BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

38
Universitas Agung Podomoro | 51 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Definisi “Karakteristik” menurut KBBI Badan Bahasa adalah “Mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu”. Untuk dapat memahami suatu karakteristik Persetujuan Diam-Diam haruslah dilihat dari segi persetujuan dan makna “diam-diam” dalam suatu hubungan sewa menyewa. Definisi persetujuan diam-diam secara implisit terdapat dalam Pasal 1347 KUHPer “Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan” 113 . Penulis berpendapat persetujuan diam-diam adalah bentuk kesepakatan pada masa perjanjian telah berakhir namun para pihak masih menjalankan hak dan kewajiban dalam perjanjian selayaknya perjanjian tersebut belum berakhir. Penulis mengambil 2 macam teori yang melandasi dan mendukung Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah. Yakni Teori Penawaran dan Penerimaan, serta Teori Kehendak. 1. Teori Penawaran dan Penerimaan (Offer and Acceptance) Aspek-aspek hukum utama dalam offer adalah syarat offer, invitation to treat, dan berakhirnya offer. Sedangkan aspek-aspek hukum utama dalam acceptance adalah syarat acceptance, cara melakukan acceptance, postal rule serta penggunaan kontrak standar. 114 Offer merupakan pernyataan yang mengandung syarat- syarat yang diajukan oleh offeror kepada oferee sebagai dasar perjanjian, di dalamnya juga terdapat janji-janji baik secara tegas maupun diam-diam yang harus dipatuhi apabila syarat-syarat yang diajukan diterima. 115 Melalui proses tersebut terjadilah consensus in idem atau meeting of the minds dari para pihaknya, dan saat inilah lahir 113 Loc. cit. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1347. 114 Natasya Yunita Sugiastuti, “Formasi/Terjadinya Hubungan Kontraktual Menurut Sistem Hukum Inggris”, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol.4 No.2 Tahun 2014. 115 Ibid.

Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Rumah

Definisi “Karakteristik” menurut KBBI Badan Bahasa adalah “Mempunyai

sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu”. Untuk dapat memahami suatu

karakteristik Persetujuan Diam-Diam haruslah dilihat dari segi persetujuan dan

makna “diam-diam” dalam suatu hubungan sewa menyewa. Definisi persetujuan

diam-diam secara implisit terdapat dalam Pasal 1347 KUHPer “Hal-hal yang,

menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam

dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”113. Penulis

berpendapat persetujuan diam-diam adalah bentuk kesepakatan pada masa

perjanjian telah berakhir namun para pihak masih menjalankan hak dan kewajiban

dalam perjanjian selayaknya perjanjian tersebut belum berakhir.

Penulis mengambil 2 macam teori yang melandasi dan mendukung

Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah. Yakni Teori

Penawaran dan Penerimaan, serta Teori Kehendak.

1. Teori Penawaran dan Penerimaan (Offer and Acceptance)

Aspek-aspek hukum utama dalam offer adalah syarat offer,

invitation to treat, dan berakhirnya offer. Sedangkan aspek-aspek

hukum utama dalam acceptance adalah syarat acceptance, cara

melakukan acceptance, postal rule serta penggunaan kontrak

standar.114 Offer merupakan pernyataan yang mengandung syarat-

syarat yang diajukan oleh offeror kepada oferee sebagai dasar

perjanjian, di dalamnya juga terdapat janji-janji baik secara tegas

maupun diam-diam yang harus dipatuhi apabila syarat-syarat yang

diajukan diterima.115 Melalui proses tersebut terjadilah consensus in

idem atau meeting of the minds dari para pihaknya, dan saat inilah lahir

113 Loc. cit. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1347. 114 Natasya Yunita Sugiastuti, “Formasi/Terjadinya Hubungan Kontraktual Menurut Sistem Hukum Inggris”, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol.4 No.2 Tahun 2014. 115 Ibid.

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 52

suatu kontrak.116 Dengan adanya penawaran yang diajukan oleh

pemberi sewa sebagai penawar kepada penyewa sebagai penerima

secara tertulis maupun lisan sebagai suatu kontrak sewa menyewa

rumah, maka timbulah hak dan kewajiban secara diam-diam yang

merupakan hasil apabila diterimanya penawaran tersebut. Kontrak

sewa menyewa termasuk dalam kontrak timbal balik atau bilateral.

Kontrak timbal balik adalah kontrak yang dilakukan para pihak yang

menimbulkan hak dan kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa

menyewa.117 Dalam persetujuan diam-diam melihat penawaran sebagai

suatu kontrak unilateral. Kontrak unilateral adalah penawaran yang

membutuhkan tindakan saja karena berisi suatu janji dari satu pihak

saja.118 Dalam kontrak unilateral, offeror dalam offer nya berjanji

memberikan hadiah bila suatu perbuatan tertentu dilakukan.119 Yang

dimaksud dengan “hadiah” disini adalah apa yang ditawarkan oleh

penawar. Acceptance terjadi bila perbuatan tersebut telah sepenuhnya

selesai dilakukan.120 Bahwa penerimaan telah terjadi apabila perbuatan

yang ditawarkan oleh pihak penawar telah dilakukan oleh pihak

penerima. Selama offeree belum sepenuhnya melaksanakan perbuatan

tersebut maka offeror berhak mencabut offer nya.121 Apabila pihak

penerima belum melakukan tindakan sebagai bentuk penerimaan akan

tawaran, pihak yang menawarkan berhak mencabut tawarannya.

Namun demikian dalam kontrak unilateral harus dianggap tidak boleh dicabut manakala offeree telah memulai melaksanakan perbuatan yang diminta, atau setidaknya harus diperhatikan sifat offer tersebut, juga kehendak pihak-pihaknya.122

Sehingga persetujuan diam-diam memiliki karakteristik selayaknya suatu

kontrak unilateral, adanya suatu penawaran dan penerimaan dan tidak dapat

ditariknya penawaran apabila pihak penerima telah melakukan tindakan

116 Natasya Yunita Sugiastuti, Loc. cit. 117 H.M. Fauzan dan Baharuddin Siagian, Kamus Hukum dan Yurisprudensi, Cet.1 (Depok : Kencana, 2017), 428-429. 118 Ibid, hlm. 429. 119 Natasya Yunita Sugiastuti, Loc. cit. 120 Ibid. 121 Ibid. 122 Ibid.

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 53

penerimaan atas tawaran tersebut. Penawaran ini adalah suatu bentuk yang

menyatakan bahwa rumah tersebut masih tersedia (available) untuk disewa oleh

pemberi sewa, sehingga penerimaan tersebut masih dapat dilakukan oleh penyewa.

Penyewa rumah dalam hal ini mengetahui masih tersedianya oleh pemberi sewa

oleh karena tidak ada pemberitahuan akan tidak adanya ketidaktersediaan, sehingga

dengan menjalankan kewajibannya, seperti membayar uang sewa, menjadikan hal

tersebut sebagai bentuk sah telah terjadinya penerimaan. Pernyataan diam-diam

dapat terjadi dalam kontral unilateral di mana oferee tidak perlu menyatakan

kehendaknya untuk melaksanakan permintaan offeror.123

Penawaran dapat dirumuskan sebagai pernyataan kehendak yang

mengandung usul untuk mengadakan perjanjian; unsur ini mencakup unsur

esensialia (unsur yang mutlak harus ada, yaitu barang dan harga).124 Disanalah teori

penawaran dan penerimaan memperkuat persetujuan diam-diam terhadap sewa

menyewa yang mengandung unsur esensialia berupa barang dan harga.

2. Teori Kehendak

Van Dunne mengatakan, bahwa latar belakang cara pengamatan penyusun Code Civil dan BW adalah menurut ajaran kehendak yang berkuasa ketika itu, perbuatan hukum didasarkan atas dasar kehendak (psykhis) dari pihak yang bertindak.125

Bila ada dua pihak dalam perkara itu seperti demikian halnya

pada perjanjian menurut definisinya, maka dasar dari perbuatan hukum yang timbal balik itu, adalah kehendak dari kedua pihak, dengan kata lain kesamaan kehendak (kesepakatan) diantara mereka.126

Teori kehendak disini menyatakan bahwa kesepakatan tidak

mungkin terjadi apabila tidak ada kesamaan kehendak diantara kedua

pihak. Bahwa sebenarnya kehendak antara satu pihak dengan yang

lainnya tidak sama, melainkan apa yang dikehendaki adalah “sama

dalam kebalikannya”. “Sama dalam kebalikannya” dalam suatu

123 Natasya Yunita Sugiastuti, Loc. cit. 124 Ilham Akbar, “Akibat Hukum Cacat Kehendak Terkait Hakikat Benda Pada Perjanjian Jual Beli Batu Akik Bongkahan”, Jurnal Hukum dan Pemikiran Syariah, Vol.16 No. 2, Tahun 2016. 125 Saptono, “Teori-Teori Hukum Kontrak Bersumber dari Paham Individualisme”,Jurnal Repertorium Univeristas Sebelas Maret (UNS), Edisi 1 Tahun 2014. 126 Ibid.

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 54

perjanjian sewa menyewa rumah, pemberi sewa memiliki kehendak

untuk menyewakan rumahnya, sedangkan penyewa berkehendak

menyewa rumah. Sehingga peristiwa sewa menyewa rumah ini sudah

pasti memerlukan kehendak kedua pihak yang salik berkebalikan agar

terjadi suatu perjanjian sewa menyewa.

Menurut Pitlo, “dalam ajaran kehendak, perbuatan hukum adalah perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat hukum (contoh perjanjian merupakan peristiwa hukum, suatu peristiwa oleh hukum diberi akibat hukum).”127

Teori kehendak atau teori hukum kontrak klasik yang berasal dari

prinsip private autonomy, kemudian bermakna bahwa kehendak para

pihak yang menentukan hubungan hukum kontrak mereka. Prinsip yang

demikian memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut128:

1. Hukum yang berlaku bagi mereka tersebut semata-mata berkaitan dengan maksud yang sebenarnya dari pihak yang berjanji;

2. Maksud para pihak harus “bertemu” pada saat sebelum dibuatnya kontrak;

3. Hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengisi celah dalam suatu kesepakatan dan tidak berdaya menghadapi kemungkinan hal yang tidak terduga;

4. Pihak yang berjanji bebas mengungkapkan kemauannya

Keterkaitan antara kehendak dan kesepakatan ini terkait dengan syarat sah

lahirnya perjanjian, Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan salah satu teori

mengenai lahirnya perjanjian tersebut, yaitu Wilstheorie (teori kehendak) yang

menjelaskan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima

dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.129 Oleh karena ada suatu tindakan

yang dilakukan pihak penerima untuk menyatakan kehendaknya, sehingga dalam

hubungan sewa menyewa, terjadi tindakan yang menyatakan bahwa sewa menyewa

tersebut akan tetap berlanjut, contohnya dengan tetap membayar uang sewa sebagai

bentuk penerimaan dan menyatakan kehendak akan sewa lanjutan meskipun tidak

ada bentuk pernyataan, karena perjanjian dalam KUHPer tidak mencantumkan

syarat kesepakatan tersebut wajib dilakukan secara tertulis maupun secara lisan.

