BAB IIeprints.stiei-kayutangi-bjm.ac.id/959/3/BAB II.docx · Web view2019. 10. 9. · BAB II....
Transcript of BAB IIeprints.stiei-kayutangi-bjm.ac.id/959/3/BAB II.docx · Web view2019. 10. 9. · BAB II....
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Empirik
Trimurthy (2008) dengan judul Analisis Hubungan Persepsi Pasien Tentang
Mutu Pelayanan Dengan Minat Pemanfaatan Ulang Pelayanan Rawat Jalan
Puskesmas Pandanaran Kota Semarang. Hasil analisis menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara persepsi pasien tentang kehandalan pelayanan (p – value
: 0,003) dengan minat pemanfaatan ulang pelayanan rawat jalan di Puskesmas
Pandanaran Kota Semarang. Terdapat hubungan antara persepsi pasien tentang
daya tanggap pelayanan (p – value : 0,0001) dengan minat pemanfaatan ulang
pelayanan rawat jalan di Puskesmas Pandanaran Kota Semarang. Terdapat
hubungan antara persepsi pasien tentang jaminan pelayanan (p – value : 0,0001)
dengan minat pemanfaatan ulang pelayanan rawat jalan di Puskesmas Pandanaran
Kota Semarang. Terdapat hubungan antara persepsi pasien tentang empati
pelayanan(p – value : 0,0001) dengan minat pemanfaatan ulang pelayanan
rawatjalan di Puskesmas Pandanaran Kota Semarang. Terdapat hubungan antara
persepsi pasien tentang daya buktilangsung pelayanan (p – value : 0,003) dengan
minat pemanfaatan ulang pelayanan rawat jalan di Puskesmas Pandanaran Kota
Semarang.
Fajar, dkk (2010) dengan judul Kepuasan Pasien Jamkesmas Terhadap
Kualitas Pelayanan Kesehatan Di Poli Umum Puskesmas Petaling Kabupaten
Bangka. Jaminan Kesehatan Masyarakat adalah program bantuan sosial pemerintah
bagi masyarakat miskin. Hasil riset Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan
bahwa kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Program
8
JAMKESMAS masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari laporan pelaksanaan Program
JPKM-ASKESKIN tahun 2007 dan laporan pelaksanaan Program JAMKESMAS
tahun 2008 di Puskesmas Petaling yang mengalami penurunan jumlah kunjungan
sebesar 60,52%. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kepuasan pasien JAMKESMAS terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Poli
Umum Puskesmas Petaling Kabupaten Bangka. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan menggunakan importanceperformance analysis. Sampel
penelitian ini berjumlah 73 pasien JAMKESMAS yang diambil melalui teknik
purposive sampling. Alat pengumpulan data berupa data primer yang berasal dari
hasil kuesioner dan data sekunder yang berasal dari profil kesehatan Puskesmas
Petaling. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa secara keseluruhan
pelayanan kesehatan di Poli Umum PKM Petaling kurang memuaskan karena
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari 5 (lima) dimensi jasa pelayanan
masih ada 2 (dua) dimensi yang tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan
seperti dimensi keandalan dan ketanggapan. Nilai rata-rata tingkat kesesuaian
seluruh dimensi yaitu 82,49% dimana dimensi keandalan 78,47%, ketanggapan
80,70%, jaminan 85,01%, empati 82,68% dan berwujud 85,63%.
Darmawan (2003), melakukan penelitian tentang kepuasan pasien rawat inap
di rumah sakit daerah DKI Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian dijelaskan bahwa
secara keseluruhan gambaran kepuasan pada pelayanan rawat inap rumah sakit
daerah di Jakarta masih menunjukkan keadaan yang kurang memuaskan. Separoh
dari bagian pelayanan dari seluruh bagian pelayanan rawat inap rumah sakit daerah
dinilai oleh kelompok pasien telah memenuhi harapan mereka. Masih ada beberapa
bagian pelayanan rawat inap dipersepsikan kurang memenuhi kaharapan responden
9
dari kelompok keluarga miskin yaitu kelambatan pelayanan pada bagian farmasi;
pelayanan dokter dalam hal keramahan, kecekatan, ketelitian, dan kepedulian;
seluruh aspek pelayanan laboratorium; seluruh aspek pelayanan radiologi; dan
seluruh aspek pelayanan fisiotrapi. Sebagain besar pasien keluarga miskin
menyatakan bahwa pelayanan rawat inap rumah sakit daerah telah memenuhi
harapan mereka khususnya untuk keadaan kebersihan bagian luar rumah, farmasi,
UGD, perawat, dokter, laboratorium, radiologi dan fisiotrapi.
Fahmalailani (2005), melakukan pengujian terhadap hubungan kualitas
pelayanan dengan kepuasan pengguna pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum
Derah Ulin Banjarmasin. Variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah
tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empaty sebagai indikator
kualitas layanan pengguna jasa farmasi. Berdasarkan hasil penelitian dengan
menggunakan pendekatan Importance Performance Analysis, menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara variabel reliability, empaty dan tangibles maupun
kualitas pelayanan secara keseluruhan dengan kepuasan pengguna jasa di Instalasi
Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin. Sedangkan untuk variabel responsiveness dan
assurance tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kepuasan pengguna jasa
di Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin. Variabel empaty (sikap) merupakan
variabel yang paling kuat hubungannya dengan kepuasan pengguna jasa di Instalasi
Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin.
Sabarniati (2007) menguji tentang analisis hubungan kualitas pelayanan
jasa kesehatan dengan kepuasan pasien di poli-poli rawat jalan Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara variabel Reliability, Responsiveness,
10
Assurance, Empathy, dan Tangibles secara keseluruhan dengan kepuasan pasien di
Poli-Poli rawat jalan pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin.
Variabel Tangibles merupakan variabel yang paling kuat hubungannya dengan
kepuasan pasien di Poli-Poli rawat jalan pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Ulin Banjarmasin. Hal ini sesuai dengan tanggapan pasien, kondisi fisik rumah sakit
menjadi perioritas utama bagi para pasien seperti tempat/ruang berobat, peralatan
kesehatan yang digunakan, waktu pelayanan pasien, dan kerapian petugas yang
merupakan satu kesatuan yang menjadi perhatian pasien pertama kali mereka
berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin. Dengan
demikian, jika ruangan berobat membuat pasien senang, peralatan yang tersedia
sangat memadai, dan petugasnya rapi dan ramah maka kepuasan pasien akan
meningkat. Tetapi sebaliknya, jika ruangan berobat tidak membuat pasien senang,
peralatan yang tersedia kurang memadai, dan petugasnya tidak ramah dan rapi
maka kepuasan pasien akan menurun. Oleh karena itu, kondisi fisik perlu lebih
diperhatikan.
2.2. Kajian Teoritis
2.2.1 Mutu Pelayanan Kesehatan
Mutu adalah keseluruhan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan
kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik berupa kebutuhan
yang dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat (Efendi, 2009: 374).
Menurut IBM (1982) mutu adalah memenuhi persyaratan yang diminta
konsumen, baik konsumen internal maupun eksternal, dalam hal layanan dan
produk yang bebas cacat (Al-Assaf, 2009: 142).
11
Menurut Xerox (1983) mutu adalah menyediakan konsumen kita dengan
produk yang inovatif dan layanan yang sepenuhnya memuaskan permintaan mereka
(Al-Assaf, 2009).
Menurut Al-Assaf (2009) mutu adalah suatu proses pemenuhan kebutuhan
dan harapan konsumen, baik internal maupun eksternal. Mutu juga dapat dikaitkan
sebagai suatu proses perbaikan yang bertahap dan terus menerus (Al-Assaf, 2009).
Azwar (2008:20) mendefinisikan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya
yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit
serta memulihkan kesehatan perseorangan, kelompok, dan ataupun masyarakat.
Azwar (2008:21) menyatakan bahwa kualitas pelayanan kesehatan adalah
menunjuk pada tingkat kesempurnaan penampilan pelayanan kesehatan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat
kepuasan rata-rata penduduk, tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar
dan kode etik profesi yang telah ditetapkan.
Menurut Moenir (2005 : 212), terdapat beberapa faktor yang mendukung
berjalannya suatu pelayanan dengan baik, yaitu:
1. Kesadaran para pejabat dan petugas yang berkecimpung dalam pelayanan.
2. Aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan.
3. Organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya
mekanisme kegiatan pelayanan.
4. Ketrampilan petugas.
5. Sarana dalam pelaksanaan tugas pelayanan.
12
Menurut Lori dalam Wijoyo (2008: 112) ada 8 dimensi mutu pelayanan, yaitu:
1. Kompetensi teknis (Technical competence)
Adalah terkait dengan keterampilan, kemampuan dan penampilan petugas,
manajer dan staf pendukung. Kompetensi teknis berhubungan dengan
bagaimana cara petugas mengikuti standart pelayanan yang telah ditetapkan
dalam hal: kepatuhan, ketepatan (accuracy), kebenaran (reliability), dan
konsistensi.
