Bab III Pemahaman Para Pendeta Jemaat di Klasis Pulau Ambon...

35
36 Bab III Pemahaman Para Pendeta Jemaat di Klasis Pulau Ambon terhadap Konflik Ambon 1. Pendahuluan Berdasarkan rumusan masalah dari penulisan ini, maka penelitian bertempat di Ambon. Pada umumnya, konflik yang berlangsung dalam beberapa tahun itu, tidak hanya terjadi dalam lingkungan jemaat Klasis Pulau Ambon saja, tetapi terjadi pula dalam jemaat dari klasis lainnya seperti Klasis Kota Ambon. Namun, Klasis Pulau Ambon yang dipilih sebagai bagian pokok dalam penelitian ini. Klasis Pulau Ambon merupakan salah satu klasis dari sekian banyak klasis yang terhimpun dalam sinode Gereja Protestan Maluku. Karena merupakan bagian yang tidak terlepas dari sinode GPM, maka Klasis Pulau Ambon termasuk para pendeta jemaatnya pun mempunyai kaitan dengan sinode terutama dalam hal keputusan- keputusan yang diambil. Oleh karena itu, dalam memaparkan tentang pemahaman para pendeta jemaat tentang konflik Ambon, penting untuk menggambarkan tentang Gereja Protestan Maluku dan Klasis Pulau Ambon, dengan terlebih dahulu menggambarkan tentang keadaan wilayah Maluku secara umum. Setelah itu, dengan memperhatikan tujuan dari penulisan ini, maka dipaparkan mengenai pemahaman yang diperoleh dari para pendeta jemaat terkait konflik yang terjadi pada tahun 1999 sampai 2004 itu, bagaimana hingga konflik ini dapat menjadi sebuah pukulan yang amat keras bagi masyarakat umum Maluku terkhususnya warga gereja di pulau Ambon, yang tidak hanya mengundang perhatian setiap orang di dalam negri Indonesia tetapi juga orang-orang yang berada di luar Indonesia. Dari pemahaman-pemahaman yang diberikan ini maka dapat dikaitkan dengan tujuan dari penulisan yaitu apakah konflik ini merupakan

Transcript of Bab III Pemahaman Para Pendeta Jemaat di Klasis Pulau Ambon...

  36  

Bab III

Pemahaman Para Pendeta Jemaat di Klasis Pulau Ambon terhadap

Konflik Ambon

1. Pendahuluan

Berdasarkan rumusan masalah dari penulisan ini, maka penelitian bertempat di

Ambon. Pada umumnya, konflik yang berlangsung dalam beberapa tahun itu, tidak

hanya terjadi dalam lingkungan jemaat Klasis Pulau Ambon saja, tetapi terjadi pula

dalam jemaat dari klasis lainnya seperti Klasis Kota Ambon. Namun, Klasis Pulau

Ambon yang dipilih sebagai bagian pokok dalam penelitian ini. Klasis Pulau

Ambon merupakan salah satu klasis dari sekian banyak klasis yang terhimpun

dalam sinode Gereja Protestan Maluku. Karena merupakan bagian yang tidak

terlepas dari sinode GPM, maka Klasis Pulau Ambon termasuk para pendeta

jemaatnya pun mempunyai kaitan dengan sinode terutama dalam hal keputusan-

keputusan yang diambil. Oleh karena itu, dalam memaparkan tentang pemahaman

para pendeta jemaat tentang konflik Ambon, penting untuk menggambarkan

tentang Gereja Protestan Maluku dan Klasis Pulau Ambon, dengan terlebih dahulu

menggambarkan tentang keadaan wilayah Maluku secara umum.

Setelah itu, dengan memperhatikan tujuan dari penulisan ini, maka dipaparkan

mengenai pemahaman yang diperoleh dari para pendeta jemaat terkait konflik yang

terjadi pada tahun 1999 sampai 2004 itu, bagaimana hingga konflik ini dapat

menjadi sebuah pukulan yang amat keras bagi masyarakat umum Maluku

terkhususnya warga gereja di pulau Ambon, yang tidak hanya mengundang

perhatian setiap orang di dalam negri Indonesia tetapi juga orang-orang yang

berada di luar Indonesia. Dari pemahaman-pemahaman yang diberikan ini maka

dapat dikaitkan dengan tujuan dari penulisan yaitu apakah konflik ini merupakan

  37  

sebuah perang ataukah tidak. Selain itu, dijelaskan pula pemahaman para pendeta

jemaat tentang konflik yang didalamnya warga gereja berdasarkan pertanyaan-

pertanyaan terkait urutan prinsip just war.

2. Gambaran Maluku Secara Umum

2.1 Orientasi Wilayah

Maluku adalah salah satu propinsi di bagian Timur Indonesia. Menurut

letak astronomis, maka wilayah provinsi Maluku terletak antara 2 030 ' -

90 Lintang Selatan dan 1240-1360 Bujur Timur. Batas Wilayah propinsi

Maluku sebagai berikut :1

- Sebelah utara berbatasan dengan Laut Seram

- Sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Indonesia dan Laut Arafuru

- Sebelah timur berbatasan dengan Pulau Irian

- Sebelah barat berbatasan dengan Pulau Sulawesi

Pada Bulan oktober 1999, Provinsi Maluku terbagi menjadi dua Propinsi,

yaitu Propinsi Maluku Utara dan Propinsi Maluku. Propinsi Maluku memiliki

sembilan Kabupaten dan dua kota yakni Kabupaten Maluku Tenggara Barat,

Maluku Barat Daya, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Buru, Buru Selatan,

Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Ambon dan Tual.

Propinsi Maluku memiliki luas 721.480 km yang sebagian besarnya

merupakan lautan dan luas daratan hanya sekitar 46. 914, 03 km atau 2,46%

dari luas daratan Indonesia. Pulau terbesarnya yaitu Seram dengan luas 18.625

                                                                                                               1 Badan Pusat Statistik Maluku.

http://maluku.bps.go.id/flipbook/publikasi/statistik%20daerah-2011/files/search/searchtext.xml diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012 pukul 08.00 WIB

  38  

km. Ibu kota Propinsi Maluku adalah Ambon.2

2.2 Penduduk

Penduduk Ambon asli datang dari Pulau Seram Bagian Tengah – yang

lebih dikenal dengan “Nunusaku”. Pulau Seram sering disebut dengan “Nusa

Ina” yang artinya “Pulau Ibu” bagi masyarakat Ambon, yang didalamnya

terdapat dua suku berbeda yaitu Alune dan Wemale. Orang Alune dan orang

Wemale dianggap sebagai penduduk asli Pulau Seram dan dari sanalah

kemudian menyebar ke pulau-pulau sekitarnya terutama di Maluku Tengah.

Terdapat juga sebutan untuk orang Ambon yaitu “Alifuru.” 3 Ketika

berlangsung pemerintahan Kolonial Belanda di pulau ini, maka Pulau Ambon

dan sekitarnya (wilayah budaya Ambon) terbagi atas negeri-negeri. Negeri

adalah unit administrasi setara dengan desa, yang ditetapkan selama masa

pemerintahan kolonial Belanda, merupakan identitas yang sangat penting bagi

orang Ambon.4 Dari nama keluarga, masyarakat dapat mengenali Negeri

mereka.

Jumlah penduduk dalam propinsi Maluku dapat dilihat dalam beberapa

tahun yaitu pada tahun 1990 berjumlah 1.857,8 (ribu) kemudian mengalami

penurunan pada tahun 2000 yang berjumlah 1166,3, tahun 2006 berjumlah

1.283,4 dan pada tahun 2010 berjumlah 1.533,5 dengan diantaranya sekitar

26.000 jiwa berada di pusat kota, Ambon.5

                                                                                                               2  Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Statistical Yearbook of Indonesia 2012 (Jakarta:

BPS Indonesia, 2012),3  3 J. Melalatoa. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A—K (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1995) 4 Marwati Djoened Poepoenegoro. Sejarah Nasional Indonesia IV, Kemunculan Penjajahan di

Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 179 5 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia….,71

  39  

2.3 Sistem Sosial-Budaya

Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada

khususnya, terdapat hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau

terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau

kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk

secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat

dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah “PELA.”6

PELA adalah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa

atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang

lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang

dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama. Ikatan pela ini diikat

dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minum darah yang diambil

dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun

dengan cara memakan sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena

ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka

saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini

memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masing-masing pribadi

yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu.7

2.4 Agama

Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini

dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang

telah menyebarkan kekristenan ketika terjadi perdagangan rempah-rempah                                                                                                                

6 Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Maluku, Perwujudan Pela dalam Kehidupan Sosial Budaya Maluku(Indonesia: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996),13

7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku. 1977/1978, hlm 27

  40  

pada abad ke-16. Begitu pun agama Islam yang sebelumnya telah ada di

wilayah Maluku karena pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang

menyebarkan Islam.8

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, pemeluk agama di Maluku

adalah sebagai berikut. Penduduk beragama Islam berjumlah 776 130 jiwa

(50,61%), Kristen Protestan 634 841 jiwa (41,40%), Katolik 103 629 jiwa

(6,76%), Hindu 5669 jiwa (0,37%), Budha 259 jiwa (0,02%), Kong Hu Chu

117 jiwa (0,01%) dan lainnya 6278 (0,41%). Daerah dengan penganut agama

Islam terbanyak berada di Kabupaten Maluku Tengah, sedangkan penganut

agama Kristen Protestan terbanyak berada di kota Ambon.9 Pemantapan

kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami

gangguan khususnya selama konflik yang terjadi beberapa kali di daerah ini.

