BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, peneliti menyajikan data...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, peneliti menyajikan data...
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, peneliti menyajikan data hasil penelitian dan
triangulasi data mengenai pengalaman pahit korban kekerasan dalam
pacaran di kota Salatiga. Analisis data dan pembahasan dilakukan terpisah
antara partisipan satu dengan yang lainnya karena masing-masing
partisipan memiliki pengalaman pacaran yang berbeda-beda. Selain itu
pada bab ini juga terdapat keterbatasan peneliti selama penelitian sebagai
gambaran hambatan-hambatan yang telah dialami.
4. 1. Partisipan Pertama
Partisipan penelitian pertama diberi nama samaran AN dan saat ini
sedang menginjak usia 25 tahun. AN berjenis kelamin perempuan,
sedangkan domisili asal di Ambon, namun saat ini merantau di Salatiga
karena sedang mengemban kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga. Selama kuliah AN tetap pacaran dengan pelaku sejak di bangku
SMA hingga berpisah. Mereka telah berpisah selama 7 bulan sampai saat
AN diwawancarai.
Berdasarkan wawancara, AN mengungkapkan bahwa dirinya
memutuskan untuk berpisah karena telah dikhinati oleh pelaku. Pelaku
telah memiliki hubungan dengan perempuan selama 4 bulan saat mereka
masih menjalin hubungan pacaran. Selama pacaran perbincangan dengan
nada tinggi dan makian merupakan hal yang wajar bagi mereka berdua.
Selama pacaran pelaku tidak pernah melakukan kekerasan fisik atau
kekerasan verbal, namun AN mengungkapkan dirinya pernah memarahi
pelaku dengan nada tinggi dan sesekali memaki. Pengalaman pacaran AN
dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikologis. Hal ini karena AN
mengungkapkan dirinya dikhianati, dan dibohongin.
31
4. 1. 1. Faktor Penyebab
AN diselingkuhi dan dibohongi di akhir-akhir masa pacaran mereka.
Pengakuan perselingkuhan pelaku diakui langsung oleh pacar pelaku pada
AN. AN merasa dikhianati oleh pelaku dan hal tersebut menjadi
pengalaman pahit selama pacaran.
“Dia selingkuh sama ada ditempatku juga toh ada kakak tingkat toh
jadi dia itu kakak tingkat” (AN: 2)
“Telpon lalu langsung dia bilang kata “dek sebenarnya kakak minta
maaf” gitu-gitu “kakak tu pacaran sama cowo mu”” (AN: 2)
Kebohongan yang dilakukan oleh pelaku saat masih pacaran
menjadi penyebab munculnya perasaan kepahitan dalam dirinya.
Membohongi pasangan saat pacaran menjadi salah satu indikasi kekerasan
psikologis yang terjadi dalam hubungan. Keputusan pelaku dilakukan
dengan sengaja, dan memiliki keinginan secara sadar untuk menipu AN.
Pada akhirnya keputusan untuk berpisah harus dilakukan agar tidak
memberikan kepahitan lebih dalam. Kebohongan yang terjadi dalam
hubungan pacaran menumbuhkan luka batin yang mendalam dalam diri
AN sebagai korban. Kebohongan dalam hubungan pacaran bagi banyak
remaja-remaja dianggap sebagai kewajaran dengan alasan yang khilaf.
Sehingga tidak sedikit juga korban tertunduk pada pelaku dan menerima
dengan penuh kepahitan yang terpendam dalam diri korban. Berbeda
dengan AN yang memilih untuk berpisah dan memendam kepahitan
setelah berpisah. Hingga akhirnya dampak yang harus dialaminya dan AN
merasa psikologisnya terganggu dengan emosi yang tidak lagi stabil.
32
4. 1. 2. Dampak Kekerasan Dalam Pacaran
1. Mengalami kepahitan
AN merasa tersiksa dengan perasaan sakit hatinya pada pelaku dan
merasa sulit untuk mengalami kedamaian dalam dirinya. Perasaan sakit
hati tersimpan dalam dirinya dan terus dirasakan setiap hari. Selain itu
emosi AN tidak dapat dikontrol dengan baik dikesehariannya.
“Pas 1 desember ni sa kirain sakit hati bakalan hilang pada hal
nda, saya semakin tersiksa” (AN: 4)
“Aku kalau udah emosi gitu gak bisa terkontrol” (AN: 18)
AN merasa terganggu dengan memori kepahitannya dan sulit
berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas kuliah. AN mengeluhkan
skripsinya menjadi terganggu dan ingin bermalas-malasan.
“Skripsi ku terganggu banget, aku gak datang, jadi gak bisa
konsentrasi galau kan, gak bisa konsen galau untuk ngerjain trus
bawaannya pengen tidur sama makan doank, males gak bisa ngapa-
ngapain” (AN: 20)
AN menjadi tidak ingin memberikan kesempatan pada pelaku untuk
menemuinya dan memperbaiki hubungan mereka. Egois AN memisahkan
hubungan mereka menjadi tidak dapat dipersatukan untuk menjalin
komunikasi satu sama lain.
“Dia kan mau datang di rumah pas natal gitu toh, sekalian salam
untuk silahturami toh, dia pas mau bilang minta maaf, aku langsung
suruh pulang......., karna aku saking bencinya” (AN: 30)
“Dia mau hubungi aku dengan berbagai cara tapi aku kayak
tembokin gitu loh jadi ada pemisah, pemisahnya egois” (AN: 30)
AN merasa tidak tenang dengan kepahitan yang terpendam dalam
dirinya. AN menyadari dirinya sering marah-marah dan merasa
psikologisnya terganggu. Selain itu juga AN sulit untuk menghilangkan
rasa amarah dalam dirinya dan AN gelisah dengan permasalahan yang
33
dialaminya. AN merasa dimusuhin dengan sikap dan perilaku yang
ditunjukan pada orang disekitarnya. AN merasa stres berat ketika sering
dibayang-bayangi oleh memori pengalaman tentang pelaku.
“Aku rasa kayak gak tenang trus kayak marah orang terlalu lama
juga kan bikin sesak, pokoknya psikologisku, jiwaku, kayak hampa.
Maksudnya kan gara-gara masalah sepele orang musuhin kita”
(AN: 54)
“Tapi ada rasa marah itu jadi kayak susah untuk diredam gitu.
Gimana ini? Aku setengah mati ini jiwa ku” (AN: 54)
“Aku makin setengah mati stress” (AN: 52)
Dampak pertama yang tidak dapat dipungkiri akan dialami oleh AN
setelah berpisah dan memendam kepahitan. Perasaan sakit hati, sulit
fokus, dan kemarahan menjadi kepahitan yang dialami oleh AN.
Kepahitan ini menjadi dampak yang dialami setelah memendam dan
menurut AN telah mengganggunya sehari-hari setelah berpisah. Kepahitan
tersebut akan dialami oleh setiap korban kekerasan dalam pacaran jika
tidak dengan segera melepaskannya. Perasaan yang dialami oleh AN
dikarenakan menahan emosi negatif untuk keluar. Sehingga perasaan
tersebut menyelemuti korban KDP dan berdampak pada kesehariannya.
Pengalaman pahit selama pacaran tidak seharusnya dipendam dengan
jangka waktu yang panjang. Hal tersebut akan mempengaruhi emosi
korban KDP dan tidak memberikan kedamaian dalam diri korban KDP.
Sedangkan, kedamaian dibutuhkan oleh setiap korban KDP untuk dapat
menjalani kehidupan dengan tentram dan lebih rileks.
2. Emosi sulit dikendalikan
Kepahitan dalam dirinya berdampak pada perubahan emosi AN
memiliki keinginan untuk memukul wajah pelaku. Hal tersebut
dikarenakan sakit hati dalam dirinya yang masih terpendam. AN ingin
mencakar-cakar pelaku ketika ingat dengan pelaku. AN menjadi lebih
34
sensitif pada objek yang berhubungan dengan pelaku dan AN lebih
memilih untuk menyendiri.
“Gila itu uhhhhhhhhh aku tuh waduh kayak kesambet pokoknya
sakit hati orang kalau nampar tu gak sadar tapi gak kerasa kalau
orang nampar gitu” (AN: 2)
“Tidak boleh liat pokoknya nama pun nda boleh namanya pun nda
boleh rasanya tu langsung kayak sakit hati gitu, ihhh pengen cabik-
cabik tapi gak bisa.” (AN: 2)
“Jadi pokoknya mereka tu kan masukin saya ada di grup pemuda
pelajar toh, jadi ada namanya jadi sa keluar, pokoknya sa sensitif
sekali” (AN: 4)
Dampak kepahitan pada korban mengeluarkan kata-kata kasar ketika
emosional pada pelaku. Selain itu juga AN marah dan lebih menyalahkan
Tuhan yang dianggapnya telah memisahkan dirinya dengan pelaku.
“Aku orang emosional, keluarin emosi jadi kayak keluarin kata-kata
kasar” (AN: 12)
“Kalau udah keingat gitu ya udah nangis aja, trus bilang bisa sih
kayak gitu sampe saya pernah marah Tuhan, Tuhan kok tega,
maksudnya kan udah sayang banget udah pacaran lama kenapa
lama-lama trus dipisahkan” (AN: 41)
Selain itu juga dampak yang dialami oleh AN yakni memiliki emosi
yang sulit untuk dikendalikan. AN menjadi pribadi yang sering meledak-
ledak dalam kesehariannya dengan orang tua atau teman-temannya.
Dampak dari pengalaman pahit saat pacaran membuat emosi AN tidak
stabil. Secara tidak sadar AN mengeluarkan emosi negatif berupa
kemarahan dan lain-lain. Emosi sudah seharusnya dikeluarkan, namun
emosi keluar tanpa kesadaran korban KDP hanya akan merugikan dirinya.
Emosi korban KDP seringkali tidak dikendalikan dengan baik dan tidak
dilepaskan dengan baik.
35
3. Emosi terpendam
Selain itu juga perasaan sakit hati membuat AN sulit untuk
melepaskan kepahitan pengalaman masa lalu. Terlebih lagi dengan
perasaan sakit hati, jengkel, dan dendam yang dapat merubah persepsi
bahwa pelaku adalah musuh.
“Karna mantanku musuhku, apa lagi yang udah bikin sakit hati gitu,
gak suka sih jengkel nah baru kali ini dendamnya lama banget”
(AN: 51)
Perasaan sakit hati membuat AN sulit untuk melepaskan kepahitan
yang dialaminya. Pengalaman yang membuat AN sangat sakit hati
menjadi penghalangnya untuk merasakan kedamaian. Sakit hati yang
mendalam membuat AN butuh waktu yang panjang untuk melepaskan
kepahitannya. Selain itu perasaan sakit hati selalu dibalut dengan
kemarahan dalam dirinya.
“Aku kalau sakit hati banget bisa lama, lama banget baru sembuh,
lama itu lama banget gak tau move on nya gak tau/ benar-benar
sakit hati banget itu benar-benar sakit hati banget” (AN: 32)
“Marah banget, pokonya marah banget, 100% marah banget,
bencinya 100%” (AN: 34)
Sensitifitas AN juga menuntut pelaku untuk tetap perduli padanya.
Ketika pelaku tidak lagi perduli, AN menjadi lebih menambah perasaan
buruk dalam dirinya. Emosi AN lebih tidak stabil dan mudah untuk
berubah-ubah sikap atau perilaku. Pengalaman pahit yang dialami oleh
AN membuatnya sulit untuk menemui pelaku.
“Pas aku wa-wa dia masa cuman di read langsung aku blokir dari
wa, aku gak mau WA dia lagi, jengkel, jadinya nambah kesalnya”
(AN: 51)
“Kemarin adeknya CD (babtis dewasa umat kristen) jadi aku yang
kayak masih sensitif gitu, kalau liat fotonya itu rasa-rasa kayak
sedih sama marah” (AN: 45)
36
Kepahitan tidak seharusnya dipendam-pendam dalam diri, dan juga
emosi negatif tidak seharusnya dipendam. Memendam kepahitan berarti
menimbun emosi negatif dan akan terus menumpuk. Penumpukan tersebut
memiliki batas ruang yang dapat pecah tanpa disadari oleh korban KDP.
Kerugian yang dialami setelah emosi negatif meledak dapat merugikan
dan merubah kehidupan korban KDP. Peledakan emosi secara ringan
dapat berupa kemarahan yang tidak jelas dan menangis secara tiba-tiba.
Selain itu dapat lebih berbahaya ketika AN terlalu lama memendam
kepahitannya. AN dapat melakukan perilaku agresif dengan melakukan
pemukulan hingga melukai fisik atau pembunuhan.
4. Perasaan dilematis
AN menyimpan memori-memori pengalaman pahit di masa lalu
yang membuatnya membenci. Memori tersebut mengganjal kebahagiaan
AN setelah berpisah. AN terus-menerus dibayangi oleh kepahitan yang
dialaminya. Mereka telah berpisah, namun memori pengalamannya
menimbulkan perasaan sakit hati.
“Sa tu orangnya kalau udah benci orang nda bisa” (AN: 4)
“Aku langsung bilang “nda usah ae” maksudnya kan udah ini kan
memang awalnya kan selingkuhnya biasa-biasa aja cuman memang
sakit tapi ini lebih sakit” (AN: 8)
Terdapat kejadian-kejadian yang memunculkan memori kepahitan
pada AN. Kejadian-kejadian tersebut membuat AN menjadi teringat
dengan pelaku.
“Aku kan biasa ingat pas lagi nonton drakor” (AN: 16)
“Aku sering keingat dia ya dengan berbagai hal, apa ya, fotonya
jadi kan tiba-tiba kan trus biasa adeknya bikin status wa” (AN: 41)
“Biar pun adeknya tulis nama kakaknya apa lagi sampe fotonya aku
tu langsung kayak teringat gitu, trus keingat-ingat foto-foto nya liat
fotonya trus apa ya, trus kalau lagi nonton trus misalkannya kan
37
tiba-tiba nonton kan piala dunia kemarin tiba-tiba dengar lagunya
tiba-tiba keingat lagi kayak gitu, trus abis itu nonton drakor soalnya
kan ada satu drakor yang kita dua tu kayak sama-sama nonton suka
gitu” (AN: 41)
Dampak yang sering mengganggu pikiran dari korban KDP yakni
bayang-bayang memori pahit saat pacaran. Kejadian-kejadian tidak
terduga muncul dan mengingatkan korban KDP pada pelaku yang telah
memberikan luka. Memori yang muncul ialah memori indah, namun
kepahitan menutupi memori indah tersebut menjadi pengalaman pahit dan
tidak ingin diingat-ingat kembali. Hal seperti ini lumrah terjadi pada setiap
korban yang mengalami pengalaman pahit saat pacaran. Seringkali
memori indah tidak memiliki arti lagi setelah munculnya pengalaman
pahit. Kepahitan dapat lebih dominan dalam diri korban KDP dan
menyingkirkan yang lainnya. Hal ini yang telah dilakukan oleh AN dan
terus dibayangi oleh kepahitan masa lalunya saat pacaran. Hal ini juga
yang menyulitkan banyak korban KDP untuk memaafkan pelaku KDP.
Sehingga, korban KDP hanya akan memendam kepahitan dan terus
menimbun emosi negatifnya.
4. 1. 3. Rekonsiliasi
1. Kebenaran (Truth)
Selain itu AN memiliki pemikiran untuk berhenti memikirkan
pelaku, karena menurutnya pelaku sudah tidak lagi bersamanya dan sudah
memiliki pasangan.
“Jadi ku pikir ngapain juga aku lelah mikirin dia sedangkan dia aku
kayak gimana, sekarang kan dia udah punya pacar” (AN: 20)
AN mengeluarkan emosinya dengan cara berteriak ketika berpisah
dan setelah itu menenangkan dirinya dengan berdoa.
38
“Pas setelah putus saya berteriak sampe suara ku sakit sampai
kayak saya lega trus abis itu saya berdoa” (AN: 22)
AN selalu menyangkal kehadiran pelaku dalam kehidupannya
setelah berpisah. AN berupaya menghindari melihat wajah dari pelaku.
AN menyangkal jika dirinya telah tidak lagi memiliki perasaan cinta pada
pelaku. Selain itu juga AN berupaya menghindar dari media sosial agar
tidak dapat mengingat tentang pelaku. Namun, upaya tersebut tidak
berhasil dengan baik dan membuatnya tetap dapat melihat wajah pelaku
melalui teman-temannya.
“Kalau status mereka muncul lagi aku hapus lagi, gitu trus // intinya
aku gak mau liat mukanya” (AN: 45)
“Kalau cinta sih gak sih” (AN: 46)
“Aku coba dengan cara yang menghilang dari medsos gitu ternyata
itu gak berhasil sampai sekarang, karena kan saat ada temannya
upload foto aku ada risih gitu” (AN: 51)
Ungkapan AN mengakui dirinya telah berhenti memikirkan pelaku,
namun disisi lain AN mengakui tidak ingin melihat pelaku dan berusaha
untuk selalu menghindar. Terdapat kontradiksi ungkapan dari AN yang
seharusnya diungkapkan dengan penuh kebenaran. Hal ini menunjukan
AN belum mengungkapkan kebenaran dari perasaan yang sesungguhnya.
Tahap ini untuk melihat keaslian dan kejujuran dari AN dengan
pengalaman pahit yang diungkapkan. Kebenaran dibutuhkan agar dapat
membantunya jujur pada dirinya sendiri dan hal tersebut juga dapat
membantunya memulai melepaskan.
2. Keadilan (Justice)
AN juga tidak dapat melepaskan kepahitannya dengan cepat. Selain
itu juga AN butuh waktu untuk dapat memaafkan pelaku dan
kepahitannya. AN lebih memilih untuk introspeksi diri, tenangkan diri,
mengiklaskan, merelakan dan setelah memaafkan. AN lebih memilih
39
untuk menyendiri terlebih dahulu untuk dapat lebih tenang dalam
mengambil keputusan.
“Jadi makanya aku untuk perlahan-lahan untuk, gak bisa yang
sekali untuk maaf gitu jadi maksud ku tu aku tenang trus buat diriku
iklaskan, relakan dulu aku kayak instropeksi diri, pokoknya aku
menyendiri dulu, mencoba untuk memaafkan” (AN: 38)
Upaya AN untuk memulai komunikasi dengan lingkungan sekitar
pelaku yang tidak memiliki hubungan buruk dengannya. AN memiliki
emosi yang tidak stabil, sesekali menghapus kontak lingkungan sekitar
pelaku. Setelah menyadari hal tersebut tidak perlu dilakukan, AN lebih
memilih untuk menyimpan kontaknya kembali.
