BAB III HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI...
Transcript of BAB III HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI...
37
BAB III
HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI YANG PAILIT
DALAM PASAL 230-239 KUHD
A. Sekilas Tentang KUHD
1. Pengertian Tentang KUHD
Dalam kamus Hukum dinyatakan, dagang (Indonesia) adalah
perbuatan yang berkaitan dengan menjual dan membeli barang untuk
memperoleh keuntungan; Jual beli; Niaga.1
Dapat dikatakan hukum dagang ialah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara manusia-manusia dan badan-badan hukum satu
sama lainnya, dalam lapangan perdagangan.2
Dalam kamus hukum juga menerangkan bahwa, pailit adalah
suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu lagi untuk membayar
utang-utangnya berdasarkan putusan hakim; bangkrut, hal ini diatur di
dalam pasal 2 UU kepailitan,3 yaitu:
1. Pernyataan pailit harus dilakukan oleh pengadilan Negeri tempat kediaman si berhutang.
2. Apabila si berhutang telah pergi keluar daerah Indonesia, maka pengadilan negeri tempat kediamannya terakhir adalah yang berkuasa.
3. Terhadap persero-persero firma, maka pengadilan negeri yang mana dalam daerah hukumnya terletak kantor perseroannya, adalah sama berkuasanya.
4. Jika si berhutang tidak mempunyai tempat tinggal dalam wilayah Indonesia, namun mempunyai suatu pekerjaan tetap atau menjalankan suatu perusahaan di sini, maka pengadilan negeri, yang mana dalam
1 Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, cet. 1, Hlm. 87 2 Kansil,C.S.T, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Buku Kesatu,
Jakarta: Sinar Grafika, 1994, Cet.2, Hlm.7 3 Sudarsono, Op. Cit, Hlm. 336
38
daerah hukumnya si berhutang tersebut mempunyai kantornya, adalah berkuasa.
5. Jika dalam hal yang termaksud dalam ayat ketiga atau keempat atau ke dalam hal yang termaksud dalam pasal 3, pernyataan pailit itu diucapkan oleh lebih dari satu pengadilan negeri yang berkuasa untuk itu, namun diucapkannyalah pada hari yang berlainan, maka hanya pernyataan yang diucapkan terlebih dahululah yang mempunyai akibat-akibat hukum.
6. Tak berlaku lagi. 7. Terhadap perseroan-perseroan terbatas, perseroan-perseroan
pertanggungan bertimbalbalik perkumpulan- perkumpulan koperasi atau lain-lain perkumpulan yang berbadan hukum, dan yayasan-yayasan, maka, dalam melakukan pasal ini berlakulah sebagai tempat kediaman, tempat dimana perseroan-perseroan atau perkumpulan- perkumpulan itu berkedudukan.
Sebagai dasar hukum umum (peraturan umum) dari lembaga
kepailitan ialah KUHPer khususnya pasal 1131 dan 1132, sedangkan dasar
hukum yang khusus tentang kepailitan diatur dalam
"faillissementsyerrordening, S.1905 no.217 jo.1096 no.348" yang judul
lengkapnya ada "verordening op de euroanen in nederlans India
(peraturan dan penundaan pembayaran bagi orang-orang eropa dan India
belanda)" tetapi sampai saat ini berdasarkan aturan peralihan UUD 1945,
maka peraturan khusus yang berlaku di indonesia tentang kepailitan
hanyalah "Faillissementsyerrordening, S.1905"4
Syarat-syarat permohonan pernyataan kepailitan dapat diajukan,
bila :5
1. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur;
2. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih.
4 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, cet. Kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, Hlm. 30
5 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 4, 2004, Hlm.15
39
Sementara itu permohonan pailit dapat diajukan oleh:
1. Debitur sendiri;
2. Atas permintaan orang atau lebih krediturnya;
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4. Dalam hal yang menyangkut debitur yang merupakan bank,
permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh bank;
5. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek
permohonan pailit dapat diajukan oleh badan pengawas pasar modal.6
Yang dapat dinyatakan pailit adalah orang –perorangan, badan
hukum, harta warisan, setiap perempuan bersuami yang tidak ada
percampuran harta.7
Apabila yang dapat dinyatakan pailit itu termasuk harta warisan
maksudnya adalah: menurut pasal 197 PK harta seorang yang sudah
meninggal dapat dinyatakan dalam keadaan kepailitan bilamana dengan
singkat ditunjukkan bahwa orang meninggal itu dalam keadaan berhenti
membayar atau bahwa harta warisan itu pada hari meninggalnya tidak
cukup untuk membayar hutang-hutang orang yang sudah meninggal itu.
Berlainan dengan kepailitan orang biasa (masih hidup), kepailitan
harta warisan hanya dapat dimintakan oleh seorang kreditur atau lebih.
Permohonan kepailitan diajukan kepada pengadilan yang pada waktu
meninggalnya si debitur wenang menjatuhkan putusan kepailitan.
6 Ibid., 7 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Hukum Dagang Indonesia 8, Cet. 3, Jakarta:
Djambatan, 1992, Hlm.33
40
Permohonan diajukan sebelum lampaunya tiga bulan sesudah menerima
hara warisan dan juga sebelum lampaunya enam bulan sesudah
meninggalnya si debitur. Setelah kedua tenggang out lampau permohonan
out dak akan dapat diterima. Tenggang tiga bulan setelah penerimaan harta
warisan itu penting, karena pemberesan budel itu baru dapat dilakukan
setelah penerimaan itu, sehingga juga baru sesudah itu dapat diketahui
apakah aktivanya mencukupi untuk membayar hutang-hutangnya.
Kepailitan harta warisan berakibat dengan sendiri menurut hukum
pemisahan harta dari orang yang meninggal itu dai harta kekayaan ahli
warisnya, pemisahan ini lebih penting, bila mana ahli waris itu menerima
warisan itu secara murni dan mereka sendiri mempunyai banyak hutang. 8
Kita telah mengetahui bahwa hukum dagang terletak dalam hukum
lapangan hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan.
Perikatan itu ada yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang,
a. Yang bersumber dari perjanjian misalnya: pengangkutan, asuransi, jual
beli perusahaan, makelar, komisioner, wesel, cek dan lain-lain;
b. Yang bersumber dari undang-undang misalnya; tubrukan kapal (pasal
534) dan lain-lain.
