Ok Stratigrafi

132
GEOLOGI , STUDI MIKROFASIES DAN FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN KECAMATAN SAMIGALUH, KECAMTAN KALIBAWANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Oleh : FERY ANDIKA CAHYO 111 070 134 PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA 2011

Transcript of Ok Stratigrafi

Page 1: Ok Stratigrafi

GEOLOGI , STUDI MIKROFASIES DAN FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN KECAMATAN

SAMIGALUH, KECAMTAN KALIBAWANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KULON PROGO

PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Oleh :

FERY ANDIKA CAHYO

111 070 134

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2011

Page 2: Ok Stratigrafi

GEOLOGI , STUDI MIKROFASIES DAN FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN KECAMATAN

SAMIGALUH, KECAMTAN KALIBAWANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KULON PROGO

PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Oleh :

FERY ANDIKA CAHYO

111 070 134

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi

Yogyakarta, September 2011

Menyetujui,

Pembimbing 1

Ir. Sugeng Widada, M.Sc NIP. 19631002 199103 1 001

Pembimbing 2

Dr. Ir. Premonowati, M.T NIP. 19610218 198703 001

Mengetahui,

Ketua Jurusan

Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T NIP. 19581208 199203 1 001

Page 3: Ok Stratigrafi

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus, aku tidak tahu

jawaban atas segala pertanyaan hidup ini tapi aku tahu Siapa yang

memegang jawabannya, terima kasih Tuhan.

2. Bapakku tercinta, atas segala jerih payah dan pengorbanannya, suatu

hari nanti aku akan membuatmu bangga.

3. Ibuku terkasih, atas segala perhatian, tenaga, dan kasih sayangnya,

suatu hari nanti aku akan membuatmu bangga.

4. Kakakku Prita, kakakku Hagni, dan adikku Sagara, atas dukungan,

canda tawa, kasih, yang membuatku tetap semangat dalam

pengerjaan skripsi ini.

5. Saudara-saudariku Michael Hadylaya, Nata Anggoro, Stephanie

Hadylaya, Debie Naomi, Adhyaksa Bagaskara, dan Bayu Aji, kalian

pelipur lara di saat hidup terasa perih, terima kasih atas kebersamaan

dan kehangatannya.

6. Sedimentology brotherhood terdiri atas Iqbal Fardyansyah, Oktavika

Malda, Ardy Suryadi, Reiner Freidrick, Adrean Novadhani, Sutrio

Wibowo, Graniko Rezza, Syamsi Maslamah, Anita, Arif Swastika,

Angga Beny, Saddam, Rezza, Farah, dan Hargi, untuk inspirasi,

pelajaran, kekeluargaan, dan persahabatannya. Kalian mengguratkan

warna yang unik dalam kisah hidupku.

7. Geopangea research team terdiri atas bapak Dr. Ir. C. Prasetyadi,

MT., Zaenal Fanani, Aldis, Iis, Gilang, Hanif, Harmin, Ryan, Popo,

Yuda, Daniar, atas waktu berkualitas yang kita luangkan bersama.

8. Sahabat-sahabatku Ninez, Rani, Puput, Sales, Pose, Vian, Maruli,

Ewa, Jose, Ardo, kalian semua luar biasa, senang mengenal kalian.

9. Adinda Marsita Putri, kamu datang di saat yang tepat, terima kasih

untuk semua pelajaran hidup, terima kasih untuk seberkas cahaya

yang akan selalu menghangatkan jiwa, memang tidak ada yang

namanya kebetulan.

Page 4: Ok Stratigrafi

iv

HALAMAN MOTO

“Tuhan itu baik”

“ There’s nothing you can do that can’t be done. There’s nothing you

can sing that can’t be sung. There’s nothing you can make that can’t be

made. No one you can save that can’t be saved. There’s nothing you can

know that isn’t known. Nothing you can see that isn’t shown. Nowhere

you can be that isn’t where you are meant to be.

All you need is love….”

Page 5: Ok Stratigrafi

v

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala berkat

dan penyertaan-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “Geologi, Studi

Mikrofasies Dan Fase Diagenesis Formasi Jonggrangan Kecamatan Samigaluh,

Kecamatan Kalibawang dan Sekitarnya Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta“ dapat diselesaikan dengan baik.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari peran serta orang-orang yang

telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Ir. Sugeng Rahardjo, M.T, selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi, yang

memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi di Jurusan.

2. Bapak Ir. Sugeng Widada, M.Sc selaku dosen pembimbing 1 dan Ibu

Dr. Ir. Premonowati, M.T. selaku dosen pembimbing 2 yang telah banyak

memberikan masukan, kritik, dan saran-saran dalam penulisan skripsi.

3. Bapak, Ibu, kedua Kakak dan Adik penulis yang telah memberikan banyak

dukungan selama pengerjaan skripsi hingga selesai.

4. Saudara-saudara teknik geologi, Iqbal Fardyansah, Octavika Malda, Zaenal

Fanani, Francisco Carmo Da Costa Tilman, Sutrio Wibowo, Adrean Novadhani,

Jose Sarmento, Edward Ontorael, Graniko Reza Pratama, Anita, Rahmad Indra,

Gilang, Isnianto, Adi Pulung yang telah membantu pemetaan, analisis

laboraterium dan memberi inspirasi penulis untuk menyelesaikan skripsi.

5. Semua pihak yang telah banyak membantu.

Kesempurnaan dan kebenaran hanyalah milik Tuhan. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan

pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, September 2011

Penulis

Page 6: Ok Stratigrafi

vi

SARI

GEOLOGI, STUDI MIKROFASIES & FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN, KECAMATAN SAMIGALUH, KECAMATAN

KALIBAWANG & SEKITARNYA, KABUPATEN KULON PROGO, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh: Fery Andika Cahyo

111.070.134

Daerah penelitian meliputi wilayah Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon

Progo, Propinsi D.I Yogyakarta. Daerah penelitian Secara Geografis terletak pada koordinat

411660– 416760 dan 9147625 – 9152625 UTM Zona 49. Aspek geologi, mikrofasies, dan

fase diagenesis akan menjadi objek telitian yang diangkat pada skripsi ini.Geomorfologi

daearah penelitian dibedakan menjadi dua satuan bentuk asal, yaitu bentuk asal fluvial

dengan bentuk lahan berupa dataran aluvial (F1), dan tubuh sungai(F2) serta bentuk asal

struktural dengan bentuk lahan berupa perbukitan homoklin (S1), dan lembah homoklin(S2).

Stratigrafi yang ada di daerah penelitian dibagi menjadi enam satuan batuan dengan urutan

dari yang paling tua adalah Satuan breksi-monomik Kaligesing(Oligosen akhir Miosen-

awal), Satuan breksi-polimik Dukuh(Oliogesen akhir-Miosen awal), Satuan batugamping-

terumbu Jonggrangan(Miosen tengah), Satuan batugamping-pasiran Sentolo(Miosen tengah,

dan Satuan endapan alluvial(Holosen). Terdapat juga satuan litodem andesit intrusi-Tetes.

Berdasarkan analisis mikrofasies terhadap satuan batugamping-terumbu Jonggrangan jenis

mikrofasies yang muncul di daerah telitian adalah coral floatstone with microspar dominated

matrix, wackestone with micirite and microspar matrix 1, Boundstone 1, lepidocyclina

wackestone to packstone with micirite matrix, Boundstone 2(Coral framestone with

wackestone matrix), dan wackestone with micirite and microspar matrix 2. Perkembangan

Fase diagenesis berupa fase eogenesis, mesogenesis, dan telogenesis terekam dalam

kenampakan mikrofasies yang ada sehingga dapat diintrepertasikan perkembangannya.

Intensitas dari proses diagenesis ini dikontrol oleh beberapa faktor salah satunya adalah

aspek fasies.

Kata kunci: Jonggrangan, Mikrofasies, Fase Diagenesis

Page 7: Ok Stratigrafi

vii

ABSTRACT

GEOLOGY, MICROFACIES & DIAGENETIC PHASE OF JONGGRANGAN FORMATION, SAMIGALUH & KALIBAWANG SUB-DISTRICT, KULON PROGO REGENCY, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PROVINCE

By:

Fery Andika Cahyo

111.070.134

The studied area encompasses the region of Samigaluh and Kalibawang district,

Kulon Progo residence, Daerah Istimewa Yogyakarta Province. It’s precisely located on

X:411660– 416760 and Y: 9147625 – 9152625 coordinate based on UTM 49 Zone. The

thesis emphasizes the effort to understanding geological aspect, microfacies aspect,

diagenetic phase aspect of the object which become the main concern of it.Based on

geomorphic consideration the studied are is distinguished into two basic form, the fluvial

basic form which is subdivided into alluvial plain(F1) and the river body(F2), and the

structural basic form which is subdivided into homoclinal ridges(S1), and homoclinal

valley(S2).The stratigraphy of the studied area is subdivided litostratigraphically into five

different rock units based on litology similiarity supported by comparing its against previous

research which conducted on the same area. From oldest to youngest respectively are

Satuan breksi-monomik Kaligesing(Late Oligocene-Early Miocene), Satuan breksi-polimik

Dukuh(Late Oligocene-Early Miocene), Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan(Middle

Miocene), Satuan batugamping-pasiran Sentolo(Middle Miocene), and finally Satuan

endapan alluvial(Holocene). Litodemic andesite intrusion unit occurred as well.Based on

micofacies analysis on Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan this area is typified by the

occurrence of coral floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite

and microspar matrix 1, Boundstone 1( consist of coral framestone with packstone matrix ,

platy coral bindstone 1, coraline framestone with diverse organism packstone, algae

bindstone, dasycladaceae algae bafflestone, coral framestone with red algae packstone, dan

platy coral bindstone 2), lepidocyclina wackestone to packstone with micirite matrix,

Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix), and wackestone with micirite and

microspar matrix 2.The diagenetic phase of on Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan is

merely complex and depict the relict of eogenetic phase, mesogenetic phase, and telogenetic

phase. Probably it is controlled by several aspect, just to mention the facies.

Key word: Jonggrangan, Microfacies, Diagenetic

Page 8: Ok Stratigrafi

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ iii

HALAMAN MOTO .............................................................................................. iv

UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................. v

SARI....................................................................................................................... vi

ABSTRACT............................................................................................................. vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi

DAFTAR FOTO .................................................................................................. xviii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiv

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang Penelitian .............................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2

1.3. Batasan Masalah ............................................................................................ 2

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian ...................................................................... 2

1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 2

1.6. Hasil Yang Diharapkan ……………………………………………………. 3

1.7. Manfaat Penelitian ………………………………………………………… 3

BAB 2. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………. 5

2.1. Tahap Pendahuluan ………………………………………………………... 5

2.1.1. Penyusunan Proposal dan Kelengkapan Administrasi …………….. 5

2.1.2. Kajian Pustaka ……………………………………………………... 5

2.2. Bahan dan Alat …………………………………………………………….. 6

2.3. Tahap Pelaksanaan …………………………………………………............ 7

2.3.1. Observasi Lapangan ……………………………………………….. 8

2.3.2. Pemetaan Lintasan ………………………………………………… 8

2.3.3. Pembuatan Penampang Stratigrafi Terukur ……………………….. 8

Page 9: Ok Stratigrafi

ix

2.3.4. Pengambilan Sampel Batuan dan Dokumentasi Lapangan ……….. 8

2.4. Tahap Analisis ……………………………………………………………... 8

2.4.1. Petrografi Batuan ………………………………………………...... 8

2.4.2. Analisa Geomorfologi ……………………………………………... 9

2.4.3. Analisa Struktur …………………………………………………… 9

2.4.4. Analisa Sayatan Tipis ……………………………………………… 9

2.4.5. Analisa Kalsimetri ………………………………………………… 9

2.4.6. Analisa Etsa (Etching Method) ……………………………………. 10

2.4.7. Analisa Mikropaleontologi ………………………………………... 10

2.4.8. Analisa Studio ……………………………………………………... 10

2.5. Penyusunan Laporan ………………………………………………………. 10

BAB 3. DASAR TEORI ……………………………………………………….. 12

3.1. Pengertian Batuan Karbonat ………………………………………………. 12

3.2. Klasifikasi Batuan Karbonat ………………………………………………. 12

3.2.1. Klasifikasi Batuan Karbonat Menurut Folk (1959) ……………….. 12

3.2.1.1. Tipe I (Sparry Allochemical Rock) …………………………. 12

3.2.1.2. Tipe II (Microcrystalline Allochemical Rock) ……………… 13

3.2.1.3. Tipe III (Microcrystalline Rock) …………………………….. 13

3.2.1.4. Tipe IV ………………………………………………………. 14

3.2.2. Klasifikasi Batuan Karbonat Menurut Dunham (1962) …………… 15

3.2.2.1. Butiran didukung oleh lumpur ………………………………. 15

3.2.2.2. Butiran saling menyangga …………………………………… 15

3.2.2.3. Komponen yang saling terikat pada waktu pengendapan, dicirikan

dengan adanya struktur tumbuh ……………………………... 15

3.2.2.4. Tekstur pengendapan yang tidak teramati dengan jelas karena

rekristalisasi sangat lanjut …………………………………… 15

3.3. Lingkungan Pengendapan ………………………………………………..... 16

3.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengendapan batuan karbonat ... 16

3.3.1.1. Pengaruh sedimen klastik asal darat…………………………. 16

3.3.1.2. Pengaruh iklim dan suhu………………….…………………. 17

3.3.1.3. Pengaruh kedalaman…………………………………………. 17

3.3.1.4. Faktor mekanik….…………………………………………… 17

Page 10: Ok Stratigrafi

x

3.4. Model Pengendapan Patch Reef............…………………………………..... 18

3.4.1. Fase stabilization................................................................................. 19

3.4.2. Fase colonization ............................................................................... 19

3.4.3. Fase diversification ........................................................................... 19

3.4.4. Fase domination ................................................................................. 19

3.5. Studi Fase Diagenesis Batuan Karbonat...………………………………..... 22

3.5.1. Proses diagenesis batuan karbonat.................................................... 22

3.5.2. Lingkungan diagenesis dari lingkungan modifikasi porositas.......... 24

3.5.2.1. Lingkungan laut…………………...…………………………. 25

3.5.2.2. Lingkungan meteorik…..………………….…………………. 25

3.5.2.3. Lingkungan bawah permukaan………………………………. 26

3.5.2.4. Diagenesis meteorik…………………..……………………… 27

3.5.2.5. Lingkungan zona campuran dan zona vadose laut...………… 28

3.5.2.6. Diagenesis laut…………………………………......………… 29

3.5.2.7. Diagenesis penimbunan…………………………......………… 29

3.5.3. Petrografi morfologi semen................................................................ 34

3.6. Intrepertasi lingkungan pengendapan dengan analisis litofasies................... 37

BAB 4. GEOLOGI REGIONAL ....................................................................... 40

4.1. Fisiografi Regional ....................................................................................... 40

4.2. Stratigrafi Regional ...................................................................................... 41

4.3. Struktur Geologi Regional ........................................................................... 48

4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma) .................... 49

4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)…………............ 51

4.3.3. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)…............... 52

BAB 5. GEOLOGI DAERAH PENELITIAN ................................................. 54

5.1. Geomorfologi Daerah Penelitian ................................................................. 54

5.1.1. Bentuk Asal Fluvial ......................................................................... 56

5.1.1.1. Dataran Aluvial (F1) ............................................................... 56

5.1.1.2. Tubuh Sungai (F2) .................................................................. 57

5.1.2. Bentuk Asal Struktural .................................................................... 58

5.1.2.1. Perbukitan Homoklin (S1) ...................................................... 58

Page 11: Ok Stratigrafi

xi

5.1.2.2. Lembah Homoklin (S2) ...................................................... 59

5.1.3. Pola Pengaliran ................................................................................. 60

5.1.3.1. Pola pengaliran daerah penelitian ........................................... 62

5.2. Stratigrafi Daerah Penelitian ......................................................................... 63

5.2.1. Satuan breksi-monomik Kaligesing.................................................. 63

5.2.1.1. Litologi penyusun .................................................................... 64

5.2.1.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 66

5.2.1.3. Lingkungan pengendapan dan umur ...................................... 67

5.2.1.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 76

5.2.2. Satuan breksi-polimik Dukuh ........................................................... 77

5.2.2.1. Litologi penyusun .................................................................... 77

5.2.2.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 78

5.2.2.3. Lingkungan pengendapan dan umur ....................................... 78

5.2.2.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 84

5.2.3. Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan...................................... 85

5.2.2.1. Litologi penyusun .................................................................... 85

5.2.2.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 86

5.2.2.3. Lingkungan pengendapan dan umur ....................................... 86

5.2.2.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 88

5.2.4. Satuan batugamping-pasiran Sentolo................................................ 90

5.2.4.1. Litologi penyusun .................................................................... 90

5.2.4.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 90

5.2.4.3. Lingkungan pengendapan dan umur ....................................... 91

5.2.4.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 92

5.2.5. Satuan Endapan Aluvial ................................................................. 93

5.2.5.1. Litologi penyusun .................................................................... 93

5.2.5.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 94

5.2.5.3. Umur dan Lingkungan pengendapan ...................................... 94

5.2.5.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 94

5.2.6. Satuan litodemik intrusi andesit........................................................ 95

5.2.6.1. Litologi penyusun .................................................................... 95

Page 12: Ok Stratigrafi

xii

5.2.5.2. Penyebaran ............................................................................... 96

5.2.5.3. Umur dan jenis intrusi ............................................................... 96

5.2.5.4. Hubungan stratigrafis ................................................................ 96

5.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian .............................................................. 98

5.3.1. Sesar mendatar Tetes.......................................................................... 98

5.3.2. Sesar mendatar Ngaren...................................................................... 100

5.4. Sejarah Geologi ......................................................................................... 102

BAB 6. Studi Mikrofasies & Fase Diagenesis Formasi Jonggrangan................ 102

6.1. Studi Mikrofasies Formasi Jonggrangan...................................................... 104

6.1.1. Mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix....... 100

6.1.2. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix........... 100

6.1.3. Asosiasi mikrofasies Boundstone 1................................................... 107

6.1.3.1. Mikrofasies coral framestone with packstone matrix of

Boundstone 1........................................................................... 108

6.1.3.2. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1.............. 109

6.1.3.3. Mikrofasies coraline framestone with diverse organism

packstone of boundstone 1....................................................... 110

6.1.3.4. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1......................... 111

6.1.3.5. Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone

of boundstone 1........................................................................ 112

6.1.3.6. Mikrofasies coral framestone with red algae

packstone of boundstone 1....................................................... 114

6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2

of boundstone 1........................................................................ 115

6.1.4. Mikrofasies lepidocyclina wackestone to packstone with

micirite matrix................................................................................... 117

6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone

with wackestone matrix)...................................................................... 118

6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and

microspar matrix 2……....................................................................... 120

6.2. Studi fase diagenesis Formasi Jonggrangan................................................. 121

Page 13: Ok Stratigrafi

xiii

6.2.1. Fase diagenesis mikrofasies coral floatstone with

microspar dominated matrix……..................................................... 121

6.2.1.1. Sampel LP 8A.................................................................... 121

6.2.2. Fase diagenesis mikrofasies wackestone with

micirite and microspar matrix…........................................................ 122

6.2.2.1. Sampel LP 8B..................................................................... 123

6.2.3. Fase diagenesis mikrofasies coral framestone

with packstone matrix of boundstone 1…........................................... 124

6.2.3.1. Sampel LP 8C..................................................................... 124

6.2.4. Fase diagenesis mikrofasies platy coral

bindstone 1 of boundstone 1............................................................... 125

6.2.4.1. Sampel LP 8D..................................................................... 125

6.2.4.2. Sampel LP 8E..................................................................... 126

6.2.5. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone

with diverse organism packstone of boundstone 1............................. 127

6.2.5.1. Sampel LP 10A................................................................... 128

6.2.6. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae

bindstone of boundstone 1.................................................................. 129

6.2.6.1. Sampel LP 10B................................................................... 128

6.2.7. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae

algae bafflestone of boundstone 1...................................................... 130

6.2.7.1. Sampel LP 10C................................................................... 130

6.2.8. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone

with red algae packstone of boundstone 1.......................................... 131

6.2.8.1. Sampel LP 10D................................................................... 132

6.2.9. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral

bindstone 2 of boundstone 1.............................................................. 132

6.2.8.1. Sampel LP 13A................................................................... 133

BAB 7. POTENSI GEOLOGI ............................................................................ 134

7.1. Potensi Geologi Bersifat Positif..................................................................... 132

7.1.1. Batugamping pasiran.......................................................................... 134

7.1.2. Objek wisata gua…............................................................................. 135

Page 14: Ok Stratigrafi

xiv

7.1. Potensi Geologi Bersifat Negatif……........................................................... 136

7.2.1. Longsor………..…............................................................................. 136

BAB 8. KESIMPULAN ...................................................................................... 136

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 138

LAMPIRAN ........................................................................................................... 140

Page 15: Ok Stratigrafi

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Karakteristik Lingkungan Pengendapan………………………….... 21

Tabel 3.2. Lingkungan diagenesa beserta proses yang berperan………………….. 24

Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... 31

Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... 31

Tabel 5.1. Pembagian unit relief (Van Zuidam, 1983) ........................................ 56

Tabel 5.2. Satuan geomorfik daerah penelitian .................................................. 60

Tabel 5.3. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi Dusun Ngaren............ 68 Tabel 5.4. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi di dekat Dusun Dukuh. 79

Tabel 5.5. Intrepertasi litofasies batugamping-terumbu Jonggrangan………….. 87

Tabel 5.6. Stratigrafi daerah telitian(penulis,2011)............................................... 97

Page 16: Ok Stratigrafi

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Karakteristik Lingkungan Pengendapan………………………….... 21

Tabel 3.2. Lingkungan diagenesa beserta proses yang berperan………………….. 24

Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... 31

Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... 31

Tabel 5.1. Pembagian unit relief (Van Zuidam, 1983) ........................................ 56

Tabel 5.2. Satuan geomorfik daerah penelitian .................................................. 60

Tabel 5.3. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi Dusun Ngaren............ 68 Tabel 5.4. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi di dekat Dusun Dukuh. 79

Tabel 5.5. Intrepertasi litofasies batugamping-terumbu Jonggrangan………….. 87

Tabel 5.6. Stratigrafi daerah telitian(penulis,2011)............................................... 97

Page 17: Ok Stratigrafi

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Lokasi penelitian ........................................................................... 3

Gambar 2.1. Diagram alir penelitian ................................................................ 11

Gambar 3.1. Klasifikasi batuan karbonat (Folk, 1959) .................................... 14

Gambar 3.2. Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan tekstur pengendapannya

(Dunham, 1962) ............................................................................ 15

Gambar 3.3. Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi

pengendapan(Tucker, 2003)........................................................... 18

Gambar 3.4. Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide

Tucker,2003)................................................................................... 20

Gambar 3.5. Lingkungan diagenesa utama (Flugel, 2004).................................. 27

Gambar 3.6. Hubungan antara lingkungan diagenesa utama pada area bawah

permukaan dangkal dari suatu tubuh pasir karbonat dengan

permeabilitas ideal (Flugel,2004(modifikasi Longman, 1980))..... 28

Gambar 3.7. Morfologi dari kristal kalsit yang dikontrol oleh Mg-poisoning(Folk,

1974)................................................................................................. 35

Gambar 3.8. Sifat pertumbuhan kristal kalsit sebagai fungsi rasio Mg/Ca............ 35

Gambar 3.9. Diagram skematik yang menunjukkan perkiraan sifat pertumbuhan

dari semen kalsit pengisi pori pada lingkungan diagenesis. Sifat ini

dikontrol rasio kation aktif permukaan(SAC) terhadap anion aktif

permukaan(SAA).............................................................................. 37

Gambar 3.10. Kode Litofasies menurut Maurice Tucker(2003).............................. 39

Gambar 4.1. Pembagian fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949) modifikasi

oleh penulis ................................................................................... 40

Gambar 4.2. Stratigrafi pegunungan Kulon Progo (Pringgoprawiro dan Riyanto,

1987) .............................................................................................. 44

Gambar 4.3. Stratigrafi pegunungan Kulon Progo menurut beberapa peneliti .. 48

Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang

digambarkan Van Bemmelen (1945, hal.596) .............................. 49

Page 18: Ok Stratigrafi

xvii

Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5

M.A. (Prasetyadi, 2003)................................................................. 49

Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik

selama 35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003).......................................... 51

Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan

tektonik(Prasetyadi, 2003).............................................................. 51

Gambar 5.1. Diagram alur klasifikasi geomorfologi (Van Zuidam, 1983) ....... 55

Gambar 5.2. Klasifikasi pola dasar pengaliaran oleh (A.D. Howard,1967) ..... 61

Gambar 5.3. Peta pola pengaliran daerah penelitian ………..………………… 62

Gambar 5.4. Analisis stereonet dari sesar Tetes, bidang sesar memilki kedudukan

N 1650E/650 dan gores garis 210, N 1750 E, rake= 220, berdasarkan

analisis dan klasifkasi sesar ini termasuk kategori normal right slip

fault(Rickard, 1972)......................................................................... 94

Gambar 5.5. Diagram kontur kedudukan umum gash fracture Sesar Ngaren..... 95

Gambar 5.6. Analisis stereonet dari sesar Ngaren................................................ 96

Gambar 5.7. Aktivitas vulkanisme dimulai.......................................................... 97

Gambar 5.8. Pasokan sedimen mengisi cekungan................................................ 98

Gambar 5.9. Pembentukan Satuan breksi monomik Kaligesing dan Satuan breksi-

polimik Dukuh................................................................................. 98

Gambar 5.10. Terjadi intrusi dan kenaikan sea level kemudian terbentuk Satuan

batugamping-terumbu Jonggrangan............................................... 99

Gambar 5.11. Terjadi intrusi dan kenaikan sea level kemudian terbentuk Satuan

batugamping-terumbu Jonggrangan. Hasil rework Jonggrangan

membentuk Satuan batugamping-pasiran Sentolo. Terbentuk sesar

mendatar kanan.............................................................................. 100

Gambar 5.11. Pembentukan Satuan endapan alluvial ........................................ 101

Page 19: Ok Stratigrafi

xviii

DAFTAR FOTO

Foto 5.1. Kenampakan bentuk lahan tubuh sungai dan dataran alluvial pada daerah

telitian. Gambar diambil dari LP 7 kamera menghadap ke N

1950E................................................................................................... 57

Foto 5.2. Kenampakan bentuk lahan perbukitan homoklin dan dataran alluvial pada

daerah telitian. kamera menghadap ke N 0820E................................. 58

Foto 5.3. Kenampakan bentuk lahan perbukitan homoklin dan lembah homoklin

pada bagian utara daerah telitian. kamera menghadap ke N 0110E..... 59

Foto 5.4. Singkapan breksi laharik yang sangat tebal. Terletak pada LP 76 dengan

arah kamera N 2650 E......................................................................... 64

Foto 5.5. Singkapan breksi dengan sisipan batupasir tuffan, breksi pada bagian

bawah menunjukkan struktur graded bedding, batupasir tuffan sebagai

sisipan menunjukkan struktur laminasi sejajar, sedangkan breksi di

bagian atas menggerus bagian bawah . sehingga menunjukkan struktur

flutecast. Terletak pada LP 21 dengan arah kamera N 0650 E....... 65

Foto 5.6. Singkapan sisipan breksi gampingan pada satuan breksi-monomik Dukuh

yang menunjukkan struktur sedimen slump. pada inset (A) dapat terlihat

kenampakan breksi polimik dengan fragmen pecahan andesit dan pecahan

coral. Pada inset (B) dapat terlihat kenampakan batupasir kerikilan

gampingan yang mengandung mineral galukonit. Terletak pada LP 72

dengan arah kamera N 3500 E……………………………………….. 66

Foto 5.7. Kenampakan struktur sedimen syn-sedimentary fault dan syn-sedimentary

fold. Terletak pada LP 74 dengan arah kamera N 3560 E………........ 71

Foto 5.8. Kenampakan kontak beda fasies antara satuan breksi monomik

Kaligesing dan satuan breksi polimik Dukuh. Terletak pada LP 3 dengan

arah kamera N 0320 E………………………………………………… 76

Foto 5.9. Kenampakan kontak tidak selaras antara satuan breksi-monomik

Kaligesing dan satuan batugamping-terumbu Jonggrangan. Terletak pada

LP 6 dengan arah kamera N 1020 E…………………………………. 77

Page 20: Ok Stratigrafi

xix

Foto 5.10. Kenampakan struktur sedimen bioturbasi vertical(skolithos). Terletak

pada LP 2 dengan arah kamera N 0320 E……………………………. 83

Foto 5.11. Kenampakan struktur sedimen hummocky cross bedding . Kehadiran

gutter cast pada bagian bawah mengindikasikan penggerusan oleh

mekanisme strom(strorm scouring)Terletak pada LP 2 dengan arah

kamera N 0340 E……………………………………………………… 84

Foto 5.12. Hubungan selaras satuan breksi-polimik Dukuh dengan satuan

batugamping-terumbu Jonggrangan. Pada inset (A) terlihat struktur

geopetal . Pada inset (B) terlihat kenampakan floatstone. Terletak pada

LP 5 dengan arah kamera N 0120 E………………………………….. 85

Foto 5.13. Kenampakan struktur mega cross bedding pada litologi batugamping

pasiran Sentolo.Terletak pada LP 100 dengan arah kamera N 1460 E... 92

Foto 5.14. Kenampakan kontak tidak selaras satuan batugamping-pasiran Sentolo

dengan satuan breksi-monomik Kaligesing.Terletak pada LP 103 dengan

arah kamera N 1420 E………………………………………………. 93

Foto 5.15. Endapan Alluvial di tepi sungai.Terletak pada LP 78 dengan arah

kamera N 3460 E……………………………………………………………. 94

Foto 5.16. Kenampakan intrusi andesit yang menunjukkan struktur columnar joint.

Pada inset (A) dapat dilihat kenampakan baking effect dari intrusi ini.

Pada inset (B) dapat dilihat ciri intrusi berupa pembentukan kristal yang

semakin sempurna ke bagian dalam dari batuan. Terletak pada LP 55

dengan arah kamera N 043 E………………………………………. 95

Foto 5.17. a. Kenampakan bidang sesar Tetes dengan kedudukan N165oE/65o Azimuth foto N192oE b. Gores garis pada hanging wall dengan kedudukan 21o, N335oE rake 22o. c. Kenampakan Step Gash pada hanging wall yang menunjukkan pergerakan kekanan. Diambil dari foto LP 41 arah kamera N210oE……………………... 95 Foto 5.18. Kenampakan bidang sesar Ngaren.Terletak pada LP 75 dengan arah

kamera N 1120 E................................................................................ 100

Foto 6.1. (A)Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B)Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan butir

karbonat(dilingkar merah) yang mengambang pada masa dasar, (C)Kenampakan microspardiambil dari

Page 21: Ok Stratigrafi

xx

foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala....................................................... 106

Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala.............................. 107 Foto6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa

packstone yang terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C...................................... 109

Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan oleh sparit berbentuk blocky.

(B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala............................... 110 Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk

bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit

dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite

berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala............................ 111 Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy,

(B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat,

(C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian

telah mengalami neomorfisme,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala............................. 112

Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas

intraparticle,

(B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks

pengisi bafflestone,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala............................. 114

Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah

mengalami inversi,

(B)kenampakan bioclast jenis red algae,

keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto

sayatan tipis LP 10D tanpa skala........................................................ 115

Page 22: Ok Stratigrafi

xxi

Foto 6.9. (A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami

mikritisasi,

(B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa

lumpur karbonat,

(C)kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami

neomorfisme,

diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala........................... 116

Foto 6.10 (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa,

(B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina,

diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala............................ 118

Foto 6.11 Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53

arah kamera N240E......................................................................... 119

Foto 6.12 (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy,

(B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah

terneomorfisme menjadi sparite pada matriks pengisi framestone,

diambil dari foto sayatan LP 47A.................................................... 120

Foto 6.13 (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami

mikritisasi pada fase eogenesis,

(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat

fase mesogenesis hingga telogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8A .............................................. 122

Foto 6.14 (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami

mikritisasi pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk

sutured akibat kompaksi pada fase mesogenesis,

(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat

fase mesogenesis hingga telogenesis,

(C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase

telogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 8B ............................ 123

Foto 6.15 (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada

fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi

rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),

Page 23: Ok Stratigrafi

xxii

(B)terlihat juga porositas growth framework yang telah tereduksi akibat

proses presipitasi spar ini(garis putus-putus hijau),

diambil dari foto sayatan tipis LP 8C................................................. 124

Foto 6.16 (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope

pada bagian tepi,

(B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy

mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral,

(C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada

fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8D ................................................. 126

Foto 6.17 (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan

sebagian mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis,

(B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar

berbentuk drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada

fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8E................................................... 127

Foto 6.18 (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red

algae, terbentuk pada fase eogenesis,

(B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putus-

putus merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase

mesogenesis(garis putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis

terpresipitasi spar dengan bentuk blocky(garis putus-putus kuning),

(C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat

presipitasi spar pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10A ............................................... 129

Foto 6.19 (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian

terbentuk pada fase eogenesis,

(B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive,

terjadi fase mesogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada

fase telogenesis ,

Page 24: Ok Stratigrafi

xxiii

diambil dari foto sayatan tipis LP 10B................................................ 130

Foto 6.20 Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring

oleh organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka

dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada

fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C................... 131

Foto 6.21 (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi

akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,

(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada

fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi

akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10D ............................................... 132

Foto 6.22 (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat

aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,

(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada

fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada

kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 13A................................................ 133

Foto 7.1. Lokasi tambang batugamping pasiran yang dikelola oleh masyarakat

sekitar. Foto diambil di dekat LP 99 dengan arah kamera N 0560 E......135

Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto

diambil pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E............................... 136

Foto 7.3. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto

diambil pada LP 35 dengan arah kamera N 0780 E............................... 137

Page 25: Ok Stratigrafi

xxiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.1. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.A ................................... 141

Lampiran 1.2. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.B .................................... 142

Lampiran 1.3. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.C .................................... 143

Lampiran 1.4. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.D .................................... 144

Lampiran 1.5. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.E .................................... 145

Lampiran 1.6. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10A .................................. 146

Lampiran 1.7. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10B.................................... 147

Lampiran 1.8. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10C .................................. 148

Lampiran 1.9. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10D .................................. 149

Lampiran 1.10. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10E.................................. 150

Lampiran 1.11. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 17 ............................... 151

Lampiran 1.12. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 25 .................................... 152

Lampiran 1.13. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 30.................................. 153

Lampiran 1.14. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 49A .................................. 154

Lampiran 1.15. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 49B ................................... 155

Lampiran 1.16. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 101 .................................... 156

Lampiran 1.17. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 47A................................... 157

Lampiran 1.18. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 47B................................... 158

Lampiran 1.19. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 55...................................... 159

Lampiran 2.1. Hasil Analisa Etsa LP 10D.......................................................... 160

Lampiran 2.2. Hasil Analisa Etsa LP 8D........................................................... 161

Lampiran 3.1. Hasil Analisa Kalsimetri LP 100 ............................................... 162

Lampiran 4.1. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan

Lampiran 4.2. Peta Geomorfologi

Lampiran 4.3. Peta Geologi

Lampiran 4.4. Peta Mikrofasies

Lampiran 5.1. Profil Banjarsari

Lampiran 5.2. MS Kedungrong

Page 26: Ok Stratigrafi

xxv

Lampiran 5.3. Profil Ngaren

Lampiran 5.4. MS Puthuk

Lampiran 6.1. Hasil Analisa Porositas pada LP 8A .......................................... 163

Lampiran 6.2. Hasil Analisa Porositas pada LP 8B .......................................... 164

Lampiran 6.3. Hasil Analisa Porositas pada LP 8C .......................................... 165

Lampiran 6.4. Hasil Analisa Porositas pada LP 8D(1)...................................... 166

Lampiran 6.5. Hasil Analisa Porositas pada LP 8D(2)...................................... 167

Lampiran 6.6. Hasil Analisa Porositas pada LP 10A........................................ . 168

Lampiran 6.7. Hasil Analisa Porositas pada LP 10B.......................................... 169

Lampiran 6.8. Hasil Analisa Porositas pada LP 10C......................................... 170

Lampiran 6.9. Hasil Analisa Porositas pada LP 10D......................................... 171

Lampiran 7.1. Hasil Analisa Mikropaleontologi D21 ....................................... 172

Lampiran 7.2. Hasil Analisa Mikropaleontologi D3 ......................................... 173

Lampiran 7.3. Hasil Analisa Mikropaleontologi S23 ........................................ 174

Lampiran 7.4. Hasil Analisa Mikropaleontologi S27 ........................................ 175

Lampiran 7.5. Hasil Analisa Mikropaleontologi S23 ........................................ 176

Page 27: Ok Stratigrafi

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Formasi Jonggrangan merupakan salah satu Formasi yang tersingkap dengan

cukup baik di sekitar wilayah Yogyakarta dan menarik untuk diteliti. Para peneliti

sebelumnya menggambarkan Formasi Jonggrangan sebagai suatu formasi berumur

Miosen Tengah yang disusun oleh litologi konglomerat yang ditumpangi oleh napal

tuffan, batupasir gampingan dengan sisipan lignit, lalu bagian atas dari Formasi ini

didominasi oleh kehadiran batugamping koral(Wartono Rahardjo, dkk,1977).

Keberadaan litologi batuan karbonat berupa batugamping koral merupakan suatu

fenomena geologi yang khas dan menarik sehingga dijadikan sebagai objek

penelitian dalam tugas akhir ini. Perkembangan batugamping koral yang sangat

sensitif terhadap perubahan keadaan geologi akan memberikan informasi yang sangat

baik mengenai sejarah geologi yang terjadi di kubah Kulon Progo.

Penyebaran fasies dari suatu batuan karbonat akan memberikan gambaran

mengenai keadaan paleogeografi dari suatu wilayah. Data fasies karbonat ini akan

semakin detil dan informatif jika didukung oleh pengamatan mikroskopis dari fasies

tersebut sehingga sering disebut sebagai mikrofasies. Pemetaan yang mendetil

mengenai penyebaran fasies batugamping dari Formasi Jonggrangan akan

memberikan wawasan baru sekaligus melengkapi data penelitian yang telah

dilakukan oleh beberapa peniliti sebelumnya.

Selain aspek keilmuan batugamping juga menarik untuk diteliti aspek

ekonomisnya. Aspek ekonomis ini berhubungan erat dengan keberadaan pori dari

batuan karbonat yang memungkinkan terakumulasinya hidrokarbon di dalamnya.

Keberadaan dari pori ini sangat dikontrol oleh proses-proses sekunder seperti

diagenesis. Dengan mempelajari fase diagenesis dari batugamping yang menyusun

Formasi Jonggrangan ini dan penyebarannya maka dapat dibuat suatu analog model

reservoir batuan karbonat yang dapat dimanfaatkan untuk eksplorasi hidrokarbon ke

depannya.

Page 28: Ok Stratigrafi

2

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas adalah penyebaran batugamping pada

daerah telitian, mengetahui jenis dan pola penyebaran fasies batugamping pada

daerah telitian, mengetahui lingkungan pengendapan batugamping, dan fase

diagenesis batugamping pada daerah telitian dengan cara memetakan daerah telitian

secara detil dan lebih terperinci. Permasalahan geologi lain yang akan dibahas adalah

kondisi geologi daerah telitian karena selama ini informasi yang digunakan adalah

informasi yang sifatnya regional.

1.3. Batasan Masalah

Penelitian mengenai mikrofasies dan fase diagenesis akan dibatasi hanya

pada Formasi Jonggrangan, kendari terdapat formasi lain yang disusun oleh batuan

karbonat yaitu Formasi Sentolo yang juga tersingkap pada daerah telitian. Secara

lebih detail aspek fase diagenesis hanya akan difokuskan pada singkapan batuan

karbonat yang menunjukkan suksesi perubahan fasies karbonat yang paling baik.

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian tugas akhir ini adalah untuk mengaplikasikan teori

dan materi yang didapatkan di bangku perkuliahan pada aplikasi di lapangan maupun

di dunia kerja. Penelitian bertujuan untuk mengetahui penyebaran batugamping pada

daerah telitian, mengetahui jenis dan pola penyebaran fasies batugamping pada

daerah telitian serta untuk mengetahui fase diagenesis dari fasies Formasi

Jonggrangan yang tersingkap di daerah telitian

1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

Daerah penelitian meliputi wilayah Kecamatan Kalibawang dan Kecamatan

Samigaluh Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I Yogyakarta. Daerah penelitian

Secara Geografis terletak pada koordinat 411660– 416760 dan 9147625 – 9152625

UTM Zona 49. Luas daerah penelitian adalah kurang lebih 25km2 dengan panjang

dari selatan ke utara 5 km dan lebar dari arah barat ke timur kurang lebih 5 km.

Lokasi daerah penelitian berada pada Propinsi D.I Yogyakarta bagian barat, berjarak

sekitar ± 3 km dari Jalan Godean (jalur utama), dapat dicapai dengan kendaraan roda

Page 29: Ok Stratigrafi

3

dua dan roda empat melalui jalan beraspal, dan jalan bersemen. Untuk mencapai

lokasi pengamatan dan melakukan pengambilan contoh batuan, pada beberapa lokasi

harus berjalan kaki melalui jalan setapak. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat

pada gambar 1.1.

Adapun waktu penelitian (pengambilan data di lokasi penelitian) yaitu selama

satu setengah bulan yang dilakukan mulai pada pertengahan bulan April 2011 hingga

akhir bulan Mei 2011. Selanjutnya melakukan tahap analisa laboratorium dan

melengkapi data selama 1 bulan (Juni 2011). Sedangkan tahap pengerjaan peta,

penempang stratigrafi, draft dan konsultasi memakan waktu ± 1 bulan (Juli 2011).

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian (Sumber Peta Geologi Regional Lembar Yogyakarta)

1.6. Hasil Yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan berupa diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang

keilmuan khususnya geologi dan dapat menjadi bahan masukan bagi eksplorasi

Sumber Daya Alam dalam bentuk laporan tugas akhir atau skripsi berupa :

Peta lintasan dan lokasi pengamatan

Peta geomorfologi atau bentuk lahan

Peta geologi dan penampang geologi lokal

Peta penyebaran fasies karbonat

Penampang stratigrafi terukur

3

dua dan roda empat melalui jalan beraspal, dan jalan bersemen. Untuk mencapai

lokasi pengamatan dan melakukan pengambilan contoh batuan, pada beberapa lokasi

harus berjalan kaki melalui jalan setapak. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat

pada gambar 1.1.

Adapun waktu penelitian (pengambilan data di lokasi penelitian) yaitu selama

satu setengah bulan yang dilakukan mulai pada pertengahan bulan April 2011 hingga

akhir bulan Mei 2011. Selanjutnya melakukan tahap analisa laboratorium dan

melengkapi data selama 1 bulan (Juni 2011). Sedangkan tahap pengerjaan peta,

penempang stratigrafi, draft dan konsultasi memakan waktu ± 1 bulan (Juli 2011).

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian (Sumber Peta Geologi Regional Lembar Yogyakarta)

1.6. Hasil Yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan berupa diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang

keilmuan khususnya geologi dan dapat menjadi bahan masukan bagi eksplorasi

Sumber Daya Alam dalam bentuk laporan tugas akhir atau skripsi berupa :

Peta lintasan dan lokasi pengamatan

Peta geomorfologi atau bentuk lahan

Peta geologi dan penampang geologi lokal

Peta penyebaran fasies karbonat

Penampang stratigrafi terukur

3

dua dan roda empat melalui jalan beraspal, dan jalan bersemen. Untuk mencapai

lokasi pengamatan dan melakukan pengambilan contoh batuan, pada beberapa lokasi

harus berjalan kaki melalui jalan setapak. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat

pada gambar 1.1.

Adapun waktu penelitian (pengambilan data di lokasi penelitian) yaitu selama

satu setengah bulan yang dilakukan mulai pada pertengahan bulan April 2011 hingga

akhir bulan Mei 2011. Selanjutnya melakukan tahap analisa laboratorium dan

melengkapi data selama 1 bulan (Juni 2011). Sedangkan tahap pengerjaan peta,

penempang stratigrafi, draft dan konsultasi memakan waktu ± 1 bulan (Juli 2011).

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian (Sumber Peta Geologi Regional Lembar Yogyakarta)

1.6. Hasil Yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan berupa diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang

keilmuan khususnya geologi dan dapat menjadi bahan masukan bagi eksplorasi

Sumber Daya Alam dalam bentuk laporan tugas akhir atau skripsi berupa :

Peta lintasan dan lokasi pengamatan

Peta geomorfologi atau bentuk lahan

Peta geologi dan penampang geologi lokal

Peta penyebaran fasies karbonat

Penampang stratigrafi terukur

Page 30: Ok Stratigrafi

4

Draft / laporan

1.7. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan dari penelitian, dapat diketahui manfaat dari penelitian

ini, antara lain :

Bagi Keilmuan :

Penelitian ini merupakan hasil koleksi data, hasil analisis, dan sintesa khususnya

tentang fasies karbonat dan pengaplikasiannya tentang perubahan muka air laut.

Bagi Penulis :

Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam melakukan pemetaan geologi

detil.

Meningkatkan pengetahuan dalam bidang fasies karbonat terutama dalam

menyusun paleogeografi suatu daerah karbonat.

Sebagai skripsi untuk menyelesaikan program strata satu (S1) dan memperoleh

gelar sarjana teknik.

Page 31: Ok Stratigrafi

5

BAB 2

METODOLOGI PENELITIAN

Pemetaan geologi yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui

observasi lapangan yang menggunakan jalur lintasan tertentu. Observasi yang

dilakukan di lapangan meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan

singkapan dan batuan, pengukuran, dan pengambilan sampel batuan.

Sebelum melakukan observasi ke lapangan, terlebih dahulu melakukan

analisis data sekunder yang didapatkan dari pustaka dan sumber yang lain yang dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan

secara detil. Dalam mencapai tujuan yang diharapkan, penelitian ini dilakukan

melalui beberapa tahapan (Gambar 2.1) yaitu :

2.1. Tahap Pendahuluan

Pada tahap ini dilakukan persiapan berupa kelengkapan administrasi, studi

pustaka, pemilihan judul dan diskusi dengan dosen pembimbing. Tahap ini dilakukan

di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Yogyakarta.

2.1.1. Penyusunan Proposal Penelitian dan Kelengkapan Administrasi

Tahap ini dilakukan untuk menguji kelayakan proposal di depan dosen

pembimbing dan mengurus surat ijin jalan dan penelitian dari Jurusan Teknik

Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Yogyakarta kepada pemerintah daerah setempat di lokasi penelitian

lapangan. Ini dilakukan sebelum berangkat ke daerah Kedungrong, Kecamatan

Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I.Y.

2.1.2. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dilakukan guna menunjang penelitian mengenai geologi

daerah penelitian dan Regional Lembar Yogyakarta. Kajian pustaka ini nantinya

diharapkan dapat membantu kelancaran penelitian yaitu dapat digunakan sebagai

Page 32: Ok Stratigrafi

6

bahan acuan guna untuk mempelajari geologi daerah penelitian baik geologi

regional, stratigrafi regional, fisiografi regional dan struktur geologi pada daerah

penelitian.

Kajian pustaka dilakukan untuk menggali beberapa informasi dari

beberapa referensi yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu di daerah yang

sama. Kajian pustaka juga dilakukan pada beberapa referensi yang mendukung

penelitian ini secara keilmuan sehingga dalam pembahasannya akan ditunjang

dengan latar belakang serta teori yang kuat. Kajian pustaka pada daerah

penelitian dilakukan secara regional dan secara lokal meliputi regional

Yogyakarta bagian selatan dan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian,

maupun teori-teori dasar geologi lainnya.

2.2. Bahan dan Alat

Beberapa peralatan dan bahan yang dipergunakan untuk kelancaran penelitian

geologi ini adalah sebagai berikut :

Peta topografi skala 1 : 25.000

Digunakan sebagai peta dasar untuk melakukan orientasi medan dan pengeplotan

titik pengamatan di lapangan.

Peta geologi lembar Yogyakarta, Jawa. Berskala 1 : 100.000 (Pusat Penelitian

dan Pengembangan Geologi, 1995).

Palu geologi

Digunakan untuk mengambil sampel batuan yang ada di titik pengamatan.

Lup

Digunakan untuk mengamati sampel batuan yang diambil serta untuk mengamati

komposisi penyusun batuan tersebut.

Kompartor–komparator litologi, ukuran butir serta klasifikasi penamaan batuan.

Kantong sampel

Digunakan sebagai tempat sampel untuk digunakan pada saat analisa

laboratorium dan dilapangan.

Page 33: Ok Stratigrafi

7

Kompas geologi

Digunakan untuk melakukan orientasi medan/pengeplotan titik pengamatan,

mengukur kelerengan morfologi dan untuk mengukur data struktur baik struktur

primer maupun sekunder.

Buku catatan lapangan

Digunakan untuk mencatat data-data yang ada pada saat melakukan observasi

lapangan. Serta kertas milimeter untuk membuat profil di lapangan.

Clipboard

Digunakan untuk tempat alas peta topografi dan sebagai alat Bantu dalam

melakukan pengukuran data-data di lapangan.

Alat tulis

Digunakan sebagai alat untuk tulis-menulis di lapangan.

Penggaris dalam berbagai bentuk

Digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan.

Busur derajat

Digunakan untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan pada peta topografi

dan untuk mengukur besar sudut data struktur yang ada di lapangan.

Kamera

Digunakan untuk mengambil data berupa gambar yang ada di lapangan.

HCl 0,1 M

Digunakan untuk mengetes ada tidaknya kandungan karbonat dalam suatu batuan

Tas/ransel/backpack.

Digunakan sebagai tempat untuk menyimpan semua peralatan yang digunakan di

lapangan.

2.3. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan ini merupakan langkah kerja pengambilan data lapangan

pada lokasi penelitian sebagai data utama, penunjang, dan pelengkap data yang sudah

ada.

Page 34: Ok Stratigrafi

8

2.3.1. Observasi Lapangan

Dilakukan untuk mengenal kondisi lapangan pada daerah penelitian dan

untuk mengetahui gambaran dari bentuk geomorfologi dan keadaan geologi

secara umum, guna menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam

penelitian selanjutnya.

2.3.2. Pemetaan Lintasan

Tujuannya untuk mengetahui penyebaran litologi secara horisontal

maupun vertikal dari setiap satuan batuan dan mengetahui keadaan geomorfologi,

dimana hasil pengamatan direkam dalam buku, kamera dan peta topografi.

Adapun isi dari peta lintasan adalah semua hasil yang kita peroleh selama

melakukan pengamatan lapangan, baik berupa lokasi pengamatan, penyebaran

batuan dan struktur geologi.

2.3.3. Pembuatan Penampang Stratigrafi Terukur

Pembuatan penampang stratigrafi terukur berguna untuk memudahkan

dalam pemerian litologi dilihat dari tekstur maupun komposisi penyusun lainnya,

penentuan pengambilan contoh batuan yang berguna untuk keperluan analisis,

penentuan batas setiap satuan batuan dan pada akhirnya dapat menentukan satuan

litostratigrafi secara urut dari tua ke muda.

2.3.4. Pengambilan Sampel Batuan dan Dokumentasi Lapangan

Pengambilan sampel dilakukan pada beberapa titik lokasi pengamatan

yang kemudian akan dilakukan analisis petrografi, analisis kalsimetri, analisis

etsa, analisa mikropaleontologi.

Dalam pencatatan semua data yang terdapat di lapangan seperti posisi

lokasi pengamatan, struktur sedimen yang berkembang, struktur geologi serta

pengambilan foto lapangan yang bersifat informatif di daerah telitian.

2.4. Tahap Analisis

Tahap analisa dan interpretasi melewati beberapa tahapan untuk dapat

mencapai tujuan penelitian yang meliputi beberapa hal yaitu :

Page 35: Ok Stratigrafi

9

2.4.1. Petrografi Batuan

Secara megaskopis dilakukan melalui pengamatan secara langsung di

lapangan untuk mengetahui jenis litologi yang menyusun daerah penelitian,

mengetahui penyebaran batuannya serta untuk pengambilan contoh batuan untuk

analisa petrografi dan geokimia batuan.

Secara mikroskopis dilakukan dengan pengamatan sayatan tipis batuan,

sehingga dapat diketahui komposisi penyusun batuan dan nama batuan.

2.4.2. Analisis Geomorfologi

Analisa geomorfologi ini menurut klasifikasi Van Zuidam (1979 dan

1983), didapatkan melalui pengamatan secara visual di lapangan dan didukung

dengan cara mengkaji peta topografi berdasarkan pola pengaliran, pola kontur,

sehingga dapat diinterpretasikan bentuk geomorfologi pada daerah penelitian.

Pembagian bentuk lahan dalam analisa geomorfologi lebih didasarkan pada

kelerengan dan proses yang bekerja secara lebih dominan pada daerah penelitian.

2.4.3. Analisis Struktur

Analisa struktur dilakukan dengan mengkaji data struktur geologi yang

diperoleh di lapangan seperti perlapisan batuan, kekar-kekar, dan sesar.

2.4.4. Analisis Sayatan Tipis

Analisa ini menurut klasifikasi Dunham (1954) yang bertujuan untuk

dapat mengetahui nama batuan dan diagenesanya dari prosentase fosil yang

terkandung dalam contoh batuan maupun jenis butirannya di dalam massa dasar.

Contoh batuan diamati di bawah mikroskop polarisator dengan mewakili tekstur

batuan secara keseluruhan (komposisi butiran serta lumpur, hubungan antar

butir).

2.4.5. Analisis Kalsimetri

Analisa ini menurut klasifikasi campuran lempung – gamping. Pettijohn

(1975) yang bertujuan untuk memperlihatkan kandungan prosentase CaCO3.

Page 36: Ok Stratigrafi

10

2.4.6. Analisis Etsa (Etching Method)

Analisa ini menurut beberapa klasifikasi yaitu porositas menurut

Choquette dan Pray (1970), indeks energi menurut Plumley (1962) dan nama

batuan menurut Dunham (1962) dan Folk (1959), untuk meneliti dan

mempelajari tekstur pada batuan karbonat serta kandungan fosil dan tujuannya

untuk mengetahui lingkungan pengendapan dan penampang batuan menurut

beberapa klasifikasi. Contoh batuan yang telah dibersihkan dan sudah diuji

kandungan kalsium karbonat dengan larutan asam chloride (HCl) seingga

komponen pengotor terlarutkan lalu diamati di bawah mikroskop binokuler.

2.4.7. Analisa Mikropaleontologi

Analisa ini menurut klasifikasi Blow (1969) bertujuan untuk penentuan

umur batuan dan menurut klasifikasi Barker (1960) untuk penentuan lingkungan

bathimetri.

2.4.8. Analisa Studio

Hasil analisis dan interpretasi data dari setiap tahapan dievaluasi lagi untuk

mendapatkan hasil akhir yang maksimum.

2.5. Penyusunan Laporan

Dari hasil analisa yang diperoleh, kemudian hasil tersebut disajikan dalam

bentuk laporan skripsi. Hasil analisa yang telah dituangkan dalam bentuk tulisan

tersebut kemudian dipresentasikan dalam bentuk kolokium dan sidang sarjana.

Page 37: Ok Stratigrafi

11

Gambar 2.1. Diagram alir penelitian

Tahap Pendahuluan

Studi pustaka, persiapan peta topografi, perijinan tempat, persiapan perlengkapan lapangan

Tahap Penelitian

Observasi Lapangan, pemetaan lintasan, pemerian litologi, pengambilan contoh dan foto batuan, identifikasi struktur geologi, pengukuran penampang Stratigrafi

Analisa Laboratorium : Sayatan Tipis, Kalsimetri, Etsa, Mikropaleontologi

Analisa Studio : Struktur Geologi, Pembuatan Peta, Pembuatan Penampang Stratigrafi Terukur (MS), Klasifikasi Fasies Karbonat.

Hasil Yang diharapkan : Peta Lintasan, Peta Geomorfologi, Peta Geologi, Penampang Stratigrafi Terukur (MS), Peta Fasies Karbonat

Penyusunan Laporan

Page 38: Ok Stratigrafi

12

BAB 3

DASAR TEORI

3.1. Pengertian Batuan Karbonat

Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang berkomposisi mineral

karbonatnya sangat dominan yaitu lebih dari 50%. Proses pembentukannya dapat

terjadi secara insitu, yang berasal dari larutan yang mengalami proses kimiawi

maupun biokimia, dimana dalam proses tersebut organisme laut berperan dan dapat

pula terjadi dari butiran rombakan yang telah mengalami transportasi secara mekanik

yang kemudian diendapkan pada tempat lain.

Selain itu pembentukannya dapat pula terjadi akibat proses dari batuan

karbonat yang lain (sebagai contoh yang sangat umum adalah proses dolominitasi,

dimana kalsit berubah menjadi dolomite.

Proses pembentukan batuan karbonat ini terjadi pada lingkungan laut yang

dipengaruhi oleh beberapa faktor penting antara lain pengaruh sedimen klastik asal

darat, pengaruh iklim dan suhu serta pengaruh kedalaman dan faktor mekanik.

3.2. Klasifikasi Batuan Karbonat

Untuk menunjang penelitian penulis menggunakan klasifikasi batuan

karbonat menurut Folk (1959) dan Dunham (1962).

3.2.1. Klasifikasi batuan barbonat menurut Folk (1959)

Klasifikasi batuan karbonat yang dikemukakan oleh Folk didasarkan pada

tiga komponen utama penyusun batuan karbonat, yaitu butiran (allochems),

sparite, dan micrite.

Allochems,

Merupakan butiran karbonat yang berukuran pasir – kerikil, yang berasal dari

sedimen klastik. Termasuk di dalamnya adalah oolit, pisolit, onkolit, pellet,

Fosil, dan lain-lain.

Page 39: Ok Stratigrafi

13

Microcrystalline calcite ooze atau micrite

Merupakan agregat halus yang berukuran 1 – 4 mikron, sebagai pembentuk

mineral kalsit, terjadi secara biokimia dari presipitasi air laut, terbentuk

dalam lingkungan pengendapan dan menunjukkan sedikit atau tidak adanya

transportasi yang berarti. Hal ini dinyatakan bahwa mikrit (sensu Folk) adalah

tidak sama dengan lumpur karbonat (sensu Dunham). Folk memberikan

penamaan secara deskriptif untuk penyusunan batuan, sedangkan Dunham

lebih menjurus pada untuk menafsirkan penyusun batuan itu.

Sparry calcite cements atau sparite

Merupakan semen yang mengisi ruang antar butir dan rekahan, berukuran

butir halus (0,02 – 1mm). Dapat terbentuk langsung dari sedmien secara

insitu ataupun dari rekristalisasi mikrit.

Dengan didasarkan pada ketiga komponen utama tersebut, penamaan

batuan karbonat dapat dibagi menjadi beberapa tipe utama.

3.2.1.1. Tipe I (sparry allochemical rock)

Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe ini sebagian besar

konstitusi allochem yang disemen oleh sparit. Tipe ini pada umumnya

terbentuk pada daerah-daerah yang berenergi gelombang yang rendah tanpa

dipengaruhi oleh adanya lumpur karbonat (mikrit). Jenis batuan karbonat ini

adalah Oosparit, Biosparit, dan Pelsparit.

3.2.1.2. Tipe II ( microcrystalline allochemical rock)

Batuan karbonat yang termasuk ke dalan tipe ini, sebagian besar

terdiri dari konstitusi Allochem dan Microcrystalin Calcite Ooze sebagai

matrik nya. Terbentuk pada lingkungan pengendapan yang berenergi

gelombang lemah. Jenis batuan karbonat ini adalah Intramikrit, Oomikrit,

Biomikrit, dan Pelmikrit.

3.2.1.3. Tipe III ( microcystalline rock)

Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe III ini, merupakan

kebalikan dari tipe I, dimana hampir seluruhnya terdiri dari mikrit dan

Page 40: Ok Stratigrafi

14

terbentuk pada lingkungan pengendapan yang mempunyai kondisi air laut

yang tenang. Jenis batuan karbonatnya adalah Mikrit dan Dismikrit.

3.2.1.4. Tipe IV(biolithite)

Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe IV ini merupakan

pembagian khusus, karena mengingat proses atau cara pembentkannya yang

sangat khas. Batugamping ini terdiri dari struktur organik yang terbentuk

pada tempat dimana ia tumbuh di daerah asalnya (insitu). Struktur organiknya

bersifat saling mengikat dan resisten dalam pertumbuhannya. Batuan

karbonat ini disebut Biolitit.

Gambar 3.1. Klasifikasi batuan karbonat (Folk, 1959)

Page 41: Ok Stratigrafi

15

3.2.2. Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962)

Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962) adalah dengan

berdasarkan pada tekstur pengendapannya.

3.2.2.1. Butiran didukung oleh lumpur

Jika jumlah butiran kurang dari 10% : Mudstone

Jika jumlah butiran lebih banyak dari 10% : Wackstone

3.2.2.2. Butiran saling menyangga

Dengan matriks : Packstone

Sedikit atau tanpa matriks : Grainstone

3.2.2.3. Komponen yang Saling Terikat Pada Waktu Pengendapan,

Dicirikan dengan Adanya Struktur Tumbuh

Boundstone

3.2.2.4. Tekstur Pengendapan yang Tidak Teramati dengan Jelas Karena

Rekristalisasi Sangat Lanjut

Batugamping kristalin

Gambar 3.2. Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan tekstur pengendapannya

(Dunham, 1962)

Page 42: Ok Stratigrafi

16

3.3. Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan dan perkembangan batuan karbonat dikontrol oleh

cekungan dan aspek-aspek cekungannya, yang meliputi kondisi cekungan,

pertumbuhan organisme penyusunnya, ukuran dan bentuk cekungan tersebut.

Pembagian dan penentuan lingkungan pengendapan batuan karbonat sangat

tergantung pada lokasi dan aspek-aspeknya, yang antara lain aspek-aspek tersebut

meliputi tingkat pertumbuhan dari organisme penyusunnya, ukuran, dan kondisi dari

lingkungan tempat batuan karbonat tersebut diendapkan. Dengan demikian beberapa

ahli dalam memberikan penamaan model lingkungan pengendapan batuan karbonat

sering mempergunakan istilah-istilah yang berbeda.

3.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengendapan batuan karbonat

Sistem pengendapan batuan karbonat berbeda dengan sistem pengendapan

sedimen klastik lainnya. Pada proses pengendapan batuan karbonat diperlukan

suatu kondisi lingkungan tertentu yang memenuhi persyaratan untuk proses

pertumbuhan dan perkembangan kehidupan organisme dengan baik.

Berikut ini merupakan beberapa faktor yang penting, yang sangat

mempengaruhi pengendapan batuan karbonat, yaitu :

3.3.1.1. Pengaruh sedimen klastik asal darat

Pengendapan karbonat memerlukan lingkungan yang praktis bebas

dari sedimen klastik asal darat. Adanya partikel-partikel lempung dan lanau

(asal darat), akan menyebabkan terhalangnya proses fotosintesis, sehingga hal

ini akan menghalangi pertumbuhan ganggang gampingan, dimana ganggang

gampingan ini merupakan pembentuk CaCO3, sehingga pembentukan CaCO3

terhambat. Dengan terhambatnya pembentukan CaCO3, maka secara tidak

langsung akan menghambat mekanisme kehidupan dan pertumbuhan

binatang-binatang bentonik, yang mana cangkang-cangkang binatang

bentonik ini kebanyakan terbentuk dari unsure CaCO3.

Sehingga untuk dapat terjadinya pengendapan karbonat dengan

cepat, maka dibutuhkan kondisi aliran air yang jernih, daerah yang relatif

stabil dan daratan sekitarnya yang hampir datar. Bila pada suatu daerah

Page 43: Ok Stratigrafi

17

terjadi sedimentasi asal darat, maka akan membentuk napal atau batupasir

gampingan.

3.3.1.2. Pengaruh iklim dan suhu

Pada proses pengendapan batuan karbonat, diperlukan suatu kondisi

lingkungan geografis tertentu yang memenuhi persyaratan untuk proses

pertumbuhan perkembangan kehidupan organisme. Lingkungan geografis

yang baik untuk proses pertumbuhan dan perkembangan organisme adalah

lingkungan yang beriklim tropis sampai subtropics, dimana pada daerah-

daerah tersebut akan cukup mendapat sinar matahari dengan baik, sehingga

dapat memperlancar proses fotosintesis dan akan mempunyai kondisi

lingkungan yang bertemperatur hangat. Sehingga untuk lingkungan-

lingkungan yang berada pada garis lintang di atas 400 tidak akan dijumpai

pengendapan batuan karbonat yang melimpah kecuali terbatas pada daerah-

daerah yang beraliran air hangat, seperti pengendapan karbonat pada Gulf

Stream.

3.3.1.3. Pengaruh kedalaman

Pengendapan karbonat memerlukan penguapan yang kelewat jenuh

dari air laut di daerah yang mempunyai kandungan unsur CaCO3, dimana

pada keadaan yang demikian ini hanya dijumpai pada lingkungan laut yang

dangkal.

Apabila pada lingkungan laut yang dalam maka akan menyebabkan

sebagian tekanan CO2 akan sangat tinggi, dimana pada keadaan yang

demikian menyebabkan unsur CaCO3 akan terlarut kembali.

3.3.1.4. Faktor mekanik

Faktor mekanik yang mempengaruhi kecepatan pengendapan

karbonat antara lain adalah adanya aliran laut yang bertekanan tinggi menuju

ke daerah-daerah yang bertekanan rendah, adanya percampuran air dengan

kandungan CaCO3 yang berkadar tinggi, penguraian oleh bakteri, proses

pembuatan organik pada larutan, serta adanya kenaikan pH air laut sehingga

Page 44: Ok Stratigrafi

18

pada kondisi yang demikian dapat menyebabkan penambahan konsentrasi

karbonat.

3.4. Model Pengendapan Patch Reef

Berdasarkan atas locus pengendapan dan aspek lain seperti morfologi dan

organisme yang berperan suatu batugamping terumbu dapat dibedakan menjadi

beberapa jenis. Fringing reef, faro reef, patch reef, barrier reef, knoll, atoll dan table

adalah jenis-jenis batugamping terumbu yang dikenal berdasarkan aspek klasifikasi

yang telah dijabarkan sebelumnya(lihat gambar). Patch reef sendiri memiliki ciri

terisolasi pada daerah shelves dengan pelamparan vertikal baik, namun secara

horizontal tidak begitu luas dibandingkan dengan barrier reef. Kenampakan fasies

karbonat dari patch reef seringkali menyerupai kenampakan yang dijumpai pada

barrier reef.

Gambar 3.3. Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi

pengendapan(Tucker, 2003)

Model pengendapan dari suatu patch reef dapat dianalisis dengan melihat

perkembangan zonasi biologis dari patch reef tersebut. Saat pengaruh gradien fisika

terjadi suatu zonasi biologis yang signifikan dapat terjadi. Zonasi ini merefleksikan

perbedaan morfologi coral, keanekaragaman, dan komposisi organisme. 4 fase

pertumbuhan yang menunjukkan zonasi biologis ini telah dikenal.

18

pada kondisi yang demikian dapat menyebabkan penambahan konsentrasi

karbonat.

3.4. Model Pengendapan Patch Reef

Berdasarkan atas locus pengendapan dan aspek lain seperti morfologi dan

organisme yang berperan suatu batugamping terumbu dapat dibedakan menjadi

beberapa jenis. Fringing reef, faro reef, patch reef, barrier reef, knoll, atoll dan table

adalah jenis-jenis batugamping terumbu yang dikenal berdasarkan aspek klasifikasi

yang telah dijabarkan sebelumnya(lihat gambar). Patch reef sendiri memiliki ciri

terisolasi pada daerah shelves dengan pelamparan vertikal baik, namun secara

horizontal tidak begitu luas dibandingkan dengan barrier reef. Kenampakan fasies

karbonat dari patch reef seringkali menyerupai kenampakan yang dijumpai pada

barrier reef.

Gambar 3.3. Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi

pengendapan(Tucker, 2003)

Model pengendapan dari suatu patch reef dapat dianalisis dengan melihat

perkembangan zonasi biologis dari patch reef tersebut. Saat pengaruh gradien fisika

terjadi suatu zonasi biologis yang signifikan dapat terjadi. Zonasi ini merefleksikan

perbedaan morfologi coral, keanekaragaman, dan komposisi organisme. 4 fase

pertumbuhan yang menunjukkan zonasi biologis ini telah dikenal.

18

pada kondisi yang demikian dapat menyebabkan penambahan konsentrasi

karbonat.

3.4. Model Pengendapan Patch Reef

Berdasarkan atas locus pengendapan dan aspek lain seperti morfologi dan

organisme yang berperan suatu batugamping terumbu dapat dibedakan menjadi

beberapa jenis. Fringing reef, faro reef, patch reef, barrier reef, knoll, atoll dan table

adalah jenis-jenis batugamping terumbu yang dikenal berdasarkan aspek klasifikasi

yang telah dijabarkan sebelumnya(lihat gambar). Patch reef sendiri memiliki ciri

terisolasi pada daerah shelves dengan pelamparan vertikal baik, namun secara

horizontal tidak begitu luas dibandingkan dengan barrier reef. Kenampakan fasies

karbonat dari patch reef seringkali menyerupai kenampakan yang dijumpai pada

barrier reef.

Gambar 3.3. Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi

pengendapan(Tucker, 2003)

Model pengendapan dari suatu patch reef dapat dianalisis dengan melihat

perkembangan zonasi biologis dari patch reef tersebut. Saat pengaruh gradien fisika

terjadi suatu zonasi biologis yang signifikan dapat terjadi. Zonasi ini merefleksikan

perbedaan morfologi coral, keanekaragaman, dan komposisi organisme. 4 fase

pertumbuhan yang menunjukkan zonasi biologis ini telah dikenal.

Page 45: Ok Stratigrafi

19

3.4.1. Fase stabilization

Fase ini dicirikan oleh pengendapan akumulasi skeletal atau sering juga

disebut endapan shoal. Pada masa Paleozoikum organisme crinoid berperan

sebagai organisme pembentuk shoal sama halnya dengan green algae di masa

Kenozoikum. Secara keseluruhan asosiasi organismenya dapat mencakup sponge,

coral, bryozoan, dan red algae. Fase ini juga dikenal sebagai fase reef-mound.

3.4.2. Fase colonization

Fase ini dicirikan oleh kemunculan metazoa yang berperan sebagai reef-

builder, namun diversitas organisme masih cenderung rendah. Bentuk struktur

tumbuh mencakup branching dan encrusting. Fase ini cenderung berlangsung

lebih singkat daripada fase lain sehingga endapannyapun relatif lebih tipis.

3.4.2. Fase diversification

Fase ini dicirikan dengan meningkatnya diversitas organisme, yang

mengindikasikan keadaan dimana keadaan lingkungan pengendapan telah

mendukung pembentukan batugamping terumbu. Fase ini biasanya

direpresentasikan oleh endapan yang tebal.

3.4.2. Fase domination

Fase ini merupakan fase klimaks dari perkembangan suatu batugamping

terumbu dan dicirikan oleh bentuk struktur tumbuh lamellar(encruster). Fasies

bindstone atau framestone akan dominan dan berada di bagian puncak dari

batugamping terumbu. Diversitas organisme menjadi rendah kembali karena

organisme-organisme tertentu menjadi dominan dan menjadi predator bagi

organisme lain.

Page 46: Ok Stratigrafi

20

Gambar 3.4. Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide

Tucker,2003)

Pada penelitian ini untuk membantu intrepertasi lingkungan pengendapan

dari patch reef dipakai model pendekatan berdasarkan beberapa aspek. Patch reef

dapat tumbuh mulai dari daerah lagoon hingga open marine yang berdekatan dengan

shelve margin. Dalam kondisi tertentu bahkan patch reef juga dapat tumbuh di

daerah laut dalam, terutama pada daerah dengan kondisi iklim dingin. Perbedaan

lokasi pengendapan ini direfleksikan oleh perbedaan jenis organisme, struktur

sedimen, jenis fasies, dll. Model karakteristik lingkungan pengendapan

karbonat(Friedman dan Rieekman, 1985) dirasa merupakan model yang paling dapat

mengakomodasi intrepertasi lingkungan pengendapan dari patch reef. Model ini

dapat dilihat pada tabel 3.1.

20

Gambar 3.4. Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide

Tucker,2003)

Pada penelitian ini untuk membantu intrepertasi lingkungan pengendapan

dari patch reef dipakai model pendekatan berdasarkan beberapa aspek. Patch reef

dapat tumbuh mulai dari daerah lagoon hingga open marine yang berdekatan dengan

shelve margin. Dalam kondisi tertentu bahkan patch reef juga dapat tumbuh di

daerah laut dalam, terutama pada daerah dengan kondisi iklim dingin. Perbedaan

lokasi pengendapan ini direfleksikan oleh perbedaan jenis organisme, struktur

sedimen, jenis fasies, dll. Model karakteristik lingkungan pengendapan

karbonat(Friedman dan Rieekman, 1985) dirasa merupakan model yang paling dapat

mengakomodasi intrepertasi lingkungan pengendapan dari patch reef. Model ini

dapat dilihat pada tabel 3.1.

20

Gambar 3.4. Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide

Tucker,2003)

Pada penelitian ini untuk membantu intrepertasi lingkungan pengendapan

dari patch reef dipakai model pendekatan berdasarkan beberapa aspek. Patch reef

dapat tumbuh mulai dari daerah lagoon hingga open marine yang berdekatan dengan

shelve margin. Dalam kondisi tertentu bahkan patch reef juga dapat tumbuh di

daerah laut dalam, terutama pada daerah dengan kondisi iklim dingin. Perbedaan

lokasi pengendapan ini direfleksikan oleh perbedaan jenis organisme, struktur

sedimen, jenis fasies, dll. Model karakteristik lingkungan pengendapan

karbonat(Friedman dan Rieekman, 1985) dirasa merupakan model yang paling dapat

mengakomodasi intrepertasi lingkungan pengendapan dari patch reef. Model ini

dapat dilihat pada tabel 3.1.

Page 47: Ok Stratigrafi

21

Tabel 3.1. Karakteristik lingkungan pengendapan karbonat(Friedman dan Reeckmann, 1982)

21

Tabel 3.1. Karakteristik lingkungan pengendapan karbonat(Friedman dan Reeckmann, 1982)

21

Tabel 3.1. Karakteristik lingkungan pengendapan karbonat(Friedman dan Reeckmann, 1982)

Page 48: Ok Stratigrafi

22

3.5. Studi Fase Diagenesis Batuan Karbonat

Diagenesis merupakan keseluruhan proses kolektif yang menyebabkan

perubahan pada sedimen selama proses penimbunan dan litifikasi berlangsung.

Diagenesa berlangsung pada keadaan temperatur dan tekanan yang ada di atas

keadaan lingkungan pelapukan namun berada di bawah keadaan lingkungan dimana

metamorfisme terjadi. Fase diagenesa memainkan peran yang penting dalam

menentukan karakteristik final dari suatu batuan sedimen, tak terkecuali batuan

karbonat. Selain itu dengan mempelajari fase diagenesa pada batuan karbonat maka

dapat memberikan pendekatan terhadap studi mengenai porositas yang bermanfaat

dalam berbagai bidang.

3.5.1. Proses diagenesis batuan karbonat

Proses-proses diagenesa utama yang mempengaruhi batuan karbonat

adalah mikritisasi, dissolusi dan sementasi, kompaksi, neomorfisme, dolomitisasi

dan penggantian dari matriks dan butiran karbonat oleh mineral non-karbonat.

Dissolusi merupakan proses pelarutan fluida pori batuan karbonat sehingga

menyebabkan peluruhan butiran dan semen karbonat yang bersifat tidak stabil.

Proses dissolusi pada umumnya efektif pada lingkungan air meteorik yang dekat

dengan permukaan, di lingkungan penimbunan dalam dengan kehadiran air

bersuhu rendah(Steinsund dan Hald, 1994), dan juga di laut dalam(Berelson dkk.,

1994), dimana air laut menjadi bersifat tidak jenuh terhadap aragonite dan Mg-

Kalsit. Efek disolusi dapat dihitung berdasarkan pengamatan terhadap fosil yang

terkandung dalam batuan. Banyak fosil(Moluska, koral, dan ganggang

gampingan) memiliki mineralogi cangkang dan struktur mikro yang memberikan

indikasi proses dissolusi. Dengan mengamati alterasi atau perubahan dari kriteria-

kriteria tersebut maka tingkat proses dissolusi dapat diungkapkan.

Kompaksi terdiri dari berbagai proses yang menyebabkan presipitasi

mineral di dalam pori primer dan sekunder dan membutuhkan keadaan fluida pori

yang sangat jenuh. Kompaksi dan tekanan solusi(stilolisasi) merujuk pada proses

kimia dan fisika, yang dipicu oleh meningkatnya pembebanan sedimen

selama penimbunan dan meningkatnya kondisi temperatur serta tekanan.

Page 49: Ok Stratigrafi

23

Neomorfisme(Folk, 1965) adalah terminologi yang memiliki pengertian seluruh

transformasi yang terjadi dalam pengaruh kehadiran air melaui proses dissolusi-

represipitasi antara mineral satu dengan yang lain atau dengan mineral

polimorfnya. Rekristalisasi merujuk pada proses perubahan ukuran kristal, bentuk

kristal, dan orientasi kisi Kristal tanpa adanya perubahan dalam aspek mineralogi.

Dolomitisasi adalah proses dimana batugamping atau material sedimen

sebelumnya secara sepenuhnya atau sebagian berubah menjadi dolomite melalui

penggantian CaCO3 oleh magenesium karbonat, melalui asosiasi dengan air

pembawa magnesium.

Kontrol utama dalam diagenesa batuan karbonat adalah mineralogi dan

sifat kimia Kristal, sifat kimia dari air pori, pergerakan air, tingkat dissolusi dan

presipitasi, ukuran butir, dan interaksi dengan substansi organik. Perkembangan

dan arah reaksi diagenesa ditentukan oleh stabilitas thermodinamik dari mineral

karbonat yang mengalami pelarutan atau presipitasi(MacInnys dan Brantley,

1992), keadaan saturasi fluida diagenetik dan kesediaan area permukaan untuk

memungkinkan terjadinya reaksi. Berdasarkan hasil eksperimen menunjukkan

perbedaan area permukaan(berkorespondensi dengan struktur mikro dari butiran

sedimen) kelihatannya lebih signifikan dalam mengontrol tingkat dissolusi

dibandingkan stabilitas mineralogi(Walter, 1985). Efek dari parameter-parameter

yang dijelaskan barusan tergantung pada fase saturasi dan tingkat aliran dari

fluida diagenetik(Gonzales dkk. 1992; Lighty 1985).

Page 50: Ok Stratigrafi

24

Tabel 3.2. Lingkungan diagenesa beserta proses yang berperan(Flugel,2004).

3.5.2. Lingkungan diagenesa dari modifikasi porositas

Terdapat tiga lingkungan diagenetik utama dimana porositas terbentuk

atau termodifikasi. Tiga lingkungan itu adalah: meteoric, marine, dan bawah

permukaan. Dua lingkungan yang termasuk lingkungan permukaan atau dekat

permukaan, meteorik dan marin(zona eogentik dan telogenetik berdasarkan

klasifikasi Choquette dan Pray, 1970), ditandai oleh kehadiran fluida pori yang

berbeda satu sama lain. Lingkungan diagenesa bawah permukaan dicirikan oleh

Lingkungan

Diagenesa

Lokasi Pengisian

Pori

Proses Waktu yang

diperlukan

Lingkungan vadose

meteorik

Di atas water table, diantara permukaan dan zona phreatic

meteorik

Pori diisi oleh air tawar

dan/atau udara

Zona solusi: solusi dengan intensitas tinggi, pelepasan

aragonite, pembentukan vug.

Zona presipitasi: sementasi minor

103-105 tahun

Lingkungan phreatic meteorik

Di bawa water table hingga 100 m ke

bawah

Pori diisi oleh air tawar

Zona solusi: solusi, pembentukan mold dan vug. Zona aktif(bagian

atas): dissolusi aragonite dan kalsit, sementasi tinggi, presipitasi

kalsit, pembentukan mold dan vug. Zona stagnan(bagian lebih dalam dan biasanya pada iklim

kering): sedikit sementasi, stabilisai aragonite dan kalsit

103-105 tahun sampai 106-107 tahun

Lingkungan phreatic laut

Pada laut dangkal atau lantai bawah

samudera

Pori diisi oleh air

laut

Lingkungan laut dangkal: air sangat jenuh CaCO3, sementasi aragonite dan kalsit intensitas tinggi, jenis semen beragam.

Lingkungan laut dalam: air dengan kadar CaCO3 rendah, disolusi

aragonite dan kalsit pada dua level dissolusi

101-104 tahun

Lingkungan penimbunan

Bawah permukaan dibawah area yang dapat dicapai oleh proses permukaan , sampai area dengan

metamorfisme tingkat rendah. Dapat mencapat

kedalaman 1000 m ke bawah.

Pori diisi oleh air

asin dengan salinitas beragam,

dari payau hingga

alkalinitas tinggi.

Penimbunan dangkal(beberapa meter hingga puluhan meter) dan

penimbunan dalam(beban sedimen hingga ratusan bahkan ribuan

meter): kompaksi fisikal, kompaksi kimia(solusi tekanan),

sementasi, reduksi porositas

106-108 tahun

Page 51: Ok Stratigrafi

25

campuran air meteorik dan marin atau air asin dari cekungan yang bersifat

kompleks.

3.5.2.1. Lingkungan laut

Lingkungan marin yang dimana hampir semua sedimen karbonat

berasal dicirikan oleh fluida pori normal atau termodifikasi. Fluida pori ini

bersifat supersaturasi terhadap hampir semua spesies mineral

karbonat(Bathurst 1975, vide C.H. Moore 1989 hal. 44). Oleh karena itu

lingkungan diagenesa marin potensial sebagai area destrukturisasi porositas

oleh semen laut. Lingkungan ini mempunyai potensi yang kecil untuk

pembentukan porositas sekunder oleh pelarutan, kecuali pada lingkungan laut

dalam dimana air permukaan yang bersifat supersaturasi menjadi semakin

berkurang sifat supersaturasinya seiring dengan perubahan kedalaman.

Distribusi sementasi marin secara umum dikontrol oleh tingkat pergerakan

fluida melalui sistem pori sedimen. Oleh karena itu hal ini secara dramatis

dipengaruhi oleh kondisu pengendapan seperti level energi, porositas dan

permeabilitas sedimen, dan tingkat sedimentasi. Sementasi, oleh karena itu,

tidak begitu banyak dijumpai pada lingkungan marin, namun hadir pada

beberapa area yang memunngkinkan. Area ini antara lain shelf margin reef

dan zona intertidal.

Perkembangan porositas sekunder melalui proses dolomitisasi umum

dijumpai pada asosiasi dengan air laut bersifat evaporatif. Hal ini juga dapat

terjadi saat air marin nornal mengalir melalui sekuen batugamping oleh

proses konveksi termal.

3.5.2.2. Lingkungan meteorik

Lingkungan meteorik dicirikan oleh proses penyingkapan pada

kondisi permukaan dan kehadiran air yang relatif encer yang menunjukkan

sifat saturasi yang beragam(mulai dari tidak tersaturasi sampai supersaturasi).

Sifat supersaturasi merujuk pada spesies mineral karbonat yang bersifat

stabil, kalsit dan dolomit. Pada kenyataannya air meteorik secara umum

bersifat sangat tidak jenuh terhadapa mineral karbonat yang bersifat

Page 52: Ok Stratigrafi

26

metastabil (aragonit dan magnesian kalsit). Ketersediaan tanah yang

mengandung karbon dioksida dan fluida meteorik pada zona vadose memberi

pengaruh yang sangat besar pada tingkat kejenuhan dari air ini relatif

terhadap fase mineral karbonat. Lingkungan meteorik, oleh karena itu,

memiliki potensi besar sebagai lingkungan dimana porositas sekunder dapat

terjadi melalui adanya pelarutan. Pengurangan porositas juga dapat terjadi

melalui sementasi pasif. Potensi untuk terjadinya modifikasi porositas pada

lingkungan meteorik sering kali diperbesar oleh aliran fluida bersifat rapid

yang mengalir melalui sistem zona phreatic(Hanshaw, 1971,vide C.H. More,

1989 ).

3.5.2.3. Lingkungan bawah permukaan

Lingkungan bawah permukaan dicirikan oleh fluida pori yang dapat

berupa campuran dari air meteorik dan air laut, atau air asin dengan

komposisi kimia kompleks yang dihasilkan oleh interaksi batuan-air dalam

keadaan temperatur dan suhu tinggi jangka panjang. Karena interaksi yang

bersifat intensif ini, fluida tersebut secara umum bersifat sangat jenuh

terhadap spesies mineral karbonat yang paling stabil yaitu kalsit dan dolomit.

Kendati demikian dalam keadaan tempeatur dan suhu tinggi di bawah

permukaan, pressure solution merupakan proses pemusnah porositas yang

sangat penting. Proses ini sering kali disertai oleh proses presipitasi semen

pada pori yang berdampingan dikarenakan oleh sifat sangat jenuh dari fluida

pori. Area lokal bersifat tidak jenuh yang berhubungan dengan degradasi

termal hidrokarbon dapat menghasilkan porositas sekunder oleh proses

pelarutan.

Kebanyakan proses diagenesis berlangsung secara lambat di

lingkungan bawah permukaan dikarenakan oleh pergerakan fluida yang

lambat pada keadaan deep burial(Choquette dan James, 1987, vide C.H.

More, 1989). Proses ini, kendati demikian, memiliki jangka waktu geologi

yang panjang untuk dapat mencapai proses yang dapat terjadi.

