BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN -...

24
38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kandungan Metabolit Sekunder Daun Rhizophora mucronata Lamk. Kandungan metabolit sekunder pada daun Rhizophora mucronata Lamk. diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, flavonoid, triterpenoid dan steroid, saponin dan tanin. Berikut data hasill uji fitokimia yang diperoleh (Tabel 2): Tabel 2. Hasil Uji Fitokimia Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. Uji Fitokimia Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. Alkaloid P. Meyer ++ P. Wagner ++ Flavonoid HCL Pekat + H 2 SO 4 2 N + NaOH 10% ++ Steroid ++ Triterpenoid - Saponin ++ Tanin ++ Keterangan tabel : - : negatif + : positif lemah, warna/busa/endapan terlihat samar ++ : positif kuat, warna/busa/endapan terlihat jelas 4.1.1 Uji Alkaloid Hasil positif uji alkaloid sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. dengan menggunakan pereaksi meyer dan pereaksi wagner ditunjukkan dengan adanya endapan putih kekuningan pada Gambar 13 (a) pereaksi meyer dan

Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN -...

38

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kandungan Metabolit Sekunder Daun Rhizophora mucronata Lamk.

Kandungan metabolit sekunder pada daun Rhizophora mucronata Lamk.

diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji

alkaloid, flavonoid, triterpenoid dan steroid, saponin dan tanin. Berikut data hasill

uji fitokimia yang diperoleh (Tabel 2):

Tabel 2. Hasil Uji Fitokimia Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk.

Uji Fitokimia Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk.

Alkaloid

P. Meyer ++

P. Wagner ++

Flavonoid

HCL Pekat +

H2SO4 2 N +

NaOH 10% ++

Steroid ++

Triterpenoid -

Saponin ++

Tanin ++

Keterangan tabel :

- : negatif

+ : positif lemah, warna/busa/endapan terlihat samar

++ : positif kuat, warna/busa/endapan terlihat jelas

4.1.1 Uji Alkaloid

Hasil positif uji alkaloid sampel daun Rhizophora mucronata Lamk.

dengan menggunakan pereaksi meyer dan pereaksi wagner ditunjukkan dengan

adanya endapan putih kekuningan pada Gambar 13 (a) pereaksi meyer dan

39

endapan coklat merah namun samar pada pereaksi wagner (b). Dari sampel yang

diuji menggunakan dua pereaksi tersebut memperlihatkan bahwa sampel daun

Rhizophora mucronata Lamk. positif mengandung alkaloid.

a. Hasil Positif Pereaksi Meyer b. Hasil Positif Pereaksi Wagner

Gambar 13. Hasil Positif Uji Senyawa Alkaloid

4.1.2 Uji Flavonoid

Hasil uji flavonoid ditunjukkan dengan menggunakan tiga jenis pereaksi.

Pereaksi pertama yang digunakan adalah asam klorida (HCl), sampel daun

Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan perubahan warna menjadi

orange/jingga samar setelah ditambahkan pereaksi sehingga dikatakan positif

lemah mengandung senyawa flavonoid (Gambar 14).

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 14. Hasil Positif Lemah Senyawa Flavonoid dengan Pereaksi HCl

Pereaksi yang kedua adalah menggunakan asam sulfat (H2SO4). Pada uji

ini sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan perubahan warna

40

menjadi kuning merah/coklat, maka sampel dikatakan positif mengandung

senyawa flavonoid (Gambar 15).

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 15. Hasil Positif Uji Senyawa Flavonoid dengan Pereaksi H2SO4

Pereaksi terakhir menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH) 10%. Pada

uji ini sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan perubahan warna

menjadi kuning merah/coklat sehingga dikatakan bahwa sampel positif

mengandung senyawa flavonoid. Berikut hasil uji senyawa flavonoid dengan

menggunakan pereaksi NaOH 10% (Gambar 16) dan ketiga hasil uji flavonoid

(Gambar 17):

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 16. Hasil Positif Uji Senyawa Flavonoid dengan

Pereaksi NaOH 10%

41

Gambar 17. Hasil Uji Senyawa Flavonoid dari Tiga Pereaksi

Robinson (1991) dalam Naiborhu (2002) mengatakan bahwa salah satu

fungsi flavonoid dari tumbuhan adalah sebagai kerja antimikroba dan antivirus.

Senyawa flavonoid dapat merusak membran sitoplasma yang dapat menyebabkan

bocornya metabolit penting dan menginaktifkan sistem enzim bakteri. Kerusakan

ini memungkinkan nukleotida dan asam amino merembes keluar dan mencegah

masuknya bahan-bahan aktif ke dalam sel, keadaan ini dapat menyebabkan

kematian bakteri (Volk dan Wheeler 1988 dalam Prajitno 2008).

