BAB I ISPA

download BAB I  ISPA

of 87

Transcript of BAB I ISPA

BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangSuatu organisme atau makhluk hidup memiliki bermacam-macam sistem jaringan atau organ dalam tubuhnya, dimana sistem tersebut memiliki fungsi dan peranan serta manfaat tertentu bagi makhluk hidup,salah satu yang ada pada suatu organisme yakni sistem pernafasan (Misnadiarly, 2008).

Salah satu penyakit yang paling banyak diderita masyarakat adalah ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Sebagian besar dari infeksi saluran pernafasan hanya bersifat ringan seperti : batuk-pilek,disebabkan oleh virus dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Infeksi saluran pernafasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus,sering terjadi pada semua kalangan masyarakat terutama pada bulan-bulan musim dingin (Asih, 2004).

ISPA adalah penyakit (infeksi saluran pernafasan akut) yang berlangsung sampai 14 hari lamanya. Saluran pernafasan adalah organ yang berawal dari hidung hingga alveoli beserta segenap adneksanya seperti sinus-sinus,rongga telinga dan pleura. Sedangkan yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit(Davey, 2006).Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis,fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis,bronchitis, dan pneumonia,yang berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut (Asiam M, 2003)Penyakit ISPA merupakan masalah utama yang dapat dialami setiap orang dan berbagai tingkat usia. Penyakit ISPA termasuk penyebab kematian bayi, balita maupun dewasa dan sempat dijuluki sebagai pembunuh utama kematian di Indonesia. Sesuai hasil konferensi Intenasional mengenai ISPA di Canbera Australia pada bulan juli 1997, yang menemukan 4 juta bayi dan balita di negara-negara berkembang meninggal tiap tahun akibat ISPA. Pada akhir tahun 2000, diperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama dari ISPA di Indonesia mencapai 5 kasus diantara 1000 bayi /balita dan 2 kasus dari 1000 orang dewasa (Manurung S, 2009).

Berdasarkan data-data tersebut diatas peneliti tertarik ingin melakukan penelitian tentang gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) yang dirawat di RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012

1.2 Rumusan masalah Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah peneletian ini adalah bagaimana gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) yang dirawat di RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012

1.3 Tujuan Penelitian1.3.1 Tujuan umumUntuk mengetahui gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) yang berobat jalan dan rawat inap yang dirawat di RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 20121.3.2. Tujuan khusus1. Untuk mengetahui jumlah pasien yang menderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012

2. Untuk mengetahui gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) berdasarkan umur RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012

3.Untuk mengetahui gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) berdasarkan jenis kelamin diRSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012

4.Untuk mengetahui gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) berdasarkan jenis pekerjaan RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012.1.4Manfaat PenelitianPenelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :1. Menambah wawasan peneliti dan pembaca tentang ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut)2. Sebagai bahan masukan pada masyarakat tentang pneumonia dan langkah awal pencegahan penyakit ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya dan untuk menambah bahan kepustakaan di perpustakaan Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ISPA

Dahulu ISPA sering disalah-artikan sebagai saluran pernafasan atas. Sekarang, ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, yang meliputi saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih bagian dari saluran nafas mulai dari hidung( saluran bagian atas) hingga jaringan didalam paru-paru ( saluran bagian bawah) (Asiam, 2003).

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah beserta adeneksanya (Asiam,2003).

Infeksi saluran nafas akut (ISPA) sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernafasan atas(dalam dan luar).sebenarnya ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut,ISPA meliputi saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah.(Dahlan, 2009).

Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris yaitu Acute Respiratory Imfections(ARI),istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,saluran pernafasan,dan akut,dengan pengertian sebagai berikut :

a. Infeksi adalah salah satu keadaan dimana kuman penyakit berhasil menyerang tubuh manusia kemudian berkembang baik dalam tubuh dan menyebabkan penyakit (Sudoyono, 2006).

b. Saluran pernafasan adalah organ mulai hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus,rongga telinga tengah,dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran penafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (Asih, 2004).

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA. Proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Dahlan, 2005).

ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) kedalam organ saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari (Dongoes, 2006).

2.2 Klasifikasi Ispa

Ispa ( Infesi Saluran Pernasafasan Akut) meliputi saluran pernafasan bagaian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. ISPA terbagi dalam 2 golongan yaitu yang bukan pneumonia dan pneumonia berikut penjelasannya:

a. Infeksi Saluran Pernafasan Atas

Saluran pernafasan atas berfungsi menghatkan,melembabkan,dan menyaring udara. Bersama udara masuk berbagai pathogen, yang dapat tersangkut di hidung, faring, laring atau trakea,dan dapat berproliferasi, bila daya tahan tubuh menurun. Penyakit infeksi saluran pernafasan meliputi sinusitis,rhinitis,pharingitis,tonsilitis, dan laringitis memiliki pola khusus dan khas.

1) Sinusitis

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi atau peradangan pada suatu atau lebih dari sinus pranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga/ruang berisi udara dengan dinding yang terdiri dari membran mukosa. Meskipun tipe sinusitis akut yang sering terjadi adalah disebabkan oleh virus dan alergi akan tetapi diagnosa sinusitis fungal atau bakterial yang akurat sangatlah penting bagi kebaikan pasien dan pencegahan komplikasi yang mungkin terjadi seperti sinusitis kronis atau menyebarnya infeksi ketempat yang lain (misal meningitis) (Padila, 2013).

Infeksi saluran pernafasan atas biasanya diikuti sinusitis bakterial akut. Bakteri patogen yang biasa menjadi penyebab penyakit ini meliputi Haemophilus Influenza,Streptococcus Pyogenes, dan Streptococcus Pnemonal. Adanya infeksi yang berulang pada sinusitis kronis maka akan terjadi sikatrik yang berakibat pada penebalan membran-membran dan aliran pembuangan sekret menjadi terhambat. Selanjutnya pada keadaan ini sangat kondusif bagi tumbuhnya bakteri dan berkembang dengan subur dilingkunga ini (misnadiarly, 2008).

2) Rhinitis

Rhinitis didefinisikan sebagai penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharyng. Sama halnya dengan sinusitis, rhinitis bisa berupa penyakit akut dan kronis yang kebanyakan disebabkan oleh virus dan alergi. Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien meliputi hidung berair ( rhinorrhea). Rhinitis paling sering akan menyertai infeksi virus akut pada saluran pernafasan atas, yang sering dikenal dengan Influenza ( common cold). Virus disebarkan melalui droplet (titik-titik) yang berasal dari bersin (Davey P, 2006)

3) Pharingitis

Pharingitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit ini juga sering dilihat sebagai inflamasi virus, namun juga disebabkan oleh bakterial, seperti hemolytic Streptococcy, Staphylococci, atau bakteri lainnya (Padilla, 2013).

