BAB III HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI...

32
37 BAB III HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI YANG PAILIT DALAM PASAL 230-239 KUHD A. Sekilas Tentang KUHD 1. Pengertian Tentang KUHD Dalam kamus Hukum dinyatakan, dagang (Indonesia) adalah perbuatan yang berkaitan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan; Jual beli; Niaga. 1 Dapat dikatakan hukum dagang ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia-manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya, dalam lapangan perdagangan. 2 Dalam kamus hukum juga menerangkan bahwa, pailit adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim; bangkrut, hal ini diatur di dalam pasal 2 UU kepailitan, 3 yaitu: 1. Pernyataan pailit harus dilakukan oleh pengadilan Negeri tempat kediaman si berhutang. 2. Apabila si berhutang telah pergi keluar daerah Indonesia, maka pengadilan negeri tempat kediamannya terakhir adalah yang berkuasa. 3. Terhadap persero-persero firma, maka pengadilan negeri yang mana dalam daerah hukumnya terletak kantor perseroannya, adalah sama berkuasanya. 4. Jika si berhutang tidak mempunyai tempat tinggal dalam wilayah Indonesia, namun mempunyai suatu pekerjaan tetap atau menjalankan suatu perusahaan di sini, maka pengadilan negeri, yang mana dalam 1 Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, cet. 1, Hlm. 87 2 Kansil,C.S.T, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Buku Kesatu, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, Cet.2, Hlm.7 3 Sudarsono, Op. Cit, Hlm. 336

Transcript of BAB III HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI...

37

BAB III

HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI YANG PAILIT

DALAM PASAL 230-239 KUHD

A. Sekilas Tentang KUHD

1. Pengertian Tentang KUHD

Dalam kamus Hukum dinyatakan, dagang (Indonesia) adalah

perbuatan yang berkaitan dengan menjual dan membeli barang untuk

memperoleh keuntungan; Jual beli; Niaga.1

Dapat dikatakan hukum dagang ialah hukum yang mengatur

hubungan hukum antara manusia-manusia dan badan-badan hukum satu

sama lainnya, dalam lapangan perdagangan.2

Dalam kamus hukum juga menerangkan bahwa, pailit adalah

suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu lagi untuk membayar

utang-utangnya berdasarkan putusan hakim; bangkrut, hal ini diatur di

dalam pasal 2 UU kepailitan,3 yaitu:

1. Pernyataan pailit harus dilakukan oleh pengadilan Negeri tempat kediaman si berhutang.

2. Apabila si berhutang telah pergi keluar daerah Indonesia, maka pengadilan negeri tempat kediamannya terakhir adalah yang berkuasa.

3. Terhadap persero-persero firma, maka pengadilan negeri yang mana dalam daerah hukumnya terletak kantor perseroannya, adalah sama berkuasanya.

4. Jika si berhutang tidak mempunyai tempat tinggal dalam wilayah Indonesia, namun mempunyai suatu pekerjaan tetap atau menjalankan suatu perusahaan di sini, maka pengadilan negeri, yang mana dalam

1 Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, cet. 1, Hlm. 87 2 Kansil,C.S.T, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Buku Kesatu,

Jakarta: Sinar Grafika, 1994, Cet.2, Hlm.7 3 Sudarsono, Op. Cit, Hlm. 336

38

daerah hukumnya si berhutang tersebut mempunyai kantornya, adalah berkuasa.

5. Jika dalam hal yang termaksud dalam ayat ketiga atau keempat atau ke dalam hal yang termaksud dalam pasal 3, pernyataan pailit itu diucapkan oleh lebih dari satu pengadilan negeri yang berkuasa untuk itu, namun diucapkannyalah pada hari yang berlainan, maka hanya pernyataan yang diucapkan terlebih dahululah yang mempunyai akibat-akibat hukum.

6. Tak berlaku lagi. 7. Terhadap perseroan-perseroan terbatas, perseroan-perseroan

pertanggungan bertimbalbalik perkumpulan- perkumpulan koperasi atau lain-lain perkumpulan yang berbadan hukum, dan yayasan-yayasan, maka, dalam melakukan pasal ini berlakulah sebagai tempat kediaman, tempat dimana perseroan-perseroan atau perkumpulan- perkumpulan itu berkedudukan.

Sebagai dasar hukum umum (peraturan umum) dari lembaga

kepailitan ialah KUHPer khususnya pasal 1131 dan 1132, sedangkan dasar

hukum yang khusus tentang kepailitan diatur dalam

"faillissementsyerrordening, S.1905 no.217 jo.1096 no.348" yang judul

lengkapnya ada "verordening op de euroanen in nederlans India

(peraturan dan penundaan pembayaran bagi orang-orang eropa dan India

belanda)" tetapi sampai saat ini berdasarkan aturan peralihan UUD 1945,

maka peraturan khusus yang berlaku di indonesia tentang kepailitan

hanyalah "Faillissementsyerrordening, S.1905"4

Syarat-syarat permohonan pernyataan kepailitan dapat diajukan,

bila :5

1. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur;

2. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagih.

4 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, cet. Kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, Hlm. 30

5 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 4, 2004, Hlm.15

39

Sementara itu permohonan pailit dapat diajukan oleh:

1. Debitur sendiri;

2. Atas permintaan orang atau lebih krediturnya;

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;

4. Dalam hal yang menyangkut debitur yang merupakan bank,

permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh bank;

5. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek

permohonan pailit dapat diajukan oleh badan pengawas pasar modal.6

Yang dapat dinyatakan pailit adalah orang –perorangan, badan

hukum, harta warisan, setiap perempuan bersuami yang tidak ada

percampuran harta.7

Apabila yang dapat dinyatakan pailit itu termasuk harta warisan

maksudnya adalah: menurut pasal 197 PK harta seorang yang sudah

meninggal dapat dinyatakan dalam keadaan kepailitan bilamana dengan

singkat ditunjukkan bahwa orang meninggal itu dalam keadaan berhenti

membayar atau bahwa harta warisan itu pada hari meninggalnya tidak

cukup untuk membayar hutang-hutang orang yang sudah meninggal itu.

Berlainan dengan kepailitan orang biasa (masih hidup), kepailitan

harta warisan hanya dapat dimintakan oleh seorang kreditur atau lebih.

Permohonan kepailitan diajukan kepada pengadilan yang pada waktu

meninggalnya si debitur wenang menjatuhkan putusan kepailitan.

6 Ibid., 7 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Hukum Dagang Indonesia 8, Cet. 3, Jakarta:

Djambatan, 1992, Hlm.33

40

Permohonan diajukan sebelum lampaunya tiga bulan sesudah menerima

hara warisan dan juga sebelum lampaunya enam bulan sesudah

meninggalnya si debitur. Setelah kedua tenggang out lampau permohonan

out dak akan dapat diterima. Tenggang tiga bulan setelah penerimaan harta

warisan itu penting, karena pemberesan budel itu baru dapat dilakukan

setelah penerimaan itu, sehingga juga baru sesudah itu dapat diketahui

apakah aktivanya mencukupi untuk membayar hutang-hutangnya.

Kepailitan harta warisan berakibat dengan sendiri menurut hukum

pemisahan harta dari orang yang meninggal itu dai harta kekayaan ahli

warisnya, pemisahan ini lebih penting, bila mana ahli waris itu menerima

warisan itu secara murni dan mereka sendiri mempunyai banyak hutang. 8

Kita telah mengetahui bahwa hukum dagang terletak dalam hukum

lapangan hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan.

Perikatan itu ada yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang,

a. Yang bersumber dari perjanjian misalnya: pengangkutan, asuransi, jual

beli perusahaan, makelar, komisioner, wesel, cek dan lain-lain;

b. Yang bersumber dari undang-undang misalnya; tubrukan kapal (pasal

534) dan lain-lain.

Jadi hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus

dari lapangan perusahaan.9

8 Siti Sumarti Hartiono, Seri Hukum Dagang Pengantar Hukum Kepailitan Dan

Penundaan Pembayaran, Ypgyakarta, 2002, Hlm. 62-63 9 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia1, Jakarta:

Djambatan, 1995, Hlm.5

41

2. Sejarah Hukum Dagang

Pembagian hukum privat (sipil) ke dalam hukum perdata dan

hukum dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang azasi, tetapi

pembagian yang berdasarkan sejarah daripada hukum dagang.

Bahwa pembagian tersebut bukan bersifat azasi, dapatlah kita lihat

dalam ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 KUHD yang dinyatakan:

bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam

penyelesaian soal-soal yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam

penyelesaian soal-soal yang semata-mata diadakan oleh KUHD itu.

Kenyataan-kenyataan lain yang membuktikan bahwa pembagian

itu bukan pembagian asasi ialah:

a. Perjanjian jual beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam

bidang perdagangan tidaklah ditetapkan dalam KUHD tetapi diatur

dalam KUHS;

b. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal

keperdataan ditetapkan dalam KUHD.10

Berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD RI 1945, maka KUHD

masih berlaku di Indonesia diumumkan dengan publikasi tanggal 30 april

1847 (s.1847-23), yang berlaku pada tanggal 1 mei 1848.KUHD Indonesia

itu hanya turunan belaka dari “Wetboek Van Kophandel” Belanda, yang

dibuat atas dasar azas konkordansi (pasal 131 I.S.). wetboek van

kophandel Belanda itu berlaku mulai tanggal 1 oktober 1838 dan 1 januari

10 Kansil,C.S.T, op.cit., Hlm.11-12

42

1842 (di Limburg) selanjutnya “Wetboek Van Kophandel” itu juga

meneladani dari “code du Commerce” perancis itu diambil alih oleh

“Wetboek Van Kophandel” Belanda. Ada beberapa hal yang tidak diambil

misalnya mengenai peradilan khusus tentang perselisihan-perselisihan

dalam lapangan perniagaan (speciale handelsrechtbaanken)11

Sebelum zaman romawi, disamping hukum perdata yang mengatur

hubungan-hubungan hukum antara perseorangan yang sekarang termasuk

dalam KUHPer, para pedagang membutuhkan peraturan-peraturan

mengenai perniagaan. Karena perniagaan makin lama waktu berkembang,

maka kebutuhan hukum perniagaan atau hukum dagang yang pada waktu

itu masih merupakan hukum kebiasaan, begitu banyak, sehingga

dipandang perlu untuk mengadakan kodifikasi. Kodifikasi hukum dagang

yang pertama dibuat, atas perintah raja Lodewijk XIV di Prancis, yaitu

Ordonnance du Commerce 1673 dan Ordonnance de la Marine 1681.12

Peraturan ini mengatur hukum pedagang itu sebagai hukum untuk

golongan tertentu yakni kaum pedagang. Ordennance du Commerce ini

dalam tahun 1681 disusul dengan suatu peraturan lain yakni

“ORDONANCE DE LA MARINE” yang mengatur hak perdagangan laut

(yakni pedagang-pedagang kota pelabuhan).

Pada than 1807 di Perancis disamping adanya “Code Civil Des

Francais” yang mengatur hukum perancis, telah dibuat lagi suatu KUHP

tersendiri, yakni “CODE DE COMMERCE”.

11 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia1,op.cit.,H.M.N,Hlm.9 12 Ibid.,

43

Dengan demikian pada tahun 1807 di perancis terhadap Hukm

Dagang yang dikodifikasikan dalam CODE DE COMMERCE yang

dipisahkan dari hukum perdata yang dikodifikasikan dalam CODE CIVIL.

Code De Commerce ini menurut peraturan-peraturan hukum yang

timbul dalam bidang perdagangan sejak zaman pertengahan. Adapun yang

menjadi dasar bagi penyusun Code de Commerce (1807) itu ialah antara

lain: Ordonnance du Commerce (1673) dan Ordonnance de la Marine

(1681) tersebut.

Kemudian kodifikasi-kodifikasi hukum perancis tahun 1807 (yakni

Code Civil dan Code de Commerce) dinyatakan berlaku juga di Nederland

sampai tahun 1838.

Dalam pada itu pemerintah Nederland menginginkan adanya

hukum dagang sendiri; dalam usul KUHD Belanda dari tahun 1819

direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas 3 kitab, akan tetapi di

dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan

permasalahan yang timbul di bidang perdagangan akan tetapi perkara-

perkara dagang diselesaikan di muka pengadilan biasa.

Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi

KUHD Belanda tahun 1838. akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka

KUHD Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi pembuatan

KUHD Indonesia 1848.

Pada akhir abad ke 19, Prof. Molengraaff merencanakan suatu

undang-undang kepailitan yang akan menggantikan Buku III dari KUHD

44

Nederland. Rancangan Molengaaff ini kemudian dijadikan undang-undang

kepelitan tahun 1893 (berlaku pada 1896).

Setelah mengetahui perjalanan sejarah KUHD beserta asal usulnya,

lalu bagaimana KUHD terkodifikasi dan dari mana asalnya, maka dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber hukum dagang wadl’I

adalah, hukum romawi kuno, kebiasaan dan traktat internasional dan

pikiran manusia.13

Adapun sumber-sumber hukum dagang dalam Islam ialah:

1. Al Qur’an, sesuai dengan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi

sebagai kaidah hukum islam.

2. Hadits, yaitu perjalanan Nabi SAW. Sesuai perkataan dan perbuatan

Nabi SAW.

3. Ijma’, yaitu kesepakatan ahli-ali ijtihad terhadap suatu hukum.

4. Ar Ro’yu, yaitu pikiran seperti kisah Mu'azd Bin Jabal.14

B. Karakteristik KUHD

Untuk mengetahui karakteristik hukum dagang harus diketahui

hubungan hukum antara KUHPer dan KUHD. Dalam hal ini dapat

dikemukakan, bahwa KUHPer adalah ketentuan umum (genus) dalam

mengatur hubungan dunia usaha, sedangkan KUHD adalah ketentuan

khusus (spesis) bagaimana mengatur dunia usaha.15 Jadi hubungan ini

13 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1984 ,

cet1,Hlm.23 14 ibid., 15Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Bandung :PT Citra Aditya Bakti, 2004, Hlm. 4

45

berlaku adagium (rechtsspreuk, asas hukum yang terkandung dalam

kalimat pendek, berisi padat) "lex specialis degorat lex generali" artinya

ketentuan atau hukum yang khusus dapat mengenyampingkan ketentuan

atau hukum yang umum.16 Dengan demikian, ketentuan hukum perdata

tidak berlaku jika sudah diatur dalam KUHD.

Hukum perdata dalam arti luas meliputi juga hukum dagang tetapi

pengaturannya dilakukan dalam kodifikasi yang terpisah. Materi hukum

perdata diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata (disingkat

KUHPer), materi hukum dagang diatur dalam kitab undang-undang

hukum dagang (disingkat KUHD). Pengaturan yang terpisah dalam dua

kodifikasi ini sebenarnya tidak mempunyai alasan tegas menurut

sejarahnya, pembentukan dua kodifikasi hukum ini meniru kodifikasi

hukum perancis. Di perancis materi hukum perdata diatur dalam Code

Civil, dan materi hukum dagang diatur dalam Code de Commerce.17

Hubungan antara KUHPer dan KUHD sangat erat, terlihat dari isi

pasal 1 KUHD yang mengemukakan:

"Kitab undang-undang hukum perdata, selama dalam kitab undang-undang ini terhadap dalam Kitab undang-undang hukum perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab undang-undang ini."18 Maksud yang tersirat dari pasal tersebut diatas adalah, apabila

terjadi perbuatan hukum dalam bidang hukum keperdataan (baik perdata

16Bahsan Mustafa,ed., Asas-Asas Hukum Perdata Dan Hukum Dagang, Bandung:Amrico,

1982, hlm. 92 17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Bandung: PT

Aditya Bakti, 1989, Hlm.1 18 Lihat Kitab Undang-undang Hukum Dagang

46

dagang maupun keperdataan umum), maka KUHP diterapkan terhadap

kasus tersebut, sebaliknya apabila atas perbuatan atas hukum itu tidak

dijumpai pegaturannya dalam KUHP, maka KUHD harus dipakai untuk

menyelesaikan persoalan tersebut.

Untuk bagian lainnya, terutama yang lebih erat hubungannya

dengan perkembangan perniagaan, misalnya perjanjian-perjanjian

pengangkutan orang dan barang di darat, di laut, serta di perairan di

pedalaman (sungai, perkapalan, beraneka warna perantaraan mengadakan

perjanjian-perjanjian dengan pihak ke tiga (makelar, komisioner,

ekspeditur) perjanjian-perjanjian untuk membentuk pelbagai jenis usaha

perniagaan yang diperlakukan untuk menjalankan perdagangan secara

perniagaan yang diperlakukan untuk menjalankan perdagangan secara

perusahaan (in bedrijfsorm: persekutuan dengan firma, persekutuan

komanditer, perseroan terbatas) dalam mana antara lain niat untuk

mendapatkan laba merupakan syarat mutlak , dan lain-lain buat sebagian

banyak telah diatur kodifikasi KUHD ( wetboek van kophandel indonesia)

yang tentunya sebagai kodifikasi (dalam pengertian dewasa ini tidak

mungkin dapat dikatakan sempurna. misalnya tidak diatur dalam KUHD

itu perihal jual beli komersiil (handelskoop), seluruh pengangkutan dengan

kapal terbang, perniagaan dengan menggunakan bentuk organisasi

kooperasi dan lain-lain. Singkatnya: hukum dagang itu hanyalah untuk

sebagian saja termuat dalam kodifikasi KUHD, untuk sebagian lainnya

dalam peraturan-peraturan tersendiri di luar KUHD (pengangkutan dengan

47

kereta api, Stb.1927-262. dengan kapal terbang dipedalaman Stb.1939-100

yo 101. perusahaan-perusahaan pertanggungan jiwa Stb.1941-101,dan

lain-lain) atau harus dikenal dari hukum kebiasaan (gewoontereIcht), hal

mana juga tidak mengherankan jika diingat pasal 1339 KUHPer. Sudah

barang tentu peranan hakim dengan yurisprudensinya adalah faktor

penting untuk mempelajari hukum dagang, terutama dalam

perkembangan.19

Hubungan antara KUHPer dan KUHD indonesia adalah sebagai

hukum umum dan hukum khusus, yang bersifat "Subordinasi". Lain

halnya di Swiss, dimana hukum perdatanya dibagi dua, yaitu

Zivilgesetzbuch dan Obligasionenrecht. Zivilgesetzbuch itu sama dengan

KUHPer Indonesia minus hukum perikatan (buku III KUHPer), sedang

obligasionenrecht itu khusus mengenai hukum perikatan dan hukum

dagang (KUHD). Jadi, Zivilgesetzbuch terdiri dari hukum perorangan,

hukum keluarga, hukum warisan dan hukum kebendaan, sedang

Obligasionenrecht terdiri dari hukum perikatan dan hukum dagang.

Hubungan antara keduanya bersifat koordinasi saling melengkapi.20

KUHD yang dimulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei

1848 terbagi atasdua kitab dan 23 bab: I terdiri dari 10 bab dan kitab II

terdiri dari 13 bab. Isi pokok daripada KUHD indonesia itu ialah:

1) kitab pertama berjudul: TENTANG DAGANG UMUMNYA. Yang

memuat

19 Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, jilid 1,Jakarta:Dian Rakyat,1993,Hlm.2 20 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia1,log.cit.,H.M.N,Hlm.6

48

Bab I : Dihapuskan (menurut Stb.1938/276 yang mulai berlaku pada 17

juli 1938, bab I yang berjudul: "tentang pedagang-pedagangdan

tentang perbuatan dagang" yang meliputi pasal 2,3,4, dan 5

telah dihapuskan).

