BAB IV OK
-
Upload
yudha-absouluet-javanes -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
description
Transcript of BAB IV OK
BAB IV
PEMBAHASAN
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 hari dari tanggal 26
April 2010 sampai dengan 27 April 2010 di Ruang Cempaka RSUD Ambarawa
pada Tn. S dengan post prostatektomi ditemukan beberapa masalah keperawatan
yaitu gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya organisme
sekunder pasca operasai. Resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi yang tidak adekuat. Kurang pengetahuan tentang perewatan,
kondisi kesehatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Pada bab ini penulis akan membahas tentang diagnosa keperawatan yang
muncul pada Tn. S yaitu :
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan.
Berdasarkan hasil pengkajian Tanggal 26 April 2010pasien mengeluh nyeri
pada daerah luka post operasi.sehingga penulis merumuskan diagnosa
kepetawatan gangguan raa nyaman nyeri
Menurut Carpenito (2001: 42) gangguan rasa nyaman merupakan
keadaan dimana individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dalam
berepon terhadap suatu rangsangan yang berbahaya. Nyeri adalah pengalaman
sensasi dan emosional yang tidak menyenagkan akibat dari kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial (Potter & Perry, 2006 ; NANDA, 2006 ; Smeltzer &
Bare, 2002).
Menurut Smeltzer & Bare (2002: 214) struktur spesifik dalam sistem
saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang
terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sistem nosiseptif.
Sensitivitas dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengaruhi oleh sejumlah
faktor yang berbeda diantara individu. Respon nyeri (nosiseptor) adalah ujung
saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang kuat, yang
secara potensial merusak, stimulus tersebut sifatnnya bisa mekanik. Mediator
kimia dari nyeri merupakan jumlah dari substansi yang mempengaruhi
sensitivitas ujung-ujung saraf atau respon nyeri yang dilepaskan kejaringan
ekstraseluler akibat dari kerusakan jaringan. Zat kimia yang meningkatkan
transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan
substansi prostaglandin yang meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dengan
meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari bradikinin.
Hubungan antara terputusnya kontinuitas jaringan dengan terjadinya
nyeri pada area luka post prostatektomi (area supra pubis) adalah karena semua
kerusakan seluler, yang disebabkan oleh stimulus mekanik menyebabkan
pelepasan substansi yang menghasilkan nyeri seperti histamin, bradikinin dan
kalium, yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor (reseptor yang
berespon terhadap stimulus yang membahayakan) untuk memulai transmisi
neural yang dikaitkan dengan nyeri (Perry & Potter, 2006: 1504).
Diagnosa gangguan rasa nyaman nyeri ditegakkan apabila terdapat
batasan karakteristik yaitu batasankarakteristik mayor (80% - 100%) adadg
deskripsi nyeri. Karakteristik minor (60% - 70%) antara lain mengatukkan
rahang atau mengepalkan tangan, ketidakaktifan fisik atau imobilisasi,
gangguan konsentrasi, perubahan pola tidur, rasa takut mengalami cedera
ulang, mata terbuka lebar atau sangat tajam dan mual muntah (Carpenito, 2007:
53). Sedangkan menurut NANDA (20007: 322) seseorang yang mengalami
nyeri akut akan menunjukkan batasan karakteristik seperti laporan secara
verbal, atau non verbal, fakta dan observasi, posisi antalgetik untuk
menghindari nyeri, gerakan melindungi, tingkah laku berhati-hati, muka
topeng, mengalami gangguan tidur, perubahan autonomic dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku) serta mengalami perubahan
dalam nafsu makan dan minum.
Pada Tn. S masalah ini muncul karena didapatkan data subyektif adalah
pasien mengatakan nyeri yang dialami akan bertambah bila terjadi peningkatan
tekanan pada otot perut seperti pada saat pasien akan mengubah posisi dari
berbaring menjadi duduk dan pada saat tertawa. Pasien mengatakan nyeri yang
dirasakan seperti ditusuk-tusuk pada daerah sekitar luka post operasi, dimana
dalam pengukuran skala nyeri pasien mengalami tingkatan nyeri sedang
dengan nilai 5, jika nyeri itu timbul lamanya bisa 5 sampai 10 menit. Dengan
data objektif pasien tampak pucat, membatasi gerakan dan meringis kesakitan.
Berdasarkan data tersebut dapat menunjang untuk pengangkatan diagnosa
gangguan rasa nyaman (nyeri) karena terdapat data pengungkapan deskripsi
nyeri, ketidakaktifan fisik atau imobilisasi sesuai dengan batasan karakteristik
(Carpenito, 2007: 53).
Alasan penulis memprioritaskan diagnosa nyeri adalah karena menurut
Perry & Potter (2005: 1527) nyeri dapat mempengaruhi kesejahtraan individu,
sehigga memerlukan terapi dalam penaganan yang tepat. Apabila masalah ini
tidak teratasi akan menyebabkan nyeri kronis pada daerah luka post
prostatektomi dan juga bisa menyebabkan isolasi sosial, depresi, dan
perubahan konsep diri. Ini memerlukan tindakan keperawatan yang lama,
mengembangkan hubungan interpersonal dengan pasien berpusat pada
kemampuan, membina dan mempertahankan hubungan peduli yang
meyakinkan bahwa pasien berharga, meningkatkan harga diri pasien, dan
memperoleh rasa percaya pasien. Hal ini membuat psien merasa nyaman dan
aman
Untuk mengatasi masalah di atas penulis melakukan implementasi
dengan cara mengkaji karakteristik nyeri rasionalnya apabila ada nyeri yang
tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek terhadap respon stimulasi
sistemik yaitu terjadi peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan frekuensi
denyut jantung, vasokontriksi perifer (Perry & Potter, 2005: 766). Mengajarkan
tehnik relaksasi yaitu dengan napas dalam dan memberikan posisi nyaman
supine rasionalnya adalah meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot
pada perut sehingga dapat menurunkan nyeri (Doenges, 2000: 683).
Mempertahankan tirah baring rasionalnya untuk mencegah peningkatan
tegangan otot pada perut (Doenges, 2000: 683).
Berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian asam tranexamat
adalah analgetika non-kartikosteroida yang digunakan untuk waktu yang
singkat. Asam tranexamat juga merupakan antikoagulan digunakan untuk
mengencerkan darah dan mencegah perdarahan. Asam tranexamat dapat
menyebabkan iritasi lambung/pembentukan tukak,yang akan bertambah parah
dengan adanaya iritasi lain (Richard Harkness, 2003: 51)
Berdasakan hasil evaluasi yang dilakukan didapatkan data subyektif :
pasien mengatakan nyeri pada luka berkurang, skala nyeri 3. Data obyektif :
pasien masih pucat, membatasi gerakan tapi tidak meringis kesakitan, skala
nyeri 3. Dari data-data yang telah diperoleh analisa yang dapat disimpulkan
adalah masalah pasien teratasi hal ini sesusi dengan kriteria hasil NOC yaitu
pasien melaporkan nyeri yang sudah terkontrol. Tindakan yang dilakukan
selanjutnya adalah mempertahankan intervensi antara lain kaji nyeri
(perhatikan lokasi, intensitas/skala dan lamanya), ajarkan tehnik relaksasi
(bernapas dalam, berlahan, dan teratur), beri posisi nyaman (supinasi),
pertahankan tirah baring.
Dalam mengatasi masalah nyeri penulis menemukan beberapa masalah
antara lain : Faktor penghambat motivasi pasien kurang untuk melakukan
tehnik napas dalam. Alternatif pemecahan masalah penulis memberikan
motivasi pada klien untuk mendorong atau memberikan semangat dalam proses
perawatan untuk mengurangi nyeri khususnya dalam tehnik relaksasi. Faktor
pendukung keluarga tampak cukup kooperatif dalam setiap kegiatan yang
dapat menurunkan nyeri pada pasien.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan insisi jaringan.