Jadi hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus
dari lapangan perusahaan.9
8 Siti Sumarti Hartiono, Seri Hukum Dagang Pengantar Hukum Kepailitan Dan
Penundaan Pembayaran, Ypgyakarta, 2002, Hlm. 62-63 9 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia1, Jakarta:
Djambatan, 1995, Hlm.5
41
2. Sejarah Hukum Dagang
Pembagian hukum privat (sipil) ke dalam hukum perdata dan
hukum dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang azasi, tetapi
pembagian yang berdasarkan sejarah daripada hukum dagang.
Bahwa pembagian tersebut bukan bersifat azasi, dapatlah kita lihat
dalam ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 KUHD yang dinyatakan:
bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam
penyelesaian soal-soal yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam
penyelesaian soal-soal yang semata-mata diadakan oleh KUHD itu.
Kenyataan-kenyataan lain yang membuktikan bahwa pembagian
itu bukan pembagian asasi ialah:
a. Perjanjian jual beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam
bidang perdagangan tidaklah ditetapkan dalam KUHD tetapi diatur
dalam KUHS;
b. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal
keperdataan ditetapkan dalam KUHD.10
Berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD RI 1945, maka KUHD
masih berlaku di Indonesia diumumkan dengan publikasi tanggal 30 april
1847 (s.1847-23), yang berlaku pada tanggal 1 mei 1848.KUHD Indonesia
itu hanya turunan belaka dari “Wetboek Van Kophandel” Belanda, yang
dibuat atas dasar azas konkordansi (pasal 131 I.S.). wetboek van
kophandel Belanda itu berlaku mulai tanggal 1 oktober 1838 dan 1 januari
10 Kansil,C.S.T, op.cit., Hlm.11-12
42
1842 (di Limburg) selanjutnya “Wetboek Van Kophandel” itu juga
meneladani dari “code du Commerce” perancis itu diambil alih oleh
“Wetboek Van Kophandel” Belanda. Ada beberapa hal yang tidak diambil
misalnya mengenai peradilan khusus tentang perselisihan-perselisihan
dalam lapangan perniagaan (speciale handelsrechtbaanken)11
Sebelum zaman romawi, disamping hukum perdata yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antara perseorangan yang sekarang termasuk
dalam KUHPer, para pedagang membutuhkan peraturan-peraturan
mengenai perniagaan. Karena perniagaan makin lama waktu berkembang,
maka kebutuhan hukum perniagaan atau hukum dagang yang pada waktu
itu masih merupakan hukum kebiasaan, begitu banyak, sehingga
dipandang perlu untuk mengadakan kodifikasi. Kodifikasi hukum dagang
yang pertama dibuat, atas perintah raja Lodewijk XIV di Prancis, yaitu
Ordonnance du Commerce 1673 dan Ordonnance de la Marine 1681.12
Peraturan ini mengatur hukum pedagang itu sebagai hukum untuk
golongan tertentu yakni kaum pedagang. Ordennance du Commerce ini
dalam tahun 1681 disusul dengan suatu peraturan lain yakni
“ORDONANCE DE LA MARINE” yang mengatur hak perdagangan laut
(yakni pedagang-pedagang kota pelabuhan).
Pada than 1807 di Perancis disamping adanya “Code Civil Des
Francais” yang mengatur hukum perancis, telah dibuat lagi suatu KUHP
tersendiri, yakni “CODE DE COMMERCE”.
11 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia1,op.cit.,H.M.N,Hlm.9 12 Ibid.,
43
Dengan demikian pada tahun 1807 di perancis terhadap Hukm
Dagang yang dikodifikasikan dalam CODE DE COMMERCE yang
dipisahkan dari hukum perdata yang dikodifikasikan dalam CODE CIVIL.
Code De Commerce ini menurut peraturan-peraturan hukum yang
timbul dalam bidang perdagangan sejak zaman pertengahan. Adapun yang
menjadi dasar bagi penyusun Code de Commerce (1807) itu ialah antara
lain: Ordonnance du Commerce (1673) dan Ordonnance de la Marine
(1681) tersebut.
Kemudian kodifikasi-kodifikasi hukum perancis tahun 1807 (yakni
Code Civil dan Code de Commerce) dinyatakan berlaku juga di Nederland
sampai tahun 1838.
Dalam pada itu pemerintah Nederland menginginkan adanya
hukum dagang sendiri; dalam usul KUHD Belanda dari tahun 1819
direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas 3 kitab, akan tetapi di
dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan
permasalahan yang timbul di bidang perdagangan akan tetapi perkara-
perkara dagang diselesaikan di muka pengadilan biasa.
Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi
KUHD Belanda tahun 1838. akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka
KUHD Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi pembuatan
KUHD Indonesia 1848.
Pada akhir abad ke 19, Prof. Molengraaff merencanakan suatu
undang-undang kepailitan yang akan menggantikan Buku III dari KUHD
44
Nederland. Rancangan Molengaaff ini kemudian dijadikan undang-undang
kepelitan tahun 1893 (berlaku pada 1896).
Setelah mengetahui perjalanan sejarah KUHD beserta asal usulnya,
lalu bagaimana KUHD terkodifikasi dan dari mana asalnya, maka dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber hukum dagang wadl’I
adalah, hukum romawi kuno, kebiasaan dan traktat internasional dan
pikiran manusia.13
Adapun sumber-sumber hukum dagang dalam Islam ialah:
1. Al Qur’an, sesuai dengan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
sebagai kaidah hukum islam.
2. Hadits, yaitu perjalanan Nabi SAW. Sesuai perkataan dan perbuatan
Nabi SAW.
3. Ijma’, yaitu kesepakatan ahli-ali ijtihad terhadap suatu hukum.
4. Ar Ro’yu, yaitu pikiran seperti kisah Mu'azd Bin Jabal.14
B. Karakteristik KUHD
Untuk mengetahui karakteristik hukum dagang harus diketahui
hubungan hukum antara KUHPer dan KUHD. Dalam hal ini dapat
dikemukakan, bahwa KUHPer adalah ketentuan umum (genus) dalam
mengatur hubungan dunia usaha, sedangkan KUHD adalah ketentuan
khusus (spesis) bagaimana mengatur dunia usaha.15 Jadi hubungan ini
13 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1984 ,
cet1,Hlm.23 14 ibid., 15Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Bandung :PT Citra Aditya Bakti, 2004, Hlm. 4
45
berlaku adagium (rechtsspreuk, asas hukum yang terkandung dalam
kalimat pendek, berisi padat) "lex specialis degorat lex generali" artinya
ketentuan atau hukum yang khusus dapat mengenyampingkan ketentuan
atau hukum yang umum.16 Dengan demikian, ketentuan hukum perdata
tidak berlaku jika sudah diatur dalam KUHD.
