BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A...
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi penyajian data penelitian dan triangulasi
data dari sumber lain mengenai dukungan sosial keluarga yang
diberikan kepada penderita skizofrenia pasca perawatan.
A. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN
1. Persiapan penelitian
Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti mengacu pada
konsep pra penelitian menurut Bogdan (dalam Moleong,
2006) yaitu meliputi:
a) Penyusunan rancangan penelitian.
Tahap ini meliputi, penyusunan bab 1 hingga bab
3 yang mencakup latar belakang, landasan teori,
metode penelitian, kemudian mempersiapkan alat
pengumpul data berupa penuntun wawancara
(interview guide).
b) Pemilihan lokasi
Pada tahap pemilihan lokasi, awalnya peneliti
beberapa kali melakukan survey ke beberapa rumah
sakit jiwa di daerah Solo dan Semarang, serta
beberapa panti rehabilitasi di daerah Boyolali dan
Salatiga. Dari hasil survey tersebut, peneliti
memperoleh nama calon partisipan dari panti
rehabilitasi yang ada di kabupaten Boyolali.
Keterbatasan peneliti dalam memenuhi persyaratan
berkas serta tidak ada pemberitahuan selanjutnya dari
pihak rumah sakit jiwa, maka peneliti tidak
mendapatkan calon partisipan dari pihak rumah sakit.
Selain itu, dari panti rehabilitasi yang berada di kota
Salatiga, peneliti memperoleh nama calon partisipan,
namun setelah dihubungi, partisipan tidak bersedia
untuk diwawancarai. Dengan demikian peneliti
mencari nama calon partisipan berikut dari beberapa
kerabat partisipan sendiri dan pada akhirnya peneliti
menemui calon partisipan berikut di daerah Bandung.
Dengan demikian, pemilihan lokasi telah
ditetapkan oleh peneliti dengan pertimbangan-
pertimbangan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, sehingga pengambilan data yang
dimaksud dilaksanakan di Kabupaten Boyolali dan
Kota Bandung sesuai dengan tempat tinggal
partisipan penelitian. Dengan demikian, peneliti
segera menyusun alokasi waktu serta menghubungi
informan dalam penelitian ini.
c) Memilih dan memanfaatkan informan
Dalam hal ini pemilihan informan bertujuan
untuk membantu peneliti mendapatkan partisipan
yang sesuai dengan karakteristik yang akan diteliti,
yaitu partisipan yang memiliki anggota keluarga
penderita skizofrenia yang menjalani masa pasca
perawatan, tinggal bersama anggota penderita
skizofrenia, serta merawat anggota penderita
skizofrenia pasca perawatan dengan melakukan
kontrol rutin dan pemberian obat secara rutin.
Informan pertama adalah psikiater yang
memiliki salah satu yayasan rehabilitasi mental di
daerah Boyolali. Informan berikut adalah kerabat dari
peneliti sendiri yang berdomisili di Bandung. Kedua
informan membantu memberikan informasi mengenai
beberapa partisipan yang memenuhi kriteria
penelitian. Informan kemudian menjelaskan latar
belakang partisipan serta kondisi calon partisipan
kepada peneliti. Dari 4 nama yang diajukan informan
pertama, peneliti memutuskan untuk memilih 2 nama
partisipan dikarenakan hanya 2 keluarga tersebut yang
bersedia untuk diwawancarai. Sementara dari
informan kedua peneliti diperkenalkan dengan satu
keluarga yang merupakan tetangga informan sendiri.
Oleh karena topik penelitian yang diangkat
peneliti dirasa sangat sensitif, sehingga kedua
informan merasa perlu untuk melakukan pendekatan
dengan partisipan terlebih dahulu sebelum
dipertemukan dengan peneliti. Setelah kedua informan
melakukan pendekatan dan merasa partisipan cukup
nyaman, kemudian mereka memberikan informasi
alamat partisipan dan peneliti sendiri yang mendatangi
partisipan di tempat tinggalnya masing-masing.
d) Mengurus perijinan
Peneliti mengurus perijinan yang dilakukan dengan
cara informal, artinya tidak memerlukan surat ijin dari
fakultas, dikarenakan partisipan merasa tidak
membutuhkan surat tersebut.
e) Tahap penjajakan dan penilaian lapangan
Tahap ini dilakukan melalui perbincangan dengan
partisipan pertama, yaitu ayah dari penderita
skizofrenia, untuk partisipan kedua adalah anak dari
penderita skizofrenia, sementara itu partisipan ke tiga
adalah saudara kandung dari penderita. Perbincangan
dengan ketiga partisipan dilakukan di rumahnya
masing-masing.
f) Persiapan perlengkapan
Penelitian dilakukan dengan menyediakan alat-alat
yang dibutuhkan dalam proses pengambilan data
mencakup alat perekam, alat tulis, dan notes.
g) Mengetahui persoalan etika
Memberitahukan maksud dan tujuan penelitian secara
terbuka kepada calon partisipan, hal ini telah
dilakukan peneliti di awal pertemuan dengan ketiga
partisipan.
2. Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data melalui wawancara dilakukan
sebanyak empat kali terhadap partisipan pertama, tiga kali
terhadap partisipan kedua dan dua kali terhadap partisipan
ketiga termasuk triangulasi data. Pelaksanaan wawancara
terhadap seluruh partisipan dimulai pada bulan September
2012 - Maret 2013. Partisipan pertama dan kedua adalah
keluarga yang dipilih dan disarankan oleh psikiater yang
selama ini merawat anggota keluarganya yang sakit.
Sementara partisipan yang ketiga direkomendasikan oleh
salah satu kerabat peneliti yang berdomisili di Bandung.
Oleh karena peneliti belum pernah menemui
ketiga partisipan sebelumnya, maka penjalinan rapport
dilakukan dengan cara beberapa kali pertemuan terlebih
dahulu. Untuk memastikan apakah ketiga partisipan
memiliki karakteristik yang sesuai dengan penelitian,
maka peneliti melakukan perbincangan dengan psikiater
yang selama ini merawat anggota keluarga mereka yang
menderita skizofrenia dan juga kerabat peneliti yang
merupakan tetangga partisipan. Dari psikiater dan kerabat
peneliti inilah, peneliti mendapatkan alamat rumah, nomor
handphone serta gambaran singkat tentang ketiga
partisipan.
Untuk partisipan pertama dan kedua tersebut,
peneliti langsung menemuinya di rumah mereka yang
terletak tidak jauh dari panti rehabilitasi mental yang
menjadi tempat pertemuan peneliti dengan informan
(psikiater). Sementara partisipan ketiga juga langsung
ditemui penleiti di kediamannya di kota Bandung. Ketiga
partisipan menerima dan bersedia untuk menjadi
partisipan dalam penelitian ini.
Pada wawancara awal (W0) peneliti sengaja tidak
melakukan perekaman. Hal ini dimaksudkan untuk
membina rapport dan menghindari rasa tidak nyaman
pada diri partisipan. Meski sifatnya informal, namun
ketiga partisipan sempat bercerita tentang kehidupan
anggota keluarga mereka masing-masing yang menderita
skizofrenia juga sekilas tentang hal-hal yang telah
dilakukan sebagai usaha dari keluarga untuk memberikan
penanganan yang tepat terhadap penderita. Kemudian
hasil pertemuan dan wawancara awal ini dituliskan
peneliti pada bagian observasi. Dengan demikian, laporan
verbatim wawancara awal (W0) tidak dimasukkan dalam
transkrip, namun tercantum dalam laporan observasi.
Setelah peneliti melakukan wawancara,
dilanjutkan dengan mengolah data dan mengubah dalam
bentuk transkrip (print out). Setelah melewati tahap
tersebut, peneliti kemudian membuat janji dengan
partisipan untuk menyerahkan transkrip serta meminta
persetujuan dengan menandatangani surat pernyataan.
B. ANALISIS
Analisis data kualitatif menurut Moleong (2010) pada
umumnya meliputi: reduksi data, kategorisasi, pemeriksaan
keabsahan data, penafsiran data, dan kesimpulan. Setelah
semua data diperoleh, baik wawancara maupun hasil
observasi, maka peneliti kemudian melakukan analisis data
sesuai dengan tahapan yang telah dirancangkan sebelumnya.
Proses analisis data dimulai dengan pengetikan
transkrip wawancara yang peneliti lakukan secara manual
dengan mendengarkan hasil rekaman sembari mengetik kata
perkata. Selanjutnya peneliti menambahkan nomor (1, 2, 3,
dst …) pada bagian kanan transkripsi disetiap barisnya agar
memudahkan dalam proses analisis data. Peneliti juga
mengetik hasil observasi lapangan yang peneliti kumpulkan
pada saat pengambilan data berlangsung.
Setelah proses pengetikan selasai, peneliti kemudian
membaca transkrip wawancara, dan hasil observasi berulang-
ulang hingga peneliti mampu menemukan alur dan juga
menentukan tema-tema serta makna dibalik setiap kalimat
yang diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal
maupun non verbal. Tema dan makna tersebut peneliti
tambahkan pada bagian kiri transkrip.
Agar memudahkan dalam membaca dan menyajikan
data, maka peneliti juga memberikan kode sesuai dengan
nama dari setiap partisipan, yaitu untuk partisipan pertama
DJ, partisipan kedua A dan partisipan ketiga YU. Hal yang
sama juga berlaku bagi nama kerabat yang menjadi
triangulasi, peneliti menuliskan dengan inisial nama
keduanya.
Selanjutnya peneliti mengelompokkan data ke dalam
aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian kemudian
mencoba untuk membandingkan antara partisipan pertama,
kedua dan ketiga. Adapun hasil kategorisasi berdasarkan
masing-masing aspek dapat dilihat pada tabel yang terlampir.
C. DESKRIPSI PARTISIPAN
1. Partisipan 1
a. Gambaran umum partisipan 1
Nama : DJ
TTL : Boyolali, 8 Agustus 1938
Umur : 75 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan Terakhir : Pendidikan Guru SLP
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan Guru
Partisipan adalah seorang bapak dari tiga orang
anak yang saat ini berstatus sebagai pensiunan guru.
Partisipan tinggal bersama istri, mertua dan dua orang
anaknya di Kabupaten Boyolali. Sedangkan anaknya
yang pertama, pada saat ini berdomisili di Semarang.
Sehari-hari partisipan mencari kesibukan dengan pergi
menggarap ladangnya.
Partisipan bernama DJ. Ia memiliki seorang anak
penderita skizofrenia yang bernama BB. Pada saat ini
BB berusia 40 tahun. BB merupakan lulusan SMA
Negeri Boyolali dengan jurusan A2 dan kemudian
melanjutkan studi D3 pada salah satu Perguruan Tinggi
Swasta di Semarang, program studi teknik kimia. Masa
studi BB hanya bertahan sekitar 3 semester atau kurang
lebih satu setengah tahun. Menurut orang tua BB, hal
yang menyebabkan BB tidak melanjutkan studi di
Perguruan Tinggi hingga selesai adalah karena BB
yang sering menunjukkan gejala bingung karena tidak
kuat mengikuti pelajaran yang diberikan oleh pihak
Universitas.
Kebiasaan BB yang mulai bingung dan juga suka
marah-marah di rumah membuat DJ menyarankan BB
untuk menjalani perawatan di RSJ Solo, namun hal ini
tidak langsung ditanggapi secara baik oleh BB, oleh
sebab itu DJ dan istrinya harus beberapa kali
membujuk anaknya tersebut untuk pergi berobat. Pada
akhirnya BB setuju dan diantar oleh DJ dan istrinya ke
RSJ Solo. Pada saat itu BB hanya dirawat jalan selama
beberapa bulan. Setelah itu BB disarankan oleh pihak
keluarga untuk beristirahat, namun hal ini tidak di
dengar oleh BB.
Setelah BB merasa pulih dari sakitnya, BB
memutuskan untuk mengikuti tes masuk Perguruan
Tinggi dan hasilnya BB diterima di program studi
FKIP Sejarah pada salah satu Perguruan Tinggi Swasta
di Semarang. Selama menjalani studi di FKIP Sejarah,
BB juga aktif mengikuti kegiatan keagamaan. Menurut
orang tua BB kegiatan tersebut merupakan kegiatan
yang beraliran keras dari salah satu agama. Oleh sebab
itu, BB kembali tidak kuat dalam mengikuti ajaran
agama tersebut sehingga BB kembali menunjukkan
gejala bingung. Akhirnya BB harus dikeluarkan dari
Universitas lagi yang baru dijalaninya selama kurang
lebih 6 bulan.
Karena gejala bingung dan marah yang sering
ditunjukkan oleh BB, maka keluarga memutuskan
untuk membawa BB menjalani perawatan di RSJ Solo.
Di sana, BB menjalani masa perawatan selama kurang
lebih 2 bulan. BB telah 2 kali menjalani rawat inap di
RSJ Solo selama kurang lebih 2 sampai 3 bulan untuk
setiap kali perawatan. Pada saat ini partisipan dan
istrinya memiliki tanggung jawab penuh untuk
merawat BB dalam masa pasca perawatan RSJ dan
juga membawa BB untuk melakukan kontrol rutin ke
Psikiater terdekat.
2. Laporan observasi selama wawancara
Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 11
Septermber 2012, pukul 16.38 – 18.15 di rumah
partisipan. Pada saat peneliti datang, istri partisipan
yang membukakan pintu rumah dan mempersilahkan
peneliti masuk. Setelah peneliti dipersilahkan duduk,
kemudian partisipan dipanggil oleh istrinya untuk
menemui peneliti. Setelah partisipan datang, peneliti
mulai meminta ijin untuk merekam dan menjelaskan
kembali tujuan untuk datang ke rumahnya pada sore
itu.
Wawancara berlangsung di ruang tamu, dengan
posisi duduk peneliti yang berhadapan dengan DJ.
Pada saat mulai wawancara peneliti mulai menanyakan
beberapa informasi umum mengenai identitas anak
yang sakit terlebih dahulu. DJ menjawab setiap
pertanyaan yang diberikan dengan tenang dan dengan
suara yang cukup tegas. Semua informasi mengenai
anak DJ yang selama ini menderita skizofrrenia di
ceritakan secara runtut, mulai dari waktu anaknya
mulai sakit.
Beberapa pertanyaan terkait awal mula sakit,
dijawab partisipan dengan sesekali tertawa. Ia
menceritakan bagaimana anaknya menunjukkan
ketidakmampuan dalam menjalani masa perkuliahan di
teknik kimia UNDIP-Semarang, sehingga hal ini
mengakibatkan kebingungan dan perasaan tertekan
yang membuat anaknya menjadi seperti ini.
Beberapa waktu lamanya ketika sedang
mewawancarai DJ, istri DJ datang sambil membawa
minuman untuk DJ dan peneliti sambil
mempersilahkan kami untuk meminumnya. Setelah itu,
peneliti meminta ijin untuk kembali melanjutkan
wawancara dengan DJ. Pada saat itu istrinya tidak
langsung kembali ke dapur, melainkan duduk di dekat
pintu yang menghubungkan ruang tamu (tempat kami
melakukan wawancara) dan warung, sambil
menunggui warung tersebut.
Beberapa informasi yang ditanyakan oleh peneliti
terkait pengobatan dan waktu dirawat anak DJ, dijawab
DJ dengan bantuan istrinya karena DJ kesulitan dalam
mengingat kembali kronologis beberapa kejadian pada
saat dibawa ke rumah sakit, menjalani pengobatan di
rumah sakit, kembali ke rumah, dan sebagainya.
Selanjutnya, pada selang beberapa menit setelah
berjalannya wawancara, anak DJ yang sakit (BB)
datang dan ikut duduk di dekat kami berdua. BB
menyapa peneliti dan kemudian mengajak peneliti
bercerita, tetapi DJ kemudian menegaskan kepada BB
bahwa peneliti membutuhkan waktu untuk berbicara
dengan DJ. Selanjutnya BB tetap duduk di dekat
peneliti dan DJ dan berbicara seorang diri.
Pada saat pertanyaan yang diajukan peneliti
mengenai bagaimana BB pada awal sakit dan gejala
yang ditunjukkan, DJ menjawab dengan nada yang
mulai pelan, seolah-olah apa yang dikatakan jangan
sampai didengar oleh anaknya yang pada saat itu
duduk di situ. Selain itu, pada saat DJ sedang
menjelaskan beberapa penyebab yang diketahuinya
sebagai salah satu pemicu sakitnya BB, istri DJ
langsung ikut berbicara. Menurut istri DJ, DJ sering
memanjakan BB pada masa kecilnya. BB tidak
diperbolehkan untuk bekerja keras, karena itu pada saat
menerima tantangan dalam perkuliahan, BB menjadi
sosok yang tidak kuat, dan mengakibatkan dia menjadi
kebingungan serta terdapat gangguan pada syarafnya.
Pada saat istrinya menjawab demikian, DJ hanya
menatap ke arah luar rumah sambil terdiam dan tidak
banyak berbicara.
Setelah itu, peneliti memohon ijin kembali kepada
istri DJ untuk melanjutkan wawancara dengan DJ.
Pada saat itu istri DJ masih duduk di dekat pintu dan
beberapa menit kemudian kembali ke warung untuk
melayani pembeli yang datang.
Wawancara kedua dilaksanakan tanggal 26
September 2012, pukul 14.30 – 15.55, bertempat di
ruang yang sama seperti wawancara pertama. Pada saat
itu, DJ baru saja kembali dari ladang. Seperti
wawancara sebelumnya, peneliti dan DJ diberikan
minuman oleh istri DJ. Kami melanjutkan wawancara
sambil menikmati minuman yang telah disediakan.
Wawancara kedua berlangsung lebih lama. Peneliti
menanyakan beberapa hal untuk memastikan jawaban
dari hasil wawancara pertama. Pada wawancara kali
ini, DJ lebih terbuka menceritakan apa yang dialami
dirinya dan keluarganya ketika harus merawat BB.
Seperti halnya wawancara sebelumnya, DJ menjawab
pertanyaan dengan sangat tenang, dan dengan nada
suara yang tegas. Beberapa pertanyaan terkait apa yang
biasa dilakukan BB sehari-hari dijawabnya sambil
tertawa.
Ketika peneliti menanyakan mengenai
perasaannya terkait dengan memiliki anak yang
menderita sakit ini, volume suaranya langsung
mengecil. Sambil tertunduk dan sedikit tertawa kecil,
DJ mengatakan bahwa ia sedih dan hanya bisa tetap
memohon kepada Tuhan. Sedangkan, untuk pertanyaan
selanjutnya mengenai apa yang biasa BB lakukan
dalam kesehariannya, tiba-tiba dijawab ia dengan
volume suara yang kembali meninggi. Beberapa kali
DJ mengeluh mengenai BB yang tidak ingin
melakukan banyak hal, padahal ia telah menyarankan
bahkan mengajak BB untuk bersama-sama melakukan
kegiatan-kegiatan yang menurut DJ mudah untuk
dilakukan.
Pada wawancara ketiga, yaitu tanggal 29
September 2012, pukul 13.10 – 14.00 WIB, partisipan
terlihat kurang bersemangat dalam menjawab beberapa
pertanyaan yang diberikan. Tidak seperti wawancara ke
dua, partisipan hari itu terlihat lebih diam. Pada saat
wawancara, peneliti sempat bertanya mengenai
tindakan atau perilaku DJ ketika ia sedih karena
melihat tingkahlaku BB. DJ pada saat itu hanya
menatap keluar sambil menjawab pertanyaan yang
diajukan peneliti, beberapa kali DJ melihat ke arah
peneliti dan terlihat dengan jelas mata DJ yang
berkaca-kaca ketika mengatakan bahwa ia hanya bisa
berpasrah kepada Tuhan sambil tetap berharap akan
ada perubahan dalam diri BB.
Selanjutnya pada saat menjawab pertanyaan
peneliti terkait hal yang sudah ia lakukan untuk
membantu BB, partisipan hanya mengeluh karena
merasa jemu dengan sikap BB yang tidak juga berubah.
Hal ini dikatakannya sambil menggelengkan kepala
dan sesekali menarik napas panjang. Setelah cukup
banyak bertanya, peneliti memutuskan untuk
mengakhiri wawancara pada sore itu, karena
menimbang kondisi DJ yang tidak begitu aktif dalam
menjawab pertanyaan seperti wawancara-wawancara
sebelumnya. Peneliti menduga hal ini dikarenakan DJ
masih merasa lelah karena baru saja kembali bekerja
dari ladang.
3. Analisis verbatim
Analisis verbatim P1W1
Makna Verbatim
Marah sebagai emosi
yang menonjol pada saat
kambuh.
Ya, pertama dulu sering
marah. (P1W1 28)
Kambuhnya yah marah-
marah. (P1W1 42)
Cara untuk bisa membawa
penderita berobat adalah
dengan membohongi dan
merayu penderita
Tapi kalo saya antar ke sana
ditipu kok. Kalo apa adanya
gak mau. Jadi harus dibujuk
rayu baru mau (P1W1 42-
44)
Ibu berperan dalam
memberikan dukungan ke
Oh biasa ibu. Kalo ke rumah
sakit tidak dibujuk ibu, tidak
penderita untuk pergi ke
rumah sakit.
mau. Kalo ke solo itu,
ibunya yang merayu. Tapi
kalo udah agak sehat ke sana
biasa dengan saya. (P1W1
48-49)
Ciri yang ditunjukkan
oleh penderita ketika
keadaannya membaik
adalah mau diajak ke RSJ
dengan menggunakan
sepeda motor.
Tapi kalo udah agak sehat ke
sana biasa dengan saya. Kalo
pas keadaannya baik, naik
sepeda motor itu berani
kemana-mana itu. Pas
keadaannya agak normal
(P1W1 50-52)
Ciri lain yang penderita
ketika kondisinya
membaik adalah nafsu
makan yang besar dan
emosi gembira yang
ditunjukkan, sedangkan
dalam kondisi kambuh,
penderita terlihat sedih.
Pokoknya kalo jajannya
banyak, kalo makannya
banyak itu agak normal. Yah
makannya banyak, ada
orang odong-odong datang
itu jajan gembira. Tapi kalo
gak kelihatannya sedih.
(P1W1 54-58)
Aktivitas yang dilakukan
oleh penderita ketika
penderita dalam kondisi
yang tidak kambuh.
Ya anu, nyapu, kulaan
dagangan, kulaan bensin
mau kok. Kulaan itu senang
tapi setelah kulaan, yah
jajan, beli es, ya
kesenangannya itu memang
(P1W1 61-63)
Partisipan dan istrinya
membiayai perawatan
anaknya.
Yah saya yang biayai
perawatannya sama ibu.
Disini sudah ringan kok, anu
periksanya 50ribu. Obatnya
yah ringan, 150 rata-rata
(P1W1 65-69)
Keaktifan dalam bekerja
pada penderita dalam
kondisi yang sedang tidak
kambuh berdampak pada
sedikitnya jumlah obat
yang harus dikonsumsi.
Yah, jatah satu bulan bisa
untuk dua bulan. Soalnya
kalo dia mau kerja siang,
malam tidak perlu makan
obat. Nanti udah tidur
sendiri kok. Otomatis itu.
Tapi kalo siangnya itu kerja
tidak banyak, obatnya yang
banyak gitu. Intinya, kalo
kerjanya banyak, obatnya
dikit, biayanya ringan.
Hanya makannya juga
banyak. (P1W1 73-78)
Partisipan berperan dalam
memenuhi kebutuhan
sehari-hari penderita.
Iya, saya yang layani, yang
ngontrol kebutuhannya.
Uangnya ambil sendiri di
warung (sambil tertawa)
(P1W1 80-82)
Penderita diberikan Ya, sudah ditentukan,
pengarahan dan dilibatkan
dalam melakukan
kegiatan berdagang
namun hal tersebut tetap
dikontrol oleh P.
termasuk caranya kulaan.
Pembeliannya sekian,
jualnya sekian. Disitu sudah
saya tulis, saya beritahu juga
untuk mengecek jujur
tidaknya. (P1W1 86-88)
Partisipan berperan dalam
mengontrol konsumsi obat
penderita, karena
penderita tidak mampu
mandiri dalam mengatur
jadwal untuk minum obat.
Iya, kalo untuk minum obat,
saya kontrol terus obatnya.
(P1W1 94).
Yah kalo tidak dikontrol,
seenaknya sendiri. Kecuali
makan, lauk pauknya tidak
usah dikontrol. (sambil
tertawa). (P1W1 99-100)
Ibu mempunyai
keterbatasan waktu dalam
mengurus penderita.
Kalau ibu tidak, gak sempat,
harus masak, cuci, apalagi
mertua saya disini, ngurusi
orang tua. (P1W1 96-97)
P berendapat bahwa
beban kuliah yang berat
menjadi salah satu
penyebab munculnya
penyakit.
Cita-citanya dulu teknik
kimia, tapi tidak kuat.
Setelah itu disuruh istirahat
dulu 2 tahun tidak mau.
Ikutan teman, tapi tidak
ngukur kemampuannya
sendiri. (P1W1 105-107)
P mengarahkan penderita Keinginannya terlalu tinggi,
memilih jurusan yang
sesuai kemampuan
penderita, namun
penderita mengabaikan
arahan tersebut.
tapi diarahkan angel. Kimia
tidak kuat kemudian
diarahkan oleh kiai dari
adiknya ibu supaya istirahat
2 tahun, tidak mau kok
(P1W1 107-109)
P bermaksud melibatkan
penderita untuk
beraktivitas, namun
penderita tidak memiliki
minat untuk melakukan
kegiatan tersebut.
Tidak mau ikut kegiatan
apapun dia (P1W1 111).
Yah, kalo saya ke ladang
saya ajak tapi dia tidak mau
(P1W1 116)
P merasa jenuh dalam
menyarankan penderita
untuk melakukan
aktivitas.
Oh nyaranin ikut kegiatan ini
itu, sampai jemu. (P1W1
114)
P tidak memaksa
penderita untuk
melakukan kegiatan untuk
menghindari konflik yang
dapat terjadi.
Oh kalo dipaksa malah anu
repot. Mau yah ikut, tidak
mau yah ga ikut (P1W1 122-
123)
Kekhawatiran P terhadap
penderita ketika penderita
berpergian, membuat P
memberikan arahan
Oh diberitahu, jalan
belakang, kalo lewat jalan
besar gak mau kok. Gak
berani. Soalnya waktu di
mengenai jalan yang
dapat dilewati.
Semarang simnya diambil
polisi. (P1W1 134-136)
Pengalaman penderita
yang pernah melanggar
peraturan lalulintas karena
jalan pemikirannya yang
kurang rasional.
Pikirannya udah goyang, ada
lampu merah nekat kok.
Kalo sekarang udah mulai
normal (P1W1 136-137)
Dalam kondisi yang
membaik (tidak kambuh),
penderita mampu
melakukan aktivitas
berdagang.
Yah iya, kulaan dagangan itu
bisa. Tapi kalo udah agak
normal (P1W1 139)
Keluarga memberikan
pengarahan dan
mendorong penderita
untuk beraktifitas atau
melakukan suatu
pekerjaan di rumah pada
saat penderita dalam
kondisi baik.
Yah nyatat, kalo ada yang
beli terus utang, ditulis
semua. Kalo dia lagi
pikirannya normal, saya
suruh ke toko, kulaan
dagangan, tapi kalo gak yah
gak. Biasanya saya juga
sarankan nyapu, terutama
ibunya. Kalo gak gitu yah
gak mau. Gak mau bangun
kalo gak dibangunin (P1W1
145-149)
P merupakan sosok yang
ditakuti oleh penderita.
Yah, saya bilang, dia agak
takut kalo dengan saya
(P1W1 151)
P menasehati penderita
dengan menunjukkan
kemarahan, namun hal ini
dibatasi agar tidak terjadi
konflik yang besar antara
keduanya.
Oh pernah marah banget
saya waktu dulu. Yah saya
batasi marahnya makanya,
supaya nanti tidak ada
dendam. Ya toh, soalnya
pikirannya udah terganggu.
(P1W1 153-156 )
Penghargaan yang
diberikan oleh keluarga
jika penderita melakukan
hal yang baik.
Misalnya kalo kerjaannya
baik yah diberi hadiah,
kayak permen dan
sebagainya. (P1W1 168-169)
Pemberian nasehat dengan
tidak menunjukkan sikap
marah karena
menghindari konflik yang
akan menyusahkan P dan
keluarga.
Kalo dimarahin malah repot
nanti. Lah kadang-kadang
saya ajak kemana gitu juga
ikut. Kadang gak juga
(P1W1 169-170)
Keluarga mendorong
penderita untuk meniru
hal yang baik dari anggota
keluarga lain.
Yah itu kasih contoh
keluarga sendiri, dibilangin
biar lihat kakaknya yang
berhasil, adiknya juga sudah
bekerja. (P1W1 173-174)
Analisis verbatim P1W2
Makna Verbatim
Keluarga mengarahkan
penderita untuk berhenti
sekolah sementara waktu,
namun penderita
mengabaikan arahan
tersebut.
Dia sakit, terus disuruh
istirahat dulu, nda mau.
Terus keluar, sekolah lagi
katanya saudaranya di
semarang, disuruh
istirahat 2 tahun dulu,
tidak boleh sekolah dulu
biar pikirannya tenang.
Dia tidak mau, kemudian
beberapa bulan ikut itu,
aduh namanya apa. Masuk
perguruan tinggi namanya
apa itu loh (P1W2 7-11)
Nasehat untuk beristirahat
setelah pasca perawatan
dari keluarga diabaikan
oleh penderita yang ingin
mengaktualisasikan
dirinya dalam dunia
pendidikan.
Iya sakit, disuruh istirahat
tidak mau, terus beberapa
bulan melu testing lagi ke
perguruan tinggi negeri
(P1W2 16-17)
Pemikiran yang sering
berubah-ubah atau tidak
konsisten serta
kebingungan menjadi
Ya anu, sering bingung itu
loh. Pokoknya
pemikirannya berubah-
ubah. (P1W2 25-27)
gejala yang ditunjukkan
penderita
Keadaan dan kegiatan
penderita pada saat di
salah satu RSJ di Solo
2 kali yah, di opname. Di
solo itu yah dicampur itu
sama orang seng anak
yang tidak sekolah, yang
sekolah sd, smp, sma,
perguruan tinggi
dicampur. disana itu tidak
dilatih, dibiarke tidur,
repot toh (P1W2 36-40)
Perawatan di rumah sakit
dipilih keluarga sebagai
cara untuk memulihkan
penderita yang sering
menunjukkan gejala
bingung di rumah.
Rawat jalan dulu di
rumah. Udah di rumah
jadi bingung, akhirnya
diopname sampai kira-
kira 2 bulan (P1W2 47-
48)
Ada penanganan yang
lebih baik yang diberikan
oleh salah satu psikiater.
Kalo dengan bu A iya,
perbedaannya banyak.
Kalo bu A itu misalnya
cara menangani dan
memberi perhatian ke
orang sakit itu (P1W2 52-
54)
Penderita mencoba
mengaktualisasikan
Bar loro, durung di
opname trus ada buka
dirinya dengan berusaha
melanjutkan studi serta
mengikuti pengajaran-
pengajaran agama, namun
penderita tidak mampu
untuk melanjutkan
pilihannya tersebut.
pendaftaran, dia tes,
masuk. Setelah itu sekolah
fkip, kemudian ikutan
pengajian juga yang aliran
keras. Terus ga kuat
ajarannya, ga kuat
sekolahnya, yah jadi
bingung toh. Sarafnya itu
udah renggang (P1W2 59-
63)
P membandingkan
kebiasaan anak-anaknya
di rumah, dan salah satu
kebiasaan penderita
sendiri sebelum sakit yaitu
menghindari kegiatan-
kegiatan di luar rumah.
Lah anak yang nomor 1
itu kuat yang terakhir ya
kuat kok, hanya yang
nomor 2 ini yang ga kuat.
Soalnya mereka itu ikutan
kegiatan apa-apa. Ikut
karate, hanya BB yang ga
mau ikut apa-apa, ga mau
kerja apa-apa, jadinya
kayak gitu. (P1W2 64-68)
Penerapan pola asuh yang
berbeda oleh P terhadap
adik penderita (anak P
yang ketiga) setelah
melihat kondisi penderita
yang menderita gangguan
Berhubung anak saya
yang nomor dua kayak
begitu, jadi anak saya
yang nomor 3 itu saya
suruh ukur
kemampuannya kalo
jiwa. sekolah, jangan ikutan
konconya. Terus aku ajak
kulaan, ke pasar. Saya
latih biar ga malu kayak
kakaknya ini. Sejak dulu
kan ga ada kerjaan
(P1W2 68-72)
Biaya pengobatan yang
mahal menjadi salah satu
masalah yang dialami
keluarga dalam merawat
penderita di rumah.