“Aku save lagi biar ada komunikasi, pikir ku kan aku ada masalah
dengan kakaknya ngapain libatkan adeknya gitu” (AN: 45)
AN mengupayakan balas dendam dengan melampiaskannya pada
teman terdekat pelaku dan berharap pelaku dapat merasakan sakit yang
sama. AN hanya melakukan upaya-upaya pelampiasan saat dirinya
diselingkuhi oleh pelaku. AN telah melakukan pelampiasan selama tiga
kali setelah berpisah dengan pelaku.
“Aku kayak lampiaskan dengan cara pacaran sama orang lain yang
teman dekatnya, tapi bertahanya cuman paling 2 minggu nggak
sampe satu bulan kayak gitu trus udah langsung putus” (AN: 12)
“Itu ku lakukan setelah dia selingkuh sih, sebelumnya sih gak/
pacaran melampiaskan udah tiga kali dan putusnya karna hal
sepele” (AN: 12)
AN mengungkapkan masih belum dapat melepaskan kepahitannya
dan pernah melakukan pelampiasan rasa sakit hatinya. Upaya balas
dendam dilakukannya dengan harapan agar pelaku merasakan sakit hati
yang sama. AN memilih untuk menghindari pelaku agar dapat merasa
tenang dan tidak dibayang-bayangi oleh pelaku. Rasa adil dalam diri AN
belum nampak dan belum terjadi. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya
balas dendam dan berupaya menghindar dari kenyataan yang telah
40
dialaminya. Seharusnya AN menghadapi permasalahannya dan
menyelesaikannya. Keadilan yang semestinya terjadi ialah menghadapi,
menyelesaikan, dan mengiklaskan sebagai cara mengampuni pelaku.
Kenyataannya AN belum begitu dan butuh kesadaran dalam dirinya.
3. Belas kasih (Mercy)
AN memiliki cara tersendiri untuk memperbaiki hubunganya dan
berusaha mengelola emosinya agar tidak menjadi bertambah buruk. Butuh
tahapan-tahapan yang panjang untuk membangun hubungan yang baik
setelah terpisah dan memiliki kepahitan. Ketika terlalu cepat juga dapat
tambah merusak hubungan AN dan pelaku. AN memilih untuk menyendiri
dulu untuk menenangkan dirinya dan mengelola emosi agar lebih tenang.
Hal tersebut juga sebagai caranya untuk dapat memaafkan pelaku dan
kepahitan yang dipendamnya. Setelah psikologis AN siap maka penting
untuk bertemu dan berdialog satu sama lain dan menyelesaikan maslah
yang belum terselesaikan.
“Kalau lagi galau gini toh, lagi galau gini aku gak mau langsung
omong gitu, nanti aduhh itu emosi bisa saya pukul betul saking
diluar kendalinya” (AN: 32)
“Aku menyendiri dulu, mencoba untuk memaafkan dia trus nanti
kalau udah selesai aku gak ingat-ingat lagi baru kita ketemu,
memang ketemu sih pasti nanti” (AN: 38)
Selama proses partisipan untuk menemukan kedamaian, AN
menemukan hambatan. Hambatan tersebut membuat AN sulit untuk
berdamai dengan dirinya sendiri dan juga dengan pelaku. AN dihubungi
oleh pacar baru pelaku yang ingin meminta maaf padanya. Perasaan benci
AN menahan dirinya untuk memperbaiki hubungannya dan mencoba
berkomunikasi. Perasaan benci juga membentengi dirinya untuk memulai
menulis pesan pada pelaku dan berusaha mengubur permintaan maaf
pelaku. Selain itu upaya pelaku meminta untuk kembali pacaran
41
membuatnya masih tetap dibayang-bayangi oleh kepahitan masa lalu.
Sehingga kepahitan tentang pelaku tetap berputar-putar dikepala AN.
“Cewenya itu cari beta untuk minta maaf dah, sa tu orangnya kalau
udah benci orang nda bisa” (AN: 4)
“Mau chating dia itu kayak mau rasa benci/ kalau dari mantan
cowo ku minta maaf gitu-gitu kan tapi udah lah io sudah apa sudah
terlanjur toh misalnya tak usah lai” (AN: 6)
“Dia sempat minta balikan tapi aku gak mau/ sempat 5 kali aku
langsung bilang “nda usah lae”” (AN: 8)
Hambatan lainnya yakni AN belum dapat memaafkan pelaku sampai
saat terakhir diwawancara. AN masih merasa sakit hati dan memendam
perasaan sakit. Keegoisan masing-masing dari AN dan pelaku
menghambat mereka untuk dapat saling berkomunikasi. Egois mereka
menambah kemarahan dari AN dan akhirnya mempertahankan kepahitan
dalam dirinya.
“Belum bisa memaafkan dia sampe saat ini, gak tau mungkin masih
sakit hati” (AN: 30)
“Aku ngalah gitu, nanti dia gak mau ini, nah nambah marah ku”
(AN: 54)
AN merasa saat dihubungi oleh pelaku dirinya kembali luluh. Hal
tersebut dapat membantu AN untuk memulai komunikasi yang baik,
namun perasaan marah dalam diri AN menahan dirinya untuk tetap pada
keegoisannya.
“Anehnya tu saat dia hubungi baik-baik gitu hatiku kayak jadi luluh
// makanya aku bingung sih antara marah” (AN: 51)
AN mengungkapkan belum dapat memaafkan atau mengampuni
pelaku. AN memilih untuk menghindari atau menyendiri untuk dapat
menenangkan dirinya dan setelah merasa tenang dirinya bersedia untuk
menemui pelaku. Selain itu juga terdapat hambatan-hambatan yang
menghalangi dirinya untuk dapat memulai memaafkan. Dalam setiap
42
konflik kekerasan, memaafkan atau mengampuni menjadi bagian
terpenting agar dapat melepaskan kepahitannya. Memaafkan tidak hanya
terjadi melalui mulut atau suara, tetapi harus terjadi juga dalam lubuk hati
yang paling dalam. Mengampuni memiliki pengertian juga mengiklaskan
segala dendam dan segala kepahitan. Setelah itu korban KDP dapat
menerima kenyataan yang telah terjadi padanya. Hal tersebut yang
seharusnya dilakukan pada AN, namun mengampuni juga butuh waktu
yang panjang dan proses yang berlika-liku. Hal yang wajar ketika AN
belum dapat sepenuhnya memaafkan atau mengampuni dengan jangka
waktu dan proses yang singkat. Jika terdapat kesadaran dalam diri AN,
sudah seharusnya dirinya memulai menerima dan mengiklaskan segala
kepahitan yang dialaminya.
4. Kedamaian (Peace)
AN memiliki keinginan awal untuk menjalin komunikasi dengan
pelaku. Keinginan AN menjadi tahap awal untuk dirinya memulai
perbaikan hubungan mereka.
“Pernah mau sempat ku hubungi tapi udah ku blokir sih” (AN: 8)
AN mengupayakan untuk menghubungi lagi pelaku untuk
memperbaiki komunikasi mereka. Selain itu juga untuk menjelaskan
alasannya menghindar, marah, dan melepaskan rasa dendam yang
terpendam dalam dirinya. AN juga berharap pelaku masih mau dihubungi
olehnya dan membalas pesan singkatnya.
“Aku baik-baik kayak gitu supaya sapa tau rasa dendam ku hilang”
(AN: 51)
“Aku mau ngomong baik-baik toh, kenapa aku marah” (AN: 54)
“Setidaknya dia bales, maksudnya sapa tau hubungan ku dan dia
bisa baik-baik saja” (AN: 60)
AN telah meluluhkan egonya untuk berkeinginan memulai
menghubungi pelaku dan dapat saling memaafkan satu sama lain. AN
43
berharap dapat bertemu dengan pelaku setelah pesannya diterima dan
dibaca oleh pelaku.
“Dia harus minta maaf sama aku, tapi kalau gak juga ya udah, aku
kayak duluan aja gak apa-apa” (AN: 60)
“Ya saling maaf-maafkan gitu, kalau dia yang tetap gak mau
respon, ya udah aku duluan yang hubungin sih, soalnya aku udah
nekat sih, pokoknya ketemu gitulah” (AN: 62)
AN mengungkapkan bahwa perasaan sakit hatinya tetap
dirasakannya, namun sedikit telah berkurang. Trauma AN setelah
kepahitan pacaran bersama pelaku dan bersikap untuk lebih berhati-hati
untuk menjalin hubungan lagi.
“Sakit hati puji tuhan udah berkurang masih ada dikit” (AN: 12)
“Sekarang udah berkurang sih tapi kalau hilang gak, tapi nanti
diingat-ingat, makanya aku hati-hati banget untuk mulai hubungan
yang baru lagi” (AN: 62)
Hambatan AN untuk menemukan kedamaian dikarenakan dirinya
tidak memiliki kepercayaan dirinya juga dapat terlepas dari kepahitan. AN
merasa dirinya egois dan selalu merendahkan dirinya. AN merasa belum
damai dengan sikap dirinya dan pelaku yang selalu bersikeras dan
memiliki gengsi. AN tidak ingin lagi menjalin hubungan dengan pelaku
dan hanya ingin menjadi teman. Selain itu juga AN yang selalu menghidar
dan menutup diri dari kenyataan permasalahan yang dihadapinya. AN
tidak berusaha untuk menghadapi dan langsung menyelesaikannya. AN
lebih memilih untuk memendam kepahitannya dan menjauhkan diri dari
pelaku.
“Aku orangnya kayak gimana ya egois” (AN: 2)
“Belum, belum bisa damai, karena mantan ku keras kepala juga,
trus gengsi, nah aku juga sama” (AN: 54)
“Iya tapi hanya sebatas teman, kalau balikan gak” (AN: 56)
44
“Jadi langsung kayak menutup diri trus tinggal dikamar nangis
trus/ semenjak satu hal itu tidak boleh liat pokoknya nama pun nda
boleh namanya pun” (AN: 2)
AN beranggapan bahwa pelaku akan mendapat karma yang telah
dilakukan padanya. AN berharap pelaku dapat merasakan sakit hati juga
yang sama sepertinya. AN akan merasa senang ketika pelaku merasakan
sakit hati juga dan dirinya beranggapan hal tersebut telah impas.
“Biar dia (mantan pacarnya) merasakan sakit hati yang sama saya
rasakan” (AN: 12)
Dalam pernyataan AN telah menyadari memulai berdamai dengan
pelaku. Telah ada upaya untuk menjalin komunikasi dan keinginan untuk
memperbaiki hubungan mereka. Selain itu juga merasa rasa sakit hatinya
telah berkurang, namun terdapat hambatan yang membuat dirinya tetap
merasakan kebencian pada pelaku. Proses menemukan dan menghasilkan
kedamaian tidak dapat terjadi dengan mudah. Butuh kesukarelaan diri
untuk mengampuni atau memaafkan dengan penuh kejujuran dan memiliki
keadilan tanpa harus membalaskan dendam. Begitu juga dengan AN yang
belum merasakan kedamaian dan belum dapat berdamai dengan pelaku.
Untuk dapat merasakan kedamaian, AN harus dapat memulai dengan
berdamai dengan dirinya sendiri. Hal tersebut sebagai tahapan awal yang
harus dilakukan dan jika berhasil maka berdamai dengan pelaku juga akan
mudah. Jika pelaku menolak upaya perdamaian, AN tetap akan merasakan
kedamaian diri.
4. 1. 4. Pembahasan Kasus Pertama
1. Penyebab
Melalui penjabaran pengalaman kasus AN dalam relasi berpacaran,
AN mengalami kekerasan psikologis karena telah diselingkuhi dan hal
tersebut menjadi penyebab munculnya pengalaman pahit AN. Hal serupa
45
juga diungkapkan oleh World Health Organization (2017), juga
mengungkapkan kekerasan dalam pacaran dapat terjadi berupa psikologis.
Murray (2007a, 2007b), menyampaikan bahwa selama masa pacaran
kekerasan dapat terjadi dan tidak menutup kemungkinan kekerasan
memiliki berbagai bentuk kekerasan. Kekerasan psikologis merupakan
salah satu kekerasan yang kerap terjadi pada remaja yang berpacaran.
Bukti nyata terdapat dalam penelitian Cho dan Huang (2017), menunjukan
bahwa pengalaman menjadi korban KDP yang sering dialami yakni
kekerasan psikologis (33.1%), kekerasan seksual (10.4%), kekerasan
teknologi (9.8%), dan kekerasn fisik (9.5%). Dari penelitian tersebut
menunjukan kekerasan psikologis dapat menjadi salah satu penyebab
munculnya KDP.
2. Dampak
Dampak yang dialami oleh AN yakni mengalami kepahitan,
memiliki emosi terpendam dan sulit dikendalikan, dan memiliki perasaan
dilematis. Dampak tersebut menjadi salah satu kejadian kekerasan selama
pacaran dapat menjadi pengalaman pahit setelah berpisah dengan
pasangannya. Pengalaman selama pacaran meninggalkan kenangan yang
dapat membekas dalam memori korban KDP. Pengalaman pahit
berdampak pada korban KDP dan menjadi kepahitan dalam diri korban
KDP (Murray, 2007b). Berbagai dampak dapat muncul dalam diri korban
dengan kondisi sedang mengalami kepahitan. Kepahitan yang terdapat
dalam diri korban terdiri dari sakit hati, penyesalan, dan kebencian.
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, penelitian Syafira dan Kustanti
(2017), juga mengungkapkan korban KDP secara psikologis akan
mengalami depresi, ketakutan, stress, traumatik yang sering diungkapkan
dalam bentuk tangisan dan kata-kata, kecemasan, dan sulit berkonsentrasi
serta mengalami gangguan tidur.
Sering kali kekerasan psikologis dianggap wajar atau remeh oleh
korban kekerasan dalam pacaran. Hal ini karena kurangnya pengetahuan
46
para korban KDP tentang kekerasan psikologis, pengetahuan tentang
kekerasan lebih cenderung pada kekerasan fisik. Sehingga sering kali
kekerasan psikologis dianggap tidak berbahaya bagi korban. Kekerasan
psikologis dapat digambarakan sebagai silent killer kesehatan jiwa bagi
korban-korbannya. Secara perlahan kekerasan psikologis menggrogoti
mental korban KDP hingga akhirnya membunuh kesehatan mental. Salah
satu dampak dari kekerasan psikologis yang dapat membunuh mental ialah
upaya-upaya bunuh diri. Penelitian Espelage, Merrin, dan Hatchel (2017),
menunjukan bahwa dampak yang dirasakan oleh korban KDP memiliki
kecemasan yang tinggi, orientasi seksual menyimpang, mengkonsumsi
obat-obatan, dan upaya-upaya bunuh diri. Penelitian tersebut menunjukan
bahwa dampak pada korban KDP dapat beragam dan yang terberat dapat
melakukan upaya bunuh diri. Upaya bunuh diri dapat terjadi ketika
kepahitan yang dirasakan oleh setiap korban KDP tidak dapat dibendung
dan tidak kuat menahan perasaan sakit hati. Beruntungnya hal ini ini tidak
terjadi pada AN, namun tetap harus dilepaskan agar dampaknya tidak
mengganggu setiap aktivitas AN.
3. Rekonsiliasi
Proses awal rekonsiliasi ialah merubah kondisi emosi korban
kekerasan dalam pacaran kembali menjadi seimbang, sehingga dapat
mengendalikan dirinya sendiri dan dengan demikian korban KDP dapat
melepaskan kepahitan pengalaman masa lalu dengan mudah (Albin, 2007;
Musman, 2017; Phillips, 2004; Rajneesh, 2008; Winch, 2017). Proses
tersebut menjadi penting untuk dilakukan oleh korban KDP sebelum
proses rekonsiliasi korban dan pelaku. Perjalanan korban KDP dalam
meraih kedamaian dirinya dan pelaku hingga mengalami kedamaian
psikologis menjadi sangat panjang dan rumit. Dibutuhkan kesadaran dari
diri korban KDP untuk menurunkan ego dan belajar bersyukur terhadap
kejadian yang pernah dialaminya. Ketika korban KDP telah memiliki
kesadaran untuk memperbaiki diri dan hubungannya dengan pelaku,
47
proses rekonsiliasi dapat berjalan dengan mudah dan cepat (Hanh, 2015;
Phillips, 2004)
Hasil penelitian menunjukan sulitnya tercapai kedamaian dalam diri
AN. Hal ini karena pada konsep kebenaran (truth), AN tidak
mengungkapkan kebenaran mengenai pengalaman pahitnya dan terdapat
ketidakjujuran dengan adanya kotradiksi dalam ungkapannya. Sedangkan,
menurut Lederach (1997), truth terdapat pengakuan, transparansi,
pengungkapan dan korban kekerasan dapat memvalidasi pengalaman
menyakitkannya. Hal ini menunjukan bahwa AN belum mengungkapkan
kebenaran yang sesungguhnya mengenai pengalaman yang telah
dialaminya. Dalam rekonsiliasi, truth menjadi salah satu syarat penting
untuk mengetahui kebenaran tentang pengakuan pengalaman korban
kekerasan dalam pacaran. Selain itu juga truth untuk mengungkap detail
kasus kekerasan yang telah terjadi dan dapat menilai kejujuran setiap
korban KDP. Ketika truth tidak diungkapkan dengan transparansi oleh
korban KDP, akan menjadi sulit untuk korban KDP mencapai kedamaian.
Korban KDP terikat dengan kebohongan dan berusahan membohongi
dirinya sendiri. Kebohongan hanya akan menyulitkan diri korban sendiri
dalam menjalani masa depan yang damai. Hal ini sejalan dengan teori
Lederach (1997), tanpa adanya truth, konflik dalam diri korban KDP dan
konflik dengan pelaku KDP akan mustahil diselesaikan.
AN belum menumbuhkan keadilan (justice) mengenai hubungan
mereka dan berharap melakukan pelampiasan pada pelaku. AN telah
bersedia menemui pelaku, namun terdapat kejadian yang membuatnya
sulit untuk membuka harapan untuk menemui pelaku. Menurut Lederach,
(1997) dan Webel & Galtung (2007), justice merepresentasikan korban
dan pelaku kekerasan menata kembali untuk pemulihan hubungan mereka.
Justice juga digambarkan sebagai upaya memperbaiki kesalahan yang
telah terjadi, dan melakukan pemulihan. Upaya AN untuk memperbaiki
hubungannya dengan pelaku tidak didasari dengan keinginan yang kuat.
