Bab III Stratigrafi

151

Click here to load reader

Transcript of Bab III Stratigrafi

Page 1: Bab III Stratigrafi

67

BAB III

STRATIGRAFI

3.1 Stratigrafi Regional

Stratigrafi daerah penelitian menurut Sukamto (1982) pada Peta Geologi

Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat yaitu sebagai beikut :

Qac : Endapan Aluvium, Danau dan Pantai; lempung, lanau, lumpur, pasir

dan kerikil di sepanjang sungai sungai besar dan pantai. Endapan pantai setempat

mengandung sisa kerang dan batugamping koral.

Qpt : Endapan Undak; kerikil, pasir dan lempung membentuk dataran rendah

bergelombang di sebelah utara Pangkajene. Satuan ini dapat dibedakan secara

morfologi dari endapan aluvium yang lebih muda.

Tmc : Formasi Camba; batuan sedimen laut berselingan dengan batuan

gunungapi; batupasir tufa berslingan dengan tufa, batupasir, batulanau, dan

batulempung; konglomerat dan breksi gunungapi, dan setempat dengan batubara;

berwarna beraneka, putih, coklat, kuning, kelabu muda sampai kehitaman; umumnya

mengeras kuat dan sebagian kurang padat; berlapis dengan tebal antara 4 cm – 100

cm. Tufanya berbutir halus hingga lapili; tufa lempungan berwarna merah

mengandung banyak mineral biotit; konglomerat dan breksinya terutama

berkomponen andesit dan basal dengan ukuran antara 2 cm – 40 cm; batugamping

pasiran dan batupasir gampingan mengandung pecahan koral dan mollusca ;

batulempung gampingan kelabu tua dan napal mengandung foram kecil dan

mollusca. Fosil-fosil yang ditemukan pada satuan ini menunjukkan kisaran umur

67

Page 2: Bab III Stratigrafi

68

Miosen tengah-Miosen Akhir (N.9 – N.15) pada lingkungan neritik. Ketebalan satuan

sekitar 5.000 meter, menindih tidak selaras batugamping Formasi Tonasa (Temt) dan

Formasi Mallawa (Tem), mendatar berangsur berubah jadi bagian bawah daripada

Formasi Walanae (Tmpw); diterobos oleh retas, sill dan stock bersusunan basal

piroksin, andesit dan diorit.

Tmcv : Anggota Batuan gunungapi ; batuan gunungapi bersisipan batuan

sedimen laut; breksi gunungapi, lava, konglomerat gunungapi, dan tufa berbutir halus

hingga lapilli; bersisipan batupasir tufaan, batupasir gampingan, batulempung

mengandung sisa tumbuhan, batugamping dan napal. Batuannya bersusunan andesit

dan basal, umumnya sedikit terpropilitkan, sebagian terkersikkan, amigdaloidal dan

berlubang-lubang, diterobos oleh retas, sill dan stock bersusunan basal dan diorit;

berwarna kelabu muda, kelabu tua dan coklat. Penarikan Kalium/Argon pada batuan

basal oleh Indonesian Gulf Oil berumur 17,7 juta tahun, dasit dan andesit berumur

8,93 juta tahun dan 9,92 juta tahun (Obradovich, 1972 dalam Sukamto,1982), dan

basal dari Barru menghasilkan 6,2 juta tahun (Leeuwen, 1978 dalam Sukamto,1982).

Temt : Formasi Tonasa ; batugamping koral pejal, sebagian terhablurkan,

berwarna putih dan kelabu muda; batugamping bioklastika dan kalkarenit, berwarna

putih, coklat muda dan kelabu muda, sebagian berlapis, berselingan dengan napal

Globigerina tufaan; bagian bawahnya mengandung batugamping berbitumen,

setempat bersisipan breksi batugamping dan batugamping pasiran; di daerah Ralla

ditemukan batugamping yang mengandung banyak serpihan sekis dan batuan

ultramafik; batugamping berlapis sebagian mengandung banyak foraminifera kecil

dan beberapa lapisan napal pasiran mengandung banyak kerang (pelecypoda) dan

Page 3: Bab III Stratigrafi

69

siput (gastropoda) besar. Batugamping pejal pada umumnya terkekarkan kuat; di

daerah Tanete Riaja terdapat tiga jalur napal yang berselingan dengan jalur

batugamping berlapis.

Berdasarkan atas kandungan fosilnya, menunjukkan kisaran umur Eosen

Awal (Ta.2) sampai Miosen Tengah (Tf) dan lingkungan neritik dangkal hingga

dalam dan laguna. Tebal Formasi diperkirakan tidak kuran dari 3000 meter, menindih

tidak selaras batuan Formasi Mallawa, dan tertindih tak selaras oleh Formasi Camba,

diterobos oleh sill, retas dan stock batuan beku yang bersusunan basal, trakit dan

diorit.

Batugamping Formasi Tonasa oleh Wilson (1995) dibagi menjadi 5 bagian

berdasarkan fasiesnya. Biru Area Kabupaten Bone, Ralla Area Kabupaten Barru,

Central Area Kabupaten Pangkep, Pattunuang Asue Area Kabupaten Maros dan

Nassara Area Kabupaten Jenneponto.

Tem : Formasi Mallawa ; batupasir, konglomerat, batulanau, batulempung,

napal dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan batulempung; batupasirnya

sebagian besar batupasir kuarsa adapula yang arkose, graywacke dan tufaan,

umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda; pada umumnya bersifat rapuh,

kurang padat; konglomeratnya sebagian kompak; batulempung, batugamping dan

napal umumnya mengandung mollusca yang belum diperiksa, dan berwarna kelabu

muda sampai kelabu tua; batubara berupa lensa setebal beberapa sentimeter dan

berupa lapisan sampai 1,5 meter.

Berdasarkan atas kandungan fosil menunjukkan kisaran umur Paleogen

dengan lingkungan paralis dampai laut dangkal. Tebal Formasi ini tidak kurang dari

Page 4: Bab III Stratigrafi

70

400 meter; tertindih selaras oleh batugamping Temt, dan menindih tak selaras batuan

sedimen kb dan batuan gunungapi Tpv.

Kb: Formasi Balangbaru ; sedimen tipe flysch ; batupasir berselingan dengan

batulanau, batulempung, dan serpih; bersisipan konglomerat, tufa dan lava;

batupasirnya bersusunan graywacke dan arkose, sebagian tufaan dan gampingan,

pada umumnya menunjukkan struktur turbidit; dibeberapa tempat ditemukan

konglomerat dengan susunan basal, andesit, diorit, serpih, tufa terkesikkan, sekis,

kuarsa dan bersemen bartupasir; pada umumnya padat dan sebagian serpih

terkesikkan. Formasi ini mempunyai ketebalan sekitar 2000 meter, tertindih tidak

selaras batuan formasi Mallawa dan batuan gunungapi terpropilitkan, dan menindih

tidak selaras kompleks tektonik Bantimala.

Ub : batuan Ultrabasa ; peridotit, serbagian besar terserpentinitkan, berwarna

hijau tua sampai kehitaman, kebanyakan terbreksikan dan tergerus melalui sesar naik

ke arah barat daya; pada bagian yang pejal terlihat struktur berlapis, dan dibeberapa

tempat mengandung lensa kromit; satuan ini tebalnya tidak kurang dari 2500 meter,

dan mempunyai sentuhan sesar dengan satuan batuan disekitarnya.

T : Trakit ; terobosan trakit berupa stok, sil dan retas; bertekstur porfiri kasar

dengan fenokris sanidin 3 cm panjangnya; berwarna putih keabuan sampai kelabu

muda. Di Tanete Riaja trakit menerobos batugamping Formasi Tonasa dan di Utara

Soppeng menerobos batuan gunung api Soppeng (Tmsv). Penarikan kalium/argon

trakit menghasilkan; pada feldspar 8,3 juta tahun dan pada biotit 10,9 juta tahun

(Indonesia Gulf Oil, 1972 dalam Sukamto,1982).

Page 5: Bab III Stratigrafi

71

S : batuan malihan ; sebagian besar sekis dan sedikit genes; secara

megaskopis terlihat mineral diantaranya glaukopan, garnet, epidot, mika dan klorit.

Batuan malihan ini umumnya berpedaunan miring ke arah timur laut, serbagian besar

terbreksikan dan tersesar naikkan ke arah barat daya. Satuan ini tebalnya tidak kurang

dari 2000 meter dan bersentuhan sesar dengan satuan batuan disekitarnya. Penarikan

kalium/argon pada sekis diperoleh umum 111 juta tahun (Obradovich, 1974 dalam

Sukamto,1982). Penyebaran dan urutan batuan di Sulawesi Selatan dapat di lihat pada

gambar (3.1, 3.2. dan 3.3) berikut ini.

Gambar 3.1. Peta Geologi Regional Sulawesi Selatan (Sukamto,1975;Sukamto dan Supriatna, 1982)

Daerah Penelitian

Page 6: Bab III Stratigrafi

72

Gambar 3.2. Kolom stratigrafi regional Sulawesi Selatan (Wilson,1995)

Gambar 3.3 Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat skala 1 : 50.000 (Sukamto,1982)

Lokasi penelitian

Page 7: Bab III Stratigrafi

73

. m : Kompleks Melange, batuan campuraduk secara tektonik terdiri dari

grewake, breksi, konglomerat, batupasir terbreksikan, serpih kelabu, serpih merah,

rijang radiolaria merah, batusabak, sekis ultramafik, basal, diorit dan lempung,

himpunan batuan ini mendaun, kebanyakan miring ke arah timurlaut, dan

tersesarnaikkan ke arah baratdaya, satuan ini tebalnya tidak kurang dari 1750 m dan

mempunyai sentuhan sesar dengan satuan batuan disekitarnya.

Secara khusus geologi daerah penelitian berkaitan erat dengan geologi

kompleks tektonik daerah bantimala secara regional dimana tektonostratigrafi

kompleks bantimala dan sekitarnya dapat dilihat pada table 3.1 berikut:

Tabel 3.1 Tektonostratigrafi Kompleks Bantimala dan Sekitarnya (Kaharuddin, 2007).

Page 8: Bab III Stratigrafi

74

Miyazaki et al. (1996) menjelaskan bahwa batuan dari blok Bantimala

termasuk eklogit, garnet glaukopan sekis dan sekis glaukopan termasuk batuan

metamorf tekanan tinggi. Dengan menggunakan termometer garnet dan

klinopiroksin, mereka memperkirakan bahwa suhu puncak batuan eklogit, garnet-

glaukopan dan sekis glaukopan di daerah Bantimala berkisar antara 580-630 °C pada

tekanan 18 kbar sampai 590-640°C pada tekanan 24 kbar. Kondisi ini menunjukkan

bahwa temperatur dan tekanan batuan ini telah mengalami subduksi sampai pada

kedalaman 65-85 km, pada gradien geotermal yang rendah (8°C sekitar / km).

Kompleks tektonik bantimala terbentuk dari hasil sentuhan tektonik batuan

malihan tinggi, melange, dan ultrabasa serta breksi sekis, serpentinit, chert, batupasir

dan sekis hijau. Kompleks ini berumur mesozoikum (Zulkarnain et al.,1993). Batuan

malihan tinggi disusun oleh glaukopan, epidot, garnet, muskovit, kuarsa, albit dan

jadeit bersama – sama dengan eklogit. Sekis Biru berasal dari batuan sedimen

dengan komposisi greywacke hingga batupasir (Zulkarnain et al.,1993).

Penarikan umur melalui dating K/Ar pada muskovit pada sekis pelitik

menujukkan umur 132 Ma untuk kompleks ini. Sekis biru terbentuk pada tekanan

lebih besar dari 8 Kb. Dan biasanya berhubungan dengan zona subduksi. Dalam

banyak kasus, komposisi kimia sekis biru mencirikan tipe metabasal, oleh karena itu

mereka berasosiasi dengan zona subduksi bagian atas yang dikorelasikan dengan asal

mulanya dengan kerak oseanik. Jika diasumsikan bahwa kecepatan konvergen (- 5

km/tahun,, untuk kedalaman 34 km berarti umurnya 6 MA dimana epidot sekis biru

stabil pada kondisi ini. Oleh karena itu, sistem subduksi kompleks ini harus dimulai

10 juta tahun lebih awal dari 138 Ma.

Page 9: Bab III Stratigrafi

75

Sekis hijau tingkat rendah dan sekis glaukopan, terjadi sebagai slices

terimbikasi di kompleks bantimala. Kondisi suhu diperkirakan sekitar 350 – 450 0C

dan tekanan 4-5 kbar (Miyazaki et al.,1996 ; Parkinson et al., 1998 dalam

Wakita ,2000). Umur K/Ar secara umum berkisar 11 – 114 Ma (Hamilton, 1979 ;

Hasan 1990; Wakita et al.,1996 ; Parkinson et al.,1998, dalam Wakita, 2000).

Tekanan tinggi metamorf juga terjadi tetapi sangat tidak melimpah. Penarikan umur

dating terhadap K-Ar terhadap phengite secara umum menunjukkan umur lebih tua

dari sekis tingkat rendah : 132 ± 7 Ma, 113 ± 6Ma dan 124 ± 6 Ma (batuan garnet

glaukopan ; Wakita et al,1996) dan eklogit 137± 3 Ma (Parkinson et al.,1998, dalam

Wakita,2000).

Rijang radiolarian kadang – kadang berumur Jura Tengah sampai kapur

Awal (late Albian - Early cenomanian). Lempung silika berumur Kapur Awal.

Artinya umur melange diperkirakan lebih muda daripada umur termuda komponen

melange itu sendiri (Wakita,2000) (gambar 3.4).