4) Amandel atau Tonsilitis

Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi Streptococcus atau Staphylococcus. Infeksi terjadi pada hidung atau pharyng yang menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan oleh infeksi, bisa menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat keluar masuknya udara (misnadiarly, 2008).

5) Laryngitis

Laryngitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk laryng. Peradangan ini mungkin akut atau kronis, penyebabnya bisa berupa virus,bakteri, lingkungan maupun karena alergi. Gejala yang timbul diakibatkan oleh pembengkakan pita suara. Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus Pneumoniae dan Beta Hemolytic Streptococcus. Akibat yang timbul bisa berupa serak atau kehilangan suara (aphonia), demam, tidak enak badan, sakit ketika menelan, batuk kering dan tenggorokan gatal. Bagi pasien yang menghidap laryngitis, gangguan seperti stridor dan dyspnea ini juga bisa muncul.b. Peneumonia (Infeksi Saluran Pernafasan Bawah)

Pneumonia didefinisikan sebagai penyakit infeksi saluran pernafasan bawah,yang meliputi parenkim paru-paru,termasuk alveoli dan struktur pendukungnya. Pneumonia disebabkan oleh kuman seperti : bakteri,virus,protozoa,dan virus phatogen yang masuk kedalam tubuh melalui aspirasi, inhalasi atau penyebaran sirkulasi. Pneumonia inhalasi disebabkan melalui droplet batuk dan bersin. Agen penyebabnya biasanya adalah virus.Pneumonia bacterial, organisme gram-positif yang menyebabkan pneumonia bacteri adalah Streptococcus Pneumonia, S.Aureus, dan Streptococcus Pyogenes. Insiden pneumonia ini paling tinggi terjadi dimusim dingin, dan biasanya merupakan akibat lanjutan dari infesi saluran pernafasan atas.Pneumonia virus yang merupakan tipe pneumonia paling umum disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.Pneumonia protozoa yang merupakan tipe pneumonia paling umum yang di sebabkan oleh protozoa,biasanya menjangkiti pasien yang mengalami imunosupresi,protozoa menimbulkan terjadinya Pneumocystis Carinii Pneumonia (CPC)

Pneumonia fungal, infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti Histoplasmosis. Menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora. Infeksi histoplasma terkadang hilang dengan sendirinya sehingga tidak memerlukan perawatan (Mandal, 2006).

2.3 Patogensesis ISPA

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernafasannya. Ispa yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygenis. Resiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing,serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik (Asiam, 2003).2.4 Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri atas: bakteri, virus(flu burung,SARS, EBOLA),protozoa, jamur. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptococcus Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokukus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertusis, dan Korinebakterium differia (Muttaqin, 2004).Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus(termasuk di dalamnya virus para-influenza,virus influenza,,virus flu burung,virus SARS, virus Ebola). Virus para-influenza merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influenza bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Virus Ebola adalah sejenis virus dari genus ebolavirus, familia filoviridae. Virus Ebola sangat menular, melalui kontak dan tranfusi cairan tubuh,seperti darah, keringat, air liur, air mani, atau cairan tubuh yang lainnya. Untungnya virus Ebola tidak dikatagorikan sebagai virus yang menyebar melalui udara (Jeremy,2007).2.5 Patofisiologi ISPA

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus kearah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Robbins,2006).Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikkan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas,sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk (Robbins,2006).Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri pathogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti Streptococcus Pneumonia,Haemophylus influenza, dan Staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Robbins,2006).Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan infeksi mukus terlalu banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehinggal timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya faktor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi aku pada bayi dan anak (Tjay TH, 2007).Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ketempat-tempat lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang,demam,dan juga bisa menyebar kesaluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas,sesudah terjadinya infeksi virus,dapat meginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Sudoyono, 2006).Dari uraian diatas,perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:1. Tahap prepatogenesis,penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.

2. Tahap inkubasi,viru merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dab daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.

3. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.

4. Tahap lanjut penyakit,dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna dengan atelaksis,menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia (Tjay TH, 2007).

2.6 Manifestasi Klinis ISPA

1. Tanda-tanda ISPA

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meniggal. Bila sudah dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan. Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratorium.

A. Tanda-tanda klinis

Pada sistem respiratorik adalah : tachypnea, nafas tidak teratur (apnea), retraksi dinding thorax, nafas cuping hidung, suara nafas lemah atau hilang,grunting expiratoir dan wheezing.

Pada sistem cardial adalah : tachycardia,mudah terangsang,sakit kepala, bingung, papil bendung,kejang dan koma.

Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.

B. Tanda-tanda laboratorius :

Hypoxemia

Hypercapnia, dan

Acylosis (Metabolik dan atau Respiratorik) (Doenges, 2006).

2. Gejala ISPA

Infeksi saluran nafas bagian atas memberikan gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua orang dapat mengenal batuk tetapi mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah. Selain batuk gejala ISPA juga dapat dikenali yaitu flu,demam, dan suhu tubuh meningkat lebih dari 38,5 0 Celcius dan disertai sesak nafas.Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

a. ISPA ringan bukan pneumonia

b. ISPA sedang,pneumonia

c. ISPA berat,pneumonia berat

a. Gejala ISPA ringan

Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai berikut :1) Batuk,

2) Demam,

3) Pilek yang mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung

4) Panas atau demam.

b. Gejala ISPA sedang

Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :1) Pernafasan lebih dari 50x/menit,

2) Suhu tubuh lebih dari 390 Celcius,

3) Tenggorokan berwarna merah,

4) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak,

5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga,

6) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur,

7) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.

c. Gejala ISPA berat

Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut :

1) Bibir atau kulit membiru,

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas,

3) Tidak sadar atau kesadarannya menurun,

4) Pernafasan menciut,

5) Pernafasan berbunyi mengorok,

6) Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas,

7) Nadi lebih cepat dari 60x/menit atau tidak teraba,

8) Tenggorokan berwarna merah,

Pasien ISPA berat harus dirawat di Rumah sakit atau Puskesmas karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen dan infuse (Padila, 2013)

2.7 Komplikasi ISPA

Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri 5-6 hari jika kita tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplikasi yang dapat terjadi adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyeberan infeksi.

