POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

16
535 POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama Lain) Dony Burhan Noor Hasan, Lc., MA. Dosen Ulumul Qur‟an UTM Abstrak: Salah satu hasil karya tafsir putra Indonesia yang mencoba untuk mencarikan solusi bagi beberapa ayat yang banyak dipahami mengandung polemic dan menghambat pergaulan yang proporsional antar agama. Buku tafsir ini berjudul Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik al-Qur‟an terhadap Agama Lain, disusun oleh Mun‟im Sirry. Polemic sebagian ayat-ayat al-Qur‟an ini nampak jelas dalam pandangan Mun‟im pada saat al-Qur‟an berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Kristen. Kemudian menurutnya, para sarjana dibuat bingung oleh sifat mendua dari ayat-ayat polemic dan non-polemic al- Qur‟an, yang memunculkan diskusi panjang dan ilmiah tentang sikap al -Qur‟an terhadap komunitas agama lain. Kajian yang telah dilakukan oleh Mun‟im belum selesai dan perlu untuk ditidaklanjuti melalui kajian akademis. Sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin, bisa dicitrakan melalui berbagai macam kajian yang mendukung kearah tersebut. Kata Kunci: Polemik, Kitab Suci Pendahuluan Perhatian umat Islam dalam memahami kandungan kitab Sucinya, al-Qur‟an sangat besar. Hal ini boleh jadi dikarenakan oleh, bahwa upaya penggalian makna yang terkandung dalam al-Qur‟an itu dianggap sebagai upaya yang mulia dalam rangka menampakkan jati diri dan kehormatan al-Qur‟an. Kemuliaan tersebut bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu; aspek obyek bahasan (tema), aspek tujuan dan aspek urgensinya. Dari aspek obyek bahasan atau temanya, tafsir al-Qur‟an merupakan disiplin ilmu yang sangat mulia, karena pokok-pokok bahasan yang menjadi kajiannya adalah firman-firman Allah, dimana ia merupakan sumber hikmah dan kebajikan, di dalamnya juga terdapat informasi-informasi generasi terdahulu untuk diambil berbagai macam pelajaran (‘ibrah) oleh umat setelahnya dalam menapaki terjalnya jalan kehidupan. Adapun dikatakan mulia dari aspek tujuannya, karena tujuan dari penafsiran al-Qur‟an adalah upaya untuk berpegang teguh pada ikatan yang kokoh (al-‘urwah al-wuthqa>) dan sebagai petunjuk dalam menggapai kebahagian dunia dan akhirat. Sedangkan kemuliaan urgensinya, dapat dipahami bahwa setiap kesempurnaan keagamaan ataupun keduniaan ini sangat bergantung pada penjelasan-penjelasan ilmu syariat, dimana hal ini bisa didapatkan dengan memahami apa yang terkandung dalam al-Qur‟an. 1 Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur‟an sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur‟an ini dilakukan dalam empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : tahli>li> (analistis), ijma>li> (global), muqa>ran (perbandingan), dan maud}u>’i> (tematik). 2 Metode Ijma>li> ialah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al- Qur‟an dengan cara mengemukakan makna global. 3 Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah 1 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.) h. 175 2 Abd al-H{ay Al-Fama>wi>, Al-Bida>yah fi> Al-Tafsi>r Al-Maud}u>’i>, (Kairo: Al- H{ad}a>rah Al-Arabiyah, 1977). hlm. 23 3 Ibid. h. 43-44

Transcript of POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

Page 1: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

535

POLEMIK KITAB SUCI

(Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama Lain)

Dony Burhan Noor Hasan, Lc., MA.

Dosen Ulumul Qur‟an UTM

Abstrak: Salah satu hasil karya tafsir putra Indonesia yang mencoba untuk mencarikan

solusi bagi beberapa ayat yang banyak dipahami mengandung polemic dan menghambat

pergaulan yang proporsional antar agama. Buku tafsir ini berjudul Polemik Kitab Suci:

Tafsir Reformis atas Kritik al-Qur‟an terhadap Agama Lain, disusun oleh Mun‟im Sirry.

Polemic sebagian ayat-ayat al-Qur‟an ini nampak jelas dalam pandangan Mun‟im pada

saat al-Qur‟an berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Kristen. Kemudian menurutnya,

para sarjana dibuat bingung oleh sifat mendua dari ayat-ayat polemic dan non-polemic al-

Qur‟an, yang memunculkan diskusi panjang dan ilmiah tentang sikap al-Qur‟an terhadap

komunitas agama lain. Kajian yang telah dilakukan oleh Mun‟im belum selesai dan perlu

untuk ditidaklanjuti melalui kajian akademis. Sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin,

bisa dicitrakan melalui berbagai macam kajian yang mendukung kearah tersebut.

Kata Kunci: Polemik, Kitab Suci

Pendahuluan

Perhatian umat Islam dalam memahami kandungan kitab Sucinya, al-Qur‟an

sangat besar. Hal ini boleh jadi dikarenakan oleh, bahwa upaya penggalian makna yang

terkandung dalam al-Qur‟an itu dianggap sebagai upaya yang mulia dalam rangka

menampakkan jati diri dan kehormatan al-Qur‟an. Kemuliaan tersebut bisa dilihat dari

tiga aspek, yaitu; aspek obyek bahasan (tema), aspek tujuan dan aspek urgensinya.

Dari aspek obyek bahasan atau temanya, tafsir al-Qur‟an merupakan disiplin

ilmu yang sangat mulia, karena pokok-pokok bahasan yang menjadi kajiannya adalah

firman-firman Allah, dimana ia merupakan sumber hikmah dan kebajikan, di dalamnya

juga terdapat informasi-informasi generasi terdahulu untuk diambil berbagai macam

pelajaran (‘ibrah) oleh umat setelahnya dalam menapaki terjalnya jalan kehidupan.

Adapun dikatakan mulia dari aspek tujuannya, karena tujuan dari penafsiran al-Qur‟an

adalah upaya untuk berpegang teguh pada ikatan yang kokoh (al-‘urwah al-wuthqa>)

dan sebagai petunjuk dalam menggapai kebahagian dunia dan akhirat. Sedangkan

kemuliaan urgensinya, dapat dipahami bahwa setiap kesempurnaan keagamaan ataupun

keduniaan ini sangat bergantung pada penjelasan-penjelasan ilmu syariat, dimana hal ini

bisa didapatkan dengan memahami apa yang terkandung dalam al-Qur‟an.1

Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur‟an sejak dulu sampai sekarang, maka

akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur‟an ini dilakukan dalam

empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : tahli>li> (analistis),

ijma>li> (global), muqa>ran (perbandingan), dan maud}u>’i> (tematik).2

Metode Ijma>li> ialah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-

Qur‟an dengan cara mengemukakan makna global.3 Pengertian tersebut menjelaskan

ayat-ayat Al-Qur‟an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah

1 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.) h.

175 2 „Abd al-H{ay Al-Fama>wi>, Al-Bida>yah fi> Al-Tafsi>r Al-Maud}u>’i>, (Kairo: Al-

H{ad}a>rah Al-„Arabiyah, 1977). hlm. 23 3 Ibid. h. 43-44

Page 2: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

536

dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di

dalam mus}}h}af.

Metode Tahli>li> (Analitik) ialah cara dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an

dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang

ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai

dengan keahlian dan kecenderungan mufassir.

Metode muqa>rin suatu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan

cara mengambil sejumlah ayat al-Qur‟an, kemudian mengemukakan penafsiran para

ulama terhadap ayat-ayat itu, baik dari kelompok ulama klasik maupun kontemporer

yang memiliki metode dan kecenderungan yang berbeda-beda dalam menafsirkan ayat

al-Qur‟an.

