan NANDA, NOC, dan
NIC dalam prinsip penerapan model interpersonal Peplau bertujuan untuk
memberikan standar bahasa keperawatan dan teori keperawatan secara
berkelanjutan. Salah satu jalan untuk mengidentifikasi masalah keperawatan
yang saling berhubungan dengan aspek dari model interpersonal Peplau,
menggunakan diagnosis keperawatan, intervensi, dan kriteria hasil. Sehingga
dalam penerapannya, model interpersonal Peplau diterapkan dalam bahasa
standar keperawatan.
Berdasarkan referensi diatas, penerapan model interpersonal Peplau
dapat menggunakan konsep NOC dan NIC. Sehingga pada fase identifikasi,
perencanaan terapi keperawatan pada pasien cedera kepala digunakan
pendekatan NOC dan NIC. Hal ini didasari penjelasan Schaefer (2010) dan
bahwa fase identifikasi mengarahkan intervensi keperawatan dengan tujuan
memenuhi kebutuhannya dan mengintegrasikan belajar pengalaman. Perawat
Perawat berperan mengatur tujuan dan proses interaksi interpersonal dengan
pasien yang bersifat partisipatif, sedangkan pasien mengendalikan isi yang
menjadi tujuan. Hal ini berarti dalam hubungannya dengan pasien, perawat
berperan sebagai mitra kerja, pendidik, narasumber, pengasuh pengganti,
pemimpin dan konselor sesuai dengan fase proses interpersonal. Pendampingan
perawat yang baik selama proses rujukan akan memberikan harapan yang lebih
besar pada kesembuhan pasien.
Outcome pasien cedera kepala yang dirujuk dipengaruhi banyak hal.
Namun, dengan adanya persamaan ini peneliti mempunyai inisiatif untuk
memperkirakan kemungkinan pasien kondisi awal pasien hingga tiba di IGD
RSUD rujukan. Harapan peneliti, dengan adanya sebuah nursing practice theory
tersebut dapat meningkatkan kemampuan prediksi outcome pasien cedera
kepala yang dirujuk dan membantu meningkatkan mutu asuhan keperawatan
dan keluarga melalui pendekatan aplikasi langsung teori-teori keperawatan
kepada pasien, keluarga dan komunitas karena hampir seluruh pasien cedera
kepala memiliki resiko outcome yang buruk dan membutuhkan penanganan
dengan cepat dan tepat.
6.12 Implikasi Keperawatan Upaya untuk meningkatkan penatalaksanaan pasien cedera kepala saat
melakukan rujukan dengan kondisi gawat darurat ke unit pelayanan
berkelanjutan merupakan salah satu upaya pelayanan keperawatan guna
menghindari penurunan outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Proses
keperawatan tidak hanya dimulai ketika pasien masuk ke Rumah Sakit, tetapi
sejak awal sebelum penanganan pasien sebelum tiba di Igd atau di pra
hospital.identifikasi melalui pengkajian dan pemeriksaan fisik yang tepat
menggambarkan kondisi pasien cedera kepalapada saat itu dan menentukan
jenis tindakan yang cepat dan tepat. Selain itu, tindakan tersebut juga bisa
menjadi acuan perawat dalam pengambilan keputusan terhadap kondisi pasien
cedera kepala yang dirujuk, terutama dalam memberikan support atau dukungan
psikologis kepada pasien dan keluarga.
Tindakan monitoring dan evaluasi yang ketat perlu dilakukan kepada
pasien cedera kepala pada saat dilakukan tatalaksana cedera kepala yang
dirujuk, guna mencegah perburukan kondisi pada pasien yang berdampak pada
outcome pasien cedera kepala yang dirujuk. Kondisi pasien yang diketahui labih
awal, keputusan merujuk sejak dini bisa menjadi dasar dalam memberikan
penjelasan yang akurat pada keluarga pasien, untuk menentukan apakah suatu
tindakan agresi dan suportif akan diteruskan atau dihentikan.
6.13 Keterbatasan Penlitian Penelitian ini tidak terlepas dari banyak kekurangan. Beberapa kekurangan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
6.13.1 Peneliti belum mencakup semua faktor yang mempengaruhi outcome
pasien cedera kepala yang dirujuk, seperti penanganan awal keluarga
saat mengambil keputusan dirujuk kerumah sakit, penanganan yang
cepat dari rim IGD Puskesmas atau Rumah Sakit yang merujuk.
6.13.2 Peneliti hanya melakukan survei analitik saja terhadap faktor yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala yang dirujuk, kemungkinan
perubahan klinis pasien bisa terjadi karena banyak hal selama fase pra
hospital sedangkan penilaian outcome dilakukan saat pasien berada di
dropezone IGD RSUD dr. iskak Tulungagung yang belum dapat
menggambarkan secara utuh kondisi umum pasien cedera kepala selama
rujukan.
6.13.3 Hasil data yang dikumpulkan hanya satu kali pengamatan saja yaitu
selama pasien berada di dropezone hingga berada di ruang triage
sekunder IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung.