BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper...

38
153 BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM KONTEKS PANCASILA Setiap agama, terutama agama-agama yang disebut agama dunia, yakni agama-agama yang bersifat transnasional melampaui batas-batas etnik dan bangsa, seperti Hindu, Budha, Kong Hu Chu, Islam dan Kristen, memiliki tuntutan keagamaan yang misiologis sifatnya, yaitu keharusan untuk meneruskan kebenaran-kebenarannya kepada orang lain yang belum memiliki kebenaran serupa, melalui tindak-siar agama baik langsung, maupun tidak langsung. Penyiaran atau pemberitaan agama adalah jiwa dari agama. 1 Oleh karena begitu jiwa agama, maka tindak-siar agama adalah sesuatu yang wajar bahkan wajib sifatnya, sebab tanpa ada dimensi itu, kehidupan beragama akan menjadi mubasir. Perilaku setiap penganut agama tidak dapat dilepaskan dari kewajiban untuk melakukan tindak-siar agama, yang dinampakkan dalam tindakannya sehari-hari, baik dalam kehidupan beragama, maupun dalam kehidupan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Kewajiban melakukan misi agama dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa adalah sesuatu yang harus dipenuhi. Mengingkari kewajiban ini pada dasarnya adalah mengingkari hakikat agama itu sendiri. 2 Sebagai salah satu dari agama dunia itu, agama Kristen juga memiliki dalam dirinya kewajiban misiologis berupa misi gereja. Kalau bukan karena adanya kewajiban misiologis ini, maka kekristenan tidak akan dijumpai di Indonesia. Tindakan misioner gereja adalah sesuatu yang wajar bahkan esensial sifatnya. Karena begitu keadaannya, maka melakukan misi adalah bagian hakiki dari kehidupan bergereja dan menggereja. Misi adalah sesuatu yang inherent dalam gereja. Dengan kata lain hubungan antara misi dan gereja adalah seperti relasi antara api dan pembakaran. Sama seperti api berada oleh pembakaran dan untuk pembakaran, demikianlah gereja berada oleh misi dan untuk misi. Misi bukanlah suatu kegiatan fakultatif bagi gereja. Misi adalah hakikat keberadaan gereja. 3 Mengingat misi menjadi core businesnya, maka gereja mesti memahami sejarah misi dan patut selalu memikirkan hakikat dan rekonstruksi misi gereja, agar cara misi yang 1 Emanuel Gerrit Singgih,Menguak Isolasi, Menjalin Relasi(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 240. 2 John A.Titaley, “Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia: Suatu Refleksi Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang (tanggal 3 Pebruari 1996), 1. 3 John Campbell-Nelson, “Misi Gereja dan Pelayanan Global: Pernyataan Misiologi dari United Church of Christ di Amerika Serikat”, dalam John Campbell -Nelson, Bendalina Souk, Stephen Suleeman(Peny.), Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (Jakarta: Perhimpunan Sekolah-sekolah Theologia di Indonesia, 1995), 36-37.

Transcript of BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper...

Page 1: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

153

BAB V

ESENSI MISI GEREJA

DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM KONTEKS PANCASILA

Setiap agama, terutama agama-agama yang disebut agama dunia, yakni agama-agama

yang bersifat transnasional melampaui batas-batas etnik dan bangsa, seperti Hindu, Budha,

Kong Hu Chu, Islam dan Kristen, memiliki tuntutan keagamaan yang misiologis sifatnya,

yaitu keharusan untuk meneruskan kebenaran-kebenarannya kepada orang lain yang belum

memiliki kebenaran serupa, melalui tindak-siar agama baik langsung, maupun tidak

langsung. Penyiaran atau pemberitaan agama adalah jiwa dari agama.1 Oleh karena begitu

jiwa agama, maka tindak-siar agama adalah sesuatu yang wajar bahkan wajib sifatnya, sebab

tanpa ada dimensi itu, kehidupan beragama akan menjadi mubasir. Perilaku setiap penganut

agama tidak dapat dilepaskan dari kewajiban untuk melakukan tindak-siar agama, yang

dinampakkan dalam tindakannya sehari-hari, baik dalam kehidupan beragama, maupun

dalam kehidupan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Kewajiban melakukan misi agama

dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa adalah sesuatu yang harus dipenuhi.

Mengingkari kewajiban ini pada dasarnya adalah mengingkari hakikat agama itu sendiri.2

Sebagai salah satu dari agama dunia itu, agama Kristen juga memiliki dalam dirinya

kewajiban misiologis berupa misi gereja. Kalau bukan karena adanya kewajiban misiologis

ini, maka kekristenan tidak akan dijumpai di Indonesia. Tindakan misioner gereja adalah

sesuatu yang wajar bahkan esensial sifatnya. Karena begitu keadaannya, maka melakukan

misi adalah bagian hakiki dari kehidupan bergereja dan menggereja. Misi adalah sesuatu

yang inherent dalam gereja. Dengan kata lain hubungan antara misi dan gereja adalah seperti

relasi antara api dan pembakaran. Sama seperti api berada oleh pembakaran dan untuk

pembakaran, demikianlah gereja berada oleh misi dan untuk misi. Misi bukanlah suatu

kegiatan fakultatif bagi gereja. Misi adalah hakikat keberadaan gereja.3Mengingat misi

menjadi core businesnya, maka gereja mesti memahami sejarah misi dan patut selalu

memikirkan hakikat dan rekonstruksi misi gereja, agar cara misi yang

1Emanuel Gerrit Singgih,Menguak Isolasi, Menjalin Relasi(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 240.

2John A.Titaley, “Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia: Suatu Refleksi

Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di

Semarang (tanggal 3 Pebruari 1996), 1. 3John Campbell-Nelson, “Misi Gereja dan Pelayanan Global: Pernyataan Misiologi dari United

Church of Christ di Amerika Serikat”, dalam John Campbell-Nelson, Bendalina Souk, Stephen

Suleeman(Peny.), Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (Jakarta: Perhimpunan Sekolah-sekolah

Theologia di Indonesia, 1995), 36-37.

Page 2: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

154

dilakukannyaberpadanan dengan hakikat misi itu dan sekaligus sesuai dengan konteks

dimana gereja berada.

V.1.SEJARAHMISI GEREJA DARI ABAD KE-1 SAMPAI ABAD KE-20

J. Beckman seorang misiolog Jerman, sebagaimana direiterasi oleh Edmund Woga,4

mengklasifikasi dan memaparkan sejarah pelaksanaan dan karakter misi sepanjang dua puluh

abad dari abad ke-1 sampai dengan abad ke-20, sebagai berikut:

V.1.a. Sejarah Misi Pada Periode GerejaPerdana(Dari kelahiran Gereja-abad ke-4)

Sejarah misi pada periode ini bermula dari kisah tentang pelayanan misi para rasul,

khususnya Petrus sebagaimana diceriterakan oleh Kisah Para Rasul 1-12, dan Paulus seperti

dilaporkan oleh Kisah Para Rasul 13-28. Dua kota atau tempat yang menjadi pusat kegiatan

misioner pada periode Gereja Perdana adalah Yerusalem dan Antiokia. Yerusalem disamping

sebagai tempat lahirnya gereja, ia juga menjadi pusat pelayanan misi gereja ke arah timur

sampai ke India. Sedangkan Antiokia menjadi pusat pelayanan misi gereja ke arah barat

yakni ke Yunani dan Romawi. Sejarah misi sejak lahirnya gereja sampai abad ke-4, ditandai

juga dengan adanya masa penderitaan dan masa kejayaan. Pada masa pemerintahan kaisar

Nero (37–68), Markus Aurelius (177), dan Diokletianus (284-316) gereja mengalami banyak

penindasan. Tetapi pada masa pemerintahan kaisar Konstantin (285-337) dan kaisar

Theodosius I (337–380), ketika kedua kaisar ini menunjukkan sikapnya yang toleran terhadap

agama Kristen, gereja mengalami jaman keemasan, dimana pada tahun 313 oleh kaisar

Konstantin agama Kristen dinyatakan sebagai religio licita, dan pada tanggal 28 Pebruari 380

oleh kaisar Theodosius I agama Kristen diproklamirkan sebagai agama kekaisaran Romawi.5

V.1.b.Sejarah Misi Pada Periode Abad Pertengahan (Dari Abad 5-Abad 14)

Sejarah misi pada periode ini, ditandai dengan perkembangan gereja kepada bangsa-

bangsa Inggris dan Jerman. Beberapa rupa dari perkembangan gereja termaksud ialah:

Pertama, pada tahun 498 raja Inggris Chlodwig I dibaptis. Kedua,banyak muncul misionaris-

misionaris perdana pada bangsa Inggris dan Jerman seperti: Patrisius, Agustinus dari

Canterbury, Kolumbanus, Gallus, Kilian, Wilfrith, Willibrordus dan Bonefasius. Sejarah misi

pada periode abad Pertengahan, tepatnya pada abad ke-9, juga ditandai dengan mulai

masuknya agama Kristen ke tengah-tengah bangsa Slavia di Eropa Timur. Masuk dan

4Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 19-21, 47.

5Ibid., 47-48.

Page 3: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

155

bertumbuhnya gereja di bangsa-bangsa Slavia, adalah karena adanya pelayanan misi yang

bernuansa penyebaran iman Kristen ke sana, yang dilakukan oleh uskup Kyrillos, Methodius,

para rahib Cisterciencer dan Premonstratenser. Sejarah misi pada abad Pertengahan, tepatnya

pada abad ke -13 dan ke-14, juga ditandai dengan penyebaran iman Kristen kearah timur,

kepada bangsa-bangsa Eropa yang beragama muslim dan kepada bangsa-bangsa Tartar,

Mongol, China dan Persia. Pelayanan misi gereja yang bercorak penyebaran iman Kristen ke

arah timur Eropa ini, didukung oleh ordo-ordo yang mencintai “hidup miskin” seperti ordo

Dominikan dan Fransiskan. Pelayanan misi gereja ke arah timur Eropa, sempat tidak

diteruskan pada waktu kerajaan Mongol hancur dan ketika benua Eropa dilanda penyakit

pes.6

Dalam kuliah dan diskusi tentang sejarah gereja Indonesia, cukup sering memang

tertayang informasi bahwa pada pertengahan abad ke-7, di Fansur Barus daerah pantai barat

Tapanuli Sumatera utara Indonesia terdapat banyak Gereja Nestorian. Sejarah menunjukkan

bahwa pelaksanaan misi oleh gereja Nestorian bersifat akomodatif terhadap kebudayaan-

kebudayaan di daerah misi. Sehandainya pada pertengahan abad ke-7, benar-benar telah ada

banyak gereja Nestorian di Fansur Barus, sebagaimana sering tertayang dalam informasi-

informasi, maka pasti pendekatan misi gereja Nestorian yang akomodatif itulah, yang

membuat penduduk Fansur daerah Tapanuli Sumatera dapat menerima bahkan memeluk

agama Kristen. Demikian pula, kalau sekiranya pada pertengahan abad ke-7, benar-benar

telah ada gereja Nestorian di Fansur Barus, sebagaimana hal itu acapkali muncul sebagai

informasi, maka hal ini mengindikasikan bahwa kekristenan telah tiba di Indonesia untuk

pertama kali sebelum Islambahkan sebelum Hindu dan Budhamasuk ke Indonesia. Namun,

sangat disayangkan kita tidak memiliki catatan sejarah baik mengenai kelahirangereja

Nestorian di Fansur Barus maupun mengenai ketiadaannya. Sehandainya pernah ada gereja

Nestorian di Fansur Barus pada pertengahan abad ke-7, kehadirannya dan kelenyapannya

sama sekali tidak meninggalkan bekas dan berita.7

V.1.c.Sejarah Misi Pada Periode Penemuan Benua-Benua Baru(Abad15-Abad 17)

Sejarah misi pada periode ini dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok. Ada

kelompok misi gerejaKatolik dan ada kelompok misi gereja-gereja Protestan. Sejarah misi

gereja Katolik sangat diperankan oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Hal itu terjadi demikian

6Edmund Woga, CSsR, Dasar . . . , 48.

7F.Ukur dan Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survey Menyeluruh Gereja di Indonesia

(Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979), 450.

Page 4: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

156

karena kedua bangsa ini memang mendapat wewenang khusus dari Paus Aleksander VI pada

tahun 1493 dan dari Paus Yulius II pada tahun 1508 untuk menangani misi gereja, berupa

penyebaran iman Kristen ke benua-benua yang baru ditemukan yaitu Afrika, Amerika dan

Asia. Sedangkan pekerjaan misi pada kelompok gereja-gereja Protestan sangat diperankan

oleh bangsa Belanda, Jerman dan Inggris. Misi gereja pada abad ke-15 sampai dengan abad

ke-17, baik yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol yakni penyebaran iman Kristen dari

gereja Katolik, maupun yang dilakukan oleh Belanda, Jerman dan Inggris yakni penyebaran

iman Kristen dari gereja Protestan, berjalan bergandengan dengan usaha kerajaan Portugis,

Spanyol, Belanda, Jerman dan Inggris untuk menemukan, menaklukkan dan menguasai

daerah-daerah baru dalam bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Tindakan kekerasan

yang dipakai kaum kolonial untuk menaklukkan daerah tertentu, juga dipakai oleh gereja

dalam melaksanakan penyebaran iman Kristen. Misi pada periode ini semakin menjadi

sebuah proses imperialisme Kristen dari rasa superior agama Kristen. Misi gereja dijalankan

sebagai perjuangan untuk ekspansi, pendudukan daerah, penaklukkan para penganut agama-

agama lain untuk disatukan ke dalam agama Kristen karena agama Kristen diyakini sebagai

satu-satunya agama yang benar.8 Misi gereja Katolik dan misi gereja-gereja Protestan

merupakan bagian dari kekuatan kolonialisme Barat. Ini tidak berarti bahwa tidak ada

perbedaan kepentingan antara kepentingan pekabaran Injil dengan kepentingan kolonial.

Perbedaan kepentingan memang ada. Namun cara yang digunakan oleh kedua kekuatan yang

beraliansi ini adalah sama, yaitu cara kekerasanuntuk menaklukkan orang yang hendak

dijajah dengan orang yang hendak dikristenkan.9

Pada awal lahirnya reformasi, gereja-gereja Protestan di Eropa memang tidak semangat

melaksanakan misi keluar negeri. Hal itu terjadi demikian, bukan karena para Reformator

seperti Luther, Bucer dan Calvin tidak melihat misi itu sebagai tugas hakiki dari gereja.

Sebaliknya melalui interpretasinya terhadap beberapa teks Alkitab seperti: Kejadian 1-11,

Kejadian 12: 1-3, Kejadian 12: 14-16, Kejadian 22: 18, Kejadian 35:2, Mazmur 117, Yesaya

42: 6, Yesaya 49: 6, Matius 28: 19, Markus 16: 15, Lukas 2: 10, Efesus 2: 14, 1 Petrus 2 :9,

para Reformator justru sangat menggelorakan semangat pekabaran Injil yang terancam oleh

hierarki gereja. Pelaksanaan misi keluar negeri, pada masa awal reformasi terkesan tertidur

adalah karena para Reformator harus memprioritaskan pembinaan umat yang bersifat ke

dalam melalui pengajaran dan khotbah agar reformasi berhasil menghadapi kontra reformasi.

8Edmund Woga CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 48-49.

9Victor I. Tanja, “Perjumpaan Gereja Dengan Agama-Agama Lain”, dalam Chris Hartono

ed.Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta: Persetia,1995), 17.