Iya balik Solo, tapi
obatnya mahal. Di sana
itu 1 minggu habisnya 2
juta loh. Iya, mahal itu di
Solo. Tiap bulan yah
rawat jalan yah mahal
banget itu. Obatnya itu
dulu pertama habisnya 30
ribu, jaman dulukan itu
mahal. Sekitar tahun 91
itu. Berat kok ongkosnya
itu (P1W2 85-93)
P mencari informasi
mengenai psikiater yang
dapat menangani
perawatan anaknya.
Dulu anu, disitu ada yang
sering berobat ke sana.
Jadi mereka memberi tahu
toh. Ya, ketemu bu A
(psikiater) (P1W2 99-102)
Ada perubahan perilaku
penderita ke arah yang
Oh ga diopname, hanya
obat jalan saja. Iya,
lebih baik soalnya sekarang udah
mau disuruh. Dulukan ga
mau (P1W2 106-107)
Pemberian saran oleh
psikiater kepada keluarga
terkait konsumsi obat
penderita.
Iya sebulan. Tapi bu A
pernah berkata kalo waktu
siang banyak bekerja, obat
tidurnya tidak usah di anu
tidak usah diminum. Jadi
kalo siangnya sudah kerja
sudah rajin bekerja tidak
perlu dikasih obat. (P1W2
110-113)
Partisipan/keluarga
melibatkan penderita
untuk melakukan
pekerjaan rumah sehari-
hari.
Ya belum, setelah saya
bilang baru lakukan.
Buang sampah, kalo saya
suruh saja. Ya jaga
warung. Kalo dia jaga
dibayar pake uang 50an,
masih bingung balikin.
Dia itu ga mau terima
uang yang sobek, yang
jelek, yah ada baiknya
juga sih (P1W2 128-130)
Pemberian obat,
melibatkan penderita
untuk beraktifitas dan
Ya anu, disuruh bekerja
itu menurut
kemampuannya sendiri.
memberikan pengarahan
sebagai salah satu cara
yang digunakan dalam
menangani penderita.
Seperti buang sampah itu.
(P1W2 134-135)
Pemberian obat menjadi
pilihan yang diambil P
bagi penderita daripada
menasehati, karena
menghindari konflik yang
akan menyusahkan P dan
keluarga.
Tapi saya juga beri obat
setelah itu tidur dia. Kalo
diomongin yah angel itu.
Jadi saya kasih obat saja
diberitahu susah, kalo
dibilangin malah repot.
(P1W2 135-137)
Psikiater memberi
pengaruh baik dalam
pemulihan penderita.
Mau, sudah diberitahu
sama bu A kok. Jadi
pengaruhnya bu A itu baik
terhadap orang sakit itu.
(P1W2 142-143)
Berbicara sendiri,
kecenderungan untuk
mudah marah, dan
pemikiran yang terganggu
merupakan perilaku yang
ditunjukkan oleh
penderita.
Ga, paling hanya
ngomong-ngomong
sendiri aja. Kalo marah
sudah jarang itu. Kalo
sudah gitu dikasih obat
saja supaya ga marah.
Kalo diberitahu yah ga
masuk kok ke pikirannya.
Diberitahu pikirannya
sudah tidak menerima.
(P1W2 150-153)
Ada perasaan sedih dan
bingung yang dialami oleh
keluarga penderita.
Oh iya, sedih. ini sudah
jatah. Jatah dari Tuhan
(sambil tertawa) sudah
jatah dari Tuhan ini. yah
kadang mumet saya.
(P1W2 161-162)
Pemberian nasehat dan
obat oleh P kepada
penderita ketika penderita
mulai kambuh.
Yah diberitahu toh dengan
kata-kata lunak, terus
diobatin tadi udah. Ya
kasih tau ini obatnya dari
bu A, harus diminum
(P1W2 165-168)
P melibatkan anggota lain
untuk mendukung
pemulihan penderita
dengan memberikan
pekerjaan sesuai dengan
kemampuannya.
Biasanya saya libatkan
adeknya atau kakaknya,
gitu aja. Dulu dikasih
kerja sedapatnya. (P1W2
178-179)
P mengalihkan kemarahan
penderita ke aktivitas
yang dapat dilakukannya,
namun perhatian dan
minat dalam mengerjakan
aktivitas tersebut cepat
beralih.
Oh dulu iya, marah tapi
saya beritahu yang lunak-
lunak. Misalnya kalo ada
kesempatan saya alihkan
untuk mengerjakan hal
lain. Seperti mengetik
sesuatu, pakai mesin
ketik. Tapi baru beberapa
hari udah ogah kok. Udah
gak mau ngetik lagi pakai
mesin ketik itu (P1W2
185-190)
Aktivitas penderita saat
membaik di rumah tetap
dikontrol P, sehingga
penderita tetap konsisten
terhadap pekerjaan yang
telah dipercayakan
kepadanya.
Yah anu, di rumah itu,
kulaan dagangan pakai
sepeda motor. Yah kulaan
dagangan yang lain, yah
pekerjaan rumah, yah
nyapu, tapi kalo gag
diperintah yah gag mau.
Kalo gag dikasih tahu yah
tidur lagi. Iya, lah
tugasnya menutup pintu
warung kalo udah malam,
yah kalo tidak diperintah
yah di kamar terus. Lebih
banyak di kamar dia
(P1W2 197-205)
Salah satu kehilangan
minat penderita untuk
bekerja, menurut P adalah
karena kurangnya
keterlibatan penderita
dalam kegiatan-kegiatan
Lah ini karna di Solo ga
diberi ladang kerja jadi
tidur makan, tidur mandi.
Keterusan sampai rumah
(P1W2 205-206)
pada saat penderita
menjalani perawatan di
RSJ.
Ketakutan P akan
terjadinya suatu masalah
atau konflik ketika
penderita keluar rumah
terlalu lama.
Saya yah takut, pikirnya
dia diapakan orang,
ternyata mampir
tempatnya teman (sambil
tertawa). Lah pakai motor
tidak bawa surat itu loh
kalo ketangkap yah repot
saya (P1W2 210-213)
Adanya upaya untuk tetap
sabar yang dimiliki oleh
keluarga dalam
mendukung pemulihan
penderita.
Yah diberi tahu lagi, habis
gimana lagi, hanya bisa
beritahu dia. Kalo ga
sabar yah susah sendiri
(sambil tertawa) gitu.
Apalagi dia sakit jiwa toh.
(P1W2 219-221)
Penderita mengalami
penurunan daya ingat.
Oh sering, lebih banyak
lupanya, jadi harus
diingatin. Dari 10 kali yah
yang tidak lupa satu kali
(sambil tertawa).
Ingatannya udah agak
turun itu. (P1W2 226-228)
P merasa tugas dan Iya toh, tugas orang tua
tanggung jawabnya
sebagai orang tua berat.
seperti itu yah berat
(P1W2 230)
P mencoba memfasilitasi
penderita yang memiliki
keinginan untuk kembali
bersekolah, dengan tetap
mengarahkan pemilihan
jurusan yang lebih mudah
daripada teknik.
Yah saya tahu dia pengen
sekolah lagi tapi sudah
terlanjur putus syarafnya
yah repot. Saya tuh suruh
yang rendah dulu jangan
yang tinggi-tinggi kayak
teknik itu kan repot
(P1W2 233-235)
Usaha partisipan/keluarga
untuk terus memberikan
saran dan pengarahan
kepada penderita.
Saya menyarankan hampir
tiap hari tapi tidak masuk
sini kok (sambil
menunjuk ke kepala).
Kadang saya beri saran 10
kali, hanya 1 kali yang
masuk disini (menunjuk
ke kepala) (P1W2 249-
251)
Perasaan sedih dialami
oleh keluarga penderita,
karena harus menerima
keadaan atau nasibnya.
Yah sedih, mau gimana
lagi. Sudah jatahnya yah.
(P1W2 254)
Kondisi penderita terlihat
membaik dalam hal
menangkap informasi
Yah komunikasi tetap
sering itu, tapi sukar
menangkap. Ini udah agak
yang diberikan oleh P baik. Sekarang udah agak
mudeng. Udah agak
mudah dibilangin. Dulu
angel kok (P1W2 273-
275)
Ada dorongan dari
keluarga bagi penderita
untuk melakukan
pekerjaan demi pemulihan
penderita.
Yah saran untuk banyak
kerja, sehingga
penyakitnya berkurang.
Terus obatnya berkurang.
Iya, sering saya lakukan,
saya suruh BB kerja toh.
Tapi kalo ke ladang, gak
mau. Yang disenangi aja
dilakukannya. (P1W2
281-285)
P dan penderita jarang
melakukan komunikasi,
jika tidak begitu penting
hal yang ingin
dibicarakan.
Aduh, jarang itu ngobrol,
tidak pernah. Seperlunya
aja (P1W2 297)
Kesulitan P dalam
memberikan saran kepada
penderita karena kesulitan
penderita dalam menerima
saran-saran tersebut.
Yah sesekali aja. Kalo
saya ngomong 10 kali
yang diterima 1 tok
(P1W2 302)
Penderita mengalami Iya toh, diberi tahu besok
penurunan daya ingat udah lupa misalnya
menutup pintu, kalo tidak
diberitahu yah sampai
malam tidak ditutup.
Iya toh, dia itu tidak
berubah, pikirannya tidak
menerima kalo dibilangin
(P1W2 307-310)
Penderita hanya
melakukan hal yang
diminati.
Iya, sering saya lakukan,
saya suruh BB kerja toh.
Tapi kalo ke ladang, gak
mau. Yang disenangi aja
dilakukannya. (P1W2
312-314)
Partisipan menyadari
perbedaan antara anaknya
yang menderita sakit dan
anaknya yang lain.
Kalo anak saya pikiran
lancar jadi tidak perlu
diberitahu, kalo yang ini
kan diberitahu tapi gak
mau denger, malah baca
koran terus kerjaannya,
kalo yang nomor 1 yah
rajin, kalo yang kecil juga
ranking 1 terus kok. Ini
yang nomor 2 lebih
istimewa, jadi agak diatur
(P1W2 314-318)
Upaya P dalam
memberikan reward
kepada penderita agar
penderita termotivasi
dalam mencari pekerjaan
yang sesuai
kemampuannya.
Ya saya tetap beritahu,
tapi dengan kalimat yang
lunak-lunak. Misalnya
besok kalo udah punya
anu kalo kerjaannya sudah
baik ajak piknik misalnya,
ke tempat siapa saya ajak
(P1W2 323-326)
Penurunan daya ingat
membuat penderita sulit
bertanggung jawab
terhadap suatu hal.
Yah iya, tapi menerima
saja. Biasa baru dikasih
tau seketika udah lupa.
Semisal dirumah piring
udah bersih, terus dipakai,
kalo tidak dibilang yah
tidak dicuci kok (P1W2
343-345)
P merasa jenuh dan
kesulitan dalam
memberikan nasehat dan
petunjuk karena
keterbatasan kemampuan
kognitif penderita dalam
menerima informasi dan
memberikan respons yang
tepat.
Yah, udah dibilang
sampai jemu sendiri.
Diberitahu sekarang nanti
udah lupa kok. Yah
repotlah. Disini kan
(sambil tunjuk kepala)
ingatannya udah tidak
sampai. Katanya bu A
kalo disini sudah tidak
sampai, tidak baik kok.
Ditanya A sering jawab B.
Kemana, misalnya ke
utara jawabnya ke selatan.
Misalnya begitu.
Kerjaannya apa? Belum
bekerja tapi katanya udah
bekerja. kalo ditanya udah
urut yah baik, tapi
kadang-kadang tidak urut.
(P1W2 348-355)
Penderita hanya
melakukan pekerjaan yang
dikehendakinya.
Ya iya, kalo tidak sesuai
keinginannya tidak mau.
Umpama disuruh kasih
makan burung itu, nda
mau. Bukan kehendaknya
sendiri (P1W2 348-355)
Adanya perubahan
perlakuan terhadap
penderita oleh salah satu
anggota keluarga (anak
ketiga P) setelah
memahami kondisi
penderita
Oh ya dulu, sekarang
udah tidak pernah.
Sebelum Yusuf bekerja
itu yah sering marah. Yah
itu kan belum tau kalau
masalah itu begini-begini.
Setelah Yusuf sudah saya
beritahu, terus dia juga
udah mulai bekerja,
setelah itu mulai berubah
pikirannya. Tidak
menghiraukan. Malah
sekarang kalo punya oleh-
oleh malah diletakkan
dimeja, BB minta yah dia
iya aja (P1W2 368-375)
Analisis verbatim P1W3
Makna Verbatim
Peran psikiater yang baik
membuat frekuensi emosi
marah penderita
berkurang
Yah waktu belum ke bu A
yah iya marah-marah,
sekarang udah gak (P1W3
10-11)
Upaya yang dilakukan P
adalah membawa
penderita ke RSJ ketika
menunjukkan gejala
bingung, namun hal
tersebut melibatkan peran
ibu dalam merayu
penderita untuk mau pergi
berobat.
Iya, saya bawa ke Solo
itu, karena bingung terus.
Tapi dia gak mau, jadi
diberi nasehat oleh ibunya
baru mau dia. Yah terus
pake motor ke sana.
Kadang pakai bis (P1W3
19-21)
P menyadari perlakuan
terhadap anaknya dengan
memukul kurang tepat,
sehingga adanya
Yah saya kerasi sungguh.
Sekarang tidak. Yah
pernah mukul, tapi saya
hati-hati jangan sampai
perubahan perlakuan pada
saat ini.
kepala. (P1W3 33-34)
Perasaan dan kesulitan
yang dialami keluarga
dalam merawat penderita.
Yah, saya rasa repot.
Pikiran saya. Diberitahu
sekali malah seketika yah
taat. Misalnya nunggu
warung sebentar, setelah
itu keluar pergi jajan.
(P1W3 45-47)
P berusaha menerima
keadaan yang dialaminya
dan keluarganya
Yah anu, jatahnya sudah
begitu. Perubahannya
hanya sedikit. Yang
penting dia gak ke mana-
mana itu loh. Kalau ke
mana-mana ya repot. Dulu
pernah ke Semarang
sendiri ke rumah kakak
saya. Yah kakak saya
telpon beritahu (P1W3 54-
57)
Membawa penderita ke
psikiater dan berdoa
adalah upaya yang
dilakukan keluarga dalam
merawat penderita.
Yah paling-paling saya
bawa ke dokter A itu.
Setelah itu yah tetap
permohonan sama Tuhan
itu tetap ada. Selain bawa
ke bu A. Yah doa ke Yang
di Atas. Tapi
perbandingan ke yang
dulu, dulu sering pergi
jauh-jauh, sekarang tidak.
(P1W3 60-63)
Permohonan P kepada
Tuhan untuk
menyembuhkan anaknya.
Yah, saya minta
permohonan kepada
Tuhan supaya ada
perbaikan atau kalau bisa
sembuh. Hanya kalau ada
perubahan sedikit-sedikit
udah senang aku (P1W3
72-74)
Sikap pasrah P dan pilihan
untuk berusaha tetap
senang dalam merawat
penderita.
Yah udah ada perubahan
sedikit. Yah senang tidak
senang saya buat senang
soalnya anak kan tidak
hanya satu (P1W3 76-77)
Ketidakmampuan
penderita untuk
berinisiatif melakukan
pekerjaan di rumah
merupakan kesulitan yang
dihadapi keluarga.
Yah disuruh kadang mau
kadang tidak. Misalnya
pagi disuruh buang
sampah itu tidak mau.
Maunya siang, tapi kalo
siang ya kadang dibuang,
kadang tidur. Mencuci
piring yah kalau
diperintah yah satu kali
dua kali, terus lain kali
sudah tidak mau lagi. Jadi
semua harus saya atau ibu
perintah dulu (P1W3 80-
84)
Keluarga merasa kasihan
berkaitan dengan kondisi
dan keterbatasan
penderita.
Yah saya kasihan dia
kemampuannya terbatas.
Yah diberitahu satu dua
setelah itu lupa kok
(sambil tertawa). Yah,
saya kasihan, anak
soalnya kok (sambil
tertawa) (P1W3 86-88)
Keluarga berusaha
melibatkan penderita
dalam kegiatan
kerohanian.
Yah sering saya ajak ke
mesjid, kadang-kadang
mau, kadang-kadang
tidak. Kalau mau yah
datang, udah siap-siap
sebelum ke mesjid, tapi
kalo pas tidak mau yah
tidur. (P1W3 92-94)
Penderita pernah mencoba
bekerja di bagian
pemasaran barang setelah
pasca perawatan pertama
Yah sekitar 3 atau 4
bulan. Dia kerja jadi
bagian promosi mesin
cuci. Yah soalnya tidak
kali, namun terpaksa
keluar karena keterbatasan
yang dimilikinya menjadi
penghambat dalam
pekerjaannya.
bisa memasarkan barang,
kan itu harus pintar
omong. Lah pikirannya
gak nyampe kok (P1W3
102-107)
Upaya P dalam
melibatkan penderita
untuk melakukan
beberapa kegiatan dengan
pemberian reward tidak
mampu menumbuhkan
minat penderita.
Ya malah saya ajak tidak
mau kok. Umpama mau
yah saya beri uang 5000
atau berapa, tapi tetap
tidak mau. Iya, umpama
mau. Tapi tidak mau.
Saya ajak tidur ke tempat
mba e sana juga ga mau
kok (P1W3 113-117)
Biaya pengobatan
penderita ditanggung oleh
keluarga. Saat ini, ada
perasaan lega karena
adanya keringanan biaya
pengobatan.
Yah dari saya, uang
pensiun saya. Sekarang
udah mendingan, ringan
juga biayanya (P1W3
121-122)
Partisipan mendukung
pemulihan penderita
dengan berkonsultasi ke
psikiater dan
menyampaikan informasi
tersebut ke penderita.
Yah, kalau saya ke bu
dokter, kalo bu dokter
memberikan saran apa,
kadang-kadang saya tulis
itu. Saya beritahu, tapi
beberapa hari dia lupa lagi
kok, kalo tidak diingatkan.
(P1W3 125-127)
Saran yang diberikan
psikiater kepada P dan
penderita dalam hal
perawatan penderita di
rumah.
Yah bu dokter
mengatakan kalau siang
itu rajin bekerja atau
membantu tidurnya
malam tidak usah minum
obat tidur. Obatnya
otomatis kan berkurang,
terus berkurang biayanya
(P1W3 129-131)
Partisipan melibatkan
penderita dalam kegiatan
kerohanian supaya ada
perubahan yang lebih
baik.
Yah suruh ikut ke mesjid,
jumatan. Kadang-kadang
mau, kadang-kadang
tidak. Tapi kalo saya ajak
ke mesjid itu ada
perubahan, tapi kadang
tidak mau kok. (P1W3
144-146)
P memilih untuk tidak
memaksa penderita
melakukan kegiatan yang
tidak disenanginya karena
menghindari konflik.
Tidak, dipaksa malah
kemana-mana repot.
Kalau saya ajak,
pulangnya malah nyari
jajan, yah repot. Setiap
ada warung berhenti yah
repot (P1W3 148-150)
Setelah melakukan analisis wawancara partisipan, langkah
selanjutnya adalah melakukan proses kategorisasi tema, yang
mana melalui proses ini menghasilkan beberapa kategori data
partisipan pertama, yaitu :
Kategori Data P1
1 Latar belakang partisipan, keluarga dan penderita
2 Ciri-ciri atau gejala yang ditunjukkan oleh penderita
skizofrenia pada saat sakit atau kambuh
3 Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh penderita skizofrenia pada
ketika sudah lebih membaik
4 Persepsi P mengenai latar belakang penyebab anaknya
menderita skizofrenia
5 Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga ketika
merawat penderita
6 Perasaan keluarga dalam menghadapi dan merawat
penderita skizofrenia di rumah
7 Peran psikiater dalam merawat dan menangani penderita
skizofrenia
8 Usaha orang tua dalam mengatasi berbagai permasalahan
yang dihadapi ketika merawat penderita di rumah.
9 Upaya dari keluarga sebagai bentuk dukungan sosial yang
diberikan pada saat merawat penderita skizofrenia
10 Motivasi pemberian dukungan sosial oleh keluarga
kepada penderita
11 Perkembangan penderita pasca perawatan
Berdasarkan kategori-kategori yang telah ada,
maka langkah berikutnya adalah merekonstruksi kategori-
kategori tersebut ke dalam sebuah narasi.
4. Analisis partisipan 1
Bapak DJ adalah ayah dari BB yang telah menderita
skizofrenia semenjak tahun 1991. Artinya, kurang lebih
20 tahun lamanya BB telah menderita penyakit tersebut.
BB merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sebelum
menderita skizofrenia, penderita tergolong orang yang
tidak begitu termotivasi dalam mengikuti kegiatan di luar
rumah. Dari pernyataan partisipan, diketahui bahwa pada
tahap perkembangan penderita di usia sekitar 19 tahun, ia
memilih untuk mengisolasi diri dan tidak membangun
relasi dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan dalam
tahap perkembangan ini menjadi salah satu penyebab
munculnya gejala penyakit, menurut pandangan partisipan
sendiri.
Partisipan bersama istrinya merupakan dua sosok
pribadi yang sangat penting bagi penderita dalam
menjalani masa-masa perawatan baik di RSJ maupun di
rumah. Hal ini terlihat jelas dari kesediaan partisipan dan
istri yang selalu menemani penderita baik pada masa
rawat inap di RSJ hingga rawat jalan yang sampai saat ini
masih rutin dilakukannya.
Adapun beberapa ciri yang ditunjukkan penderita
pada awal didiagnosa menderita skizofrenia dapat dilihat
dari segi kognitif, afeksi dan konatif. Dari segi kognitif
terlihat jelas adanya penurunan daya ingat. Hal ini
ditunjukkan dari mudahnya penderita untuk melupakan
informasi dan saran yang diberikan kepadanya. Pola
pemikiran yang sering tidak terorganisasi juga terlihat dari
ketidakmampuan penderita dalam memberikan respons
yang tepat terhadap pertanyaan atau pembicaraan dengan
orang lain. Selain itu, penderita memiliki kecenderungan
untuk berbicara sendiri.
Ciri lain dalam segi afektif ditunjukkan dengan
reaksi emosi marah oleh penderita yang sangat menonjol.
Tidak jarang penderita melampiaskan amarahnya terhadap
orang-orang dekatnya. Selain itu, adanya kecenderungan
untuk tidak dapat merasakan pentingnya berbagai macam
kegiatan yang ditawarkan oleh keluarga bagi diri
penderita.
Sementara itu, dari segi konatif, penderita kurang
menunjukkan perilaku yang inisiatif untuk melakukan
suatu kegiatan. Dalam hal ini, penderita hanya akan
melakukan suatu kegiatan jika disuruh. Sehingga,
penderita terlihat jarang memiliki minat terhadap berbagai
macam kegiatan.
Dari semua ciri yang ditunjukkan oleh penderita,
ada beberapa ciri yang akan menonjol ketika penderita
mulai kambuh. Beberapa di antaranya adalah ekspresi
emosi marah yang ditunjukkan penderita, juga perasaan
sedih dan terlihat lebih sering mengalami kebingungan
pada saat berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu,
dalam kondisi sehat, penderita terlihat lebih sering
mengekspresikan perasaan senang, mampu melakukan
pekerjaan yang disarankan oleh partisipan dan memiliki
nafsu makan yang bertambah.
Partisipan yang adalah ayah penderita menduga
bahwa gejala yang ditunjukkan oleh penderita juga
merupakan akibat dari ketidakmampuan penderita sendiri
dalam menjalani masa pendidikannya, pada salah satu
perguruan tinggi yang dirasa terlalu berat dan menekan.
Hal ini juga menjadi latar belakang awal munculnya
penyakit yang diderita oleh penderita. Oleh karena kondisi
penderita yang demikian, partisipan bersama dengan istri
memutuskan agar penderita menjalani perawatan yang
lebih intensif, baik yang dilakukan oleh pihak medis
ataupun pendampingan oleh keluarga sendiri.
Selama merawat penderita dengan berbagai usaha
yang coba diupayakan, keluarga juga tidak terlepas dari
beberapa masalah dan hambatan. Hambatan-hambatan
tersebut antara lain adalah dalam hal biaya pengobatan
yang dirasa mahal. Menurut partisipan biaya pemeriksaan
untuk sekali datang adalah kurang lebih Rp. 300.000,-,
belum termasuk obat-obatan. Hal ini membuat partisipan
bersama istri berupaya mencari tempat perawatan yang
lebih murah. Pada akhirnya, Panti rehabilitasi di daerah
Boyolali menjadi alternatif pilihan tempat perawatan anak
mereka. Di Panti tersebut, biaya perawatan tergolong
murah. Untuk sekali pemeriksaan, pasien dikenakan biaya
sebesar Rp. 50.000,- dan untuk obat-obatan biasanya
partisipan harus membayar kurang lebih Rp. 150.000,-.
Selain masalah biaya perawatan, masalah lain yang
dijumpai oleh partisipan dan istri adalah merasa kerepotan
dalam menghadapi anaknya yang terbatas dalam
mengingat dan memaknai setiap informasi yang
diterimanya. Adanya kesulitan berkomunikasi dengan
penderita, karena pemikiran yang kacau serta
ketidakmampuan merespons pembicaraan dengan baik,
juga merupakan salah satu permasalahan yang menjadi
pergumulan dalam keluarga partisipan. Hambatan lainnya
adalah kesulitan partisipan bersama istri dalam
menasehati penderita untuk melakukan suatu kegiatan,
dengan maksud melatih penderita menjadi pribadi yang
mandiri.
Dengan menyadari adanya gejala-gejala yang
menjadi hambatan keluarga dalam merawat penderita,
maka partisipan dan keluarga mencoba berbagai cara
sebagai suatu dukungan untuk membantu penderita
sembuh dari sakit yang dideritanya tersebut. Salah satu
upaya yang paling utama dilakukan adalah dengan cara
membawa partisipan untuk berobat di salah satu Rumah
Sakit Jiwa di daerah Solo. Tetapi karena pertimbangan
biaya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
partisipan memutuskan untuk mengalihkan pengobatan
penderita ke salah satu panti rehabilitasi yang berada di
dekat rumahnya.
Selain itu beberapa dukungan isntrumental yang
secara nyata coba diberikan oleh partisipan dan keluarga
adalah dengan cara melayani kebutuhan penderita,
mengontrol konsumsi obat penderita, memberikan
reward, dukungan secara finansial bagi keinginan
penderita, dan mengajari penderita untuk terlibat dalam
suatu pekerjaan serta melibatkan penderita dalam suatu
aktivitas atau kegiatan di sekitar lingkungan rumah.
Pekerjaan yang dimaksud adalah mengajari penderita
untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual
kembali di warung milik keluarganya. Sementara itu,
kegiatan yang coba ditawarkan adalah kegiatan rutin
lingkungan masyarakat seperti mengikuti ronda malam
dan kegiatan kerohanian di mesjid. Namun demikian,
penderita memiliki kecenderungan untuk menolak
tawaran-tawaran yang diberikan oleh keluarga tersebut.
Penderita lebih memilih untuk menghabiskan waktu di
dalam kamar, hanya untuk sekedar tidur atau melakukan
aktivitas yang dikehendakinya.
Selain dukungan nyata dalam berupa materi
tersebut, adapun dukungan yang diberikan kepada
penderita berupa informasi, nasehat serta saran yang
diharapkan membantu penderita untuk menjadi lebih baik.
Beberapa di antaranya adalah usaha keluarga untuk
menasehati dengan cara merayu penderita agar penderita
memiliki keingingan untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa,
pemberian nasehat dan saran kepada penderita untuk lebih
banyak melakukan aktivitas daripada menghabiskan
waktu dengan tidur dan mengurung diri dalam kamar.
Nasehat dan saran lain diberikan pada saat penderita ingin
kembali melanjutkan pendidikan setelah pasca perawatan
Rumah Sakit Jiwa pertama kali, adalah terkait pemilihan
jurusan yang memiliki tuntutan pencapaian nilai akademik
yang tidak terlalu berat, sehingga dapat diikuti oleh
penderita.
Dukungan secara emosional dan penghargaan yang
diberikan kepada penderita juga diberikan oleh keluarga,
namun dalam intensitas dan frekuensi yang lebih rendah.
Dukungan emosional dalam hal ini adalah kepedulian
keluarga kepada penderita dengan cara memarahi bahkan
pernah memukul penderita agar penderita mengonsumsi
obat secara teratur serta mau melakukan aktivitas. Namun
cara demikian tidak membuat penderita menjadi lebih
mandiri dan memiliki keinginan untuk beraktivitas,
melainkan sebaliknya, tidak ada perubahan berarti seperti
yang diharapkan oleh partisipan dan keluarga. Akhirnya,
melalui konsultasi dengan psikiater, partisipan mengubah
caranya tersebut dengan lebih bersikap empati kepada
penderita dan memberikan umpan balik dengan cara yang
lebih baik tanpa memukul atau memarahi penderita.
Dukungan dalam bentuk penghargaan diberikan
kepada penderita dengan mendorong penderita untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya
dengan menjanjikan akan memberikan reward berupa
permen atau uang. Selain itu, keluarga juga memberikan
kesempatan kepada penderita untuk mengaktualisasikan
dirinya setelah pasca perawatan RSJ. Hal ini ditunjukkan
dengan mengijinkan penderita untuk melanjutkan
pendidikannya di perguruan tinggi. Namun sekali lagi,
penderita gagal dalam menyelesaikan pendidikannya
karena dalam masa pendidikan yang dijalaninya tersebut,
penderita mengalami kekambuhan dan harus kembali
dirawat di RSJ.
Dengan melihat beberapa jenis dukungan yang
diberikan tersebut, terlihat jelas bahwa pemberian
dukungan dari keluarga setelah pasca perawatan pertama
kali, difokuskan kepada masa depan penderita. Dalam hal
ini, keluarga mencoba untuk tetap mendukung penderita
yang ingin melanjutkan studinya di universitas. Namun,
hal tersebut gagal dijalani oleh penderita setelah beberapa
bulan berkuliah. Penderita kembali mengalami
kekambuhan dan harus keluar dari universitas untuk
menjalani perawatan intensif di RSJ.
Oleh karena itu, setelah pasca perawatan yang
kedua, keluarga memutuskan untuk tidak memaksakan
penderita menyelesaikan studinya. Pemberian dukungan
kali ini lebih difokuskan kepada pemberian tanggung
jawab dalam melibatkan penderita melakukan suatu
pekerjaan, yakni dalam hal ini bertanggung jawab
terhadap warung yang dimiliki oleh orang tuanya. Namun,
sekali lagi, penderita tidak menunjukkan perilaku yang
konsisten dalam bertanggung jawab untuk mengelola
warung tersebut. Hal ini dilihat dari kebiasaan penderita
yang bertindak mengikuti keinginannya sendiri. Ada
kalanya penderita rajin mengelola warungnya, tetapi ada
masa di mana penderita tidak peduli dengan warung yang
dipercayakan kepadanya.
Selain dukungan secara langsung yang diberikan
partisipan dan keluarga kepada penderita, adapun
dukungan yang secara tidak langsung ditujukan kepada
penderita, namun tetap tersedia dan diupayakan untuk
mendukung kesembuhan penderita. Dukungan tersebut
berupa penyediaan waktu untuk mencari alternatif-
alternatif pengobatan bagi penderita dan berkonsultasi
dengan psikiater terkait hal-hal yang harus dilakukan oleh
keluarga selama merawat penderita pasca perawatan.
Selain itu, partisipan juga berperan dalam menasehati
anggota keluarga yang lain untuk terlibat dalam
mendukung penderita selama menjalani masa pasca
perawatan. Nasehat dari partisipan tersebut diterima baik
oleh salah satu anggota keluarga yang mencoba
memberikan tanggung jawab pekerjaan kepada penderita.
Walaupun penderita terlihat tidak konsisten dalam
menjalankan tanggung jawab tersebut bahkan pada
akhirnya penderita berhenti, tidak membuat anggota
keluarga tersebut memarahi penderita. Perubahan reaksi
keluarga ini dipengaruhi oleh pemahaman mereka
mengenai kondisi penderita.
Adapun dukungan dari pihak lain di luar keluarga
yang turut mengupayakan kesembuhan penderita, dalam
hal ini psikiater. Menurut partisipan, psikiater memiliki
peran yang sangat membantu dalam mengarahkan
keluarga pada saat merawat penderita. Misalnya mengenai
aturan pemberian obat, sikap dan perilaku yang tidak
memarahi penderita ketika penderita melakukan
kesalahan, melainkan mengarahkan dengan memberikan
saran yang baik kepada penderita serta melibatkan
penderita melakukan pekerjaan di rumah. Dalam hal ini,
partisipan mengaku bahwa pengaruh nasehat serta saran
yang diberikan oleh psikiater yang menangani masalah
anaknya tersebut, telah mengubah perilaku anaknya ke
arah yang lebih baik.
Dalam semua keterbatasan penderita dan
kekambuhan penderita selama menderita skizofrenia ini,
partisipan mengaku tetap memberikan dukungan dengan
cara menasehati serta pemberian obat yang teratur seperti
telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan hasil
wawancara dengan partisipan tersebut terlihat jelas bahwa
motivasi dibalik pemberian dukungan tersebut adalah
menjaga ketentraman di dalam keluarga mereka sendiri.
Menurut partisipan, pemberian obat adalah alternatif
pilihan yang sering diambil. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari konflik yang terjadi karena nasehat yang
sering diberikan oleh partisipan tidak diterima oleh
penderita.
Setiap upaya dan permasalahan yang terjadi dalam
keluarga partisipan, mengajarkan partisipan dan anggota
keluarganya yang lain untuk bersabar dan terus pasrah
kepada Tuhan dalam doa yang tidak pernah berhenti.
Namun dalam kondisi ini, partisipan mengaku tidak
jarang ia merasa jenuh dan marah ketika menghadapi
anaknya yang terbatas dalam beberapa hal tersebut.
Pada saat ini, penderita mulai menunjukkan
perkembangan yang lebih baik dari segi kognitif, afektif
dan konatif setelah menjalani masa perawatan. Hal ini
ditunjukkan dengan berkurangnya reaksi emosi marah,
serta meningkatnya kemampuan untuk dapat melakukan
beberapa pekerjaan rumah yang ringan, seperti
membersihkan rumah dan membantu menjaga warung
yang dimiliki keluarganya.
2. Partisipan 2
a. Gambaran umum partisipan 2
Nama : A
TTL : 31 Mei 1977
Usia : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan Terakhir : SMA
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
A adalah anak ke 3 dari 4 bersaudara. Pada saat ini, A
tinggal bersama istri dan anaknya yang pertama. Sedangkan
anak kedua A tinggal bersama mertua A di Kota
Purwokerto. Ayah A adalah seorang pensiunan guru, yang
kesehariannya menyibukkan diri di ladang. Sementara Ibu
A, yang benama S adalah seorang penderita skizofrenia
yang pada saat ini sedang menjalani masa pasca perawatan
di rumah dan tidak memiliki pekerjaan. Sementara itu,
partisipan sehari-hari bekerja sebagai agen di salah satu
surat kabar yang ada di daerah Boyolali. Istri A juga
membantu A dalam menekuni pekerjaannya tersebut.
Partisipan menyelesaikan pendidikan SMAnya di
Boyolali. Kemudian ia merantau ke Jakarta, dan bekerja di
beberapa perusahaan swasta sekitar tahun 1996 hingga
2008. Setelah itu, partisipan melanjutkan perantauannya ke
Purwokerto dan menetap di sana selama kurang lebih 2
tahun.
Saat ini A memutuskan tinggal di daerah Boyolali
dengan alasan karena kedua orang tuanya hanya hidup
berdua saja dan usia mereka yang telah lanjut. Selain itu, A
juga mempertimbangkan kondisi ibunya yang sering
kambuh dan harus beberapa kali dimasukkan ke RSJ atau
Panti rehabilitasi Mental. Keputusan partisipan ini
didukung oleh istrinya, sehingga mereka juga memilih
tempat tinggal yang bersebelahan dengan rumah orang
tuanya. Hal ini untuk memudahkan A dalam mengontrol
konsumsi obat untuk ibunya dan juga menjaga ibunya
ketika ibunya mulai menunjukkan gejala yang aneh.
Hingga saat ini A masih membawa ibunya untuk
melakukan kontrol rutin dan mengkonsumsi obat yang
diberikan oleh psikiater terdekat.
b. Laporan observasi selama wawancara
Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 17
Desember 2012, pukul 10.18-11.48 WIB. Pada saat itu
peneliti dan partisipan telah mengadakan kesepakatan
mengenai jadwal wawancara melalui telepon. Saat peneliti
tiba di rumah partisipan, partisipan sedang duduk di teras
depan rumah, sambil membereskan beberapa surat kabar
yang menumpuk di bawah salah satu meja yang berada di
teras rumah tersebut.
Pada saat kedatangan peneliti ke rumahnya, partisipan
menyambut peneliti dengan ramah dan mempersilahkan
peneliti duduk di teras tersebut. Karena kondisi rumah dan
beberapa pertimbangan akhirnya partisipan meminta
kesediaan peneliti untuk melakukan wawancara di teras
depan rumah tersebut. Hal ini disetujui oleh peneliti dan
akhirnya wawancara tersebut dilakukan.
Wawancara yang berlangsung lebih dari satu jam ini,
berjalan dengan baik, dan partisipan menjawab pertanyaan
demi pertanyaan dengan jelas. Belum lama wawancara
berlangsung, ayah partisipan tiba-tiba keluar dari rumahnya
dan kemudian melihat peneliti bersama partisipan sedang
berbicara di depan rumah. Ayah partisipan mendatangi
peneliti dan partisipan serta menanyakan beberapa
pertanyaan kepada peneliti, termasuk tujuan kedatangan
peneliti. Setelah itu, ayah partisipan duduk dan sesekali ikut
menjawab pertanyaan yang ditujukan peneliti kepada
partisipan.
Beberapa saat setelah wawancara dilakukan, istri
partisipan membawa minuman untuk kami bertiga dan
mempersilahkan kami untuk meminumnya. Setelah itu
partisipan tiba-tiba mengirimkan pesan ke telepon genggam
peneliti yang berisi permintaan kepada peneliti untuk
bersabar karena ada beberapa hal yang ingin disampaikan
partisipan kepada peneliti apabila ayahnya telah pergi. Hal
ini dimaksudkannya agar tidak menyinggung perasaan
ayahnya. Akhirnya hal tersebut disetujui oleh peneliti.
Beberapa saat kemudian ayah partisipan memohon diri
kepada peneliti untuk pergi beribadah di mesjid, dan
kemudian meninggalkan peneliti bersama partisipan.
Setelah ayahnya pergi ada beberapa hal yang disampaikan
partisipan kepada peneliti terkait hubungan ayahnya dengan
ibunya yang menderita skizofrenia. Menurut partisipan,
salah satu penyebab ibunya kambuh adalah karena tekanan
yang diberikan oleh ayahnya sendiri. Inilah sebabnya
partisipan tidak ingin membicarakan hal ini di depan
ayahnya.
Setelah beberapa pertanyaan di berikan kepada
partisipan, peneliti akhirnya memutuskan untuk mengakhiri
karena cuaca hujan dan suara partisipan mulai tidak
terdengar, mengingat tempat pada saat dilangsungkan
wawancara adalah teras depan rumah yang langsung
terhubung dengan halaman rumah yang terbuka. Setelah
mengakhiri wawancara tersebut partisipan dan juga peneliti
melanjutkan pembicaraan seputar aktivitas partisipan
sehari-hari. Hal ini tidak direkam oleh peneliti karena
keadaan yang tidak memungkinkan serta tidak ada
informasi yang terkait dengan topik penelitian ini.
Wawancara kedua dilakukan pada hari Sabtu, 16
Febuari 2013 di kediaman partisipan, yang berada di daerah
Kabupaten Boyolali. Pada saat peneliti datang ke rumah
partisipan, partisipan tidak berada di rumah. Akhirnya
peneliti menunggu sekitar 10 menit di teras depan rumah
partisipan. Setelah kira-kira 10 menit menunggu, partisipan
bersama anaknya datang dengan menggunakan sepeda
motor. Partisipan meminta maaf kepada peneliti karena
membuat peneliti menunggunya yang sedang menjemput
anaknya dari sekolah. Setelah itu peneliti dipersilahkan
duduk di teras depan rumahnya. Wawancara kedua ini
berlangsung selama kurang lebih 40 menit dengan posisi
duduk berhadapan.
Selama wawancara, partisipan kembali menjawab
setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dengan baik
dan seolah-olah tidak ingin menyembunyikan setiap hal
yang ditanyakan. Hal ini dapat dilihat dari keterbukaan
partisipan dalam menceritakan masalah yang terjadi di
dalam keluarganya, termasuk di antaranya masalah ayah
dan ibunya. Ia juga menegaskan agar ayahnya jangan
sampai mengetahui cerita ini karena takut menyinggung
perasaan ayahnya.
Selain itu, partisipan juga menunjukkan sikap tenang
dalam mengungkapkan perasaannya ketika harus
bertanggung jawab lebih daripada saudara-saudaranya yang
lain dalam merawat ibunya yang sakit. Setelah memberikan
beberapa pertanyaan dan peneliti merasa cukup dengan
cerita partisipan, akhirnya peneliti memohon diri untuk
pulang.
c. Analisis verbatim
Analisis verbatim P2W1
Makna Verbatim
Lama ibu sakit serta
jumlah masuk dan keluar
RSJ adalah 10 kali sejak
awal sakit hingga saat ini.
Aku tuh SD kelas 2. Sampai
sekarang saya udah usia 36
tahun. Dari kecil itu udah
keluar masuk rumah sakit
jiwa sampai sekarang udah
sekitar 10 kali (P2W1 3-6)
P mempertimbangkan
tempat perawatan lain
yang lebih baik bagi
penderita.
Kita itu pertimbangannya
gini, Solo itu apa yah kalo
lansia itu pasien harus ada
yang nunggu, ada keluarga
yang menjaga. Padahal
kayaknya sih kalo kita
pertimbanginkan misalkan
ditungguin terus selalu ingat
rumah terus gitu loh. (P2W1
15-18)
P menemukan tempat
perawatan yang baik,
yang terletak di dekat
rumahnya.
Karena kalau disinikan
pengobatannya benar-benar
apa, pokoknya pikirannya
biar benar-benar istirahat
gitu. Makanya kita bawa
sini, lagian disini juga dekat
kan? Jadi kita putusin di sini
aja (P2W1 25-29)
Faktor keturunan diduga
oleh keluarga P sebagai
penyebab penting dari
munculnya penyakit.
Awal bisa kejadian kayak
gitu keturunan. Saudara-
saudaranya juga ada yang
begitu. Dari berapa saudara
itu hampir semua itu pernah
jalani pengobatan. (P2W1
31-33)
P memiliki pemahaman Bapak tuh masih mikirnya
yang berbeda dengan
ayahnya terkait faktor
keturunan sebagai
penyebab sakit ibu.
keturunan, nah kalo menurut
saya keluarga dari ibu itu
mentalnya lemah gitu.
(P2W1 36-37)
Beban pikiran mengenai
kesibukan suami yang
berdampak pada
kurangnya waktu bersama
untuk mengasuh ke empat
anak mereka.
Misalnya pikiran sedikit,
malah dipikir serius gitu loh.
Begitu, jadi pikirannya yah
itu terus. Mungkin gini
kepikiran terlalu sibuknya.
Dulu kitakan anak berempat
ini jaraknya ga jauh. Aku
sama adekku kan hanya 1,5
tahun. Terus kakakku sama
yang nomor 2 itu begitu
juga. (P2W1 39-44)
Persepsi P mengenai
faktor penyebab ibu sakit,
yaitu karena ada beban
pikiran mengenai
kesibukan dari ayah atau
suami penderita.
Ibu mungkin kerepotan.
Bapak kan juga dulu ngajar,
PNS kan, jadi sibuk, jadi
wuah pikirannya kacau
mungkin. Kalau ada yang
dipikir berat terus yaudah
sakit lagi (P2W1 45-47)
Kebingungan P terkait hal
yang menjadi beban
pikiran penderita selain
kerepotan mengurus anak
Iya, kemungkinan begitu.
Cuma setelah inipun masih
kayak gitu. Kan anak udah
pada nikah-nikah udah pada
seorang diri. mandiri, tapi sekarang itu
ternyata ada kepikiran
apalagi gitu loh yang buat
ibu langsung drop (P2W1
49-53)
Oleh karena keadaan
ekonomi bukan sebagai
beban, P merasa bingung
apa yang sebenarnya
dipikirkan oleh ibu.
Yah kita sih ga itu, apa yah
pikirannya ibu tuh
pengennya apa, pengen apa.
Kalau secara ekonomi sih
ga. Kan bingung juga
mikirin apa? Kalau ada
sesuatu itu kayaknya dipikir
terus tapi ga terus terang gitu
loh. Ga di omongin (P2W1
56-59)
P berusaha untuk
memenuhi apa yang
menjadi keinginan ibu.
Kemarin sempat dia kangen
sama cucu-cucunya. Yah pas
liburan, akhirnya aku telpon
ke kakakku yang di
Purwokerto minta liburan ke
sini, cucu-cucunya. (P2W1
61-64)
P menyadari bahwa
dukungan yang diberikan
kepada penderita tidak
banyak membantu
Yah senang sih senang,
cuma yah kondisinya yah
memang begitu. Ga begitu
membantu banget. Yah
penderita. membantu sedikit, paling
kondisinya gitu lagi.
Makanya aku bingung ini
mikirin apa gitu loh? (P2W1
67-70)
Gejala yang muncul
adalah berbicara sendiri,
tanpa ada lawan bicara,
mendengar bisikan, serta
reaksi emosi marah.
Kalau udah nunjukin gejala
gitu yah biasanya ngobrol
sendiri gitu loh. Yah
katanya ada bisikan-bisikan,
seolah-olah ada lawan bicara
gitu. Teruskan inikan udah
mulai gejalanya itu gampang
marah-marah (P2W1 72-77)
P bertindak tegas
terhadap ibu, terkait
kedisiplinan dan
kepatuhan mengkonsumsi
obat.
Iya juga sih, yah biasanya
kayak ginikan jadwalnya
minum obat itu memang
harus dikerasin juga,
maksudnya pokoknya kalo
ga minum obat, nanti
mondok lagi loh bu, kadang
ya saya yang tegasin juga.
(P2W1 80-83)
Kesadaran penderita
untuk mengonsumsi obat
secara mandiri dan teratur.
Piye yah, waktu kemarin-
kemarin tuh, sebelum tahun
2011 itu seolah nyadari
waktunya minum obat,
bilang ke bapak obatnya
udah mau habis. Kapan
kontrol kesana? Itukan
nyadarin gitu. Cuma kemarin
sempat kontrol sama dokter
A itu cuma sekali (P2W1 85-
88)
Adanya diskusi yang
dilakukan dengan dokter
terkait perkembangan dan
kepatuhan ibu dalam
mengkonsumsi obat.
Cuma kemarin itukan aku
juga ngatur sama dokter A.
Dok kayaknya ibu nih bosan
minum obatnya, sekarang
sekali makan 5 butir pil kan,
terus sehari 3 kali. Inikan
bosan (P2W1 89-91)
Penderita tidak ingin
melakukan kontrol,
karena memiliki konflik
atau salah paham dengan
pihak rumah sakit.
Disanakan ada kesalahan
gitu dikiranya kayak
dimarahin atau apa gitu, abis
itu ga mau kontrol ke sana.
Yah mungkin disalah-salahin
sama pihak sana. Setelah itu
yah ga mau kontrol lagi
(P2W1 97-100)
P merasa kedekatan jarak
tempat tinggal dengan
penderita akan membuat
penderita merasa senang.
Tahun 2008, kan saya
mikirnya seorang ibu kalau
dekat dengan anak, dekat
dengan cucunya bisa lebih
senang (P2W1 106-107)
Adanya usaha suami
untuk menenangkan
pikiran dari istri,
walaupun usaha tersebut
kurang menunjukkan hasil
yang diharapkan.
Bapak tuh kalau abis kontrol
bawa ke mall atau swalayan
biar pikirnya ibu bisa agak
baik. Kalo ke mall-mall gitu
yah tetap ga bisa ngobatin
ya. (P2W1 107-109)
Biaya perawatan di panti
tidak dianggap sebagai
beban.
Kalau di panti ringan jadi ga
masalah, rawat inap sebulan
cuma 1,5 juta (P2W1 114-
115)
Dalam keadaan „normal‟
(tidak sedang kambuh),
penderita mampu
melakukan pekerjaan
rumah tangga.
Ibu tuh biasa sih kalau
misalkan waktu apa yah
normal gitu loh, waktu sehat
gitu loh, yah masak, nyuci,
yah biasa. (P2W1 117-118)
Usaha P untuk
memasukkan penderita ke
panti, apabila sudah
dianggap parah.
Kalau misalkan lagi parah
baru dimasukan ke sana, ke
panti. (P2W1 118-119)
Perilaku yang ditunjukkan
penderita dalam beberapa
hal seperti; tidak
mementingkan kebersihan
diri sendiri, mempunyai
kebiasaan keluar rumah
Yah tengah malam sering
keluar, dulu itu waktu saya
masih ingat, saya kecil itu,
wah mandi ga pernah, kalau
mandi itu harus dipaksa
sama bapak. Terus sama
pada tengah malam, dan
menunjukkan ekspresi
marah kepada orang yang
tidak disenangi olehnya.
orang yang misalnya kan di
pikirannya ibu itu dia itu ga
senang gitu, wah kayaknya
langsung diomelin atau
diapain gitu. (P2W1 122-
126)
Kekambuhan penderita
mengganggu kenyamanan
tetangga
Kalau misalnya ibu udah
mengganggu tetangga dan
orang lain gitu . (P2W1 129-
130)
Usaha P dalam
menyenangkan hati
ibunya.
Yah kayak aku sih, kemarin
itu ibu minta ketemu
cucunya, saya telpon ke
kakakku, anaknya kalau
liburan bawa kesini. Intinya
supaya nyenangin hatinya
gitu (P2W1 133-135)
Dukungan keluarga dalam
membawa penderita untuk
berobat.
Yah aku menemani ibu bawa
ke tempat berobat (P2W1
138)
Inisiatif P untuk
mengajak ibunya
berkomunikasi, untuk
mengalihkan perhatian ibu
dari mendengar bisikan-
bisikan dan terfokus pada
Yah kalau aku sih misalkan
ibu lagi diam aku nanya bu
kenapa bu? Biar ga ada itu,
ngindarin ini aja, kayak
misalkan ada bisikan atau
apa gitukan biar terfokus
komunikasi dengan diri P. dengan kita ngobrol. (P2W1
143-145)
Ketidakpatuhan penderita
dalam mengonsumsi obat.
Yah itu, ibu tuh susah
minum obat, keras banget.
(P2W1 151)
P menjadi orang yang
signifikan dalam hidup
penderita karena hanya
dengan P, penderita
menunjukkan kepatuhan
dalam mengonsumsi obat.
Kemarin itu sampai awal-
awal itukan yang harus
nyiapin obat itukan aku.
Sama yang lain itu ga mau.
Sama bapak, sama kakakku
yang itu malah marah-
marah. Itu kalau sama aku
kan aku jelasin, ibu ini obat
minum dulu. Yah kita sih
bukan berani sama ibu, cuma
kayak ada penekanan gitu
loh maksudnya (P2W1 156-
160)
Kepatuhan penderita
untuk mengonsumsi obat
tidak tetap.
Yah harus disiapin, yah dulu
sih sebelum waktu apa yah,
sebelum tahun 2010 itu, ibu
bisa nyiapin sendiri, yah kita
cuma ingatin. (P2W1 163-
165)
Penderita tidak ingin
mengonsumsi obat yang
Yah kemarin itu kan obat
yang penenang yang orange
tidak ia senangi. itu kan dia kalo udah minum
malah tidur. Akhirnya dia ga
mau. Wah diumpetin obat
yang itu, soalnya ga mau
yang itu. (P2W1 166-168)
Semula P merasa minder
karena kondisi ibunya,
tetapi kini P
mengupayakan kondisi
ibu
Takut sih ga kalo ibu marah-
marah atau apa cuma waktu
kelas 2 SD kalau ibu kayak
gitu yah saya minder juga
kan. Cuma kalau sekarang
udah ga. Udah terbiasa dan
menyadari sih sekarang kan
saya mikirnya tindakan kita
bisa bantu apa, kok sampai
tua kayak gitu terus. (P2W1
170-174)
Adanya pengertian baik
dari pihak keluarga
maupun pihak tetangga,
apabila kondisi mental ibu
menyebabkan ibu
menunjukkan perilaku
yang berbeda dari
biasanya.
Yah kadang kalau ada
masalah yah dimengerti.
Kalau kondisi mentalnya
kayak gitukan dia sering
bagi-bagi uang gitu. Bapak
kan sering ngasih tiap bulan
500 ribu ke ibu. Tau-tau
nanti dikasih kan ke
tetangga-tetangga, tapi kan
tetangga pada ngerti
kondisinya kayak gitu, nanti
hubungi aku katanya ibu
ngasih uang, ngasih beras
kadang juga ngasih jagung.
Tapi dibalikin, tapi ibu
jangan sampai tahu lah, nah
tetangga-tetangga juga pada
ngerti gitu. Jadi diterima
cuma nanti dibalikin waktu
ga ketahuan ibu (P2W1 176-
184)
Suami penderita menjadi
sasaran penderita untuk
mengekspresikan
kemarahannya.
Yah udah biasa, kalau ibu
kambuh itu malah yang di
marah-marahin itu bapak.
(P2W1 187-189)
P mampu menjadi
penengah antara kedua
orang tuanya jika terjadi
perselisihan.
Tapi ya selama aku disini
bapak lebih tenang. Karena
biasa bapak laporin ke saya
kalau ibu marah (P2W1 189-
190)
Dukungan yang diberikan
ketika penderita kambuh
adalah dengan menasehati
penderita.
Misalkan marah-marahnya
depan umum gitu yah, dulu
waktu pas panen gitu kan
wah marah-marah, yah saya
bawa ibu masuk, kalo ga
saya ngomong bu ga boleh
kayak gitu (P2W1 193-195)
P berperan penting dalam
pengobatan ibu, karena
hanya jika bersama P, ibu
mempunyai kemauan
untuk berobat.
Kemarin itu misalnya di
bawa berobat yah ga ada aku
yah susah banget. Kalau
sama aku kan aku bilang bu,
ibukan ga pernah kontrol,
minum obat juga ga pernah
makanya ayo sama aku
kontrol ke sana. Ya ibu ikut,
mau dia. Kalau sama bapak
pasti ga mau, marah-marah.
(P2W1 195-200)
Di antara anak-anak
penderita, hanya P yang
mampu membujuk
penderita untuk
mengkonsumsi obat
secara teratur.
Ga tau juga, kalau sama anak
yang lain juga agak jauh,
saya ga tau apakah sama
anak lain nurut atau ga.
Soalkan kemarin kayak
kakakku yang di Sragen itu
kayak mau nyiapin obat gitu
aja malah marah-marah gitu
loh. Terus saya ambil alih,
ini ibu, pokoknya harus
minum obat. Kalau ga
minum obat nanti saya bawa
nginap lagi disana. Ya mau.
Saya ga marah cuma kasih
penekanan sama ibu. (P2W1
204-210)
Ada trauma tersendiri
bagi salah satu anak
penderita, karena
pengalaman masa kecil
ketika melihat perlakuan
pihak rumah sakit
terhadap ibu.
Mungkin kakakku yang di
Purwokerto kalo misalkan
proses dari sini diajak ke
rumah sakit itu ga berani.
Mungkin trauma dari kecil
kayak wuah ibu dipaksa-
paksa sampai harus ditarik-
tarik diseret-seret gitu kan ga
tega kakak saya. (P2W1
213-216)
Dukungan yang diberikan
adalah dengan cara
menemani penderita
berobat.
Aku juga terlibat kayak gini,
dari kecil ngantar sih aku
pernah juga ikut, cuma
hanya ikut aja. Sekarang ini
baru 3 kali aku bawa ibu
sendiri kontrol, maunya yang
nemanin aku (P2W1 217-
220)
P berperan dalam
memberikan nesehat
kepada anggota keluarga
yang lain terkait
penerimaan mereka
terhadap kondisi ibu yang
Waktu di Solo kemarin kan
semua saudara ngantar ke
sana, pada ga kuat gitu loh,
pada sedih. Aku juga harus
nenangin saudara-saudaraku.
Aku bilang sama mereka
harus dirawat di rumah
sakit.
udah kan intinya kita ga
sanggup nangani ibu, kalau
disinikan ada ahlinya, niat
kita baik biar bisa nenangin
ibu dulu (P2W1 220-224)
P melakukan konsultasi
dengan pihak panti dan
meminta pertimbangan
anggota keluarga yang
lain, jika ingin menitipkan
ibu ke panti rehabilitasi.
Yah kalau mau dititipin ke
sana panti atau apa saya
nelpon kakak saya. Itu
gimana ibu udah kayak gini,
aku udah konsultasi sama
dokter dan solusinya ya
nginap dulu. Yaudah sana
kata kakakku. Mereka udah
mempercayakan aku. (P2W1
226-229)
Peran anggota keluarga
lain dalam memenuhi
biaya pengobatan ibu.
Cuma disana tuh paling
kayak kakak-kakakku yang
lain itu misalkan butuh biaya
ngomong aja berapa (P2W1
229-231)
Ayah P berusaha
membiayai seluruh
pengobatan ibu dan
memiliki kecenderungan
untuk tidak menerima
bantuan biaya dari anak-
Cuma bapak ini kan selalu
bilang udah, bisa sanggup.
Cukup uangnya gitu. Iya,
saya merasa bapak mikir ibu
tuh masih tanggungannya
bapak, jadi harus dia yang
anaknya. biayai, padahal anak-anak yo
siap kalau mau bantu.
(P2W1 231-236)
Kebingungan P karena
ibunya lebih sering
mengekspresikan
perasaan marah kepada
ayahnya
Selain itu juga saya bingung
kenapa yang paling dibenci
itu yah bapak? Kalau sama
bapak yah marah-marah
terus. (P2W1 236-238)
Salah satu beban pikiran
ibu adalah kurangnya
waktu bapak di rumah.
Lah ibu itu kalau misal kan
bapak pergi-pergi gitu agak
apa ya, mungkin ada beban
pikiran. (P2W1 242-244)
P menasehati ayahnya
untuk memprioritaskan
keluarga.
Awalnya aku bilang bapak
nih gimana, dikurangi udah
tua mbo yang seperlunya aja
organisasinya. Ga lupa sama
keluarga, keluarga itu kan
bukan cuma ekonomi toh
dipenuhi, juga perhatian-
perhatian gitu kan (P2W1
244-247)
P menyadari dan
menghargai kesibukan
ayah untuk menenangkan
diri dengan mencari
kesibukan di luar rumah.
Cuma sekarang kan aku juga
menghargai, mungkin bapak
nenangin diri dengan cara
gitu. Sekarang ini aku ya
lama-lama nyadarin bapak
itu sekarang tenangnya
memang kayak gitu. Dengan
kegiatan, misal kah ngumpul
sama teman untuk ga jenuh
di rumah (P2W1 248-252)
Perubahan perilaku P
dalam mendukung
kegiatan ayah selama hal
tersebut berdampak positif
bagi kehidupan ayahnya.
Yah aku sempat keras sama
bapak, maksudnya keras itu
yah aku cuma ngasih
masukan, hidup itu kan ga
cuma kayak gini, gitu, tapi
yah lama-lama aku mikir
mungkin kepuasan bapak
emang disini. Takutnya aku
disini malah bapak dapat
tekanan. Yah sekarang, kira-
kira kalau bapak bisa jalani
enjoy, yah saya dukung
(P2W1 254-259)
P merasa bingung
menangani pemikiran
negatif ibu terhadap ayah
yang jarang berada di
rumah.
Sekarang tinggal buat ibu
ngerti aja, supaya pikiran ibu
ya yang dikerjakan bapak itu
ga negatif. Itu gimana
supaya anggap kegiatan
bapak tuh juga sebenarnya
positif gitu loh? Saya kan
juga bingung. (P2W1 259-
262)
Salah satu beban pikiran
penderita adalah kurang
tersedianya waktu suami
berada di rumah.
Soalnya sampai saat ini
pikiran ibu kayak gitu.
Bapak keluar terus kegiatan
ini itu. Mungkin ini juga
salah satu pikiran ibu (P2W1
262-264)
Dua faktor penyebab ibu
sakit, menurut P adalah
faktor keturunan dan
beban pikiran.
Tapi bapak mikirnya ibu tuh
sakit karena keturunan.
Mungkin keturunan emang
faktor juga, terus yah
kemungkinan bapak ini
pergi-pergi nambah pikiran
ibu juga. (P2W1 264-266)
Usaha ayah untuk
menghindarkan ibu dari
kebiasaan melamunnya
jika berada sendiri di
rumah adalah dengan
membangun toko bagi
ibu.
Yah bapak buka toko
klontong kontrak biar ibu itu
ada kegiatan selama 3
tahunan di depan sana. Buat
kesibukan ibulah, ga di
rumah melamun terus.
(P2W1 268-270)
P merasa kebingungan
melihat perasaan benci
yang ditunjukkan ibu
kepada ayahnya, juga
kerenggangan hubungan
Ya ini saya juga bingung
kenapa yang paling dibenci
sama ibu itu yah bapak yah.
Bapak itu kan sama anak-
anak yang lain itu ga dekat.
ayah dengan saudara-
saudara P yang lain.
Soalnya kayak saudara yang
di Purwokerto itu tuh
ngomong sama bapak itu
ngomongnya seperlunya aja,
kalo ga ada yang mau
diomongin yah ga ngomong.
(P2W1 275-279)
Kesibukan ayah P
membuatnya jarang
berada di rumah dan hal
ini merupakan pengalihan
perasaan ayahnya yang
tidak nyaman berada di
rumah.
Soalnya bapak itu kan
senengannya piknik kemana-
kemana gitu loh, pergi,
kegiatan-kegiatan organisasi,
sibuknya minta ampun. Jadi
acara itu banyak, malam itu
sering pergi ke tempat
temannya gitu. Yah cuma
ngobrol seadanya. Kalau
ditanyai alasannya hiburan
daripada di rumah (P2W1
280-284)
Ada perubahan perilaku P
dalam menghadapi
kebiasaan ayahnya yang
sibuk dan jarang berada di
rumah.
Yah awalnya saya keras gitu,
tapi lama-lama yah bapak aja
keras ga mau mikir supaya
gimana. Yah aku sih
maklum pemikiran orang tua
itu kan mungkin kayak gitu.
Makanya kalo cerita itu kan
kemana-mana. Yah itu sih.
Aku sih udah nyadari, ya
udah lah bapak juga udah
tua. Cuma saya nasehatin
aja, supaya ga kecapean, bisa
ngurangi kegiatan (P2W1
284-290)
P berperan dalam menjaga
ibu terhadap tindakan
ayah yang bisa
memperburuk kondisi ibu.
Aku dulu sempat keras sama
bapak “pak, ibu itu tidur
karena pengaruh obat.
Diapa-apain juga tetap ga
bisa, aku sempat sampai
marah, tapi lama-lama
nyadari aku kok sama orang
tua kayak gini. Maksudnya
pokoknya missal kan sampai
secara teknis ibu sampai
ditekan bapak baru saya
nentang. (P2W1 294-299)
P membantu ayah
memahami bagaimana
sebaiknya bertindak
terhadap ibu.
Pokoknya jangan menekan
ibu harus ada kegiatan ini,
kegiatan itu. Takutnya ibu
itu kambuh, soalnya bukan
kemauan ibu sendiri, dari
bapak gitu loh. (P2W1 304-
306)
Gengsi dari ayah untuk
menerima bantuan dari
anak-anaknya dalam hal
perawatan ibu.
Itu kayak gengsi itu loh,
dibantu anak-anak juga ga
mau. Yah kita anak-anak
juga udah lah biarin gitu
(P2W1 307-309)
Pemenuhan kebutuhan
(material) menjadi
prioritas ayah.
Bapak itu ukurannya
ekonomi gitu loh. Jadi yang
dipikir pemenuhan secara
ekonomi, kalau pendekatan
secara batin itu yah susah
(P2W1 309-311)
P sering menerima
keluhan ibu mengenai
perlakuan ayah terhadap
dirinya.