1. Sinusitis paranasal

Komplikasi ini hanya terjadi pada orang dewasa karena pada bayi dan anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih besar,nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya didaerah sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen dan transiluminasi pada anak besar.Proses sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat lelah dan sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai sumbatan hidung,nyeri kepala hilang timbul,bersin yang terus menerus disertai secret purulen dapat unilateral ataupun bilateral. Bila didapatkan pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa sebab yang jelas, perlu dipikirkan terjadinya komplikasi sinusitis. Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan memberikan antibiotic (Asiam, 2003).

2. Penyebaran infeksi

Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti laryngitis,trakeitis, bronkitis, dan broncopneumonia. Selain itu dapat juga terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta (Tjay TH, 2007).Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia

Infeksi BakteriInfeksi AtipikalInfeksi Jamur

Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza Klebsiella pneumoniae Pseudomonas aeruginosa Gram-negatif (E. Coli)Mycoplasma pneumoniae Legionella pneumophillia Coxiella burnetii Chlamydia psittaci Aspergillus Histoplasmosis Candida Nocardia

Infeksi VirusInfeksi ProtozoaPenyebab Lain

Influenza

Coxsackie

Adenovirus

Sinsitial respiratoriPneumocytis carinii Toksoplasmosis

Amebiasis Aspirasi

Pneumonia lipoid

Bronkiektasis Fibrosis kistik

(Padila, 2013).

Tabel 2.2. Stratifikasi pasien CAP

KelompokTipe Pasien

IPasien rawat jalan, tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal dan tanpa faktor modifikasi.

IIPasien rawat jalan disertai penyakit kardiopulmonal dan atau faktor modifikasi lainnya (faktor resiko DRSP (S.Pneumoniae) atau bakteri gram negatif

IIIPasien rawat inap Non-ICU :

a. Dengan penyakit kardiopulmonal dan atau faktor modifikasi lain

b. Tanpa penyakit kardiopulmonal, dan tanpa faktor modifikasi lainnya

IVPasien rawat inap ICU :

a. Tanpa terinfeksi Pseudomonas aeruginosa

b. Dengan resiko terinfeksi P. Aeruginosa.

The clinical presentation of serious infections in hospitalized patients

ICU

Scoryng System : (Resp.30, Total 3.000)

APACHE II/III

SOFA Score

ARDS Sore

Mayor Trauma S.S

Pithsburg Brain S.S

Modiried Apache II

Criteria for organ

System failure

S.Cardivasvular F

Tabel Perjalanan Klinis suatu bakteri

Tabel 2.4. Pemilihan Antibiotik pada CAP berdasarkan kelompok, tipe pasien dan jenis mikroorganisme yang terisolasi dan teridentifikasi.

KelompokTipe pasienJenis mikroorganismeRegimen

IIIARawat inap

Penyakit kardiopulmonal (+) dan atau faktor modifikasi (+4)Streptococcus pneumonia (DRSP)

Hemophilus influenzae Mycoplasma pneumonia

Infeksi campuran ( bakteri dan atipik )

Virus legionella spp

Lain lain :

M.tuberculosis

Jamur endemic,

Pneumocystis, carinii

Beta lactam I.V (Cefotaxin,Cefriaxone)

Ampicillin/sulbactam Ampicilin(dosis tinggi) dikombinasi: Macrolide. I.V. atau oral

atau :

fluroquinolone

antipneumococcus

IIIBRawat inap penyakit kardiopulmonal (-)

Faktor modifikasi (-)S.pneumoniae

H. influenzae atau : M. pneumoniae

Infeksi campuran(bakteri dan atipik)

Virus

Legionella spp

Lain lain :

M.tuberculosis

Jamur endemic,

Pneumocystis, carinii

Azithromycin I.V. atau doxycylin beta lactam atau : fluoroquinolone antipneumococcus

IVARawat ICU tanpa resiko Ps.Aeruginosa S.pneumoniae Beta- lactam I.V.

Legionella ,spp

Haemophilus

Enteric gram negative

s.aureus

Mycoplasma pneumoniae

Respiratory virosis

Lain lain:

Chlamidya pneumonia M.tuberculosis

Jamur endemicBeta Lactam I.V :

Cefotaxin,

Cefriaxone

Dikombinasi : Macrolide I.V

Azithromycin

Atau

Fluoroquinolone

I.V

IV BRawat ICU dengan risiko AeruginosaSama dengan IV A + P.AeroginosaBeta lactam anti pseudomonas tertentu (Celepime, Imepenem,

Meropenem

Piperacillin /Tazobactam)

Dikombinasi:

Quinolone

Tabel 2.6 Daftar nama kuman dan antibiotika yang digunakanAgen PenyebabAntibiotika Yang DigunakanPilihan Antibiotika LainTanggapan

LegionellaEritromisin dengan atau tanpa rifampin siprofloksasinKlaritromisin atau azitromisin, rifampin, doksisiklin dengan rifampin, ofloksasin

Mycoplasma pneumoniaeDoksisiklin, eritromisinKlaritromisin atau azitromisin, rifampin, siprofloksasin atau ofloksasinSelama1-2 minggu

Chlamydia pneumoniaeDoksisiklin, eritromisinKlaritromisin atau azitromisin, Siprofloksasin atau ofloksasinSelama1-2 minggu

Chlamydia psittaciDoksisiklinEritromisin, kloramfenikol

S. pneumonia

Sensitif terhadap penisilin

(MIC < 0,1 ug/ml)

Penisilin G atau VSefalosporin :

Sefazolin

Sefuroksim,

Sefotaksim

Sefrizokisim

Seftriakson

Sefalosporin oralDosis untuk

Penyakit berat :

Penisilin IV

0,5 juta unit/ 4 jam

Sefuroksim:

750 mg/8 jam IV

Sefuroksim:

2 g/hari IV

Resistensi sedang terhadap penisilin

(MIC 0,1 ug/ml)Penisilin G:2-3 juta unit/4 jam

Seftriakson

Sefataksim

Agen oral

Makrolida

Sefuroksim

sefodoksimVankomisinTingkat resistensi

Sedang

0,1 1 ug/ml; 80%

Biasanya sensitive

Terhadap

Sefalosporin

Resistensi tinggi terhadap penisilin (MIC > 1 ug/ml)VankomisinImipenemResistensi tingkat

Tinggi

> 1 ug/ml

20% perlu

Vankomisin

H. InfluenzaeSefalosporin

Generasi kedua

Atau ketiga

Klaritromisin,

Azittromisin

Trimetoprin

Sulfametoksazol

Tetrasiklin :

Betalaktam-

Betalaktamase

Fluorokuinolon

Kloramfenikol

S. aureusNafsilin/ oxasilin dengan atau

tanpa

rimfapinisin atau

gentamisin

Sefazolin atau

Sefuroksim,

Vankomisin

Klindamisin

Klindamisin

Sulfametoksazol

Fluorokuinolon

Enterobakteriaceae(E. coli, Klebsiella, Proteus, Enterobacter)Sefalosporin generasi kedua atau ketiga dengan/tanpa aminoglikosidaAztreonam, imipenem, betalaktam- betalaktamase

Menurut Pedoman CAP dari BTS (British Thoracic Sociaty) 2005

2.8 Golongan Betalaktam Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin.

A. Kelompok Penisilin

Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi fatal (Asiam, 2003).

