BAB III SEJARAH EKSPOR KERAJINAN ROTAN DESA … · 32 BAB III SEJARAH EKSPOR KERAJINAN ROTAN DESA...

51
32 BAB III SEJARAH EKSPOR KERAJINAN ROTAN DESA TRANGSAN TAHUN 1986-2009 A. Latar Belakang Munculnya Kerajinan Rotan Desa Trangsan 1. Sejarah Perdagangan Rotan di Indonesia a. Deskripsi Tumbuhan Rotan, Budidaya, dan Pengolahannya Rotan merupakan jenis tumbuhan yang berasal dari famili (keluarga/ suku/marga) 1 Palmae (Palem) yang tumbuh menjalar, berumpun-rumpun, dan membelit-belit pada pohon. Dahan-dahannya tinggi dengan panjang batang dari pangkal sampai ke ujung dapat mencapai 100 meter. 2 Batang rotan biasanya langsing dengan diameter beberapa milimeter hingga sepuluh centimeter, beruas- ruas panjang, tidak berongga, dan banyak yang dilindungi oleh duri-duri panjang, keras, dan tajam. 3 Batang inilah yang banyak dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomis. Tumbuhan ini banyak tersebar di bagian bumi beriklim tropis dan subtropis terutama di daerah khatulistiwa.Di berbagai bagian Asia Tenggara rotan merupakan hasil hutan yang paling penting setelah kayu. 1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, famili berarti pengelompokan makhluk hidupyang mempunyai sifat atau ciri-ciri yang sama. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 387. 2 Soedjono, Berkreasi dengan Rotan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1987), hlm. 9. 3 J. Dransfield dan N. Manokaran (ed), Sumber Daya Nabati Asia Tenggara No.6: Rotan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press bekerja sama dengan Prosea Indonesia, 1996), hlm. 21.

Transcript of BAB III SEJARAH EKSPOR KERAJINAN ROTAN DESA … · 32 BAB III SEJARAH EKSPOR KERAJINAN ROTAN DESA...

32

BAB III

SEJARAH EKSPOR KERAJINAN ROTAN

DESA TRANGSAN TAHUN 1986-2009

A. Latar Belakang Munculnya Kerajinan Rotan Desa Trangsan

1. Sejarah Perdagangan Rotan di Indonesia

a. Deskripsi Tumbuhan Rotan, Budidaya, dan Pengolahannya

Rotan merupakan jenis tumbuhan yang berasal dari famili (keluarga/

suku/marga) 1 Palmae (Palem) yang tumbuh menjalar, berumpun-rumpun, dan

membelit-belit pada pohon. Dahan-dahannya tinggi dengan panjang batang dari

pangkal sampai ke ujung dapat mencapai 100 meter. 2 Batang rotan biasanya

langsing dengan diameter beberapa milimeter hingga sepuluh centimeter, beruas-

ruas panjang, tidak berongga, dan banyak yang dilindungi oleh duri-duri panjang,

keras, dan tajam.3 Batang inilah yang banyak dimanfaatkan dan memiliki nilai

ekonomis. Tumbuhan ini banyak tersebar di bagian bumi beriklim tropis dan

subtropis terutama di daerah khatulistiwa.Di berbagai bagian Asia Tenggara rotan

merupakan hasil hutan yang paling penting setelah kayu.

1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, famili berartipengelompokan makhluk hidupyang mempunyai sifat atau ciri-ciri yang sama.Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: EdisiKeempat (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 387.

2 Soedjono, Berkreasi dengan Rotan (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 1987), hlm. 9.

3 J. Dransfield dan N. Manokaran (ed), Sumber Daya Nabati AsiaTenggara No.6: Rotan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press bekerja samadengan Prosea Indonesia, 1996), hlm. 21.

33

Di kawasan Indonesia terdapat delapan suku spesies rotan. Delapan suku

spesies rotan tersebut yakni Calamus, Daemonorops, Khorthalsia, Plectocomia,

Ceratolobus, Plectocomiopsis, Myrialepis,dan Calospatha dengan total jenis

mencapai kurang lebih 306 jenis. Dari 306 jenis rotan tersebut, 51 diantaranya

sudah dimanfaatkan dan memiliki nilai komersial tinggi serta banyak

diperdagangkan.4

Rotan umumnya tumbuh tanpa ditanam dan tidak memerlukan

pemeliharaan. Tumbuhan rotan banyak terdapat di hutan-hutan Kalimantan,

Sulawesi, Sumatera, dan Jawa.5Rotan-rotan tersebut memang ada yang dibiarkan

tumbuh tanpa ditanam di hutan-hutan rotan, tetapi ada juga yang sengaja

dibudidayakan. Rotan dibudidayakan dalam tiga skala, yakni skala perkebunan

untuk penggunaan komersil, skala desa untuk penggunaan domestik dan sebagai

suatu hasil bumi penghasil uang, serta budidaya secara eksperimental dalam

kebun-kebun kecil. Budidaya rotan di Indonesia sudah dikembangkan sejak masa

pemerintahan Hindia Belanda.

Perkebunan-perkebunan rotan pertama adalah di kawasan sekitar Barito,

Kapuas, dan Kaharjan di Kalimantan sekitar tahun 1850. Misionaris Kristen telah

mendorong penanaman dua spesies rotan berumpun berdiameter kecil Calamus

caesius dan C. trachycoleus oleh para petani pada pekarangan kecil. Sejak itu luas

pekarangan sepanjang dataran rendah aluvial dari Sungai Barito dan ana-anak

4 Ibid., hlm. 13.5 Febriani Safitri, “Rotan dan Penyebarannya di Indonesia”,

http://geofebrhy.blogspot.com, diakses pada 12 Januari 2015.

34

sungainya di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan telah

meningkat menjadi 15.000 hektar.

Menjelang berakhirnya dasawarsa 1980-an perkebunan tingkat desa ini

menyumbangkan sekitar 10% dari suplai rotan mentah Indonesia. Peladang

berpindah di Kalimantan Timur telah menanam rotan di hutan selama waktu

sekitar 15 tahun untuk dipanen kemudian. Uji coba budidaya dari beberapa jenis

rotan dimulai pada periode 1980-an, terutama di Jawa. Beberapa perusahaan

pemerintah melakukan penanaman beberapa jenis rotan komersil di Jawa dan

Kalimantan pada tahun 1988-1993.6

Rotan dipanen terutama yang tumbuh liar di hutan-hutan Kalimantan.

Hanya sedikit yang merupakan hasil produksi perkebunan di Kalimantan Tengah

dan Selatan. Kelompok-kelompok petani berjumlah tiga sampai lima orang

menerobos hutan untuk mengumpulkan rotan. Pengumpulan rotan cukup

berbahaya karena masuk hingga pedalaman hutan. Selain itu, dahan yang mati

dalam proses penarikan rotan juga cukup berbahaya.7Dalam proses pemanenan

atau pengambilan rotandari hutan setidaknya ada lima tahapan kegiatan yangharus

dilakukan seusai tanaman rotan ditemukan, meliputi:

(1) Memastikan usia rotan sudah layak tebang;

(2) Membersihkan pelepah berduri, agar rotanmudah ditebang;

(3) Menguliti rotan, terkadang rotan juga seringdibiarkan sebagaimana

adanya;

6 J. Dransfield dan N. Manokaran (ed), op. cit., hlm. 31-32.7 Ibid., hlm. 36-37.

35

(4) Memukuli batang rotan dengan menggunakanparang untuk

memastikan tidak ada duritersisa;

(5) Mengangkut rotan dari hutan ke tempat pemrosesanlebih lanjut.8

Secara garis besar, terdapat dua proses pengolahanbahan baku rotan asalan

menjadi rotan setengahjadi, yakni pemasakan dengan minyak tanah untukrotan

berukuran sedang dan besar serta pengasapandengan belerang untuk rotan yang

berukurankecil. Pemasakan dengan minyak biasanya dilakukan oleh pengepul

besar dengan menggunakantiga drum yang telah dibelah dua dan

disambungmenjadi satu. Selanjutnya, puluhan batang rotandimasukkan ke dalam

wajan drum itu yang sebelumnyatelah diisi minyak tanah. Proses

pemasakancukup bervariasi tergantung besarnya api dan banyaknya rotan yang

dimasak, tetapi biasanya pemasakandiperkirakan akan memakan waktu

sekitarenam sampai delapan jam.Usai dimasak, rotan lalu dijemur untuk

menghilangkankandungan minyak tanah. Bila cuaca panas dantidak hujan,

penjemuran biasanya dilakukan sekitartiga hari. Sedangkan, bila cuaca lembab

dan hujan,penjemuran bisa memakan waktu sekitar seminggu.Proses pengolahan

dilanjutkan dengan prosesmenguliti dan pembentukan rotan dalam

beberapaukuran. Selanjutnya, rotan setengah jadi siap dipasarkandan

dimanfaatkan untuk kebutuhan pasar di dalam dan luar negeri.

Batang rotan banyak dimanfaaatkan untuk membuat keranjang, tikar,

mebel/ furnitur, tangkai sapu, pemukul permadani, tongkat, perangkap ikan,

perangkap binatang, tirai, kurungan burung, ikatan pada rumah, pagar, jembatan

8 Miranti Rahajeng, “Memproses Rotan”, Warta Ekspor Edisi Juni 2013,hlm. 6.

36

dan perahu. Batang rotan juga digunakan sebagai tali tambat kerbau, tambang

penambat, tali jangkar, dan jembatan juga dibuat dari rotan. Pinak-pinak daun

rotan tua dianyam untuk atap, pinak daun muda digunakan sebagai kertas rokok,

tunas mudanya dapat dikonsumsi, buah rotan digunakan sebagai obat, dan “darah

naga” digunakan sebagai obat, zat warna, dan pernis.9

b. Sejarah Perdagangan Rotan di Indonesia

Sejarah awal pemanfaatan rotan masyarakat di Nusantara tidak diketahui

secara pasti.Kurangnya penelitian yang membahas masalah tersebut menjadi salah

satu faktor penyebabnya.Namun, pada masa kerajaan Hindu-Budha, rotan sudah

menjadi komoditi perdagangan. Apalagi Selat Malaka merupakan jalur

perdagangan yang sangat ramai. Pada masa itu, komoditi yang merupakan hasil

pemanfaatan pohon palma rotan, dikenal dengan nama badak kering atau darah

naga.10

Pada abad ke-7, badak kering sudah dikenal di Tiongkok sebagai obat

penghenti pendarahan yang banyak digunakan oleh para dokter Tiongkok. Barang

tersebut pernah dikirimkan sebagai upeti atau seserahan oleh Kerajaan Sriwijaya

kepada Kerajaan Tiongkok (Dinasti Sung) pada tahun 1018 dan 1156.11 Ketika itu,

Kerajaan Sriwijaya tidak keberatan untuk mengakui Tiongkok sebagai negara

9 J. Dransfield dan N. Manokaran (ed), op. cit., hlm. 15-16.10 Badak kering atau darah naga merupakan getah dari rotan jenis

Daemonorphus Blume Indonesia atau rotan jalar. Disebut juga sebagai darahkering karena getah yang mengalir dari pohon dan menetes seperti air gula setelahbeberapa waktu membentuk sebuk kristal yang merah sewarna darah. Jadi darahkering adalah nama lain dari badak kering. Baca O.W. Wolters, KemaharajaanMaritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III Abad VII (Jakarta: KomunitasBambu, 2011), hlm. 136-137.

