BAB IV ANALISA A. PENDAHULUAN -...

download BAB IV ANALISA A. PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10539/5/T2_752014026_BA… · bagaikan pelita, matahari atau ... keselamatan yang telah

If you can't read please download the document

Transcript of BAB IV ANALISA A. PENDAHULUAN -...

  • 103

    BAB IV

    ANALISA

    A. PENDAHULUAN

    Pada bagian ini penulis fokus menganalisa makna Perjamuan Kudus

    dengan mengacu pada teori Clifford Geertz . Berdasarkan hasil temuan di Bab III,

    pemahaman atas makna Perjamuan Kudus tidak terlepas dari pola makna kebudayaan

    yang berhubungan dengan cara pandangan (world view) dan ethos mayarakat Yahudi

    yang telah terwarisi dan meresap kuat ke dalam Gereja, sehingga dianggap sebagai satu

    pengetahuan yang benar.

    Perjamuan Kudus memiliki pola makna yang yang terpisah tetapi

    berhubungan satu dengan yang lain. Pola makna itu terletak dalam kebiasaan (habitus) dan

    peristiwa sejarah yang di dalamnya ada aktor yang memiliki kekuatan (power) dan

    pengaruh bagi komunitas Gereja. Di dalam pola makna itu manusia menemukan sesuatu

    yang menghubungkan ontologi dan kosmologi, estetika dan moralitas. Inilah yang

    membuat Perjamuan Kudus tidak termakan oleh usia. Ia tetap diyakini, nilai-nilai dan

    maknanya dipegang teguh oleh orang beragama (Gereja).

    B. MEMAHAMI MAKNA PERJAMUAN KUDUS DARI PERSPEKTIF DOGMATIS

    Istilah Perjamuan Kudus (Holy Communion) memiliki dua landasan

    sosio-teologis. Pertama, pesta/ jamuan Paskah Yahudi yang menyimbolkan peristiwa

    penyelamatan Allah terhadap bangsa Israel dari perbudakan di Mesir yang selalu

    dirayakan dengan ritual penyembelihanbinatang kurban di Bait Suci.Tidak hanya sekadar

    pesta keselamatan, juga menyimbolkan lahirnya identitas baru (sebagai bangsa pilahan)

    dan pengharapan yang baru bagi bangsa Israel. Kedua, ada dua teks yang dipakai gereja

  • 104

    untuk memahami Perjamuan Kudus.1 Teks pertama, kata-kata yang diucapkan oleh Yesus

    di saat Ia memecahkan roti dan menuangkan anggur kepada para murid di jamuan makan

    Paskah malam itu. Perbuatlah ini guna memperingati Aku (Luk 22:19-21). Kata-kata

    Yesus tersebut dianggap sebagai perintah bagi Gereja untuk mengenangkan Dia. Teks

    kedua, ucapan Paulus di jemaat Korintus (1 Korintus 11:22-26). Di sini Paulus

    menekankan bahwa Perjamuan Kudus bukan hanya sekadar untuk mengingat Yesus, akan

    tetapi untuk juga untuk memberitakan kematianNya sampai kedatanganNya yang kedua

    kali.

    Kata Peringatan (Yunani: anamnesis artinya peringatan, kenangan)

    dalam tradisi Yahudi bukan dalam arti profan Yunani (memperingati orang mati) atau

    dalam pengertian filosofis (mengingat secara intelektual), melainkan menurut arti

    zikkaron (bhs. Ibrani yang berarti kenangan) yang menunjukan kenangan dan actio.

    Anamnese bukan hanya menunjukan gagasan mengingat secara intelektual-subjektif,

    melainkan menghadirkanapa yang dikenang, sehingga apa yang dikenang itu kini betul-

    betul ada, hadir, berdaya dan bertindak. Mengenang Kristus berarti menghadirkan Kristus

    dalam keseluruhan tindakan penebusannya yang meliputi peristiwa kematianNya hingga

    kebangkitanNya. Aspek inilah yang menjadi aspek utama dalam liturgi perayaan

    Perjamuan Kudus di dalam gereja yang senantiasa mengingatkan manusia akan karya

    pendamaian yang telah dilakukan oleh Yesus melalui pembenaran (justification),

    pengudusan (sanctification) dan tugas (vocation) yang harus dilakukan oleh manusia.

    1E. Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, (Yogyakarta:

    Kanisius, 2005), 233

  • 105

    Pembenaran (Justification)

    Kata pembenaran di dalam bahasa Ibrani hitsdik dan dalam bahasa Yunani

    dikaioo. Kedua kata tersebut bermakna pengumuman bahwa seseorang benar di hadapan

    hukum.2 Seseorang menjadi benar karena pengorbanan yang telah dilakukan oleh Yesus

    Kristus. Pembenaran terhadap manusia terjadi karena hukuman yang sesungguhnya

    dijatuhkan kepada manusia telah ditimpakan kepada Yesus Kristus. Penyaliban dan

    kematian Yesus adalah puncak dari hukuman atas dosa manusia yang ditimpakan atasNya.

    Tuntutan atas hukuman telah terbayar dengan lunas melalui kematianNya. Akan tetapi

    kebangkitan Yesus dari antara orang mati turut membangkitkan manusia. Manusia yang

    bangkit tetap berdosa tanpa hukuman lagi, karena hukuman dosa telah berlaku dan telah

    ditanggung oleh Yesus. Oleh karena itu, sekalipun manusia itu berdosa, Allah tetap

    menerimanya. Dengan demikian pembenaran manusia berarti pengampunan dosa dan

    penerimaan manusia baru.3 Itulah sebabnya mengapa manusia tidak berjasa untuk

    membenarkan dirinya.

    Pembenaran adalah sebuah anugrah Allah (Ef 2:8). Luther memakai

    istilah simul peccator et iustus. Allah membenarkan manusia dengan cara Ia memukul

    manusia lama itu sampai mati, dan sesudah itu Ia membangkitkan manusia itu kepada

    hidup yang baru. Manusia lama diganti dengan manusia baru. Pembenaran itu merupakan

    transisi, sebuh gerakan dari mortification ke vivification . Dulu manusia berdosa, sekarang

    menjadi anak-anak Allah, sebelumnya manusia mewarisi maut, sekarang siap menerima

    kehidupan yang kekal. Perubahan status terjadi dalam dua pertemuan sudut pandang

    Allah dan manusia. Dari Allah sendiri, pembenaran tersebut telah selesai melalui

    pengorbanan Yesus, itulah sebabnya tidak ada lagi pengorbanan yang lebih besar dari

    2Luis Berkhof, Sistematic Theology,, 510

    3Ebenhaizer I Nuban Timo, Allah menahan Diri,, 310

  • 106

    pengorbanan Yesus. Sementara dari manusia, pembenaran adalah sebuah proses yang

    masih terus berjalan. Manusia di dalam perjalanan meninggalkan manusia lama menuju

    manusia baru. Itulah sebabnya Gereja diciptakan oleh Allah, supaya manusia makin

    bertumbuh dalam pembenaran.4

    Pengudusan (Santification)

    Manusia tidak hanya dibenarkan, tetapi sekaligus dikuduskan.

    Pengudusan dalam bahasa Ibrani disebut qadash dan bahasa Yunani disebut hagiazo.

    Kedua kata ini mengandung makna yang sama yaitu pemisahan atau bersinar-sinar.5

    Orang yang sudah dibenarkan oleh Allah hidupnya terpisah dari yang lain dan bercahaya

    bagaikan pelita, matahari atau bintang. (Yoh 5:16; 13:43; Yoh 1:5 da Fip 2:15).

    Pengudusan merupakan pusat sejarah kehidupan orang Kristen, karena orang Kristen

    adalah orang yang telah dibenarkan. Oleh karena telah dibenarkan, maka orang Kristen

    juga sekaligus dikuduskan. Pembenaran manusia berarti mengangkat manusia keluar dari

    aib, dosa , kenajisan dan ketakutan. Serentak dengan itu, Allah menguduskan manusia

    dengan memberikan kepadanya hidup yang baru, manusia ditetapkan sebagai makhluk

    yang kudus (sancto dan sancta). Penetapan ini memungkinkan manusia layak menjadi

    sekutu Allah yang kudus sekaligus menjadi partner Allah dalam perjanjian.6 Pengudusan

    itu identik dengan a life movement to a higher ground.7

    Pengudusan mengharuskan manusia menjalankan pola hidup imitatio

    Christi, yakni menjalani hidup sedemikian rupa sehingga kasih Kristus terpancar dalam

    kehidupannya. Imitation Christi tidak merubah manusia menjadi malaikat atau makhluk

    setengah dewa, akan tetapi menjadi manusia biasa yang tetap tergoda dengan dosa.