Ibu sering cerita ke
saudaranya. Bapak itu
nekan, harus gini, harus gini.
Ibu sih juga pernah cerita ke
saya. Kalau misalnya jam 8
pagi bapak baru bangun trus
ibu masih tidur itu
dibangunin dimarah-marah,
kok malah tidur, dan itu kan
jadinya malah buat ibu
pikiran. (P2W1 314-318)
Analisis verbatim P2W2
Makna Verbatim
Pertimbangan P dalam
memindahkan pengobatan
ke panti daripada di RSJ
Solo.
Iya pertama di Solo, terus ke
panti, soalnya pertimbangan
kalau disanakan yang lanjut
usia harus ditungguin.
(P2W2 21-22)
Emosi yang mudah
ditunjukkan adalah marah-
marah.
Emosi naik, marah-marah
itu paling gampang (P2W2
24)
Sikap ibu yang sensitif,
misalnya menjadikan hal-
hal yang tidak diterimanya
sebagai beban pikiran
Biasanya ibu lakuin kalau
nggak cocok sama kita
karena omongin apa ke ibu,
trus ibu langsung kepikiran
trus (P2W2 26-27)
Perilaku berbicara sendiri
dengan benda mati.
Kadang sampai ngobrol
sama tembok, seolah-olah
ada bisikan gitu (P2W2 29-
30)
Ekspresi marah yang
ditunjukkan kepada orang
lain.
Kadang nggak kadang kles
sedikit kepikiran, kepikiran
nggak senang sama orang
itu karena ini-ini langsung
ketemu diomongin,
dimarah-marahin (P2W2
34-36)
Tetangga menunjukkan
sikap pengertian terhadap
Kalau sekarang sih mereka
diam aja. Dulu itu kalau
perilaku ibu yang
membagi-bagikan uang ke
tetangga.
nunjukin gejala kayak gitu
yah, misalnya kan bapak
ngasih uang tiap bulan ke
ibu, nah itu nanti dibagi-
bagikan ke tetangga, 50
begitu, kadang begitu ke
tetangga. Terus tetangga
sms aku, mas tolong ke
rumah. Mereka balikin tapi
ibu ga boleh tahu. (P2W2
42-46)
Tetangga menunjukkan
pengertian terhadap
kondisi ibu.
Kadang itu bungkusin beras,
kirim ke tetangga. Tapi
nanti dibalikin sama
mereka. Yah kan mereka
udah pada ngerti kan.
(P2W2 48-50)
Usaha P mengajak
keponakannya untuk
mengunjungi ibu, dengan
harapan ada perasaan
senang yang ibu rasakan
ketika berada dekat dengan
cucu-cucunya.
Maksudku itu kemarin kan
tak suruh datang, paling ga
ada merasakan apa gitu.
Dekat sama cucu itu supaya
ada perasaan senang gitu.
(P2W2 54-56)
Ketika parah, ibu kurang
mampu mengekspresikan
Kan kemarin pas liburan
aku suruh ke sini, tapi ibu
perasaan senang kepada
keluarga yang telah datang
mengunjunginya.
biasa-biasa aja. Mungkin
karena sudah terlalu parah
begitu. Cuma kemarin pas
udah sembuh itu, mereka ke
sini lagi. Ibu senang banget
(P2W2 57-59)
P berusaha mengobati rasa
kangen ibu terhadap cucu-
cucu ibu, sekaligus
mengajak mereka untuk
memberikan perhatian
kepada ibu.
Yah aku sih berharap, cucu-
cucunya itu juga ada
perhatian sama ibu, terus
kadang ibu juga kalau sama
cucu-cucu gitu kadang
kangen banget, jadi saya
ngobatin kangennya itu.
(P2W2 61-63)
P berperan signifikan
dalam mengontrol
konsumsi obat dari
penderita, sedangkan
saudara-saudaranya
memberikan perhatian
lewat bantuan biaya
perawatan.
Yang paling berani ingatin
obat kan cuma aku. Soalnya
kan yang disini aku. Terus
kakak-kakakku kan pada
bilang yah, pokoknya kalau
mereka disini jangan nyuruh
ibu minum obat. Terus
pokoknya kakak-kakakku
percaya sama aku, kalau ada
masalah dana, ngomong aja.
(P2W2 69-74)
P berkorban dalam Soalnya takut kan nanti
memberikan waktu dan
tenaga untuk terus
mengontrol konsumsi obat
penderita.
kalau kakak-kakakku pada
kesini kan terus nyuruh ibu
harus minum obat, malah
nanti tertekan. Ya udah
yang harus berkorban untuk
tetap kontrol obat ibu yah
aku (P2W2 74-77)
P melihat perubahan
penderita yang baik dalam
hal komunikasi.
Terus ibu juga udah bagus
ngobrolnya. (P2W2 77)
Perbedaan pengertian
tentang cara
menyembuhkan ibu
membuat cara P berbeda
dari ayahnya dalam
merawat ibu.
Cuma kemarin sih aku ga
cocok sama bapak. Bapak
itu kan kalau ibu itu udah
bisa kerja gini-gini gitu,
anggapan bapak itu oh ibu
udah sembuh gitu loh.
Misalnya kemarin sempat 3
hari ke tempat kakakku di
Sragen. Ke sana itu ga
minum obat. Padahal udah
tak pesan ke bapak obatnya
kalau pagi ini, kalau siang
ini, kalau malam ini.
kemarin sempat seminggu
ga minum obat kan. (P2W2
82-88)
Gejala yang ditunjukkan
ketika penderita tidak
patuh dalam
mengkonsumsi obat adalah
beraktivitas tanpa henti
hingga larut malam.
Baru semalam itu aku lihat
kayaknya ibu udah nunjukin
gejala nih. Semalam itu
udah malam banget terus
masih ngupasin kacang itu
loh. Udah jam 12an itu. Itu
aku masih di depan
komputer, terus tak
perhatikan, abis itu saya
suruh ibu istirahat dulu bu.
Oh yah itu kayaknya udah
seminggu ga minum obat,
jadi udah tak ambilin, terus
aku kasih minum (P2W2
88-95)
P merasa bingung
menghadapi
ketidakmampuan ibu
untuk mematuhi aturan
pengobatan.
Iya, makanya aku ini agak
bingung soalnya ibu belum
bisa merasakan gini loh :
aku kalau aku ga minum
obat itu bisa kambuh gitu
loh. Jadi ga bisa ngerasain
aku tuh sakit, dan masih
dalam pengobatan (P2W2
97-100)
P memberanikan diri
untuk memberikan
Kan ada karyawan yang
kerja di sawah sana terus
beberapa nasehat kepada
ayah, agar dapat mengerti
keadaan ibu yang sedang
sakit dan menjaga agar ibu
tidak kambuh lagi.
bapak suruh ibu siap-siapin
makan kirim ke sawah.
Terus saya bilang bapak, ibu
lagi tidur, lagi minum obat.
Udah pokoknya missal kan
bisa beli diwarung, beli aja
pa. Kalau aku sama bapak
yah udah agak berani kalau
hal ini. Soalnya aku takut
ibu balik lagi kayak
kemarin. (P2W2 101-107)
Gejala yang ditunjukkan
ketika tidak
mengkonsumsi obat adalah
berbicara sendiri serta
beraktivitas hingga larut
malam.
Aktivitasinya. Kalau ga
minum obat itu kayaknya ga
ada cape gitu loh. Pokoknya
kerja terus. Terus kalau
misalnya ga ada obat,
ngomong sendiri, ada
teman bicaranya (P2W2
110-112)
Ayah tidak berani dalam
menyarankan penderita
untuk mengkonsumsi obat.
Iya udah nanya. Jadi pas di
Sragen itu kan bapak itu ga
berani menyuruh ibu.
(P2W2 114-115)
Adanya perasaan malu
penderita karena sakit
yang dideritanya membuat
Terus ibu sendiri kalau di
Sragen itu kalau ada obat
masih ada rasa malu gitu
penderita tidak mau
mengkonsumsi obat yang
ada.
minum obat, karena pikir
udah sembuh gitu loh.
Kalau bapak ingatin lagi,
kadang ibu marah. (P2W2
115-117)
Sikap tegas dalam
memerintahkan penderita
untuk mengkonsumsi obat.
Makanya kemarin aku sama
ibu agak tegas, soalnya
obatnya harus diminum.
(P2W2 118-119)
Perasaan senang bapak
ketika melihat ada
perubahan yang baik
dalam perilaku ibu di
rumah.
Yah saking senang itu, ibu
udah agak baikkan. Ibu
udah mau ngerjain ini itu,
kayak kegiatan normal gitu
lah (P2W2 128-129)
Nasehat P kepada ayahnya
untuk ikut menjaga dan
mengontrol konsumsi obat
penderita.
Aku cuma bilang yah itu
baik pak, tapi yang
pentingkan kita jaga
obatnya. Kalau ga bisa jaga
obatnya bisa kambuh lagi.
(P2W2 129-131)
Salah satu perilaku
ketidakpatuhan dalam
mengonsumsi obat yang
ditunjukkan penderita.
Misalnya harus minum obat,
yah tak tunggui. Soalnya
dulu pernah bilang udah
diminum, tapi masukin ke
kantong, terus dibuang.
(P2W2 138-140)
P memikirkan alternatif
jenis obat lain yang dapat
dikonsumsi oleh penderita.
Maksudnya kalau obat tetes
itu bisa ngurangi reaksinya
itu loh, misalnya rutinitas
itu. Maksud saya kalau telat
obat sehari ga masalah gitu.
Tapi aku belum ketemu
dokter A lagi sih. Tapi
bapak sih udah dukung
(P2W2 147-149)
Pengobatan dengan cara
menggunakan obat tetes,
menjadi salah satu
alternatif yang ingin
digunakan oleh P.
Pokoknya kalau sebisa
mungkin bisa diusahakan
untuk ngurangi obat, dan
dengan tetes itu ibu lebih
baik, saya bisa konsen ke
kerjaan, dan untuk masalah
biaya gampang. (P2W2 151-
153)
Dokter terus mengontrol
perkembangan pasien.
Yah pertama sih biasanya,
aku sama ibu, ibu disuruh
duduk di luar, terus dokter
nanyain perkembangan ibu
bagaimana (P2W2 158-159)
Peran dokter dalam
menyuruh pasien untuk
melakukan kontrol rutin
dan juga pemberian
Yah gitu sih, ibu disuruh
tiap bulan kontrol, cek
tensinya. Maksudnya sama
lihat perkembangan ibu.
nasehat terkait apa yang
harus diakukan keluarga
pada saat merawat
penderita di rumah.
Terus itu sih, kalau pas
siang diajak kegiatan apa,
jadi jangan sampai ibu
sendiri terus pikirannya ke
mana-mana, melamun gitu.
(P2W2 166-169)
Inisiatif P untuk menolong
ibu agar tidak mendengar
bisikan-bisikan ketika
sedang tidur sendirian di
dalam kamar.
Makanya kadang paling
kalau misalnya aku lagi
kerja, terus ibu umpamanya
tiduran gitu, aku stelin
radio. Yah missal kan ibu
kalau melamun gitu kan, dia
bisa dengar ada suara radio,
jadi dia dengar suara radio
itu, ga dengar bisikan atau
apa. Itu sih inisiatifku saja.
(P2W2 169-173)
Perpindahan lokasi tempat
tinggal dilakukan P untuk
kepentingan atau kebaikan
ibu.
Yah pernah sempat main ke
rumahku yang dulu. Terus
saya lihat ada gejala-gejala
ga baik sama ibu, akhirnya
aku putuskan buka cabang
di Boyolali ajalah. Di sana
aku tinggalin, yah
pertimbangannya, disini ga
ada orang. Cuma bapak ibu
doang. (P2W2 187-190)
Dukungan yang diberikan
ketika kambuh adalah
dengan membawa
penderita ke RSJ.
Yah saya perhatikan itu, ibu
udah parah. Jadi saya bawa
ke Solo (P2W2 193)
Tingkat keparahan ibu
dapat diprediksi oleh P
dari perilaku marah dan
memukul ayah, marah
terhadap tetangga, serta
adanya aktivitas yang
terus-menerus sampai
tengah malam.
Parahnya itu yah, sama
bapak yah udah marah-
marah, kalau mukul ya
mukul beneran. Waktu itu
juga mengganggu orang
lain, marah-marah sama
orang. Terus kalau malam
beraktivitas sampai tengah
malam jam 3, kayak
ngerjain apa aja gitu, terus
ke jalan. (P2W2 195-199)
Inisiatif P mencari
informasi tentang tempat
perawatan untuk penderita
yang letaknya dekat
dengan rumah.
Akhirnya terus aku nanya-
nanya, setelah itu tahu ada
panti dekat rumah, jadi saya
konsultasi ke situ kan.
Disini juga biaya di luar
obat itu satu juta lima ratus,
kalau di Solo itu gratis,
karena pakai askes. Cuma
pertimbangannya kalau
disana harus di tunggui
sama keluarga, jadi kita
repot bolak-baliknya, jadi
mending di sini aja. (P2W2
202-207)
Dukungan yang diberikan
anggota keluarga lain
adalah dalam bentuk
bantuan biaya perawatan.
Kakak supportnya lebih
kayak dana. Hanya kalau
kontrol juga ga sampai 200
jadi ga begitu mahal. (P2W2
210-211)
Adanya keyakinan P
dalam mendapatkan pahala
karena keikhlasannya
dalam merawat orang
tuanya.
Oh ga beban. Kalau aku sih
dalam keyakinan kita,
kepercayaan itu apapun
yang kita perbuat untuk
orang tua, pasti ada baiknya,
pasti ada balasan dari Allah
kalau kita ikhlas. (P2W2
218-220)
Cara yang diusahakan P
agar ibunya mau
mengonsumsi obat.
Yah tak bohongin gitu aja,
ada petugas yang mau
jemput, supaya ibu itu juga
mau minum obat. Soalnya
kalau begitu saya juga
bingung. Ya udah lah
gimana caranya saya supaya
ibu mau, termasuk bohongi
juga ga papa lah. (P2W2
228-232)
P menyesali bahwa dia
kadangkala bertindak
keras terhadap ibunya.
Yah sempat juga. Lelah itu,
yah lelah pikiran itu. Ini kok
ibu sampai harus aku bentak
gitu untuk minum obat,
terus nekan ibu juga.
Kayaknya aku ni jahat
banget. Kadang beban
karena harus bentak ibu,
tapi tujuanku baik gitu loh.
Jadinya secara pikiran itu
lelah juga.. (P2W2 235-238)
P tidak merasa terbebani
karena masalah waktu dan
tenaga yang harus
dikorbankan.
Kalau untuk tenaga dan
waktu sih ga begitu. Masih
ga masalah lah, masih bisa
di atasi (P2W2 239-240)
Kesabaran P dalam
merawat penderita.
Yah, kalau gitu yah aku
yang sabar. (P2W2 246)
Peran P dalam menasehati
anggota kelurga yang lain
untuk dapat mengerti
kondisi ibu.
Oh ga, kalau ke istri hanya
masalah dalam keluarga
kami. Tapi ga pernah
mengeluh tentang ibu.
Cuma kalau ibu udah
nunjukin gejala apa gitu
saya suruh istri saya sabar
aja, terus jaga perasaan ibu.
Yah kadang istri saya bilang
gini-gini, ga ada
kecocokkan gitu, yah saya
bilang sabar aja. Ngalah
juga kan bagus sama orang
tua. (P2W2 248-253)
Peran P dalam mengajak
anggota keluarga yang lain
untuk datang menjenguk
ibu, sehingga ibu juga
dapat merasa tenang
karena dekat dengan
anggota keluarganya.
Yah paling, aku nyaranin ke
kakak atau adikku, setiap
bulan itu paling ga jenguk
ibu kesini. Kalau ibu merasa
dekat sama anak cucu kan,
dia bisa lebih tenang.
(P2W2 256-258)
Perasaan senang yang
ditunjukkan oleh ibu,
karena dikunjungi oleh
anggota keluarga yang
lain.
Kalau ada kakakku
rombongan gitu sama
keluarganya ibu itu nyiapin
masakan spesial gitu untuk
anak-anaknya. Dia itu
senang, pengen nyambut
dengan baik. Jadi paling ga
sebulan atau 2 bulan tetap
ada yang datang. mereka
bergantian lah datang kesini.
(P2W2 264-268)
P menjadi mediator dalam
menyampaikan apa yang
Terus kadang ibu sering
ngomong kalau bapak
dirasakan ibu terhadap
ayahnya.
banyak organisasinya, jadi
aku minta bapak untuk
ngurangi kegiatannya,
karena ibu juga merasa
bapak itu banyak kegiatan.
(P2W2 279-282)
Uang selalu menjadi
ukuran ayah dalam hal
memberikan perhatian
kepada keluarganya.
Terus kata bapak yang
penting duit kan ga pernah
telat dikasih. Ukurannya
selalu ekonomi. Udah aku
kalau udah sampai situ aku
udah diam aja (P2W2 285-
287)
P berharap agar ibu lebih
mandiri dan patuh
mengonsumsi obat.
Kalau harapanku terutama
untuk ibu, ibu itu bisa
menyadari oh aku sakit dan
harus minum obat. Aku
bingung mau cara gimana,
supaya ibu tuh sadar. Aku
lagi nyari cara-cara untuk
itu. Kalau dia udah
menyadari kan, bisa rutin,
tahu sendiri minum obatnya.
(P2W2 294-297)
P memiliki keinginan
untuk menyediakan
Kemudian kalau udah
sembuh, pengen main ke
reward jika penderita
menginginkannya.
rumah kakakku atau cucu
yang lain, nanti bisa lah aku
telpon mereka jemput pakai
mobil kan gitu bisa. Intinya
kalau misal sembuh itu bisa
saling ngerti. (P2W2 299-
302)
Harapan P terhadap kedua
orang tuanya agar dapat
saling mengerti sehingga
tidak saling membangun
jarak dalam hubungan
keduanya.
Bisa ngertiin bapak, bapak
juga bisa ngertiin ibu. Saya
susah banget nemuin orang
dua ini bareng. Biasanya
sendiri-sendiri gitu. (P2W2
302-304)
Harapan P bagi ayahnya
untuk dapat memilih
kegiatan atau kesibukan
yang tepat serta dapat
menjaga keharmonisan
keluarga.
Pengennya aku bapak itu
udah tua, untuk menghadapi
hari esok itu perlu ada
kegiatan rohani seng
bermafaat. Yah ne
menurutku cari organisasi
yang penting aja. Intinya
menyadari itu aja, terus di
rumah itu ga ada cekcok
gitu. (P2W2 304-308)
P menunjukkan perasaan
senang ketika mendapati
keakraban antara kedua
Kadang aku juga ngerasa
senang banget, kalau
misalkan ibu nyiapin makan
orang tuanya. siang, terus mereka makan
berdua bareng. Lihatnya itu
senang banget. (P2W2 309-
311)
P mempertimbangkan apa
yang bisa dia lakukan di
tengah pekerjaan untuk
tetap bisa memperhatikaan
kedua orang tuanya.
Banyak di rumah, jadi aku
milih bisnis batako, supaya
aku lebih bisa ngontrol ibu
di rumah saja. Kalau
misalnya bapak dan ibu
marah-marah yah bisa saya
lihat juga. (P2W2 311-315)
Setelah melakukan analisis wawancara partisipan,
langkah selanjutnya adalah melakukan proses kategorisasi
tema, yang mana melalui proses ini menghasilkan beberapa
kategori data partisipan kedua, yaitu :
Kategori Data P2
1 Latar belakang keluarga P dan penderita.
2 Gejala yang ditunjukkan oleh penderita skizofrenia
3 Ciri-ciri penderita pada saat menunjukkan
kekambuhan dalam menjalani masa pasca
perawatan.
4 Persepsi P mengenai penyebab ibunya menderita
skizofrenia
5 Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga ketika
merawat penderita
6 P memegang peran yang sangat penting dalam
keluarga terutama dalam merawat penderita.
7 Usaha keluarga dalam mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi ketika merawat
penderita di rumah.
8 Sikap yang ditunjukkan lingkungan sekitar dalam
menghadapi gejala-gejala atau kekambuhan yang
ditunjukkan oleh penderita
9 Peran psikiater dalam merawat dan menangani
penderita skizofrenia
10 Perasaan keluarga dalam menghadapi dan merawat
penderita skizofrenia di rumah
11 Upaya dari keluarga sebagai bentuk dukungan
sosial yang diberikan pada saat merawat penderita
skizofrenia
12 Harapan P bagi kondisi ibu yang menderita
skizofrenia
13 Perkembangan kondisi penderita pada saat ini.
Berdasarkan kategori-kategori yang telah ada, maka
langkah berikutnya adalah merekonstruksi kategori-kategori
tersebut ke dalam sebuah narasi.
d. Analisis partisipan 2
Partisipan, saudara A merupakan anak bungsu dari ibu S
yang menderita skizofrenia. Keseharian partisipan disibukkan
dengan pekerjaannya sebagai seorang wiraswasta di Kabupaten
Boyolali. Saat ini partisipan sudah menikah dan memiliki 2
orang anak. A dan istri serta salah seorang anaknya tinggal
bersebelahan dengan rumah ayah dan ibunya di Boyolali.
Sementara anak A yang kedua tinggal bersama dengan ibu
mertua A di Purwokerto. Pada saat ini A membantu ayahnya
dalam merawat dan memenuhi semua kebutuhan ibunya yang
sedang menjalani masa pasca perawatan di rumah.
Beberapa gejala yang ditunjukkan oleh S pada saat
didiagnosa menderita skizofrenia adalah perilaku berbicara
sendiri tanpa ada lawan bicara atau berbicara dengan benda
mati, reaksi emosi marah yang berlebihan terutama kepada
suaminya, juga kebiasaan mendengar bisikan-bisikan yang pada
akhirnya berpengaruh pada perilaku yang ditunjukkan seperti,
mengikuti perintah bisikan tersebut untuk keluar rumah atau
melakukan aktivitas terus-menerus pada malam hari. Selain itu,
S juga kehilangan minat untuk mementingkan kebersihan diri
sendiri, di mana hal tersebut ditunjukkan melalui kebiasaannya
yang tidak ingin mandi.
Kebiasaan penderita tersebut menimbulkan asumsi oleh
partisipan yang berpendapat bahwa penyebab sakit ibunya
adalah karena faktor keturunan dan banyaknya beban pikiran
yang dipendam oleh ibunya. Terkait faktor keturunan partisipan
mengaku bahwa beberapa orang anggota keluarga dari
ibunya juga pernah menjalani perawatan seperti yang dialami
oleh ibunya sekarang. Sedangkan beban pikiran yang
dimaksudkan oleh partisipan, yaitu pemikiran negatif ibu
mengenai kebiasaan ayahnya yang sering tidak berada di rumah
karena kesibukan mengikuti organisasi-organisasi dalam
masyarakat. Semantara itu, menurut pengakuan salah satu
kerabat mereka, partisipan mengetahui bahwa ibunya pernah
mengeluhkan sikap ayahnya yang keras terhadap ibu dan terlalu
menekan ibu untuk melakukan banyak aktivitas. Sulitnya
menunjukkan sikap saling pengertian antara penderita dan
suaminya, berdampak pada seringnya terjadi kesalahpahaman
yang menimbulkan konflik di dalam keluarga mereka. Dengan
demikian intensitas dan frekuensi perawatan yang diberikan
suami kepada penderita juga berkurang.
Kondisi ini juga menimbulkan kebingungan bahkan
kesulitan bagi partisipan dalam menghadapi masalah kedua
orangtuanya tersebut, khususnya karena kondisi ibu yang
sedang sakit. Permasalahan terkait kurangnya waktu suami di
rumah, serta karakternya yang keras. Menurut partisipan,
partisipan berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi di
dalam keluarga sehingga terkadang menghambat proses
penyembuhan penderita. Oleh karena itu, tidak jarang dalam
kondisi seperti ini membuat partisipan melakukan tindakan yang
sedikit keras dengan maksud yang baik, walaupun hal ini telah
disesali oleh partisipan saat ini. Perlakuan keras yang
dimaksudkan disini adalah sikap partisipan yang tegas dalam
pemberian nasehat kepada ayahnya maupun ibunya.
Di sisi lain, pada saat merawat penderita dalam masa pasca
perawatan, tidak jarang keluarga menemui beberapa masalah
dan kesulitan. Beberapa masalah yang dihadapi keluarga terkait
kondisi penderita tersebut adalah perilaku penderita yang sering
melampiaskan amarah kepada suaminya, bahkan pernah sampai
memukul suaminya tersebut. Selain itu, beberapa kali penderita
tidak ingin melakukan kontrol rutin, yang salah satu
penyebabnya adalah karena adanya salah paham atau konflik
antara penderita dan pihak rumah sakit. Ketidakpatuhan
penderita dalam mengkonsumsi obat juga dirasa sebagai salah
satu hambatan bagi partisipan dalam merawat penderita. Hal
tersebut sering membuat partisipan mengambil sikap tegas dan
sedikit keras dalam menasehati penderita untuk mengkonsumsi
obat dengan teratur.
Partisipan juga memegang peran penting dalam
keluarganya, terutama dalam merawat ibunya yang menderita
skizofrenia. Hal ini dapat dilihat dari kepatuhan penderita
mengkonsumsi obat dan melakukan kontrol hanya jika
dinasehati dan didampingi oleh partisipan. Sementara anggota
keluarga yang lain, tidak berhasil untuk mengubah perilaku
ketidakpatuhannya tersebut. Partisipan juga lebih banyak
berperan dalam mencari solusi terhadap berbagai permasalahan
yang dihadapi ketika merawat ibunya di rumah. Sebagai contoh
partisipan menjadi penengah, dengan memberikan nasehat
kepada ibunya ketika mulai menunjukkan gejala marah kepada
ayahnya. Tidak hanya terhadap ibunya, A memberikan nasehat
juga kepada ayahnya serta semua saudaranya terkait kondisi ibu
mereka yang harus dimengerti, sehingga tidak ada tekanan yang
diberikan kepada ibunya, melainkan mengambil sikap yang
lebih mengerti dan peduli terhadap kondisi ibu. Oleh karena itu,
partisipan juga sering dipercayakan oleh seluruh anggota
keluarganya dalam hal pengontrolan obat dan perawatan baik di
rumah maupun di RSJ atau panti rehabilitasi mental.
Tidak hanya dalam anggota keluarga mereka yang dapat
mengerti dan peduli dengan kondisi penderita, namun
lingkungan sekitar rumah juga memberikan penerimaan yang
baik terhadap penderita, serta tidak menghindari komunikasi
dengan penderita. Partisipan mengaku ada dukungan yang
diberikan oleh beberapa tetangga di dekat rumah mereka, yang
sudah memahami kondisi ibu. Walaupun terkadang sikap dan
perilaku penderita tidak sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat, namun hal tersebut dapat ditoleransi oleh
lingkungan sekitar mereka. Pemberian dukungan kepada
penderita dari pihak eksternal, dalam hal ini tetangga juga turut
membantu pemulihan penderita dalam menjalani masa pasca
perawatan karena merasa diterima dan dihargai oleh masyarakat
sekitarnya.
Selain tetangga, salah satu pihak yang juga berperan
penting dalam perawatan dan pengobatan penderita adalah
psikiater yang menanganinya. Beberapa hal yang dilakukan
psikiater tersebut adalah pemberian perhatian baik pada pada
penderita maupun terhadap keluarga. Psikiater meluangkan
waktu untuk menginformasikan kepada keluarga terkait kondisi
penderita. Selain itu, ada beberapa nasehat dan petunjuk yang
diberikan oleh psikiater terhadap penderita dan keluarga, baik
pada saat perawatan di panti atau dalam menjalani masa pasca
perawatan di rumah.
Hingga saat ini partisipan dan seluruh anggota keluarga,
tetap setia dalam mendampingi penderita dalam menjalani masa
pasca perawatan di rumah. Berbagai macam dukungan dari
pihak internal yaitu keluarga itu sendiri juga sering diberikan
kepada penderita, baik pada saat menjalani masa perawatan di
RSJ dan panti rehabilitasi mental ataupun pada saat menjalani
masa pasca perawatan di rumah. Dukungan keluarga secara
langsung kepada penderita tersebut ditunjukkan mereka melalui
beberapa jenis dan cara. Beberapa di antaranya adalah dukungan
instrumental, dukungan informasi, dukungan penghargaan dan
dukungan emosional.
Dukungan instrumental terlihat jelas dari kesediaan
keluarga dalam membiayai dan memberikan tempat perawatan
yang baik bagi penderita, yaitu di RSJ Solo dan setelah itu
keluarga memutuskan untuk memindahkan ke Panti rehabilitasi
dengan pertimbangan jarak yang lebih dekat sehingga lebih
mudah bagi keluarga untuk membawa penderita melakukan
kontrol rutin. Selain pemberian tempat perawatan yang layak
bagi penderita, adapun dukungan yang diberikan keluarga
adalah dengan cara memenuhi kebutuhan serta keinginan
penderita. Sebagai contoh, keinginan penderita untuk bertemu
dengan anggota keluarga yang berada di luar kota segera
dipenuhi oleh keluarganya tersebut. Kesediaan partisipan dalam
mengontrol konsumsi obat penderita secara terus menerus dan
pemberian waktu untuk mendengar keluhan serta cerita dari
penderita juga merupakan dukungan yang diberikan untuk
kesembuhan penderita.
Adapun pengalaman keluarga dalam mencoba memberikan
lapangan pekerjaan, yaitu mendirikan toko untuk dikelola
penderita pada saat menjalani masa pasca perawatan. Toko
tersebut hanya bertahan beberapa waktu, karena penderita
kembali mengalami kekambuhan dan harus dirawat inap di RSJ.
Gagal dalam mempertahankan dukungan ini karena
kekambuhan penderita, maka keluarga mencoba untuk tidak
memaksakan penderita melakukan aktivitas, melainkan
mengikuti atau memenuhi keinginan penderita.
Terkait halusinasi audiotori yang dialami penderita, ada
beberapa cara yang diupayakan oleh partisipan dalam
mengalihkan gejala tersebut. Beberapa di antaranya adalah
dengan menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan
penderita, menghidupkan radio ketika penderita sendirian
berada di dalam kamar, sehingga penderita terfokus kepada
suara radio daripada terfokus pada bisikan-bisikan yang sering
didengarnya.
Dukungan instrumental yang sering diberikan kepada
penderita juga berupa pemberian sejumlah uang secara rutin
untuk setiap bulannya, sehingga penderita juga dapat
menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya. Namun, seringkali penderita membagi-bagikan uang
tersebut kepada beberapa tetangganya tanpa tujuan yang jelas.
Adanya pengertian dari tetangga seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya membuat mereka menerima uang tersebut, agar
menghindari perasaan tersinggung penderita jika uang yang
diberikan kepada mereka langsung dikembalikan. Setelah
penderita pergi, para tetangga yang menerima uang akan
mengembalikan uang tersebut melalui partisipan, tanpa
sepengetahuan dari penderita, sehingga tidak terjadi konflik
antara tentangga dan penderita.
Dukungan lain yang diberikan adalah dukungan informasi.
Dukungan ini lebih difokus kan kepada pemberian nasehat serta
saran ataupun informasi yang dibutuhkan penderita dalam
menjalani masa pasca perawatan di rumah. Beberapa cara
keluarga dalam memberikan dukungan ini, biasanya terkait
dengan konsumsi obat penderita serta kebiasaan penderita yang
dapat merugikan diri penderita sendiri atau orang lain. Sebagai
contoh, partisipan memberikan nasehat kepada penderita ketika
penderita menunjukkan gejala marah kepada suami atau kepada
orang di sekitarnya. Selain itu, nasehat dan saran juga diberikan
secara terus menerus terkait konsumsi obat penderita di rumah,
sehingga diharapkan penderita dapat secara mandiri
menunjukkan kepatuhan dalam mengonsumsi obatnya sendiri.
Selain itu, keluarga juga memberikan dukungan berupa rasa
hormat kepada penderita yang memiliki status sebagai ibu bagi
partisipan dan saudara-saudaranya. Kondisi ibu yang menderita
skizofrenia ini, tetap mendapat penghargaan dan penghormatan
yang baik dari anak-anaknya tersebut. Hal tersebut dapat dilihat
dari kesediaan partisipan dan saudara-saudaranya jika diminta
penderita untuk dapat berkumpul bersama di rumah penderita.
Selain itu, ada beberapa saran dan nasehat dari penderita kepada
anak dan cucunya yag tetap di dengar dan dilakukan.