Page 10: Bab III Stratigrafi

76

Kompleks bantimala disusun oleh tektonik slices metamorfik tekanan tinggi,

batuan sedimen dan batuan ultrabasa. Kontak sesar aktif sebelum paleosen, dan

beberapa diantaranya sebagian diaktifkan kembali pada waktu kenozoikum

(gambar 3.5). Metamorf bantimala mengandung sekis glaukopan, sekis albit-

aktinolit-klorit, sekis klorit-mika, sekis garnet-kloritoid, glaukopan-kuarsa, serpertinit

batuan garnet-gkaukopan, dan eklogit. Litologi dominan adalah sekis glaukopan

Gambar 3.4 Kolom stratigrafi mayor akresi, kompleks Indonesia Tengah, komponen umur dari kompleks Luk Ulo, Meratus dan bantimala (Wakita, 2000)

Page 11: Bab III Stratigrafi

77

terbagi ke dalam tiga tipe : sekis glaukopan dengan matriks lawsonit sangat halus,

hematit glaukopan sekis dan garnet glaukopan sekis (gambar 3.5).

Batuan sedimen diidentifikasi sebagai melange, turbidite dan batuan klastik

laut dangkal. Termasuk melange adalah klastik dan bomb batupasir, serpih silikaan,

rijang, basaldan sekis di dalam matriks serpih. Kumpulan radiolarian dari rijang

menujukkan umur Kapur Tengah (Late Albian – Early Cenomanian) dan Tidak

selaras dengan batuan metamorfik tingkat tinggi (Wakita et al., 1996).

Menurut Wakita (2000), aktivitas tektonik yang membentuk Kompleks

Tektonik Bantimala, di mulai pada zaman Jura, dimana tejadi tumbukan subduksi

Gambar 3.5 Peta Geologi Kompleks Bantimala, Sulawesi Selatan dimodifikasi dari Sukamto, 1986 (Miyazaki et al., 1996)

Page 12: Bab III Stratigrafi

78

antara kerak kontinen kalimanatan timur dengan mikrokontinen yang membawa

sedimen laut dangkal, yang kemudian memasuki zaman late Albian terjadi

deformasi (Collision dan accretion) membentuk breksi sekis dan kemudian

terendapkan rijang radiolarian diatasnya. Memasuki zaman Cenomanian – Early

Turonian terendapkan batuan sedimen Formasi Balangbaru, yang kemudian terjadi

obduksi pada kala Oligosen hingga Pliosen (gambar 3.6).

Menurut Maulana (2009), aktivitas tektonik berupa subduksi dimulai pada

zaman Jura Akhir. Setelah terbentuknya eklogit dan sekis biru pada zaman Kapur

Bawah terjadi exhumation , obduksi dan emplacement yang menempatkan Kompleks

batuan alas ke permukaan (gambar 3.7).

Gambar 3.6. Model Evolusi tektonik Kompleks Bantimala (Wakita et al., 1996)

Page 13: Bab III Stratigrafi

79

3.2. Stratigrafi Daerah Penelitian

Gambar 3.7 Interpretasi model tektonik blok bantimala dari Jura Akhir hingga Paleosen (Maulana, 2009)

Page 14: Bab III Stratigrafi

80

Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian

didasarkan atas litostratigrafi tidak resmi dan litodemik dengan bersendikan pada ciri-

ciri litologi, dominasi batuan, keseragaman gejala litologi, hubungan stratigrafi antara

batuan yang satu dengan batuan yang lain, serta hubungan tektonik batuan, sehingga

dapat disebandingkan baik secara vertikal maupun lateral dan dapat dipetakan dalam

sekala 1 : 25.000 (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).

Secara umum litologi penyusun daerah penelitian merupakan batuan sedimen,

batuan metamorf, dan batuan beku. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan ciri litologi

yang nampak dilapangan dan kontak batuan dimana batas kontak tersebut dapat

ditempatkan pada suatu bidang nyata atau jika terjadi perubahan yang tidak jelas

maka batasnya merupakan suatu bidang diperkiraan.

Berdasarkan pemahaman tersebut diatas, maka satuan batuan yang terdapat

pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi tujuh (7) satuan batuan. Berikut akan

diuraikan secara berurutan dari termuda ke yang tertua adalah sebagai berikut :

Satuan trakit (7,66 km2) (18,70%)

Satuan batugamping (17,81 km2) (43,44%)

Satuan batupasir siloro (0,77 km2) (1,87%)

Satuan batupasir bulu kajuarabanda (6,20 km2) (15,11%)

Satuan rijang (1,60 km2) (3,92%)

Satuan mélange (0,35 km2) (0,85%)

Satuan sekis (6,61 km2) (16,11%)

Uraian dari tiap - tiap satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian akan

dimulai dari satuan tertua sampai yang termuda.

Page 15: Bab III Stratigrafi

81

3.2.1 Satuan sekis

Pembahasan tentang satuan sekis pada daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi meliputi

karakteristik megaskopis dan petrografis, umur, lingkungan pengendapan dan

hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

3.2.1.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan ini didasarkan pada kenampakan ciri fisik litologi.

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini terbagi atas dua cara yaitu penamaan

batuan secara megaskopis dan penamaan batuan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat fisik dan komposisi

mineralnya yang kemudian penamaannya menggunakan klasifikasi Travis (1955).

Adapun analisis petrografis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat optik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik

yang kemudian ditentukan nama batuannya dengan menggunakan klasifikasi

Travis (1955) pada tabel 3.2. Pada kenampakan lapangan satuan ini disusun oleh

litologi berupa sekis hijau, sekis muskovit, sekis biru, dan eklogit. Berdasarkan atas

dominasi dilapangan, maka satuan ini dinamakan satuan sekis.

Tabel 3.2 Klasifikasi batuan metamorf menurut Travis (1955)

Page 16: Bab III Stratigrafi

82

3.2.1.2 Penyebaran dan Ketebalan

Penyebaran satuan ini hampir mendominasi daerah penelitian dengan

menempati sekitar 16,11% persen dari luas daerah penelitian atau penyebaran secara

horisontal seluas 6,61 km2. Penyebaran satuan ini berada pada bagian utara timur laut

– selatan menenggara daerah penelitian. Litologi penyusun satuan ini tersingkap

dengan baik di daerah salo pateteyang, salo cempaga, bulu tangklu-tangklu, bulu

pakii dan bulu kajuarabanda.

Ketebalan dari satuan ini pada lokasi penelitian berdasarkan hasil dari

perhitungan penampang geologi A – B yaitu 1.425 m dan C – D yaitu 350 m (Lihat

peta geologi).

Page 17: Bab III Stratigrafi

83

3.2.1.3 Ciri Litologi

Berdasarkan pengamatan dilapangan, litologi yang menyusun satuan ini

terdiri atas sekis hijau, sekis muskovit, sekis biru, dan eklogit. Kenampakan lapangan

dari sekis klorit (Travis, 1955) stasiun 147, dalam keadaan segar memperlihatkan

warna hijau, lapuk berwarna hijau kehitaman, tekstur lepidoblastik, struktur berfoliasi

(schistose) dengan jurus foliasi antara N 350o E, dan kemiringan foliasi antara 65o,

komposisi mineral klorit dan muskovit. Dijumpai dalam keadaan segar pada salo

pateteyang dan salo pangkajene (foto 3.1).

Kenampakan petrografis dari sekis kuarsa – muskovit - epidot (Travis,

1955) dengan nomor sayatan M/WSN/147 (foto 3.2), pada kenampakan nikol sejajar

memperlihatkan warna kuning kecoklatan, warna interferensi putih kecoklatan,

tekstur lepidoblastik , bentuk mineral hypidiomorfik - xenomorfik, ukuran mineral <

0. 2 – 0.4 mm, struktur schistose, tersusun oleh mineral klorit (35%), muskovit

(35%), epidot (20%), kuarsa (25%) dan biotit (5%).

Foto 3.1. Kenampakan singkapan sekis klorit yang memperlihatkan struktur foliasi pada salo pangkejene difoto relatif ke arah N 320oE pada stasiun 147.

Page 18: Bab III Stratigrafi

84

Kenampakan lapangan dari sekis muskovit (Travis, 1955) pada stasiun 129,

dalam keadaan segar memperlihatkan warna abu – abu kehijauan, lapuk warna hijau

keabu - abuan, tekstur lepidoblastik, struktur berfoliasi (schistose) dengan jurus

foliasi antara N 350o E dan kemiringan foliasi antara 63o, komposisi mineral

muskovit dan klorit,. Dijumpai dalam keadaan segar pada salo pateteyang dan salo

pangkajene (foto 3.3).

Kenampakan petrografis dari sekis muskovit – kuarsa - epidot

(Travis, 1955) dengan nomor sayatan M/WSN/129, pada kenampakan nikol sejajar

memperlihatkan warna kuning kecoklatan, warna interferensi hijau keabu – abuan,

Foto 3.2. Mikrofotograf sekis kuarsa – muskovit - klorit M/WSN/147 dengan komposisi mineral klorit (Chl), muskovit (Ms), epidot (Ep), kuarsa (Q) dan biotit (Bt) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali.

QEp

Ab

Ms

Act

Chl

Page 19: Bab III Stratigrafi

85

tekstur lepidoblastik , bentuk mineral hypidiomorfik - xenomorfik, ukuran mineral <

0.25 – 0.75 mm, struktur schistose, tersusun oleh mineral klorit (5%), muskovit

(30%), kuarsa (25%), epidot (20%), garnet (15%) dan biotit (5%) (foto 3.4).

Grt

Q

Ep

Bt

Ms

Foto 3.4. Mikrofotograf Sekis muskovit – epidot - garnet nomor sayatan M/WSN/129 dengan komposisi mineral muskovit (Ms), klorit (Chl) biotit (Bt), kuarsa (Q), dan Epidot (Ep) dan Garnet (Grt) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali.

Foto 3.3. Kenampakan singkapan sekis muskovit yang memperlihatkan struktur foliasi pada salo pangkejene difoto relatif ke arah N 80oE pada stasiun 129.

Ms

Chl

Page 20: Bab III Stratigrafi

86

Kenampakan lapangan dari sekis muskovit (Travis, 1955) stasiun 120, dalam

keadaan segar memperlihatkan warna abu – abu kehijauan, lapuk warna hijau keabu -

abuan, tekstur lepidoblastik, struktur berfoliasi (schistose) dengan jurus foliasi antara

N 350o E dan kemiringan foliasi antara 67o, komposisi mineral muskovit dan klorit,.

Dijumpai dalam keadaan segar pada salo pateteyang dan salo pangkajene (foto 3.5).

Kenampakan petrografis dari sekis muskovit – epidot (Travis, 1955) dengan

nomor sayatan M/WSN/120, pada kenampakan nikol sejajar memperlihatkan warna

kuning kecoklatan, warna interferensi hijau kebiru-biruan, tekstur lepidoblastik ,

bentuk mineral hypidiomorfik - xenomorfik, ukuran mineral < 0.125 – 0.3 mm,

struktur schistose, tersusun oleh mineral muskovit (70%), biotit (5%), phengit (5%)

dan epidot (20%) (foto 3.6).

Foto 3.5. Kenampakan singkapan sekis muskovit yang memperlihatkan struktur foliasi pada salo pangkejene difoto relatif ke arah N 310oE pada stasiun 120.

Page 21: Bab III Stratigrafi

87

Kenampakan lapangan dari sekis hornblende (Travis, 1955), dalam keadaan

segar memperlihatkan warna abu-abu, lapuk warna abu-abu kecoklatan, tekstur

nematoblastik, struktur berfoliasi jurus foliasi antara N 350o E, dan kemiringan foliasi

66o - 67o, komposisi mineral hornblende dan mika (foto 3.7).

Kenampakan petrografis dari sekis aktinolit – muskovit - epidot

(Travis, 1955) M/WSN/119, pada kenampakan nikol sejajar memperlihatkan

berwarna kuning kecoklatan, tekstur nematoblastik, warna interferensi hijau

kecoklatan, bentuk mineral hipyidiomorfik, ukuran mineral 0.125 – 0.75 mm,

struktur schistose, tersusun oleh mineral aktinolit (40%) , muskovit (30%),

hornblende (15%), biotit 10% dan epidot (5%.) (foto 3.8).

Ms

Ms

BtEp

Ms

Foto 3.6. Mikrofotograf sekis muskovit – epidot – biotit M/WSN/120 dengan komposisi mineral muskovit (Ms), epidot (Ep), phengit (Phg) dan Biotit (Bt) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali.

Page 22: Bab III Stratigrafi

88

Foto 3.8. Mikrofotograf sekis aktinolit – muskovit – hornblende M/WSN/119, dengan komposisi mineral Act (Aktinolit), Ms (Muskovit), Hrn (Honblende) dan Ep = (epidot), pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali

Foto 3.7. Kenampakan singkapan sekis hijau yang dijumpai pada salo Pateteyang pada stasiun 119. Difoto kearah N 120 oE

Act

Msa

Msa

EpaMsa

Act

Act

Hrn

Hrnn

Msn

Page 23: Bab III Stratigrafi

89

Kenampakan lapangan dari sekis glaukopan (Travis, 1955) st.118 , dalam

keadaan segar memperlihatkan warna abu-abu, lapuk warna abu-abu kecoklatan,

tekstur nematoblastik, struktur berfoliasi jurus foliasi antara N 350o E, dan

kemiringan foliasi 66o - 67o, komposisi mineral glaukopan (foto 3.9).

Kenampakan petrografis dari sekis staurolit – albit - phengit (Travis, 1955)

dengan nomor syaatan M/WSN/118, pada kenampakan nikol sejajar memperlihatkan

berwarna kuning kecoklatan, tekstur nematoblastik, warna interferensi hijau

kecoklatan, bentuk mineral hypidiomorfik, ukuran mineral 0.125 – 0.75 mm, struktur

schistose, tersusun oleh mineral garnet (10%), staurolit (35%) phengit (20%),

glaukopan (5%), albit (20%), biotit (5%) dan epidot (5%) (foto 3.10).

Foto 3.9. Kenampakan singkapan sekis glaukopan yang memperlihatkan struktur foliasi pada daerah salo pateteyang difoto relatif ke arah N 70oE pada stasiun 118

Page 24: Bab III Stratigrafi

90

Kenampakan lapangan dari sekis garnet - glaukopan (Travis, 1955) pada

stasiun 117, dalam keadaan segar memperlihatkan warna abu-abu kebiruan, lapuk

warna abu-abu kecoklatan, tekstur nematoblastik, struktur berfoliasi (schistose)

dengan jurus foliasi antara N 340o E, dan kemiringan foliasi antara 55o – 65o,

komposisi mineral glaukopan dan garnet (foto 3.11).