    4 Ibid,. 311

    5 Luis Berkhof, Sistematic Theology,, 527

    6 Ibid

    7 Nuban Timo, Allah menahan Diri,, 316

  • 107

    Namun demikian, ia tidak lagi menjadi a happy sinner, melainkan menjadi a disturbed

    sinner.8

    Penugasan Manusia (vocation)

    Pembenaran dan pengudusan bukan tanpa tujuan. Itu bertujuan supaya

    manusia melakukan satu tugas (misi) dari Allah, yakni menjadi pemberita pembenaran

    dan pengudusan bagi mereka yang masih berseteru dengan Allah, agar mereka juga turut

    ikut ambil bagian dalam persektuan dengan Allah. Isi dari penugasan itu adalah

    memberitakan Injil. Injil tidak hanya sekadar berita tentang pelepasan yang bersifat

    spiritualitas dan batiniah, akan tetapi Injil itu adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan

    setiap orang yang percaya. Injil tersebut ditujukan kepada mereka yang miskin, orang-

    orang tawanan, orang buta dan tertindas (Lukas 4:18-19). Orang-orang yang telah

    dibenarkan dan didamaikan oleh Allah menjalani masa tugas untuk memperlihatkan

    solidaritas kepada dunia untuk membangun tanda-tanda kerajaan Allah di bumi. Dalam

    menjalani masa tugas itu, manusia tidak akan pernah terluput dari berbagai persoalan dan

    penderitaan. Akan tetapi manusia tidak sendiri, Allah beserta dan menaungi perjalanan

    tugas tersebut.

    Perjamuan Kudus (tafelgemeenchap),9 menunjuk pada tiga dimensi waktu,

    masa lalu, masa kini dan masa depan. Di masa lalu ada dua peristiwa penting yang tidak

    bisa luput dalam ingatan orang Kristen memaknai Perjamuan Kudus. Pertama, peristiwa

    pembebasan yang dilakukan oleh Allah terhadap bangsa Israel dari perbudakan Mesir.

    Pembebasan dianggap sebagai awal sejarah bagi bangsa Israel menjadi bangsa pilihan

    Allah. Peristiwa ini disimbolisasikan dalam perayaan/jamuan Paskah yang selalu ditandai

    8Happy sinneradalah orang-orang yang bahagia, bangga dan merasa enjoy dengan dosa.

    Sementara a disturbed sinner adalah orang yang merasa gelisah, takut dan marahpada dirinya karena telah

    berbuat dosa. Perasaan ini akan membuat mereka datang kepada Tuhan dalam doa. 9 Ibid.,371

  • 108

    dengan ritual penyembelihan binatang. Kedua, peristiwa kematian Yesus di kayu salib,

    sering disebut Paskah kedua. Peristiwa ini dianggap sebagai penggenapan dari

    keselamatan yang telah dimulai oleh Allah terhadap bangsa Israel. Paskah yang kedua ini

    tidak hanya simbol keselamatan bagi orang Yahudi, tetapi untuk seluruh dunia. Allah

    merelakan anak-Nya Yesus menjadi kurban (sacrifice) dan kurban (victim) sebagai

    tebusan atas keberdosaan manusia.

    Dimensi waktu masa kini merujuk pada persekutuan antar manusia

    dengan Allah. Perjamuan Kudus menghadirkan Yesus di tengah-tengah persekutuan

    orang percaya. Ia hadir menumbuhkan iman, pengharapan, kesembuhan dan penghiburan.

    Perjamuan Kudus menyediakan ruang persekutuan yang sangat dekat bahkan menyatu

    antara manusia dengan Allah. Meja Perjamuan, orang-orang yang bersekutu dan dan

    santapan yang sama menyimbolkan hal itu. Yesus hadir dan bercakap-cakap, makan

    bersama dan menyatu dengan seluruh partisipan Perjamuan Kudus. Mereka merasakakan

    hati Allah yang penuh kasih, mau merangkul semua orang dan menyelamatkan.10

    Perjamuan Kudus menjadi daya tarik bagi semua orang untuk

    menghampiri dan menyatu dengan Yesus. Perjamuan itu juga menyediakan meja

    kehidupan bagi disturbed sinner untuk berpesta dan merayakan anugerah keselamatan

    dari Allah.11

    Semua orang tanpa sekat, tanpa batas tanpa melihat perbedaan status sosial,

    menerima belas kasihan Allah. Di meja ini Allah bertemu manusia yang berdosa, manusia

    yang menderita, dan manusia yang seringkali disia-siakan. Allah datang menghampiri,

    menerima, mengampuni, dan mengangkat kehidupan mereka menjadi layak di

    hadapanNya. Di meja itu orang akan merasakan Allah yang telah turut menderita, dan

    Allah yang telah berkorban bagi manusia.

    10

    Choan Seng Song, Allah Yang turut Menderita, (Jakarta: BPK, 2008), 173-174 11

    Joas Adiprasetya, Raja Yang Menderita, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 69

  • 109

    Sementara itu untuk dimensi waktu yang akan datang, Perjamuan Kudus

    meyediakan sebuah jaminan akan bersama Yesus Kristus di dalam perjamuan kawin anak

    domba (bruiloftmall).12

    Kerinduan untuk bertemu muka dengan Tuhan di masa depan ini

    menjadi motivasi yang kuat bagi orang percaya untuk tetap setia menanti kedatangan

    Yesus. Yesus sebagai laki-laki, datang menjemput orang percaya sebagai mempelai

    perempuan dan bersatu di kerajaan sorga. Kerinduan ini selalu dihidupkan dalam

    memori orang Kristen bahwa Yesus yang telah mati itu hidup dan akan datang ke dunia

    sebagai yang hidup dan berkuasa.13

    Dengan mengutip C.S Song, Ebenhaizer Nuban Timo menegaskan bahwa,

    di dalam Perjamuan Kudus, Yesus bukan hanya diingat tetapi benar-benar hidup. Roti

    dan anggur yang digunakan dalam ritus ini bukan lagi sekedar roti dan anggur. Keduanya

    sekarang memiliki makna sakramen, yakni menghadirkan Kristus di tengah-tengah Jemaat

    yang sedang bersekutu untuk makan bersama. Roti, memori dan kehidupan dalam Kristus

    12

    Ibid., 372 13

    Bertolak dari pemahaman ini, maka sesungguhnya kebiasaan orang Asia yang selalu

    mengingat para leluhur mereka dengan menyisihkan sebagian dari makanan mereka saat sedang

    melaksanakan jamuan makan tidak boleh ditolak. Memang kebiasaan menyisihkan makanan untuk para

    leluhur memiliki latar belakang yang berbeda dengan jamuan makan bersama dalam perjamuan kudus. Juga

    motivasi dan imajinasi orang Asia yang menyediakan makanan untuk orang yang mereka kasihi yang sudah

    meninggal, berbeda dengan motivasi dan ingatan dalam memecahkan-mecahkan roti. Akan tetapi yang

    perlu gereja lakukan adalah memberikan pemahaman baru pada kebiasaan tersebut dari perspektif

    perjamuan Kudus.Daripada menyuruh mereka menghapus memori tersebut, adalah sesuatu hal yang

    mustahil, sebaliknya gereja perlu membimbing mereka untuk menyatukan memori mereka terhadap saudara

    yang sudah meninggal itu dengan memori Yesus Kristus yang juga mati bersama-sama dan dikuburkan

    seperti kekasih hati mereka. Dengan menyatukan memori mereka dengan memori akan Yesus Kristus,

    maka kehidupan saudara/leluhur yang sudah meninggal tersebut memiliki makna yang baru. Orang yang

    sudah meninggal tidak hanya sekadar hidup dalam memori orang yang masih hidup, tetapi ia akan benar-

    benar hidup dan dibangkitkan dari antara orang mati pada saat Kristus yang mati, bangkit dan akan datang

    datang kembali dalam kemuliaan. Dengan demikian, sesungguhnya Perjamuan Kudus tidak hanya terbatas

    bagi orang-orang yang masih hidup. Perjamuan keselamatan yang diadakan Yesus memang diadakan

    bersama dengan orang-orang percaya yang masih hidup, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan, memori

    (kenangan) akan Kristus yang telah mati dan dikuburkan, menyatu dengan kenangan akan orang-orang yang

    sudah meninggal. Kenangan tersebut terikat menjadi satu di dalam Perjamuan Kudus tersebut. Memori

    tersebut menjadi jalan yang menghubungkan kematian dan kebangkitan Yesus berlaku juga bagi mereka

    yang sudah meninggal. Dengan demikian, keselamatan yang ditawarkan oleh Yesus melaui kematianNya

    juga disediakan bagi mereka yang sudah meninggal. Lihat Ebenhaizer I Nuban Timo, Allah Menahan

    Diri,, 373-374

  • 110

    menyatu di dalam sakramen perjamuan untuk menguatkan iman, kasih dan pengharapan.14

    Hanya dengan berpartisipasi dalam memecah-mecahkan roti, para murid bertemu dengan

