BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Polemik Identitas ...repository.ub.ac.id/5379/6/6. BAB V.pdfdari...
Transcript of BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Polemik Identitas ...repository.ub.ac.id/5379/6/6. BAB V.pdfdari...
1
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Polemik Identitas Suku Osing antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur
dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
Polemik yang terjadi antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi adalah suatu kejadian yang dirasa kurang
wajar oleh penulis karena keduanya merupakan sama-sama pihak pemerintah
yang keduanya memiliki hak untuk mengeluarkan peraturan, namun bedanya
adalah yang satu di tingkat kabupaten dan yang satu lagi adalah di tingkat
provinsi. Polemik yang terjadi antara pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini bermula pada dikeluarkannya Peraturan
Gubernur No. 19 Tahun 2014. Munculnya peraturan ini membuat masyarakat
Banyuwangi heboh dengan isi dari Peraturan Gubernur tersebut. Dimana isi dari
peraturan Gubernur ini adalah pemerintah menetapkan mata pelajaran Bahasa
Daerah sebagai muatan lokal wajib disekolah / madrasah.
Pada Peraturan Gubernur tersebut ditetapkan bahwa bahasa yang wajib
diajarkan pada sekolah – sekolah di Jawa Timur adalah Bahasa Jawa dan Madura
saja. Sedangkan Bahasa Osing yang sejak tahun 2007 sudah diajarkan di
Kabupaten Banyuwangi tidak dimunculkan dalam peraturan Gubernur tersebut.
Padahal sejak tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sudah menetapkan
Bahasa Osing sebagai muatan lokal disertai dengan peraturan daerah tentang
2
pembelajaran bahasa daerah pada jenjang pendidikan dasar. Yaitu berbentuk
dalam Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2007 tentang Pembelajaran Daerah Pada
Jenjang Pendidikan Dasar. Berikut adalah bukti peraturan daerah yang dibuat oleh
Kabupaten Banyuwangi tahun 2007 :
3
Gambar 5.1
Peraturan Daerah No.5 Tahun 2007
Sumber : Salinan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 5 Tahun 2007
4
Dengan pasal – pasal diatas, implikasi lanjutannya adalah bahwa Bahasa
Osing wajib diajarkan sebagai muatan lokal di seluruh SD dan SMP baik negri
maupun swasta di seluruh Kabupaten Banyuwangi. Termasuk di sekolah-sekolah
yang berbasis etnis Jawa dan Madura. Terdapat 5 materi yang diajarkan dalam
pembelajaran Bahasa Osing yakni “cara membaca”, “cara mendengarkan”,
“menulis”, “sastra osing” dan “berbicara”. Pembelajaran Bahasa Osing kedalam
kurikulum sekolah ini wajib diajarkan karena kewajiban tersebut bentuk
institusionalisasi sejak usia pendidikan dasar kepada mereka terkait keunggulan
bahasa dan budaya Osing.
Dapat diartikan bahwa usaha simbolik untuk membalikkan logika politik
bahasa bisa berimplikasi terhadap penguatan eksistensi budaya Osing sebagai
identitas yang membanggakan bagi seluruh masyarakat di Kabupaten
Banyuwangi. Selain itu, hal ini bertujuan agar bahasa Osing sebagai bahasa ibu
dari Suku Osing tetap dilestarikan sehingga kelak anak cucu penerus generasi
selanjutnya tidak kehilangan bahasa mereka yang merupakan salah satu harta
yang dimiliki oleh masyarakat Banyuwangi khususnya Suku Osing.
Namun harapan ini nampaknya tidak berjalan mulus karena pada bulan
April tahun 2014 Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengeluarkan peraturan
Gubernur Nomor 19 Tahun 2014 yang berisi tentang Mata Pelajaran Bahsa
Daerah Sebagai Muatan Lokal wajib di Sekolah/Madrasah, dimana bahasa daerah
di Jawa Timur hanya terdiri dari Bahasa Jawa dan Madura dan sama sekali tidak
menyebutkan Bahasa Osing. Hal ini dapat diartikan bahwa dua peraturan yang
5
berasal dari provinsi sama sekali tidak melegitimasi pembelajaran Bahasa Osing
di Banyuwangi.
Gambar 5.2
Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2014
6
Gambar diatas merupakan bukti dari Peraturan Gubernur Provinsi Jawa
Timur dimana pada Pasal 1 Ayat 9 disebutkan “Bahasa Daerah adalah bahasa
yang digunakan secara turun temurun oleh masyarakat Jawa Timur yang terdiri
dari Bahasa Jawa dan Bahasa Madura” Dengan kemunculannya pergub ini
menjadi ancaman terhadap eksistensi Bahasa Osing sebagai Identitas masyarakat
Banyuwangi khususnya Suku Osing. Menurut Antariksawan hal seperti ini disebut
sebagai lonceng kematian Bahasa Osing. Lebih jelasnya Antariksawan
mengatakan :
Peraturan Gubernur yang tidak mengakui bahasa osing ini makin
mempercepat proses lunturnya Bahasa Osing di kalangan anak muda sebagai
generasi penerus. Secara teori, peraturan itu mengancam keberlangsungan Bahasa
Osing, sesuatu yang sangat bertentangan dengan rumusan para founding fathers
negara ini. Yaitu kebudayaan Indonesia adalah sumbangsih puncak-puncak
kebudayaan lokal. Suatu hukum besi yang memberi ruang kebudayaan daerah
untuk maju pesat. Artinya kegelapan yang sama mengintai pada eksistensi
masyarakat etnik Osing Banyuwangi yang berjumlah hampir satu juta orang.
Sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk mempertahankan identitasnya. Tanpa
Bahasa Osing sebagai pelajaran, maka Bahasa Osing akan semakin jarang
digunakan dan secara otomatis bahasa ini kedepan akan memusnahkan kesenian
Gandrung, misalnya. Karena lirik – lirik lagu dalam kesenian gandrung atau
upacara – upacara tradisinonal lainnya misalnya ritual trance Seblang, Kebo –
7
keboan dan ritual lainyya, menggunakan Bahasa Osing. Pada akhirnya,
keberadaan masyarakat Osing yang menjadi sasaran.1
Namun, semenjak kemunculan peraturan Gubernur yang mengatakan
Bahasa Osing bukan termasuk ke dalam bahasa daerah dan hanya dialek dari
Bahasa Jawa saja ini, menjadikan semua sekolah yang ada di Kabupaten
Banyuwangi baik negri maupun swasta tidak lagi mengajarkan mata pelajaran
Bahasa Osing karena dianggap tidak wajib. Seperti hasil wawancara yang
didapatkan oleh penulis dengan salah satu tokoh budayawan asal Desa Kemiren di
Banyuwangi yaitu Pak Suhaimi yang mengatakan bahwa di Desa Kemiren
terdapat Sekolah Dasar yang sebagian besar siswa – siswinya adalah penduduk
asli Desa Kemiren, akan tetapi di sekolah tersebut mata pelajaran Bahasa Osing
tidak diajarkan dan tidak masuk kedalam kurikulum sekolah tersebut. Berikut
penjelasan dari Pak Suhaimi selaku Tokoh Adat dari Desa Kemiren :
“Adanya kasus Bahasa Osing tidak diakui lagi sebagai bahasa
daerah oleh Pemerintah Jawa Timur memang cukup
meresahkan masyarakat Suku Osing, bahkan di SD Kemiren
sini aja Bahasa Osing sudah tidak diajarkan. Padahal kawasan
SD Kemiren adalah kawasan Suku Osing bertempat tinggal” 2
Dari pernyataan yang disampaikan oleh Pak Suhaimi tersebut, kejadian ini
sangat disayangkan sekali, mengingat Desa Kemiren merupakan salah satu desa
adat yang menjadi simbol dari adanya Suku Osing di Banyuwangi. Bahkan tidak
hanya di SD Kemiren saja yang tidak mengajarkan bahasa Osing, namun di
1Yusuf Antariksawan.”Lonceng Kematian Bahasa Using”. Jawa Pos, 12 Oktober, 2014 dalam
penelitian Ikhwan Setiawan, Albert Tallapessy, dan Andang Subaharianto. 2Hasil dari wawancara dengan Pak Suhaimi sebagai tokoh budayawan Suku Osing di Desa
Kemiren Pada Tanggal 20 April 2017.
8
seluruh SD dan SMP di Banyuwangi tidak lagi memasukan Bahasa Osing sebagai
mata pelajaran muatan lokal.
Para budayawan Banyuwangi sangat menyayangkan kejadian ini
menurut mereka bahasa adalah suatu unsur budaya yang sangat penting yang
dapat memegang peran signifikan dalam mengonstruksi pemahaman kultural
sebuah komunitas atau masyarakat. Bukan hanya sebagai penanda atau indeks
dari sebuah komunitas, lebih dari itu bahasa merupakan medium untuk
mempresentasikan budaya dan memperkuat solidaritas komunal diantara para
anggota yang berlatar sosial berbeda.3
Padahal sebelumnya ada tujuh kecamatan dengan jumlah 210 sekolah
dasar yang mengajarkan Bahasa Osing. Namun semenjak adanya Peraturan
Gubernur Nomer 19 Tahun 2014 kini sudah tidak ada sekolah yang mengajarkan
lagi Bahasa Osing ke dalam bahasa daerahnya. Mereka hanya menggunakan
Bahasa Jawa saja sebagai mata pelajaran bahasa daerah. Padahal Bahasa Osing
merupakan suatu penanda dari keaslian masyarakat Banyuwangi dan sebagai
bahasa Ibu dari Suku Osing.