1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahan-asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional (UI).

2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae) 5-10 kali lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t 30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan

3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan.

4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin. Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v.

5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial. Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin.

6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis.

B. Kelompok Sefalosporin

Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Davey, 2006).

Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Effendy, 2004).

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas (Jeremy, 2007).

Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:

1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str. viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim, sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak (Jeremy, 2007).

2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim. Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae (Jeremy, 2007).

3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin, 2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Jeremy, 2007).

4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap pseudomonas (jeremy, 2007).

C. Antibiotika Laktam Lainnya

1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dinding-sel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga kuman patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya digunakan terkombinasi dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin. Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5 jam (Asiam, 2003). Efek samping sama dengan antibiotika betalaktam lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan pada pasien gagal ginjal (Effendy, 2004).

2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam semua jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus 10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam (Effendy, 2004).

2.9 Golongan Makrolida Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif (Davey, 2006).

Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum (Mandal BK, 2006).

a. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti penisilin. Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan Legionella pneumophila dan Mycoplasna pneumonia. Eritromisin menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7 hari.

b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t1/213 jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong (Mandal BK, 2006).

2.10 Golongan Aminoglikosida Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan. Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin, kanamisin, neomisin, dan paramomisin (Asiam, 2003).

a. Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9 enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan digunakan lebih dari 10 hari (Asiam, 2003).

b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi dengan penisilin dan/atau metronidazol (Effendy, 2004). Dosis harian 5 mg/kg dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis (Manurung S, 2009).

2.11 Golongan Fluorokuinolon a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman gram-positif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam bentuk anemia (Effendy, 2004).

b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v. (infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam dengan jangka waktu minimal 2 jam (Effendy, 2004).

c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi, aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t yang panjang (14-17 jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg. Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air(Asiam, 2003).

2.12 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

2.13 Definisi Operasional

Penderita ISPA adalah pasien yang dinyatakan menderita pneumonia berdasarkan hasil diagnosa dokter, diambil dari data rekam medik di RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012

Karakteristik dibedakan atas :

a. Umur adalah usia pasien pada saat dinyatakan terkena ISPA sesuai dengan yang tertulis pada kartu status pasien yang dikategorikan menjadi :

< 40 tahun

40 tahun

b. Jenis kelamin adalah identitas pasien yang dapat membedakan pasien laki-laki dan perempuan secara biologis sesuai dengan yang tercatat pada kartu status pasien.

c. Pekerjaan adalah suatu profesi yang dijalani seseorang dalam kurun waktu cukup lama yang dikelompokkan menjadi :

-PNS

- TNI - AD

- Wiraswasta

- Ibu Rumah Tangga ( IRT)

d. Jenis penyakit adalah jenis jenis penyakit yang di derita pasien pada saat di rawat dirumah sakit yang dikelompokkan menjadi :

- bronkitis

- Bronkiolitis

-Meningitis

-Pneumonia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ISPA

Dahulu ISPA sering disalah-artikan sebagai saluran pernafasan atas. Sekarang, ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, yang meliputi saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih bagian dari saluran nafas mulai dari hidung( saluran bagian atas) hingga jaringan didalam paru-paru ( saluran bagian bawah) (Asiam, 2003).

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah beserta adeneksanya (Asiam,2003).

Infeksi saluran nafas akut (ISPA) sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernafasan atas(dalam dan luar).sebenarnya ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut,ISPA meliputi saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah.(Dahlan, 2009).

Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris yaitu Acute Respiratory Imfections(ARI),istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,saluran pernafasan,dan akut,dengan pengertian sebagai berikut :

d. Infeksi adalah salah satu keadaan dimana kuman penyakit berhasil menyerang tubuh manusia kemudian berkembang baik dalam tubuh dan menyebabkan penyakit (Sudoyono, 2006).

e. Saluran pernafasan adalah organ mulai hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus,rongga telinga tengah,dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran penafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (Asih, 2004).

f. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA. Proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Dahlan, 2005).

ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) kedalam organ saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari (Dongoes, 2006).

2.8 Klasifikasi Ispa

Ispa ( Infesi Saluran Pernasafasan Akut) meliputi saluran pernafasan bagaian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. ISPA terbagi dalam 2 golongan yaitu yang bukan pneumonia dan pneumonia berikut penjelasannya:

c. Infeksi Saluran Pernafasan Atas

Saluran pernafasan atas berfungsi menghatkan,melembabkan,dan menyaring udara. Bersama udara masuk berbagai pathogen, yang dapat tersangkut di hidung, faring, laring atau trakea,dan dapat berproliferasi, bila daya tahan tubuh menurun. Penyakit infeksi saluran pernafasan meliputi sinusitis,rhinitis,pharingitis,tonsilitis, dan laringitis memiliki pola khusus dan khas.6) Sinusitis

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi atau peradangan pada suatu atau lebih dari sinus pranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga/ruang berisi udara dengan dinding yang terdiri dari membran mukosa. Meskipun tipe sinusitis akut yang sering terjadi adalah disebabkan oleh virus dan alergi akan tetapi diagnosa sinusitis fungal atau bakterial yang akurat sangatlah penting bagi kebaikan pasien dan pencegahan komplikasi yang mungkin terjadi seperti sinusitis kronis atau menyebarnya infeksi ketempat yang lain (misal meningitis) (Padila, 2013).

Infeksi saluran pernafasan atas biasanya diikuti sinusitis bakterial akut. Bakteri patogen yang biasa menjadi penyebab penyakit ini meliputi Haemophilus Influenza,Streptococcus Pyogenes, dan Streptococcus Pnemonal. Adanya infeksi yang berulang pada sinusitis kronis maka akan terjadi sikatrik yang berakibat pada penebalan membran-membran dan aliran pembuangan sekret menjadi terhambat. Selanjutnya pada keadaan ini sangat kondusif bagi tumbuhnya bakteri dan berkembang dengan subur dilingkunga ini (misnadiarly, 2008).

