BAB V ANALISIS PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL...
-
Upload
trinhkhanh -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of BAB V ANALISIS PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL...
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-1
BAB V
ANALISIS PENGEMBANGAN ANGKUTAN MASSAL
BERBASIS JALAN RAMAH LINGKUNGAN DAN HEMAT
ENERGI
A. Pemilihan Konsep Sistem Angkutan Umum Massal Perkotaan
Pilihan terhadap suatu bentuk sistem angkutan massal akan menentukan
masa depan sebuah kota. Oleh karenanya diperlukan suatu
pertimbangan yang cermat dan hati-hati agar apa yang dicita-citakan
oleh masyarakat dari suatu kota terhadap sistem transportasinya bisa
tercapai dengan baik.
Mengacu ke Encyclopedia Britanica, angkutan massal (mass transit
atau mass transportation atau public transportation) didefinisikan
sebagai pergerakkan banyak orang didalam kawasan perkotaan dengan
menggunakan suatu moda (teknologi) perjalanan berkelompok seperti
bus atau kereta atau kendaraan yang bisa mengangkut banyak orang
dalam waktu yang bersamaan dengan lebih efisien dan ekonomis.
Sementara beberapa kamus mendefinsikan angkutan massal sebagai
angkutan yang mampu mengangkut dan memindahkan banyak orang
dalam waktu yang bersamaan. Lebih spesifik lagi beberapa kamus
mendefinisikan angkutan massal cepat (mass rapid transit) sebagai
angkutan umum perkotaan yang menggunakan kereta dibawah tanah
atau layang.
Sementara UNFCCC mendefinisikan sistem angkutan massal cepat
sebagai angkutan penumpang kolektif perkotaan (urban) atau pinggiran
kota (suburban) yang dioperasikan dengan standar layanan yang tinggi
yang terkait dengan waktu perjalanan dan kapasitas angkut penumpang.
Baik dengan moda berbasis jalan ataupun berbasis rel diatas,
permukaan dan dibawah tanah.
Mengacu kepada berbagai kota besar & metropolitan terjadi
kecenderungan bahwa sistem yang dipilih pada teknologi angkutan
massal berbasis rel (MRT atau LRT). Namun akhir-akhir ini, karena
berbagai keterbatasan yang dihadapi oleh sebagian besar kota-kota
metropolitan, ada kecenderungan untuk memilih sistem angkutan
massal berbasis jalan, atau lebih khususnya adalah bentuk sistem Bus
Rapid Transit (BRT). Oleh karenanya langkah awal yang dibutuhkan
oleh pembuat kebijakan suatu kota adalah menyesuaikan sistem yang
akan dipilih berdasarkan karakteristik kota tersebut dengan
menggunakan parameter-parameter umum seperti yang ditunjukan
dalamError! Reference source not found.Tabel 5. 1.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-2
Tabel 5. 1. Kriteria untuk Pemilihan Sistem Angkutan Massal
Kriteria
Nilai Ambang
Kereta
(disyaratkan)
Kereta
(minimum)
atau BRT
Busway/BRT
(minimum)
Populasi Kawasan
Perkotaan
2,000,000 1,000,000 750,000
Populasi Pusat Kota 700,000 500,000 400,000
Kepadatan Populasi
Pusat Kota (org/km2)
5,500 3,900 1,950
Luas Lantai di CBD
(km2)
4,500,000 2,2500,000 1,800,000
Jumlah Pekerjaan 100,000 70,000 50,000
Tujuan perjalanan
harian di CBD/km2
120,000 60,000 40,000
Tujuan perjalanan
harian di
CBD/koridor
70,000 40,000 30,000
Pergerakkan keluar
CBD di garis cordon
di jam sibuk
75,000-100,000 50,000-70,000 35,000
Sumber:Deen, T.B. and Pratt, R.H. (1992)
Mengacu kepada kriteria didalam Tabel 5. 1, maka berdasarkan
ketersediaan data (dalam hal ini jumlah populasi kota) dari masing-
masing kota yang dijadikan sampel dalam studi ini, sistem angkutan
massal yang sesuai dengan karakteristik kota ditunjukan dalam
Tabel 5. 2.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-3
Tabel 5. 2. Sistem Angkutan Massal Kota-kota Sampel
KOTA
TEKNOLOGI SAUM KOTA
Kereta Kereta atau BRT Busway/BRT
DKI JAKARTA
SURABAYA
MEDAN
PALEMBANG
BANDUNG
SEMARANG
MAKASAR
Interpretasi dari sistem angkutan massal untuk kota-kota seperti yang
ditunjukan dalam Tabel 5. 2 adalah bahwa untuk kota dengan jumlah
populasi tertentu sudah harus dilayani oleh bentuk angkutan massal
tertentu, seperti DKI Jakarta dan Surabaya sudah harus dilayani oleh
angkutan massal berbasis rel. Namun ini tetap disesuaikan dengan
karakteristik dari koridor yang ada atau direncanakan, sehingga untuk
koridor-koridor yang belum sesuai tetap bisa dilayani oleh sistem
angkutan umum lainnya. Contoh lainnya adalah seperti kota Bandung
dan Medan yang masih bisa memiliki opsi antara angkutan masssal
berbasis rel dan jalan. Hal penting lainnya adalah juga
mempertimbangkan rencana kota dimasa datang terutama dari prediksi
jumlah penduduk yang akan ditampung. Sehingga tentunya pilihan
sistem angkutan massal ini selayaknya menggunakan ukuran angka
prediksi tersebut dan rekomendasi yang ditunjukan dalam Tabel 5. 2
(mis. kota Semarang& Makasar) bisa digunakan sebagai kebijakan
antara sampai kondisi dan kesiapan kota sudah tercapai.
B. Sistem dan Teknologi Ramah Lingkungan
Hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor menghasilkan
sejumlah besar emisi (gas buang) seperti karbon monoksida,
hidrokarbon, nitrogen oksida dan sejumlah zat beracun seperti partikel
halus dan timbal, dimana masing-masing gas dan zat tersebut
bersamaan dengan hasil sekunder seperti ozon, dapat menyebabkan
dampak buruk bagi kesehatan maupun lingkungan.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-4
Berdasarkan hal tersebut, bahan bakar kendaraan merupakan aspek
penting dari strategi untuk menciptakan kualitas udara yang bersih.
Selain polusi udara, kendaraan bermotor juga dapat menghasilkan
kebisingan suara yang dapat berbahaya bagi kesehatan, dimana suara
kendaraan yang keras selain dapat berbahaya untuk pendengaran, juga
memberikan citra kendaraan yang buruk bagi masyarakat.Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat emisi kendaraan adalah:
1) Faktor-faktor yang terkait dengan perjalanan, seperti:Jumlah
perjalanan, jarak perjalanan, dan cara/gaya mengemudi;
2) Faktor-faktor yang terkait dengan jaringan jalan, seperti:Desain
geometris jalan;
3) Faktor-faktor yang terkait dengan kendaraan, seperti:Ukuran mesin,
horsepower, berat kendaraan.