Bab II : Tentang pemegangan buku.

Bab III : Tentang beberapa jenis perseroan.

Bab IV : Tentang bursa dagang, makelar dan kasir.

Bab V : Tentang komisioner, ekspeditur,pengangkut dan tentang

juragang-juragang perahu yang melalui sungai dan perairan

darat.

Bab VI : Tentang surat wesel dan surat order.

Bab VII : Tentang cek, promes, kuitansi kepada pembawa (aan toonder).

Bab VIII : Tentang reklame dan penuntutan kembali dalam al kepailitan.

Bab IX : Tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya.

Bab X : Tentang pertanggungan (asuransi) terhadap bahaya kebakaran,

bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum

dipenuhi dan pertanggungan-jiwa.

2) kitab kedua berjudul: TENTANG HAK-HAK DAN KEWAJIBAN-

KEWAJIBAN YANG TERBIT DARI PELAJARAN, yang memuat

(hukum laut):

Bab I : Tentang kapal-kapal laut dan muatannya

Bab II : Tentang pengusaha-pengusaha kapal dan perusahaan-

perusahaan perkapalan

49

Bab III : Tentang nahkoda, anak-kapal dan penumpang

Bab IV : Tentang perjanjian kerja laut

Bab V A : Tentang pengangkutan barang

Bab V B : Tentang pengangkutan orang

Bab VI : Tentang penubrukan

Bab VII : Tentang pecahnya kapal, perdamparan dan diketemukannya

barang di laut

Bab VIII : Dihapuskan (menurut Stb. 1933 no.47 yo Stb. 1938 No.2 yang

mulai berlaku 1 april 1938, Bab VIII yang berjudul: tentang

persetujuan utang uang dengan premie oleh nahkoda atau

pengusaha pelayaran dengan tanggungan kapal atau muatannya

atau dua-duanya, yang meliputi pasal 569-591 telah dicabut.

Bab IX : Tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan

terhadap bahaya pembudakan

Bab X : Tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan di

daratan, di sungai dan di perairan darat.

Bab XI : Tentang kerugian-laut (avary)

Bab XII : Tentang berakhirnya perikatan- perikatan dalam perdagangan

laut

Bab XIII : Tentang kapal-kapal dan perahu-perahu yang melalui suangai-

sungai dan perairan darat.

50

Masing-masing kitab dibagi dalam bab-bab, masing-masaing bab

dibagi dalam bagian-bagian, dalam masing-masing bagian diagi dalam

pasal-pasal/ayat-ayat.21

Keterkaitan antara hukum perdata dengan hukum dagang dapat

dilihat pada contoh-contoh sebagai berikut:

1. Perjanjian jual-beli yang merupakan bidang terpenting dalam hukum

dagang, ternyata tidak diatur dalam KUHD.

2. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang merupakan bagian terpenting

dari hukum perdata tidak diatur dalam KUHPer, tetapi dicantum dalam

KUHD.

3. Perjanjian presekutuan (maatschapsovereenkomst) yang merupakan

bagian tepenting dari dunia perdagangan ternyata tidak diatur dalm

KUHD, melainkan dalam KUHPer.22

C. Materi-Materi KUHD Tentang Hak Reklame Penjual atas Pembeli yang

Pailit dalam Pasal 230-239 KUHD

Hak reklame adalah hak yang diberikan kepada penjual untuk

menuntut pengembalian barang jualan yang masih berada ditangani pembeli

(pasal 1145 KUHPer atau pasal 230 KUHD) hak ini diberikan kepada pihak

penjual yang mengadakan perjanjian jual beli mengenai barang bergerak dan

penjual sudah menyerahkan benda itu kepada pembeli, tetapi pembeli belum

atau baru membayar sebagian harga benda itu.

21 Kancil,C.S.T.,op.cit., Hlm. 8-10 22 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, cet. kedua. 1994, Hlm. 19-20

51

Menurut pasal 1474 KUHPer, kewajiban utama penjual ada dua yaitu

menyerahkan dan menjamin keamanan (Crijwaren) benda itu dari gugatan

pihak ketiga serta menjamin tidaknya cacat tersembunyi, sedangkan menurut

pasal 1513 KUHPer kewajiban utama pembeli ialah membayar harga benda

yang dibeli.23

Tetapi penulis hanya membatasi hak penjualnya saja dalam pasal 230-

239 KUHD, mengenai hak reklame dalam kepailitan.

Perjanjian jual beli adalah perjanjian timbal balik, artinya kedua belah

pihak harus berprestasi (pasal 1457 KUHPer). Jika pembeli tidak memenuhi

prestasinya, yaitu membayar harga barang, maka penjual berhak menuntut

kembali barangnya sesuai pasal 230 KUHD, dengan ketentuan pasal

selanjutnya.

230 KUHD

“Jika barang bergerak telah dijual dan diserahkan, dan harga pembeliannya belum Pasal dilunasi sepenuhnya dalam hal kepailitan pembeli, penjual berhak untuk menuntut kembali barang itu menurut ketentuan- ketentuan berikut.”

Jika penjualan dilakukan secara tunai, artinya harga barang harus

dibayar seketika juga, maka menurut pasal 1145 B.W., kepada si penjual

barang diberikan kekuasaan untuk meminta kembali barangnya, selama

barang itu masih berada pada si pembeli, asal saja permintaan kembali

dilakukan dalam waktu 30 hari setelah penyerahan barang kepada si pembeli

23 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1, op.cit.,Hlm.144

52

(hak reklame). Sudah tentu, permintaan kembali tersebut hanyalah akan ada

artinya apabila barangnya masih dalam keadaan semula.24

Ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 231 KUHD, menentukan

dengan jelas bahwa agar hak reklame dapat dilaksanakan, maka pada saat hak

reklame tersebut hendak dilaksanakan, kebendaan yang dijual tersebut harus

masih berada dalam keadaan yang sama dengan pada saat penyerahan (yang

menurut ketentuan pasal 1481 KUHPer harus sama dengan keadaan saat

penjual dilakukan), meskipun kebendaan tersebut telah dipindahkan, di

bungkus kembali, dikurangi jumlahnya, selama tidak merubah wujud dan

bentuknya.25

Pasal 231 KUHD

"Untuk melakukan hak penuntutan kembali disyaratkan, bahwa barang itu masih berada dalam keadaan yang sama seperti waktu diserahkan. Bukti untuk itu diizinkan, meskipun barang itu sudah dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus kembali atau dikurangi."

