Bab IV Pembahasan
Transcript of Bab IV Pembahasan
BAB IV
PEMBAHASAN
Telah dilaporkan kasus anak perempuan yang dirawat di Ruang
anakRSUD Ulin Banjarmasin dari tanggal 29 mei –2011 dengan diagnosis kejang
demam kompleks e.c ISNA
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium atau tanpa
adanya infeksi intrakranial. Berdasarkan anamnesa dikatakan oleh ibu pasien bahwa
Sebelum kejang anak demam tinggi, dimana demam tinggi tidak pernah dilakukan
pengukuran suhu dengan termometer, sehingga kemungkinan demam tinggi
tersebut suhunya > 380C. Dapat disimpulkan bahwa pada pasin ini terjadi kejang
demam. 1,4,5
Kriteria Livingstone tersebut telah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman
untuk membuat diagnosis keajang sederhana adalah 1,4,10:
1. umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 5 tahun
2. kejang berlangsung hanya sebentar saja tidak lebih dari 15 menit
3. kejang bersifat umum
4. kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan
7. frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak > 4 x
Kejang demam kompleks adalah kejang dengan salah satu ciri berikut :
1. kejang lama > 15 menit
2. kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang
parsial
3. kejang berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa kejang pertama kali terjadi 1
minggu sebelum masuk rumah sakit, kejang kedua terjadi kurang dari 24 jam.
Setiap kejang, berlangsung sekitar 15 menit. Sebelum kejang anak demam tinggi,
kejang terjadi pada seluruh tubuh, dengan posisi tangan dan kaki lurus,
menghentak-hentak dan dan mata keatas maka dapat dismpulkan bahwa anak
menderita kejang demam kompleks.
Penyebab kejang demam hingga kini belum diketahui dengan pasti, dapat
disebabkan oleh otak yang immatur, demam, dan genetik. Kejang demam
biasanya terjadi sebelum usia 6 bulan atau setelah usia 4-5 tahun, hal ini
berhubungan dengan maturitas otak. Proses dasar maturitas otak belum jelas dan
berhubungan dengan meningkatnya myelinisasi neuron atau meningkatnya
kompleksitas sinaptik.1,3
Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas atau
faringitis (38%), otitis media (23%), pneumonia (15%), gastroenteritis (7%),
roseola (5%), penyakit noninfeksi (12%). Kejang juga sering terjadi setelah
mendapat imunisasi difteri-pertusis-tetanus (DPT) dan vaksinasi campak.
Frekuensi kejang demam setelah vaksinasi adalah 6-9 dan 24-25 per 100.000 anak
yang telah divaksinasi. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-
kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang3,6.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di daptkan bahwa pasien
sejak satu minggu sebelum terjadi kejang, anak memang mengalami batuk, pilek,
disertai demam yang naik turun dan dari pemeriksaan fisik tidak di dapatkan
adanya ronkhi, dan tidak tampak faring hiperemi maka dapat disimpulkan bahwa
anak mengalami infeksi saluran nafas akut, dimana hal ini demam yang muncul
pada pasien diakibatkan oleh karena ISNA, sehingga peyebab kejang demam
kompleks yang terjadi pada anak ini dikarenakan adanya ISNA yang tidak
tertangani dengan baik.
Penatalaksanaan saat terjadi kejang demam obat yang paling cepat dalam
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosisnya
adalah 0,3 – 0,5 mg/kg perlahan – lahan dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau
dalam waktu 3 – 5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. diazepam dalam bentuk
rektal dapat diberikan di rumah saat kejang. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 –
0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari
10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. atau diazepam rektal dengan
dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas
usia 3 tahun. Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulangi
dengan cara dan dosis yang sama dalam interval waktu 5 menit 1,4,10.
Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang dianjurkan ke rumah
sakit dan dapat diberikan diazepam intravena dosis 0,3 – 0,5 mg/kg
Bila kejang masih belum berhenti diberikan fenitoin intravena dengan
dosis awal 10 – 20 mg / kg / kali dengan kecepatan 1 mg / kg / menit atau kurang
dari 50 mg / menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 – 8 mg / kg /
hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti
maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti
pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demamnya dan faktor
risikonya 1,4,10.