Terdapat emosi negatif masa lalu yang terus membayanginya, sehingga
48
keinginan untuk bertemu tertahan oleh kemarahan. Pemulihan dan
perbaikan menjadi sulit untuk tercapai jika syarat justice tidak terpenuhi
oleh korban KDP. Harus terdapat keinginan dari korban KDP untuk
memperbaiki diri dan hubungan agar dapat tercapai pemulihan.
AN masih sulit untuk memaafkan (mercy) pelaku dan belum masih
dibayang-bayangi oleh kemarahan dalam dirinya. Menurut Lederach
(1997), mercy adalah upaya menerima, melepaskan dan memulai kembali.
Tanpa adanya mercy hubungan menjadi tidah sehat, selain itu keberhasilan
pemulihan akan menjadi rumit. Sehingga, AN harus dapat mengampuni
kesalahan pelaku. Mercy menjadi kunci utama yang juga penting untuk
keberhasilan rekonsiliasi dan dapat berdampak baik pada kelangsungan
psikologis AN. Selain itu juga mercy menjadi bagian tersulit dilakukan
oleh setiap korban kekerasan. Hal ini karena terdapat perasaan
ketidakadilan jika mengampuni kesalahan pelaku, tetapi pelaku tidak ada
upaya mengakui kesalahannya. Penerimaan sangat dibutuhkan oleh korban
KDP untuk dapat mengampuni kesalahan pelaku. Korban KDP menerima
dan mengiklaskan perbuatan yang membuatnya sakit hati atau marah.
Hanh (2015), juga menyampaikan bahwa dengan kemampuan korban
KDP yang dapat menerima perlakuan tidak baik, akan memudahkannya
untuk dapat mengampuni setiap kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.
Sehingga, AN juga harus dapat menerima dan mengampuni kesalahan
pelaku.
Pada akhirnya AN telah menunjukan bahwa belum dapat mengalami
kedamaian (peace) dalam dirinya, karena belum menunjukan kebenaran,
keadilan dan tetap merasa sulit untuk memaafkan pelaku. Sedangkan
Peace merupakan salah satu bagian dari rekonsiliasi yang dimana terdapat
keharmonisan, kesejahteraan, dan hubungan yang baik antar kedua belah
pihak kekerasan yang berkonflik (Lederach, 1997; Neufeldt et al., 2002;
Webel & Galtung, 2007). Pada suatu kesempatan AN menungkapkan
bahwa telah mengupayakan untuk bersedia berkomunikasi dengan pelaku.
Hal tersebut sulit untuk menjanjikan terjadinya kedamaian dalam diri AN,
49
karena AN belum dapat melepaskan kepahitan yang dialaminya. Oleh
karena itu AN masih sulit untuk mengalami kedamaian dalam dirinya.
4. 2. Partisipan Kedua
Partisipan penelitian kedua diberi nama samaran DS dan saat ini
sedang menginjak usia 19 tahun. DS berjenis kelamin laki-laki, sedangkan
domisili asal di Nias, namun saat ini merantau di Salatiga karena sedang
mengemban kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Selama
kuliah DS telah pacaran sebanyak 3 kali dan pacar pertama bagi DS telah
memberikan pengalaman pahit. Mereka telah berpisah selama satu tahun
lima bulan sampai saat partisipan diwawancarai.
Berdasarkan wawancara, DS mengungkapkan bahwa pelaku
memutuskan untuk berpisah tanpa penjelasan pada dirinya. Hingga saat
DS diwawancarai, dirinya masih sering bertanya-tanya alasan pelaku
memutuskan hubungan mereka. Selama pacaran mereka tidak pernah
saling melakukan kekerasan fisik atau verbal satu sama lain. Pengalaman
pacaran DS dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikologis dan
kekerasan ekonomi. Hal ini dikarenakan partisipan merasa dirinya
dimanfaatkan oleh pelaku, dan setelah berpisah partisipan merasa stres
dengan memori buruk selama bersama pelaku.
4. 2. 1. Faktor Penyebab
Penyebab munculnya pengalaman pahit partisipan selama pacaran
berbeda-beda satu sama lain. Salah satu partisipan yakni DS merasa
dimanfaatkan selama pacaran yang terus disesali setelah berpisah. DS
mengakui kesalahan bermula dari dirinya sendiri yang memberikan
peluang untuk dimanfaatkan pelaku. DS mengungkapkan bahwa dirinya
telah memberikan keinginan pelaku, namun tetap saja kurang.
50
“Karena metode pacarannya itu kan kayak memanfaatkan, rasa
memanfaatkan itu, saya sudah memberikan dengan baik, tapi malah
dia meminta yang lain lagi” (DS: 4)
“Mungkin dulu aku terlalu memanjakan, mungkin dari aku
masalahnya, gak mungkin kan dia buat kayak gitu kalau bukan kita
yang memulai” (DS: 115)
Penyebab kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh DS yang
merasa dimanfaatkan selama pacaran. Kekerasan tersebut dapat disebut
sebagai kekerasan ekonomi. Kekerasan tersebut menggunakan uang atau
benda bernilai sebagai alat untuk memperalat pasangannya dan
memanfaatkannya. Kekerasan tersebut jarang terdengar, namun sering
terjadi pada hubungan berpacaran. Kekerasan tersebut dilakukan oleh
pelaku dengan sengaja dan sadar untuk memenuhi kebutuhannya. Hal
tersebut sering diawali oleh ketersediaan peluang dari korban dan diterima
oleh pelaku. Sehingga individu yang membuka peluang merasa dirugikan
dan merasa jadi korban. Hal ini juga karena ketidaksadaran korban dari
awal telah dimanfaatkan. Setiap awal pacaran korban berupaya mencuri
perhatian dan ingin memberikan kesenangan pada pasangannya, namun
setelah merasa diabaikan saat tidak memiliki keuangan korban merasa di
tinggalkan. Sehingga korban menyadari hal tersebut dan merasa telah
dimanfaatkan, namun tidak sedikit juga laki-laki atau perempuan
menggunakan ekonominya untuk mendapatkan pasangan dan memilih
untuk bertahan ketika telah mengetahui dirinya dimanfaatkan. Begitu pula
dengan DS memilih bertahan telah dimanfaatkan, namun merasa
kepahitan setelah diputuskan oleh pelaku.
4. 2. 2. Dampak Kekerasan Dalam Pacaran
1. Mengalami kepahitan
DS merasakan dampak kepahitan pengalaman masa lalunya
membuatnya tidak memiliki keberanian untuk menemui pelaku. Selain itu
51
DS juga tidak lagi berkeinginan untuk menemui pelaku, dan menjalin
komunikasi yang baik. Perasaan benci telah menyelimuti keinginannya
untuk ingin menemui pelaku.
“Sebenarnya saya juga ingin mendekati dia untuk bisa jadi teman
bicara saja, cuman mau bicara saya sudah segan. Saya gak sejak
putus sampai saat ini” (DS: 15)
“Ya saya mau sih memperbaiki hubungan kami, cuman kan sama-
sama segan juga, kita masih simpan kesalahan orang dia juga
sebaliknya” (DS: 82)
“Gak bakal mungkin ketemu dia, soalnya kan dia udah tau
sebenarnya kalau saya udah terlanjur benci sama dia, makanya gak
bakal mungkin terjadi” (DS: 46)
DS keberatan untuk memaafkan dan berdamai dengan pelaku.
Perasaan sakit hati berdampak pada sulitnya partisipan untuk memaafkan
kesalahan pelaku.
“Kalau dia mau berdamai tanpa pacaran lagi, itu dia yang berat
sama saya, contohnya memaafkan orang yang sudah buat kesalahan
sama saya itu apa lagi bikin sakit hati apa lagi ke orang dekat-dekat
kita itu paling nyesak sekali” (DS: 64)
Dampak yang dialami oleh DS yakni kepahitan yang membuatnya
tidak memiliki keinginan untuk bertemu dengan pelaku. Selain itu juga DS
tidak memiliki keingingan untuk memaafkan pelaku dan berdamai. DS
merasa pelaku yang harus meminta maaf padanya. Hal seperti ini dapat
menjadi dampak dari kepahitan setelah menyadari memiliki pengalaman
yang tidak baik dengan pelaku. Tidak sedikit korban kekerasan dalam
pacaran akan memiliki sikap untuk tidak akan memaafkan. Sulit bagi
banyak korban KDP dengan cepat memaafkan pelaku yang telah
memberika pengalaman pahit. Dampak dari kepahitan salah satunya sakit
hati akan menyelimuti diri korban KDP. Hal ini membuatnya tidak mudah
untuk meluluhkan hati agar bersedia memaafkan. Sikap seperti ini akan
merugikan DS dan sulit merasakan kedamaian dalam dirinya.
52
2. Emosi terpendam
Kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh DS menimbulkan
pengalaman pahit di masa lalu selama pacaran. Pengalaman pahit di masa
lalu menyisakan perasaan-perasaan yang harus dirasakan sehari-harinya
oleh DS setelah mereka berpisah. Pengalaman pahit di masa lalu
membuatnya DS berkeinginan untuk membalaskan sebagai upaya balas
dendam. Keinginan balas dendam sebagai upaya pelampiasan rasa benci
dan rasa kecewa.
“Kayak wujud pengalaman lama gitu kak, kayak rasa ingin
membalas” (DS: 2)
“Cuman udah terlanjur ada rasa benci ada rasa kecewa, jadi ingin
melampiaskan hal itu sampai tentram sebenarnya sampai benar-
benar tenang” (DS: 2)
Pengalaman pahit di masa lalu membayangi DS dengan perasaan
sakit hati yang selalu muncul dalam benak pikirannya. DS menganggap
memori yang selalu muncul disebabkan oleh pelaku, sehingga memori
tersebut membuatnya selalu merasa sakit hati pada pelaku.
“Terpikirkan sakit hati meskipun itu karena dia juga jadi masih
ingat-ingat terus” (DS: 8)
Setelah berpisah dengan pelaku hanya menyisakan penyesalan pada
partisipan. Partisipan menyesal dengan hubungan yang telah terjalin antara
mereka berdua. Partisipan menyesali rasa sayang yang diberikannya
hingga menjadi kerugian ekonomi selama pacaran.
“Kalau dibilang menyesal, sih iya, menyesal karna apa ya menyesal
karna aaa oh iya, pertama dulu kasih sayang itu yang pertama
kemudia kerugian” (DS: 28)
Perasaan dendam tumbuh dan mengakar dalam diri DS yang selalu
terlintas dalam pikirannya.
53
“Cuman kayak, kalau dibilang dendam kan, kayak kita mau pikir
kan, harusnya, oh iya rasa benci, iya betul sampai sekarang malah
masih menyimpan dendam sama dia” (DS: 36)
DS hanya dapat memendam kepahitan yang dimilikinya dan selalu
membayanginya. Dampak pengalaman pahit saat pacaran hanya
menyisakan penyesalan, sakit hati, dan kebencian dalam diri DS.
Pengalaman pahit tersebut membuat emosi negatif yang terpendam dalam
diri DS dan selalu akan selalu dibayangi. Pengalaman pahit saat pacaran
selalu menjadi emosi yang terpendam dan sering tidak segera dilepaskan.
Hal tersebut hanya akan menyiksa dan akan terus merasakan kepahitan.
Ingatan akan terus muncul dengan memori kepahitan dan membuat DS
merasa tidak akan tenang.
3. Perasaan dilematis
Terdapat kepahitan yang sulit untuk dilepaskan oleh partisipan
setelah berpisah. Kebencian yang menyelimuti perasaan DS menutupi
perasaan sayang yang terdapat dalam dirinya. Kekecewaan membuatnya
sulit untuk menumbuhkan perasaan sayang pada pelaku. Akhirnya DS
merasa bimbang dengan perasaan yang bergejolak dalam dirinya.
“Terlanjur sayang tapi mau dibenci juga susah, mau disayang juga
udah mengecewakan” (DS: 14)
DS memiliki merasakan damapak yang membuatnya
dilematis dan akan muncul dalam memorinya. Perasaan yang
pernah ada dan masih tetap ada tertutupi oleh kebencian yang
menyelimuti DS. Kekecewaan DS membuatnya sulit menyadari
bahwa dirinya masih memiliki perasaan sayang sebelumnya.
Perasaan tersebut seharusnya dapat mebantunya untuk
melunturkan perasaan kepahitan dalam dirinya. Hal seperti ini
sering terjadi, perasaan positif akan diselimuti oleh perasaan
negatif, sehingga yang selalu muncul dalam diri korban KDP
54
hanya kepahitan. Hal tersebut hanya akan merugikan DS dan
membuatnya sulit merasakan kedamaian.
4. 2. 3. Rekonsiliasi
1. Kebenaran (Truth)
DS memiliki sedikit pemahaman tentang kedamaian dirinya dan
pelaku. DS beranggapan ketika tidak lagi bertemu dengan pelaku, dirinya
akan lebih merasa damai. DS juga tidak memaksakan pelaku untuk
menghilang disekitaran tempat kuliahnya. DS menyadari dirinya menjadi
kunci utama dalam menemukan kedamaian dengan pelaku dan dirinya
sendiri. DS juga menyadari kepahitannya tidak akan hilang dengan cepat
dan butuh waktu yang cukup panjang.
“Kalau contohnya dia gak situ ya mungkin aku gak ingat-ingat kan
gak ada liat dia lagi tapi ya mau gimana lagi dia kan yang mau
kuliah di situ gak mungkin saya paksa pergi saya gak mau ingat
kamu// kuncinya ya ada sama saya contohnya kalau misalnya dia
ada di situ tapi dia udah gak ingat-ingat sama saya lagi” (DS: 66)
“Otomatis kan gak bisa ilang secepat itu, suatu saat gitu, kalau
missal ilang langsung dalam pikiran, gak mungkin, kecuali saya
sudah amnesia nanti kalau tidak amnesia bakal tidak ilang” (DS:
74)
DS memiliki cara untuk dapat melupakan ingatan tentang pelaku.
DS lebih memilih untuk memadatkan aktivitasnya agar pikirannya tidak
kosong dan akhirnya teringat dengan pelaku, namun hal tersebut
diungkapkannya sebagai cara yang jangka pendek dan tidak dapat
melupakan selamanya.
“Kalau gak bisa dilupain lagi, itu saya tidur, kalau masih saja
mentok kayak gitu gak bisa tidur juga saya keluar, saya ajak teman-
teman kos mungkin jalan-jalan yang penting saya gak ingat-ingat
55
dia lagi. Itu berhasil, cuman kayak metode gali lobang tutup lobang
hahaha” (DS: 42)
DS menyangkal dirinya tidak lagi merasa sakit hati dan tidak lagi
merasakan kecewa pada pelaku. Namun, tetap terbayang-bayang oleh
memori tentang pelaku dan tetap ingat dengan pelaku. Hal tersebut
menjadi ungkapan kotradiksi dalam diri korban yang tidak konsisten.
“Sakit hati, kecewa sejauh ini udah enggak lagi, cuman bayang-
bayangnya saja, ingat-ingat terus gitu” (DS: 101)
Dalam pernyataan DS menunjukan dirinya telah mengungkapkan
kebenaran yang dirasakan mengenai kepahitannya. DS mengakui dirinya
masih merasakan kekecewaan dan sering terbayang-bayang dengan
pelaku. DS berupaya melakukan aktivitas lain agar tidak terus-terusan
dibayangi oleh pelaku, namun hal tersebut tidak berjalan dengan baik,
karena DS masih tetap saja terbayang-bayang. DS memiliki pemahaman
yang baik agar tidak dibayang-bayangi oleh pelaku. Kebenaran dalam
pengalaman pahit DS menunjukan permasalahan yang sedang dialaminya
dan upaya-upaya yang telah dilakukannya. Hal ini dapat membantu DS
untuk dapat berdamai dengan dirinya sendiri dan DS tetap butuh
kesadaran yang penuh dalam menyelesaikan permasalahannya.
2. Keadilan (Justice)
DS mengungkapkan dirinya dapat melupakan pelaku ketika tidak
pernah bertemu dengannya. Saat bertemu DS memilih untuk tidak
melakukan komunikasi sapa menyapa pelaku.
“Saya bisa lupa tentang dia kalau misalkan kami tidak pernah
ketemu lagi atau tidak ada lagi disekitar kampus ini.” (DS: 8)
“Kami gak saling sapa, saling lewat aja, anggap tidak pernah
kenal.” (DS: 10)
DS mengungkapkan bahwa dirinya telah memiliki komitmen untuk
serius pada perempuan dan tidak mempermainkan perasaan atau
56
melampiaskan rasa sakit hatinya. DS mengungkapkan tidak penting lagi
untuk memendam perasaan pada pelaku. DS lebih memilih untuk
memaafkan pelaku.
“Sekarang udah merasa untuk memiliki komitmen untuk memiliki
hubungan cukup serius pada satu perempuan saja lagi” (DS: 18)
“Jadi ya kenapa harus kita pendam-pendam lagi kan, ya biarin aja,
wong itu dosa nanti kan, katanya maaf tapi juga ujung-ujungnya
nanti masih dendam, mending dimaafin saja” (DS: 34)
DS beranggapan pengalaman pahit dengan pelaku menjadi
pelajaran. Selain itu juga DS berupaya tidak lagi memendam perasaan
pada pelaku.
“Saya akan berusaha sebagaimana pun biar tidak suka lagi,
soalnya kan ini udah belajar dari pengalaman buruk saya” (DS: 60)
Untuk melepaskan kepahitan atau memberikan rasa adil pada
pelaku. DS memilih untuk mengupayakan balas dendam dengan tujuan
menyadarkan atas perilakunya pada DS. DS mengakui dirinya adalah
pribadi yang menuntut balas terhadap rasa sakit yang dialaminya. DS
memiliki keinginan untuk kembali menjali hubungan agar dapat
membalaskan dendamnya. DS menganggap upaya balas dendam menjadi
bagian menerpakan keadilan dengan pelaku. DS berharap pelaku dapat
merasakan kepahitan yang sama seperti dialaminya. DS menganggap
belum lengkap jika pelaku belum merasakan kepahitan yang sama
dengannya.