127 Saptono, Loc.cit. 128 Ibid. 129 Mariam Darus Badrulzaman (B), Loc.cit, hlm. 75.

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 55

Teori kehendak ini sangat berpengaruh terhadap persetujuan diam-diam,

silent consent artinya menyampaikan kehendaknya melalui tindakan yang

menyetujui. Bahwa kehendak ini tidak perlu disampaikan secara langsung, dapat

juga secara tidak langsung maupun diam-diam. Kehendak yang disampaikan secara

langsung melalui komunikasi secara langsung dengan jelas menyampaikan apa

yang dimaksudkan atau yang dikehendaki. Bentuk penyampaian secara tidak

langsung dapat melalui orang ketiga yang diberikan kuasa, melalui email, atau

perantara lainnya. Penyampaian kehendak secara diam-diam ini bukan berarti tidak

melaksanakan apapun, menurut Pasal 1234 KUHPer berbunyi “Tiap-tiap perikatan

adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat

sesuatu.”130 Sehingga pernyataan kehendak secara diam-diam sangat

memungkinkan terjadinya perikatan.

Meskipun pernyataan kehendak tidak diharuskan secara tegas tapi kehendak ini tetap harus ditunjukkan dengan cara yang lain, ketika kehendak atau keinginan disimpan dalam hati, tidak mungkin diketahui oleh pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan suatu perjanjian.131

4.1.1 Cacat Kehendak dalam Perjanjian

Dalam berlakunya suatu perjanjian dimungkinkan bahwa kesepakatan

tersebut dibentuk berdasarkan cacat kehendak. Perjanjian yang ditutup

dibawah pengaruh kesesatan dapat dibatalkan132, perjanjian sewa menyewa

tetap sah karena karena telah di sepakati oleh para pihak, pihak yang cacat

kehendaknya baru mengetahui terdapat ketidasesuaian tesebut setelah terjadi

kesepakatan. Cacat kehendak diatur dalam Pasal 1321 KUHPer yang

menyatakan, “Tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan

kepada kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.133

Subekti menyatakan bahwa kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan, pernyataan ini dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam, cara yang belakangan ini sangat lazim dalam kehidupan kita sehari-hari.134

130 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1234 KUHPer. 131 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), 6. 132 J.H Niewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih (Surabaya: s.n. 1985), 5. 133 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1321 KUHPer. 134 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), 135.

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 56

Akibat hukum apabila suatu perjanjian terdapat salah satu unsur cacat

kehendak, maka pihak yang merasa yang dirugikan dapat mengajukan

gugatan pembatalan perjanjian ke pengadilan secara perdata sesuai dengan

Pasal 1449 KUHPer.

Cacat Kehendak dalam KUHPer dibagi menjadi 3 (tiga) hal yakni

sebagai berikut :

1. Kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 KUHPer)

Terdapat kesesatan apabila terkait dengan “hakikat kebendaan

atau orang” dan pihak lawan harus mengetahui bahwa sifat atau

keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat

menentukan (terkait syarat dapat dikenali atau diketahui;

keenbaarheidsvarieste).135

Dengan demikian, mengenai kesesatan terhadap hakikat benda yang dikaitkan dengan keadaan yang akan datang, karena kesalahan sendiri atau karena perjanjian atau menurut pendapat umum menjadi resiko sendiri, tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak.136

2. Paksaan atau dwang (Pasal 1323-1327 KUHPer)

Paksaan timbul apabila seseorang tergerak untuk menutup

kontrak (memberikan kesepakatan) di bawah ancaman yang bersifat

melanggar hukum.137

3. Penipuan atau bedrog (Pasal 1328 KUHPer)

Herlien Budiono menjelaskan bahwa penipuan terjadi jika seseorang dengan kehendak dan pengetahuan (willens en wetens) serta kesengajaan (opzet), menyesatkan orang lain, menyembunyikan fakta tertentu, memberikan informasi secara keliru, atau tipu daya lainnya.138

Untuk berhasilnya dalil penipuan disyaratkan bahwa gambaran

yang keliru itu ditimbulkan oleh rangkaian tipu daya (kunstgrepen)139

135 Ilham Akbar, Loc. cit. 136 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010), 171. 137 Ilham Akbar, Loc. cit. 138 Ibid. 139 Agus Yudha Hernoko, Loc. cit, hlm. 171.

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 57

4. Penyalahgunaan Keadaan atau Misbruik van omstandigheden

Sampai saat ini, KUHPer belum mengatur secara spesifik tentang

penyalahgunaan keadaan. Namun penerapan teori penyalahgunaan

keadaan ini dapat ditemui dalam putusan Mahkamah Agung RI No.

3641K/Pdt/2001, tanggal 11 September 2002 yang memuat kaidah

hukum bahwa keadaan penyalahgunaan keadaan dimana salah satu

pihak dalam perjanjian tersebut berada dalam keadaan dimana salah

satu pihak dalam perjanjian tersebut berada dalam keadaan tidak bebas

untuk menyatakan kehendaknya, maka perjanjian tersebut batal.

Bahwa segala perjanjian yang dibentuk dengan adanya cacat kehendak tidak

dapat diakui sehingga menjadi batal demi hukum, sehingga perjanjian tersebut tidak

memiliki konsekuensi hukum. Dalam kaitannya dengan persetujuan diam-diam,

penulis telah menjelaskan ada 2 teori yang menjadi landasan adanya persetujuan

diam-diam, yakni teori penawaran dan penerimaan serta teori kehendak. Bahwa

persetujuan diam-diam memiliki unsur-unsur yang terbentuk dari penyampaian

kehendak dan atau terjadinya penawaran dan penerimaan. Bahwa cacat kehendak

sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tidak menjadikan alasan bahwa

persetujuan diam-diam menjadi batal demi hukum. Kekhilafan atau keliru sangat

tidak memungkinkan untuk dijadikan alasan batalnya suatu persetujuan diam-diam

oleh karena hal tersebut merupakan konsekuensi hukum kedua pihak saat

kesepakatan atau perjanjian tersebut telah terjadi, yang dimaksudkan adalah

persetujuan diam-diam lahir dengan adanya suatu perjanjian pokok. Sama seperti

perjanjian pada umumnya, persetujuan diam-diam tidak dapat terjadi apabila

terdapat penegasan konkrit atau perjanjian tersebut telah mengesampingkan pasal

dalam KUHPer tentang terjadinya perjanjian secara diam-diam. Hal ini

membuktikan bahwa kekeliruan dapat menyebabkan terjadinya perubahan

perjanjian karena tidak terjadinya pertemuan kehendak.

Dalam hal penipuan, paksaan, maupun penyalahgunaan keadaan, persetujuan

diam-diam ini tidak terlepas dari hukum adat dan kebiasaan yang menjadi dasar

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 58

terbentuknya suatu perjanjian, sehingga unsur tiap-tiap cacat kehendak harus dapat

dibuktikan.

Selain hal tersebut, penyampaian kehendak dapat dilaksanakan secara bebas

dalam menjalankan isi perjanjian sewa. Penulis berpendapat bahwa persetujuan

diam-diam bukanlah bentuk dari penyalahgunaan keadaan oleh karena KUHPer

telah menyatakan keberadaan perjanjian tidak tertulis yakni secara diam-diam.

Oleh karena fokus penelitian ini adalah persetujuan diam-diam dalam

perjanjian sewa menyewa rumah, maka cacat kehendak ini pasti akan selalu

terhubung pada setiap perjanjian dibawah hukum di Indonesia. Bahwa sangat

memungkinkan terjadinya cacat kehendak dalam suatu perjanjian, namun menurut

penulis, cacat kehendak dalam persetujuan diam-diam dalam suatu perjanjian sewa

menyewa rumah yang telah berlangsung sangat sulit dibuktikan pada bagian mana

terjadinya suatu cacat kehendak karena khilaf, penipuan, paksaan ataupun

penyalahgunaan keadaan.

Dalam analisis ini penulis akan mengenyampingkan keadaan bahwa

persetujuan diam-diam merupakan cacat kehendak perjanjian karena telah diatur

bahwa perjanjian dapat dibentuk secara tertulis, lisan ataupun secara diam-diam,

melainkan cacat kehendak dapat terjadi apabila memang dapat dibuktikan. Penulis

tidak sependapat bahwa persetujuan diam-diam adalah suatu perjanjian dengan

unsur cacat kehendak, cacat kehendak merupakan suatu unsur yang dapat

menyebabkan batalnya suatu perjanjian. Sama seperti perjanjian pada umumnya,

persetujuan diam-diam dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dapat

dibuktikan. Beban pembuktian ini berada pada pihak yang merasa dirugikan oleh

keberadaan perjanjian tersebut, dalam penelitian ini, baik pemberi sewa maupun

penyewa dapat bertindak dan menggugat di Pengadilan apabila dirugikan atas

perjanjian sewa yang terdapat suatu unsur cacat kehendak, dan dibebankan untuk

membuktikan keberadaan cacat kehendak tersebut.

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 59

4.1.2 Unsur Sewa Menyewa Rumah

Menurut Pasal 1 angka (3) PP No. 44/1994, “Sewa menyewa rumah

adalah keadaan dimana rumah dihuni oleh bukan pemilik berdasarkan

perjanjian sewa menyewa.”140

Unsur sewa menyewa terdapat dalam Pasal 1548 KUHPer, berikut

penjelasannya:

1. Perjanjian

Perjanjian sewa menyewa harus memenuhi seluruh unsur

perjanjian pada umumnya seperti yang terdapat dalam Pasal 1320

KUHPer. Perjanjian sewa menyewa secara tertulis terdapat dalam Pasal

1570 KUHPer, “Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu

berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau,

tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu.”141 Sedangkan

perjanjian sewa menyewa secara lisan terdapat dalam Pasal 1571

KUHPer

“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”142

Perjanjian sewa menyewa secara diam-diam terdapat dalam Pasal

1573 KUHPer “Jika, setelah berakhirnya suatu penyewaan yang dibuat dengan tulisan, si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, maka terjadilah dengan itu suatu sewa baru, yang akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal yang mengenai penyewaan-penyewaan dengan lisan.”143

Definisi yang terkandung dalam Pasal 1573 KUHPer ini akan

menjadi pokok atau sumber pembahasan dalam penelitian ini.