3. Gambaran Gereja Protestan Maluku dan Klasis Pulau Ambon

3.1 Gereja Protestan Maluku

Gereja Protestan Maluku (GPM) memiliki sejarah yang dimulai ketika

diadakan ibadah perdana Gereja Protestan Calvinis oleh orang-orang Belanda

dalam hal ini para pegawai VOC di kota Ambon pada tanggal 27 Februari

1605. Gereja ini terus berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas

selama masa VOC kemudian pada masa pemerintahan Hindia Belanda

dilayani oleh Gereja Protestan di Indonesia dan Nederlanse Zendeling

Genotschaap (NZG). Sampai pada tahun 1930, daerah pelayanannya telah

meliputi hampir seluruh Maluku (Maluku tengah, Maluku Tenggara, Maluku                                                                                                                

8 Th. Van der End. Ragi Carita 1, Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007),36

9 Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku. http://sp2010.badanpusatstatistik.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=8100000000 diunduh tanggal 17 Oktober 2012 pukul 06.05 WIB

  41  

Tenggara Barat dan Kepulauan Aru) dengan jumlah anggota sekitar 190.000.

Pada tiga dekade pertama abad XX, tenaga-tenaganya telah dikirim untuk

melayani ke daerah lain, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur.10

Memasuki paruhan pertama abad XX, terjadi dua perkembangan yang

mencolok yakni dalam lingkungan GPM dan dalam masyarakat Indonesia.

Dalam lingkungan GPM, terjadi persiapan untuk memandirikan wilayah-

wilayah pelayanan sesuai penerapan sikap pemerintah Hindia Belanda

terhadap Gereja, sedangkan dalam lingkungan masyarakat Indonesia, tumbuh

kesadaran nasionalisme yang intens dan kesadaran ini merembes masuk ke

dalam Gereja di Maluku. Kedua perkembangan ini kemudian bermuara pada

pembentukan Gereja Protestan Maluku pada 6 September 1935.11 Tanggal

inilah yang kemudian diperingati sebagai hari kelahiran GPM.

Sejak berdirinya, GPM diperhadapkan dengan masa transisi yang dimulai

dengan Perang Dunia II (1942-1945), kemudian disusul dengan

pemberontakan RMS pada tahun 1950 dan PERMESTA pada tahun 1958,

yang semuanya disamping menimbulkan kehancuran material dan merenggut

banyak nyawa manusia. Di lingkungan GPM sendiri, terjadi krisis

berkepanjangan terutama di bidang kepemimpinan, organisasi dan keuangan

disebabkan oleh masih kuatnya pengaruh nilai-nilai lama (peninggalan

kolonialisme dan agama suku). Sadar akan tantangan dan kesulitan yang

dihadapi di satu sisi dan panggilan misinya yang harus diemban pada sisi lain,

maka dikeluarkannya Pesan Tobat dalam sinode tahun 1960. Isinya

menyangkut pengakuan seluruh warga GPM bahwa walaupun terdapat

sejumlah kesulitan dan kesalahan yang dilakukan, namun penyertaan Tuhan                                                                                                                

10 Diperoleh dari Bagian dokumentasi Sinode, Sejarah Singkat Gereja Protestan Maluku, pada tanggal 19 September 2012.

11 ibid.

  42  

senantiasa dirasakan. Bagi GPM, pesan ini merupakan wujud pembaruan diri

dan sekaligus merupakan landasan bagi pembaruan Gereja secara menyeluruh

demi peningkatan tugas pelayanan dan kesaksiannya di tengah-tengah

masyarakat dan bangsa Indonesia ke depan.12

Kini GPM memiliki 732 jemaat yang tergabung dalam 25 klasis, yaitu

Ternate, Bacan, Pp. Sula, p. Obi, Buru Utara, Buru Selatan, Seram Utara,

Taniwel, Seram Barat, Kairatu, Masohi, Telutih, Seram Timur, Lease, Kota

Ambon, Pulau Ambon, Banda, Kei Kecil, Kei Besar, Pp. Aru, Tanimbar

Utara, Tanimbar Selatan, Babar, Pp. Kisar dan Leti Moa Lakor. Jemaat-jemaat

berada di daerah Buru, Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Maluku Tenggara

Barat dan Maluku Utara,13 atau membentang dari Propinsi Maluku (Kabupaten

Maluku Utara Bara Daya) sampai ke Propinsi Maluku Utara dan kantor sinode

GPM berkedudukan di kota Ambon.14

3.2 Klasis Pulau Ambon

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, klasis Pulau Ambon merupakan

salah satu klasis dari banyaknya klasis yang ada di dalam lingkup sinode

Gereja Protestan Maluku (GPM). Pelayanan di dalam klasis Pulau Ambon

mencakup sejumlah jemaat yang dapat dimasukan sebagai berikut: Jemaat

Soya, Jemaat Tuni, Jemaat Mahia, Jemaat Kusu-Kusu Sereh, Jemaat

Rehoboth, Jemaat Eden, Jemaat Sinar, Jemaat Kezia, Jemaat Bukit Zaitun,

Jemaat Pancaran Kasih, Jemaat Nehemia, Jemaat Imanuel OSM, Jemaat Pniel

Bentas, Jemaat Bethesda, Jemaat Amahusu, Jemaat Erie, Jemaat Seilale,

Jemaat Latuhalat, Jemaat Waimahu, Jemaat Air Louw, Jemaat Seri, Jemaat                                                                                                                

12 ibid. 13 PPGI.  http://profilgereja.wordpress.com/category/maluku/ diunduh pada tanggal 25

September 2012 pukul 17:04 WIB 14 Dokumentasi video Selayang Pandang Pelayanan Perempuan Klasis Pulau Ambon,

diperoleh dari Bagian Sekretariat Klasi Pulau Ambon pada tanggal 19 September 2012

  43  

Pandan Kasturi, Jemaat Galala-Hatiwe Kecil, Jemaat Hallong, Jemaat

Mahanaim, Jemaat Latta, Jemaat Lateri, Jemaat Fajar Pengharapan, Jemaat

Passo, Jemaat Benteng Karang, Jemaat Gideon Wayari, Jemaat Baitrafa Suli,

Jemaat Kabeth, Jemaat Tial, Jemaat Larike, Jemaat Waai, Jemaat Toisapu,

Jemaat Hutumuri, Jemaat Rutong, Jemaat Leahari, Jemaat Hukurila, Jemaat

Ema, Jemaat Kilang, Jemaat Naku, Jemaat Hatalai, Jemaat Negeri Lama,

Jemaat Nania, Jemaat Waiheru, Jemaat Hunut Durian Patah, Jemaat Poka,

Jemaat Rumah Tiga, Jemaat Wayame, Jemaat Souhuru, Jemaat Hatiwe Besar,

Jemaat Palungan Kasih, Jemaat Hila, Jemaat Tawiri, Jemaat Laha, Jemaat Air

Manis, Jemaat Hattu, Jemaat Liliboy, dan Jemaat Alang.15

Keenam puluh dua jemaat ini termasuk dalam wilayah pelayanan Klasis

Pulau Ambon yang tersebar di delapan wilayah kecamatan, yaitu kecamatan

Salahutu (kabupaten Maluku Tengah), kecamatan Leihitu (kabupaten Maluku

Tengah), kecamatan Leihitu Barat (kabupaten Maluku Tengah), kecamatan

Sirimau (kota Ambon), kecamatan Nusaniwe (kota Ambon), kecamatan

Leitimor Selatan (kota Ambon), kecamatan Baguala (kota Ambon) dan

kecamatan Teluk Ambon (kota Ambon) yang dapat pula dilihat dalam peta

pulau Ambon sebagai berikut.16

                                                                                                               15Data diperolah dari Sekretariat kantor Klasis Pulau Ambon, pada tanggal 7 September 2012 16 ibid.