Dukungan berikut yang diberikan kepada penderita adalah
dukungan secara emosional. Pemberian dukungan ini, terlihat
jelas dari adanya perasaan empati partisipan dan keluarga
terhadap kondisi penderita yang membuat partisipan dan
keluarga terus menunjukkan kepedulian serta perhatian kepada
penderita dalam menjalani masa perawatan maupun pasca
perawatan RSJ atau Panti rehabilitasi Mental. Kepedulian
keluarga terhadap penderita diekspresikan dengan upaya yang
dilakukan untuk menyenangkan hati penderita, misalnya dengan
memenuhi beberapa permintaan penderita seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Kepedulian dari suami penderita juga
pernah ditunjukkan dengan beberapa kali mengajak penderita
untuk berpergian demi menyenangkan hatinya dan
mengalihkannya dari penyakitnya yang beberapa kali kambuh.
Selain dukungan secara langsung yang diberikan keluarga
kepada penderita, ada juga beberapa dukungan secara tidak
langsung, namun tetap bertujuan untuk upaya kesembuhan
penderita. Dukungan secara tidak langsung tersebut dapat
dilihat dari keputusan partisipan sendiri yang harus berpindah
tempat tinggal dan bekerja di Boyolali agar lebih dekat dan
mudah dalam merawat ibunya. Selain itu di antara anggota
keluarga juga terjalin komunikasi dalam hal pemberian nasehat,
saran serta solusi yang dapat dilakukan demi upaya untuk
kesembuhan penderita.
Dukungan-dukungan yang diberikan partisipan, ayahnya
serta saudara-saudaranya yang lain dapat membantu pemulihan
ibunya dan dapat berdampak positif. Hal ini dapat dilihat oleh
partisipan dari kondisi ibu yang saat ini sudah lebih baik dalam
hal komunikasi dengan anggota keluarga yang lain. Dampak
positif lainnya dapat dilihat dari kesediaan mematuhi aturan
mengkonsumsi obat, berkurangnya ekspresi emosi marah dan
memukul suaminya, serta relasi yang lebih baik dengan para
tentagga atau lingkungan sekitarnya. Selain itu, partisipan juga
tetap berharap agar kondisi ibunya dapat terus membaik dari
hari ke hari. Selain kondisi ibu yang membaik, partisipan juga
berharap adanya hubungan yang baik lagi antara ayah dan
ibunya seperti dulu, sebelum ibunya mulai sakit.
3. Partisipan 3
a. Gambaran umum partisipan 3
Nama : YU
TTL : Bandung, 18 Juli 1991
Usia : 22 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan Terakhir : SMA
Status : Belum Menikah
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Karyawati
YU adalah anak kedua dari tiga orang bersaudara.
YU tinggal bersama kedua orang tua, serta seorang
kakak dan seorang adik. Kakak YU merupakan
penderita skizofrenia yang sedang menjalani masa
pascaperawatan. Sementara adik YU saat ini sedang
menempuh pendidikan di salah satu Sekolah Menengah
Kejuruan di Bandung. Dalam kesehariannya, kedua
orang tua YU bekerja di salah satu rumah makan dan
juga toko. YU bekerja pada salah satu perusahaan,
bagian keuangan proyek di Bandung.
YU yang pada saat ini berusia 22 tahun,
menyelesaikan pendidikannya di salah satu Sekolah
Menengah Atas di Bandung, kemudian melanjutkan
pendidikannya ke Perguruan Tinggi yang hanya
ditekuninya selama kurang lebih satu tahun. Hal ini
disebabkan karena YU diterima di salah satu
perusahaan untuk bekerja. YU memutuskan untuk
memilih pekerjaan tersebut dan mengundurkan diri dari
Perguruan Tinggi.
Kakak YU, yang menderita skizofrenia, pada saat
ini berusia 23 tahun. Kakak YU bernama SL. SL
memiliki kesibukan sehari-hari dengan bekerja di salah
satu tempat produksi kue di dekat rumah mereka. SL
telah menderita penyakit ini sejak berusia 14 tahun, dan
pada saat itu sedang menempuh pendidikan di Sekolah
Menengah Pertama. Karena menderita penyakit ini,
akhirnya SL tidak menamatkan pendidikannya di SMP.
Sedangkan YU terus menekuni sekolahnya hingga
lulus SMA.
Perilaku aneh yang ditunjukkan oleh SL, membuat
keluarga YU sempat membawanya berobat beberapa
kali di panti rehabilitasi dan juga oleh psikiater
terdekat. Hingga saat ini, YU dan keluarga masih
sering membawa SL untuk menjalani perawatan di
psikiater tersebut.
b. Laporan observasi selama wawancara
Pada hari Selasa, 19 Febuari 2013, pukul 19.25
WIB, peneliti pergi menemui partisipan di
kediamannya (daerah perumahan Maleber), Bandung-
Jawa Barat. Partisipan tersebut adalah YU yang berusia
22 tahun. YU tinggal bersama kedua orang tuanya.
Ayah YU yang pada saat itu tidak berada di ruang tamu
bersama anggota keluarga yang lain, sedang
menyibukkan diri di ruang belakang. YU memiliki
seorang adik laki-laki yang saat ini sedang menjalani
pendidikan di salah satu SMK di kota Bandung. YU
juga memiliki seorang kakak perempuan, yang
menderita skizofrenia dan sedang menjalani masa
pasca perawatan. Awalnya ketika peneliti datang,
langsung disambut dengan baik oleh ibu dari partisipan
tersebut serta kedua orang saudaranya. Partisipan dan
ibunya mempersilahkan peneliti untuk duduk di ruang
tamu. Di ruang tamu tersebut, terdapat beberapa kursi
yang membatasi ruang tersebut dengan ruang keluarga.
Setelah peneliti duduk di ruang tamu, ibu dari YU
menanyakan maksud kedatangan peneliti ke rumah
mereka. Peneliti berusaha menjelaskan tujuan peneliti
datang ke rumah mereka sekaligus meminta kesediaan
keluarga untuk memperbolehkan peneliti melakukan
wawancara demi mengambil data yang dibutuhkan.
Dengan demikian, ibu dari partisipan ini langsung
berinisiatif untuk menceritakan keadaan anaknya yang
menderita skizofrenia tersebut. Sebenarnya yang ingin
dijadikan partisipan oleh peneliti adalah YU sendiri,
namun pada saat itu, ibu dari YU langsung bercerita
mengenai latar belakang anaknya dan bagaimana awal
mula ketika SL mulai menunjukkan gejala yang tidak
normal seperti biasanya. Karena hampir tidak ada jeda
dalam cerita ibu YU, maka penelitipun kesulitan dalam
memberikan beberapa pertanyaan. Setelah ada sedikit
jeda, peneliti meminta kesediaan ibu YU untuk dapat
merekam seluruh hasil pembicaraan pada malam itu.
Namun, dengan tegas ibu YU menolak untuk direkam
pembicaraannya oleh peneliti, tanpa memberikan
alasan kepada peneliti. Karena ini merupakan
pertemuan pertama dengan partisipan dan keluarganya,
maka peneliti memutuskan untuk mendengarkan cerita
ibu tersebut tanpa memotong pembicaraan hingga
selesai ia bercerita.
Beberapa hal yang ditangkap peneliti pada saat ibu
dari partisipan penelitian ini bercerita yaitu tentang
bagaimana usaha keluarga untuk merawat penderita
skizofrenia tersebut. Usaha-usaha tersebut meliputi
pengobatan yang diberikan dengan membawa anaknya
ke panti rehabilitasi serta psikiater terdekat, mengajak
penderita untuk ikut dalam kegiatan rohani dan
didoakan oleh beberapa pendeta dari gereja, juga
membiarkan penderita untuk dapat melakukan
beberapa hal yang ingin ia lakukan, seperti pergi ke
tempat-tempat wisata yang ia inginkan. Dalam cerita
tersebut juga peneliti menangkap adanya perasaan yang
tidak begitu khawatir dari sang ibu, jika anaknya yang
menderita skizofrenia tersebut berpergian sendiri ke
beberapa tempat dikarenakan kepercayaan ibu terhadap
anaknya bahwa anak tersebut dapat kembali ke rumah
dengan sendirinya.
Perasaan lain yang juga dapat ditangkap oleh
peneliti adalah perasaan sedih dari seorang ibu yang
melihat kondisi anaknya yang menderita penyakit
tersebut. Hal ini terlihat jelas dari cara ibu tersebut
bercerita mengenai pengalaman anaknya ketika
dimasukkan ke panti rehabilitasi. Suara tegas ketika
bercerita mengenai kebiasaan anaknya yang sering
berpergian jauh tiba-tiba berubah menjadi sedikit pelan
dan bergetar ketika mengenang masa-masa di mana
anaknya direhabilitasi. Ia juga mengeluarkan air mata
dan mengungkapkan bahwa ia benar-benar merasa
sedih karena melihat kondisi anaknya tersebut. Selain
itu faktor yang membuat ia juga sedih adalah
kurangnya sikap baik yang ditunjukkan oleh orang-
orang di panti terhadap anaknya.
Perbincangan antara peneliti dan ibu dari YU
berlangsung sekitar 40 menit. Dan selama ibu tersebut
bercerita YU hanya terdiam, sambil sesekali ikut
tertawa jika ada cerita yang lucu. Sementara adiknya
yang laki-laki sibuk bermain laptop dan handphone di
ruang keluarga. Hanya sekali adiknya datang dan
langsung menasehati kakak YU mengenai pasangan
hidup, ketika topik pembicaraan tersebut sedang
diperbincangkan ibu YU, penderita, YU dan peneliti.
Kakak YU, yang menderia skizofrenia juga duduk
bersama di ruang tamu, namun tidak banyak berbicara
dan sesekali pergi ke belakang. Dengan demikian
peneliti memutuskan untuk mengakhiri pertemuan
yang pertama ini karena menimbang waktu yang
semakin larut juga ketidakmungkinan untuk
melanjutkan melakukan wawancara dengan YU pada
malam itu. Peneliti akhirnya berpamitan untuk kembali
ke kediaman peneliti. Sesampainya di kediaman
peneliti, peneliti mengirim pesan melalui handphone
kepada YU untuk mengatur kembali jadwal wawancara
berikutnya.
Pertemuan kedua sekaligus wawancara bersama
dengan partisipan dilaksanakan pada hari Rabu, 20
Februari 2013, di tempat kediaman peneliti selama
berada di kota Bandung. Pada saat itu peneliti dan
partisipan berkomunikasi melalui handphone. Peneliti
meminta kesediaan partisipan untuk diwawancara, dan
kemudian partisipan setuju untuk melakukan
wawancara di kediaman kerabat peneliti. Pemilihan
tempat wawancara yang berbeda dari sebelumnya ini,
disebabkan karena ibu partisipan yang tidak
mengijinkan pembicaraan antara peneliti dan pihak
keluarga di rekam oleh peneliti. Akhirnya wawancara
berlangsung pukul 20.45-21.45 WIB. Waktu
wawancara ini ditentukan sendiri oleh partisipan,
dikarenakan partisipan baru selesai kerja sekitar pukul
20.00 WIB. Oleh karena itu, peneliti mengikuti jadwal
yang sudah ditentukan oleh partisipan tersebut. Pada
saat wawancara berlangsung, peneliti dan partisipan
duduk di ruang tamu yang berukuran kira-kira 3m x
4m. Kemudian peneliti meminta izin dan kesediaan
partisipan agar seluruh hasil pembicaraan pada malam
itu direkam. Hal ini disetujui oleh partisipan.
Wawancara berlangsung kurang lebih selama 1
jam, dengan posisi duduk berhadapan. Peneliti
membelakangi jendela, sedangkan YU menghadap ke
jendela yang berada di samping pintu masuk rumah
tersebut. YU menjawab pertanyaan dengan nada yang
sedikit keras. Selama menjawab pertanyaan YU
seringkali melakukan beberapa gerakan tubuh, seperti
menggoyang-goyangkan kaki dan sesekali memukul-
mukul lututnya dengan tangannya secara perlahan-
lahan. Tak jarang beberapa kali ketika menjelaskan
perilaku kakaknya yang menderita skizofrenia, YU
juga mencontohkan gerakannya. Seperti ketika perilaku
melempar gelas ke kamar mandi, tangan YU bergerak
seolah-olah ingin mempraktekkan gerakan
melemparnya.
Selain itu, beberapa kali YU terawa ketika
menceritakan perilaku kakaknya yang seperti anak
kecil dan melihat kebiasaan kakaknya yang dianggap
aneh. Namun nada suara YU sedikit berubah pelan
ketika peneliti bertanya mengenai perasaan YU
menghadapi kondisi tersebut. Dengan nada pelan YU
mengatakan perasaannya yang sedih juga lelah. Di
akhir wawancara tersebut, YU mengatakan bahwa
kejadian ini juga ada hikmahnya untuk keluarga
mereka. Hal ini dikatakannya dengan sesekali menarik
napas yang panjang, seolah-olah ingin menegaskan
bahwa ia sudah tidak mampu dan tidak tahu akan
menangis dan marah kepada siapa mengenai masalah
yang keluarganya hadapi. Tetapi sekalipun berat
masalah yang mereka alami ini, mereka tetap ingin
bersyukur pada Tuhan.
Wawancara berikutnya dilaksanakan pada hari
Selasa, 12 Maret 2013, di kediaman salah satu kerabat
peneliti di kota Bandung. Pada saat itu YU baru saja
kembali berlibur dengan teman-temannya, sehingga
sedikit terlihat kelelahan di wajah YU. Wawancara
dimulai pada pukul 20.24-21.00 WIB. Selama
wawancara YU tidak banyak menunjukkan gerakan
tubuh atau nonverbal, tetapi duduk dengan tenang dan
menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh
peneliti.
Wawancara kali ini berlangsung singkat karena
menimbang beberapa informasi yang dibutuhkan sudah
dijawab oleh YU. Peneliti juga mempertimbangkan
waktu, karena kondisi YU yang terlihat sedikit lelah
dan juga mempertimbangkan YU yang harus
beristirahat karena akan kembali bekerja pada keesokan
harinya.
c. Analisis verbatim
Analisis verbatim P3W1
Makna Verbatim
Awal munculnya gejala
pada penderita seperti
suka melamun dan
terkadang menjadi banyak
bicara.
Awalnya dia teh ikut
camping gitu. Camping di
Rancaupas, terus udah gitu
teh dia itu sendiri, saya itu
ga ikut. Terus pas besoknya
dia pulang, dia tuh udah
beda gitu. Biasanya
pendiam, jadi ga pendiam,
kalau kita ngobrol dia itu
ikutan nimbrung gitu. Terus
suka ada melamun juga dia
teh. Semenjak pulang dari
situ the kayak gitu dia, aneh.
Gitu, aneh. (P3W1 4-11)
Pendapat P mengenai
penyebab sakit penderita.
Kayak tempat kursus gitu,
kursus si mama. Yah itu di
situ kayak kemasukan roh di
tempat camping atau di
rumah itu adaan gitu. Udah
gitu yah udah. (P3W1 14-16)
Dukungan dari keluarga
yaitu mendoakan
penderita.
Kita doa-doain gitu.
Ternyata kata pendetanya
emang ada, terus udah
dikeluarin sama saya. (P3W1
16-17)
Gejala yang ditunjukkan
oleh penderita adalah
melamun, menangis,
kesulitan untuk tidur, serta
keinginan untuk terus
berpergian.
Oh yaudah, udah gitu teh dia
duduk diam di rumah terus
suka melamun tiba-tiba,
terus suka nangis tiba-tiba,
terus suka ga bisa tidur
malam-malam, sampai 2
malam, matanya kebuka
terus ga bisa tidur. Ga
tenanglah. Terus saya bilang
udah cici tidur, terus dia nya
teh bangun terus bolak-balik
sana-sini, pengennya keluar
rumah gitu. (P3W1 17-23)
Usia awal munculnya
gejala penyakit.
Sekitar umur 14-an lah,
kelas 2 SMP. (P3W1 25)
Dukungan yang diberikan
dengan membawa
penderita ke panti
rehabilitasi.
Iya awal mulanya kayak
gitu. Udah gitu dimasukin ke
pemulihan gitu. (P3W1 31-
32)
Gereja berinisiatif
membantu keluarga P
dengan menawarkan
„rumah pemulihan‟ untuk
penderita.
Inisiatif gereja yang
masukin. Ya udah di rumah
pemulihan dulu. Misalnya
dia pulang ke rumah juga ga
mau kan, sering pergi-pergi
gitu. Ga betah di rumah. Ya
udah dipemulihan orang tua
setuju, jadi sama orang
gereja dibawa kesitu. (P3W1
34-37)
P merasa tidak sanggup
menghadapi perilaku
penderita yang sering
kabur dari rumah.
Yah sering kabur-kaburan
gitulah dari rumah, akhirnya
kita ga sanggup lagi
ngurusin dia, ya udah
dibawa ke pemulihan aja.
Kabur dari rumah, terus ga
bisa tidur, melamun,
nangis gitu aja (P3W1 42-
45)
P berusaha mencari tahu Ya nanya : cici teh mikirin
apa yang dipikirkan oleh
penderita
apa sampai ngelamun kayak
gitu? Nggak kok nggak,
nggak papa. (P3W1 47-48)
Penderita mudah marah
dan keluar rumah hingga
larut malam bila
keinginannya tidak
terpenuhi.
Terus kalau dia pengen apa-
apa, yuk antar ke sini, antar
ke situ, saya nya ga mau, dia
nya bisa marah-marah, bisa
ngamuk-ngamuk gitu. Terus
akhirnya pergi sendiri,
pulang malam-malam
begitu. (P3W1 49-52)
Gejala yang ditunjukkan
penderita adalah
pandangan mata yang
kosong, sering melamun
dan berbicara sendiri.
Yang beda, yah ngelamun,
terus matanya teh
mandangin orang teh kayak
kosong gitu. Nah itu, dia teh
kalo melamun itu ngomong
sendiri mulutnya. Terus
mulutnya teh ngucap-
ngucapin apa teh ga tau.
(P3W1 54-59)
Kepedulian P dalam
menanyakan hal yang
dirasakan oleh penderita.
Hmmm, kayak gitu. Terus
dikuping cici teh dengar atau
gimana ada yang ngajak
ngobrol atau gimana?
Katanya, iya emang ada
yang ngajak ngobrol. (P3W1
61-63)
P memberikan barang-
barang kebutuhan
penderita melalui pendeta,
selama di panti
rehabilitasi.
Pernah dari pihak pendeta di
panti sana ngunjungi
keluarga, ngajak doa sama
baca alkitab. Terus kalau dia
udah datang kita nitipin
makanan, baju buat cici lah
di sana. (P3W1 68-70)
Penderita mengalami
beberapa kekambuhan.
Ga ada, tapi kambuh-
kambuhan, setahun itu teh.
Misalnya setahun agak baik,
jadi lagi, setahun baik, terus
jadi lagi. (P3W1 74-75)
Gejala yang ditunjukkan
pada saat kambuh adalah
menyendiri di kamar dan
melamun.
Pertamanya teh dia beda aja.
Ya misalnya kalau kita lagi
main, lagi kumpul-kumpul
nonton tv, dia sendirian di
kamar, tidur. Ga tidur itu dia
teh, ngelamun. (P3W1 77-
79)
P mencoba tetap bersabar
dan terus mendoakan.
Ya udah cuma gitu, didoain
terus sabar.
Besoknya ya gitu lagi,
didoain-doain terus. (P3W1
89-90)
Tetangga P berpendapat Ada tetangga yang bisa lihat
bahwa kondisi penderita
disebabkan oleh faktor
spiritual dan bukan medis.
gituan, terus katanya di
rumah kita itu ada. Dia
ngomongnya: si cici teh ga
punya teman, jadi apa yang
ada disitu teh, di rumah kita,
dia ajak ngobrol gitu,
katanya ada anak kecil
cewek yang diajak ngobrol
sama si cici (P3W1 92-95)
Dukungan keluarga yaitu
dengan melibatkan
psikiater dan kerabat
untuk memberikan
pengobatan.
Iya, dua kali dibawa ke
psikiater. Dikasih obat. Ya
itu, pertama teh dibawa ke
dokter. Terus sama si mama
dititipin ke tempat sodara,
udah itu teh ga minum obat
lagi. (P3W1 97-102)
Alternatif ke psikiater
muncul setelah disarankan
oleh teman-teman gereja
P.
Iya, pas kita udah ga tahan
lagi, ya udahlah, kata orang
gereja kita juga, ini mah
bukan kerasukan. Ini karena
banyak pikiran, banyak
melamun kayak gini, jadi
harus dibawa ke
psikiater gitu. (P3W1 105-
107)
Kebiasaan penderita yang Yah ga tahannya ya itu, si
sering berpergian sampai
larut malam membuat P
dan keluarga sulit
merawat.
cici ga betahan di rumah.
Suruh diam di rumah, kita
kan yang lain pada kerja
sama sekolah, yah dia nya ga
mau diam, keluar sana,
keluar sini, bisa pergi main
ke IP dari pagi sampai
pulangnya malam jam 11
baru pulang. Ga tahannya
teh gitu, dia itu kabur-
kaburan terus, ga tahan di
rumah. (P3W1 110-114)
Kebiasaan penderita yang
sering keluar malam,
membuat orangtua tidak
sanggup merawat.
Yah namanya orang tua pasti
khawatir si cici ke mana ini,
udah malam, cewek,
sendirian, yah akhirnya
dicari. Kayak gitu. Nah cari-
carinya itu yang ga tahan
teh. (P3W1 116-118)
Keberanian penderita
keluar rumah sampai larut
malam membuat keluarga
khawatir.
Yang nyari yah semua, tapi
kalau paling ga tahan ya
papa nya. Kalau saya, yah
misalnya pulang kerja,
sama si adek yang cowok itu
disuruh papa, yuk dicari
datang ke IP atau kemana
kalian pencar, terus cari.
Kayak gitu. (P3W1 120-123)
Kesulitan keluarga dalam
mendampingi penderita
yang sering kesulitan tidur
di malam hari.
Ya, setiap malam ga bisa
tidur. Yah terus ikutan kan
kita juga ga bisa tidur.
(P3W1 125-126)
Keluarga terus
mendampingi penderita,
apabila penderita
kesulitan untuk tidur di
malam hari.
Yah, ikutan ngejagain dia.
Kalau dia ga bisa tidur kita
ajak baca alkitab, setiap
malam yah dibaca sama dia.
Tapi bacanya udah sampai
berapa pasal ya dia nggak
ngantuk-ngantuk. (P3W1
128-130)
Kondisi penderita yang
membaik setelah
mengonsumsi obat.
Udah mendingan, udah di
bawa ke dokter juga udah
agak mending. Yah karena
dia minum obat itu . (P3W1
136-139)
Keluarga mengontrol
konsumsi obat penderita
agar tidak terjadi
kesalahan dalam
mengkonsumsi obat
tersebut.
Ya dia tau, tapi kita juga
kontrol terus. Kalau cici bisa
ngambil sendiri.
Tapi kitakan takut, dia
minum obatnya benar atau
nggak. (P3W1 142-143)
Kelalaian penderita dalam Yah pernah, misalnya yang
mengonsumsi obat. ga boleh diminum pagi,
malah diminum. (P3W1 145-
146)
Keterangan dokter yang
tidak jelas membuat
keluarga sulit mengerti
kondisi penderita.
Ga dijelasin, cuma si dokter
teh nanya-nanya. Pas
pertama saya ikut juga yah,
dokter cuma tanya,
kupingnya kedengaran ga?
Kedengaran suara-suara gitu,
kita jawab iya, terus dicatat.
Terus kalau malam bisa tidur
ga? Ah bisa kalau minum
obat, terus dicatat lagi. Yah
gitu, cuma ditanya-tanya gitu
terus si dokternya ga
ngejelasin si cici ini sakit
apa, jadi kita ga tahu. Kita
juga mikir, ya udah depresi
kali yah? Si dokternya ga
ngejelasin. Aneh. (P3W1
148-154)
P dan seluruh anggota
keluarga menyediakan
waktu untuk menemani
pemeriksaan penderita ke
psikiater.
Pertama-pertama mah kita
semua datang, terus udah
kesini-sininya mah, si cici
udah tenang mah yaudah
gitu. Aneh. Ga, pertama
doang sekeluarga. Eh, yang
kedua kali juga sekeluarga,
abis itu yah papa sama si cici
aja ke dokternya. (P3W1
159-163)
Reaksi emosi marah
ditunjukkan penderita
apabila ada keinginannya
yang tidak terpenuhi.
Pernah sih cici ngajak AH
ayo pergi beli ikan pakai
motor, atau ke IP, kadang
diturutin kadang AH bilang
ga ah ci udah capek. Terus
cici ngamuk-ngamuk.
(P3W1 166-168)
Hal yang dilakukan oleh
penderita ketika marah
adalah merusak perabotan
rumah.
Yah marah-marah sampai
gelas-gelas di rumah teh
udah pada pecah, dilempar-
lemparin ke kamar mandi,
sampai ditendang-tendangin
apalah yang ada.
(P3W1 172-174)
P sering menemani
penderita berpergian,
karena khawatir terhadap
penderita, walaupun
terkadang hal tersebut
melelahkan P.
Kalau saya mah, misalnya
pas pulang kerja waktu itu
terus cicinya ajak YU ayo
temanin cici ke IP, terus saya
bilang, cici YU teh capek
baru pulang. Terus kata cici :
ya udah cici sendiri terus dia
pergi. Nah kitakan takut,
takut dia gimana-gimana ya
udah saya temenin, kayak
gitu. (P3W1 176-180)
P merasa repot dengan
perilaku saudaranya yang
sering memaksa untuk
menemaninya berpergian.
Udah cici pergi sendiri kalau
ga mau nemenin mah. Ya itu
bikin pusingnya itu tuh. Dia
suka maksa-maksain orang
buat temenin dia pergi.
Pokoknya mah ga betah di
rumah. (P3W1 181-184)
P sering mengikuti
keinginan penderita,
karena menghindari
konflik yang dapat
ditimbulkan jika
keinginan tersebut tidak
terpenuhi.
Yah kadang ikutin, kalau ga
ikutin yah dia bisa marah.
Daripada ngamuk-ngamuk di
rumah ya udah ikutin, nanti
bisa lari-larikan ke jalan, ya
gitu. (P3W1 186-188)
Upaya yang dilakukan
keluarga pada saat
penderita kambuh adalah
dengan cara mencari
psikiater untuk menangani
kekambuhan penderita
tersebut.
Ya itulah, apa yah, yah
sebelum ke dokter psikiater
ini yang dikasih obat itu yah.
Nah sebelumnya kita udah
mau lebaran gitu yah kita
nyari dokter ini, tapi ga ada
ya udah ke dokter lain,
psikiater juga terus taunya
teh pas mau dibawa ke situ
teh dia teh ngamuk-ngamuk
gitu, sama si papa dan si
adek dibawa pake taxi terus
dapat dokter itu, ga diperiksa
ga diapain sama itu juga,
terus karena si cicinya udah
ngamuk-ngamuk gitu yah ya
udah langsung dikasih resep
disuruh tebus obatnya.
(P3W1 190-197)
Penderita tidak cocok
dengan obat yang
diberikan oleh psikiater.
Terus kita kasih minum dia ,
tau nya teh kayaknya ga
cocok, dia ga bisa tidur ga
bisa apa, tetap gelisah. Tetap
ngamuk-ngamuk gitu.
(P3W1 197-199)
Perubahan perilaku seperti
anak kecil yang
ditunjukkan penderita
ketika kambuh.
Dia kalau lagi kayak gitu
teh, dia kayak anak kecil.
Senangnya teh di kings itu
maen kayak bom-bom car
gitulah. Senangnya ke situ.
(P3W1 201-203)
Pengalaman P yang tetap
menemani dan menjaga
penderita pada saat
Terus dia lagi maen-maen
gitu, dia kan naik. Sayakan
ga ikutan, saya tunggu di
menghadapi kekambuhan
penderita pada saat berada
di luar rumah.
dekat situ, di dekat mainan
situ. Terus tiba-tiba dia teh
suka jatoh gitu, lemas
badannya teh, udah gitu dia
jalan-jalan lagi terus jatoh
lagi. Terus waktu dia jatoh
gitu orang-orangkan pada
nolongin gitu yah, terus kata
orang-orang, udah ini
dibawa ke rumah aja. Terus
dikasih minum. Udah gitu,
dia bangun lagi, udah gitu
disuruh bawa pulang, terus
sayakan ngomong, udah ci
pulang aja udah capek
cicinya ini jatoh-jatohan
terus kenapa? Ga ah, ga ah
dia nya ga mau pulang,
masih mau main katanya.
Udah gitu dia main lagi,
terus jatoh lagi. Sampai 3
kali kayak gitu.
Terus udah jatoh, diangkat,
digotong sama mas-mas
yang di kings itu sampai ke
atas. (P3W1 204-216)
P menuruti keinginan
penderita untuk
berpergian bersama,
walaupun P merasa
terbeban dengan kondisi
penderita yang sering
pingsan karena faktor
penyakit tersebut.
Teruskan saya teh sendiri
yah, sampe udah ga tau mau
gimana lagi, jadi saya
telponin si adek cowok, si
AH. AH cepetan ke kings
sama si papa, ini si cici
pingsan-pingsan terus tapi ga
mau pulang. Oh yaudah
terus dibawa sama kita,
akhirnya mah dia mau
pulang udah kayak gitu. Nah
itu, dia udah sakit kayak gitu
teh ga mau diam di rumah,
dia maunya pergi-pergi gitu,
tapi badannya ga kuat.
Beratnya tuh kayak gitu.
Saya sih udah tau, si cici
kalau dijalan bisa begini,
tapi daripada di rumah dia
marah-marah yah saya
turutin aja, kalau di jalan liat
gimana nanti aja. (P3W1
216-225)
Ibu P pernah mencoba
alternatif pengobatan lain
dengan membawa
Pernah si mama, bukan yang
baru-baru ini tapi sakitnya.
Pernahkan pas udah
penderita ke „orang
pintar‟.
pengobatan gitu teh dikasih
obat terus dibawa ke bogor
terus di bogor itu teh ada
kayak orang pintar gitu,
dibawa kesitu. Terus pas
pulang-pulangnya teh, si
mama bawa sekresek air.
Ma, kata saya teh, ma itu teh
apa? Itu yang buat didoain-
doain gitu buat diminum
gitu. Dia teh ada perubahan
abis minum air itu. (P3W1
228-234)
Peran tante P dalam
membantu perawatan
penderita.
Yah normal kembali gitu.
Sama si I‟i kan dibuang
obatnya di stop gitu terus
baru dibawa kesitu.
Kayaknya sih, saya ga begitu
tahu. . (P3W1 236-238)
Pendapat tante P dan
tetangga P mengenai
penyebab sakit penderita
adalah karena adanya roh
jahat di rumah P yang
mempengaruhi sikap dan
perilaku penderita.
Yah, ngapain minum obat
terus, dia nya ga sakit gitu.
Pikirnya dia ga betah di
rumah karena banyak
hantunya. Terus kalau
dibawa ke rumah orang lain
si cici teh tenang, seperti
orang biasa, normal kembali.
Pas dibawa ke rumah dia
ngamuk-ngamuk lagi gitu,
aneh. Ga tau bawaan
rumahnya banyak hantunya,
ga tau dia nya gimana gitu.
Trus dibawa ke rumah si S
anaknya tante N itu, kan dia
yang bisa doain, disana bisa
tenang, aneh. Trus setelah
didoain ama si S itu teh, trus
pas saya nyari-nyari si cici
kemana, trus saya kesitu teh
taunya ada cicinya disitu.
Trus pas diliat normal.
Pandangan matanya teh
normal kembali kayak orang
biasa. (P3W1 240-250)
Letak perbedaan kondisi
penderita pada saat
kambuh dan tidak, salah
satunya dapat dilihat dari
pandangan mata
penderita.
Yah, gimana yah. Kalau lagi
sakit yah kosong gitu
pandangannya, kalau udah
didoain itu yah biasa lagi.
(P3W1 252-253)
Kesulitan berkomunikasi
dengan penderita ketika
Kalau lagi sakit gitu ga bisa.
Ditanyain gitu kadang
kambuh. nyambung kadang ga.
Kadang sadar, kadang ga.
(P3W1 256-257)
Kesulitan yang dialami P
dalam hal berkomunikasi
dengan penderita, karena
ketidakmampuan
penderita memberikan
respons jawaban yang
rasional.
Kalau lagi sakit gitu ga bisa.
