POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...
Transcript of POLEMIK KITAB SUCI (Tafsir Reformasi Atas Kritik al- Dony ...
535
POLEMIK KITAB SUCI
(Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama Lain)
Dony Burhan Noor Hasan, Lc., MA.
Dosen Ulumul Qur‟an UTM
Abstrak: Salah satu hasil karya tafsir putra Indonesia yang mencoba untuk mencarikan
solusi bagi beberapa ayat yang banyak dipahami mengandung polemic dan menghambat
pergaulan yang proporsional antar agama. Buku tafsir ini berjudul Polemik Kitab Suci:
Tafsir Reformis atas Kritik al-Qur‟an terhadap Agama Lain, disusun oleh Mun‟im Sirry.
Polemic sebagian ayat-ayat al-Qur‟an ini nampak jelas dalam pandangan Mun‟im pada
saat al-Qur‟an berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Kristen. Kemudian menurutnya,
para sarjana dibuat bingung oleh sifat mendua dari ayat-ayat polemic dan non-polemic al-
Qur‟an, yang memunculkan diskusi panjang dan ilmiah tentang sikap al-Qur‟an terhadap
komunitas agama lain. Kajian yang telah dilakukan oleh Mun‟im belum selesai dan perlu
untuk ditidaklanjuti melalui kajian akademis. Sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin,
bisa dicitrakan melalui berbagai macam kajian yang mendukung kearah tersebut.
Kata Kunci: Polemik, Kitab Suci
Pendahuluan
Perhatian umat Islam dalam memahami kandungan kitab Sucinya, al-Qur‟an
sangat besar. Hal ini boleh jadi dikarenakan oleh, bahwa upaya penggalian makna yang
terkandung dalam al-Qur‟an itu dianggap sebagai upaya yang mulia dalam rangka
menampakkan jati diri dan kehormatan al-Qur‟an. Kemuliaan tersebut bisa dilihat dari
tiga aspek, yaitu; aspek obyek bahasan (tema), aspek tujuan dan aspek urgensinya.
Dari aspek obyek bahasan atau temanya, tafsir al-Qur‟an merupakan disiplin
ilmu yang sangat mulia, karena pokok-pokok bahasan yang menjadi kajiannya adalah
firman-firman Allah, dimana ia merupakan sumber hikmah dan kebajikan, di dalamnya
juga terdapat informasi-informasi generasi terdahulu untuk diambil berbagai macam
pelajaran (‘ibrah) oleh umat setelahnya dalam menapaki terjalnya jalan kehidupan.
Adapun dikatakan mulia dari aspek tujuannya, karena tujuan dari penafsiran al-Qur‟an
adalah upaya untuk berpegang teguh pada ikatan yang kokoh (al-‘urwah al-wuthqa>)
dan sebagai petunjuk dalam menggapai kebahagian dunia dan akhirat. Sedangkan
kemuliaan urgensinya, dapat dipahami bahwa setiap kesempurnaan keagamaan ataupun
keduniaan ini sangat bergantung pada penjelasan-penjelasan ilmu syariat, dimana hal ini
bisa didapatkan dengan memahami apa yang terkandung dalam al-Qur‟an.1
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur‟an sejak dulu sampai sekarang, maka
akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur‟an ini dilakukan dalam
empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : tahli>li> (analistis),
ijma>li> (global), muqa>ran (perbandingan), dan maud}u>’i> (tematik).2
Metode Ijma>li> ialah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur‟an dengan cara mengemukakan makna global.3 Pengertian tersebut menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur‟an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah
1 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.) h.
175 2 „Abd al-H{ay Al-Fama>wi>, Al-Bida>yah fi> Al-Tafsi>r Al-Maud}u>’i>, (Kairo: Al-
H{ad}a>rah Al-„Arabiyah, 1977). hlm. 23 3 Ibid. h. 43-44
536
dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di
dalam mus}}h}af.
Metode Tahli>li> (Analitik) ialah cara dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang
ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufassir.
Metode muqa>rin suatu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan
cara mengambil sejumlah ayat al-Qur‟an, kemudian mengemukakan penafsiran para
ulama terhadap ayat-ayat itu, baik dari kelompok ulama klasik maupun kontemporer
yang memiliki metode dan kecenderungan yang berbeda-beda dalam menafsirkan ayat
al-Qur‟an.
Metode maud}u>’i> adalah metode penafsiran ayat al-Qur‟an yang membahas
ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat
yang berkaitan dengan tema yang telah ditentukan dihimpun. Kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul,
kosa kata dan sebagainya.
Dalam makalah ini, akan dibahas salah satu hasil karya tafsir putra Indonesia
yang mencoba untuk mencarikan solusi bagi beberapa ayat yang banyak dipahami
mengandung polemic dan menghambat pergaulan yang proporsional antar agama. Buku
tafsir ini berjudul Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik al-Qur‟an terhadap
Agama Lain, disusun oleh Mun‟im Sirry.
SEKILAS BIOGRAFI MUN’IM SIRRY
Mun‟im Sirry, seorang akademisi berasal dari daerah paling timur pulau Madura
(Sumenep). Pendidikan dasarnya diselesaikan di desa kelahirannya, Bata‟al – Sumenep.
Kemudian melanjutkan pendidikannya sebagai santri di Pondok Pesantren al-Amien
Prenduan Sumenep Madura. Setelah mengasah kemampuannya dalam bidang bahasa
Arab dan Inggris di lembaga pendidikan yang memiliki motto; beriman sempurna,
berilmu luas dan beramal sejati itu, boleh dibilang bahwa kemampuannya atas dua
bahasa itu masih dalam level intermideate (dasar). Dengan bekal penguasaan atas dua
bahasa internasional ini, beliau melanjutkan pendidikan tingginya di International
Islamic University (IIU), Islamabad, Pakistan. Beliau menyelesaikan pendidikan S1
(sarjana) dan S2 (magister) pada universitas tersebut dalam bidang ilmu hukum Islam.
Setelah itu beliau kembali ke Indonesia, dan beberapa tahun kemudian
mengambil program magister (S2) di University of California Los Angeles (UCLA) dan
meraih gelar Master dalam bidang studi Islam. Di Negara yang sama, beliau mengambil
program doctoral, dan menyelesaikan disertasinya serta meraih gelar Ph.D. di
University of Chicago pada tahun 2012. Judul disertasi yang beliau ajukan guna meraih
gelar Ph.D. adalah Reformist Muslim Approaches to the Polemics of The Qur’an againts
Other Religion, dimana setahun kemudian disertasi ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh R. Cecep Lukman Hakim dengan judul “Polemik Kitab Suci (Tafsir
Reformis Atas Kritik al-Qur‟an Terhadap Agama Lain)”.
Kini beliau sebagai Asisten Profesor pada Theology Department dan Kroc
Institute, University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat.