2. Kenikmatan suatu barang

Barang atau benda yang dapat disewakan menurut Pasal 1549

KUHPer “Semua jenis barang, baik yang tak bergerak, baik yang

140 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 1 angka 3. 141 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1570. 142 Ibid, Pasal 1571. 143 Ibid, Pasal 1573.

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 60

bergerak dapat disewakan.”144 Benda bergerak diatur dalam Pasal 509-

518 KUHPer, dan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 506-508

KUHPer.

Rumah adalah benda tidak bergerak sebagaimana terdapat dalam Pasal 507 angka (2) “Karena peruntukannya, termasuklah dalam paham kebendaan tak bergerak : dalam perumahan : cermin-cermin, lukisan-lukisan dan perhiasan lain-lainnya, sekedar barang-barang itu dilekatkan pada papan atau pasangan batu yang merupakan bagian dinding, pagar atau plesteran ruangan, pun sekiranya barang-barang itu tak terpaku”.145

Mengenai penyerahan benda bergerak terdapat dalam Pasal 612

KUHPer, sedangkan penyerahan benda tak bergerak terdapat dalam

Pasal 616 KUHPer “Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak

bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan

dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620 KUHPer.”146

Penyerahan atau levering ini menentukan kapan mulainya unsur

“kenikmatan suatu barang” terjadi.

3. Waktu tertentu

Unsur waktu tertentu menentukan sejak kapan dan sampai kapan

suatu perjanjian sewa menyewa berlangsung. Bahwa seperti yang

terdapat dalam Pasal 1570 KUHPer tentang perjanjian sewa tertulis,

maka terdapat jangka waktu dalam perjanjian. Apabila tidak, maka

akan mengacu pada peraturan tertulis mengenai jangka waktu sewa

terhadap objek tertentu.

4. Suatu harga

Menurut KBBI Badan bahasa, Harga adalah nilai barang yang ditentukan atau dirupakan dengan uang; jumlah uang atau alat tukar lain yang senilai, yang harus dibayarkan untuk produk atau jasa, pada waktu tentu dan di pasar tertentu.147

144 Ibid, Pasal 1549. 145 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 507 angka 2. 146 Ibid, Pasal 616. 147 Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Harga” diakses Feb 20 2020, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Rumah.

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 61

Dalam Pasal 1569 KUHPer menjelaskan mengenai unsur harga

dalam sewa menyewa, “Jika terjadi perselisihan tentang harga suatu penyewaan, yang dibuat dengan lisan, yang sudah dijalankan, dan tidak terdapat suatu tanda pembayaran, maka pihak yang menyewakan harus dipercaya atas sumpahnya, kecuali apabila si penyewa memilih untuk menyuruk menaksir harga sewanya oleh orang-orang ahli.”148

Pasal tersebut menjelaskan apabila terjadi perselisihan akan harga

sewa apabila sewa menyewa terjadi secara lisan, kondisi ini dapat juga

terjadi apabila suatu sewa menyewa terjadi secara tidak tertulis seperti

yang dimaksud dalam Pasal 1571 KUHPer tentang “sewa tidak dibuat

dengan tulisan”.

Pasal 1 angka (4) PP No. 44/1994, “Harga sewa adalah jumlah ataupun nilai baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain yang telah disepakati oleh pemilik dan penyewa, dan oleh penyewa dibayarkan kepada pemilik sebagai pembayaran atas penghunian untuk jangka waktu tertentu.”149

Unsur perjanjian sewa menyewa memiliki unsur esensial yang wajib ada

dalam perjanjian sewa, yakni unsur barang dan harga. Ketika kedua unsur tersebut

ada dalam perjanjian sewa, maka akibat-akibat hukum sebagai perjanjian sewa

dapat diberlakukan. Sehingga dalam perjanjian sewa menyewa rumah, unsur

barang terletak pada objek sewa yaitu rumah. Unsur harga menjadi kesepakatan

kedua belah pihak, baik dihargai dengan barang, uang ataupun bentuk lainnya yang

dapat dikategorikan sebagai harga.

4.1.3 Karakteristik Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa

Menyewa Rumah

Dalam menganalisis karakteristik ini, penulis akan mejabarkan secara

runtut agar mengerti pemenuhan karakteristik persetujuan diam-diam

terhadap perjanjian sewa menyewa rumah, dimulai pemenuhan unsur-unsur

Pasal 1320 KUHPer, Pasal 1548 KUHPer dan unsur diam-diam itu sendiri.

148 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1569. 149 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 1 angka 4.

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 62

1. Memenuhi unsur perjanjian pada umumnya

Perjanjian pada dasarnya dapat dibuat oleh siapa saja, asalkan

memenuhi syarat-syarat yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu (1)

sepakat, (2) cakap, (3) obyek tertentu, dan (4) kausa yang diperbolehkan.

Pasal 1320 KUHPer menyimpulkan sepakat sebagai salah satu syarat sah

perjanjian yakni berlakunya asas konsensualisme sebagai syarat subjektif.

KUHPer tidak menyebutkan bahwa suatu perjanjian wajib dilakukan

secara tertulis ataupun secara lisan agar dapat menjadi undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Teori penawaran dan penerimaan serta teori

kehendak adalah suatu landasan bahwa terjadinya persetujuan diam-diam

sangat memungkinkan.

C.S.T. Kansil menyatakan sebagai berikut: “Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri harus secara bebas. Adanya kebebasan bersepakat para subjek hukum dapat terjadi dengan: a. Secara tegas, baik dengan mengucapkan kata atau tertulis; b. Secara diam-diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat”150

Bahwa menurut C.S.T Kansil, kesepakatan dapat terjadi secara diam-

diam, dengan suatu sikap atau dengan isyarat. Kata sepakat ialah kecocokan

antara kehendak/kemauan kedua belah pihak yang akan mengadakan

persetujuan.151 Sehingga dalam Buku III KUHPer menganut sistem terbuka.

Pasal 1313 KUHPer berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.152

Van Dunne menyatakan “Pendirian tersebut sangat ketat bila dikatakan bahwa selama tidak ada sekaligus dua kehendak tidak ada perjanjian” definisi Pasal 1313 KUHPer tersebut lebih menekankan pada unsur pertama adanya perjanjian yaitu penawaran.153

Disinilah letak teori penawaran dan penerimaan ada dalam unsur

terjadinya suatu perjanjian. Sehingga apabila tidak adanya penawaran, tidak

mungkin terjadi suatu bentuk kesepakatan. Pasal 1313 KUHPer menyatakan

150 C.S.T. Kansil, Modul: Hukum Perdata I (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1990), 224. 151 R.M. Suryodiningrat, Loc.cit, hlm. 86. 152 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313. 153 Saptono, Loc.cit.

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 63

cara lahirnya suatu perjanjian, melebihi definisi itu sendiri. Perjanjian itu

sendiri baru dapat diketahui apabila sudah ada pertemuan antara penawaran

dan penerimaan sehingga menjadi terikat.154

Dalam hal ini, dapat kita pahami bahwa suatu perjanjian diam-diam

wajib memenuhi unsur dalam Pasal 1320 KUHPer.

2. Memenuhi unsur perjanjian sewa menyewa dalam Pasal 1548 KUHPer

Pasal 1548 KUHPer “Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak”.155

Perjanjian sewa menyewa selain diatur dalam KUHPer, terdapat dalam

Pasal 4 ayat (1) PP No. 44/1994, “Penghunian rumah dengan cara sewa

menyewa didasarkan kepada suatu perjanjian tertulis antara pemilik dan

penyewa”.156 Namun nyatanya, dalam KUHPer, terdapat sewa menyewa

yang dilakukan secara tulisan ataupun tidak tertulis. Hal ini akan dijelaskan

dalam rumusan masalah 4.2

Dalam bagian 4.1.3, telah dijelaskan mengenai unsur sewa menyewa

dalam Pasal 1548 KUHPer. Bahwa dalam perjanjian sewa menyewa rumah

harus memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam sewa menyewa dengan

objek rumah, dijelaskan sebagai berikut:

a) Para Pihak : Pemberi Sewa (selaku pemilik rumah) dan Penyewa

Dalam hal objek sewa adalah rumah, maka pemberi sewa sebagai

pemilik rumah yang berhak untuk menyewakan rumahnya. UUPA menganut

asas pemisahan horizontal, yang dimaksud adalah bahwa pemilik tanah dan

rumah dapat berbeda subjek hukum. Pemberi Sewa haruslah yang memiliki

objek rumah dan pada prakteknya selalu diidentikkan bahwa pemilik rumah

154 Ibid. 155 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1548. 156 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 4 angka 1.

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 64

adalah pemilik tanah walaupun hukum pertanahan di Indonesia menganut

asas pemisahan horizontal. Hal tersebut terjadi karena adanya kekosongan

hukum akan tidak adanya bukti kepemilikan rumah sehingga bukti

kepemilikan suatu bangunan rumah selalu diidentikkan dengan bukti

kepemilikan tanah.

Pemberi sewa atau pihak yang menyewakan disamakan sebagai pemilik

dalam Pasal 1 angka (5) PP No. 44/1994, “Pemilik adalah orang atau badan

yang mempunyai hak atas rumah”.157 Hal ini diperlengkap dalam Pasal 2

angka (1) PP No. 44/1994, “Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah

apabila ada persetujuan atau izin pemilik”.158 Selanjutnya dalam Pasal 28 ayat

(2) PP No.14/2016, “Penghunian Rumah dengan cara sewa menyewa atau

dengan cara bukan sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

b dan huruf c hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik Rumah”.159

Dalam hal ini berarti pemilik adalah pemberi sewa atas rumah atau sesuai

dengan izin tertulis pemilik tanah.

b) Barang : Rumah (sebagai objek sewa, termasuk benda tidak bergerak)

Pasal 1 angka (1) PP No. 44/1994 memberikan definisi rumah, “Rumah

adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan

sarana pembinaan keluarga”.160 Rumah sebagai objek sewa diatur secara

khusus dalam perjanjian sewa menyewa rumah menurut Bab VII Bagian

Ketiga Pasal 1581-1587 KUHPer yang meliputi rumah dan perabot rumah.