11 Ibid.

37

yang berhak menerima upeti. Hal ini sebagai upaya diplomatiknya untuk

menjamin agar Tiongkok tidak membuka perdagangan langsung dengan negeri

lain di Asia Tenggara yang dapat merugikan perdagangan Sriwijaya. 12 Itulah

sebabnya rotan menjadi salah satu barang mewah yang bermakna politis-

ekonomis pada saat itu.

Selat Malaka adalah jalur perdagangan yang cukup ramai. Banyak

pedagang muslim dari Arab, Persi (Iran), dan negeri-negeri di Timur Tengah

meramaikan perdagangan internasional melalui Selat Malaka sejak abad ke-7 dan

ke-8 M. Salah satu komoditi yang diperdagangkan adalah rotan. Pada abad ke-15,

rotan menjadi salah satu komoditas perdagangan penting dari trayek-trayek atau

jalur utama perdagangan seperti Malaka – pantai timur Sumatera, Jawa Tengah

dan Jawa Timur – Sumatera Selatan.13Beberapa daerah seperti Siak, Inderagiri,

dan Sampar menghasilkan rotan sebagai salah satu komoditi unggulan. Tom Pires

mencatat bahwa Siak misalnya menghasilkan padi, madu, kitin, rotan, obat-obatan,

dan emas.14

Selat Malaka tetap menjadi jalur perdagangan yang ramai setelah

keruntuhan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-14 M. Palembang berkembang

menjadi pusat enclave Islam di di bagian selatan Pulau Emas. Banyak pedagang

dari Timur Tengah yang melakukan kegiatannya di Palembang. Pada waktu itu,

Palembang sudah berdagang dengan Malaka dan Pahang dengan jung-jung

12 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, SejarahNasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 99-100.

13 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta:Serambi, 2010), hlm. 37-38.

14 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, SejarahNasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 38.

38

sebanyak 10 atau 12 setiap tahun membawa beras, bahan makanan, katun, rotan,

lilin, madu, anggur, emas, besi, dan kapur barus pada abad ke-16 M.15 Dapat

dilihat bahwa rotan menjadi salah satu komoditi yang diperdagangkan saat itu.

Pada masa itu, rotan banyak digunakan sebagai tali, dan obat-obatan.

Rotan juga dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kapal.16 Selain itu, rotan banyak

digunakan sebagai bahan pembuatan rumah. Keraton dan rumah-rumah di Maluku

diikat oleh tali-tali rotan dan atapnya terdiri dari ola atau gamutu. Adapun rumah-

rumah umum dindingnya rotan dan lantainya tanah.17Rotan-rotan yang banyak

dimanfaatkan oleh masyarakat di kawasan Nusantara membuktikan bahwa rotan

memiliki nilai guna yang tinggi sehingga banyak diperdagangkan. Pemanfaatan

rotan di kawasan Nusantara tersebut membuat para pedagang Eropa yang masuk

ke kawasan Nusantara pada awal abad ke-16 Mulai tertarik dengan komoditas

rotan.

Para pedagang Eropa mulai tertarik dengan rotan, tetapi belum

menganggap rotan sebagai komoditas bernilai dalam sejarah perdagangan bangsa

Eropa di belahan Hindia Timur. Walaupun material rotan ketika itu sudah

dibungkus dan dipakseperti barang lain yang diperdagangkan.Namun, bahan rotan

tidak dianggap produk komersil sehingga selama berada pada pelayaran maka

kumpulan rotan tersebut dimanfaatkan sebagai penyeimbang yang ditempatkan

pada lambung kapal.18

15 Ibid., hlm. 44-45.16 Ibid., hlm. 103.17 Ibid., hlm. 286-287.18 Deny Willy Chandra, “Sejarah Awal Perdagangan Internasional Kursi

Rotan”, http://www.academia.edu (Diunduh pada 1 Desember 2014)

39

John Osterwick yang merupakan staff dari pos dagang di Pelabuhan

Hirado, Jepang mencatat mengenai rotan yang diperdagangkan pada September

1615 tertulis “rotane…bundells”. Ketika itu, perusahaan dagang English East

India Company(EIC) merapat pertamakali di pelabuhan Hirado, Jepang, di

sebelah barat laut Pulau Kyushu pada 1613‐1623.Ada kemungkinan bahwa rotan

tersebut dikapalkan dari Batavia (Jakarta) dengan kapal bernamaHoziander untuk

selanjutnya dikirim kepada pedagang Tiongkok sebagai bahan dasar pintalan

kawat tali. Penggunaan rotan oleh penjelajah Tiongkok sebagai tali kawat

pengikat kapal yang berlabuh dengan reputasi daya tahannya terhadap beban, sifat

kedap air, daya apung, demikian selanjutnya rotan semakin populer turut

digunakan untuk tali berlabuh bagi kapal‐kapal Eropa.

George Meister orang Belanda di Jepang pada 1682-1685 memiliki catatan

administrasi tentang perdagangan di Dejima, Jepang. Ia mencatat penjualan 30

buah stik tongkat rotan dilengkapi dengan sebuah lambang perusahaan yang

dicetak timbul (jockadeki/rottangth met silver beslach). Pada catatan tersebut juga

tertera bahwa tongkat rotan tersebut diimpor dari Batavia. Demikian pula catatan

perdagangan Belanda di kepulauan Formosa (Taiwan) menuliskan impor produk

sejenis tongkat rotan “Javanese Rottangth” juga dengan lambang pada pada

bagian pegangan yang digunakan sebagai simbol seremonial bagi otoritas belanda

di wilayah tersebut.19Selain itu, VOCyang berdiri pada awal abad ke-17 M juga

tertarik terhadap perdagangan rotan. Rotan terutama dimanfaatkan sebagai bahan

19 Ibid.

40

pembuatan kursi yang banyak dipengaruhi oleh furnitur Tiongkok gaya Dinasti

Ming.20

Gambar 1.Kursi Gaya Dinasti Mingawal abad ke-17

Sumber: www.jstage.jst.go.jp

Gambar 2.Jenis-jenis kursi Gaya Dinasti Mingawal abad ke-17

Sumber: www.jstage.jst.go.jp

Pada masa itu, komponen furnitur oleh bangsa Eropa dikirim ke Timur

kemudian diberi anyaman dan dikirim ke Negara‐negara Eropa. Meskipun tercatat

pula batang rotan yang diekspor dari Hindia Timur ke Eropa selanjutnya dikupas

menjadi kulit siap anyam setibanya di London.Volume perdagangan di Hindia

20 Andrew Cookson dan Ichimura Shinnichi, “The Early Developmentof the English Rattan Seat: A Comparison of Ming Dinasty Chinese Seating andEnglish Rattan Chairs, 1660-1700”, www.jstage.jst.go.jp, didownload pada 1Desember 2014.

41

Timur meningkat tajam. Kursi‐kursi anyaman dibawa oleh kapal‐kapal dagang

melalui pos‐pos dagang mulai dari Batavia (Hindia Belanda), Pantai Coromandel,

Surat, Bombay,dan Madras (India). Berbagai kursi‐kursi dengan dudukan rotan di

berbagai koleksi di Inggris dan Indonesia maka gaya kursi pesisir (Coastal chair)

dengan bahan kayu gelap ebony yang diekspor dari Hindia Timur (Pantai

Coromandel, Srilanka dan Maluku) merupakan bibit kursi generasi industri

pertama dari Hindia Timur. Kursi pesisir kayu ebony (Mollucan chair) dengan

anyaman rotan yang dibawa melalui kapal melalui pelabuhan dan pos‐pos dagang

Belanda di pesisir Jawa. Sentra industri ukir kayu di Jepara, yang mereproduksi

Kursi Indo‐Dutch & Indo‐Portuguese dengan dudukan dan sandaran anyaman

diekspor dengan volume yang tinggikhususnya ke Inggris dan Belanda.21

Gambar 3.Model awal kursi dengan dudukan dan sandaran anyaman rotan dari Hindia Timur

pada 1670.Sumber: www.academia.edu

21 Deny Willy Chandra, loc. cit.

42

Selain dimanfaatkan sebagai kursi rotan, anyaman rotan juga digunakan

sebagai penutup jendela pada rumah-rumah bergaya Indis dalam abad ke-18.

Kelemahan jendela dengan penutup anyaman rotan adalah tidak dapat melindungi

ruangan dalam dari hujan dan panas matahari, juga dari terpaan angin. 22

Pemanfaatan rotan pada masa kolonial tersebut membuktikan bahwa rotanmasih

menjadi komoditas perdagangan yang diminati masyarakat di Hindia Belanda.

Pada awal abad ke-20, Singapura menjadi pusat perdagangan rotan dari

seluruh Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Selama periode tersebut, ekspor rotan

dari Kalimantan dan Sulawesi meningkat masing-masing dari 9.400-19.300 ton

dan 10.300-21.800 ton. Kebanyakan bahan baku dari Kalimantan diekspor lagi

lewat Singapura dan Sulawesi. Sejak itu, pulau-pulau di Indonesia mulai

berkembang menjadi pemasok rotan terbesar dunia bahkan setelah Indonesia

merdeka pada 17 Agustus 1945.

Indonesia menjadi pemasok dari 90% kebutuhan dunia atas rotan

mentahpada periode 1970-an. Pada 1977, Singapura yang tidak memiliki sumber

daya rotan memperoleh lebih dari US$21 juta dari memproses dan mengkonversi

rotan menjadi produk setengah jadi dengan 90% pasokannya berasal dari

Indonesia. Pada tahun yang sama, Hong Kong mengimpor US$26 juta rotan dan

produk rotan yang setelah diproses dan dikonversi bernilai ekspor sebesar US$68

juta. Sebagai pembanding bahwa pangsa Indonesia dalam perdagangan tersebut

dalam bentuk rotan batangan belum diproses hanya sebesar US$15 juta.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia menjadi pemasok

22 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampaiRevolusi (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm.75.