Pemberian obat saat demam dapat digunakan antipiretik dan anti
konvulsan. Antipiretik sangat dianjurkan walaupun tidak ada bukti bahwa
penggunaannya dapat mengurangi risiko terjadinya kejang demam. Dapat
diberikan asetaminofen berkisar 10 – 15 mg / kg / kali diberikan 3 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg / kg / kali, 3 – 4 kali sehari. 1,4,10
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg / kgbb setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang, dapat juga diberikan diazepam rektal 0,5
mg / kgbb setiap 8 jam pada suhu > 38,5º C. Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin
pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam. 1,4,10
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan saat pertama kali
datang ke IGD didapatkan bahwa anak kejang untuk yang ketiga kalinya dan
setelah di berikan pengobatan dengan diazepam rectal sebanyak 2 kali dengan
interval 5 menit anak masih kejang. Sehingga dierikan injeksi Phenitoin intravena
dengan dosis awal 10 – 20 mg / kg / kali dengan kecepatan 1 mg / kg / menit atau
kurang dari 50 mg / menit. Setelah pemberian injeksi Phenitoin yang pertama
kejang berhenti sehingga, dosis selanjutnya yang digunakan adalah 4 – 8 mg /
kg / hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal.
Pengobatan rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut :
1. kejang lama > 15 menit
2. adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. kejang fokal
4. pengobatan rumatan dipertimbangkan bila :
- kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
- kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
- kejang demam ≥ 4 kali per tahun
Pengobatan rumatan digunakan agar supaya penderita kejang demam
komplek tidak menjadi epilepsy dikemudian hari. Rumatan yang dilakukan ada
dua macam yaitu rumatan intermiten dan rumatan kontinyu. Rumatan intermiten
dilakukan apbila tidak terdapat riwayat kejang pada keluarga dan tidak terdapat
kelainan neurologis pada penderita. Rumatan kontinyu dilakukan apabila
didaptkan riwayat kejang pada keluarga atau terdapat kelainan neurologis pada
penderita 1,4,10
Rumatan intermiten dengan cara cegah demam dengan antipiretik dan
berikan juga diazepam oral 0,2 mg/kgbb/hr terbagi dalam dua hari sampai tidak
ada lagi demam. 1,4,10
Rumatan kontinyu menggunakan asam valproat dengan dosis 15 – 40
mg / kgbb / hari 2 – 3 dosis. Lama pengobatan rumatan adalah 1 tahun bebas
kejang lalu dihentikan bertahap selama 1 – 2 bulan. Pada pasien ini seharunya
diberikan pengobatan rumatan jangka panjang juga pada saat pulang karena pada
pasien diapatkan adanya riwayat kejang pada keluarga.
Penatalaksanaan untuk demam yang memicu terjadinya kejang digunakan
antipiretika yaitu Injeksi Antrain yang termasuk dalam golongan metamizol
sebanyak 3 x 80 mg. Pasien tidak di berikan diazepam oral untuk menurunkan
risiko berulangnya kejang, padahal berdasarkan literatur bahwa pemakaian
diazepam oral dosis 0,3 mg / kgbb setiap 8 jam pada saat demam menurunkan
risiko berulangnya kejang.
Penyebab kejang demam kompleks pada pasien ini adalah ISNA.3
penatalaksanaan ISNA pada pasien menggunakan antibiotik golongan
sefalosporin III yaitu ceftriaxon yang masih sangat sensitif terhadap kuman
penyebab ISNA dan juga berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang di dapatkan
leukositosis atau peningkatan jumlah leukosit yang dapat digunakan sebagai tanda
telah terjadi pros infeksi dari dalam tubuh.
Usulan pemeriksaan pada pasien ini adalah laboratorium darah, kimia darah
(glukosa darah, elektrolit), Pungsi lumbal, dan EEG (Elektroensefalografi).
Pemeriksaan laboratorium pada pasien ini digunakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain misalnya gastroenteritis
dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
Untuk menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya
tidak jelas pada pasien ini dianjurkan dilakukan Pungsi lumbal. Dimana Pungsi
lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6 - 6,7 %.
Pada bayi sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada
- Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan
- Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan
- Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal
Pasien tidak diusulkan untuk pemeriksaan EEG dikarenakan pemeriksaan (
EEG ) tidak dapat memprediksikan berulangnya kejang atau memperkirakan
kemungkinan kejafian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak
direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang
demam yang tidak khas, misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih
dari 6 tahun atau kejang demam fokal.