Metode maud}u>’i> adalah metode penafsiran ayat al-Qur‟an yang membahas

ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat

yang berkaitan dengan tema yang telah ditentukan dihimpun. Kemudian dikaji secara

mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul,

kosa kata dan sebagainya.

Dalam makalah ini, akan dibahas salah satu hasil karya tafsir putra Indonesia

yang mencoba untuk mencarikan solusi bagi beberapa ayat yang banyak dipahami

mengandung polemic dan menghambat pergaulan yang proporsional antar agama. Buku

tafsir ini berjudul Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik al-Qur‟an terhadap

Agama Lain, disusun oleh Mun‟im Sirry.

SEKILAS BIOGRAFI MUN’IM SIRRY

Mun‟im Sirry, seorang akademisi berasal dari daerah paling timur pulau Madura

(Sumenep). Pendidikan dasarnya diselesaikan di desa kelahirannya, Bata‟al – Sumenep.

Kemudian melanjutkan pendidikannya sebagai santri di Pondok Pesantren al-Amien

Prenduan Sumenep Madura. Setelah mengasah kemampuannya dalam bidang bahasa

Arab dan Inggris di lembaga pendidikan yang memiliki motto; beriman sempurna,

berilmu luas dan beramal sejati itu, boleh dibilang bahwa kemampuannya atas dua

bahasa itu masih dalam level intermideate (dasar). Dengan bekal penguasaan atas dua

bahasa internasional ini, beliau melanjutkan pendidikan tingginya di International

Islamic University (IIU), Islamabad, Pakistan. Beliau menyelesaikan pendidikan S1

(sarjana) dan S2 (magister) pada universitas tersebut dalam bidang ilmu hukum Islam.

Setelah itu beliau kembali ke Indonesia, dan beberapa tahun kemudian

mengambil program magister (S2) di University of California Los Angeles (UCLA) dan

meraih gelar Master dalam bidang studi Islam. Di Negara yang sama, beliau mengambil

program doctoral, dan menyelesaikan disertasinya serta meraih gelar Ph.D. di

University of Chicago pada tahun 2012. Judul disertasi yang beliau ajukan guna meraih

gelar Ph.D. adalah Reformist Muslim Approaches to the Polemics of The Qur’an againts

Other Religion, dimana setahun kemudian disertasi ini diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia oleh R. Cecep Lukman Hakim dengan judul “Polemik Kitab Suci (Tafsir

Reformis Atas Kritik al-Qur‟an Terhadap Agama Lain)”.

Kini beliau sebagai Asisten Profesor pada Theology Department dan Kroc

Institute, University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat.

Sejumlah artikel ilmiahnya telah terpampang di beberapa jurnal internasional,

antara lain; Arabica, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Die Welt

Page 3: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

537

des Islams, Islam and Christian-Muslim Relations, Journal of Semitic Studies, Journal

of Southeast Asian Studies, Studia Islamica, dan The Muslim World.4

TAFSIR REFORMIS ATAS AYAT-AYAT POLEMIK

Buku yang menjadi obyek kajian mata kuliah Tafsir Keindonesiaan sebetulnya

bukan tafsiran original saudara Mun‟im Sirry dalam menjelaskan dan memberikan

pemahaman terhadap kandungan yang dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Karena beliau hanya

mengumpulkan dan menyajikan penafsiran-penafsiran para pakar tafsir yang beliau

kelompokkan dalam golongan ulama Muslim reformis. Penulis memberanikan diri

untuk menyebut hasil penelitiannya ini sebagai kitab tafsir, sebab di dalam buku ini

berisi tentang berbagai macam penafsiran atas ayat-ayat yang telah dipilih oleh saudara

Mun‟im Sirry guna mendapatkan penafsiran yang actual atas ayat-ayat yang beliau

anggap masih memunculkan polemic, terutama dalam bingkai dialog dan interaksi lintas

agama yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan damai dan harmonis antara

pemeluk agama-agama yang berbeda.

Polemic sebagian ayat-ayat al-Qur‟an ini nampak jelas dalam pandangan

Mun‟im pada saat al-Qur‟an berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Kristen.

Kemudian menurutnya, para sarjana dibuat bingung oleh sifat mendua dari ayat-ayat

polemic dan non-polemic al-Qur‟an, yang memunculkan diskusi panjang dan ilmiah

tentang sikap al-Qur‟an terhadap komunitas agama lain. Dimana dalam lingkungan

kesarjanaan Muslim sendiri, tidak ada kata sepakat dan final tentang pandangan etis al-

Qur‟an mengenai bagaimana orang Islam seharusnya memperlakukan pemeluk agama

lain.5 Hal ini juga ia temukan pada saat melakukan perbandingan terhadap ayat-ayat

yang diturunkan sebelum Hijrah (ayat-ayat Makkiyah) dan ayat-ayat yang diturunkan

setelah Nabi dan para sahabat Hijrah ke kota Madinah (ayat-ayat Madaniyah). Ada

perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh al-Qur‟an dalam memandang dan bersikap

kepada kaum Yahudi dan Kristen dalam bingkai ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah.

Dimana ayat-ayat Makkiyah lebih santun dan lemah lembut dalam bersikap terhadap

komunitas di luar Islam tersebut, sementara ayat-ayat Madaniyah lebih keras dan tegas,

bahkan kritik-kritik yang dilontarkan al-Qur‟an terhadap keyakinan dan praktek

keagamaan Yahudi dan Kristen cukup pedas. Disamping itu masih minimnya kajian dan

penelitian ilmiah terhadap tema ini, menjadi salah satu motivasi Mun‟im, dimana

sebelumnya sudah aktif dalam kegiatan dialog lintas agama, untuk melakukan penelitian

ini dengan harapan ia bisa mendapatkan formulasi penafsiran yang lebih terbuka dan

fleksibel, sehingga upaya untuk selalu mendialogkan dan hidup saling berdampingan

dalam kondisi damai antar agama-agama yang berbeda dapat terwujud. Lebih-lebih

dengan adanya penafsiran yang mendukung ke arah itu, akan mempercepat upaya-upaya

tersebut.

Penggunaan kata “reformis” daripada istilah “modernis” dalam buku ini tidak

bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran Hisham Sharabi, dimana dia menyatakan

bahwa ada dua alasan mengapa reformisme Islam tidak boleh dikacaukan dengan

modernism Islam. Pertama, perhatian utama reformisme adalah untuk memelihara Islam

dengan cara meremajakan unsur-unsur dinamis tradisi Islam, sementara modernism

membangun asumsi utamanya bukan dari tradisi Islam, tapi dari pemikiran Barat.

4 Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama

Lain, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013) h. 453. 5 Ibid. h. xxiii.

Page 4: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

538

Kedua, sekalipun jika reformisme bisa disebut modernisme Islam, “reformisme hanya

melakukan modernisasi dalam khusus dan terbatas.6

Adapun ulama-ulama tafsir reformis yang akan beliau jadikan rujukan dalam

kajian ini adalah:

1) Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, reformis dari Mesir penulis

“Tafsi>r al-Mana>r”.

2) Jamal al-Din al-Qasimi, ulama tafsir dari Syiria yang sering dijadikan

rujukan oleh kaum salafisme, penyusun kitab “Mah}a>sin al-Ta’wi>l‟.

3) Abul Kalam Azad, ulama reformis dari India, penulis kitab “Tarjuma>n

al-Qur’a>n‟.

4) Hamka, mufassir Indonesia penyusun kitab tafsir “al-Azhar”.