Kini, seluruh masyarakat Banyuwangi khususnya Suku Osing harus
merelakan bahasanya tidak lagi digunakan dalam mata pelajaran di sekolah-
sekolah demi mematuhi peraturan pemerintah tersebut. Bahkan mereka juga tidak
bersuara ketika linguis memposisikan Bahasa Osing sekedar sebagai Bahasa Jawa
dialek Osing.. Apa yang dihasilkan dari pengajaran bahasa Jawa Kulonan bagi
3Duranti, Alessandro. 1997. Introduction to Linguistic Anthropilogy. Cambridge University press
dalam penelitian Ikhwan Setiawan, Albert Tallapessy, dan Andang Subaharianto
9
para siswa dari etnis Osing adalah mulai biasanya mereka dengan bahasa Jawa
Kulonan dan juga budaya Jawa Mataraman.
Sehingga, dalam hal ini munculah polemik yang terjadi antara
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Polemik yang dimaksud adalah adanya perbedaan pendapat atau perselisihan yang
terjadi antar keduanya. Dimana di satu sisi pemerintah Kabupaten Banyuwangi
mendukung adanya Bahasa Osing masuk ke dalam kurikulum sekolah, sedangkan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak mendukung adanya Bahasa Osing sebagai
bahasa asli Kabupaten Banyuwangi.
Menurut Will Kymlica dalam teorinya tentang minoritas etnis, beliau
membahas tentang kewargaan multikultural tentang hak-hak kewarganegaraan,
sebagai respons atas kesalahan dan kegagalan liberalisme dan juga demokrasi
yang diterapkan oleh Barat yang telah melakukan kesalahan fatal terhadap
kelompok minoritas bangsa dan etnis dalam suatu bangsa. Pada umumnya
masalah yang terjadi adalah dominasi budaya mayoritas terhadap minoritas.4 Dia
mengidentifikasikan kelompok minoritas kedalam dua kelompok yakni “minoritas
bangsa” dan “minoritas etnis”.5
Hal ini bisa dikatakan bahwa identitas kebangsaan yang selama ini
mendapatkan sikap diskriminatif dari mayoritas bangsa yang menuntut
homogenistas. Selain itu Will Kymlica juga mengidentifikasikan 3 macam hak
kolektif yaitu :
4 Will Kymlicka, Kewargaan Multikulural: Teori Liberal Mengenai Hak-hak Minoritas, (Jakarta:
LP3ES, 2002) hal. 13 5 Ibid
10
1) Hak Pemerintahan Sendiri bagi minoritas bangsa agar menarik batas
wilayah teritorial sehingga menjadi unit pemerintahan mandiri di sana dan
menjadi mayoritas. Pengakuan terhadap minoritas, baginya, belum cukup hanya
pada hak-hak politik personal dan individual (tindakan afirmatif dan HAM) tetapi
juga harus sampai pada pengakuan hukum dan konstitusional.
2) Hak Polietnis, mengenai kebebasan untuk mengekspresikan unsur-
unsur budayanya yang khas tanpa harus mengganggu stabilitas ekonomi dan
politik mayoritas. Yang utama adalah hak akan pengecualian dari undang-undang
yang penerapannya merugikan kelompok etnis itu, seperti bahasa, gaya hidup,
agama dan lain sebagainya. Salah satu kepentingan komunal yang fundamental, di
samping kepentingan kebangsaan, adalah kepentingan unsur-unsur polietnisitas.
Kepentingan ini penting untuk diberikan kepada komunitas etnis baik yang
berbasis suku, agama, ras ataupun golongan. Hak polientnis ini dibutuhkan untuk
melindungi setiap kelompok etnis agar dapat mengekspresikan seni dan
kebudayaan mereka, ritual keagamaan mereka, atau, yang terpenting, bahasa asli
mereka.
3) Hak perwakilan khusus, yang lebih difungsikan untuk membuka kran
keterkawilan atau representasi bagi pihak-pihak atau kelompok etnis tertentu yang
secara historis dirugikan. Hal ini misalnya terjadi pada kaum difabel, kaum
miskin, dan jompo, agar mereka juga terwakili dan mendapat aspirasi yang
memadai. Keterwakilan perempuan, misalnya, juga menjadi perhatian khusus
dalam hal ini.
11
Hal ini dicontohkan kepada kasus yang terjadi di Banyuwangi tentang
identitas Suku Osing yang tidak diakui oleh pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Permasalahan yang terjadi adalah antara kedua belah pihak pemerintahan baik
dari pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi dengan pemerintah pusat Provinsi
Jawa Timur yang memiliki pendapat berbeda.
Dalam hal ini Suku Osing di Banyuwangi merupakan contoh dari
kelompok minoritas yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dari Pemerintah
Provinsi Jawa Timur yaitu diibaratkan sebagai kelompok mayoritas. Selain itu,
perlakuan yang sedang dialami oleh masyarakat Kabupaten Banyuwangi
khususnya Suku Osing sesuai dengan hak polietnis yang diperjuangkan oleh Will
Kymlica karena dalam hak polietnis masyarakat diberi kebebasan untuk
mengekspresikan budayanya tanpa mengganggu politik mayoritas. Kebebasan
yang dimaksud adalah ketika masyarakat Osing bebas menggunakan bahasanya
dalam berbagai hal salah satunya dalam mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-
sekolah.