    Yesus dalam memori mereka. Memori yang mereka miliki menghubungkan Yesus yang

    disalibkan dan Yesus yang dibangkitkan. Memori itu membawa mereka dari kematian

    menuju kehidupan, dari keputus-asaan kepada pengharapan.15

    Ketika Yesus membagikan roti dan anggur kepada para pengikutNya

    sebagai tubuh dan darahNya di perjamuan terakhir malam itu, Ia melembagakan sebuah

    sakramen untuk ingatan. Ia memastikan bahwa perjuangan demi pemerintahan Allah akan

    menjadi sakramen kehidupan dan sejarah di dalam ingatan orang banyak, Ia tidak akan

    dilupakan, ia akan terus diingat dari satu generasi ke generasi yang lain. Ia akan tetap

    tinggal sebagai sebuah kekuatan vital di dalam gerakan sejarah. Ia akan menjadi hati

    nurani masyarakat, yang menyingkapkan ketidakadilan dan melawan penindasan. Ia

    menjadi sumber yang membangkitkan hal-hal yang terbaik dan paling luhur di dalam

    umat manusia untuk berjuang demi kasih, keadilan dan kebenaran di dalam dunia yang

    penuh konflik, eksploitasi, dan keserakahan. Ia menjadi santapan kehidupan kekal, hidup

    atas segala hidup, kehidupan untuk menggenapi hidup kita yang dalam masing-masing

    dan tiap kesempatan adalah kehidupan yang belum terselesaikan dan tidak tergenapkan.16

    14

    Ibid., 371 15

    Ibid., 372 16

    Choan Seng Song, Yesus dan Pemerintahan Allah, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 269-

    270

  • 111

    C. MEMAHAMI PERJAMUAN KUDUS DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

    1. Perjamuan Kudus Dari Perspektif Teori Agama Clifford Geertz

    Menurut Clifford Geertz, simbol adalah sesuatu yang memberikan ide

    atau makna yang di dalamnya sekelompok masyarakat melakukan suatu tindakan, hidup

    di dalamnya ataupun menerima celaan atas makna tersebut. Simbol mampu

    mempengaruhi kehidupan setiap orang dalam seluruh tatanan kehidupannya. Simbol-

    simbol itu mengacu pada peristiwa, objek, tindakan, ritus, kisah heroic, cerita-cerita

    filosofi, kualitas ataupun relasi. Simbol biasanya merupakan hasil sintesis dari ethos suatu

    masyarakat (yakni ciri, nada, kualitas kehidupan mereka, moral, estetis dan suasana hati

    mereka) dengan world view (pandangan tentang dunia) yang mereka miliki, dan kedua

    hal inilah yang menjadi sumber kekuatan dari sebuah simbol. Simbol seringkali

    melibatkan emosi idividu, gairah keterlibatan dan kebersamaan, dan tidak jarang simbol

    juga melibatkan kenangan. Simbol menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat di

    dalam diri seseorang, cepat menyebar dan tidak mudah hilang. Karena alasan ini simbol

    mengakibatkan seseorang bertindak dan tindakan-tindakan itu menjadi cirikhas tersendiri

    bagi mereka yang ikut ambil bagian/terlibat di dalam simbol-simbol tersebut.

    Geertz membagi simbol ke dalam dua jenis, yaitu simbol-simbol

    kebudayaan dan simbol-simbol religius. Keduanya sulit dipisahkan. Simbol-simbol

    religius adalah produk dari simbol-simbol kebudayaan, karena agama adalah sistem

    kebudayaan. Simbol atau sistem simbol bertujuan untuk menciptakan perasaan dan

    motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang

    dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan

    melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual dan pada akhirnya perasaan

  • 112

    dan motivasi itu akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik. Simbol-simbol sakral selalu

    memiliki keterkaitan dengan kekuatan yang ada di luar diri manusia dan kekuatan itu

    mampu membentuk tatanan istimewa/menata kehidupan masyarakat yang terkait dengan

    simbol ataupun sistem simbol tersebut. Yang membedakan agama dengan sistem

    kebudayaan lain adalah, simbol-simbol dalam agama menyatakan kepada setiap orang

    bahwa di dalamnya terdapat sesuatu kekuatan Yang Transenden. Kekuatan itu

    dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar real dan lebih penting dari apapun juga,

    memiliki pengaruh dalam kehidupan manusia secara individu maupun secara kolektif.

    Dalam ritual keagamaan, manusia dimasuki oleh rasa desakan realitas yang real ini.

    Jauh sebelum Geertz mendefinisikan simbol, para penulis Alkitab telah

    menggunakan simbol untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia. Dalam bahasa

    Yunani, simbol dikenal dengan sebutan symbbalou (artinya bertemu, berjumpa, benda

    ingat-ingatan) atau symbalein (artinya mempersatukan, melemparkan, yang satu dengan

    yan lain sehingga menjadi satu). Tuan rumah Yunani memberikan sepotong papan kecil

    (bagian dari papan yang utuh) atau cincin kepada tamu sebagai tanda penghargaan .

    Apabila suatu saat mereka bertemu dan saling mencocokan potongan papan atau cincin

    tersebut, maka peristiwa tersebut disebut dengan simbola atau symboulion

    (berkomplotan).17

    Simbol dipakai untuk menangkap dan menjembatani diri pribadi (masa

    kini) kepada pribadi lain (masa lalu). Tanda hanya cukup dilihat, akan tetapi simbol

    memerlukan dan melibatkan emosional individu, gairah keterlibatan dan kebersamaan dan

    menyertakan kenangan. Melalui keterlibatan di dalam simbol, manusia menangkap apa

    17

    Rasid Rahman,Hari Raya,, 156

  • 113

    yang disampaikan oleh simbol.18

    Beberapa peristiwa, perayaan ataupun objek-objek

    tertentu di dalam Alkitab yang terjadi di masa lalu dapat dihadirkan kembali secara

    simbolik pada masa kini misalkan: Perayaan atau peristiwa (Paskah, kebangkitan Yesus,

    dan turunnya Roh Kudus), tindakan atau tata gerak, tempat atau arah, benda ( salib, air,

    roti dan anggur), dan kata-kata dalam formula liturgi.

    Simbol mempertemukan dua pihak atau peristiwa. Pertemuan (symballein)

    antara A dan B, masa kini dan masa lalu, benda yang satu dengan yang lainnya. Tanpa

    jembatan simbol, masa kini dan masa lalu tidak mungkin dipertemukan atau

    dihadirkan. Simbol menjembatani kita (atau saya) di zaman sekarang dengan mereka (atau

    dia) di zaman dahulu kala, sehingga kita sendiri hadir di masa lalu atau mereka di masa

    lalu berada di tengah-tengah kita saat ini. Oleh karena itulah simbol bermain pada aras

    emosi, kenangan (simbolon, benda ingatan), memori dan personalitas , di samping

    objektivitas dan komunal. Simbol terbuka terhadap berbagai arti, sedangkan tanda

    tertutup pada satu arti dan tafsiran saja. Simbol memungkinkan setiap orang menafsirkan

    sesuatu hal dengan berbagai penjelasan objektifnya. Itulah sebabnya simbol tidak dapat

    dimutlakan secara universal. Setiap kelompok masyarakat dalam suatu budaya, suatu

    agama, suatu profesi, memiliki simbolnya masing-masing.19

    Simbol-simbol Alkitab menandakan empat hal. Pertama, simbol bukan

    hanya sekadar suatu ungkapan bahasa kosong, tetapi selalu menunjukan suatu realitas,

    atau tindakan nyata dan real. Kedua, apa yang ditunjuk oleh simbol adalah realitas yang

    mengatasi hal inderawi. Ketiga, simbol selalu ada dalam konteks masyarakat atau

    kebersamaan. Tanpa masyarakat atau komunitas, suatu simbol tidak mempunyai makna

    apa-apa. Keempat, simbol bukan hanya sekadar ada dalam tatanan rasional belaka,

    18

    Paul J Tillich, Theology and Simbolism, 19

    Karen Amstrong, A History of God: from Abraham to the Present, (Mandarin, 1993),

    270

  • 114

    melainkan menyapa dan menyentuh seluruh diri manusia dan seluruh pengalaman

    hidupnya.

    Manusia adalah makhluk simbolis. Ernst Cassirer mengatakan bahwa

    manusia adalah animal simbolicium. Manusia senantiasa mengekspresikan dirinya melalui

    simbol. Segala sesuatu yang ada pada manusia dan yang ada di sekitarnya

    mengungkapkan dirinya sendiri. Demikianlah seluruh penampilan wajah, tubuh, dan apa

    yang kita miliki bahkan yang dimakan oleh manusia adalah mengungkapkan apa yang

    hidup di dalam batinnya. Benda, gerak, gambar dan peristiwa dapat menjadi simbol atau

    dapat dihayati sebagai simbol jika mengandung arti dan membangkitkan emosi, berbicara

    melalui mata menuju hati dan melibatkan intelek. Melibatkan emosi dalam pengertian

    bahwa simbol tersebut memiliki kenangan akan sebuah peristiwa yang senantiasa dihayati

    dan dikenang serta dihadirkan secara rutin. Pengenangan tidak hanya terjadi sekali-sekali

    dan di sembarang tempat. Hal ini juga bukan berarti bahwa simbol berperan sebagai

    fotokopi berdasarkan pencarian fakta detail (data historis melulu), melainkan menitik

    beratkan pada makna dari dan keterlibatan dalam peristiwa yang ditampilkan.