5) Muhammad Jawad Mughniyah, salah seorang ulama Syiah dari Lebanon,

penulis kitab “al-Tafsi>r al-Ka>shif.”

6) Muh{ammad H{{usain T{abat}aba‟i>, ulama tafsir Syiah dari Iran yang

mengarang kitab “al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n”.

Sementara itu, tema-tema yang dipandang memuat ayat-ayat polemic terhadap

interaksi yang kondusif lintas-agama, dimana hal tersebut menjadi pokok bahasan

dalam kajian ini, adalah;

a) Teologi keselamatan Eksklusif.

Sebelum membahas tentang teologi keselamatan eksklusif, penulis (Mun‟im

Sirry) memberikan sebuah pengantar yang cukup cerdas, yaitu dengan mengajukan

sebuah pertanyaan yang cukup bagus guna memahami persoalan selanjutnya secara

proporsional. Apakah al-Qur‟an itu menggantikan posisi Wahyu terdahulu dengan

mengacu pada ayat al-Qur‟an surat Ali „Imra>n ayat 85 yang berbunyi:

سلمغيريبتغومن (58)الخاسرينمنالخرةفيوههمنهيقبلفمنديناالBarang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima

daripadanya, dan di akhirat termasuk orang yang merugi.

Merujuk ayat di atas, Mahmoud Ayoub mencatat bahwa para mufassir “telah

menggunakan ayat tersebut untuk memperkuat argument finalitas dan penggantian

Islam terhadap semua agama lain.7 Selanjutnya Sachedina melihat adanya kontradiksi

antara beberapa ayat al-Qur‟an yang mengakui keotentikan agama sebelumnya dengan

ayat lain yang menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya sumber keselamatan. Ia

cenderung berargumen bahwa ketika al-Qur‟an dibaca secara menyeluruh, ia

menyuguhkan materi berlimpah yang dapat digunakan untuk melahirkan teologi agama

yang pruralistik dan inklusif.8

Namun menurut Mun‟im, dikotomi antara klaim penganut naskh dan penentang

naskh adalah terlalu menyederhanakan dan kaku dalam menilai dengan jujur dinamika

rumit persinggungan awal antara Islam dan agama lainnya. Ketika diskusi ini dikemas

sedemikian rupa, tampak bahwa hanya ada dua pilihan yang tersedia; meyakini klaim

eksklusif Islam, atau mempercayai agama Yahudi dan Kristen sebagai agama yang

sama-sama diterima, dengan menanggalkan teologi keselamatan yang eksklusif. Dengan

6 Hisham Sharabi, Arab Intellectuals and The West: The Formative Years, 1875-1914

(Baltimore: John Hopkin University Press, 1970) h. 7. 7 Mahmoud M. Ayoub, The Quran and Its Interpreters, (Albany: State University of New York

Press, 1992) h. 241. 8 Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pruralism,(Oxford: Oxford University Press,

2001) h. 26.

Page 5: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

539

membaca al-Qur‟an secara sekilas sekalipun, kita bisa dengan mudah menolak

pernyataan ekstrim paham naskh dan non-naskh. Meskipun banyak menyinggung

penyimpangan orang Yahudi dan Kristen dari kitab mereka (QS. 5:13), al-Qur‟an tidak

mendaku telah mengganti kitab mereka sebagaimana yang didaku oleh Perjanjian Baru

atas Perjanjian Lama. Al-Qur‟an justru mendaku memperbaiki kitab suci mereka dan

menyediakan sarana untuk mengembalikan penganut monoteis (bukan politeis) yang

tersesat kembali ke jalan Tuhan.9 Disamping itu al- Qur‟an sering menyebut petunjuk

(huda> atau hida>yah) sebagai konsep paling inklusif yang digunakan untuk

menyatakan kehendak Tuhan bagi keselamatan manusia.10

Selanjutnya beliau membahas makna dari term Isla>m yang ada dalam al-

Qur‟an untuk memahami dan menegaskan apakah Islam itu eksklusif atau inklusif. Ada

tiga ayat yang menyebut isla>m dalam konteks al-di>n, yang secara umum diartikan

agama, yaitu (QS. 3:19); (QS. 3:85), dan (QS. 5:3). Ayat-ayat tersebut biasanya

dipergunakan untuk mendaku superiotas Islam atas agama lainnya dan bahwa teologi

serta praktik ritual Islam adalah jalan eksklusif menuju keselamatan.

Rid}a> mengartikan al-Isla>m sebagai di>n al-h}aq cocok dengan semua

makna kebahasaan dari kata tersebut, sebagaimana yang diterangkan dalam (QS. 4:125),

dimana dalam ayat ini sering menggambarkan Ibrahim sebagai muslim, ia

menyimpulkan bahwa “penyebutan al-Qur‟an secara khusus tentang “al-di>n di sisi

Allah adalah al-Isla>m” meliputi semua millah (ajaran) yang dibawa oleh para Nabi,

karena semangat universal mereka yang telah diakui bersama, meskipun terdapat

perbedaan pada beberapa kewajiban dan bentuk perilaku yang dibebankan kepada

mereka.11

Ketika menafsirkan (QS. 2:62), ia menolak dengan tegas gagasan bahwa ayat

ini secara implicit mengharuskan keimanan kepada Muhammad saw. menurutnya,

“….tidak ada masalah jika tidak menegaskan keimanan kepada Muhammad karena ayat

ini berbicara tentang perlakuan Tuhan terhadap setiap masyarakat dan umat yang

percaya kepada seorang Nabi dan wahyu yang dibawanya. Keselamatan mereka

(fauzuha>) terjamin, baik mereka beragama Islam, Yahudi, Kristen, atau Sabiin. Tuhan

menegaskan bahwa keselamatan tidak tergantung pada afiliasi keagamaan seseorang

(al-jinsiyyah al-di>niyah), tapi pada keimanan sejati yang menjadi kendali diri dan

perbuatannya.12

Abul Kalam Azad berpendapat bahwa gagasan mendasar tentang agama sebagai

sebuah system telah dinafikan dalam al-Qur‟an. Selanjutnya ia berargumen bahwa

ketika sebuah agama diubah menjadi sebuah “system” (niz}a>m), ia akan mengklaim

hak eksklusif atas keselamatan bagi penganutnya. Eksklusifisme terus mengemuka

dengan menolak semua pihak kecuali mereka yang berada dalam kelompoknya.

Sebenarnya kebencian terhadap agama lain telah menggantikan pengabdian kepada

Tuhan dan amal saleh.13

Pendekatan Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> terhadap teks polemic al-Qur‟an

melukiskan beberapa kesulitan bukan saja dengan unsure polemic al-Qur‟an tapi juga

dengan supremasitafsir al-Qur‟an klasik. Dalam ayat (QS. 3:19 dan 85) al-Qa>simi>

9 Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama

Lain, h. 72-73. 10

Ibid. h. 83 11

M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947) jil. 3, h. 257. 12

Ibid. jil. 1, h. 336. 13

Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, Dr. Syed Abdul Latif (pent.) (New Delhi: Asia

Publishing House, 1967), jil. 1, h. 177.