2. Akses terhadap pelayanan (Acces to service)
Adalah pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial,
ekonomi, budaya, organisasi atau hambatan bahasa.
3. Efektivitas (Effectiveness)
Adalah kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektivitas yang
menyangkut norma pelayanan kesehatan dan petunjuk klinis sesuai standart
yang ada.
4. Efisiensi (Efficiency)
Adalah dimensi yang penting dari kualitas karena efisiensi akan mempengaruhi
hasil pelayanan kesehatan, apalagi sumberdaya pelayanan kesehatan pada
umumnya terbatas. Pelayanan yang efesien pada umumnya akan memberikan
perhatian yang optimal kepada pasien dan masyarakat. Petugas akan
memberikan pelayanan yang terbaik dengan sumber daya yang dimiliki.
5. Kontinuitas (Continuity)
Adalah klien akan menerima pelayanan yang lengkap yang dibutuhkan
(termasuk rujukan) tanpa mengulangi prosedur diagnose dan terapi yang tidak
perlu.
13
6. Keamanan (Safety)
Adalah mengurangi resiko cidera, infeksi atau bahaya lain yang berkaitan
dengan pelayanan. Keamanan pelayanan melibatkan petugas dan pasien.
7. Hubungan antar manusia (Interpersonal relations)
Adalah interaksi antara petugas kesehatan dan pasien, manajer dan petugas,
dan antara tim kesehatan dengan masyarakat. Hubungan antar manusia yang
baik menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara menghargai,
menjaga rahasia, menghormati, responsive, dan memberikan perhatian.
8. Kenyamanan (Amenities)
Adalah pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan
efektifitas klinis, tetapi dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan bersedianya
untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya.
Amenities juga berkaitan dengan penampilan fisik dari fasilitas kesehatan,
personil,dan peralatan medis maupun non medis.
Sementara menurut Hidayat (2008: 97) factor-faktor yang mempengaruhi
pelayanan kesehatan adalah:
1. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru
Mengingkat perkembanga ilmu pengetahuan dan teknologi, maka akan diikuti
oleh perkembangan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah penyakit-
penyakit yang sulit dapat digunakan penggunaan alat seperti leser, terapi
penggunaan gen dan lain-lain.
2. Nilai masyarakat
Dengan beragamnya masyarakat, maka dapat menimbulkan pemanfaatan jasa
pelayanan kesehatan yang berbeda. Masyarakat yang sudah maju dengan
14
pengetahuan yang tinggi, maka akan memiliki keasadaran yang lebih dalam
pengunaan atau pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, demikian juga
sebaliknya.
3. Aspek legal dan etik
Dengan tingginya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan atau
pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, maka akan semakin tinggi pula tuntutan
hukum dan etik dalam pelayanan kesehatan, sehingga pelaku pemberi
pelayanan kesehatan harus dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan
secara professional dengan memperhatikan nilai-nilai hokum dan etika yang ada
di masyarakat.
4. Ekonomi
Semakin tinggi ekonomi seseorang, pelayanan kesehatan akan lebih
diperhatikan dan mudah dijangkau, begitu juga sebaliknya, keadaan ekonomi ini
yang akan dapat mempengaruhi dalam system pelayanan kesehatan.
5. Politik
Kebijakan pemerintah melalui system politik yang ada akan semakin
berpengaruh sekali dalam system pemberian pelayanan kesehatan. Kebijakan-
kebijakan yang ada dapat memberikan pola dalam sistem pelayanan.
Mutu dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut (Efendi,
2009: 342):
1. Berfokus pada pelanggan
Yang menentukan mutu barang dan jasa adalah pelanggan eksternal. Pelanggan
internal berperan dalam menentukan mutu manusia, proses dan lingkungan yang
berhubungan dengan barang dan jasa.
15
2. Obsesi terhadap mutu
Penentuan akhir mutu adalah pelanggan internal dan eksternal. Dengan mutu
yang ditentukan tersebut, organisasi harus berusaha memenuhi atau melebihi
yang telah ditentukan.
3. Pendekatan ilmiah
Terutama untuk merancang pekerjaan dan proses pembuatan keputusan dan
pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dirancang tersebut.
4. Komitmen jangka panjang
Agar penerapan mutu dapat berhasil, dibutuhkan budaya organisasi yang baru.
Untuk itu, perlu ada komitmen jangka panjang guna mengadakan perubahan
budaya.
5. Kerja sama tim
Kerja sama tim, kemitraan, dan hubungan perlu terus-menerus dijalin dan dibina,
baik antar aparatur antar organisasi maupun dengan pihak luar (masyarakat).
6. Perbaikan sistem secara berkesinambungan
Setiap barang dan jasa dihasilkan melalui proses di dalam suatu system atau
lingkungan. System yang ada perlu diperbaiki secara terus-menerus agar mutu
yan dihasilkan lebih meningkat.
7. Pendidikan dan pelatihan
Pendidikan dan pelatihan merupakan faktor yang mendasar (fundamental). Disini
berlaku prinsip belajar yang merupakan proses tiada akhir dan tidak mengenal
batas usia.
Prinsip peningkatan mutu pelayanan menurut Wijoyo (2008: 116) adalah
sebagai berikut:
16
1. Memenuhi kebutuhan pasien
a. Memenuhi pelayanan yang di inginkan pasien.
b. Memenuhi apa yang dipikirkan pasien tentang pelayanan yang anda berikan.
c. Membangun kebersamaan antara pasien dan petugas terhadap pelayanan
kesehatan yang diberikan.
2. Mengukur dan menilai pelayanan yang diberikan
a. Mengukur dan menilai apa yang dilakukan.
b. Mengukur pengaruh pelayanan yang diberikan terhadap kepuasan pasien.
c. Mengukur dan menilai variable yang penting guna perbaikan.
3. Memperbaiki proses pelayanan
a. Menyederhanakan memperbaiki proses terus menerus, sesuai standar
pelayanan.
b. Mengurangi kesalahan dan hasil yang buruk.
4. Meningkatkan mutu pemberi pelayanan
a. Integrasi tim untuk mengurangiduplikasi hasil pekerjaan dan pemborosan
sumberdaya.
b. Memberikan penghargaan, meningkatkan tanggung jawab, dan kerjasama
dalam pelayanan kesehatan.
c. Membentuk dan mmberdayakan GKM atau kelompok budaya kerja.
5. Memenuhi (kuantitas) dan kualitas sarana dan prasarana yang digunakan untuk
melakukan pelayanan kesehatan.
Tingkat pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada masyarakat. Menurut Leavel dan Clark (Hidayat, 2008: 105) dalam
memberikan pelayanan kesehatan harus memandang pada tingkat pelayanan
17
kesehatan yang akan diberikan, di antara tingkat pelayanan kesehatan tersebut
adalah:
1. Health Promotion (promosi kesehatan)
Bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan agar masyarakat atau
sasarannya tidak terjadi gangguan kesehatan. Tingkat pelayanan ini dapat
meliputi, keberhasilan perseorangan, perbaikan sanitasi lingkungan, pemeriksaan
kesehatan berkala, kebiasaan hidup sehat, peningkatan status gizi, dan lain-lain.
2. Specific Protection (perlindungan khusus)
Melindungi masyarakat dari bahaya yang akan menyebabkan penurunan status
kesehatan, atau bentuk perlindungan terhadap penyakit-penyakit tertentu/
ancaman kesehatan, misalnya pemberian imunisasi yang di gunakan untuk
perlindungan pada penyakit tertentu seperti imunisasi BCG, DPT, Hepatitis,
campak dan lain-lain.
3. Early Diagnosis and Prompt Treatment (diagnosis dini dan pengobatan segera)
Timbulnya gejala pada suatu penyakit. Tingkat pelayanan ini dilakukan untuk
mencegah meluasnya penyakit yang lebih lanjut serta dampak dari timbulnya
penyakit sehingga tidak terjadi penyebaran. Misalnya berupa kegiatan dalam
rangka survey pencarian kasus baik secara individu maupun masyarakat/
kelompok.
4. Disability Limitation (pembatasan cacat)
Dilakukan untuk mencegah agar pasien atau masyarakat tidak mengalami
dampak kecacatan akibat penyakit yang ditimbulkan. Bentuk kegiatan yang dapat
dilakukan misalnya perawatan untuk mwnghentikan penyakit, mencegah
18
komplikasi lebih lanjut, memberikan segala fasilitas untuk mengatasi kecacatan
dan mencegah kematian.
5. Rehabilitation (rehabilitasi)
Pelayanan ini dilaksanakan setelah pasien di diagnose sembuh. Sering pada
tahap ini dijumpai pada fase pemulihan terhadap kecacatan sebagaimana
program latihan-latihan yang diberika kepada pasien, kemudian memberika
fasilitas agar pasien memiliki keyakinan kembali atau gairah hidup kembali ke
masyarakat dan masyarakat mau menerima dengan senang hati karena
kesadaran yang dimilikinya.