Page 53: Ok Stratigrafi

27

Gambar 3.5. Lingkungan diagenesa utama (Flugel, 2004)

3.5.2.4. Diagenesis meteorik

Meteorik merupakan kata dalam bahasa Yunani yang memiliki arti

air tawar yang berasal dari atmosfer bumi. Diagenesa air tawar terjadi pada

area continental, disepanjang margin paparan, di atas platform daratan, dan

pada atol atau platform terisolir dimana sedimen terakumulasi di atas muka

air laut. Banyak pengetahuan mengenai diagenesa meteorik karbonat

didasarkan atas studi batugamping plistosen yang telah tersingkap

Diagenesa air tawar terjadi pada zona vadose meteorik dan zona

phreatic meteorik yang dicirikan oleh proses pencampuran air tawar dan air

laut. Pada zona vadose air terkonsentrasi pada kapilaritas kontak antar butir,

pada zona phreatic air memenuhi semua pori. Kedua zona terdiri dari sub-

lingkungan yang dibedakan oleh perbedaan pada pergerakan air(sirkulasi

aktif atau kondisi stagnan), proses solusi dan presipitasi dan jenis semen dan

porositas yang dihasilkan(Longman, 1980).

Page 54: Ok Stratigrafi

28

Gambar 3.6. Hubungan antara lingkungan diagenesa utama pada area bawah permukaan

dangkal dari suatu tubuh pasir karbonat dengan permeabilitas ideal (Flugel,2004(modifikasi Longman, 1980))

3.5.2.5. Lingkungan zona campuran dan zona vadose laut

Pencampuran air dengan kandungan unsur kimia yang berbeda

memiliki kemungkinan untuk terjadinya proses-proses geokimia. Keadaan

diagenesa spesifik yang dicirikan oleh pencampuran air tawar dan air laut

dapat terjadi pada area bawah permukaan dangkal yang dekat dengan tatanan

daerah pesisir, dan pada area pantai(khususnya foreshore), dicirikan oleh

perubahan kondisi secara terus menerus. Proses pencampran air pada zona

campuran memiliki peranan dalam proses presipitasi semen aragonit dan

dolomit di dalan vug, dolomitisasi, dan chertifikasi. Pencampuran air tawar

dan air laut berkontribusi dalam proses disolusi batuan karbonat pada daerah

pesisir. Kriteria diagenetik dari zona vadose laut hampir sama dengan zona

vadose meteorik, namun sementasi yang terjadi lebih tinggi intensitasnya.

Jenis batuan yang terbentuk pada tatanan seperti ini sering disebut sebagai

beachrock.

Page 55: Ok Stratigrafi

29

3.5.2.6. Diagenesis laut

Diagenesis phreatic laut biasa terjadi pada lantai samudra dangkal

dan dalam, dan juga pada dataran pasang surut(tidal flat). Tekanan hidrostatik

yang tinggi, temperature air yang rendah, dan tekanan CO2 parsial yang tinggi

pada laut dalam menyebabkan disolusi dan perbedaan signifikan pada

tingkat preservasi dari kalsium karbonat dari sedimen laut dalam. Perbedaan

ini digunakan sebagai dasar untuk membedakan dua level disolusi yaitu

lisoklin dan CCD(calcite compensation depth).

3.5.2.7. Diagenesa penimbunan

Batuan karbonat yang telah mengalami diagenesa akibat penimbunan

dapat diidentifikasi oleh kenampakan kriteria-kriteria mikrofasies berupa

jenis spesifik semen dan tekstur diagenetik. Studi mengenai diagenesa

penimbunan bersifat signifikan dalam rekonstruksi sejarah batuan dan

evaluasi propert dan porositas batuan. Pembahasan mengenai diagenesa

penimbunan telah dipublikasikan oleh Wanless(1983) dan Hutcheon(1989).

Lingkungan penimbunan secara konvensional dibagi menjadi

penimbunan dangkal dan penimbunan dalam, namun batasan antara keduanya

tidak begitu jelas didefinisikan. Zona penimbunan dangkal mencakup

beberapa meter hingga puluhan meter di bawah permukaan. Diagenesa di

dekat permukaan akibat penimbunan dangkal dipengaruhi oleh perubahan

keadaan kimia air pori pada zona campuran, temperature dan proses tekanan.

Diagenesa pada zona penimbunan dalam dikontrol oleh beberapa aspek.

Komposisi air pori pada lingkungan penimbunan dalam berbeda secara

substansial dengan yang ada pada zona penimbunan dangkal, dimana

sementasi biasanya terjadi pada air meteorik encer yang bersifat oxsik dan

sedikit bersifat reduksi. Air pori yang ada di zona penimbunan dalam

memiliki salinitas tinggi dan bersifat reduksi. Sebagai konsekuensinya elemen

yang memiliki sifat redoks sensitive termobilisasikan dan unsure Mn dan Fe

cenderung berinkorporasi dengam semen kalsit atau dolomite. Semen-semen

ini ditandai oleh bentuk-bentuk morfologi tertentu.

Proses-proses yang terjadi pada lingkungan penimbunan dalam mencakup:

Page 56: Ok Stratigrafi

30

Kompaksi fisika yang diakibatkan overbureden sedimen: dapat

mengurangi ketebalan, porositas, permeabilitas dan mengakibatkan

perombakan butiran yang terdistorsi dan menghasilkan kemas yang tertekan.

Kompaksi kimia: dimulai pada kedalaman tertentu dari

overburden(umumnya ratusan hingga ribuan meter), meyebabkan

berkurangnya ketebalan, porositas, dan permeabilitas. Menghasilkan struktur

stilolit dan tekanan solusi.

Sementasi: menghasilkan semen kalsit spar kasar. Semen ini kaya

akan unsure mangan dan besi, namun miskin akan unsure stronsium. Inklusi

fluida banyak dijumpai. Morfologi yang dijumpai berupa kalsit poikilotopik,

drusi, dll.

Solusi porositas minor: disebabkan oleh disolusi dari karbonat dan

kalsium sulfat mineral.

Dolomitisasi penimbunan: menghasilkan kemas Kristal anhedral, dan

cenderung berukuran kasar.

Page 57: Ok Stratigrafi

31

Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi yang bisa diambil dari kehadirannya(Flugel,2004).

Morfologi Semen Sparit Keterangan

Acicular: Kristal berbentuk jarum, tumbuh secara normal pada substrat. Kristal berbentuk elongate dan pararel terhadap axis-c, menunjukkan pemadaman lurus. Terminasi ditunjukkan berupa bentuk seperti chisel. Lebar < 10 μm, panjang sekitar 100μm atau lebih. Pada umumnya berupa aragonite, namun tidak menutup kemungkinan Mg-kalsit. Mengindikasikan zona phreatic laut.

Fibrous: Kristal fibrous, tumbuh normal pada substrat. Kristal menunjukkan elongasi panjang yang signifikan, biasanya pararel terhadap sumbu-c. bentuk Kristal seperti jarum atau kolumnar(rasio panjang dan lebar > 6:1, lebar > 10μm). Ukurannya pada umumnya halus sampai sedang. Sering dijumpai pada pori inter-partikel dan intra-partikel. Aragonit atau high-Mg-kalsit. Pada umumnya terbentuk pada zona phreatic laut, namun terkadang dijumpai pada zona vadose meteorik dan laut(berbentuk lebih kolumnar).

Botryoidal:semen pengisi pori yang dibentuk oleh mamelon yang saling menyatu dan menunjukkan horizon yang tidak kontiniu. Semen ini terdiri atas kipas individual maupun berkelompok, yang akhirnya menyebabkan karakteristik pemadaman sweeping pada nikol silang. Aragonit. Pada umumnya terbentuk di laut(umum dijumpai di gua pada terumbu dan slope terjal ke arah laut), namun kadang juga dijumpai pada lingkungan penimbunan. Disebut juga spherulitik

Radiaxial fibrous:berukuran besar, keruh dan kadang turbid, banyak dijumpai inklusi Kristal kalsit dengan pemadaman bergelombang. Ukuran kritalnya antara sedang hingga kasar. Terkadang memanjang hingga beberapa millimeter, biasanya hingga 30μm-300μm. Rasio panjang/lebar 1:3 -1:10. Kristal menunjukkan pola unit subkristal. Terbentuk pada zona phreatic laut atau zona

Page 58: Ok Stratigrafi

32

penimbunan.

Dog tooth:Kristal kalsit yang menajam pada satu titik dengan bentuk scalenohedral atau rhombohedral, tumbuh secara normal dan subnormal pada substrat.sering dijumpai pada zona meteorik dan penimbunan dangkal namun juga dijumpai pada zona phreatic laut dan hidrotermal.

Bladed: Kristal yang non-equidimensional dan non-fibrous. Berkorespodensi dengan Kristal elongate yang lebih lebar dari Kristal fibrous(rasio panjang/lebar 1.5:1-6:1) menunjukkan terminasi seperti pyramid. Ukuran Kristal mencapai lebih dari 10μm untuk lebar dan panjang kurang dari 20μm hingga 100μm. Kristal bertambanh lebar seiring dengan bertambahnya panjang. Berupa high-Mg-kalsit namun juga aragonite. Terbentuk pada zona phreatic(banyak ditemukan pada laut dangkal) laut dan vadose laut.

Dripstone: semen yang dicirikan perbedaan tebal dari crust semen di bawah butir atau di bawah atap dari void intergranular.pada umumnya berupa kalsit. Terbentuk di bawah zona kapilaritas dan di atas water table di dalam zona vadose meteorik(sering berasosiasi dengan semen meniscus), namun juga pada zona phreatic meteorik dan secara sporadic pada zona vadose laut diagenentik.

Meniscus: semen kalsit yang terpresipitasi dengan pola meniscus pada atau dekat kontak antar butir dalam pori yang mengandung baik udara dan air. Menunjukkan permukaan seperti kurva di bawah butir. Menghasilkan pori intergranular yang memiliki kenampakan membundar akibat efek meniscus. Biasa terbentuk pada zona vadose meteorik namun juga hadir pada zona phreatic meteorik dan vadose laut.

Page 59: Ok Stratigrafi

33

Drusy: semen pengisi pori pada pori intergranular dan interkristal, mold dan kekar, dicirikan oleh bentuk equan sampai elongate, anhedral hingga subhedral Kristal kalsit non-feroan. Ukurannya >10μm. Ukuran bertambah kea rah pusat pori. Terbentuk di dekat permukaan meteorik dan juga lingkungan penimbunan.

Granular: semen kalsit terdiri dari Kristal-kristal kecil equidimensional yang mengisi pori. Umum dijumpai pada pori interpartikel, pada umumnya tanpa kontrol substrat. Terbentuk pada zona vadose meteorik, phreatic meteorik dan lingkungan penimbunan. Dapat juga terbentuk sebagai hasil reksristalisasi dari semen yang ada sebelumnya.

Blocky: Semen kalsit yang terdiri dari Kristal sedang hingga kasar tanpa menunjukkan adanya orientasi tertentu. Dicirikan oleh ukuran Kristal yang bervariasi(puluhan micron hingga beberapa millimeter), sering menunjukkan perbedaan bentuk batas Kristal. Berupa high-Mg kalsit dan low-Mg kalsit. Pada umumnya terbentuk pada zona meteorik(vadose dan phreatic) dan lingkungan penimbunan, sangat jarang ditemui di terumbu. Terpresipitasi setelah disolusi semen aragonite atau butiran karbonat. Dapat juga terbentuk sebagai hasil rekristlaisasi semen yang sudah ada sebelumnya.

Syntaxial calcite overgrowth: pertumbuhan Kristal yang dikontrol oleh substrat di sekitar butiran induk oleh satu Kristal(biasanya fragmen echinoderm bersifat high-Mg kalsit). Perbedaan warna antara butiran skeletal dan semen overgrowth terkadang sulit diidentifikasikan. Semen overgrowth yang biasa terbentuk di dekat permukaan laut kaya akan inklusi dan keabu-abuan, kontras dengan semen overgrowth yang terbentuk pada lingkungan penimbunan dalam.

Page 60: Ok Stratigrafi

34

Peloidal microcrystalline: Dicirikan oleh kemas peloidal yang terdiri dari peloid-peloid mini(ukuran <100μm) di dalam matrix mikrokristalin. Terbentuk di laut dangkal. Diintrepertasikan sebagai presipitasi akibat aktivitas kimia atau mikrobial

Microcrystaline: kristal rhombic dengan ukuran micron. Membentuk semacam selimut tipis di sekitar butir, mengisi pori secara penuh atau membangun semacam jembatan antar butir(berkontribusi dalam pembentukan semen meniscus). Mg-kalsit. Seringkali berasosiasi dengan semen peloidal.

3.5.3. Petrografi morfologi semen

Beberapa penulis telah memberikan komentarnya masing-masing pada

keberagaman morfologi dari kalsit dan aragonit sebagai semen pengisi pori. Para

penulis tersebut telah mencoba untuk menghubungkan morfologi kristal dengan

lingkungan kimia presipitasi(Lippmann, 1973; Folk, 1974; Lahann, 1978; Lahan

dan Seibert, 1982; Given dan Wilkinson, 1985, vide C.H. More, 1989).

Pengetahuan konvensional pada tahun 1960-1970 adalah hampir semua semen

kalsit air tawar cenderung berbentuk equant, sementara semen kalsit dan aragonit

air laut cenderung berbentuk fibrous. Folk(1974) mengembangkan model yang

menghubungkan secara langsung morfologi semen kalsit dengan rasio Mg/Ca dari

fluida presipitasi. Model Folk didasarkan pada konsep sidewise poisoining dari

pertumbuhan kristal kalsit oleh penggantian ion Mg dengan Ca. Radius ion Mg

yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ion Ca, menyebabkan distorsi bidang

pada bagian tepi kristal yang bertumbuh. Ini menyebabkan berhentinya

pertumbuhan pada bagian tepi, dan akhirnya menyebabkan elongation kristal pada

arah sumbu C(lihat gambar). Berdasarkan skema Folk ini, air meteorik yang

Page 61: Ok Stratigrafi

35

memiliki rasio Mg/Ca rendah, akan cenderung membentuk bentuk kristal equant,

sementara air laut yang memiliki rasio Mg/Ca akan menghasilkan kristal kalsit

berbentuk elongate.

Gambar 3.7. Morfologi dari kristal kalsit yang dikontrol oleh Mg-poisoning(Folk, 1974). (A) Sebuah ion Mg ditambahkan pada bagian akhir dari kristal yang tumbuh maka

kehadirannya dapat dengan mudah di overstepped oleh lapisan CO3 selanjutnya tanpa mengganggu pertumbuhan kristal.

(B) Mg ion yang kecil ditambahkan pada bagian tepi dari kristal, lapisan CO3 yang berdampingan akan terdistorsi untuk mengakomodasi bidang kristal, menghalangi pertumbuhan bagian tepi selanjutnya, menghasilkan kristal fibrous.

Gambar 3.8. Sifat pertumbuhan kristal kalsit sebagai fungsi rasio Mg/Ca.

Lahann(1978), sementara setuju dengan pendapat Folk bahwa ion Mg

dapat menghambat pertumbuhan kalsit akibat distorsi bidang, berpendapat bahwa

efek poisoning dari Mg tidak dapat dipakai untuk menjelaskan perbedaan

morfologi pada kristal kalsit, karena proses poisoning Mg seharusnya akan

mempengaruhi semua bidang termasuk arah sumbu C. Lahann berpendapat

perbedaan potensi permukaan yang berkembang pada bagian muka kristal kalsit

akibat kristalografi kalsit merupakan penyebab perbedaan morfologi yang dapat

Page 62: Ok Stratigrafi

36

diamati pada pembentukan kalsit alami. Sebagai contoh, bagian tepi yang pararel

dengan sumbu C akan mengekspos baik Ca dan CO3 terhadap fluida yang

terpresipitasi, sementara bagian muka yang tumbuh normal terhadap sumbu C

akan mengekspos Ca atau CO3 terhadap fluida yang terpresipitasi, namun tidak

dalam waktu yang bersamaan. Pada air laut, dimana terdapat ekses besar atas

kation permukaan-aktif dibandingkan dengan anion permukaan-aktif, bagian

muka sumbu C akan secara normal dijenuhi oleh kation, menimbulkan potensial

positif yang lebih kuat pada bagian muka sumbu C, dimana ini lebih besar

dibandingkan bagian tepi yang pararel dengan sumbu C, karena baik CO3 dan Ca

akan terekspos terhadap fluida. Potensial positif ini akan memastikan

pengkonsentrasian ion CO3 pada bagian muka sumbu C yang lebih besar. Ini

menyebabkan elongation dari kristal kalsit pararel terhadap sumbu C dalam

keadaan kondisi laut normal.

Model Lahann ini dapat secara memuaskan menjelaskan kehadiran dari

kristal kalsit equant pada kondisi air meteorik. Pada kasus ini, baik CO3 dan Ca

memiliki konsentrasi rendah, saturasi terhadap hampir semua fase karbonat ada

pada keadaan seimbang atau tidak jenuh. Perbedaan potensial antar bagian muka

kristal juga minimal, menghasilkan morfologi kalsit equant. Pengecualian utama

terjadi pada zona vadose meteorik dimana outgassing CO2 yang berlangsung

cepat akan menyebabkan meningkatnya kondisi saturasi. Hal ini dapat

menyebabkan presipitasi kristal kalsit elongate seperti yang umum ditemukan di

speleothem, dan semen kristal berbentuk whisker pada zona soil(Given dan

Wilkinson, 1985, vide C.H. More, 1989).

Hampir semua semen kalsit di lingkungan bawah permukaan juga

berbentuk equant, dan sementara konsentrasi ion Ca dapat menjadi rendah,

ketersediaan CO3 yang rendah menghasilkan pertumbuhan krital equant yang

lambat. Situasi yang pararel terjadi pada lingkungan laut dalam, dengan dengan

lysocline kalsit, dimana konsentrasi ion Ca mendekati keadaan di air permukaan.

Ketersediaan CO3 juga terbatas, oleh karenanya kalsit yang terbentuk memiliki

morfologi equant(Schlager dan James, 1978; Given dan Wilkinson, 1985, C.H.

More, 1989).

Page 63: Ok Stratigrafi

37

Gambar 3.9. Diagram skematik yang menunjukkan perkiraan sifat pertumbuhan dari

semen kalsit pengisi pori pada lingkungan diagenesis. Sifat ini dikontrol rasio kation aktif permukaan(SAC) terhadap anion aktif permukaan(SAA).

3.6. Intrepertasi lingkungan pengendapan dengan analisis litofasies

Lingkungan pengendapan didefinisikan sebagai lokasi pengendapan dan

kondisi fisika, kimia, dan biologinya yang memberikan karakteristik khusus dari

tatanan pengendapan(Gould,1972, vide Sam Boggs Jr, 1987). Dalam melakukan

analisa lingkungan pengendapan dapat diasumsikan bahwa suatu lingkungan

pengendapan dengan keadaan fisika, kimia, dan biologinya yang spesifik akan

menghasilkan endapan sedimen yang berbeda dengan lingkungan pengendapan lain.

Endapan sedimen yang berbeda ini diwujudkan dalam asosiasi fasies yang

memberikan gambaran dari situasi saat suatu endapan sedimen diendapkan. Karena

satu fasies pengendapan tidak dapat menjadi indikator dari suatu lingkungan

pengendapan maka analisa asosiasi fasies dilakukan untuk mengetahui lingkungan

pengendapan dari satuan breksi monomik Kaligesing ini. Dalam penelitian ini aspek

fasies yang lebih ditonjolkan adalah litofasies yang merupakan aspek fisika dan

kimia dari sautu tubuh batuan sedimen.

Dalam penelitian ini penulis memakai penamaan litofasies menurut Maurice

Tucker(2003) untuk memberikan penamaan litofasies yang sistematik. Kode

litofasies yang dikembangkan oleh Maurice Tucker teridiri dari 3 bagian yaitu

Page 64: Ok Stratigrafi

38

Lithologies, Qualifiers, dan Prefixes(lihat gambar 5.3). Lithologies untuk kode

litofasies batuan sedimen silisiklastik memberikan penjelasan mengenai ukuran butir

fragmen yang menyusun batuan(misal S untuk sand), sedangkan untuk kode

litofasies batuan sedimen karbonat Lithologies menjelaskan penamaan batuan

menurut Dunham(1962) atau Embry & Klovan(1971). Kode untuk Lithologies ditulis

dengan huruf besar. Qualifiers memberikan penjelasan mengenai struktur sedimen

baik untuk batuan sedimen silisiklastik dan karbonat. Kode untuk Qualifiers ditulis

dengan huruf kecil. Prefixes memberikan penjelasan mengenai sifat kimia, sifat

minor dari batuan namun cukup signifikan, atau memberikan penjelasan lebih lanjut

mengenai ukuran butir. Penulisan kode untuk Prefixes juga dengan huruf kecil. Jadi

semisal terdapat kode litofasies tmSs maka litofasies yang dimaksuda adalah

stratified tuffaceous medium Sandstone.

Page 65: Ok Stratigrafi

39

(a)

(b) Gambar 3.10. (a) Kode Litofasies menurut Maurice Tucker(2003) untuk batuan sedimen silisiklastik (b) Kode Litofasies menurut Maurice Tucker(2003) untuk batuan sedimen karbonat.

Setelah melakukan penamaan litofasies menurut Maurice Tucker(2003) maka

akan dilakukan intrepertasi mengenai proses yang membentuk litofasies yang

dimaksud. Setelah itu hasil intrepertasi akan dibandingkan dengan model fasies yang

paling sesuai. Model fasies sendiri didefinisikan sebagai suatu gambaran asosiasi

fasies ideal yang dihasilkan dari ekstraksi kenampakan asosiasi-asosiasi fasies baik

dari batuan sedimen yang bersifat ancient maupun yang modern(Walker, 1984).

Dengan membandingkan kenampakan litofasies daerah telitian dengan model fasies

yang telah banyak diterima maka diharapkan dapat menghasilkan intrepertasi

lingkungan pengendapan yang tepat.

Page 66: Ok Stratigrafi

40

BAB 4

GEOLOGI REGIONAL

4.1. Fisiografi Regional

Secara fisiografi Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949), membagi Jawa

Tengah menjadi 4 (empat) jalur fisiografi dari utara ke selatan, yaitu :

1. Dataran Pantai Utara Jawa,

2. Jalur Pegunungan Serayu Utara.

3. Jalur Pegunungan Serayu Selatan,

4. Jalur Pegunungan Selatan

Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Jalur Pegunungan Selatan.

Pegunungan Selatan ini secara umum disusun oleh dua kelompok besar batuan yaitu

batuan vulkanok dan batuan karbonat, dengan jurus perlapisan relatif barat – timur

dengan kemiringan ke selatan (lihat gambar 4.1).

Gambar 4.1. Pembagian Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

Page 67: Ok Stratigrafi

41

4.2. Stratigrafi Regional

Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo sudah seringkali diteliti oleh para ahli

geologi, dimana masing-masing secara umum mempunyai argumentasi yang

berbeda-beda tetapi saling melengkapi mengenai stratigrafinya (gambar 4.2 dan 4.3).

Beberapa ahli tersebut antara lain :

- Bemmelen (1949), dengan urutan stratigrafinya dari tua ke muda : Eosen of

Nanggulan, Old Andesite Formation yang berfasies volkanik, tidak selaras

diatasnya diendapkan Djonggrangan Beds pada Miosen Awal dan Sentolo Beds

pada Miosen Akhir.

- Marks (1957), mengusulkan perubahan “Beds” menjadi “Formasi” pada

Djonggrangan Beds dan Sentolo Beds menjadi Formasi Djonggrangan dan

Formasi Sentolo, dimana kedua formasi tersebut tidak selaras terhadap Formasi

Andesit Tua.

- Sujanto dan Roskamil (1975), dengan urutan Formasi Nanggulan berumur

Eosen, tidak selaras diatasnya Formasi Andesit Tua berumur Oligosen Akhir,

menerus diendapkan Formasi Sentolo pada Miosen – Pliosen dan Formasi

Sambipitu pada Miosen Awal, tidak selaras Formasi Jonggrangan pada Miosen

Awal – Miosen Akhir. Diatas Formasi Sentolo tidak selaras diendapkan

Formasi Wonosari pada Pliosen dan termuda berupa Endapan Volkanik Muda.

- Pringgoprawiro dan Purnamaningsih (1981), menambahkan Anggota Seputih

pada Formasi Nanggulan yang disusun napal berumur Eosen Akhir – Oligosen

Akhir, Formasi Andesit Tua tidak selaras diatasnya. Diatas Formasi Andesit

Tua tidak selaras diendapkan Formasi Sentolo yang bersilang-jari dengan

Formasi Jonggrangan.

- Kadar (1986), mengsulkan pada Formasi Sentolo dibagi menjadi tiga anggota,

yaitu Anggota Kanyar-anyar, Anggota Genung, dan Anggota Tanjunggunung

yang selaras diatas Formasi Andesit Tua.

- Pringgoprawiro dan Riyanto (1987), melakukan revisi Formasi Andeit Tua

menjadi dua formasi baru, yaitu Formasi Kaligesing berfasies darat dan

Formasi Dukuh berfasies laut dalam, umur Oligosen Akhir – Miosen Awal.

Formasi Kaligesing disusun oleh perselingan breksi volkanik, lava, batupasir

tufaan, dan endapan lahar, sedang Formasi Dukuh disusun oleh perselingan

Page 68: Ok Stratigrafi

42

breksi volkanik, lava, batupasir tufaan, batulempung dan sisipan karbonat,

dimana hubungan keduanya saling menjari atau kontak sesar.

Uraian tentang stratigrafi daerah telitian, penulis menggunakan acuan dari

stratigrafi yang dikemukakan oleh Pringgoprawiro dan Riyanto (1987). Adapun urut-

urutan stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut Pringgoprawiro dan Riyanto

(1987) dari tua ke muda sebagai berikut :

a) Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan bagian bawah tersusun atas batupasir kuarsa dengan

sisipan lignit, mengandung fosil Axinea dengan lingkungan pengendapannya

litoral, bagian tengah disusun oleh napal pasiran selang-seling dengan batupasir

dan batulempung, dijumpai fosil Nummulites djojakartae dengan lingkungan

pengendapan litoral – sublitoral pinggir, sedang bagian atas disusun oleh napal

dan batugamping berselingan denganbatupasir, fosil Discocylina omphalus

dengan lingkungan pengendapan sublitoral pinggir. Umurnya Eosen Tengah –

Eosen Akhir, tebal ± 400 meter. Bagian atasnya merupakan Anggota Seputih

dengan litologi napal pelagis, mengandung fosil foram yaitu Gt.opima,

Gt.cerroazualensis, dan Gt.mexicana yang menunjukkan umur Eosen Akhir –

Oligosen Akhir, diendapkan dilingkungan pengendapan sublitoral- laut terbuka,

tebal ± 100 m (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987).

Penyusun batuan dari Formasi Nanggulan menurut Wartono Raharjo

dkk (1977) terdiri dari batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran,

Batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batugamping,

batupasir dan tuff serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska.

Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.

Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi

yang dilakukan olh Martin (1915 dan 31 ), Douville (1912), Oppernorth &

Gerth (1928), maka Formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara

strtigrafis dari bawah ke atas adalah sebagai berikut :

Anggota (“Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling bawah dari

formasi Nanggulan. Ini terdiri dari batupasir dengan interkalasi lignit,

kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil

Page 69: Ok Stratigrafi

43

Pelcypoda, dengan Axineadunkeri boetgetter yang dominan. Ketebalan

anggota Axinea ini mencapai 40 m.

Anggota Djogjakartae (“Djokjakarta”). Batuan penyususn dari bagian ini

adalah napal pasiran, batuan dan lempung dengan banyak konkresi yang

bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera

besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae

MARTIN, bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.

Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn dari

bagian ini adalah napal pasiran, batupasir arkose sebagi sisipan yang

semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil

penciri dari bagian ini. Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 m.

Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan

mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas

(Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).

b) Formasi Kaligesing atau Formasi Andesit Tua

Formasi ini dicirikan oleh adanya batuan volkanik klastik tebal, yang

teridiri dari breksi volkanik (laharik), dengan sisipan lava andesit dan batupasir

tuffan. Lokasi tipenya di Desa Ulusobo, Kaligesing, ± 10 km timur Kota

Purworejo dengan koordinatnya 110o05’ BT dan 7o44’10’ LS.

Bagian bawah dicirikan perselingan breksi andesit dan lava andesit,

tebal 275 m, bagian tengah berupa brekasi andesit dengan sisipan batupasir

tuffan, tebal 2 – 20 m, bagian atas tersusun oleh breksi andesit pirosen sisipan

batupasir kerikilan, tebal 2,5 – 18 dan 0,5 – 2,5 m, sedang tebal keseluruhan

mencapai 830 meter.

Umur formasi ini ditentukan berdasarkan atas hubungan stratigrafi

dengan dua satua batuan yang mengapitnya, karena tidak mengandung fosil

penunjuk umur, sehingga diperkirakan berumur Oligosen Akhir – Miosen

Awal, diendapkan pada lingkungan darat, berupa endapan lahar yang terpilah

buruk dalam matrik relatif halus dan kadang-kadang nampak perlapisan

berangsur dan perlapisan sejajar.