Resiko infeksi adalah keadaan dimana seseorang individu berpotensi
terserang oleh agen patogenik atau oporturitik (virus, jamur, bakteri) (NANDA,
2006: 121; Carpenito, 2001: 204).
Hubungan antara insisi jaringan dengan infeksi adalah insisi yang
dibuat dapat menjadi media masuknya kuman agen patogen masuk ke luka
sehingga diperlukan tehnik aseptik yang cermat karena kemungkinan
terjadinya infeksi sangat besar (Smeltzer & Bare, 2002: 615).
Infeksi luka bedah adalah sumber infeksi nosokomial terbanyak yang
ada di rumah sakit. Bagian yang paling penting dari pencegahan terletak pada
penatalaksanaan luka dan teknik bedah sangat cermat. Selain itu, kebersihan
dan desinfeksi lingkungan juga penting. Bila terjadi proses inflamasi, hal ini
biasanya menyebabkan gejala dalam 36 sampai 48 jam. Frekuensi nadi dan
suhu tubuh meningkat, jumlah SDP meningkat, dan luka biasanya menjadi
membengkak, hangat, dan nyeri tekan dengan nyeri insisional. Tanda-tanda
lokal mungkin tidak terdapat ketika infeksi sudah mendalam (Smeltzer & Bare,
2002: 496).
Resiko terjadinya infeksi luka bedah ditentukan oleh jumlah dan jenis
mikroorganisme yang mengkontaminasi luka, pejamu yang rentan, dan kondisi
luka pada akhir pembedahan (terutama ditentukan oleh tehnik pembedahan
yang digunakan oleh dokter bedah). Ketiga faktor ini dapat saling berinteraksi
sehingga menimbulkan infeksi (Perry & Potter, 2006: 1817)
Menurut Santoso (2006: 121) batasan karakteristik adalah sebagai
berikut: prosedur invasif atau trauma, tidak cukup pengetahuan menghindari
paparan lingkungan terhadap pathogen, nyeri tekan, destruksi jaringan dan
peningkatan paparan lingkungan pathogen, ruptur membran amniotik, agen
farmasetikal (imunosupresan), malnutrisi, imunitas tidak dekuat dan penyakit
kronis, pertahanan sekunder tidak adekuat (Hb menurun, leukopenia,
penekanan rspon inflamasi), prtahanan primer tidak adekuat (kulit tidak utuh,
trauma jaringan, penurunan gerak silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi
pH, perubahan peristaltik).
Munculnya diagnosa didukung oleh data subjektif yaitu pasien
mengatakan luka terasa gatal dan data objektif balutan tampak kotor dan nyeri
tekan, penurunan Hb yaitu 2,69 10^g/dl. Berdasarkan data tersebut dapat
menunjang untuk mengangkat diagnosa resiko tinggi infeksi karena terdapat
data pasien mengungkapkan nyeri tekan, selain itu menurut pengukutan
laboratorium Hb juga menurun (Santoso, 2006: 121).
Alasan perawat diagnosa resiko tinggi infeksi menjadi prioritas yang ke
dua karena menurut Perry & Potter (2005: 933) apabila masalah ini tidak
teratasi akan menyebabkan terjadinya infeksi yang dapat berisiko terhadap
terlambatnya penyembuhan luka. Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau
mikroorganisme yang menyebabkan sakit. Jika masalah ini tidak teratasi akan
menyebabkan masalah yang lebih serius terhadap sel atau jaringan, seperti
sepsis dan lain-lain.
Imlementasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah
awasi tanda vital. Menurut Doenges, (2000: 682), pasien yang mengalami
sistoskopi dan atau TUR prostat berisiko untuk syok bedah/septic sehubung
dengan manipulasi / instrumentasi.
Implementasi yang kedua untuk mengatasi masalah tersebut adalah
mengganti balut luka dengan sering 1x/hari. Menurut Doenges, (2000: 682),
balutan dipasang di atas luka tujuannya diantaranya ialah menyerap drainase
dimana dengan luka yang mengalami perdarahan akan mengalami proses
penyembuhan yang lama karena keadaan luka yang lembab sekaligus sebagai
faktor pendukung berkembangnya organisme penyebab infeksi.