Modatransportasi yang ramah lingkungan dapat didefinisikan sebagai
moda yang dapat memberikan manfaat bagi lingkungan, yaitu
kendaraan dengan konsumsi bahan bakar yang rendah (efisien),
menghasilkan emisi polutan dan suara yang rendah, manufaktur yang
ramah lingkungan, menggunakan bahan-bahanpembentuk kendaraan
yang optimum dan dapat di daur ulang, serta mempunyai kelebihan lain
yang relevan dengan lingkungan.Secara khusus, kendaraan yang ramah
lingkungan adalah suatu kendaraan yang memenuhi standar kualitas
lingkungan yang ditinjau berdasarkan tingkat emisi dan kebisingan
yang dihasilkan.Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengukur
kualitas lingkungan dari suatu kendaraan, yaitu:
1) Tingkat emisi;
2) Standar kualitas udara di sekitar;
3) Kualitas bahan bakar;
4) Jenis bahan bakar dan sistem penggerak;
5) Tingkat kebisingan di dalam dan di luar kendaraan;
6) Standar ventilasi dan temperatur di kendaraan.
Sementara itu, untuk mencapai standar emisi tertentu, beberapa
komponen yang perlu diperhatikan dalam program pengendalian emisi
yaitu:
1) Kualitas bahan bakar;
2) Teknologi mesin;
3) Teknologi pengendali emisi;
4) Program pemeriksaan dan perawatan kendaraan;
5) Pelatihan pengemudi.
Sedangkan untuk tingkat kebisingan, ditentukan oleh beberapa faktor
berikut, yaitu:
1) Teknologi bahan bakar dan penggerak;
2) Rancangan sistem penggerak;
3) Ukuran kendaraan (relatif terhadap ukuran mesin);
4) Teknologi peredam suara dan “knalpot” yang digunakan;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-5
5) Kualitas permukaan jalan;
6) Proses perawatan/pemeliharaan.
C. Jenis dan Tingkat Emisi Bahan Bakar
Keputusan tentang jenis bahan bakar dan sistem penggerak(propulsion)
moda angkutan umum memiliki dampak terhadap kesehatan
masyarakat, efisiensi operasional dan biaya operasi. Pemilihan bahan
bakar dan teknologi mesin yang terbaik dibuat dengan pertimbangan
kelayakan ekonomi, keuangan, sosial dan lingkungan. Kebijakan dari
pemerintah juga penting untuk diperhitungkan karena mungkin terkait
dengan pertimbangan strategis yang lebih luas. Karakteristik polutan
dari berbagai jenis bahan bakar untuk modatransportasi dijelaskan
sebagai berikut;
1. Bensin (Gasoline)
Polutan yang menjadi perhatian terbesar dari kendaraan
berbahan bakar bensin adalah karbon monoksida (CO),
hydrocarbon (HC), nitrogen oksida (NOx), timbal, dan
hydrocarbon beracun seperti bensol. Zat-zat tersebut dapat
dipengaruhi oleh komposisi dari bensin yang digunakan oleh
kendaraan.
Karakteristik yang paling penting dari bensin terkait dengan
dampaknya pada emisi, yaitu kandungan timbal dan konsentrasi
belerang, volatilitas dan tingkatan bensol.
2. Solar Standar (Diesel)
Kendaraan diesel menghasilkan sejumlah besar NOx dan bahan
partikel (PM). Karena emisi PM sangat berbahaya, terutama
emisi PM dari kendaraan diesel, yang dapat menyebabkan
kanker, maka pengurangan emisi PM dari kendaraan diesel
merupakan prioritas yang utama.
Untuk mengurangi emisi PM dan NOx dari kendaraan diesel,
kandungan yang paling penting untuk diperhatikan yaitu kadar
belerang (sulfur), karena kadar belerang secara langsung
berkontribusi pada tingkat emisi PM.Sehingga penggunaan
teknologi untuk mengendalikan emisi PM dan NOx tidak akan
efektif bila menggunakan bahan bakar dengan kandungan
belerang yang tinggi.
3. Solar Bersih (Clean Diesel)
Bahan bakar diesel bersih merupakan bahan bakar diesel yang
lebih ramah lingkungan karena mempunyai kadar emisi yang
lebih rendah. Dengan adanya standar emisi untuk diesel dengan
kadar sulfur rendah/diesel bersih, maka pengurangan emisi
untuk Euro II dan III masing-masing sebesar 60% untuk kadar
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-6
PM dibandingkan dengan standar diesel sebelumnya, sementara
Euro IV mempunyai 80% emisi PM lebih rendah dari Euro III
dan dapat mengurangi 97% emisi PM dibandingkan dengan
Euro I.Bagaimanapun, terlepas dari upaya dalam aspek
lingkungan, bahan bakar diesel adalah sumber daya yang tidak
dapat terbarukan, dan akan menjadi semakin mahal. Risiko
harga energi dan keamanan di masa depan adalah risiko besar
yang dihadapi setiap perusahaan angkutan dalam konteks
penggunaan bahan bakar diesel. Oleh karena itu pertimbangan
teknologi alternatif untuk investasi transportasi sangat layak
untuk dipertimbangkan.
4. Gas Alam (Natural Gas/NG)
Gas alam (NG) adalah campuran dari hidrokarbon, terutama gas
metana (CH4). Gas ini disimpan pada tanki kendaraan dalam
keadaan terkompresi (CNG). CNG dipromosikan sebagai bahan
bakar alternatif yang baik untuk armada transportasi perkotaan
dan direpresentasikan sebagai “bahan bakar hijau”. Gas alam
(yang mengandung 85-99% senyawa metana) merupakan bahan
bakar yang menghasilkan tingkat emisi yang relatif lebih rendah
untuk beberapa jenis polutan, relatif lebih murah dan relatif
banyak tersedia.
Karena gas alam kebanyakan berupa senyawa metana, maka gas
alam mempunyai emisi hidrokarbon-non metana yang lebih
rendah dari kendaraan berbahan bakar bensin, tetapi
menghasilkan emisi senyawa metana yang lebih tinggi. Emisi
cold-start dari kendaraan BBG juga rendah, karena tidak
memerlukan pengayaan cold-start. Sebagai tambahan, hal ini
akan mereduksi emisi VOC dan CO. Sementara itu tingkat emisi
NOx dari kendaraan BBG dapat lebih tinggi atau lebih rendah
dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar bensin,
tergantung dari teknologi mesin yang digunakan. Tetapi
biasanya sedikit lebih rendah daripada kendaraan berbahan
bakar bensin.