Page 5: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

157

Situasi di luar Eropa berada di luar jangkauan mereka. Jadi pelaksanaan misi keluar negeri

yang tertidur di kalangan gereja-gereja Protestan di masa awal reformasi sangat ditentukan

oleh situasi mereka.10

Konsepsi misi yakni pergi menjumpai dunia, yang dibangun oleh para

Reformator, baru bisa diaktualisasikan dalam pietisme yang lahir dalam abad ke-17 dan abad

ke-18. Jadi di kalangan gereja-gereja Protestan, gerakan pietismelah yang menghidupkan

semangat misi keluar negeri yang sebenarnya sudah dikonsep oleh para Reformator namun

sempat tertidur pada masa-masa awal reformasi.11

Pada masa penemuan dan pendudukan benua-benua baru, pelaksanaan misi gereja-

gereja Barat digerakkan oleh semangat pembentukancorpus christianum. Bangsa-bangsa

Eropa yang telah beragama Kristen seperti Portugis, Spanyol dan Belanda melihat diri

mereka sebagai corpus christianum. Berangkat dari keadaan ini mereka berkehendak agar

semua bangsa yang akan ditundukkannya juga menjadi corpus christianum.12

Dengan

berorientasipada perluasan corpus christianum, perjumpaan para misionaris Katolik dan para

misionaris Protestan dengan orang-orang di daerah koloni, menyebabkan gereja Barat

memikirkan langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil bagi penduduk di daerah

koloni, untuk mengkristenkan mereka. Dalam misi yang digerakkan oleh semangat

pembentukan corpus christianumke seluruh benua yang ditemukan dan ditaklukkan,

evangelisasi senyatanya memang bergandengan dengan kolonisasi, sehingga misi yang

dilakukan gereja Barat berwajah kolonialis dan imperialis Barat. Anton Wesel sempat

mengkritisi misi gereja Barat yang berwajah kolonialis dan imperialis ini, sebagai misi yang

sering memberitakan Kristus sebagai sosok yang menentang kebudayaan dan agama, sebagai

sosok yang menindas.13

Beberapa tokoh yang berperan besar sebagai misionaris dan misiolog pada periode ini

adalahi Las Casas (di Amerika Latin), Fransiskus Xaverius (di Asia), Hadrianus Saravia

(Belanda), William Carey (Inggris),Robert de Nobili, dan Matteo Ricci. Ordo-ordo Gereja

baik yang telah lama ada seperti Dominikan dan Fransiskan, maupun yang baru terbentuk

10

Theo Kobong, “Konsepsi Tentang Misi Dalam Teologi Para Reformator”, dalam John Campbell-

Nelson, Bendalina Souk, Stephen Suleeman eds., Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual,Studi Institut

Misiologi Persetia 1992 (Jakarta: Persetia, 1995), 4-15. 11

A.A.Yewangoe, “Gereja Tua, Gereja Muda dalam Pekabaran Injil: suatu perspektif sejarah”, dalam

John Campbell-Nelson, Bendalina Souk, Stephen Suleeman eds.,Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual,

Studi Institut Misiologi Persetia 1992 (Jakarta: Persetia,1995), 16-20. 12

J. R. Hutauruk, “Sejarah Gereja di Indonesia”, dalam Chris Hartono(ed.),Perjumpaan Gereja di

Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah(Jakarta:Perseria,1995),95-96. 13

Anton Wesel, Memandang Yesus: Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya (Jakarta: BPK Gunung

Mulia,1990), 122.

Page 6: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

158

seperti Yesuit, Agustiner, Mercedarian dan Theatiner, juga sangat berperan dalam sejarah

misi pada periode penemuan benua-benua baru, yang sangat bercorak penyebaran iman

Kristen atau Kristenisasi. Melalui misi yang berkarakter demikian, gereja pada periode ini

juga melakukan usaha untuk membendung perkembangan agama Islam ke daerah-daerah

baru di Afrika dan Asia.14

V.1.d.Sejarah Misi Pada Periode Pasca Pendirian Sacra Congregatio De Propaganda

Fide(Abad17-Abad18)

Pada tahun 1622 gereja Katolik mendirikan Sacra Congregatio de Propaganda Fide

(SCPF). Pendirian lembaga ini dimaksudkan untuk mengembalikan karya misi, yang telah

sangat lama diidentikkan dengan penyebaran kekuasaan politik, ekonomi dan kebudayaan, ke

dalam urusan yang murni berpusat pada kekuasaan kepausan di Roma. Pada awal berdirinya,

SCPF ditolak di daerah-daerah kekuasaan Spanyol dan Portugis. SCPF dapat masuk ke

daerah Asia Timur dan Tenggara, karena adanya perselisihan antara Spanyol dan Portugis.

Munculnya SCPF menyebabkan sejarah misi berupa karya penyebaran iman Kristen,

mengalami kesulitan dan hambatan. Disamping munculnya SCPF yang menghambat sejarah

misi dalam arti penyebaran iman Kristen pada abad ke-17 dan abad ke-18, karya misi dalam

pengertian yang demikian ini, yakni pengembangan gereja, juga dipersulit oleh lahirnya masa

pencerahan, oleh dampak dari munculnya reformasi Luther (1517), Zwingli dan Calvin

(1523), dan oleh munculnya revolusi Prancis (1789), dimana dalam arti tertentu semua yang

muncul itu berseberangan atau bermusuhan dengan gereja Katolik.15

Pada periode ini, sejarah misi juga diwarnai dengan gerakan pietisme yaitu, kegiatan

rohani dari gereja-gereja Protestan untuk mencapai suatu kehidupan yang saleh (pia

desiseria) di dunia ini, yang mengutamakan pertobatan pribadi dan keselamatan rohani,

dimana benih gerakan ini sesungguhnya telah mucul pada abad ke 16 di Eropa, tetapi

mencapai puncak pertumbuhan dan pengaruhnya pada abad ke-17 dan ke-18 baik di Eropa

terlebih lagi di Amerika. Pada dasarnya gerakan pietisme yang lahir dari dua denominasi

yang ada di Eropa yaitu dari Lutheran dan Calvinis, adalah sebagai kritik atas situasi

kehidupan konkret gereja-gereja dan atas realitas sosial kemasyarakatan Eropa pada abad ke-

16 yang hampir tidak jauh berbeda. Sebagai gerakan rohani dalam gereja-gereja Protestan,

Pietisme merupakan gerakan yang paling berpengaruh sejak jaman reformasi. Atas pengaruh

14

Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar . . . , 48-49. 15

Ibid., 49.

Page 7: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

159

pietisme, di Eropa dan di Amerika, banyak bermunculan badan-badan pekabaran Injil.

Badan-badan Zending ini dengan semangat yang besar siap mewartakan Injil ke seluruh

dunia dan sembari dengan itu juga menanamkan pengaruhnya di tanah misi.16

Ragam gerakan pietisme itu beraneka. Antara gerakan pietisme yang satu dengan yang

lainnya tidak dapat disamakan begitu saja. Masing-masing gerakan pietisme memiliki

tuntutan sendiri-sendiri dalam melaksanakan praxis pietatisnya. Pietisme atau puritantisme

Inggris berkarakter hendak menegakkan pemerintahan Kristus di bumi. Corak pietisme atau

puritantisme Belanda hendak menguduskan seluruh bangsa. Lalu, warna pietisme atau

puritantisme Lutheran Jerman terbagi-bagi dalam keinginan berkehidupan yang saleh yang

membuahkan pembaharuan kehidupan rohani dan kesejahteraan seluruh dunia. Gerakan

pietisme sejak awal kemunculannya telah banyak menghasilkan karya yang berkaitan erat

dengan pembaharuan kehidupan sosial dan kemasyarakatan dunia sekitar. Beberapa dari

karya pietisme itu baik yang dilakukan di dalam negeri maupun di ladang misi adalah seperti:

pelayanan terhadap orang miskin terutama anak yatim piatu, pelayanan dalam dunia

pendidikan, pelayanan dalam dunia kesehatan, pelayanan untuk ekumene yakni pelayanan

untuk menyatukan gereja-gereja dari berbagai konfesi dan denominasi.17

V.1.e.Sejarah Misi Pada Periode Abad ke-19 Sampai Pada Awal Abad ke-20

Pada abad ke-19 sampai pada awal abad ke-20, sejarah misi dalam pengertian

penyebaran iman Kristen atau pengembangan gereja ke luar daerah, baik yang dilakukan oleh

gereja Katolik maupun oleh gereja-gereja Protestan mengalami perkembangan yang sangat

pesat. Di kalangan gereja Katolik, hal itu terjadi demikian disebabkan oleh dua hal: Pertama,

pada masa ini, baik ordo-ordo gereja seperti Societas Verbi Domini (SVD) maupun beberapa

kongregasi hidup membiara seperti Spiritaner, Missionaris Lyon, sangat tergerak untuk

mengkhususkan diri berkarya di daerah misi. Kedua, pada abad ke-19 sampai pada awal

abad ke-20, juga semarak muncul dalam gereja, organisasi-organisasi baru yang berdiri untuk

menunjang pertumbuhan dan kehidupan gereja Katolik di daerah misi. Beberapa dari

16

Christian de Jonge dan Jan Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?Pengantar Sejarah Ekkesiologi

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-2, 1993), 48. Bandingkan juga Christ Hartono,Pietisme di Eropa dan

Pengaruhnya di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), 56. 17

Soegeng Hardiyanto, “Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan, Sumbangsih Gereja-gereja Barat

terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia”, dalam Ferdinand Suleeman dkk, (peny)(ed),

Bergumul Dalam Pengharapan:Buku Penghargaan untuk Pdt.Dr.Eka Darmaputera (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1999), 136-139. Bandingkan juga Soegeng Hardiyanto, “Teologi dan Zending: Sebuah Pemahaman

Ulang Bagi Gerakan Keesaan dan Keutuhan Ciptaan”, dalam Pengantar ke Teologi Lambaran,Obyek-Persoalan

Dasar-Metode (Salatiga: Fakultas Teologi dan PpsAM-UKSW, 1998), 146.

Page 8: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

160

organisasi tersebut adalah seperti: Opus Sancti Petri, Karya Penyebaran Iman, dan

Persekutuan Kanak-Kanak Yesus.18

Sedangkan di kalangan gereja Protestan, semaraknya

misi berupa penyebaran iman ke bangsa-bangsa lain, disebabkan karena pada masa abad ke-

19 sampai dengan awal abad ke-20, bagi para misionaris Protestan, pergi ke seberang lautan

merupakan sebuah bentuk ketaatan terhadap perintah Tuhan yang telah memanggil dan

mengutus mereka, untuk mewartakan cinta kasih dan khabar keselamatan kepada segala

bangsa dalam rangka memenangkan jiwa-jiwa melalui pertobatan pribadi.19

Sampai pada

menjelang berakhirnya era kolonial, misi gereja-gereja Barat masih menekankan pertobatan

individu dan memandang penganut agama lain tidak memiliki kebenaran ilahi. Nilai-nilai

positif yang terdapat dalam agama-agama lain tidak dihargai. Pandangan yang demikian ini

didasari oleh asumsi teologis bahwa gereja ialah “umat terpilih” yang memperoleh prioritas

penting dan superior atas dunia untuk mengemban Amanat Agung Kristus karena misi Allah

dalam dunia hanya dipahami lewat gereja saja.20

Pekerjaan misi oleh gereja-gereja Protestan dari dunia Barat ke dunia non Barat pada

periode abad ke-19 sampai awal abad ke-20 juga diwarnai oleh adanya dua kelompok gereja

Protestan yang pola pendekatannya dalam cara bermisi pada berbeda. Pada satu pihak, ada

kelompok gereja Protestan yang pola pendekatan misinya bersifat ekumenikal, sementara itu

ada kelompok gereja Protestan yang pola pendekatan misinya bersifat

evangelical.21

Golongan ekumenikal menitikberatkan segi antropologis dari Injil dan

keselamatan yang berdampak sosial dan kemanusiaan secara utuh.Sedangkan golongan

18

Edmund Woga CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . ,49-50. 19

Soegeng Hardiyanto, “Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan,Sumbangsih Gereja-Gereja Barat

terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-Gereja di Indonesia”, dalam Ferdinand Suleeman dkk.,(Peny.)(ed.),

Bergumul Dalam Pengharapan:Buku Penghargaan untuk Pdt.Dr.Eka Darmaputera(Jakarta:BPK.Gunung

Mulia,1999), 133. Juga: Soegeng Hardiyanto, “Teologi dan Zending:Sebuah Pemahaman Ulang Bagi Gerakan

Keesaan dan Keutuhan Ciptaan”, dalam,Pengantar ke Teologi Lambaran,Objek-Persoalan Dasar-

Metode(Salatiga:Fak.Teologi dan PpsAM-UKSW,1998),146. 20

Widi Artanto,Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia(Yogyakarta:Kanisius dan

Jakarta:BPK Gunung Mulia,1997),179. 21

Kata “Evangelical” yang diindonesiakan sebagai “Injili”, berasal dari dunia AngloSaxon yang

berlatar belakang sejarah gereja Inggris pada abad ke-19. Pada zaman Reformasi kata “Injili” berarti “setia

kepada Injil” yaitu mereka yang membedakan diri dengan kelompok yang setia kepada Paus di Roma, yang

kemudian juga disebut “kaum Protestan”. Pada abad ke-19, kata “Injili” mulai dipakai untuk menunjukkan

orang-orang Protestan yang menekankan kesetiaan kepada Injil yang disertai dengan semangat kebangunan

rohani dan keinginan untuk mengadakan evangelisasi. Kemudian, pada abad ke-20, terjadi polarisasi antara

kelompok evangelical dan kelompok ekumenikal yang juga disebut dengan kelompok keesaan Gereja. Kaum

Injili percaya penuh akan otoritas Alkitab, penebusan dosa hanya melalui darah Kristus, dan bahwa di luar

Kristus dunia akan binasa. Itu sebabnya pewartaan Injil bagi kaum Injili merupakan panggilan utama yang harus

dilakukan. Uraian ini didasarkan pada data yang ada pada Yakub B. Susabda,Kaum Injili,Membangkitkan

Kembali Iman Kristiani Ortodoks(Malang:Gandum Mas,cet-2,1997),12. Menurut Christ Hartono gerakan

evangelical nampaknya dipengaruhi oleh pietisme atau puritanisme Eropa. Christ Hartono,Pietisme di Eropa

dan Pengaruhnya di Indonesia(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1974), 13-39.

Page 9: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

161

evangelikal menekankan segi transendental dengan dimensi spiritual individual dari Injil.

Pemahaman misi kaum evangelical didasarkan pada “Amanat Agung” Kristus sebagaimana

tertulis dalam Matius 28:19-20. “Amanat Agung” oleh kelompok evangelical dipandang

sebagai amanat misi yang paling penting dalam Alkitab, sehingga baginya pertobatan dan

kesalehan merupakan kunci keselamatan manusia. Polarisasi misi yang demikian, yang

dibawa oleh gereja-gereja Protestan ke ladang misi menjadi fenomena global di lingkungan

gereja-gereja Protestan di seluruh dunia.22

V.1.f.Sejarah Misi Sejak Awal Abad ke-20 Sampai Sekarang

Sejarah misi sejak permulaan abad ke-20 sampai sekarang, ditandai dengan:

kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika, sekularisme masyarakat Eropa, dan

kesadaran gereja-gereja di daerah misi akan integritas dan jati dirinya sebagai gereja pribumi

atau gereja setempat yang utuh. Seiring dengan kemerdekaan bangsanya, gereja-gereja

pribumi hendak melepaskan diri dari dominasi gereja-gereja Barat dan mencari

keberagamaan yang khas dengan bangsanya. Mereka mulai menyadari bahwa kekristenan

bukan hak milik bangsa Barat saja, sebab kekristenan adalah sebuah fenomena global.