43

rotan mentah terbesar di dunia, tetapi tidak banyak keuntungan yang didapat dari

ekspor rotan mentah.23

Ekspor rotan mentah berdampak pada industri pengolahan rotan dalam

negeri yang tidak berkembang. Rotan-rotan yang didapat oleh industri pengolahan

rotan dalam negeri memiliki kualitas lebih rendah sehinggaterjadi kelangkaan

bahan baku. Oleh sebab itu, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk

mengembangkan industri pengolahan rotan dalam negeri.

Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkanSK Menteri Perdagangan No.

274/KP/X/1986 tentang larangan ekspor bahan baku rotan. Sejak saat itu industri

pengolahan rotan nasional mengalami perkembangan yang sangat pesat 24

Perkembangan ini juga berdampak baik bagi industri pengolahan rotan di Desa

Trangsan.

2. Sejarah Kerajinan Rotan Desa Trangsan

Kerajinan rotan Desa Trangsan telah ada sejak tahun 1927.25 Kerajinan

rotan Desa Trangsan dikembangkan oleh Martosenotono, Wongsowijoyo, dan

Lurah Wongsolaksono.Ketiganya adalah seorang abdi Keraton Kasunanan

Surakarta. Para pendiri industri pengolahan rotan mendapat inspirasi dari Keraton

Kasunanan Surakarta. Ketika itu, Lurah Wongsolaksono mengikuti rombongan

23 J. Dransfield dan N. Manokaran (ed), op. cit., hlm. 16-17.24 Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, “Pengembangan

Industri Pengolahan Rotan Indonesia”, http://www.kemenperin.go.id, diaksespada 20 Februari 2015.

25 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015; Wawancaradengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015; Wawancara dengan Ibu Warsino padatanggal 9 April 2015. Sumber lain menyebutkan bahwa kerajinan rotan DesaTrangsan telah ada sejak 1928. Lihat Sriyana, Pj Kepala Desa Trangsan, SejarahJati Diri Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten SukoharjoTahun 2006,hlm. 3

44

Keraton Kasunanan ke Madura. Di sana Lurah Wongsolaksonomelihat pembuatan

rotan untuk pertama kalinya dan tertarik pada kelenturan rotan.

Lurah Wongsolaksono kemudian mencoba untuk membuat topi krop dari

rotan. 26 Topi krop tersebut kemudian dikenakan Lurah Wongsolaksono ketika

pisowanan di Keraton Kasunanan Surakarta. Beberapa Bupati dan Pangeran

Kusumayudha tertarik dengan topi krop yang dikenakan oleh Lurah

Wongsolaksono.Mereka kemudian memesan topi krop kepada Lurah

Wongsolaksono. Beberapa waktu kemudian Lurah Wongsolaksono kembali

mendapat kesempatan untuk pergi ke Madura. Sekembalinya dari Madura, Lurah

Wongsolaksono membuat kursi malas panjang yang terbuat dari rotan.27Berikut

merupakan foto topi krop yang memiliki karakteristik yang mirip dengan topi

krop buatan Trangsan yang sudah dikonfirmasi oleh Marjono.28 Hanya saja, topi

krop Trangsan terbuat dari rotan.

26 Topi Krop atau topi prop adalah suatu jenis topi berbentuk bulat yangbiasa dikenakan oleh mandor dan demang pada masa kolonial Belanda.

27 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015 .28 Wawaancara dengan Marjono pada tanggal 27 Januari 2016.

45

Gambar 4.Topi Krop terbuat dari bahan plastik yang dijual di Pasar Triwindu memiliki

karakteristik seperti topi krop buatan Trangsan terbuat dari rotan.Sumber: Dokumentasi Pribadi

Setelah itu, Lurah Wongsolaksono mengikuti pameran kerajinan di Alun-

alun Utara bernama Toko Strelling. Pameran tersebut diselenggarakan pada masa

kejayaan Sri Susuhunan Paku Buwono X. Sri Susuhunan Paku Buwono X

kemudian tertarik dengan hasil karya Lurah Wongsolaksono dan memesan kursi

malas panjang. Lurah Wongsolaksono kemudian mendapat tambahan gelar Lurah

Demang Wongsolaksono.Sejak itu, Lurah Wongsolaksono mulai banyak

mendapat pesanan dari Keraton Kasunanan Surakarta. Setelah meninggalnya

Lurah Demang Wongsolaksono pada 1949 Martosenotono dan Wongsowijoyo

terus mengembangkan kerajinan rotan di Desa Trangsan dengan menularkan

46

ilmunya kepada anak, cucu, dan tetangga yang tertarik dengan kerajinan rotan.29

Berikut contoh model kursi malas dari rotan yang memiliki karakteristik seperti

buatan Desa Trangsan yang sudah dikonfirmasi oleh Marjono. Hanya saja

kerangkanya terbuat dari bambu.30

Gambar 5.Kursi malas yang terbuat dari rotan mirip dengan desain kursi rotan Desa

Trangsan, tetapi dengan rangka yang terbuat dari bambu.Sumber: www.media-kitlv.nl

29 Sriyana op. cit., hlm. 3; Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7Mei 2015. Lihat juga Puji Rahayu, “Strategi Kelangsungan Usaha Industri Rotan(Strategi Kelangsungan Indsutri Kerajinan Rotan di Sentra Industri Rotan di DesaTrangsan Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo)”, Skripsi, 2011, FISIPUniversitas Sebelas Maret Surakarta, hlm. 44.

30 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 27 Januari 2016.

47

Gambar 6.Terlihat kursi rotan sejak zaman Paku Buwana X yang masih digunakan hingga

masa Paku Buwana XII.Sumber: Album Foto Koleksi Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta

Ada juga cerita lainyang berkembang berkaitan dengan sejarah kerajinan

rotan di desa ini.Marjono, seorang pengrajin Desa Trangsan menerangkan bahwa

ada pedagang kecap Tionghoa di daerah Warung Pelem, Kecamatan Jebres,

Surakartamemiliki sambilan sebagai pedagang hasil kerajinan rotan.Dijuluki Nyah

Kecap karena merupakan pedagang kecap. Nyah Kecap ini mendatangkan

beberapa orang dari Trangsan untuk bekerja sebagai pengrajin rotan di tempat

usahanya.Setelah bekerja pada pedagang Tionghoa di Surakarta, pengalaman

beberapa pengrajin rotan Desa Trangsan semakin meningkat dan mengembangkan

usahanya di desanya sendiri.31Cerita tersebut hanya diketahui oleh pengrajin yang

lahir di tahun 1940-an hingga 1950-an.

31 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015; Wawancaradengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015.

48

Mayoritas penduduk Desa Trangsan pada waktu itu berprofesi sebagai

petani. Kehadiran kerajinan rotan di desa ini disambut dengan baik. Beberapa

orang juga mulai belajar membuat rotan.Pesanan paling banyak berasal dari

Keraton Kasunanan Surakarta. Kerajinan rotan mulai berkembang menjadi

pekerjaan sampingan sebagian penduduk Desa Trangsan pada 1950-an.

Bahan baku rotan pada waktu itu kebanyakan didatangkan dari Surabaya

yang sebenarnya adalah rotan dari Kalimantan dan Sulawesi. Di Desa Trangsan

juga terdapat rotan tetapi jenis rotannya sangat kecil sehingga kurang bagus untuk

digunakan. Beberapa pengrajin menjual hasil karyanya di pasar-pasar sekitar Desa

Trangsan, sementara beberapa menjual di Surakarta dan Yogyakarta. Berikut

merupakan contoh model kursi rotan seperti kursi rotan buatan Desa Trangsan:

Gambar 7.Kursi rotan yang digunakan untuk menerima tamu VIP Komandan Pangkalan

Panasan sejak tahun 1946.Sumber: Dokumentasi Pribadi, Foto diambil di Museum Sejarah Opsir Muda

Udara I Adi Soemarmo

49

B. Sarana dan Prasarana Industri Kerajinan Rotan Desa Trangsan

Sebuah unit produksi harusmelalui langkah-langkah tertentu yang

dinamakan dengan proses produksi. Kegiatan produksi merupakan suatu proses

atau kegiatan utama sebagai suatu usaha atau badan usaha yang memiliki makna

suatu proses kombinasi dan koordinasi materi-materi dan kekuatan-kekuatan

(input, sumber daya, jasa-jasa dan produksi dalam hal pembuatan suatu barang

dan jasa). Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai suatu proses mengubah input

menjadi output sehingga nilai barang tersebut bertambah, dengan tujuan untuk

mendapatkan keuntungan dari nilai tambah dari barang atau jasa yang telah

dihasilkan.32

Produksi barangguna mendapatkan hasil yang maksimal, maka perlu

dilakukan beberapa strategi. Usaha kerajinan rotan, dimana para mengrajin

mengubah rotan mentah dan menjadikan sebuah benda dengan nilai jual yang

lebih tinggi harus dapat mengoordinasikan faktor-faktor produksi supaya faktor

yang satu dengan yanglainnya dapat berjalan secara selaras sehingga usaha

tersebut dapat terus berjalan. Dalam proses produksi, pengrajin rotan Desa

Trangsan membutuhkan modal, tenaga kerja, peralatan kerja dan bahan baku.

Bahan baku utama dari kerajinan rotan yaitu rotan. Rotan sendiri dibagi

menjadi dua jenis utama yaitu rotan yang keras, dan besar digunakan untuk rangka,

sedangkan rotan yang kecil dan lentur digunakan sebagai rotan anyam dan rotan

tali. Bahan lain yang digunakan untuk kerajinan rotan selain rotan yaitu anyaman

dari debok (pelepah pisang), pandan laut, seagrass, hingga eceng gondok. Bahan-

32 Puji Rahayu, “Strategi Kelangsungan Industri Rotan”, Skripsi, FISIPUNS Surakarta, 2011, hlm. 52.

50

bahan tersebut didatangkan ke Desa Trangsan dari berbagai daerah, seperti

Surabaya, Malang, Jepara, Tasikmalaya, dan lain-lain. Setelah kering pelepah

pisang/ eceng gondok baru dianyam. Pelepah pisang/ eceng gondok harus benar-

benar kering sebelum bisa digunakan untuk kerajinan, apabila pelepah pisang/

eceng gondok masih basah maka hasil dari kerajinan tersebut tidak akan bisa

bertahan lama karena diserang jamur/ membusuk.

1. Periode Sebelum Ekspor 1950-1985

a. Modal

Setiap usaha dalam bidang ekonomi berbentuk apapun, modal merupakan

faktor utama yang harus dimiliki oleh pengusaha/ pengrajin untuk

penyelenggaraan dan menunjang proses produksi. Dengan tersedianya modal

dalam jumlah yang yang mencukupi maka proses produksi akan dapat berjalan

dengan lancar. Selain itu, jumlah modalyang tersedia juga akan sangat

menentukan hasil yang akan diperoleh.