Ditanyain gitu kadang
nyambung kadang ga.
Kadang sadar, kadang ga. Ya
kadang kalau ditanya, dia
jawabnya ya sadar jawab
pertanyaannya, kadang dia
ga mau jawab, ngelamun aja
gitu, nangis gitu. Tidur ya
tiduran gitu tapi matanya
ngebuka, tapi kalau saya
samperin dia nanti dia pura-
pura tidur gitu. Kalau kayak
gitu kita udah ga bisa
ngobrol. (P3W1 259-263)
Gejala yang ditunjukkan
ketika penderita tidak
kambuh.
Ya ngobrol, kalau misalnya
sekarang lagi sehat gini
bercanda biasa. Malah dia
yang cerewet, cerita gini,
gini. (P3W1 267-268)
Penderita membahas
tema-tema religius.
Terus suka nangis sendiri,
terus bilang ke saya YU tau
ga Tuhan itu kayak gini,gini.
Baik pisan. Ngomongnya teh
kayak itu rohani gitu. Yah
kalo lagi sakit teh gitu,
keagama nya tuh gitu.
Katanya YU Tuhan teh ada
di sini, Tuhan teh ada
disekitar kita, YU percaya
ga? Terus saya bilang iya
aja. Terus dia teh juga
ngungkit-ngungkit akhir
jaman terus. YU, Tuhan itu
benar ga datang? Kapan
datangnya? Lama yah?
(P3W1 269-276)
Kondisi penderita
sebelum sakit lebih
cenderung mengisolasi
diri, yang terlihat dari
kurangnya relasi yang
terjalin antara penderita
dan teman-teman
sebayanya di sekolah.
Dulunya pendiam, terus
dulukan saya sekelas sama
dia yah dia mah ga banyak
bergaul sama teman-teman.
Terus misalnya kalau pulang
sekolah teman ajak main, dia
ga mau malah ngajak
pulang. Biasanya saya aja
yang main dia pulang. Tapi
kalau misalnya belajar,
rajinan dia daripada saya.
Dia lebih pintar. Misalnya di
sekolah teh dia lebih pintar.
Kalau besok ada ulangan dia
itu lebih rajin belajar,
bacanya sampai keluar suara.
Saya mah malas, saya cuma
dengerin dia. Ya itu dia
rajin. (P3W1 285-292)
Kondisi penderita setelah
sakit menunjukkan
perubahan sikap yang
lebih membuka diri untuk
berelasi dengan orang
lain.
Sekarang lebih rajin ke
gereja ikut teman-teman
kalau ngajak ke sana sini dia
ikutan. Jadi sakit gini teh dia
lebih banyak kenalan.
Persekutuan-persekutuan
dari gereja itu dia ikut. Yah
bagus juga kan. (P3W1 294-
297)
Aktivitas penderita saat
ini adalah bekerja pada
salah satu tempat
pembuatan kue yang
letekanya tidak jauh dari
rumah mereka.
Sekarang yah kerja. Ya
disini dekat rumah. Dia, dia
sendiri. Jadi pas yang kedua
waktu dia sakit itukan, dia
teh kerja disitu kan, bikin-
bikin bolu kukus gitu (P3W1
299-304)
Gejala pertama yang
dilihat P sebagai tanda
kekambuhan penderita
Udah gitu teh pas dia mulai
sakit, dia mikir gitu si tante
yang dia kerja itu orang
adalah pembahasan
mengenai tema religius
oleh penderita.
Katolik, cicinya orang
Kristen, terus si cici tanya
kenapa saya bisa kerja disitu,
kan ga boleh orang katolik
dan Kristen bersatu. Yah
gitu, dia ga mau. Terus kita
teh udah aneh, nah si cici
kalau udah gitu, udah mau
jadi lagi. Pertamanya ya
kayak gitu, ribut soal agama.
Terus dia teh ga bisa terima
dengan patung bunda Maria
di rumah tante itu. Terus
waktu dia sakit itu saya pas
lagi bawa foto Tuhan Yesus,
dari teman saya dapatkan.
Nah foto itu ada bunda
Maria gitu, terus waktu dia
lihat dia langsung bilang ga
boleh di pegang, gambarnya
buang aja, sama dia itu di
robek-robek gitu, aneh.
(P3W1 304-317)
Aktivitas penderita sehari-
hari adalah bekerja dari
pagi sampai sore,
Jam 8 sampai jam 4 atau 5
sorelah, tergantung juga sih,
kan kerjanya borongan gitu
kemudian pada hari
minggu menyibukkan diri
dengan kegiatan ke gereja.
jadi kalau udah selesai baru
boleh pulang. Kalau sedikit
yah jam 3an udah pulang.
Terus kerjaannya teh ga
berenti-berenti teh yang
sibuk-sibuk terus. Yah dia
pulang, mandi, makan,
nonton, tidur udah. Gitu,
terus. Kalau misalnya hari
minggu, dia ke gereja, terus
diakan senang ngajak main
ke IP dulu, terus pulang
tidur. (P3W1 327-334)
Penderita kurang memiliki
minat untuk mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan
rumah, dan lebih
menghabiskan waktunya
dengan tidur.
Kalau beres-beres mah
jarang, yah kadang dia juga
ga mau, tiduran aja terus.
Tapi kadang-kadang si suka
nyapu, nyuci piring gitu, tapi
yah jarang. Lebih
kebanyakan tidur (P3W1
336-338)
Biaya pemeriksaan dan
perawatan penderita
ditanggung oleh keluarga
Orang gereja teh udah
ngeliat dia kayak gitu, udah
beda, udah tau dia sakit
dan gereja. kayak gitu. Terus sama tim
gereja itu coba ngunjungin
ke rumah, terus orang gereja
itu ngomong sama mama
gimana kalau si cici dibawa
ke dokter, tapi nanti untuk
biayanya yah keluarga
sanggup berapa, nanti
sisanya yah gereja. (P3W1
346-351)
Nasehat dari orang tua
kepada penderita terkait
kebiasaan penderita yang
sering keluar rumah pada
malam hari.
Ya ngasihlah, misalnya dia
mau pergi jalan-jalan, terus
udah malam nih jam 9,
misalnya dia bilang pa, ayo
kita main ke IP, terus si
papakan sering kasih
nasehat, udah malam ci ini
teh. Besok aja lagi yah. Tapi
dia mah suka bilang udah ah,
cici pergi sendiri aja. Nah si
papi itu baru ikutin dia pergi
bareng-bareng. Nanti kalo
dia pergi ga pulang gimana,
ya udah kita ikutin. (P3W1
354-359)
P dan keluarga merasa Yah cici teh jangan banyak
tertekan dengan keadaan
penderita yang sulit
mengungkapkan diri.
pikiran. Ditanyain juga, bisa
kayak gini teh kenapa? Dia
nya bilang nggak kenapa-
kenapa. Mikirin keuangan
keluarga, mikirin ada mau
pacar atau si cici lihat
mungkin si papa sama mama
teh lebih sayang sama YU
sama si AH, atau gimana,
atau cici nya sirik atau
gimana, dia jawabnya teh
nggak-nggak terus. Jadi dia
atau kita lihat dia sampai
stress gitu teh juga ga tau
kenapa. (P3W1 364-370)
Upaya keluarga untuk
menanyakan dan
mendengarkan penderita
terkait hal-hal yang
mungkin menjadi beban
pikiran penderita.
Ya sama kayak gitu, dia
jawabnya nggak, nggak. YU
mah baik. Terus saya tanya,
ke si AH ada marah ga?
Nggak. Si mama kan juga
suka ngomongkan, cici teh
ada marah sama papa ato
mama sama si YU sama si
AH? Ada marah ga, ada
yang bikin ga enak ga?
Nggak, baik semua katanya.
(P3W1 372-376)
Keluarga menawarkan
hadiah dan memenuhi
permintaan penderita pada
hari ulang tahun
penderita.
Kalau misalnya dia ulang
tahun yah, cici mau dibeliin
apa? Dia cuma mau makan
apa gitu, ya udah dibeli gitu.
(P3W1 378-379)
Ayah memberikan reward
bila penderita melakukan
suatu pekerjaan.
Misalnya kerja, terus kita
nanya ci dapat gajinya
berapa? Misalnya 50, yaudah
cici, ga papa, dikit juga ga
papa. Ya si papa yang suka
puji dia gitu. (P3W1 384-
386)
Hubungan penderita yang
baik dengan tetangga.
Baik, dia lebih tau banyak
tetangga dari saya. Ya pas
udah sakit gitu teh dia lebih
gaul. Sebelum sakit teh dia
diam. Kalau misalnya ada
orang teh datang ke rumah
dia ga suka. Suka
menyendiri. Tapi waktu dia
sakit teh lebih banyak kenal.
. (P3W1 391-394)
Perasaan P ketika melihat
penderita mengalami
kemabuhan yang
Yah, kalau si cici lagi jadi
kayak gitu yah sedih. Sedih
ngeliat tingkah lakunya teh
menunjukkan perilaku
seperti anak kecil.
kayak anak kecil. Main sama
anak kecil, sampai lari-
larian, terus bawa anak kecil,
ngajak nonton dvd di rumah.
(P3W1 397-400)
Penderita sering
membahas dan melakukan
beberapa hal yang
bertema “spiritual”
Nah pas yang terkahir sakit
ini dia itu ngeributin agama
Budha. Barongsai gitu, dia
sering main ke klenteng gitu.
Pa ayo ke klenteng, ya bawa.
Udah gitu teh besoknya, pa
ayo ke klenteng lagi. Terus
kata papa, kan kemarin udah.
Terus katanya harus, harus
sekarang juga harus soalnya
teh nanti ada apa gitu. Terus
beli dvd yang ada barongsai
gitu. Tiap hari teh distel,
malam-malam kalau ga bisa
tidur di stel keras-keras.
Terus dia ketiduran. Kalau
udah tidur kita matiin, terus
nanti dia bangun marah-
marah, katanya harus tetap
nyala. Pikirannya itu ga tau
kemana. Ributnya teh soal
agama terus. (P3W1 400-
409)
Kesedihan P ketika
melihat kondisi penderita.
Lihat kayak gitu yah saya
sedih. Sedihnya tuh liat
kenapa sih si cici harus
kayak gini? Udah gitu
kejadiannya berulang-ulang
kayak gitu. Jadi udah sampai
kita tahu kalau dia teh mau
jadi itu gimana itu udah tau.
(P3W1 409-412)
Perasaan lelah P dalam
menghadapi penderita.
Iya, capelah kayak gitu yah.
(P3W1 416)
Doa dan menenangkan
penderita adalah dua hal
yang sering dilakukan
keluarga apabila penderita
mulai kambuh pada
malam hari.
Yah doa. Misalnya dia jadi
kayak gitu yah, misalnya
ngamuk malam-malam, kita
mau manggil siapa? Ya udah
kita doa sendiri. Yah
misalnya jam 2 pagi, gitu
atau jam 3 gitu. Yah yang
biasa kita lakukan yah doa,
nenangin dia. (P3W1 418-
421)
Salah satu anggota
keluarga pernah
melakukan tindakan
Terus kalau dia masih
ngamuk-ngamuk si AH yang
pukulin dia sampai apa yah,
kekerasan terhadap
penderita ketika kambuh.
sampai digebukin sama dia
teh, sama si AH. Sampai si
AH udah ngejagain dia terus
dia nya ngamuk-ngamuk
gitu, ga sabar yah dia pukul.
Sampai kayak gitu lah.
(P3W1 421-425)
P menjadi penengah
dengan memberikan
nasehat kepada adiknya
jika terjadi tindakan
kekerasan dari adiknya
terhadap penderita.
Ya saya pisahin. Udah
ngamuk si cici, terus dipukul
adik saya AH sampai jatoh,
nangis, ya saya bilang, ya
udahlah sabar, sabar ke si
AH. (P3W1 427-429)
Ada keterlibatan peran
orang tua dalam
menasehati anggota
keluarga yang lain agar
dapat tetap sabar
menghadapi penderita.
Ya orang tua sih liat si AH
kayak gitu ya cuma
ngomong AH, lu yang sabar
si cici juga lagi gitu, diakan
ga sadar kayak gitu teh. Jadi
lu yang sabar, lu yang tahan
emosi. Tapi ya si AH
mungkin udah terlalu sabar,
jadi emosi gitu. (P3W1 434-
437)
P menghadapi keadaan
yang terjadi dalam
keluarganya dengan tetap
Yah gimana yah, sabar aja
yah. Sabar dan doa aja. Yah
kalau ngelewatin itu semua
sabar, serta percaya dan
berdoa kepada Tuhan.
yah doa. Mau marah-marah
ke siapa yah ga tau, mau
nangis ke siapa yah ga tau,
gitu. Makanya doa aja ke
Tuhan. (P3W1 440-443)
P menyadari ada hikmah
yang diperoleh
keluarganya dari kejadian
yang telah menimpa
mereka.
Sebenarnya dengan kejadian
kayak gini juga yah,
keluarga kita semakin dekat
sama Tuhan. Jadi tiap malam
baca alkitab, berdoa gitu.
Terus tiap pagi juga doa baru
pergi. Yah ada hikmah nya
juga. Tetap yah harus sabar.
(P3W1 443-446)
Analisis verbatim P3W2
Makna Verbatim
Melamun dan tiba-tiba menangis Tapi suka ngelamun, terus
menjadi kebiasaan penderita. nangis tiba-tiba. Kalau dulu
sih kita tanya kalau udah
ngomong sendiri terus nangis
tiba-tiba, jawabnya teh nggak-
nggak terus. (P3W2 6-8)
Ada keterlibatan tetangga dalam
memberikan pendapat terkait
penyebab perilaku penderita
yang sering berbicara sendiri.
Sebenarnya sih yang bilang
ada anak kecil diajak ngobrol
sama si cici teh orang lain.
Yang bisa lihat kayak gituan.
Katanya si cici teh ada yang
ngajak ngobrol begini-begini.
Soalnya di dunianya yang
nyata teh ga punya teman.
Jadi cici ngajak ngobrol yang
kayak gitu. (P3W2 9-13)
Keluarga mengikuti saran
tetangga terkait hal yang harus
dilakukan untuk membantu
penderita.
Yaudah kita cuma doain aja.
Didoain supaya ga diganggu
lagi. Terus kata orang itu,
supaya cicinya ga gitu lagi teh
diajak ngobrol terus sama
kita. Terus kalau jalan-jalan
diajak jalan.
Ya iya, kita ngajak jalan,
ngajak ngobrol gitu. (P3W2
15-19)
Ada perubahan baik yang Yah lebih baik. Jadi ga marah-
ditunjukkan penderita. marah gitu. (P3W2 21)
Selama menjalani masa
perawatan P dan keluarga tidak
diperbolehkan mengunjungi
penderita.
Yah, mungkin sih supaya ga
ingat sama orang tuanya dulu,
saya juga kurang paham sih.
Waktu itu ga begitu dijelasin
soalnya. Kayaknya mah kayak
gitu yah. Yah itu selama 3
bulan di panti itu ga boleh
dikunjungi akhirnya. (P3W2
24-27)
P merasa panti telah berbuat
curang selama pesien dirawat di
sana.
Tapi anehnya yah itu, kita kan
nitip baju kaos gitu sama
pakaian ke pantinya, tapi
waktu balik-balik ke rumah si
cici malah bawa yang udah
butut-butut gitu. Aneh. Baju
cici yang baru-baru dikasih
sama kita di ambil itu, licik
juga mereka. Padahal waktu
itu yah kita bayar juga. (P3W2
27-31)
P merasa biaya perawatan
terhadap penderita terrgolong
mahal.
Lumayan mahal juga biaya
perawatan, 2 juta. Itu tahun
2003-an. (P3W2 33)
Peran gereja dalam membantu
memasukkan penderita ke panti
Orang gereja yang jemput dari
panti itu. Soalnya yah kan
dan mengantar kembali
penderita ke rumah.
yang masukin di panti juga
orang gereja yah. (P3W2 35-
36)
Pendeta, sebagai pimpinan panti,
mendatangi rumah keluarga dan
melaporkan perkembangan
penderita.
Komunikasi dengan keluarga
ya itu si pendeta yang
pimpinan di panti itu teh
datang.
Itu seminggu sekali itu datang
ke rumah. Nginjilin kita udah
gitu teh ngasih tau si cici teh
baik-baik aja di sana.
Sekarang rambutnya udah
dipotong jadi rapi gitu. (P3W2
39-42)
Pendeta menginformasikan
kepada keluarga terkait kondisi
penderita yang sudah membaik.
Yah pendetanya kasih tau
keadaannya lebih baik, terus
udah mau baca alkitab, yah
semakin membaik katanya.
Gitu aja paling. (P3W2 45-47)
Keputusan P dan keluarga
membawa penderita ke psikiater
atas dasar saran dari teman
gereja.
Soalnya ada yang pengalaman
tetangganya orang gereja juga
kayak gitu. Dia juga di bawa
ke psikiater itu, jadi kita
ikutin omongan orang gereja
buat bawa kesana. (P3W2 51-
53)
Ketidaktahuan keluarga
mengenai kondisi penderita
membuat keluarga mengambil
tindakan membawa penderita ke
dukun karena penderita terlihat
seperti orang yang kerasukan.
Yah kita bingung.
Sebelumnya teh kan dia kayak
kerasukan gitu. Terus
tetangga-tetangga ngomong,
coba didoain sama ini sama
itu.
Karena bingung yah akhirnya
kami bawa ke dukun kayak
doa-doa orang islam gitu.
Tau-tau katanya ini emang
adaan. (P3W2 56-59)
Kebingungan keluarga mencari
solusi bagi kondisi pasien
membuat keluarga mengikuti
saran tetangga untuk dibawa ke
pendeta dan dukun.
Iya, ikutin aja saran tetangga,
soalnya udah bingung mau
diapain lagi. Terus waktu itu
juga bawa ke pendeta, terus ke
dukun-dukun gitu juga di
bawa. Semua dicoba, karena
udah bingung kita. (P3W2 61-
64)
Adanya komunikasi antara orang
tua untuk mencari solusi bagi
kondisi penderita yang sering
tidak betah berada di rumah.
Yah dua-duanya, papa sama
mama biasanya bicarain
gimana baiknya. Kalau cici ga
betah di rumah yah si papa
dan mama bilang coba dibawa
ke tempat si I‟I gitu. (P3W2
67-69)
P mengaku bahwa perawatan
secara medis lebih berdampak
positif terhadap penderita.
Sama aja, dibawa kesana-sini,
normal dikit, terus balik lagi
kayak gitu. Yang sembuh-
sembuh mah yang di dokter
itu. Akhirnya sampai sekarang
di tangani dokter aja. (P3W2
71-73)
Tidak ada pendampingan
selanjutnya dari pihak gereja,
namun pihak gereja tetap
mencari informasi terkait
kondisi penderita dari keluarga.
Paling kalau di gereja kita
pergi yah cuma ditanyain
keadaannya, udah sembuh
atau belum, gitu aja.
Jadi udah dibawa ke dokter
aja, udah ga ada
pendampingan selanjutnya
dari gereja. Yah paling-paling
itu tadi ditanyain bagaimana
minum obatnya, gitu-gitu aja.
(P3W2 77-81)
Tidak ada konseling
berkelanjutan yang diadakan
pendeta dari panti, setelah
penderita keluar dari panti
rehabilitasi tersebut.
Yah udah ga ada hubungan
lagi. Udah keluar yah udah.
Kan pendeta yang di panti
beda dengan yang tempat saya
gereja. Panti punya pendeta
sendiri yang sekaligus jadi
pemimpinnya itu. Jadi setelah
keluar udah ga ada hubungan
lagi sama pendetanya. Nah
kalau yang di gereja saya teh,
cuma nanya-nanya kayak tadi
itu. (P3W2 84-89)
Ayah lebih berperan besar
terhadap pengontrolan konsumsi
obat penderita dibandingkan
dengan anggota keluarga yang
lain.
Yah papa yang paling sering
ingatin obatnya. Yah kita
semua ingatin sih, tapi kalau
papa itu setiap hari. Cici udah
minum obat belum. Kalau
udah tidur aja, papa bisa
bangunin hanya untuk
nanyain udah minum obat apa
belum. (P3W2 92-95)
P dan ibu mengambil bagian
dalam menyiapkan obat
penderita di rumah.
Kadang yang siapin obat juga
saya, kadang mama. Kalau
cici ga malas yah dia ambil
sendiri. Dia sekarang udah tau
aturan obatnya dengan benar
sih. (P3W2 95-97)
P berpendapat bahwa kondisi
penderita disebabkan oleh
adanya stress yang
mengakibatkan perilaku marah,
terkadang menangis, dan
berbicara sendiri.
Yah dia stress kali yah. Tapi
ga tau juga di itu stres apa
sampai kayak gitu. Suka
melamun, nangis sendiri,
ngamuk-ngamuklah,
ngomong sendiri. (P3W2 99-
101)
Adanya perubahan persepsi
mengenai kondisi penderita
setelah melakukan pemeriksaan
medis.
Yang lain juga mikirnya dia
mah stress itu. Pertama-tama
sih kita nganggapnya di
kerasukan apa gitu. Pas udah
ke dokter mah kita mikir aja
stress. Soalnya pakai obat itu
baik, kalau didoain sama aja
balik lagi kadang. (P3W2
101-104)
Informasi dari dokter tentang
kondisi pasien dinilai minim.
Iya begitulah. Ga dijelasin
sama dokter sakit apa gitu,
tapi bilang kalau cici butuh
bimbingan keluarga juga di
rumah gitu. Terus dikasih
obat, sama disuruh ngajak
ngobrol biar ga melamun gitu.
(P3W2 106-108)
Dokter sebagai sumber
informasi satu-satunya.
Ga ada, tau kondisi cici yah
sedikit dari dokter itu aja.
Selain itu teh ga ada. (P3W2
111-112)
Penderita diajak berkomunikasi
dan melakukan kegiatan
bersama anggota keluarga yang
lain.
Yah papa mama ngajak
ngobrol, kalau kita ada yang
jalan-jalan yah dia diajak.
(P3W2 115-116)
Pendampingan dan perawatan Yah diajak ke gereja, ke
oleh keluarga terutama berupa
kegiatan gereja dan komunikasi
bersama anggota keluarga yang
lain.
persekutuan. Kalau di rumah
yah diajak ngobrol, nonton tv
bareng, yah kalau dia lagi
sehat yah cerewet dia. Ngajak
kita ngobrol.
Terus kalau dia mau makan,
kita Tanya cici mau dibeliin
apa? Yah kita beliin, misalnya
mau apa gitu yah kita turutin.
Walaupun jauh-jauh yah tetap
kita pergi beliin. Cici mau apa
aja diikutin. (P3W2 119-124)
Adanya keterlibatan seluruh
anggota keluarga untuk mencari
solusi bagi kondisi penderita
apabila penderita kambuh.
Yah semuannya. Kita coba
ngobrol bareng sekeluarga
kalau si cici udah kambuh gini
teh, bagusnya bawa kemana
gitu. (P3W2 127-128)
Adanya sikap saling menghargai
terhadap pendapat sesama
anggota keluarga dalam mencari
solusi bagi kondisi penderita.
Kita ngumpul gitu terus
ngobrol bareng. Misalnya
yang kayak kejadian terakhir
ini kan saya bilang gimana
kalau seandainya di bawa ke
dokter malah si cici
kecanduan obat, terus kata
mama jangan, kita doain aja
dulu. Ya udah kita ikutin
saran mama. Tapi waktu
kejadian yang dia parah pisan,
yaudah kata saya sama AH
adik saya,
ya udah ma kita bawa aja ke
dokter. Terus papa juga
setuju, jadi kita bawa si cici
ke dokter gitu. (P3W2 131-
137)
Keluarga lebih sering bersama-
sama mendampingi dan mencari
jalan keluar.
Yah kita lebih bareng-bareng
menghadapinya yah. (P3W2
140)
Salah satu cara P menghadapi
keadaan yang terjadi adalah
dengan cara berdoa.
Yah kalau sendiripun yah saya
cuma bisa doa. (P3W2 141)
Salah satu bentuk kepedulian
anggota keluarga yang lain
terhadap penderita adalah
dengan menjaganya di rumah.
Kalau si adek mah bantu
jagain di rumah, kalau
kambuh kan sering pergi
kemana-mana, nah kalau adek
saya sih kadang biarin aja,
soalnya nanti juga pulang
sendiri katanya. (P3W2 141-
144)
Bentuk kepedulian ayah
terhadap penderita yang kambuh
adalah dengan cara mengikuti
Kalau si papa teh cicinya
kabur-kabur malah diikutin
sama papa. Papa itu lebih
penderita jika penderita kabur
dari rumah.
khawatir daripada kita semua
yah. (P3W2 144-146)
Ibu bersikap pasrah bila pasien
keluar rumah dan berpikir bahwa
pasien akan pulang kembali.
Kalau si mama yah pasrah,
soalnya ga kuat juga ikutin
kemana-mana. Mama itu sama
kayak AH adek saya, katanya
nanti juga balik dengan
sendirinya gitu. (P3W2 146-
148)
Ayah memiliki kekhawatiran
yang lebih besar terhadap
kondisi penderita dibandingkan
dengan anggota keluarga yang
lainnya.
Tapi si papa itu yang ga bisa
biarin, pasti kalau pergi jauh-
jauh gitu diikutin sama si papa
teh. Malah biasa papa nawar
cici mau kemana, yaudah
papa antarin aja, mau ga?
Kalau papa sih gitu sama si
cicinya.
Yah nanti diantar gitu sama si
papa. (P3W2 149-153)
Ada inisiatif dari ayah untuk
mengajak penderita
mengkomunikasikan beban
pikiran yang dirasakan olehnya.
Yah kalau papa lihat cici udah
melamun, ditanyain cici teh
kenapa? Ada masalah apa,
terus ada marah ga sama papa
atau sama mama atau sama
siapa gitu? Terus papa teh
biasanya ya udah kalau ada
salah papa minta maaf, terus
papa sama si cici teh salaman.
(P3W2 156-160)
Keluarga secara bersama-sama
menghadapi serta mendukung
penderita dalam menjalani masa
perawatan di rumah termasuk
ketika penderita mulai kambuh.
Yah gitu. kita yang lain juga
biasa ngobrol. Yah sama aja.
Kita lebih bareng-bareng
dukunginnya. Kalau dia lagi
kambuh yah kita bareng-
bareng ngadapinnya gitu.
(P3W2 160-162)
Setelah melakukan analisis wawancara bersama
dengan partisipan, langkah selanjutnya adalah melakukan
proses kategorisasi tema. Proses ini menghasilkan beberapa
kategori data partisipan pertama, yaitu:
Kategori Data P3
1 Ciri-ciri atau gejala yang ditunjukkan oleh penderita
skizofrenia.
2 Aktivitas penderita pada saat dalam kondisi tidak
kambuh.
3 Persepsi keluarga dan lingkungan sekitar mengenai latar
belakang penyebab anggota keluarga tersebut menderita
skizofrenia.
4 Kontribusi lingkungan sekitar terhadap keluarga P terkait
penanganan penderita.
Berdasarkan kategori-kategori yang telah ada,
maka langkah berikutnya adalah merekonstruksi kategori-
kategori tersebut ke dalam sebuah narasi.
d. Analisis partisipan 3
Partisipan yang bernama YU adalah adik kandung
dari SL yang menderita skizofrenia dan sedang menjalani
masa pasca perawatan di rumah. Saat ini YU berusia 22
tahun dan kesehariannya disibukkan dengan pekerjaannya
sebagai staf keuangan proyek pada salah satu perusahaan
di Bandung. Saat ini partisipan tinggal bersama kedua
orang tuanya, adiknya yang bernama AH serta SL.
5 Perasaan dan pergumulan keluarga dalam menghadapi
dan merawat penderita skizofrenia di rumah.
6 Peran gereja dalam membantu keluarga mencari solusi
terhadap kondisi penderita.
7 Pendapat keluarga mengenai cara penanganan penderita
di panti rehabilitasi dan penanganan oleh psikiater.
8 Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga ketika
merawat penderita.
9 Usaha keluarga dalam mengatasi berbagai permasalahan
yang dihadapi ketika merawat penderita di rumah.
10 Upaya dari keluarga sebagai bentuk dukungan sosial yang
diberikan pada saat merawat penderita skizofrenia.
11 Koping stres P dan keluarga dalam menghadapi/ merawat
penderita.
Penderita didiagnosa menderita skizofrenia oleh
pihak panti dan psikiater berdasarkan pada beberapa
gejala yang ditunjukkan oleh penderita sendiri. Gejala-
gejala tersebut menurut partisipan adalah, SL yang sering
terlihat melamun, tiba-tiba menangis, memiliki kesulitan
untuk tidur, bahkan ia beberapa kali mendapati SL
sedang berbicara sendiri. Gejala dari segi afektif,
ditunjukkan penderita dalam bentuk reaksi emosi marah
kepada anggota keluarganya yang lain. Selain beberapa
gejala di atas, partisipan juga melihat kecenderungan
penderita dalam membahas tema-tema religius kepada
partisipan. Hal ini terkadang menjadi indikator bagi
partisipan untuk mengetahui keadaan penderita apakah
sedang berada pada keadaan normal atau sementara
kambuh. Di sisi lain, penderita juga memilki
kecenderungan untuk melakukan aktivitas tanpa henti
seperti berpergian hingga larut malam.
Gejala-gejala yang ditunjukkan oleh penderita
tersebut menimbulkan berbagai asumsi baik dari pihak
keluarga maupun dari lingkungan sekitar tempat tinggal
mereka berkaitan dengan hal yang dialami oleh penderita.
Adapun persepsi keluarga mengenai kondisi penderita
pada awal munculnya gejala-gejala penyakit tersebut
adalah karena penderita kerasukan roh jahat. Pendapat
tersebut didukung oleh beberapa tetangga yang menurut
YU sering mempunyai pengalaman spiritual mengenai
hal-hal tersebut. Karena asumsi-asumsi yang dibangun
berdasarkan pengalaman tetangga tersebut akhirnya
berbagai saran dari tetangga mengenai cara penanganan
penderita pun diikuti oleh keluarga. Salah satunya adalah
dengan cara membawa penderita ke dukun atau „orang
pintar‟.
Setelah mencoba berbagai cara yang disarankan
oleh tetangga mereka, ternyata kakaknya tidak banyak
menunjukkan perubahan yang lebih baik. Akhirnya
partisipan memutuskan untuk menceritakan keadaan
mereka ke pihak gereja, tempat mereka beribadah. Atas
informasi yang diberikan oleh teman-teman gereja,
akhirnya partisipan mengetahui bahwa SL memiliki
gangguan pada kejiwaan, sehingga penanganan melalui
psikiater dan tempat rehabilitasi adalah penanganan yang
lebih tepat. Gereja menawarkan bantuan untuk membawa
penderita ke panti rehabilitasi terdekat. Akhirnya
partisipan dan keluarga menyetujui saran gereja. Melalui
perawatan tersebut, maka ada perubahan persepsi keluarga
mengenai kondisi penderita. Menurut mereka kondisi
penderita disebabkan karena banyaknya beban pikiran
yang ditanggung sendiri olehnya. Hal tersebut akhirnya
menjadi pemicu stress bagi penderita sendiri sehingga
mengakibatkan perilaku-perilaku yang terkesan aneh.
Selama menjalani masa perawatan di panti, YU
mengaku ada beberapa kejanggalan yang dirasakan oleh
keluarga mereka. Pertama, keluarga tidak diperbolehkan
mengunjungi penderita di panti rehabilitasi tersebut
selama masa perawatan dengan alasan agar penderita
tidak mengingat rumah yang dapat membuatnya ingin
kembali pulang. Kedua, setiap barang berupa beberapa
pakaian yang dititipkan oleh keluarga pada pihak panti
untuk diberikan kepada penderita juga tidak tersalurkan.
Sementara itu, komunikasi pihak panti dengan keluarga
adalah dengan cara pimpinan panti mendatangi keluarga,
mengajak membaca alkitab, berdoa, dan sedikit
melaporkan kondisi penderita di panti tersebut. Setelah 3
bulan menjalani masa perawatan di panti rehabilitasi
akhirnya SL diperbolehkan pulang ke rumah. Pada saat ia
diperbolehkan pulang, sekali lagi kepedulian gereja
terhadap partisipan dan keluarganya ditunjukkan mereka
dengan menjemput SL dan membawa SL pulang ke
rumah. Selain itu, dalam keseluruhan perawatan baik di
panti maupun psikiater, dibiayai oleh keluarga dan juga
dibantu oleh gereja.