4.1.3 Uji Triterpenoid dan Steroid

Hasil uji triterpenoid dan steroid ditunjukkan dengan timbulnya warna

merah jika positif triterpenoid dan timbul warna biru atau ungu jika positif steroid.

Pada hasil uji menggunakan sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. dapat

dilihat bahwa sampel positif mengandung senyawa steroid (Gambar 18):

Gambar 18. Hasil Positif Uji Senyawa Steroid

42

Steroid merupakan salah satu golongan senyawa non polar. Senyawa

steroid ini memiliki aktivitas antibakteri. Steroid yang diperoleh dari organisme

telah terbukti penggunaannya untuk pengobatan yang bervariasi, diantaranya

sebagai antibiotik (Kristanti dkk, 2008 dalam Tania 2011).

4.1.4 Uji Saponin

Hasil positif dari uji saponin pada sampel daun Rhizophora mucronata

Lamk. ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang stabil tidak kurang dari 10

menit setinggi 3 cm dan tidak hilang pada penambahan satu tetes HCL 2 N

(Gambar 19).

Gambar 19. Hasil Positif Uji Senyawa Saponin

Saponin merupakan salah satu golongan senyawa yang rumit dan terdapat

pada berbagai jenis organisme, bersifat larut dalam air, larut dalam etil asetat dan

butanol serta digolongkan dalam senyawa polar. Selain memiliki aktivitas

antibakteri dan antijamur, saponin juga memiliki sifat yaitu aktivitas yang

berhubungan dengan kanker seperti sitotoksik, antitumor, antimutagen dan yang

menyangkut aktivitas antialergenik, antivirus, antidiabetes dan antifungi (Lacaille-

Dubois dan Wagner 1996 dalam Tania 2011).

4.1.5 Uji Tanin

Hasil positif untuk uji tanin ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi

hijau kehitaman. Sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. yang diujikan positif

mengandung tanin. Berikut hasil uji fitokimia dari senyawa tanin (Gambar 20):

43

Gambar 20. Hasil Positif Uji Senyawa Tanin

Kemampuan tanin dalam menghambat pertumbuhan bakteri menurut

(Masduki 1996 dalam Fatiqin 2009) yaitu dengan cara mempresipitasi protein,

karena diduga tanin juga mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik.

Efek antibiotik tanin antara lain melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi

enzim dan inaktivasi fungsi materi genetik.

4.2. Isolasi Metabolit Sekunder

Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen yang diinginkan

dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu

bahan yang merupakan komponennya. Ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu lama ekstraksi, suhu dan jenis pelarut yang digunakan (Achmadi

1992 dalam Yulian 2011).

Proses ekstraksi dengan menggunakan metode maserasi bertingkat

berdasarkan tingkat kepolarannya dilakukan dengan menggunakan tiga jenis

pelarut yang mewakili. Hal ini didasarkan pada tingkat kepolaran dari masing-

masing pelarut, yaitu n-heksan dengan titik didih 69°C sebagai pelarut nonpolar,

etil asetat dengan titik didih 77°C sebagai pelarut semipolar dan butanol dengan

titik didih 118°C sebagai pelarut polar. Maksud dari penggunaan berbagai pelarut

ini adalah untuk memisahkan jenis bahan aktif yang mungkin dimiliki oleh daun

Rhizopora mucronata Lamk. sesuai dengan kepolarannya.

Ekstraksi daun Rhizophora mucronata Lamk. dilakukan dengan metode

maserasi berdasarkan tingkat kepolaran pelarut. Perbandingan berat sampel

dengan pelarut pada saat maserasi adalah 1 : 4 (500 g : 2000 ml). Maserasi

44

dilakukan dengan menggunakan pelarut non polar terlebih dahulu, yaitu pelarut n-

heksan selama 1 x 24 jam dengan pengulangan sebanyak tiga kali.

Pengulangan maserasi ini dilakukan untuk mengikat sisa senyawa

metabolit sekunder yang mungkin masih tertinggal pada serbuk sampel yang

direndam. Semakin lama waktu maserasi yang digunakan, maka akan semakin

banyak jumlah senyawa yang terekstraksi. Filtrat dari rendaman n-heksan

kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring dan kemudian diuapkan

menggunakan rotary evaporator pada suhu 40°C, sehingga didapatkan ekstrak

kasar (pasta) berwarna hijau pekat.

Setelah tiga kali pengulangan maserasi n-heksan kemudian dilanjutkan

dengan maserasi menggunakan pelarut semi polar yaitu etil asetat. Dilakukan

prosedur dan suhu yang sama pada saat evaporasi hingga didapat ekstrak pekat.

Begitu juga dengan pelarut polarnya yaitu butanol, dilakukan tiga kali

pengulangan maserasi hingga didapat ekstrak pekat hasil evaporasi. Ekstrak pekat

dari ketiga hasil maserasi berdasarkan tingkat kepolaran tersebut kemudian

disimpan di lemari pendingin untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Ekstrak

daun Rhizopora mucronata Lamk. hasil evaporasi dapat dilihat di bawah ini

(Gambar 21):

Gambar 21. Hasil Ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. Berdasarkan

Kepolarannya dari Kiri ke Kanan (Ekstrak n-heksan, etil asetat, dan

butanol)

Menurut Harborne (1987), beberapa senyawa fenol terutama flavonoid

akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi karena senyawa tersebut tidak tahan

45

panas dan mudah teroksidasi. Berikut data yang diperoleh dari ekstrak daun

Rhizophora mucronata Lamk. dengan metode maserasi bertingkat (Tabel 3):

Tabel 3. Data Hasil Ekstraksi daun Rhizopora mucronata Lamk.

BK

(gram)

VP

(ml) Sampel

Suhu

Evaporasi

VF

(ml)

BE

(gram)

R

(%)

Warna

dan

Bentuk

Ekstrak

500 2000

Ekstrak

n-heksan 40°C 5143 14,7502 2,95

Hijau Pekat

Pasta

Ekstrak

Etil Asetat 40°C 5377 43,0281 8,61

Hijau Pekat

Pasta

Ekstrak

Butanol 40°C 4000 13,7616 2,75

Hijau Pekat

Pasta

Keterangan:

*BK = Berat Kering, VP = Volume Pelarut, VF = Volume Filtrat, BE = Berat

Ekstrak, R= Rendemen

* Setiap ekstrak masing-masing dilakukan 3 kali pengulangan maserasi

Rendemen tertinggi terdapat pada ekstrak etil asetat yaitu sebesar 8,61%

(Lampiran 4). Sesuai dengan penelitian Suciati et. al., (2012), bahwa senyawa etil

asetat merupakan pelarut semi polar sehinga dimungkinkan banyaknya zat aktif

daun Rhizophora mucronata yang bisa terlarut di dalamnya yang menyebabkan

tingginya nilai rendemen yang dihasilkan.

Harborne (1987) dalam Suciati et. al., (2012), mengatakan bahwa senyawa

etil asetat mampu mengekstrak senyawa fenol dan terpenoid, dan senyawa non

polar n-heksan dapat mengekstrak golongan triterpenoid/steroid. Bahan yang

mampu larut dalam etil asetat juga berupa senyawa flavonoid. Sedangkan

senyawa polar (butanol) mampu mengekstrak fenolik dan tanin.

46

4.3. Kandungan Metabolit Sekunder Hasil Ekstraksi

Ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. hasil ekstraksi diuji

kandungan metabolit sekundernya sesuai dengan kepolarannya. Berikut hasil uji

kandungan metabolit sekunder (Tabel 4).

Tabel 4. Uji Fitokimia Hasil Ekstraksi Daun Rhizophora mucronata Lamk.

Ekstrak Uji Fitokimia Hasil

n-heksan Steroid +

Flavonoid

HCL Pekat -

Etil Asetat H2SO4 2 N -

NaOH 10% +

Butanol Flavonoid

HCL Pekat -

H2SO4 2 N -

NaOH 10% -

Fenolik +

Tanin +

a. Ekstrak n-heksan

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 22. Hasil Positif Steroid Ekstrak n-heksan

47

b. Ekstrak Etil Asetat

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 23. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Etil Asetat

Reagen HCl pekat + Mg

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 24. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Etil Asetat

Reagen H2SO4 2N

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 25. Hasil Positif Flavonoid Ekstrak Etil Asetat

Reagen NaOH 10%

c. Ekstrak Butanol

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 26. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Butanol Reagen H2SO4 2N

48

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 27. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Butanol Reagen NaOH 10%

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 28. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Butanol

Reagen HCl pekat + Mg

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 29. Hasil Positif Uji Fenolik Ekstrak Butanol

Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji

Gambar 30. Hasil Positif Uji Tanin Ekstrak Butanol

49

4.4. Hasil Uji In Vitro (Uji Sensitivitas Bakteri)

Uji in vitro bertujuan untuk menentukan jenis ekstrak daun Rhizophora

mucronata Lamk. yang paling efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri

Vibrio harveyi secara in vitro. Ketiga ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk.

meliputi ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak butanol kemudian

diencerkan dengan menggunakan akuades untuk menentukan konsentrasi pada

masing-masing ekstrak yaitu 10.000 ppm sebagai larutan stok, 1000 ppm, 100

ppm, dan 10 ppm serta larutan kontrol positif menggunakan antibiotik

kloramfenikol sebesar 30 ppm (Lampiran 5).