Sungguhpun bungkusnya sudah dibuka, barangnya sudah berkurang,

tidaklah menjadi rintangan untuk melakukan hak reklame. Bila barangnya

sudah dijual lagi kepada pembeli lain dan pembeli baru ini belum membayar

utangnya, penjual pertama boleh meminta, agar pembeli baru itu membayar

utangnya tidak kepada penjual (pembeli pertama), melainkan kepada penjual

24 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT Intermasa, Cet XVII, 1983, Hlm. 91 25 Gunawan Widjaja Dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,

Cet 2, 2004, hlm. 257-258

53

pertama. Bila barangnya digadaikan (dijadikan jaminan utang), hak reklame

bisa dilakukan dengan menebus (membayar utang serta barangnya).26

Hak reklame harus dilakukan terhadap pembeli yang dinyatakan jatuh

pailit, jangka waktunya yang dalam keadaan biasa 30 hari itu menjadi 60 hari,

terhitung sejak barang itu diserahkan. Disamping itu tidak hanya barang yang

dijual tunai yang bisa dituntut kembali. Melainkan juga barang yang dijual

dituangkan dan belum dibayar, baik sebagian, maupun seluruhnya.27 Ini sesuai

dengan pasal 232.

Pasal 232 KUHD

"Barang bergerak, yang telah dijual baik dengan penentuan waktu maupun tanpa penentuan waktu dapat dituntut kembali, bila barang itu masih berada dalam perjalanan, baik di darat maupun di air, atau bila barang-barang itu masih berada pada orang yang jatuh pailit, atau pada pihak ketiga yang menguasai atau menyimpan barang itu untuknya. Dalam kedua hal, tuntutan kembali hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari terhitung dari hari barang itu disimpan di bawah kekuasaan orang yang pailit atau pihak ketiga."

Dalam KUHD juga disebutkan mengenai pelaksanan hak istimewa

penjual atas kebendaan yang dijual, yang barangnya belum dilunasi oleh

pembeli. Dalam hal yang demikian berarti, penjual, jika kebendaan yang telah

dijual olehnya tersebut, yang belum memperoleh pelunasan, dijual dari harta

kekayaan pembeli, maka hasil penjualan tersebut akan digunakan atau dipakai

untuk melunasi kewajiban pembeli kepada penjual terlebih dahulu.28 dan ini

sesuai pasal 1144 dan pasal 1132 KUHPer.

26 Iting Partadiredja, Pengetahuan Dan Hukum Dagang, Jakarta:Erlangga, 1978, hlm. 26. 27 Ibid., 28 Gunawan Widjaja Dan Kartini Muljadi,op.cit., Hlm. 253-254

54

Pasal 1144 KUHPer

"Penjual barang bergerak yang belum mendapat pelunasan dapat melaksanakan hak didahulukan atas uang pembelian barang itu, bila barang-barang itu masih berada ditangani debitur, tanpa memperhatikan apakah ia telah menjual barang-barang itu secara tunai atau tanpa penentuan waktu."

Pasal 1132 KUHPer

"Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadap hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila diantara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan."

Bila seorang kreditur ingin mendapat pembayaran dari debiturnya,

yang berhenti membayar utang-utangnya, maka kreditur itu harus berusaha

mendapatkan putusan hakim. Bila kreditur yang demikian itu ada banyak,

maka ktreditur yang terdahululah yang mendapat pelunasan penuh, sedangkan

kreditur-kreditur yang belakangan ada kemungkinan tidak mendapatkan

pelunasan penuh, sebab harta kekayaan debitur sudah berkurang atau habis.

Maka keadaan ini akan merugikan para kreditur yang belakangan dan kurang

adil.29

Dengan adanya hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan dasar hukum

kepailitan. menurut pasal 1131 KUHPer., seluruh harta kekayaan seseorang,

baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, baik yang berwujud benda

bergerak atau benda tetap, merupakan jaminan seluruh perikatan. Dalam

pelaksanaan ketentuan tersebut, pasal 1132 KUHPer. Memerintahkan agar

29 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Hukum Dagang Indonesia 8,op.cit., Hlm30

55

harta kekayaan si debitur dijual lelang dimuka umum atas putusan hakim dan

hasilnya dibagi-bagikan kepada para kreditur secara seimbang, artinya sesuai

dan seimbang dengan jumlah piutang yang dimilikinya.30

Sesuai dengan pasal diatas, dimana seorang debitur yang telah

dinyatakan pailit karena tidak dapat melunasi hutang-hutangnya kepada

kreditur, maka untuk dapat memberikan hak para kreditur, harus diketahui

seberapa banyak harta orang yang pailit tersebut supaya dapat melunasinya,

maka bisa dilakukan tindakan atau hukum yang sesuai dengan perbuatan

tersebut misalnya dilakukan penyitaan atau pengampuan.

Harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit

berdasarkan keputusan pengadilan . ketentuan pasal 19 undang-undang

kepailitan secara tegas dinyatakan bahwa “kepailitan meliputi seluruh

kekayaan debitur yang ada pada saat pernyataan pailit itu dijatuhkan oleh

pengadilan, dan meliputi juga seluruh kekayaan yang diperoleh selama

kepailitan berlangsung."31

Walau demikian ketentuan pasal 20 undang-undang kepailitan

mengecualikan beberapa macam harta kekayaan debitur dari harta pailit

Barang-barang yang tidak terjangkau atau tidak dikenakan pernyataan

pailit, adalah:

1. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari

2. Alat perlengkapan dinas

3. Alat perlengkapan kerja

30 Ibid., 31Ibid., Hlm. 38

56

4. Persediaan makanan kira-kira satu bulan

5. Buku-buku yang dipakai untuk kerja

6. Gaji atau upah pensiunan, uang jasa, honorarium pengarang

7. Sejumlah uang yang diterima dari penghasilan anak-anaknya.

Barang-barang yang dikenakan pailit haruslah milik si pailit sendiri

sedang barang-barang pihak ketiga yang kebetulan berada pada tangan si

pailit, tidak terkena oleh kepailitan.