Rumah sebagai benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 506-508 KUHPer,

cara penyerahan rumah atau levering dalam sewa menyewa adalah melalui

suatu perjanjian, baik akta notaris atau akta bawah tangan seperti apa yang

telah diatur dalam pasal 616-620 KUHPer.

c) Waktu : Masa Sewa

157 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 1 angka 5. 158 Ibid, Pasal 2 angka 1. 159 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, PP No. 14 Tahun 2016, TLN No. 5883, Pasal 28 ayat (2). 160 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 1 angka 1.

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 65

Dalam hal sewa menyewa rumah, Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1992 (UU No. 4/1992) tentang Perumahan dan Permukiman dinyatakan

masih berlaku apabila tidak bertentangan dengan UU Perumahan, bahwa

dalam Pasal 12 ayat (6) UU 4/1992,

“Sewa menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya undang-undang ini.”161

Berikut juga dalam Pasal 21 PP No. 44/1994 dan Yurisprudensi

MA No. 3280/K/Pdt/1995, sehingga apabila jangka waktu tertulis maka

akan berakhir sesuai dengan perjanjian tersebut, itulah yang merupakan

unsur waktu tertentu. Bahwa selanjutnya akan dijelaskan dalam analisis

analisis bagaimana unsur waktu ini menempatkan persetujuan diam-

diam dalam berlangsungnya perjanjian sewa menyewa.

d) Harga : Nilai yang perlu dibayar oleh penyewa kepada Pemberi Sewa.

Unsur harga sewa menyewa rumah ini dapat berupa uang dan bentuk

lainnya sesuai dengan kesepakatan, sesuai dengan asas kebebasan

berkontrak.

Perjanjian Sewa Menyewa Rumah harus memuat unsur esensial yakni barang

dan harga. Apabila tidak terdapat jangka waktu sewa menyewa, maka berlakulah

peraturan bahwa perjanjian sewa menyewa rumah berakhir dalam waktu 3 tahun,

hal ini akan dibahas dalam rumusan masalah 4.2. Selain itu tentunya harus

memenuhi unsur-unsur perjanjian pada umumnya seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya.

Perjanjian yang ditutup dan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari berlaku sebagai penerimaan meskipun tidak dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak untuk melakukan perjanjian.162

Dalam Pasal 28 ayat (5) PP No. 14/2016, “Perjanjian tertulis sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya mencantumkan ketentuan mengenai 161 Indonesia, Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 4 Tahun 1992, LN Tahun 1992 No. 23, Pasal 12 ayat (6). 162 J.H Niewenhuis, Loc.cit, hlm.2.

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 66

hak dan kewajiban, jangka waktu sewa menyewa, dan besarnya harga sewa serta kondisi force majeur.”163

Dalam peraturan pelaksana UU Perumahan ini, memberikan unsur-unsur apa

saja yang harus terdapat dalam perjanjian sewa menyewa tertulis. Hal ini berarti

dalam PP tersebut, pemerintah memberikan pengaturan lebih lanjut tentang unsur

sewa menyewa rumah, berupa hak dan kewajiban antara penyewa dan pemberi

sewa, jangka waktu sewa, harga sewa dan kondisi force majeur.

3. Memenuhi unsur diam-diam

Dalam suatu persetujuan diam-diam, perjanjian ini terjadi setelah berakhirnya

masa perjanjian sewa-menyewa telah berakhir. Timbul suatu hubungan perjanjian

sewa menyewa diam-diam, dan timbulah hak dan kewajiban sebagai pihak

penyewa dan pemberi sewa tanpa dilandasi oleh perjanjian tertulis maupun lisan.

Hal tersebut terjadi oleh karena para pihak masih menjalankan hak dan kewajiban

seperti layaknya perjanjian sewa menyewa belum berakhir.

Bahwa berdasarkan definisi perjanjian sewa menyewa menurut Pasal 1548

KUHPer, terdapat dua pihak yang saling setuju, untuk memberikan kenikmatan

suatu barang, dengan waktu dan harga tertentu. Dengan demikian maka yang akan

menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah

pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua pihak.164

Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai

apakah telah tercapai konsensus, kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan

yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.165 Sehingga para pihak tidak dituntut

untuk melaksanakan kehendak yang tidak pernah dinyatakan. Pernyataan berupa

penyampaian kehendak dalam persetujuan akan menjadi hak dan kewajiban para

pihak.

Persetujuan diam-diam diperkuat dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah

Agung No. 1284/K/Pdt/1998 tertanggal 18 Desember 2000 yang memberikan

kaidah hukum sebagai berikut:

163 Loc. cit, PP No. 14 Tahun 2016, Pasal 28 ayat (5). 164 Loc. cit, Ilham Akbar. 165 Ibid.

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 67

“Dibenarkan adanya suatu perjanjian yang diucapkan saja atau perjanjian diam-diam atau silent agreement artinya walaupun tidak ada suatu perjanjian namun kenyataan peristiwa tersebut ada maka kenyataan tersebut disebut perjanjian diam-diam.”

Hal ini juga sejalan dengan pendapat Arrest Hode Raad, HR. 29 Desember

1939, NJ. 1940, 27, dengan kaidah hukum,

“Bahwa disepakatinya suatu perjanjian bisa terjadi atas dasar perilaku para pihak. Untuk menilai apakah dalam suatu peristiwa tertentu para pihak secara diam-diam telah memberikan sepakatnya untuk memperpanjang perjanjian yang telah berakhir, bisa dilihat dari perilaku para pihak waktu sebelum maupun sesudah perjanjian lama berakhir.”

Dari kedua kaidah hukum tersebut, Pasal 1347 KUHPer telah mengatur

secara implisit mengenai persetujuan diam-diam. Sedangkan, persetujuan diam-

diam dalam perjanjian sewa menyewa rumah telah diatur dalam Pasal 1573

KUHPer, yakni sebagai berikut :

“Jika setelah berakhirnya suatu penyewaan yang dibuat secara tulisan, si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, maka terjadilan dengan itu suatu sewa baru, yang akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal yang mengenai penyewaan-penyewaan secara lisan”.166

Unsur persetujuan diam-diam dalam perjanjian sewa menyewa rumah sesuai

dengan Pasal 1573 KUHPer adalah :

1) Berakhirnya perjanjian sewa menyewa secara tulisan

2) Penyewa tetap menguasai barang yang disewa

3) Pemberi sewa membiarkan penyewa menguasainya

4) Terjadi suatu sewa baru, akibatnya sesuai dengan penyewaan lisan

(hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam Rumusan Masalah 4.2)

4.1.4 Analisis Kasus

Dalam putusan No. 551/PK/Pdt/2000 tentang sewa menyewa rumah yang

permohonan peninjauan kembali oleh penyewa ditolak oleh karena novum (bukti

baru) tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Bahwa dalam kasus tersebut,

baik penyewa sebagai tergugat dan pemberi sewa sebagai penggugat, tidak

mengetahui bahwa sewa menyewa dapat terjadi secara diam-diam. Konsekuensi

166 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1573.

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 68

hukum karena adanya bentuk “availability” atas rumah sehingga (sebagai

penawaran), merupakan bentuk persetujuan diam-diam yang di terima oleh pemberi

sewa (sebagai penerimaan) oleh karena tidak adanya pemberitahuan atau somasi

sebagai landasan iktikad baik kepada penyewa. Dalam putusan tersebut, dinyatakan

bahwa penyewa masih tetap membayar uang sewa, iuran rumah serta pajak bumi

bangunan sebagai bapak rumah tangga yang baik.

Unsur-unsur perjanjian sewa menyewa rumah terpenuhi dalam kasus

tersebut, yakni :

- Unsur perjanjian : terjadi kesepakatan tanggal 20 Desember 1959 antara

pemilik rumah dengan tergugat tentang sewa menyewa rumah tanpa

jangka waktu, sewa menyewa rumah dimulai tanggal 1 Januari 1960.

Terjadi pengalihan kepemilikan rumah yakni rumah pemilik kepada

penggugat.

- Unsur kenikmatan suatu barang : rumah di Jalan Besar No. 65 Jalan

Jenderal Achmad Yani No. 121 Purworejo, rumah ini adalah rumah

yang disewakan oleh Penggugat.

- Unsur jangka waktu : bahwa dalam kesepakatan awal tidak terdapat

jangka waktu sewa, namun faktanya, dalam putusan terdapat

pernyataan bahwa masa sewa berakhir tanggal 10 Maret 1995, sehingga

penulis berpendapat bahwa telah terjadi perjanjian sewa menyewa

tertulis.

- Unsur harga sewa : bahwa pada tanggal 20 Desember 1959 tergugat

telah membayar uang kunci sebelum menghuni rumah kepada pemilik

rumah. Dan faktanya, uang sewa tergugat dikonsinyasikan di

Pengadilan Negeri Purworejo. Hal tersebut menjadi bukti bahwa

terdapat harga sewa dalam perjanjian sewa menyewa.

Unsur diam-diam telah sesuai dengan Pasal 1573 KUHPer dalam putusan No.

551/PK/Pdt/2000 :

- Berakhirnya perjanjian sewa menyewa tertulis yakni tanggal 10 Maret

1995

- Penyewa tetap menguasai rumah yang disewanya

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 69

- Pemberi sewa membiarkan penyewa menguasainya, bahwa dalam

putusan pemberi sewa menyatakan telah memberi peringatan namun

penyewa tidak pernah menerima peringatan/somasi. Hakim tidak

menelusuri bukti ini dimana hal ini sangat relevan dan titik penentuan

apakah pemberi sewa membiarkan penyewa menguasai rumah tersebut

atau tidak. Penulis berpegang prinsip bahwa pemberi sewa tidak

beriktikad baik dalam memberikan peringatan, bahwa faktanya

penyewa telah menyewa rumah sejak tahun 1959 sampai 1995 (36

tahun), terbukti bahwa penyewa berikiktikad baik dan melihat bahwa

penawaran akan sewa menyewa rumah tetap berlangsung (dilihat dari

lamanya penyewa telah tinggal dalam rumah tersebut).