Seperti hasil wawancara penulis dengan perwakilan dari pemerintah
Kabupaten Banyuwangi yang membahas seputar pembuatan Peraturan Daerah
No. 5 Tahun 2007 :
“Pembuatan perda itu tidak sepenuhnya dibuat oleh pemerintah
daerah, akan tetapi pemerintah daerah juga dibantu oleh SKPD
yang terkait dengan tema dari perda yang dibuat. Contohnya
Perda No. 5 tahun 2007 ini membahas seputar penetapan Bahasa
Osing kedalam mata pelajaran muatan lokal berarti SKPD yang
dirangkul adalah Dinas Pendidikan. Jika sudah fix pihak dari
SKPD menyerahkan ke pemerintah daerah yang kemudian
diolah dan dijadikan peraturan daerah yang disetujui oleh
Bupati. sejauh ini tindakan dari pemerintah daerah Kabupaten
Banyuwangi hanya itu saja. meskipun pemerintah provinsi tidak
12
mengakui keberadaan bahasa osing dalam pergubnya, kita
sebagai wakil dari pemerintah tetap mendukung dan
melestarikan kebudayaan osing, seperti dengan diadakanya
puluhan festival yang tiap tahunnya dilaksanakan oleh
kabupaten banyuwangi itu sudah menjadi salah satu contoh
banyuwangi melestarikan kebudayaan khususnya acara-acara
yang melibatkan Suku Osing di Kemiren dan Bakungan” 6
Dari penyataan diatas dapat dilihat bahwa dalam polemik yang muncul
antara pemerintah kabupaten banyuwangi dengan pemerintah provinsi jawa timur
ini menimbulkan sebuah perbedaan, yaitu disatu sisi mendukung adanya identitas
Suku Osing dan satu sisi menghapuskan Identitas Suku Osing.
5.2 Motif Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam melakukan penghapusan
Bahasa Osing sebagai bahasa daerah Banyuwangi
Pemerintah Provinsi Jawa Timur merupakan pemerintah pusat dalam
wilayah Jawa Timur. Pemerintah Provinsi Jawa Timur berhak mengatur dan
menetapkan peraturan – peraturan hukum yang di tetapkan di wilayah Jawa
Timur. Tidak hanya menetapkan peraturan saja, akan tetapi pemerintah provinsi
juga berhak menghapus atau merubah peraturan hukum yang tidak sesuai dengan
peraturan atau ketentuan yang berlaku.
Seperti yang dialami oleh Kabupaten Banyuwangi yang memiliki sebuah
peraturan daerah mengenai bahasa daerah yang ditetapkan dalam kurikulum
sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama yang dimasukan kedalam mata
pelajaran muatan lokal. Peraturan ini dibuat oleh pemerintah Kabupaten
Banyuwangi dan dibantu oleh SKPD terkait. SKPD yang terkait dalam pembuatan
perda adalah Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi.
6Wawancara dengan Ibu Umi Sulistiyowati, Kabag Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyuwangi Pada Tanggal 25 April 2017.
13
Namun, pemerintah Provinsi Jawa Timur juga memiliki peraturan daerah
yang posisinya berada di atas peraturan daerah yang ada di Jawa Timur. Peraturan
Gubernur ini juga bisa menjadi acuan untuk peraturan daerah yang ada di Jawa
Timur. Pada umumnya pada pembuatan peraturan daerah tidak boleh melebihi
dari aturan yang sudah dibuat di peraturan gubernur. Sehingga peraturan daerah
harus taat kepada peraturan yang sudah dibuat oleh peraturan gubernur.
Namun, yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi adalah bukannya
menyalahi aturan pemerintah pusat, akan tetapi peraturan yang sudah dibuat oleh
pemerintah daerah tidak diakui oleh pemerintah pusat Provinsi Jawa Timur.
Pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi memiliki peraturan daerah No. 5
Tahun 2007 tentang pembelajaran bahasa daerah pada jenjang pendidikan dasar
yang dimaksud bahasa daerah dalam perda tersebut adalah Bahasa Osing. Namun,
pemerintah Provinsi Jawa Timur juga memiliki peraturan Gubernur No. 19 Tahun
2014 tentang mata pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal wajib disekolah /
madrasah. Pada pergub tersebut bahasa yang dimaksud adalah hanya dua bahasa
yaitu Bahasa Jawa dan Bahasa Madura sedangkan Bahasa Osing yang juga
merupakan bahasa daerah Banyuwangi tidak dimasukkan dalam pergub tersebut.