7) Rhinitis

Rhinitis didefinisikan sebagai penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharyng. Sama halnya dengan sinusitis, rhinitis bisa berupa penyakit akut dan kronis yang kebanyakan disebabkan oleh virus dan alergi. Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien meliputi hidung berair ( rhinorrhea). Rhinitis paling sering akan menyertai infeksi virus akut pada saluran pernafasan atas, yang sering dikenal dengan Influenza ( common cold). Virus disebarkan melalui droplet (titik-titik) yang berasal dari bersin (Davey P, 2006)

8) Pharingitis

Pharingitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit ini juga sering dilihat sebagai inflamasi virus, namun juga disebabkan oleh bakterial, seperti hemolytic Streptococcy, Staphylococci, atau bakteri lainnya (Padilla, 2013).

9) Amandel atau Tonsilitis

Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi Streptococcus atau Staphylococcus. Infeksi terjadi pada hidung atau pharyng yang menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan oleh infeksi, bisa menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat keluar masuknya udara (misnadiarly, 2008).

10) Laryngitis

Laryngitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk laryng. Peradangan ini mungkin akut atau kronis, penyebabnya bisa berupa virus,bakteri, lingkungan maupun karena alergi. Gejala yang timbul diakibatkan oleh pembengkakan pita suara. Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus Pneumoniae dan Beta Hemolytic Streptococcus. Akibat yang timbul bisa berupa serak atau kehilangan suara (aphonia), demam, tidak enak badan, sakit ketika menelan, batuk kering dan tenggorokan gatal. Bagi pasien yang menghidap laryngitis, gangguan seperti stridor dan dyspnea ini juga bisa muncul.

d. Peneumonia (Infeksi Saluran Pernafasan Bawah)

Pneumonia didefinisikan sebagai penyakit infeksi saluran pernafasan bawah,yang meliputi parenkim paru-paru,termasuk alveoli dan struktur pendukungnya. Pneumonia disebabkan oleh kuman seperti : bakteri,virus,protozoa,dan virus phatogen yang masuk kedalam tubuh melalui aspirasi, inhalasi atau penyebaran sirkulasi. Pneumonia inhalasi disebabkan melalui droplet batuk dan bersin. Agen penyebabnya biasanya adalah virus.Pneumonia bacterial, organisme gram-positif yang menyebabkan pneumonia bacteri adalah Streptococcus Pneumonia, S.Aureus, dan Streptococcus Pyogenes. Insiden pneumonia ini paling tinggi terjadi dimusim dingin, dan biasanya merupakan akibat lanjutan dari infesi saluran pernafasan atas.Pneumonia virus yang merupakan tipe pneumonia paling umum disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.Pneumonia protozoa yang merupakan tipe pneumonia paling umum yang di sebabkan oleh protozoa,biasanya menjangkiti pasien yang mengalami imunosupresi,protozoa menimbulkan terjadinya Pneumocystis Carinii Pneumonia (CPC)

Pneumonia fungal, infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti Histoplasmosis. Menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora. Infeksi histoplasma terkadang hilang dengan sendirinya sehingga tidak memerlukan perawatan (Mandal, 2006).

2.9 Patogensesis ISPA

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernafasannya. Ispa yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygenis. Resiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing,serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik (Asiam, 2003).2.10 Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri atas: bakteri, virus(flu burung,SARS, EBOLA),protozoa, jamur. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptococcus Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokukus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertusis, dan Korinebakterium differia (Muttaqin, 2004).Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus(termasuk di dalamnya virus para-influenza,virus influenza,,virus flu burung,virus SARS, virus Ebola). Virus para-influenza merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influenza bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Virus Ebola adalah sejenis virus dari genus ebolavirus, familia filoviridae. Virus Ebola sangat menular, melalui kontak dan tranfusi cairan tubuh,seperti darah, keringat, air liur, air mani, atau cairan tubuh yang lainnya. Untungnya virus Ebola tidak dikatagorikan sebagai virus yang menyebar melalui udara (Jeremy,2007).2.11 Patofisiologi ISPA

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus kearah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Robbins,2006).Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikkan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas,sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk (Robbins,2006).Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri pathogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti Streptococcus Pneumonia,Haemophylus influenza, dan Staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Robbins,2006).Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan infeksi mukus terlalu banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehinggal timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya faktor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi aku pada bayi dan anak (Tjay TH, 2007).Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ketempat-tempat lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang,demam,dan juga bisa menyebar kesaluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas,sesudah terjadinya infeksi virus,dapat meginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Sudoyono, 2006).Dari uraian diatas,perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:5. Tahap prepatogenesis,penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.

6. Tahap inkubasi,viru merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dab daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.

7. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.

8. Tahap lanjut penyakit,dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna dengan atelaksis,menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia (Tjay TH, 2007).

2.12 Manifestasi Klinis ISPA

2. Tanda-tanda ISPA

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meniggal. Bila sudah dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan. Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratorium.

B. Tanda-tanda klinis

Pada sistem respiratorik adalah : tachypnea, nafas tidak teratur (apnea), retraksi dinding thorax, nafas cuping hidung, suara nafas lemah atau hilang,grunting expiratoir dan wheezing.

Pada sistem cardial adalah : tachycardia,mudah terangsang,sakit kepala, bingung, papil bendung,kejang dan koma.

Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.

B. Tanda-tanda laboratorius :

Hypoxemia

Hypercapnia, dan

Acylosis (Metabolik dan atau Respiratorik) (Doenges, 2006).

2. Gejala ISPA

Infeksi saluran nafas bagian atas memberikan gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua orang dapat mengenal batuk tetapi mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah. Selain batuk gejala ISPA juga dapat dikenali yaitu flu,demam, dan suhu tubuh meningkat lebih dari 38,5 0 Celcius dan disertai sesak nafas.Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

d. ISPA ringan bukan pneumonia

e. ISPA sedang,pneumonia

f. ISPA berat,pneumonia berat

d. Gejala ISPA ringan

Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai berikut :5) Batuk,

6) Demam,

7) Pilek yang mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung

8) Panas atau demam.

e. Gejala ISPA sedang

Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :8) Pernafasan lebih dari 50x/menit,

9) Suhu tubuh lebih dari 390 Celcius,

10) Tenggorokan berwarna merah,

11) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak,

12) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga,

13) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur,

14) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.

f. Gejala ISPA berat

Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut :

9) Bibir atau kulit membiru,

10) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas,

11) Tidak sadar atau kesadarannya menurun,

12) Pernafasan menciut,

13) Pernafasan berbunyi mengorok,

14) Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas,

15) Nadi lebih cepat dari 60x/menit atau tidak teraba,

16) Tenggorokan berwarna merah,

Pasien ISPA berat harus dirawat di Rumah sakit atau Puskesmas karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen dan infuse (Padila, 2013)

2.13 Komplikasi ISPA

Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri 5-6 hari jika kita tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplikasi yang dapat terjadi adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyeberan infeksi.