“Terima aja, masih terima, cuman kalau dia bilang kembali seperti
awal, saya pasti iyain/ kalau itu terjadi lagi dia minta balikan
berarti saya harus menang artinya berarti kalau saya berhasil buat
dia menyesal dan mungkin saja saya lupakan kejadian itu” (DS: 48)
“Tetap ingat, saya ini orang suka menuntut balas, saya harus balas,
tidak segampang itu/ cuman kalau memang saya bisa lampiaskan
sama dia berarti itu berhasil/ tujuan saya buat kayak gitu biar dia
57
sadar saja sebenarnya dengan dia rasakan sedikit rasa sakit tanpa
saya hanya dengar kata-kata maaf dia” (DS: 50)
“Harus 50:50 kao rasakan yang saya rasakan kurasakan apa yang
kao rasakan, 50:50 lah kau senang aku senang aku sedih kao juga
sedih bukan hanya saya saja itu baru adil namanya” (DS: 66)
“Definisi adil bagi saya ya 50:50, dia harus bisa rasakan apa yang
saya rasakan, kalau soal kesenangan ya sama-sama sudah
dirasakan, kesedihan belum tentu/ harusnya kan sesekali coba dikit
lah” (DS: 70)
Upaya melepaskan kepahitan DS dilakukannya dengan cara
melampiaskan perasaan sakit hatinya pada perempuan lain. DS merasa
senang setelah dapat melampiaskan kepahitannya dan merasa hal tersebut
telah impas atau adil.
“…3 atau 4 kali, saya lampiaskan perlakuan mantan saya ke
mereka, dan yang terakhir saat lampiaskan ini adik kelas saya
waktu SMA satu daerah juga” (DS: 17)
“Nah setelah itu nulis status di FB bilang kekecewaan dia pada
saya, disitu saya merasa senang karena bisa membalas perbuatan
dia ke saya dulu tapi disisi lain juga kasihan saya sudah
memberikan harapan palsu kedia. Jadi saya pikir kami sudah impas,
kami sama-sama merasakan hal sama sakitnya setelah diputuskan”
(DS: 17)
Selain itu DS juga telah melakukan serangan terlebih dulu sebelum
dirinya di putuskan oleh pacarnya. DS melakukan tersebut atas dasar ingin
merasakan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh pelaku.
“Balas sama orang lain iya jelas, biar saya rasakan juga kan kalau
contohnya bagaiman kasi putus orang itu enaknya gimana sih//
kalau nanti ada orang yang saya sayang tiba-tiba mau kayak gitu
lagi, udah saya perhatikan sebelum dia yang putuskan saya, saya
akan putuskan duluan orang tersebut” (DS: 72)
Dalam pernyataan DS diatas menunjukan terdapat rasa adil dalam
dirinya, namun tetap diikuti dengan hambatan yang membuatnya untuk
58
membalas dendam. DS menganggap balas dendam harus terjadi pada
pelaku, karena menurutnya adil ialah sama-sama merasakan kepahitan. DS
memiliki ambisi untuk balas dendam ketika mereka berkesempatan
kembali pacaran lagi. Selain itu juga DS telah melakukan upaya balas
dendam atau pelampiasan pada perempuan lainnya. Hal tersebut
dianggapnya agar dapat merasakan kesenangan ketika melampiaskan sakit
hatinya dan dapat merasa kepuasan. Pembuktian ini menunjukan
ketidakadilan DS lebih dominan ketimbang rasa adilnya. Hal seperti ini
akan mempersulit DS dalam menemukan kedamaian dalam dirinya. Tidak
adanya kesadaran dalam dirinya untuk merelakan dan memaafkan
kesalahan pelaku. Ambisi untuk balas dendam lebih keras dalam dirinya,
sehingga tidak akan mengampuni pelaku. Pemahaman rasa adil seperti DS
membuat banyak korban kekerasan dalam pacaran terjebak dengan
kepahitan masa lalunya. Keadilan yang tidak menuntut balas atas
kesalahan pihak lain berbanding terbalik dengan DS yang lebih ingin
membalas dendam.
3. Belas kasih (Mercy)
DS merasa salah satu dari mereka merelakan diri untuk meminta
maaf, namun DS tidak bersedia jika dirinya meminta maaf terlebih dulu.
DS beranggapan yang seharusnya meminta maaf terlebih dulu ialah yang
melakukan kesalahan.
“Ada salah satu yang mau minta maaf mungkin ya, ya gak mungkin
juga saya minta maaf, soalnya kan gimana ya, aku yang udah baik
masa aku yang minta maaf lagi, gak mau juga otomatis siapa yang
salah itu yang harus lebih sadar diri sebenarnya, nah itu baru bisa
damai” (DS: 38)
DS juga tidak bersedia jika pelaku hanya mengungkapkan
permintaan maaf. DS menganggap permintaan maaf tidak menjadi akhir
permasalahan dan permintaan maaf tidak akan menjadikan DS lupa
dengan kesalahan pelaku. DS mengungkapkan bahwa permintaan maaf
dan penyesalan dari pelaku juga tidak akan melepaskan kepahitannya.
59
“Kalau sekedar hanya ngomong aja, dia minta maaf, dia menyesal,
ya iyain aja lah, minta maaf bukan berarti kita lupa, dalam arti apa
yang dia bilang akan saya lupakan, tidak akan” (DS: 50)
Pemahaman DS yang menganggap pelaku yang melakukan
kesalahan, sehingga dirinya tidak bersedia untuk memulai minta maaf.
Selain itu juga DS juga tidak bersedia pelaku hanya meminta maaf melalui
kata-kata semata. DS tidak bersedia memaafkan pelaku dengan mudah dan
dengan hanya ucapan. DS ingin pelaku juga merasakan kepahitan yang
dirasakannya dan setelah tidak akan melupakan permasalahan mereka
dengan mudah. Kesalahan pelaku menjadi amunisi DS untuk berambisi
balas dendam. Pemahaman mengenai individu salah yang harus meminta
maaf tersimpan kuat dalam memori DS. Hal ini menunjukan sulitnya
memperbaiki kerangka berpikir DS. Permintaan maaf, memaafkan atau
mengampuni menjadi salah bagian dalam rekonsiliasi atau kedamaian,
sehingga sulit bagi DS untuk berdamai dengan dirinya sendiri dan pelaku.
Hal yang harus diperbaiki dalam DS ialah pemahaman tentang
mengampuni dan mengiklaskan kesalahan pelaku. Selain itu juga penting
untuk ditumbuhkan kesadaran dalam diri dan menurunkan ego agar tidak
hanya memikirkan dirinya sendiri.
4. Kedamaian (Peace)
Upaya katarsis DS berdampak positif, DS sudah mengurangi
kekesalannya dan mau membuka pembicaraan dengan pelaku saat
berpapasan dijalan. Selain itu berdampak jangka pendek ketika DS
mengingat pelaku. DS tetap dapat mengingat pelaku, namun selang
beberapa menit DS telah melupakannya. Intensi mengingat atau
terpikirkan pelaku juga telah berkurang.
“Cuman kalau saya masih kesal sama dia kemarin, gak saya ajak
bicara lagi” (DS: 56)
60
“Kalau ingat, masih, cuman kayak gak dibawa beban gitu. Ya
paling kalau ingat ya ingat saja trus paling gak lama lagi lupa lagi”
(DS: 90)
“Masih ingat-ingat sampai sekarang // cuman ya efeknya ya udah
mulai berkurang” (DS: 91)
DS merasa telah melepaskan kepahitan tentang kerugiannya selama
dimanfaatkan, namun tetap menyimpan perasaan kecewa. DS
mengungkapkan bahwa dirinya telah mulai tenang dan nyaman setelah
melakukan cerita-cerita mengenai permasalahannya.
“Cuman ingat karna kecewa mungkin, ya mungkin itu saja tapi
kalau ingat-ingat karena kerugian kayak bukan, itu udah terlepas,
cuman kayak masih ada bayang-bayangnya” (DS: 101)
“Tadi hanya cerita-cerita, ya lebih enak cerita sih sebenarnya, dari
pada dipendam kayak gitu, gak enak. Perasaan ku lumayan lumayan
tenang sebenarnya, udah agak tenangan” (DS: 117)
Dengan berbagai upaya DS yang ingin balas dendam dan lebih
memilih untuk memendam kepahitannya. DS mengungkapkan pelaku
tidak akan pernah mengakui kesalahannya dan meminta maaf padanya. DS
juga belum mendapat permintaan maaf dari pelaku.
“Gak, gak mungkin kalau ya kalau secara pandang sendiri kan gak
mungkin dia mengakuinya” (DS: 24)
“Minta maaf, gak ada dia pernah minta maaf” (DS: 30)
DS berharap ketika dirinya tidak dapat balas dendam, dirinya
berharap pacar barunya suatu saat nanti yang akan membalaskan
dendamnya. DS mengungkapkan jika definisi damai baginya ialah pelaku
juga merasakan kepahitan yang dengannya. DS merasa dirinya belum
dapat memaafkan dan berdamai dikarenakan ambisinya untuk terus balas
dendam.
“Mudah-mudahan bukan saya yang buat sama dia tapi orang lain
yang buat itu sama dia nanti” (DS: 70)
61
“Definisi damai menurut saya sama-sama rasakan” (DS: 76)
“Kalau saya belum sadarkan diri berarti kan saya masih mengejar
ambisi saya biar tercapai” (DS: 80)
“Belum merasa damai // atau mungkin karna ambisi saya dulu
mungkin ya, ya mungkin balas dendam” (DS: 105)
Dengan aktivitas yang padat sedikit dapat membantu DS untuk
mengurangi memori tentang pelaku. Dengan intensitas memori yang
pendek DS menganggap telah merasa tenang. Hambatan yang tetap selalu
muncul ialah pendirian DS yang damai menurutnya sama-sama merasakan
kepahitan. Harapan untuk balas dendam tetap saja diungkapkan yang
dianggapnya memberikan efek pada pelaku. Harapan tersebut ditujukan
pada laki-laki yang menjadi pasangan pelaku selanjutnya. Hal ini hanya
akan membuat DS tersiksa dengan segala ambisi dan dendam yang
dimilikinya. DS dapat mengurangi ingatan tentang pelaku, namun menjadi
mustahil memberikan kedamaian ketika DS masih memendam kepahitan
dan tidak bersedia mengampuni. Kedamaian juga akan sulit dirasakan oleh
DS dan hanya akan terus dibayang-bayangi oleh ambisinya. Kedamaian
dibutuhkan kejujuran pada diri sendiri, butuh rasa adil untuk tidak
membalas kesalahan pelaku, dan dapat mengampuni atau memaafkan
secara iklas atau tulus. DS membutuhkan itu semua jika ingin merasakan
kedamaian dalam dirinya. Butuh kesadaran dari DS bahwa dirinya harus
merelakan kesalahan pelaku dan bersedia mengakui jika dirinya juga
memiliki kesalahan.
4. 2. 4. Pembahasan Kasus Kedua
1. Penyebab
Berdasarkan hasil penjabaran pengalaman kasus DS diatas, DS
mengalami kekerasan ekonomi karena dalam ungkapannya merasa
dimanfaatkan selama pacaran. Hal tersebut dianggap sebagai penyebab
62
munculnya pengalaman pahit selama pacaran. Menurut Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
(2018), bahwa kekerasan ekonomi juga dapat terjadi selama masa pacaran.
Selama masa pacaran kejadian tidak terduga dapat terjadi pada pasangan
pacaran. Salah satunya ialah munculnya kekerasan ekonomi selama masa
pacaran. Kekerasan ekonomi juga dianggap sebagai salah satu kekerasan
yang tidak terbiasa di dengar, karena pemahaman tentang kekerasan lebih
sering mengenai kekerasan fisik.
Kekerasan ekonomi dapat muncul jika korban merasa telah
dimanfaatkan selama pacaran dan dilakukan secara sengaja oleh pelaku.
Pelaku hanya menginginkan materi yang dimiliki oleh korban KDP dan
menjalani hubungan pacaran tanpa berlandasan rasa suka atau cinta.
Menurut data dari Komnas Perempuan (2019) dalam catatan tahunan,
kasus kekerasan ekonomi memiliki data sebanyak 1.064 kasus (11%).
Data tersebut menunjukan kekerasan ekonomi juga telah menambah angka
kekerasan di Indonesia. Data tersebut juga menunjukan telah banyak yang
menjadi korban kekerasan ekonomi. DS menjadi salah satu korban
kekerasan ekonomi dan penyumbang angka kekerasan di Indonesia.
2. Dampak
Dampak yang dialami oleh DS yakni mengalami kepahitan,
memiliki emosi terpendam, dan memiliki perasaan dilematis. Terkait
dengan dampak yang dialami oleh DS, Rajneesh (2008) mengungkapkan
bahwa seluruh emosi, sentimen dan pikiran korban kekerasan dalam
pacaran telah dimanipulasi memori kejadian pengalaman pahit masa lalu.
Pengertian emosi menurut Albin (2007), adalah perasaan yang pasti
dialami oleh setiap umat manusia selama masa hidupnya. Perasaan yang
dimaksudkan ialah perasaan sedih, gembira, kecewa, semangat, marah,
benci, dan cinta (Gross, 2012). Perasaan-perasaan tersebut juga yang pasti
dialami oleh setiap pemuda-pemudi yang berpacaran.
63
Masa pacaran menjadi salah satu pengalaman yang dialaminya
selama menjalani hidup. Pengalaman pacaran tidak selalu berjalan dengan
indah dan bahagia, begitu pula yang telah terjadi pada DS. Pengalaman
pacaran dapat menjadi pahit ketika mengalami kekerasan dalam pacaran,
sehingga menjadi kepahitan. Pengalaman pahit selama pacaran juga
merekam dan membentuk memori tidak menyenangkan. Salah satu
dampak yang kerap terjadi ialah korban KDP menjadi sering
mengkonsumsi minuman beralkohol dan mengalami depresi (Ngo,
Eisman, Walton, Kusunoki, Chermack, Singh, & Cunningham, 2018).
Ngo et al. (2018), juga menunjukan bahwa dampak KDP pada korban
yang mengkonsumsi minuman beralkohol sebanyak 23% di usia 12-17
tahun, dan 38% di usia 18-25 tahun. Pada usia 18-25 menjadi lebih rentan
mengkonsumsi alkohol dan mengalami depresi. Pada usia tersebut remaja
sedang menjalani masa kuliah dan lebih sering dilingkungan yang bebas
atau rentan mempengaruhi korban KDP yang sedang depresi.
3. Rekonsiliasi
Berdasarkan kebenaran (truth) yang diungkapkan oleh DS masih
sering terbayang-bayang dengan pengalaman pahit bersama pelaku.
Menurut Lederach (1997), truth untuk mengetahui kesalahan dan
memvalidasi pengalaman menyakitkan melalui korban secara langsung.
Selain itu juga truth digambarkan kejujuran, kejelasan mengenai
pengakuan, dan rasa tanggungjawab. DS telah mengungkapkan kejelasan
mengenai permasalahannya dan alasan DS belum merasakan damai.
Dengan begitu DS telah mengungkapkan kebenaran mengenai
permasalahannya saat ini, dan transparansi telah tercapai.
Rasa keadilan (justice) DS masih mengharapkan untuk dapat
membalas dendam pada pelaku, selain itu DS juga telah melakukan
pelampiasan sakit hati pada perempuan lainnya. Sedangkan menurut
Lederach, (1997) dan Webel & Galtung (2007), justice merepresentasikan
korban dan pelaku kekerasan menata kembali untuk pemulihan hubungan
64
mereka. Justice juga digambarkan sebagai upaya memperbaiki kesalahan
yang telah terjadi dan melakukan pemulihan tanpa menuntu balas dendam.
Hanh (2015) juga berependapat perilaku balas dendam tidak akan
membuat korban KDP menjadi damai, tetapi membuat orang lain
disekitarnya juga mengalami penderitaan. Hanya dikarenakan korban KDP
merasakan kepahitan tidak berarti korban KDP harus terus menerus
membuat pelaku atau orang lain disekitarnya merasakan kepahitan atau
penderitaan yang sama juga. Rekonsiliasi memiliki pemahaman bahwa
melepaskan kecenderungan untuk tidak menghukum atau balas dendam
pada pihak lain (Hanh, 2015). Rekonsiliasi bertentangan dengan segala
bentuk ambisi untuk balas dendam.
Selain itu juga rasa memaafkan atau mengampuni (mercy) belum
muncul, karena DS tidak bersedia memaafkan pelaku dan tetap berambisi
membalaskan dendamnya. Menurut Lederach (1997), mercy adalah upaya
menerima, melepaskan dan memulai kembali. Tanpa adanya mercy
hubungan menjadi tidah sehat, selain itu keberhasilan pemulihan akan
menjadi rumit. Menurut Webel & Galtung (2007), memaafkan atau
mengampuni menjadi salah satu syarat untuk dapat mengalami kedamaian
psikologis. Selain itu juga pentingnya bagi korban KDP tidak memiliki
keinginan untuk membalas kepahitan yang dialaminya pada pelaku dan
melepaskan kepahitan tersebut (Hanh, 2015).
Pada akhirnya kedamaian (peace) dalam diri DS belum dapat terjadi
dan tetap merasakan dampak-dampak pengalaman pahitnya. Hal ini
dikarenakan pemahaman DS tentang keadilan dan damai yang melenceng
dari konsep rekonsiliasi. Pada syarat truth DS dapat mengungkapkan
kebenaran, namun pada syarat justice dan mercy belum tercapai. Hal ini
menunjukan tidak tercapainya kedamaian dalam diri DS. Sedangkan
Peace juga berarti rekonsiliasi dimana telah terjadi keharmonisan,
kesejahteraan dalam diri korban kekerasan, dan hubungan yang baik antar
kedua belah pihak (Lederach, 1997; Neufeldt et al., 2002; Webel &
Galtung, 2007).
65
4. 3. Partisipan Ketiga
Partisipan penelitian ketiga diberi nama samaran BG, dan saat ini
sedang menginjak usia 25 tahun. BG berjenis kelamin perempuan,
sedangkan domisili asal di Ambon, namun saat ini merantau di Salatiga
karena sedang mengemban kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga. Selama kuliah BG telah pacaran sebanyak 4 kali dan pacar
keempat yang memberikan pengalaman pahit bagi BG hingga saat
diwawancarai. Mereka telah berpisah selama satu tahun dua bulan sampai
saat BG diwawancarai.
Berdasarkan wawancara, BG memutuskan untuk berpisah karena
tidak terima dan tidak ingin lagi dipukul oleh pelaku. Pelaku dijebloskan
kedalam penjara sebagai ganjaran atas perbuatannya. Selama pacaran
perbincangan dengan nada tinggi dan makian merupakan hal yang wajar
bagi mereka berdua. Kekerasan fisik tidak sering dilakukan oleh keduanya,
namun pernah dilakukan pada satu sama lain. Pengalaman pacaran BG
dapat dikategorikan sebagai kekerasan fisik, verbal, dan psikologis. Hal ini
dikarenakan BG pernah mengalami kekerasan fisik saat pacaran oleh
pelaku, dan setelah berpisah partisipan merasa tertekan memori masa
lalunya.