Mengimobilisasi luka sehingga mencegah terjadinya komplikasi kerusakan
jaringan yang lebih luas. Melindungi luka dan jaringan epitel baru dari cedera
mekanik yang terjadi karena adanya aktivitas yang sewaktu-waktu dapat
terjadi. Melindungi luka dari kontaminasi bakteri dan pengotoran oleh feses,
muntaha dan urine. Meningkatkan hemostasis sehingga memperlancar
peredaran atau sirkulasi darah seperti pada balutan tekanan serta balutan luka
memberikan rasa aman dan nyaman pada pasien karena merasa sudah
terlindungi dari berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan
kesehatannya (Smeltzer & Bare, 2002: 492).
Implementasi yang selanjutnya adalah Observasi drainase dari luka
sekitar kateter supra pubis rasionalnya adanya drain, insisi suprapubis
meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema,
drainase purulen (Doenges, 2000: 682). Pertahankan sistem kateter steril
rasionalnya mencegah pemasukan bakteri dan infeksi (Doenges, 2000: 682).
Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian Levocin 2x500 mg.
Levocin merupakan obat antiinfektikum diberikan secara IV (Drip) untuk
pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap
Levocin seperti infeksi saluran kemih termasuk prostatitis, uretritis dan
servisitis gonorhea (ISO, 2007: 10).
Berdasarkan hasil evaluasi didapatkan data subyektif : pasien
mengatakan balutan luka sudah diganti setiap hari sekali, luka tidak terasa
gatal. Obyektif balutan luka tampak bersih, tidak tampak kemerahan, tidak ada
pus, panjang luka 10 cm dan masih ada nyeri tekan. Sehingga dari data yang
diproleh dapat disimpulkan masalah sudah teratasi, hal ini sesuai dengan
kriteria hasil NOC yaitu klien bebas dari tanda dan gejala infeksi, menunjukkan
kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi dan menunjukkan perilaku
hidup sehat. Tindakan yang yang dilakukan selanjutnya adalah pertahankan
intervensi antara lain ganti balutan luka dengan sering (1x/hari), obserpasi
drainase dari luka sekitar kateter supra pubis, pertahankan sistem kateter steril,
kaji keadaan luka, pertahankan sistem kateter steril, kolaborasi dengan tim
medis dalam pemberian antibiotik. Dalam mengatasi masalah ini penulis tidak
menemukan kesulitan karena pasien selalu kooperatif ketika dilakukan
tindakan keperawatan.
3. Resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi
yang tidak adekuat.
Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah intake,
nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolisme tubuh ( NANDA, 2007: 317).
Mual adalah sensasi subyektif yang tidak menyenangkan sering mendahului
muntah. Mual disebabkan oleh desiensi atau iritasi dibagian mana saja dari
saluran pencernaan, tetapi juga dapat dirangsang oleh pusat-pusat yang lebih
tinggi, interpretasi maual terjadi dimedula, disamping atau bagian dari pusat
muntah di medula oblongata (Corwin, 2000 : 519).
Mual dan muntah adalah gejala pernyata yang lazim pada gangguan
gastrointestinal dan terjadi dalam 3 stadium, yang pertama adalah mual, yaitu
perasaan yang sangat tidak enak dibelakang tenggorokan dan epigastrum. Fase
berikutnya adalah retching yaitu usaha untuk muntah secara involuter. Stadium
terakhir adalah muntah yaitu refleks yang menyebabkan infolusi isi lambung
melalui mulut (Price & Willson, 2006 : 434).
