Bab III Ispa

11
BAB III PEMBAHASAN Terdapatnya kejadian ISPA dengan penemuan kasus yang masih tergolong tinggi di Puskesmas Banjarbaru Utara menjadi masalah utama saat ini. Penyakit ISPA masih menjadi urutan pertama dalam 10 penyakit terbanyak selama tahun 2012. Hal ini sesuai data yang didapat sebagai berikut: No Jenis Penyakit Jumlah Kasus % 1 Nasofaring akut (common cold)/ ISPA 295 29,7 1 2 Hipertensi Primer 182 18,3 3 3 Penyakit pulpa dan jaringan periapikal 119 11,9 8 4 Penyakit gusi dan jaringan periodental 106 10,6 7 5 dispepsia 89 8,96 6 Gangguan perumbuhan gigi dan erupsi 57 5,74 7 Caries gigi 45 4,53 8 Faringitis 38 3,83 32

Transcript of Bab III Ispa

Page 1: Bab III Ispa

BAB III

PEMBAHASAN

Terdapatnya kejadian ISPA dengan penemuan kasus yang masih tergolong

tinggi di Puskesmas Banjarbaru Utara menjadi masalah utama saat ini. Penyakit

ISPA masih menjadi urutan pertama dalam 10 penyakit terbanyak selama tahun

2012. Hal ini sesuai data yang didapat sebagai berikut:

No Jenis Penyakit Jumlah Kasus

%

1 Nasofaring akut (common cold)/ ISPA 295 29,71

2 Hipertensi Primer 182 18,33

3 Penyakit pulpa dan jaringan periapikal 119 11,98

4 Penyakit gusi dan jaringan periodental 106 10,67

5 dispepsia 89 8,96

6 Gangguan perumbuhan gigi dan erupsi 57 5,74

7 Caries gigi 45 4,53

8 Faringitis 38 3,83

9 DM (diabetes mellitus) type 2 31 3,12

10 Calculus dan deposit lain 30 3,02

TOTAL 993 100

Tabel 13 Penemuan kasus ISPA Puskesmas Banjarbaru Utara pada tahun 2012

Kriteria Jumlah penduduk wil. Kel. program

Jumlah penduduk usia balita wil. Kel. program

Target penemuan penderita

Pencapaian Pencapaian %

Pneumonia 27.522 2.752 275 180 65,4 %Non Pneumonia

27.522 2.752 275 1.407 571,4 %

32

Page 2: Bab III Ispa

A. Masalah Mengenai Asupan Gizi yang Kurang pada Balita Merupakan

Salah Satu Faktor Mempengaruhi Penyakit ISPA pada Balita

Berdasarkan prioritas permasalahan di Puskesmas Banjarbaru Utara tentang

masih tingginya kasus ISPA dapat disimpulkan bahwa hal tersebut terjadi karena

masih terdapat asupan gizi yang kurang baik pada balita yang merupakan salah

satu pemicu penyakit ISPA. Hal dapat di lihat masih ditemukannya kasus balita

Bawah Garis Merah dan cakupan pemberian ASI eksklusif masih belum mencapai

target. Hal ini dapat dilihat data berikut:

Tabel 15. Cakupan Penemuan Bayi Dan Balita BGM ( Baru + Lama ) Puskesmas Banjarbaru Utara Tahun 2012

KEGIATAN SASARAN

TARGET REALISASI %

% ANGKA

Kasus BGM 405 15 405 57 14,07

Sumber: Laporan Puskesmas Banjarbaru Utara tahun 2012

Pemberian Asi Eksklusif

Tabel 16. Cakupan Pemberian ASI Eksklusif Puskesmas Banjarbaru Utara Tahun 2012

KEGIATAN SASARAN

TARGET REALISASI %

% ANGKA

ASI Ekslusif 423 67 283 149 35,10

Sumber: Laporan Puskesmas Banjarbaru Utara tahun 2012

Balita dengan BGM tidak berarti menderita gizi buruk, akan tetapi hal ini

dapat menjadi indikator awal bahwa balita tersebut mengalami masalah gizi.