- Terjadi sewa baru : berakhirnya sewa menyewa pada tanggal 10 Maret

1995, sehingga terjadi suatu sewa baru pada tanggal 11 Maret 1995

sampai pada saatnya Penggugat berkehendak untuk mengajukan

gugatan ke Pengadilan Negeri Purwojero, bahwa faktanya Pemberi

sewa yakni Penggugat memiliki alasan mengapa ia tidak ingin

memperpanjang perjanjian sewa menyewa tersebut, serta tidak ingin

menyatakan sewa baru telah terjadi, oleh karena pemberi sewa ingin

menempati sendiri rumahnya sehingga memutuskan sewa menyewa

dengan iktikad buruk. Hal ini dilarang oleh Pasal 1579 KUHPer yakni

Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan

menyatakan hendak memakai sendiri barang yang disewakan, kecuali

jika diperjanjikan sebelumnya. Bahwa faktanya, tidak ada perjanjian

mengenai hal tersebut, yakni klausul seperti “setelah masa sewa habis,

rumah akan digunakan kembali oleh Pemberi Sewa.” dan apabila telah

diperjanjikan sebelumnya, berlakulah Pasal 1580 KUHPer, yang pada

intinya apabila rumah tersebut ingin digunakan sendiri oleh Pemberi

Sewa harus menyampaikan kehendaknya untuk menghentikan

sewanya sebegitu lama sebelumnya, hal ini merujuk pada Pasal 1578

mengenai peringatan penyewa sekian lama sesuai adat kebiasaan

setempat. Dan apabila dilihat bahwa lamanya jangka waktu sewa

selama 36 tahun tersebut, dapat ditarik makna bahwa peringatan

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 70

tersebut harus diberikan secara formal, jelas dan sekian lamanya

sebelum masa waktu berakhir. Maka dari itu, hakim seharusnya melihat

aspek somasi atau peringatan sebagai fakta yang tidak dapat

dihindarkan dalam menghasilkan putusan.

- Akibat hukum yakni perjanjian sewa menyewa secara lisan (hal ini akan

dibahas lebih lanjut dalam rumusan masalah 4.2) : Hasil putusan sewa

menyewa tersebut memenangkan pemberi sewa, dan menurut penulis

pembuktiannya sangat lemah karena hakim hanya melihat dari unsur

kapan berakhirnya sewa tersebut, dan menutup mata pada fakta yang

dapat memengaruhi lainnya. Bahwa dalam hal ini, persetujuan diam-

diam sewa menyewa rumah telah timbul sejak tidak adanya

pemberitahuan atau somasi mengenai jangka waktu berakhir sewa

sekian lamanya sesuai dengan kebiasaan setempat, oleh karena

KUHPer telah memberikan alasan sebagai bentuk iktikad baik para

pihak, termasuk tidak memungkiri bahwa pemberi sewa berniat untuk

menempati sendiri rumah tersebut dengan iktikad buruk.

Menurut penulis dalam analisa putusan tersebut, terdapat banyak aspek dan

bukti yang tidak dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan.

Oleh karena banyak pasal dalam KUHPer yang menjadi landasan hubungan sewa

menyewa tidak dijadikan dasar keberlakukan perjanjian sewa menyewa antara

penggugat dan tergugat. Dan faktanya, bahwa terjadi perjanjian yang awal dengan

pemilik awal rumah tanpa jangka waktu, hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa

hal tersebut tidak diindahkan oleh pemilik baru yakni penggugat? Mengapa hakim

tidak menelusuri seluruh bukti nyata? Bahwa ternyata terdapat jangka waktu yang

di claim Penggugat berakhir 20 Maret 1995? Bahwa hakim juga tidak melihat

adanya iktikad baik dari penyewa dan putusannya tidak berdasarkan KUHPer,

Hakim hanya melihat segelintir bukti dan sisanya dikesampingkan atau tidak

dijadikan pertimbangan.

Bahwa uraian diatas memberikan penjelasan bahwa perjanjian sewa

menyewa tersebut terdapat persetujuan sewa menyewa secara diam-diam, oleh

karena penyampaian kehendak tidak jelas atau kabur atas pemberhentian masa sewa

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 71

yang dilakukan Penggugat, dan terjadinya penawaran yang terbuka atas rumah

sebagai objek sewa dan pembayaran uang sewa sebagai bentuk penerimaan, dan

dengan iktikad tidak baik, penggugat ingin menggunakan sendiri atau ingin

menempati rumah tersebut tanpa adanya peringatan dengan jelas sesuai dengan

kebiasaan, hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tidak

disampaikannya penyampaian kehendak secara jelas dan sesuai dengan adat

kebiaaan juga melanggar ketentuan Pasal 1572 KUHPer yang menyatakan

“Jika pihak yang satu telah memberitahukan kepada pihak yang lainnya bahwa ia hendak menghentikan sewanya, maka si penyewa, meskipun ia tetap menikmati barangnya, tidak dapat memajukan tentang adanya suatu penyewaan ulang secara diam-diam”.167

Bahwa berdasarkan analisis penulis, putusan hakim kurang

mempertimbangkan bukti nyata apakah terjadi pemberitahuan oleh pihak pemberi

sewa kepada penyewa? Apabila hal ini dipertimbangkan dengan baik, sewa

menyewa ini sangat memungkinkan tidak terjadi secara diam-diam seperti apa yang

terdapat dalam Pasal 1572 KUHPer, namun nyatanya, penyewa atau tergugat

menyatakan bahwa tidak terdapatnya penyampaian kehendak oleh Pemberi

sewa. Penjelasan penulis diatas telah menguraikan mengenai seluruh unsur sewa

menyewa secara diam-diam yang diatur dalam Pasal 1573 KUHPer. Hal tersebut

sejalan dengan Yurisprudensi MA No. 1284/K/Pdt/1998 yang membenarkan bahwa

suatu perjanjian dapat terbentuk secara diam-diam.

4.1.5 Hasil Analisis Persetujuan Diam-Diam dalam Sewa Menyewa

Rumah

Dari uraian tersebut, dapat penulis garis bawahi bahwa karakteristik

persetujuan diam-diam dalam perjanjian sewa menyewa rumah adalah

terpenuhinya syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer, terpenuhi unsur-

unsur perjanjian sewa menyewa dalam Pasal 1548 KUHPer (dilengkapi dengan

Pasal 28 PP No. 14/2016) dan unsur diam-diam dalam Pasal 1573 KUHPer.

167 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1572.

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 72

Karakteristik Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah

harus setidaknya memuat:

1) Persetujuan Diam-Diam terjadi dengan adanya perjanjian sewa

menyewa rumah yang sudah berlaku lebih dahulu, sehingga baik

penyewa dan pemberi sewa dapat secara diam-diam melaksanakan

bagian dari perjanjian sebagai bentuk persetujuan.

2) Persetujuan diam-diam wajib mengandung keempat unsur menurut

Pasal 1573 KUHPer, dan dilakukannya secara diam-diam. Hal ini

bukan berarti tidak bertindak atau berdiam diri. Melainkan bertindak

atau melakukan sesuatu sebagai bentuk persetujuan. Hal ini

dimaksudkan agar ada pertemuan kehendak antara pemberi sewa dan

penyewa.

3) Persetujuan diam-diam adalah bentuk perjanjian sewa menyewa baru

yang sah dan berkekuatan hukum sehingga menimbulkan akibat

hukum. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam analisa berikutnya.

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 73

4.2 Akibat Hukum Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Rumah

4.2.1 Definisi Akibat Hukum

Soeroso mendefinisikan akibat hukum sebagai suatu tindakan yang

dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan

yang diatur oleh hukum.168 Tindakan tersebut adalah sebuah tindakan hukum.

Sehingga akibat hukum adalah hasil dari suatu tindakan hukum.

Wujud dari akibat hukum dapat berupa169:

1. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contoh : usia menjadi 21 tahun, akibat hukumnya berubah dari tidak cakap menjadi cakap hukum

2. lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih subjek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban yang lain. Contoh : A mengadakan perjanjian jual-beli dengan B, maka lahirlah hubungan hukum antara A dan B. sesudah dibayar lunas, hubungan hukum tersebut menjadi lenyap

3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum. Contoh : seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan si pencuri tersebut mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.

Dari uraian diatas, penulis berpendapat bahwa akibat hukum terjadi atas suatu

tindakan hukum, bahwa suatu peristiwa hukum menyebabkan terjadinya suatu

akibat hukum. Sehingga dalam perjanjian sewa menyewa rumah, melahirkan suatu

hubungan hukum yakni timbulnya hak dan kewajiban antara pemberi sewa dengan

penyewa.

4.2.2 Akibat Hukum Perjanjian Sewa Menyewa

Suatu perjanjian pada pokoknya akan melahirkan suatu hak dan

kewajiban yang dijalankan oleh para pihak pembuatnya. Menurut asas

kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUHPer bahwa semua perjanjian

168 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) 169 Sovia Hasanah, “Arti Perbuatan Hukum, Bukan Perbuatan Hukum dan Akibat Hukum”, diakses May 5 2020, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ceb4f8ac3137/arti-perbuatan-hukum--bukan-perbuatan-hukum-dan-akibat-hukum/.

Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 74

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Perjanjian sewa menyewa terdiri atas unsur-unsur sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 1548 KUHPer, yakni adanya persetujuan atau

perjanjian, kenikmatan suatu barang, waktu tertentu dan harga sewa. Dalam

PP No. 14/2016 juga memberikan unsur-unsur dalam perjanjian sewa

menyewa tertulis. Bahwa terbentuknya perjanjian sewa menyewa yang telah

sesuai dengan unsur esensial yakni ada barang dan harga, maka akan

menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum terhadap perjanjian sewa

menyewa rumah telah diatur secara khusus dalam KUHPer, yakni sebagai

berikut :

1. Pasal 1550 sampai dengan Pasal 1580 KUHPer tentang aturan-aturan

yang sama-sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan penyewaan

tanah

Bahwa dalam pasal 1550 sampai pasal 1580 KUHPer telah

mengatur beberapa hal sebagai akibat terbentuknya perjanjian sewa

menyewa rumah, yakni mengenai hak dan kewajiban pemberi sewa

dengan penyewa. Hak dan kewajiban pemberi sewa diatur dalam Pasal

1551 sampai dengan Pasal 1558 KUHPer, sedangkan hak dan kewajiban

penyewa diatur dalam Pasal 1559 sampai dengan Pasal 1587 KUHPer,

berikut poin penjelasan yang berkaitan dengan rumah sebagai objek

sewa.

i. Hak dan Kewajiban Pemberi Sewa

a. Pasal 1550 KUHPer

Ayat (1e) : menyerahkan rumah sebagai objek sewa diserahkan

kepada penyewa.

Ayat (2e) : memelihara rumah agar dapat digunakan sesuai dengan

peruntukannya, yakni hunian atau tempat tinggal.