Industri dalam ruang lingkup kecil/ industri rumah tangga biasanya

memiliki modal yang sangat terbatas, pemilik hanya memiliki modal pas- pasan.

Modal yang terbatas akan mengganggu produksi.Apabila pesanan melonjak

banyak pengusaha yang kebingungan karena untuk memenuhi pesanan yang

melonjak, maka secara bersamaan pengusaha harus membeli bahan baku dalam

jumlah yang besar pula, selain karena melonjaknya pesanan, masalah yang

dihadapi pengusaha kecil akibat permasalahan modal yaitu apabila pesanan yang

sudah jadi namun tidak kunjung diambil/ dibayar oleh pemesan, maka hal ini juga

akan menjadi masalah bagi pengrajin yang memiliki modal pas-pasan.

51

Tahun 1950-1986 kerajinan rotan masih dijadikan pekerjaan sampingan

selain pertanian oleh penduduk Desa Trangsan. Modal yang dikeluarkan oleh

pengrajin tidaklah besar. Modal yang di dikeluarkan hanya digunakan untuk

membeli bahan baku rotan, sedangkan peralatan yang digunakan masih sederhana

dan tidak emerlukan biaya yang besar. Modal yang didapatkan berasal dari sisa

penjualan pertanian.33

b. Tenaga Kerja

Industri kerajinan rotan di Trangsan ini cukup penting dalampenyerapan

tenaga kerja, terutama penduduk sekitar Desa Trangsan. Seperti yang telah dijelas

bahwa Stayle dan Morse membuat penggolongan jenis industriberdasarkan jumlah

tenaga kerja sebagai berikut ini:

a. Industri kerajinan rumah tangga memiliki tenaga kerja antar 1-4 orang.

b. Industri kecil memiliki jumlah tnaga kerja antar 5-19 orang.

c. Industri sedang memiliki jumlah tenaga kerja antara 20-49 orang.

d. Industri besar memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 50 orang.

Kerajinan rotan Desa Trangsan dalam mengelola usaha ini mereka dibantu

oleh para anggota keluarganya. Adapun minimnya jumlah tenaga kerja yang

membantu tersebut antara lain disebabkan oleh minimnya modal yang mereka

miliki. Semakin kecil modal awal yang dikeluarkan, maka jumlah tenaga kerja

yang dimiliki juga semakin sedikit. Alasan utama mengapa terjadi hal yang

demikian adalah karena untuk menggunakan atau memanfaatkan tenaga kerja

yang lebih banyak. Namun demikian apabila permintaan pesanan sedang

33Wawancara dengan Warsinopada tanggal 22 November 2015.

52

meningkat, dan jumlah tenaga kerja tetap mereka dirasa tidak sanggup

mengerjakan dalam waktu yang telah ditentukan, para pengrajin biasanya

memperkerjakan atau mengambil tenaga kerja dari luar, dalam arti tenaga kerja

sementara, jika order sudah selesai dikerjakan, mereka sudah tidak bekerja lagi.34

c. Alat Produksi

Alat produksi yang digunakan oleh pengrajin rotan mengalami perubahan.

Perubahan alat produksi dikarenakan tuntutan zaman. Alat-alat produksi

mengalami perkembangan untuk efisiensi dan kecepatan dalam bekerja. Pengrajin

mulai meninggalkan peralatan lama yang dirasa kurang efektif dan digantikan

dengan peralatan yang baru.

1) Alat Pemanas Rotan

Awal kerajinan rotan di Desa Trangsan, pengrajin rotan menggunakan

peralatan seadanya yang biasanya mudah dijumpai disekitar mereka. Alat yang

digunakan untuk memanaskan rotan/ untuk membuat lengkungan pada rotan pada

awanya hanya berupa blarak. Blarak dibakar dan api dari blarak ini digunakan

untuk memanaskan dan melengkungkan rotan. Alat ini digunakan sejak tahun

1960-an sampai tahun 1980-an.35

2)Alat pemasang paku

Pengrajin membutuhkan peralatan untuk menguatkan sambungan antar

rotan. Alat yang digunakan untuk menguatkan sambungan antar rotan bianya

berupa rotan tali/ paku. Alat yang digunakan untuk memasang paku pada awalnya

hanya berupa palu. Pengusaha/ pengrajin rotan yang besar mulai meninggalkan

34 Puji Rahayu, op. cit, hlm 57.35 Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015.

53

alat pemasang paku manual dan menggatinya dengan alat pemasang paku berupa

senapan angin. Penggunaan senapan angin untuk pemasangan paku jauh lebih

cepat dibandingkan dengan palu manual. Pengrajin hanya membutuhkan sekali

tekan untuk memasang paku, sedangkan untuk palu pengrajin membutuhkan

beberapa pukulan supaya paku terpasang.

3) Alat pengecat

Pengecatan dalam kerjinan rotan difungsikan untuk finising/

mempercantik tampilan kerjainan rotan. Selain untuk mempercantik tampilan,

pengecatan rotan ditujukan untuk pengawetan rotan. Rotan yang telah dicat akan

lebih awet jika dibandingkan dengan rotan tampa cat. Rotan yang telah di cat

kurang disenangi oleh jamur/ hewan- hewan kecil yang dapat merusak rotan.

Rotan akan lebih cepat rusak apabila sudah terkena jamur atau dimakan oleh

hewah- hewan kecil, selain terkena panas matahari secara langsung atau terkena

air.Peralatan yang digunakan untuk mengecat pada awalnya hanya menggunakan

kuas. Pengrajin mengecat kerajinan rotan yang sudah jadi dengan dikuas.

4)Alat potong

Alat potong dibutuhkan dalam kerajinan rotan. Alat potong digunakan

untuk memotong bahan, yakni rotan. Rotan yang di dapat oleh pengrajin biasanya

berupa batang- batang panjang. Batang- batang rotan yang panjang ini diukur dan

dipotong oleh pengrajin sesuai dengan kebutuhan. Alat yang digunakan untuk

memotong batang rotan berupa gergaji untuk rotan besar yang biasanya digunakan

sebagai rangka, sedangkan gunting digunakan untuk memotong rotan kecil/ tipis.

Rotan kecil/ tipis digunakan sebagai rotan anyam atau rotan tali.

54

5) Amplas

Kerajinan rotan yang telah dibentuk, sebelum dicat maka rotan tersebut

dihaluskan. Rotan dihaluskan dengan diamplas. Pengamplasan dimaksudkan

untuk menghilangkan serat-serat kasar pada rotan.36

2. Periode Ekspor 1986-2009

a. Modal

Permintaan kerajinan rotan untuk ekspor yang semakin besar pada

pertengahan 1980-an menyebabkan pengrajin rotan di Desa Trangsan kesulitan,

baik dari segi permodalan maupun tenaga kerja. Bantuan yang diberikan

pemerintah pada tahun 1980-an berupa pelatihan dan peralatan yang jumlahnya

terbatas, karena peralatan tersebut diberikan kepada kelompok bukan kepada

setiap pengrajin.37

Pengrajin menambah modal mereka dengan cara menggadaikan barang

berharga mereka, terutama tanah/ bangunan kepada Bank untuk mendapatkan

bantuan modal. Bantuan modal yang telah dicairkan oleh pihak Bank begitu terasa

manfaatnya ketika orderan kerajinan meningkat. Bantuan hutang dari Bank

digunakan oleh pengrajin untuk membeli bahan baku, meremajakan/ mengganti

peralatan serta untuk menggaji karyawan. Adanya bantuan hutang dari Bank

dirasakan sangat berdampak kepada kemajuan usahanya.

Krisis ekonomi global, yang mengakibatkan batalnya pesanan barang/

menurunnya permintaan ekspor kerajinan rotan berdampak kepada kehidupan

36 Wawancara dengan Agung pada tanggal 8 Juli 2015.37 Wawancara dengan Mujiman pada tanggal 22 November 2015.

55

ekonomi pengrajin. Pengrajin yang mempunyai hutang di Bank mulai kesulitan

untuk membayar hutang tersebut. Tunggakan yang semakin menumpuk dan tidak

terbayar, menyebabkan Bank terpaksa menyita barang jaminan. Pengrajin rotan di

Desa Trangsan banyak yang kehilangan barang yang dijadikan jaminan karena

disita oleh Bank.

b. Tenaga Kerja

Tenaga kerja pengrajin didatangkan dari daerah Wonogiri, Pacitan,

Gunung Kidul, Jepara, Grobogan, Kudus. Pekerja menginap di tempat kerja.

Tenaga kerja pengrajin biasanya mengerjakan kerajinan rotan secara borongan

namun ada juga yang secara harian. tahun 1990-an upah buruh perhari sekitar

Rp1.700,00. setiap minggu dibayarkan. Upah buruh harian diberlakukan untuk

buruh baru/ awal-awal bekerja di kerajinan rotan, sedangkan untuk yang sudah

mahir mereka bekerja secara borongan. Borongan setiap orang bisa mendapatkan

upah sampai Rp100.000,00 setiap hari pada tahun 1997. Pekerja borongan

biasanya bekerja lembur sampai pagi untuk mendapatkan hasil yang lebih. Upah

borongan setiap kursi sekitar Rp7.000,00 tergantung kerumitan. 38 Tingkatan

pekerja, untuk pekerja pemula biasanya bekerja sebagai pengamplas kerajinan

rotan yang sudah jadi sebelum rotan masuk tahap finising. Tingkatan pekerja

selanjutnya yaitu bekerja sebagai penganyam, pekerja sebagai penganyam

memerlukan keahlian untuk mengayam rotan, berbeda dengan tenaga amplas.

Tenaga amplas hanya membutuhkan ketekunan dan kerja keras. Tingkatan tenaga

kerja pengrajin selanjutnya yaitu finishing. pekerja pengrajin yang bekerja pada

38 Wawancara dengan Sunarto pada tanggal 9 April 2015.

56

bidang finishing mmbutuhkan ketelitian dan keahlian untuk pengecatan, supaya

rotan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dan lebih awet. Tingkatan pekerja

paling tinggi yaitu pekerja rangka. Pekerja rangka membutuhkan pengalaman,

kreativitas dan detail, karena sangat menentukan kerapihan bentuk anyaman.39

c. Peralatan

1) Alat Pemanas Rotan

Tahun 1980-an pengrajin mulai beralih menggunakan minyak tanah

untuk memanaskan rotan. Penggunaan kompor minyak ini dirasa lebih efektif

dibandingkan dengan menggunakan blarak. Tahun 1980an persediaan blarak

untuk memenuhi kebutuhan pengrajin mulai berkurang dan mulai tahun 1986

pengrajin rotan di Desa Trangsan mulai dijarkan pelatihan pengolahan rotan.