  44  

Dalam 62 jemaat yang dimiliki sekarang ini pula, Klasis Pulau mempunyai

123 pendeta organik, 68 pendeta non-organik dan 192 yang emeritus.17 Jumlah

jiwa sekarang ini dalam jemaat-jemaat yang tergabung di dalam Klasis Pulau

Ambon adalah 139.829 jiwa, dengan terhitung laki-laki berjumlah 64.710 jiwa

dan perempuan berjumlah 66.099 jiwa.18 Kantor klasis pulau Ambon sekarang

berkedudukan di Batu Gantung, Ambon.

4. Pemahaman Pendeta Jemaat terhadap Konflik Ambon dikaitkan dengan

Perang

4.1 Gambaran awal Konflik Ambon, 19 Januari 1999

Berbicara mengenai konflik di Ambon, menurut Sahalessy sebelum tanggal

19 Januari sudah terjadi perseteruan-perseteruan kecil, salah satunya yaitu

yang terjadi di Wailette pada 13 Desember 1998, yang mengakibatkan

pembakaran rumah-rumah orang BBM (Bugis, Buton dan Makasar). Namun,

19 Januari inilah yang merupakan gambaran naiknya konflik ke permukaan,19

yang awalnya dikejutkan dengan berita pertikaian 2 pemuda di kawasan Batu

Merah, salah satunya seorang Kristen Aboru bernama Jacob Leuhery (Yopi)

yang karena perselisihan kecil dengan seorang yang beragama Muslim

bernama Nusalin bin Kadir, yang “patah uang” atau meminta uang dua kali

kepada Yopi yang bekerja sebagai supir angkot. Karena belum mempunyai

uang untuk diberikan, maka ia diancam dengan pisau yang diarahkan ke

lehernya. Oleh karena marah dengan perlakuan yang diberikan padanya, maka

Yopi pulang ke rumahnya dan mengambil parang dan memburu pelaku yang                                                                                                                

17 Data 1 tentang Pelayan Struktural/Fungsional, diperoleh dari Sekretariat kantor Klasis Pulau Ambon, pada tanggal 7 September 2012

18 Data 2 tentang Jumlah Jiwa, diperoleh dari Sekretariat kantor Klasis Pulau Ambon, pada tanggal 7 September 2012  

19 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. J. Sahalessy  

  45  

meminta uang darinya di terminal yang disinggahi tadi. Namun, tidak

didapatinya karena Nursalin telah melarikan diri, sehingga ia kembali ke

rumahnya. Dari peritiwa ini secara tiba-tiba sekitar lima menit kemudian

(sekitar pukul 15.10 WIT), sekitar 350 orang dari kampung Batu Merah yang

beragama Islam melakukan pembakaran rumah warga jemaat di Batu Merah

Dalam yang sebagian besar orang Kristen (yang juga merupakan tempat

tinggal Yopi).20

Setelah melakukan hal tersebut, kembali lagi dengan jumlah yang lebih

banyak sekitar lebih dari 700 orang, mereka menyerang daerah Mardika yang

seluruh warganya beragama Kristen. Karena warga gereja di Mardika tidak

mngetahui dan tidak ada persiapan untuk menghadapi penyerangan ini, maka

penyerang dapat dengan mudah menguasai daerah Mardika dengan membakar

dan merusakan rumah-rumah dan alat kendaraan yang ada, memukul seorang

tua yang tidak dapat melarikan diri, Benny Maruanaja dan membunuh empat

orang di daerah ini.21 Pada saat pembakaran dan pengrusakan terjadi di

Mardika, tiba-tiba juga terjadi pembakaran dan penjarahan terhadap 12 rumah

di daerah Silale termasuk juga gedung gereja Sumber Kasih.22 Seperti warga

gereja di Mardika, warga gereja yang rumahnya dibakar ini pun tidak

mengetahui penyebab penyerangan dan persiapan terhadap penyerangan

tersebut sehingga yang dilakukan saat itu adalah lari dan menyelamatkan diri.

Setelah mendengar tentang peristiwa tersebut, maka sejumlah warga gereja

terkhususnya laki-laki dari Kudamati dan lainnya menuju Mardika dan Silale,

namun dicegah oleh warga Islam di Kampung Baringin, sehingga terjadi                                                                                                                

20 Tim Pengacara Gereja, Gambaran Kerusuhan di Kotamadya Ambon Mulai Tanggal 19 Januari (Ambon, 1999),1-2

21 ibid., 3 22 Pos Komunikasi dan Informasi, Rekaman Berbagai Peristiwa Kerusuhan di Ambon, Sanana

(Maluku Utara) dan Piru Seram Barat (Ambon,1999),1

  46  

perkelahian antarmasa, dengan saling melempar batu di sekitar daerah

tersebut. Konflik yang terjadi pada 19 Januari bertepatan dengan hari raya Idul

Fitri, yang oleh komunitas Muslim menyebutnya dengan Idul Fitri berdarah.

Dari munculnya peristiwa ini pada 19 Januari maka mulailah terjadi

penyerangan yang dilakukan secara tiba-tiba dan berkelanjutan pada daerah-

daerah yang ditinggali oleh orang Kristen (warga gereja), sehingga

meledaklah sebuah konflik yang besar, yang didalamnya pun warga gereja

harus bertindak menghadapi konflik yang terjadi.23

4.2 Pemahaman Pendeta jemaat tentang konflik Ambon dan Perang

Setiap pendeta terkhususnya dalam Klasis Pulau Ambon yang bersama

dengan jemaatnya mengalami konflik, mempunyai sudut pandangnya masing-

masing dalam memahami tentang konflik yang terjadi di Ambon dan

pengertian sebuah perang. Begitupun jika dihubungkan apakah konflik ini

dapat disebut sebagai sebuah perang atau tidak. Dari pemahaman yang

diberikan tersebut, maka dapat dikategorikan dalam dua bagian pernyataan

yaitu pertama, konflik Ambon bukanlah sebuah perang dan kedua, konflik

Ambon merupakan perang. Pernyataan yang menegaskan bahwa konflik

Ambon ini merupakan perang ataupun tidak, berdasarkan pemahaman mereka

tentang perang, yang dijelaskan sebagai berikut.

a. Konflik Ambon Bukanlah Perang

Dari enam belas pendeta jemaat yang diwawancarai, hanya seorang

pendeta yang menyatakan bahwa konflik di Ambon ini bukanlah perang.

Dikatakannya :

                                                                                                               23 Hasil wawancara tanggal 12 September dengan Pdt. Aponno

  47  

Perilaku manusia dalam konflik yang terjadi di Ambon ini merupakan perilaku yang jahat. Namun konflik yang terjadi tidaklah sampai pada pandangan sebagai sebuah perang dan juga bukan suatu perang agama, tetapi lebih pada miss-understanding atau miss-communication, antara dua komunitas. Konflik mengakibatkan kerugian bagi warga gereja karena adanya provokator yang ikut membuat “panas keadaan” atau membuat kedua komunitas saling bermusuhan. Namun, terlalu tajam jika dikatakan bahwa konflik ini merupakan sebuah perang, karena perang merupakan peristiwa kekerasan yang besar, sedangkan yang terjadi di Ambon merupakan kekerasan akibat permainan politik dan peran provokator.24

b. Konflik Ambon adalah Perang

Lima belas dari enam belas pendeta yang menjadi narasumber

menyatakan bahwa konflik yang terjadi pada tahun 1999 sampai 2004

merupakan sebuah perang. Seorang pendeta yang diwawancara,

mengatakan, “Saya bukanlah seorang yang ahli dalam hal perang, namun

jika dipetakan antara konflik yang kecil dan konflik besar yaitu perang,

maka konflik yang terjadi di Ambon merupakan sebuah perang.25 Pendeta

lainnya, Sobagio, yang mengalami konflik di Buru dan kembali

mengalami konflik di Ambon ketika mengungsi di Amahusu, mengatakan

bahwa konflik yang terjadi di Ambon maupun yang terjadi di tempat asal

mereka sebelumnya di Buru merupakan sebuah perang. Mengapa hal ini

yang dikatakan, karena konflik ini tidak hanya terjadi antara warga

setempat tetapi juga dalam skala nasional dan yang terlibat pun bukan

hanya di dalam pulau ini saja tetapi juga di luarnya.26 Alasan lain yang

muncul terhadap pernyataan ini, yaitu bahwa adanya ancaman yang

timbul dari penyerang warga gereja yang diserang saat itu.27 Hal ini pun

sama dengan pernyataan Jambormias yang mengatakan bahwa konflik

Ambon pada faktanya merupakan sebuah perang karena “ada orang yang

                                                                                                               24 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. R. Rumthe 25 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Persulessy 26 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 27 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen

  48  

menyerang katong dan katong bereaksi” (ada pihak yang menyerang kami

dan kami bereaksi).28

Pendeta lain mengatakan bahwa konflik Ambon merupakan sebuah

konflik yang sudah terkonspirasi. Orang Kristen merupakan korban dari

konflik yang sudah dirancang dengan cantik ini, walau tidak diketahui

secara pasti siapa yang merancang ini. Adanya konspirasi ini membuat

orang Maluku menjadi hancur dengan menggunakan agama sebagai

alatnya.29 Bahkan menurut Sahalessy, sebenarnya tidak ada perang yang

terjadi di Ambon tetapi diciptakan dengan sengaja untuk terjadi perang.