Mereka mulai mempertanyakan konsep misi “dari Barat ke Timur”, dan konsep misi yang

selalu diartikan sebagai usaha mengkristenkan dunia non Barat yang selalu dipandang

sebagai dunia kafir. Bersamaan dengan lahirnya kesadaran yang demikian, agama-agama

yang telah ada di benua ladang misi seperti Hindu, Budha dan Islam juga mengalami

kebangkitan. Berdasarkan pada realitas sosial yang demikian ini, perubahan pandangan

mengenai misi terjadi pada gereja-gereja Barat, baik pada kalangan gereja-gereja Protestan

maupun pada gereja Katolik.23

Perubahan pandangan tentang misi dikalangan gereja-gereja Protestan kelompok

ekumenical, tampak di dalam beberapa konferensi yang diselenggarakannya. Pertama, dalam

konferensi Edinburgh Skotlandia yang berlansung pada tahun 1910. Dalam konferensi ini

disepakati bahwa lapangan misi tidak boleh lagi dibatasi hanya pada Asia atau Afrika, namun

mencakup seluruh dunia. Misi bukan hanya tugas gereja-gereja di Barat, tetapi tugas semua

gereja di seluruh dunia. Kedua, dalam konferensi Yerusalem yang berlangsung pada tahun

1928. Dalam konferensi Yerusalem yang merupakan kelanjutan dari konferensi Edinburgh,

22

Richard AD Siwu, “Oikumenikalisme Dan Evangelicalisme:Fenomena modern Gerakan Misi

Kristen dan Kehadiran PGI”,dalam Gerakan Oikumene Tegar Mekar di bumi Pancasila, Buku Peringatan 40

tahun PGI (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-3,1997), 304. 23

Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 50.

Page 10: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

162

disepakati bahwa pemahaman tentang misi tidak lagi sebagai usaha mengkristenkan dunia

non Barat, melainkan sebagai tugas bersama dalam menjawab masalah-masalah dunia ini,

khususnya tantangan sekularisme, ateisme, komunisme dan masalah hubungan dengan agama

Yahudi dan Islam. Dalam konferensi Yerusalem, gereja-gereja Protestan dari kalangan

ekumenikal melihat misi dalam wawasan keterbukaan agama Kristen terhadap perkembangan

zaman.24

Ketiga, dalam konferensi Tambaran di India yang berlangsung pada tahun 1938

dengan tema “World Mission of the Church”. Dalam konferensi Tambaran, gereja-gereja

Protestan dari kalangan ekumenical di seluruh dunia Barat dan Timur, dengan berbekal

pendekatan kritis historis terhadap Alkitab memaknai misi sebagai panggilan gereja di

seluruh dunia, dan menetapkan “Amanat Agung” sebagai misi holistik berupa keselamatan

pribadi dan perwujudan keadilan, kemerdekaan, perdamaian.25

Perkembangan dalam pemikiran teologi khususnya kemajuan dalam studi biblis dengan

pendekatan kritik historis, memang sangat mendorong lahirnya perubahan pandangan tentang

misi pada gereja-gereja Protestan di kalangan ekumenikal. Studi kritis historis terhadap Injil

Matius 28: 16-20 yang dikenal sebagai Amanat Agung, yang telah dimulai pada tahu 1940-

an, misalnya, telah membuat gereja-gereja ekumenikal tidak lagi menjadikannya sebagai teks

khusus dalam menyusun teologi misi. Dalam menyusun teologi misi, pada umumnya para

teolog dari kalangan ekumenikal lebih suka memilih teks-teks lain seperti Lukas 4: 16-19.

Matius 25: 31-46 dan Yohanes 17: 21. Hal itu terjadi demikian, karena berdasarkan pada

pendekatan kritik historis, kata-kata dalam Matius 28:16-20, bukanlah kata-kata yang berasal

dari Yesus. Kata-kata itu berasal dari penulis Injil pertama sendiri. Pandangan ini dikuatkan

oleh fakta bahwa, kata-kata sebagaimana ada pada teks termaksud tidak pernah muncul

dalam kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya.26

Berdasarkan pada keputusan sidang International Missionary Council (IMC) atau

Dewan Misi Internasional (DMI) pada tahun 1958 di Achimota, IMC diintegrasikan dengan

World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) yang

pendekatan misinya sangat bersifat ekumenikal. Gereja-gereja Protestan dari kelompok

ekumenikal sangat senang dengan penggabungan IMC ke dalam WCC. Namun, kelompok

evangelical sangat berkeberatan karena menurut mereka kaum ekumenikal telah melalaikan

24

Richard AD Siwu, Misi Dalam Pandangan Ekumenikal Dan Evangelikal Asia, 1910-1961-

1991(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1996), 1-2. 25

Richard AD Siwu,Misi Dalam . . . , 38. Lihat juga:Gerald D. Gort, “Sinkretisme dan Dialog:

Berbagai Persepsi Orang Kristen dalam Sejarah dan Pada Awal Kegiatan Ekumenis”, dalam Peninjau, XIV/2 &

XV/1 (Jakarta: PGI, 1990), 48. 26

David J. Bosch, Transforming Mission . . . , 56-57.

Page 11: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

163

tugas pewartaan Injil kepada setiap orang27

. Berangkat dari keberatan yang seperti itu, gereja-

gereja Protestan dari kelompok evangelical pada Sidang Raya WCC III yang diselenggarakan

di New Delhi India pada tahun 1961, menyatakan keluar dari keanggotaan WCC. Mereka lalu

membentuk wadah sendiri, yang menghimpun kaum evangelical sedunia dalam semangat

evangelisasi yang dipengaruhi oleh fundamentalisme,28

pada kongres Internasional pertama

yang berlangsung di Woudschoten Belanda pada tahun 1961. Wadah yang dibentuknya itu

diberi nama ”World Evangelical Fellowship” (Persekutuan Evangelical Sedunia).29

Sejak tahun 1961 polarisasi antara ekumenikal dan evangelical semakin terlihat dalam

cara bermisi. Kaum evangelical senantiasa membendung pengaruh liberalisme dalam

lingkungan kehidupan gereja, khususnya metode penelitian Alkitab secara ilmiah yakni

metode kritis historis. Kaum evangelical selalu mempertahankan semangat misioner bagi

evangelisasi dunia seperti yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Kaum evangelical

senantiasa menjawab dari sudut pandang mereka masalah-masalah yang diakibatkan oleh

modernisme, kebangkitan agama-agama non Kristen dan pluralitas kebudayaan.30

Gereja-

gereja Protestan dari kalangan evangelical agak berorientasi ke belakang. Mereka tidak

seperti kaum ekumenikal yang berani mengembangkan teologi,misi dan identitas yang

dinamis seiring dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan yang tidak pernah berhenti

berkembang. Dalam hal ini, gereja-gereja Protestan dari kalangan ekumenikal lebih sejalan

dengan gereja Katolik. Gereja Katolik sebagaimana diperlihatkannya dalam Konsili Vatikan

II, berorintasi ke depan. Penghargaannya yang semakin besar terhadap kebudayaan bangsa-

bangsa, kesadarannya bahwa agama-agama non Kristen juga merupakan sarana keselamatan,

27

Chris de Jonge,Menuju Keesaan Gereja,Sejarah,Dokumen-Dokumen dan Tema-Tema Gerakan

Oikumenis (Jakarta: BPK Gunung Mulia,cet-3,1996), 17, 57,143. 28

Fundamentalisme merupakan corak tertentu dalam gerakan evangelical yang menunjuk pada suatu

gerakan keagamaan yang muncul di Amerika Utara pada dekade terakhir abad ke-19. Fundamentalisme sebagai

gerakan merupakan reaksi negatif terhadap modernisme yang dianggap merusak ajaran Kristen. Oleh karena itu

Fundamentalisme sangat menekankan otoritas Alkitab sebagai sumber mutlak pengenalan Allah dan keadaan

manusia, ketuhanan Kristus yang universal sebagai satu-satunya Juru Selamat manusia, mementingkan

pengalaman pribadi terhadap kuasa penyelamatan Kristus, dan menekankan pekabaran Injil keseluruh dunia

agar seluruh manusia berpeluang memperoleh keselamatan. Informasi ini didapat dari Jan Aritonang,Berbagai

Aliran Di Dalam dan Disekitar Gereja,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1995),232-233. Dan juga dari Zakaria

J.Ngelow, “Fundamentalisme Kristen”, dalam Peninjau XVIII/2&XVIII/I,(Jakarta: PGI,1993), 41. 29

Richard AD Siwu,”Asia dan Gerakan Evangelikalisme Baru”, dalam Mendidik Dengan Alkitab dan

Nalar,Kumpulan Karangan Dalam Rangka Penghormatan Kepada Pdt. Prof.Richard W.Haskin,Ph.D,Ioanes

Rahmat(peny),(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1995), 361. 30

William R.Hutchinson,Errant to the world: American Protestant Thought and Foreign

Mission(Chicago:The University of Chicago Press,1987), 101, 104.

Page 12: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

164

menuntun gereja Katoliktidak lagi melihat pelayanan misi gereja sebagai propaganda iman,

tetapi sebagai komunikasi iman.31

Sementara gereja-gereja Protestan dari kalangan ekumenikal bersama gereja Katolik

berpandangan demikian, gereja-gereja Protestan dari kalangan evangelical semakin

menegaskan bahwa mereka mempercayai Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

secara keseluruhan sebagai satu-satunya Firman Allah yang tertulis tanpa salah

(innerransi),32

serta satu-satunya pedoman yang benar bagi iman dan kehidupan ini. Bertolak

dari keyakinan ini dan melalui Kongres Internasional Injili di Berlin 23 Oktober-4 Nopember

1966, gereja-gereja Protestan dari kelompok evangelical atas kontribusi pemikiran dari

Harold J. Ockenga, memutuskan bahwa yang paling fundamental dalam Protestantisme ialah

pentingnya otoritas Alkitab bagi evangelisasi sedunia dalam rangka melaksanakan

evangelisasi ke seluruh dunia.33

Dalam rangka melaksanakan evangelisasi ke seluruh dunia,

kaum evangelical atas kontribusi pemikiran dari John R.Stott dan Donald McGavran juga

menegaskan bahwa pekerjaan misi itu adalah sebuah upaya penanaman gereja yang berlanjut

dengan upaya penumbuhan gereja dengan penekanan pada pemuridan atau pertambahan

jumlah anggota gereja. Bagi kaum evangelical, di antara sekian banyak tanggung jawab yang

dimiliki gereja, menjadikan segala bangsa sebagai murid Kristus merupakan tugas gereja

yang paling utama.34

31

Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 50. 32

Doktrin innerancy lahir sebagai lawan atas rasionalisme. Pada dasarnya rasionalisme berasumsi

bahwa yang dapat disebut realitas hanyalah hal-hal yang dapat menjadi objek pengamatan dan pemikiran

manusia. Pengaruh rasionalisme sangat besar dalam kehidupan kekristenan. Rasionalisme melepaskan Alkitab

dari unsur inspirasi. Menurut rasionalisme segala yang Sang Khalik lakukan harus disesuaikan dengan hukum

alam dan dapat menjadi objek observasi. Menurut Yakub B. Susabda, rasionalismelah yang melahirkan adanya

Biblical Critism. Lihat:Yakub B. Susabda, “Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang seorang Injili”, dalam

Forum Biblika,No.4,edisi April 1994(Jakarta:Lembaga Alkitab Indonesia,1994),46. Gereja yang memandang

Alkitab sebagai inerransi menerima adanya peran manusia di dalam proses penulisan Alkitab, namun Roh

Kudus menuntun dan mengendalikan seluruh proses penulisan. Oleh karena para penulis Alkitab diberi ilham

Allah (2Timothius 3:16) maka yang dikatakan dalam tulisan-tulisan itu dalam segala uraiannya tidak dapat

salah. Karenanya, Alkitab dipandang memiliki wibawa. Pada hakekatnya, Alkitab berisi warta keselamatan yang

tidak dapat salah. Lihat: Ioanes Rahmat, “Ditengah Arus Fundamentalisme Dalam Gereja,” dalam

Soetarman,Fundamentalisme,Agama-Agama dan Teknologi,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,cet-3,1996),43-44.

Menurut Ioanes Rahmat, alasan Alkitab dipercaya dan dipertahankan sampai begitu rupa, berkaitan dengan

lahirnya fundamentalisme Protestan yang muncul pada awal abad ke-20 di Amerika Serikat, yang tidak dapat

dilepaskan dari kandungan paradigma reformasi Protestan Injili abad ke-16. Pemahaman seperti itu

dimaksudkan untuk menolak dan menyerang pendekatan historis kritis terhadap Alkitab yang mempergunakan

prinsip-prinsip penalaran. Lihat: Ioanes Rahmat,”Tempat Fundamentalisme Protestan dalam Teologi-Teologi

Kristen Memasuki Milenium III”, dalam,Penuntun,Vol.2,No.8,Juli 1996(Jakarta:Pokja GKI Jabar),418. 33

C.F.Henry dan Mooneyham(eds.),One Race,One Gospel,One Task(Berlin: World Congress on

Evangelism,1966),97. 34

John R. Stott, “The Great Commision”, dalam F.H.Henry dan W.S Mooneyham(eds.),One Race . . .

,37. Donald McGavran,The Bridges of God: A study in the Strategy of Missions(New York: Friendship

Press,1955), 14-15.

Page 13: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

165

Sejarah misi dari abad ke-1 sampai dengan abad ke-20 menunjukkan bahwa,

pemahaman Injil yang dibawa oleh gereja-gereja Barat ke tanah misi (Asia dan Afrika)

terbungkus dalam kepingan-kepingan perbedaan teologi misi. Perbedaan-perbedaan teologi

misi yang ada dalam gereja-gereja pemberita Injil itu, secara historis disebabkan karena

adanya perbedaan perbedaan denominasi, aliran dan pemahaman teologis dalam gereja itu

sendiri, yang sudah ada sejak zaman Reformasi. Perbedaan yang dimulai dengan perpecahan

antara gereja Katolik dan Protestan, berlanjut dengan perpecahan di dalam kalangan

reformasi sendiri antara pengikut Luther dan Calvin yang dalam perkembangan selanjutnya

juga melahirkan berbagai aliran seperti Pietisme, Puritanisme, kelompok gereja ekumenikal

dan kelompok gereja evangelical. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelahiran gereja-

gereja di tanah misi, berasal dari tiga tradisi besar gereja yaitu tradisi gereja Katolik, tradisi

gereja-gereja Protestan yang ekumenikal yang melahirkan gereja-gereja dalam gerakan

keesaan Gereja, dan tradisi gereja-gereja Protestan yang evangelical yang melahirkan gereja-

gereja dalam gerakan Injili.

Melihat sejarah pelaksanaan misi gereja sejak kelahiran gereja sampai pada

pertengahan abad ke-20, dapat disimpulkan bahwa berbicara tentang sejarah misi gereja

ternyata kita berbicara tentang sejarah gereja itu sendiri secara dinamis. Hal itu terjadi

demikian nampaknya karena seiring dengan perkembangan gereja dalam dunia yang

berkembang, berkembang pula pemahaman gereja tenatang misinya. Semula misi dipahami

sebagai usaha perluasan gereja secara triumfalistis dan para misionaris dilihat sebagai duta

dari superioritas budaya bangsa-bangsa Barat atas budaya bangsa-bangsa di luar bangsa

Barat, karena gereja mengerti dirinya sebagai umat pilihan Tuhan, umat yang telah

diselamatkan dalam Kristus dan yang harus menjadikan setiap bangsa murid Kristus agar

mereka juga terselamatkan. Ketika pengenalan gereja akan dirinya dan juga pengenalan

gereja akan dunianya mengalami perubahan, dimana dia dan sesamanya dipahami sama

sebagai sesama manusia ciptaan yang dikasihi dan diselamatkan Tuhan sang pencipta semua

makhluk, sebagaimana terungkap dalam Konferensigereja-gereja Protestan ekumenikal yang

diselengarakan di Edinburgh 1910, di Yerusalem 1928, di Tambaran India 1938, di New

Delhi India 1961, dan dalam Konsili Vatikan II gereja Katolik yang berlangsung pada

pertengahan tahun 1962,gereja tidak lagi menjadikan misinya sebagai propaganda iman

tetapi sebagai komunikasi iman.