Kompor minyak lebih cepat untuk memanaskan rotan, walaupun pengrajin harus

menambah ongkos untuk membeli minyak tanah, sedangkan blarak didapatkan

dengan gratis. Penggunaan kompor minyak dirasa mulai kurang efektif ketika

masyarakat di Desa Trangsan mulai menganal kompor gas. Penggunaan kompor

gas untuk keperluan industri rotan di Desa Trangsan mulai ada sejak tahun 1995.

Peralihan dari kompor minyak ke kompor gas ini seiring dengan permintaan

kerajinan rotan yang terus meningkat. Permintaan kerajinan rotan yang terus

meningkat, memaksa pengrajin harus bekerja lebih cepat serta ditunjang dengan

peralatan yang memadai. Peralatan pemanas rotan dengan kompor gas akan

membuat lebih cepat panas dibandingkan dengan kompor minyak.

2) Alat Pemasang Paku

39 Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015.

57

Pengrajin besar mulai menggunakan senapan angin pada tahun 1980-an,

sedangkan pengrajin kecil baru menggunakan senapan angina pada tahun 1990-

an.40 Peralatan lain yang menunjang kecepatan pengrajin dalam menggabungkan

rotan yaitu bor mesin. Pengrajin mulai mengganti bor manual dengan bor mesin.

Bor mesin digunakan untuk melubangi rotan.

3) Alat Cat

Penggunaan kuas mulai ditinggalkan oleh pengrajin dan digantikan

dengan spet. Spet dengan tenaga kompresor mulai digunakan oleh pengrajin di

desa Trangsan pada tahun 1990-an. Pengguaan spet dengan tenaga kompresor

lebih cepat jika dibandingkan dengan kuas. Pengecatan dengan sistem spet,

pengrajin cukup menuangkan cat ke dalam tabung, dan pengrajin tinggal menakan

tuas, maka rotan dengan cepat dicat, hal ini berbeda dengan cara dikuas, apabila

dikuas, pengrajin harus mengoleskan kuas secara bertahap pada bagian rotan.

4) Alat Potong

Pengrajin rotan di Desa Trangsan mulai mengganti alat potong mereka

yang berupa gergaji potong manual. Gergaji potong manual digantikan dengan

gergaji mesin. Gergaji potong mesin bekerja lebih cepat jika dibandingkan dengan

gergaji potong manual. Pengrajin rotan mulai menggunakan gergaji mesin sejak

awal 1990-an.

5) Amplas

Alat pengamplas mulai kemajuan sejak awal tahun 1990-an. Bersamaan

dengan mulai digunakan alat potong, alat pengamplas rotan juga mengalami

40 Wawancara dengan Agung pada tanggal 8 Juli 2015.

58

perubahan. Alat potong elektrik maupun alat amplas yang moderen merupakan

satu alat, tetapi alat amplas sedikit dimodifikasi. Alat potong yang digunakan

untuk memotong berupa ujungnya, sedangkan alat untuk mengamplas berupa

badannya yang telah ditempeli amplas.

C. Perkembangan dan Peran KoperasiSerba Usaha Manunggal Trangsan

Jaya

Kemajuan dunia perdagangan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan di

bidang ekonomi yang pelaksanaanya dititikberatkan pada sektor industri. Salah

satu kendala dalam melakukan pembangunan di Indonesia khususnya di bidang

ekonomi, adalah faktor perangkat hukum yang masih perlu ditingkatkan dan

dikembangkan guna mengimbangi kemajuan masyarakat. Memasuki era

perdagangan bebas, usaha-usaha kecil perlu ditingkatkan dan dikembangkan agar

mampu bersaing dalam hal mutu, harga, dan sistem manajemen mutu terpadu agar

dapat menembus pasar nasional maupun internasional.41

Perangkat hukum guna melindungi industri dari persaingan antar sesama,

maupun pengusaha yang lebih besar. Untuk menguragi persaingan dan menekan

biaya produksi, maka diperlukan sebuah perangkat hukum yang berwujud

koperasi. Koperasi merupakan sebuah lembaga hukum yang menaungi anggota-

anggotanya, dan dapat memberikan bantuan modal, peralatan, bahan baku,

maupun pemasaran produk.

41 Ranty Fauza Rayana, Perlindungan Desain Industri, (Jakarta:Grasindo, t.th), hlm.5.

59

Pendirian Koperasi Rotan di Desa Trangsan bermula dari gagasan

pengrajin dan pengusaha rotan di Desa Trangsan pada saat pertemuan rutin di

Balai Kecamatan pada tahun 2006. Pendirian koperasi ini bertujuan untuk

menghindari persaingan. Koperasi Rotan Desa Trangsan berbadan hukum pada

tahun 2007 dengan dikeluarkanya surat keputusan dari Dinas Perindustrian,

Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal No 518/ 138/ BH/ II/ 2007 dengan

nama “Koperasi Serba Usaha “Trangsan Manunggal Jaya”.

Pendirian Koperasi Rotan Desa Trangsan mengacu pada pasal 6 UU No.

25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Secara rinci tahapan pendirian koperasi

adalah sebagai berikut:

1. Perwakilan dari anggota Pengrajin dan pengusaha rotan Desa Trangsan,

menghubungi Kantor Koperasi Kabupaten Sukoharjo untuk

mendapatkan penjelasan awal mengenai persyaratan dan tata cara

pendirian koperasi.

2. Selanjutnya mengajukan Proposal Pengesahan Akta Pendirian Koperasi

dengan nomer registrasi 05/KSU-TMJ/I/2007

3. Atas dasar proposal tersebut, pejabat koperasi akan memberikan

penyuluhan

4. Penyuluhan dan rapat pembentukan koperasi pengrajin dan pengusaha

di Desa Trangsan

5. Sejak rapat pembentukan tersebut, koperasi telah dapat menjalankan

aktivitas usahanya.

60

6. Pengurus mengajukan permohonan pengesahan koperasi sebagi badan

hukum ke Kantor Koperasi Sukoharjo.

7. Pejabat Kantor Koperasi setempat melakukan verivikasi dan penelitian

atas kebenaran data-data yang diajukan oleh pengurus koperasi tersebut.

Koperasi Serba Usaha “Trangsan Manunggal Jaya” mempunyai aturan

yang tertulis dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Aturan

mengenai tujuan dan usaha diatur dalam Bab III Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga. Keanggotan koperasi ini diatur dalam Bab IV, sedangkan

kepengurusan diatur dalam Bab V. Rapat angota diatur dalam AD/ART dalam

Bab VIII, dan Bab VIII mengatur tentang pengelolaan usaha.42

Pendirian Koperasi Serba Usaha “Trangsan Manunggal Jaya” pada

awalnya untuk simpan pinjam. Simpan pinjam ditujukan untuk menambah modal

pengusaha rotan dengan bunga lunak. Pemberian bantuan pinjaman modal

ditujukan untuk menambah modal pengusaha yang kekurangan modal akibat

kebanjiran orderan, tetapi tidak jarang para pengusaha kuwalahan memenuhi

pesanan karena kekurangan modal untuk membeli bahan baku. Koperasi

Manunggal Trangsan, pada awal berdirinya selain bertujuan untuk simpan pinjam

kepada anggota, koperasi ini juga bertujuan sebagai pemasok bahan baku kepada

anggota, karena sistem perdagangan bahan baku rotan dari Sulawesi/ Kalimantan

dikuasai oleh pedagang/ tengkulak dengan sistem pengadaan/ harga yang tidak

42 Anggaran Dasar Koperasi Serba Usaha “Trangsan Manunggal Jaya”.

61

stabil. Awal pendirian koperasi, jumlah anggota/ pendiri Koperasi Manunggal

Trangsan berjumlah 25 anggota.43

Pada saat krisis ekonomi global melanda perekonomian di Eropa dan

Amerika, yang menjadi tempat tujuan ekspor utama kerajinan rotan Trangsan,

banyak pesanan yang dibatalkan yang mengakibatkan pengusaha rotan di Desa

Trangsan mengalami kesulitan keuangan dan memaksa pengusaha untuk

meminjam modal tambahan ke koperasi. Pada saat itu peran “Koperasi Serba

Usaha Manunggal Trangsan Jaya” menjadi sangat dibutuhkan, tetapi krisis global

yang berkepanjangan, menyebabkan banyak pengrajin yang terus meminjam ke

koperasi untuk menutup kerugian. Hutang pengusaha yang terus menumpuk

menyebabkan banyak pengusaha tidak dapat mengembalikan angsuran pinjaman

ke koperasi. Uang koperasi banyak macet, berdampak pada sulitnya roda

perekonomian di koperasi sangat terganggu.

Macetnya uang koperasi yang berlarut-larut memaksa pengurus

mengambil langkah untuh menyelamatkan koperasi dari kehancuran. Pengurus

memaksa menarik uang macet dari pengusaha. Sejak saat itu simpan pinjam di

Koperasi Rotan Desa Trangsan ditiadakan. Koperasi tersebut beralih fungsi

menjadi penyuplai bahan baku untuk pengrajin. Untuk menghindari kemacetan

modal lagi, maka bakan baku tidak boleh di hutang oleh anggota. Setiap anggota

yang membeli bahan baku harus membayar dengan kontan, apabila dihutang,

maka jangka waktu pelunasan tidak lebih dari dua minggu.

43 Laporan Pertanggungjawaban Pengurus/ Pengawas KSU ManunggalTrangsan Tahun 2007

62

Koperasi menyediakan bahan baku ditujukan untuk memperingan harga

beli bahan baku anggota-anggotanya. Bahan baku yang dijual oleh koperasi

harganya dibawah dari harga rotan yang dijual pada umumnya. Sebelum koperasi

menjual bahan baku rotan, disekitar Desa Trangsan sudah ada empat penjual rotan.

Setelah koperasi menjual bahan baku rotan, maka anggota-anggota memilih untuk

membeli rotan ke koperasi, walaupun kadang mereka juga masih membeli rotan

ke tempat lain. Hal itu biasanya disebabkan kosongnya rotan jenis tertentu di

gudang koperasi.44 Jumlah keanggotaan koperasi Manunggal Trangsan dari awal

berdiri sampai tahun 2009 tidak mengalami perubahan atau masih tetap, yakni

berjumlah 25 orang.45

D. Dinamika Ekspor Kerajinan Rotan Desa Trangsan

1. Periode Sebelum Ekspor (1950-1985)

Pada tahun 1950, industri kerajinan rotan di Desa Trangsan belum menjadi

mata pencaharian pokok. Pengrajin rotan jumlahnya masih relatif sedikit.