3. Sinusitis paranasal

Komplikasi ini hanya terjadi pada orang dewasa karena pada bayi dan anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih besar,nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya didaerah sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen dan transiluminasi pada anak besar.Proses sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat lelah dan sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai sumbatan hidung,nyeri kepala hilang timbul,bersin yang terus menerus disertai secret purulen dapat unilateral ataupun bilateral. Bila didapatkan pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa sebab yang jelas, perlu dipikirkan terjadinya komplikasi sinusitis. Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan memberikan antibiotic (Asiam, 2003).

4. Penyebaran infeksi

Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti laryngitis,trakeitis, bronkitis, dan broncopneumonia. Selain itu dapat juga terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta (Tjay TH, 2007).Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia

Infeksi BakteriInfeksi AtipikalInfeksi Jamur

Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza Klebsiella pneumoniae Pseudomonas aeruginosa Gram-negatif (E. Coli)

Mycoplasma pneumoniae Legionella pneumophillia Coxiella burnetii Chlamydia psittaci Aspergillus Histoplasmosis Candida Nocardia

Infeksi VirusInfeksi ProtozoaPenyebab Lain

Influenza

Coxsackie

Adenovirus

Sinsitial respiratoriPneumocytis carinii Toksoplasmosis

Amebiasis Aspirasi

Pneumonia lipoid

Bronkiektasis Fibrosis kistik

(Padila, 2013).

Tabel 2.2. Stratifikasi pasien CAP

KelompokTipe Pasien

IPasien rawat jalan, tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal dan tanpa faktor modifikasi.

IIPasien rawat jalan disertai penyakit kardiopulmonal dan atau faktor modifikasi lainnya (faktor resiko DRSP (S.Pneumoniae) atau bakteri gram negatif

IIIPasien rawat inap Non-ICU :

c. Dengan penyakit kardiopulmonal dan atau faktor modifikasi lain

d. Tanpa penyakit kardiopulmonal, dan tanpa faktor modifikasi lainnya

IVPasien rawat inap ICU :

c. Tanpa terinfeksi Pseudomonas aeruginosa

d. Dengan resiko terinfeksi P. Aeruginosa.

The clinical presentation of serious infections in hospitalized patients

ICU

Scoryng System : (Resp.30, Total 3.000)

APACHE II/III

SOFA Score

ARDS Sore

Mayor Trauma S.S

Pithsburg Brain S.S

Modiried Apache II

Criteria for organ

System failure

S.Cardivasvular F

Tabel perjalanan klinis suatu bakteri.

Tabel 2.4. Pemilihan Antibiotik pada CAP berdasarkan kelompok, tipe pasien dan jenis mikroorganisme yang terisolasi dan teridentifikasi.

KelompokTipe pasienJenis mikroorganismeRegimen

IIIARawat inap

Penyakit kardiopulmonal (+) dan atau faktor modifikasi (+4)Streptococcus pneumonia (DRSP)

Hemophilus influenzae Mycoplasma pneumonia

Infeksi campuran ( bakteri dan atipik )

Virus legionella spp

Lain lain :

M.tuberculosis

Jamur endemic,

Pneumocystis, carinii

Beta lactam I.V (Cefotaxin,Cefriaxone)

Ampicillin/sulbactam Ampicilin(dosis tinggi) dikombinasi: Macrolide. I.V. atau oral

atau :

fluroquinolone

antipneumococcus

IIIBRawat inap penyakit kardiopulmonal (-)

Faktor modifikasi (-)S.pneumoniae

H. influenzae atau : M. pneumoniae

Infeksi campuran(bakteri dan atipik)

Virus

Legionella spp

Lain lain :

M.tuberculosis

Jamur endemic,

Pneumocystis, carinii

Azithromycin I.V. atau doxycylin beta lactam atau : fluoroquinolone antipneumococcus

IVARawat ICU tanpa resiko Ps.Aeruginosa S.pneumoniae Beta- lactam I.V.

Legionella ,spp

Haemophilus

Enteric gram negative

s.aureus

Mycoplasma pneumoniae

Respiratory virosis

Lain lain:

Chlamidya pneumonia M.tuberculosis

Jamur endemic

Beta Lactam I.V :

Cefotaxin,

Cefriaxone

Dikombinasi : Macrolide I.V

Azithromycin

Atau

Fluoroquinolone

I.V

IV BRawat ICU dengan risiko AeruginosaSama dengan IV A + P.AeroginosaBeta lactam anti pseudomonas tertentu (Celepime, Imepenem,

Meropenem

Piperacillin /Tazobactam)

Dikombinasi:

Quinolone

Tabel 2.6 Daftar nama kuman dan antibiotika yang digunakanAgen PenyebabAntibiotika Yang DigunakanPilihan Antibiotika LainTanggapan

LegionellaEritromisin dengan atau tanpa rifampin siprofloksasinKlaritromisin atau azitromisin, rifampin, doksisiklin dengan rifampin, ofloksasin

Mycoplasma pneumoniaeDoksisiklin, eritromisinKlaritromisin atau azitromisin, rifampin, siprofloksasin atau ofloksasinSelama1-2 minggu

Chlamydia pneumoniaeDoksisiklin, eritromisinKlaritromisin atau azitromisin, Siprofloksasin atau ofloksasinSelama1-2 minggu

Chlamydia psittaciDoksisiklinEritromisin, kloramfenikol

S. pneumonia

Sensitif terhadap penisilin

(MIC < 0,1 ug/ml)

Penisilin G atau VSefalosporin :

Sefazolin

Sefuroksim,

Sefotaksim

Sefrizokisim

Seftriakson

Sefalosporin oralDosis untuk

Penyakit berat :

Penisilin IV

0,5 juta unit/ 4 jam

Sefuroksim:

750 mg/8 jam IV

Sefuroksim:

2 g/hari IV

Resistensi sedang terhadap penisilin

(MIC 0,1 ug/ml)Penisilin G:2-3 juta unit/4 jam

Seftriakson

Sefataksim

Agen oral

Makrolida

Sefuroksim

sefodoksimVankomisinTingkat resistensi

Sedang

0,1 1 ug/ml; 80%

Biasanya sensitive

Terhadap

Sefalosporin

Resistensi tinggi terhadap penisilin (MIC > 1 ug/ml)VankomisinImipenemResistensi tingkat

Tinggi

> 1 ug/ml

20% perlu

Vankomisin

H. InfluenzaeSefalosporin

Generasi kedua

Atau ketiga

Klaritromisin,

Azittromisin

Trimetoprin

Sulfametoksazol

Tetrasiklin :

Betalaktam-

Betalaktamase

Fluorokuinolon

Kloramfenikol

S. aureusNafsilin/ oxasilin dengan atau

tanpa

rimfapinisin atau

gentamisin

Sefazolin atau

Sefuroksim,

Vankomisin

Klindamisin

Klindamisin

Sulfametoksazol

Fluorokuinolon

Enterobakteriaceae(E. coli, Klebsiella, Proteus, Enterobacter)Sefalosporin generasi kedua atau ketiga dengan/tanpa aminoglikosidaAztreonam, imipenem, betalaktam- betalaktamase

Menurut Pedoman CAP dari BTS (British Thoracic Sociaty) 2005

2.8 Golongan Betalaktam Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin.

D. Kelompok Penisilin

Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi fatal (Asiam, 2003).

7. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahan-asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional (UI).

8. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae) 5-10 kali lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t 30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan

9. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan.

10. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin. Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v.

11. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial. Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin.

12. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis.

E. Kelompok Sefalosporin

Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Davey, 2006).

Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Effendy, 2004).

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas (Jeremy, 2007).

Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:

5. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str. viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim, sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak (Jeremy, 2007).

6. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim. Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae (Jeremy, 2007).

7. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin, 2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Jeremy, 2007).

8. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap pseudomonas (jeremy, 2007).

F. Antibiotika Laktam Lainnya

3. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dinding-sel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga kuman patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya digunakan terkombinasi dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin. Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5 jam (Asiam, 2003). Efek samping sama dengan antibiotika betalaktam lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan pada pasien gagal ginjal (Effendy, 2004).

4. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam semua jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus 10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam (Effendy, 2004).

2.9 Golongan Makrolida Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif (Davey, 2006).

Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum (Mandal BK, 2006).

c. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti penisilin. Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan Legionella pneumophila dan Mycoplasna pneumonia. Eritromisin menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7 hari.

d. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t1/213 jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong (Mandal BK, 2006).

2.10 Golongan Aminoglikosida Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan. Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin, kanamisin, neomisin, dan paramomisin (Asiam, 2003).

c. Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9 enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan digunakan lebih dari 10 hari (Asiam, 2003).

d. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi dengan penisilin dan/atau metronidazol (Effendy, 2004). Dosis harian 5 mg/kg dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis (Manurung S, 2009).

4.11 Golongan Fluorokuinolon d. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman gram-positif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam bentuk anemia (Effendy, 2004).

e. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v. (infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam dengan jangka waktu minimal 2 jam (Effendy, 2004).

f. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi, aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t yang panjang (14-17 jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg. Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air(Asiam, 2003).

2.12 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

2.13 Definisi Operasional

Penderita ISPA adalah pasien yang dinyatakan menderita pneumonia berdasarkan hasil diagnosa dokter, diambil dari data rekam medik di RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012

Karakteristik dibedakan atas :

d. Umur adalah usia pasien pada saat dinyatakan terkena ISPA sesuai dengan yang tertulis pada kartu status pasien yang dikategorikan menjadi :

< 40 tahun

40 tahun

e. Jenis kelamin adalah identitas pasien yang dapat membedakan pasien laki-laki dan perempuan secara biologis sesuai dengan yang tercatat pada kartu status pasien.

f. Pekerjaan adalah suatu profesi yang dijalani seseorang dalam kurun waktu cukup lama yang dikelompokkan menjadi :

-PNS

- TNI - AD

- Wiraswasta

- Ibu Rumah Tangga ( IRT)

d. Jenis penyakit adalah jenis jenis penyakit yang di derita pasien pada saat di rawat dirumah sakit yang dikelompokkan menjadi :

- bronkitis

- Bronkiolitis

-Meningitis

-Pneumonia

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Gambaran Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. DJASAMEN SARAGIH PEMATANGSIANTAR yang terletak di Jalan Sutomo No.23 PEMATANGSIANTAR. Adapun alasan peneliti melakukan lokasi tersebut dengan mempertimbangkan ketersedian data karena RSUD Dr.DJASAMEN SARAGIH Pematang Siantar merupakan pusat pelayanan kesehatan pemerintah kota Siantar yang menjadi salah satu tempat rujukan sehingga memudahkan untuk dilakukan penelitian.

Pengambilan data dilaksanakan di bagian rekam medik RSUD Dr.DJASAMEN SARAGIH Pematang Siantar dengan mencatat data rekam medik sesuai dengan form data yang sudah disiapkan. Dari data yang terpilih diperoleh pasien yang rawat inap yang di diagnosa ISPA di RSUD Dr.DJASAMEN SARAGIH Pematang Siantar tahun 2012 berjumlah 50 orang pasien.

4.2 .1 Distribusi frekuensi berdasarkan kelompok umur

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi berdasarkan kelompok umur

NoUmurFrekuensiPersentase ()

112 16 tahun36

217 25 tahun48

326 35 tahun612

436 45 tahun36

546 55 tahun816

656 65 tahun1020

765 tahun

Total16

5032

100

Dari tabel 4.1 di dapatkan kelompok umur yang paling banyak menderita ISPA adalah pada kelompok umur 65 tahun dengan jumlah 16 orang (32 ). Kemudian diikuti dengan kelompok umur 56 65 tahun dengan jumlah 10 orang (20 ). Kelompok umur 46 55 tahun dengan jumlah 8 orang (16). Kelompok umur 26 35 tahun dengan jumlah 6 orang (12 ). Kelompok umur 17 25 tahun dengan jumlah 4 orang (8 ). Kelompok umur 36 45tahun dengan jumlah 3 orang (6 ). Kelompok umur 12 16 tahun dengan jumlah 3 orang (6 ).

4.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis KelaminTabel 4.2. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin

NoJenis kelaminFrekuensiPersentase ()

1Laki laki

2856

2Perempuan

2244

Total

50100

Dari tabel 4.2 didapatkan jumlah sampel laki laki lebih banyak dari pada jumlah sampel perempuan dimana terdapat 28 orang (56 ) sampel laki laki dan 22 orang (44 ) sampel perempuan yang di diagnosa menderita ISPA.

4.2.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan

NoPekerjaanFrekuensiPersentase ()

1PNS

510

2TNI-AD

714

3Wiraswasta

1632

4Ibu Rumah Tangga

1224

5Petani1020

Total50100

Dari tabel 4.3 terlihat bahwa pekerjaan sampel paling banyak adalah wiraswasta dengan jumlah 16 orang (32 ), setelah itu Ibu Rumah Tangga dengan jumlah 12 orang (24 ), kemudian Petani dengan jumlah 10 orang (20 ), setelah itu TNI-AD dengan jumlah 7 orang (14 ), dan terakhir PNS dengan jumlah 5 orang (10 ).