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah suatu keadaan
individu yang tidak puasa mengalami atau beresiko mengalami penurunan
berat badan yang berhubungan dengan asupan yang tidak adekuat atau
metabolisme nutrien yang tidak adekuat untuk kebutuhan metabolik
( Carpenito, 2001 : 299). Nutrien merupakan elemen penting untuk proses dan
fungsi tubuh seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
Karbohidrat merupakan sumber energi utama dalam diet. Tiap gram
karbohidrat menghasilkan 4 kilo kalori (kkal). Karbohidrat diperoleh terutama
dari tumbuhan, kecuali laktosa ( gula susu). Protein adalah sumber energi (4
kkal/gr), juga penting untuk mensintesis (membangun) jaringan tubuh dalam
pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan. Bentuk protein yang paling
sederhana adalah asam amino, asam amino disimpan dalam jaringan yaitu
dalam jaringan berbentuk hormon dan enzim. Asam amino tidak dapat
disintesis oleh tubuh, tetapi banyak terdapat dimakanan. Lemak (lipid)
merupakan nutrien padat yang paling berkalori dan menyediakan 9 kkal/gr.
Lipid termasuk lemak tetapi proporsi elemen berbeda dari karbohidrat. Air
merupakan komponen kritis dalam tubuh karena fungsi sel bergantung pada
lingkungan cair. Air menyusun 60% -70% dari seluruh berat badan, persentase
seluruh air dalam tubuh lebih banyak pada orang kurus dari pada orang gemuk
karena otot terdiri dari banyak air daripada jaringan lain kecuali darah. Vitamin
merupakan substansi organik dalam jumlah kecil pada makanan yang esensial
untuk metabolisme normal. Vitamin diklasifikasikan menjadi dua yaitu vitamin
yang larut dalam air dan vitamin yang larut dalam lemak. Vitamin yang larut
dalam air adalah vitamin C dan B komplek, yang terdiri dari delapan vitamin.
Sedangkan vitamin yang larut dalam lemak A, D, E, K yang disimpan dalam
tubuhkecuali vitamin D yang disediakan melalui asupan diet (Potter dan Perry,
2006 : 1421-1424).
Batasan karakteristik menurut (Carpenito 2001 : 300), karakteristik
mayor terdiri dari individu yang tidak puas melaporkan atau mengalami :
asupan makanan tidak adekuat kurang dari yang dianjurkan dengan atau tanpa
penurunan berat badan. Batasan karakteristik minor berat badan 10% sampai
20% atau lebih dibawah berat badan ideal untuk tinggi dan kerangka tubuh,
kelemahan otot dan nyeri tekan.batasan karakteristik menurut NANDA,
2007 :315 adalah berat badan dibawah ideal lebih dari 20%, melaporkan intake
makan kurang dari kebutuhan yang dianjurkan, konjungtiva dan membrane
mucus pucat, lemah otot untuk menelan atau mengunyah, luka inflamasi pada
rongga mulut, mudah merasa kenyang sesaat setelah mengunyah makanan,
melaporkan kurang makan, melaporkan perubahan sensasi rasa, kram
abnormal, tonus otot buruk, nyeri abdomen patologi atau bukan, diare atau
steatorea, suara usus hiperaktif, kurang informasi.
Penulis menegakkan diagnos keperawatan perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat
karena didukung dengan data subyektif yaitu pasien mengatakan nafsu
makannya menurun, makan habis ½ porsi, mual dan muntah saat ingin makan.
Data obyektif: mukosa bibir kering, lidah kotor tekstur warna putih. Pada
diagnose keperawatan ini muncul karena sesuai dengan kriteria mayor yaitu
individu tidak puasa melaporkan atau mengalami asupan makan tidak adekuat
kurang dari yang dianjurkan dengan atau tanpa penurunan berat badan,
kebutuhan metabolik aktual atau potensial dengan asupan yang lebih
(Carpenito, 2001: 300).