Senjata-senjata, mortir dan lainnya dipersiapkan dan dibawa ke Ambon

oleh pihak-pihak yang merencanakan, sehingga melalui penyerangan yang

dilakukan dengan senjata-senjata itu konflik kecil tiba-tiba menjadi besar,

maka terpaksa perang terjadi.30 Dari hal ini pun, maka konflik Ambon ini

dapat dimasukan dalam perang, karena melibatkan beribu-ribu orang yang

ikut terlibat31 dan banyaknya korban yang “jatuh” bukan hanya dari yang

beragama Kristen tetapi juga agama yang lainnya serta banyaknya orang

yang harus mengungsi dari tempat tinggalnya ke daerah-daerah yang

dianggap aman baik dalam pulau Ambon maupun di luar pulau ini.32

Bahkan seorang pendeta yang pada pada saat konflik menjabat sebagai

bendahara Klasis Pulau Ambon menekankan bahwa konflik Ambon ini

merupakan perang, bahkan “prang yang batul-batul prang, bukang konflik

kacil” (perang yang benar-benar perang bukan hanya konflik kecil).33

                                                                                                               28 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 29 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 30  Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. J. Sahalessy  31 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal  32 Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. A. E Rumthe 33 Hasil wawancara tanggal 11 September dengan Pdt. Nahumury

  49  

Konflik ini memang masuk melalui jalur agama, yang jika dilihat, tidak

seperti konflik-konflik sebelumnya yang sering terjadi di Ambon yang

melibatkan kekerasan antara satu desa dengan desa lainnya. Konflik yang

terjadi antar-desa atau antar-kampung ini dapat dengan cepat selesai,34

seperti halnya konflik antara warga Batu Merah dan Mardika, yang

sebelumnya sering terjadi tetapi pada keesokan harinya dapat damai

kembali.35 Berbeda dengan konflik-konflik tersebut, dalam konflik yang

terjadi pada tahun 1999 ini, agamalah yang dipakai sebagai alat karena

agama merupakan hal yang sangat sensitif yang dapat memancing emosi

siapa saja, 36 seperti yang dikatakan sebelumnya oleh Sobagio dan

Tanamal. Karena adanya penggunaan atribut keagamaan didalamnya,

perang ini juga disebut sebagai perang antara komunitas agama yang

menggunakan istilah “acang dan obet.”37 Ditambah dengan persiapan

yang dilakukan oleh orang-orang dari pihak sebelah (penyerang) yang

telah menempatkan dirinya dengan alat-alat perang dan datangnya laskar

jihat ke Ambon (yang telah diajarkan sebelumnya untuk berperang), maka

dapatlah dikatakan bahwa konflik yang terjadi di Ambon termasuk sebuah

perang.38

                                                                                                               34 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Latuey  35 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. Leleury 36 Hasil wawancara tanggal 11 September dengan Pdt. Nahumury 37 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan 38 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio dan 12 September dengan Pdt.

Aponno.  

  50  

4.3 Penyerangan yang Dilakukan Terhadap Warga Gereja

Perang ini dimulai dengan penyerangan-penyerangan yang dilakukan

terlebih dahulu oleh pihak penyerang yaitu warga Muslim. 39 Umumnya,

konflik ini pecah pertama kalinya di Batu merah dan Mardika, sedangkan

dalam lingkup daerah klasis pulau Ambon, awalnya konflik terjadi di daerah

Benteng Karang. Menurut Balubun, penyerangan di daerah Benteng Karang

dilakukan mungkin disebabkan oleh adanya informasi bahwa Mesjid Alfatah

(Mesjid Agung di Ambon) telah dibakar oleh umat Kristen, karena itu masa

dari Wakal, Hila Islam dan Hitu bersatu menyerang atau mungkin karena telah

direncanakan sebelumnya untuk melakukannya setelah dilakukan penyerangan

di bagian kota.40 Perencanaan ini dicurigai ketika anggota gereja melihat

bahwa sebelum dilakukan pembakaran, terdapat pasukan yang datang dengan

menggunakan truk untuk mengangkut barang-barang milik warga gereja.

Setelah dari Benteng Karang, penyerangan juga dilakukan terhadap warga

jemaat Hila termasuk membunuh para pemuda dan pendeta yang mengikuti

Bible Camp di sekitar Hila.41

Pada hari yang sama, para penyerang yang berjumlah ribuan orang datang

ke daerah Hunut yang ditinggali oleh warga gereja dan masuk menjarah dan

membakar rumah-rumah warga gereja termasuk membakar seorang lansia

yang berada di dalam rumahnya. Begitu juga dengan penyerangan warga

gereja Pandan Kasturi di Galunggung yang menyebabkan pembataian dan

pembakaran rumah.42 Setelah tanggal 20 Januari 1999, para penyerang turun

dari Hitu menyerang menuju arah ke Passo dan bagian kota tetapi tidak dapat                                                                                                                

39 Hasil Wawancara dengan semua pendeta jemaat yang menjadi narasumber, dari tanggal 7-20 September.

40 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Balubun  41 ibid. 42 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. R. Rumthe

  51  

melewati Passo karena tertahan oleh para pemuda daerah Passo yang saat itu

tidak membiarkan mereka melalui daerah mereka. Akibat dari tidak dapat

melewati daerah Passo menuju kota, maka mereka mulai menyerang daerah

yang telah dilalui sebelumnya termasuk Nania dan Negeri Lama.43 Ketika

mereka kembali melalui Negeri Lama, maka warga jemaat di daerah ini

diserang, semua rumah dibakar termasuk gedung gereja yang berada di tepi

jalan, walaupun sebelumnya juga telah dilemparkan bom ke daerah ini ketika

para penyerang menuju Passo dan kota.44 Sama seperti yang terjadi di Negeri

Lama, penyerang pun membakar dan menghancurkan rumah-rumah di Nania,

termasuk membakar gedung gereja dan membunuh seorang pendeta yang

sedang berdoa di dalam gereja.45

4.4 Tindakan Warga Gereja Terhadap Penyerangan

Ketika pihak Muslim menyerang pada 19 dan 20 Januari, para pendeta

jemaat yang termasuk dalam Klasis Pulau Ambon sedang mengadakan sidang

Klasis Pulau Ambon di jemaat Lateri. Oleh karena itu, Leleury mengatakan

bahwa para pendeta tidak mengetahui sama sekali tentang penyerangan yang

dilakukan oleh warga Muslim. Karena jika pun tahu, pastilah para pendeta

tidak datang mengikuti sidang ini tetapi bersama jemaat menghadapi

penyerangan yang dilakukan.46

Pada tanggal 20 Januari, setelah didengar bahwa warga gereja di Benteng

Karang, Hila, Hunut, Negeri Lama dan Nania telah diserang, sebuah Masjid di

                                                                                                               43 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Pelupessy 44 Hasil wawancara tanggal 11 September dengan Pdt. Nahumury 45 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Pelupessy 46 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt Leleury

  52  

daerah warga gereja di Batu Gajah dibakar.47 Selain itu, ketika penyerang

kembali mengumpulkan masanya di Waihaong dan Silale, maka terdapat

sejumlah pemuda gereja secara pribadi kemudian melakukan perlawanan yang

mengakibatkan rumah-rumah warga Islam termasuk beberapa rumah anggota

gereja dan sebuah Masjid terbakar di Kampung Baringin.48 Dengan melihat

konflik yang berkecamuk ini, keputusan yang diambil pendeta jemaat adalah

menghimbau agar jemaat berdoa dan bertahan. Hal ini seperti dikatakan

Jambormias, para pendeta tetap meminta Tuhan melalui doa bersama untuk

menjaga dan menopang mereka dalam upaya menjaga hidup bersama jemaat

di dalam daerahnya.49

Namun, dengan penyerangan dan kondisi yang mengancam dari waktu ke

waktu, membuat warga gereja semakin tertekan secara fisik dan psikis. Situasi

ini kemudian yang mendesak warga gereja di Ambon mengambil tindakan

untuk melindungi diri dengan mengungsi dan juga dengan tetap bertahan.50

Pertahanan ini dimulai oleh anggota jemaat dengan membuat senjata antara

lain parang, tombak, panah-panah waer dan senjata rakitan yang dibuat oleh

anggota jemaat sendiri dari besi, korek api dan lainnya.51 Senjata-senjata ini

tidak lain hanya sebagai alat untuk membendung penyerangan yang dilakukan,

sehingga penyerang tidak dapat begitu saja “menghabisi” warga jemaat,

seperti yang telah dilakukan pada awal penyerangan. Selain itu, dilakukan

pula pertahanan pada daerah-daerah yang berbatasan dengan daerah

penyerang dan yang menjadi daerah penyerangan. Pertahanan dilakukan

termasuk oleh pendeta jemaat, bapa raja yang ada dan anggota jemaat laki-                                                                                                                

47 Pos Komunikasi dan Informasi, Rekaman Berbagai Peristiwa Kerusuhan…., 1 48 Ibid., 2 49 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias  50 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 51 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal

  53  

laki52 dan terdapat pula pendeta yang harus mengkoordinir semua warganya

namun tidak diajarkan untuk menyerang.53 Pertahanan yang dilakukan oleh

warga gereja secara lebih lengkap dijelaskan dalam bahasan di bawah ini.