Kenampakan petrografis dari sekis garnet - glaukopan - epidot (Travis,

1955) dengan nomor sayatan M/WSN/117, pada kenampakan nikol sejajar

memperlihatkan berwarna kuning kecoklatan, warna interferensi hijau-merah

kekuningan, tekstur nematoblatik, ukuran mineral 0.25 – 2 mm, struktur foliasi

Foto 3.10 Mikrofotograf sekis garnet - glaukopan M/WSN/118, dengan komposisi mineral staurolit (Str), glaukopan (Gln), garnet (Grt), albit (Ab), phengite (Phg) dan epidot (Ep) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali.

Page 25: Bab III Stratigrafi

91

(porfiroblastik), tersusun oleh mineral garnet (45%), glaukopan (15%), phengit (5%),

aktinolit (5%) dan epidot (30%) (foto 3.12).

Foto 3.12 Mikrofotograf sekis glaukopan M/WSN/117, dengan komposisi mineral aktinolit (Act), epidot (Ep), Garnet (Grt), Glaukopan (Gln) dan phengite (Phg) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali.

Foto 3.11.Kenampakan singkapan sekis glaukopan yang memperlihatkan struktur foliasi pada daerah salo pateteyang difoto relatif ke arah N 70oE pada stasiun 117.

Grt

Act

Ep

Lws

Gln

PhgPhg

Phg

Page 26: Bab III Stratigrafi

92

Kenampakan lapangan dari batuan metamorf eklogit (Travis, 1955) stasiun

116, dalam keadaan segar memperlihatkan warna coklat kehitaman, , lapuk warna

abu-abu kecoklatan, tekstur porfiroblastik, struktur non – foliasi, dijumpai dalam

bentuk blok – blok eklogit. Komposisi mineral garnet, ompacit dan glaukopan, Dalam

keadaan segar dijumpai pada bagian hilir sungai pateteyang, dan pada bagian tengah

salo pateteyang (foto 3.13).

Kenampakan petrografis dari eklogit (Travis, 1955dengan nomor sayatan

M/WSN/116 (foto 3.14), pada kenampakan nikol sejajar memperlihatkan berwarna

kuning kecoklatan, warna interferensi hijau kebiruan, tekstur porfiroblastik, bentuk

mineral hypidiomorfik, ukuran mineral < 0.02 – 0.48 mm, struktur porfiroblastik,

tersusun oleh mineral, ompacite (25%), garnet (30%), glaukopan (25%), epidot

(5%) , dan klorit (5%) serta rutil (10%).

Foto 3.13. Kenampakan Blok - Blok Eklogit yang tersingkap pada salo Pateteyang yang difoto relatif ke arah N 300oE pada stasiun 116.

Gln

Page 27: Bab III Stratigrafi

93

3.2.1.4 Penentuan Fasies

Fasies metamorfisme adalah kelompok batuan metamorfosa yang sempurna

yang menunjukkan suatu kondisi tertentu yang dicirikan oleh asosiasi mineral yang

tetap. Dalam hal menentukan fasies metamorfisme ialah komposisi metamorf dengan

melihat asosiasi mineral dengan menunjukkan kondisi fisik yaitu temperatur dan

tekanan (Magetsari, 2001).

Setiap fasies dalam batuan metamorfosa umumnya dinamakan menurut jenis

batuan (kumpulan mineral) yang dianggap kritis dan diagnestik untuk fasies yang

bersangkutan (Turner,1960 dalam Graha,1987). Penentuan fasies metamorf

berdasarkan komposisi mineral yang dominan, ditekankan pada salah satu mineral

penyusun yang tetap pada kondisi metamorfisme tertentu yang mana terbentuk pada

tekanan dan temperatur metamorfisme tertentu yang bekerja dalam proses

Foto 3.14. Mikrofotograf Eklogit M/WSN/116 , dengan komposisi mineral omphasit (Omp), glaukopan (Gln), epidot (Ep) dan klorit (Chl), dan rutil (Rtl) pada kenampakan nikol sejajar dengan perbesaran 50 kali

Grt

Ep

Omp

Chl

OmpOmp

Gln

Rtl

Rtl

Page 28: Bab III Stratigrafi

94

metamorfisme (Yardley, 1989). Urut-urutan fasies metamorfisme beserta kumpulan

mineral pencirinya menurut Yardley (1989) (tabel 3.3), serta diagram yang

memperlihatkan hubungan antara temperatur dan tekanan pada pembentukan fasies

metamorfisme menurut Yardley (1989), yang terdiri dari fasies zeolite, albite-epidote

hornfels, hornblende hornfels, pyroksin hornfels, sanidite, preh-pump, greeenshist,

amphibolite, granulite, blueschist dan eclogite (gambar 3.8). Tiap – tiap fasies

metamorfisme ini memperlihatkan suhu dan tekanan yang berbeda – berbeda.

Tabel 3.3. Urut-urutan fasies metamorfisme beserta kumpulan mineral pencirinya dan asal batuannya menurut Yardley (1989).

Facies Metabasic Rock Pelitic rock (with quartz)

Zeolit Laumonite (Most typical), analcite, heulandite, wairakite

Mixed layer clays

Albite – Epidote Hornfels

Albite + epidote + actinolite + chloriteActinolite + oligoclase

Muscovite + biotite + chlorite

Hornblende Hornfels

Horblende + plagioclase ± cummingtonite Cordierite + chlorite + biotite + muscoviteAndalusite + biotite + muscoviteCordierite + andalusite + muscovite (higher temperature zone)

Pyroxene Hornfels

Clinopyroxene + orthopyroxene + plagioclase ± olivine ± hornblende

Cordierite + andalusit + K-feldsfar

Greennschist Actinolite + epidote ± albite ± chlorite ± stilpnomelane ( lower temperature zone)Hornblende ± actinolite + albite + chlorite + epidote ± garnet (higher temperature zone)

Chlorite + muscovite + albite (lowest temperature zone)Chlorite + muscovite + biotite + albite Garnet + chlorite + muscovite + biotite + albite (highest temperature zone)Chloritoid, paragonite + muscovite + albite

Amphibolite Hornblende + plagioclase ± epidote ± garnet Staurolite, kyanite or illimanite + muscovite (lowest temperature zone)Sillimanite + K-feldsfar ± muscovite + cordierite or garnet Sillimanite + garnet + cordierite + no K-feldsfar (higher temperature zone)

Granulite Orthopyroxene + clinopyroxene + plagioclase ± olivine ± hornblende (low pressure)

Cordierite + garnet + K-feldsfar + sillimanite (moderate pressure)

Page 29: Bab III Stratigrafi

95

Garnet + clinopyroxene + orthopyroxene + plagioclase ± hornblende (medium pressure)Garnet + clinopyroxene + quartz + plagioclase ± hornblende (high pressure)

Kyanite + K-feldsfar (high pressure) Hyperstene, sapphirine + quartz (high temperature)

Blueschist Glaucophane + lawsonite Phengite + chlorite or talc + garnet, no biotite

Eclogite Omphacite + garnet, no plagioclase, no lawsonite

Talc + kyanite ± garnet ± muscovite

Sedangkan menurut Turner (1960) dalam Graha (1987), sekis glaukopan

dicirikan oleh mineral lawsonit, jadeit, jadeit, stillpnomelan, pumplelit, glaukopan

dan krossit. Mineral penciri lainnya adalah hornblende, diopsid-jadeit, dan almandin.

Kumpulan mineral yang termasuk dalam fasies sekis glaukopan yaitu muskovit –

klorit – kuarsa (pelitik) dan lawsonit – glaukopan – pumpelit – almandin – epidot –

jadeit –albit – klorit dan muskovit (basa).

Berdasarkan hasil pengamatan petrografis pada sayatan M/WSN/147,

M/129/WSN ,M/WSN/120, dan M/WSN/119, maka dapat diinterpretasikan bahwa

sayatan – sayatan batuan tersebut menujukkan fasies sekis hijau (metabasic rock)

yang yang dipengaruhi oleh temperatur sekitar 350oC – 510oC pada tekanan sekitar

2 - 9 kbar. Sedangkan untuk nomor sayatan M/WSN/118 dan M/WSN/117

menunjukkan bahwa sayatan batuan ini termasuk dalam fasies metamorfisme

blueschist (metabasic rock) yang dipengaruhi oleh temperatur sekitar 250oC – 470oC

pada tekanan sekitar 6-17 kbar. fasies sekis biru (Yardley, 1980 ; Turner, 1960 dalam

Graha,1987). Pada sayatan eklogit dengan nomor sayatan M/WSN/116, pada

kenampakan nikol sejajar yang memperlihatkan komposisi mineral berupa, mineral

ompasit, garnet , epidot , dan klorit, maka dapat disimpulkan bahwa sayatan batuan

ini termasuk dalam fasies metamorfisme eclogite (metabasic rock) yang dipengaruhi

oleh temperatur sekitar 550oC – 900oC pada tekanan sekitar 13-17 kbar (tabel 3.4).

Page 30: Bab III Stratigrafi

96

Batuan fasies eklogit ini menunjukkan batuan metamorf tekanan tinggi yang

diikuti oleh retrogresif secara intensif. Retrogradasi ini direkam pada formasi albite –

omphacite disekitar garnet porfiroblast, hal ini menegaskan penurunan stabilitas dari

fasies eklogit yang dicirikan oleh kehadiran mineral hydrous yang mengalami reaksi

rim dalam garnet (chlorite, phengite, epidote dan glaucophane). Vein mineral

tekanan rendah berupa chlorite dan calcite memotong garnet juga ditemukan, rutile

dalam inklusi garnet juga mengindikasikan terjadinya proses retrogradasi. Reaksi

replecement ini dapat dilihat oleh reaksi sebagai berikut (Gao et al. 1999 dalam

Maulana,2009):

Facies Metabasic Rock Pellitic rock (with quartz)

Greennschist kuarsa - muskovit – epidot (higher temperature zone).

aktinolit – muskovit - epidot

klorit – muskovit - epidot (highest temperature zone).

Blueschist garnet – glaukopan - staurolit – Albit -

epidot garnet – glaukopan – epidot -

Eclogite ompachite, garnet , epidot , glaukopan dan klorit

-

Berdasarkan kumpulan mineral - mineral yang menyusun batuan metamorf

ini maka dapat di interpretasikan bahwa batuan ini termasuk dalam metamorfisme

Tabel 3.4 Fasies batuan metamorf pada satuan sekis di salo pangkajene dan pateteyang (Yardley,1989 ; Turner, 1960 dalam Graha ,1987)

Reaksi Retgrogradasi Glaukopan + Omphasit + Garnet + H2O (Na2Mg3Al2(Si8O22) (OH)2 + (Ca,Na) (Mg,Fe2+,Al) Si2O6 + Fe3Al2 (SiO4)3 + H2O

Barroisite + Albit + Klorit (Ca,Na)Mg3AlFe+3Si7AlO22 (OH)2 + NaAlSi3O8 + (Mg,Fe+2)5 Al (Si3Al) O10 (OH)8

Page 31: Bab III Stratigrafi

97

regional yang dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur yang bekerja secara bersama-

sama sehingga memungkinkan terbentuknya penjajaran mineral (foliasi) yang jelas

pada batuan (Bucher & Frey, 1994) (tabel 3.4). Berdasarkan pada identifikasi

mineral-mineral yang ada pada batuan ini maka batuan ini terbentuk pada zona

mesozone hingga katazone dengan suhu 350oC – 1200oC, yang dicirikan oleh

kehadiran mineral-mineral klorit, albit, mika, aktinolit, hornblende, glaukopan,

epidot, omphasit dan garnet.

Tabel 3.5 Pembagian zona pada proses metamorfisme regional berdasarkan tekanan dan temperaturnya (Bucher & Frey, 1994).

ZonaTekanan

TemperaturHidrostatik Terarah (stress)Epizone

(zona teratas)Rendah

Kadang-kadang dapat sangat tinggi

Rendah – Sedang 350oC.

Mesozone (zona sedang)

Rendah – Sedang Sangat tinggiSedang

(350oC – 500oC)Katazone

(zona bawah)Sangat tinggi Rendah

Sangat tinggi (500oC – 1200oC)

Page 32: Bab III Stratigrafi

98

3.2.1.5. Penentuan Umur dan Lingkungan Pembentukan

Penentuan umur satuan ini ditentukan secara umur relatif berdasarkan posisi

stratigrafi, lokasi tipe dan kesebandingan ciri litologi dengan satuan batuan

metamorfisme yang telah resmi. Ciri fisik dari Sekis kompleks tektonik bantimala

adalah satuan ini mengalami malihan lemah sampai kuat, tediri dari sekis berwarna

hijau - biru (Sukamto, 1975 dalam Sukamto,1982).

Ciri fisik satuan sekis berwarna hijau, biru, abu – abu hingga kehitaman di

daerah penelitian, yang terdiri dari sekis hijau, sekis mika, sekis biru dan eklogit.

Berdasarkan kesamaan ciri fisik tersebut, maka satuan sekis pada daerah penelitian

dapat disebandingkan dengan sekis Kompleks Tektonik Bantimala yang berumur

Trias - Kapur Bawah (Sukamto, 1982; Wakita et al, 1996; Zulkarnaen, 1993).

Gambar 3.8. Diagram yang memperlihatkan hubungan antara temperatur dan tekanan pada pembentukan fasies metamorfisme menurut Yardley (1989).