Ayat (3e) : memberikan penyewa kenikmatan yang tenteram selama

masa sewa berlangsung

Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 75

b. Pasal 1551 KUHPer : menyerahkan rumah kepada penyewa

dalam kondisi yang terpelihara dan melakukan pembetulan-

pembetulan

c. Pasal 1552 KUHPer : menanggung atas secara cacat atas rumah

apabila rumah tersebut tidak dapat digunakan walaupun tidak

diketahui saat perjanjian sewa dibuat, dan apabila menyebabkan

kerugian pemberi sewa wajib mengganti rugi.

d. Pasal 1553 KUHPer : apabila rumah musnah maka perjanjian

sewa menyewa gugur, apabila rumah musnah sebagian maka

dapat diberikan pengurangan harga sewa, ganti rugi dan atau

batalnya perjanjian sewa menyewa rumah.

e. Pasal 1554 KUHPer : dilarang mengubah tatanan atau susunan

barang dalam rumah

f. Pasal 1555 KUHPer : apabila selama masa sewa terpaksa

diperlukan adanya pembetulan maka ini merupakan kewajiban

penyewa, namun jika pembetulan terhadap rumah tersebut lebih

dari 40 (empat puluh) hari, maka harga sewa dikurangi dengan

waktu dan bagian barang tersebut. Apabila rumah tidak dapat

dihuni maka dapat dilakukan pemutusan hubungan sewa.

g. Pasal 1556 KUHPer : pemberi sewa tidak diwajibkan

memberikan jaminan.

h. Pasal 1557 KUHPer : apabila penyewa diganggu dengan masalah

kepemilikan saat menikmati rumah yang disewa, maka penyewa

dapat meminta pengurangan harga sewa. Namun hal ini harus

diberitahukan kepada pemilik.

i. Pasal 1558 KUHPer : apabila terdapat gugatan yang

menyebabkan kewajiban untuk mengosongkan atas sebagian atau

seluruh rumah, maka penyewa wajib memberitahu kepada

pemberi sewa untuk dikeluarkan dari perkara.

ii. Hak dan Kewajiban Penyewa

Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 76

a. Pasal 1559 KUHPer : dilarang mengulang sewakan rumah sewa

kepada orang lain apabila tidak dizinkan oleh pemilik rumah.

Apabila tidak dizinkan maka dapat dibatalkannya sewa, ganti rugi

bentuk biaya, rugi & bunga. Pemberi sewa tidak diwajibkan

untuk menaati perjanjian ulang sewanya. Penyewa dapat juga

menyewakan sebagian rumahnya kepada orang lain apabila tidak

dilarang dalam perjanjian.

b. Pasal 1560 KUHPer

Ayat (1e) : memakai barang sebagai bapak rumah tangga yang

baik, sesuai dengan tujuan dalam perjanjian sewa, apabila tidak

ada perjanjian tertulis, maka akan dipersangkakan atau sesuai

dengan keadaan.

Ayat (2e) : membayar harga sewa pada waktu yang diperjanjikan

c. Pasal 1561 KUHPer : Apabila penyewa menggunakan rumah

tidak sesuai dengan tujuan saat menyewakan sehingga

menimbulkan suatu kerugian, maka pemberi sewa dapat meminta

pembatalan perjanjian.

d. Pasal 1562 KUHPer : Penyewa wajib menyerahkan barang dalam

kondisi semula apabila ada pratelan tentang barang yang

disewakan, kecuali barang tersebut musnah atau harganya

berkurang, tuanya barang dan atau force majeur. Sehingga

pemberi sewa dapat membuat pratelan dalam perjanjian sewa.

e. Pasal 1563 KUHPer : Penyewa dianggap telah menerima rumah

yang disewa dalam kondisi baik kecuali dibuktikan sebaliknya.

Dalam hal ini tidak dibuat suatu pratelan.

f. Pasal 1564 KUHPer : Penyewa bertanggung jawab atas segala

kerusakan atas barang yang disewa selama waktu sewa, kecuali

dibuktikan kalau kerusakan itu bukan salahnya.

g. Pasal 1565 KUHPer : Penyewa tidak bertanggung jawab atas

terjadinya kebakaran kecuali pemberi sewa membuktikan

sebaliknya.

Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 77

h. Pasal 1566 KUHPer : Penyewa bertanggung jawab atas segala

kerusakan dan kerugian, oleh kawan serumah atau kepada siapa

ia telah mengoperkan sewa.

i. Pasal 1567 KUHPer : Penyewa dapat membongkar dan

membawa barangnya sendiri asal tidak merusak rumah yang

disewa.

j. Pasal 1569 KUHPer : Perselisihan harga sewa secara perjanjian

lisan apabila sudah dijalankan dan tidak ada bukti bayar maka

akan melalui sumpah pemberi sewa dan atau penyewa menyuruh

orang menaksir harga sewa oleh ahli.

k. Pasal 1570 KUHPer : sewa dengan tulisan berakhir demi hukum

sesuai dengan waktu yang ditentukan.

l. Pasal 1571 KUHPer : sewa tidak dengan tulisan, tidak berakhir

pada waktu yang ditentukan, apabila ingin menghentikan sewa

harus menurut kebiasaan setempat.

m. Pasal 1572 KUHPer : apabila telah disampaikan penghentian

sewa, maka penyewa tidak dapat melanjutkan sewanya secara

diam-diam.

n. Pasal 1573 KUHPer : Sewa menyewa terjadi secara diam-diam

maka berakhirnya sewa secara tulisan, penyewa tetap menguasai

rumah yang disewa, pemberi sewa membiarkan penyewa

menguasainya, sehingga terjadi suatu sewa baru akibatnya adalah

penyewaan secara lisan.

o. Pasal 1575 KUHPer : Ketika pihak pemberi sewa meninggal hal

ini tidak menghapus sewa.

p. Pasal 1576 KUHPer : Jika rumah yang disewa tersebut dijual,

sewa menyewa tidak terputus kecuali telah diperjanjikan saat

menyewa rumah. Apabila diperjanjikan secara tegas maka tidak

perlu ganti rugi kepada penyewa, namun apabila baru muncul

suatu janji baru, maka dapat diberikan suatu ganti rugi kepada

penyewa.

Page 28: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 78

q. Pasal 1577 KUHPer : Jika ada seorang pembeli rumah, tidak

dapat memaksa penyewa mengosongkan rumah sebelum lewat

tenggang waktu sewa.

r. Pasal 1578 KUHPer : Pembeli rumah yang hendak menggunakan

kekuasaan yang diperjanjikan dalam perjanjian sewa, wajib

memperingati penyewa sekian lama sebelumnya untuk

mengosongkan rumahnya.

s. Pasal 1579 KUHPer : Pemberi sewa tidak dapat menyatakan

hendak memakai rumah tersebut untuk dirinya sendiri kecuali

telah diperjanjikan.

t. Pasal 1580 KUHPer : Apabila telah diperjanjikan bahwa pemberi

sewa dapat menempati rumahnya sendiri, kehendaknya ini wajib

diberitahukan sebegitu lama sebelumnya sebagaimana terdapat

dalam Pasal 1578 KUHPer.

2. Pasal 1581 sampai dengan Pasal 1587 KUHPer tentang aturan-aturan

yang khusus berlaku bagi sewa rumah dan perabot rumah

a. Pasal 1581 KUHPer : Penyewa harus melengkapi sebuah rumah

yang disewanya dengan perabot rumah karena perabot rumah

dijadikan jaminan untuk pembayaran uang sewa.

b. Pasal 1583 KUHPer : Pembetulan-pembetulan terhadap rumah

yang disewa adalah kewajiban dari penyewa.

c. Pasal 1584 KUHPer : Menjaga kebersihan bagian-bagian rumah

d. Pasal 1587 KUHPer : Jika penyewa setelah berakhir jangka waktu

sewanya masih tetap menguasai rumah dan pemberi sewa

membiarkannya, maka pihak penyewa masih dapat dianggap

menguasai barang yang disewanya dan penyewa tidak dapat

meninggalkan barang sewa, kecuali jika ada pemberitahuan

tentang penghentian sewa.

Akibat hukum dari perjanjian sewa menyewa adalah apa yang dikemukakan

dalam KUHPer sebagaimana telah dijelaskan diatas. Akibat hukum ini sifatnya

Page 29: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 79

otomatis ada dalam suatu perjanjian kecuali telah dikesampingkan secara khusus

dalam perjanjian tersebut. Hal ini dikarenakan perjanjian sewa menyewa adalah

perjanjian konsensual, yang berarti perjanjian tersebut telah sah dan mengikat pada

saat tercapainya kata sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan

harga. Para pihak dalam perjanjian sewa menyewa yakni pemberi sewa dan

penyewa memiliki hak dan kewajiban yang telah memiliki syarat sesuai dengan

KUHPer dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, selain

daripada itu dapat ditetapkan juga dalam perjanjian karena dianutnya asas

kebebasan berkontrak yang dapat menentukan isi perjanjian sewa itu sendiri namun

harus mengikuti syarat sah perjanjian. Perjanjian sewa menyewa juga menganut

asas Pacta Sunt Servanda bahwa setelah perjanjian sewa dibuat, sejauh tidak

bertentangan dengan hukum maka kontrak tersebut telah mengikat para pihak.

Akibat hukum yang timbul atas suatu perjanjian sewa haruslah telah

mengikuti seluruh ketentuan dalam peraturan perundang-undangan berikut dengan

asas-asas yang berlaku dalam perjanjian. Dalam bab sebelumnya (Bab 4.1), telah

diuraikan unsur-unsur dalam suatu perjanjian sewa menyewa, sehingga apabila

seluruh unsur esensial yakni barang dan harga terpenuhi, barulah muncul suatu

akibat hukum atas perjanjian sewa tersebut. Dengan kata lain, dengan adanya suatu

perjanjian tertulis maupun tidak tertulis dalam sewa menyewa rumah, maka timbul

akibat hukum berupa hak dan kewajiban berdasarkan perjanjian itu sendiri dan oleh

karena undang-undang. Pasal 1233 KUHPer menyatakan bahwa perikatan dapat

timbul dari perjanjian dan atau oleh undang-undang.

Dari uraian diatas, dapat penulis tarik bahwa akibat hukum dari perjanjian

sewa menyewa adalah timbulnya hak dan kewajiban antara pemberi sewa dan

penyewa yang didasari oleh perjanjian sewa itu sendiri, dan peraturan perundang-

undangan. Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana aspek kebiasaan dan atau adat

dapat memengaruhi secara signifikan terhadap perjanjian sewa itu sendiri, serta

bagaimana PP No. 14/2016 dilaksanakan dalam perjanjian sewa menyewa rumah.