4. 3. 1. Faktor Penyebab
Selain itu terjadinya kekerasan fisik saat pacaran menjadi salah satu
penyebab munculnya pengalaman pahit partisipan. BG mendapati pelaku
melakukan chatingan dengan perempuan lain dan secara reflek BG
mendorong pelaku. Setelah itu terjadi tindak kekerasan fisik yang dialami
oleh BG dan terus terjadi hingga pulang.
“Pada waktu kami jalan-jalan ke borobudur dengan teman ku juga,
dia ketahuan balas-balas chat cewe lain, ya udah dengan emosinya
66
aku pukulnya dan dorong-dorong juga. Setelah itu dia kan gak terima
jadi mulai mukul-mukul aku juga” (BG: 7)
BG memiliki dua peran, awal pertama menjadi pelaku kekerasan fisik
dan kedua partisipan menjadi korban setelah pelaku melakukan kekerasan
fisik balasan. Selain itu BG juga melontarkan kata-kata makian terhadap
pelaku. Fenomena pelaku atau korban menjadi sulit menentukan pelaku
atau korban utama kekerasan, dan disisi lain muncul peran ganda yakni
korban menjadi pelaku atau pelaku menjadi korban.
“Sebenarnya salah ku juga sih, awalnya aku suka mukul dan maki
dia, karena, dia ketahuan balas-balas chat cewe lain/ ya udah dengan
emosinya aku pukulnya dan dorong-dorong juga” (BG: 7)
Penyebab kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh BG yakni
kekerasan fisik. Kekerasan terjadi saat masih menjalin hubungan pacaran.
Pelaku melakukan pemukulan pada wajahnya. Pemukulan tersebut diawali
dengan perilaku kekerasan oleh BG pada pelaku yang diindikasikan telah
berselingkuh, sehingga pelaku melakukan pembalasan dan berhasil
melakukan pemukulan pada wajah BG. Kekerasan ini juga kerap terjadi
pada pasangan berpacaran dan sering terjadi saling membalas pemukulan.
Saat seperti ini sulit untuk menentukan korban dan pelaku, karena keduanya
melakukan kekerasan. Sehingga penyebab awalnya dapat disimpulkan ialah
indikasi perselingkuhan oleh pelaku dan berlanjut pemukulan satu sama
lain.
4. 3. 2. Dampak Kekerasan Dalam Pacaran
1. Mengalami kepahitan
BG masih menyimpan perasaan sakit hatinya dan masih sering
muncul dalam pikirinya sehari-hari. BG menjadi emosi ketika pelaku
masih tetap berupaya menghubunginya.
67
“Ya dulu pas awal-awal sakit hati dengan perlakuan dia, untuk
sekarang masih ada sih sedikit rasa sakit hatinya.” (BG: 9)
“Masih sih sering kepikiran kadang-kadang” (BG: 12)
“Misal ketemu dia atau macam kasi kabar lagi, kan emosi lagi,
macam jengkel gitu toh” (BG: 24)
Dampak yang harus dialami oleh BG ialah kepahitan dengan
perasaan sakit hati dan bayang-bayang tentang pelaku. Selain itu juga BG
mengalami emosi ingin marah ketika tetap dihubungi oleh pelaku.
Dampak seperti ini akan dialami oleh korban KDP dan pengalaman
tersebut membuat kenangan yang buruk.
4. 3. 3. Rekonsiliasi
1. Kebenaran (Truth)
BG mengharapkan kedamaian dalam dirinya agar tidak bertemu
dengan pelaku dan tidak lagi dihubungi oleh pelaku. BG merasa tidak ada
lagi yang mengganjal dalam dirinya ketika pelaku tidak menghubunginya
lagi. Selain itu BG merasa sudah damai dengan tidak adanya kabar dari
pelaku. BG sudah mengurangi memori tentang pelaku karena tidak lagi
bertemu dan dihubungi.
“Kalau sekarang udah gak sih merasa ganjal dengan perilaku dia
dulu, dia kan udah tidak kasi-kasi kabar lagi toh” (BG: 22)
“Aku sendiri sih udah damai, tapi kalau misal gak tau sih, misal
ketemu dia atau macam kasi kabar lagi” (BG: 24)
“Gak teringat dia lagi” (BG: 16)
Kebenaran yang diungkapkan oleh BG yang menginginkan tidak
lagi bertemu atau kabar dari pelaku. BG menganggap pelaku yang selalu
menghubunginya akan membuatnya merasa tidak damai. Selama pelaku
tidak memberikan kabar, dirinya dapat merasa damai. Hal seperti ini
68
hanya membantu sementara BG, namun ketika dihubungi kembali oleh
pelaku, BG kembali dibayangi oleh pelaku. Sehingga BG belum dapat
merasa damai seutuhnya, karena pelaku diindikasikan dapat
menghubunginya suatu saat tanpa disadarinya. Pengakuan kebenaran BG
bersifat kedamaian sementara dan tidak dapat menunjang dirinya merasa
damai selamanya.
2. Keadilan (Justice)
BG memilih untuk mengakhiri hubungannya agar tidak
mendapatkan perlakuan kekerasan fisik. BG juga melaporkan pelaku pada
kakaknya dan dipenjara sebagai ganjaran telah melakukan kekerasan.
“Karena dia suka gitu aku gak suka, jadi aku putusin aja.” (BG: 4)
“Karena sakit hati aku itu, trus aku laporin dia ke kakak ku juga
yang tentara di Pati, trus dia penjara karena tentara gak boleh
kasar.” (BG: 10)
BG melakukan perilaku memaki pada pelaku ketika dirinya terus-
menerus dihubungi oleh pelaku. BG melakukan hal tersebut disebabkan
karena tekanan dari pelaku dan merasa dirinya harus melepaskan diri dari
pelaku.
“Kalau dia telpon-telpon trus aku gak jawab lagi, pas aku jawab
paling aku maki/ maki kayak binatang stop telpon-telpon” (BG: 26)
BG memilih mengakhiri hubungannya dan pelaku, selain itu juga
BG akan melakukan makian ketika pelaku tetap terus menerus
menghubunginya. Keputuasan yang dilakukan oleh BG untuk mengakhiri
hubungan menjadi keputusan yang tepat, agar tidak diperlakukan kasar
lagi. Setelah berpisah rasa adil yang dialaminya tidak juga berakhir,
pelaku selalu menghubunginya dan membuatnya merasa tidak damai.
Keputusan BG untuk melakukan makian ketika dihubungi kembali oleh
pelaku tidak tepat, karena hanya akan membuatnya BG lebih merasa tidak
damai. BG akan dibayangi secara terus-menerus oleh pelaku dan BG juga
69
akan sulit memaafkan pelaku. Rasa adil yang harus dilakukan oleh BG
ialah memberikan penjelasan pada pelaku bahwa dirinya tidak kembali
berpacaran karena ketakutan akan terjadi kekerasan kembali dan BG
memberikan maaf dengan iklas. Keadilan akan tercipta dalam diri BG dan
dirinya dapat merasakan damai.
3. Belas kasih (Mercy)
Secara tidak langsung BG merasa telah memberikan maaf. BG juga
mengharapkan dirinya tidak lagi sakit hati, kepahitan dalam dirinya dapat
dilepaskan, dan tidak lagi terbayang-bayang dengan pelaku.
“Kalau kasih maaf iya udah aku maafin tu gak sih cuman kalau
dalam hati udah gak sih/ tapi kalau macam bicara langsung ke dia
ya udah aku maafin gitu tapi dalam hati udah maafkan” (BG: 20)
BG mengungkapkan dirinya telah memaafkan pelaku dan tanpa
pertemuan, namun BG merasa terganggu dengan perilaku pelaku yang
terus-menerus menghubunginya. Hal itu membuat BG merasa tidak dapat
damai dan selalu dibayangi oleh pelaku. Dapat disimpulkan BG belum
memaafkan pelaku dengan iklas karena masih merasa terganggu dengan
pelaku yang selalu menghubunginya. BG dapat dinyatakan telah
memaafkan pelaku ditunjukan dengan sikapnya yang tidak
mempermasalahkan pelaku yang masih ingin menghubunginya kembali.
Kata maaf dapat diucapkan melalui kata-kata, namun belum dipastikan
telah memaafkan secara iklas dan tulus. Hal seperti ini yang sering
dilakukan oleh korban KDP dan tidak memberikan maaf secara tulus.
Sehingga merasa terganggu ketika pelaku berusaha menghubunginya
kembali.
4. Kedamaian (Peace)
Godaan dari pelaku yang selalu tetap menghubunginya dan meminta
untuk kembali pacaran. Hal tersebut menjadi hambatan yang selalu
dirasakan mengganggu BG. BG merasa trauma dengan perilaku pelaku
70
yang memaksa untuk kembali pacaran. Selain itu juga pelaku berupaya
menemuinya secara langsung dan ditolak oleh BG yang saat itu
membuatnya menangis. BG merasa tidak penting lagi saling menghubungi
ketika telah berpisah satu sama lain. Hal tersebut menurutnya membuat
tidak tenang dirinya dan mengganggu dirinya.
“Kami sekarang masih kontak-kontak sih karena dia suka nelpon
terus, pada hal aku gak suka di telpon-telpon dia lagi” (BG: 6)
“Dia sering telpon-telpon aku untuk minta balikan lagi, itu juga
bikin aku trauma dengan dia, maksa untuk balikan” (BG: 14)
“Aku rasa gak damai di telpon-telpon dia terus, pada hal kan kita
udah putus, ya udah gitu gak usah ganggu-ganggu aku lagi” (BG:
14)
“Sempat datang minta ketemu toh ngomong baik-baik cuman gak
mau lagi trus aku sempat ada menangis-nangis juga toh” (BG: 18)
“Udah tenang-tenang kan dia datang lagi trus kasi kabar lagi”
(BG: 24)
Ungkapan BG diatas menunjukan bahwa dirinya belum merasakan
kedamaian dan belum dapat berdamai dengan pelaku. Bayang-bayang
mengenai pelaku dan upaya pelaku yang selalu menghubungi BG
dianggapnya sebagai gangguan. BG dapat merasa damai ketika tidak
bertemu, dan dihubungi oleh pelaku. Hal tersebut disimpulkan bahwa BG
belum dapat berdamai dengan situasi yang telah terjadi dan sedang
dialaminya. BG tidak seharusnya menjawab upaya pelaku yang terus
menghubungi, dan tidak perlu terbawa perasaan ketika tidak ingin kembali
berhubungan dengan pelaku. BG seharusnya mencoba untuk memaafkan
pelaku atau mengampuni pelaku, sehingga upaya dari pelaku tidak harus
dianggap sebagai gangguan, tetapi dianggap sebagai teman yang sedang
ingin berbincang-bincang. Kepahitan membuat BG menjadi sulit untuk
memaafkan pelaku dan juga membuat suasana mereka menjadi seperti
tidak ada masalah. Kunci memperbaiki hubungan BG dan pelaku ialah BG
71
mengampuni dengan iklas dan tulus, sehingga dapat terjalin hubungan
yang baik kembali.
4. 3. 4. Pembahasan Kasus Ketiga
1. Penyebab
Penjabaran kasus BG diatas telah menunjukan bahwa kekerasan
fisik menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam pacaran. BG
mengungkapkan telah dipukul dibagian wajah saat sedang bersama
pelaku, dikarenakan pelaku diindikasikan telah berselingkuh, sehingga BG
melakukan dorongan dan pelaku membalas dengan pemukulan. Hal serupa
dalam hasil penelitian Evendi (2018), juga menunjukan bahwa bentuk
kekerasan yang dialami oleh korban KDP dapat berupa kekerasan fisik
dan non fisik. Kekerasan fisik diantaranya tindakan menampar,
menendang ataupun memukul yang menimbulkan dampak secara fisik
kepada korban kekerasan. Kekerasan yang diluapkan oleh pelaku berupa
kekerasan fisik dan juga perilaku agresi psikologis secara sengaja untuk
melukai lawan jenisnya (Witte et al., 2015). Kekerasan fisik telah menjadi
kekerasan yang sering terjadi pada setiap konflik dalam ranah berpacaran.
Kekerasan fisik selalu menghiasi setiap kasus yang dialami korban KDP,
hal ini karena pelaku merasa lebih puas ketika dapat melakukan kekerasan
fisik. Kekerasan fisik selalu bersaing dengan kekerasan psikologis untuk
dapat menjadi penyebab utama kekerasan.
2. Dampak
Dampak yang dialami oleh BG yakni mengalami kepahitan dalam
dirinya karena sering dibayang-bayangi oleh pelaku yang sering
menghubunginya. Dampak tersebut sejalan dengan hasil penelitian Bliton
et al. (2016), korban KDP menunjukan emosional sesaat setelah berpisah
dengan pelaku dan selalu dibayangi oleh kengangan-kenagan pahit.
72
Korban mengungkapkan perilaku emosional pada orang-orang
disekitarnya dan menunjukan perubahan emosi dengan jangka waktu yang
cepat. Penelitian Karsberg, Bramsen, Lasgaard, dan Elklit (2018),
mengungkapkan hasil serupa yakni pengalaman pahit selama pacaran
dapat merubah emosi korban KDP. Dengan emosional yang buruk, korban
KDP kerap menunjukan temperamental saat mengalami tekanan. Selain
itu juga korban KDP dapat menjadi sangat sedih hingga menangis ketika
merasa terpuruk saat teringat dengan perlakuan pelaku yang tidak
menghargainya selama pacaran.
Penelitian Bliton et al. (2016), juga mengungkapkan hasil penelitian
yang serupa bahwa korban dapat menjadi pelaku dengan melakukan
perilaku agresi psikologis pada pasangannya/pelaku dan pada
pasangannya yang baru. Hal ini sebagai upaya korban untuk membalas
dendam pengalaman pahitnya selama berpacaran menerima perlakuan
kekerasan. Dampak lainnya yang ditunjukan pada hasil penelitian yakni
sikap dan perilaku emosional korban KDP. Penelitian lain yang
mendukung hasil penelitian yakni Aizpitarte, Alonso-Arbiol, dan Van de
Vijver (2017), mengungkapkan korban KDP memiliki emosional yang
tidak stabil dan menunjukan perilaku agresif.
3. Rekonsiliasi
Pada tahap kebenaran (truth) BG mengungkapkan merasa hanya
tidak ingin dihubungi kembali oleh pelaku yang dianggapnya tidak
merasakan damai. Ungkapan tersebut telah sejalan dengan Lederach
(1997), bahwa truth untuk mengetahui kesalahan mengenai permasalahan
korban kekerasan dan dinilai kebenaran pengalaman menyakitkan. Selain
itu juga truth digambarkan kejujuran, kejelasan mengenai pengakuan, dan
rasa tanggungjawab. BG telah mengungkapkan kebenaran yang telah
dialaminya dan secara jujur dirinya menyampaikan merasa tidak damai
jika pelaku terus-menerus menghubunginya. Hal ini menjadi salah satu
tahap yang dapat membantu BG untuk menyelesaikan permasalahannya.
73
Secara tidak sadar BG telah berupaya melepaskan kepahitannya dengan
ungkapan kejujurannya dan transparansinya. Upaya pelaku untuk
menghubungi juga tidak salah, namun intensitas yang terlalu sering akan
membuat BG merasa terganggu. Selain itu juga BG harus menjelaskan
pada pelaku bahwa tidak perlu menghubunginya secara terus menerus,
karena BG akan menerima tapi tidak setiap saat.
Rasa keadilan (justice) dalam diri BG belum muncul karena
berharap akan memaki pelaku ketika tetap terus-menerus dihubungi oleh
pelaku. Sedangkan pemahaman justice merepresentasikan korban dan
pelaku kekerasan dapat menata kembali hubungan mereka (Lederach,
1997; Webel & Galtung, 2007). Justice juga digambarkan sebagai upaya
memperbaiki kesalahan yang telah terjadi dan melakukan pemulihan
dalam diri korban kekerasan. Sikap yang ditunjukan oleh BG tidak dapat
diterima oleh pemahaman justice yang sebenarnya. Hal ini bertentangan
dengan pemahaman justice dan akan mengganggu kestabilan capaian
rekonsiliasi. Justice dianggap dapat menetralkan kondisi yang sedang
konflik antara korban dan pelaku kekerasan (Webel & Galtung, 2007).
Tidak seharusnya ada upaya makian dalam diri BG dan sudah seharusnya
mejawab panggilan dari pelaku. BG disarankan mendiskusikan
permasalahan mereka dan memberi solusi satu sama lain.
Keinginan memaafkan atau mengampuni (mercy) hanya sebatas
ucapan lewat mulut, namun ketulusan kata maaf tersebut masih diragukan.
Menurut Lederach (1997), mercy adalah upaya menerima, melepaskan dan
memulai kembali hubungan yang telah bertikai. Tanpa adanya mercy
hubungan menjadi tidah sehat, selain itu keberhasilan pemulihan akan
menjadi rumit. Dengan ungkapan BG yang telah memaafkan pelaku, maka
sudah seharusnya dirinya tidak mempermasalahkan pelaku
menghubunginya. Hal tersebut baik untuk mereka berdua agar dapat
berdiskusi dengan baik. Tanpa adanya penolakan dan makian dari BG.
Ungkapan BG mengenai mercy bertentangan dengan konsep justice yang
kotradiksi. Sehingga dapat diindikasikan bahwa BG belum dapat
74
memaafkan pelaku. Hal yang sangat menunjukan BG telah memaafkan
atau belum ialah sikap menerima. Penerimaan ialah upaya untuk
melepaskan kepahitan yang dialaminya (Hanh, 2015; Lederach, 1997).
Bertentangan dengan kenyataannya bahwa BG menunjukan belum dapat
menerima upaya pelaku untuk menghubunginya.
BG mengungkapkan dirinya akan merasa damai (peace) ketika tidak
lagi dihubungi oleh pelaku dan tetap merasa tidak damai jika tetap
dihubungi oleh pelaku. Hal tersebut menunjukan bahwa BG belum
merasakan kedamaian karena tetap merasa dibayang-bayangi oleh
pengalaman pahitnya. Selain itu juga BG belum memenuhi syarat konsep
justice dan mercy yang bertentangan saat diungkapkannya, selain itu pada
konsep truth dapat diragukan kebenarannya. Pemahaman mengenai Peace
ialah rekonsiliasi dimana korban kekerasan telah merasakan
keharmonisan, kesejahteraan, dan telah memperbaiki hubungannya dengan
pelaku (Lederach, 1997; Neufeldt et al., 2002; Webel & Galtung, 2007).