Page 33: Bab III Stratigrafi

99

Penentuan lingkungan Pembentukan dari satuan sekis ini ditentukan

berdasarkan tekstur, struktur dan komposisi mineral yang dijumpai. Kenampakan

lapangan memperlihatkan satuan sekis utamanya disusun oleh mineral-mineral silika

seperti klorit, albit, mika, aktinolit , glaukopan, staurolit, ompacite, lawsonit dan

garnet, dimana struktur batuannya umumnya berfoliasi. Sedangkan dari hasil

pengamatan petrografis nampak satuan sekis ini berwarna kehijauan sampai

kebiruan, didominasi oleh mineral klorit, albit, mika, aktinolit, tremolit, glaukopan,

jadeit, ompacit, lawsonit dan garnet. Satuan batuan ini terbentuk dari proses

metamorfisme regional tingkat sedang sampai tingkat tinggi, dengan komposisi kimia

dari material penyusunnya bersifat silika, serta tekstur mineral yang lepidoblastik-

nematoblastik dengan struktur umum foliasi (schistose). Berdasarkan indikasi

tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa lingkungan pembentukan dari satuan

sekis ini adalah pada lingkungan laut dalam yang berasosiasi dengan zona subduksi

,dimana temperatur dan tekanan bekerja secara bersama – sama yaitu pada suhu

350oC – 900oC dengan tekanan 2 – 27 kbar.

3.2.1.6 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan sekis dengan satuan batuan yang ada

diatasnya adalah kontak tektonik, hal ini dikarenakan umur antara satuan sekis

dengan satuan di atasnya adalah selaras, dimana satuan sekis berumur Trias - Kapur

Bawah sedangkan satuan melange berumur Kapur Bawah. Berdasarkan pengamatan

di lapangan dijumpai singkapan sekis kontak tektonik dengan satuan batuan diatasnya

berupa breksi sekis (melange) dengan fragmennya berupa sekis dan kuarsit.

Page 34: Bab III Stratigrafi

100

3.2.2 Satuan mélange

Pembahasan tentang satuan melange pada daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi meliputi

karakteristik megaskopis dan petrografis, umur, lingkungan pengendapan dan

hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

3.2.2.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan ini didasarkan pada kenampakan ciri fisik litologi.

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini terbagi atas dua cara yaitu penamaan

batuan secara megaskopis dan penamaan batuan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat fisik dan komposisi

penyusunnya. Adapun analisis petrografis dengan menggunakan mikroskop polarisasi

untuk pengamatan sifat optik mineral serta pemerian komposisi material

penyusunnya secara spesifik yang kemudian ditentukan nama batuannya.

Berdasarkan atas penyebaran dilapangan, maka satuan ini dinamakan satuan melange.

3.2.2.2 Penyebaran dan Ketebalan

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 0.85% persen dari luas daerah

penelitian atau penyebaran secara horisontal seluas 0.35 km2. Penyebaran satuan ini

berada pada bagian utara timur laut daerah penelitian. Litologi penyusun satuan ini

tersingkap dengan kondisi yang kurang begitu baik pada punggungan bukit sebelah

Timur Laut bulu Bando.

Page 35: Bab III Stratigrafi

101

Ketebalan dari satuan ini pada lokasi penelitian berdasarkan hasil dari

perhitungan penampang geologi A – B yaitu 150 meter (Lihat peta geologi).

3.2.2.3Ciri Litologi

Menurut Greenly (1919) dalam Kaharuddin (1992), melange adalah batuan

campur adukan tektonik dari berbagai macam dan ukuran fragmen batuan yang telah

mengalami bentuaran dan remukan tektonik. Melange juga dapat diartikan sebagai

batuan fragmentasi dan percampuran deformasi tektonik dengan bongkah atau

fragmen – fragmennya biasanya berbentuk “boudin” nyang dikelilingi oleh massa

dasar matriks atau mineral metamorfik dengan strukutr foliasi atau liniasi. Greenly

pertama kali menemukan melange di Wales yang mengandung bongkah spilite,

diabase, quarzite, limestone, jasper dan coarse sandstone dengan matriks lempungan.

Berdasakan pengamatan dilapangan, litologi yang menyusun satuan ini berupa

breksi sekis. Kenampakan lapangan dari breksi sekis (melange) stasiun 125, dalam

keadaan segar memperlihatkan warna abu – abu kehijauan, lapuk warna coklat

kehitaman, tekstur klastik, struktur tidak berfoliasi (kataklastik) , komposisi fragmen

berupa sekis, kuarsit, dengan semen berupa lempung. Dalam keadaan yang relatif

cukup segar dijumpai pada Bulu Bando sebelah Timur laut (foto 3.15 dan 3.16).

Kenampakan petrografis dari breksi sekis (Melange) dengan nomor sayatan

St.125 (foto 3.17 dan 3.18), pada kenampakan nikol sejajar memperlihatkan warna

kuning kecoklatan, tekstur klastik, bentuk mineral hypidiomorfik - xenomorfik,

ukuran fragmen batuan 0.25 – 1.25 mm, struktur kataklastik, tersusun oleh fragmen

Page 36: Bab III Stratigrafi

102

batuan berupa kuarsit (50%), sekis (30%), matriks berupa minereal kuarsa dan klorit

(15%) dan semen berupa silika (5%).

Foto 3.15.Kenampakan singkapan breksi sekis st. 125 yang memperlihatkan struktur kataklastik pada daerah Bulu Bando difoto relatif ke arah N 210oE

Foto 3.16.Kenampakan singkapan breksi sekis st. 126 yang memperlihatkan struktur kataklastik pada daerah Bulu Bando difoto relatif ke arah N 210oE

Page 37: Bab III Stratigrafi

103

Foto 3.17. Mikrofotograf sayatan M/WSN/125 dengan komposisi fragmen berupa kuarsit (Qz), sekis (S) matriks berupa kuarsa (Q) dan mineral opak (Mo) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali.

Foto 3.18. Mikrofotograf syatan M/WSN/126 dengan komposisi fragmen berupa kuarsit (Qz), sekis (S) matriks berupa klorit (cl) dan kuarsa (Q),) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali.

Page 38: Bab III Stratigrafi

104

3.2.2.4 Umur dan Lingkungan Pembentukan

Penentuan umur dan lingkungan pembentukan dari satuan melange ditentukan

berdasarkan berdasarkan pada ciri fisik litologi, letak geografis, posisi stratigrafi,

data-data lapangan dan prinsip kesebandingan terhadap stratigrafi regional daerah

penelitian serta hasil peneliti terdahulu dengan berlandaskan pada dominasi dan

kesamaan ciri fisik litologi yang dijumpai dilapangan maupun pengamatan

petrografis, serta perbandingan terhadap lokasi tipe formasi yang disebandingkan.

Penentuan umur dari satuan melange di daerah penelitian digunakan umur

relatif yaitu kesebandingan litologi terhadap penelitian terdahulu. Satuan melange

yang disebandingkan mempunyai warna segar abu-abu kehijauan, warna lapuk

coklat, tekstur klastik, bentuk butir subrounded-angular, komposisi fragmen berupa

sekis dan kuarsit. Ciri fisik dari melange yang merupakan anggota dari Kompleks

Melange Bantimala berupa batuan campuraduk secara tektonik terdiri dari

greywacke, breksi, konglomerat, sekis (Sukamto, 1982).

Berdasarkan kesamaan uraian ciri-ciri fisik batuan serta lokasi tipe yang

relatif dekat, maka satuan melange pada daerah penelitian dapat disebandingkan

dengan batuan Kompleks Melange Bantimala. Berdasarkan hal tersebut, maka satuan

melange pada daerah penelitian berumur Kapur Bawah (Wakita, 2000).

Penentuan lingkungan pembentukan dari melange ditentukan berdasarkan

komposisi material dari batuan yang tercampuradukkan dengan menggunakan analisa

Page 39: Bab III Stratigrafi

105

petrografis menggunakan sayatan tipis. Berdasarkan hasil analisa petrografis pada

melange dijumpai fragmen berupa sekis dan kuarsit, matriks berupa sekis dan semen

berupa silika. Berdasarkan komposisi materialnya tersebut maka lingkungan

pembentukan dari mélange ini yaitu pada daerah trench atau pada daerah batas zona

kovergen, dimana batuan metamorf sekis dan kuarsit yang telah terbentuk

sebelumnya di zona ini mengalami tekanan akibat tektonik, yang kemudian

tergeruskan dan bercampur aduk.

3.2.2.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan melange dengan satuan sekis dibawahnya

berdasarkan posisi stratigrafinya dilapangan adalah kontak struktur atau kontak

tektonik. Dilapangan indikasi ini dapat dilihat dari keberadaan fragmen – fragmen

sekis dan kuarsit yang terdapat dalam melange itu sendiri, yang mengindikasikan

bahwa melange berumur jauh lebih muda dari sekis yang terdeformasi tektonik

menghancurkan beberapa bagian dari satuan sekis bersama – sama dengan fragmen

batuan lainnya dan gteendapkan membentuk satuan ini.

3.2.3 Satuan Rijang

Pembahasan tentang satuan rijang pada daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi meliputi

karakteristik megaskopis dan petrografis, umur, lingkungan pengendapan dan

hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

Page 40: Bab III Stratigrafi

106

3.2.3.1 Dasar penamaan

Dasar penamaan satuan rijang yaitu berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang berdasarkan atas ciri litologi dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam sekala peta 1:25.000.

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini terbagi atas dua cara yaitu

penamaan batuan secara megaskopis dan penamaan batuan secara mikroskopis.

Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat fisiknya

dengan menggunakan klasifikasi W.T.Huang (1965) (tabel 3.5). Adapun analisis

petrografis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk pengamatan sifat fisik

dan optik mineral serta identifikasi kandungan fosilnya (Hallsworth dan Knox, 1999).

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu rijang. Litologi yang paling dominan

pada satuan ini yaitu rijang. Berdasarkan hal tersebut maka satuan ini dinamakan

satuan rijang

Tekstur/struktur Konstitusi fragmen batuan

dan mineral

Nama Batuan Sedimen

Ciri – ciri khas

Rapat, afanitik,berbutir kasar kristalin,

sarang oolit, mozaik

Terutama kalsit Batugamping Bereaksi dengan HCL dingin,

batugamping dapat organik, stocklastik,

lempungan,Terutama dolomit Dolomit Tidak segera bereaksi

dengan HCL dingin, jarang mengandung

fosil, cenderung berbutir sedang

Berbutir halus Berbutir halus dengan kandungan mikroorganisme

Kapur/Chalk Putih hingga abu – abu muda, sangat

rapuh, fosilan

Tabel 3.6 Determinasi megaskopis batuan sedimen non klastik kimiawi oleh W.T.Huang (1965) dalam Endarto (1995)

Page 41: Bab III Stratigrafi

107

Rapat dan berlapis

Bahan gamping dan mineral lempung

Napal Abu-abu muda, rapuh, pecahan

konkoidal hingga subkonkoidal

Campuran silika koloidal, opal,

kalsedon

Rijang Bermacam corak warna, keras, kilap

non logam,semitrous hingga buram,

pecahan konkoidalTerutama Gipsum

dan anhidritGips Evaporit, biasanya

dilapangan tidak berdiri sendiri

melainkan berasosiasi dengan agregat –

agregat kristal umumMasif atau berlapis Mineral fosfat dan

fragmen tulangFosforit Diperlukan

penentuan P2O2

Amorf, berlapis, tebal

Humus, sapropal, karbon air

Batubara, Lignit Coklat, hitam,

3.2.3.2 Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 3.92 % dari luas keseluruhannnya

atau sekitar 1.6 km2 dari daerah penelitian. Penyebaran satuan ini berada di sebelah

tenggara hingga timur laut daerah penelitian yang menempati daerah dusun

bulukumba, bulu pacola, bulu borontale, bulu tonjongjampue, bulu pakii, bulu Kea-

kea, bulu kajuarabanda, bulu sabanga, bulu tondingtallua dan tanetelasitae. Pada bulu

tonjongjampue, bulu pakii, bulu kea- kea, bulu kajuarabanda, bulu sabanga, bulu

tondongtallua rijang ini telah mengalami silisifikasi sehingga secara megaskopis

memberikan warna coklat kekuningan. Satuan rijang ini tersingkap dengan kondisi

segar yaitu pada anak sungai salo Pateteyang sebalah tenggara kaki bukit bulu

kea – kea dan anak sungai salo pateteyang sebelah timur laut bulu tonjong jampue.

Jurus kedudukan batuan secara umum berarah relatif barat laut-tenggara dengan

kemiringan relatif kearah timur timur laut dengan besar sudut rata-rata 370 - 650.

Page 42: Bab III Stratigrafi

108

Ketebalan dari satuan ini pada lokasi penelitian berdasarkan hasil dari

perhitungan penampang geologi A – B yaitu 125 m dan C – D yaitu 225 m (Lihat

peta geologi).

3.2.3.3 Ciri litologi

Litologi yang menyusun satuan ini terdiri rijang, rijang silisifikasi dan rijang

fragmentasi. Kenampakan lapangan dari rijang (Huang, 1965) stasiun 6 (foto 3.19)

yaitu dalam keadaan segar berwarna merah hati dan lapuk berwarna coklat

kehitaman; tekstur nonklastik, struktur berlapis (N 350oE/65o), dengan komposisi

kimia silika.

Kenampakan petrografis rijang rijang radiolaria (Hallsworth dan Knox,

1999) dari sayatan nomor M/WSN/132 (foto 3.20) memperlihatkan warna coklat,

warna interferensi abu-abu kecoklatan, tekstur non klastik, komposisi material :

mengandung fosil radiolaria ukuran fosil (0,01– 0,1) mm (30%); serta mikrokristalin

kuarsa (kalsedon) (40%) dengan semen berupa oksidasi besi yang berwarna merah

kecoklatan (30%).

Pada stasiun 121 dijumpai rijang radiolaria (Hallsworth dan Knox, 1999)

dengan ciri fisik yang sama pada stasiun 132 (foto 3.21 dan 3.22). Pada kenampakan

mikroskopis sayatan M/WSN/121 memperlihatkan warna coklat kemerahan dengan

warna interferensi putih keabu -abuan, tekstur non klastik, komposisi material :

mengandung fosil radiolaria ukuran fosil (0,01– 0,1) mm (20%); fragmen rijang

(40%) serta mikrokristalin kuarsa (kalsedon) (10%) dan oksida besi sebagai semen

(30%).

Page 43: Bab III Stratigrafi

109

Foto 3.19. Kenampakan singkapan rijang, pada anak sungai salo pateteyang yang difoto relatif ke arah N 230oE pada stasiun 132.