Page 14: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

166

V.2. ModelMisiGereja EropaDi Indonesia Pada Masa Penemuan Dan Penaklukkan

Benua-Benua Baru

Ekspansi imperialis dan kolonialis Barat ke Asia termasuk di dalamnya ke Indonesia

berlangsung dalam kurun waktu lima abad dari tahun 1492 sampai dengan 1947. Era ini

disebut juga sebagai era Vasco Da Gama, sebab Vasco Da Gama adalah tokoh yang

menemukan rute laut ke India sebagai rute yang digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa:

Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jerman dalam melancarkan ekspansinya ke wilayah

Asia. Pada tahun 1511 bangsa Portugis menduduki Malaka sebuah kota strategis di Asia

Tenggara, kemudian menjelajahi Maluku, Flores dan Timor yang kaya akan rempah-rempah.

Kehadiran Portugis ke Asia terutama didorong oleh motif ekonomi, motif politik dan motif

agama yaitu keinginan untuk mewartakan Injil. Jatuhnya Malaka di bawah kekuasaan

Portugis membuat Malaka menjadi pusat politik, ekonomi dan pusat kegiatan misi. Usaha

misi agama bangsa Portugis membuahkan hasil. Sejumlah penduduk pribumi di Maluku,

Timor, dan Flores menerima baptisan dan menjadi warga gereja Katolik mulai pada tahun

1543.35

Pelaksanaan misi agama bangsa Portugis senyatanya bergandengan tangan dengan

penjajahan dan perdagangan, sehinggamotif misi agama bangsa Portugisdikaburkan oleh

motif ekonomi danmotif politiknya.36

Sekalipun motif misi agama bangsa Portugis dikaburkan oleh motif ekonomi dan

politiknya, negara Portugis memandang penyiaran agama Katolik sebagai tugasnya, sehingga

ia membiayai seluruh usaha pekabaran Injil. Di setiap kapal Portugis selalu ada imam-imam

yang memeliara kerohanian awak kapal dan yang sesudah mendarat, berdoa kepada Tuhan,

memohon berkat atas perdagangan maupun pekabaran Injil, dan kemudian mulai

mengabarkan Injil kepada penduduk setempat. Selain memburu rempah-rempah, bangsa

Portugis yang datang ke Indonesia juga membawamentalitas superior dan memori kolektif

yang buruk dalam hubungannya dengan komunitas muslim,dari negara asalnya.37

Berdasarkan motif dan muatan yang terbawa oleh bangsa Portugis dalam

kedatangannya ke Nusantara, maka pada masa kolonial Portugis, terjadi dua persaingan di

wilayah Nusantara. Pertama, persaingan antar kekuatan politik, baik di kalangan kekuasaan di

35

Dick Hartono S.Y. “Iman dan Adat Istiadat:Sebuah Pergumulan Klasik” dalam Chris

Hartono(ed.),Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang

Berubah(Jakarta:Persetia,1995),159. 36

F.Ukur dan Cooley, Jerih dan Juang . . . , 453. 37

Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme(Jakarta:Komunitas

Bambu,2011), 45.

Page 15: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

167

wilayah Nusantara maupun antar kekuatan bangsa-bangsa asing dalam memperebutkan

monopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia. Kedua, persaingan antar misi Kristen dan

misi Islam yang menyebar di wilayah Nusantara melalui pusat-pusat kekuasaan dari

Sumatera sampai Ternate. Misi agama dipakai dalam percaturan politik sehingga permusuhan

antara penguasa-penguasa Kristen dan penguasa-penguasa Islam di Barat terbawa ke

Indonesia. Persaingan antara KristenKatolik (Portugis dan Spanyol) dengan KristenProtestan

(Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1602 dengan motif yang sama dengan motif

Portugis) juga terjadi pada era kolonial Portugis.38

Bangsa Belanda dengan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) datang ke

Indonesia pada tahun 1602, satu abad setelah kedatangan Portugis. Oleh karena bangsa

Belanda adalah pedagang, maka tujuan utama Belanda datang ke Indonesia melalui wadah

VOC adalah untuk mendapatkan monopoli dalam bidang perdagangan. Pada tahun 1605

Belanda melalui pertempuran mengusir orang-orang Portugis dari Maluku. Kemudian sebagai

pemilik VOC yang merupakan perusahan dagang terbesar pada abad ke-17, Belanda

mendirikan koloni tetap di Indonesia dan itu terus dipertahankannya hingga pada pertengahan

abad ke-20. VOC sesungguhnya tidak banyak melakukan pekerjaan misi. Pekerjaan misi

dalam arti penyebaran iman Kristen, sesungguhnya banyak dihindari oleh VOC karena

mereka takut akan berpengaruh negatif terhadap perolehan keuntungan ekonomi.39

Di bidang

misi, VOC pada umumnya hanya memimpin kebaktian di kalangan pemimpin yang

mempekerjakan mereka atau di rumah para pedagang Belanda.Sebuah karyapenyebaran iman

Kristenyang cukup monumental dilakukan VOC adalahhanya menerbitkan Perjanjian Baru

dalam bahasa Indonesia.40

Mencermati sikap pemerintah Belanda dalam penginjilan pada masa kolonialnya di

Indonesia seperti tersebut di atas, Saut Sirait memandang penjajahan Belanda merupakan

38

Van Den End,Harta Dalam Bejana(Jakarta:BPK Gunung Mulia,cet-7,1988), 165. Juga Christian de

Jonge dan Jan Aritonang,Apa dan Bagaimana Gereja?Pengantar Sejarah Eklesiologi (Jakarta: BPK Gunung

Mulia,cet-2,1993), 90. 39

Pemerintah kolonial Belanda pernah membuat kebijakan yang menyatakan bahwa beberapa daerah

jajahan di Nusantara seperti Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat khususnya Banten ditutup bagi pemberitaan Injil.

Kebijakan itu dibuat karena kepentingan politik dan ekonomi pemerintah Belanda, yang sudah berjalan baik

karena adanya kerjasama antara mereka dengan pemerintah dan masyarakat setempat, akan sangat terganggu

bila kedatangan gereja tidak bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Dalam hal ini, pelaksanaan

misi gereja dikorbankan oleh pemerintah Belanda demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Lihat

J.R.Hutauruk,”Sejarah Gereja di Indonesia” dalam Chris Hartono(ed.),Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan

Dunianya Yang Sedang Berubah(Jakarta:Persetia,1995),105,133. 40

Th Van Den End, Ragi Carita 1, Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1980),

32-33. Lihat juga: Stephen Neil,A History of Christian Missions(London: Overseas Missionary Felloship, 1967),

16-17.

Page 16: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

168

bagian kegagalan dan kekacauan penginjilan di Indonesia terutama pasca kemerdekaan.

Selama kekuasaan penjajahan, Belanda dianggap memiliki peran utama dalam penginjilan

hingga berdirinya gereja-gereja di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, kekristenan

diidentikkan dengan penjajahan Belanda atau paling tidak merupakan bagian dari strategi

penjajahan. Padahal dalam kenyataannya, banyak kebijakan dan tindakan Belanda yang justru

menghempang penginjilan dan kemajuan gereja-gereja di Indonesia. Fakta selama 350 tahun

menjadi penguasa di bumi Nusantara, tetapi penganut Kristen teramat minoritas merupakan

bukti bahwa penjajahan Belanda tidak sepenuhnya bertalian dengan kekristenan.41

Seiring dengan perjalanan waktu sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, monopoli

VOC tidak hanya pada perdagangan, tetapi juga di bidang gerejawi. Hal itu terjadi demikian,

karena VOC memahami bahwa ia adalah pelaksana pemerintahan Hindia-Belandasehingga

gereja di Indonesia ada di bawah wewenangnya. Orang KristenIndonesia tidak diperbolehkan

menempuh kebijakan sendiri dalam bergereja. Sementara melaksanakan kebijakan demikian,

pihak VOC tidak memiliki niat untuk mendidik orang-orang Indonesia menjadi pelayan

gereja. GerejaIndonesia diurus oleh tenaga dari Belanda yang dibiayai oleh VOC dalam

suasana paternalistik. Dalam keadaan yang demikian, berbicara tentang sejarah gereja

Indonesia pada jaman VOC adalah berbicara tentang sejarah gereja Nederland di

Indonesia.42

Keengganan para missionaris Belanda pada waktu itu untuk memberi tempat

pada gereja pribumi, didasarkan pada pandangan bahwa semua warisan dan nilai budaya

pribumi masih kafir. Para misionaris Belanda berpendirian bahwa bila warga pribumi hendak

menjadi penganut agamaKristen, maka semua warisan dan nilai budaya harus ditinggalkan

dan menggantikannya dengan unsur budaya Barat. Dengan kata lain, menjadi Kristen berarti

tercabut dari sosio-budaya-religius tempat warga pribumi berakar, kemudian di-Barat-

kan.Hal itu dilakukan demikian karena kristenisasi yang dilakukan oleh gereja Belanda dalam

misi agamanyadiidentikan dengan westernisasi.43

Selama hampir dua ratus tahun, dari tahun 1602 sampai tahun 1795, dalam asuhan

VOC Kekristenan di Indonesia tidak berkembang karena tidak memiliki kebebasan untuk

mengembangkan teologi dan keberadaannya. Menurut Van Den End, pada akhir abad ke-18,

41

Saut Sirait,Teologi Kenegaraan Negara Dalam Rancangan Tuhan(Jakarta:BPK Gunung

Mulia,2016),2. 42

Van Den End, Harta Dalam . . . , 218-226. 43

Christian de Jonge dan Jan Aritonang,Apa dan Bagaimana Gereja . . . , 92.

Page 17: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

169

gereja Indonesia bagaikan tanaman yang hampir mati,44

karena pada masa kejayaan VOC

Belanda tidak memiliki upaya penyebaran agama Kristen secara besar-besaran di Indonesia.

Bahkan pada jaman kejayaan VOC, pulau Jawa Timur, Jawa Barat khususnya Banten dan

pulau Bali dinyatakan tertutup bagi penyebaran agama Kristen. VOC hanya melanjutkan

pemeliaraan jemaat-jemaat Kristen Indonesia yang ditinggalkan Portugis seadanya saja.

Bahkan kadangkala VOC mengorbankan gereja demi kepentingan ekonominya.

Ketika VOC bubar pada akhir abad ke-18, maka babakan baru dalam sejarah gereja

Indonesia dimulai. Pemerintah kolonial Belanda menangani langsung umat Kristen Indonesia

dengan menata ulang organisasi gereja-gerja Indonesia. Pada masa yang demikian,tepatnya

pada tahun 1835, dilakukan pembentukan gereja kesatuan Indonesia dengan menyatukan

seluruh golongan Protestan (Hervormd dan Lutheran) dengan nama De Protestansche Kerk

in Nederlandsch Indie (Gereja Protestan di India Belanda). Dengan penetapan itu, gereja

ProtestanIndonesia tidak lagi memiliki hubungan resmi dengan gereja Belanda, namun

menjadi bagian dari lembaga pemerintahan kolonial. Dari De Protestanche Kerk in

Nederlandsch Indie, lahir gereja-gereja etnis di Indonesia bagian Timur yaitu: Gereja Masehi

Injili Minahasa (GMIM) pada tahun 1934, Gereja Protestan Maluku (GPM) pada tahun 1935,

Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) pada tahun 1947, dan jemaat-jemaat lainnya tergabung

dalam sinode tersendiri yaitu Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) pada tahun

1948.45

Pada abad ke-19, pekerjaan misi di Indonesia disamping dilakukan oleh gereja-gereja

Barat yang bergandengan tangan dengan kekuasaan pemerintahan kolonial, diselenggarakan

pula oleh para misionaris Eropa dan Amerika yang terlepas dari kekuasaan pemerintahan

kolonial. Para misionaris yang datang ke Nusantara pada abad ke-19 yang terlepas dari

kekuasaan pemerintahan kolonial, adalah para misionaris dari gerakan pietisme dan

revivalisme46

. Misi para misionaris Barat dari gerakan pietisme dan revivalisme hanya

berorientasi pada hidup di seberang dunia ini. Bertolak dari orientasi misi yang demikian,

mereka hanya menekankan pertobatan pribadi demi keselamatan rohani perorangan. Sebagai

bagian dari bangsa dan budaya Barat, dalam pelaksanaan misinya kaum pietis dan

44

Van Den End, Harta Dalam . . . , 227. Lihat juga: F.Ukur, “Pengkajian Kembali Sejarah Gereja di

Indonesia”, dalam MA.Ihromi(peny), Theo-Doron, Pemberian Allah, Kumpulan Karangan dalam rangka

menghormati usia 75 tahun Prof Dr. Theodor Mueller-Krueger (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1979), 60-62. 45

Zakaria J Ngelow, “Gereja di Tengah Bangsa dan Masyarakat Indonesia”, dalam Sularso Soepater,

dkk(peny.), Gereja dan Kontekstualisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1998),15. 46

Van den End,Sejarah Gereja Asia (Yogyakarta:Pusat Penelitian dan Inovasi Pendidikan Duta

Wacana, 1988), 57.

Page 18: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

170

revivalistidak memperkembangkan sikap kritis terhadap kekuasaan kolonialisme. Mereka

melaksanakan misi dengan berlomba-lomba baik secara halus maupun kasar, mencari

pengikut untuk dijadikan orang yang seagama dengan mereka.

Dalam pelaksanan misinya seperti terurai di atas, kaum pietis dan revivalis sekalipun

tidak terikat dengan kekuasaan kolonialisme, namun mentalitas mereka sama seperti

mentalitaspara misionaris bangsa Eropa yang datang pada abad ke-16 dan yang terikat

dengan pemerintahan kolonial, yakniselalu mau menang sendiri.Mentalitas yang demikian itu

bersumber dari pemahaman gereja Eropa bahwa agama Kristen diyakini lebih unggul dari

semua agama yang telah ada di Indonesia. Dengan bermental triumphalis, gereja Eropa baik

dari kelompok yang bertalian dengan kekuasaan kolonial maupun dari golongan yang

terlepas dari pemerintahan kolonial, melalui misi agamanyasama-sama berjuang untuk

memenangkan semua agama Indonesia yang dipandangnya inferior dengan

jalanmendominasi bahkan mengkonversi semua agama yang telah ada di Indonesia kedalam

kekristenan.47

Misi gereja Eropa pada masa kolonial yang sangat berkehendak dan bergiat untuk

mendominasi bahkan mengkonversi semua agama Indonesia ke dalam kekristenan,

senyatanya adalah misi yang berorientasiuntuk menjadikan Indonesia sebagai bagian dari

corpus christianum. Misi yang berorientasi pada pembentukan Indonesia sebagai bagian dari

corpus christianum, adalah misi yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia sama seperti

bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-12, yaitu menjadi bangsa dimana gereja atau masyarakat

kristiani hadir untuk menjadi pusat dan pengatur perjalanan bangsa itu,48

dengan jalan

mendominasi dan mengkonversi semua agama non Kristen kedalam kekristenan. Misi yang

berorientasi pada pembentukan corpus christianum di Indonesia, tidak hanya berlangsung

pada masa kolonial, tetapi ia juga berwajah kolonialis.49

Misi yang berorientasi pada

pembentukan corpus christianum,agaknya dikonstruksi berdasarkan pada teologi dari

sebagian besar gereja-gereja Barat pada masa penemuan benua-benua baru, yang sangat

bercorak eklesiosentris.