Setelah pasca perawatan panti rehabilitasi, ternyata
penderita beberapa kali menunjukkan kekambuhan yang
menjadi permasalahan serius dalam keluarga mereka.
Partisipan merasa permasalahan terbesar mereka adalah
kebiasaan SL yang sering pergi dari rumah dan pulang
terlampau larut, sehingga menimbulkan kekhawatiran dari
seluruh anggota keluarga yang lain. Sikap ayah yang
melihat kondisi ini adalah lebih sering pergi menemani
penderita, sedangkan sikap ibu lebih berpasrah dan
menunggu penderita pulang di rumah. Penderita juga
sering menunjukkan reaksi emosi marah kepada anggota
keluarga yang lain apabila tidak bersedia menemaninya
berpergian. YU dan keluarga merasa terbebani karena
mereka semua memiliki kesibukan masing-masing,
sehingga tidak dapat terus menerus menemani SL. Hal ini
juga terkadang menimbulkan kemarahan oleh adik
partisipan terhadap penderita. Kemarahan serta perasaan
lelah dalam menghadapi penderita pernah membuat adik
partisipan mengambil tindakan kekerasan terhadap SL.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh keluarga adalah
penderita yang kesulitan tidur, sehingga harus terus
menerus ditemani oleh keluarga. Beberapa gejala lain
yang juga menonjol ketika penderita mengalami
kekambuhan adalah sering melamun dan membahas tema-
tema spiritual.
Karena kebiasaan penderita yang tidak dapat
ditoleransi lagi, akhirnya partisipan dan keluarga serta
gereja yang mengetahui keadaan keluarga mereka
memutuskan untuk membawa penderita ke psikiater dan
kembali melakukan kontrol rutin. Walaupun tidak ada
kejelasan informasi yang diberikan psikiater kepada
mereka terkait kondisi penderita, namun partisipan
mengaku bahwa penanganan dengan psikiater dan obat-
obatan yang diberikan membawa dampak positif kepada
penderita.
Dalam melewati setiap permasalahan yang ada
ketika merawat penderita pasca perawatan, partisipan
mengaku ada perasaan sedih, khawatir serta kelelahan
dalam menoleransi kebiasaan serta sikap dan perilaku
penderita. Namun demikian, keluarga tetap mendukung
penderita untuk terus menunjukkan perubahan ke arah
yang lebih baik. Ada berbagai macam jenis dukungan
yang diberikan kepada penderita dengan berbagai macam
cara yang dilakukan. Beberapa di antaranya adalah
dukungan secara langsung dan tidak langsung. Dukungan
secara tidak langsung dapat dilihat dari keluarga yang
berdiskusi bersama dalam mencari solusi terbaik yang
akan mereka ambil untuk kesembuhan penderita. Dalam
diskusi ini, terkadang YU dan orang tua juga sering
memberikan nasehat kepada adik partisipan tersebut,
untuk tetap bersabar menghadapi kakaknya yang
menderita skizofrenia. Selain diskusi bersama, dukungan
secara tidak langsung yang diberikan adalah mendengar
dan mengikuti saran dari pada kerabat dan tetangga terkait
alternatif-alternatif pengobatan bagi penderita, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dukungan secara langsung yang diberikan kepada
penderita oleh keluarga juga terdapat dari beberapa jenis
dan cara. Di antaranya adalah dukungan instrumental,
dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan
dukungan secara emosional. Dukungan instrumental dapat
dilihat dari semua bentuk dukungan nyata yang diberikan
kepada penderita. Beberapa di antaranya adalah
membiayai dan membawa penderita ke psikiater, panti
rehabilitasi maupun beberapa alternatif pengobatan
lainnya serta memenuhi kebutuhan penderita pada saat di
tempat perawatan ataupun di rumah. Selain itu partisipan
dan keluarga juga menyediakan waktu dan tenaga dalam
mendampingi penderita pada saat penderita mengalami
kekambuhan ataupun ketika penderita berpergian ke luar
rumah hingga larut malam. Dukungan ini juga
ditunjukkan dengan kesetiaan keluarga dalam mengontrol
konsumsi obat penderita secara rutin serta memberikan
reward ketika penderita berulang tahun.
Dukungan penghargaan yang diberikan kepada
penderita oleh keluarga terlihat jelas memiliki intensitas
yang lebih sedikit daripada dukungan secara material.
Beberapa dukungan penghargaan yang pernah diberikan
oleh keluarga kepada penderita adalah mendorong
penderita untuk tetap berkarya dengan mencari pekerjaan
sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Selain itu,
anggota keluarga pernah memberikan pujian atas hasil
kerja yang diperoleh penderita dari tempat ia bekerja.
Partisipan dan keluarga juga mengakui kualitas
intelegensi yang baik, yang dimiliki oleh penderita
dibandingkan dengan saudara penderita yang lainnya.
Dukungan informasi ditunjukkan oleh keluarga
kepada penderita dengan cara pemberian saran serta
nasehat kepada penderita. Adapun beberapa saran dan
nasehat yang diberikan terkait dengan kebiasaan penderita
yang sering keluar rumah. Keluarga mencoba untuk
menjelaskan kepada penderita mengenai bahaya keluar
rumah seorang diri di waktu malam hari. Walaupun jarang
didengar oleh penderita, namun setiap anggota keluarga
memillih untuk tetap menasehati dan mengingatkan
penderita secara beganti-gantian. Hal tersebut dilakukan
atas dasar kekhawatiran keluarga terhadap kebiasaan
penderita yang dapat membahayakan dirinya sendiri.
Selain ketiga dukungan di atas, terdapat juga
dukungan secara emosional yang diberikan keluarga
kepada penderita. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan
empati, kepedulian serta perhatian yang diberikan oleh
keluarga kepada penderita. Contoh pemberian dukungan
emosional oleh keluarga adalah upaya berkomunikasi
dengan penderita untuk mengetahui keinginan penderita
dan menyenangkan hati penderita. Selain itu, kepedulian
dan perhatian kepada penderita juga ditunjukkan dengan
menemani penderita ketika penderita mengalami
kekambuhan sehingga tidak dapat tidur di malam hari.
Selama menemani penderita, keluarga mengaku hanya
bisa berdoa sambil terus berusaha menenangkannya agar
ia bisa beristirahat.
Di sisi lain, terdapat juga dukungan dari sumber
berbeda selain keluarga yang diterima oleh penderita.
Dukungan dari luar keluarga ini diperoleh dari pihak
gereja, psikiater, para tetangga serta beberapa kerabat
terdekat mereka. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, pihak gereja mendukung proses
penyembuhan penderita dengan cara memberikan saran
serta bantuan dana pengobatan. Psikiater lebih berperan
dalam memberikan pengobatan secara langsung kepada
penderita serta tidak jarang memberikan beberapa nasehat,
baik kepada penderita maupun kepada keluarga yang
merawatnya. Dari pihak tetangga dan kerabat sendiri
memberikan dukungan dengan cara memberikan saran
mengenai alternatif tempat dan cara pengobatan yang
tepat bagi penderita.
Dengan tersedianya dukungan baik dari keluarga
maupun dari pihak luar keluarga, menurut YU, hal ini
memberikan dampak yang positif bagi kondisi penderita.
Hal ini dapat dilihat dari kemauan dan semangat penderita
untuk mengembangkan dirinya sendiri. Saat ini penderita
lebih aktif bekerja pada salah satu toko tempat produksi
roti di dekat rumahnya, serta aktif dalam kegiatan gereja.
Keaktifan penderita tersebut mengurangi frekuensi
kekambuhan penderita dibandingkan dengan penderita
yang tidak memiliki aktivitas di rumah. Selain itu juga
terlihat berkurangnya intensitas marah yang ditunjukkan
penderita ketika keinginannya tidak terpenuhi.
Hingga saat ini, keadaan di rumah partisipan lebih
baik karena adanya pengertian dari setiap anggota
keluarga terhadap kondisi penderita. Apabila dalam
keluarga sudah mulai merasa tertekan karena penderita
kambuh, maka yang dilakukan keluarga adalah mengajak
seluruh anggota keluarga untuk berdoa bersama, mencari
solusi bersama, saling mendukung, dan terus menyadari
dan percaya bahwa selalu ada hikmah yang bisa diambil
dari keadaan mereka. Menurut partisipan, melalui
peristiwa ini, keluarganya semakin mendekatkan diri
kepada Tuhan, karena hanya dengan cara itu mereka bisa
terus bersabar dan bertahan merawat salah satu anggota
keluarga mereka yang sakit tersebut.
D. Memeriksa keabsahan data
1. Triangulasi
a. Partisipan 1
Triangulasi data bagi partisipan pertama (DJ)
dilakukan dengan mewawancarai istri P1, yang
bernama SR. Wawancara dilakukan pada tanggal 20
Maret 2013. Pada saat wawancara, SR mulai
menceritakan kejadian awal mula ketika anak mereka
menunjukkan gejala yang aneh. Beberapa gejala
tersebut adalah berbicara sendiri, ketidakmampuan
merespons pertanyaan yang diberikan serta kehilangan
minat untuk melakukan berbagai macam kegiatan.
Selanjutnya SR juga menceritakan latar belakang
pendidikan anaknya, sebelum menderita sakit. Dari
kisahnya diketahui bahwa anaknya menempuh
pendidikan SD hingga SMA di kabupaten Boyolali dan
melanjutkan ke perguruan tinggi swasta dengan jurusan
teknik kimia.
Beberapa upaya sebagai dukungan yang
dilakukan SR dan suaminya untuk kesembuhan anak
mereka, di antaranya adalah membawa anak mereka ke
RSJ untuk dirawat di sana. Hal ini dilakukannya karena
penderita telah menunjukkan gejala yang dianggap
berbahaya, seperti marah-marah terhadap anggota
keluarga yang lain. Penderita menjalani perawatan di
RSJ selama 2 kali, kemudian dipindahkan
perawatannya ke Panti rehabilitasi yang letaknya
berdekatan dengan rumah mereka. Salah satu alasan
dipindahkan tempat perawatan anaknya adalah karena
biaya perawatan yang dirasa lebih murah di Panti
rehabilitasi tersebut.
Selama menjalani masa pasca perawatan di
rumah, masalah yang terlihat menonjol menurut SR
adalah kurangnya minat penderita untuk melakukan
pekerjaan rumah yang disarankan baik oleh SR
maupun suaminya. Hal ini membuat SR khawatir, jika
anaknya tidak akan dapat hidup madiri dan terus
bergantung pada orang tuanya, mengingat usia
penderita juga sudah mencapai usia dewasa. Namun
demikian, SR dan suaminya terus memberikan nasehat
dan saran untuk mendukung penderita dalam
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya. Dukungan bagi keluarga SR,
khususnya bagi perawatan penderita juga diterima dari
pihak eksternal, dalam hal ini biaya perawatan
penderita yang dibantu oleh salah satu kerabat SR.
Dukungan keluarga selanjutnya yang diberikan oleh SR
dan suaminya dalam merawat penderita adalah
dukungan instrumental berupa pemenuhan biaya
kebutuhan penderita sehari-harinya.
b. Partisipan 2
Triangulasi data bagi partisipan kedua (A)
dilakukan dengan mewawancarai saudara sepupunya
yang bernama ED. Wawancara dilakukan pada tanggal
20 Maret 2013. ED mengaku tidak begitu mengetahui
secara detail apa yang terjadi di dalam keluarga
penderita, namun ED berusaha untuk menjelaskan
beberapa hal yang ditanyakan oleh peneliti secara baik
sesuai dengan apa yang dilihat dan diketahuinya. Pada
saat wawancara dimulai, peneliti mulai memberikan
pertanyaan seputar latar belakang penderita dan
keluarga penderita. ED menjelaskan kejadian awal
ketika tantenya tersebut mulai menunjukkan gejala
yang aneh. Beberapa gejala yang dilihat ED sendiri
adalah kebiasaan penderita yang keluar rumah pada
malam hari, berbicara sendiri, serta menunjukkan
emosi marah yang berlebihan kepada orang lain
(tetangga) maupun terhadap keluarganya sendiri.
Selanjutnya, ketika peneliti bertanya mengenai
dukungan yang diberikan oleh keluarga kepada
penderita, ED mejelaskan bahwa upaya yang coba
dilakukan oleh pihak keluarga dalam menolong
penderita adalah dengan membawa penderita ke RSJ
untuk mendapatkan perawatan. Setelah beberapa kali
dibawa ke RSJ, ternyata keluarga menemukan tempat
perawatan baru yang letaknya lebih dekat dengan
rumah mereka, yaitu di salah satu panti rehabilitasi
mental yang berada di Boyolali. Dengan berbagai
macam pertimbangan bersama seluruh anggota
keluarga akhirnya penderita dibawa ke panti
rehabilitasi tersebut untuk menjalani masa perawatan.
ED juga mengaku bahwa ketika liburan, di
rumah penderita akan terlihat ramai dengan kunjungan
anak-anak penderita yang berada di luar kota. Menurut
ED, penderita sering dilibatkan oleh keluarga besarnya
dalam kegiatan kumpul bersama keluarga yang rutin
dilakukan sebulan atau dua bulan sekali, baik pada saat
liburan kerja ataupun pada saat hari raya agama, dan
lain sebagainya. Kebiasaan keluarga ini, menurut ED
merupakan hal yang dilakukan secara sengaja untuk
menyenangkan hati penderita selama menjalani masa
pasca perawatan.
c. Partisipan 3
Triangulasi data bagi partisipan ketiga (YU)
dilakukan dengan mewawancarai adiknya, yang
bernama AH. Wawancara dilakukan pada tanggal 12
Maret 2013. Pada saat wawancara AH tidak banyak
bercerita mengenai kondisi salah satu saudaranya yang
menderita skizofrenia. Ia memulai ceritanya mengenai
latar belakang awal munculnya penyakit dari
saudaranya tersebut. Menurut AH, setelah pulang dari
kegiatan sekolahnya, penderita sudah menunjukkan
gejala yang aneh. Gejala yang dimaksud adalah
penderita yang lebih banyak berbicara, kemudian tiba-
tiba melamun bahkan bisa menangis atau tertawa
sendiri. Beberapa kali penderita juga terlihat
mengasingkan diri ke dalam kamar dan berbicara
sendiri.
Terkait dukungan yang telah dilakukan oleh
keluarga mereka bagi kesembuhan penderita, AH
mengaku bahwa pernah sekali membawa penderita ke
panti rehabilitasi. Kemudian, setelah keluar dari panti
rehabilitasi, AH dan ayahnya beberapa kali menemani
penderita untuk melakukan kontrol rutin ke psikiater
yang disarankan oleh gerejanya. Terkait kepatuhan
mengkonsumsi obat, AH menjelaskan bahwa
keluarganya harus selalu menyediakan dan mengontrol
obat penderita, karena penderita kurang mampu
mengingat jadwal untuk mengkonsumsi obat secara
mandiri.
Beberapa masalah utama yang dihadapi
keluarga mereka ketika merawat penderita, menurut
AH adalah keinginan penderita berpergian hingga larut
malam. Kebiasaan tersebut sering membuat mereka
khawatir dan terkadang AH bersama ayahnya harus
pergi mencari penderita, jika hingga larut malam belum
pulang ke rumah. Hal ini dirasa menjadi beban bagi
keluarga mereka.
Selama pengalaman merawat penderita, AH
menuturkan bahwa ia pernah melakukan tindakan
kekerasan kepada penderita jika kebiasaan dan keinginan
penderita yang tidak realistis sudah tidak dapat
ditoleransi oleh AH. Tindakan kekerasan yang dilakukan
AH dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada
penderita terkait kebiasaan penderita yang tidak dapat
selalu diterima oleh keluraga mereka. Namun, ia juga
menceritakan bagaimana sikap kedua orang tua serta YU
dalam memberikan nasehat kepadanya untuk dapat
memahami dan menerima kondisi penderita, sehingga
ketika memberikan pengertian kepada penderita, AH
dapat menasehati dengan tidak melakukan tindakan
kekerasan. Selain pemberian nasehat kepada AH, orang
tua dan YU juga sering memberikan dukungan berupa
nasehat dan saran kepada penderita agar penderita dapat
menunjukkan perilaku yang lebih baik.
Dukungan lain yang diberikan oleh keluarga
kepada penderita adalah berupa kesediaan keluarga
untuk meluangkan waktu menemani penderita selama
penderita mengalami kesulitan untuk tidur di malam
hari. Selama menemani penderita, keluarga sering
mengajak penderita untuk membaca Alkitab bersama
ataupun hanya sekedar berkomunikasi menanyakan hal
yang dirasakan oleh penderita.
Hingga saat ini, dalam menghadapi kondisi
penderita, keluarga hanya bisa terus saling mendukung.
Bahkan, keluarga memiliki waktu untuk berdoa bersama
dan saling menguatkan di antara mereka.
2. Member check
a. Partisipan 1
Peneliti melakukan member check pada tanggal 20
Maret 2013. Peneliti menunjukkan hasil transkip
wawancara kepada DJ dan memberi waktu DJ untuk
membaca transkip dan laporan observasi ketika
pengambilan data dilakukan. Kemudian setelah
menyetujui kesesuaian data dengan realitas yang telah
terjadi DJ bersedia untuk menandatangani surat
pernyataan.
b. Partisipan 2
Peneliti melakukan member check pada tanggal
20 Maret 2013. Peneliti menunjukkan hasil transkip
wawancara kepada A dan memberi waktu A untuk
membaca transkip dan laporan observasi ketika
pengambilan data dilakukan. Kemudian setelah
menyetujui kesesuaian data dengan realitas yang telah
terjadi A bersedia untuk menandatangani surat
pernyataan.
c. Partisipan 3
Peneliti melakukan member check pada tanggal
21 Maret 2013 Peneliti mengirimkan hasil transkip
wawancara, laporan observasi, dan surat pernyataan
kepada YU untuk membaca transkip ketika
pengambilan data dilakukan. Kemudian setelah
menyetujui kesesuaian data dengan realitas yang telah
terjadi YU bersedia untuk menandatangani surat
pernyataan. Surat pernyataan tersebut dikirimkan
kembali kepada peneliti melalui kerabat peneliti yang
menjadi informan dalam penelitian ini.
E. PEMBAHASAN
Fokus dalam penelitian ini adalah ingin melihat
ketersediaan serta bentuk dukungan sosial yang diberikan oleh
keluarga kepada salah satu anggotanya yang menderita
skizofrenia dalam menjalani masa pasca perawatan. Oleh karena
itu, dalam memahami proses tersebut, sangat penting untuk
memahami apa yang dimaksudkan dengan dukungan sosial, serta
bentuk dari dukungan tersebut.
Dukungan sosial keluarga menurut Hurlock (1996) adalah
suatu dukungan kesenangan, perhatian, penghargaan atau
pertolongan yang berupa informasi atau nasehat verbal,
nonverbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diterima individu
dari keluarga. Di sisi lain, House (dalam Smet, 1994)
membedakan aspek-aspek dalam dukungan sosial, yaitu:
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental dan dukungan informatif. Namun pada
kenyataannya jenis dukungan yang diterima dan diperlukan oleh
setiap orang berbeda-beda tergantung pada keadaannya masing-
masing. Dengan demikian, dukungan sosial dari keluarga
terhadap salah satu anggotanya yang menderita skizofrenia
sebagai fokus penelitian inipun beragam. Hal ini tergantung dari
nilai atau tindakan yang dilakukan dan diterapkan oleh masing-
masing partisipan dan keluarganya terhadap anggota keluarga
mereka yang menderita skizofrenia. Berikut akan dijelaskan
masing-masing mengenai ketersediaan dukungan serta jenis
dukungan yang diberikan oleh partisipan terhadap anggota
keluarga penderita skizofrenia pasca perawatan. Namun, sebelum
membahas mengenai dukungan sosial, akan lebih baik untuk
melihat latar belakang dari masing-masing partisipan serta
beberapa pergumulan mereka dalam merawat anggota keluarga
yang menderita skizofrenia tersebut.
1. Latar Belakang Keluarga
Ketiga partisipan dalam penelitian ini sama-sama
memiliki anggota keluarga yang menderita skizofrenia dan saat
ini sedang menjalani masa pasca perawatan RSJ maupun Panti
rehabilitasi. Perbedaan pada ketiga partisipan ini adalah posisi
anggota keluarga penderita skizofrenia tersebut dalam relasi
hubungan mereka. P1 memiliki anak yang menderita skizofrenia,
P2 memiliki ibu yang menderita skizofrenia, sedangkan P3
memiliki seorang kakak perempuan yang menderita skizofrenia.
Adapun beberapa penyebab anggota keluarga mereka menderita
skizofrenia, menurut pandangan masing-masing partisipan
adalah:
a. Partisipan 1 (DJ)
Menurut P1 dan istrinya, anak mereka menderita
skizofrenia sejak berusia kurang lebih 20 tahun. Pada saat
itu anak mereka sedang menempuh pendidikan di salah
satu universitas swasta jurusan teknik kimia. Menurut P
penyebab anaknya menderita skizofrenia adalah karena
ketidakmampuan anaknya dalam menjalani masa
pendidikannya saat itu yang dirasa terlalu berat dan
menekan. Adapun gejala yang ditunjukkan selama masa-
masa tersebut adalah penurunan daya ingat, pola
pemikiran yang tidak terorganisasi seperti dalam
memberikan respons yang tidak tepat terhadap stimulus
yang diberikan, berbicara sendiri, menunjukkan reaksi
emosi marah yang berlebihan, serta kehilangan minat
dalam melakukan berbagai macam kegiatan yang
disarankan.
P1 dan istri juga mengaku bahwa penderita
merupakan sosok pemuda yang tidak banyak memiliki
relasi dengan teman sebayanya pada masa mudanya. Pada
tahap perkembangan di usia 20 tahun, penderita lebih
sering menghindari relasi dengan teman sebayanya dan
memilih untuk tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler yang ditawarkan sekolah ataupun kegiatan
di sekitar lingkungan rumahnya. P1 melihat hal ini
sebagai salah satu faktor penyebab penderita
menunjukkan perilaku avolition (menurunnya minat dan
dorongan) pada saat ini. Sementara itu, Erikson (dalam
Boeree, 2008) menegaskan bahwa pada tahap
perkembangan di usia dewasa awal, yaitu usia 18-30
tahun, seharusnya individu melaksanakan tugas
perkembangan dengan membangun relasi atau kedekatan
dengan orang lain (intimacy) dan menghindari sikap
menyendiri (isolation). Dilihat dari ciri penderita
skizofrenia, diketahui juga bahwa penderita telah
menunjukkan kepribadian skizoid, sebagai gejala awal
pada beberapa penderita skizofrenia, yang ditandai dengan
sikap pendiam, pasif serta introvert.
Mengacu pada gejala yang ditunjukkan oleh
penderita, maka upaya pertama kali yang dilakukan oleh
keluarga adalah membawa penderita untuk berobat ke
RSJ Solo. Setelah pasca perawatan RSJ Solo, penderita
mulai menunjukkan perubahan sikap dan perilaku yang
lebih baik. Kemudian, mengacu pada persepsi awal
mengenai penyebab penyakit yang diderita oleh anaknya,
P dan keluarga akhirnya berusaha untuk memberikan
pilihan universitas dan jurusan lain kepada penderita,
dengan maksud agar penderita tetap menjalani masa
pendidikannya dengan beban yang lebih ringan dari
sebelumnya. Namun usaha ini kembali gagal, karena
dalam menjalani masa perkuliahan penderita kembali
mengalami kekambuhan dengan menunjukkan gejala
yang sama pada awal menderita skizofrenia tersebut.
Sementara itu, dari hasil triangulasi yang
dilakukan terhadap istri P, diketahui bahwa beberapa
saudara dari P1 juga memiliki riwayat penyakit yang
sama. Oleh karena itu, istri P menduga bahwa adanya
faktor keturunan yang menjadi salah satu penyebab sakit
dari anak mereka.
b. Partisipan 2 (A)
P2 berusia sekitar 7 atau 8 tahun ketika ibunya
didiagnosa menderita skizofrenia. Memiliki seorang ibu
yang menderita skizofrenia, membuat P2 menjalani masa
kecilnya dengan perasaan malu terhadap lingkungannya,
khususnya lingkungan tempat ia menempuh pendidikan.
Namun setelah memasuki usia dewasa, dengan berbagai
macam pengertian yang diberikan oleh ayah dan psikiater
yang menangani ibunya, akhirnya P2 memutuskan untuk
lebih berfokus pada usaha penyembuhan penderita
dibandingkan perasaan malu yang pernah dialaminya.
Pandangan P2 mengenai penyebab ibunya
menderita skizofrenia adalah karena banyaknya beban
pemikiran yang tidak dapat dibagikan sehingga penderita
terbiasa menghadapi beban tersebut seorang diri. Namun
demikian, berdasarkan informasi dari kerabat penderita,
juga cerita penderita kepada P2, P2 akhirnya berasumsi
bahwa beban pikiran yang ditanggung oleh penderita
adalah terkait kesibukan suami di luar rumah, serta
tekanan-tekanan yang diberikan suami kepada penderita.
Selain itu, dengan melihat adanya beberapa
anggota keluarga dari pihak ibu yang mempunyai riwayat
penyakit dan pernah dirawat di RSJ, maka P2 berasumsi
bahwa adanya faktor keturunan yang menjadi salah satu
penyebab sakit ibunya tersebut. Adapun gejala yang
ditunjukkan oleh penderita adalah perilaku berbicara
sendiri, menunjukkan emosi marah yang berlebihan
terhadap suaminya, mendengar bisikan-bisikan serta
kehilangan minat untuk mementingkan kebersihan
pribadinya sendiri.
c. Partisipan 3 (YU)
Menurut P3, penderita merupakan sosok pribadi
yang jarang membangun relasi sebelum menderita
skizofrenia. Masa kecil penderita hingga usia kurang lebih
14 tahun, penderita memiliki kecenderungan untuk
menarik diri dari ajakan teman sebayanya untuk pergi dan
melakukan aktivitas bersama dan memilih untuk berada di
rumah. Namun pada saat menderita skizofrenia dan
menjalani pengobatan hingga saat ini, penderita kemudian
menunjukkan perubahan dari yang menghindari relasi
menjadi pribadi yang mau membangun relasi dengan
orang lain.
Adapun beberapa gejala lain yang ditunjukkan
oleh penderita adalah perubahan emosi yang secara tiba-
tiba, seperti menangis, tertawa, dan melamun secara tiba-
tiba. Selain itu, gejala lain yang terlihat adalah
kecenderungan penderita dalam membahas tema-tema
religius dan berbicara sendiri. Menurut P, kebiasaan
penderita yang berbicara sendiri seolah-olah ada lawan
bicara menjadi salah satu gejala yang menonjol. Namun
hal ini tidak diakui oleh penderita ketika ditanya oleh P
mengenai siapa yang menjadi lawan bicaranya.
Pandangan P3 sendiri terhadap penyebab
skizofrenia yang dialami oleh penderita pada awalnya
adalah karena pengaruh roh jahat yang memasuki tubuh
penderita. Berangkat dari asumsi tersebut, maka upaya
yang coba dilakukan adalah membawa penderita ke dukun
atau 'orang pintar' untuk mendapatkan pengobatan serta
didoakan oleh orang yang mampu mengeluarkan roh jahat
tersebut. Namun setelah beberapa waktu lamanya,
penderita tidak menunjukkan perubahan perilaku yang
lebih baik. Akhirnya, melalui saran dan nasehat beberapa
pihak, P3 dan keluarga memutuskan untuk mencoba
pengobatan medis terhadap penderita. Setelah menjalani
perawatan dan pengobatan secara intensif oleh pihak
medis, maka asumsi P3 dan keluarga mengenai kondisi
penderita juga ikut berubah. Menurut mereka, ada beban
yang dipikiran dan pada akhirnya menimbulkan stres
berkepanjangan. Stres tersebut tidak dapat di atasi oleh
kakaknya seorang diri sehingga menjadi penyebab sakit
tersebut. Namun P mengaku bahwa ia dan seluruh
anggota keluarganya tidak mengetahui dengan pasti apa
yang menjadi beban pikiran dari penderita.
Dari keseluruhan latar belakang dari masing-masing
partisipan, maka dapat dilihat beberapa kesamaan dalam hal
penyebab skizofrenia yang diderita oleh anggota keluarganya
serta gejala yang ditunjukkan oleh masing-masing penderita. Hal
tersebut dapat ditunjukkan secara singkat melalui tabel berikut.
Tabel 4.1. Beberapa persamaan latar belakang partisipan yang
memiliki anggota penderita skizofrenia dalam hal penyebab penyakit
dan gejala yang ditunjukkan penderita.
Penyebab anggota keluarga
menderita skizofrenia
menurut pandangan
partisipan
Gejala yang ditunjukkan oleh anggota
keluarga yang menderita skizofrenia
Genetik Neuro-
biologis
Psikologis-
sosial
Halusi -
nasi
Avolisi Reaksi
emosi
Pem-
bicaraan
yang kacau
P
1
Saudara P1
tidak
diketahui
Ada tekanan
karena beban
perkuliahan
yang berat
Tidak
diketahui
secara pasti
Kehila-
ngan
minat
melaku-
kan
kegiatan
Marah
Terlihat pada
saat penderita
berbicara
sendiri
P
2
Saudara
kandung
penderita
tidak
diketahui
Ada tekanan
yang
diberikan
oleh suami
penderita
Halusinasi
audiotoris
Tidak
memen-
tingkan
kesehatan
pribadi
Marah
Terlihat pada
saat penderita
berbicara
sendiri
P
3
Tidak
diketahui
tidak
diketahui
Ada beban
pikiran
penderita
Halusinasi
audiotoris
Malas
Marah
Terlihat pada
saat penderita
berbicara
sendiri
2. Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Merawat Salah
Satu Anggota Penderita Skizofrenia Pasca Perawatan
Pengalaman merawat anggota keluarga yang menderita
gangguan jiwa berat, seperti skizorenia memberikan dampak atau
pengaruh terhadap permasalahan yang dihadapi keluarga seperti
waktu luang, pekerjaan, serta relasi di antara tiap-tiap anggota
keluarga tersebut (Chafetz & Barnes, 1989). Ketiga partisipan
dalam penelitian ini juga menjumpai beberapa permasalahan saat
merawat anggota keluarga mereka yang menderita skizofrenia.
Namun demikian, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi
hambatan-hambatan yang dihadapi dalam keluarga mereka
tersebut.
P1 (DJ) bersama keluarga memiliki permasalahan dengan
biaya perawatan penderita yang dirasa terlalu mahal, yakni sekitar
kurang lebih 2 juta untuk jangka waktu satu minggu di RSJ.
Dengan kondisi keuangan keluarganya, maka solusi yang diambil
oleh P1 bersama istrinya adalah memindahkan perawatan
anaknya ke Panti rehabilitasi mental yang letaknya berdekatan
dengan rumah mereka. Di Panti rehabilitasi tersebut, biaya
perawatan yang ditanggungkan kepada pasien dan keluarga tidak
begitu mahal. Selain biaya perawatan, permasalahan yang dirasa
cukup signifikan dalam keluarga adalah, ketidakmampuan dari
penderita untuk merespons setiap masukan dan saran dari P1 dan
istri, sekalipun hal itu ditujukan untuk kebaikan penderita.
Sebagai contoh, penderita menolak untuk melakukan pekerjaan
rumah atau kegiatan di lingkungan rumah yang disarankan oleh
orang tuanya. Hal ini menjadi beban pikiran tersendiri bagi istri
P1 yang juga adalah ibu penderita. Ada kekhawatiran ketika
penderita tidak ingin melakukan pekerjaan yang berakibat ia tidak
dapat hidup mandiri dan terus bergantung pada orang tua, padahal
usia penderita sudah tergolong dewasa. Permasalahan lain yang
dihadapi keluarga ini adalah ketidakmampuan penderita dalam
mengingat jadwal mengonsumsi obat, sehingga dalam hal ini,
obat yang dikonsumsi penderita harus selalu disiapkan oleh P1.
Pada P2 (A), permasalahan yang terjadi adalah kurangnya
kesadaran dari ibunya untuk mengonsumsi obat secara teratur.