Daerah dibawah garis merah menunjukkan anak jatuh pada kondisi KEP (kurang

33

Page 3: Bab III Ispa

energi protein) dimana hal ini disebabkan karena rendahnya konsumsi energi dan

protein dalam makanan sehari hari sehingga tidak mencukupi angka kecukupan

gizi (AKG). Kekurangan gizi dapat terjadi dari tingkat ringan sampai tingkat

berat dan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu cukup lama. Keadaan gizi

menggambarkan tingkat kesehatan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara

kebutuhan dan asupan zat-zat gizi yang dikonsumsi seorang. Anak yang

kekurangan gizi akan mengalami penurun daya tahan tubuh akibat kurangnya

asupan makro maupun mikronutrien yang sangat diperlukan tubuh, salah satunya

untuk membentuk sistem pertahanan tubuh. Hal ini menyebabkan anak akan

mudah terkena penyakit infeksi. Dalam penelitian Saputera (2009) didapatkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara malnutrisi dan infeksi.

Alternatif sederhana

Hal ini muncul sebagai akibat dari beberapa faktor. Berjalannya upaya

promotif ASI dan makanan tambahan yang kurang optimal oleh petugas

kesehatan dapat menjadi akibat dari hal tersebut, selain itu kurangnya

pengetahuan ibu tentang gizi untuk balita seperti pola pemberian makan, pola

asuh terhadap balita yang dapat mempengaruhi munculnya masalah asupan gizi

yang kurang.

Masalah kegitan promotf ASI dan pemberian makanan tambahan pada

balita BGM yang kurang optimal oleh petugas kesehatan,dapat ditanggulangi

dengan cara melakukan pengarahan terhadap petugas kesehatan mengenai

pentingnya peranan dan fungsi promotif ASI dan pemberian makanan tambahan .

Untuk memberikan penyuluhan mengenai pemberian gizi yang baik oleh

34

Page 4: Bab III Ispa

masyarakat terutama orangtua/ibu yang memiliki anak balita, dapat dilakukan

setiap kunjungan ibu ke Puskesmas atau dengan menggunakan sarana dan

prasarana yang ada yaitu lewat puskesmas keliling yang dapat diadakan sebulan

sekali dan setiap posyandu balita oleh kader-kader yang ditunjuk dan sebelumnya

diberikan pendidikan mengenai gizi oleh petugas kesehatan puskesmas bagian

gizi.

B. Masalah Mengenai Konseling MTBS Jarang Dilakukan oleh Tenaga

Kesehatan

No Kegiatan sesuai MTBS keterangan

1 Menilai Berjalan dengan baik

2 Mengklasifikasikan penyakit Berjalan dengan baik

3 Menentukan tindakan Berjalan dengan baik

4 Mengobati anak Berjalan dengan baik

5 Konseling bagi ibu Jarang dilakukan

6 Memberikan tindak lanjut Jarang dilakukan

Tabel 14. Proses pelaksanaan program MTBS di Puskesmas Banjarbaru Utara.

Alternatif sederhana

Mengenai Konseling yang jarang dilakukan oleh tenaga kesehatan

Puskesmas Banjarbaru Utara terhadap orang tua terutama dalam hal penanganan

ISPA pada balita, muncul dapat sebagai akibat dari kurangnya pemahaman

petugas kesehatan itu sendiri tatalaksana ISPA berdasarkan MTBS.

Optimalisasi kinerja sumber daya tenaga kesehatan di Puskesmas Banjarbaru

Utara dapat dilakukan dengan cara intervensi pelatihan penatalaksanaan MTBS

meliputi terapi medikamentosa yang rasional serta cara konseling kepada ibu.

Sasaran intervensi adalah dokter dan perawat yang bertugas di balai pengobatan

35

Page 5: Bab III Ispa

puskesmas. Untuk di Puskesmas Banjarbaru Utara terdapat dokter dan perawat

yang sudah pernah mengikuti pelatihan MTBS di tugaskan di ruang MTBS dan

poli anak, akan tetapi selama ini masih saja didapatkan ada berberapa hal yang

tidak sesuai dengan program MTBS tersebut sehingga harus diadakannya kembali

pelatihan Penatalaksanaan Sesuai dengan Program MTBS, untuk refreshing dan

mengetahui seberapa besar pemahaman dokter dan perawat akan program MTBS

sebagai terapi rasional ISPA. Target dari intervensi adalah menurunkan

penggunaan antibiotika tanpa indikasi yang jelas untuk ISPA pada balita dan

mencegah penggunaan obat ISPA yang tidak sesuai dengan pedoman MTBS dan

pada pengobatan ISPA serta tersampaikannya informasi mengenai apa yang harus

dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang menderita penyakit ISPA.