Page 70: Ok Stratigrafi

44

Gambar 4.2. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987)

Menurut Van Bemmelen (1949) formasi ini disebut Formasi Andesit

Tua dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang tidak

selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari

kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di

daerah Pegunungan Kulon Progo yang disebut sebagai Gunung Api Andesit

Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah

pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian

LINGKUNGANPENGENDAPAN

VolkanikKuater

Laut terbuka

Formasi dangkal

Sentolo tidak <

1100 m Laut terbukadalam

Formasi 150 m Litoral

Jonggrangan

Perselingan breksi Laut

Formasi pasir kerikilan, terbuka

Dukuh gampingan dgn

Breksi darat, lempung Darat +lahar, Gs. Primordius Kegiatanbreksi berselingan Ga. Dissimilis > 660 m volkanik

Formasi dengan lava

Kaligesing Endapan kipas

bawah laut KipasGa. Sellii lautGa. Tripartita dalam

Laut terbuka

Anggota SeputihFormasi ± 100 m

Nanggulan Sublitoral luar

Sublitoralpinggir

FormasiNanggulan 400 m

Litoral

KRONOTEBALLITOSTRATIGRAFI

Bagian atas dominan batulempung

PLEISTOSEN

PLIOSEN

STRATIGRAFI

darat

DISKRIPSI

Breksi, lava, lahar

Bagian bawah dominan napal

Batugamping terumbu Coral,

?

pelagis sisipan batugamping

moluska, foraminifera besar,

& sisipan napal tipis

Napal pelagis

Ga. Opima

Ga. Mexicana

Gr. Cerroazullensis

Napal dan batugamping

Nummulites djogjakarta

AxineaBatupasir kuarsa dgn sisipan Lignit

berselingan dengan batupasirDiscocyclina omphalus

Napal pasir selang-seling

dengan batupasir dan batulempung

AKHI

TENGA

HA

W A

L

M I

O S

E N

O L

I G

O S

E N

A W

A L

A K

H I

R

E O

S

E N

TENGA

HA

K H

I R

PENAMPANG STRATIGRAFI KULON PROGO (Pringgoprawiro & Riyanto, 1987)

Page 71: Ok Stratigrafi

45

utara Pegunungan Kulon Progo. Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah

mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic.

Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon

Progo, yang menghasilkan andesit piroksen basaltic, kemudian andesit augit

hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi dasit. Setelah denudasi

yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara,

Gunung Menoreh ini menghasilkan batuan breksi andesit augithornblende,

yang disusul oleh intrusi dasit dan trakhiandesit.

Purnamaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977)

menyebutkan telah menemukan kepingan tuff napalan yang merupakan

fragmen Breksi. Kepingan tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan

lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki Gunung Mujil. Dari hasil penelitian,

kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai

Globigerina ciperoensis BOLLI, Globigerina geguaensis WEINZREL; dan

applin serta Globigerina praebulloides BLOW. Fosil-fosil ini menunjukkan

umur Oligosen Atas.

Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi

Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2)

menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap

Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen.

Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai

kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide

Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi

Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah.

Menurut Purbaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur

Formasi Andesit Tua ini adalah Oligosen.

c) Formasi Dukuh

Formasi Dukuh disusun oleh selang-seling batugamping bioklastik,

batupasir sedang sampai kerikilan, batulempung, breksi dan konglomerat,

mengandung banyak koral, bryozoa, pelecypoda, gastropoda, dan foraminifera.

Page 72: Ok Stratigrafi

46

Lokasi tipe berada di Desa Dukuh, Samigaluh, Kulon Progo, ± 17 km

ke Utara dari Sentolo dengan koordinat 110o10’22” BT dan 7o40’36” LS,

dimana ketebalan pada stratotipenya mencapai ± 535 meter. Umur dari formasi

ini Oligosen Akhir bagian atas (N3) dengan hadirnya fosil Ga.selli, Ga.senilis,

Ga.nana, Ga.tripartita, dan Miosen Awal Bagian Bawah (N4 – N5) dan

dijumpainya fosil Ga.binaensis, Grt.dissimillis, Gs.primordius, Gt.kugleri.

Lingkungan pengendapannya adalah kipas bawah laut dalam, hal ditunjukkan

dengan dijumpainya fosil laut, glaukonit, struktur sedimen graded bedding,

stratifikasi sejajar, diselingi batuan pelitik yang memperihatkan laminasi

sejajar.

Formasi ini selaras di atas Anggota Seputih Formasi Nanggulan,

bersilang jari atau kontak sesar dengan formasi selaras diatasnya Formasi

Jonggrangan dan Formasi Sentolo.

d) Formasi Jonggrangan

Lokasi tipe formasi berada di desa Jonggrangan, dicirikan oleh

batugamping terumbu dengan hadirnya koral, moluska, foram besar,

batugamping klastik dan sisipan napal tipis yang mengandung foram plankton

dan bentos, ketebalan ± 150 meter, berumur Miosen Awal – Miosen Tengah

dan diendapkan pada lingkungan litoral. Formasi ini tidak selaras dengan

Formasi Kaligesing/ Formasi Andesit Tua, selaras dengan Formasi Dukuh, dan

bersilang jari dengan Formasi Sentolo.

Bagian bawah dari Formasi Jonggrangan ini terdiri dari konglomerat

yang ditumpangi oleh napal tufan dan batupasir gampingan dengan sisipan

Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral

(Wartono Rahardjo, dkk, 1977).

Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi

Kaligesing/Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini

mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). Koolhoven (vide

van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan

Formasi Sentolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”)

ini diduga berumur Miosen Tengah.

Page 73: Ok Stratigrafi

47

e) Formasi Sentolo

Formasi ini pada bagian bawah berupa napal pelagis dan sisipan

batugamping, sedang bagian atas dominan batulempung banyak mengandung

foram plankton, bentos, dan foram besar, berumur Miosen Awal – Pliosen dan

merupakan endapan laut dangkal hingga laut terbuka dalam.

Lokasi tipe dari formasi ini di daerah Sentolo dan sekitarnya dengan

ketebalan ± 1100 meter. Formasi ini mempunyai hubungan tidak selaras

dengan Formasi Kaligesing, selaras dengan Formasi Dukuh, dan bersilang jari

dengan Formasi Jonggrangan.

Menurut Harsono Pringgoprawiro litologi penyusun Formasi Sentolo ini

di bagian bawah, terdiri dari aglomerat dan napal, semakin ke atas berubah

menjadi batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral

dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan Formasi

Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih

muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).

Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin Kadar

(1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta

CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi

Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono

Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen

bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini

berdasarkan penelitian terhadap fosil foraminifera plantonik, adalah berkisar

antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini

mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977).

f) Endapan Volkanik Kuarter

Satuan ini tersusun atas tufa, abu, breksi, aglomerat dan lelehan lava

tak terpisahkan yang berumur Pleistosen – Holosen dan merupakan endapan

darat, Raharjo (1974) menamakan Formasi Yogyakarta yang disusun oleh

endapan volkanik Merapi, terletak tidak selaras diatas semua formasi yang

lebih tua, dan penyebaran pada sisi timur Kubah Kulon Progo mempunyai

ketebalan lebih dari 20 meter.

Page 74: Ok Stratigrafi

48

Gambar 4.3. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut beberapa peneliti

Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon

Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun

perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya

perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena sebagian

ahli mempergunakan fosil moluska dan foraminifera besar sebagai dasar

penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan foraminifera kecil plantonik

sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya

perbedaan tersebut.

4.3. Struktur Geologi Regional

Pegunungan Kulon Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan

sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-timur laut, sepanjang 32 km, dan

melebar kearah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan

di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola

radial.

PURNAMANINGSIH &PRINGGOPRAWIRO SUYANTO & PRINGGOPRAWIRO PRINGGOPRAWIRO

1968 ROSKAMIL (1975) 1981 & RIYANTO (1987)

Wonosari Fm

Sentolo Fm Wonosari Fm Sentolo Fm Sentolo Fm

Sentolo Fm. Sentolo

Sentolo Fm Ang.Tanjunggunung Fm

Angg. Genung

Jong- Jong-

Jonggrangan Jong- grangan grangan Angg. Kanyar- Jonggrangan

Beds grangan Fm Fm anyar Fm

Fm Sambi Jong-

pitu grangan Fm Kaligesing

Fm Fm

Old Andesite Fm Dukuh

Old Andesite Fm Old Andesite Fm Fm

Old Andesite Fm Old Andesite Fm

Anggota Seputih Anggota

Seputih

Nanggulan Nanggulan Group Anggota Nanggulan Fm

Group Nanggulan Seputih

Nanggulan Fm

KADAR (1986)MARKS (1957)UMUR

AWAL

KUARTER

PLIOSEN

AKHIR

AKHIR

TENGAH

Gunungapi Kuarter Gunungapi KuarterAlluvial ?Alluvial

TENGAH

AWAL

AKHIR

MIO

SEN

OLI

GOSEN

EOSEN

STRATIGRAFI KULON PROGO MENURUT BEBERAPA PENELITI

?

Page 75: Ok Stratigrafi

49

Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan

Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah

sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung

ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat

dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.

Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.

4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)

Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng

Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda

Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran

selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.

Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut

Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.

Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian

terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana

(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah

Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik

sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.

Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super

benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah

subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara

telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta

49

Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan

Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah

sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung

ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat

dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.

Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.

4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)

Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng

Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda

Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran

selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.

Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut

Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.

Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian

terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana

(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah

Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik

sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.

Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super

benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah

subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara

telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta

49

Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan

Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah

sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung

ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat

dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.

Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.

4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)

Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng

Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda

Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran

selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.

Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut

Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.

Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian

terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana

(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah

Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik

sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.

Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super

benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah

subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara

telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta

Page 76: Ok Stratigrafi

50

pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang

telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen

mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.

Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5

M.A. (Prasetyadi, 2003)

50

pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang

telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen

mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.

Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5

M.A. (Prasetyadi, 2003)

50

pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang

telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen

mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.

Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5

M.A. (Prasetyadi, 2003)

Page 77: Ok Stratigrafi

51

4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)

Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan

pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /

tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi

diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang

jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).

Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng

Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra

dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip

Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran

lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar

pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa

menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan

Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).

Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama

35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)

51

4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)

Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan

pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /

tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi

diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang

jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).

Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng

Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra

dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip

Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran

lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar

pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa

menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan

Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).

Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama

35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)

51

4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)

Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan

pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /

tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi

diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang

jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).

Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng

Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra

dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip

Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran

lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar

pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa

menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan

Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).

Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama

35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)

Page 78: Ok Stratigrafi

52

4.3.3. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)

Pergerakan ke arah Selatan dari lempeng Hindia – Australia mengambil

alih, seiring dengan berkembangnya aktivitas magmatisme yang melingkupi

hampir di seluruh dataran pulau Jawa. Pada bagian Utara, berkembang cekungan

belakang busur, yang dibagi lagi menjadi beberapa sub – sub cekungan, dan

dipisahkan oleh tinsggian basement, dikontrol oleh blok – blok sesar pada

basement.

Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme

transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit

dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling Timur

Jawa Timur, basement dominan berarah Timur - Barat, sebagaimana dapat

diamati dengan baik yang mengontrol Palung Kendeng dan juga Palung

Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari

fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari Selatan dan

bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur).

Tektonik kompresi yang diakibatkan subduksi ke arah Utara telah mengubah

sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam

periode yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994).

Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan

sedimen klastik didaerah rendahan, dan carbonate build up pada tinggian yang

membatasi.

Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga

puncak pada Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama

peristiwa ini, menghasilkan inversi graben-graben Paleogen. Pengangkatan dari

tinggian yang mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti

basement, dengan pasokannya yang menutup sembulan karbonat reef. Efek

penurunan muka air laut eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir

meningkatkan erosi dan pasokan rombakan klastika asal darat menjadi tersebar

luas di seluruh Laut Jawa Timur.

Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah Barat-Timur mengalami rotasi

menjadi orientasi Timurlaut – Baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh adanya

Page 79: Ok Stratigrafi

53

pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi

Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan

tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang

ada sekarang ini (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)

Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan

tektonik(Prasetyadi, 2003)

53

pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi

Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan

tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang

ada sekarang ini (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)

Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan

tektonik(Prasetyadi, 2003)

53

pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi

Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan

tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang

ada sekarang ini (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)

Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan

tektonik(Prasetyadi, 2003)

Page 80: Ok Stratigrafi

40

BAB 4

GEOLOGI REGIONAL

4.1. Fisiografi Regional

Secara fisiografi Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949), membagi Jawa

Tengah menjadi 4 (empat) jalur fisiografi dari utara ke selatan, yaitu :

1. Dataran Pantai Utara Jawa,

2. Jalur Pegunungan Serayu Utara.

3. Jalur Pegunungan Serayu Selatan,

4. Jalur Pegunungan Selatan

Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Jalur Pegunungan Selatan.

Pegunungan Selatan ini secara umum disusun oleh dua kelompok besar batuan yaitu

batuan vulkanok dan batuan karbonat, dengan jurus perlapisan relatif barat – timur

dengan kemiringan ke selatan (lihat gambar 4.1).

Gambar 4.1. Pembagian Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

Page 81: Ok Stratigrafi

41

4.2. Stratigrafi Regional

Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo sudah seringkali diteliti oleh para ahli

geologi, dimana masing-masing secara umum mempunyai argumentasi yang

berbeda-beda tetapi saling melengkapi mengenai stratigrafinya (gambar 4.2 dan 4.3).

Beberapa ahli tersebut antara lain :

- Bemmelen (1949), dengan urutan stratigrafinya dari tua ke muda : Eosen of

Nanggulan, Old Andesite Formation yang berfasies volkanik, tidak selaras

diatasnya diendapkan Djonggrangan Beds pada Miosen Awal dan Sentolo Beds

pada Miosen Akhir.

- Marks (1957), mengusulkan perubahan “Beds” menjadi “Formasi” pada

Djonggrangan Beds dan Sentolo Beds menjadi Formasi Djonggrangan dan

Formasi Sentolo, dimana kedua formasi tersebut tidak selaras terhadap Formasi

Andesit Tua.

- Sujanto dan Roskamil (1975), dengan urutan Formasi Nanggulan berumur

Eosen, tidak selaras diatasnya Formasi Andesit Tua berumur Oligosen Akhir,

menerus diendapkan Formasi Sentolo pada Miosen – Pliosen dan Formasi

Sambipitu pada Miosen Awal, tidak selaras Formasi Jonggrangan pada Miosen

Awal – Miosen Akhir. Diatas Formasi Sentolo tidak selaras diendapkan

Formasi Wonosari pada Pliosen dan termuda berupa Endapan Volkanik Muda.

- Pringgoprawiro dan Purnamaningsih (1981), menambahkan Anggota Seputih

pada Formasi Nanggulan yang disusun napal berumur Eosen Akhir – Oligosen

Akhir, Formasi Andesit Tua tidak selaras diatasnya. Diatas Formasi Andesit

Tua tidak selaras diendapkan Formasi Sentolo yang bersilang-jari dengan

Formasi Jonggrangan.

- Kadar (1986), mengsulkan pada Formasi Sentolo dibagi menjadi tiga anggota,

yaitu Anggota Kanyar-anyar, Anggota Genung, dan Anggota Tanjunggunung

yang selaras diatas Formasi Andesit Tua.

- Pringgoprawiro dan Riyanto (1987), melakukan revisi Formasi Andeit Tua

menjadi dua formasi baru, yaitu Formasi Kaligesing berfasies darat dan

Formasi Dukuh berfasies laut dalam, umur Oligosen Akhir – Miosen Awal.

Formasi Kaligesing disusun oleh perselingan breksi volkanik, lava, batupasir

tufaan, dan endapan lahar, sedang Formasi Dukuh disusun oleh perselingan

Page 82: Ok Stratigrafi

42

breksi volkanik, lava, batupasir tufaan, batulempung dan sisipan karbonat,

dimana hubungan keduanya saling menjari atau kontak sesar.

Uraian tentang stratigrafi daerah telitian, penulis menggunakan acuan dari

stratigrafi yang dikemukakan oleh Pringgoprawiro dan Riyanto (1987). Adapun urut-

urutan stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut Pringgoprawiro dan Riyanto

(1987) dari tua ke muda sebagai berikut :

a) Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan bagian bawah tersusun atas batupasir kuarsa dengan

sisipan lignit, mengandung fosil Axinea dengan lingkungan pengendapannya

litoral, bagian tengah disusun oleh napal pasiran selang-seling dengan batupasir

dan batulempung, dijumpai fosil Nummulites djojakartae dengan lingkungan

pengendapan litoral – sublitoral pinggir, sedang bagian atas disusun oleh napal

dan batugamping berselingan denganbatupasir, fosil Discocylina omphalus

dengan lingkungan pengendapan sublitoral pinggir. Umurnya Eosen Tengah –

Eosen Akhir, tebal ± 400 meter. Bagian atasnya merupakan Anggota Seputih

dengan litologi napal pelagis, mengandung fosil foram yaitu Gt.opima,

Gt.cerroazualensis, dan Gt.mexicana yang menunjukkan umur Eosen Akhir –

Oligosen Akhir, diendapkan dilingkungan pengendapan sublitoral- laut terbuka,

tebal ± 100 m (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987).

Penyusun batuan dari Formasi Nanggulan menurut Wartono Raharjo

dkk (1977) terdiri dari batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran,

Batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batugamping,

batupasir dan tuff serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska.

Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.

Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi

yang dilakukan olh Martin (1915 dan 31 ), Douville (1912), Oppernorth &

Gerth (1928), maka Formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara

strtigrafis dari bawah ke atas adalah sebagai berikut :

Anggota (“Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling bawah dari

formasi Nanggulan. Ini terdiri dari batupasir dengan interkalasi lignit,

kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil

Page 83: Ok Stratigrafi

43

Pelcypoda, dengan Axineadunkeri boetgetter yang dominan. Ketebalan

anggota Axinea ini mencapai 40 m.

Anggota Djogjakartae (“Djokjakarta”). Batuan penyususn dari bagian ini

adalah napal pasiran, batuan dan lempung dengan banyak konkresi yang

bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera

besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae

MARTIN, bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.

Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn dari

bagian ini adalah napal pasiran, batupasir arkose sebagi sisipan yang

semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil

penciri dari bagian ini. Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 m.

Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan

mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas

(Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).

b) Formasi Kaligesing atau Formasi Andesit Tua

Formasi ini dicirikan oleh adanya batuan volkanik klastik tebal, yang

teridiri dari breksi volkanik (laharik), dengan sisipan lava andesit dan batupasir

tuffan. Lokasi tipenya di Desa Ulusobo, Kaligesing, ± 10 km timur Kota

Purworejo dengan koordinatnya 110o05’ BT dan 7o44’10’ LS.

Bagian bawah dicirikan perselingan breksi andesit dan lava andesit,

tebal 275 m, bagian tengah berupa brekasi andesit dengan sisipan batupasir

tuffan, tebal 2 – 20 m, bagian atas tersusun oleh breksi andesit pirosen sisipan

batupasir kerikilan, tebal 2,5 – 18 dan 0,5 – 2,5 m, sedang tebal keseluruhan

mencapai 830 meter.

Umur formasi ini ditentukan berdasarkan atas hubungan stratigrafi

dengan dua satua batuan yang mengapitnya, karena tidak mengandung fosil

penunjuk umur, sehingga diperkirakan berumur Oligosen Akhir – Miosen

Awal, diendapkan pada lingkungan darat, berupa endapan lahar yang terpilah

buruk dalam matrik relatif halus dan kadang-kadang nampak perlapisan

berangsur dan perlapisan sejajar.

Page 84: Ok Stratigrafi

44

Gambar 4.2. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987)

Menurut Van Bemmelen (1949) formasi ini disebut Formasi Andesit

Tua dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang tidak

selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari

kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di

daerah Pegunungan Kulon Progo yang disebut sebagai Gunung Api Andesit

Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah

pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian

LINGKUNGANPENGENDAPAN

VolkanikKuater

Laut terbuka

Formasi dangkal

Sentolo tidak <

1100 m Laut terbukadalam

Formasi 150 m Litoral

Jonggrangan

Perselingan breksi Laut

Formasi pasir kerikilan, terbuka

Dukuh gampingan dgn

Breksi darat, lempung Darat +lahar, Gs. Primordius Kegiatanbreksi berselingan Ga. Dissimilis > 660 m volkanik

Formasi dengan lava

Kaligesing Endapan kipas

bawah laut KipasGa. Sellii lautGa. Tripartita dalam

Laut terbuka

Anggota SeputihFormasi ± 100 m

Nanggulan Sublitoral luar

Sublitoralpinggir

FormasiNanggulan 400 m

Litoral

KRONOTEBALLITOSTRATIGRAFI

Bagian atas dominan batulempung

PLEISTOSEN

PLIOSEN

STRATIGRAFI

darat

DISKRIPSI

Breksi, lava, lahar

Bagian bawah dominan napal

Batugamping terumbu Coral,

?

pelagis sisipan batugamping

moluska, foraminifera besar,

& sisipan napal tipis

Napal pelagis

Ga. Opima

Ga. Mexicana

Gr. Cerroazullensis

Napal dan batugamping

Nummulites djogjakarta

AxineaBatupasir kuarsa dgn sisipan Lignit

berselingan dengan batupasirDiscocyclina omphalus

Napal pasir selang-seling

dengan batupasir dan batulempung

AKHI

TENGA

HA

W A

L

M I

O S

E N

O L

I G

O S

E N

A W

A L

A K

H I

R

E O

S

E N

TENGA

HA

K H

I R

PENAMPANG STRATIGRAFI KULON PROGO (Pringgoprawiro & Riyanto, 1987)

Page 85: Ok Stratigrafi

45

utara Pegunungan Kulon Progo. Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah

mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic.

Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon

Progo, yang menghasilkan andesit piroksen basaltic, kemudian andesit augit

hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi dasit. Setelah denudasi

yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara,

Gunung Menoreh ini menghasilkan batuan breksi andesit augithornblende,

yang disusul oleh intrusi dasit dan trakhiandesit.

Purnamaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977)

menyebutkan telah menemukan kepingan tuff napalan yang merupakan

fragmen Breksi. Kepingan tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan

lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki Gunung Mujil. Dari hasil penelitian,

kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai

Globigerina ciperoensis BOLLI, Globigerina geguaensis WEINZREL; dan

applin serta Globigerina praebulloides BLOW. Fosil-fosil ini menunjukkan

umur Oligosen Atas.

Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi

Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2)

menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap

Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen.

Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai

kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide

Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi

Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah.

Menurut Purbaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur

Formasi Andesit Tua ini adalah Oligosen.

c) Formasi Dukuh

Formasi Dukuh disusun oleh selang-seling batugamping bioklastik,

batupasir sedang sampai kerikilan, batulempung, breksi dan konglomerat,

mengandung banyak koral, bryozoa, pelecypoda, gastropoda, dan foraminifera.

Page 86: Ok Stratigrafi

46

Lokasi tipe berada di Desa Dukuh, Samigaluh, Kulon Progo, ± 17 km

ke Utara dari Sentolo dengan koordinat 110o10’22” BT dan 7o40’36” LS,

dimana ketebalan pada stratotipenya mencapai ± 535 meter. Umur dari formasi

ini Oligosen Akhir bagian atas (N3) dengan hadirnya fosil Ga.selli, Ga.senilis,

Ga.nana, Ga.tripartita, dan Miosen Awal Bagian Bawah (N4 – N5) dan

dijumpainya fosil Ga.binaensis, Grt.dissimillis, Gs.primordius, Gt.kugleri.

Lingkungan pengendapannya adalah kipas bawah laut dalam, hal ditunjukkan

dengan dijumpainya fosil laut, glaukonit, struktur sedimen graded bedding,

stratifikasi sejajar, diselingi batuan pelitik yang memperihatkan laminasi

sejajar.

Formasi ini selaras di atas Anggota Seputih Formasi Nanggulan,

bersilang jari atau kontak sesar dengan formasi selaras diatasnya Formasi

Jonggrangan dan Formasi Sentolo.

d) Formasi Jonggrangan

Lokasi tipe formasi berada di desa Jonggrangan, dicirikan oleh

batugamping terumbu dengan hadirnya koral, moluska, foram besar,

batugamping klastik dan sisipan napal tipis yang mengandung foram plankton

dan bentos, ketebalan ± 150 meter, berumur Miosen Awal – Miosen Tengah

dan diendapkan pada lingkungan litoral. Formasi ini tidak selaras dengan

Formasi Kaligesing/ Formasi Andesit Tua, selaras dengan Formasi Dukuh, dan

bersilang jari dengan Formasi Sentolo.

Bagian bawah dari Formasi Jonggrangan ini terdiri dari konglomerat

yang ditumpangi oleh napal tufan dan batupasir gampingan dengan sisipan

Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral

(Wartono Rahardjo, dkk, 1977).

Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi

Kaligesing/Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini

mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). Koolhoven (vide

van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan

Formasi Sentolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”)

ini diduga berumur Miosen Tengah.

Page 87: Ok Stratigrafi

47

e) Formasi Sentolo

Formasi ini pada bagian bawah berupa napal pelagis dan sisipan

batugamping, sedang bagian atas dominan batulempung banyak mengandung

foram plankton, bentos, dan foram besar, berumur Miosen Awal – Pliosen dan

merupakan endapan laut dangkal hingga laut terbuka dalam.

Lokasi tipe dari formasi ini di daerah Sentolo dan sekitarnya dengan

ketebalan ± 1100 meter. Formasi ini mempunyai hubungan tidak selaras

dengan Formasi Kaligesing, selaras dengan Formasi Dukuh, dan bersilang jari

dengan Formasi Jonggrangan.

Menurut Harsono Pringgoprawiro litologi penyusun Formasi Sentolo ini

di bagian bawah, terdiri dari aglomerat dan napal, semakin ke atas berubah

menjadi batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral

dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan Formasi

Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih

muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).

Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin Kadar

(1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta

CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi

Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono

Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen

bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini

berdasarkan penelitian terhadap fosil foraminifera plantonik, adalah berkisar

antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini

mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977).

f) Endapan Volkanik Kuarter

Satuan ini tersusun atas tufa, abu, breksi, aglomerat dan lelehan lava

tak terpisahkan yang berumur Pleistosen – Holosen dan merupakan endapan

darat, Raharjo (1974) menamakan Formasi Yogyakarta yang disusun oleh

endapan volkanik Merapi, terletak tidak selaras diatas semua formasi yang

lebih tua, dan penyebaran pada sisi timur Kubah Kulon Progo mempunyai

ketebalan lebih dari 20 meter.

Page 88: Ok Stratigrafi

48

Gambar 4.3. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut beberapa peneliti

Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon

Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun

perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya

perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena sebagian

ahli mempergunakan fosil moluska dan foraminifera besar sebagai dasar

penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan foraminifera kecil plantonik

sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya

perbedaan tersebut.

4.3. Struktur Geologi Regional

Pegunungan Kulon Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan

sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-timur laut, sepanjang 32 km, dan

melebar kearah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan

di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola

radial.

PURNAMANINGSIH &PRINGGOPRAWIRO SUYANTO & PRINGGOPRAWIRO PRINGGOPRAWIRO

1968 ROSKAMIL (1975) 1981 & RIYANTO (1987)

Wonosari Fm

Sentolo Fm Wonosari Fm Sentolo Fm Sentolo Fm

Sentolo Fm. Sentolo

Sentolo Fm Ang.Tanjunggunung Fm

Angg. Genung

Jong- Jong-

Jonggrangan Jong- grangan grangan Angg. Kanyar- Jonggrangan

Beds grangan Fm Fm anyar Fm

Fm Sambi Jong-

pitu grangan Fm Kaligesing

Fm Fm

Old Andesite Fm Dukuh

Old Andesite Fm Old Andesite Fm Fm

Old Andesite Fm Old Andesite Fm

Anggota Seputih Anggota

Seputih

Nanggulan Nanggulan Group Anggota Nanggulan Fm

Group Nanggulan Seputih

Nanggulan Fm

KADAR (1986)MARKS (1957)UMUR

AWAL

KUARTER

PLIOSEN

AKHIR

AKHIR

TENGAH

Gunungapi Kuarter Gunungapi KuarterAlluvial ?Alluvial

TENGAH

AWAL

AKHIR

MIO

SEN

OLI

GOSEN

EOSEN

STRATIGRAFI KULON PROGO MENURUT BEBERAPA PENELITI

?

Page 89: Ok Stratigrafi

49

Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan

Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah

sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung

ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat

dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.

Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.

4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)

Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng

Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda

Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran

selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.

Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut

Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.

Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian

terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana

(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah

Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik

sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.

Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super

benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah

subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara

telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta

49

Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan

Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah

sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung

ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat

dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.

Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.

4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)

Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng

Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda

Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran

selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.

Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut

Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.

Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian

terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana

(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah

Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik

sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.

Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super

benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah

subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara

telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta

49

Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan

Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah

sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung

ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat

dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.

Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.

4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)

Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng

Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda

Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran

selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.

Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut

Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.

Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian

terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana

(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah

Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik

sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.

Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super

benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah

subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara

telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta

Page 90: Ok Stratigrafi

50

pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang

telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen

mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.

Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5

M.A. (Prasetyadi, 2003)

50

pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang

telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen

mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.

Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5

M.A. (Prasetyadi, 2003)

50

pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang

telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen

mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.

Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5

M.A. (Prasetyadi, 2003)

Page 91: Ok Stratigrafi

51

4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)

Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan

pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /

tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi

diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang

jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).

Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng

Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra

dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip

Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran

lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar

pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa

menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan

Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).

Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama

35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)

51

4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)

Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan

pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /

tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi

diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang

jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).

Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng

Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra

dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip

Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran

lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar

pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa

menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan

Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).

Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama

35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)

51

4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)

Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan

pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /

tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi

diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang

jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).

Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng

Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra

dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip

Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran

lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar

pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa

menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan

Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).

Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama

35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)

Page 92: Ok Stratigrafi

52

4.3.3. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)

Pergerakan ke arah Selatan dari lempeng Hindia – Australia mengambil

alih, seiring dengan berkembangnya aktivitas magmatisme yang melingkupi

hampir di seluruh dataran pulau Jawa. Pada bagian Utara, berkembang cekungan

belakang busur, yang dibagi lagi menjadi beberapa sub – sub cekungan, dan

dipisahkan oleh tinsggian basement, dikontrol oleh blok – blok sesar pada

basement.

Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme

transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit

dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling Timur

Jawa Timur, basement dominan berarah Timur - Barat, sebagaimana dapat

diamati dengan baik yang mengontrol Palung Kendeng dan juga Palung

Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari

fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari Selatan dan

bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur).

Tektonik kompresi yang diakibatkan subduksi ke arah Utara telah mengubah

sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam

periode yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994).

Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan

sedimen klastik didaerah rendahan, dan carbonate build up pada tinggian yang

membatasi.

Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga

puncak pada Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama

peristiwa ini, menghasilkan inversi graben-graben Paleogen. Pengangkatan dari

tinggian yang mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti

basement, dengan pasokannya yang menutup sembulan karbonat reef. Efek

penurunan muka air laut eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir

meningkatkan erosi dan pasokan rombakan klastika asal darat menjadi tersebar

luas di seluruh Laut Jawa Timur.

Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah Barat-Timur mengalami rotasi

menjadi orientasi Timurlaut – Baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh adanya

Page 93: Ok Stratigrafi

53

pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi

Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan

tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang

ada sekarang ini (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)

Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan

tektonik(Prasetyadi, 2003)

53

pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi

Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan

tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang

ada sekarang ini (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)

Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan

tektonik(Prasetyadi, 2003)

53

pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi

Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan

tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang

ada sekarang ini (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)

Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan

tektonik(Prasetyadi, 2003)

Page 94: Ok Stratigrafi

102

BAB 6

STUDI MIKROFASIES & FASE DIAGENESIS

FORMASI JONGGRANGAN

6.1. Studi Mikrofasies Formasi Jonggrangan

Mikrofasies didefinisikan sebagai keseluruhan aspek sedimentologi dan

paleontologi yang dapat dideskripsikan dan diklasifikasikan dari sayatan tipis, peels,

etsa atau sampel batuan(Flugel, 2004). Dalam mendeskripsikan suatu tipe

mikrofasies maka dilakukan kompilasi aspek-aspek mikrofasies. Aspek-aspek yang

dimaksud adalah aspek yang memberikan informasi paling signifikan dibandingkan

aspek mikrofasies lainnya. Pemilihan aspek yang tepat akan memberikan gambaran

yang paling jelas mengenai lingkungan pengendapan dan aspek diagenesis dari

fasies karbonat yang berkembang di suatu daerah telitian.

Aspek mikrofasies yang diperhatikan tergantung pada jenis batuan karbonat

itu sendiri. Flugel(2004) telah menyusun aspek-aspek mikrofasies baik untuk batuan

karbonat allochthonous dan autochthonous. Aspek mikrofasies yang penting dalam

mendeskripsikan batuan karbonat allochthonous antara lain adalah tekstur

pengendapan, jenis matriks(micrite, microspar, calcsiltite), jenis butiran karbonat

penyusun, jenis organisme dari bioclast(jika mendominasi), biofabric, dll. Batuan

karbonat autochthonous khususnya batugamping terumbu dibedakan berdasarkan

tipe fosil yang membangun struktur terumbu, tekstur pengendapan(framestone,

bafflestone, bindstone atau boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam

batugamping terumbu tersebut.

6.1.1. Mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian selatan daerah telitian tersingkap

dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran

lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 1,09 meter. Penamaan

mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk

intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis

organisme penyusun bioclast, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan

Page 95: Ok Stratigrafi

103

aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai coral floatstone with microspar dominated matrix.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki

karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk, susunan

butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh allochem

bioclast berupa koral dengan persentase 21%, matriks terdiri atas micrite 30%

dan microspar 49%(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut

Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) coral

wackestone, menurut Embry dan Klovan(1971) floatstone. Porositas yang

dijumapi adalah vuggy dan channel.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang

diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di

zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase

tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization.

Fase ini menandakan mulai aktifnya carbonate factory yang bisa diakibatkan

oleh berkurangnya pasokan sedimen, sehingga terjadi transgresi yang

mendukung organisme-organisme untuk tumbuh dan berkembang. Pada zona

subtidal keaadan seperti ini mendukung tumbuhnya patch reef yang memiliki

geomoteri dengan pelamparan horizontal tidak luar namun secara vertikal

cukup tebal. Hal ini didukung dengan kehadiran bioclast yang telah mengalami

mikritisasi(lihat foto 6.1) dan berkembangnya microspar sebagai matriks yang

mendominasi.

Page 96: Ok Stratigrafi

104

(A) (B) (C)

Foto 6.1. (A) Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B) Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan butir karbonat(dilingkar merah)

yang mengambang pada masa dasar, (C) Kenampakan microspardiambil dari foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala(lihat lampiran 1.1).

6.1.2. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap

dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran

lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan

mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk

intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis

allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan

aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk,

susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast yang tidak jelas jenisnya akibat telah mengalami mikritisasi

sebesar 30%, matriks terdiri atas micrite 30% dan microspar 38%(berbentuk

blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2),

menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang dijumapi adalah vuggy

dan fracture.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang

diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di

zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase

tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization.

104

(A) (B) (C)

Foto 6.1. (A) Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B) Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan butir karbonat(dilingkar merah)

yang mengambang pada masa dasar, (C) Kenampakan microspardiambil dari foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala(lihat lampiran 1.1).

6.1.2. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap

dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran

lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan

mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk

intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis

allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan

aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk,

susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast yang tidak jelas jenisnya akibat telah mengalami mikritisasi

sebesar 30%, matriks terdiri atas micrite 30% dan microspar 38%(berbentuk

blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2),

menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang dijumapi adalah vuggy

dan fracture.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang

diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di

zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase

tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization.

104

(A) (B) (C)

Foto 6.1. (A) Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B) Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan butir karbonat(dilingkar merah)

yang mengambang pada masa dasar, (C) Kenampakan microspardiambil dari foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala(lihat lampiran 1.1).

6.1.2. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap

dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran

lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan

mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk

intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis

allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan

aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk,

susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast yang tidak jelas jenisnya akibat telah mengalami mikritisasi

sebesar 30%, matriks terdiri atas micrite 30% dan microspar 38%(berbentuk

blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2),

menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang dijumapi adalah vuggy

dan fracture.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang

diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di

zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase

tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization.

Page 97: Ok Stratigrafi

105

Mikrofasies ini merupakan perkembangan dari fase stabilization yang telah

dimulai saat mikrofasies sebelumnya mulai diendapkan. Bioclast juga telah

mengalami mikritisasi dan mengalami diagenesis ditunjukkan dengan micrite

envelope yang bentuknya menjadi irregular(lihat foto 6.2). Faktor-faktor ini

menyulitkan identifikasi jenis organisme dari bioclast ini. Lingkungan

pengendapan dari mikrofasies ini diintrepertasi tidak jauh berbeda dengan

mikrofasies sebelumnya karena masih memiliki terkstur yang serupa dan ciri-

ciri yang serupa.

(A) (B) (C) Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala(lihat lampiran 1.2).

6.1.3. Asosiasi Mikrofasies Boundstone 1

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian mulai dari

Dusun Dukuh memanjang sampai Dusun Bangunrejo. Asosiasi mikrofasies ini

disusun oleh beberapa mikrofasies yang saling berhubungan secara genetis

dengan total ketebalan mencapai 21,38 meter. Batuan karbonat yang menyusun

asosiasi mikrofasies Boundstone 1 ini merupakan batuan karbonat

autochthonous yaitu batugamping terumbu. Didukung oleh fakta ini maka

aspek mikrofasies yang dipilih untuk menyusun suatu penamaan mikrofasies

yang memiliki makna adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur

terumbu, tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau

boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping

105

Mikrofasies ini merupakan perkembangan dari fase stabilization yang telah

dimulai saat mikrofasies sebelumnya mulai diendapkan. Bioclast juga telah

mengalami mikritisasi dan mengalami diagenesis ditunjukkan dengan micrite

envelope yang bentuknya menjadi irregular(lihat foto 6.2). Faktor-faktor ini

menyulitkan identifikasi jenis organisme dari bioclast ini. Lingkungan

pengendapan dari mikrofasies ini diintrepertasi tidak jauh berbeda dengan

mikrofasies sebelumnya karena masih memiliki terkstur yang serupa dan ciri-

ciri yang serupa.

(A) (B) (C) Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala(lihat lampiran 1.2).

6.1.3. Asosiasi Mikrofasies Boundstone 1

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian mulai dari

Dusun Dukuh memanjang sampai Dusun Bangunrejo. Asosiasi mikrofasies ini

disusun oleh beberapa mikrofasies yang saling berhubungan secara genetis

dengan total ketebalan mencapai 21,38 meter. Batuan karbonat yang menyusun

asosiasi mikrofasies Boundstone 1 ini merupakan batuan karbonat

autochthonous yaitu batugamping terumbu. Didukung oleh fakta ini maka

aspek mikrofasies yang dipilih untuk menyusun suatu penamaan mikrofasies

yang memiliki makna adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur

terumbu, tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau

boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping

105

Mikrofasies ini merupakan perkembangan dari fase stabilization yang telah

dimulai saat mikrofasies sebelumnya mulai diendapkan. Bioclast juga telah

mengalami mikritisasi dan mengalami diagenesis ditunjukkan dengan micrite

envelope yang bentuknya menjadi irregular(lihat foto 6.2). Faktor-faktor ini

menyulitkan identifikasi jenis organisme dari bioclast ini. Lingkungan

pengendapan dari mikrofasies ini diintrepertasi tidak jauh berbeda dengan

mikrofasies sebelumnya karena masih memiliki terkstur yang serupa dan ciri-

ciri yang serupa.

(A) (B) (C) Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala(lihat lampiran 1.2).

6.1.3. Asosiasi Mikrofasies Boundstone 1

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian mulai dari

Dusun Dukuh memanjang sampai Dusun Bangunrejo. Asosiasi mikrofasies ini

disusun oleh beberapa mikrofasies yang saling berhubungan secara genetis

dengan total ketebalan mencapai 21,38 meter. Batuan karbonat yang menyusun

asosiasi mikrofasies Boundstone 1 ini merupakan batuan karbonat

autochthonous yaitu batugamping terumbu. Didukung oleh fakta ini maka

aspek mikrofasies yang dipilih untuk menyusun suatu penamaan mikrofasies

yang memiliki makna adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur

terumbu, tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau

boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping

Page 98: Ok Stratigrafi

106

terumbu tersebut. Selanjutnya akan dijelaskan mikrofasies yang menyusun

asosiasi mikrofasies boundstone 1 ini.

6.1.3.1.Mikrofasies coral framestone with packstone matrix of boundstone

1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka koral,

tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen

sekitar saat membentuk struktur framework. Struktur framework ini diisi

oleh matriks berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna

kuning terang, grain suppoted, pemilahan buruk, susunan butir tidak

teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast

koral dengan persentase 56%, matriks terdiri atas micrite 26% dan

microspar 18%(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut

Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) packstone.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Kemunculan mikrofasies ini mengindikasikan

bahwa fase stabilization telah berakhir dan masuk ke fase colonization. Ini

ditandai dengan munculnya coral framestone dengan keanekaragaman

organisme rendah baik itu dari kerangka penyusun batugamping terumbu,

maupun matriks pengisinya. Kegiatan encrusting oleh organisme

ditunjukkan dengan terjadinya mikritisasi pada bioclast juga

mengindikasikan fase colonization di zona sub-tidal.

Page 99: Ok Stratigrafi

107

Foto 6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa packstone yang

terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C(lihat lampiran 1.3).

6.1.3.2. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy

coral, tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat

sedimen sekitar saat melakukan aktivitas traping dan binding. Berdasarkan

analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut

Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut

Embry dan Klovan(1971). Pada mikrofasies ini platy coral melakukan

aktivitas binding terhadap lumpur yang bersifat non karbonat maupun

terhadapa material sedimen rombakan yang bersifat karbonat. Sebagian

besar kerangka platy coral pada mikrofasies ini telah mengalami pelarutan

dan pengisian kembali oleh sparite yang berbentuk blocky mosaic. Tipe

porositas yang berkembang adalah intraparticle, dan vuggy.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih berada

pada fase colonization dari suatu patch reef. Hal ini dapat dilihat dari jenis

mikrofasiesnya dan masih belum terlalu tingginya tingkat diversifikasi dari

organisme. Kehadiran lumpur non karbonat yang diikat oleh platy coral

mengindikasikan bahwa masih ada pasokan sedimen asal darat bersifat

silisiklastik yang masih sedikit menghambat perkembangan organisme-

organisme lain selain platy coral. Untuk melihat kenampakan dari

mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.4.

107

Foto 6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa packstone yang

terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C(lihat lampiran 1.3).

6.1.3.2. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy

coral, tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat

sedimen sekitar saat melakukan aktivitas traping dan binding. Berdasarkan

analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut

Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut

Embry dan Klovan(1971). Pada mikrofasies ini platy coral melakukan

aktivitas binding terhadap lumpur yang bersifat non karbonat maupun

terhadapa material sedimen rombakan yang bersifat karbonat. Sebagian

besar kerangka platy coral pada mikrofasies ini telah mengalami pelarutan

dan pengisian kembali oleh sparite yang berbentuk blocky mosaic. Tipe

porositas yang berkembang adalah intraparticle, dan vuggy.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih berada

pada fase colonization dari suatu patch reef. Hal ini dapat dilihat dari jenis

mikrofasiesnya dan masih belum terlalu tingginya tingkat diversifikasi dari

organisme. Kehadiran lumpur non karbonat yang diikat oleh platy coral

mengindikasikan bahwa masih ada pasokan sedimen asal darat bersifat

silisiklastik yang masih sedikit menghambat perkembangan organisme-

organisme lain selain platy coral. Untuk melihat kenampakan dari

mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.4.

107

Foto 6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa packstone yang

terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C(lihat lampiran 1.3).

6.1.3.2. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy

coral, tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat

sedimen sekitar saat melakukan aktivitas traping dan binding. Berdasarkan

analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut

Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut

Embry dan Klovan(1971). Pada mikrofasies ini platy coral melakukan

aktivitas binding terhadap lumpur yang bersifat non karbonat maupun

terhadapa material sedimen rombakan yang bersifat karbonat. Sebagian

besar kerangka platy coral pada mikrofasies ini telah mengalami pelarutan

dan pengisian kembali oleh sparite yang berbentuk blocky mosaic. Tipe

porositas yang berkembang adalah intraparticle, dan vuggy.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih berada

pada fase colonization dari suatu patch reef. Hal ini dapat dilihat dari jenis

mikrofasiesnya dan masih belum terlalu tingginya tingkat diversifikasi dari

organisme. Kehadiran lumpur non karbonat yang diikat oleh platy coral

mengindikasikan bahwa masih ada pasokan sedimen asal darat bersifat

silisiklastik yang masih sedikit menghambat perkembangan organisme-

organisme lain selain platy coral. Untuk melihat kenampakan dari

mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.4.

Page 100: Ok Stratigrafi

108

(A) (B) (C)

Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan oleh sparit berbentuk blocky.

(B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala(lihat lampiran 1.4).

6.1.3.3. Mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone

of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,

tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen

sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap

sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite,

menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971)

framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa packstone

yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, grain suppoted,

pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak

utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=8%, algae=3%, benthic

foraminifera=15%, moluska= 9%, bryozoa=5%) dengan persentase 40%,

allochem intraclast dengan persentase 30%, allochem pellet dengan

persentase 10%, sparite dengan persentase 15%(berbentuk bladed),

micrite dengan persentase 2%, dan microspar dengan persentase 3%

(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)

biosparite(Tipe 1), menurut Dunham(1962) grainstone.porositas yang

berkembang adalah biomoldic, dan intrapaticle.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

108

(A) (B) (C)

Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan oleh sparit berbentuk blocky.

(B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala(lihat lampiran 1.4).

6.1.3.3. Mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone

of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,

tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen

sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap

sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite,

menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971)

framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa packstone

yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, grain suppoted,

pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak

utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=8%, algae=3%, benthic

foraminifera=15%, moluska= 9%, bryozoa=5%) dengan persentase 40%,

allochem intraclast dengan persentase 30%, allochem pellet dengan

persentase 10%, sparite dengan persentase 15%(berbentuk bladed),

micrite dengan persentase 2%, dan microspar dengan persentase 3%

(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)

biosparite(Tipe 1), menurut Dunham(1962) grainstone.porositas yang

berkembang adalah biomoldic, dan intrapaticle.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

108

(A) (B) (C)

Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan oleh sparit berbentuk blocky.

(B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala(lihat lampiran 1.4).

6.1.3.3. Mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone

of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,

tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen

sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap

sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite,

menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971)

framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa packstone

yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, grain suppoted,

pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak

utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=8%, algae=3%, benthic

foraminifera=15%, moluska= 9%, bryozoa=5%) dengan persentase 40%,

allochem intraclast dengan persentase 30%, allochem pellet dengan

persentase 10%, sparite dengan persentase 15%(berbentuk bladed),

micrite dengan persentase 2%, dan microspar dengan persentase 3%

(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)

biosparite(Tipe 1), menurut Dunham(1962) grainstone.porositas yang

berkembang adalah biomoldic, dan intrapaticle.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

Page 101: Ok Stratigrafi

109

diversification yang merupakan fase selanjutnya setelah fase colonization.

Hal ini dapat dilihat dari matriks pengisi rongga framestone yang terdiri

atas berbagai macam organisme berbeda dengan mikrofasies sebelumnya.

Ini menandakan lingkungan dimana mikrofasies ini diendapkan telah

cukup ideal bagi perkembangan organisme baik itu dari segi salinitas,

intensitas cahaya matahari, kekeruhan air, kekuatan arus, dll. Kenampakan

dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.5.

(A) (B) (C)

(D) (E) (F)

Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala(lihat lampiran 1.5).

6.1.3.4. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka

dasycladaceae algae , tekstur pengendapan berupa organisme algae yang

mengikat sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding.

Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan

109

diversification yang merupakan fase selanjutnya setelah fase colonization.

Hal ini dapat dilihat dari matriks pengisi rongga framestone yang terdiri

atas berbagai macam organisme berbeda dengan mikrofasies sebelumnya.

Ini menandakan lingkungan dimana mikrofasies ini diendapkan telah

cukup ideal bagi perkembangan organisme baik itu dari segi salinitas,

intensitas cahaya matahari, kekeruhan air, kekuatan arus, dll. Kenampakan

dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.5.

(A) (B) (C)

(D) (E) (F)

Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala(lihat lampiran 1.5).

6.1.3.4. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka

dasycladaceae algae , tekstur pengendapan berupa organisme algae yang

mengikat sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding.

Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan

109

diversification yang merupakan fase selanjutnya setelah fase colonization.

Hal ini dapat dilihat dari matriks pengisi rongga framestone yang terdiri

atas berbagai macam organisme berbeda dengan mikrofasies sebelumnya.

Ini menandakan lingkungan dimana mikrofasies ini diendapkan telah

cukup ideal bagi perkembangan organisme baik itu dari segi salinitas,

intensitas cahaya matahari, kekeruhan air, kekuatan arus, dll. Kenampakan

dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.5.

(A) (B) (C)

(D) (E) (F)

Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala(lihat lampiran 1.5).

6.1.3.4. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka

dasycladaceae algae , tekstur pengendapan berupa organisme algae yang

mengikat sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding.

Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan

Page 102: Ok Stratigrafi

110

menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone,

menurut Embry dan Klovan(1971) bindstone. Algae ini mengikat material

halus seperti lumpur karbonat karena bertujuan untuk mencari nutrisi dan

proses metabolisme. Setelah satu set algae mengikat material sedimen

berukuran halus dan mati maka di atas material sedimen halus itu akan

tumbuh algae baru yang akan melakukan aktivitas serupa sehingga

membentuk satu kesatuan bindstone.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih sebagai

fase diversification . perubahan dari framestone menjadi bindstone

mengindikasikan bahwa terjadi sedikit perubahan sea level menjadi lebih

dangkal sehingga terjadi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini

mendukung pertumbuhan algar yang membentuk bindstone ini.

Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.6.

Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy,

(B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat,

(C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian telah

mengalami neomorfisme,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala(lihat lampiran 1.6).

6.1.3.5. Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka

110

menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone,

menurut Embry dan Klovan(1971) bindstone. Algae ini mengikat material

halus seperti lumpur karbonat karena bertujuan untuk mencari nutrisi dan

proses metabolisme. Setelah satu set algae mengikat material sedimen

berukuran halus dan mati maka di atas material sedimen halus itu akan

tumbuh algae baru yang akan melakukan aktivitas serupa sehingga

membentuk satu kesatuan bindstone.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih sebagai

fase diversification . perubahan dari framestone menjadi bindstone

mengindikasikan bahwa terjadi sedikit perubahan sea level menjadi lebih

dangkal sehingga terjadi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini

mendukung pertumbuhan algar yang membentuk bindstone ini.

Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.6.

Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy,

(B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat,

(C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian telah

mengalami neomorfisme,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala(lihat lampiran 1.6).

6.1.3.5. Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka

110

menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone,

menurut Embry dan Klovan(1971) bindstone. Algae ini mengikat material

halus seperti lumpur karbonat karena bertujuan untuk mencari nutrisi dan

proses metabolisme. Setelah satu set algae mengikat material sedimen

berukuran halus dan mati maka di atas material sedimen halus itu akan

tumbuh algae baru yang akan melakukan aktivitas serupa sehingga

membentuk satu kesatuan bindstone.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih sebagai

fase diversification . perubahan dari framestone menjadi bindstone

mengindikasikan bahwa terjadi sedikit perubahan sea level menjadi lebih

dangkal sehingga terjadi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini

mendukung pertumbuhan algar yang membentuk bindstone ini.

Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.6.

Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy,

(B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat,

(C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian telah

mengalami neomorfisme,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala(lihat lampiran 1.6).

6.1.3.5. Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka

Page 103: Ok Stratigrafi

111

dasycladaceae algae , tekstur pengendapan berupa organisme

dasycladaceae algae yang mengikat sedimen yang ada sekitar saat

melakukan aktivitas baffling. Berdasarkan analisis terhadap sampel yang

telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut

Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971)

bafflestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone

yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported,

pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 74,1% tidak

utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=13%, algae=5%, benthic

foraminifera=5%) dengan persentase 23%, allochem pellet dengan

persentase 8%, micrite dengan persentase 65%, dan microspar dengan

persentase 4% (berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut

Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962)

wackestone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan intrapaticle.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

diversification kelanjutan sebelumnya. Perubahan dari framestone menjadi

bafflestone mengindikasikan 2 hal yang cukup signifikan. Pertama terjadi

perubahan keadaan hidrodinamika pada lingkungan dimana patch reef ini

diendapkan dari keadaan dengan arus sedang menjadi sedikit lebih tenang,

karena lingkungan dimana bafflestone dapat berkembang ada di bawah

zona dimana framestone bisa berkembang. Keberadaan matriks pengisi

berupa wackestone juga menguatkan intrepertasi ini. Yang kedua adalah

munculnya bafflestone menunjukkan diversifikasi dari jenis batugamping

terumbu pada fase diversification. Kenampakan dari mikrofasies ini dapat

dilihat pada foto 6.7.

Page 104: Ok Stratigrafi

112

(A) (B)

Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas intraparticle, (B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks pengisi bafflestone,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala(lihat lampiran 1.7).

6.1.3.6. Mikrofasies coral framestone with red algae packstone of

boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,

tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang

ada sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis

terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962)

biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan

Klovan(1971) framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks

berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang,

grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan

butir93,5% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=10%, red

algae=25%, benthic foraminifera=10%, lepidocyclina=13%) dengan

persentase 58%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan

persentase 20%, dan microspar dengan persentase 13% (berbentuk blocky

mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut

Dunham(1962) packstone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan

fracture.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

diversification dalam tahap terakhir sebelum menuju fase domination.

Kehadiran matriks pengisi batugamping terumbu yang memiliki

112

(A) (B)

Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas intraparticle, (B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks pengisi bafflestone,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala(lihat lampiran 1.7).

6.1.3.6. Mikrofasies coral framestone with red algae packstone of

boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,

tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang

ada sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis

terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962)

biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan

Klovan(1971) framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks

berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang,

grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan

butir93,5% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=10%, red

algae=25%, benthic foraminifera=10%, lepidocyclina=13%) dengan

persentase 58%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan

persentase 20%, dan microspar dengan persentase 13% (berbentuk blocky

mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut

Dunham(1962) packstone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan

fracture.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

diversification dalam tahap terakhir sebelum menuju fase domination.

Kehadiran matriks pengisi batugamping terumbu yang memiliki

112

(A) (B)

Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas intraparticle, (B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks pengisi bafflestone,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala(lihat lampiran 1.7).

6.1.3.6. Mikrofasies coral framestone with red algae packstone of

boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,

tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang

ada sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis

terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962)

biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan

Klovan(1971) framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks

berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang,

grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan

butir93,5% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=10%, red

algae=25%, benthic foraminifera=10%, lepidocyclina=13%) dengan

persentase 58%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan

persentase 20%, dan microspar dengan persentase 13% (berbentuk blocky

mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut

Dunham(1962) packstone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan

fracture.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

diversification dalam tahap terakhir sebelum menuju fase domination.

Kehadiran matriks pengisi batugamping terumbu yang memiliki

Page 105: Ok Stratigrafi

113

keanekaragaman organisme yang cukup tinggi mengindikasikan hal ini.

Kehadiran red algae mengindikasikan bahwa simbiosis antara coral

dengan organisme lain berjalan baik, karena red algae ini hidup dari hasil

metabolism coral, sebaliknya kehadiran red algae juga menguntungkan

bagi coral karena red algae selain memberikan nutrisi juga menjaga

kestabilan bioekologi di sekitar coral. Kenampakan dari mikrofasies ini

dapat dilihat pada foto 6.8.

(A) (B) Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah mengalami

inversi, (B)kenampakan bioclast jenis red algae, keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan tipis

LP 10D tanpa skala(lihat lampiran 1.8).

6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy

coral, tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat

sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding. Berdasarkan

analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut

Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut

Embry dan Klovan(1971) bindstone. Platy coral ini mengikat material

sedimen berupa lumpur karbonat.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

domination dari suatu patch reef. hal ini dapat dilihat dari tebalnya

pelamparan vertikal dari mikrofasies ini hingga mencapai 14,98 meter. Ini

menandakan bahwa pertumbuhan dari batugamping terumbu telah

mencapai puncaknya sehingga dapat benar-benar mengikuti perubahan

113

keanekaragaman organisme yang cukup tinggi mengindikasikan hal ini.

Kehadiran red algae mengindikasikan bahwa simbiosis antara coral

dengan organisme lain berjalan baik, karena red algae ini hidup dari hasil

metabolism coral, sebaliknya kehadiran red algae juga menguntungkan

bagi coral karena red algae selain memberikan nutrisi juga menjaga

kestabilan bioekologi di sekitar coral. Kenampakan dari mikrofasies ini

dapat dilihat pada foto 6.8.

(A) (B) Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah mengalami

inversi, (B)kenampakan bioclast jenis red algae, keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan tipis

LP 10D tanpa skala(lihat lampiran 1.8).

6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy

coral, tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat

sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding. Berdasarkan

analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut

Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut

Embry dan Klovan(1971) bindstone. Platy coral ini mengikat material

sedimen berupa lumpur karbonat.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

domination dari suatu patch reef. hal ini dapat dilihat dari tebalnya

pelamparan vertikal dari mikrofasies ini hingga mencapai 14,98 meter. Ini

menandakan bahwa pertumbuhan dari batugamping terumbu telah

mencapai puncaknya sehingga dapat benar-benar mengikuti perubahan

113

keanekaragaman organisme yang cukup tinggi mengindikasikan hal ini.