Page 6: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

540

tampaknya memahami al-Isla>m dalam makna generiknya, namun ia juga

membandingkannya dengan agama Ahl al-Kitab. Dimana beliau menyebutkan “siapa

mencari agama selain Islam” dalam arti “selain dari kesatuan (tauhi>d) dan ketundukan

(inqiya>d) kepada perintah Tuhan. Akan tetapi, ia kemudian menyatakan, “barangsiapa

mengikuti agama selain Islam dan merasa nyaman dengannya, maka ia berada dalam

kondisi terburuk”.14

Muhammad Jawad Mughniyah pada saat menafsirkan ( ينإن سلمالل عندالد ال )

memulai penjelasannya dengan melontarkan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh

alawan bicaranya (interlocutor): Tidakkah tampilah zahir ayat ini melukiskan bahwa

semua agama para Nabi, termasuk Ibrahim, tidak lain adalah agama Muhammad, karena

yang dibawa para Nabi adalah benar dan valid sepanjang ia diakui oleh Muhammad dan

al-Qur‟an? Mughniyah menjawab: “Kenyataannya, ayat ini justru memperlihatkan

sebaliknya. Secara zahir, ayat ini menyebutkan dengan jelas bahwa inti kandungan (fi>

jauharihi) agama yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya memuat ajaran Islam yang

didakwahkan Muhammad.15

Menurut Hamka, agama yang dibawa oleh para Nabi, sejak Adam hingga

Muhammad, termasuk Musa dan Isa, tidak lain adalah agama Islam. Mereka menyeru

manusia menuju Islam, yang berarti kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan, dan

beriman semata kepada-Nya.16

Selanjutnya, beliau berpendapat bahwa perbedaan cara

berdoa dan beribadah dapat diterima di kalangan masyarakat yang berbeda agama,

karena syariat bisa berbeda karena perbedaan waktu. Namun, manusia tidak boleh diam

tanpa mencari pengetahuan yang lebih dalam. Mereka harus terus belajar hingga

menemukan kebenaran, yaitu kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan.17

Setelah memaparkan berbagai penafsiran ulama yang dikategorikan reformis,

Mun‟im menyimpulkan bahwa penafsiran para mufassir reformis berkecenderungan

untuk mengembangkan pemahaman baru dan penafsiran ulang terhadap Isla>m

Quranik yang cocok dengan kebutuhan masyarakat pruralis di dunia modern. Kemudian

ia mengutip argument yang dipaparkan oleh Mohammed Talbi, seorang sarjan Tunisia,

bahwa adalah mungkin bagi Islam untuk menguraikan teologi yang memungkinkan

lahirnya tingkat pruralitas tertentu tentang jalan menuju keselamatan.18

b) Pemalsuan (tah}ri>f) Kitab Suci Yahudi dan Kristen.

Pada bagian ini, Mun‟im mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisis

pemahaman kalangan Muslim reformis terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang kerap

digunakan oleh kalangan Muslim polemis untuk mendukung tuduhan tentang

pemalsuan kitab suci terdahulu. Selanjutnya ia akan mendiskusikan tiga tema

utamayang berkaitan dengan pemalsuan kitab suci terdahulu, yaitu; pengubahan

(tah}}ri>f), penyembunyian (ikhfa>’, kitma>n), dan pemutarbalikkan (layy). Sebagai

antisipasi, ia berargumentasi bahwa diskusi Muslim modern tentang pemalsuan kitab

suci lebih bernuansa daripada apa yang secara umum diduga oleh para sarjana, dan

hubungan antara ketiga tema utama tadi tidak segaris seperti apa yang kadang diduga.

14

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, (Kairo: I<sa> al-Ba>bi> al-H{alabi>,

1957), jil. 4, h. 811 dan 880. 15

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, (Beirut: Da>r al-„Ilm li al-Mala>yi>n,

1968), jil. 2, h. 26. 16

Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pembimbing Massa, 1967), jil. 1, h. 135. 17

Ibid. jil. 1, h. 186. 18

Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama

Lain, h. 159-161.

Page 7: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

541

Tampaknya pengetahuan kalangan Muslim modern tentang kitab suci agama lain masih

sangat minim, dan kritik historis Barat tentang Alkitab mungkin punya pengaruh

terhadap situasi ini.19

Jamal al-Di>n al-Qa>simi> menyatahkan bahwa arti tahri>f yang terjadi pada

orang Yahudi dan Kristen ketika mereka menafsirkan kitab suci masing-masing,

sementara teksnya sama sekali tidak diragukan kebenarannya. Dalam hal ini beliau

mengutip penafsiran yang disajikan oleh Ibn Kathi>r dan al-T{abari>, bahwa arti dari

kata “yuh}arrifu>na” adalah “mereka menafsirkannya (kalam Ilahi) berbeda dengan

makna yang sebenarnya” atau “mereka menukar makna dan penafsirannya, dan

mengubahnya.”20

Seiring dengan hal di atas, Abul Kalam Azad juga menyatakan bahwa

tah}ri>f terjadi dalam wilayah penafsiran, bukan dalam teksnya. Pemalsuan yang

dikaitkan dengan orang Yahudi bukan menyangkut ketidakpercayaan kitab suci mereka,

tapi “kelemahan utama mereka terletak pada kenyataan bahwa mereka tidak lagi

memiliki pengetahuan yang benar tentang kitab suci mereka dan tidak lagi bertindak

dengan benar sesuai dengan tuntunan kitab suci tersebut”.21

Beda lagi dengan Rid}a>, dimana ia menafsirkan ( مهاضعهعنكمماليحرفهن ) sebagai

petunjuk pada penyimpangan tekstual maupun penyimpangan interpretasi. Dalam hal ini

ia merujuk pada pendapat Abduh yang mengatakan bahwa tah}ri>f terbagi ke dalam

dua jenis; pertama adalah menafsirkan sebuah pernyataan tertentu dengan

memahaminya secara berbeda dari makna yang dikehendaki. Kedua, tah}ri>f diartikan

sebagai gabungan kalimat atau kelompok kata dalam kitab suci yang dipindahkan dari

tempatnya ke tempat lain. Jenis pembauran semacam ini bisa dilihat dalam kitab suci

orang Yahudi; mereka membaurkan antara kitab yang mereka terima dari Musa dengan

apa yang mereka tulis setelahnya pada masa-masa berikutnya.22

Hamka dalam menafsirkan ayat ini, kayaknya banyak dipengaruhi oleh al-

Mana>r. Dalam hal ini beliau menekankan sebuah poin, bahwa teks Taurat Musa yang

asli telah hilang. Hal ini telah diakui oleh para sarjana Yahudi dan Kristen. Kemudian ia

menambahkan bahwa kita tidak menolak kebenaran seluruh isi Taurat yang sekarang.

Tentu saja, ia mengandung kebenaran, termasuk ajaran monoteisme Musa. Tapi ada

bagian yang tidak bisa dipercaya, karena ia telah mengalami penambahan dan

pengurangan.23

Adapun penyembunyian kebenaran (kitma>n) yang dilakukan oleh Ahli Kitab,

dipahami oleh sebagian besar mufassir bahwa obyek penyembunyian itu adalah

informasi dan gambaran tentang Muhammad.24

Hamka mengutip sejumlah ayat dalam

Alkitab yang menurutnya merujuk pada deskripsi tentang Nabi Muhammad.

Selanjutnya ia menyatakan bahwa “mereka berupaya mencegah ayat ini jatuh ke tangan

orang Islam, tapi pada masa sekarang ini berkat kemajuan teknologi cetak mereka tdak

bisa lagi menyembunyikan ayat tersebut.25

Sedangkan Azad tidak menyebutkan obyek

dari ayat-ayat penyembunyian sebagai gambaran kedatangan Muhammad. Ia justru

19

Ibid. h. 167. 20

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 1, h. 166. 21

Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 24. 22

M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 5, h. 140. 23

Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 5, h. 153. 24

Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama

Lain, h. 201. 25

Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 2, h. 47.