2.2.2 Lembaga Pelayanan dan Lingkup Pelayanan Kesehatan
Lembaga pelayanan kesehatan adalah tempat pemberian pelayanan
kesehatan pada masyarakat dalam rangka meningkatkan status kesehatan. Tempat
pelayanan kesehatan menurut Hidayat (2008: 112) dapat berupa, yaitu:
1. Rawat Jalan
Bertujuan memberikan pelayanan kesehatan pada tingkat pelaksanaan
diagnosis dan pengobatan pada penyakit yang akut dan mendadak dan kronis
yang dimungkinkan tidak terjadi rawat inap. Dapat dilakukan pada klinik-klinik
kesehatan, seperti klinik dokter spesialis, klinik perawatan spesialis dan lain-lain.
2. Institusi
Adalah pelayanan kesehatan yang fasilitasnya cukup dalam memberika berbagai
tingkat pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, pusat rehabilitas, dan lain-lain.
19
3. Hospice
Adalah pelayanan kesehatan yang difokuskan pada klien yang sakit terminal
agar lebih tenang dan dapat melewati masa-masa terminalnya dengan tenang.
Misalnya digunakan dalam home care.
4. Community Based Agency
Adalah pelayanan kesehatn yang dilakukan pada klien pada keluarganya
sebagaimana pelaksanaan perawatan keluarga seperti praktek perawat keluarga
dan lain-lain.
Dalam pelayanan kesehatan terdapat tiga bentuk (Hidayat, 2008: 114), yaitu:
1. Primary health care (pelayanan kesehatan tingkat pertama)
Dilaksanakan atau dibutuhkan pada masyarakat yang memiliki masalah
kesehatan yang ringan atau masyarakat yang sehat tetapi ingin mendapatkan
peningkatan kesehatan agar menjadi optimal dan sejahtera. Pelaksanaan
kesehatan ini dapat dilaksanakn oleh puskesmas atau balai kesehatan
masyarakat dan lain-lain.
2. Secondary heaith care (pelayanan kesehatan tingkat kedua)
Dibutuhkan bagi masyarakat atau klien yang membutuhkan perawatan dirumah
sakit atau rawat inap dan tidak dilaksanankan di pelayanan kesehatan utama.
Pelayanan kesehatan ini dilaksanakan di rumah sakit yang tersedia tenaga
spesialis atau sejenisnya.
3. Tertiary health services (pelayanan kesehatan tingkat ketiga)
Merupakan tingkat pelayanan yang tertinggi dimana tingkat pelayanan ini apabila
tidak lagi dibutuhkan pelayanan pada tingkat pertam dan kedua. Biasnya
20
pelayanan ini membutuhkan tenaga-tenaga yang ahli atau subspesialis dan
sebagai rujukan utama seperti rumah sakit yang tipe A atau B.
Cara mengukur mutu pelayanan menurut Afendi (2009: 351) meliputi:
1. Pengukuran Mutu Prospektif
Pengukurannya akan ditukan terhadap struktur atau input layanan kesehatan
dengan asumsi bahwa layanan kesehatan harus memiliki sumber daya tertentu
agar dapat menghasilkan suatu layanan yang bermutu.
2. Pengukuran mutu Retrospektif
Pengukuran ini biasanya merupakan gabungan dari beberapa kegiatan seperti
penilaian catatan keperawatan (nursing record), wawancara, pembuatan
kuesioner, dan menyelenggarakan pertemuan.
3. Pengukuran mutu konkuren
Pengukuran ini dilakukan melalui pengamatan langsung dan kadang-kadan perlu
lenkapi dengan peninjauan pada catatan keperawatan serta melakukan
wawancara dan mengadakan pertemuan denagan klien, keluarga atau petugas
kesehatan.
2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Pelayanan Kesehatan
Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa.
Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh
pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan. Mutu pelayanan
kesehatan yang dapat menimbulkan tingkat kepuasan pasien dapat bersumber dari
faktor yang relatif sefesifik, seperti pelayanan rumah sakit, petugas kesehatan, atau
pelayanan pendukung. Prioritas peningkatkan kepuasan pasien adalah memperbaiki
kualitas pelayanan dengan mendistribusikan pelayanan adil, palayanan yang ramah
21
dan sopan, kebersihan, kerapian, kenyamanan dan keamanan ruangan serta
kelengkapan, kesiapan dan kebersihan peralatan medis dan non medis.
Menurut Depkes (2006) faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan
keperawatan:
1. Komunikasi, yaitu tata cara informasi yang diberikan pihak penyedia jasa dan
keluhan-keluhan dari pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien dengan
cepat diterima oleh penyedia jasa terutama perawat dalam memberikan bantuan
terhadap keluhan pasien. Misalnya adanya tombol panggilan didalam ruang
rawat inap, adanya ruang informasi yang memadai terhadap informasi yang akan
dibutuhkan pemakai jasa rumah sakit seperti keluarga pasien maupun orang
yang berkunjung di rumah sakit, akan dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-
faktor kepuasan pasien adalah : kualitas jasa, harga, emosional, kinerja,
estetika, karakteristik produk, pelayanan, lokasi, fasilitas, komunikasi, suasana,
dan desain visual.
2. Meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, sehingga dapat mempengaruhi
kualitas pelayanan. Yang dimaksud mempengaruhi kualitas pelayanan adalah
dengan adanya biaya, maka fasilitas pelayanan kesehatan dapat lebih lengkap
seperti, peralatan medis, dan ruang pelayanan.
3. Dukungan dari lingkungan sekitar:
a. Masyarakat
b. Pemerintah
c. Penunjang pelayanan kesehatan lainnya
Dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak lengkap apabila kita tidak
didukung oleh suatu lembaga yang menaungi perawat apabila terjadi suatu hal
22
yang tidak diinginkan. Untuk memotivasi seorang perawat, selain kesadaran dari
orang itu sendiri, perlu orang lain yang memberi motivasi karena dengan
kehadiran orang lain akan semakin meningkatkan motivasi dalam diri perawat.
4. Menyadarkan bahwa masyarakat berhak mendapatkan kualitas pelayanan
kesehatan dengan baik tanpa memandang strata social. Walaupun orang itu
kaya, miskin kita sebagai perawat tidak boleh membeda-bedakan, yang
membuat pelayanan berbeda adalah seberapa parah penyakit yang diderita
pasien, dalam hal ini kita sebagai perawat harus mampu menggutamakan mana
yang lebih harus diutamakan.
5. Semakin meningkatnya standar pelayanan kesehatan. Dunia kesehatan semakin
hari semakin meningkat, tidak dipungkiri pelayanan kesehatan pun harus dituntut
untuk lebih memberikan pelayanan yang semakin bermutu. Missal: hak-hak
pasien dalam mendapatkan pelayanan, cepat, dan tanggap.
6. Pelayanan keperawatan adalah Kebutuhan konsumen. Semisal: pasien datang
ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan mereka datang sebagai konsumen
maka kita harus melayani mereka dengan baik.
7. Semakin hari jaman semakin dihadapkan dengan pengaruh budaya globalisasi
yang mempengaruhi cuaca, iklim dan kondisi sekitar yang tidak menentu dan hal
tersebut semakin menambah kebutuhan konsumen akan pelayanan
keperawatan.
8. Keperawatan sebagai profesi
a. Suatu profesi memiliki cabang pengetahuan yang termasuk ketrampilan,
kemampuan, dan norma-norma.
b. Profesi sebagai keseluruhan memiliki kode etik dalam praktiknya.
23
c. Profesi harus mampu menciptakan perawat professional yang berpendidikan.
9. Adanya standar praktik. Untuk menilai kualitas pelayanan keperawatan
diperlukan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat
dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang diwujudkan dalam bentuk
proses keperawatan baik dari pengkajian sampai evaluasi serta
pendokumentasian asuhan keperawatan.
10. Asuhan keperawatan dengan pendokumentasian yang benar. Supaya pelayanan
keperawatan berkualitas maka perawat diharapkan bisa menerapkan asuhan
keperawatan dengan pendokumentasian yang benar. Namun seringkali perawat
belum maksimal dalam melaksanakan dokumentasi. Kelancaran pelaksanaan
dokumentasi asuhan keperawatan ditentukan oleh kepatuhan perawat
dikarenakan asuhan keperawatan merupakan tugas perawat sebagai tenaga
profesional yang bekerja di rumah sakit selama 24 jam secara terus menerus
yang dibagi dalam 3 (tiga) shift, yaitu pagi, sore dan malam. Dengan porsi waktu
yang cukup lama kontak dengan klien, maka perawat mempunyai andil yang
cukup besar dalam melakukan asuhan keperawatan dengan pendekatan proses
keperawatan.
11. Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai seorang yang profesional
terhadap suatu anjuran, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau
ditaati. Kepatuhan perawat dalam pendokumentasian asuhan keperawatan
diartikan sebagai ketaatan untuk melaksanakan pendokumentasian asuhan
keperawatan sesuai prosedur tetap (protap) yang telah ditetapkan karena
kesalahan sekecil apapun yang dilakukan seorang perawat akan berdampak
24
terhadap citra keperawatan secara keseluruhan dan akan dimintai
pertanggungjawaban dan tanggung gugat oleh konsumen.
2.2.4 Strategi Pelayanan (Service Strategy)
Untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para pelanggan,
maka ada dua pendekatan yang dikembangkan oleh A.Parasuraman, Leonard L,
Berry, and Valerie A.Zeithaml (2000: 234). Pendekatan Albrecht menekankan pada
dua hal yaitu Service Triangle dan Total Quality Service.
a. Service Tringle (Segitiga Pelayanan) adalah suatu model interaktif manajemen
pelayanan yang mencerminkan hubungan antara perusahaan dan para
pelanggannya. Model tersebut terdiri dari 3 elemen Service Strategy (Strategi
Pelayanan) Service people (Sumber Daya Manusia yang memberikan
pelayanan) Service System (Sistem Pelayanan) dengan pelanggan sebagai titik
pusat, setiap elemen dijelaskan sebagai berikut :
1) Strategi Pelayanan (Service Strategy), suatu strategi untuk memberikan
pelayanan dengan kualitas yang sebaik-baiknya kepada para pelanggan.
Strategi pelayanan yang efektif harus didasari oleh konsep atau misi yang
dapat dengan mudah dimengerti oleh setiap individu dalam perusahaan serta
diikuti oleh berbagai tindakan nyata yang bermamfaat bagi para pelanggan
dan mampu membedakan perusahaan yang menerapkan strategi tersebut
dengan para pesaingnya, sehingga perusahaan mampu mempertahankan
para pelanggan yang ada bahkan mampu merebut pelanggan baru. Untuk
dapat merumuskan dan menerapkan strategi pelayanan yang efektif,
perusahaan perlu memiliki apa yang disebut sebagai service package (paket
pelayanan), yaitu suatu kerangka pelayanan untuk memuaskan keinginan
25
dan harapan para pelanggan yang meliputi pelayanan utama dan pelayanan
pendukung.
2) Sumber Daya Manusia yang memberikan pelayanan, menggolongkan
mereka kedalam tiga kelompok, yaitu sumber daya manusia yang
berinteraksi langsung dengan para pelanggan,sumber daya manusia yang
memberikan pelayanan kepada para pelanggan tetapi kadang-kadang
berinteraksi langsung dan sumber daya manusia pendukung. Tergolong ke
dalam kelompok manapun,sumber daya manusia tetap perlu memusatkan
perhatian para pelanggan dengan cara mengetahui siapa para pelanggan
perusahaan,mempelajari apa kebutuhkan para pelanggan dan mencari tahu
bagaimana caranya memenuhi atau memuaskan kebutuhan tersebut. Untuk
itu diperlukan budaya perusahaan yang menitikberatkan pada pelayanan
pelanggan, lingkungan kerja yang kondusif yang diindikasikan antara lain
oleh tingkat kepuasan kerja yang tinggi, rasa aman dalam bekerja, sistim
balas jasa yang motivatif, adanya kesempatan berkarier luas, moralitas kerja
yang tinggi,enerjik dan penuh optimisme, proses seleksi yang efektif
sehingga diperoleh sumber daya manusia yang bernaluri memberikan
pelayanan, program pelatihan yang efektif yaang mampu memberikan
kesempatan kepada sumber daya manusia untuk mempelajari cara-cara
memberikan pelayanan yang berkualitas, serta sistem penilaian kerja dan
umpan balik yang mampu mengindikasikan apa yang baik dan apa yang
perlu diperbaiki dalam kaitannya dengan pelayanan kepada para pelanggan.
3) Sistem pelayanan : yaitu prosedur atau tata cara untuk memberikan
pelayanan kepada para pelanggan yang melibatkan seluruh fasilitas fisik
26
StrategiPelayanan
Pelanggan
SistemPelayanan
Sumber Daya Manusia
yang dimiliki oleh sumber daya manusia yang ada. Sistem ini harus konsisten
dengan paket pelayanan yang telah dirancang sebelumnya, tidak bersifat
komplek. Salah satu sistem pelayanan yang efektif yaitu kemudahan untuk
memberikan pelayanan dengan sistem yang hampir idak tampak.
Paradigma di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1: Segitiga Pelayanan (Service Triangle)Sumber: Zeithami (2000: 255)
b. Total quality Service (pelayanan mutu terpadu)
Pelayanan mutu terpadu merupakan suatu keadaan dimana perusa haan
memiliki kemampuan memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para
stakeholdernya (pelanggan, pemilik dan pegawai). TQS pada dasarnya
merupakan penjabaran dari segitiga pelayanan. TQS memilik 5 elemen yang
saling terkait satu sama lainnya.
1) Market and Custumer research (riset pasar dan pelanggan). Riset pasar
adalah suatu kegiatan penelitian terhadap struktur dan dinamika pasar
27
tempat perusahaan berencana untuk berkiprah didalamnya yang meliputi
identifikasi segmen pasar, analisis demografis, analisin segmen pasar
potensial dan analisis kekuatan-kekuatan yang ada didalam pasar. Riset
pelanggan bergerak lebih jauh lagi, yaitu mencari tahu harapan, keinginan
dan perasaan pelanggan secara individual terhadap pelayanan yang
ditawarkan oleh suatu perusahaan, dengan tujuan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang membuat para pelanggan memilih perusahaan tertentu
dibanding perusahaan pesaingnya, hasil penelitian tersebut dapat dijadika
tolok ukurbagi perusahaan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas
kepada para pelanggannya.
2) Strategy Formalation (perumusan strategi) : yaitu suatu proses perancangan
strategi mempertahankan pelanggan yang ada dan meraih pelanggan baru.
Agar perumusan strategi dapat menghasilkan strategi yang efektif,dibutuhkan
beberapa hal seperti : pengetahuan mengenai bidang usaha perusahaan,
nilai-nilai norma yang berlaku dalam perusahaan,pendekatan stratejik yang
dibutuhkan agar dapat memenangkan persaingan, pengetahuan mengenai
cara-cara memadukan teknologi, operasi,metodologi dan struktur organisasi
untuk memenuhi permintaan para pelanggan, serta reposisi
prusahaan.Berbeda dengan hasil riset pasar dan pelanggan, Strategi
merupakan navigator bagi perusahaan dalam memberikan pelayanan yang
bermutu kepada para pelanggannya.
3) Education, Training and Communication (pendidikan, pelatihan dan
komunikasi). Pendidikan dan pelatihan sangat penting bagi pengembangan
dan peningkatan kualitas (pengetahuan dan kemampuan) sumber daya
28
manusia agar mereka mampu memberikan pelayanan yang berkualitas
kepada para pelanggan, sedangkan komunikasi berperan dalam
mendiatribusikan informasi ke setiap individu dalam perusahaan. Ketiga hal
ini sangat berperan dalam meningkatkan pengertian sumber daya manusia
atas keinginan dan harapan para pelanggan, Visi misi dan nilai-nilai
perusahaan, serta strategu untuk mempertahankan pelanggannya.
4) Processs Improvement (penyempurnaan proses) berbagai usaha pada
seluruh tingkatan dalam perusahaan secara berkesenambungan
menyempurnakan proses pemberian pelayanan secara aktif mencari cara-
cara baru untuk terus mempertahankan citra perusahaan. Agar
penyempurnaan proses dapat efektif maka membutuhkan pengkajian dan
pengujian yang diikuti oleh perbaikan seluruh tata cara, kebijakan, peraturan
dan metode kerja yang terdapat dalam perusahaan, atau merevisi metode
kerja yang lebih menguntungkan bagi perusahaan.
5) Assessment, Measurement, and Feedback (Penilaian, Pengukuran dan
Umpan Balik) yang berperan dalam menginformasikan kepada sumber daya
manusia, seberapa jauh mereka mampu memenuhi keinginan dan harapan
para pelanggan. Hasil penilaian kinerja dan umpan balik dijadikan dasar
untuk memberikan balas jasa sumber daya manusia,serta memberikan
isyarat kepada perusahaan tentang apa yang masih harus diperbaiki, kapan
perlu diperbaiki dan bagaimana cara memperbaikinya.
Kualitas pelayanan dapat diketahui dengan secara membandingkan
persepsi pelanggan atas pelayanan yang diperoleh/diterima secara nyata oleh
mereka dengan pelayanan yang sesungguhnya diharapkan (Parasuraman,2000).
29
Word of Mounth
Personal Needs
PastExperience
Dimension of Service Quality-Realiability-Responsiveness-Assurance-Empathy-Tangibles
ExpectedService
PerceivedService
PerceivedService Quality
Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan, maka pelayanan dapat dikatakan
bermutu sebaliknya jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, maka pelayanan
dapat dikatakan tidak bermutu, apabila kenyataan sama dengan harapan,.maka
kualitas pelayanan disebut memuaskan.dengan demikian kualitas pelayanan dapat
idefinisikan seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelangan
atas layanan yang diterima mereka (Parasuraman,2000: 420).