Sejumlah artikel ilmiahnya telah terpampang di beberapa jurnal internasional,
antara lain; Arabica, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Die Welt
537
des Islams, Islam and Christian-Muslim Relations, Journal of Semitic Studies, Journal
of Southeast Asian Studies, Studia Islamica, dan The Muslim World.4
TAFSIR REFORMIS ATAS AYAT-AYAT POLEMIK
Buku yang menjadi obyek kajian mata kuliah Tafsir Keindonesiaan sebetulnya
bukan tafsiran original saudara Mun‟im Sirry dalam menjelaskan dan memberikan
pemahaman terhadap kandungan yang dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Karena beliau hanya
mengumpulkan dan menyajikan penafsiran-penafsiran para pakar tafsir yang beliau
kelompokkan dalam golongan ulama Muslim reformis. Penulis memberanikan diri
untuk menyebut hasil penelitiannya ini sebagai kitab tafsir, sebab di dalam buku ini
berisi tentang berbagai macam penafsiran atas ayat-ayat yang telah dipilih oleh saudara
Mun‟im Sirry guna mendapatkan penafsiran yang actual atas ayat-ayat yang beliau
anggap masih memunculkan polemic, terutama dalam bingkai dialog dan interaksi lintas
agama yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan damai dan harmonis antara
pemeluk agama-agama yang berbeda.
Polemic sebagian ayat-ayat al-Qur‟an ini nampak jelas dalam pandangan
Mun‟im pada saat al-Qur‟an berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Kristen.
Kemudian menurutnya, para sarjana dibuat bingung oleh sifat mendua dari ayat-ayat
polemic dan non-polemic al-Qur‟an, yang memunculkan diskusi panjang dan ilmiah
tentang sikap al-Qur‟an terhadap komunitas agama lain. Dimana dalam lingkungan
kesarjanaan Muslim sendiri, tidak ada kata sepakat dan final tentang pandangan etis al-
Qur‟an mengenai bagaimana orang Islam seharusnya memperlakukan pemeluk agama
lain.5 Hal ini juga ia temukan pada saat melakukan perbandingan terhadap ayat-ayat
yang diturunkan sebelum Hijrah (ayat-ayat Makkiyah) dan ayat-ayat yang diturunkan
setelah Nabi dan para sahabat Hijrah ke kota Madinah (ayat-ayat Madaniyah). Ada
perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh al-Qur‟an dalam memandang dan bersikap
kepada kaum Yahudi dan Kristen dalam bingkai ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah.
Dimana ayat-ayat Makkiyah lebih santun dan lemah lembut dalam bersikap terhadap
komunitas di luar Islam tersebut, sementara ayat-ayat Madaniyah lebih keras dan tegas,
bahkan kritik-kritik yang dilontarkan al-Qur‟an terhadap keyakinan dan praktek
keagamaan Yahudi dan Kristen cukup pedas. Disamping itu masih minimnya kajian dan
penelitian ilmiah terhadap tema ini, menjadi salah satu motivasi Mun‟im, dimana
sebelumnya sudah aktif dalam kegiatan dialog lintas agama, untuk melakukan penelitian
ini dengan harapan ia bisa mendapatkan formulasi penafsiran yang lebih terbuka dan
fleksibel, sehingga upaya untuk selalu mendialogkan dan hidup saling berdampingan
dalam kondisi damai antar agama-agama yang berbeda dapat terwujud. Lebih-lebih
dengan adanya penafsiran yang mendukung ke arah itu, akan mempercepat upaya-upaya
tersebut.
Penggunaan kata “reformis” daripada istilah “modernis” dalam buku ini tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran Hisham Sharabi, dimana dia menyatakan
bahwa ada dua alasan mengapa reformisme Islam tidak boleh dikacaukan dengan
modernism Islam. Pertama, perhatian utama reformisme adalah untuk memelihara Islam
dengan cara meremajakan unsur-unsur dinamis tradisi Islam, sementara modernism
membangun asumsi utamanya bukan dari tradisi Islam, tapi dari pemikiran Barat.
4 Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama
Lain, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013) h. 453. 5 Ibid. h. xxiii.
538
Kedua, sekalipun jika reformisme bisa disebut modernisme Islam, “reformisme hanya
melakukan modernisasi dalam khusus dan terbatas.6
Adapun ulama-ulama tafsir reformis yang akan beliau jadikan rujukan dalam
kajian ini adalah:
1) Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, reformis dari Mesir penulis
“Tafsi>r al-Mana>r”.
2) Jamal al-Din al-Qasimi, ulama tafsir dari Syiria yang sering dijadikan
rujukan oleh kaum salafisme, penyusun kitab “Mah}a>sin al-Ta’wi>l‟.
3) Abul Kalam Azad, ulama reformis dari India, penulis kitab “Tarjuma>n
al-Qur’a>n‟.
4) Hamka, mufassir Indonesia penyusun kitab tafsir “al-Azhar”.
5) Muhammad Jawad Mughniyah, salah seorang ulama Syiah dari Lebanon,
penulis kitab “al-Tafsi>r al-Ka>shif.”
6) Muh{ammad H{{usain T{abat}aba‟i>, ulama tafsir Syiah dari Iran yang
mengarang kitab “al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n”.
Sementara itu, tema-tema yang dipandang memuat ayat-ayat polemic terhadap
interaksi yang kondusif lintas-agama, dimana hal tersebut menjadi pokok bahasan
dalam kajian ini, adalah;
a) Teologi keselamatan Eksklusif.
Sebelum membahas tentang teologi keselamatan eksklusif, penulis (Mun‟im
Sirry) memberikan sebuah pengantar yang cukup cerdas, yaitu dengan mengajukan
sebuah pertanyaan yang cukup bagus guna memahami persoalan selanjutnya secara
proporsional. Apakah al-Qur‟an itu menggantikan posisi Wahyu terdahulu dengan
mengacu pada ayat al-Qur‟an surat Ali „Imra>n ayat 85 yang berbunyi:
سلمغيريبتغومن (58)الخاسرينمنالخرةفيوههمنهيقبلفمنديناالBarang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
daripadanya, dan di akhirat termasuk orang yang merugi.
Merujuk ayat di atas, Mahmoud Ayoub mencatat bahwa para mufassir “telah
menggunakan ayat tersebut untuk memperkuat argument finalitas dan penggantian
Islam terhadap semua agama lain.7 Selanjutnya Sachedina melihat adanya kontradiksi
antara beberapa ayat al-Qur‟an yang mengakui keotentikan agama sebelumnya dengan
ayat lain yang menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya sumber keselamatan. Ia
cenderung berargumen bahwa ketika al-Qur‟an dibaca secara menyeluruh, ia
menyuguhkan materi berlimpah yang dapat digunakan untuk melahirkan teologi agama
yang pruralistik dan inklusif.8
Namun menurut Mun‟im, dikotomi antara klaim penganut naskh dan penentang
naskh adalah terlalu menyederhanakan dan kaku dalam menilai dengan jujur dinamika
rumit persinggungan awal antara Islam dan agama lainnya. Ketika diskusi ini dikemas
sedemikian rupa, tampak bahwa hanya ada dua pilihan yang tersedia; meyakini klaim
eksklusif Islam, atau mempercayai agama Yahudi dan Kristen sebagai agama yang
sama-sama diterima, dengan menanggalkan teologi keselamatan yang eksklusif. Dengan
6 Hisham Sharabi, Arab Intellectuals and The West: The Formative Years, 1875-1914
(Baltimore: John Hopkin University Press, 1970) h. 7. 7 Mahmoud M. Ayoub, The Quran and Its Interpreters, (Albany: State University of New York
Press, 1992) h. 241. 8 Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pruralism,(Oxford: Oxford University Press,
2001) h. 26.