5. Konflik Ambon Berdasarkan Prinsip-Prinsip Just War

Jus ad Bellum (Sebelum Perang)

5.1 Alasan yang Adil

Perang ini diawali dengan penyerangan-penyerangan yang dilakukan

terlebih dahulu oleh pihak penyerang yaitu warga Muslim secara tiba-tiba

terhadap warga gereja.54 Penyerangan dalam 2 minggu akhir di bulan Januari

ini terjadi di beberapa tempat yaitu di Benteng Karang, Hunut, Hila, Nania dan

Negeri Lama, seperti yang dijelaskan dalam bagian 4.1.

Setelah konflik berkobar di daerah-daerah yang disebutkan, pada bulan

selanjutnya warga gereja Kezia di Kebun Cengkih dan di Waai pun

mengalami hal yang sama. Penyerangan terhadap warga gereja di Kebun

Cengkih dimulai pada tanggal 23 Februari oleh warga Muslim yang tinggal di

dalam satu daerah perumahan. Penyerangan dilakukan dengan membakar

rumah-rumah dan dilakukan pembantaian terhadap beberapa warga gereja,

rumah-rumah warga gereja yang tidak ditinggali karena lari mengungsi juga

dijarah dan dibakar semuanya.55 Padahal, ketika jemaat Batu Merah dan

Benteng Karang diserang, ada upaya damai yang dilakukan di Kebun Cengkih

pada tanggal 22 Januari, yang melibatkan pendeta jemaat, majelis, tokoh-

tokoh agama Islam dan masyarakat baik Islam dan Kristen, dengan berdoa                                                                                                                

52 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 53 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal  54 Hasil Wawancara dengan semua pendeta jemaat yang menjadi narasumber, dari tanggal 7-

20 September. 55 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. R. Rumthe  

  54  

bersama di perempatan jalan Kebun Cengkih yang bertujuan untuk membuat

keadaan damai kembali namun usaha ini gagal karena mereka juga diserang.56

Penyerangan di negri Waai terjadi pada tanggal 23-26 Februari 1999 dan

yang menyerangnya adalah desa-desa tetangga (kampung Tulehu, Pelau, Hitu

dan lainnya yang beragama Islam) yang tanpa diketahui penyebab diserang.57

Jika dihitung, desa Waai ini telah diserang berkali-kali, baik yang mau

dihitung sebagai penyerangan yang besar maupun percobaan penyerangan

yang kecil, yang terjadi pada tanggal 23 Februari 1999 dan terus berlanjut,

begitu sampai pada bulan Mei 2000.58 Kemudian penyerangan pada tanggal 6

Juli merupakan penyerangan yang sangat menghancurkan sehingga jemaat

bersama pendeta jemaat lari ke hutan. Dari 6 Juli ketika “negri jatuh”, sampai

31 Juli pendeta dan jemaat yang tersisa tetap berada dan menyusuri hutan.

Namun, pada tanggal 30 Juli sampai 1 Agustus, penyerang masuk ke dalam

hutan dan tetap menyerang. Oleh karena itu pada tanggal 1, jemaat terus

berjalan dan hingga tiba di Suli.59

Penyerangan terus berlanjut terhadap warga gereja termasuk di Galala yang

ketika itu penyerang menyerang dengan menembakan peluru pada 17 pemuda

dan membakar mereka dalam sebuah garasi dan menembak pula 7 orang

pemuda yang berada di sekitar gereja serta membakar gereja dan rumah-rumah

disekitarnya.60 Keadaan semakin sulit dengan datangnya laskar jihat dari luar

pulau Ambon pada tahun 2001 yang ternyata bukan untuk menciptakan

keadaan yang damai sebaliknya berusaha untuk menyerang daerah-daerah

                                                                                                               56 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A.E. Rumthe  57 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 58 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 59 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 60 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan

  55  

yang dihuni oleh warga gereja dengan perlengkapan senjata yang lengkap dan

canggih.61

Dari penyerangan yang dilakukan telah mengakibatkan kerugian yang besar

bagi warga gereja, maka sebagian warga gereja memutuskan untuk

mengungsi 62 sedangkan warga gereja yang laki-laki dengan sendirinya

memutuskan untuk bersama-sama mulai melakukan pertahanan terhadap

penyerangan yang dilakukan yang mempunyai maksud untuk melindungi dan

mempertahankan hidup. Inilah yang dianggap sebagai alasan mengapa warga

gereja harus mengambil tindakan untuk ikut dalam perang ini.

Dilihat dari prinsip alasan yang adil dalam just war, perang yang terjadi di

Ambon ini mempunyai kaitan dengan prinsip alasan yang adil, perang

dilakukan ketika sudah dilakukan penyerangan yang lebih dahulu. 63

Penyerangan yang dilakukan lebih awal ini telah mengakibatkan kerugian

yang tidak sedikit termasuk diambilnya hak-hak baik hak untuk hidup maupun

hak milik atas harta yang dimiliki.64

5.2 Otoritas yang berwenang (sah)

Di dalam konflik yang terjadi di Ambon ini, Maskikit menganggap tidak

ada seseorang pun yang memiliki wewenang menyatakan perang, karena

secara spontan warga gereja saat itu mengambil tindakan membela diri.65 Hal

ini pula yang dinyatakan oleh beberapa pendeta lain bahwa tidak ada yang

mempunyai wewenang untuk menyatakan perang dan sahnya keterlibatan

                                                                                                               61 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan  62 Hasil wawancara tanggal 9 Se ptember dengan Pdt. Ch. Tanamal dan 7 September dengan

Pdt. R. Rumthe 63 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War(Amerika: Praegar

Publisher, 1981), 16 64 ibid., 27 65 Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. Maskikit  

  56  

warga gereja dalam perang ini, karena warga gereja hanya berusaha untuk

menghadapi perang yang terjadi secara bersama-sama baik untuk

mempertahankan diri maupun untuk membalas. 66 Namun, berdasarkan

kenyataan bahwa penyerangan telah dilakukan lebih dulu dan yang menjadi

korban penyerangan saat itu adalah warga gereja, maka menurut Timisela,

warga gereja atau kelompok masyarakat yang menjadi korbanlah yang

menyatakan perang, walaupun pernyataan ini tidak dilakukan secara resmi

tetapi terlihat dengan tindakan yang diambil oleh warga gereja termasuk

pendeta untuk bertahan.67

Selain itu, Tanamal mengatakan bahwa pendeta jemaat dan sinode tidak

mengeluarkan pernyataan untuk maju berperang karena gereja (GPM) pun

tidak mempunyai aturan terkait menghadapi perang, bahkan tidak disediakan

anggaran untuk warga gereja berperang.68 Karena yang selama ini diajarkan di

dalam gereja hanyalah perang rohani yaitu bagaimana melawan kuasa iblis

dalam kehidupan manusia.69 Oleh karena itu, yang disampaikan oleh sinode

dan pendeta adalah berdoa dan bertahan untuk melindungi diri serta melarang

untuk menyerang. Larangan untuk menyerang ini terlihat dengan adanya

pernyataan ketua sindode kepada warga gereja untuk tidak menyerang dan

membakar masjid Agung Alfatah, yang disebabkan beredarnya isu-isu yang

mengatakan bahwa gereja pusat Maranatha telah terbakar (faktanya tidak),

sehingga membuat banyak warga gereja berniat maju untuk membakar Masjid

Alfatah. Karena jika hal ini dilakukan maka walaupun mayoritas orang

                                                                                                               66 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A.E. Rumthe, 10 September dengan Pdt.