Menurut Maslow, 1970 dalam Potter & Perry, 2005 : 614. Kebutuhan
fisiologis memiliki prioritas tertinggi. Manusia memiliki delapan macam
kebutuhan : oksigen, cairan, nutrisi, temperature, eliminasi, tempat tinggal,
istirahat dan seks. Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang perlu atau penting
untuk bertahan hidup. Nutrisi tersebut termasuk dalam kebutuhan dasar yang
harus terpenuhi yaitu kebutuhan fisiologis dan dalam keadaan sakit pasien
sangat membutuhkan banyak asupan nutrisi karena adanya peningkatan
kebutuhan metabolisme akibat apabila masalah tidak segera diatasi maka akan
memperburuk kondisi pasien dan menghambat penyembuhan. Dimana dalam
Hirarki Maslow kebutuhan keselamatan dan keamanan merupakan kebutuhan
dasar yang kedua. Namun disini penulis memiliki pertimbangan melihat
kondisi pasien apabila nyeri tidak diatasi pasien akan kesakitan sehingga tidak
memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Ini dijelaskan Potter &
Perry, 2005 : 1509, nyeri mengancam kesejahtraan fisik dan fisiologis. Pasien
yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri
tanpa bantuan. Seringkali seorang perawat harus mendorong pasien dengan
karakteristik tersebut untuk menerima upaya-upaya mengatasi nyeri supaya
aktivitas atau asupan nutrisinya tidak menurun secara drastis sehingga
kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
Tindakan keperawatan yang dilakukan penulis untuk mengatasi
masalah keperawatan diatas adalah menganjurkan pasien untuk duduk saat
makan, tindakan ini dilakukan karena untuk meningkatkan nafsu makan,
menurunkan kemungkinan aspirasi dan regurgitasi (Doenges, 2000: 450).
Untuk mengatasi masalah tersebut implementasi yang dilakukan adalah
melakukan pengkajian nutrisi yang meliputi mengkaji diet makan dan porsi
makan pasien. Menurut Doenges (2000: 492), dengan dilakukannya pengkajian
nutrisi akan dapat mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan untuk membantu
memilih intervensi yang selanjutnya akan dilakukan, mengetahui kondisi
umum, gejala uremik (mual, anoreksia, gangguan rasa), pembatasan diet
multiple yang mempengaruhi pemasukan makanan, dan berguna dalam
mendefinisikan derajat atau luasnya masalah.
Implementasi yang kedua yang telah dilakukan adalah menganjurkan
pasien untuk makan sedikit tapi sering. Menurut Doenges (2000: 547), dengan
pemberian makanan sedikit dan sering perawat akan mengetahui buruknya
toleransi terhadap makanbanyak yang mungkin berhubungan dengan
peningkatan atau tekanan intra abdomen, dan juga dengan makan sedikit dapat
menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga mencegah distensi
gaster, meminimalkan anoreksia dan mual sehubung dengan status uremik /
menurunnya peristaltic, dengan porsi yang kecil juga dapat meningkatkan
hasrat pada makanan dan jumlah masukan. Menurut Potter & Perry (2005 :
1450), makan sedikit yang sering menjadi hal yang terbaik untuk mencapai
kecukupan nutrisi. Menganjurkan untuk memberikan makanan kecil juga dapat
meningkatkan masukan nutrisi walaupun sedikit dan berguna pada pasien yang
nafsu makannya rendah.
Implementasi yang dilakukan adalah menganjurkan untuk makan pada
saat makan masih hangat. Menurut Doenges (2000: 388), makan yang terlalu
eksterna (terlalu panas/dingin) akan meningkatkan resiko cedera area mukosa
sehingga bisa menurunkan kenyamanan pasien saat makan dan menolak
makan/ terjadi penurunan nafsu makan.
Implementasi yang selanjutnya dilakukan adalah mengauskultasi bising
usus. Menurut Doenges (2000: 369), dengan melakukan auskultasi bising usus
perawat dapat mengetahui perubahan fungsi lambung yang sering terjadi akibat
dari paralisis (mobilisasi, menunjukan kembalinya fungsi usus yang
menunjukan kesiapan untuk menular makan lagi dengan kembalinya peristaltik
usus, bising usus hiperaktif mencerminkan peningkatan motilitas lambung
yang menurunkan atau mengubah fungsi absorbsi.