Oleh karena itu, P2 harus selalu menyediakan dan memaksa
ibunya untuk mengonsumsi obat-obatan tersebut. Salah satu hal
yang menjadi hambatan dalam memberikan obat adalah
ketidakpatuhan ibu terhadap anggota keluarga lain yang
menyediakan obat untuk dikonsumsinya, yakni suaminya dan
beberapa saudara P2. Selain itu, permasalahan yang dirasa
menjadi beban utama P2 adalah kurangnya rasa saling pengertian
antara ibunya yang sakit dan ayahnya. Hal ini ditunjukkan dengan
sebagian besar konflik yang terjadi, penderita menunjukkan
ekspresi emosi marah yang berlebihan kepada suaminya. P2
menduga hal ini diakibatkan tekanan yang diberikan oleh
ayahnya terhadap ibunya yang menuntut ibunya untuk bekerja,
padahal kondisi ibu yang sakit ini, tidak memungkinkan untuk
melakukan banyak aktivitas. Sementara itu, biaya perawatan tidak
menjadi hal yang membebani keluarga P2.
Beberapa masalah dan hambatan juga dialami oleh P3
(YU) dan keluarga saat merawat anggota keluarga penderita
skizofrenia pasca perawatan. Permasalahan yang paling menonjol
dirasakan oleh P3 dan keluarga adalah sulitnya menoleransi
kebiasaan penderita yang sering berpergian hingga larut malam
dan sulit tidur. Keterbatasan waktu juga merupakan hambatan
utama, sehingga P3 dan keluarga merasa kesulitan meluangkan
waktu untuk menemani penderita dengan kebiasaan penderita
tersebut. Dengan demikian hal ini, juga turut menimbulkan
permasalahan baru, yakni reaksi emosi marah berlebihan yang
ditunjukkan oleh penderita kepada P3 dan keluarga, karena
keterbatasan waktu mereka sehingga tidak dapat selalu menemani
penderita. Untuk biaya perawatan tidak dirasa sebagai suatu
beban, karena keluarga P3 dibantu oleh pihak gereja.
Secara lebih singkat pokok permasalahan yang dihadapi
oleh ketiga partisipan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.2. Permasalahan yang dihadapi partisipan dan keluarga saat
merawat anggota keluarga penderita skizofrenia pasca perawatan
Permasalahan Yang Dihadapi
P1 a. Biaya perawatan yang mahal.
b. Kesulitan P dalam menumbuhkan kembali minat penderita
terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan yang disarankan.
c. Ketidakmampuan penderita untuk mengonsumsi obat secara
mandiri.
P2 a. Ketidakpatuhan mengonsumsi obat pada penderita. Dalam
hal ini P merupakan satu-satunya anggota keluarga yang
menyediakan dan juga mampu membuat penderita untuk
mengonsumsi obat secara teratur.
b. Sikap kasar dan tegas oleh partisipan kepada penderita,
karena tidak patuh dalam mengonsumsi obat juga menjadi
beban tersendiri bagi partisipan. Bagi partisipan hal tersebut
tidak sepantasnya untuk dilakukan oleh seorang anak kepada
ibunya, namun partisipan juga kebingungan dalam mencari
cara lain yang lebih baik untuk menegaskan penderita dalam
hal kedisiplinan mengonsumsi obat.
c. Adanya konflik antara penderita (ibu P) dan ayahnya.
Tekanan yang diberikan oleh ayah kepada ibu, menjadi
salah satu pemicu permasalahan yang sering terjadi dalam
keluarga mereka.
P3 a. Kesulitan P dan keluarga meluangkan waktu untuk
3. Dukungan Sosial yang Diberikan Partisipan dan Keluarga
Dalam Merawat Anggota Keluarga yang Menderita
Skizofrenia
Setelah mengenal latar belakang keluarga dan pergumulan
yang menjadi permasalahan dalam keluarga selama merawat dan
menemani penderita skizofrenia masa pasca perawatan, maka yang
akan dibahas selanjutnya adalah mengenai dukungan sosial yang
diberikan keluarga kepada penderita. Dukungan sosial sendiri
terdiri dari dukungan secara emosional, dukungan penghargaan,
dukungan instrumental dan dukungan informatif (House, dalam
Smet 1994). Ketiga partisipan dalam penelitian ini juga
memberikan dukungan sosial kepada penderita, baik selama masa
perawatan di RSJ atau panti rehabilitasi, maupun dalam menjalani
masa pasca perawatan. Hal ini didorong atau dipengaruhi oleh
faktor internal ataupun eksternal. Yang dimaksud dengan faktor
internal adalah, pemberian dukungan yang didasarkan pada
keinginan dan kesadaran dari partisipan dan keluarga bagi
penderita. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi adalah
pemberian dukungan yang disarankan oleh pihak medis, dalam hal
ini psikiater, yang membantu penanganan terhadap penderita.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi terhadap
menoleransi kebiasaan penderita yang berpergian hingga
larut malam
b. Meluangkan waktu lebih banyak karena harus menjaga
penderita apabila penderita mengalami kesulitan untuk tidur.
c. Adanya perlakuan kasar dari adik penderita jika penderita
menunjukkan ekspresi emosi marah yang berlebihan.
ketiga partisipan, diketahui juga bahwa dukungan yang diberikan
oleh keluarga dapat dilihat dari beberapa faktor lain yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor yang dimaksud adalah jenis
permasalahan yang dihadapi, usia tahap perkembangan penderita,
dan gejala yang ditunjukkan penderita. Berikut akan dijelaskan
berbagai macam dukungan yang diberikan keluarga kepada
penderita skizofrenia pasca perawatan, serta motivasi dan faktor
yang mempengaruhi pemberian dukungan tersebut.
a. Dukungan Emosional
Dukungan emosional mencakup ungkapan empati,
kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan
(House, dalam Smet 1994). Selain itu Weiss (dalam Cutrona,
1994), menambahkan aspek lain dalam dukungan emosional,
yang meliputi kelekatan emosional yang ditunjukkan melalui
ekspresi dari kasih sayang serta memberikan rasa aman kepada
penerima dukungan.
Aspek dukungan sosial secara emosional ini sama-sama
ditunjukkan oleh ketiga partisipan. Namun, letak perbedaan
dalam hal pemberian dukungan ini adalah bentuk dukungan
nyata yang diterapkan oleh masing-masing partisipan dan
keluarganya bagi penderita. Bentuk dukungan emosional dari
masing-masing partisipan dan keluarga dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 4.3. Bentuk dukungan emosional yang diberikan partisipan dan
keluarga kepada anggota keluarga penderita skizofrenia pasca perawatan
Bentuk Dukungan Emosional yang Diberikan
P1 Adanya rasa empati partisipan terhadap penderita. Perasaan
empati ini cenderung karena kasihan melihat kondisi penderita
yang memiliki banyak keterbatasan. Partisipan mencoba untuk
mengajak penderita beribadah ke mesjid, untuk membekali
penderita dalam kehidupan religiusitasnya, dengan harapan
Tuhan dapat memampukan penderita mengatasi keterbatasan
yang dimilikinya.
P2 Pemenuhan keinginan penderita untuk bertemu dengan
cucunya. Hal ini dilakukan oleh partisipan untuk membuat
penderita merasa senang dan merasa dekat dengan anggota
keluarganya, khususnya cucu-cucu penderita. Dalam hal ini
partisipan berusaha memfasilitasi pertemuan antara penderita
dan keluarga besarnya sebulan atau dua bulan sekali. Inisiatif
partisipan tersebut, bertujuan untuk menumbuhkan hubungan
kedekatan antara penderita dan keluarga, sehingga penderita
merasa senang karena diperhatikan oleh keluarga besarnya.
Selain itu, partisipan juga menyediakan waktu untuk mendengar
setiap cerita atau keluhan penderita terkait apa yang sedang
dirasakan oleh penderita.
P3 Kebiasaan menghadapi kondisi penderita yang kambuh secara
bersama-sama dalam keluarga partisipan, menunjukkan
kedekatan antara anggota dalam keluarga. Perasaan empati
terhadap kondisi penderita ini yang membuat keluarga
partisipan sering berkumpul bersama untuk saling mendoakan,
membaca Alkitab dan memberikan nasehat satu dengan yang
lainnya, termasuk ketika menemani saat penderita mengalami
kekambuhan dan kesulitan untuk tidur.
b. Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan hormat,
pemberian penghargaan positif, dorongan maju, persetujuan
dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan
positif dengan orang lain (House, dalam Smet 1994). Aspek
dukungan penghargaan juga ditunjukkan oleh ketiga partisipan,
dalam relasinya dengan anggota keluarga yang menderita
skizofrenia pasca perawatan. Berikut beberapa bentuk nyata
yang dilakukan oleh masing-masing partisipan dalam hal
pemberian dukungan penghargaan kepada penderita:
Tabel 4.4. Bentuk dukungan penghargaan yang diberikan partisipan
dan keluarga kepada anggota keluarga penderita skizofrenia pasca
perawatan
Bentuk Dukungan Penghargaan yang Diberikan
P1 Partisipan mengaku bahwa jarang sekali memberikan suatu
pujian kepada penderita ketika penderita menyelesaikan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Namun, beberapa
kali partisipan bersama dengan istri memotivasi penderita untuk
dapat hidup lebih baik dan mandiri. Dukungan penghargaan
yang diberikan kepada penderita oleh keluarga juga berupa
dorongan agar penderita dapat berkembang seperti pemberian
kesempatan kepada penderita untuk mengaktualisasikan dirinya.
Hal ini ditunjukkan dengan kesempatan berkuliah yang
diberikan kepada penderita pasca perawatan RSJ pertama kali.
P2 Partisipan mengungkapkan perasaan hormat kepada penderita,
karena posisi penderita adalah sebagai ibu partisipan. Selain itu,
partisipan mengaku bahwa dalam merawat ibunya, ada hal-hal
yang disarankan oleh ibunya dan diikuti oleh partisipan. Dalam
hal ini gagasan atau ide penderita untuk berpergian menjenguk
anak dan cucunya yang di luar kota sangat dihargai dan
didukung oleh partisipan.
P3 Adanya pengakuan dan pujian dari partisipan dan keluarga
mengenai kualitas intelegensi yang dimiliki oleh penderita.
Partisipan dan keluarga juga mendorong penderita untuk
memperoleh pekerjaan, dan akhirnya penderita mampu
menemukan pekerjaan yang ia senangi. Dalam hal ini, beberapa
kali pujian diberikan oleh anggota keluarga yang lain, seperti
ayah kepada penderita apabila penderita telah melakukan
pekerjaannya tersebut dengan baik.
c. Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung yang
diwujudkan dalam bentuk uang, tenaga, waktu dan pemberian
hadiah atau reward (House, dalam Smet 1994). Hal ini
ditegaskan Weiss (dalam Cutrona, 1994), bahwa yang termasuk
juga dalam dukungan ini adalah kepastian bahwa individu
penerima dukungan dapat mengharapkan bantuan orang lain.
bantuan tersebut adalah bantuan nyata yang diberikan langsung
kepada penerima dukungan.
Bentuk dukungan instrumental ini, juga merupakan salah
satu dukungan yang diberikan oleh ketiga partisipan dan
keluarganya dalam relasi hubungan mereka pada saat merawat
anggota penderita skizofrenia pasca perawatan. Bentuk nyata
dari dukungan yang diberikan oleh ketiga partisipan dan
keluarganya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.5. Bentuk dukungan instrumental yang diberikan partisipan
dan keluarga kepada anggota keluarga penderita skizofrenia pasca
perawatan
Bentuk Dukungan Instrumental yang Diberikan
P1 Pemenuhan biaya perawatan dan biaya kehidupan sehari-hari
penderita oleh partisipan dan istrinya. Selain dalam bentuk
materi, partisipan bersama istri juga menyediakan waktu dan
tenaga selama menemani penderita baik pada saat menjalani
masa perawatan di RSJ ataupun masa pasca perawatan di
rumah. Bentuk nyata lain dari pemberian dukungan ini
adalah mengontrol obat penderita dan mengajari penderita
untuk terlibat dalam suatu pekerjaan serta melibatkan
penderita dalam suatu aktivitas atau kegiatan di sekitar
lingkungan rumah. Sementara dalam hal pemberian reward
kepada penderita jarang diberikan oleh partisipan dan
istrinya.
P2 Bentuk dukungan instrumental dari partisipan dan keluarga
adalah, pemenuhan biaya perawatan dan kebutuhan sehari-
hari penderita. Selain itu, suami penderita mendirikan
sebuah toko yang diperuntukan kepada penderita, dengan
maksud memberikan lapangan pekerjaan, sehingga penderita
tidak merasa bosan berada di rumah. Bentuk lain dari
dukungan ini adalah inisiatif-inisiatif yang diambil untuk
mengalihkan gejala halusinasi yang dialami oleh penderita
seperti menyalakan radio pada saat penderita berada sendiri
di dalam kamar. Partisipan juga memfasilitasi keinginan
penderita jika penderita ingin bertemu dengan keluarganya
yang berada di luar kota.
P3 Bentuk dukungan yang diberikan adalah biaya perawatan
dan kebutuhan sehari-hari penderita yang ditanggung oleh
keluarga. Selain itu, pemberian hadiah atau pemenuhan
keinginan penderita pada saat penderita ulang tahun juga
menjadi kebiasaan partisipan dan keluarga selama ini.
Partisipan dan keluarga juga terkadang menemani penderita,
ketika penderita mengajak berpergian ke tempat hiburan
ataupun tempat beribadah. Dalam hal ini, walaupun
partisipan dan keluarga tidak selalu dapat menyediakan
waktu mereka bagi penderita, namun selalu ada usaha untuk
menemani penderita jika hal ini memungkinkan untuk
dilakukan (misalnya ketika mereka memiliki waktu luang
yang dapat digunakan untuk menemani penderita)
d. Dukungan Informatif
Dukungan informatif mencakup pemberian informasi,
nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, dan umpan balik yang
diberikan kepada penerima dukungan (House, dalam Smet
1994). Aspek dukungan sosial informasi ini sama-sama
ditunjukkan oleh ketiga partisipan. Berikut bentuk nyata dari
pemberian dukungan informasi dari masing-masing partisipan
kepada anggota keluarganya yang menderita skizofrenia pasca
perawatan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
Tabel 4.6. Bentuk dukungan informatif yang diberikan partisipan dan
keluarga kepada anggota keluarga penderita skizofrenia pasca
perawatan
Bentuk Dukungan Informasi yang Diberikan
P1 Bentuk dukungan informasi yang diberikan oleh partisipan dan
keluarga adalah dengan pemberian nasehat kepada penderita.
Nasehat yang diberikan mencakup saran pekerjaan yang
dimungkinkan untuk dilakukan oleh penderita. Selain itu
beberapa informasi juga diberikan demi mendukung kegiatan
atau aktivitas penderita. Dalam hal ini, informasi cara
pembelian barang dagangan dan mengajari cara perhitungan
dagangan, karena di rumah, penderita diberi tanggung jawab
untuk mengatur dan menjaga warung yang dibangun oleh
partisipan dan istrinya. Adapun umpan balik diberikan oleh
partisipan kepada penderita dalam beberapa hal, misalnya
ketika penderita melakukan kesalahan dalam perhitungan
dagangan.
P2 Pemberian dukungan secara informasi kepada penderita tidak
begitu banyak diberikan oleh partisipan dan keluarga.
Pemberian dukungan ini meliputi nasehat dan saran terkait
kepatuhan dalam mengonsumsi obat dan saran-saran terkait
kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh penderita.
P3 Bentuk dukungan informasi yang diberikan partisipan dan
keluarga kepada penderita mencakup pemberian nasehat terkait
jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh penderita, nasehat
mengenai kebiasaan penderita yang kurang baik ketika sering
berpergian hingga larut malam, juga nasehat mengenai
pasangan hidup yang layak bagi penderita. Tidak hanya dari
pihak keluarga, partisipan juga melibatkan pendeta dan teman
gereja untuk membantu menasehati penderita jika bertemu
dengan penderita.
Selain beberapa dukungan yang disebutkan di atas,
peneliti juga menemukan dukungan lain pada partisipan ke tiga
yaitu dengan cara membawa anggota penderita skizofrenia ke
dukun atau „orang pintar‟. Hal tersebut dilakukan karena mengikuti
saran dari tetangga dengan pengalaman yang hampir sama dengan
kondisi keluarga partisipan tersebut.
Dilihat dari jenis dukungan serta bentuk yang diterapkan,
diketahui bahwa ada beberapa dukungan yang cukup menonjol dan
sering dilakukan dibandingkan dengan dukungan yang lain, oleh
masing-masing partisipan dan keluarganya. Pada ketiga partisipan,
dukungan yang sangat menonjol adalah dukungan secara
instrumental. Terlepas dari mahal dan tidaknya biaya perawatan,
terlihat jelas bahwa mereka memenuhi pembiayaan perawatan
penderita baik selama perawatan inap di RSJ dan Panti rehabilitasi
ataupun dalam masa rawat jalan. Bentuk lain dari dukungan ini
adalah pemberian waktu dan tenaga untuk mengantar penderita
melakukan kontrol rutin oleh ketiga partisipan dan keluarga
mereka masing-masing.
Sementara itu, dukungan-dukungan yang lain menempati
posisi bervariasi dalam urutan berikutnya setelah dukungan
informasi. Partisipan pertama (DJ) dan partisipan ketiga (YU)
menunjukkan dukungan informasi sebagai dukungan yang sering
diberikan kepada penderita selain dukungan instrumental.
Sementara partisipan kedua (A) jarang memberikan dukungan ini
kepada penderita. Dukungan yang diberikan oleh keluarga kepada
penderita terkesan masih dalam lingkup yang terbatas. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya ketersediaan dukungan yang diduga
bergantung pada posisi dari pemberi dukungan dan penerima
dukungan dalam relasinya dengan keluarga.
Pada partisipan kedua (A) dukungan secara emosional
menjadi hal yang menonjol setelah dukungan instrumental.
Berbagai upaya dilakukan oleh partisipan kedua untuk
mempertemukan penderita dengan anggota keluarga yang berada
di luar kota. Hal ini dimaksudkan untuk menjalin relasi yang baik
dari anggota keluarga yang lain terhadap penderita. Selain itu,
upaya tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kedekatan
atau kelekatan antara sesama anggota keluarga, sehingga dapat
menyenangkan hati penderita. Di sisi lain, kebiasaan kumpul
bersama keluarga juga diterapkan oleh partisipan ketiga (YU) dan
keluarganya. Setiap malam sebelum beristirahat dan pagi sebelum
melakukan aktivitas, keluarga ini melakukan doa bersama dan
saling menguatkan dalam ibadah tersebut. Sementara itu, bagi
partisipan pertama (DJ) kumpul bersama keluarga hanya
dilakukan pada saat acara keagamaan.
Dukungan penghargaan merupakan dukungan yang jarang
diberikan kepada penderita oleh ketiga partisipan dan keluarga.
Pada partisipan pertama (DJ) dan kedua (A), anggota keluarganya
yang menderita skizofrenia memiliki kecenderungan kehilangan
minat terhadap segala kegiatan atau pekerjaan yang ditawarkan.
Oleh karena itu, partisipan pertama dan kedua lebih sering
memberikan nasehat dan masukan daripada memberikan suatu
pujian atau penghargaan kepada penderita. Pada partisipan ketiga
(YU), beberapa kali penghargaan dan pujian diberikan kepada
penderita berkaitan dengan pekerjaan yang sedang ditekuninya.
Namun pemberian pujian ini bukan oleh partisipan melainkan oleh
ayahnya.
Selain dukungan secara langsung yang diberikan oleh
partisipan dan keluarga terhadap penderita, adapun dukungan
secara tidak langsung diberikan dengan maksud membantu proses
penyembuhan penderita. Beberapa dukungan secara tidak langsung
dari masing-masing keluarga adalah :
1. Keluarga P1, dukungan tidak langsung diberikan dengan
cara, P1 menyediakan waktu untuk berkonsultasi dengan
psikiater, sehingga psikiater dapat menjadi mediator untuk
menasehati atau memberikan pengarahan kepada penderita.
P1 juga melibatkan anggota keluarga yang lain untuk ikut
membantu penderita dalam proses pasca perawatan dengan
cara mempercayakan kepada penderita suatu tanggung
jawab, misalnya pekerjaan yang mampu dilakukan oleh
penderita.
2. Keluarga P2, memberikan dukungan secara tidak langsung
dengan cara berdiskusi sambil memberikan nasehat kepada
anggota keluarga lain terkait kondisi penderita serta
perawatan yang tepat kepada penderita. Selain itu P2,
memutuskan untuk berpindah domisili ke tempat yang lebih
dekat dengan penderita agar dapat merawat penderita
secara lebih intensif.
3. Keluarga P3, memberikan dukungan secara tidak langsung
melalui kesediaan keluarga untuk mencari, mendengar dan
mengikuti saran para tetangga atau kerabat terkait alternatif
pengobatan yang dapat dilakukan untuk kesembuhan
penderita. Keluarga juga mengadakan diskusi secara
bersama mengenai cara penanganan dan penyembuhan
terbaik bagi penderita, termasuk cara memberikan
perawatan dan dukungan kepada penderita selama masa
pasca perawatan di rumah.
e. Dukungan Lingkungan Eksternal Kepada Penderita
Skizofrenia.
Selain dukungan dari keluarga, adapun dukungan
yang diberikan oleh lingkungan eksternal bagi penderita
skizofrenia pasca perawatan. Berikut akan dijelaskan
masing-masing dukungan yang diberikan oleh pihak
lingkungan eksternal kepada anggota penderita skizofrenia
dalam menjalani masa pasca perawatan.
1. Partisipan 1 (DJ)
Pada keluarga P1, dukungan eksternal diterima
dari pihak psikiater yang menangani penderita
skizofrenia tersebut. Dukungan yang ditunjukkan oleh
psikiater adalah berupa pemberian nasehat baik kepada
penderita maupun kepada keluarga yang merawat
penderita pasca perawatan. Selain pemberian nasehat,
beberapa penanganan secara medis, seperti pemberian
obat juga jelas diberikan oleh psikiater kepada penderita.
2. Partisipan 2 (A)
Pada keluarga P2, dukungan eksternal diterima
dari pihak psikiater, kerabat yang berada di luar kota,
serta tetangga. Dari pihak psikiater sendiri, dukungan
yang diberikan berupa pengobatan serta nasehat dan
petunjuk baik yang diberikan kepada penderita maupun
yang diberikan kepada keluarga selaku lingkungan
internal terdekat yang merawat penderita pasca
perawatan di rumah. Pihak terakhir yang ikut
memberikan dukungan adalah tetangga di lingkungan
sekitar rumah penderita. Dukungan oleh tetangga
ditunjukkan dengan pengertian tetangga terhadap kondisi
penderita, sehingga tetangga juga mampu menunjukkan
sikap dan perilaku yang menerima kondisi penderita.
Dengan demikian, penderita tidak merasa terasingkan,
sebaliknya penderita merasa diterima dan menjadi
bagian dari lingkungannya tersebut.
3. Partisipan 3 (YU)
Pada keluarga P3 dukungan eksternal diterima
dari pihak psikiater, tetangga, kerabat yang berada di luar
kota dan gereja. Dari pihak psikiater terlihat jelas
dukungan ini diberikan dengan memberikan perawatan
dan pengobatan, juga nasehat dan saran yang diberikan
kepada penderita. Selain penderita, keluarga juga
menerima nasehat dan saran dari psikiater terkait hal
yang perlu diperhatikan dalam merawat penderita pasca
perawatan. Dari pihak tetangga, dukungan diberikan
dengan cara pemberian saran mengenai alternatif
pengobatan bagi penderita, serta penerimaan tetangga
terhadap kondisi penderita. Pihak terakhir yang turut
mendukung kesembuhan penderita adalah gereja. Pihak
gereja, membantu mencarikan tempat perawatan, dalam
hal ini panti rehabilitasi bagi penderita. Gereja juga
secara intensif membantu biaya perawatan baik pada saat
dirawat di panti rehabilitasi maupun pada saat menjalani
masa pasca perawatan dan masih melakukan kontrol
rutin ke pihak psikiater.
f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian
Dukungan Kepada Penderita Skizofrenia Pasca
Perawatan
Cobb (dalam Smet, 1994) mempertimbangkan dukungan
sosial sebagai petunjuk informasi bagi penerima dukungan
agar mempercayai bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai,
menuju pada jaringan komunikasi, dan kewajiban bersama.
Untuk itu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pemberian dukungan sosial tersebut. Dalam penelitian ini,
pemberian dukungan oleh ketiga partisipan atau keluarga
terhadap penderita skizofrenia juga perlu dilihat dari posisi dan
peran pemberi dan penerima dukungan, serta jenis dukungan
yang diberikan terkait dengan gejala yang ditunjukkan
penderita serta permasalahan yang dihadapi oleh setiap
keluarga. Berikut akan dijelaskan dinamika proses pemberian
dukungan kepada penderita, ditinjau dari posisi partisipan dan
penderita dalam keluarga, gejala yang ditunjukkan penderita
serta permasalahan yang dihadapi oleh partisipan dalam
merawat penderita skizofrenia pasca perawatan. Tentunya
dalam hal ini akan terlihat jelas proses pemberian dan
perubahan dukungan yang disesuaikan dengan beberapa faktor
tersebut.
1. Posisi partisipan serta penderita dalam keluarga masing-
masing memberikan pengaruh atau dampak bagi jenis
dukungan yang diberikan oleh keluarga kepada penderita.
Pada keluarga pertama, partisipan yang berperan sebagai
orang tua cenderung memberikan dukungan informasi
berupa nasehat dan saran kepada penderita. Karena posisi
penderita dalam keluarga sebagai anak, maka terkadang
ada rasa hormat kepada partisipan sebagai orang tuanya,
sehingga penderita cenderung dapat menerima dukungan
tersebut. Pada keluarga kedua, posisi partisipan sebagai
anak penderita, sedikit mengalami kesulitan dalam
memberikan nasehat kepada ibunya tersebut. Oleh karena
itu, keluarga lebih memberikan dukungan emosional yaitu
kepedulian keluarga terhadap penderita, yang ditunjukkan
dengan usaha untuk menyenangkan hati penderita. Posisi
partisipan ketiga adalah sebagai saudara kandung dari
penderita. Posisi partisipan ini membuat partisipan lebih
sering memberikan dukungan instrumental kepada
penderita dengan cara menyediakan waktu menemani
penderita jika penderita mengajak berpergian.
2. Faktor berikut yang mempengaruhi pemberian dukungan
adalah permasalahan yang dialami keluarga selama merawat
anggota penderita skizofrenia pasca perawatan. Untuk setiap
permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, terkait
perilaku-perilaku penderita yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan oleh keluarga, memberi dampak pada perilaku
yang ditunjukkan oleh keluarga. P1 pada awal menemui
masalah tersebut merespons dengan sikap marah bahkan
sampai menunjukkan perilaku kekerasan fisik terhadap
penderita. Sementara pada keluarga P2 dan P3, tindakan
kekerasan kepada penderita tidak diberikan oleh partisipan
namun oleh salah satu anggota keluarga yang ikut menjaga
penderita. Setelah membawa penderita untuk bertemu dengan
psikiater serta mendengar beberapa saran dari beberapa
pihak, keluarga berusaha secara bertahap untuk menunjukkan
sikap dan perilaku yang lebih baik terhadap penderita. Saat
ini pemberian dukungan kepada penderita lebih kepada
dukungan informasi, yang meliputi nasehat, saran, dan
umpan balik.
3. Faktor gejala yang ditunjukkan oleh penderita yang
mengalami kekambuhan dalam menjalani masa pasca
perawatan pada saat ini juga turut menentukan jenis
dukungan yang diberikan keluarga kepadanya. Pada keluarga
pertama, gejala yang paling menonjol adalah reaksi emosi
marah dan avolisi. Oleh karena itu, jenis dukungan yang
diberikan kepada penderita adalah dukungan istrumental
berupa pemberian obat kepada penderita dan dukungan
informasi berupa nasehat dan saran yang dapat mengurangi
gejala avolisi yang ditunjukkan oleh penderita. Pada keluarga
P2, penderita skizofrenia menunjukkan gejala reaksi emosi
marah dan sering keluar rumah pada malam hari. Untuk
kondisi ini, P2 dan keluarga memberikan dukungan
instrumental dengan pemberian obat dan dukungan informasi
berupa nasehat kepada penderita. Pada keluarga P3, penderita
yang kambuh menunjukkan gejala sering keluar rumah
hingga larut malam, terus-menerus melakukan aktivitas, serta
kesulitan untuk tidur di malam hari. Jenis dukungan yang
diberikan terkait gejala yang ditunjukkan penderita oleh P3
dan keluarga adalah dukungan informasi dengan cara
pemberian nasehat, dukungan instrumental dengan cara
pemberian obat serta dukungan emosional dengan
menunjukkan kepedulian ketika menemani penderita saat
penderita mengalami kesulitan untuk tidur di malam hari.
4. Faktor usia penderita juga turut menentukan jenis dukungan
yang diberikan oleh keluarga. Pada keluarga P1, penderita
berusia 20 tahun saat didiagnosa menderita skizofrenia.
Dalam tahap perkembangan ini, setelah menjalani masa
pasca perawatan keluarga memberikan kesempatan kepada
penderita untuk mengaktualisasikan diri dalam bidang
pendidikan. Namun dukungan tersebut gagal karena
penderita kembali menunjukkan kekambuhan, setelah kurang
lebih enam bulan menjalani masa pendidikan tersebut. Oleh
karena itu, dukungan tersebut berubah menjadi dukungan
pemberian pekerjaan kepada penderita untuk mempersiapkan
masa depannya secara mandiri.
Pada P2, usia penderita saat menderita skizofrenia adalah
kurang lebih 40 tahun. Dengan demikian, dukungan
yang diberikan oleh keluarga adalah dengan memberikan
lapangan pekerjaan bagi penderita. Pemberian dukungan
ini juga gagal ketika penderita kembali mengalami
kekambuhan. Dengan demikian, pemberian dukungan
difokuskan untuk memenuhi keinginan penderita dan
tidak memaksa penderita untuk bekerja.
Pada keluarga P3, penderita didiagnosa menderita
skizofrenia pada usia kurang lebih 15 tahun. Karena
kondisi penderita pada saat itu tidak memungkinkan
penderita untuk meneruskan pendidikannya, maka tidak
ada paksaan dari pihak keluarga kepada penderita untuk
tetap melanjutkan pendidikannya. Sebaliknya, keluarga
memberikan kebebasan kepada penderita untuk
melakukan beberapa kegiatan atau pekerjaan yang
disenangi oleh penderita.
4. Dampak Dukungan yang Diberikan Keluarga Kepada
Anggota Penderita Skizofrenia Pasca Perawatan.
Pengalaman ketiga partisipan yang memiliki anggota
penderita skizofrenia, menunjukkan adanya dukungan yang
diberikan demi kesembuhan anggota penderita tersebut.
Pemberian dukungan oleh masing-masing partisipan dan
keluarganya mempunyai dampak bagi kehidupan penderita pada
saat menjalani masa pasca perawatan di rumah. Dampak yang
diharapkan tentunya merupakan dampak positif baik bagi
penderita itu sendiri ataupun partisipan dan keluarganya. Wai
Tong Chien (dalam Stein & Wammerus, 2001) melalui penelitian
yang dilakukannya, mengatakan bahwa salah satu faktor yang
cukup menolong merawat anggota penderita skizofrenia adalah
pemberian dukungan dari keluarga.
Demikian hal yang sama terlihat jelas dari ketiga
partisipan yang menerapkan pemberian dukungan kepada anggota
keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil analisis,
dapat dilihat bahwa dukungan instrumental dan dukungan
emosional menjadi dukungan yang paling menonjol diterapkan
selama merawat anggota penderita skizofrenia dalam menjalani
masa pasca perawatan. Dorongan untuk memberikan dukungan
kepada anggota penderita tersebut juga tidak terlepas dari beberapa
masukan oleh pihak medis, dalam hal ini psikiater yang menangani
perawatan anggota penderita skizofrenia tersebut. Selain psikiater,
peran tetangga, kerabat dan gereja juga memberikan hasil yang
baik bagi keluarga dan penderita. Hasil dari pemberian dukungan
oleh masing-masing partisipan bersama keluarga, serta beberapa
pihak eksternal menempatkan kondisi penderita ke arah yang lebih
baik. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya intensitas kekambuhan
penderita selama menjalani masa pasca perawatan di rumah.
Ketiga partisipan mengaku bahwa selalu ada hal yang
dipelajari ketika mempunyai pengalaman bersama anggota
keluarga yang menderita skizofrenia, dan yang terutama dari
pembelajaran tersebut adalah terus berharap dan bergantung
kepada Tuhan dalam melewati masa-masa seperti ini.