Namun demikian, meskipun CNG adalah pilihan yang
bermanfaatsecara ekonomis untuk menggantimesin diesel yang
selama ini digunakan, atau sebagai sumber alternatif bahan
bakar ekonomis di mana gas alam dapat diperoleh dari sumber
lokal ketimbang minyak impor, BBG memiliki beberapa kendala
yang harus dipertimbangkan:
a) Mesin CNG menggunakan mesin percikan pengapian yang
menuntut perawatan yang lebih untuk menjaga kondisi
mesin tetap terjaga pada tingkat efisiensi yang tinggi.
b) Kualitas CNG dapat bervariasi tergantung pada sumbernya.
Kandungan dari gas alam dapat bervariasiyang juga
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-7
menghasilkan tingkat emisi yang bervariasi pula. Proporsi
berbagai metana dalam gas alam harus diperhitungkan
berkaitan dengan proses konversi gas, untuk menjamin
ketercapaian standar produk.
c) Pertimbangan teknis harus diperhitungkan, seperti
penerapan standar yang lebih tinggi untuk dukungan teknis
(seperti teknisi gas yang diperlukan untuk pemeliharaan)
dan pasokan sertapembuangan gas yang membutuhkan
investasi besar.
d) Adanya beberapa inefisiensi seperti beban ekstra
karenaharus membawa tabung silinder besar untuk
menyimpan gas, yang mengkonsumsi tenaga kendaraan
sehingga mengakibatkan kendaraan menjadi lebih berat.
Bahan bakar CNG juga memiliki efisiensi bahan bakar
yang lebih rendah karena mengandung lebih sedikit energi
pada tingkat yang setara dengan jumlah diesel (15-20%
lebih sedikit).
Sebuah studi yang membandingkanpenggunaan solar standar,
solar “bersih” berkadar sulfur rendah (penerapan saringan solar
khusus) dan CNG menunjukkan bahwa:
a) Solar dengan kadar sulfur rendah mampu mengurangi
tingkat emisi secara signifikan (PM, HC, NOx & CO);
b) Solar “bersih” (vs CNG) menunjukkan hasil penurunan
emisi yang signifikan dan lebih baik kecuali pada unsur
NOx;
c) Tingkat emisiyang lebih buruk dari CNG untuk emisi
beracun yang tidak diatur standarnya (seperti Benzene,
Karbonil, PAH) kecuali untuk unsur NO2PAH yang
kandungannya lebih buruk untuksolar.
d) Konsentrasi partikel PM yang serupabaik pada Diesel
maupun CNG dengan konsentrasi tinggi partikel ultra halus
untuk keduanya.
Faktor biaya untuk penggunaan CNG dibandingkan solar adalah
faktor yang sangat signifikan dengan pertimbangan bahwa biaya
modal dari CNG lebih tinggi karena mencakup pembelian bus,
stasiun pengisian bahan bakar, modifikasi keamanan depo dan
biaya operasional yang lebih tinggi. Selain itu lebih tingginya
biaya bahan bakar (dengan kondisi lebih rendah nilai ekonomi
bahan bakar & biaya kompresinya), meningkatkan biaya
pemeliharaan bus dan stasiun bahan bakar yang berdampak pada
tambahan biaya keseluruhan untuk pilihan teknologi berbahan
bakar CNG.
Aspek pertimbangan lain yang perlu dievaluasi dengan lebih
cermat adalah ketersediaan teknologi modern “diesel
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-8
bersih/Clean Diesel” (mesin berstandar Euro dan menggunakan
solar berkadar belerang rendah) yang teknologinya jauh lebih
maju, serta lebih ramah lingkungan dibandingkan CNG sebagai
bahan bakar. Sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam memilih jenis bahan bakar CNG antara lain:
a) Baik CNG maupun Solar adalah bahan bakar fosil yang
mengeluarkan gas rumah kaca.
b) Bahan bakar alternatif (seperti biofuel) dapat memiliki
konsekuensi yang tidak diinginkan bagi masyarakat atau
lingkungan, karena potensi pengalihan dari bahan untuk
panganmenjadi bahan dasar untuk industri pembuatan
bahan bakar, atau hutan hujan dirusak untuk kepentingan
tanaman penghasil minyak.
c) Semua mesin pembakaran internal memancarkan gas
beracun (baik Diesel dan CNG). Penelitian yang dilakukan
oleh California Air Research menyimpulkan bahwa
meskipun CNG sedikit lebih baik dalam banyak kasus,
namun pada berbagai jenis layanan bus yang dioperasikan
dengan menggunakan CNG menunjukkan hasil yang
kurang konsisten atau terlalu variatif.
d) Ada kekhawatiran bahwa CNG mengandung bahan kimia
beracun, yang tidak terdapat dalam solar, dan untuk CNG
dan solar pada partikel ultra halus (PM2.5) yang merupakan
campuran yang kompleks dari partikel padat yang sangat
kecil dan tetesan cairan 2,5 mikron pada diameter yang
lebih kecil menyebabkan masalah kesehatan seperti asma,
bronkitis, dan serangan jantung.
5. Biodiesel
Biodiesel diproduksi dari hasil reaksi antara tumbuhan/lemak
hewan dengan methanol/etanol untuk menghasilkan bahan bakar
dengan viskositas rendah, yang serupa dengan karakteristik dari
bahan bakar diesel dan dapat digunakan langsung ataupun
dicampur dengan bahan bakar diesel dari minyak bumi.
Biodiesel merupakan bahan bakar diesel yang tidak mengandung
sulfur, sehingga dapat mengurangi emisi CO, asap kendaraan,
dan emisi HC. Akan tetapi hasil dari beberapa kajian
menunjukkan emisi NOx biodiesel lebih tinggi dibandingkan
dengan bahan bakar diesel pada kondisi mesin normal. Selain itu
juga menghasilkan emisi bahan partikel (PM) yang lebih tinggi.
Tingginya biaya dari biodiesel merupakan salah satu sebab
utama biodiesel kurang diminati sebagai bahan bakar pengganti
diesel.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-9
6. Hidrogen (H2)
Hidrogen yang biasa digunakan sebagai bahan bakar adalah
jenis compressed hydrogen (CH2) dengan 200 bar atau liquefied
hydrogen (LH2) suhu -252°C (422°F). Hidrogen merupakan
suatu sumber energi sekunder, yang dihasilkan oleh sumber
energi fosil atau non-fosil.
Pengunaan hidrogen sebagai bahan bakar karena tingkat emisi
CO2 nya lebih rendah dari bahan bakar yang mengandung kadar
karbon. Penggunaan hidrogen akan memberikan keuntungan
yang lebih bila dihasilkan oleh sumber daya yang dapat
diperbaharui seperti dari listrik yang berasal dari energi yang
dapat diperbaharui atau dari biomass.