539
membaca al-Qur‟an secara sekilas sekalipun, kita bisa dengan mudah menolak
pernyataan ekstrim paham naskh dan non-naskh. Meskipun banyak menyinggung
penyimpangan orang Yahudi dan Kristen dari kitab mereka (QS. 5:13), al-Qur‟an tidak
mendaku telah mengganti kitab mereka sebagaimana yang didaku oleh Perjanjian Baru
atas Perjanjian Lama. Al-Qur‟an justru mendaku memperbaiki kitab suci mereka dan
menyediakan sarana untuk mengembalikan penganut monoteis (bukan politeis) yang
tersesat kembali ke jalan Tuhan.9 Disamping itu al- Qur‟an sering menyebut petunjuk
(huda> atau hida>yah) sebagai konsep paling inklusif yang digunakan untuk
menyatakan kehendak Tuhan bagi keselamatan manusia.10
Selanjutnya beliau membahas makna dari term Isla>m yang ada dalam al-
Qur‟an untuk memahami dan menegaskan apakah Islam itu eksklusif atau inklusif. Ada
tiga ayat yang menyebut isla>m dalam konteks al-di>n, yang secara umum diartikan
agama, yaitu (QS. 3:19); (QS. 3:85), dan (QS. 5:3). Ayat-ayat tersebut biasanya
dipergunakan untuk mendaku superiotas Islam atas agama lainnya dan bahwa teologi
serta praktik ritual Islam adalah jalan eksklusif menuju keselamatan.
Rid}a> mengartikan al-Isla>m sebagai di>n al-h}aq cocok dengan semua
makna kebahasaan dari kata tersebut, sebagaimana yang diterangkan dalam (QS. 4:125),
dimana dalam ayat ini sering menggambarkan Ibrahim sebagai muslim, ia
menyimpulkan bahwa “penyebutan al-Qur‟an secara khusus tentang “al-di>n di sisi
Allah adalah al-Isla>m” meliputi semua millah (ajaran) yang dibawa oleh para Nabi,
karena semangat universal mereka yang telah diakui bersama, meskipun terdapat
perbedaan pada beberapa kewajiban dan bentuk perilaku yang dibebankan kepada
mereka.11
Ketika menafsirkan (QS. 2:62), ia menolak dengan tegas gagasan bahwa ayat
ini secara implicit mengharuskan keimanan kepada Muhammad saw. menurutnya,
“….tidak ada masalah jika tidak menegaskan keimanan kepada Muhammad karena ayat
ini berbicara tentang perlakuan Tuhan terhadap setiap masyarakat dan umat yang
percaya kepada seorang Nabi dan wahyu yang dibawanya. Keselamatan mereka
(fauzuha>) terjamin, baik mereka beragama Islam, Yahudi, Kristen, atau Sabiin. Tuhan
menegaskan bahwa keselamatan tidak tergantung pada afiliasi keagamaan seseorang
(al-jinsiyyah al-di>niyah), tapi pada keimanan sejati yang menjadi kendali diri dan
perbuatannya.12
Abul Kalam Azad berpendapat bahwa gagasan mendasar tentang agama sebagai
sebuah system telah dinafikan dalam al-Qur‟an. Selanjutnya ia berargumen bahwa
ketika sebuah agama diubah menjadi sebuah “system” (niz}a>m), ia akan mengklaim
hak eksklusif atas keselamatan bagi penganutnya. Eksklusifisme terus mengemuka
dengan menolak semua pihak kecuali mereka yang berada dalam kelompoknya.
Sebenarnya kebencian terhadap agama lain telah menggantikan pengabdian kepada
Tuhan dan amal saleh.13
Pendekatan Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> terhadap teks polemic al-Qur‟an
melukiskan beberapa kesulitan bukan saja dengan unsure polemic al-Qur‟an tapi juga
dengan supremasitafsir al-Qur‟an klasik. Dalam ayat (QS. 3:19 dan 85) al-Qa>simi>
9 Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama
Lain, h. 72-73. 10
Ibid. h. 83 11
M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947) jil. 3, h. 257. 12
Ibid. jil. 1, h. 336. 13
Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, Dr. Syed Abdul Latif (pent.) (New Delhi: Asia
Publishing House, 1967), jil. 1, h. 177.
540
tampaknya memahami al-Isla>m dalam makna generiknya, namun ia juga
membandingkannya dengan agama Ahl al-Kitab. Dimana beliau menyebutkan “siapa
mencari agama selain Islam” dalam arti “selain dari kesatuan (tauhi>d) dan ketundukan
(inqiya>d) kepada perintah Tuhan. Akan tetapi, ia kemudian menyatakan, “barangsiapa
mengikuti agama selain Islam dan merasa nyaman dengannya, maka ia berada dalam
kondisi terburuk”.14
Muhammad Jawad Mughniyah pada saat menafsirkan ( ينإن سلمالل عندالد ال )
memulai penjelasannya dengan melontarkan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh
alawan bicaranya (interlocutor): Tidakkah tampilah zahir ayat ini melukiskan bahwa
semua agama para Nabi, termasuk Ibrahim, tidak lain adalah agama Muhammad, karena
yang dibawa para Nabi adalah benar dan valid sepanjang ia diakui oleh Muhammad dan
al-Qur‟an? Mughniyah menjawab: “Kenyataannya, ayat ini justru memperlihatkan
sebaliknya. Secara zahir, ayat ini menyebutkan dengan jelas bahwa inti kandungan (fi>
jauharihi) agama yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya memuat ajaran Islam yang
didakwahkan Muhammad.15
Menurut Hamka, agama yang dibawa oleh para Nabi, sejak Adam hingga
Muhammad, termasuk Musa dan Isa, tidak lain adalah agama Islam. Mereka menyeru
manusia menuju Islam, yang berarti kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan, dan
beriman semata kepada-Nya.16
Selanjutnya, beliau berpendapat bahwa perbedaan cara
berdoa dan beribadah dapat diterima di kalangan masyarakat yang berbeda agama,
karena syariat bisa berbeda karena perbedaan waktu. Namun, manusia tidak boleh diam
tanpa mencari pengetahuan yang lebih dalam. Mereka harus terus belajar hingga
menemukan kebenaran, yaitu kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan.17
Setelah memaparkan berbagai penafsiran ulama yang dikategorikan reformis,
Mun‟im menyimpulkan bahwa penafsiran para mufassir reformis berkecenderungan
untuk mengembangkan pemahaman baru dan penafsiran ulang terhadap Isla>m
Quranik yang cocok dengan kebutuhan masyarakat pruralis di dunia modern. Kemudian
ia mengutip argument yang dipaparkan oleh Mohammed Talbi, seorang sarjan Tunisia,
bahwa adalah mungkin bagi Islam untuk menguraikan teologi yang memungkinkan
lahirnya tingkat pruralitas tertentu tentang jalan menuju keselamatan.18
b) Pemalsuan (tah}ri>f) Kitab Suci Yahudi dan Kristen.