Latuey dan 12 September dengan Pdt. Aponno 67 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Timisela  68 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt Ch. Tanamal 69 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt Leleury  

  57  

Ambon adalah orang Kristen, tetapi dengan banyaknya TNI yang

menggunakan senjata lengkap dapat saja “menghabisi” semua orang Kristen.70

Dalam konflik yang terus menimbulkan ancaman, keputusan yang diambil

pendeta jemaat menghimbau agar jemaat tidak keluar dari daerah. Hal ini yang

dilakukan oleh Akyuwen bahwa sebagai kewaspadaan, warga jemaat tidak

boleh berpergian ke daerah luar dari daerah jemaat seperti tidak boleh

melewati batas sungai Airwaai. Prinsip yang dipegang yaitu tidak boleh

mencari masalah, karena jika seorang dari anggota gereja masuk ke daerah

orang lain itu mungkin saja dinilai dari pihak lain sebagai suatu niat yang

jahat.71

Menurut Sobagio, dengan situasi dan keadaan yang seperti ini maka

pendeta jemaat yang dapat mempunyai tugas untuk menyatakan tindakan yang

harus diambil oleh warga gereja saat itu, yaitu bertahan.72 Pertahanan dan

pembelaan diri ini dilakukan secara spontan tidak teroganisir sebelumnya.73

Ketika pertahanan dilakukan secara bersama-sama ini tidak pernyataan untuk

menyerang lebih dahulu tetapi terdapat pernyataan umum untuk bertahan dan

menyerang jika telah diserang.74

Tetapi karena diserang oleh banyaknya penyerang maka adapun pendeta

meminta jemaat dan bersama jemaat meninggalkan daerahnya dan

mengungsi,75 seperti juga yang dilakukan jemaat Waai yang lari ke hutan, dan

pendeta jemaatlah yang memimpin dalam hutan tersebut. Maksud memimpin

di sini pula yaitu sebagai pelayan Tuhan, berdoa dan meminta pimpinan

                                                                                                               70 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt Tanamal 71 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen  72 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 73 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. Leleury 74 Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. Maskikit 75 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Timisela

  58  

Tuhan sampai bisa keluar dari hutan dan tiba di daerah Suli yang merupakan

penduduknya beragama Kristen.76 Hal yang sama juga terjadi di jemaat Hunut,

atas informasi pendeta jemaat kepada sinode, maka ketua sinode bekerja sama

dengan pangdam yang menjabat saat itu, sehingga para warga jemaat yang

sekitar 80% sedang mengungsi di aula tentara di Waiheru dijemput dengan

spit-spit yang dikirim, karena saat itu, mobil-mobil yang diusahakan untuk

menjemput mereka tidak dapat menuju Waiheru untuk menjemput karena

ditahan diperbatasan. Warga jemaat berangkat dengan spit dan landen saat itu

kira-kira jam 5 sore, walau ketika itu terdapat tembakan-tembakan yang

mengikuti belakang landen menuju lateri. 77 Namun, dalam situasi

penyerangan yang dilakukan, ada pula pendeta jemaat yang tidak mendapat

komunikasi sinode. Tetapi terdapat hubungan dengan klasis pulau Ambon

yang diwakili ketuanya, Pdt. Leleury yang menanyakan keadaan yang dialami

oleh warga gereja, sehingga memberi keputusan untuk bersama jemaat

mengungsi.78

Dari pemahaman para pendeta di atas, berkaitan dengan otoritas dalam

menyatakan perang dari pihak warga gereja, terdapat beberapa perbedaan

yakni dianggap bahwa perang yang mengakibatkan warga gereja ikut

didalamnya secara spontan dari diri pribadi warga gereja, tidak digerakkan

sebelumnya oleh pendeta jemaat maupun sinode. Namun, di sisi lain, terdapat

pemahaman bahwa pendeta jemaat yang mempunyai otoritas yang

menyatakan kepada anggota gerejanya untuk bertahan dan membela diri. Hal

inilah yang mempunyai hubungan dengan prinsip otoritas yang tepat dalam

                                                                                                               76 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 77 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal  78  Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. R. Rumthe  

  59  

just war, yang menyatakan bahwa perang harus dilaksanakan dalam perintah

otoritas publik yang tepat.79

5.3 Tujuan yang benar

Dari penyerangan yang telah mengakibatkan kerugian besar bagi

warga gereja, Tanamal mengatakan bahwa warga gereja terkhususnya

pendeta dan anggota laki-laki, pun mengambil tindakan untuk membela

diri.80 Pembelaan diri ini tidak mempunyai tujuan untuk menyerang warga

Muslim, tetapi hanya untuk mempertahankan hidup. 81 Tujuan untuk

bertahan ini pun agar para penyerang berhenti untuk melakukan

penyerangan terhadap kami (warga gereja).82 Karena hidup yang diberikan

oleh Tuhan, tidak bisa direbut begitu saja oleh orang lain, yang secara jelas

dikatakan oleh Sobagio seperti berikut:83

“sebagai pendeta, beta seng mengajarkan untuk membunuh, tetapi bagaimana katong harus mempertahankan hidup yang merupakan anugerah Tuhan ini melalui apa yang Tuhan berikan termasuk kekuatan yang ada pada diri. Yang namanya anugerah Tuhan itu haruslah dijaga dan dipertahankan, sehingga seng mungkin orang datang lalu ambil secara ekstra-ekstra bagitu saja. Jadi, dalam perang ini, ketika ada orang yang datang mau bunuh katorang, secara otomatis, katong harus pertahankan hidup dengan membunuh. Tapi memang seng diajarkan untuk membunuh.” Lopulalan juga mengatakan bahwa Gereja tidak mengajarkan umat

untuk membunuh, tetapi kita tidak pula membiarkan diri untuk dibunuh.

Ketika ada yang menyerang, tidak mungkin kita membiarkan diri untuk

mati begitu saja. 84 Hal ini sama dengan pernyataan Akyuwen bahwa

sesungguhnya pendeta menghimbau untuk tidak membunuh, tetapi ditengah

                                                                                                               79 William V. O’Brien. The Conduct of Just War and Limited War….,17 80 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 81 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Latuey 82 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 83 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio 84 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan  

  60  

situasi dan kondisi yang tertekan dan mendesak, ketika penyerang telah

masuk dalam daerah warga gereja, maka mau tak mau harus juga

mempertahankan diri termasuk membunuh.85 Berkaitan dengan hal ini,

Maskikit menyatakan bahwa sebenarnya warga gereja tidak mempunyai

tujuan dalam berperang karena yang melakukan penyerangan awal bahkan

yang merancang tentang perang ini bukanlah warga gereja, tetapi tindakan

yang diambil hanya merupakan cara untuk melindungi diri dan tidak

membiarkan lebih banyak anggota gereja menjadi korban.86

Dalam bagian ini, dapat disimpulkan bahwa warga gereja tidak

mempunyai tujuan apa-apa berperang, namun dengan adanya dasar bahwa

hidup merupakan anugerah Tuhan maka ikut sertanya warga gereja untuk

bertahan di dalam perang sebagai reaksi terhadap penyerangan mempunyai

tujuan untuk menjaga hidup yang telah diberikan oleh Tuhan, baik itu hidup

dari diri sendiri maupun sebagai bentuk perlindungan terhadap anggota

gereja lainnya. Tujuan ini mempunyai kaitan dengan prinsip tujuan yang

benar dalam just war, menghindari kehancuran yang lebih besar dan untuk

menghentikan perang sehingga damai dapat dirasakan kembali.

5.4 Kesebandingan

Tanamal mengatakan untuk menghindari penyerangan yang lebih besar

lagi, anggota jemaat mulai membuat senjata antara lain parang, tombak,

panah-panah dan senjata rakitan yang dibuat oleh anggota jemaat sendiri

dari besi, korek api dan lainnya.87 Senjata-senjata ini tidak lain hanya

sebagai alat untuk membendung penyerangan yang dilakukan, sehingga                                                                                                                

85  Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen  86 Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. Maskikit 87 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal

  61  

penyerang tidak dapat begitu saja “menghabisi” warga jemaat, seperti yang

telah dilakukan pada awal penyerangan. Namun, ketika penyerangan awal

itu dilakukan, warga gereja tidak membuat pertemuan ataupun pembicaraan

mengenai perhitungan apa saja yang dirugikan dan jumlah kerugian yang

dialami tersebut. 88 Kerugian yang dialami hanya dibicarakan dalam

percakapan biasa antar-orang terutama yang oleh anggota gereja yang

mengalami kerugian.89 Namun, ketika itu terdapat Pusat Komunikasi dan

Informasi yang mencatat kerugian yang dialami oleh warga gereja,90 seperti

akibat dari penyerangan awal (dalam jangka waktu 10 hari dari tanggal 19-

29 Januari 1999) telah mengakibatkan banyak kerugian diantaranya :91

Korban yang meninggal : 72 orang (yang beberapanya adalah

pendeta yang dibunuh dalam gedung

Gereja Hanwele, seorang ibu hamil yang

dibelah perutnya dan janinnya ditusuk,

serta pembunuhan beberapa pemuda yang

pergi untuk Bible Camp di sekitar Hila).