Setiap pelaksanaan hukum atas harta kekayaan debitur sebelum adanya

putusan pailit segera berakhir dengan adanya putusan pailit selanjutnya dalam

pelaksana hukum tersebut antara lain:

1. Penyitaan

2. Paksaan badan

3. Uang paksa

4. Penjualan barang untuk melunasai hutang pembalikan nama.

5. Lampau waktu.32

Ada satu ketentuan yang menegaskan bahwa pada dasarnya seorang

penjual tidak boleh memperoleh keuntungan dari kepailitan pembeli. Agar

harta-harta pailit tidak dirugikan, maka penjual berkewajiban untuk

mengembalikan seluruh harga pembelian yang telah diterima olehnya kepada

harta pailit, karena ia telah menuntut barang secara keseluruhan yang terdapat

pada orang yang pailit. Ini sesuai dengan pasal 233 KUHD. Yang

menyatakan:

32 Victor M. Sitomorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Jakarta:PT Rineka Cipta, Cet. 1, Hlm.66

57

Pasal 233 KUHD

"Bila pembeli telah melunasi sebagian uang pembeliannya, maka pada peuntutan kembali seluruhnya, penjual wajib memberikan kembali uang yang telah diterimanya pada harta paili itu."

Jika hanya sebagian dari barang-barang itu yang ditemukan dalam

harta pailit. Pasal 234 KUHD yang berisi terhadap sisa bagian dari kebendaan

yang dibeli oleh pembeli yang tidak dikemukakan dalam harta pailit, penjual

dapat memajukan dirinya sebagai kreditur konkuren sebagaimana

dimaksudkan dalam pasal 1132 KUHPer.

Pasal 234 KUHD

"Bila barang yang dijual hanya sebagian didapatkan pada harta pailit, pembelian kembali dilakukan menurut timbangan dan dalam perbandingan dengan harga pembelian dalam keseluruhannya."

Pasal 1132 KUHPer

"Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersam-bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjual benda-benda itu di bagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para kreditur itu ad alasan-alasan yang sah untuk didahulukan."

Bahwa penggantian dalam pasal 233 KUHD tersebut juga meliputi

hal-hal yang disebutkan dalam pasal 235 KUHD.33

Pasal 235 KUHD

"Penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberikan gantirugi kepada harta orang yang jatuh pailit untuk semua yang telah dibayar atau yang masih terutang karena bea, upah

33 Ibid., Hlm.259

58

pengangkutan, komisi, kerugian laut umum, dan selanjudnya segala biaya yang digunakan untuk keselamatan barang dagangan."

Khusus bagi individu atau debitur perorangan yang dinyatkan pailit,

seluruh akibat dari pernyataan pailit tersebut yang berlalu untuk debitur pailit

juga berlaku bagi suami atau isteri yang menikah dalam persatuan harta

dengan debitur pailit tersebut. Ini berarti bahwa kepailitan tersebut berarti juga

meliputi seluruh harta kekayaan dari pihak suami atau isteri debitur

perorangan dari debitur yang dinyatakan pailit tersebut, yang menikah dalam

persatuan harta kekayaan, harta kekayaan tersebut meliputi harta yang telah

ada pada saat pernyataan pailit diumumkan dalam harta kekayaan yang

diperoleh selama kepailitan.34

Pasal 60 mengatur mengenai masalah hak yang dimiliki oleh seorang

isteri atas kepailitan suaminya, di mana dikatakan "Apabila seorang suami

dinyatakan pailit, maka isteri dibolehkan mengambil kembali semua barang

bergerak dan tak bergerak yang menjadi kepunyaannya, yang tidak jatuh

dalam persatuan harta". Jika suami atau isteri, pada waktu perkawinan

dilangsungkan membawa barang-barang yang hendak ditaruhnya di luar

persatuan, maka yang demikian itu harus dibuktikan sebagaimana ditentukan

dalam pasal 150 KUHPer.35

Selanjutnya jika ada barang-barang bergerak yang selama perkawinan

karena warisan, penghibah wasiatan atau penghibahan jatuh pada isteri, maka

34 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., Hlm. 28 35 Martiman Prodjohamidjojo, proses kepailitan (menurut peraturan pemerintah

pengganti UU no.1 tahun 1998 tentang perubahan atas UU kepailitan), Bandung:Mandar Maju, 1999, Hlm. 35-36

59

apabila terjadi perselisihan harus dibuktikan menurut salah satu cara yang

disebutkan dalam pasal 166 KUHPer. Demikian juga segala kebendaan yang

berasal dari penanaman modal atau yang dibelinya dari kepunyaan isteri di

luar persatuan boleh diambil oleh isteri. Jika tidak terjadi perselisihan dapat

dibuktikan dengan surat-surat bukti secukupnya menurut hakim. Sedangkan

jika barang-barang kepunyaan isteri dijual oleh suaminya namun harganya

belum dibayar ataupun uang pembeliannya masih tak tercampur berada dalam

harta pailit, maka isteri diperkenankan untuk mengambil kembali harga beli

atau uang pembelian yang masih ada itu. Untuk piutang-piutang pribadi, isteri

tampil ke muka sebagai orang berpiutang konkuren.36

Dalam pasal 61, isteri tidak diperkenankan mengajukan tuntutan

terhadap harta pailit, guna menuntut keuntungan-keuntungan yang

diperjanjikan dalam perjanjian kawin. Demikian pula sebaliknya, kreditur

lainnya pun dilarang untuk menikmati keuntungan-keuntungan yang

diperjanjikan oleh isteri kepada suaminya dalam perjanjian kawin.37

Kepailitan pada suami atau istri yang dikawin dengan harta campur,

diperlakukan sebagai kepailitan persatuan. Dalam hal kepailitan maka

meliputi segala benda yang jatuh dalam persatuan, kepailitan ini adalah untuk

kepentingan semua orang yang berpiutang, yang berhak meminta pemayaran

dari benda-benda persatuan. Jika suami atau istri yang teah dinyatakan pailit,

mempunyai barang-barang yang tidak jatuh dalam persatuan, maka barang-

36 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Log cit., Hlm.29 37 Ibid., Hlm. 29

60

barang inipun termasuk dalam kepailitan, namun hanya untuk membayar

utang-utang yang mengikat si pailit secara pribadi.38

Kemudian pasal 236 KUHD menerangkan, jika akseptasi untuk

seluruh nilai atau harga pembelian oleh pembeli. Pembeli telah menyatakan

kesanggupannya untuk membayar harga jual kebendaan tersebut pada saatnya,

yang dinyatakan dengan akseptasi tersebut. Sebagai suatu surat berharga,

undang-undang menganggap bahwa dengan akseptasi yang dilakukan oleh

pembeli, penjual telah dapat memperoleh pembayaran bahkan sebelum saat

jatuh tempo dengan cara menjual surat wesel yang telah diakseptasi tersebut.