Hukum perdata dalam arti luas meliputi juga hukum dagang tetapi
pengaturannya dilakukan dalam kodifikasi yang terpisah. Materi hukum
perdata diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata (disingkat
KUHPer), materi hukum dagang diatur dalam kitab undang-undang
hukum dagang (disingkat KUHD). Pengaturan yang terpisah dalam dua
kodifikasi ini sebenarnya tidak mempunyai alasan tegas menurut
sejarahnya, pembentukan dua kodifikasi hukum ini meniru kodifikasi
hukum perancis. Di perancis materi hukum perdata diatur dalam Code
Civil, dan materi hukum dagang diatur dalam Code de Commerce.17
Hubungan antara KUHPer dan KUHD sangat erat, terlihat dari isi
pasal 1 KUHD yang mengemukakan:
"Kitab undang-undang hukum perdata, selama dalam kitab undang-undang ini terhadap dalam Kitab undang-undang hukum perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab undang-undang ini."18 Maksud yang tersirat dari pasal tersebut diatas adalah, apabila
terjadi perbuatan hukum dalam bidang hukum keperdataan (baik perdata
16Bahsan Mustafa,ed., Asas-Asas Hukum Perdata Dan Hukum Dagang, Bandung:Amrico,
1982, hlm. 92 17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Bandung: PT
Aditya Bakti, 1989, Hlm.1 18 Lihat Kitab Undang-undang Hukum Dagang
46
dagang maupun keperdataan umum), maka KUHP diterapkan terhadap
kasus tersebut, sebaliknya apabila atas perbuatan atas hukum itu tidak
dijumpai pegaturannya dalam KUHP, maka KUHD harus dipakai untuk
menyelesaikan persoalan tersebut.
Untuk bagian lainnya, terutama yang lebih erat hubungannya
dengan perkembangan perniagaan, misalnya perjanjian-perjanjian
pengangkutan orang dan barang di darat, di laut, serta di perairan di
pedalaman (sungai, perkapalan, beraneka warna perantaraan mengadakan
perjanjian-perjanjian dengan pihak ke tiga (makelar, komisioner,
ekspeditur) perjanjian-perjanjian untuk membentuk pelbagai jenis usaha
perniagaan yang diperlakukan untuk menjalankan perdagangan secara
perniagaan yang diperlakukan untuk menjalankan perdagangan secara
perusahaan (in bedrijfsorm: persekutuan dengan firma, persekutuan
komanditer, perseroan terbatas) dalam mana antara lain niat untuk
mendapatkan laba merupakan syarat mutlak , dan lain-lain buat sebagian
banyak telah diatur kodifikasi KUHD ( wetboek van kophandel indonesia)
yang tentunya sebagai kodifikasi (dalam pengertian dewasa ini tidak
mungkin dapat dikatakan sempurna. misalnya tidak diatur dalam KUHD
itu perihal jual beli komersiil (handelskoop), seluruh pengangkutan dengan
kapal terbang, perniagaan dengan menggunakan bentuk organisasi
kooperasi dan lain-lain. Singkatnya: hukum dagang itu hanyalah untuk
sebagian saja termuat dalam kodifikasi KUHD, untuk sebagian lainnya
dalam peraturan-peraturan tersendiri di luar KUHD (pengangkutan dengan
47
kereta api, Stb.1927-262. dengan kapal terbang dipedalaman Stb.1939-100
yo 101. perusahaan-perusahaan pertanggungan jiwa Stb.1941-101,dan
lain-lain) atau harus dikenal dari hukum kebiasaan (gewoontereIcht), hal
mana juga tidak mengherankan jika diingat pasal 1339 KUHPer. Sudah
barang tentu peranan hakim dengan yurisprudensinya adalah faktor
penting untuk mempelajari hukum dagang, terutama dalam
perkembangan.19
Hubungan antara KUHPer dan KUHD indonesia adalah sebagai
hukum umum dan hukum khusus, yang bersifat "Subordinasi". Lain
halnya di Swiss, dimana hukum perdatanya dibagi dua, yaitu
Zivilgesetzbuch dan Obligasionenrecht. Zivilgesetzbuch itu sama dengan
KUHPer Indonesia minus hukum perikatan (buku III KUHPer), sedang
obligasionenrecht itu khusus mengenai hukum perikatan dan hukum
dagang (KUHD). Jadi, Zivilgesetzbuch terdiri dari hukum perorangan,
hukum keluarga, hukum warisan dan hukum kebendaan, sedang
Obligasionenrecht terdiri dari hukum perikatan dan hukum dagang.
Hubungan antara keduanya bersifat koordinasi saling melengkapi.20
KUHD yang dimulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei
1848 terbagi atasdua kitab dan 23 bab: I terdiri dari 10 bab dan kitab II
terdiri dari 13 bab. Isi pokok daripada KUHD indonesia itu ialah:
1) kitab pertama berjudul: TENTANG DAGANG UMUMNYA. Yang
memuat
19 Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, jilid 1,Jakarta:Dian Rakyat,1993,Hlm.2 20 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia1,log.cit.,H.M.N,Hlm.6
48
Bab I : Dihapuskan (menurut Stb.1938/276 yang mulai berlaku pada 17
juli 1938, bab I yang berjudul: "tentang pedagang-pedagangdan
tentang perbuatan dagang" yang meliputi pasal 2,3,4, dan 5
telah dihapuskan).
Bab II : Tentang pemegangan buku.
Bab III : Tentang beberapa jenis perseroan.
Bab IV : Tentang bursa dagang, makelar dan kasir.
Bab V : Tentang komisioner, ekspeditur,pengangkut dan tentang
juragang-juragang perahu yang melalui sungai dan perairan
darat.
Bab VI : Tentang surat wesel dan surat order.
Bab VII : Tentang cek, promes, kuitansi kepada pembawa (aan toonder).
Bab VIII : Tentang reklame dan penuntutan kembali dalam al kepailitan.
Bab IX : Tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya.