Menurut hasil wawancara penulis dengan narasumber, faktor utama yang
menyebabkan Bahasa Osing tidak dimasukkan kedalam Peraturan Gubernur
adalah Bahasa Osing dan Bahasa Jawa adalah kedua bahasa yang memiliki
kesamaan. Menurut mereka Bahasa Osing tidak ada bedanya dengan Bahasa Jawa
dan dialek dari Bahasa Jawa pula, jadi Bahasa Osing tidak dapat dikategorikan
kedalam sebuah bahasa daerah yang dapat dimasukan ke dalam kurikulum
14
sekolah. Selain itu menurut Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dikarenakan
Bahasa Osing tidak mengenal tutur seperti Bahasa Jawa. Dalam Bahasa Osing
tidak mengenal usia dengan siapapun kita berbicara tutur dari Bahasa Osing tetap
sama. Seperti hasil dari wawancara penulis dengan Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Timur :
”Dalam Pergub No. 19 Tahun 2014 memang hanya
dicantumkan 2 bahasa saja yang wajib diajarkan di sekolah-
sekolah di Jawa Timur yaitu Bahasa Jawa dan Madura. Menurut
kami dikarenakan Bahasa Osing memiliki kesamaan dengan
Bahasa Jawa sehingga bahasa osing tidak dapat dikategorikan
sebagai bahasa daerah yang dimasukkan kedalam peraturan
Gubernur No. 19 Tahun 2014. Selain itu menurut kami Bahasa
Osing juga merupakan bahasa yang dalam penggunaannya tidak
memiliki tutur seperti Bahasa Jawa sehingga hal ini faktor yang
menyebabkan tidak dimasukkannya Bahasa Osing kedalam
Bahasa Daerah yang wajib diajarkan di sekolah/madrasah.”7
Seperti yang diketahui dari hasil wawancara diatas penyebab utama
Bahasa Osing tidak dapat dikategorikan sebagai bahasa daerah adalah
penyebabnya ada dua faktor menurut versi Pemerintah Provinsi Jawa Timur yaitu
yang pertama, Bahasa Osing memiliki kesamaan dengan Bahasa Jawa sehingga
Pemerintah Provinsi menganggap ini merupakan kedua bahasa yang sama
sehingga menurut Pemerintah Provinsi Jawa Timur Bahasa Osing hanyalah dialek
dari Bahasa Jawa. Kedua, Bahasa Osing merupakan bahasa yang dalam tutur
katannya tidak seperti Bahasa Jawa, jika dalam Bahasa Jawa memiliki perbedaan
kata apabila berbicara dengan orang yang seumuran maupun orang yang umurnya
lebih tua dari kita. Sedangkan dalam Bahasa Osing hal tersebut tidak ada maka
dalam Bahasa Osing berbicara dengan siapapun pasti menggunakan bahasa yang
7Hasil Wawancara dengan salah satu staff Bagian Kurikulum Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Timur 24 Mei 2017.
15
sama yaitu Bahasa Osing asli. Alasan kedua yang dikemukakan oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Timur tersebut merupakan alasan yang dirasa kurang tepat bagi
penulis. Menurut Kawi Djantera suatu bahasa suku bisa diakui dalam bahasa
daerah apabila suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 70% perbedaan
dengan bahasa sekitarnya. Selain itu beliau juga mengatakan suatu bahasa bisa
diakui atas 3 dasar :
1. Bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya.
2. Atas dasar politik
3. Atas dasar linguistik.
Pada kategori pertama dikatakan bahasa atas dasar pengakuan oleh
penuturnya. Disini Bahasa Osing sangat jelas diakui oleh penutur dari Bahasa
Osing. Bahkan Bahasa Osing juga telah digunakan sebagai alat komunikasi Suku
Osing dalam kegiatan sehari-hari. Kedua, atas dasar politik dalam hal ini bisa
dicontohkan seperti dari sejarah Bahasa Indonesia. Awal mula adanya Bahasa
Indonesia adalah berasal dari bahasa Melayu namun dialek Indonesia, namun atas
dasar adanya kepentingan Politik maka Bahasa Indonesia bisa menjadi
berkembang di negara indonesia sehingga dinamakan Bahasa Indonesia oleh
pemerintah.
16
5.3 Motif Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mendukung Identitas Suku
Osing.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sangat mendukung dan berupaya
dalam mendukung identitas Kabupaten Banyuwangi. Identitas yang ditonjolkan
dalam upaya ini adalah kesenian, kebudayaan, dan pariwisata yang telah dimiliki
oleh Kabupaten Banyuwangi serta keberadaan Suku Osing juga masuk di
dalamnya. Kebudayaan yang ditonjolkan berupa berbagai macam budaya asli
Banyuwangi diantaranya adalah tari-tarian, kesenian, serta tradisi adat. Sedangkan
pariwisata yang ditonjolkan adalah pariwisata yang dimiliki Banyuwangi yang
dulunya tidak dikenal kini dirawat dan diperbaiki oleh pemerintah untuk menarik
perhatian masyarakat sehingga pariwisatanya kini menjadi baik. Berbagai wisata
yang dimaksud adalah Pantai Pulau Merah, Teluk Hijau, Wisata Sukamade,
Pantai Boom, Pantai Watu Dodol, Gunung Ijen dan lain-lain. Kemudian keaslian
penduduknya juga menjadi ciri khas yang diunggulkan oleh Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi yaitu Suku Osing. Selain itu bentuk dukungan
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam mengunggulkan Suku Osing adalah
dengan dibuatnya Peraturan Bupati No. 27 tahun 2016 tentang Pakaian Dinas di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Tujuan pemerintah Kabupaten Banyuwangi mendorong Identitas
Banyuwangi adalah sebagai motif ekonomi melalui menarik perhatian para
wisatawan baik lokal maupun mancanegara sehingga Kabupaten Banyuwangi bisa
lebih dikenal oleh masyarakat luar. Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan
17
ekonomi masyarakat yang sebagian besar masyarakatnya merupakan masayarakat
ekonomi rendah.