Foto 3.20. Mikrofotograf rijang radiolaria nomor sayatan M/WSN/132, dengan komposisi fosil radiolaria (Rdl) dan semen berupa oksida besi (FeO) pada kenampakan nikol sejajar dengan perbesaran 50x k

Page 44: Bab III Stratigrafi

110

Foto 3.22. Mikrofotograf rijang fragmentasi M/WSN/121, dengan komposisi fragmen batuan rijang silisifikasi (Rf), kalsedon (Cd), fosil radiolaria yang telah terisit oleh mikrokristalin kuarsa (Rdl) dan semen berupa oksida besi (FeO) pada kenampakan nikol sejajar dengan perbesaran 50x

Foto 3.21. Kenampakan singkapan rijang pada sungai salo pateteyang yang difoto relatif ke arah N 105oE pada stasiun 121

Page 45: Bab III Stratigrafi

111

Pada stasiun 93 di jumpai rijang (Huang,1965) tersilisifikasi dengan ciri fisik

yang relatif berwarna putih hingga kehiajauan pada bagian dalam dari singkapan

batuan, dengan lapukan berwarna kekuningan (foto 3.23).

Pada kenampakan mikroskopis rijang radiolaria (Hallsworth dan Knox,

1999) pada sayatan st.93 memperlihatkan warna putih dengan warna interferensi

putih keabu -abuan, tekstur non klastik, komposisi material : mengandung fosil

radiolaria ukuran fosil (0,01– 0,1) mm (30%); urat kuarsa (20%) serta mikrokristalin

kuarsa sebagai semen (50%) (foto 3.24).

Foto 3.23. Kenampakan singkapan rijang yang tersilisifikasi pada anak sungai salo pateteyang yang difoto relatif ke arah N 10oE pada stasiun 93.

Page 46: Bab III Stratigrafi

112

3.2.3.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur dari satuan rijangdi daerah penelitian digunakan umur relatif

yaitu kesebandingan litologi terhadap penelitian terdahulu. Ciri fisik dari rijang di

daerah penelitian yaitu dalam keadaan segar berwarna merah hati, dalam keadaan

lapuk berwarna coklat kehitaman, rijang ini dijumpai bersama- sama dengan

batupasir dan serpih.

Berdasarkan kesamaan ciri fisik, posisi stratigrafi, dan letak geografis yang

relatif dekat dengan lokasi tipe, maka satuan rijang pada daerah penelitian dapat di

sebandingkan dengan rijang dari Komplek Tektonik Bantimala yang berumur Albian

Akhir sampai Cenomanian Awal atau Kapur Tengah (Wakita, 2000) dengan interval

112 Ma – 93.5 Ma (Geologic Time Scale: Geological Society of America, 2009).

Foto 3.24. Mikrofotograf rijang tersilisifiksi M/WSN/93, dengan komposisi mineral mikrokristalin kuarsa (MQ), mineral vein kuarsa (VQ) dan fosil radiolaria yang telah terisi oleh kuarsa (Rdl) pada kenampakan nikol sejajar dengan perbesaran 50 kali

Page 47: Bab III Stratigrafi

113

Penentuan lingkungan pengendapan dari rijang ditentukan berdasarkan

kandungan fosil analisa mikropaleontologi dengan menggunakan analisa petrografis

dengan menggunakan sayatan tipis. Berdasarkan hasil analisa mikropaleontologi pada

rijang dijumpai fosil radiolaria yang kemudian disebandingkan dengan hasil

penelitian oleh peneliti terdahulu pada daerah Bantimala maka satuan rijang

terendapkan pada daerah laut dalam bersama – sama dengan batupasir kasar dan

serpih yaitu tepatnya pada daerah pada daerah laut dalam atau fore arc

(Wakita, 2000).

3.2.3.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan rijang dengan satuan melange dibawahnya

adalah tidak selaras yang dicirikan oleh posisi stratigrafinya dilapangan, dimana

satuan rijang berada di bawah satuan sekis yang lebih tua akibat sesar naik dan tidak

ditemukannya kontak langsung dilapangan antara satuan rijang dengan satuan

melange yang kemungkinan disebabkan oleh gaya struktur. (foto 3.25).

Page 48: Bab III Stratigrafi

114

3.2.4 Satuan batupasir bulu kajuarabanda

Pembahasan tentang satuan batupasir pada daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi meliputi

karakteristik megaskopis dan petrografis, umur, lingkungan pengendapan dan

hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

3.2.4.1 Dasar penamaan

Dasar penamaan satuan batupasir yaitu berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang berdasarkan atas ciri litologi dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam sekala peta 1:25.000.

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini terbagi atas dua cara yaitu

penamaan batuan secara megaskopis dan penamaan batuan secara mikroskopis.

Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat fisik dan

komposisi mineralnya yang kemudian penamaannya menggunakan klasifikasi ukuran

butir menurut Wentworth (1922) dalam Pettijohn (1969) (tabel 3.6). Adapun analisis

petrografis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk pengamatan sifat fisik

dan optik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik. Pengamatan

Foto 3.25. Kenampakan singkapan breksi sekis pada anak sungai salo pateteyang yang difoto relatif ke arah N 295oE pada stasiun 134

Page 49: Bab III Stratigrafi

115

secara petrografis ini menggunakan klasifikasi batulempung menurut Pettijohn (1975)

dan Selley (1969) dalam Graha (1987) (gambar 3.9 dan 3.10).

Tabel 3.7. Skala besar butir dan penamaan batuan menurut Wentworth (1922) dalam Pettijohn (1969).

Gambar 3.9. Klasifikasi batupasir berdasarkan Pettijohn, (1975) dalam Graha (1987)

Page 50: Bab III Stratigrafi

116

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu batupasir, batulanau dan serpih.

Litologi yang paling dominan pada satuan ini yaitu batupasir. Lokasi penyebaran

satuan batuan ini meliputi bulu kajuarabanda, bulu tondong tallua, dan bulu pellabua

Berdasarkan hal tersebut maka satuan ini dinamakan satuan batupasir bulu

kajuarabanda.

3.2.4.2 Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 15,11 % dari luas keseluruhannnya

atau sekitar 6,20 km2. Penyebaran satuan ini berada di sebelah tenggara hingga timur

laut daerah penelitian yang menempati daerah bulu tokka, bulu pellabua, bulu sabang

dan bulu tondongtallua. Satuan batupasir ini tersingkap dengan kondisi segar yaitu

pada anak sungai salo pangkajene sebelah barat bulu kea – kea, sebelah timur bulu

Gambar 3.10. Klasifikasi untuk gamping, lempung dan pasir menurut Selley (1969) dalam Graha (1987)

Page 51: Bab III Stratigrafi

117

pellabua, dan sebelah barat bulu kajuarabanda. Jurus kedudukan batuan secara umum

berarah relatif barat laut – tenggara dengan kemiringan relatif kearah timur timur laut

dengan besar sudut rata-rata 370 - 650.

Ketebalan dari satuan ini pada lokasi penelitian berdasarkan hasil dari

perhitungan penampang geologi A – B yaitu 875 m dan C – D yaitu 1125 m (Lihat

peta geologi).

3.2.4.3 Ciri litologi

Litologi yang menyusun satuan ini terdiri batupasir sedang, batulanau, serpih

dan batupasir karbonatan. Kenampakan lapangan dari batupasir sedang (Wenworth,

1922) pada stasiun 88 yaitu dalam keadaan segar berwarna abu-abu dan warna lapuk

coklat kehitaman, tekstur klastik, ukuran butir sedang, sortasi baik, struktur berlapis

(N 350oE/68o), dengan komposisi kimia silika.. Dijumpai dalam keadaan segar pada

sebelah timur bulu pellabua (foto 3.26).

Kenampakan petrografis batupasir Graywacke (Pettijohn, 1975) dari sayatan

nomor M/WSN/88 memperlihatkan warna transparan - kecoklatan pada nikol sejajar,

putih keabu - abuan pada nikol silang, tekstur klastik halus, ukuran butir 0.01 – 0.3

mm, bentuk mineral subrounded – subangular, sortasi sedang, kemas tertutup,

komposisi material berupa mineral kuarsa (45%), mineral opak (5%), mikrokristalin

kuarsa (40%) dan semen berupa silika (10%) (foto 3.27).

Page 52: Bab III Stratigrafi

118

Foto 3.26. Kenampakan singkapan batupasir sedang yang dijumpai pada stasiun 88, difoto relatif ke arah N 220oE

Foto 3.27. Mikrofotograf graywacke M/W/88, dengan komposisi mineral kuarsa (Q), mineral lempung (ml) dan mineral opak (mo) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali

Page 53: Bab III Stratigrafi

119

Kenampakan lapangan dari batupasir halus (Wenworth,1922) pada stasiun

9 yang merupakan anggota dari satuan batupasir yaitu dalam keadaan segar berwarna

abu-abu dan warna lapuk kecoklatan, tekstur klastik halus, ukuran butir pasir sedang,

sortasi baik, struktur berlapis (N 350oE/65o), nama batuan :. Dijumpai dalam keadaan

segar pada anak salo pangkajene sebelah timur laut bulu pacola (foto 3.28).

Kenampakan petrografis Graywacke (Pettijohn, 1975) dari sayatan nomor

M/WSN/9, memperlihatkan warna kuning coklat, warna interferensi coklat

kemerahan, bentuk mineral subrounded - subangular , ukuran mineral (0.01 – 0.12

mm), tersusun oleh komposisi material berupa mineral kuarsa (5%), plagioklas (5%),

dan mineral lempung (75%), mikrokristalin kuarsa (15%) (foto 3.29).

Foto 3.1. Kenampakan singkapan Eklogit dalam bentuk blok - blok pada salo Pateteyang yang difoto relatif ke arah N 300oE pada stasiun 102.

Foto 3.28. Kenampakan singkapan batupasir halus yang dijumpai pada stasiun 9, difoto relatif ke arah N 10oE

Page 54: Bab III Stratigrafi

120

Kenampakan lapangan dari batulanau (Wenworth, 1922) pada stasiun 146

yang merupakan anggota dari satuan batupasir yaitu dalam keadaan segar berwarna

abu-abu dan warna lapuk kecoklatan, tekstur klastik halus, ukuran butir lanau,

struktur berlapis (N 10oE/55o) (foto 3.30).

Kenampakan petrografis Siltstone (Wenworth,1922) dari sayatan nomor

M/WSN/146, memperlihatkan warna kuning kecoklatan, warna interferensi coklat

kemerahan, ukuran butir 0.01 – 0.04 mm, komposisi material berupa mineral

mikrokristalin kuarsa (15%) serta semen berupa mineral lempung (85) (foto 3.31).

Foto 3.29. Mikrofotograf Graywacke nomor sayatan M/WSN/9, dengan komposisi mineral Kuarsa (Q), plagioklas (Pl), Mineral lempung (Ml) dan pori (po) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali

Page 55: Bab III Stratigrafi

121

Foto 3.30. Kenampakan singkapan batulanau yang dijumpai pada stasiun 146, difoto relatif ke arah N 10oE

Foto 3.31. Mikrofotograf Siltstone nomor sayatan M/WSN/146, dengan komposisi mineral kuarsa (Q) dan Mineral lempung (Ml) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali

Page 56: Bab III Stratigrafi

122

Kenampakan lapangan dari batupasir sedang (Wenworth,1922 stasiun 145

yang merupakan anggota dari satuan batupasir yaitu dalam keadaan segar berwarna

abu-abu dan warna lapuk kecoklatan, tekstur klastik, ukuran butir pasir sedang,

struktur berlapis (N 10oE/55o), komposisi kimia karbonat (foto 3.32).

Kenampakan petrografis Arkosic wacke (Pettijohn, 1975) dari sayatan nomor

M/WSN/145, memperlihatkan warna kuning kecoklatan, warna interferensi abu-abu

kecoklatan, ukuran butir 0.02 – 0.28 mm, bentuk mineral subrounded – subangular,

sortasi sedang, komposisi material berupa mineral kuarsa (5%), ortoklas (15%), kalsit

(35%), mineral lempung (25%) dan mineral opak (5%), semen berupa silika (15%)

(foto 3.33).

Foto 3.32. Kenampakan singkapan batupasir sedang yang dijumpai pada stasiun 145, difoto relatif ke arah N 80oE

Page 57: Bab III Stratigrafi

123

Kenampakan lapangan dari batupasir sedang karbonatan (Wenworth,1922)

(foto 3.34). stasiun 7 yang merupakan anggota dari satuan batupasir yaitu dalam

keadaan segar berwarna abu-abu dan warna lapuk kecoklatan, tekstur klastik halus,

ukuran butir pasir sedang , struktur berlapis (N 10oE/55o) komposisi kimia karbonat.

Kenampakan petrografis Calcareous Sandstone (Selley, 1969) dari sayatan

nomor M/WSN/7 (foto 3.35), memperlihatkan warna transparan pada nikol sejajar,

abu - abu kemerahan pada nikol silang, tekstur klastik halus, ukuran butir 0.04 – 0.24

mm, bentuk mineral, komposisi material berupa mineral kuarsa (80%), dan semen

berupa karbonat (20%).

Foto 3.33. Mikrofotograf Arkosic wacke nomor sayatan M/WSN/145, dengan komposisi mineral kuarsa (Q), kalsit (Ca), mineral lempung (Ml) dan plagioklas (5%) (Mo), semen berupa silika (Si) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali

Page 58: Bab III Stratigrafi

124

Kenampakan lapangan dari serpih (Wenworth,1922) stasiun 148 (foto 3.36)

yang merupakan anggota dari satuan batupasir yaitu dalam keadaan segar berwarna

Foto 3.34. Kenampakan singkapan batupasir sedang yang dijumpai pada stasiun 7, difoto relatif ke arah N 80oE

Foto 3.35. Mikrofotograf Calcareous Sandstone nomor sayatan M/WSN/7, dengan komposisi mineral kuarsa (Q), semen berupa karbonat (Ca) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali

Page 59: Bab III Stratigrafi

125

abu-abu dan warna lapuk kecoklatan, tekstur klastik, ukuran butir lanau, struktur

berlapis (N 350oE/55o) komposisi kimia silika.