Dalam konstruksi yang demikian, berarti penjual sudah kehilangan hak

istimewanya atas pembayaran yang mendahului menurut ketentuan pasal 1139

KUHPer. Dan karenanya atas ketiada pembayaran surat wesel tersebut,

penjual akan diperlakukan sebagai kreditur konkuren atas harta pailit. Hal

tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya pengampuan utang yang

dimungkinkan menurut ketentuan yang berlaku, baik dalam KUHPer maupun

dalam undang-undang kepailitan.

Pasal 1139 KUHPer

"Piutang-piutang yang didahulukan atas barang-barang tertentu, ialah: 1º Biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang bergerak atau barang tak bergerak sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan biaya ini dibayar dengan hasil penjual barang tersebut, lebih dahulu daripada segala utang lain yang mempunyai hak didahulukan , bahkan lebih dahulu daripada gadai dan hipotek.

38 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit., Hlm. 37

61

2º Uang sewa barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian penyewa itu. 3º Harga pembeli barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian penyewa itu; 4º Biaya untuk menyelamatkan suatu barang; 5º Biaya pengerjaan suatu barang yang masih harus di bayar kepada pekerjanya. 6º Apa yang diserahkan kepada seorang tamu rumah penginapan oleh pengusaha rumah penginapan sebagai pengusaha rumah penginapan; 7º Upah pengangkutan dan biaya tambahan lain; 8º Apa yang masih harus di bayar oleh tukang batu, tukang kayu dan tukang lain karena pembangunan, penambahan, dan penambahan barang bergerak asalkan piutang itu tidak lebih lama dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap ada pada si debitur 9º Penggantian dan pembayaran yang dipikul oleh pegawai yang memangku jabatan umum karena kelalaian, kesalahan , pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya."

Ketentuan dasar dalam undang-undang kepailitan yang menyatakan

diperkenankannya perjumpaan uang adalah ketentuan yang dinyatakan

diperkenankannya perjumpaan utang adalah ketentuan yang dimuat dalam

pasal 52 ayat (1). Dalam rumusan ayat tersebut, secara tegas dikatakan bahwa:

'Setiap orang yang mempunyai baik utang maupun piutang terhadap

debitur pailit, berhak meminta diadakannya perjumpaan utang, apabila utang

maupun piutang tersebut kedua-duanya diterbitkan sebagai pernyataan pailit,

ataupun akibat dari perbuatan yang dilakukannya dengan debitur pailit

sebelum pernyataan pailit diucapkan'. Dari rumusan tersebut dapat diketahui

esensi pokok dari setiap perjumpaan uang dalam rangka pemberesan harta

62

pailit adalah bahwa utang dan piutang yang diperjumpakan haruslah telah ada

sebelum pernyataan pailit diputuskan.39

Pasal 236 KUHD

"Bila pembeli telah mengakseptasi dengan surat wesel atau surat dagang lain jumlah penuh dari harga barang yang dijual dan diserahkan, maka tidak terjadi penuntutan kembali. Bila akseptasi itu dilakukan untuk sebagian dari uang pembelian yang terutang, dapat dilakukan penuntutan kembali, asalkan untuk kepentingan harta orang yang jatuh pailit diadakan jaminan untuk hak sebagai dari akseptasi itu, yang darinya dapat dituntut."

Dari pasal 236 KUHD ayat (2) menyatakan bahwa jika hanya sebagian

saja yang diakseptasi, maka penjual berhak untuk tetap menuntut

pengembalian kebendaan yang telah dijual tersebut, selama penjual yang telah

memperoleh akseptasi sebagian menjamin harta pailit atas sebagian akseptasi

yang telah dilakukan oleh pembeli yang dinyatakan pailit tersebut, dalam

pasal 237 KUHD.

Pasal 237 KUHD "Bila barang dituntut kembali diambil dengan ittikad baik sebagai jaminan utang oleh pihak ketiga, penjual tetap mempunyai hak menuntut kembali, akan tetapi sebaliknya mempunyai kewajiban kepada pemberi utang untuk memenuhi jumlah yang dipinjamkan dengan bunga dan biaya yang terutang."

Pasal di atas mengatur mengenai penjaminan (kebendaan) yang telah

diletakkan atas kebendaan yang telah dibeli tersebut oleh pembeli kepada

seseorang pihak ketiga yang memberikan pinjaman uang kepada pembeli.

39 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja,log.cit., Hlm. 51-52

63

Dengan demikian berarti selama, penjual dapat memenuhi kewajiban

pembeli kepada pihak yang menjaminkan uang kepadanya, maka ia berhak

untuk mengambil kembali kebendaan yang telah dijaminkan tersebut. Untuk

dapat mengambil kembali barang pada orang yang bangkrut dan dinyatakan

pailit maka harus dilihat dari harta yang tersedia untuk membayar lunas

kapada kreditur konkuren.40

Selanjutnya jika ternyata kebendaan tersebut, baik selama masa

perjalanan maupun setelah berada dalam penguasaan pembeli yang dinyatakan

pailit telah dijual kepada pihak ketiga yang beri'tikad baik, maka hak reklame

menjadi gugur demi hukum. Walau demikian sejalan dengan ketentuan pasal

1146a KUHPer., penjual tetap diberikan hak untuk menagih pembayaran yang

belum dilakukan oleh pembeli terakhir kepada pembeli yang dinyatakan pailit

tersebut, guna melunasi piutang penjual tersebut. Maka dalam hal ini sesuai

dengan ketentuan pasal 238 KUHD.41

Pasal 238 KUHD

"Tuntutan kembali barang dihapus, bila barang itu selama di perjalanan dibeli dengan I’ttikad baik oleh pihak ketiga atas faktur dan atas konosemen atau surat muatan. Namun penjual aslinya dalam hal itu berhak untuk menagih pada pembeliannya, selama belum dilunasi sebesar jumlah tagihannya, dan ia mempunyai hak mendahului terhadap uang itu, dengan tidak diperbolehkan untuk mencampurkan uang itu dengan harta orang yang pailit. Ketentuan alenia yang lalu berlaku juga dalam hal barang itu, setelah berada dalam penguasaan orang yang pailit atau seseorang yang bertindak untuknya, akibat pembelian dan penyerahan dengan i'tikad baik, telah menjadi pihak yang ketiga."

40 Ibid., 41 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op cit., Hlm. 261

64

Hak penjual lepas bila barang-barang itu setelah berada dalam

penguasaan pembeli semula atau kekuasaannya, dibeli dengan itikad baik oleh

pihak ketiga dan telah diserahkan kepadanya.

Akan tetapi bila uang pembelian itu belum dibayar oleh pihak ketiga

itu, penjual semula dapat menuntut uangnya itu sampai memenuhi jumlah

tagihannya, asalkan tagihan itu dilakukan dalam waktu 60 hari setelah

penyerahan semula.