Harapan para pelanggan didasarkan pada informasi yang disampaikan dari
mulut ke mulut, kebutuhan pribadi, pengalaman masa lalu serta komunikasi
eksternal (Parasuraman, 2000: 421). Sementara pengaruh dari demensi kualitas
pelayanan terhadap harapan para pelanggan dan kenyataan yang mereka terima
sebagaimana terlihat pada gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.2: Kualitas Pelayanan yang DiterimaSumber : Parasuraman, V.A.Zeithaml and L.L.Berry” A Conceptual Model of
Servis Quality and its implications for future Research.
Baik tidaknya kualitas jasa atau layanan tergantung pada kemampuan
penyediaan barang/jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan
berakhir pada penilaian pelanggan. Ini berarti bahwa citra kualitas yang baik
bukanlah berdasarkan penilaian penyedia layanan, tetapi didasarkan pada penilaian
30
pelanggan, sebagaimana dikemukakan Kotler (2005:62) bahwa pelangganlah yang
mengkonsumsi dan menikmati layanan sehingga merekalah yang seharusnya
menentukan kualitas layanan. Persepsi pelanggan terhadap layanan merupakan
penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu layanan.
Kualitas pelayanan juga dapat diartikan sebagai kegiatan pelayanan yang
diberikan pada seorang atau orang lain, organisasi pemerintah atau swasta sosial,
politik, LSM, dan lain-lai, sesuai dengan peraturan per Undang-Undangan yang
berlaku. Kualitas pelayanan dapat dievaluasi dengan sejumlah indikator penelitian
yang dilakukan terhadap beberapa jenis perusahaan jasa.
Pelayanan kesehatan dapat diklasifikasikan berdasakan orang (people
based), teknologi atau peralatannya (equipment based), dan upaya yang harus
dijalankan (programme based), atau kombinasi (Supriyanto dan Ernawaty, 2010:
300).
Penilaian konsumen terhadap produk apapun dapat dibedakan menjadi
penilaian kualitas teknis dan kualitas fungsional. Kualitas teknis dalam bidang
pelayanan kesehatan terkait dengan aspek-aspek seperti; pelayanan medis,
keperawatan, penunjang medis, dan pelayanan nonmedis. Jadi kualitas teknis
adalah jenis pelayanan kesehatan yang diberikan. Sedangkan kulitas fungsional
terkait dengan proses menyampaikan pelayanan. Jadi, kualitas demikian terkait
dengan aspek komunikasi interpersonal. Menurut Supriyanto dan Ernawaty (2010:
302) kualitas fungsional terdiri dari:
1. Reliability, terdiri atas kemampuan pemberi pelayanan untuk memberikan
pelayanan yang diharapkan secara akurat sesuai dengan yang dijanjikan.
31
2. Responsiveness, yaitu keinginan untuk membantu dan menyediakan pelayanan
yang dibutuhkan dengan segera. Indikator responsiveness adalah kecepatan
dilayani bila pasien membutuhkan atau waktu tunggu yang pendek untuk
mendapatkan pelayanan.
3. Assurance, yaitu kemampuan pemberi jasa untuk menimbulkan rasa percaya
pelanggan terhadap jasa yang ditawarkan. Indikatornya adalah jaminan sembuh
dan dilayani petugas yang bermutu atau profesional.
4. Empathy, berupa pemberian layanan secara individual dengan penuh perhatian
dan sesuai kebutuhan atau harapan pasien. Misalnya, petugas mau
mendengarkan keluhan dan membantu menyelesaikannya, petugas tidak acu tak
acu.
5. Tangible, adalah penampakan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan bahan
komunikasi yang menunjang jasa yang ditawarkan.
Sementara menurut Kotler (2008) Mutu atau kualitas pada umumnya dapat
diukur (tangible) namun mutu jasa pelayanan agak sulit diukur, karena umumnya
bersifat subyektif, sebab menyangkut kepuasan seseorang, bergantung pada
persepsi, latar belakang, sosial ekonomi, norma, pendidikan, budaya, bahkan
kepribadian seseorang. Terdapat lima determinan kualitas jasa/pelayanan yang
dapat dirinci sebagai berikut :
1. Kehandalan (reliability)
Kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat terpercaya,
dapat dilihat dari:
a. Proses penerimaan pasien yang cepat dan tepat.
b. Pelayanan pemeriksaan, pengobatan yang cepat dan tepat.
32
c. Jadwal pelayanan dijalankan dengan tepat.
d. Prosedur pelayanan yang tidak berbelitbelit.
2. Ketanggapan (responsiveness)
Kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa cepat dapat
dilihat dari :
a. Kemauan petugas untuk cepat tanggap menyelesaikan keluhan pasien
b. Petugas memberikan informasi yang jelas, mudah dimengerti.
c. Tindakan cepat pada saat pasien membutuhkan.
3. Keyakinan (assurance)
Pengetahuan, kemampuan dan kesopanan pemberi jasa untuk menimbulkan
kepercayaan dan keyakinan terlihat dari :
a. Pengetahuan dan kemampuan petugas menetapkan problematic pasien
b. Ketrampilan petugas dalam bekerja
c. Pelayanan yang sopan dan ramah.
d. Jaminan keamanan pelayanan dan kepercayaan terhadap pelayanan.
4. Perhatian (empathy)
Perhatian pribadi yang diberikan pada pelanggan terlihat dari:
a. Memberikan perhatian secara khusus kepada setiap pasien
b. Perhatian terhadap keluhan pasien dan keluarga.
c. Pelayanan pada semua pasien tanpa memandang status sosial.
5. Penampilan (Tangible).
Penampilan fisik, peralatan serta personil.
a. Kebersihan, kerapian dan kenyamanan ruangan.
b. Penataan eksterior dan interior.
33
c. Kelengkapan, kesiapan dan kebersihan alatalat
d. Kerapian dan kebersihan penampilan petugas.
Tingkat mutu pelayanan tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang
institusi kesehatan tetapi harus dipandang dari sudut pandang penilaian
pelanggan/pasien. Karena itu, dalam merumuskan strategi dan program pelayanan,
institusi kesehatan harus berorientasi pada kepentingan pelanggan dengan
memperhatikan komponen kualitas pelayanan. Salah satu cara agar penjualan jasa
satu perusahaan lebih unggul dibandingkan para pesaingnya adalah dengan
memberikan pelayanan yang berkualitas dan bermutu, yang memenuhi tingkat
kepentingan konsumen.
Kualitas layanan dapat dirumuskan:
Satisfaction = f (service quality – expection)
Berdasarkan rumus di atas terdapat tiga kemungkinan yang terjadi yaitu:
a. Service quality < Expection
Bila ini terjadi, dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan perusahaan buruk,
tidak sesuai dengan harapan pelanggan, dan tidak memuaskan.
b. Service quality = Expectation
Bila ini terjadi dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan adalah biasa saja.
Dimata pelanggan, pelayanan yang diberikan sudah seharusnya seperti itu.
c. Service quality > Expection
Bila ini terjadi, pelanggan merasakan pelayanan yang diberikan tidak hanya
sesuai kebutuhan, tetapi sekaligus memuaskan dan menyenangkan. Pelayanan
ini dinamakan pelayanan prima, yang selalu diharapkan semua pelanggan.
34
2.2.5 Operational Benevolence (Kebaikan hati yang dirasakan)
Sirdesmukh (2002: 17) dalam Djohan (2006) mendefinisikan operational
benevolence sebagai tingkah laku yang merefleksikan suatu motivasi untuk
menempatkan kepetingan konsumen di atas kepentingan pribadi. Medahulukan
kepentingan konsumen ini direfleksikan dengan dukungan yang sungguh-sungguh
meskipun dalam proses tersebut memerlukan biaya dan “extra role action”.
Sirdesmukh (2002: 18) dalam Djohan (2006) menyebutkan dimensi ini sebagai
“goodwiil trust:. Partner yang beritikat baik dapat dipercaya untuk mengambil inisiatif
yang membantu konsumen dan terhindar dari penipuan. Penemuan-penemuan
empiris dalam mengembangkan kepercayaan menguatkan pengaruh dari
operational benevolence terhadap kepercayaan konsumen (Hess 1995, Smith and
Barclay, 1997). Kotler and Bloom (1984: 8) menyatakan bahwa diperlukan kejujuran
dan itikat baik untuk mendapatkan kepercayaan konsumen. Dalam industri jasa
kesehatan seperti rumah sakit, itikat baik yang dirasakan pasien sangatlah penting,
karena kesenjangan pengetahuan pasien dengan kalangan profesonal di rumah
sakit, terutama terhadap pelayanan dokter. Apalagi pasien berada dalam kondisi
sakit dan menderita dengan kesejangan pengetahuan ini disertai kebutuhan yang
mendesak, maka pasien akan mudah menjadi korban pihak rumah sakit atau
layanan dokter yang tidak bertannggung jawab. Gymnastiar (2005: 36) dalam
Djohan (2006) menyatakan bahwa dimana-mana orang akan mencari rekanan yang
jujur dan bisa dipercaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa value yang unggul telah
menggeser kepada spiritual value. Pernyataan Gymnastiar ini didukung oleh
penelitian Maratning (2004) yang menemukan bahwa spiritual well being perawat
35
meningkatkan kepuasan pasien. Benevolence dalam pelayanan kesehatan
berdimensi spiritual.