Bab X : Tentang pertanggungan (asuransi) terhadap bahaya kebakaran,
bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum
dipenuhi dan pertanggungan-jiwa.
2) kitab kedua berjudul: TENTANG HAK-HAK DAN KEWAJIBAN-
KEWAJIBAN YANG TERBIT DARI PELAJARAN, yang memuat
(hukum laut):
Bab I : Tentang kapal-kapal laut dan muatannya
Bab II : Tentang pengusaha-pengusaha kapal dan perusahaan-
perusahaan perkapalan
49
Bab III : Tentang nahkoda, anak-kapal dan penumpang
Bab IV : Tentang perjanjian kerja laut
Bab V A : Tentang pengangkutan barang
Bab V B : Tentang pengangkutan orang
Bab VI : Tentang penubrukan
Bab VII : Tentang pecahnya kapal, perdamparan dan diketemukannya
barang di laut
Bab VIII : Dihapuskan (menurut Stb. 1933 no.47 yo Stb. 1938 No.2 yang
mulai berlaku 1 april 1938, Bab VIII yang berjudul: tentang
persetujuan utang uang dengan premie oleh nahkoda atau
pengusaha pelayaran dengan tanggungan kapal atau muatannya
atau dua-duanya, yang meliputi pasal 569-591 telah dicabut.
Bab IX : Tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan
terhadap bahaya pembudakan
Bab X : Tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan di
daratan, di sungai dan di perairan darat.
Bab XI : Tentang kerugian-laut (avary)
Bab XII : Tentang berakhirnya perikatan- perikatan dalam perdagangan
laut
Bab XIII : Tentang kapal-kapal dan perahu-perahu yang melalui suangai-
sungai dan perairan darat.
50
Masing-masing kitab dibagi dalam bab-bab, masing-masaing bab
dibagi dalam bagian-bagian, dalam masing-masing bagian diagi dalam
pasal-pasal/ayat-ayat.21
Keterkaitan antara hukum perdata dengan hukum dagang dapat
dilihat pada contoh-contoh sebagai berikut:
1. Perjanjian jual-beli yang merupakan bidang terpenting dalam hukum
dagang, ternyata tidak diatur dalam KUHD.
2. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang merupakan bagian terpenting
dari hukum perdata tidak diatur dalam KUHPer, tetapi dicantum dalam
KUHD.
3. Perjanjian presekutuan (maatschapsovereenkomst) yang merupakan
bagian tepenting dari dunia perdagangan ternyata tidak diatur dalm
KUHD, melainkan dalam KUHPer.22
C. Materi-Materi KUHD Tentang Hak Reklame Penjual atas Pembeli yang
Pailit dalam Pasal 230-239 KUHD
Hak reklame adalah hak yang diberikan kepada penjual untuk
menuntut pengembalian barang jualan yang masih berada ditangani pembeli
(pasal 1145 KUHPer atau pasal 230 KUHD) hak ini diberikan kepada pihak
penjual yang mengadakan perjanjian jual beli mengenai barang bergerak dan
penjual sudah menyerahkan benda itu kepada pembeli, tetapi pembeli belum
atau baru membayar sebagian harga benda itu.
21 Kancil,C.S.T.,op.cit., Hlm. 8-10 22 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, cet. kedua. 1994, Hlm. 19-20
51
Menurut pasal 1474 KUHPer, kewajiban utama penjual ada dua yaitu
menyerahkan dan menjamin keamanan (Crijwaren) benda itu dari gugatan
pihak ketiga serta menjamin tidaknya cacat tersembunyi, sedangkan menurut
pasal 1513 KUHPer kewajiban utama pembeli ialah membayar harga benda
yang dibeli.23
Tetapi penulis hanya membatasi hak penjualnya saja dalam pasal 230-
239 KUHD, mengenai hak reklame dalam kepailitan.
Perjanjian jual beli adalah perjanjian timbal balik, artinya kedua belah
pihak harus berprestasi (pasal 1457 KUHPer). Jika pembeli tidak memenuhi
prestasinya, yaitu membayar harga barang, maka penjual berhak menuntut
kembali barangnya sesuai pasal 230 KUHD, dengan ketentuan pasal
selanjutnya.
230 KUHD
“Jika barang bergerak telah dijual dan diserahkan, dan harga pembeliannya belum Pasal dilunasi sepenuhnya dalam hal kepailitan pembeli, penjual berhak untuk menuntut kembali barang itu menurut ketentuan- ketentuan berikut.”
Jika penjualan dilakukan secara tunai, artinya harga barang harus
dibayar seketika juga, maka menurut pasal 1145 B.W., kepada si penjual
barang diberikan kekuasaan untuk meminta kembali barangnya, selama
barang itu masih berada pada si pembeli, asal saja permintaan kembali
dilakukan dalam waktu 30 hari setelah penyerahan barang kepada si pembeli
23 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1, op.cit.,Hlm.144
52
(hak reklame). Sudah tentu, permintaan kembali tersebut hanyalah akan ada
artinya apabila barangnya masih dalam keadaan semula.24
Ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 231 KUHD, menentukan
dengan jelas bahwa agar hak reklame dapat dilaksanakan, maka pada saat hak
reklame tersebut hendak dilaksanakan, kebendaan yang dijual tersebut harus
masih berada dalam keadaan yang sama dengan pada saat penyerahan (yang
menurut ketentuan pasal 1481 KUHPer harus sama dengan keadaan saat
penjual dilakukan), meskipun kebendaan tersebut telah dipindahkan, di
bungkus kembali, dikurangi jumlahnya, selama tidak merubah wujud dan
bentuknya.25
Pasal 231 KUHD
"Untuk melakukan hak penuntutan kembali disyaratkan, bahwa barang itu masih berada dalam keadaan yang sama seperti waktu diserahkan. Bukti untuk itu diizinkan, meskipun barang itu sudah dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus kembali atau dikurangi."