Hidrogen dapat digunakan dalam mesin pembakaran internal
(ICE) ataupun berbahan bakar sel, dimana pada saat hidrogen
digunakan pada kendaraan dengan mesin ICE, tingkat emisi
NOx nya setara dengan yang dihasilkan oleh mesin berbahan
bakar CNG.Selain itu juga menghasilkan tingkat emisi PM yang
lebih rendah.
Salah satu kelemahan dari bakar hidrogen adalah adanya biaya
tambahan untuk menghasilkan bahan bakar tersebut.
7. Bahan Bakar Sel (Fuel Cell)
Kendaraan berbahan bakar sel saat ini dianggap sebagai
teknologi kendaraan yang paling menjanjikan untuk masa depan.
Efisiensi dan biaya dari bahan bakar sel merupakan salah satu
masalah utama untuk menjadikan kendaraan berbahan bakar sel
sebagai kendaraan masa depan.
Keuntungan utama dari bahan bakar sel yaitu menghasilkan
tingkat emisi yang sangat rendah.
Sementara kelemahan dari bakar sel adalah faktor efisiensi
penggunaan bahan bakar dan biaya yang tinggi.Selain itu
besarnya beban dari sistem penyimpanan maupun komponen
penggerak untuk bahan bakar sel, 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dari kendaraan berbahan bakar bensin.
8. Liquefied Petroleum Gas (LPG)
Teknologi mesin untuk kendaraan LPG sangat serupa dengan
kendaraan CNG. Sebagai bahan bakar, LPG memiliki banyak
keuntungan yang sama dengan CNG, selain itu terdapat
tambahan keuntungan yaitu lebih mudah dibawa di dalam
kendaraan.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-10
Tingkat emisi dari kendaraan berbahan bakar LPG memiliki
banyak kesamaan dengan emisi kendaraan berbahan bakar
CNG. Dilain sisi komposisi utama pembentuk LPG yang berupa
campuran propan/butan mempengaruhi komposisi dari emisi
Volatile Organic Compund (VOC), reaktifitas fotokimia, dan
juga potensi pemanasan global.
Dengan menggunakan sistem bahan bakar yang lebih canggih,
(seperti injeksi bahan bakar dengan kendali elektronik)
berpotensi terhadap pengurangan emisi yang lebih tinggi.
Biaya untuk konversi dari bensin ke LPG lebih murah sedikit
dibandingkan dengan konversi ke (CNG) gas alam, karena biaya
untuk tanki bahan bakar yang lebih rendah.
9. Listrik-hibrida (Hybrid Electric)
Bus Listrik Hibrida (Hybrid Electric Bus, HEB) merupakan
kendaraan yang menggabungkan kekuatan dari auxiliary power
unit (APU), biasanya suatu mesin pembakaran dalam/ICE,
dengan suatu alat penyimpanan energi dan suatu motor listrik
untuk mengoptimalkan efisiensi berkendaraan. Beberapa
keuntungan dari HEB yaitu:
a) Mengurangi emisi hingga 90%;
b) 20-50% lebih hemat bahan bakar;
c) Kemampuan berkendara yang lebih baik, suara lebih
tenang;
d) Kinerja yang lebih baik;
e) Mengurangi perawatan ( rem, transmisi);
f) Menggunakan bahan bakar standar;
g) Serupa dengan kendaraan saat ini.
D. Perbandingan Emisi Bahan Bakar
1. Bus CNG dan Bensin (Gasoline)
Pengurangan emisi untuk kendaraan berbahan bakar CNG
dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar bensin adalah:
a) Karbon monoksida (CO) : 60-80%;
b) Gas organic non metana (NMOG) : 87%;
c) Nitrogen oksida (NOx) : 50-80%;
d) Karbon dioksida (CO2) : sekitar 20%;
e) Reaktifitas produksi ozon: 80-90%.
2. Bus CNG vs Solar
Sedangkan, pengurangan emisi dari kendaraan berbahan bakar
CNG (khususnya untuk kendaraan berat) dibandingkan dengan
kendaraan berbahan bakar diesel,:
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-11
a) CO : 70-90%;
b) Gas organic non metana (NMOG): 40-60%;
c) NOx : 80-90%;
d) Particulate Matter (PM 10): 90-95% (Catatan: sebagian
besar PM dipancarkan dari mesin berminyak pelumas yang
menembus di dalam kepala piston, dan bukan merupakan
hasil langsung dari CNG).
3. Bus CNG dan Bus listrik (Grid Connected /Catenary
Overhead Wires) vs Solar
Jika dilihat dari emisi gas rumah kaca (Green House Gas,
GHH), PM dan NOx yang dihasilkan oleh bus CNG dan listrik
maka terjadi pengurangan yang cukup signifikan bila
dibandingan dengan bus diesel, seperti yang ditunjukkan dalam
Tabel 5. 3.
Tabel 5. 3. Persentase perubahan pengurangan emisi saluran
pembuangan
JENIS
BAHAN
BAKAR
GHG PM NOx Tambahan Biaya
CNG -21 - 90 -30
Harga Kendaraan: $30K-40K
Bahan bakar: -30%
Biaya operasional: + 20%
Grid
Connected
(Catenary
Overhead
Wires)
-100 -100 -100
Harga Kendaraan: 1,5-1,8 kali
Biaya perawatan:bertambah
secara signifikan (karena
catenary system)
Sumber: WestStart-Calstart (2004)
4. Bus listrik hibrida/HEB vs Diesel
Perubahan emisi bus listrik hibrida/HEB-diesel dan HEB-bensin
terhadap bus diesel standar ditunjukan dalam Tabel 5. 4.
Tabel 5. 4. Persentase Perubahan Emisi terhadap Bus Diesel
JENIS
BAHAN
BAKAR
GHG PM NOx CO
Keuntungan
efisiensi
bahan bakar
Tambahan
Biaya
(x1,000)
Diesel
Hybrid
Electric
-35 -99 -44 -70 30-65 $100-200
Gasoline -25 >- >-95 -25 >20 $100-200
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-12
Hybrid
Electric
90
Sumber: WestStart-CALSTART (2004)
5. Bus CNG & HEB vs Diesel
California Air Research Board melakukan pengujian emisi
terhadap bus berbahan bakar diesel standar, CNG dan beberapa
bus listrik hibrida/HEB, dimana HEB-Diesel yang dilengkapi
dengan DPF dan HEB-Bensin dilengkapi dengan catalytic
converter. Hasil pengujian menunjukkan bahwa emisi PM dari
HEB-LPG cukup tinggi dibandingkan dengan emisi PM dari bus
CNG, maupun HEB-Diesel, akan tetapi masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan busDiesel. Sementara emisi NOx dari
HEB (kecuali HEB-Diesel tahun 1998) lebih rendah
dibandingkan dengan emisi NOx dari bus CNG maupun
busDiesel.