Page 30: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 80

4.2.3 Hukum Adat dan Kebiasaan

Menurut Van Vollen Hoven, hanya adat yang bersanksi mempunyai

sifat hukum serta merupakan adat.170 Sanksinya berupa reaksi masyarakat

hukum yang bersangkutan. Van Vollen Hoven juga menyatakan bahwa

terdapat 2 (dua) unsur didalam hukum adat. Pertama adalah unsur kenyataan

bahwa adat itu dalam keadaan yang diindahkan oleh rakyat. Kedua adalah

unsur psikologis bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat

dimaksud mempunyai kekuatan hukum dan punya sanksi yang mengikat.

Dengan dua unsur tersebut maka menimbulkan suatu kewajiban hukum

(opinio yuris neccessitatis).171

Hukum tidak tertulis, berkedudukan sebagai pendamping hukum tertulis (UU) terkait, serta berfungsi sebagai pengisi kekosongan dan pelengkap hukum tertulis (UU) yang bersangkutan dan merupakan satu kesatuan sistem hukum yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.172

Dasar hukum berlakunya hukum adat dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat

(1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 (selanjutnya disebut “UU No.

35/2009”) tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim dan hakim konstitusi

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat”173, begitu juga dalam dekrit presiden

tanggal 5 Juli 1959 yang menjadi landasan berlakunya Undang-Undang Dasar

(UUD) Republik Indonesia tahun 1945, aturan peralihan Pasal II UUD 1945

dan Pasal 24 UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam bagian

penjelasan umum UU No. 35/2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat. Salah satu sumber hukum

adat adalah kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat. Sehingga hakim dalam

putusannya wajib mempertimbangkan unsur kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat sebagai dasar putusannya. Berikut pendapat C. Asser tentang

perikatan yang bersumber dari hukum tidak tertulis.

170 Zulfadli Fadli, “Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli”, diakses Mei 13 2020, https://www.academia.edu/29898250/Pengertian_Hukum_Adat_Menurut_Para_Ahli. 171 Ibid. 172 Hidjazie Kartawidjaja, “Hukum Nasional Indonesia Berdasar UUD 1945”, Jurnal Imposium Universitas Janabadra, Tahun 1995. 173 Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 35 Tahun 2009, TLN No. 5076, Pasal 5 ayat (1).

Page 31: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 81

Pendapat C. Asser mengenai perikatan:

“Ketentuan undang-undang, bahwa semua perikatan dilahirkan atau dari suatu persetujuan/ kesepakatan, atau dari undang-undang, adalah tidak tanpa dapat dicela. Meskipun hal berlawanan ini dapat dimengerti, karena bentuk dan isi dari “perikatan dari persetujuan/kesepakatan” terjadi dari kehendak kedua belah pihak, dan “perikatan dari undang-undang” diambil dari undang-undang, ini sebetulnya tidak murni betul: dalam pasal 1269 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada 2 kesatuan yang tidak sebanding diperhadapkan. Untuk terjadinya sesuatu perikatan selalu diperlukan baik suatu kenyataan maupun suatu peraturan hukum. Lagipula peraturan ini tidak lengkap, karena disatu pihak selain dari persetujuan/kesepakatan, juga perbuatan-perbuatan hukum lain yang dapat melahirkan perikatan, dan di lain pihak ada perikatan-perikatan yang bersumber pada hukum tidak tertulis.174

Terdapat 2 (dua) faktor yang berpengaruh dalam terbentuknya suatu

hukum yakni faktor idiil dan faktor riil. Asas-asas kekeluargaan, gotong-

royong, dan tolong menolong merupakan asas yang hukum adat yang

merupakan faktor idiil dalam pembentukan hukum kontrak nasional,

sedangkan asas rukun, kepatutan atau kepantasan dan laras (harmoni)

merupakan asas hukum adat yang merupakan faktor riil dalam pembentukan

hukum kontrak.175 Sehingga hukum kebiasaan atau adat sangat

mempengaruhi bagaimana cara melaksanakan suatu prestasi dalam

perjanjian.

Soepomo, dalam rancangan penjelasan UUD 1945 yang menyatakan

bahwa :

1) Hukum adat adalah hukum non statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil saja hukum Islam. Hukum adat inipun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan di mana ia memutuskan perkara.176

2) Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis, memberikan pengertian hukum adat agak luas. Hukum adat digunakan sebagai

174 C.Asser, Loc.cit, hlm. 64. 175 Paripurna P Sugarda, Posisi Hukum Adat dalam Hukum Kontrak Nasional Indonesia, Jurnal Yustisia Univeristas Gadjah Mada, Vol. 4 No. 3, Tahun 2015. 176 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Perpustakaan, (Bandung : Alfabeta, 2008), 16.

Page 32: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 82

sinonim hukum yang tidak tertulis didalam peraturan legislatif (unstatutory law), meliputi peraturan-peraturan yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi tetap ditaati oleh rakyat berdasarkan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Hukum yang hidup sebagai konvensi pada badan-badan hukum negara (Parlemen). Hukum yang timbul karena keputusan hakim (judge made law). Hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun desa-desa (customary law). Semua ini yang merupakan hukum adat atau hukum adat yang tidak tertulis, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UUDS 1950.177

Berdasarkan Pasal 44 UUPA menjelaskan mengenai hak sewa untuk

bangunan, bahwa subjek hukumnya adalah seseorang atau badan hukum.

Masyarakat adat adalah termasuk suatu badan hukum yang memiliki

kekuasaan untuk mengelola.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan badan hukum adalah badan yang disamping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan juga mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.178

Sehingga masyarakat hukum adat termasuk suatu badan hukum sebagai

suatu lembaga sosial keagamaan179, karena memiliki wilayah adat dan dapat

melakukan perbuatan hukum serta hubungan hukum.180

Hukum kebiasaan dalam sewa menyewa di Indonesia

Penerapan hukum perjanjian sewa menyewa sangat berkaitan erat dengan

hukum kebiasaan atau hukum yang tidak tertulis. Bahkan KUHPer sendiri telah

mengindahkan hukum kebiasaan sebagai tolak ukur berlakunya suatu kewajiban

atau prestasi. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1347 KUHPer, bahwa secara

tidak langsung hal-hal yang menurut kebiasaan secara diam-diam dianggap

terkandung dalam suatu perjanjian. Akibat hukum perjanjian sewa menyewa dapat

terjadi baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

Dalam Pasal 1570 KUHPer menyatakan sebagai berikut “Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan 177 Tolib Setiady, Loc.cit, hlm. 16. 178 Chidir Ali, Badan Hukum, cet.1, (Bandung : Alumni, 1998), 19. 179 Ayu Agung Dewi Utami, “Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Adat di Desa Pakraman Sukawati Propinsi Bali” (Tesis Universitas Dipenogoro, 2012), 10. 180 Chidir Ali, Loc.cit, hlm. 19.

Page 33: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 83

telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu”181, selanjutnya dalam Pasal 1571 KUHPer “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”.182

Dapat dilihat bahwa akibat hukum dalam perjanjian sewa menyewa, selain

menimbulkan hak dan kewajiban, juga menimbulkan akibat hukum lainnya, berupa

tenggang waktu atau masa sewa dalam sewa menyewa rumah.

Menurut Pasal 1571 KUHPer, perjanjian sewa menyewa tertulis akan

otomatis habis tanpa diperlukannya suatu pemberhentian untuk itu. Sehingga akibat

hukum perjanjian sewa menyewa tertulis adalah masa waktu sewa tersebut otomatis

akan selesai sesuai dengan apa yang diperjanjikan secara tertulis. Namun hal ini

dilengkapi dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 1573 KUHPer,

“Jika, setelah berakhirnya suatu penyewaan yang dibuat dengan tulisan, si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, maka terjadilah dengan itu suatu sewa baru, yang akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal yang mengenai penyewaan-penyewaan secara lisan.”183

Bahwa perjanjian sewa menyewa rumah secara diam-diam terjadi sebagai

akibat hukum penguasaan rumah oleh penyewa setelah selesainya masa waktu sewa

dalam perjanjian tertulis, hal ini diakui keberadaannya dalam pasal tersebut. Atas

penguasaan rumah oleh penyewa dan pemberi sewa membiarkan hal tersebut

terjadi, maka perjanjian sewa menyewa secara diam-diam ini berakibat hukum yang

sama halnya dengan suatu perjanjian sewa menyewa lisan, yakni seperti apa yang

dinyatakan dalam Pasal 1571 KUHPer tentang sewa menyewa secara lisan.

Pasal 1571 KUHPer menjelaskan mengenai akibat hukum perjanjian sewa

menyewa secara lisan, bahwa salah satu pihak wajib menyatakan kehendak untuk

menghentikan sewanya sesuai dengan tenggang waktu menurut kebiasaan

setempat. Inilah mengapa persetujuan diam-diam dalam sewa menyewa

memberlakukan hukum adat dan atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat,

karena kebiasaan-kebiasaan tersebut secara diam-diam termasuk dalam perjanjian.

Bahwa kewajiban terpenuhinya good faith atau iktikad baik dalam KUHPer selaras

181 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1570. 182 Ibid, Pasal 1571. 183 Ibid, Pasal 1573.

Page 34: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 84

dengan asas-asas yang dianut dalam hukum adat. Apabila terdapat suatu pernyataan

kehendak atas penghentian sewa menyewa rumah, berlakulah Pasal 1572 KUHPer

yang menyatakan,

“Jika pihak yang satu telah memberitahukan kepada pihak yang lainnya bahwa ia hendak menghentikan sewanya, maka si penyewa, meskipun ia tetap menikmati barangnya, tidak dapat memajukan tentang adanya suatu penyewaan ulang secara diam-diam”184

Maka pernyataan kehendaknya lah yang menjadi sangat penting, apakah

persetujuan diam-diam dapat berlaku menjadi suatu perjanjian sewa secara diam-

diam. Pasal 50 UU Perumahan mengatur tentang penghunian, isinya sebagai

berikut,

“(1) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah. (2) Hak untuk menghuni rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. Hak Milik; atau b. Sewa atau bukan dengan cara sewa. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghunian dengan cara sewa menyewa dan cara bukan sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.”185

Terdapat 2 Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai sewa menyewa

rumah di Indonesia. Yang pertama adalah PP No. 44/1994 tentang Penghunian

Rumah oleh Bukan Pemilik dan PP No.14/2016 tentang Penyelenggaraan

Perumahan dan Kawasan Permukiman. PP No. 44/1994 dibentuk untuk

menyelenggarakan UU Perumahan.