Seperti yang dikatakan oleh kepala Desa Bakungan yang menjelaskan
mengenai program Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang bertujuan untuk
mendongkrak perekonomian pemerintah maupun masyarakat. Program tersebut
ialah pemerintah membuatkan 1000 homestay yang akan diletakkan di desa – desa
yang ada di Kabupaten Banyuwangi yang masih mengadopsi kearifan lokal
masyarakat Osing. 1000 homestay tersebut terdapat di Desa Kemiren, Desa
Bakungan, Desa Olehsari, Desa Kampunganyar, Desa Temenggunan, dan Desa
lainnya yang dianggap memiliki kearifan lokal tinggi.
Dimana nantinya pemasukan dari hasil biaya sewa homestay tersebut akan
dimasukkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu dalam proses
pembuatan hingga pengelolaan homestay tersebut pemerintah Kabupaten
Banyuwangi melibatkan masyarakat setempat yang berada di sekitar desa tempat
homestay berdiri. Hal ini juga bertujuan untuk memanfaatkan tenaga kerja
masyarakat sekitar agar mereka mendapatkan pekerjaan sehingga hal ini dapat
meningkatkan tingkat ekonomi masyarakat.
Sayangnya pemerintah Kabupaten Banyuwangi berusaha mengupayakan
keberhasilan identitas Suku Osing melalui kebudayaan dan pariwisata yang masuk
ke dalam motif ekonomi, tetapi tidak melalui bahasa. Seperti yang dialami oleh
Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2014, yaitu tidak diakuinya Bahasa Osing
oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Hal ini terbukti dengan tidak
dicantumkannya Bahasa Osing pada Peraturan Gubernur Nomer 19 Tahun 2014.
18
Seiring dengan munculnya peraturan gubernur yang tidak mengakui Bahasa Osing
sebagai bahasa asli daerah meyebabkan tidak semua sekolah di Banyuwangi
menerapkan mata pelajaran Bahasa Osing. Padahal seharusnya apabila peraturan
daerah sudah dibuat, maka harus menaati peraturan. Dalam perda No. 5 Tahun
2007 terdapat pasal 3 yang berbunyi :
“Pembelajaran Bahasa Osing sebagai kurikulum muatan lokal
wajib dilaksanakan pada seluruh jenjang pendidikan dasar, baik
negri maupun swasta, di Kabupaten Banyuwangi.” 8
Serta pasal 4 yang berbunyi :
“Sekolah pada jenjang pendidikan dasar wajib mengajarkan
bahasa daerah lainnya yang masih dipelihara dan digunakan
sebagai alat komunikasi oleh masyarakat sekitarnya sesuai latar
belakang bahasa ibu peserta didik atau pilihan wali peserta
didik.”9
Namun, pada kenyataannya pasal 3 yang terdapat dalam perda tidak
dilaksanakan secara teratur. Sebagai implikasi dengan adanya peraturan dari
Gubernur ini sejumlah sekolah di Banyuwangi tidak lagi mengajarkan Bahasa
Osing karena tidak diwajibkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sebagai
institusi di atas Pemerintah Kabupaten.
Hal ini sangat disesali oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
mengingat Bahasa Osing merupakan salah satu identitas yang dimiliki oleh
Kabupaten Banyuwangi. Meskipun lagu daerah Bahasa Osing tersebar dan
8 Peraturah Daerah Kabupaten Banyuwangi No. 5 Tahun 2007 9 Ibid
19
cukup didengar oleh khalayak luas, akan tetapi hal ini bukan menjadi suatu
keberhasilan sebuah identitas, karena dirasa belum cukup karena posisi di
ranah akademis dan politis masih belum diraih.
5.4 Perjuangan yang dilakukan Suku Osing dalam mempertahankan Bahasa
Osing sebagai Identitas dari Suku Osing
Sebagai sebuah suku asli yang kehadirannya sudah ada sejak zaman
Belanda pantas saja jika Suku Osing tidak terima apabila keaslian bahasanya yang
selama ini menjadi alat komunikasi mereka tidak diakui oleh pemerintah sebagai
bahasa asli daerah. Suku Osing memiliki beberapa organisasi yang melibatkan
para pemuda pemudi Suku Osing yang bergerak dalam pelestarian budaya Osing.
Mereka mendirikan sebuah komunitas dengan tujuan agara keaslian budaya yang
dimiliki Suku Osing tidak mudah punah dengan berkembangnya zaman yang
semakin modern ini.