4. 4. Partisipan Keempat
Partisipan penelitian keempat diberi nama samaran DT, dan saat ini
sedang menginjak usia 20 tahun. DT berjenis kelamin laki-laki, sedangkan
domisili asal di Kalimantan Barat, namun saat ini merantau di Salatiga
karena sedang mengemban kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga. Selama kuliah DT telah berpacaran sebanyak 5 kali dan pacar
yang dianggap telah memberikan pengalaman pahit ialah pacar pertama
sejak dibangku SMA hingga kuliah. Mereka telah berpisah selama satu
tahun sampai saat DT diwawancarai.
Berdasarkan wawancara, DT mengungkapkan bahwa pelaku
memutuskan hubungan pacaran mereka, karena rasa cemburu DT yang
dianggap pelaku berlebihan. Selang sehari berpisah, pelaku menjalin
hubungan pacaran dengan teman laki-lakinya. Hal ini membuat DT semakin
curiga jika pelaku selama pacaran jarak jauh telah menjalin kedekatan
75
dengan laki-laki lain. Selama pacaran DT merasa sering diintimidasi oleh
pelaku karena sikap posesif dan DT merasa tidak bebas. Pelaku selalu
meminta password sosial medianya dan begitu juga dengan DT sebagai rasa
keadilan dalam hubungan mereka. Pengalaman pacaran DT dapat
dikategorikan sebagai kekerasan psikologis. Hal ini dikarenakan DT merasa
tertekan selama pacaran dengan perilaku intimidasi dari pelaku, dan setelah
berpisah DT tetap dibayang-bayangi oleh memori buruk selama pacaran.
4. 4. 1. Faktor Penyebab
Selain itu juga DT merasa selama pacaran diintimidasi oleh pelaku.
Selama pacaran DT merasa tidak bebas dilarang-larang, dicemburuin, dan
hal tersebut membuat DT tertekan selama pacaran. DT berupaya untuk
menyelesaikan hubungannya, namun pelaku melakukan ancaman padanya
yang membuat DT tetap bertahan. DT juga tetap bertahan karena beralasan
telah mengenal keluarga pelaku dan diminta untuk tidak berpisah.
“Aku ngerasa selalu disalahkan, dilarang-larang, dicemburui. Apa
aja yang ku lakukan selalu aja salah dimatanya, walau pun aku benar
dia gak mau mengakui kesalahannya, jadinya aku yang terpaksa
ngalah agar gak ada cekcok dengan dia. Waktu aku main atau
ngumpul dengan teman-temanku, dia pasti nanya-nanya aku di
chatingan dengan siapa aja, cowo apa cewe, sebelahan sama cowo
apa cewe.// Aku kan punya hobi naik gunung dan suka traveling, itu
pun juga dilarangnya, katanya takut aku kenapa-napa, ya aku
ngerasa jadi aneh aja, gak bebas, di kekang sama pasangan sendiri”
(DT: 2)
“Pernah sekali aku bilang mau putus, dia malah ancam-ancam gak
mau idup lagi gitu katanya//Trus juga aku udah dikenalkan sama
orang tuanya, ya dia bilang jangan sampe putus gitu” (DT: 14)
“Dia yang suka bikin aku tertekan kayak larang-larang waktu
pacaran” (DT: 18)
76
Penyebab kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh DT yang kerap
dialami oleh setiap hubungan dalam pacaran. Kekerasan ini sering tidak
disadari oleh setiap pasangan yang pacaran, dan lebih sering anggap wajar.
Kekerasan psikologis dianggap wajar dikarenakan banyak pasangan yang
tidak mengenali sebagai kekerasan. Kekerasan psikologis memiliki
pemilihan konsep yang membuat korbannya akan menurutinya, sehingga
banyak korban KDP lebih terperangkap dengan konsep tersebut dan
dibutakan. Dampaknya akan dirasakan setelah berpisah dan merasakan
kepahitan. Kekerasan psikologis seperti yang dirasakan oleh DT dianggap
sebagai permasalahan biasa, namun dampaknya akan menyakitkan. Tidak
adanya kebebasan dalam hubungan pacaran, tidak adanya teman sebaya
hanya ada pacar, pembatasan aktivitas hobi atau kegiatan lainnya, dan
hubungan dengan sekitar lingkungan akan dibatasi. Hal seperti akan terjadi
pada setiap pasangan dengan konsep salah ditanamkan dalam diri korban
KDP.
4. 4. 2. Dampak Kekerasan Dalam Pacaran
1. Mengalami kepahitan
DT mengakui selama pacaran tertekan dan berkeinginan untuk
selalu marah. Hal tersebut dikarenakan DT tidak merasa bebas selama
pacaran. DT masih memendam perasaan sakit hati pada pelaku. Selain itu
berdampak pada hubungan pacaran yang baru, yang menilai perempuan
sama saja dengan pelaku. Selalu membanding-bandingkan pacar barunya
dengan pelaku dan DT sulit untuk fokus pada pasangannya. Hal tersebut
karena bayang-bayang dari pelaku yang selalu muncul dalam pikirannya.
DT menjadi bermalas-malasan untuk beraktivitas dalam keseharinnya.
“Selama pacaran aku tertekan, pengennya marah-marah trus sama
siapa aja, mana gak bisa bebas pergi ngumpul atau ngelakuin
hobiku sendiri” (DT: 2)
“Karna akunya jadi lebih posesif sama dia, jadi cowo-cowo yang
chatingan sama dia aku yang balas trus ku tanya-tanyain” (DT: 4)
77
“Sakit banget perasaan ku waktu tu, sampai sekarang aja aku masih
sering kebayang-bayang sama semuanya” (DT: 6)
“Aku rasanya ngefek banget sih, aku jadi cepat bosan pacaran// aku
juga nilai perempuan itu sama aja semuanya, trus sering kebayang-
bayang dia, aku pasti selalu membanding-bandingkan pacarku yang
baru sama dia” (DT: 8)
“Aku jadi malas-malasan sama aktivitas” (DT: 16)
Dampak pertama yang dialami oleh DT yakni kepahitan setelah
berpisah. Kepahitan membuatnya merasa tertekan, memiliki perubahan
sikap, merasakan sakit hati, dan menjadi sulit untuk serius dalam menjalin
hubungan pacaran. Dampak seperti ini yang akan dirasakan oleh setiap
korban KDP setelah berpisah dengan pelaku. Hal ini juga karena sering
dibayang-bayangi oleh pengalaman pahit selama pacaran. Sering kali
korban KDP menyepelekan dampaknya dan akan dipendam. Setiap korban
KDP seharusnya dapat melepaskan diri dari dampak yang telah
dirasakannya. Aktivitas menjadi tidak produktif dan lebih memiliki
keinginan untuk tidak melakukan aktivitas. Hal ini juga berdampak pada
hubungan pacaran yang baru, kebosanan akan menghantui dan menjadi
trauma akan diperlakukan seperti sebelumnya. Selain itu juga dapat terjadi
indikasi akan melakukan perlakuan yang sama pada pasangan yang baru.
2. Emosi sulit dikendalikan
DT ketika mengingat pelaku menjadi lebih emosional dan memiliki
keinginan untuk melakukan pemukulan pada pelaku. Emosional DT
muncul karena rasa sakit hati dengan sikap dan perilaku pelaku selama
pacaran dan juga setelah berpisah.
“Dia itu perempuan busuk! Karna dia aku gak lulus satu matakuliah
karna gak bisa konsentrasi kepikiran sakit hati sama galau di
putusin dia” (DT: 16)
“Rasanya uuuhhhhhh pengen ku pukul trus ku maki dia” (DT: 16)
78
Emosi DT menjadi sulit dikendalikan, dampakanya DT memiliki
sikap dan perilaku yang agresif. Perilaku tersebut tanpa disadarinya dapat
dilakukannya ketika bertemu dengan pelaku. Dampak seperti ini membuat
setiap korban KDP menjadi lebih agresif dan sering dengan sengaja
melakukan kekerasan kembali pada siapa pun. Emosi yang sulit
dikendalikan dapat merugikan korban KDP. Emosi yang tidak dapat
dilakukan pada pelaku dapat terjadi pada pasangannya yang baru, dan juga
ketika menikah hal tersebut dapat terjadi tindak kekerasan pada anak atau
istri. Sehingga korban KDP dapat menjadi pelaku KDP hingga pada
pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
3. Emosi terpendam
Pengalaman selama pacaran hanya menyisakan perasaan benci pada
pelaku dengan semua kenyataan yang telah dialaminya setelah berpisah.
DT tidak dapat menerima kenyataan mengenai pelaku yang mudah
berpaling setelah memutuskan untuk berpisah. Sedangkan dirinya harus
terbayang-bayang dengan pengalaman yang pahit dan perasaan kebencian.
“Aku udah benci banget sama dia. Eh tau dia ada pacar baru, aku
tambah sakit hati banget sama dia, jadi ya udah tambah benci”
(DT: 12)
Setelah berpisah dengan pelaku hanya menyisakan penyesalan pada
DT. DT menyesal dengan hubungan yang telah terjalin antara mereka
berdua. DT menyesali rasa sayang yang diberikannya hingga menjadi
kerugian ekonomi selama pacaran.
“Yang paling ku sesali sampai sekarang ya hubungan kami dulu.
Aku selalu keingat penyesalan kenapa aku kok bodoh” (DT: 16)
Hal-hal yang berhubungan dengan pelaku disingkirkan. DT menjadi
lebih sensitif pada objek yang berhubungan dengan pelaku. DT selalu
berusaha untuk tidak melihat, dan mendengar tentang pelaku. DT lebih
cenderung untuk bersembunyi dari kenyataan yang dialaminya. Perasaan
79
yang dialami DT saat melihat atau mendengar tentang pelaku, dirinya
akan teringat yang dapat merubah emosi menjadi buruk seperti sedih dan
marah-marah.
“Trus apa aja yang berhubungan dengan dia ku hapus termasuk
pertemanan di media sosial, sampe sekarang aku gak mau hubungin
dia. Aku udah nutup gak mau komunikasi dengan dia lagi” (DT: 12)
Emosi terpendam menjadi dampak selanjutnya yang dialami oleh
DT. Penyesalan hubungan pacaran dengan pelaku, kebencian, dan
berupaya memutuskan hubungan komunikasi dengan pelaku. Hal tersebut
menjadi emosi negatif yang terpendam dalam diri DT. Emosi negatif
terpendam tidak baik untuk kesehatan psikologis korban KDP.
Memendam emosi negatif hanya akan menumpuk emosi negatif. Suatu
saat dapat meledak dan dapat merugikan korban KDP. Seharusnya emosi
negatif dilepaskan dengan menerima kenyataan, mengiklaskan,
mengampuni dan katarsis positif yakni sharing pengalaman.
4. Perasaan dilematis
Terdapat kejadian-kejadian yang memunculkan memori kepahitan
pada DT. Kejadian-kejadian tersebut membuat DT tetap terbayang-
bayang, sehingga membuat DT merasa hidupnya menjadi berantakan.
“Aku selalu kebayang-bayang kenangan pahit trus, hidup ku
berantakan” (DT: 16)
Dampak lainnya yakni memiliki perasaan yang dilematis dengan
bayang-bayang kenangan pahit. DT selalu terbayang-bayang dengan
pengalaman pahit selama pacaran yang membuatnya merasa berantakan.
Perasaan seperti ini juga dialami oleh setiap korban KDP lainnya.
Dampaknya membuat korban KDP merasa kepahitan terus menerus. Hal
ini menjadi negatif untuk keseharian korban KDP dan merubahnya
menjadi tidak fokus.
80
4. 4. 3. Rekonsiliasi
1. Kebenaran (Truth)
Pemahaman DT yang menganggap dirinya telah merasa damai tanpa
harus bertemu dengan pelaku. DT mengungkapkan ketika tidak bertemu
pelaku sebagai caranya mendamaikan dirinya. Upaya tersebut sebagai cara
DT menyangkal bahwa dirinya dapat berdamai dan pertemuan hanya akan
membuatnya tidak damai.
“Damai gimana? Dengan aku gak liat dia lagi aja aku udah damai
kok mas, gak perlu ketemu dia” (DT: 22)
DT menyangkal tetap menyimpan kepahitannya dan belum dapat
berdamai. DT merasa memori tentang pelaku hanya lewat kedalam
pikirannya dan hal tersebut tidak diinginkannya. DT mengungkapkan
dirinya telah berupaya melupakan dengan cara memadatkan aktivitas dan
berupaya berbagi cerita dengan temannya yang membuatnya merasa lega,
namun tetap saja memori tentang kepahitannya selalu masuk kedalam
pikirannya.
“Ya terlintas sendiri kok, aku gak juga gak pengen ingat-ingat lagi.
Aku berusaha lupain dengan menyibukan diri tapi tetap aja
terlintas, terlintas lagi. Aku udah cerita-cerita ke teman ku yang
mau dengar biar plong perasaan ku, tapi juga tetap terlintas lagi
sehabis cerita dengan teman ku tu” (DT: 24)
DT menyangkal bahwa dirinya tidak memiliki keinginan untuk
melampiaskan rasa sakit hatinya pada pacar barunya. DT mengakui
dirinya hanya merasa tidak adanya kecocokan, sehingga tidak dapat
melanjutkan hubungannya.
“Gak. Aku gak ada niat mau melampiaskan rasa sakit hati ke
mereka, pas pacaran emang udah rasa gak cocok aja, jadi cepat
putus, jadi keliatan aja kayak main-main pada hal gak kok” (DT:
40)
81
Dalam pernyataan DT menunjukan kebenaran bahwa dirinya telah
merasa damai ketika tidak lagi melihat pelaku, namun pernyataan tersebut
terlihat seperti penyangkalan. DT selalu menyangkal bahwa dirinya tidak
memiliki permasalahan. DT menyangkal dirinya tidak membutuhkan
orang lain untuk dapat merasakan damai. Pernyataan-pernyataan DT
menunjukan sedang tidak jujur pada dirinya sendiri dan tidak bersedia
mengakui permasalahannya. DT menjadi salah satu contoh korban KDP
yang menganggap dirinya tidak memiliki permasalahan, dan berusaha
menyangkal. Sering kali korban KDP tidak membutuhkan bantuan dari
orang lain dengan permasalahannya. Selain itu juga tidak mengakui
kelemahannya dan merasa telah menyelesaikan masalahannya. Korban
KDP sulit untuk menunjukan kebenaran dari kejujuran dan cenderung
menutupinya. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan untuk
menemukan kedamaian.
2. Keadilan (Justice)
DT mengakui harapan untuk dapat balas dendam sebagai cara agar
memberikan kepahitan yang sama dengannya. DT berharap pacar barunya
melakukan karma pada pelaku.
“Bukan balas dendam juga sih, cuman pengen dia juga rasain sakit
yang pernah ku rasain, gak perlu aku yang ngelakuin tapi berharap
ada cowo lain yang ngelakuin hal yang sama kayak yang dia lakuin
ke aku” (DT: 34)
Harapan DT untuk tetap membalas dendam menunjukan tidak ada
rasa keadilan dalam dirinya. Balas dendam menjadi keinginannya setelah
berpisah dan menghiraukan dampak lain ketika dirinya membalas dendam.
Keadilan menuntut agar tidak membalas dendam terhadap kesalahan pihak
lain. Seharusnya memaafkan dan mengampuni kesalahan agar terjadi rasa
adil dalam permasalahan mereka. Menuntut balas tidak akan
menyelesaikan permasalahan, tetapi hanya akan menambah permasalahan
baru. Hal tersebut tidak sadari pada korban KDP dan balas dendam akan
82
merugikan dirinya. Seringkali keadilan diartikan sebagai sama-sama
merasakan, namun konsep rekonsiliasi keadilan lebih mengutamakan
keiklasan dalam merelakan kenyataan yang dialaminya.
3. Belas kasih (Mercy)
DT mengharapkan dirinya tidak lagi sakit hati, kepahitan dalam
dirinya dapat dilepaskan, dan tidak lagi terbayang-bayang dengan pelaku.
“Gimana ya? Aku juga bingung, yang pasti aku udah gak sakit hati
lagi dengannya kayaknya, perasaan ku plong sampai aku gak
kebayang-bayang dengan dia lagi, mungkin gitu kali caranya, ntah
lah aku pun bingung juga” (DT: 32)
DT tidak akan memaafkan pelaku dengan alasan telah membenci
dan mengungkapkan dirinya dapat mengucapkan kata maaf. Namun,
dirinya sulit untuk menghilangkan perasaan sakit hatinya dan
kepahitannya. DT mengungkapkan bahwa permintaan maaf tidak akan
dapat menghilangkan atau melepaskan perasaan sakit hatinya dan segala
kepahitan yang telah terpendam dalam diri DT.
“Gak. Gak akan ku maafkan dia” (DT: 26)
“Aku udah terlanjur benci sama dia” (DT: 28)
“Setelah dia minta maaf, emangnya rasa sakit yang udah rasain
selama satu tahun bakal ilang gitu aja, mulutku bisa aja maafkan
dia tapi hati gak akan bisa maafkan dia” (DT: 30
DT mengungkapkan agar dirinya tidak merasakan sakit hati dan
tidak lagi terbayang-bayang dengan kepahitannya. Dalam diri DT tidak
ada keinginan untuk memperbaiki hubungan mereka, namun berharap agar
kepahitannya hilang. DT hanya berharap, namun tidak ingin melakukan
upaya melepaskan kepahitannya. Tidak juga berharap atau berkeinginan
untuk memaafkan atau mengampuni pelaku. DT bersikeras tidak akan
memaafkan kesalahan dari pelaku, dan kebencian telah menyelimuti
dirinya. Anggapan permintaan maaf tidak cukup untuk menyelesaikan
83
masalah mereka. DT menekankan untu tetap adanya balas dendam. Dalam
konsep rekonsiliasi memaafkan atau mengampuni menjadi salah satu
kunci untuk dapat melepaskan kepahitan. Hal tersebut akan membantunya
menemukan kedamaian dalam dirinya.
4. Kedamaian (Peace)
DT beranggapan bahwa pelaku akan mendapatkan karma atas apa
yang telah dilakukannya. DT berharap pelaku dapat merasakan sakit hati
juga yang sama sepertinya. DT akan merasa senang ketika pelaku
merasakan sakit hati juga dan dirinya beranggapan hal tersebut telah
impas.