    Sepanjang sejarah peradabannya, manusia menggunakan simbol sebagai

    media komunikasi. Tidak hanya untuk berkomunikasi dengan sesama, akan tetapi dalam

    membangun relasi dengan Tuhan, manusia menggunakan simbol.20

    Simbolisasi ini

    tampak jelas dalam ritual keagamaan Menurut Cliiford Geertz, simbol-simbol keagamaan

    menjadi penawar rasa sakit, jawaban ataupun jalan keluar atas permasalahan dan kesulitan

    ( chaos) yang tidak mampu diatasi oleh manusia. Dengan simbol religius orang beragama

    mampu melihat chaos sebagai sebuah fakta yang tidak perlu ditakuti, tetapi mampu

    diterima dan dijalani. Itulah salah satu penyebab mengapa simbol menimbulkan adanya

    20

    Martasudjita, Sakramen-Sakramen,, 53

  • 115

    semacam aura factual. Aura factual ini merupakan suatu rasa yang terdalam yang

    ditemukan dan dirasakan oleh orang beragama. Perasaan ini tidak hanya sekadar ilusi atau

    banyangan akan tetapi sebuah kekuatan yang real, melampaui/lebih tinggi dari apapun

    juga dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Perasaan ini memang agak sulit dijelaskan,

    sulit didefenisikan dan bahkan sulit untuk dikendalikan. Akan tetapi perasan ini terasa

    sangat kuat, tidak mudah dihilangkan, perasaan itu datang begitu saja dan bukan hal yang

    sepele, yang pada akhirnya menjadi sesuatu hal yang kelihatan unik dan realistis.21

    Mengacu pada teori Geertz, jelas Perjamuan Kudus adalah sebuah

    simbol/sistem simbol yang mengacu pada tindakan ataupun ritual dalam Agama Kristen,

    yang memiliki latar belakang social, politik, budaya dan religius. Perjamuan Kudus

    memiliki berbagai ide dan makna tentang nilai-nilai budaya, sosial dan religius yang

    merupakan perpaduan antara world view dan ethos bangsa Israel dan direkonstrusi oleh

    Gereja dan para teolog Kristen di sepanjang perkembangan Gereja. Perjamuan Kudus

    menciptakan makna yang dapat menghubungkan ontology dan cosmology, estetika dan

    moralitas bagi umat Kristiani di sepanjang sejarah. Ia tercipta atas rekonstruksi makna

    peristiwa sakral penyelamatan yang telah dilakukan oleh Allah mula-mula terhadap Israel

    dan kemudian disempurnakan oleh Yesus. Keselamatan itu tidak hanya bagi Yahudi akan

    tetapi bagi manusia dan dunia pada umumnya. Peristiwa ini jelas menciptakan sebuah

    perasaan yang mendalam, melibatkan emosi, kenangan dan bahkan motivasi yang kuat di

    dalam diri orang Kristen baik secara individu maupun secara kolektif. Meskipun peristiwa

    terjadi di masa lampau, namun kenangan, emosi dan perasaan atas peristiwa itu membuat

    Ia tetap hadir dan hidup hingga saat ini.

    21

    Geertz, Kebudayaan dan Agama,, 41

  • 116

    Roti dan anggur Perjamuan Kudus menciptakan semacam aura faktual

    dan suasana mistik. Aura factual itu adalah perasaan terdalam yang dirasakan oleh

    orang Kristen di saat menerima (makan dan minum) roti dan anggur Perjamuan Kudus.

    Ada kehadiran sang Realitas yang lebih tinggi di dalam jamuan itu. Warga gereja

    terlihat sangat khusyuk mengakui dan merasa telah didamaikan, dosanya diampuni dan

    diselamatkan oleh Allah. Kristus dengan segala penderitaan juga kemenanganNya

    melawan maut dirasakan hadir dalam Perjamuan Kudus. Untuk mendapatkan pola makna

    yang lebih mendalam, berikut analisa penulis dengan memakai metode Thick

    Description (lukisan mendalam) dari perspektif Clifford Geertz atas makna Perjamuan

    Kudus.

    Perjamuan Kudus Menyimbolkan Kesatuan antara Manusia Dengan Tuhan

    Makan bersama merupakan momen istimewa dalam Perjamuan Kudus.

    Sejak zaman purbakala, jamuan makan bersama merupakan fungsi sosial yang sangat

    penting dalam masyarakat. Dalam masyarakat sederhana bahkan masyarakat yang terus-

    menerus dikejar oleh waktu dan citra individulaisme, acara makan bersama adalah puncak

    pertemuan seluruh anggota keluarga dan bahkan komunitas. Setiap orang dalam sebuah

    keluarga bisa terpisah-pisah oleh karena pekerjaan rutin setiap harinya, akan tetapi pada

    saat makan malam biasanya semua anggota keluaga berusaha bisa berkumpul. Pada saat

    makan bersama masing-masing anggota keluarga saling bercerita, berbagi pengalaman

    kehidupan. Dengan makan bersama, persaudaraan dan keakraban seluruh anggota keluaga

    dibangun dan dikembangkan. Sehingga suasana hati yang marah dapat didamaikan dan

    disembuhkan, semangat dikobarkan, persaudaraan dan kebersamaan semakin diperkuat.

    Dalam komunitas dan relasi yang lebih luas, jamuan makan bersama

    menjadi moment yang paling berharga bahkan sangat penting. Dalam dunia diplomatik

  • 117

    antar negara dalam membangun karya dan usaha, jamuan makan tidak jarang

    dimanfaatkan untuk mengambil berbagai macam keputusan dan penandatanganan kontrak.

    Demikian halnya juga dalam relasi-relasi perusahaan, makan bersama adalah hal yang

    sangat sentral.22

    Perjamuan makan bersama biasanya dilakukan sebagai ucapan syukur

    kepada Allah karena campur tangannya menyelamatkan seseorang dari bahaya maut.

    Tidak hanya dalam tradisi Yahudi, tradisi Timur Tengah Kuno bahkan dalam tradisi

    masyarakat modern acara jamuan makan juga seringkali dilakukan. Para tamu yang

    diundang dipersilahkan ke meja makan untuk menikmati hidangan yang lezat. Peristiwa-

    peristiwa keluarga yang patut diperingati dijadikan kebiasaan untuk mengundang sahabat

    dan kenalan untuk bersama-sama memanfaatkan hidangan yang mewah. Hal ini tidak saja

    hanya pada peristiwa yang menggembirakan, seperti kelahiran, sunat, pertunangan dan

    perkawinan, tetapi juga dalam situasi perkabungan.

    Dalam tradisi Yahudi perjamuan makan Paskah tidak hanya bentuk

    ucapan syukur atas pembebasan dan keselamatan yang telah dilakukan Allah bagi mereka.

    Jauh daripada itu, perjamuan makan Paskah menjadi salah satu identitas sosial orang

    Yahudi, sebagai salah satu simbol yang memperkuat ikatan sosial, kekerabatan,

    persaudaraan dan persatuan di antara orang Yahudi. Sehingga perayaan dan jamuan

    makan ini juga menjadi simbol yang memperkuat nasionalisme Yahudi. Hal ini nampak

    setiap kali perayaan Paskah tahunan di Yerusalem, orang-orang Yahudi diaspora akan

    22

    Perusahaan dalam bahasa Inggris disebut company yang berasal dari bahasa Latin,

    cum= bersama-sama dan panis=roti. Jadi company berarti orang-orang yang memecahakan roti secara

    bersama-sama. Walau dalam kenyataannya, perusahaan lebih cenderung mengambil roti sendiri-sendiri dan

    bukan berbagi roti dengan rang lain. Lih. Ebenhaizer Nuban Timo, Allah Menahan Diri,,357

  • 118

    selalu kembali ke Yerusalem bertemu dan bersama keluarga, sahabat, kerabat untuk

    merayakan perayaan Paskah dan jamuan Paskah tersebut.

    Perjamuan makan mengikat persaudaraan antar manusia, barangsiapa

    menghayati itu ia tidak akan heran bahwa makan bersama juga berperan secara hakiki

    untuk terjadinya persekutuan. Itu tidak saja berlaku di antara manusia, tetapi juga dalam

    perjanjian antara manusia dengan Allah sebagai pemrakarsa. Orang yang sehidangan

    terjalin satu dengan yang lain dengan sangat kuat. Mereka membentuk satu persekutuan

    yang tercipta dan terkendali oleh perjamuan. Di saat orang berada di meja makan, orang

    bukan saja bersukacita, tetapi juga menangis, bukan saja hanya waktu untuk tertawa dan

    sukacita, akan tetapi juga untuk kesungguhan hidup. Selain itu, perjamuan makan

    biasanya menyampaikan pesan perdamian dan keselamatan. Mengapa? Karena makan

    bersama menunjukkan kepada banyak orang bahwa ada persaudaraan dan kerukunan di

    antara orang-orang yang ambil bagian dalam perjamuan makan. Permusuhan dan

    perseteruan tidak dikenal dalam acara jamuan makan. Melalui orang yang duduk bersama

    mengelilingi meja makan, wujud konkret persekutuan keselamatan Allah dinyatakan.