Kenampakan petrografis Quartzwacke (Pettijohn,1975) (foto 3.37) dari

sayatan nomor M/WSN/148, memperlihatkan warna transparan - kecoklatan pada

nikol sejajar, putih keabu - abuan pada nikol silang, ukuran butir 0.01 – 0.4 mm,

sortasi sedang, kemas tertutup, komposisi material berupa mineral mikrokristalin

kuarsa (90%) dan pori (10%).

Foto 3.36. Kenampakan singkapan serpih yang dijumpai pada stasiun 148, difoto relatif ke arah N 250oE

Page 60: Bab III Stratigrafi

126

3.2.4.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur dari satuan batupasir di daerah penelitian digunakan umur

relatif yaitu berdasarkan posisi stratigrafi dan kesebandingan litologi terhadap satuan

yang telah resmi. Ciri fisik dari batupasir di daerah penelitian yaitu dalam keadaan

segar berwarna abu – abu, dalam keadaan lapuk berwarna kecoklatan, batupasir ini

dijumpai bersama- sama dengan batulanau dan serpih yang secara fisik dalam

keadaan segar juga memperlihatkan warna abu – abu, lapuk berwarna kecoklatan, .

Berdasarkan ciri fisik, geografi dari satuan batupasir yang beranggotakan

batupasir, batulempung dan serpih, maka umur relatif dari satuan batupasir ini dapat

disebandingkan dengan batupasir, batulanau dan serpih Formasi Balangbaru dengan

lokasi tipe daerah Balangbaru yang beranggotakan batupasir, batulanau dan serpih

Formasi Balangbaru berumur Kapur Tengah - Kapur Atas (Kb) (Sukamto, 1975

dalam Sukamto,1982).

Penentuan lingkungan pengendapan dari batupasir ditentukan berdasarkan

kandungan fosil foraminifera bentonik, stuktur sedimen dan komposisi mineral.

Berdasarkan analisa mikropaleontologi pada stasiun 76, maka kandungan fosil

bentonik yang dijumpai pada batuan ini adalah Marginulina sp., Bolivina sp,

Foto 3.37. Mikrofotograf Quartzwacke nomor sayatan M/WSN/148, dengan komposisi material berupa kuarsa (Q), mineral opak (mo) dan pori (Po). Difoto pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50x

Page 61: Bab III Stratigrafi

127

Bathysiphon sp., Valvulina sp., Nonion sp., dan Cibicides sp. (foto 3.38).

Berdasarkan kandungan fosil tersebut, maka dengan menggunakan klasifikasi Bandy,

1967, lingkungan pengendapan dari satuan batupasir berada pada upper bathyal atau

pada kedalaman 182,88-457,2 m (tabel 3.7). Struktur sedimen yang dijumpai berupa

laminasi dengan komposisi mineral pada sayatan tipis berupa kuarsa (stasiun 88),

menunjukkan bahwa satuan batupasir ini terbentuk pada lingkungan marine yang

bebas dari unsur karbonat yaitu pada laut dalam (tabel 3.7).

Foto 3.38 Kandungan fosil foraminifera kecil bentonik yang dijumpai pada batupasir bulu kajuarabanda stasiun 88 (Cushman, 1983)

Fosil Benthonik

Bathysiphon sp.

Marginulina sp. Bolivina sp.

Gaudryna sp.

Bulimina sp. Uvigerina sp.

Valvulina sp. Textularia sp.

Cibicides sp.

Page 62: Bab III Stratigrafi

128

Tabel 3. 7. Penentuan Lingkungan pengendapan batupasir bulu kajuarabanda stasiun 88 menurut Bandy ( 1967) dalam Pringgoprawiro dan Kapid (2000)

Sun

gai

Transisi NeritikBathyal

Aby

sal (

1828

,8 –

487

6,8

M)

Had

al >

487

6,8

M

Kandungan fosilBentonik

Raw

a

Lag

oon

Flu

vial

- M

arin

e

Pan

tai T

erbu

ka

Inne

r(0

-30,

48 M

)

Mid

dle

(30,

48-

91,4

4 M

)

Out

er

(91,

44—

182,

88 M

)

Upp

er(1

82,8

8-45

7,2M

)

Mid

dle

(457

,2-9

14,4

M)

Low

er(9

14,4

-182

8,8

M)

3.2.4.5 Hubungan Stratigrafi

Marginulina sp.

Cibicides sp.

Bathysiphon sp.

Valvulina sp.

Nonion sp.

Bolivina sp.

Gaudryna sp.Bulimina sp.Uvigerina sp.Cibicides sp.

Page 63: Bab III Stratigrafi

129

Berdasarkan umurnya hubungan stratigrafi antara satuan batupasir bulu

kajuarabanda dengan satuan rijang dibawahnya adalah selaras. Pada kenampakan

lapangan, umumnya batupasir bulu kajuarabanada ini mengadung sisipan rijang yang

dapat diintrepretasikan bahwa umur pembentukan batupasir bulu kajuarabanda dan

rijanng adalah selaras. Adapan hubungan stratigrafinya dilapangan dibatasi oleh

kontak sesar naik yang dicirikan oleh keberadaan breksi rijang dan breksi pasir diatas

satuan batupasir dan dibawah satuan rijang.

3.2.5 Satuan batupasir siloro

Pembahasan tentang satuan batupasir pada daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi meliputi

karakteristik megaskopis dan petrografis, umur, lingkungan pengendapan dan

hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

3.2.5.1 Dasar penamaan

Dasar penamaan satuan batupasir yaitu berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang berdasarkan atas ciri litologi dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam sekala peta 1:25.000.

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini terbagi atas dua cara yaitu

penamaan batuan secara megaskopis dan penamaan batuan secara mikroskopis.

Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat fisik dan

komposisi mineralnya yang kemudian penamaannya menggunakan klasifikasi ukuran

Page 64: Bab III Stratigrafi

130

butir menurut Wentworth (1922) dalam Pettijohn (1969). Adapun analisis petrografis

dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk pengamatan sifat fisik dan optik

mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik. Pengamatan secara

petrografis ini menggunakan klasifikasi batupasir menurut Pettijohn (1975) dalam

Graha (1987).

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu batupasir, batulempung, konglomerat

dan batubara. Litologi yang paling dominan pada satuan ini yaitu batupasir. Untuk

membedakan dengan satuan batupasir lainnya yang terdapat pada daerah penelitian,

maka penamaan satuan juga digunakan nama lokasi geografi tempat batuan

ditemukan paling dominan. Berdasarkan hal tersebut maka satuan ini dinamakan

satuan batupasir siloro.

3.2.5.2 Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 1.87 % dari luas keseluruhannnya

atau sekitar 0.77 km2. Penyebaran satuan ini berada di sebelah barat daerah penelitian

yang menempati daerah bukit pada dusun siloro desa Mangilu. Jurus kedudukan

batuan secara umum berarah relatif barat daya – timur laut dengan kemiringan relatif

kearah barat laut dengan besar sudut rata-rata 100 - 150.

Ketebalan dari satuan ini pada lokasi penelitian berdasarkan hasil dari

perhitungan penampang geologi A – B yaitu 200 m (Lihat peta geologi).

3.2.5.3 Ciri litologi

Page 65: Bab III Stratigrafi

131

Litologi yang menyusun satuan ini terdiri batupasir kuarsa, batulempung,

konglomerat dan batubara. Kenampakan lapangan dari batupasir stasiun 40 yaitu

dalam keadaan segar berwarna putih dan warna lapuk kecoklatan, tekstur klastik;

ukuran butir pasir sedang, sortasi baik, struktur berlapis (N 200oE/10o), nama batuan

Batupasir sedang (Wentworth,1922) (foto 3.39 dan 3.40).

Kenampakan petrografis batupasir dari sayatan nomor M/WSN/40 ini

berwarna transparan - kecoklatan pada nikol sejajar, putih keabu - abuan pada nikol

silang, ukuran butir 0.01 – 0.4 mm, bentuk mineral subrounded – rounded, sortasi

sedang, kemas tertutup, komposisi material berupa mineral kuarsa (75%), klorit (5%),

dan pori (20%). Nama batuan Quartzwacke (Pettijohn, 1975) (foto 3.41).

Foto 3.39. Kenampakan singkapan batupasir kuarsa berselingan dengan batulempung yang dijumpai pada stasiun 41, difoto relatif ke arah N 95oE

Page 66: Bab III Stratigrafi

132

Foto 3.40. Kenampakan singkapan batupasir kuarsa berselingan dengan batulempung yang di intrusi oleh batuan beku Trakit. Dijumpai pada stasiun 54, difoto relatif ke arah N 30oE

Foto 3.41. Mikrofotograf Quartzwacke sayatan M/WSN/40, dengan komposisi mineral kuarsa (Q), mineral lempung (Ml) dan mineral opak (Mo) pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali

Page 67: Bab III Stratigrafi

133

Kenampakan lapangan dari batupasir sedang stasiun 76 yang merupakan

anggota dari satuan batupasir yaitu dalam keadaan segar berwarna abu-abu dan

warna lapuk kecoklatan, tekstur klastik halus, ukuran butir pasir sedang , struktur

berlapis (N 10oE/55o) komposisi kimia silika, nama batuan : Batupasir sedang

(Wenworth,1922) (foto 3.42).

Kenampakan petrografis batupasir sedang dari sayatan nomor st.76,

memperlihatkan warna transparan - kecoklatan pada nikol sejajar, putih keabu -

abuan pada nikol silang, tekstur klastik halus, ukuran butir 0.01 – 2.4 mm, bentuk

mineral subrounded – subangular, sortasi sedang, kemas tertutup, komposisi material

berupa mineral kuarsa (10%),biotit (3%), glaukonit (5%), rock fragmen (17%) dan

pori (5%), semen berupa klorit dan silika (60%), nama batuan : Lithic Graywacke

(Pettijohn,1975) (foto 3.43).

Foto 3.42. Kenampakan singkapan batupasir sedang yang dijumpai pada stasiun 76, difoto relatif ke arah N 80oE

Page 68: Bab III Stratigrafi

134

Kenampakan lapangan dari batulempung stasiun 40 yang merupakan anggota

dari satuan batupasir yaitu dalam keadaan segar berwarna abu-abu kehitaman dan

warna lapuk coklat kehitaman, tekstur klastik, ukuran butir lempung , struktur

berlapis (N 350oE/10o), komposisi mineral yaitu pirit dan urat kuarsa. Soil yang ada di

sekitar singkapan berwarna coklat (foto 3.44).

Kenampakan lapangan dari konglomerat stasiun 42 yang merupakan anggota

dari satuan batupasir yaitu dalam keadaan segar berwarna kemerahan dan warna

lapuk coklat kemerahan, tekstur klastik kasar, ukuran butir fragmen 7 – 8 cm,

komposisi material fragmen berupa rijang dan batupasir, matriks dan semen berupa

rijang dan mineral lempung (3.45).

Foto 3.43. Mikrofotograf Lithic Gracwacke M/WSN/76, dengan komposisi material berupa rock fragmen (Rf), kuarsa (Q), biotit (Bt), glaukonit (Gl) dan pori (Po). Di foto pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50x

Page 69: Bab III Stratigrafi

135

Foto 3.44. Kenampakan singkapan batulempung dengan sisipan batuabara dijumpai pada stasiun 40, difoto relatif ke arah N 270oE

Foto 3.45. Kenampakan singkapan konglomerat dengan fragmen berupa rijang dan batupasir dengan matriks dan semen berupa rijang dijumpai pada stasiun 42, difoto relatif ke arah N 5oE

Page 70: Bab III Stratigrafi

136

3.2.5.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan lingkungan pengendapan dan umur dari satuan batupasir ini

ditentukan berdasarkan kesamaan ciri fisik, kesamaan litologi dan lokasi tipe daerah

penelitian terhadap satuan yang telah resmi.

Ciri fisik dari batupasir di daerah penelitian yaitu dalam keadaan segar

berwarna putih, dalam keadaan lapuk berwarna kecoklatan, batupasir ini dijumpai

bersama- sama dengan batulempung, konglomerat dan sisipan batubara.

Berdasarkan kesamaan ciri fisik dari satuan batupasir yang beranggotakan

batupasir, batulempung, konglomerat dan sisipan batubara, serta lokasi geografi yang

relatif dekat maka umur relatif dari satuan batupasir ini dapat disebandingkan dengan

batupasir Formasi Mallawa dengan lokasi tipe desa Mallawa, dimana satuan batupasir

Mallawa tersebut berumur Eosen Bawah - Eosen Atas, dan terendapkan pada

lingkungan muara sungai (delta), (Sukamto, 1975 ; Wilson ,1995).

Penentuan lingkungan pengendapan ini juga dapat menggunakan komposisi

ciri fisik, komposisi material dan struktur sedimen, dimana pada daerah penelitian

batulempung yang dijumpai berwarna hitam yang menunjukkan daerah reduksi,

kehadiran batubara mencirikan daerah delta, struktur sedimen laminasi dengan

perselingan batupasir dan batulempung mencirikan daerah yang relatif tenang, serta

komposisi mineral pada batupasir yang didominasi oleh mineral kuarsa serta anggota

satuan batuannya berupa konglomerat yang mencirikan lingkunga pengendapan

darat. Olehnya itu berdasarkan data – data diatas dapat diinterpretasikan bahwa

lingkungan pengendapan daerah penelitian yaitu daerah Delta (Muara sungai).

Page 71: Bab III Stratigrafi

137

3.2.5.5 Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan umurnya hubungan stratigrafi antara satuan batupasir siloro

dengan satuan batupasir bulu kajuarabanda dibawahnya adalah tertindih tidak

selarasdan kotak sesar, dimana satuan batupasir siloro berumur Eosen Bawah -

Eosen Atas sedangkan umur satuan batupasir bulu kajuarabanda adalah Kapur Atas

(Sukamto,1982). Hubungan stratigrafinya dilapangan dicirikan oleh adanya

konglomerat, dengan komposisi material fragmen dan matriks berupa rijang dan

batupasir yang disemen oleh rijang. Kontak struktur dicirikan oleh adanya breksi

pasir bulu kajuarabanda, zona hancuran, dan lipatan seret pada batupasir siloro.