Apabila dalam perjanjian jual beli barang, di mana barang sudah

diserahkan tetapi harganya belum dibayar sebelum adanya putusan kepailitan,

maka balai harta peninggalan dapat menuntut harga pemenuhan harganya atau

dapat memecahkan perjanjian dengan ganti rugi, bilamana dianggap lebih

menguntungkan budel. Jika yang belum berprestasi itu si debitur, kemudian

debitur jatuh pailit maka pihak lawan dapat tampil dalam rapat verifikasi atau

menuntut pemecahan dalam perjanjian ganti rugi. Jadi dapat disimpulkan, bila

salah satu pihak sudah berprestasi sepenuhnya, maka tidak menimbulkan

kesulitan, lain halnya bilamana ada waktu dijatuhkannya kepailitan perjanjian

itu belum dilakukan sebagian, maka dalam masalah ini berlaku pasal 36

tentang peraturan kepailitan.42

Dengan memperhatikan ketentuan pasal 1132, pasal 1133 dan pasal

1139 kitab undang-undang hukum perdata tersebut diatas, dan fungsi kurator

untuk meningkatkan harta pailit guna kepentingan debitor dan kreditor, pasl

239 kitab undang-undang hukum dagang menentukan:

42 Victor M. Sitomorang dan Hendri Soekarso, op.cit. , Hlm.85

65

Pasal 239 KUHD

"Para pengurus harta pailit mempunyai wewenang untuk mempertahankan harta itu , barang-barang yang dituntut kembali , asalkan memenuhi harga pembelian kepada penjual yang olehnya tidak dipersyaratkan pada orang yang pailit."

Dengan demikian tidak selamanya tuntutan yang dimajukan oleh

kreditor pasti dikabulkan. Selama kepailitan berlangsung, sepanjang hak-hak

penjual yang diberikan dalam pasal 1132, pasal 1133 dan pasal 1139 kitab

undang-undang hukum perdata dipenuhi, kurator berhak untuk menolak hak

reklame yang dimajukan oleh enju atau kreditor terhadap kebendaan yang

dijual terhadap kebendaan yang dijual yang belum dibayar oleh pembeli yang

dinyatakan pailit.43

Jadi hak reklame itu adalah sebuah upaya khusus, yang oleh undang-

undang diberikan kepada penjual, untuk mendapatkan kembali hak milik atas

benda bergerak, yang karena penyerahan hak milik itu sudah beralih kepada

pembeli. Pelaksanaan hak reklame itu merupakan suatu upaya sepihak yang

berakibat pavahnya perjanjian jual beli dengan sendirinya.

Bila seseorang yang berhutang, menghentikan pembayaran utang-

utangnya, dapat dinyatakan pailit dengan suatu keputusan hakim. Tidak

terdapat syarat-syarat yang diwajibkan, bahwa orang itu tidak mempunyai

uang. Sudah cukup, apabila orang itu tidak membayar utang-utangnya.44

Kemudian untuk dapat melaksanakan hak Reklame tersebut adalah

43 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, lok cit., Hlm. 260 44 R. Susanto, Hukum dagang, & Koperasi di Indonesia, Jakarta Pradnya Paramita, 1982,

Hlm. 124

66

sesuai pasal 230-239 KUHD untuk memudahkan dalam menganalisa dalam

bab selanjutnya, penulis tulis dalam tiga kategori:

1. Apabila terjadi jual beli yang terhadap barang bergerak yang belum

dilunasi sepenuhnya harga pembelian nya dan barang tersebut telah

diserahkan pada orang yang pailit maka dapat dituntut kembali dengan

ketentuan sebagai berikut; (pasal 230 KUHD)

2. Syarat untuk dapat menuntut kembali barang yang terdapat pada orang

yang pailit adalah

a. Barang tersebut masih utuh maksudnya meskipun barang itu sudah

dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus kembali atau dikurangi.

(pasal 231 KUHD)

b. Penuntutan dapat dilakukan dalam jangka waktu enam puluh hari

terhitung dari saat barang tersebut diserahkan pertama kali, bila barang

tersebut masih dalam perjalanan baik di darat maupun di air atau

barang tersebut masih terdapat pada orang pailit ataupun terdapat pada

pihak ketiga baik dengan penentuan waktu maupun tidak. (pasal 232

KUHD)

c. Bila pembeli telah melunasi sebagian uang pembelian nya, maka

penjual wajib memberikan kembali uang yang telah diterimanya pada

harta pailit. (pasal 233 KUHD)

d. Bila barang dijual hanya sebagian didapatkan pada harta pailit

pembelian kembali dilakukan menurut timbangan semula. (pasal 234

KUHD)

67

e. Penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberi ganti rugi

pada pembeli pailit untuk semua yang telah dibayar atau masih

terutang karena bea, upah pengangkutan, komisi, asuransi, kerugian

laut dan segala biaya yang digunakan untuk keselamatan barang

tersebut. (pasal 235 KUHD)

f. Bila pembeli telah mengakseptsi dengan surat wesel atau surat dagang

lain jumlah penuh, maka tidak terjadi penuntutan kembali. Tetapi bila

akseptsi itu dilakukan untuk sebagian dari uang pembelian yang

terutang dapat dilakukan penuntutan kembali, asalkan untuk

kepentingan harta orang yang jatuh pailit diadakan jaminan untuk hak

sebagai akibat dari akseptasi itu. (pasal 236 KUHD)

g. Bila barang yang dituntut kembali diambil dengan I'tikad baik sebagai

jaminan utang oleh pihak ketiga, penjual tetap mempunyai hak untuk

menuntut kembali, akan tetapi mempunyai kewajiban pada pemberi

hutang untuk memenuhi jumlah yang dipinjamkan, dengan bunga dan

biaya yang terutang. (pasal 237 KUHD)

h. Tuntutan kembali dihapus bila barang itu selama perjalanan dibeli

pihak ketiga dengan I'tikad baik atas faktur dan atas konosemen atas

surat muatan. Namun penjual aslinya tetap mempunyai hak pada

pembeli harga pembeliannya selama belum dilunasi, dan ia

mempunyai hak mendahului terhadap uang itu dengan tidak

mencampurkan uang itu dengan harta orang pailit. (pasal 238 KUHD)

68

3. Para pengurus harta pailit mempunyai wewenang untuk mempertahankan

harta itu, barang-barang yang dituntut kembali, asalkan memenuhi harga

pembelian kepada penjual yang oleh nya tidak dipersyaratkan pada orang

yang pailit. (pasal 239 KUHD)