Pada bagian ini, Mun‟im mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisis
pemahaman kalangan Muslim reformis terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang kerap
digunakan oleh kalangan Muslim polemis untuk mendukung tuduhan tentang
pemalsuan kitab suci terdahulu. Selanjutnya ia akan mendiskusikan tiga tema
utamayang berkaitan dengan pemalsuan kitab suci terdahulu, yaitu; pengubahan
(tah}}ri>f), penyembunyian (ikhfa>’, kitma>n), dan pemutarbalikkan (layy). Sebagai
antisipasi, ia berargumentasi bahwa diskusi Muslim modern tentang pemalsuan kitab
suci lebih bernuansa daripada apa yang secara umum diduga oleh para sarjana, dan
hubungan antara ketiga tema utama tadi tidak segaris seperti apa yang kadang diduga.
14
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, (Kairo: I<sa> al-Ba>bi> al-H{alabi>,
1957), jil. 4, h. 811 dan 880. 15
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, (Beirut: Da>r al-„Ilm li al-Mala>yi>n,
1968), jil. 2, h. 26. 16
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pembimbing Massa, 1967), jil. 1, h. 135. 17
Ibid. jil. 1, h. 186. 18
Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama
Lain, h. 159-161.
541
Tampaknya pengetahuan kalangan Muslim modern tentang kitab suci agama lain masih
sangat minim, dan kritik historis Barat tentang Alkitab mungkin punya pengaruh
terhadap situasi ini.19
Jamal al-Di>n al-Qa>simi> menyatahkan bahwa arti tahri>f yang terjadi pada
orang Yahudi dan Kristen ketika mereka menafsirkan kitab suci masing-masing,
sementara teksnya sama sekali tidak diragukan kebenarannya. Dalam hal ini beliau
mengutip penafsiran yang disajikan oleh Ibn Kathi>r dan al-T{abari>, bahwa arti dari
kata “yuh}arrifu>na” adalah “mereka menafsirkannya (kalam Ilahi) berbeda dengan
makna yang sebenarnya” atau “mereka menukar makna dan penafsirannya, dan
mengubahnya.”20
Seiring dengan hal di atas, Abul Kalam Azad juga menyatakan bahwa
tah}ri>f terjadi dalam wilayah penafsiran, bukan dalam teksnya. Pemalsuan yang
dikaitkan dengan orang Yahudi bukan menyangkut ketidakpercayaan kitab suci mereka,
tapi “kelemahan utama mereka terletak pada kenyataan bahwa mereka tidak lagi
memiliki pengetahuan yang benar tentang kitab suci mereka dan tidak lagi bertindak
dengan benar sesuai dengan tuntunan kitab suci tersebut”.21
Beda lagi dengan Rid}a>, dimana ia menafsirkan ( مهاضعهعنكمماليحرفهن ) sebagai
petunjuk pada penyimpangan tekstual maupun penyimpangan interpretasi. Dalam hal ini
ia merujuk pada pendapat Abduh yang mengatakan bahwa tah}ri>f terbagi ke dalam
dua jenis; pertama adalah menafsirkan sebuah pernyataan tertentu dengan
memahaminya secara berbeda dari makna yang dikehendaki. Kedua, tah}ri>f diartikan
sebagai gabungan kalimat atau kelompok kata dalam kitab suci yang dipindahkan dari
tempatnya ke tempat lain. Jenis pembauran semacam ini bisa dilihat dalam kitab suci
orang Yahudi; mereka membaurkan antara kitab yang mereka terima dari Musa dengan
apa yang mereka tulis setelahnya pada masa-masa berikutnya.22
Hamka dalam menafsirkan ayat ini, kayaknya banyak dipengaruhi oleh al-
Mana>r. Dalam hal ini beliau menekankan sebuah poin, bahwa teks Taurat Musa yang
asli telah hilang. Hal ini telah diakui oleh para sarjana Yahudi dan Kristen. Kemudian ia
menambahkan bahwa kita tidak menolak kebenaran seluruh isi Taurat yang sekarang.
Tentu saja, ia mengandung kebenaran, termasuk ajaran monoteisme Musa. Tapi ada
bagian yang tidak bisa dipercaya, karena ia telah mengalami penambahan dan
pengurangan.23
Adapun penyembunyian kebenaran (kitma>n) yang dilakukan oleh Ahli Kitab,
dipahami oleh sebagian besar mufassir bahwa obyek penyembunyian itu adalah
informasi dan gambaran tentang Muhammad.24
Hamka mengutip sejumlah ayat dalam
Alkitab yang menurutnya merujuk pada deskripsi tentang Nabi Muhammad.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa “mereka berupaya mencegah ayat ini jatuh ke tangan
orang Islam, tapi pada masa sekarang ini berkat kemajuan teknologi cetak mereka tdak
bisa lagi menyembunyikan ayat tersebut.25
Sedangkan Azad tidak menyebutkan obyek
dari ayat-ayat penyembunyian sebagai gambaran kedatangan Muhammad. Ia justru
19
Ibid. h. 167. 20
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 1, h. 166. 21
Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 24. 22
M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 5, h. 140. 23
Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 5, h. 153. 24
Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama
Lain, h. 201. 25
Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 2, h. 47.
542
lebih memahami istilah “al-h}aqq” sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi,
dengan menyatakan: “secara sadar memungkiri kebenaran adalah dosa besar”.26
Al-Qa>simi> menawarkan pendekatan yang lebih bernuansa tentang obyek dari
ayat-ayat penyembunyian ini. Menurutnya, Ahli Kitab menyembunyikan beberapa hal
termasuk kabar kedatangan Muhammad, hokum rajam dalam Taurat, dan kenabian
Isa.27
Mughniyah cenderung menyamaratakan diskursus al-Qur‟an tentang
penyembunyian kebenaran. Ia menegaskan siapa pun yang memiliki pengetahuan
tentang aspek-aspek agama namun menyembunyikannya, maka laknat Allah akan
menimpanya. Kemudian ia berkata: “Laknat akibat penyembunyian itu tidak secara
khusus berlaku bagi Ahli Kitab, tapi juga berlaku bagi siapa pun yang menyembunyikan
kebenaran”.28
Sedangkan ungkapan al-Qur‟an bahwa Ahli Kitab memutar balikkan
(yalwu>na) dan menulis dengan tangan mereka sendiri (yaktubu>na bi aidi>him), oleh
al-Qa>simi> dikaitkan dengan pemalsuan kitab suci dan penyembunyian ayat.29
Adapun
Hamka sewaktu akan memberikan penafsiran atas persoalan tersebut, ia menjelaskan
bahwa Talmud sebagai kumpulan tulisan kaum terpelajar Yahudi yang mereka daku
sebagai inspirasi dari Tuhan. Selebihnya ia lebih memilih melakukan kontekstualisasi
terhadap ayat tersebut dengan mengatakan, “ketika membaca ayat ini kita tidak boleh
hanya membayangkan apa yang menimpa orang-orang Yahudi pada masa Muhammad,
dan melupakan kelalaian kita sendiri. Karena kelalaian kita, kita terjajah selama 300
tahun oleh bangsa-bangsa lain”.30
Adapun Rid}a> memberikan alasan mengapa hal ini
terjadi pada Ahli Kitab, karena keyakinan mereka yang keliru (fasa>d i’tiqa>dihim)
dan kurangnya mereka dalam berpegang pada kitab suci (‘adam istimsa>kihim bi
kita>bihim). Hal ini boleh jadi juga dilakukan oleh beberapa orang Islam.31
Begitu juga
dengan Mughniyah yang tidak mengaitkan ayat ini (QS. 2:78) dengan Ahli Kitab sama
sekali. Ini mencakup semua orang yang tidak mengerti yang berpura-pura sebagai orang
yang berpengetahuan. Meskipun ayat ini adalah tentang orang Ahli Kitab, ia tentu saja
dapat dipahami secara umum,karena konteks tidak serta merta mengkhususkan teks.32
Dari pembahasan di atas, Mun‟im menyimpulkan bahwa titik persamaan
mufassir modern/reformis terletak pada upaya untuk mengkontekstualisasikan tuduhan
al-Qur‟an bahwa orang Yahudi dan Kristen telah memalsukan kitab suci mereka untuk
menjawab kebutuhan setempat pada masa mereka. Sedangkan yang menjadi inti
persoalan dari tuduhan orang Islam tentang pemalsuan kitab suci adalah perbedaan teori
tentang pewahyuan dan kanonisasi antara orang Islam di satu sisi, dan orang Yahudi dan
Kristen di sisi lain. Dimana al-Qur‟an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Muhammad kata per kata dan ditulis selama masa hidupnya. Sehingga ketika
Muhammad wafat, ia sudah terhimpun baik dalam ingatan orang-orang Islam maupun
dalam tulisan. Sedangkan Alkitab sebagaimana yang mereka pahami bukanlah sebuah
26
Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 54. 27
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 6, h. 1920. 28
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. , h. 247. 29
Lihat Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 4, h. 871. 30
Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 205. 31
M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 3, h. 344. 32
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. 1, h. 134.