3.2.6 Satuan batugamping

Pembahasan tentang satuan batugamping pada daerah penelitian meliputi

uraian mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi meliputi

karakteristik megaskopis dan petrografis, umur, lingkungan pengendapan dan

hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

3.2.6.1Dasar penamaan

Dasar penamaan satuan batugamping ini yaitu berdasarkan atas ciri litologi

dan penyebaran yang mendominasi pada satuan batuan ini secara lateral serta dapat

terpetakan dalam sekala peta 1:25.000. Litologi yang menyusun satuan ini yaitu

Page 72: Bab III Stratigrafi

138

batugamping, berdasarkan hal tersebut maka penamaan satuan ini yaitu satuan

batugamping.

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini terbagi atas dua cara yaitu

penamaan batuan secara megaskopis dan penamaan batuan secara mikroskopis.

Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat fisik dan

komposisi mineralnya yang kemudian penamaannya menggunakan klasifikasi batuan

sedimen menurut Selley (1976) dalam Endarto (2005) (tabel 3.8).

Adapun analisis petrografis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik dan optik mineral serta pemerian komposisi mineral secara

spesifik. Pengamatan secara petrografis ini menggunakan klasifikasi batuan karbonat

menurut Dunham (1962) dalam Tucker dan Wright (1990) (tabel 3.9).

BATUAN KARBONAT

KLASTIK NON KLASTIK

Dominan detritus karbonat

Dominan detritus fosil

Pertumbuhan Fosil

Kristalin

Kalsirudit

Kalkarenit

Kalsilutit

Batugamping bioklastik

Batugamping kerangka koral

Batugamping kristalin

Tabel 3.10 Klasifikasi batuan karbonat menurut, Dunham (1962) dalam Tucker dan Wright (1990)

Tabel 3.9 Klasifikasi batuan karbonat bedasarkan tekstur klastik dan non klastik Selley (1976) dalam Endarto (2005)

Page 73: Bab III Stratigrafi

139

3.2.6.2 Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 43,44% dari luas keseluruhan daerah

penelitian atau sekitar 17,81 km2. Penyebaran satuan ini yang tersebar di pusat

daerah penelitian menyebar ke barat, barat laut, barat daya hingga tenggara daerah

penelitian meliputi daerah dusun Accedang, dusun Tenetelasitae, dusun Mangilu,

dusun siloro, bulu bontomasuji, bulu sipokko, bulu pacola, dusun Ballea dan dusun

Gantisang. Satuan batugamping ini tersingkap dengan kondisi segar pada daerah ini.

Jurus daripada kedudukan batuan secara umum berarah relatif Barat laut – tenggara

dengan kemiringan relatif ke arah timur Laut dengan besar sudut rata-rata 250 - 640.

Ketebalan dari satuan ini pada lokasi penelitian berdasarkan hasil dari

perhitungan penampang geologi A – B yaitu 1.525 m dan pada penampang geologi

C – D yaitu 1000 m (Lihat peta geologi).

3.2.6.3 Ciri litologi

Page 74: Bab III Stratigrafi

140

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu batugamping, yang terdiri dari

batugamping bioklastik yang mengandung fosil foraminifera besar berupa

nummulites sp., discocyclina sp., lepidocyclina sp. dan batugamping kristalin yang

mengandung kalsit.

Kenampakan lapangan dari batugamping bioklastik, stasiun 163 dalam

keadaan segar berwarna putih keabu – abuan dan dalam keadaan lapuk berwarna

coklat kehitaman, tekstur klastik, ukuran butir 16 – 32 mm, umumnya tersusun oleh

fosil foram besar. Struktur berlapis (N 350oE/ 45o). Berdasarkan klasifikasi Selley

(1976) batugamping ini dinamakan batugamping bioklastik. Singkapan batugamping

bioklastik ini ditemukan pada daerah dusun gantisang, bulukumba, bulu sipokko,

Mangilu dalam, dan dusun Tabo-tabo tua (foto 3.46).

Kenampakan petrografis batugamping bioklastik, dengan nomor sayatan

M/WSN/163 dengan warna nikol sejajar berwarna kuning kecoklatan, warna

interferensi pada nikol silang kuning kecoklatan. Tekstur batuan bioklastik, struktur

berlapis, komposisi material terdiri dari grain (skeletel grain), dan mud. Grain

berupa skeletal grain (60%) terdiri dari Discocyclina sp., Echinoderm sp., Corallina

sp., Coral sp., cangkang mollusca (pelecypoda), dan mud (40%), nama batuan

Packstone (Dunham, 1962 dalam Tucker dan Wright, 1990) (foto 3.47 dan 3.48).

Kenampakan lapangan dari batugamping bioklastik (Selley,1976) pada

stasiun 19 dalam keadaan segar berwarna coklat dan dalam keadaan lapuk berwarna

coklat kehitaman, tekstur klastik, ukuran butir 16 – 32 mm. Struktur berlapis

(N 350oE/ 35o). Singkapan batugamping iniditemukan dalam keadaan segar pada

Page 75: Bab III Stratigrafi

141

daerah dusun Gantisang, Bulukumba, Bulu Sipokko, Bulu Pacola, Bulu Bontomasuji,

Accedang ,Mangilu dalam, dan dusun Tabo-tabo tua (foto 3.49).

Kenampakan petrografis Grainstone (Dunham, 1962 dalam Tucker dan

Wright,1990) (foto 3.50 dan 3.51), dengan nomor sayatan M/WSN/19 dengan warna

nikol sejajar berwarna kuning kecoklatan, warna interferensi pada nikol silang kuning

kecoklatan. Tekstur batuan bioklastik, struktur berlapis, komposisi material terdiri

dari grain (skeletel grain) dan mud (lumpur karbonat). Grain berupa foram besar

Nummulites sp., dan foram kecil plankton dan bentos (70%) dan mud (30%).

Foto 3.46. Kenampakan singkapan batugamping bioklastik dengan kandungan fosil berupa cangkang Mollusca dan foram besar. Dijumpai pada stasiun 163, difoto relatif ke arah N 250oE

Page 76: Bab III Stratigrafi

142

Foto 3.47. Mikrofotograf batugamping “Packstone” nomor sayatan M/WSN/163, dengan komposisi material berupa fosil foram besar, echinoderm sp., coral sp., dan mud pada kenampakan nikol sejajar

Page 77: Bab III Stratigrafi

143

Foto 3.48. Mikrofotograf batugamping “Packstone” nomor sayatan M/WSN/163, dengan komposisi material berupa fosil corallina sp. dan mud pada kenampakan nikol sejajar dengan perbesaran 50 kali

Foto 3.49. Kenampakan singkapan batugamping bioklastik dengan kandungan fosil berupa foram besar. Dijumpai pada stasiun 19, difoto relatif ke arah N 50oE

Page 78: Bab III Stratigrafi

144

Kenampakan lapangan dari batugamping kristalin (Selley,1976).

batugamping st.22, dalam keadaan segar berwarna putih keabua - abuan, dan dalam

keadaan lapuk berwarna kecoklatan, tekstur non klastik (kristalin), umumnya

tersusun oleh mineral kalsit. Struktur berlapis (N 340oE/ 32o),Singkapan batugamping

ini ditemukan pada sebelah tenggara bulu bontomasuji (foto 3.52).

Kenampakan petrografis batugamping Crystalline (Dunham, 1962 dalam

Tucker dan Wright,1990), dengan nomor sayatan M/WSN/22 (foto 3.53).dengan

warna nikol sejajar berwarna kuning kecoklatan, warna interferensi pada nikol

Foto 3.50. Mikrofotograf batugamping Grainstone nomor sayatan M/WSN/19, dengan komposisi material berupa fosil foram besar plankton dan bentos, corallina sp., dan mud pada kenampakan nikol sejajar dengan perbesaran 50x

Foto 3.51. Mikrofotograf batugamping Grainstone nomor sayatan M/WSN/19, dengan komposisi material berupa fosil Nummulites sp., foram plankton dan mud pada kenampakan nikol sejajar dengan perbesaran 50x

Page 79: Bab III Stratigrafi

145

silang kuning kecoklatan. Tekstur batuan non klastik, struktur berlapis, komposisi

material terdiri dari mineral karbonat (90%) dan mud 10%.

Foto 3.52. Kenampakan singkapan batugamping kristalin. Dijumpai pada stasiun 22, difoto relatif ke arah N 150oE

Page 80: Bab III Stratigrafi

146

3.2.6. Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur dari satuan batugamping di daerah penelitian digunakan

umur relatif yaitu berdasarkan posisi stratigrafi dan kandungan fosil mikro yang

terkandung dalam batuan. Pada pengamatan petrografis dijumpai kandungan fosil

berupa Globigerinoides altiaperturus BOLLI, Hastigerina aequilateralis (BRADY),

Globigerinoides obliqus BOLLI , Globorotallia crassaformis (GALLOWAI and

WISSLER), Globigerinoides extremus BOLLI and BERMUDEZ, Globigerina

seminulina SCHWAGER, dan Praeglobotruncana citae (BOLLI) (foto 3.54).

Sedangkan pada pengamatan mikropaleontologi satuan batugamping dijumpai

kandungan fosil berupa Hastigerina micra (COLE) ,Globigerina ampliaperturra BOLLI,

Globigerina nepenthes TODD, Globorotalia Praemenardii CUSHMAN and STAINFORTH,

Globigerina gravelli BRONNIMAN, Globigerinoides sacculiferus BRADY, Globigerina

venezuelana HEDBERG, Globorotalia renzi BOLLI, Globorotalia dutertrei (D’ORBIGNY),

Globorotalia archeomenardii BOLLI, Globorotalia spinulosa CUHSMAN, dan

Globorotalia praebulloides BLOW ( foto 3.55).

Foto 3.53. Mikrofotograf batugamping “Crystalline” M/W/22, dengan komposisi material berupa kalsit (90%) dan mud pada kenampakan nikol sejajar dengan perbesaran 50 kali

FOSIL PLANKTONIK

Globorotalia obesa BOLLI

Globigerinoides altiaperturus BOLLI

Globigerina seminulina

SCHAWAGER

Globorotalia Praemenardii

CUSHMAN and STAINFORTH

Globigerinoides subquadratus

BRONNIMANN

Globigerinoides immaturus LEROY

Page 81: Bab III Stratigrafi

147

Foto 3.54 Kenampakan Kandungan fosil foraminifera kecil planktonik pada mikroskop polarisasi yang dijumpai pada batugamping stasiun 19 (Postuma, 1971)

Hastigerina micra(COLE)

Globigerina ampliapertura BOLLI

Globigerinoides sacculiferus BRADY

Globorotalia archeomenardii BOLLI

Globorotalia praebulloides BLOW

Globigerina gravelli BRONNIMAN

Globoquadrina dehiscens CHAPMAN, PARR and COLLINS

Globorotalia renzi BOLLI

Globorotalia mayeri CUSHMAN and ELLISOR

FOSIL PLANKTONIK

Globorotalia spinulosa CUHSMAN

Page 82: Bab III Stratigrafi

148

Foto 3.55 Kenampakan Kandungan fosil foraminifera kecil planktonik pada mikroskop binokuler yang dijumpai pada batugamping stasiun 19 dan 163 (Postuma, 1971)

Page 83: Bab III Stratigrafi

71

67

Page 84: Bab III Stratigrafi

FOSIL FORAMINIFERA PLANKTONIK

35

PALEOSEN

EOSEN OL

IGO

SE

N

MIOSEN PL

IOS

EN

QU

AR

TE

RBAWAH TENGAH ATAS BAWAH TENGAH ATAS

Hastigerina micra (COLE)Globigerina ampliapertura BOLLIGlobigerina gravelli BRONNIMANGlobigerinoides sacculiferus BRADYGloboquadrina dehiscens (CHAPMAN, PARR and COLLINS)Globorotalia renzi BOLLIGloborotalia mayeri CUHSMAN and ELLISORGloborotalia archeomenardii BOLLIGloborotalia spinulosa CUHSMANGlobigerina praebulloides BLOWGlobigerinoides altiaperturus BOLLIGlobigerina seminulina SCHAWAGERGloborotalia obesa BOLLIGlobigeriniodes subquadratus BRONNIMANNGlobigerinoides immaturus LEROY

P. 2

P.1

P. 3

P. 4

P. 5

P. 6

P. 7

P. 8

P. 9

P. 10

P. 11

P. 12

P. 13

P. 14

P. 15

P. 16

N1(=P.19/20)

N.2.(=

P.21)

N.3(=

P.22)

N.4

N.5

N.6

N.7

N.8

N.9

N.10

N.14N.13

N.12N.11

N.15

N.16

N.17

N.18

N.19

N.23

PROPOSED BYBLOW1969

67

UMUR

Tabel 3.11 Penentuan umur satuan batugamping menggunakan zonasi Blow,1969

Page 85: Bab III Stratigrafi

35

67

Page 86: Bab III Stratigrafi

150

Berdasarkan kisaran – kisaran hidup fosil – fosil foraminifera plantonik

POSTUMA (1971) maka dapat diinterpretasikan bahwa umur satuan batugamping

daerah Mangilu yaitu Miosen Bawah bagian Atas sampai Miosen Tengah bagian

Bawah yang ditandai dengan pemunculan awal dan pemunculan akhir fosil

Globorotalia archeomenardii BOLLI atau dapat disebandingkan dengan Zonasi

BLOW (1969), yaitu pada zonasi N.8 –N.9 yang ditandai dengan pemunculan awal

fosil Globorotalia bulibrooki sampai pemunculan akhir fosil Globorotalia (G) tumida

– tumida – Sphaeroidinellopsis subdehiscens paenedehiscens (tabel 3.10).

Penentuan umur juga dilakukan dengan menggunakan analisis fosil

foraminifera besar, dimana berdasarkan hasil pengamatan petrografis, dijumpai fosil-

fosil foraminifera besar berupa Miogypsina sp., Discocyclina sp., Fusarchias

bermudezi, Guppyella miocenica (Cushman), Coral sp., Corallina sp., Somalina

stefaninii A. Silvestri, Orbitoclypeus Nummuliticus (Gumbel), Lepidocyclina mantelli

(Morton), Nummulites LAMARCK, , Nephrolepidina pustulosa (H.Douville),

Linderina brugesi Schlumberger, dan Eulinderina guayabalensis (Nuttall)

(foto 3.56).