    Makan bersama sebagai tindakan simbolik di dalam Perjamuan Kudus

    tidak dapat menafikan teori Geertz tentang simbol. Di dalamnya ada sintesis antara world

    view dan ethos, mampu menciptakan perasaan dan motivasi, yang pada akhirnya

    menciptakan sebuah tatanan eksistensi kehidupan orang beragama (Gereja). Perjamuan

    Kudus menyimpan makna yang dalam untuk mengikat kebersamaan di antara orang

    Kristen. Tidak hanya di antara anggota jemaat, akan tetapi kebersamaan dengan Allah.

    Ikatan kebersamaan itu sangat kuat dan intim, sehingga tidak hanya sekadar kebersamaan

    biasa, akan tetapi menyatu. Manusia benar-benar menyatu dengan Allah. Hidup bersama

    dan menyatu dengan Allah dan sesama merupakan kerinduan semua umat manusia. Dan

  • 119

    kerinduan ini bisa terjadi di dalam Perjamuan Kudus. Di dalam perjamuan itu seluruh

    misteri kehidupan bersama Allah dan manusia yang mengalami kepenuhannya dalam

    Kristus dirayakan dan dihadirkan bagi mereka yang percaya. Itulah sebabnya Perjamuan

    Kudus terasa memiliki aura khusus.

    Jika jamuan makan biasa dapat menciptakan sebuah perasaan dan

    motivasi tertentu sehingga tercipta sebuah tatanan sosial yang baik di antara sesama.

    Demikian halnya di dalam Perjamuan Kudus, menciptakan suasana tatanan kehidupan

    yang baik bagi orang Kristen. Jika jamuan makan biasa mampu merasakan dan

    menghadirkan suasana pertemuan dengan Tuhan, sebagaimana dikatakan oleh D.J

    Baaslag, makan dan minum bersama menghadirkan suasana dunia ilahi dan persekutuan

    dengan Allah, maka hal itu juga terjadi di dalam Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus

    menghadirkan suasana ilahi dan persekutuan dengan Allah. Perjamuan Kudus yang

    diwujudkan Yesus sudah diantisipi jauh hari dalam ritus-ritus peribadatan Israel dan

    berbagai akta sosial atau pertemuaan raya lainnya. Binatang kurban syukur yang darahnya

    dipersembahkan kepada Allah, dagingnya harus dimakan bersama-sama oleh peserta

    ibadah dengan imam menjadi representasi kehadiran Allah (Im 7:15; 8: 31).

    Perjamuan Kudus menjadi jamuan yang sangat sakral di antara manusia

    dengan Tuhan. Roti dan anggur Perjamuan Kudus menjadi simbol dari kehadiran Allah.

    Roti dan anggur adalah simbol dari tubuh dan darah Yesus kurban penebusan dan

    pendamaian manusia, mempertemukan dan menyatukan manusia dengan Allah. Sehingga

    Allah dan manusia benar-benar menyatu, tanpa jarak dan batas. Inilah perasaan yang

    mendalam itu, perasaan semacam aura factual yang dimaksud oleh Geertz. Di meja

    perjamuan, semua umat tanpa melihat perbedaan gender laki-laki perempuan, pejabat,

    atau rakyat biasa, pelayan gereja atau warga jemaat, semuanya sama menerima roti dan

  • 120

    anggur yang sama. Dari pertemuan itu, menciptakan sebuah tatanan sosial yang

    bermakna di dalam jemaat. Pertemuan itu semakin meneguhkan dan memperkuat ikatan di

    antara sesama anggota jemaat. Relasi kolektif yang kuat di dalam sebuah tatanan sosial

    akan kelihatan jika sebuah komunitas terhindar dari perasaan curiga, saling menyalahkan,

    disharomonisasai dan perpecahan.

    Ada dua keistimewaan dari Perjamuan Kudus. Pertama, Yesus Kristus

    sendiri yang menjadi tuan rumah yang mengundang perjamuan itu. Perjamuan itu tidak

    hanya sekedar perjamuan biasa, perjamuan itu diundang dan dilaksanakan oleh Allah.

    Tuhan sendirilah yang menjadi tuan rumah dari perjamuan tersebut. Oleh karena itu setiap

    kali partisipan yang hadir dan mengikuti jamuan itu, menyadari/ mengetahui dengan akal

    sehatnya bahwa di meja perjamuan itu, orang percaya tidak hanya bertemu dan bersama

    dengan sesamanya, akan tetapi ada pribadi Yang Transeden yang hadir dan bersama di

    dalam perjamuan itu. Kedua, makanan yang disantap dalam jamuan itu bukan sekedar

    makanan biasa, akan tetapi tubuh (daging) dan darah Kristus. Itulah sebabnya, perjamuan

    tersebut menjadi sangat sakral dan sangat dihargai (Geertz menyebutnya: ditakuti),

    karena tuan rumah beserta hidangan yang disediakan adalah sesuatu realitas yang lebih

    tinggi dari apapun atau istilah Mircea Eliade sesuatu yang sangat sakral.

    Bertemu, bersama, dan menyatu dalam kehadiran Tuhan Yesus dalam

    perjamuan Kudus menjadi kerinduan hidup manusia. Meskipun pertemuan, kebersamaan

    dan kesatuan itu terjadi hanya di dalam perasaan saja, akan tetapi perasan itu sungguh ada

    dan tidak bisa dihilangkan, sebuah kognisi (pengetahuan).. Perasaan yang kuat seperti

    itulah yang dimasud oleh Geertz dengan semacam aura factual. Di saat Perjamuan

    Kudus dilaksanakan di dalam Gereja, pertemuan, kebersamaan, penyatuan itu dirasakan

    dan disadari oleh mereka yang ikut serta dalam perjamuan itu. Dalam keterbatasannnya

  • 121

    manusia selalu mencari, bertemu, bersama dan bersatu dengan Tuhan Yang Tidak terbatas

    itu. Ruang dan waktu di mana manusia berada dalam keterbatasan dan kerapuhan

    menimbulkan sebuah pengakuan bathin bahwa kehidupan yang sesungguhnya itu hanya

    ada di dalam Tuhan Sang Sumber Kehidupan sejati. Dan oleh karena itu manusia

    senantiasa meminta kehidupan itu hanya dari Allah saja. Ketika manusia mengalami

    kesatuan hidup bersama Allah, saat itulah manusia menemukan jawaban dirinya.

    Perjamuan Kudus menyampaikan makna adanya penerimaan Allah

    terhadap manusia secara utuh untuk masuk ke dalam sebuah komunits yang baru.

    Seseorang mengundang orang lain ke rumahnya dan mempersilahkan duduk bersama di

    meja makannya menandakan bahwa orang tersebut siap diterima dalam komunitas si

    pengundang. Demikian juga konsep tersebut terdapat dalam konsep perjamuan Kudus,

    orang Kristen yang diundang ke dalam perjamuan Kudus adalah tamu istimewa bagi Allah

    yang telah diundang dan diperkenankan masuk ke dalam komunitas Allah. Satu meja di

    dalam sebuah komunitas yang sama menandakan sebuah relasi yang sangat dekat dan kuat

    di antara keduanya.

    Perjamuan Kudus Simbol Kehadiran Kristus

    Sebuah kebiasaan spontan jika orang bertemu dan berkumpul di satu meja

    perjamuan adalah mengenang peristiwa-peristiwa unik dan sangat terkesan yang terjadi di

    masa lampau. Kenangan atas peristiwa itu menimbulkan perasaan yang seolah-seolah kita

    (sekarang) sedang berada di waktu itu, mengalami dan merasakannya secara langsung

    sehingga seakan-akan menyatu dengan peristiwa itu. Demikian juga halnya Perjamuan

    Kudus, menghadirkan sebuah kenangan di masa lalu yang seolah-olah hadir dan nyata

    dalam waktu sekarang. Kenangan itu adalah sebuah peristiwa dan fakta pengurbanan yang

    telah dilakukan oleh Yesus untuk menebus dan menyelamatkan manusia dari hukuman

  • 122

    dosa. Meskipun konsep/pemahaman ini merupakan rekonstruksi makna yang dilakukan

    oleh gereja, akan tetapi konsep-konsep tersebut tersebut telah membawa perasaan, sikap

    dan tindakan orang-orang Kristen seolah-olah ada, hadir, menyaksikan dan menyatu

    dengan peristiwa tersebut secara langsung.