47

Victor I Tanja, “Perjumpaan Gereja Dengan Agama-Agama Lain”, dalam Chris Hartono

ed.Perjumpaan Gereja Di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta: Persetia, 1995),17-18. 48

J.R. Hutauruk, “Sejarah Gereja di Indonesia”,dalam Chris Hartono,Perjumpaan Gereja di Indonesia

Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah(Jakarta:Persetia,1995),95-96. 49

Anton Wesel,Memandang Yesus:Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya(Jakarta:BPK Gunung

Mulia,1990),122.

Page 19: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

171

Teologi yang bercorak eklesiosentris dibangun berdasarkan pada pemahaman bahwa

Alkitab adalah penyataan Allah yang absolut dan Kristus adalah penyataan Allah yang

bersifat normative, sehingga pengajaran gereja adalah bersifat mutlak. Salah satu dogma

gereja yang berkaraker demikian, tergurat jelas dalam kalimat klasik “extra ecclesiam nulla

salus”, di luar gereja tidak ada keselamatan”.50

Misi gereja yang berbasis pada teologi

eklesiocentris, adalah model misi eksklusivisme.Model misi eksklusivisme adalah model misi

yang dengan berpayungkan inkarnasi Allah yang paradoks sebagaimana tertayang dalam

Yohanes 3:16,51

hanya mengagungkan partikularitas keselamatan dalam Kristus, namun

sangat mengabaikan universalitas keselamatan Allah bagi dunia. Eksklusivisme memandang

kekristenan sebagai agama yang benar, karena menerima keselamatan Allah dalam Kristus,

namun tidak memberi tempat yang memadai bagi pemahaman faktual agama-agama lain,

bahkan agama-agama lain sering dilihat secara negatif. Gereja yang berparadigma

eksklusivisme selalu berusaha dengan giat merebut dan mengkonversi agama-agama non

Kristen kedalam kekristenan.52

Model misi yang demikian inilah, yang dilaksanakan oleh

gereja Eropa pada masa kolonial di Indonesia.

Model misi eksklusivisme yang diterapkan gereja Barat pada masa kolonial di

Indonesia bercorak pietis dan individualistis. Eksklusivisme yang bercorak pietis dibangun

berdasarkan pada pemahaman dan pendekatan gereja terhadap Injil yang mengutamakan

pertobatan pribadi dan keselamatan rohani. Kemudian misi model eksklusivisme yang

berkarakter individualistis dibangun berdasarkan pada pemahaman bahwa kebudayaan Barat

adalah ekspresi hakiki dari kekristenan, sehingga kebudayaan Barat juga dipandang superior

atas semua kebudayaan dan peradaban dunia. Paradigma misi eksklusivismeyang bercorak

pietis dan individualistis inilah, yang membuat gereja-gereja Barat menjalankan cara-cara

misi di Indonesia, yang menekankan bahwa hanya dengan membersihkan diri dari agama non

50

Teologi misi eklesiosentris yang christocentris ini senantiasa mengambil dasar biblis dari setidaknya

dua bagian Alkitab yaitu: Pertama, dari Yohanes 14:6 yang mengatakan, “Akulah jalan kebenaran dan hidup.

Tidak ada seorangpun yang sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Kedua, dari Kisah Para Rasul 4:12

yang mengatakan: Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah

kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” 51

Teks Yohanes 3:16 berbunyi, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah

mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan

beroleh hidup yang kekal”. Inkarnasi yang tertayang dalam teks ini adalah inkarnasi paradoks. Di satu sisi ia

memperlihatkan dengan tegas bukti kasih Allah pada dunia ini, namun di sisi lain ia memunculkan persoalan

normativitas Kristus. 52

Joas Adiprasetya,Mencari Dasar Bersama:Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan

Pluralisme Agama,Cetakan kedua(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2009),50-52. Lihat juga Douglas

J.Elwood,Teologi Kristen Asia:Tema-tema yang tampil kepermukaan,terj.(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1992),4,

Lihat juga, Dean William Ferm,Third World Liberation :An Introductory Survey(Maryknoll New York: Orbis

Books, 1986)76,77.

Page 20: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

172

Kristen dan mentransplantasi cara hidup Barat dalam kehidupan, seorang Indonesia baru

menjadi Kristen dan dapat berharap memperoleh keselamatan.53

Dalam menjalankan model

misi yang demikian, gereja Barat tidak memberi penghargaan sedikitpun terhadap

spiritualitas yang ada pada agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada di

Indonesia. Sebaliknya semua agama non Kristen yang ada di Indonesia dan semua

kebudayaan di luar kebudayaan Barat, dipandangnya distorsi karena terselimut dosa.

Dalam melakanakan model misi eksklusivisme yang bercorak pietis dan juga

nampaknya karena telah diposisikannya gereja-gereja Indonesia sebagai bagian dari

pemerintahan kolonial, gereja Belanda mengkondisikan gereja-gereja Indonesia tidak sebagai

kekuatan sosial agar tidak kritis terhadap kekuasaan kolonialisme. Para misionaris Belanda

mengajar gereja-gereja Indonesia untuk merasa puas dengan politik etika kolonialisme

tentang peningkatan pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Melalui pengajaran itu, gereja

Belanda berkehendak agar politik etika pemajuan kaum pribumi itu, harus dipandang oleh

masyarakat Indonesia sebagai karya misi yang sudah cukup membangun peradaban manusia

Indonesia.54

Model dan cara misi gereja Barat di Indonesia pada masa kolonial seperti telah

tergambar di atas, dimana model itu nampaknya juga diterapkan di wilayah-wilayah jajahan

lainnya, oleh banyak teolog baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, dinilai sebagai

misi yang tidak merupakan penghayatan akan Injil secara komprehensif, tidak kontekstual

dan tidak relevan.Para teolog Barat misalnya seperti: Douglas J. Elwood,55

Dean William

Ferm,56

dan Anton Wessels,57

sama-sama mengatakan bahwa pemahaman tentang Injil yang

dibawa gereja Barat ke Asia, adalah pemahaman yang dibatasi oleh pengertian-pengertian

yang pietistis dan individualistis. Perhatian terhadap dimensi sosial sangat kecil dan nilai-

nilai positif yang ada dalam agama-agama lain kurang dihargai. Para teolog Asia seperti

Aloysius Pieris dan E.G. Singgih sama-sama mengatakan bahwa corak agama Kristen yang

53

Victor I.Tanya, “Perjumpaan Gereja Dengan Agama Lain”,dalam Chris Hartono(ed.),Perjumpaan

Gereja di Indoensia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta: Persetia,1995),17. Lihat juga Choan

Seng Song,Christian Mission in Reconstruction an Asian Analysis(Maryknoll,New York:Orbis

Books,1997),175,177. 54

Zakaria J.Ngelow,Kekristenan dan Nasionalisme Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan

Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950, Cetakan Kedua(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1996),18-22. 55

Douglas J.Elwood, Teologi Kristen Asia:Tema-tema yang tampil ke permukaan,terj.B.A.Abednego

(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1992), 4. 56

Deane William Ferm, Third World Liberation:An Introductory Survey(Maryknoll New York:Orbis

Books,1986),76-77. 57

Anton Wessels, Memandang Yesus: Gambar Yesus Dalam Berbagai Budaya, terj. Evie V.Item

(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1990),122.

Page 21: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

173

dibawa Barat ke Asia sangat berwarna Barat dan disemangati oleh misiologi perebutan dan

kekuasaan, sehingga sangat bersifat imperialistis.58

Demikian juga Choan Seng Song

mengatakan bahwa model misi yang berpusat pada gereja yang gereja Barat bawa tidak

relevan bagi gereja dalam menghadapi kemajemukan. Di mata Song model misi gereja yang

demikian, mengganggu bahkan merusak hubungan gereja dengan sesamanya yang beragama

lain.59

V.3. Pengaruh Model Misi Gereja Eropa Bagi Gereja-Gereja Di Indonesia

Semangat kristenisasi berupa penaklukkan agama-agama yang telah ada di Indonesia

atas dorongan memori kolektif dari Barat berupa eksklusivisme, diinfus oleh gereja Barat

kedalam karakter kekristenan yang dilembagakan di Indonesia.60

Paradigma misi

eksklusivisme yang gereja Eropa terapkan di Indonesia pada masa kolonial, yang berorientasi

pada pembentukan corpus christianum sehingga juga berwajah triumphalis, masih melekat

dalam gereja-gereja di Indonesia sampai sekarang ini. Paradigma misi eksklusivisme yang

bercorak pietis yang dipraktekkan oleh gereja Belanda di Indonesia, dikatakan oleh J.H.

Bavink sebagaimana direiterasi oleh A.A. Yewangoe, telah membuat gereja-gereja di

Indonesia kurang menekankan pemahaman Injil yang berdimensi sosial.61

Model misi

eksklusivisme yang bersifat individualistis yang dilaksanakan oleh gereja-gereja Barat pada

masa kolonial di Indonesia, dimana kristenisasi diidentikkan dengan westernisasi,

menyebabkan beberapa gereja-gereja di Indonesia berwajah Eropa.62

Bahwa paradigma misi eksklusivisme gereja Eropa pada masa kolonial, bercorak pietis

dan individualistis, sehingga berorientasi pada pembentukan corpus christianum, dengan

gaya triumphalis, masih melekat dalam beberapa gereja di Indonesia sampai sekarang ini,

menampak jelas dari cara-cara gereja-gereja Indonesia melaksanakan misinya. Dalam

melakukan misinya itu, gereja Indonesia dengan sangat gigih, senang melakukan tindak-siar

tentangkeyakinan-keyakinan yang dipegangnya sebagai kebenaran absolut karena

dipahaminya sebagai kebenaran ilahi, kepada orang lain yang diduganya belum memiliki

58

Aloysius Pieris, “Toward an Asian Theology of Liberation : Same Religion-Culture Guidelines”,

Dialogue,New Series VI (Colombo: Ecumenical Institute for Study and Dialogue,1979),36. E.G. Singgih, Dari

Israel ke Asia(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1983),22. 59

Choan Seng Song,Jesus and the Reign of God(Minneapolis:Fortress Press,1993),41. 60

Leonard Y.Andaya,The World of Maluku:Eastern Indonesia in the Early Modern

Period(Honolulu:University of Hawaii Press,1993), 123. M.S.Putuhena, “Interaksi Islam dan Budaya di

Maluku:Perspektif Historis dan Religio Politik”, dalam Komarrudin Hidayat dan Ahmad Gaus(ed.),Menjadi

Indonesia:13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara(Jakarta:Mizan,2006),354-355. 61

A.A.Yewangoe,Teologi Crusis in Asia(Amsterdam:Rondop Bab V,1987),33. 62

Bandingkan William Hogg,One World,One Mission(New York:Friendship Press,1960),113.

Page 22: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

174

kebenaran karena tidak memiliki keyakinan yang sama, melalui tri kegiatan gereja.63

Dalam

melaksanakan misinya, kebanyakan gereja Indonesia melalui tri dharmanya, masih lebih

condong melakukan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan gereja berupa pentobatan

masyarakat menjadi murid Kristus demi keselamatan jiwa, daripada misi yang berorientasi

pada kepentingan riil masyarakat di bidang sosial dan politik di sini dan kini.64

Dalam

melaksanakan misinya, sebagaimanaterproyeksi dalam kegiatan gereja di bidang persekutuan,

pelayanan dan kesaksian, sebagian besar gereja Indonesia masih berorientasi pada corpus

kristianum sebagai esensi dan tujuan misi, sehinggadengan sikap yang terkesan arogan,

Indonesia dan keindonesiaan lebih diperlakukan sebagai ladang atau obyek misi daripada

sebagai tanah airnya dan sebagai misinya.65

Bahwa komunitas Kristen Indonesia dalam menjalankan misinya sangat bersikap

triumphalis sebagai dampak bentukan gaya misi gereja Barat, merupakan fakta yang masih

banyak jumlahnya dan masih menyolok coraknya. Keadaan yang demikian ini, berlangsung

bukan saja di kalangan yayasan-yayasan pekabaran Injil, tetapi juga menampakkan diri dalam

pandangan-pandangan teologis gereja-gereja. Bahwa sampai saat ini, masih banyak

komunitas Kristen Indonesia bermental eksklusif dan triumphalis, senyatanya mereka itu

tidak hanya dari lingkungan gereja-gereja evangelical, tetapi juga dari lingkungan gereja-

gereja ekumenikal. Persekutuan gereja gereja di Indonesia (PGI) misalnya, masih semangat

berbicara tentang Indonesia sebagai satu daerah pekabaran Injil, ketika berbicara dalam

kerangka pemahaman Matius 28 tentang Injil yang harus diberitakan ke seluruh pelosok

dunia.66

63

Dalam melakukan misinya yang berparadigma demikian, tidak jarang muncul kesan bahwa karakter

misi gereja Indonesia, sebagaimana terlihat dari presensia dan tri dharmanya, adalah misi yang berwajah

membela bahkan memberhala agama.Pengalaman penulis sebagai pendeta Jemaat menunjukkan bahwa, bila

ada seorang warga karena menikah meninggalkan agama Kristen dan mengikut agama suaminya, sebagian besar

warga Jemaat mencibir wanita itu beserta keluarganya dengan berujar demi cintanya kepada suami rela

meninggalkan kebenaran. Sebaliknya, bila ada warga jemaat yang karena menikah, suaminya meninggalkan

agamanya dan ikut menjadi Kristen, sebagian besar warga jemaat terutama keluarga besar penganten bangga

sekali seraya selalu berujar anak mereka bisa menarik suaminya dari jalan gelap ke jalan terang, dari jalan

menuju kebinasaan ke jalan menuju keselamatan. 64

Pengalaman penulis bekerja sebagai majelis sinode harian GKPB menunjukkan bahwa sebagian

besar jemaat-jemaat GKPB lebih bersemarak melakukan kegiatan-kegiatan gerejawi yang bersifat seremonial

seperti ibadah perayaan hari ulang tahun gereja daripada kegiatan-kegiatan gerejawi yang bersifat sosial seperti

memberi bantuan moril dan material kepada masyarakat yang tengah menderita karena bencana alam,

ekonomi,sosial dan politik. Kadang-kadang jemaat-jemaat memang suka memberi bantuan yang hanya bersifat

karitatif kepada sesama yang terkesan akan pindah agama dari non Kristen menjadi Kristen. 65

Pengalaman penulis sebagai anggota pengurus Musyawarah Pelayanan Antar Gereja menunjukkan

bahwa tidak jarang terdengar visi dan misi gereja-gereja di Bali adalah memenangkan Bali bagi Kristus. 66

Victor I Tanja,Perjumpaan Gereja . . . , 17.

Page 23: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

175

Keberadaan gereja-gereja di Indonesia memang sangat dipengaruhioleh model misi dan

juga oleh keberadaan gereja-gereja Barat. Hal itu terjadi demikianagaknya memang wajar,

karena mereka adalah hasil dari pekerjaan misi gereja-gereja Barat. Keterkaitan gereja-gereja

di Indonesia dengan gereja-gereja Barat, membuat gereja-gereja di Indonesia pada taraf

tertentu memang bisa menyerupai sepertikekristenan Barat. Polarisasi gereja dikalangan

kelompok Protestan yang terjadi di Eropa dan di Amerika contohnya, senyatanya telah

menjadi barang import dalam tiga wajah atau wadah pada gereja-gereja Protestan di

Indonesia. Ketiga wadah itu ialah: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan

Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII), dan Persekutuan Gerakan Pentakosta Indonesia

(PGPI).