Sungguhpun bungkusnya sudah dibuka, barangnya sudah berkurang,
tidaklah menjadi rintangan untuk melakukan hak reklame. Bila barangnya
sudah dijual lagi kepada pembeli lain dan pembeli baru ini belum membayar
utangnya, penjual pertama boleh meminta, agar pembeli baru itu membayar
utangnya tidak kepada penjual (pembeli pertama), melainkan kepada penjual
24 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT Intermasa, Cet XVII, 1983, Hlm. 91 25 Gunawan Widjaja Dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
Cet 2, 2004, hlm. 257-258
53
pertama. Bila barangnya digadaikan (dijadikan jaminan utang), hak reklame
bisa dilakukan dengan menebus (membayar utang serta barangnya).26
Hak reklame harus dilakukan terhadap pembeli yang dinyatakan jatuh
pailit, jangka waktunya yang dalam keadaan biasa 30 hari itu menjadi 60 hari,
terhitung sejak barang itu diserahkan. Disamping itu tidak hanya barang yang
dijual tunai yang bisa dituntut kembali. Melainkan juga barang yang dijual
dituangkan dan belum dibayar, baik sebagian, maupun seluruhnya.27 Ini sesuai
dengan pasal 232.
Pasal 232 KUHD
"Barang bergerak, yang telah dijual baik dengan penentuan waktu maupun tanpa penentuan waktu dapat dituntut kembali, bila barang itu masih berada dalam perjalanan, baik di darat maupun di air, atau bila barang-barang itu masih berada pada orang yang jatuh pailit, atau pada pihak ketiga yang menguasai atau menyimpan barang itu untuknya. Dalam kedua hal, tuntutan kembali hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari terhitung dari hari barang itu disimpan di bawah kekuasaan orang yang pailit atau pihak ketiga."
Dalam KUHD juga disebutkan mengenai pelaksanan hak istimewa
penjual atas kebendaan yang dijual, yang barangnya belum dilunasi oleh
pembeli. Dalam hal yang demikian berarti, penjual, jika kebendaan yang telah
dijual olehnya tersebut, yang belum memperoleh pelunasan, dijual dari harta
kekayaan pembeli, maka hasil penjualan tersebut akan digunakan atau dipakai
untuk melunasi kewajiban pembeli kepada penjual terlebih dahulu.28 dan ini
sesuai pasal 1144 dan pasal 1132 KUHPer.
26 Iting Partadiredja, Pengetahuan Dan Hukum Dagang, Jakarta:Erlangga, 1978, hlm. 26. 27 Ibid., 28 Gunawan Widjaja Dan Kartini Muljadi,op.cit., Hlm. 253-254
54
Pasal 1144 KUHPer
"Penjual barang bergerak yang belum mendapat pelunasan dapat melaksanakan hak didahulukan atas uang pembelian barang itu, bila barang-barang itu masih berada ditangani debitur, tanpa memperhatikan apakah ia telah menjual barang-barang itu secara tunai atau tanpa penentuan waktu."
Pasal 1132 KUHPer
"Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadap hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila diantara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan."
Bila seorang kreditur ingin mendapat pembayaran dari debiturnya,
yang berhenti membayar utang-utangnya, maka kreditur itu harus berusaha
mendapatkan putusan hakim. Bila kreditur yang demikian itu ada banyak,
maka ktreditur yang terdahululah yang mendapat pelunasan penuh, sedangkan
kreditur-kreditur yang belakangan ada kemungkinan tidak mendapatkan
pelunasan penuh, sebab harta kekayaan debitur sudah berkurang atau habis.
Maka keadaan ini akan merugikan para kreditur yang belakangan dan kurang
adil.29
Dengan adanya hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan dasar hukum
kepailitan. menurut pasal 1131 KUHPer., seluruh harta kekayaan seseorang,
baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, baik yang berwujud benda
bergerak atau benda tetap, merupakan jaminan seluruh perikatan. Dalam
pelaksanaan ketentuan tersebut, pasal 1132 KUHPer. Memerintahkan agar
29 Purwosutjipto,H.M.N, Pengertian Hukum Dagang Indonesia 8,op.cit., Hlm30
55
harta kekayaan si debitur dijual lelang dimuka umum atas putusan hakim dan
hasilnya dibagi-bagikan kepada para kreditur secara seimbang, artinya sesuai
dan seimbang dengan jumlah piutang yang dimilikinya.30
Sesuai dengan pasal diatas, dimana seorang debitur yang telah
dinyatakan pailit karena tidak dapat melunasi hutang-hutangnya kepada
kreditur, maka untuk dapat memberikan hak para kreditur, harus diketahui
seberapa banyak harta orang yang pailit tersebut supaya dapat melunasinya,
maka bisa dilakukan tindakan atau hukum yang sesuai dengan perbuatan
tersebut misalnya dilakukan penyitaan atau pengampuan.
Harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan . ketentuan pasal 19 undang-undang
kepailitan secara tegas dinyatakan bahwa “kepailitan meliputi seluruh
kekayaan debitur yang ada pada saat pernyataan pailit itu dijatuhkan oleh
pengadilan, dan meliputi juga seluruh kekayaan yang diperoleh selama
kepailitan berlangsung."31
Walau demikian ketentuan pasal 20 undang-undang kepailitan
mengecualikan beberapa macam harta kekayaan debitur dari harta pailit
Barang-barang yang tidak terjangkau atau tidak dikenakan pernyataan
pailit, adalah:
1. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari
2. Alat perlengkapan dinas
3. Alat perlengkapan kerja
30 Ibid., 31Ibid., Hlm. 38
56
4. Persediaan makanan kira-kira satu bulan
5. Buku-buku yang dipakai untuk kerja
6. Gaji atau upah pensiunan, uang jasa, honorarium pengarang
7. Sejumlah uang yang diterima dari penghasilan anak-anaknya.
Barang-barang yang dikenakan pailit haruslah milik si pailit sendiri
sedang barang-barang pihak ketiga yang kebetulan berada pada tangan si
pailit, tidak terkena oleh kepailitan.
Setiap pelaksanaan hukum atas harta kekayaan debitur sebelum adanya
putusan pailit segera berakhir dengan adanya putusan pailit selanjutnya dalam
pelaksana hukum tersebut antara lain:
1. Penyitaan
2. Paksaan badan
3. Uang paksa
4. Penjualan barang untuk melunasai hutang pembalikan nama.
5. Lampau waktu.32
Ada satu ketentuan yang menegaskan bahwa pada dasarnya seorang
penjual tidak boleh memperoleh keuntungan dari kepailitan pembeli. Agar
harta-harta pailit tidak dirugikan, maka penjual berkewajiban untuk
mengembalikan seluruh harga pembelian yang telah diterima olehnya kepada
harta pailit, karena ia telah menuntut barang secara keseluruhan yang terdapat
pada orang yang pailit. Ini sesuai dengan pasal 233 KUHD. Yang
menyatakan:
32 Victor M. Sitomorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Jakarta:PT Rineka Cipta, Cet. 1, Hlm.66
57
Pasal 233 KUHD
"Bila pembeli telah melunasi sebagian uang pembeliannya, maka pada peuntutan kembali seluruhnya, penjual wajib memberikan kembali uang yang telah diterimanya pada harta paili itu."