    Menurut Geertz, perasaan ini memang agak sulit dijelaskan, tetapi tidak

    bisa disepelekan, perasaan itu sangat kuat, tidak mudah hilang sehingga menimbulkan

    semacam aura factual yang pada akhirnya menciptakan tindakan-tindakan yang khas dan

    realistis. Mengenang dan menghayati pengorbanan Yesus sebagai Anak Allah yang rela

    mengorbankan diriNya (sacrifice) untuk dikorbankan (victim), sebagai korban kambing

    hitam (scapegoat victim), korban tebusan (piacular sacrifice), untuk menyelamatkan

    manusia, tentu saja menimbulkan efek pada emosi dan suasana hati orang-orang Kristen

    yang menerima roti dan anggur Perjamuan Kudus. Perasaan, suasana hati yang sangat

    mendalam itu membentuk menjadi semacam aura factual yang unik dan khas.

    Perasaan, suasana hati, sikap, dan tindakan dari aura factual ini

    muncul karena setiap orang yang berpartisipasi dalam perayaan kurban Yesus

    bersentuhan langsung dengan kurban itu melalui roti dan anggur Perjamuan Kudus. Tidak

    hanya dalam imajinasi dan penghayatan yang mendalam, akan tetapi orang memegang

    langsung kurban tersebut. Dengan menerima roti dan anggur Perjamuan Kudus sebagai

    daging dan darah kurban Yesus, orang akan bersentuhan dengan yang Ilahi. Antara

    yang Ilahi dan manusia tidak ada lagi jarak. Manusia menyatu dengan Yang Ilahi melalui

    kurban tersebut. Sehingga Warga gereja yang menyadari dirinya sebagai a disturbed

    sinner sikap dan tindakan saat sebelum atau sedang mengikuti Perjamuan Kudus,

    seringkali terlihat unik dan khas. Misalkan, orang baru mau menerima Perjamuan Kudus

    setelah memastikan moodnya terasa aman dan bersih, atau seperti Gereja Calvin

  • 123

    dengan aturan censura morum-nya, situasi jemaat yang sangat hening, orang duduk tenang

    dan menunduk atau ada juga yang kelihatan gelisah dan takut, dan berbagai sikap dan

    tindakan unik lainnya. Semua sikap dan tindakan ini merupakan luapan ekspresi dari aura

    factual tersebut.

    Dengan memakai rumusan dari Troeltsc yang mengatakan pengalaman

    mistik terekspresi melalui luapan kegembiraan (ecstasy), penglihatan (vision), halusinasi

    (hallucination), pengalaman keagamaan yang subjekif batiniah dan dalam pemusatan

    (consentration) atas sisi pengalaman religius yang emosional dan intuitif,23

    maka sikap

    dan tindakan orang-orang Kristen yang yang menerima dan mengikuti Perjamuan Kudus

    yang kelihatan sangat khusyuk jelas merupakan ekspresi dari pengalaman/perasaan aura

    factual itu. Saat menerima roti dan anggur Perjamuan Kudus, partisipan (disturbed

    sinner) merasakan dan menyadari bahwa peristiwa penyaliban Yesus tidak hanya untuk

    menyelamatkan orang Yahudi, akan tetapi bagi mereka sendiri. Allah yang menderita di

    dalam Yesus dirasakan telah melampaui ruang dan batas sejarah. Yesus tidak hanya

    dikorban oleh orang Yahudi, akan tetapi para disturbed sinner telah turut

    mengurbankanNya. Mereka yang seharusnya dihukum dan menerima kematian yang hina

    itu, tetapi Yesus telah menggantikannya.

    Pengalaman mistik atau semacam aura factual terjadi yang terjadi di dalm

    Perjamuan Kudus oleh roti dan anggur yang diterima diyakini betul-betul sebagai tubuh

    dan darah Yesus yang telah dikorbankan untuk keselamatan. Sehingga emosi, ingatan, dan

    perasaan manusia terlibat dan terbawa ke dalam sebuah peristiwa sakral di masa lampau,

    yaitu peristiwa penyembelihan Domba Paskah yang sesunguhnya. Keyakinan tersebutlah

    23

    Ernst Troeltsch, The Sosial Teaching of The Christian Churches, (Vol 2),(Chicago: The

    Univ. of Chicago, 1981), 731

  • 124

    yang memancarkan semacam perasaan aura factual. Sehingga dengan demikian aktor

    (Yesus) yang dikenang, dirasakan hadir dan nyata di dalam Perjamuan Kudus.

    Perjamuan Kudus Simbol Pengharapan

    Kekuatan seseorang untuk bertahan hidup dalam situasi yang sulit adalah

    harapan. Situasi sulit seperti ini menurut Geertz disebut chaos, yaitu segala bentuk

    permasalahan yang dialami oleh manusia yang tidak dapat diatasi dengan kemampuan

    analitis, fisik dan psikologi manusia, yakni penderitaan, kebingungan dan ketegasan etis.

    Biasanya dalam menghadapi chaos yang seperti ini, manusia sangat percaya dan

    bergantung pada simbol-simbol religius. Menurutnya, simbol keagamaan mampu

    memberi jalan keluar bagi permasalahan/chaos yang seringkali dihadapi oleh manusia.

    Jalan keluar/jawaban yang dimaksud berupa kekuatan hati yang mampu menerima dan

    menjalani chaos tersebut sebagai sebuah realitas. Artinya, seseorang mampu melihat

    makna positif di balik realitas chaos daripada lari dan meninggalkannya. Inilah salah

    satu kekuatan dari simbol. Manusia merasa bergantung padanya, karena ia mampu

    memberi makna penguatan , penghiburan, dan bahkan menyembuhkan rasa sakit atas

    realitas chaos itu.

    Tiga jenis chaos yang disebut oleh Geertz di atas adalah hal-hal yang tidak

    bisa ditepis dari kehidupan orang Kristen. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh orang

    Kristen jelas mengakibatkan kebingungan, penderitaan (fisik maupun psikis). Pada titik

    batas kemampuannya, seseorang hanya bisa pasrah dan bergantung pada kekuatan yang

    Ilahi. Dalam persoalan yang sangat dilematis dan membutuhkan ketegasan etis orang

    Kristen seringkali hanya bisa pasrah dan bergantung kepada yang di atas sambil berkata,

    jadilah kehendak Tuhan, hanya Tuhan yang tahu. Ungkapan-ngkapan seperti ini adalah

    betuk-bentuk ekspresi yang menyatakan kepasrahan total dan ketergantungan orang-orang

  • 125

    beragama pada yang ilahi. Ketergantungan seperti ini ternyata menjadi kekuatan,

    penghiburan ataupun motivasi, atas beratnya chaos yang sedang dihadapi dan dialami.

    Bagi orang Kristen, harapan merupakan sumber kehidupan. Karl Barth

    mengatakan, orang Kristen adalah mereka yang hidup dari pengharapan.24

    Penderitaan

    Kristus yang selalu dikenang dan diterima melalui roti dan anggur dalam Perjamuan

    Kudus, telah menjadi darah daging orang Kristen. Sehingga penderitaan itu menjadi

    sumber inspirasi yang memberi harapan, motivasi, penguatan, penghiburan atas chaos

    yang dialami oleh orang-orang Kristen. Meskipun penderitaan Kristus dilihat dan

    dimengerti dalam sebuah pemahaman yang semacam pemahaman mistis, namun

    pemahaman ini telah memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam pengharapan orang-

    orang Kristen di sepanjang sejarah Kekristenan.25

    Penderitaan Kristus telah menjadi

    sumber kekuatan dan penyembuhan bagi dunia yang chaos. Paul Gerhardt mengatakan,

    when my heart is most fearful, help me out of my fears, through thy fear and pain. Ini

    bukan saja membawa sebuah vitalitas pekerjaan Kristus sebagai yang Super Human, atau

    pekerjaan Ilahi yang ajaib yang telah menyembuhkan manusia, tetapi terletak fakta yaitu

    Dia yang telah membawa penderitaan itu melalui luka-lukaNya dan ketidakberdayaan-

    Nya dalam penderitaan itu.26

    Kekuatan dan pengharapan dari peristiwa sakral penderitaan Yesus

    membuat sang legendaris Dietrich Bonhoefer mampu menuliskan surat-suratnya dari

    penjara untuk menguatkan dan memberi pengharapan bagi penderitaan orang banyak.

    Dalam suratnya Bonhoefer mengatakan, Allah membiarkan dirinya ditekan dari dunia ini

    di atas kayu salib. Dia lemah dan kehilangan kekuasaan di dalam dunia, akan tetapi itulah

    cara yang jelas dan satu-satunya cara Ia bersama kita dan menolong kita. Kritus menolong

    24

    Karl Barth, Church Dogmatics I/1, 110 25

    Jrgen Moltman, The Crucified God, (New York: HaperSanFransisco, 1973), 45 26

    Ibid., 46

  • 126

    kita bukan dengan kebajikan dari kemahakuasaanNya, akan tetapi dengan kebajikan dari

    kelemahan dan penderitaannya. Hanya dengan penderitaan Allah dapat menolong kita.