Page 8: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

542

lebih memahami istilah “al-h}aqq” sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi,

dengan menyatakan: “secara sadar memungkiri kebenaran adalah dosa besar”.26

Al-Qa>simi> menawarkan pendekatan yang lebih bernuansa tentang obyek dari

ayat-ayat penyembunyian ini. Menurutnya, Ahli Kitab menyembunyikan beberapa hal

termasuk kabar kedatangan Muhammad, hokum rajam dalam Taurat, dan kenabian

Isa.27

Mughniyah cenderung menyamaratakan diskursus al-Qur‟an tentang

penyembunyian kebenaran. Ia menegaskan siapa pun yang memiliki pengetahuan

tentang aspek-aspek agama namun menyembunyikannya, maka laknat Allah akan

menimpanya. Kemudian ia berkata: “Laknat akibat penyembunyian itu tidak secara

khusus berlaku bagi Ahli Kitab, tapi juga berlaku bagi siapa pun yang menyembunyikan

kebenaran”.28

Sedangkan ungkapan al-Qur‟an bahwa Ahli Kitab memutar balikkan

(yalwu>na) dan menulis dengan tangan mereka sendiri (yaktubu>na bi aidi>him), oleh

al-Qa>simi> dikaitkan dengan pemalsuan kitab suci dan penyembunyian ayat.29

Adapun

Hamka sewaktu akan memberikan penafsiran atas persoalan tersebut, ia menjelaskan

bahwa Talmud sebagai kumpulan tulisan kaum terpelajar Yahudi yang mereka daku

sebagai inspirasi dari Tuhan. Selebihnya ia lebih memilih melakukan kontekstualisasi

terhadap ayat tersebut dengan mengatakan, “ketika membaca ayat ini kita tidak boleh

hanya membayangkan apa yang menimpa orang-orang Yahudi pada masa Muhammad,

dan melupakan kelalaian kita sendiri. Karena kelalaian kita, kita terjajah selama 300

tahun oleh bangsa-bangsa lain”.30

Adapun Rid}a> memberikan alasan mengapa hal ini

terjadi pada Ahli Kitab, karena keyakinan mereka yang keliru (fasa>d i’tiqa>dihim)

dan kurangnya mereka dalam berpegang pada kitab suci (‘adam istimsa>kihim bi

kita>bihim). Hal ini boleh jadi juga dilakukan oleh beberapa orang Islam.31

Begitu juga

dengan Mughniyah yang tidak mengaitkan ayat ini (QS. 2:78) dengan Ahli Kitab sama

sekali. Ini mencakup semua orang yang tidak mengerti yang berpura-pura sebagai orang

yang berpengetahuan. Meskipun ayat ini adalah tentang orang Ahli Kitab, ia tentu saja

dapat dipahami secara umum,karena konteks tidak serta merta mengkhususkan teks.32

Dari pembahasan di atas, Mun‟im menyimpulkan bahwa titik persamaan

mufassir modern/reformis terletak pada upaya untuk mengkontekstualisasikan tuduhan

al-Qur‟an bahwa orang Yahudi dan Kristen telah memalsukan kitab suci mereka untuk

menjawab kebutuhan setempat pada masa mereka. Sedangkan yang menjadi inti

persoalan dari tuduhan orang Islam tentang pemalsuan kitab suci adalah perbedaan teori

tentang pewahyuan dan kanonisasi antara orang Islam di satu sisi, dan orang Yahudi dan

Kristen di sisi lain. Dimana al-Qur‟an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada

Muhammad kata per kata dan ditulis selama masa hidupnya. Sehingga ketika

Muhammad wafat, ia sudah terhimpun baik dalam ingatan orang-orang Islam maupun

dalam tulisan. Sedangkan Alkitab sebagaimana yang mereka pahami bukanlah sebuah

26

Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 54. 27

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 6, h. 1920. 28

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. , h. 247. 29

Lihat Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 4, h. 871. 30

Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 205. 31

M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 3, h. 344. 32

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. 1, h. 134.

Page 9: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

543

kitab yang dicatat langsung oleh Tuhan dari surge, tapi merupakan inspirasi dari Tuhan

yang ditulis oleh manusia.33

c) Kritik al-Qur’an terhadap Anak Tuhan, Ketuhanan Yesus dan Trinitas.

Salah satu polemic yang cukup pelik untuk dijelaskan dalam kerangka hidup

damai berdampingan dan saling menghormati antara agama yang satu dengan agama

yang lainnya, khususnya Kristen dan Yahudi adalah konsep trinitas (Yesus anak Tuhan)

dan klaim agama Yahudi tentang “Uzair anak Tuhan”. Berbagai macam komentar yang

diutarakan oleh para sarjana Barat berkaitan dengan tuduhan al-Qur‟an tentang Isa anak

Tuhan, diantaranya;

Roelf S. Kuitse mengatakan bahwa penekanan terhadap ketuhanan Yesus

dalam kelompok Kristen tertentu pada masa Muhammad membuatnya tiba pada

kesimpulan bahwa orang Kristen menyekutukan Tuhan, dan bahwa kaum

Kristiani bukanlah penganut monoteisme yang benar dan murni.34

Tarif Khalidi mengemukakan alasan mengapa Isa dalam al-Qur‟an berbeda

dengan Yesus dalam Injil. Karena Isa ditampilkan dalam al-Qur‟an sebagai

“argument yang ditujukan kepada para pengikutnya yang lebih keras kepala,

dan dimaksudkan untuk meyakinkan orang-orang yang tulus dan

memperingatkan orang yang durhaka.35

Heikki Raisanen mengatakan bahwa penolakan al-Qur‟an terhadap Isa anak

Tuhan harus dimaknai “dalam kerangka monoteisme (Muhammad) yang ketat

dan melalui berbagai pengalamannya berhadapan dengan politeisme Arab.36

Yesus dalam al-Qur‟an disebut sebanyak 25 kali. 9 kali dengan nama Arabnya,‟

I<sa>, dan 16 kali di antaranya disebut bersamaan dalam kata “ibn Maryam”, boleh jadi

dimaksudkan untuk memperkuat gagasan bahwa ia tidak memiliki “status ketuhanan”.37

Ayat al-Qur‟an yang menegaskan tema bahasan ini adalah (QS. 9:30) dan (QS.

5:18). Dalam menafsirkan ayat ini Rid}a> merujuk pada tulisan Dr. George Edward

Post, dimana ia menggambarkan sosok Ezra (Uzair) dan konstribusinya yang sangat

penting dalam tradisi Yahudi, sehingga beberapa orang Yahudi menyebutnya sebagai

“anak Tuhan”. Menurutnya, orang Yahudi sangat berhutang kepada Ezra yang telah

memelihara agama mereka dan memperbaiki kitab suci mereka. Dimana Taurat dan

kitab-kitab lain pernah hilang atau terbakar, dan Ezra lah yang berhasil merestorasi

kembali tapi juga telah membuat beberapa perubahan.38

Selanjutnya Rid}a> tidak

memberikan penjelasan yang tegas, apakah disebabkan perannya yang vital sehingga

Ezra diberi gelar “ibn Alla>h” secara fisik atau hanya sekedar ungkapan penghargaan

khusus (ma’na> al-takri>m) kepadanya.39

33

Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama

Lain, h. 239-241. 34

Roelf S. Kuitse, Christology in the Quran, Missiology: An International Review 20/3 (1992),

h. 366. 35

Tarif Khalidi, The Muslim Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature, (Cambridge,MA:

Harvard University Press, 2001), h. 16. 36

Heikki Raisanen, The Potrait of Jesus in the Quran: Reflection of a Biblical Scholar, “The

Muslim World 70 (1980), h. 130. 37

Hamid Algar, Jesus in the Qur’an: His Reality Expounded in the Qur’an, (New York: Islamic

Publication International, 1999), h. 8-9. 38

M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 10, h. 382-383. 39

Ibid.