Jika hanya sebagian dari barang-barang itu yang ditemukan dalam
harta pailit. Pasal 234 KUHD yang berisi terhadap sisa bagian dari kebendaan
yang dibeli oleh pembeli yang tidak dikemukakan dalam harta pailit, penjual
dapat memajukan dirinya sebagai kreditur konkuren sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 1132 KUHPer.
Pasal 234 KUHD
"Bila barang yang dijual hanya sebagian didapatkan pada harta pailit, pembelian kembali dilakukan menurut timbangan dan dalam perbandingan dengan harga pembelian dalam keseluruhannya."
Pasal 1132 KUHPer
"Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersam-bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjual benda-benda itu di bagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para kreditur itu ad alasan-alasan yang sah untuk didahulukan."
Bahwa penggantian dalam pasal 233 KUHD tersebut juga meliputi
hal-hal yang disebutkan dalam pasal 235 KUHD.33
Pasal 235 KUHD
"Penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberikan gantirugi kepada harta orang yang jatuh pailit untuk semua yang telah dibayar atau yang masih terutang karena bea, upah
33 Ibid., Hlm.259
58
pengangkutan, komisi, kerugian laut umum, dan selanjudnya segala biaya yang digunakan untuk keselamatan barang dagangan."
Khusus bagi individu atau debitur perorangan yang dinyatkan pailit,
seluruh akibat dari pernyataan pailit tersebut yang berlalu untuk debitur pailit
juga berlaku bagi suami atau isteri yang menikah dalam persatuan harta
dengan debitur pailit tersebut. Ini berarti bahwa kepailitan tersebut berarti juga
meliputi seluruh harta kekayaan dari pihak suami atau isteri debitur
perorangan dari debitur yang dinyatakan pailit tersebut, yang menikah dalam
persatuan harta kekayaan, harta kekayaan tersebut meliputi harta yang telah
ada pada saat pernyataan pailit diumumkan dalam harta kekayaan yang
diperoleh selama kepailitan.34
Pasal 60 mengatur mengenai masalah hak yang dimiliki oleh seorang
isteri atas kepailitan suaminya, di mana dikatakan "Apabila seorang suami
dinyatakan pailit, maka isteri dibolehkan mengambil kembali semua barang
bergerak dan tak bergerak yang menjadi kepunyaannya, yang tidak jatuh
dalam persatuan harta". Jika suami atau isteri, pada waktu perkawinan
dilangsungkan membawa barang-barang yang hendak ditaruhnya di luar
persatuan, maka yang demikian itu harus dibuktikan sebagaimana ditentukan
dalam pasal 150 KUHPer.35
Selanjutnya jika ada barang-barang bergerak yang selama perkawinan
karena warisan, penghibah wasiatan atau penghibahan jatuh pada isteri, maka
34 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., Hlm. 28 35 Martiman Prodjohamidjojo, proses kepailitan (menurut peraturan pemerintah
pengganti UU no.1 tahun 1998 tentang perubahan atas UU kepailitan), Bandung:Mandar Maju, 1999, Hlm. 35-36
59
apabila terjadi perselisihan harus dibuktikan menurut salah satu cara yang
disebutkan dalam pasal 166 KUHPer. Demikian juga segala kebendaan yang
berasal dari penanaman modal atau yang dibelinya dari kepunyaan isteri di
luar persatuan boleh diambil oleh isteri. Jika tidak terjadi perselisihan dapat
dibuktikan dengan surat-surat bukti secukupnya menurut hakim. Sedangkan
jika barang-barang kepunyaan isteri dijual oleh suaminya namun harganya
belum dibayar ataupun uang pembeliannya masih tak tercampur berada dalam
harta pailit, maka isteri diperkenankan untuk mengambil kembali harga beli
atau uang pembelian yang masih ada itu. Untuk piutang-piutang pribadi, isteri
tampil ke muka sebagai orang berpiutang konkuren.36
Dalam pasal 61, isteri tidak diperkenankan mengajukan tuntutan
terhadap harta pailit, guna menuntut keuntungan-keuntungan yang
diperjanjikan dalam perjanjian kawin. Demikian pula sebaliknya, kreditur
lainnya pun dilarang untuk menikmati keuntungan-keuntungan yang
diperjanjikan oleh isteri kepada suaminya dalam perjanjian kawin.37
Kepailitan pada suami atau istri yang dikawin dengan harta campur,
diperlakukan sebagai kepailitan persatuan. Dalam hal kepailitan maka
meliputi segala benda yang jatuh dalam persatuan, kepailitan ini adalah untuk
kepentingan semua orang yang berpiutang, yang berhak meminta pemayaran
dari benda-benda persatuan. Jika suami atau istri yang teah dinyatakan pailit,
mempunyai barang-barang yang tidak jatuh dalam persatuan, maka barang-
36 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Log cit., Hlm.29 37 Ibid., Hlm. 29
60
barang inipun termasuk dalam kepailitan, namun hanya untuk membayar
utang-utang yang mengikat si pailit secara pribadi.38
Kemudian pasal 236 KUHD menerangkan, jika akseptasi untuk
seluruh nilai atau harga pembelian oleh pembeli. Pembeli telah menyatakan
kesanggupannya untuk membayar harga jual kebendaan tersebut pada saatnya,
yang dinyatakan dengan akseptasi tersebut. Sebagai suatu surat berharga,
undang-undang menganggap bahwa dengan akseptasi yang dilakukan oleh
pembeli, penjual telah dapat memperoleh pembayaran bahkan sebelum saat
jatuh tempo dengan cara menjual surat wesel yang telah diakseptasi tersebut.
Dalam konstruksi yang demikian, berarti penjual sudah kehilangan hak
istimewanya atas pembayaran yang mendahului menurut ketentuan pasal 1139
KUHPer. Dan karenanya atas ketiada pembayaran surat wesel tersebut,
penjual akan diperlakukan sebagai kreditur konkuren atas harta pailit. Hal
tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya pengampuan utang yang
dimungkinkan menurut ketentuan yang berlaku, baik dalam KUHPer maupun
dalam undang-undang kepailitan.