Implementasi yang selanjutnya berkoaborasi dengan ahli gizi dalam
pemberian makanan tinggi kalori tinggi protein (TKTP). Menurut Doenges
(2000: 548), makanan tinggi kalori dibutuhkan pada kebanyakan pasien yang
pemasukannya dibatasi, karbohidrat memberikan energi yang siap pakai.
Lemak diserap dengan buruk karena disfungsi hati dan mungkin memperberat
ketidak nyamanan abdomen. Protein diperlukan pada perbaikan kadar protein
serum untuk menurunkan edema dan untuk menungkatkan regenerasi sel hati.
Evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan tindakan keperawatan
adalah pasien mengatakan nafsu makannya meningkat, makan habis 1 porsi,
pasien tidak mual saat makan, pasien masih lemas, mukosa bibir lembab.
Sehingga penulis menarik kesimpulan bahwa masalah nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh teratasi sebagian dilihat dari kreteria hasil yang diharapkan
pada tujuan tindakan keperawatan pada diagnosa tersebut yaitu pasien sudah
mau makan, pasien tidak mual. Sesuai kreteria hasil NOC, adapun kreteria
hasil yang belum tercapai adalah menunjukan status gizi yang adekuat,
mempertahankan berat badan dalam batas normal, menyatakan pemahaman
kebutuhan nutrisi. Pada diagnose ini perlu tindakan lanjut yang melanjutkan
intervensi sebelumnya.
Dalam mengatasi masalah nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh ini
penulis menemukan hal yang mendukung pencapaian tujuan, yaitu pasien mau
makan sesuai dengan anjuran dari perawat dan keluarga dan pasien koopratif
disetiap tindakan yang dianjurkan perawat. Faktor yang menghambat adalah
kondisi pasien dan nafsu makan yang masih kurang, efek nyeri terhadap
aktivitas.
4. Kurang pengetahuan tentang tujuan tindakan perawatan post operasi, kondisi
kesehatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Kurang pengetahuan adalah tidak adanya atau kurangnya informasi
kognitif sehubungan dengan topik spesifik ( NANDA, 2007: 346).Kurang
informasi adalah kurangnya mengenali pengobatan atau prosedur tertentu
(Perry & Potter, 2005 : 339). Menurut Perry & Potter (2005: 236) pendidikan
kesehatan bagi pasien sudah menjadi satu dari peran yang paling penting bagi
perawat yang bekerja diberbagai lahan asuhan keperawatan. Adapun batasan
karakteristik mayor dari kurang pengetahuan adalah : mengungkapkan kurang
pengetahuan atau permintaaan informasi, mengekspresikan suatu
ketidakadekuratan persepsi status kesehatan, melakukan dengan tidak tepat
perilaku kesehatan yang dianjurkan. Minor : kurang integrasi tentang adanya
rencana pengobatan kedalam aktifitas sehari-hari, memperlihatkan atau
mengekspresikan perubahan psikologis (misal ansietas atau depresi)
mengakibatkan kesalahan kurang informasi atau kesalahan imformasi.
Diagnosa di atas di dukung oleh data subyektif pasien mengatakan tidak
tahu tentang kondisi kesehatannya. Obyektif pasien diam waktu ditanya
tentang penyakitnya, banyak bertanya tentang penyakitnya.
Penulis memprioritaskan masalah tersebut sebagai diagnosa terakhir
karena menurut Hierarki Maslow kurang pengetahuan masuk ke dalam
aktualisasi diri. Aktualisasi diri merupakan tingkat yang paling akhir dari
kebutuhan dasar menurut Maslow, dikatakan mereka mencapai potensi paling
maksimal mulai dari tingkat yang paling rendah. Akibat jika masalah tersebut
tidak teratasi adalah pasien dan keluarga akan menjadi ansietas (Perry & Potter,
2005: 616)
Untuk mengatasi masalah diatas melakukan implementasi selama 2x15
menit adalah mengkaji ulang pengalaman pasien terhadap proses penyakit,
rasionalnya memberikan dasar pengalaman dimana pasien dapat membuat
pilihan informasi terapi (Doenges, 2000: 678). Mengkaji tingkat pengetahuan
pasien tentang penyakitnya, rasionalnya mengidentifikasi area kekurangan
pengetahuan atau salah informasi dan memberi kesempatan untuk memberikan
informasi tambahan sesuai keperluan (Doenges, 2000: 678). Memberi
kesempatan untuk bertanya tentang penyakitnya, rasionalnya meningkatkan
proses belajar, meningkatkan pengambilan keputusan berdasarkan keputusan,
dan menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidaktahuan (Doenges, 2000:
678). Memberi penjelasan atau informasi setiap melakukan tindakan/prosedur
pada pasien, rasionalnya mencegah ansietas pasien terhadap tindakan yang
dilakukan oleh tenaga medis (Doenges, 2000 : 678).