Kehadiran red algae mengindikasikan bahwa simbiosis antara coral

dengan organisme lain berjalan baik, karena red algae ini hidup dari hasil

metabolism coral, sebaliknya kehadiran red algae juga menguntungkan

bagi coral karena red algae selain memberikan nutrisi juga menjaga

kestabilan bioekologi di sekitar coral. Kenampakan dari mikrofasies ini

dapat dilihat pada foto 6.8.

(A) (B) Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah mengalami

inversi, (B)kenampakan bioclast jenis red algae, keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan tipis

LP 10D tanpa skala(lihat lampiran 1.8).

6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy

coral, tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat

sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding. Berdasarkan

analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut

Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut

Embry dan Klovan(1971) bindstone. Platy coral ini mengikat material

sedimen berupa lumpur karbonat.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang

tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase

domination dari suatu patch reef. hal ini dapat dilihat dari tebalnya

pelamparan vertikal dari mikrofasies ini hingga mencapai 14,98 meter. Ini

menandakan bahwa pertumbuhan dari batugamping terumbu telah

mencapai puncaknya sehingga dapat benar-benar mengikuti perubahan

Page 106: Ok Stratigrafi

114

muka air laut(keep up). Ketidakhadiran mikrofasies lain menandakan

bahwa pada fase ini keadaan lingkungan dimana batugamping terumbu

sudah sangat stabil sehingga organisme yang tidak dapat beradaptasi

benar-benar tidak dapat hidup lagi di sini. Berbeda dengan mikrofasies

bindstone yang muncul sebelumnya, mikrofasies ini murni mengikat

material sedimen karbonat. Hal ini juga menandakan bahwa pasokan

sedimen asal darat sedang dalam internsitas rendah. Kenampakan dari

mikrofasies ini dapat dilihat dari foto 6.9.

(A) (B) (C)

Foto 6.9. (A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami mikritisasi, (B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa lumpur karbonat,

©kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala(lihat lampiran1.9).

Secara keseluruhan asosiasi mikrofasies boundstone 1 ini

menunjukkan suatu perkembangan suksesi biologis dari suatu patch

reef(lihat model Tucker, 2003, pada gambar 6.1). dimulai dengan fase

stabilization dimana carbonate factory baru saja mulai aktif yang diwakili

oleh mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan

Wackestone with micirite and microspar matrix. Setelah itu dilanjutkan

dengan fase colonization dimana organisme coral yang akan berperan

sangat penting dalam pembentukan batugamping terumbu mulai dapat

berkembang yang diwakili oleh mikrofasies coral framestone with

packstone matrix of boundstone 1 dan platy coral bindstone 1 of

boundstone 1. Setelah fase ini selesai dilanjutkan dengan fase

diversification dimana berbagai macam organisme dapat hidup dan

berkembang dengan baik karena dapat saling melakukan simbiosis satu

114

muka air laut(keep up). Ketidakhadiran mikrofasies lain menandakan

bahwa pada fase ini keadaan lingkungan dimana batugamping terumbu

sudah sangat stabil sehingga organisme yang tidak dapat beradaptasi

benar-benar tidak dapat hidup lagi di sini. Berbeda dengan mikrofasies

bindstone yang muncul sebelumnya, mikrofasies ini murni mengikat

material sedimen karbonat. Hal ini juga menandakan bahwa pasokan

sedimen asal darat sedang dalam internsitas rendah. Kenampakan dari

mikrofasies ini dapat dilihat dari foto 6.9.

(A) (B) (C)

Foto 6.9. (A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami mikritisasi, (B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa lumpur karbonat,

©kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala(lihat lampiran1.9).

Secara keseluruhan asosiasi mikrofasies boundstone 1 ini

menunjukkan suatu perkembangan suksesi biologis dari suatu patch

reef(lihat model Tucker, 2003, pada gambar 6.1). dimulai dengan fase

stabilization dimana carbonate factory baru saja mulai aktif yang diwakili

oleh mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan

Wackestone with micirite and microspar matrix. Setelah itu dilanjutkan

dengan fase colonization dimana organisme coral yang akan berperan

sangat penting dalam pembentukan batugamping terumbu mulai dapat

berkembang yang diwakili oleh mikrofasies coral framestone with

packstone matrix of boundstone 1 dan platy coral bindstone 1 of

boundstone 1. Setelah fase ini selesai dilanjutkan dengan fase

diversification dimana berbagai macam organisme dapat hidup dan

berkembang dengan baik karena dapat saling melakukan simbiosis satu

114

muka air laut(keep up). Ketidakhadiran mikrofasies lain menandakan

bahwa pada fase ini keadaan lingkungan dimana batugamping terumbu

sudah sangat stabil sehingga organisme yang tidak dapat beradaptasi

benar-benar tidak dapat hidup lagi di sini. Berbeda dengan mikrofasies

bindstone yang muncul sebelumnya, mikrofasies ini murni mengikat

material sedimen karbonat. Hal ini juga menandakan bahwa pasokan

sedimen asal darat sedang dalam internsitas rendah. Kenampakan dari

mikrofasies ini dapat dilihat dari foto 6.9.

(A) (B) (C)

Foto 6.9. (A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami mikritisasi, (B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa lumpur karbonat,

©kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala(lihat lampiran1.9).

Secara keseluruhan asosiasi mikrofasies boundstone 1 ini

menunjukkan suatu perkembangan suksesi biologis dari suatu patch

reef(lihat model Tucker, 2003, pada gambar 6.1). dimulai dengan fase

stabilization dimana carbonate factory baru saja mulai aktif yang diwakili

oleh mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan

Wackestone with micirite and microspar matrix. Setelah itu dilanjutkan

dengan fase colonization dimana organisme coral yang akan berperan

sangat penting dalam pembentukan batugamping terumbu mulai dapat

berkembang yang diwakili oleh mikrofasies coral framestone with

packstone matrix of boundstone 1 dan platy coral bindstone 1 of

boundstone 1. Setelah fase ini selesai dilanjutkan dengan fase

diversification dimana berbagai macam organisme dapat hidup dan

berkembang dengan baik karena dapat saling melakukan simbiosis satu

Page 107: Ok Stratigrafi

115

sama lain diwakili oleh mikrofasies corraline framestone with diverse

organism packstone of boundstone 1, algae bindstone of boundstone 1,

dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1, dan coral framestone

with red algae packstone of boundstone 1. Setelah itu sempat terjadi

pasokan sedimen asal darat yang cukup intensif sehingga dijumpai sisipan

konglomerat dan batupasir tuffan, namun karena patch reef telah

berkembang sampai fase diversification hal ini tidak mengganggu

perkembangan batugamping terumbu selanjutnya. Di fase akhir dijumpai

mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1 dengan pelamparan

vertikal tebal yang merupakan fase domination.

6.1.4. Mikrofasies lepidocyclina wackestone to packstone with micirite matrix

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap

dengan baik di dekat Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh.

Penyebaran lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,5 meter.

Penamaan mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting

untuk intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan,

jenis allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi.

Berdasarkan aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka

mikrofasiesnya diidentifikasikan sebagai lepidocyclina packstone with micrite

matrix.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan

buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast(lepidocyclina=15%, algae=5%) dengan persentase 20%,

allochem pellet dengan persentase 23%,matriks terdiri atas micrite 45% dan

microspar 12%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)

pelmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang

dijumapi adalah vuggy. Pada sayatan lain yang diambil di tempat yang sama

dengan sayatan pertama didapatkan ciri-ciri bewarna abu-abu kekuningan,

grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir

95% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast (Lepidocyclina=32%,

Page 108: Ok Stratigrafi

116

Foraminifera= 20%, red algae=10%, Bryzoa=5%) dengan persentase 67%,

allochem pellet dengan persentase 3%, masa dasar berupa sparite(berbentuk

drusy), micrite dengan persentase 20%, dan microspar dengan persentase 5%,

penamaan berdasarkan Folk(1959,1962) adalah packed biomicrite(Tipe 2),

sedangkan penamaan berdasarkan Dunham(1962) adalah packstone.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang

diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di

zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase

tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization

menyerupai mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan

wackestone with micirite and microspar matrix. Packstone dan wackestone

cenderung diendapkan pada daerah dengan kondisi arus tenang sehingga

lumpur karbonat bisa dendapkan bersamaan dengan allochem, sedangkan

sparite tidak begitu berkembang. Keberadaan mikrofasies ini menandakan

mulai aktifnya carbonate factory yang dapat disebabkan oleh berkurangnya

pasokan sedimen asal darat, salinitas yang mendukung, dll.

(A) (B)

Foto 6.10. (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa, (B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina, diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala(lihat lampiran 1.10).

6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix)

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian di dekat

Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh. Keadaan singkapan sudah

agak lapuk(lihat foto 6.8) diakibatkan proses pelapukan oleh cuaca, dll. Tebal

dari mikrofasies ini adalah 4 meter. Aspek mikrofasies yang dipertimbangkan

116

Foraminifera= 20%, red algae=10%, Bryzoa=5%) dengan persentase 67%,

allochem pellet dengan persentase 3%, masa dasar berupa sparite(berbentuk

drusy), micrite dengan persentase 20%, dan microspar dengan persentase 5%,

penamaan berdasarkan Folk(1959,1962) adalah packed biomicrite(Tipe 2),

sedangkan penamaan berdasarkan Dunham(1962) adalah packstone.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang

diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di

zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase

tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization

menyerupai mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan

wackestone with micirite and microspar matrix. Packstone dan wackestone

cenderung diendapkan pada daerah dengan kondisi arus tenang sehingga

lumpur karbonat bisa dendapkan bersamaan dengan allochem, sedangkan

sparite tidak begitu berkembang. Keberadaan mikrofasies ini menandakan

mulai aktifnya carbonate factory yang dapat disebabkan oleh berkurangnya

pasokan sedimen asal darat, salinitas yang mendukung, dll.

(A) (B)

Foto 6.10. (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa, (B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina, diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala(lihat lampiran 1.10).

6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix)

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian di dekat

Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh. Keadaan singkapan sudah

agak lapuk(lihat foto 6.8) diakibatkan proses pelapukan oleh cuaca, dll. Tebal

dari mikrofasies ini adalah 4 meter. Aspek mikrofasies yang dipertimbangkan

116

Foraminifera= 20%, red algae=10%, Bryzoa=5%) dengan persentase 67%,

allochem pellet dengan persentase 3%, masa dasar berupa sparite(berbentuk

drusy), micrite dengan persentase 20%, dan microspar dengan persentase 5%,

penamaan berdasarkan Folk(1959,1962) adalah packed biomicrite(Tipe 2),

sedangkan penamaan berdasarkan Dunham(1962) adalah packstone.

Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang

diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di

zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase

tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization

menyerupai mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan

wackestone with micirite and microspar matrix. Packstone dan wackestone

cenderung diendapkan pada daerah dengan kondisi arus tenang sehingga

lumpur karbonat bisa dendapkan bersamaan dengan allochem, sedangkan

sparite tidak begitu berkembang. Keberadaan mikrofasies ini menandakan

mulai aktifnya carbonate factory yang dapat disebabkan oleh berkurangnya

pasokan sedimen asal darat, salinitas yang mendukung, dll.

(A) (B)

Foto 6.10. (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa, (B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina, diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala(lihat lampiran 1.10).

6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix)

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian di dekat

Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh. Keadaan singkapan sudah

agak lapuk(lihat foto 6.8) diakibatkan proses pelapukan oleh cuaca, dll. Tebal

dari mikrofasies ini adalah 4 meter. Aspek mikrofasies yang dipertimbangkan

Page 109: Ok Stratigrafi

117

untuk penamaan adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur terumbu,

tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau boundstone), dan

tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping terumbu tersebut.

Foto 6.11. Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53 arah

kamera N240E.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki

karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral, tekstur

pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang ada sekitar

saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap sampel

yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut

Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) framestone.

Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone yang memiliki

karakteristik bewarna kuning abu-abu kekuningan, mud supported, pemilahan

buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 89% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast(red algae=11%, Lepidocyclina=22%) dengan persentase

33%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan persentase 55%,

dan microspar dengan persentase 8% (berbentuk drusy mosaic), penamaan

menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) sparse

wackestone. Porositas yang berkembang adalah vuggy. Kenampakan aspek

mikrofasies dari coral framestone with wackestone matrix of boundstone 2 ini

dapat dilihat pada foto 6.12.

117

untuk penamaan adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur terumbu,

tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau boundstone), dan

tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping terumbu tersebut.

Foto 6.11. Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53 arah

kamera N240E.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki

karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral, tekstur

pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang ada sekitar

saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap sampel

yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut

Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) framestone.

Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone yang memiliki

karakteristik bewarna kuning abu-abu kekuningan, mud supported, pemilahan

buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 89% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast(red algae=11%, Lepidocyclina=22%) dengan persentase

33%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan persentase 55%,

dan microspar dengan persentase 8% (berbentuk drusy mosaic), penamaan

menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) sparse

wackestone. Porositas yang berkembang adalah vuggy. Kenampakan aspek

mikrofasies dari coral framestone with wackestone matrix of boundstone 2 ini

dapat dilihat pada foto 6.12.

117

untuk penamaan adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur terumbu,

tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau boundstone), dan

tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping terumbu tersebut.

Foto 6.11. Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53 arah

kamera N240E.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki

karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral, tekstur

pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang ada sekitar

saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap sampel

yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut

Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) framestone.

Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone yang memiliki

karakteristik bewarna kuning abu-abu kekuningan, mud supported, pemilahan

buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 89% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast(red algae=11%, Lepidocyclina=22%) dengan persentase

33%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan persentase 55%,

dan microspar dengan persentase 8% (berbentuk drusy mosaic), penamaan

menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) sparse

wackestone. Porositas yang berkembang adalah vuggy. Kenampakan aspek

mikrofasies dari coral framestone with wackestone matrix of boundstone 2 ini

dapat dilihat pada foto 6.12.

Page 110: Ok Stratigrafi

118

(A) (B)

Foto 6.12. (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy,

(B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah terneomorfisme

menjadi sparite pada matriks pengisi framestone,

diambil dari foto sayatan LP 47A(lihat lampiran 1.11).

6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix 2

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap

dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran

lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan

mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk

intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis

allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan

aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan

buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast(lepidocyclina=23%, algae=8%) dengan persentase 31%,

allochem pellet dengan persentase 10%,matriks terdiri atas micrite 50% dan

microspar 9%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)

biolmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone.

118

(A) (B)

Foto 6.12. (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy,

(B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah terneomorfisme

menjadi sparite pada matriks pengisi framestone,

diambil dari foto sayatan LP 47A(lihat lampiran 1.11).

6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix 2

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap

dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran

lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan

mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk

intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis

allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan

aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan

buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast(lepidocyclina=23%, algae=8%) dengan persentase 31%,

allochem pellet dengan persentase 10%,matriks terdiri atas micrite 50% dan

microspar 9%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)

biolmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone.

118

(A) (B)

Foto 6.12. (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy,

(B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah terneomorfisme

menjadi sparite pada matriks pengisi framestone,

diambil dari foto sayatan LP 47A(lihat lampiran 1.11).

6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix 2

Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap

dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran

lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan

mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk

intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis

allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan

aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya

diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.

Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini

memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan

buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh

allochem bioclast(lepidocyclina=23%, algae=8%) dengan persentase 31%,

allochem pellet dengan persentase 10%,matriks terdiri atas micrite 50% dan

microspar 9%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)

biolmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone.

Page 111: Ok Stratigrafi

119

6.2. Studi fase diagenesis Formasi Jonggrangan

Studi fase diagenesis yang dilakukan akan difokuskan pada patch reef yang

tersingkap paling baik di daerah dusun Dukuh yang terdiri dari mikrofasies coral

floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite and microspar

matrix, dan Boundstone 1 (terdiri dari asosiasi coral framestone with packstone

matrix, platy coral bindstone 1, corraline framestone with diverse organism

packstone, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone, coral framestone with

red algae packstone, dan platy coral bindstone 2). Hal ini dilakukan untuk

memfokuskan pembahasan dan juga dikarenankan mikrofasies-mikrofasies tersebut

merupakan mikrofasies yang didukung oleh data sampel yang paling mendukung.

Ketebalan dan variasi mikrofasies yang ada juga dapat memberikan gambaran

perkembangan fase diagenesis batuan karbonat yang menjadi objek studi khusus ini.

Berikut akan dijelaskan fase diagenesis dari masing-masing mikrofasies yang

menyusun patch reef dusun Dukuh ini mulai dari yang paling tua ke muda.

6.2.1 Fase diagenesis mikrofasies coral floatstone with microspar dominated

matrix

Mikrofasies ini dicirikan oleh dominasi allochem coral yang mengambang

pada masa dasar lumpur karbonat. Untuk menjelaskan fase diagenesis dari

mikrofasies ini dilakukan analisa terhadap 2 sampel. Berikut akan dijelaskan

perkembangan fase diagenesis dari 2 sampel terebut mulai dari yang paling tua.

6.2.1.1.Sampel LP 8A

Pada sayatan tipis sampel LP 8 A ini dapat dilihat kenampakan

allochem bioclast berupa coral yang telah mengalami mikritisasi. Ini

merupakan indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase

eogenesis dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme.

Aktivitas ini berupa aktivitas boring yang sangat intensif oleh endolithic

organism pada lingkungan dimana batuan karbonat ini awalnya

diendapkan yaitu marine. Setelah itu pada fase mesogenesis marine terjadi

perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar dan pseudospar

yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive dari lumpur

Page 112: Ok Stratigrafi

120

karbonat atau micrite. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang

menjadi masa dasar padahal lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara

rongga butir sebagai semen. Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan

yang diakibatkan oleh berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan

batuan karbonat yang ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas

vuggy. Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas

sebesar 6,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan

di atas dapat dilihat pada foto 6.13.

(A) (B) (C)

Foto 6.13. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi

pada fase eogenesis,

(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase

mesogenesis hingga telogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8A(lihat lampiran 1.1).

6.2.2. Fase diagenesis mikrofasies wackestone with micirite and microspar

matrix

Mikrofasies ini dicirikan oleh allochem bioclast yang tidak begitu jelas

yang mengambang pada masa dasar berupa micrite dan microspar. Fase

diagenesis dari mikrofasies dapat dilihat pada sayatan sampel 8B.

6.2.2.1. Sampel LP 8B

Pada sayatan tipis sampel LP 8 B ini dapat dilihat kenampakan

allochem bioclast yang telah mengalami mikritisasi. Ini merupakan

120

karbonat atau micrite. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang

menjadi masa dasar padahal lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara

rongga butir sebagai semen. Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan

yang diakibatkan oleh berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan

batuan karbonat yang ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas

vuggy. Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas

sebesar 6,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan

di atas dapat dilihat pada foto 6.13.

(A) (B) (C)

Foto 6.13. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi

pada fase eogenesis,

(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase

mesogenesis hingga telogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8A(lihat lampiran 1.1).

6.2.2. Fase diagenesis mikrofasies wackestone with micirite and microspar

matrix

Mikrofasies ini dicirikan oleh allochem bioclast yang tidak begitu jelas

yang mengambang pada masa dasar berupa micrite dan microspar. Fase

diagenesis dari mikrofasies dapat dilihat pada sayatan sampel 8B.

6.2.2.1. Sampel LP 8B

Pada sayatan tipis sampel LP 8 B ini dapat dilihat kenampakan

allochem bioclast yang telah mengalami mikritisasi. Ini merupakan

120

karbonat atau micrite. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang

menjadi masa dasar padahal lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara

rongga butir sebagai semen. Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan

yang diakibatkan oleh berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan

batuan karbonat yang ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas

vuggy. Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas

sebesar 6,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan

di atas dapat dilihat pada foto 6.13.

(A) (B) (C)

Foto 6.13. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi

pada fase eogenesis,

(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase

mesogenesis hingga telogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8A(lihat lampiran 1.1).

6.2.2. Fase diagenesis mikrofasies wackestone with micirite and microspar

matrix

Mikrofasies ini dicirikan oleh allochem bioclast yang tidak begitu jelas

yang mengambang pada masa dasar berupa micrite dan microspar. Fase

diagenesis dari mikrofasies dapat dilihat pada sayatan sampel 8B.

6.2.2.1. Sampel LP 8B

Pada sayatan tipis sampel LP 8 B ini dapat dilihat kenampakan

allochem bioclast yang telah mengalami mikritisasi. Ini merupakan

Page 113: Ok Stratigrafi

121

indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase eogenesis

dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme sama halnya

dengan sampel LP 8A. Namun pada sampel ini jenis bioclast yang ada

sulit diidentifikasi akibat pengaruh kompaksi yang terjadi pada fase

mesogenesis marine. Ini dapat dilihat dari bentuk tepi bioclast yang

berbentuk sutured. Perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar

dan pseudospar yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive

dari lumpur karbonat atau micrite juga terjadi pada fase mesogenesis. Hal

ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang menjadi masa dasar padahal

lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara rongga butir sebagai semen.

Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan yang diakibatkan oleh

berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan batuan karbonat yang

ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas vuggy dan channel.

Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas sebesar

13,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas

dapat dilihat pada foto 6.14.

(A) (B) (C)

Foto 6.14. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi

pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk sutured akibat kompaksi

pada fase mesogenesis,

(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase

mesogenesis hingga telogenesis,

(C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase telogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8B(lihat lampiran 1.2).

121

indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase eogenesis

dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme sama halnya

dengan sampel LP 8A. Namun pada sampel ini jenis bioclast yang ada

sulit diidentifikasi akibat pengaruh kompaksi yang terjadi pada fase

mesogenesis marine. Ini dapat dilihat dari bentuk tepi bioclast yang

berbentuk sutured. Perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar

dan pseudospar yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive

dari lumpur karbonat atau micrite juga terjadi pada fase mesogenesis. Hal

ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang menjadi masa dasar padahal

lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara rongga butir sebagai semen.

Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan yang diakibatkan oleh

berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan batuan karbonat yang

ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas vuggy dan channel.

Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas sebesar

13,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas

dapat dilihat pada foto 6.14.

(A) (B) (C)

Foto 6.14. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi

pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk sutured akibat kompaksi

pada fase mesogenesis,

(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase

mesogenesis hingga telogenesis,

(C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase telogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8B(lihat lampiran 1.2).

121

indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase eogenesis

dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme sama halnya

dengan sampel LP 8A. Namun pada sampel ini jenis bioclast yang ada

sulit diidentifikasi akibat pengaruh kompaksi yang terjadi pada fase

mesogenesis marine. Ini dapat dilihat dari bentuk tepi bioclast yang

berbentuk sutured. Perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar

dan pseudospar yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive

dari lumpur karbonat atau micrite juga terjadi pada fase mesogenesis. Hal

ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang menjadi masa dasar padahal

lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara rongga butir sebagai semen.

Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan yang diakibatkan oleh

berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan batuan karbonat yang

ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas vuggy dan channel.

Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas sebesar

13,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas

dapat dilihat pada foto 6.14.

(A) (B) (C)

Foto 6.14. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi

pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk sutured akibat kompaksi

pada fase mesogenesis,

(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase

mesogenesis hingga telogenesis,

(C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase telogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8B(lihat lampiran 1.2).

Page 114: Ok Stratigrafi

122

6.2.3. Fase diagenesis mikrofasies coral framestone with packstone matrix of

boundstone 1

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

membentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat

material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis

terhadap sampel LP 8C akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase

diagenesis mikrofasies ini.

6.2.3.1. Sampel LP 8C

Pada sampel ini dapat dilihat kenampakan kerangka coral yang

mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic. Ini

mencirikan fase diagenesis eogenesis marine dimana biodegradasi terjadi

akibat pengaruh aktivitas organisme. Setelah itu pada saat fase

mesogenesis berupa marine burial terjadi pelarutan dan represipitasi kalsit

terhadap kerangka coral yang tidak mengalami mikritisasi. Ini dapat

dilihat dari kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi

rongga bekas pelarutan kerangka coral. Pada saat fase telogenesis terjadi

pelarutan mulai dari zona fresh phreatic hingga fresh vadose. Hal ini

menyebabkan terbentuknya porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa

kualitatif didapatkan porositas sebesar 11%. Kenampakan dari efek fase

diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.15.

(A) (B)

Foto 6.15. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),

122

6.2.3. Fase diagenesis mikrofasies coral framestone with packstone matrix of

boundstone 1

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

membentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat

material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis

terhadap sampel LP 8C akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase

diagenesis mikrofasies ini.

6.2.3.1. Sampel LP 8C

Pada sampel ini dapat dilihat kenampakan kerangka coral yang

mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic. Ini

mencirikan fase diagenesis eogenesis marine dimana biodegradasi terjadi

akibat pengaruh aktivitas organisme. Setelah itu pada saat fase

mesogenesis berupa marine burial terjadi pelarutan dan represipitasi kalsit

terhadap kerangka coral yang tidak mengalami mikritisasi. Ini dapat

dilihat dari kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi

rongga bekas pelarutan kerangka coral. Pada saat fase telogenesis terjadi

pelarutan mulai dari zona fresh phreatic hingga fresh vadose. Hal ini

menyebabkan terbentuknya porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa

kualitatif didapatkan porositas sebesar 11%. Kenampakan dari efek fase

diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.15.

(A) (B)

Foto 6.15. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),

122

6.2.3. Fase diagenesis mikrofasies coral framestone with packstone matrix of

boundstone 1

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

membentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat

material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis

terhadap sampel LP 8C akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase

diagenesis mikrofasies ini.

6.2.3.1. Sampel LP 8C

Pada sampel ini dapat dilihat kenampakan kerangka coral yang

mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic. Ini

mencirikan fase diagenesis eogenesis marine dimana biodegradasi terjadi

akibat pengaruh aktivitas organisme. Setelah itu pada saat fase

mesogenesis berupa marine burial terjadi pelarutan dan represipitasi kalsit

terhadap kerangka coral yang tidak mengalami mikritisasi. Ini dapat

dilihat dari kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi

rongga bekas pelarutan kerangka coral. Pada saat fase telogenesis terjadi

pelarutan mulai dari zona fresh phreatic hingga fresh vadose. Hal ini

menyebabkan terbentuknya porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa

kualitatif didapatkan porositas sebesar 11%. Kenampakan dari efek fase

diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.15.

(A) (B)

Foto 6.15. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),

Page 115: Ok Stratigrafi

123

(B)terlihat juga porositas growth framework yang telah tereduksi akibat proses presipitasi spar ini(garis putus-putus hijau),

diambil dari foto sayatan tipis LP 8C(lihat lampiran 1.3).

6.2.4. Fase diagenesis mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang

mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen

bersamaan dengan proses pengendapan. Untuk menjelaskan fase diagenesis dari

mikrofasies ini dilakukan analisa terhadap 2 sampel. Berikut akan dijelaskan

perkembangan fase diagenesis dari 2 sampel terebut mulai dari yang paling tua.

6.2.4.1. Sampel LP 8D

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme

endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast.

Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite

envelope. Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga

kerangka dari platy coral mulai terdeformasi. Pelarutan juga mulai terjadi

pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini

kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau

sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive.

Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati

demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya

yang cenderung lebih stabil. Pada fase telogenesis yaitu pada zona

phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil pelarutan terhadap

kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat dari bentuk sparite

yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini mencirikan Kristal

kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang memiliki rasio Mg/Ca

rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan akibat interaksi dengan air

yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk porositas vuggy.

Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai porositas sebesar

5,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas

dapat dilihat pada foto 6.16.

Page 116: Ok Stratigrafi

124

(A) (B) (C)

Foto 6.16. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope pada bagian tepi,

(B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral,

(C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8D(lihat lampiran 1.4).

6.2.4.2. Sampel LP 8E

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme

endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast.

Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite

envelope. Pada kebanyakan kerangka bahkan akitivitas boring ini sangat

intensif sehingga seluruh tubuh kerangka digantikan oleh micrite.

Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga kerangka

dari platy coral mulai terdeformasi. Hal ini dapat dilihat dari kenampakan

fracture pada sayatan. Fracture ini kemudian terisi oleh sparite yang

dipresipitasikan masih pada fase mesogenesis. Pelarutan juga mulai terjadi

pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini

kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau

sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive.

Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati

demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya

yang cenderung lebih stabil. Sedangkan kerangka yang sepenuhnya

mengalami mikritisasi mengalami pelarutan parsial. Pada fase telogenesis

yaitu pada zona phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil

124

(A) (B) (C)

Foto 6.16. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope pada bagian tepi,

(B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral,

(C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8D(lihat lampiran 1.4).