“Rasa-rasanya ingin ku dia juga rasakan yang ku rasakan dulu tapi
agak sulit ya, ya aku harap nanti dia bakalan dapat karmanya”
(DT: 30)
“Iya bakalan senang kalau dia ngerasain sakit hati juga. Aku rasa
impas ya kalau bisa kayak gitu, sama-sama rasa” (DT: 36)
DT mempertahankan keegoisannya untuk tidak bertemu dengan
pelaku. DT beralasan masih emosi dan dapat berperilaku kekerasan jika
bertemu dengan kondisi emosi. DT bersikeras untuk tidak melihat wajah
pelaku dan juga bertemu satu sama lain. Selain itu juga DT beralasan
seiring berjalannya waktu dirinya akan merasa damai. Seiring berjalannya
waktu dia merasa akan dapat melupakan kepahitan dalam dirinya dan
dapat merasa tenang. Pemirikran-pemikiran tersebut dapat menjadi
hambatan yang membuatnya tetap sulit untuk menemukan kedamaian.
“Ohhh gak. Gak. Gak, pokoknya gak ya mas. Aku yang ada bakalan
emosi banget sama dia, bisa-bisa aku ngelakuin pukul dia atau
maki-maki dia. Pokoknya aku gak mau liat muka dia dulu saat
sekarang” (DT: 20)
“Aku rasa iya nanti bakalan damai, karena kan disitu aku ngerasa
senang dan puas, jadi bisa aja setelah itu aku bisa lupain kenangan
pahit dengannya” (DT: 38)
84
DT menolak untuk melakukan pertemuan dan melakukan konseling.
DT merasa dirinya dapat berdamai dengan dirinya sendiri dan tidak butuh
bantuan dari psikolog professional. DT merasa seiring dengan berjalan
waktu dapat melupakan pelaku.
“Gak usah aja deh mas, aku gak apa-apa kok, aku bisa dengan
sendirinya ngelupain rasa sakit hati ku nanti dikit-dikit” (DT: 46)
“Iya yakin kok mas, dikit-dikit nanti aku bakalan damai juga dengan
sendirinya, ya memang sekarang mungkin belum karna aku masih
sering kebayang-bayang dengan dia, tapi nanti juga bisa lupa kok”
(DT: 50)
DT mengungkapkan tidak ingin melakukan pertemuan dengan
pelaku dan selain itu juga menolak untuk melakukan konseling. Selain itu
juga mengharapkan karma terjadi pada pelaku. DT tidak merelakan
kesalahan pelaku dan tetap bersikeras agar pelaku merasakan kepahitan
yang sama sepertinya. Ungkapan-ungkapan DT menunjukan sulit baginya
untuk merasakan kedamaian dalam diri dan sulit untuk berdamai dengan
pelaku. DT tidak mengungkapkan kejujuran, tidak memiliki rasa adil, dan
tidak memiliki keinginan mengampuni atau memaafkan pelaku. Hal
tersebut menjadi indikator bahwa DT sulit untuk merasakan kedamaian
dengan kepahitan yang dialaminya. Terlebih dahulu pola pikir DT harus
dirubah dan diberikan pemahaman yang positif tentang mengampuni atau
memaafkan. Setelah hal tersebut tercapai, maka akan mudah bagi DT
untuk berdamai dengan dirinya sendiri dan berdamai dengan pelaku.
4. 4. 4. Pembahasan Kasus Keempat
1. Penyebab
Melalui penjabaran pengalaman kasus DT menunjukan bahwa
kekerasan psikologis menjadi penyebab kekerasan dalam pacarannya. Hal
ini dibuktikan melalui ungkapannya yang merasa diintimidasi,
85
dicemburui, selalu disalahkan dan dilarang-larang. Kekerasan tidak selalu
dipandang sebagai kekerasan fisik semata, namun kekerasan dapat terjadi
dengan berbagai bentuk. Perilaku pasangan yang melarang-larang dengan
alasan tidak ingin dtinggalkan, perilaku tersebut dianggap wajar oleh
pasangan pacaran, namun tidak secara langsung telah melakukan
kekerasan psikologis yang tidak membebaskan dan membuat tertekan
karena merasa terisolir dari teman-teman atau keluargannya.
Hal serupa dalam hasil penelitian Evendi (2018), menunjukan
bentuk kekerasan yang telah dialami oleh banyak korban berupa kekerasan
fisik dan non fisik. kekerasan non fisik seperti kekerasan verbal (memaki,
membentak, menghina, memfitnah, meneriaki, menuduh, menyebar gosip,
dipermalukan di depan umum dengan lisan, menolak dengan kata-kata
kasar) dan kekerasan psikis (memandang penuh ancaman, memandang
sinis, mendiamkan, mempermalukan, memandang yang merendahkan,
mengucilkan, memelototi dan mencibir). Pengalaman perlakuan yang
dialami oleh korban KDP yang dialami oleh para remaja juga dapat berupa
kekerasan psikologis atau emosi sebanyak 490 kasus (17.5%), kekerasan
fisik sebanyak 316 kasus (11.2%), kekerasan seksual sebanyak 79 kasus
(2.8%), dan pengalaman kekerasan lainnya sebanyak 306 kasus (10.6%)
(Karsberg et al., 2018).
Berdasarkan data diatas membuktikan bahwa kekerasan psikologis
lebih tinggi persentase menjadi penyebab kekerasan dalam pacaran.
Kekerasan psikologis seperti mengintimidasi atau sikap posesif saat
pacaran telah menjadi kebiasaan yang sering terjadi. Sering kali juga
diacuhkan oleh korban KDP karena lebih memilih untuk mengalah, namun
saat berpisah penyesalan lebih cenderung menghiasi korban KDP. Rasa
penyesalan tersebut dapat berubah menjadi kemarahan pada pengalaman
masa lalunya (Albin, 2007; Rajneesh, 2008; Winch, 2017). Oleh karena itu
kekerasan psikologis yang dialami oleh DT akan lebih dirasakan ketika
berpisah.
86
2. Dampak
Dampak yang dialami oleh DT yakni mengalami kepahitan,
memiliki emosi terpendam dan sulit dikendalikan, dan memiliki perasaan
dilematis. Dampak yang dialami oleh DT dikarenakan memori memori
yang membentuk emosi negatif yang tertanam dan tumbuh dalam diri
korban KDP. Emosi negatif yang terperangkap dan terpendam dalam diri
korban, dan sehari-hari secara tidak sadar memutar kembali memori
pengalaman pahit. Hal tersebut dapat membuat korban KDP tertekan dan
berulang kali hingga perasaan korban KDP semakin terluka setiap kali
memori tersebut muncul (Winch, 2017).
Perasaan yang tertekan dan terluka membuat perubahan emosional
pada korban KDP. Korban KDP cenderung selalu berkeinginan untuk
marah tanpa alasan yang tidak jelas. Marah adalah salah satu reaksi
alamiah yang diekspresikan ketika terjadi perubahan emosi (Gross, 2012).
Perubahan emosi lainnya yakni korban KDP dalam hitungan detik dapat
menangis dan tertawa secara tidak jelas. Tekanan dan luka yang
mendalam dapat merubah emosi korban KDP menjadi lebih agresif seperti
perilaku memukul, melukai dan membunuh (Rajneesh, 2008). Selain itu
ketika mekanisme koping korban KDP tidak dapat dikelola dengan baik
dapat mengarahkannya pada upaya bunuh diri. Hal seperti ini sangat
berbahaya ketika dapat terjadi pada setiap korban KDP dan terkhusus pada
DT.
Selain itu kemarahan juga dapat menjadi salah satu usaha yang nyata
terjadi dan secara cepat dialami oleh korban KDP (Phillips, 2004).
Menurut pemaparan Rajneesh (2008), amarah menjadi salah satu bagian
dari kehidupan yang alamiah dialami oleh setiap individu. Memori
pengalaman pahit selama pacaran korban memicu perubahan emosi
menjadi negatif sehingga korban mengeluarkan emosi berupa kemarahan
(Albin, 2007). Memori pengalaman pahit korban KDP selama pacaran
dimunculkan setelah mereka berpisah dan korban KDP mengalami
87
perubahan emosi dalam dirinya. Ingatan dalam memori korban KDP
tentang pengalaman pahit membuat kekacauan emosi dalam dirinya.
Emosi korban KDP dapat berubah dengan cepat dari stu situasi ke situasi
lain dan perubaha juga terjadi pada perilaku (Rajneesh, 2008). Dalam
situasi tersebut korban dapat menunjukan perilaku kesedihan, kemarahan,
berkeinginan menarik diri dan menangis secara nyata.
3. Rekonsiliasi
Kebenarannya (truth) yang diungkapkan oleh BG terlihat tidak jujur
dan berusaha untuk menyangkal. Sedangkan, menurut Lederach (1997),
truth agar dapat mengetahui kesalahan dari transparansi dan memvalidasi
kebenaran mengenai pengalaman menyakitkan bagi korban kekerasan.
Selain itu juga truth digambarkan kejujuran, kejelasan mengenai
pengakuan, dan rasa tanggungjawab. Upaya menyangkal DT menunjukan
ketidakjujurannya berusahan menutupi permasalahannya. Hal ini
mempersulit dirinya sendiri untuk dapat melepaskan kepahitan yang
dialaminya. Dengan ungkapan yang jujur dari DT seharusnya dapat
membantunya mengeluarkan emosi negatif dalam dirinya. Selain itu juga
dapat membantu fasilitator rekonsiliasi mengetahui langkah-langkah yang
harus dilakukan. Upaya untuk menutupi permasalahan hanya akan
merugikan DT dan membohongi dirinya sendiri. Transparansi dan
kejujuran saat mengungkapkan dapat mencerahkan akar permasalahan
konflik dan dapat terselesaikan dengan baik. Lederach (1997), juga
mengungkapkan bahwa tanpa adanya truth konflik kekerasan akan
menjadi terselesaikan.
Rasa keadilannya (justice) tidak muncul karena memiliki
pemahaman untuk membalaskan dendam. Lederach, (1997) dan Webel &
Galtung (2007), justice merepresentasikan korban dan pelaku kekerasan
menata kembali untuk pemulihan hubungan yang telah bertikai. Justice
juga digambarkan sebagai upaya memperbaiki kesalahan yang telah terjadi
dan melakukan pemulihan. Pemulihan dan proses untuk menata kembali
88
hubungan DT dan pelaku menjadi mustahil, jika DT memiliki keinginan
untuk membalas dendam. Hanh (2015), menyampaikan bahwa justice
tidak menuntut balas atas kesalahan orang lain. Sehingga upaya balas
dendam DT hanya akan mempersulit dirinya mencapai kedamaian dan
mengarahkan dirinya untuk terus menerus terikat dengan kepahitan.
Permasalahan yang dihadapi oleh DT ialah perasaan benci dan
bayang-bayang pengalaman pahit semasa pacaran. Salah satu hambatan
proses rekonsiliasi ketika korban tetap berhadapan dengan pengalaman
menyakitkan (Winch, 2017). Persepsi keliru terjadi dalam diri korban
KDP karena ketika seringnya terperangkap dalam bayang-bayang
kepahitan masa lalu dan korban KDP dan akhirnya bereaksi dengan emosi
yang tidak stabil (Hanh, 2015). Reaksi tersebut tidak membuat korban
KDP dapat merasa damai tapi lebih banyak menciptakan penderitaan
dalam dirinya. Persepsi korban KDP harus membalaskan dendam pada
pelaku yang sama atau mencari pasangan lain sebagai pelampiasan akan
lebih menyiksa. Sebaliknya ketika tidak adanya persepsi keliru pada
korban KDP maka kemarahan, kepahitan, dan kebencian juga akan lenyap
(Hanh, 2015).
DT tidak bersedia untuk memaafkan atau mengampuni (mercy)
karena menurutnya pelaku berhak mendapatkan kepahitan yang sama
dengannya. Sedangkan pemahaman mercy adalah upaya menerima,
melepaskan dan memulai kembali (Hanh, 2015; Lederach, 1997; Webel &
Galtung, 2007). Tanpa adanya mercy hubungan menjadi tidah sehat, selain
itu keberhasilan pemulihan akan menjadi rumit. Hal terpenting yang
seharusnya dimiliki oleh DT ialah penerimaan dan melepaskan. Menerima
dapat membawa setiap korban kekerasan dalam pacaran lebih mudah
melepaskan kepahitannya. Melepaskan kepahitan dapat membawa korban
KDP pada tahapan untuk memulihkan dirnya. Kepahitan yang telah
terpendam lama dalam diri korban, harus segera dilepaskan. Setelah dapat
melepaskan kepahitan dimasa lalu, korban KDP dapat dengan mudah
melakukan rekonsiliasi dengan pelaku.
89
Kesimpulannya DT belum dapat mencapai kedamaian (peace)
karena terdapat ketidakjujuran dalam konsep truth, berharap balas dendam
pada konsep justice, dan tidak bersedia mengampuni pelaku dalam konsep
mercy. Sedangkan Peace ialah rekonsiliasi dimana korban kekerasan dapat
merasakan keharmonisan, kesejahteraan, dan memperbaiki hubungan yang
baik (Lederach, 1997; Neufeldt et al., 2002; Webel & Galtung, 2007)
Rekonsiliasi menurut Lederach (1997), adalah mempertemukan kedua
belah pihak yang sedang bertikai setelah dilakukan negosiasi untuk
melepaskan kepahitan masa lalu. Negosiator menyediakan tempat untuk
korban dan pelaku KDP dapat melakukan proses rekonsiliasi. Keduanya
harus bersedia berkomitmen untuk memperbaiki hubungan mereka dan
berdamai (Lederach, 1997; Webel & Galtung, 2007). Jika pelaku tidak
bersedia untuk bertemu dengan korban dan proses rekonsiliasi tetap dapat
terjadi. Menurut Hanh (2015), terjadinya rekonsiliasi atau berdamai tidak
selalu dengan pihak pelaku, tetapi dengan rekonsiliasi diri juga sudah
cukup. Rekonsiliasi diri menekankan korban KDP dapat bersedia
menemukan kedamaian psikologisnya dan terjadi pada dirinya sendiri
tanpa melakukan pertemuan. Namun dalam kasus DT rekonsiliasi tidak
akan tercapai dengan pemahaman yang salah dan kurangnya kesadaran.
30
Tabel 4.1. Rangkuman Analisis Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Pacaran.
Penyebab
Partisipan
Kekerasan Ekonomi Kekerasan Psikologis Kekerasan fisik
Nama: AN
Jenis Kelamin: Perempuan
Usia: 25 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Ambon
Domisili saat ini: Salatiga
Kebohongan yang dilakukan oleh mantan
pacar AN saat masih pacaran menjadi
penyebab munculnya perasaan kepahitan dalam dirinya. Membohongi pasangan
saat pacaran menjadi salah satu indikasi
kekerasan psikologis yang terjadi dalam
hubungan. Keputusan mantan pacar AN dilakukan dengan sengaja, dan terdapat
keinginan secara sadar untuk menipu AN.
Pada akhirnya keputusan untuk berpisah harus dilakukan agar tidak memberikan
kepahitan lebih dalam. Kebohongan yang
terjadi dalam hubungan pacaran menumbuhkan luka batin yang mendalam dalam diri AN sebagai korban KDP.
Nama: DS
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Penyebab kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh DS
yang merasa dimanfaatkan selama
pacaran. Kekerasan tersebut dapat disebut sebagai kekerasan
90
31
Usia: 19 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Nias
Domisili saat ini: Salatiga
ekonomi. Kekerasan tersebut
menggunakan uang atau benda
bernilai sebagai cara untuk memperalat pasangannya dan
memanfaatkannya. Kekerasan
tersebut jarang terdengar, namun sering terjadi pada hubungan
berpacaran. Kekerasan tersebut
juga dilakukan oleh pelaku dengan sengaja dan sadar untuk memenuhi kebutuhannya.
Nama: BG
Jenis Kelamin: Perempuan
Usia: 25 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Ambon
Domisili saat ini: Salatiga
Penyebab kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh BG
yakni kekerasan fisik. Kekerasan
terjadi saat masih menjalin hubungan pacaran. Mantan BG
melakukan pemukulan pada
wajahnya. Pemukulan tersebut
diawali dengan perilaku kekerasan oleh BG pada
mantannya yang diindikasikan
telah berselingkuh, sehingga mantannya melakukan
pembalasan dan berhasil
melakukan pemukulan pada wajah BG.
91
32
Nama: DT
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Usia: 20 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Kalimantan Barat
Domisili saat ini: Salatiga
Penyebab kekerasan dalam pacaran yang
dialami oleh DT ialah kekerasan
psikologis, yang juga kerap dialami oleh setiap hubungan dalam pacaran.
Kekerasan ini sering tidak disadari oleh
setiap pasangan yang pacaran, dan lebih sering anggap wajar. Kekerasan
psikologis dianggap wajar dikarenakan
banyak pasangan yang tidak mengenali sebagai kekerasan.
Tabel 4.2. Rangkuman Analisis Dampak Kekerasan Dalam Pacaran.
Dampak
Partisipan
Mengalami Kepahitan Emosi sulit
dikendalikan Emosi terpendam Perasaan dilematis
Nama: AN
Jenis Kelamin: Perempuan
Usia: 25 Tahun
Pekerjaan:
Dampak pertama yang tidak dapat
dipungkiri akan dialami oleh AN
setelah berpisah dan memendam kepahitan. Perasaan sakit hati,
sulit fokus, dan kemarahan
menjadi kepahitan yang dialami
oleh AN. Kepahitan ini menjadi dampak yang dialami setelah
Selain itu juga dampak
yang dialami oleh AN
yakni memiliki emosi yang sulit untuk
dikendalikan. AN
menjadi pribadi yang
sering meledak-ledak dalam kesehariannya
Kepahitan tidak seharusnya
dipendam-pendam dalam diri, dan
juga emosi negatif tidak seharusnya dipendam.
Memendam kepahitan berarti
menimbun emosi negatif dan akan
terus menumpuk. Penumpukan tersebut memiliki batas ruang
Dampak yang sering
mengganggu pikiran dari AN
yakni bayang-bayang memori pahit saat pacaran. Kejadian-
kejadian tidak terduga muncul
dan mengingatkan korban
KDP pada mantannya yang telah memberikan luka.
92
33
Mahasiswa
Domisili asal: Ambon
Domisili saat ini: Salatiga
memendam dan menurut AN telah
mengganggunya sehari-hari
setelah berpisah. Kepahitan tersebut kerap dialami oleh setiap
korban kekerasan dalam pacaran
jika tidak dengan segera melepaskannya. Perasaan yang
dialami oleh AN dikarenakan menahan emosi negatif.
dengan orang tua atau
teman-temannya.
Dampak dari pengalaman pahit saat
pacaran membuat emosi AN tidak stabil.
yang dapat pecah tanpa disadari
oleh korban KDP. Hal tersebut
yang dilakukan oleh AN setelah berpisah.