6. Solar Euro V, CNG/LPG dan HEB-Diesel vs Solar
Dari hasil suatu studi yang dilakukan di Hongkong
menunjukkan bahwa terdapat pengurangan emisi yang cukup
besar untuk penggunaan bahan bakar diesel standar Euro-V,
CNG/LPG atau HEB-diesel dibandingkan dengan diesel standar.
7. Bahan bakar alternatif dan teknologi pengurang emisi vs
Solar.
Sementara itu dari hasil kajian yang dilakukan oleh WestStart-
Calstart (2004) terhadap pilihan bahan bakar dan sistem
penggerak untuk kendaraan BRT, menunjukkan besarnya
pengurangan emisi seperti yang ditunjukan dalamTabel 5. 5.
Tabel 5. 5. Persentase Perubahan Emisi terhadap Diesel Standar
Jenis Perlakuan/Modifikasi PM NOx
Diesel particulate filter (DPF) -90 +5
Exhaust Gas Recirculation <+5 -50
Diesel Oxidation Catalyst -20 sampai -50 0
Lean Nox Catalyst 0 -25
Lean Nox Catalyst&DPF >-85 -25
Selective Catalytic Reduction(SCR) -25 -70
Jenis Bahan Bakar PM NOx
Bio Diesel (B20) -10 +2
Diesel w/ Water emulsion (PuriNox) -63 -14
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-13
Sumber: WestStart-CALSTART(2004)
E. Sistem dan Teknologi Hemat Energi
Secara umum, kendaraan yang hemat energi adalah kendaraan dengan
konsumsi bahan bakar paling efisien atau ekonomis, dimana efisiensi
pengunaan bahan bakar diukur berdasarkan rasio jarak tempuh
perjalanan per unit bahan bakar yang dikonsumsi, biasanya dalam km/
liter.
Beberapa parameter yang mempengaruhi efisiensi penggunaan bahan
bakar, adalah: kapasitas mesin, tarikan aerodinamis (aerodynamic drag),
berat kendaraan, rolling resistance.Sedangkanfaktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi bahan bakar dari suatu kendaraan adalah
frekuensi perjalanan, jarak tempuh, jumlah pemberhentian, kecepatan
rata-rata kendaraan.
Tabel 5. 6 menunjukkan konsumsi penggunaan bahan bakar untuk
perjalanan dalam kota dari jenis bus tunggal (panjang 12 m) terhadap
berbagai jenis bahan bakar.
Tabel 5. 6. Konsumsi Bahan Bakar untuk Jenis Bus Tunggal
Jenis Bahan
Bakar
Konsumsi Bahan Bakar
km/liter liter/100km
LPG 1 100
Hibrida 1,37 73
CNG 0,73 137
Diesel 0,99 101
Bio Diesel 1,7 59 Sumber: diolah dari berbagai sumber
Sedangkan untuk harga per liter dari masing-masing jenis bahan
bakar ditunjukan dalam
Tabel 5. 7.
Diesel w/ethanol emulsion (puranol,O2diesel) -40 -5
CNG -90 -30
Dual Fuel(CNG/Diesel) -70 -50
Grid Connected(catenary overhead wires) -100 -100
Diesel Hybrid Electric (with after treatment) -99 -44
Gasoline Hybrid Electric >-90 >-95
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-14
Tabel 5. 7. Harga satuan Jenis Bahan Bakar
Jenis Bahan Bakar Harga Bahan Bakar (2013)
Rp/liter (subsidi)
LPG 3,600
Hybrida n/a
CNG 3,500
Diesel 5,500
Bio Diesel (10) 5,500 Sumber:diolah dari berbagai sumber
F. Sistem Angkutan Umum Massal Perkotaan Berbasis Jalan yang
Ramah Lingkungan dan Hemat Energi.
Mengacu kepada pembahasan dibagian sebelumnya bahwa sistem yang
paling ramah lingkungan adalah sistem angkutan massal yang
menggunakan energi listrik sebagai tenaga penggeraknya. Hal ini
ditunjukan dari fakta bahwa tenaga penggerak dengan energi listrik
tidak menghasilkan emisi apapun, sedangkan untuk sumber energi
lainnya masih menghasilkan gas buang dengan tingkat emisi yang
bervariasi. Karena hampir semua angkutan massal perkotaan berbasis
rel menggunakan energi listrik sebagai tenaga penggeraknya, maka
yang perlu mendapat perhatian yang lebih cermat adalah sistem
angkutan massal berbasis jalan. Secara ideal sistem angkutan massal
berbasis jalan harus menggunakan sumber energi listrik, sehingga aspek
yang menjadi pertimbangan penting adalah aspek pembiayaan baik
untuk investasi maupun pemeliharaan dan aspek estetika, terkait
teknologi bus listrik yang masih menggunakan jejaring kawat listrik
diudara.
Namun sejalan dengan berkembangnya teknologi, saat ini sudah
dikembangkan dan dioperasikan teknologi bus listrik yang
menggunakan baterai yang dapat diisi ulang secara “on line” (OLEV)
tanpa menggunakan kabel.
Bus listrik dengan pengisian secara bergerak (On-Line Electric
Vehicle/OLEV), seperti yang ditunjukan dalam Gambar 5. 1 dan
Gambar 5. 2 merupakan teknologi kendaraan bertenaga listrik inovatif
yang pengisian daya listriknya dilakukan dengan mekanisme transmisi
atau jarak jauh (remote) dari unit pemasok tenaga listrik yang dikubur
dibawah permukaan jalan.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-15
Sumber:Seung, Y. A., et.al (2010)& Ko, Y. D., and Jang, Y. J., (2011)
Gambar 5. 1. Bus dengan sistem OLEV
Sumber:Seung, Y. A., et.al (2010)&Ko, Y. D., and Jang, Y. J., (2011)
Gambar 5. 2. Mekanisme Pengisian Tenaga OLEV
Unit pengirim (transmitter) tenaga listrik - kabel induktif dibawah
permukaan jalan - membangkitkan medan magnet untuk memasok
sejumlah tenaga yang dibutuhkan oleh bus untuk bergerak. Disisi lain,
unit pengambil tenaga yang dipasang di bagian bawah bus
mengumpulkan tenaga listrik dari jarak jauh dan mendistribusikannya
ke mesin untuk menggerakkan bus dan juga ke baterai yang berada
didalam bus. Proses pengambilan tenaga listrik ini dilakukan secara
menerus baik dalam keadaan bergerak maupun berhenti. Sehingga
teknologi ini mampu mengatasi kebutuhan ukuran dan kapasitas baterei
yang besar agar dapat menyimpan tenaga yang memadai untuk
kendaraan sebesar bus beroperasi secara normal.