Page 10: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

544

Rid}a> juga tidak mempertanyakan penggunaan “anak Tuhan” yang disematkan

kepada Isa, karena istilah itu telah lama dipahami secara kiasan dalam sejarah berbagai

agama. Apa yang menurutnya problematic adalah bahwa “orang Kristen telah keluar

dari aturan akal dan bahasa dengan menerapkan istilah itu secara harfiah kepada al-

Masi>h saja dan secara kiasan kepada yang lainnya.40

Sementara itu al-Qa>simi> mengatakan bahwa hanya orang-orang bodoh

diantara mereka yang mengatakan Uzair itu anak Tuhan, sementara yang lainnya

bersikap menghargainya dan memandangnya setingkat dengan Musa. Mereka selalu

menyebut namanya dan yakin bahwa Tuhan telah memberinya kepercayaan untuk

menghimpun Taurat yang tercecer dan memperbarui agama Musa, mengembalikannya

ke masa kesuciannya, dan memperbaiki perilaku dan tradisi yang menyimpang melalui

inspirasi Tuhan (bi ilha>m).41

Abul Kalam Azad tidak begitu mempersoalkan gagasan tentang “anak Tuhan”,

namun ia justru banyak berbicara tentang asumsi yang mendasari penolakan al-Qur‟an

terhadap ketuhanan Yesus. Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur‟an menolak ketuhanan

Yesus karena “keimanan kepada ketuhanan seorang manusia amat tercela dalam doktrin

tauhid.42

Pada saat menjelaskan (QS. 5:18), Hamka menafsirkannya dengan

mendiskusikan sabab al-nuzu>l dari ayat ini, dimana Nabi mengajak sekelompok orang

Yahudi untuk mengikutinya atau mereka akan menerima adzab yang pedih. Maka

mereka berkata kepada Muhammad: “Siapa dirimu, berani mengancam kami, hai

Muhammad! Demi Tuhan, kami adalah anak-anak Tuhan dan kesayangan-Nya!”43

Dengan demikian baik Hamka maupun Azad memahami konteks ayat tersebut sebagai

bentuk penolakan al-Qur‟an terhadap segala bentuk sikap eksklusif terkait dengan

keselamatan.

Sedangkan T{abat}aba‟i> dan Mughniyah juga menganggap hal di atas sebagai

jawaban al-Qur‟an terhadap klaim eksklusif Yahudi dan Kristen sebagai pemilik

kemuliaan Tuhan.44

Selanjutnya dalam menanggapi doktrin trinitas yang tercantum dalam (QS.

4:171), (QS. 5:73), dan (QS. 5:116), al-Qa>simi> menyatakan bahwa ayat tersebut

merujuk pada sekte Collyridian.45

Sedangkan T{abat}aba‟I tidak sepakat dengan

pandangan yang menyebut Maryam sebagai uknum dalam trinitas yang disebut dalam

al-Qur‟an. Menurutnya al-Qur‟an mendaku bahwa orang Kristen menjadikan Maryam

sebagai tuhan, bukan mempercayainya sebagai tuhan. Hal ini ia perkuat dengan

beberapa sumber yang ditemukannya bahwa orang Kristen memang menyembah

Maryam dan penyembahan tersebut masih bisa dilihat hingga saat ini.46

Hamka juga

menegaskan bahwa Gereja Armenia dan Coptik sebagai contoh dari orang Kristen yang

menyembah Maryam. Ia mengatakan bahwa disamping percaya pada Trinitas, Gereja

Timur dan Barat, terutama Gereja Ortodoks, katolik Yunani, dan Katolik Romawi, telah

mengagungkan Maryam hingga mencapai status Tuhan, yang mereka jadikan objek doa,

40

Ibid. 41

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 8, h. 3120. 42

Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 157. 43

Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 6, h. 175. 44

Lihat M. H{usain T{aba>t}aba‟i>, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (Beirut: Muassasa al-

A‟la>mi> li al-Mat}bu>‟a>t, 1980), jil. 6, h. 285. 45

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 6, h. 2098. 46

M. H{usain T{abat}aba‟i>, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, jil. 7, h. 243.

Page 11: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

545

permintaan rahmat dan penyembuhan, serta persembahan beragam jenis

penyembuhan.47

Abul Kalam Azad, meskipun ia seorang Muslim reformis yang paling inklusif,

tampaknya memahami Trinitas sebagai bentuk ghuluw (berlebihan) dalam agama.48

Al-Qa>simi> lebih moderat dalam bersikap terhadap permasalahan ini,

menurutnya bahwa orang yang percaya pada Trinitas dalam kesatuan dan

kemanunggalan wahyu telah menambahkan unsure baru ke dalam pondasi agama

mereka. Konsep Kristen tentang Tuhan berkembang dalam waktu yang sangat panjang.

Beberapa pihak bahkan berpandangan lebih ekstrim bahwa tuhan ada tiga, dan yang

lainnya memiliki pandangan moderat bahwa “Tuhan adalah satu subtansi dengan tiga

persona, yaitu persona Bapak, Anak dan Ruh Kudus. Semuanya satu dalam subtansinya.

Persona Bapak adalah hakikat, persona Anak adalah Firman, dan persona Ruh Kudus

adalah kehidupan.49

Namun hal ini tidak berarti bahwa ia menerima penggambaran di

atas sebagai karakterisasi keesaan Tuhan yang valid. Ia tetap yakin bahwa ada beberapa

orang Kristen yang hingga saat ini tetap berpaham Unitarian.50

d) Pembatasan dan Pergaulan antar agama.

Ada beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam tema ini, diantaranya

adalah kewajiban membayar jizyah bagi Ahli Kitab sebagai pengganti wajib militer

karena komunitas non Muslim tidak mungkin diharapkan turut berjihad bersama orang

Islam. Adapun ayat yang menjelaskan perkara jizyah, yaitu:

منىن ب يؤ

ذين ل

ىا ال

اتل

حق ق

يدينىن دين ال

ه ول

ورسىل

م الل يحزمىن ما حز

خز ول

يىم ال

بال

ول

الل

عن يد وهم صاغزون )جزية

ىا ال

ى يعط كتاب حت

ىا ال

وتذين أ

(92من ال

Perangilah orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian dan mereka yang

tidak mengharamlan apa yang telah diharamkan Allah dan rasul-Nya dan tidak

beragama dengan agama yang benar di antara orang yang diberikan Alkitab kepada

mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan

tunduk.

Pada saat membahas ayat ini, baik Rid}}a> maupun Azad memahami dan

menekankan bahwa semua peperangan yang pernah dijalani oleh Nabi beserta para

sahabatnya bersifat defensive, yaitu demi menegakkan keadilan dan menyebarkan kasih

saying. Dengan sifat defensive ini penerapan perang bisa dibatasi.51

Menurut Hamka, tujuan utama ayat ini bukanlah untuk memulai peperangan

dengan Ahli Kitab dan hingga saat ini tidak ada tujuan untuk memerangi mereka.

Karena Muhammad menerima kabar bahwa Bizantium sedang memobilisasi pasukan

dan bersiap menyerang Madinah. Maka Muhammad diperintahkan untuk siap berperang

dengan mereka, selanjutnya membentuk pasukan dan mengirimnya ke Tabuk, sebelah

utara kota Madinah.52

Ketika akan membahas kata jizyah, al-Qa>simi> membuka kemungkinan bahwa

jizyah adalah kosa kata yang telah mengalami Arabisasi (mu’arrab), yang awalnya

47

Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 9, h. 90. 48

Lihat Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 273.