543
kitab yang dicatat langsung oleh Tuhan dari surge, tapi merupakan inspirasi dari Tuhan
yang ditulis oleh manusia.33
c) Kritik al-Qur’an terhadap Anak Tuhan, Ketuhanan Yesus dan Trinitas.
Salah satu polemic yang cukup pelik untuk dijelaskan dalam kerangka hidup
damai berdampingan dan saling menghormati antara agama yang satu dengan agama
yang lainnya, khususnya Kristen dan Yahudi adalah konsep trinitas (Yesus anak Tuhan)
dan klaim agama Yahudi tentang “Uzair anak Tuhan”. Berbagai macam komentar yang
diutarakan oleh para sarjana Barat berkaitan dengan tuduhan al-Qur‟an tentang Isa anak
Tuhan, diantaranya;
Roelf S. Kuitse mengatakan bahwa penekanan terhadap ketuhanan Yesus
dalam kelompok Kristen tertentu pada masa Muhammad membuatnya tiba pada
kesimpulan bahwa orang Kristen menyekutukan Tuhan, dan bahwa kaum
Kristiani bukanlah penganut monoteisme yang benar dan murni.34
Tarif Khalidi mengemukakan alasan mengapa Isa dalam al-Qur‟an berbeda
dengan Yesus dalam Injil. Karena Isa ditampilkan dalam al-Qur‟an sebagai
“argument yang ditujukan kepada para pengikutnya yang lebih keras kepala,
dan dimaksudkan untuk meyakinkan orang-orang yang tulus dan
memperingatkan orang yang durhaka.35
Heikki Raisanen mengatakan bahwa penolakan al-Qur‟an terhadap Isa anak
Tuhan harus dimaknai “dalam kerangka monoteisme (Muhammad) yang ketat
dan melalui berbagai pengalamannya berhadapan dengan politeisme Arab.36
Yesus dalam al-Qur‟an disebut sebanyak 25 kali. 9 kali dengan nama Arabnya,‟
I<sa>, dan 16 kali di antaranya disebut bersamaan dalam kata “ibn Maryam”, boleh jadi
dimaksudkan untuk memperkuat gagasan bahwa ia tidak memiliki “status ketuhanan”.37
Ayat al-Qur‟an yang menegaskan tema bahasan ini adalah (QS. 9:30) dan (QS.
5:18). Dalam menafsirkan ayat ini Rid}a> merujuk pada tulisan Dr. George Edward
Post, dimana ia menggambarkan sosok Ezra (Uzair) dan konstribusinya yang sangat
penting dalam tradisi Yahudi, sehingga beberapa orang Yahudi menyebutnya sebagai
“anak Tuhan”. Menurutnya, orang Yahudi sangat berhutang kepada Ezra yang telah
memelihara agama mereka dan memperbaiki kitab suci mereka. Dimana Taurat dan
kitab-kitab lain pernah hilang atau terbakar, dan Ezra lah yang berhasil merestorasi
kembali tapi juga telah membuat beberapa perubahan.38
Selanjutnya Rid}a> tidak
memberikan penjelasan yang tegas, apakah disebabkan perannya yang vital sehingga
Ezra diberi gelar “ibn Alla>h” secara fisik atau hanya sekedar ungkapan penghargaan
khusus (ma’na> al-takri>m) kepadanya.39
33
Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama
Lain, h. 239-241. 34
Roelf S. Kuitse, Christology in the Quran, Missiology: An International Review 20/3 (1992),
h. 366. 35
Tarif Khalidi, The Muslim Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature, (Cambridge,MA:
Harvard University Press, 2001), h. 16. 36
Heikki Raisanen, The Potrait of Jesus in the Quran: Reflection of a Biblical Scholar, “The
Muslim World 70 (1980), h. 130. 37
Hamid Algar, Jesus in the Qur’an: His Reality Expounded in the Qur’an, (New York: Islamic
Publication International, 1999), h. 8-9. 38
M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 10, h. 382-383. 39
Ibid.
544
Rid}a> juga tidak mempertanyakan penggunaan “anak Tuhan” yang disematkan
kepada Isa, karena istilah itu telah lama dipahami secara kiasan dalam sejarah berbagai
agama. Apa yang menurutnya problematic adalah bahwa “orang Kristen telah keluar
dari aturan akal dan bahasa dengan menerapkan istilah itu secara harfiah kepada al-
Masi>h saja dan secara kiasan kepada yang lainnya.40
Sementara itu al-Qa>simi> mengatakan bahwa hanya orang-orang bodoh
diantara mereka yang mengatakan Uzair itu anak Tuhan, sementara yang lainnya
bersikap menghargainya dan memandangnya setingkat dengan Musa. Mereka selalu
menyebut namanya dan yakin bahwa Tuhan telah memberinya kepercayaan untuk
menghimpun Taurat yang tercecer dan memperbarui agama Musa, mengembalikannya
ke masa kesuciannya, dan memperbaiki perilaku dan tradisi yang menyimpang melalui
inspirasi Tuhan (bi ilha>m).41
Abul Kalam Azad tidak begitu mempersoalkan gagasan tentang “anak Tuhan”,
namun ia justru banyak berbicara tentang asumsi yang mendasari penolakan al-Qur‟an
terhadap ketuhanan Yesus. Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur‟an menolak ketuhanan
Yesus karena “keimanan kepada ketuhanan seorang manusia amat tercela dalam doktrin
tauhid.42
Pada saat menjelaskan (QS. 5:18), Hamka menafsirkannya dengan
mendiskusikan sabab al-nuzu>l dari ayat ini, dimana Nabi mengajak sekelompok orang
Yahudi untuk mengikutinya atau mereka akan menerima adzab yang pedih. Maka
mereka berkata kepada Muhammad: “Siapa dirimu, berani mengancam kami, hai
Muhammad! Demi Tuhan, kami adalah anak-anak Tuhan dan kesayangan-Nya!”43
Dengan demikian baik Hamka maupun Azad memahami konteks ayat tersebut sebagai
bentuk penolakan al-Qur‟an terhadap segala bentuk sikap eksklusif terkait dengan
keselamatan.