Oleh karenanya, aspek ekonomilah yang nampaknya akan menentukan
pilihan dari teknologi moda angkutan massal berbasis jalan sejauh
regulasi yang berlaku masih memberikan toleransi terhadap adanya
emisi gas buang pada kadar tertentu. Dengan asumsi bahwa teknologi
OLEV masih belum bisa digunakan secara luas dan tinjauan aspek
lingkungan murni diukur dari tingkat emisi maka urutan prioritas pilihan
moda angkutan massal berbasis jalan dengan teknologi dan jenis bahan
bakar berikut:
1) Diesel Hybrid Electric atau CNG;
2) Diesel Euro V;
3) Diesel Euro IV;
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-16
4) Diesel Euro III.
Untuk aspek ekonomi, maka penilaian terhadap pilihan suatu teknologi
moda dan jenis bahan bakar sangat terkait dengan aspek hemat energi
atau lebih spesifik kepada konsumsi penggunaan bahan bakar. Bila sisi
tinjau hanya dari tingkat konsumsi bahan bakar saja untuk situasi yang
setara maka prioritas pilihan moda adalah sebagai berikut;
1) Diesel Hybrid Electric;
2) Diesel (Euro);
3) LPG;
4) CNG.
Dengan adanya fakta bahwa tingkat konsumsi bahan bakar dan emisi gas
buang, terutama untuk bahan bakar diesel masih bisa direduksi dengan
berbagai perlakuan khusus baik dari sisi teknologi penggerak kendaraan
maupun sisi campuran bahan bakar diesel,maka untuk lebih obyektif,
aspek hemat energi perlu dikonversikan kepada nilai biaya investasi dan
operasional untuk suatu sistem angkutan massal yang diterapkan pada
suatu kota. Oleh karenanya tidak mudah untuk menetapkan suatu standar
baku berdasarkan aspek hemat energi, sehingga yang perlu dijadikan
acuan utama adalah aspek ramah lingkungan dalam bentuk regulasi
standar baku mutu lingkungan dan kebijakan terhadap penggunaan
sumber energi berbasiskan fosil.
Namun, sebagai ilustrasi, hasil penelitian yang dilakukan oleh Otoritas
Angkutan Massal (MTA) kota New York yang membandingkan
penggunaan jenis bus dengan bahan bakar diesel bersih(CD) yang setara
dengan standar EURO V(sulfur < 30ppm) dengan CNG menunjukkan:
1) Emisi (vs Diesel Standar)
(a) Bus dengan CNG lebih baik dari CD untuk kandungan NOx;
(b) Bus dengan CNG lebih buruk dari CD untuk kandungan THC,
NMHC, CO, Benzena, Carbonyl dan PAH;
(c) Bus dengan CNG setara CD untuk kandungan PM dan
NO2PAH.
2) Biaya Awal/Kapital Total (vs Diesel Standar)
(a) Bus dengan CNG lebih mahal USD 31 juta
(b) Bus dengan CD lebih mahal USD 1.7 juta
3) Biaya Operasional Total (vs Diesel Standar)
(a) Bus dengan CNG lebih mahal USD 2.5 juta
(b) Bus dengan CD lebih mahal USD 461.400 ribu
4) Biaya Total masa layanan (life cycle cost) selama 30 tahun (NPV
tahunan)
(a) Bus dengan CNG sebesar USD 2.343 juta/tahun
(b) Bus dengan CD lebih mahal USD 339.367 ribu (dari Diesel
Standar)
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-17
Bila hasil penelitian ini dijadikan acuan, maka dari aspek hemat energi
penggunaan teknologi CNG lebih mahal. Dilain sisi, walaupun dari
aspek emisi, teknologi CNG lebih baik, penerapan teknologi baru pada
diesel (seperti teknologi CD) mampu mengurangi tingkat emisi
mendekati tingkat emisi teknologi CNG. Sehingga secara total,
penggunaan teknologi CD bila ditinjau dari sisi ekonomi (penghematan
biaya), jauh lebih baik dibandingkan dengan teknologi CNG. Namun
tentunya hasil penelitian ini serta merta tidak bisa dijadikan standar,
namun bisa sebagai acuan awal untuk kajian sejenis distiap kota yang
harus menetapkan jenis bahan bakar dan tenaga penggerak yang paling
optimal.
Mengacu kepada kondisi faktual saat ini terhadap kesediaan prasarana
dan sarana yang mendukung penggunaan kendaraan BBG, nampaknya
untuk sementara waktu sampai kondisinya jauh lebih kondusif,
penggunaan moda angkutan massal berbasis jalan raya dengan teknologi
CD (standar EURO IV ke atas) masih layak untuk dipertimbangkan.
Namun tentunya hal ini perlu diimbangi dengan prosedur pemantauan
dan pengendalian yang ketat dan konsisten agar standar kualitas emisi
tetap bisa dipertahankan.
Oleh karena itu, bila kebijakan energinya adalah tidak menggunakan
energi berbasis fosil, maka untuk sistem angkutan massal berbasis jalan
di kota-kota (Besar dan Raya) Indonesia yang paling sesuai adalah
menggunakan moda berbahan bakar gas alam yang tentunya dengan
catatan sejauh teknologi OLEV masih belum bisa diterapkan atau masih
terlalu mahal untuk digunakan dalam kurun waktu tertentu.
G. Rasional Implementasi Angkutan Massal Berbasis Jalan (BRT)
1. Pemilihan Kota Percontohan
Karena dalam studi ini diarahkan untuk melakukan analisis
terhadap pengembangan sistem angkutan umum massal berbasis
jalan pada suatu kota, maka untuk keperluan proses pemilihan
kota percontohan dikembangkan kriteria dasar terutama yang
terkait dengan prasyarat kebutuhan data untuk analisis,
khususnya analisis kuantitatif. Untuk metoda analisis dengan
skala penuh (pemodelan empat tahap) dibutuhkan data sebagai
berikut;
a) Data asal-tujuan perjalanan pengguna angkutan umum;
b) Data sosio-ekonomi dan demografi;
c) Data rencana tata ruang wilayah;
d) Data trayek angkutan umum (termasuk rencana);
(1) Panjang trayek;
(2) Ittenerary trayek.
e) Data karakteristik operasional angkutan umum eksisting:
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-18
(1) Okupansi/faktor muat rata-rata per arah pada jam sibuk
dan jam lengang;
(2) Frekuensi per arah pada jam sibuk dan jam lengang;
(3) Kecepatan tempuh rata-rata per arah pada jam sibuk
dan jam lengang;
(4) Besaran naik turun penumpang harian dan jam
sibuk/jam lengang per arah per trayek di tiap titik
pelayanan ;
(5) Tundaan (waktu dan penyebab) per trayek per arah;
(6) Waktu berhenti per trayek per arah;
(7) Waktu tunggu rata-rata di tiap titik layanan per arah
per trayek.
f) Data sarana dan prasarana angkutan umum eksisting;
(1) Jumlah armada beroperasi per trayek;
(2) Jenis dan kapasitas (nominal) per trayek;
(3) Usia kendaraan;
(4) Konfigurasi kursi, pintu, sirkulasi, mekanisme
pengumpulan tiket, pegangan tangan, tingkat
kebisisngan (internal&eksternal) dan tingkat emisi;
(5) Halte, terminal/depo.
g) Data pusat bangkitan-tarikan eksisting dan rencana;
h) Data jaringan jalan eksisting dan rencana;
i) Model permintaan angkutan umum (bangkitan, distribusi
dan pilihan moda);
j) Model jaringan transportasi.