6.2.4.2. Sampel LP 8E

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme

endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast.

Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite

envelope. Pada kebanyakan kerangka bahkan akitivitas boring ini sangat

intensif sehingga seluruh tubuh kerangka digantikan oleh micrite.

Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga kerangka

dari platy coral mulai terdeformasi. Hal ini dapat dilihat dari kenampakan

fracture pada sayatan. Fracture ini kemudian terisi oleh sparite yang

dipresipitasikan masih pada fase mesogenesis. Pelarutan juga mulai terjadi

pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini

kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau

sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive.

Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati

demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya

yang cenderung lebih stabil. Sedangkan kerangka yang sepenuhnya

mengalami mikritisasi mengalami pelarutan parsial. Pada fase telogenesis

yaitu pada zona phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil

124

(A) (B) (C)

Foto 6.16. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope pada bagian tepi,

(B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral,

(C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8D(lihat lampiran 1.4).

6.2.4.2. Sampel LP 8E

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme

endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast.

Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite

envelope. Pada kebanyakan kerangka bahkan akitivitas boring ini sangat

intensif sehingga seluruh tubuh kerangka digantikan oleh micrite.

Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga kerangka

dari platy coral mulai terdeformasi. Hal ini dapat dilihat dari kenampakan

fracture pada sayatan. Fracture ini kemudian terisi oleh sparite yang

dipresipitasikan masih pada fase mesogenesis. Pelarutan juga mulai terjadi

pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini

kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau

sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive.

Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati

demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya

yang cenderung lebih stabil. Sedangkan kerangka yang sepenuhnya

mengalami mikritisasi mengalami pelarutan parsial. Pada fase telogenesis

yaitu pada zona phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil

Page 117: Ok Stratigrafi

125

pelarutan terhadap kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat

dari bentuk sparite yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini

mencirikan Kristal kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang

memiliki rasio Mg/Ca rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan

akibat interaksi dengan air yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk

porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai

porositas sebesar 8,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah

dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.17.

Foto 6.17. (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan sebagian

mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis,

(B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar berbentuk

drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase

telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8E(lihat lampiran 1.5).

6.2.5. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone with diverse

organism packstone of boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat

material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis

terhadap sampel LP 11A akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase

diagenesis mikrofasies ini.

125

pelarutan terhadap kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat

dari bentuk sparite yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini

mencirikan Kristal kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang

memiliki rasio Mg/Ca rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan

akibat interaksi dengan air yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk

porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai

porositas sebesar 8,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah

dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.17.

Foto 6.17. (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan sebagian

mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis,

(B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar berbentuk

drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase

telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8E(lihat lampiran 1.5).

6.2.5. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone with diverse

organism packstone of boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat

material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis

terhadap sampel LP 11A akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase

diagenesis mikrofasies ini.

125

pelarutan terhadap kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat

dari bentuk sparite yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini

mencirikan Kristal kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang

memiliki rasio Mg/Ca rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan

akibat interaksi dengan air yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk

porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai

porositas sebesar 8,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah

dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.17.

Foto 6.17. (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan sebagian

mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis,

(B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar berbentuk

drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase

telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 8E(lihat lampiran 1.5).

6.2.5. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone with diverse

organism packstone of boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat

material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis

terhadap sampel LP 11A akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase

diagenesis mikrofasies ini.

Page 118: Ok Stratigrafi

126

6.2.5.1. Sampel LP 10A

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi

dari bioclast. Akibat aktivitas organisme ini terbentuk micritic envelope

yang nantinya akan bersifat resistan terhadap pelarutan. Pada saat fase

mesogenesis berupa burial terjadi kompaksi dan presipitasi sparite

berbentuk drusy mosaic pada rongga kerangka coral. Hal ini menyebabkan

berkurang bahkan hilangnya porositas growth framework dari batuan ini.

Pada saat fase telogenesis pada zona fresh vadose zone terjadi pelarutan

dan represipitasi kalsit sehingga kerangka coral digantikan oleh kalsit

yang berbentuk blocky mosaic.

Pada sayatan dari sampel yang diambil dari matriks pengisi coral

framestone yaitu berupa red algae packstone sejarah perkembangan

diagenesis juga dapat teramati dengan cukup baik. Pada fase eogenesis

marine terjadi mikritisasi terhadap allochem bioclast seperti foraminifera

akibat pengaruh aktivitas organisme endolithic. Selain itu juga terjadi

pembentukan sparite dengan morfologi fibrous rims yang dapat diamati

pada beberapa bioclast algae. Setelah itu pada fase mesogenesis berupa

marine burial terjadi kompaksi sehingga beberapa butiran karbonat

terdeformasi dan tidak utuh lagi. Selain itu terjadi juga pembentukan

sparite berbentuk bladed rims yang dapat diamati dengan baik pada

bioclast foraminifera. Pada fase ini proses neomorfisme juga mulai terjadi

sehingga sebagian micrite terubahkan menjadi microspar. Pada fase

telogenesis yaitu pada zona phreatic dan zona vadose terjadi pelarutan

sehingga terbentuk porositas vuggy. Dari perhitungan kualitatif didapatkan

porositas sebesar 31,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah

dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.18

Page 119: Ok Stratigrafi

127

Foto 6.18. (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red algae,

terbentuk pada fase eogenesis,

(B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putus-putus

merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase mesogenesis(garis

putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis terpresipitasi spar dengan

bentuk blocky(garis putus-putus kuning),

(C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat presipitasi

spar pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10A(lihat lampiran 1.6)

6.2.6. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae bindstone of boundstone 1

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan algae yang

melakukan aktivitas binding terhadap lumpur karbonat secara terus menerus.

Analisis terhadap sampel LP 10B akan dilakukan untuk menjelaskan

perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.6.1. Sampel LP 10B

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi

dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme yang intensif ini terjadi

mikritisasi terhadap kerangka algae. Selanjutnya pada fase mesogenesis

akibat perubahan keadaan kimia fluida air yang berinteraksi dengan batuan

karbonat maka memicu terjadinya neomorfisme agrading coalescive.

Proses ini menyebabkan lumpur karbonat sebagian terubahkan menjadi

microspar. Kemudian pada saat fase telogenesis pada zona fresh phreatic

127

Foto 6.18. (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red algae,

terbentuk pada fase eogenesis,

(B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putus-putus

merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase mesogenesis(garis

putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis terpresipitasi spar dengan

bentuk blocky(garis putus-putus kuning),

(C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat presipitasi

spar pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10A(lihat lampiran 1.6)

6.2.6. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae bindstone of boundstone 1

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan algae yang

melakukan aktivitas binding terhadap lumpur karbonat secara terus menerus.

Analisis terhadap sampel LP 10B akan dilakukan untuk menjelaskan

perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.6.1. Sampel LP 10B

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi

dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme yang intensif ini terjadi

mikritisasi terhadap kerangka algae. Selanjutnya pada fase mesogenesis

akibat perubahan keadaan kimia fluida air yang berinteraksi dengan batuan

karbonat maka memicu terjadinya neomorfisme agrading coalescive.

Proses ini menyebabkan lumpur karbonat sebagian terubahkan menjadi

microspar. Kemudian pada saat fase telogenesis pada zona fresh phreatic

127

Foto 6.18. (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red algae,

terbentuk pada fase eogenesis,

(B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putus-putus

merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase mesogenesis(garis

putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis terpresipitasi spar dengan

bentuk blocky(garis putus-putus kuning),

(C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat presipitasi

spar pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10A(lihat lampiran 1.6)

6.2.6. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae bindstone of boundstone 1

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan algae yang

melakukan aktivitas binding terhadap lumpur karbonat secara terus menerus.

Analisis terhadap sampel LP 10B akan dilakukan untuk menjelaskan

perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.6.1. Sampel LP 10B

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi

dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme yang intensif ini terjadi

mikritisasi terhadap kerangka algae. Selanjutnya pada fase mesogenesis

akibat perubahan keadaan kimia fluida air yang berinteraksi dengan batuan

karbonat maka memicu terjadinya neomorfisme agrading coalescive.

Proses ini menyebabkan lumpur karbonat sebagian terubahkan menjadi

microspar. Kemudian pada saat fase telogenesis pada zona fresh phreatic

Page 120: Ok Stratigrafi

128

dan fresh vadose terjadi pelarutan sehingga terbentuk porositas vuggy.

Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar

14,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas

dapat dilihat pada foto 6.19.

Foto 6.19. (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian terbentuk pada fase eogenesis,

(B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive, terjadi fase mesogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10B(lihat lampiran 1.6).

6.2.7.Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone

of boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan dasycladaceae algae yang

melakukan aktivitas baffling sehingga material sedimen berupa lumpur karbonat

di traping dan terendapkan secara bersamaan. Analisis terhadap sampel LP 10C

akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies

ini.

6.2.7.1. Sampel LP 10C

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi

dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme ini terbentuk micritic

envelope di sekitar bagian tepi dari pecahan cangkang organisme.

128

dan fresh vadose terjadi pelarutan sehingga terbentuk porositas vuggy.

Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar

14,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas

dapat dilihat pada foto 6.19.

Foto 6.19. (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian terbentuk pada fase eogenesis,

(B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive, terjadi fase mesogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10B(lihat lampiran 1.6).

6.2.7.Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone

of boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan dasycladaceae algae yang

melakukan aktivitas baffling sehingga material sedimen berupa lumpur karbonat

di traping dan terendapkan secara bersamaan. Analisis terhadap sampel LP 10C

akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies

ini.

6.2.7.1. Sampel LP 10C

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi

dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme ini terbentuk micritic

envelope di sekitar bagian tepi dari pecahan cangkang organisme.

128

dan fresh vadose terjadi pelarutan sehingga terbentuk porositas vuggy.

Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar

14,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas

dapat dilihat pada foto 6.19.

Foto 6.19. (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian terbentuk pada fase eogenesis,

(B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive, terjadi fase mesogenesis,

(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10B(lihat lampiran 1.6).

6.2.7.Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone

of boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan dasycladaceae algae yang

melakukan aktivitas baffling sehingga material sedimen berupa lumpur karbonat

di traping dan terendapkan secara bersamaan. Analisis terhadap sampel LP 10C

akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies

ini.

6.2.7.1. Sampel LP 10C

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi

dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme ini terbentuk micritic

envelope di sekitar bagian tepi dari pecahan cangkang organisme.

Page 121: Ok Stratigrafi

129

Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial terjadi kompaksi

sehingga kerangka dari algae mengalami deformasi bahkan sampai ada

yang terkekarkan. Pada fase ini juga terjadi pelarutan dari beberapa

kerangka organisme yang bersifat tidak resistan dan dilanjutkan oleh

presipitasi spar berbentuk drusy mosaic. Kemudian pada fase telogenesis

baik di zona fresh vadose dan fresh phreatic terjadi pelarutan sehingga

terbentuk porositas vuggy. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan

nilai porositas sebesar 8,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang

telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.20.

Foto 6.20. Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring oleh

organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C(lihat lampiran 1.7).

6.2.8. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone with red algae

packstone of boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat

material sedimen karbonat bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis

terhadap sampel LP 10D akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase

diagenesis mikrofasies ini.

129

Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial terjadi kompaksi

sehingga kerangka dari algae mengalami deformasi bahkan sampai ada

yang terkekarkan. Pada fase ini juga terjadi pelarutan dari beberapa

kerangka organisme yang bersifat tidak resistan dan dilanjutkan oleh

presipitasi spar berbentuk drusy mosaic. Kemudian pada fase telogenesis

baik di zona fresh vadose dan fresh phreatic terjadi pelarutan sehingga

terbentuk porositas vuggy. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan

nilai porositas sebesar 8,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang

telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.20.

Foto 6.20. Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring oleh

organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C(lihat lampiran 1.7).

6.2.8. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone with red algae

packstone of boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat

material sedimen karbonat bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis

terhadap sampel LP 10D akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase

diagenesis mikrofasies ini.

129

Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial terjadi kompaksi

sehingga kerangka dari algae mengalami deformasi bahkan sampai ada

yang terkekarkan. Pada fase ini juga terjadi pelarutan dari beberapa

kerangka organisme yang bersifat tidak resistan dan dilanjutkan oleh

presipitasi spar berbentuk drusy mosaic. Kemudian pada fase telogenesis

baik di zona fresh vadose dan fresh phreatic terjadi pelarutan sehingga

terbentuk porositas vuggy. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan

nilai porositas sebesar 8,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang

telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.20.

Foto 6.20. Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring oleh

organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C(lihat lampiran 1.7).

6.2.8. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone with red algae

packstone of boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang

memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat

material sedimen karbonat bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis

terhadap sampel LP 10D akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase

diagenesis mikrofasies ini.

Page 122: Ok Stratigrafi

130

6.2.8.1. Sampel LP 10D

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari

bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan

terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka coral yang

terlihat pada sayatan. Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial

proses presipitasi spar berbentuk drusy mosaic pada rongga coral. Hingga

fase telogenesis proses presipitasi ini terus berlangsung didukung oleh

pelarutan dan represipitasi dari fluida hasil pelarutan. Akibatnya selain spar

berbentuk drusy juga ditemukan spar berbentuk blocky. Berdasarkan

perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 7,8%. Kenampakan

dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto

6.21.

(A) (B)

Foto 6.21. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,

(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10D(lihat lampiran 1.8).

6.2.9. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral bindstone 2 of

boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang

mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen

130

6.2.8.1. Sampel LP 10D

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari

bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan

terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka coral yang

terlihat pada sayatan. Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial

proses presipitasi spar berbentuk drusy mosaic pada rongga coral. Hingga

fase telogenesis proses presipitasi ini terus berlangsung didukung oleh

pelarutan dan represipitasi dari fluida hasil pelarutan. Akibatnya selain spar

berbentuk drusy juga ditemukan spar berbentuk blocky. Berdasarkan

perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 7,8%. Kenampakan

dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto

6.21.

(A) (B)

Foto 6.21. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,

(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10D(lihat lampiran 1.8).

6.2.9. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral bindstone 2 of

boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang

mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen

130

6.2.8.1. Sampel LP 10D

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari

bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan

terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka coral yang

terlihat pada sayatan. Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial

proses presipitasi spar berbentuk drusy mosaic pada rongga coral. Hingga

fase telogenesis proses presipitasi ini terus berlangsung didukung oleh

pelarutan dan represipitasi dari fluida hasil pelarutan. Akibatnya selain spar

berbentuk drusy juga ditemukan spar berbentuk blocky. Berdasarkan

perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 7,8%. Kenampakan

dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto

6.21.

(A) (B)

Foto 6.21. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,

(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral,

diambil dari foto sayatan tipis LP 10D(lihat lampiran 1.8).

6.2.9. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral bindstone 2 of

boundstone 1.

Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang

mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen

Page 123: Ok Stratigrafi

131

bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 13A akan

dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.9.1. Sampel LP 13A

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari

bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan

terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka platy coral.

Pada saat fase mesogenesis berupa marine burial terjadi presipitasi spar

berbentuk drusy mosaic. Kerangka coral yang tidak sepenuhnya

termikritisasi mengalami neomorfisme agrading coalescive. Pada saat fase

telogenesis baik pada zona fresh vadose dan fresh phreatic presipitasi spar

terus berlangsung sehingga dijumpai spar dengan morfologi blocky mosaic.

Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 11,4

%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat

dilihat pada foto 6.22.

Foto 6.22. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,

(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 13A(lihat lampiran 1.9).

131

bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 13A akan

dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.9.1. Sampel LP 13A

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari

bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan

terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka platy coral.

Pada saat fase mesogenesis berupa marine burial terjadi presipitasi spar

berbentuk drusy mosaic. Kerangka coral yang tidak sepenuhnya

termikritisasi mengalami neomorfisme agrading coalescive. Pada saat fase

telogenesis baik pada zona fresh vadose dan fresh phreatic presipitasi spar

terus berlangsung sehingga dijumpai spar dengan morfologi blocky mosaic.

Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 11,4

%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat

dilihat pada foto 6.22.

Foto 6.22. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,

(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 13A(lihat lampiran 1.9).

131

bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 13A akan

dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.

6.2.9.1. Sampel LP 13A

Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati

dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas

organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari

bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan

terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka platy coral.

Pada saat fase mesogenesis berupa marine burial terjadi presipitasi spar

berbentuk drusy mosaic. Kerangka coral yang tidak sepenuhnya

termikritisasi mengalami neomorfisme agrading coalescive. Pada saat fase

telogenesis baik pada zona fresh vadose dan fresh phreatic presipitasi spar

terus berlangsung sehingga dijumpai spar dengan morfologi blocky mosaic.

Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 11,4

%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat

dilihat pada foto 6.22.

Foto 6.22. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,

(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis,

diambil dari foto sayatan tipis LP 13A(lihat lampiran 1.9).

Page 124: Ok Stratigrafi

132

BAB 7

POTENSI GEOLOGI

Potensi Geologi yang ditemukan di daerah telitian mencakup potensi positif

dan potensi negatif. Potensi geologi bersifat positif memiliki pengertian segala

bentuk manfaat dari produk hasil proses-proses geologi yang dijumpai di alam.

Potensi geologi bersifat negatif sendiri memiliki pengertian segala bentuk

permasalahan yang ditimbulkan oleh segala bentuk gejala atau proses geologi yang

dijumpai di alam. Penjabaran potensi geologi positif dan negatif ini bertujuan untuk

memberikan wawasan kepada masyarakat sehingga dapat mengantisipasi sekaligus

memanfaatkan aspek-aspek di alam yang merupakan hasil dari suatu rangkaian

proses geologi.

7.1. Potensi Geologi Bersifat Positif

7.1.1. Batugamping pasiran

Bahan galian batugamping pasiran ini mempunyai penyebaran yang cukup

luas mencapai 11% dari seluruh luas daerah penelitian yang merupakan salah satu

jenis batugamping pada Formasi Sentolo. Batugamping pasiran ini dapat

digunakan sebagai bahan pondasi rumah, alas rumah, bahan pengganti batubata

dan juga perabotan rumah tangga.

Secara ekonomis bahan galian tersebut kurang menguntungkan sehingga

tidak dijumpai penambangan dalam skala besar, tetapi merupakan penambangan

rakyat dalam skala industri rumah tangga.

Page 125: Ok Stratigrafi

133

Foto 7.1. Lokasi tambang batugamping pasiran yang dikelola oleh masyarakat sekitar.

Foto diambil di dekat LP 99 dengan arah kamera N 0560 E

7.1.2. Objek wisata gua

Gua memiliki pengertian ruang bawah tanah bersifat alamiah yang memiliki

ukuran cukup besar sehingga dapat dimasuki oleh manusia. Keberadaan gua di

daerah telitian berkaitan erat dengan proses-proses geologi. Gua yang terdapat di

daerah telitian dinamakan Gua Sriti oleh warga setempat. Gua ini memiliki

panorama yang indah dank has dengan keberadaan stalaktit, stalakmit, dan pilar di

dalam gua. Gua ini sendiri terbentuk proses geologi berupa pelarutan pada batu

gamping akibat pengaruh berubahnya lingkungan diagenesis dari suatu batu

gamping. Proses pelarutan yang dapat menghasilkan ruang begitu besar ini

biasanya didukun oleh proses-proses geologi lain seperti pengkekaran. Di dalam

gua saat terjadi sirkulasi air yang baik maka akan terjadi presipitasi karbonat

berupa travertin yang membentuk stalaktit, stalakmit, dan pilar.

Page 126: Ok Stratigrafi

134

Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto diambil

pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E.

7.2. Potensi Geologi Bersifat Negatif

7.2.1. Longsor

Longsor merupakan pertistiwa yang terjadi saat pergerakan masa batuan

atau tanah berimplikasi pada kerusakan atau kerugian bagi manusia yang ada di

sekitarnya. Mass transport process dapat dibagi berdasarkan sifat mekanikal dari

material yang tertransport dan mekanisme transport serta material sedimen

pendukung. Material dengan sifat mekanikal elastik cenderung akan mengalami

rock fall, glide, atau slump. Pada LP 36 dijumpai longsor dengan tipe pergerakan

masa rock fall dimana material yang mengalami rock fall adalah breksi monomik.

Dominasi material berukuran kasar dan tidak hadirnya indikasi bidang gelincir

menguatkan intrepertasi bahwa gerakan masa batuannya bertipe rock fall.

Diperkirakan hal ini disebabkan oleh faktor iklim dengan curah hujan tinggi

sehingga menyebabkan daya kohesivitas matriks yang mengikat fragmen-fragmen

batuan menjadi berkurang sehingaa memicu terjadinya rock fall.

134

Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto diambil

pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E.

7.2. Potensi Geologi Bersifat Negatif

7.2.1. Longsor

Longsor merupakan pertistiwa yang terjadi saat pergerakan masa batuan

atau tanah berimplikasi pada kerusakan atau kerugian bagi manusia yang ada di

sekitarnya. Mass transport process dapat dibagi berdasarkan sifat mekanikal dari

material yang tertransport dan mekanisme transport serta material sedimen

pendukung. Material dengan sifat mekanikal elastik cenderung akan mengalami

rock fall, glide, atau slump. Pada LP 36 dijumpai longsor dengan tipe pergerakan

masa rock fall dimana material yang mengalami rock fall adalah breksi monomik.

Dominasi material berukuran kasar dan tidak hadirnya indikasi bidang gelincir

menguatkan intrepertasi bahwa gerakan masa batuannya bertipe rock fall.

Diperkirakan hal ini disebabkan oleh faktor iklim dengan curah hujan tinggi

sehingga menyebabkan daya kohesivitas matriks yang mengikat fragmen-fragmen

batuan menjadi berkurang sehingaa memicu terjadinya rock fall.

134

Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto diambil

pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E.

7.2. Potensi Geologi Bersifat Negatif

7.2.1. Longsor

Longsor merupakan pertistiwa yang terjadi saat pergerakan masa batuan

atau tanah berimplikasi pada kerusakan atau kerugian bagi manusia yang ada di

sekitarnya. Mass transport process dapat dibagi berdasarkan sifat mekanikal dari

material yang tertransport dan mekanisme transport serta material sedimen

pendukung. Material dengan sifat mekanikal elastik cenderung akan mengalami

rock fall, glide, atau slump. Pada LP 36 dijumpai longsor dengan tipe pergerakan

masa rock fall dimana material yang mengalami rock fall adalah breksi monomik.

Dominasi material berukuran kasar dan tidak hadirnya indikasi bidang gelincir

menguatkan intrepertasi bahwa gerakan masa batuannya bertipe rock fall.

Diperkirakan hal ini disebabkan oleh faktor iklim dengan curah hujan tinggi

sehingga menyebabkan daya kohesivitas matriks yang mengikat fragmen-fragmen

batuan menjadi berkurang sehingaa memicu terjadinya rock fall.

Page 127: Ok Stratigrafi

135

Foto 7.2. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto diambil pada

LP 35 dengan arah kamera N 0780 E.

135

Foto 7.2. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto diambil pada

LP 35 dengan arah kamera N 0780 E.

135

Foto 7.2. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto diambil pada

LP 35 dengan arah kamera N 0780 E.

Page 128: Ok Stratigrafi

136

BAB 8

KESIMPULAN

1) Geomorfologi daearah penelitian dibedakan menjadi dua satuan bentuk asal,

yaitu bentuk asal fluvial dengan bentuk lahan berupa dataran aluvial (F1), dan

tubuh sungai(F2) serta bentuk asal struktural dengan bentuk lahan berupa

perbukitan homoklin (S1), dan lembah homoklin(S2).

2) Stratigrafi yang ada di daerah penelitian dibagi menjadi lima satuan batuan

berdasarkan kesamaan ciri fisik batuan penyusun dan umur, serta dalam

penamaannya di sebandingkan berdasarkan peneliti terdahulu, dengan urutan dari

yang paling tua adalah Satuan breksi-monomik Kaligesing, Satuan breksi-

polimik Dukuh, Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan, Satuan

batugamping-pasiran Sentolo, dan Satuan endapan alluvial. Juga terdapat satu

satuan litodemik berupa Satuan litodemik andesit intrusi-Tetes.

3) Struktur geologi yang dijumpai di daerah telitian adalah sesar mendatar kanan

dengan nama normal right slip fault(Rickard, 1972). Selain itu juga dijumpai

kekar-kekar..

4) Berdasarkan analisis mikrofasies terhadap satuan batugamping-terumbu

Jonggrangan jenis mikrofasies yang muncul di daerah telitian adalah coral

floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite and

microspar matrix 1, Boundstone 1( terdiri atas coral framestone with packstone

matrix , platy coral bindstone 1, coraline framestone with diverse organism

packstone, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone, coral framestone

with red algae packstone, dan platy coral bindstone 2), lepidocyclina wackestone

to packstone with micirite matrix, Boundstone 2(Coral framestone with

wackestone matrix), dan wackestone with micirite and microspar matrix 2.

5) Fase Stabilization diwakili oleh mikrofasies coral floatstone with microspar

dominated matrix, wackestone with micirite and microspar matrix 1. Fase

Colonization diwakili oleh mikrofasies coral framestone with packstone matrix of

boundstone 1 , platy coral bindstone 1 of boundstone 1. Fase Diversification

diwakili oleh mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone

Page 129: Ok Stratigrafi

137

of boundstone 1, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone of boundstone

1, dan coral framestone with red algae packstone of boundstone 1. Sedangkan

fase Domination diwakili oleh mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone

1.

6) Fase diagenesis dari satuan batugamping-terumbu Jonggrangan cukup kompleks

dan mencakup fase eogenesis, mesogenesis, dan telogenesis. Intensitas dari

proses diagenesis ini dikontrol oleh beberapa faktor salah satunya adalah aspek

fasies.

7) Potensi geologi daerah telitian yang bersifat yaitu berupa bahan galian golongan

C, berupa batugamping pasiran yang biasa digunakan oleh masyarakat sebagai

bahan pondasi rumah, alas rumah, bahan pengganti batubata dan juga perabotan

rumah tangga. Selain itu potensi positif juga dapat dijumpai melalui pemanfaatan

gua hasil pelarutan batugamping sebagai objek wisata. Sedangkan potensi

geologi bersifat negatif adalah dijumpainya gerakan tanah berupa rock fall.

Page 130: Ok Stratigrafi

138

DAFTAR PUSTAKA

Boggs Jr., S., 2006, “Principle of Sedimentology and Stratigraphy 4th edition”,

Pearson Education, Inc, New Jersey, 335-342

Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent Planctonic Foraminifera

Biostratigraphy, Proc.First Int. Conf. Planctonic Micro Fossilles, E.J. Brill-

Leiden.

Flugel, E., 2004, “Microfacies of Carbonate Rock”, Springer, inc, New York, 575-

583

Friedman, G. M., Reeckmann, A.(1982), “Exploration for Carbonate Reservoir”,

John Wiley & Sons, New York, 85-89

Koesoemadinata, R. P, 1981, “Prinsip-prinsip Sedimentasi” Departemen Teknik

Geologi, ITB, Bandung, 65-100

Lobeck, A.K,. 1939. Geomorphologi. New York : Grw Hill. Disadur dari blog

derizkadewantoro, 28 Agustus 2011.

Moore, C.H., 1997, “Carbonate Diagenesis and Porosity”, El Sevier, Amsterdam,

161-175

Raharjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar

Yogyakarta, Jawa, skala 1 : 100.000, Puslitbang Geologi. Laporan Terbuka.

Rickard, M.J., 1972, “Fault classification” -- discussion: Geological Society of

America Bulletin, v. 83, 2545-2546.

Sasangka, A., 2003 (Wartono Rahardjo dkk, 1977), Geologi Regional Kulon Progo,

ITB (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9), http://rovicky.wordpress.com

Schole, P. A., Schole-Umer, D.S., 2003, “A Color Guide to the Petrography of

Carbonate Rock: Grains, Texture, Porosity, and Diagenesis”, AAPG Memoir

77, Tulsa, 303-308

Shanmugam, G., 2004, “Deepwater Process and Facies Model”, El Sevier,

Amsterdam, 283

Tipsword, H.I., 1966, Interpretation of Depositional Environment in Gulf Coast

Pteroleum Exploration From Paleoecology and Related Stratigraphy, Gulf

Coast Assoc. Geo. Soc. Trans., V.16.

Page 131: Ok Stratigrafi

139

Tucker, M.E., 2003, “Sedimentary Rock In the Field 3rd edition”, John Willey & Son,

New York, 16

Tucker, M.E., Wright, V.P., & Dickson, J.A., 2003, “Carbonate Sedimentology”.

Blackwell Publishing Company, UK, 214-216

Walker, R.G., James, N.P., 1992, “Facies Model Response to Sea Level Change”,

Geological Association of Canada, 239-251

Page 132: Ok Stratigrafi

140

LAMPIRAN