Kalangan ekumenikal di Indonesia dianggap terwakili oleh gereja-gereja yang

bergabung di dalam PGI, sehingga PGI dikenal sebagai gerakan keesaan gereja. PGLII,

karena komitmentnya terhadap pekabaran Injil maka dikenal sebagai gerakan Injili.

Sementara PGPI karena komitmennya terhadap karunia-karunia Roh Kudus, maka dikenal

sebagai gerakan Pentakosta.Sebagaimana diproyeksikan oleh rumusan dokumen Pemahaman

Tugas Panggilan Bersama (PTPB) dari Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) Bab IV

mengenai Bersaksi dan Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk, teologi misi gerakan

keesaan gereja sama seperti teologi misi gerakan Injili dan gerakan Pentakosta, yakni sama

sama bersifat gereja sentris.67

Misiologi yang bersifatgereja sentris, oleh Aloysius Pieris,

dikatakan telah membuat gereja dalam praktek misinya, baik yang dilakukan dulu oleh

gereja-gereja Barat, maupun yang masih dilaksanakan sampai kini oleh gereja-gereja di tanah

bekas jajahan bangsa Barat, acapkali berwarna Barat dan tidak jarang pula, mentransplantasi

cara hidup Barat pada cara hidup komunitas Kristen yang terbentuk di wilayah koloni atau di

wilayah bekas koloni.68

Dalam pelaksanaan misinya yang gereja sentris,sejumlah gereja-gereja di Indonesia

acapkali masih mengabaikan dinamika kemajemukan agama Indonesia. Hal itu terjadi

demikian, karena gereja-gereja di Indonesia yang bersikap demikian itu, memandang diri

sebagai kelompok persekutuan yang telah diselamatkan, yang mesti berhadapan dengan dunia

yang belum diselamatkan. Gereja-gereja di Indonesia termaksud itu, menempatkan diri

67

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia,Lima Dokumen Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung

Mulia,cet-2,1996), 9. 68

Aloysius Pieris, “Toward an Asian Theology of Liberation: Same Religion-Culture Guidelines,

“Dialogue,New Series VI (Clombo: Ecumenical Institute for Study and Dialogue,1979),36. Lihat E.G. Singgih,

Dari Israel ke Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1983), 22.

Page 24: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

176

sebagai pihak yang mentobatkan, dan agama-agama lain diposisikannya sebagai pihak yang

perlu ditobatkan.Pemahaman dan pelaksanaan misi yang demikian, cendrung mendorong

gereja-gereja Indonesia untuk mempertahankan eksklusifitasnya dan membuat mereka

mengartikan misi itu sebagai proklamasi Injil secara verbal, bagi orang yang belum mengenal

Kristus guna untuk mendatangkan pertobatan.

Dalam misinya yang gereja sentris, gereja-gereja Indonesia tidak menaruh perhatian

besar terhadap kehidupan sosial politik, dan kurang menghargai nilai-nilai positif yang ada

dalam agama-agama lain, bahkan tidak jarang gereja-gereja Indonesia menempatkan

penganut agama lain sebagai komunitas yang tidak memiliki kebenaran ilahi. Pemahaman

dan pelaksanaan misi gereja sentris tidak relevan bagi gereja dalam menghadapi

kemajemukan agama Indonesia. Pemahaman dan pelaksanaan misi gereja-gereja yang

mengabaikan keindonesiaan yang demikian ini,telah banyak menimbulkan hubungan yang

bermusuhan antara gereja dan agama-agama lain.69

Pada masa kolonial, pelaksanaan misi

yang gereja sentris, memang dapat berjalan, karena identitas Kristen sebagaimana tertuang

dalam wujud budaya Barat yang relatif lebih maju, bertemu dengan identitas Indonesia yang

belum maju. Namun kini, pada masa pasca-kolonial, ketika kekristenan menjadi salah satu

agama Indonesia, gereja-gerejaIndonesia menghadapi realitas kemajemukan agama

Indonesia, yang tidak bisa diabaikannyalagi,tetapi justru harus diresponnya secara

proporsional.70

V.4. Gereja Indonesia Patut Melakukan Reinterpretasi Atas Matius 28: 18-20

Dalam rangka menggereja dan mengindonesia dimana gereja Indonesia menghadapi

realitas kemajemukan agama yang tidak bisa diabaikannya lagi, tetapi justru harus

diresponnya secara proporsional; gereja Indonesia patut melakukan reinterpretasi atas Matius

28:18-20.71

Dalam mereinterpretasi Matius 28:18-20, Emanuel Gerrit Singgih berpendirian,

bahwa misi gereja yang pada umumnya didasarkan pada pemahaman gereja atas Matius

28:18-20, tidak bisa lagi dilakukan menurut cara-cara yang pernah berlangsung yaitu berupa

69

Alwi Shihab,Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,cet-4,1998),

127. 70

Aristarchus Sukarto, “Komunitas Yang Rekonsiliatif, Identitas yang dicari dan yang harus

diwujudkan Gereja-gereja di Indonesia”, dalam Memahami Ulang Misi Gereja,Penuntun

Vol.4,no,13(Jakarta:Pokja GKI Jabar,1997/1998), 24-25. Lihat juga E.G.Singgih,Reformasi dan Transformasi

Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21 (Yogyakarta:Kanisius,1977), 166-167. 71

Matius 28:18-20 mengatakan, “Yesus mendekati mereka dan berkata : Kepada-Ku telah diberikan

segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah

mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah

kuperintahkan kepada-mu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Page 25: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

177

gerakan membangun gereja sebagai sebuah institusi, atau sebagai gerakan membangun

simbol-simbol kesuksesan agamaKristen di suatu wilayah tertentu. Sebaliknya, tulis Singgih,

misi gereja harus dipahami sebagai kegiatan untuk menunjukkan bahwa di suatu wilayah

tertentu kerajaan Allah telah hadir.72

Dalam rangka memaparkan pendirian dan pandangannya seperti tersebut di atas,

Singgih melakukan reinterpretasi terhadap Matius 28:18-20 yang sangat mentransformasi

pemahaman gereja tentang esensi misi gereja. Hal itu dikatakan demikian, karena ketika

melakukan upaya reinterpretasi terhadap Matius 28:18-20, Singgih melakukan dan

mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Pertama, Singgih menemukan bahwa dalam Injil ada

dua teks tentang pengutusan, yaitu Matius 10:1-42 dan Matius 28:18-20. Dalam observasinya

terhadap kedua teks ini, Singgih menemukan bahwa ada perbedaan jenis pengutusan. Pada

teks pengutusan dalam Matius 10:1-42, pengutusan bersifat kedalam umat Israel, sedangkan

pada teks pengutusan dalam Matius 28:18-20, pengutusan bersifat keluar umat Israel.

Bertolak dari hasil penemuannya ini, Singgih mengajak gereja untuk memposisikan Matius

28:18-20, memang sebagai teks pengutusan tetapi bukan sebagai isi atau pokok dari amanat

atau pengutusanagung Yesus terhadap para muridNya.73

Seruan Singgih ini memelekkan mata

gereja untuk tidak memposisikan Matius 28:18-20 sebagai satu-satunya teks Alkitab yang

harus mendesain dan menentukan esensi misi gereja.

Kedua, bahwa reinterpretasi Singgih terhadap Matius 28:18-20, sangat membawa

pencerahan bagi gereja dalam memahami misi, adalah ketika Singgih, seusai mengajak gereja

untuk memposisikan Matius 28:18-20 bukan sebagai satu-satunya teks pengutusan, ternyata

Singgih juga berpendapat bahwa sesungguhnya para murid tidak mengartikan “pengutusan

keluar umat Israel untuk menjadikan semua bangsa murid Yesus dan membaptis mereka

dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”, sebagai tugas pokok dalam misi yang Yesus

percayakan kepadanya untuk diteruskan. Singgih membuktikan pendapatnya ini, dengan

menyuguhkan fakta bahwa para murid Yesus tidak melaksanakan amanat itu. Mereka semua

berkumpul di Yerusalem sampai akhir hidup mereka. Kalaupun ada informasi bahwa Petrus

mati di Roma, Yohanes melewati masa hidupnya setelah kenaikkan Yesus ke sorga di Efesus,

Thomas menjadi pekhabar Injil di India dan Markus di Mesir, semua itu, tulis Singgih,

72

Ebenhaizer I. Nuban Timo,Gereja Lintas Agama,Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan

Kekristenan di Asia(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013), 92 73

Ebenhaizer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama . . . , 92-100. Bandingkan juga, Emanuel Gerrit

Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 241-245. Lihat juga, Emanuel

Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 79.

Page 26: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

178

hanyalah tradisi yang tidak dapat dibuktikan secara historis, dan senyatanya sumber-sumber

biblis tidak menyebutkan itu.74

Lebih jauh Singgih mengemukakan bahwa yang pergi keluar Israel, justru adalah

Paulus. Namun Paulus memahami pengutusannya itu tidak untuk membaptis. Bagi Paulus,

membaptis bukan hal yang utama. Oleh karena membaptis, nampaknya memang bukan hal

yang utama bagi Paulus, maka Paulus pun hanya membaptis beberapa orang saja seperti

Krispus (Kisah Para Rasul 18:8) dan Gayus (Kisah Para Rasul 19:29). Kemudian, dengan

bertolak dari makna kata “ekletos” dalam Matius 22:14 dan 24:22,24,31, Singgih juga

memahami bahwa pembaptisan itu adalah tanda bahwa seseorang telah ambil bagian atau

berada dalam lingkungan keselamatan ilahi di dalam Yesus, untuk melakukan semua amanat

agung Yesus, bukan sebagai tanda seseorang menjadi warga agama Kristen.75

Pendapat

Singgih bahwa para rasul sebenarnya tidak menterjemahkan pengutusan Yesus untuk

menjadikan semua bangsa murid Yesus, sebagai amanat pokok, dan juga pemahaman Singgih

tentang makna pembaptisan bukan sebagai tanda seseorang masuk agama Kristen, sangat

membuka wawasan gereja untuk memahami misinya bukan sebagai upaya untuk penanaman

dan pertumbuhan gereja.

Ketiga, bahwa reintrepretasi Singgih terhadap Matius 28:18-20 sangat membawa

pencerahan bagi gereja dalam memahami misi, adalah juga ketika Singgih berpendapat

bahwa pembaptisan itu adalah tanda bahwa seseorang telah ambil bagian atau berada dalam

lingkungan keselamatan ilahi dalam Yesus, untuk melakukan isi pokok dari amanat agung

Yesus. Pendapat Singgih ini, didasarkan pada anak kalimat: “dan ajarlah mereka melakukan

segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.”Melanjutkan pemahamannya ini,

Singgih mengemukakan bahwa isi amanat agung Yesus tertera dalam: Khotbah di Bukit

(Matius 5-7), Kaidah Kencana (Matius 7:12), Ringkasan Taurat(Matius 22:37-40), dan

pelayanan terhadap orang kecil (Matius 25:31-46).

Dengan mendasarkannya pada maksud dari teks-teks tersebut di atas tempat terteranya

isi amanat agung Yesus, Singgih menyimpulkan bahwa yang menjadi isi dari amanat agung

Yesus adalah panggilan untuk hidup terbuka kepada Allah dan kepada sesama yang berbeda

dengan kita.76

Pemahaman Singgih bahwa pembaptisan itu adalah tanda seseorang berada

dalam keselamatan Yesus, yang menampakkan sikap hidup yang terbuka kepada Allah dan

74

Ebenhaizer I Nuban Timo,Gereja Lintas Agama . . . , 92-100. 75

Ibid. 76

Ibid.

Page 27: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

179

kepada sesama, sangat menuntun gereja untuk memahami bahwa misi gereja senyatanya

adalah memang untuk menghadirkan nilai-nilai yang Yesus bawa dan ajarkan dalam

misiNya menghadirkan kerajaan Allah di bumi, yaitu:pengagungan akan ketuhanan dan

kemanusiaan (Matius 5-7, 7:12, 22:37-40), kebersamaan dan kesetaraan (Matius 25: 31-46)

dan kebebasan yang menyembuhkan (Matius 11: 5, Lukas 7: 22).

Reinterpretasi terhadap Matius 28: 18-20, menegaskan bahwa misi gereja itu adalah

misi menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Misi menghadirkan kerajaan Allah di bumi

adalah misi yang berorientasi kepada kepentingan dunia, bukan kepada kepentingan gereja.

Misi menghadirkan kerajaan Allah yang berhorison pada dunia dan bukan pada gereja adalah

misi yang pada awalnya dihadirkan oleh Yesus dalam pelayananNya di dunia ini, dan

kemudian diamanatkan oleh Yesus kepada para pengikutnya atau gereja dalam arti

terbuka77

untuk diteruskan (Yohanes 20:21). Jadi secara essensial,misi gereja adalah

aktualisasi perutusan Yesus Kristus. Sebagai misi yang mengaktualisasikan perutusan Yesus,

maka misi gereja itu sejalan dengan misi Yesus, yakni misi yang dipercayakan kepada para

penghayat nilai-nilai yang dibawa Yesus untuk mengarahkan seluruh ciptaan kepada

kepenuhan kedamaian di dalam Allah (Kolose 1:15). Misi gereja dalam arti yang demikian

ini, adalah misi yang dikerjakan oleh gereja dalam arti terbuka, yakni oleh setiap umat Allah

apapun agamanya, yang mengupayakan agar dunia menjadi tempat sebagaimana dirancang

oleh Tuhan, yaitu sebagai kancah yang menyelamatkan dan mensejahterakan umat manusia,

melalui pengagungan akan nilai-nilai kerajaan Allah, sebagaimana terkandung dalam isi

amanat agung Yesus berupa: ketuhanan dan kemanusiaan, kebersamaandan kesetaran,

pembebasan yang menyembuhkan.78

V.5. Esensi Misi Gereja: Menghadirkan Kerajaan Allah Di Bumi

Misi gereja senyatanya adalah mengikuti Yesus pada jalan-Nya yang sama seperti

dahulu yakni memberitakan dan menghadirkankerajaan Allah di bumi(Matius 4:18-

25).Perutusangereja untuk menghadirkan kerajaan Allah di bumi merupakan unsur konstitutif

77

Gereja dalam arti terbuka maksudnya adalah pengikut Kristus yang melampaui pengertian gereja

secara institusi formal. Sebagai contoh sosok Mahatma Gandhi yang tidak menjadi anggota gereja secara

institusi formal, tetapi bila karsa dan karyanya seperti karsa dan karya Yesus, Mahatma Gandi telah meneruskan

misi Yesus yakni menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Demikian pula, para pemerintah, pemeluk agama lain.

Pekerja Lembaga Sosial Masyarakat, para pemimpin partai politik, para pemimpin organisasi, para pengusaha,

para pekerja, para serikat buruh, para kelompok masyarakat, dan perorangan bila dalam hidup mereka masing-

masing mereka mengamalkan nilai-nilai yang Yesus ajarkan, mereka adalah para penghadir kerajaan Allah di

bumi. 78

Edmund Woga,CSsR, Dasar-Dasar Misiologi,Cetakan Kelima (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,

2006), 189-192, 201.

Page 28: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

180

dan suatu dimensi yang koeksistensif dalam hakikat gereja. Dengan kata lain, misi gereja

untuk memberitakan kerajaan Allah di bumi melalui kata dan tindakan, merupakan bagian

integral dari keberadaan gereja.Hal itu dikatakan demikian, karena permulaan eksistensi dan

perjalanan gereja selanjutnya didahului oleh penugasan Yesus bagi gereja untuk

memberitakan kerajaan Allah (Markus 6:7-13, Matius 10:5-15,Lukas 9:1-6).