Memori yang muncul ialah
memori indah, namun
kepahitan menutupi memori indah tersebut menjadi
pengalaman pahit dan tidak
ingin diingat-ingat kembali. Hal seperti ini lumrah terjadi
pada setiap korban yang
mengalami pengalaman pahit saat pacaran.
Nama: DS
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Usia: 19 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Nias
Domisili saat ini: Salatiga
Dampak yang dialami oleh DS
yakni kepahitan yang membuatnya tidak memiliki
keinginan untuk bertemu dengan
mantannya. Selain itu juga DS tidak memiliki keingingan untuk
memaafkan mantannya dan juga
tidak ingin berdamai. DS merasa
mantannya yang harus meminta maaf padanya. Hal seperti ini
dapat menjadi dampak dari
kepahitan setelah menyadari memiliki pengalaman yang tidak baik dengan mantannya.
DS hanya dapat memendam
kepahitan yang dimilikinya dan yang selalu membayanginya.
Dampak pengalaman pahit saat
pacaran hanya menyisakan penyesalan, sakit hati, dan
kebencian dalam diri DS.
Pengalaman pahit tersebut
membuat emosi negatif yang terpendam dalam diri DS dan selalu akan selalu dibayangi.
DS memiliki merasakan
dampak yang membuatnya dilematis dan akan muncul
dalam memorinya. Perasaan
yang pernah ada dan masih tetap ada tertutupi oleh
kebencian yang menyelimuti
DS. Kekecewaan DS
membuatnya sulit menyadari bahwa dirinya masih memiliki
perasaan sayang sebelumnya.
Perasaan tersebut seharusnya dapat mebantunya untuk
menghilangkan perasaan kepahitan dalam dirinya.
93
34
Nama: BG
Jenis Kelamin: Perempuan
Usia: 25 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Ambon
Domisili saat ini: Salatiga
Dampak yang harus dialami oleh
BG ialah kepahitan dengan
perasaan sakit hati dan bayang-bayang tentang mantan pacarnya.
Selain itu juga BG mengalami
emosi yang membuatnya ingin marah ketika tetap dihubungi oleh mantannya.
Nama: DT
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Usia: 20 Tahun
Domisili asal: Kalimantan Barat
Domisili saat ini: Salatiga
Dampak pertama yang dialami
oleh DT yakni kepahitan setelah
berpisah. Kepahitan membuatnya merasa tertekan, memiliki
perubahan sikap, merasakan sakit
hati, dan menjadi sulit untuk
serius dalam menjalin hubungan pacaran.
Emosi DT menjadi sulit
dikendalikan,
dampakanya DT memiliki sikap dan
perilaku yang agresif.
Perilaku tersebut tanpa
disadarinya dapat dilakukannya ketika
bertemu dengan mantannya.
Emosi terpendam menjadi
dampak selanjutnya yang dialami
oleh DT. Penyesalan hubungan pacaran dengan mantannya,
membuatnya merasakan
kebencian, dan berupaya
memutuskan hubungan komunikasi dengan mantannya.
Hal tersebut menjadi emosi
negatif yang terpendam dalam diri DT.
Dampak lainnya yakni
memiliki perasaan yang
dilematis dengan bayang-bayang kenangan pahit. DT
selalu terbayang-bayang
dengan pengalaman pahit
selama pacaran yang membuatnya merasa berantakan.
94
35
Tabel 4.3. Rangkuman Analisis Rekonsiliasi Kekerasan Dalam Pacaran.
Aspek Rekonsiliasi
Partisipan
Truth Justice Mercy Peace
Nama: AN
Jenis Kelamin: Perempuan
Usia: 25 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Ambon
Domisili saat ini: Salatiga
Ungkapan AN mengakui
dirinya telah berhenti
memikirkan mantannya, namun disisi lain AN
mengakui tidak ingin
melihat mantannya dan
berusaha untuk selalu menghindar.
AN mengungkapkan masih
belum dapat melepaskan
kepahitannya dan pernah melakukan pelampiasan rasa
sakit hatinya. Upaya balas
dendam dilakukannya
dengan harapan agar mantannya merasakan sakit
hati yang sama. AN memilih
untuk menghindari mantannya agar dapat merasa
tenang dan tidak dibayang-bayangi oleh mantannya.
AN mengungkapkan belum
dapat memaafkan atau
mengampuni mantannya. AN memilih untuk menghindari
atau menyendiri untuk dapat
menenangkan dirinya dan
setelah merasa tenang dirinya bersedia untuk menemui
mantannya. Selain itu juga
terdapat hambatan-hambatan yang menghalangi dirinya
untuk dapat memulai memaafkan.
Dalam pernyataan AN telah
menyadari memulai berdamai
dengan mantannya. Telah ada upaya untuk menjalin
komunikasi dan keinginan
untuk memperbaiki hubungan
mereka. Selain itu juga merasa rasa sakit hatinya telah
berkurang, namun terdapat
hambatan yang membuat dirinya tetap merasakan kebencian pada mantannya.
Nama: DS
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Usia: 19 Tahun
Dalam pernyataan DS
menunjukan dirinya telah
mengungkapkan kebenaran yang dirasakan mengenai
kepahitannya. DS
mengakui dirinya masih merasakan kekecewaan dan
Dalam pernyataan DS
menunjukan terdapat rasa
adil dalam dirinya, namun tetap diikuti dengan
hambatan yang membuatnya
untuk membalas dendam. DS menganggap balas dendam
Pemahaman DS yang
menganggap mantannya
yang melakukan kesalahan, sehingga dirinya tidak
bersedia untuk memulai
minta maaf. Selain itu juga DS juga tidak bersedia
Dengan aktivitas yang padat
sedikit dapat membantu DS
untuk mengurangi memori tentang mantannya. Dengan
intensitas memori yang pendek
DS menganggap telah merasa tenang. Hambatan yang tetap
95
36
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Nias
Domisili saat ini: Salatiga
sering terbayang-bayang
dengan mantannya. DS
berupaya melakukan aktivitas lain agar tidak
terus-terusan dibayangi
oleh mantannya, namun hal tersebut tidak berjalan
dengan baik, karena DS
masih tetap saja terbayang-bayang.
harus terjadi pada
mantannya, karena
menurutnya adil ialah sama-sama merasakan kepahitan.
DS memiliki ambisi untuk
balas dendam ketika mereka berkesempatan kembali
pacaran lagi. Selain itu juga
DS telah melakukan upaya balas dendam atau
pelampiasan pada perempuan lainnya.
mantannya hanya meminta
maaf melalui kata-kata
semata. DS tidak bersedia memaafkan mantannya
dengan mudah dan dengan hanya ucapan.
selalu muncul ialah pendirian
DS yang damai menurutnya
sama-sama merasakan kepahitan. Harapan untuk
balas dendam tetap saja
diungkapkan yang dianggapnya memberikan efek pada mantannya.
Nama: BG
Jenis Kelamin: Perempuan
Usia: 25 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Ambon
Domisili saat ini: Salatiga
Kebenaran yang
diungkapkan oleh BG yang
menginginkan tidak lagi bertemu atau kabar dari
mantannya. BG
menganggap mantannya
yang selalu menghubunginya akan
membuatnya merasa tidak damai
BG memilih mengakhiri
hubungannya dan
mantannya, selain itu juga BG akan melakukan makian
ketika mantannya tetap terus
menerus menghubunginya.
Keputuasan yang dilakukan oleh BG untuk mengakhiri
hubungan menjadi keputusan
yang tepat, agar tidak diperlakukan kasar lagi.
BG mengungkapkan dirinya
telah memaafkan mantannya
dan tanpa pertemuan, namun BG merasa terganggu dengan
perilaku mantannya yang
terus-menerus
menghubunginya. Hal itu membuat BG merasa tidak
dapat damai dan selalu dibayangi oleh mantannya.
Ungkapan BG diatas
menunjukan bahwa dirinya
belum merasakan kedamaian dan belum dapat berdamai
dengan mantannya. Bayang-
bayang mengenai mantannya
dan upaya mantannya yang selalu menghubungi BG
dianggapnya sebagai
gangguan. BG dapat merasa damai ketika tidak bertemu,
dan dihubungi oleh mantannya.
96
37
Nama: DT
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Usia: 20 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Domisili asal: Kalimantan Barat
Domisili saat ini: Salatiga
Dalam pernyataan DT
menunjukan kebenaran
bahwa dirinya telah merasa damai ketika tidak lagi
melihat mantannya, namun
pernyataan tersebut terlihat seperti penyangkalan. DT
selalu menyangkal bahwa
dirinya tidak memiliki permasalahan. DT
menyangkal dirinya tidak
membutuhkan orang lain
untuk dapat merasakan damai.
Harapan DT untuk tetap
membalas dendam
menunjukan tidak ada rasa keadilan dalam dirinya. Balas
dendam menjadi
keinginannya setelah berpisah dan menghiraukan
dampak lain ketika dirinya membalas dendam.
DT mengungkapkan agar
dirinya tidak merasakan sakit
hati dan tidak lagi terbayang-bayang dengan kepahitannya.
Dalam diri DT tidak ada
keinginan untuk memperbaiki hubungan
mereka, namun berharap agar kepahitannya hilang.
DT mengungkapkan tidak
ingin melakukan pertemuan
dengan mantannya dan selain itu juga menolak untuk
melakukan konseling. Selain
itu juga mengharapkan karma terjadi pada mantannya. DT
tidak merelakan kesalahan
mantannya dan tetap bersikeras agar mantannya
merasakan kepahitan yang sama sepertinya.
97
30
4. 5. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, keempat partisipan memiliki variasi
sudut pandang pada rekonsiliasi. Kedua partisipan merasa mustahil untuk
memaafkan pelaku yang telah memberikan luka. Salah satu partisipan
merasa dirinya dapat merasakan damai ketika mendapat kabar dan bertemu
lagi dengan pelaku. Satu partisipan lagi telah bersedia untuk menurunkan
ego nya dan berupaya memperbaiki hubungan mereka, namun partisipan
sulit untuk dinegosiasi untuk melakukan rekonsiliasi diri. Sering kali terjadi
perubahan kesadaran diri partisipan untuk bersedia memaafkan dan setelah
berlalu partisipan kembali lagi untuk tidak bersedia memaafkan. Salah satu
partisipan berambisi untuk membalas dendam pada pelaku dan bersedia
kembali pacaran agar dapat membalaskan dendamnya.
Beberapa partisipan berkeinginan untuk dapat melepaskan kepahitan
yang dialaminya. Partisipan berupaya tidak memberikan peluang bayangan
masa lalu menghampirinya dengan cara memadatkan aktivitasnya. Hal
tersebut dianggapnya dapat mengurangi ingatan bayang-bayang masa lalu,
namun upaya tersebut membantunya dengan jangka waktu yang pendek dan
partisipan tetap dibayangi oleh pengalaman pahit masa lalu. Partisipan juga
berupaya mengisolir dirinya dari sosial media yang berhubungan dengan
manatannya. Selain itu juga partisipan menghindar dari teman-teman.
Partisipan berupaya tidak menghiraukan pelaku yang berusaha untuk
menghubunginya.
Permasalahan yang dihadapi oleh keempat partisipan ialah perasaan
benci dan bayang-bayang pengalaman pahit semasa pacaran. Salah satu
hambatan proses rekonsiliasi ketika korban tetap berhadapan dengan
pengalaman menyakitkan (Winch, 2017). Persepsi keliru terjadi dalam diri
korban KDP karena ketika seringnya terperangkap dalam bayang-bayang
kepahitan masa lalu dan korban KDP dan akhirnya bereaksi dengan emosi
yang tidak stabil (Hanh, 2015). Reaksi tersebut tidak membuat korban KDP
dapat merasa damai tapi lebih banyak menciptakan penderitaan dalam
98
31
dirinya. Persepsi korban KDP harus membalaskan dendam pada pelaku
yang sama atau mencari pasangan lain sebagai pelampiasan akan lebih
menyiksa. Sebaliknya ketika tidak adanya persepsi keliru pada korban KDP
maka kemarahan, kepahitan, dan kebencian juga akan lenyap (Hanh, 2015).
Menurut Webel dan Galtung (2007), memaafkan atau mengampuni
(mercy) menjadi salah satu syarat untuk dapat mengalami kedamaian
psikologis. Selain itu juga pentingnya bagi korban KDP tidak memiliki
keinginan untuk membalas (justice) kepahitan yang dialaminya pada pelaku
dan melepaskan kepahitan tersebut (Hanh, 2015). Menurut Hanh perilaku
balas dendam tidak akan membuat korban KDP menjadi damai, tetapi
membuat orang lain disekitarnya juga mengalami penderitaan. Hanya
dikarenakan korban KDP merasakan kepahitan tidak berarti korban KDP
harus terus menerus membuat pelaku atau orang lain disekitarnya
merasakan kepahitan atau penderitaan yang sama juga. Rekonsiliasi
memiliki pemahaman bahwa melepaskan kecenderungan untuk tidak
menghukum atau balas dendam pada pihak lain (Hanh, 2015). Rekonsiliasi
bertentangan dengan segala bentuk ambisi untuk balas dendam.
Melepaskan kepahitan dapat membawa korban KDP pada tahapan
untuk memulihkan dirinya. Kepahitan yang telah terpendam lama dalam
diri korban, harus segera dilepaskan. Setelah dapat melepaskan kepahitan
dimasa lalu, korban KDP dapat dengan mudah melakukan rekonsiliasi
dengan pelaku. Rekonsiliasi menurut Lederach (1997), adalah
mempertemukan kedua belah pihak yang sedang bertikai setelah dilakukan
negosiasi untuk melepaskan kepahitan masa lalu. Negosiator menyediakan
tempat untuk korban dan pelaku KDP dapat melakukan proses rekonsiliasi.
Keduanya harus bersedia berkomitmen untuk memperbaiki hubungan
mereka dan berdamai (peace) (Lederach, 1997; Webel & Galtung, 2007).
Jika pelaku tidak bersedia untuk bertemu dengan korban dan proses
rekonsiliasi tetap dapat terjadi. Menurut Hanh (2015), terjadinya
rekonsiliasi atau berdamai tidak selalu dengan pihak pelaku, tetapi dengan
rekonsiliasi diri juga sudah cukup. Rekonsiliasi diri menekankan korban
99
32
KDP dapat bersedia menemukan kedamaian psikologisnya dan terjadi pada
dirinya sendiri tanpa melakukan pertemuan.
4. 6. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian terbatas pada beberapa partisipan yang tidak
terlalu koorperatif dalam proses wawancara dan proses kegiatan riset aksi.
Sulitnya memilih jadwal pertemuan dan tidak terlaksananya kegiatan riset
aksi terjadi pada semua partisipan penelitian. Partisipan sulit dihubungi
setelah satu atau dua kali wawancara dan akhirnya menghilang saat akan
ditindak lanjuti. Sulitnya melakukan pendekatan pada partisipan untuk
melakukan rekonsiliasi dengan pelaku dan membantunya untuk
merekonsiliasi dirinya sendiri. Partisipan DS selalu mengiyakan saat diajak
untuk melakukan riset aksi seperti rekonsiliasi atau terapi menulis. Setelah
beberapa hari dilakukan perjanjian akan melakukan rekonsiliasi kedua,
namun saat harus dibatalkan karena salah satu partisipan tidak dapat
dihubungi. Pada saat itu konselor juga sudah bersedia meluangkan
waktunya untuk mengkonseling partisipan, namun harus dibatalkan karena
waktu yang dijanjikan telah melewati batas selama dua jam. Pada hari-hari
selanjutnya peneliti mencoba menghubungi salah satu partisipan untuk
melakukan riset aksi, namun pesan whatsapp hanya dibaca dan tidak
dibalas. Bergitu juga di hari-hari setelahnya untuk mencoba
menindaklanjuti dan hasilnya juga sama. Akhirnya peneliti memilih untuk
menyelesaikan penelitian dengan salah satu partisipan dan melanjutkan
menganalisa data yang tersedia.
Kesulitan pada partisipan AN juga hampir sama yakni partisipan
mengiyakan ajakan peneliti untuk melakukan wawancara. Partisipan selalu
sulit ditemui pada awal-awal pendekatan karena partisipan sedang sering
melakukan bimbingan skripsi dan partisipan juga sedang ingin menyendiri.
Peneliti harus menunggu selama dua bulan untuk menunggu kesanggupan
partisipan secara lebih lanjut. Setelah sekian lama menunggu partisipan
bersedia untuk menemui peneliti selama tiga kali. Selama tiga kali
100
33
pertemuan dengan jangka waktu yang panjang, karena partisipan tetap sulit
ditemui dan selalu memiliki alasan sedang melakukan bimbingan skripsi.
Partisipan selalu memberikan harapan palsu pada peneliti untuk bertemu
dan akhirnya dibatalkan secara sepihak oleh partisipan. Setelah pertemuan
ketiga partisipan tidak dapat dihubungi dan tidak pernah membalas pesan
whatsapp peneliti. Hingga akhirnya peneliti lebih memilih untuk
mengakhiri penelitian dengan partisipan AN dan melanjutkan menganalisa
data yang tersedia.
Pada partisipan BG dan DT tidak memiliki kesulitan yang sama pada
partisipan AN dan DS. Partisipan BG dan DT mengakui untuk tidak dapat
melanjutkan proses wawancara lebih lanjut, karena mereka memiliki
kesibukan yang tidak dapat diintervensi oleh peneliti. Selain itu juga
peneliti merasa data yang diberikan oleh partisipan BG dan DT cukup baik
sehingga dapat membantu menambah data yang telah tersedia. Hingga
akhirnya partisipan juga lebih memilih untuk mengakhiri penelitian dengan
partisipan BG dan DT, dan melanjutkan menganalisa data yang telah
tersedia.
Mengingat jangka waktu peneliti yang telah berlangsung panjang,
maka peneliti memutuskan menggunakan data wawancara yang telah
tersedia. Peneliti juga harus menggabungkan hasil wawancara dari keempat
partisipan untuk mengetahui kualitas informasi penelitian. Selama
penelitian, peneliti harus tetap bersabar menghadapi sikap partisipan yang
beragam. Selain itu juga tidak sedikit calon partisipan secara terbuka
menolak untuk dijadikan partisipan dan secara tidak langsung menghidar
dari peneliti. Tema tentang kekerasan dalam pacaran menjadi tantangan
bagi peneliti, karena banyak para calon partisipan menganggap wajar terjadi
pengalaman pahit yang dialaminya. Selain itu juga calon partisipan
menutup diri atau memprivasi pengalamannya selama pacaran, sehingga
tidak bersedia bercerita dan memiliki sudut pandang yang berbeda
mengenai pacaran.
101