Pasal 1139 KUHPer
"Piutang-piutang yang didahulukan atas barang-barang tertentu, ialah: 1º Biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang bergerak atau barang tak bergerak sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan biaya ini dibayar dengan hasil penjual barang tersebut, lebih dahulu daripada segala utang lain yang mempunyai hak didahulukan , bahkan lebih dahulu daripada gadai dan hipotek.
38 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit., Hlm. 37
61
2º Uang sewa barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian penyewa itu. 3º Harga pembeli barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian penyewa itu; 4º Biaya untuk menyelamatkan suatu barang; 5º Biaya pengerjaan suatu barang yang masih harus di bayar kepada pekerjanya. 6º Apa yang diserahkan kepada seorang tamu rumah penginapan oleh pengusaha rumah penginapan sebagai pengusaha rumah penginapan; 7º Upah pengangkutan dan biaya tambahan lain; 8º Apa yang masih harus di bayar oleh tukang batu, tukang kayu dan tukang lain karena pembangunan, penambahan, dan penambahan barang bergerak asalkan piutang itu tidak lebih lama dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap ada pada si debitur 9º Penggantian dan pembayaran yang dipikul oleh pegawai yang memangku jabatan umum karena kelalaian, kesalahan , pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya."
Ketentuan dasar dalam undang-undang kepailitan yang menyatakan
diperkenankannya perjumpaan uang adalah ketentuan yang dinyatakan
diperkenankannya perjumpaan utang adalah ketentuan yang dimuat dalam
pasal 52 ayat (1). Dalam rumusan ayat tersebut, secara tegas dikatakan bahwa:
'Setiap orang yang mempunyai baik utang maupun piutang terhadap
debitur pailit, berhak meminta diadakannya perjumpaan utang, apabila utang
maupun piutang tersebut kedua-duanya diterbitkan sebagai pernyataan pailit,
ataupun akibat dari perbuatan yang dilakukannya dengan debitur pailit
sebelum pernyataan pailit diucapkan'. Dari rumusan tersebut dapat diketahui
esensi pokok dari setiap perjumpaan uang dalam rangka pemberesan harta
62
pailit adalah bahwa utang dan piutang yang diperjumpakan haruslah telah ada
sebelum pernyataan pailit diputuskan.39
Pasal 236 KUHD
"Bila pembeli telah mengakseptasi dengan surat wesel atau surat dagang lain jumlah penuh dari harga barang yang dijual dan diserahkan, maka tidak terjadi penuntutan kembali. Bila akseptasi itu dilakukan untuk sebagian dari uang pembelian yang terutang, dapat dilakukan penuntutan kembali, asalkan untuk kepentingan harta orang yang jatuh pailit diadakan jaminan untuk hak sebagai dari akseptasi itu, yang darinya dapat dituntut."
Dari pasal 236 KUHD ayat (2) menyatakan bahwa jika hanya sebagian
saja yang diakseptasi, maka penjual berhak untuk tetap menuntut
pengembalian kebendaan yang telah dijual tersebut, selama penjual yang telah
memperoleh akseptasi sebagian menjamin harta pailit atas sebagian akseptasi
yang telah dilakukan oleh pembeli yang dinyatakan pailit tersebut, dalam
pasal 237 KUHD.
Pasal 237 KUHD "Bila barang dituntut kembali diambil dengan ittikad baik sebagai jaminan utang oleh pihak ketiga, penjual tetap mempunyai hak menuntut kembali, akan tetapi sebaliknya mempunyai kewajiban kepada pemberi utang untuk memenuhi jumlah yang dipinjamkan dengan bunga dan biaya yang terutang."
Pasal di atas mengatur mengenai penjaminan (kebendaan) yang telah
diletakkan atas kebendaan yang telah dibeli tersebut oleh pembeli kepada
seseorang pihak ketiga yang memberikan pinjaman uang kepada pembeli.
39 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja,log.cit., Hlm. 51-52
63
Dengan demikian berarti selama, penjual dapat memenuhi kewajiban
pembeli kepada pihak yang menjaminkan uang kepadanya, maka ia berhak
untuk mengambil kembali kebendaan yang telah dijaminkan tersebut. Untuk
dapat mengambil kembali barang pada orang yang bangkrut dan dinyatakan
pailit maka harus dilihat dari harta yang tersedia untuk membayar lunas
kapada kreditur konkuren.40
Selanjutnya jika ternyata kebendaan tersebut, baik selama masa
perjalanan maupun setelah berada dalam penguasaan pembeli yang dinyatakan
pailit telah dijual kepada pihak ketiga yang beri'tikad baik, maka hak reklame
menjadi gugur demi hukum. Walau demikian sejalan dengan ketentuan pasal
1146a KUHPer., penjual tetap diberikan hak untuk menagih pembayaran yang
belum dilakukan oleh pembeli terakhir kepada pembeli yang dinyatakan pailit
tersebut, guna melunasi piutang penjual tersebut. Maka dalam hal ini sesuai
dengan ketentuan pasal 238 KUHD.41
Pasal 238 KUHD
"Tuntutan kembali barang dihapus, bila barang itu selama di perjalanan dibeli dengan I’ttikad baik oleh pihak ketiga atas faktur dan atas konosemen atau surat muatan. Namun penjual aslinya dalam hal itu berhak untuk menagih pada pembeliannya, selama belum dilunasi sebesar jumlah tagihannya, dan ia mempunyai hak mendahului terhadap uang itu, dengan tidak diperbolehkan untuk mencampurkan uang itu dengan harta orang yang pailit. Ketentuan alenia yang lalu berlaku juga dalam hal barang itu, setelah berada dalam penguasaan orang yang pailit atau seseorang yang bertindak untuknya, akibat pembelian dan penyerahan dengan i'tikad baik, telah menjadi pihak yang ketiga."
40 Ibid., 41 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op cit., Hlm. 261
64
Hak penjual lepas bila barang-barang itu setelah berada dalam
penguasaan pembeli semula atau kekuasaannya, dibeli dengan itikad baik oleh
pihak ketiga dan telah diserahkan kepadanya.
Akan tetapi bila uang pembelian itu belum dibayar oleh pihak ketiga
itu, penjual semula dapat menuntut uangnya itu sampai memenuhi jumlah
tagihannya, asalkan tagihan itu dilakukan dalam waktu 60 hari setelah
penyerahan semula.