Saat lahirnya gereja adalah sekaligus saat lahirnya perutusan gereja untuk

menghadirkankerajaan Allah di dunia. Sebagai komunitas yang perutusannya tidak bisa

dilepaskan dari keberadaannya, maka gereja akan mandul tanpa misi menghadirkan kerajaan

Allah di bumi. Sebagai gereja dimana karya misionernya adalah mewujudkan pemerintahan

Allah di dunia, maka gereja tidak dapat dipikirkan tanpa hubungannya dengan dunia, tanpa

keterbukaannya terhadap dunia, dantanpa pengabdiannyaterhadap dunia. Berdasarkan pada

perutusannya yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa yang menjadi horison dari misi

gerejauntuk menghadirkan kerajaan Allah bukanlah gereja tetapi dunia. Sebagai penghadir

kerajaan Allah di bumi, maka makna perutusan gereja kepada dunia adalah untuk

mengarahkan seluruh ciptaan kepada kepenuhan kedamaian di dalam Allah (Kolose

1:15).Jadi misi gereja menghadirkan kerajaan Allah di bumi, adalah misi yang diterimanya

dari Yesus untuk membuat dunia menjadi tempat dimana manifestasi kerajaan Allah, berupa

pengagungan akan kemanusiaan, kebenaran, keadilan, dan perdamaian mewujud nyata.79

Sebagai misi yang diwariskan oleh Yesus kepada gereja, maka perutusan gereja untuk

menghadirkan kerajaan Allah di bumi, senyatanya adalahmisi Allah sendiri yang

dipercayakan Yesus kepada gereja untuk diteruskan dan diaktualisasikan di dalam dunia.

Bahwa misi gereja untuk menghadirkan kerajaan Allah di bumi, senyatanya adalah

mengaktualisasikan misi Allah sendiri,memiliki dasar pada perkataan Yesus sebagaimana

tertulis dalam Yohanes 20:21, “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga Aku

mengutus kamu”. Perkataan Yesus yang demikian ini juga berimplikasi bahwa misi

gerejasesungguhnya adalah satu, sama dan tidak akan pernah berubah, yakni untuk

memberitakan dan menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Namun dalam pelaksanaan

misinya, sebagaimana diperlihatkan dalam sejarah, bahwa gereja sering memiliki model misi

yang beragam. Hal ini dimungkinkan terjadi demikian, karena dalam menjalankan tugas

79

Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 189, 190,191,192,201.

Page 29: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

181

misionernya, pemaknaandari gereja tentang misi kerajaan Allah yang satu dan sama serta

tidak berubah itu, sangat dinamis.80

Terkait dengan makna dari istilah “Kerajaan Allah”, Choan Seng Song, sebagaimana

tertuang dalam bukunya “Jesus and the Reighn of God”, lebih memilih pemakaian ungkapan

“the reighn of God”(Pemerintahan Allah) dari pada “the kingdom of God”(Kerajaan Allah).81

Menurut Song istilah “Kerajaan Allah” lebih mengandung arti wilayah nasional, sistem

feodal dan struktur monarkhi atau suatu kultur otoritater. Song juga menyebutkan bahwa

dikalangan sebagian besar orang Kristen, istilah “Kerajaan Allah” dihubungkan dengan

keselamatan Allah yang diberi makna keliru. Dimana istilah itu seolah-olah berbicara tentang

suatu alam sorgawi yang penuh dengan kesukaan dan kebahagiaan yang hanya diberikan

Allah kepada umat kristiani. Kemudian Song juga menunjukkan bahwa dalam sejarah

kekristenan, gereja mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai “Kerajaan Allah” di dunia ini,

untuk melaksanakan kekuasaan dan otoritas ilahi menghadapi semua kekuatan dan otoritas

sekuler.82

Pemahaman Song bahwa dalam istilah “kerajaan Allah” tidak terkandung pengertian

sebagai sebuah wilayah, adalah tepat. Hal itu dikatakan demikian karena Yesus sendiri

sebagaimana terlihat dalam ajaranNya kepada para pengikutNya untuk berdoa, “agar kerajaan

Allah datang, dan kehendak Allah Allah jadi di bumi seperti di sorga” (Matius 6:10),

memaknai bahwa kerajaan Allah itu bukan sebagai suatu wilayah, melainkan sebagai kuasa

Allah yang dinyatakan dalam kedayaan karyaNya. Penilaian Song bahwa pemahaman

sebagian warga gereja menghubungkan kerajaan Allah itu, dengan keselamatan Allah berupa

suatu alam sorgawi, yang penuh dengan kebahagiaan, yang hanya akan diberikan Allah

kepada gereja sebagai sebuah pemahaman yang keliru, adalah juga benar. Hal itu dikatakan

demikian karena Yesus sendiri sebagaimana ditampilkan dalam Matius 11:5 dan Lukas

7:22,83

tidak memandang kerajaan Allah itu sebagai suatu ilusi yang mereduksi atau membius

realitas dunia pada jamanNya, melainkan sebagai manifestasi pemerintahan Allah yang

Yesus sendiri harus wujudkan lewat kata dan tindakanNya, di dunia nyata ini berupa karya

yang membebaskan manusia dari segala penderitaannya.

80

Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 13, 202. 81

Choan Seng Song,Jesus and the Reighn of God(Minneapolis:Fortress Press,1993),39. 82

Ibid., 39. 83

“Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang

mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik”.

Page 30: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

182

Kemudian tanggapan Song tentang pengidentikkan gereja dengan kerajaan Allah

sebagai sebuah kekeliruan, adalah juga tidak salah, sebab pengertian kaum kristiani tentang

gereja tidak jarang memang berbeda dengan apa yang Yesus maksudkan dengan gereja.

Sebagai contohnya, makna pada anak kalimat yang diucapkan Yesus, “suatu bangsa yang

akan menghasilkan buah kerajaan itu” pada kalimat Yeus dalam kisah perumpamaan tentang

penggarap-penggarap kebun anggur, bahwa kerajaan Allah akan diambil dari pada Israel dan

akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah kerajaan itu, sebagaimana

tercatat dalam Markus 12:9, Matius 21:43 dan Lukas 20:16; sering diartikan “gereja” oleh

komunitas kristiani, padahal oleh Yesus bukan dimaksudkan dengan “gerejadalam

pengertiannya yang tertutup”84

, yakni orang Kristen yang diadministrasi menjadi warga

gereja karena telah diinisiai atau diproseletisi melalui sakramen baptisan, melainkan “gereja

dalam pengertiannya yang terbuka”, yaitu orang-orang yang menjelmakan nilai-nilai

kerajaan Allah.85

Berdasarkan pada pengertian tentang “kerajaan Allah”, dan hakikat “gereja”

sebagaimana telah tergambar di atas, maka dalam melaksanakan misinya “ menghadirkan

kerajaan Allah di bumi”, gereja tidak sepatutnya memandang penganut agama dan

kepercayaan lain sebagai sang lian yang harus ditaklukkan, tetapi justru sebagai kawan dialog

dalam perjalanan hidup, karena sebagai sesama ciptaan dan umat Allah, ia sangat

dimungkinkan untuk mengaktualisasikan kerajaan Allah di bumi ini, melalui kata dan

tindakannya yang menyelamatkan dan mensejahterakan bumi ini.Terhadap fakta bahwa

setiap agama dimungkinkan untuk menghayati nilai-nilai kerajaan Allah dan terkait dengan

pemahamannya tentang kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Siro-Fenesia seperti

yang dituturkan oleh Markus 7:24-30, Emanuel Gerrit Singgih mengajak gereja dalam

melaksanakan misinya untuk melihat bahwa orang beragama lain bukanlah orang yang tidak

beriman.86

84

Hakikat gereja tidak harus dimengerti dalam arti tertutup , tetapi sebaliknya harus dipahami dalam

arti terbuka. Maksudnya, kapan saja dan dimana saja dapat terjadi masuknya orang yang semula dikategorikan

sebagai bukan gereja menjadi gereja, sebagai akibat dari perilakunya yang memanifestasikan nilai-nilai kerajaan

Allah sebagaimana telah didemonstrasikan oleh Yesus. Sebaliknya, kapan saja dan dimana saja dapat terjadi

keluarnya orang yang semula dikategorikan sebagai gereja, menjadi bukan gereja karena ia tidak

mengaktualisasikan nilai-nilai kerajaan Allah dalam kehidupannya. 85

Guido Tisera, “Faham Gereja Menurut Injil Matius” dalam, Orientasi Baru Pustaka Filsafat dan

Teologi No.2(Yogyakarta:Kanisius,1988),96. 86

Ebenhaizer I. Nuban Timo,Gereja Lintas Agama,Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan

Kekristenan di Asia (Salatiga: Satya Wacana University Press,2013),106-107.

Page 31: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

183

Masih bersentuhan dengan realitas bahwa masing-masing agama, dimungkinkan untuk

menjelmakan nilai-nilai kerajaan Allah di bumi ini, Andreas A. Yewangoe berpandangan

bahwa semua agama adalah pemberian Allah kepada manusia. Sebagai pemberian Allah, tulis

Yewangoe, pada masing-masing agama ada unsur kebenaran. Oleh karena dalam semua

agama ada unsur kebenaran, Yewangoe mengajak kekristenan tidak memandang orang dari

agama lain sebagai orang asing apalagi musuh, melainkan sebagai tetangga dan mitra dalam

perjalanan kehidupan bersama. Melanjutkan ajakannya ini, Yewangoe merekomendir agar

gereja dalam melaksanakan misinya, mengganti teologi permusuhannya dengan teologi

keramahan dalam perjalanan kehidupan mereka bersama dengan semua umat beragama

lain.87

Esensi misi gereja senyatanya adalah meneruskan dan mengaktualisasikan misi Yesus

mewujudkan kerajaan Allah di bumi. Sebagaimana Yesus menghadirkankerajaan Allah di

bumi itu, melalui pelayanan yang membebaskan manusia dari segala belenggu yang

menyengsarakan, sehingga bumi bersukacita dalam damai sejahtera (Matius 11: 5, Lukas 7:

22 ), maka gereja dalam misinya menghadirkan kerajaan Allah di bumi, melaluikerja sama

dengan semua sesama manusia dari kelompok dan komunitas agama manapun mereka

berasal, patut mencipta dan mempersembahkan gagasan dan karya yang mendatangkan

kemaslahatan bagi umat manusia di dunia ini. Bahwa kerjasasama dengan semua penganut

agama lain patut dilakukan, karena setiap orang entah agama apapun dianutnya, adalah

sesama ciptaan dan umat Allah, yang sangat dimungkinkan lewat kata dan tindakannya

mencipta dan mempersembahkan terobosan dan bakti yang memperbaiki keadaan manusia,

sebagai tanda kerajaan Allah hadir (Markus 12:9, Matius 21:43, Lukas 20:16).

V.6. Rekonstruksi Misi Gereja Indonesia Dalam Konteks Pancasila

Berdasarkan pada esensi misi gereja adalah menghadirkan kerajaan Allah di bumi,

dimana setiap orang apapun agama yang dipeluknya dimungkinkan untuk membebaskan

umat manusia dari belenggu yang menyengsarakannya sebagai tanda kerajaan Allah

menampak; maka gereja Indonesia patut melakukan rekonstruksi misinya dengan

merubuhkan model misi yang gereja Eropa terapkan pada masa lalu, dan membangun

kembali model misi yang kontekstual Indonesia. Misi gereja kontekstual Indonesia adalah

misi gereja yang mengekspresikan dan mengakomodasi kenyataan-kenyataan sosial dari

87

Ebenhaizer I Nuban Timo,Gereja Lintas Agama . . . , 44-46. Lihat juga, Andreas A.Yewangoe,

Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 76,84. Bandingkan juga, Andreas A.Yewangoe,

Tidak Ada Penumpang Gelap (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 53.

Page 32: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

184

kemasyarakatan Indonesia seperti kemajemukan agama, sebagai jalan untuk terciptanya

transformasi sosial,88

dan sekaligus mengaktualisasikan nilai-nilai keindonesiaan

sebagaimana tertuang dalam Pancasila, bila nilai-nilai itu senyatanya tidak berseberangan

bahkan selaras dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Dalam rangka merekonstruksi misi gereja

dalam konteks kemajemukan agama, nampaknya perlu untuk dipahami model-model misi

yang telah ada dengan kekuatan dan kekurangannya masing-masing, agar dengan berbekal

pemahaman akan model-model misi yang telah ada, dua hal yang paradoks dalam inkarnasi

yang ditayangkan oleh Yohanes 3:16,89

yaitu antara universalitas keselamatan Allah bagi

dunia ini dan partikularitas keselamatan Allah dalam Kristus, dapat didamaikan. Model-

model misi yang telah ada itu ialah: eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.

Model misieksklusivisme, sebagaimana telah disinggung sebelumnya dalam

pembahasan tentang model misi yang gereja Eropa terapkan di Indonesia, adalah model misi

yang menekankan partikularitas keselamatan Allah dalam Kristus tetapi mengabaikan

universalitas keselamatan Allah bagi dunia ini. Eksklusivisme memang berhasil menegakkan

premis dasar kekristenan bahwa keselamatan semata-mata adalah anugerah Allah yang

dinyatakan dalam Yesus Kristus. Namun eksklusivisme terlalu sempit memandang kristologi

yang dibentangkan dalam Alkitab padahal senyatanya dalam Alkitab terdapat kristologi yang

sangat majemuk. Eksklusivisme memandang kekristenan sebagai agama yang benar karena

menerima keselamatan Allah dalam Kristus,namun ia tidak memberi tempat yang memadai

bagi pemahaman faktual agama-agama lain,bahkan agama-agama lain sering dipandang

secara negatif.90

Tentang model misi inklusivisme di satu pihak, ia memang menghargai keberagaman

agama karena diyakini bahwa dalam agama-agama lain Allah juga bekerja untuk

mendatangkan keselamatan. Namun di lain pihak, inklusivisme juga berpendirian bahwa

penyataan Allah dalam agama-agama lain itu, tidak lengkap dan tidak utuh karena penyataan

itu tanpa Kristus. Pandangan inklusivisme yang demikian, adalah suatu bentuk imperialisme

teologis dan menyimpan suatu sikap yang tidak jujur dan sesungguhnya tidak menghargai

entitas agama lain, sebagaimana mereka alami dan hayati sendiri.91

Kemudian mengenai

88

Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri,Tetapi Pantang Berdiam Diri Suatu Upaya

Berdogmatika Kontekstual di Indonesia(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2015),xvi. 89

Yohanes 3: 16 mengatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah

mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan

beroleh hidup yang kekal”. 90

Joas Adiprasetya,Mencari Dasar Bersama . . . , 60-63. 91

Ibid., 65-67.

Page 33: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

185

model misiPluralisme,ia memang berhasil dalam menekankan universalitas keselamatan

Allah bagi dunia, dengan berpijak pada premis dasar yang bersifat teosentris bahwa kehendak

Allah adalah menyelamatkan seluruh manusia.Namun dalam menekankan hal itu pluralisme

merelativir partikularitas keselamatan Allah dalam Kristus, dengan mengatakan bahwa semua

agama sebagai sarana yang melaluinya manusia mengalami kehadiran Allah yang absolut dan

transenden dalam sejarah manusia yang imanen, tidak bisa menjadi absolut karena

keterikatan historisnya.92

Eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme masing-masing memiliki kelebihan dan

kekurangan. Ketiganya tidak dapat menjawab secara sempurna pertanyaan tentang bagaimana

sepatutnya gereja membangun model misi yang mendamaikan dua hal yang paradoks dalam

inkarnasi sebagaimana tertayang dalam Yohanes 3:16, yaitu antara universalitas keselamatan

Allah bagi dunia ini dan partikularitas keselamatan Allah dalam Kristus. Berangkat dari

kelebihan dan kekurangan dari model misi eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme, dan

dalam rangka membangun model misi yang relevan dengan kemajemukan agama tanpa

mengorbankan keunikan Kristus yang daripadaNya gereja menerima tugas perutusan, John A.