Kerajinan rotan Desa Trangsan masih bersifat tradisional atau manual. Peralatan

yang digunakan masih sangat sederhana, yakni berupa gergaji tangan, kompor

atau anglo, paku, palu, gunting, dan bor tangan. Model kerajinan rotan masih

sangat sederhana seperti pada pembuatan kursi yang banyak dicampur dengan

bambu, beberapa jenis keranjang untuk berbelanja di pasar, dan rak-rak piring.46

44 Wawancara dengan Suparji pada tanggal 7 April 2015.45 Laporan Pertanggungjawaban Pengurus/ Pengawas KSU Manunggal

Trangsan Tahun 200746 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015.

63

Warsino sebagai anak Demang Wongsolaksono melanjutkan usaha

ayahnya dalam merintis usahanya dari skala rumah tangga sejak tahun 1950.

Pekerjanya hanya dia dan anggota keluarganya saja. Pasar penjualan juga masih

terbatas di beberapa kota, misalnya Warsino yang menjual sekitar di Kota

Surakarta dan Yogyakarta. Kemudian ada juga yang memasarkannya ke Jawa

Timur. Secara keseluruhan, pemasaran rotan Trangsan terbatas di wilayah Jawa

Tengah dan Jawa Timur.

Sejak tahun 1976, Warsino secara resmi mendirikan usahanya dengan

nama Warna Warni. Sejak itu, Warsino meningkatkan skala produksnya sehingga

tergolong menjadi industri kecil karena jumlah pekerjanya mencapai belasan

orang. Tidak terjadi peningkatan dalam hal skala usaha dagang Warsino karena

keterbatasan modal hingga tahun 2009.

Jumlah produksi yang bisa dihasilkan Warsino setiap bulan sekitar 50-200

pcs per bulan. Jenis-jenis hasil produksi yang dihasilkan berupa kursi, meja,

takraw, dan beragam furniture sesuai permintaan pelanggan. 47 Warsino adalah

salah satu pengusaha dan pengrajin yang tetap mempertahankan pasar lokal

karena keterbatasan modal dan kekurangmampuan dalam produksi sesuai target

jika ingin melakukan sub ekspor.

Pada tahun 1976, pemerintah melakukan pembinaan terhadap para

pengrajin rotan Desa Trangsan. Pada pelatihan tersebut, pengrajin diajarkan cara

membuat rak buku dan rak popok. Sebelumnya, para pengrajin selalu mencampur

47 Wawancara dengan Warsino pada tanggal 7 Mei 2015.

64

rotan dengan bambu, tetapi setelah adanya pelatihan, para pengrajin mampu

membuat rinjing dan kepek/ tas belanja tanpa campuran bahan lain.48

Pada 1979, Departemen Perindustrian Kabupaten Sukoharjo melakukan

pembinaan dengan mengirimkan beberapa pengrajin rotan mengikuti studi

banding ke Cirebon. Pelatihan tersebut sangat bermanfaat dalam mengembangkan

kemampuan pengrajin dan pengusaha rotan Trangsan.49

Gambar 8.Seorang pria sedang menganyam keranjang rotan pada tahun 1982.

Sumber: www.media-kitlv.nl

2. Periode Ekspor Rotan (1986-2004)

Pada 1986, pemerintah bekerja sama dengan PT. Jaka Utama memberikan

pelatihan kepada para pengrajin rotan di Trangsan. Pada waktu itu, PT. Jaka

Utama mendatangkan ahli dari luar negeri. Mr. Ghusman adalah guru rangka yang

didatangkan dari luar negeri pada 1986. Ia mengajarkan teknik-teknik dasar dalam

membuat rangka produk-produk kerajinan rotan yang memiliki nilai jual ekspor.

Ia juga mengajarkan standar-standar yang harus diperhatikan bagi produk

kerajinan rotan agar bernilai ekspor. Kepada pengrajin yang mengikuti pelatihan

48 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015; Wawancaradengan Sunarto pada tanggal 10 April 2015.

49 Wawancara dengan Mujiman pada tanggal 31 Maret 2015.

65

diberikan sertifikat. 50 Kemudian didatangkan lagi beberapa ahli lain dari luar

negeri.

Jerg Than adalah ahli kerajinan rotan yang didatangkan dari Singapura

pada 1987. Selain itu, diadakan pula pendidikan dan pelatihan manajemen

Kopinkra yang diselenggarakan oleh Departemen Perindustrian, Departemen

Tenaga Kerja, dan Departemen Koperasi bekerja sama dengan Institut Pendidikan

dan Pembinaan Manajemen. Pelatihan ini sangat bermanfaat bagi pengrajin Desa

Trangsan terutama yang ingin membuka usaha sendiri. Pada 1988 didatangkan

lagi ahli yang bernama Mr. Ghusto. Para pengrajin cukup senang karena pelatihan

membuat kemampuan mereka menjadi berkembang. Pelatihan tersebut juga

membuka peluang bagi mereka untuk melakukan ekspor. 51 Bukti dari

keikutsertaan pelatihan tersebut berupa sebuah sertifikat.52

Kerjasama tersebut membuat para pengusaha rotan mulai menerima

pesanan dari luar negeri pada 1987. Namun, mayoritas pengusaha rotan masih

bergantung kepada PT. Jaka Utama untuk melakukan ekspor. Dengan demikian,

para pengusaha menyuplai produk-produk mereka kepada PT. Jaka Utama

kemudian perusahaan yang meneruskan melakukan kegiatan ekspor ke luar negeri.

Seorang pengusaha rotan Desa Trangsan dapat menyuplai sebanyak satu hingga

dua kontainer setiap bulan.53 Kegiatan ekspor juga dipengaruhi oleh SK Menteri

50 Sertifikat Nomor 027/1.00/BIPIK/STK/JATENG/VII/86, KoleksiSunarto Narto Wiyono.

51 Wawancara dengan Sunarto pada tanggal 10 Mei 2015.52 Sertifikat Nomor 025/DJIK/S/VII/1987, Koleksi Mujiman.53 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015.

66

Perdagangan No. 274/KP/X/1986 tentang larangan ekspor bahan baku rotan

sehingga pengusaha bisa mendapatkan bahan baku dengan kualitas ekspor.54

Ada beberapa pengrajin yang kemudian bekerja di PT. Jaka Utama.

Beberapa pengrajin berharap dapat menambah pengalaman dan pengetahuan

tentang kerajinan rotan. Setelah dirasa cukup memiliki kemampuan, beberapa

pengrajin membuka usaha sendiri di Desa Trangsan. Salah satu pengrajin tersebut

adalah Mujiman. Setelah bekerja di PT. Jaka Utama, ia memutuskan untuk

membuka usaha sendiri di Desa Trangsan. 55 Sementara itu, ada beberapa

pengusaha yang melepaskan diri dari PT. Jaka Utama dan melakukan kegiatan

ekspor sendiri setelah dirasa mampu.

Pelarangan ekspor bahan baku dan dimulainya ekspor kerajinan rotan Desa

Trangsan pada 1987 berdampak pada peningkatan produksi dan unit usaha di

Desa Trangsan. Berikut merupakan dinamika produksi kerajinan rotan Desa

Trangsan:

54 Biro Umum dan Humas Departemen Perindustrian, “PengembanganIndustri Pengolahan Rotan Indonesia”, www.kemenperin.go.id, diakses pada 12Desember 2014.

55 Wawancara dengan Mujiman pada tanggal 31 Maret 2015.

67

Tabel 5.

Dinamika Pertumbuhan Kerajinan Rotan Desa Trangsan Tahun 1987-1993

Sumber: Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perindustrian Kabupaten SukoharjoTahun 1987-1993.

Periode 1987 hingga 1993 terlihat terjadi peningkatan dalam hal produksi

kerajinan rotan di Desa Trangsan kecuali pada 1988. Peningkatan dipengaruhi

oleh mulai dirintisnya ekspor kerajinan rotan Desa Trangsan ke luar negeri. Sejak

1987, mulai banyak pesanan yang datang dari luar negeri. Namun demikian, pada

1988 sempat mengalami penurunan karena adanya broker yang mempermainkan

harga sehingga pengusaha dan pengrajin rotan mengalami kelesuan. Hal ini tidak

berlangsung terlalu lama karena pengusaha dan pengrajin rotan Desa Trangsan

dapat mengatasi permasalahan ini. Dimulainya ekspor rotan Desa Trangsan telah

mempengaruhi juga pertumbuhan serapan tenaga kerja. Hal ini tentu sangat

mendukung pengurangan pengangguran. Selain itu, keuntungan yang didapat dari

TahunUnit

UsahaTenagaKerja

Nilai Tiap Tahun (Rp)

Produksi Bahan Baku

1987 84 379,0 2.088.750,0 385.500,0

1988 17 25,0 190.250,0 9.250,0

1989 100 425,0 2.374.212,5 87.196,3

1990 100 425,0 2.492.932,0 91.557,0

1991 150 425,0 2.617.578,0 96.134,0

1992 150 425,0 2.650.297,0 97.335,0

1993 150 1.025,0 3.690.000,0 461.250,0

68

ekspor kerajinan rotan juga mempengaruhi pertumbuhan unit usaha di Desa

Trangsan.

Pemesanan dapat dilakukan melalui tour guide ketika ada wisatawan

asing melakukan kunjungan ke Desa Trangsan. Ada yang memesan melalui

makelar. Ada pembeli dari luar negeri memesan langsung kepada pengusaha rotan,

terutama setelah berkembangnya internet pada 1990-an. Biasanya pembeli

mengirimkan desain yang mereka inginkan dan ketentuan ukuran. Jumlah pesanan

juga ditentukan oleh pembeli, bisa satu hingga lima kontainer. Pemesan biasanya

akan membayar uang muka terlebih dulu, setelah satu bulan baru dibayar secara

penuh. Oleh karena seorang pengusaha rotan terkadang kurang sanggup untuk

memenuhi pesanan, maka pengusaha tersebut meminta bantuan kepada rekanan

lainnya yang disebut sistem sub.56

Sebagian besar negara pemesan rotan asal Desa Trangsan berasal dari

Eropa. Beberapa negara pemesan di antaranya Inggris, Belanda, Yunani, Denmark,

Amerika Serikat, Australia, Jerman, Perancis, Timur Tengah, China, Hong Kong,

India, Jepang, dan beberapa negara di Amerika Latin. Masing-masing pemesan

dari berbagai negara tersebut memiliki kriterianya sendiri-sendiri. Misalnya

Spanyol menginginkan kerajinan rotan bentuk anyaman. Kemudian Amerika

Serikat lebih suka desain anyaman klasik. Kemudian Taiwan menyukai furniture.