Pengukuran zona bening dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.

Pengamatan dilakukan setelah 24 jam masa inkubasi bakteri Vibrio harveyi pada

suhu 37°C. Bakteri Vibrio harveyi yang telah diremajakan kemudian disamakan

kekeruhannya dengan larutan Mc Farland 0,5 atau senilai dengan kekeruhan 1,5 x

108 CFU/ml (Lampiran 6, 7, 8 dan 9).

Berdasarkan uji aktivitas antibakteri dari ketiga ekstrak daun Rhizophora

mucronata Lamk. yang meliputi ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak

butanol terhadap bakteri Vibrio harveyi memperlihatkan bahwa ketiga ekstrak

daun Rhizophora mucronata Lamk. tersebut dapat menghambat pertumbuhan

bakteri Vibrio harveyi. Hal ini dibuktikan dengan adanya zona bening disekitar

paper disk yang berukuran 6 mm sebagai zona hambat.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa setiap konsentrasi pada masing-masing

ekstrak menghasilkan zona hambat yang berbeda, hal ini dikarenakan setiap

ekstrak memiliki kandungan metabolit sekunder yang berbeda meliputi ekstrak n-

heksan yang mengandung senyawa steroid, ekstrak etil asetat mengandung

senyawa flavonoid dan ekstrak butanol yang mengandung senyawa fenolik dan

tanin yang merupakan senyawa antibakteri. Adanya zona hambat menunjukkan

bahwa ketiga ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. mengandung zat

antibakteri sebagai penghambat bagi pertumbuhan Vibrio harveyi (Tabel 5).

50

Tabel 5. Diameter Zona Hambat Hasil Uji In Vitro Ekstrak Daun Rhizophora

mucronata Lamk. terhadap Bakteri Vibrio Harveyi

Keterangan: Diameter paper disk = 6 mm

Pada tabel 5 di atas, perlakuan kontrol positif yang digunakan adalah

kloramfenikol dengan konsentrasi 30 ppm. Hal ini dikarenakan pengobatan

penyakit pada udang windu yang terserang Vibrio harveyi biasanya menggunakan

konsentrasi kloramfenikol sebesar 30 ppm. Dan dapat dilihat bahwa kontrol

positif menggunakan kloramfenikol membentuk zona hambat sebesar 13.49 mm.

Sedangkan ekstrak dengan diameter zona hambat terbesar diperoleh dari

ekstrak butanol pada konsentrasi 1000 ppm sebesar 8,69 mm dan diameter zona

Konsentrasi

Ekstrak

Diameter Zona Hambat (mm) Diameter

Rata-rata

Zona Hambat

yang

Terbentuk Pengulangan

ke-1

Pengulangan

ke-2

Pengulangan

ke-3

n-heksan

10 ppm

7.09

7.41

7.21

7.24

Bening +

100 ppm 7.57

6.82

7.74

7.38

Bening +

1000 ppm 7.27

7.3

7.66

7.41

Bening +

10000 ppm 7.55

7.78

9.55

8.29

Agak bening

Etil asetat

10 ppm

8.05

7.48

8.47

8.00

Agak keruh

100 ppm 7.31

7.44

6.19

6.98

Agak bening

1000 ppm 8.14

7.67

9.40

8.40

Bening +

10000 ppm 7.61

7.30

8.74

7.88

Bening +

Butanol

10 ppm

8.11

8.37

7.40

7.96

Agak bening

100 ppm 8.73

7.61

8.60

8.31

Agak bening

1000 ppm 8.26

9.41

8.40

8.69

Bening +

10000 ppm 8.49

8.68

8.76

8.64

Agak bening

Kloramfenikol

30 ppm

(Kontrol +)

11.56

15.56

13.34

13.49

Bening ++

51

hambat terkecil diperoleh dari ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 100 ppm

sebesar 6,98 mm. Rata-rata zona hambat terbaik pada semua konsentrasi terdapat

pada ekstrak butanol. Oleh karena itu ekstrak terbaik yang akan digunakan untuk

uji selanjutnya yaitu ekstrak polar butanol daun Rhizophora mucronata Lamk.

(Lampiran 10).

Sesuai dengan hasil penelitian Suciati et. al., (2012), hasil uji in vitro

ekstrak Rhizophora mucronata terhadap Vibrio harveyi menunjukkan bahwa jenis

sampel daun pucuk metanol (DPM) memiliki diameter zona hambat yang paling

besar yaitu 14,8 mm dibandingkan zona hambat jenis sampel n-heksan dan etil

asetat. Berikut perbandingan diameter rata-rata zona hambat antibakteri pada

masing-masing perlakuan (Gambar 31).