49

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 5, h. 1767. 50

Ibid. h. 1766 51

M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 10, h. 332. Lihat juga Abul Kalam Azad,

Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 3, h. 22. 52

Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 10, h. 166.

Page 12: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

546

berasal dari kosa kata Persia, gizyat.53

Begitu juga dengan Rid}a> yang menyatakan

bahwa jizyah merupakan tradisi yang pernah dilaksanakan pada masa Kisra Anusyirwan

(531-579 M).54

Lebih jauh lagi Fahmi Huwaydi menyatakan bahwa jizyah itu diberlakukan bagi

ahl al-dhimmah, dimana konsep tersebut sudah tergantikan dengan konsep

kewarganegaraan pada masa kini.55

Sementara itu, Azad mengutarakan bahwa salah

satu tujuan jizyah adalah mempermudah solusi damai atas permusuhan. Oleh karena itu,

jizyah harus diambil dari semua orang non-Muslim, baik Ahli Kitab maupun orang

pagan.56

Mughniyah melihat bahwa (QS. 9:29) bertentangan dengan (QS. 2:256), untuk

itu harus dipahami bahwa perintah untuk memerangi Ahli Kitab merupakan perintah

khusus, karena adanya alasan-alasan khusus. Artinya Islam memperbolehkan berperang

melawan non-Muslim untuk alasan tertentu, dan tidak diperbolehkan bagi Islam di

mana pun dan kapan pun membunuh dengan alasan menyebarkan agama Islam.57

Selanjutnya persoalan bolehkan bersahabat dengan non-Muslim juga menjadi

bahan kajian selanjutnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam (QS. 5:51) dan (QS.

3:28)

ذين آمنىا لها ال ي

ه يا أ ئه

م ف

هم منك

ولياء بعض ومن يتىل

ولياء بعضهم أ

صاري أ يهىد والن

وا ال

خذ ت

ت

ين ) الىم الظ

ق يهدي ال

ل

(15منهم إن الل

ركمتقاةمنهمتت قهاأنإل شيء فيالل منفميسذلكيفعلومنمنينالمؤدونمنأولياءالكافرينالمؤمنهنيت خذل وإلىنفدهالل ويحذ (85)المصيرالل

Al-Qa>simi> memahami ayat ini sebagai muwa>la, sebuah istilah yang

bermakna persahabatan, yang menurutnya berarti hubungan kasih sayang yang sangat

personal sehingga seorang Muslim “membagi rahasianya kepada non-Muslim itu”.58

Lebih lanjut lagi, ia mencoba untuk merancang pola persahabatan dan tolong menolong

dengan non-Muslim bisa berimplikasi hokum, seperti; h}ara>m, muba>h dan wa>jib,

tergantung pada motif yang melatar belakanginya.

Rid}a> dan Hamka lebih cenderung memahami auliya>’ sebagai istilah yang

sarat makna politis. Menurut Rid}a> kebanyakan ayat al-Qur‟an yang di dalamnya

terdapat istilah ini bisa dimaknai sebagai penolong. Ia merujuk ke pendapat Abduh,

bahwa larangan menjadikan non-Muslim sebagai auliya>’ bersifat terbatas, dengan

melihat potongan ayat ( المؤمنيندونمن ), maka ia memaknainya dengan “janganlah orang

beriman menjadikan orang yang tidak berimansebagai auliya>’ dan penolong (ans}a>r)

dalam segala hal yang membuat kepentingan mereka berada di atas kepentingan orang

beriman”.59

Sedangkan Hamka lebih memahami istilah tersebut sebagai pemimpin,

sembari mengakui bahwa kata wali> mencakup makna yang luas, termasuk pemimpin,

wali, pengatur dan sebagainya.60

Kemudian mereka berdua juga mencantumkan sabab

al-nuzu>l ketika membahas ayat ini untuk lebih memperkuat argument dari pemilihan

53

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 8, h. 3106. 54

M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 10, h. 343-345. 55

Fahmi Huwaydi, Muwa>t}inu>n La> Dhimmiyyu>n, (Beirut: Da>r al-Shuru>q, 1985), h.

110-146. 56

Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 3, h. 87. 57

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. 1, h. 396. 58

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 4, h. 824. 59

M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 3, h. 278. 60

Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 3, h. 32.

Page 13: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

547

makna yang pas bagi istilah wali> tersebut. Rid}a> dan Hamka lebih memberikan

penekanan bahwa orang non-Muslim yang tidak boleh menjadi wali> bagi orang

beriman, adalah mereka yang menunjukkan adanya sikap permusuhan terhadap orang

beriman. Lebih lanjut Hamka mencoba untuk memperinci makna dari “orang Yahudi

dan Kristen itu sebagai auliya>’ satu sama lainnya”.

T{aba>t}aba>‟i> lebih cenderung mengartikannya sebagai “kedekatan yang

penuh kasih sayang”, sebab cinta bisa membuat pihak yang saling mencintai memberi

kuasa kepada yang lainnya dalam segala hal.61

Mughniyah pada saat menjelaskan ayat ini memaparkan prinsip umum

kesetaraan dan keadilan dalam Islam tanpa memandang perbedaan agama. Orang

Yahudi dan Kristen harus menikmati kebaikan dan keadilan selama mereka tidak

melakukan kejahatan terhadap orang, sekalipun mereka menolak kenabian Muhammad

dan kebenaran al-Qur‟an.62

Ayat lain yang disebutkan sebagai polemic dalam menghadang persahabatan

antara Muslim dan non-Muslim, adalah;

ئ هدي ول

هى ال

ل إن هدي الل

تهم ق

بع مل

تى ت صاري حت الن

يهىد ول

ى عنك ال زض

ن ت

هىاءهم ول

بعت أ ن ات

ذي جاء صير )بعد ال

ه

من ولي ول

ك من الل

م ما ل

عل

(591ك من ال

Orang Barat dengan menggunakan ayat ini, menyatakan bahwa agama Islam

intoleransi. Akan tetapi hal ini disanggah oleh para ilmuwan Islam, bahwa ayat ini harus

dipahami sebagai kritik terhadap dialog dengan Yahudi dan Kristen. Disamping itu ayat

ini juga untuk menjelaskan sikap orang Yahudi dan Kristen terhadap orang Islam;

penolakan mereka terhadap Islam, standar ganda mereka, belum lagi tipu daya,

kolonialisasi, penyebaran agama, peperangan, Bosnia, Palestina dan sebagainya.63

Al-T{abari> menyatakan bahwa konteks pewahyuan ayat ini, yaitu, bahwa

orang Yahudi dan Kristen mengajak Muhammad untuk mengikuti ajaran agama mereka,

dengan mendaku bahwa petunjuk yang sebenarnya telah dikhususkan bagi mereka.

Tuhan menurunkan ayat ini untuk mengajarkan Muhammad bagaimana menanggapi

klaim mereka.64

Mughniyah lebih memahami bahwa ayat ini berlaku bagi semua, bukan hanya

ditujukan kepada orang Yahudi dan Kristen saja. Oleh karenanya, kita tidak boleh

mencoba memuaskan mereka demi alasan sederhana, karena mereka hanya akan puas

jika seseorang menjadi Yahudi atau Kristen atau siapa saja.65

Abul Kalam Azad memandang bahwa sebenar apapun kebenaran yang kita

yakini, tidak akan memuaskan orang Yahudi dan Kristen, hingga kita ikut agama

mereka. Pada hakikatnya berbagai kelompok komunitas adalah ciptaan manusia, yang

hampir dipastikan akan menimbulkan sikap eksklusivisme di antara anggotanya. Hal ini

akan memadamkan cinta pada kebenaran dan pencarian realitas.66

61

M. H{usain T{aba>t}aba‟i>, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, jil. 3, h. 151. 62

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. 3, h. 72-73. 63

Tariq Ramadan, Western Muslim ang the Future of Islam, (Oxford: Oxford University Press,

2004), h. 207. 64

Ibn al-Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l Ay al-Qur’a>n, (ed.) Mah}mu>d

Muh}ammad Sha>kir (Kairo: Da>r al-Ma‟a>rif, 1954) jil. 2, h. 562.