Indikator yang ditampilkan pada opeartional benevolence berasal dari
Sirdesmukh (2002), Kotler and Bloom (1984), and Peltier (2002), Chan (2003) yaitu:
mendahulukan kepentingan pasien diatas kepentingan pribadi, kejujuran dan
ketulusan (keiklasan) dan care (kepedulian/asuhan).
2.2.6 Fasilitas Pelayanan Kesehatan Puskesmas
Fasilitas kesehatan adalah salah satu alat atau tempat yang digunakan untuk
rehabilitas yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Puskesmas sebagai salah satu unit pelaksana teknis Dinas kabupaten/kota
berperan di dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas kepada
masyarakat dengan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi segala harapan,
keinginan, dan kebutuhan serta mampu memberikan kepuasan bagi masyarakat.
Puskesmas sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, agar dapat melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi pokoknya
sebagai :
1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan, yaitu Puskesmas
selalu memantau pelaksanaan pembangunan di wilayah kerjanya agar senantiasa
memperhatikan segi aspek / dampak kesehatan,
2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat, yaitu membina masyarakat di wilayah kerja
untuk berperan serta aktif dan diharapkan mampu menolong diri sendiri dibidang
kesehatan,
3. Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama, yaitu memberikan pelayanan
kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh yang bermutu, merata,
36
berkesinambungan dan terjangkau oleh masyarakat, seyogyanya memang lebih
diutamakan baik dari segi keberadaan gedungnya, alat/sarana penunjang
pelayanan kesehatan, pembiayaan dan ketenagaan yang profesional dan handal.
Keberadaan Gedung Puskesmas kedepan agar dibangun lebih representatif
serta memperhatikan segi keamanan, kenyamanan dan ruang gerak yang cukup
baik di ruang pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan, ruang
tunggu, ruang administrasi program / tata usaha, ruang pertemuan serta dilengkapi
dengan ruang arsip, ruang penyimpanan barang inventaris dan areal parkir yang
memadai.
Alat/sarana penunjang pelayanan kesehatan seperti yang terjadi di
puskesmas Dadahup misalnya tidak adanya laboratorium dan kurangnya persediaan
obat-obatan tertentu baru-baru ini karena memang kehabisan stock di UPT
Perbekalan Kesehatan Kabupaten Kapuas. Terhadap hal ini sementara telah
diupayakan ditanggulangi dari biaya jasa sarana puskesmas.
Tenaga kesehatan yang profesional dan handal sangat dibutuhkan di
Puskesmas agar Puskesmas mampu melaksanakan tugas yang sesuai dengan
fungsi pokok tadi. Oleh karena itu kalau tidak untuk peningkatan karier sebaiknya
tenaga yang sudah handal di puskesmas jangan ditarik/dipindahkan ke kabupaten.
Hal ini penting mengingat bahwa sebagai fasilitas pelayanan kesehatan terdepan
puskesmas sangat membutuhkan petugas yang handal agar mampu melaksanakan
tugas-tugas secara optimal.
Terkait dengan keinginan pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas yang
rencananya akan menugaskan petugas promkes puskesmas untuk bertugas di
Dinas Kesehatan secara bergilir, untuk apa? Sekiranya hal itu tidak perlu karena
37
akan tidak efektif dan tidak efesien serta malah akan mengganggu tugas-tugas
puskesmas, mengingat masing-masing puskesmas sudah punya wilayah
tanggungjawab masing-masing yang membagi habis wilayah kabupaten Kapuas.
Disamping itu juga masing-masing petugas puskesmas termasuk petugas promkes
sebagian besar memiliki tugas rangkap di puskesmas. Lagian kegiatan promkes di
wilayah kerja puskesmas masing-masing sudah berjalan optimal secara lintas
program dan lintas sektoral.
Yang perlu dilakukan oleh petugas yang membidangi di Dinas kesehatan
Kabupaten Kapuas adalah berkoordinasi dengan pihak puskesmas dan lintas bidang
di kabupaten, melakukan monitoring, dan bila perlu pengendalian sesuai urgensi
kegiatan, atau lebih disesuaikan dengan tugas pokok.
2.2.7 Kinerja Pelayanan
Menurut pendapat Rivai (2006: 30) kinerja merujuk kepada tingkat
keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang
diinginkan dapat tercapai dengan baik. Pengertian kinerja dalam hal ini diihat dari
dua sisi, yaitu dari sisi individu dan dari sisi organisasi. Sedangkan As’ad (2008 :
47), memberikan pengertian kinerja sebagai hasil yang dicapai seseorang menurut
ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Berdasarkan pendapat
tersebut di atas kinerja dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi baik dan dimensi
buruk. Maksudnya apabila perilaku seseorang memberikan hasil pekerjaan yang
sesuai dengan standar atau kinerja yang telah dibakukan oleh organisasi, maka
kinerja yang dimiliki orang tersebut tergolong baik dan jika sebaliknya kinerja yang
bersangkutan jelek.
38
Pendapat lain sebagaimana yang dikemukakan Mangkunegara (2003:67)
bahwa kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya. Kemudian Sedarmayanti (2009:260 ) menyatakan kinerja
berarti hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam
organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam
rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Berdasarkan keempat
pendapat ini, hasil kerja atau prestasi kerja menjadi fokus pengertian kinerja.
Kinerja pada dasarnya mengandung makna lebih luas, bukan hanya
menyatakan hasil kerja, tetapi juga bagaimana proses kerja berlangsung. Hal ini
sesuai dengan pendapat Wibowo (2007:2 ). Kinerja adalah tentang melakukan
pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa
yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Dengan pengertian yang hampir
sama, Stolovitch dan Keeps dalam Rivai (2006:14) mengatakan kinerja merupakan
seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta
pelaksanaan suatu pekerjaan. Jadi dapat dikatakan kinerja mengandung makna
sebagai hasil kerja dan proses kerja yang sedang berlangsung.
Dengan demikian kinerja dapat diartikan sebagai hasil dari usaha seseorang
yang dicapai dengan adanya kemampuan dan pembuatan dalam situasi tertentu.
Kinerja merupakan fungsi atau hasil keterkaitan antara usaha, kemampuan, dan
persepsi tugas. Disamping itu usaha merupakan hasil motivasi yang menunjukkan
jumlah energy (fisik atau mental) yang digunakan oleh individu dan menjalankan
suatu tugas. Sedangkan kemampuan merupakan karekteristik individu yang
39
digunakan dalan menjalankan tugas pekerjaan. Kemampuan ini biasanya tidak
dapat dipengaruhi secara tidak langsung dalam jangka pendek. Persepsi tugas
merupakan petunjuk dimana idividu percaya bahwa mereka dapat mewujudkan
usaha-usaha mereka dalam pekerjaan.
Dari batasan pengertian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan kinerja adalah merupakan hasil kerja yang berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang berlaku pada pekerjaan itu sendiri.
Indikator kinerja ditetapkan dalam rangka pengukuran kinerja yang
digunakan untuk mengidentifikasi indicator kinerja dan nilai capainya, yang untuk
kemudian menjadi dasar penilaian capaian kinerja kegiatan, capaian kinerja
program, dan capaian kerja kebijasanaan. Indikator kinerja hendaknya bersifat yaitu:
1. Spesifik dan jelas;
2. Dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif;
3. Dapat dicapai, penting dan harus berguna untuk menunjukkan pencapaian
keluaran, hasil, manfaat, dan dampak;
4. Fleksibel dan sensitive terhadap perubahan dan;
5. Efektif sehingga dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisis datanya secara
ekonomis.
2.2.8 Kepuasan Konsumen/Pasien
Kepuasan Konsumen telah menjadi titik sentral perhatian dalam bisnis dan
manajemen, baik yang bersifat mencari laba ataupun nirlaba yang menempatkan
kepuasan konsumen sebagai ukuran utama. Menurut Sumarwan et.al (2011: 141),
konsumen tidak akan berhenti sampai pada tahap konsumsi tanpa melakukan
proses selanjutnya yaitu evaluasi pada produk yang dikonsumsinya tersebut. Proses
40
ini kemudia disebut dengan pascakonsumsi, di mana setelah mengkonsumsi produk
barang/jasa, konsumen akan memiliki perasaan puas atau tidak puas terhadap
produk yang dikonsumsinya. kepuasan akan mendorong konsumen membeli dan
mengkonsumsi ulang produk tersebut, sebaliknya perasaan yang tidak puas akan
menyebabkan konsumen kecewa dan menghentikan pembelian kembali dan
konsumsi produk tersebut.