Gambar 31. Diagram Perbandingan Diameter Rata-rata Zona Hambat

ekstrak Daun Rhizophora mucronata Lamk.

Cara kerja antibakteri dibedakan menjadi bakteristatik dan bakterisidal.

Ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. diduga bersifat bakteristatik, hal ini

dikarenakan ekstrak hanya mampu menghambat bakteri uji, tidak sampai

membunuh. Terlihat dari keruhnya zona hambat ekstrak setelah diinkubasi lebih

dari 24 jam (Jamaludin 2005 dalam Yulian 2011).

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Dia

mete

r z

on

a h

am

ba

t (m

m)

Konsentrasi ekstrak (ppm)

Diagram perbandingan diameter rata-rata zona hambat

ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk.

ekstrak n-heksan

ekstrak etil asetat

ekstrak butanol

Kloramfenikol (+)

52

4.5. Pengamatan Konsentrasi Letal (LC50) Ekstrak Butanol Daun Rhizophora

mucronata Lamk. terhadap Larva Udang Windu

Ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. merupakan ekstrak

yang terbaik sebagai antibakteri terhadap Vibrio harveyi berdasarkan uji aktivitas

antibakteri (in vitro). Dalam konsentrasi yang besar, ekstrak dapat mengakibatkan

larva udang mengalami keracunan, oleh karena itu perlu diketahui besaran

maksimum konsentrasi ekstrak yang masih dapat diterima tubuh larva udang

windu yaitu dengan menggunakan uji konsentrasi letal (LC50).

Pada uji LC50 dilakukan perendaman dengan 12 ekor larva udang windu

yang direndam dalam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. yang

dilarutkan menggunakan air laut dengan variasi konsentrasi sebesar 0, 10, 100,

1000 dan 10.000 ppm selama 48 jam (Lampiran 11). Hasil pengamatan LC50

selama 48 jam, ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. dengan

konsentrasi 1000 ppm dan 10.000 ppm menghasilkan kelangsungan hidup yang

lebih rendah dibandingkan dengan larva udang yang direndam pada konsentrasi

10 ppm dan 100 ppm (Lampiran 12).

Hasil analisis LC50 menggunakan program EPA Probit 1.5 memberikan

nilai sebesar 455.772 ppm (dengan batas ambang bawah sebesar 192.028 dan

batas ambang atas sebesar 1087.165 ppm) (Lampiran 13). Dari hasil EPA Probit

ini dapat ditunjukkan bahwa larva udang windu hanya dapat mentolerir ekstrak

butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. pada konsentrasi 455.772 ppm.

Sehingga hasil tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan kisaran

konsentrasi ekstrak pada saat uji tantang untuk melihat tingkat kelangsungan

hidup larva udang windu (uji in vivo).

53

4.6. Gejala Klinis

Sebelum pengujian tingkat kelangsungan hidup larva udang windu

terhadap penyakit vibriosis dengan menggunakan ekstrak butanol daun

Rhizophora mucronata Lamk., dilakukan penginfeksian dengan menggunakan

Vibrio harveyi dengan kepadatan 106 CFU/ml. Berikut gambar koloni bakteri

Vibrio harveyi dengan perbesaran 100x menggunakan mikroskop (Gambar 32).

Gambar 32. Koloni Bakteri Vibrio harveyi

(Sumber: Dokumen pribadi)

Penginfeksian dilakukan dengan cara perendaman ke dalam larutan bakteri

selama 15 menit. Diamati gejala klinisnya, meliputi morfologi maupun perubahan

tingkah laku udang setelah diinfeksi. Pengamatan dilakukan selama 3 jam sampai

larva udang windu menunjukkan gejala klinis. Menurut Sunaryo et. al. (1987)

dalam Yulian (2011), ciri-ciri udang windu yang terserang vibriosis adalah

lemahnya kondisi tubuh, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai

bercak merah-merah. Pada kaki renang dan kaki jalan menunjukkan melanisasi.

Gambar 33. Nekrosis pada Kaki Renang Larva Udang Windu yang

Terinfeksi Vibrio harveyi (Perbesaran 40x)

(Sumber: Dokumen pribadi)

54

Larva udang windu yang terserang bakteri Vibrio harveyi mengalami

penurunan nafsu makan, dilihat dari banyaknya sisa pakan pada media

pemeliharaan. Selain itu larva udang windu mengalami pergerakan yang abnormal

ketika diinfeksi dengan bakteri Vibrio harveyi. Warna tubuh larva udang windu

yang terinfeksi dapat dilihat dengan munculnya bercak-bercak merah.