4.2.4 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis ISPA

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis ISPA

NoJenis ISPAFrekuensiPersentase ()

1Bronkitis

1020

2Bronkiolitis

1224

3Meningitis

816

4Pneumonia

2040

Total50100

Dari tabel 4.4 terlihat bahwa jenis ISPA yang paling banyak adalah Pneumonia dengan jumlah 20 orang (40 ), kemudian Bronkiolitis dengan jumlah 12 orang (24 ), setelah itu Bronkitis dengan jumlah 10 orang (20 ), dan yang terakhir Meningitis dengan jumlah 8 orang (16).

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Pembahasan

Sampel penelitian adalah seluruh pasien yang di diagnosa menderita ISPA yang dirawat di RSUD Dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar. Selama kurun waktu penelitian dari bulan november sampai desember 2014 diperoleh data yang terpilih sebanyak 50 kasus ISPA.

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui karakteristik penderita ISPA yang dirawat inap secar umum dan mengetahui karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan pembagian ISPA di Rumah Sakit Dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012.

Berdasarkan karakteristik umur, pasien yang tercatat menderita ISPA tahun 2012 di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50 pasien, pada tabel 4.1, dapat dilihat bahwa penderita ISPA yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah kelompok umur 65 tahun dengan jumlah 16 orang (32 ). Kemudian diikuti dengan kelompok umur 56 65 tahun dengan jumlah 10 orang (20 ). Kelompok umur 46 55 tahun dengan jumlah 8 orang (16 ). Kelompok umur 26 35 tahun dengan jumlah 6 orang (12 ). Kelompok umur 17 25 tahun dengan jumlah 4 orang (8 ). Kelompok umur 36 45 tahun dengan jumlah 3 orang (6 ). Kelompok umur 12 16 tahun dengan jumlah 3 orang (6 ). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa penderita ISPA dapat menyerang hampir semua kelompok umur. Kejadian ini banyak ditemukan pada kelompok umur 65tahun dan terendah pada kelompok umur 36 45 tahun dan pada kelompok umur 12 16 tahun. Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan Romulus di RSUP Adam malik Medan dan RSUD dr. Pringadi Medan dari Maret 2010 April 2011 didapati 60 penderita ISPA dengan perbandingan laki laki dan perempuan adalah 1:1 dengan usia rata rata, laki laki 27,8 dan perempuan 23,5 tahun.

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, jumlah pasien yang tercatat menderita ISPA tahun 2012 di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50 pasien, pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penderita ISPA yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah penderita ISPA dengan jenis kelamin laki laki terdapat 28 orang (56 ) dan pada perempua 22 orang (44 ). Perbandingan laki laki dan perempuan adalah 2:1. Sedangkan menurut Muttaqin (2008) laki laki lebih sering terkena ISPA daripada perempuan.

Berdasarkan karakteristik pekerjaan, jumlah pasien yang tercatat menderita ISPA di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berjumlah 50 pasien, pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa penderita ISPA yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah wiraswasta dengan jumlah 16 orang (32 ) dan terendah adalah PNS dengan jumlah 5 orang (10 ). Hal ini disebabkan karena wiraswasta paling sering merokok dan paling banyak menghirup udara yang sudah terkontaminasi dengan bakteri. Menurut Mandal BK (2006) ISPA sering terjadi akibat masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) kedalam organ saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari.

Berdasarkan karakteristik jenis penyakit, jumlah pasien yang tercatat menderita ISPA yang dirawat inap di RSUD dr.DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50 pasien. Pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa penderita ispa yang paling banyak ditemukan dengan jenis penyakit Pneumonia dengan jumlah 20 orang (40 ), kemudian Bronkiolitis dengan jumlah 12 orang (24 ), setelah itu Bronkitis dengan jumlah 10 orang (20 ), dan yang terakhir Meningitis dengan jumlah 8 orang (16). Menurut Dongoes (2006) pasien yang menderita pneumonia adalah pasien yang sering menghirup udara yang sudah terkontaminasi oleh virus dan bakteri sehingga virus dan bakteri tersebut masuk dan menyebar melalui aspirasi,

5.2 Keterbatasan Penelitian

Ada beberapa keterbatasan pada penelitian ini, data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medik, sehingga peneliti tidak terjun langsung berhadapan dengan penderita ISPA. Dari hal ini penulis merasa bahwa penelitian ini kurang objektif dan efisien. Data yang dipakai tidak semuanya standart dan merupakan kelemahan dari penelitian ini dengan kata lain penelitian ini memiliki ruang lingkup terbatas. Meskipun demikian, pada akhirnya diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk penelitian kedepannya.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50 orang

2. Distribusi penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berdasarkan kelompok umur pasien terbanyak adalah kelompok umur 65 tahun dengan jumlah 16 orang (32 ) dan terendah adalah kelompok umur 36 45 tahun dan kelompok umur 12 16 tahun dengan jumlah 3 orang (6 ).

3. Distribusi penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah pasien yang berjenis kelamin laki laki dengan jumlah 28 orang (56 ) dan perempuan dengan jumlah 22 orang (44 )

4. Distribusi penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berdasarkan pekerjaan terbanyak adalah Wiraswasta dengan jumlah 16 orang (32 ), dan terendah adalaha PNS dengan jumlah 5 orang (10 )

5. Distribusi penderita yang mengalam ISPA di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berdasarkan jenis penyakit ISPA terbanyak adalah pasien yang menderita Pneumonia dengan jumlah 20 orang (40 ), dan terendah adalah pasien yang menderita penyakit meningitis dengan jumlah 8 orang (16 )

6.2 . Saran

Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi pihak RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar diharapkan agar meningkatkan kualitas dalam membuat data rekam medis yang objektif dan efisien sehingga data rekam medis pasien dapat digunakan untuk keperluan penelitian selanjutnya maupun keperluan lainnya.

2. Bagi para peneliti lain untuk tetap melakukan penelitian penelitian sejenis dengan sampel yang lebih besar dan memiliki variabel lain yang belum diteliti pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asiam M (2003). Farmasi Klinis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, hal: 76.

Asih & Effendy (2004). Keperawatan Medikal Bedah Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC

Davey, P (2006). At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga, hal: 174- 175.

Depkes RI (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Doenges, Marilynn (2006). Rencana Asuhan Keperawatan, edisi ke 3. Ja