Berarti konsumen mengalami berbagai tingkat kepuasan dan ketidakpuasan
setelah mengalami masing-masing jasa sesuai dengan sejauh mana harapan
mereka terpenuhi atau terlampaui. Karena kepuasan adalah keadaan emosional,
reaksi pasca-pembelian mereka berupa kemarahan, ketidakpuasan, kejengkelan,
netralitas, kegembiraan, atau kesenangan (Lovelock dan Wright, 2007: 102).
Fokus kualitas adalah kepuasan masyarakat/pelanggan. Oleh karena itu
perlu dipahami komponen-komponen yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan.
Kepuasan pelanggan sangat tergantung pada persepsi dan ekspektasi mereka.
Faktor yang mempengaruhi persepsi dan ekspektasi pelanggan adalah kebutuhan
dan keinginan, pengalaman masa lalu, pengalaman teman-teman dan komunikasi
melalui iklan dan pemasaran. Selain itu faktor umur, pendidikan, jenis kelamin,
kepribadian, suku dan latar belakang budaya serta kasus penyakit turut
mempengaruhi ekspektasi dan persepsi pelanggan/pasien.
Banyak pengertian tentang kepuasan konsumen yang diberikan oleh
beberapa pakar. Menurut Rangkuti (2008: 30) kepuasan konsumen adalah respons
konsumen terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan
kinerja aktual yang dirasakannya setelah pemakaian. Sedangkan Mowen dan Minor
(1998) dalam Sumarwan et.al (2011: 142) mengartikan kepuasan sebagai ”As
41
overall attitude consumers have toward a good or service after they have acquired
and used it. It is a postchoice evaluative judgment resulting from a specific purchase
selection and the experience of using or consuming it”.
Menurut Sumarwan (2011: 143) secara garis besar, riset-riset kepuasan
konsumen didasarkan pada tiga teori, yaitu:
1. Contrast Theory
Teori ini mengasumsikan bahwa konsumen akan membandingkan kinerja produk
aktual dengan ekspektasi sebelum pembelian. Apabila kinerja actual lebih besar
atau sama dengan ekspektasi maka pelanggan akan puas dan begitu
sebaliknya.
2. Assimilation Theory
Teori ini menyatakan bahwa evaluasi purnabeli merupakan fungsi positif dari
ekspektasi konsumen sebelum membeli. Konsumen secara persepsii cenderung
mendistorsi perbedaan antara ekspektasi dan kinerjanya ke arah ekspektasi
awal karena proses diskonfirmasi secara psikologis tidak nyaman dilakukan. Arti
lainnya adalah penyimpangan dari ekspektasi cenderung akan diterima oleh
konsumen yang bersangkutan.
3. Assimilation-Contrast Theory
Teori ini berpegang pada terjadinya efek asimilasi atau efek kontras yang
merupakan fungsi dari tingkat kesenjangan antara kinerja yang diharapkan
dengan kinerja aktual. Apabila kesenjangannya besar, konsumen akan
memperbesar gap tersebut sehingga produk dipersepsikan jauh lebih bagus atau
buruk disbanding dengan kenyataannya (contrast theory). Namun jika
kesenjangannya tidak terlalu besar, asimilasi teori yang berlaku.
42
Menurut model diskonfirmasi teori yang dikemukakan oleh Sumarwan et.al
(2011: 143), kepuasan konsumen merupakan dampak dari perbandingan antara
harapan konsumen sebelum pembelian dengan yang sesungguhnya diperoleh
konsumen dari produk yang dibeli tersebut. Ketika konsumen membeli suatu produk
maka ia memiliki harapan tentang bagaimana produk tersebut berfungsi (product
performance), produk akan berfungsi sebagai berikut:
1. Produk berfungsi lebih baik dari yang diharapkan, hal inilah yang disebut sebagai
diskonfirmasi positif (positive disconfirmation) yang apabila terjadi maka
konsumen akan merasa puas.
2. Produk berfungsi seperti yang diharapkan, hal inilah yang disebut sebagai
konfirmasi sederhana (simple confirmation). Produk tersebut tidak memberikan
rasa puas dan produk tersebut juga tidak mengecewakan konsumen. Konsumen
akan memiliki perasaan netral.
3. Produk berfungsi lebih buruk dari yang diharapkan, hal inilah yang disebut
sebagai diskonfirmasi negatif (negative disconfirmation). Produk yang berfungsi
buruk dan tidak sesuai dengan harapan konsumen akan menyebabkan
kekecewaan sehingga konsumen tidak merasa puas.
Model diskonfirmasi teori di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
43
PengalamanRekomendasiKomunikasi pemasaranPengetahuan atas merk
ExpektasiPerceive
Performance
Proses Perbandingan
Diskonfirmasi Negatif Konfirmasi Diskonfirmasi Positif
Ketidakpuasan Mere Satisfaction Delight
P<E P=E P>E
Gambar 2.3 : Model Paradigma DiskonfirmasiSumber: Sumarwan et al (2011: 144)
Konsumen akan memiliki harapan mengenai bagaimana produk atau jasa
seharusnya berfungsi (performance expectation), harapan tersebut adalah standar
kualitas yang dibandingkan dengan fungsi atau kualitas produk yang dirasakan
konsumen. Fungsi produk/jasa yang sesungguhnya (actual performance) adalah
persepsi konsumen terhadap kualitas produk/jasa. Dimensi kualitas pelayanan
menurut Sumarwan (2011: 145) meliputi sarana fisik (tangible), keandalan
(reliability), responsif (responsiveness), meyakinkan (assurance), menaruh perhatian
(emphaty).
Menurut Lovelock dan Wright (2007: 106) pemasar kadang-kadang
menggunakan alat yang disebut SERVQUAL (service quality) untuk mengumpulkan
44
jenis informasi dari pelanggan. SERVQUAL (service quality) memakai 22 instrumen
yang mengukur harapan dan persepsi tentang demensi-dimensi kualitas yang
peling penting. Pelanggan diminta mengisi serangkaian skala yang mengukur
harapan konsumen terhadap perusahaan tertentu berdasarkan berbagai
karakteristik jasa khusus, termasuk aspek kelima demensii kualitas yaitu reliability,
responsiveness, assurance, empathy,tangible.
SERVQUAL dibangun atas adanya perbandingan dua faktor) utama yaitu
persepsi pelanggan atas layanan yang nyata mereka terima (perceived service)
dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan/diinginkan (expected service). Jika
kenyataan lebih dari yang diharapkan, maka layanan dapat dikatakan bermutu
sedangkan jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, maka layanan dikatakan
tidak bermutu. Dan apabila kenyataan sama dengan harapan, maka layanan disebut
memuaskan. Dengan demikian, service quality dapat didefinisikan sebagai seberapa
jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan yang
mereka terima/peroleh (Tjiptono, 2009: 201).
Bila ada asimetris informasi antara konsumen dan produsen /provider seperti
dalam layanan kesehatan maka konsumen hanya menggunakan service quality
untuk menilai mutu. Menurut Lovelock dan Wright (2007: 92) dalam banyak hal,
definisi yang berbasis jasa menyamakan kualitas dengan kepuasan pelanggan,
sebagaimana didefinisikan oleh rumus:
Kepuasan =Jasa yang dipahamiJasa yang diharapkan
45
Menurut Supriyanto dan Ernawaty (2010: 303) kepuasan pelanggan terjadi
apabila apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, atau harapan pelanggan dapat
dipenuhi. Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau puas bahwa produk
atau jasa yang diterima telah sesuai atau melebihi harapan pelanggan.
Metode dalam pengukuran kepuasan pelanggan menurut Kotler dan Keller
(2009: 140) adalah sebagai berikut:
1. Survie berkala
Survie berkala dapat melacak kepuasan pelanggan secara langsung dan juga
mengajukan pertanyaan tambahan untuk mengukur niat pembelian kembali dan
kemungkinan atau kesediaan responden untuk merekomendasikan suatu
perusahaan danmerekkepada orang lain.
2. Tingkat kehilangan pelanggan
Perusahaan dapat mengamati kehilangan pelanggan dan menghubungi
pelanggan yang berhenti membeli atau beralih ke pemasok lain untuk
mengetahui alasannya.
3. Pembelanja misterius
Perusahaan dapat mempekerjakan pembelanja misterius untuk berperan
sebagai pembeli potensial dan melaporkan titik kuat an lemah yang dialaminya
dalam membeli produk perusahaan maupun produk pesaing.
Sementara Tjiptono (2009 : 104) mengemukakan metode dalam pengukuran
kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut:
1. Sistem keluhan dan saran
Organisasi yang berpusat pelanggan (customer-centered) memberikan
kesempatan yang luas kepada pelanggannya untuk menyampaikan saran dan
46
keluhan, misalnya dengan menyediakan kotak saran, kartu komentar, customer
hot lines, dan lain-lain. Informasi-informasi ini dapat memberikan ide-ide
cemerlang bagi perusahaan dan memungkinkannya untuk bereaksi secara
tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul.