Sedangkan T{abat}aba‟i> dan Mughniyah juga menganggap hal di atas sebagai
jawaban al-Qur‟an terhadap klaim eksklusif Yahudi dan Kristen sebagai pemilik
kemuliaan Tuhan.44
Selanjutnya dalam menanggapi doktrin trinitas yang tercantum dalam (QS.
4:171), (QS. 5:73), dan (QS. 5:116), al-Qa>simi> menyatakan bahwa ayat tersebut
merujuk pada sekte Collyridian.45
Sedangkan T{abat}aba‟I tidak sepakat dengan
pandangan yang menyebut Maryam sebagai uknum dalam trinitas yang disebut dalam
al-Qur‟an. Menurutnya al-Qur‟an mendaku bahwa orang Kristen menjadikan Maryam
sebagai tuhan, bukan mempercayainya sebagai tuhan. Hal ini ia perkuat dengan
beberapa sumber yang ditemukannya bahwa orang Kristen memang menyembah
Maryam dan penyembahan tersebut masih bisa dilihat hingga saat ini.46
Hamka juga
menegaskan bahwa Gereja Armenia dan Coptik sebagai contoh dari orang Kristen yang
menyembah Maryam. Ia mengatakan bahwa disamping percaya pada Trinitas, Gereja
Timur dan Barat, terutama Gereja Ortodoks, katolik Yunani, dan Katolik Romawi, telah
mengagungkan Maryam hingga mencapai status Tuhan, yang mereka jadikan objek doa,
40
Ibid. 41
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 8, h. 3120. 42
Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 157. 43
Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 6, h. 175. 44
Lihat M. H{usain T{aba>t}aba‟i>, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (Beirut: Muassasa al-
A‟la>mi> li al-Mat}bu>‟a>t, 1980), jil. 6, h. 285. 45
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 6, h. 2098. 46
M. H{usain T{abat}aba‟i>, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, jil. 7, h. 243.
545
permintaan rahmat dan penyembuhan, serta persembahan beragam jenis
penyembuhan.47
Abul Kalam Azad, meskipun ia seorang Muslim reformis yang paling inklusif,
tampaknya memahami Trinitas sebagai bentuk ghuluw (berlebihan) dalam agama.48
Al-Qa>simi> lebih moderat dalam bersikap terhadap permasalahan ini,
menurutnya bahwa orang yang percaya pada Trinitas dalam kesatuan dan
kemanunggalan wahyu telah menambahkan unsure baru ke dalam pondasi agama
mereka. Konsep Kristen tentang Tuhan berkembang dalam waktu yang sangat panjang.
Beberapa pihak bahkan berpandangan lebih ekstrim bahwa tuhan ada tiga, dan yang
lainnya memiliki pandangan moderat bahwa “Tuhan adalah satu subtansi dengan tiga
persona, yaitu persona Bapak, Anak dan Ruh Kudus. Semuanya satu dalam subtansinya.
Persona Bapak adalah hakikat, persona Anak adalah Firman, dan persona Ruh Kudus
adalah kehidupan.49
Namun hal ini tidak berarti bahwa ia menerima penggambaran di
atas sebagai karakterisasi keesaan Tuhan yang valid. Ia tetap yakin bahwa ada beberapa
orang Kristen yang hingga saat ini tetap berpaham Unitarian.50
d) Pembatasan dan Pergaulan antar agama.
Ada beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam tema ini, diantaranya
adalah kewajiban membayar jizyah bagi Ahli Kitab sebagai pengganti wajib militer
karena komunitas non Muslim tidak mungkin diharapkan turut berjihad bersama orang
Islam. Adapun ayat yang menjelaskan perkara jizyah, yaitu:
منىن ب يؤ
ذين ل
ىا ال
اتل
حق ق
يدينىن دين ال
ه ول
ورسىل
م الل يحزمىن ما حز
خز ول
يىم ال
بال
ول
الل
عن يد وهم صاغزون )جزية
ىا ال
ى يعط كتاب حت
ىا ال
وتذين أ
(92من ال
Perangilah orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian dan mereka yang
tidak mengharamlan apa yang telah diharamkan Allah dan rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar di antara orang yang diberikan Alkitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan
tunduk.
Pada saat membahas ayat ini, baik Rid}}a> maupun Azad memahami dan
menekankan bahwa semua peperangan yang pernah dijalani oleh Nabi beserta para
sahabatnya bersifat defensive, yaitu demi menegakkan keadilan dan menyebarkan kasih
saying. Dengan sifat defensive ini penerapan perang bisa dibatasi.51
Menurut Hamka, tujuan utama ayat ini bukanlah untuk memulai peperangan
dengan Ahli Kitab dan hingga saat ini tidak ada tujuan untuk memerangi mereka.
Karena Muhammad menerima kabar bahwa Bizantium sedang memobilisasi pasukan
dan bersiap menyerang Madinah. Maka Muhammad diperintahkan untuk siap berperang
dengan mereka, selanjutnya membentuk pasukan dan mengirimnya ke Tabuk, sebelah
utara kota Madinah.52
Ketika akan membahas kata jizyah, al-Qa>simi> membuka kemungkinan bahwa
jizyah adalah kosa kata yang telah mengalami Arabisasi (mu’arrab), yang awalnya
47
Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 9, h. 90. 48
Lihat Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 273.
49
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 5, h. 1767. 50
Ibid. h. 1766 51
M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 10, h. 332. Lihat juga Abul Kalam Azad,
Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 3, h. 22. 52
Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 10, h. 166.
546
berasal dari kosa kata Persia, gizyat.53
Begitu juga dengan Rid}a> yang menyatakan
bahwa jizyah merupakan tradisi yang pernah dilaksanakan pada masa Kisra Anusyirwan
(531-579 M).54
Lebih jauh lagi Fahmi Huwaydi menyatakan bahwa jizyah itu diberlakukan bagi
ahl al-dhimmah, dimana konsep tersebut sudah tergantikan dengan konsep
kewarganegaraan pada masa kini.55
Sementara itu, Azad mengutarakan bahwa salah
satu tujuan jizyah adalah mempermudah solusi damai atas permusuhan. Oleh karena itu,
jizyah harus diambil dari semua orang non-Muslim, baik Ahli Kitab maupun orang
pagan.56
Mughniyah melihat bahwa (QS. 9:29) bertentangan dengan (QS. 2:256), untuk
itu harus dipahami bahwa perintah untuk memerangi Ahli Kitab merupakan perintah
khusus, karena adanya alasan-alasan khusus. Artinya Islam memperbolehkan berperang
melawan non-Muslim untuk alasan tertentu, dan tidak diperbolehkan bagi Islam di
mana pun dan kapan pun membunuh dengan alasan menyebarkan agama Islam.57
Selanjutnya persoalan bolehkan bersahabat dengan non-Muslim juga menjadi
bahan kajian selanjutnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam (QS. 5:51) dan (QS.