Pelatihan yang bersifat motivasional, interaktif, berbasis pada masalah,supervise,

umpan balik, kursus terfokus dan menggunakan modul terstruktur diharapkan

dapat meningkatkan kepatuhan tenaga kesehatan dalam penatalaksanaan ISPA

pada balita yang berdasarkan pada MTBS.14

Penelitian dari Dwiprahasto (2006) menemukan bahwa metode pelatihan

harus dirancang secara spesifik berdasarkan populasi target yang dijadikan sasaran

intervensi. Pelatihan yang bersifat interaktif, motivasional, berdasarkan pada

masalah (cased based), team building dan menggunakan modul terstruktur

ternyata paling sesuai untuk memperbaiki mutu peresepan pada dokter, sedangkan

untuk perawat yang bertugas di balai pengobatan, pelatihan yang sifatnya

interaktif, dan berbasis pada masalah nyata sehari-hari dianggap lebih cocok untuk

36

Page 6: Bab III Ispa

mengubah perilaku peresepan yang mungkin sudah berlangsung hingga puluhan

tahun.

Namun perlu disadari bahwa pelatihan yang hanya dilaksanakan sekali,

belum tentu dapat menjamin kesinambungan perbaikan peresepan. Diperlukan

upaya lain yang lebih sistematik, terencana dan terstruktur agar perbaikan kualitas

penatalaksanaan ISPA pada balita di pelayanan kesehatan dapat berlangsung

secara konsisten, antara lain dengan mengembangkan mekanisme supervisi dan

umpan balik serta monitoring yang terus-menerus ke unit-unit pelayanan

kesehatan yang ada.

C. Masalah Mengenai Kepadatan Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Banjarbaru

Utara

No Kelurahan Laki- laki Perempuan Jumlah(orang)

1. Loktabat Utara 9031 9422 18453

2. Mentaos 4630 5270 9900

Jumlah 13661 14692 28353

Dari tabel tersebut diatas dapat dikatakan kepadatan penduduk di wilayah

kerja puskesmas banjarbaru utara tergolong sangat padat (melebihi 401 jiwa per

km2), maka resiko untuk penularan penyakit-penyakit menular seperti ISPA atau

penyakit menular lainnya akan meningkat dan kesehatan lingkungan juga akan

terpengaruh.

Menurut David Morley

Keberhasilan Pengendalian ISPA balita sangat ditentukan oleh peran serta

masyarakat baik untuk menggerakkan masyarakat dalam berperan untuk

melaksanakan program (kader, TOMA, TOGA dan sebagainya) maupun dalam

37

Page 7: Bab III Ispa

menggerakkan masyarakat untuk memanfaatkan sarana dan pelayanan kesehatan.

Dalam hal ini, sulit untuk mekan jumlah penduduk walaupun program KB sudah

berjalan. Namun dapat dijadikan kesempatan untuk mengembangkan dan

meningkatkan peranan masyarakat dengan mengikuti pelatihan Pengendalian

ISPA bagi tenaga non petugas kesehatan. Diharapkan peserta latih memahami dan

mampu melaksanakan kegiatan promosi pengendalian ISPA balita melalui

penyampaian informasi ISPA yang benar kepada orang tua/pengasuh Balita dan

masyarakat umum.

Diagram Fish Bone

Men Method

Money Machine

38

Kurangnya kesadaran untuk promosi Gizi

Kurang tegas untukpenyampaian pentingnya ASI dan pemberian makanan tambahan

Kurangnya sumber dana yang dimiliki puskesmas

Kurangnya kesadaran untuk promosi Gizi

Asupan Gizi yang Kurang pada Balita