    Manusia dipanggil untuk berbagi dalam penderitaan Allah pada tangan-tangan dunia yang

    tidak bertuhan.27

    Pada situasi chaos yang juga terjadi di Jepang, teolog Lutheran Kazoh

    Kitamori dalam bukunya Theology of the pain of God mengatakan, kesakitan yang

    dirasakan Allah di atas kayu salib menyembuhkan rasa sakit kita. Di dalam penderitaan

    Kristus, Allah sendirilah yang menderita.28

    Demikian juga di dalam puisi Spiritual Negro

    yang dinyanyikan oleh budak-budak di Negara bagian Utara USA. Bagi mereka

    penyaliban dan kebangkitan Kristus ada di dalam penderitaan budak-budak Negro.

    Penderitaan Kristus dan kematian-Nya menjadi sebuah simbol dari penderitaan para

    budak negro, simbol dari kondisi dimana mereka direndahkan dan dihina, serta cobaan

    mereka terhadap dunia yang tidak bersahabat dan tidak berperikemanusiaan. Mereka

    melihat nasib dan masa depan mereka dari penderitanNya. Ketika Yesus dipaku di atas

    kayu salib oleh tentara-tentara Romawi dan menusuk lambungNya, Dia tidak sendiri,

    budak-budak Negro menderita bersama Dia dan mati bersama Dia.29

    Jika konsep-konsep ini ditarik ke dalam realitas chaos yang dialami oleh

    setiap orang, maka sangat jelas konsep-konsep ini akan menguatkan, meneguhkan dan

    menghibur orang-orang Kristen. Penerimaan terhadap chaos dengan sudut pandang yang

    berbeda, melahirkan sebuah motivasi bagi seseorang/komunitas untuk melakukan sesuatu

    yang lebih dari sekadar mengeluh. Itulah sebabnya orang-orang Kristen yang berada dlam

    chaos mampu bertahan dan berjuang di dalam kekacauan dan penderitaan. Tepat seperti

    27

    Dietrich Bonhoefer, Letters and Papers From Prison. The Enlarged Edition (SCM Press,

    1971), 36 28

    Kazoh Kitamori, Theology of the Pain of God, (SCM Press, 1965) 29

    Jrgen Moltman, The Crucified God,, 48

  • 127

    yang dikatakan oleh Dietrich Bonhoefer, pesan sejati tentang kebangkitan adalah Kristus

    mengutus manusia kembali kepada kehidupan duniawinya dalam cara yang baru. Orang

    Kristen harus seperti Kristus, minum cawan penderitaan dunia.30

    Menerima chaos dengan paradigma yang berbeda pada akhirnya

    menciptakan the new lifes history in the new world. Manusia yang sebelumnya merasa

    sangat menderita, akan mengalami kehidupan yang baru. Penderitaan hidupnya tidak

    ditanggung sendiri, tetapi Kristus juga telah menanggungnya. Manusia yang sebelumnya

    merasa terkutuk akibat dari perbuatan dan dosa-dosanya, kini menjadi diberkati dan

    mendapatkan status yang baru sebagai manusia yang telah dimerdekakan. Manusia yang

    dulumnya hidup dalam ketakutan, kebingungan dan kengerian yang mendalam krena

    chaos, kini telah diselamatkan. Chaos yang dulunya adalah sesuatu yang sangat

    menakutkan kini menjadi kekuatan dan motivasi. Dan yang lebih penting manusia akan

    dibimbing untuk melakukan hal-hal yang penting, meninggalkan hal-hal buruk dan

    memperbaiki kesalahan-kesalahan.

    Dalam ritual Perjamuan Kudus, satu hal yang tidak boleh terlupakan

    adalah karya pengutusan (misi) yang telah diberikan Allah kepada manusia. Tujuan

    pendamaian yang telah dilakukan oleh Yesus bagi manusia bukanlah untuk membuat

    manusia senang, untuk membuat tubuh merasa enak dan memperoleh pengalaman

    supernatural. Yesus memberikan hidupNya bagi manusia bukan saja untuk memuaskan

    manusia dengan semacam pengalaman kebatinan saja, sebaliknya Allah ingin memulai

    karya keselamatan yang kekal dalam kehidupan manusia. Mereka yang telah menerima

    tubuh dan darah Kristus , memiliki tugas untuk memberitakan Kristus di dalam

    kehidupan mereka sampai Yesus datang kedua kalinya. Tubuh dan darah Kristus telah

    30

    Dietrich Bonhoefer, Brieven uitgevangenis, 137 yang dikutip oleh Nuban Timo, Allah

    Menahan Diri,, 319

  • 128

    menjadi darah daging orang-orang percaya, oleh karena itu orang-orang Kristenpun akan

    selalu menunjukkan kualitas dari Kristus itu sendiri. Kualitas itu terlihat kini (sekarang)

    dan di sini sewaktu orang Kristen itu masih berada di dunia ini. Kualitas ini akan menjadi

    surga bagi manusia baik secara pribadi maupun secara kolektif dalam membentuk tatanan

    eksistensinya di dalam dunia ini.

    Makna Perjamuan Kudus telah memberi daya dan pengaruh yang besar

    bagi manusia untuk menciptakan sebuah tatanan sejarah yang baru bagi kehidupan orang

    Kristen. Sejarah itu menjadi otobiografi orang-orang Kristen sendiri. Mengapa? Karena

    orang Kristen telah ikut ambil bagian dan menyatu dengan sejarah yang telah diciptakan

    oleh Yesus melalui pengurbananNya. Manusia telah menyentuh dan bersatu denganYang

    Ilahi dan Yang Kudus di dalam pengurbanan tersebut. Kurban Yesus tidak saja hanya

    sebagai mediator yang menghubungkan antara manusia dengan Allah, akan tetapi Allah

    sendiri ada di dalam kurban itu. Dengan menerima kurban itu, manusia menjadi manusia

    yang baru dengan sejarahnya yang baru juga. Manusia yang baru berarti manusia yang

    telah ditebus, didamaikan, dibenarkan, dikuduskan, manusia yang memiliki harapan yang

    baru sehingga layak menerima tugas yang baru. Manusia yang telah diperbaharui ini juga

    nantinya yang akan diberi tempat oleh Kristus di dalam perjamuan kawin-Nya.

    Harapan manusia bisa hadir dan diperkenankan masuk ke dalam

    perjamuan kawin (bruiloftmall) Yesus pada saat kedatanganNya yang kedua kali, menjadi

    motivasi bagi orang Kristen untuk hidup sebagai tubuh dan darah Kristus dalam

    menjalankan misi Allah di dunia ini. Menjadi tubuh dan darah Kristus adalah sebuah

    status dan gelar yang baru bagi manusia. Status baru ini akan menunjukkan kualitas

    hidup orang Kristen dalam memasuki babak baru dan sejarah baru di dalam kehidupannya

    yang nyata di dunia ini. Kualitas ini jugalah yang membuat manusia bisa hidup meskipun

  • 129

    mengalami dan menjalani penderitaan (chaos) di sepanjang sejarah kehidupannya.

    Mengapa? Karena tubuh dan darah Yesus yang diterima dalam Perjamuan Kudus adalah

    tubuh dan darah yang telah melalui penderitaan dan rasa sakit yang tidak terbilangkan.

    Menjadi tubuh dan darah Yesus, berarti siap mengalami dan menjalani penderitaan

    bahkan kematian sebagaimana Yesus telah jalani dan alami. Akan tetapi justru dari

    penderitaan itu Yesus menjadi penyelamat, Dia dimuliakan oleh Bapa-Nya di surga

    dengan menempatkan Yesus di sebelah kananNya. Orang yang telah menunjukan

    kualitas dirinya sebagaimana kualitas yang dimiliki oleh Yesus, kelak akan mendapat

    kemulianNya di dalam Yesus.

    2. Roti dan Anggur Perjamua Kudus: Profan dan Sakral

    Salah satu pertanyaan sosologis umat bergama dalam memahami makna

    Perjamuan Kudus adalah mengapa roti dan anggur Perjamuan Kudus, terasa berbeda

    dengan roti dan anggur yang sama tetapi ditempat yang berbeda? Untuk menjawab ini,

    teori Eliade akan menolong kita memahami bagaimana roti dan anggur yang terlihat

    profan tetapi pada waktu yang bersaman terasa sangat sacral di dalam Perjamuan Kudus.

    Menurut Eliade, dalam kehidupan sehari-hari manusia berada di antara dunia yang profan

    maupun yang sakral atau di dalam pertemuan keduanya. Dunia yang profan adalah bidang

    kehidupan manusia beserta kebiasaannya sehari-hari, sedangkan dunia yang sacral adalah

    adalah wilayah yang Supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan

    dan teramat penting, abadi, penuh substansi dan realitas. Yang Sakral itu dipenuhi oleh

    kekuatan Yang Ada.Dan biasanya orang yang berada di dunia yang profan ingin bersatu

    dengan realitas tersebut untuk meraih dan memiliki kekuatan yang sakral itu.31

    Dalam

    kehidupan sehari-hari sesuatu yang profan dapat berubah menjadi sesuatu yang sakral.