Sedangkan untuk metoda analisis sederhana dan cepat, jenis data
minimum yang diperlukan adalah sebagai berikut;
a) Data trayek angkutan umum (termasuk rencana);
(1) Panjang trayek;
(2) Ittenerary trayek.
b) Data karakteristik operasional angkutan umum eksisting:
(1) Okupansi/faktor muat rata-rata per arah pada jam sibuk
dan jam lengang;
(2) Frekuensi per arah pada jam sibuk dan jam lengang;
(3) Besaran naik turun penumpang harian dan jam
sibuk/jam lengang per arah per trayek di tiap titik
pelayanan (optional);
(4) Kecepatan tempuh rata-rata per arah pada jam sibuk
dan jam lengang;
c) Data sarana dan prasarana angkutan umum eksisting;
d) Data pusat bangkitan-tarikan eksisting dan rencana;
e) Data jaringan jalan eksisting dan rencana.
Dari hasil inventarisasi kelengkapan data di masing-masing kota sesuai
dengan prasyarat jenis data untuk keperluan analisis dirangkum dalam
Tabel 5. 8.
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-19
Tabel 5. 8. Tabulasi Ketersediaan Data Pokok Sebagai Kota
Percontohan
Kriteria Medan Palembang DKI
Jakarta Bandung Semarang Surabaya Makassar
Koridor BRT Eksisting Belum
Ada Ada Ada Ada Ada
Belum Ada
Belum Ada
Data Trayek Eksisting Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Data Asal-Tujuan Perjalanan
Ada Lemah Ada Lemah Tidak Ada Ada Lemah
Data Sosial Ekonomi Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Data Rencana Tata Ruang
Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada
Rencana Koridor BRT Ada Ada Ada Ada Ada Belum
Ada Ada
Frekuensi Angkutan Umum
Ada Lemah Ada Ada Ada Ada Lemah
Okupansi Pengguna Angkutan Umum
Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada
Tidak Ada Ada Tidak Ada
Model Jaringan Transportasi
Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada
Tidak Ada Ada Tidak Ada
Sumber:Analisis Konsultan
H. Evaluasi untuk masing-masing kriteria dijelaskan sebagai berikut;
1. Koridor BRT Eksisting
Kota yang telah memiliki koridor BRT kurang tepat dijadikan
sebagai kota percontohan. Meskipun dapat dipakai sebagai kota
percontohan namun akan menimbulkan diskusi panjang
mengingat dapat dipastikan akan terdapat pergeseran dari hasil
studi ini dengan kenyataan di lapangan. Perbedaan tersebut
bukan menandakan adanya kesalahan di salah satu pihak (studi
dan lapangan) melainkan lebih kepada pendekatan yang
digunakan. Studi ini lebih mengutamakan aspek teknis tanpa
memperhatikan aspek sosial dan aspek lainnya. Koridor BRT
yang sudah ada telah melampaui tahapan panjang yang tidak
dapat seluruhnya dijelaskan dalam studi ini. Jika melihat kriteria
adanya koridor BRT eksisting maka kota Medan, Surabaya dan
Makassar adalah pilihan terbaik.
2. Data Trayek Eksisting
Dalam analisa lalu lintas baik untuk analisis jalan raya
(highway) maupun analisis angkutan umum (transit) dikenal dua
sisi yaitu supply dan demand. Jaringan jalan merupakan
gambaran jaringan supply dalam analisis jalan raya (highway)
sedangkan jaringan trayek merupakan jaringan supply untuk
angkutan umum (transit). Jaringan jalan raya dan jaringan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-20
angkutan umum dapat berhimpit dalam trase yang sama jika
membahas jaringan angkutan umum berbasis jalan. Namun
keduanya akan memiliki trase yang berbeda jika angkutan
umum yang dibahas berbasis rel.
Data trayek eksisting yang dimaksud dalam bagian ini adalah
rute/jalan yang dilalui angkutan umum dari titik asal ke titik
tujuan sehingga dalam satu segmen jaringan jalan raya sangat
dimungkinkan memiliki banyak jaringan trayek angkutan umum.
Seluruh kota yang diambil datanya memiliki kelengkapan data
ini.
3. Data Asal Tujuan Perjalanan
Data asal-tujuan perjalanan adalah data yang paling sulit
ditemukan yang sesuai dengan kriteria studi ini. Hampir seluruh
kota yang diambil datanya memiliki data pola pergerakan namun
dalam cakupan/zona terlalu besar (contoh lingkup kecamatan
atau grouping). Minimal data yang dibutuhkan adalah data pola
pergerakan dalam level kelurahan meskipun nantinya untuk
keperluan detail desain diperlukan data pola pergerakan yang
lebih detail (contoh: guna penetapan posisi halte yang lebih
spesifik lokasinya).
Data pola pergerakan untuk kota Palembang, Badung dan
Makassar yang diperoleh sangat lemah mengingat sumber yang
dikumpulkan membahas pergerakan dalam cakupan wilayah
aglomerasi (berbasiskan Kecamatan). Sedangkan data pola
pergerakan kota Medan, DKI Jakarta dan Surabaya cukup baik
dengan level pergerakan hingga level kelurahan.
4. Data Sosial Ekonomi
Data sosial ekonomi cukup baik di kota-kota yang diambil
datanya. Namun DKI Jakarta lebih memiliki data sosial ekonomi
yang lebih baik mengingat data sosial eknomi yang diperoleh
didukung kuat dari hasil HVS Sitramp dan JUTPI. Dari hasil
survai HVS terdapat data sosial ekonomi yang lebih rinci yang
membantu pengembangan model demand seperti data
kepemilikan kendaraan, income, biaya pengeluaran dan lain-lain.