Bahwa terbentuknya PP No. 44/1994, khususnya dalam Pasal 4 ayat (1),

mengatur bahwa penghunian rumah dengan cara sewa menyewa harus

dilaksanakan dengan perjanjian tertulis adalah tidak sejalan dengan KUHPer,

yang mengindahkan perjanjian sewa menyewa terlaksana secara tertulis maupun

tidak tertulis. Hukum tidak tertulis, yakni keberadaan hukum adat di Indonesia, hal

ini menjadi sangat tidak sesuai. Perjanjian sewa menyewa dapat terjadi selayaknya

suatu perjanjian pada umumnya, dengan terpenuhinya unsur esensialia, harga dan

barang. Perjanjian sewa menyewa dalam PP No.44/1994 membatasi keberlakuan

sewa menyewa berdasarkan adat, seperti adanya uang teh dalam masyarakat adat

berarti sepakat untuk menyewa rumah yang dilakukan secara tidak tertulis.

184 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1572. 185 Loc. cit, UU No. 1 Tahun 2011, Pasal 50.

Page 35: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 85

Keberadaan PP No.44/1994 mengatur bahwa sewa menyewa secara

tertulislah yang sesuai dengan PP tersebut, namun Pasal 21 PP No. 44/1994

memberikan perlindungan terhadap perjanjian tidak tertulis. Dalam Pasal 21 ayat

(1) PP No. 44/1994 menyatakan bahwa,

“Sewa menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya UU No. 4/1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya UU tersebut”.186

Keberlakuan Pasal 21 PP No.44/1994 ini menyatakan bahwa segala bentuk

sewa menyewa baik tertulis dan tidak tertulis yang tidak terdapat batasan waktu,

mengakibatkan sewa menyewa berakhir demi hukum dalam jangka waktu 3 tahun

sejak UU No. 4/1992 diundangkan (saat ini telah dicabut dan digantikan dengan

UU Perumahan). Peraturan ini telah diterapkan juga dalam Putusan MA No.

1823/K/Pdt/2004, tentang perjanjian sewa menyewa secara lisan yang habis masa

sewa nya setelah 3 (tiga) tahun.

Hal ini membingungkan oleh karena kondisi keberadaan hukum adat yang

tidak mempermasalahkan eksistensi jangka waktu dalam perjanjian lisan. Dalam

Pasal 28 ayat (2) PP No.14/2016, “Penghunian Rumah dapat berupa (a) hak milik

sesuai dengan ketenguan peraturan perundang-undangan; (b) cara sewa menyewa;

atau (c) cara bukan sewa menyewa.”187 Selanjutnya dalam Pasal 28 ayat (3)

menyatakan bahwa, “Penghunian rumah dengan cara sewa menyewa atau bukan

sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan

berdasarkan perjanjian tertulis antara pemilik dan penyewa.”188 Hal ini sejalan

dengan PP No.44/1994 yang menyatakan bahwa perjanjian sewa menyewa rumah

harus dilakukan dengan suatu perjanjian tertulis.

Sewa menyewa secara adat dan kebiasaan ini akan bergantung pada subjek

hukum atau masyarakat adat yang melaksanakan perjanjian sewa menyewa.

Sebagai perbandingan terhadap sewa menyewa secara adat dapat dilihat dalam tesis

penelitian tentang sewa menyewa tanah adat, menghasilkan hasil penelitian sebagai

berikut;

186 Loc. cit, PP No. 44 Tahun 1994, Pasal 21 ayat (1). 187 Loc. cit, PP No. 14 Tahun 2016, Pasal 28 ayat (2). 188 Ibid, Pasal 28 ayat (3).

Page 36: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 86

“Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pemindah tanganan dalam hal perjanjian sewa menyewa tanah adat di Desa Pakraman Sukawati, dilakukan secara tunai dan nyata karena dilakukan dihadapan klian banjar dan terjadi setelah dilunasinya uang sewa.”189

Bahwa berdasarkan hasil penelitian terhadap sewa menyewa tanah adat, dapat

dilihat bahwa di Desa Pakraman Sukawati memiliki cara khusus seperti cara

pembayaran secara tunai dan nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa sewa

menyewa diterapkan secara adat. Hal yang sama berlaku juga dalam sewa menyewa

rumah, yang menurut KUHPer, masih bergantung dengan adat atau kebiasaan

masyarakat. Oleh karena kebiasaan masyarakat adat masih kental dengan kebiasaan

yang dijadikan suatu hukum atau norma, sewa menyewa rumah pun dapat terjadi

secara diam-diam, sebagaimana KUHPer menjelaskan.

Persetujuan diam-diam terhadap sewa menyewa rumah juga tidak terlepas

dari asas-asas perjanjian pada umumnya. Bahwa kebiasaan dan atau adat sangat

menentukan bagaimana perjanjian sewa menyewa rumah diberlakukan. Hal ini

sejalan dengan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1320 KUHPer, yang

menjelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian bebas menentukan bentuk

perjanjiannya, baik tertulis maupun tidak tertulis. Asas konsensualisme juga

terdapat dalam Pasal 1320 KUHPer, menyatakan perjanjian terbentuk atas

bertemunya kehendak para pihak, melalui teori Kehendak dan juga teori Penawaran

dan Penerimaan. Asas Pacta Sunt Servanda, menyatakan bahwa perjanjian yang

dibuat itu mengikat para pihak yang membuatnya sesuai dengan hukum dan

kebiasaan yang berlaku. Asas personalitas, menyatakan bahwa perjanjian berlaku

bagi para pihak yang membuatnya. Yang terakhir, asas iktikad baik dalam Pasal

1338 ayat (3) KUHPer, menyatakan bahwa para pihak harus mengutamakan

kejujuran atau bebas dari niat yang buruk dalam melaksanakan suatu perjanjian.

Berdasarkan asas-asas yang dikemukakan diatas, maka konsep persetujuan

diam-diam sebagaimana dinyatakan dalam KUHPer semestinya dapat dijalankan

karena sesuai dengan adat dan atau kebiasaan dalam melaksanakan sewa menyewa,

baik dalam bentuk tertulis, secara lisan maupun secara diam-diam, karena

perjanjian sewa menyewa berlaku tidak hanya dalam bentuk tertulis.

189 Ayu Agung Dewi Utami, “Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Adat di Desa Pakraman Sukawati Propinsi Bali” (Tesis Universitas Dipenogoro, 2012), abstract.

Page 37: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 87

PP No. 44/1994 dan PP No. 14/2016 yang mengatur bahwa sewa menyewa

rumah dilakukan secara tertulis, tidak sejalan dengan asas-asas perjanjian pada

umumnya, begitu tidak sesuai dengan Pasal 1347 KUHPer yang tegas menyatakan

bahwa hal-hal menurut kebiasaan dianggap telah dicantumkan dalam perjanjian.

Sehingga menjadi tidak selaras dengan KUHPer serta hukum kebiasaan tentang

sewa menyewa.

4.2.4 Hasil Analisis Akibat Hukum Persetujuan Diam-Diam dalam

Perjanjian Sewa Menyewa Rumah

Dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 menjelaskan bahwa hakim sebagai

hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam penjelasan tersebut

dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis,

hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang ada di

masyarakat.190 Maka dari itu, hakim wajib mengetahui kondisi kehidupan

masyarakat untuk memberikan putusan demi keadilan. Hukum adat dan atau

kebiasaan dalam masyarakat menjadi sumber hukum di Indonesia, dalam

menentukan akibat hukum terhadap suatu peristiwa hukum. Akibat hukum

perjanjian sewa menyewa baik tertulis maupun tidak tertulis telah tertuang dalam

KUHPer.

Persetujuan diam-diam dalam perjanjian sewa menyewa rumah merupakan

salah satu bentuk dari perjanjian tidak tertulis, namun perjanjian sewa secara diam-

diam ini memiliki akibat hukum yang sama seperti perjanjian sewa menyewa secara

lisan sebagaimana diatur dalam Pasal 1573 KUHPer. Perjanjian sewa menyewa

secara diam-diam ini lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 1587 KUHPer,

“Jika si penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu sewa, yang ditentukan dalam suatu perjanjian tertulis, tetap menguasai barang yang disewa, sedangkan pihak yang menyewakan tidak melawannya, maka dianggaplah si penyewa itu tetap memegang barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan tak dapatlah ia meninggalkan barang yang disewa, maupun dikeluarkan dari situ, melainkan

190 Bella Lies Dyana, “Kebiasaan Sebagai Sumber Hukum” diakses Mei 14 2020, http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/kebiasaan-custom-sebagai-sumber-hukum-1.

Page 38: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik …

Universitas Agung Podomoro | 88

sesudahnya suatu pemberitahuan tentang pehentian sewa, yang dilakukan menurut kebiasaan setempat.”191

Sekali lagi, asas kebebasan berkontrak sangat berpengaruh dalam berlakunya

suatu perjanjian konsensual, seperti dalam sewa menyewa ini.

Perjanjian sewa secara diam-diam ini memiliki akibat hukum sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1573 KUHPer dan secara khusus diatur dalam Pasal 1587

KUHPer tentang perjanjian sewa menyewa rumah secara diam-diam. Pasal 1587

KUHPer, hanya melengkapi Pasal 1573 KUHPer, karena Pasal 1573 KUHPer

hanya menjelaskan suatu akibat hukum atas perjanjian diam-diam yang timbul

setelah suatu perjanjian tertulis, yakni berlakunya syarat-syarat sewa menyewa

secara lisan. Namun pasal 1587 KUHPer berlaku agar rumah sebagai objek dari

perjanjian sewa ini tetap dibawah tanggung jawab seorang penguasa, sehingga tidak

terjadi kekosongan kekuasaan atas rumah tersebut. Dinyatakan bahwa akibat

hukum atas perjanjian sewa menyewa diam-diam tersebut adalah berlakunya

syarat-syarat yang sama seperti perjanjian tertulisnya dan dengan waktu

sesuai kebiasaan setempat, sampai terdapat pernyataan kehendak tentang

penghentian sewa. Hal ini tidak terlepas pada apa yang dicantumkan dalam Pasal

1347 KUHPer bahwa hal-hal menurut kebiasaan juga dianggap tercantum dalam

perjanjian. Maka dari itu, dalam persetujuan diam-diam terhadap perjanjian sewa

menyewa rumah, kebiasaan tersebut adalah tindakan persetujuan yang dilakukan

dari pihak pemberi sewa yang menyewakan rumah, dan tindakan penyewa yang

masih membayar uang sewa. Namun, tidak terbatas hanya pada tindakan tersebut

yang menjadikannya suatu kebiasaan.

191 Op. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1587.