Korban luka (ditembak dan dibantai): 39 orang

Gereja dan Pastori yang dibakar dan dirusak: 9 gereja dan 4 pastori

(beberapanya yaitu Gereja Hila, Gereja

Hanwele, Gereja Maranatha Negeri

Lama dan 3 Gereja di Benteng Karang).

                                                                                                               88 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A. E. Rumthe, 9 September dengan Pdt.

Ch. Tanamal, 10 September dengan Pdt. Timisela dan 19 September dengan Pdt. Maskikit 89 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A. E. Rumthe 90 Hasil wawancara tanggal 18 September dengan Pdt. Leleury 91 Pos Komunikasi dan Informasi, Rekaman berbagai peristiwa kerusuhan di Ambon, Sanana

dan Piru Seram Barat (Ambon, 1999)

  62  

Rumah yang dibakar dan dirusak : 681 rumah dibakar dan 96 rumah

dirusak (hanya pada daerah Benteng

Karang, Hunut, Waiheru, Nania dan

Negeri Lama)

Dari hasil yang diperoleh dalam bagian ini dapat disimpulkan bahwa

gereja maupun anggota gereja ketika perang berlangsung tidak membuat

perhitungan kerugian yang dialami oleh warga gereja yang menjadi korban

perang. Namun, sama dengan prinsip sebanding dalam just war yaitu

bahwa warga gereja mulai membuat senjata agar tidak diserang seperti

penyerangan awal yang telah mengakibatkan kerugian besar bagi warga

gereja, karena jika dilihat dalam data kerugian dalam 1 minggu awal

penyerangan, besar kerugian yang telah dialami warga gereja.

5.5 Usaha Akhir

Balubun mengatakan bahwa sebenarnya sebelum penyerangan awal

yang dilakukan oleh pihak Muslim, terlihat hubungan antara Islam-Kristen

yang baik-baik saja, sehingga tidak perjanjian ataupun perundingan damai

yang dilakukan sebelumnya.92 Namun, ketika awal diserang di jemaat Batu

Merah dan Benteng Karang, ada beberapa upaya yang dilakukan, seperti

yang dilakukan di Kebun Cengkih pada tanggal 22 Januari, yang

melibatkan pendeta jemaat, majelis, tokoh-tokoh agama Islam dan

masyarakat baik Islam dan Kristen, dengan berdoa bersama di perempatan

Kebun Cengkih yang bertujuan untuk membuat keadaan damai kembali.93

Begitu juga terdapat udaha damai yang diprakarsai oleh pemuka agama

                                                                                                               92 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Balubun 93 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A.E. Rumthe  

  63  

Kristen dan Islam di Ahuru/Air Besar.94 Namun ternyata upaya tersebut

tidak dapat memadamkan penyerang untuk melakukan penyerangan terus-

menerus terhadap wilayah yang ditinggali oleh warga gereja. Selain dari

pada itu, di beberapa daerah lain, warga jemaat tidak dapat melakukan

usaha damai, karena penyerangan yang dilakukan itu seperti mimpi,

diserang tiba-tiba95 dan ketika telah diserang, aparat keamanan melarang

untuk bertemu dan berhadapan muka dengan warga Islam, seperti di daerah

Hunut dan Nania, sehingga upaya untuk bertemu dan berdamai tidak

dilakukan.96 Begitu pun yang terjadi di Waai, tidak ada komunikasi dengan

warga Muslim karena akibat penyerangan yang dilakukan maka jaringan

telepon putus dan dikawal oleh aparat jika pergi ke tempat lain.97 Selama

perang terjadi terdapat usaha damai yang dilakukan seperti pembentukan

tim Safari Perdamaian dan upaya damai di lapangan Merdeka yang dihadiri

oleh Wiranto namun usaha yang dilakukan demi perdamaian tersebut tetap

gagal karena pada keesokan harinya terdapat penyerangan yang

dilakukan.98

Melalui hasil pemahaman dalam bagian ini, dapat disimpulkan bahwa

terdapat usaha damai yang dilakukan oleh warga gereja bersama dengan

para tokoh agama Islam seperti di Kebun Cengkih maupun yang dilakukan

oleh pemerintah namun usaha ini pun gagal. Akibat gagalnya usaha damai

yang terlihat dengan penyerangan yang tetap dilakukan terhadap warga

gereja maka pembelaan dilakukan sebagai usaha akhir jika dikaitkan

dengan prinsip dalam just war.                                                                                                                

94 Pos Komunikasi dan Informasi, Rekaman Berbagai Peristiwa Kerusuhan ….,1 95 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 96 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Persulessy 97 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 98 Hasil wawancara tanggal 7 September dengan Pdt. A.E. Rumthe

  64  

5.6 Kemungkinan Keberhasilan

Dalam menghindari kerugian yang lebih besar lagi akibat penyerangan

yang dilakukan oleh penyerang, Akyuwen mengatakan bahwa anggota

gereja mulai melakukan pertahanan dengan membuat senjata rakitan dan

hal ini dilakukan oleh semua anggota gereja yang ikut serta untuk membela

diri. Namun, alat-alat senjata yang dibuat oleh anggota jemaat bukanlah

tumpuan untuk menang. Seperti yang dikatakan Akyuwen, Maskikit pun

mengatakan hal yang sama bahwa tidak ada target untuk kemenangan yang

diinginkan oleh warga jemaat yang ikut bertahan, karena yang diinginkan

adalah penyerang menghentikan penyerangan dan kedamaian dapat tercipta

kembali. 99 Hanya satu faktor kemungkinan keberhasilan yaitu dengan

pertahanan yang dilakukan itu, Tuhan akan menumbuhkan hikmat dan

kebijakan sehingga kami boleh selamat.100 Lopulalan mengatakan, ketika

diketahui bahwa penyerang menggunakan senjata organik seperti yang

digunakan oleh aparat, maka timbul ketakutan yang tidak bisa

disembunyikan dalam diri warga gereja. 101 Oleh karena itu, selain

pertahanan yang dilakukan, pendampingan dan doa setiap malam dilakukan

oleh pendeta dan anggota gereja, karena hanya ada harapan bahwa

Tuhanlah yang dapat menyelamatkan kami.102

Dari pemahaman yang diberikan ini, maka dapat dilihat bahwa ketika

pertahanan akan dilakukan oleh warga gereja, tidak ada pemikiran untuk

berhasil dalam perang ini, tidak seperti dalam prinsip just war. Pertahanan

                                                                                                               99 ibid. 100 Hasil wawancara tanggal 9 September dengan Pdt. Ch. Tanamal 101 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan 102 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio

  65  

dan pembelaan diri yang dilakukan tidak berdasar pada perhitungan

kerugian yang dialami, tetapi secara spontan dilakukan dengan bergantung

pada Tuhan bahwa Ia yang akan menjaga mereka.

Jus in Bello (Selama Perang Berlangsung)

5.7 Kesebandingan

Selama perang berlangsung, strategi yang digunakan adalah bertahan

dan melindungi diri, hal ini dinyatakan oleh sebagian besar para pendeta

jemaat. Dalam pulau ini, terdapat beberapa daerah pusat pertahanan di

sekitar daerah yang dianggap perbatasan yang diantaranya yaitu, di Galala,

Passo, Karpan, Amahusu, Batu Gantung dan Kudamati. 103 Dalam

pertahanan tersebut, ada yang dilakukan secara bersama-sama, adapula

dikoordinir oleh pendeta (seperti di Waai) dan juga orang dianggap dapat

mengatur kelompok untuk bertahan (seperti Agus Wattimena dan

lainnya). 104 Dilihat dari penggunaan alat selama perang dari pihak

penyerang dan warga gereja yang bertahan, terdapat perbedaan yaitu

penyerang menggunakan alat-alat berupa panah-panah waer, parang,

senjata rakitan, basoka, senjata organik, senjata api, bom molotov, granat

dan mortar,105 sedangkan yang digunakan oleh warga gereja yang bertahan

adalah bambu runcing, parang panjang, tombak, panah-panah waer, bom

dan senjata rakitan. 106 Akyuwen juga mengatakan, “alat-alat yang

digunakan oleh warga gereja tidak banyak seperti yang penyerang

                                                                                                               103 Hasil wawancara tanggal 12 September dengan Pdt. Aponno 104 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 105 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias 106 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio

  66  

gunakan.” 107 Apalagi penyerang lebih banyak menggunakan senjata

organik yang tidak tahu diperoleh darimana.108

Seperti telah disebutkan sebelumnya pada bagian 5.2, Lopulalan dan

beberapa pendeta lainnya mengatakan bahwa datangnya laskar jihat dari

luar pulau Ambon pada tahun 2000 yang ternyata bukan untuk menciptakan

keadaan yang damai sebaliknya berusaha untuk menyerang daerah-daerah

yang dihuni oleh warga gereja dengan perlengkapan senjata yang lengkap

dan canggih dibandingkan yang digunakan anggota gereja yang bertahan.