Permukaan tubuh juga merupakan tempat media masuknya bakteri ke

dalam tubuh dan daerah ini dapat menjadi gerbang utama untuk menyebabkan

infeksi. Pada saat kulit inang (kutikula) atau permukaan tubuh lainnya mengalami

luka, maka sangat memungkinkan bakteri patogen untuk masuk (Sukenda dan

Wakabayashi 2001).

Gambar 34. Kerusakan pada Ekor Larva Udang Windu

(Perbesaran 4x10=40)

(Sumber: Dokumen pribadi)

Selama 7 hari pemeliharaan, aktivitas makan dan gerak larva udang windu

yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi mulai meningkat. Perubahan signifikan

terlihat pada aktivitas makan yang terlihat dari sedikitnya sisa pakan yang

tertinggal, isi usus mulai penuh dan banyaknya feses di dasar akuarium. Hal ini

membuktikan bahwa dengan perendaman ekstrak butanol daun Rhizophora

mucronata Lamk. pada larva udang windu dapat mengobati infeksi bakteri Vibrio

harveyi. Berikut data pengamatan respon makan udang windu selama uji in vivo

(Tabel 7).

55

Tabel 7. Pengamatan Respon Makan Larva Udang Windu Terinfeksi Vibrio

harveyi pada Pemaparan Ekstrak Butanol Daun Rhizophora

mucronata Lamk. (Uji In Vivo)

Hari

ke-

Konsentrasi Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk.

A

Kontrol

B

113,943 ppm

C

227,86 ppm

D

341,829 ppm

E

455,772 ppm

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

1 + + + + + + + + + +

2-4 + + ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ++

5-7 + + ++ ++ +++ ++ +++ +++ +++ +++

Keterangan:

+ : tidak responsif

++ : kurang responsif

+++ : responsif

++++ : sangat responsif

Pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa pada hari pertama setelah pemaparan

ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk., larva udang windu pada

setiap perlakuan respon makannya masih tidak responsif, hal ini dikarenakan

bakteri Vibrio harveyi menyerang saluran pencernaan sehingga nafsu makan larva

udang windu menurun. Pada hari kedua sampai keempat mulai terjadi peningkatan

nafsu makan, dan terus meningkat pada hari kelima sampai hari ketujuh, terutama

pada perlakuan D dan E nafsu makan larva udang windu sudah mulai responsif

dengan dilihat dari keberadaan sisa pakannya.

Selain pengamatan respon makan, dilakukan pengamatan pergerakan larva

udang windu. Larva udang windu yang tidak terinfeksi biasanya berenang di

dinding akuarium atau bergerak aktif di dasar. Larva udang windu akan bergerak

cepat menjauh ketika disentuh. Berbeda halnya dengan larva udang windu yang

terinfeksi bakteri Vibrio harveyi, larva akan diam dan bergerak lemah di dasar

kolam. Berikut data pengamatan respon makan dan pergerakan udang windu

selama uji in vivo (Tabel 8).

56

Tabel 8. Pengamatan Pergerakan Larva Udang Windu Terinfeksi Vibrio

harveyi pada Pemaparan Ekstrak Butanol Daun Rhizophora

mucronata Lamk. (Uji In Vivo)

Hari

ke-

Konsentrasi Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk.

A

Kontrol

B

113,943 ppm

C

227,86 ppm

D

341,829 ppm

E

455,772 ppm

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

1 + + + + + + + + + +

2-4 ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++

5-7 ++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++ ++

Keterangan:

+ : abnormal

++ : diam di dasar

+++ : aktif

Pada tabel 8, dapat dilihat bahwa pada hari pertama kondisi pergerakan

larva udang windu masih abnormal, terutama pada perlakuan A. Sampai hari

ketujuh udang windu pada perlakuan A masih diam di dasar. Hal ini dikarenakan

perlakuan A tidak dipaparkan ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk.,

sehingga larva udang windu tidak mengalami pemulihan. Sedangkan pada

perlakuan B sampai E, pergerakan larva udang windu sudah semakin aktif.

Semakin banyak konsentrasi ekstrak yang diberikan, semakin cepat larva udang

windu mengalami pemulihan, namun masih dalam batas tolerir konsentrasi LC50.

Pada hari kelima sampai ketujuh, pada perlakuan D larva udang windu sudah

mulai aktif dan mulai berenang di dinding akuarium. Hal ini membuktikan bahwa

dengan perendaman ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. pada

larva udang windu mampu mengendalikan infeksi bakteri Vibrio harveyi melalui

pengobatan.

57

4.7 Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Udang Windu pada Uji In Vivo

Pengamatan kelangsungan hidup udang windu selama 7 hari setelah

pemaparan ekstrak didasarkan pada mortalitas udang yang diinfeksi bakteri Vibrio

harveyi sampai adanya gejala klinis dan kemudian direndam selama 15 menit

dalam masing-masing perlakuan ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata

Lamk. (Lampiran 14). Data kelangsungan hidup udang windu yang diperoleh

dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9. Mortalitas dan Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Larva Udang

Windu Setelah Pemaparan Ekstrak Butanol Daun Rhizophora

mucronata Lamk.