2. Ghost shopping
Salah satu cara untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan
adalah dengan mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap
sebagai pembeli potensial, kemudian melaporkan temuan-temuannya mengenai
kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan
pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk tersebut. Selain itu para
ghost shopper juga dapat mengamati cara penanganan setiap keluhan.
3. Lost customer analysis
Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah berhenti
membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal
itu terjadi. Bukan hanya exit interview saja yang perlu, tetapi pemantauan
customer loss rate juga penting, peningkatan customer loss rate menunjukan
kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggannya.
4. Survei kepuasan pelanggan
Umumnya penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan dengan
penelitian survai, baik melalui pos, telepon, maupun wawancara langsung. Hal
ini karena melalui survai, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan
balik secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan tanda (signal) positif
bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya.
47
Lupiyoadi (2005:158) menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat
kepuasan, terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh
perusahaan/lembaga, yaitu:
1. Kualitas produk; Pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka
menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas.
2. Kualitas pelayanan; Terutama untuk industri jasa, pelanggan akan merasa puas
bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang
diharapkan.
3. Emosional; Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan
bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk dengan
merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan lebih tinggi.
Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial
atau self esteem yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek
tertentu.
4. Harga; Produk yang mempunyai kualitas sama tetapi menetapkan harga yang
relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggannya.
5. Biaya; Pelanggan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu
membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas
terhadap produk atau jasa itu.
2.2.9 Service Recovery
Armistead et al., (1995:5) dalam Lewis (2001) mendefinisikan
service recovery merupakan tindakan spesifik yang dilakukan untuk
memastikan bahwa pelanggan mendapatkan tingkat pelayanan yang
pantas setelah terjadi masalah-masalah dalam pelayanan secara normal.
48
Zemke dan Bell (1990:43) dalam Lewis (2001) menyebutkan bahwa
service recovery merupakan suatu hasil pemikiran, rencana, dan proses
untuk menebus kekecewaan pelanggan menjadi puas terhadap organisasi
setelah pelayanan yang diberikan mengalami masalah (kegagalan).
Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat diambil beberapa key-
term yang menjadi perhatian dalam melakukan service recovery, yaitu
service recovery merupakan tindakan, pemikiran, rencana, dan proses
untuk memperbaiki pelayanan bila terjadi kesalahan atau kekecewaan
pelanggan dengan menebus kesalahan atau kekecewaan, sehingga
pelanggan menjadi puas. Service recovery bukan hanya sekedar
penanganan terhadap keluhan dan interaksi antara penyedia layanan dan
pelanggan. Sebuah sistem service recovery yang baik juga mendeteksi
dan memecahkan masalah, mencegah kekecewaan dan didisain untuk
mengakomodasi keluhan.
Banyak pakar yang menyatakan bahwa hukum pertama kualitas
adalah melakukan segala sesuatu secara benar sejak awal”. Bila hal itu
tercapai, maka akan terwujud kepuasan pelanggan. Meskipun demikian,
dalam suatu perusahaan yang telah menyampaikan jasanya dengan baik,
tetap saja akan ada pelanggan yang tidak puas atau kecewa. Tjiptono
(2009:159) menyatakan bahwa penyebab ketidak puasan itu ialah:
1. Faktor internal yang relatif dapat dikendalikan perusahaan, misalnya
karyawan yang kasar, karyawan yang tidak tepat waktu, kesalahan
pencatatan transaksi, dan lain-lain.
49
2. Faktor eksternal yang diluar kendali perusahaan, seperti cuaca,
bencana alam, gangguan pada infrastruktur umum (listrik padam,
jalan longsor), aktivitas kriminal, dan masalah pribadi pelanggan,
misalnya dompet hilang.
Service recovery berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan dan
secara umum dapat diwujudkan dengan tiga cara pokok. Pertama,
memperlakukan para pelanggan yang tidak puas dengan sedemikian rupa
sehingga bisa mempertahankan loyalitas mereka. Kedua, penyedia jasa
memberikan jaminan yang luas dan tak terbatas pada ganti rugi yang
dijanjikan saja. Ketiga, Penyedia jasa memenuhi atau melebihi harapan
para pelanggan yang mengeluh dengan cara menangani keluhan mereka.
Berdasarkan hasil beberapa observasi terhadap perusahaan-
perusahaan jasa yang unggul, Heskett, Sasser dan Hart (1990)
merangkum hal-hal yang banyak diterapkan untuk menangani service
recovery, yaitu:
1. Melakukan aktivitas rekrutmen, penempatan, pelatihan, dan promosi
yang mengarah pada keunggulan service recovery secara
keseluruhan.
2. Secara aktif mengumpulkan atau menampung keluhan pelanggan
yang dipandang sebagai peluang pelasaran dan penyempurnaan
proses.
3. Mengukur biaya primer dan sekunder dari pelangga yang tidak puas,
lalu melakukan penyesuaian investasi terhadap tingkat biaya tersebut.
50
4. Memberdayakan karyawan lini depan untuk mengambil tindakan tepat
dalam rangka service recovery.
5. Mengembangkan jalur komunikasi yang singkat antara pelanggan dan
manajer.
6. Memberikan penghargaan kepada setiap karyawan yang menerima
dan memecahkan masalah keluhan pelanggan, serta memperbaiki
sumber-sumber masalahnya.
7. Memasukkan keunggulan pelayanan dan recovery sebagai bagian dari
strategi bisnis perusahaan.
8. Komitmen manajer puncak terhadap dua hal utama, yaitu melakukan
segala sesuatu secara benar sejak awal dan mengembangkan program
service
recovery yang efektif.
Mudie dan Cottam (1993) menyatakan bahwa upaya mewujudkan
kepuasan pelanggan total bukanlah hal yang mudah. Kepuasan
pelanggan total tidak mungkin tercapai, sekalipun hanya untuk sementara
waktu. Namun, upaya perbaikan atau penyempurnaan kepuasan dapat
dilakukan dengan berbagai strategi. Tjiptono (2009) menyebutkan bahwa
ada beberapa strategi yang dapat dipadukan untuk meraih dan
meningkatkan kepuasan pelanggan, diantaranya:
1. Relationship Marketing.
Dalam strategi ini, hubungan transaksi antara penyedia jasa dan
pelanggan berkelanjutan, tidak berakhir setelah penjualan selesai.
Salah satu faktor yang dibutuhkan untuk mengembangkan strategi ini
51
ialah dengan membentuk customer database, yaitu daftar nama
pelanggan yang perlu dibina hubungan jangka panjang. Data base ini
tidak hanya berisi nama pelanggan, tetapi juga mencakup hal-hal
penting lainnya, misalnya frekuensi dan jumlah pembelian, apa yang
menjadi kesukaan pelanggan, dan sebagainya.
2. Strategi Superior Service
Strategi ini berusaha menawarkan pelayanan yang lebih unggul
daripada pesaingnya. Untuk mewujudkannya diperlukan dana yang
besar, kemampuan sumber daya manusia, dan usaha yang gigih.
Meskipun demikian, melalui pelayanan yang lebih unggul, perusahaan
dapat membebankan harga yang lebih tinggi pada jasa yang
ditawarkan. Akan ada konsumen yang tidak berkeberatan dengan
harga yang lebih mahal tersebut.
3. Strategi Unconditional Guarantees/Extraordinary Guarantees
Strategi dengan memberikan jaminan terhadap jasa yang ditawarkan
atau memberikan pelayanan purnajual yang baik menjadi penting bagi
penyedia layanan untuk menjaga loyalitas konsumen. Pelayanan
purnajual ini juga harus menyediakan media yang efisien dan efektif
untuk menangani keluhan. Perusahaan juga harus mau mengakui
kesalahannya dan menyampaikan permohonan maaf, serta
memberikan ganti rugi yang berharga bagi konsumen apabila terjadi
kesalahan yang dilakukan.
52
4. Strategi Penanganan Keluhan yang Efektif.
Penanganan keluhan yang baik memberikan peluang mengubah
seorang pelanggan yang tidak puas menjadi pelanggan yang puas.
Mudie dan Cottam (1993) menyatakan bahwa menangani keluhan
pelanggan dapat memberikan manfaat antara lain:
a. Penyedia jasa memperoleh kesempatan lagi memperbaiki
hubungannya dengan pelanggan yang kecewa.
b. Penyedia jasa bisa terhindar dari publisitas yang negatif.
c. Penyedia jasa akan mengetahui aspek-aspek yang perlu dibenahi
dalam pelayanan saat ini.
d. Penyedia jasa akan mengetahui sumber masalah operasinya.
e. Karyawan dapat termotivasi untuk memberikan pelayanan yang
berkualitas
f. lebih baik.
53