Hal ini terlihat dengan ditemukannya bekas-bekas peluru dan bom yang

belum meledak yang ditembakan dan dilemparkan ke daerah warga gereja.

Lopulalan mengatakan, Galala yang menjadi salah satu tempat pertahanan,

ditemukan beberapa bom yang belum meledak, yang tidak tahu apakah itu

milik penyerang murni ataukah dari anggota aparat.109 Selain di Galala, di

negri Waai, juga ditemukan antara lain, peluru dari pistol, N16 dan MK3

yang ditembakan dari arah laut ke negri ini. Ditambah pula adanya indikasi

tidak adilnya kerja aparat ketika perang itu terjadi, yang membiarkan

serangan dilakukan terhadap warga gereja pada beberapa tempat (seperti di

Waai) dan malah ikut menyerang.110

Dalam pemahaman yang diberikan oleh para pendeta dalam bagian ini

terlihat perbedaan antara penyerang dengan warga gereja yang bertahan

dalam hal persenjataan atau alat perang yang digunakan. Seperti prinsip

kesebandingan dalam jus in bello, yang mengharuskan alat perang yang

                                                                                                               107 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 108 Hasil wawancara tanggal 19 September dengan Pdt. Maskikit 109 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan 110 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias

  67  

digunakan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang perang,111 warga gereja

pun menggunakan alat perang untuk membela diri agar penyerang pun

menghentikan penyerangan dan hanya menyerang jika penyerang telah

masuk dan menyerang warga gereja. Sebaliknya, dari pihak penyerang

menggunakan alat-alat perang yang lebih canggih dan banyak ketika

melakukan penyerangan terhadap orang Kristen (warga gereja).

5.8 Diskriminasi

Selama perang terjadi, tidak dapat dipungkiri bahwa mungkin saja

terdapat anggota gereja yang membunuh perempuan ataupun anak-anak,

karena baik perempuan, anak-anak atau laki-laki, ketika penyerang sudah

masuk dalam daerah jemaat untuk menyerang maka tidak ada jalan lain

yaitu membunuh.112 Seperti pula pernyataan dari Jambormias :113

“siapa yang masuk dalam katong daerah memang katong bunuh, oleh karena itu, katong juga membatasi untuk tidak keluar dari katong daerah ke daerah lain. Hal ini dilakukan seperti ada prinsip membunuh daripada dibunuh.” Hal ini seperti yang dikatakan oleh Timisela bahwa ketika mereka

telah menyerang, maka targetnya adalah siapa saja yang menyerang.114

Kecuali jika mereka tidak mempunyai maksud untuk menyerang, maka

tidak ada tindakan yang dilakukan terhadap mereka, seperti yang dilakukan

oleh jemaat Waai yang membantu beberapa perempuan Muslim yang

berada di dalam mobil angkutan umum menuju tempat mereka, Liang,

dengan membawa mereka ke pos keamanan. 115 Namun, ketika terjadi

tembak-menembak antara warga gereja dan penyerang di daerah

                                                                                                               111 R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution…., 88 112 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Sobagio  113 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias  114 Hasil wawancara tanggal 10 September dengan Pdt. Timisela  115 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Jambormias

  68  

perbatasan, mungkin mengakibatkan orang yang tidak ikut berperang

menjadi korban. Begitu pula jika, rumah dibakar yang didalamnya mungkin

tidak diketahui sebelumnya terdapat perempuan atau anak-anak

didalamnya. Oleh karena itu tidak ada batasan yang diberikan secara tetap

terkait siapa yang dilawan ketika terjadi penyerangan.116 Namun, para

orang tua juga sering memberikan saran dan arahan kepada anggota gereja

terkuhususnya para pemuda agar perempuan dan anak-anak yang tidak ikut

berperang tidak dibunuh.117

Dari pemahaman yang diberikan ini, tidak ada batasan yang diberikan

secara tetap mengenai siapa yang harus diserang dan siapa yang tidak

diserang. Namun, dalam kondisi perang yang berlangsung, siapa saja yang

masuk dan menyerang warga gereja itulah yang diserang, kecuali mereka

yang tidak ikut untuk menyerang. Walaupun ada batasan seperti ini,

tidaklah sama dengan batasan tegas yang dimasukan dalam prinsip

diskriminasi dalam just war.

6. Kesimpulan

Konflik yang terjadi selang empat tahun ini tidak hanya merupakan sebuah

konflik yang terjadi dalam intensitas yang tinggi tetapi juga terjadi secara

berangsur selama empat tahun sejak tahun 1999. Tidak hanya mengakibatkan

kerugian materi yang tidak sedikit tetapi juga mengakibatkan jatuhnya banyak

korban yang sebenarnya tidak terungkap dengan jelas apa penyebab sebenarnya

konflik ini terjadi. Bagaikan titik api yang menyebar dan mengakibatkan

kebakaran yang besar, demikian pun dengan konflik Ambon yang awalnya hanya

                                                                                                               116 Hasil wawancara tanggal 13 September dengan Pdt. Akyuwen 117 Hasil wawancara tanggal 17 September dengan Pdt. A. Lopulalan

  69  

dimulai dengan perselisihan kecil yang kemudian menjurus pada penyerangan dan

meruncing pada sebuah kondisi yang saling melukai dan merugikan dalam

kehidupan warga Ambon terkhususnya warga Gereja.

Berkaitan dengan pernyataan di atas, maka dari pemahaman yang diberikan

dalam penelitian yang dilakukan mayoritas (15 pendeta dari 16 pendeta)

narasumber menyatakan bahwa konflik yang terjadi di Ambon ini merupakan

sebuah perang. Dimasukan sebagai sebuah perang, dengan pengertian bahwa telah

melibatkan beribu-ribu orang baik itu penyerang maupun warga gereja yang

bertahan dan tidak hanya terjadi pada satu titik lokasi, tetapi telah merambat

dimana-mana, bahkan bukan hanya dalam pulau Ambon, tetapi juga di luar

Ambon. Selain itu, dengan penyerangan yang dilakukan terlebih dahulu oleh warga

Muslim, telah mengakibatkan banyaknya kerugian baik harta maupun nyawa.

Karena penyerang telah menggunakan senjata-senjata perang untuk menyerang

wilayah-wilayah yang ditempati oleh warga gereja, maka dalam keadaan inilah

maka terpaksa warga gereja mengambil tindakan dengan berjaga dan bertahan

dengan menggunakan senjata yang dibuatnya sendiri.

Pendeta yang merupakan bagian dari warga gereja juga dalam situasi tersebut

turut mempertahankan hidup bersama dengan anggota gereja. Selain itu, pendeta

juga menguatkan dan memberikan pendampingan terhadap anggota gereja setiap

malam melalui doa dan pergumulan. Dalam kehidupan bergereja, tidak ada arahan

atau pun ajaran yang diberikan baik oleh pendeta, pimpinan klasis maupun sinode

kepada anggota gereja untuk maju berperang dan membunuh, tetapi dalam keadaan

yang sedang dihadapi ini ketika penyerang masuk dalam daerah warga gereja dan

akan membunuh, maka jalan yang diambil adalah melindungi diri termasuk

membunuh. Batasan yang diberikan dalam pertahanan yang dilakukan yaitu hanya

  70  

melawan mereka yang berusaha menyerang dan membunuh. Tujuan pertahanan

yang dilakukan pun bukan agar penyerang mengalami kekalahan, namun agar

penyerang berhenti menyerang dan keadaan dapat kembali damai. Tujuan ini

diharapkan tercapai, karena terdapat keyakinan melalui doa dan harapan bahwa

Tuhan akan menolong. Keadaan yang mencekam ini telah membatasi dan bahkan

merusak hubungan persaudaraan yang telah begitu lama terjalin. Selain itu, juga

menghancurkan kedamaian dan menghambat kemajuan Ambon yang saat itu

sedang berkembang dengan baik. Jika pemahaman tentang perang Ambon ini

dikaitkan dengan prinsip just war, maka didalam pemahaman yang diberikan dari

para pendeta jemaat, terdapat beberapa kaitan baik yang sesua dengan prinsip-

prinsip just war maupun yang tidak sesuai yang akan lebih lengkap dijelaskan

dalam bab selanjutnya.