65

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. 1, h. 191. 66

Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 45.

Page 14: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

548

Dalam memahami ayat ini Hamka sepakat dengan mufassir reformis lainnya,

hanya saja ia menambahkan bahwa ayat ini member pesan dan panduan yang jelas

tentang bagaimana bersaing dalam memperluas pengaruh dan memperdalam otoritas

keagamaan.67

Rid}a> mempunyai sisi pandang yang agak berbeda dalam menjelaskan ayat ini,

bahwa ia diturunkan untuk menghibur Nabi dengan menjelaskan kebiasaan mereka

menolak kelompok lain. Disamping itu ada pesan lainnya, yaitu bagaimana

menyampaikan dan menyebarkan kebenaran tanpa mengkhawatirkan akibat buruknya.68

Mun‟im menyimpulkan bahwa tidak ada aroma dalam ayat ini yang mendukung

gagasan bahwa Islam melarang dialog dan kerjasama antar agama. Yang perlu

ditekankan di sini adalah interaksi antaragama yang tidak ada kaitannya dengan

persoalan mengubah agama “orang lain”, tapi interaksi yang mencakup persoalan

penghormatan terhadap pandangan orang lain dan dengan begitu melapangkan jalan

untuk kehidupan yang penuh damai.69

Selanjutnya ia juga berupaya menegaskan bahwa

tidak ada makna al-Qur‟an yang pasti, artinya al-Qur‟an sebenarnya bukanlah satu

makna tertentu, tapi sebuah proses dinamika makna, dalam aliran yang berwarna-warni

dan tidak pernah usai.70

Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa berbagai persoalan teologis merupakan tema

yang paling sulit dalam hubungan antara Muslim dan Kristen, dan sering dipandang

sebagai rintangan yang memisahkan kedua komunitas itu. Namun, rintangan semacam

itu tidak boleh menahan gerak laju dalam membangun pendekatan yang lebih

ekumenikal terhadap pruralitas agama.71

Analisa Terhadap Tafsir Ayat-Ayat Polemik

Buku ini layak mendapatkan apresiasi yang proporsional dari berbagai kalangan

atas upaya saudara Mun‟im Sirry untuk menelusuri berbagai macam penafsiran ulama

terhadap teks-teks al-Qur‟an, baik ulama klasik maupun kontemporer, yang mana dalam

hal ini Mun‟im mengelompokkan mereka ke dalam ulama atau mufassir reformis. Akan

tetapi ia lebih menfokuskan pada penafsiran ulama reformis guna mendapatkan wacana

baru dan mencerahkan berkaitan hubungan antaragama, agar tercipta kehidupan yang

damai dan harmonis. Namun, ia juga tidak serta merta mengabaikan ulasan penafsiran

ulama klasik, karena ada kontekstual pewahyuan (sabab al-nuzu>l) yang perlu

dipaparkan dalam rangka mengurai berbagai macam kerumitan yang dihadapi oleh para

penafsir.

Secara metodologi, bisa dikatakan bahwa Mun‟im Sirry mengkombinasikan

metode maud}u>’i> (metode tematik) dan metode muqa>rin

(komparasi/perbandingan). Ini bisa dilihat bahwa Mun‟im tidak memaparkan penafsiran

semua ayat yang ada dalam al-Qur‟an, akan tetapi ia hanya memaparkan penafsiran

sebagian ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan tema-tema yang telah ditentukan

sebelumnya. Disamping itu ia juga memaparkan beberapa penafsiran ulama tafsir yang

telah ditentukan (yang dimasukkan sebagai mufassir reformis) terhadap ayat-ayat

pilihan yang menjadi tema kajiannya, dan memperbandingkan antara satu penafsiran

67

Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 1, h. 265. 68

M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 1, h. 446. 69

Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama

Lain, h. 400. 70

Ibid. h. 401. 71

Ibid. h. 415.

Page 15: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

549

ulama yang dengan yang lainnya, dengan tujuan mendapatkan konsep yang utuh atas

kandungan ayat tersebut.

Dari sisi corak penafsirannya, maka pemakalah menilai bahwa pendekatan dan

corak yang digunakan oleh Mun‟im adalah corak humanistik.72

Hal ini bisa dilihat dari

tujuan penyusunan buku tersebut, yaitu menemukan titik temu atau konsep universal

berkaitan dengan hubungan antaragama, sehingga kehidupan yang damai dan harmonis

antar pemeluk agama bisa cepat diterapkan dalam kehidupan nyata. Sehingga sikap

saling memahami dan menghormati pandangan atau keyakinan orang lain.

Kesimpulan

Kajian yang telah dilakukan oleh Mun‟im belum selesai dan perlu untuk

ditidaklanjuti melalui kajian akademis. Sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin,

bisa dicitrakan melalui berbagai macam kajian yang mendukung kearah tersebut.

Daftar Rujukan

Algar, Hamid, Jesus in the Qur’an: His Reality Expounded in the Qur’an, (New

York: Islamic Publication International, 1999)

Ayoub, Mahmoud M., The Quran and Its Interpreters, (Albany: State University

of New York Press, 1992)

Azad, Abul Kalam, Tarjuma>n al-Qur’a>n, Dr. Syed Abdul Latif (pent.) (New

Delhi: Asia Publishing House, 1967)

Fama>wi> (Al), „Abd al-H{ay, Al-Bida>yah fi> Al-Tafsi>r Al-

Maud}u>’i>, (Kairo: Al-H{ad}a>rah Al-„Arabiyah, 1977).

Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pembimbing Massa, 1967)

Huwaydi, Fahmi, Muwa>t}inu>n La> Dhimmiyyu>n, (Beirut: Da>r al-

Shuru>q, 1985)

Khalidi, Tarif, The Muslim Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature,

(Cambridge,MA: Harvard University Press, 2001)

Kuitse, Roelf S., Christology in the Quran, Missiology: An International Review

20/3 (1992)

Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Tafsi>r al-Ka>shif, (Beirut: Da>r al-„Ilm li

al-Mala>yi>n, 1968)

Qa>simi> (al), Jama>l al-Di>n, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, (Kairo: I<sa> al-

Ba>bi> al-H{alabi>, 1957)

Raisanen, Heikki, The Potrait of Jesus in the Quran: Reflection of a Biblical

Scholar, “The Muslim World 70 (1980)

Rid}a>, M. Rashi>d, Tafsi>r al-Mana>r, (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947)

Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pruralism,(Oxford: Oxford

University Press, 2001)

Sharabi, Hisham, Arab Intellectuals and The West: The Formative Years, 1875-

1914 (Baltimore: John Hopkin University Press, 1970)

Sirry, Mun‟im, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an

Terhadap Agama Lain, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013)

72

Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya

ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.

Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh

etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi

kelompok-kelompok etnis tertentu. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Humanisme

Page 16: POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...

550

Suyu>t}i> (al), Jala>l al-Di>n, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r

al-Fikr, t.th.)

T{aba>t}aba‟i>, M. H{usain, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (Beirut:

Muassasa al-A‟la>mi> li al-Mat}bu>‟a>t, 1980)