Jepang lebih suka memesan kerajinan untuk kebutuhan rumah tangga. Korea lebih

suka berbagai jenis kerajinan tangan. Jenis pesanan dari luar negeri berupa kursi

meja, rak buku, kebutuhan rumah tangga, kursi malas, ayunan, perabotan rumah

56 Wawancara dengan Marjono pada tanggal 9 April 2015

69

tangga, dan beragam jenis furniture lainnya. Jenis kerajinan yang paling banyak

dipesan adalah berbagai macam jenis kursi dari rotan. Pada saat pengiriman

barang, tanggungan kerusakan sesuai dengan perjanjian awal. Ada yang kerusakan

dalam perjalanan dari pabrik sampai kapal ditanggung pihak ketiga. Setelah

masuk ke pelabuhan, kerusakan ditanggung produsen. Ada pemesan yang bersedia

menanggung kerusakan sejak dari kapal hingga pelabuhan. Ada yang hanya akan

membayar barang yang tidak mengalami kerusakan saja.

Kendala yang biasa dihadapi oleh pengusaha berorientasi ekspor adalah

dalam hal perawatan selama proses pengiriman barang. Pemasaran ke luar negeri

juga menjadi kendala karena pengusaha umumnya kurang memiliki biaya untuk

melakukan pemasaran ke luar negeri. Selain itu, kendala utama pengusaha ekspor

adalah dalam hal permodalan, karena untuk melakukan kegiatan ekspor

memerlukan modal yang besar. Ekspor rotan Desa Trangsan mencapai puncak

pada 1990-an. Pada saat itu, jalan-jalan desa dipenuhi dengan rotan. Hampir

semua masyarakatnya mulai menggantungkan diri pada kerajinan rotan. Banyak

pekerja didatangkan dari luar desa. Pada waktu itu, hampir 90% produksi rotan

untuk komoditi ekspor, sedangkan pasar lokal hanya 10%.57

57 Wawancara dengan Suparji pada tanggal 7 April 2015.

70

Tabel 6.

Ekspor UD. Agung Rezeki sebagai Sub Kontrak dengan PT. Sarana Alam

Tahun 1993-1996

Sumber: Diolah dari Dokumen Penjualan UD. Agung Rezeki Tahun 1993-2010

Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa salah satu unit usaha di Desa

Trangsan melakukan sub kontrak dengan perusahaan yang lebih besar. Hal yang

demikian dialami oleh semua pengusaha asli Desa Trangsan yang ingin

melakukan ekspor kerajinan rotan. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa

kapasitas produksi sebuah unit usaha yang melakukan sub kontrak masih sangat

kecil. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi keuangan pengusaha yang masih belum

mencukupi untuk memproduksi hasil kerajinan dengan jumlah yang lebih besar.

Setelah beberapa tahun UD. Agung Rezeki mulai mampu untuk melakukan ekspor

secara mandiri. Jenis- jenis barang yang dieksport berupa kursi, meja, lamp table.

Gambar barang-barang komoditas ekspor dapat dilihat pada gambar pada halaman

73 dan 76. Lebih lengkapnya lihat tabel 7:

TahunJumlah Ekspor per

TahunJenis Barang Tujuan

% Keuntungan PerTahun dariPenjualan

1993 30 Set Furniture dari rotanSub Kontrak PT

Sarana Alam10%

1994 25 Set Furniture dari rotanSub Kontrak PT

Sarana Alam10%

1995 27 Set Furniture dari rotanSub Kontrak PT

Sarana Alam10%

1996 33 Set Furniture dari rotanSub Kontrak PT

Sarana Alam10%

Tabel 7.

Ekspor UD. Agung Rezeki Tahun 1997-2010

Tahun Jumlah Ekspor per Tahun Jenis Barang Negara Tujuan% Keuntungan Per

Tahun dari Penjualan

1997 9 Kontainer Kursi, Meja Inggris 20%

1998 18 Kontainer Kursi, Meja Inggris 20%

1999 30 Kontainer Kursi, Meja Inggris 20%

2000 39 Kontainer Lamp Table Inggris 20%

2001 40 Kontainer Lamp Table Inggris 20%

2002 26 Kontainer Kursi, Meja, Lamp Table Inggris 20%

2003 25 Kontainer Kursi, Meja, Lamp Table Inggris 20%

2004 28 Kontainer Kursi, Meja, Lamp Table Inggris 20%

2005 7 Kontainer Kursi, Meja, Lamp Table Denmark 20%

2006 10 Kontainer Kursi, Meja, Lamp Table Denmark 20%

2007 6 Kontainer Kursi Amerika Serikat 20%

2008 7 Kontainer Kursi Amerika Serikat 20%

2009 4 Kontainer Kursi Amerika Serikat 20%

2010 10 Kontainer Kursi Amerika Serikat 20%

Sumber: Diolah dari Dokumen Penjualan UD. Agung Rezeki Tahun 1993-2010

71

72

Tabel 7 menunjukkan pada tahun 1997-2004 tujuan eksport kerajinan

rotan oleh UD Agung Rejeki ke Negara Inggris. Tahun 2005-2006 tujuan ekspor

kerajinan rotan ditujukan ke Denmark, sedangkan tahun 2007-2010 tujuan ekspor

kerajinan rotan ke Negara Amerika Serikat. Perubahan tujuan eksport didasarkan

oleh pesanan. Pesanan bisa langsung orang melalui tour guide maupun oleh

broker atau pihak ketiga.

UD Agung Rezeki hanya salah satu contoh yang merintis usahanya dari

sub ekspor menjadi eksportir. Ada beberapa pengusaha yang merintis usahanya

dari lokal menjadi sub ekspor, tetapi belum mampu untuk melakukan ekspor

sendiri. Suparji adalah salah satu pengusaha yang merintis usahanya dari skala

lokal karena hanya memiliki 5-19 orang pekerja saja pada tahun 1990-an. Jenis

produksi kerajinan rotan yang dihasilkannya sama dengan pengusaha lainnya,

yakni meja, kursi, dan beragam furniture dari rotan. Mendekati pertengahan

periode 1990-an, ia telah mampu melakukan sub ekspor. Jumlah pekerjanya

meningkat lebih dari 20 orang pengrajin. Oleh karena hanya sub ekspor, maka

perusahaan rekanan yang mengurus semua keperluan ekspor. Perusahaan rekanan

tersebut hanya memberikan target jumlah produksi yang harus mereka buat dalam

waktu satu bulan kepada pengusaha sub ekspor.58

Sekitar tahun 1997, UD. Agung Rezeki telah berhasil melakukan ekpsor

sendiri. Oleh sebab itu, jumlah pekerjanya bertambah hingga lebih dari 60 orang

pengrajin.

58 Wawancara dengan Suparji pada tanggal 21 Januari 2016.

73

Pada 1990-an, seorang pengusaha ekspor rotan Desa Trangsan dapat

memperoleh keuntungan bersih sekitar 10%-20% dari nilai jual produk atau atau

mencapai Rp40.000.000,00 sampai Rp50.000.000,00 dalam sekali pengiriman.

Satu kontainer yang dikirimkan nilainya mencapai Rp30.000.000,00. Ketika

sedang banyak pesanan, seorang pengusaha besar di Desa Trangsan mampu

mempekerjakan hingga 100 orang pengrajin pada 1990-an.

Gambar 9.Beberapa jenis lamp table yang terbuat dari rotan.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Lamp table seperti gambar di atas dipasarkan di dalam negeri sekitar

Rp100.000,00 sampai Rp2.000.000,00 atau bergantung pada tingkat kerumitan

pembuatannya. Lamp table memiliki harga ekspor yang lebih tinggi, yakni sekitar

10% sampai dengan 30% lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan produsen.

Oleh sebab itu, jika lamp table di tingkat lokal seharga Rp1.000.000,00 maka

harga lamp table yang diekspor seharga Rp1.100.000,00 sampai Rp1.300.000,00.

74

Sementara itu, di pasar luar negeri harga lamp table bisa sepuluh sampai dua

puluh kali lipat dari harga beli langsung antara pengusaha luar negeri (buyer)

kepada pengusaha pengrajin rotan.59

Pada 1990, Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil melaksanakan

pelatihan kepada pengrajin Desa Trangsan. Salah satu peserta pelatihan ini adalah

Sunarto Narto Wiyono. Pelatihan ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan

keterampilan pengrajin rotan. Setiap peserta yang telah mengikuti pelatihan

mendapat sertifikat.60

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo berusaha untuk

mengembangkan pariwisatanya melalui wisata desa kerajinan. Pemerintah

Kabupaten Sukoharjo mewacanakan agar desa-desa kerajinan menjadi objek

wisata. 61 Salah satunya adalah desa kerajinan rotan, yakni Desa Trangsan.

Diharapkan dengan menjadikan desa kerajinan sebagai objek wisata dapat

menambah Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sukoharjo di tengah krisis

ekonomi yang mulai melanda Indonesia. Namun demikian, krisis ekonomi tidak

terlalu mempengaruhi kerajinan rotan Desa Trangsan.

Krisis 1998 tidak terlalu mempengaruhi ekspor kerajinan rotan. Nilai tukar

rupiah terhadap dolar yang mencapai Rp16.000,00 per dolar justru cukup

menguntungkan dalam kegiatan ekspor. Namun memasuki tahun 2000-an,

pesanan dari luar negeri mulai mengalami penurunan. Penurunan secara drastis

mulai dirasakan pada 2005.

59 Wawancara dengan Eko Hartanto pada tanggal 9 April 2015.60 Sertifikat yanag diberikan oleh Perkumpulan untuk Peningkatan

Usaha Kecil pada 2 November 1990, Koleksi Sunarto Narto Wiyono.61 Solopos, 11 Oktober 1997.

75

Tabel 7 menunjukkan bahwa kegiatan ekspor UD. Agung Rezeki paling

banyak dilakukan pada 1998 sampai 2004. Ekspor terbanyak terjadi pada 2001

dengan 40 kontainer dalam waktu satu tahun. Jumlah sebanyak itu tentu saja

sangat menguntungkan bagi pengusaha rotan seperti UD. Agung Rezeki karena

keuntungannya bisa mencapai 20% dari penjualan. Keuntungan bersih jika

dirupiahkan sekitar Rp20.000.000,00 pada 1997 atau sekitar Rp40.000.000,00

pada 2000-an.

Harga setiap satu set meja kursi tamu di tingkat pengrajin berkisar antara

Rp2.000.000,00 sampai Rp5.000.000,00. Harga tersebut tidak jauh berbeda

dengan harga pasar lokal. Sementara itu, harga di tingkat pengrajin untuk satu set

meja kursi tamu yang diekspor dipatok lebih tinggi sekitar 10% hingga 30%.