3:28)
ذين آمنىا لها ال ي
ه يا أ ئه
م ف
هم منك
ولياء بعض ومن يتىل
ولياء بعضهم أ
صاري أ يهىد والن
وا ال
خذ ت
ت
ين ) الىم الظ
ق يهدي ال
ل
(15منهم إن الل
ركمتقاةمنهمتت قهاأنإل شيء فيالل منفميسذلكيفعلومنمنينالمؤدونمنأولياءالكافرينالمؤمنهنيت خذل وإلىنفدهالل ويحذ (85)المصيرالل
Al-Qa>simi> memahami ayat ini sebagai muwa>la, sebuah istilah yang
bermakna persahabatan, yang menurutnya berarti hubungan kasih sayang yang sangat
personal sehingga seorang Muslim “membagi rahasianya kepada non-Muslim itu”.58
Lebih lanjut lagi, ia mencoba untuk merancang pola persahabatan dan tolong menolong
dengan non-Muslim bisa berimplikasi hokum, seperti; h}ara>m, muba>h dan wa>jib,
tergantung pada motif yang melatar belakanginya.
Rid}a> dan Hamka lebih cenderung memahami auliya>’ sebagai istilah yang
sarat makna politis. Menurut Rid}a> kebanyakan ayat al-Qur‟an yang di dalamnya
terdapat istilah ini bisa dimaknai sebagai penolong. Ia merujuk ke pendapat Abduh,
bahwa larangan menjadikan non-Muslim sebagai auliya>’ bersifat terbatas, dengan
melihat potongan ayat ( المؤمنيندونمن ), maka ia memaknainya dengan “janganlah orang
beriman menjadikan orang yang tidak berimansebagai auliya>’ dan penolong (ans}a>r)
dalam segala hal yang membuat kepentingan mereka berada di atas kepentingan orang
beriman”.59
Sedangkan Hamka lebih memahami istilah tersebut sebagai pemimpin,
sembari mengakui bahwa kata wali> mencakup makna yang luas, termasuk pemimpin,
wali, pengatur dan sebagainya.60
Kemudian mereka berdua juga mencantumkan sabab
al-nuzu>l ketika membahas ayat ini untuk lebih memperkuat argument dari pemilihan
53
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 8, h. 3106. 54
M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 10, h. 343-345. 55
Fahmi Huwaydi, Muwa>t}inu>n La> Dhimmiyyu>n, (Beirut: Da>r al-Shuru>q, 1985), h.
110-146. 56
Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 3, h. 87. 57
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. 1, h. 396. 58
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, jil. 4, h. 824. 59
M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 3, h. 278. 60
Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 3, h. 32.
547
makna yang pas bagi istilah wali> tersebut. Rid}a> dan Hamka lebih memberikan
penekanan bahwa orang non-Muslim yang tidak boleh menjadi wali> bagi orang
beriman, adalah mereka yang menunjukkan adanya sikap permusuhan terhadap orang
beriman. Lebih lanjut Hamka mencoba untuk memperinci makna dari “orang Yahudi
dan Kristen itu sebagai auliya>’ satu sama lainnya”.
T{aba>t}aba>‟i> lebih cenderung mengartikannya sebagai “kedekatan yang
penuh kasih sayang”, sebab cinta bisa membuat pihak yang saling mencintai memberi
kuasa kepada yang lainnya dalam segala hal.61
Mughniyah pada saat menjelaskan ayat ini memaparkan prinsip umum
kesetaraan dan keadilan dalam Islam tanpa memandang perbedaan agama. Orang
Yahudi dan Kristen harus menikmati kebaikan dan keadilan selama mereka tidak
melakukan kejahatan terhadap orang, sekalipun mereka menolak kenabian Muhammad
dan kebenaran al-Qur‟an.62
Ayat lain yang disebutkan sebagai polemic dalam menghadang persahabatan
antara Muslim dan non-Muslim, adalah;
ئ هدي ول
هى ال
ل إن هدي الل
تهم ق
بع مل
تى ت صاري حت الن
يهىد ول
ى عنك ال زض
ن ت
هىاءهم ول
بعت أ ن ات
ذي جاء صير )بعد ال
ه
من ولي ول
ك من الل
م ما ل
عل
(591ك من ال
Orang Barat dengan menggunakan ayat ini, menyatakan bahwa agama Islam
intoleransi. Akan tetapi hal ini disanggah oleh para ilmuwan Islam, bahwa ayat ini harus
dipahami sebagai kritik terhadap dialog dengan Yahudi dan Kristen. Disamping itu ayat
ini juga untuk menjelaskan sikap orang Yahudi dan Kristen terhadap orang Islam;
penolakan mereka terhadap Islam, standar ganda mereka, belum lagi tipu daya,
kolonialisasi, penyebaran agama, peperangan, Bosnia, Palestina dan sebagainya.63
Al-T{abari> menyatakan bahwa konteks pewahyuan ayat ini, yaitu, bahwa
orang Yahudi dan Kristen mengajak Muhammad untuk mengikuti ajaran agama mereka,
dengan mendaku bahwa petunjuk yang sebenarnya telah dikhususkan bagi mereka.
Tuhan menurunkan ayat ini untuk mengajarkan Muhammad bagaimana menanggapi
klaim mereka.64
Mughniyah lebih memahami bahwa ayat ini berlaku bagi semua, bukan hanya
ditujukan kepada orang Yahudi dan Kristen saja. Oleh karenanya, kita tidak boleh
mencoba memuaskan mereka demi alasan sederhana, karena mereka hanya akan puas
jika seseorang menjadi Yahudi atau Kristen atau siapa saja.65
Abul Kalam Azad memandang bahwa sebenar apapun kebenaran yang kita
yakini, tidak akan memuaskan orang Yahudi dan Kristen, hingga kita ikut agama
mereka. Pada hakikatnya berbagai kelompok komunitas adalah ciptaan manusia, yang
hampir dipastikan akan menimbulkan sikap eksklusivisme di antara anggotanya. Hal ini
akan memadamkan cinta pada kebenaran dan pencarian realitas.66
61
M. H{usain T{aba>t}aba‟i>, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, jil. 3, h. 151. 62
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. 3, h. 72-73. 63
Tariq Ramadan, Western Muslim ang the Future of Islam, (Oxford: Oxford University Press,
2004), h. 207. 64
Ibn al-Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l Ay al-Qur’a>n, (ed.) Mah}mu>d
Muh}ammad Sha>kir (Kairo: Da>r al-Ma‟a>rif, 1954) jil. 2, h. 562.