Tetap melestarikan segala kebudayaan kesenian dan bahasa yang selama
ini sudah melekat di diri masyarakat Suku Osing meskipun pemerintah Pusat Jawa
Timur tidak menganggap Bahasa Osing sebagai bahasa asli daerah Kabupaten
Banyuwangi. Dengan adanya kasus tidak diakuinya Bahasa Osing sebagai bahasa
asli daerah, Suku Osing melakukan tindakan penolakan sebagai upaya perjuangan
yang mereka lakukan untuk merebut kekuasaan.
20
Hal ini sesuai dengan teori dari Will Kymlicka yang mengidentifikasikan 3
macam hak kolektif yaitu : 10
1. Hak Pemerintahan Sendiri : bagi minoritas bangsa agar menarik batas
wilayah teritorial sehingga menjadi unit pemerintahan mandiri di sana
dan menjadi mayoritas. Pengakuan terhadap mayoritas baginya belum
cukup hanya pada hak-hak politik personal dan individual tetapi juga
harus sampai pada pengakuan hukum dan konstitusional.
2. Hak Polietnis : membahas mengenai kebebasan untuk
mengekspresikan unsur-unsur budayanya yang khas tanpa harus
mengganggu stabilitas ekonomi dan politik mayoritas. Yang utama
adah hak akan pengecualian dari undang – undang yang penerapannya
merugikan kelompok etnis itu seperti bahasa, gaya hidup, agama, dan
lain sebagainya. Salah satu kepentingan komunal yang fundamental
disamping kepentingan kebangsaan, adalah kepentingan unsur-unsur
polietnisitas.kepentingan ini penting untuk diberikan kepada
komunitas etnis baik yang berbasis suku, agama, ras ataupun golongan.
Hak polietnis ini dibutuhkan untuk melindungi setiap kelompok etnis
agar dapat mengekspresikan seni dan kebudayaan mereka, ritual
keagamaan mereka dan yang terpenting adalah bahasa asli mereka.
3. Hak Perwakilan Khusus : lebih difungsikan untuk membuka kran
keterwakilan atau representasi bagi pihak-pihak atau kelompok etnis
tertentu yang secara historis dirugikan.
10 Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural: Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas,
(Jakarta:LP3ES 2002) hal. 13
21
Dari ketiga hak kolektif yang dikemukakan oleh Will Kymlicka yang
sesuai dengan upaya perjuangan yang dilakukan oleh suku Osing adalah hak
polietnis. Dalam hak polietnis dijelaskan bahwa hak tersebut membahas
bagaimana melakukan kebebasan untuk mengekspresikan unsur – unsur budaya
tanpa mengganggu stabilitas ekonomi dari politik mayoritas. Dalam hal ini yang
dimaksud melakukan kebebasan adalah bagaimana Suku Osing dapat melakukan
kebebasan dalam menggunakan bahasanya dan mengajarkan bahasa Osing kepada
semua Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama tanpa mengganggu
stabilitas ekonomi dari pihak Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Selain itu hak
Polietnis ini dibutuhkan untuk melindungi setiap kelompok etnis agar dapat
mengekspresikan seni dan kebudayaan mereka, ritual keagamaan mereka, atau
yang terpenting adalah bahasa asli mereka yaitu Bahasa Osing.
Sebagai rasa simpatinya terhadap suku yang membesarkan nama
mereka pihak Suku Osing melakukan beberapa protes dan tindakan yang
menggambarkan rasa ketidakadilan atas apa yang dibuat oleh gubernur dalam
bentuk Peraturan Gubernur No. 19 Tahun 2014. Bentuk penolakan yang dilakukan
oleh Suku Osing diantaranya adalah : 11
1. Mengirimkan surat protes kepada Gubernur Jawa Timur terkait
dikeluarkannya Peraturan Gubernur No. 19 Tahun 2014 yang
dilakukan oleh Dewan Kesenian Blambangan (DKB). Protes yang
dilakukan oleh DKB serta para seniman dan budayawan ini adalah
dengan cara mengirimkan surat yang isinya adalah hasil dari seminar
11 Hasil Wawancara dengan anggota Dewan Kesenian Blambangan pada tanggal 29 April 2017
22
yang mereka lakukan terkait dengan penolakan Peraturan Gubernur
No. 19 Tahun 2014 yang bertemakan mengungkap perbedaan Bahasa
Osing dengan Bahasa Jawa. Dari hasil seminar tersebut mereka
membuat keputusan yaitu menuliskan segala hasil seminar dan
mengirimkan hasil dari keputusan seminar tersebut kepada Pemerintah
Provinsi Jawa Timur. Hasil dari seminar tersebut menjelaskan tentang
berbagai perbedaan antara bahasa osing dengan bahasa jawa dari sisi
pengucapan maupun sisi arti, selain itu menjelaskan tentang
bagaimana kelanjutan bahasa osing kedepan apabila bahasa mereka
tidak diajarkan kedalam sekolah otomatis akan membuat bahasa osing
menjadi punah. Sehingga apabila bahasa osing telah punah maka
keaslian budaya Banyuwangi secara otomatis lama kelamaan juga akan
hilang. Karena bahasa osing sangat erat kaitannya dengan segala
kebudayaan Banyuwangi.