Perlakuan

Jumlah

Udang

Awal

Mortalitas Udang Uji

Pengamatan (Hari ke-) Jumlah

Mortalitas

Udang

Jumlah

Udang

Akhir

SR

(%)

Rerata

SR

(%) 1 2 3 4 5 6 7

A1 30 13 7 2 1 0 0 0 23 7 23,33 25

A2 30 11 6 3 1 1 0 0 22 8 26,67

B1 30 14 3 0 1 1 0 0 19 11 36,67 30

B2 30 13 5 4 1 0 0 0 23 7 23,33

C1 30 3 7 5 1 0 0 0 16 14 46,67 45

C2 30 8 6 2 1 0 0 0 17 13 43,33

D1 30 6 6 1 0 0 0 0 13 17 56,67 51,67

D2 30 9 6 1 0 0 0 0 16 14 46,67

E1 30 12 5 1 1 0 0 0 19 11 36,67 46,67

E2 30 7 5 1 0 0 0 0 13 17 56,67

Keterangan:

A1, 2 = Tanpa pemberian ekstrak (kontrol) dengan 2 kali ulangan

B1, 2 = Konsentrasi ekstrak 113,943 ppm (25%) dengan 2 kali ulangan

C1, 2 = Konsentrasi ekstrak 227,86 ppm (50%) dengan 2 kali ulangan

D1, 2 = Konsentrasi ekstrak 341,829 ppm (75%) dengan 2 kali ulangan

E1, 2 = Konsentrasi ekstrak 455,772 ppm (100%) dengan 2 kali ulangan

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa mortalitas larva udang windu terjadi

pada pengamatan hari pertama setelah diinfeksi bakteri Vibrio harveyi selama 15

menit dan kemudian direndam dalam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata

Lamk. selama 15 menit. Mortalitas larva udang windu pada hari pertama cukup

banyak pada setiap konsentrasinya, begitu juga pada hari kedua. Sedangkan pada

hari ketiga sampai hari kelima masih terjadi kematian udang windu pada

perlakuan A dan B, namun mortalitasnya tidak sebanyak hari pertama dan kedua.

58

Pada perlakuan C dan E kematian udang windu terjadi sampai hari

keempat, sedangkan pada perlakuan D, kematian udang windu hanya sampai hari

ketiga sehingga tingkat kelangsungan hidup udang windunya lebih tinggi

dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan larva udang mampu

mengeliminasi serangan bakteri dengan cara meningkatkan sifat pertahanan

tubuhnya sehingga kematian tidak terjadi.

Setelah direndam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk.,

tingkat kelangsungan hidup larva udang windu lebih besar dibandingkan dengan

larva udang windu kontrol (tanpa perendaman). Semakin tinggi konsentrasi

ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan tingkat

kelangsungan hidup yang semakin tinggi pula, namun pada batas tertentu

(Gambar 35).

Gambar 35. Grafik Kelangsungan Hidup Larva Udang Windu Uji in vivo

Gambar diagram di atas menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva

udang windu tanpa perendaman (kontrol) ekstrak butanol daun Rhizophora

mucronata Lamk. yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi memberikan tingkat

kelangsungan hidup yang rendah. Rendahnya kelangsungan hidup udang windu

pada perlakuan A (kontrol/tanpa perendaman ekstrak) dikarenakan larva udang

windu yang diinfeksi bakteri Vibrio harveyi tidak dilakukan pengobatan sehingga

daya tahan tubuh dan metabolismenya terganggu, hal ini disebabkan bakteri

25 30

45

51.67 46.67

0

10

20

30

40

50

60

A (0) B (113,943) C (227,86) D (341,829) E (455,772)

Kel

angs

un

gan

Hid

up

(%)

Konsentrasi (ppm)

Grafik Kelangsungan Hidup (SR)

Ekstrak Butanol

59

Vibrio harveyi masuk ke hepatopankreas dan menyebabkan kerusakan sehingga

lama-kelamaan larva udang windu mengalami kematian. Hepatopankreas

merupakan kelenjar pencernaan yang berfungsi untuk memproduksi enzim

pencernaan, termasuk pula menyerap makanan, transportasi, sekresi dari enzim

pencernaan serta menyimpan lemak, glikogen dan beberapa mineral (Harrison &

Humes, 1992 dalam Yulian 2011). Jika organ hepatopankreasnya terganggu maka

akan mengganggu sistem fisiologis larva udang sehingga menyebabkan kematian.