67

Page 87: Bab III Stratigrafi

151

67

FOSIL FORAM BESAR DAN CORAL

Foto 3.56 Kenampakan Kandungan fosil foram besar dan Coral sp. pada mikroskop polarisasi yang dijumpai pada batugamping stasiun 19 dan 163 (Tappan et al., 1988)

Somalina stefaninii A.Silvestri

Coral sp. Guppyella miocenica (Cushman)

Fusarchaias bermudezi Reichel

Miogypsina sp.Nummulites LAMARCK,

Orbitoclypeus nummuliticus (Gumbel).

Lepidocyclina mantelli (Morton)

Nephrolepidina pustulosa (H.Douville)

Linderina brugesi Schlumberger

Eulinderina guayabalensis (Nuttall)

Nummulites LAMARCK,

Corallina (Alga sp.) Miogypsina sp. Discocyclina sp.

Page 88: Bab III Stratigrafi

152

Berdasarkan kandungan fosil tersebut, maka dapat diketahui umur satuan

batugamping dengan menggunakan tabel “preliminary Range Chart of Imprtant

Foiraminifera Indonesia (P.Bauman,1971) yaitu berumur Eosen Tengah sampai

Miosen Atas yang dapat disetarakan pada zona Tb hingga f 1-2 (tabel 3.11).

Penentuan lingkungan pengendapan dari batugamping ditentukan berdasarkan

ciri fisik serta kandungan fosil yang dijumpai. kenampakan lapangan memperlihatkan

satuan batugamping utamanya disusun oleh fosil foraminifera besar, fosil pelecypoda

filum Mollusca dan mineral-mineral dengan kandungan unsur CaCO3 yang

mencirikan laut dangkal. Sedangkan berdasarkan kandungan fosil mikro bentonik

yang dijumpai dalam pengamatan mikropaleontologi berupa Discorbis sp., Textularia

sp., Dentalina sp., Nonion sp., Nodosaria sp., Robulus sp., Lagena sp., Elphidium

sp., (foto 3.49) serta pengamatan petrografis berupa Gastropoda sp., Glandulina sp.,

Pellatispira rutteni, Nodosarella sp., Quinquecloculina sp., Dentalina sp.,

Loxostonum sp., Lenticulina sp., Marginulina sp., Pleurostromella sp. dan Nodosaria

sp., (3.57 dan 3.58).

Page 89: Bab III Stratigrafi

154

67

Page 90: Bab III Stratigrafi

35

EOSEN OLIGOSEN MIOSEN

PL

IOS

EN

T

O

RE

SE

NT

UMUR

Ta Tb Tc TdEarly late early late

Tg Th

Rec

ent

LETTER STAGESe 1 – 3 e 4-5 f 1-2 f3

Miogypsina sp.Discocyclina sp.Nummulites LAMARCKLepidocyclina sp.Fusarchias bermudeziGuppyella miocenica (Cushman)Coral sp.Corallina sp.Somalina stefaninii A. SilvestriOrbitoclypeus Nummuliticus (Gumbel)Lepidocyclina mantelli (Morton)Nephrolepidina pustulosa (H.Douville)Linderina brugesi SchlumbergerEulinderina guayabalensis (Nuttall).

67

Tabel 3.12. Penentuan umur dengan menggunakan klasifikasi huruf Foraminifera besar di Indonesia (P.Bauman,1971)

Page 91: Bab III Stratigrafi

35

67

Page 92: Bab III Stratigrafi

154

67

FOSIL BENTONIK

Foto 3.57 Kenampakan kandungan fosil foraminifera kecil bentonik pada mikroskop binokuler yang dijumpai pada batugamping stasiun 19 dan 163 (Cushman, 1983)

FOSIL BENTONIK

Elphidium sp.

Nodosaria sp.

Textularia sp.

Robulus sp. Lagena sp.

Dentalina sp. Nonion sp.

Page 93: Bab III Stratigrafi

155

FOSIL BENTONIK

Foto 3.58 Kenampakan Kandungan fosil foraminifera kecil bentonik pada mikroskop polarisasi yang dijumpai pada batugamping stasiun 19 dan 163 (Tappan et al., 1988)

Nummulites sp.

Pleurostromella sp.Glandulina sp. Miliola sp. Nodosaria sp.

Lenticulina sp. Miosen

Marginulina sp.Massilina secans(d’Orbigny)

Quinquecloculina subarenaria Cushman

.

Nodosarella sp.

Quinquecloculinaseminula (Linne)

Loxostonum sp. Dentalina sp.

Massilina pratti CUSHMAN and

ELLISOR

Dentalina sp. Gastropoda sp.

Page 94: Bab III Stratigrafi

156

Tabel 3. 13 Penentuan Lingkungan pengendapan satuan batugamping menurut Bandy (1967) dalam Pringgoprawiro dan Kapid (2000)

Sun

gai

Transisi NeritikBathyal

Aby

sal (

1828

,8 –

487

6,8

M)

Had

al >

487

6,8

M

Kandungan fosilBentonik

Raw

a

Lag

oon

Flu

vial

- M

arin

e

Pan

tai T

erbu

ka

Inne

r(0

-30,

48 M

)

Mid

dle

(30,

48-9

1,44

M)

Out

er

(91,

44—

182,

88 M

)

Upp

er(1

82,8

8-45

7,2M

)

Mid

dle

(457

,2-9

14,4

M)

Low

er(9

14,4

-182

8,8

M)

. Berdasarkan kandungan fosil yang terdapat dalam batuan tersebut, dengan

klasifikasi biofasies Bandy (1967), maka dapat diketahui bahwa lingkungan

pengendapan dari satuan batugamping tersebut adalah Inner - Middle Neritik, dengan

kedalaman 0 – 91,44 m (tabel 3.12).

Textularia sp.

Dentalina sp.

Nodosaria sp.

Nonion sp.

Robulus sp.

Lagena sp.

Elphidium sp.

Glandulina sp.

Nodosarella sp.

Quinquecloculinasp.

Lenticulina sp.

Loxostonum sp.

Marginulina sp.

Pleurostromella sp.

Page 95: Bab III Stratigrafi

157

3.2.6.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan batugamping dengan satuan batupasir

siloro dibawahnya adalah selaras, hal ini didasarkan pada umur satuan batugamping

yang berumur Eosen Bawah bagian Atas – Miosen Tengah bagian Bawah dan umur

satuan batupasir siloro yang berumur Eosen Bawah – Eosen Tengah. Pada

kenampakan di lapangan hubungan stratigrafi antara kedua batuan dapat dilihat dari

kekdudukan batuan antara batugamping dan batupasir siloro pada dusun siloro yang

menujukkan batupasir siloro tertindih oleh batugamping, tanpa adanya bidang

ketidakselarasan.

3.2.7 Satuan Trakit

Pembahasan tentang satuan Trakit pada daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran, ciri litologi meliputi karakteristik megaskopis

dan petrografis, umur, lingkungan penmbentukan dan hubungan stratigrafi dengan

satuan batuan lainnya.

3.2.7.1 Dasar penamaan

Dasar penamaan satuan batugamping ini yaitu berdasarkan atas ciri litologi

dan penyebaran yang mendominasi pada satuan batuan ini secara lateral serta dapat

terpetakan dalam sekala peta 1:25.000. Litologi yang menyusun satuan ini yaitu

Trakit, berdasarkan hal tersebut maka penamaan satuan ini yaitu satuan intrusi Trakit.

Page 96: Bab III Stratigrafi

158

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini terbagi atas dua cara yaitu

penamaan batuan secara megaskopis dan penamaan batuan secara mikroskopis.

Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat fisik dan

komposisi mineralnya yang kemudian penamaannya menggunakan klasifikasi batuan

beku (Travis, 1955).

Adapun analisis petrografis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik dan optik mineral serta pemerian komposisi mineral secara

spesifik. Pengamatan secara petrografis ini menggunakan klasifikasi batuan beku

Travis (1955) (tabel 3.13).

Tabel 3.14 Klasifikasi batuan beku menurut Travis (1955)

Page 97: Bab III Stratigrafi

159

3.2.7.2 Penyebaran

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 18,70% dari luas keseluruhan daerah

penelitian atau sekitar 7,66 km2. Penyebaran satuan ini meliputi bulu malotong, bulu

erasa dan beberapa bukit di daerah dusun bunea. Satuan trakit ini tersingkap dengan

kondisi segar pada daerah ini dan pada daerah bunea telah mengalami pelapukan

membentuk kaolin.

3.2.7.3 Ciri litologi

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu batuan beku trakit. Kenampakan

lapangan dari trakit dalam keadaan segar berwarna abu – abu sampai putih dan dalam

keadaan lapuk berwarna kecoklatan, tekstur porfiritik, hypokristalin, inequigranular,

struktur massive dengan bentuk mineral euhedral - subhedral umumnya tersusun

oleh mineral sanidin dan ortoklas dalam bentuk fenokris yang tertanam dalam massa

dasar faneritik, nama batuan : Trakit (Travis, 1955) (foto 3.59).

Kenampakan petrografis batuan beku Trakit, dengan nomor sayatan

M/WSN/56 ini berwarna coklat pada nikol sejajar, abu – abu terang pada nikol

silang, tekstur porfirofaneritik, tekstur khusus trakitik, massa dasar faneritik,

komposisi mineral terdiri dari Sanidin (15%), Biotit (25%), mineral opaq (5%) yang

tertanam dalam massa dasar mikrolit – mikrolit plagioklas (55%), nama batuan

Trakit (Travis, 1955) (pemerian petrografis terlampir) (foto 3.60 dan 3.61).

Page 98: Bab III Stratigrafi

160

Foto 3.59. Kenampakan singkapan intrusi trakit pada bulu erasa. Dijumpai pada stasiun 56, difoto relatif ke arah N 250oE

Foto 3.60. Mikrofotograf batuan beku Trakit nomor sayatan M/WSN/56, dengan komposisi mineral berupa Biotit (Bt), sanidin (Sn) dan massa dasar mikrolit – mikrolit plagioklas (Md), pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali

Page 99: Bab III Stratigrafi

161

3.2.2. 4 Umur dan Lingkungan Pembentukan

Penentuan umur dan lingkungan pembentukan dari satuan trakit ditentukan

berdasarkan berdasarkan pada ciri fisik litologi, letak geografis, posisi stratigrafi,

data-data lapangan dan prinsip kesebandingan terhadap stratigrafi regional daerah

penelitian serta hasil peneliti terdahulu dengan berlandaskan pada dominasi dan

kesamaan ciri fisik litologi yang dijumpai maupun pengamatan petrografis, serta

perbandingan terhadap lokasi tipe formasi yang disebandingkan.

Penentuan umur dari satuan trakit di daerah penelitian digunakan umur relatif

dengan berdasarkan pada umur satuan batuan termuda yang diterobosnya serta

kesebandingan litologi terhadap penelitian terdahulu.

Foto 3.61 . Mikrofotograf batuan beku Trakit M/WSN/56, dengan komposisi mineral berupa mineral Biotit (Bt), Sanidin (Sn) dan massa dasar mikrolit – mikrolit plagioklas (Md), pada kenampakan nikol silang dengan perbesaran 50 kali

Page 100: Bab III Stratigrafi

162

Satuan trakit yang disebandingkan mempunyai warna segar abu-abu

kehitaman – putih, dalam keadaan lapuk berwarna kecoklatan dengan tekstur

kristalinitas: hipokristalin, granularitas: porfiritik, bentuk euhedral - subhedral, relasi

inequigranular,struktur massif, komposisi mineral umumnya berupa sanidin dalam

bentuk fenokris dengan ukuran panjang sampai 2,5 cm, biotit, dan mikrolit-mikrolit

plagioklas.

Ciri fisik dari trakit yang merupakan batuan terobosan, berwarna putih

keabuan sampai kelabu, bertekstur porfiri kasar dengan fenokris sanidin sampai 3 cm

panjangnya (Sukamto, 1982).

Berdasarkan kesamaan uraian ciri-ciri fisik batuan serta dekatnya lokasi tipe,

maka satuan satuan trakit pada daerah penelitian mempunyai nilai kesebandingan

yang tinggi dengan trakit anggota batuan terobosan. Berdasarkan hal tersebut, maka

satuan trakit pada daerah penelitian disebandingkan dengan trakit anggota batuan

terobosan yang berumur 10.9 juta tahun atau Miosen Atas (Indonesia Gulf Oil, 1972

dalam Sukamto, 1982).

Penentuan lingkungan pembentukan dari satuan intrusi ini ditentukan

berdasarkan ciri fisik, tekstur, dan komposisi mineralnya. Kenampakan lapangan

memperlihatkan batuan beku trakit memperlihatkan aliran mineral - mineral fenokris

sanidin, tekstur porfiritik hypokritalin, dengan tesktur khusus trakitik. Berdasarkan

hal tersebut diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa batuan ini terbentuk di dekat

permukaan bumi dalam bentuk stock.

Page 101: Bab III Stratigrafi

163

3.2.7.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan intrusi Trakit dengan satuan batugamping

dengan satuan batupasir siloro adalah kontak intrusi (foto 3.62).

Foto 3.62. Kenampakan singkapan batuan beku Trakit yang mengintrusi batulempung satuan batupasir siloro. Dijumpai pada stasiun 42, difoto relatif ke arah N 70oE

batulempung

Trakit

Page 102: Bab III Stratigrafi

164

Page 103: Bab III Stratigrafi

35

67

Page 104: Bab III Stratigrafi

35

67

Page 105: Bab III Stratigrafi

35

67

Page 106: Bab III Stratigrafi

35

67

Page 107: Bab III Stratigrafi

35

67

Page 108: Bab III Stratigrafi

35

67

Page 109: Bab III Stratigrafi

35

67

Page 110: Bab III Stratigrafi

35

Page 111: Bab III Stratigrafi

35

Page 112: Bab III Stratigrafi

35

Page 113: Bab III Stratigrafi

35