Apabila dalam perjanjian jual beli barang, di mana barang sudah
diserahkan tetapi harganya belum dibayar sebelum adanya putusan kepailitan,
maka balai harta peninggalan dapat menuntut harga pemenuhan harganya atau
dapat memecahkan perjanjian dengan ganti rugi, bilamana dianggap lebih
menguntungkan budel. Jika yang belum berprestasi itu si debitur, kemudian
debitur jatuh pailit maka pihak lawan dapat tampil dalam rapat verifikasi atau
menuntut pemecahan dalam perjanjian ganti rugi. Jadi dapat disimpulkan, bila
salah satu pihak sudah berprestasi sepenuhnya, maka tidak menimbulkan
kesulitan, lain halnya bilamana ada waktu dijatuhkannya kepailitan perjanjian
itu belum dilakukan sebagian, maka dalam masalah ini berlaku pasal 36
tentang peraturan kepailitan.42
Dengan memperhatikan ketentuan pasal 1132, pasal 1133 dan pasal
1139 kitab undang-undang hukum perdata tersebut diatas, dan fungsi kurator
untuk meningkatkan harta pailit guna kepentingan debitor dan kreditor, pasl
239 kitab undang-undang hukum dagang menentukan:
42 Victor M. Sitomorang dan Hendri Soekarso, op.cit. , Hlm.85
65
Pasal 239 KUHD
"Para pengurus harta pailit mempunyai wewenang untuk mempertahankan harta itu , barang-barang yang dituntut kembali , asalkan memenuhi harga pembelian kepada penjual yang olehnya tidak dipersyaratkan pada orang yang pailit."
Dengan demikian tidak selamanya tuntutan yang dimajukan oleh
kreditor pasti dikabulkan. Selama kepailitan berlangsung, sepanjang hak-hak
penjual yang diberikan dalam pasal 1132, pasal 1133 dan pasal 1139 kitab
undang-undang hukum perdata dipenuhi, kurator berhak untuk menolak hak
reklame yang dimajukan oleh enju atau kreditor terhadap kebendaan yang
dijual terhadap kebendaan yang dijual yang belum dibayar oleh pembeli yang
dinyatakan pailit.43
Jadi hak reklame itu adalah sebuah upaya khusus, yang oleh undang-
undang diberikan kepada penjual, untuk mendapatkan kembali hak milik atas
benda bergerak, yang karena penyerahan hak milik itu sudah beralih kepada
pembeli. Pelaksanaan hak reklame itu merupakan suatu upaya sepihak yang
berakibat pavahnya perjanjian jual beli dengan sendirinya.
Bila seseorang yang berhutang, menghentikan pembayaran utang-
utangnya, dapat dinyatakan pailit dengan suatu keputusan hakim. Tidak
terdapat syarat-syarat yang diwajibkan, bahwa orang itu tidak mempunyai
uang. Sudah cukup, apabila orang itu tidak membayar utang-utangnya.44
Kemudian untuk dapat melaksanakan hak Reklame tersebut adalah
43 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, lok cit., Hlm. 260 44 R. Susanto, Hukum dagang, & Koperasi di Indonesia, Jakarta Pradnya Paramita, 1982,
Hlm. 124
66
sesuai pasal 230-239 KUHD untuk memudahkan dalam menganalisa dalam
bab selanjutnya, penulis tulis dalam tiga kategori:
1. Apabila terjadi jual beli yang terhadap barang bergerak yang belum
dilunasi sepenuhnya harga pembelian nya dan barang tersebut telah
diserahkan pada orang yang pailit maka dapat dituntut kembali dengan
ketentuan sebagai berikut; (pasal 230 KUHD)
2. Syarat untuk dapat menuntut kembali barang yang terdapat pada orang
yang pailit adalah
a. Barang tersebut masih utuh maksudnya meskipun barang itu sudah
dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus kembali atau dikurangi.
(pasal 231 KUHD)
b. Penuntutan dapat dilakukan dalam jangka waktu enam puluh hari
terhitung dari saat barang tersebut diserahkan pertama kali, bila barang
tersebut masih dalam perjalanan baik di darat maupun di air atau
barang tersebut masih terdapat pada orang pailit ataupun terdapat pada
pihak ketiga baik dengan penentuan waktu maupun tidak. (pasal 232
KUHD)
c. Bila pembeli telah melunasi sebagian uang pembelian nya, maka
penjual wajib memberikan kembali uang yang telah diterimanya pada
harta pailit. (pasal 233 KUHD)
d. Bila barang dijual hanya sebagian didapatkan pada harta pailit
pembelian kembali dilakukan menurut timbangan semula. (pasal 234
KUHD)
67
e. Penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberi ganti rugi
pada pembeli pailit untuk semua yang telah dibayar atau masih
terutang karena bea, upah pengangkutan, komisi, asuransi, kerugian
laut dan segala biaya yang digunakan untuk keselamatan barang
tersebut. (pasal 235 KUHD)
f. Bila pembeli telah mengakseptsi dengan surat wesel atau surat dagang
lain jumlah penuh, maka tidak terjadi penuntutan kembali. Tetapi bila
akseptsi itu dilakukan untuk sebagian dari uang pembelian yang
terutang dapat dilakukan penuntutan kembali, asalkan untuk
kepentingan harta orang yang jatuh pailit diadakan jaminan untuk hak
sebagai akibat dari akseptasi itu. (pasal 236 KUHD)
g. Bila barang yang dituntut kembali diambil dengan I'tikad baik sebagai
jaminan utang oleh pihak ketiga, penjual tetap mempunyai hak untuk
menuntut kembali, akan tetapi mempunyai kewajiban pada pemberi
hutang untuk memenuhi jumlah yang dipinjamkan, dengan bunga dan
biaya yang terutang. (pasal 237 KUHD)
h. Tuntutan kembali dihapus bila barang itu selama perjalanan dibeli
pihak ketiga dengan I'tikad baik atas faktur dan atas konosemen atas
surat muatan. Namun penjual aslinya tetap mempunyai hak pada
pembeli harga pembeliannya selama belum dilunasi, dan ia
mempunyai hak mendahului terhadap uang itu dengan tidak
mencampurkan uang itu dengan harta orang pailit. (pasal 238 KUHD)