Titaley seorang teolog Indonesia yang berteologi ala Indonesia tidak sekedar berteologi di

Indonesia, memunculkan model misi transformatif.

Mengawali teori misi transformatifnya, Titaley memaparkan bahwa setiap agama,

terutama agama-agama yang disebut agama dunia, memiliki tuntutan keagamaan yang

missiologis sifatnya, yaitu keharusan untuk meneruskan kebenaran-kebenarannya kepada

orang lain yang belum memiliki kebenaran serupa, melalui tindak siar agama baik langsung

maupun tidak langsung. Kalau bukan karena adanya kewajiban missiologis ini, maka

kekristenan tidak akan dijumpai di Indonesia. Tindakan siar agama, bagi Titaley, adalah

sesuatu yang tidak bisa diingkari karena tanpa dimensi itu kehidupan beragama akan menjadi

mubasir. Ia adalah bagian yang inherent dalam setiap agama. Melakukan misi adalah bagian

hakiki dari kehidupan beragama seseorang. Mengingkarinya pada dasarnya mengingkari

hakikat agama itu sendiri. Lebih jauh Titaley mengatakan, tindak siar agama yang bersifat

hakiki itu, tidak masalah untuk dilakukan dimana saja dan kapan saja. Ia bisa dinampakkan

oleh para pemeluk agama dalam perilaku mereka sehari hari, baik dalam kehidupan

beragama, maupun dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Yang menjadi masalah,

92

Joas Adiprasetya,Mencari Dasar Bersama . . . , 73-74.

Page 34: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

186

adalah bagaimana misi itu sepatutnya dilaksanakan. Cara bermisi atau cara pelaksanaan misi

patut dipikirkan, tulis Titaley.93

Melanjutkan paparan di atas, Titaley mengemukakan bahwa memikirkan cara bermisi

tidak berarti misi itu harus dilumpuhkan. Pemikiran tentang cara misi itu lebih menunjuk

kepada pemikiran yang serius tentang hakikat misi dan rekonstruksi misi, tentang apa yang

harus diberitakan dalam misi itu dan bagaimana hal itu harus diberitakan dalam suatu konteks

sosial. Dalam rangka memahami hakikat misi agama dan dalam rangka merekonstruksi misi

agama, menurut Titaley kita harus mendekati dan memposisikan bahwa agama itu dalam

dirinya memiliki sisi ilahi dan juga sisi manusiawi yang sosial sifatnya. Penghayatan terhadap

yang ilahi itu terjadi dalam konteks sosial, historik dan budaya dari manusia penerimanya,

sehingga faktor sosial, historik dan budaya dari manusia turut membentuk pemahaman

terhadap yang ilahi itu. Dalam proses yang demikian bukannya tidak mungkin terjadi bahwa

pada suatu saat tertentu pengaruh dari faktor sosial budaya itu sedemikian kuatnya, sehingga

keinginan manusia lalu dirumuskan dengan bahasa ilahi. Akibat dari keadaan ini, atas nama

agama tertentu, sekelompok manusia tertentu bisa jadi lalu bertindak tidak adil terhadap

kelompok manusia yang lainnya. Bertolak dari analisa ini, Titaley mengingatkan bahwa

faktor sosial, historik dan budaya yang manusiawi sifatnya tidak boleh diabaikan dalam

penghayatan terhadap agama itu. Ketidaksadaran terhadap faktor ini dapat mengakibatkan

tumbuhnya fanatisme buta dalam kehidupan beragama yang tidak menolong umat beragama

untuk mengagungkan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaran.94

MenurutTitaley, dalam rangka kehidupan beragama yang memuliakan

kemanusiaan,kesatuan dan kesetaraan; pemahaman yang sadar terhadap konteks sosial,

historik dan budaya tempat agama itu tumbuh dan dikembangkan, demikian juga

pengembangannya dalam suatu konteks sosial, historik dan budaya yang baru menjadi sangat

penting. Hal itu dikatakannya demikian, karena dalam pengamatan Titaley ketidaksadaran

terhadap realitas sosial dari agama itulah yang melahirkan perasaan superioritas agama-

agama tertentu terhadap agama yang lainnya, yang kemudian menjadi salah satu sebab

munculnya konflik-konflik agama. Dalam pandangan Titaley,konflik-konflik agama bisa

dihindarkan bila para penganut agama-agama bisa melakukan suatu pendalaman pemahaman

dengan melihat agama dari kedua dimensinya, yaitu dimensinya yang ilahi dan sosial lewat

93

John A.Titaley, Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia:Suatu Refleksi

Kontekstual,Bahan seminar disampaikan dalam Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung,tanggal 3

Pebruari,1996 di Semarang,1-2. 94

Ibid., 2.

Page 35: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

187

proses hermeneutik dekonstruksi-rekonstruksi. Berangkat dari pandangannya ini, Titaley

menegaskan bahwa, misi agama yang hanya memperhatikan dimensi ilahi dari agama tetapi

tidak memperhatikan sisi sosial, historik dan budaya, baik dari masyarakat tempat lahirnya

agama itu, maupun masyarakat tempat dikembangkannya lebih lanjut agama itu, akan

menghasilkan perilaku beragama yang sempit dan destruktif, serta akan membuat umat

beragama memproyeksikan suatu kehidupan beragama yang tidak realistik.95

Memahami agama dengan pendekatan atau proses hermeneutic dekonstruksi-

rekonstruksi, oleh Titaley dikatakan, bahwa itu bisa menghindarkan pemeluk agama dari

penyimpangan pemahaman akan makna agama. Titaley memberikan contoh tentang

kekristenan yang berkembang dalam pangkuan budaya Barat yang dipengaruhi oleh budaya

Judeo dan Hellenis. Perintah Yesus Kristus agar murid-muridNya mengabarkan Injil dan

menjadikan semua bangsa itu muridNya dan membaptiskan mereka dalam nama Bapa dan

Anak dan Roh Kudus(Matius 28:19), kalau tidak dipahami dalam konteks sosio historis pada

jaman Yudaisme dan Hellenisme, dapat menimbulkan pemahaman yang salah terhadap Injil

yang disampaikan oleh Yesus Kristus, dimana pemberitaan Injil itu dipahami sebagai

ekspansi kebudayaan Kristen. Pendekatan yang memperhatikan dengan baik latar belakang

sejarah dan budaya dari kekristenan, akan menghasilkan suatu pemahaman yang lebih baik

terhadap amanat Yesus Kristus itu untuk dilaksanakan dalam konteksnya yang baru. Seorang

Kristen yang mengikuti proses hermeneutic dekonstruksi-rekonstruksi atas Alkitabnya,

dimungkinkan untuk menghayati dan mentaati amanat Kristus dalam Matius 28:18-20, dalam

konteks kehidupan sosial, historis dan budayanya.96

Berdasarkan pada pendekatannya yang melihat kedua sisi agama secara utuh yakni sisi

ilahi dan sisi sosialnya, maka dalam membangun teologi misi yang mendamaikan

universalitas keselamatan Allah bagi dunia dan partikularitas Yesus sebagai jalan

keselamatan Allah, Titaley menggagas teori misi inklusif transformatif,97

sebagai terobosan

untuk menciptakan hubungan yang baik antar kekristenan dan agama-agama lain. Dengan

berpayungkan teori misi inklusif transformatif, Titaley dalam menginterpretasi penyataan

95

John A.Titaley, Pembangunan dan Pengembangan . . . , 2-3. Lihat juga John A.Titaley,Religiositas

Di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme,dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University

Press,2013),28. 96

John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 3. 97

Dalam teori misi gereja inklusif-transformatif, Titaley berpendirian bahwa gereja mesti menerima

dan menghargai keberadaan semua agama lain dan sembari dengan itu berinteraksi dengan semua agama. Bila

gereja berinteraksi dengan semua agama, interaksi itu akan menungkinkan terlahirnya transformasi pemahaman

gereja yang lebih luas tentang Tuhan dan tentang sesama manusia. Lihat John A. Titaley, Religiositas Di Alinea

III . . . , 28-29.

Page 36: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

188

bahwa Yesus sebagai jalan keselamatan Allah, mengatakan bahwa, Yesus dipandang sebagai

mesias oleh para pengikutNya karena Yesus memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi.

Kehidupan kaum Yahudi pada jaman Yudaisme sangat terpuruk. Mereka tertindas karena

diperlakukan secara semena-mena oleh para pemimpin mereka. Keterjajahan kaum Yahudi

pada jaman Yudaisme semakin terasa ketika jurang yang sangat tajam menganga antara

kehidupan para elite politik dan kehidupan rakyat. Para pemimpin sangat berkuasa, kaya,

kejam dan mementingkan diri sendiri, sedangkan rakyat berada dalam kondisi

ketakberdayaan yang akut.98

Dalam keadaannya yang seperti tersebut di atas, kaum Yahudi yang sangat menuntut

kemerdekaan, mendambakan datangnya mesias, datangnya kerajaan Allah untuk melepaskan

kaum Yahudi dari penindasan (Matius 11: 2-6, Lukas 7:18-23). Pada masa kaum Yahudi

mendambakan kebebasan, Yesus tampil dengan gaya hidup mengkritik perilaku buruk elite

politik atau orang-orang kelas atas yang sewenang-wenang terhadap penderitaan orang kecil.

Yesus juga tidak senang melihat para imam yang menggunakan atribut-atribut keagamaan

untuk kepentingan diri sendiri. Yesus tidak suka melihat agama digunakan oleh para

pemimpin agama dan politik untuk kepentingan ekonomi dan kekuasaan mereka. Yesus juga

sangat marah ketika agama dipakai untuk melakukan penindasan, kekerasan dan berbagai

tindakan kekejaman dan diskriminasi sebagaimana terproyeksi dalam Yohanes 8:1-

11.99

Melihat corak misi Yesus yang demikian, Titaley menyimpulkan bahwa hakikat dari

misi Yesus sebagai pemberita dan penghadirkerajaan Allah adalah menghadirkan kesetaraan

antar manusia akibat diskriminasi yang dibuat manusia.100

Berbekal pada interpretasi Titaley tehadap Yesus sebagaisang penyelamat, penghadir

kerajaan Allah di bumi yang sangat memuliakan kebersamaan, kemanusiaan dankesetaraan

98

John A.Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-

Agama (Salatiga:Satya Wacana University Press,2013), 61. 99

Dalam perikop yang berjudul “Perempuan yang berzinah” pada Yohanes 8:1-11, para ahli Taurat

dan Farisi yang merasa dirinya kudus dan benar di hadapan Tuhan, ternyata dibuat setara oleh Yesus dengan

yang berdosa. Kesetaraan itu nampak dalam ungkapan penulis Injil Yohanes dengan ungkapan “pergilah”.

Pergilah mereka seorang demi seorang..... (ayat 9).Yang merasa dirinya kudus dan benar yaitu mereka yang

berada di suatu tempat yang tinggi, diturunkan oleh Yesus dengan perkataan “ Barangsiapa di antara kamu tidak

berdosa , hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini (ayat 7). Pergilah, dan jangan

berbuat dosa lagi mulai dari sekarang(ayat 11).Yang berdosa dan rendah dinaikkan oleh Yesus. Jadi dalam

pelayanan Yesus yang kudus dan tinggi bertemu dalam kesetaraan dengan yang pendosa dan rendah. John

A.Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga,Pluralisme,Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama(Salatiga:Satya

Wacana University Press,2013),64-65. 100

John A. Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga . . . ,62-66. Lihat juga John A.Titaley,”Dekonstruksi

dan Rekonstruksi Teologi Menuju Teologi Indonesia yang Kontekstual”,dalam Andreas

A.Yewangoe(eds.),Format Rekonstruksi Kekristenan: Menggagas Teologi,Misiologi dan Ekklesiologi di

Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2006), 177-196.

Page 37: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

189

sesama manusia, dan bertumpu pula pada pandangannya bahwa Pancasila itu sangat injili

karena nilai-nilai injil kerajaan Allah seperti termaksud di atas selaras dengan nilai-nilai

Pancasila,101

maka dalam rangka merekonstruksi misi gereja yang kontekstual Pancasila,

gereja Indonesia harus menginternalisasikan atau mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila

dalam misinya sehingga misi Pancasila menjadi misi gereja. Dalam rangka menjadikan misi

Pancasila sebagai misi gereja, gereja terpanggil untuk: Pertama, menjunjung tinggi kesatuan

Indonesia yang tidak menafikan keberagaman Indonesia tetapi justru untuk merawatnya.

Kedua, memuliakan kemanusiaan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan bersama.

Ketiga, mengagungkan kesetaraan guna untuk memandu segala upaya pencapaian kemajuan

bermuara pada kesejahteraan bersama. Dengan berpayungkan konstruksi misi gereja

Indonesia kontekstual Pancasila, gereja Indonesia mesti mampu melepaskan diri dari

kukungan perilaku kolonialisme dan kapitalisme yang senyatanya merupakan tindakan

penghancuran kemanusiaan sesama manusia. Dalam rekonstruksi misi gereja kontekstual

Pancasila, gereja Indonesia harus mampu melepaskan sikap merasa memilikikedudukan

istimewa terhadap agama-agama lainnya, juga melepaskan sikap egois karena sikap-sikap

demikian hanya akan menciptakan diskriminasi antar sesama umat beragama dan

kesenjangan sosial antar sesama manusia Indonesia.

Dibawah konstruksi misi gereja kontekstual Pancasila, gereja Indonesiajuga harus

sanggup melepaskan sikap pemutlakan keyakinan kristiani, sebab sikap yang demikian,

hanya akan memacu umat kristiani merasa berwenang untuk bertindak sewenang-wenang

terhadap sesama manusia. Dengan rekonstruksi misi gereja kontekstual Pancasila, gereja

bersama dengan semua agama mestiterpanggil untuk mengalami adaptasi dan terpanggil

tampil dalam wajah yang lebih manusiawi dan sikap yang lebih egaliter.Dalam rekonstruksi

misi gereja kontekstual Pancasila, gereja Indonesia harus beragama secara inklusif-

transformatif. Beragama secara inklusif transformatif maksudnya,gereja terpanggil untuk

bersedia menerima keberadaan semua agama yang lain dan bersedia untuk berinteraksi

dengannya, sebab justru ketika gereja berinteraksi dengan semua agama yang lain, interaksi

itu akan melahirkan adanya transformasi pemahaman yang lebih luas tentang Tuhan dan

tentang sesama manusia.102

Dalam rekonstruksi misi gereja Indonesia kontekstual Pancasila,

gereja Indonesia sebagai pengikut Yesus Kristus bersama dengan semua agama Indonesia

terpanggil untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam perjalanan mereka bersama

101

Pandangan John A. Titaley ini disampaikannya dalam kuliah Pancasila dan Agama Sipil, bagi

mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Nopember 2013. 102

John A. Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga. . . . , 28-29.33-34

Page 38: BAB V ESENSI MISI GEREJA DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM ...€¦ · Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar . Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di Semarang

190

mengindonesia untuk merawat kesatuan, memuliakan kemanusiaan, dan mengagungkan

kesetaraan. Dalam melaksanakan misi yang mengaktualisasikan Pancasila, dimana misi

Pancasila itu selaras dengan misi kerajaan Allah,gereja Indonesia sebagai bagian integral dari

Indonesia, dan sekaligus sebagai penghayat akan nilai-nilai yang Yesus Kristus bawa,

terpanggil untuk membangun peradaban yang digerakkan oleh nilai-nilai: kesatuan,

kemanusiaan dan kesetaraan demi Indonesia yang bersukacita dalama damai sejahtera.