    31

    Lih. Mircea Eliade, The Sacred and The The Profan: The Nature of Religion, (New

    York: Harcout, Brace World, 1956), 12-13

  • 130

    Sebuah simbol yang profan (natural) bisa berubah menjadi sakral (Supernatural) karena

    hierophani dan mitosyang menyertai simbol tersebut. Mitos selalu memiliki hubungan dan

    keterkaitan dengan yang di atas dan pada akirnya simbol ataupun mitos tersebut mampu

    menata tatanan dunia ini.

    Berdasarkan teori itu, maka roti dan anggur Perjamuan Kudus juga dapat

    dipahami sebagai berikut. Roti dan anggur adalah makanan dan minuman biasa dalam

    kehidupan sehari-hari (profan) masyarakat Israel (timur Tengah). Sama seperti di

    Prancis, anggur adalah milik mereka. Dalam budaya Perancis, anggur merupakan minuan

    totem yang setara dengan susu sapi atau yang secara seremonial dikonsumsi oleh

    keluarga kerajaan Inggris.32

    Sebagai minuman totem, anggur memiliki mitologi dan

    substansi yang menggairahkan. Substansi tersebut misalnya bahwa anggur dianggap

    sebagai pemuas dahaga yang paling efisien dan ini salah satu alibi utama untuk

    mengkonsumsinya. Dalam bentuknya yang merah, anggur memiliki darah, cairan yang

    kental dan vital, seperti suatu hiostatis (endapan darah) yang sangat lama. Di atas

    segalanya, anggur merupakan substansi yang bersifat mengubah, dan mengekstrasikan

    dari objek keadaan daripada tempramen mendasar.33

    Roti dan anggur yang adalah hasil olahan tangan manusia untuk

    menunjang kebutuhan primer (profan), tetapi ketika roti dan anggur itu dipakai dalam

    Perjamuan Kudus, ia berubah menjadi sesuatu yang sakral (Supernatural). Ia menjadi

    sakral karena diyakini ada hierophani dan mitos telah masuk dan mendiaminya.

    32

    Roland Barthes, Membedah Mitos Budaya Massa, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 65 33

    Anggur adalah bagian dari masyarakat karena ia menghasilkan basis tidak hanya bagi moralitas, tetapi juga bagi lingkungan, anggur merupkan ornament dalam berbagai seremonial yang paling

    kentara dalam kehidupan sehari-hari di Prancis, dari penganan (plonk (anggur putih) dan camember (sejenis

    keju)) hingga makanan besar, dari perbincangan di kafe lokal hingga di perbincangan pada makan malam

    formal. Anggur mendukung semua iklim apapun, dalam cuaca dingin, anggur dikaitkan dengan mitos

    menjadi kehangatan, pada puncak musim panas dikaitkan dengan hal yang sejuk dan berkilau. Bagi orang

    Prancis, anggur seringkali dikombinasikan sebagai substansi dasar dengan bentuk-bentuk konsumsi dasar

    lainnya, juga anggur dapat mencakup semua ruang dan waktu bagi bangsa Prancis. Ibid., 66

  • 131

    Hierophani tersebut merujuk pada perkataan Yesus pada saat perjamuan malam Paskah

    terakhir bersama dengan murid-muridNya. Pada malam itu, Yesus memecah-mecah roti

    dan membagikannya kepada murid-muridnya sambil berpesan, Inilah Tubuh-Ku, dst

    Dalam catatan Yohanes pemakaian kata tubuh sangat tegas dan tajam.

    Yohanes tidak memakai kata (soma), melainkan daging (Yunani:sarx), karena daging

    lebih menekankan realisme yang tegas akan keadiran Yesus Kristus dalam Perjamuan

    Kudus. Yohanes ingin menegaskan bahwa roti dalam Perjamuan Kudus adalah benar-

    benar tubuh Kristus dan bukan hanya sekedar simbol belaka.34

    Dalam roti dan anggur

    Perjamuan Kudus, Yesus sungguh-sungguh hadir karena roti dan anggur adalah benar-

    benar Tubuh dan Darah Kristus.Yohanes menghubungkannya kata daging dengan

    peristiwa inkarnasi Allah, firman yang menjadi daging. Artinya di dalam daging itu

    tersembunyi keilahian sang Firman. Demikian juga dalam roti dan anggur, tersembunyi

    dan hadir diri Yesus Kristus. Kata darah menunjuk pada wafatnya Yesus sebagai

    keseluruhaan diri dan hidup Yesus yang telah diserahkan bagi kita demi keselamatan

    manusia. Jadi sangat jelas bahwa roti dan anggur itu bukan hanya sekedar roti biasa saja.

    Roti melambangkah tubuh, dan anggur melambangkan darah dan itulah hierophani.

    Saat mendengar tubuh dan darah Kristus, dalam benak dan pikiran

    jemaat dengan sadar pasti yang dibayangkan berkaitan dengan yang di atas adalah

    seorang tokoh sakral ataupun sebuah peristiwa dan fakta sejarah yang sakral yang

    melampaui mitos yang terkait dengan simbol tersebut. Sehingga anggur dan roti yang

    tadinya profan (natural) berubah menjadi sakral (Supernatural). Ada sebuah kekuatan

    yang realitas dari Yang Ada di dalam anggur dan roti tersebut, yaitu tubuh dan darah

    Yesus. Tubuh dan darah Yesus itulah hierophani yang membuat anggur dan roti menjadi

    34

    Martasudjita,Ekaristi,,244

  • 132

    sakral. Tubuh dan darah Yesus adalah kehidupan dari Yesus, Yang Sakral . Oleh sebab

    itulah roti dan anggur mengaruniakan karunia hidup Ilahi.35

    Saat hierophani masuk dan mendiami sebuah simbol, seseorang yang

    terlibat dengan simbol-simbol yang sakral tersebut akan menimbulkan semacam getaran

    perasaan yang seolah-olah bersentuhan dengan nir-duniawi, atau dengan istilah Geertz,

    aura factual. Perasaan yang nir-duniawi/ aura factual itu memang agak sulit dijelaskan,

    akan tetapi orang dengan sangat menyadari akan adanya perasaan tersebut. Oleh karena

    itu, ketika orang Kristen menerima dan mengambil roti dan anggur tersebut, maka

    kekuatan dari Yang Sakral tersebut akan mengalir di dalam dirinya. Dan menurut penulis,

    secara sosiologis (tanpa sadar) orang sakit sering meminta Pendeta untuk

    memberikan/melayani perjamuan Kudus kepadanya agar kekuatan dari Yang Sakral itu

    mengalir dalam dirinya dan berharap penyakit yang sedang diderita bisa sembuh. Pun

    jikalau seseorang harus mati setelah menerima roti dan anggur Perjamuan Kudus,

    setidaknya ia telah bertemu dengan Yang Sakral itu dan Yang Sakral itu ada dan telah

    menyatu di dalam dirinya.

    Selain hierophani yang merujuk pada tubuh dan darah Yesus yang ada di

    dalam roti dan anggur, ada sejarah yang melampaui semacam mitos yang mengikuti

    tubuh dan darah-Yesus. Peristiwa itu adalah peristiwa pengurbanan Yesus baik

    sebagai sacrifice maupun sebagai victim. Peristiwa berdarah sampai kematian yang

    dialami oleh Yesus di kayu salib menyimpan makna yang cukup mendalam di hati setiap

    orang. Kenangan itu mengingatkan sebuah penebusan (ransom) yang sangat mahal yang

    tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa. Darahnya yang tumpah telah menyucikan

    manusia dari dosa, darah Yesus yang tercurah telah mendamaikan manusia dengan Allah.

    35

    Martasudjita, Pengantar Untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),

    145

  • 133

    Didamaikan dengan Allah berarti adanya jaminan keselamatan yang menjadi harapan dan

    tujuan hidup dari setiap orang beragama.

    Tubuh Yesus yang telah bangkit dari kematian adalah sebuah kemenangan

    yang ditujukan Allah kepada dunia bahwa kekerasan, kejahatan bahkan maut sekalipun

    tidak akan pernah lebih besar dari kekuatan Allah. Kebangkitan Yesus, adalah simbol

    kemenangan Allah melawan kekuatan ilah-ilah/roh-roh lain yang ada di dunia ini. Ketika

    Allah menyatakan kemenanganNya, bukanah itu adalah kemenangan para pengikutNya?

    Menurut penulis, ini juga hierophani dan mitos Sakral yang membuat roti dan anggur

    Perjamuan Kudus menjadi sakral (Supernatural).

    Terakhir, hierophani yang membuat roti dan anggur menjadi sesuatu

    Yang Sakral adalah, ucapan syukur dan berkat (Istilah Katolik: Consecratio) yang

    disampaikan Imam (Pastor/Pendeta) saat mengangkat dan membagi-bagikan roti dan

    anggur. Sebagai seseorang yang telah diurapi, Imam menjadi aktor Yang Sakral dan

    memiliki otoritas Yang Sakral. Sehingga pada saat Ia mengangkat dan membagi-bagikan

    roti dan anggur perjamuan, sesuatu yang sacral dalam dirinya dialirkan ke dalam roti dan

    anggur tersebut.