Namun harga satu set meja kursi tamu di pasar luar negeri bisa mencapai sepuluh

hingga dua puluh kali lipatnya.62

Data pada Tabel 7 merupakan satu contoh yang diambil dari satu

perusahaan berorientasi ekspor yang beroperasi di Desa Trangsan. Dari salah satu

perusahaan yang beroperasi di Desa Trangsan dapat dilihat bahwa sebelum

perusahaan tersebut melakukan ekspor langsung, terlebih dahulu menjadi rekanan

PT. Sarana Alam. Hal ini juga dialami beberapa perusahaan yang dirintis oleh

para pengusaha kerajinan rotan di Desa Trangsan. Mereka memulai usahanya

dengan menyuplai pada pasar lokal dan menjadi rekanan salah satu perusahaan

yang lebih besar. Hal ini membuktikan bahwa modal sangat bagi sebuah

62 Wawancara dengan Eko Hartanto pada tanggal 14 Mei 2015.

76

perusahaan yang berorientasi ekspor secara mandiri. Di sisi lain, ekspor mebel

rotan sangat berpotensi menambah pendapatan daerah.

Gambar 10.Contoh satu set meja dan kursi tamu rotan komoditi ekspor periode 1990-an.

Sumber: Dokumentasi Pribadi Sunarto Narto Wiyono.

Gambar 11.Desain satu set meja dan kursi tamu rotan komoditi ekspor periode 1990-an.

Sumber: Dokumentasi Pribadi Sunarto Narto Wiyono

Komoditi ekspor rotan adalah salah satu komoditi andalan Pemerintah

Kabupaten Sukoharjo. Semakin besar volume ekspor rotan, maka semakin banyak

77

pemasukan bagi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Hal ini dapat dilihat dari nilai

ekspor komoditi mebel rotan pada tabel berikut:

Tabel 8.

Jumlah Ekspor Komoditi Mebel Rotan Kabupaten Sukoharjo

Tahun 1994-2008

Tahun Jenis Komoditi Volume (Ton) Nilai (US$)

1994 Mebel Rotan 977,16 2.510.883,71

1995 Mebel Rotan 1.054,02 2.627.404,96

1996 Mebel Rotan 1.278,07 3.216.635,90

1997 Mebel Rotan 1.092,52 3.233.213,98

1998 Mebel Rotan 1.544,56 5.592.553,23

1999 Mebel Rotan 975,32 2.131.636,14

2000 Mebel Rotan 1.025,32 2.275.760,14

2001 Mebel Rotan 641,32 1.357.437,26

2002 Mebel Rotan 1.736,00 3.452.454,47

2003 Mebel Rotan 1.571,80 3.17.874,86

2004 Mebel Rotan 1.108,20 2.216.397,84

2005 Mebel Rotan 910,23 4.794.958,89

2006 Mebel Rotan 945,46 4.981.331,00

2007 Mebel Rotan 983,53 5.429.076,98

2008 Mebel Rotan 875,88 4.196.892,49

Sumber: Diolah dari Data Realisasi Ekspor Non Migas Kabupaten SukoharjoTahun 1994-2008, Koleksi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten

Sukoharjo.

78

Tabel 8 menunjukkan bahwa volume ekspor rotan paling besar terjadi

pada tahun 1998, 2002, dan 2003. Sementara itu, nilai ekspor paling besar terjadi

pada 1998 dengan jumlah US$5.592.553,23. Hal ini membuktikan bahwa krisis

ekonomi yang dialami oleh Indonesia dan dunia pada 1997-1998 tidak terlalu

mempengaruhi industri rotan. Bahkan ekspor rotan mencapai masa jayanya pada

1998. Apalagi Desa Trangsan merupakan satu-satunya sentra kerajinan rotan di

Jawa Tengah.

Hal yang patut diperhatikan adalah tingkat inflasi dan keekonomian pada

tahun 1990-an dan 2000-an sudah berbeda jauh. Tingkat keekonomian tahun

1990-an lebih rendah daripada tahun 2000-an. Oleh sebab itu, jika terlihat bahwa

tahun 1990-an seperti memiliki nilai keuntungan yang lebih rendah daripada

periode 2000-an semata-mata disebabkan perbedaan tingkat keekonomiannya.

Dengan demikian, kerajinan rotan Desa Trangsan memiliki kontribusi yang sangat

besar terhadap pemasukan daerah dari ekspor non migas, yakni mebel rotan.

3. Periode Penurunan Ekspor (2005-2009)

Pada periode ini, industri kerajinan rotan Desa Trangsan mengalami

penurunan secara drastis. Kegiatan ekspor juga mengalami kelesuan. Salah satu

penyebab utama kelesuan ekspor adalah kebijakan pemerintah yang kurang

berpihak pada pengrajin rotan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8 yang

menunjukkan bahwa mulai tahun 2005, volume kerajinan rotan semakin menurun.

Pada Tabel 7, yang merupakan data penjualan UD. Agung Rezeki juga terlihat

bahwa mulai tahun 2005, volume ekspor kerajinan rotan mereka menurun drastis

daripada tahun sebelumnya.

79

Penyebab utamanya adalah rotan mulai sulit didapat karena harga rotan

sangat tinggi di pasar internasional sehingga sebagian besar rotan mentah

Indonesia diekspor keluar negeri sejak 2005. Pemerintah sendiri mengeluarkan

Peraturan Menteri Perdagangan No.12/M-DAG/PER/2005 63 yang membuka

kesempatan untuk mengekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi. Akibatnya

industri kerajinan rotan dalam negeri mengalami krisis bahan baku. Peraturan

tersebut mengakibatkan peningkatan peta persaingan dengan negara lain sebagai

produsen mebel rotan, menurunnya pasokan bahan baku rotan, menurunnya

permintaan produk mebel rotan ke Indonesia karena Vietnam, Filipina, dan

Tiongkok juga memproduksi produk mebel rotan. Padahal bahan bakunya juga

berasal dari Indonesia. Rendahnya pajak ekspor rotan mentah, yakni 15%

mengakibatkan para petani lebih suka mengekspor rotan mentah daripada menjual

di pasar domestik.64 Kondisi kenaikan volume dan nilai ekspor yang diiringi oleh

penurunan daya saing menunjukkan bahwa komoditas furnitur rotan Indonesia

tidak mampu bersaing dengan komoditas yang sama dari negara lain. 65 Hal

demikian turut mempengaruhi industri kerajinan di Desa Trangsan.

Pada saat itu berkembang plesetan peribahasa, "tak ada rotan, enceng

gondok, gedebok pisang, daun pandan, atau mendong pun jadi". Ratusan

pengrajin di desa tersebut mengeluh mahalnya harga bahan baku.Kondisi itu

63 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/M-DAG/PER/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan.

64 Yuniaristanto, dkk., “Pemodelan Lokasi-Alokasi Terninal Bahan Bauuntuk Meminimasi Total Biaya Rantai Pasok pada Industri Produk Jadi Rotan”,Jurnal, Jurnal Teknik Industri, Vol. 12, No.1, Juni 2010, hlm. 17.

65 Annaka Kismandani, “Daya Saing Furnitur Rotan Indonesia di PasarInternasional dan Strategi Pengembangannya”, Jurnal, Jurnal Kebijakan EkonomiVol. 4 No.1, Oktober 2008, hlm. 26.

80

kadang masih diperparah dengan sulitnya memperoleh bahan baku. Padahal

terdapat 415 unit usaha kerajinan mebeler, yang mempekerjakan ribuan tenaga

kerja dari berbagai daerah.Satu unit industri bisa mempekerjakan 10 orang, 20

orang, sampai di atas 100 orang, tergantung besar kecil skala usahanya.66 Para

pengrajin sangat tertekan dengan kondisi seperti ini. Oleh sebab itu, banyak

pengrajin rotan di Desa Trangsan ini yang terpaksa mengurangi jumlah

produksinya dan merumahkan sementara pekerjanya.

Krisis bahan baku rotan yang melanda membuat beberapa pengusaha rotan

yang awalnya menjadi rekanan ekspor dengan pengusaha besar lainnya, tidak lagi

menjadi rekanan ekspor. Mereka beralih pada pasar lokal saja. Selain itu, banyak

pengrajin asli Desa Trangsan yang beralih profesi menjadi buruh bangunan.

Mereka menganggap bahwa menjadi buruh bangunan lebih menguntungkan

daripada menjadi pengrajin rotan. Hal ini disebabkan, menjadi tenaga kerja

pengrajin tidak hanya membutuhkan tenaga tetapi juga membutuhkan pikiran dan

kreatifitas. Berbeda dengan menjadi buruh bangunan yang hanya membutuhkan

tenaga saja.

Pada 2008, terjadi krisis ekonomi global di Amerika Serikat (AS) yang

turut mempengaruhi ekspor kerajinan rotan Desa Trangsan. Dampak krisis global

benar-benar terasa pada tahun 2009, ketika terjadi pembatalan sejumlah pesanan.

Pada Tabel 8 jelas menunjukkan bahwa pada 2009, perusahaan Sunarto Narto

Wiyono dalam setahun hanya berhasil mengekspor empat kontainer saja. Hal ini

merupakan perolehan terkecil sejak perusahaan ini melakukan ekspor mebel rotan.

66 Suara Merdeka, 5 November 2007.

81

Menghadapi dampak krisis ekonomi global, pengusaha kerajinan berbasis

ekspor melakukan efisiensi diberbagai bidang,termasuk disektor tenaga kerja.

Efisiensi dilakukan menyusul menurunnya produksi karena berhentinya pesanan

dari pembeli di AS. Industri kerajinan berbasis ekspor khususnya industri rotan

melakukan efisiensi dalam penggunaan listrik, air, telekomunikasi dan tenaga

kerja.67

Gambar 12.Model lounge chair yang banyak dipesan sekitar tahun 2005.

Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Peralihan profesi pengrajin Desa Trangsan juga membuat kesulitan

pengusaha rotan. Hal ini disebabkan mereka adalah tenaga ahli yang sudah

67 Kompas, 21 Oktober 2008.

82

berpengalaman. Meski jumlah tenaga kerja dikurangi, tetapi tenaga pengrajin asli

Desa Trangsan tetap dibutuhkan karena mereka lebih ahli dan berpengalaman

dibandingkan tenaga dari luar Desa Trangsan. Selain itu, meski ekspor sedang

lesu, tetap ada pesanan yang harus dipenuhi. Pasar lokal juga masih ada. Sulitnya

bahan baku, jumlah tenaga kerja ahli yang sedikit dan target pesanan yang harus

dipenuhi dari pasar lokal tentu membuat beban yang berat untuk pengusaha

selama periode ini.