Tingkat kelangsungan hidup udang windu pada perlakuan B (30%), C

(45%) dan E (46,67%) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (25%),

namun lebih rendah dibandingkan perlakuan D (51,67%), hal ini terjadi karena

perlakuan B (113,943 ppm) dan C (227,86 ppm) dengan pemberian konsentrasi

ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. sudah mampu mencegah

pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi namun belum maksimal. Sedangkan pada

perlakuan E (455,772 ppm) sudah dapat dikatakan mencegah pertumbuhan bakteri

Vibrio harveyi namun konsentrasi tersebut masih berada dalam kisaran LC50.

Konsentrasi perlakuan E berada pada batas tolerir udang windu terhadap ekstrak

pada hasil uji LC50. Kemungkinan pada konsentrasi tersebut kandungan dari zat

aktif ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. bersifat toksik sehingga

memberikan efek kematian pada larva udang windu uji.

Hal ini sesuai dengan penelitian Hidayat (2011), mengenai efektivitas

ekstrak beberapa jenis rumput laut dari perairan Pangandaran sebagai agen

antibakteri Vibrio harveyi yang menyerang udang windu (Penaeus monodon).

Hasil penelitian Hidayat menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup

tertinggi terdapat pada perlakuan D sebesar 56,67% dengan pemberian

konsentrasi ekstrak Sargassum sp. pada konsentrasi 237,102 ppm yang efektif

menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi.

Dari data hasil uji tantang (in vivo) pada udang larva udang windu di atas,

dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat

pada perlakuan D dengan konsentrasi (341,829 ppm) mencapai 51,67%. Hal ini

disebabkan serangan bakteri Vibrio harveyi pada larva udang windu dapat

dihambat oleh ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. Kandungan

60

metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak butanol daun Rhizophora

mucronata Lamk. meliputi fenolik dan tanin. Hal ini memperlihatkan bahwa

kandungan metabolit sekunder seperti golongan fenolik dan tanin dapat bekerja

sebagai antibakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Pelezar et. al., (1993) dalam

Maryani (2003), bahwa beberapa senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai

antimikroba diantaranya fenol dengan mekanisme kerja senyawa fenol sebagai

antimikroba terjadi dengan cara merusak dan menembus dinding sel bakteri,

kemudian mengendapkan protein sel mikroba sehingga merupakan racun bagi

protoplasma. Menurut Co (1989) dalam Maryani (2003), efek dari senyawa yang

mengandung fenol mampu melawan bakteri gram negatif termasuk Vibrio harveyi

dan kandungan tanin yang diketahui mampu mengobati luka.

4.8. Kualitas Air

Pada kegiatan budidaya udang windu, kondisi perairan merupakan suatu

faktor penting keberhasilan kegiatan pembudidayaan. Perairan merupakan suatu

habitat dimana udang hidup dan saling berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya,

baik yang bersifat abiotik maupun biotik. Pada kegiatan budidaya udang, suatu

lingkungan perairan harus sesuai dengan habitat alami udang. Oleh karena itu

kualitas air pada saat pemeliharaan larva udang windu pada waktu uji tantang (in

vivo) harus dalam keadaan terkontrol.

Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal, tengah dan akhir percobaan.

Selama penelitian, kondisi air atau media pemeliharaan larva udang windu diukur

kualitasnya, meliputi suhu, salinitas, DO (oksigen terlarut) dan pH (derajat

keasaman). Kisaran suhu rata-rata pada awal, tengah sampai akhir penelitian 28-

29°C, salinitas dengan kisaran 30-35 ppm, DO dengan kisaran 6,2-7,8 dan pH

dengan kisaran 7,5-8,0 (Tabel 10)

61

Tabel 10. Nilai Kualitas Air Udang Windu pada Saat Uji in vivo

Kondisi Paramaeter Kualitas Air

Suhu Salinitas DO pH

Kisaran pada penelitian 28-29°C 30-35 ppm 6,2-7,8 7,5-8,0

Kisaran yang aman 28°C-32°C* 5-40 ppm* >3* 7,5-8,5*

Keterangan: *) SNI Produksi udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan

teknik sederhana (2009)

Dilihat dari tabel parameter kualitas air di atas, dapat diketahui bahwa

kualitas air selama penelitian berada dalam keadaan terkontrol pada kisaran

toleransi yang masih aman dalam standar pembudidayaan udang windu mulai dari

suhu, salinitas, DO (oksigen terlarut), dan pH (derajat keasaman). Dengan

demikian, dapat dikemukakan bahwa kualitas air selama penelitian memenuhi

syarat optimum untuk budidaya udang sehingga kematian larva udang bukan

disebabkan oleh kualitas air tetapi oleh aktivitas bakteri Vibrio harveyi.