Berdasarkan hasil evaluasi didapatkan data subyektif : pasien
mengatakan masih tidak tahu tentang perawatan, kondisi kesehatannya. Data
obyektifnya pasien diam ketika ditanya tentang penyakitnya, pasien masih
menanyakan tentang penyakitnya berulang-ulang dengan pertanyaan yang
sama. Sehingga dari data yang diperoleh dapat disimpulkan masalah belum
teratasi, hal ini tidak sesuai dengan NOC yaitu pasien dan keluarga menyatakan
pemahaman tentang penyakit, kondisi prognosis dan program pengobatan,
pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/
tim kesehatan lain. Tindakan yang dilakukan selanjutnya adalah pertahankan
intervensi antara lain beri kesempatan untuk bertanya tentang penyakitnya,
berikan penjelasan atau informasi setiap melakukan tindakan/prosedur pada
pasien.
Dalam mengatasi masalah tersebut penulis menemukan masalah yaitu
faktor penghambat usia klien yang sudah mengalami daya ingat dan daya
tangkap yang berkurang dan keluarga sulit memahami tentang penjelasan yang
diberikan, alternatif tersebut adalah menjelaskannya berulang-ulang dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami tentang BPH dan melibatkan
peran keluarga pasien. Faktor pendukung klien dan keluarga mempunyai
semangat untuk mengetahui tentang penyakit BPH dan pasien cukup
kooperatif.
Diagnosa-diagnosa keperawatan yang mungkin muncul secara teori tapi
tidak muncul pada kasus ini adalah :
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik, bekuan
darah edema, trauma prosedur bedah.
Diagnosa ini tidak diangkat karena menurut Doenges (2000: 680) pasien yang
mengalami gangguan eliminasi urine dibuktikan oleh pasien akan merasakan
urgensi, keragu-raguan, disuria, inkontinensia, retensi kandung kemih penuh
dan ketidaknyamanan suprapubis. Sedangkan menurut pengkajian yang
dilakukan pasien tidak merasakan gangguan eliminasi urine karena pasien
menggunakan kateter sehingga mengungkapkan bahwa masalah-masalah
seperti di atas tidak ada.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler, kesulitan
mengontrol perdarahan.
Masalah keperawtan ini tidak diangkat karena menurut NANDA (2007: 336)
batasan karakteristik pasien yang mengalami masalah kekurangn volume cairan
adalah kelemahan, haus, penurunan turgor kulit, membran mukosa kering,
peningkatan denyut nadi, perubahan status mental, dan konsentrasi urine
meningkat. Sedangkan menurut pengkajian yang dilakukan pasien hanya
merasakan merasa lemah karena terlalu banyak istirahat dan tidur bukan karena
perdarahan post operasi. Selaian itu juga pasien sudah pada hari ke 3 post
operasi prostatektomi sehingga kemungkinan kecil untuk terjadi perdarahan
dan juga tidak terdapat tanda perdarahan. Data yang muncul hanya pasien
merasakan lemah yang masuk kedalam batasan karakteristik sehingga dapat
disimpulkan bahwa data yang diperoleh belum mendukung masalah
keperawatan kekurangan volume cairan untuk dimunculkan.
3. Disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran
urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan daerah genital).
Menurut pengkajian tidak terdapat data-data yang menjadi pendukung bahwa
diagnosa ini muncul.