2. Tindakan lebih lanjut yang dilakukan oleh DKB adalah pihaknya akan
memboikot pagelaran seni budaya yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Timur jika Bahasa Osing tidak dimasukkan ke dalam
pembelajaran bahasa lokal versi pemerintah provinsi.12 Seperti
diketahui akhir-akhir ini segala kegiatan kebudayaan dan kesenian
Banyuwangi membawa nama baik Jawa Timur dengan partisipasi dari
masyarakat Banyuwangi kepada Provinsi Jawa Timur. Namun
semangat masyarakat Banyuwangi untuk mengikuti berbagai pagelaran
12www.mtempo.co oleh Ika Ningtyas 2015, “Bahasa Lokal Osing Tak Diakui, Banyuwangi Protes
Gubernur”, diakses pada 15 Juni 2017 pukul 22.05
23
acara kebudayaan yang diadakan oleh Pemerintan Provinsi Jawa Timur
kini berhenti. Hal ini disebabkan dengan adanya penghapusan Bahasa
Osing kedalam peraturan gubernur tentang bahasa daerah yang wajib
diajarkan pada siswa sekolah.
3. Melestarikan bahasa dan budaya Osing sebagai bentuk perlawanan
mereka melalui :
a. Menggunakan Bahasa Osing sebagai bahasa sehari – hari.
b. Mengabdikan Bahasa Osing dalam segala ritual kebudayaan
Osing.
c. Mempromosikan Bahasa Osing ke berbagai media. Contohnya
memperkenalkan kosakata Bahasa Osing dalam radio
Banyuwangi
d. Mengenalkan Bahasa Osing melalui lagu daerah Banyuwangi
yang menggunakan Bahasa Osing pada lirik lagunya.
Semua bentuk dari pelestarian bahasa dan budaya Suku Osing ini
merupakan simbol dari bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Suku
Osing. Mereka tetap melestarikan keaslian bahasa dan budaya mereka
walaupun terjadi masalah yang menimpa Suku Osing dalam tingkat
provinsi.
4. Mendukung Program Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang
menetapkan Kemiren menjadi Desa Wisata Osing.
24
5. Mendukung Program Pemerintah dalam menetapkan Peraturan Bupati
No. 27 Tahun 2016 tentang penetapan pakaian adat osing bagi seluruh
Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Banyuwangi.
6. Penetapan Kepala Desa di Desa Adat Wisata Osing harus asli orang
yang berasal dari Suku Osing.
Gambar 5.3 Pakaian Adat Osing Untuk ASN di Hari Kamis
Sumber : banyuwangikab.go.id, online 2017
Sebagai akibat dari peraturan ini sejumlah sekolah sudah tidak
mengajarkan Bahasa Osing dengan alasan karena tidak diwajibkan oleh
pemerintah provinsi sebagai institusi di atas pemerintah kabupaten. Dengan hal ini
ancaman yang diberikan oleh DKB kepada pemerintah provinsi adalah sebuah
ancaman yang mengkagetkan hal ini bertujuan agar pemerintah Provinsi Jawa
Timur segera menimbang kembali keputusan yang telah dibuat dalam bentuk
peraturan gubernur tersebut.13 Karena selama ini kesenian Banyuwangi sering
menjadi andalan Provinsi Jawa Timur untuk mengisi acara-acara mereka termasuk
13 Hasil Wawancara dengan salah satu anggota DKB pada 29 April 2017
25
sebagai duta seni ke tingkat nasional maupun internasional. Acara kesenian
Banyuwangi yang rutin diikuti di tingkat provinsi adalah sebagai berikut : 14
1. FKKS (Festifal Kawasan Selatan) yang diikuti oleh beberapa
Kabupaten di Jawa Timur yaitu Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso,
Lumajang, Jember dan Probolinggo.
2. FKT (Festival Karya Tari se Kabupaten – Kota)
3. Festival Wayang Dalang Muda tahun 2017
4. Festival Sinden 2017
5. Gelar Seni Budaya Daerah
6. Pertunjukan Janger
7. Pawai Seni Budaya Jatim
8. Jatim Next Specta
9. Pawai Ta’aruf 15
Acara-acara diatas adalah acara kesenian yang diikuti Kabupaten
Banyuwangi di Tingkat Provinsi setiap tahunnya. selain dari Kabupaten
Banyuwangi, acara tersebut juga diikuti oleh beberapa kabupaten di Jawa Timur
lainnya. Hanya saja dengan adanya kasus ini, pihak dari Dewan Kesenian
Blambangan berusaha untuk tidak melibatkan Kabupaten Banyuwangi kedalam
acara-acara kesenian yang dilaksanakan oleh Provinsi tersebut. Hal ini sebagai
bentuk ancaman yang dilakukan oleh pihak Kabupaten Banyuwangi.
14 Arsip Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi 15 Hasil wawancara dengan staff Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi Pada
Tanggal 3 Mei 2017