65
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Tafsi>r al-Ka>shif, jil. 1, h. 191. 66
Abul Kalam Azad, Tarjuma>n al-Qur’a>n, jil. 2, h. 45.
548
Dalam memahami ayat ini Hamka sepakat dengan mufassir reformis lainnya,
hanya saja ia menambahkan bahwa ayat ini member pesan dan panduan yang jelas
tentang bagaimana bersaing dalam memperluas pengaruh dan memperdalam otoritas
keagamaan.67
Rid}a> mempunyai sisi pandang yang agak berbeda dalam menjelaskan ayat ini,
bahwa ia diturunkan untuk menghibur Nabi dengan menjelaskan kebiasaan mereka
menolak kelompok lain. Disamping itu ada pesan lainnya, yaitu bagaimana
menyampaikan dan menyebarkan kebenaran tanpa mengkhawatirkan akibat buruknya.68
Mun‟im menyimpulkan bahwa tidak ada aroma dalam ayat ini yang mendukung
gagasan bahwa Islam melarang dialog dan kerjasama antar agama. Yang perlu
ditekankan di sini adalah interaksi antaragama yang tidak ada kaitannya dengan
persoalan mengubah agama “orang lain”, tapi interaksi yang mencakup persoalan
penghormatan terhadap pandangan orang lain dan dengan begitu melapangkan jalan
untuk kehidupan yang penuh damai.69
Selanjutnya ia juga berupaya menegaskan bahwa
tidak ada makna al-Qur‟an yang pasti, artinya al-Qur‟an sebenarnya bukanlah satu
makna tertentu, tapi sebuah proses dinamika makna, dalam aliran yang berwarna-warni
dan tidak pernah usai.70
Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa berbagai persoalan teologis merupakan tema
yang paling sulit dalam hubungan antara Muslim dan Kristen, dan sering dipandang
sebagai rintangan yang memisahkan kedua komunitas itu. Namun, rintangan semacam
itu tidak boleh menahan gerak laju dalam membangun pendekatan yang lebih
ekumenikal terhadap pruralitas agama.71
Analisa Terhadap Tafsir Ayat-Ayat Polemik
Buku ini layak mendapatkan apresiasi yang proporsional dari berbagai kalangan
atas upaya saudara Mun‟im Sirry untuk menelusuri berbagai macam penafsiran ulama
terhadap teks-teks al-Qur‟an, baik ulama klasik maupun kontemporer, yang mana dalam
hal ini Mun‟im mengelompokkan mereka ke dalam ulama atau mufassir reformis. Akan
tetapi ia lebih menfokuskan pada penafsiran ulama reformis guna mendapatkan wacana
baru dan mencerahkan berkaitan hubungan antaragama, agar tercipta kehidupan yang
damai dan harmonis. Namun, ia juga tidak serta merta mengabaikan ulasan penafsiran
ulama klasik, karena ada kontekstual pewahyuan (sabab al-nuzu>l) yang perlu
dipaparkan dalam rangka mengurai berbagai macam kerumitan yang dihadapi oleh para
penafsir.
Secara metodologi, bisa dikatakan bahwa Mun‟im Sirry mengkombinasikan
metode maud}u>’i> (metode tematik) dan metode muqa>rin
(komparasi/perbandingan). Ini bisa dilihat bahwa Mun‟im tidak memaparkan penafsiran
semua ayat yang ada dalam al-Qur‟an, akan tetapi ia hanya memaparkan penafsiran
sebagian ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan tema-tema yang telah ditentukan
sebelumnya. Disamping itu ia juga memaparkan beberapa penafsiran ulama tafsir yang
telah ditentukan (yang dimasukkan sebagai mufassir reformis) terhadap ayat-ayat
pilihan yang menjadi tema kajiannya, dan memperbandingkan antara satu penafsiran
67
Hamka, Tafsir al-Azhar, jil. 1, h. 265. 68
M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, jil. 1, h. 446. 69
Mun‟im Sirry, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama
Lain, h. 400. 70
Ibid. h. 401. 71
Ibid. h. 415.
549
ulama yang dengan yang lainnya, dengan tujuan mendapatkan konsep yang utuh atas
kandungan ayat tersebut.
Dari sisi corak penafsirannya, maka pemakalah menilai bahwa pendekatan dan
corak yang digunakan oleh Mun‟im adalah corak humanistik.72
Hal ini bisa dilihat dari
tujuan penyusunan buku tersebut, yaitu menemukan titik temu atau konsep universal
berkaitan dengan hubungan antaragama, sehingga kehidupan yang damai dan harmonis
antar pemeluk agama bisa cepat diterapkan dalam kehidupan nyata. Sehingga sikap
saling memahami dan menghormati pandangan atau keyakinan orang lain.
Kesimpulan
Kajian yang telah dilakukan oleh Mun‟im belum selesai dan perlu untuk
ditidaklanjuti melalui kajian akademis. Sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin,
bisa dicitrakan melalui berbagai macam kajian yang mendukung kearah tersebut.
Daftar Rujukan
Algar, Hamid, Jesus in the Qur’an: His Reality Expounded in the Qur’an, (New
York: Islamic Publication International, 1999)
Ayoub, Mahmoud M., The Quran and Its Interpreters, (Albany: State University
of New York Press, 1992)
Azad, Abul Kalam, Tarjuma>n al-Qur’a>n, Dr. Syed Abdul Latif (pent.) (New
Delhi: Asia Publishing House, 1967)
Fama>wi> (Al), „Abd al-H{ay, Al-Bida>yah fi> Al-Tafsi>r Al-
Maud}u>’i>, (Kairo: Al-H{ad}a>rah Al-„Arabiyah, 1977).
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pembimbing Massa, 1967)
Huwaydi, Fahmi, Muwa>t}inu>n La> Dhimmiyyu>n, (Beirut: Da>r al-
Shuru>q, 1985)
Khalidi, Tarif, The Muslim Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature,
(Cambridge,MA: Harvard University Press, 2001)
Kuitse, Roelf S., Christology in the Quran, Missiology: An International Review
20/3 (1992)
Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Tafsi>r al-Ka>shif, (Beirut: Da>r al-„Ilm li
al-Mala>yi>n, 1968)
Qa>simi> (al), Jama>l al-Di>n, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, (Kairo: I<sa> al-
Ba>bi> al-H{alabi>, 1957)
Raisanen, Heikki, The Potrait of Jesus in the Quran: Reflection of a Biblical
Scholar, “The Muslim World 70 (1980)
Rid}a>, M. Rashi>d, Tafsi>r al-Mana>r, (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947)
Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pruralism,(Oxford: Oxford
University Press, 2001)
Sharabi, Hisham, Arab Intellectuals and The West: The Formative Years, 1875-
1914 (Baltimore: John Hopkin University Press, 1970)
Sirry, Mun‟im, Polemik Kitab Suci; Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an
Terhadap Agama Lain, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013)
72
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya
ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.
Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh
etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi
kelompok-kelompok etnis tertentu. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Humanisme
550
Suyu>t}i> (al), Jala>l al-Di>n, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r
al-Fikr, t.th.)
T{aba>t}aba‟i>, M. H{usain, al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (Beirut:
Muassasa al-A‟la>mi> li al-Mat}bu>‟a>t, 1980)