5. Data Rencana Tata Ruang
Seluruh kota yang diambil datanya telah memiliki data pola tata
guna lahan (RTRW) meskipun sebagian masih dalam bentuk
rancangan (draft).
6. Rencana Koridor BRT
Hampir seluruh kota yang diambil datanya telah memiliki
konsep rencana pengembangan SAUM. Namun khusus untuk
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-21
kota Surabaya, pengembangan SAUM yang ada menitik
beratkan kepada LRT (Trem dan Monorail) sedangkan untuk
konsep BRT belum dijelaskan secara spesifik.
7. Frekuensi Angkutan Umum Eksisting
Frekuensi angkutan umum memegang peranan penting
mengingat dari data inilah diketahui besaran supply yang
sesungguhnya untuk tiap rute. Kota Palembang dan kota
Makassar memiliki data yang cukup lemah mengingat frekuensi
angkutan umum yang ada diperoleh dari data BPS sedangkan
untuk 5 kota lainnya diperoleh dari hasil pengukuran/survai
lapangan.
8. Okupansi Penumpang Angkutan Umum Eksisting
Data besaran jumlah pengguna angkutan umum biasanya
digunakan sebagai data pembanding (validasi) dari model
transportasi yang telah disusun. Selain itu data jumlah
penumpang angkutan umum eksisting dapat digunakan sebagai
taksiran awal memperkirakan besaran demand yang ada. Kota
Medan, DKI Jakarta dan Surabaya memiliki data okupansi
pengguna angkutan umum dari hasil survai.
9. Model Jaringan Transportasi
Keseluruhan komponen data yang diperlukan diatas akan
terangkum dalam model jaringan transportasi. Dengan kata lain,
untuk kepentingan studi ini, model jaringan transportasi adalah
hal yang sangat penting dimana supply dan demand eksisting
angkutan umum telah tergambar secara baik tinggal melanjutkan
ketahap selanjutnya yaitu mendesain rencana pengembangan
angkutan umum masa depan apapun bentuknya sesuai demand
yang ada (BRT, LRT, MRT dan lain-lain).
Dari hasil verifikasi terhadap ketersediaan dan kualitas
komponen utama data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan
bahwa kota Surabaya bisa dijadikan percontohan untuk proses
analisis angkutan umum massal jalan raya dalam studi ini.
I. Rasional Implementasi Angkutan Massal Berbasis Jalan (BRT)
Banyak pemerintah kota dihadapkan pada upaya pencarian solusi
angkutan umum yang mampu meningkatkan mobilitas kota dan
fenomena “urban sprawl”. Permasalahan ini mengarah kepada upaya
evaluasi ulang teknologi angkutan massal saat ini dan pengembangan
cara baru dan kreatif untuk meningkatkan layanan dan kinerja angkutan
massal. Pengembangan BRT sepertinya merupakan cara ekonomis
untuk mencapai tujuan tersebut diatas. BRT dapat dibangun secara
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-22
bertahap, membutuhkan waktu perencanaan dan pembangunan yang
lebih singkat, dan berbiaya lebih rendah dan fleksibilitas lebih tinggi
dibandingkan dengan LRT serta dapat dibangun di lingkungan LRT
beroperasi. Beberapa alasan khusus untuk mengimplementasikan BRT
adalah sebagai berikut:
1) Pertumbuhan daerah perkotaan yang terus menerus, termasuk
sejumlah CBD dan pusat daerah pinggir kota dan regional,
membutuhkan pelayanan transportasi yang lebih banyak dan akses
yang lebih baik. Terkait dengan biaya pembangunan jalan dan
dampaknya terhadap masyarakat, perbaikan dan peningkatan
pelayanan angkutan umum menyeruak sebagai upaya penting
untuk memenuhi kapasitas layanan transportasi yang diperlukan.
Namun, sistem layanan bus yang beroperasi saat ini memiliki
kendala besar terhadap penggunaannya karena berbagai hal, seperti
kecepatan layanan rendah, frekuensi layanan tidak tentu/jarang dan
kurang handal, struktur jaringan trayek yang kompleks dan sulit
dimengerti,kondisi kendaraan dan sistem operasional yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pengguna, dan minimnya informasi bagi
pengguna. Sedangkan angkutan massal berbasis rel relatif lebih
sulit, membutuhkan waktu lama dan biaya mahal untuk
diimplementasikan, serta biaya operasional yang tinggi.
2) BRT umumnya dapat diimplementasikandengan cepat dan
bertahap tanpa menghambat rencana investasi sistem rel di masa
depan jika dan ketika dibutuhkan.
3) Pada jarak tempuh tertentu dengan jalur khusus terpisah, secara
umum pembangunan biaya BRT lebih murah dari pada angkutan
massal berbasis rel. Lebih jauh, biaya untuk mengadakan fasilitas
relatif lebih rendah jika beroperasi pada lajur khususbus yang
sudah ada atau pada jalur HOV.
4) Untuk dapat melayani berbagai lingkungan perkotaan, biaya untuk
mengimplementasikan dan mengoperasikan BRT dapat lebih
efektif. Operasional kendaraan BRT bisa sangat fleksibel karena
dapat dioperasikan dengan menggunakan pengemudi, secara
otomatis (mekanik atau elektrik), di jalan biasa, jalan arteri, jalan
bebas hambatan, ROW jalur kereta, struktur layang dan bawah
tanah. BRT juga mampu memberikan berbagai layanan seperti rute
langsung (ekspres), patas, dan reguler pada prasarana yang sama.
Sementara sistem angkutan rel harus menerapkan konsep pindah
antar moda untuk melayani pasar atau lingkup yang sama
dikarenakan karakteristik armadanya jauh lebih besar.
5) Pada tingkat penggunaan di berbagai koridor perkotaan, biaya yang
relatif tinggi untuk pengemudi dapat diimbangi oleh rendahnya
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB V – Analisis Pengembangan V-23
biaya tetap marjinal dan biaya perawatan untuk mencapai biaya
operasional dan perawatan total yang rendah.
6) BRT sangat cocok untuk meluaskan jangkauan layanan angkutan
rel dan juga dapat berfungsi sebagai pengumpannyadi kawasan
yang permintaannya terlalu rendah untuk angkutan rel.
7) BRT, seperti layaknya angkutan massal cepat lainnya, dapat
diintegrasikan ke dalam lingkungan perkotaan dan pinggir kota.
Penerapan teknologi ITS dan teknologi modern lainnya membuat BRT
lebih menarik dan praktis. Teknologi ini termasuk –kendaraan bersih
(contohnya, kendaraan dengan tenaga penggerakyang dikendalikan
secara elektronik, mesin diesel bersih dan tenang yang dilengkapi
dengan catalytic converter, Gas alam terkompresi [CNG], hybrid-
“clean” diesel electric, atau dual power, seperti trolley/diesel).